Anda di halaman 1dari 10

Kita sebagai umat islam perlu memahami bahwa bahasa arab adalah bahasa Al Quran, yang

harus kita kuasai selaku sebagai seorang muslim atau muslimat. Maka dari itu, kita sebagai
umat Islam perlu sekali mengenali tata bahasa (grammar) Arab, untuk dapat berbahasa arab
dengan baik terlebih dahulu kita mempelajari tata cara bahasa arab, diantaranya mengenai
isim dhamir, naat dan manut dan idhafah serta masih banyak lagi tata cara bahasa arab yang
lain.Dalam makalah ini akan dibahas tentang isim dhamir dan pembagiannya, naat dan
manut dan Idhafah.

LATAR BELAKANG
Dewasa ini, Bahasa Arab dikalangan ummat Islam sudah tersingkirkan. Mereka menganggap
Bahasa Arab adalah bahasa yang sulit dan sukar dimengerti apalagi Grammarnya.
Mereka lebih berminat mempelajari bahasa Ajam atau bahasa luar Arab. padahal Bahasa
Arab adalah bahasa nasional ummat islam, bahasa Al-Quran Dan bahasa ahli surga. Sudah
menjadi kewajiban bagi ummat islam untuk mempelajari Bahasa Arab. Minimal tahu tentang
grammarnya dan maksimalnya lancar dalam berbahasa Arab.
Dalam susunan tata bahasa Arab, hampir sama seperti bahasa-bahasa lainnya yaitu ada
subjek, predikat, objek, keterangan waktu/tempat, dan keadaan / sifat. Dalam Bahasa Arab,
subjek disebut Fail, Predikat disebut Fiil, objek disebut Maful, keterangan waktu/tempat
disebut dzorof zaman /makan, dan keadaan disebut naat tau Shifat.
Seringkali, naat menjadi pembahasan yang cukup rumit dikarenakan pembagian naat yang
membingungkan, apalagi untuk para pemula.
Akhirnya dibuatlah makalah ini untuk memudahkan para pemula memahami bahasa Arab dan
mengaplikasikannya dalam keseharian mereka.

Naat dan Manut (Sifat dan yang disifati)


Naat adalah isim yang mengikuti isim yang sebelumnya atau manut, dalam hal rafa nashab
dan jarrnya, serta marifah dan nakirohnya. Manut artinya kata-kata benda yang disipati.
Yakni naat itu mengikuti manut dalam hal:
1. Rafa jika manut itu marfu
2. Nashab jika manutnya manshub
3. Khafad jika manutnya makhfud (majrur)
4. Marifah jika manutnya marifah
5. Nakiroh jika manutnya nakiroh.[3]
Ketentuan-Ketentuan Naat:
1. Naat harus mengikuti manut dari sisi tayin (kejelasan) nya.
Contoh:



( = Seorang mahasiswa yang pandai telah kembali)



( = Seorang mahasiswa yang pandai itu telah kembali)
2. Naat harus mengikuti manut dari sisi adad (jumlah) nya.
Contoh:




( Seorang mahasiswa yang pandai telah kembali)


( Dua orang mahasiswa yang pandai telah kembali)



( Para mahasiswa yang pandai telah kembali)
3. Naat harus mengikuti manut dari sisi nau (jenis) nya.
Contoh:




( Seorang mahasiswa yang pandai telah kembali)


( Seorang mahasiswi yang pandai telah kembali)
Naat terbagi kepada dua yaitu:
1. Naat hakiki
Yaitu isim yang menunjukkan kata sifat pada diri kalimat sebelumya atau kalimat yang
diikutinya.




: :Allah itu bersih dan menyukai kebersihan
Dalam contoh tersebut,
merupakan Naat (sifat), dimana
adalah manut atau
yang disifati (yang mempunyai sifat).
Naat hakiki harus sesuai dengan kalimat yang diikutinya dalam hal marifah, nakirohnya,
bilangannya dan jenisnya. Jika yang mempunyai sifat itu jamak yang tujuannya selain
manusia maka boleh sifatnya dalam bentuk mufrad muannats atau jamak muannats.



:







/


Dari segi tinjauan yang lain naat hakiki terbagi kepada tiga jenis yaitu:
a. Isim dzahir



:

= Makkah adalah kota yang mulia

b. Sibhul jumlah




:

surga dibawah telapak kaki ibu =
c. Jumlatul isimiyah wal fiiliyah
jumlah isimiyah:





telah berlalu hari yang dinginnya menusuk tulang =

jumlah filiyah:


= Kesabar membantu segala pekerjaan

2. Naat sababi
Yaitu kalimat yang menunjukkan sifat pada isim yang mempunyai hubungan atau ikatan
dengan isim yang didikutinya. Atau naat sababi adalah naat yang menunjukkan sifat bagi
isim-isim yang ada hubungannya dengan matbunya.[4]







: : Aku masuk kebun yang bagus
bentuknya

Dalam contoh ini,


merupakan Naat (sifat), sedangkan yang menjadi Manut

(yang disifati) adalah

Dalam naat sababi meskipun yang mempunyai sifat itu dalam bentuk jamak, maka kata
sifatnya tetap dalam bentuk mufrad.



:


C. Idhafah
Chatibul Umam dkk,Pedoman Dasar Ilmu Nahwu, Terjemah Muktasyar Jiddan.(Jakarta:
Darul Ulum Press.2002). Hal. 157
[4] Chatibul Umam dkk, Kaidah Tata Bahasa Arab, Terjemah Qowaidu Lillughatil Arabiyah.
(Jakarta: Darul Ulum Press.1986). Hal. 299

BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Naat
Beberapa pengertian tentang naat :

) (

Naat yaitu lafadz yang mengikuti pada lafadz sebelumnya yang menyempurnakan matbu,
dengan menyebutkan sifatnya manut atau sifatnya lafadz yang berhubungan dengan manut.
[1]



Naat ialah taabi ( lafadz yang ikut pada matbu ) yang di datangkan untuk menyempurnakan
maknanya matbu dengan menjelaskan sifatnya.[2]



Naat ialah taabi yang menunjukkan sifat pada isim sebelumnya.[3]



Naat adalah Lafadz yang disebut sesudah isim untuk menjelaskan sebagian dari tingkah-
tingkahnya isim tersebut atau menjelaskan lafadz yang berhubungan dengan isim tersebut.[4]

Seperti contoh:


( telah datang seorang murid yang rajin ), lafadz
itu merupakan lafadz yang mensifati seorang murid yang telah datang, sehingga

lafadz tersebut menjadi sifat untuk lafadz yang dirofakan dengan dlommah. Dan
seperti contoh:

( telah datang seorang lelaki yang berdiri ayahnya ).



B. Pembagian Naat
Naat itu dibagi dalam dua hal yaitu naat haqiqi dan naat sababi.
a. Naat haqiqi adalah lafadz yang menjelaskan sifat-sifatnya lafadz yang Irobnya

mengikuti pada matbunya. Seperti contoh:

b. Naat sababi adalah lafadz yang menjelaskan sifat-sifatnya lafadz yang masih
berhubungan dengan matbu yaitu lafadz yang bertemu dlomir yang kembali pada matbu.

Seperti contoh:

Maka, pada contoh naat haqiqi tersebut, lafadz itu lafadz yang menjelaskan

sifatnya .Namun pada contoh naat sababi, lafadz itu tidak menjelaskan

sifatnya , karena tidak ada tujuan mensifatinya dengan lafadz , akan

tetapi lafadz itu menjelaskan sifatnya yang merupakan lafadz yang

bertemu dlomir yang kembali pada lafadz , karena lafadz itu merupakan

lafadz yang dinisbatkan pada lafadz .

Naat baik yang haqiqi atau sababi, selain wajib mengikuti manutnya dalam segi irob, juga
wajib mengikuti dalam hal marifat dan nakirohnya[5], contoh :
a) Yang ikut dalam nakirohnya :

1. Jumpailah orang-orang yang mulia


2. Jumpailah orang-orang yang mulia
ayahnya.
Manut yang nakiroh tidak boleh diberi naat yang marifat, maka tidak boleh mengucapkan :


b) Yang ikut dalam marifatnya :

1. Jumpailah orang-orang yang


mulia

2. Jumpailah orang-orang yang


mulia ayahnya.
Manut yang marifat tidak boleh diberi naat yang nakiroh, maka tidak boleh mengucapkan :


Naat itu seperti fiil dalam hal mengikuti manutnya dalam segi mufrod, tasniyah, jama,
mudzakkar dan muannas, dengan perincian sebagai berikut :
a) Naat haqiqi ( merofakan dlomir mustatir ).[6]
Apabila naatnya merofakan dlomir mustatir maka hukumnya secara mutlaq wajib mengikuti
pada manut dalam seluruh hal diatas, sebagaimana fiil yang merofakan dlomir mustatir.
Contoh :

1. Zaid adalah lelaki yang tampan


Sebagaimana diucapkan :

2. Kedua zaid itu keduanya adalah lelaki


yang tampan

Seperti diucapkan :

3. Zaid-zaid itu semuanya adalah lelaki yang tampan


Seperti diucapkan :

4. Hindun adalah wanita yang cantik


Seperti diucapkan :

5. Kedua hindun itu adalah wanita yang


cantik

Seperti diucapkan :

6. Hindun-hindun itu semuanya wanita-


wanita yang cantik.

Seperti diucapkan :

b) Naat sababi ( merofakan isim dhohir )[7]
Apabila naat merofakan isim dhohir, maka hukumnya dalam segi muannas dan
mudzakkarnya disesuaikan dengan isim dhohirnya, dalam segi tasniyyah dan jama, naat
selalu dibentuk mufrod. Seperti halnya fiil yang merofakan isim dhohir.
Contoh :

1.
Aku telah bersua dengan seorang
lelaki yang cantik ibunya.

Seperti diucapkan :

2. Aku telah bersua dengan kedua orang
wanita yang tampan ayah ibunya.

Seperti diucapkan :

3. Aku telah bersua dengan lelaki-lelaki


yang tampan ayah-ayahnya

Seperti diucapkan :

Dari keterangan diatas dapat disimpulkan :


1. Naat haqiqi itu harus mengikuti manutnya pada empat perkara dari sepuluh perkara
yaitu :
1) Dalam segi irobnya ( rofa, nashob dan jer ).
2) Dalam mufrod, tasniyyah dan jama.
3) Dalam nakiroh dan marifatnya.
4) Dalam mudzakkar dan muannasnya.
2. Naat sababi itu mengikuti manutnya pada dua perkara dari lima perkara yaitu :
1) Dalam segi irobnya ( rofa, nashob dan jer ).
2) Dalam nakiroh dan marifatnya.
Naat haqiqi itu ada tiga macam yaitu:

1. Isim dlohir, contoh:

2. Syibeh jumlah ( dlorof / jer dan majrur ), contoh:


-dlorof:

asalnya

""
-jermajrur:

asalnya " "

Naat pada hakikatnya itu lafadz yang dihubungkan pada dlorof atau huruf jer yang dibuang.
3. Jumlah ismiyah atau filiyah, contoh:

-ismiyah:

-filiyah :

C. Faidah-faidah Naat
Naat itu memiliki beberapa macam faidah, yaitu:[8]
a. Taudlih (menjelaskan).
Yaitu menghilangkan persekutuan secara lafadz didalam beberapa isim marifat. Faidah ini
terjadi apabila manutnya berupa isim marifat.
Seperti contoh:

" Telah datang padaku zaid yang perdagang"


" Telah datang padaku, zaid yang ayahnya seorang
pedagang.
b. Takhsis (menentukan)
Yaitu menyedikitkan persekutuan makna didalam beberapa isim nakiroh. Faidah ini terjadi
apabila manutnya berupa isim nakiroh.
Contoh:

Telah datang padaku zaid yang perdagang


Telah datang padaku, zaid yang ayahnya
seorang pedagang.
c. Tamim (meratakan)
Contoh:



Allah memberi rizqi kepada hamba-hambanya yang kuat, yang durhaka, yang berusaha dan
tidak berusaha.

d. Mad-hu (memuji)
Contoh:

1. Aku telah berjalan-jalan dengan zaid yang


mulya

2. Dengan menyebut nama Allah yang


Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
e. Dzam (mencela)
Contoh:

Aku berlindung kepada Allah dari Syetan


yang terkutuk.
f. Tarohhum (belas kasihan)
Contoh:

Yaa.. Allah, kasihanilah hamba-Mu yang


miskin.
g. Taukid (menguatkan)
Contoh:

Maka apabila sangkakala ditiup


sekali tiup. ( QS. Al-Haaqqah : 13)
Lafazh WAAHIDATUN = Naat yang berfaidah sebagai Taukid, sebab makna wahidah sudah
dimafhumi dari Manut lafazh NAFKHOTUN yang berupa Isim Murroh.
h. Ibham (membuat tidak jelas)
Contoh:



Aku bershodaqoh dengan shodaqoh yang banyak atau sedikit, yang bermanfaat pahalanya
atau (malah) penuh dengan hisab.
i. Tafsil (memerinci)
Contoh:




Aku telah berjalan-jalan dengan dua orang laki-laki, yang satu berkebangsaan arab yang lain
selain arab, yang mulia kedua orang tuanya, yang tercela salah satunya.1
Jamaaluddin Muhammad ibnu Abdullah bin Malik, Syarh ibnu Aqil ala Alfiyyah, 2005,
Surabaya: al-Haromain jaya no.63, hal.127
[2]Syarifuddin Husaen, Minhatul Maalik Fii Tarjimatu Al-Fiyyah Ibnu Maalik Bil Lughotil
Al-Indonesiati, 1993, Semarang: al-Maktabah karya Thoha Putra, juz III, hal.14
[3]Fuad Nimah, Mulkhosqowaidullughoti Al-Arobiyyah, tt, Surabaya: al-Maktabah al-
Hidayah, juz I, hal.51
[4]Syeh Musthofa al-Gholayiini, Jamiud Durus al-Arobiyah, 1997, Beirut: al-Maktabah
al-Adloryyah, juz III, hal.221-222
[5] M. Sholihuddin Shofwan, Maqoosidun Nahwiyyah ( pengantar memahami alfiyyah ibnu
malik ), 2005, Jombang : Darul Hikmah, Juz III Hlm 120
[6] Ibid hlm, 121
[7] ibid
[8] Ibid hlm, 119-120

[9] Syarifuddin Husain, Minhatul Maalik Fii Tarjamati Alfiyyah Ibnu Maalik Bil-Lughoti al-
Indonesiati, 1993, Semarang: Al-Maktabah Karya Toha Putra, juz III hlm 49

1 http://fatchulqo.blogspot.co.id/p/blog-page_26.html

Anda mungkin juga menyukai