Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

PENGENALAN PROFESI DA’I

‘’ Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Akhlak Profesi Da’i’’


Dosen Pengampu : Muhammad Tabri., S.Ag

Oleh Kelompok 1

Bibet (22.31.1343)
Fadhilatul Mukarromah (22.31.1345)
Dito Setiyawan (22.31.1344)
.

PROGRAM STUDI KPI IV A


INSTITUT AGAMA ISLAM AN NADWAH
KUALA TUNGKAL
2024/2025
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat-
Nya makalah yang berjudul “Ilmu Negara dan Objek Kajian Ilmu Negara“ terselesaikan
tepat pada waktunya.
Makalah ini dibuat dalam susunan materi yang sangat sederhana. Maksud dari penulis
makalah ini terkait dengan peningkatan mutu dan kompetensi mahasiswa Ilmu Hukum dalam
mempelajari Ilmu Negara dan Objek Kajian Ilmu Negara yang terkait dengan materi mata
kuliah Ilmu Negara. Penulis memberikan penjelasan mengenai pengertian, perbedaan antara
demokrasi modern dengan autokrasi modern serta cara - cara pembatasan kekuasaan
penguasa, sehingga para mahasiswa dapat lebih mudah untuk memperoleh penjelasan
mengenai materi tersebut.
Karena keterbatasan kemampuan, penulis menyadari bahwa penulisan laporan ini
masih jauh dari sempurna. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun demi kesempurnaan makalah ini. Penulis berharap semoga makalah ini nantinya
berguna dan dapat dimanfaatkan. Sekian dan terima kasih.

Kuala Tungkal, Februari 2024

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................................................i
DAFTAR ISI........................................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................................................1
A. LATAR BELAKANG............................................................................................................1
B. Rumusan Masalah...................................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN......................................................................................................................2
A. Profesionalisme Dalam Islam............................................................................................2
B. Profesionalisme Dalam Manajemen Dakwah....................................................................3
1. Manajemen Dakwah............................................................................................................3
2. Tujuan Manajemen Dakwah................................................................................................4
3. Profesionalisme Da’i............................................................................................................5
C. Profesionalisme Dalam Pribadi Seorang Da‟I...............................................................8
1. Knowledge (Pengetahuan..................................................................................................8
2. Skills (keahlian)..................................................................................................................8
3. Attitude (moral)..................................................................................................................9
4. Talent (bakat.......................................................................................................................9
5. Time (waktu........................................................................................................................9
6. Money (upah.....................................................................................................................10
BAB III PENUTUP...........................................................................................................................11
A. Kesimpulan........................................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................................12

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG

Profesi berasal dari bahasa latin “Proffesio” yang mempunyai dua pengertian
yaitu janji dan pekerjaan. Bila artinya dibuat dalam pengertian yang lebih luas
menjadi kegiatan “apa saja dan siapa saja” untuk memperoleh nafkah yang dilakukan
dengan suatu keahl ian tertentu. Sedangkan dalam arti sempit profesi berarti kegiatan
yang dijalankan berdasarkan keahlian tertentu dan sekaligus dituntut dari padanya
pelaksanaan normanorma sosial dengan baik. Profesi merupakan kelompok lapangan
kerja yang khusus melaksanak an kegiatan yang memerlukan ketrampilan dan keahlian
tinggi guna memenuhi kebutuhan yang rumit dari manusia, di dalamnya pemakaian
dengan cara yang benar akan ketrampilan dan keahlian tinggi, hanya dapat dicapai
dengan dimilikinya penguasaan pengetahuan dengan ruang lingkup yang luas,
mencakup sifat manusia, kecenderungan sejarah dan lingkungan hidupnya serta adanya
disiplin etika yang dikembangkan dan diterapkan oleh kelompok anggota yang
menyandang profesi tersebut Profesi merupakan bagian dari pekerjaan, namun tidak
setiap pekerjaan adalah profesi. Seorang petugas staf administrasi biasa berasal dari
berbagai latar ilmu, namun tidak demikian halnya dengan Akuntan, Pengacara, Dokter
yang membutuhkan pendidikan khusus. Profesi merupakan suatu pekerjaan yang
mengandalkan keterampilan dan keahlian khusus yang tidak didapatkan pada
pekerjaan-pekerjaan sebelumnya. Profesi merupakan suatu pekerjaan yang menuntut
pengemban profesi tersebut untuk terus memperbaharui keterampilannya sesuai
perkembangan teknologi.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pengertian Profesi Da’i Dalam Islam?
2. Seperti Apa Profesionalisme Dalam Manajemen Dakwah?
3. Seberapa Penting Profesional e Bagi seorang Da‟i?

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Profesionalisme Dalam Islam
Islam mensyariatkan agar umatnya selalu bekerja di setiap waktu, bertebaran
di muka bumi untuk mencari karunia dan rezeki yang telah disiapkan oleh Allah swt
Sungguh amat besar kesalahan seseorang jika mempersepsikan rejeki dengan hanya
bertawakal tanpa ada usaha untuk mendapatkannya dengan menunggu-nunggu
datangnya keajaiban dari langit. Pasrah pada Allah tidak berarti meninggalkan amal
berupa bekerja. Allah swt telah berjanji akan memberikan rizki kepada semua
makhluq-Nya. Akan tetapi janji ini harus ditempuh dengan berusaha dengan giat.
Seseorang akan mendapatkan rizki kalau ia mau berusaha, berjalan dan bertebaran di
penjuru-penjuru bumi. Karena Allah menciptakan bumi dan seisinya untuk
kemakmuran manusia. Siapa yang mau berusaha dan bekerja, maka dialah yang akan
mendapat rizki.
Pada dasarnya profesi dan profesionalisasi dimaksudkan untuk bidang
pekerjaan yang dilandasi pendidikan atau keahlian tertentu (keterampilan,
kejuruan), dan memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankan bidang pekerjaan
tertentu serta mengharuskan adanya pembayaran untuk melakukannya.
Profesionalisasi pengajaran agama dalam hal ini mengarah pada bidang pekerjaan
pengajaran al-Qur‟an, dakwah, dan pengetahuan agama yang dilakukan dengan
menerima upah atau bayaran tertentu sebagai imbalannya. Karena mengajarkan al-
Qur‟an dan dakwah merupakan tugas mulia. Pemenuhan tugas mulia disuruh
dalam Islam, untuk kemaslahatan komunitas manusia dan kosmos (rahmatan lil
„alamin). Untuk itu, ajaran Islam perlu dibumikan. Pentingnya penyebaran pengetahuan
agama ditegaskan dalam hadis Nabi saw, “Sampaikanlah dari ajaranku, walaupun
hanya satu ayat”.(HR. Bukhari).
Dalam mensosialisasikan ajaran Islam mesti dilandasi dengan niat dan tekad
yang ikhlas. Keikhlasan menjadi motivator dalam beraktifitas, Dalam surat Al
bayyinah ayat 5, Allah menjelaskan bahwa manusia diperintahkan oleh Allah untuk
menyembah-Nya dengan ikhlas, menaati-Nya semata- mata karena menjalankan
perintah agama (perintah Allah). Presenter, staf pengajar, dan juru dakwah beraktifitas
tidak secara amatiran, tetapi dilakukan secara profesional. Dalam dakwah aktifitas
dijalankan dengan sebaik-baiknya sesuai dengan ketentuan yang digariskan dalam

2
Islam. Dan juga hal ini merupakan tuntutan zaman dan kebutuhan hidup manusia
yang makin kompleks, begitu juga kadangkala dalam kehidupan da‟i, memicu
aktifitas dakwah yang kemudian menjadi ajang profesi. Sebagai manusia yang butuh
finansial untuk mempertahankan eksistensi hidup, menjadikan hal itu sesuatu yang
lumrah. Persoalan akan menjadi lain, jika orientasi dakwah sebagai ajang untuk
mencari materi. Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas tentang surat Al Baqarah ayat
41 1
Dengan demikian, pada dasarnya motivasi dalam aktifitas pengajaran
agama dilandasi oleh sikap keikhlasan penuh kepada Allah. Karena ini, sebagai
penyiaran Islam dan pendidikan untuk kemanusiaan, bahkan kalau bisa mendapatkan
subsidi demi klancarannya. Profesionalisasi dalam aspek kehandalan dakwah
dan dimensi metodologis seperti ini, sangat dianjurkan. Namun, kondisi yang
umum dan realitas kehidupan muballigh rata-rata sering mengalami defisit dalam
bidang ekonomi. Aktifitas pengajaran dan dakwah yang dilakukan memakai waktu
yang dapat mereka gunakan untuk usaha dan pekerjaan lain. Untuk itu, supaya aktifitas
dakwah makin optimal, dalam perspektif profesionalisme, maka berhak
mendapatkan imbalan. Selaras dengan dinamika sosial seperti itu, profesionalisme
dapat ditolerir. Meskipun demikian, aktifitas dakwah tetap kurang pantas bila dijadikan
sebagai profesi untuk semata mencari materi.
B. Profesionalisme Dalam Manajemen Dakwah
1. Manajemen Dakwah
Manajemen dakwah adalah terminologi yang terdiri dari dua kata,
yakni manajemen dan dakwah. Kedua kata ini berangkat dari dua disiplin
ilmu yang sangat berbeda sama sekali. Istilah yang pertama, berangkat dari
disiplin ilmu yang sekuler, Ilmu Ekonomi. Ilmu ini diletakan di atas
paradigma materialistis. Prinsipnya adalah dengan modal yang sekecil-
kecilnya untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Sementara
itu istilah yang kedua berasal dari lingkungan agama, yakni Ilmu Dakwah.
Ilmu ini diletakan di atas prinsip, ajakan menuju keselamatan dunia dan
akhirat, tanpa paksaan dan intimidasi serta tanpa bujukan dan iming-iming
material. Ia datang dengan tema menjadi rahmat semesta alam. Manajemen
dakwah menurut Munir, yaitu sebuah pengaturan secara sistematis dan

1
Abdul Hamid, (2016). Pengantar Studi Dakwah. Jakarta: Kencana. Hal. 43-45

3
koordinatif dalam kegiatan atau aktivitas dakwah yang dimulai dari sebelum
pelaksanaan sampai akhir dari kegiatan dakwah. Dengan demikian
manejemen dakwah ialah suatu perangkat atau organisasi dalam mengolah
dakwah agar tujuan dakwah tersebut dapat lebih mudah tercapai sesuai
dengan hasil yang diharapkan. Secara sederhana, manajemen menurut Zainal
Muchtarom dapat dipahami sebagai upaya mengatur dan mengarahkan
berbagai sumber daya, mencakup manusai (man), uang (money), barang
(material), mesin (machine), metode (methode), dan pasar (market). Namun,
secara khusus definisi manajemen, seperti yang dikedepankan oleh G.R. Terry
dalam bukunya Principles of Management:
“Management is a distinct process of planing, organizing, actuating, and
controlling, perform to determine and accomplish stated objektives by the
use of human beings and other resources. (Manajemen merupakan proses
yang berbeda dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan
pengawasan, ia dilakukan demi menentukan dan mencapai objektives melalui
keahlian). “
Definisi di atas memberikan gambaran bahwa manajemen itu
mengandung arti proses kegiatan. Proses tersebut dimulai dari perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan dengan menggunakan sumber
daya lainnya. Seluruh proses tersebut ditujukan untuk mencapai tujuan yang
telah ditetapkan. Maluyu S.P. Hasibuan menjelaskan bahwa manajemen
berasal dari kata to manage yang artinya mengatur. Jadi, Manajemen itu adalah
suatu proses untuk mewujudkan tujuan yang diinginkan. Sedangkan
menurut Brantas adalah suatu proses atau kerangka kerja yang melibatkan
bimbingan atau pengarahan suatu kelompok orang ke arah tujuan-tujuan
organisasi atau maksu-maksud nyata. Dengan demikian manajemen adalah ilmu
dan seni yang mengatur proses pemamfaatan sumber daya manusia secara efektif,
dengan didukung oleh sumber- sumber lainnya dalam suatu organisasi untuk
mencapai tujuan. Sama halnya dengan manajemen tersebut, istilah dakwah pun
diberi definisi macam-macam oleh para ahli.
2. Tujuan Manajemen Dakwah
Tujuan adalah sesuatu hasil (generalis) yang ingin dicapai melalui
proses manajemen. Pengertian tujuan dan sasaran hampir sama, namun
bedanya hanya gradual saja. Tujuan maknanya, adalah hasil yang umum,

4
sedangkan sasarannya berarti hasil yang khusus. Menurut G. R. Terry, tujuan
adalah hasil yang diinginkan yang melukiskan skop yang jelas, serta
memberikan arah kepada usaha-usaha seorang manajer. Tujuan yang ingin
dicapai lanjutnya, selalu ditetapkan dalam suatu rencana, karena itu
hendaknya tujuan ditetapkan dengan jelas, realistis, dan cukup menantang
berdasarkan analisis data, informasi, dan pemilihan dari alternatif-
alternatif yang ada.
Dalam kaitannya dengan hal tersebut, dakwah juga memilki tujuan. Rasyad
Shaleh mengatakan, bahwah tujuan utama dakwah adalah nilai atau hasil
akhir yang ingin dicapai dan diperoleh oleh keseluruhan tindakan dakwah.
Yaitu kebahagiaan dan kesejahteraan hidup di dunia dan di akhirat dan
mendapatkan ridha dari Allah Swt. Namun secara umum, Munir berpendapat
bahwa tujuan utama dakwah adalah mengubah perilaku sasaran agar mau
menerima ajaran Islam dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari,
baik yang bersangkutan dengan masalah pribadi, keluarga maupun sosial
kemasyarakatnya, agar mendapatkan keberkahan dari Allah Swt. Sedangkan
tujuan dakwah secara khusus dakwah merupakan perumusan tujuan umum
sebagai perincian dari pada tujuan dakwah2.
3. Profesionalisme Da’i
Da‟i dalam perjalannya, berfungsi sebagai mediator untuk penyampaian
materi- materi yang diajarkan kepada mad‟u, untuk kemudian ditindak lanjuti
oleh mad‟u dalam kehidupannya, baik di dalam keluarganya maupun
masyarakat. Dalam proses penyampaian ini, untuk menjadi da‟i yang
profesional, hendaknya ia memiliki dua kategori, yaitu capability dan loyality,
artinya da‟i itu harus memiliki kemampuan dalam bidang ilmu yang
disampaikannya, memiliki kemampuan teoritik tentang penyampaian yang baik,
dari mulai perencanaan, implementasi sampai evaluasi dan memiliki loyalitas
kean, yakni loyal kepada tugas-tugas dakwah yang tidak semata-mata didepan
mad‟unya, tapi juga dalam kehidupan masyarakat seutuhnya. Syaikh Utsaimin
dalam hal ini, sangat menyarankan agar setiap da‟i sudah mempersiapkan diri
sebelum terjun ke medan dakwah.166 Pekerjaan da‟i merupakan profesi atau
jabatan yang memerlukan keahlian khusus dan tidak tidak bisa dilakukan oleh

2
Abdul Hamid, (2016). Pengantar Studi Dakwah. Jakarta: Kencana. Hal. 45-46

5
sembarang orang. Tugas ini tidak hanya meyampaiakan tetapi juga mendidik, dan
melatih. Tugas sosial da‟i tidak hanya terbatas pada masyarakat saja, akan tetapi
lebih lagi, yaitu mampu mencerdaskan bangsa dan mempersiapkan manusia-
manusia yang cerdas, terampil dan beradab yang akan membangun
masa depan bangsa dan negara. Semakin akurat para da‟i melaksanakan
fungsinya, maka semakin terjamin tercipta dan terbinanya sumber daya
manusia yang andal dalam melakukan pembangunan agama dan bangsa.3
Secara sederhana tanggung jawab da‟i adalah mengarahkan dan
membimbing para mad‟u agar semakin meningkat pengetahuannya, semakin
mahir keterampilannya dan semakin terbina dan berkembang potensinya. Dalam
hubungan ini ada sebagian ahli yang mengatakan bahwa da‟i yang baik adalah
yang mampu melaksanakan inspiring teaching, yaitu da‟i yang melalui
kegiatan dakwahnya dan menjadi contoh bagi mad‟unya, dengan melalui
kegiatan dakwah yang dilakukannya, seorang da‟i harus mampu mendorong
para mad‟u agar mampu mengemukakan gagasan-gagasan besar. Disisi lain,
persoalan da‟i dalam dunia dakwah, hendaknya senantiasa mendapat
perhatian besar dari pemerintah maupun masyarakat. Pemerintah harus
memandang mereka sebagai media yang sangat penting bagi pembinaan dan
pengembangan bangsa.
Mereka adalah pengemban tugas-tugas sosial kultural yang
berfungsi mempersiapkan generasi muda sesuai dengan citacita bangsa.
Dalam pandangan masyarakat, pekerjaan da‟i bukan semata-mata sebagai
mata pencaharian belaka yang sejajar dengan pekerjaan tukang kayu atau
pedagang atau yang lain. Pekerjaan da‟i menyangkut pendidikan moral,
pembangunan negara dan masa depan bangsa. Masyarakat memberikan
harapan besar pada da‟i guna melahirkan generasi masa depan yang lebih baik.
Mereka diharapkan menjadi suri tauladan bagi masyarakat dan mampu
membimbing mereka menuju pola hidup yang menjunjung tinggi moral dan
etika. Maman Imanulhaq Faqieh mengatakan, bahwa da‟i yang bermoral
adalah da‟i yang bertanggung jawab terhadap masyarakatnya.169 Da‟i telah
diposisikan sebagai faktor terpenting dalam proses berdakwah. Kualitas dan
kompetensi da‟i dianggap memiliki pengaruh terbesar terhadap kualitas
mad‟unya. Oleh sebab itu, sudah sewajarnya apabila da‟i dituntut untuk
3

6
bertindak secara profesional dalam melaksanakan proses berdakwah guna
meningkatkan kualitas yang mereka lakukan. Tuntutan seperti ini sejalan
dengan perkembangan masyarakat modern yang menghendaki bermacam-
macam spesialisasi yang sangat diperlukan dalam masyarakat yang semakin
lama semakin kompleks. Tuntutan kerja secara profesional juga dimaksudkan
agar da‟i dan bekerja sesuai dengan profesi yang disandangnya.
Dengan demikian, bekerja secara profesional berarti bekerja secara
baik dan dengan penuh pengabdian pada satu pekerjaan tertentu yang telah
menjadi pilihannya. Da‟i yang profesional akan melaksanakan tugasnya secara
optimal dan penuh dedikasi guna membina masyarakat. Hal ini dengan
sendirinya menuntut adanya kemampuan atau keterampilan kerja tertentu. Dari
sisi ini, maka keterampilan kerja merupakan salah satu syarat dari suatu profesi.
Namun tidak setiap orang yang memiliki keterampilan kerja pada satu bidang
tertentu dapat disebut sebagai profesional. Karena keterampilan kerja yang
profesional didukung oleh konsep dan teori terkait. Teori akan
memungkinkan orang yang bersangkutan tidak saja menguasai bidang itu, akan
tetapi juga mampu memprediksi dan mengontrol suatu gejala yang dijelaskan
oleh teori itu. Atas dasar inilah, maka pekerjaan profesional memerlukan
pendidikan dan latihan yang bertaraf tinggi yang kalau diukur dari jenjang
pendidikan yang ditempuh memerlukan pendidikan pada tingkat perguruan
tinggi. Dengan berbekal profesionalisme yang tingi pada setiap da‟i, maka
dunia dakwah, khususnya Indonesia akan menjadi terangkat. Namun dewasa
ini, dunia dakwah kita sedang dilanda krisis profesionalisme da‟i, khususnya
yang terjadi.
pada lingkungan masyarakat Islam, karena disebabkan oleh berbagai
hal. Hal tersebut menjadi problematika dunia dakwah dan menjadi belenggu bagi
terciptanya suatu tatanan dakwah yang mapan dalam upaya penciptaan mutu yang
capabel di bidang keilmuannya, skillnya dan bahkan akhlaqnya. Krisis
profesionalisme da‟i dalam dunia dakwah merupakan problematika
tersendiri bagi dunia dakwah dalam menciptakan mutu yang baik, karena
disebabkan oleh kurangnya kesadaran da‟i akan jabatan dan tugas yang
diembannya serta tanggung jawab keannya. Da‟i hanya menganggap
“berdakwah” sebagai kegiatan untuk mencari nafkah semata atau hanya untuk
memperoleh salary dan sandang pangan demi survival fisik jangka pendek,

7
agaknya akan berbeda dengan cara seseorang yang memandang tugas atau
pekerjaannya sebagai calling profesio dan amanah yang hendak
dipertanggung jawabkan di hadapan Tuhan. Disamping itu munculnya sikap
malas dan tidak disiplin waktu dalam bekerja dapat bersumber dari pandangan
terhadap pekerjaan dan tujuan hidupnya. Karena itu, adanya etos kerja yang
kuat pada seseorang da‟i memerlukan kesdaran mengenai kaitan suatu pekerjaan
dengan pandangan hidupnya yang lebih menyeluruh dan memberinya
keinsyafan akan makna dan tujaun hidunya. Dalam melahirkan etos kerja
tersebut, Toto Tasmara mengatkan, bahwa ia dapat terbentuk oleh berbagai
kebiasaan, pengaruh budaya, serta sistem nilai yang diyakininya.174 Dalam
menghdapi problematika dunia dakwah, dewasa ini yang berkaitan dengan
penyiapan tenaga da‟i yang profesional merupakan tantangan tersendiri
yang membutuhkan penyelesaian secara epistimologis. Problematika tersebut
antara lain, mampukah dunia dakwah menghasilkan kader-kader yang dapat
memainkan peranan secara fungsional di tengah-tengah masyarakat yang
sedang berkembang, dan mampukah dunia dakwah menciptakan mutu kader-
kader yang mampu mengangkat dunia dakwah Islam seperti sedia kala (seperti
masa keemasan dunia keilmuan Islam).
C. Profesionalisme Dalam Pribadi Seorang Da‟I
1. Knowledge (Pengetahuan
Istilah ini bisa diartikan sebagai pengetahuan yang kita peroleh karena
masuknya informasi keotak kita. Knowledge (pengetahuan) dapat disimpan
sebagai memori dan dapat merupakan apa saja yang kita ketahui.
Pengetahuan sebagamana yang dikatakan oleh Jan Hendrik Rapar, adalah
suatu kata yang digunakan untuk menunjuk kepada apa yang diketahui oleh
seseorang tentang sesuatu Pengetahuan menurutnya, senantiasa memiliki
subjek dan objek (yang mengetahu dan diketahui). Karena tanpa
yang mengetahui tidak mungkin ada pengetahuan. Ia menambahkan lagi,
bahwa pengetahuan bertautan erat dengan kebenaran, karena demi
mencapai kebenaranlah pengetahuan itu eksis. Maka kebenaran harus
sesuai dengan objeknya agar tidak menimbulakan kekeliruan. Bahkan
Jan Hendrik Rapar membagi pengetahuan terdiri tiga macam, yaitu
pengetahuan biasa (ordinary knowledge), pengetahuan ilmiah (scientific

8
knowledge), dan pengetahuan filsafat (philosophical knowledge).
2. Skills (keahlian)
Skills bisa diartikan sebagai ketrampilan atau how-to atau cara
untuk melakukan sesuatu. Skill dalam istilah yang lain dapat juga
dikatakan sebagai interpersonal skill. Landasan dari skill dapat didapatkan
melalui pengalaman dan pembelajaran secara praktek lapangan. Seorang
tukang las yang memiliki pengetahuan mengenai teknis pengelasan
(teorinya) belum tentu menjadi seorang tukang las yang jago. Skills
memiliki karakter bisa ditransfer dari individu keindividu lainnya melalui
proses pembelajaran pelajaran. Bagi seorang sekretaris misalnya, penguasaan
terhadap program aplikasi word dan spreadsheet excel juga merupakan
skills.
3. Attitude (moral)
Banyak para manajer yang menggunakan attitude sebagai acuan
pertimbangan dalam merekrut karyawan. Attitude memiliki arti
kecenderungan sikap. Attitude seseorang akan sangat mempengaruhi
cocok tidaknya dia dalam suatu peran dipekerjaannya. Seseorang yang
memiliki attitude suka melayani dan ramah dan lebih pas menjalin
hubungan dengan pelanggan seperti pada posisi customer service. Attitude
merupakan refleksi dari filter nilai seseorang. Attitude yang positif
memiliki kekuatan radiasi seperti medan magnet yang mampu
mempengaruhi lingkungan sekitarnya untuk berubah. Attitude bisa dibentuk
dari proses pembinaan yang kontinyu (terus menerus) terhadap da‟i.
Pembinaan attitude akan lebih efektif jika dilakukan melalui proses
penanaman nilai-nilai diri. Proses ini merupakan fase pertumbuhan dan
akulturasi da‟i yang bisa dilakukan secara terencana dan terukur.
Ketika para kader menjalani pendidikan, saat itulah terjadi proses
akulturasi dari seorang da‟i menjadi seorang professional yang ditempa
dengan berbagai simulasi menghadapi situasi dan tantangan lapangan yang
sangat sulit. Maman Imanulhaq mengatakan bahwa seorang da‟i juga
harus melakukan sentuhan moral kepada semua kalangan agar mempunyai
tanggung jawab terhadap lingkungannya.
4. Talent (bakat
Talenta Berasal dari kata talent yang artinya adalah kemampuan

9
atau bakat asal yang dimiliki oleh seseorang. Talenta tidak bisa ditransfer
dari seseorang keorang lain. Tantangan terbesar dari para manajer dan
korporasi adalah memperoleh talenta-talenta yang akan menjadi tulang
punggung masa depan perusahaan. Upaya untuk pencarian talenta
membutuhkan usaha yang serius. Sebuah perusahaan farmasi ethical
(dijual melalui resep dokter) akan sia-sia mengembangkan detailmannya
jika dalam proses perekrutan tidak melakukan identifikasi talenta secara
teliti.
5. Time (waktu
Dalam ajaran Islam, disampaikan bahwa ciri-ciri seorang
Muslim yang diharapkan adalah pribadi yang menghargai waktu.
Seorang Muslim tidak patut menunggu dimotivasi oleh orang lain
untuk mengelola waktunya, sebab sudah merupakan kewajiban bagi
setiap Muslim. Ajaran Islam menganggap pemahaman terhadap hakikat
menghargai waktu sebagai salah satu indikasi keimanan dan bukti ketaqwaan,
sebagaimana tersirat dalam (QS. al- Furqan : 62). Syiar Islam menempatkan
ibadah ritual pada bagian-bagian waktu dalam sehari dari siang hingga malam
dan pada waktu-waktu tertentu dalam setahun. Sholat lima waktu diwajibkan
dari memulai hingga mengakhiri aktivitas dalam sehari, dan waktu-
waktunya selaras dengan perjalanan hari. Dalam syariat Islam dinyatakan,
bahwa malaikat Jibril diutus oleh Allah untuk menetapkan waktu-
waktu awal dan akhir pelaksanaan shalat lima waktu, agar menjadi
panduan dan sistem yang baku dan cermat dalam menata kehidupan
islami.
6. Money (upah
Dalam buku-buku fikih, pembahasan tentang upah da‟i dimasukkan
dalam pembahasan yang sangat penting karena sering mengalami pro dan
kontra dikalangan masyarakat. Seseorang yang melakukan satu kewajiban
agama diperbolehkan mengambil upah atau jasa tertentu. Yang
dimaksudkan untuk menghargai usahanya tersebut. Para fuqaha berbeda
pendapat tentang masalah tersebut, dan terpecah menjadi tiga kelompok.
Kelompok pertama berpendapat, mengambil imbalan dari pekerjaan
seperti itu boleh secara mutlak. Termasuk dalam kelompok ini ulama
dari mahzab syafi‟i dan Maliki. Argumentasinya, perbuatan yang

10
dilakukan para da‟i dan pengajar agama itu memberikan keuntungan
bagi si pemberi upah, yaitu berupa ilmu pengatahuan atau paling
kurang informasi berharga. Selain argument ini, mereka juga mempunyai
dalil naqli yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, “sesungguhnya yang
paling berhak untuk kalian ambil upah atasnya adalah kitab Allah (Al-
Qur‟an).
Kelompok kedua datang dari ulama mazhab Hanafi yang
diwakili Ibn Abidin. Kelompok ini, secara tegas menyatakan bahwa
imbalan yang diambil dari usaha semacam itu haram hukumnya. Bahkan
menurut Ibn Abidin prinsip dalam al-ujrah „ala al-tha‟ah adalah
diharmkan. Kelompok ini berdalil bahwa perbuatan-perbuatan yang
bersifat ibadah kepada Allah tidak boleh dipungut imbalan.196
Sedangkan kelompok ketiga membolehkan da‟i mengambil imbalan itu
dengan syarat jika itu menyita tenaga dan waktunya serta ia benar- benar
membutuhkan imbalan.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Profesi adalah pekerjaan yang dilakukan sebagai nafkah hidup dengan mengandalkan
keahlian dan keterampilan yang tinggi dan melibatkan komitmen pribadi (moral) yang
mendalam. Sedangkan profesional adalah orang yang melakukan suatu pekerjaan purna
waktu dan hidup dari pekerjaan itu dengan mengandalkan keahlian dan keterampilan yang
tinggi serta mepunyai komitmen pribadi yang mendalam atas pekerjaan itu. Dengan kata lain,
orang professional adalah orang yang melakukan suatu pekerjaan karena ahli di bidang
tersebut dan meluangkan seluruh waktu, tenaga, dan perhatiannya untuk pekerjaan tersebut.
Da’i sebagai profesi adalah seorang seorang juru dakwah yang melakukan pekerjaan
dakwah sebagai nafkah hidup dengan mengandalkan keahlian dan keterampilan yang tinggi
dan melibatkan komitmen pribadi (moral) yang mendalam. Sedangkan da’I profesional
adalah seorang juru dakwah yang melakukan dakwah karena ahli dibidang ilmu dakwah dan
meluangkan waktu, tenaga, dan perhatiannya untuk pekerjaan dakwah tersebut.

11
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Hamid, Pengantar Studi Dakwah, Kencana (Jakarta: 2016)


\
Keraf Sonny A. Dr., 1998, Etika Bisnis Tuntutan dan Relevansinya, Kanisius, Yogyakarta

https://www.academia.edu/49595164/Profesionalisme_Dakwah

12

Anda mungkin juga menyukai