KLIMAKTERIK
Salah satu kesulitan yang dialami secara komersial dalam menghadapi pematangan
buah adalah bagaimana caranya mengendalikan proses tersebut secara teliti. Berdasarkan
pengaruh lingkungan, para pengamat cenderung untuk bergantung terhadap beberapa
parameter seperti perubahan yang kasat mata saja seperti terjadinya atau tumbuhnya warna
merah pada kulit buah, atau parameter perubahan kimia yang mudah diukur. Seperti misalnya
peningkatan kadar gula pereduksi dan penurunan derajat keasaman.
Perubahan tingkat kekerasan (firmness) atau tekstur buah, meskipun secara jelas dapat
digunakansebagai parameter penting bagi konsumen, ternyata kurang gampang dihayati dan
dimengerti, dan akibatnya lebih sulit dilakukan kuantifikasi, sebaiknya perubahan flavor
(citarasa) yang merupakan kepedulian utama konsumen dianggap lebih penting diasumsikan
sebagai cerminan dari perubahan-perubahan fisikokimia.
Karena itu telah menjadi kepedulian yang sangat besar bagi industri buah-buahan agar
secar penuh manusia dapat mempengaruhi perubahan laju pematangan dengan cara
melakukan manipulasi suhu, atau konsentrasi ethylene, yaitu pada saat sebelum dan sewaktu
proses pematangan buah (ripening) terhadap setiap kultural atau spesies buah-buahan.
Proses penuaan buah (maturity) sangat penting dikuasai mekanismenya. Salah satu
aspek dari maturitas adalah pengembangan kapasitas buah untuk mampu menjadi matang.
Dalam suatu spesies buah atau kultivar tertentu respon terhadap ethylene sangat
dipengaruhi bukan saja oleh derajat maturity buah tetapi juga oleh konsentrasi relatif dari
plant growth regulator lainnya, seperti misalnya asam giberilat, serta terhadap kadar
mineral yang ada di dalam buah.
Suatu contoh, perlakuan pemberian larutan kalsium khlorida terhadap buah advokad,
ternyata mampu menghambat respirasi, dan sekaligus memperlambat terjadinya klimakterik
dan menekan puncak produksi ethylene (Ingwa and Young, 1984). Pengaruh mana tidak
terjadi terhadap buah pisang (Will et al., 1982).
Dalam pustaka yang telah diketahui pengaruh ethylene terhadap proses pematangan
buah (ripening) ternyata masih sangat terbatas kurang informasi yang diperlukan terhadap
senyawa-senyawa lain yang harus dilibatkan dalam mengatur proses metabolisme termasuk
proses pematangan buah.
Di samping itu harus dipahami mengenai faktor lain sebelum menangani buah-buahan
tropis khususnya betapa pentingnya faktor sifat kepekaan terhadap chilling enjuries. Ekspose
buah-buahan tropis pada suhu lebih rendah dari nilai threshold kritis, akan berakibat
gagalnya buah mencapai tingkat kematangan yang normal.
1. Peran Ethylene Pada Buah Pisang
Konsumen buah pisang (Musa AAA) di mana saja sangat mendambakan dapat
memperoleh buah pisang yang matang, tidak rusak secara fisik, tidak cacat. Mereka memilih
buah pisang yang kulitnya tidak tercela, dan berwarna kuning merata.
Pertama, dalam praktek perdagangan buah-buahan, agar produsen mampu mensuplai
buah-buahan dengan menu tersebut di atas, mereka harus memperhatikan beberapa faktor
berikut ini :
Kedua, buah-buahan yang sudah mature tetapi belum matang, jauh lebih mudah
untuk ditangani dan ditransportasi, tanpa mengurangi kerusakan mekanis, bila dibanding
dengan buah yang telah matang. Proses pematangan buah dapat diperlambat, melalui
berbagai cara : misalnya penurunan suhu, yang berfungsi dapat menurunkan laju respirasi,
laju kehilangan air dan secara umur juga menurunkan peluang serta laju serangan mikroba.
Namun demikian karena buah pisang peka terhadap chilling injuring, sebagian besar
perdagangan pisang internasional tidak menyimpan pisang pada suhu di bawah 130C.
Ketiga , proses pematangan buah dapat dirangsang oleh pemberian atau eksposa gas
ethylene. Karena alasan tersebut, maka sistem yang dianut dan dipraktekkan dalam
perdagangan internasional pisang selalu memperhatikan faktor tersebut di atas yaitu
transportasi buah yang masih mentah tetapi sudah mature dan disimpan pada suhu terendah
yang dianggap masih aman. Dianjurkan untuk menahan buah dalam suatu lokasi
penyimpanan (buffer store) yang berada dekat dengan terminal pasar retail sampai
diperlukan, distimulir proses pematangan dengan gas ethylene dan buah didistribusi
sedemikian rupa sehingga buah-buahan tersebut menjadi matang pada saat dipasarkan di
lokasi penjualan retail.
Perlu diperhatikan bahwa buah pisang memiliki sifat-sifat tertentu yang unik artinya
yang tidak dimiliki oleh buah lain dan hal itu penting dalam membedakan fisiologi buah.
Tidak seperti buah lain, uah pisang diproduksi dari satu batang tanaman yang merupakan
pseudo stem yang dibentuk oleh tangkai daun. Dan buahnya berkembang secara
parthenocarpic yang berasal dari bunga betina.
Di suatu perkebunan pisang komersial, buah pisang berada dalam suatu tandan dari
suatu umur yang telah diketahui. Tanaman pisang secara komersil ditumbuhkan secara
serentak dan menerima input dari sinar yang sama, hara dari tanah yang sama, sehingga
mengalami photosintesa yang sama, sehingga berbuah bersama-sama (Simmond, 1966).
Sedang buah advokad, mangga dan pepaya, justru sebaliknya, yaitu merupakan buah-
buahan yang dihasilkan oleh pohon, yang menghasilkan buah-buahan dari bunga, yang
terbuka pada saat yang berbeda dalam suatu musim buah-buahan tersebut muncul di berbagai
cabang yang mensuplai hara gizi kemungkinan besar tidak sama bagi setiap buah yang
sedang berkembang.
Sebagian besar ekspor buah pisang saat ini berasal dari germ plasm yang sangat
sempit, yaitu berdasarkan pada hasil kloning kelompok pisang cavendish. Mereka
dikelompokkan sebagai Musa AAA, triploid dengan kontribusi dari beberapa genotype Musa
acuminata.
Sedang pisang godok (cooking banana) atau plantains dikelompokkan dalam grup
Musa AAB, hasil kontribusi dari genotype Musa balbisiana. Pusat penelitian pisang diWest
Indies telah mengembangkan jenis klon pisang baru tetraploid (Musa AAA). Jenis pisang ini
tahan terhadap penyakit Panama dan Sigatoka disease. Penyakit Panama merupakan jenis
penyakit ganas yang memusnahkan kultivar pisang Gross Michel (Musa AAA) di West
Indies.
Berbagai jenis klon pisang tersebut memiliki perbedaan-perbedaan yang sangat tajam
yaitu sebagai berikut :
Pada umumnya pisang biasa (banana) dipanen dengan cara memangkas pangkal
tandan, pada saat individu buah pisang atau jari-jari pisang (fingers) telah penuh mencapai
grade atau girth yang dikehendaki. Pengukuran grade biasanya dilakukan dengan alat
kaliper. Atau bila mereka telah mencapai suatu umur tertentu.
Bila buah pisang dibiarkan tumbuh sampai mencapai maturity penuh yaitu dalam saat
pra klimakterik, saat mana disebut periode green life sebelum secara spontan menjadi matang
(ripe). Green life lebih mendekati korelasi dengan umur fisiologis dan grade pada waktu
dipanen. Pengendalian dari green life ke ripe sebetulnya dapat dihambat.
Agar memperoleh waktu yang cukup leluasa untuk pengapalan dan untuk digunakan
sebagai buffer stock akan sesuai dengan suplai permintaan pasar, maka preklimakterik
selama 20 hari pada suhu 13.5 14 0C diperlukan bagi perdagangan Trans atlantik (New and
Marriott, 1974). Bagi buah-buahan yang memiliki preclimacteric life yang tidak cukup lama
atau kurang dari 20 hari kemungkinan besar akan mengalami matang awal dan pada saat
pisang matang akan memproduksi ethylene, sehingga akan merangsang pematangan pisang-
pisang di sekitarnya.
Setelah pisang dipanen, sisir dipisahkan, dicuci, diberi fungisida, dikemas dalam box
dengan lapis polyethylene dan dikapalkan pada suhu 13.5 14 0C (sampai terjadi proses
pematangan).
Proses pematangan pisang melibatkan berbagai perubahan dalam buah pisang dan hal
itu harus diatur untuk menghasilkan buah yang sesuai permintaan rasa seideal mungkin dan
sepraktis mungkin bagi selera konsumen. Perubahan-perubahan tersebut meliputi :
1. Degreening kulit pisang, yang merupakan hal yang sangat penting, karena konsumen
menilai buah dai penampilan kulitnya.
1. Pengembangan flavor pisang yang sangat karakteristik yang hasil panen menjadi
faktor utama, dalam penerimaan konsumen secara organoleptis terhadap pisang dari
berbagai kultivar dan klone pisang.