Anda di halaman 1dari 12

JURNAL AWAL

PERCOBAAN III
PEMISAHAN DAN IDENTIFIKASI PIPERIN DARI
PIPERIS NIGRI FRUCTUS

OLEH :
KELOMPOK IV
GOLONGAN IV
MADE BAYU YOGISWARA (1408505065)

I G.A. GDE CAHYADININGRAT ADHI P. (1608551041)

A.A. BAGUS YOGA SAPUTRA (1608551043)

I PUTU YOGI ASTARA PUTRA (1608551061)

I PUTU PRIYASANA (1608551062)

I DEWA GEDE WIJAYA KUSUMA (1608551063)

NI PUTU TIANA MAHADEWI (1608551065)

JURUSAN FARMASI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS UDAYANA

2017
PERCOBAAN III
PEMISAHAN DAN IDENTIFIKASI PIPERIN DARI PIPERIS NIGRI
FRUCTUS

I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Lada hitam (Piper nigrum) merupakan tanaman yang dapat dimanfaatkan
secara tradisional untuk mengatasi beberapa gangguan kesehatan, seperti : kolera,
nyeri haid, rematik, salesma, dan impoten (Septiatin, 2008). Salah satu kandungan
lada hitam yang sering dicari dan digunakan adalah piperin dalam buah lada
hitam. Piperin bersama senyawa-senyawa kimia lainnya berada dalam sel-sel buah
lada hitam. Dalam pengobatan penyakit tertentu, senyawa yang dibutuhkan
hanyalah piperinnya saja, tanpa senyawa-senyawa lain dalam buah lada hitam
tersebut.
Berdasarkan hal tersebut, diperlukan suatu metode untuk menyari piperin
dari dalam selnya dan memisahkannya dari kandungan senyawa kimia lainnya.
Hal ini dapat dilakukan melalui sokletasi dan dilanjutkan dengan rekristalisasi
serta kromatografi lapis tipis untuk proses identifikasi. Sokletasi merupakan
penyarian simplisia secara berkesinambungan dengan cara ekstraksi cair padat
dengan menggunakan alat soklet (Kusmardiyani dan Nawawi, 1992). Ekstrak
piperin yang diperoleh kemudian dipisahkan dari pengotor dan senyawa lainnya
dengan cara rekristalisasi. Rekristalisasi merupakan suatu teknik pemurnian zat
padat yang dilarutkan dalam suatu pelarut kemudian dikristalkan kembali dengan
pendinginan secara perlahan (Keenan, 1999). Kristal yang diperoleh kemudian
dianalisis untuk mengidentifikasi senyawa yang terkandung dalam kristal tersebut
dengan cara kromatografi lapis tipis.
Dalam melakukan sokletasi, rekristalisasi, dan kromatografi lapis tipis,
terutama untuk pemisahan dan identifikasi piperin, diperlukan metode tertentu
agar hasil sesuai yang diharapkan. Mengingat diperlukannya pemahaman yang
baik dalam melakukan hal ini, maka dibutuhkan latihan agar mampu melakukan

1
proses ini dengan benar. Latihan tersebut dapat dilakukan dalam praktikum
dengan judul “Pemisahan dan Identifikasi Piperin dari Piperis nigri Fructus”.
1.2 Tujuan Percobaan
Mahasiswa mampu menerapkan sokletasi, rekristalisasi, dan identifikasi piperin
dengan kromatografi lapis tipis (KLT).

II. DASAR TEORI


2.1 Buah Lada Hitam (Piperis Nigri Fructus)
Buah lada hitam diperoleh dari tanaman lada hitam. Lada merupakan
tanaman tahunan yang memanjat dari keluarga Piperaceae. Menurut
Tjitrosoepomo (2007), klasifikasi tanaman lada adalah sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledoneae
Ordo : Piperales
Familia : Piperaceae
Genus : Piper
Species : Piper nigrum L
Tanaman lada memiliki akar tunggang dengan akar utama dapat
menembus tanah sampai kedalaman 1-2 m. Batang tanaman lada berbuku-buku
dan berbentuk sulur yang dapat dikelompokkan menjadi empat macam sulur,
yaitu sulur gantung, sulur panjat, sulur buah, dan sulur tanah. Daun lada
merupakan daun tunggal dengan duduk daun berseling dan tumbuh pada setiap
buku. Warna daun hijau muda pada waktu muda dan daun tua berwarna hijau
mengkilat pada permukaan atas. Pertulangan daun melengkung dengan tepi daun
9 bergelombang atau rata. Bunga-bunga terdapat pada cabang plagiotrophic
(horizontal) yang tersusun dalam bulir (spica) atau untai (amentum). Buah lada
temasuk buah buni berbentuk bulat berwarna hijau dan pada waktu masak
berwarna merah. Biji lada berwarna putih cokelat dengan permukaan licin
(Wahid, 1996).

2
Tanaman lada merupakan tanaman tahunan yang tingginya dapat
mencapai 10 m dan diameter tajuk dapat mencapai 1,5 m bila dibudidayakan
dengan baik (Wahid, 1996). Sulur panjat tumbuh lebih baik dalam lingkungan
kurang cahaya (fototropisme negatif) sedangkan sulur buah dalam keadaan cukup
cahaya (fototropisme positif). Intensitas cahaya yang dibutuhkan berkisar antara
50% sampai 75%. Lada dapat tumbuh dengan baik di daerah dengan ketinggian 0-
500 m dpl. Kelembaban udara yang sesuai adalah sekitar 70% sampai 90%
dengan kisaran suhu 25-35oC. Tanaman lada dapat tumbuh pada semua jenis
tanah, terutama tanah berpasir dan gembur dengan unsur hara yang cukup serta
pH tanah yang sesuai berkisar antara 5-6,5 (Wahid, 1996).
Produk herbal yang umum dikenal sebagai lada hitam (Piper nigrum
Linn), merupakan rempah-rempah yang sangat terkenal di seluruh dunia. Lada
hitam telah memainkan peran utama dalam membentuk peristiwa-peristiwa
sejarah di dunia. Sebagai rempah-rempah aromatik, lada hitam ditandai dengan
sedikit dan jelas aroma apak, bau ini adalah karena kehadiran banyak minyak
volatil terutama dalam daging dan kulit buah. Buah P. nigrum diketahui
mengandung alkaloid piperin dan terutama piperindine, minyak esensial, saponin,
flavonoid, dan pati. Sementara itu, daun tanaman terdiri dari piperin dan minyak
esensial. Rasa pahit yang kuat dari lada hitam adalah karena adanya dua alkaloid
utama dalam herbal ini yaitu senyawa piperin dan piperidin majemuk, rasa pahit
tajam juga timbul sebagian karena banyak resin tanaman tertentu yang ditemukan
dalam biji lada (Chaudari, et al., 2011).
2.2 Piperin
Piperin (C17H19NO3) merupakan alkaloid yang berfungsi sebagai bahan
aktif yang terkandung pada merica hitam (Piper nigrum). Piperin juga merupakan
senyawa amida basa lemah yang dapat membentuk garam dengan asam mineral
kuat. Piperin hampir tidak larut dalam air, larut dalam 30 bagian alkohol pada
suhu 15℃ (59℉) dan dalam 1 bagian alkohol yang dipanaskan. Piperin juga larut
dalam kloroform, benzen, karbon disulfida tetapi hampir tidak larut dalam
petroleum eter. Piperin memiliki massa molar 285.34 g/mol dan melebur pada
suhu 129℃ –130℃ (Septiatin, 2008). Piperin berbentuk kristal berwarna kuning.

3
Piperin dapat mengalami foto-isomerisasi oleh sinar membentuk isomer
isochavisin (trans-cis), isopiperin (cis-trans), chavisin (cis-cis), dan piperin (trans-
trans) (Anwar, 1994).

Gambar 2.1 Struktur Kimia Piperin (Shingate, et al., 2013)


2.3 Rekristalisasi
Rekristalisasi merupakan salah satu cara pemurnian zat padat (kristal)
dimana zat-zat tersebut tersebut dilarutkan dalam suatu pelarut kemudian
dikristalkan kembali (Arsyad, 2001). Proses rekristalisasi melibatkan pelarutan
sampel padat dalam pelarut yang sesuai pada suhu tinggi dan membiarkan kristal
terbentuk kembali pada pendinginan, sehingga pengotor tetap berada dalam
larutan (Gilbert dan Martin, 2011).
Hampir semua padatan lebih mudah larut dalam panas daripada pelarut
dingin, dan kristalisasi larutan memanfaatkan fakta ini. Jadi, jika suatu campuran
padatan dilarutkan dalam jumlah pelarut panas yang tidak cukup untuk
melarutkannya pada saat dingin, kristal akan terbentuk saat larutan panas
dibiarkan dingin. Sejauh mana padatan akan terpresipitasi bergantung pada
perbedaan kelarutannya dalam pelarut tertentu. Teknik rekristalisasi melibatkan
langkah-langkah berikut (Gilbert dan Martin, 2011):
1. Pemilihan pelarut yang tepat
2. Pelarutan (disolusi) sampel padat
3. Dekolorisasi dan filtrasi panas
4. Pembentukan padatan kristal
5. Isolasi kristal dengan penyaringan
6. Pengeringan kristal
Berikut akan dijelaskan tiap tahapan dalam proses rekristalisasi.
2.3.1 Pemilihan Pelarut yang Tepat

4
Pemilihan pelarut mungkin merupakan tahap yang paling penting dalam
proses rekristalisasi, karena pelarut yang benar harus dipilih untuk menghasilkan
produk dengan kemurnian tinggi sehingga pelarut harus memenuhi kriteria
tertentu untuk digunakan dalam rekristalisasi. Beberapa syarat pelarut yang
digunakan untuk rekristalisasi diantaranya: (a) Senyawa yang diinginkan harus
cukup larut dalam pelarut panas, sekitar 1 g / 20mL (1 mg / 20 L), dan tidak larut
atau hampir tidak larut dalam pelarut yang mendingin. Seringkali suhu referensi
untuk penentuan kelarutan analit dalam pelarut "dingin" adalah menggunakan
suhu kamar. Kombinasi zat terlarut dan pelarut ini memungkinkan pelarutan
terjadi dalam jumlah pelarut yang tidak terlalu besar dan juga memungkinkan
perolehan kembali produk yang dimurnikan dengan hasil tinggi. (b) Sebaliknya,
pengotor harus tidak larut dalam pelarut pada semua suhu atau setidaknya harus
tetap cukup larut dalam pelarut dingin. Dengan kata lain, jika pengotornya mudah
larut, koefisien temperaturnya pasti tidak menguntungkan. Jika tidak, produk yang
diinginkan dan pengotornya akan mengkristal secara simultan dari larutan. (c)
Titik didih pelarut harus cukup rendah sehingga mudah dipisahkan dari kristal. (d)
Titik didih pelarut pada umumnya harus lebih rendah dari titik leleh padatan yang
dimurnikan. (e) Pelarut tidak boleh bereaksi secara kimiawi dengan zat yang
dimurnikan (Gilbert dan Martin, 2011).
Literatur kimia merupakan sumber informasi yang berharga tentang
pelarut yang dapat digunakan untuk mengkristalkan ulang senyawa yang sudah
diketahui. Jika senyawa tersebut belum diketahui, perlu menggunakan teknik
coba-coba untuk menemukan pelarut yang sesuai untuk rekristalisasi. Proses
pemilihan dapat dibantu dengan mempertimbangkan beberapa generalisasi tentang
karakteristik kelarutan untuk kelas zat terlarut. Senyawa polar biasanya larut
dalam pelarut polar dan tidak larut dalam pelarut nonpolar, sedangkan senyawa
nonpolar lebih mudah larut dalam pelarut nonpolar. Karakteristik semacam itu
dirangkum oleh pepatah like dissolves like . Tentu saja, walaupun senyawa yang
sangat polar tidak mungkin larut dalam pelarut nonpolar yang panas, senyawa ini
mungkin sangat mudah larut dalam pelarut dingin yang sangat polar. Dalam kasus

5
ini, pelarut dengan polaritas intermediet mungkin menjadi pilihan untuk
rekristalisasi yang optimal (Gilbert dan Martin, 2011).

2.3.2 Pelarutan (Disolusi) Sampel Padat


Sampel padat yang akan dimurnikan ditimbang dan ditempatkan dalam
labu erlenmeyer dengan ukuran yang sesuai. Beaker glass bukanlah wadah yang
sesuai untuk rekristalisasi, karena memiliki luas permukaan yang relatif besar
dimana produk rekristalisasi dapat menempel sehingga menurunkan efisiensi
perolehan. Beberapa kristal padatan yang tidak murni harus selalu dipertahankan,
karena mungkin diperlukan sebagai "benih" untuk menginduksi kristalisasi.
Wadah dapat dilengkapi dengan magnetic stirrer atau batu didih untuk mencegah
terjadinya bumping saat larutan dididihkan (Gilbert dan Martin, 2011).
Beberapa mililiter pelarut ditambahkan ke erlenmeyer dan campuran
kemudian dipanaskan sampai titik didih pelarutnya. Pelarut yang lebih banyak
kemudian ditambahkan ke dalam campuran dalam jumlah kecil menggunakan
pipet tetes sampai padatan terlarut sempurna. Penting untuk membiarkan
pendidihan tetap berlanjut setelah setiap penambahan pelarut sehingga jumlah
pelarut yang digunakan dapat seminimal mungkin. Menggunakan pelarut dalam
jumlah berlebihan dapat mengurangi perolehan zat terlarut yang dikehendaki. Jika
perlu melakukan filtrasi panas, disarankan untuk menambahkan tambahan 2-5%
pelarut untuk mencegah kristalisasi dini selama proses ini (Gilbert dan Martin,
2011).
2.3.3 Dekolorisasi dan Filtrasi Panas
Setelah pelarutan campuran padat, larutan mungkin saja berwarna. Ini
menandakan adanya pengotor jika senyawa yang diinginkan diketahui tidak
berwarna. Jika senyawa berwarna, kontaminan dapat mengubah warna larutan.
Misalnya, pengotor harus dicurigai jika senyawanya berwarna kuning tetapi
larutannya berwarna hijau. Tentu saja langkah dekolorisasi tidak perlu dilakukan
jika larutannya tidak berwarna (Gilbert dan Martin, 2011).

6
Pengotor berwarna seringkali dapat dihilangkan dengan menambahkan
sedikit karbon dekolorisasi ke dalam larutan panas namun tidak mendidih. Jika
ditambahkan ke larutan mendidih, cairan cenderung akan berbuih di atas wadah,
sehingga dapat mengakibatkan hilangnya produk. Setelah karbon dekolorisasi
ditambahkan, larutan dipanaskan sampai mendidih selama beberapa menit sambil
terus diaduk untuk mencegah bumping (Gilbert dan Martin, 2011).
Teknik untuk dekolorisasi larutan ini dapat bekerja karena pengotor
berwarna maupun senyawa yang dimurnikan diserap pada permukaan partikel
karbon. Karena pengaruh elektrik, zat berwarna terserap lebih kuat ke permukaan
karbon. Perlu dihindari penggunaan karbon dekolorisasi terlalu banyak karena
produk yang diinginkan itu sendiri mungkin teradsorbsi olehnya sehingga sedikit
produk yang akan diperoleh (Gilbert dan Martin, 2011).
Pengotor yang tidak larut, termasuk debu dan karbon dekolorisasi,
dipisahkan dengan penyaringan panas dengan memanfaatkan gravitasi. Langkah
ini tidak perlu dilakukan jika larutan panasnya bening dan homogen. Filtrasi
gravitasi biasanya lebih disukai daripada filtrasi vakum karena filtrasi vakum
dapat menyebabkan pendinginan dan mengonsentrasikan larutan akibat
penguapan pelarut, dan ini dapat menyebabkan kristalisasi dini. Corong
bertangkai pendek atau tak bertangkai sebaiknya digunakan untuk meminimalkan
kristalisasi di saluran corong, dan menggunakan kertas saring yang dibuat beralur
akan meminimalkan kristalisasi pada saringan (Gilbert dan Martin, 2011).
2.3.4 Pembentukan Padatan Kristal
Larutan panas dibiarkan mendingin perlahan sampai pada suhu kamar, dan
kristalisasi biasanya terjadi. Selama pendinginan dan kristalisasi, larutan harus
terlindungi dari kontaminan udara dengan menutup bukaan dengan selembar
kertas saring, gelas kimia yang dibalik, atau dengan cara menyumbatnya dengan
gabus bersih. Pendinginan cepat dengan merendam labu dalam air atau bak air es
cenderung mengarah pada pembentukan kristal yang sangat kecil yang dapat
menyerap pengotor dari larutan. Umumnya, saat pendinginan, larutan sebaiknya
jangan sampai terganggu karena hal ini juga dapat menyebabkan terbentuknya
kristal yang kecil. Pembentukan kristal yang lebih besar dari sekitar 2 mm juga

7
harus dihindari karena beberapa larutan bisa tersumbat atau terjebak dalam kristal.
Pengeringan kristal yang seperti ini lebih sulit dilakukan, dan pengotor dapat
tertinggal di dalamnya. Jika kristal yang terlalu besar mulai terbentuk, agitasi
singkat dan lembut pada larutan biasanya menginduksi produksi kristal yang lebih
kecil (Gilbert dan Martin, 2011).
Kegagalan kristalisasi yang terjadi setelah larutan agak dingin biasanya
berarti pelarut yang digunakan terlalu banyak atau larutannya jenuh. Larutan yang
sangat jenuh biasanya bisa dibuat untuk menghasilkan kristal dengan cara
penyemaian. Kristal dari padatan asal ditambahkan ke larutan untuk menginduksi
kristalisasi. Jika tidak terdapat sampel padatan dan dalam proses rekristalisasi
digunakan pelarut yang mudah menguap, terkadang untuk menghasilkan benih
kristal dapat dilakukan dengan merendam ujung batang pengaduk kaca atau
spatula logam dalam larutan, kemudian menariknya, dan membiarkan pelarutnya
menguap. Kristal yang terbentuk di ujung batang atau spatula kemudian
dimasukkan kembali ke dalam larutan untuk memulai kristalisasi. Sebagai
alternatif, kristalisasi sering dapat diinduksi dengan menggunakan batang kaca
untuk menggosok permukaan bagian dalam pada bejana kristalisasi atau tepat di
atas batas antara larutan dengan udara. Hal ini harus dilakukan dengan hati-hati,
karena kekuatan yang berlebihan dapat menggores atau menghancurkan bejana
dan menghasilkan pecahan (Gilbert dan Martin, 2011).
2.3.5 Isolasi Kristal dengan Penyaringan
Produk kristal padat dapat diisolasi dengan filtrasi vakum menggunakan
corong Büchner atau Hirsch dan labu penyaring kering yang bersih. Kristal
biasanya dibilas dengan sedikit pelarut murni yang dingin dalam keadaan vakum
mati. Vakum kemudian dinyalakan kembali untuk menghilangkan pelarut
sebanyak mungkin dari Kristal (Gilbert dan Martin, 2011).
2.3.6 Pengeringan Kristal
Sisa akhir pelarut dapat dihilangkan dengan memindahkan kristal dari
kertas saring dari corong Büchner ke gelas arloji atau vial. Sebagai alternatif,
padatan kristal juga dapat dipindahkan ke kertas saring baru untuk pengeringan.
Ini merupakan cara yang kurang diminati karena serat kertas dapat mencemari

8
produk. Selain cara tersebut, menghilangkan sisa pelarut terakhir dari produk
kristal dapat dilakukan dengan pengeringan udara atau oven. Dengan cara ini,
suhu oven harus 20-30 °C di bawah titik leleh kristal sehingga kristal tidak
berubah menjadi cair (Gilbert dan Martin, 2011).

III. PROSEDUR KERJA


3.1 Alat dan Bahan
3.1.1 Alat
a. Beaker glass 100 ml
b. Gelas ukur 100 ml
c. Batang pengaduk
d. Water bath
e. Penjepit kayu
f. Kertas saring
g. Cawan porselen
3.1.2 Bahan
a. Ekstrak Piper nigrum Fructus
b. KOH alkoholis 10%
3.2 Prosedur Kerja
3.2.1 Rekristalisasi
Pada praktikum ini, dilakukan rekristalisasi dari ekstrak Piper nigrum
Fructus. Ekstrak Piper nigrum Fructus terlebih dahulu diuapkan dengan cawan
porselen (cawan porselen sudah ditimbang sebelum digunakan) hingga diperoleh
ekstrak kental. Sambil menunggu ekstrak menjadi kental, diukur 10 ml KOH
alkaholis 10% dengan menggunakan gelas ukur. Setelah didapat ekstrak kental,
ditambahkan 10 ml KOH alkaholis sedikit demi sedikit dalam kondisi panas pada
cawan porselen. Kemudian siapkan kertas saring yang sudah ditimbang bobotnya
sebelum digunakan dan siapkan beaker glass, lalu disaring kristal yang terbentuk.
Kertas saring yang telah berisi kristal didiamkan pada suhu kamar di udara
terbuka sampai kering. Kemudian timbang bobot kristal yang diperoleh
A. Perhitungan Pembuatan KOH Alkoholis

9
Menurut Farmakope III hal 689, Kalium Hidroksida etanol P merupakan
larutan Kalium Hidroksida P 10,0% dalam etanol 95% P, yang artinya kalium
hidroksida etanolik (alkoholis) 10% dibuat dari 10 gram kalium hidroksida dalam
100 mL etanol 95% atau 10g/100mL (b/v). Karena diperlukan KOH alkaholis
10% sebanyak 10 mL, maka bobot KOH yang diperlukan adalah :
X 10 g
=
10 mL 100 mL
10 g ×10 mL
X =
100 mL
100 g
X =
100
X =1g
Jadi, bobot KOH yang diperlukan adalah sebanyak 1 g dan volume etanol 95%
ditambahkan hingga 10 ml.
B. Skema Kerja

Diuapkan ekstrak Piper nigrum Fructus dalam cawan porselen


(cawan porselen
C. B. Skema sudah ditimbang sebelum digunakan) hingga
Kerja
didapat ekstrak kental

Diukur 10 ml KOH alkoholis 10% dengan menggunakan gelas


ukur

Ditambahkan 10 ml KOH alkoholis 10% ke dalam cawan


porselen yang berisi ekstrak kental sedikit demi sedikit dalam
kondisi panas

Disiapkan kertas saring dan timbang bobotnya sebelum


digunakan

Disaring kristal yang terbentuk dengan menggunakan kertas


saring

Didiamkan kertas saring yang berisi kristal pada suhu kamar di


udara terbuka sampai kering 10

Ditimbang bobot kristal yang diperoleh


DAFTAR PUSTAKA
Anwar, C.. 1994. Pengantar Praktikum Kimia Organik. Universitas Gajah Mada.
Yogyakarta.
Chaudari P., Kolhe, S. & More, D.. 2011. Formulation Development Studies of
Rizatriptan Benzoate Fast Disintegrating Tablet. Research Journal of
Pharmaceutical, Biological, and Chemical Sciences. Vol. 2(1): 482-496.
Depkes RI. 1979. Farmakope Indonesia. Edisi III. Jakarta : Departemen
Kesehatan Republik Indonesia
Gilbert, J.C., dan Martin, S.F.. 2011. Experimental Organic Chemistry : A
Miniscale and Microscale Approach. Fifth Edition. Boston : Cengage
Learning
Keenan, C. W. 1999. Kimia untuk Universitas. Jilid 2. Jakarta: Erlangga.
Kusmardiyani, S. dan A. Nawawi. 1992. Kimia Bahan Alam. Yogyakarta: Pusat
Antar Universitas Bidang Ilmu Hayati.
Septiatin, E.. 2008. Apotek Hidup dari Rempah-Rempah, Tanaman Hias, dan
Tanaman Liar. Bandung: YRama Widya.
Shingate, P.N., Dongre, P.P. dan Kannur, D.M.. 2013. New Method Development
for Extraction and Isolation of Piperine from Black Pepper. International
Journal of Pharmaceutical Sciences and Research. Vol. 4(8): 3165-3170.
Tjitrosoepomo, G.. 2007. Morfologi tumbuhan. Yogyakarta: UGM
Wahid, P. 1996. Identifikasi Tanaman Lada. Monograf Tanaman Lada. Balittro:
Hal. 27-32

11

Anda mungkin juga menyukai