Anda di halaman 1dari 18

BUTTER DAN BUTTERMILK

LAPORAN RESMI PRAKTIKUM


TEKNOLOGI PENGOLAHAN SUSU
Disusun oleh:
Anggit Mardiana Permatasari
13.70.0168
Kelompok D3

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN


FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA
SEMARANG
2016
1

1.
1.1.

TOPIK DAN TUJUAN


Topik

Pada praktikum Teknologi Pengolahan Susu kali ini, dilakukan percobaan pembuatan
produk butter dan buttermilk. Praktikum pembuatan butter dan buttermilk kloter D
dilaksanakan pada tanggal 2 Juni 2016 yang dimulai pukul 15.00 WIB di Laboratorium
Rekayasa Pangan UNIKA Soegijapranata dengan didampingi oleh Graytta Intania sebagai
asisten praktikum. Pada praktikum kali ini dilakukan analisa sensori yang meliputi warna,
rasa, aroma, tekstur serta analisa fisik yang meliputi penampakan dan rendemen dari
produk butter dan buttermilk yang dihasilkan. Butter adalah produk olahan susu yang
paling tua. Dalam bentuk yang sederhana, butter dibuat dengan menyimpan susu dalam
tempat yang hangat dan dengan mengocok krim yang terpisah ke atas. Ada dua jenis butter
yaitu flavoured butter yang dibuat dengan krim yang dimatangkan atau krim asam dan
sweet cream butter yang dibuat tanpa menggunakan starter (Herschdoefer, 1986).Pada
praktikum ini, butter yang dibuat tidak ditambahkan starter dan tidak diberi garam. Butter
merupakan emulsi air dalam minyak yang mengandung lemak (8082%) dan fase air (18
20%). Batasan legal dari air adalah 16% dan fase air juga mengandung garam dan padatan
susu non lemak. Butter dibuat dari susu sapi (3-4% lemak), yang dikonversikan dulu
menjadi cream (3045% lemak) dengan sentrifugasi dan menjadi butter dengan churning
dan kneading (Gunstone, 2002).
1.2.
Tujuan
Tujuan dilaksanakan praktikum butter dan buttermilk yakni untuk mengetahui pembuatan
unsalted butter yang tidak difermentasikan dan memahami proses pembuatannya.

2.

HASIL PENGAMATAN

Hasil pengamatan karakteristik butter dan buttermilk dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Karakteristik Butter dan Buttermilk
Fisik
Kel

Rendemen
(%)

Produk
Warna

Rasa

Aroma

Tekstur

Penampakan

D1
Butter

++

+++

+++

Punya body,
tidak mudah
dioles, creamy

Butter
setelah
disimpan
di kulkas

++

++

Punya body,
tidak mudah
dioles, creamy

Buttermil
k

++++

Sedikit creamy

66,67

Butter

++

+++

+++

Punya body,
tidak mudah
dioles, creamy

28,90

Butter
setelah
disimpan
di kulkas

++

++

Punya body,
tidak mudah
dioles, creamy

Buttermil
k

++++

Sedikit creamy

65,00

Butter

++

+++

+++

Punya body,
tidak mudah
dioles, creamy

32,61

Butter
setelah
disimpan
di kulkas

++

++

Punya body,
tidak mudah
dioles, creamy

++++

Sedikit creamy

63,33

++++

++

++++

++++

Tidak punya
body, mudah
dioles, sangat

35,89

D2

D3

D4

Buttermil
k
Butter

31,64

creamy
Butter
setelah
disimpan
di kulkas

++++

++

+++

+++

Punya body,
mudah dioles,
sangat creamy

Buttermil
k

++

++

++

Tidak creamy

56,67

25,55

D5
Butter

+++

++

+++

++++

Tidak punya
body, mudah
dioles, sangat
creamy

Butter
setelah
disimpan
di kulkas

+++

++

+++

+++

Punya body,
mudah dioles,
sangat creamy

Buttermil
k

++

++

++

Tidak creamy

Keterangan :
Warna
+
: putih
++
: agak kuning
+++ : kuning
++++ : sangat kuning
+++++ : coklat
Aroma
+
: tidak kuat
++
: agak kuat
+++ : kuat
++++ : sangat kuat

Rasa
+
++
+++
++++

: tidak enak
: agak enak
: enak
: sangat enak

46,67

Penampakan
Punya body atau tidak
Mudah dioles atau tidak
Creamy atau tidak

Tesktur
+
: kasar/keras
++
: agak kasar/agak keras
+++ : lembut
++++ : sangat lembut

Dapat dilihat dari data hasil pengamatan, rata-rata butter memiliki warna agak kuning, rasa
agak enak, aroma tidak kuat dan teksturnya lembut. Sedangkan buter setelah disimpan
dalam kulkas tidak menampakkan perubahan yang berarti. Dari hasil pengamatan, diketahui
pula buttermilk yang dihasilkan kelompok D1, D2, dan D3 memiliki kenampakan yang
hampir sama, namun berbeda dengan buttermilk yang dihasilkan oleh kelompok D4 dan
D5.

3.

PEMBAHASAN

3.1. Butter
Menurut Gustone (2002), butter merupakan produk pangan yang terbuat dari susu, krim
atau keduanya, dengan atau tanpa penambahan garam maupun bahan pewarna. Butter
merupakan bahan pangan berenergi tinggi, tidak mengandung laktosa dan mineral, serta
rendah protein. Butter adalah makanan yang cukup stabil dan memiliki emulsi air dalam
minyak yang mengandung lemak (8082%) dan fase air (1820%). Batasan legal dari air
adalah 16% dan fase air juga mengandung garam dan padatan susu non lemak. Menurut
Codex Alimentarius Commision under Joint FAO/WHO Food Standard Programme, buuter
didefinisikan sebagai produk lemak yang merupakan turunan susu. Dalam 100 gram butter,
terkandung minimal 80 gram lemak dan 16 gram air serta 2 gram padatan bukan lemak
(Mortensen, 2011). Butter juga memiliki lebih dari 1.300 triasilgliserol dan merupakan
sumber yang baik untuk vitamin larut lemak seperti A, D, E, dan K. Sehingga butter pada
umumnya memiliki harga yang tinggi (Nurrulhidayah et al., 2015).
Jenis butter yang beranekaragam dapat dikelompokkan menjadi:
a. Butter yang dibuat dari krim yang dipasteurisasi (pasteurized cream) atau tanpa
pasteurisasi (unpasteurized cream).
b. Butter yang dibuat dari krim yang diperam (ripened cream) atau yang tidak diperam.
c.Butter yang digarami atau yang tidak digarami.
d. Butter yang dibuat dari krim manis (sweet cream) atau krim asam (sour cream).
e. Butter yang dibuat tidak mengalami penyimpanan (segar) dan yang telah mengalami
penyimpanan (Winarno, 1993).
Dari segi flavornya, butter dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu : unsalted, salted, dan
ripened cream. Salted cream butter mempunyai aroma dan rasa yang tidak mencolok dan
dibuat untuk penyimpanan yang lama. Flavor butter disebabkan terutama oleh adanya
komponen diasetil, juga komponen lain seperti asam format, asetat, propionat dan
asetaldehid. Asam dekanoat, fenol, p-cresol, indol dan skatol mengkontribusi flavor dari

sweet cream butter (Herschdoefer, 1986). Pada praktikum ini, butter yang dibuat adalah
unsalted butter yang tanpa fermentasi.
Butter dibuat dari susu sapi (3-4% lemak), yang dikonversikan dulu menjadi cream (30
45% lemak) dengan sentrifugasi dan menjadi butter dengan churning dan kneading. Selama
proses churning, emulsi lemak dalam air akan terpecah. Kneading akan menyebabkan
globula lemak berkumpul dan mengkristal membentuk butter. Kelebihan air dikeluarkan
pada akhir proses pembuatan. Sedangkan cream adalah emulsi lemak dalam air. Saat
churning terjadi inversi fase dari emulsi minyak dalam air menjadi emulsi air dalam
minyak (Gustone, 2002).
Cream merupakan emulsi lemak dalam air. Cream dipisahkan dari susu melalui proses
pemusingan, yaitu memutar susu dalam alat pemusing sehingga partikel yang lebih berat
akan terlempar keluar dan partikel yang lebih ringan penyusun cream akan tetap tinggal di
dekat pusat (Gaman & Sherrington, 1994). Komposisi umum dari butter yaitu terdiri atas
16% air, 2% Milk Solid Non Fat (MSNF), dan tidak kurang dari 80% lemak susu
(Herschdoefer, 1986).
Cream yang digunakan dalam praktikum kali ini tidak perlu dipisahkan dari susu karena
yang digunakan adalah whipping cream. Whipping cream yang digunakan ada 2 merk yakni
Roselle untuk kelompok D1, D2 dan D3, serta Elle dan Vire untuk kelompok D4 dan
D5. Whipping cream merk Roselle memiliki kandungan lemak 28 g per 100 g produk
whipping cream, sedangkan Elle dan Vire mengandung lemak sebesar 35,1 g per 100 g
produk. 300 ml krim tersebut di blender dengan kecepatan tinggi hingga terpisah menjadi 2
fase. Butter yang dibuat dalam praktikum ini berdasarkan proses churning konvensional
(Walstra, 2006). Pada metode churning akan dilakukan kristalisasi lemak dari krim, diikuti
oleh fase inversi dimana sistem emulsi krim yang bersifat lemak dalam air diubah menjadi
air dalam lemak menggunakan perlakuan mekanis yang kuat. Kemudian kandungan lemak
dikonsentrasikan dengan memisahkan buttermilk dari lemak. Butter yang diperoleh
diplastisasi dengan perlakuan mekanis (working) (Mortensen, 2011).

Untuk butter, digunakan lapisan atas yang berupa gumpalan dan yang tertahan di kain
saring. Pendinginan biasanya dilakukan di refrigerator selama semalam (12 15 jam).
Proses mixing berfungsi untuk memecah globula lemak. Busa dari protein akan terbentuk
ketika krim diaduk. Membran globula lemak akan berada di antara permukaan udara dan
air. Ketika pengadukan dilanjutkan, bubble akan menjadi lebih kecil karena protein
mengeluarkan air, membuat busa makin kompak dan memberi tekanan pada globula lemak.
Hal ini menyebabkan sebagian lemak cair ditekan keluar dari globula lemak dan beberapa
membran terganggu. Lemak cair yang mengandung lemak kristal akan menyebar keluar
pada lapisan tipis pada permukaan bubble dan pada globula lemak. Ketika bubble menjadi
lebih padat, ada lebih banyak lemak cair yang ditekan keluar dan busa menjadi tidak stabil
kemudian pecah. Globula lemak akan terkoagulasi menjadi butter grain (Friberg &
Larsson, 1997).
Setelah butter dan buttermilk terpisah, selanjutnya disaring menggunakan kain saring.
Kemudian dilakukan perhitungan rendemen butter dan buttermilk, serta dilakukan uji
sensori pada kedua produk tersebut. Untuk produk butter, pengamatan dilakukan sebanyak
dua kali, yaitu sebelum dan sesudah disimpan didalam kulkas. Penyimpanan butter didalam
kulkas dilakukan selama 1 jam. Penyaringan ini adalah tahapan working dimana air akan
diperas keliar. Droplet air kecil dipecah sehingga dihasilkan droplet dengan ukuran stabil.
Butter harus mempunyai permukaan yang kering (fase air harus benar-benar terdidpersi).
Droplet yang terlalu kecil akan menghasilkan rasa yang hambar (Susilorini & Sawitri,
2006).
Penggunaan suhu dapat mempengaruhi butter yang dihasilkan. Rapid cooling akan
mengkristalkan lemak dan terbentuk mixed crystal (butter menjadi semakin keras).
Semakin banyak mixed crystal, perbandingan cair dan padat turun. Gradually cooling akan
membentuk pure crystal, lemak yang melting pointnya rendah akan mengkristal lebih dulu
sehingga butter menjadi lunak. Proses gradually cooling terlalu lama sehingga bisa
menyebabkan kontaminasi serta tidak ekonomis. Jumlah starter yang digunakan 17% dari

jumlah krim. Pada suhu 8oC, lemak dengan melting point tinggi dan lemak melting point
rendah akan mengkristal tapi belum terbentuk pure crystal. Saat suhu dinaikkan menjadi
21oC, lemak yang melting pointnya rendah akan meleleh. Pada suhu 20oC, lemak yang
melting pointnya rendah tersebut akan mengalami rekristalisasi lagi membentuk pure
crystal. Jika angka iodinnya rendah dan lemak yang melting pointnya tinggi maka butter
yang dihasilkan keras, oleh karena itu harus diberi perlakuan suhu agar dapat terpisah
lemak yang melting pointnya tinggi dan rendah, dan juga didapatkan soft butter dari lemak
yang melting pointnya rendah (Susilorini & Sawitri, 2006).
Berdasarkan hasil pengamatan, butter memiliki warna putih kekuningan dan rasa yang agak
enak. Rendemen butter yang dihasilkan pada kelompok D1 hingga D5 secara berturut-turut
adalah 31,64%, 28,90%, 32,61%, 35,89%, dan 25,55%. Menurut Gunstone (2002). Butter
merupakan emulsi air dalam minyak yang mengandung lemak (80 82%) dan fase air (18
20%). Warna butter yang dihasilkan sesuai dengan Bennion & Hughes (1975) bahwa,
butter biasanya berwarna kuning pucat, namun dapat bervariasi dari kuning gelap hingga
hampir putih. Rasa yang kurang enak ini disebabkan karena rasa butter yang hambar. Hal
tersebut disebabkan oleh hilangnya gas CO2 dan gas O2 selama pemanasan dan terdapatnya
perubahan lain seperti yang terdapat pada protein susu sehingga dapat mempengaruhi rasa
pada saat susu dimasak. Lapisan lemak pada susu akan terbentuk jika susu dipanaskan
sampai mendidih dan akan mengakibatkan pecahnya lapisan protein yang berada di sekitar
globula lemak pada saat susu dipanaskan. Pecahnya lapisan pada bahan pengemulsi akan
mengakibatkan globula lemak menjadi keras dan menyatu.
Sementara itu, warna butter tergantung pada keberadaan pigmen larut lemak (Kosikowski,
1977). Warna juga dipengaruhi beberapa hal diantaranya adalah sebagai berikut :

Mottled yang disebabkan karena working yang tidak cukup menghasilkan distribusi
lemak dan garam yang tidak merata. Churning pada suhu tinggi menghasilkan granula
lembut yang tidak cukup tahan untuk perlakuan working sehingga menciptakan kondisi

mottled.
Specks karena partikel pewarna atau koagulasi kasein.

Streaks karena working yang tidak cukup atau kesalahan kondisi mekanik.
Wavy karena working yang tidak cukup menghasilkan distribusi garam dan lemak yang

tidak merata juga dapat disebabkan oleh kondisi mekanik.


(Herschdoefer, 1986)
Aroma butter yang dihasilkan cenderung tidak kuat hingga agak kuat. Flavor pada butter
utamanya disebabkan oleh adanya komponen diasetil, juga komponen lain seperti asam
format, asetat, propionat dan asetaldehid. Asam dekanoat, fenol, p-cresol, indol dan skatol
mengkontribusi flavor dari sweet cream butter (Herschdoefer, 1986). Butter lebih mudah
teroksidasi dibandingkan dengan lemak nabati. Ketengikan yang disebabkan oleh asam
butirat ini, dapat diminimalkan dengan penggunaan antioksidan. Dan bahan pemberi flavor
yang tersedia dalam butter adalah gugus karbonil, ketonil, dan aldehidik. Off-flavor yang
dapat terjadi adalah butter yang tengik, disebabkan oleh kerusakan bakteriologik.
Cheesiness terjadi karena pemecahan komponen protein pada butter. Sementara kandungan
asam yang tinggi pada butter disebabkan oleh pemrosesan yang jelek yang menyebabkan
inversi berlebihan
Menurut Kosikowski (1977), flavor juga dipengaruhi oleh lingkungan yang mendukung
dalam pertumbuhan bakteri. Flavor pada butter bisa mengalami kerusakan dan
berhubungan dengan beberapa hal yaitu acid (berhubungan dengan perkembangan asam
pada susu atau krim atau kelebihan pematangan dari krim), aged (karakteristik karena
kehilangan kelembaban, berhubungan dengan lama pendeknya butter disimpan. Suhu yang
diberikan akan mempengaruhi flavor ini. Mungkin juga terjadi jika kualitas bahan baku
yang tinggi tidak ditangani secara tepat sehingga flavor kehilangan kesegarannya), bitter
(berasal dari aktivitas mikroorganisme tertentu atau enzim dalam krim sebelum churning,
jenis makanan tertentu dan laktasi yang terlambat), cooked (memiliki rasa yang matang
karena menggunakan suhu tinggi pada pasteurisasi sweet cream), coarse (kehilangan rasa
yang lembut dan bagus karena menggunakan suhu tinggi pada pasteurisasi krim dengan
perkembangan asam yang sedikit), feed (berhubungan dengan makanan yang dimakan sapi,
flavor tersebut diserap susu, dan dibawa ke butter. Hampir semua makanan kering akan

menghasilkan flavor makanan sapi pada butter),flat (kehilangan rasa yang alami karena
pencucian butter yang berlebih atau persentase lemak atau asam volatil dan produk volatil
lainnya rendah) (Herschdoefer, 1986).
Selain itu terdapat pula malty (berhubungan dengan tumbuhnya organisme Streptococcus
lactis var. maltigenes dalam susu atau krim. Hal ini terjadi jika pencucian dan sanitasi yang
tidak tepat), musty (mengarah pada aroma sayur basah yang disimpan dalam gudang),
neutralizer (berhubungan dengan penggunaan produk alkalin yang berlebih atau tidak tepat
untuk mengurangi keasaman krim sebelum pasteurisasi), old cream (berhubungan dengan
umur krim yang lama atau pendinginan tidak cukup atau tidak tepat pada krim), scorched
(berhubungan dengan penggunaan suhu tinggi yang berlebih pada pasteurisasi krim dengan
perkembangan keasaman), smothered (karena penanganan yang tidak tepat serta penundaan
pendinginan krim), storage (berhubungan dengan lama periode krim disimpan selama
beberapa

bulan/lebih

lama),

utensil

(karena

sanitasi

dan

kondisi

untuk

penanganan/penyimpanan susu/krim tidak tepat), weed (flavor dari rumput yang dimakan
sapi) dan whey (berhubungan dengan penggunaan krim whey atau pemcampuran krim dan
krim whey dalam pembuatan butter) (Herschdoefer, 1986).
Tekstur butter yang dihasilkan adalah lembut hingga sangat lembut. Lemak butter terdiri
atas lemak cair tetapi bagian utamanya terdispersi pada produk dalam bentuk kristal halus.
Tekstur butter bergantung pada jenis dan jumlah lemak yang ada, metode proses produksi,
bentuk kristal lemak, dan suhu penyimpanan (Kosikowski, 1977). Setelah butter disimpan
di kulkas, tekstur nya menjadi menggeras dan dari segi penampakan mejadi tidak mudah
dioles namun tetapi creamy dan memiliki bodi sementara, butter sebelum didinginkan
memiliki karakteristik mudah dioles. Kekerasan butter dikontrol oleh suhu, lamanya waktu
penyimpanan pada suhu tertentu, metode pembuatan, dan struktur kimia lemak. Sementara
spreadability dari butter (mudah dioles), adalah sifat kompleks butter yang berhubungan
dengan viskositas dan perubahannya seiring dengan adanya tekanan dan perubahan suhu.
Jenis lemak, metode pendinginan krim, dan working dari butter akan mempengaruhinya
(Herschdoefer, 1986).

10

Tekstur dari butter yang berbeda pada praktikum ini juga dapat disebabkan oleh strktur
kristal lemak yang memberi tekstur lembut, sehingga dapat digunakan untuk spread,
cooking fat, atau bahan bakery. Beberapa faktor yang mempengaruhi bodi butter antara lain
:
1. Crumbly (kehilangan kohesi)
2. Butter akan menjadi mudah hancur jika kristal terlalu besar dan tidak ada lemak cair.

Mendinginkan krim pada suhu terlalu rendah dan jangka waktu yang panjang
3.
4.

a.
5.

menyebabkan butter menjadi mudah hancur.


Gummy
Disebabkan karena lemak dengan melting point tinggi persentasenya terlalu banyak.
Leaky (kehilangan kelembaban pada butter)
Disebabkan karena working yang belum selesai dan menghasilkan penggabungan air

yang tidak sempurna.


6. Mealy/grainy
Berhubungan dengan minyak yang hilang pada lemak susu pada beberapa tahap
pembuatan butter, salah ketika melelehkan krim dingin, atau salah ketika menetralisasi
sour cream.
7. Ragged boring
Karena melting point fase kontinyu lemak (non-globular) butter biasanya tidak tinggi.
8. Short
Karena lemak yang melting pointnya tinggi dan kandungan curd yang rendah pada
butter. Pendinginan yang cepat dan suhu rendah merupakan faktor penyebabnya.
9. Sticky
Disebabkan karena makanan yang kering, periode laktasi yang lambat, dan lemak yang
melting point tinggi mendominasi.
10. Weak
Krim yang telah dichurning tidak didinginkan pada suhu rendah yang cukup atau
mungkin juga churning dilakukan pada suhu tinggi, penggabungan terlalu banyak udara
pada butter selama churning dan working atau working yang berlebihan.
(Herschdoefer, 1986).
Terdapat beberapa faktor yang dapat menurunkan kualitas butter yang dihasilkan antara
lain, penanganan yang tidak tepat serta penundaan pendinginan cream dapat menyebabkan
smothered. Mendinginkan cream pada suhu terlalu rendah dan dalam waktu yang panjang

11

menyebabkan butter menjadi mudah hancur. Cream yang telah dichurning tidak
didinginkan pada suhu rendah yang cukup atau mungkin juga churning dilakukan pada
suhu tinggi, penggabungan terlalu banyak udara pada butter selama churning dan working
atau working yang berlebihan dapat menyebabkan weak pada body. Pemanasan yang terlalu
tinggi juga dapat menyebabkan timbulnya gugus SH, sehingga dapat dikaitkan dengan
terbentuknya flavor yang tidak dikehendaki (Friberg & Larsson, 1997).
3.2. Buttermilk
Buttermilk adalah by-product dari proses pembuatan butter. Ada dua jenis buttermilk yaitu
sweet cream buttermilk yang diproses dengan mempasteurisasi cream dengan kultur starter
butter setelah pemisahan dengan lemak butter, sehingga bisa juga disebut fermented
buttermilk. Kemudian juga ada sour cream buttermilk dimana fermentasinya dilakukan
sebelum pemisahan dengan lemak butter. Pada buttermilk jenis ini ada kerusakan offflavour yang disebut metalic off-flavour (Smit, 2003). Buttermilk yang dihasilkan pada
praktikum ini sama dengan butter yang dihasilkan yaitu unsalted buttermilk tanpa
difermentasi.
Pada praktikum ini, pada saat proses mixing maka akan krim terpisah menjadi lemak dan
fase yang lebih cair yang disebut buttermilk. Cairan ini kemudian akan terpisah dan dapat
melalui pori kain saring sementara butter akan tertahan di kain saring. Hal ini sesuai
dengan Sodini et al., (2006) bahwa, buttermilk sebagai fase air yang dilepaskan saat
churning cream pada pembuatan butter. Buttermilk mengandung semua komponen larut air
dari cream, seperti protein, laktosa, dan mineral. Buttermilk juga mengandung bahan dari
membran globula lemak susu yang dirusak saat proses churning dan bermigrasi ke fraksi
buttermilk. Buttermilk mengandung fosfolipid yang lebih banyak daripada susu karena
mengandung membran globula lemak susu yang tinggi, yang kaya akan fosfolipid.
Komposisi yang bermacam macam tersebut menjadikan buttermilk memiliki manfaat
yang besar bagi kesehatan.

12

Warna buttermilk yang dihasilkan adalah putih dengan rasa yang cenderung enak dan
aroma yang tidak kuat hingga agak kuat. Buttermilk memiliki konsistensi yang agak encer
dengan penampakan yang creamy. Rendemen yang dihasilkan pada kelompok D1 adalah
66,67%, kelompok D2 adalah 65,00%, kelompok D3 adalah 63,33%, kelompok D4 adalah
56,67%, dan kelompok D5 adalah 46,67%. Rendemen yang dihasilkan ini lebih besar
daripada rendemen butter.
Buttermilk dapat memiliki flavor yang flat atau tidak kuat dikarenakan tidak adanya
organisme penghasil flavor tertentu dalam starter. Sebagai tambahan untuk organisme
penghasil asam, S.lactis atau S.cremoris, starter untuk buttermilk meliputi Leuconostoc
citrovorum, Leuconostoc dextranicum, dan atau Streptococcus diacetilactis. Ketiganya ini
menyerang asam sitrat dalam susu dan memberi komponen aroma, termasuk diasetil. Jika
lingkungan tidak mendukung untuk pertumbuhan bakteri, organisme tersebut tidak akan
tumbuh pada jumlah yang cukup besar untuk memberi flavor yang diinginkan. Pencegahan
yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan kultur komersial aktif yang baik, yang
mengandung bakteri penghasil flavor, membuat titrasi asam pada level 0,8-0,85% dalam
produk akhir, dan menjaga suhu inkubasi seragam pada suhu 22 oC. Penambahan cream,
garam, atau natrium sitrat dapat meningkatkan flavor buttermilk (Kosikowski, 1977).
Dari segi tekstur, tingkat kekentalan buttermilk yang dihasilkan sudah baik karena tidak
terlalu kental maupun tidak terlalu encer. Apabika buttermilk terlalu kental maka hal
tersebut

disebabkan karena keasaman yang terlalu tinggi, kurangnya agitasi saat

pendinginan, dan suhu penyimpanan yang terlalu rendah. Strain tertentu dari S. cremoris
menghasilkan produk yang kental, dengan tendensinya membentuk rantai coccus yang
panjang. Penggabungan beberapa strain S. lactis mencegah kondisi yang berlendir dan
kental. Bakteri kontaminan juga dapat menghasilkan susu yang berlendir dan kental. Segala
peningkatan total padatan dari buttermilk akan meningkatkan viskositasnya. Sementara
apabila terlalu encer, hal ini disebabkan karena keasaman yang terlalu rendah ketika curd
pecah, padatan non fat yang rendah dalam susu, pengadukan yang berlebihan, suhu

13

penyimpanan yang terlalu tinggi, dan adanya bakteri pencerna protein. Kadang-kadang
gelatin dan lemak ditambahkan untuk meningkatkan viskositas (Kosikowski, 1977).

4.

KESIMPULAN
Bahan dasar pembuatan butter dan buttermilk adalah cream.
Cream merupakan emulsi lemak dalam air.
Proses churning bertujuan memisahkan partikel-partikel butter atau bakal butter dan
serumnya (buttermilk) sehingga emulsi lemak dalam air (krim) akan terpecah menjadi

emulsi air dalam minyak (butter).


Proses working dengan penyaringan akan memperkecil ukuran droplet air
Defect yang dapat terjadi pada butter adalah perubahan warna, tekstur dan penampakan
yang jelek, kadar air yang berlebihan, terdapat noda, flavor yang teroksidasi, asam, dan

pahit.
Buttermilk adalah fase air yang dilepaskan saat churning cream pada pembuatan butter
Butter memiliki warna putih kekuningan, dengan rasa yang hambar, memiliki bodi, bisa

dioles, tidak creamy dan bertekstur lembut


Buttermilk yang baik memiliki tekstur yang agak encer, flavor yang kurang kuat,

creamy, memiliki rasa yang enak dan berwarna putih


Rendemen butter yang dihasilkan berkisar 25,55% hingga 35,89% sementara rendemen
buttermilk lebih tinggi yaitu berkisar 46,67% - 66,67%.

Rasa butter dan buttermilk yang hambar disebabkan karena tidak ditambahkannya
garam, droplet yang dihasilkan pada tahap akhir terlalu kecil, dan tidak digunakannya
starter pada tahap pembuatan.

Semarang, 10 Juni 2016


Praktikan,

Asisten Dosen
Graytta Intania

Anggit Mardiana Permatasari


13.70.0168
5.
DAFTAR PUSTAKA

14

15

Bennion, M. & O. Hughes. (1975). Introductory Foods. Macmillan Publishing Co., Inc.
New York.
Friberg, S. E. & K. Larsson. (1997). Food Emulsion 3rd Edition. Marcell Dekker. New York.
Gaman, P. M. & K. B. Sherrington. (1994). Ilmu Pangan: Pengantar Ilmu Pangan, Nutrisi,
dan Mikrobiologi. UGM Press. Yogyakarta.
Gunstone, F. D. (2002). Food Application of Lipid, in Food Lipids: Chemistry, Nutrition &
Biotechnology, Second Edition, Revised & Expanded. Ed. Akoh, C.C & D. B. Min.
Marcel Dekker, Inc. New York.
Herschdoefer, S. M. (1986). Quality Control in the Food Industry Volume 2. Academic
Press. London.
Kosikowski, F. V. (1977). Cheese and Fermented Milk Foods. Edwards Brother, Inc. USA.
Mortensen, B. K. (2011).Butter and Other Milk Fat Products. Di dalam Fuquay, J. W., P. F.
Fox & P. L. H. McSweeney. Encyclopedia of Dairy Sciences 2 nd Ed. Academic
Press. London.
Nurrulhidayah, A.F., S.R. Arieff, A. Rohman, I. Amin, M. Shuhaimi & A. Khatib. (2015).
Detection of Butter Adulteration with Lard Using Differential Scanning
Calorimetry. International Food Research Journal 22(2): 832-839.
Smit, G. (2003). Dairy Processing. Woodhead Publishing Limited. Cambridge.
Sodini, I., P. Morin, A. Olabi, dan R.J Flores. (2006). Compositional and Functional
Properties of Buttermilk: A Comparison Between Sweet, Sour, and Whey
Buttermilk.
Susilorini, T. E. & M. E. Sawitri. (2006). Produk Olahan Susu. Penebar Swadaya. Jakarta.
Walstra, P., J. T. M. Wouters & T. J. Geurts. (2006). Dairy Science and Technology 2 nd Ed.
Taylor & Francis Group, LLC. Boca Raton.
Winarno, F. G.(1993). Pangan:Gizi, Teknologi, dan Konsumen. PT. Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta.

6.
6.1.

LAMPIRAN
Perhitungan

Rumus :

Kelompok D1

Kelompok D2

Kelompok D3

Kelompok D4

16

17

Kelompok D5

6.2.
6.3.

Laporan Sementara
Jurnal

Anda mungkin juga menyukai