Anda di halaman 1dari 20

Proposal PKL Manajemen

Pembibitan Kambing PE
USULAN PRAKTIK KERJA LAPANGAN

MANAJEMEN PEMBIBITAN KAMBING PERANAKAN ETAWA (PE)


DI SATUAN KERJA BADAN PEMBIBITAN DAN PEMBESARAN
TERNAK RUMINANSIA (BPBTR) KECAMATAN KALIGESING KABUPATEN
PURWOREJO

Oleh :
Anwar Hidayat
NIM. 122410005
PROGRAM STUDI PETERNAKAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOREJO
2015

USULAN PRAKTIK KERJA LAPANGAN

MANAJEMEN PEMBIBITAN KAMBING PERANAKAN ETAWA (PE)


DI SATUAN KERJA BADAN PEMBIBITAN DAN PEMBESARAN
TERNAK RUMINANSIA (BPBTR) KECAMATAN KALIGESING KABUPATEN
PURWOREJO

Oleh :
Anwar Hidayat
NIM. 122410005

Telah disetujui dan disahkan pada


26 Januari 2015

Ketua Program Studi Peternakan Pembimbing

Hanung Dhidhik Arifin, S.Pt., M.Si Roisu Eny Mudawaroch, S.Pt., M.P
NIDN. 0618028203 NIDN. 0605117102

Mengetahui
Dekan Fakultas Pertanian
Ir. Zulfanita, M.P
NIDN.0629036401

PRAKATA

Alhamdulilah, puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT yang


telahmelimpahkan rahmat, karunia, dan hidayah-
Nya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan usulan Praktik Kerja Lapangan (PKL). PKL
dengan judul Manajemen Pembibitan Kambing Peranakan Etawa (PE) di BPBTR Satuan Kerja
Kaligesing Kabupaten Purworejo, disusun untukmemenuhi salahsatu persyaratan kurikuler pada
Program Studi Peternakan Fakultas PertanianUniversitas Muhammadiyah Purworejo.
Keberhasilan penyusunan usulan praktik kerja lapangan ini tidak lepas dari bantuanberba
gai pihak. Penyusun menyampaikan rasa terimakasih dan penghargaan yang setinggi-
tingginya kepada:
1. Ir.Zulfanita, M.P. selaku Dekan Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Purworejo.
2. Hanung Dhidhik Arifin, S.Pt, M.Si.
selaku Komite Praktik Kerja Lapangan Program StudiPeternakan Fakultas Pertanian Universitas
Muhammadiyah Purworejo.
3. Roisu Eny Mudawaroch, S.Pt., M.P. selaku Pembimbing dan Dosen Program
StudiPeternakan Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Purworejo.
4. Orang tua dan teman-teman mahasiswa yang selalu memberi dukungan,
sehingga penyusundapat menyelesaikan usulan praktik kerja lapangan ini.
5. Dinakeswan BPBTR Provinsi Jawa Tengah selaku pemilik Satuan Kerja BPBTR Kaligesing,
Kabupaten Purworejo yang telah memberikan kesempatan pada saya untuk dapat melaksanakan
kegiatan PKL.
Penulis menyadari bahwa laporan PKL ini, masih jauh dari kesempurnaan. Besar
harapanpenulis, bahwa laporan
PKL ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca padaumumnya
Purworejo

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i

HALAMAN PENGESAHAN........................................................................... ii

PRAKATA ....................................................................................................... iii

DAFTAR ISI .................................................................................................... iv

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 1


1.1 Latar Belakang ...................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................. 2
1.3 Tujuan Praktik Kerja Lapangan ............................................................. 2
1.4 Manfaat Praktik Kerja Lapangan ........................................................... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA....................................................................... 4


2.1 Kambing Peranakan Etawa (PE) ............................................................ 4
2.2 Bibit....................................................................................................... 4
2.3 Pubertas ................................................................................................ 5
2.4 Sistem Perkawinan ................................................................................ 8
2.5 Kebuntingan .......................................................................................... 9
2.6 Kelahiran .............................................................................................. 10
2.7 Bobot Sapih .......................................................................................... 10
2.8 Jarak Beranak ....................................................................................... 11
2.9 Jumlah Anak per Kelahiran .................................................................... 11
2.10 Indeks Produktivitas Induk................................................................... 12

BAB III METODOLOGI ................................................................................. 13


3.1 Waktu dan Lokasi Praktik Kerja Lapangan ........................................... 13
3.2 Alat dan Bahan Praktik Kerja Lapangan ................................................ 13
3.3 Metode Praktik Kerja Lapangan ........................................................... 13
3.4 Parameter ............................................................................................. 14

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 15

LAMPIRAN ..................................................................................................... 17

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kambing merupakan ternak yang telah lama dipelihara di Indonesia. Populasi ternak
kambing di Jawa Tengah tahun 2014 sekitar 4,014.57 ribu ekor (BPS Jawa Tengah,
2014). Kambing merupakan ternak yang memiliki sifat toleransi tinggi terhadap bermacam-
macam pakan hijauan serta mempunyai daya adaptasi cukup baik terhadap berbagai keadaan
lingkungan. Pengembangan kambing mempunyai prospek yang baik karena di samping untuk
memenuhi kebutuhan daging di dalam negeri, juga memiliki peluang sebagai komoditas ekspor.
Jumlah dan mutu bibit merupakan faktor produksi yang sangat strategis dan menentukan
keberhasilan program pembangunan peternakan.
Kambing Peranakan Etawah (PE) merupakan kambing hasil persilangan kambing Etawah
(kambing jenis unggul dari India) dengan kambing Kacang (kambing asli Indonesia). Kambing
PE dapat beradaptasi dengan kondisi iklim Indonesia, mudah dipelihara dan merupakan ternak
jenis unggul penghasil daging juga susu. Produksi daging kambing PE lebih tinggi dibandingkan
dengan kambing kacang. Bobot badan Kambing PE jantan dewasa antara 65 90 kg dan yang
betina antara 45 70 kg. Produksi susu bisa mencapai 1 3 liter/hari. Kambing PE juga sangat
prospektif untuk usaha pembibitan. Harga anak kambing PE bisa 3 5 kali lipat harga anak
kambing lokal. Kambing PE beranak pertama kali pada umur 16 18 bulan dan dalam waktu 2
tahun bisa beranak 3 kali jika diusahakan secara intensif dengan hasil anak kembar 2 3
ekor/induk.
Bibit merupakan faktor dasar yang tidak bisa diabaikan, bila bibit itu jelek, walaupun
tatalaksana dan makanan termasuk baik, produktivitas ternak tetap tidak maksimal. Pemilihan
bibit pada pemeliharaan kambing bertujuan untuk menyediakan bibit ternak yang baik dan
bermutu, baik untuk induk maupun pejantan.
Bibit ternak merupakan salah satu sarana produksi yang memiliki peran sangat penting,
strategis dalam upaya meningkatkan jumlah dan mutu produksi ternak, serta sebagai salah satu
faktor dalam penyediaan pangan asal ternak yang berdaya saing tinggi. Kambing PE dapat
menghasilkan bibit ternak yang unggul, bermutu tinggi diperlukan proses manajemen
pemeliharaan, pemuliabiakan (breeding), pakan dan kesehatan hewan ternak yang terarah serta
berkesinambungan.
Potensi strategis tersebut masih memiliki kelemahan yaitu, masih berbasis pada
peternakan rakyat yang berciri skala usaha kecil, manajemen sederhana, pemanfaatan teknologi
seadanya, lokasi tidak terkonsentrasi dan belum menerapkan sistem agribisnis. Kelemahan lain
yang ada di lapangan yaitu kurangnya pengetahuan atau pemahaman mengenai manajemen
pembibitan ternak yang baik. Kualitas bibit unggul dan sistem perkawinan seperti inseminasi
buatan (IB) pengetahuan mereka tentang hal ini sangat minim bahkan masyarakat tidak
mengenal hal itu.

1.2 Rumusan Masalah


1. Produktivitas bibit kambing PE yang belum Optimal.
2. Pengetahuan masyarakat tentang kriteria kualitas dan kuantitas bibit kambing PE masih rendah.
3. Manajemen pembibitan kambing PE oleh peternak belum optimal.

1.3 Tujuan Praktik Kerja Lapangan


Praktik kerja lapangan tentang manajemen pembibitan kambing ettawah dilaksanakan
dengan tujuan diantarannya sebagai berikut
1. Mengetahui aspek teknis pembibitan kambing PE di Satuan Kerja Dinakeswan BPBTR Satuan
Kerja Kaligesing Kabupaten Purworejo.
2. Mengetahui kriteria penentuan bibit pejantan, betina, dan anakan kambing PE yang baik.
3. Meningkatkan wawasan mahasiswa tentang manajemen pembibitan kambing PE.

1.4 Manfaat Praktik Kerja Lapangan


1. Menambah pengetahuan, ketrampilan dan wawasan mahasiswa terhadap manajemen pembibitan
kambing PE.
2. Meningkatkan kompetensi mahasiswa Program Studi Peternakan terhadap dunia kerja.
3. Menjadi media evaluasi kinerja satuan kerja BPTPR Kambing PE kaligesing.
4. Menjadi referensi bagi masyarakat peternak tentang pembibitan Kambing PE yang baik.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kambing Peranakan Etawa (PE)


Penjajah Belanda membawa kambing yang berasal dari India yang dikenal dengan
Jamunapari. Jamunapari ini dibawa penjajah Belanda ke Indonesia untuk memenuhi kebutuhan
susu untuk pemerintah kolonial Belanda, tetapi di Indonesia Jamunapari dikenalkan dengan
nama kambing Etawa, karena kambing Etawa tadi jumlahnya terbatas maka kambing Etawa
tersebut disilangkan dengan kambing asli Indonesia yaitu kambing kacang yang kemudian hasil
persilangan tersebut dikenal dengan kambing Peranakan Etawa (PE) ( Murtidjo,1993).
Kambing banyak dipelihara oleh penduduk pedesaan Indonesia (Mulyono, 2003), karena
pemeliharaannya lebih mudah dilakukan dibandingkan dengan ternak ruminansia besar.
Kambing cepat berkembang biak dan pertumbuhan anaknya juga tergolong cepat.
Kambing Peranakan Etawa adalah ternak dwi guna, yaitu sebagai penghasil susu dan
sebagai penghasil daging (Williamson dan Payne, 1993). Kambing PE adalah bangsa kambing
yang paling populer dan dipelihara secara luas di India dan Asia Tenggara (Devendra dan Burns,
1994). Ciri-ciri kambing PE adalah warna bulu belang hitam putih atau merah dan coklat putih;
hidung melengkung; rahang bawah lebih menonjol; baik jantan maupun betina memiliki tanduk;
telinga panjang terkulai; memiliki kaki dan bulu yang panjang (Sosroamidjoyo, 1984). Kambing
PE telah beradaptasi dengan baik terhadap kondisi dan habitat Indonesia (Mulyono, 2003).

2.2 Bibit
Bibit ternak merupakan salah satu sarana produksi pembudidayaan ternak yang penting
dan strategis untuk meningkatkan produksi dan mutu hasil dalam menyediakan pangan asal
ternak yang berdaya saing tinggi. Peternak untuk mendapatkan bibit ternak yang bermutu
diperlukan penemuan bibit ternak unggul yang dilakukan melalui pemuliaan serta proses
sertifikasi. Kegiatan pembibitan ternak meliputi pemuliaan, pembudidayaan, perkembangbiakan,
pengawasan penyakit, penyebaran, peredaran, pengawasan mutu, pelestarian sumberdaya ternak,
pengendalian lingkungan, serta pengembangan usaha pembibitan yang dapat dilakukan baik oleh
pemerintah maupun swasta (Risyana, 2008).
Pemilihan bibit :
1. Bibit kambing PE yang baik
- Sehat, tidak cacat fisik dengan nafsu makan besar dan aktif
- Bulu bersih dan mengkilap
- Dada lebar dan dalam, kaki kurus dan kuat,
- Berasal dari keturunan kembar dan induk tidak sedarah.
2. Bibit kambing PE jantan yang baik
- Postur tubuh tinggi besar dan gagah
- Kaki panjang dan tumit tinggi
- Alat kelamin normal dan libido tinggi.
3. Bibit kambing PE betina yang baik
- Bersifat keibuan dan pandai mengasuh anak
- Alat kelamin normal
- Mempunyai ambing yang simetris, kenyal dan tidak ada bekas luka.

2.3 Pubertas
Pubertas (estrus pertama) untuk kambing terjadi pada umur 69 bulan. saat kambing
mengalami pubertas organ kambing belum sempurna dianjurkan ternak kambing di kawinkan
pada umur 1012 bulan karena pada umur tersebut ternak sudah dewasa kelamin dan dewasa
tubuh dengan bobot berat badan betina 2025 kg. Secara umum pubertas dapat didifinisikan
sebagai umur atau waktu dimana organ-organ reproduksi mulai berfungsi. Menurut Feradis
(2010) pubertas pada ternak betina didefenisikan sebagai suatu fase atau keadaan dimana ternak
tersebut menunjukan tanda tanda estrus atau birahi pertama kali, tingkah laku kawin dan
menghasilkan sel telur atau ovulasi atas pengaruh hormon estrogen. Pada umumnya semua
hewan akan mencapai kedewasaan kelamin sebelum dewasa tubuh.
Siklus estrus adalah jarak antara estrus yang satu sampai pada estrus yang berikutnya
(Partodihardjo, 1987). Birahi atau biasa disebut dengan estrus didefinisikan sebagai periode pada
siklus reproduksi dimana ternak betina mau menerima pejantan untuk melakukan perkawinan.
Kambing merupakan hewan poliestrus, setelah mencapai usia pubertas siklus estrus berlangsung
secara terus menerus sepanjang tahun, kecuali pada saat hewan bunting, siklus estrusnya terhenti
sementara. Lama siklus estrus pada kambing 19-21 hari (Devendra dan Burns, 1994). Lama
berahi pada kambing berkisar 24-36 jam, ovulasi terjadi 24-48 jam sejak mulainya berahi, dan
waktu kawin optimal adalah 24-36 jam dari awal birahi (tabel 1). Siklus estrus pada dasarnya
dibagi menjadi 4 fase atau periode yaitu proestrus, estrus, metestrus, dan diestrus (Marawali et
al., 2001).
Tabel 1. Parameter reproduksi kambing betina

Parameter Besaran
Tipe siklus estrus Polyestrus dan tidak terpengaruh musim
Siklus estrus 21 hari (18-24 hari)
Lama estrus 36 jam
Waktu ovulasi 24 (24-48) jam dari awal estrus.
Waktu kawin yang optimal 24-36 jam dari awal estrus
Lama bunting 150 hari (147-155 hari)
Umur pubertas 6-8 bulan
Sumber : Feradis 2010
Kambing betina sudah dapat dikawinkan pada umur 6 bulan, pada umur ini betina sudah
mengalami birahi pertama selama 1 minggu. Setelah seminggu birahi ini akan hilang dan akan
muncul kembali dalam 21 hari kemudian (1 bulan). Sangat dianjurkan kambing etawa betina
dikawinkan mulai 9 bulan atau birahi ketiga. Hal ini untuk memperkecil resiko pada kehamilan
dan kelahiran. Kambing betina pada usia ini alat reproduksinya sudah sempurna, dari
pengamatan di lapangan anak (cempe) yang dilahirkan juga memiliki perkembangan lebih bagus
daripada yang dilahirkan oleh kambing etawa betina yang dikawinkan muda.Perkembangan
betina juga lebih baik daripada yang dikawinkan muda (Sherwood, 2001).
Kambing etawa jantan sudah dapat birahi pada umur 6 8 bulan, namun pada idealnya
kambing etawa jantan sudah dapat mengawini kambing etawa betina mulai umur 18 bulan (2
tahunan). Kambing PE jantan pada usia tersebut sudah memiliki postur badan yang mampu
menguasai kambing etawa betina. Kambing jantan etawa jantan yang sudah mampu birahi
memiliki bulu kaki depan yang berwarna kekuningan. Warna ini disebabkan oleh air kencing
pejantan itu sendiri. Kambing etawa jantan yang dapat dijadikan pejantan yang baik memiliki
postur badan yang tidak terlalu gemuk, aktif lincah dan selalu birahi jika didekatkan dengan
kambing etawa betina. Tidak semua pejantan etawa langsung birahi didekatkan pada betina. Ada
kalanya pejantan tersebut malu-malu atau istilahnya harus kenalan dengan betinanya
(Frandson, 1992).
Kambing etawa betina yang siap dikawinkan akan menunjukkan tanda-tanda birahi
seperti sering mengembik tanpa sebab, menggosok-gosokkan badan pada dinding kandang, nafsu
makan kurang, ekornya dikibas-kibaskan, sering kencing, bibir kemaluan membengkak, selaput
bagian dalam agak kemerah-merahan dan keluar lendir yang jernih (Boolotion, 1979).
Kambing etawa jantan dapat mencium bau kambing etawa betina yang birahi. Hal ini
karena kambing etawa betina yang birahi memiliki bau yang khas. Kambing etawa jantan akan
bereaksi dengan mengembik melenguh dan birahinya bangkit seketika bau ini tercium. Jika tidak
dikawinkan hal ini akan berlanjut tiap malam. Kambing etawa betina yang birahi tidak akan lari
menghindar ketika pejantan menaikinya. Disarankan tali pengikat kambing etawa jantan
dipegangi, agar proses perkawinan berlangsung aman. Hal ini disebabkan kambing etawa jantan
yang birahi memiliki sifat yang tidak terkontrol yang mungkin dapat mencederai kambing etawa
betina yang akan dikawini. Postur kambing etawa jantan yang akan mengawini hendaknya lebih
besar daripada kambing etawa betina yang akan dikawini agar proses kawinnya tidak sulit.
Hendaknya proses perkawinannya dua kali, setelah perkawinan sukses kambing etawa betina
diajak jalan-jalan agar sperma yang diterima tidak tumpah (Boolotion, 1979).

2.4 Sistem Perkawinan


Ada 2 jenis perkawinan yang dikenal dalam dunia peternakan, yaitu perkawinan alami
dan perkawinan buatan (IB). Perkawinan alami adalah perkawinan yang dilakukan langsung dari
ternak yaitu dengan cara ternak jantan menaiki ternak betina, sedangkan perkawinan buatan (IB)
adalah perkawinan tidak langsung, sehingga perlu melibatkan campur tangan manusia.
Perkawinan induk kambing betina sebaiknya dilakukan pada umur 9-12 bulan, karena
pada umur ini secara fisik kambing sudah tumbuh dewasa sehingga mampu memproduksi susu
dan menjalani masa kebuntingan. Menurut Devendra dan Burns (1970) menyatakan bahwa
kebanyakan bangsa kambing daerah tropis biasa melahirkan pada umur satu tahun dan dapat
digunakan sebagai produsen anak sampai kambing berumur 5-6 tahun. Umur dini pada beranak
pertama mengurangi biaya pemeliharaan calon induk dan meningkatkan pendapatan ekonomi,
serta menunjang perbaikan genetik yang cepat, dan oleh karenanya hal itu sangat diinginkan.
Kambing pejantan bisa dikawinkan pada umur 10 bulan tetapi tidak dibiarkan melayani
lebih dari 20 ekor induk betina sebelum umurnya genap satu tahun. Pada waktu tenggang bulan
itu, kambing jantan hanya kawin 16-20 kali atau maksimal dua kali kawin dalam seminggu.
Pejantan dapat digunakan sebagai pemacek sampai umur 7-8 tahun. Penjelasan mengenai
perkembangan reproduksi ternak kambing jantan telah banyak dilakukan. Skinner (1975)
menyembelih pejantan kambing boer pada sebagai interval dari saat lahir sampai berumur 196
hari. Selama waktu itu, berat testis meningkat secara lambat 1.3 g pada saat lahir menjadi 9.9 g
pada umur 84 hari, dan selanjutnya secara cepat menjadi 25 g pada umur 140 hari, ketika
spermatozoa untuk pertama kali tersedia melalui saluran eferens. Spermatogenensis mulai pada
umur 84 hari dan pada umur 120 hari, spermatozoa ada dalam epididymis.

2.5 Kebuntingan
Peningkatan produktivitas ternak dewasa ini menjadi tuntutan utama seiring dengan
pencanangan swasembada daging. Karena itu, deteksi kebuntingan merupakan faktor yang
penting di dalam usaha peningkatan produktivitas ternak. Sampai saat ini deteksi kebuntingan
yang dilakukan memiliki beberapa kelemahan, antara lain akurasi yang rendah, bahaya
kegagalan kebuntingan yang tinggi, kurang aplikatif bagi masyarakat, dan harga yang mahal
(Anonima, 2010).
Faktor- faktor yang mempengaruhi kebuntingan adalah (Anonimb, 2010):
1. Faktor maternal, umur induk sangat menpengaruhi kebuntingan.
2. Faktor foetal, foetus banyak pada jenis monotocus yang memiliki kebuntingan sigkat.
3. Faktot genetik, genotip berperan dala, kebuntigan.
4. Lingkungan fisik, lingkungan, suhu, musimberpenagruh pada kenuntingan.
Kebuntingan pada ternak kambing berlangsung selama 150-152 hari atau 5 bulan.
Tanda-tanda kebuntingan pada ternak kambing adalah sebagai berikut (Anonimb, 2010):
1. Tidak munculnya birahi pada siklus birahi berikutnya
2. Lebih tenang dan menghindar jika dinaiki temannya
3. Ambing tampak menurun dan nafsu makan bertambah
4. Perut sebelah kanan terlihat membesar
5. Bulu tampak lebih mengkilat (klimis)

2.6 Kelahiran
Pengelolaan induk menjelang melahirkan, saat melahirkan dan beberapa saat setelah anak
dilahirkan merupakan salah satu periode singkat naum kritis bagi pencapaian produktivitas
seekor induk kambing. Diperlukan berbagai tindakan persiapan yang mendetail ataupun tindakan
pada saat melahirkan maupun setelah dilahirkan untuk terutama mencegah kematian baik induk
maupun anak yang dilahirkan. Sehubungan dengan itu, maka kemampuan menduga secara akurat
saat melahirkan seekor induk akan sangat membantu keberhasilan manajemen melahirkan secara
keseluruhan.

2.7 Bobot Sapih


Penyapihan adalah waktu dimana seekor anak berhenti menyusui dan mulai terpisahkan
dari induknya. Bobot sapih merupakan cermin pertumbuhan seekor ternak karena menentukan
kemampuan produksi di waktu yang akan datang. Besar kecilnya bobot sapih yang didapat
dipengaruhi oleh Genetik dari induk serta produktivitas induk saat menyusui.
Bobot sapih sangat berkaitan erat dengan kemampuan ternak untuk tumbuh dan
berkembang setelah disapih. Lebih lanjut menjelaskan bahwa seekor induk yang melahirkan
anak dengan bobot sapih yang tinggi, dapat diduga bahwa keturunan dari induk tersebut dimasa
yang akan datang akan melahirkan anak dengan bobot sapih yang tinggi pula (Sulastri, 2001).
Subandriyo (1996) menjelaskan bahwa bobot anak saat disapih juga dipengaruhi oleh tipe
kelahirannya. Hal ini disebebkan oleh terbatasnya produksi air susu induk, sehingga apabila
induk memiliki anak kembar maka jumlah susu yang terbatas tersebut harus dibagi-bagi.

2.8 Jarak Beranak


Jarak beranak merupakan salah satu sifat reproduksi yang berpengaruh terhadap
peningkatan populasi dan produksi ternak. Beberapa faktor yang memengaruhi panjang
pendeknya jarak beraanak antara lain adalah bangsa, umur kambing, frekuensi beranak,
kandungan nutrisi ransum, dan service per conception. Jarak beranak juga dipengaruhi oleh tipe
kelahiran ternak, dimana pada tipe kelahiran tunggal jarak beranak akan lebih pendek
dibandingkan tipe kelahiran kembar. Nainggolan (2011) juga menyatakan bahwa persilangan
yang dilakukan pada ternak dapat mempercepat jarak beranak ternak. Hal ini telah dilakukan
pada domba lokal yang disilangkan dengan domba garut.
2.9 Jumlah Anak per Kelahiran
Litter size adalah banyaknya atau jumlah anak perkelahiran dari seekor induk. Pada
umumnya besar litter size adalah 2 ekor, walaupun terdapat sedikit persentase induk dengan
jumlah anak lahir 4 atau 5 ekor. Kambing Kacang lebih prolifik jika dibandingkan kambing
Boer. Prolifikasi ini disamping dipengaruhi oleh bangsa dan faktor genetik lainnya juga
dipengaruhi oleh umur induk waktu beranak (Subandriyo, 1996). Pada kondisi normal,
persentase kelahiran mencapai 95 % adalah biasa dan sekitar 7-15 % dari kambing betina dapat
melahirkan 3 anak dan lebih dari 50 % dapat melahirkan 2 anak (Barry dan Godke, 2005). Litter
size dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu: umur induk, bobot badan, tipe kelahiran, pengaruh
pejantan, musim dan tingkat nutrisi (Land dan Robinson, 1985). Jumlah anak yang banyak
adalah keadaan yang diharapkan dan termasuk sebagai satu sasaran dari rencana pemuliaan yang
banyak hal mengarah ke produksi secara keseluruhan dari kambing yang dipelihara untuk
penghasil daging. Jumlah anak per kelahiran dapat ditingkatkan dengan persilangan yang tepat
antara jenis kambing yang subur dengan yang tidak subur (Wodzika et al., 1993).

2.10 Indeks Produktivitas Induk


Hartawan (1999) menyatakan bahwa evaluasi terhadap induk dapat dilakukan dengan
menghitung rata-rata indeks berat sapih anak, rata-rata berat sapih anak, efisiensi reproduksi, dan
IPI. Indeks produktivitas induk merupakan nilai evaluasi kemampuan induk untuk menghasilkan
anak dengan bobot badan pada umur tertentu. Indeks produktivitas induk didapat dari hasil
perkalian antara jarak beranak, jumlah anak per kelahiran dan bobot ternak pada umur tertentu
(Hardjosubroto, 1994).
Indeks produktivitas induk juga dapat digunakan sebagai dasar seleksi untuk mencari
induk yang unggul. Seleksi dilakukan untuk mempertahankan induk dalam suatu populasi agar
dapat memberi keturunan yang sama dengannya atau bahkan lebih baik. Tujuan seleksi ini antara
lain untuk memilih induk yang akan tetap tinggal di dalam koloni, memilih induk yang akan
menjadi tetua bagi keturunannya, dan memilih induk yang akan menjadi induk bagi calon
penggantinya (Subakat, 1985).
Beberapa faktor yang menjadi penentu besaran nilai IPI ini antara lain adalah jarak
beranak, jumlah anak per kelahiran (litter size), dan bobot sapih. Jarak beranak mencerminkan
tingkat kesuburan seekor induk, semakin cepat seekor induk melahirkan maka semakin pendek
jarak beranaknya dan menyebabkan nilai produktivitasnya semakin tinggi. Litter size yang tinggi
juga menentukan perhitungan nilai IPI seekor induk. Semakin tinggi jumlah kelahiran maka
semakin tinggi produktivitas induk tersebut, namun jumlah kelahiran yang tinggi terkadang
kurang dibarengi dengan bobot sapih yang tinggi pula. Hal ini disebabkan oleh kemempuan
induk yang lebih cenderung berbagi pada saat menyusui anaknya dibandingkan dengan kelahiran
tunggal.

BAB III
METODOLOGI

3.1 Waktu dan Lokasi Praktik Kerja Lapangan


Praktik kerja lapangan (PKL) manajemen pembibitan kambing PE dilaksanakan selama
satu bulan, mulai tanggal 1 Februari 2015. Lokasi pelaksanaan PKL ini dilaksanakan di
Dinakeswan BPBTR Satuan Kerja Kaligesing Kabupaten Purworejo.

3.2 Alat dan Bahan Praktik Kerja Lapangan


Materi yang digunakan berupa : kambing PE jantan, kambing kambing PE betina dan
kambing PE anakan. Peralatan yang digunakan adalah perlengkapan kandang, timbangan,
meteran, dan peralatan recording.

3.3 Metode Praktik Kerja Lapangan


Metode yang digunakan adalah :
1. Observasi
Melakukan pengamatan langsung di lokasi mengenai pejantan, betina dan anak kambing PE.
2. Wawancara
Wawancara dilakukan kepada pihak pengelola di BPBTR Kambing PE di Kaligesing dengan
bantuan questioner.
3. Partisipasi Aktif
Terlibat langsung dalam seluruh kegiatan yang ada di BPBTR Satuan Kerja Kaligesing
Kabupaten Purworejo.

3.4 Parameter
Parameter yang diamati meliputi :

- Bobot
- Umur
- Tinggi
- Grade
- Penampilan luar
- Organ reproduksi
1. Pejantan
- Bobot
- Umur
- Tinggi
- Grade
- Jumlah
- Organ reproduksi
2. Indukan
- Bobot
- Umur
- Tinggi
- Grade
- Jumlah jantan, betina
3. Anakan - Sapih, lepas sapih
- Pubertas
- Umur kawin
- Sistem perkawinan
- Frekuensi kawin
- Ciri birahi
- Jadwal kawin
- Siklus birahi
- Presentase birahi
4. Perkawinan
- Lama bunting
- Jarak bunting
- PBB/PBBH selama bunting
- Bobot badan awal-akhir bunting
- Presentase kebuntingan
5. Kebuntingan
- Jarak kelahiran
- Litter size
- Mortalitas
- Lama menyusui
- Presentase kelahiran
6. Kelahiran - Rataan jumlah anak perkelahiran

DAFTAR PUSTAKA

Anonimaa. 2010. Pengelolaan Reproduksi Ternak Kambing. http://www.bertani_wordpress.com.


(Diakses, 22/01/2015).

Anonimb. 2010. Proses Partus Pada Domba. http://www.akar_bambu.blogspot.com. (Diakses,


22/01/2015).

Barry, D. M. and R. A. Godke. 2005. The Boer Goat the Potential for Cross Breeding Department of
Animal Scien. LSU. Agricultural Center Lousiana State University. Baton Rouse. Lousiana.

Boolotion, R.A. 1979. Zoology An Introduction to the Study Of Animals. London: Macmillan
Publishing.

Devendra dan Burns. 1994. Produksi kambing di daerah Tropis. Penerbit ITB. Bandung.

Devendra, C. and Burns., 1970, Goat Production In The Tropics. C. A. B., Farham Royal Bucks,
England.

Feradis. 2010. Reproduksi Ternak. C.V Alfabeta. Bandung.


Frandson, R. D. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Gajah Mada University Press. Yogyakarta
(diterjemahkan oleh B. Srigandono dan K. Praseno).

Hardjosubroto, W. 1994. Aplikasi Pemuliabiakan Ternak di Lapangan. PT. Grasindo. Jakarta.

Hartawan, S. 1999. Peningkatan Daya Produktivitas Kambing Lokal Indonesia dengan Sistem
Perkawinan Silang Dengan Induk Kambing PE di Wilayah Jawa Tengah. Karya Ilmiah. Fakultas
Peternakan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Land, R. B. and D. W. Robinson. 1985. Genetics of Reproduction in Sheep. Garden City Press Ltd,
Letchworth, Herts. England.

Marawali, A., M.T. Hine, Burhanuddin, H.L.L. Belli. 2001. Dasar-dasar ilmu reproduksi ternak.
Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Pendidikan Tinggi Badan Kerjasama Perguruan
Tinggi Negeri Indonesia Timur. Jakarta.

Mulyono, S. 2003. Teknik Pembibitan Kambing dan Domba. Cetakan Ke -V. Penerbit PT Penebar
Swadaya, Jakarta.

Murtidjo, B.A. 1993. Memelihara Domba. Kanisius, Yogyakarta.

Nainggolan, W. 2011. Program Peningkatan Mutu Bibit Ternak dengan Teknik Persilangan. Proseding
Seminar Pengembangan Ternak Lokal. Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Solok.
Sumatra Barat.

Partodihardjo. R. 1987. Ilmu Reproduksi Hewan. Fakultas kedokteran Veteriner Jurusan Reproduksi
Institut Pertanian Bogor.

Sherwood. 2001. Fisiologi manusia dari sel ke sistem.EGC. Jakarta.

Sosroamidjojo, M. Samad dan Soeradi. 1984. Peternakan Umum. CV Yasa Guna. Jakarta.

Subakat, S. A. 1985. Pengaruh Cara Pemberian Ransum terhadap Performans, Karkas, dan Komponen
Karkas Kambing Peranakan Etawah Jantan Muda. Karya Ilmiah. Fakultas Peternakan. Institut
Pertanian Bogor.

Subandriyo. 1996.Potensi dan Produktivitas Ternak Kambing di Indonesia. Proseding Seminar Nasional
Potensi dan Pengembangan Kambing. Dinas Peternakan PropinsiDaerahTingkat I Jawa Timur.

Sulastri. 2001. Estimasi Nilai Ripitabilitas dan MPPA (Most Probable Producing Ability) induk
kambing Peranakan Etawah di Unit Pelaksana Teknis Ternak Singosari, Malang, Jawa
Timur. Jurnal Ilmiah SainsTeks. Volume VIII, No. 4, September 2001. Universitas Semarang.
Semarang.
Williamson, G. and W. J. A. Payne. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis, Universitas Gajah
Mada, Yogyakarta.

Wodzicka. M.Tomaszewska. I.M.Mastika, A.Djajanegara, S.Gardiner dan T.R.Wiradarya.


1993.Produksi Kambing dan Domba di Indonesia. Sebelas Maret University Press.

Anda mungkin juga menyukai