1. PENDAHULUAN TEORITIS
Ilmu pengetahuan dihadapkan pada pertanyaan `apa sebabnya` dan `bagaimana` agar
menemukan jawaban bagi kepentingan praktis. Sedangkan filsafat dihadapkan pada
pertanyaan yang bertalian dengan hakikat sesuatu, makna sesuatu, dan hubungan logis di
antara ide-ide dasar. Filsafat mendalami `sesuatu` dengan pertanyaan `apa itu`, `darimana`
dan `ke mana` (Poespowardojo, 2015, halaman 3). Filsafat ilmu pengetahuan tampil
sebagai kritik metodologi yang mempertimbangkan kembali hubungan antara metode
filsafat (dialektik, kesangsian, empiris, kritis, dan analitis) dan metode ilmu pengetahuan
positivistik dalam suatu hubungan baru yang integralistik, kritis, dan transformative
(Poespowardojo, 2015, halaman 28).
Ilmuwan pemegang otoritas ilmu pengetahuan bekerja mulai dari pengajuan hipotesis
berdasarkan `state the art` keilmuan sebelumnya dan kemampuan akal-budi (mind) sampai
kepada pengujian dan pembuktian sesuai metoda yang relevan. Proses-proses paduan
analisis-sintesa yang jernih diperlukan untuk upaya penyimpulan, melalui komparasi
terhadap kesimpulan terdahulu. Pada tahapan ini, kemampuan ilmuwan dituntut untuk
dapat mengembangkan kreatifitasnya bagi pencapaian target pengembangan IPTEKS
inovatif mendatang demi tujuan kemaslahatan umat manusia. Dalam rentetan proses itu,
filsafat ilmu pengetahuan memeriksa dengan seksama pengajuan pertanyaan sebagai
rumusan masalah, pendefinisian konsep-konsep peubah bebas dan bergantung,
penyusunan proposisi antar konsep sebagai suatu hipotesis, sampai kepada penyimpulan
yang disepakati.
Dalam prosesnya, pada satu sisi ilmuwan membuat deduksi terlebih dahulu sebelum
mengamati suatu fenomena, kemudian mengembangkan rencana penelitian untuk
mengumpulkan informasi, fakta, dan data untuk kegiatan induksi demi pengembangan
IPTEKS. Pada sisi lain, filsafat ilmu pengetahuan mencoba menjernihkan proses deduksi
tersebut, dan menjelaskan prosedur deduksi dalam ilmu pengetahuan, sampai kepada
menjernihkan prosedur induksi untuk pengembangan IPTEKS. Sehingga secara
konsepsional, ilmu pengetahuan bersifat empiris dan eksperimental, sementara filsafat
ilmu pengetahuan bersifat analitis dan reflektif dalam tinjauan yang holistik.
Filsafat ilmu pengetahuan merupakan bagian dari epistemologi yang mengkaji secara
khusus hakikat ilmu pengetahuan. Karena perbedaan karakteristik antara keberadaan alam
dan manusia, maka filsafat ilmu pengetahuan secara khusus membaginya ke dalam filsafat
ilmu pengetahuan sosial dan filsafat ilmu pengetahuan alam dalam pemeriksaannya. Tetapi
secara umum, filsafat ilmu pengetahuan berperan membelajarkan kita perihal etika
(kebaikan-keburukan), logika (kebenaran-kesalahan), dan estetika (keindahan-
kejanggalan), yang merupakan aspek praktis dari filsafat.
Dalam kehidupan sehari-hari etika (kesusilaan) menyoroti predikat nilai-nilai ‘baik’ dan
‘buruk.’ Etika juga mempersoalkan sifat laku-perbuatan yang menyebabkan seseorang
patut disebut bersusila. Sifat tersebut menjadi sebab-sebab kemunculan kebermaknaan
dari nilai-nilai kesusilaan sebagai lawan kata dari nilai-nilai keburukan. Ruang lingkup itu
menjadi alasan mendasar untuk mengenal etika dengan mengajukan pertanyaan: Apa yang
diharapkan dari pengetahuan etika? Misalnya untuk dapat mempelajari cara hidup agar
lebih baik dan untuk berbuat baik dan menghindari keburukan.
Etika sebagai ilmu pengetahuan mempelajari tentang kesusilaan, paling tidak dapat dibagi
atas empat tinjauan, yaitu: (1) etika deskriptif berusaha membuat deskripsi yang cermat
tentang apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap tidak baik; (2) etika normatif
berusaha membuat ukuran/norma untuk menilai baik-buruknya suatu perbuatan; (3) etika
praktis berusaha membuat sistem pengambilan keputusan melalui prosedur operasi baku
yang memenuhi kaidah–kaidah etika; dan (4) etika kefilsafatan berusaha mempertahankan
pengertian etika sebagai suatu ilmu yang mengaplikasikan aspek nilai-nilai baik dan buruk,
seiring dengan estetika yang mengaplikasikan aspek nilai-nilai indah dan buruk, dalam
mengemas aplikasi aspek nilai-nilai benar dan salah, yang ketiganya berinduk pada filsafat.
Penggunaan teknologi telah memberi kita berbagai kemudahan dalam kehidupan dan
penghidupan, tetapi sekaligus juga lingkungan alami mengalami perubahan karena dampak
negatif yang ditimbulkannya. Menghadapi situasi seperti ini jelas diperlukan kawalan
aspek etika lingkungan sepanjang arah perkembangan penggunaan teknologi. Meminjam
gagasan Bateson (1978), bahwa semua kalangan, teknolog, ekonom, dan politikus yang
berada pada kutub `creatura` bahu-membahu menyiapkan teknologi yang akan
Dalam pandangan Thomas S. Peterson (2009), etika lingkungan merupakan suatu aktivitas
multidispliner. Ia membagi etika lingkungan kedalam tujuan deskriptif dan normatif.
Tujuan deskriptif dimaksudkan untuk menggambarkan dan menjelaskan sikap orang harus
seperti apa terhadap perubahan lingkungan sehubungan dengan dampak negatif dari
penggunaan teknologi dalam pengelolaan sumberdaya alam. Bagian ini biasa ditangani
oleh para akhli sosiologi dan antropologi. Sedangkan tujuan normatif dimaksudkan untuk
menilai secara kritis sikap orang harus bagaimana terhadap isu perubahan lingkungan
yang terjadi. Tujuan ini bergantung pada pertimbangan pengetahuan ilmiah dan filosofis
tentang logika, tata nilai, teori etika normatif, dan kejelasan konsep-konsep penting tentang
kesejahteraan, nilai-nilai dan alam lingkungan.
Etika lingkungan hidup memberikan dasar bertindak yang dinilai baik secara moral dalam
hubungan antar manusia (aspek culture), dengan makhluk non-manusia (aspek biotik), dan
dengan alam semesta (aspek abiotik). Thomas S. Peterson (2009) membagi etika
lingkungan normatif ke dalam empat kategori, yaitu: Konsekuentalisme (consequentialism),
deontologi (deontology), teleologi (teleology) dan etika kearifan (virtue ethics).
2) Etika deontologis (Yunani: deon = yang diharuskan atau yang diwajibkan; logos =
ilmu) berpandangan bahwa betul salahnya tindakan bukan ditentukan dari akibat-
akibat tindakan itu melainkan pada cara bertindak yang terlarang secara moral. Jadi
etika deontologi adalah pandangan yang lahir dari pemikiran bahwa terdapat
ketentuan yang dilarang secara moral. Misalnya melakukan sesuatu tindakan
pemusnahan suatu spesies yang sudah langka itu dilarang menurut ketentuan
perundang-undangan (hasil arahan moral), sekalipun upaya tersebut dalam realita
dapat membawa pada akibat-akibat atau konsekuensi terbaik bagi kehidupan.
3) Etika teleologi (telos = tujuan, logos = ilmu) berpandangan bahwa tindakan yang
dinilai baik bukan bergantung kepada nilai dari akibat yang dihasilkannya, tetapi
lebih ditentukan oleh nilai baik dari tujuannya. Setiap alternatif baru yang
dipikirkan dapat membawa (bertujuan) pada kebaikan dapat diakui sebagai
normanya. Pandangan seperti ini mudah terjebak pada kaidah untuk menghalalkan
segala cara. Sehingga mungkin saja akibat yang tidak baik dapat dimaklumi apabila
berasal dari tujuan yang baik. Etika teleologi dapat membawa kita ke arah egoisme
dan utilitarianisme.
Keberpihakan merupakan tindakan yang berkeadilan berasal dari suatu keputusan yang
berdasar pada kearifan. Sedangkan pengambilan keputusan didorong oleh kehendak yang
didorong oleh kreatifitas manusia. Kehendak, keputusan, dan tindakan seseorang
dipengaruhi oleh cara pandang (world view) dan nilai-nilai (values) dalam tata
kehidupannya (way of life). Sementara itu, cara pandang dan nilai-nilai dalam tata
kehidupannya sangat berkaitan dengan kepribadian, pendidikan, dan pengalaman serta
keyakinan yang dianutnya.
Frase lingkungan hidup menurut UUD RI 1945 dimuat dalam Pembukaan UUD RI 1945
dalam bentuk frase `seluruh tumpah darah.` Amanatnya adalah bahwa Pemerintah Negara
Republik Indonesia harus melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Beberapa norma bagi penyususn Amdal termuat dalam UU No 32 Tahun 2009 dan PP No
27 Tahun 2012 seperti dicuplik pada paragraf berikut ini.
2) Penyusunan dokumen Amdal wajib dilakukan oleh penyusun Amdal yang memiliki
sertifikat kompetensi penyusun Amdal. Sertifikat kompetensi penyusun Amdal
diperoleh melalui uji kompetensi. Untuk mengikuti uji kompetensi harus terlebih
dahulu mengikuti pendidikan dan pelatihan penyusunan Amdal dan dinyatakan lulus.
Pendidikan dan pelatihan penyusunan Amdal diselenggarakan oleh Lembaga Pelatihan
Kompetensi (LPK) di bidang Amdal [PP No 27 Tahun 2012, Pasal 11]. Bagi pegawai
negeri sipil yang bekerja pada instansi lingkungan hidup Pusat, provinsi, atau
kabupaten/kota dilarang menjadi penyusun Amdal [PP No 27 Tahun 2012, Pasal 12].
T. W. Sutirto dari PPLH UNS (2013 ?) secara umum menjelaskan bahwa etika Penyusun
AMDAL dituntut untuk memiliki nilai-nilai kejujuran, objektif, profesional, menegakkan
kaidah ilmiah, tidak memihak kepada kepentingan pemrakarsa (netral), membela
kebenaran, inovatif, senantiasa meningkatkan kompetensi, menghormati dan menjamin
konsistensi. Dari IAIA terangkum kode etik penyusun AMDAL seperti terurut di bawah ini:
Puslibang Lingkungan Hidup, LP2M, Universitas Hasanuddin, Nopember 2016
7
Modul Etika Lingkungan
1) Melaksanakan semua kewajiban dengan kejujuran, integritas dan terbebas dari segala
bentuk penyimpangan.
2) Melakukan semua kewajiban hanya dibidang yang ilmunya dikuasai baik melalui
pendidikan, pelatihan dan pengalaman. Ikut terlibat bersama para ahli di bidang lain
yang kurang dikuasai.
4) Untuk memastikan bahwa kebijakan, rencana, aktivitas telah sesuai dengan hukum,
regulasi, kebijakan dan pedoman yang berlaku.
5) Tidak menerima pekerjaan yang meminta kita untuk melakukan menyimpangan atau
menghilangkan atau merubah data pada saat melakukan analisa.
6) Mengutamakan keterbukaan kepada pemberi kerja, klien dan pada setiap laporan
tertulis baik pribadi maupun finansial untuk menghindari terjadinya konflik
kepentingan.
9) Bersedia untuk dicopot dari keangotaan Asosiasi AMDAL International jika terbukti
melakukan pelanggaran terhadap peraturan peraturan yang berlaku.
Dokumen Amdal dinilai oleh Komisi Penilai Amdal yang dibentuk oleh Menteri, gubernur,
atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Komisi Penilai Amdal wajib memiliki
lisensi dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
Persyaratan dan tatacara lisensi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan
Peraturan Menteri [UU No 32 tahun 2009, Pasal 29].
Keanggotaan Komisi Penilai Amdal terdiri atas wakil dari unsur: instansi lingkungan hidup;
instansi teknis terkait; pakar di bidang pengetahuan yang terkait dengan jenis usaha
dan/atau kegiatan yang sedang dikaji; pakar di bidang pengetahuan yang terkait dengan
dampak yang timbul dari suatu usaha dan/atau kegiatan yang sedang dikaji; wakil dari
masyarakat yang berpotensi terkena dampak; dan organisasi lingkungan hidup. Dalam
melaksanakan tugasnya, Komisi Penilai Amdal dibantu oleh tim teknis yang terdiri atas
pakar independen yang melakukan kajian teknis dan sekretariat yang dibentuk untuk itu.
Pakar independen dan sekretariat ditetapkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota
sesuai dengan kewenangannya [UU No 32 tahun 2009, Pasal 30].
T. W. Sutirto dari PPLH UNS (2013 ) secara umum menjelaskan bahwa etika Penilai AMDAL
harus memiliki nilai-nilai kejujuran, professional (tidak bertindak seperti hakim/ jaksa
terhadap terdakwa), menegakkan kaidak ilmiah, memihak pada kebenaran, inovatif
(senantiasa meningkatkan kompetensi), menjamin konsistensi, bertindak procedural, dan
tidak membebani pemrakarsa.
1) Kompetensi dan kepercayaan diri dalam proses penilaian sesuai rencana kajian
Amdal yang akan dinilai.
3) Persiapan dan perspektif yang cukup sesuai prosedur dan rasional yang digunakan
untuk menginterpretasi temuan, sehingga dasar-dasar nilai pertimbangan menjadi
jelas.
5) Temuan atau apresiasi yang dituangkan dalam komentar penilaian tertulis yang
significant dikomunikasikan pada saat seminar pembahasan lengkap yang dihadiri
konsultan, pemrakarsa, tim akhli, masyarakat, dan pemerintah.
3. PENUTUP
1) Kedudukan etika bersama estetika sebagai terapan langsung dari filsafat menjadi
penting untuk mengawal perkembangan ipteks sehingga berkontribusi dalam
kemaslahatan kehidupan manusia. Dengan etika hidup menjadi lebih baik, dengan
estetika hidup menjadi indah dan diharapkan dengan filsafat kebenaran dapat
dihampiri.
2) Sebuah tindakan manusia pada lingkungan didorong oleh keputusan yang diambil,
dan keputusan didorong oleh kehendak dalam benak seseorang. Kehendak
merupakan konsekuensi dari kreativitas, keputusan yang baik perlu dikawal oleh
kearifan, sehingga tindakan yang dilakukan bernilai adil bagi dirinya, orang lain,
dan lingkungannya.
3) Interkoneksi manusia (creatura) dengan alam (pleroma) didasari oleh etika yang
dianutnya mulai dari etika lingkungan yang dangkal (anthropocentrism), etika
lingkungan yang menengah (biocentrism) dan etika yang mendalam (eco-
centrism). Sehingga akal budi (mind) manusia terukir dan tercermin dalam
lingkungan hidupnya.
4. BAHAN DAN METODA DISKUSI ETIKA BAGI PENYUSUN DAN PENILAI AMDAL
Berikut ini diberikan bahan serta metode diskusi yang akan ditempuh oleh para peserta,
seperti dimuat dalam Tabel berikut ini.
No. BAHAN METODE
1.1. Pengertian Filsafat Ilmu. Peserta dibagi kelompok, diberi
Diskusikan bagaimanakah lingkup kegiatan filsafat ilmu waktu berembug, dan hasil
pengetahuan dibandingkan dengan lingkup kegiatan rembugkan dipresentasikan,
ilmuwan, apakah perlu independen, atau yang satu
mengontrol yang lainnya? Beri penjelasan yang memadai.
1.2. Peran dan Tugas Filsafat Ilmu Pengetahuan. Peserta mengutarakan
Apa yang terjadi apabila peran dan tugas filsafat ilmu pendapatnya, dan yang lain
pengetahuan tidak dapat dilaksanakan? memberikan komentar.
1.3. Ruang Lingkup dan kebermanfaatan Etika. Peserta mengutarakan
Sejauh mana etika kehidupan dan etika lingkungan hidup pendapatnya, dan yang lain
telah menjadi pedoman dalam kehidupan kita sehari-hari? memberikan komentar.
1.4. Keterkaitan Etika pada Lingkungan Hidup Peserta mengutarakan
Seperti apa jejak-jejak pemikiran etika yang tampak pendapatnya, dan yang lain
langsung pada lingkungan hidup sekitar kita? memberikan komentar.
1.5. Pusat-pusat keberpihakan. Peserta mengutarakan
pendapatnya, dan yang lain
memberikan komentar.
Puslibang Lingkungan Hidup, LP2M, Universitas Hasanuddin, Nopember 2016
10
Modul Etika Lingkungan
References
BATESON, G. 1978. Mind and Nature. New York: E.P. Dutton.
PETERSON, T.S. 2009. "Environmental Ethics." In A Companion to the Philosophy of Technology, by
Stig Andur Pedersen and Vincent F. Hendricks Jan Kyrre Berg Olsen, 433-438. Malden:
Blackwell Publishing Ltd.
SUTIRTO, T.W. 2013. "ETIKA PENYUSUN DAN PENILAI AMDAL." Surakarta: PPLH UNS.
T.M.S. POESPOWARDOJO, and A. SERAN. 2015. Filsafat Ilmu Pengetahuan: Hakikat Ilmu
Pengetahuan, Kritik terhadap Visi Positivisme Logis, serta Implikasinya. Jakarta: Penerbit
Buku Kompas.