Anda di halaman 1dari 50

PENYAKIT MUSKULOSKELETAL AKIBAT KERJA

Pembimbing:
dr. Yunita RMB Sitompul, MKK, Sp.OK

Disusun oleh:
Moh Zainal (2065050006)
Dewa Gde Prema Ananda (2065050064)
Tio Dora Parhusip (2065050108)
Ni Ketut Maharani (2065050121)
Betsyeba Juniarta Sinaga (2065050151)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


PERIODE 26 APRIL - 29 MEI 2021
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
JAKARTA
01
Penyakit Akibat Kerja
Definisi
Penyakit Akibat Kerja Keluhan Muskuloskeletal
keluhan sementara (reversible)
Penyakit akibat kerja adalah setiap penyakit yang
diidap terutama sebagai akibat dari paparan faktor keluhan menetap (persistent)
risiko yang timbul dari aktivitas kerja

Penyakit Muskuloskeletal
Musculoskeletal disorder (MSDs) yaitu keluhan
yang terjadi pada bagian-bagian otot skeletal
yang dirasakan oleh seseorang, dari keluhan
ringan sampai berat atau sangat sakit
WHO. Occupational and work-related diseases
Ramdan IW, Laksmono TB. Determinant of Musculosceletal Disorders Complaint on Female Workers. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol
7(4). 2012
● Musculoskeletal disorders (MSD) adalah cedera atau kelainan
pada otot, saraf, tendon, persendian, kartilago, dan discus
intervertebralis.
● Work-related musculoskeletal disorders (WMSD) kondisi di
mana:
1. Lingkungan kerja dan kinerja pekerjaan memberikan
kontribusi yang signifikan terhadap kondisi tersebut; dan / atau
2. Kondisi menjadi lebih buruk atau bertahan lebih lama karena
kondisi kerja

CDC. Work-Related Musculoskeletal Disorders & Ergonomics. 2020


Epidemiologi
● Musculoskeletal Disorder’s (MSDs) adalah penyakit akibat kerja yang
paling banyak terjadi dan diperkirakan mencapai 60% dari semua penyakit
akibat kerja (WHO, 2003)
● Di Indonesia pada tahun 2013, angka prevalensi gangguan muskuloskeletal
berdasarkan gejala yang ada sebesar 24,7%
● Terdapat 40,5% pekerja di Indonesia mempunyai gangguan kesehatan yang
berhubungan dengan pekerjaan diantaranya adalah gangguan
muskuloskeletal sebanyak 16% (DEPKES RI, 2005)

Mayasari D, Saftarina F. Ergonomi Sebagai Upaya Pencegahan Musculoskletal Disorders. JK Unila. 2016
02
Faktor Risiko
Faktor Risiko

Korhan O, Memon A. Introductory Chapter: Work-Related Musculoskeletal Disorders, Work-related Musculoskeletal Disorders. IntechOpen. 2019.
Faktor Risiko
Faktor Fisik Faktor Psikososial

1. Pekerjaan monoton
1. Postur tubuh yang salah
2. Tekanan waktu
2. Gerakan berulang
3. Beban kerja yang tinggi
3. Durasi
4. Jadwal istirahat kerja yang tidak teratur
4. Frekuensi
5. Kompleksitas tugas

6. Hubungan dengan rekan kerja

7. Karakteristik organisasi yang buruk (iklim,


budaya, dan komunikasi).

Korhan O, Memon A. Introductory Chapter: Work-Related Musculoskeletal Disorders, Work-related Musculoskeletal Disorders. IntechOpen. 2019.
03
Jenis-jenis Penyakit
Muskuloskeletal Akibat Kerja
● Carpal Tunnel Syndrome (CTS) merupakan suatu
sindrom klinis yang timbul akibat tertekannya
nervus medianus di dalam carpal tunnel (terowongan
karpal) di pergelangan tangan.

Saraf tertekan di pergelangan tangan →


Carpal Tunnel pembengkakan jaringan →
Syndrome (CTS) Gangguan sensorik dan gangguan
motorik

Kartikasari DA. Faktor Risiko CTS Pada Pemasang Payet. 2017


● Tahap I: sensari seperti bengkak pada malam
hari, keluhan nyeri dari pergelangan tangan
hingga ke bahu, dan mati rasa pada jadi.
Gejala biasanya hilang pada pagi hari
● Tahap II: gejala CTS dirasakan sepanjang hari,
Tanda dan kadang kala benda yang disentuh akan terjatuh
karena pasien tidak bisa merasakan jari-jarinya
Gejala CTS lagi
● Tahap III: disertai pembengkakan, syaraf
sudah tidak berfungsi lagi karena tertekan oleh
jaringan yang membengkak disekitar nervus
medianus

Kartikasari DA. Faktor Risiko CTS Pada Pemasang Payet. 2017


● Pada pekerja yang terpapar getaran selama bekerja,
meningkatkan risiko terjadinya CTS karena adanya
getaran yang mengenai tangan, maka tangan mengikuti
pergerakan alat yang bergetar sehingga timbul
resonansi, apabila terjadi terus-menerus dapat
Faktor yang mengakibatkan kerusakan syaraf. Contoh: penjahit

Berhubungan
● Pada beberapa pekerjaan yang menggunakan sikap kerja yang
dengan tidak alamiah seperti tangan fleksi atau ekstensi dalam waktu
Pekerjaan yang lama -> meningkatkan risiko terjadinya CTS karena
pergelangan tangan dipaksa melakukan gerakan yang tidak sesuai
ergonomi, sehingga dapat menghambat aliran darah ke jaringan.
Contoh: pekerja industri, operator komputer

Kartikasari DA. Faktor Risiko CTS Pada Pemasang Payet. 2017


● Pada saat melakukan pekerjaan yang memerlukan
tekanan pada tangan, ada bagian di telapak tangan yang
tidak dialiri darah, sehingga dapat menimbulkan
iskemik
Contoh: pekerja industri

Faktor yang ● Gerakan pergelangan tangan yang cepat juga dapat


Berhubungan menimbulkan risiko terjadinya CTS karena pada

dengan gerakan yang berulang, akan menimbulkan gesekan


secara terus-menerus di dalam pergelangan tangan ->
Pekerjaan dalam waktu kerja lama dapat menimbulkan luka ->
jaringan parut -> peningkatan volume carpal tunnel ->
nervus medianus tertekan
Contoh: penjahit, operator computer, dsb
Kartikasari DA. Faktor Risiko CTS Pada Pemasang Payet. 2017
● Nyeri pada punggung bawah yang berasal dari
tulang belakang baik berupa otot, saraf atau organ
yang lainnya yang diakibatkan oleh penyakit maupun
aktivitas tubuh yang tidak baik
Contoh: kuli

Low Back Pain

Kusuma IF, Hasan M, Hartanti RI. Pengaruh Posisi Kerja Terhadap Kejadian LBP Pada Pekerja di Kampung Sepatu. 2014
Low Back Pain
● Berkaitan dengan seringnya mengangkat, membawa,
menarik dan mendorong barang berat, sering atau lamanya
membengkokkan badan, membungkuk, duduk atau berdiri
lama atau postur tubuh lain yang tidak natural
● Pendapat lain mengatakan bahwa pada kasus berdiri dalam
jangka yang lama, tubuh hanya bisa mentolerir tetap berdiri
dengan satu posisi hanya selama 20 menit. Jika lebih dari
batas tersebut, perlahan-lahan elastisitas jaringan akan
berkurang dan akhirnya tekanan otot meningkat dan timbul
rasa tidak nyaman pada daerah punggung

Kusuma IF, Hasan M, Hartanti RI. Pengaruh Posisi Kerja Terhadap Kejadian LBP Pada Pekerja di Kampung Sepatu. 2014
● Ankle sprain dapat terjadi karena overstretch pada ligament complex
lateral ankle dengan posisi inversi dan plantar fleksi yang tiba-tiba
terjadi saat kaki tidak menumpu sempurna pada lantai/tanah.
● Gejala berupa nyeri, terutama saat kaki yang terkilir menopang badan.
Pembengkakan, memar, gerak menjadi terbatas
Contoh: pekerja industri retail & manufaktur

Ankle Sprain
4.Hernia Nukleus Pulposus (HNP)

● Suatu keadaan dimana sering mengalami rasa sakit pada ruas-ruas


tulang belakang, terkadang nyeri menjalar hingga ke kaki
● Pekerjaan : terutama yang sering mengangkat barang berat dan cara
mengangkat barang yang salah

Bagian posterior anulus fibrosus diskus ruptur → Nucleus pulposus centralis


tertekan ke posterior → Penonjolan (protrusio) → Keluar dari anulus dan
masuk ke kanalis spinalis (prolapsus) → Menjepit akar saraf ipsilateral →
nyeri

Cahyati, Y. I. (2015, Oktober). Penatalaksaan Fisioterapi Pada Kondisi Hernia Nukleus Pulposus (HNP) Pada L5-S1. Kesehatan. 11
5. Bursitis

● Peradangan (pembengkakan) atau iritasi yang terjadi pada


jaringan ikat yang berada pada sekitar persendian. Penyakit ini
akibat posisi bahu yang janggal seperti mengangkat bahu di atas
kepala dan bekerja dalam waktu yang lama

● Pekerjaan :

● Memiliki profesi yang membutuhkan gerakan sendi yang berulang,


seperti atlet, pelukis, pemain alat musik, petani, atau pekerja
bangunan.

Stack T, Ostrom LT, Wilhelmsen CA. Occupational Ergonomics: A Practical Approach Edisi 1. John Wiley dan Sons.New Jersey;
2016.
6. Tension neck syndrome

Gejala ini terjadi pada leher yang mengalami


ketegangan pada otot-ototnya disebabkan postur
leher menengadah ke atas dalam waktu yang
lama. Sindroma ini mengakibatkan kekakuan
pada otot leher, kejang otot, dan rasa sakit yang
menyebar ke bagian leher.

Stack T, Ostrom LT, Wilhelmsen CA.Occupational Ergonomics: A Practical Approach Edisi 1. John Wiley dan Sons. New Jersey; 2016.
04
Penegakan Diagnosis Penyakit
Muskuloskeletal Akibat Kerja
Penegakan Diagnosis Penyakit Akibat Kerja

Diagnosis penyakit akibat kerja


memiliki :
1. Aspek medik : dasar tata
laksana medis dan tata laksana
penyakit akibat kerja serta
membatasi kecacatan dan
keparahan penyakit.
2. Aspek komunitas : untuk
melindungi pekerja lain
3. Aspek legal: untuk memenuhi
hak pekerja

PMK No.56 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Penyakit Akibat Kerja
Diagnosis penyakit akibat
kerja dilakukan dengan
pendekatan sistematis untuk
mendapatkan informasi yang
diperlukan dalam melakukan
interpretasi secara tepat.
Pendekatan tersebut
dilakukan melalui 7 (tujuh)
langkah diagnosis penyakit
akibat kerja dilakukan
sebagai berikut :

PMK No.56 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Penyakit Akibat Kerja
Langkah 1. Menegakkan Diagnosis Klinis
Diagnosis klinis harus ditegakkan terlebih dahulu dengan melakukan:
1. Anamnesa
2. Pemeriksaan fisik
3. Bila diperlukan dilakukan pemeriksaan penunjang dan pemeriksaan khusus

PMK No.56 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Penyakit Akibat Kerja
Langkah 2. Menentukan Pajanan Yang Dialami Pekerja Di Tempat Kerja

Untuk memperoleh informasi tersebut, dilakukan anamnesis pekerjaan yang lengkap,


mencakup: 1.
1. Deskripsi semua pekerjaan secara kronologis dan pajanan yang dialami (pekerjaan
terdahulu sampai saat ini).
2. Periode waktu melakukan masing-masing pekerjaan.
3. Produk yang dihasilkan.
4. Bahan yang digunakan.
5. Cara bekerja.
6. Proses kerja.
7. Riwayat kecelakaan kerja (tumpahan bahan kimia).
8. Alat Pelindung Diri (APD) yang digunakan.

Informasi tersebut semakin bernilai, bila ditunjang dengan data yang objektif, seperti
MSDS (Material Safety Data Sheet) dari bahan yang digunakan dan catatan perusahaan
mengenai informasi tersebut diatas.
PMK No.56 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Penyakit Akibat Kerja
Langkah 3. Menentukan Hubungan Antara Pajanan Dengan Diagnosis
Klinis

• Pajanan yang teridentifikasi berdasarkan evidence based dihubungkan


dengan penyakit yang dialami.
• Hubungan pajanan dengan diagnosis klinis dipengaruhi oleh waktu
timbulnya gejala setelah terpajan oleh bahan tertentu.
• Penyakit lebih sering timbul apabila berada di tempat kerja dan
berkurang saat libur atau cuti.
• Hasil pemeriksaan pra-kerja dan berkala dapat digunakan sebagai salah
satu data untuk menentukan penyakit berhubungan dengan pekerjaannya

PMK No.56 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Penyakit Akibat Kerja
Langkah 4. Menentukan Besarnya Pajanan

Penilaian untuk menentukan kecukupan pajanan tersebut untuk menimbulkan


gejala penyakit dapat dilakukan secara :

Kualitatif
• Pengamatan cara, proses dan Kuantitatif
lingkungan kerja dengan • Data pengukuran
memperhitungkan lama kerja lingkungan kerja yang
dan masa kerja. dilakukan secara periodik.
• Pemakaian alat pelindung • Data monitoring biologis.
secara benar dan konsisten
untuk mengurangi besar
pajanan.

PMK No.56 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Penyakit Akibat Kerja
Langkah 5. Menentukan Faktor Individu Yang Berperan

Faktor individu yang berperan terhadap timbulnya penyakit antara lain:


1. Jenis kelamin
2. Usia
3. Kebiasaan
4. Riwayat penyakit keluarga (genetik)
5. Riwayat atopi
6. Penyakit penyerta.

PMK No.56 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Penyakit Akibat Kerja
Langkah 6. Menentukan Pajanan Di Luar Tempat Kerja

Penyakit yang timbul mungkin


disebabkan oleh pajanan yang sama
di luar tempat kerja sehingga perlu
informasi tentang kegiatan yang
dilakukan di luar tempat kerja
seperti hobi, pekerjaan rumah dan
pekerjaan sampingan.

PMK No.56 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Penyakit Akibat Kerja
Langkah 7. Menentukan Diagnosis Penyakit Akibat Kerja

Berdasarkan enam langkah diatas, dibuat kesimpulan penyakit yang


diderita oleh pekerja adalah penyakit akibat kerja atau bukan penyakit
akibat kerja.

PMK No.56 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Penyakit Akibat Kerja
05
Tatalaksana
Tatalaksana
Farmakologi
Carpal Tunel Syndrome
• Pemberian obat diuretic, obat anti
inflamaasi non steroid (OAINS),
piridoksin (Vitamin B6) dan
Kortikosteroid, serta pemberian
gabapentin.
• Pemberian Injeksi local kortikosteroid
dan anestesi local pada terowongan
karpal maupun proksimal pada derajat
ringan hingga sedang

Sumber: Carpal Tunnel Syndrome: Diagnosis and Management - American Family Physician (aafp.org)
Low Back Pain

• Pemberian Obat anti inflamasi non


steroid (OAINS) yang dapat mengurangi
nyeri dan disabilitas pada pasien LBP
• Antikonvulsan yaitu gabapentinoid
dengan titrasi dosis terapi secara
perlahan
• Pemberian golongan muscle relaxants
misalnya eperisone, tizanidine,
orphenadrine, kolinergik muskarinik,
carisoprodol, baclofen dan
benzodiazepin

Sumber: Rizki MM et.al. Tatalaksana Medikamentosa pada Low Back Pain Kronis The Therapy of Chronic
Low Back Pain. Med J Lampung Univ. 2020;9:1–7.
Ankle Sprain

• Pemberian Obat anti inflamasi non


steroid (OAINS) untuk menurunkan rasa
nyeri dan meningkatkan fungsi jangka
pendek.
• COX-2 selective inhibitor dan NSAID
topikal

Sumber: Young C. Ankle Sprain Clinical Presentation: History, Physical Examination, Staging. Medscape.
2017
Herniated Pulposus
• Pemberian analgesic untuk mengurangi
rasa nyeri dan reaksi inflamasi 
ibuprofen 800 mg/ 8 jam atau tramadol
50 mg setiap 4-6 jam
• Pemberian muscle relaxant untuk
mengurangi nyeri pada otot dan
merelaksasi spasme otot -->?

Sumber: Penatalaksanaan Hernia Nukleus Pulposus - Alomedika


Tatalaksana
Non Farmakologi
(Manajemen risiko akibat kerja)
Manajemen Risiko Kesehatan Kerja

1. Perencanaan Manajemen Risiko,


perencanaan meliputi langkah
memutuskan bagaimana
mendekati dan merencanakan
aktivitas manajemen risiko untuk
proyek.

Sumber: Soputan G.E.M et.al. MANAJEMEN RISIKO KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA (K3). Jurnal
Ilmiah Media Engineering
Manajemen Risiko Kesehatan Kerja

• Mengenali jenis-jenis risiko yang


mungkin (dan umumnya) dihadapi
oleh setiap pekerja.

Sumber: Soputan G.E.M et.al. MANAJEMEN RISIKO KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA (K3). Jurnal
Ilmiah Media Engineering
Manajemen Risiko Kesehatan Kerja
- Analisis Kualitatif

Proses menilai impak dari risiko yang sudah


diidentifikasi. Proses ini dilakukan dengan
menyusun risiko berdasarkan efeknya
terhadap tujuan proyek.

- Analisis Kuantitatif

Penilaian secara numeric probabilitas dari


setiap risiko dan konsekuensinya terhadap
tujuan proyek

Sumber: Soputan G.E.M et.al. MANAJEMEN RISIKO KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA (K3). Jurnal
Ilmiah Media Engineering
Manajemen Risiko Kesehatan Kerja
• Evaluasi

Risk response planning adalah proses yang


dilakukan untuk meminimalisasi tingkat risiko
yang dihadapi sampai batas yang dapat
diterima.

• Pengendalian

- Proses mengawasi risiko yang telah


teridentifikasi
- memonitor risiko yang tersisa
- mengidentifikasikan risiko baru

Sumber: Soputan G.E.M et.al. MANAJEMEN RISIKO KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA (K3). Jurnal
Ilmiah Media Engineering
Manajemen Risiko Kesehatan Kerja
• Evaluasi

Risk response planning adalah proses yang


dilakukan untuk meminimalisasi tingkat risiko
yang dihadapi sampai batas yang dapat
diterima.

• Pengendalian

- Proses mengawasi risiko yang telah


teridentifikasi
- memonitor risiko yang tersisa
- mengidentifikasikan risiko baru

Sumber: Soputan G.E.M et.al. MANAJEMEN RISIKO KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA (K3). Jurnal
Ilmiah Media Engineering
Tatalaksana
Non Farmakologi
(Penyakit Muskuloskeletal Akibat Kerja)
WHO menyatakan bahwa - Ergonomi dianggap tidak
gangguan muskuloskeletal penting bahkan masih
disebabkan oleh kontribusi dari dianggap sebagai
berbagai faktor risiko yang juga pemborosan keuangan.
dapat memperberat gangguan - Peningkatan & pengembagan
ini, yaitu: upaya promosi dan preventif
dalam rangka menekan
- faktor individu
serendah mungkin risiko
- Biomekanik
penyakit yang timbul akibat
- faktor psikososial
pekerjaan atau lingkungan
kerja.

Sumber: M, Diana & S, Fitria. Ergonomi Sebagai Upaya Pencegahan Musculoskletal Disorders.JK Unila. 2016:
1(2)
2. Force/Beban
Faktor Biomekanik - Cara memindahkan suatu mmaterial ⇒
perhatian terhadap tulang belakang
- Gerakan repetitif ⇒ tidak ada relaksasi
1. Postur Tubuh Saat Bekerja
3. Durasi (Lamanya pajanan ⇒ faktor risiko)
- Posisi netral: posisi anatomis, tidak
terjadi kontraksi otot yang berlebihan - Durasi singkat : < 1 jam/ hari
serta pergeseran atau penekanan - Durasi sedang : 1-2 jam/hari
pada bagian tubuh. - Durasi lama : > 2 jam/hari

- Posisi janggal: posisi tubuh 4. Paparan pada Getaran ⇒ bertambahnya


menyimpang secara signifikan dari kotraksi otot.
posisi netral saat melakukan aktivitas
Hal ini akan menyebabkan tidak lancarnya
yang akibat keterabatasan tubuh
aliran darah, meningkatnya penimbunan asam
dalam menghadapi beban dalam
laktat dan akhirnya timbul nyeri otot
waktu lama.

Sumber: M, Diana & S, Fitria. Ergonomi Sebagai Upaya Pencegahan Musculoskletal Disorders.JK Unila. 2016: 1(2)
2. Force/Beban
Faktor Biomekanik - Cara memindahkan suatu mmaterial ⇒
perhatian terhadap tulang belakang
- Gerakan repetitif ⇒ tidak ada relaksasi
1. Postur Tubuh Saat Bekerja
3. Durasi (Lamanya pajanan ⇒ faktor risiko)
- Posisi netral: posisi anatomis, tidak
terjadi kontraksi otot yang berlebihan - Durasi singkat : < 1 jam/ hari
serta pergeseran atau penekanan - Durasi sedang : 1-2 jam/hari
pada bagian tubuh. - Durasi lama : > 2 jam/hari

- Posisi janggal: posisi tubuh 4. Paparan pada Getaran ⇒ bertambahnya


menyimpang secara signifikan dari kotraksi otot.
posisi netral saat melakukan aktivitas
Hal ini akan menyebabkan tidak lancarnya
yang akibat keterabatasan tubuh
aliran darah, meningkatnya penimbunan asam
dalam menghadapi beban dalam
laktat dan akhirnya timbul nyeri otot
waktu lama.

Sumber: M, Diana & S, Fitria. Ergonomi Sebagai Upaya Pencegahan Musculoskletal Disorders.JK Unila. 2016: 1(2)
Manual Material Handling

Sumber: Ergonomic Guidelines for Manual Material Handling (cdc.gov)


Faktor Individu
1. Usia
- mempengaruhi kemungkinan 4. Kebiasaan Merokok
seseorang untuk mengalami MSDs.
- usia mencapai 60 tahun kekuatan 5. Kebiasaan Olahraga
otot akan menurun hingga 20%.
- dikombinasikan dengan sikap yang 6. Masa Kerja
tidak ergonomis akan - Semakin lama waktu bekerja atau
menyebabkan terjadinya MSDs
semakin lama seseorang
1. Jenis Kelamin
terpapar faktor risiko maka
2. Indeks Masa Tubuh
Keluhan bedasarkan faktor semakin besar pula risiko untuk
antropometri terkait pada mengalami keluhan
keseimbangan dari struktur rangka musculoskeletal disorders.
dalam menerima beban baik berat
tubuh maupun beban dari
pekerjaan

MSDs: Musculosceletal Disorders


Sumber: M, Diana & S, Fitria. Ergonomi Sebagai Upaya Pencegahan Musculoskletal Disorders.JK Unila. 2016: 1(2)
Faktor Psikososial

1. Pengaruh dan kontrol pekerjaan


2. Iklim terhadap supervisor (pengawas)
3. Rangsangan dari pekerjaan itu sendiri
4. Hubungan dengan rekan kerja
5. Beban kerja secara psikologis

M, Diana & S, Fitria. Ergonomi Sebagai Upaya Pencegahan


Sumber: M,Disorders.JK
Musculoskletal Diana & S, Fitria.
Unila. Ergonomi
2016: 1(2)Sebagai Upaya Pencegahan Musculoskletal Disorders.JK Unila. 2016: 1(2)
Daftar Pustaka
● PMK No.56 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Penyakit Akibat Kerja, diakses melalui
https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/114076/permenkes-no-56-tahun-2016
● Carpal Tunnel Syndrome: Diagnosis and Management - American Family Physician (aafp.org)
● Rizki MM et.al. Tatalaksana Medikamentosa pada Low Back Pain Kronis The Therapy of Chronic Low Back Pain. Med J
Lampung Univ. 2020;9:1–7.
● Young C. Ankle Sprain Clinical Presentation: History, Physical Examination, Staging. Medscape. 2017
● Penatalaksanaan Hernia Nukleus Pulposus – Alomedika
● Soputan G.E.M et.al. MANAJEMEN RISIKO KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA (K3). Jurnal Ilmiah Media Engineering
TERIMA
KASIH

Anda mungkin juga menyukai