Anda di halaman 1dari 10

REVIEW

MATA KULIAH IBADAH DAN AKHLAK

“Ibadah”

Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ibadah dan Akhlak


Dosen Pengampu: Dra. Marissa, MA

Disusun Oleh:
Teddy Hardiansyah
NPM. 71200517003
Program Studi Pendidikan Kimia

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KIMIA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS ISLAM SUMATERA UTARA
MEDAN
2021
A. Pengertian Ibadah

Ibadah berasal dari kata Arab Ibadah (jamak: ibadat) yang berarti pengabdian,
penghambaan, ketundukkan, dan kepatuhan. Dari akar kata yang sama kita mengenal istilah
'abd (hamba, budak) yang menghimpun makna kekurangan, kehinaan dan kerendahan Karena
itu, Inti ibadah lalah pengungkapan rasa kekurangan, kehinaan dan kerendahan ciri dalam
bentuk pengagungan penyucian dan syukur atas segala nikmat. Kata 'abd diserap ke dalam
bahasa Indonesia menjadi abdi, seorang yang mengabdi dengan tunduk dan patuh kepada
orang lain. Dengan demikian, segala bentuk sikap pengabdian dan kepatuhan merupakan
ibadah walaupun tidak dilandasi suatu keyakinan.
Kata "Ibadah" menurut bahasa berarti "taat, tunduk, merendahkan diri dan
menghambakan diri". Adapun kata "Ibadah" menurut istilah berarti penghambaan diri yang
sepenuh-penuhnya untuk mencapai keridhoan Allah dan mengharap pahala-Nya di akhirat".
Dari sisi keagamaan, ibadah adalah ketundukkan atau penghambaan diri kepada
Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Ibadah meliputi semua bentuk kegiatan manusia di dunia ini,
yang dilakukan dengan niat mengabdi dan menghamba hanya kepada Allah. Jadi. semua
tindakan mukmin yang dilandasi oleh niat tulus untuk mencapai ridha Allah dipandang
sebagai ibadah. Makna inilah yang terkandung dalam firman Allah :

Tidaklah Kuciptakan jin dan manusia melainkan untuk mengabdi kepada-Ku, (Al-Dzariyat:
56).
Dengan demikian, segenap tindakan mukmin yang dilakukan sepanjang hari dan
malam tidak terlepas dari nilai ibadah, termasuk tindakan yang dianggap sepele, seperti
senyum kepada orang lain. Atau bahkan tindakan yang dianggap kotor atau tabu jika
dituturkan kepada orang lain, seperti buang hajat, melakukan hubungan seks, dan lain-lain.
Beberapa sahabat bertanya kepada Nabi saw. tentang pahala shalat, puasa, dan sedekah.
Rasulullah saw. juga bersabda, "Seseorang muslim yang menanam pohon atau tumbuhan
lain, kemudian buahnya dimakan burung, orang atau binatang ternak, semua itu menjadi
sedekah baginya."

B. Syarat Diterima Ibadah

Agar ibadah diterima di sisi Allah, haruslah terpenuhi dua syarat, yaitu
1. Ikhlas karena Allah.
2. Mengikuti tuntunan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam (ittiba).
Jika salah satu syarat saja yang terpenuhi, maka amalan ibadah menjadi tertolak.
Berikut kami sampaikan bukti-buktinya dari Al Qur'an, As Sunnah, dan Perkataan Sahabat.

1. Dalil Al Qur'an
Dalil dari dua syarat di atas disebutkan dalam firman Allah Ta'ala:

'Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan
kepadaku: "Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa." Barangsiapa
mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh
dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya." (QS. Al
Kahfi: 110)
Ibnu Katsir r.a menjelaskan, "Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh",
maksudnya adalah mencocoki syariat Allah (mengikuti petunjuk Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam). Dan "janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada
Tuhannya", maksudnya selalu mengharap wajah Allah semata dan tidak berbuat syirik pada-
Nya.

2. Dalil dari Al Hadits

Dua syarat diterimanya amalan ditunjukkan dalam dua hadits. Hadits pertama dari
'Umar bin Al Khottob, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya
setiap amalan tergantung pada niat. Dan setiap orang akan mendapatkan apa yang ia
niatkan. Barangsiapa yang berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya adalah
pada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa yang hijrah karena dunia yang ia cari-cari atau
karena wanita yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya berarti pada apa yang ia tuju (yaitu
dunia dan wanita)".
Hadits kedua dari Ummul Mukminin, 'Aisyah radhiyallahu 'anha, Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam
agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak."

3. Perkataan Sahabat
Para sahabat pun memiliki pemahaman bahwa ibadah sematamata bukan hanya
dengan niat ikhlas, namun juga harus ada tuntunan dari Nabi shallallahu 'alathi wa sallam.
Sebagai dalilnya, kami akan bawakan dua atsar dari sahabat.

Pertama: Perkataan 'Abdullah bin 'Umar. Abdullah bin 'Umar radhiyallahu 'anhuma berkata,
"Setiap bid'ah adalah sesat walaupun manusia menganggapnya baik."
Kedua: Kisah 'Abdullah bin Mas'ud.
Terdapat kisah yang telah masyhur dari Ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhu ketika beliau
melewati suatu masjid yang di dalamnya terdapat orang-orang yang sedang duduk
membentuk lingkaran. Mereka bertakbir, bertahlil, bertasbih dengan cara yang tidak pernah
diajarkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Lalu Ibnu Mas'ud mengingkari
mereka dengan mengatakan;
"Hitunglah dosa-dosa kalian. Aku adalah penjamin bahwa sedikit pun dari amalan
krbaikan ka]ian tidak akan hilang. Celakglah kalian, wahai umat Muhammad! Eegitu cepat
kebinasaan kalian! Mereka sahabat nabi kalian masih ada. Pakaian beliau shallallahu
'alaihi wa sallam juga belum rusak. Eejananya pun belum pecah, Demi yang jivvaku berada
di tangan-Nya, apakAh kalian berada dalam agama yang lebih baik dari agamanya
Muhammad? Ataukah kalian ingin membuka pintu kesesatan (bid'ah)?"
Mereka menjawab:
"Demi Alah wahai Abu 'Abdurrahman (Ibr,u Mas'ud), kami tidaklah mengtnginkan
selain kebaikan, " Ibnu Mas'ud berkata, "Betapa banyak orang yang menginginkan namun
Edak mendapatkannya. "

Dapat disimpulkan bahwa tidak semua tindakan manusia dianggap ibadah kecuali jika
memenuhi dua syarat berikut ini.
Pertama: niat yang ikhlas. suatu perbuatan dinilai ibadah kalau diniatkan sebagai
ibadah. Rasauliah saw, bersabda. "Suatu amal hanya (akan dinilai sebagai ibadah) sesuai
dengan niatnya. dan masing•masmg orang akan mera:h sesuatu sesuai dengan niatnya." [HR
Eukhar: dan Muslim). Hussem Ateshin, pakar Islam asal Turki, mengatakan. "Suatu tindakan
dianggap ibadah hanya jika dimulai densan niat, yakm secara mental kita harus menyadari
bahwa apa yang aban kata lakukan itu dema dan dalam keranska kepatuhan serta ketaatan
kepada kehendak Allah Yang Mahakuasa."'
Kedua: tidak bertentangan dengan, syariat, Bila bertentangan densan syariat, suatu
tindakan tidak akan dianggap ibadah dilandasi densan niat ibadah, msalnya memperkosa,
mencuri, merampck, korapsi dan sebasamya. Semua itu tidak dianggap ibadah mesklpun hasil
dan tindakan itu diperguna}an untuk kebaikan, misalnya bersedekah dengan harta hasil
korupsi. Allah berfirman,

C. Hakikat Ibadah

Tujuan diciptakannya manusia di muka bumi ini yaitu untuk beribadah kepada-Nya.
Allah menetapkan perintah ibadah sebenarnya merupakan suatu kemampuan yang besar
kepada makhluknya, karena apabila direnungkan, hakikat perintah beribadah itu berupa
peringatan agar kita menunaikan kewajiban terhadap Allah yang telah melimpahkan karunia-
Nya.
Hakikat ibadah itu antara lain firman Allah yang berbunyi:

Artinya: "Wahat para manusia, beribadahlah kamu kepada Tuhanmu, yang telah menjadikan
kamu dan telah menjadikan orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa." (QS. Al-
Baqarah (2) 121).
Adapun hakikat ibadah yaitu :
1. Ibadah adalah tujuan hidup kita.
2. Melaksanakan apa yang Allah cintai dan ridhai dengan penuh ketundukkan dan
perendahan diri kepada Allah SWT.
3. Ibadah akan terwujud dengan cara melaksanakan perintah Allah dan meninggalkan
larangan-Nya.
4. Cinta, maksudnya cinta kepada Allah dan Rasul-Nya yang mengandung makna
mendahulukan kehendak Allah dan RasulNya atas yang lainnya. Adapun tanda-
tandanya : mengikuti sunnah Rasulullah saw.
5. Jihad di jalan Allah (berusaha sekuat tenaga untuk meraih segala sesuatu yang dicintai
Allah).
6. Takut, maksudnya tidak merasakan sedikitpun ketakutan kepada segala bentuk dan
jenis makhluk melebihi ketakutannya kepada Allah SWT.
Dengan demikian orang-orang yang benar-benar mengerti kehidupan adalah yang
mengisi waktunya dengan berbagai macam bentuk ketaatan; baik dengan melaksanakan
perintah maupun menjauhi larangan. Sebab dengan cara itu tujuan hidupnya akan terwujud.

D. Ruang Lingkup dan Sistematika Ibadah


Membicarakan ruang lingkup ibadah, tentunya tidak dapat melepaskan diri dari
pemahaman terhadap pengertian ruang lingkup itu sendiri. Oleh sebab itu, menurut Ibnu
Taimiyah (661-726 H/ 12621371 M) yang dikemukakan oleh Ritonga, bahwa ruang lingkup
ibadah mencakup semua bentuk cinta dan kerelaan kepada Allah, baik dalam perkataan
maupun batin; termasuk dalam pengertian ini adalah salat, zakat, haji,benar dalam
pembicaraan, menjalankan amanah, berbuat baik kepada orang tua, menjalin silahturrahmi,
memenuhi janji, amar ma'ruf nahi munkar, jihad terhadap orang kafir, berbuat baik pada
tetangga, anak yatim, fakir miskin dan ibn sabil, berdo'a, zikir, baca Alqur'an, rela menerima
ketentuan Allah dan lain sebagainya.
Ruang lingkup ibadah pada dasarnya digolongkan menjadi dua, yaitu:
1. Ibadah Umum, artinya ibadah yang mencakup segala aspek kehidupan dalam rangka
mencari keridhoan Allah. Unsur terpenting agar dalam melaksanakan segala aktivitas
kehidupan di dunia ini agar benar-benar bernilai ibadah adalah "niat" yang ikhlas
untuk memenuhi tuntutan agama dengan menempuh jalan yang halal dan menjauhi
jalan yang haram.
2. Ibadah Khusus, artinya ibadah yang macam dan cara pelaksanaannya ditentukan
dalam syara' (ditentukan oleh Allah dan Nabi Muhammad SAW). ibadah khusus ini
bersifat tetap dan mutlak, manusia tinggal melaksanakan sesuai dengan peraturan dan
tuntutan yang ada, tidak boleh mengubah, menambah, dan mengurangi, seperti
tuntutan bersuci (wudhu), salat, puasa ramadhan, ketentuan nisab zakat.
Secara garis besar sistematika ibadah ini sebagaimana dikemukakan Wahbah Zuhayli,
sebagai berikut ::
1. Taharah
2. Shalat
3. Penyelenggaraan jenazah
4. Zakat
5. Puasa
6. Haji dan Umroh
7. l'tikaf
8. Sumpah dan Kaffarah
9. Nazar
10. Qurban dan Aqiqah
E. Hubungan Ibadah dengan Iman
Ibadah, yang merupakan ekspresi kehinaan dan kerendahan diri di hadapan Tuhan
Yang Mahakuasa dan Mahaagung, harus dilandasi oleh keimanan dan keyakinan yang kukuh
kepada-Nya. Sejatinya, ketundukan dan kepatuhan manusia di hadapan Tuhannya dengan
melakukan berbagai bentuk ibadah merupakan manifestasi iman yang bersifat abstrak ke
dalam perbuatan yang konkret, ketundukan dan kepatuhan yang tidak dilandasi keimanan,
seperti ketundukan seseorang kepada pemimpinnya, tidak termasuk ibadah. Begitu pula
kekaguman dan pengabdian seseorang kepada kekasihnya.
Jadi, iman yang bersifat abstrak belum sempurna sebelum direalisasikan dalam bentuk
amal nyata, yakni ibadah. Karena itulah Al-Qur'an selalu menggandengkan kata iman dengan
amal shaleh, karena iman tidak sempurna tanpa amal shaleh. Rasulullah saw. sendiri selalu
menegaskan realisasi iman dengan amal shaleh. Misalnya beliau bersabda, "Mukmin yang
paling sempurna imannya ialah yang paling baik akhlaknya." (HR Bukhari dan Muslim). la
juga bersabda, "Tidak (sempurna) iman salah seorang kalian hingga ia mencintai saudaranya
sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri." (HR Bukhari dan Muslim).
Dengan demikian, ibadah merupakan institusi iman. Karena tidak terlihat, keimanan
seseorang tak dapat diukur dan diperkirakan. Namun, kita dapat melthat realitas imannya dari
ibadah yang dilakukannya. Kita sendiri dapat merasakan, saat iman menurun, ibadah kita pun
menurun, begitu pun sebaliknya.
Iman dan ibadah sering pula saling menguatkandan saling menyempurnakan. Ketika
seseorang memiliki kesempatan yang luas untuk beribadah, tetapi keimanannya belum kokoh,
ia meningkatkan dan memperkukuh imannya dengan terus-menerus menambah kualitas dan
kuantitas ibadahnya. Sebaliknya, iman yang semakin mantap pasti akan membuahkan ibadah
yang banyak dan berkualitas. Itulah hubungan timbal-balik antara iman dan ibadah

F. Tujuan Ibadah

Ada lima tujuan yang dicapai melalui pelaksanaan ibadah:


1. Memuji Allah dengan sifat-sifat kesempurnaan-Nya yang mutlak, seperti ilmu,
kekuasaan, dan kehendak-Nya. Artinya, kesempurnaan sifat-sifat Allah tak terbatas, tak
terikat syarat, dan meniscayakan-Nya tanpa membutuhkan yang lain.
2. Menyucikan Allah dari segala cela dan kekurangan, seperti kemungkinan untuk binasa,
terbatas, bodoh, lemah, kikir, semena-mena, dan sifat-sifat tercela lainnya,
3. Bersyukur kepada Allah sebagai sumber segala kebaikan yang kita dapatkan berasal dari-
Nya, sedangkan segala sesuatu selain kebaikan hanyalah perantara yang Dia ciptakan.
4. Menyerahkan diri secara tulus kepada Allah dan menaati-Nya secara mutlak. Mengakui
bahwa Dialah yang layak ditaati dan dijadikan tempat berserah diri. Dialah yang berhak
memerintah dan melarang kita, karena Dialah Tuhan kita. Kita semua wajib taat dan
menyerahkan diri kepada-Nya, sebab kita adalah hamba-Nya.
5. Tidak ada sekutu bagi-Nya dalam masalah apapun yang kami sebutkan di atas, dialah
satu-satunya yang Maha Sempurna. Dialah satu-satunya yang Mahasuci dari segala cela
dan kekurangan. Dan dialah satu-satunya pemberi nikmat yang sebenarnya, serta pencipta
segala kenikmatan. Karena itu, segala bentuk syukur layak dipanjatkan hanya kepada-
Nya. Dialah satu-satunya yang layak ditaati dan dijadikan tempat berserah diri secara
tulus. Ketaatan kita kepada Nabi, imam, pemimpin, agama, ayah, ibu, atau guru harus kita
lakukan dalam bingkai ketaatan kita kepada-Nya. Inilah sikap yang layak bagi seorang
hamba di hadapan Penciptanya Yang Mahaagung. Sikap semacam itu hanya boleh
dilakukan kepada Dia yang betul-betul nyat keagungan dan kebesaran-Nya.

G. Macam-Macam Ibadah Ditinjau dari Berbagai Segi

1. Dilihat dari segi umum dan khusus, maka ibadah dibagi dua macam:"
a. Ibadah Khoshoh adalah ibadah yang ketentuannya telah ditetapkan dalam nash
(dalil/dasar hukum) yang jelas, yaitu sholat, zakat, puasa dan haji.
b. Ibadah Ammah adalah semua perilaku baik yang dilakukan semata-mata karena Allah
SWT seperti bekerja, makan, minum dan tidur sebab semua itu untuk menjaga
kelangsungan hidup dan kesehatan jasmani supaya dapat mengabdi kepada-Nya.

2. Ditinjau dari segi kepentingan perseorangan atau masyarakat, ibadah ada dua macam:
a. Ibadah wajib (fardhu) seperti sholat dan puasa.
b. Ibadah ijtima'i, seperti zakat dan haji.

3. Dilihat dari cara pelaksanaannya, ibadah dibagi menjadi tiga:


a. Ibadah jasmaniyah dan ruhiyah seperti sholat dan puasa
b. Ibadah ruhiyah dan amaliyah seperti zakat.
c. Ibadah jasmaniyah, ruhiyah dan amaliyah seperti pergi haji.

4. Ditinjau dari segi bentuk dan sifatnya, ibadah dibagi menjadi:


a. Ibadah yang berupa pekerjaan tertentu dengan perkataan dan perbuatan, seperti sholat,
zakat, puasa dan haji.
b. Ibadah yang berupa ucapan, seperti membaca Al-Qur'an, berdo'a dan berdzikir.
c. Ibadah yang berupa perbuatan yang tidak ditentukan bentuknya, seperti membela diri,
menolong orang lain, mengurus jenazah dan jihad.
d. Ibadah yang berupa menahan diri, seperti ihrom, berpuasa dan i'tikaf (duduk di
masjid); dan

e. Ibadah yang sifatnya menggugurkan hak, seperti membebaskan hutang atau


membebaskan hutang orang lain.
Daftar Refrensi:

Dr. H. Khoirul Abror, M. ( 2019). FIQH IBADAH. Yogyakarta: PHOENIX PUBLISHER.


DR. M. NASRI HAMANG NAJED, S. M. (2018). FIKIH ISLAM dan METODE
PEMBELAJARANNYA. Parepare: Universitas Muhammadiyah Parepare Press (Umpar
Press).
Zainal Abidin, M. (2020). FIQH IBADAH. Yogyakarta: Penerbit DEEPUBLISH.

Anda mungkin juga menyukai