Anda di halaman 1dari 20

Presentasi Kasus Bedah Anak

ANAK LAKI-LAKI 11 BULAN DENGAN MALFORMASI ANORECTAL


DENGAN FISTEL RECTOVESICA POST TCS

Oleh:
Muhammad Ardianto P
G99151055
Periode : 28 November 30 November 2016
Pembimbing:
Suwardi, dr., Sp.B, Sp.BA
KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI
SURAKARTA
2016
BAB I
STATUS PASIEN
A. ANAMNESIS
I. Identitas Pasien
Nama
Umur
Jenis kelamin
Agama
Alamat
Tanggal Masuk
No. RM

: An. MS
: 11 bulan
: Laki-laki
: Islam
: Kendal, Ngawi
: 26 November 2016
: 0134706

II. Keluhan Utama


Hendak dilakukan operasi pembuatan anus

III. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien mondok di RSDM untuk dilakukan operasi pembuatan
anus. Sekitar 5 jam setelah lahir, pasien mengeluarkan BAK yang
bercampur kotoran, perut membuncit dan badan panas, sehingga dirujuk
ke RSDM oleh bidan yang menangani. Di RSDM didiagnosis atresia ani
dan dilakukan operasi pembuatan stoma. Pasien rutin kontrol ke poli
bedah anak RSDM, dan pada tanggal 26 November 2016 disetujui untuk
dilakukan operasi pembuatan anus. Keluhan badan panas (-), mual (-),
muntah (-), nafsu makan menurun (-). BAK (+) 3-5 kali/hari warna kuning
jernih, darah (-). BAB (+) 3-4 kali/hari melalui stoma, warna kecoklatan,
lendir (-), darah (-), nyeri (-).
IV. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat operasi

: (+) Oktober 2015 : TCS/Sigmoidostomi,


(+) 20 Agustus 2016 : Relokasi stoma

Riwayat trauma

: disangkal

Riwayat mondok

: (+) saat operasi

Riwayat alergi

: disangkal

V. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat keluhan serupa : disangkal
VI. Riwayat Kelahiran
Pasien lahir dengan persalinan normal di bidan pada tanggal 17 Oktober
2015, usia kehamilan 38 minggu, usia ibu 32 tahun, G2P2A0. BBL 2600
gram. Saat lahir pasien menangis kuat dan bergerak aktif.
VII. Riwayat Kehamilan
Riwayat ANC
Riwayat sakit saat hamil
Riwayat konsumsi obat-obatan

: tidak rutin
: disangkal
: disangkal

VIII. Riwayat Imunisasi


Pasien telah mendapatkan imunisasi lengkap sesuai usia.
B. PEMERIKSAAN FISIK
I. Keadaan Umum
a. Keadaan umum

: Compos mentis (GCS E4V5M6), gizi kesan

cukup, BB = 10 kg, TB = 80 cm
b. Vital sign :
N : 116 x/menit regular, simetris, isi dan tegangan cukup
RR : 25 x/menit
T : 36oC
II. General Survey
a. Kulit

: Kulit sawo matang, kering (-), ujud kelainan kulit (-),

hiperpigmentasi (-)
b. Kepala

: mesocephal

c. Mata

: konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), cekung (-/-),

reflex cahaya (+/+), pupil isokhor (2mm/2mm)


d. Telinga

: sekret (-/-), darah (-/-).

e. Hidung

: bentuk simetris, napas cuping hidung (-), sekret (-), keluar

darah (-).
f. Mulut

: mukosa basah (-), sianosis (-), lidah kotor (-), jejas (-).

g. Leher

: pembesaran tiroid (-), pembesaran limfonodi (-).

h. Thorak

: normochest, retraksi (-), gerakan dinding dada simetris

i. Cor
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak.
Palpasi
: ictus cordis tidak kuat angkat.
Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar.
Auskultasi : bunyi jantung I-II intensitas normal, regular, bising (-).
j. Pulmo
Inspeksi
Palpasi
Perkusi

: pengembangan dada kanan sama dengan kiri.


: fremitus raba kanan sama dengan kiri
: sonor/sonor.

Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+) normal, suara tambahan (-/-).


k. Abdomen
Inspeksi

: dinding perut sejajar dinding dada, perut distended (-),

stoma (+) di dinding perut kiri


Auskultasi : bising usus (+) normal.
Perkusi : timpani
Palpasi
: supel, massa (-), nyeri tekan (-), defance muscular (-)

l. Ekstremitas

: CRT < 2 detik

Akral dingin
Oedema
-

---

m. Status lokalis
1) stoma: berbentuk lonjong ukuran 6,5 x 3
x 2,5 cm, warna merah muda, jaringan
nekrotik (-), darah (-)

2) anus: (-)
C. ASSESMENT
Malformasi anorectal dengan
fistel rectovesica post
sigmoidostomy pro PSARP
D. PLANNING
Pro PSARP

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
I.

Laboratorium Darah (27 November 2016)


Pemeriksaan
Hematologi Rutin
Hemoglobin
Hematokrit
Leukosit
Trombosit
Eritrosit
Serologi Hepatitis
HBsAg

II.

Satuan

Rujukan

11,9
37
12,4
450
5,58

g/dl
%
ribu/l
ribu/l
juta/l

11,5 - 13,5
34 - 40
5,5 - 17,0
150 - 450
3,90 - 5,30

Nonreactive

Nonreactive

Laboratorium Darah (27 November 2016)


Pemeriksaan
Hemostasis
PT
APTT
INR

III.

Hasil

Hasil

Satuan

Rujukan

13,1
34,2
1,050

detik
detik

10,0 - 15,0
20,0 - 40,0

Hasil

Satuan

Rujukan

4,1

g/dl

3,8 - 5,4

139
3,8
105

mmol/L
mmol/L
mmol/L

132 - 145
3,1 - 5,1
98 - 106

Laboratorium Darah (27 November 2016)


Pemeriksaan
Kimia Klinik
Albumin
Elektrolit
Natrium darah
Kalium darah
Chlorida darah

Pemeriksaan Colon In Loop (24 November 2016)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Malformasi anorectal merupakan suatu spektrum dari anomali
kongenital yang terdiri dari anus imperforata dan kloaka persisten. Anus
imperforata atau atresia ani merupakan kelainan kongenital tanpa anus atau
dengan anus tidak sempurna, sedangkan kloaka persisten merupakan suatu

kondisi yang diakibatkan karena pemisahan antara traktus urinarius, traktus


genitalia, dan traktus digestivus tidak terjadi (Brunicardi et al., 2010).
Jadi, atresia ani adalah kelainan kongenital anus dimana anus tidak
mempunyai lubang untuk mengeluarkan feses karena terjadi gangguan
pemisahan kloaka yang terjadi saat kehamilan. Walaupun kelainan lubang
anus akan mudah terbukti saat lahir, tetapi kelainan bisa terlewatkan bila tidak
ada pemeriksaan yang cermat atau pemeriksaan perineum.

B. Etiologi
Etiologi secara pasti dari atresia ani belum diketahui, namun ada
sumber mengatakan bahwa kelainan bawaan anus disebabkan oleh gangguan
pertumbuhan, fusi, dan pembentukan anus dari tonjolan embriogenik. Menurut
penelitian beberapa ahli, diduga faktor genetik berpengaruh terhadap
terjadinya atresia ani, namun masih jarang terjadi bahwa gen autosomal resesif
yang menjadi penyebab atresia ani. Orang tua yang mempunyai gen carrier
penyakit ini mempunyai peluang sekitar 25% untuk diturunkan pada anaknya
saat kehamilan. 30% anak yang mempunyai sindrom genetik, kelainan
kromosom, atau kelainan kongenital lain juga berisiko untuk menderita atresia
ani, contohnya penderita Down Syndrome.
Atresia dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
1. Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur sehingga bayi
lahir tanpa lubang dubur.
2. Kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu/3
bulan.
3. Adanya gangguan atau berhentinya perkembangan embriologik usus,
rektum bagian distal, serta traktus urogenitalis, yang terjadi antara minggu
keempat sampai keenam usia kehamilan.
C. Klasifikasi
Secara fungsional, pasien dengan anus imperforata atau atresia ani
dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu:

1. Tanpa anus, tetapi dengan dekompresi adekuat traktus gastrointestinal


dicapai melalui saluran fistula eksterna
Kelompok ini terutama melibatkan bayi perempuan dengan fistula
rectovagina atau retrofouchette yang relatif lebih besar, dimana fistula ini
sering dengan bantuan dilatasi, maka bisa didapatkan dekompresi usus
yang adekuat sementara waktu (Sjamsuhidajat et al., 2005).
2. Tanpa anus dan tanpa fistula atau traktus yang tidak adekuat untuk jalan
feses
Pada kelompok ini, tidak ada mekanisme apapun untuk menghasilkan
dekompresi spontan kolon, sehingga memerlukan beberapa bentuk
intervensi bedah segera (Sjamsuhidajat et al., 2005).
Secara tradisional, klasifikasi atresia ani dibagi menjadi dua
berdasarkan letak terminasi rektum terhadap dasar pelvis, yaitu:
1. Anomali letak rendah
Rektum menembus muskulus levator ani sehingga jarak antara kulit
dan ujung rektum paling jauh 1 cm. Anomali ini dapat berupa stenosis
anus yang hanya membutuhkan dilatasi membran atau merupakan
membrane anus tipis yang mudah dibuka segera setelah anak lahir. Baik
pada laki-laki maupun perempuan, anomali letak rendah berhubungan
dengan perineal fistula. Pada laki-laki, fistula berhubungan dengan midline
raphe dari skrotum atau penis. Pada perempuan, fistula dapat berakhir
pada vestibulum vagina (fistula rectovestibular) karena rektum lebih ke
depan mendekati vestibulum. Terdapat sfingter internal dan eksternal yang
berkembang baik dengan fungsi normal dan tidak terdapat hubungan
dengan saluran genitourinarius (Williams et al., 2008).
2. Anomali letak tinggi (supralevator)
Pada anomali letak tinggi, ujung rektum tidak mencapai tingkat
muskulus levator ani dengan jarak antara ujung buntu rektum sampai kulit
perineum lebih dari 1 cm. Hal ini biasanya berhubungan dengan fistel
genitourinarius retrovesical (pria) atau rectovagina (perempuan). Pada
perempuan, anomali letak tinggi sering berhubungan dengan kloaka
persisten. Jika fistula yang terbentuk adekuat, maka secara klinis tidak

terdapat tanda-tanda obstruksi. Sedangkan bila tidak adekuat, maka


terdapat tanda-tanda obstruksi yang lebih nyata (Williams et al., 2008).
Laki-laki
1. Fistula perineal
Fistula perineal adalah kelainan yang paling sederhana yang dapat
terjadi baik pada pria maupun wanita. Pasien memiliki lubang kecil yang
terletak pada perineum anterior ke pusat sfingter eksternal, dekat dengan
skrotum pada pria atau vulva pada wanita. Pasien ini biasanya memiliki
sakrum yang baik, alur garis tengah, dan lesung anal. Frekuensi kerusakan
organ lain terkait yang mempengaruhi sekitar 10%. Diagnosis ditetapkan
oleh inspeksi perineum sederhana, tetapi sering kali diagnosis ini
terlewatkan karena pemeriksaan neonatal yang kurang memadai.
Keterlambatan diagnosis mungkin memiliki dampak signifikan yaitu
obstipasi (Pena, 2006).
2. Fistula rectourethral
Dalam fistula rektouretral, rektum berkomunikasi dengan bagian
bawah uretra (uretra bulbar) atau bagian atas dari uretra (uretra prostat).
Mekanisme sfingter pada umumnya baik, tetapi pada sebagian pasien
memiliki otot-otot perineal dan perineum datar. Sakrum juga memiliki
derajat perkembangan yang berbeda, terutama dalam kasus fistula
rektouretral prostat. Sebagian besar pasien memiliki sakrum yang kurang
berkembang, perineum yang datar, skrotum terpecah menjadi dua belah,
dan letak lesung anal sangat dekat dengan skrotum (Pena, 2006).
3. Fistula rectovesical (bladder neck)
Pada

pasien

yang

memiliki

fistula

rektovesikal,

rektum

berkomunikasi dengan saluran kemih pada tingkat leher kandung kemih.


Mekanisme sfingter pada umumnya kurang berkembang. Sakrum kurang
berkembang dan perineum terlihat datar. Kelainan ini terjadi pada 10%
dari jumlah pasien laki-laki. Prognosis biasanya tidak baik (Pena, 2006).

4. Anus imperforata tanpa fistula


Kelainan ini memiliki karakteristik yang sama pada kedua jenis
kelamin. Anus yang tertutup biasanya ditemukan 2 cm diatas kulit
perineum. Sakrum dan mekanisme sfingter pada umumnya berkembang
dengan baik. Prognosis pada umumnya juga baik. Kelainan ini sering
dikaitkan dengan sindrom down (Pena, 2006).
5. Atresia rektum
Kelainan ini merupakan kelainan yang jarang terjadi, yaitu hanya 1%
dari anomali anorektal. Karakteristik pada kedua jenis kelamin sama.
Gambaran yang unik dari kelainan ini yaitu bahwa pasien memiliki lubang
anus yang normal dan anus yang normal. Sebuah halangan terdapat sekitar
2 cm di atas permukaan kulit. Prognosis fungsionalnya sangat baik karena
memiliki sfingter yang normal dan sensasi yang normal (Pena, 2006).
Perempuan
1. Fistula vestibuler
Kelainan ini merupakan kelainan yang sering pada wanita. Rektum
terbuka di depan alat kelamin wanita diluar selaput dara. Pasien sering
disalah artikan sebagai fistula rectovaginal. Prognosis fungsionalnya baik,
sakrum biasanya normal, alur garis tengah perineum, dan lesung anal yang
semuanya menunjukkan mekanisme sfingter masih utuh (Pena, 2006).
2. Kloaka persisten
Dalam kasus kloaka persisten, rektum, vagina, dan saluran kemih
bertemu dalam satu saluran tunggal. Perineum memperlihatkan suatu
lubang tunggal tepat di belakang klitoris. Panjang saluran ini bervariasi
antara 1-10 cm, panjang dari saluran ini menunjukkan suatu prognosis.
Pasien dengan saluran dengan panjang < 3 cm pada umumnya sakrum dan
sfingter berkembang dengan baik. Pasien dengan panjang saluran > 3 cm
sering kali menunjukkan kelainan yang lebih kompleks dengan sakrum
dan sfingter yang kurang berkembang dengan baik. Pasien dengan kloaka
10

persisten merupakan suatu kedaruratan urologi karena 90% memiliki


kelainan urologi. Sebelum dilakukan kolostomi, diagnosis urologi harus
segera ditegakkan untuk dekompresi saluran kemih (Pena, 2006).

D. Patofisiologi
Asal anus dan rektum merupakan stuktur embriologis yang disebut
kloaka. Secara embriologis, saluran pencernaan berasal dari Foregut, Midgut,
dan Hindgut. Foregut akan membentuk faring, sistem pernapasan bagian
bawah, esofagus, lambung, sebagian duodenum, hati, sistem bilier, serta
pankreas. Midgut membentuk usus halus, sebagian duodenum, caecum,
apendiks, kolon ascenden sampai pertengahan kolon transversum. Hindgut
meluas dari midgut hingga ke membran kloaka, membran ini tersusun dari
endoderm kloaka dan ektoderm dari protoderm/analpit. Usus terbentuk mulai
minggu keempat disebut sebagai primitif gut. Kegagalan perkembangan yang
lengkap dari septum urorektalis menghasilkan anomali letak tinggi atau supra
levator. Sedangkan anomali letak rendah atau translevator berasal dari defek
perkembangan proktoderm dan lipatan genital. Pada anomali letak tinggi, otot
levator ani perkembangannya tidak normal. Sedangkan otot sfingter eksternus
dan internus dapat tidak ada atau rudimenter .
Atresia ani terjadi akibat kegagalan punurunan septum anorektal pada
kehidupan embrional. Terjadinya atresia ani adalah karena kelainan kongenital
dimana saat proses perkembangan embriogenik tidak lengkap pada proses
perkembangan anus dan rektum. Dalam perkembangan selanjutnya, ujung
ekor dari belakang berkembang jadi kloaka yang juga akan berkembang jadi
genito urinari dan struktur anorektal. Atresia ani ini terjadi karena
ketidaksempurnaan migrasi dan perkembangan struktur kolon antara 7-10
minggu selama perkembangan janin. Kegagalan migrasi tersebut juga karena
gagalnya agenesis sakral dan abnormalitas pada daerah uretra dan vagina atau
juga pada proses obstruksi. Atresia ani dapat terjadi karena tidak adanya

11

pembukaan usus besar yang keluar anus sehingga menyebabkan feses tidak
dapat dikeluarkan.
Manifestasi klinis diakibatkan adanya obstruksi dan adanya fistula.
Obstruksi ini mengakibatkan distensi abdomen, sekuestrasi cairan, muntah
dengan segala akibatnya. Apabila urin mengalir melalui fistel menuju rektum,
maka urin akan diabsorbsi sehingga terjadi asidosis hiperkloremia, sebaliknya
feses mengalir ke arah traktus urinarius menyebabkan infeksi berulang. Pada
keadaan ini biasanya akan terbentuk fistula antara rektum dengan organ
sekitarnya.
E. Diagnosis
Pasien dengan atresia ani biasanya berada dalam kondisi yang stabil
dan diagnosisnya segera tampak setelah kelahiran. Cara penegakan diagnosis
adalah semua bayi yang lahir harus dilakukan pemasukan thermometer
melalui anusnya, tidak hanya untuk mengetahui suhu tubuh, tapi juga untuk
mengetahui apakah terdapat atresia ani atau tidak. Selain itu juga diperlukan
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang secara cermat
(Brunicardi, et al., 2010).
1. Anamnesis
Manifestasi klinis yang terjadi pada atresia ani adalah kegagalan
lewatnya mekonium setelah bayi lahir, tidak ada atau stenosis kanal rektal,
adanya membran anal, dan fistula eksternal pada perineum.
Gejala yang menunjukkan terjadinya atresia ani terjadi dalam waktu
24-48 jam. Gejala itu antara lain (Pena, 2006):
-

Tidak dapat atau mengalami kesulitan mengeluarkan mekonium (tidak


bisa buang air besar sampai 24 jam setelah lahir).

Perut membuncit dan pembuluh darah di kulit abdomen terlihat


menonjol. Perut kembung biasanya terjadi antara empat sampai delapan
jam setelah lahir.

Muntah (cairan muntahan dapat berwarna hijau karena cairan empedu


atau juga berwarna hitam kehijauan karena cairan mekonium).

12

2. Pemeriksaan fisik
Inspeksi dan palpasi perianal
-

Apakah terdapat anus atau tidak, bisa juga tidak ada anus dan hanya
berupa lengkungan (anal dimple).

Jika tidak ditemukan anus, kemungkinan ada fistula.

Bila terdapat mekonium pada perineum mengindikasikan defek letak


rendah dan mekonium di urin merupakan bukti adanya fistula di saluran
kemih. Bila terdapat mekonium bercampur urin, maka terdapat 2
kemungkinan, yaitu fistula rectourethral atau rectovesica. Pada fistula
rectourethral didapatkan mekonium mula-mula keluar bersama miksi
bercampur bersama dengan mekonium dan dari awal sampai akhir
berwarna kehitaman. Selain itu, cara membedakannya juga dapat
dengan menggunakan kateter. Jika setelah terpasang kateter didapatkan
urin jernih, maka fistula rectourethral karena fistula tertutup oleh
kateter, sedangkan bila terdapat urin bercampur mekonium makan
fistula rectovesica.

Pada perempuan diperiksa genitalia eksterna (fistula vestibulum).

Pada perempuan jika urin bercampur mekonium dan terdapat hematuria


maka defek berupa letak tinggi. Jika dari uretra keluar mekonium,
kencing jernih, dan terdapat fistula pada perineum maka defek letak
rendah.

Dilihat pada saat anak menangis apakah anus menonjol atau tidak, jika
menonjol maka anomali letak rendah, sedangkan jika tidak maka
anomali letak tinggi.

Pada bayi yang baru lahir, hal yang harus kita lakukan adalah mengukur
suhu rektum sekaligus melihat apakah terdapat adanya lubang pada
anus dengan menggunakan thermometer yang sudah diberi gel.

Pemeriksaan abdomen:
Inspeksi

= perut tampak kembung

Palpasi

= distensi, nyeri tekan tidak dijumpai

Perkusi

= hipertimpani

13

Auskultasi = peristaltik meningkat, dapat terdengar metallic sound


-

Jika dalam 24 jam pertama tidak tampak mekonium baik pada perineum
maupun urin, dapat dilakukan cross table lateral x-ray dengan posisi
bayi tengkurap.

3. Pemeriksaan penunjang
Meskipun diagnosis atresia ani dapat dibuat dengan pemeriksaan
fisik, sering kali sulit untuk menentukan apakah bayi memiliki lesi tinggi
atau rendah. Sebuah radiograf polos dari perut dapat membantu
menemukan lesi. Untuk memperkuat diagnosis sering diperlukan
pemeriksaan penunjang sebagai berikut:
-

Invertogram (radiografi abdominal lateral dengan marker radiopaque


pada perineum)

USG

Ekokardiografi, untuk mengevaluasi apakah terdapat kelainan bawaan


pada jantung pasien

F. Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan pada atresia ani berpusat pada penentuan
klasifikasinya, yaitu anomali letak tinggi atau letak rendah, ada atau tidaknya
fistula, dan mengevaluasi apakah terdapat kelainan kongenital lain yang
menyertai. Dibutuhkan waktu sampai 24 jam sebelum fistula dapat ditemukan,
oleh karena itu, observasi pada neonates sangat dibutuhkan sebelum operasi
definitive dilakukan. Semua pasien dimasukkan nasogastric tube sebelum
makan untuk melihat adanya atresia esophagus dan dimonitoring apakah
terdapat mekonium pada perineum atau urin. Selain itu, dalam 24 jam
pertama, bayi harus mendapatkan terapi cairan dan antibiotic. Pada anomali
letak tinggi dengan atau tanpa fistel dan atresia ani dengan fistula yang tidak
adekuat, sifat tatalaksananya adalah emergency, sedangkan pada atresia ani
dengan fistula yang adekuat dan anterior anus adalah elektif (Mahmoud et al.,
2004).

14

Penatalaksanaan anomali letak rendah


Pada anomali letak rendah, tindakan yang dilakukan adalah operasi
perineal tanpa kolonostomi. Operasi yang dilakukan berupa repair yaitu
anoplasti. Terdapat 3 pendekatan yang dapat dilakukan. Untuk anal stenosis,
dimana pembukaan anus berada pada lokasi yang normal, maka dilatasi serial
merupakan penatalaksanaan kuratif. Dilatasi dapat dilakukan sehari-hari oleh
orang tua atau pengasuh anak dan ukuran dari dilator harus dinaikkan secara
progresif (dimulai dari 8 atau 9 French dan dinaikkan ke 14 atau 16 French).
Jika pembukaan anal berada di sebelah anterior dari sfingter eksternus dengan
jarak yang kecil antara pembukaan dan bagian tengah dari sfingter eksternus,
dan perineal intak, maka anoplasti cutback dilakukan. Tindakannya terdiri dari
insisi dari orifisium anal ektopik menuju bagian tengah dari sfingter anus, dan
dengan demikian terjadi pelebaran pembukaan anal. Namun, jika jaraknya
lebar antara pembukaan anal dengan bagian tengah dari sfingter ani eksternus,
maka yang dilakukan adalah anoplasti transposisi, dimana pembukaan anal
yang tidak pada tempatnya dipindahkan ke posisi yang normal pada bagian
tengah dari otot sfingter, dan perineal di rekonstruksi (Brunicardi et al., 2010).
Penatalaksanaan anomali letak tinggi
Penatalaksanaan

pada

anomali

letak

tinggi

dan

intermediat

membutuhkan tiga tahapan rekonstruksi. Tahapan pertama yang harus


dilakukan adalah kolostomi terlebih dahulu segera setelah lahir untuk
dekompresi dan diversi, diikuti dengan operasi definitif berupa prosedur
abdominoperineal pullthrough (Swenson, Duhamel, Soave) setelah 4-8
minggu (sumber lain menyebutkan 3-6 bulan) dan diakhiri dengan penutupan
dari kolostomi yang dilakukan beberapa bulan setelahnya. Tindakannya
berupa pemisahan fistula rectourinari atau rectovagina secara pull-through dari
kantong rektal bagian terminal menuju posisi anus yang normal. Dilatasi anus
dimulai 2 minggu setelah operasi definitif dan dilanjutkan beberapa bulan
setelahnya dengan penutupan kolostomi (Brunicardi et al., 2010).
Pena dan DeVries pada tahun 1982 memperkenalkan metode operasi
definitif dengan pendekatan postero-sagital anorectoplasty (PSARP), yaitu
15

dengan cara membelah muskulus sfingter eksternus dan muskulus levator ani
untuk memudahkan mobilisasi kantong rectum dan pemotongan fistel dengan
stimulasi elektrik dari perineum. Jika terdapat adanya kloaka persisten, maka
traktus urinarius perlu dievaluasi secara hati-hati saat kolostomi untuk
memastikan terjadinya pengosongan yang normal dan menentukan apakah
vesica urinaria perlu di drainase dengan vesikostomi. Pada perempuan, jika
terdapat kloaka persisten maka perlu dilakukan rekonstruksi traktus urinarius
dan vagina. Jika terdapat keraguan dalam penentuan letak anomalinya, lebih
baik dilakukan kolostomi. Keberhasilan penatalaksanaan atresia ani dinilai
dari fungsinya secara jangka panjang, meliputi anatomisnya, fungsi
fisiologisnya, bentuk kosmetik serta antisipasi trauma psikis. Sebagai tujuan
akhirnya adalah defekasi secara teratur dan konsistensinya baik.
Penatalaksanaan pada anomali letak tinggi dilakukan secara operatif,
yaitu:
1. Kolonostomi
Kolostomi merupakan kolokutaneostomi yang disebut juga anus
preternaturalis yaitu pembuatan lubang sementara atau permanen dari usus
besar melalui dinding perut untuk mengeluarkan feses. Kolostomi dapat
dilakukan pada kolon transversalis ataupun sigmoid yang merupakan
organ intraabdominal. Kolon dipisahkan pada daerah sigmoid, dengan
usus bagian proksimal sebagai kolostomi dan usus bagian distal sebagai
mukus fistula. Pemisahan secara komplit dari usus akan meminimalkan
kontaminasi feses menuju fistula rektourinarius sehingga mengurangi
risiko terjadinya urosepsis. Selanjutnya, bagian distal usus di evaluasi
secara radiografik untuk menentukan lokasi dari fistula rektourinarius.
Kolostomi dilakukan pada kolon transversum sebelah kiri di flexura
lienalis atas pertimbangan sebagai proteksi karena di sebelah kiri tidak ada
organ-organ penting, kolon lebih mobile sehingga lebih mudah, dan pada
daerah ini tidak terjadi dehidrasi karena absorbsi elektrolit maksimal di
daerah tersebut sehingga konsistensi feses tidak keras.
Adapun indikasi kolostomi adalah sebagai berikut:
- Dekompresi usus pada obstruksi

16

- Stoma sementara untuk bedah reseksi usus pada radang atau perforasi
- Sebagai anus setelah reseksi usus distal untuk melindungi anastomosis
distal
2. Posterosagital Anorectoplasty (PSARP)
Suatu tindakan operasi definitif pada pasien atresia ani dengan teknik
operasi menggunakan irisan kulit secara sagital mulai dari tulang
koksigeus sampai batas anterior bakal anus. Prosedur ini memberikan
beberapa

keuntungan

seperti

kemudahan

dalam

operasi

fistula

rektourinaria maupun rektovaginal dengan cara membelah otot dasar


perlvis, sling, dan sfingter. Saat ini, teknik yang paling banyak dipakai
adalah minimal, limited atau full PSARP.
Macam-macam PSARP
1. Minimal PSARP
Tidak dilakukan pemotongan otot levator maupun vertical fibre,
yang penting adalah memisahkan common wall untuk memisahkan
rektum dengan vagina dan yang dibelah hanya otot sfingter eksternus.
Indikasi dari minimal PSARP, yaitu dilakukan pada fistula perineal,
anal stenosis, anal membran, bucket handle dan atresia ani tanpa fistula
yang akhiran rektum kurang dari 1 cm dari kulit.

2. Limited PSARP
Yang dibelah adalah otot sfingter eksternus, muscle fiber, muscle
complex serta tidak membelah tulang koksigeus. Yang penting adalah
diseksi rektum agar tidak merusak vagina. Indikasi dari limited PSARP
adalah atresia ani dengan fistula rectovestibuler.
3. Full PSARP
Dibelah otot sfingter eksternus, muscle complex, dan koksigeus.
Indikasi dari full PSARP, yaitu atresia ani letak tinggi dengan
gambaran invertogram gambaran akhiran rektum lebih dari 1 cm dari
kulit, pada fistula rectovaginalis, fistula rectourethralis, atresia rektum,
dan stenosis rektum.

17

G. Komplikasi
Komplikasi yang terjadi post operasi banyak disebabkan oleh karena
kegagalan menentukan letak kolostomi, persiapan operasi yang tidak adekuat,
keterbatasan pengetahuan anatomi, dan keterampilan operator yang kurang
serta perawatan post operasi yang buruk.
Komplikasi awal dari PSARP adalah infeksi dari luka, perdarahan,
anus salah letak, fistula berulang, serta cedera pada uretra dan kandung kemih.
Pada komplikasi selanjutnya, pada umumnya terjadi stenosis, striktur
anorektal, prolaps, dan inkontinensia (Texas Pediatric Associates, 2012).
Komplikasi awal dapat dihindari dengan penutupan luka yang adekuat
tanpa meninggalkan celah. Sebagian besar pasien yang melakukan operasi
untuk memperbaiki atresia ani memiliki berbagai derajat konstipasi. Gejala ini
lebih berat terjadi pada kelainan letak rendah dan intermediat. Pasien yang
sebelumnya dilakukan kolostomi baik di daerah proksimal maupun distal
dapat mengalami obstipasi maka dari itu pasien memerlukan diet kaya serat
dan kadang-kadang sampai dibutuhkan obat pencahar (Texas Pediatric
Associates, 2012).

H. Prognosis
Morbiditas yang ada pasien berhubungan dengan anomali lain yang
ada pada pasien. Tujuan utama dari tatalaksana pada atresia ani adalah
kontinensia feses. Sebanyak 75% pasien memiliki pergerakan usus volunter.
Konstipasi merupakan sekuele yang paling umum. Prognosis pada atresia
dapat dievaluasi dengan cara melihat fungsi klinisnya dan psikologisnya
(Mahmoud et al., 2004).
Evaluasi fungsi klinis
- Kontrol feses dan kebiasaan buang air besar
- Sensasi rektal dan soiling
- Kontraksi otot yang baik pada colok dubur

18

Pada anomali letak rendah, hasil akhir yang sering terjadi adalah
konstipasi, sedangkan pada anomali letak tinggi adalah inkontinensia feses
(Williams et al., 2008).

Daftar Pustaka
Brunicardi FC, Anderson DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG, Matthews JB, et
al (2010). Pediatric Surgery. In Schwartzs Principles of Surgery, 9th
edition. McGraw Hill.
Mahmoud N, Rombeau J, Ross HM, et al. In Townsend CM, Beauchamp RD,
Evers BM, Mattox KL, editors (2004). Pediatric Surgery. Sabiston
Textbook of Surgery The Biological Basis of Modern Surgical Practice,
17th edition. Elsevier Saunders.
Pena A (2006). Surgical Condition of the Anus, Rectum, and Colon. Pediatric
Surgery. Jerman: Springer.
Sjamsuhidajat R, De Jong W (2005). Buku ajar ilmu bedah, edisi 2. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.

19

Texas

Pediatric

Associates

(2012).

Imperforate

Anus.

http://www.pedisurg.com/PtEduc/Imperforate_Anus.htm.
Williams N, Bulstrode CJK, Oconnell PR (2008). Bailey and love short practice
of surgery, 25th edition. Edward Arnold (Publisher).

20

Anda mungkin juga menyukai