(1) Pembelajaran Berdiferensiasi (developmentally appropriate practice) Developmentally Appropriate Practice (DAP) merujuk pada aplikasi pengetahuan tentang perkembangan anak usia dini dalam program pengembangan anak usia dini. Segala teori dan riset tentang bagaimana anak berkembang dan belajar sesuai tahap perkembangan digunakan dalam merekayasa lingkungan yang selaras dengan kebutuhan dan kemampuan anak. Artinya DAP berdasarkan pengetahuan dan pengertian tentang anak, bukan berdasarkan harapan atau keinginan orang tua belaka. Developmentally Appropriate Practice (DAP) bukan merupakan kurikulum atau seperangkat standar kaku, melainkan seperangkat kerangka kerja, filosofi atau pendekatan dalam pengembangan anak. Developmentally Appropriate Practice (DAP) adalah proses pembelajaran yang asik dan menyenangkan. Miskonsepsi (kesalahpahaman mengenai suatu pengertian atau pandangan) Developmentally Appropriate Practice (DAP). Berbagai penolakan terhadap Developmentally Appropriate Practice (DAP) disebabkan oleh kekeliruan mengartikan Developmentally Appropriate Practice (DAP). Beberapa kesalahpahaman bersumber dari kedangkalan pengetahuan mengenai perkembangan anak dan kecenderungan menyederhanakan perilaku anak yang kompleks. Menurut Gestwicki (Ilfiandra, 2011) terdapat beberapa mengenai Developmentally Appropriate Practice (DAP). Ciri-ciri proses pembelajaran Developmentally Appropriate Practice (DAP). Program pembelajaran berorientasi Developmentally Appropriate Practice (DAP) menggunakan perspektif perkembangan anak,pengetahuan mengenai perkembangan anak. Bredekamp dan Rosegrant (Ilfiandra, 2011) mengemukakan bahwa Developmentally Appropriate Practice (DAP). Dampak Implementasi Bersifat Positif dan Negatif Developmentally Appropriate Practice (DAP). Pada perspektif developmental, pertumbuhan dan kematangan individu berlangsung secara evolusioner setiap saat. Proses perkembangan individu dapat diprediksi sesuai dengan kematangan kapasitas inheren dan stimulus eksternal yang diperoleh. Praktik pembelajaran. Kelebihan dan Kekurangan Pendekatan Pembelajaran Developmentally Appropriate Practice (DAP). Berdasarkan penjelasan tentang model pembelajaran Developmentally Appropriate Practice (DAP) maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran Developmentally Appropriate Practice (DAP) sangatlah penting dalam proses pembelajaran, karena guru hanya sebagai fasilitator dan tidak lagi sebagai tokoh paling utama dalam pembelajaran dalam kelas dan siswa tidak hanya sebagai penerima yang tidak aktif dalam pembelajaran, tetapi para siswa bertanggung jawab untuk atas pembelajaran mereka sendiri. Dalam pembelajaran PJOK kelompok kecil setiap anggota kelompok bertanggung jawab untuk keberhasilan pembelajarannya dan anggota kelompoknya, ketika pembelajaran pembelajaran membutuhkan identifikasi suatu masalah, tiap-tiap anggota akan berbagi tugas dan masing-masing akan menjadi sumber dari tugas tersebut.
(2) Pengajaran yang Responsif Kultur (culturally responsive pedagogy)
Sebagai makhluk budaya, manusia tidak dapat dipisahkan dari konteks sosio-kultural yang melingkupinya. Meskipun selama beberapa dekade, pandangan positivistik berupaya mereduksi pilihan-pilihan manusia pada pertimbangan logis an-sich, namun realitas menunjukkan kebalikannya. Pilihan-pilihan yang dilakukan manusia pada substansinya merupakan aktualisasi dari pengaruh lingkungan dan perspektif yang melingkupinya. Keputusan mengenai kebermaknaan tindakan misalnya, merupakan hasil simbiosis antara dimensi personal dengan nilai nilai sosial yang berlaku. Salah satu gagasan inovatif dalam upaya menjembatani pendidikan dan konteks sosial budayanya tertuang dalam gagasan pendidikan tanggap budaya (culturally responsive/relevant pedagogy). Culturally Responsive Pedagogy (selanjutnya dipakai singkatan CRP) berpijak pada premise bahwa landasan budaya memainkan peran dalam membentuk gaya belajar dan pada gilirannya menuntut adanya pengajaran yang sejalan dengan lensa budaya tersebut (Villegas, 1991; Provenzo, Ed., 2009). Pendidikan atau lebih khusus lagi institusi pendidikan pada hakikatnya merupakan bagian pranata budaya. Lembaga pendidikan, sebagaimana diulas dalam Encyclopedia of the Social and Cultural Foundations of Education (Provenzo, Ed., 2009), merupakan pengejawantahan dari upaya sadar manusia dalam transmisi dan transformasi budaya. Sejalan dengan hal tersebut, konsep pendidikan tanggap budaya berupaya merevitalisasi berbagai artikulasi budaya, termasuk berbagai aspek kearifan lokal yang berkembang pada setiap komunitas, untuk mendukung terselenggaranya pendidikan yang lebih bermakna. Setidaknya terdapat lima panduan atau prinsip aplikasi pendidikan tanggap budaya, yaitu; (1) pentingnya budaya, (2) pengetahuan terbentuk sebagai bagian dari konstruksi sosial, (3) inklusivitas budaya, (4) prestasi akademis tidak terbatas pada dimensi intelektual ansich, dan (5) keseimbangan dan keterpaduan antara kesatuan dan keragaman (Greer, et.al., 2009). Villegas dan Lucas (2002) ketika membahas mengenai karakteristik guru tanggap budaya mengungkap enam karakteristiknya, yakni: (1) mempunyai kesadaran sosio-kultural; (2) mempunyai afirmasi terhadap keragaman latar belakang peserta didik; (3) mempunyai kepercayaan diri dalam mengemban tugas; (4) memahami bagaimana peserta didik mengkonstruksi pengetahuan dan mendorong peserta didik mengembangkan konstruksi pengetahuannya sendiri; (5) mengetahui pola hidup peserta didik, dan (6) mampu menggunakan informasi mengenai pola hidup peserta didik untuk mendesain pembelajaran yang bermakna (Villegas dan Lucas, 2002). Dengan demikian, pendidikan guru tanggap budaya tidak hanya bertujuan membekali guru untuk menyadari, menghormati dan mengakui kenyataan bahwa terdapat keragaman budaya atau nilai yang berbeda yang terdapat pada peserta didik yang berasal dari latar belakang suku, agama, bahasa dan etnis yang berbeda, tetapi lebih dari itu mempunyai pengetahuan yang lebih mendalam mengenai sisi-sisi khusus atau keunikan dari budaya peserta didik dan menggunakannya sebagai titik berangkat dalam merencanakan dan melaksanakan pembelajaran (Gay, 2002). Sebagai upaya mempersempit jarak antara praksis pendidikan dengan kondisi aktual di masyarakat, pemerintah sejak tahun 1980-an menggulirkan kebijakan mengenai kurikulum muatan lokal. Melalui muatan lokal, sekolah dan guru diharapkan mampu menjembatani pengalaman aktual peserta didik dengan kondisi riil kehidupannya. Tetapi kenyataannya, muatan lokal cenderung dijalankan tanpa kesadaran mengenai landasan historis serta tuntutan sosial (Drost, 2007; Tilaar, 2007). Kondisi ini terjadi karena ketidakmampuan guru dalam mengembangkan kurikulum muatan lokal pada level interaksi pembelajaran (Bjork, 2004). Nilai- nilai atau tradisi seringkali dipahami sebagai produk yang sudah jadi (Mutakin, 2008). Sehingga, dinamika yang terjadi dalam kebudayaan kurang diperhatikan. Padahal, sebagaimana dikemukakan para ahli, budaya tidaklah statis (Sztompka, 2008; Koentjaraningrat, 2005; Marzali, 2005). Pentingnya kearifan lokal dijadikan sebagai salah satu komponen dalam pendidikan guru di tanah air terkait dengan upaya untuk memperluas wawasan dan kompetensi budaya pendidik dalam melaksanakan tugasnya. Selain itu, pemahaman guru yang benar mengenai berbagai dimensi kearifan lokal yang berkembang di tengah-tengah masyarakat membantu guru untuk mengapresiasi keragaman perspektif tersebut, bukan menjadikannya sebagai stereotip yang menyudutkan peserta didiknya. Semali dan Kinchelo (1998) menyatakan, “By encouraging teachers to become familiar with indigenous knowledges, especially knowledges that manifest themselves in local history, traditional stories, and folklore, they will be able to recognize and reward the students who bring this form of indigenous literacy to the classroom rather than punishing them.”. Sebuah pembelajaran yang menerapkan budaya sekitar dalam penyampaian model dan strategi pembelajaran pada suatu pembelajaran PJOK dalam lapangan yang terdiri dengan berbagai unsur kebudayaan yang disatukan dalam beberapa kelompok untuk mengindentifikasi suatu permasalahan yang ada sesuai dengan kosa kata atau pemahaman mereka dengan tetap menjunjung tinggi sportifitas, kerjasaama, gotong royong, bersikap adil dan tidak ada bullying. (3) Pengajaran Sesuai Level (teaching at the right level) Sampai saat ini, pendidikan di Indonesia dikelompokkan berdasarkan usia peserta didik. Padahal, jika kita ketahui lebih lagi pertambahan usia tak sejajar dengan perkembangan belajar. Setiap perkembangan peserta didik memiliki pendekatan yang berbeda. Teaching at the right level adalah proses intervensi yang harus dilakukan guru dengan memberikan masukan pembelajaran yang relevan dan spesifik untuk menjembatani perbedaan yang ditemukan. Peserta didik tidak terikat pada tingkatan kelas, namun di sesuaikan berdasarkan kemampuan peserta didik yang sama. Setiap fase, ataupun tingkatan tersebut mempunyai capaian pembelajaran yang harus dicapai. Proses pembelajaran peserta didik akan disusun mengacu pada capaian pembelajaran tersebut, namun disesuaikan dengan karakteristik, potensi, kebutuhan peserta didiknya. Teaching at the Right Level (TaRL) yang memungkinkan anak-anak memperoleh keterampilan dasar, seperti membaca dan berhitung dengan cepat. Tanpa memandang usia atau kelas, pengajaran dimulai pada tingkat anak. Inilah yang dimaksud dengan "Mengajar pada Tingkat yang Benar". Fokusnya adalah membantu anak-anak dengan dasar membaca, memahami, mengekspresikan diri, serta keterampilan berhitung sesuai dengan tingkat kemampuannya. Guna menerapkan pendekatan ini, tentunya seorang pendidik harus melakukan beberapa tahapan, sebagai berikut : a) Pahami Peserta Didik. Pahami peserta didik, dengan apa yang mereka sukai, tipe gaya belajar apa yang membuat mereka nyaman, serta bagaimana karakteristik setiap peserta didik. Dan selalu ingat bahwa setiap peserta didik itu unik dan memiliki kemampuannya masing- masing. b) Rancang Perencanaan Pembelajaran. Rancang perencanaan pembelajaran yang disesuaikan dengan hasil identifikasi peserta didik serta pengelompokkan peserta didik dalam tingkat yang sama. c) Mengikuti Ragam Pelatihan. Sebagai seorang pendidik, pentingnya untuk mengikuti berbagai ragam pelatihan guna memahami konsep pendekatan serta teknik yang sesuai agar TaRL dapat diimplementasikan dengan baik. Cara menggunakan Capaian Pembelajaran dengan prinsip pembelajaran yang disesuaikan tingkat pencapaian siswa (kebutuhan, kecepatan, dan gaya belajar sesuai dengan fase perkembangan anak) : a. Ciptakan lingkungan yang penuh perhatian, saling peduli, terbuka, dan nyaman untuk belajar. b. Tumbuhkan hubungan yang positif dan konsisten dengan anak-anak lain dan orang dewasa (dalam jumlah yang terbatas). c. Ciptakan kebiasaan saling menghargai dalam ruang kelas sehingga anak juga belajar untuk menghormati dan memahami perbedaan-perbedaan yang ada dan mampu menghargai kelebihan-kelebihan tiap orang. d. Berikan anak-anak kesempatan untuk bermain bersama, mengerjakan tugas dalam kelompok kecil, berbicara dengan teman-temannya atau orang dewasa. Melalui hal-hal tersebut anak belajar bahwa kelebihan dan minatnya berpengaruh terhadap kelompoknya. e. Lingkungan belajar harus mempunyai tempat untuk dapat bergerak dan beraktivitas dengan leluasa namun juga menyediakan tempat dimana mereka dapat beristirahat. f. Berikan anak keleluasan untuk belajar dengan berbagai cara tetapi sediakan juga kegiatan yang terjadawal dan rutin. g. Gunakan metode mengajar yang tepat. h. Ciptakan lingkungan yang tanggap akan kebutuhan anak dan merangsang kecerdasan. i. Gabungkan bermacam-macam pengalaman, material dan strategi mengajar dalam menyusun kurikulum dan sesuaikan dengan pengalaman-pengalaman yang dipunyai anak sebelumnya, tingkat kematangan, gaya belajar, kebutuhan, dan minatnya. j. Gabungkan bahasa dan budaya dari rumah anak dengan sekolah sehingga setiap anak dapat menyumbangkan keunikannya dan belajar untuk menghargai perbedaan yang ada. k. Berikan kesempatan anak untuk memilih dan membuat rencana untuk aktivitas belajar agar mereka belajar berinisiatif dan ajukan pertanyaan dan komentar yang merangsang anak berpikir. l. Berikan perhatian dan dukungan dalam berbagai bentuk seperti pujian dan kedekatan fisik (misal: membelai kepala anak, memeluk, dll). m. Sesuaikan derajat kesulitan dengan tingkat keterampilan dan pengetahuan anak agar anak menjadi percaya diri bila berhasil mengejakan tugas-tugasnya. n. Kembangkan kemampuan anak untuk bertanggung jawab dan mengatur diri. o. Susunlah kurikulum yang tepat dan buatlah evaluasi atas proses dan hasil belajar anak. Berkenaan dengan kemampuan seorang peserta didik berbeda-beda satu dengan yang lainya sehingga diperlukan pendekatan strategi pembelajaran dan teknik pembelajaran yang tepat agar peserta didik tersebut dapat mengikuti proses pembelajaran dan memperoleh hasil yang maksimal dalam pembelajaran, serta berkembang secara afektif, kognitif dan psikomotor sesuai dengan faktor tumbuh kembang peserta didik sesuai dengan fasenya.