Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH

(SILATURRAHIM)
Disusun Untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Studi Hadits Multikultural
Dosen Pengampu Dr. Sahudi, M.HI., M.Pd.I

DI SUSUN OLEH:
HAJRAH
NIM: 161920211120008

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM MULTIKULTUR


PROGRAM STUDI PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
FATTAHUL MULUK PAPUA
2021

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Illahi Robbi, berkat Rahmat dan Karunia-Nya
kita masih diberikan kekuatan, kesehatan, dan kemudahan dalam menjalankan kehidupan
ini. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada junjungan alam Nabiullah
Muhammad SAW, beserta seluruh keluarga, para sahabat, dan kita semua selaku umatnya
hingga akhir zaman.

Alhamdulillah, penulis dapat menyusun dan menyelesaikan tulisan yang berjudul


“DIALOG (AL-HIWAR)” ini dengan baik.

Pada kesempatan ini penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada pihak-pihak
yang telah membantu dalam kelancaran penulisan ini.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini belum sesuai dengan harapan baik dari aspek materi
maupun penyajiannya. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik
membangun untuk perbaikan lebih lanjut. Penulis juga berharap, semoga tulisan ini
bermanfaat bagi penulis dan kalangan yang mencintai dunia pendidikan, khususnya
pendidikan madrasah.

Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan rahmat, taufik dan hidayahNya kepada
kita semua. Amin ya Robbal Alamin.

Koya Barat, September 2021

PENULIS

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii

BAB I PENDAHULUAN 1
A. LATAR BELAKANG 1
B. RUMUSAN MASALAH 3

BAB II PEMBAHASAN
A. DIALOG
B. INDIKATOR DALAM BERDIALOG.................................................................
C. MACAM-MACAM METODE HIWAR DAN OPRASIONALISASINYA
D. ETIKA DIALOG DALAM AL-QUR’AN BERDASARKAN TERM AL
HIWAR SERTA IMPLEMENTASINYA DALAM KEHIDUPAN SOSIAL

BAB III PENUTUP


A. KESIMPULAN
B. SARAN

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Keragaman dan perbedaan merupakan salah satu ketentuan Tuhan
(Sunnatullah) yang menjadikan kehidupan di dunia ini penuh dengan warna-warni.
Perbedaan, pandangan, keyakinan, sikap dan perilakumanusia merupakan sebuah
keniscayaan seperti disinyalir dalam firmanAllah:
‫ۖٗة‬
‫َو َلۡو َش ٓاَء َر ُّبَك َلَجَعَل ٱلَّناَس ُأَّم ٗة َٰو ِح َد َو اَل َيَز اُلوَن ُم ۡخ َتِلِفيَن‬
Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi
mereka Senantiasa berselisih pendapat, (QS. Hud :118).1

Perselisihan dan perbedaan manusia tersebut diungkapkan dengan kata kerja


(al-fi‟l) yang menunjukkan keberlangsungannya pada masa kini dan masa mendatang,
yaitu “wala yazaaluuna mukhtalifna”, artinya Tuhan tidak berkehendak menciptakan
manusia sebagai umat yang satu, tetapi mereka akan senantiasa dan terus selalu
dalam perbedaan, dan memang untuk itu mereka diciptakan seperti dinyatakan pada
ayat berikutnya (ayat 119), yang artinya “dan untuk itulah Allah menciptakan
mereka”.2 Pakar tafsir Ar-Razi memahami perbedaan dimaksud pada ayat di atas
bersifat umum, meliputi perbedaan agama, perilaku, perbuatan, warna, kulit, bahasa,
rezeki dan lainnya.3 Keragaman menjadi lazim jika dilihat dari kenyataan adanya
siklus kehidupan yang menuntut adanya interaksi dan kompetisi. Al - Qur‟an
mengistilahkannya dengan tadawul (Al-Imran: 140) dan tadafu‟ (Al-Baqarah: 251).
Tadawul yang berarti pergiliran/saling bergiliran atau siklus kehidupan terjadi karena
adanya perebedaan dalam hal kesiapan dan kemampuan. Sedangkan tadafu‟
menunjukkan adanya prosesmenolak atau mendorong dalam bentuk interaksi dan
kompetisi. Kesinambungan kehidupan dibumi, seperti diisyaratkan dalam ayat

1
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-
Qur‟an), h. 258.
2
Ibid,. Ayat 119
3
Fahruddin ar-Razi, at-Tafsir al-Kabir, (Beirut: Daru Ihya at-Turas al „Arabi, cet: 3h

1
tersebut, sangat ditentukan oleh proses tadafu‟, yang dapat dimaknai pula dengan
persinggungan dan akulturasi pemikiran budaya, dan peradaban yang beragam.4
Berangkat dari realitas semacam ini perlu ada jembatan yang menghubungkan
perbedaan dan keragaman tersebut untuk bersama-sama merumuskan dan membangun
kehidupan di dunia yang harmonis. Keragaman akan menjadi indah bila dapat dikelola
dengan baik dalam wadah kebersamaan. Fungsi manusia sebagai khalifah Tuhan yang
bertugas memakmurkan bumi
menuntut adanya kebersamaan walau terdapat perbedaan. Kebersamaan itu
dirumuskan dalam sebuah ungkapan Al-Qur‟an seperti dalam Qs. Al-Hujurat:13 yaitu
lita‟arafu (agar kamu saling mengenal). Dengan saling mengenal, manusia akan
saling memahami dan menghormati perbedaan, dan selanjutnya bekerja sama
mewujudkan kemaslahatan bersama
Salah satu cara untuk saling mengenal adalah dialog. Selain merupakan
konsekuensi logis dari keragaman dan perbedaan, dialog juga merupakan bagian dari
perintah agama agar saling mengenal dan bekerja sama dalam kebaikan (al-Hujurat:
130 dan al-Maidah: 2). Karena itu Islam memberikan perhatian besar terhadap dialog
dengan meletakkan kaidah dan etikanya. Tidak berlebihan jika dikatakan Islam adalah
agama dialog. Tidak kurang dari 120 sikap dialogis ditunjukkan dalam al - Qur‟an
dengan menggunakan sekitar 1000 ayat Al-Qur‟an, atau sekitar1/6 kandungannya.5
Kata qala dengan segala bentuk derivasinya; qaalu, yaqulu, qul, qulu,
yaquluna, dan lainnya seperti: al-ḥiwār, Yang menunjukkan bentuk dialog disebut
dalam al- Qur‟an tidak kurang dari 1700 kali.6 Objek dan perilaku dialognya pun
beragam, antara lain: dialog antara pararasul dengan kaumnya, antara kekuatan baik
dan jahat, atau intern kekuatan jahat dan baik; dialog dengan Ahli kitab, kaum
munafik, pengikut fanatis tradisi buruk nenek moyang; dialog tentang wujud Allah dan
kekuasaan-Nya, hari kebangkitan, dan sebagainya. Salah satu hal yang menunjukkan
bahwa Islam adalah agama yang dinamis dan realistis, serta mampu menyesuaikan diri
di setiap ruang dan waktu.

4
Sebagian dikutip oleh buku Kementrian agama RI, Direktorat Jenderal BimbinganMasyarakat Islam,
Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syari‟ah, Tafsir Al-Qur‟an Tematik; Etika berkeluaraga ,
bermasyarakat dan berpolitik, 2012. (Jakarta: PT. Sinergi Pustaka Indonesia), h. 25
5
Sa‟d Ali asy-Syahrani, al-Hiwar fil Qur‟an was-Sunnah wa Afdafuhu.
6
Muhammad Fu‟ad Abdul Baqi, Al-Mu‟jam al-Munfahras li al-Fadz al-Qur‟an al-Karim

2
Dialog tentang wujud Allah dan kekuasaan-Nya, hari kebangkitan, dan
sebagainya. Salah satu hal yang menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang
dinamis dan realistis, serta mampu menyesuaikan diri di setiap ruang dan waktu.
Keberadaan dialog dalam kehidupan semakin penting jika melihat
perkembangan dunia modern yang diwarnai dengan berbagai pertikaian, permusuhan,
dan peperangan antar
berbagai kelompok karena kepentingan-kepentingan tertentu. Karena itu, perlu
dibangun sikap saling memahami eksistensi masing-masing, meningkatkan kerja sama
dan mendekatkan perbedaan yang ada.7

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana pengertian dialog menurut term al hiwar dalam Al Qur’an
2. Bagaimana Indikator dalam berdialog
3. Macam macam dialog term al hiwar
4. Bagaimana etika dialog dalam Al Qur’an berdasarkan term al hiwar serta
implementasinya dalam kehidupan sosial

7
Abbas Al-Jarari, al-Hiwar min Manzir Islamy, (Rabat: ISESCO, tahun 1420H/2000),h.

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. DIALOG
Pengertian Dialog
Dalam bahasa Inggris, kata dialog yaitu: dialogue. kata tersebut berasal dari
perkataan Greek, dengan sebutan dialectic yang artinya discourse atau wacana.
Merujuk kepada etimologi Greek, istilah dialog berasal dua gabungan perkataan,
yaitu: through yang berarti menembus atau melalui; dan logos yang berarti
“perkataan” tetapi ia turut membawa bebagai definisi seperti yang ada kaitannya
dengan prinsip dan pandangan, idea yang dibincang untuk mencapai sesuatu
kesimpulan atau matlamat yang bermanfaat kepada pihak-pihak yang terlibat.
Dialog secara umum adalah sebagai hubungan atau kegiatan-kegiatan yang
ada kaitannya dengan masalah hubungan atau diartikan sebagai saling tukar-
menukar pendapat antara manusia baik individu maupun kelompok. 8 Dari definisi
tersebut dapat dipahami bahwa yang dimaksud dialog adalah proses percakapan
yang didalamnya terdapat penyampaian suatu pernyataan oleh seseorang kepada
orang lain. Dialog bisa dipandang sebagai salah satu kemampuan khusus kepada
manusia, bahasa dan pembicaraan itu muncul, ketika manusia mengungkapkan dan
menyampaikan pikirannya kepada orang lain Setelah membahas dialog secara
umum, ada beberapa tokoh dialogis dalam menjelaskan teori dialog, salah satunya
yaitu Mikhael Bakhtin. Ia adalah seorang guru ahli filsafat dari Rusia yang
karyanya ditemukan pertama kali oleh para ahli komunikasi barat pada tahun 1960-
an. Gagasan Bakhtin mengenai dialog pada dasarnya adalah penjelasan (teori)
mengenai hubungan (relationship) namun dengan memasukkan pengaruh budaya
kedalamnya. Bakhtin menggunakan kata “dialog” ini dalam beberapa cara
sepanjang tulisannya, tetapi para ahli pada umumnya sepakat bahwa kata ini
mengacu pada pengertian umumnya (abstraksi). Jadi, dialog adalah mengenai
bagaimana kita berinteraksi dalam interaksi khusus. Inti dari gagasan Bakhtin
mengenai dialog adalah “ucapan” (utterance) yaitu suatu unit pertukaran, lisan atau
tulisan, di antara dua orang. Suatu ucapanmengacu pada percakapan lisan dalam
konteksnya. Suatu ucapan memiliki “tema”, yaitu isi percakapan,sikap komentator
8
Onong Ukhjana Efendy, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, (Bandung: Rosdakarya, 1997), h. 9.

4
terhadap objek yang menjadi lawan bicaranya, dan derajat tanggapan dari lawan
bicaranya.
Dialog adalah proses untuk saling memperkaya. Dialog adalah proses dimana
masing-masing pihak belajar mengenal dirinya sendiri dan diri orang lain. Dialog
tidak hanya kegiatan menemukan, tetapi menghidupkan potensi. Bakhtin secara
khusus menggambarkan kehidupan sebagai suatu dialog terus-menerus dan tidak
akan bisa selesai karena selalu ada pada setiap momen kehidupan. Ia mengatakan:
“Hidup berarti berpartisipasi dalam dialog: mengajukan pertanyaan,
memperhatikan, memberikan tanggapan, menyatakan setuju, dan seterusnya.
Dalam berdialog, seseorang berpartisipasi sepanjang hidupnya secara
penuh, dengan matanya, bibir, tangan, jiwa semangatnya, dan dengan
seluruh tubuh dan perilakunya. Dia menginvestasikan seluruh dirinya dalam
percakapan, dan percakapanini akan masuk ke dalam struktur dasar
kehidupan manusia yang dialogis, masuk ke dalam dunia pertemuan manusia
(symposium).”

Dialog merupakan satu-satunya cara untuk meningkatkan saling pemahaman


yang lebih baik di antara pihak-pihak yang bertikai. Seperti halnya penyebarluasan
informasi yang melalui berbagai macam cara, yang sebagian besar menimbulkan
penyebaran kesalahpahaman kebenaran suatu informasi yang sangat rentan
menimbulkan konflik. Oleh sebab itu, hal ini bisa ditangani secara efektif melalui
proses dialog.9
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, dialog diartikan percakapan.
Berdialog artinya bersoal jawab secara langsung; bercakap cakap. Sedangkan
dialogis artinya bersifat terbuka dan komunikatif. 10 Padanan kata ini yang biasa
digunakan dalam bahasa Arab, yaitu al- ḥiwār.
Dalam Bahasa Arab, dialog disebut dengan al-ḥiwār, merujuk kepada
etimologinya yang berasal dari kata ḥa, wawu, dan ra’, yang memiliki tiga makna
dasar, yaitu warna, kembali, dan berputar. Kata al- ḥiwār tersebut berasal dari akar
kata ‫ حار‬dengan kata asalnya ‫ حور‬yang artinya kembali. Sedangkan al-muḥāwarah
artinya soal tanya jawab, perdebatan, dan percakapan. 11 Sedangkan Ibn Manzur

9
Morissan, Teori Komunikasi, Individu Hingga Massa, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2014), h.
323-327.
10
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ..... h.261.
11
Ibnu Mandzur, Lisan al-Arab. Beirut: Dar aL-Ma‟arif, Tt

5
dalam kitabnya Lisān al-Arab mendefinisikan al- ḥiwār ialah dialog sebagai al-ruju
yang artinya kembali semula atau dirujuk semula.12
Di dalam al-Qur’an terdapat tiga ayat yang menggunakan kata ) ( ‫المحاورة‬
yaitu pada surat al-Kahfi ayat 34 dan 37, surat al-Mujadalah ayat pertama
(Kesuma, 2011; Sauri, 2011). Dua ayat yang terdapat pada surat al-Kahfi, mengenai
dialog seorang pemilik kebun dengan seorang sahabatnya yang tidak memiliki
banyak kekayaan seperti pemilik kebun, yaitu:
‫ر َفَقاَل ِلَٰص ِح ِبِهۦ َو ُهَو ُيَح اِو ُر ٓۥُه َأَن۠ا َأۡك َثُر ِم نَك َم ااٗل َو َأَع ُّز َنَفٗر ا‬ٞ ‫َو َك اَن َل ۥُه َثَم‬
Dan dia mempunyai kekayaan besar, maka ia berkata kepada kawannya (yang
mukmin) ketika bercakap-cakap dengan dia: "Hartaku lebih banyak dari pada
hartamu dan pengikut-pengikutku lebih kuat". (QS.al-Kahfi:34)

‫م ِّلَنۡف ِس ِهۦ َقاَل َم ٓا َأُظُّن َأن َتِبيَد َٰه ِذِهٓۦ َأَبٗد ا‬ٞ‫َو َد َخ َل َج َّنَت ۥُه َو ُهَو َظاِل‬
Kawannya (yang mukmin) berkata kepadanya - sedang Dia bercakap-cakap
dengannya: "Apakah kamu kafir kepada (tuhan) yang menciptakan kamu dari
tanah, kemudian dari setetes air mani, lalu Dia menjadikan kamu seorang laki-laki
yang sempurna?(QS. Al – Kahfi : 37)

Ahmad Mushtafa al-Maragi ( 1947 : Zuj 5, 147 ) memberikan makna pada


kata ‫ يحاؤر‬pada surah al- Kahfi dengan arti" ‫ "يراجع اكالم‬yaitu bercakap cakap” dan
pada kata " ‫ "تحاؤر‬dalam surat al – Mujadalah baik al – Maragi (1947 : zuj 10, 4 )
maupun al – Ragib al – Ashafani ( hal 134 ) memberikan arti yang sama yaitu ‫المرادة‬
‫ في الكلم‬yang berarti “ soal “
Dialog, yang dalam bahasa Arab tadi disebut Hiwar13, sebenarnya sudah lama
dipakai orang semenjak zaman Yunani (Departemen Bahasa Arab, 2005). Ahli-ahli
pendidikan Islam telah mengenal istilah ini,
Sedangkan Metode Hiwar yang digali dari sumber Islam, yaitu al-Qur’an dan
Hadis, sudah tentu dapat dipakai dalam pendidikan Islam, sesuai dengan tujuan
12
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir; Kamus Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Progresif,
1984), h. 306-307.
13
hiwar dalam kamus Mu’jam yaitu:
‫ او يب ن ممثلين او أكثر علي المسرح‬.‫ث يجري يب ن شخصين او أكثر في العمل القصص ’ي‬
Dialog yang terjadi dalam aktivitas pengkisahan, atau antara dua aktor atau lebih diatas
pentas/panggung”

6
pengajaran yang hendak dicapai. Bisa jadi metode ini dapat menambah metode-
metode dari Barat. Yang jelas, ada beberapa tujuan pendidikan dalam Islam yang
tidak dapat dicapai hanya dengan menggunakan metode mengajar dari Barat.
Metode dari al- Qur’an dan Hadis ini, mungkin dapat menutup kekurangan itu
(Tafsir, 1991; Hefni, 2015).
Yang dimaksud Dialog (al – hiwar ) adalah percakapan silih berganti antara
dua pihak atau lebih melalui tanya jawab mengenai suatu topik yang mengarah pada
suatu tujuan. Percakapan ini bisa dialog langsung dan melibatkan kedua belah pihak
secara aktif, atau bisa juga yang aktif hanya salah satu pihak saja, sedang pihak lain
hanya merespon dengan segenap perasaan, penghayatan dan kepribadiannya.
Dalam hiwar ini kadang-kadang keduanya sampai pada suatu kesimpulan, atau
mungkin salah satu pihak tidak merasa puas dengan pembicaraan lawan bicaranya.
Namun demikian ia masih dapat mengambil pelajaran dan menentukan sikap bagi
dirinya. ( Abdurrahman an-Nahlawi, 1989 : 284 ).
DR. Mani bin Abd al-Aziz al-Mani ( 1412 H : 4 ) menyebutkan, bahwa
metode hiwar " ‫ " الطريقةالحوارية‬disebut juga dengan metode tanya jawab ) ‫الطريقة‬
‫) االسلة‬
Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh H.M. Arifin dalam bukunya “
Ilmu Pendidikan Islam “(1996 : 215 ). Sementara Muhammad al-Athiyah al-
Abrasyi (1950 : 282) menyebutnya ( ‫ ) الطر يقة الحوارية‬atau dan ( ‫) الطريقة اسقر اطية‬
DR.Muhammad Husen Ali Yasin ( 1947 : 90) menyebutnya ‫ ) ) الطريقة االسلة‬atau
((‫)الطراالستجواب‬
Contoh dialog dengan orang cendekia:

‫َح َّد َثَنا ِإْس َم اِع يُل ْبُن َأِبي ُأَو ْيٍس َح َّد َثِني ِإْس َم اِع يُل ْبُن ِإْب َر اِهيَم َع ْن َع ِّم ِه ُم وَس ى ْبِن ُع ْقَب َة َق اَل اْبُن‬
‫ِش َهاٍب َح َّد َثِني ُعْر َو ُة ْبُن الُّز َبْيِر َأَّن َم ْر َو اَن ْبَن اْلَح َك ِم َو اْلِم ْس َو َر ْبَن َم ْخ َر َم َة َأْخ َب َر اُه َأَّن َر ُس وَل ِهَّللا‬
‫َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َقاَل ِح يَن َأِذ َن َلُهْم اْلُم ْس ِلُم وَن ِفي ِع ْتِق َس ْبِي َهَو اِز َن ِإِّني اَل َأْد ِر ي َم ْن َأِذ َن ِم ْنُك ْم‬
‫ِمَّم ْن َلْم َيْأَذ ْن َفاْر ِج ُعوا َح َّتى َيْر َفَع ِإَلْيَنا ُع َر َفاُؤ ُك ْم َأْمَر ُك ْم َفَر َجَع الَّناُس َفَك َّلَم ُهْم ُع َر َفاُؤ ُهْم َفَر َج ُعوا ِإَلى‬
‫َر ُسوِل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َفَأْخ َبُروُه َأَّن الَّناَس َقْد َطَّيُبوا َو َأِذ ُنوا‬
Artinya :
Telah menceritakan kepada kami Ismail bin Abu uwai. telah menceritakan kepadaku
Ismail bin Ibrahim dari pamannya, Musa bin 'Uqbah, Ibnu Syihab mengatakan, telah
menceritakan kepadaku Urwah bin Zubair bahwasanya Marwan bin Hakam dan

7
Miswar bin mahkramah keduanya mengabarkan kepadanya, bahwa Rasulullah
Shallallahu'alaihiwasallam bersabda ketika sebagian kaum muslimin mengizinkan
tawanan Hawazin dibebaskan; "Saya tidak tahu siapa diantara kaian yang
mengizinkan dan siapa yang tidak, maka kembalilah kalian hingga orang-orang
yang cerdik diantara kalian mengadukan kepadaku." Lantas para sahabat kembali
dan orang-orang cendekia mereka mengajak dialog internal, lantas mereka kembali
menemui Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam dan memberitahukan kepada belia
bahwa semua sahabat lega dan mengizinkan. ( H.R Bukhari: 6641).14

Berbagai perbedaan antara manusia lebih banyak disebabkan mengenai


masalah agama dan dunia, selanjutnya, dalam kitab Adab Hiwar Fi Al-Islam
dikatakan bahwa syariat islam dikonstruksikan dari sebuah prinsip yang luhur, etika
yang tinggi, dan petunjuk yang agung. Sehingga apapun yang ditetapkan menegenai
perbedaan, dialog- dialog dan pendapat-pendapat yang berlaku diantara manusia,
menjadikan sirkulasi yang berkembang tersebut akan berasal dari logika yang
selamat. Pemikiran yang terstruktur, dan perdebatan yang baik. Sehingga hal tersebut
mengarah pada tujuan kebenaran, kebaikan dan bermanfaat atas batasan-batasan
yang telah Allah halalkan.

B. Indikator Dalam Berdialog


Imam Sayyid Thanthawi mendeskripsikan dialog dalam Islam pada sebelas
prinsip utama (indikator) yang terkait dengan adab berdialog secara Islami, yaitu
diantarnya adalah:
Pertama, hendaknya dialog yang dikembangkan dibangun atas dasar kejujuran,
jauh dari dusta, menyesatkan, dan ilusi. Al-Qur’an telah meletakkan dasar atas
berbagai macam dialog yang terjadi antara rasul dan kaumnya, orang-orang
membangun dan orang-orang yang merusak. Memberikan mereka sudut pandang
yang dikonstruksikan atas dasar kebenaran dari yang difikirkan oleh para
pendusta, dan mengarahkan kebenaran dari stagnasi kebathilan. Hal ini dapat
dilihat dalam riwayat hadist berikut:

‫ َر َو ى الَّثَقِفُّي‬:‫ َفُقْلُت َل ُه‬: ‫ َأَّنُه َقاَل ِلَبْع ِض َم ْن ُيَناِظ ُر ُه َقاَل‬، ‫ َأْخ َبَر َنا الَّش اِفِعُّي‬:1503 ‫مسند الشافعي‬
‫ َأَّن الَّنِبَّي َص َّلى ُهللا َع َلْي ِه‬،‫ َع ْن َج اِبٍر َر ِض َي ُهَّللا َع ْن ُه‬،‫ِه‬¢‫ َع ْن َأِبي‬، ‫َو ُهَو ِثَقٌة َع ْن َج ْع َفِر ْبِن ُم َحَّمٍد‬
‫َو َس َّلَم َقَض ى ِباْلَيِم يِن َم َع الَّش اِهِد‬
14
Sahudi, Studi Hadist ( Kajian Hadist Multikultural ), (Y0gyakarta : Idea Pres yogyakarta, 2020), hlm54

8
Imam Asy-Syafi'i mengabarkan kepada kami bahwa ia mengatakan kepada
salah seorang yang berdialog dengannya, "Dan aku berkata kepadanya bahwa
Ats-Tsaqafi telah meriwayatkan hadis ini dia orang yang tsiqah dari Ja'far bin
Muhammad, dari ayahnya, dari Jabir: Nabi pernah memutuskan perkara dengan
sumpah disertai saksi.

Kedua, Hadirnya adab dalam syariat Islam adalah untuk menata perbedaan dan
percakapan yang terjadi diantara manusia, hingga jelaslah tujuannya, hingga
pada hasil yang memuaskan, sesuai dengan tema yang berlaku (tidak keluar dari
topik pembicaraan) yang dapat memicu kesalah pahaman (fokus), sehingga
pelbagai permasalah yang terjadi dapat di musyawarahkan dengan topik tertentu.
Dewasa ini kita biasa menyebutnya dengan istilah kolaborasi, disaat para pemikir
belum menyadari asal perbedaan yang terjadi, mengenal perbedaan yang
menyabang hingga tidak ketemu

Ketiga, hadirnya syariat islam juga dapat menghapus berbagai macam perbedaan
yang terjadi: mengahadirkan dalil yang autentik, bukti yang akurat dan logika
yang sehat, baik dihadapan orang-orang yang menyombongkan diri ataupun
orang-orang yang bengis, hingga menjadikan mereka terdiam dalam perdebatan.
Hal ini tercerminkan dalam al-Qur’an seperti kisah nabi Ibrahim yang
memberikan sanggahan di hadapan raja kafir yang dzalim.

Keempat, diantara prinsip syariat Islam dalam menyikapi perbedaan yang terjadi
di kalangan masyarakat: hendaknya masing-masing kubu yang berselisih mampu
mampu memperjelas letak perbedaan secara realistik dan benar sesuai topik
pembahasan. Hingga tampaklah kejelasan duduk perkaranya. Seperti perbedaan
pendapat yang terjadi antara Umar bin Khottob dan Abu Bakar ash-Shiddiq
mengenai masalah pengumpulan al-Qur’an sepeninggalan Nabi SAW. Pada
awalnya Abu Bakar enggan menyikapi masalah tersebut, namun setelah Umar
menyampaikan pendapatnya, pada akhirnya Abu Bakar menyetujui hal tersebut.

Kelima, diantara tujuan dicantumkannya adab berdialog dan berdiskusi dalam


syariat Islam adalah: disampaikan dengan ketawadhu’an (kerendahan hati),
menghidari egoisme, menggunakan etika kesantunan, bersih dari hal-hal yang
dipandang tidak layak untuk diperbuat. Indikator ini terdapat pula dalam kisah
Nabi Sulaiman yang telah Allah anugrahkan kerajaan yang tiada seorangpun
dapat menandingi kerajaan beliau setelahnya. Saat beliau memeriksa
pasukannya, tidak ditemukan kehadiran burung hud- hud diantara mereka,
hingga akhirnya datanglah burung hud-hud kepadanya sembari mengatakan
dengan segenap keberanian yang ia miliki, dan nabi Sulaiman pun menerima
argumen burung Hud-hud dengan penuh ketawadhu’an.

9
Keenam, undang-undang yang telah ditetapkan syariat Islam dalam bedialog
sebenarnya telah ada ditengah masyarakat seperti misalnya memperluas ruang
publik dalam berdiskusi dan dalam beroposisi agar publik mampu melihatnya
dengan jelas sehingga tidak banyak opsi yang berkembang ataupun hanya
mengarah pada kepentingan pribadi.

Ketujuh, beberapa hal yang dapat dikategorikan etika berdialog dalam Islam
diantaranya adalah menghormati pendapat dan gagasan para pakar ahli, yang
berlogika dengan kalimat yang santun, yang beragumen meyakinkan, yang
perbuatannya diiringi perilaku terpuji, memaafkan secara santun segala hal yang
dipandang tidak bermanfaat. Hal ini tampak dari cara mereka mengembangkan
wawasan mereka, menyucikan jiwa, hati, asa, dan mental mereka.

Kedelapan, etika yang ada di dalam Islam yaitu tidak menjeneralisir didalam
menentukkan hukum, menjaga tutur kata, membatasi permasalahan dengan
ketentuan batas yang mendalam, meletakkan kalimat-kalimat pada topik yang
tepat, memutuskan perkara dengan menimbang bibit dan bobotnya, jujur dan
adil, seimbang dalam menimbang perbuatan sehingga tidak mendzalimi orang-
orang bertaqwa, terhormat, dan istiqomah, tidak tunduk pada orang-orang yang
menuruti hawa nafsunya, dan tidaklah buta dan tuli dalam menegakkan
kebenaran.

Kesembilan, diantara hal yang perlu dilakukan agar dialog dapat menjadi sebuah
perbincangan yang berfedah dan bermanfaat adalah dengan mengkaji hasil-hasil
dan menimbang baik buruknya pembicaraan: hendaknya dikonstruksikan dengan
data dilapangan yang lebih akurat, bukan berdasarkan asumsi-asumsi yang penuh
dengan kebohongan, dan mengkostruksikannya dengan informasi yang valid
bukan hoks.

Kesepuluh, dialog yang dibangun atas kebenaran yang kuat, informasi yang
akurat dan berita yang valid akan melahirkan keberkahan dari Allah,
memperkokoh rasa gotongroyong atas paying kebaikan dan ketaqwaan serta
menjauhkan diri dari perbuatan dosa dan permusuhan. Sedangkan dialog yang
dibangun atas hoaks, data yang batil dan presepsi negative hanya akan
menghasilkan kehancuran dan kerugian karena pada dasarnya ketetapan yang
tidak vaild akan dimenangkan oleh kevalidan, dan sunatullah tidak akan pernah
terganti.

Kesebelas, diantara adab berdialog yang lainnya: komunikasi dilakukan secara


terbuka dan apa adanya, dengan mengedepankan kebenaran yang disertai dengan
bukti dan dalil yang valid sehingga diharapkan dapat diterima akal sehat dan
mendalam bagi undang-undang dan hukum syariat.

10
C. MACAM-MACAM METODE DIALOG HIWAR DAN
OPRASIONALISASINYA

1. Hiwar Khitabi atau Ta’abbudi


Hiwar ini merupakan dialog yang diambil dari dialog antara Tuhan dan
hambaNya. Tuhan memanggil dengan mengatakan “ Wahai, orang-orang yang
beriman,” dan hamba-Nya menjawab dalam kalbunya dengan mengatakan, “
Kusambut panggilan Engkau,ya Rabbi.”
Dialog ini menjadi petunjuk bahwa pengajaran seperti itu dapat digunakan, dengan
katalain, metode dialog merupakan metode yang digunakan Tuhan dalam mengajari
hambaNya
Dalam hiwar Khitabi ini dialog dimulai dari satu pihak, yaitu si pembicara,
sedangkan pihak kedua yang menyambutnya memperhatikan dengan emosinya, lalu
terundang untuk menyebutnya dengan pikiran dan perasaannya (A. Tafsir, 1991:
137-138). Hiwar khitabi ini terbagi 6 macam :
a. Hiwar khitabi dengan menggunakan nida – ut ta’rif bil iman
Hiwar khitabi yang diarahkan kepada orang-orang beriman, dengan
menyebutkan keimanannya supaya menyentuh jiwa dan kesadarannya.
(Abdurrahman an-Nahlawi, 1996 ; 291), Contoh:
.     
Oprasionalisasinya, bisa pada awal pelajaran untuk membuka kesadaran/
keimanan pihak ke dua terhadap materi/ masalah yang akan disajikan. Atau bisa
juga diterapkan di akhir pembahasan untuk memperkuat, memantapkan
keimanan/kesadaran pihak ke dua terhadap masalah yang telah disajikan. Hiwar
ini biasanya dijadikan pengantar untuk memasuki masalah-masalah hukum.

b. Hiwar khitabi Tadzkiri


Hiwar yang mengajak lawan bicara untuk mengingat nikmat Allah yang telah
diberikan kepadanya, atau mengingatkannya pada dosa-dosa nenek moyang
mereka dan berbagai khurafat yang masih mereka lakukan.( Abd. An-Nahlawi,
1996: 293) Contoh:

11
)211‫(البكرة‬.....         

       


)80,‫(طه‬     

Tanyakanlah kepada Bani Israil: "Berapa banyaknya tanda-tanda (kebenaran) 132


yang nyata, yang telah Kami berikan kepada mereka". dan Barangsiapa yang
menukar nikmat Allah133 setelah datang nikmat itu kepadanya, Maka
Sesungguhnya Allah sangat keras siksa-Nya.

[132] Yaitu tanda-tanda kebenaran yang dibawa nabi-nabi mereka, yang


menunjukkan kepada keesaan Allah, dan kebenaran nabi-nabi itu selalu mereka
tolak.
[133] Yang dimaksud dengan nikmat Allah di sini ialah perintah-perintah dan
ajaran-ajaran Allah.
Dalam oprasionalisasinya. Hiwar ini lebih tepat digunakan di tengah-tengah
pembahasan setelah menyajikan materi pokok, untuk memantapkan siswa
terhadap materi pelajaran. Metode ini biasanya diterapkan terhadap materi
aqidah dan akhlak.

c. Hiwar Khitabi Athifi


Hiwar di mana khitab atau pertanyaan yang diarahkan untuk menyentuh dan
membangkitkan berbagai perasaan wijdani atau insani, sehingga menimbulkan
pengaruh yang mampu mendorong prilaku baik dan beramal shaleh
(Abdurrahman An-Nahlawi, 1996 : 298). Contoh untuk perangsangan rasa
syukur:

      


   

Maka Terangkanlah kepadaku tentang air yang kamu minum.kamukah yang

12
menurunkannya atau kamikah yang menurunkannya?
Lebih tepatnya, Hiwar ini diterapkan ditengah atau di akhir pembahasan, untuk
menyentuh perasaan / kesadaran secara mendalam sehingga bisa timbul prilaku
yang diharapkan.

d. Hiwar KhitabiAthifi Tardidi


Hiwardimana pertanyaan tertentu selalu terulang dan mengundang lahirnya
perasaan perasaan serupa. Pertanyaan itu terulang berkali kali, dan antara satu
pertanyaan dengan pertanyaan lain terdapat ayat ayat pemisah yang menggugah
setiap kali pertanyaan itu terulang, ia mengandung makna yang sesuaidengan
ayat ayat sebelumnya disamping makna yang asli (Abdurrahman An-Nahlawi,
1996 : 302). Metode dengan jalan pengulangan serta menggunakan sebagai
sudut padang dan argumentasi dapat menanggalkan keraguan dan
menggugahsikap percaya akan kebenaran ( Abdul Fatah Jalal 1988 : 178 )
contohnya:

‫َفِبَأِّي َء آاَل ِء َر ِّبُك َم ا ُتَك ِّذ َباِن‬


Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?( QS. Ar-
Rahman : 13)

Oprasionalisasinya, hiwar ini diterapkan setelah setah menyampaikan materi


pokok sampai akhir pembahasan. Pertanyaan yang serupa ini diulang-ulang dan
diselingi dengan uraian materi yang fungsinya memperkuat uraian sebelumnya.

e. Hiwar Khitabi Ta’ridi


Khitab Allah kepada Rasulullah yang mengandung suatu sindiran berkenaan
dengan orang-orang non muslim, seperti menerangkan keburukan atau
kelemahan mereka, mencemoohkan kebatilan mereka, atau mengecam mereka
dengan adzab. (Abdurrahman An-Nahlawi, 1996 : 304). Contoh keburukan
sebagian kaum musyrikin:
     
bagaimana pendapatmu tentang orang yang melarang, seorang hamba ketika
mengerjakan shalat ( QS. Al Alaq : 9 -10 )[1590],
[1590] Yang dimaksud dengan orang yang hendak melarang itu ialah Abu Jahal,
yang dilarang itu ialah Rasulullah sendiri. akan tetapi usaha ini tidak berhasil

13
karena Abu Jahal melihat sesuatu yang menakutkannya. setelah Rasulullah
selesai shalat disampaikan orang berita itu kepada Rasulullah. kemudian
Rasulullah mengatakan: "Kalau jadilah Abu Jahal berbuat demikian pasti Dia
akan dibinasakan oleh Malaikat"

Lebih tepatnya, metode ini dioprasionalisasikan di akhir bahasan setelah


pembahasan disampaikan dan dipahaki dengan jelas. Biasanya diterapkan dalam
materi akhidah atau akhlak.

2. Hiwar Washfi
Lain halnya dengan hiwar khitabi, dalam hiwar washfi ini digambarkan secara jelas
situasi orang yang sedang berdialog. Dengan hiwar ini tercipta suatu situasi
psyihis yang dihayati bersama secara riil oleh mereka yang terlibat berdialog
(Abdurrahman an-Nahlawi, 1996: 307. Ahmad Tafsir, 1991: 138). Contoh:

      


        
          
       
        
  

27. sebahagian dan mereka menghadap kepada sebahagian yang lain


berbantah-bantahan.
28. Pengikut-pengikut mereka berkata (kepada pemimpin-pemimpin mereka):
"Sesungguhnya kamulah yang datang kepada Kami dan kanan[1276].
29. pemimpin-pemimpin mereka menjawab: "Sebenarnya kamulah yang tidak
beriman".
30. dan sekali-kali Kami tidak berkuasa terhadapmu, bahkan kamulah kaum
yang melampaui batas.
31. Maka pastilah putusan (azab) Tuhan kita menimpa atas kita;
Sesungguhnya kita akan merasakan (azab itu).

14
32. Maka Kami telah menyesatkan kamu, Sesungguhnya Kami adalah orang-
orang yang sesat.
[1276] Maksudnya: Para pemimpin itu mendatangi pengikut-pengikutnya
dengan membawa tipu muslihat yang mengikat hati.
Hiwar ini bisa dioprasionalisakikan di awal, di tengah bahkan diseluruh
pembahasan materi pelajaran. Dengan metode ini siswa diajak mengungkap
kebenaran secara bersama-sama. Sehingga kebenaran itu seakan-akan
ditemukan dan dicetuskan oleh siswa sendiri.

3. Hiwar Qishasi
Hiwar ini terdapat dalam sebuah Qishah, yang baik bentuk maupun rangkaian
ceritanya sangat jelas, yaitu hiwar yang merupakan unsur dan uslub kisah dalam
al- Qur’an ( Abdurrahman an-Nahlawi, 1996: 311). Contoh:
       
      
.Mereka bertanya: "Apakah kamu, yang melakukan perbuatan ini terhadap tuhan-tuhan Kami,
Hai Ibrahim?" Ibrahim menjawab: "Sebenarnya patung yang besar Itulah yang melakukannya,
Maka Tanyakanlah kepada berhala itu, jika mereka dapat berbicara".

Hiwar ini lebih tepat dioprasionalisasikan setelah penjelasan materi pokok, untuk
memberikan contoh yang memperkuat pesan yang terkandung pada materi pokok.
Biasanya diterapkan pada materi akhlak dan akidah.

4. Hiwar Jadali
Hiwar yang merupakan diskusi atau perdebatan yang bertujuan untuk
mamantapkan hujjah kepada pihak lawan bicara. Dalam hiwar ini, segi logika akan
nampak berada, namun demikian, sentuhan terhadap perasaan akan tetap dominan,
sebab unsur istifham tetap digunakan ( A. Tafsir, 1991: 139). Contoh:
35:‫ (اطور‬       
35. Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun ataukah mereka yang menciptakan
(diri mereka sendiri)?
Metode ini bisa diterapkan di awal, di tengah, bahkan di seluruh pembahasan materi.
Sebab biasanya, metode ini melibatkan semua pihak dalam diskusi panjang.
Kebanyakan diterapkan dalam materi akidah.

15
5. Hiwar Nabawi
Hiwar Nabawi adalah hiwar yang digunakan oleh Nabi dalam mendidik sahabat-
sahabatnya. Dia menghendaki agar sahabat-sahabatnya mengajukan pertanyaan. (A.
Tafsir, 1991: 140). Dalam hadis yang diriwayatkan al-Bukhari dan Muslim
disebutkan:
‫قال رسول اللة سلونبي فهبوه ان يسالوه فجاء رجلفجلسءندركبتيهفقل يرسوالللةمل اسالم‬
a. Hiwar Nabawi Athifi
Yaitu hiwar yang diarahkan untuk mendidik dan menyentuh perasaan, yang
pada gilirannya perasaan itu diharapkan mengendap sebagai sikap dan menjadi
dasar yang kokoh dan tangguh dalam segala keadaan (Abdurrahman an-
Nahlawi, 1996: 326)
Oprasionalisasinya, hiwar ini bisa diterapkan setelah menyajikan materi pokok,
untuk memantapkan tumbuhnya perasaan yang diharapkan oleh sasaran belajar.

b. Hiwar Nabawi Iqna’I


Yaitu Hiwar yang berusaha memuaskan fikiran dan menegakan hujjah dan
memberi kepuasan kepada pihak lawan bicara (Abdurrahman an-
Nahlawi,1996:329)

D. ETIKA DIALOG DALAM AL – QUR’AN BERDASARKAN TERM AL


HIWAR SERTA IMPLEMENTASINYA TERHADAP MASYARAKAT

Etika berasal dari bahasa latin, “ethos” yang berarti kesusilaan atau moral.
Maksudnya adalah tingkah laku yang ada kaitannya dengan normanorma sosial, baik
yang sedang berjalan maupun yang akan terjadi. Terdapat pendapat bahwa etika
berasal dari ethos (Yunani) yang artinya watak kesusilaan. Sedangkan pengertian etika
secara istilah telah banyak dikemukakan oleh para ahli sesuai dengan sudut pandang
yang berbedabeda. Misalnya, Ahmad Amin mengartikan etika sebagai ilmu yang
menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang harusnya dilakukan
manusia,menyatakan tujuan yang harus yang harus dituju oleh manusia didalam
perbuatan mereka, dan menunjukkan yang seharusnya diperbuat.15

16
Sementara itu, pengertian etika menurut Ki Hajar Dewantara adalah ilmu yang
mempelajari soal kebaikan dan keburukan dalam kehidupan manusia, terutama yang
berkaitan dengan gerak-gerik pikiran dan rasa yang merupakan pertimbangan dan
perasaan, sehingga dapat mencapai tujuannya dalam bentuk perbuatan. 15 Selanjutnya
Soegarda Poerbawatja, sebagaimana dikutip Abuddin Nata mengartikan etika sebagai
filsafat nilai, kesusilaan tentang baik buruk, serta berusaha mempelajari nilai-nilai itu
sendiri.
Dari beberapa pengertian tentang etika diatas, dapat diketahui bahwa etika
berhubungan dengan empat hal, sebagaimana diungkapkan oleh Abuddin Nata yaitu:
1. Dari segi pembahasannya, etika berusaha membahas yang dilakukan oleh manusia.
2. Dari segi sumbernya, etika bersumber pada akal pikiran dan filsafat.
3. Dilihat dari fungsinya, etika berfungsi sebagai penilai, penentu dan penetap
terhadap suatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia, yaitu apakah perbuatan
manusia tersebut akan dinilai baik, buruk, mulia, terhormat, dan sebagainya.
4. Dilihat dari segi sifatnya, etika bersifat relatif, yakni berubah-ubah sesuai dengan
tantangan zaman.

Dengan demikian, pokok pembahasan etika adalah penyelidikan tentang tingkah


laku dan sifat-sifat yang dilakukan oleh manusia untuk dikatakan baik maupun buruk.
Dalam bidang filsafat, perbuatan baik maupun buruk dapat dikelompokkan pada pemikiran
etika, karena berdasarkan pada pemikiran yang diarahkan untuk manusia. Sedangkan
menurut Muhammad al-Ghazali berpendapat bahwa objek pembahsan etika adalah
meliputi seluruh aspek kehidupan manusia baik sebagai individu maupun kelompok. Kata-
kata etika sering disebut etik saja. Karena itu, etika merupakan penerimaan dari pandangan
masyarakat mengenal yang baik dan yang buruk, serta membedakan perilaku yang dapat
diterima maupun yang ditolak guna mencapai kebaikan dalam kehidupan bersama. 16

Istilah lain yang semakna dengan kata etika adalah moral, susila dan akhlak.
Ditinjau dari segi etimologi, kata moral berasal dari bahasa latin “mores” jamak dari
kata “mos” berarti adat kebiasaan.17 Selanjutnya, istilah moral menurut Abuddin

15
Ahmad Amin Etika ( Ilmu Akhlak )terj. (Jakarta : Bulan Bintang,1996),cet. Ke-7,h.3.
16
Mafri Amir, Etika Komunikasi Massa Dalam Pandangan Islam, (Jakarta: PT. LogusWacana Ilmu, 1999),
h. 34.
17
Hamzah Ya’qub, Etika Islam Pembinaan Akhlak al-Karimah (Suatu Pengantar),
(Bandung: Diponegoro), cet. Ke-4, h. 14.

17
Nata18 adalah suatu istilah yang digunakan untuk menentukan batas-batas dari
sifat-sifat, perangai, kehendak, pendapat atau perbuatan yang secara layak dapat
disebut benar, salah, baik maupun buruk. Oleh karena itu, moral dapat dipahami
sebagai iatilah yang digunakan untuk memberikan batasan terhadap aktivitas manusia
dengan menilai baik, buruk, benar maupun salah. Sementara itu, Hamzah Ya’qub 19
mengartikan moral sebagai perkara yang sesuai dengan ide-ide umum yang diterima
berkaitan dengan tindakan-tindakan manusia, yang baik dan wajar. Dengan kata lain,
perbuatan manusia yang sesuai dengan ukuran-ukuran tindakan yang oleh umum
diterima dengan meliputi kesatuan sosial atau lingkungan tertentu.
Dengan demikian istilah moral ini jika dihubungkan dengan etika memiliki
objek sama, yakni membahas tentang aktivitas manusia, yang selanjutnya ditentukan
posisinya. Perbedaanya adalah bahwa etika banyak bersifat teori, sedangkan moral
bersifat praktis. Dalam sisi penggunaanya, istilah moral dipakai untuk perbuatan yang
sedang dinilai, sedangkan etika dipakai untuk pengkajian sistem nilai yang ada
Istilah susila memiliki makna yang senada dengan etika, moral dan akhlak. Hal
ini bisa dilihat dari pengertian susila secara etimologis. Kata susila berasal dari bahasa
sangsekerta, yaitu su dan sila. Su berarti baik atau bagus, dan Sila berarti dasar,
prinsip, dan aturan hidup atau norma.20 Sehingga kata susila bisa diartikan sebagai
aturan hidup yang lebih baik. Dengan demikian, susila ini merupakan bimbingan
kearah yang baik dengan berdasarkan nilai-nilai yang berkembang dimasyarakat dan
mengacu kepada sesuatu yang dipandang baik oleh masyarakat
Selanjutnya, istilah etika, moral dan susila ini merupakan makna yang senada
dengan akhlak ( ‫ ) اخلق‬sebagaimana disebutkan diatas. Dikatakan memiliki makna
yang senada, karena akhlak secara etimologi berasal dari bahasa Arab, yaitu jamak
dari kata khulqun ( ‫ ) خلق‬yang berarti budi pekerti, perangai tingkah laku dan tabi’at.
Kalimat tersebut mengandung segi-segi persesuaian dengan kata khulqun ( ‫ ) خلق‬yang
berarti kejadian, serta erat hubungannya dengan Khaliq ( ‫ ) خالق‬yang berati pencipta,
dan makhluq ( ‫) مخلق‬, yang diciptakan. Pakar sosiologi Muslim kenamaan, Ibnu
Khaldun, dalam karyanya, al-Muqaddimah, mengingatkan pentingnya meletakkan
dasar-dasar dan kode etik dalam berdialog. Ia menulis:

18
Abuddin Nata, Op. Cit., h. 81.
19
Hamzah Ya’qub. Op. Cit. h. 14.
20
Abuddin nata, Op. Cit, h 14.

18
“Mengingat kemungkinan suatu pandangan diterima atau ditolak dalam debat
sangat besar sekali, dan masing-masing pihak yang berdebat mengerahkan
segala argumentasi dan kekuatan yang dimiliknya untuk memenangkan
perdebatan dan dialog, padahal ada diantaranya argumentasi yang keliru meski
ada juga yang benar, maka para ulama merasa perlu meletakkan aturan dan etika
yang harus dipatuhi oleh mereka yang berdialog dan berdebat. Aturan itu antara
lain tentang bagaimana seharusnya sikap seseorang yang berdalil/ berargumen
dan yang menjawab; kapan saatnya diam dan mempersilahkan lawan berbicara;
kapan dia harus menyanggah, dan sebagainya. Pendek kata, diperlukan kode etik
dalam berargumentasi yang dapat mempertahankan pendapat dan mematahkan
pandangan lawan.”21

Etika dialog menurut Yunahar Ilyas, mempunyai ciri-ciri tersendiri yang


membedakannya dengan etika lain. Etika ini sekurang-kurangnya mempunyai lima ciri
utama, yaitu: (1) Rabbani, (2) Manusiawi, (3) Universal, (4) Keseimbangan, dan (5)
Realistik22 Ciri Rabbani menegaskan bahwa etika ini adalah etika yang membimbing
manusia kearah yang benar, jalan yang lurus, atau sirathal mustaqim.23 Ciri manusiawi
berarti etika untuk memperhatikan dan memenuhi fitrah manusia serta menuntun
manusia agar memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Ciri universal
adalah etika untuk membawa misi kasih sayang kepada umat manusia diseluruh dunia
menegakkan kedamaian, menciptakan keamanan dan ketenangan baik secara
individual maupun komunal.24 Ciri keseimbangan artinya etika untuk mengajarkan
manusia agar memperhatikan kepentingan duniawi namun tidak melupakan
kepentingan ukhrawi, mememnuhi keperluan jasmani tanpa mengabaikan keperluan
rohani.25 Ciri Realistik adalah etika untuk memperhatikan kenyataan hidup manusia.
Al-Qur’an memberikan kesempatan kepada setiap orang untuk menjalankan kewajiban
dan sekaligus memberikan keringanan (rukhshah) bagi yang tidak mampu
melakukannya.26
21
Abdurrahman Ibnu Khaldun, al-Muqaddimah, (Beirut: Dar al-Qalam, t.th.), h. 362.
22
Drs. H. Yunahar Ilyas Lc, MA, Kuliah Akhlaq, (Yogyakarta: LPPI UMY, 1999), h. 12
23
Q. S. Al-An’am: 153.
24
. Q. S. Al-Imran: 104.
25
Q. S. Al-Baqarah: 201 dan Q. S. Al-Qashash: 77
26
Q. S. Al-Baqarah: 173 dan 286.

19
Menurut Abuddin Nata27 etika dialog adalah:
a. Mengajarkan dan menuntun manusia kepada tingkah laku yang baik dan
menjauhkan dari tingkah laku yang buruk.
b. Menetapkan bahwa yang menjadi sumber ajaran Allah Swt dan Rasul-Nya (al-
Qur’an dan as-Sunnah).
c. Bersifat Universal dan Komprehensif, dapat diterima oleh seluruh manusi disegala
temapat dan waktu.
d. Dengan ajaran-ajaran yang praktis dan tepat, cocok dengan fitrahnya dan akal
fikiran manusia, maka etika Islam dapat dijadikan pedoman oleh seluruh manusia.
e. Mengarahkan fitrah manusia kejenjang akhlak yang jujur dan meluruskan
perbuatan manusia dibawah pancaran sinar petunjuk Allah Swt, menuju keridlaan-
Nya.28
Berdasarkan pengamatan terhadap berbagai bentuk definisi dari etika dialog
tersebut, dapat disimpulkan bahwa, etika dialog merupakan pengetahuan tentang apa
yang baik dan apa yang buruk untuk dilakukan dalam suatu dialog, serta tentang hak
dan kewajiban moral tingkah laku manusia dalam proses penyampaian suatu
pernyataan oleh seseorang kepada orang lain.

Demikian beberapa kode etik dalam berdialog yang dapat disimpulkan dari
gambaran sikap dialogis Al-Qur’an. Bukan hanya untuk kalangan internal umat Islam,
tetapi juga dalam dialog dengan pihak lain yang berseberangan pandangan atau
keyakinan. Dialog merupakan sarana yang paling efektif dan konstruktif dalam
membina masyarakat bila dilakukan sesuai etika yang digariskan Al-Qur’an. Tetapi
sebaliknya ia hanya akan membuang-buang waktu dan meruncing masalah bila
dilakukan tanpa aturan yang jelas

E. SANAD DANBIOGRAFISPENULIS
27
Abuddin Nata, Op. Cit., h. 96
28
QS. Al-Hujurat: 6.

20
Setelah penulis membaca hadits tentang dialog, maka penulis akan memberikan
informasi tentang Sanad dan Perawi dan Biografi Hadits, sebagai berikut

Biografi Perawi Hadits Bukhari

Biografi Perawi 1Jalur 1


: Al Miswar bin Makrama bin Laqob :-
Nama
Naufal
Kunyah : Abu AbdurRahman Negeri Hidup : Madinah
Nasab :- Negeri Wafat : marur
Kalangan : Sahabat Tahun Wafat : 64 H
Komentar Ulama Tentang Perawi
Urwah bin azZubair : hdistnya tidak
terkenal
Jumlah Perawi yang diriwayatkan Perawi:
Bukhari : 35 Ibnu Majah :7
Muslim : 10 Darimi :0
Tirmidzi :4 Ahmad : 27
Abu Dawud : 10 Malik :3
Nasa’i :6

Biografi Perawi 1Jalur 1


: Urwah bin Al Hakam bin abi Al Laqob :-
Nama
Ash bin Umayyah
Kunyah : Abu abdul Malik Negeri Hidup : syam
Nasab : Al Umawiy Al Madaniy Negeri Wafat :
Kalangan : Tabi’in kalangan pertengahan Tahun Wafat : 65 H
Komentar Ulama Tentang Perawi
AdzDzabi : Sahabat
Jumlah hadist yang diriwayatkan Perawi:
Bukhari : 20 Ibnu Majah :2
Muslim :0 Darimi :7
Tirmidzi :4 Ahmad : 25
Abu Dawud :7 Malik :7
Nasa’i : 10

21
Biografi Perawi 2
: Urwah bin azZubairbin ‘Awwam Laqob :-
Nama bin Khuwailid bin asad bin ‘abdul
‘Izzi bin Qu
Kunyah : Abu Abdullah Negeri Hidup : Madinah
Nasab : Al asadiy Negeri Wafat :-
Kalangan : Tabi’in kalangan pertengahan Tahun Wafat : 93 H
Komentar Ulama Tentang Perawi
Al ‘ajli: Tsiqah Ibnu hibban: Disebut dalam Ats Tsiqa
Ibnu Hajar :Tsiqah
Jumlah Perawi yang diriwayatkan Perawi:
Bukhari : 629 Ibnu Majah : 165
Muslim : 328 Darimi : 97
Tirmidzi : 131 Ahmad : 890
Abu Dawud : 210 Malik : 149
Nasa’i : 270

Biografi Perawi 3
: Muhammad bin Muslim bin Laqob :-
Nama ubaidillah bin “abdullah bin
syihab
Kunyah : Abu Bakar Negeri Hidup : Syam
Nasab : Al Qurasyiy AzZuhriy Negeri Wafat :
Kalangan : Tabi’in (tdk jumpa Shahabat) Tahun Wafat : 124 H
Komentar Ulama Tentang Perawi
Ibnu hajar: Faqih Hafidz adzDzahabi : seorang tokoh
Jumlah Perawi yang diriwayatkan Perawi:
Bukhari : 1181 Ibnu Majah : 296
Muslim : 606 Darimi : 274
Tirmidzi : 280 Ahmad : 1721
Abu Dawud : 404 Malik : 149
Nasa’i : 699

22
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa metode Hiwar dapat
diartikan sebagai dialog, yaitu suatu percakapan atau pembicaraan silih berganti antara
dua pihak atau lebih yang dilakukan melalui tanya jawab, didalamnya terdapat
kesatuan topik pembicaraan dan tujuan yang hendak dicapai dalam pembicaraan itu,
dialog-dialog tersebut dalam Al-Quran dan Sunnah.
Dialog merupakan cara yang efektif dan menyenangkan dalam menyampaikan
suatu pesan sebagaimana dicontohkan oleh Allah SWT dan Rasulullah saw. Dialog
merupakan jembatan yang dapat menghubungkan pemikiran seseorang dengan orang
lain secara mudah, karena bahasa dialog biasanya cukup gamblang dan mudah
dimengerti oleh lawan bicaranya.
Suatu hal yang paling disukai Rasulullah saw dari para sahabatnya adalah sikap
kritis dan terbuka, mereka tidak merasa segan dan malu bertanya kepada Rasulullah
saw tentang segala sesuatu terutama dalam urusan agama. Rasulullah saw sangat
antusias bila ada sahabat yang bertanya kepadanya. Dengan demikian terlihat bahwa
beliau sangat menyukai menyampaikan ajaran islam melalui dialog.

B. SARAN

23
Sebagai guru sebaiknya harus bisa lebih menguasai berbagai metode dalam
cara menyampaikan pendidikan. Selain itu, harus bisa menekankan kepada anak didik
untuk lebih memaknai apa yang diajarkan dan mengaplikasikannya dalam kehidupan
sehari-hari. Sehingga anak didik menjadi orang yang berilmu disertai iman dan taqwa
kepada Allah SWT serta mengabdikan ilmunya untuk kesejahteraan manusia.

24
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman an-Nahlawi, Prinsip-prinsip dan Metode Pendidikan Isalam,


Ahmad bin Abdillah al-Basyir dkk, al-Muwajjih, Ma’had al-Ulum al-Islamiyyah wa al-
Arabiyyah fi Indonesia, 1991
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1991
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir , Yogyakarta: 1984
HM. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara, 1996
http://eprints.walisongo.ac.id/id/eprint/4608/1/113911132.pdf
http://file.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR._PEND._BAHASA_ARAB/195510071990011-
DEDENG_ROSIDIN/METODE_HIWAR.pdf
http://www.makalahskripsi.com/2013/09/makalah-spai-metode-hiwar-qurani.html
https://sumsel.kemenag.go.id/artikel/view/10679/%3Ccenter%3E%3Cb%3Emetode-
pendidikan-qurani%3Ccenter%3E
https://www.elzeno.web.id/2017/08/pengenalan-tentang-metode-hiwar.html
https://www.kompasiana.com/maratuz/metode-pendidikan-menurut-
alquran_55897a21907e61a3048b4567
Luwes Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah, Baerut : 1928
Mani bin Abd al-Aziz al Mani dkk, Mudzakarah al-Daurath al-Tarbawiyyah al-
Qashirah, Ma’had al-ulum al-Islamiyyah wa al- Arabiyyah fi Indonesia,1912 H
Muhammad Husen Ali Yasin, Al-Mabadi al-Asasiyyah fi Thuruq al-Tadris al- ‘Amah,
Baerut Lubnan: Maktab al-Nahdhah, 1974
Nana Sudjana, Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar, Bandung : Sinar Baru
Algensindo, 1989
Terjemah, Bandung: Diponegoro, 1989

25

Anda mungkin juga menyukai