Referat Psikiatri

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 32

Referat

PRAKTEK TERAPI KONVERSI


DALAM MENGUBAH ORIENTASI SEKSUAL
PADA HOMOSEKSUAL

Oleh :
Bernard Harry Santoso-07120080066
Praisila Glory Florencia Jonathan-07120080090

FAKULTAS KEDOKTERAN

Kepaniteraan Klinik Departemen Kesehatan Jiwa


Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto
Jakarta - Agustus 2012
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan YME karena atas berkat dan
rahmat-Nya, referat yang berjudul PRAKTEK TERAPI KONVERSI DALAM
MENGUBAH ORIENTASI SEKSUAL PADA HOMOSEKSUAL dapat
terselesaikan dengan baik dan tepat waktu.
Penyusunan referat ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu tugas
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot
Soebroto.
Penulis sampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarmya kepada:
dr. Altin Walujati, Sp.KJ selaku Kepala Departemen Ilmu Kesehatan Jiwa
Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto.
dr. Bagus Sulistyo, SP.KJ -PDKJI selaku pembimbing dan penguji referat
Pengarang, Peneliti dan Penulis sumber-sumber kepustakaan yang
terkait ,digunakan, dan tercantum dalam daftar pustaka.
Kerabat kepaniteraan klinik Departemen Ilmu Kesehatan Jiwa
Seluruh perawat dan pasien di Pavillion Amino RSPAD Gatot Soebroto
Semoga pihak-pihak yang telah memberikan kontribusi serta motivasi selama
pembuatan referat ini mendapatkan imbalan yang setimpal dan pahala dari Tuhan
YME.
Penulis juga berharap semoga referat ini dapat bermanfaat bagi para pembaca baik
dimasa sekarang maupun dalam perkembangan ilmu pengetahuan di masa mendatang.
Tentunya di dalam penyusunan referat ini, penulis menyadari masih terdapat
banyaknya kekurangan dan referat ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu,
penulis mohon maaf apabila dalam penyajiannya masih banyak kekurangan dan tidak
menutup kemungkinan penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun untuk memperbaiki mutu dalam pembuatan referat di masa yang akan
datang. Atas perhatian pembaca penulis ucapkan terima kasih.

Jakarta, Agustus 2012

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.....................................................................................................2
DAFTAR ISI......................................................................................................................3
ABSTRAK...........................................................................................................................4
BAB IPENDAHULUAN...............................................................................................5
1.1 Latar Belakang.................................................................................................................5
1.2 Tujuan..................................................................................................................................6
1.2.1 Tujuan Umum.............................................................................................................................6
1.2.2 Tujuan Khusus............................................................................................................................6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................................7
2.1 Terapi Konversi...............................................................................................................7
2.1.1 Definisi..........................................................................................................................................7
2.1.2 Kontroversi...................................................................................................................................7
2.1.3 Teknik............................................................................................................................................8
Ex-Gay Ministry........................................................................................................................................8
Psikoanalisis................................................................................................................................................8
Reparative Therapy (Terapi Konversi)..............................................................................................9
Sex Therapy..............................................................................................................................................10
2.2 Orientasi Seksual..........................................................................................................10
2.2.1 Psikoseksualitas........................................................................................................................11
2.2.2 Pengajaran seksual pada masa kanak-kanak...................................................................11
2.2.3 Faktor Psikoseksual.................................................................................................................12
2.2.4 Identitas seksual dan identitas jenis kelamin..................................................................12
2.2.5 Klasifikasi gangguan interseksual......................................................................................13
2.2.6 Orientasi Seksual......................................................................................................................14
2.2.7 Perilaku Seksual.......................................................................................................................14
Homoseksualitas......................................................................................................................................15
2.3 Terapi Konversi Dalam Mengubah Orientasi Seksual.................................20
Studi Spitzer..............................................................................................................................................21
Apakah Terapi Konversi Seksual Efektif?......................................................................................22
Sesuai Pengungkapan Informasi Relevan dengan Pasien..........................................................22
TerapiLainDalamMengubahOrientasiSeksual..........................................................24
CognitiveBehaviorTherapy.............................................................................................................24
KESIMPULAN...............................................................................................................29

ABSTRAK
Polemik mengenai variasi orientasi seksual hingga sekarang masih merupakan
topik yang sangat menarik untuk dibahas. Beberapa anggapan masih
mengklasifikasikan variasi ini sebagai perilaku atau pemikiran yang tidak wajar,
bahkan menurutnya adalah sebuah penyakit. Banyak pihak belum dapat menerima hal
ini, bahkan beberapa Negara mendiskriminasikan pemikiran ini. Hal ini menimbulkan
munculnya penanganan-penanganan yang dipikirnya mampu dalam Mengobati
orientasi dan berupaya dalam mengubah orientasi homoseksual dan biseksual menjadi
orientasi heteroseksual yang selama ini dianggap sebagai orientasi normal.

Sejak abad ke-19 berbagai macam metode dalam upaya mengubah orientasi
ini bermunculan, dan dilakukan penelitian diantaranya adalah terapi konversi. Hal
yang perlu dipertanyakan adalah, apakah terapi ini berhasil ?. Melalui analisa dari
berbagai penelitian, diantaranya: Changing sexual orientation: A consumers report.
Professional Psychology: Research & Practice; Can some gay men and lesbians
change their sexual orientation?: 200 subjects reporting a change from homosexual to
heterosexual orientation; Therapeutic antidotes: Helping gay and bisexual men
recover from conversion therapies. J. Gay & Lesbian Psychotherapy; What needs
changing? Some questions raised by reparative therapy practices, Menghasilkan dan
menyimpulkan bahwa melihat kompleksibilitas permasalahan yang ada dan juga
tingkat keberhasilan dari terapi konversi sexual menunjukkan banyaknya efek negatif
dan ketidak berhasilan terapi. Penelitian mengatakan penyelenggaraan terapi ini
secara etik tidaklah dapat ditoleransi, banyaknya kesalahan dalam pembuatan kriteria
inklusi, gagal dalam menginformasikan teori perkembangan sexual mengenai
terjadinya homoseksual, serta mengabaikan efek samping yang cukup signifikan yang
akan sangat berdampak pada pasien apabila pasien sangat ingin mengganti orientasi
sexualnya. Adapun apabila konversi terapi ini tetap akan dilakukan kelak, prinsip
pokok penyelenggaraan yang terpenting adalah do no harm atau janganlah hal
tersebut merugikan/mencelakai pasien.

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sejak abad ke-19, permasalahan mengenai variasi orientasi seksual, baik itu
homoseksualitas maupun biseksualitas sudah menjadi suatu topik hangat untuk
diperdebatkan. Pada abad ke-19, Sigmund Freud pesimis tentang upaya untuk
mengkonversi homoseksualitas. Pada tahun 1920 ia menulis, "upaya melakukan
konversi homoseksual menjadi sepenuhnya heteroseksual tidak memberikan prospek
yang baik"(1)
Teori Freud tentang "pertumbuhan terhambat," atau yang disebut dengan "teori
ketidakdewasaan"(2), sering dicampur adukkan dengan penyakit, atau teori patologi.
Namun menjelang akhir hidupnya, Freud mempertahankan bahwa homoseksualitas
"bukan sesuatu yang memalukan, bukan merupakan suatu degradasi, dan tidak dapat
digolongkan sebagai suatu penyakit. Homoseksual dianggap sebagai variasi fungsi
seksual, sebagai hasil dari perkembangan seksual "(3).
Pada pertengahan abad ke-20, Sandor Rado(4) melakukan psikoanalisis tentang
"teori adaptasi" dan memberi dampak yang signifikan terhadap perkembangan
psikiatri. Rado mengklaim tidak ada istilah "biseksualitas bawaan" atau
homoseksualitas bawaan. Heteroseksual merupakan normal secara biologis dan
homoseksualitas merupakan akibat dari pola asuh yang tidak memadai. Oleh karena
itu, psikiater menarik kesimpulan bahwa homoseksualitas merupakan variasi normal
ekspresi seksual manusia.
Permasalahan yang timbul di masyarakat ialah Apakah homoseksualitas
dianggap suatu penyakit karena adanya larangan agama terhadap homoseksualitas?,
dan Jika seorang homoseksual mampu dan siap untuk berfungsi sebagai warga
negara yang produktif, apakah hal tersebut masih merupakan suatu permasalahan?
Oleh dasar inilah perang budaya muncul. Sebagian pihak mendukung bahwa
homoseksualitas bukanlah suatu bawaan, melainkan suatu "perilaku yang dipelajari"
dan bisa diubah, baik melalui psikoterapi, penyembuhan iman, atau keduanya. Pada
kelompok ini, homoseksualitas dianggap sebagai "perilaku," adalah tidak ada
"homoseksualitas bawaan atau sejak lahir".
Pada tahun 1992, dibentuklah Asosiasi Nasional untuk Riset dan Terapi
Homoseksualitas (NARTH). Keanggotaan NARTH meliputi terapis sekuler dan
religius yang percaya homoseksualitas menjadi gangguan mental dan bahwa
"pengobatan" untuk "perubahan" harus dibuat dan tersedia bagi siapa saja yang
menginginkannya. Pada 1990-an, terapi konversi seksual menjadi popular. Beberapa
artikel mulai muncul dalam publikasi profesional yang membahas tentang efektifitas,
etika dan bahaya yang mungkin disebabkan oleh terapi konversi tersebut.
Bieber dkk (5) melaporkan bahwa 73% dari 106 pasien homoseksual yang
mendapatkan pengobatan psikoanalitik tidak berubah orientasi seksualnya. Socarides
(6) melaporkan bahwa 65% dari pasien yang dirawat selama sepuluh tahun tidak
berubah orientasi seksualnya. Nicolosi (7) mengakui bahwa terapi konversi "bukan
'obat' dalam arti menghapus semua perasaan homoseksual."
Pada tahun 2000, Asosiasi Psikiatri Amerika (APA) merekomendasikan:
1. Penegasan bahwa homoseksualitas bukanlah gangguan mental.
2. Praktisi etis menahan diri dari upaya untuk mengubah orientasi seksual
seseorang, mengingat diktum medis pertama, tidak membahayakan.
3. APA harus mendorong dan mendukung penelitian di Institut Nasional
Kesehatan Mental dan komunitas mengenai penelitian akademis untuk
lebih menentukan risiko dan manfaat dari terapi konversi(8).
Menanggapi permasalahan tersebut di atas, penulis mengangkat topik mengenai
Praktek Terapi Konversi dalam Mengubah Orientasi Seksual pada Homoseksual dan
Biseksual, dengan menggunakan metode analisis jurnal.

1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui tingkat keberhasilan praktek terapi konversi dalam
mengubah orientasi seksual
1.2.2 Tujuan Khusus
1. Guna Mengetahui Pengertian, Jenis dan Mekanisme kerja dari
Terapi Konversi.
2. Guna Mengetahui Pengertian dan Jenis dari Orientasi Seksual.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Terapi Konversi


2.1.1 Definisi
American Psychological Association mendefinisikan terapi konversi atau disebut
juga terapi reparatif, sebagai terapi yang bertujuan mengubah orientasi seksual dari
homoseksual atau biseksual menjadi heteroseksual.[9, 10] Organisasi utama advokasi
bentuk sekuler terapi konversi adalah Asosiasi Nasional untuk Penelitian & Terapi
Homoseksualitas (NARTH).

2.1.2 Kontroversi
The American Psychiatric Association tidak menyetujui perawatan kejiwaan yang
didasarkan pada asumsi bahwa homoseksualitas adalah gangguan mental, dan asumsi
bahwa pasien harus mengubah orientasi homoseksualnya.[11] Psikolog Douglas
Haldeman menulis bahwa terapi konversi terdiri dari upaya profesional kesehatan
mental dan penyedia pelayanan pastoral untuk mengkonversi homoseksual menjadi
heteroseksualitas dengan teknik-teknik seperti penerapan sengatan listrik ke tangan
dan/atau alat kelamin, atau pemberian obat perangsang mual, yang diberikan secara
bersamaan dengan stimulus homoerotik, rekondisi masturbasi, visualisasi, pelatihan
ketrampilan sosial, terapi psikoanalitik, dan intervensi spiritual.[12] Terapi ini
bertujuan untuk mengubah orientasi seksual agar sesuai dengan identitas gender
biologisnya. [13]
Organisasi Medis dan Ilmiah Mainstream Amerika telah menyatakan
keprihatinan atas terapi konversi dan menganggapnya berpotensi membahayakan.
[11] [14] [15] Kemajuan terapi konversi dapat menyebabkan kerusakan sosial dengan
memberikan penjelasan yang tidak akurat terhadap orientasi seksual kepada
masyarakat.[14]
Pan American Health Organization (PAHO) menyatakan bahwa layanan yang
dimaksudkan untuk menyembuhkan penderita non-heteroseksual merupakan ancaman
serius bagi kesehatan dan kesejahteraan masyarakat yang terkena dampak. Ada pula
konsensus profesional yang mengatakan bahwa homoseksualitas adalah variasi alami
seksualitas manusia dan tidak dapat dianggap sebagai kondisi patologis [16].
2.1.3 Teknik
ModifikasiPerilaku
Douglas Haldeman menulis dalam "Terapi Konversi Orientasi Seksual untuk
Homoseksual" bahwa awal terapi konversi modifikasi perilaku terutama
menggunakan aversive conditioning techniques, yang melibatkan kejutan listrik dan
obat perangsang mual selama pemberian rangsangan homoerotik. Penghentian
aversive conditioning techniques itu biasanya disertai dengan pemberian rangsangan
heteroerotik, dengan tujuan untuk memperkuat perasaan heteroseksual. Haldeman
juga membahas metode sensitisasi rahasia, yang menginstruksikan pasien untuk
membayangkan muntah atau menerima sengatan listrik. Haldeman menyimpulkan
bahwa pengkondisian perilaku cenderung menurunkan perasaan homoseksual, namun
tidak meningkatkan perasaan heteroseksual. Pasien justru menjadi cenderung malu,
dan merasa takut tentang perasaan homoseksual mereka. Haldeman juga
menambahkan bahwa metode tersebut jika diterapkan pada siapa pun kecuali orang-
orang gay akan disebut penyiksaan.[17] Metode lain yang dapat dilakukan ialah
masturbasi rekondisi, visualisasi, dan sosial pelatihan keterampilan. Semua metode ini
didasarkan pada gagasan bahwa homoseksualitas adalah perilaku yang dipelajari yang
dapat direkondisi. [12]
Ex-Gay Ministry
Beberapa sumber menjelaskan ex-gay ministry atau yang disebut juga
transformational ministry sebagai bentuk terapi konversi, sementara yang lain
menyatakan bahwa ex-gay ministry dan terapi konversi adalah metode yang berbeda
untuk mengkonversi homoseksualitas menjadi heteroseksualitas [2] [14] [17]. Exodus
International mempercayai bahwa terapi reparatif dapat menjadi alat yang
menguntungkan [18], sedangkan Evergreen International menyatakan bahwa terapi
tersebut tidak dapat menghapus semua perasaan homoseksual, dan tidak mendukung
segala bentuk terapi [19].
Psikoanalisis
Douglas Haldeman menulis tentang pengobatan psikoanalitik
homoseksualitas. Mereka menganjurkan terapi jangka panjang, yang bertujuan untuk
menyelesaikan konflik masa kanak-kanak, yang secara tidak disadari dianggap
bertanggung jawab atas homoseksualitas.
Reparative Therapy (Terapi Konversi)
Teori psikoanalitik Nicolosi menunjukkan bahwa homoseksualitas adalah
bentuk perkembangan psikoseksual akibat dari "sebuah ikatan dan identifikasi yang
tidak lengkap dengan induk yang berjenis kelamin sama, yang kemudian secara
simbolis diperbaiki dalam psikoterapi". [12] Rencana intervensi Nicolosi ini
mengkondisikan seorang pria supaya berperan sesuai gender tradisional maskulin. Dia
harus :
1. berpartisipasi dalam kegiatan olahraga
2. menghindari kegiatan yang dianggap menarik bagi kaum homoseksual,
seperti museum, seni, opera, simfoni
3. menghindari wanita kecuali untuk kontak romantis
4. peningkatan waktu dihabiskan dengan laki-laki heteroseksual untuk
belajar untuk meniru cara laki-laki heteroseksual berjalan, berbicara,
dan berinteraksi dengan laki-laki heteroseksual lainnya
5. Menghadiri acara kelompok pria
6. menghadiri kelompok terapi reparatif untuk mendiskusikan kemajuan,
atau akan jatuh kembali ke dalam homoseksualitas
7. menjadi lebih percaya diri dengan perempuan melalui menggoda dan
kencan
8. mulai kencan heteroseksual
9. melakukan hubungan heteroseksual
10. masuk ke dalam pernikahan heteroseksual, dan menjadi seorang ayah
dari anak-anak yang dihasilkan[20]
Namun, Nicolosi menjelaskan bahwa interpretasi Haldeman tentang karyanya,
yang dikutip di atas, tidak akurat, Nicolosi menjelaskan bahwa beberapa laki-laki
yang temperamental lebih sensitif, dan tidak akan pernah dapat diharapkan untuk
bertindak dengan cara yang stereotip maskulin. Seperti apa yang Nicolosi katakan,
"Seorang anak laki-laki dengan gender yang tidak dapat dikonfirmasikan didapati
kepekaan yang lebih, baik hati, sosial, artistik, lembut, dan heteroseksual Dia bisa
menjadi seorang seniman, aktor, penari, koki, musisi. Hal ini merupakan keterampilan
artistik bawaan. Nicolosi menambahkan, "Dengan penegasan maskulin serta
dukungan yang tepat, mereka semua dapat dikembangkan dalam konteks kedewasaan
heteroseksual yang normal.". [21]
Sebagian besar pakar profesional kesehatan mental menganggap terapi
reparatif didiskreditkan, tetapi beberapa masih dipraktekkan oleh sebagian orang atau
organisasi. [22] Bahkan, mantan presiden American Psychological Association Robert
Perloff dan Nicholas Cummings mereka keduanya telah menjadi pembicara utama
pada konferensi NARTH baru-baru ini dan sangat mengecam upaya asosiasi
profesional kesehatan mental utama tersebut.
Sex Therapy
Masters and Johnson melihat homoseksualitas sebagai sebuah bloking dari
suatu proses pembelajaran sehingga menghambat respon heteroseksual yang
sepantasnya dimiliki. Dari studi 54 pria homoseksual yang tidak puas dengan orientasi
seksual mereka, 19 pria tidak kooperatif sehingga tidak dapat diubah orientasi
seksualnya.
Menurut Masters dan Johnson perbedaan antara konversi (membantu pria
homoseksual tanpa adanya pengalaman heteroseksual sebelumnya) dan reversi
(membatu pria homoseksual dimana sebelumnya memiliki pengalaman heteroseksual)
tidak bisa ditemukan. Dari penelitian ini hanya dapat disimpulkan bahwa lebih mudah
membuat orang biseksual menjadi heteroseksual, daripada homoseksual menjadi
heteroseksual.

2.2 Orientasi Seksual


Perilaku seksual ditentukan oleh interaksi berbagai faktor yang kompleks,
seperti hubungan dengan orang lain, lingkungan dan kultur dimana seseorang tinggal.
Seksualitas seseorang dipengaruhi oleh faktor kepribadian, susunan biologis, dan
sense of self. Ini termasuk persepsi sebagai laki-laki atau wanita, dan perkembangan
pengalaman seks selama siklus kehidupan. Suatu definisi yang kaku tentang
seksualitas normal sukar untuk dibuat dan tidak praktis. Lebih mudah mendefinisikan
seksualitas abnormal yaitu perilaku seksual yang destruktif bagi diri sendiri maupun
diri orang lain, yang tidak dapat diarahkan kepada seorang pasangan, yang di luar
stimulasi organ seks primer, dan yang disertai dengan rasa bersalah dan kecemasan
yang tidak sesuai, atau yang kompulsif. Seks diluar perkawinan, masturbasi, dan
berbagai bentuk stimulasi seksual terhadap organ selain organ seksual primer
mungkin masih masuk ke dalam batas normal, tergantung pada konteks keseluruhan.
[23]
2.2.1 Psikoseksualitas
Seksualitas seseorang dan kepribadian secara keseluruhan terjalin sehingga
tidak mungkin untuk membicarakan seksualitas sebagai bagian yang terpisah. Dengan
demikian istilah Psikoseksualitas digunakan untuk mengesankan perkembangan dan
fungsi kepribadian sebagai sesuatu yang dipengaruhi oleh seksualitas seseorang.
psikolseksualitas jelas bukan terbatas pada perasaan dan perilaku seksual, demikian
juga tidak sama dengan libido dalam pandangan freud. [23]
Dalam pandangan Sigmund freud, semua impuls dan aktivitas yang
menyenangkan akhirnya adalah seksual dan harus sangat ditandai sejak permulaan.
Generalisasi tersebut telah menyebabkan kekeliruan interpretasi yang tidak habis-
habisnya tentang konsep seksual menurut freud oleh kaum awam dan
membingungkan satu motivasi dengan lainnya oleh dokter psikiatrik. Sebagai contoh,
beberapa aktivitas oral diarahkan untuk mendapatkan makanan, sedangkan yang
lainnya diarahkan untuk mencapai kepuasan seksual. Hanya karena keduanya adalah
perilaku yang mencari kesenangan dan keduanya menggunakan organ yang sama,
mereka tidak selalu seksual, menurut freud. Menyebutkan semua perilaku mencari
kesenangan seksual menghalangi penjelasan motivasi. Seseorang mungkin
menggunakan aktfitas seksual untuk memuaskan kebutuhan non seksual, seperti
kebutuhan ketergantungan, agresif dan status. Walaupun impuls seksual dan non
seksual mungkin bersama-sama memotivasi perilaku, analisis perilaku tergantung
pada pemahaman motivasi individual dasar dan interaksinya.[23]
2.2.2 Pengajaran seksual pada masa kanak-kanak
Sebagian besar pengalaman pengajaran seksual pada anak-anak terjadi tanpa
disadari oleh orang tua, tetapi menyadari jenis kelamin anak-anak memang
mempengaruhi perilaku parental. Sebagai contoh, bayi laki-laki cenderung bergerak
dengan aktif dan perempuan cenderung digendong. Ayah menghabiskan waktu lebih
banyak dengan bayi laki-laki, lebih menyadari masalah remaja laki-laki dibanding
perempuan. Laki-laki lebih mungkin disiplin secara fisik dibandingkan perempuan.
Jenis kelamin anak mempengaruhi toleransi orang tua terhadap agresi dan
pendorongan atau pemadaman aktivitas atau pasivitas dan minat intelektual, estetika
dan atletik. [23]
Pengamatan langsung pada anak-anak dalam berbagai situasi menemukan
bahwa permainan genital pada bayi merupakan bagian dari pola perkembangan
normal. Menurut harry harlow, interaksi dengan ibu dan teman sebaya adalah
diperlukan untuk perkembangan perkembangan perilaku dewasa yang efektif pada
kera, suatu temuan yang memiliki relevansi dengan sosialisasi normal pada anak-anak.
Terdapat periode kritis dalam perkembangan diluar mana bayi mungkin menjadi kebal
atau resisten terhadap jenis stimulasi tertentu tetapi selama mana mereka khususnya
peka terhadap stimuli tersebut. Hubungan terinci tentang periode kritis perkembangan
psikoseksual masih belum dikembangkan; kemungkinan, stadium perkembangan
psikoseksual menurut freud oral, anal, falik, laten dan genital- memberikan kerangka
kerja yang luas untuk perkembangan tersebut. [23]

2.2.3 Faktor Psikoseksual


Seksual seseorang adalah tergantung pada empat factor-faktor yang saling
berhubungan : identitas seksual, identitas jenis kelamin, orientasi seksual, dan
perilaku seksual. Factor-faktor tersebut mempengaruhi pertumbuhan, perkembangan,
dan fungsi kepribadian dan keseluruhannya dinamakan factor psikoseksual.
Seksualitas adalah sesuatu yang lebih dari jenis kelamin fisik, koitus dan nonkoitus,
dan sesuatu yang kurang dari tiap aspek perilaku diarahkan untuk mendapatkan
kesenangan. [23]

2.2.4 Identitas seksual dan identitas jenis kelamin


Identitas seksual adalah karakteristik seksual biologis seseorang: kromosom,
genitalia eksternal, genitalia internal, komposisi hormonal, gonad, dan karakteristik
seks sekunder. Dalam perkembangan normal, mereka membentuk suaru pola yang
terpadu, sehingga seseorang tidak memiliki keragu-raguan tentang seksnya. Identitas
jenis kelamin (gender identity) adalah rasa seseorang tentang kelaki-lakian atau
kewanitaan.
Identitas seksual. Penelitian embriologis modern telah menunjukkan bahwa
semua embrio mamalia, secara genetika laki-laki dan secara genetika perempuan
adalah secara anatomis wanita selama stadium awal kehidupan janin. Diferensiasi
laki-laki dari wanita disebabkan oleh kerja androgen janin; kerja tersebut dimulai
kira-kira minggu keenam kehidupan embrionik dan lengkap pada akhir bulan ketiga.
Penelitian terakhir telah menjelaskan efek hormone janin pada maskulinisasi dan
feminisasi orang. Pada binatang, stimulasi hormonal prenatal pada otak adalah
diperlukan untuk perilaku reproduktif dan kopulasi laki-laki dan wanita. Janin juga
rentan terhadap androgen yang diberikan dari luar selama periode tersebut. Sebagai
contoh, jika ibu yang sedang hamil menerima androgen eksogen dalam jumlah yang
cukup, janin wanita yang memiliki ovarium dapat berkembang genitalia eksternal
yang menyerupai genitalia laki-laki. [23]

2.2.5 Klasifikasi gangguan interseksual


Gangguan interseksual termasuk berbagai sindrom yang menghasilkan
seseorang dengan aspek anatomis yang jelas atau fisiologis dari jenis kelamin
berlawanan. [23]
Identitas jenis kelamin. Pada usia 2 atau 3 tahun, hampir semua orang
memiliki keyakinan yang kuat bahwa saya adalah laki-laki atau aya adalah
perempuan. Kendatipun kelaki-lakian dan kewanitaan berkembang secara normal,
seseorang masih memiliki tugas adaptif untuk mengembangkan rasa maskulinitas atau
femininitas. [23]
Identitas jenis kelamin, menurut Robert stoller, mengandung arti aspek
psikologis dari perilaku yang berhubungan dengan maskulinitas dan feminitas. Ia
menganggap jenis kelamin social dan seks biologis : sering kali keduanya adalah
relatif sesuai, dimana, laki-laki cenderung secara laki-laki dan wanita secara wanita.
Tetapi seks dan jenis kelamin mungkin berkembang dalam cara yang tidak sesuai atau
bahkan berlawanan. Identitas jenis kelamin dihasilkan oleh sekumpulan petunjuk
yang hampir tidak terbatas yang didapatkan dari pengalaman dengan anggota keluarga,
guru, teman-teman, dan teman sekerja dan dari fenomena kultural. Karakteristik fisik
yang didapatkan dari seks biologis seseorang seperti fisik umum, bentuk tubuh, dan
ukuran fisik saling berhubungan dengan suatu sistem stimuli yang berbelit-belit,
termasuk hadiah dan hukuman dan cap jenis kelamin parental, untuk menegakkan
identitas jenis kelamin. [23]
Peran jenis Kelamin. Berhubungan dengan dan sebagian didapatkan dari
identitas jenis kelamin adalah perilaku peran jenis kelamin (gender role behavior).
John money menggambarkan perilaku peran jenis kelamin sebagai semua hal yang
dikatakan atau dilakukan seseorang untuk mengungkapkan dirinya sendiri sebagai
memiliki status laki-laki atau wanita. Suatu peran jenis kelamin tidak didapatkan pada
lahir tetapi dibangun secara kumulatif melalui pengalaman yang ditemukan dan
dilakukan melalui pengajaran yang kebetulan dan tidak direncanakan, melalui
instruksi dan penanaman yang tegas, dan dengan memasangkan secara spontan dua
dan dua bersama-sama untuk membuat kadang-kadang menjadi empat dan kadang-
kadang, secara salah, lima. [23]
Hasil akhir yang baku dan sehat adalah kesesuaian identitas jenis kelamin
danperanan jenis kelamin. Walaupun atribut biologis adalah penting, factor utama
dalam mendapatkan peranan yang sesuai dengan jenis kelamin seseorang adalah
belajar. Penelitian perbedaan jenis kelamin pada perilaku anak-anak menemukan lebih
banyak kemiripan psikologis dibandingkan perbedaan. Tetapi, anak perempuan
ditemukan kurang rentan terhadap kemarahan setelah usia 18 bulan dibandingkan
anak-anak laki, dan anak laki-laki biasanya lebih agresif dibandingkan anak
perempuan baik secara fisik maupun verbal dari 2 tahun dan selebihnya. Anak
perempuan dan laki-laki yang masih kecil adalah sama aktifnya, tetapi anak laki-laki
lebih mudah terstimuli terhadap aktivitas yang meluap-luap jika merek berada dalam
kelompok. Beberapa penelitian berpendapat bahwa, walaupun agresi adalah perilaku
yang dipelajari, hormone laki-laki mungkin mensensitisasi organisasi neual anak laki-
laki untuk menyerap pelajaran tersebut dengan lebih baik dibandingkan perempuan.
[23]
Peranan jenis kelamin dapat tampak berlawanan dengan identitas jenis
kelamin. Seseorang dapat beridentifikasi dengan jenis kelaminnya sendiri dan masih
mnerima pakaian, gaya rambut, atau karakteristik lain dari jenis kelamin yang
berlawanan. Atau mereka mungkin beridentifikasi dengan jenis kelamin yang
berlawanan tetapi untuk kelayakan mengambil karakteristik perilaku jenis kelaminnya
sendiri. [23]

2.2.6 Orientasi Seksual


Orientasi seksual digambarkan sebagai objek impuls seksual seseorang:
heteroseksual (jenis kelamin berlawanan), homoseksual (jenis kelamin sama), atau
biseksual (kedua jenis kelamin). [23]

2.2.7 Perilaku Seksual


Respon fisiologis
Respons seksual adalah suatu pengalaman psikofisiologis yang sesungguhnya.
Rangsangan dicetuskan oleh stimuli psikologis dan fisik, tingkat ketegangan yang
dialami baik secara fisiologis dan emosional dan pada orgasme, normalnya terdapat
persepsi subjektif puncak reaksi dan pelepasan fisik. Diagnostic and statistical manual
of mental disorders edisi keempat. Menggambarkan 4 fase siklus respons : fase 1,
hasrat/birahi (desire); fase 2 , perangsangan (excitement); fase 3: orgasme; fase 4:
resolusi. [23]
Perbedaan dalam Rangsangan Erotik
Fantasi seksual yang jelas adalah sering ditemukan pada laki-laki dan wanita.
Stimuli external terhadap fantasi seringkali berbeda pada kedua jenis kelamin. Laki-
laki berespons terhadap stimuli visual wanita telanjang atau berpakaian minim, yang
digambarkan sebagai pembangkit nafsu dan diminati hanya dalam pemuasan fisik.
Wanita berespons terhadap kisah romantic dengan pahlawan yang lembut yang
mencintainya dan berjanji seumur hidup dengannya. [23]

Homoseksualitas
Definisi istilah homoseksual paling sering digunakan untuk menggambarkan
perilaku jelas seseorang, orientasi seksual, dan rasa identitas pribadi atau social.
Hawkin menulis bahwa istilah gay dan lesbian dimaksudkan pada kombinasi
identitas diri sendiri dan identitas social; istilah tersebut mencerminkan kenyataan
bahwa orang memiliki suatu perasaan menjadi bagian dari kelompok social yang
memiliki label sama. Homofobia adalah sikap negative atau ketakutan terhadap
homoseksualitas atau homoseksual. Heteroseksisme adalah keyakinan bahwa
hubungan heteroseksual adalah lebih disukai bagi semuanya; hal ini mengesankan
diskriminasi dan hukuman bagi mereka yang melakukan bentuk seksualitas lainnya.
[23]
Perkiraan Perilaku Homoseksual
NEGARA SAMPEL TEMUAN
Kanada 5.514 mahasiswa tahun 98% heteroseksual
pertama di bawah 25 1% biseksual
tahun 1% homoseksual
Norwegia 6.155 orang dewasa, 3,5% laki-laki dan 3%
usia 18-26 tahun perempuan melaporkan
pengalaman
homoseksual di masa
lalu
Prancis 20.055 orang dewasa Pengalaman
homoseksual selama
hidup: 4,1% pada laki-
laki dan 2,6% pada
perempuan
Denmark 3.178 orang dewasa, Kurang dari 1% laki-
usia 18-59 tahun laki adalah
homoseksual semata-
mata
Inggris 18.876 orang dewasa, 6,1% laki-laki
usia 16-59 tahun melaporkan
pengalaman
homoseksual di masa
lalu
Data dilaporkan oleh the Wall Street Journal (31 Maret 1993) dan the New York
Times (15 April 1993) dari penelitian riset tentang perilaku homoseksual. [23]

Masalah Teoritis
a. Faktor psikologis
Determinan untuk perilaku homoseksual adalah membingungkan. Freud
memandang homoseksualitas sebagai suatu penghentian perkembangan psikoseksual.
Ketakutan kastrasi pada laki-laki dan ketakutan penelanan maternal (maternal
engulfment) pada fase praoedipal dari perkembangan psikoseksual disebutkan.
Menurut teori psikodinamika, situasi kehidupan awal yang dapat menyebabkan
perilaku homoseksual laki-laki adalah fiksasi yang kuat dengan ibu, tidak adanya
pengasuhan ayah yang efektif, inhibisi perkembangan maskulin oleh orangtua, fiksasi
atau regresi pada stadium narsistik dari perkembangan, dan hilangnya kompetisi
dengan saudara laki-laki atau perempuan. Pandangan Freud tentang penyebab
homoseksualitas wanita adalah tidak adanya resolusi kecemburuan penis (penis envy)
yang disertai oleh konflik oedipal yang tidak terpecahkan.[23]
Freud tidak memandang homoseksualitas sebagai suatu penyakit mental.
Dalam Three Essays on the Theory of Sexuality, ia menulis bahwa homoseksualitas
adalah ditermukan pada orang yang tidak menunjukkan deviasi seris lain dari normal,
yang efisiensinya tidak terganggu dan sungguh-sungguh diberdakan oleh
perkembangan intelektual yang tinggi dan kultur etika. Dalam Letter to an
American Mother, Freu menulis, homoseksualitas jelas tidak memiliki manfaat
tetapi tidak memalukan, tidak buruk, tidak menyebabkan penurunan, tidak dapat
diklasifikasikan sebagai penyakit; kami menganggapnya sebagai variasi fungsi
seksual yang diakibatkan oleh perhentian tertentu pada perkembangan seksual.[23]

b. Faktor psikoanalitik baru


Beberapa ahli psikoanalisis telah mengajukan Rumusan psikodinamika baru,
yang berlawanan dengan teori psikoanalitik klasik. Richard Isay menggambarkan
fantasi terhadap jenis kelamin sama pada anak-anak yang berusia 3 sampai 5 tahun
yang dapat ditemukan dari homoseksual dan yang terjadi pada usia yang kira-kira
sama saat heteroseksual memiliki fantasi terhadap jenis kelamin berlawanan.[23]
Isay menulis bahwa, pada laki-laki homoseksual, fantasi erotic terhadap jenis
kelamin sama berpusat pada ayah atau pengganti ayah.[23]
Persepsi anak dan pemaparan dengan perasaan erotic tersebut dapat
menyebabkan perilaku atipika tertentu sebagai bertambahnya kerahasiaan
dibandingkan anak laki-laki lain, isolasi diri, dan emosionalitas yang berlebihan.
Beberapa sifat feminine juga dapat disebabkan oleh identifikasi dengan ibu atau
pengganti ibu. Karakteristik tersebut biasanya berkembang sebagai cara yang seupa
dengan cara ank laki-laki heteroseksual mempolakan dirinya sendiri mengikuti
ayahnya untuk mendapatkan perhatian ibu.[23]
Psikodinamika tentang homoseksualitas pada wanita mungkin serupa. Anak
perempuan kecil tidak menghentikan fiksasi awalnya pada ibu sebagai objek cinta dan
terus melihatnya pada masa dewasa.[23]
c. Faktor biologis
Penelitian terakhir menyatakan bahwa komponen genetic dan biologis
berperan pada orientasi homoseksual. Laki-laki homoseksual dilaporkan
menunjukkan kadar androgen sirkulasi yang lebih rendah dibandingkan laki-laki
heteroseksual. Telah dilaporkan juga adanya pola umpan balik estrogen yang atipikal
pada laki-laki homoseksual. Laki-laki tersebut menunjukkan peningkatan rebound
yang abnormal pada kadar luteinizing hormone (LH) setelah penyuntikan estrogen.
Tetapi kedua hasil tersebut belum direplikasi dalam penelitian yang mirip. Hormon
prenatal tampaknya memainkan peranan dalam organisasi sistem saraf pusat. Adanya
androgen yang efektif pada kehidupan prenatal diajukan sebagai berperan dalam
orientasi seksual kea rah wanita, dan defisiensi androgen prenatal (atau ketidakpekaan
jaringan terhadap hormone tersebut) dapat menyebabkan orientasi seksual kea rah
laki-laki. Anak perempuan praremaja yang terpapar dengan sejumlah besar androgen
sebelum kelahirannya adalah agresif dan tidak feminine, dan laki-laki yang terpapar
sejumlah besar hormone wanita di dalam Rahim adalah kurang atletik, kurang tegas,
dan kurang argumentative dibandingkan anak laki-laki lain. Wanita dengan
hiperadrenokortikalisme menjadi biseksual atau homoseksual dalam proporsi yang
lebih besar daripada yang diperkirakan dalam populasi umum.[23]
Penelitian genetika telah menemukan insidensi kesesuaian homoseksual yang
lebih tinggi di antara kembar monozigotik dibandingkan di antara kembar dizigotik,
yang menyatakan suatu predisposisi genetic; tetapi penelitian kromosom tidak mampu
untuk membedakan homoseksual dari heteroseksual. Homoseksual laki-laki juga
menunjukkan distribusi familial; laki-laki homoseksual memiliki lebih banyak
saudara laki-laki yang homoseksual dibandingkan laki-laki heteroseksual. Satu
penelitian menemukan bahwa 33 sampai 40 pasangan saudara laki-laki homoseksual
memiliki suatu petanda genetika pada setengah bagian bawah kromosom X.
Penelitian lainnya menemukan suatu kelompok sel dalam hipotalamus yang lebih
kecil pada wanita dan pada laki-laki homoseksual dibandingkan laki-laki
heteroseksual. Penelitian tersebut memerlukan replikasi.[23]
d. Pola perilaku seksual
Ciri perilaku homoseksual laki-laki dan wanita adalah bervariasi seperti
heteroseksual laki-laki dan wanita. Praktek seksual yang dilaukakn oleh homoseksual
adalah sama seperti heteroseksual, dengan perbedaan jelas yang menyangkut
anatomis.[23]
Berbagai pola hubungan yang berkelanjutan ditemukan diantara homoseksual,
dan juga diantara hetroseksual. Beberapa pasangan homoseksual hidup membentuk
rumah tangga sebagai monogamy atau hubungan primer selama berpuluh-puluh tahun,
dan orang homoseksual lainnya biasanya hanya memiliki kontak seksual yang cepat
berlalu. Walaupun terdapat hubungan laki-laki dengan laki-laki yang lebih stabil
dibandingkan dengan yang sebelumnya diperkirakan, hubungan laki-laki dengan laki-
laki tampaknya kuran stabil dan lebih sering sambil lalu dibandingkan hubungan
wanita dengan wanita. Jumlah promiskuitas homoseksual laki-laki dilaporkan terlah
menurun sejak onset sindrom imunodefisiensi didapat (AIDS) dan penyebarannya
yang cepat pada masyarakat homoseksual melalui kontak seksual.[23]
Pasangan homoseksual laki-laki adalah merupakan sasaran dari diskrimisasi
sipil dan social dan tidak memiliki sistem pendukung social yang legal dalam
perkawinan atau kapasitas biologis untuk membesarkan anak yang dimiliki oleh
pasangan heteroseksual lain yang tidak sesuai. Pasangan wanita dengan wanita
memiliki stigmatisasi social yang lebih kecil dan tampaknya memiliki lebih banyak
monogamy atau hubungan primer.[23]
e. Psikopatologi
Berbagai psikopatologi yang dapat ditermukan di antara homoseksual yang
mengalami ketegangan adalah sama dengan yang ditermukan di antara hetroseksual.
Ketegangan yang didapatkan hanya dari pertentangan antara homoseksual dan
struktur nilai masyarakat adalah tidak diklasifikasikan sebagai suatu gangguan. Jika
ketekgangan adalah cukup parah sehingga memerlukan suatu diagnosis, gangguan
penyesuaian atau gangguan depresif harus dipertimbangkan. Beberapa homoseksual
yang menderita gangguan depresif berat mungkin mengalami perasaan bersalah dan
kebencian terhadap diri sendiri yang menjadi diarahkan kepada orientasi seksualnya;
selanjutnya dorongan untuk reorientasi seksual merupakan gejala gangguan depresif
satu-satunya.[23]
f. Pengakhiran (coming out)
Menurut Richelle Klinger dan Robert Cabaj, pengakhiran adalah suatu proses
dengan mana seorang individu mengakui orientasi seksualnya dan
mengintegrasikannya ke dalam semua bidang (misalnya social, kejuruan, dan
keluarga). Kejadian penting lain yang harus akhirnya dihadapi oleh individu atau
pasangan adalah derajat pengungkapan orientasi seksualnya kepada dunia luar. Suatu
derajat pengungkapan kemungkinan diperlukan untuk pengakhiran yang berhasil.[23]
Kesulitan dalam mempertimbangkan pengakhiran dan pengungkapan adalah
penyebab umum dari kesulitan hubungan. Untuk masing-masing indicidu, masalah
dalam menyelesaikan proses pengakhiran dapat menyebabkan harga diri yang rendah
yang disebabkan oleh homophobia yang diinternalisasi dan menyebabkan efek
pemburukanpada kemampuan individu untuk berfungsi di dalam hubungan. Konflik
juga dapat timbul di dalam hubungan jika terdapat pertentangan tentang derajat
pengungkapan antara pasangan.[23]
Pada PPDGJ-III [24]
F60-f69 : Gangguan kepribadian dan perilaku masa dewasa
f66 : Gangguan psikologis dan perilaku yang berhubungan dengan
perkembangan dan orientasi seksual
F66x0 : Gangguan maturitas seksual/ Heteroseksualitas
F66x1 : Orientasi seksual egodistonik/ Homoseksualitas
F66x2 : Gangguan jalinan seksual / Biseksualitas
F66x8 : Lainnya, termasuk pra-pubertas
F66x9 : Gangguan perkembangan psikoseksualitas ytt

2.3 Terapi Konversi Dalam Mengubah Orientasi Seksual


Pada tahun1990-an, sebagai organisasi pendukung dari terapi konversi seksual
membawa kasus mereka ke media dan beberapa artikel mulai muncul dalam publikasi
professional, yang mengangkat permasalahan mengenai efektifitas, etika dan bahaya
yang mungkin timbul dalam terapi tersebut(17, 25, 26, 27, 28). Sampai saat ini,
sedikit penelitian yang mengevaluasi efektifitas atau bahaya dari terapi konversi
seksual. Namun terdapat adanya kejanggalan data ilmiah kriteria seleksi, risiko versus
manfaat dari pengobatan, atau hasil jangka panjang dari pengobatan tersebut.
Namun, ketika menjangkau masyarakat tentang manfaat terapi konversi seksual,
pendukung cenderung mengecilkan atau menghilangkan masalah klinis yang penting.
Bieber dan rekan (5) melaporkan bahwa 73% dari 106 pasien homoseksual
dalam pengobatan psikoanalitik tidak dapat mengubah orientasi seksual mereka.
Socarides (6) melaporkan bahwa 65% dari pasien yang dirawat selama sepuluh tahun
tidak berubah. Nicolosi (7) mengakui bahwa terapi konversi "bukan 'obat' dalam arti
menghapus semua perasaan homoseksual."
Siapakah calon yang baik untuk terapi konversi seksual? Lionel Ovesey (29)
menawarkan pedoman yang luas, tetapi menyimpulkan bahwa "orang-orang yang
mencari pengobatan adalah kandidat untuk pengobatan, mereka yang tidak mencari
pengobatan tidak termasuk dalam kandidat tersebut.
Salah satu isu penting adalah bagaimana terapis konversi membangun situasi
yang mengarah kepada penyalahan pasien. Daripada menekankan keterampilan
terapis tertentu atau kemanjuran pengobatan, pasien sering mengatakan bahwa
motivasi mereka sendiri (atau iman) adalah faktor utama menuju perubahan. Terapi
ini seringkali menemui kesulitan karena adanya perlawanan pasien dalam pengubahan.
Ketika pengobatan gagal (berdasarkan laporan mereka sendiri), perawatan tidak adak
menimbulkan perubahan walaupun terapis tidak terang-terangan menyalahkan pasien,
dalam banyak kasus pasien akan menganggap kegagalan terapi sebagai kesalahan diri
sendiri. Setelah pengobatan gagal, pasien merasa lebih buruk daripada saat mereka
mulai. Dalam kasus tersebut, pasien melaporkan memburuknya depresi, kecemasan
dan ide bunuh diri.
Dalam upaya untuk mengubah, beberapa pasien masuk dalam pernikahan
heteroseksual oleh dorongan atau desakan terapis mereka. Dalam beberapa kasus,
seorang pasangan heteroseksual mungkin menyadari homoseksualitas pasangannya,
meskipun tidak selalu. Seringkali pasangan memiliki anak. Sementara terapis
konversi mungkin melihat pernikahan dan orang tua sebagai penanda keberhasilan
terapi, kemampuan untuk menikah dan berkembang biak tidak selalu mengarah pada
penghentian keinginan homoseksual. Terkadang pernikahan berantakan atau, dalam
kasus di mana pasangan tidak percaya pada perceraian, keluarga-keluarga hidup
dalam keadaan tragis (30, 31, 32, 33).
Laporan lain mengenai kegagalan terapi konversi seksual timbul saat pribadi
homoseksual tersebut belum dapat mengungkapkan identitas dirinya sebagai
homoseksual, dengan di saat yang bersamaan terapi konversi tersebut gagal, akan
menimbulkan perasaan tidak adil, atau merasa tidak berharga bagi pribadi
homoseksual tersebut. Pasien yang terlambat menyadari identitas dirinya sebagai
homoseksual (setelah kegagalan terapi konversi) akan cenderung kehilangan harga
diri, depresi, adanya masalah keintiman, penarikan sosial, dan disfungsi seksual (34).
Pada tahun 2000, Asosiasi American Psychiatric mengangkat kekhawatiran
tentang bahaya yang mungkin timbul dalam konversi terapi, yang diungkapkan dalam
pernyataan Komisi pada Psikoterapi oleh Psikiater (Copp), merekomendasikan:
1. Penegasan bahwa homoseksualitas bukanlah gangguan mental.
2. Bahwa praktisi etis menahan diri dari upaya untuk mengubah orientasi
seksual seseorang.
3. Bahwa APA harus mendorong dan mendukung penelitian di Institut
Nasional Kesehatan Mental dan komunitas penelitian akademis untuk lebih
menentukan risiko dan manfaat terapi konversi(8).
Studi Spitzer
Pada tahun 2001, Robert L. Spitzer, MD, mempresentasikan temuan awal dari
studi yang dirancang untuk menentukan apakah mungkin untuk mengubah orientasi
seksual. Tiga puluh tahun sebelumnya, Spitzer telah di APA komite dan memainkan
peran penting dalam merekomendasikan bahwa homoseksualitas dihapus dari DSM
(35, 36). Dalam studinya, "Bisakah Sebagian Pria Gay dan Lesbian Mengubah
Orientasi Seksual Mereka? 200 Subjek melaporkan Perubahan dari Homoseksual ke
Orientasi Heteroseks "17 diterbitkan pada tahun 2003 dalam Archives of Sexual
Behavior (37). Subyek Spitzer yang dipilih sendiri (143 laki-laki, 57 perempuan) dan
melaporkan beberapa perubahan minimal dari homoseksual dengan orientasi
heteroseksual selama setidaknya 5 tahun. Mereka diwawancarai melalui telepon,
dalam sebuah wawancara 45 menit terstruktur. Spitzer berspekulasi bahwa,
"perubahan yang nyata pada orientasi seksual yang dilaporkan oleh hampir semua
subyek penelitian mungkin menjadi hasil yang langka atau jarang reparatif terapi".
Kritik terhadap studi-banyak keterbatasan yang diakui oleh Spitzer sendiri
meliputi:
1. Pewawancara (Spitzer) tidak buta terhadap hipotesis penelitian,
2. Satu 45-menit wawancara telepon tanpa kontak muka pertemuan atau tindak
lanjut
3. Ketergantungan ekslusif pada laporan diri dengan subyek menjawab
pertanyaan tentang perasaan seksual mereka "selama tahun sebelum
memulai terapi," yang rata-rata sekitar 12 tahun sebelum penelitian
4. Tidak ada penilaian objektif yang jelas dari orientasi seksual
5. Bias sampel: subjects yang direkrut merupakan mantan gay jaringan dan
NARTH, 19% adalah baik profesional kesehatan mental yang bekerja
sebagai terapis konversi sendiri atau direktur ex-gay kementerian (Robert
Spitzer, personal komunikasi, 3 Oktober 2006), atau sebagai salah satu
kritikus menyebut mereka, "mantan gay untuk dibayar".
Apakah Terapi Konversi Seksual Efektif?
Tidak ada data penelitian untuk mendukung posisi bahwa pengobatan ini efektif (38).

Sesuai Pengungkapan Informasi Relevan dengan Pasien


Informed consent adalah praktek etis. Ini harus mencakup berbagi pengetahuan
ilmiah, data klinis dan medis dengan pasien sebagai diskusi dan juga memaparkan
manfaat, potensial dan bahaya pengobatan.
Secara etis, seorang dokter, ketika ditanya akan menyajikan kepastian ilmiah
dan dasar ilmiah yang kurang lengkap dan jarang mendukung efektivitas terapi
konversi seksual. Seorang dokter yang tidak setuju dengan interpretasi terapi konversi
harus mengakui kepada pasien bahwa dia tidak memiliki pandangan yang sejalan.
Nicolosi (7), misalnya, salah mengklaim bahwa, "Bukti ilmiah telah
mengkonfirmasi bahwa faktor genetik dan hormonal tampaknya tidak memainkan
peran yang menentukan dalam homoseksualitas."
Dalam sebuah studi tahun 2002, Shidlo dan Schroeder (39) mewawancarai 200
orang yang menjalani terapi konversi seksual. Banyak dari mereka memiliki terapis
yang mengatakan kepada mereka bahwa APA penerimaan paradigma varian normal
didasarkan pada politik, bukan ilmu pengetahuan dan bahwa posisi APA meskipun,
homoseksualitas adalah gangguan psikologis. Beberapa terapis memberikan stereotip
merendahkan dan mengatakan bahwa semua orang gay hidup tidak bahagia.
Terapis harus bersedia untuk mentolerir setiap hasil pengobatan, apakah itu
menghasilkan perubahan penuh atau parsial dalam orientasi, atau dalam penegasan
sesama jenis orientasi pasien. Namun, meskipun kebanyakan yang mencoba tidak
berubah, literatur terapi konversi tidak merekomendasikan pilihan menerima identitas
gay.
Yarhouse (40) mengatakan psikolog memiliki "tanggung jawab etis untuk
memungkinkan individu untuk mengejar pengobatan ditujukan untuk membatasi
pengalaman ketertarikan sesama jenis atau memodifikasi sesama jenis perilaku". Dia
mendasarkan pernyataannya pada prinsip-prinsip etika American Psychological
Association(38), bahwa terapis perlu memberikan "hak-hak dasar, martabat, dan
harga diri orang" dan menegaskan hak pasien untuk "privasi, kerahasiaan, penentuan
nasib sendiri, dan otonomi ". Prinsip kedua, sebagaimana ditafsirkan oleh Yarhouse,
memberi pasien "hak untuk memilih" psikoterapis yang dirancang untuk mengubah
perasaan seksual mereka.
Beberapaindividusangatinginmengubahmerekaorientasiseksual.Perlu
dicatatbahwakelompokyangmendanaiterapikonversiseksualtidakmendanai
studi untuk mengevaluasi keberhasilan mereka atau bagaimana untuk
meningkatkan hasil. Selanjutnya, setiap penelitian kesehatan mental di daerah ini
harus dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip etika yang diuraikan di atas.
TerapiLainDalamMengubahOrientasiSeksual

CognitiveBehaviorTherapy
Cognitive Behavioral Therapy (CBT) adalah istilah yang digunakan untuk
sekelompok perawatan psikologis yang didasarkan bukti-bukti ilmiah. Perawatan ini
telah terbukti efektif dalam mengobati banyak gangguan psikologis.
Terapi kognitif dan terapi perilaku biasanya berupa perawatan jangka pendek
(yaitu, antara 6-20 sesi) yang berfokus pada pengajaran keterampilan khusus pada
klien. CBT berbeda dari banyak pendekatan terapi lainnya, CBT berfokus pada
kognisi (yaitu, pikiran), emosi, dan perilaku seseorang, yang saling terhubung dan
mempengaruhi satu sama lain. Karena emosi, pikiran, dan perilaku semua terkait,
pendekatan CBT memungkinkan terapis untuk melakukan intervensi di berbagai titik
dalam siklus. Dalam CBT, terapis dan klien bekerja sama untuk mencapai tujuan
pribadi.
Tujuan mungkin melibatkan:
Cara bertindak : seperti belajar bagaimana untuk mengatasi diskriminasi;
Perasaan : seperti membantu seseorang mengatasi segala macam masalah yang
mengganggu
Cara berpikir : seperti belajar untuk mengevaluasi apakah dan bagaimana
"jalan keluar" dari suatu masalah;
Cara menangani masalah fisik atau medis : seperti belajar untuk mengelola
rasa takut dan kecemasan;
Cara untuk mengatasi : seperti belajar teknik untuk meningkatkan hubungan
dengan pasangan.
Terapi kognitif dan terapi perilaku (CBT) biasanya fokus pada situasi saat ini
daripada masa lalu. CBT berkonsentrasi pada pandangan seseorang dan keyakinan
tentang kehidupan mereka, bukan pada kepribadian mereka. Terapi perilaku dan
kognitif dapat digunakan untuk mengobati individu, orang tua, anak, pasangan, dan
seluruh keluarga. CBT membantu orang mendapatkan kontrol atas hidup mereka,
menggantikan cara-cara hidup yang tidak berjalan dengan baik dengan cara hidup
yang baik.
Pada pasien dengan homoseksual, CBT dapat berfungsi sebagai berikut :
membantu mempelajari keterampilan baru.
membantu meningkatkan hubungan dengan pasangan, keluarga, teman dan
rekan kerja. Sebagai contoh, hal ini dapat mencakup belajar cara-cara baru
berkomunikasi dengan orang, berpikir tentang hubungan, mengelola perasaan,
atau menangani situasi konflik.
CBT dapat menjadi pengobatan berguna untuk masalah kesehatan mental,
seperti depresi, kecemasan (termasuk kecemasan sosial), penyalahgunaan zat,
dan keinginan bunuh diri.
CBT dapat membantu mengatasi berbagai masalah hidup, baik berhubungan
maupun tidak berhubungan dengan seksual atau orientasi seksual atau terkait
dengan respon orang lain dengan orientasi seksual klien.
Dalam pelaksanaannya, NARTH membagi pengobatan CBT menjadi empat
fase. Fase-fase ini dianggap mudah beradaptasi dan fleksibel, serta mewakili aliran
umum terapi. Seperti semua terapi, syarat utama terapi ialah pasien harus memiliki
motivasi untuk memahami asal-usul ketertarikan homoseksual dan harus
berkomitmen penuh untuk proses terapi.
Fase 1
Prasyarat yang disebutkan di atas ditentukan selama fase pertama
pengobatan. Selama fase ini, dilakukan penilaian secara menyeluruh, dengan
mempertimbangkan kemungkinan adanya gangguan psikologis yang mungkin
menyertai orientasi homoseksual.
Gangguan psikologis yang sering muncul antara lain berbagai tingkat
narsisme, ketergantungan, histeria, kegelisahan, dan depresi. Sejarah sosial /
seksual adalah harus digali selama fase ini. Pada proses penggalian sejarah
seksual, pasien juga diminta perspektifnya mengenai orientasi seksual pasien
dalam kehidupan sosial.
Penekanan pada fase ini adalah fungsi pasien secara global, sosial dan
emosional, tidak hanya fokus pada homoseksualitas pasien. Seringkali, hal
tersebut akan memberikan informasi mengenai asal-usul dan pengobatan
homoseksualitas. Proses pembuatan journal dimulai pada fase ini dan digunakan
selama proses pengobatan.
Journal adalah cara yang berguna untuk membantu pria homoseksual
mengklarifikasi proses pemikiran mereka, melepaskan pengalaman dan perasaan
mereka, serta mengeksplorasi isu-isu dalam kehidupan mereka. Hal ini dianggap
lebih baik daripada membiarkan pikiran-pikiran tersebut menjadi dengungan di
kepala mereka.
Awalnya, dalam proses, sebagian besar pria menggunakan journal
sebagai cara untuk memantau pikiran homoseksual mereka, fantasi dan atraksi.
Kesadaran ini sering mengakibatkan penurunan atraksi homoseksual. Kemudian,
journal menjadi suatu bentuk pertolongan diri sendiri karena mereka mampu
membuat koneksi, membuat perubahan dalam persepsi dan menghadapi distorsi.
Pasien biasanya membeli dua notebook. Penulisan jurnal yang dibuat
dalam buku pertama akan diberikan kepada terapis untuk komentar. Kemudian
mereka mulai menulis dalam notebook kedua yang dipertukarkan dengan terapis
selama sesi berikutnya. Terapis akan membuat catatan yang cukup luas bagi
mereka untuk mempertimbangkan.
Satu keuntungan journal adalah bahwa hal itu tidak hanya mendorong
keterlibatan yang lebih besar dalam proses terapi, tetapi memberdayakan pasien
untuk mengatasi isu-isu signifikan tentang perjuangannya. Pada akhir perawatan,
pasien mengedit jurnal dan versi journal yang sudah diedit digunakan sebagai
sarana pencegahan kambuh.
Fase 2
Tahap II ditandai dengan pendekatan perilaku yang kuat. Tujuan dari
fase terapi ini adalah untuk membantu pasien mengatur dan menstabilkan
kehidupan mereka, karena mayoritas pasien homoseksual berada di situasi "di
luar kendali." Upaya tersebut dilakukan melalui strategi perilaku untuk
membantu mereka mendapatkan kendali. Dalam fase ini, kontrol perilaku
dipandang sebagai prasyarat untuk perubahan perilaku. Pasien dibantu untuk
menetapkan tujuan untuk meningkatkan perilaku sosial, intelektual, spiritual,
emosional, fisik, dan seksual. Intervensi tertentu mungkin mencakup pemantauan,
strategi penguatan, gangguan, pemodelan, emotional tracing, respons inhibisi dan
strategi paradoks. Pembentukan kontrol, penilaian keberhasilan dan derajat
stabilitas penting dalam fase pengobatan.
Tracing emosional adalah intervensi yang dirancang untuk
mengidentifikasi dan menanggapi kebutuhan terutama emosional. Terapis hanya
meminta pasien untuk mengeksplorasi apa yang pasien rasakan sebelum
mengalami ketertarikan homoseksual. Sering kali, mereka melaporkan perasaan
bosan, depresi atau kemarahan, yang terakhir paling sering menjadi reaksi untuk
menyakiti, nyeri, rasa takut atau frustasi. Terapis akan membuat pasien kembali
mengalami perasaan-perasaan sebelumnya, dan mengeksplorasi asal-usul mereka.
Sering, proses ini membantu mereka untuk mengklarifikasi asal-usul ketertarikan
homoseksual dan menghasilkan berkurangnya ketertarikan ini.
Fase 3
Tahap III berfokus dalam mengganggu pola gairah homoseksual.
Penekanan selama fase terapi adalah untuk membantu pasien mengeksplorasi,
mengganggu dan akhirnya merusak proses gairah homoseksual. Selama fase
pengobatan, fokus bergeser dari perilaku untuk penekanan kognitif. Intervensi
kognitif seperti relaksasi dan pembentukan citra diri, digunakan untuk membantu
pasien menjadi lebih sadar dan mendapatkan kontrol atas fantasi mereka dalam
kognisi dan perasaan.
Intervensi emosional, defragmentasi, dan diskriminasi dari perasaan
juga digunakan untuk mengganggu proses neuro-psikologis. Sebagian besar pria
yang mengalami kecanduan seksual dan merasa tertekan akibat perasaan tersebut
dibimbing untuk memperbaiki kepercayaannya yang salah, memberikan pilihan
yang luas, menangani kecemasan dan mengembangkan gaya hidup yang
kongruen dengan nilai-nilai pribadi. Pasien diajarkan bagaimana untuk meminta
bantuan dan bagaimana mengembangkan diri.
Pada sesi intervensi secara defragmentasi, terapis akan meminta pasien
untuk fokus pada hubungan masa lalu dan menganalisa ketertarikan mereka.
Atraksi ini sering terfokus pada sifat tertentu yang tidak familiar bagi pasien,
yang mereka lihat sebagai kekurangan pada diri mereka sendiri, dan membuat
mereka secara tidak sadar mengalami rasa iri yang sederhana. Pendekatan juga
dilakukan untuk mengembangkan hubungan yang wajar dengan laki-laki
heteroseksual yang signifikan.
Fase 4
Selama fase IV pengobatan, pihak yang berperan antara lain adalah
individu, kelompok dan keluarga. Penekanan selama fase pengobatan ditujukan
untuk membantu pasien lebih memahami dan terlibat dalam menjalin hubungan
yang tepat (yaitu, persahabatan, hubungan yang tidak mengarah pada keintiman
seksual dengan laki-laki).
Masalah dengan keintiman, harga diri, cinta terhadap diri sendiri, cinta
terhadap orang lain, cinta akan Tuhan, distorsi (hubungan yang tidak setara
dengan laki-laki maupun intensitas dalam hubungan), maskulinitas, rasa bersalah,
rasa malu, kesepian dan ditinggalkan dieksplorasi dan diselesaikan dalam konteks
terapi kelompok.
Sering, pada tahap ini, pasien diperkenalkan dengan pernikahan,
dimana pasangan hidup dapat berfungsi sebagai sahabat istimewa. Hasil yang
diinginkan berupa pengurangan atau penghapusan ketertarikan homoseksual,
kedamaian batin, dan pengembangan hubungan heteroseksual yang nyaman dan
sesuai. Intervensi spiritual (bukan religius) juga sering digunakan dalam fase ini
(meskipun dapat juga digunakan dalam fase lain).
Mayoritas pria homoseksual memiliki rasa ketidakterhubungan atau
keterasingan dari Tuhan. Freud menunjukkan bahwa Tuhan adalah perpanjangan
dari figur ayah. Ketika menjelaskan hubungan mereka dengan Tuhan, banyak
pasien menggambarkan sosok yang kejam dan menakutkan. Padahal hubungan
tersebut sangat berharga dalam mengatasi masalah-masalah seperti pengampunan.
Pada intervensi spiritual, dilakukan perbaikan citra diri dengan
melibatkan Tuhan sebagai seorang ayah yang penuh kasih, peduli, dan memiliki
cinta tanpa syarat.
Intervensi ini juga memungkinkan pasien menemukan kekuatan untuk
hidup mereka. Terapis dapat membantu pasien untuk memvisualisasikan diri
melalui meditasi secara teratur. Intervensi spiritual juga melibatkan isu-isu
integritas, pemberdayaan pribadi dan kontrol pribadi, membina hubungan dengan
orang lain, dan menemukan tujuan yang lebih besar dalam hidup. Melalui
intervensi spiritual inilah seorang pasien benar-benar mendapat kekuatan untuk
menyelesaikan perjuangan mereka atau dapat disebut "proses penyembuhan
pribadi."
KESIMPULAN

Melihat kompleksibilitas permasalahan yang ada dan juga tingkat


keberhasilan dari terapi konversi sexual dalam berbagai penelitian, hasil menunjukkan
banyaknya efek negatif dan ketidak berhasilan terapi. Karenanya, diharapkan apabila
seorang pasien dengan penuh kecemasan ingin mengubah orientasi homoseksual
mereka, terapi konversi sexual tidaklah metode yang tepat untuk penanganan hal itu.
Melihat secara keseluruhan, penyelenggaraan terapi ini secara etik tidaklah dapat
ditoleransi, melihat banyaknya kesalahan dalam pembuatan kriteria inklusi, gagal
dalam menginformasikan teori perkembangan sexual mengenai terjadinya
homoseksual, serta mengabaikan efek samping yang cukup signifikan yang akan
sangat berdampak pada pasien apabila pasien sangat ingin mengganti orientasi
sexualnya. Beberapa penelitian juga menyimpulkan akan adanya turut campur
organisasi dan tujuan politik anti homoseksual yang akhirnya mengkamuflase titik
pokok etik dan masalah kesehatan itu sendiri. Apabila konversi terapi ini tetap akan
dilakukan kelak, prinsip pokok yang harus selalu dipegang oleh setiap pihak
penyelenggara adalah do no harm atau janganlah hal tersebut
merugikan/mencelakai pasien.
DAFTAR PUSTAKA

1. Freud, S. (1920), The psychogenesis of a case of homosexuality in a woman.


Standard Edition, 18:145-172. London: Hogarth Press, 1955
2. Drescher, J. (1998), Psychoanalytic Therapy and the Gay Man. Hillsdale, NJ:
The Analytic Press.
3. Freud, S. (1935), Anonymous (Letter to an American mother). In: The Letters of
Sigmund Freud, ed. E. Freud, 1960. New York: Basic Books, pp. 423-424.
4. Rado, S. (1940), A critical examination of the concept of bisexuality.
Psychosomatic Medicine, 2:459-467.
5. Bieber, I., Dain, H.J., Dince, P.R., Drellich, M.G., Grand, H.G., Gundlach, R.H.,
Kremer, M.W., Rifkin, A.H., Wilbur, C.B. & Bieber T.B. (1962), Homosexuality:
A Psychoanalytic Study. New York: Basic Books.
6. Socarides, C.W. (1995), Homosexuality: A Freedom Too Far. Phoenix, AZ:
Adam Margrave Books.
7. Nicolosi, J. (1991), Reparative Therapy of Male Homosexuality: A New Clinical
Approach. Northvale, NJ: Aronson.
8. American Psychiatric Association (2000), Commission on Psychotherapy by
Psychiatrists (COPP): Position statement on therapies focused on attempts to
change sexual orientation (Reparative or conversion therapies). American J.
Psychiatry, 157:1719-1721.
9. American Psychiatric Association (2006): Statement of the American
Psychological Association. Office of Public Communications
10. Answers to Your Questions: For a Better Understanding of Sexual Orientation
and Homosexuality, American Psychological Association, February 2008,
retrieved 2012-08-30
11. Position Statement on Therapies Focused on Attempts to Change Sexual
Orientation (Reparative or Conversion Therapies), American Psychiatric
Association, May 2000, archived from the original on 2012-08-30
12. Haldeman, Douglas C. (June 2002), "Gay Rights, Patient Rights: The
Implications of Sexual Orientation Conversion Therapy", Professional
Psychology: Research and Practice : 260264
13. Rosik, Christopher (2012), NARTH Statement on Sexual Orientation Change
14. Just the Facts About Sexual Orientation & Youth: A Primer for Principals,
Educators and School Personnel, Just the Facts Coalition, 1999, retrieved 2012-
08-30
15. Glassgold, JM; et al. (2009-08-01) (PDF), Report of the American Psychological
Association Task Force on Appropriate Therapeutic Responses to Sexual
Orientation, American Psychological Association, retrieved 2012-08-30
16. "Therapies" to change sexual orientation lack medical justification and threaten
health". Pan American Health Organization. Retrieved 2012-08-30
17. Haldeman, D.C. (1991), Sexual orientation conversion therapy for gay men and
lesbians: A scientific examination. In: Homosexuality: Research Implications for
Public Policy, eds. J.C. Gonsiorek & J.D. Weinrich. Newbury Park, CA: Sage
Publications, pp. 149-161.
18. Exodus International Policy Statements, Exodus International. Retrieved 2012-
08-30.
19. Evergreen Therapy". Evergreeninternational.org. Retrieved 2012-08-30.
20. Bright, Chuck (December 2004), "Deconstructing Reparative Therapy: An
Examination of the Processes Involved When Attempting to Change Sexual
Orientation", Clinical Social Work Journal 32 (4): 471
21. Nicolosi, J. (2002) "A Parent's guide to PReventing Homosexuality." Downers
Grove, IL, p. 48.
22. Yoshino, Kenji (2002), "Covering", Yale Law Journal
23. Kaplan H, Sadock B, Grebb J. Sinopsis Psikiatri Jilid 1 & 2. 2010. Tangerang:
Binarupsa Aksara.
24. Direktorat Jenderal Pelayanan Medik Departemen Kesehatan RI. Pedaman
Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia (PPDGJ III), cetakan
pertama, Jakarta; 1993.
25. Drescher, J. (1998), Im your handyman: A history of reparative therapies. J.
Homosexuality, 36(1):19-42.
26. Haldeman, D.C. (1994), The practice and ethics of sexual orientation conversion
therapy. J. Consulting & Clinical Psychology 62(2):221-227.
27. Brown, L.S. (1996), Ethical concerns with sexual minority patients. In: Textbook
of Homosexuality and Mental Health, eds. R.P. Cabaj & T.S. Stein. Washington,
D.C.: American Psychiatric Press, pp. 897-916.
28. Drescher, J. (1997), What needs changing? Some questions raised by reparative
therapy practices. New York State Psychiatric Society Bulletin, 40(1):8-10.
29. Ovesey, L. (1969), Homosexuality and Pseudohomosexuality. New York: Science
House.
30. White, M. (1994), Stranger at the Gate: To be Gay and Christian in America.
New York: Simon & Schuster.
31. Isay, R.A. (1996), Becoming Gay: The Journey to Self-Acceptance. New York:
Pantheon.
32. Ford, J. G. (2001), Healing homosexuals: A psychologists journey through the
ex-gay movement and the pseudo science of reparative therapy. J Gay & Lesbian
Psychotherapy, 5(3/4):69-86.
33. Drescher, J. (2006), Gay and Depressed: Combined pharmacotherapy and
long-term psychodynamic psychotherapy with a depressed, gay man. In:
Treatment Companion to the DSM-IV TR Casebook, eds. R.L. Spitzer, M. First,
J.B.W. Williams & M. Gibbons. American Psychiatric Press, pp. 163-178.
34. Haldeman, D.C. (2001), Therapeutic antidotes: Helping gay and bisexual men
recover from conversion therapies. J. Gay & Lesbian Psychotherapy, 5(3/4):117-
130.
35. Bayer, R. (1981), Homosexuality and American Psychiatry: The Politics of
Diagnosis. New York: Basic Books.
36. Harvey, J. (1987), The Homosexual Person: New Thinking in Pastoral Care.
San Francisco, CA: Ignatius.
37. Spitzer, R.L. (2003), Can some gay men and lesbians change their sexual
orientation?: 200 subjects reporting a change from homosexual to heterosexual
orientation. Archives Sexual Behavior, 32(5):403-417.
38. American Psychological Association, (1992), Ethical principles of
psychologists and code of conduct. American Psychologist, 47(12):1597-1611.
39. Shidlo, A. & Schroeder, M. (2002), Changing sexual orientation: A
consumers report. Professional Psychology: Research & Practice, 33(3):249-
259.
40. Yarhouse, M. (1998), When clients seek treatment for same-sex attraction:
Ethical issues in the Right to Choose debate. Psychotherapy:
Theory/Research/Practice/Training, 35(2):248-259.

Anda mungkin juga menyukai