Anda di halaman 1dari 43

Regimen terapeutik adalah pengobatan

yang terputus pada saat dirumah


sehingga terapi yang dijalani oleh
pasien berhenti yang mengakibatkan
gangguan jiwa yang dialami pasien
terjadi kembali

2022

Regimen
Terapeutik dan
Terapi Spesialis
Kepewatannya
Nursing Specialist Therapy
and Therapeutic Regimen

Yunus Adi Wijaya, Ni Luh Putu Suardini


Yudhawati, Widya Lita Fitrianur, Kurnia
Laksana
1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Gangguan jiwa adalah penyakit non fisik yang dapat menghambat
produktifitas individu dalam kehidupannya. Gangguan jiwa memang bukan
sebagai penyebab kematian secara langsung, tetapi akibat yang ditimbulkan
dapat menyebabkan penurunan kemampuan dan fungsi baik secara individu
maupun kelompok. Gangguan jiwa memerlukan waktu untuk proses
penyembuhan. Banyak jenis obat psikofarmaka yang digunakan untuk
penyembuhan. Efek utamanya pada aktivitas mental dan perilaku, yang
biasanya digunakan untuk pengobatan gangguan kejiwaan.
Hasil penelitian Wardani (2009) menguraikan efek samping obat
terhadap fisik, seksualitas, aktivitas, dan tingkat konsentrasi menjadi alasan
pasien tidak patuh, bahkan sampai menghentikan minum obat. Tidak kuat
berdiri lama, mual, kaku, bicara pelo, dan badan tidak enak adalah
ungkapan-ungkapan yang menggambarkan efek samping obat terhadap
fisik.
Secara umum ketidakpatuhan terhadap program terapeutik adalah
masalah substansial yang harus diatasi untuk membantu individu
berpartisipasi dalam perawatan diri dan mencapai tingkat kesehatan
potensial yang maksimal (Brunner&Suddart, 2002). Ketidakpatuhan minum
obat dapat meningkatkan resiko berkembangnya masalah kesehatan atau
memperpanjang dan memperburuk kesakitan penderita. Ada 20% klien
yang dirawat di rumah sakit diperkirakan merupakan akibat dari
ketidakpatuhan klien terhadap pengobatan.
Dampak atau akibat yang dirasakan pada klien karena perilaku
ketidakpatuhan menyebabkan kekambuhan empat kali lebih tinggi, klien
2

yang terlanjur kambuh karena tidak minum obat, membutuhkan waktu


lebih dari satu tahun untuk kembali secara intensif (Bustilo, 2008).
Penatalaksanaan regimen terapeutik agar menjadi efektif selain terapi
psikofarmaka yang diberikan dokter maka seorang perawat juga
mempunyai andil besar. Asuhan keperawatan yang diberikan pada klien
dengan penatalaksanaan regimen terapeutik tidak efektif salah satunya
perawat sebagai pendidik tentang obat yang baik pada klien dan keluarga.

1.2 RUMUSAN MASALAH


Apa itu regimen terapeutik dan terapi spesialisnya ?

1.3 TUJUAN
Untuk mengetahui definisi dari regimen terapeutik dan pemberian terapi
spesialis

1.4 MANFAAT
1. Bagi Penulis
Menambah wawasan dan pengetahuan serta ilmu pendidikan di bidang
kesehatan mengenai asuhan keperawatan jiwa dengan regimen
terapeutik
2. Bagi Pembaca
Memberikan wawasan serta pengetahuan tentang asuhan keperawatan
jiwa dengan regimen terapeutik
3. Bagi Institusi
Dapat menjadi pertimbangan untuk di terapkan di dunia pendidikan pada
lembaga-lembaga di bidang kesehatan sebagai solusi terhadap
permasalahan pendidikan dan sistem informasi kesehatan di masyarakat
yang ada saat ini
3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI
Manajemen regimen terapeutik adalah pola dalam mengatur dan
mengintegrasikan progam terapi ke dalam kehidupan yang memuaskan dan
mencukupi sesuai dengan tujuan pemulihan kesehatan yang ingin dicapai.
(NANDA, 2010).
Ketidakefektifan individu dalam melakukan pemberian regimen
terapetik atau pemberian obat secara rutin dan tepat karena
ketidakefektifan keluarga dalam melakukan terapi sehingga menyebabkan
keputusasaan klien. (Prabowo Eko. 2014)
Regimen terapeutik adalah pengobatan yang terputus pada saat
dirumah sehingga terapi yang dijalani oleh pasien berhenti yang
mengakibatkan gangguan jiwa yang dialami pasien terjadi kembali
(Wahyudi,2014).

2.2 PENYEBAB
Kompleksitas regimen : banyaknya obat yang harus diminum dan
toksisitas serta efek samping obat dapat merupakan faktor penghambat
dalam penyelesaian terapi pasien. Secara umum, semakin kompleks regimen
pengobatan, semakin kecil kemungkinan pasien akan mematuhinya.
Indikator dari kompleksitas dari suatu pengobatan adalah frekuensi
pengobatan yang harus dilakukan oleh pasien itu sendiri, misalnya frekuensi
minum obat dalam sehari. Pasien akan lebih patuh pada dosis yang
diberikan satu kali sehari daripada dosis yang diberikan lebih sering,
misalnya tiga kali sehari. (Badan POM RI, 2006).
4

2.3 JENIS
2.3.1 Psikofarmakologi
Penanganan penderita gangguan jiwa dengan cara ini adalah
dengan memberikan terapi obat-obatan yang akan ditujukan pada
gangguan fungsi neuro-transmitter sehingga gejala-gejala klinis tadi
dapat dihilangkan. Terapi obat diberikan dalam jangka waktu relatif
lama, berbulan bahkan bertahun. Akibat dari klien tidak mengonsumsi
obat secara teratur kemudian putus obat sehingga klien depresi, dan
gangguan jiwa yang di alami klien kambuh (Akemat, dkk; 2008).
2.3.2 Psikoterapi
Terapi kejiwaan yang harus diberikan apabila penderita telah
diberikan terapi psikofarmaka dan telah mencapai tahapan di mana
kemampuan menilai realitas sudah kembali pulih dan pemahaman diri
sudah baik. Psikoterapi ini bermacam-macam bentuknya antara lain
psikoterapi suportif dimaksudkan untuk memberikan dorongan,
semangat dan motivasi agar penderita tidak merasa putus asa dan
semangat juangnya. Psikoterapi Re-eduktif dimaksudkan untuk
memberikan pendidikan ulang yang maksudnya memperbaiki
kesalahan pendidikan di waktu lalu, psikoterapi rekonstruktif
dimaksudkan untuk memperbaiki kembali kepribadian yang telah
mengalami keretakan menjadi kepribadian utuh seperti semula
sebelum sakit, psikologi kognitif, dimaksudkan untuk memulihkan
kembali fungsi kognitif (daya pikir dan daya ingat) rasional sehingga
penderita mampu membedakan nilai- nilai moral etika. Psikoterapi
perilaku dimaksudkan untuk memulihkan gangguan perilaku yang
terganggu menjadi perilaku yang mampu menyesuaikan diri,
psikoterapi keluarga dimaksudkan untuk memulihkan penderita dan
keluarganya. Klien kurang mendapat dukungan untuk melakukan
5

terapi pemecahan masalah dirinya sendiri sehingga klien mudah untuk


stres (Maramis, 1990)
2.3.3 Terapi Psikososial
Dengan terapi ini dimaksudkan penderita agar mampu
kembali beradaptasi dengan lingkungan sosialnya dan mampu
merawat diri, mampu mandiri tidak tergantung pada orang lain
sehingga tidak menjadi beban keluarga. Penderita selama menjalani
terapi psikososial ini hendaknya masih tetap mengkonsumsi obat
psikofarmaka. Klien dengan gangguan jiwa yang hampir sembuh
hendaknya mendapat dukungan dari lingkungaan dan masyarakat agar
kejiwaan klien bisa sembuh jika msayarakat dan lingkungan belum
bisa menerima maka klien akan merasa di kucilkan sehingga klien
menarik diri dan sulit untuk bersosialisasi ( Hawari, 2007).
2.3.4 Terapi Psikoreligius
Terapi keagamaan ini berupa kegiatan ritual keagamaan
seperti sembahyang, berdoa, mamanjatkan puji-pujian kepada Tuhan,
ceramah keagamaan, kajian kitab suci. Disaat klien mendapat masalah
klien tidak pernah meluruskannya dengan beribadaah sehinnga klien
gampang untuk stres.
6

2.4 RENTANG RESPON

ADAPTIF REGIMEN TERAPEUTIK MALADAPTIF

1. BERSOSIALISASI 1. KURANGNYA 1. MENGAMUK


DENGAN BAIK DUKUNGAN 2. PASIF
2. PIKIRAN LOGIS KELUARGA 3. AGRESIF
3. PERILAKU BAIK 2. LINGKUNGAN 4. MARAH
TIDAK MENERIMA
3. DIKUCILKAN
MASYARAKAT
4. OBAT YANG TIDAK
TERATUR

Gambar 1. Rentang Respon

Jika klien gagal dalam melakukan terapi misalkan kien belum bisa
di trima oleh keluarga dan lingkungannya maka kemungkinan besar klien
akan kambuh dan bisa melakukan hal-hal seperti :
a) Marah merupakan perasaan jengkel yang timbul sebagai respon terhadap
kecemasan, kebutuhan yang tidak terpenuhi yang dirasakan sebagai
ancaman. Kemarahan atau rasa tidak setuju yang dinyatakan atau
diungkapkan tampa menyakiti orang lain akan memberikan kelegaan dan
tidak menimbulkan masalah. Kegagalan yang menimbulkan frustasi dapat
menimbulkan respon pasif dan melarikan diri atau respon melawan dan
menentang.
7

b) Agresif adalah perilaku yang menyertai marah dan merupakan dorongan


untuk bertindak dalam bentuk destruktif dan masih terkontrol.
c) Mengamuk atau kekerasan adalah perasaan marah dan bermusuhan yang
kuat disertai kehilangan kontrol diri. Individu dapat merusak diri sendiri,
orang lain dan lingkungan
d) Pasif adalah suatu keadaan dimana individu tidak mampu untuk
mengungkapkan perasaan yang sedang dialami untuk menghindari suatu
tuntutan nyata. (Wahyudi, 2010).

2.5 PROSES TERJADINYA MASALAH


Gejala mulai timbul biasanya pada masa remaja atau dewasa awal
sampai dengan umur pertengahan dengan melalui beberapa fase antara lain
:
a. Fase Prodomal
Berlangsung antara 6 bulan sampai 1 tahun. Gangguan dapat
berupa Self care, gangguan dalam akademik, gangguan dalam
pekerjaan,gangguan fungsi sosial, gangguan pikiran dan persepsi.
b. Fase Aktif
Berlangsung kurang lebih 1 bulan. Gangguan dapat berupa gejala
psikotik; Halusinasi, delusi, disorganisasi proses berfikir,gangguan bicara,
gangguan perilaku, disertai kelainan neurokimiawi.
c. Fase Residual
Kien mengalami minimal 2 gejala; gangguan afek dan gangguan
peran, serangan biasanya berulang. (Hawari,2007)

2.6 TANDA DAN GEJALA


Gejala-gejala awal orang yang menderita regimen terapeutik
sangat banyak wujudnya tidak menyangkut kondisi fisik, bisa berupa
perasaan curiga, depresi, cemas, suasana perasaan yang mudah berubah,
8

tegang, cepat tersinggung, atau marah tanpa alasan yang jelas.( Hawari,
2007).

2.7 DAMPAK
Jika klien gagal dalam terapi atau putus obat maka akibatnya klien
akan kambuh jiwanya misalkan klien akan depresi, sering menyendiri
menarik diri, cemas, suasana perasaannya mudah tersinggung (Wahyudi,
2010). Dampak-dampak gangguan jiwa bagi keluarga, seperti:
a. Penolakan
Sering terjadi dan timbul ketika ada keluarga yang menderita
gangguan jiwa, pihak anggota keluarga lain menolak penderita
tersebut dan menyakini memiliki penyakit berkelanjutan. Selama
episode akut anggota keluarga akan khawatir dengan apa yang terjadi
pada mereka cintai. Pada proses awal, keluarga akan melindungi orang
yang sakit dari orang lain dan menyalahkan dan merendahkan orang
yang sakit untuk perilaku tidak dapat diterima dan kurangnya prestasi.
Sikap ini mengarah pada ketegangan dalam keluarga, dan isolasi dan
kehilangan hubungan yang bermakna dengan keluarga yang tidak
mendukung orang yang sakit (Sheewangisaw, 2012).
Tanpa informasi untuk membantu keluarga belajar untuk
mengatasi penyakit mental, keluarga dapat menjadi sangat pesimis
tentang masa depan. Sangat penting bahwa keluarga menemukan
sumber informasi yang membantu mereka untuk memahami
bagaimana penyakit itu mempengaruhi orang tersebut. Mereka perlu
tahu bahwa dengan pengobatan, psikoterapi atau kombinasi keduanya,
mayoritas orang kembali ke gaya kehidupan normal (Sheewangisaw,
2012).
9

b. Stigma
Informasi dan pengetahuan tentang gangguan jiwa tidak semua
dalam anggota keluarga mengetahuinya. Keluarga menganggap
penderita tidak dapat berkomunikasi layaknya orang normal lainnya.
Menyebabkan beberapa keluarga merasa tidak nyaman untuk
mengundang penderita dalam kegiatan tertentu. Hasil stigma dalam
begitu banyak di kehidupan sehari-hari, Tidak mengherankan, semua
ini dapat mengakibatkan penarikan dari aktif berpartisipasi dalam
kehidupan sehari-hari (Sheewangisaw, 2012).
c. Frustrasi, Tidak berdaya dan Kecemasan
Sulit bagi siapa saja untuk menangani dengan pemikiran aneh
dan tingkah laku aneh dan tak terduga. Hal ini membingungkan,
menakutkan dan melelahkan. Bahkan ketika orang itu stabil pada obat,
apatis dan kurangnya motivasi bisa membuat frustasi. Anggota
keluarga memahami kesulitan yang penderita miliki. Keluarga dapat
menjadi marah marah, cemas, dan frustasi karena berjuang untuk
mendapatkan kembali ke rutinitas yang sebelumnya penderita lakukan
(Sheewangisaw, 2012).
d. Kelelahan dan Burnout
Seringkali keluarga menjadi putus asa berhadapan dengan
orang yang dicintai yang memiliki penyakit mental. Mereka mungkin
mulai merasa tidak mampu mengatasi dengan hidup dengan orang
yang sakit yang harus terus-menerus dirawat. Namun seringkali,
mereka merasa terjebak dan lelah oleh tekanan dari perjuangan
sehari-hari, terutama jika hanya ada satu anggota keluarga mungkin
merasa benar-benar di luar kendali. Hal ini bisa terjadi karena orang
yang sakit ini tidak memiliki batas yang ditetapkan di tingkah lakunya.
Keluarga dalam hal ini perlu dijelaskan kembali bahwa dalam merawat
penderita tidak boleh merasa letih, karena dukungan keluarga tidak
10

boleh berhenti untuk selalu men-support penderita (Sheewangisaw,


2012).
e. Duka
Kesedihan bagi keluarga di mana orang yang dicintai memiliki
penyakit mental. Penyakit ini mengganggu kemampuan seseorang
untuk berfungsi dan berpartisipasi dalam kegiatan normal dari
kehidupan sehari-hari, dan penurunan yang dapat terus-menerus.
Keluarga dapat menerima kenyataan penyakit yang dapat diobati,
tetapi tidak dapat disembuhkan. Keluarga berduka ketika orang yang
dicintai sulit untuk disembuhkan dan melihat penderita memiliki
potensi berkurang secara substansial bukan sebagai yang memiliki
potensi berubah (Sheewangisaw, 2012).
f. Kebutuhan Pribadi dan Mengembangkan Sumber Daya Pribadi
Jika anggota keluarga memburuk akibat stres dan terlalu
banyak pekerjaan, dapat menghasilkan anggota keluarga yang sakit
tidak memiliki sistem pendukung yang sedang berlangsung. Oleh
karena itu, keluarga harus diingatkan bahwa mereka harus menjaga
diri secara fisik, mental dan spiritual yang sehat. Memang ini bisa
sangat sulit ketika menghadapi anggota keluarga yang sakit mereka.
Namun, dapat menjadi bantuan yang luar biasa bagi keluarga untuk
menyadari bahwa kebutuhan mereka tidak boleh diabaikan
(Sheewangisaw, 2012).

2.8 MEKANISME KOPING


Perawat perlu mengidentifikasi mekanisme koping klien, sehingga
dapat membantu klien untuk mengembangkan mekanisme koping yang
kontruktif dalam mengekspresikan kemarahannya. Mekanisme koping yang
umum digunakan adalah mekanisme pertahanan ego seperti :
11

1) Sublimasi adalah kehendak pikiran atau tindakan sadar yang tidak dapat
di terima oleh lingkungan atau masyarakat disalurkan menjadi aktivitas
nilai sosial yang tinggi, contoh : seseorang yang suka berkelahi beralih
menjadi atlet petinju (Hawari, 2007)
2) Represi adalah implus yang diterima oleh ege dari ide tidak dapat
diterima oleh kesadaran karena ada ancaman dari super ego, sehingga
menimbulkan kecemasan. Untuk menghalau kecemasan tersebut, ego
menekan implus tersebut kealam bawah sadar dengan kata lain
seseorang berusaha sekuat mungkin untuk melupakan dorongan yang
harus dipuaskan sebagai sesuatu yang tidak pernah ada. (Hawari, 2007)
3) Proyeksi (sumber-sumber ancaman) adalah dari dunia luar dan bukan
bersumber dari implus primitifnya. Pengubahan menjadi lebih mudah
karena ketakutan neurotis dan ketakutan mora itu kedua-duanya
bersumber dari dunia luar. Proyeksi memiliki tujuan rangkap yaitu
mengurangi ketegangan dan alasan (yang sebenarnya pura-pura)
mempertahankan diri agar daam posisi aman (Hawari, 2007)
4) Menurut (Koeswara, 1991), displacement ialah pengungkapan dorongan
yang menimbulkan kecemasan kepada objek atau individu yang kurang
berbahaya atau kurang mengancam dibandingkan dengan objek atau
individu yang semula. Adapun menurut (Corey, 2003) displacement
adalah suatu mekanisme pertahanan ego yang mengarahkan energi
kepada objek atau orang lain apabila objek asal atau orang yang
sesungguhnya, tidak bisa dijangkau. Lebih lanjut lagi, menurut (Poduska,
2000) displacement ialah mekanisme pertahanan ego dengan mana anda
melepaskan gerak-gerik emosi yang asli, dan sumber pemindahan ini
dianggap sebagai suatu target yang aman. Mekanisme pertahanan ego
ini, melimpahkan kecemasan yang menimpa seseorang kepada orang lain
yang lebih rendah kedudukannya.
12

5) Menurut Hall dan Gardner (1993) pembentukan reaksi atau reaksi


formasi ialah suatu mekanisme pertahanan ego yang mengantikan suatu
impuls atau perasaan yang menimbulkan kecemasan dengan lawan atau
kebalikannya dalam kesadarannya. Adapun menurut Koeswara (1991)
ialah mekanisme pertahanan ego yang mengendalikan dorongan-
dorongan primitif agar tidak muncul sambil secara sadar
mengungkapkan tingkah laku sebaliknya.
Lebih lanjut lagi menurut Corey (2003) reaksi formasi ialah mekanisme
pertahanan ego yang melakukan tindakan berlawanan dengan hasrat-
hasrat tak sadar. Jika perasaan-perasaan yang awal dapat menimbulkan
ancaman, maka seseorang menampilkan tingkah laku yang berlawanan
guna menyangkal perasaan-perasaan yang bisa menimbulkan ancaman
itu.
Reaksi formasi ini melakukan kebalikan dari ketaksadaran, pikiran, dan
keinginan-keinginan yang tidak dapat diterima (Poduska, 2000). Reaksi
formasi ini melakukan perbuatan yang sebaliknya, apabila perbuatan
yang pertama itu, bisa menimbulkan kecemasan yang mengancam
dirinya.

2.9 PERAN PERAWAT DALAM REGIMEN TERAPEUTIK TIDAK EFEKTIF


Penanganan ketidakpatuhan terhadap regimen terapeutik :
pengobatan sangat berhubungan dengan peran perawat pada terapi
psikofarmaka. Peran perawat dalam tindakan psikofarmaka menyangkut :
1. Peran pengkajian klien
Perawat perlu mengkaji riwayat penyakit dan obat sebelum klien
dirawat. Terkait dengan pemakaian obat, ada tiga hal yang perlu dikaji
yaitu : obat psikiatri yang pernah dipakai, penyakit non psikiatrik dan
obat yang dipakai enam bulan terakhir, pemakaian alkohol, tembakau,
kopi, dan obat terlarang.
13

2. Sebagai koordinator terapi


Perawat mendesain terapi modalitas lain sebagi pendamping
terapi psikofarmaka untuk mengoptimalkan fungsi pasien. Terapi yang
diberikan antara lain: terapi kognitif, terapi kognitif-perilaku, dan terapi
keluarga.
3. Sebagai pemberi obat
Peran perawat adalah memastikan ketepatan obat yang meliputi
tepat pasien, tepat jenis obat yang diberikan, tepat dosis pada tiap
pemberian, tepat waktu, tepat cara pemberian dan mendokumentasikan
pemberian obat. Melalui peran ini dapat dikatakan bahwa perawat
mempunyai peran kunci dalam memaksimalkan efek terapeutik obat dan
meminimalkan efek samping obat melalui kolaborasi dalam pasien dalam
pelaksanaan pemberian obat.
4. Pemantauan efek obat
Perawat merupakan tenaga professional yang paling tepat dalam
memantau efek obat terhadap target gejala yang diharapkan.
(Stuart&Laraia, 2005), karena perawat berada 24 jam di samping pasien
dan tenaga kesehatan yang paling banyak di rumah sakit. Selain efek obat,
perawat dapat memantau efek samping, reaksi yang merugikan, dan efek
yang tidak jelas pada pasien.
5. Sebagai peran pendidik
Perawat mempunyai posisi strategis untuk mendidik pasien dan
keluarganya. Aspek yang perlu diajarkan pada keluarga adalah prinsip
benar pemberian obat. Setelah klien dan keluarga mengetahui tentang
obat, selanjutnya dilatih untuk memakai sendiri. Self management
merupakan salah satu aspek tindakan keperawatan pada pasien dan
keluarga. (Gibson, 1999; Drake, dkk, 2000, dalam Keliat, 2003)
Perawat perlu menekankan pada klien dan keluarga tentang
manfaat kepatuhan pemakaian obat selama dirawat dan setelah pulang,
14

serta perawatan lanjutan. Ketika pasien sudah pulang ke rumah, maka peran
perawat digantikan oleh keluarga pasien, sehingga konsep pemberdayaan
keluarga harus diterapkan oleh perawat. Konsep pemberdayaan keluarga
mencakup kolaborasi antara perawat dengan keluarga. Kolaborasi perawat
dan keluarga merupakan aspek penting karena keluarga mempunyai hak
dan tanggung jawab dalam memutuskan kesehatan keluarganya. Keluarga
perlu dilibatkan pada setiap tindakan keperawatan, dan pada
implementasinya merupakan penggabungan peran perawat dan keluarga
dalam penyelesaian masalah (Keliat, 2003).
Menurut Keliat (2010), pendidikan kesehatan yang diberikan kepada
keluarga setelah lepas dari perawatan di rumah sakit untuk mencegah relaps
pasien :
a. Jenis dan macam obat
Pasien dan keluarga dijelaskan mengenai jenis obat yang dipakai yang
meliputi : nama obat disertai guna dan manfaatnya termasuk jelaskan
warna obat yang biasa ditemukan.
b. Dosis
Jelaskan dosis, dapat dikaitkan dengan warna dan besar kecilnya obat
disertai ukuran seperti 1 mg, 2 mg, 5 mg, dll.
c. Waktu pemakaian/pemberian obat
Pemberian obat sering disebut 1x perhari, 2x perhari atau 3x perhari
seringkali ditambahkan minum obat setelah makan sehingga pemahaman
pasien dan keluarga dapat berbeda – beda oleh karena itu informasi yang
diberikan perawat harus jelas, misalnya makan obat 3x perhari setelah
makan pada jam 7 pagi, 1 siang, dan 19 malam.
d. Akibat berhenti obat
Perlu dijelaskan kepada pasien dan keluarga tentang akibat
memberhentikan obat tanpa konsultasi yaitu relaps karena pada tubuh
pasien tidak cukup zat yang dapat mengontrol perilaku, pikiran, atau
15

perasaan. Dosis obat atau memberhentikan obat hanya boleh dilakukan


dengan konsultasi dengan dokter. Jika dosis dikurangi atau diberhentikan
sendiri maka prevalensi kekambuhan akan semakin tinggi.
e. Nama pasien
Perlu pula dijelaskan pada pasien dan keluarga agar dapat mengecek
nama pada botol obat atau kantong obat apakah sesuai dengan nama
pasien.
Penjelasan tentang obat perlu disampaikan pada pasien dan keluarga
adalah jenis obat disertai dengan efek dan efek samping, dosis obat, waktu
minum obat, akibat berhenti minum obat, dan ketepatan nama pasien.
Setelah beberapa hari minum obat perlu dievaluasi apakah pasien dan
keluarga merasakan perbedaan antara sebelum minum obat dan setelah
minum obat.

2.10 POHON MASALAH


Resiko Perilaku
Kekerasan

Penatalaksanaan Regiment Isolasi Sosial


Terapeutik Tidak Efektif
Harga Diri Rendah (CP)

Gangguan Konsep Diri

Koping keluarga tidak efektif


dalam merawat klien. Koping Individu Tidak
Efektif Efektif
(Keliat B, 2006) ( CAUSA )

Gambar 2. Pohon Masalah Keperawatan Jiwa


( Cusa )
16

2.11 TERAPI SPESIALIS YANG DIGUNAKAN DALAM REGIMEN TERAPETIK


A. TERAPI KOGNITIF (CT)
Terapi kognitif merupakan salah satu jenis psikoterapi
yang menekankan dan meningkatkan kemampuan berfikir yang
diinginkan (positif) dan merubah pikiran-pikiran yang negatif (Boyd &
Nihart, 1998). Menurut Granfa (2007), terapi Kognitif adalah suatu
proses-proses mengidentifikasi atau mengenali pemikiran-pemikiran
yang negatif dan merusak yang dapat mendorong ke arah rendahnya
harga diri dan depresi yang menetap. Terapi kognitif adalah salah satu
bentuk psikoterapi yang didasarkan pada konsep proses patologi jiwa,
dimana focus dari tindakannya berdasarkan modifikasi dari distorsi
kognitif dan perilaku maladaptive (Townsend, 2009).
Pemberian terapi kognitif ini diharapkan klien dapat
merubah pikiran-pikiran negatifnya, mampu beradaptasi dan produktif
sesuai dengan kondisi kesehatannya dengan meningkatkan kepercayaan
dirinya. Kegiatan yang dilakukan masing-masing sesi adalah :
Sesi 1 : Mengidentifikasi pikiran otomatis negative dan penggunaan
tanggapan rasional terhadap pikiran negative yang pertama.
Sesi 2 : Penggunaan tanggapan rasional terhadap pikiran otomatis
negative yang kedua
Sesi 3 : Penggunaan Tanggapan rasional terhadap pikiran otomatis
negative yang ketiga
Sesi 4 : Manfaat tanggapan rasional terhadap pikiran otomatis negative
(ungkapan hasil dalam mengikuti terapi kognitif)
Sesi 5 : Support system
Tujuan terapi kognitif adalah mengubah pikiran otomatis
negatif menjadi positif, mengetahui penyebab perasaan negatif yang
dirasakan, membantu mengendalikan diri dan pencegahan serta
pertumbuhan pribadi (Burn, 1980), membantu pasien mengembangkan
17

pola pikir yang rasional (Copel 2007), mengenali hubngan antara


pikiran, perasaan dan perilaku, mengidentifikasi dan memperbaiki
persepsipersepsi pasien yang bisa yang terdapat dalam pikirannya
(Frisch&Frisch, 2006), mengenal pikiran-pikiran negatif/otomatisnya,
mengatasi kelainan bentuk pikiran (distorsi kognitif) dengan cara
menggantikannya dengan pikiran-pikiran yang lebih realistic (Beck,
1987).
Tujuan Umum : pemberian terapi kognitif diharapkan dapat
meningkatkan kemampuan pikiran negative.
Tujuan khusus dari terapi kognitif ini diharapkan klien mampu :
1. Mengidentifikasi pikiran otomatis yang negative
2. Menggunakan tanggapan rasional dalam mengatasi pikiran otomatis
negative yang muncul
3. Mengungkapkan manfaat tanggapan rasional terhadap pikiran
otomatis yang negative
4. Mendapatkan dukungan keluarga dalam membantu klien
meningkatkan kemampuan merubah pikiran negative

Manfaat terapi kognitif :


1. Bagi klien dan keluarga, dapat dijadikan sebagai pedoman dalam
meningkatkan kemampuan mengubah pikiran negative akibat respon
depresi dan ansietas yang dialami, sehingga mampu meningkatkan
kemampuan positif yang dimiliki.
2. Bagi rumah sakit, dijadikan sebagai pedoman dalam meningkatkan
kualitas pelayanan kesehatan secara komprehensif
3. Bagi perawat, dapat meningkatkan pengetahuan dalam memberikan
asuhan keperawatan untuk mengatasi masalah depresi dan ansietas
akibat pikiran otomatis negative yang sering muncul.
Indikasi Terapi Kognitif
18

1. pasien depresi, substance abuse, cemas dan panik (Beck et al,


1993 dalam Boyd & Nihart, 1998).
2. ansietas,
3. berduka disfungsional,
4. keputusasaan,
5. ketidakberdayaan,
6. isolasi sosial,
7. koping individu tidak efektif, dan
8. resiko bunuh diri (Copel, 2007).
(PELATIHAN APLIKASI PELAYANAN KEPERAWATAN JIWA
TERINTEGRASI: (HOSPITAL AND COMMUNITY BASE) Batu, 4-7 Mei
2013).

B. TERAPI PERILAKU KOGNITIF (CBT)


Terapi perilaku kognitif (NACBT, 2007; Oemarjoedi, 2003)
merupakan teknik terapi yang menitikberatkan pada restrukturisasi
atau pembenahan kognitif yang menyimpang akibat kejadian yang
merugikan dirinya baik secara fisik maupun psikis. Terapi CBT
mengarahkan individu pada modifikasi fungsi berpikir, merasa dan
bertindak, dengan menekankan otak sebagai penganalisis, pengambil
keputusan, bertanya, bertindak, dan memutuskan kembali. Kemudian
mengarahkan individu untuk membangun hubungan yang baik antara
situasi permasalahan dengan kebiasaan mereaksi permasalahan.
Tujuan dari terapi Cognitive-Behavior (Oemarjoedi, 2003)
yaitu mengajak individu untuk menentang pikiran dan emosi yang salah
dengan menampilkan bukti-bukti yang bertentangan dengan keyakinan
mereka tentang masalah yang dihadapi. CBT dalam pelaksanaan terapi
lebih menekankan kepada masa kini dari pada masa lalu, akan tetapi
bukan berarti mengabaikan masa lalu. CBT lebih banyak bekerja pada
19

status kognitif saat ini untuk dirubah dari status kognitif negatif menjadi
status kognitif positif.
Aspek kognitif dalam CBT antara lain mengubah cara berpikir,
kepercayaan, sikap, asumsi, imajinasi dan memfasilitasi individu belajar
mengenali dan mengubah kesalahan dalam aspek kognitif. Sedangkan
aspek behavioral dalam CBT yaitu mengubah hubungan yang salah antara
situasi permasalahan dengan kebiasaan mereaksi permasalahan, belajar
mengubah perilaku, menenangkan pikiran dan tubuh sehingga merasa
lebih baik, serta berpikir lebih jelas.
Konselor atau terapis cognitive-behavior biasanya menggunakan
berbagai teknik intervensi untuk mendapatkan kesepakatan perilaku
sasaran dengan siswa. Teknik yang biasa dipergunakan oleh para ahli
(McLeod, 2006) yaitu:
1 Menata keyakinan irasional.
2 Bibliotherapy, menerima kondisi emosional internal sebagai sesuatu
yang menarik ketimbang sesuatu yang menakutkan.
3 Mengulang kembali penggunaan beragam pernyataan diri dalam role
play dengan konselor.
4 Mencoba penggunaan berbagai pernyataan diri yang berbeda dalam
situasi ril.
5 Mengukur perasaan, misalnya dengan mengukur perasaan cemas
yang dialami pada saat ini dengan skala 0-100.
6 Menghentikan pikiran, individu belajar untuk menghentikan pikiran
negative dan mengubahnya menjadi pikiran positif.
7 Desentisisasi sistematis. Digantinya respons takut dan cemas dengan
respon relaksasi yang telah dipelajari.
8 Pelatihan keterampilan sosial.
9 Assertiveness skill training atau pelatihan keterampilan supaya bisa
bertindak tegas.
20

10 Penugasan rumah. Memperaktikan perilaku baru dan strategi


kognitif antara sesi terapi.
11 In vivo exposure. Mengatasi situasi yang menyebabkan masalah
dengan memasuki situasi tersebut.
Menurut teori Cognitive-Behavior yang dikemukakan oleh Aaron T.
Beck
(Oemarjoedi, 2003), terapi cognitive-behavior memerlukan sedikitnya 12
sesi pertemuan. Setiap langkah disusun secara sistematis dan terencana.
Berikut akan disajikan proses terapi cognitive-behavior.

Tabel. 1 Proses Terapi Berdasarkan Teori Cognitive-Behavior


No Proses sesi
1 Assesmen dan diagnose 1-2
2 Pendekatan kognitif 2-3
3 Formulasi status 3-5
4 Fokus terapi 4-10
5 Intervensi Tingkahlaku 5-7
6 Perubahan Core Beliefs 8-11
7 Pencegahan 11-12

C. TERAPI PSIKOEDUKASI KELUARGA


Terapi psikoedukasi keluarga merupakan suatu cara untuk menaa
kembali hubungan antar manusia (Stuart &Sudden, 2006).
Tujuan dilakukannya terapi psikoedukasi keluarga adalah (1)
menurunkan konflik kecemasan keluarga. (2) Meningkatkan kesadaran
keluarga terhadap kebutuhan masing-masing anggota keluarga. (3)
meningkatkan kemampuan penanganan terhadap krisis. (4)
mengembangkan hubungan peran yang sesuai. (5) membantu keluarga
menghadapi tekanan dari dalam maupun dari luar anggota keluarga. (6)
21

meningkatkan kesehatan jiwa keluarga sesuai dengan tingkat


perkembangan anggota keluarga.
Manfaat terapi psikoedukasi keluarga bagi klien adalah
mempercepat proses penyembuhan, memperbaiki hubungan
interpersonal, serta menurunkan angka kekambuhan. Manfaat bagi
keluarga antaralain memperbaiki fungsi dan struktur keluarga, keluarga
mampu meningkatkan pengertian terhadap klien sehingga lebih dapat
menerima, toleran dan menghargai klien sebagai manusia, keluarga
dapat meningkatkan kemampuan dalam membantu klien dalam proses
rehabilitasi.
Pelaksanaan terapi psikoedukasi keluarga terdiri dari 5 sesi.
Setiap sesi dilakukan selama 45-60 menit :
1. Sesi I Psikoedukasi Keluarga : Pengkajian masalah klien ; Pengkajian
Masalah Keluarga(caregiver)
2. Sesi II : Perawatan Klien Gangguan Jiwa
3. Sesi III : Manajemen Stress Keluarga
4. Sesi IV : Manajemen Beban Keluarga
5. Sesi V : Pemberdayaan Komunitas Untuk Membantu Keluarga
Tujuan Terapi :
Setelah diberikan terapi family psychoeducation, keluarga diharapkan
mampu:
1. Memahami masalah yang dialami oleh anggota keluarga dengan
schizophrenia
2. Mengatasi masalah pada diri sendiri yang muncul karena merawat
anggota keluarga dengan schizophrenia
3. Mengatasi beban pada keluarga yang muncul karena adanya
anggota keluarga dengan schizophrenia
4. Memanfaatkan sarana di komunitas untuk membantu keluarga
22

Manfaat :
Terapi ini diharapkan dapat bermanfaat bagi keluarga dan klien dengan
schizophrenia.
1. Bagi keluarga, dapat memiliki kemampuan untuk merawat klien
dan mengatasi masalah yang timbul karena merawat klien
2. Bagi klien, secara tidak langsung mendapatkan perawatan optimal
keluarga

D. TERAPI KELOMPOK SUPORTIF


Terapi kelompok supportif adalah bentuk psikoterapi yang
memberikan dukungan kepada pasien yang berada dalam keadaan krisis
atau trauma psikologis. Tujuan psikoterapi jenis ini adalah menguatkan
daya tahan mental yang ada, mengembangkan mekanisme yang baru dan
lebih baik untuk mempertahankan control diri, dan dapat
mengembalikan keseimbangan adaptif (dapat menyesuaikan diri). Cara-
cara psikoterapi suportif antara lain: ventilasi atau psikokatarsis,
persuasi atau bujukan, sugesti penjaminan kembali, bimbingan dan
penyuluhan, terapi kerja, hipnoterapi dan narkoterapi kelompok, terapi
perilaku.
Jenis-jenis Terapi kelompok supportif:
1. Ventilasi
Bentuk psikoterapi yang memberi kesempatan seluas-luasnya
kepada pasien untuk mengungkapkan isi hatinya sehingga ia
merasa lega dan keluhannya berkurang.
Sikap terapis : menjadi pendengar yang baik dan penuh pengertian.
Topik pembahasan : permasalahan yang menjadi stres utama.
23

2. Persuasif
Psikotrapi yang dilakukan dengan menerangkan secara masuk akal
tentang gejala-gejala penyakitnya yang timbul akibat cara berpikir,
perasaan dan sikap terhadap masalah yang dihadapi.
Sikap terapis :
a. Berusaha membangun, mengubah dan menguatkan impuls-
impuls tertentu serta membebaskan dari impuls yang
mengganggu secara masuk akal dan sesuai hati nurani.
b. Berusaha meyakinkan pasien dengan alasan yang masuk akal
bahwa gejalanya akan hilang.
Topik pembahasan : ide dan kebiasaan pasien yang mengarah
kepada terjadinya gejala
3. Reassurance
Psikoterapi yang berusaha meyakinkan kembali kemampuan pasien
bahwa ia sanggup mengatasi masalah yang dihadapinya.
Sikap terapis : meyakinkan secara tegas dengan menunjukkan hasil-
hasil yang telah dicapai pasien
Topik pembahasan : pengalaman pasien yang berhasil nyata
4. Sugestif
Psikoterapi yang berusaha menanamkan kepercayaan pada pasien
bahwa gejala gangguannya akan hilang.
Sikap terapis : meyakinkan dengan tegas bahwa gejala penyakit
pasien akan menghilang
Topik pembahasan :
gejala-gejala bukan karena kerusakan organik/fisik dan timbulnya
gejala-gejala tersebut adalah tidak logis.
5. Bimbingan
Psikoterapi yang memberi nasehat dengan penuh wibawa dan
pengertian
24

Sikap terapis : menyampaikan nasihat dengan penuh wibawa dan


pengertian
Topik bahasan : cara hubungan antar manusia, cara komunikasi,
cara bekerja dan belajar yang baik.
6. Penyuluhan
Psikoterapi yang membantu pasien mengerti dirinya sendiri secara
lebih baik, agar ia dapat mengatasi permasalahannya dan dapat
menyesuaikan diri
Sikap terapis : menyampaikan secara halus dan penuh kearifan
Topik pembicaraan : masalah pendidikan, pekerjaan, pernikahan
dan pribadi

2.12 DIAGNOSA KEPERAWATAN DAN RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN


NANDA NIC NOC

Tabel 2. Diagnosa Keperawatan Dan Rencana Asuhan Keperawatan Nanda Nic


Noc
Diagnosa Keperawatan Rencana Keperawatan
Tujuan dan Kriteria Intervensi
Hasil
Manejemen regimen NOC: NIC :
terapeutik tidak efektif - Complience Self Modification
berhubungan dengan : Behavior assistance
Konflik dalam - Knowledge : 1. Kaji pengetahuan
memutuskan terapi, treatment regimen pasien tentang
konflik keluarga, Setelah dilakukan penyakit,
keterbatasan tindakan keperawatan komplikasi dan
pengetahuan, kehilangan selama…. manejemen pengobatan
kekuatan, defisit support regimen terapeutik 2. Interview pasien
25

sosial. tidak efektif pasien dan keluarga untuk


DS: teratasi dengan kriteria mendeterminasi
- Pilihan tidak efektif hasil: masalah yang
terhadap tujuan a. Mengembangkan berhubungan
pengobatan/program dan mengikuti dengan regimen
pencegahan regimen terapeutik pengobatan tehadap
- Pernyataan keluarga b. Mampu mencegah gaya hidup
dan pasien tidak perilaku yang 3. Hargai alasan pasien
mendukung regimen berisiko 4. Hargai
pengobatan/perawata c. Menyadari dan pengetahuhan
n mencatat tanda- pasien
- Pernyataan keluarga tanda perubahan 5. Hargai lingkungan
dan pasien tidak status kesehatan fisik dan sosial
mendukung/ tidak pasien
mengurangi faktor 6. Sediakan informasi
risiko perkembangan tentang penyakit,
penyakit atau skuelle komplikasi dan
DO : pengobatan yang
- Percepatan gejala- direkomendasikan
gejala penyakit 7. Dukung motivasi
pasien untuk
melanjutkan
pengobatan yang
berkesinambungan
26

2.13 STRATEGI PELAKSANAAN TINDAKAN KEPERAWATAN (SP) DALAM


REGIMEN TERAPETIK

STRATEGI KOMUNIKASI PELAKSANAAN TINDAKAN KEPERAWATAN


1. Orientasi

A. Salam Terapeutik
“Selamat pagi Bunga ! bagaimana Bunga sudah di coba latian
vollynya?? Bagus sekali “
B. Evaluasi/Validasi
“Bagaimana keadaan Bunga hari ini? Apa sudah lebih baik dari
kemarin? Apakah obatnya sudah Bunga minum? Bagus kalau
begitu. Nah apa saja yang Bunga lakukan kemarin? Wah bagus
Bunga”
C. Kontrak
“Sesuai dengan janji kita dua hari yang lalu, bagaimana kalau
sekarang kita membicarakan tentang obat yang Bunga minum?
“Dimana kita mau berbicara?” Bagaimana kalau di taman!”
“ Berapa lama Bunga mau kita berbicara? Bagaimana kalau 30
menit?”

2. Kerja
“Bunga, berapa macam obat yang diminun? Jam berapa saja obat
diminum?”
“Bunga perlu minum obat ini agar pikirannya jadi tenang, tidurnya
juga tenang. Obatnya ada tiga macam, yang berwarna orange namanya
CPZ gunanya untuk menenangkan, yang warna putih ini namanya THP
gunanya agar rileks, dan yang warnanya merah jambu ini namanya
HLP gunanya agar pikiran Bunga tenang. Semuanya ini diminum 3 kali
sehari jam 7 pagi, jam 1 siang dan jam 7 malam. Jika nantik setelah
27

minum obat mulut Bunga terasa kering, untuk membantu mengaatasi


Bunga bisa banyak minum dan mengisap-isap es batu. sebelumnya
minum obat ini, Bunga mengecek dulu label di kotak obat apakah
benar nama Bunga tertulis disitu, berapa dosis atau butir yang harus
diminum, jam berapa saja hars diminum. Baca juga apakah nama
obatnya sudah benar”
“Obat-obat ini harus diminum secara teratur dan kemungkinan besar
harus diminum dalam waktu yang lama. Agar tidak kambuh lagi,
sebaiknya Bunga tidak menghetikan sendiri obat yang harus dimun
sebelum membicarakannya dengan dokter.”

3. Terminasi

a) Evaluasi Subjektif
“Bagaimana perasaan Bunga setelah berbincang-bincang dengan
saya dan tahu jadwal meminum obat.”
b) Evaluasi Objektif
“Coba Bunga sebutkan kembali jadwal minum obat secara
teratur.”
c) Kontrak
1 Topik : “Bagaimana kalau besok kita bertemu lagi dan
berbincang bincang lagi tentang cara minum obat.”
2 Tempat : “Mau dimana besok kita berbincang-bincang,
bagaimana kalau di tempat ini lagi ? Baiklah sampai bertemu
lagi. Selamat sore B”
3 Waktu : “Bagaimana kalau kita berbincang-bincang kembali
besok jam 16.00 WIB selama 15 menit, apakah bapak setuju
?”
28

d) Rencana Tindak Lanjut


“Saya harap bapak mengingat saya dan mempraktekkan cara dan
minum obat teratur jangan lupa masukkan dalam kegiatan harian.”
29

BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Pelacakan Publikasi Ilmiah ( Jurnal dan Artikel )


NO JUDUL JURNAL / ARTIKEL HASIL
1 Psychoeducation: A Strategy for Dalam hal pertimbangan masa
Preventing Relapse in Patients with depan, menyoroti pentingnya
Schizophrenia membangun tim masyarakat,
menerapkan program manajer
Celso Pasadas & Francisca Manso kasus secara penuh untuk
membantu memantau dan
International Journal of Nursing mempromosikan kepatuhan
June 2015, Vol. 2, No. 1, pp. 89-102 perawatan, memastikan
ISSN 2373-7662 (Print) 2373-7670 kelangsungan perawatan,
(Online) menjadi mitra keluarga dan
mengurangi beban keluarga.
Program ini memiliki manfaat
terapeutik dan ekonomis.
Adalah penting bahwa orang
sakit dapat dirawat di rumah di
samping mereka keluarga. Ini
bisa diterjemahkan ke dalam
keuntungan kesehatan yang
lebih besar. Lebih banyak
penelitian dan penerapan jenis
pekerjaan ini. Keperawatan
kesehatan mental dan psikiatri
sangat diperlukan, mengingat
standar kualitas perawatan
untuk pasien ini dan dukungan
untuk keluarga mereka

2 A Study to Evaluate the Effectiveness Anggota Keluarga penderita


of Psycho Education on Family skizofrenia mengalami beban
Burden among the Family Members of pada aspek fisik, emosional dan
Schizophrenic Patients keuangan dan tingkat beban
keluarga terkait erat dengan
Rajathi A. and Gandhimathi M. jumlah perilaku simtomatik
Rani Meyyammai College of Nursing, pasien. Pendidikan psiko
Annamalai University, Chidambaram, membantu meningkatkan
Annamalai Nagar, Tamil Nadu, India pengetahuan anggota keluarga
dan mengurangi beban
30

Publication Date: 11 September 2015 keluarga. Makanya, anggota


keluarga kurang memiliki
Cloud Publications International Journal beban dan mampu memberikan
of Advanced Nursing Science and perawatan yang lebih baik
Practice 2015, Volume 2, Issue 1, pp. 49- untuk penderita skizofrenia.
54 Med-239 ISSN: 2320 - 0278
3 The Effect of Partnership Care Model
on Mental Health of Hasil penelitian ini
Patients with Thalassemia Major menunjukkan bahwa pasien
dengan thalassemia mayor di
Afzal Shamsi,1 Fardin Amiri,2 Abbas kota Jiroft dihadapkan pada
Ebadi,3 and Musab Ghaderi4 mental yang parah Masalah
kesehatan, terutama depresi,
1Department of Medical-Surgical yang membutuhkan
Nursing, School of Nursing and Midwifery, perencanaan pihak berwenang
Tehran University of Medical Sciences, dan menggunakan konsultan
Tehran, Iran berpengalaman untuk mendidik
2Department of Community Health keterampilan hidup dan
Nursing, School of Nursing and Midwifery, bagaimana menghadapi
Tehran University of Medical Sciences, psikologis dan masalah sosial
Tehran, Iran untuk mencegah dan mengobati
3Behavioral Sciences Research Center, gangguan psikologis pada
Nursing Faculty, Baqiyatallah University pasien ini. Juga, temuan dari
of Medical Sciences, Tehran, Iran penelitian ini menunjukkan
4Research Center, Jiroft University of bahwa model perawatan
Medical Sciences, Jiroft, Iran kemitraan efektif dan
bermanfaat dalam
Hindawi meningkatkan kesehatan
Depression Research and Treatment mental pasien dengan
Volume 2017, Article ID 3685402, 7 thalassemia utama; Dengan
pages demikian, berkenaan dengan
https://doi.org/10.1155/2017/3685402 keampuhan model ini,
disamping itu Ketidakmampuan
dan kesederhanaannya bagi
keluarga dan anak-anak,
Implementasi program tersebut
disarankan untuk perbaikan
kesehatan mental pasien
dengan thalassemia
4 The Effects of Group Keluarga psikoeducation itu
Psychoeducational Programme on efektif perawatan psikososial
Attitude toward Mental Illness in untuk skizofrenia Sebagai hasil
Families of Patients with penelitian ini menunjukkan
Schizophrenia, 2014 bahwa sikap terhadap penyakit
31

mental membaik dengan


Farnaz Rahmani1, Fatemeh penggunaan psikososial
Ranjbar2*, Hossein Ebrahimi3, Mina keluarga intervensi. Dengan
Hosseinzadeh4 demikian, psikososial keluarga
merupakan bagian penting dari
1Department of Psychiatric Nursing, perawatan menyeluruh untuk
Nursing and Midwifery Faculty, Student penderita skizofrenia dan
Research Committee, Tabriz University of sedang berlaku dalam
Medical pengaturan klinis. Itu
Sciences, Tabriz, Iran Penerapan psikomasi kelompok
2Department of Psychiatry, Research adalah direkomendasikan
Center of Psychiatry and Behavioral sebagai intervensi suportif
Sciences, Tabriz University of Medical untuk meningkatkan sikap
Sciences, keluarga terhadap penyakit
Tabriz, Iran kejiwaan.
3Department of Psychiatric Nursing,
Nursing and Midwifery Faculty, Tabriz
University of Medical Sciences, Tabriz,
Iran
4Department of Health Nursing, Nursing
and Midwifery Faculty, Student Research
Committee, Tabriz University of Medical
Sciences, Tabriz, Iran

Journal of Caring Sciences, 2015, 4(3),


243-251
doi:10.15171/jcs.2015.025
http:// journals.tbzmed.ac.ir/ JCS

Received: 22 Sep. 2014


Accepted: 20 Nov.2014
ePublished: 1 Sep. 2015

3.2 CONTOH KASUS

Tn. A (48th) diantar keluarganya ke RS karena terus memecahkan


kaca dan mondar-mandir. Pasien adalah pasien lama yang sering di rawat
di rumah sakit jiwa. Sudah 9 kali pasien keluar masuk rumah sakit jiwa
dengan gejala yang sama yaitu pasien tampak bingung, mondar-mandir,
banyak bicara dan tertawa sendiri. Pasien mulai dirawat pertama kali pada
32

tanggal 03 Maret 2010 – 04 Mei 2010, 07 Juli 2010 menjalani rawat jalan,
12 Agustus 2010 – 06 Oktober 2010, 04 November 2010 – 05 Januari 2011,
10 Februari 2011 – 16 Maret 2011, 06 April 2011 – 14 September 2011, 30
November 2011 – 21 Maret 2012, 12 September 2012 – 21 November
2012 dan yang terakhir 23 Januari 2013 – sekarang.
Keluarga mengatakan pasien mengalami gangguan jiwa sejak
bertahun-tahun. Pasien memiliki trauma sering dipukul oleh kakaknya
pada waktu remaja (sekitar usia 15 tahun). Nenek klien juga mengalami
gangguan jiwa dengan gejala yang sama seperti pasien. Pasien mengaku
pernah pergi meninggalkan rumah dan tidak kembali. Pasien mempunyai
riwayat TB dan sedang menjalani program pengobatan OAT. Pasien
mengatakan sering batuk saat diruangan.
Pasien mengatakan menyukai semua anggota tubuhnya karena
merupakan anugerah dari Tuhan. Pasien mengatakan bahwa dirinya sudah
tua dan terlambat mendekati wanita untuk diajak menikah. Pasien minder
saat bergaul dengan pasien lainnya karena pasien mengatakan bahwa dia
adalah seorang artis. Pasien mengetahui identitas dirinya sendirinya,
pernah bekerja sebagai petani, beragama islam dan mengaku pernah
sekolah sampai lulus STM. Saat di RS pasien mengatakan sering disuruh
mencuci baju dan mencuci piring, tetapi kalau tidak disuruh pasien
cenderung mondar-mandir, bicara sendiri dan menyanyi. Pasien merasa
tidak dihiraukan dan dijauhi oleh teman-temannya.
Pasien mengatakan tidak ada orang yang berarti, karena selama sakit
pasien merasa tidak dihiraukan oleh keluarga dan teman-temannya. Pasien
ingin berkumpul dengan teman-temannya, namun pasien merasa tidak
dihiraukan. Pasien Bergama Islam, dan menurutnya penyakitnya adalah
takdir dari Tuhan. Pasien mengatakan hanya menjalankan sholat ashar,
karena sholat 5 waktu hanya untuk anak-anak.
33

Pasien berpenampilan kurang rapi, pakaiannya kusut, mandi dan


gosok gigi secara mandiri. Pasien berbicara cepat memakai bahasa
Indonesia, kalau ditanya jawabannya cepat, terkadang jawabannya
berhenti dan tidak diteruskan atau malah menggumam sendiri. Saat diajak
berbicara tatapan mata sering kebawah dan sering menunduk. Terkadang
jawaban satu dengan yang lain tidak sama dan bergumam. Pasien
menjawab pertanyaan seadanya saja dan kalau tidak suka pertanyaan
perawat pasien pergi dari lokasi wawancara namun kemudian kembali lagi
dengan tersenyum. Pasien mengatakan senang berada di RS karena bias
bermain film dan menyanyi sepuasnya.
Pasien kooperatif tetapi sering meninggalkan lokasi wawancara,
mondar-mandir dan kemudian kembali lagi untuk mengajak wawancara.
Pasien mengatakan tdak mengalami halusinasi dan menyadari bahwa
dirinya harus berinteraksi. Pasien tidak mampu mengenali pagi, siang dan
malam hari, pasien mampu menyebutkan jam, tidak mampu menyebutkan
hari, tanggal dan tahun. Pasien mampu menyebutkan bahwa dirinya
berada di RS jiwa dan mampu menyebutkan nama pasien lain dan perawat.
Pasien mengatakan bahwa dirinya belum sembuh karena merasa kalau
keluarganya tidak memperhatikannya. Ketika mempunyai masalah pasien
mengatakan sering menghindar dan menyimpan masalahnya sendiri.
34

3.3 SCANNING DIAGNOSIS KEPERAWATAN : PENATALAKSANAAN REGIMEN


KELUARGA TIDAK EFEKTIF

Faktor Predisposisi

Biologis Psikologis Sosial Budaya


1. Nenek klien juga mengalami 1. Tingkat Intelegensia 1. Usia 48 tahun
gangguan jiwa dengan gejala yang 2. Komunikasi Verbal 2. Laki - laki
3. Moral ; ... 3. Pendidikan : STM
sama dengan pasien 4. Kepribadian : ... 4. Pekerjaan :
2. Nutrisi : ... 5. Pengalaman masa lalu ; misalnya ; 5. Penghasilan
3. Riwayat TB sedang menjalani 6. Konsep Diri : 6. Status sosial
program pengobatan OAT 7. Motivasi : .... 7. Latar belakang budaya
4. Sensivitas biologis : Mis. Riwayat 8. Mekanisme KOPING : 8. Keyakinan/agama
alergi 9. Self Control 9. Kegiatan kemasyarakatan
5. Paparan Zat : 10. Pengalaman sosial
11. Peran Sosial

10. Trauma sering dipukul oleh kakaknya saat 12. Pernah sekolah sampai STM
remaja. 13. Dulu bekerja sebagai petani
11. Pasien merasa minder, merasa tidak
dihiraukan oleh orang lain dan keluarga
14. Agama Islam tapi hanya
12. Kurang Faktor Presipitasi
dukungan keluarga menjalankan sholat ashar

Nature Origin Timing Number


1. Trauma sering
1. Biologis: Menderita TB Klien merasa kalau Sudah 9x keluar dipukul oleh
dan dalam proses tidak dihiraukan masuk rumah kakaknya saat
pengobatan OAT oleh teman- sakit remaja
2. Riwayat penyakit
2. Psikologis : Trauma temannya dan kronik (TB)
sering dipukul saat keluarganya
remaja
3. Sosial Budaya : Sekolah
hanya sampai tamat
STM

Penilaian

Kognitif Afektif Fisiologis Perilaku Respon


1. Kurang konsentrasi : - Malu/minder - - Mondar-mandir Tidak mau
menjawab seadanya dan
kalau tidak suka pertanyaan - Merendahkan diri : bergaul dengan
perawat klien pergi terus merasa sudah tua dan pasien lain
kemudian dating lagi. terlambat menikah karena minder
2. Minder saat bergaul. dan merasa
3. Merasa sudah tua dan
terlambat mendekati wanita
tidak dihiraukan
untuk diajak menikah
35

Sumber Koping

Personal Ability Sosial Support Material Positive Beliefs


Klien kurang rapi, Assets - Klien merasa belum
pakaian kusut Hubungan yang sembuh karena
kurang baik keluarganya tidak
Hubungan dengan keluarga menghiraukannya
interpersonal dan orang lain
kurang baik

Mekanisme Koping

Destruktif : Destruktif :
- Aktivitas yang memberikan pelarian Focus pada masalah : - Penggunaan Fantasi
sementara dari krisis identitas diri Negosiasi, konfrontasi, advice - Disosiasi
- Aktivitas yang memberikan identitas - Isolasi
pengganti sementara Kognitif : perbandingan positif,
- Proyeksi
- Aktivitas sementara menguatkan atau Pengabaian selektif, substitusi - Pengalihan
meningkatkan perasaan diri yang Reward, mengurangi objek yang - Splitting
tidak menentu Diharapkan. - Berbalik marah/benci
- Membangun kepercayaan diri dan terhadap diri sendiri
optimis Emosi : mekanisme - Amuk
- Memanfaatkan dukungan Pertahanan diri : denial, supresi - Penyalahgunaan obat
keluarga/orang terdekat
- Komunikasi terbuka
- Pemenuhan peran yang signifikan
- Mengungkapkan penerimaan diri
- Menerima kritikan dari orang lain
- Mengidentifikasi alternative dan
kemungkinan yang akan timbul
- Mengidentifikasi sumber-sumber yang
diperlukan untuk mendukung setiap
alternatif

Rentang Respon

Adaptif Maladaptif
36

ROLE PLAY
Family Psychoeducation (FPE)

Sesi 1 : Pengkajian Masalah Keluarga


1. Fase Orientasi
Perawat : “Selamat pagi mbak. Perkenalkan saya perawat Yudha, saya
perawat yang bertugas merawat Tn. A. Ibu namanya siapa?”
Keluarga : “Selamat pagi. Saya Ratih.”
Perawat : “Okeh, saya panggilnya mbak Ratih ya.
Keluarga : “Iyah suster.”
Perawat : “Dari data yang ada, Tn. A sudah 9x keluar masuk rumah sakit.
apa ada masalah dirumah sehingga Tn. A diantarkan lagi ke RS?”
Keluarga : “Masalahnya dia selalu memecahkan kaca suster, setelah
memecahkan kaca lalu mondar-mandir. Sebenarnya ini masalah lama
suster, yang dulu juga seperti ini.”
Perawat : “Sejauh ini apa yang sudah dilakukan oleh keluarga saat Tn. A
berada dirumah dan sekarang berada di RS?”
Keluarga : “Biasanya kalau sudah kambuh, kami masukkan dalam kamar
dan mengunci pintunya. Karena sudah mulai memecahkan kaca, kami
langsung memutuskan untuk diantarkan lagi ke rumah sakit.”
Perawat : “Kalau begitu, hari ini saya mau mengajak mbak untuk mengkaji
masalah yang ada didalam keluarga terutama masalah Tn. A sehingga
ketika Tn. A pulang ke rumah Tn. A tidak akan kambuh lagi. mbak mau gak
kita bersama-sama menyelesaikan masalah Tn. A?”
Keluarga : “Iya suster. Kami juga sudah capek harus bolak-balik
mengantarkan Tn. A ke RS kalau sudah kambuh.”
Perawat : “Oke. Saya jelaskan dulu yah ke mbak, ini adalah terapi untuk
keluarga. Nantinya ada 5 sesi yang harus dijalani. Sesi I Pengkajin masalah
keluarga, Sesi II perawatan klien gangguan jiwa, sesi III Manajemen stress
keluarga, Sesi IV Manajemen beban keluarga, dan sesi V Pemberdayaan
komunitas untuk membantu keluarga. Hari ini kita akan membahas sesi I
37

saja. Lama kegiatan 60 menit. Nanti saya akan memberikan buku sebagai
catatan untuk mbak dan keluarga, setiap pertanyaan yang saya berikan
silahkan ditulis dibukunya. Apa mbak setuju dan mau mengikuti kegiatan
dari awal sampai selesai?”
Keluarga : “Iya suster. Saya mau.”
Perawat : “Kegiatannya kita lakukan diruang perawat saja ya mbak.”
Keluarga : “Iya suster.”

2. Fase Kerja
Perawat : “Sejak kapan Tn. A mengalami gejala gangguan jiwa?”
Keluarga : “Tn. A dulunya mau menikah suster, tapi perempuan yang ingin
dia nikahi ternyata menikah dengan orang lain. Tn. A lalu menyalahkan
dirinya sendiri, Tn. A menganggap karena Cuma sebagai petani, hanya
lulusan STM dan usianya sudah tua sehingga perempuan itu tidak mau
dengan dia. Setelah itu mulai mondar-mandir dan berbicara sendiri.
Kadang juga suka tertawa sendiri.”
Perawat : “Selama ini apa yang dirasakan oleh mbak dan keluarga terkait
dengan gangguan
jiwa yang dialami Tn. A?”
Keluarga : “Kami malu suster, sejak pertama kali Tn. A masuk S karena
sering mondar-mandir dan tertawa sendiri tetangga mulai menjauhi
keluarga saya. Ibu saya sampai sakit karena memikirkan T. A. adik saya
yang bungsu sampai batal juga untuk menikah karena pacarnya tidak mau
menikah dengan orang yang punya keluarga gangguan jiwa.”
Perawat : “Selama Tn. A dirumah siapa yang merawat?”
Keluarga : “Kadang ibu saya, kadang saya, kadang bapak saya.”
Perawat : “Selama perawatan, apa ada masalah yang muncul? Karena dari
data disini Tn.A sudah 9 kali di rawat, belum lama dirumah sudah kembali
lagi di rumah sakit.”
Keluarga : “Tn.A kan pulang ke rumah membawa obat, obatnya jarang
diminum suster. Biasanya juga kami lupa memberikan obatnya. Kalau
38

sudah kambuh ya kami masukkan dalam kamar terus kamarnya dikunci.


Karena kami takut kalau Tn. A kambuh bisa merusak barang-barang.”
Perawat :”Selama melakukan perawatan Tn. A dirumah, ada masalah
keluarga yang muncul selain tetangga yang menjauhi keluarga mbak?”
Keluarga : “Ya itu tadi suster, ibu saya jadi sakit-sakitan. Saya kan tidak
bisa setiap hari membantu merawat Tn. A karena harus bekerja dan
mengurus anak. Jadi ibu sama bapak saya yang merawat. Dan lagi suasana
di dalam rumah jadi berubah karena penyakit yang diderita Tn. A.”
Perawat : “Apa harapan mbak dan keluarga selama mengikuti kegiatan
ini?”
Keluarga : “Kami tahu masalah apa yang di alami Tn. A dan kami bisa
merawat Tn. A supaya bisa sembuh.”
Perawat : “Apa ada yang mau ditanyakan terkait kegiatan sesi I ini?”
Keluarga : “Kami harus seperti apa suster kalau nanti Tn. A pulang ke
rumah biar gak bolak balik masuk RS? Kami sudah capek suster sepertinya
tidak ada perubahan ketika di RS. Sampai rumah tidak lama sudah
kambuh lagi.”
Perawat : “Iyah nanti akan saya jelaskan pada sesi berikutnya tentang
gangguan jiwa dan cara merawat klien dengan gangguan jiwa.”
Keluarga : “Nanti saya datang lagi ke RS yah suster.”

3. Fase Terminasi
Perawat : “Iyah mbak silahkan. Nah, dari hasil kita diskusi tadi sudah
didapatkan masalah apa saja yang dialami keluarga dan klien. Setelah
mbak tahu masalah yang dialami Tn. A bagaimana perasaannya?”
Keluarga : “Saya sedikit lega suster karena ada orang yang mau peduli
dengan Tn. A. karena hamper semua tetangga mulai menjauhi Tn. A dan
terutama keluarga saya.”
Perawat : “Okeh. Masalah-masalah yang tadi sudah dicatat semua yah
dibuku yang saya berikan?”
Keluarga : “Sudah suster”
39

Perawat : “Nanti sampai dirumah mbak harus menyampaikan dan


mendiskusikan pada keluarga yang lain tentang masalah yang dihadapi
oleh keluarga saat ini.”
Keluarga : “Iyah suster.”
Perawat : “Minggu depan kita bisa bertemu lagi? Nanti kita akan
membahas topic selanjutnya terkait pertanyaan mbak tadi. Ketemunya
nanti dengan saya lagi, dan diruang perawat biar enak ngobrolnya.”
Keluarga : “Iyah suster, kalau saya datang bersama ibu saya apa boleh?”
Perawat : “Boleh sekali. Nanti biar ibu mbak juga tahu tentang gangguan
jiwa dan bagaiman cara merawat klien dengan baik. Terima kasih untuk
waktunya dalam mengikuti kegiatan ini yah mbak. Selamat pagi dan
sampai jumpa minggu depan.”
Keluarga : “Iyah suster. Sama-sama.
40

BAB IV
PENUTUP

4.1 Simpulan
Regimen terapeutik adalah pengobatan yang terputus pada saat
dirumah sehingga terapi yang dijalani oleh pasien berhenti yang
mengakibatkan gangguan jiwa yang dialami pasien terjadi kembali.
(Wahyudi,2014)
Family Psychoeducation adalah terapi spesialis yang tepat untuk
diberikan pada keluarga dengan anggota keluarga yang mengalami
gangguan kesehatan baik penyakit fisik maupun gangguan jiwa. Keluarga
menjadi unit penting yang mempengaruhi kesehatan klien karena
keluarga yang akan merawat klien di rumah. Terlebih untuk keluarga
yang memiliki anggota keluarga dengan gangguan jiwa yang memerlukan
perawatan jangka panjang. Karena itu diperlukan pengetahuan dan
kemampuan mengatasi masalah yang baik, agar walaupun salah satu
anggota keluarga mengalami gangguan jiwa, keseimbangan keluarga
tetap terjaga.
Terapi ini dapat memberikan dampak positif kepada keluarga
dan secara tidak langsung kepada klien. Bagi keluarga, dapat
meningkatkan pengetahuan tentang penyakit yang dialami klien,
meningkatkan kemampuan merawat klien, memperbaiki koping
keluarga, dan meningkatkan kemampuan mengatasi masalah karena
kondisi sakit klien. Bagi klien, akan mendapatkan perawatan yang
optimal oleh keluarga, mendapatkan dukungan yang adekuat dari
keluarga dan secara tidak langsung dapat meningkatkan kemandirian
dan menurunkan kekambuhan pada klien.
Menurut Prof. Sasanto, salah satu titik penting untuk memulai
pengobatan adalah keberanian keluarga untuk menerima kenyataan.
Mereka juga harus menyadari bahwa gangguan jiwa itu memerlukan
pengobatan sehingga tidak perlu dihubungkan kepercayaan yang
macam-macam. Terapi bagi penderita gangguan jiwa bukan hanya
41

pemberian obat dan rehabilitasi medik, namun diperlukan peran


keluarga dan masyarakat dibutuhkan guna resosialisasi dan pencegahan
kekambuhan.(Hawari, 2007)

3.2 Saran
Demikian makalah yang telah kami susun, semoga dengan
makalah ini dapat menambah pengetahuan serta lebih bisa memahami
tentang pokok bahasan makalah ini bagi para pembacanya dan
khususnya bagi mahasiswa pascasarjana keperawatan jiwa yang telah
menyusun makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
semua.
42

DAFTAR PUSTAKA

Keliat, B.A. dkk. ( 2015). Workshop Keperawatan Jiwa ke-IX : Program Studi
Ners Spesialis I Keperawatan Jiwa Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas Indonesia. Depok. Tidak dipublikasikan.
Potter, P. A & Perry, A. G. (2005). Buku ajar fundamental keperawatan,
konsep, proses dan praktik. Jakarta: EGC
Siahaan, CP. 2012. Regimen Terapeutik Tidak Efektif. Diakses dari
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/32883/4/Chapter
%20II.pdf pada tanggal 20 Oktober 2017
Stuart and Laria ( 2016 ). Prinsip dan Praktik Keperawatan Kesehatan Jiwa
Stuart . Edisi Indonesia : Editor Budi Ana Keliat : Elsefier. Singapure.
Pteltd.
Setyoadi, dkk. (2011). Terapi Modalitas Keperawatan pada Klien
Psikogeriatrik. Jakarta: Salemba Medika.
Yosep, Iyus. (2009). Keperawatan Jiwa. Bandung: PT Refika Aditamam.

Anda mungkin juga menyukai