Anda di halaman 1dari 73

TUBERKULOSIS PARU

DESSIANA ENDANG LUPITA

PUSKESMAS KARAWANG SELABINTANA


ALUR DIAGNOSIS
TB DEWASA
BERDASARKAN
PROGRAM TB
NASIONAL
 Diagnosis TB paru pada orang dewasa
PEMERIKSAAN BAKTERIOLOGIS
terlebih dahulu dengan pemeriksaan
bakteriologis.
 Apabila pemeriksaan bakteriologis
negatif diagnosis TB dapat dilakukan
Mikroskopis langsung
secara klinis dengan pemeriksaan klinis
dan penunjang (minimal foto torraks) dan
ditetapkan oleh dokter yang terlatih TB Biakan/kultur
 Diagnosis TB tidak dibenarkan dengan:


Pemeriksaan serologis saja
Foto toraks saja
Tes cepat
 Uji tuberkulin saja
Interpretasi Pemeriksaan
Mikroskopis
Hasil Interpretasi
Dua kali positif, 1 kali negatif Mikroskopik positif
Satu kali positif, dua kali Ulang BTA 3 kali,
negatif • 1 kali positif, 2 kali
negatif positif
• 3 kali negatif negatif
Catatan:
1. Interpretasi pemeriksaan dibaca dengan skala Bronkhorst, IUATLD
2. Bila terdapat gambaran radiologik yang menunjukkan TB aktif jika 1
kali positif 2 kali negatif, dianggap positif (tidak perlu diulang)
DIAGNOSIS KLINIS TB

Pemeriksaan Fisik
Gejala Klinis
•Awal: umumnya tidak ada kelainan
•Kelainan paru: lobus superior (apeks dan segmen
Gejala Gejala superior), lobus inferior (apeks)
•Suara napas bronkial, amphorik, suara napas melemah,
respiratorik sistemik TB paru ronki basah

• Batuk >= 3 • Demam •Tergantung banyaknya cairan di rongga paru


minggu • Malaise •Perkusi pekak, suara napas melemah hingga tidak ada
cairan pada sisi yang terdapat cairan
Pleuritis TB
• Batuk darah • Keringat
• Sesak malam
napas • Anoreksia •Pembesaran KGB (tersering daerah coli atau aksilar)
Limfadenitis
• Nyeri dada • BB menurun TB
PEMERIKSAAN BAKTERIOLOGIS

Bahan pemeriksaan Cara pengumpulan Cara pemeriksaan

•Dahak •Dahak: •Mikroskopik


•Cairan pleura, cairan •Sewaktu (dahak •Biasa: Ziehl Nielsen
serebrospinal, bilasan sewaktu kunjungan) dan kinyoun gabett
bronkus, bilasan •Pagi (keesokan •Fluoresens: auramin
bronkoalveolar, harinya) dan rhodamin
bilasan lambung, urin, •Sewaktu (pada saat •Biakan/kultur
feses, biopsi mengantarkan •untuk mendapatkan
(termasuk FNAB) dahak pagi) diagnosis pasti M.
•Cairan: tampung tuberculosis dan
dalam kontainer MOTT
bermulut lebar, tutup •Medium telur atau
berulir, tidak mudah agar
pecah/bocor
•BJH: dibuat apusan
kering

PDPI. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia. Jakarta; 2011. H. 17-25
PEMERIKSAAN RADIOLOGIK
Curiga TB inaktif:
Curiga TB aktif:
Fibrotik pada
Bayangan segmen apikal Kalsifikasi atau
berawan/nodular di Kavitas (biasanya lebih dan atau posterior fibrotik
segmen apikal dan dari satu), dikelilingi lobus atas
posterior lobus atas oleh bayangan opak
paru dan superior lobus berawan atau nodular
bawah
Fibrotoraks/fibrosis
Kompleks ranke
parenkim paru

Efusi pleura unilateral


Bayangan bercak milier
atau bilateral (jarang)
Penebalan pleura
Mikrobiologis: Cek sputum

Kelebihan Kekurangan
mudah, murah
bergantung kualitas sputum
deteksi MTB *

tersedia di FKTP
hanya utk TB paru
dapat digunakan utk monitor
Mikrobiologis: Biakan/kultur

Kelebihan Kekurangan
waktu lama (liq: 2 minggu
gold standard
BACTEC, solid: 2 bulan)

spesimen untuk uji


penyimpanan harus baik
resistensi

monitor MDR tenaga terlatih


Resistensi: GeneXpert MTB/RIF

Kelebihan Kekurangan
deteksi TB dan jaringan listrik
resistensi stabil

penyimpanan
cepat (2 jam)
harus baik
PCR (polymerase chain reaction)

Kelebihan Kekurangan
deteksi DNA
rawan kontaminasi

spesifik MTB
tidak dapat
berbagai pilihan menegakkan dx
spesimen
Serologi: ELISA (enzyme linked
immunosorbent assay)

Kelebihan Kekurangan
spesimen darah rentan kontaminasi

sensitivitas 95%,
perlu tenaga terlatih
spesifisitas 98%

skrining cepat TB MDR lab khusus


Analisis cairan pleura

Kelebihan Kekurangan
membantu
menegakkan
diagnosis TB (Rivalta+,
invasif
ADA +, eksudat,
dominan limfosit,
glukosa rendah)
Histopatologi

Kelebihan Kekurangan
Invasif
menegakkan dx

tenaga terlatih

TB paru & ekstraparu Pengambilan spesimen


benar
Uji tuberkulin: tuberculin skin test

Kelebihan Kekurangan
terinfeksi vs tidak perlu datang 2x

mudah, murah tenaga terlatif

false negative: BCG,


cepat (48-72 jam)
malnutrisi, imunokompromais
IGRA (interferon gamma release assay)

Kelebihan Kekurangan
1x datang mahal

cepat (24-48 jam) tenaga terlatih

<false negatif (bisa bedakan sensitivitas dan spesifisitas


BCG dengan infeksi) tidak lebih baik dari TST
DOSIS OAT

Dosis
Harian 3x/minggu
OAT
Kisaran dosis Maksimum Kisaran dosis Maksimum/
(mg/kgBB) (mg) (mg/kgBB) hari (mg)

Isoniazid (H) 5 (4-6) 300 10 (8-12) 900

Rifampisin (R) 10 (8-12) 600 10 (8-12) 600

Pirazinamid (Z) 25 (20-30) - 35 (30-40) -

Etambutol (E) 15 (15-20) - 30 (25-35) -

Streptomisin (S) 15 (12-18) - 15 (12-18) 1000


PRINSIP PENGOBATAN TB
(PENGOBATAN YANG ADEKUAT)

Jangka waktu
Dikonsumsi secara pengobatan cukup,
Pengobatan
teratur, diawasi terbagi dalam
diberikan dalam
langsung oleh tahap awal dan
bentuk paduan
tahap lanjutan,
OAT, mengandung Dosis obat tepat pengawas minum sebagai
minimal 4 obat obat hingga pengobatan yag
untuk mencegah pengobatan adekuat untuk
terjadinya resistensi selesai mencegah
kekambuhan
TAHAPAN PENGOBATAN TB
Tahap awal

• Tujuan:
• Menurunkan jumlah kuman
• Meminimalisir pengaruh kuman yang mungkin sudah resisten
sejak sebelum pengobatan
• Berlangsung 2 bulan, obat diminum setiap hari
• Umumnya daya penularan kuman sudah menurun setelah
pengobatan 2 minggu

Tahap lanjutan

• Tujuan: membunuh sisa kuman yang masih ada dalam tubuh


PERSIAPAN SEBELUM PENGOBATAN
•Anamnesis ulang  alergi obat, status HIV, DM, hepatitis
1

•Penimbangan berat badan


2

•Pemeriksaan adanya penyakit komorbid (HIV, DM)


3

•Identifikasi kontak erat/serumah


4

•Penetapan PMO
5

•Memastikan data dasar pasien terisi dengan benar dan terekam dalam sistem pencatatan yang
6 digunakan

•Kunjungan rumah (jika perlu) untuk memastikan alamat dan kesiapan keluarga
7

•Pemeriksaan baseline penunjang sesuai indikasi


8
Pengobatan TB Dewasa
1) TB Sensitif Obat

 OAT LINI PERTAMA

Kategori 1

• 2(HRZE)/4(HR)3
• Untuk pasien baru:
• TB paru terkonfirmasi bakteriologis
• TB paru terkonfirmasi klinis
• TB ekstra paru

Kategori 2

• 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3
• Untuk pasien dengan riwayat pengobatan TB sebelumnya
• Pasien kambuh
• Pasien gagal pengobatan kategori 1
• Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (loss to follow up)
Jenis OAT: OAT Lini Pertama
Dosis
Harian 3x/minggu
OAT Efek Samping
Kisaran dosis Maksimum Kisaran dosis Maksimum
(mg/kgBB) (mg) (mg/kgBB) /hari (mg)
Neuropati perifer, psikosis toksik,
Isoniazid (H) 5 (4-6) 300 10 (8-12) 900 gangguan fungsi hati, kejang
Flu syndrome, gangguan
gastrointestinal, urin berwarna merah,
Rifampisin (R) 10 (8-12) 600 10 (8-12) 600 gangguan fungsi hati, trombositopeni,
demam, skin rash, sesak napas, anemia
hemolitik
Pirazinamid Gangguan gastrointestinal, gangguan
25 (20-30) - 35 (30-40) -
(Z) fungsi hati, gout arthritis

Gangguan penglihatan, buta warna,


Etambutol (E) 15 (15-20) - 30 (25-35) - neuritis perifer

Nyeri d tempat suntikan, gangguan


Streptomisin keseimbangan dan pendengaran,
15 (12-18) - 15 (12-18) 1000
(S) renjatan anafilaktik, anemia,
agranulositosis, trombositopeni
DOSIS OAT: KATEGORI 1
1) KDT: 2(HRZE)/4(HR)3
Tahap Intensif Tahap Lanjutan
Berat Badan Tiap hari selama 56 hari 3 kali/minggu selama 16 minggu
RHZE (150/75/400/275) RH (150/150)
30-37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
38-54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
55-70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
≥71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT

2) KOMBIPAK: 2HRZE/4H3R3
Dosis per hari / kali Jumlah
Tahap Lama
hari/ kali
Pengobata Pengobata Isoniazid Rifampisin Pirazinamid Etambutol
menelan
n n 300 mg 450 mg 500 mg 250 mg
obat
Intensif 2 bulan 1 1 3 3 56
Lanjutan 4 bulan 2 1 - - 48
DOSIS OAT KATEGORI 2
1) KDT: 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3
Berat Badan Tahap Intensif Tahap Lanjutan
Tiap hari 3 kali/minggu
RHZE (150/75/400/275) + S RH (150/150) + E(400)
Selama 56 hari Selama 28 hari Selama 20 minggu
30-37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
+ 500 mg Streptomisin inj. + 2 tablet etambutol
38-54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
+ 750 mg Streptomisin inj. + 3 tablet etambutol
55-70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
+ 1000 mg Streptomisin inj. + 4 tablet etambutol
≥71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT
+ 1000 mg Streptomisin inj. + 5 tablet etambutol

2) KOMBIPAK: 2HRZES/HRZE/5H3R3E3
Etambutol Jumlah hari/
Tahap Lama Isoniazid Rifampisin Pirazinamid Streptomisin
kali menelan
Pengobatan Pengobatan 300 mg 450 mg 500 mg 250 mg 400 mg injeksi
obat
Tahap awal 2 bulan 1 1 3 3 - 0.75 g 56
(dosis harian) 1 bulan 1 1 3 3 - - 28
Tahap lanjutan 5 bulan
(dosis 2 1 - 1 2 - 60
3x/minggu)
Pengobatan TB Dewasa
2) TB resisten Obat

 OAT LINI KEDUA


A. Florokuinolon (levofloksasin, moksifloksasin, gatifloksasin)
B. Obat suntik lini kedua (kanamisin, amikasin, kapreomisin, streptomisin)
C. Obat oral lini kedua (etionamid, protionamid, sikloseri, terizidon, clofazimin,
linezolid)
D. D1: OAT lini pertama  pirazinamid, etambutol, isoniazid dosis tinggi
 D2: OAT baru  delamanid, pretonamid
 D3: OAT tambahan  asam paraaminosalisilat, imipenem-
 silastatin, meropenem, amoksilin-clavulanat, thioasetazon
Pengobatan TB Dewasa
2) TB resisten Obat

Suspek TB resisten Obat: Pasien


terduga TB RO
• Pasien TB kronik (dari kriteria
• Pasien TB pengobatan kategori 2 yang tidak konversi setelah suspek)
3 bulan pengobatan
• Pasien TB yang mempunyai riwayat pengobatan TB yang
tidak standar serta menggunakan kuinolon dan obat injeksi
lini kedua minimal selama 1 bulan Rujuk pasien ke
• Pasien TB pengobatan kategori 1 yang gagal unit TB MDR
• Pasien TB pengobatan kategori 1 yang tetap positif setelah 3
bulan pengobatan.
• Pasien TB kasus kambuh (relaps), kategori 1 dan kategori 2
• Pasien TB yang kembali setelah loss to follow-up (lalai
Pasien tiba di RS
berobat/default)
Rujukan
• Suspek TB yang mempunyai riwayat kontak erat dengan
pasien TB MDR
• Pasien ko-infeksi TB-HIV yang tidak respons terhadap
pemberian OAT
KOMPONEN MONITORING
PENGOBATAN TB

Evaluasi:

Klinik Bakteriologik Radiologik

Pasien yang
Efek Keteraturan
Telah
Samping Obat
Sembuh
EVALUASI KLINIK

Waktu • Fase awal/ intenstif  setiap 2 minggu


• Fase lanjutan  setiap 1 bulan

• Anamnesis: respons pengobatan, keluhan


Evaluasi (efek samping, komplikasi penyakit)
• Pemeriksaan fisik, berat badan

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis : Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia
EVALUASI BAKTERIOLOGIK

Waktu • Sebelum pengobatan di mulai


• Setelah 2 bulan pengobatan • Pada TB dengan
(fase intensif) BTA positif, 80%
(0-2-6/9) • Pada akhir pengobatan pasien akan
mendapatkan
hasil negatif pada
pemeriksaan
sputum BTA bulan
• Menilai konversi sputum
Evaluasi • Kultur (biakan) dan resistensi
ke-2 pengobatan.
HASIL POSITIF PADA AKHIR FASE INTENSIF

 Ketaatan pasien yang buruk


 Kualitas OAT yang buruk
 Dosis OAT di bawah kisaran rekomendasi
 Resolusi lambat karena pasien memiliki kavitas besar dan jumlah
kuman yang banyak
 Komorbid mengganggu ketaatan pasien atau respons terapi
 Memliki M. tuberculosis yang resisten obat
 Bakteri mati yang terlihat oleh mikroskop
EVALUASI RADIOLOGIK

• Sebelum pengobatan di mulai


Waktu • Setelah 2 bulan pengobatan
• Pada akhir pengobatan

Evaluasi • Foto toraks


EVALUASI EFEK SAMPING
• Sebaiknya dari awal sudah diperiksa fungsi hati, ginjal,

Waktu dan darah lengkap


• Pemeriksaan tambahan dilakukan apabila dari evaluasi
klinik dicurigai adanya efek samping

• Fungsi hati: SGOT, SGPT, bilirubin


• Fungsi ginjal: ureum, kreatinin
• Asam urat [pirazinamid]
Evaluasi • Gula darah
• Pemeriksaan mata (visus dan uji buta warna)
[etambutol]
• Uji keseimbangan dan audiometri [streptomisin]
EFEK SAMPING DAN PENATALAKSANAANNYA
Efek Samping Ringan

Efek Samping Penyebab Penatalaksanaan


Tidak ada nafsu makan, mual, H, R, Z OAT ditelan malam sebelum tidur. Apabila keluhan
sakit perut tetap ada, OAT ditelan dengan sedikit makanan.
Apabila keluhan semakin hebat disertai muntah,
waspada efek samping berat dan segera rujuk ke
dokter.
Nyeri Sendi Z Beri Aspirin, Parasetamol atau obat anti radang non
steroid
Kesemutan s/d rasa terbakar di H Beri vitamin B6 (piridoxin) 50 – 75 mg per hari
telapak kaki atau tangan

Warna kemerahan pada air seni R Tidak membahayakan dan tidak perlu diberi obat
(urine) penawar tapi perlu penjelasan kepada pasien
Flu sindrom (demam, menggigil, R dosis Pemberian R dirubah dari intermiten menjadi setiap hari
lemas, sakit kepala, nyeri tulang) intermiten
EFEK SAMPING DAN PENATALAKSANAANNYA
Efek Samping Berat

Efek Samping Penyebab Penatalaksanaan


Bercak kemerahan kulit (rash) R,H,Z,S • pengobatan simtomatis dengan antihistamin serta
dengan atau tanpa rasa gatal pelembab kulit
• Apabila kemudian terjadi rash, semua OAT harus
dihentikan
• upaya mengetahui OAT mana yang menyebabkan
terjadinya reaksi dikulit dengan cara ”Drug
Challengin ”:
Gangguan pendengaran (tanpa S S dihentikan
diketemukan serumen)

Gangguan keseimbangan S S dihentikan


Ikterus tanpa penyebab lain H, R, Z Semua OAT dihentikan sampai ikterus menghilang.

Bingung, mual muntah (dicurigai Semua jenis Semua OAT dihentikan, segera lakukan pemeriksaan
terjadi gangguan fungsi hati OAT fungsi hati.
apabia disertai ikterus)
EFEK SAMPING DAN PENATALAKSANAANNYA
Efek Samping Berat

Efek Samping Penyebab Penatalaksanaan

Gangguan penglihatan E E dihentikan.

Purpura, renjatan (syok), R R dihentikan.


gagal ginjal akut

Penurunan produksi urine S S dihentikan.


EFEK SAMPING DAN PENATALAKSANAANNYA
Drug iduced hepatitis

 OAT yang bersifat hepatotoksik harus dihentikan. Pengobatan yang


diberikan Streptomisin dan Etambutol sambil menunggu fungsi hati
membaik.
 TB berat dapat diberikan paduan pengobatan non hepatatotoksik terdiri
dari S, E dan salah satu OAT dari golongan fluorokuinolon dapat
diberikan (atau dilanjutkan) sampai 18-24 bulan.
 Apabila R sebagai penyebab, dianjurkan pemberian: 2HES/10HE.
 Apabila H sebagai penyebab, dapat diberikan : 6-9 RZE.
 Apabila Z dihentikan sebelum pasien menyelesaikan pengobatan tahap
awal, total lama pengobatan dengan H dan R dapat diberikan sampai 9
bulan.
 Apabila H maupun R tidak dapat diberikan, paduan pengobatan OAT
non hepatotoksik terdiri dari : S, E dan salah satu dari golongan kuinolon
harus dilanjutkan sampai 18-24 bulan.
EVALUASI KETERATURAN OBAT

Waktu • Setiap melakukan evaluasi klinik

• Anamnesis
Evaluasi • Keteraturan berobat
• Edukasi pasien dan keluarga
EVALUASI PASIEN YANG TELAH
SEMBUH

Kriteria • BTA mikroskopis negatif dua kali (pada akhir fase intensif dan
akhir pengobatan) dan telah mendapatkan pengobatan yang
adekuat

sembuh
• Pada foto toraks, gambaran radiologi serial tetap sama/
perbaikan
• Bila ada fasilitas biakan, maka kriteria ditambah biakan negatif

• Minimal dalam 2 tahun pertama setelah sembuh untuk

Evaluasi
mengetahui terjadinya kekambuhan.
• Mikroskopik BTA dahak 3,6,12 dan 24 bulan setelah dinyatakan
sembuh.
• Evaluasi foto toraks 6, 12, 24 bulan setelah dinyatakan sembuh.
Langkah Tata Laksana Drug-induced Hepatitis

1. Apabila dicurigai akibat OAT


 Stop OAT yang hepatotoksik (H, R, Z)
 Streptomisin dan etambutol diberikan sambil menunggu fungsi hati
membaik
 Jika TB berat  streptomisin dan etambutol dapat ditambahkan dengan
OAT golongan fluorokuinolon (dapat dilanjutkan selama 18-24 bulan
sampai kondisi hepar membaik)
 Jika tidak bisa periksa fungsi hati, tunggu 2 minggu setelah ikterus atau
mual dan lemas dan palpasi hepar tidak teraba untuk mulai
pengobatan kembali
 Jika fungsi hati sudah normal  berikan rifampisin dan isoniazid
bertahap
Langkah Tata Laksana Drug-induced Hepatitis

2. Challenge Obat
 Mulai pengobatan dengan R 3-7 hari
 Ditambahkan H
 Pirazinamid tidak diberikan jika pasien toleransi terhadap H
dan R
 Stop obat terakhir yang menimbukan efek samping lagi
Langkah Tata Laksana Drug-induced Hepatitis

3. Paduan pengganti OAT


 Jika R penyebab : 2HES/10HE
 Jika H penyebab : 6-9 RZE
 Jika Z dihentikan sebelum pengobatan tahap awal selesai,
total lama pengobatan dengan H dan R adalah 9 bulan
 Jika H dan R tidak dapat diberikan: S, E, dan satu golongan
kuinolon selama 18-24 bulan
 Jika terjadi pada masa lanjutan  hentikan pengobatan 
atasi gangguan hepar  lengkap HR selama 4 bulan
Pengobatan pasien dengan kondisi khusus:
KELAINAN HATI

Pasien TB dengan hepatitis akut


• OAT diberikan setelah sembuh

Pasien TB dengan hepatitis kronis


• Periksa fungsi hati hingga >3x normal
• Pilihan obat
• 2 obat hepatotoksik : 2HRSE/6HR ; 9HRE
• 1 obat hepatotoksik : 2 HES/10HE
• Tanpa obat hepatotoksik : 18-24 SE ditambah
fluorokuinolon
TB-HIV
 TB merupakan infeksi mempercepat
oportunistik kedua perjalanan infeksi
terbanyak & penyebab
utama kematian pada
orang dengan HIV-AIDS
(ODHA)
 Prevalensi HIV di antara TB HIV
pasien TB sebesar 10%
pada tahun 2016.

menyebabkan kerentanan
presentasi
(faktor risiko utama TB aktif)
Pengobatan TB pada ODHA
 Prinsip: Dahulukan pengobatan TB untuk mengurangi angka
kesakitan dan kematian.
 ARV dimulai setelah 2-8 minggu mulai OAT  rujuk pasien
 Kategori Pasien
Mulai Pengobatan ARV dalam Pengobatan TB

 Prinsip: Berikan ARV tanpa memandang jumlah CD4, namun


prioritaskan terlebih dahulu pengobatan TB
PEMBERIAN
KOTRIMOKSAZOL

Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Kesehatan


Lingkungan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
Petunjuk Teknis Tata Laksana Klinis Ko-infeksi TB-HIV.
Jakarta: Kementrian Kesehatan RI; 2012
EFEK
SAMPING
EFEK SAMPING

Sindrom Pulih Imun


 Manifestasi klinis atipikal
setelah pemberian ARV
 Viral load 1log10/mL
 CD4 meningkat
 Bukan TB relaps atau
resisten OAT
 Compliance baik
 Bukan karena infeksi lain
atau keadaan lain
karena HIV
Monitoring Pasien dalam Terapi
ARV
Monitoring Klinis
• Minggu 2, 4, 8, 12, dan 24 sejak mulai ART
• Setiap 6 bulan bila sudah stabil
• Efek samping obat dan infeksi sekunder

Monitoring laboratorium
• Monitoring CD4 rutin tiap 6 bulan atau lebih jika ada
indikasi klinis
• Evaluasi efek samping: enzim hati dan fungsi ginjal, asam
laktat
SPI
Monitoring CD4 setiap 6 bulan

Dikatakan gagal imunologis bila:


 Jumlah CD4 tidak pernah >100 sel/mm3
 Penurunan CD4 lebih dari ½ nilai tertinggi
 CD4 kembali ke jumlah awal
Monitoring
RESISTENSI OAT
Monoresistance Extensively Drug Resistance
• Resistensi 1 OAT mis. INH • TB MDR + salah satu obat
golongan flouroquinolon dan
Polyresistance salah satu OAT injeksi lini kedua
(kapreomisin, kanamisin, amikasin
• >1 OAT selain kombinasi INH
dan R mis. HE, RE, HES, RES TB resisten rifampisin
Multi Drug Resistance • TB resisten rifampisin
(monoresisten, polyresisten, TB
• Resistensi thp INH dan R MDR, TB XDR) yang terdeteksi
dengan atau tanpa OAT lini dengan menggunakan metode
pertama lainnya mis. HR, HRE, fenotip atau genotip dengan
HRES atau tanpa resisten OAT lainnya
2.Jenis-jenis resistensi OAT

Resistensi primer: “Kasus Resistensi


Baru” sekunder/diperoleh
• Belum pernah mendapat OAT (acquired): “Kasus yg
atau sedang menjalankan Pernah Diobati”
pengobatan kurang dari satu
bulan • Sudah pernah menjalankan
pengobatan OAT selama paling
tidak satu bulan
 a -pasien riwayat
pengobatan tb
-kontak dengan
pasien tb RO
-pasien tb
dengan HIV +

1.Kementerian
Kesehatan RI.Petunjuk
Teknis Manajemen
Terpadu Pengendalian
Tuberkulosis Resistan
Obat Jakarta :
Kementerian Kesehatan
RI. 2013 .
Prinsip Umum Pengobatan TB MDR
 Pada dasarnya strategi pengobatan pasien TB RR/TB RO mengacu kepada
strategi DOTS.

 Semua pasien yang sudah terbukti TB RO ataupun Resistan Rifampisin


berdasarkan pemeriksaan uji kepekaan M. tuberculosis baik dengan TCM TB
maupun metode konvensional harus segera dimulai pengobatan TB RO yang
baku dan bermutu.
 Sebelum memulai pengobatan harus dilakukan persiapan awal termasuk
melakukan beberapa pemeriksaan penunjang

 Paduan OAT untuk pasien TB RO adalah paduan standar yang mengandung


OAT lini kedua dan lini pertama. Paduan OAT tersebut dapat disesuaikan bila
terjadi perubahan hasil uji kepekaan M. tuberculosis dengan paduan baru
 Penetapan untuk mulai pengobatan pada pasien TB RR/TB MDR serta perubahan
dosis dan frekuensi pemberian OAT MDR diputuskan oleh dokter dan atau TAK
yang sudah dilatih,
 a
a

 a
2.Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.Permenekes No 67 TAHUN 2016 tentang penanggulangan
tuberkulosis
Cara pemberian dan durasi

 - Tahap awal: suntikan diberikan 5 hari seminggu (Senin-Jumat), obat per-oral


ditelan 7 hari seminggu (setiap hari, Senin-Minggu) didepan PMO. Jumlah obat oral
yang diberikan dan ditelan minimal 168 dosis dan suntikan minimal 120 dosis.
 - Tahap lanjutan:Obat per oral ditelan selama 6 (enam) hari dalam seminggu
(Senin-Sabtu, hari Minggu pasien tidak minum obat) didepan PMO. Obat suntikan
sudah tidak diberikan pada tahap ini.
.
 - Tahap awal, lama pengobatannya adalah:“a + 4 bulan”, a = bulan pertama
tercapai konversi biakan.Lama tahap awal minimal 6 bulan. Bila hasil biakan bulan
ke-8 pasien tidak konversi maka pengobatan dinyatakan gagal.
 - Tahap lanjutan, lama pengobatan tahap lanjutan adalah total lama pengobatan
dikurangi dengan lama pengobatan tahap awal, dimana total lama pengobatan
adalah: ”a + 18 bulan”,a = bulan pertama tercapai konversi biakan
Panduan TB RO di indonesia
 A.Pasien Baru adalah pasien yang belum pernah diobati atau pernah
diobati dengan paduan OAT Resistan Obat kurang dari satu bulan.
 Lama tahap awal adalah 4 bulan setelah terjadi konversi biakan. Diberikan
sekurang-kurangnya selama 8 bulan.
 Lama tahap lanjutan adalah 12-14 bulan.

 B. Pasien yang pernah diobati adalah pasien yang pernah diobati


dengan paduan OAT Resistan Obat lebih dari satu bulan./Pasien Tb
XDR
 Lama tahap awal adalah 10 bulan setelah terjadi konversi biakan. Diberikan
sekurang-kurangnya selama 12 bulan.
 Lama tahap lanjutan adalah 12 bulan
TATALAKSANA TB PERINATAL
Tata laksana bayi yang lahir dari ibu terduga TB
atau terdiagnosis TB
Bayi yang lahir dari ibu terduga TB atau terdiagnosis TB harus dievaluasi untuk
menentukan apakah bayi menderita TB perinatal.
 Jika bayi tidak mempunyai gejala TB perinatal  pengobatan pencegahan
dengan isoniazid (PP INH) selama 6 bulan dengan dosis 10 mg/kgBB.
 Pada akhir bulan ke 6, bila bayi tetap asimptomatik, PP INH dihentikan.
 Jika uji tuberkulin negatif dan tidak terinfeksi HIV, maka dapat diberikan
BCG.
 Jika bayi mempunyai gejala TB perinatal, harus dilakukan investigasi lengkap
pada ibu dan bayi
 Lakukan pemeriksaan foto toraks dan pengambilan spesimen dari lokasi yang
memungkinkan untuk pemeriksaan mikroskopis, TCM dan biakan serta uji
kepekaan jika fasilitas tersedia.
 Bayi yang didiagnosis sakit TB harus dirawat di ruang perinatologi atau NICU di
fasilitas rujukan.
Tatalaksana TB Perinatal

 Obat TB yang digunakan untuk TB kongenital dan TB neonatal


sama.
 Respon baik terhadap terapi dapat dilihat dari perbaikan
gejala klinis, pertambahan berat badan dan perbaikan
radiologis.
 Tuberkulosis perinatal biasanya dalam bentuk berat dan fatal
sehingga pengobatan menggunakan rejimen 4 obat selama
fase intensif (2RHZE) dan 2 obat selama fase lanjutan (4RH)
dengan dosis sesuai berat badan.
 Ibu dengan TB tetap dapat menyusui, kecuali pada ibu
terdiagnosis TB MDR
TB classification (ATS/CDC modified) 66

Class Contact Infection Disease Treatment

0 - - - -
1 + - - proph I

2 + + - proph II?

3 + + + therapy
ALUR Anak berkontak dengan pasienTB
INVESTIGASI sensitif OAT

KONTAK TB Gejala TB

Tidak Ada

Umur > 5 thn dan Umur < 5 thn atau HIV (+)
HIV (-)

Tidak perlu PP INH PP INH

Follow up rutin

Timbul gejala atau tanda TB YA Lihat alur diagnosis TB


pada Anak
TIDAK

Observasi Lengkapi pemberian


INH selama 6 bulan
Tata laksana pada anak kontak
Umur HIV Hasil Tata laksana
pemeriksan

Balita (+)/(-) ILTB PPINH

Balita (+)/(-) Terpajan PPINH

> 5 th (+) ILTB PPINH

> 5 th (+) Terpajan PPINH

> 5 th (-) ILTB observasi

> 5 th (-) Terpajan observasi


ALUR
DIAGNOSIS TB
ANAK (BARU)
DOSIS TB ANAK 70
2 Time/week
Daily dose
Drugs (mg/Kg/day)
dose Adverse reactions
(mg/Kg/dose))
Isoniazid 10(7-15) 15-40 Hepatitis, peripheral neuritis,
(INH) (300 mg) (900 mg)) hypersensitivity
Gastrointestinal upset,skin reaction,
Rifampicin 15(10-20) 10-20 hepatitis, thrombocytopenia,
(RIF) (600 mg) (600 mg) hepatic enzymes, including orange
discolouraution of secretions

Pyrazinamide 35(30 – 40) 50-70 Hepatotoxicity, hyperuricamia,


(PZA) (2 g) (4 g) arthralgia, gastrointestinal upset

Optic neuritis, decreased visual


Ethambutol 20(15-25) 50 acuity, decreased red-green colour
(EMB) (1,5 g) (1,5 g) discrimination, hypersensitivity,
gastrointestinal upset

Streptomycin 15 - 40 25-40
Ototoxicity nephrotoxicity
(SM) (1 g) (1,5 g)
When INH and RIF are used concurrently, the daily doses of the drugs are reduced

Note : twice weekly treatment not recommended anymore WHO 2011


PADUAN
OAT Kategori Diagnostik Fase Intensif Fase Lanjutan
TB paru BTA negatif 2HRZ 4HR
TB Kelenjar
Efusi pleura TB
TB paru BTA positif 2HRZE 4HR
TB paru dengan kerusakan luas
TB ekstraparu (selain TB Meningitis
dan TB Tulang/sendi)
TB HIV
TB Tulang/sendi 2HRZE 10 HR
TB Millier
TB Meningitis
 Bayi <5 kg pemberian OAT secara
Kombinasi terpisah (bukan KDT)

 Dosis obat menyesuaikan kenaikan BB


Dosis Tetap  Untuk anak obesitas, dosis KDT
menggunakan Berat Badan ideal (sesuai
(KDT) umur).

 OAT KDT diberikan secara utuh (tidak


Berat 2 bulan 4 bulan boleh dibelah atau digerus)
badan RHZ RH
(kg) (75/50/15 (75/50)  Obat dapat ditelan utuh,
dikunyah/dikulum (chewable), atau
0) dimasukkan air dalam sendok
(dispersable).
5–7 1 tablet 1 tablet
 Obat ditelan saat perut kosong, atau
8 – 11 2 tablet 2 tablet paling cepat 1 jam setelah makan
12 – 16 3 tablet 3 tablet  Bila INH dikombinasi dengan Rifampisin,
17 – 22 4 tablet 4 tablet dosis INH tidak boleh melebihi 10
mg/kgBB/hari
23 – 30 5 tablet 5 tablet
 Apabila OAT lepas diberikan dalam
>30 OAT bentuk puyer, maka semua obat tidak
boleh digerus bersama dan dicampur
dalam satu puyer
dewasa
Pada kondisi : PEMBERIAN
 TB meningitis, KORTIKOSTEROID
 sumbatan jalan napas akibat TB kelenjar (endobronkhial
TB)
 perikarditis TB.
 TB milier dengan gangguan napas yang berat,
 efusi pleura
 TB abdomen dengan ascites.

Sering digunakan:
Prednison dosis 2 mg/kg/ hari, hingga 4 mg/kg/hari pada kasus
sakit berat, dosis maksimal 60 mg/hari selama 4 minggu.

Tappering off setelah 2 minggu pemberian, kecuali pada TB


meningitis: tappering off setelah 4 minggu.
Referensi
 Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman nasional pengendalian tuberkulosis. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI; 2014. p.13-20

 PDPI. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia. Jakarta; 2011. H. 17-25

 TB CARE. International standards for tuberculosis care. San Fransisco: Curry International Tuberculosis Center; 2014.

 WHO. New laboratory diagnostic tools for tuberculosis control. 2008. H. 5-14

 WHO. The use of lateral flow urine lipoarabinomannan assay (LF-LAM) for the diagnosis and screening of active tuberculosis in people living with HIV. 2015. H. 3-6, 14

 TAG. Tuberculosis Diagnostic Tools. New York; 2017. H. 8-21.

 CDC. Diagnosis of tuberculosis[internet]. disitasi Des 2017. Diakses melalui: https://www.cdc.gov/tb/education/corecurr/pdf/chapter4.pdf. Chapter 4.

 Departemen Mikrobiologi FKUI. Pemeriksaan Laboratorium Mikrobiologi[internet]. Diakses melalui: http://www.mikrobiologi-


fkui.net/image/Daftar%20Harga%20Pemeriksaan%20LMK%20FKUI%20per%201%20april%202017.pdf

 RSUP. H. Adam Malik. Tarif pelayanan[internet]. diakses melalui: http://rsham.co.id/wp-content/uploads/2015/03/Tarif-Kelas-III-PEMERIKSAAN-LABORATORIUM-PATOLOGI-


KLINIK.pdf

 World Health Organization. (2017). TB detection and diagnosis. [online] Available at: http://www.who.int/tb/areas-of-work/laboratory/en/ [Accessed 20 Dec. 2017].

 Kementrian Kesehatan RI. Pengobatan pasien tuberkulosis. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI Direktorat Jendral Pencegahan dan Pengendalian Penyakit; 2017.

 Kementrian Kesehatan RI. Petunjuk teknis manajemen terpadu pengendalian tuberkulosis resisten obat. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI Direktorat Jendral
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingukan; 2013

 World Health Organization (WHO). International standards for TB care (ISTB). 3rd edition. San Fransisco: The Hague; 2014.

 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis : Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia; 2011.

 TB CARE I. International Standards for Tuberculosis Care. Edisi ke-3. The Hague: TB CARE I; 2014

 Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman nasional pengendalian tuberkulosis. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2014

 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Bina Upaya Kesehatan. Pedoman pencegahan dan pengendalian infeksi tuberkulosis di fasilitas pelayanan
kesehatan. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2012.

 Companion handbook to the WHO guidelines for the programmatic management of drug-resistant tuberculosis.World Health Organization 2014

 Permenekes No 67 TAHUN 2016 tentang penanggulangan tuberkulosis

 Strategi Nasional di Pengendalian TB tahun 2011-2014.

Anda mungkin juga menyukai