Resume MKWK Agama Buddha
Resume MKWK Agama Buddha
Dibuat Oleh:
Jason Sanjaya (231401066)
Daftar Isi
1. Saddha (Keimanan)
Keyakinan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
Saddha terhadap hukum kesunyataan adalah keyakinan akan adanya hukum atau
aturan dimana kita dapat merasakan bahwa ada hukum yang berlaku tanpa memandang
tempat, waktu, keadaan dan tujuannya. Kita harus memiliki Saddha terhadap hukum-
hukum kesunyataan karena hukum-hukum itu dapat membawa kita secara perlahan
menuju Nibbana. Dalam Cattari Ariya Saccani (Empat Kesunyataan Mulia) yang memuat
tentang Dukkha, sebab-sebab dukkha (Dukkha Samudaya), Lenyapnya Dukkha (Dukkha
Nirodha) yaitu Nibbana, dan jalan untuk melenyapkan Dukkha (Dukkha Nirodha
Gaminipatipada) yakni dengan delapan jalan utama yaitu:
Amisa Puja, sebuah praktik yang dimulai oleh Bhikkhu Ananda yang dengan penuh
dedikasi merawat Sang Buddha, adalah bentuk pemujaan yang disertai dengan
persembahan. Kitab Mangalattha-dipani secara terperinci menjelaskan empat aspek kunci
yang harus dipertimbangkan dalam pelaksanaan Amisa Puja ini:
1. Sakkara: Memberikan persembahan material sebagai ungkapan penghormatan, melalui
pemberian barang atau benda-benda yang berarti.
2. Garukara: Menunjukkan rasa kasih dan penghargaan terhadap nilai-nilai luhur, yang
tercermin dalam tindakan dan sikap yang penuh kasih.
3. Manana: Menunjukkan keyakinan dan kepercayaan yang tulus, sebagai manifestasi
dari hati yang ikhlas dan percaya penuh dalam ibadah.
4. Vandana: Mengucapkan kata-kata penghormatan dan pujian dengan penuh rasa
hormat, sebagai ungkapan dari penghormatan yang dalam dan tulus.
Selain itu, ada tiga aspek tambahan yang harus diperhatikan agar Amisa Puja dapat
dilakukan dengan baik:
b. Vatthu sampada: Memastikan bahwa persembahan yang diberikan mencapai tingkat
kesempurnaan, dengan memberikan yang terbaik dari yang dimiliki.
c. Cetana sampada: Mencapai kesempurnaan dalam niat dan keinginan, dengan
memiliki niat yang tulus dan murni di balik setiap tindakan dan persembahan.
d. Dakkhineya sampada: Mencapai kesempurnaan dalam pemilihan objek pemujaan,
dengan memilih objek yang pantas dan layak untuk dipuja dengan penuh
penghormatan.
Sarana Puja
Vihara adalah tempat suci bagi umat Buddha, tempat di mana mereka
melaksanakan puja dan praktik spiritual mereka. Biasanya, vihara terdiri dari
bangunan-bangunan yang berfungsi berbeda, masing-masing memiliki peran dan
makna tersendiri:
1. Uposathagara: Merupakan bangunan utama yang digunakan untuk kegiatan yang
berkaitan dengan penjelasan dan penerapan vinaya.
2. Dhammasala: Tempat untuk pembacaan paritta (ayat-ayat perlindungan), diskusi
dan penjelasan tentang Dhamma, praktik meditasi, serta pelaksanaan upacara-
upacara keagamaan lainnya.
3. Kuti: Tempat tinggal para biksu dan praktisi spiritual lainnya
4. Perpustakaan: Tempat untuk menyimpan dan merawat naskah-naskah suci dan
kitab-kitab lainnya yang berhubungan dengan ajaran Buddha.
5. Pohon Bodhi: Pohon suci yang melambangkan pencapaian penerangan sempurna
oleh Siddharta Gautama, yang kemudian dikenal sebagai Buddha.
Stupa berfungsi sebagai tempat penyimpanan relik Buddha dan para Arahat,
murid-murid utama Sang Buddha. Dalam melaksanakan puja, umumnya umat Buddha
mengadopsi sikap fisik tertentu, seperti ber-anjali (merangkakkan kedua tangan di
depan dada sebagai tanda penghormatan), namakara (bersujud tiga kali dengan lima
titik tubuh menyentuh lantai), atau padakhina (berjalan mengelilingi obyek
penghormatan dari kiri ke kanan dengan tangan ber-anjali, dilakukan tiga kali dengan
fokus pikiran pada Tiratana). Sikap-sikap ini mencerminkan penghormatan dan
pengabdian yang mendalam terhadap ajaran Buddha dan Tiratana.
Dalam kitab suci Tipitaka terdapat 4 hari suci agama Buddha, yaitu:
4. Hari suci Waisak
5. Hari suci Asadha
6. Hari suci Khatina
7. Hari suci Magha puja
Dari keempat hari suci diatas, hanya hari suci Waisak yang telah ditetapkan
sebagai hari libur nasional di Negara Indonesia oleh Pemerintah dengan keputusan
Presiden Republik Indonesia Nomor 3 tahun 1983. Hari suci Waisak mulai menjadi hari
libur nasional sejak Waisak 2527 yang hatuh pada tanggal 27 Mei 1983.
Hari suci Magha Puja memperingati peristiwa penting ketika Sang Buddha
bertemu dengan 1250 murid yang ditahbiskan oleh Sang Buddha. Peristiwa ini
dinamakan sebagai Caturangga-sannipata. Kejadian ini hanya terjadi sekali dalam
kehidupan Sang Buddha, pada bulan Magha tahun 587 SM, 9 bulan setelah Sang
Buddha telah mencapai tingkat kesucian Arahat, memiliki 6 abhina (kemampuan
batin) yang lengkap, termasuk kemampuan untuk mengingat kehidupan masa lalu,
melihat alam halus, memusnahkan kekotoran batin, membaca pikiran orang lain,
mendengar suara-suara dari berbagai alam, dan kekuatan magis. Selama peristiwa ini,
Sang Buddha mengangkat Arahat Sariputta dan Arahat Monggalana sebagai murid
utama-Nya (Aggasavaka) dalam Sangha Bhikkhu.
2.1.6. Waisak
2.1.7. Asadha
Peristiwa Asadha memiliki makna yang sangat penting dan dianggap keramat
bagi umat manusia karena memungkinkan pengenalan terhadap Buddha Dhamma,
yang merupakan inti rahasia kehidupan. Hari suci Asadha memperingati tiga peristiwa
utama dalam kehidupan Sang Buddha: khotbah pertama kepada lima pertapa di Taman
Rusa Isipatana, pembentukan Sangha Bhikkhu pertama, dan kelengkapan Tiratana atau
Triratna, yang meliputi Buddha, Dhamma, dan Sangha. Melalui peristiwa-peristiwa ini,
ajaran Buddha diperkenalkan kepada dunia, memberikan arah dan pencerahan bagi
umat manusia selama berabad-abad.
2.1.8. Kathina
Hari suci Kathina, atau Kathina Puja, adalah momen penghormatan umat Buddha
kepada Sangha, yang merupakan penjaga kitab suci Tipitaka. Umat Buddha
menyelenggarakan perayaan Kathina Puja sebagai ungkapan terima kasih kepada
Sangha. Dalam kitab Mahavagga, Sang Buddha, di Jetavana Arama milik
Anathapindika di kota Savantthi, menginstruksikan para Bhikkhu untuk menerima kain
Kathina sebagai bahan untuk membuat jubah Kathina setelah selesai masa vassa.
Bhikkhu dan Bhikkhuni hidup dengan sederhana, hanya memiliki empat kebutuhan
pokok: jubah (civara), makanan (pindapata), tempat tinggal (senasana), dan obat-
obatan (gilanapaccayabhesajja). Keberadaan Kathina Puja adalah wujud penghormatan
dan dukungan umat Buddha terhadap Sangha yang menjaga dan mewariskan ajaran
Buddha.
Hari raya Buddhis Mahayana dipenuhi dengan beragam perayaan yang menandai
momen-momen penting dalam ajaran dan keyakinan. Ini termasuk upacara hari
lahirnya Pangeran Siddhartha pada tanggal 8 bulan 4 dalam penanggalan lunar, dengan
puja bakti dan pencurahan air bunga pada rupang bayi Sang Pangeran. Selain itu,
terdapat perayaan hari besar Buddha dan Bodhisatva lainnya, seperti Hari Bhaisajya
Guru Buddha pada akhir bulan 9, Hari Amitabha Buddha pada tanggal 17 bulan 11,
Hari Maitreya Bodhisatva pada tanggal 1 bulan 1 (bertepatan dengan tahun baru
Imlek), dan lain-lain. Perayaan-perayaan ini sering kali mencakup pembacaan sutra,
mantra, pelafalan nama Buddha, persembahan puja, serta pemasangan pelita atau
pertobatan. Satu perayaan penting lainnya adalah Hari Ulambana, yang juga disebut
sebagai Hari Ulang Tahun para Leluhur, di mana umat Buddha memperingati dan
mendoakan para leluhur mereka.
Arahat, di sisi lain, adalah individu yang mencapai tingkat tertinggi kesucian batin
mengikuti ajaran Buddha. Mereka dapat dikelompokkan menjadi empat jenis, dengan
tingkat kemampuan batin yang berbeda-beda: Sukkhavipassako, yang memiliki
pandangan yang terang; Tevijjo, yang juga memiliki tiga macam kemampuan batin selain
mencapai kesucian batin; Chalabhinno, yang memiliki enam kemampuan batin; dan
Patisambhidappato, yang memiliki empat macam kemampuan batin.
Bodhisatva, di sisi lain, adalah individu yang bertekad untuk mencapai pencerahan
sempurna demi kebaikan semua makhluk. Mereka dibagi menjadi tiga kelompok
berdasarkan kekuatan mereka: Pannadhika Bodhisatva, yang memiliki kebijaksanaan yang
kuat sebagai calon Samma Sambuddha; Saddhadhika Bodhisatva, yang memiliki
keyakinan yang kuat; dan Viriyadhika Bodhisatva, yang memiliki semangat yang kuat.
4. Panca Niyama
Menurut ajaran Buddha, segala fenomena di alam semesta tunduk pada Lima
Hukum Alam, yang dikenal sebagai Panca Niyama Dhamma. Ini adalah prinsip-prinsip
yang mengatur segala gejala, proses, dan aktivitas di alam semesta, baik yang bersifat
fisik maupun batin. Meskipun tidak dapat dirasakan atau dilihat secara langsung,
keberadaan dan cara kerja hukum-hukum ini dapat dipahami melalui gejala-gejala yang
muncul. Lima Hukum Alam tersebut terdiri dari Utu Niyama, yang mengatur fenomena
fisik; Bija Niyama, yang berkaitan dengan proses perkembangan organisme; Kamma
Niyama, yang menetapkan hukum sebab-akibat moral; Citta Niyama, yang mengatur
aktivitas mental; dan Dhamma Niyama, yang mencakup hukum-hukum metafisika dan
spiritual. Dengan memahami dan menghormati hukum-hukum ini, individu dapat
memperoleh wawasan mendalam tentang alam semesta dan kehidupan.
4.1. Utu Niyama
Utu Niyama, atau Hukum Musim, adalah prinsip yang mengatur ketertiban fisik
dalam alam semesta yang bersifat tidak hidup. Ini mencakup gejala seperti angin dan
hujan, serta pola musiman dan perubahan iklim yang dipengaruhi oleh faktor-faktor
seperti angin, hujan, serta sifat-sifat panas dan benda-benda seperti gas, cair, dan padat.
Hukum ini juga mengatur fenomena lain seperti kecepatan cahaya, serta proses
pembentukan dan keruntuhan tata surya. Dengan Utu Niyama, segala aspek fisik dari
alam semesta diatur dengan ketat sesuai dengan prinsip-prinsip yang telah ditetapkan.
4.1.1. Alam Semesta
Menurut ajaran Sang Buddha Gotama, yang dianggap sebagai pengenal segenap
alam semesta (Lokavidu), alam semesta, yang disebut sebagai samsara tanpa awal,
didefinisikan sebagai luas dan tak terbatas. Sang Buddha dengan detail menjelaskan
keberadaan berbagai kelompok galaksi, yang baru-baru ini ditemukan oleh ilmuwan.
Dia merujuk pada kelompok-kelompok galaksi dengan istilah "Loka Dhatu" dan
mengklasifikasikannya berdasarkan ukurannya, mulai dari sistem dunia ribuan-lipat
hingga sistem dunia puluhan-ribu lipat, serta sistem dunia yang bahkan lebih besar lagi.
Pandangan Buddhis tentang alam semesta yang luas juga diperjelas dalam dialog
antara Sang Buddha dan Bhikkhu Ananda. Sang Buddha menjelaskan tentang "Sahassi
Culanikalokadhatu" atau Seribu Tata Surya Kecil, yang terdiri dari seribu tata surya,
bulan, gunung Sineru, benua Jambudipa, dan banyak lagi. Dia bahkan menyatakan
bahwa suaranya dapat mencapai jauh hingga ke Tisahassi Mahasahassi lokadhatu atau
bahkan lebih jauh lagi jika dia menginginkannya.
4.1.2. Kejadian Bumi dan Manusia
Menurut ajaran Buddhis, penciptaan bumi dan manusia adalah proses yang
sangat lama. Sang Buddha menjelaskan dalam Aggana Sutta bahwa setelah periode
yang sangat panjang, ketika dunia hancur, makhluk-makhluk biasanya terlahir kembali
di Abhassara, alam cahaya, di mana mereka hidup dari ciptaan batin, memiliki tubuh
yang bercahaya, dan mengambang di angkasa dalam kegemilangan. Mereka hidup
demikian dalam waktu yang sangat lama. Pada saat itu, bumi kita hanya terdiri dari air,
dalam kegelapan total, tanpa matahari, bulan, atau bintang. Siang dan malam belum
ada, dan belum ada pemisahan antara laki-laki dan perempuan. Kemudian, setelah
waktu yang sangat lama, tanah mulai muncul dari dalam air. Tanah ini memiliki
berbagai warna, bau, dan rasa. Makhluk-makhluk mulai merasa lapar dan mencicipi
sari tanah tersebut, sehingga terjadi perubahan dalam tubuh mereka dan cahaya
muncul. Dengan munculnya cahaya, matahari, bulan, dan bintang-bintang terlihat, serta
siklus siang dan malam dimulai. Itulah gambaran tentang pembentukan kembali bumi
menurut ajaran Buddhis.
4.1.3. Kehancuran Bumi
Menurut ajaran Buddha, kehancuran bumi disebabkan oleh campur tangan
manusia dan hukum universal (Dhammaniyama) yang mengatur alam semesta. Dalam
Anguttara Nikaya, Sang Buddha menjelaskan bahwa setelah periode tertentu, tanpa
hujan, semua tanaman layu dan mati. Kemudian, matahari kedua muncul,
menyebabkan sungai-sungai kecil dan danau-danau kecil kering. Proses ini berlanjut
dengan munculnya matahari-matahari berikutnya, menyebabkan sungai-sungai besar
dan danau-danau besar surut dan kering, serta akhirnya bumi terbakar dan lenyap
dalam api. Ini menunjukkan bahwa segala sesuatu tidak kekal, seperti yang dinyatakan
dalam Dhammapada. Pengetahuan tentang keberlangsungan kehidupan bumi ini
memberikan pemahaman bahwa kehancurannya adalah bagian dari siklus alam semesta
dan bukan akhir dari segalanya. Meskipun tidak ada tanggal pasti untuk kehancuran,
ajaran Buddha menegaskan bahwa hal itu akan terjadi dalam waktu yang sangat lama,
menurut ukuran waktu yang disebut Kappa/Kalpa, yang menandakan bahwa
kehancuran tidak akan terjadi dalam waktu dekat.
4.2. Bija Niyama
Bija Niyama adalah hukum yang mengatur pertumbuhan dan perkembangan
tumbuhan, di mana biji atau benih menjadi sumber dari berbagai bentuk kehidupan
tumbuhan. Hukum ini mengatur bagaimana tumbuhan bertunas, tumbuh, berkembang,
dan berbuah dari biji, setek, atau bagian lainnya. Ini juga mencakup proses genetika dan
penurunan sifat dalam tumbuhan. Dalam perspektif filosofis, hukum ini merupakan
ekspresi dari energi yang mendorong kehidupan tumbuhan. Dengan demikian, Bija
Niyama mengatur semua aspek biologis dari makhluk hidup, khususnya dalam konteks
pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan.
4.3. Kamma Niyama
Kamma Niyama adalah hukum yang mengatur sebab akibat dari perbuatan, baik itu
baik maupun buruk. Ini mencakup konsep bahwa tindakan seseorang, baik itu dilakukan
dengan kebaikan atau keburukan, akan menghasilkan akibat yang sesuai. Dalam ajaran
Buddha, kamma dianggap sebagai perbuatan yang dilakukan dengan kehendak, yang
melibatkan tindakan fisik, perkataan, dan pikiran. Ini menekankan tanggung jawab atas
tindakan seseorang, bahwa pengalaman hidup yang dihadapi merupakan tantangan yang
harus diatasi dan diselesaikan dengan bijaksana. Kamma Niyama merupakan bagian dari
Dhammaniyama, yang memiliki aspek kosmis yang mencakup alam fisik dan mental,
serta aspek moral yang menyoroti tindakan manusia melalui tubuh, perkataan, dan
pikiran.
Penting untuk memahami bahwa konsep Ketuhanan dalam agama Buddha berbeda
dengan konsep Ketuhanan dalam agama-agama lain. Hal ini penting karena masih banyak
umat Buddha yang bingung atau mencampuradukkan konsep Ketuhanan dalam agama
Buddha dengan konsep Ketuhanan dalam agama-agama lain. Oleh karena itu, perbedaan
ini perlu ditekankan untuk memberikan pemahaman yang lebih jelas tentang ajaran
Buddha.
Y. Cantika, “Pengertian Iman Secara Bahasa dan Istilah Serta Tingkatannya,” [Online].
Available: https://www.gramedia.com/literasi/pengertian-
iman/#Pengertian_Iman_Secara_Bahasa_dan_Istilah. [Diakses 24 Februari 2024]
Darvina, “Tisarana/ Tiratana/ Tiga Permata/ Tiga Perlindungan,” 19 April 2022. [Online].
Available: https://belajarbarengdhamma.com/tisarana-tiratana-tiga-permata-tiga-
perlindungan/. [Diakses 24 Februari 2024].
“Tiratana`,” [Online]. Available: https://www.dhammatalks.net/BM/Tiratana.htm. [Diakses
24 Februari 2024].
B. O'Brien, “Apa itu Arhat atau Arahat dalam agama Buddha?,” [Online]. Available:
https://id.eferrit.com/apa-itu-arhat-atau-arahat-dalam-agama-buddha/. [Diakses 24 Februari
2024].
“Siapa dewa utama agama Buddha?,” [Online]. Available:
https://www.postposmo.com/id/dewa- agama-buddha-2/. [Diakses 24 Februari 2024].