Anda di halaman 1dari 17

BAB 1

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Budaya adalah sesuatu yang sangat menarik jika dicermati lebih dekat yang setiap
belahan dunia memiliki ragam budaya yang menarik dan bernilai tinggi. Budaya juga
merupakan salah satu hal yang dapat dipelajari dan diaplikasikan dalam kehidupan
sehari-hari. Oleh karenanya, saya menyusun makalah ini dengan dasar ingin mengenal
lebih dalam kebudayaan Negara lain. Seperti hanya kebudayaan Negara Jepang yang
menjadi topik makalah saya. Sebetulnya, banyak manfaat yang dapat diambil dari
mempelajari adanya budaya. Diantaranya kita dapat menerapkan bagaimana masyarakat
jepang mempertahankan dan melestarikan kebudayaannya.
B. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Alasan menulis tentang bangsa Jepang ini untuk mengetahui dan memahami
sejarah dan budaya Jepang dari segala aspeknya.
C. Landasan Teori
1. Sosiologi merupakan ilmu sosial yang objeknya adalah masyarakat. Sosiologi merupakan
ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri karena telah memenuhi segenap unsur-unsur ilmu
pengetahuan, yang ciri-ciri utamanya adalah sebagai berikut.1
a. Sosiologi bersifat empiris, yaitu bahwa ilmu pengetahuan tersebut didasarkan
pada observasi terhadap kenyataan dan akal sehat serta hasilnya bersifat
spekulatif.
b. Sosiologi bersifat teoritis, yaitu ilmu pengetahuan tersebut selalu berusaha
untuk menyusun abstraksi dari hasil-hasil observasi. Abstraksi tersebut
merupakan kerangka unsur-unsur yang tersusun secara logis serta bertujuan
untuk menjelaskan hubungan sebab-akibat, sehingga menjadi teori.
c. Sosiologi bersifat kumulatif, yang berarti bahwa teori-teori sosiologi dibentuk
atas dasar teori-teori yang sudah ada dalam arti memperbaiki, memeperluas
serta memperhalus teori-teori yang lama.
1

Harry M. Johnson, Sociology, a Systematic Introduction, (Bombay: Allied Publishers, 1967), hlm 2

d. Sosiologi bersifat nonetis, yakni dipersoalkan bukanlah buruk-baiknya fakta


tertentu, tetapi tujuannya adalah untuk menjelaskan fakta tersebut secara
analitis.
2. Antropologi pada dasarnya mempunyai lima lapangan penyelidikan, yaitu : 2
a. Masalah sejarah terjadinya dan perkembangan manusia sebagai makhluk biologis;
b. Masalah sejarah terjadinya aneka warna bahasa yang diucapkan oleh manusia di
seluruh dunia;
c. Masalah persebaran dan terjadinya aneka warna bahasa-bahasa yang diucapkan oleh
manusia di seluruh dunia;
d. Masalah perkembangan, persebaran dan terjadinya aneka warna kebudayaan manusia
di seluruh dunia;
e. Masalah dasar-dasar kebudayaan manusia dalam kehidupan masyarakat suku-suku
bangsa yang tersebar di seluruh muka bumi, zaman sekarang ini.
3. Menurut ilmu antropologi, kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan
hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia
dengan belajar.

BAB 2
PEMBAHASAN
A. Sejarah
Sejarah Jepang Secara Garis Besar dapat dibagi sebagai berikut.
1.Genshi jidai (
a. Jomon jidai
2

Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi, (Jakarta: Penerbit Universitas, 1965) hlm. 18

b. Yayoi jidai( 8 SM 3 M)
2. Kodai (Abad 3 abad 12
a. Kofun(3-4 M)
b. Yamato(4-7 M)
c. Nara(710 794)
d. Heian(794 1185)
3. Chuusei (abad 12 abad 16
a. Kamakura(1185-1333)
b. nanbokucho(1336-1392)
c. Muromachi(1338 1573)
d. Sengoku((1493 1573)
4. Kinseiabad 16 abad 19
a. Edo jidai(1603 1867)
5. Kindaiawal abad 19 awal abad 20
a. Meiji jidai ()(1868 1912)
b. Taisho () (1912 1926)
6. Genzai : abad 20
a. Showa () ( 1926 1989)
b. Heisei () (1989 sekarang)

Pembagian zaman adalah sebagai berikut.


1. Zaman Jomon
a. Sudah ada tembikar
b. Menggunakan alat-alat dari batu dan tulang binatang
c. Hidup dari berburu, menangkap ikan,dan mengambil tumbuh-tumbuhan yang dapat
dimakan.
2.

Zaman Yayoi ( abad ke-8 sebelum Masehi hingga abad ke-3M)

a. Mulainya budidaya padi dan penggunaan perkakas dari logam.


b. Mulai adanya kampung,desa,dan pemimpin.
3

c. Mulai bermasyarakat.
d. Tembikar lebih maju dari pada zaman jomon.
3. Zaman Nara ( narajidai) (710-794 M ) adalah salah satu zaman dalam
pembagian periode sejarah Jepang yang dimulai ketika kaisar wanita Genmei
memindahkan ibukota kekaisaran keHeij-ky (Nara) pada tahun 710,berlangsung
selama 84 tahun hingga kaisar Kanmu memindahkan ibukota keHeian-ky pada
tahun794. Tahun 794 ibukota dipindahkan ke Kyoto. Disertai mulainya penggunaan huruf
Jepang, yaitu huruf Kana.-Genji Monogatari (Kisah Genji), novel tertua di dunia ditulis
oleh Murasaki Shikibu dan adanya arca besar Budha di kuil Todai.
4. Zaman Heian (heian jidai) (794-1185 M)
a. berlangsung selama 390 tahun,
b. dimulai dari tahun 794ketika kaisar Kanmu memindahkan ibu kota ke Heian-ky
hingga dibentuknya pemerintah Keshogunan.
5. Zaman Kamakura (kamakura jidai) (sekitar 1185sekitar 1333)
Pada zaman ini salah satu pembagian periode dalam sejarah Jepang ketika pemerintahan
militer (keshogunan) terletak di Sagami Kamakura, sehingga zaman ini dinamakan zaman
Kamakura.
6. Zaman Muromachi ( muromachi jidai) atau zaman Keshogunan Ashikaga
(sekitar 1338-sekitar 1573 M) adalah salah satu pembagian periode dalam sejarah Jepang
ketika keshogunan Ashikaga yang juga dikenal sebagai Keshogunan Muromachi
berkuasa di Jepang. Pemerintah Ashikaga berpusat di Muromachi, Kyotosehingga disebut
Keshogunan Muromachi.
7. Zaman Edo (edo jidai) (1603-1867 M)
Dimulai sejak shogun pertama Tokugawa Ieyasu mendirikan Keshogunan Tokugawa di
Edo yang berakhir dengan pemulihan kekuasaan kaisar ( taisei hkan) dari
tangan shogun terakhir Tokugawa Yoshinobu sekaligus mengakhiri

kekuasan

Keshogunan Tokugawa yang berlangsung selama 264 tahun. Zaman Edo juga disebut
sebagai awal zaman modern di Jepang.
8. Zaman Restorasi Meiji ( ,Meiji-ishin), dikenal juga dengan sebutan Meiji
Ishin, Revolusi, atau Pembaruan, adalah rangkaian kejadian yang menyebabkan
perubahan pada struktur politik dan sosial Jepang. Restorasi Meiji terjadi pada tahun
1866 sampai 1869, tiga tahun yang mencakup akhir Zaman Edodan awal Zaman Meiji.
4

Restorasi ini merupakan akibat langsung dari dibukanya Jepang kepada kedatangan kapal
dari dunia Barat yang dipimpin oleh perwira angkatan laut asal AS, Matthew Perry.
9. Zaman Taish () (30 Juli 1912-24 Desember 1926) adalah salah satu nama zaman
pemerintahan kaisar Jepang sewaktu kaisar Taish memerintah Jepang, sesudah zaman
Meijidan sebelum zaman Shwa.
10. Zaman Shwa ( ) (25 Desember 1926-7 Januari 1989) adalah salah satu nama
zaman.pemerintahan kaisar Jepang sewaktu kaisar Shwa memerintah Jepang. Tahun
Shwa berlangsung hingga tahun 64 Shwa, walaupun tahun 64 Shwa hanya
berlangsung selama 7 hari.
11. Zaman Heisei
Sebagai nama zaman yang baru dimulai 8 Januari 1989 setelah Kaisar Akihitonaik tahta
menggantikan Kaisar Hirohito yang mangkat pada tanggal 7 Januari1989. Tahun 1989
juga disebut tahun Heisei 1 (Heisei gannen, tahun awal zaman Heisei).

B. Bahasa
Bahasa Jepang ( ; romaji: Nihongo) merupakan bahasa resmi di Jepang dan
jumlah

penutur

127

juta

jiwa.

Bahasa

Jepang

juga

digunakan

oleh

sejumlah penduduk negara yang pernah ditaklukkannya seperti Korea dan Republik Cina.
Ia juga dapat didengarkan di Amerika Serikat (California dan Hawaii) dan Brazil akibat
emigrasi orang Jepang ke sana. Namun keturunan mereka yang disebut nisei( ,
generasi kedua), tidak lagi fasih dalam bahasa tersebut.Bahasa Jepang terbagi kepada dua
bentuk yaitu Hyoujungo ( ), pertuturan standar, dan Kyoutsugo ( ),
pertuturan umum. Hyoujungo adalah bentuk yang diajarkan di sekolah dan digunakan di
televisi dan segala perhubungan resmi.

1. Tulisan Bahasa Jepang


5

Tulisan bahasa Jepang berasal dari tulisan bahasa China ( /kanji) yang
diperkenalkan pada abad keempat Masehi. Sebelum ini, orang Jepang tidak mempunyai
sistem penulisan sendiri.
Tulisan Jepang terbagi kepada tiga, yaitu aksara Kanji ( ) yang berasal dari
China, aksara Hiragana ( ) dan aksara Katakana ( ); keduanya
berunsur daripada tulisan kanji dan dikembangkan pada abad kedelapan Masehi
oleh rohaniawan Buddha untuk membantu melafazkan karakter-karakter China.
Kedua

aksara

terakhir

ini

biasa

disebut kana dan

keduanya

terpengaruhi fonetik Bahasa Sanskerta. Hal ini masih bisa dilihat dalam urutan aksara
Kana. Selain itu, ada pula sistem alihaksara yang disebut romaji.
Bahasa Jepang yang kita kenal sekarang ini, ditulis dengan menggunakan
kombinasi aksara Kanji, Hiragana, dan Katakana. Kanji dipakai untuk menyatakan arti
dasar dari kata (baik berupa kata benda, kata kerja, kata sifat, atau kata sandang).
Hiragana ditulis sesudah kanji untuk mengubah arti dasar dari kata tersebut, dan
menyesuaikannya dengan peraturan tata bahasa Jepang.

2. Huruf yang Dipakai


Aksara Hiragana dan Katakana (kana) memiliki urutan seperti dibawah ini,
memiliki 46 set huruf masing-masing. Keduanya (Hiragana dan Katakana) tidak memiliki
arti apapun, seperti abjad dalam Bahasa Indonesia, hanya melambangkan suatu bunyi
tertentu, meskipun ada juga kata-kata dalam bahasa Jepang yang terdiri dari satu 'suku
kata', seperti me (mata), ki (pohon), ni (dua), dan sebagainya. Abjad ini diajarkan pada
tingkat pra-sekolah (TK) di Jepang.

Banyak sekali kanji yang diadaptasi dari Tiongkok, sehingga menimbulkan banyak
kesulitan dalam membacanya. Dai Kanji Jiten adalah kamus kanji terbesar yang pernah
dibuat, dan berisi 30.000 kanji. Kebanyakan kanji sudah punah, hanya terdapat pada kamus,
dan sangat terbatas pemakaiannya, seperti pada penulisan suatu nama orang.
Oleh karena itu Pemerintah Jepang membuat suatu peraturan baru mengenai jumlah
aksara kanji dalam Joy Kanji atau kanji sehari-hari yang dibatasi penggunaannya sampai
1945 huruf saja. Aksara kanji melambangkan suatu arti tertentu. Suatu Kanji dapat dibaca
secara dua bacaan, yaitu Onymi (adaptasi dari cara baca China) dan Kunymi (cara baca
asli Jepang). Satu kanji bisa memiliki beberapa bacaan Onyomi dan Kunyomi.

C. Seni dan Kebudayaan


1. Perkembangan Drama Tradisional Jepang
Zaman Chusei dibagi menjadi dua periode, yaitu periode Kamakura dan periode
Muromachi, dengan tahun 1333 sebagai tahun pembatas kedua periode tersebut. Periode
Kamakura dan periode Muromachi merupakan dua periode yang terus menerus mengalami
bencana-bencana alam, perang demi perang serta kekacauan lainnya. Walaupun keadaannya
demikian, dengan ketekunan dan keuletan bangsa Jepang pada zaman yang bersangkutan,
mereka berhasil membentuk kebudayaan dalam bidang seni sastra terutama seni drama. Seni
7

drama pada Chusei mengalami kemajuan-kemajuan besar dalam konsep, struktur, penciptaan
teorinya. Dari semua kemajuan-kemajuan tersebut pada setiap segi terlihat karakter zaman
pertengahan (Chusei) yang kuat, terutama yang diperlihatkan oleh drama Noh. Berdasarkan
pembagian sejarah dalam zaman Chusei terdiri dari dua periode, pertama periode yang
berakhir 1350 dan periode yang kedua mulai tahun 1350. Jadi pembagiannya ada dua taraf
yaitu drama yang ada dalam kurun waktu yang berakhir tahun 1350 dan drama yang muncul
atau ada dari mulai tahun 1350.
1.1 Eksistensi Drama pada Periode Chusei I (1200-1250)
Periode ini mengatur atau merupakan periode permulaan dari seni drama abad pertengahan
( zaman Chusei ). Di tengah-tengah kekacauan sosial serta politik, dibentuk dasar permulaan
dari drama zaman pertengahan. Drama yang pertama kali muncul adalah Ennen Noh dan
Sarugaku Noh, kedua drama ini merupakan induk dariseni drama Noh. Enne Noh ini
bersumber dari berbagai jenis kesenian fragmenter ( tarian, nyanyian dan lain-lain ) yang
dimainkan setelah selesai kebaktian Budhis di kuil-kuil. Begitu juga Sarugaku Noh sama,
memiliki unsur-unsur tarian, lagu dan penekanannyapada elemen legenda. Periode ini hanya
menjelaskan tentang asal mula drama yang hidup pada zaman perkembangan dan periode
selanjutnya.
1.2 Eksistensi Drama pada Peiode Chusei II (1250-1350)
Pada periode ini banyak terjadi bencana alam, maupun bencana akibat perbuatan manusia itu
sendiri, termasuk di antaranya serangan yang datang dari pasukan Mongol dan jatuhnya
Bakufu di Kamaruka pada tahun 1333. Pada periode ini terjadi kekacuan sosial, kesulitankesulitan ekonomi, namun dalam mengatasi permasalahan ini (kondisi yang menyengsarakan
ini) masyarakat kembali berupaya untuk menciptakan stabilitas dalam kehidupannya,
demikian juga dengan yang terjadi didalam kehidupan budaya, ternyata masyarakat Jepang
pada zaman ini berhasil membentuk budaya abad pertengahan Jepang yang memiliki ciri-ciri
tersendiri.Pada periode Chusei II ini agama-agama seperti agama Zen Shu, Jodo Shu, Ji Shu
muncul di Jepang dan meluas dikalangan masyarakat sarta membawa
penyelamatan dan penguatan kepada jiwa-jiwa yang menderita.
Aliran-aliran keagamaan ini terutama dibawa oleh para pemuka agama Jepang yang telah
belajar di Cina. Pengalaman serta pengentahuan yang mereka bawa ke Jepang, mempengaruhi
dalam peri kehidupan masyarakat dan juga turut berperan dalam penciptaan kesenian dan
8

pertumbuhan drama Noh (Ennen Noh). Demikian juga Sarugaku Noh semakin disempurnakan
hingga pada akhir periode Chusei II ini. Selanjutnya, Sarugaku Noh ini berkembang mejadi
drama baru, yatiu drama Noh. Pada periode Chusei II ini, drama zaman pertengahan
mendapatkan bentuknya yang mandiri dan strukturnyapun terbentuk dengan kokoh. Terlebih
lagi perkembangan drama zaman Chusei ini dipengaruhi Bhudisme dan Shintoisme.
Pada zaman pertengahan II (1250-1350) ini merupakan bagian dari abad pertengahan
yang secara khusus kaya dengan kualitas antik (kualitas kuno), pada saat dimana pengaruh
kuli-kuil dan pagoda-pagoda (Bhudisme dan Shintoisme) memberi pengaruh yang dominan
baik dalam kehidupan budaya maupun dalam kesenian drama (Yoshinobu Inoura, 1971 : 11).
Oleh karena itu adanya pengaruh yang antara kedua agama (Bhudisme dan Shintoisme)
tersebut, maka hal ini memugkinkan terjadinya pembentukan drama zaman Chusei yang
bersifat unik dan berkualitas tinggi.demikianlah pada priode Chusei II (1250-1350) dapat
terlihat pengaruh yang besar, baik pengaruh dari berbagai aliran agama yang timbul pada
periode Chusei II terhadap perkembangan drama pada periode selanjutnya.
1.3 Eksistensi Drama pada Periode Chusei III (1350-1450)
Periode Chusei III ini berlangsung kira-kira satu abad. Diantara kurung waktu yang
seabad ini lahirlah dua sastrawan besar, yaitu , Kanami (ayahnya) dan Zeami (anaknya).
Kedua sastrawan ini sepenuh tenaga dan vitalitasnya dalam memperkaya, memurnikan dan
memperdalam Sarugaku Noh mereka berhasil menanggalkan seluruh gaya kuno yang
terdapat dalam Sarugaku Noh dan kemudian memunculkannya dalam bentuk Noh yang
merupakan gaya baru zaman Chusei. Pada periode ini drama mempunyai suatu gaya baru,
tetapi gaya lama dan gaya baru dalam seni drama tumbuh secara berdampingan dan sekaligus
saling bersaing. Didalam persaingan ini, seni drama gaya lama dan secara perlahanlahan
seni drama gaya baru berhasil mengungguli dalam periode Chusei ketiga ini. Sebagai akibat
dari seni drama gaya baru berhasill mengugguli seni drama gala lam, maka keseniankesenian tradisional hanya ada dan tumbuh di kuil-kuil saja kesenian-kesenian yang
bernafaskan keagamaan, kesenian yang tergolong sederhana dan masih mentah semuanya
mengalami kemunduran serta seni-seni drama juga bergeser ke tepi urban ( tipe seni drama
yang bermasyarakat ). Dengan demikian, drama pada periode ini dapat dinikmati oleh
masyarakat dan berkembang dikalangan masyarakat terutama masyarakat biasa atau
9

masyarakat golongan bawah. Yoshinobu ( 1971 : 14 ) mengatakan bahwa seni drama zaman
pertengahan (1350-1450) serta kesenian yang ada pada periode ini tidaklah dibatasi bak
secara lokal maupun secara sosial, artinya kesenian-kesenian didalam periode ini tidak
terbatas hanya dinikmati oleh kelompok masyarakat tertentu. Walaupun pada dasarnya gayagaya baru timbul, tetapi pola-pola lama masih tetap hidup dan tradisi yang baikpun tidaklah
dilupakan sama sekali. Pada periode Chusei III ini dijelaskan mengenai lahirnya Kanami
dan anaknya Zeami sebagai seniman besar serta timbulnya gaya baru dalam seni drama yakni
lahirnya seni drama Noh. Dan drama dari mulai periode ini sebagai objek penelitian,
terutama dalam menganalisis teks-teks naskah drama Noh yang bernuansakan kepercayaan
rakyat.
1.4 Eksistensi Drama Tradisional pada Periode Chusei IV (1450-1600)
Periode ini berlangsung selama seratus lima puluh tahun. periode ini merupakan masa
yang ditandai konflik secara berkelanjutan diseluruh Jepang. Dan pada masa ini gejolakgejolak sosial yang keras bermunculan, sehingga mengakibatkan terjadinya keresahankersahan dan kebingungan dalam masyarakat. Dalam periode ini, perubahan dalam seni
drama berlangsung secara radikal.
Sebagai akibat meluasnya perubahan-perubahan seni drama, maka drama Ennen Noh
mengalami kemunduran dan praktis hilang. Walaupun masih ada beberapa bagian kecil dari
drama Ennen Noh yang masih terasa dan tersebar dibeberapa daerah. Drama Noh pada
periode Chusei IV ini, sering dipertunjukkan dibebagai tempat. Dan suatu hal yang luar biasa
dalam pertunjukan drama Noh tersebut ialah dibawa kauaran oleh pemain profesional dan
malahan oleh rakyat biasa ( golongan bawah ). Hal tersebut menunjukkan adanya simpati
masyarakat pada zaman atau periode ini terhadap drama Noh. Dan pada akhirnya drama Noh
pada periode IV ini berhasil digemari dan dihargai oleh masyarakat banyak. Dari urain diatas
terlihat pembagian drma zaman Chusei yang terdiri dari empat periode, yakni drama periode
Chusei I (1200-1250) dan Chusei II (1250-1350) adalah periode drama yang berakhir tahun
1350 dengan kata lain drama ini disebut drama gaya kuno. Dan drama pada periode Chusei
III ( 1350-1450 ) dan Chusei IV( 1450-1600 ) merupakan drama yang lebih dari tahun 1350
dengan kata lain drama ini drama gaya baru.

10

Kimono (Pakaian Tradisional Jepang)

Origami (Seni Melipat Kertas)

Yukata (Kimono musim panas)

Tako (Seni Layang-layang)

11

Shado atau Chado (Upacara Minum Teh)

Matsuri (Festival Budaya)

Kendo dan Judo

Bonsai (Seni mengkerdilkan pohon)

D. Kepercayaan
12

Jika kita memahami agama orang Jepang melalui agama resmi, agama sempurna atau
agama dunia, dimana agama-agama seperti ini di dalam sejarah tertentu adalah merupakan
suatu agama yang terbentuk oleh seorang pemuka atau nabi, memiliki kitab suci tertentu,
penganut resmi dan masing-masing agama tersebut memiliki karakter yang khas, maka
sebagai hasilnya, akan membuahkan suatu kesimpulan yang terbatas pada penganut-penganut
agama ini satu sama lain saling bersaing, dan menganggap bahwa ajaran ( doktrin ) agama
merekalah yang paling sempurna. Oleh karena itu, jika kita memahami kebudayaan spiritual
Jepang berlandaskan agama sempurna atau agama dunia tertentu, misalnya dengan
memusatkan perhatian pada bentuk bangunan tertentu, ritus-ritus, doktrin ( ajaran) dari
agama-agama yang bersangkutan. Maka ini berarti mempermasalahkan keyakinan yang
bersifat kyukyoku atau menempatkan permasalahan pada kutub yang paling luhur yang
akhirnya akan suatu argumentasi keagamaan orang Jepang yang khusus.
Atas dasar itu menurut Kunusoki dalam Dahsiar Anwar ( 1992: 59 ) perlu diambil
suatu alternatif untuk memahami agama orang Jepang dari sudut pendekatan yang bersifat
mendasar, agar dapat memahami secara menyeluruh tentang agama orang Jepang pada
umumnya. Pendekatan yang bersifat mendasar disini didalam arti, fokus studi agama di
Jepang tidak diletakkan pada pola ajaran (doktrin) agama bersifat sebagai tolak ukurnya dan
membuat suatu pendekatan yang bersifat normatif, melainkan menempatkan fokus
pengamatan pada agama sebagai penghayahatan dan penginterpretasian manusia dalam
kaitannya dengan pengalaman hidup sehari-hari atau dengan kata lain memusatkan perhatian
pada tingkah laku keagamaan yang bersifat empiris.
Hanazono dalam Eman Kusdiyana (1995: 97) mengatakan, bahwa agama Jepang
dibagi dalam 3 klasifikasi, yakni agama yang bersifat individual (Kobetsteki Shukyo), agama
yang bersifat universal (Fuhenteki Shukyo) dan agama yang bersifat fungsional ( Kinoteki
Shukyo ). Agama yang bersifat individual misalnya Shinto. Agama Shinto ini dapat juga
dikatakan minzoku shukyo ( folk religion ) atau shizen shukyo ( natural religion ). Pada
prinsipnya, minzoku atau shizen shukyo ini tidak dapat memiliki pencipta, tidak memiliki
kitab suci, tetapi hanya memiliki tempat ibadat saja. Seperti halnya agama Shinto memiliki
tempat ibadat yang disebut Jinja. Jinja ini mempunyai fungsi sebagai simbol kerja sama
( community ) dan persatuan (unity), upacara perkawinan, tempat memohon supaya panen
berlimpah dan lain-lain. Dengan demikian masyarakat jepang dalam kehidupan sehari-hari
13

sering menyelenggarakan upacara-upacara berdasarkan agama Shinto. Agama Budha


merupakan agama yang bersifat universal di Jepang. Agama Budha di Jepang terbagi atas dua
aliran, yakni ortodok Budhisme (sectional Budhisme) yaitu agama yang memiliki sekte
( seperti: Tendaishu, Jodoshu, Jishu dan sebagainya). Popular Budhisme, yaitu agama Budha
yang bertentangan dengan sekte (crosssectional) serta agama Budha yang bersifat kerakyatan
(folkoristic Budhisme). Popular Budhisme ini selanjutnya menjadi Shomin Shinko
(kepercayaan rakyat).
Hal ini dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jepang, mereka
menyelenggarakan persembahan sesajen untuk arwah nenek moyangnya di kuil Budha,
mengadakan upacara penguburan berdasarkan agama Budha, memohon kepada dewa Budha
untuk menyembuhkan penyakit dan sebagainya. Dengan demikian masyarakat Jepang dalam
kehidupan sehari-harinya, selain menyelenggarakan upacara berdasarkan agama Shinto juga
menyelengggarakan upacara berdasarka agama Budha. Disini kelihatan adanya keterpaduan
antara agama Shinto dan agama Budha.
Agama yang bersifat fungsional dapat dikatakan kepercayaan secara magis (Jujutsuteki
Shinto). Hal ini sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat Jepang sehari-hari. Misalnya,
orang ingin melahirkan dengan selamat, bayinya sehat, berdoa supaya tanaman subur, berdoa
minta hujan, ingin menyembuhkan penyakit dan sebaginya. Orang-orang banyak pergi ke
kuil untuk memohon hal itu kepada dewa.Disini timbul kebingunan antara memohon sesuatu
berdasarkan agama dan magic. Malinowski dalam Eman Kusdiyana mengatakan bahwa
fungsi upacara berdasarkan magic dan agama berbeda, menurutnya upacara berdasarkan
agama (religion ceremony) berarti upacara untuk tujuan tertentu yang tak jelas dan
dikerjakan bersama-sama. Jadi upacara ini berdasarkan integrasi, misalnya upacara
perkawinan (Kekkonshiki). Sedangkan upacara berdasarkan magic, berarti upacara yang
mempunyai tujuan yang jelas, misalnya ingin mempunyai anak yang sehat, cantik dan
sebagainya. Malinowski menyebut upacara ini adalah magic ceremony. Kesimpulannya,
bahwa upacara yang diselenggarakan oleh masyrakat Jepang dalam kehidupan sehari-hari,
ada tiga jenis upacara, yakni upacara berdasarkan agama Shinto, berdasarkan agama Budha
dan berdasarkan magic. Upacara ini semuanya dilaksanakan masyarakat Jepang sehari-hari.
Dari hal diatas, terlihat bahwa agama yang bersifat individu, universal dan fungsional

14

bercampur hidup berdampingan (paralel). Dengan demikian bangsa Jepang bisa dianggap
multi personality atau kepercayaan orang Jepang dapat dianggap juga multi dimensial. Jadi
masyrakat Jepang membentuk keyakinannya berdasarkan prinsip religius (Shukyoteki) dan
magic (Jujutsuteki). Dan oleh Masahiro Kusunoki integrasi dinamikadari JujutsutekiShukyoteki inilah yang disebut Shomin Shinko. Selanjutnya Kusunotoki dalam S Dahsiar
Anwar (1992: 64) mengatakan dan menjelaskan tentang apa yang dimaksud dengan Shomin
Shinko. Dikatakannya bahwa, Di dalam kehidupan manusia terdapat berbagi macam tujuan
dan cara hidup. Ada hidup yang bertujuan untuk uang, nama, kekuasaan, hidup untuk
mencari kebenaran, untuk tujuan seni, hidup untuk etik dan lain-lain. Di pihak lain yaitu
didalam aspek kehidupan religius terdapat gejala kehidupan yang terungkap seperti doa-doa,
kutukan, penycian dan lain-lain. Gejala kepercayaan ini bukan merupakan tujuan nilai
budaya yang rasional, tapi sebaliknya kebanyakan adalah bersifat Jujutsuteki-Shukyoteki
atau religious magic, yaitu gejala kepercayaan yang enunjukkan usaha untuk mencapai tujuan
guna memenuhi atau memuaskan tuntutan atau keinginana yang dianggap tidak mungkin
direalisasikan secara rasional dengan sesautu yang dianggap memiliki kekuatan yang lebih
dari amanusia. Gerak Jujutsuteki-Shukyoteki atau religius magis ini jika sempurna atau
mencapai kematangannya, akan tiba kepada penolakan terhadap diri sendiri, dan inilah dunia
yanag disebut religius atau misteri agama. Sedangkan gejala kepercayaan yang tersebut
diatas bergerak dengan dua poros ini. Atau lebih tepat lagi jika dikatakan bgahwa, integrasi
dinamika dari kesua poros inilah yang disebut Shomin Shinko. Adapun ciri khas terletak pada
keterpaduan antara agama sebagai bagian dari pengalaman hidup dengan agama sebagai
tuntunan ideal atau doktrinal. Untuk lebih jelasnya, Kusunoki mengatakan bahwa Shukyoteki
adalah penolakan diri sendiri, pasrah, ikhlas, menyerah tulus dan sebagainya. Sedangkan
Jujutsuteky (magic) adalah doa-doa irasional pemenuh keinginan atau tuntutan manusia.
Jujutsuteki-Shukyoteki ( religius-magic ) dalam kenyataannya akan terlihat dalam berbagai
macam kegiatan ritus keagamaan yang dilakukan orang Jepang berbagai kelompok dan
lapisan masyarakat.
Jadi Shomin Shinko (kepercayaan rakyat) ini adalah suatu sistem kepercayaan yang
didalamnya tercakup masalah-masalah yang menyangkut akan kesucian dan dunia sekuler,
serta masalah-masalah yang berkaitan dengan ajaran berbagai agama yang ada di Jepang,
dengan dunia empiris dalam kehidupan orang Jepang sehari-hari (lihat Kusunoki dalam
15

Dahsiar Anwar, 1992: 66). Kepercayaan rakyat yang telah dijelaskan diatas, tidak menutup
kemungkinan mempengaruhi terhadap pertunjukan drama Noh. Sehingga dalam teks-teks
drama Noh banyak juga yang mengungkapkan masalah Shomin Shinko seperti salah satu
contohnya Noh yang berjudul Hagoromo, Sumidagawa, Seiobo dan lain-lain.

DAFTAR PUSTAKA
16

http://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Jepang
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/22421/3/Chapter%20II.pdf
http://lukmansworld.blogspot.com/2011/05/makalah-kebudayaan-jepang.html

17

Anda mungkin juga menyukai