Anda di halaman 1dari 10

https://ruhcitra.wordpress.

com/2008/08/09/pembelajaran-kolaboratif/
Pembelajaran Kolaboratif versus Kooperatif
Dalam sebuah artikelnya Ted Panitz (1996) menjelaskan bahwa pembelajaran kolaboratif adalah suatu filsafat
personal, bukan sekadar teknik pembelajaran di kelas. Menurutnya, kolaborasi adalah filsafat interaksi dan gaya
hidup yang menjadikan kerjasama sebagai suatu struktur interaksi yang dirancang sedemikian rupa guna
memudahkan usaha kolektif untuk mencapai tujuan bersama. Pada segala situasi, ketika sejumlah orang berada
dalam suatu kelompok, kolaborasi merupakan suatu cara untuk berhubungan dengan saling menghormati dan
menghargai kemampuan dan sumbangan setiap anggota kelompok. Di dalamnya terdapat pembagian
kewenangan dan penerimaan tanggung jawab di antara para anggota kelompok untuk melaksanakan tindakan
kelompok. Pokok pikiran yang mendasari pembelajaran kolaboratif adalah konsensus yang terbina melalui
kerjasama di antara anggota kelompok sebagai lawan dari kompetisi yang mengutamakan keunggulan individu.
Para praktisi pembelajaran kolaboratif memanfaatkan filsafat ini di kelas, dalam rapat-rapat komite, dalam
berbagai komunitas, dalam keluarga dan secara luas sebagai cara hidup dan dalam berhubungan dengan
sesama.
John Myers (1991) merujuk pada kamus untuk menjelaskan definisi collaboration yang berasal dari akar kata
Latin dengan makna yang menitikberatkan proses kerjasama sedangkan kata cooperation berfokus pada produk
kerjasama itu. Selanjutnya Myers menunjukkan beberapa perbedaan di antara kedua konsep itu sebagai berikut:
Supporters of co-operative learning tend to be more teacher-centered, for example when forming heterogeneous
groups, structuring positive interdependence, and teaching co-operative skills. Collaborative learning advocates
distrust structure and allow students more say if forming friendship and interest groups. Student talk is stressed
as a means for working things out. Discovery and contextural approaches are used to teach interpersonal skills.
Such differences can lead to disagreements…. I contend the dispute is not about research, but more about the
morality of what should happen in the schools. Beliefs as to what should happen in the schools can be viewed as
a continuum of orientations toward curriculum from “transmission” to “transaction” to “transmission”. At one end is
the transmission position. As the name suggests, the aim of this orientation is to transmit knowledge to students
in the form of facts, skills and values. The transformation position at the other end of the continuum stresses
personal and social change in which the person is said to be interrelated with the environment rather than having
control over it. The aim of this orientation is self-actualization, personal or organizational change.
Bersandar pada pandangan tersebut, kecenderungan memilih menggunakan konsep kolaboratif dibandingkan
kooperatif dapat dimaklumi. Kendati demikian, penggunaan kedua konsep tersebut secara komplementer
tampaknya sulit dihindari. Slavin(1991:73), misalnya, mendefinisikan “Cooperative learning methods share the
idea that students work together to learn and are responsible for one another’s learning as well as their own.”
Atau lebih jelas lagi definisi yang dikemukakan Cohen (1994:3) sebagai berikut: “Cooperative learning will be
defined as students working together in a group small enough that everyone can participate on a collective task
that has been clearly assigned. Moreover, students are expected to carry out their task without direct and
immediate supervision of the teacher.”
Sementara itu Kagan (1990) mengemukakan definisi yang sangat baik tentang pembelajaran kooperatif dengan
melihat struktur umum yang dapat disesuaikan dengan berbagai situasi. Definisinya itu meliputi pandangan para
spesialis pembelajaran kooperatif seperti Johnsons, Slavin, Cooper, Graves dan Graves, Millis, etc. sebagai
berikut:
The structural approach to cooperative learning is based on the creation, analysis and systematic application of
structures, or content-free ways of organizing social inter-action in the classroom. Structures usually involve a
series of steps, with proscribed behavior at each step. An important cornerstone of the approach is the distinction
between “structures” and “activities”.
To illustrate, teachers can design many excellent cooperative activities, such as making a team mural or a quilt.
Such activities almost always have a specific content-bound objective and thus cannot be used to deliver a range
of academic content. Structures may be used repeatedly with almost any subject matter, at a wide range of grade
levels and at various points in a lesson plan.”
Pembelajaran kooperatif dipahami sebagai suatu rangkaian proses yang membantu para siswa dalam
berinteraksi bersama untuk mewujudkan tujuan spesifik yang telah disepakati. Dalam hal kewenangan guru,
pembelajaran kooperatif lebih bersifat direktif jika dibandingkan dengan pembelajaran kolaboratif karena kontrol
secara ketat yang dilakukan oleh guru: “While there are many mechanisms for group analysis and introspection
the fundamental approach is teacher centered whereas collaborative learning is more student
centered.” (Panitz:1996).
Senada dengan hal itu, Rocky Rockwood (1995) membagikan pengalamannya bahwa pembelajaran kooperatif
sangat sesuai untuk pendekatan penguasaan pengetahuan/ keterampilan dasar. Baru ketika para siswa sudah
menjadi semakin terampil, mereka siap untuk pembelajaran kolaboratif, siap untuk berdiskusi dan menilai. Pada
bagian lain artikelnya tersebut, ia juga menjelaskan perbandingan antara pembelajaran kolaboratif dan kooperatif
dengan terlebih dulu memahami kesamaan keduanya, yakni: 1) menggunakan kelompok; 2) memberikan tugas
yang spesifik; 3) saling berbagi di antara kelompok; dan 4) membandingkan prosedur dan kesimpulan dalam
kelompok pleno (seluruh kelas).
Sedangkan perbedaan yang paling nyata di antara keduanya adalah kenyataan bahwa pembelajaran kooperatif
berkaitan erat dengan pengetahuan tradisional (kanonik) sementara pembelajaran kolaboratif terkait dengan
gerakan konstruktivis sosial yang menegaskan bahwa pengetahuan dan otoritas pengetahuan telah berubah
secara dramatis pada akhir abad yang lalu. Akibatnya adalah terjadi transisi dari pemahaman pengetahuan
secara foundational (kognitif) ke nonfoundational ground sebagaimana diungkapkan oleh Bruffe (1993): “We
understand knowledge to be a social construct and learning a social process”. Selanjutnya Rockwood
menjelaskan:
In the ideal collaborative environment, the authority for testing and determining the appropriateness of the group
product rests with, first, the small group, second, the plenary group (the whole class) and finally (but always
understood to be subject to challenge and revision) the requisite knowledge community (i.e. the discipline:
geography, history, biology etc.) The concept of non-foundational knowledge challenges not only the product
acquired, but also the process employed in the acquisition of foundational knowledge.
Most importantly, in cooperative, the authority remains with the instructor, who retains ownership of the task,
which involves either a closed or a closable (that is to say foundational) problem (the instructor knows or can
predict the answer). In collaborative, the instructor – once the task is set – transfers all authority to the group. In
the ideal, the group’s task is always open ended.
Seen from this perspective, cooperative does not empower students. It employs them to serve the instructor’s
ends and produces a “right” or acceptable answer. Collaborative does truly empower and braves all the risks of
empowerment (for example, having the group or class agree to an embarrassingly simplistic or unconvincing
position or produce a solution in conflict with the instructor’s).
Every person, Brufee holds, belongs to several “interpretative or knowledge communities” that share
vocabularies, points of view, histories, values, conventions and interests. The job of the instructor is to help
students learn to negotiate the boundaries between the communities they already belong to and the community
represented by the teacher’s academic discipline, which the students want to join. Every knowledge community
has a core of foundational knowledge that its members consider as given (but not necessarily absolute). To
function independently within a knowledge community, the fledgling scholar must master enough material to
become conversant with the community.
Sehubungan dengan hakikat pendidikan nilai, ada asumsi bahwa penerapan pembelajaran kolaboratif dipandang
lebih sesuai dibandingkan dengan pembelajaran kooperatif. Pemilihan ini juga didasarkan pada
pendapat Myers (1991) yang mengusulkan orientasi “transaction” sebagai kompromi di antara tarik-menarik
kedua metodologi tersebut.
This orientation views education as a dialogue between the student and the curriculum. Students are viewed as
problem solvers. Problem solving and inquiry approaches stressing cognitive skills and the ideas of Vygotsky,
Piaget, Kohlberg and Bruner are linked to transaction. This perspective views teaching as a “conversation” in
which teachers and students learn together through a process of negotiation with the curriculum to develop a
shared view of the world.
Definisi dan Pengertian Pembelajaran Kolaboratif
Dari berbagai keterangan tersebut, dapat direkonstruksi unsur-unsur pembelajaran kolaboratif sebagai berikut:
suatu filsafat pengajaran, bukan serangkaian teknik untuk mengurangi tugas guru dan mengalihkan tugas-
tugasnya kepada para siswa. Hal terakhir ini perlu ditekankan karena mungkin begitulah kesan banyak orang
tentang pembelajaran kolaboratif. Mereka merasa bahwa tidak ada yang dapat menandingi pembelajaran
konvensional, yang menempatkan guru sebagai satu-satunya pemegang otoritas pembelajaran di kelasnya.
Meskipun demikian, tidak ada maksud untuk meremehkan seluruh metode pembelajaran konvensional
(tradisional). Namun, pembelajaran konvensional kurang efektif untuk menumbuhkembangkan minat belajar
siswa terhadap bahan-bahan pembelajaran. Mungkin saja para siswa mempelajari lebih banyak materi pelajaran
dalam pembelajaran konvensional, tetapi mungkin pula mereka akan segera melupakannya jika tidak
terinternalisasi dalam perubahan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai yang dipelajari.
Padahal, Gagne (1992:6) mengartikan pembelajaran bertolak dari hakikat belajar sebagai berikut:
Changes in behavior of human beings and in their capabilities for particular behaviors take place following their
experience within certain indentifiable situations. These situations stimulate the individual in such a way as to
bring about the change in behavior. The process that makes such change happen is called learning, and the
situations that sets the process into effect is called a learning situation.
Dengan demikian, pembelajaran kolaboratif dapat didefinisikan sebagai filsafat pembelajaran yang memudahkan
para siswa bekerjasama, saling membina, belajar dan berubah bersama, serta maju bersama pula. Inilah filsafat
yang dibutuhkan dunia global saat ini. Bila orang-orang yang berbeda dapat belajar untuk bekerjasama di dalam
kelas, di kemudian hari mereka lebih dapat diharapkan untuk menjadi warganegara yang lebih baik bagi bangsa
dan negaranya, bahkan bagi seluruh dunia. Akan lebih mudah bagi mereka untuk berinteraksi secara positif
dengan orang-orang yang berbeda pola pikirnya, bukan hanya dalam skala lokal, melainkan juga dalam skala
nasional bahkan mondial.
Jelaslah bahwa pembelajaran kolaboratif lebih daripada sekadar kooperatif. Jika pembelajaran kooperatif
merupakan teknik untuk mencapai hasil tertentu secara lebih cepat, lebih baik, setiap orang mengerjakan bagian
yang lebih sedikit dibandingkan jika semua dikerjakannya sendiri, maka pembelajaran kolaboratif mencakup
keseluruhan proses pembelajaran, siswa saling mengajar sesamanya. Bahkan bukan tidak mungkin, ada
kalanya siswa mengajar gurunya juga.
Pembelajaran kolaboratif memudahkan para siswa belajar dan bekerja bersama, saling menyumbangkan
pemikiran dan bertanggung jawab terhadap pencapaian hasil belajar secara kelompok maupun individu. Berbeda
dengan pembelajaran konvensional, tekanan utama pembelajaran kolaboratif maupun kooperatif adalah “belajar
bersama”.
Tetapi, dalam perspektif ini tidak semua “belajar bersama” dapat digolongkan sebagai belajar kooperatif, apalagi
kolaboratif. Bila para siswa di dalam suatu kelompok tidak saling menyumbangkan pikiran dan bertanggung
jawab terhadap pencapaian hasil belajar secara kelompok maupun individu, kelompok itu tak dapat digolongkan
sebagai kelompok pembelajaran kolaboratif. Kelompok itu mungkin merupakan kelompok pembelajaran
kooperatif atau bahkan sekadar belajar bersama-sama.
Inti pembelajaran kolaboratif adalah bahwa para siswa belajar dalam kelompok-kelompok kecil. Antaranggota
kelompok saling belajar dan membelajarkan untuk mencapai tujuan bersama. Keberhasilan kelompok adalah
keberhasilan individu dan demikian pula sebaliknya.
Pembelajaran Kolaboratif versus Konvensional
Pembelajaran kolaboratif dilandasi oleh pandangan konstruktivistik yang berpegang pada premis bahwa
pengetahuan diperoleh sebagai akibat dari proses konstruksi yang berkesinambungan di dalam diri setiap
pebelajar. Kaum konstruktivis menekankan belajar bukan dalam hubungannya dengan otoritas eksternal,
melainkan konstruksi pengetahuan oleh pebelajar sendiri. Pendekatan konstruktivistik dalam belajar mengajar
sesungguhnya didasarkan pada kombinasi dari serangkaian riset dalam psikologi kognitif dan psikologi sosial,
sebagaimana teknik-teknik pengubahan perilaku didasarkan pada teori pengandaian dalam psikologi tingkah
laku. Premis dasarnya ialah bahwa seorang pebelajar mandiri harus secara aktif membentuk pengetahuan dan
keterampilan-keterampilannya sendiri dan bahwa informasi yang ada di dalam konstruksi yang terbentuk secara
internal itu melebihi yang tersaji di lingkungan eksternal. Dengan demikian, pendekatan konstruktivistik
menekankan pembentukan perilaku internal yang dengan sendirinya memengaruhi perilaku eksternal lebih
daripada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar.
Menurut filsafat konstruktivisme, pengetahuan merupakan bentukan siswa yang sedang belajar. Para
konstruktivis radikal yang dipelopori Ernst von Glassersfeld (1995) bahkan menyatakan bahwa “pengetahuan”
tidak bisa dipisahkan dari “mengetahui”. Dengan perkataan lain, konstruktivisme dapat dianggap sebagai proses
belajar yang membentuk pengetahuan lewat hal-hal yang sudah diketahui sebelumnya. Lebih lanjut, kaum
konstruktivis sosial percaya bahwa interaksi sosial sangat penting bagi setiap individu dalam membentuk
pengetahuannya. Demikianlah siswa membentuk pengetahuannya, yaitu lewat interaksi dengan bahan yang
dipelajari atau pengalaman baru melalui indranya dan hal itu dapat dilakukan secara personal maupun sosial.
Glassersfeld mengutip pandangan Tobin dan Tippins (1993) yang menggunakan istilah konstruktivisme kritis
(critical constructivism) untuk memasukkan aturan pribadi (self-regulation) yang mewujudnyatakan kepercayaan-
kepercayaan psikologis, etis, moral, dan politis ke dalam bentukan pengetahuan sedemikian hingga diperoleh
pengetahuan komprehensif yang tak pernah berhenti membina dirinya sendiri. Sesungguhnya pandangan ini
bukanlah hal baru, melainkan merupakan pengembangan diktum Giambatista Vico, pelopor filsafat
konstruktivisme pada awal abad ke-18: “Verum ipsum factum” (Kebenaran menyatakan dirinya sendiri), maupun
adagium terkenal Rene Descartes: “Cogito, ergo sum” (Aku berpikir, maka aku ada) atau ucapan senada
oleh George Berkeley: “Esse est percipi” (Ada adalah karena persepsi).
Glassersfeld tidak percaya bahwa kompetensi pengetahuan dapat dicapai hanya dengan
sistem drill (pembiasaan dan kiat instan untuk menjawab soal dengan benar, meskipun tidak cukup
dimengerti). “Only the student who has built up such a conceptual repertoire has a chance of success when
faced with novel problem. Concepts cannot simply be transferred from teachers to students – they have to be
conceived.” Pengetahuan tidak dapat ditransfer begitu saja oleh guru kepada siswa apabila siswa tidak terlibat
aktif membentuknya dalam dirinya sendiri.
Glassersfeld juga mengutip J. Bruner (1990) dan G. Kearsley (1999) yang mengajukan tiga prinsip
pembelajaran konstruktivistik sebagai berikut:

1. Instruksi harus berkaitan dengan pengalaman dan konteks yang mendorong siswa untuk mau dan
mampu belajar (readines);
2. Instruksi harus disusun sedemikian rupa hingga dapat dengan mudah dimengerti siswa (spiral
organization);
3. Instruksi hendaknya didesain untuk memfasilitasi ekstrapolasi dan/ atau menguruk jurang pemisah
(going beyond the information given).

Para pendukung pendekatan konstruktivistik menganjurkan agar para pendidik pertama-tama menyadari
pengetahuan dan pengalaman-pengalaman yang sudah dimiliki siswa dalam proses pembelajaran sebelumnya.
Kurikulum yang kemudian disusun hendaknya memungkinkan siswa untuk memperluas dan membentuk
pengetahuan dan pengalaman mereka itu lewat proses menghubungkan pengetahuan dan pengalaman itu
dengan hal-hal baru yang akan dipelajari.
Pandangan konstruktivistik berbeda dengan pendekatan behavioristik yang terlebih dulu menentukan
pengetahuan atau keterampilan apa yang perlu dimiliki siswa dan kemudian membentuk kurikulum yang
dianggap sesuai untuk pengembangan diri mereka. Padahal, jika mulai dengan menentukan pengetahuan yang
harus diperoleh siswa sebelum kita memastikan hasil akhir yang dikehendaki, kita akan membatasi siswa yang
tidak memiliki persiapan yang memadai. Siswa yang demikian mungkin saja membentuk keterampilan berpikir
yang kemudian mencukupi, tetapi ia akan menghadapi jurang yang memisahkan pengetahuannya dengan
keterampilan-keterampilan yang dituntut.
Di sisi lain, jika kita hanya berfokus pada tujuan-tujuan akhir yang diharapkan, khususnya tujuan-tujuan
pengetahuan, dengan mengabaikan pengetahuan maupun latar belakang siswa, kita menghadapi risiko
pengembangan pengetahuan dan keterampilan yang tidak berarti apa-apa dan karenanya akan mudah
terlupakan.
Pendekatan konstruktivistik dalam pembelajaran dijelaskan dengan baik oleh Merril(1992:102): “There is no
shared reality, learning is a personal interpretation of the world … meaning is a negotiated from multiple
perspectives.”
Sedangkan Cunningham (1992:157) memaparkan epistemologi pendekatan konstruktivistik dalam
pembelajaran sebagai berikut:
At the heart of constructivism is the notion that knowledge is constructed, which in the present instance means
that our theoretical views are personal creations, embedded in a social context, within a social community that
accepts the assumptions underlying the perspective.
Duffy dan Jonassen (1992) serta Garrison (1993) menyimpulkan: (a) realitas dapat dibentuk melalui banyak
cara; (b) setiap konsep dapat dilihat dari sudut pandang yang berbeda; (c) tidak ada jawaban tunggal tentang
kebenaran; (d) bentukan pengetahuan individual bergantung pada pengetahuan dan pengalaman sebelumnya.
Pengetahuan adalah interpretasi personal dan tak dapat dialihkan ke dalam pikiran seorang individu jika ia
sendiri tidak membentuk pengetahuannya melalui komunikasi. Siswa menjadi partisipan aktif dalam proses
pembelajaran seumur hidup yang akan memampukannya sebagai pemecah masalah karena ia dapat melihat
suatu masalah melalui berbagai sudut pandang.
Belajar tentang dunia tidak dilakukan dalam vakum sosial. Pembelajaran bukan bersifat student’s “correct”
replication dari perilaku guru, melainkan student’s succesful organization of his or her own experiences (Driver &
Leach. 1993: 104). Sekolah dapat dipandang sebagai “masyarakat mini”, tempat para siswa belajar
mengaktualisasikan diri dalam interaksi dengan lingkungan sosialnya. Lebih kecil lagi, dalam kegiatan belajar
mengajar, lingkungan kelas pun merupakan setting sosial untuk mendukung konstruksi pengetahuan,
sebagaimana dikatakan Waras (1997): “Lingkungan belajar juga mencakup organisasi sosial dan interaksi antara
siswa-guru dan siswa-siswa.”
Mengutip pandangan Driver dan Leach (1993) serta Connor (1990), Waras (1997) merinci karakteristik
lingkungan kelas yang berperspektif konstruktivis antara lain sebagai berikut:

1. siswa tidak dipandang secara pasif, tetapi aktif untuk belajar mereka sendiri – mereka membawa
konsepsi mereka ke dalam situasi belajar;
2. belajar mengutamakan proses aktif siswa mengkonstruksi makna, dan acapkali dengan melalui
negosiasi interpersonal;
3. pengetahuan tidak bersifat “out there”, tetapi terkonstruk secara personal dan secara sosial;
4. guru juga membawa konsepsi mereka ke dalam situasi belajar, tidak hanya dalam hal pengetahuan
mereka, tetapi juga pandangan mereka terhadap belajar dan mengajar yang dapat memengaruhi cara
mereka berinteraksi dengan siswa di dalam kelas;
5. pengajaran bukan mentransmisi pengetahuan tetapi mencakup organisasi situasi di dalam kelas dan
desain tugas yang memudahkan siswa menemukan makna; dan
6. kurikulum bukan sesuatu yang perlu dipelajari tetapi program-program tugas belajar, bahan-bahan,
sumber-sumber lain, dan wacana dari mana siswa mengkonstruk pengetahuan mereka.

Demikianlah dalam pembelajaran kolaboratif diciptakan lingkungan sosial yang kondusif untuk terlaksananya
interaksi yang memadukan segenap kemauan dan kemampuan belajar siswa. Lingkungan yang dibentuk berupa
kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari empat atau lima siswa pada setiap kelas dengan anggota-anggota
kelompok yang sedapat mungkin tidak bersifat homogen. Artinya, anggota-anggota suatu kelompok diupayakan
terdiri dari siswa laki-laki dan perempuan, siswa yang relatif aktif dan yang kurang aktif, siswa yang relatif pintar
dan yang kurang pintar. Dengan komposisi sedemikian itu dapat diharapkan terlaksananya
peran tutor beserta tutee antarteman dalam setiap kelompok.
Perbedaan yang bersifat mendasar antara metode pembelajaran kolaboratif dan konvensional dapat
ditabulasikan sebagai berikut:
Perbedaan Pembelajaran Kolaboratif dan Konvensional

Pembelajaran Kolaboratif Pembelajaran Konvensional


Siswa belajar secara berkelompok Siswa belajar secara klasikal
Antarsiswa berkolaborasi Antarsiswa berkompetisi (bersaing)
(bekerjasama)
Keberhasilan individu siswa Keberhasilan individu siswa tidak
bergantung pula pada keberhasilan bergantung pada keberhasilan
teman, terutama dalam teman-temannya
kelompoknya
Filsafat yang mendasari Filsafat yang mendasari
pengetahuan diperoleh siswa pengetahuan diperoleh melalui
melalui interaksi antara transfer/ transmisi dari guru kepada
pancaindranya dengan lingkungan siswa
kelompoknya
Menurut Johnsons (1974), sekurang-kurangnya terdapat lima unsur dasar agar dalam suatu kelompok terjadi
pembelajaran kooperatif/ kolaboratif, yaitu:

1. Saling ketergantungan positif. Dalam pembelajaran ini setiap siswa harus merasa bahwa ia bergantung
secara positif dan terikat dengan antarsesama anggota kelompoknya dengan tanggung jawab: (1)
menguasai bahan pelajaran; dan (2) memastikan bahwa semua anggota kelompoknya pun
menguasainya. Mereka merasa tidak akan sukses bila siswa lain juga tidak sukses.
2. Interaksi langsung antarsiswa. Hasil belajar yang terbaik dapat diperoleh dengan adanya komunikasi
verbal antarsiswa yang didukung oleh saling ketergantungan positif. Siswa harus saling berhadapan
dan saling membantu dalam pencapaian tujuan belajar.
3. Pertanggungajawaban individu. Agar dalam suatu kelompok siswa dapat menyumbang, mendukung
dan membantu satu sama lain, setiap siswa dituntut harus menguasai materi yang dijadikan pokok
bahasan. Dengan demikian setiap anggota kelompok bertanggung jawab untuk mempelajari pokok
bahasan dan bertanggung jawab pula terhadap hasil belajar kelompok.
4. Keterampilan berkolaborasi. Keterampilan sosial siswa sangat penting dalam pembelajaran. Siswa
dituntut mempunyai keterampilan berkolaborasi, sehingga dalam kelompok tercipta interaksi yang
dinamis untuk saling belajar dan membelajarkan sebagai bagian dari proses belajar kolaboratif.
5. Keefektifan proses kelompok. Siswa memproses keefektifan kelompok belajarnya dengan cara
menjelaskan tindakan mana yang dapat menyumbang belajar dan mana yang tidak serta membuat
keputusan-keputusan tindakan yang dapat dilanjutkan atau yang perlu diubah.

Macam-macam Pembelajaran Kolaboratif


Ada banyak macam pembelajaran kolaboratif yang pernah dikembangkan oleh para ahli maupun praktisi
pendidikan, teristimewa oleh para ahli Student Team Learning pada John Hopkins University. Tetapi hanya
sekitar sepuluh macam yang mendapatkan perhatian secara luas, yaitu:

1. Learning Together. Dalam metode ini kelompok-kelompok sekelas beranggotakan siswa-siswa yang
beragam kemampuannya. Tiap kelompok bekerjasama untuk menyelesaikan tugas yang diberikan oleh
guru. Satu kelompok hanya menerima dan mengerjakan satu set lembar tugas. Penilaian didasarkan
pada hasil kerja kelompok.
2. Teams-Games-Tournament (TGT). Setelah belajar bersama kelompoknya sendiri, para anggota suatu
kelompok akan berlomba dengan anggota kelompok lain sesuai dengan tingkat kemampuan masing-
masing. Penilaian didasarkan pada jumlah nilai yang diperoleh kelompok.
3. Group Investigation (GI). Semua anggota kelompok dituntut untuk merencanakan suatu penelitian
beserta perencanaan pemecahan masalah yang dihadapi. Kelompok menentukan apa saja yang akan
dikerjakan dan siapa saja yang akan melaksanakannya berikut bagaimana perencanaan penyajiannya
di depan forum kelas. Penilaian didasarkan pada proses dan hasil kerja kelompok.
4. Academic-Constructive Controversy (AC). Setiap anggota kelompok dituntut kemampuannya untuk
berada dalam situasi konflik intelektual yang dikembangkan berdasarkan hasil belajar masing-masing,
baik bersama anggota sekelompok maupun dengan anggota kelompok lain. Kegiatan pembelajaran ini
mengutamakan pencapaian dan pengembangan kualitas pemecahan masalah, pemikiran kritis,
pertimbangan, hubungan antarpribadi, kesehatan psikis dan keselarasan. Penilaian didasarkan pada
kemampuan setiap anggota maupun kelompok mempertahankan posisi yang dipilihnya.
5. Jigsaw Proscedure (JP). Dalam bentuk pembelajaran ini, anggota suatu kelompok diberi tugas yang
berbeda-beda tentang suatu pokok bahasan. Agar setiap anggota dapat memahami keseluruhan pokok
bahasan, tes diberikan dengan materi yang menyeluruh. Penilaian didasarkan pada rata-rata skor tes
kelompok.
6. Student Team Achievement Divisions (STAD). Para siswa dalam suatu kelas dibagi menjadi beberapa
kelompok kecil. Anggota-anggota dalam setiap kelompok saling belajar dan membelajarkan
sesamanya. Fokusnya adalah keberhasilan seorang akan berpengaruh terhadap keberhasilan
kelompok dan demikian pula keberhasilan kelompok akan berpengaruh terhadap keberhasilan individu
siswa. Penilaian didasarkan pada pencapaian hasil belajar individual maupun kelompok.
7. Complex Instruction (CI). Metode pembelajaran ini menekankan pelaksanaan suatu proyek yang
berorientasi pada penemuan, khususnya dalam bidang sains, matematika dan pengetahuan sosial.
Fokusnya adalah menumbuhkembangkan ketertarikan semua anggota kelompok terhadap pokok
bahasan. Metode ini umumnya digunakan dalam pembelajaran yang bersifat bilingual (menggunakan
dua bahasa) dan di antara para siswa yang sangat heterogen. Penilaian didasarkan pada proses dan
hasil kerja kelompok.
8. Team Accelerated Instruction (TAI). Bentuk pembelajaran ini merupakan kombinasi antara
pembelajaran kooperatif/ kolaboratif dengan pembelajaran individual. Secara bertahap, setiap anggota
kelompok diberi soal-soal yang harus mereka kerjakan sendiri terlebih dulu. Setelah itu dilaksanakan
penilaian bersama-sama dalam kelompok. Jika soal tahap pertama telah diselesaikan dengan benar,
setiap siswa mengerjakan soal-soal tahap berikutnya. Namun jika seorang siswa belum dapat
menyelesaikan soal tahap pertama dengan benar, ia harus menyelesaikan soal lain pada tahap yang
sama. Setiap tahapan soal disusun berdasarkan tingkat kesukaran soal. Penilaian didasarkan pada
hasil belajar individual maupun kelompok.
9. Cooperative Learning Stuctures (CLS). Dalam pembelajaran ini setiap kelompok dibentuk dengan
anggota dua siswa (berpasangan). Seorang siswa bertindak sebagai tutor dan yang lain
menjadi tutee. Tutor mengajukan pertanyaan yang harus dijawab oleh tutee. Bila jawaban tutee benar,
ia memperoleh poin atau skor yang telah ditetapkan terlebih dulu. Dalam selang waktu yang juga telah
ditetapkan sebelumnya, kedua siswa yang saling berpasangan itu berganti peran.
10. Cooperative Integrated Reading and Composition (CIRC). Model pembelajaran ini mirip dengan TAI.
Sesuai namanya, model pembelajaran ini menekankan pembelajaran membaca, menulis dan tata
bahasa. Dalam pembelajaran ini, para siswa saling menilai kemampuan membaca, menulis dan tata
bahasa, baik secara tertulis maupun lisan di dalam kelompoknya.

Penyebutan dan penjelasan singkat tentang macam-macam pembelajaran tersebut diurutkan berdasarkan saat
pelaksanaan penelitian awalnya oleh para ahli sebagaimana tampak pada Tabel Modern Methods of Cooperative
Learning (Johnson et.al.:2000).
Seberapa banyak pun macam metode pembelajaran kooperatif/ kolaboratif yang pernah dikembangkan para
ahli, Slavin (1995:12) merinci enam karakteristik dasar masing-masing, yaitu: (1) tujuan kelompok (group goals);
(2) tanggung jawab individual (individual accountability); (3) kesempatan yang sama untuk menapai keberhasilan
(equal opportunities for success); (4) kompetisi antarkelompok (team competition); (5) pengkhususan tugas (task
specialization); dan (6) adaptasi terhadap kebutuhan-kebutuhan individu (adaptation to individual needs).
Modern Methods Of Cooperative Learning

Researcher- Date Method


Developer
Johnson & Johnson Mid 1960s Learning Together & Alone
DeVries & Edwards Early 1970s Teams-Games-Tournaments (TGT)
Sharan & Sharan Mid 1970s Group Investigation
Johnson & Johnson Mid 1970s Constructive Controversy
Aronson & Late 1970s Jigsaw Procedure
Associates
Slavin & Associates Late 1970s Student Teams Achievement
Divisions (STAD)
Cohen Early 1980s Complex Instruction
Slavin & Associates Early 1980s Team Accelerated Instruction
(TAI)
Kagan Mid 1980s Cooperative Learning Structures
Stevens, Slavin, & Late 1980s Cooperative Integrated Reading &
Associates Composition (CIRC)
Pemanfaatan Komputer dalam Pembelajaran
Pembelajaran dengan bantuan komputer atau Computer Assisted Instruction (CAI) adalah pengajaran yang
menggunakan komputer sebagai alat bantu. Kemajuan teknologi komputer (informatika) bahkan memungkinkan
komputer berperan komplementer dengan dan sebagai instruktur dengan kemampuan, antara lain seperti yang
dirinci Nasution (2000, 60-61) sebagai berikut:

 menyimpan bahan pelajaran yang dapat dimanfaatkan kapan saja diperlukan;


 memberikan informasi tentang berbagai referensi dan sumber-sumber serta alat audio-visual yang
tersedia;
 memberikan informasi tentang ruangan belajar, murid-murid dan tenaga pengajar;
 memberikan informasi tentang hasil belajar murid; dan
 menyarankan kegiatan-kegiatan belajar yang diperlukan oleh seorang murid serta menilai kembali
pekerjaan murid pada waktunya serta memberi tugas-tugas baru untuk dikerjakan selanjutnya.

Dengan singkat dapat dipahami bahwa komputer telah membuka berbagai kemungkinan yang dapat
dimanfaatkan guna pendidikan.
Pemanfaatan Internet dalam Metode Pembelajaran Kolaboratif
Pengalaman yang dilaporkan Annete de Jager dalam The Use of Internet: An Alternative Learning
Experience oleh peneliti digunakan sebagai acuan untuk mendukung pembelajaran kolaboratif yang ditelitinya.
Secara umum diakui bahwa internet telah menyediakan diri sebagai referensi yang murah-meriah bagi mereka
yang hendak mengubah wajah dunia.
Percepatan perkembangan dunia ternyata juga telah menuntut pengembangan berbagai alternatif perspektif
pembelajaran. Pemikiran tentang strategi baru dalam pembelajaran dikemukakan oleh Azimov (1996): “I do not
fear computers. I fear the lack of them.” dan Papert (1992): “… the competitive ability is the ability to learn … new
ways of thinking.”
Dipandang dari segi bisnis, sekolah adalah lembaga yang menawarkan pendidikan. Salah satu produk
pendidikan adalah pengetahuan: pengetahuan tentang diri sendiri, dunia, lingkungan, dan
sebagainya. Robinson (1994:106) melaporkan bahwa perkembangan pengetahuan terjadi secara eksponensial
setiap dua setengah tahun. Tetapi hingga kini kiranya belum pernah ada upaya membandingkan waktu antara
suatu informasi dapat dipublikasikan pada internet dengan waktu yang dibutuhkan untuk menerbitkan buku-buku
dan menjajakannya di toko-toko.
Pada kenyataannya perkembangan teknologi informatika yang sedemikian pesat telah membuktikan bahwa
internet telah bersicepat dengan sumber-sumber informasi lain dalam penyampaian informasi terbaru. Masa
depan adalah milik mereka yang memiliki akses hampir ke seluruh informasi tanpa batas itu dan mereka yang
mampu menjadikan informasi diterima secepat mungkin.
Isu-isu utama yang dimuat dalam White Paper (1995) mencakup: pendidikan berkualitas tinggi, integrasi
teknologi, pembelajaran seumur hidup, komunikasi, keterampilan berpikir kritis dan mandiri, calon-calon yang
dipersiapkan dengan baik untuk memasuki pendidikan tinggi dan pembinaan karir.
Sementara itu Wheatly (1991:15) dan Merrill (1992:11) menyimpulkan bahwa mayoritas siswa menganggap
matapelajaran berhubungan dengan problematika dari:

 sesuatu yang oleh para guru disampaikan begitu saja tanpa memberikan kesempatan kepada siswa
untuk menyusunnya sendiri;
 sesuatu yang harus dapat dijawab segera;
 sesuatu yang tidak akan terpecahkan jika siswa tak menemukan jawabannya dalam waktu lima menit;
 sesuatu yang jika sudah dikuasai akan memberikan nilai A.

Untuk mencapainya, para guru pada umumnya menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar yang
berpola Stimulus-Response dan penilaian dilakukan dalam masa belajar tertentu dari tujuan-tujuan akhir
pembelajaran yang telah ditetapkan sebelumnya beserta dan di dalam kurikulum yang seragam.
Berdasarkan alasan penyebaran pengetahuan, isu-isu dalam White Paper dan kebutuhan-kebutuhan siswa,
jelaslah bahwa:

 Kualitas pendidikan menuntut adanya suatu alternatif strategi pembelajaran yang baru;
 Peranan guru sebagai sumber informasi harus diubah menjadi fasilitator pembelajaran (Carey
1993:107);
 Peranan siswa sebagai peserta pasif harus diubah menjadi peserta yang aktif terlibat dalam upaya
kolektif mengatasi masalah (Jonassen:1996).

Teknologi komputer dan pendekatan kognitif-konstruktivistik dalam pembelajaran membuka peluang emas untuk
memuaskan kebutuhan-kebutuhan itu (Bruder, 1992:18; Papert, 1992: 168). Hal senada diungkapkan
oleh Purbo et.al. (2002) sebagai berikut: “Konsep Knowledge Management belajar mandiri yang berbasis pada
kreativitas siswa dan mendorong siswa melakukan analisa hingga sintesa pengetahuan menghasilkan tulisan,
informasi dan pengetahuan sendiri menjadi fokus yang lebih mengarah ke masa depan. Siswa tidak lagi
dibombardir dengan doktrin ilmu pengetahuan, tetapi lebih dirangsang untuk mengeksplorasi pengetahuan dan
menjadi bagian integral proses pemurnian pengetahuan itu sendiri.”
Tahap-tahap Rancangan Kognitif-Konstruktivistik dan Komunikasi Elektronik
Perangkat lunak komputer dapat dibedakan menjadi dua, yakni perangkat lunak singledan perangkat
lunak multipurpose. Yang pertama mengarah pada drill, tutorial, simulasi, permainan dan referensi, sementara
yang kedua memasukkan pula pengolahkata, lembar kerja, pangkalan data, presentasi dan komunikasi
elektronik.
Komunikasi elektronik cocok dengan pembelajaran kognitif-konstruktivistik dan memberikan kesempatan kepada
partisipan aktif untuk belajar melalui aneka sudut pandang dan untuk menjadi pengolah informasi ke dalam
susunan jaringan semantik pengetahuan yang terhubung dengan pengetahuan yang diperoleh sebelumnya. Hal
ini diyakini akan dapat mengubah situasi pembelajaran konvensional yang masih diselenggarakan sekarang
seperti dikatakan oleh Kort (1996): “…the biggest failure of our system of education is the manner in which
learning has been transformed from a joyous experience into one of boredom and anxiety.” Kendati demikian
perlu pula diwaspadai peringatan Maddux (1994:40) bahwa: “… the Internet will likely remain a huge, unwieldly
collection of resources that is not completely understood by anyone.”
Lebih jauh, komunikasi elektronik memberikan akses ke informasi dan komunikasi yang nyaris tak terbatas.
Menurut de Jager, prinsip ini mengarah pada metodologi rancangan empat tahap pembelajaran kognitif-
konstruktivistik: persiapan, penyusunan gugus belajar, kesempatan belajar dan pelengkapannya.
Tahap persiapan

 Analisis terhadap perangkat keras dan perangkat lunak


 Analisis terhadap para siswa, apakah mereka cukup memahami cara menggunakan komputer dan
perangkat lunaknya
 Pokok bahasan dalam kurikulum yang sesuai
 Pengetahuan yang sudah dimiliki siswa sebelumnya.

Tahap penyusunan gugus belajar


Guru menyusun gugus belajar ke dalam waktu yang sesuai dengan problem otentik. Pebelajar menyusun tujuan-
tujuan mereka sendiri dan pertanyaan-pertanyaan untuk memecahkan permasalahan.
Kesempatan belajar
Siswa memiliki akses ke teknologi komputer dari tempat terpisah. Mereka memiliki kesempatan berkomunikasi
lewat e-mail dengan pribadi-pribadi lain atau kelompok layanan terdaftar, menjelajahi World Wide Web (WWW)
dan menggunakan referensi-referensi lain yang tersedia. Melalui e-mail, setiap kelompok melaporkan kepada
guru perkembangan aktivitasnya, atau menanyakan hal-hal tertentu dan mendiskusikan berbagai problem
keseharian.
Pelengkapan
Pada akhir kesempatan belajar, para siswa memiliki portofolio yang lengkap dari pemecahan masalah mereka
sendiri sebaik yang terdapat pada referensi, misalnya surat-surat (e-mail), hasil yang terdapat pada WWW, dan
sebagainya.
Penilaian
Penilaian berasal dari berbagai sudut pandang: guru-guru, teman-teman sekolah, orangtua, dan sebagainya.
Beri peringkat:

Anda mungkin juga menyukai