Anda di halaman 1dari 29

Tugas Interaksi Obat

Interaksi Obat dari Kasus HIV

Dosen Pembimbing : Apt.Gita Susanti,S.Farm,M.Kes.

Kelompok : 1 ( satu )

1. Abdul Rahman.S (482011805001) 10. Fitri Ayu. N (482011805037)


2. Anisiea Anggun.K (482011805008) 11. Icha Pratiwi (482011805043)
3. Anjelina Anggraini (482011805009) 12. Icha Irmielda (482011805042)
4. Ari Rama. U (482011805011) 13. Inayah Berliani (482011805046)
5. Arka Marhamah (482011805012) 14. Indah (482011805047)
6. Ayu Sunarti (482011805014) 15. Intan Oktadina (482011805050)
7. Ayu Suci. L (482011805013) 16. Isma Asdiah (482011805051)
8. Cindy Elvira (482011805019) 17. Lestari (482011805056)
9. Dois Raguna (482011805028) 18. Lia Erina Putri (482011805057)

Kelas : 6 A Farmasi
HIV/AIDS ??

Acquired Immunodeficiency syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala


penyakit yang muncul akibat terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV).
HIV adalah virus yang menyerang sel darah putih di dalam tubuh (limfosit) yang
mengakibatkan turunnya imunitas tubuh manusia.
Penyakit infeksi HIV/AIDS hingga kini masih merupakan masalah kesehatan
global, termasuk di Indonesia. Data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
pada triwulan keempat tahun 2018 menunjukkan bahwa sejak 1987 hingga 2018
terdapat 327.282 kasus infeksi HIV, 114.065 kasus AIDS, dan sebanyak 108.479
orang dengan HIV/AIDS (ODHA) yang menggunakan antiretroviral (ARV).
HIV/AIDS belum dapat disembuhkan tetapi pertumbuhan virusnya dapat
diatasi dengan terapi antiretroviral (ARV). Terapi ARV yang diberikan kepada
penderita HIV/AIDS dapat menekan berkembangnya virus HIV di dalam tubuh
sehingga dapat menurunkan angka kematian dan kesakitan, serta meningkatkan
kualitas hidup ODHA.
Terapi ARV pada umumnya diberikan dalam bentuk penggabungan obat karena dapat

menurunkan kejadian kekebalan dan kemungkinan efek samping kecil. Pasien HIV/AIDS
juga menerima terapi obat atau zat lain bersamaan dengan obat ARV untuk menangani
keadaan atau infeksi lain yang dialami. Hal yang sering terjadi dan terlupakan adalah
kemungkinan terjadinya interaksi antar obat atau zat yang digunakan bisa memberikan efek

berupa perubahan kadar pada masing-masing obat atau zat dalam darah. Obat antiretroviral

penghambat protease dimetabolisme oleh sistem enzim sitokrom P450, karena itu
mempunyai potensi interaksi obat yang bermakna. Penghambat protease menyebabkan
lipodistrofi dan efek metabolik.

Interaksi obat terjadi ketika aktivitas kerja dari dua obat atau lebih saling tumpang tindih,
sehingga efek satu obat akan mempengaruhi obat lainnya. Interaksi antar obat atau drug-drug
interaction (DDI) sering dihubungkan dengan peningkatan risiko terjadinya efek samping
dan rawat inap di rumah sakit. Kemungkinan terjadinya interaksi obat akan semakin besar
dengan meningkatnya kompleksitas
STUDY KASUS PADA POLA PENGGUNAAN OBAT ANTIRETROVIRAL (ARV)
PADA RESEP PASIEN RAWAT JALAN DARI KLINIK HIV/AIDS SALAH SATU
RUMAH SAKIT SWASTA DI KOTA BANDUNG
Dari tabel di atas, terlihat bahwa pasien HIV/AIDS sebagian besar menerima pengobatan
tambahan dengan kotrimoksasol yang merupakan bagian dari pelayanan HIV. Kotrimoksasol
berpotensi untuk beriteraksi dengan lamivudine dan zidovudine.

Kotrimoksasol berinteraksi dengan lamivudine dengan cara menghambat sekresi renal dari
lamivudine. Namun untuk lamivudine, tingkat keparahannya minor dengan signifikansi 5
sehingga tidak perlu tindakan pencegahan.

Kotrimoksasol berinteraksi dengan zidovudine dengan tingkat keparahan moderat atau


memiliki efek sedang dengan signifikasi 4 dan hanya terjadi pada pasien dengan gangguan
hati. Kotrimoksasol menurunkan klirens ginjal dari zidovudine dan metabolit glucuronide-
nya. Monitor efek dari zidovudine pada pasien dengan gangguan hati yang menerima
pengobatan dengan kotrimoksasol secara bersamaan, penurunan dosis zidovudine mungkin
dibutuhkan

Efavirenz dan rifampisin berinteraksi dengan cara rifampisin dapat meningkatkan


metabolisme hati dari golongan NNRTI (efavirenz dan nevirapine) sehingga menurunkan
efikasi dari obat tersebut, dengan signifikansi 2 dan keparahan moderat . Cara mengatasinya
adalah dengan selalu dipantau kadar plasma dari efavirenz.
 Untuk efavirenz dan fluconazole saling mempengaruhi metabolisme dari masing-masing obat
secara antagonis, dimana efek fluconazole berkurang dan efek dari efavirenz bertambah,
dengan signifikansi 2 dan tingkat keparahan moderat, sehingga perlu dimontor kadar plasma
dari fluconazole dan tanda-tanda kegagalan pengobatan dengan fluconazole atau toksisitas
dari efavirenz. Apabila diduga dapat terjadi, sebaiknya diganti alternatif terapi .
 Zidovudine dan acetaminophen berinteraksi dengan cara meningkatkan klirens renal dari
zidovudine sehingga efeknya berkurang, dengan signifikansi 4 dan keparahan moderat.
Apabila kemungkinan besar terjadi sebaiknya dihindari penggunaan bersama acetaminophen.
Namun karena penggunaan acetaminophen hanya kalau sakit atau demam, maka masih dapat
diberikan apabila tidak terlalu berisiko
 Efavirenz dengan Alprazolam berinteraksi dengan cara golongan NNRTI (efavirenz)
menghambat metabolisme hati dari benzodiazepine (alprazolam) dengan cara menghambat
enzim CYP3A4 sehingga efek farmakologinya meningkat dan durasinya diperpanjang yang
dapat menyebabkan sedasi yang berlarutlarut dan depresi pernapasan. Signifikansinya 2
dengan tingkat keparahan moderat sehingga perlu penanganan yang baik. Hal ini diatasi
dengan cara tidak boleh memberikan alprazolam bersamaan dengan efavirenz
Lamivudin
 Lamivudine adalah sediaan obat generik yang diproduksi oleh Kimia
Farma. Lamivudine digunakan untuk pengobatan sistemik infeksi virus.
Lamivudine bekerja dengan cara menghambat aktivitas RNA- dan DNA
melalui pemutusan rantai DNA virus, sehingga menghambat pertumbuhan
virus.
 Interaksi Obat
Berikut adalah beberapa Interaksi obat yang umumnya terjadi saat
penggunaan Lamivudine:
-Ekskresi ginjal menurun dg trimetoprim dosis tinggi.
-Anemia berat dapat terjadi bila digunakan bersamaan dengan Azitromicin.
-Kegagalan pengobatan dan munculnya resistansi dapat terjadi dari rejimen
lamivudine dan tenofovir tiga kali sehari dengan abacavir atau didanosine.
-Dapat memusuhi tindakan antivirus zalcitabine.
-Dapat meningkatkan efek buruk emtricitabine
 Farmakodinamik
Lamivudin (2’-deoksi-3’-tiasitidin, 3TC) adalah analog nukleosid sitosin yang bekerja
sebagai inhibitor enzim reverse transcriptase aktif terhadap human immunodeficiency virus
tipe (HIV-1) dan virus hepatitis B (HBV), baik secara in vitro maupun in vivo. Lamivudin
difosforilasi secara intrasel menjadi metabolit lamivudin trifosfat (L-TP) yang bekerja sebagai
kompetitor deoksisitidin trifosfat dalam berikatan dengan enzim reverse transcriptase. Tidak
adanya grup 3’-OH pada analog nukleosida ini menghambat terbentuknya rangkaian
fosfodiester 5’ ke 3’ yang penting dalam elongasi rantai DNA, mengakibatkan terminasi
rantai DNA virus.
 Farmakokinetik
Farmakokinetik lamivudin diabsorpsi secara cepat jika diberikan per oral. Obat ini
mengalami metabolisme intraseluler menjadi metabolit lamivudin trifosfat, dan diekskresikan
melalui urin dalam bentuk tidak berubah.
Absorpsi
Absorpsi lamivudin terjadi dengan cepat setelah administrasi oral dengan konsentrasi
maksimal plasma dicapai dalam 0,5 hingga 1,5 jam setelah pemberian. Konsentrasi maksimal
plasma ditemukan menurun bila lamivudin dikonsumsi bersama makanan, namun area under
the curve (AUC) tidak terpengaruh secara signifikan. Bioavailibilitas absolut dari lamivudin
ditemukan berkisar 66% pada anak-anak dan 87% pada orang dewasa
Distribusi
Lamivudin memiliki volume distribusi 1,3±0,4 L/kg pada pemberian intravena. Volume
distribusi ini tidak dipengaruhi dosis ataupun berat badan. Lamivudin memiliki ikatan
protein yang rendah, yaitu hanya sekitar <36% . Lamivudin didistribusikan secara luas di
dalam tubuh dan masuk ke dalam sel baik dengan difusi pasif atau transport aktif oleh
uptake transporters (SLC22A1, SLC22A2, dan SLC22A3). Sedangkan lamivudin keluar dari
sel melalui transpor aktif oleh efflux transporters (ABCB1, ABCC1, ABCC2, ABCC3,
ABCC4, dan ABCG2)
Metabolisme
Lamivudin dimetabolisme di intrasel melalui fosforilasi menjadi lamivudin trifosfat.
Lamivudin memiliki waktu paruh intraseluler selama 10-15 jam.
Waktu paruh eliminasi lamivudin berbeda antara anak-anak dan dewasa. Waktu paruh
eliminasi pada anak-anak berusia 4 bulan hingga 14 tahun berkisar antara 2±0,6 jam,
sedangkan pada orang dewasa berkisar antara 5-7 jam.
Ekskresi
Ekskresi lamivudin utamanya melalui urin dalam bentuk tidak berubah.
Resistensi
Resistensi terhadap lamivudin sudah banyak dilaporkan, baik pada human
immunodeficiency virus (HIV) dan virus hepatitis B (HBV). Terjadinya resistensi ini
dikaitkan dengan mutasi, khususnya HIV yang diketahui memiliki laju mutasi tinggi.
KOTRIMOKSAZOL
 Kotrimoksazol adalah obat antibiotik untuk mengatasi
penyakit infeksi bakteri, seperti bronkitis, otitis media,
dan infeksi saluran kemih. Obat ini merupakan kombinasi
yang terdiri dari trimethroprim dan sulfamethoxazole.
Kotrimoksazol bekerja dengan cara membunuh bakteri
penyebab infeksi. Obat ini juga dapat digunakan untuk
menangani dan mencegah terjadinya pneumocystis carinii
pneumonia (PCP), terutama pada pasien dengan daya
tubuh lemah, seperti penderita HIV/AIDS.
o Interaksi Obat

Peningkatan efek toksik kotrimoksazol pada penggunaan


bersama methotrexate.
   Farmakodinamik
Sulfametoksazol melakukan kompetisi terhadap bakteri dengan cara menginhibisi
penggunaan asam paraaminobenzoat pada saat sisntesis dihidrofolat oleh bakteri.
Kemampuan ini menimbulkan mekanisme bakteriostatik. Trimetropin secara reversibel akan
menginhibisi enzim dihidrofolat reductase, yaitu enzim yang mengaktifkan jalur metabolisme
asam folat dengan cara mengubah dihidrofolat menjadi tetrahidrofolat. Oleh karena itu
trimetoprim dan sulfametoksazol menghambat dua tahapan dalam biosintesis purin yang
penting dalam pembentukan asam nukleat dan sintesis DNA pada bakteri. Inhibisi terhadap
dihidrofolat reductase oleh trimetoprim ini juga dapat terjadi pada sel mamalia dan
menimbulkan penekanan pada proses hematopoeisis, namun keadaan ini 50000 kali lebih
kecil dibandingkan pada bakteri. Penggabungan dua antibakteri ini secara invitro telah
terbukti dapat mengurangi kejadian resistensi.

 Farmakokinetik
Farmakokinetik kotrimoksazol terdiri dari absorbsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresinya.
Absorbsi
Pada penggunaan oral, trimetoprim dan sulfametoksazol dengan cepat dan hampir semuanya
akan diabsobsi di saluran cerna. Kadar puncak plasma terjadi setelah 1-4 jam setelah waktu
konsumsi. Kedua antibakteri ini bersifat lipofilik sehingga konsentrasi obat pada jaringan
terutama pada paru dan ginjal lebih tinggi daripada plasma. Trimetroprim dapat juga
ditemukan pada cairan aqueous, ASI, cairan serebrospinal, cairan telinga, dan cairan sinovial.
Trimetoprim juga dapat melewati cairan amnion dan mencapai jaringan janin pada
konsentrasi yang hampir sama dengan konsentrasi pada serum wanita hamil.
Distribusi
Trimetoprim dan sulfametoksazol terkandung dalam darah dalam beberapa bentuk yaitu
tidak terikat protein atau bebas, berikatan dengan protein, dalam bentuk metaboliknya
serta dalam bentuk terkonjugasi. Hampir 44% trimetoprim dan 70% sulfametoksazol
berikatan pada plasma. Ikatan protein terhadap sulfametoksazol secara signifikan akan
mengurangi ikatan protein terhadap trimetoprim, namun tidak sebaliknya. Kedua
antibakteri ini akan terdistribusi di sputum, cairan vagina sedangkan trimetoprim akan
terdistribusi di bronkus, cairan plasenta dan ASI.

Metabolisme
Sulfametoksazol akan dimetabolisme pada tubuh manusia menjadi lima metabolik aktif
antara lain: N4-asetil, N4-hidroksi, 5-metilhidroksi, N45-metilhidroksi-sulfametoksazol
dan konjugasi N-glukoronik. Pembentukan dari metabolic N4-hidroksi ini dimediasi
oleh enzim CYP2C9. Secara in vitro, trimetoprim akan dimetabolisme menjadi sebelas
metabolik aktif. Lima di antaranya adalah adduksi glutation dan enam lainnya adalah
metabolik oksidasi yaitu metabolik mayor, 1-oksida, 3-oksida, derivat 4-hidroksi. Bentuk
bebas dari sulfametoksazol dan trimetoprim inilah yang menimbulkan efek terapeutik.
Nilai half life obat ini pada fungsi ginjal yang normal adalah 8.3-31 jam dengan rata rata
14.5 jam. Jika fungsi ginjal menurun kurang dari 10ml/menit waktu ini akan meningkat
menjadi 5-3 kali. Oleh karena itu pada pasien usia tua atau pasien muda harus dilkukan
penyesuaian dosis.
Ekskresi
Ekskresi trimetroprim dan sulfametoksazol ini adalah melalui ginjal
melalui mekanisme filtrasi glomerolus dan sekresi tubulus. Hampir 50%
dari dosis trimetoprim akan diekskresikan melalui urin dalam waktu 24
jam dalam keadaan bentuk yang tetap. Trimetoprim juga akan
diekskresikan melalui ASI. Sulfametoksazol adalah asam lemah sehingga
konsentrasi obat ini akan tinggi pada cairan amnion, cairan aqueous,
cairan empedu, cairan serebrospinal, cairan telinga, sputum, cairan
synovial dan cairan interstisial dalam keadaan berikatan dengan protein.
Jalur utama ekskresi dari sulfametoksazol adalah ginjal, sekitar 15%
sampai 30% dari dosis obat akan terkandung di urin dalam bentuk aktif.
Jika dikonsumsi bersamaan kemampuan ekskresi dari kedua obat tidak
dipengaruhi satu dan lainnya. Pada pasien usia tua kemampuan ekskresi
sulfametoksazol akan berkurang.
Resistensi
Penggunaan kotrimoksazol pada pasien yang tidak terbukti mengalami
infeksi bakteri ataupun untuk profilaksis akan meningkatkan risiko
penggunaan obat ini dan menimbulkan efek samping terjadinya resistensi.
ZIDOVUDINE
 Zidovudine adalah obat untuk mengobati infeksi HIV. Obat ini juga bisa digunakan
untuk menurunkan risiko terjadinya penularan HIV dari ibu hamil ke janinnya. Agar
hasil pengobatan maksimal, zidovudine sering dikombinasikan dengan obat antivirus
lainnya. Obat ini harus digunakan sesuai resep dokter. Zidovudine bekerja dengan cara
menghambat enzim reverse transciptase yang digunakan virus HIV untuk berkembang
biak. Dengan begitu, jumlah virus dapat berkurang dan sistem kekebalan tubuh dapat
bekerja dengan lebih baik.
 Interaksi obat
 Meningkatkan resiko terjadinya anemia jika dikonsumsi dengan ribavirin
 Menurunkan efektivitas zidovudine jika dikonsumsi bersama rifampicin
 Meningkatkan kadar zidovudine dalam darah bila dikonsumsi bersama probenesid,
atovaquone, asam valproat, flukonazol, atau metadon
 Farmakodinamik
Zidovudin merupakan antiretroviral golongan Nucleoside Reverse Transcriptase
Inhibitor (NRTI) atau analog nukleosida sintetik. Dalam sel yang terinfeksi virus,
bentuk metabolit aktif zidovudine triphosphate menghambat enzim reverse
transcriptase untuk memutus rantai DNA. Kurangnya kelompok 3'-OH dalam analog
nukleosida mencegah terbentuknya ikatan fosfodiester 5’ ke 3’ yang secara esensial
berfungsi untuk perpanjangan rantai DNA sehingga menghentikan sintesis DNA dan
replikasi virus.
 Farmakokinetik

Zidovudin tersedia dalam bentuk sediaan tablet, kapsul, sirup dan injeksi.
Farmakokinetik zidovudin terdiri dari aspek absorpsi, distribusi,
metabolisme dan eliminasi obat.
Absorbsi
Zidovudin diabsorbsi secara cepat dan hampir sempurna oleh saluran
gastrointestinal setelah pemberian oral dengan konsentrasi plasma puncak
mencapai 0,5-1,5 jam. Pemberian dapat dilakukan dengan atau tanpa
makanan. Bioavabilitas sistemik zidovudin berkisar 60-70%. Sedangkan,
bioavabilitas pada neonatus (0-14 hari) sekitar 89% dan menurun sampai
sekitar 61% pada neonatus >14 hari dan 65% pada anak usia 3 bulan-12
tahun. Tingkat penyerapan obat zidovudin dalam bentuk sediaan tablet
setara dengan sirup, namun berbeda dengan sediaan kapsul.
Distribusi
Zidovudin dapat terdistribusi ke jaringan dengan volume distribusi 1-2,2
L/kg dan terikat pada protein sebanyak 25-38%. Zidovudin dapat
menembus sawar darah otak, plasenta, Air Susu Ibu (ASI) dan terdeteksi
pada cairan semen.
Metabolisme
Zidovudin dimetabolisme secara intraseluler menjadi bentuk aktif trifosfat
dan dimetabolisme di hepar menjadi bentuk metabolit utama inactive
glucuronide dan metabolit lain 3′-amino-3′­deoxythymidine (AMT).
Eliminasi
Zidovudin dieliminasi melalui metabolisme di hepar, sebagian besar
dalam bentuk metabolit utama inactive glucuronide (74%), sisanya dalam
bentuk zidovudin (14%) dan 3′-amino-3′­deoxythymidine (AMT).
Resistensi
Suatu analisis genotipe pada kultur sel dan pasien yang telah sembuh
dengan terapi zidovudin, didapatkan mutasi terhadap gen HIV-1 RT yang
menghasilkan substitusi 6 asam amino (M41L, D67N, K70R, L210W,
T215Y atau F, dan K219Q) menyebabkan terjadinya resistensi terhadap
zidovudin. Tingginya tingkat resistensi dikaitkan dengan banyaknya
substitusi pada asam amino. Beberapa pasien resisten terhadap terapi awal
dengan zidovudin, dibutuhkan waktu 12 minggu dengan terapi kombinasi
lamivudin dan zidovudin untuk mengembalikan sensitivitasnya.
EFAVIRENZ
 Efavirenz adalah obat yang digunakan untuk pasien yang memiliki riwayat
penyakit HIV. Efavirenz dikombinasikan dengan obat-obatan HIV yang
lain untuk mengontrol virus yang disebabkan oleh virus HIV. Efavirenz
bekerja dengan cara mencegah perkembangbiakan virus di dalam tubuh.
 Interaksi Obat
Mengurangi konsentrasi dari voriconazole, rifampicin, HIV integrase
inhibitor dan imunosupresssan.
 Farmakodinamik
Efavirenz bekerja dengan berikatan pada kantung ikatan non-nucleoside
reverse-transcriptasi inhibitor (NNRTI) yang terdapat pada reverse
transcriptase (RT) virus HIV tipe 1. karena teverse transcriptase adalah
enzim yang digunakan pada replikasi genom retrovirus, ikatan dengan
efevirenz akan mengganggu aktivitas katalitik dan menghinhibisi aktivitas
RT dan replikasi virus.
 Farmakokinetik
Farmakokinetik efavirenz dipengaruhi oleh makanan. Distribusinya dilakukan
dengan cara berikatan dengan protein plasma.
Absorpsi
Setelah diabsorpsi melalui saluran cerna, efavirenz mencapai konsentrasi puncak
dalam plasma (1,6–9,1 mcM) dalam waktu sekitar 3-5 jam pada subjek sehat.
Konsentrasi plasma stabil didapatkan pada 6-10 hari. [1,7-9]
Absorpsi efavirenz dipengaruhi oleh makanan. Konsumsi evafirenz bersamaan
dengan makanan tinggi lemak tinggi kalori (1000 kkal dengan 500-600 kkal dari
lemak), meningkatkan rerata area under the curve (AUC) sebesar 28% dan rerata
konsentrasi maksimal (Cmax) sebesar 79%. [1,8]
Distribusi
Ikatan efavirenz pada protein plasma diketahui cukup tinggi, yaitu berkisar antara
99,5-99,75%. Efavirenz dapat menembus sawar darah otak, dengan konsentrasi
pada cairan serebrospinal sebesar 0,26% - 1,19%. [1,8]
Data mengenai distribusi efavirenz pada saluran genitalia laki-laki cukup
menimbulkan kontroversi. Median konsentrasi evafirenz pada semen hanya
mencapai 3,4% dari konsentrasi dalam plasma, sehingga menimbulkan keraguan
mengenai efikasinya dalam supresi HIV pada saluran genitalia pria. Meskipun
begitu, penelitian menunjukkan bahwa angka tersebut mencapai lebih dari 40 kali
lipat konsentrasi yang dibutuhkan untuk mencapai 90% inhibisi (IC90) dari HIV-1,
sehingga efavirenz tetap digunakan pada pasien laki-laki.
 Metabolisme
Efavirenz mengalami metabolisme oleh sistem CYP450, menghasilkan metabolit
terhidroksilasi yang kemudian mengalami glukuronidasi. Metabolit ini bersifat inaktif
terhadap HIV-1. Metabolisme efavirenz bersifat autoinduksi, dengan efavirenz sendiri
yang menginduksi enzim CYP untuk memulai proses enzimatiknya.
Eliminasi
Efavirenz memiliki waktu paruh 52-76 jam setelah satu kali pemberian dosis, dan 40-55
jam setelah dosis multipel. Kurang dari 1% efavirenz diekskresikan melalui urine,
sehingga modifikasi dosis pada pasien dengan gangguan ginjal tidak dibutuhkan.
Sementara itu, oleh karena sebagian besar metabolisme dan eliminasi efavirenz
membutuhkan hepar, pasien dengan gangguan hepar dan pasien yang terinfeksi virus
Hepatitis B atau Hepatitis C harus menjalani evaluasi enzim hepar pada awal masa
pemberian obat.
Resistensi
Efavirenz tidak boleh digunakan sebagai monoterapi. Penggunaan efavirenz tanpa
kombinasi dengan obat antiretroviral lainnya (seperti zidovudin, ritonavir, dan
lamivudin) dapat dengan cepat mengakibatkan resistensi virus.
Bahkan pada saat digunakan bersama antiretroviral lain, angka resistensi terhadap
efavirenz cukup tinggi dan mengakibatkan kegagalan virologis dan penggantian
regimen. Sebuah penelitian yang mengikuti perjalanan terapi regimen berbasis efavirenz
pada pasien anak menunjukkan adanya 29% mutasi yang mengakibatkan resistensi.
RIFAMPISIN
 Rifampicin merupakan obat antibiotik yang dapat digunakan untuk
mengobati beberapa infeksi serius yang disebabkan oleh bakteri. Obat ini
berfungsi menghentikan pertumbuhan dan perkembangbiakan bakteri.
Rifampicin digunakan untuk pengobatan tuberkulosis yang disebabkan
oleh Mycobacterium tuberculosis dalam kombinasi dengan obat
antituberkulosis lain dan untuk pengobatan lepra dalam kombinasi dengan
obat antilepra lainnya.
 Interaksi Obat
Berikut ini adalah efek interaksi yang dapat terjadi jika menggunakan
rifampicin bersama dengan orang lain :
 Peningkatan risiko kerusakan hati jika digunakan bersama dengan
ritonavir, halothane, dan isoniazid
 Penurunan efektivitas phenytoin dan teofilin
 Penurunan efektivitas ketoconazole dan enalapril
 Penurunan efektivitas rifampicin jika digunakan dengan antasida
 Farmakodinamik
Mekanisme kerja rifampicin adalah menginhibisi enzim RNA polimerase DNA-dependent,
dengan cara mengikatkan diri kepada subunit beta, yang kemudian akan menghalangi
transkripsi RNA, dan mencegah sintesis protein bakteri sehingga mengakibatkan kematian
sel bakteri. Hal inilah yang menjadikan obat rifampicin memiliki sifat bakterisidal, dan
sebagai inducer enzim yang poten
 Farmakokinetik
Farmakokinetik rifampicin adalah absorpsi oral yang baik, metabolisme pada hepar, dan
eliminasi utama melalui cairan empedu.
Absorpsi
Obat diabsorpsi secara baik per oral, dengan bioavailabilitas 90‒95%. Namun, makanan
dapat menghambat penyerapan obat, atau menurunkan konsentrasi puncak plasma sekitar
30%. Waktu pencapaian konsentrasi puncak obat dalam plasma darah adalah sekitar 2‒4
jam setelah konsumsi per oral. Konsumsi 600 mg rifampicin per oral pada orang dewasa
sehat, akan memberikan konsentrasi puncak obat dalam serum, rata-rata 7 mcg/mL dengan
kisaran 4‒32 mcg/mL.
Distribusi
Obat bersifat tinggi lipofilik. Rifampicin terdistribusi secara luas ke seluruh tubuh, dengan
konsentrasi efektif pada banyak organ, dan cairan tubuh. Melewati sawar otak, obat juga
terdistribusi ke dalam cairan serebrospinal. Ikatan obat dengan protein adalah 80%. Fraksi
obat yang tidak terikat protein, kebanyakan tidak terionisasi, dan karenanya dapat berdifusi
secara bebas ke dalam jaringan tubuh.
Metabolisme
Metabolisme rifampicin terjadi di hepar dan dinding intestinal. Obat menjalani proses resirkulasi
enterohepatik. Pada siklus tersebut, obat terhidrolisis pada cairan empedu, dan dikatalisis dalam
substrat esterase dengan pH tinggi. Setelah sekitar 6 jam, hampir semua obat sudah menjalani proses
deasetilasi yang progresif. Meski dalam bentuk deasetilasi, rifampicin tetap poten sebagai antibiotik,
yang memiliki aktivitas antibakteri.
Eliminasi
Waktu paruh biologis terjadi sekitar 3‒4 jam setelah pemberian rifampicin 600 mg per oral. Waktu
paruh meningkat sekitar 3,5‒7,5 jam, setelah pemberian dosis 900 mg. Selanjutnya, pemberian obat
yang diulangi, akan menurunkan waktu paruh, dan akan mencapai nilai rata-rata sekitar 2‒3 jam.
Waktu paruh memanjang, pada penyakit kerusakan hati. Waktu paruh tidak berbeda pada pasien
dengan gagal ginjal, pada pemberian dosis tidak melebihi 600 mg per hari. Pasien dengan kondisi ini,
tidak memerlukan penyesuaian dosis. Pada penyakit ginjal kronis stadium akhir, waktu paruh sekitar
11 jam.
Setelah menjalani proses deasetilasi, obat tidak lagi direabsorpsi di interstisial. Hal ini akan
memfasilitasi proses eliminasi. Sebagian besar eliminasi obat terjadi di cairan empedu, yaitu sekitar
60‒65% diekskresikan ke feses. Sekitar 30% obat diekskresikan di urine. Hanya sekitar 7% dari obat
yang dikonsumsi, diekskresikan ke urine dalam bentuk utuh, tidak berubah.
Resistensi
Mikroorganisme yang resisten terhadap rifampicin, biasanya akan resisten pula terhadap golongan
obat rifamycins lainnya, seperti rifabutin dan rifapentin. Resistensi terhadap obat rifampicin, diketahui
terjadi sebagai mutasi tunggal pada enzim polimerase RNA DNA-dependent.
Untuk mencegah perkembangan resistensi kuman dan mempersingkat lamanya pengobatan
tuberkulosis paru, maka rifampicin diberikan sebagai terapi kombinasi dengan obat antituberkulosis
lainnya.
FLUCONAZOLE
 Fluconazole bekerja dengan cara mengganggu pembentukan
ergosterol. Ergosterol adalah salah satu komponen penting pada
membran sel jamur. Selain itu, obat ini juga mencegah pembentukan
sel jamur.
 Interaksi Obat

-mengurangi kadar fluconazole didalam darah jika digunakan dengan


rifampicin
Meningkatkan resiko terjadinya miopati dan rhabdomyolysis jika
digunakan dengan simvastatin atau atorvastin
-meningkatkan resiko terjadinya aritmia jika digunakan dengan
astemizole, cisapride, terfenadine, quinidine, haloperidol,
hydroxychloroquine, atau erthromycin
-meningkatkan resiko terjadinya pendarahan jika digunakan dengan
obat antikoagulan, seperti warfarin
-meningkatkan resiko terjadinya hipoglikemia jika digunakan dengan
glipizide atau glimepiride
 Farmakodinamik
Fluconazole bekerja pada enzim sitokrom P-450 lanosterol 14-alpha-demethylase
yang berfungsi dalam biosintesis ergosterol. Mekanisme spesifik berupa
pembentukan ikatan atom nitrogen bebas dari cincin azol dengan atom besi pada
heme dari enzim. Kondisi ini akan mencegah aktivasi oksigen dan demetilasi
lanosterol, sehingga menghambat biosintesis ergosterol yang merupakan
komponen penting dari membran sel jamur. Hilangnya sterol normal tersebut
sejalan dengan akumulasi 14 alpha-methyl sterols yang bersifat toksik pada
membran sel jamur dan dapat menghentikan pertumbuhan sel.
 Farmakokinetik
Farmakokinetik fluconazole hampir sama baik pada pemberian per oral dan
intravena. Obat dapat diserap secara cepat dan sempurna dari saluran pencernaan.
Absorpsi
Penyerapan fluconazole sangat baik di saluran pencernaan tanpa dipengaruhi
makanan. Studi klinis pada pasien sehat yang mendapat 50 mg/kg fluconazole
menunjukan Tmax tercapai dalam 3 jam.
Konsentrasi puncak plasma pada pasien sehat berpuasa dicapai dalam 1-2 jam
setelah konsumsi obat. Steady-state concentration tercapai dalam 5-10 hari setelah
konsumsi per oral dosis 50-400 mg sekali sehari. Rerata Area Under the Curve
(AUC) adalah 20,3 pada pasien sehat yang mendapat fluconazole 25 mg
Distribusi
Fluconazole memiliki tingkat kelarutan air yang tinggi dengan volume distribusi
mendekati total body water sekitar 0,7-1 L/kg dan ikatan dengan protein plasma
yang rendah. Fluconazole dapat ditemukan pada urine, kulit dan kuku, vagina dan
sekret vagina, saliva, sputum, mata, ASI, hingga cairan serebrospinal melewati
sawar darah otak. Permeabilitas meningen terhadap fluconazole dapat meningkat
pada keadaan inflamasi seperti pada kasus meningitis. [1,4]
Metabolisme
Fluconazole dimetabolisme secara minimal di hati. Obat ini merupakan inhibitor
CYP2C9, CYP3A4, dan CYP2C19.
Dua jenis metabolit dapat terdeteksi di urine pasien sehat yang mengonsumsi 50
mg fluconazole. Metabolit ini adalah metabolit glukoronidasi dan N-oksida. [1]
Eliminasi
Waktu paruh fluconazole adalah sekitar 22-31 jam. Proses eliminasi melalui
ekskresi ginjal dalam bentuk unchanged drug (80%) dan metabolit (11%) pada
urin. Farmakokinetik fluconazole dapat dipengaruhi oleh gangguan fungsi ginjal,
dimana klirens kreatinin berbanding terbalik dengan waktu paruh eliminasi,
sehingga perlu pengurangan dosis pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal.
Resistansi
Fluconazole telah direkomendasikan oleh Infectious Diseases Society of
America (IDSA) sebagai pengobatan lini pertama untuk infeksi Candida
sp. Sekitar 7% dari seluruh isolat bloodstream yang diuji di CDC resistan
terhadap fluconazole. Lebih dari 70% isolat yang resistan tersebut berasal
dari spesies Candida glabrata atau Candida krusei.
Fluconazole bersifat fungistatik, sehingga terdapat peluang untuk
terjadinya acquired resistance terhadap antifungi ini. Resistansi
fluconazole dapat timbul akibat perubahan jumlah dan fungsi enzim
target (lanosterol 14-α-demethylase), perubahan terhadap akses pada
enzim tersebut, atau kombinasi keduanya. Sementara jika ditinjau dari
segi molekuler, mekanisme resistansi melibatkan gen pada jalur
biosintesis ergosterol, transporter obat, perubahan pada ploidy, dan
hilangnya heterozigositas.
ALPRAZOLAM
 Alprazolam digunakan untuk mengatasi kegelisahan berlebihan atau gangguan panik dan
agoraphobia (ketakutan yang ekstrem atau berlebihan terhadap ruang ramai atau tempat
umum tertutup). Alprazolam bekerja dengan meningkatkan efek asam gamma-
aminobutyric (GABA) di otak. GABA adalah neurotransmitter (zat kimia yang digunakan
sel saraf untuk berkomunikasi satu sama lain) yang menghambat aktivitas di otak.
 Interaksi obat:
-Efeknya diperkuat oleh depresan susunan saraf pusat, alkohol, barbiturat.
-Simetamin dan fluvoksamin dapat mempengaruhi metabolisme.
-Hindari pemberian golongan obat antisfungal (obat jamur) golongan azole.
 Farmakodinamik
Alprazolam berinteraksi dengan reseptor BNZ-1, BNZ-2, dan GABA-A. Ikatan
alprazolam dengan BNZ-1 diketahui menyebabkan efek sedasi dan antiansietas.
Ikatan alprazolam dengan BNZ-2 mempengaruhi memori, koordinasi, relaksasi otot,
dan memiliki aktivitas antikonvulsif.
Interaksi alprazolam dengan reseptor GABA-A meningkatkan afinitas reseptor
tersebut terhadap GABA. Ikatan antara GABA dengan reseptor GABA-A
menginhibisi sistem saraf sehingga dapat menenangkan pasien.
Secara klinis, alprazolam menyebabkan depresi sistem saraf pusat (SSP) bervariasi
dari gangguan aktivitas ringan hingga hipnosis
 Farmakokinetik

Alprazolam dimetabolisme di hepar dan dieliminasi melalui urin. Waktu paruh


alprazolam adalah 11,2 jam pada pasien sehat dan 16,3 jam pada pasien geriatri.
Absorpsi
Alprazolam diabsorpsi secara cepat di saluran pencernaan. Bioavaibilitas dari
alprazolam tablet adalah 80-100% dan mencapai konsentrasi puncak dalam 1-2
jam.
Distribusi
Alprazolam berikatan dengan protein, utamanya albumin. Volume distribusi
setelah administrasi oral adalah 0,8-1,3 L/kg. Alprazolam dapat menembus sawar
darah otak dan plasenta.
Metabolisme
Alprazolam dimetabolisme oleh enzim CYP3A di hepar menjadi metabolit
dengan efikasi yang lebih rendah yaitu 4-hidroksialprazolam dan α-
hidroksialprazolam. Metabolit alprazolam tidak berkontribusi banyak pada efek
farmakologis.
Eliminasi
Alprazolam dan metabolitnya diekskresikan melalui urin. Rerata waktu paruh
alprazolam pada dewasa sehat adalah 11,2 jam

Anda mungkin juga menyukai