Anda di halaman 1dari 31

PENGELOLAAN PENANGGULANGAN BENCANA DENGAN PENDEKATAN

KOMPREHENSIF PADA SETIAP FASE, KESEHATAN PROMOSI, UNTUK


POPULASI LANSIA

Dosen Pembimbing:
Tika Sari Dewy, S.Kep.,Ns.,M.Kep

Oleh:
Kelompok 1

Mariatul Kiptiah NIM 1114190637


Nur Syarifah NIM 1114190641
Rovita Usnul Ado NIM 1114190642
Siska Rahmawati NIM 1114190644

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


STIKES DARUL AZHAR BATULICIN
TAHUN 2022
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala puji bagi Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Dialah satu-satunya Dzat yang memberikan perlindungan dunia dan akhirat kelak. Dialah
sesungguhnya Maha pemberi petunjuk yang tiada dapat menyesatkan.Pertama-tama marilah
kita panjatkan puji syukur kehadirat Allah Swt yang senantiasa memberikan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.

Laporan ini dapat tersusun dengan baik berkat bantuan, bimbingan, masukan, dan
motivasi dari banyak pihak. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Tika Sari Dewy, S.Kep.,Ns.,M.Kep selaku Dosen pembimbing mata kuliah
Manajemen Keperawatan yang telah memberikan masukan dan kesempatan
sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan ini dengan baik.
2. Orang tua serta saudara-saudara tercinta atas do’a, motivasi, dan harapannya
sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan ini dengan lancar.
3. Teman-teman yang telah memberikan motivasi dan masukan yang baik kepada
penulis sehingga bisa menyelesaikan laporan ini dengan lancar.
Mudah-mudahan amal baik mereka senantiasa mendapat pahala dan balasan yang
setimpal dari Allah Swt. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan
pembaca pada umumnya. Aamin.

Simpang Empat, November 2022

Penulis
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Bencana adalah sebuah kejadian yang tidak biasa terjadi disebabkan oleh alam
maupun ulah manusia, termasuk pula di dalamnya merupakan imbas dari kesalahan
teknologi yang memicu respon dari masyarakat, komunitas, individu maupun lingkungan
untuk memberikan antusiasme yang bersifat luas. (Coburn, A. W. dkk. 2014)
Lanjut usia (lansia) merupakan tahap akhir dari kehidupan dan proses alamiah yang
tidak bisa dihindari oleh tiap individu. Lansia dimulai setelah pensiun biasanya pada usia
65-75 tahun (Potter dan Perry, 2019). Menurut Undang—Undang No. 13 Tahun 1998
Bab I Pasal 1 ayat 2, lansia dalah penduduk yang beusia 60 tahun ke atas.
Indonesia sendiri memiliki kondisi geografis, geologis dan demografis yang
menyebabkan negeri ini dikenal sebagai laboratorium bencana. Sesuai dengan Undang-
Undang No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana Bab I, tentang ketentuan
umum, pasal 1, jenis-jenis bencana dapat dikelompokkan menjadi bencana alam, antara
lain (1) gempa bumi, (2) tsunami, (3) gunung meletus, (4) bajir, (5) kekeringan, (6) angin
topan, (7) tanah longsor. Sedangkan bencana non alam, seperti (8) gagal teknologi, (9)
gagal modernisasi, (10) epidemi, (11) wabah penyakit, dan bencana sosial, (12) konflik
sosial kelompok atau antar komunitas dan (13) teror.
Dari jenis-jenis bencana tersebut, terdapat enam bencana yang paling mengancam
daerah-daerah di Indonesia. Bencana itu yakni gempa bumi, kebakaran gedung, tsunami,
banjir dan banjir bandang, tanah longsor, serta letusan gunung api. Bencana tersebut
tentu akan memberikan dampak yang besar bagi kelompok rentan khususnya pada lansia
(Badan Nasional Penanggulangan Bencana, 2017).
Seseorang yang usianya di atas 65 tahun besar kemungkinan untuk mengalami
penyakit kronis, seperti: hipertensi, jantung, diabetes, dll. 80 % dari kelompok lansia ini
memiliki penyakit kronis, dan 50 % memiliki komplikasi. Lansia juga mengalami
gangguan gerak, kognitif, sensori, sosial dan keterbatasan dari segi ekonomi. Semuanya
dapat mempengaruhi proses adaptasi dan kemampuan berfungsi selama bencana. Selama
bencana lansia bisa saja menjadi sangat sensitif, mengalami gangguan tidur, disorientasi,
depresi dan trauma. Kemudian setelah bencana selesai resiko untuk kondisi fisik lansia
menurun sangat tinggi karena kurang nutrisi, suhu yang ekstrim, terpapar dengan infeksi,
dan gangguan emosional.
Berdasarkan data di atas, maka dalam makalah ini penulis akan membahas lebih
dalam mengenai pengelolaan penanggulangan bencana dengan pendekatan komprehensif
pada fase, kesehatan promosi, untuk populasi lansia.

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimana pengelolaan penanggulangan bencana dengan pendekatan komprehensif
pada fase, kesehatan promosi, untuk populasi lansia?

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui pengelolaan penanggulangan bencana dengan pendekatan
komprehensif pada fase, kesehatan promosi, untuk populasi lansia
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui konsep bencana
2. Untuk mengetahui pengelolaan penanggulangan bencana dengan pendekatan
komprehensif pada setiap fase (prevention, mitigation,
planning/response/recovery)
3. Untuk mengetahui pengurangan resiko, pencegahan penyakit dan promosi
kesehatan
4. Untuk mengetahui komunikasi dan penyebaran informasi
5. Untuk mengetahui perawatan psikososial dan spiritual pada korban bencana
6. Untuk mengetahui perawatan untuk populasi rentan lansia
7. Untuk mengetahui perlindungan dan perawatan bagi petugas caregiver
8. Untuk mengetahui kerjasama tim inter dan multidisiplin
9. Untuk mengatahui pemberdayaan masyarakat

1.4 Manfaat
a. Penulis
Semoga dengan pembuatan makalah ini penulis dapat menambah wawasan dan
pengalaman tentang Bagaimana pengelolaan penanggulangan bencana dengan
pendekatan komprehensif pada fase, kesehatan promosi, untuk populasi lansia.
b. Institusi
Sebagai bahan pertimbangan dalam menyusun program pembelajaran serta
menentukan metode dan media pembelajaran yang tepat.
c. Masyarakat
Semoga dengan ada nya penyusunan makalah ini masyarakat dapat memahami
Bagaimana pengelolaan penanggulangan bencana dengan pendekatan komprehensif
pada fase, kesehatan promosi, untuk populasi lansia.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Bencana


2.1.1 Definisi Bencana
Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan
mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh
faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta
benda, dan dampak psikologis (Badan Nasional Penanggulangan Bencana, 2017).
Bencana alam adalah konsekuensi dari kombinasi aktifitas alami dan aktifitas
manusia, seperti: letusan gunung, gempa bumi dan tanah longsor. Karena
ketidakberdayaan manusia akibat kurang baiknya manajemen keadaan darurat,
sehingga menyebabkan kerugian dalam bidang keuangan dan struktural, bahkan
sampai kematian. Kerugian yang dihasilkan tergantung pada kemampuan untuk
mencegah ataun menghindari bencana dan daya tahan mereka. Pemahaman ini
berhubungan dengan pernyataan: “bencana muncul bila ancaman bahaya bertemu
dengan ketidakberdayaan”. Dengan demikian, aktifitas alam yang berbahaya tidak
akan menjadi bencana alam di daerah tanpa ketidakberdayaan manusia, misalnya
gempa bumi di wilayah tak berpenghuni. Besarnya potensi kerugian juga tergantung
pada bentuk bahayannya sendiri mulai dari kebakaran, yang mengancam bangunan
individual, sampai peristiwa tubrukan meteor besar yang berpotensi mengakhiri
peradaban umat manusia. ( (Purwadarminta, 2020)
2.1.2 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Bencana
Pada daerah yang memiliki tingkat bahaya tinggi (hazard) serta memiliki
kerentanan / kerawanan (vulnerability) yang juga tinggi tidak akan memberi dampak
yang hebat/luas jika manusia berada disana memiliki ketahanan terhadap bencana
(disester resirience). Konsep ketahanan bencana merupakan evaluasi kemamouan
sistem dan infrastruktur-infrastruktur untuk mendeteksi, mencegah dan menangani
tantangan serius yang hadir. Dengan demikian meskipun daerah tersebut rawan
bencana dengan jumlah penduduk yang besar jika di imbangi dengan ketahanan
terhadap bencana yang cukup. (nurjanah, 2020)
2.2 Aplikasi Pengelolaan Penanggulangan Bencana Dengan Pendekatan Komprehensif
Pada Setiap Fase (Prevention, Mitigation, Planning/Response/Recovery)
Bencana alam atau musibah yang menimpa masyarakat dapat datang secara tiba-
tiba, sehingga masyarakat yang berada di lokasi musibah bencana, tidak sempat
melakukan antisipasi pencegahan terhadap musibah tersebut. 87% wilayah Indonesia
adalah rawan bencana alam, atau sebanayak 383 dari 440 kabupaten atau kotamadya
merupakan daerah rawan bencana alam.
Pemerintah Indonesia secara resmi dan legal menangani pengelolaan bencana
dengan membentuk Badan Koordinasi Nasional (Bakornas) yang bertugas merumuskan
dan menetapkan kebijakan, mengkoordinasikan pelaksanaan serta memberikan standard
dan pengarahan terhadap upaya penanggulangan bencana di Indonesia. Penanggulangan
Bencana di Indonesia berdasarkan Undang-undang RI Nomor 24 Tahun 2007
menjelaskan beberapa tahapan yang perlu diperhatikan dalam penanganan bencana yaitu,
Kesiapsiagaan (Preparedness), Mitigasi (Mitigation), Tanggap darurat (Response),
Rehabilitasi / pemulihan (Rehabilitation / Recovery), dan Rekonstruksi (Reconstruction).
Dalam penanganan bencana di Indonesia diperlukan sinergi dan koordinasi dari
berbagai pihak misalnya, pemerintah, masyarakat, para relawan dan lembaga swadaya
masyarakat bahkan dengan masyarakat internasional.
Tahapan dalam penanggulangan bencana yaitu:
1) Kesiapsiagaan (Preparedness): Serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk
mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat
guna dan berdaya guna.
2) Mitigasi (Mitigation): Serangkaian kegiatan untuk mengurangi risiko bencana, baik
melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan
menghadapi ancaman bencana.
3) Tanggap darurat (Response): Serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera
pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan, yang
meliputi kegiatan penyelematan dan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan
kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan pengungsi, penyelematan serta
pemulihan prasarana dan sarana.
4) Rehabilitasi/ Pemulihan: Perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan publik
atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pascabencana dengan
sasaran utama untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar semua aspek
pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah pasca bencana.
5) Rekonstruksi (Recontruction): Pembangunan kembali semua prasarana dan sarana
kelembagaan pada wilayah pasca bencana, baik tingkat pemerintah maupun
masyarakat dengan sasaran utama tumbuh dan berkembangnya kegiatan
perekonomian, sosial, budaya, tegaknya hukum dan ketertibana, dan bangkitnya
peran serta masyarakat dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat pada wilayah
pasca gempa.

2.3 Pengurangan Resiko, Pencegahan Penyakit dan Promosi Kesehatan


2.3.1 Pengurangan Resiko Dalam Bencana
Pengurangan resiko bencana (PRB) merupakan penyelenggaraan
penanggulangan bencana dalam situasi tidak terjadi bencana yangdimaksudkan untuk
mengurangi dampak buruk yang mungkin timbul. Secara konseptual, PRB merupakan
wujud dari perubahan paradigm penanggulangan bencana yakni dari pendekatan
konvensional kepada pendekatan holistic. Penanganan bencana tidak lagi menekankan
padaaspek tanggap darurat saja, tetapi secara keseluruhan manajemen resiko.
Perlindungan masyarakat dari ancaman bahaya merupakan wujud perlindungan
sebagai hak asasi rakyat dan penanggulangan bencana bukanlagi menjadi tanggung
jawab pemerintah tetapi menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah dan
masyarakat.
Landasan penyelenggaraan PRB adalah resolusi PBB Nomor 63Tahun 1999
tentang International Strategy for Disaster Reduction (ISDR), The Yokohama
Strategy Tahun 1994, Hyogo Framework for ActionTahun 2015, serta Beijing Action.
Sedangkan, secara nasional telahditerbitkan Rencana Aksi Nasional Pengurangan
Resiko Bencana (RANPRB) tahun 2016 disamping Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2017 tentang Penanggulangan Bencana. (BNPB, 2016)
2.3.2 Pencegahan Penyakit Dalam Bencana
Menurut ( (widayatun, 2013) upaya pencegahan penyakit yang bisa dilakukan
pada daerah yag rawanterjadi bencana atau daerah yang sudah terkena dampak
bencana antaralain:
1. Vaksinasi Sebagai prioritas pada situasi pengungsian, bagi semua anak usia 6
bulan–15 tahun menerima vaksin campak dan vitamin A dengandosis yang tepat.
2. Masalah umum kesehatan di pengungsian Beberapa jenis penyakit yang sering
timbul di pengungsian memerlukan tindakan pencegahan. Contoh penyakit
tersebut antara lain, diare, cacar, penyakit pernafasan, malaria, meningitis,
tuberkulosa, tifoid, cacingan, scabies, xeropthal-mia, anemia, tetanus, hepatitis,
IMS/HIV-AIDS.
3. Manajemen kasus Semua anak yang terkena penyakit menular selayaknya dirawat
agar terhindar dari risiko penularan termasuk kematian.
4. Surveilans Dilakukan terhadap beberapa penyakit menular dan bilamenemukan
kasus penyakit menular, semua pihak termasuk LSM (Purwadarminta,
2020)kemanusiaan di pengungsian, harus melaporkan kepada Puskesmasdibawah
koordinasi Dinas Kesehatan Kabupaten sebagai penanggung jawab pemantauan
dan pengendalian.
2.3.3 Promosi Kesehatan Dalam Bencana
Menurut ( (esperanza, 2020) promosi kesehatan bertujuan agar kesehatan dapat
terjaga, mengupayakan agar lingkungan tetap sehat, memanfaatkan
pelayanankesehatan yang ada, anak dapat terlindungi dari kekerasan, danmengurangi
stress. Kegiatan promosi kesehatan yang dilakukan:
1. Kajian dan analisis data
a. Sarana dan prasarana klaster kesehatan meliputi sumber air bersih, jamban,
pos kesehatan klaster, Puskesmas, rumah sakit lapangan, dapur umum, sarana
umun seperti mushola, poskorelawan, jenis pesan dan media dan alat bantu
KIE, tenaga promkes/tenaga kesmas, kader, relawan dan lain sebagainya.
b. Data sasaran : jumlah Ibu hamil, ibu menyusui, bayi, balita, remaja,lansia/
orangtua, orang dengan berkebutuhan khusus dan orang sakit.
c. Jumlah titik pengungsian dan hunian sementara.
d. Jumlah pengungsi dan sasaran di setiap titik pengungsian.
e. Lintas program, lintas sektor, NGO, Universitas dan mitra lainnyayang
memiliki kegiatan promkes dan pemberdayaan masyarakat.
f. Regulasi pemerintah setempat dalam hal melakukan upaya promotif dan
preventif.
Dilanjutkan dengan analisis data berdasarkan potensi dansumberdaya yang
ada diwilayah terdampak bencana.
2. Perencanaan
Berdasarkan kajian dan analisis data, akan menghasilkan berbagai program
dan kegiatan, dengan mempertimbangkan sumber daya yangada.
3. Implementasi kegiatana.
a. Rapat koordinasi klaster kesehatan termasuk dengan pemerintah setempat,
NGOs, dan mitra potensial lainnya untuk memetakan program dan kegiatan
yang dapat diintegrasikan/ kolaborasikan.
b. Pemasangan media promosi kesehatan berupa spanduk, poster, stiker.
c. Pemutaran film kesehatan, religi, pendidikan, hiburan dan diselingi pesan
kesehatan.
d. Senam bersama (masyarakat umum) termasuk senam lansia.
e. Konseling, penyuluhan kelompok, keluarga dan lingkungan dengan berbagai
pesan kesehatan (PHBS di pengungsian)
f. Penyelenggaraan Posyandu (darurat) integrasi termasuk Posyandu Lansia di
pengungsian atau di tempat hunian sementara.
g. Advokasi pelaksanaan gerakan hidup sehat kepada pemerintah setempat.
h. Pendekatan kepada tokoh agama/tokoh masyarakat untuk menyebar luaskan
informasi kesehatan.
i. Penguatan kapasitas tenaga promkes daerah melalui kegiatan orientasi
promosi kesehatan paska bencana.
j. Kemitraan dengan organisasi kemasyarakatan, dunia usaha melalui program
CSR, LSM kesehatan, kelompok peduli kesehatan, donor agency.
k. Monitoring dan evaluasi program Promosi kesehatan dalam kondisi darurat
untuk meningkatkan pemahaman keluarga dan masyarakat untuk melakukan
PHBS di pengungsian, yaitu: ASI terus diberikan pada bayi, biasakan cuci
tangan pakai sabun, menggunakan air bersih, buang air besar dan kecil di
jamban, buang sampah pada tempatnya, makan makanan bergizi, tidak
merokok, memanfaatkan layanan kesehatan, mengelola stress, melindungi
anak, dan bermain sambil belajar.

2.4 Komunikasi dan Penyebaran Informasi


Salah satu titik penting yang menjadi perhatian terkait komunikasi dalam bencana
adalah masalah ketidakpastian. Menurut Frank Dance (dalam Littlejohn, 2016: 7), salah
satu aspek penting di dalam komunikasi adalah konsep reduksi ketidakpastian.
Komunikasi itu sendiri muncul karena adanya kebutuhan untuk mengurangi
ketidakpastian, supaya dapat bertindak secara efektif demi melindungi atau memperkuat
ego yang bersangkutan dalam berinteraksi secara indivuidual maupun kelompok. Dalam
penanganan bencana, informasi yang akurat diperlukan oleh masyarakat maupun
lembaga swasta yang memiliki kepedulian terhadap korban bencana.

2.5 Perawatan Psikososial dan Spiritual Pada Korban Bencan


Inayat Khan (2000) dalam bukunya Dimensi Spiritual Psikologi menyebutkan
bahwa kekuatan psikis yang dimiliki oleh seseorang dapat dikembangkan melalui olah
spiritual yang dilakukan melalui beberapa tahapan.
1. Pertama, berlatih melakukan konsentrasi. Dengan konsentrasi, seseorang dapat
memiliki kekuatan dan inspirasi karena berada dalam kondisi terpusat serta
tercerahkan. Melalui konsentrasi pula, seseorang belajar dan berlatih untuk menguasai
dirinya.
2. Kedua, berlatih mengungkapkan hasil konsentrasi melalui pikiran. Artinya, setelah
seseorang mendapatkan hasil dalam konsentrasi, maka ia harus berani
mengungkapkan hasil konsentrasi tersebut dalam ungkapan-ungkapan yang sederhana
melalui kekuatan pikiran. Kekuatan pikiran ini nantinya akan mempengaruhi kekuatan
perasaan yang dimiliki. Ketahuilah, sesungguhnya perasaan adalah ruh pemikiran,
sebagaimana ucapan adalah ruh suatu tindakan. Karena itu, konsentrasi merupakan hal
penting untuk mengembangkan kekuatan psikis seseorang.
3. Ketiga, agar dapat mengekspresikan kekuatan psikis, seseorang harus memiliki
kekuatan tubuh (kesehatan fisik). Artinya, orang yang sehat umumnya memiliki
pernafasan dan sirkulasi darah yang teratur dan lancar, sehingga memberikan efek
bagi kemampuan mengekspresikan dirinya.
4. Keempat, berlatih menjaga kestabilan dan ketenangan dalam berpikir. Artinya,
seseorang yang terbiasa mengembangkan kebiasaan-kebiasaan buruk dalam berpikir,
seperti khawatir, cemas, takut, atau ragu tentang sesuatu, akan mengurangi daya
kekuatan dalam mengekspresikan diri. Tentang hal ini, saya teringat pada kata-kata
yang diungkapkan oleh seorang pegiat pelatihan manajemen diri di sebuah seminar
yang pernah saya ikuti. Kata beliau, “Pikiranmu adalah awal dari perkataanmu.
Perkataanmu adalah awal dari perbuatanmu. Perbuatanmu adalah awal dari
kebiasaanmu. Kebiasaanmu adalah awal dari karaktermu. Karaktermu adalah
takdirmu.”
5. Kelima, berlatih mengumpulkan kekuatan psikis yang selanjutnya digunakan untuk
bertindak. Artinya, hasrat dan daya tarik kekuatan psikis yang dimiliki seseorang
harus ditunda sebelum betul-betul terkumpul dan berkembang melimpah. Saat itulah
kekuatan psikis mampu dimanfaatkan untuk menolong diri sendiri maupun orang lain.
Kekuatan psikis yang timbul dari energi spiritual bagaikan mata air yang tercurah,
melimpah secara konstan dan stabil. Karna itu, tinggal pemanfaatannya tergantung
pada kesediaan dan kemauan seseorang untuk mengumpulkan dan
mengembangkannya menjadi energi yang bersifat menyembuhkan (terapeutik).
Sebuah penelitian bertajuk “Religion and Spirituality in Coping with Stress” yang
dipublikasikan oleh Journal of Counseling and Values beberapa tahun lalu, menunjukkan
bahwa semakin penting spiritualitas bagi seseorang, maka semakin besar kemampuannya
dalam mengatasi masalah yang dihadapi. Penelitian ini menyarankan bahwa spiritualitas
bisa memiliki peran yang penting dalam mengatasi stres. Spiritualitas bisa melibatkan
sesuatu di luar sumber-sumber yang nyata atau mencari terapi untuk mengatasi situasi-
situasi yang penuh tekanan di dalam hidup.
Dalam konteks ini, penting untuk diperhatikan bagaimana kondisi spiritualitas para
korban pasca-bencana. ada hubungan positif yang sangat signifikan antara spiritualitas
dengan proactive coping pada korban bencana. Semakin tinggi tingkat spiritualitas,
semakin baik pula proactive coping yang dilakukan oleh korban. Konsep proactive
coping diarahkan oleh sikap yang proaktif. Sikap tersebut merupakan kepercayaan yang
relatif terus menerus ada pada setiap individu. Di mana apabila terjadi perubahan-
perubahan yang berpotensi mengganggu keseimbangan emosional individu, maka sikap
tersebut mampu memperbaiki diri dan lingkungannya.
Terapi psiko-spiritual ini terdiri dari tiga tahapan, yaitu tahapan penyadaran diri (self
awareness), tahapan pengenalan jati diri dan citra diri (self identification), dan tahapan
pengembangan diri (self development).
a) Pada fase penyadaran diri (self awareness), para korban akan melalui proses
pensucian diri dari bekasan atau hal-hal yang menutupi keadaan jiwa melalui cara
penyadaran diri, penginsyafan diri, dan pertaubatan diri. Fase ini akan menguak
hakikat persoalan, peristiwa, dan kejadian yang dialami oleh para korban. Pun
menjelaskan hikmah atau rahasia dari setiap peristiwa tersebut.
b) Pada fase Pengenalan Diri (self identification), Para korban akan dibimbing kepada
pengenalan hakikat diri secara praktis dan holistik dengan menanamkan nilai-nilai
ketuhanan dan moral. Melalui fase ini, individu diajak untuk menyadari potensi-
potensi yang ada di dalam dirinya. Setelah diidentifikasi, berbagai potensi itu perlu
segera dimunculkan. Kemudian mengelola potensi diri yang menonjol tersebut agar
terus berkembang dan dicoba untuk diaktualisasikan. Adalah sebuah riwayat yang
menyebutkan, “Barangsiapa mengenal dirinya, maka dia pun akan mengenal
Tuhannya.”
c) Pada fase pengembangan diri (self development), Para korban akan didampingi dan
difasilitasi untuk tidak hanya sehat fisikal, namun juga sehat mental dan spiritual.
Kesehatan mental terwujud dalam bentuk keharmonisan yang sungguh-sungguh
antara fungsi-fungsi jiwa, serta mempunyai kesanggupan untuk menghadapi masalah
yang terjadi, dan merasakan secara positif kebahagiaan dan kemampuan dirinya.
Adapun kesehatan spiritual mencakup penemuan makna dan tujuan dalam hidup
seseorang, mengandalkan Tuhan (The Higher Power), merasakan kedamaian, dan
merasakan hubungan dengan alam semesta.
Harapannya, terapi psiko-spiritual akan memberikan penerimaan yang tulus atas
musibah yang menimpa para korban gempa. Selain itu, terapi ini dapat pula mengurangi
kesedihan dan tekanan psikologis, serta membantu para korban dalam menemukan
makna yang positif. (Suwarningsih, 2019)

2.6 Perawatan Untuk Populasi Rentan (Lansia)


Tindakan yang sesuai untuk kelompok berisiko pada lansia
a. Pra bencana
1. Libatkan lansia dalam pengambilan keputusan dan sosialisasi disaster plan di
rumah.
2. Mempertimbangkan kebutuhan lansia dalam perencanaan penanganan bencana.
Menurut Ida Farida (2013) Keperawatan bencana pada lansia sebelum bencana
yakni:
1) Memfasilitasi rekonstruksi komunitas
Sejak sebelum bencana dilaksanakan kegiatan penyelamatan antara
penduduk dengan cepat dan akurat, dan distribusi barang bantuan setelah itu
pun berjalan secara sistematis. Sebagai hasilnya, dilaporkan bahwa orang
lansia dan penyandang cacat yang disebut kelompok rentan pada bencana tidak
pernah diabaikan, sehingga mereka bisa hidup di pengungsian dengan tenang.
2) Menyiapkan pemanfaatan tempat pengungsian
Diperlukan upaya untuk penyusun perencanaan pelaksanaan pelatihan
praktek dan pelatihan keperawatan supaya pemanfaatan yang realistis dan
bermanfaat akan tercapai. (Farida, Ida. 2013)

b. Saat bencana
1. Melakukan usaha/bantuan penyelamatan yang tidka meningkatkan risiko
kerentanan lansia, misalnya meminimalkan guncangan/trauma pada saat
melakukan mobilisasi dan transportasi untuk menghindari trauma sekunder.
2. Identifikasi lansia dengan bantuan/kebutuhan khusus contohnya kursi roda,
tongkat, dll.
Menurut Ida Farida (2013) keperawatan lansia saat bencana adalah:
1) Tempat aman
Yang diprioritaskan pada saat terjadi encana adalah memindahkan
orang lansia ke tempat yang aman. Orang lansia sulit memperoleh
informasi karena penuruman daya pendengaran dan penurunan komunikasi
dengan luar.
2) Rasa setia
Selain itu, karena mereka memiliki rasa setia yang dalam pada tanah dan
ruma sendiri, maka tindakan untuk mengungsi pun berkecenderungan
terlambat dibandingkan dengan generasi yang lain.
3) Penyelamatan darurat
(Triage, treatment, and transportation) dengan cepat. Fungsi indera orang
lansia yang mengalami perubahan fisik berdasarkan proses menua, maka
skala rangsangan luar untuk memunculkan respon pun mengalami
peningkatan sensitivitas sehingga mudah terkena mati rasa
c. Pasca Bencana
1. Program inter-generasional untuk mendukung sosialisasi komunitas dengan
lansia dan mencegah isolasi sosial lansia, diantaranya:
1) Libatkan remaja dalam pusat perawatan lansia dan kegiatan-kegiatan sosial
bersama lansia untuk memfasilitasi empati dan interaksi orang muda dan
lansia (community awareness)
2) Libatkan lansia sebagai sebagai storytellers dan animator dalam kegiatan
bersama anak-anak yang diorganisir oleh agency perlindungan anak di posko
perlindunga korban bencana
2. Menyediakan dukungan sosial melalui pengembangan jaringan sosial yang sehat
di lokasi penampungan korban bencana.
3. Sediakan kesempatan belajar untuk meningkatkan pengetahuan dan skill lansia.
4. Ciptakan kesempatan untuk mendapatkan penghasilan secara mandiri
5. Berikan konseling unuk meningkatkan semangat hidup dan kemandirian lansia.
Menurut Ida Farida (2013) keperawatan bencana pada lansia setelah bencana
adalah:
1) Lingkungan dan adaptasi
Dalam kehidupan di tempat pengungsian, terjadi berbagai ketidakcocokan
dalam kehidupan sehari-hari yang disebabkan oleh fungsi fisik yang dibawa
oleh setiap individu sebelum bencana dan perubahan lingkungan hidup di
tempat pengungsian. Kedua hal ini saling mempengaruhi, sehingga
mengakibtkan penurunan fungsi fisik orang lansia yang lebih parah lagi.
2) Manajemen penyakit dan pencegahan penyakit sekunder
Lingkungan di tempat pengungsian mengundang tidak hanya
ketidakcocokan dalam kehidupan sehari-hari bagi orang lansia, tetapi juga
keadaan yang serius pada tubuh. Seperti penumpukan kelelahan karena kurnag
tidur dan kegelisahan.
3) Orang lanjut usia dan perawatan pada kehidupan di rumah sendiri
Lansia yang sudah kembali ke rumahnya, pertama membereskan
perabotannya di luar dan dalam rumah. Dibandingkan dengan generasi muda,
sering kali lansia tidak bisa memperoleh informasi mengenai relawan,
sehingga tidak bisa memanfaatkan tenaga tersebut dengan optimal.
4) Lanjut usia dan perawatan di pemukiman sementara
Lansia yang masuk ke pemukiman sementara terpaksa
mengadaptasikan/menyesuaikan diri lagi terhadap lingkungan baru
(lingkungan hubungan manusia dan lingkungan fisik) dalam waktu yang
singkat
5) Mental Care
Orang lansia mengalami penurunan daya kesiapan maupun daya adaptasi,
sehingga mudah terkena dampak secara fisik oleh stressor. Namun demikian,
orang lansia itu berkecenderungan sabar dengan diam walaupun sudah terkena
dampak dan tidak mengekspresikan perasaan dan keluhan.
2.7 Perlindungan dan Perawatan Bagi Petugas dan Caregiver
1. Menyediakan dukungan/supervisi berkelanjutan kepada tenaga yang sudah dilatih
(Provide ongoing support/supervision to staff who participate in trainings).
2. Melakukan pelatihan singkat tentang dukungan psikososial dasar (psikoedukasi)
bagianggota masyarakat.
3. Mengadakan pelatihan tentang teknik dasar konseling dalam waktu 2 minggu
dengandukungan/supervisi yang teratur.
4. Mendukung proses penyembuhan tradisonal yang pantas secara budaya dan religi.
5. Mendapatkan pemahaman tentang karakteristik ancaman (hazard) dan teknologi
penanganannya.
6. Komandan Posko Lapangan/ petugas Tanggap Darurat dapat mengajukan permintaan
bantuan sumberdaya baik berupa sumberdaya manusia, logistik maupun
peralatankepada Komandan Posko Tanggap Darurat Kabupaten/ kota/BPBD provinsi
danBNPB, berdasarkan atas kekurangan sumberdaya yang tersedia di lokasi dan
tingkat kewenangannya. (Ida Farida 2013)

2.8 Kerjasama Tim Inter dan Multidisiplin


2.8.1 Pengertian
Multidisiplin atau multidisipliner mengacu pada tim dimana sejumlah orang atau
individu dari berbagai disiplin ilmu terlibat dalam suatu proyek namun masing-
masing individu bekerja secara mandiri. Setiap individu dalam tim multidisiplin
memiliki keterampilan dan keahlian yang berbeda namun saling melengkapi satu
sama lain. Pengalaman yang dimiliki masing-masing individu memberikan kontribusi
yang besar bagi keseluruhan upaya yang dilakukan.
Tim multidisiplin adalah sebuah kelompok pekerja kesehatan atau pekerja medis
yang terdiri dari anggota – anggota dengan latar belakang ilmu profesi yang berbeda
dan masing – masing anggota tim memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien.
2.8.2 Ciri-Ciri Multidisiplin
a. Setiap bagian ikut berperan cukup besar, melakukan perencanaan pengelolaan
bersama.
b. Setiap bagian beraktivitas berdasarkan batasan ilmunya.
c. Konseptual dan operasional: terpisah-pisah.
d. Dalam pelayanan kesehatan, berbagai bidang ilmu berupaya mengintegrasikan
pelayanan untuk kepentingan pasien. Namun setiap disiplin membatasi diri secara
‘tegas’ untuk tidak memasukan ranah ilmu lain.
2.8.3 Anggota Tim Multidisiplin
1. Dokter
a. Peran dokter dalam keadaan bencana. Dokter merupakan salah satu praktis
kesehatan yang sangat diperlukan dalam keadaan bencana peran dokter
tersebu diantaranya:
1) Melakukan penanganan kasus kegawat daruratan trauma maupun non
trauma seperti PPGD-GELS, ATLS, ACLS)
2) Melakukan pemeriksaan umum terhadap korban bencana.
3) Mendiangnosa keadaan korban bencana dan ikut menentukan status
korban triase.
4) Menetapkan diagnosa terhadap pasien kegawat daruratan dan mencegah
terjadinya kecatatan pada pasien.
5) Memberikan pelayanan pengobatan darurat
6) Melakukan tindakan medis yang dapat dilakukan di posko tanggap
bencana.
7) Memberikan rekomendasi rujukan ke rumah sakit apabila memerlukan
penanganan lebih lanjut
8) Melakukan pelayanan kesehatan rehabilitative
b. Tenaga dokter dalam tim penanggulagan kritis. Dalam keadaan bencana
diadakannya mobilisasi SDM kesehatan, diantarnya dokter, yang tergabung
dalam suatu tim penanggulangan kritis yang meliput tim gerak cepat, tim
penilaian cepat kesehatan (Tim RHA), dab tim bantuan kesehatan berikut
kebutuhan minimal tenaga dokter untuk masing-masing tim tersebut:
1) Tim gerak cepat
Merupakan tim yang bergerak dalam waktu 0-24 jam setelah adanya
kejasin bencana. Tenaga dokter yang dibutuhkan terdiri dari dokter
umum/BSB 1 orang, dokter spesialis bedah 1 orang, dan dokter spesialis
anastesis 1 orang.
2) Tim RHA
Merupakan tim yang bisa diberangkatkan bersama dengan tim gerak
cepat atau menyusul dalam waktu kurang dari 24 jam. Pada tim ini,
tenaga dokter umum minimal 1 orang dikirikan.
3) Tim bencana kesehatan
Merupakan tim yang diberangkatkan berdasarkan kebutuhan setelah tim
gerak cepat dan tim RHA kembali dengan laporan hasil kegiatan mereka
dilapangan.
2. Perawat
Fungsi dan tugas perawat dalam situasi bencana dapat dijabarkan menurut fase
dan keadaan berlaku saat terjadi bencana seperti dibawah ini:
a. Fase pra bencana
1) Perawat mengikuti pendidikan dan pelatihan bagi tenaga kesehatan dalam
penanggulangan ancaman bencana untuk setiap fasenya.
2) Perawat ikut terlibat dalam berbagai dinas pemerintahan, organisasi
lingkungan, palang merah nasional, maupun lembaga-lembaga
kemasyarakatan dalam memberikan penyuluhan dan simulasi persiapan
menghadapi ancaman bencana kepada masyarakat.
3) Perawat terlibat dalam program promosi kesehatan untuk meningkatkan
kesiapan masyarakat dalam menghadapi bencana yang meliputi hal – hal
berikut.
 Usaha pengobatan diri sendiri (pada masyarakat tersebut)
 Pelatihan pertolongan pertama pada keluarga seperti menolong
anggota keluarga yang lain.
b. Fase bencana
1) Bertindak cepat
2) Perawat seharusnya tidak menjanjikan apapun dengan pasti, dengan takut
memberikan harapan yang besar pada para korban selamat.
3) Berkonsentrasi penuh pada apa yang dilakukan
4) Koordinasi dan menciptakan kepemimpinan.
3. Ahli gizi
Kegiatan penaganan dan tugas ahli gizi pada situasi bencana perlu efesien dan
efektif antara lain, sebagai berikut:
a. Menyusun menu bagi sekelompok masyarakat korban bencana alam.
b. Pendampingan penyelenggaraan makanan sejak dari perisapan samppai
perindistribusian.
c. Pegawasan logistik bantuan bahan makanan dan minuman.
d. Memantau keadaan gizi pengungsian khusus balita dan ibu hamil.
e. Pelaksanaan koseling gizi gratis yang disediakan untuk masyarakat korban
bencana alam.
f. Pemberian suplemen zat gizi makro (kapsul vitamin A, untuk balita dan tablet
besi untuk ibu hamil).
4. Fisioterapi
a. Fisioterapi harus mampu mebina hubungan baik secara intense dengan
instansi yang diakui secara internasional / LSM untuk memastikan bahwa
layanan professional dikoordinasikan dan dimasukkan sebagai bagian dari
program rancangan pembangunan nasional yang berkelajutan dalam
kerangka manajemen bencana.
b. Mitigasi dan kesiapan adalah cara utama untuk mengurangi dampak bencana
dan mitigasi dan kesiapsiagaan berbasis masyarakat/manajemen harus
menjadi praktek manajemen fisioterapi.
c. Korban bencana yang mengalami luka fisik dapat di fase awal dapat
mendapat perawatan di rumah sakit terdekat, atau pada langkah sementara
dilokasi dengan bantuan medis oleh tim bantuan bencana local secaara
organisasi bantuan internasional. Namun kembali ke rumah mereka untuk
membangun kembali kehidupan mereka adalah keentingan utama bagi para
korban.
5. Pekerja sosial
Profesi pekerja sosial memiliki peran penting dalam penggulangan
bencana baik pada saat pra bencana, tanggap darurat maupun pasca bencana pada
saat pra bencana, kontribusi pekerja sosial berfokus pada upaya pengurangan
risiko bencana, antara lain melalui kegiatan , peningkatan kesiapsiagaan
masyarakat dan mitigasi dala menghadapi kemungkinan terjadinya bencana,
pemetaan kapasitas masyarakat, dan melalukan advokasi ke berbagai pihak terkait
kebijakan penanggulangan bencana pada saat tanggap darurat, pekerja sosial
membantu pemulihan kondisi fisik dan penanganan psikososial dasar bagi korban
bencana. Pada saat pasca bencana, pekerja sosial melakukan upaya pemulihan
kondisi psikologis korban bencana, khususnya mengatasi trauma dan pemulihan
kondisi sosial, serta pengembangan kemandirian korban bencana.
6. POLRI
Peran Polri dalam mendukung manajemen penanggulangan bencana melalui:
a. Meningkatkan pembinaan masyarakat melalui kegiatan community policing
sehingga masyarakat diharapkan mampu mencegah dan menghindari
terjadinya tindakan kejahatan yang akan menimpa dirinya mampu
kelompoknya.
b. Melaksanakan sosialisasi antisipasi terhadap bencana melalui pelatihan
penyelamat saat terjadinya bencana serta terbentuknya sistem deteksi dini
adanya bencana yang dapat dimengerti oleh masyarakat.
c. Meningkatkan kepatuhan hukum dari masyarakat agar tidak melakukan
tindakan yang melanggar hukum pada saat terjadinya bencana penyuluhan
dan pengorganisasian kelompok masyarakat sadar hukum.
d. Melakukan kegitan kepolisian dalam rangka memberikan jaminan rasa aman
kepada masyarakat baik jiwa maupun harta melalui kegiatan perlindungan,
pengayoman dan pelayanan masyarakat serta penegakan hukum yang
professional dengan menjunjung tinggi HAM.
e. Melakukan pembenhan dan peningkatan internasional organisasi polri
melalui peningkatan kuantitas dan kualitas personil medasari paradigma baru
polri, meningkatkan sarana dan prasarana pelayanan masyarakat,
menciptakan sistem dan metode serta anggaran yang mampu mendukung
operasional polri dalam penggulangan bencana.
7. Tim SAR (Search And Rescue)
Dalam hal kejadian bencana alam, peranan SAR adalah yang paling
mengemuka karena harus bertindak paling awal pada setiap bencana alam yang
terjadi, sehingga SAR menjadi titik pandang bagi masyarakat yang tertimpa
musibah. (Ida Farida 2013)

2.9 Pemberdayaan Masyarakat


2.10 Dalam pemberdayaan
masyarakat secara umum
dapat diartikan sebagai
suatu
2.11 proses yang
membangun manusia atau
masyarakat melalui
pengembangan kemampuan
2.12 masyarakat ,perubaha
n perilaku masyarakat
dan pengorganisasian
masyarakat. Dari
2.13 definisi diatas, ada
tiga tujuan utama dalam
pemberdayaan masyarakat
yaitu
2.14 mengembangkan
kemampuan masyarakat,
mengubah perilaku
masyarakat, dan
2.15 mengorganisir diri
masyarakat.
Dalam pemberdayaan masyarakat secara umum dapat diartikan sebagai
suatu proses yang membangun manusia atau masyarakat melalui pengembangan
kemampuan masyarakat, perubahan perilaku masyarakat dan pengorganisasian
masyarakat. Dari definisi diatas, ada tiga tujuan utama dalam pemberdayaan masyarakat
yaitu mengembangkan kemampuan masyarakat, mengubah perilaku masyarakat, dan
mengorganisir diri masyarakat.
Menurut Kartasasmita (2016) berdasarkan maknanya pemberdayaan dapat diartikan
sebagai kekuatan yang berasal dari dalam yang dapat diperkuat dengan unsur-unsur dari
luar. Sejalan dengan itu, Payne (dalam Kartasasmita 2016) mengatakan bahwa pada
intinya pemberdayaan ditujukan untuk membantu klien memperoleh daya untuk
mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang ia lakukan yang terkait dengan diri
mereka, termasuk mengurangi efek hambatan pribadi dan sosial dalam melakukan
tindakan. Pemberdayaan menurut Adi (2013) merupakan proses yang
berkesinambungan sepanjang hidup seseorang. Ini menunjukkan bahwa program-
program pemberdayaan harus benar-benar dirancang sebagai proses yang berkelanjutan,
artinya program-program pemberdayaan dilakukan oleh berbagai stakeholders
(pemerintah dan non pemerintah) tidak berakhir dengan selesainya suatu program saja.
Proses pemberdayaan harus berlangsung selamanya meskipun pada awalnya harus ada
intervensi dari luar namun harus tercipta suatu keadaan dimana komunitas tersebut
mampu secara mandiri menjalankan proses pemberdayaan tersebut bagi komunitas
mereka.
Tujuan pemberdaayan bagi masyarakat menurut Ambar Teguh (2014:80-81)
adalah:
1. Mempersiapkan diri menghadapi semua bencana atau kejadian yang
tidakdiinginkan.
2. Menekan kerugian dan angka korban yang dapat timbul akibat dampak suatubencana.
3. Meningkatkan kesadaran semua pihak dalam masyarakat atau
organisasiterhadap bencana sehingga terlibat dalam proses penanggulangan bencana.
4. Melindungi anggota masyarakat dari ancaman bahaya atau dampak bencana.
Sumaryadi (2015) mengatakan pemberdayaan masyarakat adalah upaya
mempersiapkan masyarakat seiring dengan langkah upaya memperkuat kelembagaan
masyarakat agar mereka mampu mewujudkan kemajuan, kemandirian, dan
kesejahteraan dalam suasana keadilan sosial yang berkelanjutan.
BAB III

YAYASAN DARUL AZHAR BERSUJUD


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES)
DARUL AZHAR BATULICIN
SK. MENDIKNAS NO. 135/D/0/2008
Program Studi S1 Ilmu Keperawatan: Terakreditasi No. 0966/Lam-Ptkes/Akr/Sar/Xi/2016
Program Studi D-III Kebidanan: Terakreditasi No. 0727/Lam-PTkes/Akr/Dip/VII/2016
Program Studi Profesi Ners : Terakredirasi No. 0967/Lam-PTkes/Akr/Pro/XI/2016
Program Studi D-III Farmasi : S.K Menristek DIKTI No. 445/KPT/I/2016
Kampus : Komplek YPI Darul Azhar Bersujud Jl. Batu Benawa, Simpang Empat, Tanah Bumbu, Kal-Sel. Telp& Fax. (0518) 75217
www.stikesdarulazharbatulicin.ac.id – Email : stikes_DA@yahoo.com

Pokok Pembahasan :
Sub Pokok Pembahasa :
Sasaran : Lansia
Hari/Tanggal :
Jam/Waktu :
Tempat :
Penyuluh :=

1.1 Latar Belakang


Menurut dunia etanobotani, 800 tanaman obat digunakan untuk pencegahan
diabetes mellitus. Obat-obatan herbal terbukti menjadi pilihan yang lebih baik daripada
obatobatan sintetis karena lebih sedikit efek sampingnya dan formulasi herbal mudah
tersedia tanpa resep dokter. Obat-obatan ini juga digunakan ketika obat-obatan kimia
tidak efektif dalam pengobatan penyakit (Verma et al, 2018).
Diabetes melitus adalah kelainan metabolisme yang disebabkan oleh berbagai
etiologi. Hal ini ditandai dengan hiperglikemia kronis bersama dengan gangguan
metabolisme karbohidrat, lemak dan protein yang dihasilkan dari defek sekresi insulin,
kerja insulin atau keduanya (George dan Alberti, 2016). Hiperglikemia adalah
manifestasi utama dari diabetes melitus, hal tersebut dapat merusak struktur dan fungsi
banyak jaringan dalam tubuh, terutama sistem pembuluh darah.
Indonesia menempati urutan ketujuh dari 10 negara dengan jumlah pasien
diabetes tertinggi. Hal ini berdasarkan data dari International Diabetes Federation pada
tahun 2020, jumlah penderita diabetes tipe-2 terus meningkat di berbagai negara di
dunia termasuk indonesia. Maka dari itu penulis tertarik untuk mengangkat kasus
makalah terkait penurunan kadar gula darah pada penderita diabetes mellitus dengan
daun kemangi.
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Instruksional Umum
1.2.2 Tujuan Instruksional Khusus
1.3 Isi Materi (Terlampir)

1.4 Metode
a. Make a Match
b. Ceramah
c. Diskusi/Tanya Jawab
1.5 Media
1. Leaflet
2. Power Point : LCD

1.6 Kegiatan Pembelajaran

KEGIATAN HARI Selasa, 14 Desember 2021


Tahapan dan Kegiatan penyuluhan
No Keterangan
waktu Pelaksanaan Sasaran
Pembukaan Pembukaan : - Menjawab salam
( 2 menit ) - Mengucapkan salam - Menyimak
1. - Memperkenalkan diri
- Menjelaskan maksud
dan tujuan
Pelaksanaan Inti : Pasien menyimak,
( 15 menit ) mendengarkan dan
2.
mengajukan
pertanyaan
3. Penutup: Penutup :
( 5 menit ) 1. Memberikan 1. Masyarakat
pertanyaan kepada menjawab pertanyaan
sasaran tentang yang diajukan
materi yang sudah penyuluh
disampaikan
penyuluh
2. Menyimpulkan
materi penyuluhan 2. Masyarakat
yang telah mendengarkan
disampaikan sasaran penyampaian
3. Memberikan kesimpulan
kesempatan kepada 3. Masyarakat
salah satu klien mampu memaparkan
untuk kembali
Memaparkan
kembali.
4. Menutup acara dan
mengucapkan salam 4. Mendengarkan
penyuluh menutup
acara dan menjawab
salam

1.7 Evaluasi
1.7.1 Evaluasi Struktural
Sasaran hadir 100% ditempat penyuluhan sesuai waktu yang dijadwalkan
Penyelenggaraan dilaksanakan di Desa Barokah
1.7.2 Evaluasi Proses
Sasaran antusias terhadap materi penyuluhan
Tidak ada sasaran yang meninggalkan tempat penyuluhan sampai acara berakhir
Sasaran mengajukan pertanyaan dan data menyimpulkan hasil penyuluhan
1.7.3 Evaluasi Hasil

No Evaluasi Lisan Respons Audiens Nilai


1. Pengertian Diabetes Melitus
2. Konsep daun kemangi
3. Manfaat daun kemangi
4. Kandungan daun kemangi
5. Dosis daun kemangi
6. Pengolahan daun kemangi
7. Efek samping daun kemangi
8. Jenis obat yang bertolak belakang
dengan daun kemangi

1.8 Sumber
Lampiran
MATERI PENYULUHAN
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Bencana alam adalah konsekuensi dari kombinasi aktifitas alami dan aktifitas
manusia, seperti: letusan gunung, gempa bumi dan tanah longsor. Karena
ketidakberdayaan manusia akibat kurang baiknya manajemen keadaan darurat, sehingga
menyebabkan kerugian dalam bidang keuangan dan struktural, bahkan sampai kematian.
Kerugian yang dihasilkan tergantung pada kemampuan untuk mencegah ataun
menghindari bencana dan daya tahan mereka.

4.2 Saran
Kami menyarankan kepada pembaca agar makalah ini dapat dimengerti dan
dipahami dengan baik, sehingga kita dapat mengetahui tentang pengelolaan
penanggulangan bencana dengan pendekatan komprehensif pada fase, kesehatan
promosi, untuk populasi lansia.
DAFTAR PUSTAKA

BNPB. (2016). Retrieved from https://bnpb.go.id/berita/pengurangan-risiko-bencana-melalui-


peningkatan-kapasitas-berbasis-masyarakat-
esperanza. (2020). Pengetahuan tentang Kesiagaan Bencana Melalui Promosi dan Pelatihan
Siaga Gempa Bumi. Vol 3, No 1 (2020). Retrieved from
http://jurnal.unpad.ac.id/mkk/article/view/22742
nurjanah. (2020). faktor penyebab terjadinya bencana. Retrieved from
https://repository.ump.ac.id/5105/3/Oka%20Suhendro_BAB%20II.pdf
Purwadarminta. (2020). definisi bencana alam. Retrieved from
https://dosengeografi.com/pengertian-bencana-alam/
Suwarningsih. (2019). PERUBAHAN KONDISI PSIKOSOSIAL DAN SPIRITUAL PADA
KORBAN PTSD (POST TRAUMATIC STRESS DISORDER) PASCA BANJIR
BANDANG DI KOTA GARUT JAWA BARAT. Vol 11, No 1 (2019). Retrieved
from http://journal.thamrin.ac.id/index.php/jikmht/article/view/62
widayatun. (2013). PERMASALAHAN KESEHATAN DALAM KONDISI BENCANA:.
Vol. 8 No.1 Tahun 2013. Retrieved from https://www.google.com/search?
q=pencegahan+penyakit+dalam+bencana&oq=pencegahan+penyakit+dalam+ben&aq
s=chrome.1.69i57j33i160l3j33i21j33i15i22i29i30j33i22i29i30l4.20859j1j7&sourceid
=chrome&ie=UTF-8#:~:text=PERMASALAHAN%20KESEHATAN
%20DALAM,lipi.go.id

Anda mungkin juga menyukai