Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Karet memainkan peran yang penting dalam ekonomi global. Karet


banyak digunakan dalam industri otomotif, manufaktur, barang-barang konsumsi,
dan industri kesehatan. Saat ini, Thailand menduduki peringkat pertama sebagai
negara produsen dengan produksi sejumlah 4,3 juta ton diikuti Indonesia dan
Vietnam dengan produksi masing-masing 3,1 juta ton dan 954 ribu ton.1 Hal ini
berarti bahwa Indonesia sebagai salah satu pemasok utama persediaan karet dunia.
Dari data Badan Pusat Statistik (BPS), tercatat bahwa sampai dengan tahun 2014
total ekspor karet dan produk karet yang mempunyai Harmonize System (HS)2 40
sebesar USD 7.100 juta atau mempunyai kontribusi sebesar 4,86 persen dari total
ekspor nasional Indonesia.3

1 Siaran Pers Kementrian Perdagangan Republik Indonesia. Jakarta, 11 Mei 2015.

2 Merupakan suatu sistem yang dibuat oleh WTO dengan tujuan untuk membakukan
klasifikasi
produk, yang diadopsi oleh semua member WTO sejak Januari 1988 untuk mempermudah
dalam
perdagangan global.

3Perkembangan Ekspor Non Migas (Komoditi) Periode : 2010-2015, Dikutip dari


http://www.kemendag.go.id/id/economic-profile/indonesia-export-import/growth-of-
non-oil-and-
gas-export-commodity, diakses pada 10 November 2015

4 Profil Ekonomi Karet dan Produk Karet, Dikutip dari


http://www.kemendag.go.id/id/view/commodity/3, diakses pada 10 November 2015

Negara tujuan utama ekspor karet Indonesia berdasarkan data Kementrian


Perdagangan pada tahun 2014 adalah Amerika Serikat dengan nilai ekspor
mencapai 1,688,406,232 USD, diikuti Jepang 963,389,116 USD, dan China
sebesar 803,067,651 USD.4 Lebih dari 50 persen hasil karet Indonesia diserap
oleh ketiga negara tersebut dan sisanya dipasarkan ke seluruh dunia. Namun, pada
tahun 2010-2015, nilai ekspor karet dan produk karet Indonesia menunjukkan
penurunan.

Penurunan ini disebabkan oleh beberapa faktor eksternal. Pertama, pada


tahun 2013, harga karet mulai tidak stabil karena krisis politik di Thailand,
program subsidi petani atau farmer support programme (termasuk karet) yang
merupakan kebijakan dari Perdana Menteri Yingluck Shinawatra resmi
dihentikan, akibatnya petani karet Thailand menghadapi panic selling yang
artinya menjual karet mentah dengan sangat berlebihan dan tidak terkendali.5
Kedua, pada bulan Mei 2014, kondisi karet dunia menghadapi tantangan yang
berat karena menurunnya harga karet mentah mencapai USD 1,64 per kilogram
dari harga awal USD 5,7 per kilogram menjadi USD 4,06 per kilogram.6 Angka
penurunan tersebut sangat signifikan.

5 Dampak Krisis Thailand : Harga Karet Anjlok, dikutip dari


http://www.gapkindo.org/en/june.html, diakses pada 5 Mei 2015.

6 Siaran Pers Kementrian Perdagangan: Atasi Anjloknya Harga Karet Dunia, Disepakati

Pembentukan TFKN (2014), Jakarta.

Ketiga, disusul munculnya China sebagai negara baru produsen karet.


China merupakan salah satu tujuan ekspor karet kedua di dunia. Impor karet yang
dilakukan oleh China digunakan untuk mendorong pertumbuhan infrastruktur dan
perindustrian. Produksi karet alam China yang mulai menggeliat akan berdampak
pada berkurangnya penyerapan karet mentah dari negara produsen karet utama
dunia. Dan keempat, faktor murahnya harga karet alam/ baku disebabkan oleh
kemunculan tren baru dalam perdagangan internasional yaitu terkait dengan isu
ramah lingkungan. Saat ini, mutu bahan olahan karet (bokar) yang dihasilkan oleh
petani Indonesia masih rendah dan tercampur dengan kontaminan sehingga dalam
penjualan di pasar internasional harga karet mentah/ baku tidak pada angka yang
maksimal.

Fakta menyebutkan bahwa sebagian besar (hampir 90 persen) karet


Indonesia diekspor dalam bentuk mentah/ baku yang belum diolah lebih lanjut.
Data Direktorat Jendral Perkebunan, Kementrian Pertanian mencatat, pada tahun
2013 produksi karet alam mencapai 3,2 juta ton. Dari jumlah tersebut, hanya
sekitar 16 persen atau sama dengan 0,5 juta ton teralokasikan untuk pemenuhan
kebutuhan domestik yang dimanfaatkan bagi industri hilir Indonesia, sedangkan
84 persen-nya (2,7 juta ton) digunakan untuk kebutuhan ekspor dalam bentuk
bahan baku/ mentah. Sebagian besar karet mentah Indonesia diekspor sebagai
bahan baku utama ban.
Visi industri karet dan barang karet Indonesia adalah menjadikan
Indonesia sebagai negara produsen utama barang-barang karet tahun 2020.7
Produk utama yang menjadi salah satu andalan dalam pengembangan industri
barang-barang karet nasional adalah ban. Sesuai Kebijakan Industri Nasional yang
tertuang dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 28 tahun 2008, ban
sebagai salah satu produk hilir industri karet merupakan bagian dari kelompok
industri yang diprioritaskan pengembangannya. Chain yang memiliki nilai paling
tinggi dalam industri hilir karet adalah ban. Namun, Indonesia masih bertahan
sebagai negara pengekspor karet mentah (industri hulu). Sedangkan industri ban
dikuasai oleh Jepang (Bridgestone Tire), Prancis (Michelin Tire) Amerika Serikat
(Goodyear) dan Korea Selatan (Hankook Tire). Satu-satunya perusahaan ban asal
Indonesia yang mampu menembus pasar ban dunia adalah PT. Gadjah Tunggal
Radial (GT. Radial), itupun hanya berada pada urutan 50 besar. Sehingga, dapat
disimpulkan bahwa daya saing produksi ban Indonesia masih rendah.

7 Lihat pada Lampiran Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia, Nomor:


112/M-
IND/PER/10/2009

8Perkembangan Impor NonMigas (Komoditi) Periode : 2010-2015, Dikutip dari


http://www.kemendag.go.id/id/economic-profile/indonesia-export-import/growth-of-
non-oil-and-
gas-import-commodity, diakses pada 5 Mei 2015

Berdasarkan data Kementerian Perdagangan Republik Indonesia (2014),


impor ban dari tahun 2010 hingga 2014 mengalami peningkatan volume. Pada
tahun 2010 impor ban sebanyak 102.110 ton dengan nilai 414,6 juta USD. Pada
tahun 2011, impor ban mencapai 121.132 ton (nilai 562,3 juta USD). Pada tahun
2012 impor ban sebanyak 141.642 ton (733,7 juta USD). Adapun impor ban pada
2013 tercatat sebanyak 144.227 ton (590,6 juta USD). Sedangkan pada tahun
2014 volume impor ban meningkat menjadi 176.308 ton (513 juta USD).8 Nilai
impor cenderung turun meski volume terus meningkat karena harganya yang
anjlok.

Volume impor yang terus meningkat dapat dilihat menjadi sebuah


kegagalan dan peluang. Kegagalan pemerintah Indonesia yang tidak mampu
memberikan nilai tambah bagi karet mentah Indonesia sehingga daya saing karet
Indonesia sangat rendah. Melihat volume impor ban yang besar, menggambarkan
bahwa industri otomotif Indonesia berkembang pesat. Hal tersebut menjadi
sebuah peluang bagi Indonesia untuk memproduksi ban sendiri. Pengembangan
industri ban nasional menjadi kian prospektif. Jika Indonesia belum mampu
memenuhi standar dan permintaan pasar ban ekspor, setidaknya industri otomotif
nasional mampu menyerap produksi ban tersebut sehingga dapat mengurangi
beban impor.

Pertumbuhan industri ban diperkirakan mencapai 8%. Menurut data


Kementerian Perindustrian, pada tahun 2009 terdapat 13 produsen ban yang siap
untuk produksi berbagai ban untuk pasar domestik maupun international dan telah
mampu berproduksi berbagai tipe dan ukuran ban.9 Baik untuk mobil penumpang,
truk, bus dan kendaraan berat. Kemampuan produksi untuk tipe-tipe ban tersebut
mencapai lebih dari 75 juta ban, sedangkan untuk ban sepeda motor kapasitasnya
mencapai 55 juta ban.10

9 Lihat pada Peta Panduan (Roadmap) Pengembangan Klaster Industri Prioritas


Berbasis Agro
Tahun 2010-2014 , hal. 42

10 Ibid

Indonesia memiliki peluang yang besar menjadi produsen ban yang


menguasai pasar nasional dan global. Untuk mencapai daya saing dalam Global
Value Chain, Pemerintah Indonesia membuat peta panduan dan aturan-aturan
yang mengatur industri karet sejak tahun 2008 hingga 2015. Daya saing industri
karet Indonesia dapat terpenuhi dengan menerapkan strategi upgrading untuk
membuat produk yang lebih berkualitas, efisien, atau beralih pada aktifitas
produksi yang lebih trampil.

Dalam tesis ini, penulis menggunakan strategi upgrading dari pendekatan


Global Value Chain (GVC) sebagai pisau analisis dalam menjelaskan fenomena
tersebut. Sehingga diharapkan, penulis mampu mendeskripsikan upaya
pemerintah pada tahun 2008-2015 dalam mencapai rantai nilai yang lebih tinggi
dan berdaya saing pada industri ban Indonesia untuk menghadapi kompetisi
global.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana strategi Indonesia dalam memasuki rantai nilai produk ban
pada tahun 2008-2015?

C. Tujuan Penelitian

Terdapat tiga hal penting yang akan dijelaskan dalam tesis ini. Pertama,
penulis melakukan penelitian ini untuk mengetahui perlunya industri karet
Indonesia masuk dalam rantai nilai ban. Kedua, untuk menggali lebih dalam
tentang upaya Indonesia dalam industri hilir karet khususnya ban lewat strategi
upgrading. Dan ketiga adalah untuk menganalisis dan mengelaborasi sejauh mana
peran pemerintah Indonesia dan beberapa aktor non pemerintah dalam
meningkatkan daya saing karet dan produk ban di pasar domestik dan global.

D. Tinjauan Pustaka

Dalam tesis ini penulis melakukan tinjauan pustaka yang berkaitan dengan
usaha pemerintah di tiga negara yaitu Indonesia, Vietnam, dan Thailand dalam
mengembangkan industri karet nasional sehingga mampu bersaing dalam pasar
global.

Strategic Cost Management through Purchasing Collaboration: A Case


Study of Thai Rubber Product Cluster (2011) yang ditulis oleh Kanchana
Sripruetkiat dan Sumalee Santipolvut. Penelitian Kanchana dan Sumalee
menjelaskan bagaimana pemerintah Thailand sebagai negara nomor satu
pengekspor karet dunia mampu mengembangkan pasarnya melalui peningkatan
industri domestik. Beberapa usaha yang dilakukan oleh pemerintah Thailand
dalam meningkatkan kualitas karet adalah dengan fokus pada proses research and
development terkait dengan standar produk karet seperti bahan campuran karet.
Selain itu, pemerintah Thailand juga membuat sistem klaster industri untuk
mengurangi biaya produksi sepanjang rubber supply chain.11

11 Sripruetkiat, K and Santipolvut, S, (2011) Strategic Cost Management through


Purchasing
Collaboration: A Case Study of Thai Rubber Product Cluster, Thailand: Kasetsart
University

12 Office of Thailand Rubber Board 2010. Government Strategy for Rubber Development

B.E.2552�2556. Dikutip pada http://www.rubberthai.com/about/strategy.php. Diakses


pada Mei
2015.

13 Porter, M.E., On Competition (1998), Harvard University Business School Press.

14 Ibid, hal 2

Klaster industri karet Thailand terdiri dari stakeholders dan small and
medium sized enterprises (SME).12 Klaster industri mengacu pada geographic
concentration dari negara-negara yang terhubung, specialized suppliers, dan
penyedia jasa (Porter, 1998).13 Tujuan utama klaster adalah untuk meningkatkan
produktifitas yang menjadi kunci dalam meningkatkan sustainable competitive
advantage. Dari penelitian tersebut, dapat disimpulkan beberapa keuntungan
klaster dalam pembangunan industri, terutama implementasinya dalam industri
karet Thailand, yaitu:14

1. Akses yang mudah terhadap sumber daya manusia yang profesional


disuatu area
2. Akses yang mudah terhadap informasi baru terkait pengembangan
teknologi modern. Di dalam klaster industri terdapat sektor swasta yang
memiliki modal dan institusi pendidikan yang mengikuti perkembangan
teknologi terbaru
3. Adanya peningkatan kualitas produk dan produktifitas yang berkelanjutan
4. Adanya pertukaran informasi sepanjang supply chain terkait kebutuhan
dan tren permintaan konsumen terhadap produk baru
5. Ekspansi bisnis dari produsen yang memiliki keahlian di masing-masing
perusahaan menjadi bisnis dengan ukuran produksi yang lebih besar dan
berkelanjutan.

Kanchana dan Sumalee menggambarkan bahwa konsep klaster digunakan untuk


mendukung dan melancarkan restrukturisasi SME untuk membangun jaringan
yang kuat antara upstream, midstream dan downstream sepanjang rubber supply
chain.

Dalam tesis ini, penulis ingin menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia


belum secara maksimal mengimplementasikan sistem klaster pada industri karet
karena beberapa keterbatasan. Sehingga, SME di Indonesia yang tidak memiliki
jaringan dalam rubber value chain, hanya memiliki sedikit akses terhadap input
yang murah, minim kemampuan dalam meningkatkan teknologi produksi, dan
mendapatkan sedikit kesempatan dalam bertukar ilmu pengetahuan. Padahal
apabila dilihat, sistem klaster yang dipakai dalam industri karet Thailand
sangatlah efektif dan efisien.

Sedangkan pada dua negara lainnya yaitu Indonesia dan Vietnam memiliki
strategi yang hampir sama yaitu strategi upgrading. Studi kasus upgrading karet
di Indonesia dalam tesis Rosa Van Den Beemt (2011), yang berjudul Green
Rubber : Potensials and pitfalls of Upgrading Rubber Agroforests through Eco-
certification.15 Dalam tesisnya Rosa menganalisis strategi upgrading industri
Indonesia lewat eco-certification. Sertifikasi dianggap sebagai kunci utama dalam
peningkatan kualitas produk karet Indonesia agar mampu bersaing di pasar global.

15 R. V.D. Beemt (2011) Green Rubber : Potensials and pitfalls of Upgrading Rubber
Agroforests
through Eco- certification, Amsterdam: University Of Amsterdam

Penulis mengelompokkan analisis strategi upgrading yang ditulis Rosa


dalam tipe process and product upgrading. Product upgrading pada industri karet
Indonesia terjadi pada saat produk telah melewati sertifikasi. Produk mengalami
peningkatan kualitas sesuai dengan standar internasional yang berbasis pada
kepedulian lingkungan. Produk yang telah disertifikasi berubah menjadi produk
organik sesuai standar internasional. Sedangkan, dalam process upgrading dapat
dilihat dari pengenalan metode produksi dari karet mentah yang belum
disertifikasi menjadi karet yang sudah melalui sertifikasi. Sehingga, eco-
certification dapat digolongkan dalam dua tipe upgrading yaitu proses dan
produk.
Literature review terakhir diambil dari tulisan Hoang Thi Thanh Nga
(2008) yang berjudul Upgrading Strategy for the Rubber Value Chain Of
Smallholders in Bo Trach District, Vietnam.16 Vietnam bekerjasama dengan
German Technical Coorperation (GTZ) menerapkan Sustainable Management of
Natural Resources (SMNR) di Vietnam Tengah. Kerjasama ini dilakukan untuk
mengidentifikasi strategi upgrading yang layak diterapkan dan dapat
menguntungkan petani, agrobisnis dan SMNR itu sendiri.

16 Nga, H.T.T., (2008) Upgrading Strategy for the Rubber Value Chain Of
Smallholders in Bo
Trach District, Vietnam, Hanoi.

Ada kesamaan antara tulisan Hoang dengan Rosa terkait strategi


upgrading di Indonesia dan Vietnam. Kesamaan itu terlihat dari diangkatnya
kesadaran akan lingkungan dari mulai penanaman hingga proses produksi dimana
bertujuan untuk memenuhi standar mutu internasional. Sedangkan persamaan
dengan Thailand adalah Vietnam juga menerapkan klaster produksi. Namun,
Vietnam lebih menonjolkan peran aktor baru yang tidak muncul di sistem klaster
Thailand. Misalnya, peran dari petani kecil yang menjadi supplier dalam proses
produksi di pabrik. Sehingga dalam hal ini, logistik menjadi hal yang penting.
Jarak antara lokasi pertanian dan pabrik yang cukup jauh menjadi hambatan yang
berarti di Vietnam. Ditambah lagi dengan infrastrukur jalan yang kondisinya tidak
baik. Kondisi tersebut memunculkan sebuah kesempatan bagi aktor yang disebut
middlemen untuk menjadi perantara bagi petani dan pabrik pengolahan karet.
Middlemen dalam hal ini diperankan oleh pengumpul, pedagang, dan pre
processor. Mereka mengisi salah satu fungsi yaitu mengintegrasikan beberapa
tahapan guna mempermudah proses distribusi karet mentah ke pabrik. Dari
pemaparan tentang munculnya middleman, dapat dikatakan bahwa pola
koordinasi di industri karet Vietnam bersifat captive, dimana terdapat beberapa
supllier dari beberapa petani kecil.
E. Kerangka Teori
1. Global Value Chain

Munculnya integrasi dalam ekonomi global membuka kesempatan besar


bagi pertumbuhan ekonomi suatu negara. Globalisasi membentuk sebuah jaringan
dan koordinasi antara komponen-komponen produksi dalam skala global. Hal
tersebut membuka peluang besar bagi negara berkembang untuk memaksimalkan
perannya dalam segala aspek, termasuk dalam perdagangan global. Bagi negara
berkembang seperti Indonesia, globalisasi diyakini akan memacu pertumbuhan
industri dan meningkatkan aktifitas produksi dan jasa. Tentunya, akan berdampak
pula pada penyerapan tenaga kerja.

Fenomena globalisasi ini dapat dipahami menggunakan analisis Global


Value Chain (GVC) yang fokus pada dinamika antar rantai dalam sektor produksi,
khususnya cara perusahaan-perusahaan dan negara-negara terintegrasi secara
global. GVC diartikan sebagai rangkaian aktifitas yang diperlukan untuk
membawa produk atau jasa dalam sebuah konsepsi, melewati fase-fase produksi
yang berbeda, distribusi kepada konsumen dan proses pembuangan setelah
penggunaan.17 Produksi pada hakekatnya hanyalah salah satu proses dari rantai
nilai tambah. Selain itu, terdapat rangkaian aktifitas lain di dalam jaringan
rantai
yang dapat dilihat melalui tabel Proses Dasar Rantai Nilai di bawah ini.

17 Raphael Kaplinsky and Mike Morris (2000) A Handbook for Value Chain Research,
hal.4
Gambar 1. Proses Dasar Rantai Nilai (Value Chain)

Sumber: Raphael Kaplinsky & Mike Morris, A Handbook for Value Chain
Research, 2000, hal. 4

Rantai nilai pertama dalam GVC dalam gambar 1 adalah desain dan
pengembangan produk, rantai kedua adalah produksi yang mencakup logistik,
transformasi input, dan pengemasan, rantai ketiga adalah proses pemasaran dan
keempat, konsumsi dan daur ulang. Meskipun sering digambarkan sebagai sebuah
rantai vertikal, jaringan antar rantai lebih cenderung bersifat dua arah, ada
hubungan saling mempengaruhi antar rantai.

Terdapat empat dimensi dasar dalam metodologi GVC untuk melihat


perubahan rantai produksi satu ke rantai lainnya antara lain:

1. Struktur input dan output, menjelaskan tentang proses perubahan dari


bahan mentah menjadi produk jadi.
2. Pertimbangan geografis, dimana bahan tersebut diperoleh serta siapa yang
membelinya.
3. Struktur pemerintah, sejauh mana pemerintah mengendalikan rantai nilai
ini.
4. Serta lembaga-lembaga mana saja yang terkait dalam konteks global value
chain.
Sedangkan, menurut Kaplisky dan Morris, terdapat tiga elemen dalam analisis
rantai nilai:18

18 Ibid, hal. 25

19 Lihat Kaplinsky (1998) dan Kaplinsky (2002)

20 Opcit, hal 28

a. Barriers to entry and rent


b. Governance
c. Perbedaan tipe rantai nilai

Pertama, Barriers to entry and rent. Rantai nilai adalah konsep yang
penting untuk menjelaskan tentang distribusi keuntungan yang didapat dari
desain, produksi, pemasaran, koordinasi, dan daur ulang. Pada dasarnya,
keuntungan utama bertambah kepada pihak yang dapat berkompetisi.
Kemampuan untuk memisahkan aktifitas-aktifitas dirangkum dalam konsep rent,
yang muncul dari kepemilikan atribut-atribut langka dan mengakibatkan
hambatan masuk (barrier to entry)19.

Terdapat berbagai macam bentuk rent yang berkaitan dengan ketersediaan


energi dan kebijakan pemerintah, biasanya disebut economics rent. Efisiensi
kebijakan pemerintah memudahkan perusahaan untuk membuat konsep economic
rents dengan menyediakan akses yang lebih baik bagi sumber daya manusia,
infrastruktur, pemilik modal, dibanding dengan di negara pesaing. Pemerintah
juga melindungi produsen dari kompetisi, tidak hanya lewat kebijakan perusahaan
yang spesifik seperti kontrol impor, tetapi juga melalui kebijakan lain seperti
kontrol terhadap imigrasi. Terdapat berbagai macam economic rent dalam di
dalam ekonomi global:20

1. Rents yang berasal dari diferensiasi perusahaan:


a) Tecnology rents: memiliki kekuasaan atas teknologi langka
b) Human resource rents: memiliki keahlian dan ketrampilan yang lebih baik
dibanding yang dimiliki kompetitor
c) Organisational rents: memiliki manajemen organisasi yang superior
d) Marketing rents: memiliki kemampuan pemasaran dan branding
e) Relational rents: memiliki hubungan superior dengan supplier dan
costumer
2. Rents yang berasal dari karunia alam adalah resource rents yang berkaitan
dengan akses terhadap sumber daya alam langka
3. Rents yang berasal dari pihak eksternal:
a) Policy rents: berjalan di lingkungan pemerintahan yang efisien,
mengkonstruksikan barriers to entry kepada kompetitor
b) Infrastructure rents: akses terhadap infrastruktur yang berkualitas seperti
telekomunikasi
c) Financial rents: akses terhadap keuangan yang lebih baik dibanding
dengan yang dimiliki kompetitor

Rents yang paling menonjol dalam Industri karet di Indonesia adalah yang
berasal dari karunia alam (resources rents), Indonesia menjadi penghasil karet
alam terbesar kedua di dunia setelah Thailand. Pasokan bahan baku yang
berlimpah menjadi keuntungan bagi Indonesia untuk mengembangkan industri
hilir. Industri hilir karet Indonesia masih bergantung pada rents yang berasal dari

pihak eksternal. Indonesia masih memiliki keterbatasan dalam infrastruktur


(infrastructure rents) dan modal (financial rents), sehingga pemerintah
diharapkan bisa menjadi policy rents dalam mengatur sirkulasi investasi domestik
maupun asing.

Kedua, Governance. Rantai nilai berarti pengulangan dari interaksi


jaringan. Governance menjamin bahwa interaksi antara perusahaan-perusahaan
sepanjang rantai nilai menunjukkan refleksi dari organisasi. Rantai nilai
ditentukan dengan parameter yang mencakup produk, proses dan kualifikasi
logistik yang merupakan akibat dari aktifitas, aktor, peran, dan fungsi. Kekuatan
yang tidak seimbang menjadi fokus dalam governance rantai nilai. Untuk
memahami peran governance dalam rantai nilai, terdapat empat elemen yang
relevan:21

21 Raphael Kaplinsky and Mike Morris, A Handbook for Value Chain Research,
2000,hal.30
a. Terdapat perbedaan penting antara 3 fungsi pemerintah (pemisah
kekuasaan), yaitu:
a) Legislatif adalah fungsi pembuatan aturan-aturan dalam
menjalankan rantai nilai. Contohnya, aturan yang dipakai
berdasar standar internasional seperti ISO9000 (tentang
kualitas), ISO14000 (terkait lingkungan), SA8000 (standar
buruh)), dan Hazard Analysis and Critical Control Point
(HACCP) dalam produk makanan.
b) Eksekutif adalah pelaksanaan aturan
c) Yudikatif adalah monitor kesesuaian dengan aturan
b. Agar efektif, power harus memiliki aturan terkait sanksi, sanksi-sanksi
tersebut pada umumnya diasumsikan sebagai hal yang negatif dan
secara langsung dijatuhkan bagi pelanggar, tetapi sanksi bisa jadi
dikemas menjadi hal positif dan mungkin berupa penghargaan sesuai
dengan kesesuaian.
c. Keberlanjutan governance merefleksikan legitimasi dari kekuasaan
d. Pemberian kekuasaan kepada yang berwenang akan membedakan
ruang kekuatan dan fisik dan ekonomi

Menurut Gereffi (2005), terdapat lima struktur Governance dalam GVC, yaitu:

1. Market, transaksi yang relatif sederhana dimana perusahaan dan individu


membeli dan menjual produk ke salah satu dengan sedikit sekali terjadi
interaksi di luar pertukaran barang dan jasa
2. Modular, terjadi ketika transaksi yang kompleks relatif mudah untuk
dikodifikasikan, pemasok membuat produk atau memberikan jasa sesuai
dengan spesifikasi permintaan pelanggan
3. Relational, di mana satu set yang relatif kecil perusahaan terletak intensif
berinteraksi dan berbagi pengetahuan dalam mendukung semua mitra
rantai nilai
4. Captive, terjadi ketika pemasok skala kecil bergantung pada satu atau
banyak penjual yang sering menggunakan kekuasaannya terhadap
transaksi,
5. Hierarchy, integrasi vertikal dan kontrol kepemimpinan dalam lead firm
yang mengembangkan dan memproduksi produknya

Gambar 2. GVC Governance

(Sumber: presentasi oleh Riza Nur Arfani, GVC (Global Value Chain)
Framework: Perspectives & Practices to Comprehend Local-Global Nexus in
Trade, Economic Relations)

Indonesia menggunakan struktur hierarki dalam aktifitas upstream


(industri hulu) karet. Upstream karet Indonesia didominasi oleh komponen
domestic value chain (DVA), komponen DVA terdiri dari small holder yang
sangat bergantung pada keberadaan lahan pertanian. Sedangkan downstream
(hilir), menggunakan struktur market, modular, dan relational. Dimana, aktor
domestik diperlakukan sebagai turn-key supplier.

Ketiga, Perbedaan tipe rantai nilai. Ada konsep lain untuk


mendeskripsikan rantai nilai yaitu global commodity chain (GCC) yang
dikenalkan oleh Gereffi pada pertengahan tahun 1990-an. Beberapa rantai yang
ditandai oleh pihak dominan menentukan karakter nilai, dan bertindak sebagai
lead firm yang bertanggung jawab atas aktifitas upgrading yang ada di dalam
suatu jaringan dan koordinasi dengan jaringan lain. Koordinasi antara lead firm
dan jaringan lain di dalam GCC diatur oleh governance. Analisis governance
memberikan penjelasan tentang bagaimana sebuah rantai dikendalikan dan
dikoordinasikan ketika aktor-aktor tertentu dalam sebuah rantai memiliki power
yang lebih besar daripada yang lain. Gereffi mendefinisikan governance sebagai
hubungan kekuasaan yang menentukan bagaimana finansial, bahan baku, dan
sumber daya manusia dialokasikan dan disalurkan di dalam sebuah rantai.22

22 Gereffi, G and M. Korzeniewicz (eds.) (1994), C`ommodity Chain and Global


Capitalism,
London; Praeger

23 Ibid

24 Ibid

25 Ibid

Pada awalnya di dalam kerangka GCC, governance dikelompokkan ke


dalam dua tipe yakni, tipe buyer driven commodity chain dimana koordinasi
ditentukan oleh pembeli dan tipe producer driven commodity chain dimana
produsen mengambil peran dalam rantai.23 Pertama, tipe buyer driven commodity
chain ditemukan pada industri dimana pengecer, pemasaran, dan brand
manufacture memiliki peran penting dalam desentralisasi jaringan produksi pada
negara-negara eksportir, biasanya terdapat pada negara dunia ketiga.24 Bentuk
industrinya adalah padat karya, industri barang konsumsi misalnya, industri
garmen, alas kaki, mainan, elektronik, dan aneka kerajinan tangan. Produsen
menggunakan desentralisasi produksi, tipe ini terdapat di negara berkembang
dimana produsen lokal memiliki tugas untuk menyelesaikan produk sesuai
spesifikasi pembeli. Kedua, producer driven commodity chains dicirikan bagi
manufaktur besar yang berskala transnasional.25 Manufaktur memiliki peran
sentral dalam mengkoordinasikan jaringan produksi. Bentuk industrinya adalah
padat modal dan teknologi. Misalnya, industri otomotif dan komponennya,
penerbangan, komputer, dan produk mesin berat.
Industri karet dan produk karet Indonesia dikategorikan ke dalam tipe
producer driven commodity chain dalam sistem produksinya. Salah satu sektor
industri dalam tipe producer driven commodity yang berkembang pesat dan
menggunakan karet alam dalam proses produksinya adalah sektor industri
otomotif. Industri otomotif dunia disokong oleh banyak perusahaan manufaktur
pendukung. Salah satunya adalah perusahaan manufaktur ban. Beberapa
perusahaan ban multinasional yang menanamkan modal dan melakukan transfer
teknologi di Indonesia misalnya, Goodyear (Amerika Serikat), Michelin
(Perancis) dan Bridgestone (Inggris) menyerap karet mentah Indonesia sebagai
bahan baku produk ban mereka. Sisi positif dari hadirnya perusahaan
multinasional tersebut adalah adanya transfer teknologi, pengetahuan, tersedianya
lapangan pekerjaan dan lancarnya investasi.

2. Konsep Upgrading

Tantangan utama bagi negara berkembang pada saat masuk dalam pasar
global adalah permintaan terhadap skill dan pengetahuan yang baru. Misalnya,
prosedur dalam birokrasi, standar dan persyaratan nasional, serta jaringan
pemasaran dan keinginan konsumen. Hal tersebut dilakukan untuk meningkatkan
daya saing suatu produk. Menurut Organisation for Economic Cooperation dan
Development (OECD), daya saing (competitiveness) adalah kemampuan
perusahaan, industri, daerah, negara, atau antar daerah untuk menghasilkan faktor
pendapatan dan faktor pekerjaan yang relatif tinggi dan berkesinambungan untuk
menghadapi persaingan internasional. Oleh karena daya saing industri merupakan
fenomena di tingkat mikro perusahaan, maka kebijakan pembangunan industri
nasional semestinya didahului dengan mengkaji sektor industri secara utuh
sebagai dasar pengukurannya.

Untuk mencapai daya saing, hal yang paling mudah dilakukan oleh
perusahaan lokal adalah dengan upaya upgrading. Upgrading diartikan sebagai
kemampuan produsen untuk melaksanakan inovasi yang bertujuan untuk
meningkatkan dan menguatkan daya saing di pasar global.26 Upgrading dilakukan
untuk memperbaiki kualitas sebuah produk dan mengubah proses produksi
menjadi lebih efisien. Menurut Gerrefi, agar lebih mudah menganalisis upgrading
dalam value chain maka dapat dilakukan klasifikasi dalam 4 tipe upgrading:27

26 Raphael Kaplinsky and Mike Morris(2000) A Handbook for Value Chain Research

27 Gereffi, G. (1999) International Trade and Industrial Upgrading in the Apparel


Commodity
Chain, Journal of Interbational Economics, Vol.48 , No. 1, pp 37-70

28Humphrey, J. and Schmitz, H., (2000) Governance and Upgrading: Linking Industrial
Cluster
and Global Value Chain Research. IDS Working Paper, 120, Brighton: Institute of
Development
Studies, University of Sussex.

1. Product Upgrading, dilakukan dengan mengenalkan produk baru atau


memperbaharui produk lama tentunya agar dapat bersaing dengan
kompetitor. Aktifitas ini juga mencakup proses pengembangan produk
baik dalam jaringan individu dalam rantai nilai dan hubungan antara
jaringan rantai yang berbeda.
2. Process upgrading, meningkatkan efisiensi di dalam proses internal
dan tentunya memiliki keunggulan dari rival-nya. Dilakukan dalam
jaringan individu dalam rantai (contohnya, meningkatkan jasa
persediaan, menekan pembatalan) dan di antara jaringan dalam rantai
(contohnya, pengiriman yang lebih sering dan tepat waktu)
3. Functional upgrading, meningkatkan value added (nilai tambah)
dengan cara mengubah cara kelola aktifitas dalam perusahaan
(tanggung jawab perusahaan, proses akunting, hal yang terkait
ketenagakerjaan, logistik, dan quality functions) atau mengubah
aktifitas perusahaan ke dalam jaringan yg berbeda dalam sebuah rantai
(dari manufaktur ke desain), biasanya dilakukan dengan mengakuisisi
kegunaan baru yang lebih unggul dalam rantai seperti desain atau
pemasaran.
4. Chain upgrading, merupakan upaya meningkatkan kompetisi dengan
membuat rantai baru.28 Misalnya, perusahaan-perusahaan Taiwan
yang beralih dari manufaktur transistor radio ke kalkulator hingga
tablet.
F. Argumentasi Utama

Untuk menjawab rumusan masalah dalam penelitian ini, penulis


berargumen bahwa Indonesia perlu menaikkan nilai tambah karet alam agar
mampu bersaing dalam pasar global. Harga karet alam dalam bentuk bahan baku
sangat fluktuatif, mengingat muncul produsen karet alam baru dan karet alam
memiliki value added yang rendah. Untuk menaikkan nilai ekpor, Indonesia harus
fokus pada hilirisasi karet. Rantai karet yang paling tinggi nilainya adalah produk

ban. Upaya masuk ke industri ban dilakukan oleh Indonesia menggunakan strategi
upgrading. Strategi upgrading Indonesia dilakukan dengan cara pembuatan
kebijakan-kebijakan yang mengatur investasi asing, peningkatan kualitas produk,
dan perbaikan infrastruktur.

G. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, yang merupakan suatu


metode yang bersifat deskriptif dan menganalisis fenomena atau isu yang terjadi
pada sebuah konteks sosial. Penelitian kualitatif dimaksudkan untuk
mengumpulkan informasi mengenai status suatu gejala yang ada, yaitu gejala
menurut apa yang pada saat penelitian dilakukan.29 AdapZZZZun data atau
sumber penulisan penelitian ini diperoleh dari data primer dan data sekunder yang
berupa Data primer, berupa data yang dikumpulkan melalui wawancara dengan
pihak terkait, yaitu Pemerintah yang terdiri dari Kementrian Perdagangan. Data
sekunder, yakni data yang diperoleh dari hasil tulisan atau penelitian yang telah
dipublikasi seperti buku, jurnal, tesis, dokumen, artikel, media cetak dan berbagai

sumber yang relevan dengan hasil penelitian yang akan disusun.

29 L. J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya,


2005) hal. 3

Analisis ini bertujuan untuk memperoleh gambaran yang komprehensif


tentang upaya pemerintah dalam menjalankan strategi upgrading guna
meningkatkan nilai tambah karet Indonesia sehingga mampu bersaing di pasar
karet internasional. Data dalam penelitian ini mencakup data statistik
perkembangan produksi dan konsumsi karet dunia, data statistik ekspor-impor
karet Indonesia, peta panduan (roadmap) pengembangan klaster industri karet dan
barang karet yang dikeluarkan oleh Kementrian Perindustrian RI tahun 2009,
Peraturan Menteri Perdagangan terkait kebijakan industri karet dan ban, data
statistik produksi ban di Indonesia dan dunia.

H. Jangkauan Penelitian

Penelitian tentang strategi upgrading pemerintah dalam industri karet


dibatasi dengan kebijakan �kebijakan dan upaya yang dilakukan oleh pemerintah
pada tahun 2005 � 2015.

I. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan pada penelitian ini dibagi menjadi empat bab yakni,
Bab pertama adalah pendahuluan yang terdiri dari latarbelakang masalah,
rumusan masalah, tujuan penelitian, literature review, kerangka teori, argumentasi
utama, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab kedua menggambarkan tentang posisi Indonesia dalam industri karet


global.

Bab ketiga berisi pemaparan komprehensif tentang strategi upgrading


pemerintah Indonesia dalam meningkatkan nilai tambah industri karet melalui
rantai nilai ban sehingga mampu bersaing di pasar global.

Bab keempat berisi penutup yang berisi kesimpulan dari temuan yang ada
dalam pembahasan.

Anda mungkin juga menyukai