Kelompok 3 :
Yoga Prana Putra Santoso 0606011910002
Agnes Atmadjaja 0606011910011
Intan Murni Arifah 0606011910018
Karmila Ayu Wardani 0606011910021
Dyaniko Prio Basudewo 0606011910026
Zefanja Andera Gondo 0606011910028
Wb. Iqbal Tendi Alam 0606011910032
Ummu Habibah 0606011910035
Della Putri Mardhika 0606011910037
Gede Tegar Witnandika Suara 0606011910039
B. Keywords :
● Anak
● Kejang
● Jahit luka
● Kedua tangan dan kaki kaku
● Kelonjotan seluruh tubuh
C. Main problem :
Kejang
2. Diagnosis Banding:
Pemeriksaan penunjang ct
scan kepala didapatkan lesi
otak
3. Klasifikasi Kejang
a. Kejang generalized, melibatkan jaringan kortikal bilateral atau bihemispheric
pada permulaan kejang
1) tonik-klonik
2) Absen
3) Mioklonik
4) atonik (akinetik)
5) infantil
6) sindrom Lennox-Gastaut (kejang demam)
b. Kejang fokal, generator kejang dimulai dari jaringan kortikal terlokalisasi dalam
satu hemisfer.
1) kejang fokal sederhana
2) kejang fokal komplex
c. Tidak terklasifikasi
4. Tatalaksana Primary Survey
Luka robek lengan kiri dan diputuskan dilakukan jahit primer. Saat dilakukan tindakan anak
rewel dan kesakitan. Desinfeksi, dan infiltrasi lidokain 2% sebanyak 2 ml (1 ampul). Saat mulai
tindakan anak masih kesakitan, dokter jaga menambah dosis lidokain 2% sebanyak 2 ml. Setelah
infiltrasi kedua, lalu dokter melakukan jahit primer. Dokter tidak dilakukan aspirasi sebelum
penyuntikan lidokain. Setelah 2-3 menit tindakan dimulai, anak tenang, melantur, dan kejang.
Tangan dan kaki kaku, dan kelojotan seluruh tubuh, disertai mata melirik ke atas. Saat kejang
anak tidak sadar. Tindakan dihentikan dan dokter jaga melakukan tindakan Tx kejang dengan
diazepam suppositoria. Saat kejang berhenti kondisi anak masih tidak sadar.
2. Pemeriksaan fisik:
1. KU: coma unresponsive
2. GCS : E1V1M1
3. BB : 15kg
4. TB : 100cm
5. Vital Sign : sesuai primary survey
6. Kepala leher : Normal
7. Thoraks :
1) Inspeksi
● Normal
2) Palpasi
● Normal
3) Perkusi
● Normal
4) Auskultasi
8. Normal
9. Abdomen:
1) Inspeksi
● Normal
2) Palpasi
● Normal
3) Perkusi
● Normal
4) Auskultasi
● Normal
10. Ektremitas : CRT : 3 detik, vulnus laceratum 6cm
3. Pemeriksaan neurologi :
a. Meningeal sign: Normal
b. Kaku kuduk: Normal
c. Fisiologis: Normal
d. Patologis: Normal
4. Pemeriksaan Penunjang:
a. Darah Lengkap
1) Hb : 13,2
2) Leuko : 9200
3) Trombosit: 215
4) Hematokrit: 40%
b. Serum Elektrolit
1) Natrium : 138
2) Kalium : 4,2
3) Chlorida : 102
c. Glukosa darah : 110
d. Faal hemostasis
1) pt: 10,8 dtk (normal 10-13)
2) aptt: 40,2 dtk (30-45)
5. Radiologi:
a. CT-Scan tanpa kontras
b. Gambaran EEG: Normal
Learning Issues
1. Definisi LAST dan Manifestasi LAST
Toksisitas sistemik anestesi lokal (LAST) adalah efek samping yang mengancam jiwa
yang terkait dengan penggunaan teknik anestesi lokal (LA) melalui berbagai rute.
Meningkatnya penggunaan teknik anestesi lokal di berbagai rangkaian LAST. LAST
adalah komplikasi yang berpotensi mengancam jiwa yang terjadi ketika bolus anestesi
lokal (LA) secara tidak sengaja disuntikkan ke dalam sirkulasi vena atau arteri. Distribusi
sistemik LA menyebabkan LAST, yang memiliki efek buruk pada kardiovaskular dan
sistem saraf. LAST adalah Reaksi merugikan yang mengancam jiwa akibat anestesi lokal
mencapai tingkat sirkulasi sistemik yang signifikan. Toksisitas Sistemik Anestesi Lokal
(LAST) jarang terjadi dan hampir selalu terjadi dalam beberapa menit setelah injeksi
anestesi lokal.
Manifestasi Klinis LAST : Neurotoksisitas, Cardio Toksisitas
a. Manifestasi Neurotoksik
1) Bicara cadel/sulit
2) Mati rasa pada ujung/lidah
3) Bicara metalistik taste (rasa besi)
4) Telinga berdenging
5) Kesemutan di daerah anestesi
6) Gangguan kesadaran
b. Toksisitas sistem saraf pusat (SSP)
1) Mengantuk, pusing, aritmia, gelisah, bingung
2) Peningkatan konsentrasi plasma LA awalnya mengganggu jalur
penghambatan kortikal dengan memblokade saluran NaV, mengganggu
depolarisasi neuron penghambatan. Menghambat jalur ini mengarah pada
fitur klinis rangsang dari perubahan sensorik dan visual, aktivasi otot, dan
aktivitas kejang selanjutnya. Saat konsentrasi plasma LA meningkat, jalur
rangsang terpengaruh, menghasilkan fase depresi toksisitas neurologis,
dengan hilangnya kesadaran, koma, dan henti napas.
3) Gangguan natrium dan osmolalitas menghasilkan depresi saraf SSP,
dengan ensefalopati sebagai manifestasi klinis utama; gangguan ini juga
dapat memicu iritabilitas saraf SSP. Demikian pula, hiperkalsemia dan
hipermagnesemia menghasilkan depresi saraf SSP dengan ensefalopati.
Sebaliknya, hipokalsemia dan hipomagnesemia terutama menyebabkan
iritabilitas saraf SSP dengan kejang. Sebaliknya, kelainan kalium jarang
menimbulkan gejala pada SSP tetapi dapat dikaitkan dengan kelemahan
otot sebagai manifestasi klinis utama
4) Manifestasi hiponatremia hipotonik sebagian besar terkait dengan
disfungsi SSP dan lebih mencolok ketika penurunan konsentrasi natrium
serum besar atau cepat (dalam beberapa jam). Secara umum, gejala
hiponatremia sejajar dengan keparahan edema serebral. Hipernatremia
kronis cenderung menimbulkan gejala; sekitar setengah dari pasien dengan
hiponatremia kronis tidak menunjukkan gejala, bahkan dengan konsentrasi
natrium serum kurang dari 125 mEq/L. Gejala jarang terjadi sampai
natrium serum kurang dari 120 mEq/L dan lebih sering dikaitkan dengan
nilai sekitar 110 mEq/L atau lebih rendah. Anak-anak berisiko tinggi
terkena hiponatremia simtomatik, karena mereka memiliki rasio ukuran
otak-ke-tengkorak yang lebih besar.
5) Gejala hipokalsemia dipengaruhi oleh derajat hipokalsemia dan kecepatan
penurunan konsentrasi kalsium terionisasi serum. Hipokalsemia akut
menyebabkan peningkatan rangsangan neuromuskular dan tetani. Di SSP,
manifestasi yang biasa dari hipokalsemia akut adalah kejang dan
perubahan status mental . Tonik-klonik umum, motorik fokal, dan (lebih
jarang) kejang atipikal atau akinetik dapat terjadi pada hipokalsemia dan
mungkin merupakan satu-satunya gejala yang muncul. Status epileptikus
nonkonvulsif akibat hipokalsemia juga telah dilaporkan.
c. Otot berkedut
1) Tremor / getaran
d. Kejang
1) depresi pernapasan, henti napas dan henti jantung
2) Kejang lebih sering terjadi pada pasien dengan gangguan natrium,
hipokalsemia, dan hipomagnesemia
e. Kardiotoksisitas
1) Toksisitas sistem kardiovaskular (CVS)
Banyaknya target molekuler LA yang disebutkan di atas menghasilkan
fitur toksik yang kompleks di CVS, termasuk gangguan konduksi,
disfungsi miokard, dan labilitas tonus pembuluh darah perifer. Efek
primer cenderung timbul dari gangguan irama, dengan efek CVS lainnya
sebagai efek sekunder. Konduksi normal terganggu oleh blokade
langsung kanal natrium, terutama pada berkas His. Dengan
menggerakkan potensial membran istirahat ke tingkat yang lebih negatif,
propagasi potensial aksi terganggu, menyebabkan interval PR, QRS, dan
ST yang memanjang. Takiaritmia dan bradiaritmia terjadi, yang dapat
diperburuk oleh blokade saluran kalium lebih lanjut, memperpanjang
interval QT. Manifestasi berupa hipotensi, bradikardi, dan gangguan
irama jantung EKG berupa aritmia.
f. Kelainan elektrolit dapat mempengaruhi banyak organ dan jaringan, termasuk
otak. Sebagian besar manifestasi klinis dari gangguan ini sebagian besar bersifat
neurologis dan sejajar dengan tingkat keparahan kerusakan saraf. Selain itu,
gangguan ini dapat muncul dengan kejang, atau dengan gejala dan tanda
neurologis progresif cepat, sehingga memerlukan perawatan darurat
gejala neurologis gangguan elektrolit umumnya fungsional daripada struktural,
manifestasi neurologis gangguan elektrolit biasanya reversibel. Namun, karena
disfungsi fungsional seperti kejang dapat menyebabkan perubahan struktural,
penting untuk mengobati gangguan yang mendasarinya sebelum patologi menjadi
permanen.
g. Perubahan status mental—letargi, bingung, dan jarang koma—merupakan
manifestasi neurologis utama dari hiperkalsemia. Hiperkalsemia dikaitkan dengan
berkurangnya rangsangan membran saraf, dan karenanya jarang menyebabkan
kejang. Namun, ensefalopati hipertensi yang diinduksi hiperkalsemia dan
vasokonstriksi telah dihipotesiskan untuk menimbulkan kejang. Vasokonstriksi
serebral reversibel pada pasien dengan kejang yang diinduksi hiperkalsemia telah
ditunjukkan dengan angiografi serebral.
Deskripsi klasik dari toksisitas sistemik anestesi lokal (Local Anesthetic Systemic
Toxicity (LAST)) secara umum digambarkan dengan sekumpulan gejala dan tanda
neurologi yang memburuk secara progresif yang segera terjadi setelah injeksi obat
anestesi lokal dan disertai dengan peningkatan konsentrasi anestesi lokal dalam darah,
dengan kondisi puncak dapat menjadi kejang dan koma. Pada kasus yang ekstrim, dapat
dikuti dengan tanda ketidakseimbangan hemodinamik yang berakhir kepada kegagalan
sistem kardiovaskular.
Kategori toksisitas anestesi lokal dapat dibedakan menjadi tiga yaitu toksisitas lokal,
sistemik, dan alergi. Toksisitas lokal bermanifestasi pada neurotoksisitas, gejala
neurologis transien (rasa sakit atau kelainan sensorik di punggung bawah, pantat, atau
ekstremitas bawah). Gejala-gejala nyeri terbakar dan dysethesthia di dermatom L5 dan S1
biasanya mulai setelah efek dari anestesi
spinal mulai bekerja dan dapat berlangsung hingga jam sampai empat hari, atau
miotoksisitas, serta toksisitas sistemik termasuk toksisitas sistem saraf pusat dan
kardiovaskular. Reaksi toksik bisa timbul apabila konsentrasinya dalam darah sangat
tinggi dan terjadi secara mendadak. Hal ini bisa terjadi karena dosis yang diberikan
berlebihan, penyuntikan langsung ke dalam sirkulasi, absorbsinya terlalu cepat dan
detoksikasi terlambat misalnya pada penyakit hati. Onset dari LAST biasanya sangat
cepat, yaitu sekitar 50 detik bahkan kurang pada beberapa kasus, selain itu dapat juga
terjadi sebelum 5 menit. Tanda dan gejala dari toksisitas akut anestesi lokal biasanya
sering berulang dan menetap. Sebagai contoh, kejang terjadi dalam hitungan menit
hingga jam setelah resolusi awalnya, termasuk berulangnya kejang setelah sebelumnya
diterapi dengan emulsi lipid. Gejala seperti bradikardi dan hipotensi bisa menetap selama
beberapa jam setelah injeksi anestesi lokal bahkan dalam volume yang sedikit, seperti
bupivakain 1mg/kg. (Gregorio, et al. 2010).
2. Faktor resiko LAST
a. Obat
Rasio kolaps kardiovaskular/SSP adalah “rasio dosis obat yang diperlukan untuk
menyebabkan penyakit kardiovaskular katastropik kolaps ke dosis obat yang
diperlukan untuk menghasilkan kejang.
b. Pasien
Pasien pada usia tertentu secara konsisten terbukti memiliki risiko terbesar LAST.
Neonatus dan bayi mengalami penurunan konsentrasi plasma dari protein
pengikat α1-asam glikoprotein dan sistem enzim hati yang belum matang yang
dapat meningkatkan fraksi bebas LA di plasma. Oleh karena itu, dosis harus
dikurangi 15% pada pasien <4 bulan.
c. Teknik
Faktor-faktor yang mungkin mempengaruhi hasil ini termasuk dosis anastesi lokal
yang biasanya diberikan dan vaskularisasi dari tempat yang terlibat. Proporsi
peristiwa yang dominan (18%) adalah faktor yang mencakup populasi pasien
yang lebih rentan, injeksi ke area yang memiliki vaskularisasi tinggi, dan
penggunaan dosis yang mendekati maksimum. batas yang direkomendasikan
3. Patofisiologi LAST
a. Cardiovascular system toxicity
cardiovascular system toxicity terjadi melalui terblokade nya saluran kalsium dan
pompa pertukaran Na+–Ca2+ mengurangi simpanan kalsium intraseluler dan
dengan demikian mengurangi kontraktilitas. Terganggunya saluran natrium ini
mengganggu HIS bundle dengan berubahnya resting membran potensialnya
menjadi lebih negatif, akibatnya propagasi potensial aksi terganggu, menyebabkan
PR, QRS, dan ST yang memanjang.
b. Central nervous system toxicity
Peningkatan konsentrasi plasma LA memblokade saluran Natrium, mengganggu
depolarisasi neuron inhibitorik. Terganggunya saluran ini mengakibatkan gejala
klinis eksitatori sensoris dan perubahan visual, aktivasi otot, dan runtutan aktivitas
kejang. Meningkatnya konsentrasi plasma LA, jalur eksitatoris juga terpengaruh,
mengakibatkan toksisitas neurologis dengan fase depresif yang disertai hilangnya
kesadaran, koma, dan gagal atau gagal nafas (Boghdadly et al, 2018).
5. Prognosis LAST
Jika oksigenasi, ventilasi, dan curah jantung dapat dipertahankan, pasien akan mengalami
pemulihan penuh tanpa sekuel. Tanpa pengobatan, toksisitas anestetik lokal dapat
menyebabkan kejang, depresi hingga henti napas, hipotensi, kolaps kardiovaskular atau
henti jantung dan kematian. Menurut laporan tahunan AAPCC National Poison Data
tahun 2013, sebanyak 150 kasus paparan lidokain mempunyai luaran minor, 67 luaran
sedang, 14 luaran mayor, dan 5 kematian (Budyawati, 2016).
6. Komplikasi LAST
a. Kejang
b. Gagal jantung
c. Hipotensi
d. Aritmia
e. Kematian (Mahajan & Derian, 2022).
7. Pencegahan LAST
a. Blokade saraf yang dipandu USG
Kesimpulan
Anamnesis:
Seorang anak berusia 4 tahun, mengalami kejang saat dilakukan jahit luka di UGD. Kejang
diawali dengan kedua tangan dan kaki kaku kemudian disusul gerakan kelonjotan seluruh tubuh.
Pagi hari sebelum ke RS pasien jatuh ketika bermain dengan kakaknya, lengan bawah kiri
terbentur dengan ujung tangga dan mengalami luka robek sebesar 6 cm.Tidak mengkonsumsi
obat sebelumnya, Imunisasi lengkap. Tidak terdapat demam dan sekit kepala. Riwayat tumbuh
kembang sesuai dengan anak sebayanya. Batuk pilek tidak didapatkan. Makan minum dalam
batas normal. Tidak ada riwayat perdarahan yang sulit berhenti saat terjadi luka. Tidak pernah
mengalami kejang sebelumnya. Luka robek lengan kiri dan diputuskan dilakukan jahit primer.
Saat dilakukan tindakan anak rewel dan kesakitan. Desinfeksi, dan infiltrasi lidokain 2%
sebanyak 2 ml (1 ampul). Saat mulai tindakan anak masih kesakitan, dokter jaga menambah
dosis lidokain 2% sebanyak 2 ml. Setelah infiltrasi kedua, lalu dokter melakukan jahit primer.
Dokter tidak dilakukan aspirasi sebelum penyuntikan lidokain. Setelah 2-3 menit tindakan
dimulai, anak tenang, melantur, dan kejang. Tangan dan kaki kaku, dan kelojotan seluruh tubuh,
disertai mata melirik ke atas. Saat kejang anak tidak sadar. Tindakan dihentikan dan dokter jaga
melakukan tindakan Tx kejang dengan diazepam suppositoria. Saat kejang berhenti kondisi anak
masih tidak sadar.
Pemeriksaan fisik:
1. KU: coma unresponsive
2. GCS : E1V1M1
3. Vital Sign : Sesuai primary survey
Ektremitas :
1. CRT : 3 detik, vulnus laceratum 6cm
Pemeriksaan Penunjang:
1. Darah Lengkap normal
2. CT-Scan tanpa kontras
3. Gambaran EEG: Normal
Diagnosis: LAST (local anesthetic systemic toxicity)
Tatalaksana:
1. Hentikan pemberian anestesi lokal
2. Primary survey (A-B-C-D-E)
- Call for help
- Pasang akses intravena (pertahankan)
- Stabilisasi jalan napas dan berikan oksigen 100%
3. Antidot intravenous lipid emulsion
Prognosis: dubia ad bonam
Komplikasi:
● Kejang
● Gagal jantung
● Hipotensi
● Aritmia
● Kematian
Pencegahan:
● Blokade saraf yang dipandu USG
● Dianjurkan untuk melakukan injeksi fraksinasi/bertahap local anestesi dalam alikuot <5
mL, jeda selama 30-45 detik antara injeksi
● Penanda seperti epinefrin juga dapat mengurangi risiko injeksi intravaskular
Mind Map Akhir
Injeksi Lokal
Cardiotoksisitas Neurotoksisitas
Menghambat pompa
pertukaran Na+ dan Ca2+ Menghambat kanal Na+
Aritmia Mengganggu
depolarisasi neuron
inhibitorik
Cardiac Arrest
Neuron eksitatorik
berlebihan
Depresi simpatis
Albaradie, R., Habibullah, I.. Mir, A... Alshammari, A. K., Alajmi, M. S., Alsubaic, F. A.,
Alsudairi, R. R. & Bashir, S. (2021). The prevalence of seizures in children with
developmental delay. Neurosciences, 26(2), 186-191.
https://doi.org/10.17712/nsj.2021.2.20200106
Berde, C. B., Koka, A., & Drasner, K. (2018). Local Anesthetics. In M. C. Pardo Jr. & R. D.
Miller (Eds.), Basics of Anesthesia (7th Edition). Elsevier.
Castilla-Guerra, L., Fernández-Moreno, M. D. C., López-Chozas, J. M., & Fernández-
Bolaños, R. (2006). Electrolytes disturbances and seizures. In Epilepsia (Vol. 47, Issue 12,
pp. 1990-1998). Blackwell Publishing Inc. https://doi.org/10.1111/j.1528-
1167.2006.00861.
El-Boghdadly, K., Pawa, A., & Chin, K. J. (2018). Local anesthetic systemic toxicity:
Current perspectives. In Local and Regional Anesthesia (Vol. 11, pp. 35-44). Dove
Medical Press Ltd. https://doi.org/10.2147/LRA.S154512
Gitman, M., & Barrington, M. J. (2018). Local Anesthetic Systemic Toxicity. Regional
Anesthesia and Pain Medicine, 1. hups://doi.org/10.1097/AAP.0000000000000721
Huff, J. S., & Murt, N. (2023). Seizure.
Macfarlane, A. J. R., Gitman, M., Bornstein, K. J., El-Boghdadly, K., & Weinberg, G.
(2021). Updates in our understanding of local anaesthetic systemic toxicity: a narrative
review. In Ancesthesia (Vol. 76, Issue Si, pp. 27-39). Blackwell Publishing Lid.
https://doi.org/10.1111/anae.15282
Mahajan, A., & Derian, A. (2023). Local Anesthetic Toxicity.
Mosili, P., Maikoo, S., Mabandla, M. V., & Qulu, L. (2020). The Pathogenesis of Fever-Induced
Febrile Seizures and Its Current State. In Neuroscience Insights (Vol. 15).
SAGE Publications Ltd. https://doi.org/10.1177/2633105520956973
Rao, V. R., & Lowenstein, D. H. (2022). Seizures and Epilepsy. In J. Loscalzo, D. L. Kasper,
D. L. Longo, A. S. Fauci, S. L. Hauser, & J. L. Jameson (Eds.), Harrison's Principles of
Internal Medicine (21st ed., pp. 3305-3324). McGrawHill.
Safety Committee of Japanese Society of Anesthesiologists. (2019). Practical guide for the
management of systemic toxicity caused by local anesthetics. Journal of Anesthesia, 33(1),
1-8. hips://doi.org/10.1007/00540-018-2542-4
Shakkottai, V. G., & Lomen-Hoerth, C. (2019). Nervous system disorders. In G. D. Hammer &
S. J. McPhee (Eds.), Pathophysiology of Diseuse: un Introduction to Clinical Medicine
(8th Edition). McGrawHill.
Specchio, N., & Curatolo, P. (2021). Developmental and epileptic encephalopathies: What we do
and do not know. Brain, 144(1), 32-43. https://doi.org/10.1093/brain/awaa371