Anda di halaman 1dari 10

LAPORAN NEKROPSI ANJING

Selasa, 23 Februari 2016

Disusun oleh:
Kelompok A
PPDH Gelombang I Tahun 2015/2016

Dosen Penanggung Jawab:


Dr. Drh. Sri Estuningsih, MSi, APVet
Dosen Tentor:
Drh. Vetnizah Juniantito, PhD, APVet

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

No. Protokol

: P/04/06/16

Hari/Tanggal

: Selasa,

Dosen PJ

: Dr. Drh. Sri Estuningsih, MSi, APVet

Anamnesa

:-

Signalement
Nama Hewan
Jenis Hewan
Bangsa
Jenis Kelamin
Umur
Warna Kulit
Tanggal Nekropsi

:: Anjing
: Labrador
: Jantan
: 12 tahun
: kuning
: 23 Februari 16
Hasil Pemeriksaan Nekropsi

Organ
Keadaan Umum Luar

Epikrise

Diagnosa PA

Kulit

Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan

Mata

Kornea kedua mata keruh,

Keratokonjunctivitis

keluar discharge dari kedua


mata.
Mulut

Mukosa pucat

Anemis

Anus

Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan

Preputium dan penis


Subkutis

Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan

Perlemakan

Sedikit

Tidak ada kelainan

Otot

Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan

Kulit
Rongga Tubuh

Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan

Situs Viscerum

Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan

Lain-lain

Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan

Traktus Respiratorius
Hidung

Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan

Laring

Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan

Trakhea

Terdapat cairan berbusa

Edema pulmonum

Bronkhus

Terdapat cairan berbusa

Edeme pulmonum

Paru-paru

Warna tidak homogen dan

Edeme pulmonum

bagian tepinya tidak lancip

Traktus Digestivus
Rongga mulut

Gusi pucat, terdapat karang

Anemis

gigi
Lidah

Ada ulserasi pada ventral

Glositis ulseratif

dextra sebesar 1x 4 cm
Esofagus

Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan

Lambung

Ulser pada pylorus

Gastritis ulseratif

Usus Halus

Adanya eksudat katarrhal

Enteritis katarrhalis

Pankreas

Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan

Hati
Traktus Sirkulatorius

Warna tidak seragam

Degenerasi

Jantung

Apex tumpul

Hipertrofi ventrikel kiri

Ventrikel kiri: miokard


menebal, lumen menyempit
Ventrikel kanan: miokard

Dilatasi ventrikel kanan

menipis
Pembuluh darah
Sistem Limforetikuler

Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan

Limpa

Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan

Limfonodus

Ln. Mandibula

Tidak ada kelainan

Ln. Retropharyngeal

Tidak ada kelainan

Ln. Axillaris

Tidak ada kelainan

Ln. Prescapularis

Tidak ada kelainan

Ln. Poplitea

Tidak ada kelainan

Ginjal kiri memiliki ukuran

Atropi dan fibrosis

Traktus Urogenitalia
Ginjal

lebih kecil dan


permukaannya tidak rata
Ginjal kanan : permukaan

Fibrosis

tidak rata
Ureter

Tidak ada kelainan

VU

Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan


Tidak ada kelainan

Sistem syaraf pusat


dan perifer
Otak

Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan

Korda Spinalis

Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan

Saraf Perifer
Sistem lokomosi

Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan

Otot

Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan

Tulang

Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan

Sumsum tulang

Pucat

Anemis

Persendian

Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan

Causa mortis : Azotemia


Atrial mortis : Ginjal
PEMBAHASAN
Hewan yang dinekropsi adalah seekor anjing jantan berjenis Labrador dengan usia 12
tahun. Nekropsi diawali dengan pemeriksaan keadaan umum yang menunjukkan adanya
infestasi caplak dengan jumlah yang sedikit. Pemeriksaan dilanjutkan pada bagian kepala.
Mata kanan dan kiri anjing menunjukan adanya keratokonjungtivitis. Keratokonjungtivitis
merupakan peradangan pada kornea dan konjungtiva yang ditandai dengan adanya kongesti
di area mata, kekeruhan, dan edema kornea (Chauhan 2010). Pada area sekitar mata
ditemukan uban, hal ini adalah ciri-ciri hewan yang sudah berumur lebih dari 10 tahun.
Pemeriksaan hidung dan telinga tidak menunjukan adanya kelainan. Mukosa mulut berwarna
pucat hal ini menunjukan keadaan anemis. Gigi-gigi anjing ini sudah berganti menjadi gigi
tetap dan mahkota gigi pada incisivus I, II, III atas dan bawah telah tergesek karna usianya
yang sudah tua. Pemeriksaan bagian subkutis menunjukan perlemakan yang sedikit
menunjukkan anjing dalam kurus. Sedangkan aspek subkutis basah dan mengkilat.

Limphonodus perifer seperti limphonodus mandibularis, retropharingeal, preskapularis,


axilaris, dan poplitea simetris kanan dan kiri serta memiliki konsistensi yang kenyal.
Traktus Respiratorius
Pada pemeriksaan sistem respirasi, pemeriksaan dilakukan pada sinus hidung, larynx,
pharynx, bronkhus bronkhiolus dan paru-paru. Namun tidak ditemukan kelainan setelah
dilakukan inspeksi, palpasi, dan insisi pada bagian sinus, larynx, dan pharynx. Pada
pemeriksaan trakea dan bronkus terdapat busa pada mukosa trakea dan paru-paru namun
tidak ada perlukaan setelah dilakukan insisi. Pada pemeriksaan paru-paru, organ tidak
berwarna homogen. Ada beberapa bagian yang berwarna merah gelap dan merah cerah serta
ada krepitasi. Bagian tepi paru-paru tidak lancip dan ketika disayat, didapati tidak ada
kelainan atau darah yang keluar dari bagian sayatan. Ketika dipalpasi, lobus paru-paru anjing
tersebut berbusa pada percabangan trakea. Ketika dilakukan uji apung, semua bagian yang
diuji terapung.
Akumulasi cairan pada jaringan di ruang interstisial (ekstraseluler) yaitu pada paruparu merupakan ciri-ciri oedema. Cairan busa pada mukosa trakhea dan paru-paru ini timbul
akibat dari gesekan antara udara dan cairan edema. Busa yang terbentuk akan bertahan lama
karena mengandung albumin dan cairan edema. Fungsi albumin sendiri sebagai protein yang
mempertahankan tegangan permukaan.
Oedema pulmonum adalah paru-paru yang mempunyai peningkatan cairan
disebabkan meningkatnya permeabilitas atau peningkatkan tekanan hidrostatik. Oedema
pulmonum dikategorikan kepada kardiogenik dan non-kardiogenik. Kardiogenik oedema
terjadi apabila ada peningkatan tekanan hidrostatik dalam kapilari pulmonari yang umumnya
disebabkan oleh congestive heart failure pada sebelah kiri (Kakouros & Kakouros 2003).
Non-kardiogenik oedema pulmonum boleh terjadi karena penurunan tekanan alveloar,
peningkatan permeabilitas atau penyakit neurogenik (Glaus et al. 2010).
Traktus Digestivus
Pemeriksaan pada rongga abdomen menunjukkan tidak ada perubahan posisi pada situs
viscerum. Pemeriksaan pada saluran pencernaan mulai rongga mulut, lidah, esofagus,
lambung, usus halus, usus besar, pankreas, hati dan kantung empedu. Pemeriksaan rongga
mulut tidak terlihat adanya kelainan. Bagian ventral lidah sebelah kiri menunjukkan adanya
glositis ulcerative sepanjang 4 cm dengan lebar 1 cm. Adanya ulcer pada lidah dapat

disebabkan oleh tingginya produk sisa turunan Nitrogen (ureum) dalam darah akibat
gangguan kerja ginjal (Zachary dan McGavin 2012). Gigi geligi tampak masih lengkap dan
ditemukan adanya karang gigi pada gigi geraham (molar). Esofagus tidak menunjukkan
adanya ulkus atau kelainan. Pemeriksaan lambung terlihat adanya ulcer pada bagian pylorus
yang menandakan lambung mengalami gastritis ulcerative cattharalis. Kondisi ini dapat
disebabkan akibat produksi asam lambung yang tinggi tanpa disertai adanya asupan makanan,
karena pada lumen lambung tidak ditemukan sisa makanan. Permukaan lambung juga terlihat
mengkilap dikarenakan adanya produksi mukus yang berlebihan.
Pada pemeriksaan usus halus ditemukan adanya hiperemi dan eksudat kataralis
(enteritis kataralis). Pada sekum dan kolon ditemukan sisa feses dengan konsistensi encer
dan berwarna kuning kehitaman. Konsistensi feses encer diduga hewan mengalami diare
sebelum kematian. Ditemukan adanya hiperemi di perbatasan antara usus besar (colon) dan
caecum. Mukosa usus besar mengalami hiperemi dengan mukosa kataralis. Pada pemeriksaan
pankreas tidak ditemukan kelainan dengan warna merah akibat autolisisis setelah kematian.
Kantung empedu mengalami penegangan dan cairan empedu berwarna hitam pekat dengan
konsistensi kental. Hal ini dapat disebabkan karena sebelum kematian anjing tidak makan
selama 24-48 jam sehingga cairan empedu tidak disekresikan ke usus halus dan
mengakibatkan cairan empedu mengental. Pemeriksaan hati menunjukkan warna merah
kehitaman dan tidak ditemukan adanya kelainan. Pemeriksaan limpa tidak menunjukkan
adanya kelainan ditandai dengan bentuk tepi limpa meruncing dan warna homogen.
Traktus Sirkulatorius
Hasil patologi anatomi yang ditemukan pada jantung anjing ini adalah adanya double
apex akibat ventrikel kanan mengalami dilatasi. Dilatasi ventrikel kanan terjadi karena
adanya peningkatan tekanan pengisian ventrikel. Jantung kanan terutama ventrikel kanan
berperan penting terhadap suplai darah menuju organ paru-paru. Apabila paru-paru
mengalami peradangan akan berimplikasi terhadap dilatasi ventrikel kanan. Sel-sel otot pada
ventrikel kanan akan berkontraksi untuk meningkatkan kekuatan kontraktil sehingga
menimbulkan peningkatan aliran cardiac output dan volume darah menuju paru-paru (Madias
2011). Tekanan darah pada ventrikel kanan yang meningkat akan menimbulkan dilatasi
ventrikel kanan dan atau hipertrofi ventrikel kanan yang akan diikuti dengan hipertrofi atau
dilatasi dari atrium kanan yang kemudian akan menghasilkan biventrikula dan biatrium.
Kontraksi sel-sel otot ventrikel kanan terbatas sehingga sewaktu-waktu kerja ventrikel kanan

akan menurun akibat kekuatan kontraktil menurun (Carlton & McGavin, 1995). Menurut
Vleet dan Ferrans (2006), hipertrofi dan dilatasi jantung, serta peningkatan denyut jantung
dapat menyebabkan kerja jantung semakin meningkat. Dilatasi dan hipertrofi pada otot
jantung dapat mengakibatkan kegagalan fungsi jantung karena jantung tidak dapat memompa
untuk memasok dan mengalirkan darah ke seluruh tubuh sehingga dapat menyebabkan
kematian pada hewan.
Hypertrophic cardiomyopathy (HCM) adalah suatu bentuk penyakit jantung yang
ditandai dengan pembesaran dan penebalan otot jantung terutama dari dinding ventrikel kiri.
Pembesaran dinding ventrikel merupakan penambahan massa, sebagai respon miosit terhadap
berbagai rangsangan yang menyertai peningkatan tekanan darah. Aktivasi sistem reninangiotensin melalui aksi angiotensin II pada reseptor angiotensin I mendorong pertumbuhan
sel-sel interstisial dan komponen matrik sel. Perkembangan hipertrofi ventrikel kiri
dipengaruhi oleh hipertrofi miosit dan ketidakseimbangan antara miosit dan struktur
interstisium skeleton kordis. Ketika ventrikel kiri menjadi menebal, ruang yang memisahkan
ventrikel kiri dan kanan menjadi lebih kecil dan otot sangat kaku, sehingga sulit untuk
mengisi dengan darah. Hal ini juga menjadi sulit bagi darah untuk dipompa keluar dari
ventrikel melalui aorta. Hal ini membuat lebih sulit untuk darah mengalir keluar dari aorta,
dan juga menyebabkan kerusakan katup. Akibatnya, atrium kiri menjadi meregang keluar dan
melebar. Hal ini dapat mengakibatkan peningkatan tekanan di atrium . Peningkatan tekanan
dapat ditransmisikan ke paru-paru, sehingga retensi cairan di paru-paru dan gagal jantung
kongestif akhirnya (Olson dan Frey, 2003).
Traktus Urogenitalia
Pada pemeriksaan traktus urogenital, bagian ginjal kiri mengalami atrofi. Permukaan
ginjal kiri dan kanan tidak rata, hal ini diduga karena terbentuk jaringan ikat fibrosa yang
berlebihan atau fibrosis. Fibrosis ginjal adalah keadaan patologis pada ginjal berupa
akumulasi dari matriks ekstra seluler akibat rusaknya sel epitel glomerulus dan tubulus ginjal
(Chatziantoniou 2005). Keadaan patologis ini biasanya berasal dari kondisi seluler yang
mengalami komplikasi seperti aktivasi EMT (Epithelial to Mesenchymal Transition) yang
meingkatan matriks ekstra seluler dan infiltrasi makrofag. Keadaan ini menyebabkan aktivasi
sel tubular yang mengarah ke produksi molekul proinflamasi yang berkontribusi pada
terjadinya fibrosis ginjal. Fibrosis berkembang ketika tingkat sintesis dan stabilisasi matriks
berlebihan dan / atau ketika kapasitas degradasi menurun. Fibrosis ginjal merupakan

penyebab utama dari penyakit ginjal kronik (Cho 2010). Penyakit ginjal kronik ini
merupakan tahap akhir kerusakan ginjal yang bersifat progesif dan ireversibel.
Gagal ginjal kronis bersifat progresif dan ireversibel. Gagal ginjal kronis
mengakibatkan penurunan fungsi ginjal hal ini diakibatkan salah satunya oleh berkurangnya
kemampuan filtrasi oleh glomerulus. Pada keadaan gagal ginjal kronik, sangat sering terjadi
azotemia pada pasien atau bahkan uremia. Azotemia adalah peningkatan BUN dan
ditegakkan bila konsentrasi ureum plasma meningkat. Uremia adalah sindrom akibat gagal
ginjal yang berat.
Kerusakan ginjal juga dapat meningkatkan sel jukstaglomerulus untuk melepas renin.
Renin berfungsi mengaktifkan angiotensinogen plasma untuk membentuk angiotensin yang
meningkatkan tekanan darah perifer. Menurut Ganong (1995), angiotensin menyebabkan
vasokontriksi pembuluh darah langsung pada otot polos. Tekanan darah yang terus menerus
meningkat dalam waktu yang lama menyebabkan gangguan pada sirkulasi jantung. Akibatnya
jantung bekerja secara optimum dan menyebabkan gagal jantung. Kejadian gagal jantung
pada kasus ini, tampak sebagai dilatasi ventrikel kanan dan hipertrofi ventrikel kiri.
Gagal ginjal kronis dapat dihasilkan dari beberapa kondisi gangguan kesehatan,
diantara adalah diabetes dan glomerulonepritis. Gejala klinis penderita gagal ginjal kronis
diantaranya terjadi perubahan keseimbangan air, elektrolit, gangguan koagulasi, anemia, dan
terjadi perubahan fungsi kardiovaskular serta dapat meneyebabkan kematian (Matovinovic,
2009). Manifestasi dari gagal ginjal kronis dapat diamati dari ketidakmampuan ginjal untuk
melakukan fungsinya dalam mengatur cairan dan keseimbangan elektrolit, mengendalikan
tekanan darah melalui volume cairan, mengatur dan mengendalikan sistem renin-angiotensin,
mengatur sel darah merah melalui sintesis eritropoietin.
Eritropoetin adalah hormon yang terutama diproduksi oleh ginjal untuk meningkatkan
produksi eritrosit. Hipoksia meningkatkan produksi hormon eritropoietin sedangkan
hiperoksia menurunkan hormon eritropoietin dan menurunkan produksi eritrosit (Krantz
1991). Eritropoietin bersirkulasi dalam plasma dan mengikat reseptor spesifik di sel-sel
progenitor eritrosit sehingga berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel darah merah (Bunn
et.al 1998). Tujuan produksi eritropoetin adalah untuk menjaga massa sel darah merah yang
optimal dalam kondisi fisiologis (Prenggono DM 2015). Eritropoetin diproduksi terutama
oleh ginjal (Koury et.al 1988) sebagian kecil diproduksi di hati, tetapi semua sel pada
dasarnya memiliki kemampuan mentranskripsi gen eritropoietin dalam kondisi hipoksia.
Produksi eritropoietin di ginjal bersifat terus-menerus dan maksimal (Koury et.al 1989).
Apabila fungsi ginjal terganggu bahkan rusak maka produksi eritropoietin akan terganggu

juga. Akibatnya hewan akan mengalami anemia. Pada kasus ini, anemia ditunjukkan dengan
sumsum tulang yang pucat.
DAFTAR PUSTAKA
Bunn HF, Gu J, Huang LE, Park JW, Zhu H. 1998. Eryhtropoietin: A model system for
studying oxygen-dependent gene regulation. J Exp Biol. 201: 1197-201.
Carlton WW, McGavin MD. 1995. Thomsons Special Veterinary Pathology Ed 2nd, St.
Loius (US) : Mosby
Chatziantoniou C. 2005. Insights into the mechanisms of renal fibrosis: is it possible to
achieve regression? Am J Physiol Renal Physiol 289(2): 227-34.
Chauhan RS. 2010. Textbook of Veterinary Pathology. India: IBDC Publishers
Cho MH. 2010. Renal Fibrosis. Korean J Pediatr 53(7):735-740
Fachary JF dan McGavin MD. 2012. Pathologic Basis of Veterinary Disease Fifth Edition.
St. Louis : Elsevier
Ganong WF. 1995. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta (ID) : EGC
Glaus T, Schellenberg S, Lang J (2010) ; Cardiogenic and non-cardiogenic pulmonary
oedema: pathomechanisms and causes. Schweizer Archiv fur Tierheilkunde 152, 311317.
Kakouros NS, Kakouros SN (2003). Non-cardiogenic pulmonary edema. Hellenic Journal of
Cardiology 44, 385 391.
Koury ST, Bondurant MC, Koury MJ. 1988. Localization of erythropoietin synthesizing cells
in murine kidneys by in situ hybridization. Blood. 71:524-37.
Koury ST, Koury MJ, Bondurant MC, Caro J, Graber SE. 1989. Quantitation of
erythropoietin-producing cells in kidneys of mice by in situ hybridization: Correlation
with hematocrit, renal erythropoietin mRNA, and serum erythropoietin concentration.
Blood. 74: 645-51.
Krantz SB. 1991. Erythropoietin. J. Exp. Biol. 77(41): 9-34.
Madias JE. 2011. Right ventricular dilatations often neglected component in the
electrocardiographic assessment of patients with heart failure. Europace . 13(9) : 1217
1218.
Matovinovic MS. 2009. Pathophysiology and classification of kidney diseases. The Journal
Of International Federation Of Clinical Chemistry and Laboratory Medicine
Prenggono DM. 2015. Eritropoietin dan penggunaan eritropoietin pada pasien kanker anemia.
CDK. 42(1): 20-28.

Vleet JF, Ferrans VJ. 2006. Cardiovascular system dalam McGavin MD, Zachary JF 2006.
Pathology Basis of Veterinary Disease 4th edition. Philadelphia (US): Mosby Elsevier.

Anda mungkin juga menyukai