Kelompok : 1 ( satu )
Kelas : 6 A Farmasi
HIV/AIDS ??
menurunkan kejadian kekebalan dan kemungkinan efek samping kecil. Pasien HIV/AIDS
juga menerima terapi obat atau zat lain bersamaan dengan obat ARV untuk menangani
keadaan atau infeksi lain yang dialami. Hal yang sering terjadi dan terlupakan adalah
kemungkinan terjadinya interaksi antar obat atau zat yang digunakan bisa memberikan efek
berupa perubahan kadar pada masing-masing obat atau zat dalam darah. Obat antiretroviral
penghambat protease dimetabolisme oleh sistem enzim sitokrom P450, karena itu
mempunyai potensi interaksi obat yang bermakna. Penghambat protease menyebabkan
lipodistrofi dan efek metabolik.
Interaksi obat terjadi ketika aktivitas kerja dari dua obat atau lebih saling tumpang tindih,
sehingga efek satu obat akan mempengaruhi obat lainnya. Interaksi antar obat atau drug-drug
interaction (DDI) sering dihubungkan dengan peningkatan risiko terjadinya efek samping
dan rawat inap di rumah sakit. Kemungkinan terjadinya interaksi obat akan semakin besar
dengan meningkatnya kompleksitas
STUDY KASUS PADA POLA PENGGUNAAN OBAT ANTIRETROVIRAL (ARV)
PADA RESEP PASIEN RAWAT JALAN DARI KLINIK HIV/AIDS SALAH SATU
RUMAH SAKIT SWASTA DI KOTA BANDUNG
Dari tabel di atas, terlihat bahwa pasien HIV/AIDS sebagian besar menerima pengobatan
tambahan dengan kotrimoksasol yang merupakan bagian dari pelayanan HIV. Kotrimoksasol
berpotensi untuk beriteraksi dengan lamivudine dan zidovudine.
Kotrimoksasol berinteraksi dengan lamivudine dengan cara menghambat sekresi renal dari
lamivudine. Namun untuk lamivudine, tingkat keparahannya minor dengan signifikansi 5
sehingga tidak perlu tindakan pencegahan.
Farmakokinetik
Farmakokinetik kotrimoksazol terdiri dari absorbsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresinya.
Absorbsi
Pada penggunaan oral, trimetoprim dan sulfametoksazol dengan cepat dan hampir semuanya
akan diabsobsi di saluran cerna. Kadar puncak plasma terjadi setelah 1-4 jam setelah waktu
konsumsi. Kedua antibakteri ini bersifat lipofilik sehingga konsentrasi obat pada jaringan
terutama pada paru dan ginjal lebih tinggi daripada plasma. Trimetroprim dapat juga
ditemukan pada cairan aqueous, ASI, cairan serebrospinal, cairan telinga, dan cairan sinovial.
Trimetoprim juga dapat melewati cairan amnion dan mencapai jaringan janin pada
konsentrasi yang hampir sama dengan konsentrasi pada serum wanita hamil.
Distribusi
Trimetoprim dan sulfametoksazol terkandung dalam darah dalam beberapa bentuk yaitu
tidak terikat protein atau bebas, berikatan dengan protein, dalam bentuk metaboliknya
serta dalam bentuk terkonjugasi. Hampir 44% trimetoprim dan 70% sulfametoksazol
berikatan pada plasma. Ikatan protein terhadap sulfametoksazol secara signifikan akan
mengurangi ikatan protein terhadap trimetoprim, namun tidak sebaliknya. Kedua
antibakteri ini akan terdistribusi di sputum, cairan vagina sedangkan trimetoprim akan
terdistribusi di bronkus, cairan plasenta dan ASI.
Metabolisme
Sulfametoksazol akan dimetabolisme pada tubuh manusia menjadi lima metabolik aktif
antara lain: N4-asetil, N4-hidroksi, 5-metilhidroksi, N45-metilhidroksi-sulfametoksazol
dan konjugasi N-glukoronik. Pembentukan dari metabolic N4-hidroksi ini dimediasi
oleh enzim CYP2C9. Secara in vitro, trimetoprim akan dimetabolisme menjadi sebelas
metabolik aktif. Lima di antaranya adalah adduksi glutation dan enam lainnya adalah
metabolik oksidasi yaitu metabolik mayor, 1-oksida, 3-oksida, derivat 4-hidroksi. Bentuk
bebas dari sulfametoksazol dan trimetoprim inilah yang menimbulkan efek terapeutik.
Nilai half life obat ini pada fungsi ginjal yang normal adalah 8.3-31 jam dengan rata rata
14.5 jam. Jika fungsi ginjal menurun kurang dari 10ml/menit waktu ini akan meningkat
menjadi 5-3 kali. Oleh karena itu pada pasien usia tua atau pasien muda harus dilkukan
penyesuaian dosis.
Ekskresi
Ekskresi trimetroprim dan sulfametoksazol ini adalah melalui ginjal
melalui mekanisme filtrasi glomerolus dan sekresi tubulus. Hampir 50%
dari dosis trimetoprim akan diekskresikan melalui urin dalam waktu 24
jam dalam keadaan bentuk yang tetap. Trimetoprim juga akan
diekskresikan melalui ASI. Sulfametoksazol adalah asam lemah sehingga
konsentrasi obat ini akan tinggi pada cairan amnion, cairan aqueous,
cairan empedu, cairan serebrospinal, cairan telinga, sputum, cairan
synovial dan cairan interstisial dalam keadaan berikatan dengan protein.
Jalur utama ekskresi dari sulfametoksazol adalah ginjal, sekitar 15%
sampai 30% dari dosis obat akan terkandung di urin dalam bentuk aktif.
Jika dikonsumsi bersamaan kemampuan ekskresi dari kedua obat tidak
dipengaruhi satu dan lainnya. Pada pasien usia tua kemampuan ekskresi
sulfametoksazol akan berkurang.
Resistensi
Penggunaan kotrimoksazol pada pasien yang tidak terbukti mengalami
infeksi bakteri ataupun untuk profilaksis akan meningkatkan risiko
penggunaan obat ini dan menimbulkan efek samping terjadinya resistensi.
ZIDOVUDINE
Zidovudine adalah obat untuk mengobati infeksi HIV. Obat ini juga bisa digunakan
untuk menurunkan risiko terjadinya penularan HIV dari ibu hamil ke janinnya. Agar
hasil pengobatan maksimal, zidovudine sering dikombinasikan dengan obat antivirus
lainnya. Obat ini harus digunakan sesuai resep dokter. Zidovudine bekerja dengan cara
menghambat enzim reverse transciptase yang digunakan virus HIV untuk berkembang
biak. Dengan begitu, jumlah virus dapat berkurang dan sistem kekebalan tubuh dapat
bekerja dengan lebih baik.
Interaksi obat
Meningkatkan resiko terjadinya anemia jika dikonsumsi dengan ribavirin
Menurunkan efektivitas zidovudine jika dikonsumsi bersama rifampicin
Meningkatkan kadar zidovudine dalam darah bila dikonsumsi bersama probenesid,
atovaquone, asam valproat, flukonazol, atau metadon
Farmakodinamik
Zidovudin merupakan antiretroviral golongan Nucleoside Reverse Transcriptase
Inhibitor (NRTI) atau analog nukleosida sintetik. Dalam sel yang terinfeksi virus,
bentuk metabolit aktif zidovudine triphosphate menghambat enzim reverse
transcriptase untuk memutus rantai DNA. Kurangnya kelompok 3'-OH dalam analog
nukleosida mencegah terbentuknya ikatan fosfodiester 5’ ke 3’ yang secara esensial
berfungsi untuk perpanjangan rantai DNA sehingga menghentikan sintesis DNA dan
replikasi virus.
Farmakokinetik
Zidovudin tersedia dalam bentuk sediaan tablet, kapsul, sirup dan injeksi.
Farmakokinetik zidovudin terdiri dari aspek absorpsi, distribusi,
metabolisme dan eliminasi obat.
Absorbsi
Zidovudin diabsorbsi secara cepat dan hampir sempurna oleh saluran
gastrointestinal setelah pemberian oral dengan konsentrasi plasma puncak
mencapai 0,5-1,5 jam. Pemberian dapat dilakukan dengan atau tanpa
makanan. Bioavabilitas sistemik zidovudin berkisar 60-70%. Sedangkan,
bioavabilitas pada neonatus (0-14 hari) sekitar 89% dan menurun sampai
sekitar 61% pada neonatus >14 hari dan 65% pada anak usia 3 bulan-12
tahun. Tingkat penyerapan obat zidovudin dalam bentuk sediaan tablet
setara dengan sirup, namun berbeda dengan sediaan kapsul.
Distribusi
Zidovudin dapat terdistribusi ke jaringan dengan volume distribusi 1-2,2
L/kg dan terikat pada protein sebanyak 25-38%. Zidovudin dapat
menembus sawar darah otak, plasenta, Air Susu Ibu (ASI) dan terdeteksi
pada cairan semen.
Metabolisme
Zidovudin dimetabolisme secara intraseluler menjadi bentuk aktif trifosfat
dan dimetabolisme di hepar menjadi bentuk metabolit utama inactive
glucuronide dan metabolit lain 3′-amino-3′deoxythymidine (AMT).
Eliminasi
Zidovudin dieliminasi melalui metabolisme di hepar, sebagian besar
dalam bentuk metabolit utama inactive glucuronide (74%), sisanya dalam
bentuk zidovudin (14%) dan 3′-amino-3′deoxythymidine (AMT).
Resistensi
Suatu analisis genotipe pada kultur sel dan pasien yang telah sembuh
dengan terapi zidovudin, didapatkan mutasi terhadap gen HIV-1 RT yang
menghasilkan substitusi 6 asam amino (M41L, D67N, K70R, L210W,
T215Y atau F, dan K219Q) menyebabkan terjadinya resistensi terhadap
zidovudin. Tingginya tingkat resistensi dikaitkan dengan banyaknya
substitusi pada asam amino. Beberapa pasien resisten terhadap terapi awal
dengan zidovudin, dibutuhkan waktu 12 minggu dengan terapi kombinasi
lamivudin dan zidovudin untuk mengembalikan sensitivitasnya.
EFAVIRENZ
Efavirenz adalah obat yang digunakan untuk pasien yang memiliki riwayat
penyakit HIV. Efavirenz dikombinasikan dengan obat-obatan HIV yang
lain untuk mengontrol virus yang disebabkan oleh virus HIV. Efavirenz
bekerja dengan cara mencegah perkembangbiakan virus di dalam tubuh.
Interaksi Obat
Mengurangi konsentrasi dari voriconazole, rifampicin, HIV integrase
inhibitor dan imunosupresssan.
Farmakodinamik
Efavirenz bekerja dengan berikatan pada kantung ikatan non-nucleoside
reverse-transcriptasi inhibitor (NNRTI) yang terdapat pada reverse
transcriptase (RT) virus HIV tipe 1. karena teverse transcriptase adalah
enzim yang digunakan pada replikasi genom retrovirus, ikatan dengan
efevirenz akan mengganggu aktivitas katalitik dan menghinhibisi aktivitas
RT dan replikasi virus.
Farmakokinetik
Farmakokinetik efavirenz dipengaruhi oleh makanan. Distribusinya dilakukan
dengan cara berikatan dengan protein plasma.
Absorpsi
Setelah diabsorpsi melalui saluran cerna, efavirenz mencapai konsentrasi puncak
dalam plasma (1,6–9,1 mcM) dalam waktu sekitar 3-5 jam pada subjek sehat.
Konsentrasi plasma stabil didapatkan pada 6-10 hari. [1,7-9]
Absorpsi efavirenz dipengaruhi oleh makanan. Konsumsi evafirenz bersamaan
dengan makanan tinggi lemak tinggi kalori (1000 kkal dengan 500-600 kkal dari
lemak), meningkatkan rerata area under the curve (AUC) sebesar 28% dan rerata
konsentrasi maksimal (Cmax) sebesar 79%. [1,8]
Distribusi
Ikatan efavirenz pada protein plasma diketahui cukup tinggi, yaitu berkisar antara
99,5-99,75%. Efavirenz dapat menembus sawar darah otak, dengan konsentrasi
pada cairan serebrospinal sebesar 0,26% - 1,19%. [1,8]
Data mengenai distribusi efavirenz pada saluran genitalia laki-laki cukup
menimbulkan kontroversi. Median konsentrasi evafirenz pada semen hanya
mencapai 3,4% dari konsentrasi dalam plasma, sehingga menimbulkan keraguan
mengenai efikasinya dalam supresi HIV pada saluran genitalia pria. Meskipun
begitu, penelitian menunjukkan bahwa angka tersebut mencapai lebih dari 40 kali
lipat konsentrasi yang dibutuhkan untuk mencapai 90% inhibisi (IC90) dari HIV-1,
sehingga efavirenz tetap digunakan pada pasien laki-laki.
Metabolisme
Efavirenz mengalami metabolisme oleh sistem CYP450, menghasilkan metabolit
terhidroksilasi yang kemudian mengalami glukuronidasi. Metabolit ini bersifat inaktif
terhadap HIV-1. Metabolisme efavirenz bersifat autoinduksi, dengan efavirenz sendiri
yang menginduksi enzim CYP untuk memulai proses enzimatiknya.
Eliminasi
Efavirenz memiliki waktu paruh 52-76 jam setelah satu kali pemberian dosis, dan 40-55
jam setelah dosis multipel. Kurang dari 1% efavirenz diekskresikan melalui urine,
sehingga modifikasi dosis pada pasien dengan gangguan ginjal tidak dibutuhkan.
Sementara itu, oleh karena sebagian besar metabolisme dan eliminasi efavirenz
membutuhkan hepar, pasien dengan gangguan hepar dan pasien yang terinfeksi virus
Hepatitis B atau Hepatitis C harus menjalani evaluasi enzim hepar pada awal masa
pemberian obat.
Resistensi
Efavirenz tidak boleh digunakan sebagai monoterapi. Penggunaan efavirenz tanpa
kombinasi dengan obat antiretroviral lainnya (seperti zidovudin, ritonavir, dan
lamivudin) dapat dengan cepat mengakibatkan resistensi virus.
Bahkan pada saat digunakan bersama antiretroviral lain, angka resistensi terhadap
efavirenz cukup tinggi dan mengakibatkan kegagalan virologis dan penggantian
regimen. Sebuah penelitian yang mengikuti perjalanan terapi regimen berbasis efavirenz
pada pasien anak menunjukkan adanya 29% mutasi yang mengakibatkan resistensi.
RIFAMPISIN
Rifampicin merupakan obat antibiotik yang dapat digunakan untuk
mengobati beberapa infeksi serius yang disebabkan oleh bakteri. Obat ini
berfungsi menghentikan pertumbuhan dan perkembangbiakan bakteri.
Rifampicin digunakan untuk pengobatan tuberkulosis yang disebabkan
oleh Mycobacterium tuberculosis dalam kombinasi dengan obat
antituberkulosis lain dan untuk pengobatan lepra dalam kombinasi dengan
obat antilepra lainnya.
Interaksi Obat
Berikut ini adalah efek interaksi yang dapat terjadi jika menggunakan
rifampicin bersama dengan orang lain :
Peningkatan risiko kerusakan hati jika digunakan bersama dengan
ritonavir, halothane, dan isoniazid
Penurunan efektivitas phenytoin dan teofilin
Penurunan efektivitas ketoconazole dan enalapril
Penurunan efektivitas rifampicin jika digunakan dengan antasida
Farmakodinamik
Mekanisme kerja rifampicin adalah menginhibisi enzim RNA polimerase DNA-dependent,
dengan cara mengikatkan diri kepada subunit beta, yang kemudian akan menghalangi
transkripsi RNA, dan mencegah sintesis protein bakteri sehingga mengakibatkan kematian
sel bakteri. Hal inilah yang menjadikan obat rifampicin memiliki sifat bakterisidal, dan
sebagai inducer enzim yang poten
Farmakokinetik
Farmakokinetik rifampicin adalah absorpsi oral yang baik, metabolisme pada hepar, dan
eliminasi utama melalui cairan empedu.
Absorpsi
Obat diabsorpsi secara baik per oral, dengan bioavailabilitas 90‒95%. Namun, makanan
dapat menghambat penyerapan obat, atau menurunkan konsentrasi puncak plasma sekitar
30%. Waktu pencapaian konsentrasi puncak obat dalam plasma darah adalah sekitar 2‒4
jam setelah konsumsi per oral. Konsumsi 600 mg rifampicin per oral pada orang dewasa
sehat, akan memberikan konsentrasi puncak obat dalam serum, rata-rata 7 mcg/mL dengan
kisaran 4‒32 mcg/mL.
Distribusi
Obat bersifat tinggi lipofilik. Rifampicin terdistribusi secara luas ke seluruh tubuh, dengan
konsentrasi efektif pada banyak organ, dan cairan tubuh. Melewati sawar otak, obat juga
terdistribusi ke dalam cairan serebrospinal. Ikatan obat dengan protein adalah 80%. Fraksi
obat yang tidak terikat protein, kebanyakan tidak terionisasi, dan karenanya dapat berdifusi
secara bebas ke dalam jaringan tubuh.
Metabolisme
Metabolisme rifampicin terjadi di hepar dan dinding intestinal. Obat menjalani proses resirkulasi
enterohepatik. Pada siklus tersebut, obat terhidrolisis pada cairan empedu, dan dikatalisis dalam
substrat esterase dengan pH tinggi. Setelah sekitar 6 jam, hampir semua obat sudah menjalani proses
deasetilasi yang progresif. Meski dalam bentuk deasetilasi, rifampicin tetap poten sebagai antibiotik,
yang memiliki aktivitas antibakteri.
Eliminasi
Waktu paruh biologis terjadi sekitar 3‒4 jam setelah pemberian rifampicin 600 mg per oral. Waktu
paruh meningkat sekitar 3,5‒7,5 jam, setelah pemberian dosis 900 mg. Selanjutnya, pemberian obat
yang diulangi, akan menurunkan waktu paruh, dan akan mencapai nilai rata-rata sekitar 2‒3 jam.
Waktu paruh memanjang, pada penyakit kerusakan hati. Waktu paruh tidak berbeda pada pasien
dengan gagal ginjal, pada pemberian dosis tidak melebihi 600 mg per hari. Pasien dengan kondisi ini,
tidak memerlukan penyesuaian dosis. Pada penyakit ginjal kronis stadium akhir, waktu paruh sekitar
11 jam.
Setelah menjalani proses deasetilasi, obat tidak lagi direabsorpsi di interstisial. Hal ini akan
memfasilitasi proses eliminasi. Sebagian besar eliminasi obat terjadi di cairan empedu, yaitu sekitar
60‒65% diekskresikan ke feses. Sekitar 30% obat diekskresikan di urine. Hanya sekitar 7% dari obat
yang dikonsumsi, diekskresikan ke urine dalam bentuk utuh, tidak berubah.
Resistensi
Mikroorganisme yang resisten terhadap rifampicin, biasanya akan resisten pula terhadap golongan
obat rifamycins lainnya, seperti rifabutin dan rifapentin. Resistensi terhadap obat rifampicin, diketahui
terjadi sebagai mutasi tunggal pada enzim polimerase RNA DNA-dependent.
Untuk mencegah perkembangan resistensi kuman dan mempersingkat lamanya pengobatan
tuberkulosis paru, maka rifampicin diberikan sebagai terapi kombinasi dengan obat antituberkulosis
lainnya.
FLUCONAZOLE
Fluconazole bekerja dengan cara mengganggu pembentukan
ergosterol. Ergosterol adalah salah satu komponen penting pada
membran sel jamur. Selain itu, obat ini juga mencegah pembentukan
sel jamur.
Interaksi Obat