Najis

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 16

PENDAHULUAN

Masalah najis erat kaitannya dengan masalah ibadah, karena setiap ibadah
yang dilakukan oleh seorang muslim haruslah bersih dari segala najis. Dan
kebersihan seorang muslim menjadi ketentuan penting dalam hal kesempurnaan
pelaksanaan ibadah, baik yang fardhu’ maupun sunnah. Akan tetapi, tidak sedikit
dari kaum muslim yang belum bisa membedakan antara kotoran yang terhukumi
sebagai najis dengan kotoran yang tidak terhukumi sebagai najis. Dan najis yang
berupa kotoran dalam bentuk zhahir (nyata) dengan najis yang tidak berbentuk
zhahir (nyata) seperti kotoran. Oleh karena itu, artikel kali ini akan membahas
tentang najis, macam-macamnya dan cara membersihkannya.

1
PEMBAHASAN

A. Definisi Najis

An-Najaasah adalah bentuk plural dari najasah, yaitu semua yang dianggap
menjijikkan oleh orang yang bertabiat normal. Mereka menjaga diri darinya dan
mencuci pakaian mereka jika terkena olehnya, seperti kotoran dan air seni. Menurut
istilah syar’i, benda najis adalah benda yang haram disentuh secara mutlak, kecuali
jika dalam keadaan terpaksa, bukan karena benda tersebut haram atau kotor dan
bukan pula karena benda tersebut berbahaya untuk badan dan akal.1

Kata an-najaasah adalah lawan kata dari perkataan ath-thahaarah, dan perkataan
an-najas juga kebalikan kata ath-thahir. Kata al-anjaas merupakan bentuk jamak
dari kata najis, yaitu nama bagi benda yang kotor menurut pandangan syara’. Najis
terbagi menjadi 2 jenis, yaitu najis haqiqi dan najis hukmi. Dari segi bahasa, najis
haqiqi ialah benda-benda yang kotor seperti darah, air kencing, dan tahi. Dan
menurut syara’, ia adalah segala kotoran yang menghalangi sahnya shalat. Najis
hukmi ialah najis yang terdapat pada beberapa bagian anggota badan yang
menghalangi sahnya shalat. Najis ini mencakup hadast kecil yang dapat dihilangkan
dengan wudhu dan hadast besar (janabah) yang dapat dihilangkan dengan mandi.
Najis haqiqi terbagi kepada beberapa jenis, yaitu mughallazhah (berat),
mukhaffafah (ringan), najis yang keras, najis yang cair, najis yang dapat dilihat, dan
najis yang tidak dapat dilihat.2

 Najis menurut sudut pandang yang lain :

Najis ialah kotoran yang bagi setiap muslim wajib menyucikan diri daripadanya
dan menyucikan apa yang dikenainya.

Najis adalah semua benda yang dianggap kotor (menurut syari’at) dimana peletak
syariat memerintahkan agar dihindari.

Syaikh ‘Abdul ‘Azhim bin Badawi al-Khalafi menyebutkan dalam kitabnya al-Wajiz3,
najaasaat adalah bentuk jama’ atau plural dari kata najaasah, yaitu segala sesuatu yang
dianggap kotor oleh orang-orang yang bertabiat baik lagi selamat dan mereka menjaga diri
darinya, mencuci pakaian yang terkena benda-benda najis tersebut.

Syaikh Sa’id Al-Qaththani menyebutkan definisi najis sebagai kotoran yang harus
dibersihkan dan dicuci pada bagian yang terkena olehnya.4

1
(Ensiklopedi Tarjih Masalah Thaharah dan Shalat, hal. 26)
2
Menurut pendapat mazhab hanafi
3
Kitab al Wajiz halaman 57
4
Ensiklopedi Shalat Menurut Al-Qur’an dan AsSunnah, I/13

2
 Tidak Semua yang Haram dan Kotor itu Najis

Tidak semua yang haram itu najis. Contohnya, emas haram dipakai oleh kaum
lelaki, tapi emas itu tidak najis. Dan juga tidak semua yang kotor itu najis, misalnya
ingus dan ludah itu kotor, tapi tidak najis. Pada asalnya, segala sesuatu adalah
mubah dan suci, oleh karena itu untuk menghukumi najis atau tidaknya sesuatu,
maka haruslah membawa dalil yang kuat. Maka, tidak boleh mengatakan najis
untuk sesuatu kecuali dengan mengemukakan hujjah. Dan inilah pendapat yang
kuat.5

 Beberapa permasalahan yang berkaitan dengan najis :

1. Hukum asal semua benda adalah suci, sampai ada atau nampak najis yang
mencampurinya.

2. Apabila suatu benda terkena najis dan sulit diketahui batasannya, maka benda
tersebut harus dicuci keseluruhannya.

3. Jika najis berubah bentuk, seperti tahi binatang yang kering berubah menjadi abu
karena terbakar, maka hukumnya menjadi suci.

B. Klasifikasi Najis

 Najis menurut kondisinya ada dua macam :

1) Najis aini atau hakiki, yaitu najis yang tidak bisa disucikan dalam kondisi
apapun, karena zatnya najis, seperti kotoran keledai, darah, dan air kencing.

2) Najis hukmi, yaitu suatu kondisi najis yang ada pada anggota tubuh. Ia
menghalangi shalat, dan mencakup hadast kecil yang hilang dengan cara
berwudhu seperti buang air besar, dan hadat besar yang hilang dengan cara
mandi, seperti junub.

 Najis mempunyai dua sifat utama :

1) Sebuah benda. Hal ini untuk membedakan najis dengan hadats. Artinya, najis
itu harus berupa benda sedangkan hadats tidak harus. Keluar angin (kentut)
misalnya, dia termasuk hadats tetapi tidak termasuk najis.

2) Kotor. Tidak ada barang najis kecuali kotor. Bila dianggap oleh sebagian
pihak sebagai barang yang suci, maka akalnya perlu dipertanyakan.

5
Al Wajiiz, hal. 57 dan Ensiklopedi Tarjih, hal. 32

3
 Najis berdasarkan macam cara menghilangkannya ada 3, yaitu :

1) Najis Mukhoffafah (najis ringan), yaitu najis yang cara menghilangkannya


cukup dengan memercikkan air ke tempat yang terkena najis (tidak harus
dicuci). Najis yang masuk kategori ini adalah :

a) Kencing anak laki-laki yang belum memakan makanan lain sebagai


makanan pokok selain ASI (Air Susu Ibu).

ِ ‫ض ُح َوبَ ْو ُل ْال َج‬


َ ‫اريَ ِة يُ ْغ‬
‫س ُل‬ َ ‫بَ ْو ُل ْالغُ ََل ِم يُ ْن‬

Kencing anak kecil laki-laki (yang belum makan selain ASI) cukup
dipercikkan, sedangkan kencing anak perempuan harus dicuci (H.R Ibnu
Majah)

b) Madzi : cairan tipis dan lengket yang keluar dari kemaluan karena
bangkitnya syahwat. Sahl bin Hunaif pernah bertanya kepada Rasulullah
shollallalahu ‘alaihi wasallam:

2) Najis Mutawassithah (najis pertengahan), yaitu najis yang cara


menghilangkannya dengan cara mencuci dengan air (atau media lain)
sampai hilang najis tersebut. Najis yang masuk kategori ini adalah:

a) Kencing dan kotoran manusia (selain anak kecil laki yang hanya
makan ASI).

b) Kencing dan kotoran hewan-hewan tertentu yang terdapat dalil


kenajisannya.

c) Wadi, cairan putih yang keluar mengiringi kencing atau keluar


karena keletihan.

d) Darah haidh dan nifas.

e) Bangkai, yaitu binatang yang mati tidak melalui penyembelihan


syar’i.

f) Babi, (Q.S al-An’aam:145)

g) Daging keledai piaraan. Pada perang Khaibar Nabi


mengharamkan daging keledai jinak (piaraan) dan menyatakan
bahwa itu najis (H.R al-Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik)

4
3) Najis Mughalladzhah (najis berat),yaitu najis yang cara
menghilangkannya adalah dengan mencuci bagian yang terkena najis 7 kali
dan salah satunya dengan tanah. Najis ini adalah najisnya jilatan anjing.

C. Macam-macam Najis

Berikut merupakan beberapa macam najis berdasarkan dalil al Quran dan Hadis :

1. Kotoran Manusia

Yaitu tinja serta air kencing keturunan Adam secara mutlak. Berdasarkan
dalil-dalil shahih yang menunjukan kepastian tentang hal tersebut. Bahkan najisnya
kedua hal tersebut termasuk permasalahan yang sifatnya sangat penting dalam
Islam.

Adapun tinja, sebagaimana yang ditunjukkan dalam hadis dari Abu Sai’d r.a,
Rasulullah s.a.w bersabda :

“Apabila salah seorang di antara kalian medantangi masjid. Maka hendakla ia


membalikkan kedua sandalnya lalu melihat dengan teliti bahagian bawah keda
sandal tersebut. Apabila ia melihat ada kotoran maka ia harus mengusapnya ke
tanah, kemudian ia solat denga mengenakan kedua sandal tersebut”. (HR. Abu
Dawud)

2. Air kencing manusia

Air seni (kencing) adalah najis yang keluar dari kemaluan manusia. Menurut
kesepakatan kaum Muslimin, ia adalah najis. Hal ini berdasarkan hadis berikut yang
mana dari Anas bin Malik r.a berkata :

“Telah datang seorang badui lalu kencing di pojok masjid. Melihat hal itu, para
sahabat ingin membentaknya tetapi Nabi melarang para sahabat. Tatkala orang
badui tadi selessai dari kencingnya. Nabi menyuruh untuk dibawakan seember air
lalu menuangkanya pada bekas kencing tersebut”. (HR. Bukhari)

Selain itu Rasulullah s.a.w juga dengan keras pernah memperingatkan


supaya berhati- hati, dimana beliau bersabda :

“Bersucilah dari kencing, karena pada umumnya azab kubur itu didapat dari sebab
air kencing”.

Akan tetapi beliau memberi keringanan pada kencing yang keluar dari
kemaluan seorang bayi yang belum memakan makanan lain, selain minum air susu
ibunya. Sedang apabila telah memakan makanan yang lain maka dalam hal ini wajib

5
untuk dicuci, dimana tidak ada perbedaan pendapat dari para ulama mengenai
masalah ini. Hal ini berdasarkan hadis berikut, dari Ali r.a Rasulullah bersabda :

“Kencing bayi laki-laki yang masih menyusu dipercik air sedangkan kencing bayi
perempuan harus dicuci”. (HR. Ibnu Majah)

3. Air Madzi

Madzi adalah cairan bening yang sedikit kental yang keluar dari saluran
kencing ketika nafsu syahwat mulai teransang. Terkadang seseorang tidak akan
merasakan proses keluarnya. Hal ini sama yang dialami oleh laki-laki dan juga
perempuan, akan tetapi pada wanita jumlahnya lebih banyak Menurut kesepakatan
ulama, madzi ini dihukumi najis. Apabila madzi ini mengenai badan, maka harus
dibersihkan dan apabila mengenai pakaian maka cukup hanya dengan menyiramkan
air pada bagian yang terkena.

Dari Ali bin Abi Thalib r.a dia menceritakan :

“Aku ini seorang laki-laki yang sering mengeluarkan madzi. Lalu aku suruh
seseorang untuk menanyakan hal itu kepada Nabi s.a.w, karena aku malu sebab
puterinya adalah isteriku. Maka orang yang disuruh yang disuruh itu pun bertanya
dan beliau menjawab : Berwuduklah dan cuci kemaluanmu!”. (HR. Bukhari)

4. Air Wadi

Wadi adalah cairan kental yang biasanya keluar setelah seseorang selesai
dari buang air kecilnya (kencing). Wadi ini dihukumi najis dan harus disucikan
seperti halnya kencing, akan tetapi tidak wajib mandi. Mengenai hal ini, ‘Aisyah
r.a mengatakan :

“Wadi itu keluar setelah proses kencing selesai. Untuk itu hendaklah seseorang
Muslim mencuci kemaluaanya (setelah keluarnya wadi) dan berwuduk serta tidak
diharuskan mandi”. (HR. Ibnu Mudzhir)

Dan dari Ibnu Abbas a.r ia berkata :

“Tentang mani, madzi dan wadi. Adapun mengenai mani, maka diwajibkan mandi
karenanya. Sedangkan mengenai madzi dan wadi maka cukup membersihkannya
secara sempurna”. (HR. al-Astram dan Baihaqi)

5. Kotoran Hewan

6
Setiap binatang yang tidak boleh (haram) dimakan dagingnya menurut
syar’iat Islam seperti keledai dan bighal6, maka semua yang keluar dari binatang-
binatang tersebut adalah najis, baik itu kotoran maupun kencingnya. Hal ini
didasarkan pada hadis dari Abu Hurairah r.a, dimana ia berkata :

“Nabi s.a.w pernah buang air besar, lalu beliau menyuruhku membawakan tiga
batu untuk beliau. Akan tetapi, aku aku hanya mendapatkan dua batu saja.
Selanjutnya aku mencari batu yang ketiga, namun tidak juga mendapatkannya.
Lalu aku mengambil kotoran dan aku membawanya kepada beliau. Maka beliau
hanya mengambil dua batu saja dan membuang kotoran tersebut seraya berkata
:”Ini adalah kotoran (tidak dapat digunakan untuk bersuci)”. HR. Bukhari)

6. Bangkai

Yang dimaksud dengan bangkai di sini adalah setiap hewan yang mati tanpa
melalui proses penyebelihan yang disyari’atkan oleh Islam. Hal ini sebagaimana
yang difirrmankan Allah :

“Diharamkan bagi kalian (memakan) bangkai” (al-Maidah 3)

Dan juga potongan tubuh dari tubuh hewan yang dipotong atau terpotong dalam
keadaan masih hidup. Sebagaimana dalam hadis disebutkan dari Abu Waqid al-
Laitsi7, ia menceritakan Rasulullah s.a.w pernah bersabda :

“Sesuatu yang terpotong dari hewan sementara hewan itu masih hidup, maka
potongan tersebut termasuk bangkai”. (HR. Abu Dawud)

Menurut para ulama mengenai bangkai ini ada beberapa pengecualian, di


antaranya :

1. Bangkai ikan dan belalang, keduanya termasuk suci. Hal ini sebagaimana
disabdakan Rasulullah s.a.w :

“Telah dihalalkan untuk kita dua bangkai, yaitu bangkai ikan dan
belalang”.8

Selain itu sebagaimana sabda Rasulullah s.a.w mengenai laut yaitu :

6
Bighal adalah binatang hasil perkahwinan silang antara kuda dengan keledai yang mana
digunakan untuk pengankutan dan kenderaan
7
Muhammad Nashiruddin, Shahih Sunan Abu Daud, Pustaka Aazzam, Jakarta, 2006 hlm 332
8
Musthafa Daib al-Bigha, TADZHIB Kompilasi HUKUM ISLAM, AL-HIDAYAH, Surabaya, 2008 hlm
62

7
“Air laut itu suci dan mengsucikan, bangkai hewannya pun halal
untuk dimakan”.

2. Bangkai yang tidak memiliki darah yang mengalir seperti semut, lalat, lebah
dan lainya. Bangkai hewan-hewan jenis ini suci. Apabila jatuh pada sesuatu
lalu ia mati, maka bangkainya tidak menyebabkan sesuatu itu menjadi najis.
Sebagaimana hadis riwayat Abu Hurairah r.a bahwa Rasulullah s.a.w
bersabda :

“Jika seekor lalat jatuh ke dalam minumanmu, hendaklah ia mencelupkan


lalat itu (ke dalam minuman tadi) karena, satu sayapnya mengandungi
penyakit dan satunya lagi mengandung obat bagi penyakit itu”. HR.
Bukhari)9

Andaikata lalat itu menajiskan maka beliau pasti tidak memerintahkan


menenggelamkannya. Binatang lain yang tidak memiliki darah mengalir itu
disamakan dengan lalat (tidak menajiskan).

3. Tulang, tanduk dan bulu-bulu bangkai, yang kesemuanya itu adalah suci.
Sedangkan kulit bangkai tetap suci apabila telah disamak (dikeringkan). Hal
ini didasarkan pada hadis riwayat Abdullah bin Abbas r.a ia mendengar
Rasulullah s.a.w bersabda :

“Kulit bangkai apabila telah disamak maka dia menjadi suci”. (HR.
Muslim)

4. Hati dan limpa (merupakan darah beku) hewan yang halal dimakan dan
yang disembelih sesuai dengan syari’at sebagaimana yang disebutkan dalam
hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar r.a, diamana ia menceritakan
Rasulullah s.a.w pernah bersabda :

”Dihalalkan bagi kita dua bangkai dan dua darah. Dua bangkai itu adalah
segala jenis ikan yang hidup di air dan bangkai belalang, sedangkan dua
darah itu adalah hati dan limpa”. (HR. Ahmad)

9
Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Buku Pintar Kedokteran Nabi s.a.w, PT. Fathan Prima Media, Jawa
Barat, 2013 hlm 149

8
7. Darah

Yang dimaksudkan dengan darah di sini adalah darah haid 10 dan nifas11
seperti mana diriwayatkan oleh Asma’ binti Abu Bakar bahwa Rasulullah s.a.w
telah bersabda tentang darah haid mengenai pakaian12 :

“Engkau kerik lalu gosok dengan air kemudian siramlah. Baru setelah itu engkau
boleh solat dengan pakaian tersebut”. (HR. Bukhari dan Muslim)

8. Hewan Jalalah

Jalalah adalah hewan yang memakan kotoran, baik kotoran unta, sapi,
kambing, ayam, angsa dan lain-lainnya sehingga hewan tersebut berubah baunya.
Semua yang keluar dari hewan tersebut adalah najis, dagingnya tidak boleh
dimakan dan air susunya juga tidak boleh diminum serta tidak boleh dijadikan
sebagai hewan tunggangan.

Dari Umar bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya dia berkata :

“Rasulullah s.a.w melarang memakan daging keledai peliharaan dan juga hewan
jalalah serta dilarang menungangi dan memakan dagingnya”. (HR. Ahmad)

Akan tetapi, jika hewan jalalah ini ditangkarkan13 serta diberikan makanan yang
suci sehingga dagingnya menjadi baik bau busuknya pun hilang, maka hewan ini
menjadi halal untuk dimakan. Sementara sebutan jalalah padanya pun menjadi
hilang dengan sendirinya dan selanjutnya kembali menjadi suci.

9. Anjing dan Babi

Anjing

Anjing adalah hewan yang dihukumi najis. Sesuatu atau benda yang terjilat
olehnya wajib dicuci sebanyak tujuh kali, yang salah satunya adalah dengan
menggunakan (dicampur) tanah. Hal ini didasarkan pada hadis dari
Abdullah bin Mughafal, bahwa Rasulullah pernah bersabda :

10
Haid darah yang keluar dari seorang perempuan apabila telah menginjak masa baligh yang
mana pada masa-masa tertentu, masa sucinya lima belas hari masa suci
11
Nifas adalah darah yang keluar disebabkan oleh kelahiran anak. Hukumnya sama seperti haid
12
Ibnu Hajar al-Asqalani, Bulugh al-Maram, Dar al-Fikr, Beirut, 1998 hlm 37
13
Dikurung dalam sangkar atau kadang selama dua hari dua malam sehingga kesan najis tersebut
hilamg

9
“Apabila ada anjing menjilat benjana salah seorang di antara kalian, maka
hendaklah ia mencucinya sebanyak tujuh kali dengan air dan campurilah
dengan tanah, untuk kedelapan kalinya”. ( Muttafaqun ‘Alaih)

Dibersihkannya bekas jilatan anjing ini adalah karena najisnya terletak pada
mulut dan air liurnya. Adapun bulu anjing adalah suci jika ia berada dalam
keadaan kering dan tidak ada ketetapan yang menyebutnya sebagai najis.

Babi

Babi merupakan hewan yang tubuhnya secara keseluruhan adalah dihukumi


najis, ini telah disepakati para ulama melalui firman Allah
“Katakanlah,”Tiada aku peroleh dalam wahyu yang diturunkan kepadaku
sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali
kalau makanan itu , kecuali kalau makanan itu berupa bangkai, darah yang
mengalir dan daging babi. Karena kesemuanya itu adalah kotor”

Demikian juga pada firman-Nya yang lain disebutkan “Diharamkan bagi


kalian bangkai, darah dan daging babi” (QS. Al-Maidah : 3)

Najis yang Disepakati dan yang Dipertikaikan oleh Ulama

- Najis yang Disepakati oleh Ulama Mazhab

Para fuqaha telah bersepakat menganai najisnya perkara-perkara berikut

1. Babi
2. Darah
3. Air Kencing, Muntah14 dan Tahi Manusia
4. Arak
5. Nanah
6. Air Madzi dan Wadi
7. Daging Bangkai Binatang Darat yang Berdarah Mengalir
8. Daging dan Susu Binatang yang tidak Boleh Dimakan
9. Bagian Anggota yang Terpisah

14
Muntah menurut pendapat ulama mazhab hanafi najis berat jika ia memenuhi mulut
seseorang dan ia tidak dapat mengedalikannya.

10
- Najis yang Diperselisihkan oleh Ulama Mazhab

Para fuqaha berselisih pendapat mengenai hukum najis dalam beberapa perkara.

1. Anjing15
2. Bangkai Binatang Air dan Binatang yang tidak Berdarah Mengalir
3. Bagian-Bagian Bangkai yang Keras yang tidak Mengandung Darah
4. Kulit Bangkai
5. Air Kencing Anak-anak Lelaki yang hanya meminum susu
6. Air kencing dan Kotoran Binatang yang Boleh Dimakan Dagingnya
7. Air Mani
8. Air yang Keluar karena Luka (sakit)
9. Mayat Manusia dan Air yang Mengalir dari Mulut Orang Tidur

D. Cara Membersihkan Najis

Seperti kita ketahui bahwa air adalah hukum asal dalam membersihkan
najis. Karena pembawa syari’at telah menyifatkannya:

َ ‫َخلَقَ هللاُ ْال َما َء‬


‫ط ُه ْو ًرا‬

”Allah telah menciptakan air dalam keadaan suci lagi menyucikan.”

Maka tidak dibenarkan bersuci dengan selain air, kecuali jika syari'at
menetapkannya. Jika tidak ada dalilnya, maka tidak boleh (dengan selain air).
Karena hal ini berarti berpaling dari sesuatu yang telah diketahui bahwa ia suci dan
menyucikan kepada sesuatu yang tidak diketahui, apakah ia suci dan mampu
menyucikan. Hal ini keluar dari konsekuensi metode syari'at.

Berikut keterangan syari’at mengenai sifat menyucikan benda-benda najis atau


benda yang berubah menjadi najis, yaitu:

1. Menyucikan kulit bangkai dengan samak

Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, ia mengatakan bahwa ia mendengar


Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ٍ ‫أَيُّ َما إِهَا‬


َ ‫ب دُبِ َغ فَقَ ْد‬
‫ط ُه َر‬

"Kulit bangkai apa saja jika disamak, maka ia suci.”

15
Menurut pendapat mazhab hanafi dan maliki tidak termasuk najis ‘ai.n

11
2. Menyucikan bejana yang dijilat anjing

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam


bersabda:

ِ ‫ت أ ُ ْوالَ ُه َّن ِبالت ُّ َرا‬


‫ب‬ ٍ ‫س ْب َع َم َّرا‬ ُ ‫َاء أ َ َح ِد ُك ْم ِإذَا َولَ َغ فِ ْي ِه ْال َك ْل‬
َ ُ‫ب أ َ ْن َي ْغ ِسلَه‬ ُ
ِ ‫ط ُه ْو ُر ِإن‬

"(Cara) menyucikan bejana seorang di antara kalian jika dijilat anjing adalah
membasuhnya tujuh kali. Yang pertama dengan tanah.”

3. Menyucikan baju yang terkena darah haidh

Dari Asma’ binti Abi Bakar Radhiyallahu anha, ia berkata, “Seorang wanita datang
kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, ‘Baju salah seorang di
antara kami terkena darah haid. Apakah yang harus dia lakukan?’ Beliau bersabda:

‫ص ِلِّي فِ ْي ِه‬
َ ُ ‫ض ُحهُ ث ُ َّم ت‬ ِ ‫صهُ بِ ْال َم‬
َ ‫اء ث ُ َّم ت َ ْن‬ ُ ‫ت َ ُحتُّهُ ث ُ َّم ت َ ْق ُر‬

"Keriklah, kucek dengan air, lalu guyurlah. Kemudian shalatlah dengan (baju) itu."

Jika setelah itu masih ada bekasnya, maka tidak masalah.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Khaulah binti Yasar berkata, "Wahai
Rasulullah, saya hanya mempunyai satu baju. Saya memakainya ketika haidh."
Beliau bersabda, "Jika engkau telah suci, cucilah tempat yang terkena darah itu, lalu
shalatlah dengannya." Dia berkata, "Wahai Rasulullah, jika bekasnya tidak hilang?"
Beliau bersabda:

ُ ‫َي ْك ِفي ِْك ْال َما ُء َوالَ َي‬


ُ‫ض ُّر ِك أَث َ ُره‬

"Air telah mencukupimu dan bekasnya tidak masalah bagimu."

4. Menyucikan bagian bawah pakaian wanita

Dari Ummu Walad (budak wanita yang melahirkan anak majikannya) milik Ibrahim
bin ‘Abdurrahman bin ‘Auf. Dia berkata kepada Ummu Salamah, isteri Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, "Saya adalah wanita yang berpakaian panjang dan
saya berjalan di tempat kotor." Ummu Salamah Radhiyallahu anha mengatakan
bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

َ ُ‫ي‬
ُ‫ط ِ ِّه ُرهُ َما بَ ْعدَه‬

12
"(Ujung pakaian yang terkena kotoran tadi) disucikan oleh (tanah) yang
berikutnya.”

5. Menyucikan pakaian yang terkena kencing bayi laki-laki yang masih menyusu

Dari Abu as-Samh, pembantu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia mengatakan
bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‫ش ِم ْن بَ ْو ِل ْالغَُلَ ِم‬ ِ ‫س ُل ِم ْن بَ ْو ِل ْال َج‬


ُّ ‫ َوي َُر‬،‫اريَ ِة‬ َ ‫يُ ْغ‬

"Air kencing bayi perempuan dicuci. Sedangkan air kencing bayi laki-laki
diperciki."

6. Menyucikan pakaian yang terkena madzi

Dari Sahl bin Hunaif, dia berkata, "Aku mengalami kesulitan karena madzi. Aku
sering mandi karenanya. Kuadukan masalahku ini kepada Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda, "Cukuplah bagimu wudhu." Aku berkata,
"Wahai Rasulullah, bagaimana dengan yang mengenai pakaian saya?" Beliau
bersabda:

ُ‫اب ِم ْنه‬
َ ‫ص‬َ َ ‫ْث ت ََرى أَنَّهُ قَ ْد أ‬ َ ‫َي ْك ِفيْكَ أ َ ْن ت َأ ْ ُخذَ َكفًّا ِم ْن َماءٍ فَت َ ْن‬
ُ ‫ َحي‬، َ‫ض ُح ِب ِه ث َ ْو َبك‬

"Cukup ambil segenggam air lalu guyurkan (percikkan) pada pakaianmu yang
terkena olehnya."

7. Menyucikan bagian bawah sandal

Dari Abu Sa'id Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

َّ ‫ فَإ ِ ْن َرأَى َخ َبثًا فَ ْل َي َم‬،‫ظ ْر ِف ْي ِه َما‬


ِ ‫سهُ بِاْل َ ْر‬
َ ُ‫ض ث ُ َّم ِلي‬
‫ص ِِّل‬ ُ ‫ِإذَا َجا َء أ َ َحدُ ُك ُم ْال َمس ِْجدَ َف ْليُقَ ِلِّبْ نَ ْعلَ ْي ِه َو ْل َي ْن‬
‫فِ ْي ِه َما‬

"Jika salah seorang di antara kalian datang ke masjid, hendaklah ia membalik sandal
dan melihatnya. Jika melihat kotoran padanya, hendaklah ia gosokkan ke tanah, lalu
shalat dengannya."

8. Menyucikan Tanah

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia berkata, "Seorang Arab Badui berdiri
lalu kencing di masjid. Orang-orang lantas menghardiknya. Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam berkata pada mereka:

13
ِّ ِ َ‫ فَإِنَّ َما بُ ِعثْت ُ ْم ُمي‬- ٍ‫أ َ ْو ذَنُ ْوبا ً ِم ْن َماء‬- ٍ‫سجْ َلً ِم ْن َماء‬
‫س ِريْنَ َولَ ْم ت ُ ْب َعث ُ ْوا‬ َ ‫علَى بَ ْو ِل ِه‬
َ ‫ َوه َِر ْيقُ ْوا‬،ُ‫ع ْوه‬ ُ َ‫د‬
َ‫س ِر ْين‬
ِّ ِ ‫ُم َع‬

"Biarkan dia. Guyurkan setimba atau seember air pada kencingnya. Sesungguhnya
kalian diutus untuk memudahkan, bukan menyusahkan."

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan hal tersebut agar kesucian tanah
segera terealisir. Jika dibiarkan hingga kering dan bekas najis hilang, maka tanah
itupun suci kembali.

Berdasarkan hadits Ibnu 'Umar Radhiyallahu anhuma, ia berkata, "Pada zaman


Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

َ‫ش ْيئًا ِم ْن ذَلِك‬ ُّ ‫ب تَبُو ُل َوت ُ ْقبِ ُل َوت ُ ْدبِ ُر فِي ْال َمس ِْج ِد فَلَ ْم يَ ُكونُوا يَ ُر‬
َ َ‫شون‬ ُ ‫َت ْال ِك ََل‬
ْ ‫َو َكان‬

banyak anjing yang kencing dan berlalu-lalang dalam masjid. Mereka tidak
mengguyurkan air sedikit pun di atasnya."

14
Penutup

Kesimpulan

Dapat diambil kesimpulan bahwa pada mulanya, semua benda itu boleh lagi suci,
kecuali ada dalil yang menyebutkan hukum lain. Jika ada dalil yang menetapkan
suatu benda najis maka kita harus menetapkannya sebagai benda najis.

Allah-lah yang telah mengajarkan kita tentang kenajisan materi juga menunjuki
cara bersuci darinya. Kita wajib mengikuti firman dan menjalankan perintah-Nya.
Apa-apa yang disebutkan di dalamnya (kata) membasuh, hingga tidak terdapat
warna, bau, dan rasa, maka seperti itulah cara membersihkannya. Dan apa-apa yang
di dalamnya terdapat (kata) mengguyur, memercikkan, mengerik, menggosokkan
ke tanah, atau sekedar berjalan di atas tanah yang suci, maka begitulah cara bersuci
darinya.

15
Daftar Pustaka

Abdul Aziz, Shalih bin, Al-Fiqh al-Muyassar, Terj. Izzudin Karimi, Jakarta, Darul
Haq, 2017.

Ibnu Hajar al-Asqalani, Bulugh al-Maram, Dar al-Fikr, Beirut, 1998

Sabiq, Sayyid, Fiqhussunnah, Terj. Mahyuddin Syaf, Bandung, Alma’rif, 1973.

Umar, Muhammad bin, At-Tarjih fi Masaa’il At-Thaharah wa Ash-Shalah, Terj.


Ali Nur, Jatinegara, Darus Sunnah Press, 2007.

Zuahili, Wahbah az, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Terj. Abdul Hayyie, Jakarta, Gema
Insani, 2010.

www.fiqhindonesia.com

16

Anda mungkin juga menyukai