Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN
1.1.

Latar belakang
Kebutuhan energi dari bahan bakar minyak bumi (BBM) di berbagai
negara di dunia dalam tahun terakhir ini mengalami peningkatan. Tidak hanya
pada negara - negara maju, tetapi juga di negara berkembang seperti
Indonesia. Untuk mengantisipasi krisis bahan bakar minyak bumi (BBM) pada
masa yang akan datang. Saat ini telah dikembangkan pemanfaatan etanol
sebagai sumber energi terbarukan, contohnya untuk pembuatan bioetanol dan
gasohol.
Bio-etanol merupakan salah satu jenis biofuel (bahan bakar cair dari
pengolahan tumbuhan) di samping Biodiesel. Bio-etanol adalah etanol yang
dihasilkan dari fermentasi glukosa (gula) yang dilanjutkan dengan proses
destilasi. Proses destilasi dapat menghasilkan etanol dengan kadar 95%
volume, untuk digunakan sebagai bahan bakar (biofuel) perlu lebih
dimurnikan lagi hingga mencapai 99% yang lazim disebut fuel grade ethanol
(FGE). Proses pemurnian dengan prinsip dehidrasi umumnya dilakukan
dengan metode Molecular Sieve, untuk memisahkan air dari senyawa etanol.
Bioethanol adalah salah satu bentuk energi terbaharui yang dapat
diproduksi dari tumbuhan. Etanol dapat dibuat dari tanaman-tanaman yang
umum, misalnya tebu, kentang, singkong, dan jagung. Telah muncul
perdebatan, apakah bioetanol ini nantinya akan menggantikan bensin yang ada
saat ini. Kekhawatiran mengenai produksi dan adanya kemungkinan naiknya
harga makanan yang disebabkan karena dibutuhkan lahan yang sangat besar,
ditambah lagi energi dan polusi yang dihasilkan dari keseluruhan produksi
etanol, terutama tanaman jagung. Pengembangan terbaru dengan munculnya
komersialisasi dan produksi etanol selulosa mungkin dapat memecahkan
sedikit masalah.

Etanol selulosa menawarkan prospek yang menjanjikan karena serat


selulosa, komponen utama pada dinding sel di semua tumbuhan, dapat
digunakan untuk memproduksi etanol. Menurut Badan Energi Internasional
etanol selulosa dapat menyumbangkan perannya lebih besar pada masa
mendatang.
1.2.

Rumusan masalah
1. Defenisi bioetanol
2. Sejarah bioetanol
3. Produksi bioetanol
4. Manfaat bioetanol

1.3.

Tujuan makalah
Mengetahui definisi bioetanol
Mengetahui sejarah bioetanol
Mengetahui produksi bioetanol

1.4.

Manfaat makalah

BAB II
PEMBAHASAN
2.1.

Definisi Bioetanol
Bioetanol merupakan cairan hasil proses fermentasi gula dari sumber
karbohidrat (pati) menggunakan bantuan mikroorganisme. Produksi bioetanol
dari tanaman yang mengandung pati atau karbohidrat, dilakukan melalui
proses konversi karbohidrat menjadi gula (glukosa) dengan beberapa metode

diantaranya dengan hidrolisis asam dan secara enzimatis. Metode hidrolisis


secara enzimatis lebih sering digunakan karena lebih ramah lingkungan
dibandingkan dengan katalis asam. Glukosa yang diperoleh selanjutnya
dilakukan proses fermentasi atau peragian dengan menambahkan yeast atau
ragi sehingga diperoleh bioetanol sebagai sumber energi.
Etanol atau biasa juga disebut etil alkohol, alkohol murni, alkohol absolut,
atau alkohol adalah sejenis cairan yang mudah menguap, mudah terbakar, tak
berwarna, dan merupakan alkohol yang paling sering digunakan dalam
kehidupan sehari-hari. Senyawa ini merupakan obat psikoaktif dan dapat
ditemukan pada minuman beralkohol dan termometer modern. Etanol adalah
salah satu obat rekreasi yang paling tua.
Etanol termasuk ke dalam alkohol rantai tunggal, dengan rumus kimia
C2H5OH dan rumus empiris C2H6O. Ia merupakan isomer konstitusional dari
dimetil eter. Etanol sering disingkat menjadi EtOH, dengan "Et" merupakan
singkatan dari gugus etil (C2H5).

Etanol banyak digunakan sebagai pelarut berbagai bahan-bahan kimia yang


ditujukan untuk konsumsi dan kegunaan manusia. Contohnya adalah pada parfum,
perasa, pewarna makanan, dan obat-obatan. Dalam kimia, etanol adalah pelarut
yang penting sekaligus sebagai stok umpan untuk sintesis senyawa kimia lainnya.
Dalam sejarahnya etanol telah lama digunakan sebagai bahan bakar. Alkohol
sebagai minuman keras dibagi menjadi 2 jenis, yaitu:
1. Minuman

yang

tidak

disuling,

yaitu

minuman

yang

hanya

mengandung alkohol paling banyak 12%, contoh bir dan anggur.


2. Minuman yang disuling, yaitu minuman yang mengandung alkohol
kurang lebih 55%, contoh Whisky, arak, cognac.
Agar alkohol yang digunakan sebagai bahan bakar dan keperluan farmasi
serta industri tidak diminum, maka ethanol dibuat tidak terminum dengan
cara diberi methanol dan zat pewarna(denaturasi alkohol), misalnya alkohol
yang dipakai sebagai spirtus bakar.
(Bio)Etanol tidak berwarna dan tidak berasa tapi memilki bau yang khas.
Bahan ini dapat memabukkan jika diminum. Karena sifatnya yang tidak
beracun bahan ini banyak dipakai sebagai pelarut dalam dunia farmasi dan
industri makanan dan minuman.
A. Sifat-sifat etanol
1. Sifat fisik
2. Sifat kimia
2.2.

Sejarah BioEtanol
(Bio)Etanol telah digunakan manusia sejak zaman prasejarah sebagai
bahan pemabuk dalam minuman beralkohol. Residu yang ditemukan pada
peninggalan keramik yang berumur 9000 tahun dari China bagian utara
menunjukkan bahwa minuman beralkohol telah digunakan oleh manusia
prasejarah dari masa Neolitik.

Campuran dari (Bio)etanol yang mendekati kemrunian untuk pertama


kali ditemukan oleh Kimiawan Muslim yang mengembangkan proses distilasi
pada masa Kalifah Abbasid dengan peneliti yang terkenal waktu itu adalah
Jabir ibn Hayyan (Geber), Al-Kindi (Alkindus) dan al-Razi (Rhazes). Catatan
yang disusun oleh Jabir ibn Hayyan (721-815) menyebutkan bahwa uap dari
wine yang mendidih mudah terbakar. Al-Kindi (801-873) dengan tegas
menjelaskan tentang proses distilasi wine. Sedangkan (Bio)etanol absolut
didapatkan pada tahun 1796 oleh Johann Tobias Lowitz, dengan
menggunakan distilasi saringan arang.
Antoine Lavoisier menggambarkan bahwa (Bio)etanol adalah senyawa
yang terbentuk dari karbon, hidrogen dan oksigen. Pada tahun 1808 NicolasThodore de Saussure dapat menentukan rumus kimia etanol. Limapuluh
tahun kemudian (1858), Archibald Scott Couper menerbitkan rumus bangun
etanol. Dengan demikian etanol adalah salah satu senyawa kimia yang
pertama kali ditemukan rumus bangunnya. Etanol pertama kali dibuat secara
sintetis pada tahu 1829 di Inggris oleh Henry Hennel dan S.G.Serullas di
Perancis. Michael Faraday membuat etanol dengan menggunakan hidrasi
katalis asam pada etilen pada tahun 1982 yang digunakan pada proses
produksi etanol sintetis hingga saat ini.
Pada tahun 1840 etanol menjadi bahan bakar lampu di Amerika Serikat,
pada tahun 1880-an Henry Ford membuat mobil quadrycycle dan sejak tahun
1908 mobil Ford model T telah dapat menggunakan (bio)etanol sebagai bahan
bakarnya. Namun pada tahun 1920an bahan bakar dari petroleum yang
harganya lebih murah telah menjadi dominan menyebabkan etanol kurang
mendapatkan perhatian. Akhir-akhir ini, dengan meningkatnya harga minyak
bumi, bioetanol kembali mendapatkan perhatian dan telah menjadi alternatif
energi yang terus dikembangkan.
Ahli Kimia Perancis, Louis Pasteur adalah seorang zymologist pertama
ketika pada tahun 1857 mengkaitkan ragi dengan fermentasi. Ia

mendefinisikan fermentasi sebagai "respirasi (pernapasan) tanpa udara".


Fermentasi adalah

proses

produksi

energi

dalam sel dalam

keadaan anaerobik (tanpa oksigen). Secara umum, fermentasi adalah salah


satu bentuk respirasi anaerobik, akan tetapi, terdapat definisi yang lebih jelas
yang

mendefinisikan

fermentasi

sebagai respirasi dalam

lingkungan

anaerobik dengan tanpa akseptor elektron eksternal.


Gula adalah bahan yang umum dalam fermentasi. Beberapa contoh hasil
fermentasi adalah etanol, asam laktat, dan hidrogen. Akan tetapi beberapa
komponen lain dapat juga dihasilkan dari fermentasi seperti asam
butirat dan aseton. Ragi dikenal sebagai bahan yang umum digunakan dalam
fermentasi

untuk

menghasilkan etanol dalam bir, anggur dan

minuman

beralkohol lainnya. Respirasi anaerobik dalam otot mamalia selama kerja


yang keras (yang tidak memiliki akseptor elektron eksternal), dapat
dikategorikan sebagai bentuk fermentasi yang mengasilkan asam laktat
sebagai produk sampingannya. Akumulasi asam laktat inilah yang berperan
dalam menyebabkan rasa kelelahan pada otot.
Distilasi pertama kali ditemukan oleh kimiawan Yunani sekitar abad
pertama masehi yang akhirnya perkembangannya dipicu terutama oleh
tingginya permintaan akan spritus. Hypathia dari Alexandria dipercaya telah
menemukan rangkaian alat untuk distilasi dan Zosimus dari Alexandria-lah
yang telah berhasil menggambarkan secara akurat tentang proses distilasi
pada sekitar abad ke-4.
Bentuk

modern

distilasi

pertama

kali

ditemukan

oleh

ahli-ahli

kimia Islam pada masa kekhalifahan Abbasiah, terutama oleh Al-Razi pada
pemisahan alkohol menjadi senyawa yang relatif murni melalui alat alembik,
bahkan desain ini menjadi semacam inspirasi yang memungkinkan rancangan
distilasi skala mikro, The Hickman Stillhead dapat terwujud. Tulisan oleh
Jabir

Ibnu

Hayyan (721-815)

yang

lebih

dikenal

dengan Ibnu

Jabir menyebutkan tentang uap anggur yang dapat terbakar. Ia juga telah

menemukan banyak peralatan dan proses kimia yang bahkan masih banyak
dipakai sampai saat kini. Kemudian teknik penyulingan diuraikan dengan
jelas oleh Al-Kindi (801-873).
Distilasi atau penyulingan adalah
kimia berdasarkan

perbedaan

suatu

kecepatan

metode pemisahan bahan


atau

kemudahan

menguap

(volatilitas) bahan. Dalam penyulingan, campuran zat dididihkan sehingga


menguap, dan uap ini kemudian didinginkan kembali ke dalam bentuk cairan.
Zat yang memiliki titik didih lebih rendah akan menguap lebih dulu.
Alkohol sebagai alternatif bahan bakar fosil
Pada tahun 1917, Alexander Graham Bell mengusulkan etanol dari
jagung dan bahan pangan lainnya sebagai bahan bakar pengganti batu bara
dan minyak dan menyatakan bahwa dunia dekat dengan masa di mana kedua
jenis bahan bakar tersebut akan segera habis. Sejak tahun 1970, Brazil telah
memiliki program bahan bakar etanol yang menjadikan negara tersebut
penghasil etanol kedua terbesar di dunia setelah Amerika Serikat dan
eksportir terbesar dunia. Program etanol Brazil menggunakan peralatan
modern dan bahan baku tebu yang murah sebagai bahan baku, dan residu
yang dihasilkan dari proses tersebut digunakan sebagai sumber energi untuk
proses berikutnya. Saat ini tidak ada lagi kendaraan pribadi di Brazil yang
dijalankan dengan bensin murni. Di akhir tahun 2008 Brazil telah memiliki
sedikitnya 35.000 stasiun pengisian bahan bakar dengan sedikitnya satu
pompa etanol. Etanol selulosit dapat diproduksi dari berbagai macam bahan
pangan, dan melibatkan penggunaan seluruh bagian hasil pertanian.
Pendekatan baru ini meningkatkan hasil etanol yang diproduksi dan
mengurangi emisi karbon karena jumlah energi pertanian yang digunakan
sama untuk sejumlah etanol yang lebih tinggi.

2.2.1

Asal Mula Nama Etanol


Etanol adalah nama sistematis yang didefinisikan oleh International Union
of Pure and Applied Chemistry (IUPAC) untuk molekul dengan dua atom
karbon (awalan eth-), memiliki ikatan tunggal diantaranya (akhiran -ane),
dan terdapat gugus fungsional OH (akhiran -ol).
Awalan etil diciptakan pada tahun 1834 oleh kimiawan Jerman Justus
Liebig. Etil berasal dari bahasa Inggris ethyl yang berasal dari bahasa
Perancis ether yang berarti zat yang mudah menguap atau menyublim pada
suhu kamar yang berasal dari bahasa Yunani (hyle) yang berarti
substansi.
Istilah etanol diciptakan sebagai hasil dari resolusi Konferensi
Internasional tentang Kimia Nomenklatur yang digelar di Jenewa, Swiss pada
bulan April 1892.
Istilah alkohol semakin luas digunakan dalam menyebut zat kimia
nomenklatur, tetapi dalam bahasa umum tetap disebut etanol. Istilah alkohol
telah ada sejak Abad Pertengahan yang berasal dari bahasa Arab al-Kuhl.
Sedangkan penggunaan istilah alkohol untuk menyebut minuman anggur
beralkohol diperkenalkan pada pertengahan abad ke-18. Sebelum itu, dalam
bahasa Latin Tengah, istilah alkohol digunakan untuk meyebut bubuk bijih
antimon, bubuk kosmetik.

2.2.2

Rumus Kimia Etanol


Etanol adalah alkohol 2-karbon dengan rumus molekul CH3CH2OH dan
notasi alternatifnya adalah CH3CH2OH yang mengindikasikan bahwa
karbon dari gugus metil (CH3) terikat dengan oksigen dari gugus hidroksil
(OH). Etanol sering disingkat sebagai EtOH, menggunakan notasi kimia yang
mewakili etil (C2H5) dengan Et.

2.2.3

Kemunculan Etanol Secara Alami


Etanol adalah produk sampingan dari proses metabolisme ragi. Pada
umumnya etanol dapat ditemukan di buah yang telah masak. Etanol juga
dihasilkan selama perkecambahan banyak tanaman. Etanol telah terdeteksi di
luar angkasa, membentuk lapisan es pada butir-butir debu.
2.3.

Produksi bioetanol
Selulosa dan pati merupakan material yang diperlukan untuk proses
pembuatan etanol. Selulosa hampir sama dengan pati, yaitu senyawa polimer
dari glukosa. Tetapi selulosa dan pati berbeda karena memiliki gugus ikatan C
yang berbeda. Ikatan polimer selulosa terjadi pada gugus C-beta, sedangkan
pati memiliki ikatan polimer pada gugus C- alfa.
Pada proses hidrolisis, pati akan lebih mudah dihidrolisis daripada
selulosa. Hal ini disebabkan karena unit-unit glukosa dalam selulosa memiliki
ikatan beta, sedangkan pati (amilosa) ikatannya adalah alfa. Perbedaan ikatan
ini yang sangat signifikan, ketika banyak enzim yang cocok untuk memecah
ikatan alfa dibanding dengan ikatan beta. Selain itu juga selulosa kurang
reaktif karena struktur kristalnya.

A. Pembuatan Bioetanol dari Selulosa


Ada tiga tahapan proses yang penting untuk pembuatan bioetanol dari
lignoselulosa ini, yaitu : proses hidrolisis selulosa menjadi gula, fermentasi
gula menjadi etanol dan pemurnian etanol.
Alur proses pembuatan etanol dari selulosa adalah sebagai berikut :
Pemecahan senyawa kompleks polisakarida yaitu lignoselulosa menjadi
monomernya (glukosa) dapat dilakukan dengan hidrolisis, dengan dua cara
yaitu dengan enzim atau dengan bahan kimia, dengan larutan asam. Hidrolisis
dengan bahan kimia ini lebih murah harganya dibandingkan enzim, dan tidak

perlu waktu lama dibandingkan enzim yang perlu berhari-hari. Dan hidrolisis
dengan asam, lebih bisa diatur kondisi operasinya. Dengan larutan asam yang
umum digunakan adalah dengan asam encer dan asam kuat. Hidrolisis dengan
asam pekat adalah cara yang relatif lama, namun hasil etanolnya lebih tinggi
dan proses dapat dioperasikan pada suhu yang rendah, dan ini merupakan
keuntungan dibandingkan dengan asam kuat. Namun demikian akan
memerlukan peralatan yang tahan korosi dan ini sangat mahal harganya.
Selain itu pengambilan asam yang terikut ke produk juga memerlukan energi
yang besar. Oleh karena itu hidrolisis dengan asam encer seperti asam sulfat
atau asam khlorida adalah yang paling umum diaplikasikan.
a.

Persiapan bahan baku


Persiapan bahan baku dilakukan untuk mendapatkan glukosa. Glukosa
diperoleh

melalui 2 tahap yaitu delignifikasi dan hidrolisa. Pada tahap

delignifikasi akan menghasilkan selulosa. Selulosa akan diproses lebih lanjut


dengan proses hidrolisa sehingga akan dihasilkan glukosa. Untuk bahan
molase (tetes) dapat langsung ditambahkan yeast (ragi) tanpa perlu melalui
proses delignifikasi dan hidrolisis.
1) Delignifikasi
Dalam proses pembuatan bioetanol lignin merupakan salah satu bagian
yang mengayu dari tanaman seperti janggel, kulit keras, biji, bagian serabut
kasar, akar, batang dan daun. Lignin mengandung substansi yang kompleks
dan merupakan suatu gabungan beberapa senyawa yaitu karbon, hidrogen dan
oksigen. Pada tahap delignifikasi ini akan dihasilkan selulosa. Selulosa
merupakan polisakarida yang didalamnya mengandung zat-zat gula. Proses
pemisahan atau penghilangan lignin dari serat-serat selulosa disebut
delignifikasi atau pulping.
Proses pemisahan lignin dapat dibedakan menjadi 3, yaitu :
a) Cara mekanis
b) Cara kimia
c) Cara semikimia
b. Hidrolisa

Prinsip dari hidrolisis pati ini pada dasarnya adalah pemutusan rantai
polimer pati menjadi unit-unit dekstrosa (C6H12O6). Pemutusan rantai
polimer tersebut dapat dilakukan dengan berbagai metode, misalnya secara
enzimatis, kimiawi ataupun kombinasi keduanya. Hidrolisis secara enzimatis
memiliki perbedaan mendasar dibandingkan hidrolisis secara kimiawi dan
fisik dalam hal spesifitas pemutusan rantai polimer pati. Hidrolisis secara
kimiawi dan fisik akan memutus rantai polimer secara acak, sedangkan
hidrolisis enzimatis akan memutus rantai polimer secara spesifik pada
percabangan tertentu. Sedangkan untuk pembuatan etanol dengan bahan baku
selulosa, hidrolisisnya meliputi proses pemecahan polisakarida di dalam
biomassa lignoselulosa, yaitu: selulosa dan hemiselulosa menjadi monomer
gula penyusunnya.
Hidrolisis

sempurna

selulosa

menghasilkan

glukosa,

sedangkan

hemiselulosa menghasilkan beberapa monomer gula pentose (C5) dan


heksosa (C6). Hidrolisis dapat dilakukan secara kimia (asam) atau enzimatik.
Meskipun demikian, produk akhir etanol yang dimaksudkan merupakan
konversi dari glukosa yang didapat baik dari pati maupun selulosa. Di dalam
metode hidrolisis asam, biomassa lignoselulosa dipaparkan dengan asam pada
suhu dan tekanan tertentu selama waktu tertentu, dan menghasilkan monomer
gula dari polimer selulosa dan hemiselulosa. Beberapa asam yang umum
digunakan untuk hidrolisis asam antara lain adalah asam sulfat (H 2SO4), asam
perklorat, dan HCl. Asam sulfat merupakan asam yang paling banyak diteliti
dan

dimanfaatkan

untuk

hidrolisis

asam.

Hidrolisis

asam

dapat

dikelompokkan menjadi: hidrolisis asam pekat dan hidrolisis asam encer


(Taherzadeh & Karimi, 2007). Hidrolisa merupakan proses antara reaktan
dengan menggunakan air supaya suatu persenyawaan pecah atau terurai.
Reaksi hidrolisa yaitu :
(C6H10O5)n + nH2O
Selulosa

Air

nC6H12O6
Glukosa

Zat - zat penghidrolisa ada beberapa rnacam, antara lain :

a)
b)
c)
d)

Air
Asam
Basa
Enzim

c. Fermentasi
Tahap selanjutnya pada produksi bioetanol adalah proses fermentasi.
Fermentasi adalah proses produksi energi dalam sel dalam keadaan anaerobik
(tanpa oksigen). Secara umum, fermentasi adalah salah satu bentuk respirasi
anaerobik, akan tetapi, terdapat definisi yang lebih jelas yang mendefinisikan
fermentasi sebagai respirasi dalam lingkungan anaerobik dengan tanpa
akseptor elektron eksternal. Pada proses fermentasi penguraian bahan - bahan
karbohidrat

tidak

menimbulkan

bau busuk

dan menghasilkan

gas

karbondioksida. Suatu fermentasi yang busuk merupakan fermentasi yang


mengalami kontaminasi.
Fermentasi pembentukan alkohol dari gula dilakukan oleh mikroba.
Mikroba yamg biasa digunakan adalah Saccharomyces cereviseae. Perubahan
yang terjadi biasanya dinyatakan dalarn persamaan berikut:
C6H12O6 + Saccharomyces cereviseae
Gula sederhana + ragi (yeast)

2 C2H5OH + 2 CO2
alkohol + karbondioksida

Yeast tersebut dapat berbentuk bahan murni pada media agar - agar atau
dalam bentuk yeast yang diawetkan (dried yeast). Misalnya ragi roti dengan
dasar pertimbangan teknik dan ekonomis, maka biasanya sebelum
digunakan untuk meragikan gula menjadi alkohol, yeast terlebih dahulu
dibuat starter.
Tujuan pembuatan starter adalah :
a) Memperbanyak jumlah yeast, sehingga yang dihasilkan lebih banyak,
reaksi
biokimianya akan berjalan dengan baik.
b) Melatih ketahanan yeast lerhadap kondisi must.

Untuk tujuan tersebut yang perlu diperhatikan adalah zat asam yang terlarut.
Karena itu botol pembuatan starter cukup ditutup dengan kapas atau kertas saring,
dikocok untuk memberi aerasi. Aerasi ini penting karena pada pembuatan starter
tidak diinginkan terjadinya peragian alkohol.
C6H12O6 + 6O2

6CO2 + 6H2O + energy

d. Pemurnian / Destilasi
Untuk memisahkan alkohol dari hasil fermentasi dapat dilakukan dengan
destilasi. Destilasi adalah metode pemisahan berdasarkan perbedaan titik
didih. Proses ini

dilakukan untuk mengambil alkohol dari hasil

fermentasi.Destilasi dapat dilakukan pada suhu 80C, karena titik alkohol


78C. sedangkan titik didih air 100OC.
Distilasi atau penyulingan adalah suatu metode pemisahan bahan kimia
berdasarkan perbedaan kecepatan atau kemudahan menguap (volatilitas)
bahan. Dalam penyulingan, campuran zat dididihkan sehingga menguap, dan
uap ini kemudian didinginkan kembali ke dalam bentuk cairan. Zat yang
memiliki titik didih lebih rendah akan menguap lebih dulu. Metode ini
merupakan termasuk unit operasi kimia jenis perpindahan massa. Penerapan
proses ini didasarkan pada teori bahwa pada suatu larutan, masing-masing
komponen akan menguap pada titik didihnya. Distilasi dilakukan untuk
memisahkan etanol dari beer (sebagian besar adalah air dan etanol).
e. Dehidrasi
Pada dasarnya ada 5 tahap proses dehidrasi untuk membuang kandungan
air dalam campuran etanol azeotropik (etanol 95-96%). Proses yang pertama,
yang sudah digunakan di banyak pabrik etanol sejak dulu, adalah proses yang
disebut distilasi azeotropik. Distilasi azeotropik dilakukan dengan cara
menambahkan benzena atau sikloheksana ke dalam campuran. Ketika zat ini
ditambahkan, maka akan membentuk campuran azeotropik heterogen. Hasil
akhirnya nanti adalah etanol anhidrat dan campuran uap dari air dan
sikloheksana/benzena. Ketika dikondensasi, uap ini akan menjadi cairan.

Metode lama lainnya yang digunakan adalah distilasi ekstraktif. Metode ini
digunakan dengan cara menambahkan komponen terner dalam etanol hidrat
sehingga akan meningkatkan ketidakstabilan relatif etanol tersebut. Ketika
campuran terner ini nantinya didistilasi, maka akan menghasilkan etanol
anhidrat.
Saat ini penelitian juga sedang mengembangkan metode pemurnian etanol
dengan menghemat energi. Metode yang saat ini berkembang dan mulai
banyak digunakan oleh pabrik-pabrik pembuatan etanol adalah penggunaan
saringan molekul untuk membuang air dari etanol. Dalam proses ini, uap
etanol bertekanan melewati semacam tatakan yang terdiri dari butiran
saringan molekul. Pori-pori dari dari saringan ini dirancang untuk menyerap
air. Setelah beberapa waktu, saringan ini pun divakum untuk menghilangkan
kandungan air di dalamnya. 2 tatakan biasanya digunakan sekaligus sehingga
ketika satu sedang dikeringkan, yang satunya bisa dipakai untuk menyaring
etanol. Teknologi dehidrasi ini diperkirakan dapat menghemat energi sebesar
3.000 btus/gallon (840 kJ/L) jika dibandingkan dengan distilasi azeotropik.
B. Pembuatan Bioetano dari Pati
Proses pengolahan bahan berpati seperti ubi kayu, jagung dan sagu untuk
menghasilkan bio-etanol dilakukan dengan proses urutan. Pertama adalah
proses hidrolisis, yakni proses konversi pati menjadi glukosa. Pati merupakan
homopolimer glukosa dengan ikatan a-glikosidik. Pati terdiri dari dua fraksi
yang dapat dipisahkan dengan air panas, fraksi terlarut disebut amilosa dan
fraksi tidak terlarut disebut amilopektin. Amilosa mempunyai struktur lurus
dengan ikatan a-(1,4)-D-glikosidik sedangkan amilopektin mempunyai
struktur bercabang dengan ikatan a-(1,6)-D-glikosidik sebanyak 4-5% dari
berat total.
Prinsip dari hidrolisis pati pada dasarnya adalah pemutusan rantai polimer
pati menjadi unit-unit dekstrosa (C6H12O6). Pemutusan rantai polimer
tersebut dapat dilakukan dengan berbagai metode, misalnya secara enzimatis,

kimiawi ataupun kombinasi keduanya. Hidrolisis secara enzimatis memiliki


perbedaan mendasar dibandingkan hidrolisis secara kimiawi dan fisik dalam
hal spesifitas pemutusan rantai polimer pati. Hidrolisis secara kimiawi dan
fisik akan memutus rantai polimer secara acak, sedangkan hidrolisis
enzimatis akan memutus rantai polimer secara spesifik pada percabangan
tertentu.
Enzim yang digunakan adalah alfa-amilase pada tahap likuifikasi,
sedangkan tahap sakarifikasi digunakan enzim glukoamilase. Berdasarkan
penelitian, penggunaan a-amilase pada tahap likuifikasi menghasilkan DE
tertinggi yaitu 50.83 pada konsentrasi a-amilase 1.75 U/g pati dan waktu
likuifikasi 210 menit, dan glukoamilase pada tahap sakarifikasi menghasilkan
DE tertinggi yaitu 98.99 pada konsentrasi enzim 0.3 U/g pati dengan waktu
sakarifikasi 48 jam.
1) Gelatinisasi
Dalam proses gelatinasi, bahan baku ubi kayu, ubi jalar, atau jagung
dihancurkan dan dicampur air sehingga menjadi bubur, yang diperkirakan
mengandung pati 27-30 persen. Kemudian bubur pati tersebut dimasak atau
dipanaskan selama 2 jam sehingga berbentuk gel. Proses gelatinasi tersebut
dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu:
a) Bubur pati dipanaskan sampai 130oC selama 30 menit, kemudian
didinginkan sampai mencapai temperature 95oC yang diperkirakan
memerlukan waktu sekitar jam. Temperatur 95oC tersebut dipertahankan
selama sekitar 1 jam, sehingga total waktu yang dibutuhkan mencapai 2
jam.
b) Bubur pati ditambah enzyme termamyl dipanaskan langsung sampai
mencapai temperatur 130o C selama 2 jam.
Gelatinasi cara pertama, yaitu cara pemanasan bertahap mempunyai
keuntungan, yaitu pada suhu 95oC aktifitas termamyl merupakan yang paling
tinggi, sehingga mengakibatkan yeast atau ragi cepat aktif. Pemanasan
dengan suhu tinggi (130oC) pada cara pertama ini dimaksudkan untuk

memecah granula pati, sehingga lebih mudah terjadi kontak dengan air
enzyme. Perlakuan pada suhu tinggi tersebut juga dapat berfungsi untuk
sterilisasi bahan, sehingga bahan tersebut tidak mudah terkontaminasi.
Gelatinasi cara kedua, yaitu cara pemanasan langsung ( gelatinasi dengan
enzyme termamyl) pada temperature 130oC menghasilkan hasil yang kurang
baik, karena mengurangi aktifitas yeast. Hal tersebut disebabkan gelatinasi
dengan enzyme pada suhu 130oC akan terbentuk tri-phenyl-furane yang
mempunyai sifat racun terhadap yeast. Gelatinasi pada suhu tinggi tersebut
juga akan berpengaruh terhadap penurunan aktifitas termamyl, karena
aktifitas termamyl akan semakin menurun setelah melewati suhu 95 oC. Selain
itu, tingginya temperature tersebut juga akan mengakibatkan half life dari
termamyl semakin pendek, sebagai contoh pada temperature 93 oC, half life
dari termamyl adalah 1500 menit, sedangkan pada temperature 107 oC, half
life termamyl tersebut adalah 40 menit (Wasito, 1981).
Hasil gelatinasi dari ke dua cara tersebut didinginkan sampai mencapai
55oC, kemudian ditambah SAN untuk proses sakharifikasi dan selanjutnya
difermentasikan

dengan

menggunakan

yeast

(ragi)

Saccharomyzes

ceraviseze.
Urea dan NPK berfungsi sebagai nutrisi ragi. Kebutuhan hara tersebut
adalah sebagai berikut:
a) Urea sebanyak 0.5% dari kadar gula dalam larutan fermentasi.
b) NPK sebanyak 0.1% dari kadar gula dalam larutan fermentasi.
Untuk contoh di atas, kebutuhan urea adalah sebanyak 70 gr dan NPK
sebanyak 14 gr. Gerus urea dan NPK ini sampai halus, kemudian
ditambahkan ke dalam larutan molasses dan diaduk.
Bahan aktif ragi roti adalah khamir Saccharomyces cereviseae yang dapat
gula menjadi etanol. Ragi roti mudah dibeli di toko-toko bahan-bahan kue
atau di supermarket. Sebaiknya tidak menggunakan ragi tape, karena ragi tape
terdiri dari beberapa mikroba. Kebutuhan ragi roti adalah sebanyak 0.2% dari
kadar gula dalam larutan molasses. Untuk contoh di atas kebutuhan raginya
adalah sebanyak 28 gr.

Ragi roti diberi air hangat-hangat kuku secukupnya. Kemudian diadukaduk perlahan hingga tempak sedikit berbusa. Setelah itu baru dimasukkan ke
dalam fermentor. Fermentor ditutup rapat.
Enzim yang digunakan adalah alfa-amilase pada tahap likuifikasi,
sedangkan tahap sakarifikasi digunakan enzim glukoamilase. Berdasarkan
penelitian, penggunaan a-amilase pada tahap likuifikasi menghasilkan DE
tertinggi yaitu 50.83 pada konsentrasi a-amilase 1.75 U/g pati dan waktu
likuifikasi 210 menit, dan glukoamilase pada tahap sakarifikasi menghasilkan
DE tertinggi yaitu 98.99 pada konsentrasi enzim 0.3 U/g pati dengan waktu
sakarifikasi 48 jam.
2) Fermentasi
Tahap kedua adalah proses fermentasi untuk mengkonversi glukosa (gula)
menjadi etanol dan CO2. Fermentasi etanol adalah perubahan 1 mol gula
menjadi 2 mol etanol dan 2 mol CO2. Pada proses fermentasi etanol, khamir
terutama akan memetabolisme glukosa dan fruktosa membentuk asam piruvat
melalui tahapan reaksi pada jalur Embden-Meyerhof-Parnas, sedangkan asam
piruvat yang dihasilkan akan didekarboksilasi menjadi asetaldehida yang
kemudian mengalami dehidrogenasi menjadi etanol (Amerine et al., 1987).
Khamir yang sering digunakan dalam fermentasi alkohol adalah
Saccharomyces cerevisiae, karena jenis ini dapat berproduksi tinggi, toleran
terhadap alkohol yang cukup tinggi (12-18% v/v), tahan terhadap kadar gula
yang tinggi dan tetap aktif melakukan fermentasi pada suhu 4-32oC.
Setelah proses fermentasi selesai, dilakukan destilasi untuk memisahkan
etanol. Distilasi merupakan pemisahan komponen berdasarkan titik didihnya.
Titik didih etanol murni adalah 78oC sedangkan air adalah 100oC (Kondisi
standar).
Dengan memanaskan larutan pada suhu rentang 78 100o C akan
mengakibatkan sebagian besar etanol menguap, dan melalui unit kondensasi
akan bisa dihasilkan etanol dengan konsentrasi 95 % volume.
Proses fermentasi dimaksudkan untuk mengubah glukosa menjadi
ethanol/bio-ethanol (alkohol) dengan menggunakan yeast. Alkohol yang
diperoleh dari proses fermentasi ini, biasanya alkohol dengan kadar 8 sampai

10 persen volume. Sementara itu, bila fermentasi tersebut digunakan bahan


baku gula (molases), proses pembuatan ethanol dapat lebih cepat. Pembuatan
ethanol dari molases tersebut juga mempunyai keuntungan lain, yaitu
memerlukan bak fermentasi yang lebih kecil. Ethanol yang dihasilkan proses
fermentasi tersebut perlu ditingkatkan kualitasnya dengan membersihkannya
dari zat-zat yang tidak diperlukan.
Alkohol yang dihasilkan dari proses fermentasi biasanya masih
mengandung gas - gas antara lain CO2 (yang ditimbulkan dari pengubahan
glucose menjadi ethano l/ bio-ethanol) dan aldehyde yang perlu dibersihkan.
Gas CO2 pada hasil fermentasi tersebut biasanya mencapai 35 persen volume,
sehingga untuk memperoleh ethanol/bio-ethanol yang berkualitas baik,
ethanol/bio-ethanol tersebut harus dibersihkan dari gas tersebut. Proses
pembersihan (washing) CO2 dilakukan dengan menyaring ethanol/bioethanol yang terikat oleh CO2, sehingga dapat diperoleh ethanol/bio-ethanol
yang bersih dari gas CO2. Kadar ethanol/bio-ethanol yang dihasilkan dari
proses fermentasi, biasanya hanya mencapai 8 sampai 10 persen saja,
sehingga untuk memperoleh ethanol yang berkadar alkohol 95 persen
diperlukan proses lainnya, yaitu proses distilasi. Proses distilasi dilaksanakan
melalui dua tingkat, yaitu tingkat pertama dengan beer column dan tingkat
kedua dengan rectifying column. Definisi kadar alkohol atau ethanol/bioethanol dalam % (persen) volume adalah volume ethanol pada temperatur
15o C yang terkandung dalam 100 satuan volume larutan ethanol pada
temperatur tertentu (pengukuran). Berdasarkan BKS Alkohol Spiritus,
standar temperatur pengukuran adalah 27,5oC dan kadarnya 95,5% pada
temperatur 27,5 oC atau 96,2% pada temperatur 15o C (Wasito, 1981).
Pada umumnya hasil fermentasi adalah bio-ethanol atau alkohol yang
mempunyai kemurnian sekitar 30 40% dan belum dpat dikategorikan
sebagai fuel based ethanol. Agar dapat mencapai kemurnian diatas 95% ,
maka lakohol hasil fermentasi harus melalui proses destilasi.
3)

Destilasi

Terdapat dua tipe proses destilasi yang banyak diaplikasikan, yaitu


continuous-feed distillation column system dan pot-type distillation system.
Selain tipe tersebut, dikenal juga tipe destilasi vakum yang menggunakan tekanan
rendah dan suhu yang lebih rendah untuk menghasilkan konsentrasi alkohol yang
lebih tinggi. Tekanan yang digunakan untuk destilasi adalah 42 mmHg atau 0.88
psi. Dengan tekanan tersebut, suhu yang digunakan pada bagian bawah kolom
adalah 35o C dan 20o C di bagian atas. Proses produksi FGE dari bahan berpati
disajikan pada Gambar 49, sedangkan Gambar dibawah ini menunjukkan proses
produksi FGE dari ubi kayu.
Sebagaimana disebutkan diatas, untuk memurnikan bioetanol menjadi
berkadar lebih dari 95% agar dapat dipergunakan sebagai bahan bakar, alkohol
hasil fermentasi yang mempunyai kemurnian sekitar 40% tadi harus melewati
proses destilasi untuk memisahkan alkohol dengan air dengan memperhitungkan
perbedaan titik didih kedua bahan tersebut yang kemudian diembunkan kembali.
Untuk memperoleh bio-ethanol dengan kemurnian lebih tinggi dari 99,5%
atau yang umum disebut fuel based ethanol, masalah yang timbul adalah sulitnya
memisahkan hidrogen yang terikat dalam struktur kimia alkohol dengan cara
destilasi biasa, oleh karena itu untuk mendapatkan fuel grade ethanol dilaksanakan
pemurnian lebih lanjut dengan cara Azeotropic destilasi.

2.3.1

Mikroba yang berperan dalam proses fermentasi


Bakteri pada pembuatan bioetanol terbentuk pada proses fermentasi
dengan menggunakan yeast. Yeast

merupakan fungsi uniseluler yang

melakukan reproduksi secara pertunasan (budding) atau pembelahan (fission).


Yeast tidak berklorofil tidak berflagella, berukuran lebih besar dari bakteri,
tidak dapat membentuk miselium beruukuran bulat, bulat telur, batang,

silinder seperti buah jeruk, kadang-kadang dapat mengalami diforfisme,


bersifat saprofit, namun ada beberapa yang bersifat parasit yaitu
saccharomyces cerevisiae merupakan yeast yang termaksud dalam kelas
Hemiascomycetes, ordo Endomycetales, family saccharoycoideae dan genus
saccharomyces.
Jenis mikroba yang dapat digunakan dalam pembuatan bioetanol adalah
sebagai berikut:
a. Saccharomyces cerevisiae merupakan organism uniseluler yang
bersifat

makhluk

mikroskopis

dan

disebut

sebagai

jasad

sakarolitik, yaitu menggunakan gula sebagai sumber karbon untuk


metabolisme. Saccharomyces cerevisiae mampu menggunakan
sejumlah gula diantaranya sukrosa, glukosa, fruktosa, galaktosa,
mannose, maltose dan maltotriosa. Saccharomyces cerevisiae
merupakan mikroba yang paling banyak digunakan pada
fermentasi alcohol karena dapat berproduksi tinggi, tahan terhadap
kadar alcohol yang tinggi, tahan terhadap kadar gula yang tinggi
dan tetap aktif melakukan aktivitasnya pada suhu 4-320C.
b.

Clostridium

thermocellum

adalah

bakteri

termofilik

yang

anaerobik memiliki kemampuan mendegradasi selulosa kompleks


ke bentuk etanol. Selain Clostridium thermocellum, bakteri
termofilik anaerob lain, Clostridium stercorarium, baru-baru ini
diketahui mempunyai pula sifat selulolitik pula. Menutut Viljoen,
et al. (1980) bahwa C thermocellum didapat setelah mengisolasi
dari kotoran kuda. Bakteri Clostridium thermocellum tersebar luas
di alam, habitatnya adalah bahan organik yang di dekomposisi.
Clostridium thermocellum dapat pula ditemukan di pengolahan
limbah pertanian, saluran pencernaan, lumpur, tanah, dan mata air
panas. Clostridium thermocellum dapat tumbuh di lingkungan
anaerobiosis dan temperatur termofilik. Suhu optimum untuk
pertumbuhan adalah 60-64 C dan pH optimum berkisar 6,1-7,5.

c.

Zymomonas mobilis dapat mengubah gula menjadi etanol melalui


fermentasi lebih cepat dari ragi dan tahan terhadap konsentrasi
etanol yang tinggi. Jadi, akan lebih menguntungkan jika enzimenzim yang digunakan untuk reaksi hidrolisis pati dan selulosa
dapat dimasukkan ke dalam bakteri Zymomonas mobilis,
sehinggal gula yang dihasilkan dapat langsung difermentasi
menjadi etanol.

2.3.2

Bahan baku bioetanol


Bahan baku yang digunakan untuk produksi bioetanol terbagi menjadi :
1.

Gula (glucose)

Gula (glukosa) merupakan bentuk bahan baku yang paling sederhana


dengan rumus kimia C6H12O6 , berbeda dengan pengertian gula seharihari yang mengandung sukrosa, laktosa dan fruktosa.
Gula dapat diperoleh dari tebu (sugarcane) melalui hasil sampingan
produksinya berupa tetes (molases). Sebagai bahan baku bioetanol,
glukosa dapat langsung digunakan dalam proses peragian.

2. Pati (starch)
Pati banyak ditemukan pada jagung, singkong, sagu dan beragam
makanan pokok manusia yang mengandung karbohidrat. Rumus kimia
dari pati adalah (C6H10O5)n dengan jumlah n antara 40 3.000. Sebagai
bahan baku bioetanol, pati membutuhkan proses untuk memecah ikatan
kimianya menjadi glukosa. Proses yang umum dilakukan adalah dengan
penambahan enzim amylase untuk menghidrolisis menjadi glukosa.
Penggunaan bahan pati sebagai bahan baku bioetanol secara umum

akan bersaing dengan cadangan pangan bagi manusia, yang pada


akhirnya akan meningkatkan harga bahan pangan.
3. Selulosa (cellulose)
Selulosa merupakan polisakarida dengan rumus kimia (C6H10O5)n
,dengan jumlah n ribuan hingga lebih dari puluhan ribu, yang
membentuk dinding tanaman dan kayu. Selulosa merupakan senyawa
organik yang paling banyak jumlahnya di muka bumi. Sekitar 1/3
komposisi tanaman adalah selulosa yang tidak tercerna oleh manusia.
Karena tidak bersaing dengan bahan pangan, maka selulosa
diperkirakan akan mendominasi bahan baku bioetanol di masa
mendatang. Sebagai bahan baku bioetanol, selulosa membutuhkan
pengolahan awal yang lebih intensif dibandingkan dengan bahan baku
lain.
Untuk melakukan proses hydrolysis (merubah struktur selulosa menjadi
glukosa) dapat ditempuh menggunakan penambahan asam yang
dilarutkan pada suhu dan tekanan tinggi. Proses tersebut membutuhkan
energi yang cukup besar sehingga net energy gain yang dihasilkan
menurun. Selain itu kondisi yang asam akan menggangu proses
fermentasi lanjutan, sehingga dibutuhkan proses perantara untuk
menetralkan keasaman.

Anda mungkin juga menyukai