Anda di halaman 1dari 7

A. TEKNIK KONSELING GESTALT 1.

Kursi Kosong (Empty Chair) Teknik kursi kosong bertujuan untuk membantu mengatasi konflik interpersonal dari intrapersonal. Teknik ini membantu konseli untuk keluar dari proses introyeksi. Pada teknik konselor menggunakan dua kursi. Konselor meminta konseli untuk duduk di satu kursi dan berperan sebagai topdog. Kemudian berpindah ke kursi lainya dan menjadi underdog. Dialog dilakukan berkesinambungan pada dua peran tersebut. Dengan teknik ini, introyeksi akan terlihat dan konseli dapat merasakan konflik yang ia rasakan secara lebih real. Konflik tersebut akan dapat diselesaikan dengan penerimaan dan integrasi antara kedua peran tersebut. Teknik ini membantu konseli untuk merasakan perasaanya tentang konflik perasaan dengan mengalami secara penuh. Teknik kursi kosong merupakan intervensi yang kuat, yang dapat digunakan untuk membantu konseli segala umur yang memiliki konflik dengan orang ketiga yang tidak hadir dalam proses konseling. Contohnya konflik dengan saudara kandung, guru, orang tua, teman, atasan, dan pasangan. Konseli diajak berbicara secara langsung dengan orang yang menjadi sumber konflik seperti orang tersebut hadir di kursi kosong. Hal ini lebih baik dilakukan untuk mengatasi masalah dibandingkan konseling di ajak bercerita tentang seberapa jahat, menyakitkan dan tidak menyenangkanya orang yang menjadi sumber konflik. Kursi kosong digunakan untuk menyelesaikan unfinished business dengan orang yang dicintai. Konseli diminta berbicara dengan orang yang dicintai yang telah meninggalkanya seperti orang tersebut hadir di kursi kosong. Pelaksanaan teknik ini dapat berupa monolog di mana orang yang di ajak berbicara di kursi kosong tidak menjawab, atau dapat berupa dialog di mana orang tersebut menjawab seperti yang mungkin di jawab oleh orang tersebut. Contoh : Anak yang merasa bersalah pada ayahnya yang sudah meninggal mungkin berkata pada ayahnya: pah aku selalu sayang sama papa tapi aku gak bisa ngomong ini. Ayahnya mungkin menjawab: Nak. Walaupun kamu tidak mengatakanya, papa tau kamu sayang sama papa. Teknik ini biasanya digunakan pada kasus-kasus seperti : (1) introyeksi diri orangtua versus diri anak

(2). Bagian diri yang bertanggung jawab versus bagian diri yang impulsif (3). Orang yang puritan versus dengan orang yang ekspresif (4). Orang yang agresif versus orang pasif (5). Diri yang otonom versus diri yang tergantung (6). Anak baik versus anak nakal (7). Orang yang bekerja keras versus orang yang menghindari pekerjaan. Greenbreg dan Malcolm (2002) menjelaskan enam langkah dalam menggunakan teknik kursi kosong, yaitu : Konseli mengidentifikasi orang yang menjadi sumber unfinished business. Konseli merespon seperti yang ia yakini orang tersebut akan merespon. Konseli melakukan dialog sampai pada poin tercapainya resolusi untuk menyelesaikan unfinished business. Konseli memahami unifinished business dari figure to grounddalam kesadaran konseli. 2. Topdog Versus Underdog Topdog adalah perasaan marah bila sesuatu tidak sesuai nilai atau norma moral (righteous), autoritarian, dan mengetahuiyang terbaik. Topdog adalah orang yang menggunakan kekuatanya untuk menekan dan menakuti orang lain dan bekerja dengan kata kamu harus dan kamu tidak boleh. Sementara itu, underdog manipulatif dengan menjadi defensif, merengek dan menangis seperti bayi.Underdog bekerja dengan kata saya mau dan mencari alasan seperti saya sudah berusaha keras. Teknik ini menggunakan dua kursi untuk membantu mengatasi konflik antara yang saya inginkan dan yang seharusnya. Satu kursi menjadi topdog (yang seharusnya) dan kursi yang lain menjadiunderdog (yang saya inginkan). Konseli dimintak untuk mengatakan argumen yang terbaik dengan posisi topdog (yang seharusnya) dan pindah ke kursi underdog (yang saya inginkan). Kemudian konseli diminta berargumen sampai mencapai poin dimana konseli mencapai integrasi dari apa yang seharusnya (topdog) dan apa yang diinginkan(underdog) 3. Membuat Serial (making the rounds) Membuat serial adalah latihan gestalt yang melibatkan individu untuk berbicara atau melakukan sesuatu kepada orang lain dalam kelompok. Tujuan teknik ini adalah

untuk melakukan konfrontasi, mengambil risiko, untuk membuka diri, melatih tingkah laku baru, dan untuk melakukan perubahan. Contoh : Individu yang memiliki ketakutan untuk mempercayai orang lain. Konseli diminta untuk mengatakan kepada anggota kelompok yang lain dengan datang kepada mereka satu persatu sambil berkata saya tidak mempercayai kamu karena....... 4. Saya bertanggung jawab atas..... (I Take Responsibility for.....). Teknik bertujuan membantu konseli untuk menyadari dan mempersonalisasi perasaan dan tinggkah lakunya serta mengambil tanggung jawab atas perasaan dan tingkah lakunya. Konseli diminta untuk mengisi bagian kosng sebagai cara mengevaluasi tanggung jawab personal dan bagaimana konseli mengatur hidupnya. Contoh: Konseli diminta untuk berkata: saya merasa kesepian dan saya merasa bertanggung jawab atas perasaan saya. Latihan ini dapat membuka mata konseli yang biasanya cenderung melihat orang lain sebagai sumber perasaan yang baik dan buruk. 5. Bermain Proyeksi (Playing Projection) Dinamika proyeksi adalah individu yang melihat secara jelas kepada oarang lain apa yang tidak ingin dilihat dan menerima dalam dirinya. Individu tersebut berusaha keras untuk menolak perasaanya dan menyalahkan orang lain atas kejadian yang terjadi pada dirinya. Teknik ini biasanya dilakukan dalam seting kelompok, namun bisa juga diberikan pada seting individual. Pada teknik ini, konselor meminta konseli yang sering berkata bahwa ia tidak dapat mempercayai orang lain untuk bermain pearan sebagai orang yang tidak bisa dipercaya. Dengan bermain peran, konseli tersebut dapat diharapkan menemukan tingkat ketidakpercayaanya kepada orang lain. Dengan kata lain, konselor meminta konseling untuk berusaha mengukur berdasarkan kalimat yang ia lontarkan tentang seberapa besar dan berat tingkat ketidakpercayaanya terhadap orang lain. 6. Pembalikan ( Reversal Technique) Asumsi teknik ini adalah bahwa gejala dan tingkah laku tertentu sering kali merepresentasikan implus-implus yang di tekan dan laten yang ada dalam diri individu. Teknik ini bertujuan untuk mengajak konseli untuk mengambil resiko terhadap ketakutan, kecemasan dan melakukan kontak dengan bagian dirinya yang selama ini ditolak dan ditekan. Untuk itu, konselor meminta konseli untuk melakukan tingkah laku yang kebalikan dari apa yang iaya katakan.

Contoh : Konseli mengatakan bahwa ia telah tersiksa karena ia terlalu pemalu dan tidak memiliki kepercayaan diri. Konselor menyuru konseli tersebut untuk bertingkah laku seperti orang yang penuh percaya diri 7. Latihan Gladiresik (The Rehearasal Experiment) Menurut perls, pikiran individu banyak berulang-ulang. Individu cenderung mengulang fantasi-fantasi yang individu rasa bahwa itu adalah harapan-harapan dari lingkunganya,. Sehingga ketika individu barada dalam lingkungan tersebut, ia menjadi ketakutan, cemas karena ia tidak akan dapat menampilkan apa yang diharapkan oleh lingkungan. Pengulangan internal (internal rehearsal) ini

menghabiskan banyak energi psikis individu dan dapat menghambat perkembangan individu. Teknik ini dapat diterapkan melalui permainan sharing. Individu diminta kepada orang lain tentang fantasi-fantasi yang sering ia katakan dan ulang-ulang secara internal dalam dirinya. Dengan mengatakanya secara verbal kepada orang lain, konseli dapat membedakan fantasi dan kenyataan serta dapat menguji coba tingkat ekspektasi orang lain. Hal ini membuat konseli dapat mengukur seberapa besar ia ingin diterima dan disukai orang lain, serta seberapa besar usaha yang harus dilakukan untuk mencapainya. 8. Latihan Melebih-Lebihkan (The Exaggeration Experiment) Teknik ini membantu konseli untuk menjadi lebih sadar pada tanda-tanda bahasa tubuh. Gerakan, postur tubuh, expresi wajah dan gerakan tubuh menjadi sarana komunikasi yang memiliki makna yang signifikan. Pada teknik ini, konseli diminta untuk mengulangi kembali secara berlebihan gerakan dan bahasa tubuh yang biasa dilakukan seiring dengan tingkah laku tertentu. Contoh: Konseli yang selalu tersenyum ketika menghadapi masalah, kecemasan dan kesedihan. Konselor meminta konseli untuk berdiri dan tersenyum setiap kali konselor brtanya atau berkata tentang hal-hal yang menyedihkan bagi konseli. 9. Tetap Pada Perasaan (Staying With the Feeling) Sebagian besar konseli cenderung melarikan diri dari perasaan yang tidak menyenangkan dan menghindari dari situasi yang mengarah kepada perasaan yang tidak menyenangkan. Pada teknik ini konselor meminta kepada konseli untuk tetap pada perasaan ketakutan dan kesakitan dan merasakanya pada proses konseling.

Konselor mendorang konseli untuk merasakan dan melakukan kegiatan yang cenderung dihindarinya. Dengan menghadapi, mengkonfrontasi, dan

mengalamiperasaan tidak saja dapat membuat konseli menjadi berani, tetapi juga membangkitkan keinginan untuk mengatasi kesakitan. Hal ini di mungkinkan karena konseli membuka diri untuk mengalami kesakitan dan membuka jalan untuk melangkah ke arah yang lebih positif. 10. Bahasa Saya (I Language) Konselor mendorong kepada konseli untuk menggunakan kata saya (I) ketika konseli mengeneralisasikan kata kamu (You) dalam berbicara. Contohnya ketika konseli berkata: kamu tau kan susah sekali untuk mengerti matematika. Konseli di minta mengganti kamu dengan saya, saya tau bahwa saya tidak mengerti metematika. Ketika konseli berusaha mengganti dengan kata saya diumpamakan seperti melihat sepasang sepatu dan bagaimana pasangan itu menjadi serasi. Teknik ini bertujuan untuk membantu konseli bertanggung jawab atas perasaan, pikiran dan tingkah lakunya. B. PENGALAMAN KONSELI DALAM KONSELING Terapis Gestalt tidak membuat penafsiran yang menjelaskan dinamika perilaku individu atau memberitahu klien mengapa ia bertindak dengan cara tertentu karena mereka bukan ahli pada pengalaman klien. Sebaliknya, kebenaran adalah hasil dari pengalaman bersama. Klien dalam terapi Gestlat adalah peserta aktif yang membuat interpretasi mereka sendiri melalui kebermaknaan. Merekalah yang meningkatkan kesadaran dan memutuskan apa yang mereka akan atau tidak akan lakukan dengan makna pribadi mereka. Miriam Polster (corey,2010: 209) dijelaskan urutan tiga tahap integrasi yang mencirikan pertumbuhan klien dalam terapi 1. Bagian pertama dari urutan ini adalah Klien cenderung mencapai kesadaran baru tentang diri mereka sendiri atau untuk memperoleh pandangan baru dari situasi yang lama, atau mereka mungkin melihat baru dibeberapa orang yang berpengaruh dalam hidup mereka. situasi tersebut sering datang sebagai hal yang mengejutkan mereka. 2. Tahap kedua dari urutan integrasi adalah akomodasi klien mengakui bahwa mereka memiliki pilihan. Klien memulai dengan mencoba perilaku baru dalam lingkungan yang mendukung terapi, dan kemudian mereka memperluas kesadaran mereka tentang dunia. Dalam membuat pilihan baru klien terkadang masih memiliki rasa canggung tetapi dengan dukungan terapi klien dapat memperoleh keterampilan dalam

menghadapi situasi sulit. Klien cenderung untuk berpartisipasi dalam percobaan dilluar lingkungan terapi yang dapat dibahas dalam sesi terapi berikutnya. 3. Tahap ketiga dari urutan integrasi adalah asimilasi yang melibatkan klien belajar bagaimana mempengaruhi lingkungan mereka. Pada fase ini klien merasa mampu menghadapi situasi yang mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari. Mereka kini mulai melakukan tindakan lebih dari sekedar pasif menerima lingkungan. Perilaku pada tahap ini mungkin termasuk mengambil sikap pada masalah kritis. Akhirnya, klien mengembangkan kepercayaan diri dalam kemampuan mereka untuk meningkatkan dan berimprovisasi. Improvisasi adalah tingkat kepercayaan yang berasal dari pengetahuan dan keterampilan. Klien dapat membuat pilihan yang akan menghasilkan apa yang mereka inginkan dan yang telah dicapai dan mengakui perubahan yang telah terjadi di dalam klien. Pada fase ini klien telah belajar apa yang bisa mereka lakukan untuk memaksimalkan peluang mereka mendapatkan apa yang dibutuhkan dari lingkungan mereka. Para konseli dalam pengalaman proses konseling Gestalt memutuskan sendiri apa yang diinginkan dan berapa banyak yang diinginkan itu. Peringatan Perls dapat digunakan untuk mengonfrontasikan para konseli guna membantu mereka menguji beberapa besar perubahan yang diinginkannya. Jika konseli memiliki keberanian untuk menghadapi kenyataan bahwa yang diinginkannya adalah peningkatan kecakapan-kecakapan manipulatif, maka akan terdapat peluang yang lebih besar bagi para konseli untuk menggunakan konseling secara produktif guna memperoleh sesuatu pendukungan status quo sistem-sistem pertahanannya. Para konseli dalam konseling Gestalt adalah partisipan-partisipan aktif yang membuat penafsiran-penafsiran dan makna-maknanya sendiri. Merekalah yang mencapai peningkatan kesadaran dan yang menentukan apa yang akan dan tidak akan dilakukan dalam proses belajarnya. C. PERANAN ATAU TUGAS KONSELOR Konseling Gestalt difokuskan pada perasaan-perasaan klien, kesadaran atas saat sekarang, pesan-pesan tubuh, dan penghambat-penghambat kesadaran. Ajaran Perls adalah kosongkan pikiran Anda dan capailah kesadaran. Ada beberapa tugas konselor dalam konseling Gestalt yaitu sebagai berikut: a. Menantang klien. Dengan cara ini klien belajar menggunakan kesadarannya secara penuh. Konselor menghindari intelektualisasi abstrak, diagnosis, penafsiran, dan ucapan yang berlebihan. Terapis dianjurkan untuk menggunakan pengalamannya

sendiri sebagai bahan yang esensial dalam proses terapi Polsters dan Polsters (Corey, 2010: 126). Menurut mereka terapis bukanlah semata-mata responder, pemberi umpan balik, atau katalisator yang tidak mengubah diri sendiri. Jika terapis ingin berfungsi secara efektif, maka dia harus selaras baik dengan kliennya maupun dengan dirinya sendiri. Jadi yang berubah bukan hanya klien melainkan juga terapis. b. Membantu klien dalam melaksanakan peralihan dari dukungan eksternal kepada dukungan internal dengan menentukan letak jalan buntu. Jalan buntu adalah titik tempat individu menghindari mengalami perasaan-perasaan yang mengancam karena dia merasa tidak nyaman. Jalan buntu adalah penolakan terhadap langkah menghadapi diri sendiri dan terhadap perubahan. Membantu klien untuk menembus jalan buntu sehingga pertumbuhan bisa terjadi. c. Membantu klien agar menyadari dan menembus jalan buntu dengan menhadirkan situasi-situasi yang mendorong kliennya itu untuk keterpakuannya, klien mampu berhubungan dengan frustasi-frustasinya. d. Menyajikan situasi yang menunjang pertumbuhan dengan jalan mengonfrontasikan klien kepada titik tempat dia menghadapi suatu putusan apakah akan atau tidak akan mengembangkan potensi-potensinya. e. Memberikan perhatian pada bahasa tubuh kliennya. Isyarat-isyarat non verbal dari klien menghasilkan informasi yang kaya bagi terapis, sebab isyarat-isyarat itu sering mengkhianati perasaan-perasaan klien, yang klien sendiri tidak menyadarinya. Konselor harus waspada terhadap celah-celah dalam perhatian dan kesadaran, dan dia harus mengawasi ketidakselarasan antara apa yang diucapkan dan apa yang dilakukan oleh klien dengan tubuhnya. Perhatian terhadap pesanpesan yang disampaikan oleh klien secara nonverbal akan sangat membantu, dan konselor perlu berfokus pada isyarat-isyarat nonverbal.

Anda mungkin juga menyukai