Anda di halaman 1dari 26

KATA PENGANTAR

Segala puji hanya milik Allah SWT. Shalawat dan salam selalu
tercurahkan kepada Rasulullah SAW. Berkat limpahan dan rahmat-Nya
penyusun mampu menyelesaikan tugas makalah ini guna memenuhi tugas mata
kuliah Pendidikan Agama Islam.
Agama sebagai sistem kepercayaan dalam kehidupan umat manusia
dapat dikaji melalui berbagai sudut pandang. Islam sebagai agama yang
telah berkembang selama empat belas abad lebih menyimpan banyak
masalah yang perlu diteliti, baik itu menyangkut ajaran dan pemikiran
keagamaan maupun, politik, ekonomi dan budaya.
Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang kami
hadapi. Namun kami menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan materi ini
tidak lain berkat bantuan, dorongan, dan bimbingan dari dosen kita Nanang
Rahman Shaleh, S.Ag. M.Th.I, sehingga kendala-kendala yang kami hadapi
teratasi.
Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang Bersuci
Ketika Sakit, yang kami sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber
informasi, referensi, dan berita. Makalah ini di susun oleh penyusun dengan
berbagai rintangan. Baik itu yang datang dari diri penyusun maupun yang datang
dari luar. Namun dengan penuh kesabaran dan terutama pertolongan dari Allah
akhirnya makalah ini dapat terselesaikan.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan
menjadi sumbangan pemikiran kepada pembaca khususnya para mahasiswa
Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya. Saya sadar bahwa makalah ini masih
banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Untuk itu, kepada dosen
pembimbing kami meminta masukannya demi perbaikan pembuatan makalah
kami di masa yang akan datang dan mengharapkan kritik dan saran dari para
pembaca.

Surabaya, 30 September 2015

Tim Penyusun

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................... 1


DAFTAR ISI................................................................................................ 2
BAB I PENDAHULUAN........................................................................ 3

1.1 Latar Belakang.......................................................................... 3


1.2 Rumusan Masalah.................................................................... 3
1.3 Tujuan Pembahasan.................................................................. 4
BAB II PEMBAHASAN......................................................................... 5
2.1 Dasar Toleransi Bersuci dan Beribadah bagi Orang Sakit ...... 5
2.2 Bersuci bagi Orang Sakit......................................................... 6
2.2.1 Membersihkan Najis……………………………….. 6
2.2.2 Istinja’……………………………………………… 8
2.2.3 Wudhu……………………………………………… 9
2.2.4 Tayammum…………………………………………. 16
2.2.5 Mandi………………………………………………. 17
2.3 Ketentuan Shalat bagi Orang Sakit........................................... 18
2.4 Cara Shalat bagi Orang Sakit.................................................... 20
2.5 Kondisi yang terjadi di dalam Shalat........................................ 24
2.6 Pembatal dan Non Pembatal Shalat.......................................... 25
2.7 Hukum Shalat yang Ditinggalkan Pasien.................................. 26
BAB III PENUTUP................................................................................ 28
3.1 Kesimpulan............................................................................... 28
3.2 Saran......................................................................................... 28

DAFTAR PUSTAKA................................................................................. 29

2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Thaharah secara bahasa berarti bersih dan membebaskan diri dari kotoran
dan najis. Sedangkan pengertian thaharah secara istilah (syara’) adalah
menghilangkan hukum hadats untuk menunaikan shalat atau (ibadah) yang
selainnya yang disyaratkan di dalamnya untuk bersuci dengan air atau
pengganti air, yaitu tayammum.
Jadi, pengertian thaharah atau bersuci adalah mengangkat kotoran dan
najis yang dapat mencegah sahnya shalat, baik najis atau kotoran yang
menempel di badan, maupun yang ada pada pakaian, atau tempat ibadah
seorang muslim.
Seorang yang sedang ditimpa musibah sakit, bukan berarti dia terepas dari
kewajiban ibadah. Termasuk yang paling penting adalah ibadah shalat. Ibadah
yang sangat erat kaitannya dengan ibadah shalat adalah thaharah (bersuci),
baik dari hadats besar maupun hadats kecil.
Namun sangat disayangkan, banyak kaum muslimin yang belum
mengetahui tuntunan ibadah ketika dalam kondisi sakit. Selama ini
masyarakat banyak yang menyepelekan ibadah ketika sakit. Oleh karena itu,
kami di sini membuat makalah tentang Bersuci Ketika Sakit agar masyarakat
mengetahui bagaimana cara bersuci ketika sakit.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan permasalahan sebagai
berikut:
1. Apa dasar – dasar toleransi bersuci dan beribadah bagi orang sakit?
2. Bagaimana cara bersuci bagi orang yang sakit?
3. Apa ketentuan shalat bagi orang sakit?
4. Bagaimana cara shalat bagi orang sakit?
5. Apa kondisi yang terjadi di dalam shalat?
6. Apa pembatal dan non pembatal shalat?
7. Apa hukum shalat yang ditinggalkan pasien?
1.3 Tujuan Pembahasan
1. Mengetahiu dasar – dasar toleransi bersuci dan beribadah bagi orang sakit
2. Mengetahui cara bersuci bagi orang yang sakit
3. Mengetahui ketentuan shalat bagi orang sakit
4. Mengetahui cara shalat bagi orang sakit

3
5. Mengetahui kondisi yang terjadi di dalam shalat
6. Mengetahui pembatal dan non pembatal shalat
7. Mengetahui hukum shalat yang ditinggalkan pasien

4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Dasar Toleransi Bersuci dan Beribadah


Terkait dengan thaharah dan ibadah bagi orang sakit, Syaikh Muhammad
bin Shalih al – Utsaimin berkata: “Sesungguhnya bagi orang sakit itu ada
hukumnya secara khusus dalam hal bersuci dan shalat (juga puasa dan ibadah
haji; pen). Karena dia dalam keadaan yang (walaupun sakit) tetap dituntut oleh
syari’at Islam untuk menjalankan syari’at itu.
Dalam konteks inilah, Allah mengutus Nabi-Nya Muhammad SAW
dengan misi al-hanafiyyah as samhah (kemudahan dan toleransi) yang
dibangun atas (asas) toleransi dan kemudahan. Allah telah berfirman :
       
“Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan”.
(QS. Al-Hajj:78)
        
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran
bagimu”. (QS. Al-Baqarah:185)
   
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah
serta taatilah”. (QS. Al-Taghabun:16)
Berdasarkan kaidah – kaidah yang mendasar inilah maka Allah SWT telah
meringankan ibadah orang – orang yang terkena udzur (halangan) sesuai dengan
udzur mereka, agar mereka bisa beribadah kepada Allah SWT tanpa kesukaran
dan kesulitan.

5
2.2 Bersuci bagi Orang Sakit
Islam mewajibkan umatnyauntuk menjaga kesucian atau kebersihan
badan, dengan istilah thaharah. Bahkan sebelum melaksanakan ibadah yang
ditentukan, seorang muslim diwajibkan untuk berthaharah (bersuci).
Sedangkan kesucian dan kebersihan sangat berkaitan dengan kesehatan.
Dengan demikian Islam memberikan tuntunan untuk melaksanakan hidup
suci dan sehat.
Thaharah menurut bahasa adalah bersih dan suci. Thaharah menurut
syara’ adalah bersuci untuk menghilangkan segala jenis najis maupun hadas
yang melekat di dalam tubuh agar dapat melaksanakan ibadah dalam keadaan
suci. Thaharah dari hadas dan najis itu menggunakan air, sebagaimana firman
Allah:
      
“… dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk mensucikan kamu
dengan hujan itu”. (QS. Al-Anfal:11)
Adapun tata cara bersuci (thaharah) bagi orang sakit sebelum menunaikan
ibadah shalat adalah sebagai berikut:
2.2.1 Membersihkan Najis
Orang yang sakit wajib membersihkan najis (kotoran) yang ada di
tubuh, pakaian dan tempat tidurnya. Kewajiban itu berlaku bila ia mampu,
yakni tidak mempunyai kesulitan atau bahaya, tidak merasa sakit atau
bertambah parah sakitnya, tidak memperlambat kesembuhannya, ada
orang yang membantu untuk membersihkan najis, tanpa menimbulkan
bahaya, dan hal – hal lain yang termasuk kemampuan.
Orang sakit tidak wajib membersihkan najisnya tersebut, bila ia
tidak mampu, yakni mempunyai kesulitan atau bahaya, merasa sakit atau
bertambah parah sakitnya, dapat memperlambat kesembuhannya, tidak ada
orang yang membantu untuk membersihkan najis, dan hal – hal lain yang
termasuk ketidakmampuan.
Orang sakit dengan kondisi tersebut, boleh shalat dengan najis
yang menempel di tubuhnya. Shalatnya sah dan tidak wajib diulang, untuk
menjauhkan kesulitan. Hal itu berlaku, baik benda najisnya menempel
pada baju, tubuh, atau pembalut, pengikat atau perban yang diletakkan di
atas lukanya, atau tempat yang dipakai untuk shalat seperti ranjang, kursi,

6
lantai, atau menempel dengan benda najis seperti orang yang membawa
botol kencing atau tinja.
Namun, bila orang sakit itu mampu untuk mengganti pakaian yang
suci maka hal itu hukumnya sunnah, tidak wajib. Maksudnya ia akan
diberi pahala jika melakukannya dan tidak berdosa jika tidak melakukan,
bahkan jika menimbulkan mudharat dia berdosa karena kesengajaan untuk
membahayakan dirinya sendiri.
Adapun benda najis yang sering mengenai orang sakit adalah:
kencing, kotoran, wadhi dan muntah. Rasulullah bersabda “cucilah
bajumu dari kencing, tinja, mazdi dan muntah”
Madzi adalah cairan putih bening sediit kental,keluar ketika
bercumbu atau berkhayal tentang sesuatu yang menimbulkan ransangan.
Wadhi adalah cairan putih kental, keluar setelah karena kerja berat, lelah
atau sakit dsb. Mani adalah cairan putih dan kental, baunya seperti adonan
roti, memancar secara berturut – turut saat memuncaknya syahwat.
Adapun orang yang memiliki penyakit seperti beser, diare, madzi
dan wadhi, maka menurut Imam Malik dimaafkan apa yang mengenai
tubuh dan bajunya, jika keluar dengan sendirinya, hal itu demi
menghindari kesulitan bagi orang yang sakit, karena najis tersebut sulit
dihindari.
Mengenai tata cara menghilangkan (membersihkan) najisnya
adalah tergantung pada tempat yang terkena najis.
a. Jika najis menempel di baju atau pakaian, maka dicuci dengan air
sampai hilang najis dan bekasnya (seperti warna dan baunya). Bila
warnanya masih ada (seperti bekas darah) maka dimaafkan dengan
kemudahan.
b. Jika najis menempel di ranjang (kasur/tilam) yang tebal, maka najis
tersebut ditutup dengan spreai yang suci. Ini dilakukan jika
memungkinkan dan bila tidak mungkin maka boleh shalat di atas kasur
tersebut, shalatnya sah demi menghindari kesulitan.
c. Jika najis yang menempel di tubuh pasien itu tidak mungkin di cuci
dengan air karena ada bahaya, merasa sakit atau memperlambat
kesembuhannya, maka boleh dicuci dan dibersihkan dengan alkohol
sampai bersih dari kuman.

7
d. Jika pasien tersebut mengganti baju, pelarut/pembalut yang sudah
najis, maka sunnah hukumnya, tidak wajib. Tetapi jika hal itu
menimbulkan bahaya (seperti terasa sakit) maka ia berdosa karena
kesengajaan untuk membahayakan diri sendiri.
2.2.2 Istinja’
Istinja’ artinya bersuci untuk membersihkan bekas (sisa) buang air
kecil atau buang air besar pada kedua tempat keluarnya masing – masing.
Apabila orang sakit selesai dari membuang kotoran, baik dari qubul (alat
kelamin) atau dubur (anus) maka bersucilah dengan air atau benda lainnya
yang dibolehkan untuk bersuci. Benda yang boleh digunakan untuk
bersuci, adalah air, dan benda yang mampu menyerap najis dan
membesihkannya, seperti tissu, kertas, kain dan batu.
Orang sakit wajib ber-istinja’; jika mampu, dan tidak wajib ber-
istinja’ jika ia tidak mampu (sebagaimana membersihkan najis). Istinja’
tidak sah hukumnya, jika kotoran yang melekat di badan tidak dihilangkan
terlebih dahulu. Oleh karena itu, air seni atau kotoran yang menempel
harus dihilangkan dengan cara membersihkan dan membasuh qubul atau
dubur dengan air bersih.
Saat beristinja’ hendaknya dilakukannya dengan tangan kiri.
Sedangkan bagi orang sakit yang tidak mampu beranjak dari tempat tidur,
maka hendaknya minta bantuan pada orang lain (muhrimnya). Apabila
tidak memungkinkan untuk mebasuh anggota tubuh yang wajib di basuh,
maka dia harus mengusapnya walaupun dengan selembar kain basah. Allah
berfirman:
   
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan
dengarlah serta taatilah”. (QS. Al-Taghabun:16)
2.2.3 Wudhu
Wudhu artinya bersuci dari hadas kecil, diperintahkan sebelum
mengerjakan shalat berdasarkan firman Allah:
      
    
    

8
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat,
Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah
kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki”. (QS. Al-
Maidah:6)
Berdasarkan dalil tersebut, orang yang sakit wajib berwudhu bila
tidak mempunyai kesulitan atau bahaya, tidak merasa sakit atau bertambah
parah sakitnya, tidak memperlambat kesembuhannya, ada orang yang
membantu untuk berwudhu, tanpa menimbulkan bahaya, dan hal – hal lain
yang termasuk kemampuan seperti memakai air yang hangat atau sakit
ringan.
Sebaliknya, orang sakit tidak wajib berwudhu bila ia merasa
kesulitan atau berbahaya, tidak mampu bergerak, merasa sakit atau
bertambah parah sakitnya, dan tidak ada orang yang membantu untuk
wudhu, persediaan air sangat sedikit, air sangat dingin dan tidak ada alat
pemanasnya dan hal lain yang termasuk ketidakmampuan. Sebagai
ganinya, boleh bertayammum demi menghindari kesulitan dan bahaya. Hal
ini berdasarkan ayat al-Qur’an yang berbunyi:
        
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah
Maha Penyayang kepadamu”. (QS. An-Nisaa’:29)
Kebolehan tayammum (pengganti dari wudhu) tersebut telah
dijelaskan oleh ayat al-Qur’an yang berbunyi:
          
       
     

“Dan jika kamu junub Maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam
perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh
perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah
dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan
tanah itu”. (QS. Al-Maidah:6)
Jika orang sakit itu tidak boleh terkena air untuk wudhu dan tidak
mendapatkan debu atau debunya berbahaya jika terkena anggota

9
tayammum, maka boleh shalat tanpa wudhu dan tayammum. Shalatnya
dihukumi sah dan tidak diwajibkan untuk mengulang lagi. Shalat yang
dilakukan oleh orang tersebut disebut faqid al-Thahurain, yaitu orang yang
dibebaskan dari kewajiban wudhu dan tayammum.
Hal yang penting dipahami adalah apabila orang sakit melakukan
wudhu, tidak bisa menyempurnakan wudhu atau menyucikan anggota
wudhunya sebagaimana ketika dalam keadaan sehat, maka dalam syari’at
Islam diajarkan tata cara wudhu bagi orang sakit, di antaranya:
1. Wudhu bagi pasien dengan sakit ringan
Bagi pasien dengan sakit ringan dianjurkan untuk melakukan
wudhu secara sempurna, yakni berwudhu dengan memperhatikan
syarat, fardhu dan sunnahnya. Bila ia tidak mampu wudhu sendiri,
maka boleh dibantu oleh perawat yang sejenis kelamin.
Adapun tata cara wudhunya adalah sama sebagaimana wudhu yang
dilakukan oleh orang sehat ketika hendak mengerjakan shalat
(meliputi sunnah dan fardhunya wudhu), yaitu:
a. Membaca tasmiyah (basmalah).
b. Mencuci kedua telapak tangan sampai pergelangan tangan.
c. Berkumr sambil membersihkan gigi.
d. Menghirup air kedalam hidung kemudian mengeluarkannya.
e. Berniat wudhu.
f. Membasuh wajah tiga kali diiringi niat berwudhu.
g. Membasuh kedua tnagan sampai siku-siku tiga kali, dimulai
dari tangan kanan, kemudian tangan kiri.
h. Mengusap sebagian (rambut) kepala satu atau tiga kali.
i. Mengusap kedua daun telinga (luar dan dalam) tiga kali.
j. Membasuh kedua kaki sampai mata kaki tiga kali, dimulai dari
kaki kanan, kemudian kaki kiri.
k. Tertib atau berurutan, yakni mengerjakan rukun wudhu yang
kedua (hingga terakhir) setelah mengerjakan rukun yang
pertama. Kemudian berdoa.
2. Wudhu bagi orang sakit enuresis (ngompol)
Bila seseorang mengidap penyakit enuresis, yaitu penyakit yang
ditandai dengan keluarnya beberapa tetes air kencing di luar kontrol
diri, sehungga membatalkan wudhu, dan juga orang yang mengalami
kentut terus menerus, maka kedua orang tersebut disamakan dengan

10
wanita istihadhah, yaitu wanita yang mengeluarkan darah di luar masa
haidh dan nifas.
Dalam istilah fiqih disebut daim al-hadas (orang yang selalu
berhadas kecil), dan jika hendak menunaikan shalat maka wajib
melakukan langkah – langkah berikut:
a. Membersihkan najisnya yaitu darah bagi wanita mustahadah
dan air seni bagi penderita enuresis.
b. Membalut tempat keluarnya najis.
c. Berwudhu setiap kali akan shalat fardhu tepat pada waktunya.
d. Segera mengerjakan shalat, kecuali menunggu jamaah atau
malakukan shalat sunnah qabliyah.
e. Berwudhu lagi jika ingin melakukan shalat fardhu yang lain.
Apabila langkah-langkah di atas masih dirasakan berat oleh yang
bersangkutan, maka boleh menunaikan shalat secara jamak baik
jamak taqdim maupun jamak ta’khir. Kebolehan ini demi
menghindari kesulitan dan menempuh kemudahan. Allah telah
berfirman dalam al=Qur’an yang berbunyi:
     
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya”. (QS. Al-Baqarah:286).
3. Wudhu bagi orang yang kakinya diamputasi atau buntung
Apabila ada orang yang tangannya terputus hingga lengannya, atau
kakinya terputus hingga lututnya atau komplikasi penyakit, seperti
penderita diabetes sehingga kakinya atau sebagian darinya
diamputasi, maka cara wudhunya adalah:
a. Jika anggota tubuh yang diamputasi tangan lengan atau kaki,
maka ia tidak diwajibkan untuk membasuhnya ketika
berwudhu.
b. Jika yang diamputasi sebagian dari anggota wudhu, maka ia
tetap berkewajiban membasuh anggota yang tersisa.

4. Wudhu bagi orang yang berbadan imitasi


Apabila seseorang kehilangan salah satu dari anggota badan yang
wajib dibasuh atau diusap ketika berwudhu, maka telah gugur
kewajiban membasuh atau mengusap tanpa harus bertayammum

11
karena kehilangan anggota badan yang harus dibasuh atau diusap
meskipun menggantinya dengan anggota badan imitasi (palsu).
Ada sebagian ulama yang berpendapat, apabila terputus pada
pergelangan, maka wajib membasuh permulaan anggota badan yang
terputus itu, misalnya mulai dari sikunya, yakni wajib baginya untuk
membasuh permulaan lengan atasnya. Jika kakinya terpotong mulai
dari mata kaki, maka wajib baginya untuk membasuh dari ujung
tulang keringnya.
5. Wudhu bagi orang yang patah organnya
Bila ada salah satu anggota tubuh yang patah misalnya lengan,
bahu, paha, betis, tulang dan lainnya maka digips dengan kayu atau
papan sebagai upaya penyembuhan agar anggota badan yang patah
dapat bersambung kembali. Kayu atau papan yang diletakkan pada
bagian tubuh itu disebut “jabirah” atau pembalut luka.
Jabirah secara bahasa adalah sesuatu yang dipakai untuk
memperbaiki sesuatu yang rusak. Menurut istilah fiqih, jabirah ialah
sesuatu (perban) yang diletakkan di atas anggota badan yang wajib
dibasuh atau dikenai air ketika bersuci untuk suatu keperluan.
Misalnya gips yang dipakai oleh orang yang patah tulangnya, atau
plester yang dipakai untuk melindungi luka, atau rasa nyeri pada
punggung dan yang sejenisnya.
Ketika bersuci (wudhu) jabirah tersebut tidak boleh dibuka atau
dilepas karena dapat membahayakan dirinya, dalam hal ini ia diberi
keringanan mengusap jabirah itu dengan air sampai sembuh. Menurut
pendapat shahih, tidak disyaratkan memakai jabirah itu dalam kondisi
suci. Sebab kecelakaan patah tulang dan yang lainnya bisa terjadi
secara tiba-tiba dan harus segera digips meski dalam kondisi hadas.
6. Wudhu bagi orang dengan luka bakar
Bagi orang yang menderita luka bakar yang menyebabkan ia tidak
bisa berwudhu, misalnya merasa kesulitan yang luar biasa untuk
mengalirkan air di atas lukanya, atau ada bahaya seperti merasa sakit
atau bertambah parah sakitnya (menurut pengalamaan atau keterangan
dokter), atau kedua tangan dan kakinya memakai gips dan bentuk-

12
bentuk lain ketidakmampuan untuk berwudhu, maka dalam kondisi
semacam ini, orang tersebut wajib menempuh langkah-langkah:
a. Jika mampu mengusap sebagian yang terluka atau yang sakit
dengan air tanpa ada bahaya atau rasa sakit, atau
memperlambat kesembuhan, maka wajib mengusapnya
(dengan menyempurnakan anggota wudhu yang lain). Caranya:
tangan diletakkan ke dalam air, lalu diibaskan kemudian
diusapkan ke bagian tubuh yang sakit atau terluka secara
langsung sebanyak satu kali.
b. Jika tidak mampu mengusapnya karena takut merasa sakit,
bertambah sakitnya atau terlambat sembuhnya, maka bagian
tubuh yang terluka dibalut (tidak keluar dari batasnya)
kemudian diusap dengan air di atas perban (balutannya). Dalam
istilah fiqih, cara ini disebut “al-mash ala al-jabirah” yaitu
mengusap perban.
c. Jika untuk mengusap pun merasa takut, maka diganti dengan
tayammum sebagai ganti dari tidak dibasuhnya bagian atau
beberapa bagian tubuh yang tidak mungkin dicuci atau diusap.
Dia boleh berwudhu untuk bagian-bagian yang dikenai air, dan
bertayammum bagi anggota badan yang tidak dicuci atau
diusap saat berwudhu.
Terkait dengan wudhu bagi orang sakit, terdapat hal-hal yang dapat
membatalkan wudhu dan yang tidak membatalkannya. Adapun hal-
hal yang tidak membatalkan wudhunya pasien adalah:
a. Terus menerus mengeluarkan kencing atau kentut, darah,
nanah, madzi, wadhi atau mani.
b. Darah luka, seperti darah yang keluar dari hidung, gigi
berdarah, diambil darah.
c. Muntah, missal, cairan kuning yang keluar dari selang yang
dipasang pada empedu, muntah makanan atau semisal baik
sedikit atau banyak tidak membatalkan wudhu.
d. Dahak
e. Selang yang dimasukkan ke dalam paru-paru, lambung, usus,
empedu, dada, hidung, telinga, dan yang sejenisnya.

13
Sedangkan hal-hal yang membatalkan wudhu orang sakit adalah
sebagai berikut:
a. Pingsan, hilang akal, bius dan tidur
Semua hal ini membatalkan wudhu, karena ada kemungkinan
keluarnya angin dari lubang dubur baik sebentar maupun lama,
baik akibat sakit atau pengaruh obat atau karena terjadi sesuatu
atau karena sebab lainnya.
b. Tidur dengan posisi duduk (pantat menempel lantai) meski
tidurnya pulas atau tertidur ketika berdiri, ruku’ atau sujud
(menurut Imam Hanafi) tidak membatalkan wudhu dan shalat
karena kondisi semacam ini pada umumnya susah keluar angin
(kentut).
c. Kentut. Merasakan ada sesuatu yang keluar dari perutnya yaitu
angin (gas dalam perut) yakni kentut.
d. Menyentuh kemaluan. Menyentuh kemaluan sendiri atau orang
lain, misalnya dokter memeriksa kelamin pasien, dengan
telapak tangan bagian depan dan tanpa memakai alas atau
sarung tangan (handspoon).
e. Menyentuh lawan jenis. Misalnya dokter laki-laki memeriksa
pasien perempuan atau perawat perempuan mengobati pasien
laki-laki.
f. Mengeluarkan alat atau selang dari saluran kencing, anus dan
vagina karena menjalani pemeriksaan atau pengobatan.
Termasuk mengeluarkan jari-jari tangan dari vagina setelah
pemeriksaan.
2.2.4 Tayammum
Tayammum adalah menyapu telapak tangan dengan debu atau
tanah yang bersih ke muka dan kedua tangan sampai siku-siku disertai
dengan niat. Orang yang sakit diberi keringanan untuk bertayammum
dengan ketentuan: dapat membahayakan jiwa dan anggota tubuh yang
terkena air, bertambah parah atau lama sembuhnya jika terkena air, muncul
penyakit baru jika tersentuh air, sebagian anggota badan sakit dan sebagian
yang lain sehat. Dalam hal ini, yang sehat dibasuh dengan air (wudhu) dan
yang sakit ditayammumkan.

14
Tayammum hanya dapat digunakan untuk satu kali shalat, karena
ia menjadi pengganti dari wudhu. Debu yang sah digunakan tayammum
adalah debu yang bersih dan suci, dimanapun debu itu didapatkan. Bila
dirumah sakit, maka debu itu dapat ditaruh di suatu wadah, dan bila tidak
disediakan, maka boleh tayammum pada dinding ruangan atau di tempat
tidur pasien, selama ada debunya.
Pasien melakukan tayammum sendiri, dan bila tidak mampu maka
ia boleh dibantu orang lain (perawat) yang sejenis kelaminnya. Adapun
tata cara tayammum yang berhubungan dengan fardhu dan sunnahnya
sebagai berikut:
1. Membaca basmalah
2. Menepukkan atau menempelkan kedua telapak tangan diatas
tanah (debu).
3. Meniup debu yang menempel pada kedua telapak tangan
tersebut supaya debu menipis.
4. Berniat tayammum. Kemudian mengusapkan debu pada wajah.
5. Membersihkan atau mengibaskan kedua telapak tangan.
Kemudian menepukkannya lagi ke tanah.
6. Meniup debu yang menempel pada kedua telapak tangan
tersebut supaya debu menipis.
7. Mengusapkan debu pada kedua tangan dari ujung jari-jari
sampai siku, yaitu debu di telapak tangan kiri diusapkan ke
tangan kanan sampai siku-siku dan debu di telapak tangan kanan
diusapkan ke tangan kiri sampai siku-siku.
8. Tertib (berurutan)
9. Berdo’a sebagaimana do’a setelah wudhu.
Beberapa hal yang dapat membatalkan tayammum bagi orang sakit
adalah sebagai berikut:
1. Apa saja yang dapt membatalkan wudhu.
2. Mampu menggunakan air. Yakni jika penyebab tidak bisa
wudhu hilang, dan pasien mampu berwudhu tanpa
menimbulkan kesulitan, atau bahaya seperti betambah sakit
atau terlambat sembuhnya, maka wajib baginya berwudhu dan
tayamummumnya yang semula menjadi batal.

15
3. Masuk waktu shalat yang berikutnya. Yakni tayammum hanya
sah digunakan untuk satu kali shalat fardhu. Jika hendak
melakukan shalat fardhu yang lain, ia wajib bertayammum lagi.
2.2.5 Mandi
Bila orang sakit mempunyai hadas besar, maka sebelum shalat, ia wajib
melaksanakan mandi wajib, yaitu dengan menyiramkan air ke seluruh
tubuh secara merata. Kewajiban mandi ini berlaku jika mampu, yakni bila
pasien tidak mendapatkan kesulitan atau bahaya (sebagaimana diuraikan
pada bahasan menghilangkan najis, istinja’ dan wudhu). Hal ini
berdasarkan firman Allah:
    
“Dan jika kamu junub maka mandilah”. (QS. Al-Maidah:6)
Sebaliknya, ia tidak wajib mandi jika tidak mampu, yakni bila orang
sakit itu mendapatkan kesulitan atau bahaya wudhu, maka dalam keadaan
semacam ini, boleh tayammum sebagai pengganti dari mandi. Kemudian
ia mengerjakan shalat. Kebolehan tayammum itu didasarkan pada ayat 6
surah al-Maidah sebagaimana di sebutkan di atas. Namun apabila
penyebab (tidak mandi) itu hilang, maka ia wajib mandi, dan tidak boleh
tayammum. Ia tidak wajib mengulang shalat yang dilakukan dengan
tayammum karena shalatnya dinilai sah.

2.3 Ketentuan Shalat bagi Orang Sakit


Seluruh ketentuan shalat, baik syarat maupun rukunnya berlaku bagi
setiap muslim mukallaf yang sehat dan yang sakit. Hanya saja, bagi orang
yang sakit mendapatkan rukshah (keringanan) dalam hal tata cara
menunaikan shalat, seperti `ia boleh shalat sambil duduk jika tidak kuat
berdiri dan lain sebagainya. Adapun beberapa ketentuan shalat bagi orang
sakit adalah sebagai berikut:
1. Suci badan, pakaian, dan tempat
Mensucikan badan, pakaian dan tempat adalah wajib jika pasien mampu
melakukannya. Apabila tidak mampu mensucikannya, misalnya karena
kondisi sakitnya, atau tidak ada perawat yang membantunya, maka
pasien mengerjakan shalat dengan kondisi yang ada.
2. Menutup aurat

16
Menutup aurat adalah wajib jika pasien mampu melakukannya. Apabila
tidak mampu menutupnya, misalnya terbakar atau terluka, ada bekas
gigitan dan faktor lainnya, sehingga merasa kesakitan ketika memakai
pakaian, maka hendanya menutup aurat semampunya.
3. Menghadap kiblat
Menghadap kiblat adalah wajib jika mampu melakukannya, misalnya
bisa sedikit bergerak atau ada orang yang menggerakkan tanpa ada
kesulitan atau bahaya, atau tidak menyebabkan rasa sakit atau
penyakitnya semakin parah, di mana kedua telapak kakinya dapat
menghadap ke arah kiblat, atau duduk dengan wajah dan dadanya
menghadap kiblat. Jika tidak mampu, maka boleh shalat sesuai
keadaannya, menghadap ke arah kiblat atau tidak. Shalatnya tetap sah,
dan tidak wajib mengulang.
4. Berdiri, ruku’ dan sujud
Berdiri, ruku’ dan sujud adalah wajib dilakukan dengan sempurna bila ia
mampu. Bila tidak mampu berdiri, boleh shalat sambil duduk bersila
seperti duduk tasyahhud (awal) atau cara apa saja yang sesuai
kemampuannya.
Bila tidak mampu atau mendapatkan kesulitan atau bahaya ketika duduk,
maka sholat sambil tidur miring. Jika ini tidak mampu dilakukan, maka
sholat sambil tidur terlentang. Jika ini pun tidak mampu, maka menurut
cara yang mudah baginya meskipun hanya dengan isyarat kepala atau
kedipan kepala, atau sebagian rukun sholatnya dilakukan didalam hati.
Bila tidak mampu ruku’ atau sujud, misalnya ada rasa sakit dipunggung
atau dikedua lututnya, atau yang semisalnya, maka sholat sambil berdiri
kemudian ketika ruku’ sedikit menundukan kepala, dan (jika ini tidak
mampu) maka dengan isyarat kepala.
Bila sujud, maka menundukan kepala lebih rendah sedikit daripada
ruku’, atau duduk (duduk tasyahud) atau duduk diatas kursi, kemudian
membungkukan sedikit badannya sebagai bentuk sujud. Jika ini tidak
mampu maka dengan isyarat kepala atau kedipan mata.
5. Takbiratul Ihram
Takbiratul ihram adalah wajib dilakukan jika mampu. Bila tidak mampu,
maka boleh dilakukan didalam hati.

17
6. Membaca al-Fatihah
Membaca surat al-Fatihah adalah wajib jika mampu. Bila tidak mampu,
misalnya karena menderita sakit pada otaknya,saraf,lidah,ingatan dan
sebagainya. Hendaknya diam dengan tenang, bersikap khidmat
sepanjang bacaan al-Fatihah atau tasyahud. Jika mampu membaca tujuh
ayat dari al-Qur’an sebagai pengganti dari al-Fatihah, maka sah
shalatnya.
Jika pasien tidak bisa membaca apaapa selain kalimat tasbih
(subhanallah), tahmid (al-hamdulillah), takbir (allahuakbar), dan tahlil
(laa ilaha illa allah), maka cukup baginya untuk membaca kalimat
tersebut.
7. Mengucapkan salam
Jika pasien tidak mampu mengucapkan salam, hendaknya ia
mengucapkan salam didalam hatinya.
8. Menjamak antara dua sholat
Pasien wajib menunaikan sholat pada waktunya, tanpa menunda atau
mengakhirkan shalat. Namun bila pasien mendapatkan keulitan untuk
melakukan kelima shalat fardhu pada waktunya, maka diperbolehkan
baginya untuk mengerjakan shalat secara jamak (mengumpulkan antara
dua shalat) baik jamak taqdim maupun ta’khir disesuaikan dengan situasi
dan kondisi yang dialami oleh orang sakit.Kebolehan menjamak itu
bertujuan memberikan kemudahan padanya. Dalam menjamak antara
dua sholat, pertama, tidak disyaratkan untuk melakukannya secara
berturut-turut. Sebab menurut Ibn Taimiyah hal ini dapat mendatangkan
kesulitan dan menghilangkan makna rukhshah (kerusakan). Misalnya,
antara shalat pertama dengan sholat kedua diselingi dengan istrahat
sejenak untuk minum obat dan kedua, tidak disyaratkan niat jamak pada
awal shalat yang pertama.
2.4 Cara Shalat Bagi Orang Sakit
Mengenai tata cara shalat bagi orang sakit, telah dijelaskan dalam hadis
Nabi saw dengan matan (redaksi) yang sama, yang diriwayatkan oleh al-
Bukhari, al-Tirmidhi, Abu Daud, al-Nasa’i, Ibnu Majah, dan Ahmad. Dalam
riwayat al-Daruquthni, matan hadisnya lebih panjang dan lengkap daripada
riwayat sebelumnya.

18
Berdasarkan hadis-hadis tersebut, dapat dipahami bahwa tata cara shalat
bagi orang sakit serara berurutan ada empat, yaitu:
1. Shalat sambil berdiri
Orang yang sakit wajib shalat sambil berdiri bila mampu, dan tidak
khawatir sakitnya bertambah parah. Sebab, berdiri dalam shalat
wajib adalah salah satu rukunnya. Hal ini berdasarkan keumuman
hadis Imran ibnu Husyain tersebut di atas, dan berdasarkan firman
Allah swt yang berbunyi:
  
“….. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu'. (QS.
Al-Baqarah:283)
Orang yang sakit wajib shalat dengan berdiri bila mampu
walaupun dengan menggunakan tongkat atau bersandar ke tembok
atau berpegangan dengan tiang.
Bila orang sakit mampu.
Bila orang sakit mampu berdiri namun tidak mampu ruku’ atau
sujud, maka tetap tidak gugur kewajiban berdirinya. Ia harus shalat
berdiri dan bila tidak bisa ruku’ maka menunduk untuk ruku’. Bila
tidak mampu membungkukkan punggungnya sama sekali maka
cukup dengan menundukkan lehernya. Kemudian duduk lalu
menunduk untuk sujud dalam keadaan duduk dengan mendekatkan
wajahbya ke tanah sedapat mungkin.
2. Shalat sambil duduk
Orang yang sakit boleh mengerjakan shalat sambil duduk, jika ia
tidak kuat (susah) untuk berdiri karena kondisi sakitnya, dengan
ketentuan:
a. Posisi duduk boleh memilih di antara yang mudah ia lakukan,
seperti duduk bersila (mutarabbi’), karena duduk bersila secara
umum lebih enak dan tuma’ninah (tenang), duduk iftirasy
(duduk tahiyyat awal), dan duduk dengan menselonjorkan
kedua kaki. Bila ia tidak bisa duduk bersila, atau duduk iftirasy
(mungkin karena kakinya sakit), maka boleh duduk di atas
kursi.
b. Menghadapkan wajah dan dada kea rah kiblat.

19
c. Dimulai dengan niat dan takbiratul ihram. Kemudian membaca
surah al-Fatihah.
d. Bila ruku’ cukup dengan membungkukkan punggung sampai
dahi lurus di depan lutut, serta meletakkan tangannya di
lututnya.
e. Bila sujud maka sujud seperti biasa. Bila tidak mampu, maka ia
membungkukkan badan yang lebih rendah (seperti) ketika
ruku’. Bila tidak mampu, maka ia menundukkan kepalanya
lebih rendah daripada ketika ruku’.
f. Ketika tasyahhud (tahiyyat akhir), ia duduk tawarruk (duduk
tahiyyat akhir). Bila tidak mampu, maka duduk iftirasy atau
yang termudah baginya.
g. Mengucapkan salam ke kanan dan ke kiri.
3. Shalat sambil berbaring
Orang yang sakit boleh mengerjakan shalat sambil tidur berbaring
jika ia tidak mampu berdiri dan duduk, dengan ketentuan:
a. Berbaring dengan posisi (miring ke kanan) pada lambung
sebelah kanan sembari seluruh anggota tubuhnya dihadapkan
ke arah kiblat. Bila tidak mampu, boleh miring ke kiri (pada
lambung sebelah kiri).
b. Kepala berada di sebelah utara dan kaki di sebelah selatan.
c. Telapak tangan kanan menempel ke tangan kiri (sedekap) yang
keduanya berada di bawah dada di atas pusar.
d. Dimulai dengan niat dan takhbiratul ihram (secara ucapan).
Kemudian membaca surah al-Fatihah.
e. Ruku’ dan sujud dilakukan dengan isyarat menundukkan kepala
ke dada, dengan cara ketika sujud lebih rendah daripada
ruku’nya. Bila tidak mampu, maka ruku’ dan sujud dilakukan
dengan isyarat kedipan mata.
f. Mengucapkan salam tanpa menoleh ke kanan dan kiri.
4. Shalat sambil terlentang
Orang yang sakit boleh mengerjakan shalat sambil tidur terlentang
jika ia tidak mampu tidur berbaring, dengan ketentuan:
a. Kepala berada di sebelah timur, kedua tangan sedekap dan
kedua kaki di sebelah barat menghadap kiblat. Bila

20
memungkinkan, kepala ditahan dengan bantal agar wajah dapat
menghadap ke arah kiblat.
b. Dimulai dengan niat dan takbiratul ihram. Kemudian membaca
surah al-Fatihah.
c. Ruku’ dan sujud menggunakan isyarat kepala, dengan menoleh
sampai dahi atau wajahnya didekatkan ke tempat shalat. Ketika
sujud, isyarat kepala lebih rendah daripada ruku’nya. Bila tidak
mampu, maka dilakukan dengan mengedipkan mata.
d. Mengucapkan salam.
Bila orang sakit tidak mampu shalat dengan tidur terlentang, maka
ia mengerjakan shalat sesuai dengan kondisinya, berdasarkan firman
Allah yang berbunyi:
   
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu
dan dengarlah serta taatilah”. (QS. Al-Taghabun:16)
Bila orang yang sakit tidak mampu melakukan seluruh keadaan
tersebut di atas, ia tidak mampu menggerakkan anggota tubuhnya,
tidak mampu mengucapkan bacaan-bacaan (shalat), serta tidak
mampu juga dengan kedipan mata, maka ia mengerjakan seluruh
rukun shalatnya di dalam hatinya. Shalat tetap diwajibkan kepada
orang sakit, selama akal pikirannya masih sehat (normal).
2.5 Kondisi yang Terjadi di dalam Shalat
Beberapa kondisi yang sering dialami oleh orang sakit ketika menunaikan
shalat adalah sebagai berikut:
1. Mengeluarkan darah
Jika seseorang shalat dengan luka berdarah, yakni darahnya menetes saat
shalat, maka dalam kasus ini Islam memandang sebagai sesuatu yang sulit
dihindari (li masyaqqat al-ihtiraz) adalah dimaafkan (ma’fu) dengan arti
darah tersebut tidak menghalangi dahnya shalat yang ia lakukan.
Darah yang keluar dari badan seseorang akibat luka, bisul atau penyakit
kulit yang lain adalah dimaafkan atau diampuni meski jumlahnya banyak
tetapi dengan syarat: (a) bukan karena ulah orang itu sendiri (menetes
dengan disengaja), (b) tidak melampaui tempatnya (tidak melewati
anggota tubuh di mana luka itu berada) dan (c) darah tersebut tidak
bercampur dengan benda lain.

21
2. Ragu adanya kentut
Jika merasa ragu terhadap ada tidaknya kentut ketika mengerjakan shalat,
maka hendaknya melanjutkan shalatnya sampai mendengar suara (kentut)
atau mencium baunya. Bila ia mendapatkan salah satunya, maka ia
menghentikan shalatnya, yakni berwudhu dulu kemudian memulai shalat.
3. Keluar air kencing
Bagi penderita salasul baul atau al-hadas, yakni kencing atau kentut terus
menerus yang tidak dapat dikendalikan, bila di tengah-tengah shalat
meneteskan air seni atau kentut, maka shalatnya tetap sah demi
menghindari kesulitan dan mengambil kemudahan.
4. Lupa dalam shalat
Sering kali orang sakit terlupa dalam shalatnya, misalnya meninggalkan
salah satu rukun shalat, karena ingatannya yang lemah, atau karena sakit,
sibuk, atau berada di bawah pengaruh obat atau yang semisalnya. Dalam
hal ini, diwajibkan baginya untuk sujud sahwi yang dilakukan sebelum
salam.

2.6 Pembatal dan Non Pembatal Shalat


Beberapa hal yang menjadikan batal dan tidak batalnya shalat bagi orang
sakit adalah sebagai berikut:
1. Gerakan banyak yang berturut-turut
Gerakan banyak, misalnya menggaruk kulit, membetulkan pakaian,
mengusap keringat, mengusap darah adalah tidak membatalkan shalat.
Demikian pula, tidak batal shalatnya jika bergerak untuk menghilangkan
rasa sakit, membetulkan selang pemeriksaan, dan yang semisalnya karena
kondisi darurat. Dalam Islam, keadaan darurat membolehkan sesuatu yang
asalnya tidak boleh.
2. Batuk, bersin, menangis, rintihan sakit, berdehem dan semisalnya.
Semua hal ini tidak membatalkan shalat orang sakit, karena termasuk
keadaan darurat. Sama halnya, tidak membatalkan shalat orang yang sehat
karena hal itu sulit dihindari, dan karenanya ia dimaafkan. Adapaun jika
hal itu banyak dan mengganggu kekhusyukan shalat maka bisa
membatalkan shalat. Ukuran banyak dan sedikit adalah adat kebiasaan
atau yang disepakati orang-orang sebagai sedikit atau banyak.
3. Sisa-sisa makanan di dalam mulut

22
Makan dan minum secara sengaja, sedikit atau banyak dalam shalat fardhu
adalah membatalkan shalat dan wajib untuk mengulangi shalatnya. Ini
menurut kesepakatan para ulama. Makan dan minum karena lupa atau
tidak tahu, jika sedikit maka tidak membatalkan shalat dan jika banyak
maka membatalkan shalat karena ia merupakan gerakan yang banyak.
4. Selang yang dimasukkan ke dalam urat nadi atau semisalnya
Selang (infus) yang dimasukkan, sekalipun untuk memberikan makanan
tidak membatalkan shalat, karena hal itu merupakan kondisi darurat,
dimana dalam Islam, keadaan darurat membolehkan sesuatu yang asalanya
tidak boleh. Di samping itu, pemakaian selang tidak mengganggu
kekhusyuan dalam shalat. Berbeda halnya dengan makan dan minum yang
sesungguhnya.
5. Menahan kencing atau berak, meninggalkan hidangan makanan dan rasa
kantuk yang berat.
Semua ini tidak membatalkan shalat, baik shalat orang sehat maupun
shalat orang skit. Hanya saja, makruh hukumnya karena mengurangi
konsentrasi untuk memahami dan menghayati bacaan-bacaan dalam shalat.
6. Memakai sandal, kaos kaki dan sepatu.
Hal ini sering dilakukan oleh orang sakit atau orang sehat selama
sandalnya suci. Jika sandal itu terkena najis seperti darah atau benda-benda
najis lainnya, sedangkan orang yang sakit tidak mampu mensucikannya,
maka dibolehkan shalat dengan sandal tersebut.
2.7 Hukum Shalat yang Ditinggalkan Pasien
Shalat yang ditinggalkan oleh sakit selama menjalani perawatan medis di
rumah sakit, memiliki ketentuan hukum sebagai berikut:
1. Jika seseorang sakit, kemudian tidak sadarkan diri beberapa hari, yang
menyebabkan ia tidak mengerjakan shalat, dan akhirnya meninggal dunia,
maka orang tersebut dibebaskan dari kewajiban untuk mengganti
(menunaikan) shalatnya. Sebab, kondisi orang yang tidak sadar dihukumi
ghair mukallaf (tidak diperintah).
2. Jika pasien yang tidak sadarkan diri, (baik karena jatuh, tertimpa sesuatu,
maupun karena dibawah pengaruh obat (anastesi) untuk tindakan opresai
itu sembuh (tidak meninggal dunia), maka wajib baginya untuk
menunaikan shalat yang ditinggalkan selama sakitnya. Hali ini

23
sebagaimana wajib menunaikan shalat bagi orang yang tertidur atau
terlupa yang tidak disengaja.
3. Jika pasien terlupa atau tertidur secara tidak sengaja sehingga
meninggalkan shalat, maka ketika ia ingat atau terbangun dan mengetahui
bahwa dirinya belum mengerjakan shalat, maka sejak itulah ia langsung
mengerjakan shalat.
4. Jika seseorang sakit kemudian meninggal dunia, dan mempunyai
tanggungan shalat sebelum ajalnya, maka menurut mayoritas ulama,
shalatnya tidak dapat digantikan oleh keluarga mayat juga tidak dapat
diganti dengan fidyah sebagai tebusan dari shalat yang ditinggalkan. Hal
ini disebabkan dalam Islam tidak dikenal shalat fidyah atau menebus
dengan memberikan makanan kepada orang miskin untuk membebaskan
dosa orang lain (mayat) karena meninggalkan shalat. Di samping itu,
ketidakbolehan qadha shalat mayat oleh ahli waris (keluarga)nya, karena
shalat merupakan ibadah badaniyah-nafsiyah (ibadah fisik individual)
sebagai sarana komunikasi antara seorang hamba Allah yang akan
dipertanggungjawabkan secara pribadi oleh hamba kepada-Nya, kelak di
hari kiamat atau hari perhitungan amal (yaum al-Hisab).
Terkait dengan kewajiban shalat, maka seorang muslim yang
meninggalkan shalat dengan sengaja baik dalam keadaan sehat maupun
sakit, ia akan dimasukkan neraka Saqar dan terlepas dari perlindungan
Allah dan RasulNya. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an
surah Al-Muddatsir ayat 42-43 yang berbunyi :
         

42. "Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?"
43. mereka menjawab: "Kami dahulu tidak Termasuk orang-orang yang
mengerjakan shalat, (QS. Al-Muddatsir:42-43).

24
BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Seorang yang sedang ditimpa musibah sakit, bukan berarti dia terepas
dari kewajiban ibadah. Termasuk yang paling penting adalah ibadah shalat.
Ibadah yang sangat erat kaitannya dengan ibadah shalat adalah thaharah
(bersuci), baik dari hadats besar maupun hadats kecil. Bersuci ketika sakit
itu harus dilakukan atau dikerjakan agar kita tetap bisa melakukan ibadah
shalat meskipun shalatnya sesuai dengan kemampuan kita ketika sakit.
Ada beberapa cara dalam bersuci ketika sakit, diantaranya: membersihkan
najis, istinja’, wudhu, tayammum, dan mandi. Dengan cara itulah orang
yang sakit dapat mensucikan dirinya.

Demikianlah makalah ini kami buat. Tentunya masih banyak


kesalahan yang terdapat dalam makalah ini untuk menuju yang lebih baik
lagi, kritik dan saran kami butuhkan demi kesempurnaan makalah
selanjutnya. Kami ucapkan terimakasih dan mohon maaf apabila masih
banyak kesalahan dalam pembuatan makalah ini. Semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi kita semua, Amien.

3.2 SARAN

Kami berharap semoga isi dari makalah yang kami sajikan dapat
memperdalam pengetahuan pembaca mengenai bersuci ketika sakit serta
dapat berguna bagi kehidupan kita di masa yang akan datang.

25
DAFTAR PUSTAKA

Nanang Rokhman S dan Siti Maimunah. 2012. Tuntunan Ibadah Pasien. Surabaya
: Amantra.
http://kesehatanmuslim.com/tuntunan-bersuci-bagi-orang-sakit-2/
http://rumaysho.com/979-bersuci-bagi-orang-sakit.html
http://www.fiqihwanita.com/pengertian-thaharah-bersuci-dan-pembagiannya/

26

Anda mungkin juga menyukai