Anda di halaman 1dari 32

Referat

DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN AKALASIA

Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu
Penyakit Dalam RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang

Oleh:
Novalia Arisandy, S.Ked
04084821618182

Pembimbing:
dr. Imam Suprianto, Sp.PD, K-GEH

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM


RUMAH SAKIT DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2017
HALAMAN PENGESAHAN

Referat

Judul

Diagnosis dan Penatalaksanaan Akalasia

Oleh:

Novalia Arisandy (04084821618182)

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti kepaniteraan
klinik di Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
Rumah Sakit Dr. Mohammad Hoesin Palembang periode .

Palembang, Januari 2017

dr. Imam Suprianto, Sp.PD, K-GEH


KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-Nya
penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul “Diagnosis dan Penatalaksanaan
Akalasia” tepat pada waktunya. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima
kasih kepada dr. Imam Suprianto, Sp.PD, K-GEH selaku pembimbing yang telah
membantu dalam penyelesaian referat ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih
kepada teman-teman dan semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan
referat ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan referat ini masih
banyak terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran dan kritik
yang bersifat membangun sangat diharapkan. Akhir kata, semoga referat ini dapat
bermanfaat bagi para pembaca sekalian.

Palembang, Januari 2017

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL............................................................................................. i
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................... ii
KATA PENGANTAR .......................................................................................... iii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ iv
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
BAB II ANATOMI DAN FISIOLOGI ESOFAGUS ........................................... 3
2.1 Anatomi Esofagus ............................................................................... 3
2.2 Fisiologi Esofagus ............................................................................... 6
BAB III DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN ........................................ 8
3.1 Definisi ................................................................................................ 8
3.2 Epidemiologi ....................................................................................... 8
3.3 Etiologi dan Patofisiologi .................................................................... 9
3.4 Diagnosis ............................................................................................. 11
3.4.1 Gejala Klinis .............................................................................. 11
3.4.2 Pemeriksaan Fisik ..................................................................... 12
3.4.3 Pemeriksaan Penunjang ............................................................ 12
3.5 Diagnosis Banding .............................................................................. 16
3.6 Penatalaksanaan .................................................................................. 18
3.7 Komplikasi .......................................................................................... 25
3.8 Prognosis ............................................................................................. 25
BAB IV KESIMPULAN ...................................................................................... 26
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 27
BAB I
PENDAHULUAN

Akalasia adalah suatu keadaan khas yang ditandai dengan tidak adanya
peristaltik korpus esofagus bagian bawah dan sfingter esofagus bagian bawah (SEB)
yang hipertonik sehingga tidak bisa mengadakan relaksasi secara sempurna pada saat
menelan makanan. Penyebab pasti penyakit ini belum diketahui. Secara
histopatologik kelainan ini ditandai dengan adanya degenerasi ganglia pleksus
mienterikus. Akibat keadaan ini akan terjadi stasis makanan dan selanjutnya akan
timbul pelebaran esofagus. Keadaan ini akan menimbulkan gejala dan komplikasi
tergantung dari berat dan lamanya kelainan yang terjadi.1,2
Akalasia mulai dikenal oleh Thomas Willis pada tahun 1672. Pada awalnya
keadaan ini diduga sebagai sumbatan di esofagus distal, sehingga dia melakukan
dilatasi dengan tulang ikan paus dan mendorong makanan masuk ke dalam lambung.
Pada tahun 1908, Henry Plummer melakukan dilatasi dengan kateter balon. Pada
tahun 1913, Heller melakukan pembedahan myotomi yang terus dianut sampai
sekarang. Hurst, pada tahun 1914 pertama kali memberikan istilah akalasia pada
suatu keadaan relaksasi dari bagian bawah esofagus. Namun, Penyebab dari akalasia
ini masih belum diketahui dengan pasti. Teori-teori atas penyebab akalasia pun mulai
bermunculan seperti suatu proses yang melibatkan infeksi, kelainan atau yang
diwariskan atau genetik, sistim imun yang menyebabkan tubuh sendiri untuk merusak
esophagus, dan proses penuaan atau proses degeneratif.3,4
Akalasia merupakan kasus yang jarang. Insidensi penyakit akalasia adalah
sekitar 1:100.000 penduduk dan prevalensinya sekitar 10:100.000 penduduk dengan
distribusi laki-laki perempuan sama. Data Divisi Gastroenterologi, Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI didapatkan 48 kasus dalam kurun waktu 5 tahun (1984-1988).
Di Amerika Serikat ditemukan sekitar 2000 kasus akalasia setiap tahun dan sebagian
besarnya pada usia 25-60 tahun dan hanya sedikit pada anak-anak. Kelainan ini tidak
diturunkan dan biasanya membutuhkan waktu bertahun-tahun hingga menimbulkan
gejala.1,5
Akalasia esofagus merupakan penyakit yang progresif dengan gejala disfagia
baik untuk makanan cair maupun padat, regurgitasi dan disertai dengan nyeri dada.
Regurgitasi makanan yang tidak tercerna sering bisa disalahartikan sebagai penyakit
gastroesophageal reflux sehingga dapat menunda penegakkan diagnosis akalasia
esofagus. Regurgitasi bisa terjadi saat makan, tak lama setelah makan, atau ketika
perubahan posisi pasien seperti pada posisi telentang. Regurgitasi makanan yang
tidak tercerna dilaporkan sekitar 60% pasien dan 40% mengalami nyeri dada. Sekitar
40% dari pasien juga mengalami heartburn, karena stasis dan fermentasi makanan di
esofagus.5
Tatalaksana untuk akalasia dapat berupa terapi konservatif dan dilatasi. Terapi
konservatif hanya bersifat temporer dan tidak memuaskan, oleh karena itu perlu
dilakukan dilatasi. Apabila kedua terapi tersebut gagal, dapat dilakukan tindakan
operasi.4 Walaupun penyakit ini jarang terjadi, kita harus bisa mengenali dan
mengatasi penyakit ini karena komplikasi yang ditimbulkan dari penyakit ini sangat
mengancam nyawa seperti obstruksi saluran pernapasan sampai sudden death. Ilmu
pengetahuan dan teknologi tentang akalasia esofagus ini pun juga berkembang
dengan baik. Oleh karena itu, sangat penting bagi kita untuk mengetahui penegakan
diagnosis dan penatalaksanaan yang tepat dari akalasia, sehingga dapat
menatalaksana pasien dengan baik.
BAB II
ANATOMI DAN FISIOLOGI ESOFAGUS

2.1 ANATOMI ESOFAGUS

Gambar 1. Anatomi esofagus6

Esofagus merupakan tabung muskular, panjangnya sekitar 10 inci (25 cm),


terbentang dari faring sampai ke gaster. Dari perjalanannya dari faring menuju gaster,
esofagus melalui tiga kompartemen dan dibagi berdasarkan kompartemen tersebut, yaitu
leher (pars servikalis) setinggi kartilago cricoidea dan berjalan turun di garis tengah di
belakang trakea. Dada (pars thorakalis), setinggi manubrium sterni berada di
mediastinum posterior dan masuk rongga abdomen dengan menembus diagfragma
setinggi vertebra thoracica X. Abdomen (pars abdominalis), masuk ke rongga perut
melalui hiatus esofagus dari diafragma dan berakhir di kardia lambung, esofagus
berjalan singkat sekitar ½ inci (1,25 cm) sebelum masuk ke gaster melalui sisi
kanan.6

2.1.1 Esofagus pada Leher6


a. Batas-batas
Ke anterior berbatasan dengan trakea, nervus laryngeus reccurens. Ke
posterior berbatasan dengan m.prevertebralis dan columna vertebralis. Lateral
berbatasan dengan glandula tiroid, sarung karotis (a. carotis communis, vena
jugularis interna, dan nervus vagus), dan pada sisi kiri ductus thoracicus.
b. Perdarahan
Diperdarahi oleh arteri tiroidea inferior dan vena tiroidea inferior.
c. Aliran Limfe
Aliran limfe oleh nodi cervicalis profundi.
d. Persarafan
Dipersarafi oleh nervus laringeus rekurens dan rami dari trunkus symphaticus.

2.1.2 Esofagus pada Thorak6


a. Batas-batas
Ke anterior dibatasi oleh trakea dan nervus laringeus rekurens sinistra,
bronkus principalis sinistra, dan atrium cordis sinistra. Ke posterior oleh
columna vertebralis, duktus thoracicus, vena azygos, arteri intercostalis
posterior dekstra, dan aorta thoracica descendens. Batas lateral sisi kanan
adalah pars mediastinalis pleura parietalis dan vena azygos, sedangkan sisi
kiri oleh arcus aorta, arteri subclavia sinistra, ductus thoracicus, dan pars
mediastinalis pleura parietalis.
b. Perdarahan
Diperdarahi oleh bagian atas dari aorta thoracica descendens dan sepertiga
bagian bawah diperdarahi oleh arteri gastrica sinistra. Darah pada esofagus
bagian thorak mengalir ke vena azygos dan sepertiga bagian bawah darah
dialirkan ke vena gastrica sinista yang akan bermuara ke vena porta.
c. Aliran Limfe
Bagian atas esofagus mengalir masuk ke nodi mediastinalis superior dan
posterior, dan dari sepertiga bagian bawah masuk ke nodi lymphatica di
sepanjang arteri dan vena gastrica sinistra dan nodi lymphatica coeliaca di
abdomen.
d. Persarafan
Dipersarafi oleh trunkus vagus (nervus vagus sinistra terletak anterior dan
nervus vagus dekstra terletak posterior), plexus esofagus, trunkus simpatikus,
dan nervi splanchnica.

2.1.3 Esofagus pada Abdomen6


Esofagus masuk ke abdomen melalui lubang yang terdapat pada crus dekstra
diagfragmatica. Setelah berjalan sekitar ½ inci (1,25 cm), esofagus masuk ke
lambung melalui sisi kanannya.
a. Batas-batas
Ke anterior : esofagus terletak posterior terhadap lobus hepatis sinistra dan di
depan crus sinistra diagfragmatica. Nervus vagus sinistra dan dekstra masing-
masing terletak di anterior dan posterior esofagus.
b. Perdarahan
Diperdarahi oleh cabang-cabang dari arteri gastrica sinistra dan vena gastrica
sinistra, yang mengalirkan darah ke vena porta.
c. Aliran Limfe
Pembuluh-pembuluh limfe berjalan mengikuti arteri menuju nervus gastrica
sinistra.
d. Persarafan
Dipersarafi oleh nervus gastrica anterior dan posterior (nervus vagus) dan
cabang-cabang simpatik dari pars thoracica trunkus simpatic.

2.2 FISIOLOGI ESOFAGUS


Esofagus mempunyai tiga daerah normal penyempitan yang sering
menyebabkan benda asing tersangkut di esofagus. Penyempitan pertama adalah
disebabkan oleh muskulus krikofaringeal, dimana pertemuan antara serat otot striata
dan otot polos menyebabkan daya propulsif melemah. Daerah penyempitan kedua
disebabkan oleh persilangan cabang utama bronkus kiri dan arkus aorta. Penyempitan
yang ketiga disebabkan oleh mekanisme sfingter gastroesofageal.7
Dalam proses menelan akan terjadi hal-hal seperti berikut, 1) pembentukan
bolus makanan dengan ukuran dan konsistensi yang baik, 2) upaya sfingter mencegah
terhamburnya bolus ini dalam fase-fase menelan, 3) mempercepat masuknya bolus
makanan ke dalam faring pada saat respirasi, 4) mencegah masuknya makanan dan
minuman ke dalam nasofaring dan laring, 5) kerjasama yang baik dari otot-otot di
rongga mulut untuk mendorong bolus makanan ke arah lambung, 6) usaha untuk
membersihkan kembali esofagus. Proses menelan di mulut, faring, laring, dan
esofagus secara keseluruhan akan terlibat secara berkesinambungan.8
Menelan dibagi menjadi tahap orofaring dan tahap esofagus. Tahap orofaring
berlangsung sekitar 1 detik dan terdiri dari pemindahan bolus dari mulut melalui
faring untuk masuk ke esofagus. Ketika masuk ke faring, bolus makanan harus
diarahkan ke dalam esofagus dan dicegah untuk masuk ke lubang-lubang lain yang
berhubungan dengan faring. Dengan kata lain, makanan harus dijaga agar tidak
masuk kembali ke mulut, masuk ke saluran hidung, atau masuk ke trakea.9
Posisi lidah yang menekan langit-langit keras menjaga agar makanan tidak
masuk kembali ke mulut sewaktu menelan.9 Kontraksi m.levator palatini
mengakibatkan rongga pada lekukan dorsum lidah diperluas, palatum mole terangkat
dan bagian atas dinding posterior faring akan terangkat pula. Bolus terdorong ke
posterior karena lidah terangkat ke atas. Selanjutnya terjadi kontraksi m.palatoglosus
yang menyebabkan ismus fausium tertutup, diikuti oleh kontraksi m.palatofaring,
sehingga bolus makanan tidak akan berbalik ke rongga mulut.8
Uvula terangkat dan menekan bagian belakang tenggorokan, menutup saluran
hidung atau nasofaring dari faring sehingga makanan tidak masuk ke hidung. Makan
dicegah masuk ke trakea terutama oleh elevasi laring dan penutupan erat pita suara di
pintu masuk laring atau glotis.8 Faring dan laring bergerak ke arah atas oleh kontraksi
m.stilofaring, m.salfingofaring, m.tirohioid dan m.palatofaring. Aditus laring tertutup
oleh epiglotis, sedangkan ketiga sfingter laring, yaitu plika ariepiglotika, plika
ventrikularis dan plika vokalis tertutup karena kontraksi m.ariepiglotika dan
m.aritenoid obligus. Bersamaan dengan ini terjadi juga pengentian aliran udara ke
laring karena refleks yang menghambat pernapasan, sehingga bolus makanan tidak
akan masuk ke dalam saluran napas. Selanjutnya bolus makanan akan meluncur ke
arah esofagus, karena valekula dan sinus piriformis sudah dalam keadaaan lurus.8
Tahap esofagus dari proses menelan kini dimulai. Pusat menelan memicu
gelombang peristaltik primer yang menyapu dari pangkal ke ujung esofagus,
mendorong bolus di depannya menelusuri esofagus untuk masuk ke lambung.
Gelombang peristaltik memerlukan waktu sekitar 5 sampai 9 detik untuk mencapai
ujung bawah esofagus. Perambatan gelombang dikontrol oleh pusat menelan, dengan
persarafan melalui saraf vagus. Sewaktu gelombang peristaltik menyapu menuruni
esofagus, sfingter gastroesofagus melemas secara refleks sehingga bolus dapat masuk
ke dalam lambung. Setelah bolus masuk ke lambung, proses menelan tuntas dan
sfingter gastroesofagus kembali berkontraksi.9
BAB III
DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN AKALASIA

2.3 DEFINISI
Akalasia esofagus adalah gangguan motilitas esofagus yang penyebabnya
tidak diketahui yang ditandai dengan aperistaltik korpus esofagus bagian bawah dan
sfingter esofagus bagian bawah (SEB) yang hipertonik sehingga terjadi gangguan
relaksasi secara sempurna pada saat menelan makanan. Secara histopatologik
kelainan ini ditandai oleh degenerasi ganglia pleksus mienterikus. Keadaan ini akan
menyebabkan stasis makanan dan selanjutnya akan timbul pelebaran esofagus.
Keadaan ini akan menimbulkan gejala dan komplikasi tergantung dari berat dan
lamanya kelainan yang terjadi.1

2.4 EPIDEMIOLOGI
Akalasia merupakan kasus yang jarang. Insidensi dari penyakit akalasia ini
adalah sekitar 1:100.000 penduduk dan dengan prevalensi sekitar 10:100.000
penduduk dengan distribusi laki-laki perempuan sama. Tidak ada predileksi
berdasarkan ras. Akalasia terjadi pada semua umur dengan kejadian dari lahir sampai
dekade 7-8 dan puncak kejadian pada umur 30-60 tahun.5
Data Divisi Gastroenterologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI
didapatkan 48 kasus dalam kurun waktu 5 tahun (1984-1988). Sebagian besar kasus
terjadi pada umur pertengahan dengan perbandingan jenis kelamin yang hampir sama.
Di Amerika Serikat ditemukan sekitar 2000 kasus akalasia setiap tahun dan sebagian
besarnya pada usia 25-60 tahun dan hanya sedikit pada anak-anak. Kelainan ini tidak
diturunkan dan biasanya membutuhkan waktu bertahun-tahun hingga menimbulkan
gejala.1
Dari suatu penelitian internasional didapatkan bahwa angka kematian kasus
ini dari 28 populasi yang berasal dari 26 negara didapatkan angka kematian tertinggi
tercatat di Selandia Baru dengan angka kematian standar 259 sedangkan yang
terendah didapatkan dengan angka kematian standar 0. Angka kematian ini diperoleh
dari seluruh kasus akalasia baik primer maupun sekunder.1

2.5 ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI


Etiologi dari akalasia tidak diketahui secara pasti. Tetapi, terdapat bukti
bahwa degenerasi plexus Auerbach menyebabkan kehilangan pengaturan neurologis.
Beberapa teori yang berkembang berhubungan dengan gangguan autoimun, penyakit
infeksi atau kedua-duanya.10
Secara umum, esofagus dibagi menjadi tiga bagian fungsional, yaitu sfingter
esofagus bagian atas yang biasanya selalu tertutup untuk mencegah refluks makanan
dari korpus esofagus ke tenggorokan. Bagian kedua yang terbesar adalah korpus
esofagus, yang berupa tabung muskularis dengan panjang sekita 20 cm (8 inci), dan
bagian terakhir adalah sfingter esofagus bagian bawah (SEB) yang mencegah refluks
makanan dan asam lamubung dari gaster ke kospus esofagus. Bila ditinjau dari
etiologinya, akalasia dapat dibagi menjadi 2 bagian, yaitu:
2.5.1 Akalasia Primer
Penyebab yang jelas kelainan ini tidak diketahui. Diduga disebabkan oleh
virus neutropik yang berakibat lesi pada nukleus dorsalis vagus pada batang
otak dan ganglia mesentrikus pada esofagus. Selain itu, faktor keturunan juga
cukup berpengaruh pada kelainan ini.
2.5.2 Akalasia Sekunder
Kelainan ini dapat disebabkan oleh infeksi (eg. Penyakir Chagas), tumor
intraluminer seperti tumor kardia atau pendorongan ekstra luminer seperti
pseudokista pankreas. Kemungkinan lain dapat disebabkan oleh obat
antikolinergik atau paska vagotomi.

Penyebab penyakit ini sampai sekarang belum diketahui. Secara histologik


diterapkan kelainan berupa degenerasi sel ganglion plexus Auerbach sepanjang
esofagus pars torakal. Dari beberapa data disebutkan bahwa faktor-faktor seperti
herediter, infeksi, autoimun, dan degeneratif adalah kemungkinan penyebab dari
akalasia.
a. Teori Genetik. Temuan kasus akalasia pada beberapa orang dalam satu
keluarga telah mendukung bahwa akalasia kemungkinan dapat diturunkan
secara genetik. Kemungkinan ini berkisar antara 1 % sampai 2% dari populasi
penderita akalasia.
b. Teori Infeksi. Faktor-faktor yang terkait termasuk bakteri (diphtheria
pertussis, clostridia, tuberculosis dan syphilis), virus (herpes, varicella
zooster, polio dan measles), Zat-zat toksik (gas kombat), trauma esofagus dan
iskemik esofagus uterine pada saat rotasi saluran pencernaan intra uterine.
Bukti yang paling kuat mendukung faktor infeksi neurotropflc sebagai
etiologi. Pertama, lokasi spesifik pada esofagus dan fakta bahwa esofagus
satu-satunya bagian saluran pencernaan dimana otot polos ditutupi oleh epitel
sel skuamosa yang memungkinkan infiltrasi faktor infeksi. Kedua, banyak
perubahan patologi yang terlihat pada akalasia dapat menjelaskan faktor
neurotropik virus tersebut. Ketiga, pemeriksaan serologis menunjukkan
hubungan antara measles dan varicella zoster pada pasien akalasia.
c. Teori Autoimun. Penemuan teori autoimun untuk akalasia diambil dari
beberapa sumber. Pertama, respon inflamasi dalam pleksus mienterikus
esofagus didominasi oleh limfosit T yang diketahui berperan dalam penyakit
autoimun. Kedua, prevalensi tertinggi dari antigen kelas II, yang diketahui
berhubungan dengan penyakit autoimun lainnya. Yang terakhir, beberapa
kasus akalasia ditemukan autoantibodi dari pleksus mienterikus.

Menurut Castell, ada dua defek penting yang didapatkan pada pasien akalasia:
a. Obstruksi pada sambungan esofagus dan gaster akibat peningkatan SEB basal
jauh di atas normal dan gagalnya SEB untuk relaksasi sempurna. Beberapa
penulis menyebutkan adanya hubungan kenaikan SEB dengan sesitivitas
terhadap hormon gastrin. Panjang SEB manusia 3-5 cm, sedangkan tekanan
SEB basal normal rata-rata 20 mmHg. Pada akalasia tekanan SEB meningkat
kurang lebih dua kali yaitu sekitar 50 mmHg. Kadang-kadang didapatkan
tekanan sebesar nilai normal tinggi.1
Gagalnya relaksasi SEB disebabkan penurunan tekanan sebesar 30-40% yang
dalam keadaan normal turun sampai 100% yang akan mengakibatkan bolus
makanan tidak dapat masuk ke dalam gaster. Kegagalan ini berakibat
tertahannya makanan dan minuman di esofagus. Ketidakmampuan relaksasi
sempurna akan menyebabkan adanya tekanan residual; bila tekanan
hidrostatik disertai dengan gravitasi dapat melebihi tekanan residual makanan
dapat masuk ke dalam gaster.1
b. Peristaltik esofagus yang tidak normal disebabkan karena aperistaltik dan
dilatasi 2/3 bagian bawah korpus esofagus. Akibat lemah dan tidak
terkoordinasinya peristaltik sehingga tidak efektif dalam mendorong bolus
makanan melewati SEB. Dengan berkembangnya penelitian ke arah motilitas,
secara objektif dapat ditentukan motilitas esofagus secara manometrik pada
keadaan normal dan akalasia.1

2.6 DIAGNOSIS
2.4.1 GEJALA KLINIS
a. Disfagia. Gejala klinis subjektif yang terutama ditemukan pada akalasia.
Disfagia dapat terjadi secara tiba-tiba setelah menelan atau bila ada
gangguan emosi. Disfagia dapat berlangsung sementara atau progresif
lambat. Biasanya cairan lebih sukar ditelan dari pada makanan padat.
Sifatnya pada permulaan hilang timbul yang dapat terjadi bertahun-tahun
sebelum diagnosis diketahui secara jelas. Letak obstruksi biasanya
dirasakan pada retrosternal bagian bawah.1,11
b. Regurgitasi. Ditemukan pada 70% kasus. Regurgitasi ini berhubungan
dengan posisi pasien dan sering terjadi pada malam hari oleh karena
adanya akumulasi makanan pada esofagus yang melebar. Hal ini
dihubungkan dengan posisi berbaring. Sebagai tanda bahwa regurgitasi ini
berasal dari esofagus adalah pasien tidak merasa asam atau pahit. Keadaan
ini dapat berakibat aspirasi pneumonia. Pada anak-anak gejala ini
dihubungkan dengan gejala batuk pada malam hari atau adanya
pneumonia.1
c. Penurunan berat badan. Hal ini disebabkan pasien takut makan akibat
timbulnya odinofagia. Gejala yang menyertai keadaan ini adalah nyeri
dada. Bila keadaan ini berlangsung lama akan terjadi kenaikan berat badan
kembali karena akan terjadi pelebaran esofagus akibat retensi makanan
dan keadaan ini akan meningkatkan tekanan hidrostatik yang akan
melebihi tekanan SEB. Gejala ini berlangsung dalam 1-5 tahun sebelum
diagnosis ditegakkan dan didapatkan pada 50% kasus.1
d. Nyeri dada didapatkan pada 30% kasus. Sifat nyeri dengan lokasi
substernal dan dapat menjalar ke belakang, bahu, rahang, dan tangan yang
biasanya dirasakan bila minum air dingin.1
e. Batuk-batuk dan pneumonia aspirasi. Biasanya didapat akibat komplikasi
retensi makanan.1

2.4.2 PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan fisik tidak banyak membantu dalam menentukan diagnosis
akalasia karena tidak menunjukkan gejala objektif yang nyata. Mungkin
ditemukan adanya penurunan berat badan, kadang-kadang disertai anemia
defisiensi.

2.4.3 PEMERIKSAAN PENUNJANG


a. Pemeriksaan Radiologik
 Pada foto polos toraks akan menunjukkan gambaran kontur ganda di
atas mediastinum bagian kanan, seperti mediastinum melebar dan
adanya gambaran batas cairan dan udara (gambaran air fluid level).1,10
 Pemeriksaan esofagogram barium dengan pemeriksaan fluoroskopi
merupakan tes diagnostik awal. Akurasinya sebesar 95%. Pada stadium
awal tak tampak adanya gelombang peristaltik primer, penyempitan
gastroesofageal junction hanya minimal dan kadang-kadang terlihat
gelombang peristaltik nonpropusif di badan esofagus (‘vigorous
achalasia’).10,12 Pada akalasia progresif akan terlihat adanya dilatasi
esofagus, sering berkelok-kelok dan memanjang dengan ujung distal
meruncing disertai permukaan halus berbentuk paruh burung (bird’s
beak appearance).1,1

Gambar 2. Barium esofagogram pada akalasia12

Fenomena hurst merupakan fenomena ketika pasien akalasia dilakukan


pemeriksaan esofagram diposisikan berdiri, barium terletak di titik
dimana tekanan hidrostatik barium diatas tekanan SEB. Kadang-kadang
karena dorongan barium, gastroesofageal junction terbuka. Esofagus
yang mengalami dilatasi dan berliku-liku serta badan esofagus yang
aperistaltik diasumsikan sebagai bentuk sigmoid.12

b. Pemeriksaan Esofagoskopi
Pemeriksaan ini untuk menentukan adanya esofagitis retensi dan derajat
keparahannya, untuk melihat sebab dari obstruksi, untuk memastikan ada
tidaknya tanda keganasan, dan untuk membantu terapi sebagai alat
pemasangan kawat petunjuk arah sebelum tindakan dilatasi pneumatik.
Pada kebanyakan pasien didapatkan mukosa normal. Kadang-kadang
didapatkan hiperemia ringan difus pada bagian distal esofagus. Juga dapat
ditemukan gambaran bercak putih pada mukosa, erosi, dan ulkus akibat
retensi makanan. Bila ditiupkan udara akan menampakkan kontraksi
esofagus distal. Bila diteruskan ke segmen gastroesofageal, sering
dirasakan tahanan ringan. Bila sukar melewati batas esofagus gaster harus
dipikirkan keganasan atau striktur jinak.1,5

c. Pemeriksaan Manometrik
Manometri esofagus merupakan gold standard dalam penegakan diagnosis
akalasia. Karena akalasia hanya melibatkan otot polos esofagus, kelainan
manometri terbatas pada 2/3 esofagus bagian distal.5 Pemeriksan
manometrik pada akalasia ditandai dengan1 :
- Tonus SEB tinggi
- Relaksasi sfingter tidak sempurna waktu menelan
- Tidak adanya peristaltik esofagus
- Tekanan korpus esofagus pada keadaan istirahat lebih tinggi dari
tekanan gaster.
Gambar 3. Algoritma diagnosis akalasia esofagus11
Pandolfino et al (2013) dalam studinya tentang menajemen akalasia esofagus,
membuat sebuah algoritma diagnosis akalasia esofagus pada pasien dengan keluhan
disfagia, nyeri dada, dan adanya regurgitasi.Algoritma tersebut dapat dilihat pada
gambar 3.11
Berdasarkan pemeriksaan High-Resolution Manometry (HRM), akalasia
diklasifikasikan menjadi 3 tipe (klasifikasi Chicago) :

Tabel 1. Klasifikasi Chicago


Tipe I (akalasia Tidak ada gerakan peristaltik, no pressurization, integrated
klasik) relaxation pressure (IRP) tinggi
Tipe II (akalasia Tidak ada peristaltik dan aktivitas kontraksi, panesofageal
dengan kompresi) pressure > 30 mmHg, IRP tinggi
Tipe III (akalasia Adanya kontraksi spastik di segmen esofagus distal
spastik)

2.7 DIAGNOSIS BANDING


Diagnosis banding akalasia primer adalah akalasia sekunder seperti
adenokarsinoma gaster yang meluas ke esofagus, karsinoma paru, penyakit Chagas,
dan lain-lain. Pada Tabel 1 dapat dilihat perbandingan gambaran klinis akalasia
primer dan sekunder.

Tabel 2. Perbandingan gambaran klinis akalasia primer dan sekunder


Gejala Akalasia
Primer Sekunder
Disfagia Ringan - berat (> 1 tahun) Sedang - berat (n< 6 bulan)
Nyeri dada Ringan - sedang Jarang
Berat badan turun Ringan (5 kg) Berat (15 kg)
Regurgutasi Sedang - berat Ringan
Komplikasi paru Sedang Jarang

2.5.1 Diffuse spasme esofagus (DES).


Diagnosis didasarkan pada temuan adanya kontraksi simultan di badan

esofagus. Pemeriksaan radiologis dengan barium menunjukkan gangguan

pengosongan esofagus dan adanya kontraksi simultan dan tersier menghasilkan

karakter "corkscrew" atau chain of beads di esofagus.10,13

2.5.2 Proses keganasan


Proses keganasan merupakan salah satu penyebab penting akalasia sekunder.13

Secara umum, lebih sering terjadi pada pasien usia tua dengan riwayat disfagia lebih

singkat, dan disertai penurunan berat badan. Namun, tiga tanda ini memiliki spesifitas
yang rendah. Biasanya disebabkan keganasan yang menginfiltrasi gastroesophageal

junction.13

Karsinoma kardia lambung merupakan penyebab paling sering akalasia

sekunder dan sering terdiagnosis pada pemeriksaan barium. Adanya protusio atau lesi

eksofitik yang menetap saat barium melewati esofagus merupakan indikasi kuat

akalasia sekunder. Temuan lain meliputi kekakuan gastroesophageal juncion,

deformitas kontur fundus, atau peningkatan ketebalan jaringan lunak antara fundus

dan diafragma. Adanya distorsi, obliterasi, atau pembesaran regio cardia dengan

gambaran "rosette" cenderung mengarah pada akalasia sekunder. Massa mukosa

jinak seperti leiomioma sering menunjukkan adanya efek massa dan pelebaran

esofagus proksimal tanpa adanya invasi ke esofagus atau abnormalitas lain.14

2.5.3 Penyakit Chagas


Penyakit Chagas merupakan infeksi parasit, disebabkan karena Trypanosoma

cruzi yang endemik di Brazil, Venezuela, dan Argentina dn ditularkan melalui gigitan

serangga.10 Sekiar 10-30% individu yang terinfeksi berkembang menjadi infeksi

kronis dan berada di tubuh penderita sampai bertahun tahun sesudah infeksi awal.

Saluran gastroentistinal yang paling sering terkena adalah esofagus. Manifestasi

penyakit chagas menjadi aklasia sekunder 7%-10%.10,13 Pemeriksaan esofagus

dengan barium pada pasien chagas disease dan akalasia primer hampir mirip, yang
membedakan dengan chagas disease adalah adanya adanya megakolon, megaureter,

dan penyakit miokardial.1

2.8 PENATALAKSANAAN
Pengobatan akalasia antara lain dengan cara medikamentosa oral, dilatasi atau
peregangan SEB, esofagiotomi dan injeksi toksin botulinum ke sfingter esofagus.
Tidak ada pengobatan yang dapat mengembalikan aktivitas otot dan persyarafan di
esofagus pada kasus akalasia. Terapi akalasia adalah mengurangi gradien tekanan di
LES. Tujuan terapi tersebut antara lain: 1. menghilangkan gejala pasien, terutama
disfagia dan regurgitasi, 2. meningkatkan pengosongan esofagus dengan
memperbaiki relaksasi LES yang terganggu. 3. Mencegah perkembangan
megaesofagus.5
Pengobatan regurgitasi dan disfagia sangat mudah, tetapi nyeri dada dapat
menjadi masalah dalam beberapa pasien. Secara keseluruhan terapi tunggal atau
gabungan akan memberikan perbaikan lebih dari 90 %. Namun, akalasia tidak pernah
dapat disembuhkan sehingga terapi touch-up setelah pelebaran pneumatik atau bedah
myotomi Heller sering dibutuhkan. Oleh karena itu diperlukan tindak lanjut setiap 1
sampai 2 tahun oleh bedah gastroenterologist. Pemeriksaan esofagram dengan
menelan barium sangat membantu dalam evaluasi pasien akalasia. Namun beberapa
ahli menyukai evaluasi menggunakan pengukuran serial tekanan LES.3,16

a. Medikamentosa Oral
Preparat oral yang digunakan dengan harapan dapat merelaksasikan SEB
antara lain nitrat (isosorbid dinitrat) dan calcium channel blockers (nifedipin dan
verapamil). Meskipun pasien dengan kelainan ini khususnya pada fase awal mendapat
perbaikan klinis tetapi sebagian besar pasien tidak berespon bahkan efek samping
obat lebih banyak ditemukan. Umumnya pengobatan ini digunakan untuk jangka
pendek untuk mengurangi keluhan pasien.1
Pengobatan medikamentosa untuk memperbaiki proses pengosongan esofagus
pada akalasia, pertama dengan pemberian amil nitrit pada waktu pemeriksaan
esofagogram yang akan berakibat relaksasi pada daerah kardin. Saat ini isosorbid
dinitrat dapat menurunkan tekanan SEB dan meningkatkan pengosongan esofagus.
Obat-obat lain yang akan memberikan efek seperti diatas adalah tingtur beladona,
atrofin sulfat pada beberapa kasus. Dengan ditemukan obat antagonis kalsium
nifedipin 10-30 mg peroral dapat menurunkan secara bermakna tekanan SEB pasien
dengan akibat perbaikan proses pengosongan esofagus. Dengan pengobatan ini
didapatkan perbaikan gejala klinis pasien sampai dengan 18 bulan bila dibandingkan
dengan plasebo. Pemakaian preparat sublingual 15-30 menit sebelum makan
memberikan hasil yang lebih baik.1

b. Farmakoterapi via Endoskopi


Botullinum toksin (Botox) sebagai inhibitor presinaptik ampuh pelepasan
asetilkolin dari ujung saraf pada plexus mienterikus pertama kali diperkenalkan pada
tahun 1980. Botulinum toksin (Botox) adalah inhibitor presinaptik ampuh pelepasan
asetilkolin dari ujung saraf yang telah terbukti menjadi pengobatan berguna dalam
akalasia. Toksin membelah protein (SNAP-25) yang terlibat dalam sekering vesikel
presinaptik yang mengandung acetylcholine yang menghubungkan membran plasma
neuron dengan otot sasaran. Hal ini berefek pada terhambatnya eksositosis asetilkolin
ke daerah sinaptik dan menyebabkan kelumpuhan jangka pendek otot dengan
menghalangi stimulasi kolinergik dari spingter bawah esofagus. Efek ini akan
mengganggu komponen neurogenik dari sfingter dengan tetap mempertahankan
tekanan basal sfingter bawah esofagus. Efek obat ini mampu menurunkan 50%
tekanan sfingter bawah esofagus. Penurunan ini sudah cukup untuk mengurangi
gejala akalasia esofagus.15,17
Injeksi botulinum toxin menggunakan endoskopi, toksin diinjeksi dengan
memakai jarum skleroterapi yang dimasukkan ke dalam dinding esophagus dengan
sudut kemiringan 45°, dimana jarum dimasukkan sampai mukosa kira-kira 1-2 cm di
atas squamocolumnar junction. Lokasi penyuntikan jarum ini terletak tepat di atas
batas proksimal dari spingter bawah esofagus dan toksin tersebut diinjeksi secara
caudal ke dalam sfingter. Dosis efektif yang digunakan yaitu 80-100 unit/mL yang
dibagi dalam 20-25 unit/mL untuk diinjeksikan pada setiap kuadran dari LES.17

Gambar 3. Mekanisme kerja botulinum toxin15

Pemanfaatan injeksi toksin botulinum dibatasi untuk keadaan tertentu, seperti


pada keadaan PD atau myotomi dianggap tidak tepat karena beresiko. Toksin
botulinum dapat dipakai sebagai pengobatan tambahan pada pasien dengan kontraksi
spastik residual atas tindakan myotomi. Terapi ini sebaiknya digunakan pada pasien
lansia yang kurang bisa menjalani dilatasi atau pembedahan. Society of American
Gastrointestinal and Endoscopic Surgeons (SAGES) tahun 2014 menyatakan injeksi
botulinum toksin merupakan terapi yang aman, akan tetapi memiliki keterbatasan
efikasi jangka panjang.5,16
c. Pneumatic dilatation (PD)
Pneumatic dilatation (PD) menggunakan tekanan udara untuk mendilatasi
lumen esofagus dan mengganggu serat otot sirkuler dari spingter bawah esofagus.
Prosedur ini dilakukan dengan sedasi dan panduan fluoroscopy. Dilator dimasukan
dalam tiga diameter balon yang berbeda yaitu 3.0, 3.5, dan 4.0 cm. Aspek yang paling
penting dari PD adalah keahlian dari operator dan kesiapan untuk intervensi bedah
dalam kasus perforasi. Posisi dilator yang akurat penting untuk efektivitas terapi.
Pneumatic dilatation (PD) dilakukan sebagai prosedur rawat jalan dan pasien dapat
dipulangkan setelah dilatasi.5,18

Gambar 4. Pneumatic dilatation dengan balon rigiflex18

Society of American Gastrointestinal and Endoscopic Surgeons (SAGES)


tahun 2014 menyatakan bahwa diantara terapi non operatif akalasia esofagus, PD
merupakan modalitas terapi yang paling efektif, tetapi rawan terjadi komplikasi
perforasi. Tindakan ini direkomendasikan pada keadaan pasien dengan resiko tinggi
operasi. Jika dibandingkan dengan injeksi botulinum toxin, PD memiliki efikasi yang
lebih baik. Hal ini didukung oleh studi Leyden et al (2014) yang melakukan studi
perbandingan efikasi terapi injeksi botox dengan PD. Studi ini menyimpulkan bahwa
PD lebih efektif pada terapi akalasia esofagus dibandingkan dengan injeksi botulinum
toxin.16,23
d. Myotomi atau Esofagomiotomi
Tindakan bedah dianjurkan bila terdapat :1
1. Beberapa kali (> 2 kali) dilatasi pneumatik tidak berhasil.
2. Adanya ruptur esofagus akibat dilatasi
3. Kesulitan menempatkan dilator pneumatik karena dilatasi esofagus yang
sangat hebat.
4. Tidak dapat menyingkirkan kemungkinan tumor esofagus
5. Akalasia pada anak berumur < 12 tahun.
Myotomi dilakukan secara operasi terbuka melalui trans torakal dan trans
abdominal. Masalah utama yang dihadapi pada waktu itu adalah tindakan ini telah
sukses mengurangi gejala disfagia, akan tetapi terjadi peningkatan insiden
Gastroesofageal Reflux Disease (GERD) pasca operasi. Pada tahun 1962, Dor
melakukan tindakan anterior fundoplikasi pada trans abdominal myotomi untuk
meminimalkan kejadian GERD pasca tindakan myotomi. Semenjak tindakan ini
diperkenalkan, presedur ini terus dilakukan dan dilaporkan berhasil mengurangi
kejadian GERD pasca tindakan Myotomi.6,7,24
Bila dibandingkan tindakan dilatasi dan pembedahan, kedua tindakan ini
efektif. Keuntungan dilatasi jarang disertai refluks yang jelas tetapi ada risiko
perforasi esofagus. Perbaikan terhadap gejala disfagia pada kedua tindakan ini hampir
sama dibanding waktu perawatan pada dilatasi lebih pendek. Hasil optimal dilatasi
didapatkan dengan dilatasi esofagus sedang dan disfagia lebih dari 5 tahun.1
American College of Gastroenterology (ACG) tahun 2013 mengeluarkan
guedlines menajemen pasien dengan akhalasia esofagus. Pada guedlines tersebut
Myotomi merupakan pilihan terapi pada pasien dengan rendah resiko operasi. Jika
terapi miotomi gagal, dapat dilakukan pengulangan miotomi atau dilakukan tindakan
esofagektomi.5
Gambar 5. Alur terapi pasien dengan akalasia5

e. Peroral Endoscopic Myotomi (POEM)


Peroral Endoscopic Myotomi (POEM) merupakan modalitas terapi baru pada
penatalaksanaan akalasia esofagus. POEM yang dilakukan pada manusia pertama kali
diperkenalkan oleh Inoue et al pada tahun 2010 yang melakukan tindakan POEM
pada 17 pasien yang menderita akalasia esofagus di Jepang dengan hasil terapi yang
sangat baik.
Pasien yang telah didiagnosis dengan akhalasia merupakan indikasi untuk
dilakukan tindakan POEM. Peroral Endoscopic Myotomi (POEM) tidak memiliki
kontraindikasi mutlak. Peroral Endoscopic Myotomi (POEM) bisa dilakukan pada
ketiga tipe akhalasia esofagus. Prinsip penatalaksaan dengan Peroral Endoscopic
Myotomi (POEM) adalah memotong otot sirkuler spingter esofagus bawah. Peroral
Endoscopic Myotomi (POEM) merupakan tindakan berbasis endoskopi yang bersifat
minimal invasif.29
Persiapan tindakan Peroral Endoscopic Myotomi (POEM) harus dilakukan
secara baik. Persiapan pasien yang akan dilakukan tindakan dan alat-alat yang akan
digunakan. Pasien harus dipuasakan satu hari sebelum tindakan, dan dipastikan tidak
ada residu makanan dan cairan pada daerah yang akan dilakukan tindakan. Pasien
dapat diberikan antibiotik profilak dengan cefalosporin generasi ketiga intravena.
Tindakan ini dilakukan dalam keadaan anestesi umum.29,30
Teknik tindakan Peroral Endoscopic Myotomi (POEM) dapat dilukukan
melalui beberapa langkah. Langkah-langkah tersebut dapat dilihat pada gambar
berikut.

Gambar 6. Skema tindakan Peroral Endoscopic Myotomi30

Eckardt symptom score adalah pengelompokan untuk evaluasi gelaja, staging, dan
efikasi tatalaksana akalasia yang paling sering digunakan. Skor 0-1 menunjukkan stage 0,
skor 2-3 stage I, skor 4-6 stage II, dan skor > 6 stage III. (Tabel 3). Stage 0 dan I
menunjukkan terjadi remisi penyakit. Stage II dan III : kegagalan terapi.

Tabel 3. Eckardt score : skoring klinis untuk akalasia


Skor Disfagia Regurgitasi Nyeri retrosternal Penurunan BB
(kg)
0 Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada
1 Kadang-kadang Kadang-kadang Kadang-kadang <5
2 Tiap hari Tiap hari Tiap hari 5 - 10
3 Tiap makan Tiap makan Tiap makan >10
2.8 KOMPLIKASI
Ada beberapa komplikasi yang bisa dialami penderita akalasia yaitu:
 Regurgitasi. Naiknya asam lambung atau makanan kembali ke kerongkongan.
 Pneumonia, akibat masuknya makanan ke dalam paru-paru.
 Perforasi esofagus. Robeknya dinding kerongkongan.
 Kanker esofagus. Tersumbatnya kerongkongan oleh makanan dalam jumlah
banyak yang tidak bisa masuk ke perut, maka risiko terkena kanker esofagus
juga meningkat.

2.9 PROGNOSIS
Akalasia tidak pernah dapat disembuhkan, oleh karena itu diperlukan tindak

lanjut oleh bedah gastroenterologist. Akalasia adalah penyakit kronik yang harus

dipantau seumur hidup. Tujuan terapi pada akalasia bukan untuk mengembalikan

fungsi otot polos esofagus tetapi untuk mengurangi gejala, memperbaiki pengosongan

esofagus, dan mencegah terjadinya megaesofagus.5


BAB IV
SIMPULAN

Akalasia esofagus adalah gangguan motilitas esofagus yang penyebabnya


tidak diketahui, ditandai dengan aperistaltik korpus esofagus bagian bawah dan
sfingter esofagus bagian bawah (SEB) yang hipertonik sehingga terjadi gangguan
relaksasi secara sempurna pada saat menelan makanan. Secara histopatologik
kelainan ini ditandai oleh degenerasi ganglia pleksus mienterikus yang menyebabkan
stasis makanan dan pelebaran esofagus.
Diagnosis akalasia dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis biasanya dijumpai gejala
tersering pada akalsia seperti disfagia, regurgitasi, penurunan berat badan, nyeri dada,
batuk-batuk, dan pneumonia aspirasi yang biasanya didapat akibat komplikasi retensi
makanan. Pemeriksaan fisik tidak banyak membantu dalam menentukan diagnosis,
biasanya hanya ditemukan penurunan berat badan, kadang-kadang disertai anemia
defisiensi. Pemeriksaan penunjang dalam penegakkan diagnosis akalasia dapat berupa
pemeriksaan radiologis, seperti foto polos thorak yang memberikan gambaran air
fluid level, esofagogram barium memberikan gambaran bird’s beak appearance.
Pemeriksaan penunjang lain dapat berupa pemeriksaan esofagoskopi dan
pemeriksaan manometrik yang merupakan gold standard dalam penegakan diagnosis
akalasia.
Pengobatan akalasia antara lain dengan cara medikamentosa oral berupa
pemberian nitrat (isosorbid dinitrat) dan calcium channel blockers, injeksi toksin
botulinum via endoskopi, pneumatic dilatation atau dengan operasi seperti myotomi,
Peroral Endoscopic Myotomi (POEM). Tidak ada pengobatan yang dapat
mengembalikan aktivitas otot dan persyarafan di esofagus karena akalasia adalah
suatu penyakit kronik yang harus dipantau seumur hidup.
DAFTAR PUSTAKA

1. Bakry, F. 2009. Akalasia. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,


Simadibrata M, Setiati S. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi
V. Jakarta: Interna Publishing
2. Patel DA, Kim HP, Zifodya JS, Vaezi MF. Idiopathic (primary) achalasia: a
review. Orphanet Journal of Rare Diseases. 2015. Vol.10: p89-110
3. Richter JE. Achalasia - An Update. Journal of Neurogastroenterology Motil.
2010. Vol. 16 p.102-122
4. Hadi S. 2013. Gastroenterologi. Bandung: PT Alumni
5. Vaezi M, Pandolfino J, Vela M. ACG Clinical Guideline: Diagnosis and
Management of Achalasia. The American Journal of Gastroenterology. 2013.
p.1-12
6. Snell, RS. 2011. Anatomi Klinis Berdasarkan Sistem. Jakarta: EGC
7. Chandramata, 2000. Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah. Edisi Keenam.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 361
8. Soepardi, E.A., 2007. Kesulitan Menelan. Dalam: Soepardi, E.A., Iskandar,
N., Bashiruddin, J., Restuti, R.D. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala & Leher. Edisi Keenam. Jakarta: Balai Penerbit FK
UI,276-280.
9. Sherwood, L. 2009. Fisiologi Manusia: Dari Sel ke Sistem. Edisi Keenam.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 652-654.
10. Kahrilas PJ, Ikuo H. 2013. Disease of Esophagus. Dalam: Longo DL,
Anthony SF. Harrison’s Gastroenterology and Hepatology. 2nd Edition.
United State : McGraw-Hill Education, hal.117-120
11. Pandolfino JE, Kahrilaz PJ. Presentation, Diagnosis, and Management of
Achalasia. Journal of Gastroenterology and Hepatology. 2013. Vol.11. p887-
897
12. Ramirez M, Patti MG. Changes in the Diagnosis and Treatment of Achalasia.
J Clinical and Translational Gastroenterology. 2015. Vol.6. e87
13. Hirano I. Pathophysiology of achalasia and diffuse esophageal spasm. GI
motility online. May, 2006. [cited 2017 Januari 6]. Available from
http://www.nature.com/gimo/contents /pt1/full/gimo 22.htm
14. Smith EM. Chaudhuri TK. What are the radiographic appearances of
secondary achalasia, and how can it be differentiated from primary achalasia
in barium studies. [cited 2017 Januari 6]. Available from
https://www.hon.ch/OESO/books/Vol 5 Eso Junction/Articles/art366.html

Anda mungkin juga menyukai