Anda di halaman 1dari 11

Modul Etika Lingkungan

MODUL ETIKA LINGKUNGAN


D.A. Suriamihardja

1. PENDAHULUAN TEORITIS

Pada bab 1 peserta diharapkan:


1) memiliki wawasan yang cukup untuk memahami kedudukan filsafat ilmu
pengetahuan yang memayungi aktivitas ilmuwan;
2) menyadari bahwa peran filsafat ilmu pengetahuan membelajarkan kita
perihal etika (kebaikan-keburukan), logika (kebenaran-kesalahan), dan
estetika (keindahan-kejanggalan);
3) mampu menerapkan etika dalam mendasari laku perbuatan yang baik,
indah dan benar terhadap sesama maupun terhadap lingkungan hidup;
4) mampu menganalisis dasar pemikiran laku-perbuatan manusia terhadap
alam lingkungan yang berbasis pada komitmennya, akibatnya, tujuannya,
dan keteladanan para tokoh;
5) mampu menelusuri alasan-alasan terhadap pusat-pusat keberpihakan
manusia terhadap alam melalui etika lingkungan yang dangkal, menengah
dan mendalam.

1.1. Pengertian filsafat ilmu pengetahuan

Ilmu pengetahuan dihadapkan pada pertanyaan `apa sebabnya` dan `bagaimana` agar
menemukan jawaban bagi kepentingan praktis. Sedangkan filsafat dihadapkan pada
pertanyaan yang bertalian dengan hakikat sesuatu, makna sesuatu, dan hubungan logis di
antara ide-ide dasar. Filsafat mendalami `sesuatu` dengan pertanyaan `apa itu`, `darimana`
dan `ke mana` (Poespowardojo, 2015, halaman 3). Filsafat ilmu pengetahuan tampil
sebagai kritik metodologi yang mempertimbangkan kembali hubungan antara metode
filsafat (dialektik, kesangsian, empiris, kritis, dan analitis) dan metode ilmu pengetahuan
positivistik dalam suatu hubungan baru yang integralistik, kritis, dan transformative
(Poespowardojo, 2015, halaman 28).

Filsafat ilmu pengetahuan mengupayakan pemahaman terhadap makna, metode, struktur


dan logika ilmu pengetahuan termasuk kriteria-kriteria, hukum-hukum, dan teori-teori.
Dengan peran seperti itu, filsafat ilmu pengetahuan bermanfaat untuk refleksi dan
menelusuri dengan seksama kaitan-kaitan di antara:

1) konsep-konsep yang membangun dalil-dalil, teori-teori, dan hukum-hukum,

Puslibang Lingkungan Hidup, LP2M, Universitas Hasanuddin, Nopember 2016


1
Modul Etika Lingkungan

2) metode-metode yang menjamin kualitas skala pengukuran, yang memungkinkan


kejernihan analisis, dan membuka jalan mulus dalam penarikan kesimpulan berupa
inferensi statistik maupun inferensi deterministik;
3) teknik-teknik pengamatan `observables` mikro dan makro, yang jauh maupun yang
dekat ke masa lalu, yang sulit teramati secara inderawi seperti atom, ion, gen,
fakta-fakta paleontologi, arkeologi;
4) konjektur-konjektur untuk justifikasi hipotesa-hipotesa yang masih samar lewat
pengalaman dan pembuktian.

Ilmuwan pemegang otoritas ilmu pengetahuan bekerja mulai dari pengajuan hipotesis
berdasarkan `state the art` keilmuan sebelumnya dan kemampuan akal-budi (mind) sampai
kepada pengujian dan pembuktian sesuai metoda yang relevan. Proses-proses paduan
analisis-sintesa yang jernih diperlukan untuk upaya penyimpulan, melalui komparasi
terhadap kesimpulan terdahulu. Pada tahapan ini, kemampuan ilmuwan dituntut untuk
dapat mengembangkan kreatifitasnya bagi pencapaian target pengembangan IPTEKS
inovatif mendatang demi tujuan kemaslahatan umat manusia. Dalam rentetan proses itu,
filsafat ilmu pengetahuan memeriksa dengan seksama pengajuan pertanyaan sebagai
rumusan masalah, pendefinisian konsep-konsep peubah bebas dan bergantung,
penyusunan proposisi antar konsep sebagai suatu hipotesis, sampai kepada penyimpulan
yang disepakati.

Dalam prosesnya, pada satu sisi ilmuwan membuat deduksi terlebih dahulu sebelum
mengamati suatu fenomena, kemudian mengembangkan rencana penelitian untuk
mengumpulkan informasi, fakta, dan data untuk kegiatan induksi demi pengembangan
IPTEKS. Pada sisi lain, filsafat ilmu pengetahuan mencoba menjernihkan proses deduksi
tersebut, dan menjelaskan prosedur deduksi dalam ilmu pengetahuan, sampai kepada
menjernihkan prosedur induksi untuk pengembangan IPTEKS. Sehingga secara
konsepsional, ilmu pengetahuan bersifat empiris dan eksperimental, sementara filsafat
ilmu pengetahuan bersifat analitis dan reflektif dalam tinjauan yang holistik.

1.2. Peran dan tugas filsafat ilmu pengetahuan

Filsafat ilmu pengetahuan merupakan bagian dari epistemologi yang mengkaji secara
khusus hakikat ilmu pengetahuan. Karena perbedaan karakteristik antara keberadaan alam
dan manusia, maka filsafat ilmu pengetahuan secara khusus membaginya ke dalam filsafat
ilmu pengetahuan sosial dan filsafat ilmu pengetahuan alam dalam pemeriksaannya. Tetapi
secara umum, filsafat ilmu pengetahuan berperan membelajarkan kita perihal etika
(kebaikan-keburukan), logika (kebenaran-kesalahan), dan estetika (keindahan-
kejanggalan), yang merupakan aspek praktis dari filsafat.

Filsafat ilmu pengetahuan bertugas untuk mengupayakan pencarian kejelasan mendasar


tentang konsep, postulat, teori, dan hukum, terutama hal-ikhwal jalan penalaran yang
Puslibang Lingkungan Hidup, LP2M, Universitas Hasanuddin, Nopember 2016
2
Modul Etika Lingkungan

digunakan untuk membuka tabir pengalaman, pemikiran, termasuk kepragmatisan dari


pekerjaan ilmuwan pemegang otoritas ilmu pengetahuan. Filsafat ilmu pengetahuan
bekerja secara analitis tetapi mencakup berbagai aspek sehingga menjadi pekerjaan
holistik untuk membangun suatu keyakinan dan sekaligus meniti ke arah kesyukuran
terhadap izin yang diberikan oleh SANG MAHA MENCIPTA kepada umat manusia terpilih
dan terpercaya sebagai pemegang otoritas kemajuan IPTEKS.

1.3. Ruang Lingkup dan kebermanfaatan etika

Dalam kehidupan sehari-hari etika (kesusilaan) menyoroti predikat nilai-nilai ‘baik’ dan
‘buruk.’ Etika juga mempersoalkan sifat laku-perbuatan yang menyebabkan seseorang
patut disebut bersusila. Sifat tersebut menjadi sebab-sebab kemunculan kebermaknaan
dari nilai-nilai kesusilaan sebagai lawan kata dari nilai-nilai keburukan. Ruang lingkup itu
menjadi alasan mendasar untuk mengenal etika dengan mengajukan pertanyaan: Apa yang
diharapkan dari pengetahuan etika? Misalnya untuk dapat mempelajari cara hidup agar
lebih baik dan untuk berbuat baik dan menghindari keburukan.

Ke-asusila-an merupakan laku-perbuatan menyimpang yang cenderung merusak


kehidupan, sehingga orang yang menyimpang tersebut dikatakan bersifat asusila.
Persoalan ke-asusila-an dalam laku-perbuatan menyimpang perlu dideteksi secara dini
agar dapat dicegah secara preventif atau diupayakan langkah-langkah pemulihannya.
Untuk upaya pemulihanan masalah ini, pengetahuan etika diperlukan untuk digunakan
dalam proses bertindak.

Etika sebagai ilmu pengetahuan mempelajari tentang kesusilaan, paling tidak dapat dibagi
atas empat tinjauan, yaitu: (1) etika deskriptif berusaha membuat deskripsi yang cermat
tentang apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap tidak baik; (2) etika normatif
berusaha membuat ukuran/norma untuk menilai baik-buruknya suatu perbuatan; (3) etika
praktis berusaha membuat sistem pengambilan keputusan melalui prosedur operasi baku
yang memenuhi kaidah–kaidah etika; dan (4) etika kefilsafatan berusaha mempertahankan
pengertian etika sebagai suatu ilmu yang mengaplikasikan aspek nilai-nilai baik dan buruk,
seiring dengan estetika yang mengaplikasikan aspek nilai-nilai indah dan buruk, dalam
mengemas aplikasi aspek nilai-nilai benar dan salah, yang ketiganya berinduk pada filsafat.

1.4. Keterkaitan etika pada lingkungan hidup

Penggunaan teknologi telah memberi kita berbagai kemudahan dalam kehidupan dan
penghidupan, tetapi sekaligus juga lingkungan alami mengalami perubahan karena dampak
negatif yang ditimbulkannya. Menghadapi situasi seperti ini jelas diperlukan kawalan
aspek etika lingkungan sepanjang arah perkembangan penggunaan teknologi. Meminjam
gagasan Bateson (1978), bahwa semua kalangan, teknolog, ekonom, dan politikus yang
berada pada kutub `creatura` bahu-membahu menyiapkan teknologi yang akan

Puslibang Lingkungan Hidup, LP2M, Universitas Hasanuddin, Nopember 2016


3
Modul Etika Lingkungan

diluncurkan, dan mengantisipasi respon alam lingkungan, `pleroma,` sehubungan dengan


dampak negative yang ditimbulkannya. Pola komunikasi kutub `creatura` dan kutub
`pleroma` perlu dibuka dan dibentangkan agar segala respon terpantau dan dapat
memperbaiki tata hubungan yang ramah di antara keduanya. Pada dasarnya, tata
hubungan ini senantiasa berubah dengan waktu seiring dengan perkembangan ipteks,
perkembangan penduduk, daya dukung dan daya tampung lingkungan.

Dalam pandangan Thomas S. Peterson (2009), etika lingkungan merupakan suatu aktivitas
multidispliner. Ia membagi etika lingkungan kedalam tujuan deskriptif dan normatif.
Tujuan deskriptif dimaksudkan untuk menggambarkan dan menjelaskan sikap orang harus
seperti apa terhadap perubahan lingkungan sehubungan dengan dampak negatif dari
penggunaan teknologi dalam pengelolaan sumberdaya alam. Bagian ini biasa ditangani
oleh para akhli sosiologi dan antropologi. Sedangkan tujuan normatif dimaksudkan untuk
menilai secara kritis sikap orang harus bagaimana terhadap isu perubahan lingkungan
yang terjadi. Tujuan ini bergantung pada pertimbangan pengetahuan ilmiah dan filosofis
tentang logika, tata nilai, teori etika normatif, dan kejelasan konsep-konsep penting tentang
kesejahteraan, nilai-nilai dan alam lingkungan.

Etika lingkungan hidup memberikan dasar bertindak yang dinilai baik secara moral dalam
hubungan antar manusia (aspek culture), dengan makhluk non-manusia (aspek biotik), dan
dengan alam semesta (aspek abiotik). Thomas S. Peterson (2009) membagi etika
lingkungan normatif ke dalam empat kategori, yaitu: Konsekuentalisme (consequentialism),
deontologi (deontology), teleologi (teleology) dan etika kearifan (virtue ethics).

1) Etika konsekuentalisme berpandangan bahwa suatu badan/agen perlu


memperlihatkan/mendeklarasikan komitmen kinerjanya berupa tindakan dengan
konsekuensi terbaik. Para konsekuentalis itu adalah para penganjur
berkah/manfaat (misalnya dengan memajang slogan komitmennya: safety first, zero
waste, etc.). Mereka menaruh perhatian pada kesejahteraan, dan bersikukuh pada
pandangan bahwa konsekuensi terbaik itulah yang mampu membawa
kesejahteraan terbesar bagi makhluk hidup. Seorang konsekuentalis biosentris
misalnya dapat mengatakan bahwa manfaat (outcome) terbaik dari suatu tindakan
atau kebijakan adalah suatu kesamaan perhatian yang harus direalisasikan secara
penuh di antara makhluk yang bernama manusia dengan unsur hayati/kehidupan
lainnya.

2) Etika deontologis (Yunani: deon = yang diharuskan atau yang diwajibkan; logos =
ilmu) berpandangan bahwa betul salahnya tindakan bukan ditentukan dari akibat-
akibat tindakan itu melainkan pada cara bertindak yang terlarang secara moral. Jadi
etika deontologi adalah pandangan yang lahir dari pemikiran bahwa terdapat
ketentuan yang dilarang secara moral. Misalnya melakukan sesuatu tindakan

Puslibang Lingkungan Hidup, LP2M, Universitas Hasanuddin, Nopember 2016


4
Modul Etika Lingkungan

pemusnahan suatu spesies yang sudah langka itu dilarang menurut ketentuan
perundang-undangan (hasil arahan moral), sekalipun upaya tersebut dalam realita
dapat membawa pada akibat-akibat atau konsekuensi terbaik bagi kehidupan.

3) Etika teleologi (telos = tujuan, logos = ilmu) berpandangan bahwa tindakan yang
dinilai baik bukan bergantung kepada nilai dari akibat yang dihasilkannya, tetapi
lebih ditentukan oleh nilai baik dari tujuannya. Setiap alternatif baru yang
dipikirkan dapat membawa (bertujuan) pada kebaikan dapat diakui sebagai
normanya. Pandangan seperti ini mudah terjebak pada kaidah untuk menghalalkan
segala cara. Sehingga mungkin saja akibat yang tidak baik dapat dimaklumi apabila
berasal dari tujuan yang baik. Etika teleologi dapat membawa kita ke arah egoisme
dan utilitarianisme.

4) Etika kearifan/keutamaan (virtue ethics) berusaha melakukan pemetaan nilai-nilai


kearifan dari dalam diri manusia (internal) ke lingkungan di luar diri manusia
(external) dalam merealisasikan nilai-nilai luhurnya. Nilai-nilai tersebut mengemas
nilai-nilai kebaikan (good-ethics), keindaan (beauty-aesthetics) dan kebenaran
(logical truth) yang ketiganya berinduk pada filsafat. Sehingga tindakan yang dinilai
baik tidak harus bergantung pada akibatnya atau nilai moral dari kewajiban
tindakan yang dilakukannya, tetapi pada keteladanan perilaku pemetaan kearifan
yang kontekstual dari para pemuka/tokoh yang arif (virtuous persons), atau yang
sudah tertuang pada kaidah-kaidah kehidupan, atau yang sudah nyata tampak
sebagai realita.

1.5. Pusat-pusat keberpihakan

Keberpihakan merupakan tindakan yang berkeadilan berasal dari suatu keputusan yang
berdasar pada kearifan. Sedangkan pengambilan keputusan didorong oleh kehendak yang
didorong oleh kreatifitas manusia. Kehendak, keputusan, dan tindakan seseorang
dipengaruhi oleh cara pandang (world view) dan nilai-nilai (values) dalam tata
kehidupannya (way of life). Sementara itu, cara pandang dan nilai-nilai dalam tata
kehidupannya sangat berkaitan dengan kepribadian, pendidikan, dan pengalaman serta
keyakinan yang dianutnya.

Tindakan terhadap lingkungan merupakan cerminan laku-perbuatan diri atau etika


lingkungan yang dianutnya. Etika lingkungan yang dimiliki pada dasarnya dapat
berkembang sesuai dengan perluasan wawasan hidup bersesama di alam lingkungan
sekitar. Perkembangannya dapat melalui tiga tahapan, yaitu: etika lingkungan dangkal
(anthropocentrism), etika lingkungan menengah (biocentrism), dan etika lingkungan dalam
(eco-centrism) seperti akan dibahas pada paragraf berikutnya.

Puslibang Lingkungan Hidup, LP2M, Universitas Hasanuddin, Nopember 2016


5
Modul Etika Lingkungan

1) Etika antroposentrisme (anthropocentrism: shallow environmental ethics)


memandang posisi alam dalam sandingannya dengan manusia hanya dilihat dalam
relasi instrumental, kalaupun ada kepedulian manusia terhadap alam semata-mata
untuk menjamin kebutuhan hidupnya (human-centered ethics). Pandangan ini
menempatkan kesejahteraan manusia di atas kepentingan makhluk hidup lainnya.
Dalam lingkup etika ini terdapat juga etika sentientisme (sentient = conscious:
capable of feeling and perception) yang memandang bahwa nilai moral penikmatan
kesejahteraan hanyalah bagi manusia. Padahal binatangpun mampu menikmati
suasana menyehatkan dan menyakitkan, walaupun manusia sendiri hanya dapat
memantau perilaku binatang ketika sedang menderita kesakitan atau mengalami
kesenangan.

2) Etika biosentrisme (biocentrism: intermediate environmental ethics) memandang


alam beserta kehidupan makhluk lainnya pantas dipertimbangkan dan mendapat
kepedulian moral, terlepas dari apakah ia bernilai atau tidak bagi manusia.
Penyelamatan dan penangkaran khewan langka dari kepunahan merupakan contoh
program biosentrisme. Bahkan tidak jarang diupayakan khewan peliharaan
dikondisikan ulang agar mampu kembali hidup di alam habitatnya semula (life-
centered-ethics).

3) Etika ecosentrisme (eco-centrism: deep environmental ethics) memandang bahwa


kewajiban dan tanggung jawab moral manusia tidak hanya dibatasi pada makhluk
hidup saja, tetapi juga pada benda-benda abiotis, karena satu sama lain memiliki
keterkaitan (earth-centered ethics). Pemeliharaan hutan lindung, sungai-sungai,
gunung-gunung memiliki nilai-nilai intrinsik dan berfungsi secara ekologis
memberikan berkah/manfaat pada kehidupan manusia langsung maupun tidak.

2. ETIKA NORMATIF BAGI PENYUSUN DAN PENILAI AMDAL

Pada bab 2 peserta diharapkan memahami:


1) Etika normatif dank ode etik bagi penyusun Amdal yang professional.
2) Etika normative dank ode etik bagi penilai Amdal yang professional.

Frase lingkungan hidup menurut UUD RI 1945 dimuat dalam Pembukaan UUD RI 1945
dalam bentuk frase `seluruh tumpah darah.` Amanatnya adalah bahwa Pemerintah Negara
Republik Indonesia harus melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah

Puslibang Lingkungan Hidup, LP2M, Universitas Hasanuddin, Nopember 2016


6
Modul Etika Lingkungan

Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, dan


ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan sosial. Mengawal seluruh tumpah darah itu menjadi kewajiban pemerintah
dan para pelaku pembangunan agar dapat menjamin kesejahteraan dan mencerdaskan,
sehingga mampu berpartisipasi dalam memelihara ketertiban dunia. Dalam pengawalan
ini, para penyusun Amdal memegang peran penting untuk memeriksa setiap dampak
negatif dari pembangunan dan mengajukan rencana pemantauan dan pengelolaan dampak
pada lingkungan hidup tersebut. Oleh karena itu, para penyusun Amdal dituntut secara
normatif untuk memiliki kompetensi dan komitmen untuk mengelola lingkungan hidup
sesuai ketentuan dan perundang-undangan.

2.1. Ketentuan dasar bagi penyusun AMDAL

Beberapa norma bagi penyususn Amdal termuat dalam UU No 32 Tahun 2009 dan PP No
27 Tahun 2012 seperti dicuplik pada paragraf berikut ini.

1) Penyusun amdal harus memiliki sertifikat kompetensi penyusun amdal yang


memenuhi kriteria: penguasaan metodologi penyusun amdal, kemampuan melakukan
pelingkupan, prakiraan, dan evaluasi dampak serta pengambilan keputusan, dan
mampu menyusun rencana pengelolaan lingkungan hidup. Sertifikat kompetensi
diterbitkan oleh Lembaga Sertifikasi Kompetensi (LSK) penyusun Amdal yang
ditetapkan oleh Menteri sesuai ketentuan perundang-undangan [UU No 32 tahun 2009,
Pasal 28].

2) Penyusunan dokumen Amdal wajib dilakukan oleh penyusun Amdal yang memiliki
sertifikat kompetensi penyusun Amdal. Sertifikat kompetensi penyusun Amdal
diperoleh melalui uji kompetensi. Untuk mengikuti uji kompetensi harus terlebih
dahulu mengikuti pendidikan dan pelatihan penyusunan Amdal dan dinyatakan lulus.
Pendidikan dan pelatihan penyusunan Amdal diselenggarakan oleh Lembaga Pelatihan
Kompetensi (LPK) di bidang Amdal [PP No 27 Tahun 2012, Pasal 11]. Bagi pegawai
negeri sipil yang bekerja pada instansi lingkungan hidup Pusat, provinsi, atau
kabupaten/kota dilarang menjadi penyusun Amdal [PP No 27 Tahun 2012, Pasal 12].

2.2. Kode etik bagi penyusun AMDAL

T. W. Sutirto dari PPLH UNS (2013 ?) secara umum menjelaskan bahwa etika Penyusun
AMDAL dituntut untuk memiliki nilai-nilai kejujuran, objektif, profesional, menegakkan
kaidah ilmiah, tidak memihak kepada kepentingan pemrakarsa (netral), membela
kebenaran, inovatif, senantiasa meningkatkan kompetensi, menghormati dan menjamin
konsistensi. Dari IAIA terangkum kode etik penyusun AMDAL seperti terurut di bawah ini:
Puslibang Lingkungan Hidup, LP2M, Universitas Hasanuddin, Nopember 2016
7
Modul Etika Lingkungan

1) Melaksanakan semua kewajiban dengan kejujuran, integritas dan terbebas dari segala
bentuk penyimpangan.

2) Melakukan semua kewajiban hanya dibidang yang ilmunya dikuasai baik melalui
pendidikan, pelatihan dan pengalaman. Ikut terlibat bersama para ahli di bidang lain
yang kurang dikuasai.

3) Selalu mengedepankan keseimbangan dan keutuhan dalam upaya mengambil


pendekatan yang holistik dalam memprakirakan dampak.

4) Untuk memastikan bahwa kebijakan, rencana, aktivitas telah sesuai dengan hukum,
regulasi, kebijakan dan pedoman yang berlaku.

5) Tidak menerima pekerjaan yang meminta kita untuk melakukan menyimpangan atau
menghilangkan atau merubah data pada saat melakukan analisa.

6) Mengutamakan keterbukaan kepada pemberi kerja, klien dan pada setiap laporan
tertulis baik pribadi maupun finansial untuk menghindari terjadinya konflik
kepentingan.

7) Terus meningkatkan pengetahuan dan kemampuan profesional dan terus mengikuti


perkembangan dalam kajian dampak dan kompetensi kemampuan yang relevan.

8) Mencatumkan sumber yang digunakan dalam melakukan analisis dan penyusunan


laporan.

9) Bersedia untuk dicopot dari keangotaan Asosiasi AMDAL International jika terbukti
melakukan pelanggaran terhadap peraturan peraturan yang berlaku.

2.3. Ketentuan dasar bagi penilai AMDAL

Dokumen Amdal dinilai oleh Komisi Penilai Amdal yang dibentuk oleh Menteri, gubernur,
atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Komisi Penilai Amdal wajib memiliki
lisensi dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
Persyaratan dan tatacara lisensi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan
Peraturan Menteri [UU No 32 tahun 2009, Pasal 29].

Keanggotaan Komisi Penilai Amdal terdiri atas wakil dari unsur: instansi lingkungan hidup;
instansi teknis terkait; pakar di bidang pengetahuan yang terkait dengan jenis usaha
dan/atau kegiatan yang sedang dikaji; pakar di bidang pengetahuan yang terkait dengan
dampak yang timbul dari suatu usaha dan/atau kegiatan yang sedang dikaji; wakil dari
masyarakat yang berpotensi terkena dampak; dan organisasi lingkungan hidup. Dalam
melaksanakan tugasnya, Komisi Penilai Amdal dibantu oleh tim teknis yang terdiri atas

Puslibang Lingkungan Hidup, LP2M, Universitas Hasanuddin, Nopember 2016


8
Modul Etika Lingkungan

pakar independen yang melakukan kajian teknis dan sekretariat yang dibentuk untuk itu.
Pakar independen dan sekretariat ditetapkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota
sesuai dengan kewenangannya [UU No 32 tahun 2009, Pasal 30].

2.4. Kode etik bagi penilai AMDAL

T. W. Sutirto dari PPLH UNS (2013 ) secara umum menjelaskan bahwa etika Penilai AMDAL
harus memiliki nilai-nilai kejujuran, professional (tidak bertindak seperti hakim/ jaksa
terhadap terdakwa), menegakkan kaidak ilmiah, memihak pada kebenaran, inovatif
(senantiasa meningkatkan kompetensi), menjamin konsistensi, bertindak procedural, dan
tidak membebani pemrakarsa.

Penilaian hendaknya berorientasi pada usulan rumusan rekomendasi kelayakan yang


realistis, tidak menimbulkan dampak baru yang sulit ditangani, dan memungkinkan
ditangani oleh pelaku yang ditugaskan. Usulan rekomendasi dapat menyangkut kelayakan
lingkungan yang mendorong terwujudnya kelayakan sosial dan kelayakan ekonomi sebagai
3 (tiga) pilar pembangunan berkelanjutan, serta kelayakan kelembagaan dan teknologi
yang ramah budaya (mudah diadaptasi). Personil penilai ditetapkan dan senantiasa
memiliki:

1) Kompetensi dan kepercayaan diri dalam proses penilaian sesuai rencana kajian
Amdal yang akan dinilai.

2) Pandangan yang komprehensif terhadap dokumen yang diperiksa, dengan


senantiasa tanggap terhadap kepentingan pengelolaan lingkungan hidup dan
kebutuhan-kebutuhan masyarakat, pemrakarsa, dan pemerintah serta pemangu
keentingan lainnya.

3) Persiapan dan perspektif yang cukup sesuai prosedur dan rasional yang digunakan
untuk menginterpretasi temuan, sehingga dasar-dasar nilai pertimbangan menjadi
jelas.

4) Pemahaman atas sistimatika dokumen yang dinilai, sehingga informasi esensial


yang tersajikan dapat dengan baik dan mudah dikuasai.

5) Temuan atau apresiasi yang dituangkan dalam komentar penilaian tertulis yang
significant dikomunikasikan pada saat seminar pembahasan lengkap yang dihadiri
konsultan, pemrakarsa, tim akhli, masyarakat, dan pemerintah.

6) Konsep usulan rekomendasi untuk bahan pertimbangan, perbaikan ataupun koreksi


terhadap hasil dokumen yang diperiksa, sehingga menjadi pegangan bersama
seluruh stakeholders.

Puslibang Lingkungan Hidup, LP2M, Universitas Hasanuddin, Nopember 2016


9
Modul Etika Lingkungan

3. PENUTUP

1) Kedudukan etika bersama estetika sebagai terapan langsung dari filsafat menjadi
penting untuk mengawal perkembangan ipteks sehingga berkontribusi dalam
kemaslahatan kehidupan manusia. Dengan etika hidup menjadi lebih baik, dengan
estetika hidup menjadi indah dan diharapkan dengan filsafat kebenaran dapat
dihampiri.
2) Sebuah tindakan manusia pada lingkungan didorong oleh keputusan yang diambil,
dan keputusan didorong oleh kehendak dalam benak seseorang. Kehendak
merupakan konsekuensi dari kreativitas, keputusan yang baik perlu dikawal oleh
kearifan, sehingga tindakan yang dilakukan bernilai adil bagi dirinya, orang lain,
dan lingkungannya.
3) Interkoneksi manusia (creatura) dengan alam (pleroma) didasari oleh etika yang
dianutnya mulai dari etika lingkungan yang dangkal (anthropocentrism), etika
lingkungan yang menengah (biocentrism) dan etika yang mendalam (eco-
centrism). Sehingga akal budi (mind) manusia terukir dan tercermin dalam
lingkungan hidupnya.

4. BAHAN DAN METODA DISKUSI ETIKA BAGI PENYUSUN DAN PENILAI AMDAL

Berikut ini diberikan bahan serta metode diskusi yang akan ditempuh oleh para peserta,
seperti dimuat dalam Tabel berikut ini.
No. BAHAN METODE
1.1. Pengertian Filsafat Ilmu. Peserta dibagi kelompok, diberi
Diskusikan bagaimanakah lingkup kegiatan filsafat ilmu waktu berembug, dan hasil
pengetahuan dibandingkan dengan lingkup kegiatan rembugkan dipresentasikan,
ilmuwan, apakah perlu independen, atau yang satu
mengontrol yang lainnya? Beri penjelasan yang memadai.
1.2. Peran dan Tugas Filsafat Ilmu Pengetahuan. Peserta mengutarakan
Apa yang terjadi apabila peran dan tugas filsafat ilmu pendapatnya, dan yang lain
pengetahuan tidak dapat dilaksanakan? memberikan komentar.
1.3. Ruang Lingkup dan kebermanfaatan Etika. Peserta mengutarakan
Sejauh mana etika kehidupan dan etika lingkungan hidup pendapatnya, dan yang lain
telah menjadi pedoman dalam kehidupan kita sehari-hari? memberikan komentar.
1.4. Keterkaitan Etika pada Lingkungan Hidup Peserta mengutarakan
Seperti apa jejak-jejak pemikiran etika yang tampak pendapatnya, dan yang lain
langsung pada lingkungan hidup sekitar kita? memberikan komentar.
1.5. Pusat-pusat keberpihakan. Peserta mengutarakan
pendapatnya, dan yang lain
memberikan komentar.
Puslibang Lingkungan Hidup, LP2M, Universitas Hasanuddin, Nopember 2016
10
Modul Etika Lingkungan

Seiring dengan berjalannya waktu, apakah keberpihakan


kita pada lingkungan hidup akan beranjak dari etika
dangkal menuju etika dalam?
2.1. Ketentuan Dasar Bagi Penyusun AMDAL Peserta dibagi kelompok, hasil
Pematuhan kepada ketentuan dan perundang-undangan rembugkan dipresentasikan,
yang berlaku perlu menyeluruh untuk seluruh penjuru mencari jalan keluar melalui
tanaha air? diskusi.
2.2. Kode Etik Bagi Penyusun AMDAL Peserta dibagi kelompok, diberi
Adakah kemungkinan pelanggaran etika bagi penyusun waktu berembug, dan hasil
Amdal? rembugkan dipresentasikan,
2.3. Ketentuan Dasar Bagi Penilai AMDAL Peserta dibagi kelompok, hasil
Pematuhan kepada ketentuan dan perundang-undangan rembugkan dipresentasikan,
yang berlaku perlu menyeluruh untuk seluruh penjuru mencari jalan keluar melalui
tanaha air? diskusi.
2.4. Kode Etik Bagi Penilai AMDAL Peserta dibagi kelompok, diberi
Adakah kemungkinan pelanggaran etika bagi penilai waktu berembug, dan hasil
Amdal? rembugkan dipresentasikan,

References
BATESON, G. 1978. Mind and Nature. New York: E.P. Dutton.
PETERSON, T.S. 2009. "Environmental Ethics." In A Companion to the Philosophy of Technology, by
Stig Andur Pedersen and Vincent F. Hendricks Jan Kyrre Berg Olsen, 433-438. Malden:
Blackwell Publishing Ltd.
SUTIRTO, T.W. 2013. "ETIKA PENYUSUN DAN PENILAI AMDAL." Surakarta: PPLH UNS.
T.M.S. POESPOWARDOJO, and A. SERAN. 2015. Filsafat Ilmu Pengetahuan: Hakikat Ilmu
Pengetahuan, Kritik terhadap Visi Positivisme Logis, serta Implikasinya. Jakarta: Penerbit
Buku Kompas.

Puslibang Lingkungan Hidup, LP2M, Universitas Hasanuddin, Nopember 2016


11

Anda mungkin juga menyukai