Anda di halaman 1dari 3

Nama : Dera Wanda Yanti

NIM : 2211010077
Prodi : Keperawatan D3 (B)

Pandangan Masyarakat Desa Patemon Perihal Tahlilan atau Tahlil

Saya Dera Wanda Yanti mahasiswa Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Prodi


Keperawatan D3. Disini saya akan membagikan sedikit opini dan pandangan masyarakat Desa
Patemon tentang tahlilan atau tahlil.
Acara tahlilan merupakan upacara ritual seremonial yang biasa dilakukan oleh
keumuman masyarakat Indonesia untuk memperingati hari kematian. Secara bersama-sama,
berkumpul sanak keluarga, handai taulan, beserta masyarakat sekitarnya, membaca beberapa
ayat Al Qur’an, dzikir-dzikir, dan disertai do’a-do’a tertentu untuk dikirimkan kepada orang yang
telah meninggal. Dikarenakan dari sekian materi bacaannya terdapat kalimat tahlil yang
diulang-ulang, maka acara tersebut dikenal dengan istilah “Tahlilan”.
Seperti yang dipahami oleh pandangan umum bahwa tahlilan merupakan tradisi yang
sangat kental dengan masyarakat Nahdhatul Ulama atau NU. Salah satu sebabnya, karena
masyarakat NU menjadikan tahlilan sebagai salah satu dari ciri khasnya. Akan tetapi seiring
dengan berubahnya waktu, kini tahlilan tidak lagi dijalankan masyarakat NU saja, masyarakat
Muhammadiyah yang pada awalnya jelas-jelas menolak tahlilan karena dianggap sebagai
bid'ah, kini sudah bisa menerima. Dalam hal ini saya mencoba mengambil contoh dari
masyarakat Muhammadiyah di Desa Patemon, Kecamatan Bojongsari, Kabupaten Purbalingga,
Jawa Tengah. Pembahasan yang akan saya ceritakan yaitu tentang pengaruh persepsi tradisi
tahlilan di kalangan masyarakat Muhammadiyah Desa Patemon terhadap relasi sosial. Alasan
saya dalam membahas ini adalah untuk mengetahui persepsi masyarakat Muhammadiyah Desa
Patemon terhadap keberadaan tahlilan dan sejauh mana implikasinya di dalam relasi sosial
antar warga di Desa Patemon.
Menurut apa yang saya tau terkait tahlilan atau tahlill itu sendiri adalah berarti
membaca kalimat La ilaha illa Allah. Kemudian tradisi ini telah mengakar dikalangan
Masyarakat muslim Indonesia, khususnya nahdhiyyin (NU). Lalu terkait tahlilan yang dilakukan
oleh Masyarakat NU di Desa Patemon adalah sudah menjadi tradisi yang dilakukan setelah
melaksanakan sholat berjamaah di masjid dan ketika ada acara pengajian akbar. Tahlil menjadi
penting adanya bagi Masyarakat NU desa Patemon dalam melakukan kegiatan Islami apapun
itu. Karena mereka berpikir sebuah acara tanpa adanya tahlil terasa kurang afdol. Dengan
adanya tahlil maka acara yang sedang berlangsung ataupun dalam suatu majelis akan
mendatangkan keberkahan dari Allah SWT.
Dalam pelaksanaan tahlilan atau tahlil yang dilakukan tidak hanya membaca doa-doa,
melainkan juga membacakan surat Yassin sebagai pelengkap. Yassin itu sendiri dibaca setelah
tahlil selesai dibacakan.
Lain halnya dengan masyarakat Muhammadiyah di Desa Patemon. Mereka tidak
melakukan tahlil ketika telah selesai melaksanakan sholat berjamah. Tentu saja hal tersebut
menimbulkan pertanyaan, terutama bagi Masyarakat NU di Desa Patemon. Menurut
masyarakat Muhammadiyah di Desa Patemon justru menganjurkan agar memperbanyak
membaca kalimat La ilaha illa Allah guna untuk mendekatkan diri krpada Allah SWT. Namun,
membaca tahlil ribuan kali menjadi sia-sia apabila masih berbuat syirik dan tidak beramal
shalih. Sebab, tahlil harus benar-benar diyakini dan diamalkan dengan berbuat amal shalil
sebanyak-banyaknya.
Masyarakat Muhammadiyah di Desa Patemon berpendapat bahwa tahlilan adalah
upacara yang dikaitkan dengan tujuh hari kematian atau empat puluh hari atau seratus hari
sebagaimana dilakukan oleh pemeluk agama Hindu. Salah satu tokoh Muhammadiyah di Desa
Patemon yang pernah saya tanyai sewaktu saya masih mengaji di salah satu TPQ yang
bernotabe mengajarkan tentang kemuhammadiyahan adalah “Selamatan tiga hari, tujuh hari
dan seterusnya itu adalah sisa-sisa pengaruh budaya dinamisme peninggalan ajaran Hindu yang
sudah terlanjur mengakar dalam Masyarakat di Desa Patemon. Karena hal itu ada hubungannya
dengan ibadah, maka kita sebagai umat muslim harus ikut dalam tuntunan islam.” Katanya.
Kelompok Muhammadiyah di Desa Patemon juga berpendapat terkait tahlilan atau
tahlil yaitu dalam menyelenggarakan acara tahlilan harus mengeluarkan biaya besar yang
kadang-kadang harus pinjam kepada tetangga atau saudaranya. Dan menurut mereka hal
seperti ini terkesan tabzir (berbuat mubazir). Lalu pandangan membaca tahlil menurut
kelompok Muhammadiyah di Desa Patemon yaitu tidak dilarang.
Meskipun kelompok Muhammadiyah tidak menampilkan secara simbolis kegiatan
tahlil-yasin, namun Muhammadiyah termasuk ‘Aisyiyah ternyata juga melakukan kegiatan
Yasinan. Pengertian ‘Aisyiyah dalam Muhammadiyah itu sendiri adalah salah satu organisasi
otonom bagi wanita muhammadiyah.
Berbeda dengan mereka kelompok Nahdhiyyin atau NU. Salah satu sesepuh yang ada
di Desa Patemon berpendapat, jika untuk mengadakan tahlilan atau tahlil tidak harus
mengeluarkan biaya yang besar. Kami (Nahdhiyyin atau Nu) tidak mewajibkan setiap ada acara
tahlilan atau tahlil harus menyediakan makanan ataupun minum yang beraneka macam
banyaknya. Karena tujuan diadakannya tahlilalan atau tahlil ini semata-mata hanya untuk
mendapatkan berkah serta keridhoan dari Allah SWT.
Agar tetap murni bersyariat dalam bertahlilan, pelaksanaan tidak dicampur atau
dilaksanakan dengan peringatan hari-hari kematian seseorang sebagaimana yang terjadi dalam
Hinduisme. Kalau tetap dilaksanakan, itulah yang disebut mencampuradukkan antara ajaran
Islam dan non ajaran Islam dalam pelaksanaan ibadah. Tahlilan tidak bisa disebut hanya
sekadar budaya karena ada unsur-unsur keyakinan eskatologis di dalamnya, yaitu pengiriman
pahala, yang dikirimi pahala menjadi banyak tabungan pahalanya.
Berdasarkan penjelasan di atas, Muhammadiyah tidak melaksanakan tahlilan, tetapi
tidak mengharamkan membaca tahlil yakni kalimat La Ilaha Illallah.
Jadi, kesimpulan yang dapat saya ambil dari opini masyarakat Desa Patemon terkait
tahlilan atau tahlil yaitu setiap persoalan yang timbul dalam Islam, lalu orang-orang berbeda
pendapat mengenai hal tersebut dan perbedaan itu tidak menimbulkan permusuhan,
kebencian dan perpecahan, maka kami meyakini bahwa persoalan tersebut masuk dalam
koridor Islam.

Anda mungkin juga menyukai