PENDAHULUAN
Abd. al-Samad al-Palimbani1 dikenal sebagai pemikir keislaman abad XVI yang
memiliki reputasi mendunia akan otoritas keilmuannya. Pemikirannya tersebar
lewat buah karya yang menjadi warisan ilmuan dan bahkan dilanjutkan oleh para
murid-muridnya.2
Keberadaan al-Palimbani dengan sosok personalitas keilmuan yang handal
dan semangat juang meninggalkan Nusantara untuk memperdalamkan ilmu telah
menjadi kajian para pemerduli ilmu-ilmu keagamaan. Paling tidak penelitian terhadap
salah satu buah karya yang ditinggalkan telah melahirkan sebuah desirtasi.3
Artinya, salah satu faktor yang menentukan pengkajian terhadap seorang
tokoh sangat ditentukan oleh sosok personalitas keilmuan dari tokoh itu sendiri dan
atau semangat juang yang telah ditunjukkan, teas ini hamper senada denga uraian Dr.
Faisal Ismail ketika menjelaskan personalitas tokoh Jamaluddin al-Afghani.4
Kajian ini adalah upaya rekonstruktif terhadap pemikiran al-Palimbani tentang
Tuhan dengan pendalaman konsep epistemology bayani. Dengan demikian, rumusan
global dari problema penelitian ini ialah; bagaimanakah konstruksi teorikal dari
pemikiran al-Palimbani tentang Tuhan.
Menilik kepada prihal tersebut, maka mengetahui dan menganalisis filsafat
ketuhanan al-Palimbani dan menelusuri posisi pemikiran al-Palimbani dalam teori
dan sisitem kepercayaan yang mendasari akan adanya Tuhan akan menjadi
diperlukan. Pemahaman terhadap konsep tersebut diharap sebagai langkah
reformulatif dari aktualisasi pemikiran al-Palimbani dalam tataran objektif dan
memetakan kontribusi pemikirannya terhadap dunia pemikiran keislaman Nusantara.
Oleh kerana itu, manfaat pengkajian ini untuk menemukan sesuatu yang bernilai
akademis (academic significance) dan bermanfaat bagi siapa pun yang peduli untuk
mengetahui lebih mendalami tentang paradigma ketuhanan.
PEMBAHASAN
KESEDARAN PARADIGMATIK PERIHAL TUHAN
Dalam diri manusia ada kesedaran dan potensi akal yang dapat berpikir
tentang wujud dirinya dan apa saja yang terdapat di luar dirinya, terutama alam
semesta yang menjadi dalil akan wujudnya Tuhan. Akumulasi dari basis kesedaran
dan potensi akal yang dimiliki manusia pada gilirannya memunculkan sifat keyakinan
dalam dirinya terhadap sesuatu yang dipikirkan.5
Demikianlah, manusia terus sedar dan berpikir tentang keberadaan Tuhan.
Dalam perkembangan konsepsi ketuhanan, manusia bukan hanya mengenali Tuhan
lewat dalil-dalil dan pembuktian akal atau pun pembuktian lewat wahyu yang
diturunkan oleh Allah lewat malaikat Jibril kepada para utusan-Nya, tetapi juga
manusia berusaha mengenal Allah secara langsung lewat pengalaman batin.
Pengenalan Tuhan seperti ini kemudian dikanal dengan marifah. Meskipun
konsekuensi marifah telah menimbulkan aneka ragam posisi manusia yang menjadi
perdebatan
yang
kontroversial
dalam
dunia
tasawuf.
Misalnya,
terdapat
Syamsul Rijal, Ketuhanan Menurut al-Ghazali dan Ibnu Rusydi (Suatu studi
Perbandingan) (Banda Aceh : Fakultas Ushuluddin IAIN Ar-Raniry, 1987), p. 25.
6
Al-Palimbani, Ibid; p. 24.
7
Sulaiman Dunya, al-Haqiqat fi Nazr al-Ghazali, (Mesir: Dar al-Maarif, 1971), p.
149. Syamsul Rijal, Allah Dalam Konsepsi Hasan al-Banna : Tinjauan Terhadap
Kitab Allah fi al-aqidat al-Islamiyat, (Banda Aceh : P3TA IAIN Ar-Raniry, 1996), p. 9.
itu memiliki beberapa sifat tanzih bahwa Allah tidak dapat dipersamakan dengan
selain-Nya. Kerena itu Allah bukanlah substansi (jawhar) dan bukan pula aksiden
(arad) dan tidak ditempati oleh keduanya. Konsekuensi dari ini adalah Allah itu tidak
menyerupai dan diserupai oleh sesuatu apapun. Sehingga esensi-Nya tidak ada yang
lain selain Dia. Demikian pula di dalam yang lain tidak ada esensi-Nya.
Prinsip dasar paradigm ketuhanan cenderung kepada upaya untuk mengenal
langsung (marifah) akan Allah. Kerana al-Palimbani menilai 8, bahwa marifah
terhadap Allah adalah surga di dunia ini, siapa saja yang masuk ke dalamnya akan
terlupa surge di akhirat. Pertanyaan ini tidak lebih sebagai upaya pendeskripsian
tentang marifah terhadap Allah yang terkandung nilai-nilai pemuasan batin bagi
orang yang melakukannya. Sehingga gambaran kepuasan batin ini merupakan refleksi
dari keadaan manusia dalam surga di akhirat, kerana inti kenikmatan surga di akhirat
adalah bertemu langsung dengan Allah. Inti ajaran seperti ini dalam gagasan ajaran
tauhid al-Palimbani tercakup ke dalam tauhid tingkat tertinggi.
KONSEP TEORITIS EPISTEMOLOGI BAYANI
Metode dan tradisi berpikir keilmuan di dunia Islam tidak terlepas dari
burhani, bayani dan irfani. Terkait dengan fokus kajian tentang bayani, Muhammad
al-Jabiri memberikan batasan bahwa metode berpikir bayani dapat dilihat dari dua
sisi, yaitu (1) sebagai sebuah metode yang bermakna perbedaan dalam penjelasan
dan (2) sebagai suatu visi yang bermakna berbeda dan jelas. 9 Dalam tataran ini
terminologi bayani cenderung kepada pola piker yang bersumberkan kepada teks
dalam kaitan berpikir filosofik, ia berarti studi filosofik terhadap struktur
pengetahuan yang menempatkan teks sebagai suatu kebenaran mutalak. Sementara
aktivitas rasio bersifat sekunder dan berfungsi memberikan penjelasan teks, ataupun
memberikan makna terhadap sebuah teks.
8
9
Sekiranyapun
terdapat
pemberian
makna
dalam
tataran
takwil
itu
Nurchalis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban ; Sebuah Telaah Kritis Tentang
Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan kemoderenan, (Jakarta: Paramadina,
1992), hal. 272.
11
Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992), hal.
163.
12
Muhammad al-Jabiri, Ibid.
Kitab ini ditulis dalam bahasa Melayu pada tahun 1188/1774 untuk memenuhi
permintaan Sultan Palembang.15
yang
controversial
dalam
dunia
tasawuf.
Misalnya,
terdapat
18
19
wujud dalam dunia tasawuf.20 Ajaran ketuhanan tersebut dalam teori ilmu yang
dikembangkan oleh masing-masing aliran adalah sama nilai benarnya.
20
dan diserupai oleh sesuatu apapun. Sehingga esensi-Nya tidak ada yang lain selain
Dia. Demikian pula di dalam yang lain tidak ada esensi-Nya.
Pemahaman seperti ini menunjukkan bahwa segala yang ada selain Allah
mestilah bersifat baharu (yang diciptakan). Meskipun penciptaan ini terdapat
pendapat seperti. Sesuatu yang diciptakan dari sesuatu yang tidak ada (adam) kepada
ada (creation ex-nihilo) atau pun sesuatu itu diciptakan dari ada kepada ada (creation
in-nihilo).
Prinsip dasar ajaran al-Palimbani tentang Tuhan cenderung kepada upaya
pengenalan langsung (marifah) akan Allah. Karena al-Palimbani menilai24, bahwa
marifah terhadap Allah adalah surge di dunia ini, siapa saja masuk ke dalamnya akan
dapat terlupa surga di akhirat.
Pernyataan tersebut tidak lebih dari sebagai upaya pendeskripsian nilai-nilai
pemuasan batin bagi orang yang melakukannya. Sehingga gambaran kepuasan batin
itu merupakan refleksi dari keadaan manusia dalam surga di akhirat, kerena inti
kenikmatan surga di akhirat adalah bertemu langsung dengan Allah. Inti ajaran seperti
di dalam gagasan ajaran tauhid al-Palimbani tercakup ke dalam tauhid tingkat
tertinggi.
Pemahaman terhadap Allah seperti itu sebelumnya, menurut al-Palimbani
adalah terbatas bagi kalangan orang awam; artinya termasuk ke dalam tauhid tingkat
terendah (khusus tingkat pemahaman tentang Tuhan di kalangan orang awam).
Oleh karena itu, seperti yang dimaksudkan oleh al-Ghazali, al-Palimbani
mengemukakan25, bahwa ada empat tingkat tauhid. Pertama, bahwa seseorang
mengatakan La ilah il Allah, sementara hatinya mungkin saja mengabaikan makna
yang diucapkan. Kedua, tingkatan tauhid bagi seseorang yang mengemukakan lafadl
tersebut tetapi membenarkan makna yang terkandung dalam lafadl tersebut. Ketiga,
adalah tingkat tauhid orang muqarrabin yang menilai alam dan kehidupan penuh
dengan kondisi tang pluralistik ini dari segi aspek keEsaan-Nya sebagai ciptaan
24
25
Allah. Keempat, adalah tauhid orang siddiqin penuh dengan keyakinan dan seluruh
kesedaran batinnya telah terpusat kepada Allah.
Pembidangan dari pada tahapan tauhid seperti yang disebutkan di atas,
memiliki tujuan tersendiri bagi al-Palimbani. Oreintasi al-Palimbani mengacu kepada
upaya mempersamakan tauhid tingkat tertinggi itu dengan ajaran wahdat al-wujud.26
Tetapi, lebih lanjut al-Palimbani berusaha merekonstruksi inti ajaran wahdat alwujud ke dalam pemahaman yang sederhana dengan konsep martabat tujuh.27
Martabat pertama dinamakan dengan ahadiyyatun Liahadiyyatun, yaitu esensi
Allah yang mutlak dapat dipandang melalui hati (qaib). Martabat ini disebutnya juga
dengan an La Taayyun, al-Itlaq, zat al-Bahthi.
Martabat kedua, al-wahidah yang mengandung makna yang berkenaan
dengan ilmu Allah mengenai diri-Nya serta alam semesta ini secara global. Proses
dari martanat ini adalah penampakan esensi Allah yang bersifat mutlak dalam bentuk
hakikat Muhammad.
Martabat ketiga, al-wahidiyah, di mana ilmu Allah mengenai esensi diri-Nya
serta alam semesta ini dalam bentuk yang parsial. Proses dari martabat ini adalah
penampakan kali keduan esensi Allah yang bersifat mutlak dalam bentuk hakikat
manusia.
Martabat keempat, Alam al-arwah, yaitu penciptaan Nur Muhammad dari Nur
Allah.
Martabat kelima, Alam al-Mithal yaitu perwujudan Nur Muhammad dalam
rupa roh seseorang.
Martabat keenam, Alam al-Ajsam, yaitu susunan alam atau benda-benda dari
empat komponen pokok; api, air, angina dan tanah.
Martabat ketujuh, disebut dengan al-Jamiah, terjadinya perhimpunan semua
martabat di atas. Konsekuensi dari perhimpunan ini adalah penampakan lahir esensi
Allah.
26
27
Ibid;
Ibid; (jilid IV), pp. 103-6.
tetapi,
upaya
konkrit
bahasan
al-Palimbani
tentang
falsafat
ketuhanannya yang terkait dengan pendekatan sufistik telah memberikan warna lain
dari corak pemikiran falsafat ketuhanannya. Problema ini terkait dengan tataran
metode berpikir ifrani.
Kebenaran teas ini adalah sebuah indikasi kuat akan kecemerlangan metode
berpikir al-Palimbani yang bersifat progresif dari dugaan sebelumnya. Bangunan
metode pemikiran seperti ini menunjukkan kecenderungan pemikirannya lebih dekat
sebagai new Ghazalian pada masanya. Ini dalam penilaian epistemologik