Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN KASUS

TRAUMATIC OPTIC NEUROPATHY (TON)

Oleh :
IKA PURWANTI
I11110057

SMF OFTALMOLOGI RUMAH SAKIT PENDIDIKAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
2015

BAB I
PENDAHULUAN
Saraf optik terdiri dari 1-1,2 juta ganglion sel akson. Kehidupan akson saraf
optik sangat tergantung pada produksi metabolik di dalam ganglion sel
retina,merupakan suatu sistem yang bergantung pada konsentrasi oksigen di
dalamnya. Sistem transport aksonal sangat peka terhadap proses iskemik,inflamasi
dan kompresi.Terputusnya transport aksonal akibat berbagai penyebab akan
menyebabkan gangguan pada diskus optik.
Saraf optik dapat mengalami kerusakan akibat trauma kranio-orbital, baik
secara langsung maupun tak langsung. Trauma langsung pada nervus aptikus
terjadi akibat trauma penetrasi obat, termasuk penyuntikan anastesi lokal untuk
bedah mata, dan akibat fraktur yang mengenai kanalis optikus. Gangguan
penglihatan akibat trauma tak langsung pada nervus optikus, yang merujuk pada
kerusakan nervus optikus sekunder akibat trauma kepala yang jauh, terjadi pada
sekitar 1% dari semua trauma kepala. Lokasi trauma biasanya di dahi, sering
tanpa fraktur tengkorak, dan mekanisme trauma pada nervus optikus yang
mungkin adalah diteruskannya gelombang pengguncang melalui dinding-dinding
orbita ke apeks orbita. Avulsi nervus optikus biasanya timbul akibat trauma
rotasional mendadak pada bola mata.
Trauma tumpul dapat mengakibatkan kompresi pada saraf optik, demikian
pula perdarahan dan edema sekitar saraf optik. Penglihatan akan berkurang setelah
trauma mata. Manajemen yang tepat dapat mengurangi insidensi kehilangan
penglihatan dan membatasi kerusakan nervus optikus lebih lanjut.
Berikut akan dilaporkan sebuah kasus Traumatic Optic Neuropathy (TON)
pada seorang pasien anak laki-laki, umur 14 tahun yang berobat ke Poliklinik
Mata di Rumah Sakit Universitas Tanjungpura Pontianak.
.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi Orbita dan Nervus Optikus
Orbita digambarkan sebagai piramid berdinding empat yang berkonvergensi
ke arah belakang. Dinding medial orbita kiri dan kanan terletak paralel dan
dipisahkan oleh hidung. Pada setiap orbita, dinding lateral dan medial membentuk
sudut 45 derajat. Lima tulang pembentuk orbita adalah os frontal, os spenoidal, os
zygomaticus, os palatinum, os maxila, os ethmoidales, dan os lakrimalis.
Orbita berbentuk buah pir, dengan nervus optikus sebagai tangkainya.
Lingkaran anterior lebih kecil sedikit dari pada lingkaran di bagian dalam
tepiannya yang merupakan pelindung yang kuat.Volume orbita kira-kira 30cc dan
bola mata hanya menempati seperlima bagian ruangan, selebihnya diisi lemak dan
otot. Pada bagian anterior, terdapat septum orbitae (pemisah antara palpebra dan
orbita). Orbita berisi otot penggerak bola mata, nervus optikus, glandula
lakrimalis, dan lemak.

Orbita berhubungan dengan sinus frontalis di atas, sinus maksilaris di bawah,


sinus ethmoidalis dan sinus sphenoid di medial. Dasar orbita yang tipis mudah

rusak oleh trauma langsung terhadap bola mata sehingga menimbulkan 'fraktur
blow-out' dengan herniasi isi orbita ke dalam antrum maksilaris. Infeksi pada
sinus ethmoidalis dan sphenoid dapat mengikis dinding medialnya yang setipis
kertas (lamina papyracea) dan mengenai orbita. Defek pada atapnya (misal :
neurofibromatosis) dapat berakibat timbulnya pulsasi pada bola mata yang
berasal dari otak. Atap orbita terdiri dari facies orbitalis osis frontalis. Di bagian
anterior lateral atas, terdapat fosa lakrimalis yang berisi kelenjar lakrimal. Di
posterior atap, terdapat ala parva osis sphenoid yang mengandung kanalis
optikus. Dinding lateral dipisahkan dari bagian atap oleh fisura ortalis superior
yang memisahkan ala parva dan ala magna osis sphenoidalis. Bagian anterior
dinding lateral dibentuk oleh facies orbitalis osis zygomatici (malar), merupakan
bagian terkuat orbita. Dasar orbita dipisahkan dari dinding lateral oleh fisura
orbitalis inferior. Bagian dasar yang luas terbentuk dari pars orbitalis osis
maksilaris (merupakan tempat yang paling sering terjadinya fraktur). Processus
orbitalis osis platini membentuk daerah segitiga kecil pada dasar posterior. Apeks
orbita merupakan tempat masuknya semua saraf dan pembuluh darah ke mata
serta merupakan tempat asal semua otot ekstraokuler kecuali obliquus inferior.
Nervus optikus merupakan bagian dari Sistem Saraf Pusat (SSP) yang
memiliki lebih sedikit sel neuron dan terisolasi dari sel lain yang umumnya
berada di otak. Nervus optikus terdiri dari akson sel ganglion retina dan sel glia.
Jumlah akson cenderung tetap, sedangkan jumlah sel glia dan mielin relatif
bervariasi di berbagai tempat dibandingkan akson. Nervus optikus membentang
dari retina melewati foramen sklera posterior hingga ganglion genikulatum lateral
di thalamus.
Pada manusia, panjang nervus optikus yang terbentang dari belakang bola
mata hingga kiasma optikum adalah sekitar 50 mm dan terdiri dari empat bagian:
1. Bagian intraokuler (head nervus optikus) memiliki panjang sekitar 1mm
dengan diameter transversal terhadap sklera sebesar 1,5 mm.
2. Bagian intraorbital dimulai dari bagian posterior permukaan sklera, memiliki
panjang sekitar 25 mm dan diameter 3-4 mm. Bagian ini memiliki sinous
course sehingga tetap memungkinkan gerakan excursi bola mata. Sekitar 8-15

mm dibelakang bola mata, a.centralis retina berpenetrasi kedalam nervus


optikus.
3. Bagian intrakanalikuler yang memiliki panjang sekitar 9 mm terfiksasi erat di
dalam kanalis optikus.
4. Bagian intrakranial memiliki panjang sekitar 16 mm dan bergabung dengan
nervus kontralateral membentuk kiasma optikum. Karena merupakan bagian
dari SSP, bagian intarorbita nervus optikus diselubungi pula oleh lapisan
piamater, araknoid, dan duramater.

2.2. Traumatic Optic Neuropathy (TON)


A. Definisi
Traumatic Optic Neuropathy (TON) merupakan kerusakan nervus optikus
yang terjadi setelah trauma kranio-orbital. Nervus optikus berada dalam tulang
kanal optikus dan tertutup erat di dalamnya. Trauma tumpul dapat menyebabkan
kerusakan nervus optikus dengan

mekanisme gelombang pengguncang yang

diteruskan melalui dinding-dinding orbita ke apeks orbita, kemudian terjadi


penekanan di sepanjang tulang pembentuk kanal optikus.
B. Epidemiologi
Traumatic Optic Neuropathy (TON) di Amerika Serikat terjadi pada 0,5-5%
pasien dengan trauma kepala tertutup dan pada 2,5% pasien dengan fraktur
midfasial. Secara umum diasumsikan bahwa cedera pada orbita terkait dengan
cedera nervus optikus secara langsung. Insiden TON pasca trauma kraniofasial
telah dilaporkan terjadi sekitar 0,5-1,5% pada survei terdahulu. Namun, baru-baru
ini survei melaporkan angka yang lebih tinggi; 2-5%. TON mayoritas mengenai
pria, yaitu sekitar 60-95% dari seluruh kasus. Dalam suatu survei yang berfokus
pada anak-anak, 40% dari seluruh kasus adalah perempuan. Meskipun tingkat
kehilangan penglihatan setelah trauma tidak langsung pada neuropati optik dapat
bervariasi, namun sekitar 50% dari pasien ketajaman penglihatannya hanya dapat
mempersepsikan cahaya saja atau tidak ada persepsi cahaya sama sekali. Hal
inilah yang membuat TON menjadi penyebab signifikan pada kehilangan
penglihatan permanen. Pada pasien dengan TON, mungkin terdapat patah tulang
dalam bentuk fraktur orbital anterior, fraktur orbital posterior, fraktur orbital
blow-in ataupun fraktur blow-out.
C. Etiologi
TON terkait dengan cedera deselerasi momentum yang tinggi dan trauma
midfacial. Sekitar 40-72% dari seluruh kasus TON disertai dengan kehilangan
kesadaran. Kecelakaan motor dan sepeda merupakan penyebab tersering, terjadi

sekitar 17-63% dari seluruh kasus. Penyebab lainnya meliputi cedera kepala
bagian frontal akibat tertimpa reruntuhan, penganiayaan, luka tusuk, luka tembak,
dan operasi sinus endoskopik.
D. Klasifikasi
Traumatic Optic Neuropathy (TON) dapat diklsifikasikan menjadi 2
berdasarkan jenis cedera, yaitu:
1. Indirect Traumatic Optic Neuropathy
Trauma kepala tertutup dapat menyebabkan cedera nervus optikus secara tak
langsung, yang dapat diklasifikasikan secara anatomi menjadi 2, yaitu:
a. Anterior: arteri retina sentral masuk dan vena retina sentral keluar dari nervus
optikus sekitar 8-12 mm posterior bola mata. Cedera di anterior bagian ini
disebut dengan cedera anterior
b. Posterior: cedera terjadi di posterior tempat masuknya arteri retina sentral dan
tempat keluarnya vena retina sentral.
Cedera anterior dapat mengganggu sirkulasi retina, sementara cedera
posterior biasanya sirkulasi retinanya normal. Cedera posterior bisanya tidak
menyebabkan perubahan fundus yag cepat pada pemeriksaan funduskopi. Diskus
akan tetap normal selama 3-5 minggu setelah trauma dan akan menjadi pucat
seiring dengan terjadinya atrofi optik.
2. Direct Traumatic Optic Neuropathy
Cedera saraf optik langsung disebabkan oleh benda-benda yang menembus
orbita dan menekan nervus optikus, menyebabkan neuropati optik secara parsial
ataupun menyeluruh pada selubung nervus optikus. Perdarahan di dalam maupun
di sekitar nervus juga dapat terjadi. Luka tembak, luka tusuk, dan lain-lainnya
sering dilaporkan menjadi agen penyebab. Tidak seperti cedera saraf optik tidak
langsung, cedera langsung menyebabkan perubahan cepat dalam fundus yang
dapat mengakibatkan oklusi arteri retina sentral, oklusi vena retina sentral, atau
neuropati optik iskemik anterior. Hal tersebut dapat dideteksi pada pemeriksaan
funduskopi.

E. Patogenesis
Cedera langsung maupun tak langsung dapat menyebabkan kerusakan
mekanis dan iskemik pada nervus optikus. Terkadang cedera okular dapat tidak
terlihat dan tidak ada bukti kelainan eksternal. Secara umum, cedera langsung
memiliki prognosis yang lebih buruk dari pada cedera tak langsung. Terdapat 2
mekanisme yang terjadi yaitu primer dan sekunder, keduanya menyebabkan
kerusakan pada nervus optikus.
Mekanisme primer terkait dengan cedera transversal (shearing injury). Gaya
kompresi yang dihasilkan dari trauma ditransmisikan melalui tulang orbita ke
apeks orbita dan kanal optikus. Deformasi pada apeks orbita kemudian
menyebabkan kontusio pada akson nervus optikus dan kerusakan pembuluh darah
sehingga terjadi iskemi nervus optikus dan edema. Akson yang edema kemudian
menyebabkan kompresi neuron lebih lanjut di dalam kanal optikus yang sempit.
Terjadi mekanisme umpan balik positif yang akhirnya mempercepat proses
sindrom kompartemen nervus intrakanalikular. Kerusakan nervus optikus dapat
disertai kerusakan pembuluh darah sehingga menyebabkan perdarahan di nervus
optikus dan selubungnya.
Mekanisme sekunder terjadi terkait dengan gangguan homeostasis dan
kerusakan jaringan pada area yang berdekatan dengan bagian nervus optikus yang
terkena trauma dan rusak secara irreversibel. Berbagai mekanisme dapat terjadi,
antara lain:
1. Cedera iskemi dan reperfusi: iskemi parsial terjadi karena terhentinya aliran
darah. Reperfusi di daerah yang mengalami iskemik sementara tersebut
menyebabkan proksidasi lipid membran sel sehingga terjadi pelepasan radikal
bebas oksigen yang dapat menyebabkan kerusakan jaringan.
2. Bradikinin: bradikinin aktif setelah trauma dan menyebabkan pelepasan asam
arakhidonat

dari

neuron-neuron.

Metabolisme

asam

arakhidonat

menghasilkan prostaglandin, dan bersama-sama dengan radikal bebas dan


peoksida lipid menyebabkan edema kanal optikus, yang akhirnya membuat
iskemia menjadi lebih buruk.

3. Ion-ion kalsium: setelah terjadi iskemi nervus optikus, ion kalsium memasuki
ruang intraseluler melalui kanal ion. Peningkatan konsentrasi kalsium di
intraseluler merupakan toksin metabolik yang menyebabkan kematian sel.
4. Mekanisme terkait sel: sel polimorfonuklear (PMN) mendominasi pada dua
hari pertama setelah trauma, yang kemudian digantikan oleh makrofag dalam
5-7 hari. PMN menyebabkan kerusakan jaringan yang cepat, sementara
makrofag meyebabkan kerusakan jaringan yang lambat/tertunda, demyelinasi,
dan gliosis.
F. Pemeriksaan Klinis
a. Anamnesis
Anamnesis komprehensif harus dilakukan, secara langsung pada pasien yang
stabil, atau dari keluarga, teman, atau saksi mata terkait kejadian trauma.
Penting juga untuk mengetahui apakah pasien memang memiliki penurunan
ketajaman penglihatan sebelum terjadi trauma. Anamnesis mengenai
pengobatan dan alergi obat juga penting dilakukan.
b. Pemeriksaan oftalmologi
1. Ketajaman penglihatan: terdapat penurunan ketajaman penglihatan, dapat
langsung setelah trauma, maupun tak langsung (terjadi sekitar 10%
kasus).
2. Relative afferent pupillary defect (RAPD): RAPD (+), yaitu pada mata
yang mengalami cedera, respon pupil terhadap cahaya berkurang
dibandingkan dengan mata yang sehat. Pemeriksaan RAPD merupakan
petunjuk sensitif untuk defek konduksi aferen. Caranya adalah pasien
duduk di ruangan dengan pencahayaan redup dan memandang objek yang
jauh. Senter diarahkan pada tiap mata secara bergantian sementara pupil
diaamati. Defek unilateral pada konduksi saraf optik diperlihatkan sebagai
RAPD (+).

3. Penglihatan warna: pasien diminta untuk melihat ke objek berwarna


merah, satu mata secara bergantian. Objek dapat dipersepsikan berwarna
hitam, cokelat, atau warna merah yang pudar oleh mata yang mengalami
cedera.
4. Lapang pandang: kelainan lapang pandang terkait dengan avulsi parsial
nervus optikus.
5. Funduskopi: pada awalnya pemeriksaan fundus biasanya normal tetapi
akan menjadi semakin pucat dalam waktu 3-5 minggu, dimana lesi
semakin ke anterior semakin cepat berlanjut menjadi papil atropi.
Gambaran lain yang tampak yaitu adanya oklusi arteri atau vena retina
sentral, jika terdapat ring-shaped hemorrhage yang berdekatan dengan
nervus optikus, hal tersebut mengindikasikan adanya avulsi parsial
maupun avulsi komplit nervus optikus.
6. Pemeriksaan adneksa mata: pemeriksaan terkait dengan ada tidaknya
fraktur tulang-tulang orbita, edema orbita, proptosis atau enoftalmos, dan
disfungsi otot ekstraokular.
7. Tekanan intraokular (TIO): peningkatan TIO dapat terjadi pada hematom
orbita, perdarahan difus orbita, atau edema jaringan lunak.
G. Pemeriksaan Penunjang

10

Pemeriksaan penunjang pada Traumatic Optic Neuropathy adalah sebagai


berikut:
1. Visual Evoked Potential (VEP)
2. Electroretinogram (ERG)
3. CT Scan
4. MRI
H. Tatalaksana
1. Steroid
Tatalaksana

kasus

TON

adalah

steroid

(metilprednisolon).

Terapi

metilprednisolon berguna dalam menstabilkan sirkulasi mikrovaskular dan


homeostasis kalsium. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa pemberian
metilprednisolon (30 mg/kgBB dosis awal, diikuti dengan 5,4 mg/kgBB/jam
selama 24 jam) dimulai dalam 8 jam pertama cedera memberikan perbaikan yang
signifikan baik pada fungsi motorik maupun sensorik jika dibandingkan dengan
plasebo.
2. Pembedahan
Pembedahan dekompresi kanal optikus dan

selubung nervus optikus

intrakanalikular dianjurkan untuk tatalaksana TON. Dekompresi nervus optikus


secara teori mengurangi penekanan pada nervus dan menstabilkan fungsi nervus.
Dekompresi nervus optikus dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan, antara
lain kraniotomi trans-frontal, fasial lateral, sublabial, dan endoskopik.
I. Prognosis
Prognosis TON bervariasi, walaupun secara umum buruk. Namun, perbaikan
penglihatan dapat terjadi dengan atau tanpa pengobatan. Terdapat faktot-faktor
yang menyebabkan prognosis buruk pada beberapa penelitian, antara lain:
1.
2.
3.
4.

Terdapat perdarahan di dalam ruang ethmoidal posterior


Usia lebih dari 40 tahun
TON yang disertai dengan kehilangan kesadaran
Tidak adanya perbaikan gejala setelah 48 jam pemberian steroid

11

BAB III
STATUS OFTALMOLOGI PASIEN
1. Identitas pasien
Nama: An. MFR

12

Jenis kelamin: Laki-laki


Usia: 14 tahun
Agama: Islam
Pekerjaan: Pelajar
Alamat: Jalan Imam Bonjol
Nomor rekam medis: 00-01-42
Status oftalmologi pasien diperoleh dari data rekam medis.
Pasien pertama kali diperiksa pada tanggal 20 Juni 2014.
2. Anamnesis
Pasien mengeluh mata kanan agak kabur dan kepala pusing. Mata sebelah
kanan pernah mengalami trauma karena kecelakaan motor 2 bulan lalu. Pasien
sudah pernah berobat ke dokter spesialis mata sebelumnya.
3. Pemeriksaan oftalmologis
a. Visus: OD 1/4/60
OS 5/5
b. Gerakan bola mata: ODS normal
OD
OS

c. TIO: OD 23,6 mmHg


OS 25,9 mmHg
d. Kornea: jernih
e. Iris/pupil: Refleks cahaya menurun, RAPD (+)
f. Lapang pandang: ODS normal
g. Funduskopi: OD papil saraf optik pucat
4. Diagnosis
Traumatic Optic Neuropathy OD
5. Tatalaksana
a. Steroid oral Metilprednisolon 1x48 mg tablet

13

b.
c.
d.
e.

Acetazolamide 1x250 mg tablet


Timolol maleat 0,5% Eyedrops 2x1 ODS
Suplemen Kalium 1x300 mg tablet
Kontrol 1 minggu

6. Riwayat pemeriksaan dan pengobatan


Tanggal
20/6/14

OD: 1/4/60
OS: 5/5

TIO
(mmHg)
OD: 23,6
OS: 25,9

30/6/14

OD: 1/2/60
OS: 5/5

OD: 15,9
OS: 19,5

08/7/14

OD: 5/60 +ph tidak


ditemukan
OS: 5/5

OD: 24,3
OS: 21,8

Visus

RAPD

Funduskopi

Tatalaksana

OD: 4/60
OS: 5/5
OD: 4/60
OS: 5/5

TIO
(mmHg)
Data
tidak ada
OD: 27,4
OS: 19,8

Data tidak
ada

OD: 4/60 +ph 5/60


OS: 5/5

OD: 25,5
OS: 26,3

Lanjutkan obat
Kontrol 1 minggu
MP 1x32 mg
Glaucon 2x1
Aspar K 1x1
Timol 2x1 ODS
Kontrol 1 minggu
MP 1x24 mg
Ginko biloba 3x1
Lanjutkan obat
lain

Tanggal
21/7/14
11/8/14

22/8/14

Visus

RAPD

Data
tidak
ada
Data
tidak
ada

Data tidak
ada
Data tidak
ada

MP 1x40 mg
Lanjutkan obat
lain
Kontrol 1 minggu

Data
tidak
ada

Funduskopi
OD papil
saraf optik
pucat

Data tidak
ada

Data tidak
ada

Tatalaksana
MP 1x48 mg
Cavit D-3 2x1
Glaucon 1x1
Aspar K 1x1
Timol 2x1 ODS
Kontrol 1 minggu
Lanjutkan obat
Kontrol 1 minggu

14

12/9/14

OD: 4/60 +ph 5/50


OS: 5/5

Data
tidak ada

Data tidak
ada

7/10/14

OD: 5/50 +ph 5/60


OS: 5/5

Data
tidak ada

ODS normal

17/10/14

OD: 5/60 +pH 5/30


OS: 5/5

OD: 31,4
OS: 25,2

Data tidak
ada

19/12/14

OD: 5/50 +ph 5/30


OS: 5/5

OD: 17,1
OS: 23,5

Data tidak
ada

9/1/14

OD: 5/50 +ph 5/30


OS: 5/5

OD: 23
OS: 17,6

Data
tidak
ada
Data
tidak
ada

7. Prognosis
Ad vitam
Ad functionam
Ad sanactionam

Data tidak
ada

Kontrol 2 minggu
MP 1x18 mg
selama 1 minggu
MP
1x9
mg
selama 1 minggu
Lanjutkan
obat
lain
Kontrol 2 minggu
MP 1x4 mg
Timol 2xODS
Ginkobiloba 3x1
Kontrol 1 minggu
Glaucon 2x1
Aspar K 1x1
Timol 2x ODS
Ginko biloba 3x1
Kontrol 2 minggu
Timol 2x ODS
Ginko biloba 3x1
Kontrol 2 minggu
Timol 2xODS
0,5%
Ginko biloba 3x1
Kontrol 1 bulan

: bonam
: dubia ad bonam
: dubia ad bonam
BAB IV
PEMBAHASAN

Seorang anak laki-laki usia 14 tahun mengeluh mata kanan agak kabur dan
kepala pusing. Mata sebelah kanan pernah mengalami trauma karena
kecelakaan motor 2 bulan lalu. Pasien sudah pernah berobat ke dokter spesialis
mata sebelumnya. Pada pemeriksaan oftalmologi didapatkan visus mata kanan

15

menurun yaitu

1/4

/60. Tekanan intraokular pasien meningkat, yaitu 23,6 mmHg

pada mata kanan dan 25,9 mmHg pada mata kiri. Pada pemeriksaan pupil
terdapat RAPD (+). Pemeriksaan funduskopi pada mata kanan didapatkan
refleks fundus pucat dan papil di lateral. Anamnesis dan pemeriksaan
oftalmologi tersebut mengarah pada Traumatic Optic Neuropathy mata kanan.
Traumatic Optic Neuropathy (TON) merupakan kerusakan nervus optikus
yang terjadi setelah trauma kranio-orbital. Trauma pada nervus optikus dapat
menyebabkan kompresi pada saraf optik, perdarahan, dan edema sekitar saraf
optik yang akhirnya menyebabkan iskemi nervus optikus. Saraf optik terdiri
dari sel-sel akson. Kehidupan akson saraf optik sangat tergantung pada
produksi metabolik di dalam ganglion sel retina,merupakan suatu sistem yang
bergantung pada konsentrasi oksigen di dalamnya. Sistem transport aksonal
sangat peka terhadap proses iskemik, inflamasi dan kompresi.Terputusnya
transport aksonal akibat berbagai penyebab akan menyebabkan gangguan pada
diskus optik dan akhirnya bermanifestasi sebagai gejala-gejala seperti
penurunan ketajaman penglihatan, penurunan refleks pupil, gangguan
penglihatan warna, dan kelainan lapang pandang. Dapat pula ditemukan
peningkatan tekanan intraokular (TIO) jika trauma menyebabkan hematom dan
edema jaringan lunak yang memberi tekanan berlebih pada mata. Peningkatan
TIO juga dapat disebabkan oleh pengobatan metilprednisolon yang diberikan.
Pemberian kortikosteroid dalam jangka waktu lebih dari tiga minggu dapat
menyebabkan peningkatan intraokular.
Pada funduskopi dapat ditemukan refleks fundus pucat dalam waktu 3-5
minggu setelah trauma, dimana lesi semakin ke anterior semakin cepat
berlanjut menjadi papil atropi. Atropi papil merupakan kerusakan pada saraf
optik yang mengakibatkan degenerasi saraf optik yang terjadi sebagai hasil
akhir suatu proses patologik yang merusak akson pada sistem penglihatan
anterior. Atropi papil dapat bersifat primer atau sekunder. Atropi papil
merupakan suatu tanda yang penting dari suatu penyakit saraf optik lanjut.
Atropi papil tidak terjadi dengan segera tetapi umumnya terjadi 3-5 minggu
setelah terjadinya kerusakan akson.

16

Tatalaksana yang diberikan ke pasien adalah metilprednisolone dengan 1x48


mg.

Terapi

mikrovaskular

metilprednisolon
dan

berguna

homeostasis

dalam

kalsium.

Pada

menstabilkan
pasien

ini

sirkulasi
diberikan

Acetazolamide 250 mg dan tetes mata Timolol 0,5% untuk menurunkan TIO
yang tinggi. Acetazolamide merupakan carbonic anhydrase inhibitor sistemik
yang bekerja dengan cara menginhibisi enzim karbonik anhidrase yang
merupakan enzim yang berperan dalam proses produksi aqueous humor. Ketika
enzim tersebut diinhibisi, terdapat penurunan produksi aqueous humor dan
menghasilkan penurunan TIO. Timolol maleat juga berfungsi untuk
menurunkan TIO. Timolol maleat merupakan antagonis adrenegik (beta
blocker). Obat ini bekerja dengan cara memblok aktivitas yang disebabkan
oleh stimulasi reseptor beta adrenergik. Ketika terstimulasi, reseptor ini
bertanggung jawab dalam peningkatan produksi aqueous humor. Oleh karena
itu, ketika diberikan agen antagonis adrenegik, produksi aqueous humor dapat
berkurang. Selain itu pasien ini juga diberikan suplemen kalium. Pada
pemakaian kortikosteroid (metilprednisolon) dapat memberikan efek samping
kehilangan kalium darah, sehingga diperlukan pemberian suplemen kalium.

BAB V
PENUTUP
Telah dilaporkan sebuah kasus pasien anak laki-laki usia 14 tahun mengeluh
mata kanan agak kabur dan kepala pusing. Mata sebelah kanan pernah
mengalami trauma karena kecelakaan motor 2 bulan lalu. Pasien sudah pernah
berobat ke dokter spesialis mata sebelumnya. Pada pemeriksaan oftalmologi
didapatkan visus mata kanan menurun yaitu

1/4

/60. Tekanan intraokular pasien

meningkat, yaitu 23,6 mmHg pada mata kanan dan 25,9 mmHg pada mata kiri.

17

Pada pemeriksaan pupil terdapat RAPD (+). Pemeriksaan funduskopi pada


mata kanan didapatkan refleks fundus pucat dan papil di lateral.
Anamnesis dan pemeriksaan oftalmologi tersebut mengarah pada Traumatic
Optic

Neuropathy

mata

kanan.

Tatalaksana

yang

diberikan

adalah

metilprednisolon 1x48 mg, acetazolamide, tetes mata timolol maleat 0,5%, dan
suplemen kalium.

DAFTAR PUSTAKA

Awan, Ayyaz Hussain. Case Report: Traumatic Optic Neuropathy. Pak J


Ophthalmol 2007, Vol. 23 No. 2.
Ilyas, S. dan Yulianti S.R. 2013. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 5. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI.

18

James, Bruce et al. 2003. Lecture Notes: Oftalmologi. Edisi 9. Jakarta: Penerbit
Erlangga.
Riordan Paul, Eva, et al. 2010. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum. Edisi 17.
Jakarta: EGC.
Srinivasan Renuka and Chaitra S. A Review Traumatic Optic Neuropathy (TON.
Kerala Journal of Ophthalmology Vol. XX, No. 1.
Yanoff, Myron et al. 2008. Yanoff & Duker: Ophthalmology. 3rd edition. UK:
Elsevier .

Anda mungkin juga menyukai