SIGIT ( 1016170 )
SUNANI ( 1016174 )
Tingkat : IIA
i
DAFTAR ISI
Pendahuluan .................................................................................................. 3
A. Alat .................................................................................................. 12
B. Bahan ............................................................................................... 12
C. Cara Kerja ........................................................................................ 12
D. Cairan Pengembang ( Fase gerak) .................................................. 13
Penutup ........................................................................................................ 17
A. Kesimpulan ...................................................................................... 17
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam bidang penelitian obat tradisional bertujuan agar mengenal dan
mengidentifikasi suatu jenis atau spesies bahan alam yang berkhasiat obat
berdasarkan morfologi dan kegunaannya bagi masyarakat di suatu daerah.
Obat tradisional di dunia ini sedang marak digunakan dalam masyarakat.
Penggunaan obat tradisional bukan hanya dikembangkan di Indonesia tapi sudah
dikembangkan di negara-negara maju. Sehingga bahan alam merupakan salah satu
sumber bahan baku obat yang perlu digali, diteliti dan dikembangkan.
Perkembangan pemanfaatan tumbuh-tumbuhan sebagai obat dari tahun ke
tahun pun semakin berkembang pesat dan mengalami kemajuan. perkembangan
mulai terarah mulai dari cara atau metode pembuatannya sampai cara
penggunaannya dibuat sesederhana mungkin tanpa mengurangi ataupun
menghilangakan kandungan obat pada tanaman tersebut.
Untuk mencari sumber obat yang baru dari tumbuhan, para peneliti tidak
terkecuali mahasiswa telah melakukan penelitian mengenai suatu tanaman yang
belum pernah diteliti untuk mendapatkan komponen obat yang dapat digunakan
untuk pengobatan. Komponen dari tumbuhan tersebut kemudian diisolasi dan
diidentifikasi komponen bahan aktifnya yang mengandung nilai terapeutik atau
bahan berkhasiat.
Beberapa metode kromatografi diantaranya adalah kromatografi kertas dan
kromatografi lapis tipis atau yang biasa disebut KLT. Kromatografi kertas sebagai
penyerap digunakan sehelai kertas dengan susunan serabut pada lapisan
selulosa yang lazim, menyebabkan lebih banyak terjadi difusi ke samping dan
bercak lebih besar.
3
B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan Kromatografi Lapis Tipis?
2. Bagaimanakah prinsip kerja Kromatografi Lapis Tipis?
3. Bagaimanakah proses Kromatografi Lapis Tipis?
4. Bagaimanakah hasil dari Kromatografi Lapis Tipis?
C. Maksud Percobaan
Mengetahui dan memahami cara identifikasi metampironsecara
kromatografi lapistipis.
.
D. Tujuan Penelitian
Identifikasi komponen kimia fenilbutazon secara kualitatif dengan metode
kromatografi lapis tipis dengan melihat warna noda dan nilai Rf nya.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
5
Penentuan jumlah komponen senyawa dapat dideteksi dengan kromatografi
lapis tipis (KLT) dengan plat KLT yang sudah siap pakai. Terjadinya pemisahan
komponen-komponen pada KLT dengan Rf tertentu dapat dijadikan sebagai
panduan untuk memisahkan komponen kimia tersebut dengan menggunakan
kolom kromatografi dan sebagai fase diam dapat digunakan silica gel dan eluen
yang digunakan berdasrkan basil yang diperoleh dari KLT dan akan lebih baik
kalau kepolaran eluen pada kolom kromatografi sedikit sibawah eluen pada KLT
(Lenny, 2006).
Pada hakekatnya KLT merupakan metode kromatografi cair yang
melibatkan dua fase yaitu fase diam dan fase gerak. Fase geraknya berupa
campuran pelarut pengembang dan fasa diamnya dapat berupa serbuk halus yang
berfungsi sebagai permukaan penyerap (kromatografi cair-padat) atau berfungsi
sebagai penyangga untuk lapisan zat cair (kromatografi cair-cair). Fase diam pada
KLT sering disebut penyerap walaupun berfungsi sebagai penyangga untuk zat cair
di dalam sistem kromatografi cair-cair. Hampir segala macam serbuk dapat dipakai
sebagai penyerap pada KLT, contohnya silika gel (asam silikat), alumina
(aluminium oksida), kiselgur (tanah diatomae) dan selulosa. Silika gel merupakan
penyerap paling banyak dipakai dalam KLT (Iskandar, 2007).
Cara pemisahan dengan adsorbsi pada lapisan tipis adsorben yang sekarang
dikenal dengan kromatografi lapis tipis (Thin Layer Chromatography atau TLC)
telah dipakai sejak tahun 1983. Tekhnik ini bertujuan untuk memisahkan
komponen kimia secara cepat berdasarkan prinsip adsorbsi dan partisi.TLC atau
KLT dapat digunakan untuk memisahkan berbagai senyawa seperti ion – ion
anorganik, kompleks senyawa-senyawa organik dengan dengan senyawa – senyawa
anorganik, dan senyawa-senyawa organik baik yang terdapat di alam maupun
senyawa-senyawa organik sintetik (adnan, 1997).
Kelebihan penggunaan kromatografi lapis tipis dibandingkan dengan
kromatografi kertas adalah karena dapat dihasilkannya pemisahan yang lebih
sempurna, kepekaan yang lebih tinggi, dan dapat dilaksanakan dengan lebih
cepat (adnan, 1997).
Kromatografi lapis tipis merupakan kromatografi adsorbsi dan adsorben
bertindak sebagai fase stasioner. Empat macam adsorben yang umum digunakan
adalah silica gel (asam silikat), alumina (aluminium oxyde), kieselghur (diatomeus
6
earth) dan selulosa. Dari keempat jenis adsorben tersebut, yang paling banyak
dipakai adalah silica gel karena mempunyai daya pemisahan yang
baik (adnan, 1997).
Teknik standar dalam melaksanakan pemisahan dengan KLT ini adalah
sebagai berikut : pertama kali lapisan tipis adsorben dibuat pada permukaan plat
kaca atau plat lain, misalnya berukuran 5 x 20 cm atau 20 x 20 cm. tebal lapisan
adsorben tersebut dapat bervariasi, tergantung penggunaannya. Larutan campuran
yang akan dipisahkan diteteskan pada kira – kira 1,5 cm dari bagian bawah plat
tersebut dengan menggunakan pipet mikro atau syringe. Zat pelarut yang terdapat
pada sampel yang diteteskan tersebut kemudian diuapkan lebih dulu. Selanjutnya
plat kromatografi tersebut dikembangkan dengan dengan mencelupkannya pada
tangki yang berisi campuran zat pelarut (solvent system). Dengan pengembangan
tersebut masing –masing komponen senyawa dalam sampel akan bergerak ke atas
dengan kecepatan yang berbeda. Perbedaan kecepatan gerakan ini merupakan
akibat terjadinya pengaruh proses dengan KLT, mulai pemilihan adsorben sampai
identifikasi masing – masing komponen yang telah terpisah (adnan, 1997).
7
energi yang semula akan mengeluarkan emisi yang dapat ditangkap oleh
spektrofotometer sebagai data absorban (Stahl, 1969).
Spektrum serapan kandungan tumbuhan dapat diukur dalam larutan
yang encer dengan pembanding blanko pelarut serta menggunakan
spektrofotometer yang merekam otomatis. Senyawa dan warna diukur
pada jangka 200 nm sampai 400 nm, senyawa berwarna diukur pada
jangka 400 nm sampai 700 nm. Panjang gelombang serapan maksimum
dan minimum pada spektrum serapan yang diperoleh direkam dalam
nm. Demikian juga kekuatan absorbansi (keterserapan). Bahan yang
dignakan hanya dalam jumlah sedikit diisi dengan 3 ml larutan. Dengan
manggunakan sel khusus hanya diperlukan sepersepuluh volume
tersebut. Pengukuran spektrum yang demikian itu penting pada
identifikasi kandungan tumbuhan termasuk untuk mendeteksi golongan
senyawa tersebut(Stahl, 1969).
Pelarut yang banyak digunakan untuk spektroskopi UV adalah
etanol 95 %, metanol, air, heksan dan eter. Alkohol mutlak niaga harus
dihindari karena mengandung benzen yang menyerap di daerah UV
pendek. Pelarut seperti kloroform harus dihindari karena menyerap kuat
di daerah 200 – 600 nm, tetapi sangat cocok untuk mengukur spektrum
tumbuhan karotenida didaerah spektrum tampak (Stahl, 1969).
8
kembali ke energi dasar inilah yang menyebabkan perbedaan flouresensi
warna yang dihasilkan oleh tiap noda. Penampakan noda setelah
lempeng disemprot dengan H2SO4 10% disebabkan karena H2SO4 ini
bersifat reduktor yang dapat memutuskan ikatan rangkap sehingga
panjang gelombangnya bertambah dan warna noda dapat dilihat pada
cahaya tampak. Mekanisme penampakan noda ini dapat disebabkan juga
karena gugus OH yang dimiliki H2SO4 sehingga berfungsi sebagai
ausokrom, dimana ausokrom ini dapat menyebabkan pergeseran
batokromik yaitu pergeseran ke arah panjang gelombang yang lebih
panjang sedangkan pergeseran hipsokromik ke arah panjang gelombang
yang lebih pendek (ke arah UV hampa). Konsentrasi H2SO4 yang
digunakan adalah 10% karena jika konsentrasinya terlalu pekat maka
dapat merusak lempeng namun jika konsentrasinya terlalu rendah maka
kemampuan pemutusan ikatannya tidak maksimal. Proses pemanasan
pada pemanas listrik dimaksudkan untuk membantu proses pemutusan
ikatan pada H2SO4. Sinar UV yang digunakan adalah sinar UV dengan
panjang gelombang 254 nm karena berdasarkan literatur, bahwa banyak
senyawa organik yang dapat berflouresensi jika disinari UV 254 nm.
Pada lampu UV 254 nm noda yang tampak berwarna gelap (ungu)
karena yang berflouresensi adalah lempengnya yang mengandung
indikator sedangkan sampelnya tidak. Pada lampu UV 366 nm warna
noda yang tampak adalah terang atau tampak jelas karena lempengnya
tidak berflouresensi tetapi sampelnya.
Gugus ausokrom adalah gugus yang dapat meningkatkan intensitas
pita absorbsi kromofor jika kerikatan dengan gugus kromofor akibat
pemutusan ikatan rangkap, menyebabkan pergeseran panjang
gelombang ke daerah ultra violet dekat (190-380).
Gugus kromofor adalah gugusan atom yang dapat menyerap radiasi
elektromagnetik (sinar UV) dan mempunyai ikatan rangkap tak jenuh
(terkonyugasi).Gugus terkonyugasi adalah struktur molekul dengan
ikatan rangkap tak jenuh bila dari satu yang berada berselang-seling
dengan ikatan tunggal.Digunakan UV 254 karena UV 254 ini dianggap
9
mewakili pendek (190-280) dan digunakan UV 366 karena UV 366 ini
dianggap mewakili panjang (280-380).
Analisis dengan KLT dapat dilakukan untuk mengidentifikasi
simplisia yang kelompok kandungan kimianya telah diketahui.
Kelompok kandungan kimia tersebut antara lain : (Ditjen POM, 1987)
a. Alkaloida
b. Glikosida jantung
c. Flavanoid
d. Saponin
e. Minyak atsiri
f. Kumarin dan asam fenol karboksilat
g. Valepotriat
10
Faktor yang mempengaruhi harga Rf adalah (Stahl,1985):
a. Ukuran partikel pada adsorben.
b. Derajat keaktifan dari lapisan penjerap.
c. Ketetapan perbandingan dari eluen.
d. Konsentrasi zat yang dipanaskan.
e. Kejenuhan chamber.
f. Diameter penotol.
g. Tehnik percobaan.
h. Suhu.
i. Keseimbangan.
j. Jumlah cuplikan yang digunakan.
k. Tebal dan kerataan dari lapisan penjerap.
l. Pelarut.
m. Struktur kimia dari senyawa yang sedang dipisahkan.
11
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Alat
1. Chamber dan tutup
2. Pinset
3. Pensil
4. Penggaris
5. Gunting
6. Pipet mikro
7. Plat KLT.
B. Bahan
1. Metanol
2. Ekstrak kental hasil fraksinasi
3. Etil asetat
4. Aquadest
5. Butanol
6. Kertas saring
7. Pereaksi Dragendrof
8. FeCl3
9. Kofein 10% sebagai kontrol.
C. Cara Kerja
1. Gunting plat KLT dengan ukuran 10 x 4cm atau sesuai kebutuhan.
2. Buat garis batas atas 8 cm dan batas bdari garis bawah 1,5 cm.
3. Beri tanda tempat penotolan sampel dengan pensil, totolkan sampel 2-3 kali dan
keringkan.
4. Masukkan plat KLT ke dalam chamber yang telah berisi cairan pelarut (fase
gerak) dan diberi kertas saring sampai chamber dalam keadaan jenuh.
12
5. Tutup chamber dan biarkan plat KLT hingga selesai proses pengelusian
terhadap sampel.
6. Angkat plat KLT dengan pinset, biarkan kering, lalu beri penampak noda
(FeCl3 atau Dragendrof).
7. Hitung Rf sampel.
D. Cairan pengembang
Cairan pengembang dibuat 20 ml dengan perbandingan komposisi yang
berbeda tiap kelompoknya, yaitu:
a. Kelompok uji fenilbutazon : etil asetat, metanol, amoniak
(22,5 : 20 : 2,5)
Perhitungannya menjadi:
13
BAB IV
HASIL PENGAMATAN
A. Penampakan Bercak/Noda
Setelah plat KLT yang berisi sampel dieluasi pada chamber yang berisi
cairan eluen yang jenuh lalu dikeringkan didapatkan penampakan noda sebagai
berikut:
A B C
Keterangan :
14
Gambar diatas merupakan penambakan noda pada plat tetes setelah proses
eluasi selesai secara kasat mata tanpa bantuan apa-apa. Sedangkan dibawah ini
adalah penampakan noda dibawah sinar UV 254 nm
A B C
A B C
15
Pada percobaan ini dilakukan analisis kualitatif dengan metode
kromatografi lapis tipis. Sampel yang dianalisis yaitu jamu pegal linu untuk
mengidentifikasi adanya kandungan fenilbutazon didalamnya.
Pada percobaan ini digunakan pembanding, yaitu latutan fenilbutazon
dalam metanol.
B. Hasil Perhitungan Rf
1. Fraksi A ( Larutan uji) : 6,5 ÷ 8 = 0,82
2. Fraksi B (Larutan kontrol posotif) : 6,5 ÷ 8 = 0,82
3. Fraksi C (Larutan baku pembanding) : 6,5 ÷ 8 = 0,82
16
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari hasil percobaan yang telah dilakukan, larutan uji memiliki nilai Rf
yang sama dengan larutan kontrol positif dan dengan larutan baku pembanding ,
maka dengan penelitian ini membuktikan bahwa sampel yang diuji positif
mengandung fenilbutazon.
17
DAFTAR PUSTAKA
Ditjen POM. 1979. Farmakope Indonesia Jilid III. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
Iskandar, M. J. 2007. Pengantar Kromatografi Edisi Kedua. Bandung: ITB.
18