Pandangan Masyarakat Desa Patemon Perihal Tahlilan atau Tahlil
Saya Dera Wanda Yanti mahasiswa Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Prodi
Keperawatan D3. Disini saya akan membagikan sedikit opini dan pandangan masyarakat Desa Patemon tentang tahlilan atau tahlil. Acara tahlilan merupakan upacara ritual seremonial yang biasa dilakukan oleh keumuman masyarakat Indonesia untuk memperingati hari kematian. Secara bersama-sama, berkumpul sanak keluarga, handai taulan, beserta masyarakat sekitarnya, membaca beberapa ayat Al Qur’an, dzikir-dzikir, dan disertai do’a-do’a tertentu untuk dikirimkan kepada orang yang telah meninggal. Dikarenakan dari sekian materi bacaannya terdapat kalimat tahlil yang diulang-ulang, maka acara tersebut dikenal dengan istilah “Tahlilan”. Seperti yang dipahami oleh pandangan umum bahwa tahlilan merupakan tradisi yang sangat kental dengan masyarakat Nahdhatul Ulama atau NU. Salah satu sebabnya, karena masyarakat NU menjadikan tahlilan sebagai salah satu dari ciri khasnya. Akan tetapi seiring dengan berubahnya waktu, kini tahlilan tidak lagi dijalankan masyarakat NU saja, masyarakat Muhammadiyah yang pada awalnya jelas-jelas menolak tahlilan karena dianggap sebagai bid'ah, kini sudah bisa menerima. Dalam hal ini saya mencoba mengambil contoh dari masyarakat Muhammadiyah di Desa Patemon, Kecamatan Bojongsari, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah. Pembahasan yang akan saya ceritakan yaitu tentang pengaruh persepsi tradisi tahlilan di kalangan masyarakat Muhammadiyah Desa Patemon terhadap relasi sosial. Alasan saya dalam membahas ini adalah untuk mengetahui persepsi masyarakat Muhammadiyah Desa Patemon terhadap keberadaan tahlilan dan sejauh mana implikasinya di dalam relasi sosial antar warga di Desa Patemon. Menurut apa yang saya tau terkait tahlilan atau tahlill itu sendiri adalah berarti membaca kalimat La ilaha illa Allah. Kemudian tradisi ini telah mengakar dikalangan Masyarakat muslim Indonesia, khususnya nahdhiyyin (NU). Lalu terkait tahlilan yang dilakukan oleh Masyarakat NU di Desa Patemon adalah sudah menjadi tradisi yang dilakukan setelah melaksanakan sholat berjamaah di masjid dan ketika ada acara pengajian akbar. Tahlil menjadi penting adanya bagi Masyarakat NU desa Patemon dalam melakukan kegiatan Islami apapun itu. Karena mereka berpikir sebuah acara tanpa adanya tahlil terasa kurang afdol. Dengan adanya tahlil maka acara yang sedang berlangsung ataupun dalam suatu majelis akan mendatangkan keberkahan dari Allah SWT. Dalam pelaksanaan tahlilan atau tahlil yang dilakukan tidak hanya membaca doa-doa, melainkan juga membacakan surat Yassin sebagai pelengkap. Yassin itu sendiri dibaca setelah tahlil selesai dibacakan. Lain halnya dengan masyarakat Muhammadiyah di Desa Patemon. Mereka tidak melakukan tahlil ketika telah selesai melaksanakan sholat berjamah. Tentu saja hal tersebut menimbulkan pertanyaan, terutama bagi Masyarakat NU di Desa Patemon. Menurut masyarakat Muhammadiyah di Desa Patemon justru menganjurkan agar memperbanyak membaca kalimat La ilaha illa Allah guna untuk mendekatkan diri krpada Allah SWT. Namun, membaca tahlil ribuan kali menjadi sia-sia apabila masih berbuat syirik dan tidak beramal shalih. Sebab, tahlil harus benar-benar diyakini dan diamalkan dengan berbuat amal shalil sebanyak-banyaknya. Masyarakat Muhammadiyah di Desa Patemon berpendapat bahwa tahlilan adalah upacara yang dikaitkan dengan tujuh hari kematian atau empat puluh hari atau seratus hari sebagaimana dilakukan oleh pemeluk agama Hindu. Salah satu tokoh Muhammadiyah di Desa Patemon yang pernah saya tanyai sewaktu saya masih mengaji di salah satu TPQ yang bernotabe mengajarkan tentang kemuhammadiyahan adalah “Selamatan tiga hari, tujuh hari dan seterusnya itu adalah sisa-sisa pengaruh budaya dinamisme peninggalan ajaran Hindu yang sudah terlanjur mengakar dalam Masyarakat di Desa Patemon. Karena hal itu ada hubungannya dengan ibadah, maka kita sebagai umat muslim harus ikut dalam tuntunan islam.” Katanya. Kelompok Muhammadiyah di Desa Patemon juga berpendapat terkait tahlilan atau tahlil yaitu dalam menyelenggarakan acara tahlilan harus mengeluarkan biaya besar yang kadang-kadang harus pinjam kepada tetangga atau saudaranya. Dan menurut mereka hal seperti ini terkesan tabzir (berbuat mubazir). Lalu pandangan membaca tahlil menurut kelompok Muhammadiyah di Desa Patemon yaitu tidak dilarang. Meskipun kelompok Muhammadiyah tidak menampilkan secara simbolis kegiatan tahlil-yasin, namun Muhammadiyah termasuk ‘Aisyiyah ternyata juga melakukan kegiatan Yasinan. Pengertian ‘Aisyiyah dalam Muhammadiyah itu sendiri adalah salah satu organisasi otonom bagi wanita muhammadiyah. Berbeda dengan mereka kelompok Nahdhiyyin atau NU. Salah satu sesepuh yang ada di Desa Patemon berpendapat, jika untuk mengadakan tahlilan atau tahlil tidak harus mengeluarkan biaya yang besar. Kami (Nahdhiyyin atau Nu) tidak mewajibkan setiap ada acara tahlilan atau tahlil harus menyediakan makanan ataupun minum yang beraneka macam banyaknya. Karena tujuan diadakannya tahlilalan atau tahlil ini semata-mata hanya untuk mendapatkan berkah serta keridhoan dari Allah SWT. Agar tetap murni bersyariat dalam bertahlilan, pelaksanaan tidak dicampur atau dilaksanakan dengan peringatan hari-hari kematian seseorang sebagaimana yang terjadi dalam Hinduisme. Kalau tetap dilaksanakan, itulah yang disebut mencampuradukkan antara ajaran Islam dan non ajaran Islam dalam pelaksanaan ibadah. Tahlilan tidak bisa disebut hanya sekadar budaya karena ada unsur-unsur keyakinan eskatologis di dalamnya, yaitu pengiriman pahala, yang dikirimi pahala menjadi banyak tabungan pahalanya. Berdasarkan penjelasan di atas, Muhammadiyah tidak melaksanakan tahlilan, tetapi tidak mengharamkan membaca tahlil yakni kalimat La Ilaha Illallah. Jadi, kesimpulan yang dapat saya ambil dari opini masyarakat Desa Patemon terkait tahlilan atau tahlil yaitu setiap persoalan yang timbul dalam Islam, lalu orang-orang berbeda pendapat mengenai hal tersebut dan perbedaan itu tidak menimbulkan permusuhan, kebencian dan perpecahan, maka kami meyakini bahwa persoalan tersebut masuk dalam koridor Islam.