Anda di halaman 1dari 39

BAB I PENDAHULUAN 1.

1 Latar Belakang Manusia tidak dapat hidup tanpa air, karena air merupakan unsur yang sangat berperan dalam kehidupan manusia. Sekitar 80% tubuh manusia adalah terdiri dari cairan, serta di dalam air terdiri atas unsur mineral yang dibutuhkan oleh manusia untuk perkembangan atau pertumbuhan fisik manusia. Beberapa unsur kimia yang terdapat dalam air antara lain adalah Ca, Mg, Zn, Cl, Fe, Mn dan lain sebagainya. Untuk memenuhi kebutuhan air terutama dapat diperoleh dari air minum dan makanan. Dalam fungsinya sebagai air minum, dibutuhkan air yang benar-benar bersih dan sehat. Disamping sebagai air minum air juga mempunyai peranan yang sangat luas dalam bidang sosial ekonomi (Kusnaedi, 2002). Bertambahnya populasi manusia maka bertambah pula kebutuhannya terhadap air bersih. Sebagian konsumen memilih air minum merk terkenal dengan alasan kualitas dan kesehatan, namun bagi sebagian masyarakat yang lain, harga air kemasan bermerk yang cukup mahal membuat mereka beralih untuk mencari air minum dengan harga ekonomis dan terjangkau. Air minum isi ulang menjadi salah satu pilihan dalam memenuhi kebutuhan hidup masyarakat, karena harganya air minum isi ulang (AMIU) jauh lebih murah dari harga air minum dalam kemasan (AMDK) yang diproduksi resmi industri besar. Tingginya minat masyarakat dalam mengkonsumsi air minum dalam kemasan dan mahalnya harga air minum dalam kemasan yang diproduksi industri besar mendorong tumbuhnya depot air minum isi ulang di berbagai tempat terutama kota-kota besar seperti halnya di Mataram, akan tetapi beberapa anggota masyarakat masih ragu akan hal kualitasnya sehingga dapat dikatakan aman untuk dikonsumsi. Terdapat perbedaan mendasar antara Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) dengan Air Minum Isi Ulang (AMIU). AMDK dihasilkan melalui rangkaian proses pengolahan yang berstandar, selain dengan ozonisasi juga memakai fasilitas industri yang qualified, karenanya hampir seluruh AMDK memiliki sertifikat Standar Nasional Indonesia (SNI). Proses Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) harus melalui proses tahapan baik secara klinis maupun secara hukum, secara higienis klinis biasanya disahkan menurut peraturan pemerintah memalui Departemen Badan Balai Pengawasan Obat Dan Makanan ( Badan POM RI) baik dari segi kimia, fisika, mikrobiologi. Sedangkan AMIU tidak sebagus

AMDK, baik dari proses pengolahan maupun pada jaminan kualitas hasil olahannya. Hasil penelitian kualitas 120 sampel AMIU dari 10 kota besar di Indonesia oleh Departemen Teknologi Industri Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) tahun 2002 lalu menemukan bahwa, kualitas air minum yang diproduksi oleh depot air minum isi ulang bervariasi dari satu depot dengan depot lainnya. Sementara itu, BPOM menguji sampel air dari 95 depot air minum isi ulang di lima kota, termasuk Jakarta, Bandung, Medan, dan Surabaya. Menurut hasil penelitian ini, sebagian air yang dimaksud juga tercemar bakteri coliform, e-coli, dan salmonella. Bahkan beberapa sampel air terdeteksi mengandung logam berat kadmium. Sedangkan hasil penelitian mahasiswa Universitas Sumatera Utara, Wahyuni Deylyana Siregar menyebutkan bahwa kulaitas air minum dalam kemasan (AMDK) yang ada di kota Medan masih memenuhi standar kualiatas air minum yang telah ditetapkan oleh Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes). Berdasarkan Permenkes RI No. 907/ Menkes/SK/VII/2002, air minum yang sehat dan berkualitas harus memenuhi berbagai persyaratan baik secara fisika, kimia, maupun bakteriologi. Persyaratan kualitas air minum secara kimia diantaranya yaitu mempunyai pH yang sesuai, mempunyai kadar klorida, padatan terlarut, dan tingkat kesadahan yang kecil dan dibawah batas maksimal yang diperbolehkan. Berdasarkan Permenkes RI No. 907/ Menkes/SK/VII/2002, batas maksimal kadar klorida, padatan terlarut, dan kesadahan secara berturut-turut adalah 250 mg/L ; 1000 mg/L ; dan 500 mg/L, sedangkan pH air minum harus berada diantara rentang 6.5 sampai 8.5. pH merupakankan tingkat keasamaan suatu larutan. Air minum yang baik hendaknya memiliki mendekati 7 (netral). Besarnya pH air minum dapat diukur menggunakan kertas lakmus dan pH meter. Cara yang paling akurat adalah menggunakan pH meter karena dapat menunjukkan data secara kuatitatif. Padatan terlarut atau TDS (Total Dissolve Solid) yaitu ukuran berat zat padat yang terlarut dalam air baik itu zat organic maupun anorganic, misalnya garam dan lain-lain. Air minum yang baik adalah air minum yang memliki TDS dalam jumlah yang kecil atau mendekati 0. Pengukuran TDS dapat dilakukan dengan beberapa cara, salah satunya yaitu gravimetri. Metoda Gravimetri merupakan cara yang paling baik dan paling akurat untuk mengukur TDS sebab keakuratannya bisa sampai 0.0001 gram. TDS berhubungan dengan kesadahan air. Kesadahan merupakan petunjuk kemampuan air untuk membentuk busa apabila dicampur dengan sabun. Kesadahan air menunjukkan adanya kandungan mineral-mineral tertentu yang terdapat di dalam air, pada

umumnya mineral itu adalah ion kalsium (Ca) dan magnesium (Mg) dalam bentuk garam karbonat. Semakin tinggi padatan terlarut (TDS) maka semakin tinggi pula garam-garam yang dikandungnya dalam hal ini garam kalsium (Ca) dan magnesium (Mg) sehingga dapat dikatakan kesadahan air juga akan semakin tinggi. Pengukuran tingkat kesadahan air dapat dilakukan secara akurat dengan titrasi kompleksometri. Selain pH, padatan terlarut, kalsium (Ca) dan magnesium (Mg), parameter kimia yang lain yang dapat menunjukkan kualitas air minum yaitu kadar klorida (Cl -). Ion klorida sebenarnya memliki peranan penting bagi tubuh karena merupakan ion utama dalam cairan ekstra seluler yang berfungsi untuk mempertahankan pH dan osmolaritas. Namun apabila kadar klorida terlalu berlebihan atau melampaui batas akan berdampak negatif bagi kesehatan. Dari berbagai studi, ternyata orang yang meminum air yang mengandung klorida dengan kadar tinggi memiliki kemungkinan lebih besar untuk terkena kanker kandung kemih, dubur ataupun usus besar. Sedangkan bagi wanita hamil dapat menyebabkan melahirkan bayi cacat dengan kelainan otak atau urat saraf tulang belakang, berat bayi lahir rendah, kelahiran prematur atau bahkan dapat mengalami keguguran kandungan. Adapun analisa klorida secara kuantitatif dapat dilakukan dengan beberapa cara, diantaranya analisa secara titrimetri dengan menggunakan metode argentometri (titrasi pengendapan). Cara ini sangat menguntungkan karena pelaksanaannya mudah dan cepat, ketelitian dan ketepatan cukup tinggi. Berdasarkan uraian diatas maka perlu dilakukan analisis kualitas kimia air minum isi ulang yang sering dikonsumsi masyarakat khusunya di wilayah kota Mataram, apakah telah memenuhi standar kualitas air minum yang ditetapkan oleh Permenkes RI No. 907/ Menkes/SK/VII/2002. Selanjutnya hasil analisisnya dibandingkan dengan air minum dalam kemasan untuk mengetahui tingkat kualitas kedua jenis air minum tersebut.

1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat ditarik suatu rumusan masalah yaitu: a. Berapakah pH, kadar klorida (Cl-), padatan terlarut (TDS), dan kesadahan air minum isi ulang dan air minum dalam kemasan? b. Apakah air minum isi ulang dan air minum dalam kemasan memenuhi persyaratan kualitas air minum menurut Permenkes RI No. 907/ Menkes/SK/VII/2002 secara kimia?

1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah: a. Untuk mengetahui besarnya pH, kadar klorida (Cl-), padatan terlarut (TDS), dan kesadahan air minum isi ulang dan air minum dalam kemasan. b. Untuk mengetahui apakah air minum isi ulang dan air minum dalam kemasan memenuhi persyaratan kualitas air minum menurut Permenkes RI No. 907/ Menkes/SK/VII/2002 secara kimia. 1.4 Batasan Masalah Batasan masalah dalam penelitian ini adalah: a. Parameter kimia yang dianalisis pada air minum yaitu pH, kadar klorida (Cl-), padatan terlarut (TDS), dan kesadahan air. b. Sampel air yang dianalisis yaitu air minum isi ulang dan air minum dalam kemasan yang diambil secara acak di wilayah kota Mataram. c. Metode yang digunakan adalah metode argentometri, gravimetri, dan

kompleksometri. 1.5 Manfaat Penelitian a. Bagi Masyarakat Memberikan informasi tentang pH, kadar klorida (Cl-), padatan terlarut (TDS), dan kesadahan air pada air minum isi ulang dan air minum dalam kemasan sehingga dapat diketahui layak tidaknya air minum tersebut untuk dikunsumsi. b. Bagi Mahasiswa Sebagai rujukan dalam melaksanakan percobaan yang berkaitan dengan pengujian pH, kadar klorida (Cl-), padatan terlarut (TDS), dan kesadahan air. c. Bagi Peneliti Memperdalam pengetahuan tentang metode penentuan pH, kadar klorida (Cl-), padatan terlarut (TDS), dan kesadahan air secara argentometri, gravimetri, dan

kompleksometri.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Air minum 2.1.1 Pengertian air minum Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor :

907/MENKES/SK/VII/2002 tentang

syarat-syarat dan pengawasan kualitas air

minum, antara lain disebutkan bahwa Air minum adalah air yang melalui proses pengolahan atau tanpa proses pengolahan yang memenuhi syarat kesehatan dan dapat langsung diminum. Pengertian air minum dapat dilihat juga dalam Keputusan Menteri Perindustrian 651/MPP/Kep/10/2004 dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor :

yaitu tentang persyaratan teknis Depot air minum dan

perdagangannya. Dalam keputusan tersebut dinyatakan bahwa Air minum adalah air baku yang telah diproses dan aman untuk diminum. Berdasarkan dua pengertian diatas maka dapat diartikan bahwa air minum adalah air yang dapat langsung diminum tanpa menyebabkan gangguan bagi orang yang meminumnya. 2.1.2 Jenis air minum Jenis air minum, menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor : 907/MENKES/SK/VII/2002 tentang syarat-syarat dan Pengawasan Kualitas air minum, adalah : a. Air yang didistribusikan melalui pipa untuk keperluan rumah tangga b. Air yang didistribusikan melalui tangki air c. Air kemasan d. Air yang digunakan untuk produksi bahan makanan dan minuman yang disajikan kepada masyarakat.

2.2. Persyaratan Kualitas Air Parameter kualitas air yang digunakan untuk kebutuhan manusia haruslah air yang tidak tercemar atau memenuhi persyaratan fisika, kimia, dan biologis (Notoatmodjo,2003). 2.1.1 Persyaratan Fisika Air Air yang berkualitas harus memenuhi persyaratan fisika sebagai berikut:

a. Jernih atau tidak keruh Air yang keruh disebabkan oleh adanya butiran-butiran koloid dari tanah liat. Semakin banyak kandungan koloid maka air semakin keruh. b. Tidak berwarna Air untuk keperluan rumah tangga harus jernih. Air yang berwarna berarti mengandung bahan-bahan lain yang berbahaya bagi kesehatan. c. Rasanya tawar Secara fisika, air bisa dirasakan oleh lidah. Air yang terasa asam, manis, pahit atau asin menunjukan air tersebut tidak baik. Rasa asin disebabkan adanya garam-garam tertentu yang larut dalam air, sedangkan rasa asam diakibatkan adanya asam organik maupun asam anorganik. d. Tidak berbau Air yang baik memiliki ciri tidak berbau bila dicium dari jauh maupun dari dekat. Air yang berbau busuk mengandung bahan organik yang sedang mengalami dekomposisi (penguraian) oleh mikroorganisme air. e. Temperaturnya normal Suhu air sebaiknya sejuk atau tidak panas terutama agar tidak terjadi pelarutan zat kimia yang ada pada saluran/pipa, yang dapat membahayakan kesehatan dan menghambat pertumbuhan mikro organisme. f. Tidak mengandung zat padatan Air minum mengandung zat padatan yang terapung di dalam air. 2.1.2 Persyaratan Bakteriologis Sumber-sumber air di alam pada umumnya mengandung bakteri, baik air angkasa, air permukaan, maupun air tanah. Jumlah dan jenis bakteri berbeda sesuai dengan tempat dan kondisi yang mempengaruhinya. Oleh karena itu air yang dikonsumsi untuk keperluan sehari-hari harus bebas dari bakteri

patogen. Bakteri golongan Coli (Coliform bakteri) tidak merupakan bakteri patogen, tetapi bakteri ini merupakan indikator dari pencemaran air oleh bakteri patogen (Slamet, 2009). E.coli sudah lama diketahui sebagai indikator adanya pencemaran tinja manusia pada minuman ataupun makanan. Beberapa alasan mengapa E.coli disebut sebagai indikator pencemaran pada tinja dibanding bakteri lainnya adalah 6

(Chandra, 2005) : a. Jumlah organisme cukup banyak dalam usus manusia. Sekitar 200-400 miliar organisme ini dikeluarkan melalui tinja setiap harinya. Oleh karena jarang sekali ditemukan dalam air, keberadaan kuman ini dalam air memberi bukti kuat adanya kontaminasi tinja manusia. b. Organisme ini lebih mudah dideteksi melalui metode kultur (walau hanya terdapat 1 kuman dalam 100 cc air) dibanding tipe kuman patogen lainnya. c. Organisme ini lebih tahan hidup dibandingkan dengan kuman usus patogen lainnya. d. Bila coliform organisme ini ditemukan di dalam sampel air maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa kuman usus patogen yang lain dapat juga ditemukan dalam sampel air tersebut di atas walaupun dalam jumlah yang kecil. 2.1.3 Persyaratan Kimia Kualitas air tergolong baik bila memenuhi persyaratan kimia seperti berikut: a. pH netral Derajat keasaman air minum harus netral, tidak boleh bersifat asam atau basa. Contoh air yang terasa asam adalah air gambut. Air murni mempunyai pH 7. apabila pH di bawah 7 air bersifat asam, sedangkan di atas 7 berarti bersifat basa (rasanya pahit). b. Tidak mengandung zat kimia beracun Air yang berkualitas baik tidak mengandung bahan kimia beracun seperti sianida, sulfida, fenolik. Tidak mengandung garam atau ion-ion logam seperti Fe, Mg, Ca, K, Hg, Zn, Mn, Cl, Cr dan lain-lain. c. Kesadahan rendah Tingginya kesadahan berhubungan dengan garam-garam yang terlarut di dalam air terutama Ca dan Mg. d. Tidak mengandung bahan organik Kandungan bahan organik dalam air dapat terurai menjadi zat-zat yang berbahaya bagi kesehatan. Bahan-bahan organnik itu seperti NH4, H2S, SO42dan NO3- (Kusnaedi,2002).

2.3 Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) Air minum kemasan atau dengan istilah AMDK (Air Minum Dalam Kemasan), merupakan air minum yang siap di konsumsi secara langsung tanpa harus melalui proses pemanasan terlebih dahulu. Air minum dalam kemasan merupakan air yang dikemas dalam berbagai bentuk wadah, misalnya 19 liter atau galon , 1500 ml / 600 ml (botol), 240 ml /220 ml (gelas). Proses Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) harus melalui proses tahapan baik secara klinis maupun secara hukum, secara higienis klinis biasanya disahkan menurut peraturan pemerintah memalui Departemen Badan Balai Pengawasan Obat Dan Makanan ( Badan POM RI) baik dari segi kimia, fisika, mikrobiologi. Tahapan secara hukum biasanya melalui proses pengukuhan merek dagang, hak paten, sertifikasi dan asosiasi yang mana keseluruhannya mengacu pada peraturan pemerintah melalui DEPERINDAG, SNI (Standar Nasional Indonesia), dan Merek Dagang. Untuk masalah air kemasan tentang Hak Cipta, Hak Paten Merek biasanya melalui instansi Departemen Kehakiman. Adapun proses Pengolahan air untuk menjadikan air siap dikemas dan dipasarkan secara umum, ada beberapa proses yang harus dilalui antara lain : 1. Proses Pengolahan Air 2. Proses Sterilisasi Air 3. Proses Kontrol Kualitas 4. Proses Pengemasan ( Galon, Botol, Cup) 5. Proses Pengepakan 6. Proses Distribusi (http://zeofilt.wordpress.com)

2.4 Air Minum Isi Ulang (AMIU) Depot air minum isi ulang adalah usaha industri yang melakukan proses pengolahan air baku menjadi air minum dan menjual langsung kepada konsumen (Deperindag, 2004). Prinsip pengolahan air pada dasarnya

harus mampu menghilangkan semua jenis polutan, baik fisik, kimia maupun mikrobiologi. Proses pengolahan air pada depot AMIU terdiri atas penyaringan (filtrasi) dan desinfeksi. Pertama, air akan melewati filter dari bahan silica untuk menyaring partikel kasar. Setelah itu memasuki tabung karbon aktif untuk menghilangkan bau. Tahap berikutnya adalah penyaringan air dengan saringan 8

berukuran 10 mikron kemudian melalui saringan 1 mikron untuk menahan bakteri. Air yang keluar dari saringan 1 mikron dinyatakan telah bebas dari bau dan bakteri, ditampung pada tabung khusus yang berukuran lebih kecil dibanding tabung penampung air baku. Selanjutnya adalah tahap mematikan bakteri yang mungkin masih tersisa dengan menggunakan sinar ultra violet, ozonisasi dan Reversed Osmosi (Pitoyo, 2005). Air minum isi ulang adalah salah satu jenis air minum yang dapat langsung diminum tanpa dimasak terlebih dahulu, karena telah melewati beberapa

proses tertentu. Merebaknya peluang usaha yang umumnya disebut sebagai depot air minum isi ulang tidak terlepas dari krisis yang dialami masyarakat

Indonesia, sehingga masyarakat mencari alternatif lain dalam membangun suatu usaha dengan biaya relatif ringan tetapi cepat kembali modalnya, ataupun para konsumen air minum mengurangi biaya kebutuhan sehari-hari. Proses produksi AMIU merupakan suatu proses dalam usaha menjadikan air yang belum layak dikonsumsi menjadi air yang layak dikonsumsi

masyarakat. Air yang berasal dari air tanah yang dapat dijadikan bahan baku (air baku) ditampung kemudian diangkut dengan mobil tangki air. Air tersebut ditampung dalam suatu wadah, kemudian dialirkan melalui pipa dan disaring menggunakan alat filter, kemudian disterilisasi dengan ozon. Air yang telah steril dialirkan ke tangki lalu disaring lagi melalui penyaringan halus kemudian diinjeksikan dengan sinar ultraviolet, saring sekali lagi melalui penyaring halus. Air melalui pengisian dimasukkan kedalam botol dan ditutup. (Kacaribu, 2008). Pencemaran terhadap air minum kemasan/isi ulang berasal dari kualitas air baku yang digunakan, dimana pencemaran itu dapat berasal dari kegiatan industri, domestik, dan kegiatan lain yang berdampak negatif terhadap penurunan sumber daya air, antara lain menyebabkan penurunan kualitas air(Effendi, 2003). Selain itu dalam dunia industri yang menggunakan bahan-bahan kimia sintetik, dimana banyak dari bahan-bahan kimia tersebut telah menyebabkan pencemaran terhadap lingkungan air. Seperti limpasan dari pestisida dan herbisida yang berasal dari daerah pertanian atau perkebunan dan buangan limbah industri ke permukaan air. Yang lebih serius lagi adalah terjadinya rembesan kedalam air tanah dari bahan-bahan pencemar yang berasal dari penampungan limbah kimia dan kolam penampungan atau kolam pengolahan limbah dan fasilitas-fasilitas 9

lainnya. Untuk air yang didistribusikan dengan tangki pengangkut dari lokasi sumber air baku ke depot air minum harus menggunakan tangki pengangkut air yang terbuat dari bahan tara pangan (food grade), tahan korosi dan bahan kimia yang dapat mencemari air (Achmad, 2004).

2.5 pH pH adalah derajat keasaman yang digunakan untuk menyatakan tingkat keasaman atau kebasaan yang dimiliki oleh
+

suatu larutan.

pH

didefinisikan

sebagai

kologaritma aktivitas ion hidrogen (H ) yang terlarut. Koefisien aktivitas ion hidrogen tidak dapat diukur secara eksperimental, sehingga nilainya didasarkan pada perhitungan teoritis. Skala pH bukanlah skala absolut. pH bersifat relatif terhadap sekumpulan larutan standar yang pH-nya ditentukan berdasarkan persetujuan internasional. pH sangat penting sebagai parameter kualitas air karena ia mengontrol tipe dan laju kecepatan reaksi beberapa bahan di dalam air. Selain itu ikan dan mahluk-mahluk akuatik lainnya hidup pada selang pH tertentu, sehingga dengan diketahuinya nilai pH maka kita akan tahu apakah air tersebut sesuai atau tidak untuk menunjang kehidupan mereka. Air murni bersifat netral, dengan pH-nya pada suhu 25 C ditetapkan sebagai 7,0. Larutan dengan pH kurang dari tujuh disebut bersifa tasam, dan larutan dengan pH lebih dari tujuh dikatakan bersifat basaatau alkali. Pengukuran pH sangatlah penting dalam bidang yang terkait dengan kehidupan atau industri pengolahan

kimiaseperti kimia, biologi, kedokteran, pertanian, ilmupangan, rekayasa (keteknikan), dan oseanografi. Tentu saja bidang-bidang sains dan teknologi lainnya juga memakai meskipun dalam frekuensi yang lebih rendah. Umumnya indikator asam-basa sederhana yang digunakan adalah kertas lakmus yang berubah menjadi merah bila keasamannya tinggi dan biru bila keasamannya rendah. Selain menggunakan kertas lakmus, indikator asam basa dapat diukur dengan pH meter yang bekerja berdasarkan prinsip elektrolit / konduktivitassuatu larutan. Suatu pH meter diatur sedemikiannya pembacaan meteran untuk suatu larutan standar adalah sama dengan nilai pH(S). Nilai pH(S) untuk berbagai larutan standar S diberikan oleh rekomendasi IUPAC. Larutan standar yang digunakan sering kali 10

merupakan larutan penyangga standar. Dalam prakteknya, adalah lebih baik untuk menggunakan dua atau lebih larutan penyangga standar untuk mengijinkan adanya penyimpangan kecil dari hukum Nerst ideal pada elektrode sebenarnya. Oleh karena variabel temperatur muncul pada persamaan di atas, pH suatu larutan bergantung juga pada temperaturnya. Pengukuran nilai pH yang sangat rendah, misalnya pada air tambang yang sangat asam, memerlukan prosedur khusus. Kalibrasi elektrode pada kasus ini dapat digunakan menggunakan larutan standar asam sulfat pekat yang nilai pH-nya dihitung menggunakan parameter Pitzer untuk menghitung koefisien aktivitas (Wikipedia).

2.6 Klorida (Cl) Zat khlor berbentuk gas berwarna biru kehijauan dan bersifat racun keras. Khlor selalu dikonsumsi dalam bentuk garam dapur (NaCl). Zat ini belum pernah dilaporkan memberikan gejala-gejala defisiensi. Ion Cl dapat menembus membrane sel dengan leluasa dan keluar masuk memoranda sel secara pasif mendampingi ion K+ Na+ (Ahmad Djaeni Sediautama, 1991). 2.6.1. Kadar Klorida dalam Air Minum Kadar klorida dalam air minum kemasan berdasarkan Permenkes Nomor: 907/ Menkes/ SK/ VII/ 2002 kadar klorida maksimum 250 mg/ l. Jumlah klorida dalam air minum lebih dari 600 mg/ l dapat merusak ginjal (Depkes, 2002). Pada saat pengolahan air minum dilakukan klorinasi, yaitu cara desinfektasi air dengan tujuan mematikan bakteri. Klorin yang digunakan biasanya berbentuk cairan (Natrium hipoklorit), bubuk (Kalsium hipoklorit), tablet dan bentuk gas. Klorin yang berbentuk gas biasanya digunakan dalam tangki baja sehingga memudahkan dalam transportasi oleh pabrik-pabrik pengolahan air minum. Khlor yang ditambahkan ke dalam air minum kalau yang berbentuk gas (Cl2) maka akan terjadi reaksi hidrolisa yang cepat sebagai berikut : Cl2 + H2O HOCl H+ +Cl- + HOCl OC + H+

Selanjutnya asam hipoklorit (HOCl) yang terjadi akan pecah sesuai dengan reaksi berikut:

Pada suhu air yang normal dan suasana netral atau asam lemah reaksi tersebut akan berlangsung dengan cepat. 11

Semua perairan alami mengandung klorida yang kadarnya sangat bervariasi mulai dari beberapa milligram sampai puluhan ribu milligram (air laut). Namun suatu perairan baik itu airtanah, air artesis, danau atau sungai biasanya memiliki kadar klorida yang relatif tetap. Perubahan kadar klorida dalam suatu perairan berhubungan dengan lokasi maupun waktu tertentu yang menunjukkan adanya percampuran dengan perairan lain maupun pencemaran terhadap perairan tersebut. Keberadaa ion Cl- dalam air akan berpengaruh terhadap tingkat keasinan air. Semakin tinggi konsentrasi Cl-, berarti semakin asin air dan semakin rendah kualitasnya. Besarnya kadar klorida dalam perairan sangat penting dalam berbagai aspek seperti dalam penelitian-penelitian tenaga panas bumi, irigasi, industri, hidrologi, dll. Pada umumnya adanya klorida dalam air menyebabkan air tersebut memiliki rasa asin. (Soemirat, 1995).

2.6.3. Metode Argentometri Penetapan kadar klorida dapat dilakukan dengan metode Argentometri, yaitu digunakannya larutan baku sekunder AgNO3. Adapun macam-macam metode argentometri ada 3 yaitu a. Argentometri Mohr Metode ini dapat digunakan untuk menetapkan kadar klorida dan bromide dalam suasana netral dengan larutan baku perak nitrat (AgNO3) dengan indicator kalium kromat (K2CrO4)membentukendapan perak kromat yang berwarna merah bata. Cl- + Ag+ CrO4 + Ag+ b. Argentometri Volhard Klorida dapat ditetapkan dalam suasana asam dengan penambahan larutan baku perak nitrat (AgNO3) berlebihan. Kelebihan AgNO3 dititrasi dengan Kalium thiosianat dengan indicator besi (III) ammonium sulfat yang akan membentuk warna merahdari kompleks besi (III) atau Fe(CNS)3 yang larut. Cl- + Ag+ Ag+ + CNSCNS- + Fe3+ Fe(CNS)3 + Fe c. Metode K. Fayans Pada metode ini digunakan indicator adsorpsi sebagai kenyataan bahwa pada titik 12
3+

AgCl (putih) Ag2CrO4 (merah bata)

AgCl (endapan putih) AgCNS Fe(CNS)3 Fe [Fe(CNS)3]3 (larutan merah)

ekuivalen indicator ini tidak memberi warna pada larutan tetapi pada permukaan endapan. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam metode ini adalah endapan dijaga sedapat mungkin dalam bentuk koloid. Garam netral dalam jumlah besar, ion bervalensi banyak harus dihindarkan karena mempunyai daya mengkoagulasi, sedikit sekali dan mengakibatkan oerubahan indicator tidak jelas. Metode ini dapat digunakan untuk menetapkan kadar klorida dengan indicator eosin atau flouresein Reaksi argentometri K. Fayans : Cl + Ag
+

(Mariyati, 2009)

AgCl (endapan putih) AgCl2 H+ + AgCl Ag eosin

AgCl- + ClAgCl + Ag+ + H eosin

Dari tiga metode titrasi tersebut, yang digunakan sebagai dasar penetapan kadar klorida pada air minum kemasan/isi ulang adalah metode Mohr, karena pada metode ini mempunyai banyak kelebihan yaitu reagen mudah didapat, prosedur mudah dan praktis dan titik akhir titrasi dapat terlihat dengan jelas.

2.7 TDS (Total Dissolve Solid) 2.7.1 TDS (Total Dissolve Solid) Dalam Air TDS (Total Dissolve Solid) yaitu ukuran zat terlarut (baik itu zat organik maupun anorganik, misal : garam, dll) yang terdapat pada sebuah larutan. TDS meter menggambarkan jumlah zat terlarut dalam Part Per Million (PPM) atau sama dengan milligram per Liter (mg/L). Umumnya berdasarkan definisi diatas seharusnya zat yang terlarut dalam air (larutan) harus dapat melewati saringan yang berdiameter 2 micrometer (210-6 meter). Aplikasi yang umum digunakan adalah untuk mengukur kualitas cairan biasanya untuk pengairan, pemeliharaan aquarium, kolam renang, proses kimia, pembuatan air mineral, dll. Setidaknya, kita dapat mengetahui air minum mana yang baik dikonsumsi tubuh, ataupun air murni untuk keperluan kimia (misalnya pembuatan kosmetika, obatobatan, makanan, dll) (Insan, 2007). Total padatan terlarut merupakan bahan-bahan terlarut dalam air yang tidak tersaring dengan kertas saring millipore dengan ukuran pori 0,45 m. Padatan ini terdiri dari senyawa-senyawa anorganik dan organik yang terlarut dalam air, mineral dan garamgaramnya. Penyebab utama terjadinya TDS adalah bahan anorganik berupa ion-ion yang umum dijumpai di perairan. Sebagai contoh air buangan sering mengandung molekul

13

sabun, deterjen dan surfaktan yang larut air, misalnya pada air buangan rumah tangga dan industri pencucian (Anonim, 2010). Benda-benda padat di dalam air tersebut berasal dari banyak

sumber, organik seperti daun, lumpur, plankton, serta limbah industri dan kotoran. Sumber lainnya bisa berasal dan limbah rumah tangga, pestisida, dan banyak lainnya. Sedangkan sumber anorganik berasal dari batuan dan udara yang mengandung kalsium bikarbonat, nitrogen, besi fosfor, sulfur, dan mineral lain. Semua benda ini berbentuk garam, yang merupakan kandungannya perpaduan antara logam dan non logam. Garam-garam ini biasanya terlarut di dalam air dalam bentuk ion, yang merupakan partikel yang memiliki kandungan positif dan negatif. Air juga mengangkut logam seperti timah dan tembaga saat perjalanannya di dalam pipa distribusi air minum. Sesuai regulasi dari Enviromental Protection Agency(EPA) USA, menyarankan bahwa kadar maksimal kontaminan pada air minum adalah sebesar 500mg/liter (500 ppm). Kini banyak sumber-sumber air yang mendekati ambang batas ini. Saat angka penunjukan TDS mencapai 1000mg/L maka sangat dianjurkan untuk tidak dikonsumsi manusia. Dengan angka TDS yang tinggi maka perlu ditindaklanjuti, dan dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Umumnya, tingginya angka TDS disebabkan oleh kandungan potassium, klorida, dan sodium yang terlarut di dalam air. Ion-ion ini memiliki efek jangka pendek (short-term effect), tapi ion-ion yang bersifat toksik (seperti timah arsenik, kadmium, nitrat dan banyak lainnya) banyak juga yang terlarut di dalam air (Anonim, dalam Rio Santoso 2008). TDS dapat digunakan untuk memperkirakan kualitas air minum, karena mewakili jumlah ion di dalam air. Air dengan TDS tinggi seringkali memiliki rasa yang buruk dan atau kesadahan air tinggi. Walaupun TDS umumnya dianggap bukan sebagai polutan utama (misalnya tidak dianggap terkait dengan efek kesehatan), tetapi digunakan sebagai indikasi karakteristik estetika air minum dan sebagai indikator agregat kehadiran array yang luas dari kontaminan kimia. Adapun dampak dari Total Dissolved Solid (TDS) adalah (Mahadmika, 2010): 1. Dampak terhadap lingkungan a. Kandungan TDS dapat berdampak buruk pada lingkungan, terutama

dapat menghambat resapan air dalam tanah dengan cara menutupi pori-pori. b. Padatan tersuspensi akan mengurangi penetrasi sinar matahari ke dalam air, yaitu mempengaruhi degenerasi oksigen serta fotosintesis. 14

2. Dampak terhadap kesehatan TDS tidak berdampak langsung pada kesehatan karena efek kandungan TDS di dalam air adalah memberi rasa pada air, yaitu air menjadi seperti garam. Sehingga jika air yang tidak sengaja mengandung TDS terminum, maka akan terjadi akumulasi garam di dalam ginjal manusia dalam waktu lama. Sehingga lama kelamaan akan mempengaruhi fungsi fisiologis ginjal. 2.7.2 Metode Gravimetri Pengukuran kadar pedatan terlarut dalam cairan, biasanya menggunakan metode Gravimetri karena keakuratannya bisa sampai 0.0001 gram. Gravimetri merupakan salah satu metode analisis kuantitatif suatu zat atau komponen yang telah diketahui dengan cara mengukur berat komponen dalam keadaan murni setelah melalui proses pemisahan. Analisis gravimetri adalah proses isolasi dan pengukuran berat suatu unsure atau senyawa tertentu. Bagian terbesar dari penetuan secara analisis gravimetri meliputi transformasi unsure atau radikal kesenyawa murni stabil yang dapat segera diubah menjadi bentuk yang dapat ditimbang dengan teliti. Metode gravimetric memakan waktu yang cukup lama, adanya pengotor pada konstituen dapat diuji dan bila perlu factor-faktor koreksi dapat digunakan. Zat ini mempunyai ion yang sejenis dengan endapan primernya. Postpresipitasi dan kopresipitasi merupakan dua penomena yang berbeda. Sebagai contoh pada postpresipitasi, semakin lama waktunya maka kontaminasi bertambah, sedangkan pada kopresipitasi sebaliknya. Kontaminasi bertambah akibat pengadukan larutan hanya pada postpresipitasi tetapi tidak pada kopresipitasi (Khopkar, 1990). Lebih lanjut Chang menambahkan bahwa analisis gravimetri merupakan suatu teknik analitik yang berdasarkan pada pengukuran massa. Suatu analisis gravimetri melibatkan pembentukan (formasi), isolasi dan penentuan massa endapan. Umumnya prosedur ini digunakan pada senyawa-senyawa ionic. Pertama suatu zat sampel dilarutkan dalam air dan dibiarkan bereaksi dengan zat lain untuk membentuk endapan. Selanjutnya endapan tersebut disaring, dikeringkan dan ditimbang. Dengan mengetahui massa dan rumus kimia endapan yang terbentuk, maka dapat dhitung massa masing-masing komponen (yakni anion dan kation) dari sampel. Sehingga dari massa komponen dan massa sampel dapat ditentukan persen komposisi massa komponen pada senyawa asal (Chang, 1998). Pada metode gravimetri, senyawa yang hendak ditentukan dilarutkan, kemudian diendapkan menjadi endapan yang sukar larut. Dari endapan ini konsentrasi zat yang akan

15

ditetapkan dapat dihitung secara stoikiometri. Oleh karena itu, endapan yang terjadi harus merupakan senyawa dengan kelarutan sekecil mungkin dan mempunyai susunan tertentu dan dapat secara tepat serta mudah dipisahkan dari hasil lainnya. Endapan yang terjadi dapat ditentukan dengan cara penimbangan. Persyaratan analisis gravimetri ini, bahwa bentuk yang ditimbang dapat yang didapat dari pengeringan atau pemijaran endapan mempunyai susunan dan berat molekul yang diketahui. Dengan persyaratan ini, kadar zat yang hendak ditentukan dapat diperoleh secara perbandingan stoikiometri (Roth dan Blaschke, 1988).

2.8 Kesadahan 2.8.1 Kesadahan Air Kesadahan adalah suatu keadaan atau peristiwa terlarutnya ion- ion tertentu di air sehingga menurunkan kualitas air baik secara distribusi maupun penggunaanya. Ion-ion tersebut yaitu Ca2+, Mg2+, Mn2+, Fe2+, Si2+, dan semua kation yang bermuatan 2. Ion-ion mampu bereaksi dengan Sabun untuk Presipirat dan anion-anion yang ada untuk membentuk kerak. Air sadah berarti air yang didalamnya terkandung ion-ion kesadahan. Kesadahan air bervariasi dari satu tempat ke tempat yang lainnya. Kesadahan air permukaan lebih kecil daripada air tanah di daerah kapur, karena pada daerah tanah tersebut banyak terkandung ion Ca2+ dan Mg2+. Berdasarkan sifatnya, air sadah dibagi atas 2,yaitu: a. Kesadahan sementara Air sadah yang mengandung Ca(HCO3)2 atau Mg(HCO2) 2, Air sadah sementara dapat dipisahkan dengan cara pemanasan. Reaksi : Ca(HCO2) 2 Mg(HCO3)2 b. Kesadahan tetap Air sadah yang mengandung MgCl2, CaCl2, MgSO4, CaSO4, dll. Airsadah dapat dihilangkan dengan penambahan natrium karbonat. Reaksi : CaSO4 + NaCO3 MgSO4 + Na2SO3 CaCO3 + Na2SO4 MgCO3 + Na2SO4 CaCO2 + H2O + CO2 MgCO3 + H2O + CO2

Kesadahan air juga dibagi menjadi 2 tipe yaitu: : 16

1. Kesadahan Kalsium dan Magnesium (Kesadahan Total) Kalsium dan magnesium merupakan dua anggota dari kelompok alkali logam. Kedua struktur ini mempunyai struktur elektron dan reaksi kimia yang sama. Besarnya kesadahan kalsium dan magnesium dapat dihitung. 2. Kesadahan Karbonat dan Non Karbonat Kesadahan karbonat ialah bagian kesadahan total yang secara kimia ekivalen terhadap alkalinitas bikarbonat dan karbonat dalam air. Kesadahan non karbonat ialah jumlah kesadahan akibat kelebihan kesadahan karbonat. Jika CaCO3 sebagai alkalinitas dan kesadahan, maka kesadahan karbonat ditentukan sebagai berikut : a. Alkalinitas kesadahan total Kesadahan karbonat (mg/l) = kedadahan total (mg/l) b. Alkalinitas < kesadahan total Kesadahan karbonat (mg/l) = alkalinitas (mg/l) Kesadahan nonkarbonat = kesadahan total kesadahan karbonat kation. Kation kesadahan nonkarbonat berikatan dengan anion-anion sulfat nitrat. (environmental.blogspot, 2009)

2.8.2 Kesadahan Total dan Titrasi Kompleksimetri Kesadahan total adalah jumlah ion-ion Ca2+ dan Mg2+ yang dapat ditentukan melalui titrasi EDTA dan menggunakan indicator yang peka terhadap semua kation tersebut. Kesadahan total dapat juga ditentukan dengan menggunakan jumlah ion Ca2+dan ion Mg2+ yang dianalisa secara terpisah misalnya metode AAS. Titrasi kompleksometri yaitu titrasi berdasarkan pembentukan persenyawaan kompleks (ion kompleks atau garam yang sukar mengion), Kompleksometri merupakan jenis titrasi dimana titran dan titrat saling mengkompleks, membentuk hasil berupa kompleks. Reaksireaksi pembentukan kompleks atau yang menyangkut kompleks banyak sekali dan penerapannya juga banyak, tidak hanya dalam titrasi. Karena itu perlu pengertian yang cukup luas tentang kompleks, sekalipun disini pertama-tama akan diterapkan pada titrasi. Contoh reaksi titrasi kompleksometri : Ag+ + 2 CN- Ag(CN)2 Hg2+ + 2Cl- HgCl2 (Khopkar, 2002).

17

Salah satu tipe reaksi kimia yang berlaku sebagai dasar penentuan titrimetrik melibatkan pembentukan (formasi) kompleks atau ion kompleks yang larut namun sedikit terdisosiasi. Kompleks yang dimaksud di sini adalah kompleks yang dibentuk melalui reaksi ion logam, sebuah kation, dengan sebuah anion atau molekul netral (Basset, 1994). Titrasi kompleksometri juga dikenal sebagai reaksi yang meliputi reaksi pembentukan ion-ion kompleks ataupun pembentukan molekul netral yang terdisosiasi dalam larutan. Persyaratan mendasar terbentuknya kompleks demikian adalah tingkat kelarutan tinggi. Selain titrasi komplek biasa seperti di atas, dikenal pula kompleksometri yang dikenal sebagai titrasi kelatometri, seperti yang menyangkut penggunaan EDTA. Gugus-yang terikat pada ion pusat, disebut ligan, dan dalam larutan air, reaksi dapat dinyatakan oleh persamaan : M(H2O)n + L = M(H2O)(n-1) L + H2O (Khopkar, 2002). Asam etilen diamin tetra asetat atau yang lebih dikenal dengan EDTA, merupakan salah satu jenis asam amina polikarboksilat. EDTA sebenarnya adalah ligan seksidentat yang dapat berkoordinasi dengan suatu ion logam lewat kedua nitrogen dan keempat gugus karboksil-nya atau disebut ligan multidentat yang mengandung lebih dari dua atom koordinasi per molekul, misalnya asam 1,2-diaminoetanatetraasetat (asametilenadiamina tetraasetat, EDTA) yang mempunyai dua atom nitrogen penyumbang dan empat atom oksigen penyumbang dalam molekul (Rival, 1995). Suatu EDTA dapat membentuk senyawa kompleks yang mantap dengan sejumlah besar ion logam sehingga EDTA merupakan ligan yang tidak selektif. Dalam larutan yang agak asam, dapat terjadi protonasi parsial EDTA tanpa pematahan sempurna kompleks logam, yang menghasilkan spesies seperti CuHY-. Ternyata bila beberapa ion logam yang ada dalam larutan tersebut maka titrasi dengan EDTA akan menunjukkan jumlah semua ion logam yang ada dalam larutan tersebut (Harjadi, 1993). Selektivitas kompleks dapat diatur dengan pengendalian pH, misal Mg, Ca, Cr, dan Ba dapat dititrasi pada pH = 11 EDTA. Sebagian besar titrasi kompleksometri mempergunakan indikator yang juga bertindak sebagai pengompleks dan tentu saja kompleks logamnya mempunyai warna yang berbeda dengan pengompleksnya sendiri. Indikator demikian disebut indikator metalokromat. Indikator jenis ini contohnya adalah Eriochrome black T; pyrocatechol violet; xylenol orange; calmagit; 1-(2-piridil-azonaftol), PAN, zincon, asam salisilat, metafalein dan calcein blue (Khopkar, 2002). 18

Satu-satunya ligan yang lazim dipakai pada masa lalu dalam pemeriksaan kimia adala ion sianida, CN-, karena sifatnya yang dapat membentuk kompleks yang mantap dengan ion perak dan ion nikel. Dengan ion perak, ion sianida membentuk senyawa kompleks perak-sianida, sedagkan dengan ion nilkel membentuk nikel-sianida. Kendala yang membatasi pemakaian-pemakaian ion sianoida dalam titrimetri adalah bahwa ion ini membentuk kompleks secara bertahap dengan ion logam lantaran ion ini merupakan ligan bergigi satu (Rival, 1995). Titrasi dapat ditentukan dengan adanya penambahan indikator yang berguna sebagai tanda tercapai titik akhir titrasi. Ada lima syarat suatu indikator ion logam dapat digunakan pada pendeteksian visual dari titik-titik akhir yaitu reaksi warna harus sedemikian sehingga sebelum titik akhir, bila hampir semua ion logam telah berkompleks dengan EDTA, larutan akan berwarna kuat. Kedua, reaksi warna itu haruslah spesifik (khusus), atau sedikitnya selektif. Ketiga, kompleks-indikator logam itu harus memiliki kestabilan yang cukup, kalau tidak, karena disosiasi, tak akan diperoleh perubahan warna yang tajam. Namun, kompleks-indikator logam itu harus kurang stabil dibanding kompleks logam-EDTA untuk menjamin agar pada titik akhir, EDTA memindahkan ion-ion logam dari kompleks-indikator logam ke kompleks logam-EDTA harus tajam dan cepat. Kelima, kontras warna antara indikator bebas dan kompleks-indikator logam harus sedemikian sehingga mudah diamati. Indikator harus sangat peka terhadap ion logam (yaitu, terhadap pM) sehingga perubahan warna terjadi sedikit mungkin dengan titik ekuivalen. Terakhir, penentuan Ca dan Mg dapat dilakukan dengan titrasi EDTA, pH untuk titrasi adalah 10 dengan indikator eriochrome black T. Pada pH tinggi, 12, Mg(OH)2 akan mengendap, sehingga EDTA dapat dikonsumsi hanya oleh Ca2+ dengan indikator murexide (Basset, 1994). Kesulitan yang timbul dari kompleks yang lebih rendah dapat dihindari dengan penggunaan bahan pengkelat sebagai titran. Bahan pengkelat yang mengandung baik oksigen maupun nitrogen secara umum efektif dalam membentuk kompleks-kompleks yang stabil dengan berbagai macam logam. Keunggulan EDTA adalah mudah larut dalam air, dapat diperoleh dalam keadaan murni, sehingga EDTA banyak dipakai dalam melakukan percobaan kompleksometri. Namun, karena adanya sejumlah tidak tertentu air, sebaiknya EDTA distandarisasikan dahulu misalnya dengan menggunakan larutan kadmium (Harjadi, 1993).

19

2.7.3 Dampak Negatif Air Sadah Air sadah membawa dampak negatif, yaitu: - Menyebabkan sabun tak berbusa karena adanya hubungan kimiawi antara kesadahan dengan molekul sabun sehingga sifat deterjen sabun hilang dan pemakaian sabun jadi lebih boros. - Menimbulkan kerak pada ketel yang dapat menyumbat katup-katup ketel karena terbentuknya endapan kalsium karbonat pada dinding atau katup ketel. Akibatnya hantaran panas pada ketel ait berkurang sehingga memboroskan bahan bakar.(www. Chemistry.org)

20

BAB III METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan bulan Oktober sampai November 2012 di Laboratorium Kimia FKIP Universitas Mataram. Metode yang digunakan dalam analisis merupakan metode standar nasional indonesia (SNI) tahun 2004.

3.2 Sampel Sampel berupa air minum depot isi ulang dan air minum dalam kemasan yang diambil secara random (acak) di wilayah Mataram.

3.3 Alat, Bahan, dan Prosedur Kerja 3.3.1 Penentuan pH Alat yang digunakan adalah pH-meter Bahan a. Larutan buffer pH 4 (Ditimbang 10,12 gr kalium hidrogen ptalat, KHC8H4O4, dilarutkan dalam 1000 mL air suling). b. Larutan buffer pH 7 (Ditimbang 3,387 gr kalium dihidrogen fosfat, KH2PO4 dan 3,533 gr dinatrium hidrogen fosfat, Na2HPO4, dilarutkan dalam 1000 mL air suling). c. Larutan buffer pH 10 (Ditimbang 2,092 gr natrium hidrogen karbonat, NaHCO3 dan 2,640 gr natrium karbonat, Na2CO3, dilarutkan dalam 1000 mL air suling). Prosedur a. Kalibrasi pH-meter 1. Untuk peralatan ini sediakan 3 jenis larutan buffer yaitu : larutan buffer pH 4, pH 7 dan pH 10. 2. Dihubungkan elektroda dengan meter, dan dihidupkan meter dengan menekan/menggeser switch pada posisi ON. 3. Dicelupkan elektroda ke dalam larutan buffer pH 4 dan baca skala/angka yang ditunjukkan oleh meter (biasaya larutan perlu diaduk selama pengukuran secara perlahan-lahan). 21

4. Jika angka yang ditunjukkan tidak sama dengan pH buffer (dalam hal ini pH 4) putar tombol kalibrasi hingga angka yang ditunjukkan tepat = 4, bersihkan elektroda dengan aquadest dan keringkan dengan kertas tissue. 5. Diulangi kalibrasi dngan menggunakan larutan buffer pH 7 dan pH 10. b. Pengukuran pH sampel 1. Dicelupkan elektroda pH-meter ke dalam larutan sampel yang akan dianalisa. 2. Dibaca petunjuk angka pada pH-meter. 3. Diulangi langkah kerja (1) sampai (2) sebanyak 3x untuk tiap-tiap sampel

3.3.2 Penentuan Kadar Klorida Alat a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k. Buret 50 ml Statif dan Klem Corong pH meter Labu Erlenmeyer Labu Takar Gelas Kimia Pipet Tetes Pipet Volume Batang Pengaduk Neraca Analitik

Bahan a. b. c. d. e. f. g. h. Larutan AgNO3 0.01 N Larutan NaCl 0.01 N Air sampel NaOH 1 N H2SO4 1 N K2CrO4 (l) 5% Aquadest Aluminium Foil

22

Prosedur Kerja

a. Pembuatan larutan AgNO3 0.01 N 1. Ditimbang AgNO3 sebanyak 1.6987 gr 2. Dilarutkan dalam gelas kimia sedikit demi sedikit kemudian dituang ke dalam labu ukur 3. Diisi aquadest hingga tepat pada volume 500 ml Perhitungan massa AgNO3 yang ditimbang:

b. Pembuatan larutan NaCl 0.01 N 1. Ditimbang 0.29225 gr NaCl 2. Dilarutkan dalam gelas kimia sedikit demi sedikit kemudian dituang ke dalam labu ukur 3. Diisi aquadest hingga tepat pada volume 500 ml Perhitungan massa NaCl yang ditimbang:

c. Pembuatan indikator K2CrO4 5% 1. Ditimbang 5 gr K2CrO4 2. Dilarutkan dengan aquadest sampai volume 100 ml Perhitungan massa K2CrO4 yang ditimbang:

23

d. Standarisasi AgNO3 dengan NaCl 0.01 N 1. Dibilas bagian dalam buret dengan aquadest 2. Dibilas kembali bagian dalam buret dengan larutan baku sekunder AgNO3 3. Diisi buret dengan larutan baku AgNO3 hingga tanda batas nol 4. Diambil 25 ml larutan NaCl 0.01 N dengan pipet volume dan dimasukkan ke dalam Erlenmeyer 5. Ditambahkan indikator K2CrO4 5% sebanyak 2-3 tetes 6. Dititrasi dalam larutan baku AgNO3 hingga terjadi perubahan warna (terbentuk endapan merah bata muda) 7. Diulangi sebanyak 3 kali dan dihitung volume rata-rata AgNO3 yang dibutuhkan untuk titrasi 8. Dilakukan titrasi blanko dengan mengganti larutan NaCl dengan larutan blanko (aquadest) dan dititrasi menggunakan AgNO3 e. Penentuan kadar klorida pada sampel 1. Diambil 100 ml sampel air dengan pipet volume dan dimasukkan ke dalam Erlenmeyer, diukur pH sampel 2. Ditambahkan NaOH 1 N atau H2SO4 1 N sampai suasana netral atau sedikit basa, diukur kembali pH sampel 3. Ditambahkan indicator K2CrO4 5% sebanyak 2-3 tetes 4. Dititrasi menggunakan larutan AgNO3 hingga terbentuk endapan merah bata muda 5. Diulangi sebanyak 3 kali dan dihitung volume rata-rata AgNO3 yang dibutuhkan untuk titrasi 6. Diulangi langkah kerja (1) sampai (5) menggunakan sampel yang berbeda e. Titrasi larutan blanko 1. Diambil 100 ml aquadest dengan pipet volume, dimasukkan ke dalam erlenmeyer dan diukur pH nya 2. Ditambahkan NaOH 1 N atau H2SO4 1 N sampai suasana netral atau sedikit basa, diukur kembali pH sampel 3. Ditambahkan indicator K2CrO4 5% sebanyak 2-3 tetes 4. Dititrasi kembali dengan menggunakan larutan AgNO3 hingga terbentuk endapan merah bata muda

24

5. Diulangi titrasi sebanyak 3 kali dan dihitung volume rata-rata AgNO3 yang dibutuhkan untuk titrasi

3.3.3 Penentuan Residu Terlarut (TDS) Alat

a. Neraca analitik b. Cawan porselin c. Corong d. Oven e. Penjepit kertas saring f. Penjepit cawan g. Hot Plate h. Pipet i. Desikator Bahan

a. Kertas saring Wathman b. Aquadest c. Air sampel

Prosedur Kerja

a. Persiapan Kertas Saring b. Persiapan Cawan 1. Dipanaskan cawan yang telah bersih pada suhu 180C 2C selama 1 jam di dalam oven 2. Dipindahkan cawan dari oven dengan penjepit dan didinginkan dalam desikator 3. Setelah dingin, segera ditimbang dengan neraca analitik 4. Diulangi langkah (1) sampai (3) sehingga diperoleh berat tetap cawan (dicatat sebagai A gram) c. Pengujian Padatan Terlarut Total 1. Dimasukkan kertas saring ke dalam corong dan ditempatkan di atas labu Erlenmeyer atau gelas kimia 2. Dikocok sampel sampai homogen dan dipipet sebanyak 50 sampai 100 ml 3. Disaring larutan sampel dengan kertas saring 25

4. Dipindahkan seluruh hasil saringan ke dalam cawan 5. Dipanaskan di atas hot plate sehingga volume sampel tersisa 25 ml 6. Dimasukkan cawan yang berisi padatan terlarut yang sudah kering ke dalam oven pada suhu 180C 2C sampai semua cairannya menguap 7. Dipindahkan cawan dari oven dengan penjepit dan didinginkan dalam desikator 8. Setelah dingin, segera ditimbang dengan neraca analitik 9. Diulangi langkah (1) sampai (10) sebanyak 3x sehingga diperoleh berat tetap (catat sebagai B gram)

3.3.4 Penentuan Kesadahan Air Alat

a. buret 50 mL; b. labu Erlenmeyer 250 dan 500 mL; c. labu ukur 250 dan 500 mL; d. gelas ukur 50, 100 mL; e. pipet volume 10 dan 50 mL; f. pipet ukur 10 mL; g. sendok sungu; h. alat pengukur pH; i. pengaduk gelas; j. pemanas listrik; k. neraca analitik; l. gelas arloji; m. statif dan klem Bahan

a. Indicator Eriochrome Black T (EBT) b. Indikator Metil Merah c. NaCl d. CaCO3 e. (Na2EDTA 2H2O = C10H14N2Na2O8.2H2O) f. MgSO4.7H2O g. NH4Cl h. NH4OH 26

i. HCl j. Aquadest

Prosedur Kerja

Persiapan Larutan a) Indikator Eriochrome Black T (EBT) 1 . Ditimbang 200 mg EBT dan 100 gr kristal NaCl, kemudian dicampur. 2 . Digerus campuran tersebut hingga mempunyai ukuran 40 mesh sampai dengan 50 mesh. 3 . Disimpan dalam botol yang tertutup rapat. b) Larutan penyangga pH 10 + 0,1 (i) Dilarutkan 1,179 gr Na2EDTA dihidrat dan 780 mg magnesium sulfat penta hidrat (MgSO4.7H2O) atau 644 mg magnesium klorida heksa hidrat (MgCl2.6H2O) dalam 50 mL aquadest. (ii) Ditambahkan larutan tersebut ke dalam 16,9 gr NH4Cl dan 143 mL NH4OH pekat, sambil dilakukan pengadukan. (iii) Dincerkan dengan air suling hingga volumenya menjadi 250,0 mL. c) Larutan standar kalsium karbonat (CaCO3) 0,01 M (1,0 mg/mL) 1. Ditimbang 1,0 g CaCO3 anhidrat, masukkan ke dalam labu erlenmeyer 500 mL. 2. Dilarutkan dengan sedikit asam klorida (HCl) 1 : 1, tambah dengan 200 mL aquadest. 3. Didihkan beberapa menit, untuk menghilangkan CO2, lalu dinginkan. 4. Setelah dingin, ditambahkan beberapa tetes indikator metil merah. 5. Ditambahkan NH4OH 3 N atau HCl 1 : 1 sampai terbentuk warna orange. 6. Dipindahkan secara kuantitaif ke dalam labu ukur 1000 mL, kemudian tepatkan sampai tanda tera. d) Larutan baku dinatrium etilen diamin tetra asetat dihidrat (Na2EDTA 2H2O = C10H14N2Na2O8.2H2O) 0,01 M Dilarutkan 1.86 gr Na2EDTA dihidrat dengan aquadest di dalam labu ukur 500 mL, tepatkan sampai tanda tera. 27

Standarisasi Larutan Na2EDTA 0,01 M 1. D i p ipet 10,0 mL larutan standar CaCO3 0,01 M, dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer 250 mL 2. Ditambah 40 mL aquadest dan 1 mL larutan penyangga pH 10 + 0,1 3. Diambahkan seujung spatula 30 mg sampai dengan 50 mg indikator EBT 4. Dititrasi dengan larutan Na2EDTA 0,01 M sampai terjadi perubahan warna dari merah keunguan menjadi biru. 5. Dicatat volume larutan Na2EDTA yang digunakan. Penentuan Kesadahan Total 1. Diambil 25 mL sampel, d i masukkan ke dalam labu erlenmeyer 250 mL, diencerkan dengan aquadest sampai volume 50 mL. 2. Ditambahkan 1 mL sampai dengan 2 mL larutan penyangga pH 10 + 0,1. 3. Ditambahkan seujung spatula 30 mg sampai dengan 50 mg indikator EBT. 4. Dilakukan titrasi dengan larutan baku Na2EDTA 0,01 M secara perlahan sampai terjadi perubahan warna merah keunguan menjadi biru. 5. Dicatat volume larutan baku Na2EDTA yang digunakan. 6. Diulangi titrasi tersebut 3 kali, kemudian dirata-ratakan volume Na2EDTA yang digunakan.

3.4 Analisis Data 3.4.1 Penentuan pH

3.4.2 Penentuan Kadar Klorida Normalitas NaCl

Standarisasi larutan AgNO3

28

Kadar klorida (Cl-) pada sampel

A = volume larutan baku AgNO3 untuk titrasi sampel (ml) B = volume larutan baku AgNO3 untuk titrasi blanko (ml) N = normalitas larutan baku AgNO3 (N) V = volume sampel (ml) 3.4.3 Penentuan Kadar Padatan Terlarut Total (TDS)

A= berat tetap cawan kosong setelah pemanasan 180C B= berat tetap cawan berisi padatan terlarut total setelah pemanasan 180C 3.4.4 Penentuan Kesadahan Total a. Standarisasi Larutan Na2EDTA 0,01 M dihitung molaritas Na2EDTA dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

MEDTA = molaritas larutan baku Na2EDTA (mmol/mL) VEDTA = volume rata-rata larutan baku Na2EDTA mL) VCaCO3 = volume larutan CaCO3 (mL) M CaCO3 = molaritas CaCO3 yang digunakan (mmol/L) b. Penentuan Kesadahan Total ( dimana : V EDTA V EDTA MEDTA
(a) (b)

= volume rata-rata Na2EDTA untuk titrasi kesadahan total (mL) = volume rata-rata Na2EDTA untuk titrasi kalsium (mL) = molaritas larutan baku Na2EDTA (mmol/mL)

Mr CaCO = berat molekul CaCO3 (100 gr/mol)

29

BAB IV HASIL PENELITIAN

4.1 Penentuan pH Pengukuran pH menggunakan pH meter yang telah dikalibrasi dengan larutan buffer pH 4, 7, dan 10. Pengukuran pH dilakukan pada sampel AMIU dan AMDK masing-masing sebanyak 3 kali pengulangan, sehingga diperoleh hasil sebagai berikut : Ulangan Ke 1 2 3 Rata-Rata 4.2 Penentuan Kadar Klorida Penentuan kadar klorida menggunakan metode argentometri mohr, dimana larutan perak nitrat AgNO3 sebagai larutan standarnya. Sebelum dilakukan pengujian pada sampel, larutan AgNO3 distandarisasi dengan larutan NaCl. Pada titik akhir titrasi diperoleh perubahan warna larutan dari kuning bening menjadi merah bata, dimana volume AgNO3 yang dibutuhkan sebesar 26.8 ml sedangkan untuk titrasi blanko diperoleh volume AgNO3 sebesar 1 ml. Selanjutnya dari hasil tersebut, diperoleh konsentrasi AgNO3 sebesar 0.00998 N mendekati 0.01 N. Selanjutnya dilakukan pengujian pada sampel AMIU dan AMDK menggunakan larutan AgNO3 yang telah distandarisasi sampai terjadi perubahan warna larutan sama seperti saat standarisasi, yaitu dari kuning bening menjadi merah bata. Berikut tabel rincian volume AgNO3 yang dibutuhkan untuk titrasi: Volume AgNO3 (ml) Ulangan Ke 1 2 3 Rata-Rata Sampel AMIU 4.2 4.2 4.1 4.17 Sampel AMDK 3.4 3.3 3.4 3.37 Blanko 1.7 1.8 1.8 1.77 Sampel AMIU 6.61 6.62 6.63 6.62 Sampel AMDK 7.33 7.31 7.32 7.32

Berdasarkan hasil analisis data, diperoleh kadar klorida (Cl-) pada AMIU sebesar 0.0083 mg/L, sedangkan pada AMDK diperoleh sebesar 0.0055 mg/L (Lampiran 2).

30

4.3 Penentuan Kadar Padatan Terlarut Total (TDS) Penentuan kadar padatan terlarut (TDS) menggunakan metode gravimetri yang terdiri dari beberapa tahap yaitu pemurnian cawan, penyaringan sampel, pemanasan, pengovenan, dan pendinginan. Hasil penyaringan sampel ditempatkan pada cawan dan melalui serangkaian proses sehingga diperoleh hasil akhir berupa padatan kristal berwarna putih yang merupakan padatan terlarut. Adapun berat padatan terlarut dihitung sebagai selisih berat cawan yang berisi padatan terlarut dengan berat cawan murni. Berikut tabel rincian berat padatan terlarut pada sampel AMIU dan AMDK sebanyak 3 kali pengulangan: Sampel Ulangan ke1 2 3 1 2 3 Berat Cawan Berat Cawan Murni (gr) + Padatan Terlarut (gr) 60.825 60.872 57.655 57.695 60.837 60.877 Rata-Rata 48.333 48.356 45.275 45.295 48.334 48.353 Rata-Rata Berat Padatan Terlarut (gr) 0.047 0.040 0.040 0.042 0.023 0.020 0.019 0.020 Kadar Padatan Terlarut (mg/L) 420 mg/L

AMIU

AMDK

200 mg/L

Berdasarkan hasil analisis data, diperoleh kadar padatan terlarut (TDS) pada sampel AMIU sebesar 420 mg/L, sedangkan pada sampel AMDK sebesar 200 mg/L (Lampiran 2). 4.4 Penentuan Kesadahan Total Penentuan kesadahan total menggunakan metode titrasi kompleksometri, dimana larutan natrium etilen diamin tetra asetat Na2EDTA digunakan sebagai larutan standarnya. Sebelum dilakukan pengujian kadar kesadahan pada sampel, terlebih dahulu larutan Na2EDTA distandarisasi dengan larutan CaCO3. Pada titik akhir titrasi diperoleh perubahan warna larutan dari merah anggur menjadi biru, dimana rata-rata volume Na2EDTA yang dibutuhkan sebesar 11.17 ml. Selanjutnya dari hasil tersebut, diperoleh konsentrasi Na2EDTA sebesar 0.00904 M mendekati 0.01 M. Selanjutnya dilakukan pengujian kesadahan pada sampel AMIU dan AMDK menggunakan larutan Na2EDTA yang telah distandarisi sampai terjadi perubahan 31

warna larutan sama seperti saat standarisasi, yaitu dari merah anggur menjadi biru. Berikut tabel rincian volume Na2EDTA yang dibutuhkan untuk titrasi: Ulangan Ke 1 2 3 Rata-Rata Volume Na2EDTA (ml) Sampel AMIU Sampel AMDK 2.7 1.3 2.8 1.4 2.6 1.2 2.7 1.3

Berdasarkan hasil analisis data, diperoleh kadar kesadahan total pada AMIU sebesar 97.632 mg/L, sedangkan pada AMDK diperoleh sebesar 47.008 mg/L (Lampiran 2).

32

BAB V PEMBAHASAN

Kualitas air minum menjadi persyaratan penting layak tidaknya air minum untuk dikonsumsi. Air minum yang sehat akan menunjang proses-proses metabolisme di dalam tubuh. Menurut Permenkes RI No.907/Menkes/SK/VII/2002, air minum yang sehat harus memenuhi berbagai persyaratan baik secara fisik maupun kimia. Dalam penelitian dilakukan analisis air minum secara kimia pada sampel air minum isi ulang (AMIU) dan air minum dalam kemasan (AMDK). Adapun parameter yang dianalisis berupa parameter pH, klorida(Cl-), padatan terlarut(TDS), dan kesadahan total. pH merupakan tingkat keasaman suatu larutan yang diukur pada skala 0-14. pH menunjukkan kualitas air. pH yang ideal untuk air minum adalah pH netral yaitu pH 7. Menurut Permenkes, pH yang baik untuk air minum adalah pH yang berada disekitar pH netral yaitu pada rentang 6.5-8.0. Pada pH netral disosiasi molekul menghasilkan ion-ion H+ dan OH- yang sama H2O H+ + OHPada penelitian ini, pengukuran pH digunakan pH meter dimana alat dikalibrasi terlebih dahulu pada pH buffer asam (4), pH netral (7), dan pH basa (10) dengan tujuan untuk memperoleh hasil pengukuran pH yang tepat pada sampel. Dilakukan pengulangan pengukuran sebanyak 3 kali dan diperoleh pH rata-rata untuk sampel AMIU adalah 6.62 dan pH rata-rata untuk sampel AMDK adalah 7.32. keduanya memenuhi persyaratan pH yang telah ditetapkan oleh Permenkes RI. Apabila dibandingkan, pH AMDK lebih mendekati pH netral daripada AMIU, sedangkan pH AMIU sedikit mendekati asam. Perbedaan ini disebabkan adanya perbedaan sumber air karena baik AMIU dan AMDK diperoleh dari sumber yang berbeda-beda. AMIU berasal dari air PDAM yang telah diolah. Air PDAM sebagian besar berasal dari air sumur bor yang merupakan air tanah. pH AMIU sedikit mendekati asam kemungkinan disebabkan karena adanya sumbangan zat asam dari air hujan dan limbah industri yang terserap ke dalam tanah, sedangkan aliran air tanah berjalan secara lambat sehingga masih terjadi penumpukan gas-gas kimia yang mengandung asam dan terjadi peningkatan kadar ion hydrogen sehingga pH air sedikit mendekati asam. Sedangkan AMDK berasal dari mata air pegunungan yang masih bersifat steril, kemungkinan belum terkontaminasi dengan zat kimia yang bersifat asam. Selain itu air pegunungan mengalir secara continue, menghasilkan oksigen melalui riak-riak kecil 33

hasil aliran air. Sirkulasi air yang terus-menerus membantu pelarutan kadar keasaman sehingga apabila terdapat sumbangan zat asam dari air hujan, maka oksigen yang dihasilkan dari riak air dapat mengikat kelebihan ion hydrogen untuk membentuk molekul air lainnya sehingga tingkat keasaman berkurang. Itulah sebabnya mendekati pH netral daripada pH AMIU. Selanjutnya dilakukan analisis kualitas air minum menggunakan parameter klorida (Cl-). Klorida merupakan ion anorganik yang banyak terkandung dalam air yang berfungsi sebagia desinfektan atau pembunuh kuman atau bakteri dalam air. Klorida dapat digunakan sebagai parameter penentu kualitas air minum, semakin tinggi kadar klorida maka air semakin asin dan semakin rendah kualitasnya. Berdasarkan Permenkes RI kadar maksimal klorida yang diperbolehkan dalam air minum adalah sebesar 250 mg/L. Pada penelitian ini, pengukuran kadar klorida pada sampel menggunakan metode titrasi Argentometri Mohr yang menggunakan larutan perak nitrat (AgNO3) sebagai larutan standarnya. Sebelum dilakukan pengukuran kadar klorida menggunakan larutan AgNO3, maka larutan AgNO3 tersebut distandarisasi terlebih dahulu untuk mengetahui tepat tidaknya konsentrasi AgNO3 yang telah dibuat sehingga efektif digunakan untuk mengukur kadar klorida pada sampel. Sampel ditirasi dengan larutan AgNO3 dan digunakan indicator K2CrO4 untuk menunjukkan perubahan warna pada titik akhir titrasi. Menurut hasil pengamatan, pada titik akhir titrasi terjadi perubahan warna larutan dari kuning bening menjadi merah bata. Pada proses titrasi, terjadi pengendapan bertingkat dimana larutan standar AgNO3 mengendap terlebih dahulu dengan sampel klorida membentuk endapan AgCl dan larutan NaNO3, kemudian setelah semua klorida mengendap secara sempurna, selanjutnya AgNO3 mengendap dengan indicator K2CrO4 yang dapat mengendapkan ion perak Ag+ menjadi endapan perak kromat Ag2CrO4, menurut reaksi sebagai berikut : AgNO3(aq)+ NaCl(aq) 2 AgNO3(aq)+ K2CrO4(aq) AgCl(s) + NaNO3(aq) Ag2CrO4(s) + 2KNO3(aq) pH AMDK lebih

Pada saat titik akhir titrasi, jumlah ekivalen zat penitrasi (AgNO3) sama dengan jumlah ekivalen zat yang dititrasi (NaCl) sehingga dari volume AgNO3 yang dibutuhkan untuk mencapai titik akhir titrasi, dapat ditentukan kadar kloridanya (Cl-). Berdasarkan hasil pengamatan, diperoleh rata-rata volume AgNO3 yang dibutuhkan untuk mencapai titik ekivalen pada sampel AMIU sebesar 4.17 ml dan pada AMDK sebesar 3.37 ml. Dari hasil analisis data kadar klorida yang terdapat pada sampel AMIU dan AMDK sangat kecil. Pada AMIU kadar klorida diperoleh sebesar 0.0083 mg/L, artinya dalam 1000 ml 34

atau 1 L sampel AMIU mengandung klorida sebesar 0.0083 mg. Sedangkan pada AMDK diperoleh sebesar 0.0055 mg/L, artinya dalam sampel AMDK mengandung klorida sebesar 0.0055 mg dalam 1000 ml. Baik AMIU maupun AMDK masih memenuhi persyaratan kualitas air minum menurut Permenkes RI karena kadar kloridanya masih dibawah kadar klorida maksimum yang diperbolehkan (250 mg/L). Itu artinya AMIU dan AMDK memiliki kualitas air minum yang baik. Namun apabila dibandingkan kadar klorida pada AMIU lebih besar daripada AMDK. Hal ini kemungkinan disebabkan karena pada air minum isi ulang (AMIU) lebih banyak mendapat perlakuan klorinasi yakni penambahan klorida untuk membunuh kuman/bakteri. Selain terjadi pada pengolahan AMIU itu sendiri, proses klorinasi juga dilakukan pada pengolahan air PAM sebagai sumber AMIU. Dengan demikian AMIU lebih banyak mengalami proses klorinasi daripada AMDK yang sumbernya langsung dari mata air pegunungan tanpa adanya proses klorinasi sebelum diolah menjadi AMDK. Proses klorinasi memberikan sumbangan terhadap kandungan klorida pada air minum. Itulah sebabnya kadar klorida pada AMIU lebih besar daripada AMDK. Selanjutnya dilakukan pengukuran padatan terlaut (total dissolve solid/TDS). Padatan terlarut (TDS) merupakan bahan-bahan terlarut dalam air (baik itu zat organic maupun anorganik), mineral ataupun garam yang tidak tersaring dengan kertas saring milipore dengan ukuran pori 0.45 . Adapun bahan organic dapat berasal dari daun,

lumpur, plankton, limbah industry dll, sedangkan bahan anorganik berasal dari batuan udara yang mengandung kalsium, magnesium, nitrogen, besi posfor, sulfur, dll. Air minum yang baik hendaknya air minum yang mengandung sedikit TDS karena TDS mewakili jumlah ion di dalam air. Air dengan TDS yang tinggi memiliki rasa yang tidak enak. Berdasarkan Permenkes RI kadar maksimal TDS yang diperbolehkan dalam air minum adalah sebesar 1000 mg/L. Pada penelitian ini, pengukuran TDS menggunakan metode gravimetri yaitu metode analisa kuantitatif suatu zat atau komponen dengan cara mengukur berat komponen dalam keadaan murni setelah melalui proses pemisahan. Untuk memperoleh padatan terlarut dari sampel, maka dilakukan penyaringan pada sampel menggunakan kertas saring berukuran 0.45 . Untuk menampung hasil saringan yang berisi air dan padatan terlarut digunakan

cawan yang sebelumnya sudah dicuci dan dipanaskan dalam oven sehingga diperoleh cawan yang benar-benar murni dan terbebas dari debu yang sekiranya dapat mempengaruhi berat padatan terlarut setelah ditampung dalam cawan. Selanjutnya 35

dilakukan proses pemanasan dan pengovenan pada hasil saringan dengan tujuan agar air dapat menguap sehingga yang tersisa adalah padatan terlarut (TDS). Hasil akhir yakni padatan terlarut yang berupa kristal putih. Berdasarkan hasil pengamatan, setelah dilakukan 3 kali pengulangan untuk diperoleh berat padatan terlarut yang berbeda pada AMIU dan AMDK. Rata-rata berat padatan terlarut untuk AMIU adalah sebesar 0.042 gr dan untuk AMDK sebesar 0.020 gr. Berdasarkan hasil analisis data diperoleh kadar padatan terlarut (TDS) pada AMIU sebesar 420 mg/L, artinya dalam 1000 ml atau 1 L sampel AMIU mengandung padatan terlarut sebesar 420 mg. Sedangkan pada AMDK sebesar 200 mg/L, artinya sampel AMDK mengandung padatan terlarut sebesar 200 mg dalam 1000 ml. Kadar padatan terlarut (TDS) masih memenuhi persyaratan kualitas air minum oleh Permenkes RI karena masih dibawah kadar maksimal yang diperbolehkan yaitu 1000 mg/L. Hal ini disebabkan karena proses pengolahan AMIU dan AMDK tergolong baik, dimana kualitas mesin dan proses penggantian alat serta penggunaanya masih dalam jangka waktu sesuai masa pakai. Namun apabila dibandingkan kadar TDS AMIU lebih besar daripada AMDK. Hal ini disebabkan karena perbedaan sumber air dan proses pendistribusiannya. Pada AMIU menggunakan sumber air PAM yang kemungkinan terkontaminasinya dengan bahan-bahan organic maupun anorganik lebih besar daripada AMDK yang diperoleh dari sumber mata air pengunungan yang masih murni. Selain itu pada AMIU, proses pendistribusian lebih panjang daripada AMDK karena pada AMIU perlu didistribusikan terlebih dahulu pada depot-depot sebelum akhirnya ke konsumen. Akibatnya kemungkinan air untuk terkontaminasi dengan tangki-tangki pengangkut dan wadah penyimpanan air pada depot AMIU lebih besar daripada AMDK sehingga padatan terlarut pada AMIU lebih besar daripada AMDK. Disamping itu juga adanya padatan terlarut pada AMIU diindikasikan juga berasal dari higinis sanitasi yang masih kurang baik dari galon yang dibawa konsumen serta proses pembersihan yang kurang sempurna pada depot AMIU. Pada umunmya masyarakat kurang memperhatikan kebersihan galon yang dibawa ke depot isi ulang. Galon yang kurang bersih mengindikasikan adanya padatan terlarut didalamnya, walaupun pada depot AMIU galon yang hendak diisi dibersihkan terlebih dahulu, namun proses pembersihannya masih kurang sempurna. Sedangkan pada AMDK digunakan kemasan galon yang masih steril karena belum dipakai sebelumnya. Hal ini menyebabkan kandungan padatan terlarut pada AMDK lebih kecil daripada AMIU. Parameter terakhir yang dianalisis untuk menentukan kualitas air minum adalah kesadahan. Kesadahan merupakan suatu keadaan atau peristiwa terlarutnya ion-ion tertentu 36

di air sehingga menurunkan kualitas air baik secara distribusi maupun penggunaannya. Ion-ion tersebut berupa ion Ca2+, Mg2+, Mn2+, Fe2+, Si2+ dll. Berdasarkan Permenkes RI, kadar maksimal kesadahan yang diperbolehkan dalam air minum adalah 500 mg/L. Dalam penelitian ini kadar kesadahan yang diukur adalah kadar kesadahan total yaitu kesadahan kalsium (Ca2+) dan magnesium (Mg2+). Adapun metode yang digunakan untuk mengukur kadar kesadahan yaitu metode titrasi kompleksometri yaitu titrasi berdasarkan pembentukan persenyawaan kompleks (ion kompleks atau garam yang sukar mengion). Pada metode titrasi ini, digunakan larutan natrium etilen diamin tetra asetat Na2EDTA sebagai larutan standarnya karena memiliki beberapa kelebihan antara lain, dapat bereaksi cepat dengan banyak jenis ion logam, selalu membentuk kompleks ketika direaksikan dengan ion logam, kestabilannya dalam membentuk kelat sangat konstan sehingga reaksi berjalan sempurna. Sebelum melakukan pengukuran kesadahan menggunakan Na2EDTA, larutan baku tersebut distandarisasi terlebih dahulu untuk mengetahui tepat tidaknya konsentasi larutan Na2EDTA yang telah dibuat sehingga efektif digunakan untuk mengukur kadar kesadahan total dalam sampel. Titrasi menggunakan indicator erio chrom black T (EBT) untuk menunjukkan perubahan warna pada titik akhir titrasi. Selain itu pemilihan indicator EBT yaitu karena indicator ini dapat membentuk senyawa kompleks dengan ion logam. Sampel yang hendak dititrasi ditambahkan dengan larutan CaCO3, indicator EBT serta larutan buffer pH 10 untuk menjaga kondisi pH tetap konstan karena pada pH inilah senyawa kompleks dapat terbentuk. Pada titik akhir titrasi terjadi perubahan warna larutan dari merah anggur menjadi biru, menurut reaksi: CaCO3(aq) + Na2EDTA(aq) CaEDTA(aq) + Na2CO3(aq) Pada proses titrasi, garam dinatrium etilen diamin tetra asetat (EDTA) bereaksi dengan kation logam tertentu membentuk senyawa kompleks khelat yang larut. Pada pH 10, ion-ion kalsium dalam sampel bereaksi dengan indicator EBT dan membentuk larutan berwarna merah anggur. Selanjutnya molekul indicator terlepas kembali dan pada titik akhir titrasi larutan berubah warna dari merah anggur menjadi ungu yang merupakan larutan CaEDTA. Dari besarnya volume Na2EDTA yang dibutuhkan sampai mencapai titik akhir dapat ditentukan kadar kesadahan totalnya dalam CaCO3. Berdasarkan hasil analisis data, diperoleh kadar kesadahan total pada AMIU sebesar 97.632 mg/L, artinya dalam 1000 ml atau 1 L sampel AMIU mengandung kesadahan total sebesar 97.632 mg. Sedangkan pada AMDK sebesar 47.008 mg/L, artinya terdapat kandungan kesadahan total sebesar 47.008 mg dalam 1000 ml atau 1 L sampel AMDK. Keduanya masih memenuhi 37

persyaratan kualitas air minum karena kadar kesahannya masih berada jauh dibawah kadar maksimal kesadahan yang diperbolehkan menurut Permenkes RI yaitu sebesar 500 mg/L. Namun apabila dibandingkan, kadar kesadahan pada AMIU lebih besar daripada AMDK. Perbedaan ini disebabkan karena perbedaan sumber air dan proses pendistribusian AMIU dan AMDK. Kesadahan total terkait dengan padatan terlarut karena kesadahan juga merupakan bagian dari padatan terlarut. Artinya padatan terlarut juga menunjukkan tingginya kesadahan total pada air minum. Pada AMIU diperoleh padatan terlarut yang lebih besar karena bersumber dari air PAM dan proses pendistribusiannya lebih panjang daripada AMDK, selain itu pada AMDK menggunakan kemasan yang lebih steril daripada AMIU sehingga padatan terlarut berupa kesadahan total pada AMIU lebih besar daripada AMDK. Dengan demikian kualitas AMDK dapat dikatakan lebih baik daripada AMIU.

38

BAB VI PENUTUP

6.1 Kesimpulan Berdasarkan tujuan, hasil pengamatan, dan pembahasan, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Kadar pH, klorida, padatan terlarut, dan kesadahan pada AMIU secara berturutturut adalah 6.62 ; 0.0083 mg/L ; 420 mg/L; dan 97.632 mg/L, sedangkan pada AMDK pH, klorida, padatan terlarut, dan kesadahan secara berturut-turut adalah 7.32 ; 0.0055 mg/L ; 200 mg/L ; dan 47.008 mg/L. 2. Air minum isi ulang (AMIU) dan air minum dalam kemasan (AMDK) berkualitas baik karena memenuhi persyaratan kimia air minum menurut Permenkes RI No.907/Menkes/SK/2002. 3. Air minum dalam kemasan (AMDK) memiliki kualitas yang lebih baik daripada air minum isi ulang (AMIU) disebabkan karena perbedaan sumber air, proses pengolahan, pendistribusian, dan pengemasannya.

6.2 Saran 1. Perlu ditingkatkan koordinasi antara dosen, laboran, dan praktikan dalam ketersediaan alat dan bahan serta kegiatan praktikum.

39

Anda mungkin juga menyukai