TENTANG
DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 5
Alvin Al-Farisi (1748201110005)
Idawati (1748201110117)
FAKULTAS FARMASI
BANJARMASIN
2019
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini pada
waktunya.
Pada kesempatan ini kami mengucapkan terimakasih kepada Bapak Irfan Zamzani,
M.Farm.,Apt selaku dosen mata kuliah Fitokimia yang telah memberikan bimbingan dalam
penyusunan makalah ini.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih ada kekurangan. Tegur
sapa dan kritik yang membangun kami menerima.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat, khususnya bagi kami dan umumnya bagi
pembaca.
Penulis
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pemisahan campuran menjadi komponen-komponennya adalah hal yang sangat
penting dalam semua cabang ilmu kimia. Salah satu teknik pemisahnan yang digemari
adalah teknik kromatografi. Dengan mengunakan motode kromatografi, dalam banyak hal
yang berkaitan dengan pemisahan telah terbukti jauh lebih cepat dan efektif daripada
metode lainnya.
Kromatografi merupakan teknik pemisahan campuran didasarkan atas perbedaan
distribusi dari komponen-komponen campuran tersebut diantara dua fase, yaiu fase diam
(padat atau caiir) dan fase gerak (cair atau gas).
Fase gerak mengalir melalui fase diam dan membawa komponen-komponen yang
terdapat dalam campuran. Komponen-komponen yang berbeda bergerak pada laju yang
berbeda.
Ada banyak pembagian metode pemisahan dengan kromatografi, kromatografi
terbagi menjadi kromatografi kolom, kromatografi kertas, dan kromatografi lapis tipis.
Salah satu jenis metode kromatografi yang paling sering dipakai adalah metode
kromatografi lapis tipis (KLT). Kromatografi Lapis Tipis (KLT) merupakan cara
pemisahan campuran senyawa menjadi senyawa murninya dan mengethui kuantitasnya
yang menggunakan teknik kromatografi.
Kromatografi Lapis Tipis (KLT) dikembaangkan tahun 1938 oleh Ismailoff dan
Schraiber. Adsorben dilapiskan pada lempeng kaca yanag bertindak sebagai penunjang
fase dian. Fase bergerak akan merayap sepanjang fase diam dan terbentuklah
kromatogram. Metode ini sederhana cepat dalam pemisahan tinggi dan mudah untuk
memperoleh kembali senyawa-senyawa yang terpisahkan. Pada dasarnya kromatografi
lapis tipis (KLT atau TLC = Thin Layer Chromatography) sangat mirip dengan
kromatografikertas, terutama pad cara melakukannya. Perbedaan nyara terlihat pada
media pemisahannya, yakni digunakan lapisan tipis adsorben halus yang tersangga pada
papan kaca, aluminium atau plastik sebagai pengganti kertas. Lapisan tipis adsorben ini
pada proses pemisahan berlaku sebagai fase diam.
1
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Kromatografi Lapis Tipis (KLT) ?
2. Apa yang dimaksud fase diam dan fase gerak pada KLT ?
3. Bagaimana cara penggunaan pada KLT ?
4. Bagaimana Identifikasi Analisis dengan metode Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
?
5. Bagaimana Isolasi KLT ektrak tanaman daun alpukat (Persea americana Mill).?
6. Bagaimana Isolasi KLT ektrak tanaman Swertia chirayta?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi dan penjelasan tentang Kromatografi Lapis Tipis
(KLT)
2. Untuk mengetahui penjelasan-penjelasan tentang fase dian dan fase gerak pada
KLT
3. Untuk mengetahui kegunaan, fungsi, dan prinsip pada KLT
4. Untuk mengetahui analisis-analisis yang menggunakan metode KLT
5. Untuk mengetahui hasil Isolasi KLT pada penelitian Jurnal Nasional tanaman
daun alpukat (Persea americana Mill)
6. Untuk mengetahui hasil Isolasi KLT pada penelitian Jurnal Internasional tanaman
Swertia chirayta
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Istilah kromatografi berasal dari bahasa Latin chroma berarti warna dan
graphien berarti menulis.Kromatografi pertama kali diperkenalkan oleh Michael
Tswest (1903) seorang ahli botani dari Rusia. Michael Tswest dalam percobaannya ia
berhasil memisahkan klorofil dan pigmen-pigmen warna lain dalam ekstrak tumbuhan
dengan menggunakan serbuk kalsium karbonat (CaCO3) yang diisikan ke dalam kaca
dan petroleum eter sebagai pelarut. Proses pemisahan itu diawali dengan
menempatkan larutan cuplikan pada permukaan atas kalsium karbonat (CaCO3),
kemudian dialirkan pelarut petroleum eter. Hasilnya berupa pita-pita berwarna yang
terlihat sepanjang kolom sebagai hasil pemisahan komponen-komponen dalam
ekstrak tumbuhan. (Alimin, 2007)
Kromatografi lapis tipis (KLT) dapat dipakai dengan dua tujuan. Pertama,
dipakai sebagai metode untuk mencapai hasil kualitatif, kuantitatif, dan preparatif.
Kedua, dipakai untuk menjajaki sistem pelarut dan sistem penyangga yang akan
dipakai dalam kromatografi kolom atau kromatografi cair kinerja tinggi. Analisis dari
KLT dapat membantu menentukan pelarut terbaik apa yang akan dipakai dan berapa
perbandingan antar pelarut yang akan digunakan sebagai fase gerak pada kromatografi
kolom (Gritter,1991).
Adsorben yang digunakan pada kromatografi lapis tipis biasanya terdiri dari
silika gel atau alumina dapat langsung atau dicampur dengan bahan perekat misalnya
kalsium sulfat untuk disalutkan pada pelat.
3
Pada pemisahannya, fase bergerak akan membawa komponen campuran
sepanjang fase diam pada pelat sehingga terbentuk
kromatogram. Pemisahan yang terjadi berdasarkan adsorbsi dan partisi. Teknik kerja
KLT prinsipnya hampir sama dengan komatografi lapis tipis (KLT). (Yazid, 2005)
Pemilihan sistem pelarut dan komposisi lapisan tipis ditentukan oleh prinsip
kromatografi yang akan digunakan. Untuk meneteskan sampel yang akan dipisahkan
digunakan suatu penyuntik berukuran mikro. Sampel harus nonpolar dan mudah
menguap. Kolom-kolom dalam pelat dapat diciptakan dengan mengorek lapisan
vertikal searah gerakan pelarut. Resolusi KLT jauh lebih tinggi daripada kromatografi
lapis tipis (KLT) karena laju difusi yang luar biasa kecilnya pada lapisan
pengadsorbsi. Semua teknik yang dipakai kromatografi lapis tipis (KLT) juga dapat
digunakan untuk kromatografi lapis tipis. ( khopkar, 2010)
4
B. Prinsip Kromatografi Lapis Tipis
Prinsip KLT yaitu perpindahan analit pada fase diam karena pengaruh fase
gerak. Proses ini biasa disebut elusi. Semakin kecil ukuran rata-rata partikel fase diam
dan semakin sempit kisaran ukuran fase diam, maka semakin baik kinerja KLT dalam
hal efisiensi dan resolusinya (Gritter, 1991).
KLT mempunyai beberapa keuntungan, diantaranya : waktu yang dibutuhkan
tidak lama (2-5 menit) dan sampel yang dipakai hanya sedikit sekali (2-20 μg).
Kromatografi lapis tipis banyak digunakan untuk tujuan analisis. Identifikasi
pemisahan komponen dapat dilakukan dengan pereaksi warna, fluorosensi atau dengan
radiasi menggunakan sinar ultraviolet. Dapat dilakukan elusi secara menaik
(ascending), menurun (descending), atau dengan cara elusi 2 dimensi. Ketepatan
penentuan kadar akan lebih baik karena komponen yang akan ditentukan merupakan
bercak yang tidak bergerak.
Kerugiannya dengan menggunakan KLT adalah tidak efektif untuk skala
industri. Walaupun lembaran KLT yang digunakan lebih lebar dan tebal,
pemisahannya sering dibatasi hanya sampai beberapa miligram sampel saja (Gritter,
1991).
C. Fase Kromatografi Lapis Tipis
1. Fase Diam
Merupakan penjerap berukuran kecil dengan diameter partikel antara 10-30 μm.
Silika gel adalah yang paling banyak digunakan sebagai adsorben dan fase diam
yang dominan untuk KLT. Sebagian besar analisis KLT dilakukan dengan
menggunakan fase normal lapisan silika gel.
Fase diam ini dapat digunakan sebagai fase polar maupun nonpolar. Untuk fase
polar, merupakan silika yang dibebaskan dari air dan bersifat sedikit asam. Silika gel
perlu ditambah gips (kalsium sulfat) untuk memperkuat pelapisannya pada pendukung.
Sebagai pendukung biasanya lapisan tipis digunakan kaca dengan ukuran 20x20 cm,
10x20 cm, atau 5x10 cm. pendukung yang lain berupa lembaran alumunium atau
plastik seperti ukuran di atas yang umumnya dibuat oleh pabrik.
Silika gel kadang-kadang ditambah senyawa fluoresensi, agar bila disinari
dengan sinar UV dapat berfluoresensi atau berpendar, sehingga dikenal dengan silika
gel GF254 yang berarti silika gel dengan fluoresen yang berpendar pada 254 nm.
5
Silikagel untuk fase non polar terbuat dari silika yang dilapisi dengan senyawa
non polar misalnya, lemak, parafin, minyak silikon raber gom, atau lilin, dengan fase
gerak air yang bersifat polar dapat digunakan sebagai eluen. Fase diam ini dapat
memisahkan banyak senyawa namun elusinya sangat lambat dan keterulangannya
kurang bagus (Sumarno, 2001).
– Silika gel
– Keiselguhr (Celit)
– Alumina
– Serbuk Selulosa
6
2. Fase Gerak
Fase gerak dikenal sebagai pelarut pengembang yang akan bergerak
sepanjang fase diam karena pengaruh kapiler pada pengembang secara menaik
(ascending) atau karena pengaruh gravitasi pada pengembang menurun
(descending).
Sistem yang paling sederhana ialah campuran 2 pelarut organik karena daya
elusi campuran kedua pelarut ini dapat mudah diatur.
Fase gerak adalah medium angkut, terdiri dari satu atau beberapa pelarut, yang
bergerak di dalam fase diam, yaitu suatu lapisan berpori karena adanya gaya kapiler
(Stahl, 1985). Pemilihan sistem pelarut yang dipakai didasarkan atas prinsip like
dissolves like, artinya untuk memisahkan sampel yang bersifat nonpolar digunakan
sistem pelarut yang bersifat nonpolar juga. Campuran dilarutkan dan ditotolkan pada
garis mulai berupa titik atau pita. Penotolan berupa titik sebaiknya mempunyai
diameter antara 2 mm dan paling besar 5 mm (Stahl,1969).
Polaritas fase gerak perlu diperhatikan pada analisa dengan KLT, sebaiknya
digunakan campuran pelarut organik yang mempunyai polaritas serendah mungkin.
Campuran yang baik memberikan fase gerak yang mempunyai kekuatan bergerak
sedang. Secara umum dikatakan bahwa fase diam yang polar akan mengikat senyawa
polar dengan kuat sehingga bahan yang kurang sifat kepolarannya akan bergerak lebih
cepat dibandingkan bahan- bahan polar (Gritter, et al., 1991).
Fase gerak harus memiliki kemurnian yang tinggi. Hal ini dikarenakan KLT
merupakan teknik yang sensitif. Fase gerak yang digunakan adalah pelarut organik
yang memiliki tingkat polaritas tersendiri, melarutkan senyawa contoh, dan tidak
bereaksi dengan penjerap (Gritter, et al., 1991).
Pelarut yang ideal harus melarutkan linarut dan harus cukup baik sebagai
pelarut yang bersaing dengan daya serap penjerap. Keadaan yang ideal tersebut
mungkin terjadi jika pelarut tidak berproton seperti hidrokarbon, eter dan senyawa
karbonil dipakai sebagai pelarut pengembang (Gritter, et al., 1991).
Proses pengembangan akan lebih baik bila ruangan pengembangan tersebut
telah jenuh dengan uap sistem pelarut (Adnan, 1997).
7
Pelarut dalam ruangan pengembang dihindarkan dari atmosfer luar untuk menghindari
penguapan komponen- komponen (Sastrohamidjojo, 1985) dan campuran pelarut dianjurkan
hanya dipakai untuk sekali pengembangan saja karena susunannya mudah berubah
akibatsalah satu komponennya menguap (Gritter, 1991).
Cara memilih dan mengoptimasi fase gerak :
• Daya elusi fase gerak diatur sedemikian rupa sehingga harga Rf terletak antara
0,2-0,8
• Pemisahan dengan menggunakan fase diam polar seperti silica gel, polaritas fase
gerak akan menentukan kecepatan migrasi solute yang berarti juga menentukan
nilai Rf. Penambahan pelarut yang bersifat sedikit polar seperti dietil eter ke
dalam pelarut non polar seperti metil benzene akan meningkatkan harga Rf
secara signifikan.
• Jika volume sampel yang ditotolkan lebih besar dari 2-10 μl, maka penotolan
harus dilakukan secara bertahap dengan dilakukan pengeringan antar totolan.
Pengembangan
• Tepi bagian bawah lempeng tipis yang telah ditotoli sampel dicelupkan kedalam
fase gerak kurang lebih 0,5-1 cm.
• Tinggi fase gerak dalam bejana harus dibawah lempeng yang telah berisi totolan
sampel.
• Bejana kromatografi harus tertutup rapat dan sedapat mungkin volume fase gerak
sedikit mungkin tetapi harus mampu mengelusi lempeng sampai ketinggian
lempeng yang telah ditentukan.
8
• Untuk melakukan penjenuhan fase gerak, biasanya bejana dilapisi dengan kertas
saring . Jika fase gerak telah mencapai ujung dari kertas saring, maka dapat
dikatakan bahwa fase gerak telah jenuh.
Deteksi Bercak
• Cara kimia yang biasa digunakan adalah dengan mereaksikan bercak dengan
suatu pereaksi melalui cara penyemprotan sehingga bercak menjadi jelas.
• Cara fisika yang dapat digunakan untuk menampakkan bercak adalah dengan
denagan cara pencacahan radioaktif dan fluorosensi sinarultraviolet. Fluorosensi
sinar ultraviolet terutama untuk senyawa yang dapat berfluorosensi, membuat
bercak akan terlihat jelas.
• Menyemprot lempeng KLT dengan reagen kromogenik yang akan bereaksi secara
kimia dengan solute yang mengandung gugus fungsional tertentu sehingga bercak
menjadi berwarna.
• Menyemprot lempeng dengan asam sulfat pekat atau asam nitrat pekat lalu
dipanaskan untuk mengoksidasi solute-solut organic yang akan Nampak sebagai
bercak hitam sampai kecoklat-coklatan.
9
Perhitungan Nilai Rf
D. Penggunaan KLT
• Analisa kualitatif dengan KLT dapat dilakukan untuk uji identifikasi senyawa
baku. Parameter pada KLT yang digunakan untuk identifikasi adalah nilai Rf.
• Analisis kuantitatif dilakukan dengan 2 cara, yaitu mengukur bercak langsung pada
lempeng dengan menggunakan ukuran luas atau dengan teknik densitometry dan
cara berikutnya adalah dengan mengerok bercak lalu menetapkan kadar senyawa
yang terdapat dalam bercak dengan metode analisis yang lain, misalnya dengan
metode spektrofotometri.
• Analisis preparatif, sampel yang ditotolkan dalam lempeng dengan lapisan yang
besar lalu dikembangkan dan dideteksi dengan cara yang non-dekstruktif. Bercak
yang mengandung analit yang dituju selanjutnya dikerok dan dilakukan analisis
lanjutan.
10
BAB III
PEMBAHASAN
A. Jurnal Nasional
11
Tujuan Pengeringan ini untuk menghilangkan kadar air, mencegah timbulnya jamur,
dapat disimpan dalam jangka waktu panjang dan tidak merusak komponen senyawa
kimia yang terkandung di daun alpukat. Setelah itu dihaluskan menggunakan
blender dengan tambahan sedikit metanol. Tahap akhir diperoleh Serbuk kasar daun
alpukat sebanyak 400 gr.
Uji Fitokimia
Uji fitokimia dilakukan untuk mengetahui golongan senyawa kimia yang terdapat
didalam sampel tumbuhan tersebut dengan menggunakan modifikasi metode
Farnsworth (Sermakkani dan V. Thangapandian 2010). Daun alpukat diuji fitokimia
untuk melihat kandungan metabolit sekunder. Uji Fitokimia meliputi uji flavonoid,
uji alkaloid, uji steroid, terpenoid dan saponin.
Uji Flavonoid
Ekstrak kental metanol 0,1 gr diencerkan dengan menggunakan metanol 10 mL dan
dibagi menjadi 4 tabung reaksi yang berbeda. Tabung pertama sebagai kontrol,
tabung kedua ditambahkan lempengan Mg dan larutan HCl pekat, tabung ketiga
ditambahkan H2SO4 pekat, tabung keempat ditambahkan NaOH pekat. Hasil uji
positif flavonoid jika terjadi perubahan warna larutan (Harbone, 1987)
12
Uji Alkaloid
Ekstrak kental metanol sebanyak 0,1 gr dilarutkan dengan 10 mL kloroform
amoniak lalu hasilnya dibagi menjadi dua bagian yang sama.
Untuk bagian pertama ditambahkan asam sulfat (H2SO4) 2 N perbandingan
volumenya sama. Lapisan asam diambil dan dibagi menjadi tiga bagian dan
dilakukan pengujian menggunakan pereaksi fitokimia yaitu pereaksi Mayer, pereaksi
Dragendroff, dan pereaksi Wagner.Untuk bagian kedua diuji menggunakan pereaksi
Hager. Hasil uji positif mangandung alkaloid jika terbentuk endapan.
Uji Steroid, terpenoid, Saponin
Ekstrak kental metanol 0,1 g, dilarutkan dalam 10 mL dietil eter. Bagian ekstrak
yang larut dalam dietil eter diberi perlakuan uji dengan menggunakan pereaksi
Lieberman Bauchard (asam asetat anhidrida : asam sulfat pekat). Terbentuknya
warna hijau kebiruan menunjukkan adanya steroid, sedangkan warna merah
kecoklatan menunjukan uji ini positif mengandung terpenoid.
Bagian yang tidak larut dalam dietil eter, diuji dengan cara menambahkan aquadest
panas sebanyak 2 mL. Hasil menunjukkan adanya saponin, jika setelah penambahan
aquadest panas terbentuk buih/busa yang stabil (15 menit setelah penambahan
aquadest panas). Filtrat yang berada dibagian bawah buih/busa di ambil lalu
ditambahkan HCl pekat, dilakukan proses penguapan hingga kering dan terbentuk
kerak. Dilanjutkan dengan uji menggunakan pereaksi Liebarman Bauchard. Jika
terdapat warna hijau kebiruan menunjukkan adanya kandungan senyawa steroid.
Untuk pembentukan warna merah kecoklatan menunjukan adanya senyawa
terpenoid.
Pemisahan dan Pemurnian
Ekstrak metanol yang akan dipisahkan terlebih dahulu dianalisis dengan
kromatografi lapis tipis (KLT) untuk mencari eluen yang sesuai sebagai fasa gerak
pada pemisahan kromatografi kolom. Selanjutnya ekstrak metanol sebanyak 4 gr di
pisahkan dengan kromatografi kolom dengan fase diam silika gel GF60 dan dielusi
berturut-turut menggunakan pelarut organik seperti n-heksan, methanol, etil asetat
dengan perbandingan tertentu. Fraksi-fraksi yang diperoleh dari tahapan
kromatografi kolom dilakukan proses kromatografi lapis tipis kembali untuk
mengabungkan fraksi-fraksi yang sama harga Rf-nya. Pola noda akan terbentuk pada
13
setiap fraksi. Jika isolat tetap menunjukan pola noda tunggal, maka isolat telah
murni.
Identifikasi Senyawa
Identifikasi golongan senyawa flavonoid dilakukan dengan menggunakan alat
Spektrofotometer Ultraviolet Visibel (UV-VIS) dan Spektrofotometer IR.
14
Hasil positif pada uji alkaloid dengan menggunakan pereaksi mayer ditandai dengan
terbentuknya endapan hijau. Endapan hijau diperkirakan merupakan kompleks
kalium-alkaloid.
Pada tahap pembuatan pereaksi mayer, larutan merkurium(II) klorida direaksikan
dengan kalium iodide akan membentuk endapan merkurium (II) iodide. Jika KI
diberikan berlebih akan terbentuk kalium tetraiodomerkurat(II) (Sevla 1990 dalam
Marliana dkk, 2005)
Ekstrak etil asetat hasil dari fraksinasi, positif mengandung flavonoid dan alkaloid.
Hasil negatif ditunjukkan pada uji steroid, saponin dan terpenoid.
Ekstrak n-heksan positif pada uji flavonoid dan uji alkaloid. Ekstrak n-heksan
menunjuk-kan hasil negative pada uji steroid, terpenoid, dan saponin. Ekstrak air
hasil dari tahap fraksinasi menunjukkan hasil negative pada uji alkaloid, steroid,
saponin dan terpenoid. Hasil positif diperoleh pada uji flavonoid yang ditandai
dengan adanya perubahan warna (Harborne,1987).
Pemisahan dan Pemurnian.
Ekstrak kental metanol dikromatografi lapis tipis dengan menggunakan
perbandingan eluen tertentu. Tahapan Kromatografi lapis tipis merupakan langkah
awal mencari eluen yang cocok untuk digunakan pada pemisahan kromatografi
kolom. Kromatografi lapis tipis adalah kromatografi serapan yang fasa diamnya
berupa zat padat yang disebut adsorben (penyerap) dan fasa gerak berupa zat cair
(Gritter, 1991). Setelah diperoleh eluen yang cocok, ekstrak kental metanol
dipisahkan dengan kromatografi kolom.
Ekstrak Kental metanol dilakukan pemisahan dengan cara kromatografi kolom
gravitasi dengan menggunakan fasa diam berupa silika gel (70-220 Mesh) dan fasa
gerak n-heksan : etil asetat dan etil asetat : metanol secara bergradien. Tahap
kromatografi kolom menghasilkan 220 fraksi dan fraksi yang diperoleh dari kolom
ini dilakukan kromatografi lapis tipis. KLT ini dilakukan untuk menggabungkan
fraksi-fraksi yang mempunyai nilai Rf yang sama. Hasil Penggabungan fraksi terdiri
dari N1 – N17.
Dari hasil penggabungan fraksi, fraksi N12 dipilih untuk dipisahkan lagi
menggunakan kromatografi kolom gravitasi. Tujuan dilakukan pemisahan
kromatografi kolom kedua ini untuk mendapatkan isolat murni. Pemilihan fraksi
N12 untuk di pisahkan mempertimbangkan beberapa hal yaitu berat fraksi, pola
15
noda hasil kromatografi lapis tipis dan fraksi ini menghasilkan kristal jarum
berwarna hijau
Tahap pemisahan kromatografi kolom fraksi N12 dengan berat 0,07 gr
menghasilkan 83 fraksi. Proses Kromatografi kolom kedua ini dielusi secara
bergradien 10 % dengan eluen n-heksan : etil asetat dan etil asetat : metanol. Dari 83
fraksi ini di KLT dan dihitung nilai Rf dari setiap fraksi.
Berdasarkan hasil kromatografi kolom kedua ini, fraksi 7 menghasilkan kristal
jarum. Hasil Kromatografi lapis tipis terhadap fraksi ini menunjukkan pola noda
tunggal pada eluen n-heksan : etil asetat. Fraksi 7 yang berbentuk kristal jarum
berwarna hijau dipisahkan kembali untuk memperoleh isolat murni dengan
manggunakan kromatografi lapis tipis berbagai eluen.
Uji Kemurnian Isolat
Fraksi 7 hasil dari pemisahan kromatografi kolom kedua ini, di uji kemurnian
dengan cara kromatografi lapis tipis dengan menggunakan berbagai eluen yang
berfungsi sebagai fasa gerak. Eluen yang digunakan yaitu n-heksan : etil asetat (7:3),
etil asetat : metanol ((9:1) dan kloroform : metanol (8:2). Hasil KLT berbagai eluen
dari fraksi 7, menunjukkan pola noda tunggal. Dari hasil KLT dapat disimpulkan
bahwa fraksi 7 telah murni dan didukung oleh data KLT dua dimensi yang tetap
menunjukkan pola noda tunggal.
Uji Fitokimia Isolat
Berdasarkan hasil uji fitokimia fraksi 7 positif pada uji flavonoid dan alkaloid. Uji
Flavonoid menunjukkan hasil positif ditandai dengan adanya perubahan warna. Pada
uji alkaloid hasil positif jika terbentuknya endapan.
Karakterisasi Senyawa Isolasi
Karakterisasi dari senyawa hasil isolasi dapat dilakukan dengan menggunakan
analisis spektrofotometer Infra Red (IR) dan spektrofotometer UV-Vis.
Spektrofotometer Infra Red (IR)
Berdasarkan analisis spektrum infra red (IR) dari isolat fraksi 7, kemungkinan
terdapat beberapa gugus fungsi seperti gugus fungsi N-H pada daerah serapan
bilangan gelombang 3311,55 cm-1 memiliki intensitas kuat.
Adanya pita tajam dengan intensitas kuat mengindikasikan keberadaan uluran
gugus C-H pada serapan bilangan gelombang 2921,96 cm-1 dan 2850,59 cm-1 dan
dapat didukung oleh adanya C-H alifatik (tekuk) dengan bilangan gelombang
1467,73 cm-1 dan 1433,01 cm-1. Berikut ini spektrum Infra red dari fraksi 7 yang
16
disajikan dalam gambar 1. Regangan C=C muncul didaerah bilangan gelombang
1506,30 cm-1.
Regang Gugus C=O (keton) intensitas kuat muncul pada daerah serapan bilangan
gelombang 1641,31 cm-1 dan diperkuat oleh gugus C=O lainnya yang ditemukan di
daerah serapan bilangan gelombang 1735,81 cm-1. Gugus C-N regang ditemukan
pada daerah serapan 1130,21 cm-1; 1068,49 cm-1; 1012,56 cm-1. Gugus ini
memiliki intensitas kuat dan pita tajam. Gugus C-N lainnnya dengan intensitas
lemah berada didaerah serapan bilangan gelombang 1240,14 cm-1dan 1176,50 cm-1
Hal ini diperkuat dengan adanya gugus N-C=O pada serapan 580,53 cm-1. Gugus C-
H aromatik berada di serapan gelombang 910,34 cm-1, 846,69 cm-1 dan 719,40 cm-
1.
17
Spektrofotometer UV-Vis
Hasil spektrum spektrofotometer UV-Vis isolat fraksi 7 memberikan serapan pada
panjang gelombang 238,5 nm dengan absorbansi 0,405. Serapan panjang gelombang
238,5 nm diakibatkan oleh adanya transisi elektron n π* dan n σ*. Dugaan ini
diperkuat oleh interpretasi data IR yang menghasilkan gugus C=O dan N-H yang
memiliki elektron sunyi. Senyawa yang mengalami transisi elektron n σ* disebabkan
oleh adanya kromofor yang tidak terkonyugasi yang dapat mengabsorbsi cahaya
pada panjang gelombang sekitar 200 nm. Sedangkan untuk senyawa yang memiliki
transisi n π* dapat menunjukkan adanya gugus N-H dan mengabsorbsi didaerah
ultraviolet kuarsa (200-400 nm) Penyebab terjadinya transisi elektron n σ* dan n π*
adalah kromofor. Kromofor adalah suatu gugus atom yang menyebabkan terjadinya
absorbsi cahaya. Transisi n σ* memerlukan energi terbesar dan memiliki panjang
gelombang berbanding terbalik dengan energy (Creswell dkk,2005). Sedangkan
untuk transisi n π* meliputi transisi elektron-elektron tak berikatan ke orbital anti
ikatan (π*). Serapan ini terjadi pada panjang gelombang cahaya yang besar dan
intensitasnya rendah (Sastroamidjojo, 2001).
18
Berikut ini spektrum UV-Vis dari isolate Fraksi 7:
4. SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, diperoleh kesimpulan bahwa isolat
fraksi 7 dari daun alpukat (Persea Americana Mill) yang ada dalam ekstrak kental
metanol diduga merupakan senyawa alkaloid aromatik. Senyawa alkaloid aromatik
memiliki karakteristik: N-H (3311,55 cm-1), C-H alifatik (2921,96 cm-1), C-N
(1130,21 cm-1), C=O (1735,81 cm-1), C-H aromatik, gugus N-C=O (580,53 cm-1),
dan didukung oleh data spektrofotometer UV-Vis dengan serapan panjang
gelombang 238,5 nm serta hasil dari transisi elektron n π* dan n σ* yang
mengindikasikan adanya gugus C=O dan gugus N-H.
19
B. Jurnal Internasional
Isolation and identification of amarogentin as an antihelminthic compound in
Swertia chirayta
ABSTRAK
Dalam pendekatan etno-farmakologis, pengetahuan lokal tentang potensi penggunaan
tanaman sangat berguna dibandingkan dengan pendekatan acak di mana pengetahuan
adat tidak dipertimbangkan. Senyawa untuk aktivitas farmakologis yang berbeda telah
diisolasi dari tanaman. Tumbuhan mampu mensintesis berbagai macam senyawa
organik berat molekul rendah yang biasanya unik dan kompleks dalam struktur.
Fitokimia yang diproduksi pada tanaman adalah senyawa sekunder yang bertanggung
jawab atas aktivitas metabolisme dan pertahanan pada tujuan. Dalam penelitian ini,
biomarker yang signifikan, amarogentin diisolasi dari fraksinasi kolom gradien
ekstrak hidroalkohol Swertia chirayta. Senyawa tersebut diperoleh sebagai bubuk
kuning pucat setelah pengeringan dan ditemukan sebagai glikosida iridoid. Senyawa
menunjukkan nilai Rf 0,75 jika dibandingkan dengan standar. Senyawa yang diisolasi
menunjukkan waktu retensi 6,78 menit sangat mirip dengan standar. Senyawa ini
menunjukkan kelumpuhan serta kematian cacing dalam waktu kurang dari 20 μg / ml
dibandingkan dengan piperazine sitrat dan albendazole (15 mg / ml). Hasil penelitian
menunjukkan potensi signifikan amarogentin sebagai anti-cacing yang signifikan.
BAGIAN EKSPERIMENTAL
Diperlukan Bahan Kimia dan Reagen
Bahan kimia dan reagen yang digunakan memiliki tingkat analitis dan diperoleh dari
Ranchem dan CDH. Obat anti-cacing standar (kontrol positif), yaitu. albendazole dan
piperazine citrate digunakan untuk evaluasi komparatif.
20
Persiapan Ekstrak Pelarut
Bahan tanaman bubuk direndam dalam sekitar 200 ml pelarut hidro-alkohol (50% v /
v), pada pengocok listrik selama tiga jam pada suhu kamar dan kemudian dibiarkan
semalaman. Sediaan ekstrak pelarut disaring dalam tabung berbentuk kerucut
menggunakan kertas saring Whatmann No. 1. Filtrat dipekatkan menggunakan rotary
evaporator pada suhu 50oC untuk menghasilkan massa semi-padat. Ekstrak disimpan
dalam lemari es pada suhu 40C untuk digunakan lebih lanjut.
Uji alkaloid
0,5 g ekstrak tanaman dilarutkan dalam 5 ml HCl 1% dan selanjutnya disimpan dalam
penangas air selama sekitar 2 menit. 1 ml filtrat diperlakukan dengan reagen
Dragendroff. Kekeruhan atau presipitasi diambil sebagai indikator keberadaan
alkaloid.
Tes untuk tanin
Sekitar 0,5 g sampel dilarutkan dalam 10 ml air mendidih dan akan disaring.
Beberapa ml 6% FeCl3 ditambahkan ke filtrat. Warna hijau tua muncul
mengkonfirmasi keberadaan tanin.
Tes untuk flavanoid
Sekitar 0,2 gm ekstrak dilarutkan dalam metanol dan dipanaskan selama beberapa
waktu. Sebuah chip dari logam Magnesium diperkenalkan diikuti oleh penambahan
beberapa tetes conc. HCl. Penampilan warna merah atau oranye mengkonfirmasi
keberadaan flavanoid.
Tes untuk saponin
Sekitar 0,5 g ekstrak tanaman diaduk dengan air dalam tabung reaksi. Buih yang
bertahan pada pemanasan dianggap sebagai bukti adanya saponin.
Tes steroid
Metode Salkowaski diadopsi untuk mendeteksi steroid. Sekitar 0,5 g ekstrak
dilarutkan dalam 3 ml kloroform dan disaring. Untuk filtrat, kons. H2 SO4
21
ditambahkan untuk membentuk lapisan bawah. Warna coklat kemerahan diambil
sebagai positif untuk kehadiran cincin steroid [13].
22
ada hasil dalam fraksi Heksana (100%) dan sangat sedikit hasil dalam fraksi luas 2
dan 3, fraksi 4, 5 dipilih dan kembali mengalami fraksinasi sub kolom.
23
direkam pada integrator Shimadzo LC2010. Kolom yang digunakan adalah C-18 blok
pemanasan-jenis Shim-pack VP-ODS (4,6 mm diameter interior × 150 mm panjang)
dengan ukuran partikel 5 μm. Fase gerak yang digunakan adalah 0,5% v / v asam
format dan asetonitril pada laju aliran 1,2 ml / menit dan pada suhu kolom 25 ° C.
Volume injeksi adalah 20 μl sampel senyawa yang diencerkan dan deteksi
kromatogram dilakukan dalam kisaran UV. Prosedur lengkap dilakukan baik untuk
senyawa terisolasi dan standar. Kedua kromatogram ditafsirkan dengan
membandingkan waktu retensi (RT).
Bioassay anti-cacing
Cacing tanah India dewasa yang sehat, Pheretima postuma, (Annelida,
Megescolecidae) karena kemiripan anatomis dan fisiologisnya dengan parasit cacing
gelang usus manusia [15] digunakan dalam penelitian ini.
24
Grup yang menjadi subjek penelitian:
Kelompok I: Kontrol Pembawa / Negatif: 1% N-saline (0,85% Sodium chloride)
Kelompok II: Kontrol Positif: Piperazine citrate (15 mg / ml)
Kelompok III: Kontrol Positif: Albendazole (15 mg / ml)
Kelompok IV: Uji: Senyawa terisolasi (amarogentin) dari Swertia chirayta
(Chirayta) - 5 μg / ml
Kelompok V: Uji: Senyawa terisolasi (amarogentin) dari Swertia chirayta (Chirayta)
- 10 μg / ml
Kelompok VI: Uji: Senyawa terisolasi (amarogentin) dari Swertia chirayta (Chirayta)
- 20 μg / ml
Analisis statistik
Semua percobaan dilakukan dalam rangkap tiga dan data dilaporkan sebagai mean ±
SD.
25
Uji HPLC
Selanjutnya, senyawa yang diisolasi diidentifikasi oleh studi pemurnian HPLC setelah
diinterpretasikan dengan senyawa standar. Senyawa yang diisolasi menunjukkan
waktu retensi yang hampir sama (6,788 menit) dengan amarogentin standar (6,752
menit). Hasil HPLC ditunjukkan pada Gambar 2 (a) dan (b).
26
Spektroskopi IR
Spektra FT-IR dari senyawa yang diisolasi, amarogentin diisolasi dari ekstrak hidro-
alkohol Swertia chirayta pada 4000-400 cm-1. Penentuan kemungkinan unit
struktural (PSU) / gugus fungsi senyawa terisolasi diinterpretasikan dengan standar.
Hasil spektra FT-IR dari senyawa yang diisolasi dan standar ditunjukkan pada
Gambar 3 dan Tabel 2.
27
Uji anti-cacing
Untuk pertama kalinya, amarogentin terbukti sebagai molekul anti-cacing dari Swertia
chirayta dalam penelitian ini. Senyawa, amarogentin dihilangkan dari pelat KLT yang
dilapisi silika gel dan diencerkan dalam N-saline. Senyawa ini menunjukkan
kelumpuhan serta kematian cacing dalam waktu yang lebih sedikit dibandingkan
dengan piperazine sitrat dan albendazole (15 mg / ml). Hasil aktivitas anti-cacing
dicatat pada Tabel 3 dan Gambar 4. Hasilnya ditemukan signifikan pada p <0,5.
28
KESIMPULAN
Penelitian ini menunjukkan bahwa, Swertia chirayta (Chirayta) adalah sumber agen
anti-cacing yang berharga selain dari konstituen farmakologis lainnya. Penelitian saat
ini mengarah pada isolasi dan identifikasi molekul antihelminthic (Amarogentin)
novel dari Chirayta. Penelitian ini menekankan pada eksplorasi beragam molekul baru
dari berbagai tanaman yang dapat digunakan untuk berbagai aktivitas farmakologis.
Dengan demikian penelitian ini menyimpulkan bahwa amarogentin dapat digunakan
sebagai salah satu unsur penyusun obat anti-cacing atau dapat digunakan secara
independen sebagai anti-cacing yang kuat.
29
BAB IV
PENUTUP
KESIMPULAN
Terdapat beberapa analisa pada Kromatografi Lapis Tipis yaitu analisa kualitatif,
analisa kuantitatif, dan analisa preparatif.
Pada penelitian pada tanaman daun Alpukat (Persea americana MILL). Simplisia
daun alpukat di maserasi sampai menghasilkan ekstrak kental. Langkah pertama
menggunakan kromatografi kolom untuk menghasilkan fraksi, kemudian isolat dari fraksi
tersebut di uji kemurniannya dengan menggunakan kromatografi lapis tipis, kemudian
dilakukan interpretasi data spektrofotometer IR dari isolate murni fraksi 7 mengindikasikan
adanya senyawa alkaloid. Sedangkan pada penelitian tanaman Swertia chirayta langkah
pertama menggunakan kromatografi kolom kemudian krmatografi lapis tipis, kemudian isolat
murni di lakukan uji HPLC dan spektroskopi IR dan diketahui bahwa amarogentin dapat
digunakan sebagai salah satu unsur penyusun obat anti-cacing.
30
DAFTAR PUSTAKA
Day, Jr, R.A. dan A.L. Underwood. 1999. Analisis kimia Kuantitatif. Erlangga.
Jakarta
Stahl. E. 1969. Appatus and General Technique in TLC. Dalam : Stahl, E. (ed). Thin
Layer Chromatography a Laboratory Handbook. Terj. Dari Dunnschicht
chromatographie. Oleh Ashworth, M.R.F. Berlin : Spinger-Verlag
Sumarno, 2001, Krmatografi Teori dasar. Bagian Kimia Farmasi Universitas Gadjah
Mada : Yogyakarta
31