Anda di halaman 1dari 10

Pengolahan Sosis Ayam

Chandra Apriyana1, Meidela Niken Trirahmawati2, Nurul Fadhillah3,


Prameswari Clarissa4, Sopa Zahra5, Vadilah Fitria6
Prodi Pendidikan Teknologi Agroindustri, Fakultas Pendidikan Teknologi dan
Kejuruan, Universitas Pendidikan Indonesia1,2,3,4,5,6

alzahrasopa@gmail.com

Abstrak. Sosis adalah makanan yang dibuat dari daging yang telah dicincang dan dihaluskan serta
diberi bumbu-bumbu, dimasukkan ke dalam pembungkus yang berbentuk bulat panjang berupa usus
hewan atau pembungkus buatan dengan atau tanpa dimasak (Kramlich, 1971; Hadiwiyoto, 1983).
Dalam praktikum ini dilakukan proses pembuatan sosis ayam dengan tujuan untuk melaksanakan
proses produksi pengolahan sosis ayam, mengetahui kualitas daging ayam sebelum pengolahan, dan
mengevaluasi karakteristik sensori pada produk sosis ayam yang telah diolah. Pertama, dilakukan uji
subjektif terhadap warna, flavor, susut masak dan keempukan dari daging ayam. Hasil dari pengujian
menunjukan bahwa warna daging dari setiap kelompok sebelum direbus adalah putih kekuningan.
Teksturnya empuk dan bau amisnya sesuai dengan standar kualitas daging yang bagus. Susut masak
daging setiap sampelnya mengalami penurunan. Pengaruh perebusan pada kadar air sangat nyata
(P˂0,01). Setelah produk sosis jadi, dilakukan penghitungan rendemen sebelum dan sesudah sosis
digoreng. Hasil perhitungan menunjukan bahwa penambahan tapioka sebanyak 40% memberikan
pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan nilai rendemen sosis dibandingkan dengan
penambahan tapioka sebanyak 30% baik pada sosis sebelum digoreng maupung setelah digoreng.
Selanjutnya dilakukan uji kesukaan (hedonik) terhadap warna, rasa, tekstur dan kekenyalan nugget.
Berdasarkan hasil uji hedonik, rata – rata penilaian panelis untuk warna, rasa, tekstur dan kekenyalan
sosis yang dihasilkan adalah 3, artinya panelis menyatakan biasa terhadap karakterstik sensori sosis
yang dihasilkan. Hal tersebut menunjukan bahwa sosis yang diproduksi telah sesuai dengan standar
atau karaktersitik sosis pada umumnya.

1. PENDAHULUAN
Daging ayam merupakan salah satu produk peternakan yang memegang peran cukup penting
dalam pemenuhan kebutuhan gizi masyarakat sebagai sumber protein hewani. Konsumsi daging ayam
biasanya dalam bentuk daging segar ataupun dalam bentuk olahan. Beberapa produk olahan daging ayam
tersebut antara lain chicken nugget, abon, dan sosis.
Sosis adalah makanan yang dibuat dari daging yang telah dicincang dan dihaluskan serta diberi
bumbu-bumbu, dimasukkan ke dalam pembungkus yang berbentuk bulat panjang berupa usus hewan
atau pembungkus buatan dengan atau tanpa dimasak (Kramlich, 1971; Hadiwiyoto, 1983). Menurut
Soeparno (1988), sosis merupakan bahan makanan berbentuk emulsi minyak dalam air (o/w). Emulsi
adalah suatu sistem dua fase yang terdiri dari suatu disperse dua cairan atau senyawa yang tidak dapat
bercampur . Ada dua tipe emulsi yaitu emulsi w/o ( air dalam minyak ) dan emulsi o/w (minyak dalam
air). Produk makanan bentuk emulsi dapat berbentuk cair, plastis dan elastik.
Adonan sosis merupakan emulsi minyak dalam air (o/w) yang terbentuk dari campuran lemak dan
air dalam fase koloid dengan protein sebagai emulsifier. Dalam proses pembuatannya perlu
ditambahkan bahan pengikat dan bahan pengisi, yang berfungsi untuk meningkatkan stabilitas emulsi,
mengurangi penyusutan pemasakan, meningkatkan karakteristik potongan, meningkatkan cita rasa dan
mengurangi biaya formulasi. (Anna, dkk, 1992; Koswara, 1995).
Soeparno (1994) membagi sosis menjadi beberapa jenis, sosis segar dibuat dari daging segar,
tidak dikuring (tidak dilakukan penggaraman), dicacah, dilumatkan atau digiling, diberi garam dan
bumbu-bumbu, dimasukkan dan dipadatkan dalam selongsong serta harus dimasak sebelum dimakan.
Sosis masak dibuat dari daging segar, bisa dikuring atau tidak, dimasukkan dan dipadatkan dalam
selongsong, tidak diasap dan setelah dibuat harus segera dimakan. Sosis spesialis daging masak adalah
produk daging khusus yang dikuring atau tidak dikuring, dimasak dan jarang diasap, sering dibuat
dalam bentuk batangan atau daging loaf serta biasa dijual dalam bentuk irisan-irisan yang dipak atau
dibungkus yang dapat dikonsumsi dalam keadaan dingin. Sosis kering dan agak kering dibuat dari
daging yang dikuring dan dikeringkan udara, dapat diasap sebelum pengeringan serta dapat
dikonsumsi dalam keadaan dingin atau setelah masak.
Tujuan analisis ini adalah untuk melaksanakan proses produksi pengolahan sosis ayam,
mengetahui kualitas daging ayam sebelum pengolahan, dan mengevaluasi karakteristik sensori pada
produk sosis ayam yang telah diolah.

2. Metode
Praktikum pengolahan sosis ayam dilaksanakan pada hari Selasa tanggal 27 Februari 2016 di
Laboratorium Teknologi Pengolahan Hasil Pertanian (TPHP). Adapun alat dan bahan yang digunakan
dalam praktikum ini adalah daging ayam broiler, selongsong, tali, alat pencetak sosis, garam, merica
bubuk, bawang putih merah, food processor/chopper, tepung tapioca, tepung panir, baskom, sendok,
kompor, wajan, telur ayam, panci dandang, loyang kecil.
Ada beberapa parameter yang diukur, diantaranya pengamatan subjektif terhadap warna dan
flavor, pengukuran susut masak daging, dan uji kesukaan (hedonik). Susut masak (%) dihitung
berdasarkan perbandingan antara berat yang hilang selama perebusan dengan berat adonan sebelum
perebusan.
Uji kesukaan (hedonik) menggunakan 16 orang panelis tidak terlatih yang akan menilai sosis
dengan bantuan skor penilaian yang berayun 1 – 5 untuk menilai kekenyalan, rasa, aroma, dan warna
pada sosis.

2.1. Diagram Alir

Prinsip Percobaan
Sebelum melakukan pengolahan sosis ayam, daging ayam (sampel) terlebih dahulu di uji
kualitasnya dari mulai warna, flavor, keempukan dan juga susut masak. Prinsip dari percobaan
pengolahan sosis ayam adalah berdasarkan pada penghancuran, penambahan bumbu, penghomogenan
(semua bahan), pencetakan (selongsong), pengikatan, perebusan, pendinginan (dalam air es) dan
penggorengan. Setelah dilakukan pengolahan sosis ayam maka selanjutnya akan dilakukan uji hedonik
pada setiap hasil pengolahannya.
Pengamatan subjektif terhadap warna dan flavor

Sampel daging

Pengamatan warna & flavor

Putih
Pernyataan relatif (+)

Pernyataan relatif Flavor

Pengukuran subjektif terhadap keempukan

Sampel
daging

Penekanan

Pernyataan relatif Tanda +

Pengukuran Susut Masak Daging

Daging sampel

Perebusan
T= 81 C

Penimbangan
Pengolahan Sosis Ayam

Daging ayam

Air Pencucian Air kotor


bersih

Penirisan

Penimbangan

bawang putih, merica, Penghancuran


garam, putih telur, es
batu, gula

Penghomogenan
Tapiok
a Stuffer dan
Pencetakan
selongsong

Perebusan
T=100 C t= 20-30’

Perendaman
Air Es

Penimbangan

Minyak Penggorengan Uap panas


goreng

Sosis Ayam

3. Hasil dan Pembahasan


3.1. Uji Subjektif warna, flavor, susut masak dan keempukan
Hasil dari pengujian menunjukan bahwa warna daging dari setiap kelompok sebelum direbus
adalah putih kekuningan. Teksturnya empuk dan bau amisnya sesuai dengan standar kualitas daging
yang bagus.

Tabel 1. Perbedaan warna, flavor, dan keempukan daging sebelum direbus dan setelah direbus dari setiap kelompok.

Sampel Daging Ayam


Kelompok Warna Flavor Tekstur Susut Masak
Putih kekuningan
1 Amis (++) Empuk (++) 38%
(+++)
Putih kekuningan
2 Amis (+) Empuk (++) 30%
(++)
Putih kekuningan
3 Amis (++) Empuk (++) 30%
(++)
Putih kekuningan
4 Amis (++) Empuk (++) 35%
(++)
Putih kekuningan
5 Amis (+) Empuk (++) 39,9 %
(++)
Putih kekuningan
6 Amis (+++) Empuk (+++) 27%
(+++)
Putih kekuningan
7 Amis (+++) Empuk (+++) 39%
(+++)
Putih kekuningan
8 Amis (+) Empuk (++) 40%
(++)

Menurut Setiyono (1987), komposisi kimia mempunyai hubungan yang erat dengan kualitas fisik
daging. Dikemukakan lebih jauh bahwa variasi komponen daging terbesar ada pada jumlah lemak.
Lemak telah dikenal sebagai komponen daging yang bervariasi sehingga kulit fisik daging banyak
ditentukan oleh kadar lemaknya. Selain itu, protein merupakan penyusun jaringan daging mempunyai
peranan yang sangat besar terhadap perubahan nilai karakteristik daging. Macam otot berhubungan
dengan jumlah jaringan ikat dan fungsi otot yang dapat berbeda dalam menghasilkan asam laktat.
Kedua hal tersebut akan berpengaruh pada pH, daya ikat air, susut masak dan keempukan daging
(Bouton et al., 1971; Lawrie, 1979).
Hasil dari pengujian menunjukan bahwa daging ayam sebelum direbus dalam air yang bersuhu
81°C adalah putih kekuningan dari 8 sampel yang diujikan. Dilihat dari warnanya, maka kualitas
daging ayam tersebut bagus. Cross (1988) menyatakan bahwa warna daging ayam disebabkan
provitamin A yang terdapat pada lemak daging dan pigmen oksimioglobin. Lawrie (2003)
menyebutkan bahwa pigmen oksimioglobin adalah pigmen penting pada daging segar, pigmen ini
hanya terdapat di permukaan saja dan menggambarkan warna daging yang diinginkan konsumen.
Warna pada daging ayam akibat pengeluaran darah yang tidak sempurna disebabkan oleh pigmen
haemoglobin. Setelah daging ayam mengalami perebusan dengan suhu 81°C selama 15 menit, daging
tersebut mengalami perubahan warna menjadi putih.
Aroma daging pada sampel yaitu tidak terlalu bau amis. Hal ini menandakan bahwa daging
tersebut masih segar. Daging ayam memiliki standar bau, ialah daging tidak memiliki baubusuk dan
menyengat. Tekstur daging dari 8 sampel yang diuji sebelum dilakukan perebusan yaitu halus/empuk.
Setelah direbus teksturmya mengalami perubahan menjadi sedikit keras. Hal in terjadi karena adanya
daya serap yang dikeluarkan oleh daging selama perebusan. Tekstur yang kasar akan cenderung
menyebabkan urat daging menjadi lebi liat (Deatherage dan Harrim, 1960).
Keempukan daging mentah menunjukan perbedaan yang nyata dengan daging yang direbus.
Menurut Bouton (1971), keempukan daging dapat ditentukan oleh tiga komponen daging yaitu
struktur miofbril dan status kontraksinya, kandungan jaringan ikat dan tingkat ikatan silangnya, dan
daya ikat air oleh protein daging. Keempukan daging juga ditentukan oleh perlemakannya. Selama
pertumbuhan, deposisi lemak terjadi diantara otot (intermuskular), lapisan bawah kulit dan diantara
serabut otot. Akumulasi lemak dapat melarutkan kolagen sehingga daging bisa menjadi lunak
(Charmichael dan Lawrie, 1967; Wismer-Pederson, 1971; Swatland, 1984).
Selama pengujian berlangsung, daging yang direbus dengan suhu awal 81°C selama 15 menit
mengalami penyusutan. Susut masak daging setiap sampelnya mengalami penurunan. Pengaruh
perebusan pada kadar air sangat nyata (P˂0,01). Perebusan dapat menyebabkan pengkerutan daging
sehingga air banyak keluar dari daging, selain itu air juga banyak menguap selama perebusan.
Kehilangan air dari daging mentah dan daging yang sudah dimasak diikuti dengan penurunan ruang
antara grup serabut otot dan antara individu serabut serta penyusutan diameter urat daging.
Peningkatan susut masak selama perebusan dapat disebabkan oleh perubahan struktur jaringan
dan kimia protein daging tersebut terutama kerusakan terhadap protein miofibril dan sarkoplasma,
karena lama perebusan akan menurunkan pengaruh panjang serabut otot dan pengkerutan protein
miofibril sehingga memaksa cairan daging dibebaskan (Bouton et al., 1976; Soeparno, 1990).
Komposisi kimia dapat berubah karena pemanasan. Daging dengan susut masak lebih rendah
mempunyai kualias relatif lebih baik daripada daging dengan susut masak lebih besar, karena
kehilangan nutrisi selama pemasakan akan lebih sedikit sehingga daging ayam dengan susut masak
rendah akan mempunyai kualitas yang lebih baik dibandingkan dengan daging ayam dengan susut
masak tinggi.

3.2. Uji Rendemen

Rendemen merupakan perbandingan berat produk dengan berat bahan dikali 100%
(Kusumaningrum dkk, 2013, hlm. 374). Rumus penghitungan rendemen adalah sebagai berikut:
Berat akhir
% Rendemen = X 100%
Berat awal
Tabel 2. Uji hedonik dan rendemen

Rendemen Rendemen Rerata Skor Hedonik (dari semua panelis)


Kelompok Sampel Sosis Sebelum Setelah
Warna Rasa Tekstur Kekenyalan
Digoreng Digoreng
1 40% tapioka 102% 66% 2.94 3.13 2.88 3.06
2 30% tapioka 97,29% 35,29% 3.19 2.75 2.75 2.50
3 40% tapioka 96,9% 32,4% 3.13 2.69 2.75 2.44
4 30% tapioka 95,3% 26,31% 3.00 3.06 2.94 3.38
5 40% tapioka 96% 26% 3.00 3.19 2.94 2.56
6 30% tapioka 104% 43,42% 3.06 3.06 3.19 2.69
7 40% tapioka 88,9% 36% 3.06 2.88 3.38 3.25
8 30% tapioka 38,5% 30% 3.06 2.81 2.69 3.25

Pada tabel pengamatan hasil praktikum pada nilai rendemen sosis sebelum menjadi produk jadi
(sebelum digoreng atau setelah proses perebusan) dapat diamati bahwa penambahan tapioka sebanyak
40% memberikan pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan nilai rendemen sosis dibandingkan
dengan penambahan tapioka sebanyak 30%. Begitupun dengan nilai rendemen sosis setelah menjadi
produk jadi (setelah digoreng), dimana penambahan tapioka 40% memiliki nilai rendemen lebih besar
dibandingkan dengan penambahan tapioka 30%. Hal tersebut dikarenakan tepung tapioka
mengandung karbohidrat berupa pati, di mana granula-granula pati akan mengembang jika direaksikan
dengan air yang selanjutnya terjadi pelarutan amilosa dan amilopektin ke dalam suspensi.
Semakin banyak tapioka yang ditambahkan, maka semakin banyak juga air yang terserap sehingga
adonan sosis lebih mengembang dan meningkatkan nilai rendemen. Namun hasil berbeda ditunjukan
oleh perbandingan rendemen kelompok 5 (40% tapioka) dan 6 (30% tapioka) di mana penambahan
persentase tapioka menyebabkan penurunan persentase rendemen. Hal tersebut bisa disebabkan oleh
faktor-faktor lain selain persentase penambahan tapioka, salah satunya faktor suhu perebusan atau
penggorengan. Semakin tinggi suhu yang digunakan maka kadar air produk akan semakin menurun
yang akan menyebabkan produk semakin ringan sehingga persentase rendemen menurun. Yuniarti et
al (dalam Sipayung dkk, 2008, hlm. 6) menyatakan bahwa “semakin kecil kadar air yang dihasilkan
menyebabkan penurunan bobot air bahan, karena air dalam bahan merupakan komponen utama yang
mempengaruhi bobot bahan. Apabila air dihilangkan maka bahan akan lebih ringan sehingga akan
mempengaruhi rendemen produk akhir.

3.3. Uji Kesukaan (Hedonik)


Uji hedonik atau uji kesukaan merupakan salah satu jenis uji penerimaan. Dalam uji ini panelis
diminta mengungkapkan tanggapan pribadinya tentang kesukaan atau sebaliknya ketidaksukaan,
disamping itu mereka juga mengemukakan tingkat kesukaan/ketidaksukaan. Tingkat-tingkat kesukaan
ini disebut orang skala hedonik, misalnya amat sangat suka, sangat suka, suka, agak suka, netral, agak
tidak suka, tidak suka, sangat tidak suka dan amat sangat tidak suka (Rahayu, 2001).
Penilaian dalam uji hedonik ini dilakukan bersifat spontan. Hal ini panelis diminta untuk menilai
suatu produk secara langsung dan pada saat itu juga mencoba tanpa membandingkan dengan produk
sebelum atau sesudahnya (Raharjo, 2001).

Warna
Berdasarkan hasil uji hedonik, rata – rata untuk warna sosis yang dihasilkan mendapatkan nilai 3
artinya panelis menyatakan biasa terhadap warna sosis yang dihasilkan. Panelis memberi nilai 3.19,
3.00, 3.06, dan 3.06 untuk sosis dengan 30% tepung tapioka. Sedangkan panelis memberi nilai 2.94,
3.13, 3.00, dan 3.06 untuk sosis dengan 40% tepung tapioka. Kriteria mutu sensoris sosis yang baik
yaitu memiliki warna coklat cerah atau sedikit agak kemerahan (Wibowo, 1995).

Rasa
Panelis memberikan nilai 2.75, 3.06, 3.06, dan 2.81 untuk rasa sosis dengan 30% tapioka. Sedangkan
panelis memberikan nilai 3.13, 2.69, 3.19, dan 2.88 untuk rasa sosis dengan 40% tepung tapioka.
Berdasarkan hasil uji hedonik, rata – rata untuk rasa sosis yang dihasilkan mendapatkan nilai 3 artinya
panelis menyatakan biasa terhadap rasa sosis yang dihasilkan. Penggunaan bumbu yang benar dan
tepat pada suatu masakan yang baik, enak, dan menggugah selera makan. Selain memberi rasa, bau,
dan aroma pada masakan, bumbu itu sendiri mempunyai pengaruh sebagai bahan pengawet terhadap
makanan (Tarwotjo, 1998).

Tekstur
Tekstur sosis diberi nilai 2.75, 2.94, 3.19, dan 2.69 untuk sosis dengan 30% tepung tapioka.
Sedangkan sosis dengan 40% tepung tapioka diberi nilai 2.88, 2.75, 2.94, dan 3.38. Berdasarkan hasil
uji hedonik, rata – rata untuk tekstur sosis yang dihasilkan mendapatkan nilai 3 artinya panelis
menyatakan biasa terhadap tekstur sosis yang dihasilkan. Sosis masak tidak boleh mengandung air
melebihi empat kali kandungan protein daging ditambah 10% dan tidak boleh melebihi empat kali
kandungan protein 3% pada sosis segar. Penambahan air yang terlalu banyak akan menyebabkan sosis
lunak, sedangkan penambahan air yang terlalu sedikit menyebabkan tekstur sosis keras (Lawrie,
1998).

Kekenyalan
Kekenyalan pada sosis yang dihasilkan diberi nilai 2.50, 3.38, 2.69, dan 3.25 untuk sosis dengan 30%
tepung tapioka. Sedangkan sosis dengan 40% tepung tapioka diberi nilai 3.06, 2.44, 2.56, dan 3.25.
Berdasarkan hasil uji hedonik, rata – rata untuk kekenyalan sosis yang dihasilkan mendapatkan nilai 3
artinya panelis menyatakan biasa terhadap kekenyalan sosis yang dihasilkan. Kekenyalan pada sosis
dapat dipengaruhi oleh daya mengikat air pada tepung tapioka yang digunakan berlangsung dengan
baik sehingga sosis yang dihasilkan memiliki kekenyalan yang baik (Soeparno, 1992).

Tepung tapioka yang digunakan dalam pengolahan sosis ayam sebesar 30% dan 40% dari basis
utama 100 gram. Tepung tapioka termasuk dari bagian pengisi dari bahan dasar sosis. Fungsi dari
tapioka adalah sebagai bahan pengisi pada pembuatan sosis. Selain itu juga berfungsi untuk
membentuk tekstur yang padat. Tapioka mengandung pati, menurut Ketaren (1986), dalam Kurniati
(2006), produk-produk yang terbuat dari pati akan membentuk warna kecoklatan bila dipanaskan.
Bahan pengisi memiliki daya ikat yang besar, tetapi rendah sifat emulsifikasinya. Hal itu
disebabkan oleh tingginya kandungan karbohidrat dan rendahnya kandungan protein. Bahan pengisi
yang umum digunakan adalah tepung terigu, tapioka, dan sagu (Cici Rulianti, 2009). Tapioka
merupakan hasil ekstraksi pati ubi kayu yang telah mengalami proses pencucian dan pengeringan.
Penambahan tapioka akan mempengaruhi komposisi kimia dan sifat organoleptik rasa, aroma dan
warna. Kandungan amilopektin pada tapioka adalah 83 %, sedangkan amilosa sebesar 17%. Semakin
besar kandungan amilopektin atau semakin kecil kandungan amilosa, maka semakin lekat produk
olahannya (Winarno, 1997). Tepung tapioka memiliki kandungan serat kasar (pati) yang tinggi serta
kadar airnya yang rendah menyebabkan tepung tapioka mempunyai daya ikat air yang tinggi
(Novianita, 2002).
Berdasarkan hasil penelitian oleh Tejopranoto, (1998) penambahan tepung tapioka terbaik untuk
produk sosis secara umum sebanyak 10%. Menurut Dharmawati dkk. (2007), menyatakan bahwa
formulasi tapioka pada pembuatan sosis belut sebesar 10% menghasilkan sosis belut dengan sifat fisik
agak lunak dan sifat kimia terbaik. Pada percobaan kali ini kami menambahkan tepung tapioka
sebanyak 30% dan 40%, dilihat dari hasil uji hedonik berbagai kelompok dapat dilihat pada warna
hasil uji hedonik tertinggi itu 3,19 yaitu kelompok yang menggunakan tepung tapioka 30%, begitupun
rasa dan teksture. Namun pada kekenyalan pada unsur kekenyalan 40% maupun 30% mendapatkan
hasil yang tidak berbeda jauh. Maka dilihat dari referensi ternyata dengan penambahan tepung tapioka
40% itu tidak efektif membuat rasa sosis, warna, serta teksture semakin rendah kualitasnya. Dan
penambahan tepppung tapioka 40% tidak begitu berpengaruh terhadap kekenyalan sosis.
Penambahan kuning telur berfungsi sebagai emulsifier karena kuning telur mengandung lesitin
sehingga dapat meningkatkan stabilitas emulsi sosis (Yulistiani, Sarofa, & Angastuti, 2013).
Penambahan kuning telur dapat memberikan warna agak kekuningan pada adonan sosis. Warna yang
terdapat dalam kuning telur yaitu pigmen kuning dari xantofil, lutein, beta karoten dan kriptoxantin
(Muchtadi dan Sugiyono, 1992)

4. KESIMPULAN
1. Kualitas daging ayam dalam kondisi baik karena dagingnya berwarna putih kekuningan.
Aroma dagingnya amis dan memiliki keempukan yang sesuai dengan standar kualitas daging.
2. Uji hedonik menunjukkan kesukaan panelis terhadap produk yang diolah. Pengolahan ayam
menjadi sosis ternyata banyak panelis yang menyatakan bahwa warna, rasa, tekstur dan
kekenyalan sudah sesuai dengan standar pengolahan sosis atau karakteristik sosis pada
umumnya.

References
Anna ,S.M; . Sulaeman dan F.Anwar .1992. Pengolahan Pangan Tingkat Rumah Tangga , PAU-IPB.
Bogor
Hadiwiyoto S. 1983. Hasil-Hasil Olahan Susu, Ikan, Daging dan Telur. Liberty .Yogyakarta
Koswara S. 1995. Teknologi Pengolahan Kedelai Menjadi Makanan Bermutu. Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta.
Kramlich W.E. 1971. Sausage Product. In Price, JF and B.S. Schweigert (eds). The Science of Meat
and Meat Product. W.H., Freeman and Co. San Francisco.
Soeparno. 1988. Ilmu Pangan dan Teknologi Daging. Gadjah Mada Universitas Press. Yogyakarta
Kusumaningrum, M., Kusrahayu., Mulyani, S. (2013). Pengaruh Berbagai Filler (bahan pengisi)
Terhadap Kadar Air, Rendemen dan Sifat Organoleptik (warna) Chicken Nugget. Animal
Agriculture Journal, 2(1), hlm. 370 – 376. [online] diakses dari
https://media.neliti.com./media/publication/185078-ID-pengaruh-berbagai-filler-bahan-pengisi-
t.pdf
Sipayung, M.Y., Suparmi., Dahlia., (2008). Pengaruh Suhu Pengukusan Terhadap Sifat Fisika Kimia
Tepung Ikan Rucah. Riau: Universitas Riau. [online]
https://media.neliti.com/media/publications/200809-none.pdf
Lawrie, 2003. Ilmu Daging. (Penerjemah A. Parakkasi dan Yudha A). Universitas Indonesia Press,
Jakarta.
Cross., H. R. 1988. Carcass Science, Milk Science and Technology. Elsevier Science. New York.
Afrianti, M., Dwiloka, B., Setiani, E.B. 2013. Perubahan Warna, Profil Protein, dan Mutu
Organoleptik Daging Ayam Broiler Setelah direndam dengan Ekstrak Daun Senduduk. Vol.2
No.3. Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan.
Seiyono, 1987. Hubungan Kualitas Fisik dengan Komposisi Fisik dan Kimia Karkas dan Daging
Domba Lokal Jantan yang diberi Pakan dengan Level. Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.
Yogyakarta.
Bouton, P.E., P.V. Harris and W.R. Shorthose. 1971. Effect of ultimate pH upon the water holding
capacity and tenderness of mutton.
Charmimchael, D.J. and R.A. Lawrie. 1967. Changes in collagen solubility with animal age, J. Food
Technol. 2 : 229-302
Deatherage, F.E and R. Hamm. 1960. Changes in hydration, solubility and charges of mulse protein
during heating of meat Food Responden. J. Food Sci. 25 : 586-595.
Soeparni. 1990. Pengaruh lama pemasakan dan macam otot terhadap pH, water holding capacity,
cooking loss dan keempukan daging. Laporan Penelitian No. UGM/PT/2895. Fakultas
Peternakan UniversitasGadjah Mada.
Lawrie. (1998). Chemistry of Meat Tissue. Ohio: The Ohio State University and The Ohio Agricultural
Research and Development Center.
Raharjo. (2001). Penilaian Organoleptik. Jakarta: Bharata Karya Aksara.
Rahayu, W. (2001). Penuntun Paktikum Penilaian Organoleptik. Bogor: IPB.
Soeparno. (1992). Pilihan Produksi Daging Sapi dan Teknologi Prosesing Daging Unggas.
Yogyakarta: Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada.
Tarwotjo, C. (1998). Dasar - Dasar Gizi Kuliner. Jakarta: Grasindo.
Wibowo, S. (1995). Bakso Ikan dan Bakso Daging. Jakarta: Penebar Swadaya.
Cici, R., (2009), Pengaruh Penambahan Tapioka dan Suhu Pengeringan terhadap
Karakteristik Dendeng Belut (Monoterus albus) Giling, Tugas Akhir, Program Sarjana,
Jurusan Teknologi Pangan-UNPAS, Bandung.
Kurniati, R., (2006), Pengaruh Subtitusi Kacang Merah (Phaseolus vulgaris L.) dan Suhu
Pengeringan terhadap Karakteristik Dendeng Giling Ikan Patin (Pangasius sp), Tugas
Akhir, Program Sarjana, Jurusan Teknologi Pangan-UNPAS, Bandung.
Novianita, (2002), Pengaruh Penambahan Tepung Tapioka dan Susu Cair Terhadap
Karakteristik Nugget Ikan Tongkol, Tugas Akhir, Teknologi Pangan, UNPAS.
Tejopranoto, (1998), Mempelajari Sifat-sifat Analog Sosis Tempe, Skripsi, Fakultas Pertanian,
ITB, Bogor.
Winarno F.G., 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia, Jakarta.
Muchtadi, T.R. dan Sugiyono, 1992, Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan, PAU, IPB. Bogor.
Yulistiani, R., Sarofa, U., & Angastuti, T. (2013). SISTEM EMULSI SOSIS SINTETIS
DARI GLUTEN DAN RUMPUT LAUT (Euchema cottoni), 7(2), 151–166.

Anda mungkin juga menyukai