Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH UAS

AL-QUR’AN HADITS
MUTHLAQ & MUQAYYAD

Disusun Oleh :

Sandi Aulia Abdullah


NIM : 233022007

Dosen Pengampu Mata Kuliah Al-Qur’an Hadits :


Muhammad Rifian Panigoro, SUd, MA

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM


FAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH
IAIN SULTAN AMAI GORONTALO
2023/2024
PEMBAHASAN

A. Pengertian Muthlaq

1. Pengertian Muthlaq Secara Bahasa

Secara bahasa, Muthlaq berasal dari dari kata: athlaqa-yuthliqu-ithlaqan. Artinya: melepaskan,
tidak mengikatnya.

Ahli bahasa berkata:

‫ الخالي من القيد‬:‫ أي‬،‫ فهو المرسل‬،‫ من اإلطالق بمعنى اإلرسال‬:‫المطلق في اللغة‬

“Secara bahasa, muthlaq itu berasal dari kata al-ithlaq, artinya al-irsal, fahuwa al-mursil,
artinya: yang lepas dari ikatan.”1

Ibnu an-Najjar berkata:

‫المطلق مأخوذ من مادة تدور على معنى االنفكاك من القيد‬

“Kata muthlaq itu berasal dari sesuatu yang maknanya lepas dari ikatan,”2

2. Pengertian Muthlaq Secara Istilah

Imam as-Subuki mendefinisikan Muthlaq sebagai petunjuk kepada makna yang tanpa ikatan.

‫المطلق هو الدال على الماهية بال قيد‬

1
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2009) Hal., 48
2
Mu’in dkk.Ushul fiqh II Qaidah-Qaidah istinbath dan ijtihad(metode penggalian hukum islam).
(Jakarta:C.V.Romndo, 1986).H.50
“Muthlaq yaitu: petunjuk pada makna yang tanpa ikatan.”3

Syeikh Muhammad bin ‘Utsaimin berkata:

‫المطلق هو ما دل على الحقيقة بال قيد‬

“Muthlaq itu artinya: sesuatu yang menunjukkan makna sebenarnya, tanpa ikatan.”

Atau dengan redaksi yang lain:

‫الدال على الحقيقة من غير وصف زائد عليها‬

“Muthlaq yaitu: sesuatu yanga menunjukkan pada makna yang sebenarnya, tanpa tambahan
sifat.”

Imam al-Amudi memberikan pengertian Muthlaq sebagai sesuatu yang menunjukkan pada
makna yang biasa dibugunakan orang pada umumnya sesuai jenis dari sesuatu tadi.

‫المطلق هو ما دَّل على شائع في جنسه‬

“Muthlaq yaitu: seuatu yang menunjuk pada makna yang biasa digunakan sesuai jenisnya.”

Imam Ibnu Qudamah berkata:

‫المطلق هو المتناول لواحد ال بعينه باعتباره حقيقة شاملة لجنسه‬

“Muthlaq artinya: sesuatu yang menunjuk pada benda, namun maksudnya bukan hanya benda
itu, melainkan semua yang tercakup pada jenisnya.”4

3
Amir Syarifuddin, Garis-garis besar ushul fiqh, (Jakarta:Kencana, 2012) Hal., 117
4
Nazar Bakry, Fiqh dan ushul fiqh, (Jakarta: Rajawali press, 1993) Hal., 217
B. Pengertian Muqayyad

1. Pengertian Muqayyad Secara Bahasa

Muqayyad berasal dari kata: qayyada-yuqayyidu-taqyidan-muqayyadan.

Secara bahasa, Muqayyad artinya: sesuatu yang diikat. Seperti diikatnya seorang unta, sapi,
kambing, atau kerbau.

‫ما جعل فيه قيد من بعير ونحوه‬

“Sesuatu yang diikat, seperti diikatnya unta dan semisalnya.”5

Muqayyad itu lawan kata muthlaq. Bila muqayyad itu artinya diikat, maka muthlaq itu artinya
dilepas. Seperti dalam kalimat berikut ini:

‫ أي ما كان في رجله قيد أو عقال مما يمنعه من التحُّر ك الطبيعي‬،‫فرس مقيد‬

“Kuda itu muqayyad (diikat). Maksudnya, bahwa kakinya diikat, atau lehernya diikat, supaya
kuda itu tidak bisa bergerak secara bebas.”

2. Pengertian Muqayyad Secara Istilah

Syeikh Ibnu ‘Utsaimin mendefinisikan:

‫ما دل على الحقيقة بقيد‬

“Muqayyad artinya: sesuatu yang menunjuk pada makna yang sebenarnya yang terikat.”

5
Bhasiq Djalil, Ilmu ushul fiqh 1 dan 2, (Jakarta: Kencana, 2010) Hal., 94
Imam Ibnu Qudamah mendefinisikan:

‫المتناول لمعين أو لغير معين موصوف بأمر زائد على الحقيقة الشاملة لجنسه‬

“Muqayyad yaitu: sesuatu yang mencakup makna tertentu, atau tidak tertentu yang diberi sifat
tambahan atas makna yang sebenarnya yang mencakup jenisnya.”6

Imam at-Thufi mendefinisikan:

‫المقيد ما تناول معينا‬

“Muqayyad artinya: sesuatu yang mencakup suatu makna tertentu.”

C. Contoh Lafadz Muthlaq & Muqayyad

1. Contoh Lafadz Muthlaq

Di antara contoh lafazh muthlaq ini adalah kata raqabah.

Allah Swt. berfirman dalam QS. al-Maidah ayat 89:

‫َفَك َّفاَر ُتُه ِإْط َعاُم َعَش َر ِة َم َس اِكيَن ِم ْن َأْو َسِط َم ا ُتْط ِع ُم وَن َأْه ِليُك ْم َأْو ِكْس َو ُتُهْم َأْو‬
‫َتْح ِريُر َر َقَبٍة َفَم ْن‬

“Maka kafaratnya (denda pelanggaran sumpah), ialah memberi makan sepuluh orang miskin,
dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi mereka pakaian, atau
memerdekakan seorang hamba sahaya (raqabah).”

Kata raqabah dalam ayat di atas merupakan contoh lafazh muthlaq.

6
Ibid. Hal., 94
Muthlaq artinya tidak muqayyad (terikat) dengan syarat tertentu. Misalnya: harus beriman, sehat,
kuat, ataupun yang harganya mahal. Yang penting seorang hamba sahaya.

Demikian pula firman Allah Swt. dalam QS. al-Mujadalah ayat 3

‫َو اَّلِذ يَن ُيَظاِهُر وَن ِم ْن ِنَس اِئِهْم ُثَّم َيُعوُدوَن ِلَم ا َقاُلوا َفَتْح ِريُر َر َقَبٍة ِم ْن َقْبِل َأْن َيَتَم اَّس ا‬

“Orang-orang yang menzhihar istri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang
telah mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang hamba sahaya (raqabah)
sebelum suami-istri itu bercampur.”

Kata raqabah dalam ayat di atas juga merupakan contoh lafazh muthlaq. Sama dengan ayat yang
di atasnya itu.7

2. Contoh Lafadz Muqayyad

a. Hamba sahaya yang beriman

Hamba sahaya itu muthlaq. Entah yang beriman maupun kafir. Sama saja. Yang penting hamba
sahaya.

Hamba sahaya yang beriman itu muqayyad. Diikat dengan sifat beriman.8

Allah Swt. berfirman dalam QS. an-Nisa’ ayat 4:

‫َو َم ا َك اَن ِلُم ْؤ ِم ٍن َأْن َيْقُتَل ُم ْؤ ِم ًنا ِإاَّل َخ َطًأ َو َم ْن َقَتَل ُم ْؤ ِم ًنا َخ َطًأ َفَتْح ِريُر َر َقَبٍة‬
‫ُم ْؤ ِم َنٍة َو ِدَيٌة ُم َس َّلَم ٌة ِإَلى َأْه ِلِه ِإاَّل َأْن َيَّص َّد ُقوا َفِإْن َك اَن ِم ْن َقْو ٍم َعُد ٍّو َلُك ْم َو ُهَو ُم ْؤ ِم ٌن‬

7
Ibid. Hal., 95
8
Nazar Bakry, Fiqh dan ushul fiqh, (Jakarta: Rajawali press, 1993) Hal., 217-218
‫َفَتْح ِريُر َر َقَبٍة ُم ْؤ ِم َنٍة َو ِإْن َك اَن ِم ْن َقْو ٍم َبْيَنُك ْم َو َبْيَنُهْم ِم يَثاٌق َفِدَيٌة ُم َس َّلَم ٌة ِإَلى َأْه ِلِه‬
‫َو َتْح ِريُر َر َقَبٍة ُم ْؤ ِم َنٍة‬

“Tidak patut bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin, kecuali karena tersalah (tidak
sengaja). Siapa yang membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah)
memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman dan (membayar) tebusan yang diserahkan
kepada keluarganya (terbunuh), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) membebaskan
pembayaran. Jika dia (terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, padahal dia orang beriman,
(hendaklah pembunuh) memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman. Jika dia (terbunuh)
dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, (hendaklah
pembunuh) membayar tebusan yang diserahkan kepada keluarganya serta
memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman.”

b. Dua bulan berturut-turut

“Saya minta Anda berpuasa selama dua bulan.”

Dua bulan di sini adalah muthlaq. Boleh dua bulan berturut-turut, boleh juga tidak berturut-turut.
Yang penting kalau dihitung jumlah harinya adalah sama dengan dua bulan.

“Saya minta Anda berpuasa selama dua bulan secara berturut-turut.”

Maka di sini sudah terikat. Ada keterangan berturut-turut. Maka Anda harus berpuasa selama dua
bulan yang dilaksanakan secara berturut-turut. Bila tidak berturut-turut, maka tidak sah. Harus
diulang dari awal.9

Allah Swt. berfirman dalam QS. al-Mujadalah ayat 58:

‫َفَم ْن َلْم َيِج ْد َفِص َياُم َش ْهَرْيِن ُم َتَتاِبَعْيِن ِم ْن َقْبِل َأْن َيَتَم اَّس ا‬

“Maka barangsiapa tidak dapat (memerdekakan hamba sahaya), maka (dia wajib) berpuasa dua
bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur.”
9
Bhasiq Djalil, Ilmu ushul fiqh 1 dan 2, (Jakarta: Kencana, 2010) Hal., 95
D. Hukum lafadz Muthlaq & Muqayyad

Pada prinsipnya para ulama sepakat bahwa hukum lafazh mutlaq itu wajib diamalkan
kemutlakannya, selama tidak ada dalil yang membatasi kemutlakannya. Begitu juga hukum
lafazh muqayyad itu berlaku pada kemuqoyyadannya. 10

1. Bentuk mutlaq dan muqayyad yang disepakati

Berikut adalah bentuk mutlaq dan muqayyad yang disepakati oleh para ulama:

a. Hukum dan sebabnya sama, di sini para ulama sepakat bahwa wajbnya membawa
lafazh mutlaq kepada muqayyad.

b. Hukum dan sebabnya berbeda. Dalam hal ini, para ulama sepakat wajibnya
memberlakukan masing-masing lafazh, yakni mutlaq tetap pada kemutlakannya dan
muqayyad tetap pada kemuqayyadannya.

c. Hukumnya berbeda sedangkan sebabnya sama. Pada bentuk ini, ulama sepakat pula
bahwa tidak boleh membawa lafazh mutlaq kepada muqayyad, masing-masing tetap
berlaku pada kemutlakannya dan kemuqayyadannya. 11

2. Hal-hal yang diperselisihkan dalam mutlaq dan muqayyad

Berikut adalah hal-hal yang diperselisihkan dalam mutlaq dan muqayyad:

10
Ibid, Hal., 96
11
Abu yasid, Memahami ilmu ushul fiqh sebagai epistimologi hukum, (Jakarta: Erlangga, 2012) Hal.,139
a. Kemuthlaqan dan kemuqayyadan terdapat pada sebab hukum. Namun, masalah
(maudhu’) dan hukumnya sama. Menurut Jumhur Ulama dari kalangan Syafi’iyah,
Malikiyah, dan Hanafiyah, dalam hal ini wajib membawa mutlaq kepada muqayyad. 12

b. Mutlaq dan muqayyad terdapat pada nash yang sama hukumnya. Namun sebabnya
berbeda. Masalah ini juga diperselisihkan. Menurut Ulama Hanafi tidak boleh
membawa mutlaq kepada muqayyad, melainkan masing-masingnya berlaku
sesuai dengan sifatnya.13

E. Pembagian Lafadz Muthlaq & Muqayyad

Apabila nash hukum datang dengan bentuk mutlaq dan pada sisi yang lain dengan bentuk
muqayyad, maka menurut ulama ushul ada empat kaidah di dalamnya, yaitu:

1. Jika sebab dan hukum yang ada dalam muthlaq sama dengan sebab dan hukum yang ada
dalam muqayyad.

Maka dalam hal ini hukum yang ditimbulkan oleh ayat yang muthlaq tadi harus ditarik atau
dibawa kepada hukum ayat yang berbentuk muqayyad.14

Contoh:

a. Ayat mutlaq:

Surat al-Maidah ayat 3 tentang darah yang diharamkan, yaitu:

‫ُح ِّر َم ْت َع َلْيُك ُم اْلَم ْيَتُة َو الَّد ُم َو َلْح ُم اْلِخ ْنِزيِر‬

12
Bhasiq Djalil, Ilmu ushul fiqh 1 dan 2, (Jakarta: Kencana, 2010) Hal.,96
13
Ibid,.Hal., 96
14
Ibid,.Hal., 96
(3:‫)المائدة‬

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah daging babi…”

Ayat ini menerangkan bahwa darah yang diharamkan ialah meliputi semua darah tanpa
terkecuali, karena lafadz “dam” (darah) bentuknya mutlaq tidak diikat oleh sifat atau hal-hal lain
yang mengikatnya.15

Adapun sebab ayat ini ialah “dam” (darah) yang di dalamnya mengandung hal-hal bahaya bagi
siapa yang memakannya, sedangkan hukumnya adalah haram.

b. Ayat Muqayyad:

Surat al-An’am ayat 145, dalam masalah yang sama yaitu “dam” (darah) yang diharamkan.

‫ُقْل اَل َأِج ُد ِفي َم ا ُأوِح َي ِإَلَّي ُم َح َّر ًم ا َع َلى َطاِع ٍم َيْط َعُم ُه ِإاَّل َأْن َيُك وَن َم ْيَتًة َأْو َد ًم ا‬
‫َم ْس ُفوًح ا‬

(145:‫)األنعام‬

“Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang
diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau
darah yang mengalir”.

Lafadz “dam” (darah) dalam ayat di atas berbentuk muqayyad, karena diikuti
oleh qarinah atau qayid yaitu lafadz “masfuhan” (mengalir). Oleh karena itu darah yang
diharamkan menurut ayat ini ialah “dam-an masfuhan” (darah yang mengalir).

Sebab dan hukum antara ayat al-An’am ayat 145 ini dengan surat al-Maidah ayat 3 adalah sama
yaitu masalah darah yang diharamkan.
15
Ibid,.Hal., 97
Berdasarkan kaidah bahwa “Apabila sebab dan hukum yang terdapat dalam ayat yang mutlak
sama dengan sebab dan hukum yang terdapat pada ayat yang muqayyad, maka pelaksanaan
hukumnya ialah yang mutlak dibawa atau ditarik kepada muqayyad.” Dengan demikian hukum
yang terdapat dalam ayat 3 surat al-Maidah yakni darah yang diharamkan harus dipahami darah
yang mengalir sebagaimana surat al-An’am ayat 145.16

2. Jika sebab yang ada dalam mutlaq dan muqayyad sama tetapi hukum keduanya berbeda,
maka dalam hal ini yang mutlaq tidak bisa ditarik kepada muqayyad.

Contoh:

a. Ayat mutlaq :

Surat al-Maidah ayat 6 tentang tayammum, yaitu:

….‫…َفَتَيَّمُم وا َص ِع يًد ا َطِّيًبا َفاْم َسُح وا ِبُو ُج وِهُك ْم َو َأْيِد يُك ْم ِم ْنُه‬.

( 6:‫)المائدة‬

“Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu
dengan tanah…”

Lafadz “yad” (tangan) dalam ayat di atas berbentuk mutlaq karena tidak ada lafadz lain yang
mengikat lafadz “yad” (tangan). Dengan demikian kesimpulan dari ayat ini ialah keharusan
menyapukan tanah kemuka dan kedua tangan, baik itu hingga pergelangan tangan atau sampai
siku,tidak ada masalah. Kecuali jika di sana ada dalil lain seperti hadits yang menerangkan tata
cara tayammum oleh Nabi yang memberikan contoh mengusap tangan hanya sampai
pergelangan tangan.17

b. Ayat Muqayyad:
16
Bhasiq Djalil, Ilmu ushul fiqh 1 dan 2, (Jakarta: Kencana, 2010) Hal., 98
17
Ibid,.Hal., 98
Surat al-Maidah ayat 6 tentang wudhu’, yaitu:

‫… َيا َأُّيَها اَّلِذ يَن آَم ُنوا ِإَذ ا ُقْم ُتْم ِإَلى الَّص اَل ِة َفاْغ ِس ُلوا ُو ُج وَهُك ْم َو َأْيِدَيُك ْم ِإَلى اْلَم َر اِفِق‬

(6:‫)المائدة‬

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku…”

Lafadz “yad” (tangan) dalam ayat ini berbentuk muqayyad karena ada lafadz yang mengikatnya
yaitu “ilal marafiqi” (sampai dengan siku). Maka berdasarkan ayat tersebut mencuci tangan
harus sampai siku.

Sebab dari ayat di atas adalah sama dengan ayat mutlaq yang sebelumnya yaitu keharusan
bersuci untuk mendirikan shalat, akan tetapi hukumnya berbeda. Ayat mutlaq sebelumnya
menerangkan keharusan menyapu dengan tanah, sedang ayat muqayyad menerangkan keharusan
mencuci dengan air. Maka ketentuan hukum yang ada pada ayat mutlaq tidak bisa ditarik kepada
yang muqayyad.

Artinya, ketentuan menyapu tangan dengan tanah tidak bisa dipahami sampai siku, sebagaimana
ketentuan wudhu’ yang mengharuskan membasuh tangan sampai siku. Dengan demikian ayat
mutlaq dan Muqayyad berjalan sesuai ketentuan hukumnya sendiri-sendiri tidak bisa dijadikan
satu.

3. Jika sebab yang ada pada mutlaq dan muqayyad berbeda, tetapi hukum keduanya sama, maka
yang mutlaq tidak bisa dipahami dan diamalkan sebagaimana yang muqayyad.

Contoh ;

a. Ayat Muthlaq
Surat al-Mujadalah ayat 3 tentang kafarah dzihar yang dilakukan seorang suami kepada istrinya.

‫َو اَّلِذ يَن ُيَظاِهُر وَن ِم ْن ِنَس اِئِهْم ُثَّم َيُعوُدوَن ِلَم ا َقاُلوا َفَتْح ِريُر َر َقَبٍة ِم ْن َقْبِل َأْن َيَتَم اَّس ا‬
)3:‫…(المجادلة‬

“Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa
yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua
suami isteri itu bercampur.”

Lafadz “raqabah” (hamba sahaya) dalam masalah dzihar ini berbentuk mutlaq karena tidak ada
lafadz yang mengikatnya. Sehingga seorang suami yang sudah terlanjur men-dzihar istrinya dan
ingin ditarik ucapannya, maka sebelum mencampurinya harus memerdekan hamba sahaya atau
budak, baik yang beriman ataupun yang tidak.18

b. Ayat Muqayyad

Surat an-Nisa’ ayat 92 tentang kafarah qatl (pembunuhan) yang tidak sengaja, yaitu:

‫َو َم ْن َقَتَل ُم ْؤ ِم ًنا َخ َطًأ َفَتْح ِريُر َر َقَبٍة ُم ْؤ ِم َنٍة‬

(92:‫)النساء‬

“dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan


seorang hamba sahaya yang beriman.”

Lafadz “raqabah” (hamba sahaya) dalam ayat ini berbentuk muqayyad dengan diikat
lafadz “mukminah” (beriman), maka hukumnya ialah keharusan untuk memerdekakan hamba
sahaya yang beriman. Karena sebabnya berbeda, satu masalah kafarah dzihar dan yang lain
kafarah qatl, walaupun hukumnya sama-sama memerdekakan hamba sahaya, namun tetap

18
Ibid,.Hal., 99
diamalkan sesuai dengan ketentuannya masing-masing. Ayat mutlaq berjalan berdasarkan
kemutlaq-annya, sedang yang muqayyad berjalan berdasarkan kemuqayyadannya.19

4. Jika sebab dan hukum yang ada pada mutlaq berbeda dengan sebab dan hukum yang ada
pada muqayyad, maka yang mutlak tidak bisa dipahami dan diamalkan sebagaimana yang
muqayyad.

Contoh:

a. Ayat Muthlaq

Masalah had pencurian yang terdapat dalam surat al-Maidah ayat 38 yang berbunyi:

‫َو الَّس اِرُق َو الَّس اِرَقُة َفاْقَطُعوا َأْيِدَيُهَم ا َج َز اًء ِبَم ا َك َسَبا َنَك ااًل ِم َن ِهَّللا‬

( 38:‫)المائدة‬

“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai)
pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah.”

Lafadz “yad” dalam ayat di atas berbentuk mutlaq, yakni keharusan memotong tangan tanpa
diberi batasan sampai daerah mana dari tangan yang harus dipotong.20

b. Ayat Muqayyad

Masalah wudhu’ yang dijelaskan dalam surat al-Maidah ayat 6, yaitu:

‫َيا َأُّيَها اَّلِذ يَن آَم ُنوا ِإَذ ا ُقْم ُتْم ِإَلى الَّص اَل ِة َفاْغ ِس ُلوا ُو ُج وَهُك ْم َو َأْيِدَيُك ْم ِإَلى اْلَم َر اِفِق‬

19
Ibid,.Hal., 102
20
Musthafa Sa’id al-Khinn, Atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id al-Usuliyyah ‘ala Ikhtilaf al-Fuqaha, (Surabaya : Nurul Huda,
1998) Hal. 248.
(6:‫)المائدة‬

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku.”

Lafadz “yad” dalam ayat wudhu’ ini berbentuk muqayyad karena diikat dengan lafadz “ilal
marafiqi” (sampai dengan siku). Ketentuannya hukumnya adalah kewajiban mencuci tangan
sampai siku.

Dari dua ayat di atas terdapat lafadz yang sama yaitu lafadz “yad”. Ayat pertama berbentuk
mutlaq, sedangkan yang kedua berbentuk muqayyad. Keduanya mempunyai sebab dan hukum
yang berbeda. Yang mutlaq berkenaan dengan pencurian yang hukumannya harus potong tangan.
Sedangkan yang muqayyad berkenaan masalah wudhu’ yang mengharuskan membasuh tangan
sampai siku. Dari sini dapat disimpulkan bahwa yang mutlaq tidak bisa dipahami menurut yang
muqayyad.21

DAFTAR PUSTAKA

Al-qattan, Khalil, Manna’. 2012. Studi Ilmu-ilmu Al-qur’an. Bogor : Pustaka Litera Antar
Nusa.
Praja, S, Juhaya. 2010. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: Pustaka Setia.
Syarifuddin, Amir. 2011. Ushul Fiqh. Jakarta : Kencana.
Syafe’i, Rachmat. 2010. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung : Pustaka Setia.

Syarifuddin, Amir. 2009. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana.

Mu’in, dkk. 1986. Ushul fiqh II Qaidah-Qaidah istinbath dan ijtihad(metode penggalian hukum
islam. Jakarta: C.V. Romando.

21
Musthafa Sa’id al-Khinn, Atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id al-Usuliyyah ‘ala Ikhtilaf al-Fuqaha, (Surabaya : Nurul Huda,
1998) Hal. 250.
Bakry, Nazar. 1993. Fiqh dan ushul fiqh. Jakarta: Rajawali press.

Djalil, Bhasiq. 2010. Ilmu ushul fiqh 1 dan 2. Jakarta: Kencana.

Yasid, Abu. 2012. Memahami ilmu ushul fiqh sebagai epistimologi hukum. Jakarta: Erlangga.

Sa’id al-Khinn, Musthafa. 1998. Atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id al- Usuliyyah ‘ala Ikhtilaf al-
Fuqaha. Surabaya : Nurul Huda

Al-Qaththan, Manna. (2011) Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. Ash-
Shiddieqy,

Hasbi. (1981). Pengantar Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang. Hakim, Abdul Hamid. (2007).
As-Sullam,.

Jakarta: Pustaka As-Sa’adiyah Putra. Hanafie, A. (1993). Usul Fiqih, Jakarta: Widjaya. Karim,
Syafi’i.

(2006). Fiqih Ushul Fiqih. Bandug: CV Pustaka Setia. Shihab, Quraish. (2013). Kaidah Tafsir.
Tanggerang:

Anda mungkin juga menyukai