Anda di halaman 1dari 52

BAB I

PENDAHULUAN

Neuritis adalah istilah umum untuk peradangan saraf atau peradangan umum pada
system saraf perifer. Gejala tergantung pada saraf yang terlibat, tetapi mungkin termasuk rasa
sakit, paresthesia, paresis, hypoesthesia (mati rasa), anestesi, lumpuh, dan hilangnya refleks.
Jenis-jenis neuritis meliputi: Polineuritis atau Neuritis Multiple, Neuritis Brakial,
Neuritis Optik, Neuritis Vestibular, Neuritis Kranial, sering mewakili sebagai Bells Palsy.
Kelainan fungsional sistem saraf tepi dapat disebabkan kelainan pada sel saraf di
sumsum tulang belakang atau kelainan sepanjang saraf tepi sendiri. Inti sel saraf adalah tempat
terpenting dalam metabolisme neuronal sehingga berbagai proses disini dapat mempengaruhi
saraf tepi. Penghantaran rangsangan dan nutrisi pada saraf tepi sangat bergantung pada keutuhan
selubung mielin dan aliran darah pada saraf tepi tersebut. Neuropati dapat primer disebabkan
proses demielinisasi atau iskemik lokal pada saraf tepi.
Menurut WHO, technical report series 645, 1980 : batasan neuropati saraf tepi adalah
kelainan menetap (lebih dari beberapa jam) dari neuron sumsum tulang, neuron motorik batang
otak bagian bawah, sensorimotor primer, neuron susunan saraf autonom perifer dengan kelainan
klinis, elektroneurografik dan morfologik.
Gejala yang mula-mula mencolok adalah pada ujung saraf yang terpanjang. Di sini
didapat degenerasi aksonal, sehingga penyembuhan dapat terjadi jika ada degenerasi aksonal.
Proses di sini lambat dan sering tidak semua saraf terkena lesi tersebut.
Oleh karena itu Referat ini akan membahas mengenai beberapa hal berkaitan dengan
penyakit neuritis beserta klasifikasinya secara menyeluruh.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Definisi
Neuritis adalah istilah umum untuk peradangan saraf atau peradangan umum pada

system saraf perifer. Gejala tergantung pada saraf yang terlibat, tetapi mungkin termasuk rasa
sakit, paresthesia, paresis, hypoesthesia (mati rasa), anestesi, lumpuh, dan hilangnya refleks.
2.2.

Klasifikasi

Jenis-jenis neuritis meliputi:


a. Polineuritis atau Neuritis Multiple
b. Neuritis Brakial
c. Neuritis Optik
d. Neuritis Vestibular
e. Neuritis Kranial, sering mewakili sebagai Bells Palsy
2.2.1.

Polineuritis
Polineuritis adalah degenerasi banyak saraf perifer yang simetris yang dapat timbul

diantaranya pada keadaan kekurangan vitamin B1, timbul dalam jangka waktu tertentu , tanpa
atau melalui jalur peradangan
Patofisiologi
a. Neuropati aksonal
Neuropati akson mengenai akson dengan efek sekunder pada sarung mielin. Akson yang
terbesar terkena lebih dulu. Jenis lain dari neuropati aksonal disebabkan oleh iskemik akibat

vaskulopati. Sisi dari kerusakan aksonal berhubungan dengan innervasi vaskular dan dapat
terkena dimana saja sepanjang saraf tersebut.
b. Neuropati demielin
Yang terkena adalah sel schwann dari sarung mielin dengan akibat demielinisasi dari saraf
tepi dalam bentuk distribusi segmental.
c. Bentuk gabungan
Kebanyakan neuropati adalah bentuk gabungan dimana mielin lebih terkena dari pada akson
atau sebaliknya.
Klasifikasi
Berdasarkan lokasi
1. Polineuropati sensorik-motorik simetris
Bentuk ini lebih dikenal dengan polineuropati, merupakan bentuk yang paling sering
dijumpai. Keluhan dapat dimulai dari yang paling ringan sampai dengan yang paling berat.
Gangguan bersifat simetris pada kedua sisi. Tungkai lebih dulu menderita dibanding lengan.
Gangguan sensorik berupa parestesia, anestesia dan perasaan baal pada ujung-ujung jari kaki
yang dapat menyebar ke arah proksimal sesuai dengan penyebaran saraf tepi, ini disebut
sebagai gangguan sensorik dengan pola kaus kaki. Kadang-kadang parestesia dapat berupa
perasaan-perasaan yang aneh yang tidak menyenangkan, rasa seperti terbakar. Nyeri pada
otot sepanjang perjalanan saraf tepi jarang dijumpai. Nyeri ini dapat mengganggu penderita
pada waktu malam hari, terutama pada waktu penderita sedang tidur. Kadang-kadang
penderita mengeluh sukar berjinjit dan sulit berdiri dari posisi jongkok.
Kelemahan otot pertama-tama dijumpai pada bagian distal kemudian menyebar ke arah
proksimal. Atrofi otot, hipotoni dan menurunnya refleks tendon terutama tendon Achilles,
dapat dijumpai pada fase dini sebelum kelemahan otot dijumpai. Saraf otonom dapat juga
terkena sehingga menyebabkan gangguan trofik pada kulit dan hilangnya keringat serta
gangguan vaskular perifer yang dapat menyebabkan hipotensi postural.
Berdasarkan etiologi
1. Penyakit Defisiensi

Defisiensi tiamin, asam nikotinat, dan asam pantotenat mempengaruhi metabolisme


neuronal dengan menghalangi oksidasi glukosa. Defisiensi seperti ini dapat terjadi karena
malnutrisi, muntah-muntah, kebutuhan yang meningkat seperti pada kehamilan atau pada
alkoholisme. Defisiensi tiamin dapat menyebabkan kardiomiopati dan gangguan pada
mesensefalon (Wernickes encephalopaty), ini akan menyebakan paralisis otot-otot okular,
nistagmus, ataksia, dan demensia. Neuritis alkoholik disebabkan oleh defisiensi tiamin dan
bukan karena efek toksik alkohol yang biasanya disertai rasa nyeri yang sangat pada daerah
betis.2
Defisiensi asam nikotinat akan menyebabkan penyakit pellagra. Pada polineuropati yang
disebabkan defisiensi asam nikotinat, penderita-penderita akan mengalami demensia ringan,
dermatitis pada daerah tubuh yang terkena matahari, kadang-kadang disertai glositis dan
diare.
2. Gangguan metabolisme
Gambaran klinik neuropati terlihat pada 20% penderita diabetes melitus, tetapi dengan
pemeriksaan elektrofisiologi pada dibetes melitus asimptomatik tampak bahwa penderita
sudah mengalami neuropati subklinik. Pada kasus yang jarang, neuropati merupakan tanda
awal suatu diabetes melitus. Neuropati terjadi biasanya pada diabetes melitus yang lama dan
tidak terkontrol pada orang usia lanjut. Gejala yang sering terjadi yaitu menyerupai lesi pada
ganglion radiks posterior. Disini dijumpai hipestesia perifer dengan disertai hilangnya
sensasi getar. Rasa nyeri tidak selalu dijumpai, kadang-kadang dijumpai artropati tanpa rasa
nyeri dan ulkus pada kaki. Dapat terjadi gangguan otonom seperti diare, hipotensi postural,
gangguan sekresi keringat dan impotensi.
Neuropati merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap meningkatnya kerentanan
pasien diabetes melitus terhadap infeksi, dimana akibat neuropati sensorik akan
menyebabkan berkurangnya rasa nyeri setempat sehingga luka kurang disadari dan
diabaikan oleh pasien, serta berakibat terlambatnya pengobatan. Neuropati motorik dapat
berakibat deformitas bentuk kaki dan gangguan titik-titik tekan pada telapak kaki. Lebih
lanjut neuropati autonomik dapat menyebabkan atoni kandung kemih serta gangguan

mekanisme kelenjar keringat. Atoni kandung kemih menyebabkan timbulnya stasis residu
urin dalam kandung kemih yang merupakan faktor predisposisi infeksi yang sering kambuh.
3. Keracunan
Neuropati karena keracunan jarang dijumpai. Timah dan logam berat akan menghambat
aktifasi enzim dalam proses aktifitas oksidasi glukosa sehingga mengakibatkan neuropati
yang sukar dibedakan dengan defisiensi vitamin B2. Keracunan timah menyebabkan
neuropati motorik, khususnya mempengaruhi nervus radialis, medianus dan poplitea
lateralis. Terkulainya tangan dan kaki (drop wrist dan drop foot) merupakan gejala yang
sering ditemukan.
4. Manifestasi alergi
Gangguan motorik pada sindrom Guillain-Bare biasanya timbul lebih awal daripada
gangguan sensorik. Biasanya terdapat gangguan sensasi perifer dengan distribusi sarung
tangan dan kaus kaki tetapi kadang-kadang gangguan tampak segmental. Otot proksimal dan
distal terganggu dan refleks tendon menghilang. Nyeri bahu dan punggung biasanya
ditemukan. Otot fasial dan otot okular kadang-kadang terganggu. Perluasan dan kelemahan
otot-otot batang tubuh menuju toraks akan menganggu pernapasan.2
5. Infeksi
Lepra merupakan salah satu infeksi yang mempengaruhi saraf-saraf secara langsung, terjadi
penebalan lokal saraf pada sisi infeksi dan kulit daerah yang diinervasi mengalami
pigmentasi dan anestesik. Lepra disebabkan oleh Mycobacterium leprae yang mempunyai
sifat neurotropis, yang bisa ditemukan intraneural dan ekstraneural yang akan
mengakibatkan kerusakan saraf. Bahkan Fite menyatakan bahwa semua kusta merupakan
penyakit saraf.

Berdasarkan perlangsungan klinisnya, kerusakan saraf pada lepra dibagi atas :


1. Neuropati akut : terjadi nyeri spontan.
5

2. Neuropati sub akut : timbul nyeri bila dirangsang/palpasi.


3. Neuropati kronis : tidak memberikan keluhan nyeri.
6. Neuropati Kompresi
Pada Sindrom Kanalis Karpi, terjadi penyempitan kanalis karpi oleh materi lemak atau
edema, sehingga menyebabkan kompresi nervus medianus. Gejalanya meliputi nyeri pada
tangan yang kadang-kadang menyebar secara proksimal ke atas menuju lengan. Nyeri
semakin hebat pada malam hari, kadang-kadang membangunkan penderita pada dini hari.
Gejala-gejala menjadi berat oleh kerja manual yang berat seperti menggosok atau mencuci.
Diagnosis
Anamnesis
Keluhan berupa kelemahan otot tungkai bawah, disertai rasa kesemutan, kram, tertusuk-tusuk,
rasa baal, atau rasa terbakar.
Pemeriksaan fisis
Kelainan / kelemahan dapat berbentuk motorik, sensorik, sensorimotor atau otonomik dengan
distribusi dapat pada bagian distal atau proksimal.
a. Parestesi atau distesi
b. Gangguan sensorik tipe sarung tangan dan kaus kaki
c. Refleks fisiologis menurun atau menghilang
d. Atropi otot-otot distal
e. Langkah ayam (steppage gait)

C. Pemeriksaan laboratorium
Likuor : protein normal, kadang-kadang meningkat pada jenis demyelinating.
Darah : untuk mencari latar belakang etiologis, misalnya pemeriksaan glukosa dalam keadaan
puasa dan 2 jam sesudah makan.
Pemeriksaan penunjang lainnya
EMNG : gambaran khas berupa kecepatan hantar saraf yang menurun.
Biopsi saraf : bila perlu (konsultasi dengan bagian patologi anatomi).
Diagnosa banding
Miopati, yaitu suatu kelainan yang ditandai oleh abnormalnya fungsi otot (merupakan perubahan
patologik primer) tanpa adanya denervasi pada pemeriksaan klinik, histologik atau
neurofisiologi.
Penatalaksanaan
a. Terapi
- Kausal : menurut penyebabnya
- Simptomatis : menurut gejalanya
- Suportif : vitamin neurotropik, dll
- Rehabilitatif : fisioterapi.
b. Perawatan rumah sakit : rawat inap dalam upaya mencari kausa dan untuk perawatan bila
perlu. Bila ada penyulit dirawat di ICU.
Prognosis
Pada umumnya polineuropati sembuh dengan gejala sisa, walaupun pada beberapa kasus
memperlihatkan gejala-gejala yang menetap. Apabila terjadi paralisis otot-otot pernapasan maka
prognosis akan lebih buruk. Hal demikian ini akan lebih diperburuk lagi apabila rumah sakit
tidak mempunyai fasilitas perawatan yang memadai

2.2.2.

Neuritis Brakhialis

Definisi
7

Lesi pleksus brakhialis adalah lesi saraf yang menimbulkan kerusakan saraf yang
membentuk pleksus brakhialis, mulai dari radiks saraf hingga saraf terminal. Keadaan ini dapat
menimbulkan gangguan fungsi motorik, sensorik atau autonomic pada ekstremitas atas. Istilah
lain yang sering digunakan yaitu neuropati pleksus brakhialis atau pleksopati brakhialis 2,3,4,7
Etiologi
Penyebab lesi pleksus brakhialis bervariasi, diantaranya : 4,8,9
1.

Trauma
Merupakan penyebab terbanyak lesi pleksus brakhialis pada orang dewasa maupun
neonatus. Keadaan ini dapat berupa ; cedera tertutup, cedera terbuka, cedera iatrogenic.

2.

Tumor
Dapat berupa tumor neural sheath yaitu ; neuroblastoma, schwannoma, malignant peripheral
nerve sheath tumor dan meningioma. Tumor non-neural ; jinak (desmoid, lipoma), malignant
( kangker mammae dan kangker paru)

3.

Radiation-induced
Frekuensi cedera pleksus brachialis yang dipicu oleh radiasi diperkirakan sebanyak 1,8
4,9% dari lesi dan paling sering pada pasien kangker mammae dan paru.

4.

Entrapment
Keadaan ini merupakan penyebab cedera pleksus brakhialis pada thoracic outlet syndrome.
Postur tubuh dengan bahu yang lunglai dan dada yang kolaps menyebabkan thoracic outlet
menyempit sehingga menekan struktur neurovaskuler. Adanya iga accessory atau jaringan
fibrous juga berperan menyempitkan thoracic outlet. Faktor lain yaitu payudara berukuran
besar yang dapat menarik dinding dada ke depan (anterior dan inferior). Teori ini didukung
dengan hilangnya gejala setelah operasi mammoplasti reduksi. Implantasi mammae juga
dikatakan dapat menyebabkan cedera pleksus brakhialis karena dapat nmeningkatkan
tegangan dibawah otot dinding dada dan mengiritasi jaringan neurovaskuler.

5.

Idiopatik
Pada Parsonage Turner Syndrome terjadi pleksitis tanpa diketahui penyebab yang jelas
namun diduga terdapat infeksi virus yang mendahului. Presentasi klasik adalah nyeri dengan
onset akut yang berlangsung selama 1 2 minggu dan kelemahan otot timbul lebih lambat.
Nyeri biasanya hilang secara spontan dan pemulihan komplit terjadi dalam 2 tahun.
8

Patofisiologi
Bagian cord akar saraf dapat terjadi avulsi atau pleksus mengalami traksi atau
kompresi. Setiap trauma yang meningkatkan jarak antara titik yang relatif fixed pada
prevertebral fascia dan mid fore arm akan melukai pleksus. Traksi dan kompresi dapat juga
menyebabkan iskemi, yang akan merusak pembuluh darah. Kompresi yang berat dapat
menyebabkan hematome intraneural, dimana akan menjepit jaringan saraf sekitarnya.
Derajat Kerusakan
Derajat Kerusakan pada lesi saraf perifer dapat dilihat dari klasifikasi Sheddon
(1943) dan Sunderland (1951).
1. Klasifikasi Sheddon, yaitu :
a. Neuropraksia
Pada atipe ini terjadi kerusakan mielin namun akson tetap intak. Dengan adanya
kerusakan mielin dapat menyebabkan hambatan konduksi saraf. Pada tipe cedera seperti
ini tidak terjadi kerusakan struktur terminal sehingga proses penyembuhan lebih cepat
dan merupakan derajat kerusakan paling ringan.
b. Aksonotmesis
Terjadi kerusakan akson namun semua struktur selubung saraf termasuk endoneural
masih tetap intak. Terjadi degenerasi aksonal segmen saraf distal dari lesi (degenerasi
Wallerian). Regenerasi saraf tergantung dari jarak lesi mencapai serabut otot yang
denervasi tersebut. Pemulihan sensorik cukup baik bila dibandingkan motorik.
c. Neurotmesis
Terjadi ruptur saraf dimana proses pemulihan sangat sulit terjadi meskipun dengan
penanganan bedah. Bila terjadi pemulihan biasanya tidak sempurna dan dibutuhkan
waktu serta observasi yang lama. Merupakan derajat kerusakan paling berat.
2. Klasifikasi Sunderland lebih merinci kerusakan saraf yang terjadi dan membaginya dalam 5
tingkat, yaitu :
a. Tipe I
: hambatan dalam konduksi (neuropraksia)
b. Tipe II
: cedera akson tetapi selubung endoneural tetap intak (aksonotmesis)
c. Tipe III
: aksonotmesis yang melibatkan selubung endoneural tetapi perineural dan
epineural masih intak.

d. Tipe IV

:aksonotmesis melibatkan selubung endoneural, perineural, tetapi epineural

masih baik.
e. Tipe V
: aksonotmesis melibatkan selubung endoneural, perineural dan epineural
(neurotmesis).
Gejala yang timbul umumnya unilateral berupa kelainan motorik, sensorik dan bahkan
autonomik pada bahu dan/atau ekstremitas atas. Gambaran klinisnya mempunyai banyak
variasi tergantung dari letak dan derajat kerusakan lesi. Lesi pleksus brakhialis dapat dibagi
atas pleksopati supraklavikular dan pleksopati infraklavikular. 2
Pleksopati supraklavikuler
Pada Pleksopati supraklavikuler lesi terjadi ditingkat radiks saraf, trunkus saraf atau
kombinasinya. Lesi ditingkat ini dua hingga tujuh kali lebih sering terjadi dibanding lesi
infraklavikuler.2
Lesi tingkat radiks
Pada lesi pleksus brakhialis ini berkaitan dengan avulsi radiks. Gambaran klinis sesuai dengan
dermatom dan miotomnya. Lesi di tingkat ini dapat terjadi partial paralisis dan hilangnya
sensorik inkomplit, karena otot-otot tangan dan lengan biasanya dipersyarafi oleh beberapa
radiks. 5
Tabel 1. Manifestasi klinis berdasarkan letak lesi
Penurunan

Kelemahan

Hipestesi/kesemutan

Refleks
Biseps brakhii

Fleksi siku

Lateral lengan atas

5
C

Brakhioradiialis

Ekstensi

Lateral lengan bawah

pergelangan

Triceps brakhii

tangan
Ekstensi siku

Jari tengah

7
C

Fleksi jari2 tangan

Medial lengan bawah

8
T

Abduksi

Medial siku

jari2

tangan
10

Sindroma Erb-Duchenne
Lesi di radiks servikal atas (C5 dan C6) atau trunkus superior dan biasanya terjadi akibat
trauma. Pada bayi terjadi karena penarikan kepala saat proses kelahiran dengan penyulit
distokia bahu, sedangkan pada orang dewasa terjadi karena jatuh pada bahu dengan kepala
terlampau menekuk kesamping. Presentasi klinis pasien berupa waiters tip position dimana
lengan berada dalam posisi adduksi (kelemahan otot deltoid dan supraspinatus), rotasi internal
pada bahu (kelemahan otot teres minor dan infraspinatus), pronasi (kelemahan otot supinator
dan brachioradialis) dan pergelangan tangan fleksi (kelemahan otot ekstensor karpi radialis
longus dan brevis). Selain itu terdapat pula kelemahan pada otot biseps brakhialis, brakhialis,
pektoralis mayor, subscapularis, rhomboid, levator scapula dan teres mayor. Refleks bisep
biasanya menghilang, sedangkan hipestesi terjadi pada bagian luar (lateral) dari lengan atas dan
tangan
Sindroma Klumpkes Paralysis
Lesi di radiks servikal bawah (C8, T1) atau trunkus inferior dimana penyebab pada bayi baru
dilahirkan adalah karena penarikan bahu untuk mengeluarkan kepala,sedangkan pada orang
dewasa biasanya saat mau jatuh dari ketinggian tangannya memegang sesuatu kemudian bahu
tertarik. Presentasi klinis berupa deformitas clawhand (kelemahan otot lumbrikalis) sedangkan
fungsi otot gelang bahu baik. Selain itu juga terdapat kelumpuhan pada otot fleksor carpi
ulnaris, fleksor digitorum, interosei, tenar dan hipotenar sehingga tangan terlihat atrofi.
Disabilitas motorik sama dengan kombinasi lesi n. Medianus dan ulnaris. Kelainan sensorik
berupa hipestesi pada bagian dalam/ sisi ulnar dari lengan dan tangan.2
Lesi di trunkus superior
Gejala klinisnya sama dengan sindroma Erb di tingkat radiks dan sulit dibedakan. Namun pada
lesi di trunkus superior tidak didapatkan kelumpuhan otot rhomboid, seratus anterior, levator
scapula dan saraf supra - & infraspinatus. Trdapat gangguan sensorik di lateral deltoid, aspek
lateral lengan atas dan lengan bawah hingga ibu jari tangan.
Lesi di trunkus media

11

Sangat jarang terjadi dan biasanya melibatkan daerah pleksus lainnya (trunkus superior
dan/atau trunkus inferior). Gejala klinis didapatkan kelemahan otot triceps dan otot-otot yang
dipersyarafi n. Radialis (ekstensor tangan), serta kelainan sensorik biasanya terjadi pada dorsal
lengan dan tangan.
Lesi di trunkus inferior
Gejala klinisnya yang hampir sama dengan sindroma Klumpke di tingkat radiks. Terdapat
kelemahan pada otot-otot tangan dan jari-jari terutama untuk gerakan fleksi, selain itu juga
kelemahan otot-otot spinal intrinsik tangan. Gangguan sensorik terjadi pada aspek medial dari
lengan dan tangan
Lesi Pan-supraklavikular (radiks C5-T1 / semua trunkus)
Pada lesi ini terjadi kelemahan seluruh otot ekstremitas atas, defisit sensorik yang jelas pada
seluruh ekstremitas atas dan mungkin terdapat nyeri. Otot rhomboid, seratus anterior dan otototot spinal mungkin tidak lemah tergantung dari letak lesi proksimal (radiks) atau lebih ke
distal (trunkus).2,6,7
Pleksopati Infraklavikuler
Pada pleksopati infraklavikuler terjadi lesi ditingkat fasikulus dan/atau saraf terminal. Lesi
infraklavikuler ini jarang terjadi dibanding supraklavikuler namun umumnya mempunyai
prognosis lebih baik. Penyebab utama terjadi pleksopati infraklavikuler biasanya adalah trauma
dapat tertutup (kecelakaan lalu lintas) maupun terbuka (luka tembak). Mayoritas disertai oleh
kerusakan struktur didekatnya (dislokasi kaput humerus, fraktur klavikula, scapula atau
humerus).
Gambaran klinis sesuai dengan lesinya :
1)

Lesi di fasikulus lateral


Dapat terjadi akibat dislokasi tulang humerus. Lesi disini akan mengenai daerah yang
dipersyarafi oleh n. Muskulocutaneus dan sebagian dari n. Medianus. Gejala klinisnya yaitu

12

kelemahan otot fleksor lengan bawah dan pronator lengan bawah, sedangkan otot-otot intrinsik
tangan tidak terkena. Kelainan sensorik terjadi di lateral lengan bawah dan jari 1 III tangan.
2)

Lesi di fasikulus medial


Disebabkan oleh dislokasi subkorakoid dari humerus. Kelemahan dan gejala sensorik terjadi
dikawasan motorik dan sensorik n. Ulnaris. Lesi disini akan mengenai seluruh fungsi otot
intrinsik tangan seperti fleksor, ekstensor dan abduktor jari-jari tangan, juga fleksor ulnar
pergelangan tangan. Secara keseluruhan kelaianan hampir menyerupai lesi di trunkus inferior.
Kelainan sensorik terlihat pada lengan atas dan bawah medial, tangan dan 2 jari tangan bagian
medial.

3)

Lesi di fasikulus posterior


Lesi ini jarang terjadi. Gejala klinisnya yaitu terdapat kelemahan dan defisit sensorik
dikawasan n. Radialis. Otot deltoid (abduksi dan fleksi bahu), otot-otot ekstensor lengan,
tangan dan jari-jari tangan mengalami kelemahan. Defisit sensorik terjadi pada daerah
posterior dan lateral deltoid,juga aspek dorsal lengan, tangan dan jari-jari tangan.

Pemeriksaan Penunjang
Radiografi
Adanya cedera saraf tepi biasanya disertai dengan cedera tulang dan jaringan iikat sekitar yang
dapat dinilai dengan pemeriksaan radiografi. Pada kasus cedera traumatik, penggunaan X-foto
dapat membantu menilai adanya dislokasi, subluksasi atau fraktur yang dapat berhubungan
dengan cedera pleksus tersebut.
Pemeriksaan radiografi :
1.

Foto vertebra servikal untuk mengetahui apakah ada fraktur pada vertebra servikal

2.

Foto bahu untuk mengetahui apakah ada fraktur skapula, klavikula atau humerus

3.

Foto thorak untuk melihat disosiasi skapulothorak serta tinggi diafragma pada kasus paralisa
saraf phrenicus.
13

Adanya benda asing seperti peluru juga dapat terlihat. Sedangkan pada kasus cedera pleksus
brakhialis traumatik yang berat. Narakas, melaporkan bahwa umumnya terdapat trauma
multipel pada kepala atau muskuloskletal lainnya.2,6,7
CT scan dapat digunakan untuk menilai adanya fraktur tersembunyi yang tidak dapat dinilai
oleh x-foto. Sedangkan myelografi digunakan pada lesi supraklavikular berat, yang berguna
untuk membedakan lesi preganglionik dan postganglionik. Kombinasi CT dan myelografi lebih
sensitif dan akurat terutama untuk menilai lesi proksimal (avulsi radiks). MRI dapat
memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai jaringan ikat sekitar lesi dan penilaian
pleksus brakhialis ekstraforaminal normal atau tidak normal. 2,3,4,6,7
Penatalaksanaan
Pada pleksus brakhialis menjadi tantangan, terutama karena beberapa penyebab tidak
ada terapi yg spesifik. Penatalaksanaan suportif, dengan berfokus pada kontrol nyeri dan
disertai dengan penatalaksanaan aspek rehabilitasi dan tindakan operasi, operasi diindikasikan
pada lesi pleksus brakhialis berat dan umumnya dilakukan 3-4 bulan setelah trauma dan tidak
dianjurkan jika telah lebih dari 6 bulan karena hasil kesembuhan tidak optimal. Jika lesi sangat
luas dan perbaikan keseluruhan tidak memungkinkan maka tujuan utama perbaikan bedah
adalah mengembalikan fungsi fleksi siku, kemudian dapat dilanjutkan dengan fungsi ekstensi
pergelangan tangan dan fleksi jari-jari.
Beberapa tindakan operasi yang dilakukan pada lesi pleksus brakhialis adalah :
Pembedahan primer
Pembedahan dengan standart microsurgery dengan tujuan memperbaiki injury pada plexus
serta membantu reinervasi. Teknik yang digunakan tergantung berat ringan lesi.
Neurolysis : Melepaskan constrictive scar tissue disekitar saraf
Neuroma excision: Bila neuroma besar, harus dieksisi dan saraf dilekatkan kembali dengan teknik
end-to-end atau nerve grafts
Nerve grafting : Bila gap antara saraf terlalu besar, sehingga tidak mungkin dilakukan tarikan.
Saraf yang sering dipakai adalah n suralis, n lateral dan medial antebrachial cutaneous, dan
cabang terminal sensoris pada n interosseus posterior
14

Neurotization : Neurotization pleksus brachialis digunakan umumnya pada kasus avulsi pada akar
saraf spinal cord. Saraf donor yang dapat digunakan : hypoglossal nerve, spinal accessory
nerve, phrenic nerve, intercostal nerve, long thoracic nerve dan ipsilateral C7 nerve.
Intraplexual neurotization menggunakan bagian dari root yang masih melekat pada spinal cord
sebagai donor untuk saraf yang avulsi.
Perbaikan primer yang segera biasanya direkomendasikan bila laserasi saraf bersih dari benda
tajam.
2. Pembedahan sekunder
Tujuan untuk meningkatkan seluruh fungsi extremitas yang terkena. Ini tergantung
saraf yang terkena. Prosedurnya berupa tendon transfer, pedicled muscle transfers, free muscle
transfers, joint fusions and rotational, wedge or sliding osteotomies.

2.2.3.
Neuritis Optik
Definisi
Neuritis optik adalah peradangan atau demielinisasi saraf optik akibat berbagai
macam penyakit. Insidensi neuritis optikus dalam populasi per tahun diperkirakan 5 per 100.000
sedangkan prevalensinya 115 per 100.000. Sebagian besar mengenai usia 20 sampai dengan 40
tahun. Wanita lebih umum terkena dari pada pria. Berdasarkan data The Optic Neuritis Treatment
Trial (ONTT) 77% adalah wanita, 85% kulit putih dan usia rata-rata 32 7 tahun. Sebagian
besar kasus patogenesisnya disebabkan inflamasi demielinisasi dengan atau tanpa sklerosis
multipel. Pada sebagian besar kasus neuritis optikus monosimptomatik merupakan manifestasi
awal sklerosis multipel.3

Etiologi
Etiologi neuritis optikus termasuk: 6,12
1.

Inflamasi lokal
a. Uveitis dan retinitis
b. Oftalmia simpatika
c. Meningitis
15

d. Penyakit sinus dan infeksi orbita


2.

Inflamasi general yaitu:


a.

Infeksi syaraf pusat

Multiplel sklerosis
Diberbagai kelompok populasi diseluruh dunia, neuritis retrobulbar berkaitan dengan
sklerosis multipel pada 13-85% pasien (Chavis dan Hoyt, 2000). Data dari Mayo
clinic pada tahun 1933 didapatkan dari 255 kasus sebanyak 155 disebabkan oleh
sklerosis multipel.

Acute disseminated encephalomyelitis


Neuromyelitis optic (Devic disease)
Merupakan suatu proses demielinisasi yang mengenai saraf optik. Penyakit ini sering
salah didiagnosis dengan dibedakan berdasarkan derajat keparahan, optikus, medulla
spinalis) dan (polymorphonuclear pleocytosis).

Syphilis
Tuberkulosis
Leber's disease
Merupakan suatu penyakit herediter pada laki-laki muda, manifestasinya sebagai
perubahan mendadak pada penglihatan sentral, pertama kali mengenai satu mata dan
selanjutnya kedua mata. Karakteristiknya terdapat skotoma sentral dengan dercce
central nucleus. Pada beberapa kasus inflamasi mengenai nervus di dalam bola mata
sehingga menyebabkan papilitis ringan. Pada kasus yang lain mengenai nervus di
belakang mata.

3.

Toksin endogen
a.

Penyakit infeksi akut, seperti influenza, malaria, measles, mumps, pneumonia

b.

Fokus septik pada gigi, tonsil, infeksi fokal

c.

Penyakit metabolik: diabetes, anemia, kehamilan, avitaminosis

4. Intoksikasi racun eksogen seperti tobacco, etil alcohol, metil alkohol.


16

Faktor Resiko
Faktor resiko neuritis optikus termasuk: 3,12
1. Usia
Neuritis optikus sering mengenai dewasa muda usia 20 sampai 40 tahun; usia rata-rata
terkena sekitar 30 tahun. Usia lebih tua atau anak-anak dapat terkena juga tetapi
frekuensinya lebih sedikit.
2. Jenis kelamin
Wanita lebih mudah terkena neuritis optikus dua kali daripada laki-laki.
3. Ras
Neuritis optikus lebih sering terjadi pada orang kulit putih dari pada ras yang lain
Klasifikasi
Berdasarkan klasifikasinya neuritis optik terbagi menjadi dua, yaitu:
1. Papilitis
Papilitis adalah pembengkakan diskus yang disebabkan oleh peradangan lokal di
nervus saraf optik dan dapat terlihat dengan pemeriksaan funduskopi.2

17

Gambar 2.1. Gamabaran Funduskopi pada Papilitis


Patogenesis
Nervus optikus mengandung serabut-serabut syaraf yang mengantarkan informasi
visual dari sel-sel nervus retina ke dalam sel-sel nervus di otak. Retina mengandung sel
fotoreseptor, merupakan suatu sel yang diaktivasi oleh cahaya dan menghubungkan ke sel-sel
retina lain disebut sel ganglion. Kemudian mengirimkan sinyal proyeksi yang disebut akson ke
dalam otak. Melalui rute ini, nervus optikus mengirimkan impuls visual ke otak. Inflamasi yang
terjadi pada neuritis optik yang akan menyebabkan sinyal visual terganggu dan pandangan
menjadi lemah.2
Gejala dan Tanda
Dalam waktu yang cepat visus akan sangat menurun, kadang-kadang sampai buta.
Keluhan ini disertai dengan rasa sakit dimata terutama saat penekanan. Kadang-kadang disertai
demam atau setelah demam biasanya pada anak yang menderita infeksi virus atau infeksi saluran
napas bagian atas.
Pada pemeriksaan pupil ditemui adanya RAPD yaitu kelainan pupil yang sering
dijumpai dengan adanya tanda pupil Marcus Gunn.3 Cara pemerikasaan, mata pasien secara
bergantian diberi sinar, pada sisi mata yang sakit pupil tidak mengecil tetapi malah membesar.
Kelainan ini menunjukan adanya lesi N.II pada sisi tersebut.

18

Gambar 2.2. Tanda pupil Marcus Gunn


Pada pemeriksaan fundus ditemukan hiperemi papil saraf optik dengan batas yang
kabur, pelebaran vena retina sentralis dan edema papil. Kadang-kadang sekitar papil terlihat
bergaris-garis disebabkan edema, sehingga serabut saraf menjadi renggang.
Gangguan lapang pandang dapat terjadi pada penglihatan perifer dan menyempit
secara konsentris, didapatkan juga skotoma sentral, sekosentral atau para sentral.

2. Neuritis Retrobulbar
Neuritis retrobulbarmerupakan peradangan saraf optik yang terdapat dibelakang bola
mata sehingga tidak menimbulkan kelainan fundus mata.1,2
Gejala dan Tanda
Visus sangat terganggu dan disertai dengan amaurosis fugax pasien juga
mengeluhkan bola mata bila digerakkan akan terasa berat dibagian belakang bola mata. Rasa
sakit akan bertambah bila bola mata ditekan yang disertai dengan sakit kepala. 2 Pada neuritis
gambaran fundus normal pada awal, namun lama kelamaan akan terlihat kekaburan batas papil
saraf optik dan degenerasi saraf optik akibat degenerasi serabut saraf, disertai atrofi desenden
akan terlihat papil pucat dengan batas tegas.2

19

Gangguan lapang pandang pada neuritis retrobulbar dapat terjadi sepanjang segmen
intraorbita sampai segmen intracranial dan sesuai dengan lokasinya. Gangguan tersebut dapat
berupa skotoma sentral, skotoma sentral unilateral, skotoma sentral bilateral, skotoma sentral
pada mata homolateral dan defek superior temporal pada kampus kontralateral dan hemiopia
bitemporal bila mengenai kiasma optika.
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, tanda dan gejala klinis, namun pada
neuritis retrobulbar yang kelainannya cukup jauh di belakang diskus optik dan pada pemeriksaan
oftalmoskopi tidak ditemukan apa-apa, maka perlu dilakukan pemeriksaan penunjang seperti
MRI, analisis cairan serebrospinal, Visually Evoked Potensials Test (VEP) dan serologi. 12
Dasar perlunya dilakukan pemeriksaan penunjang diatas pada kasus neuritis optik adalah:
1.

Untuk menentukan penyebabnya apakah suatu proses inflamasi


atau non inflamasi, idiopatik, dan infeksi.

2.

Untuk menentukan prognosisnya, apakah akan berkembang


secara klinis menjadi multipel sklerosis.

a.

Magnetic Resonance Imaging (MRI)


MRI penting untuk memutuskan apakah daerah di otak telah terjadi kerusakan myelin,
yang mengindikasikan resiko tinggi berkembangnya sklerosis multipel. MRI juga dapat
membantu menyingkirkan kemungkinan tumor atau kondisi lain. Pada pasien yang
dicurigai menderita neuritis optikus, pemeriksaan MRI otak dan orbita dengan fat
suppression dan gadolinium sebaiknya dilakukan dengan tujuan untuk konfirmasi
diagnosis dan menilai lesi white matter. MRI dilakukan dalam dua minggu setelah gejala
timbul. Pada pemeriksaan MRI otak dan orbita dengan fat suppression dan gadolinium
menunjukkan peningkatan dan pelebaran nervus optikus. Lebih penting lagi, MRI dipakai
dengan tujuan untuk memutuskan apakah terdapat lesi ke arah sklerosis multipel. Ciri-ciri
resiko tinggi mengarah ke sklerosis multipel adalah terdapat lesi white matter dengan
diameter 3 atau lebih, bulat, lokasinya di area periventrikular dan menyebar ke ruangan
ventrikular.
20

Gambar 2.3. Lesi white matter pada MRI


b.

Pemeriksaan cairan serebrospinal


Protein ologinal banding pada cairan serebrospinal merupakan penentu sklerosis multipel.
Terutama dilakukan terhadap pasien-pasien dengan pemeriksaan MRI normal.

c.

Test Visually Evoked Potentials


Test Visually evoked potentials adalah suatu test yang merekam sistem visual, auditorius
dan sensoris yang dapat mengidentifikasi lesi subklinis. Test Visually evoked potentials
menstimulasi retina dengan pola papan catur, dapat mendeteksi konduksi sinyal elektrik
yang lambat sebagai hasil dari kerusakan daerah nervus.

d.

Pemeriksaan darah
Pemeriksaan tes darah NMO-IgG untuk memeriksa antibodi neuromyelitis optica. Pasien
dengan neuritis optikus berat sebaiknya menjalani pemeriksan ini untuk mendeteksi apakah
berkembang menjadi neuromyelitis optica. Pemeriksaan tingkat sedimen eritrosit
(erythrocyte sedimentation rate (ESR)) dipakai untuk mendeteksi inflamasi pada tubuh, tes
ini dapat menentukan apakah neuritis optikus disebabkan oleh inflamasi arteri kranialis.

Diagnosis Banding
Diagnosis banding mata tenang visus turun mendadak, adalah:2,3
21

1. Nonarteritic anterior ischemic optic neuropathy


Terdapatnya nyeri terutama pada pergerakan mata (meskipun tidak mutlak) secara klinis
dapat membedakan neuritis optikus dengan nonarteritic anterior ischemic optic
neuropathy.
2. Syndrom viral dan post viral
Parainfectious optic neuritis umumnya mengikuti onset infeksi virus selama 1-3 minggu,
tetapi dapat juga sebagai fenomena post vaksinasi. Umumnya mengenai anak-anak
daripada dewasa dan terjadi karena proses imunologi yang menghasilkan demielinisasi
nervus optikus. Post viral atau parainfeksius neuritis optikus dapat terjadi unilateral tetapi
sering bilateral. Diskus optikus dapat normal atau terjadi pembengkakan.
3. Ablasio Retina
Keadaan dimana terpisahnya sel kerucut dan batang retina dari sel epitel pigmen retina.
Ablasio retina akan memeberikan gejala terdapatnya gangguan penglihatan yang kadangkadang terlihat sebagai tabir yang menutup. Terdapat riwayat adanya pijar api (fotopsia)
pada lapang penglihatan. Pada pemeriksaan funduskopi akan terlihat retina yang terangkat
berwarna pucat dengan pembuluh darah di atasnya dan terlihat adanya robekan retina
berwarna merah.
4. Oklusi Arteri Vena Sentralis
Gangguan vaskular retina dengan potensial menimbulkan kebutaan yang sering terjadi dan
mudah didiagnosis. Pasien datang dengan penurunan penglihatan mendadak yang tidak
nyeri. Biasanya pada usia lebih dari 50 tahun dan mengidap penyakit kardiovaskular terkait
lainnya.
5. Papil Edema
Kongesti non inflamasi diskus optik yang berkaitan dengan peningkatan tekanan
intrakranium. Keluhan yang dirasakan pasien biasanya nyeri kepala hebat, mual, muntah
namun ketajaman penglihatan masih normal. Pada funduskopi didapatkan papil sembab,
batas kabur, kapiler dan vena retina melebar dan berkelok, terdapat perdarahan, eksudat
22

dan terdapat penonjolan papil yang melebihi 3 dioptri. Tidak terdapat gangguan pada
lapang pandang. Keadaan ini biasanya ditemukan bilateral.
Penatalaksanaan
1.

Terapi jangka pendek


The Optic Neuritis Treatment Trial (ONTT) telah meneliti secara komprehensif tentang

penatalaksanaan neuritis optikus dengan menggunakan steroid. Dalam penelitiannya ONTT


melibatkan sebanyak 457 pasien, usia 18-46 tahun dengan neuritis optikus akut unilateral. Data
follow up didapatkan dari kohort ONTT (Longitudinal Optic Neuritis Study (LONS))
menghasilkan informasi penting tentang gejala klinis, penglihatan jangka panjang, penglihatan
yang berkaitan dengan kualitas hidup dan peranan MRI otak dalam memutuskan resiko
berkembang menjadi Clinically Definite Multiple Sclerosis (CDMS).
Pasien yang terlibat pada penelitian ini diacak menjadi 3 kelompok perlakuan terapi, yaitu:
a. Mendapatkan terapi prednison oral (1 mg/ kg BB/ hari) selama 14 hari dengan 4 hari
tappering off ( 20 mg hari l, 10 mg hari ke 2 dan 4) (kelompok terapi oral).
b. Mendapatkan terapi dengan metilprednisolon sodium suksinat IV 250 mg tiap 6 jam selama 3
hari, diikuti dengan prednison oral (1 mg/kg BB/ hari) selama 11 hari dengan 4 hari
tappering off (kelompok terapi dengan metilprednisolon IV).
c. Mendapatkan terapi dengan placebo selama 14 hari.
Dalam penelitian ini yang dinilai terutama tajam penglihatan dan sensitifitas terhadap
kontras sedangkan berkembangnya menjadi CDMS adalah hal kedua yang dinilai.
MRI otak dan orbita dengan menggunakan gadolinium telah dilakukan untuk semua
pasien. Hasil yang didapatkan dari penelitian ini adalah:
a.

Terapi dengan menggunakan metilprednisolon IV mempercepat pulihnya


penglihatan tetapi tidak untuk jangka panjang setelah 6 bulan sampai dengan 5 tahun bila
dibandingkan dengan terapi menggunakan placebo atau prednison oral. Keuntungan terapi
dengan menggunakan metilprednisolon IV ini baik dalam 15 hari pertama saja.
23

b.

Pasien yang mendapatkan terapi dengan menggunakan prednison oral saja


didapatkan terjadi resiko rekurensi neuritis optiknya (30% setelah 2 tahun dibandingkan
dengan kelompok placebo 16% dan kelompok yang mendapatkan steroid IV 13%) sampai
dengan follow up 5 tahun.

c.

Pasien dengan monosymptomatik yang mendapatkan terapi dengan menggunakan


metilprednisolon intra vena didapatkan penurunan tingkat perkembangan ke arah CDMS
selama 2 tahun pertama follow up, tetapi tidak bermanfaat setelah 2 tahun karena persentase
perkembangan menjadi CDMS hampir sama dengan kelompok prednison oral dan placebo.
2.

Terapi jangka panjang


Di antara pasien dengan resiko tinggi berkembang menjadi CDMS yang ditetapkan dengan

kriteria MRI oleh ONTT (dua atau lebih lesi white matter), telah dilakukan penelitian 383 pasien
oleh (The Controlled High-Risk Avonex MS Prevention Study (CHAMPS)) menunjukkan terapi
dengan interferon 1a pada pasien acute monosymptomatic demyelinating optic neuritis
berkurang secara signifikan dalam 3 tahun dibandingkan dengan kelompok placebo, juga
terdapat pengurangan tingkat lesi baru pada MRI otak. Hasil yang sama juga didapatkan pada
pasien dengan neuritis optikus. Semua pasien kelompok terapi dengan interferon -1a dan
kelompok placebo juga mendapatkan terapi dengan metilprednisolon IV selama 3 hari diikuti
dengan prednison oral selama 11 hari sesuai dengan protokol ONTT. Meskipun terapi dengan
interferon -1a pada pasien neuritis optikus dan pada pasien yang beresiko menurut pemeriksaan
MRI manfaat jangka panjangnya tidak diketahui, tetapi hasil dari CHAMPS memberikan suatu
terapi awal yang rasional. Ini didukung oleh hasil penelitian dari Early Treatment of Multiple
Sclerosis Study, (ETOMS)) yang menghasilkan selama 2 tahun follow up terjadi penurunan yang
signifikan jumlah pasien yang berkembang menjadi CDMS dengan terapi awal interferon 13-1a
(34%) bila dibandingkan dengan kelompok placebo (45%).3
Pada model eksperimen sklerosis multipel, dengan menggunakan terapi immunoglobulin
intravena telah menunjukan terjadinya remielinisasi pada sistem syaraf sentral. Penelitian lain
(1992) menyarankan bahwa terapi dengan immunoglobulin bermanfaat pada pasien neuritis
optikus dengan penurunan penglihatan yang bermakna. Akan tetapi dalam penelitian terbaru
tentang immunoglobulin intravena dengan placebo pada 55 pasien sklerosis multipel dengan
24

kehilangan penglihatan tetap (20/40 atau lebih rendah) yang disertai neuritis optikus tidak
menunjukkan pemulihan yang signifikan terhadap tajam penglihatan.
Jika pada pemeriksaan dengan MRI ditemukan lesi white matter dua atau lebih (diameter
3 atau lebih) diterapi berdasarkan rekomendasi dari ONTT, CHAMPS, dan ETOMS, yaitu:3
1. Metilprednisolon IV (1 g per hari, dosis tunggal atau dosis terbagi selama 3 hari) diikuti
dengan prednison oral (1 mg/ kg BB/ hari selama 11 hari kemudian 4 hari tappering off).
2. Interferon -1a intramuskular satu kali seminggu.
Pada pasien monosymptomatik dengan lesi white matter pada MRI kurang dari 2, dan
yang telah didiagnosis CDMS, diberikan terapi metilprednisolon (diikuti prednison oral) dapat
dipertimbangkan untuk memulihkan penglihatan, tetapi ini tidak memperbaiki untuk jangka
panjang. Berdasarkan hasil penelitian dari ONTT, penggunaan prednison oral saja (sebelumnya
tidak diterapi dengan metilprednisolon IV ) dapat meningkatkan resiko rekurensi.
Prognosis
Sebagian besar pasien sembuh sempurna atau mendekati sempurna setelah 6-12 minggu.
Sembilan puluh lima persen penglihatan pasien pulih mencapai visus 20/40 atau lebih baik. Dan
sebagian besar pasien mencapai perbaikan maksimal dalam 1-2 bulan, meskipun pemulihan
dalam 1 tahun juga memungkinan. Derajat keparahan kehilangan penglihatan awal menjadi
penentu terhadap prognosis penglihatan. Meskipun penglihatan dapat pulih menjadi 20/20 atau
bahkan lebih baik, banyak pasien dengan acute demyelinating optic neuritis berlanjut menjadi
kelainan pada penglihatan yang mempengaruhi fungsi harian dan kualitas hidupnya. Kelainan
tajam penglihatan (15-30%), sensitivitas kontras (63-100%), penglihatan warna (33-100%),
lapang pandang (62-100%), stereopsis (89%), terang gelap (89-100%), reaksi pupil afferent (5592%), diskus optikus (60-80%), dan visual-evoked potensial (63-100%).12

2.2.4.

Neuritis Vestibularis

Definisi
Neuritis vestibularis adalah suatu bentuk penyakit organik yang terbatas pada
apparatus vestibular dan terlokalisir pada perjalanan saraf ke atas mencakup nuklei vestibular
25

pada batang otak. Pada pasien ini muncul vertigo dengan dengan spektrum luas disertai sakit
kepala yang bermula dari pandangan gelap sesaat sampai ketidakseimbangan yang kronis,
disertai kelainan tes kalori unilateral maupun bilateral.
Pakar lain membatasi istilah NV ini untuk caloric canal paresis yang unilateral ,
namun mencakup kasus-kasus dengan gejala yang progresif lambat, nistagmus spontan dapat
dijumpai pada 80% kasus. Dengan istilah acute peripheral vestibulophaty (vestibulopati perifer
akut, VPA) dimaksudkan untuk kasus-kasus hilangnya fungsi vestibular perifer dengan onset
mendadak (tidak progresif lambat) dan disertai nistagmus spontan.

Epidemiologi

Merupakan penyakit ketiga terbanyak ketiga dari vertigo perifer.


Insidensinya 3,5/100.000.
Usia terbanyak pada 31-40 tahun, dan antara laki-laki dengan perempuan sama banyak.

Etiologi
1. Infeksi Herpes simplex virus tipe 1, dengan kenyataan :
Pola endemik
Studi post mortem : degenerasi inflamatif
Peningkatan protein pada liquor serebrospinalis
Ditemukan HSV-1 DNA dan RNA di ganglion vestibularis.
2. Iskemia pada pembuluh darah yang memperdarahi bagian telinga (suplai darah telinga
dalam diberikan oleh arteri auditorius interna dan arteri yang bercabang ke dalam arteri
koklearis komunis dan arteri vestibularis anterior yang mensuplai kanalis semisirkularis
dan untrikulus.
Patofisiologi
Faktor Pencetus Neuronitis Vestibular
a. Infeksi virus pada alat keseimbangan di telinga dalam.
b. Radang/infeksi saraf keseimbangan (vestibular neuritis), biasanya terjadi serangan
vertigo berulang beberapa jam atau beberapa hari setelah serangan pertamanya.

26

Seringkali disertai perasaan cemas. Seringkali dialami setelah infeksi virus sebelumnya,
tidak disertai gangguan maupun penurunan pendengaran.
c. Temuan klinis NV menunjukan adanya disrupsi mendadak dari masukan neuron dari
salah satu labirin. Sensasi vertigo dan nistagmus spontan diterangkan dengan firing rate
spontan yang tinggi dari neuron vestibular primer. Letak lesi dapat dimana saja mulai dari
vestibuler end organ sampai ke serabut-serabut terminal dari neuron vestibular primer di
batang otak.
d. Adanya nistagmus spontan horizontal (komponen major: horizontal, komponen minor :
vertikal dan torsial) dan adanya gangguan respons terhadap stimulasi kalorik,
menunjukan bahwa setidak-tidaknya aktivitas afferen dari kanalis semisirkularis
horizontal terganggu.
Gambaran klinis
Gambaran klinis pada stadium akut mencakup vertigo, nistagmus spontan dan gangguan
respons kalorik. Disamping itu juga dapat dijumpai kelainan-kelainan pada stimulasi galvanik,
test rotasional, test gerakan mata lain, reflex vestibule spinal dan test visual vertical subjektif.
Dan masih dapat juga dijumpai gejala-gejala auditorik.
Vertigo berlangsung dengan onset yang mendadak, sering terjadi di malam hari, namun
pada 65% kasus terjadi setelah bangun tidur di pagi hari. Vertigo bisa meningkat secara bertahap
dalam beberapa jam, dan mencapai puncaknya dalam hari pertama. Pada 8,6% kasus ada gejala
prodromal yang berupa sensasi dizzy yang terjadi 1 hari sampai 1 minggu sebelum onset vertigo
yang berat.
Vertigo biasanya digambarkan sebagai tipe rotasional. pasien sering membuat pernyataan
yang membingungkan dan kontradiktif tentang arah rotasi. Macam vertigonya antara lain,
sebagai berikut :
1. Sensasi gerak diri sendiri yang subjektif murni searah dengan fase cepat nistagmus
spontannya (ke sisi telinga yang sehat).
2. Tendensi untuk jatuh ke arah telinga yang sakit disebabkan oleh reaksi vestibulospinal
kompensatorik.
3. Ilusi liingkungan sekeliliingnnya berputar (bukan dirinya yang berputar).

27

Sebagian besar pasien juga merasakan nausea berat dan vomitus, tak dapat berjalan dan
bahkan tak dapat berdiri. Di tempat tidur pasien berbaring dengan mata tertutup dalam posisi
miring dengan telinga yang sehat di bawah. Hal ini adalah kebalikan dengan pasien penyakit
Meniere yang biasanya berbaring miring dengan telinga yang sakit di bawah.
Vertigonya jelas meningkat dengan gerakan kepala, dan biasanya menetap lebih dari 24
jam. Sebaliknya pada penyakit Meniere, vertigonya berlangsung hanya beberapa jam saja. Pada
stadium akut NV wajib ditemukan nistagmus spontan, horizontal, dengan arah yang menetap
dengan fase cepatnya memukul ke arah telinga yang sehat dan berkurang jika melirik ke telinga
yang sakit.
Diagnosis
Kriteria diagnosis Neuritis Vestibularis sebagai berikut :
1. Vertigo berat dan nausea spontan, onset dalam beberapa jam, menetap lebih dari 24 jam.
2. Sikap (stance) dan gaya jalan : ataksik
3. Nistagmus spontan, arah menetap, horizontal, ke arah telinga yang sehat, menetap lebih
dari 24 jam.
4. Caloric canal paresis yang unilateral bermakna.
5. Otoscopy normal, pendengaran normal.
6. Defisit neurologik lain : tidak ada.
Pemeriksaan
a. Dilakukan pemeriksaan fungsi pendengaran dan elektronistagmografi (rekaman
pergerakan mata dengan menggunakan metoda elektronik). Pemeriksaan nistagmus
lainnya adalah dengan memasukkan sejumlah kecil air es ke dalam setiap saluran telinga
lalu pergerakan mata penderita direkam.
b. Untuk membedakan neuronitis vestibularis dari penyebab vertigo lainnya bisa dilakukan
pemeriksaan MRI kepala.
c. Nistagmus
1. Tes Romberg yang dipertajam (sharpen Romberg Test)
Tes Romberg ditujukan untuk adanya disfungsi sistem vestibular. Orang yang normal
mampu berdiri dalam sikap Romberg yang dipertajam selama minimal 30 detik. Pada tes
ini pasien berdiri dengan kaki yang satu di depan kaki yang lain, tumit yang satu berada
di depan jari kaki lain. Lengan dilipat ke dada dan mata ditutup.
28

2. Stepping test
Pasien disuruh berjalan di tempat dengan mata ditutup sebanyak 50 langkah dengan
kecepatan seperti berjalan biasa dengan mengatakan sebelumnya bahwa pasien harus
berusaha agar tetap di tempat dan tidak beranjak selama tes. Tes ini dapat mendeteks
gangguan vestibular. Kedudukan akhir dianggap abnormal jika penderita beranjak lebih
dari 1 meter atau badan berputar lebih dari 30 derajat.
3. Salah tunjuk (past pointing)
Pasien diminta merentangkan tangan dan telunjuknya menyentuh telunjuk pemeriksa,
kemudian disuruh menutup mata, mengangkat lengannya tinggi-tinggi dan kemudian
kembali ke posisi semula. Pada gangguan vestibular didapatkan salah tunjuk (deviasi)
dan demikian juga dengan gangguan serebellar.
Penatalaksanaan
Non farmakologis
1. Karena gerakan kepala memperhebat vertigo, pasien harus dibiarkan berbaring diam
dalam kamar gelap selama 1-2 hari pertama.
2. Fiksasi visual cenderung menghambat nistagmus dan mengurangi perasaan subyektif
vertigo pada pasien dengan gangguan vestibular perifer, misalnya neuronitis
vestibularis. Pasien dapat merasakan bahwa dengan memfiksir pandangan mata pada
suatu obyek yang dekat, misalnya sebuah gambar atau jari yang direntangkan ke
depan, temyata lebih enak daripada berbaring dengan kedua mata ditutup.
3. Karena aktivitas intelektual atau konsentrasi mental dapat memudahkan terjadinya
vertigo, maka rasa tidak enak dapat diperkecil dengan relaksasi mental disertai fiksasi
visual yang kuat.
4. Bila mual dan muntah berat, cairan intravena harus diberikan untuk mencegah
dehidrasi.
5. Bila vertigo tidak hilang. Banyak pasien dengan gangguan vestibular perifer akut
yang belum dapat memperoleh perbaikan dramatis pada hari pertama atau kedua.
Pasien merasa sakit berat dan sangat takut mendapat serangan berikutnya. Sisi
penting dari terapi pada kondisi ini adalah pernyataan yang meyakinkan pasien bahwa
6. Neuronitis vestibularis dan sebagian besar gangguan vestibular akut lainnya adalah
jinak dan dapat sembuh. Dokter harus menjelaskan bahwa kemampuan otak untuk
beradaptasi akan membuat vertigo menghilang setelah beberapa hari.
29

7. Latihan vestibular dapat dimulai beberapa hari setelah gejala akut mereda. Latihan ini
untuk rnemperkuat mekanisme kompensasi sistem saraf pusat untuk gangguan
vestibular akut.
Farmakologis
Karena neuronitis vestibularis adalah penvakit yang dapat sembuh sendiri dengan
penyebab yang tidak diketahui, pengobatan diarahkan untuk nrenyupresi gejala-gejalanya. Obatobat berikut ini bermanfaat meredakan vertigo akibat neuronitis vestibularis, mabuk kendaraan
atau gangguan vetibuler lainnya. Bila mual hebat maka obat antivertigo dapat diberikan
supositoria atau injeksi. Perawatan di rumah sakit diperlukan pada pasien yang
disekuilibriumnya berat atau muntah-muntah terus sehingga membutuhkan rehidrasi intravena.

Antihistamin
Supresi vertigo bukan sifat umum dari semua antihistamin dan tidak berkaitan dengan
potensi perifernya sebagai antagonis histamin. Aktivitas antihistamin yang benar-benar
mengurangi vertigo (dimenhidrinat, difenhidramin, meklizin, siklizin) ternyata spesifik
dan tidak hanya mensupresi pusat muntah batang otak. Sesungguhnya banyak antiemetik
yang sering dipakai hanya sedikit bermanfaat untuk mengatasi vertigo. Antihistaminantivertigo juga menunjukkan aktivitas antikolinergik pada sistem saraf pusat. Sifat ini
mungkin

merupakan

mekanisme

biokimiawi

dari

aktivitas

antivertigo

yang

mendasarinya.
Efek samping.
Efek samping utama dari zat-zat ini adalah sedasi. Rasa mengantuk ini terutama lebih
menonjol dengan dimenhidrinat atau difenhidramin. Efek sedatif ini bermanfaat pada
pasien vertigo yang hebat. Bila pasien kurang menyukai efek ini maka dapat diberikan
meklizin atau siklizin atau betahistin mesilat (Merislon, Betaserc). Efek samping
antikolinergik berupa mulut kering atau penglihatan kabur kadang-kadang terjadi.

30

Obat Antikolinergik
Mensupresi aktif secara sentral dari aktivitas sistem vestibular dan dapat berguna untuk
mengurangi vertigo. Skopolamin metilbromida (Holopon) 3 kali 1-2 mg sehari. Tetapi
pada orang tua harus hati-hati sebab dapat menimbulkan konfusi mental dan obstruksi
saluran keluar kandung kemih.
Prometazin dari golongan fenotiazin merupakan yang paling efektif dari golongan ini
dalam mengobati vertigo dan mabuk kendaraan. Efek samping utama adalah mengantuk.

Zat Simpatomimetik
Efedrin memiliki efek sinergis bila digabung dengan obat antivertigo lainnya. Efek
stimulan dari obat ini dapat mengatasi efek sedatif dari obat lainnya tetapi dapat
menyebabkan insomnia, gemetar dan palpitasi.
Penyekat saluran kalsium perifer seperti flunarizin (Sibelium) 1-2 kali 5 mg/hari dapat
diberikan pada kasus vertigo dengan penyakit vaskular yang mendasarinya.
Penenang minor seperti diazepam atau lorazepam bermanfaat dalam menghilangkan
ansietas akut yang sering menyertai vertigo. Hidroksizin (Iterax, Bestalin) merupakan
penenang yang juga memiliki sifat antihistamin serta antiemetik sehingga dapat dipakai
untuk antivertigo. Dosis dewasa yang lazim adalah 25-100 mg 3-4 kali sehari.
2.2.5. Bells Palsy

Definisi
Bells palsy adalah kelumpuhan nervus fasialis perifer (N.VII), terjadi secara akut dan
penyebabnya tidak diketahui (idiopatik) atau tidak menyertai penyakit lain yang dapat
mengakibatkan lesi nervus fasialis atau kelumpuhan fasialis perifer akibat proses non-supuratif,
non-neoplasmatik, non-degeneratif primer namun sangat mungkin akibat edema jinak pada
bagian nervus fasialis di foramen stilomastoideus atau sedikit proksimal dari foramen tersebut,
yang mulanya akut dan dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan.1,3

31

Epidemologi
Insiden Bells palsy secara pasti sulit ditentukan karena penderita tidak hanya berobat ke
dokter saraf saja, tetapi kemungkinan ada yang berobat kepada dokter umum, dokter THT
maupun dokter mata. Data yang dikumpulkan dari 4 buah Rumah sakit di Indonesia didapatkan
frekuensi Bells palsy sebesar 19,55 % dari seluruh kasus neuropati dan terbanyak pada usia 21
30 tahun. Lebih sering terjadi pada wanita daripada pria. Tidak didapati perbedaan insiden antara
iklim panas maupun dingin, tetapi pada beberapa penderita didapatkan adanya riwayat terpapar
udara dingin seperti naik kendaraan dengan kaca terbuka, tidur di lantai atau bergadang sebelum
menderita bells palsy.2,4

Etiologi
Ada 4 teori yang dihubungkan dengan etiologi Bells palsy yaitu:2,4
1. Teori iskemik vaskuler
Terjadi gangguan regulasi sirkulasi darah ke N.VII. Terjadi vasokontriksi arteriole
yang melayani N.VII sehingga terjadi iskemik, kemudian diikuti oleh dilatasi kapiler dan
permeabilitas kapiler yang meningkat dengan akibat terjadi transudasi. Cairan transudat yang
keluar akan menekan dinding kapiler limfe sehingga menutup. Selanjutnya akan

32

menyebabkan keluar cairan lagi dan akan lebih menekan kapiler dan venula dalam kanalis
fasialis sehingga terjadi iskemik.
2. Teori infeksi virus
Bells palsy sering terjadi setelah penderita mengalami penyakit virus, sehingga
menurut teori ini penyebab bells palsy adalah virus. Juga dikatakan bahwa perjalanan klinis
bells palsy menyerupai viral neurophaty pada saraf perifer lainnya.
3. Teori herediter
Penderita bells palsy kausanya herediter, autosomal dominan. Bells palsy terjadi
mungkin karena kanalis fasialis yang sempit pada keturunan atau keluarga tersebut, sehingga
menyebabkan predisposisi untuk terjadinya paresis fasialis.
4. Teori imunologi
Dikatakan bahwa Bells palsy terjadi akibat reaksi imunologi terhadap infeksi virus
yang timbul sebelumnya atau sebelum pemberian imunisasi. Berdasarkan teori ini maka
penderita bells palsy diberikan pengobatan kotikosteroid dangan tujuan untuk mengurangi
inflamasi dan edema di dalam kanalis Fallopii dan juga sebagai immunosupresor.
Patofisiologi
Patofisiologi timbulnya Bells Palsy secara pasti masih dalam perdebatan. N.VII berjalan
melalui bagian dari tulang temporal yang disebut dengan kanalis fasialis. Adanya edema dan
ischemia menyebabkan kompresi dari N.VII dalam kanalis tulang ini, karena itu ia terjepit di
dalam foramen stilomastoideum dan menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN. Kompresi N.VII
ini dapat dilihat dengan MRI. Bagian pertama dari kanalis fasialis yang disebut dengan segmen
labyrinthine adalah bagian yang paling sempit, meatus foramien ini memiliki diameter 0,66 mm.
Lokasi inilah yang diduga merupakan tempat paling sering terjadinya kompresi pada N.VII pada
Bells Palsy, karena bagian ini merupakan tempat yang paling sempit maka terjadinya inflamasi,
demielinisasi, ischemia, ataupun proses kompresi paling mungkin terjadi. Lokasi terserangnya
Nervus Fasialis di Bells Palsy bersifat perifer dari nukleus saraf tersebut, dimana timbulnya lesi
diduga terletak didekat ataupun di ganglion genikulatum. Jika lesinya timbul di bagian proksimal
33

ganglion genikulatum maka akan timbul kelumpuhan motorik disertai dengan ketidak
abnormalan fungsi gustatorium dan otonom. Apabila lesi terletak di foramen stilomastoideus
dapat menyebabkan kelumpuhan fasial saja.4,5,6,7

Gambaran Klinis dan Keluhan


Biasanya timbul secara mendadak, penderita menyadari adanya kelumpuhan pada salah
satu sisi wajahnya pada waktu bangun pagi, bercermin atau saat sikat gigi/berkumur atau
diberitahukan oleh orang lain/keluarga bahwa salah satu sudutnya lebih rendah. Bells palsy
hampir selalu unilateral. Gambaran klinis dapat berupa hilangnya semua gerakan volunter pada
kelumpuhan total. Pada sisi wajah yang terkena, ekspresi akan menghilang sehingga lipatan
nasolabialis akan menghilang, sudut mulut menurun, bila minum atau berkumur air menetes dari
sudut ini, kelopak mata tidak dapat dipejamkan sehingga fisura papebra melebar serta kerut dahi
menghilang.1,2,3
Bila penderita disuruh untuk memejamkan matanya maka kelopak mata pada sisi yang
lumpuh akan tetap terbuka dimana kelumpuhan N.VII yang mempersyarafi m.orbikularis okuli
dapat menyebabkan lagoftalmus yaitu palpebra tidak dapat menutup dengan sempurna. Kelainan
ini akan mengakibatkan trauma konjungtiva dan kornea karena mata tetap terbuka sehingga
konjungtiva dan kornea menjadi kering dan terjadi infeksi. Infeksi ini dapat dalam bentuk
konjungtivitis atau suatu keratitis. Serta bola mata pasien berputar ke atas. Keadaan ini dikenal
dengan tanda dari Bell (lagoftalmus disertai dorsorotasi bola mata). Karena kedipan mata yang
34

berkurang maka akan terjadi iritasi oleh debu dan angin, sehingga menimbulkan epifora. Dalam
mengembungkan pipi terlihat bahwa pada sisi yang lumpuh tidak mengembung. Disamping itu
makanan cenderung terkumpul diantara pipi dan gusi sisi yang lumpuh. Selain kelumpuhan
seluruh otot wajah sesisi, tidak didapati gangguan lain yang mengiringnya, bila paresisnya benarbenar bersifat Bells palsy.2,3,7
Bila khorda timpani juga ikut terkena, maka terjadi gangguan pengecapan dari 2/3 depan
lidah yang merupakan kawasan sensorik khusus N.intermedius. dan bila saraf yang menuju ke
m.stapedius juga terlibat, maka akan terjadi hiperakusis. Keadaan ini dapat diperiksa dengan
pemeriksaan audiometri. Pada kasus yang lebih berat akan terjadi gangguan produksi air mata
berupa pengurangan atau hilangnya produksi air mata. Ini menunjukkan terkenanya ganglion
genikulatum dan dapat diperiksa dengan pemeriksaan tes Schirmer.2,4,5

Komplikasi ke bagian mata antara lain :4,5,8


-

Lagoftalmus

Ektropion paralitik dari kelopak mata bagian bawah

Alis Jatuh

Retraksi kelopak mata atas

Erosi Kornea

Crocodile-tears tearing

Komplikasi ke bagian telinga antara lain:


Hampir separuh pasien yang mengalami Bell Palsy mengeluhkan nyeri pada bagian

belakang telinga. Nyeri biasanya terjadi bersamaan dengan timbulnya gejala Bell Palsy, namun
pada 25% kasus nyeri telinga terjadi lebih dulu 2-3 hari sebelum timbulnya Bell Palsy. Beberapa
pasien juga mengeluhkan terjadinya hyperacusis pada telinga ipsilateral dari Palsy yang terjadi,
yang merupakan akibat sekunder dari kelemahan otot stapedius.

Gangguan Pengecapan:

35

Sepertiga pasien Bell Palsy melaporkan gangguan pengecapan, dimana 80% dari
penderita Bell Palsy mengalami penurunan kemampuan merasa.

Spasme Fasial
Spasme fasial adalah komplikasi yang jarang dari Bell Palsy, terjadi akibat kontraksi

tonic pada salah satu sisi wajah. Spasme ini biasanya terjadi pada saat stress dan timbul akibat
kompreksi dari akar Nervus VII akibat gangguan pembuluh darah, tumor, ataupun proses
demielinisasi akar saraf. Spasme ini lebih sering menyerang pada usia 50 atau 60an. Selain itu
juga dapat timbul Synkinesis yaitu suatu kontraksi abnormal dari otot wajah saat tersenyum atau
menutup mata, contoh yang dapat terjadi adalah mulut pasien tertarik ketika tersenyum atau
ketika mengedipkan mata.

Keluhan dan gejala bergantung kepada lokasi lesi sebagai berikut :


a. Lesi pada nervus fasialis disekitar foramen stylomastoideus baik yang masih berada
disebelah dalam dan sebelah luar foramen tersebut. Mulut turun dan mencong ke sisi
yang sehat sehingga sudut mulut yang lumpuh tampaknya lebih tinggi kedudukannya
daripada posisi yang sehat, maka

penderitanya tidak dapat bersiul, mengedip dan

menutupkan matanya. Lakrimalis yang berlebihan akan terjadi jika mata tidak terlindungi
/ tidak bisa menutup mata sehingga pada mata akan lebih mudah mendapat iritasi berupa
angin, debu dan sebagainya, selain itu pula lakrimalis yang berlebihan ini terjadi karena
proses regenerasi dan mengalirnya axon dari kelenjar liur ke kelenjar air mata pada waktu
makan
b. Lesi pada canalis fasialis mengenai nervus chorda tympani.
Seluruh gejala di atas terdapat, ditambah dengan hilangnya sensasi pengecapan dua
pertiga depan lidah berkurangnya salivasi yang terkena.
c. Lesi yang lebih tinggi dalam canalis fasialis dan mengenal muskulus stapedius
Gejala tanda klinik seperti pada (a) dan (b) ditambah adanya hiperakusis.
d. Lesi yang mengenai ganglion geniculatum.

36

Gejala tanda klinik seperti pada (a), (b), dan (c) ditambah onsetnya seringkali akut
dengan rasa nyeri di belakang dan didalam telinga. Herpes Zoster pada tympanium dan
concha dapat mendahului keadaan timbul parese nervus fasilais. Sindrome Ramsay Hunt
merupakan Bells yang disertai herpes Zoster pada ganglion geniculatum, lesi lesi
herpetik terlihat pada membrana tympani, canalis auditorium eksterna, dan pada pinna.
e. Lesi di dalam Meatus Auditorius Internus
Gejala - gejala Bells Palsy di atas ditambah ketulian akibat terkenanya nervus VIII.
f. Lesi pada tempat keluarnya Nervus Fasialis dari Pons
Lesi di pons yang terletak disekitar inti nervus abdduces bisa merusak akar nervus
fasialis, inti nervus abducens dan fasikulus longituinalis medialis. Lesi pada daerah
tersebut dapat menyebabkan kelumpuhan muskulus rectus lateralis atau gerakan melirik
kearah lesi.
g.

Gangguan gerakan pada otot wajah yang sering dijumpai ialah gerakan involunter yang
dinamakan tic fasialis atau spasmus klonik fasialis. Sebab dan mekanisme sebenarnya belum
diketahui yang dianggap sebagai sebabnya adalah suatu rangsangan iritatif di ganglion
feniculatum. Namun demikian gerakan - gerakan otot wajah involunter bisa bangkit juga sebagai
suatu pencerminan kegelisahan atau depresi. Pada gerakan involunter tersebut, sudut muka
terangkat dan kelompok mata memejam secara berlebihan.

Diagnosa
37

Diagnosa ditegakkan berdasarkan anamnesa serta beberapa pemeriksaan fisik, dalam hal
ini yaitu pemeriksaan neurologis. Untuk menegakkan diagnosis suatu bells palsy harus
ditetapkan dulu adanya paresis fasialis tipe perifer, kemudian menyingkirkan semua
kemungkinan penyebabnya paresis fasialis tersebut.
Paresis fasialis perifer berbeda dari tipe sentral. Pada tipe sentral yang terganggu atau
paresis hanya pada bagian bawah wajah saja.

Anamnesa :
-

Rasa nyeri.

Gangguan atau kehilangan pengecapan.

Riwayat pekerjaan dan adakah aktivitas yang dilakukan pada malam hari di ruangan
terbuka atau di luar ruangan.

Riwayat penyakit yang pernah dialami oleh penderita seperti infeksi saluran pernafasan,
otitis, herpes, dan lain-lain.

Pemeriksaan :
1. Pemeriksaan neurologi
Kelumpuhan nervus fasilalis melibatkan semua otot wajah sesisi dan dapat
dibuktikan dengan pemeriksaan - pemeriksaan berikut, yaitu:
a. Pemeriksaan motorik nervus fasialis.4
-

Mengerutkan dahi : lipatan kulit dahi hanya tampak pada sisi yang sehat saja.

Mengangkat alis : alis pada sisi yang sakit tidak dapat diangkat

Memejamkan mata dengan kuat : pada sisi yang sakit kelompak mata tidak dapat
menutupi bola mata dan berputarnya bola mata ke atas dapat dilihat. Hal tersebut
dikenal Fenomena Bell. Selain itu dapat dilihat juga bahwa gerakan kelopak mata
yang sakit lebih lambat dibandingkan dengan gerakan kelopak mata yang sehat,
hal ini dikenal sebagai Lagoftalmus.

Mengembungkan pipi : pada sisi yang tidak sehat pipi tidak dapat dikembungkan.

38

Pasien disuruh utnuk memperlihatkan gigi geliginya atau disuruh meringis


menyeringai : sudut mulut sisi yang lumpuh tidak dapat diangkat sehingga mulut
tampaknya mencong ke arah sehat. Dan juga sulcus nasolabialis pada sisi wajah
yang sakit mendatar.

b. Pemeriksaan sensorik pada nervus fasialis.


Sensasi pengecapan diperiksa sebagai berikut : rasa manis diperiksa pada
bagian ujung lidah dengan bahan berupa garam, dan rasa asam diperiksa pada bagian
tengah lidah dengan bahan asam sitrat. Pengecapan 2/3 depan lidah : pengecapan
pada sisi yang tidak sehat kurang tajam.
c. Pemeriksaan Refleks.
Pemeriksaan reflek yang dilakukan pada penderita Bells Palsy adalah
pemeriksaan reflek kornea baik langsung maupun tidak langsung dimana pada
paresis nervus VII didapatkan hasil berupa pada sisi yang sakit kedipan mata yang
terjadi lebih lambat atau tidak ada sama sekali. Selain itu juga dapat diperiksa refleks
nasopalpebra pada orang sehat pengetukan ujung jari pada daerah diantara kedua alis
langsung dijawab dengan pemejaman kelopak mata pada sisi, sedangkan pada paresis
facialis jenis perifer terdapat kelemahan kontraksi m. orbikularis oculi (pemejaman
mata pada sisi sakit).

39

Beberapa pemeriksaan sederhana lain yang dapat dilakukan untuk membantu


penegakkan diagnosa antara lain :
-

Stethoscope Loudness Test


Pemeriksaan ini dapat digunakan untuk menilai fungsi dari muskulus
stapedius. Pasien diminta menggunakan stetoskop kemudian dibunyikan garpu
tala pada membran stetoskop, maka suara yang keras akan terlateralisasi ke sisi
muskulus stapedius yang lumpuh

Schirmer Blotting Test.


Pemeriksaan ini digunakan untuk menilai fungsi lakrimasi. Digunakan benzene
yang menstimulasi refleks nasolacrimalis sehingga dapat dibandingkan keluar air
mata dapat dibandingkan antara sisi yang lumpuh dan yang normal.

2. Pemeriksaan radiologis.
Pemeriksaan Radiologis yang dapat dilakukan untuk Bells Palsy antara lain
adalah MRI (Magnetic Resonance Imaging) dimana pada pasien dengan Bell Palsy dapat
timbul gambaran kelainan pada nervus fasialis. Selain itu pemeriksaan MRI juga berguna
apabila penderita mengalami Kelumpuhan wajah yang berulang, agar dapat dipastikan
apakah kelainan itu hanya merupakan gangguan pada nervus Fasialis ataupun terdapat
tumor.

Diagnosa Banding
1. Otitis Media Supurativa dan Mastoiditis
Disamping kemungkinan adanya paresis fasialis, maka ditemukan adanya rasa nyeri di
dalam atau di belakang telinga. Pada foto mastroid ditemukan gambaran infeksi. Pada
otitis media terjadi proses radang di dalam kavum timpani sehingga dinding tulang
kanalis fasialis ikut mengalami kerusakan sehingga terjadi paresis fasialis.
2. Herpes Zoster Oticus

40

Terjadi infeksi herpes zoster pada ganglion genikulatum. Di samping adanya paresis
fasialis juga ditemukan adanya tuli persetif dan tampak vesikel-vesikel yang terasa amat
nyeri di daun telinga. Karena adanya proses inflamasi maka akan menimbulkan
pembengkakan, timbunan metabolit di dalam kanalis Fallopii dan selanjutnya
menyebabkan iskemia dan paresis fasialis. Pada pemeriksaan darah didapatkan adanya
kenaikan titer antibodi terhadap virus varisela-zoster.
3. Trauma kapitis
Paresis fasialis terdapat pada trauma kapitis (misalnya fraktur os temporal, fraktur basis
kranii atau trauma lahir/forceps) atau karena operasi. Pada cedera kepala sering terjadi
fraktura os temporale parspetrosus yang selalu terlihat pada foto rontgen.
4. Sindroma Guillain Barre dan Miastenia Gravis
Pada kedua penyakit ini, perjalanan dan gambaran penyakitnya khas dan paresis hampir
selalu bilateral.
5. Tumor Intrakranialis
Semua neoplasma yang mengenai sepanjang perjalanan N.VII dapat menyebabkan
paresis fasialis. Tumor intra kranial yang tersering yaitu tumor sudut serebelo pontis. Di
sini selain terdapat paresis N.VII juga biasanya ditemukan adanya lesi N.V dan N.VIII.
tumor yang lain misalnya Ca-nasofaring (biasanya disertai dengan kelainan saraf
kraniales lain) dan tumor kelenjar parotis.
6. Leukimia
Paresis fasialis disebabkan karena infiltrat sel-sel lekemia. Paresis terjadi bilateral dan
simultan. Diawali dengan rasa nyeri di dalam kepala atau telinga dan tuli.

41

Terapi
1. Terapi medikamentosa :
-

Kortikosteroid dapat digunakan salah satu contohnya adalah prednison atau


methylprednisolon 80 mg (medrol) dosis awal dan diturunkan secara bertahap (tappering
off) selama 7 hari.

Penggunaan obat antiviral (acyclovir) dengan kortioksteroid. Penggunaan Aciclovir 400


mg sebanyak 5 kali per hari P.O selama 10 hari. Atau penggunaan Valacyclovir 500 mg
sebanyak 2 kali per hari P.O selama lima hari, penggunaan Valacyclovir memiliki efek
yang lebih baik.
Kortikosteroid oral mengurangi peradangan saraf wajah pada pasien dengan
Bells palsy. Tiemstra JD and Khathare N melalui penelitian Meta-analisis dari tiga uji
coba terkontrol secara acak membandingkan kortikosteroid dengan plasebo ditemukan
pengurangan kecil dan secara statistik tidak signifikan dalam persentase.
Ada Karena Peran Kemungkinan HSV-1 dalam penyebab Bell palsy, obat
antivirus acyclovir (Zovirax) dan valacyclovir (Valtrex) telah mempelajari tulang manfaat
dalam pengobatan. Asiklovir 400 mg lima kali per hari selama tujuh hari atau
valacyclovir 1 g tiga kali per hari selama tujuh hari. Dua terakhir uji coba terkontrol
plasebo menunjukkan pemulihan penuh dalam persentase yang lebih tinggi pasien diobati
dengan obat antivirus dalam kombinasi dengan prednisolon dibandingkan dengan
prednisolon saja (100 persen dengan 91 persen dan 95 persen dengan 90 persen).
Namun, tidak bermanfaat terlihat Ketika pengobatan tertunda lebih dari empat
hari setelah timbulnya gejala (86 persen dengan 87 persen). Mengingat profil keamanan
kortikosteroid oral asiklovir, valasiklovir, dan jangka pendek. Pasien yang hadir di dalamtiga hari dari timbulnya gejala dan yang tidak harus menentukan kontraindikasi obat
harus ditawarkan terapi kombinasi. Pasien yang datang dengan kelumpuhan saraf wajah
lengkap memiliki tingkat lebih rendah pemulihan spontan dan mungkin lebih mungkin
memperoleh manfaat dari pengobatan.

42

Penelitian lain Numthavaj .P et al menyimpulkan dalam mengobati Bells palsy


dengan antiviral ditambah kortikosteroid dapat menyebabkan sedikit lebih tinggi tingkat
pemulihan dibandingkan dengan mengobati dengan prednison saja tapi ini tidak cukup
bermakna secara statistik, prednisone merupakan pengobatan berbasis bukti terbaik.
Berbeda dengan Frank M et al yang menyatakan pasien dengan Bells palsy,
perawatan dini dengan prednisolon secara signifikan meningkatkan kemungkinan
pemulihan lengkap pada 3 dan 9 bulan. Tidak ada bukti dari manfaat mengingat
pengobatan tunggal atau manfaat tambahan dalam kombinasi dengan prednisolon atau
asiklovir.
Goudakos JK and Markou KD pada penelitian meta-analisis, berdasarkan bukti
yang tersedia menunjukkan bahwa agen antivirus untuk kortikosteroid pengobatan Bells
palsy tidak terkait meningkat dalam tingkat pemulihan lengkap dari fungsi motorik
wajah.
-

Vitamin B1, B6 dan B12 dalam dosis tinggi dan vasodilatasi peros dengan ACTH im 4060 satuan selama 2 minggu dapat dipercepat penyembuhan.

Analgesic untuk menghilangkan rasa nyeri.

2. Terapi operatif
Indikasi terapi operatif yaitu:
-

Produksi air mata berkurang menjadi < 25%

Aliran saliva berkurang menjadi < 25%

Respon terhadap tes listrik antara sisi sehat dan sakit berbeda 2,5 mA.
Beberapa terapi bedah yang dapat dilakukan antara lain dekompresi nervus Fasialis,

Subocularis Oculi Fat Lift (SOOF), Implantasi alat ke dalam kelopak mata, tarsorrhapy,
transposisi otot muskulus temporalis, facial nerve graftingdan direct brow lift.2
Tiemstra JD and Khathare N dalam American Academy of Neurology saat ini tidak
merekomendasikan dekompresi bedah untuk Bells palsy. Komplikasi yang paling umum dari
43

pembedahan adalah pasca operasi yaitu berkurangnya pendengaran yang mempengaruhi 3


sampai 15 persen pasien. Berdasarkan potensi yang signifikan untuk kerugian dan kurangnya
manfaat data pendukung, American Academy of Neurology saat ini tidak merekomendasikan
dekompresi bedah untuk Bells palsy.
McAllister K pada penelitian juga menyimpulkan demikian bahwa ada bukti kualitas
yang sangat rendah dan ini tidak cukup untuk memutuskan apakah operasi akan bermanfaat
atau merugikan pada pengelolaan palsy Bell. Penelitian ini tidak secara statistik
membandingkan kelompok tetapi nilai dan ukuran kelompok menyarankan bahwa tidak ada
perbedaan yang signifikan secara statistik. Studi kedua melaporkan tidak ada perbedaan
statistik yang signifikan antara kelompok mereka dioperasikan dan kontrol. Satu pasien yang
dioperasikan dalam studi pertama memiliki 20 dB kehilangan pendengaran sensorineural dan
vertigo yang persisten. Penelitian lebih lanjut ke dalam peran operasi tidak mungkin
dilakukan karena pemulihan spontan terjadi dalam banyak kasus.
3. Rehabilitasi Medik
Rehabilitasi medik menurut WHO adalah semua tindakan yang ditujukan guna
mengurangi dampak cacat dan handicap serta meningkatkan kemampuan penyandang cacat
mencapai integritas sosial.
Tujuan rehabilitasi medik adalah :

Meniadakan keadaan cacat bila mungkin

Mengurangi keadaan cacat sebanyak mungkin

Melatih orang dengan sisa keadaan cacat badan untuk dapat hidup dan bekerja dengan
apa yang tertinggal.
Untuk mencapai keberhasilan dalam tujuan rehabilitasi yang efektif dan efisien maka

diperlukan tim rehabilitasi medik yang terdiri dari dokter, fisioterapis, okupasi terapis, ortotis
prostetis, ahli wicara, psikolog, petugas sosial medik dan perawat rehabilitasi medik.9

44

Sesuai dengan konsep rehabilitasi medik yaitu usaha gabungan terpadu dari segi
medik, sosial dan kekaryaan, maka tujuan rehabilitasi medik pada Bells palsy adalah untuk
mengurangi/mencegah paresis menjadi bertambah dan membantu mengatasi problem sosial
serta psikologinya agar penderita tetap dapat melaksanakan aktivitas kegiatan sehari-hari.
Program-program yang diberikan adalah program fisioterapi, okupasi terapi, sosial medik,
psikologi dan ortotik prostetik, sedang program perawat rehabilitasi dan terapi wicara tidak
banyak berperan.
1) Program Fisioterapi
-

Pemanasan
a. Pemanasan superfisial dengan infra red.
b. Pemanasan dalam berupa Shortwave Diathermy atau Microwave Diathermy.

Stimulasi listrik
Tujuan

pemberian

stimulasi

listrik

yaitu

menstimulasi

otot

untuk

mencegah/memperlambat terjadi atrofi sambil menunggu proses regenerasi dan


memperkuat otot yang masih lemah. Misalnya dengan faradisasi yang tujuannya
adalah untuk menstimulasi otot, reedukasi dari aksi otot, melatih fungsi otot baru,
meningkatkan sirkulasi serta mencegah/meregangkan perlengketan. Diberikan 2
minggu setelah onset.
-

Latihan otot-otot wajah dan massage wajah


Latihan gerak volunter otot wajah diberikan setelah fase akut. Latihan berupa
mengangkat alis tahan 5 detik, mengerutkan dahi, menutup mata dan mengangkat
sudut mulut, tersenyum, bersiul/meniup (dilakukan didepan kaca dengan konsentrasi
penuh).
Massage adalah manipulasi sitemik dan ilmiah dari jaringan tubuh dengan
maksud untuk perbaikan/pemulihan. Pada fase akut, Bells palsy diberi gentle
massage secara perlahan dan berirama. Gentle massage memberikan efek
mengurangi edema, memberikan relaksasi otot dan mempertahankan tonus otot.
45

Setelah lewat fase akut diberi Deep Kneading Massage sebelum latihan gerak
volunter otot wajah. Deep Kneading Massage memberikan efek mekanik terhadap
pembuluh darah vena dan limfe, melancarkan pembuangan sisa metabolik, asam
laktat, mengurangi edema, meningkatkan nutrisi serabut-serabut otot dan
meningkatkan gerakan intramuskuler sehingga melepaskan perlengketan. Massage
daerah wajah dibagi 4 area yaitu dagu, mulut, hidung dan dahi. Semua gerakan
diarahkan keatas, lamanya 5-10 menit.
2) Program Terapi Okupasi
Pada dasarnya terapi disini memberikan latihan gerak pada otot wajah. Latihan
diberikan dalam bentuk aktivitas sehari-hari atau dalam bentuk permainan. Perlu diingat
bahwa latihan secara bertahap dan melihat kondisi penderita, jangan sampai melelahkan
penderita. Latihan dapat berupa latihan berkumur, latihan minum dengan menggunakan
sedotan, latihan meniup lilin, latihan menutup mata dan mengerutkan dahi di depan
cermin.
3) Program Sosial Medik
Penderita Bells palsy sering merasa malu dan menarik diri dari pergaulan sosial.
Problem sosial biasanya berhubungan dengan tempat kerja dan biaya. Petugas sosial
medik dapat membantu mengatasi dengan menghubungi tempat kerja, mungkin untuk
sementara waktu dapat bekerja pada bagian yang tidak banyak berhubungan dengan
umum. Untuk masalah biaya, dibantu dengan mencarikan fasilitas kesehatan di tempat
kerja atau melalui keluarga. Selain itu memberikan penyuluhan bahwa kerja sama
penderita dengan petugas yang merawat sangat penting untuk kesembuhan penderita.
4) Program Psikologik
Untuk kasus-kasus tertentu dimana ada gangguan psikis amat menonjol, rasa
cemas sering menyertai penderita terutama pada penderita muda, wanita atau penderita
yang mempunyai profesi yang mengharuskan ia sering tampil di depan umum, maka
bantuan seorang psikolog sangat diperlukan.

46

5) Program Ortotik Prostetik


Dapat dilakukan pemasangan Y plester dengan tujuan agar sudut mulut yang
sakit tidak jatuh. Dianjurkan agar plester diganti tiap 8 jam. Perlu diperhatikan reaksi
intoleransi kulit yang sering terjadi. Pemasangan Y plester dilakukan jika dalam waktu
3 bulan belum ada perubahan pada penderita setelah menjalani fisioterapi. Hal ini
dilakukan untuk mencegah teregangnya otot Zygomaticus selama parese dan mencegah
terjadinya kontraktur.
6) Home Program:
a. Kompres hangat daerah sisi wajah yang sakit selama 20 menit
b. Massage wajah yang sakit ke arah atas dengan menggunakan tangan dari sisi wajah
yang sehat
c. Latihan tiup lilin, berkumur, makan dengan mengunyah disisi yang sakit, minum
dengan sedotan, mengunyah permen karet
4. Perawatan mata :
Tindakan yang dilakukan antara lain:
a. Memakai salep mata (golongan artifial tears) 3x sehari dan salep mata.
b. Mamakai kaca mata untuk mencegah iritasi debu dan cahaya.
c. Kelopak mata diplaster agar tetap dalam keadaan tertutup.
d. Bila keadaan terlalu berat maka dilakukan tarsorafi ataupun blefarofati dengan menjahit
dan mendekatkan kedua kelopak atas dengan bawah. Pada tempat jahit diberikan salep
antibiotika.

47

Komplikasi
a. Crocodile tear phenomenon
Yaitu keluarnya air mata pada saat penderita makan makanan. Ini timbul beberapa
bulan setelah terjadi paresis dan terjadinya akibat dari regenerasi yang salah dari serabut
otonom yang seharusnya ke kelenjar saliva tetapi menuju ke kelenjar lakrimalis. Lokasi lesi
di sekitar ganglion genikulatum.
b. Synkinesis
Dalam hal ini otot-otot tidak dapat digerakkan satu per satu atau tersendiri, selalu
timbul gerakan bersama. Contohnya yaitu:

Bila pasien disuruh memejamkan mata, maka akan timbul gerakan (involunter) elevasi
sudut mulut, kontraksi platisma, atau berkerutnya dahi.

Pada saat meperlihatkan gigi (menyeringai), maka mata penderita pada sisi sakit manjadi
tertutup.

Bila penderita menggerakkan suatu bagian wajahnya, maka semua otot wajah pada sisi
lumpuh manjadi kontraksi.
Penyebabnya adalah innervasi yang salah, serabut saraf yang mengalami regenerasi

bersambung dengan serabut-serabut otot yang salah/keliru.


c. Clonic fasial spasm (Hemifacial spasm)
Timbul kedutan (otot wajah bergerak secara spontan dan tidak terkendali) pada
wajah yang pada stadium awal hanya mengenai 1 sisi wajah saja tetapi kemudian kontraksi
ini dapat mengenai pada sisi lainnya. Bila mengenai kedua sisi wajah, maka tidak terjadi
bersamaan pada kedua sisi wajah.
Kelelahan dan kelainan psikis dapat memperberat spasme ini. Komplikasi ini terjadi
bila penyembuhan tidak sempurna, yang timbul dalam beberapa bulan atau 1-2 tahun
kemudian. Kecuali sebagai komplikasi bells palsy, maka hemifacial spasm dapat disebabkan
48

oleh kompresi N.VII oleh tumor atau aneurisme pada daerah sudut serebelo pontis atau
lengkungan arteri serebeler antero inferior yang berlebihan atau arteri auditorius internus.
d. Kontraktur
Hal ini dapat terlihat dari tertariknya otot, sehingga lipatan nasolabialis lebih jelas
terlihat pada sisi yang lumpuh dibanding pada sisi yang sehat. Terjadi bila kembalinya
fungsi sangat lambat. Kontraktur tidak tampak pada waktu otot wajah istirahat, tetapi
menjadi jelas saat otot wajah bergerak.

Prognosis
Antara 80-85% penderita akan sembuh sempurna dalam waktu 3 bulan. Paralisis ringan
atau sedang pada saat gejala awal terjadi merupakan tanda prognosis baik. Denervasi otot-otot
wajah sesudah 2-3 minggu menunjukkan bahwa terjadi degenerasi aksonal dan hal demikian ini
menunjukkan pemulihan yang lebih lama dan tidak sempurna.
Pemulihan daya pengecapan lidah dalam waktu 14 hari pasca awitan biasanya berkaitan dengan
pemulihan paralisis secara sempurna. Apabila lebih 14 hari, maka hal tersebut menunjukkan
prognosis yang buruk.

49

BAB III

KESIMPULAN

Neuritis adalah istilah umum untuk peradangan saraf atau peradangan umum pada
system saraf perifer. Gejala tergantung pada saraf yang terlibat, tetapi mungkin termasuk rasa
sakit, paresthesia, paresis, hypoesthesia (mati rasa), anestesi, lumpuh, dan hilangnya refleks.
Jenis-jenis neuritis meliputi: Polineuritis atau Neuritis Multiple, Neuritis Brakial, Neuritis Optik,
Neuritis Vestibular, Neuritis Kranial, sering mewakili sebagai Bells Palsy.
Neuritis dapat disebabkan oleh berbagai etiologi, termasuk infeksi , cidera kimia,
trauma fisik, radiasi, atau disebabkan oleh karena penyakit lain. Manifestasi klinis pada neuritis
bergantung pada lesi yang terkena. Diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik serta
pemeriksaan penunjang. Terapi pada neuritis terdiri dari terapi farmakologi dan terapi non
farmakologi yang meliputi terapi bedah dan terapi rehabilitasi medik. Prognosis pada kasus
neuritis juga dipengaruhi oleh berbagai faktor serta lokasi peradangan pada saraf.

50

DAFTAR PUSTAKA
1. Vaughan & Asbury. Oftalmologi Umum, Edisi 14, Jakarta: Widya Medika, 2000.Hall 274287.
2. Ilyas Sidharta, Ilmu Penyakit Mata, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Edisi ke
tiga, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 2006. Hall 179-188.

3. American Academy of Ophtalmology Staff. Neuro-Ophtalmology : American Academy


of Ophtalmology staff, editor. Neuro-Ophtalmology. Basic and Clinical Science
Course sec. 5. San fransisco The

Foundation of American Academy of

Ophtalmology, 2009-2010. P 28-31, 128-146.

4. Misbach Jusuf. Neuro-Oftalmologi Pemeriksaan Klinis dan Interpretasi. Balai Penerbit


FKUI, Jakarta, 1999. Hall 1-14, 18-23. http:/www.google.co.id/images?hl=en&q=optic
nerve branch (diakses tanggal 6 Desember 2015).
5. Wijana Nana S,D, Ilmu Penyakit Mata, Cetakan ke 6, Abdi Tegal.Jakarta 1993. Hall 332342.
6. Mardjono Mahar, Neurologi Klinis Dasar. Cetakan ke sepuluh, Dian Rakyat. Jakarta.2004.
Hall 116-126.
7. Chusid JG. Neuroanatomi Korelatif dan Neurologi Fungsional. Yogyakarta : Gajah Mada
University Press : 1983 : hal. 350
8. Mardjono M, Sidharta P. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta : Dian Rakyat : 2006 : hal. 43-52
9. Ngoerah G, dasar-Dasar Ilmu Penyakit Saraf. Airlangga University Press. Hal : 315-316
Wikipedia_org/wiki/brachial plexus
10. Sidharta P. Neurologi Klinis Dalam Praktek Umum. Jakarta : Dian Rakyat : 2004 : hal.
111-113

51

52

Anda mungkin juga menyukai