Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Angka Kematian Ibu (AKI) juga menjadi salah satu indikator penting dari

derajat kesehatan masyarakat. AKI menggambarkan jumlah wanita yang

meninggal dari suatu penyebab kematian terkait dengan gangguan kehamilan atau

penanganannya (tidak termasuk kecelakaan atau kasus insidentil) selama

kehamilan, melahirkan dan dalam masa nifas (42 hari setelah melahirkan) tanpa

memperhitungkan lama kehamilan per 100.000 kelahiran hidup. (Depkes RI,

2012).

Menurut World Health Organization (WHO) di negara-negara miskin dan

sedang berkembang, angka kematian ibu merupakan masalah besar yaitu berkisar

antara 750-1000 per 100.000 kelahiran hidup, sedangkan dinegara-negara maju

angka kematian ibu berkisar antara 5-10 per 100.000 kelahiran hidup.

Hasil Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012,

angka kematian ibu di Indonesia masih tinggi yaitu sebesar 359 per 100.000

kelahiran hidup. (Kementerian Kesehatan RI, 2014. Survey menemukan terdapat

kematian ibu melahirkan sebanyak 359 per 100 ribu kelahiran. Sementara, pada

survey 2007 angka kematian ibu hanya 228 kematian per 100 ribu kelahiran

hidup. (Menko Kesra, 2013).

Menurut pelaporan dari Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota di wilayah

Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2013, angka kematian ibu dilaporkan sebesar

1
2

63,27 per 100.000 kelahiran hidup. Dengan demikian angka kematian ibu di

wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta lebih rendah dibandingkan Nasional.

Kabupaten Sleman sendiri mencatat bahwa jumlah kematian ibu pada

tahun 2016 sebanyak 8 orang dari 14.138 kelahiran hidup atau AKI sebesar 56,59

per 100.000 kelahiran hidup. Angka kematian ibu tersebut meningkat dibanding

tahun sebelumnya (2015) yang jumlahnya 4 kematian ibu dari 14.134 kelahiran

hidup atau AKI sebesar 28,30 per 100.000 kelahiran hidup.

Sedangkan data yang penyusun dapatkan dari RSCC Sleman selama tahun

2018 ini terdapat 5 kasus pasien hamil aterm atas indikasi ketuban pecah dini.

1.1 Tabel datanya yaitu:

No Bulan rawat inap Jumlah pasien


1 Januari 2
2 Februari 1
3 Maret 1
4 April -
5 Mei 1

Oleh karena itu penulis tertarik mengambil judu“Penatalaksanaan Hamil

Aterm Dengan Induksi Gagal Atas Indikasi Ketuban Pecah Dini Pada

Primigravida Di Rumah Sakit Condong Catur Sleman”.

B. Tujuan

Mengetahui penatalaksanaan hamil aterm dengan induksi gagal atas

indikasi ketuban pecah dini pada primigravida di Rumah Sakit Condong Catur

Sleman.
3
BAB II

TINJAUAN KASUS

Ny. FR umur 32 tahun G1P0A0 umur kehamilan 38+6 minggu dengan

alamat : Jl. Otto Iskandardinarto/ Gempol Gang Labu, No.18A, RT 1/RW 11

Condong Catur, Kecamatan Depok, Sleman, dan suami Tn. DH umur 35 tahun

pada tanggal 23 Mei 2018 jam 14.30 WIB datang ke RS Condong Catur karena

ibu mengatakan ingin periksa kehamilannya anak yang pertama dan konsultasi

dokter kandungan dengan keluhan perut terasa mulas sedikit kenceng-kenceng,

kaki dan muka bengkak. Hari pertama haid terakhir tanggal 25 Agustus 2017 dan

hari perkiraan lahir tanggal 2 Juni 2018. Dari hasil pemeriksaan dokter kandngan

yaitu: TD: 120/80 mmHg, BB: 81 kg, hasil pemeriksaan USG: janin tunggal, TBJ:

2930 gram, letak plasenta di korpus anterior grade III dengan air ketuban cukup

walaupun pada saat umur kehamilan 24 minggu air ketuban pecah sedikit dan

pasien control ke RS Condong Catur, dokter kandungan menyarankan untuk

bedrest dan banyak minum.

Hasil pemeriksaan dokter kandungan tanggal 23 Mei 2018 menganjurkan

pasien untuk rawat inap dikarenakan umur kehamilan sudah cukup bulan atau

aterm dengan riwayat ketuban pecah dan saat ini kondisi pasien oedema pada kaki

tetapi pasien dan suami meminta waktu dokter untuk diijinkan pulang terlebih

dahulu. Dokter kandungan mengiijinkan pulang tetapi hari berikutnya yaitu

tanggal 24 Mei 2018 dokter menyarankan pasien untuk kembali ke RS Condong

Catur dan segera rawat inap.

4
5

Pada tanggal 24 Mei 2018 jam 14.30 WIB, Ny. FR umur 32 tahun

G1P0A0 umur kehamilan 38+6 minggu datang ke RS Condong Catur sesuai

dengan anjuran dokter kandungan hari sebelumnya. Pasien mengatakan kenceng-

kenceng belum teratur dan belum dirasakan, lendir darah belum keluar.

Hasil periksaan fisik tanggal 24 Mei 2018 jam 14.30 WIB yaitu: TD:

120/80mmHg, Nadi: 80x/menit, RR: 20x/menit, Suhu: 36ºC, ekstremitas: oedema

pada kaki, untuk hasil USG: janin tunggal, presentasi kepala, TBJ: 2930 gram,

sedangkan hasil CTG: DJJ: 130-140x/menit, gerak janin: aktif. Hasil pemeriksaan

dalam yaitu: vagina tenang, serviks tebal dibelakang, belum ada pembukaan,

selaput lendir darah belum ada, presentasi kepala, denominator ubun-ubun kecil

kanan belakang kepala sudah turun di hoodge 1, placenta di korpus anterior grade

III, air ketuban: cukup.

Berdasarkan data subjektif dan data objektif tersebut dokter menarik

diagnosis bahwa Ny. FR umur 32 tahun G1P0A0 hamil aterm dengan riwayat

ketuban pecah dini (KPD) yaitu sebagai pecahnya ketuban sebelum waktunya

melahirkan. Hal ini dapat terjadi pada akhir kehamilan maupun jauh sebelum

waktunya melahirkan. KPD aterm adalah sudah memasuki usia kehamilan diatas

37 minggu. (sujiyatini dkk, 2015). Berdasarkan diagnosis tersebut dokter

memberikan advice yaitu tatalaksana yang dilakukan adalah dengan memberikan

induksi persalinan. Induksi dilakukan selama I jam 15 menit dengan oxytocin drip

dalam infus 500 ml RL+5 unit. Tetesan dimulai dari 8 tetes per menit dinaikkan

setiap 15 menit 4 tetes atau sampai 12 tetes per menit. Observasi his dan DJJ tiap

30 menit sekali, pengeluaran pervaginam dan pantau tanda-tanda infeksi.


6

Anjurkan ibu untuk tidur dalam posisi miring kiri. tetesan induksi oxytocin

dinaikkan sampai dengan maksimal 20 tpm mulai pukul 05.00 WIB di hari

berikutnya yaitu: tanggal 25 Mei 2018.

2.1 Tabel Hasil Observasi His dan DJJ

No Tanggal/ Jam His DJJ


1 24 Mei 2018 - 130-140 x/menit
2 24 Mei 2018/ Sedang 140-170 x/menit
20.30 WIB
3 24 Mei 2018/ 5 detik/ 15 menit 114-130 x/menit
22.50 WIB (sedang)
4 24 Mei 2018/ 5 detik/ 15 menit 118-135 x/menit
23.00 WIB (sedang)
5 24 Mei 2018/ 5 detik/ 15 menit 118-140 x/menit
23.35 WIB (sedang)
6 24 Mei 2018/ 5 detik/ 15 menit 120-138 x/menit
00.30 WIB (sedang)
7 24 Mei 2018/ 5 detik/ 15 menit 120-158 x/menit
01.00 WIB (sedang)
8 24 Mei 2018/ 5 detik/ 15 menit 122-160 x/menit
02.00 WIB (sedang)
9 24 Mei 2018/ 5 detik/ 15 menit 122-150 x/menit
03.00 WIB (sedang)
10 24 Mei 2018/ - 117-130 x/menit
04.00 WIB
11 24 Mei 2018/ - 118-135 x/menit
05.00 WIB
12 24 Mei 2018/ - 114-150 x/menit
06.00 WIB
13 24 Mei 2018/ 5 detik/ 10 menit 120-150 x/menit
06.30 WIB (sedang)
14 24 Mei 2018/ 1-2 x tiap 10 detik/ 117-130 x/menit
07.30 WIB 10 menit
15 24 Mei 2018/ - -
07.50 WIB
16 24 Mei 2018/ Jarang 121-130 x/menit
08.30 WIB
17 24 Mei 2018/ 1 detik/ 10 menit 128-137 x/menit
09.00 WIB (lemah)
7

Sebelum dilakukan tindakan pemberian oxytosin petugas laboratorium

mengambil darah pasien dan urine untuk pemeriksaan laboratorium:

3.1 Tabel Hasil Check Laboratorium

No Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan


urine rutin
1 Warna Kuning Kuning
2 pH 6 5-9
3 Protein + Negative
4 Leukosit ++ Negative
5 Lekosit 8-10 0-4
6 Eritrosit 0-2 0-2
7 Epitel 10-12 0-3
8 Bakteri + Negative
No Pemeriksaan Hasil Nilai normal/
Hemotologi satuan
1 Jumlah Lekosit 9,7 rb/mmk 5-11 rb/mmk
2 Jumlah eritrosit 3,63 jt/ 4-5,5 jt/mmk
mmk
3 Hemoglobin 11 g/dl 13-18 g/dl
4 Hematokrit 32,4% 35-50%
5 MCV 89,3 fl 76-96 fl
6 MCH 30,3 pq 27-32 pq
7 MCHC 34 g/L 30-35 g/L
8 Trombosit 207 rb/mmk 150-450
rb/mmk
9 Limfosit 16,6% 22-35%
10 MXD 7,5% 4-8%
11 Neutrofil 74,9% 40-65%
No Kimia
1 Glukosa sewaktu 94 mg/dL < 126 mg/dL
No Imunologi
1 HBsAG Negative Negative

Dari hasil check laboratorium di atas terdapat beberapa hasil yang tidak

sesuai dengan nilai normalnya, diantaranya adalah:

 Kelebihan protein urine, leukosit, lekosit, dan epitel urine pada ibu

hamil menjadi pertanda adanya infeksi saluran kemih (ISK),

kerusakan ginjal.
8

 Kelebihan atau meningkatnya neutrofil pada ibu hamil dapat

menyebabkan suatu penyakit yang disebabkan oleh infeksi.

Dari hasil pemeriksaan laboratorium dapat kita simpulkan bahwa ada

hubungan antara riwayat ketuban pecah dini (KPD) dengan infeksi saluran kemih

(ISK) pada Ny. FR umur 32 tahun G1P0A0 hamil aterm karena suatu bakteri.

Pada tanggal 24 Mei 2018 pukul 22.30 WIB dari hasil CTG observasi his

dan DJJ didapatkan hasil DJJ: 170 x/menit kemudian dikonsultasi dengan dokter

kandungan, sedangkan dari hasil observasi selanjutnya yaitu pukul 22.55 WIB

dari hasil CTG observasi his dan DJJ didapatkan hasil DJJ: 114-130 x/menit,

advice dari dokter kandungan tetap dilakukan observasi tiap 2 jam apabila dari

hasil observasi DJJ masih turun dilakukan tindakan untuk stop induksi. Setelah

observasi tiap 2 jam didapatkan hasil adanya peningkatan DJJ yang baik yaitu:

DJJ: 130-140 x/menit sehingga induksi tetap dilanjut.

Pada tanggal 25 Mei 2018 pukul 04.00 WIB dari hasil CTG observasi his

dan DJJ didapatkan hasil DJJ: 120-150 x/menit, advice dari dokter kandungan

infuse RL+ 5 unit oxytosin dari 8 tetes per menit (1 kali) tekanan dinaikkan

menjadi 12 tetes per menit (1 kali) sampai dengan 8 hingga 12 jam. Dari hasil

CTG observasi his dan DJJ pukul 07.50 WIB didapatkan hasil DJJ: 117-120

x/menit dan his melemah 1-2 kali/10 menit kemudian dikonsultasikan dengan

dokter kandungan, advice dari dokter kandungan stop induksi dan rencana SC

pukul 13.00 WIB, persiapan unuk pasien yang dilakukan adalah memasang

kateter, mengelola injeksi skintest ceftriaxon 1 gram. Pasien dan suami siap dan
9

setuju untuk dilakukan tindakan SC, suami pasien meminta dokter kandungan

untuk dipasang alat kontrasepsi pasca operasi SC yaitu: KB IUD.

Pada tanggal 25 Mei 2018 pukul 13.17 WIB bayi Ny. FR sudah terlahir,

keadaan umum bayi sehat, warna kulit kemerah-merahan, tangisan bayi kuat,

tonus otot bayi baik, bayi lahir dengan jenis kelamin laki-laki, BB bayi: 3000

gram, PB bayi: 45 cm, LK bayi: 33 cm, LD bayi: 34 cm, Suhu: 36,8 0C, nadi: 130

x/menit, R: 30 x/menit, nilai APGAR bayi: 1 menitnya: 8, 5 menitnya: 9, bayi

sudah buang air kecil (BAK) tetapi belum buang air besar (BAB). Bayi setelah

lahir langsung diberi injeksi vitamin K dan imunisasi hepatitis B setelah

dikonsultasikan dengan dokter spesialis anak. Setelah diberi injeksi vitamin K dan

imunisasi hepatitis B, bayi didekatkan dengan ibunya untuk dilakukan inisiasi

menyusui dini (IMD), melatih bayi untuk menetek sendiri meskipun ASI belum

keluar.

Pada tanggal 25 Mei 2018 pukul 14.00 WIB post SC hari ke-1 pada Ny.

FR sudah dilakukan pemasangan KB IUD atas indikasi fetal distress dengan

riwayat ketuban pecah dini (KPD) P1A0 terdapat infeksi saluran kemih (ISK).

Ny. FR sudah sadar dan mengatakan sedikit mual, secara umum keadaan ibu:

baik, kesadaran: composmentis, keadaan emosional: stabil, TD: 120/80 mmHg,

nadi: 80 x/menit, suhu: 36,50C, nafas: 20 x/menit, kontraksi uterus baik, pasien

disuruh istirahat, lakukan observasi pasien tiap 15 menit sampai dengan 2 jam

post SC kemudian tiap 30 menit sampai dengan 4 jam post SC, setelah 6 jam latih

pasien untuk miring kanan dan kiri dilanjutkan mobilisasi bertahap, anjurkan

pasien untuk makan dan minum bertahap, berikan pasien obat injeksi ceftriaxon 1
10

gram per 12 jam (4 kali), injeksi ketorolak 30 mg per 8 jam 8 (3 kali), vitamin A

2x200.000 unit diberikan tiap 6 sampai 24 jam post SC, drip oxytosin 1 ampul/

500 ml RL (extra 1 flabot). Pada pukul 14.30 WIB ibu mengatakan sudah senang

dan sedikit mual, hasil observasi keadaan umum ibu sedang, composmentis,

masih terpasang infuse dengan lancar, mobilisasi tetap dilanjutkan meskipun

dibantu dengan bidan, perdarahan pervaginam 350 cc, kontraksi uterus baik. Pada

pukul 15.00 WIB berikan injeksi drip 1 ampul oxytosin 20 tetes per menit (flabot

ke-3) dan lakukan observasi pasien. Pada pukul 18.30 WIB mengganti infuse

RL+1 ampul ketorolak 20 tetes per menit (flabot ke-4), TD: 110/70 mmHg, S:

36,60C, N: 82 x/menit, R: 20 x/menit. Pada pukul 20.00 WIB berikan terapi

vitamin A setelah 6 jam post SC. Pada pukul 20.15 WIB keadaan umum pasien

sedang, composmentis, infuse RL+1 ampul ketorolak 20 tetes per menit (flabot

ke-4), perdarahan pervaginam, lakukan observasi kontraksi uterus, mobilisasi

tetap dilakukan bertahap, anjurkan makan dan minum, berikan obat ceftriaxon 1

gram 2x1 untuk yang ke-4 kali, injeksi ketorolak 3x1 untuk yang ke-3 kali,

vitamin A selama 6 jam dan 24 jam, drip oxytosin 1 ampul/ 500 ml RL extra,

membuang urin ± 1200 cc jernih.

Pada tanggal 26 Mei 2018 pukul 07.00 WIB post SC hari ke-2, ibu

mengatakan terasa nyeri pada perutnya, keadaan umum pasien baik,

composmentis, infuse RL+1 ampul ketorolak 20 tetes per menit (flabot ke-4),

masih terdapat perdarahan pervaginam 300 cc, lakukan pemeriksaan vital sign: S:

36,50C, TD: 110/70 mmHg, N: ±80 x/menit, R: 20 x/menit, buang urin ± 800 cc.

Pada pukul 13.45 WIB, ibu mengatakan terasa nyeri, keadaan umum pasien baik,
11

infuse RL+1 ampul ketorolak 20 tetes per menit (flabot ke-5), anjurkan ibu untuk

tetap meneteki dan latihan miring kanan-kiri.

Pada tanggal 26 Mei 2018 pukul 14.00 WIB post SC hari ke- 3, ibu

mengatakan bahwa ASInya belum keluar, mobilisasi tidak lakukan, hasil

observasi pasien: keadaan umum ibu baik, composmentis, TFU 2 jari bawah

pusat, kontraksi uterus baik, mengajarkan dan anjurkan pasien untuk duduk.

Pada tanggal 26 Mei 2018 pukul 07.00 WIB bayi Ny. FR post SC hari ke-

2 kita lakukan observasi keadaan umum bayi baik, bayi menangis kuat, bayi sudah

buang air besar dan buang air kecil, saat dilatih menetek reflek hisap bayi juga

baik, S: 36,80C, N: 132 x/menit, R: 32 x/menit.

Pada pukul 14.00 WIB, hasil pemeriksaan di RSKIA Ummi Khasanah

Bantul adalah Ny. W sudah sadar dan mengatakan sedikit pusing, darah yang

keluar sedikit, secara umum keadaan ibu: baik, kesadaran: composmentis,

keadaan emosional: stabil, TD: 110/70 mmHg, nadi: 82x/menit, suhu: 36,5 0C,
12

nafas: 24x/menit, kontraksi uterus baik, pasien disuruh istirahat, diperbolehkan

minum, makan, dan diberi obat yaitu :

 amoxicillin 500 mg untuk antibiotic diminum setiap 8 jam setelah makan

 methylergometrine maleate 0,125 mg/tablet untuk mengurangi perdarahan

diminum setiap 12 jam setelah makan

 arkavit C 1-2 tablet per hari untuk multivitamin diminum setiap 12 jam

setelah makan

 paracetamol 500 mg untuk obat analgesic diminum setiap 12 jam setelah

makan

Pada pukul 20.15 WIB, ibu mengatakan masih keluar darah sedikit, secara

umum keadaan ibu membaik, kesadaran: composmentis, keadaan emosional:

stabil, TD: 100/70 mmHg, nadi: 82x/menit, suhu: 36,5 0C, nafas: 24x/menit,

kontraksi uterus keras, pasien disuruh istirahat dan diberi obat yang sama,

kemudian lepas infuse.

Post curetase atas indikasi DC (Death Conceptus) hari ke-2 tanggal 06

Desember 2017 pukul 08.00 WIB, ibu mengatakan keadaannya mulai membaik,

darah yang keluar semakin sedikit dilihat dari pembalut, kontraksi uterus keras,

TD: 110/70mmHg, Nadi: 80x/menit, Respirasi: 20x/menit, Suhu: 36,7 0C obat

yang diberikan yaitu: amoxicillin 500 mg untuk antibiotic diminum setiap 8 jam

setelah makan.

Pasca tindakan curetase pasien abortus dapat segera pulang ke rumah.

Kecuali bila terdapat komplikasi seperti perdarahan dan terjadi infeksi. Pasien

dianjurkan istirahat selama 1 sampai 2 hari. Pasien dianjurkan kembali ke dokter


13

bila mengalami kram demam yang memburuk atau nyeri, setelah perdarahan baru

yang ringan atau gejala yang lebih berat. Menurut Prof. dr. Endy M. Moegni,

Sp.OG(K)1.

Post kuretase hari ke-2 tanggal 06 Desember 2017 pada pukul 09.00 WIB,

bidan di RSKIA Ummi Khasanah Bantul sudah memberikan KIE kepada Ny. W

tentang rencana tindakan yang akan dilakukan di rumah dan pasien diperbolehkan

untuk pulang, serta memberikan obat untuk diminum sesuai aturan yaitu:

 amoxicillin 500 mg untuk antibiotic diminum setiap 8 jam setelah makan

 methylergometrine maleate 0,125 mg/tablet untuk mengurangi perdarahan

diminum setiap 12 jam setelah makan

 arkavit C 1-2 tablet per hari untuk multivitamin diminum setiap 12 jam

setelah makan

 paracetamol 500 mg untuk obat analgesic diminum setiap 12 jam setelah

makan dan menjelaskan kepada pasien untuk istirahat yang cukup,

memberitahu ibu untuk makan-makanan lengkap dengan bergizi,

memberikan KIE tentang cara menjaga kebersihan badan (personal

hygiene), dan menjelaskan ke pasien untuk kunjungan ulang jika ada

keluhan atau kontrol tepat waktu.

1
Griebel et al., 2005; Puscheck, 2010.
BAB III

PEMBAHASAN

Studi kasus yang saya ambil yaitu : Ny. W umur 46 tahun G6P5A0 usia

kehamilan 11+2 minggu dengan HbsAG (+) dc (death conceptus) atau abortus

insipien. Pada kasus ini, ditemukan hasil pemeriksaan HbsAg positif merupakan

singkatan dari Hepatitis B surface Antigen, apabila hasil pemeriksaan

laboratorium positif HbsAg berarti dalam tubuh bunda terdapat virus hepatitis B.

Hepatitis B (yang dulu dikenal sebagai hepatitis serum) ditularkan melalui darah,

produk darah, jarum yang terkontaminasi, saliva, sekresi vagina dan semen.

Hepatitis B yang merupakan suatu pertanda adanya infeksi pada hati oleh virus

Inveksi hepatitis B (HBV) dapat berakibat pada keadaan kronis atau carier,

dengan peningkatan resiko untuk hepatitis aktif krois, penyakit hati kronis, sirosis

hati, dan karsinoma hepatoseluler2. USG akan menampakkan pembesaran hati

serta bertambah densitas gama dari parenkim hati pada hepatitis akut-kronik. Pada

tatalaksana tidak ada yang membedakan prinsip terhadap hepatitis akut pada

kehamilan dengan tanpa kehamilan. Istirahat yang cukup dan terapi simtomatik

tetap menjadi dasarnya3. Menurut WHO, Hepatitis B endemic di China dan bagian

lain Asia termasuk di Indonesia. Sebagian besar orang di kawasan ini bisa

terinfeksi Hepatitis B sejak usia anak. Di sejumlah Negara Asia 8-10% populasi

orang dewasa mengalami infeksi Hepatitis kronik4.

2
Varney, Helen dkk. 2009: 164
3
Suharjo, JB, dkk. Diagnosis dan Managemen Hepatitis B Kronik. Dalam jurnal : Cermin Dunia
Kedokteran, No. 150. 2006
4
Kementerian Kesehatan RI. Pusat Data dan In formasi. Jakarta Selatan: Kementerian Kesehatan
RI; 2004.

14
15

Etiologi Penularannya bisa melalui bermacam-macam media atau cara

seperti: Jarum suntik, sikat gigi, barang yang tercemar virus hepatitis B (VHB)

sesudah digunakan pada para carrier positif atau penderita hepatitis B, akibat

berhubungan seksual atau berciuman dengan penderita dan akibat transfusi darah

yang terkontaminasi VHB. Adapun kelompok orang yang rawan terinfeksi VHB

yaitu mereka yang bekerja di laboratorium atau ruang darurat rumah sakit dan

kamar mayat. VHB tidak menular melalui singgungan kulit, namun kalau ada luka

terbuka di kulit lalu terkontaminasi darah yang mengandung VHB, penularan bisa

terjadi5.

Gejala HbsAg positif pada ibu hamil umumnya gejala muncul setelah 2-3

bulan setelah virus menginfeksi organ hati. Inilah yang kemudian membuat ibu

hamil tidak menyadari bahwa dirinya mengidap hepatitis B, sehingga bias

menimbulkan resiko pada kandungannya, gejala dari penyakit hepatitis B muncul

secara bertahap. Dari yang paling ringan hingga paling berat.

Patofisiologinya : virus hepatitis yang menyerang hati menyebabkan

peradangan dan infiltrate pada hepatocytes oleh sel mononukleous. Proses ini

menyebabkan degenerasi dan nekrosis sel perenchyn hati. Respon peradangan

menyebabkan pembekakan dalam memblokir system drainage hati, sehingga

terjadi destruksi pada sel hati. Keadaan ini menjadi statis empedu (biliary) dan

empedu tidak dapat diekskresikan ke dalam kantong empedu bahkan ke dalam

usus, sehingga meningkat dalam darah sebagai hiperbilirubin, dalam urine sebagai

urobilirubin dan kulit hapatoceluler jaundice.

5
http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=15064
16

Pencegahan dengan vaksinasi individu yang kemungkinan beresiko,

seperti bayi yang lahir dan ibu yang menderita hepatitis dan carier. Kini

dianjurkan untuk segera memberi vaksinasi hepatitis B pada bayi baru

lahir yang belum mempunyai kekebalan untuk menolak infeksi hepatitis

B, yang berlangsung menahun pada usia relative muda. Untuk mencapai

sasaran itu mintalah nasihat dokter anak sehingga bayi baru lahir

terlindung dari kemungkinan hepatitis menahun6. Pencegahan HbsAg

positif pada petugas kesehatannya sendiri yaitu dengan :

a. Health Promotion, usaha penimgkatan mutu kesehatan

b. Specifik Protection, perlindungan secara khusus

c. Early Diagnosis dan Prompt Treatment, pengenalan dini terhadap

penyakit, serta pemberian pengobatan yang tepat

d. Usaha membatasi cacat

e. Usaha rehabilitasi
6
Ida Ayu, Manuaba, 2002: 334. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan, Dan Kb Untuk Pendidikan
Bidan. Jakarta: EGC
17

Dalam upaya pencegahan VHB, dilakukan dengan menggabungkan antara

pencegahan penularan dan pencegahan penyakit.

a. Pencegahan Penularan Hepatitis B dapat dilakukan dengan melalui

tindakan Health Promotion baik pada hospes maupun lingkungan

dan perlindungan khusus terhadap penularan :

 Health Promotion terhadap hos berupa pendidikan

kesehatan, peningkatan hygiene perorangan, perbaikan gizi,

perbaikan system transfuse darah

 Melalui lingkungan, dilakukan melalui upaya

meningkatkan perhatian terhadap kemungkinan penyebaran

infeksi VHB melalui tindakan melukai seperti tindikan

 Perlindungan khusus terhadap penularan dapat dilakukan

melalui sterilisasi benda-benda yang tercemar dengan

pemanasan dan tindakan khusus seperti penggunaan sarung

tangan bagi petugas kesehatan, petugas laboratorium yang

langsung berhubungan dengan darah, serum, atau cairan

tubuh dari penderita hepatitis, juga pada petugas

kebersihan, penggunaan pakaian khusus waktu kontak

dengan darah dan cairan tubuh, cuci tangan sebelum dan

sesudah kontak dengan penderita pada tempat khusus selain

itu perlu dilakukan dengan pemeriksakan HbsAgb petugas

kesehatan
18

b. Pencegahan Penyakit dapat dilakukan melalui imunisasi baik aktif

maupun pasif. Imunisasi aktif diberikan pada bayi yang lahir dari

ibu HbsAg positif, diberikan secara intramuscular sebanyak 3 kali

dan memberikan perlindungan selama 2 tahun. Sedangkan

imunisasi pasif pemberian Hepatitis B Imunoglobulin (HBIG)

merupakan imunisasi pasif dimana daya lindung HBIG

diperkirakan dapat menetralkan virus yang infeksius dengan

menggumpalkannya. HBIG dapat memberikan perlindungan

terhadap Pre/Post Expossure. Pada bayi yang lahir dari ibu, yang

HbsAg positif diberikan HBIG 0,5 ml intramuscular segera setelah

lahir (jangan lebih dari 24 jam), pemberian ulang pada bulan 3 dan

ke-5. Pada orang yang terkontaminasi dengan HbsAg positif

diberikan HBIG 0,06 ml/kg BB diberikan dalam 24 jam post

exposure dan diulang 1 bulan7.

Penanganan HbsAg positif pada ibu hamil biasanya dilakukan berdasarkan

jenis penyakitnya yaitu :

1. Penanganan hepatitis akut yaitu : pada penderita hepatitis B akut, dokter

hanya akan memberikan obat-obatan untuk menghilangkan gejalanya saja.

Seperti obat anti mual dan obat nyeri. Pasien juga perlu melakukan

medical chek up secara rutin untuk mengetahui perkembangan virus dalam

tubuhnya. Apabila hasil tes menunjukkan pasien telah terbebas dari virus

maka pengobatan segera dihentikan.

7
Sulaiman Ali, Yulitasari, 2008. Virus Hepatitis A sampai E Di Indonesia, Yayasan Penerbitan
IDI, Jakarta
19

2. Penanganan hepatitis kronis, lebih sulit dibandingkan hepatitis akut.

Umumnya dokter akan memberikan obat untuk menghambat

perkembangan virus8.

Tabel 3.1 Prevalensi HbsAg Positif Pada Wanita Hamil di Indonesia

Daerah Jumlah Ibu HbsAg (%)


Surabaya 1016 4,6
Denpasar 569 2,46
1552 2,58
Mataram 3078 3,8
Solo 1800 3,4

Menurut profil kesehatan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY, 2013)

jumlah kasus ibu yang mempunyai status HbsAg pada tahun 2013 mencapai 40%

meningkat dibandingkan tahun 2012 sebanyak 35,5%. Cakupan status penyakit

HbsAg positif tertinggi terdapat di Kabupaten Wonosari (66,6%), Kabupaten

Bantul (40%) dan Kabupaten Sleman (39,5%). Kabupaten Bantul merupakan

urutan tertinggi kedua setelah Kabupaten Wonosari dan sebelum Kabupaten

Sleman, yaitu 40% ibu hamil penderita HbsAg9.

Abortus adalah berakhirnya suatu kehamilan (oleh akibat-akibat tertentu)

atau sebelum kehamilan tersebut berusia 12 minggu atau buah kehamilan belum

mampu untuk hidup diluar kandungan. Etiologi abortus pada kehamilan muda

abortus tidak jarang didahului dengan kamatian mudigah. Sebaliknya, pada

kehamilan lanjut biasanya janin dikeluarkan dalam keadaan masih hidup. Berikut

adalah macam-macam gambar abortus:


8
Sanityoso, Andri. Hepatitis Viral Akut. Dalam: Sudoyo, Aru W. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid 1. Edisi ke-5. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI; 2009. Hlm.
645-652.
9
Dinkes Prov. DIY Yogyakarta. 2013. Profil Kesehatan Provinsi DIY Yogyakarta.Yogyakarta:
Dinkes Prov. DIY Yogyakarta. http://dinkes.jogjaprov.go.id/files/7e804-Profil-DIY-2013.pdf
Diakses pada tanggal 11 Maret 2014.
20

Gb.3.1 Gambaran terjadinya Abortus Insipiens

Gb.3.2. Gambaran terjadinya Abortus Inkomplit


21

Gb.3.3 Gambaran terjadinya Abortus Kompletus

Pada abortus jenis ini, janin telah meninggal, tetapi hasil konsepsi masih

berada di dalam rahim ibu selama beberapa jangka waktu tertentu (dua minggu

atau lebih) karena mungkin tidak terjadi perdarahan, OUE masih tertutup dan

abortus spontan tidak terjadi. Tanda dan gejala terjadinya missed abortion

diantaranya: terdapat bercak darah (spotting) atau perdarahan yang banyak dapat

disertai nyeri abdomen atau punggung (bisa ya, bisa tidak); ukuran rahim

mengecil dari ukuran yang seharusnya untuk usia kehamilan; apabila sebelumnya

ibu sudah merasakan gerakan janin, maka gerakan janin tidak dirasakan lagi;

kelenjar payudara yang sebelumnya mengalami perubahan, kembali ke keadaan

semula; saat pemeriksaan dilakukan, tidak terdengan bunyi denyut jantung janin.

Apabila seorang wanita dicurigai mengalami missed abortion, maka programkan

segera untuk melakukan pemeriksaan ultrasonografi (USG) untuk memastikan

kematian janin. Pada kasus ini, ibu beresiko mengalami gangguan pembekuan
22

darah (Disseminated Intravascular Coagulopathy/DIC). Untuk itu, tindakan

segera yang dilakukan adalah pengeluaran hasil konsepsi.

Gb.3.4. Gambaran terjadinya Missed Abortion

Hal-hal yang menyebabkan abortus dapat dibagi sebagai berikut:

a. Kelainan Pertumbuhan Hasil Konsepsi : Faktor janin penyebab keguguran

adalah kelainan genetik, dan ini terjadi pada 50%-60% kasus keguguran.

Kelainan pertumbuhan hasil konsepsi dapat menyebabkan kematian janin atau

cacat. Kelainan berat biasanya menyebabkan kematian mudigah pada hamil muda.

Faktor-faktor yang menyebabkan kelainan dalam pertumbuhan ialah sebagai

berikut:

 Kelainan Kromosom. Kelainan yang sering ditemukan pada abortus

spontan ialah trisomi, poliploidi dan kemungkinan pula kelainan

kromosom seks.
23

 Lingkungan Kurang Sempurna. Bila lingkungan diendometrium disekitar

tempat implantasi kurang sempurna, sehingga pemberian zat-zat makanan

pada hasil konsepsi terganggu.

 Pengaruh Dari Luar. Radiasi, virus, obat-obatan, dan sebagainya dapat

mempengaruhi hasil konsepsi maupun lingkungan hidupnya dalam uterus.

Pengaruh ini umumnya disebut pengaruh teratogen.

b. Kelainan Pada Plasenta

Endarteritis dapat terjadi dalam villi koriales dan menyebabkan oksigenasi

plasenta terganggu, sehingga menyebabkan gangguan pertumbuhan dan kematian

janin. Keadaan ini bisa terjadi pada kehamilan muda misalnya karena hipertensi

menahun.

c. factor dari Ibu : Wanita hamil mempunyai resiko untuk mengalami abortus

sebesar 10 – 25%, semakin meningkatnya usia akan meningkatkan resiko abortus.

Resiko abortus sebesar 15 % pada usia di bawah 35 tahun, 20 – 35% pada usia 35

– 45 tahun, dan resiko lebih dari 50 % pada pada usia lebih dari 45 tahun

(Anonym, 2007). Sumber lain mengatakan bahawa 10% resiko abortus terjadi

pada wanita yang berusia kurang dari 20 tahun, 20 % terjadi pada usia 35 – 39

tahun , dan 50% pada usia 40 – 45 10. Multipara adalah wanita yang telah

menyelesaikan dua atau lebih kelahiran dimana janin sudah bisa hidup di luar

kandungan . Resiko abortus spontan meningkat seiring dengan paritas, usia ayah

dan usia ibu. Ibu dengan paritas tinggi mempunyai resiko mengalami komplikasi

persalinan lebih tinggi dibandingkan ibu dengan paritas rendah.

10
Idea Nursing Journal Vol. II No. 1ISSN : 2087-2879.
d. Faktor Bapak : Kelainan kromosom dan infeksi sperma diduga dapat

menyebabkan abortus.

Abortus Insipiens adalah peristiwa perdarahan uterus pada kehamilan

sebelum 20 minggu dengan adanya dilatasi serviks uteri yang meningkat tetapi

hasil konsepsi masih dalam uterus. Dalam hal ini rasa mules menjadi lebih sering

dan kuat perdarahan bertambah. Pengeluaran hasil konsepsi dapat dilaksanakan

dengan kuret vakum atau dengan cunam ovum, disusul dengan kerokan.

Penanganan Abortus Insipiens meliputi :

a. Jika usia kehamilan kurang dari16 minggu, lakukan evaluasi uterus dengan

aspirasi vakum manual. Jika evaluasi tidak dapat, segera dilakukan: Berikan

ergomefiin 0,2 mg intramuskuler (dapat diulang setelah 15 menit bila perlu) atau

misoprostol 400 mcg per oral (dapat diulang sesudah 4 jam bila perlu).

b. Segera lakukan persiapan untuk pengeluaran hasil konsepsi dari uterus.

Jika usia kehamilan lebih 16 minggu :

 Tunggu ekspulsi spontan hasil konsepsi lalu evaluasi sisa-sisa hasil

konsepsi.

 Jika perlu, lakukan infus 20 unit oksitosin dalam 500 ml cairan intravena

(garam fisiologik atau larutan ringer laktat dengan kecepatan 40 tetes

permenit untuk membantu ekspulsi hasil konsepsi. Apabila janin telah

keluar tetapi plasenta masih tertinggal, sebaiknya pengeluaran plasenta

dilakukan secara digital yang dapat disusul dengan kerokan bila masih ada

sisa plasenta yang tertinggal11.

11
Prawirohardjo, 2005: 306-307

24
25

c. Pastikan untuk tetap memantau kondisi ibu setelah penanganan,

pengawasan yang dapat dilakukan bidan adalah dengan evaluasi jumlah

perdarahan dan hasil konsepsi yang keluar, serta pengukuran suhu tubuh ibu yang

dievaluasi setiap empat jam, apabila suhu tubuh melebihi 38 0C perlu diwaspadai

terjadinya infeksi.

 Berikan antibiotik amoxicillin 3x500 mg diminum setiap 8 jam setelah makan

dan asam mefenamat 3x500 mg diminum setiap 8 jam setelah makan.

 Anjurkan pada ibu untuk jangan hamil dulu selama 3 bulan kemudian12.

Patofisiologinya yaitu : terjadinya keguguran mulai dari terlepasnya

sebagian atau seluruh plasenta, yang menyebabkan perdarahan sehingga janin

kekurangan nutrisi dan O2 (Oksigen). Pengeluaran tersebut dapat terjadi secara

spontan seluruhnya atau sebagian masih tertinggal, yang menyebabkan berbagai

penyulit, oleh karena itu keguguran memberikan gejala umum sakit perut karena

kontraksi rahim, terjadi perdarahan, dan disertai pengeluaran seluruh atau

sebagian hasil konsepsi. Manifestasi klinisnya yaitu :

• Terlambat haid atau amenorhe kurang dari 20 minggu

• Pada pemeriksaan fisik : keadaan umum tampak lemah kesadaran

menurun, tekanan darah normal atau menurun, denyut nadi normal atau cepat dan

kecil, suhu badan normal atau meningkat

• Perdarahan pervaginam mungkin disertai dengan keluarnya jaringan

hasil konsepsi

12
http://kuliahbidan.wordpress.com/2008/07/18/abortus/
26

• Rasa mulas atau kram perut, didaerah atas simfisis, sering nyeri pingang

akibat kontraksi uterus13.

Perdarahan saat awal kehamilan di mana walaupun belum ada jaringan

yang keluar namun mulut rahim sudah terbuka. Pada keadaan seperti ini,

kehamilan ini tidak dapat dipertahankan. Jaringan di dalam rahim harus

dibersihkan, baik dengan pemberian obat ataupun dengan cara kuret. Perdarahan

tersebut ringan hingga sedang pada kehamilan muda dimana hasil konsepsi masih

berada dalam kavum uteri kondisi ini menunjukkan proses abortus sedang

berlangsung dan akan berlanjut menjadi abortus inkomplit atau komplit selain itu

abortus insipien adalah buah kehamilan yang mati di dalam kandungan-lepas dari

tempatnya- tetapi belum dikeluarkan. Hampir serupa dengan itu, ada yang dikenal

missed Abortion, yakni buah kehamilan mati di dalam kandungan tetapi belum

ada tanda-tanda dikeluarkan.

 Penanganan lanjutan : setelah abortus, pasien perlu diperiksa untuk dicari

penyebab terjadinya abortus. Selain itu perlu diperhatikan involusi uteri

dan kadar HCG 1-2 bulan kemudian. Pasien diharapkan tidak hamil dalam

waktu 3 bulan sehingga perlu memakai kontrasepsi seperti kondom atau

pil14.

Pathway Terjadinya Abortus yaitu :

13
Morgan, geri & Carole Hamilton. 2009. Obstetri & Ginekologi. Jakarta : EGC.
14
Prawirohardjo, Sarwono. 2010 : 312. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan
Neonatal. Jakarta: PT.Bina Pustaka.
27

Pada kasus Ny. W umur ibu 46 tahun G6P5A0 usia kehamilan 11 +2

minggu dengan HbsAG (+), didapatkan data yang mendukung terjadinya abortus

insipient yaitu pasien mengatakan darah banyak yang keluar, cair, merah segar

dan prongkol-prongkol. Riwayat kesehatan, ibu mengatakan Ny. W dan keluarga

tidak pernah dan tidak sedang menderita panyakit menurun, menular dan menahun

seperti HIV, jantung, asma, hipertensi, dan DM.

Pada kasus ini, kondisi yang menjadi factor resiko terjadinya diagnose

tersebut adalah Ny. W umur 46 tahun G6P5A0 usia kehamilan 11 +2 minggu

dengan HbsAG (+) dan death conceptus atau abortus insipien. Berdasarkan

penelitian dari data tahun 2010 di negara berkembang didapatkan penyebab


28

kematian ibu sebanyak 9% karena abortus dan aborsi, 8% karena sepsis, 18%

karena hipertensi, 1% karena emboli, 18% karena penyebab tidak langsung

(Malaria, HIV dan penyakit jantung), 35% karena perdarahan dan 11% karena

penyebab tidak langsung lain (MDGs report 2010, diakses tanggal 12 April 2013).

Perdarahan juga masih menjadi data yang meragukan dimana penyebab

perdarahan itu sendiri tidak dicantumkan karena perdarahan sering dikaitkan

dengan abortus.

Menurut data Badan Kesehatan Dunia (WHO) persentase kemungkinan terjadinya

abortus cukup tinggi. Sekitar 15- 40% kejadian abortus diketahui pada saat ibu

sudah dinyatakan positif hamil dan 60-70% kejadian abortus terjadi sebelum usia

kehamilan mencapai 12 minggu. Kejadian abortus di Indonesia setiap tahun

diperkirakan sebanyak 2,5 juta kasus pada tahun 2010. Berdasarkan survey

demografi kesehatan Indonesia (SDKI) tahun2007 AKI Indonesia sebesar 228 per

100.000 kelahiran hidup, angka tersebut masih tertinggi di Asia. Penyebab

langsung kematian ibu adalah perdarahan (25%), eklampsia (13%) dan sepsis

(15%), hipertensi dalam kehamilan (12%), partus macet (8%), komplikasi abortus

tidak aman (13%), dan sebab lain (8%).

Dalam laporan Riset Dasar Kesehatan (Riskesdas) 2010 disebutkan bahwa

presentase abortus dalam periode lima tahun terakhir adalah sebesar 4% pada

perempuan pernah menikah usia 10-59 tahun.

Menurut data yang diperoleh dari Profil Kesehatan D.I Yogyakarta tahun

2014 menyebutkan bahwa pada tahun 2012 jumlah kasus kematian ibu karena

perdarahan sebanyak 40 kasus, 5% karena abortus, pada tahun 2013 jumlah


29

tersebut mengalami peningkatan menjadi 46 kasus. Menurut Dinkes D.I.

Yogyakarta, prevalensi ibu hamil anemia masih berkisar 15-39% di 5 Kabupaten/

Kota di DIY. Hasil Audit Maternal Perinatal (AMP) menyimpulkan bahwa

penyebab kematian ibu pada tahun 2013 di Kabupaten Bantul adalah 46% karena

perdarahan, 8% karena abortus, 8% karena infeksi, 8% karena keracunan dan 15%

karena penyebab lain.

Hal yang lebih mengejutkan lagi, berdasarkan data terbaru yang diperoleh

dari Dinkes Bantul, jumlah kasus kematian ibu akibat abortus tahun 2014 di

Kabupaten Bantul adalah sebanyak 14 kasus, 7 kasus (50%) diantaranya terjadi

pada kelompok umur berisiko, dan menempatkan Kabupaten Bantul sebagai

Kabupaten dengan jumlah kematian ibu nomor 1 di DIY.

Sedangkan data yang penyusun dapatkan dari RSKIA Ummi Khasanah

Bantul dari tahun 2015 ada 13,7% kasus abortus, tahun 2016 ada 11,4% kasus

abortus, dan tahun 2017 ada 14,5% kasus abortus. Maka dari itu apabila dilihat

dari tahun 2015 sampai tahun 2017 kasus abortus di RSKIA Ummi Khasanah

Bantul semakin meningkat.


30

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan kasus dari data subjektif dan data objektif tersebut dokter menarik

diagnosis bahwa Ny. W umur 46 tahun G6P5A0 usia kehamilan 11 +2 minggu dengan HbsAG

(+) dc (death conceptus) yaitu konsepsi yang telah mati dalam uterus dengan tanda tidak

berfungsinya organ janin yang biasanya ditandai dengan perdarahan pervaginam atau abortus

insipien, biasanya terjadi pada kehamilan < dari 20 minggu, sehingga dilakukan tindakan

curetase emergency.

B. Saran

a. Perlu adanya program penyuluhan di RSKIA Ummi Khasanah Bantul oleh

dokter khususnya untuk tenaga medis atau tenaga kesehatan tentang pentingan

pencegahan virus hepatitis B yaitu dengan perlindungan diri petugas kesehatan

dan dengan imunisasi anti hepatitis.

b. Perlu adanya program penyuluhan di RSKIA Ummi Khsanah Bantul oleh

bidan khususnya penyuluhan fokus kepada ibu hamil dan keluarga mengenai

tanda-tanda awal terjadinya abortus pada kehamilan untuk mencegah

terjadinya abortus. Sebaiknya keluarga atau suami ikut berperan serta dalam

menjaga kesehatan kehamilan istri.

c. Tindakan curetase dan post curetase di RSKIA Ummi Khasanah Bantul sudah

dilaksanakan dengan baik dan sesuai dengan prosedur atau tatalaksanaannya

baik dalam segi persiapan tindakan sampai selesai tindakan. Selain hal
31

tersebut dari pemberian obat baik injeksi ataupun oral juga sudah diberikan

dengan baik dan sesuai aturan.

Upaya preventif dan promotif merupakan cara bijak yang dapat dilakukan oleh tenaga
kesehatan khususnya bidan dalam memberikan pelayanan kesehatan selama kehamilan
supaya kehamilan tidak mengarah pada komplikasi yang tidak diinginkan

Anda mungkin juga menyukai