Anda di halaman 1dari 11

NASKH, NASIKH DAN MANSUKH

Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas presentasi pada Mata Kuliah
Ulum Al Quran

Disusun Oleh :
Rifqiel Asyiq (11042010376)







Dosen Pembimbing
Prof. Dr. Hamdani Anwar, MA

Pascasarjana Institut Perguruan Tinggi Ilmu Al Quran (PTIQ) Jakarta
Program study Tafsir / I.T 1.b
2012

KATA PENGANTAR
Bismillahairrahmaanirrahiim,
Assalamualaikum Wr. Wb
Puji syukur senantiasa kami panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala nikmat karunia
dan hidayahNya kepada kita semua. Pun, Shalawat serta Salam senantias kita haturkan ke
haribaan baginda Nabi Muhammad SAW, rasul penuntut ummat dalam segala lini zaman.
Semoga kita semua senantiasa menjadi ummat yang setia dengan Sunnah-sunnahnya agar kelak
mendapat syafaat di kari kiamat kelak. Amin
Suatu proses untuk menjadi manusia lebih baik secara kualitas ilmu Pendidikan dan
Akhlak tidaklah mudah dan cepat, dari situ kami mengambil pembelajaran dan menjalani proses
untuk dapat lebih maju, tentunya dengan bimbingan yang maksimal dari Guru-guru dan Dosen-
dosen kami. Adanya makalah ini pun salah satu sebagai bentuk proses untuk menuju hal itu,
disadari atau tidak, masih banyak kekurangan bahkan kekeliruan di dalam penggarapannya.
Sadar akan hal itu kami mengharap tegur sapa dan opini yang konstruktif dari para pembaca
demi lebih terarahnya proses ini, pun agar bisa lebih manfaat untuk semua.
Ahir kata, segala khilaf dan alfa mohon maaf sebesera-besarnya. Maa ashaabaka min
hasanatin faminallaah, wamaa ashaabaka min sayyiatin famin nafsik.
Wassalamualaikum, Wr. Wb

Jakarta, 19 November 2012
Penyusun,


Rifqiel Asyiq




NASKH NASIKH DAN MANSUKH
A. Pendahuluan
Andaikta Al-Quran tidak diturunkan dari Allah, isinya pasti saling betentangan.
Ungkapan ini sangatlah penting dalam rangka memahami dan menafsirkan ayat-ayat serta
ketentuan-ketentuan yang ada dalam Al-Quran. Kitab suci yang terdiri dari 6000 ayat lebih dan
terbagi dalam 114 kelompok surat mengandung berbagai jenis pembicaraan dan persoalan. Di
dalamnya terkandung antara lain, nasihat, sejarah, dasar-dasar ilmu pengetahuan , keimanana,
ajaran budi luhur, perintah dan larangan.
Dalam kaitan itu, Imam Suyuthi maupun Imam Syatibi banyak mengulas prinsip tersebut.
Mereka mencatat adanya pendapat yang memandang adanya tiap ayat atau kelompok ayat yang
berdiri sendiri. Tapi semuanya berpendapat antara satu ayat dan ayat lainnya dari Al-Quran
tidak ada kontradiksi (taarudh).dari asas inilah muncul metode-metode penafsiran untuk
meluruskan pengertian terhadap bagian-bagian yang sepintas tampak bertentangan. Adanya
gejala pertentangan yang demikian merupakan asas metode penafsiran dimana Nasikh dan
Mansukh merupakan salah satu bagiannya.
1

B. Definisi Nasakh, Nasihk dan Mansukh
Nasakh menurut bahasa pergunakan untuk arti izalah (menghilangkan). Misalnya
dikatakan: Nasakhat as-syamsu azh-zhila,, artinya, matahari menghilangkan bayang bayang; dan
nasakhat ar-rih atsara al-masyyi, artinya angin menghapuskan jejak kaki. Kata naskh juga
digunakan untuk arti memindahkan dari sesuatu ke tempat yang lain. Misalnya: Nasakhtu al-
kitab, artinya, saya menyalin kitab. Di dalam Al-Quran dikatakan:
_ ^^) EL7 NCO44-Oe 4` +L7
4pOUEu> ^g_
. Sesungguhnya Kami telah menyuruh mencatat apa yang telah kamu kerjakan".(Al-Jatsiyah:
29). Maksudnya,kami (Allah) memindahkan amal perbuatan ke dalam lembaran-lembaran
catatan amal.
2

Pengertian Nasakh Secara Istilah
Menurut istilah Nasakh ialah mengangkat (mengapuskan) hukum syara dengan dalil hukum
syara yang lain. disebutkannya kata hukum disini, menunjukkan bahwa prinsip segala
sesuatu hukum asalnya boleh (Al baraah Al Ashliyah) tidak termasuk yang din ash. Kata-kata
dengan dalil hukum syara mengecualikan pengangkatan (penghapusan) hukum yang
disebabkan kematian atau gila, atau penghapusan dengan ijma atau qiyas.

1
Editor: Sukardi K.D. Belajar Mudah Ulum Al Quran. Jakarta Lentera : 2002, hal 170.
2
Departemen Agama RI, Quran Tajwid dan Terjemahan Indonesia, Maghfiroh pustaka, Jakarta.
Kata nasikh (yang menghapus) maksudnya adalah Allah (yang menghapus hukum itu),
seperti firman-Nya:
4` ;C=O44^ ;}g` O4C-47 u
E_O4+^ g4^ OOC .Ogu+g)`
u .E_)Uu1g` ^g
106. ayat mana saja[81] yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa
kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya..

Mansukh adalah hukum yang diangkat atau dihapuskan. Makan ayat mawarits (warisan) atau
hukum yang terkandung didalamnya, misalnya, adalah menghapuskan (nasikh) hukum wasiat
kepada orang tua atau kerabat sebagaimana akan dijelaskan.
3

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam naskh diperlukan syarat-syarat
sebagai berikut :
1. Hukum yang di mansukh adalah hukum syara;
2. Dalil penghapusan tersebut adalah ktitab syari yang datang lebih kemudian dari
khitab hukum yang di mansukh.
3. Khitab yang dihapuskan atau diangkat hukumnya tidak terikat atau dibatasi dengan
waktu tertentu. Sebab jika tidak demikian maka hukum akan berahir dengan
berakhirnya waktu tersebut. Dan yang demikian tidak dinamakan naskh.

C. BENTUK-BENTUK NASAKH

Nasakh ada empat bagian :
Pertama, Nasakh dalam Al-Quran dengan Al-Quran. Bagian disepakati kebolehannya dan
telah terjadi dalam pandangan mereka yang mengatakan adanya Naskh. Misalnya ayat tentang iddah
empat bulan sepuluh hari yang sebelumnya adalah satu tahun.
Yaitu ayat;
4g~-.-4 ]O-4O4-NC :4g`
4p+OEO4C4 ~w}4^e LOOg4
)__4^e+ 4-E` O) OEC^-
4OOEN -4Ou=) _

3
Syaikh Manna Al-Qatththan, Pengantar Study Ilmu Al Quran, Pustaka Al Kautsar, Jakarta. Hal 291
240. dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri,
hendaklah Berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan
tidak disuruh pindah (dari rumahnya).
Kemudian di naskh dengan ayat:
4g~-.-4 4pO-4O4NC 7Lg`
4p+OEO4C4 ~w}4^e =}+4O44C
O})_O^) OE4O Og;+
-LO;4N4 W -
234. orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu)
menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari.
Kedua, naskh Al-Quran dengan As-Sunah. Naskh ini ada dua macam:
Naskh Al-Quran dengan hadits ahad. Jumhur berpendapat, Al-Quran tidak boleh
dinaskh oleh hadits ahad, sebab Al-Quran adalah mutawatir dan menunjukkan
keyakinan, sedang hadits adalah zhanni, bersifat dugaan, di samping tidak sah pula
menghapuskan sesuatu yang malum (jelas diketahui) dengan yang mazhnun (diduga).
Naskh AL-Quran dengan hadits mutawatir. Naskh semacam ini diblehkan oleh Malik,
Abu Hanifah dan Ahmad dalam satu riwayat, sebab masing-masing keduanya adalah
wahyu. Allah berfirman,
4`4 -gCL4C ^}4N -O4OE- ^@
up) 4O- ) E/4 _/EONC ^j
3. dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya.
4. ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). (An-Najm 3-
4)

Dan firmanNya pula,
.4L^4O^4 El^O) 4O-g]~.-
4))-4l+g +EELUg 4` 4@O+^
jgO) _^UE4
]NO-E4-4C ^jj
44. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat
manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan, (An
Nahl: 44)

Dan naskh itu sendiri sebagai penjelasan.
Namun As-SyafiI, Zhahiriyah dan Ahmad dalam riwayatnya yang lain menolak naskh
seperti ini, berdasarkan firman Allah;
4` ;C=O44^ ;}g` O4C-47 u
E_O4+^ g4^ OOC .Ogu+g)`
u .E_)Uu1g` Uu> Ep
-.- _O>4N ]7 7/E* vOCg~
^g
106. ayat mana saja[81] yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa
kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding
dengannya. (Al Baqoroh, 106).

Sedang hadits tidak lebih baik dari atau sebanding dengan Al-Quran.
.
Ketiga, Naskh As-Sunah dengan Al-Quran. Di bolehkan oleh jumhur. Sebagai contoh
ialah masalah menghadap ke Baitul Maqdis yang di tetapkan As-Sunah dan di dalam Al-
Quran tidak terdapat dalil yang menunjukkannya. Ketetapan ini dinasakhkan oleh
Al_quran dengan firmanNya:
_ ]4O ElE_;_4 4O;CE-
gOE^- g-4OE^- _
.Maka Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. (Al Baqoroh:144).

Kewajiban puasa pada hari Asyura yang ditetapkan berdasarkan Sunnah, juga di naskh
oleh firman Allah:

}E EjgE+ N74g` 4OgO-
+O;O41U W ^g)
Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka
hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, (Al Baqoroh: 185).

Tetapi Naskh versi ini pun ditolah oleh Imam Syafii dalam salah satu riwayat.
Menurutnya apa saja yang ditetapkan As Sunah tentu di dukung oleh Al Quran, dan apa
saja yang ditetapkan oleh Al Quran tentu didukung oleh As Sunah. Hal ini karena antara
Al Quran dengan As Sunah harus senantiasa sejalan dan tidak bertentangan.
4


Keempat, naskh Sunnah dengan Sunnah. Dalam kategori ini terdapat empat bentuk:
1. Naskh Mutawatir dengan Mutawatir
2. Naskh Ahad dengan ahad
3. Naskh Ahad dengan Mutawatir
4. Naskh Mutawatir dengan Ahad
Tiga bentuk petama dibolehkan, sedang pada bentuk keempat terjadi silang pendapat
seperti halnya naskh Al Quran dengan hadits ahad, yang tidak dibolehkan oleh jumhur.
Adapaun menaskh ijma dengan ijma dan qiyas dengan qiyas atau menaskh
dengan keduanya, maka pendapat yang shahih tidak membolehkan.Naskh macam

4
Editor: Sukardi K.D. Belajar Mudah Ulum Al Quran. Jakarta Lentera : 2002.
tersebut dinyatakan boleh hanya menurut Muhammad Abdul Azhim az Zharqani dalam
kitabnya Manabil al Irfan fi Ulum Al Quran.
5

D. BENTUK-BENTUK NASAKH

Naskh dalam Al-Quran ada tiga macam:

Pertama, Naskh bacaan dan hukum. Misalnya apa yang diriwayatkan oleh
Muslim dan yang lain, dari Aisyah R.A, ia berkata, diantara yang diturunkan kepada
beliau adalah bahwa sepuluh susuan yang diketahui itu menyebabkan pemahraman,
kemudian dinaskh oleh lima susuan yang diketahui. Ketika Rasulullah SAW wafat,
lima susuan ini termasuk ayat Al Quran yang dibaca (belaku), Ucapan Aisyahlima
susuan ini termasuk ayat Al Quran yang dibaca. Secara zhahir menunjukkan bahwa
bacaannya masih tetap ada. Tetapi tidak demikian halnya, karena ia tidak terdapat dalam
Mushaf Utsnai. Kesimpulan ini dijawab, bahwa yang dimaksud dengan perkataan Aisyah
ini ialah ketika menjelang belaiu wafat.

Al Qadli Abu Bakark menceritakan dalan kitab Al Intishar tentang suatu hukum
yang mengingkari naskh semacam ini, sebab yang berkaitan dengannya adalah khabar
ahad. Padahal tidak boleh memastikan sesuatu itu adalah Al Quran dengan khabar ahad.
Karena khabar ahad bersifat (zhann).

Pendapat ini dijawab, penetapan adanya naskh cukup dengan khabar ahad yang
zhanni, sedang peneteapan sesuatu sebagai bagai Al Quran harus dengan dalil qathI,
yakni khabar mutawatir. Sedangkan pembahasan disini adalah terkait penetapan adanya
naskh atau tidak, bukan penetepan sesuatu sebagai bagian dari Al Quran, karenan itu
cukup dengan khabar ahad. Jika dikatakan bahwa qiraah ini tidak ditetapkan daengan
khabar mutawatir, maka hal ini adalah benar.

Kedua, naskh hukum sedang tilawahnya tetap. Misalnya naskh hukum ayat-ayat
iddah selama satu tahun, sedangkan tilawahnya tetap. Mengenai naskh macam ini
banyak disusun kitab-kitab yang didalamnya disebutkan bermacam-macam ayat. Padahal
setelah diteliti, ayat-ayat seperti itu hanya sedikit jumlahnya, sebagaimana dijelaskan Al-
Qadhi Abu Bakr bin Al-Arabi.
Dalam hal ini timbul pertanyaan, apakah hikmah penghapusan hukum, sedang
tilawahnya tetap ada?

Hal ini akan dijawab dalam dua sisi:
1. Al Quran selain dibaca untuk diketahui dan diamalkan hukumnya, juga dibaca
karena ia adalah Kalamullah yang mebacanya mendapatkan pahala.
2. Pada umumnya naskh itu meringankan, maka ditetapkanlah tilawah untuk
mengingatkan akan nikmat dihapuskannya kesulitan suatu kewajiban.


5
Editor: Sukardi K.D. Belajar Mudah Ulum Al Quran. Jakarta Lentera : 2002, hal 151.
Ketiga, naskh tilawah sedang hukumnya tetap. Diantara contohnya adalah ayat
rajam.

)laki-laki dan perempuan itu (yang sudah menikah), jika keduanya berzina maka
rajamlah keduanya berkali-kali). Termasuk ayat Al Quran walaupun kalimat tersebtu
tidak ditemukan dalam Al Quran, namun hukumnya tetap berlaku sampai sekarang.
Sebearnya dengan merujuk pada hadits yang meriwayatkannya, menurut mereka yang
menerima naskh jenis ini, dalam Al Quran hal ini masih banyak terdapat. Misalnya,
menurut riwayat Ubay bin Kaab, seperti ditegaskan oleh az-Zarqani, dalam mushaf Al
Quran yang ada sekarang sebagian ayat dalam surat al-Baraah itu tidak dapat lagi kit
abaca, karena dinaskh. Bahkan menurtu az-Zarkani sebuah riwayat yang shahih dari Abu
Musa al Asyari menunjukkan adannya sebuah surah AL Quran yang pernah dibaca pada
masa Rasulullah SAW, yang panjangnya sama dengan surah Al Baraah.
6


Contoh lain ialah yang diriwayatkan dalam Ash-Shalihin, dari anas tentang kisah
orang-orang yang dibunuh di dekat Sumur Maunah, sehingga Rasulullah SAW berkunut
untuk mendoakan para pembunuh mereka. Anas mengatakn, Dan berkenaan dengan
mereka turunlah wahyu yang kami baca sampai ia datang kembali, yaitu,


sampaikanlah dari kami kepada kaum kami bahwa kami telah bertmeu Tuhan kami,
maka ia ridha kepada kami dan kamiopun ridha.
Ayat ini kemudian di naskh tilwahnya.

E. Sarat-sarat Naskh.
1. Adanya ketentuan hukum yang dicabut (mansukh) dalam formulasinya tidak
mengandung keterangan bahwa ketentuan itu berlaku untuk seterusnya atau selama-
lamanya.
2. Ketentuan hukum tersebut bukan yang telah mencapai kesepakatan universal
tentang kebaikan atau keburukannya.
3. Ketentuan hukum yang mencabut (nasikh) di tetapkan kemudian, karena pada
hakikatnya nasikh adalah untuk mengahiri pemberlakuan ketentuan hukum yang
sudah ada sebelumnya.

4. Gejala kontradiksi sudah tidak dapat di hapus lagi.
7



F. KONTROFERSI TENTANG NASKH (ADAKAH NASKH DALAM AL
QURAN?)

Suatu hari Ali bin Abi Thalib memasuki masjid di Kuffah. Di dalam masjid
tersebut dia melihat seorang laki-laki yang menurut as Suyuthi, dalam Al Itqon adalah
Qadli--- sedang di kelilingi banyak orang untuk di ajukan berbagai persoalan. Melihat

6
Editor: Sukardi K.D. Belajar Mudah Ulum Al Quran. Jakarta Lentera : 2002, hal 170.
7
Editor: Sukardi K.D. Belajar Mudah Ulum Al Quran. Jakarta Lentera : 2002, hal 175.
hal ini Ali kemudian bertatnya pada Qodli, Atarif al nasikh wa al mansukh?
(apakah anda mengetahui ayat yang di hapus dan menghapus?). Tidak jawabnya.
Mendengar jawab yang demikian Ali berkata kepadanya: kalau demikian berarti
engkau telah celaka dan mencelakakan orang lian.

Pertanyaan Ali di atas paling tidak menegaskan bahwa urgensi ilmu nasikh
mansukh sebagai bagian dari Ulum Al Quran. Sehubungan dengan itu, pendapat
Jalaluddin as Suyuthi dalam Al Itqan yang banyak dikutip oleh penulis Ulum Al
Quran mengatakan; Para Ulama mengatakan bahwa seorang tidak boleh
menafsirkan Kitba Allah kecuali mengetahui terlebih dahulu tentang ayat nasikh dan
mansukh.
8


Dari pernyataan di atas dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa memang benar
adanya naskh dalam Al Quran.

G. HIKMAH NASKH

1. Memelihara kemaslahatan hamba
2. Perkembangan tasyri menuju tingkat sempurna sesuai dengan perkembangan
dakwah dan perkembangan kondisi umat manusia.
3. Coba dan ujian bagi seorang mukallaf apakah mengikutinya atau tidak.
4. Menghendaki kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab jika naskh itu berlaih
ke hal yang lebih berat maka di dalamnya terdapat penambahan pahala, dan jika
beralih ke hal yang lebih ringan maka ia mengandung kemudahan dan
keringanan.
Kemudian daripada itu Syaikh al Qasimi menmbahkan dengan adanya penahapan
turunnya Al Quran adalah sebagai pemantapan, karena adanya nasikh mansukh tidak
dapat dipisahkan dari sifat turunnya Al Quran itu sendiri dan tujuan yang ingin
dicapainya. Sesungguhnya Al Khaliq yang Maha Suci lagi Maha Tinggi mendidik bangsa
Arab selam 23 Tahun dalam proses tadarruj (bertahap) sehingga mencapai
kesempurnaannya dengan perantara berbagai sarana sosial.
9








8
Editor: Sukardi K.D. Belajar Mudah Ulum Al Quran. Jakarta Lentera : 2002, hal 147
9
Editor: Sukardi K.D. Belajar Mudah Ulum Al Quran. Jakarta Lentera : 2002, hal 175.





KESIMPULAN
Disepakati oleh para Ulama bahwa memang benar adanya naskh (nasikh dan
mansukh) dalam Al Quran, ini merupakan bagian dari Ulumu Al Quran yang dinilai
sangat penting untuk media interpretasi dalam pemahaman ayat Al Quran. Bahkan Ali
bin Abi Thallib mengatakan celaka kepada seorang Qodli manakala Qodli ini
menjawab seputar pernaslahan ayat Al Quran tanpa mengetahui adanya naskh dalam Al
Quran.

Naskh ada empat bagian :
Pertama, Nasakh dalam Al-Quran dengan Al-Quran.
Kedua, naskh Al-Quran dengan As-Sunah. (ada dua macam)
Ketiga, Naskh As-Sunah dengan Al-Quran, jumhur membolehkannya.
Keempat, naskh Sunnah dengan Sunnah.( Ada empat macam)
Bentuk Naskh ada tiga macam:
Pertama, Naskh bacaan dan hukum.
Kedua, naskh hukum sedang tilawahnya tetap.
Ketiga, naskh tilawah sedang hukumnya tetap.
Syarat-syarat Naskh ada empat :
Adanya ketentuan hukum yang dicabut (mansukh) dalam formulasinya tidak
mengandung keterangan bahwa ketentuan itu berlaku untuk seterusnya atau
selama-lamanya.
Ketentuan hukum tersebut bukan yang telah mencapai kesepakatan universal
tentang kebaikan atau keburukannya.
Ketentuan hukum yang mencabut (nasikh) di tetapkan kemudian, karena pada
hakikatnya nasikh adalah untuk mengahiri pemberlakuan ketentuan hukum yang
sudah ada sebelumnya.
Gejala kontradiksi sudah tidak dapat di hapus lagi.
Hikmah Naskh :
Memelihara kemaslahatan hamba
Perkembangan tasyri menuju tingkat sempurna sesuai dengan perkembangan
dakwah dan perkembangan kondisi umat manusia.
Coba dan ujian bagi seorang mukallaf apakah mengikutinya atau tidak.
Menghendaki kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab jika naskh itu berlaih ke
hal yang lebih berat maka di dalamnya terdapat penambahan pahala, dan jika
beralih ke hal yang lebih ringan maka ia mengandung kemudahan dan keringanan.

DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama RI, Quran Tajwid dan Terjemahan Indonesia, Maghfiroh pustaka,
Jakarta.
Manna Al-Qatththan, Pengantar Study Ilmu Al Quran, Pustaka Al Kautsar, Jakarta
Sukrdi K.D. Belajar Mudah Ulum Al Quran. Jakarta Lentera : 2002.

Anda mungkin juga menyukai