Anda di halaman 1dari 29

SKENARIO

ANESTESIOLOGI DAN REAMINASI

Kelompok 3 :
Yoga Prana Putra Santoso 0606011910002
Agnes Atmadjaja 0606011910011
Intan Murni Arifah 0606011910018
Karmila Ayu Wardani 0606011910021
Dyaniko Prio Basudewo 0606011910026
Zefanja Andera Gondo 0606011910028
Wb. Iqbal Tendi Alam 0606011910032
Ummu Habibah 0606011910035
Della Putri Mardhika 0606011910037
Gede Tegar Witnandika Suara 0606011910039

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS CIPUTRA
SURABAYA
2023
A. Skenario:
Seorang anak berusia 4 tahun, mengalami kejang saat dilakukan jahit luka di UGD.
Kejang diawali dengan kedua tangan dan kaki kaku kemudian disusul gerakan kelonjotan
seluruh tubuh.

B. Keywords :
● Anak
● Kejang
● Jahit luka
● Kedua tangan dan kaki kaku
● Kelonjotan seluruh tubuh

C. Main problem :
Kejang

D. Mind map awal:


E. More Info
Pasien diberikan supositoria diazepam 10mg dan kejang berhenti.

Airway Tanpa gerakan dada, didapatkan suara nafas


tambahan (snoring), terasa hembusan nafas,
dan trakea teraba di tengah.

Breathing Gerak dada simetris, tidak ada retraksi,


respiratory rate 12 kali permenit, SpO2 96%
udara ruang, dan suara nafas vesikuler
simetris.

Circulation Akral dingin basah pucat, CRT 3 detik, nadi


65 kali permenit, dan tekanan darah 60 per
palpasi mmHg.

Disability Kesadaran unresponsive, pupil bulat isokor 4


mm x 4 mm, reflek cahaya mata kiri
melambat, dan kesan tidak ada lateralisasi.

Exposure Suhu 36,5 derajat celcius.


F. Learning Issue:
1. Definisi Kejang
Kejang didefinisikan sebagai kejadian sementara tanda dan gejala akibat aktivitas
saraf abnormal, berlebihan, atau sinkron di otak yang ditandai dengan aktivitas otot
rangka yang tiba-tiba dan tidak disengaja. Kata sifat "sementara" merujuk ke waktu
dengan onset dan remisi yang jelas.
Kejang adalah peristiwa neurologis sementara akibat pelepasan listrik saraf yang
berlebihan atau abnormal yang dimanifestasikan oleh gangguan fungsi motorik rangka,
sensasi, fungsi visceral otonom, perilaku, atau kesadaran. Gejalanya tidak konstan, dan
lamanya waktu antara episode kejang bervariasi (Bansik, 2021).

2. Diagnosis Banding:

Gangguan Patomekanisme Gejala Klinis

Epilepsi Gangguan keseimbangan sel neuron 1. Kejang berulang


-> disfusi natrium dan kalium 2. Dengan atau tanpa
berlebihan -> lonjakan impuls listrik faktor pencetus
melewati batas normal -> kejang 3. Hilang kesadaran
4. Gangguan kognitif
5. Gambaran EEG
pada epilepsi

Infeksi 1) Meningitis 1. Kaku kuduk


Intrakranial Bakteri menginfeksi selaput otak -> 2. Demam
1) Meningitis astrosit , mikroglia mengenali 3. Sakit kepala
2) Meningoence antigen bakteri -> sitokin release -
phalitis >Inflamasi di selaput meningen
sekitar otak dan medula spinalis ->
membran saraf rusak -> eksitasi
berlebihan -> kejang
2) Meningoencephalitis Gejala meningitis +
Inflamasi di selaput meningen dan 1. Kesadaran
otak terganggu
2. Gangguan kognitif
3. Kelumpuhan
4. Lateralisasi
5. Dll.

Pemeriksaan penunjang ct
scan kepala didapatkan lesi
otak

Neuro Tergantung lokasi parasit


Manusia terinfeksi karena menelan
Sistiserkosis (Oscar , 2014).
makanan yang terkontaminasi telur
1. Kejang
cacing T. solium. Telur cacing yang
2. Kinerja kognitif
tertelan di dalam usus akan pecah
yang buruk
menjadi onkosfer, dengan bantuan
(dimensia berat)
kait yang dimiliki onkosfer akan
3. Penurunan
menembus dinding usus lalu masuk
ketajaman visual
ke dalam pembuluh darah portal atau
4. Kaku kuduk
saluran limfe di daerah usus akhirnya
5. Sakit kepala
mencapai sirkulasi sistemik.
6. Demam
Onkosfer melalui sirkulasi sistemik
dapat mencapai SSP dengan bantuan
kait yang dimiliki, dapat melewati
endotelium kapiler atau epitel
pleksus khoroideus. Tidak diketahui
bagaimana onkosfer secara aktif
berpindah ke jaringan spesifik atau
hanya secara pasif berkembang di
dalam jaringan dengan curah darah
yang tinggi seperti misalnya pada
otak dan otot. Di dalam sistem saraf,
parasit dapat ditemukan di parenkim
otak, ruang subarachnoid, sistem
ventrikel, atau sumsum tulang
belakang, menyebabkan beberapa
perubahan patologis yang
bertanggung jawab atas
pleomorfisme klinis penyakit ini
(Oscar , 2014).

Trauma 1. EDH EDH


1) EDH Cedera otak sekunder akibat epidural
1. Sakit kepala
2) SDH hematoma diakibatkan iskemia atau
2. Lucid Interval
hipoksia. Iskemia memungkinkan
(khas)
terjadinya penurunan ATP sehingga
3. Kejang
mengakibatkan kegagalan pompa
4. Gangguan
membran sel. Sel akan mati dan
penglihatan pada
menjadi bengkak (edema sitotoksik).
salah satu atau
Hipoksia menyebabkan kehilangan
kedua mata
neuron yang akan menimbulkan
5. Tanda herniasi
atropi kortek pada pasien. Hipoksia
(dilatasi pupil
atau iskemia pada cedera kepala
ipsilateral,
berat mengakibatkan tekanan
hemiparesis
intrakranial akan meningkat
kontralateral)
sehingga cerebral perfusion pressure
6. Afasia
akan berkurang. (Mendelow, 2010)
2. SDH SDH
Disebabkan oleh trauma
kepala/kejadian lain sehingga terjadi 1. Nyeri Kepala
perdarahan kecil → sel-sel 2. Mual muntah
peradangan memperbaiki dan 3. Penurunan
memicu terjadinya angiogenesi → kesadaran
pembuluh darah kapiler baru yang 4. Kejang
masih rapuh menyebabkan 5. Lateralisasi
pendarahan mikro → perdarahan 6. Pupil bulat
kronis yang kemudian perlahan- anisokor satu sisi
lahan membesar dan refleks cahaya
menurun

Gagal Tumbuh Muncul lesi di CNS → Sindrom 1. Iritabilitas


Kembang UMN (upper motor neuron) → berlebihan atau
(Cerebral palsy) Timbul gejala spastisitas (kaku otot) interaksi yang
dan kelemahan otot → Pengurangan berkurang
pertumbuhan longitudinal otot 2. Hiper atau
rangka → Kontraktur → Torsio hipotonia
tulang progresif → Ketidakstabilan 3. Kelenturan
sendi dan otot secara bertahap → 4. Dystonia
Dislokasi dan kerusakan sendi 5. Kelemahan otot
(Morgan, 2018). 6. Refleks primitif
Developmental encephalopathy yang terus-menerus
merupakan perkembangan dari 7. Refleks postural
serangan epilepsi meskipun secara yang abnormal atau
etiologi dan genetik yang sama tidak ada
namun secara jalur patologis berbeda 8. Inkoordinasi
(kimiawi, struktural, fungsional). 9. Hiperreflexia.
Keterlambatan perkembangan
diawali dengan kejang dan berlanjut
secara mandiri atau diperburuk oleh
kejang berikutnya.

Infeksi Riwayat luka terbuka -> infeksi 1. Trismus,


Ektrakranial spora C. tetanii -> berkembang scr 2. Muscle spasm
1) Tetanus vegetatif dalam kondisi anaerobic -> 3. Opisthotonus
bakteri memproduksi eksotoksin 4. Sulit menelan
(tetanospasmin)-> menyebar dalam 5. Demam
sirkulasi darah dan limfe ->
menyebar dalam saraf termasuk
neuromuscular junction -> masuk
spinal cord -> pelepasan vesikel yg
berisi neurotransmitter -> aktivsi otot
berlebihan /kejang

Intoksikasi Zat Organofosfat sering didapatkan pada Paparan; bervariasi, gejala


1) Insektisida pestisida, zat larut lemak; masuk ke awal: iritasi kulit, mual/rasa
tubuh melalui saluran cerna, napas, penuh di perut, muntah,
maupun kulit dan mukosa. lemas, sakit kepala,
Asetilkolin berperan penting pada gangguan penglihatan,
sistem saraf autonom yang mengatur keluar ludah berlebihan,
berbagai kerja, seperti pupil mata, berkemih berlebihan, diare,
jantung, pembuluh darah. keringat berlebihan,
Asetilkolin juga merupakan kelemahan sesak napas,
neurotransmiter yang langsung kelumpuhan otot rangka,
memengaruhi jantung serta berbagai sukar berbicara, hilangnya
kelenjar dan otot polos saluran refleks, kejang, koma.
napas.
Bahan racun mempengaruhi kerja Bau pestisida, mual,
enzim/hormon, berinteraksi dengan muntah, diare, dizziness,
sel sehingga mempengaruhi kerja gemetar, penurunan
sel, rusak jaringan sehingga timbul kesadaran, gangguan
histamine dan serotine, fungsi pernafasan.
detoksikasi hati (dinetralisasi).
Parasimpatis
Muskarinik
Muscle relaxant

2) Intoksikasi Abnormal: efek toksik anestesi lokal Pusing, sakit kepala,


Anestesi lokal terjadi bila kadar plasma sangat parestesi, twitching,
tinggi. penurunan kesadaran,
anestesi lokal memblokade sistem konvulsi, aritmia jantung,
saraf simpatis di medula spinalis henti jantung
pada blok spinal dan epidural, cedera
ekstremitas yang tidak segera fase eksitasi ( menggigil,
diketahui pasien akibat blok sensorik otot tremor, kejang tonik-
dan motorik, cedera saraf/medula klonik)
spinalis, Intoksikasi obat anestesi fase depresi (hipoventilasi,
lokal ke sistemik sehingga toksik kolaps pernafasan).
terhadap susunan saraf pusat, 2. High Eksitasi SSP mengaktifasi
blok yang menyebabkan sistem saraf simpatis
hipoventilasi sehingga terjadi retensi (takikardi dan hipertensi)
CO2 yang berefek terjadi oedem
otak ( tekanan intrakranial
meningkat ) yang mengakibatkan
kejang.
Butterworth IV IF, Mackey DC,
Wasnick JD, penyunting. Morgan &
Mikhail’s clinical anesthesiology.
Edisi ke-6. New york: McGraw-Hill
companies;2018

Gangguan 1. Akumulasi amonia bersifat 1. Intoleransi terhadap


Metabolisme neurotoksik → sistesis makanan terutama
glutamin meningkat → protein
astrosit bengkak dan edema 2. Keterlambatan
otak perkembangan,
2. Akumulasi glisin pada kegagalan
ensefalopati glisin → pertumbuhan, atau
overstimulasi rangsang pada episode muntah
reseptor NMDA (N-Methyl atau ensefalopati
D-Aspartate) → kejang 3. Ukuran kepala
3. Hipoglikemia atau gangguan abnormal (mikro
transportasi glukosa otak → atau makrosefali),
energi otak kurang → kejang 4. Bau urin yang tidak
4. Gangguan mitokondria → biasa (mis. Maple
gangguan produksi ATP → syrup urine disease)
kejang 5. Kelainan lensa atau
5. Defisiensi kofaktor pyridoxal retina
phosphate → metabolisme 6. Organomegali
neurotransmitter terganggu 7. Gangguan
→ kejang metabolisme :
hipoglikemia,
asidosis metabolik,
hiperamonemia dan
hiperlactatemia

Keseimbangan 1. Ketika konsentrasi natrium 1. Rasio ukuran otak


elektrolit (135-145 mEq/L) serum ke tengkorak yang
1) Hiponatremia menurun cukup cepat lebih besar,
2) Hipernatremia sehingga mekanisme konsentrasi plasma
3) Hipokalsemia pertahanan otak tidak dapat menurun dengan
mengatasinya, sistem saraf cepat hingga <115
pusat berubah secara mEq/L, suhu < 36,5
patofisiologis. Jika derajat celcius,
hiponatremia berkembang mual, muntah, sakit
pesat dapat menyebabkan kepala, kram otot
edema serebral dan sehingga hingga perubahan
terjadi kejang (Kwon, 2011) status mental,
2. Hipernatremia lebih mungkin agitasi, kejang
menjadi konsekuensi dari (Rondon and
aktivitas kejang (terutama Badireddy, 2023)
kejang tonik-klonik umum). https://www.ncbi.nl
Faktanya, selama kejang m.nih.gov/books/N
glikogen intraseluler BK470386/
dimetabolisme di otot 2. Dehidrasi, disfungsi
menjadi laktat. Karena sistem saraf pusat,
osmolaritas intraseluler serat iritabilitas dan
otot meningkat (laktat lebih agitasi, mengantuk,
aktif secara osmotik daripada koma (sonani et al,
glikogen), air bergerak ke 2023)
dalam sel, menyebabkan https://www.ncbi.nl
hipernatremia. Beberapa m.nih.gov/books/N
menit setelah timbulnya BK441960/
hipernatremia, kehilangan air 3. Kejang: biasanya
dari sel-sel otak menentukan terjadi pada
peningkatan osmolalitas sel hipokalemia yang
otak intraseluler dan sangat parah, bisa
penyusutan otak (Nardone et menjadi satu-
all, 2016). satunya manifestasi
3. Hipokalsemia dapat atau bagian dari
menyebabkan kejang tanpa segudang presentasi
tetani bersamaan karena klinis (goyal et al,
konsentrasi Ca terionisasi 2022)
rendah dalam cairan
serebrospinal berhubungan
dengan peningkatan
eksitabilitas dalam sistem
saraf pusat (Aihara et all,
2019)

Kejang demam Infeksi → bakteri mengekspresikan Kejang yang muncul pada


Lipopolisakarida (LPS)→ Terdeteksi kondisi demam, umumnya
oleh makrofag dan neutrofil → mengenai usia 6 bulan-5
Memicu respon inflamasi sitokin → tahun, tanpa pemicu jelas.
Kontrol respon inflamasi kalah → Kejang demam sederhana:
Sitokin meningkat dan terlepas di 1. Durasi kurang dari
sirkulasi → Sitokin berinteraksi 15 menit
dengan BBB → sitokin masuk ke 2. Kejangnya
CNS → Sitokin yang berinteraksi Generalized
dengan LPS → Meningkatkan suhu 3. Frekuensi 1x dalam
tubuh (demam, melalui aktivasi 24 jam
endotel otak oleh sitokin, terutama Kejang demam kompleks:
Prostaglandin 2, yang mengikat 1. Durasi lebih dari 15
reseptor neuron termoregulatori) → menit
Proinflamatoris IL-1β and IL-1Ra 2. Kejangnya Focal
meningkat → Reseptor lebih mudah 3. Frekuensi >1x
terikat dengan IL-1β → dalam 24 jam
Menyebabkan ekspulsi8 magnesium
di channel ion → Akibatnya kalsium
dan sodium influx → Peningkatan
kalsium memicu cascade dan
perubahan transkripsional yang lalu
menyebabkan konvulsi

3. Klasifikasi Kejang
a. Kejang generalized, melibatkan jaringan kortikal bilateral atau bihemispheric
pada permulaan kejang
1) tonik-klonik
2) Absen
3) Mioklonik
4) atonik (akinetik)
5) infantil
6) sindrom Lennox-Gastaut (kejang demam)
b. Kejang fokal, generator kejang dimulai dari jaringan kortikal terlokalisasi dalam
satu hemisfer.
1) kejang fokal sederhana
2) kejang fokal komplex
c. Tidak terklasifikasi
4. Tatalaksana Primary Survey

Problem Tindakan Evaluasi

Airway Snoring Bebaskan jalan napas Patensi airway


bisa dengan Head tilt
chin lift dan pasang
nasopharingeal/oropharin
geal airway

Breathing RR 12x/menit - Berikan nafas buatan Usaha nafas, SpO2, RR,


(bradipnea) dengan BVM + oksigen
+ reservoir (FiO bisa
mencapai 90-100%).
Atau jackson rees 10-15
lpm
- Persiapan intubasi

Circulation Syok ● Posisi syok Akral, tanda tanda vital


● Pasang 2 iv line (nadi, CRT, tekanan
dengan ukuran darah) dan produksi
jarum 20 urine
● Iv kristaloid
isotonik 20
ml/kgBB dalam
20-30 menit
pertama
● Pasang kateter
urine

Disability Kejang Iv diazepam dosis Tingkat kesadaran


0,3−0,5 mg/kgBB,
diberikan bolus secara
perlahan 1−2 mg/menit
atau sekitar 3−5 menit.
Dosis maksimal 20 mg.

Exposure Normal (36,5) Selimuti pasien Monitor suhu


Anamnesis :
1. Riwayat Penyakit Sekarang
● Pagi hari sebelum ke RS pasien jatuh ketika bermain dengan kakaknya, lengan
bawah kiri terbentur dengan ujung tangga dan mengalami luka robek sebesar 6
cm.
● Orang tua langsung membawa pasien ke RS, di jahit primer
● Setelah jatuh pasien tidak mengalami kejang, serta tidak didapatkan luka pada
kepala.
● Mual muntah tidak didapatkan
● Tidak mengkonsumsi obat sebelumnya
● Imunisasi lengkap
● Tidak terdapat demam dan sekit kepala
● Riwayat tumbuh kembang sesuai dengan anak sebayanya
● Batuk pilek tidak didapatkan
● Makan minum dalam batas normal
● Tidak ada riwayat perdarahan yang sulit berhenti saat terjadi luka
● Tidak mengalami kejang sebelumnya

Luka robek lengan kiri dan diputuskan dilakukan jahit primer. Saat dilakukan tindakan anak
rewel dan kesakitan. Desinfeksi, dan infiltrasi lidokain 2% sebanyak 2 ml (1 ampul). Saat mulai
tindakan anak masih kesakitan, dokter jaga menambah dosis lidokain 2% sebanyak 2 ml. Setelah
infiltrasi kedua, lalu dokter melakukan jahit primer. Dokter tidak dilakukan aspirasi sebelum
penyuntikan lidokain. Setelah 2-3 menit tindakan dimulai, anak tenang, melantur, dan kejang.
Tangan dan kaki kaku, dan kelojotan seluruh tubuh, disertai mata melirik ke atas. Saat kejang
anak tidak sadar. Tindakan dihentikan dan dokter jaga melakukan tindakan Tx kejang dengan
diazepam suppositoria. Saat kejang berhenti kondisi anak masih tidak sadar.

2. Pemeriksaan fisik:
1. KU: coma unresponsive
2. GCS : E1V1M1
3. BB : 15kg
4. TB : 100cm
5. Vital Sign : sesuai primary survey
6. Kepala leher : Normal
7. Thoraks :
1) Inspeksi
● Normal
2) Palpasi
● Normal
3) Perkusi
● Normal
4) Auskultasi
8. Normal
9. Abdomen:
1) Inspeksi
● Normal
2) Palpasi
● Normal
3) Perkusi
● Normal
4) Auskultasi
● Normal
10. Ektremitas : CRT : 3 detik, vulnus laceratum 6cm
3. Pemeriksaan neurologi :
a. Meningeal sign: Normal
b. Kaku kuduk: Normal
c. Fisiologis: Normal
d. Patologis: Normal
4. Pemeriksaan Penunjang:
a. Darah Lengkap
1) Hb : 13,2
2) Leuko : 9200
3) Trombosit: 215
4) Hematokrit: 40%
b. Serum Elektrolit
1) Natrium : 138
2) Kalium : 4,2
3) Chlorida : 102
c. Glukosa darah : 110
d. Faal hemostasis
1) pt: 10,8 dtk (normal 10-13)
2) aptt: 40,2 dtk (30-45)
5. Radiologi:
a. CT-Scan tanpa kontras
b. Gambaran EEG: Normal
Learning Issues
1. Definisi LAST dan Manifestasi LAST
Toksisitas sistemik anestesi lokal (LAST) adalah efek samping yang mengancam jiwa
yang terkait dengan penggunaan teknik anestesi lokal (LA) melalui berbagai rute.
Meningkatnya penggunaan teknik anestesi lokal di berbagai rangkaian LAST. LAST
adalah komplikasi yang berpotensi mengancam jiwa yang terjadi ketika bolus anestesi
lokal (LA) secara tidak sengaja disuntikkan ke dalam sirkulasi vena atau arteri. Distribusi
sistemik LA menyebabkan LAST, yang memiliki efek buruk pada kardiovaskular dan
sistem saraf. LAST adalah Reaksi merugikan yang mengancam jiwa akibat anestesi lokal
mencapai tingkat sirkulasi sistemik yang signifikan. Toksisitas Sistemik Anestesi Lokal
(LAST) jarang terjadi dan hampir selalu terjadi dalam beberapa menit setelah injeksi
anestesi lokal.
Manifestasi Klinis LAST : Neurotoksisitas, Cardio Toksisitas
a. Manifestasi Neurotoksik
1) Bicara cadel/sulit
2) Mati rasa pada ujung/lidah
3) Bicara metalistik taste (rasa besi)
4) Telinga berdenging
5) Kesemutan di daerah anestesi
6) Gangguan kesadaran
b. Toksisitas sistem saraf pusat (SSP)
1) Mengantuk, pusing, aritmia, gelisah, bingung
2) Peningkatan konsentrasi plasma LA awalnya mengganggu jalur
penghambatan kortikal dengan memblokade saluran NaV, mengganggu
depolarisasi neuron penghambatan. Menghambat jalur ini mengarah pada
fitur klinis rangsang dari perubahan sensorik dan visual, aktivasi otot, dan
aktivitas kejang selanjutnya. Saat konsentrasi plasma LA meningkat, jalur
rangsang terpengaruh, menghasilkan fase depresi toksisitas neurologis,
dengan hilangnya kesadaran, koma, dan henti napas.
3) Gangguan natrium dan osmolalitas menghasilkan depresi saraf SSP,
dengan ensefalopati sebagai manifestasi klinis utama; gangguan ini juga
dapat memicu iritabilitas saraf SSP. Demikian pula, hiperkalsemia dan
hipermagnesemia menghasilkan depresi saraf SSP dengan ensefalopati.
Sebaliknya, hipokalsemia dan hipomagnesemia terutama menyebabkan
iritabilitas saraf SSP dengan kejang. Sebaliknya, kelainan kalium jarang
menimbulkan gejala pada SSP tetapi dapat dikaitkan dengan kelemahan
otot sebagai manifestasi klinis utama
4) Manifestasi hiponatremia hipotonik sebagian besar terkait dengan
disfungsi SSP dan lebih mencolok ketika penurunan konsentrasi natrium
serum besar atau cepat (dalam beberapa jam). Secara umum, gejala
hiponatremia sejajar dengan keparahan edema serebral. Hipernatremia
kronis cenderung menimbulkan gejala; sekitar setengah dari pasien dengan
hiponatremia kronis tidak menunjukkan gejala, bahkan dengan konsentrasi
natrium serum kurang dari 125 mEq/L. Gejala jarang terjadi sampai
natrium serum kurang dari 120 mEq/L dan lebih sering dikaitkan dengan
nilai sekitar 110 mEq/L atau lebih rendah. Anak-anak berisiko tinggi
terkena hiponatremia simtomatik, karena mereka memiliki rasio ukuran
otak-ke-tengkorak yang lebih besar.
5) Gejala hipokalsemia dipengaruhi oleh derajat hipokalsemia dan kecepatan
penurunan konsentrasi kalsium terionisasi serum. Hipokalsemia akut
menyebabkan peningkatan rangsangan neuromuskular dan tetani. Di SSP,
manifestasi yang biasa dari hipokalsemia akut adalah kejang dan
perubahan status mental . Tonik-klonik umum, motorik fokal, dan (lebih
jarang) kejang atipikal atau akinetik dapat terjadi pada hipokalsemia dan
mungkin merupakan satu-satunya gejala yang muncul. Status epileptikus
nonkonvulsif akibat hipokalsemia juga telah dilaporkan.

c. Otot berkedut
1) Tremor / getaran
d. Kejang
1) depresi pernapasan, henti napas dan henti jantung
2) Kejang lebih sering terjadi pada pasien dengan gangguan natrium,
hipokalsemia, dan hipomagnesemia
e. Kardiotoksisitas
1) Toksisitas sistem kardiovaskular (CVS)
Banyaknya target molekuler LA yang disebutkan di atas menghasilkan
fitur toksik yang kompleks di CVS, termasuk gangguan konduksi,
disfungsi miokard, dan labilitas tonus pembuluh darah perifer. Efek
primer cenderung timbul dari gangguan irama, dengan efek CVS lainnya
sebagai efek sekunder. Konduksi normal terganggu oleh blokade
langsung kanal natrium, terutama pada berkas His. Dengan
menggerakkan potensial membran istirahat ke tingkat yang lebih negatif,
propagasi potensial aksi terganggu, menyebabkan interval PR, QRS, dan
ST yang memanjang. Takiaritmia dan bradiaritmia terjadi, yang dapat
diperburuk oleh blokade saluran kalium lebih lanjut, memperpanjang
interval QT. Manifestasi berupa hipotensi, bradikardi, dan gangguan
irama jantung EKG berupa aritmia.
f. Kelainan elektrolit dapat mempengaruhi banyak organ dan jaringan, termasuk
otak. Sebagian besar manifestasi klinis dari gangguan ini sebagian besar bersifat
neurologis dan sejajar dengan tingkat keparahan kerusakan saraf. Selain itu,
gangguan ini dapat muncul dengan kejang, atau dengan gejala dan tanda
neurologis progresif cepat, sehingga memerlukan perawatan darurat
gejala neurologis gangguan elektrolit umumnya fungsional daripada struktural,
manifestasi neurologis gangguan elektrolit biasanya reversibel. Namun, karena
disfungsi fungsional seperti kejang dapat menyebabkan perubahan struktural,
penting untuk mengobati gangguan yang mendasarinya sebelum patologi menjadi
permanen.
g. Perubahan status mental—letargi, bingung, dan jarang koma—merupakan
manifestasi neurologis utama dari hiperkalsemia. Hiperkalsemia dikaitkan dengan
berkurangnya rangsangan membran saraf, dan karenanya jarang menyebabkan
kejang. Namun, ensefalopati hipertensi yang diinduksi hiperkalsemia dan
vasokonstriksi telah dihipotesiskan untuk menimbulkan kejang. Vasokonstriksi
serebral reversibel pada pasien dengan kejang yang diinduksi hiperkalsemia telah
ditunjukkan dengan angiografi serebral.
Deskripsi klasik dari toksisitas sistemik anestesi lokal (Local Anesthetic Systemic
Toxicity (LAST)) secara umum digambarkan dengan sekumpulan gejala dan tanda
neurologi yang memburuk secara progresif yang segera terjadi setelah injeksi obat
anestesi lokal dan disertai dengan peningkatan konsentrasi anestesi lokal dalam darah,
dengan kondisi puncak dapat menjadi kejang dan koma. Pada kasus yang ekstrim, dapat
dikuti dengan tanda ketidakseimbangan hemodinamik yang berakhir kepada kegagalan
sistem kardiovaskular.
Kategori toksisitas anestesi lokal dapat dibedakan menjadi tiga yaitu toksisitas lokal,
sistemik, dan alergi. Toksisitas lokal bermanifestasi pada neurotoksisitas, gejala
neurologis transien (rasa sakit atau kelainan sensorik di punggung bawah, pantat, atau
ekstremitas bawah). Gejala-gejala nyeri terbakar dan dysethesthia di dermatom L5 dan S1
biasanya mulai setelah efek dari anestesi
spinal mulai bekerja dan dapat berlangsung hingga jam sampai empat hari, atau
miotoksisitas, serta toksisitas sistemik termasuk toksisitas sistem saraf pusat dan
kardiovaskular. Reaksi toksik bisa timbul apabila konsentrasinya dalam darah sangat
tinggi dan terjadi secara mendadak. Hal ini bisa terjadi karena dosis yang diberikan
berlebihan, penyuntikan langsung ke dalam sirkulasi, absorbsinya terlalu cepat dan
detoksikasi terlambat misalnya pada penyakit hati. Onset dari LAST biasanya sangat
cepat, yaitu sekitar 50 detik bahkan kurang pada beberapa kasus, selain itu dapat juga
terjadi sebelum 5 menit. Tanda dan gejala dari toksisitas akut anestesi lokal biasanya
sering berulang dan menetap. Sebagai contoh, kejang terjadi dalam hitungan menit
hingga jam setelah resolusi awalnya, termasuk berulangnya kejang setelah sebelumnya
diterapi dengan emulsi lipid. Gejala seperti bradikardi dan hipotensi bisa menetap selama
beberapa jam setelah injeksi anestesi lokal bahkan dalam volume yang sedikit, seperti
bupivakain 1mg/kg. (Gregorio, et al. 2010).
2. Faktor resiko LAST
a. Obat
Rasio kolaps kardiovaskular/SSP adalah “rasio dosis obat yang diperlukan untuk
menyebabkan penyakit kardiovaskular katastropik kolaps ke dosis obat yang
diperlukan untuk menghasilkan kejang.
b. Pasien
Pasien pada usia tertentu secara konsisten terbukti memiliki risiko terbesar LAST.
Neonatus dan bayi mengalami penurunan konsentrasi plasma dari protein
pengikat α1-asam glikoprotein dan sistem enzim hati yang belum matang yang
dapat meningkatkan fraksi bebas LA di plasma. Oleh karena itu, dosis harus
dikurangi 15% pada pasien <4 bulan.
c. Teknik
Faktor-faktor yang mungkin mempengaruhi hasil ini termasuk dosis anastesi lokal
yang biasanya diberikan dan vaskularisasi dari tempat yang terlibat. Proporsi
peristiwa yang dominan (18%) adalah faktor yang mencakup populasi pasien
yang lebih rentan, injeksi ke area yang memiliki vaskularisasi tinggi, dan
penggunaan dosis yang mendekati maksimum. batas yang direkomendasikan

3. Patofisiologi LAST
a. Cardiovascular system toxicity
cardiovascular system toxicity terjadi melalui terblokade nya saluran kalsium dan
pompa pertukaran Na+–Ca2+ mengurangi simpanan kalsium intraseluler dan
dengan demikian mengurangi kontraktilitas. Terganggunya saluran natrium ini
mengganggu HIS bundle dengan berubahnya resting membran potensialnya
menjadi lebih negatif, akibatnya propagasi potensial aksi terganggu, menyebabkan
PR, QRS, dan ST yang memanjang.
b. Central nervous system toxicity
Peningkatan konsentrasi plasma LA memblokade saluran Natrium, mengganggu
depolarisasi neuron inhibitorik. Terganggunya saluran ini mengakibatkan gejala
klinis eksitatori sensoris dan perubahan visual, aktivasi otot, dan runtutan aktivitas
kejang. Meningkatnya konsentrasi plasma LA, jalur eksitatoris juga terpengaruh,
mengakibatkan toksisitas neurologis dengan fase depresif yang disertai hilangnya
kesadaran, koma, dan gagal atau gagal nafas (Boghdadly et al, 2018).

4. Tatalaksana LAST (Ummu, Intan)


Tanda toksisitas parah :
 Perubahan kondisi mental yang tiba-tiba, agitasi parah atau hilang kesadaran
dengan atau tanpa kejang tonik klonik
 Kolaps kardiovaskular : sinus bradikardi, conduction blocks, asistol, ventricular
arrhythmia
 LAST dapat terjadi beberapa saat setelah injeksi awal
Management segera :
 Hentikan pemberian anestesi lokal
 Meminta bantuan
 Stabilisasi jalan napas dan berikan oksigen 100%; jika perlu melakukan intubasi
trakea dan memulai nafas buatan
 Pasang akses intravena
 Mengobati kejang (benzodiazepin direkomendasikan; propofol tidak dapat
digunakan pada pasien dengan tekanan darah dan detak jantung tidak stabil)
 Pertimbangkan pengambilan darah untuk mengukur konsentrasi anestesi lokal
dalam darah (jika waktu dan sumber daya memungkinkan), jangan menunda
pengambilan darah untuk pertimbangan tatalaksana secara definitif
Pengobatan :
 Melanjutkan pemberian CPR selama pemberian terapi emulsi lipid iv (antidot)

5. Prognosis LAST
Jika oksigenasi, ventilasi, dan curah jantung dapat dipertahankan, pasien akan mengalami
pemulihan penuh tanpa sekuel. Tanpa pengobatan, toksisitas anestetik lokal dapat
menyebabkan kejang, depresi hingga henti napas, hipotensi, kolaps kardiovaskular atau
henti jantung dan kematian. Menurut laporan tahunan AAPCC National Poison Data
tahun 2013, sebanyak 150 kasus paparan lidokain mempunyai luaran minor, 67 luaran
sedang, 14 luaran mayor, dan 5 kematian (Budyawati, 2016).
6. Komplikasi LAST
a. Kejang
b. Gagal jantung
c. Hipotensi
d. Aritmia
e. Kematian (Mahajan & Derian, 2022).

7. Pencegahan LAST
a. Blokade saraf yang dipandu USG

USG telah terbukti mengurangi risiko LAST sebesar 60%-65% dibandingkan


dengan stimulasi saraf perifer saja. Ada beberapa penjelasan untuk pengurangan
risiko ini seperti adanya peningkatan akurasi pengiriman memungkinkan
pengurangan dosis local anestesi, kejadian tusukan vaskular lebih berkurang, serta
tanda visual yang menandakan injeksi intravaskular memungkinkan penghentian
injeksi sebelum dosis yang signifikan diberikan. Namun, peristiwa LAST terus
terjadi meskipun penggunaan ultrasound dan panduan ultrasound tidak berdampak
pada risiko LAST akibat penyerapan LA secara sistemik (El-Boghdadly, Pawa, &
Chin., 2018).

b. Obat dan injeksi

Membatasi dosis obat dapat berkontribusi pada pengurangan risiko LAST.


Dianjurkan untuk melakukan injeksi fraksinasi local anestesi dalam alikuot <5
mL, jeda selama 30-45 detik antara injeksi, dengan aspirasi lembut sebelum
injeksi. Pengukuran terakhir ini masih berguna meskipun tingkat negatif palsu
sekitar 2%. Penanda seperti epinefrin juga dapat mengurangi risiko injeksi
intravaskular, di mana penambahan 15 µgmL−1 akan meningkatkan denyut
jantung sebesar ≥10 denyut per menit atau tekanan darah sistolik ≥15 mmHg.
Intervensi praktis seperti pelabelan yang jelas pada jarum suntik yang
mengandung local anestesi dan penanganan jarum suntik ini dengan cermat
mungkin bermanfaat. Transisi dari konektor Luer ke konektor small-bore standar
ISO 80369 yang baru juga dapat mengurangi risiko injeksi rute yang salah (El-
Boghdadly, Pawa, & Chin., 2018).

Kesimpulan

Anamnesis:

Seorang anak berusia 4 tahun, mengalami kejang saat dilakukan jahit luka di UGD. Kejang
diawali dengan kedua tangan dan kaki kaku kemudian disusul gerakan kelonjotan seluruh tubuh.
Pagi hari sebelum ke RS pasien jatuh ketika bermain dengan kakaknya, lengan bawah kiri
terbentur dengan ujung tangga dan mengalami luka robek sebesar 6 cm.Tidak mengkonsumsi
obat sebelumnya, Imunisasi lengkap. Tidak terdapat demam dan sekit kepala. Riwayat tumbuh
kembang sesuai dengan anak sebayanya. Batuk pilek tidak didapatkan. Makan minum dalam
batas normal. Tidak ada riwayat perdarahan yang sulit berhenti saat terjadi luka. Tidak pernah
mengalami kejang sebelumnya. Luka robek lengan kiri dan diputuskan dilakukan jahit primer.
Saat dilakukan tindakan anak rewel dan kesakitan. Desinfeksi, dan infiltrasi lidokain 2%
sebanyak 2 ml (1 ampul). Saat mulai tindakan anak masih kesakitan, dokter jaga menambah
dosis lidokain 2% sebanyak 2 ml. Setelah infiltrasi kedua, lalu dokter melakukan jahit primer.
Dokter tidak dilakukan aspirasi sebelum penyuntikan lidokain. Setelah 2-3 menit tindakan
dimulai, anak tenang, melantur, dan kejang. Tangan dan kaki kaku, dan kelojotan seluruh tubuh,
disertai mata melirik ke atas. Saat kejang anak tidak sadar. Tindakan dihentikan dan dokter jaga
melakukan tindakan Tx kejang dengan diazepam suppositoria. Saat kejang berhenti kondisi anak
masih tidak sadar.

Pemeriksaan fisik:
1. KU: coma unresponsive
2. GCS : E1V1M1
3. Vital Sign : Sesuai primary survey

Ektremitas :
1. CRT : 3 detik, vulnus laceratum 6cm
Pemeriksaan Penunjang:
1. Darah Lengkap normal
2. CT-Scan tanpa kontras
3. Gambaran EEG: Normal
Diagnosis: LAST (local anesthetic systemic toxicity)
Tatalaksana:
1. Hentikan pemberian anestesi lokal
2. Primary survey (A-B-C-D-E)
- Call for help
- Pasang akses intravena (pertahankan)
- Stabilisasi jalan napas dan berikan oksigen 100%
3. Antidot intravenous lipid emulsion
Prognosis: dubia ad bonam
Komplikasi:
● Kejang
● Gagal jantung
● Hipotensi
● Aritmia
● Kematian
Pencegahan:
● Blokade saraf yang dipandu USG
● Dianjurkan untuk melakukan injeksi fraksinasi/bertahap local anestesi dalam alikuot <5
mL, jeda selama 30-45 detik antara injeksi
● Penanda seperti epinefrin juga dapat mengurangi risiko injeksi intravaskular
Mind Map Akhir

Injeksi Lokal

Cardiotoksisitas Neurotoksisitas

Menghambat pompa
pertukaran Na+ dan Ca2+ Menghambat kanal Na+

Aritmia Mengganggu
depolarisasi neuron
inhibitorik
Cardiac Arrest

Neuron eksitatorik
berlebihan

Depresi simpatis

Kematian Kejang, depresi nafas,


coma, kesadaran
menurun
DAFTAR PUSTAKA

Albaradie, R., Habibullah, I.. Mir, A... Alshammari, A. K., Alajmi, M. S., Alsubaic, F. A.,
Alsudairi, R. R. & Bashir, S. (2021). The prevalence of seizures in children with
developmental delay. Neurosciences, 26(2), 186-191.
https://doi.org/10.17712/nsj.2021.2.20200106
Berde, C. B., Koka, A., & Drasner, K. (2018). Local Anesthetics. In M. C. Pardo Jr. & R. D.
Miller (Eds.), Basics of Anesthesia (7th Edition). Elsevier.
Castilla-Guerra, L., Fernández-Moreno, M. D. C., López-Chozas, J. M., & Fernández-
Bolaños, R. (2006). Electrolytes disturbances and seizures. In Epilepsia (Vol. 47, Issue 12,
pp. 1990-1998). Blackwell Publishing Inc. https://doi.org/10.1111/j.1528-
1167.2006.00861.
El-Boghdadly, K., Pawa, A., & Chin, K. J. (2018). Local anesthetic systemic toxicity:
Current perspectives. In Local and Regional Anesthesia (Vol. 11, pp. 35-44). Dove
Medical Press Ltd. https://doi.org/10.2147/LRA.S154512
Gitman, M., & Barrington, M. J. (2018). Local Anesthetic Systemic Toxicity. Regional
Anesthesia and Pain Medicine, 1. hups://doi.org/10.1097/AAP.0000000000000721
Huff, J. S., & Murt, N. (2023). Seizure.
Macfarlane, A. J. R., Gitman, M., Bornstein, K. J., El-Boghdadly, K., & Weinberg, G.
(2021). Updates in our understanding of local anaesthetic systemic toxicity: a narrative
review. In Ancesthesia (Vol. 76, Issue Si, pp. 27-39). Blackwell Publishing Lid.
https://doi.org/10.1111/anae.15282
Mahajan, A., & Derian, A. (2023). Local Anesthetic Toxicity.
Mosili, P., Maikoo, S., Mabandla, M. V., & Qulu, L. (2020). The Pathogenesis of Fever-Induced
Febrile Seizures and Its Current State. In Neuroscience Insights (Vol. 15).
SAGE Publications Ltd. https://doi.org/10.1177/2633105520956973
Rao, V. R., & Lowenstein, D. H. (2022). Seizures and Epilepsy. In J. Loscalzo, D. L. Kasper,
D. L. Longo, A. S. Fauci, S. L. Hauser, & J. L. Jameson (Eds.), Harrison's Principles of
Internal Medicine (21st ed., pp. 3305-3324). McGrawHill.
Safety Committee of Japanese Society of Anesthesiologists. (2019). Practical guide for the
management of systemic toxicity caused by local anesthetics. Journal of Anesthesia, 33(1),
1-8. hips://doi.org/10.1007/00540-018-2542-4
Shakkottai, V. G., & Lomen-Hoerth, C. (2019). Nervous system disorders. In G. D. Hammer &
S. J. McPhee (Eds.), Pathophysiology of Diseuse: un Introduction to Clinical Medicine
(8th Edition). McGrawHill.
Specchio, N., & Curatolo, P. (2021). Developmental and epileptic encephalopathies: What we do
and do not know. Brain, 144(1), 32-43. https://doi.org/10.1093/brain/awaa371

Anda mungkin juga menyukai