Oleh:
Muhammad Ardianto P
G99151055
Periode : 28 November 30 November 2016
Pembimbing:
Suwardi, dr., Sp.B, Sp.BA
KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI
SURAKARTA
2016
BAB I
STATUS PASIEN
A. ANAMNESIS
I. Identitas Pasien
Nama
Umur
Jenis kelamin
Agama
Alamat
Tanggal Masuk
No. RM
: An. MS
: 11 bulan
: Laki-laki
: Islam
: Kendal, Ngawi
: 26 November 2016
: 0134706
Riwayat trauma
: disangkal
Riwayat mondok
Riwayat alergi
: disangkal
: tidak rutin
: disangkal
: disangkal
cukup, BB = 10 kg, TB = 80 cm
b. Vital sign :
N : 116 x/menit regular, simetris, isi dan tegangan cukup
RR : 25 x/menit
T : 36oC
II. General Survey
a. Kulit
hiperpigmentasi (-)
b. Kepala
: mesocephal
c. Mata
e. Hidung
darah (-).
f. Mulut
: mukosa basah (-), sianosis (-), lidah kotor (-), jejas (-).
g. Leher
h. Thorak
i. Cor
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak.
Palpasi
: ictus cordis tidak kuat angkat.
Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar.
Auskultasi : bunyi jantung I-II intensitas normal, regular, bising (-).
j. Pulmo
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
l. Ekstremitas
Akral dingin
Oedema
-
---
m. Status lokalis
1) stoma: berbentuk lonjong ukuran 6,5 x 3
x 2,5 cm, warna merah muda, jaringan
nekrotik (-), darah (-)
2) anus: (-)
C. ASSESMENT
Malformasi anorectal dengan
fistel rectovesica post
sigmoidostomy pro PSARP
D. PLANNING
Pro PSARP
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
I.
II.
Satuan
Rujukan
11,9
37
12,4
450
5,58
g/dl
%
ribu/l
ribu/l
juta/l
11,5 - 13,5
34 - 40
5,5 - 17,0
150 - 450
3,90 - 5,30
Nonreactive
Nonreactive
III.
Hasil
Hasil
Satuan
Rujukan
13,1
34,2
1,050
detik
detik
10,0 - 15,0
20,0 - 40,0
Hasil
Satuan
Rujukan
4,1
g/dl
3,8 - 5,4
139
3,8
105
mmol/L
mmol/L
mmol/L
132 - 145
3,1 - 5,1
98 - 106
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Malformasi anorectal merupakan suatu spektrum dari anomali
kongenital yang terdiri dari anus imperforata dan kloaka persisten. Anus
imperforata atau atresia ani merupakan kelainan kongenital tanpa anus atau
dengan anus tidak sempurna, sedangkan kloaka persisten merupakan suatu
B. Etiologi
Etiologi secara pasti dari atresia ani belum diketahui, namun ada
sumber mengatakan bahwa kelainan bawaan anus disebabkan oleh gangguan
pertumbuhan, fusi, dan pembentukan anus dari tonjolan embriogenik. Menurut
penelitian beberapa ahli, diduga faktor genetik berpengaruh terhadap
terjadinya atresia ani, namun masih jarang terjadi bahwa gen autosomal resesif
yang menjadi penyebab atresia ani. Orang tua yang mempunyai gen carrier
penyakit ini mempunyai peluang sekitar 25% untuk diturunkan pada anaknya
saat kehamilan. 30% anak yang mempunyai sindrom genetik, kelainan
kromosom, atau kelainan kongenital lain juga berisiko untuk menderita atresia
ani, contohnya penderita Down Syndrome.
Atresia dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
1. Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur sehingga bayi
lahir tanpa lubang dubur.
2. Kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu/3
bulan.
3. Adanya gangguan atau berhentinya perkembangan embriologik usus,
rektum bagian distal, serta traktus urogenitalis, yang terjadi antara minggu
keempat sampai keenam usia kehamilan.
C. Klasifikasi
Secara fungsional, pasien dengan anus imperforata atau atresia ani
dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu:
pasien
yang
memiliki
fistula
rektovesikal,
rektum
D. Patofisiologi
Asal anus dan rektum merupakan stuktur embriologis yang disebut
kloaka. Secara embriologis, saluran pencernaan berasal dari Foregut, Midgut,
dan Hindgut. Foregut akan membentuk faring, sistem pernapasan bagian
bawah, esofagus, lambung, sebagian duodenum, hati, sistem bilier, serta
pankreas. Midgut membentuk usus halus, sebagian duodenum, caecum,
apendiks, kolon ascenden sampai pertengahan kolon transversum. Hindgut
meluas dari midgut hingga ke membran kloaka, membran ini tersusun dari
endoderm kloaka dan ektoderm dari protoderm/analpit. Usus terbentuk mulai
minggu keempat disebut sebagai primitif gut. Kegagalan perkembangan yang
lengkap dari septum urorektalis menghasilkan anomali letak tinggi atau supra
levator. Sedangkan anomali letak rendah atau translevator berasal dari defek
perkembangan proktoderm dan lipatan genital. Pada anomali letak tinggi, otot
levator ani perkembangannya tidak normal. Sedangkan otot sfingter eksternus
dan internus dapat tidak ada atau rudimenter .
Atresia ani terjadi akibat kegagalan punurunan septum anorektal pada
kehidupan embrional. Terjadinya atresia ani adalah karena kelainan kongenital
dimana saat proses perkembangan embriogenik tidak lengkap pada proses
perkembangan anus dan rektum. Dalam perkembangan selanjutnya, ujung
ekor dari belakang berkembang jadi kloaka yang juga akan berkembang jadi
genito urinari dan struktur anorektal. Atresia ani ini terjadi karena
ketidaksempurnaan migrasi dan perkembangan struktur kolon antara 7-10
minggu selama perkembangan janin. Kegagalan migrasi tersebut juga karena
gagalnya agenesis sakral dan abnormalitas pada daerah uretra dan vagina atau
juga pada proses obstruksi. Atresia ani dapat terjadi karena tidak adanya
11
pembukaan usus besar yang keluar anus sehingga menyebabkan feses tidak
dapat dikeluarkan.
Manifestasi klinis diakibatkan adanya obstruksi dan adanya fistula.
Obstruksi ini mengakibatkan distensi abdomen, sekuestrasi cairan, muntah
dengan segala akibatnya. Apabila urin mengalir melalui fistel menuju rektum,
maka urin akan diabsorbsi sehingga terjadi asidosis hiperkloremia, sebaliknya
feses mengalir ke arah traktus urinarius menyebabkan infeksi berulang. Pada
keadaan ini biasanya akan terbentuk fistula antara rektum dengan organ
sekitarnya.
E. Diagnosis
Pasien dengan atresia ani biasanya berada dalam kondisi yang stabil
dan diagnosisnya segera tampak setelah kelahiran. Cara penegakan diagnosis
adalah semua bayi yang lahir harus dilakukan pemasukan thermometer
melalui anusnya, tidak hanya untuk mengetahui suhu tubuh, tapi juga untuk
mengetahui apakah terdapat atresia ani atau tidak. Selain itu juga diperlukan
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang secara cermat
(Brunicardi, et al., 2010).
1. Anamnesis
Manifestasi klinis yang terjadi pada atresia ani adalah kegagalan
lewatnya mekonium setelah bayi lahir, tidak ada atau stenosis kanal rektal,
adanya membran anal, dan fistula eksternal pada perineum.
Gejala yang menunjukkan terjadinya atresia ani terjadi dalam waktu
24-48 jam. Gejala itu antara lain (Pena, 2006):
-
12
2. Pemeriksaan fisik
Inspeksi dan palpasi perianal
-
Apakah terdapat anus atau tidak, bisa juga tidak ada anus dan hanya
berupa lengkungan (anal dimple).
Dilihat pada saat anak menangis apakah anus menonjol atau tidak, jika
menonjol maka anomali letak rendah, sedangkan jika tidak maka
anomali letak tinggi.
Pada bayi yang baru lahir, hal yang harus kita lakukan adalah mengukur
suhu rektum sekaligus melihat apakah terdapat adanya lubang pada
anus dengan menggunakan thermometer yang sudah diberi gel.
Pemeriksaan abdomen:
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
= hipertimpani
13
Jika dalam 24 jam pertama tidak tampak mekonium baik pada perineum
maupun urin, dapat dilakukan cross table lateral x-ray dengan posisi
bayi tengkurap.
3. Pemeriksaan penunjang
Meskipun diagnosis atresia ani dapat dibuat dengan pemeriksaan
fisik, sering kali sulit untuk menentukan apakah bayi memiliki lesi tinggi
atau rendah. Sebuah radiograf polos dari perut dapat membantu
menemukan lesi. Untuk memperkuat diagnosis sering diperlukan
pemeriksaan penunjang sebagai berikut:
-
USG
F. Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan pada atresia ani berpusat pada penentuan
klasifikasinya, yaitu anomali letak tinggi atau letak rendah, ada atau tidaknya
fistula, dan mengevaluasi apakah terdapat kelainan kongenital lain yang
menyertai. Dibutuhkan waktu sampai 24 jam sebelum fistula dapat ditemukan,
oleh karena itu, observasi pada neonates sangat dibutuhkan sebelum operasi
definitive dilakukan. Semua pasien dimasukkan nasogastric tube sebelum
makan untuk melihat adanya atresia esophagus dan dimonitoring apakah
terdapat mekonium pada perineum atau urin. Selain itu, dalam 24 jam
pertama, bayi harus mendapatkan terapi cairan dan antibiotic. Pada anomali
letak tinggi dengan atau tanpa fistel dan atresia ani dengan fistula yang tidak
adekuat, sifat tatalaksananya adalah emergency, sedangkan pada atresia ani
dengan fistula yang adekuat dan anterior anus adalah elektif (Mahmoud et al.,
2004).
14
pada
anomali
letak
tinggi
dan
intermediat
dengan cara membelah muskulus sfingter eksternus dan muskulus levator ani
untuk memudahkan mobilisasi kantong rectum dan pemotongan fistel dengan
stimulasi elektrik dari perineum. Jika terdapat adanya kloaka persisten, maka
traktus urinarius perlu dievaluasi secara hati-hati saat kolostomi untuk
memastikan terjadinya pengosongan yang normal dan menentukan apakah
vesica urinaria perlu di drainase dengan vesikostomi. Pada perempuan, jika
terdapat kloaka persisten maka perlu dilakukan rekonstruksi traktus urinarius
dan vagina. Jika terdapat keraguan dalam penentuan letak anomalinya, lebih
baik dilakukan kolostomi. Keberhasilan penatalaksanaan atresia ani dinilai
dari fungsinya secara jangka panjang, meliputi anatomisnya, fungsi
fisiologisnya, bentuk kosmetik serta antisipasi trauma psikis. Sebagai tujuan
akhirnya adalah defekasi secara teratur dan konsistensinya baik.
Penatalaksanaan pada anomali letak tinggi dilakukan secara operatif,
yaitu:
1. Kolonostomi
Kolostomi merupakan kolokutaneostomi yang disebut juga anus
preternaturalis yaitu pembuatan lubang sementara atau permanen dari usus
besar melalui dinding perut untuk mengeluarkan feses. Kolostomi dapat
dilakukan pada kolon transversalis ataupun sigmoid yang merupakan
organ intraabdominal. Kolon dipisahkan pada daerah sigmoid, dengan
usus bagian proksimal sebagai kolostomi dan usus bagian distal sebagai
mukus fistula. Pemisahan secara komplit dari usus akan meminimalkan
kontaminasi feses menuju fistula rektourinarius sehingga mengurangi
risiko terjadinya urosepsis. Selanjutnya, bagian distal usus di evaluasi
secara radiografik untuk menentukan lokasi dari fistula rektourinarius.
Kolostomi dilakukan pada kolon transversum sebelah kiri di flexura
lienalis atas pertimbangan sebagai proteksi karena di sebelah kiri tidak ada
organ-organ penting, kolon lebih mobile sehingga lebih mudah, dan pada
daerah ini tidak terjadi dehidrasi karena absorbsi elektrolit maksimal di
daerah tersebut sehingga konsistensi feses tidak keras.
Adapun indikasi kolostomi adalah sebagai berikut:
- Dekompresi usus pada obstruksi
16
- Stoma sementara untuk bedah reseksi usus pada radang atau perforasi
- Sebagai anus setelah reseksi usus distal untuk melindungi anastomosis
distal
2. Posterosagital Anorectoplasty (PSARP)
Suatu tindakan operasi definitif pada pasien atresia ani dengan teknik
operasi menggunakan irisan kulit secara sagital mulai dari tulang
koksigeus sampai batas anterior bakal anus. Prosedur ini memberikan
beberapa
keuntungan
seperti
kemudahan
dalam
operasi
fistula
2. Limited PSARP
Yang dibelah adalah otot sfingter eksternus, muscle fiber, muscle
complex serta tidak membelah tulang koksigeus. Yang penting adalah
diseksi rektum agar tidak merusak vagina. Indikasi dari limited PSARP
adalah atresia ani dengan fistula rectovestibuler.
3. Full PSARP
Dibelah otot sfingter eksternus, muscle complex, dan koksigeus.
Indikasi dari full PSARP, yaitu atresia ani letak tinggi dengan
gambaran invertogram gambaran akhiran rektum lebih dari 1 cm dari
kulit, pada fistula rectovaginalis, fistula rectourethralis, atresia rektum,
dan stenosis rektum.
17
G. Komplikasi
Komplikasi yang terjadi post operasi banyak disebabkan oleh karena
kegagalan menentukan letak kolostomi, persiapan operasi yang tidak adekuat,
keterbatasan pengetahuan anatomi, dan keterampilan operator yang kurang
serta perawatan post operasi yang buruk.
Komplikasi awal dari PSARP adalah infeksi dari luka, perdarahan,
anus salah letak, fistula berulang, serta cedera pada uretra dan kandung kemih.
Pada komplikasi selanjutnya, pada umumnya terjadi stenosis, striktur
anorektal, prolaps, dan inkontinensia (Texas Pediatric Associates, 2012).
Komplikasi awal dapat dihindari dengan penutupan luka yang adekuat
tanpa meninggalkan celah. Sebagian besar pasien yang melakukan operasi
untuk memperbaiki atresia ani memiliki berbagai derajat konstipasi. Gejala ini
lebih berat terjadi pada kelainan letak rendah dan intermediat. Pasien yang
sebelumnya dilakukan kolostomi baik di daerah proksimal maupun distal
dapat mengalami obstipasi maka dari itu pasien memerlukan diet kaya serat
dan kadang-kadang sampai dibutuhkan obat pencahar (Texas Pediatric
Associates, 2012).
H. Prognosis
Morbiditas yang ada pasien berhubungan dengan anomali lain yang
ada pada pasien. Tujuan utama dari tatalaksana pada atresia ani adalah
kontinensia feses. Sebanyak 75% pasien memiliki pergerakan usus volunter.
Konstipasi merupakan sekuele yang paling umum. Prognosis pada atresia
dapat dievaluasi dengan cara melihat fungsi klinisnya dan psikologisnya
(Mahmoud et al., 2004).
Evaluasi fungsi klinis
- Kontrol feses dan kebiasaan buang air besar
- Sensasi rektal dan soiling
- Kontraksi otot yang baik pada colok dubur
18
Pada anomali letak rendah, hasil akhir yang sering terjadi adalah
konstipasi, sedangkan pada anomali letak tinggi adalah inkontinensia feses
(Williams et al., 2008).
Daftar Pustaka
Brunicardi FC, Anderson DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG, Matthews JB, et
al (2010). Pediatric Surgery. In Schwartzs Principles of Surgery, 9th
edition. McGraw Hill.
Mahmoud N, Rombeau J, Ross HM, et al. In Townsend CM, Beauchamp RD,
Evers BM, Mattox KL, editors (2004). Pediatric Surgery. Sabiston
Textbook of Surgery The Biological Basis of Modern Surgical Practice,
17th edition. Elsevier Saunders.
Pena A (2006). Surgical Condition of the Anus, Rectum, and Colon. Pediatric
Surgery. Jerman: Springer.
Sjamsuhidajat R, De Jong W (2005). Buku ajar ilmu bedah, edisi 2. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
19
Texas
Pediatric
Associates
(2012).
Imperforate
Anus.
http://www.pedisurg.com/PtEduc/Imperforate_Anus.htm.
Williams N, Bulstrode CJK, Oconnell PR (2008). Bailey and love short practice
of surgery, 25th edition. Edward Arnold (Publisher).
20