Anda di halaman 1dari 24

RESUME MKWK AGAMA BUDDHA

BAB 1: KETUHANAN YANG MAHA ESA

Dibuat Oleh:
Jason Sanjaya (231401066)

Daftar Isi
1. Saddha (Keimanan)
Keyakinan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

Umat Buddha di Indonesia memiliki keyakinan (Saddha) dan Taqwa (Bhakti)


terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, kita sebagai umat Buddha selalu
berusaha untuk menyadari bahwa keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah
masalah pribadi yang paling dalam bagi seseorang. Karena setiap agama menyakini
pengertian kebenaran yang tertulis dalam kitab suci masing-masing. Maka dari itu,
pengertian keyakinan terhadap Tuhan YME dapat berbeda-beda.
Saddha (Pali: saddhā; Sansekerta: śraddhā) adalah salah satu dari keempat cara
untuk mencapai kebahagiaan yang akan datang atau keyakinan terhadap nilai-nilai luhur.
Keyakinan harus didasarkan pada pemahaman, sehingga diharapkan dapat digunakan
untuk menyelidiki, mempertimbangkan, dan mengamalkan apa yang diyakininya. Dalam
Samyutta Nikaya V, Sang Buddha berkata: “Seseorang yang memiliki pemahaman,
mendasarkan keyakinannya pada pemahaman itu.” Keyakinan sangat penting dalam
membantu seseorang dalam melaksanakan ajaran yang dijalaninya sehingga berdasarkan
keyakinan tersebut tekadnya akan timbul dan berkembang.

Keyakinan Terhadap Tri Ratna/Tiratana

Umat Buddha menganggap Tiratana sebagai keyakinan untuk mendorong diri


mengakhiri penderitaan. Keyakinan ini bersumber dari pemahaman sifat-sifat mulia
Buddha, Dhamma, dan Sangha. Kita dapat menemukan kualitas ini dengan menghayati
apa yang ada dalam Buddhanussati, Dhammanussati, dan Sanghanussati. Dalam
Buddhanussati terdapat 9 kualitas luhur Buddha, Dhammanussati terdapat 6 kualitas luhur
Dhamma, dan Sanghanussati terdapat 9 kualitas luhur Sangha.
Tisarana (Sansekerta) /Tiratana (Pali)/Tiga Permata karena sangat berharga seperti
batu mulia yang nilainya sangat tinggi. Kata Tiratana terdiri dari kata “Ti” yang berarti
tiga, dan “Ratana” yang berarti permata/batu berharga; artinya sangat berharga sehingga
arti Tiratana secara keseluruhan adalah Tiga Permata yang nilainya tidak dapat diukur,
karena merupakan sesuatu yang agung, luhur, mulia, yang sangat perlu dipahami,
terutama untuk dipahami, dan merupakan sesuatu yang harus diyakini oleh umat Buddha.

Keyakinan terhadap adanya Boddhisatva, Arahat, dan Dewa


Boddhisatva adalah calon Buddha atau seseorang yang bercita-cita dan bertekad
untuk menjadi Buddha. Buddha Sakyamuni Gotama sebelum menjadi Buddha terlebih
dahulu terlahir sebagai seorang Boddhisatva yang harus menyempurnakan paramita atau
sifat-sifat luhur.
Arahat adalah siswa Sang Buddha, karena ketekunan dan keyakinannya
melaksanakan ajaran Sang Buddha dalam kehidupan sehari-hari, berlatih dalam Sila,
Samadhi, dan Panna, sehingga dapat mengatasi serta melenyapkan semua kekotoran batin
dan mencapai tingkat kesucian tertinggi.
Dewa adalah makhluk yang hidup di di alam dewa/Surga, yang hidup dari hasil
ciptaannya sendiri berkat kekuatan karma baik atau kusala karma yang dilakukan pada
kehidupannya yang lampau maupun semasa di alam Dewa

Keyakinan terhadap Kesunyataan

Saddha terhadap hukum kesunyataan adalah keyakinan akan adanya hukum atau
aturan dimana kita dapat merasakan bahwa ada hukum yang berlaku tanpa memandang
tempat, waktu, keadaan dan tujuannya. Kita harus memiliki Saddha terhadap hukum-
hukum kesunyataan karena hukum-hukum itu dapat membawa kita secara perlahan
menuju Nibbana. Dalam Cattari Ariya Saccani (Empat Kesunyataan Mulia) yang memuat
tentang Dukkha, sebab-sebab dukkha (Dukkha Samudaya), Lenyapnya Dukkha (Dukkha
Nirodha) yaitu Nibbana, dan jalan untuk melenyapkan Dukkha (Dukkha Nirodha
Gaminipatipada) yakni dengan delapan jalan utama yaitu:

a. Pandangan benar (Samma Ditthi)


b. Pikiran benar (Samma Sankappa)
c. Ucapan Benar (Samma Vacca)
d. Perbuatan Benar (Samma Kammanta)
e. Mata Pencaharian Benar (Samma Avija)
f. Daya Upaya Benar (Samma Vayama)
g. Perhatian Benar (Samma Sati)
h. Konsentrasi Benar (Samma Samadhi)

Keyakinan terhadap Kitab Suci

Ajaran agama Buddha berasal dari Tipitaka, kumpulan khotbah, penjelasan,


perumpamaan dan percakapan yang diberikan Sang Buddha kepada murid dan
pengikutnya. Oleh karena itu, Tipitaka tidak hanya berasal dari kata-kata Sang Buddha
sendiri, tetapi juga dari kata-kata dan komentar para muridnya. Siswa mengklasifikasikan
sumber belajar tersebut ke dalam tiga kelompok utama yang dikenal dengan sebutan
“pitaka (keranjang)”, yaitu. Pitaka Sutra atau Sutta Pitaka, Vinaya Pitakka dan
Abbidhamma Pitaka.
a. Sutta Pitaka
Sutra (Sansekerta) atau Sutta (Pali) mempunyai arti sederhana yaitu “benang”.
Benang adalah benang halus yang dipintal dari katun atau sutra, berguna untuk menjahit
atau merakit sesuatu. Setiap khotbah Sang Buddha ibarat kata-kata yang tersusun indah
yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain, tidak membingungkan dan tidak saling
bertentangan. Itulah sebabnya khotbah Buddha disebut sutra. Sutta-sutta tersebut
dikumpulkan dan dikonsolidasikan dengan nama Sutta Pitaka.
Sutta Pitaka sendiri memuat dharma (Pali dalam dhamma), atau ajaran Buddha
kepada murid-muridnya. Buku Sutta Pitaka juga memuat uraian tentang gaya hidup yang
berguna bagi para bhikkhu dan pengikut lainnya. Kitab ini terdiri dari lima jilid ( nikaya)
atau kitab, yaitu:
1. Digha Nikaya terdiri dari 34 sutta panjang dan dibagi menjadi tiga syair:
Silakkhandhavagga, Mahavagga dan Patikavagga.
2. Majjhimanikaya adalah buku kedua dari Sutta Pitaka yang berisi tokoh-tokoh
perantara.
3. Angutaranikaya adalah buku ketiga dari Sutta Pitaka, dibagi menjadi sebelas
nipata (bagian) dan berisi 9.557 sutta.
4. Samyuttanikaya adalah buku keempat dari Sutta Pitaka yang terdiri dari 7762
sutta.
5. Khuddakanikaya yang terdiri dari 15 kitab.
b. Vinaya Pitakka
Vinaya Pitakka berisi hal-hal yang berkaitan dengan penahbisan biksu dan biksuni
dan terdiri dari tiga bagian:
1. Vibhanga Sutta berisi peraturan bagi biksu dan biksuni
2. Kandaka yang terdiri dari Mahavaga dan Kuravaga
3. Kitab Parivara memuat ringkasan dan pengelompokan peraturan-peraturan Vinaya,
yang disusun dalam bentuk tanya jawab untuk dipergunakan dalam pengajaran dan
ujian.
c. Abhidamma Pitaka
Abhidhamma Pitaka berisi uraian filosofi Dhamma Buddha yang terstruktur secara
analitis, yang mencakup berbagai bidang seperti psikologi, logika, dan metafisika. Kitab
ini terdiri dari tujuh kitab (pakarana).

Keyakinan terhadap Nirwana

Nibbana, dalam esensinya, adalah pemadaman api keserakahan, kebencian, dan


kebodohan. Dalam ajaran Sang Buddha, dunia dipandang sebagai terbakar, tidak oleh api
harfiah, tetapi oleh api yang melambangkan keserakahan, kebencian, dan kebodohan;
serta oleh api dari proses kelahiran, penuaan, kematian, penderitaan fisik, kesedihan, dan
emosi negatif lainnya.
Kitab-kitab suci menyebutkan bahwa Nibbana memiliki dua aspek, yaitu Sa-
upadisesa Nibbana dan Anupadisesa-Nibbana. Meskipun disebut dua, sebenarnya ini
adalah dua nama untuk pencapaian yang sama, hanya berbeda dalam cara mencapainya,
apakah sebelum atau setelah kematian.
Langkah-langkah menuju Nibbana adalah dengan mengikuti delapan unsur jalan
utama, yang disebut Astangika-marga, atau "Jalan Mulia Berlapan". Ini mencakup
pengertian yang benar (Samma-ditthi), pikiran yang benar (Samma-sankappa), perkataan
yang benar (Samma-vaca), tindakan yang benar (Samma-kammanta), mata pencaharian
yang benar (Samma-ajiva), usaha yang benar (Samma-vayama), perhatian yang benar
(Samma-sati), dan konsentrasi yang benar (Samma-samadhi).
2. Puja (Bakti, Ketaqwaan)
Upacara puja bakti menjadi sebuah ritual yang lazim dilakukan oleh komunitas
Buddha sebagai bentuk penghormatan yang paling agung kepada Tiratana: Buddha,
Dhamma, Sangha. Melalui keteraturan dalam mengikuti puja bakti di vihara, seseorang
akan meraih beragam manfaat yang berarti:

 Menguatkan dan memperdalam Saddha (kepercayaan yang kokoh) terhadap Tiratana.


 Dengan berulang kali membaca paritta (ayat-ayat perlindungan), seseorang akan
memperluas pemahaman dan wawasan yang benar.
 Melalui pelaksanaan Pancasila Buddhis, seseorang mampu menjauhi tindakan-tindakan
yang tidak bermoral.
 Meningkatkan kemampuan untuk berkonsentrasi dan memusatkan perhatian sepenuhnya
ketika bermeditasi bersama.
 Memperkaya pengetahuan tentang Dhamma, pandangan yang benar, dan kearifan spiritual
melalui mendengarkan ceramah Dhamma yang disampaikan.

Amisa Puja dan Patipati Puja

Amisa Puja, sebuah praktik yang dimulai oleh Bhikkhu Ananda yang dengan penuh
dedikasi merawat Sang Buddha, adalah bentuk pemujaan yang disertai dengan
persembahan. Kitab Mangalattha-dipani secara terperinci menjelaskan empat aspek kunci
yang harus dipertimbangkan dalam pelaksanaan Amisa Puja ini:
1. Sakkara: Memberikan persembahan material sebagai ungkapan penghormatan, melalui
pemberian barang atau benda-benda yang berarti.
2. Garukara: Menunjukkan rasa kasih dan penghargaan terhadap nilai-nilai luhur, yang
tercermin dalam tindakan dan sikap yang penuh kasih.
3. Manana: Menunjukkan keyakinan dan kepercayaan yang tulus, sebagai manifestasi
dari hati yang ikhlas dan percaya penuh dalam ibadah.
4. Vandana: Mengucapkan kata-kata penghormatan dan pujian dengan penuh rasa
hormat, sebagai ungkapan dari penghormatan yang dalam dan tulus.

Selain itu, ada tiga aspek tambahan yang harus diperhatikan agar Amisa Puja dapat
dilakukan dengan baik:
b. Vatthu sampada: Memastikan bahwa persembahan yang diberikan mencapai tingkat
kesempurnaan, dengan memberikan yang terbaik dari yang dimiliki.
c. Cetana sampada: Mencapai kesempurnaan dalam niat dan keinginan, dengan
memiliki niat yang tulus dan murni di balik setiap tindakan dan persembahan.
d. Dakkhineya sampada: Mencapai kesempurnaan dalam pemilihan objek pemujaan,
dengan memilih objek yang pantas dan layak untuk dipuja dengan penuh
penghormatan.

Sarana Puja

Sarana yang digunakan untuk melakukan puja, antara lain:


a. Paritta, sutta, Dharani, dan mantra
b. Vihara
c. Cetiya atau altar
d. Stupa

2.1.1. Paritta, Sutra, Dharani, dan Mantra

Paritta, secara mendasar, adalah sarana perlindungan. Perlindungan ini diperoleh


melalui membaca atau mendengarkan Paritta Sutta, yakni khotbah-khotbah Sang
Buddha. Membaca Paritta membawa kedamaian bagi yang mendengarkan, khususnya
bagi mereka yang telah teguh dalam keyakinan akan kebenaran kata-kata Sang
Buddha. Ketenangan yang timbul dari Paritta ini mampu menyelimuti batin dengan
kebahagiaan, memungkinkan seseorang untuk mengatasi kegelisahan dan
ketidakpastian.
Umat Buddha meyakini bahwa Paritta memiliki kekuatan yang luar biasa dan
dapat selalu dimanfaatkan. Namun, terdapat tiga alasan mengapa pembacaan Paritta tidak
berhasil:
1. Halangan kamma, yakni dampak dari perbuatan yang telah dilakukan di masa lalu
yang menghalangi efektivitas Paritta.
2. Halangan kekotoran batin, yang terjadi ketika pikiran seseorang tidak murni atau
terkontaminasi oleh emosi negatif, sehingga menghambat penetrasi dan penerimaan
kata-kata Paritta.
3. Kurangnya keyakinan terhadap keampuhan Paritta itu sendiri, yang dapat
mengurangi keefektifan Paritta dalam memberikan perlindungan dan
kedamaian.

2.1.2. Vihara (Uposathagara, Dharmasala, Kuti, Perpustakaan, dan


Pohon Bodhi)

Vihara adalah tempat suci bagi umat Buddha, tempat di mana mereka
melaksanakan puja dan praktik spiritual mereka. Biasanya, vihara terdiri dari
bangunan-bangunan yang berfungsi berbeda, masing-masing memiliki peran dan
makna tersendiri:
1. Uposathagara: Merupakan bangunan utama yang digunakan untuk kegiatan yang
berkaitan dengan penjelasan dan penerapan vinaya.
2. Dhammasala: Tempat untuk pembacaan paritta (ayat-ayat perlindungan), diskusi
dan penjelasan tentang Dhamma, praktik meditasi, serta pelaksanaan upacara-
upacara keagamaan lainnya.
3. Kuti: Tempat tinggal para biksu dan praktisi spiritual lainnya
4. Perpustakaan: Tempat untuk menyimpan dan merawat naskah-naskah suci dan
kitab-kitab lainnya yang berhubungan dengan ajaran Buddha.
5. Pohon Bodhi: Pohon suci yang melambangkan pencapaian penerangan sempurna
oleh Siddharta Gautama, yang kemudian dikenal sebagai Buddha.

2.1.3. Cetiya atau altar

Cetiya merupakan tempat suci di dalam vihara yang digunakan untuk


menempatkan lambang-lambang kesucian dan kebijaksanaan Buddha. Di dalamnya,
terdapat berbagai simbol yang melambangkan nilai-nilai luhur Sang Buddha dan
ajarannya. Buddha rupang melambangkan kehadiran dan ajaran Sang Buddha, lilin
mewakili penerangan yang diajarkan oleh Sang Buddha, sementara dupa
menggambarkan aroma harum dari individu yang menjalankan sila dengan tulus.
Bunga melambangkan sifat ketidakkekalan, air merupakan simbol pembersihan dari
segala kekotoran, dan buah mencerminkan rasa hormat yang tulus kepada Sang
Buddha. Dengan demikian, Cetiya menjadi tempat untuk memuliakan dan
menghormati ajaran serta kebijaksanaan Buddha.
2.1.4. Stupa

Stupa berfungsi sebagai tempat penyimpanan relik Buddha dan para Arahat,
murid-murid utama Sang Buddha. Dalam melaksanakan puja, umumnya umat Buddha
mengadopsi sikap fisik tertentu, seperti ber-anjali (merangkakkan kedua tangan di
depan dada sebagai tanda penghormatan), namakara (bersujud tiga kali dengan lima
titik tubuh menyentuh lantai), atau padakhina (berjalan mengelilingi obyek
penghormatan dari kiri ke kanan dengan tangan ber-anjali, dilakukan tiga kali dengan
fokus pikiran pada Tiratana). Sikap-sikap ini mencerminkan penghormatan dan
pengabdian yang mendalam terhadap ajaran Buddha dan Tiratana.

Hari Raya Agama Buddha

Dalam kitab suci Tipitaka terdapat 4 hari suci agama Buddha, yaitu:
4. Hari suci Waisak
5. Hari suci Asadha
6. Hari suci Khatina
7. Hari suci Magha puja
Dari keempat hari suci diatas, hanya hari suci Waisak yang telah ditetapkan
sebagai hari libur nasional di Negara Indonesia oleh Pemerintah dengan keputusan
Presiden Republik Indonesia Nomor 3 tahun 1983. Hari suci Waisak mulai menjadi hari
libur nasional sejak Waisak 2527 yang hatuh pada tanggal 27 Mei 1983.

2.1.5. Magha Puja

Hari suci Magha Puja memperingati peristiwa penting ketika Sang Buddha
bertemu dengan 1250 murid yang ditahbiskan oleh Sang Buddha. Peristiwa ini
dinamakan sebagai Caturangga-sannipata. Kejadian ini hanya terjadi sekali dalam
kehidupan Sang Buddha, pada bulan Magha tahun 587 SM, 9 bulan setelah Sang
Buddha telah mencapai tingkat kesucian Arahat, memiliki 6 abhina (kemampuan
batin) yang lengkap, termasuk kemampuan untuk mengingat kehidupan masa lalu,
melihat alam halus, memusnahkan kekotoran batin, membaca pikiran orang lain,
mendengar suara-suara dari berbagai alam, dan kekuatan magis. Selama peristiwa ini,
Sang Buddha mengangkat Arahat Sariputta dan Arahat Monggalana sebagai murid
utama-Nya (Aggasavaka) dalam Sangha Bhikkhu.

2.1.6. Waisak

Waisak, atau Vaisakha Puja, diperingati untuk menghormati tiga peristiwa


penting dalam kehidupan Buddha Gotama: kelahirannya di taman Lumbini pada tahun
623 SM, pencapaian penerangan sempurna (bodhi) di Bodhi Gaya pada usia 35 tahun,
dan Parinibbana (wafat) di Kusinara pada usia 80 tahun. Perayaan Waisak mengajak
umat Buddha untuk merenungkan dan menghayati kembali perjuangan hidup Sang
Buddha. Berbicara tentang keberuntungan umat Buddha, Sang Buddha telah
menyampaikan pesan yang sederhana namun penuh makna: "Jangan berbuat jahat,
tingkatkan kebaikan, dan sucikan hati dan pikiran." Pesan ini, meskipun singkat,
memiliki kekuatan dan keramat yang luar biasa, membimbing umat Buddha dalam
perjalanan spiritual mereka.

2.1.7. Asadha

Peristiwa Asadha memiliki makna yang sangat penting dan dianggap keramat
bagi umat manusia karena memungkinkan pengenalan terhadap Buddha Dhamma,
yang merupakan inti rahasia kehidupan. Hari suci Asadha memperingati tiga peristiwa
utama dalam kehidupan Sang Buddha: khotbah pertama kepada lima pertapa di Taman
Rusa Isipatana, pembentukan Sangha Bhikkhu pertama, dan kelengkapan Tiratana atau
Triratna, yang meliputi Buddha, Dhamma, dan Sangha. Melalui peristiwa-peristiwa ini,
ajaran Buddha diperkenalkan kepada dunia, memberikan arah dan pencerahan bagi
umat manusia selama berabad-abad.

2.1.8. Kathina

Hari suci Kathina, atau Kathina Puja, adalah momen penghormatan umat Buddha
kepada Sangha, yang merupakan penjaga kitab suci Tipitaka. Umat Buddha
menyelenggarakan perayaan Kathina Puja sebagai ungkapan terima kasih kepada
Sangha. Dalam kitab Mahavagga, Sang Buddha, di Jetavana Arama milik
Anathapindika di kota Savantthi, menginstruksikan para Bhikkhu untuk menerima kain
Kathina sebagai bahan untuk membuat jubah Kathina setelah selesai masa vassa.
Bhikkhu dan Bhikkhuni hidup dengan sederhana, hanya memiliki empat kebutuhan
pokok: jubah (civara), makanan (pindapata), tempat tinggal (senasana), dan obat-
obatan (gilanapaccayabhesajja). Keberadaan Kathina Puja adalah wujud penghormatan
dan dukungan umat Buddha terhadap Sangha yang menjaga dan mewariskan ajaran
Buddha.

2.1.9. Buddhis Mahayana

Hari raya Buddhis Mahayana dipenuhi dengan beragam perayaan yang menandai
momen-momen penting dalam ajaran dan keyakinan. Ini termasuk upacara hari
lahirnya Pangeran Siddhartha pada tanggal 8 bulan 4 dalam penanggalan lunar, dengan
puja bakti dan pencurahan air bunga pada rupang bayi Sang Pangeran. Selain itu,
terdapat perayaan hari besar Buddha dan Bodhisatva lainnya, seperti Hari Bhaisajya
Guru Buddha pada akhir bulan 9, Hari Amitabha Buddha pada tanggal 17 bulan 11,
Hari Maitreya Bodhisatva pada tanggal 1 bulan 1 (bertepatan dengan tahun baru
Imlek), dan lain-lain. Perayaan-perayaan ini sering kali mencakup pembacaan sutra,
mantra, pelafalan nama Buddha, persembahan puja, serta pemasangan pelita atau
pertobatan. Satu perayaan penting lainnya adalah Hari Ulambana, yang juga disebut
sebagai Hari Ulang Tahun para Leluhur, di mana umat Buddha memperingati dan
mendoakan para leluhur mereka.

3. Buddha, Bodhisatva, dan Arahat


Buddha adalah figur yang mencapai kesadaran puncak melalui upaya pribadi,
kemudian menyebarkan ajaran Dhamma-nya kepada seluruh umat manusia. Dalam teks
Khuddhaka Nikaya, Buddha dijelaskan sebagai Sang Penentu kebenaran, individu yang
mencapai penerangan sempurna, serta yang memberikan pencerahan dari satu generasi ke
generasi berikutnya. Terdapat tiga jenis Buddha: Samma Sambuddha, yang berhasil
mencapai penerangan sempurna dan mampu mengajarkan Dhamma kepada orang lain;
Pacekka Buddha, yang mencapai penerangan tetapi tidak mengajarkan; dan Savaka
Buddha, yang mencapai penerangan setelah belajar dari Samma Sambuddha.

Arahat, di sisi lain, adalah individu yang mencapai tingkat tertinggi kesucian batin
mengikuti ajaran Buddha. Mereka dapat dikelompokkan menjadi empat jenis, dengan
tingkat kemampuan batin yang berbeda-beda: Sukkhavipassako, yang memiliki
pandangan yang terang; Tevijjo, yang juga memiliki tiga macam kemampuan batin selain
mencapai kesucian batin; Chalabhinno, yang memiliki enam kemampuan batin; dan
Patisambhidappato, yang memiliki empat macam kemampuan batin.

Bodhisatva, di sisi lain, adalah individu yang bertekad untuk mencapai pencerahan
sempurna demi kebaikan semua makhluk. Mereka dibagi menjadi tiga kelompok
berdasarkan kekuatan mereka: Pannadhika Bodhisatva, yang memiliki kebijaksanaan yang
kuat sebagai calon Samma Sambuddha; Saddhadhika Bodhisatva, yang memiliki
keyakinan yang kuat; dan Viriyadhika Bodhisatva, yang memiliki semangat yang kuat.

4. Panca Niyama
Menurut ajaran Buddha, segala fenomena di alam semesta tunduk pada Lima
Hukum Alam, yang dikenal sebagai Panca Niyama Dhamma. Ini adalah prinsip-prinsip
yang mengatur segala gejala, proses, dan aktivitas di alam semesta, baik yang bersifat
fisik maupun batin. Meskipun tidak dapat dirasakan atau dilihat secara langsung,
keberadaan dan cara kerja hukum-hukum ini dapat dipahami melalui gejala-gejala yang
muncul. Lima Hukum Alam tersebut terdiri dari Utu Niyama, yang mengatur fenomena
fisik; Bija Niyama, yang berkaitan dengan proses perkembangan organisme; Kamma
Niyama, yang menetapkan hukum sebab-akibat moral; Citta Niyama, yang mengatur
aktivitas mental; dan Dhamma Niyama, yang mencakup hukum-hukum metafisika dan
spiritual. Dengan memahami dan menghormati hukum-hukum ini, individu dapat
memperoleh wawasan mendalam tentang alam semesta dan kehidupan.
4.1. Utu Niyama
Utu Niyama, atau Hukum Musim, adalah prinsip yang mengatur ketertiban fisik
dalam alam semesta yang bersifat tidak hidup. Ini mencakup gejala seperti angin dan
hujan, serta pola musiman dan perubahan iklim yang dipengaruhi oleh faktor-faktor
seperti angin, hujan, serta sifat-sifat panas dan benda-benda seperti gas, cair, dan padat.
Hukum ini juga mengatur fenomena lain seperti kecepatan cahaya, serta proses
pembentukan dan keruntuhan tata surya. Dengan Utu Niyama, segala aspek fisik dari
alam semesta diatur dengan ketat sesuai dengan prinsip-prinsip yang telah ditetapkan.
4.1.1. Alam Semesta
Menurut ajaran Sang Buddha Gotama, yang dianggap sebagai pengenal segenap
alam semesta (Lokavidu), alam semesta, yang disebut sebagai samsara tanpa awal,
didefinisikan sebagai luas dan tak terbatas. Sang Buddha dengan detail menjelaskan
keberadaan berbagai kelompok galaksi, yang baru-baru ini ditemukan oleh ilmuwan.
Dia merujuk pada kelompok-kelompok galaksi dengan istilah "Loka Dhatu" dan
mengklasifikasikannya berdasarkan ukurannya, mulai dari sistem dunia ribuan-lipat
hingga sistem dunia puluhan-ribu lipat, serta sistem dunia yang bahkan lebih besar lagi.

Pandangan Buddhis tentang alam semesta yang luas juga diperjelas dalam dialog
antara Sang Buddha dan Bhikkhu Ananda. Sang Buddha menjelaskan tentang "Sahassi
Culanikalokadhatu" atau Seribu Tata Surya Kecil, yang terdiri dari seribu tata surya,
bulan, gunung Sineru, benua Jambudipa, dan banyak lagi. Dia bahkan menyatakan
bahwa suaranya dapat mencapai jauh hingga ke Tisahassi Mahasahassi lokadhatu atau
bahkan lebih jauh lagi jika dia menginginkannya.
4.1.2. Kejadian Bumi dan Manusia
Menurut ajaran Buddhis, penciptaan bumi dan manusia adalah proses yang
sangat lama. Sang Buddha menjelaskan dalam Aggana Sutta bahwa setelah periode
yang sangat panjang, ketika dunia hancur, makhluk-makhluk biasanya terlahir kembali
di Abhassara, alam cahaya, di mana mereka hidup dari ciptaan batin, memiliki tubuh
yang bercahaya, dan mengambang di angkasa dalam kegemilangan. Mereka hidup
demikian dalam waktu yang sangat lama. Pada saat itu, bumi kita hanya terdiri dari air,
dalam kegelapan total, tanpa matahari, bulan, atau bintang. Siang dan malam belum
ada, dan belum ada pemisahan antara laki-laki dan perempuan. Kemudian, setelah
waktu yang sangat lama, tanah mulai muncul dari dalam air. Tanah ini memiliki
berbagai warna, bau, dan rasa. Makhluk-makhluk mulai merasa lapar dan mencicipi
sari tanah tersebut, sehingga terjadi perubahan dalam tubuh mereka dan cahaya
muncul. Dengan munculnya cahaya, matahari, bulan, dan bintang-bintang terlihat, serta
siklus siang dan malam dimulai. Itulah gambaran tentang pembentukan kembali bumi
menurut ajaran Buddhis.
4.1.3. Kehancuran Bumi
Menurut ajaran Buddha, kehancuran bumi disebabkan oleh campur tangan
manusia dan hukum universal (Dhammaniyama) yang mengatur alam semesta. Dalam
Anguttara Nikaya, Sang Buddha menjelaskan bahwa setelah periode tertentu, tanpa
hujan, semua tanaman layu dan mati. Kemudian, matahari kedua muncul,
menyebabkan sungai-sungai kecil dan danau-danau kecil kering. Proses ini berlanjut
dengan munculnya matahari-matahari berikutnya, menyebabkan sungai-sungai besar
dan danau-danau besar surut dan kering, serta akhirnya bumi terbakar dan lenyap
dalam api. Ini menunjukkan bahwa segala sesuatu tidak kekal, seperti yang dinyatakan
dalam Dhammapada. Pengetahuan tentang keberlangsungan kehidupan bumi ini
memberikan pemahaman bahwa kehancurannya adalah bagian dari siklus alam semesta
dan bukan akhir dari segalanya. Meskipun tidak ada tanggal pasti untuk kehancuran,
ajaran Buddha menegaskan bahwa hal itu akan terjadi dalam waktu yang sangat lama,
menurut ukuran waktu yang disebut Kappa/Kalpa, yang menandakan bahwa
kehancuran tidak akan terjadi dalam waktu dekat.
4.2. Bija Niyama
Bija Niyama adalah hukum yang mengatur pertumbuhan dan perkembangan
tumbuhan, di mana biji atau benih menjadi sumber dari berbagai bentuk kehidupan
tumbuhan. Hukum ini mengatur bagaimana tumbuhan bertunas, tumbuh, berkembang,
dan berbuah dari biji, setek, atau bagian lainnya. Ini juga mencakup proses genetika dan
penurunan sifat dalam tumbuhan. Dalam perspektif filosofis, hukum ini merupakan
ekspresi dari energi yang mendorong kehidupan tumbuhan. Dengan demikian, Bija
Niyama mengatur semua aspek biologis dari makhluk hidup, khususnya dalam konteks
pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan.
4.3. Kamma Niyama
Kamma Niyama adalah hukum yang mengatur sebab akibat dari perbuatan, baik itu
baik maupun buruk. Ini mencakup konsep bahwa tindakan seseorang, baik itu dilakukan
dengan kebaikan atau keburukan, akan menghasilkan akibat yang sesuai. Dalam ajaran
Buddha, kamma dianggap sebagai perbuatan yang dilakukan dengan kehendak, yang
melibatkan tindakan fisik, perkataan, dan pikiran. Ini menekankan tanggung jawab atas
tindakan seseorang, bahwa pengalaman hidup yang dihadapi merupakan tantangan yang
harus diatasi dan diselesaikan dengan bijaksana. Kamma Niyama merupakan bagian dari
Dhammaniyama, yang memiliki aspek kosmis yang mencakup alam fisik dan mental,
serta aspek moral yang menyoroti tindakan manusia melalui tubuh, perkataan, dan
pikiran.

4.4. Citta Niyama


Citta Niyama adalah hukum yang mengatur proses alam pikiran atau batin,
termasuk dalamnya kesadaran, perubahan-perubahan kesadaran, sifat-sifat kesadaran, dan
kekuatan batin seperti Abhinna. Ini juga mencakup fenomena ekstrasensorik seperti
telepati, kewaskitaan, kemampuan mengingat hal-hal yang telah terjadi, serta kemampuan
untuk meramal masa depan atau membaca pikiran orang lain. Aspek-aspek ini masih
menjadi misteri bagi ilmu pengetahuan modern. Hukum ini juga mencakup proses
pemurnian batin melalui meditasi, seperti Samatha Bhavana untuk mencapai kekuatan
pikiran melalui Jhana, serta Vipassana Bhavana untuk mencapai kesucian batin dengan
menghilangkan kekotoran batin.
4.5. Dhamma Niyama
Dhamma Niyama adalah hukum yang mengatur keselarasan atau kesamaan dalam
gejala khas, seperti keajaiban alam saat seorang Bodhisattva hendak mengakhiri hidupnya
atau saat akan terlahir sebagai Buddha. Ini mencakup hukum gravitasi, daya listrik, dan
gerakan gelombang. Dhamma, dalam konteks ini, adalah sesuatu yang memiliki sifat
dasarnya sendiri dan menghasilkan sifat-sifat khusus dan universalnya. Hal ini
mencakup semua Dhamma yang dibahas dalam Suttanta dan Abhidhamma Pitaka,
serta hal-hal yang disebut dalam Vinaya Pitaka sebagai "tubuh aturan". Dhammaniyama,
sementara itu, adalah hukum universal yang mencakup segala sesuatu yang tidak diatur
oleh keempat niyama sebelumnya, termasuk Dhamma kebenaran yang diajarkan oleh
Sang Buddha setelah ditemukannya. Ini juga meliputi semua kejadian yang didasarkan
pada gejala khusus atau khas.
5. Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Ajaran Buddha
5.1. Lokattara dan Ariya
Lokottara secara literal berarti "transenden" atau "melebihi dunia". Ini
menggambarkan individu yang memiliki pemahaman dan pencapaian spiritual yang lebih
tinggi dari kebanyakan orang. Mereka memiliki wawasan yang lebih dalam tentang jalan
menuju pembebasan atau keselamatan (Nibbana).
"Ariya" bermakna mulia, suci, atau benar. Ariya merujuk kepada individu yang
telah mengatasi sepuluh belenggu atau samyojana, mencapai tingkat kesucian sebagai
sotapana, sakadagami, anagami, atau arahat.
Konsepsi tentang Ketuhanan Yang Maha Esa diterima dalam agama Buddha dan
termasuk dalam ranah Lokuttara, yang melampaui semua aspek dunia dan tidak dapat
diungkapkan dengan bahasa manusia yang terbatas. Untuk memahami hal ini, seseorang
harus mengembangkan pemahaman yang melebihi ranah duniawi hingga mencapai
pemahaman transenden. Ariya Puggala, atau orang suci, adalah mereka yang telah
mencapai tingkat ini.
5.2. Kitab Udana VIII.3
Dalam kitab Sutta Pitaka Udana VIII:3, Sang Buddha menjelaskan konsep
Ketuhanan dalam agama Buddha sebagai berikut: "Ketahuilah, para Bhikkhu, bahwa ada
sesuatu yang tidak dilahirkan, yang tidak menjelma, yang tidak diciptakan, yang mutlak.
Apabila tidak ada yang tidak dilahirkan, tidak menjelma, yang mutlak, maka tidak akan
mungkin kita dapat bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari
sebab yang lalu. Tetapi, karena ada yang tidak dilahirkan, tidak menjelma, tidak tercipta,
yang mutlak, maka ada kemungkinan untuk bebas dari kelahiran, penjelmaan,
pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu."
Dalam konsep ini, Ketuhanan Yang Mahaesa adalah sesuatu yang tidak dilahirkan,
tidak menjelma, tidak diciptakan, dan mutlak. Ini berarti bahwa dalam agama Buddha,
Ketuhanan tidak dapat dipersonifikasikan atau digambarkan dalam bentuk apapun.
Namun, dengan adanya Yang Mutlak, yang tidak berkondisi, manusia yang berkondisi
dapat mencapai kebebasan dari lingkaran kehidupan (samsara) melalui meditasi.

Penting untuk memahami bahwa konsep Ketuhanan dalam agama Buddha berbeda
dengan konsep Ketuhanan dalam agama-agama lain. Hal ini penting karena masih banyak
umat Buddha yang bingung atau mencampuradukkan konsep Ketuhanan dalam agama
Buddha dengan konsep Ketuhanan dalam agama-agama lain. Oleh karena itu, perbedaan
ini perlu ditekankan untuk memberikan pemahaman yang lebih jelas tentang ajaran
Buddha.

6. Samadhi Sebagai Landasan Memahami dan Mengerti


Ketuhanan Yang Maha Esa
6.1. Bhavana
Bhavana, yang berarti pengembangan, adalah proses pengembangan batin saat
melakukan pembersihan. Istilah lain yang hampir serupa dalam arti dan penggunaannya
adalah samadhi, yang mengacu pada pemusatan pikiran pada suatu objek. samadhi yang
benar (Samma Samadhi) terjadi ketika pikiran terfokus pada objek yang mampu
menghilangkan kekotoran batin saat pikiran bersatu dengan tindakan-tindakan karma yang
baik. Sebaliknya, samadhi yang salah (Miccha Samadhi) terjadi ketika pikiran terfokus
pada objek yang dapat menimbulkan kekotoran batin saat bersatu dengan tindakan-
tindakan karma yang buruk. Jika menggunakan istilah samadhi, yang dimaksud adalah
"Samadhi yang benar". Bhavana sendiri dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu Vipassana
Bhavana dan Samatha Bhavana.
6.1.1. Vipasanna Bhavana
Vipassana Bhavana adalah meditasi yang melibatkan pengamatan yang cermat
dan jelas terhadap objek yang dipilih, sering dimulai dengan fokus pada aspek-aspek
jasmani dalam praktik Kayanupassana satipatthana, dan berlanjut hingga mencapai
pemurnian batin. Dalam pelaksanaan Vipassana Bhavana, objek meditasi adalah nama
dan rupa, atau lima kelompok faktor kehidupan yang dikenal sebagai Pancakkhandha.
Ini melibatkan pengamatan yang teliti terhadap gerak-gerik nama dan rupa, sehingga
memungkinkan pengamatan yang jelas terhadap sifat anicca (ketidak-kekalan), dukkha
(penderitaan), dan anatta (tanpa aku) yang melekat pada mereka.
Pancakkhandha, atau lima kelompok faktor kehidupan, terdiri dari rupa-
khandha (aspek jasmani), vedana-khandha (perasaan), sañña-khandha (pencerapan),
sankhara-khandha (bentuk pikiran), dan viññana-khandha (kesadaran). Sebenarnya,
apa yang disebut sebagai pancakkhandha adalah bagian yang tidak terpisahkan dari
eksistensi individu.
Selain itu, terdapat empat macam perenungan atau satipatthana, yaitu kaya-
nupassana (perenungan terhadap badan), vedana-nupassana (perenungan terhadap
perasaan), citta-nupassana (perenungan terhadap pikiran), dan Dhamma-nupassana
(perenungan terhadap fenomena batin). Ini menjadi landasan dalam praktik Vipassana
Bhavana untuk mencapai pemahaman yang lebih dalam tentang realitas sejati.
6.1.2. Samattha Bhavana
Samatha Bhavana adalah praktik meditasi yang bertujuan untuk mencapai
ketenangan batin, di mana seseorang memusatkan pikiran pada suatu objek hingga
mencapai tingkat konsentrasi yang dalam, yang sering disebut Rupa Jhana atau Arupa
Jhana.
Dalam Samatha Bhavana, terdapat 40 jenis obyek meditasi yang dapat dipilih
berdasarkan karakter dan preferensi individu. Pemilihan ini bertujuan untuk
mempercepat perkembangan meditasi, dan sebaiknya dilakukan dengan bimbingan
seorang guru.
Carita merujuk pada sifat atau perilaku manusia yang dikelompokkan ke dalam
enam golongan berdasarkan kondisi batin mereka, termasuk kecenderungan kepada
hawa nafsu (Ragacarita), kebencian (Dosacarita), kebodohan (Mohacarita), keyakinan
(Saddhacarita), kebijaksanaan (Buddhicarita), dan lamunan (Vitakkacarita).
Nimitta mengacu pada tanda-tanda atau gambaran yang muncul selama
perkembangan meditasi. Ada tiga jenis nimitta, yaitu Parikamma-Nimitta (gambaran
permulaan), Uggaha-Nimitta (gambaran saat mencapai), dan Patibhaga-Nimitta
(gambaran yang berlawanan).
Dalam meditasi, terdapat tiga tingkat perkembangan batin, yakni Parikamma-
Bhavana (tingkat pendahuluan), Upacara-Bhavana (tingkat mendekati konsentrasi),
dan Appana-Bhavana (tingkat konsentrasi yang kuat).
6.2. Nivarana, Jhana, Abinna
Nivarana adalah gangguan batin yang menghalangi pikiran untuk mencapai
konsentrasi, dan rintangan ini dapat berasal dari dalam diri kita sendiri. Ada lima jenis
nivarana, yaitu Kamachanda (nafsu-nafsu keinginan), Byapada (kemauan jahat), Thina-
middha (kemalasan dan kelelahan), Uddhacca-kukkucca (kegelisahan dan kekhawatiran),
dan Vicikiccha (keragu-raguan).

Untuk mengatasi nivarana, orang harus mengenali sebab-sebab timbulnya dan


berusaha untuk menghindari serta menghilangkan sebab-sebab tersebut. Salah satu cara
mengatasi nivarana adalah dengan mencapai jhana, di mana pikiran terfokus dengan kuat
pada objek meditasi. Ada dua jenis jhana, yaitu jhana yang berkaitan dengan objek
berbentuk (rupa jhana) dan jhana yang berkaitan dengan objek tanpa bentuk (arupa
jhana).
Abhinna adalah kemampuan batin luar biasa yang dimiliki oleh mereka yang
berhasil dalam meditasi. Kemampuan ini muncul setelah mencapai jhana tingkat keempat.
Ada dua jenis abhinna, yaitu abhinna yang terkait dengan dunia (lokiya abhinna) dan
abhinna yang melampaui dunia (lokuttara abhinna).
6.3. Visuddhi dan Samyojana
Visuddhimagga adalah sebuah risalah yang penting dalam ajaran Buddha
Theravada, ditulis oleh Buddhaghosa pada abad kelima Masehi. Risalah ini menguraikan
tujuh langkah pemurnian berdasarkan urutan sila, samadhi, dan panna. Strukturnya
didasarkan pada Ratha-vinita Sutta, menggambarkan perjalanan dari kemurnian disiplin
hingga mencapai nibbana.
Visuddhimagga terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama membahas aturan disiplin
dan cara menemukan guru yang tepat. Bagian kedua membahas meditasi samatha,
mencakup berbagai objek meditasi dan tahapan konsentrasi. Bagian ketiga hingga tujuh
membahas konsep-konsep penting dalam Buddhisme, seperti lima skandha, Empat
Kebenaran Mulia, dan Paticcasamuppada, serta praktik vipassana. Ketujuh langkah
pemurnian yang diuraikan dalam Visuddhimagga adalah:
1. Pemurnian Tingkah Laku Etik
2. Pemurnian Pikiran
3. Pemurnian Pandangan
4. Pemurnian dengan Mengatasi Keraguan
5. Pemurnian oleh Pengetahuan dan Visi tentang Apakah Jalan dan Apakah Bukan
Jalan
6. Pemurnian oleh Pengetahuan dan Visi tentang Bagian Praktik
7. Pemurnian oleh Pengetahuan dan Visi
Visuddhi upasaka upasika adalah praktik dalam tradisi umat Buddha yang
membantu memperkuat keyakinan pada Sang Tiratana, meskipun itu tidak wajib.
Samyojana, atau belenggu, adalah sepuluh faktor yang membuat makhluk terjebak dalam
samsara, termasuk kegelapan batin (avijja) dan keragu-raguan terhadap ajaran Buddha
(vicikiccha).
6.4. Ariya Puggala
Dalam ajaran Buddha Dhamma, terdapat istilah yang disebut Ariya Puggala, yang
merujuk kepada individu yang mulia atau agung. Kata "Ariya" menandakan keagungan
dan kebaikan, sementara "Puggala" mengacu pada individu atau seseorang. Makhluk suci
adalah mereka yang telah berhasil mengatasi belenggu-belenggu atau samyojana,
mencapai tingkat kesucian seperti Sotapanna, Sakadagami, Anagami, dan Arahat. Mereka
yang belum mencapai tingkat kesucian disebut Puthujjana, baik itu bhikkhu maupun
orang awam. Ariya Puggala adalah mereka yang telah setidaknya mencapai tingkat
kesucian pertama, yang menandai keseimbangan batin dan pembebasan dari belenggu
samsara.
6.4.1. Sotapanna
Sotapanna, yang secara harfiah berarti "Pemasuk Arus", adalah individu suci
yang telah memasuki aliran menuju Nibbana. Mereka mengikuti dengan tekun "Sang
Jalan" (Magga), tanpa mundur atau terhenti dalam kemajuan batin mereka. Seorang
Sotapanna telah berhasil mengatasi tiga belenggu, yaitu sakkaya-ditthi (pandangan
tentang pribadi), vicikiccha (keragu-raguan), dan silabbata-paramasa (kepercayaan
takhayul pada ritual keagamaan). Ada tiga jenis Sotapanna yang dapat dibedakan:
1. Ekabiji Sotapanna, yang hanya akan terlahir kembali sekali lagi.
2. Kolamkola Sotapanna, yang akan terlahir kembali dua atau tiga kali lagi.
3. Sattakkhattuparana Sotapanna, yang akan terlahir kembali tujuh kali lagi.
6.4.2. Sakadagami
Sakadagami, merupakan tingkatan yang lebih tinggi daripada Sotapanna, dimana
individu tersebut akan terlahir kembali sekali lagi sebelum mencapai penerangan
penuh. Mereka yang akan mencapai tingkat Sakadagami harus berhasil mengatasi tiga
belenggu (samyojana 1, 2, 3), sementara pada saat yang bersamaan telah melemahkan
kekuatan kama-raga dan patigha (samyojana 4, 5). Sakadagami, atau "Orang yang
Akan Kembali Sekali Lagi", telah berhasil menghilangkan tiga belenggu utama:
pandangan tentang pribadi, keragu-raguan, dan kepercayaan takhayul pada ritual
keagamaan, serta telah melemahkan kekuatan nafsu indriya dan kebencian.
6.4.3. Anagami
Anagami, atau "Orang yang Tidak Kembali Lagi", adalah individu yang tidak
akan terlahir kembali di dunia manusia, melainkan langsung terlahir di salah satu dari
lima alam Suddhavasa. Dari sana, Anagami akan mencapai tingkat kesucian tertinggi
sebagai Arahat dan akhirnya mencapai parinibbana. Mereka telah berhasil
menghilangkan lima belenggu utama (samyojana) seperti yang dilakukan Sakadagami.
Ada lima jenis Anagami:
1. Mereka yang mencapai penerangan selama pertengahan pertama atau kedua dari
masa kehidupan mereka (Antara-Parinibbayi).
2. Mereka yang mencapai penerangan melalui usaha keras (Sasankhara-Parinibbayi).
3. Mereka yang mencapai penerangan melalui usaha ringan (Asankhara-Parinibbayi).
4. Mereka yang mencapai alam kehidupan tertinggi (Uddham-Soto-Akanitthagami).
Klasifikasi pertama dan kedua didasarkan pada masa kehidupan mereka,
sedangkan yang ketiga dan keempat didasarkan pada usaha mereka. Jenis kelima
ditandai oleh alam tujuan mereka.
6.4.4. Arahat
Arahat, atau Orang Suci, adalah mereka yang telah berhasil mengatasi semua
belenggu batin yang mengikat mereka. Ketika mereka meninggal, tidak akan ada
kelahiran kembali di alam manapun, mereka mencapai parinibbana. Ada empat jenis
Arahat:
1. Sukhavipassako Arahat: Mereka yang mencapai kesucian tanpa jhana atau abhinna,
hanya melalui praktik vipassana bhavana.
2. Tevijjo Arahat: Mereka yang memiliki tiga pengetahuan, yaitu kesadaran akan
kelahiran lampau, kemampuan melihat alam dewa atau peta setelah kematian, dan
pemahaman tentang cara mengatasi kekotoran batin yang dalam.
3. Chalabhino Arahat: Mereka yang memiliki kesadaran akan kelahiran lampau,
kemampuan melihat alam dewa atau peta setelah kematian, pemahaman tentang
cara mengatasi kekotoran batin yang dalam, kemampuan membaca pikiran makhluk
lainnya, mendengar percakapan dari alam dewa, brahma, dan apaya, serta memiliki
kekuatan supernatural.
4. Patisambhidappatto Arahat: Mereka yang memiliki empat jenis pengetahuan
sempurna, yaitu pengertian tentang makna ajaran dan kemampuan memberikan
penjelasan yang mendalam, pemahaman tentang esensi ajaran dan kemampuan
mengajukan pertanyaan yang dalam, pengertian tentang bahasa dan kemampuan
menggunakan kata-kata yang mudah dimengerti, serta pemahaman tentang
kebijaksanaan dan kemampuan menjawab pertanyaan secara spontan.
7. Konsep Keselamatan
7.1. Ortodoks (Keselamatan sepenuhnya tergantung dari pengampunan)
Doktrin ortodoks mengajarkan bahwa keselamatan seseorang sepenuhnya
bergantung pada pengampunan Tuhan, bukan perbuatan manusia. Dalam pandangan ini,
tindakan manusia tidak memiliki dampak signifikan terhadap keselamatan, dan konsep
hukum karma diabaikan. Menurut ortodoksi, segala kebahagiaan dan penderitaan terjadi
atas kehendak Tuhan, tanpa memperhatikan tindakan manusia, baik secara aktif maupun
pasif.
7.2. Heterodoks (Keselamatan dapat terjadi sebab adanya pengampunan dan
usaha manusia)
Doktrin heterodoks menyatakan bahwa keselamatan seseorang tergantung pada
pengampunan Tuhan dan usaha manusia. Dalam pandangan ini, tindakan manusia
memiliki peran yang signifikan, yang ditambah dengan intervensi Tuhan. Biasanya,
interaksi ini terjadi melalui doa kepada Tuhan, dengan harapan bahwa permintaan akan
dikabulkan. Tuhan kemudian memutuskan apakah permohonan tersebut akan diterima
atau tidak, sehingga memberikan dimensi tambahan terhadap usaha manusia dalam
mencapai keselamatan.
7.3. Independen (Keselamatan sepenuhnya tergantung dari usaha manusia)
Dalam konsep keselamatan independen, keyakinan bahwa nasib seseorang
sepenuhnya bergantung pada tindakan manusia sendiri ditekankan. Ini berarti bahwa baik
buruknya perbuatan seseorang akan menentukan alam mana yang akan dihadapinya
setelah meninggal dunia. Konsep ini sejalan dengan ajaran Buddhisme tentang hukum
karma, di mana tindakan-tindakan kita memiliki konsekuensi yang langsung terkait
dengan alam kelahiran kita selanjutnya. Jadi, jika seseorang melakukan kebaikan, maka
dia akan menghasilkan akibat yang baik dan kemungkinan besar akan terlahir kembali di
alam yang bahagia. Namun, jika perbuatan seseorang buruk, maka dia akan menghadapi
akibat yang tidak menyenangkan dan mungkin akan terlahir kembali di alam yang penuh
penderitaan.
DAFTAR PUSTAKA

Y. Cantika, “Pengertian Iman Secara Bahasa dan Istilah Serta Tingkatannya,” [Online].
Available: https://www.gramedia.com/literasi/pengertian-
iman/#Pengertian_Iman_Secara_Bahasa_dan_Istilah. [Diakses 24 Februari 2024]

Padamutisarana, “Saddhā – Keyakinan dalam Agama Buddha,” 9 September 2016.


[Online]. Available: https://tisarana.net/artikel/saddha-keyakinan-dalam-agama-
buddha/. [Diakses 24 Februari 2024].

Darvina, “Tisarana/ Tiratana/ Tiga Permata/ Tiga Perlindungan,” 19 April 2022. [Online].
Available: https://belajarbarengdhamma.com/tisarana-tiratana-tiga-permata-tiga-
perlindungan/. [Diakses 24 Februari 2024].
“Tiratana`,” [Online]. Available: https://www.dhammatalks.net/BM/Tiratana.htm. [Diakses
24 Februari 2024].

Padamutisarana, “Apa itu Tiratana ?,” 15 November 2015. [Online]. Available:


https://tisarana.net/dasar-agama-buddha/apa-itu-tiratana/. [Diakses 24 Februari 2024].

C. Yun, “SVARA BUDDHA,” 24 August 2018. [Online]. Available:


https://chuanyun90.wordpress.com/2018/08/24/bodhisattva/. [Diakses 24 Februari 2024].

“Bodhisattva Theravada dan Mahayana, Pengertian Perbedaannya,” 7 August 2021.


[Online]. Available: https://bodhidharma.ac.id/artikel/51/Bodhisattva-Theravada-dan-
Mahayana,- Pengertian-Perbedaannya.html. [Diakses 24 Februari 2024].

B. O'Brien, “Apa itu Arhat atau Arahat dalam agama Buddha?,” [Online]. Available:
https://id.eferrit.com/apa-itu-arhat-atau-arahat-dalam-agama-buddha/. [Diakses 24 Februari
2024].
“Siapa dewa utama agama Buddha?,” [Online]. Available:
https://www.postposmo.com/id/dewa- agama-buddha-2/. [Diakses 24 Februari 2024].

Tanhadi, “PUSTAKA DHAMMA : KESUNYATAAN,” 27 Mei 2010. [Online]. Available:


https://tanhadi.blogspot.com/2010/05/kesunyataan.html. [Diakses 24 Februari 2024].

Anda mungkin juga menyukai