OLEH :
I PUTU SUARDITA PUTRA
(0708505033)
TEGUH KURNIA
(0708505074)
(0808505002)
NI MADE WIRYATINI
(0808505003)
(0808505033)
(0808505038)
JURUSAN FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS UDAYANA
2011
akut
akibat
carbamazepine
menyebabkan
stupor
atau
koma,
hiperiritabilitas, konvulsi dan depresi pernapasan. Selama terapi jangka panjang, efek obat
yang tidak diinginkan yang lebih sering terjadi meliputi rasa kantuk, vertigo, ataksia,
diplopia, dan pandangan kabur. Frekuensi kejang dapat meningkat, terutama jika
overdosis. Efek merugikan lainnya meliputi mual, muntah, toksisitas hematologis parah
(anemia aplastik, agranulositosis), dan reaksi hipersensivitas (dermatitis, eosinofilia,
limfadenopati, splenomegali). Komplikasi terapi carbamazepine yang muncul lambat
adalah retensi air, disertai dengan penurunan osmolalitas dan konsentrasi Na+ dalam
plasma, terutama pada pasien lanjut usia yang menderita penyakit jantung (Sweetman,
2009).
Toleransi berkembang terhadap efek-efek neurotoksik carbamazepine, dan dapat
diminimalkan dengan meningkatkan dosis secara bertahap atau dengan pengaturan dosis
pemeliharaan. Berbagai abnormalitas hati atau pankreas telah dilaporkan selama terapi
dengan carbamazepine, yang paling sering terjadi adalah peningkatan sementara enzimenzim hati dalam plasma pada 5% sampai 10% pasien. Leukopenia ringan dan sementara
terjadi pada sekitar 10% pasien selama awal-awal terapi dan biasanya menghilang dalam 4
bulan pertama pada penanganan, berkelanjutan, trombositopenia sementara juga telah
teramati. Pada sekitar 2% pasien, leukopenia yang menetap dapat berkembang yang
mengharuskan dihentikannya pemberian obat ini. Kekhawatiran awal bahwa anemia
aplastis dapat merupakan komplikasi yang sering terjadi pada terapi jangka panjang
dengan carbamazepine tidak terbukti. Pada kebanyakan kasus, pemberian beberapa obat
atau adanya penyakit lain yang mendasari mennyulitkan penetapan suatu hubungan sebabakibat. Pada umumnya, prevalensi anemia aplastik muncul sekitar 1 dari 200.000 pasien
yang ditangani dengan obat ini. Tidak jelas apakah pemantauan fungsi hematologis dapat
mencegah berkembangnya anemia aplastis ireversibel. (Sweetman, 2009).
1.2 Mekanisme Kerja
Seperti fenitoin, carbamazepine membatasi perangsangan berulang potensial aksi
yang dipicu oleh depolarisasi terus menerus pada neuron-neuron spinalis kordata atau
korteks mencit yang dipertahankan secara in vitro. Ini tampaknya diperantarai oleh
melambatnya laju pemulihan saluran Na+ yang diaktivasi tegangan dari keadaan
terinaktivasi. Efek carbamazepine ini tampak jelas pada konsentrasi dalam rentang
terapeutik di dalam CSS manusia. Efek carbamazepine bersifat selektif pada konsentrasi
ini, karena tidak ada efek pada aktivitas spontan atau pada respons terhadap GABA atau
glutamat yang diberikan secara iontoforetik. Metabolit carbamazepine, yaitu 10,11-epoksi
carbamazepine juga membatasi perangsangan berulang secara terus menerus pada
konsentrasi yang sesuai secara terapeutik, yang menunjukkan bahwa metabolit ini dapat
berkontribusi terhadap efikasi carbamazepine sebagai antikejang (Sweetman, 2009).
1.3 Efek Samping
Efek samping penggunaan carbamazepine adalah pusing, vertigo, ataksia, diplopia
dan penglihatan kabur. Efek samping lainnya berupa mual, muntah, anemia aplastik,
agranulositosis, dan reaksi alergi berupa dermatitis, eosinofilia, limfadenopati, dan
splenomegali. Gejala intoksikasi akut dapat berupa stupor/koma, iritabel, kejang dan
depresi napas (Sweetman, 2009).
dirinya. Enzim yang diinduksi oleh carbamazepine adalah sitokrom P450 CYP3A4. Induksi
enzim akan meningkatkan kecepatan biotransformasi dari obat yang dimetabolisme yang
berpengaruh pada laju eliminasi obat yang semakin meningkat sehingga untuk
mempertahankan agar obat berada dalam rentang konsentrasi terapi, dilakukan penambahan
dosis pada pemakaian berikutnya, akibatnya akan terjadi toleransi obat (Istianty, 2010).
Carbamazepin menginduksi ekspresi sistem enzim hati mikrosomal CYP3A4, yang
memetabolisme carbamazepine sehingga dikatakan autoinduksi. Setelah inisiasi terapi
carbamazepine, konsentrasi dapat diprediksi dan mengikuti dasar masing-masing clearance /
waktu paruh yang telah ditetapkan untuk pasien tertentu. Namun, setelah cukup
carbamazepine telah disajikan untuk jaringan hati, peningkatan aktivitas CYP3A4,
mempercepat klirens obat dan memperpendek waktu paruh. Autoinduksi akan terus terjadi
dengan peningkatan berikutnya dalam dosis tetapi biasanya akan mencapai puncak dalam
waktu 5-7 hari dengan dosis pemeliharaan. Peningkatan dosis pada laju 200 mg setiap 1-2
minggu mungkin diperlukan untuk mencapai ambang kejang stabil. Konsentrasi
carbamazepin stabil terjadi biasanya dalam waktu 2-3 minggu setelah mulai terapi (Tatyana,
1992).
Dari gambar di atas merupakan grafik hubungan antara dosis dengan klirens steady-state
rata rata dari carbamazepine (simbol kotak merupakan nilai klirens dan simbol batang
merupakan standar deviasi). Grafik ini menunjukkan bahwa dosis dari carbamazepine harus
terus ditingkatkan agar tetap berada dalam rentang steady state, karena setiap pemberian
berulang dari carbamazepine akan meningkatkan produksi dari enzim CYP3A4 yang
berpengaruh pada peningkatan laju klirens dari carbamazepine. Dapat dilihat pada grafik,
pada pemberian dosis tunggal carbamazepine sebanyak 100 mg/hari dan telah mencapai
steady-state, klirens obat tercatat sebesar 30 ml/menit, saat pemberian berulang dengan
peningkatan dosis tunggal menjadi 200 mg/hari, klirens carbamazepine terus meningkat
menjadi 35 ml/menit tetapi tidak mencapai konsentrasi steady-state. Oleh sebab itu dosis
kembali ditingkatkan menjadi 300 mg/hari agar tetap berada dalam konsentrasi steasy-state
walaupun klirens obat terus meningkat (Tatyana, 1992).
Berdasarkan suatu penelitian yang dilakukan oleh Connell et al (1984) untuk mengetahui
perubahan jumlah dari carbamazepine yang dimetabolisme dalam tubuh selama pemakaian
jangka pendek dengan sampel darah yang berasal dari 6 subjek pria sehat, maka didapatkan
data di bawah ini:
First Day
21 Days
10,4 1,7
6,8 1,2
0,79 0,17
1,1 0,3
48,4 9,3
45,6 8, 4
2.4 Eliminasi
Sekitar 25% dari dosis yang diabsorpsi, dieksresikan dalam urin sebagai metabolit
10,11-dihidroksi karbamazepin, 2% sebagai 10,11-epoksikarbamazepin dan kurang dari
10% dalam bentuk obat yang tidak berubah atau tidak termetabolisme (unchanged drug),
sehingga total obat yang diekskresikan ke dalam urine sebesar 37% dari keseluruhan obat
yang diabsorpsi. Selain diekskresi melalui urin, carbamazepine dikeluarkan melalui feses
sebesar 30% yaitu dalam bentuk metabolit 10,11-epoksikarbamazepin. Waktu paruh
eliminasi 10 20 jam. Hal ini dipersingkat dengan kehadiran obat antipilepsi lain dan
induktor hati enzim (phenitoin, phenobarbitone). Carbamazepin mengurangi konsentrasi
plasma lamotrigin, oxcarbamazepame, topiramate, phelbamate (Moffat et al., 2004).
2.5 Klirens
Klirens obat adalah suatu ukuran eliminasi obat dari tubuh tanpa mempermasalahkan
mekanisme prosesnya. Ada beberapa takrif dari klirens yang secara farmakokinetik sama
artinya. Umumnya, jaringan tubuh atau organ dianggap sebagai suatu kompartemen cairan
dengan volume terbatas (volume distribusi) dimana obat terlarut di dalamnya. Dari konsep
ini, klirens ditakrifkan sebagai volume cairan (yang mengandung obat) yang dibersihkan
dari obat per satuan waktu. Kemungkinan lain, klirens dapat ditakrifkan sebagai laju
eliminasi obat dibagi konsentrasi obat dalam plasma pada waktu tersebut (Shargel, 2005).
atau
CLT = CLrenalis + CLnonrenalis
Klirens total dari carbamazepine dengan pemberian dosis tunggal 400 mg rata-rata
berkisar antara 0,71 sampai 0,82 mL/jam (Mulyadi 2010).
Klirens hepatis dapat diartikan sebagai volume darah yang mengaliri (perfusi) hati
yang terbersihkan dari obat per satuan waktu. Klirens hepatis (CLh) juga sama dengan
CL tubuh total dikurangi CL ginjal. Dengan kata lain, CLh dapat dihitung dengan rumus :
CLh = CLT (1 % obat utuh yang ditemukan dalam urin)
(Shargel, 2005)
Dengan menggunakan rumus di atas, CLh dapat ditentukan, dimana CL total
carbamazepine yang diberikan dengan dosis 400 mg pada hari pertama berdasarkan data
pada Tabel 1. adalah 0,79 mL/jam (Connell et al., 1984). Persentase obat utuh yang
ditemukan dalam urin adalah sekitar 10 % (0,1) (Moffat et al., 2004). Jadi, CLh
carbamazepine pada hari pertama adalah:
CLh
= CLT
CLh
= CLT
x (1- 10%)
CLh
= 0,79
CLh
= 0,79
mL/jam x 0,9
CLh
= 0,711
mL/jam
= CLT
- CLh
CLrenalis
= 0,79
CLrenalis
= 0,079
mL/jam
(Coleman, 2005)
Carbamazepine termasuk obat yang dieliminasi oleh metabolism hepatik dengan
rasio ekstraksi hepatis yang rendah yaitu 0,03 (Shargel, 2005).
IV. Profil Kadar Carbamazepine Intravena Dosis Tunggal Dalam Plasma
Penelitian yang telah dilakukan Mulyadi dkk, (2010) mengenai profil farmakokinetika
carbamazepin dan metabolitnya pada sukarelawan sehat etnik Jawa dan Cina di Indonesia
menunjukkan tidak terdapat perbedaan profil farmakokinetika carbamazepin antara etnik
Jawa dan etnik Cina. Namun demikian terdapat variasi profil farmakokinetika antar individu
yang bermakna pada kedua etnik ini. Hasil penelitian mengenai profil kadar carbamazepin
dalam serum setelah pemberian dosis tunggal carbamazepin dosis tunggal 400 mg dan
parameter farmakokinetika carbamazepin dapat dijabarkan sebagai berikut :
Etnik Jawa
Etnik Cina
10,11-epoksi carbamazepin/carbamazepin
0,07 0,03
0,35 0,99
0,13 0,14
0,14 0,11
DAFTAR PUSTAKA
Chan, E., Lee, H. S., and Hue, S. S. 2001. Population pharmacokinetics of carbamazepine in
Singapore epileptic patients. Br J Clin Pharmacol, 51, 567-576.
Coleman, Michael B. 2005. Human Drug Metabolism an Introduction. London : Wiley.
Connell, J.M.C., W.G. Rapeport, G.H. Beastall and M.J. Brodie. 1984. Changes in circulating
androgens during short term carbamazepine therapy. Br. J. clin. Pharmac. (1984), 17, 347351
Homsek, I., Parojcic, J., Cvetkovic, N., Popadic, D., and Djuric, Z. 2007. Biopharmaceutical
characterization of carbamazepine immediate release tablets. Drug Res, 57 8, 511-516.
Istianty, 2010. Antiepilepsi (Power Point Presentation). Departemen Farmakologi dan Terapetik
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta.
Moffat, C Anthony, David Osselton, dan Brian Widdop. 2004. Clarkes Analysis of Drugs and
Poisons in Pharmaceutical, Body Fluids, and Post-Mortem Material. 3rd Edition. London:
The Pharmaceutical Pres.
Mulyadi, Sugiyanto, A.Aziz Hubeis dan M. Ismadi.2010. Pharmacokinetic Profile of
Carbamazepine and Its Metabolites on Javanese and Chinese Etnics in Indonesia.
Majalah Farmasi Indonesia, 21(1), 1 7, 2010
Neal, Mike.J. 2005. At a Glance Farmakologi Medis. Jakarta : Penerbit Erlangga
Shargel, Leon dan Andrew B.C. Yu. 2005. Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan.
Surabaya : Airlangga University Press.
Sukandar, Elin Y., R. Andrajati, J. I. Sigit, I.K. Adnyana, A.A.P. Setiadi, Kusnandar. 2008. ISO
Farmakoterapi. PT. ISFI Penerbitan: Jakarta.
Sweetman, Sean C. 2009. Martindale The Complete Drug Reference Thirty-sixth Edition.
Pharmaceutical Press: London.
Tatyana, B., Kudriakova, Lev.A. Sirota, Galina I. Rozova and Vladimir A.Gorkov. 1992.
Autoinduction and Steady-State Pharmacokinetics of Carbamazepine and Its Major
Metabolites. Br.J. Clin. Pharmac. (1992), 33, 611-615.
Tothfalusi, L., Speidl, S., and Endrenyi, L. 2007. Exposure-response analysis reveals that
clinically important toxicity difference can exist between bioequivalent carbamazepine
tablets. Br. J. Clin. Pharmacol, 65, 1, 110-122.