SYAFII
Dosen Pembimbing
Disusun oleh
Kelompok
:1
Kelas
: Tif A siang
Nama
1.
2.
3.
4.
5.
Muhammad Sadikin
Prasetyo
Muhammad Ikhsan
Yuritsyu Kayandra
Ratna Sari Ayu
( Semester II )
( 1512000054 )
( 1512000057 )
( 1512000052 )
( 1512000073 )
( 1512000059 )
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb.
Puji syukur senantiasa kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas
berkah, rahmat, dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini. Kami
juga mengucapkan terimakasih kepada dosen pembimbing dan semua pihak yang
telah memberikan kritik dan saran sehingga saya bisa menyelesaikan makalah ini.
Makalah ini ditulis guna memenuhi tugas mata kuliah Agama Islam. Judul
yang dipilih untuk makalah ini adalah THAHARAH. Materi yang disajikan
dalam makalah adalah tentang kaitan dengan alat bersuci, najis, hadas, wudhu,
mandi wajib, tayamum, menurut imam syafii.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Seperti
kata pepatah, tak ada gading yang tak retak. Oleh karena itu, kami mengharapkan
kritik dan saran guna menyempurnakan makalah ini.
Demikianlah makalah ini dibuat, untuk kesalahan yang ada pada makalah
kami mohon maaf. Semoga makalah ini dapat berguna bagi kita semua.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN................................................................................1
I.1. Latar Belakang ...............................................................................1
I.2. Identifikasi Masalah .......................................................................1
I.3. Rumusan Masalah ..........................................................................2
I.4. Batasan Masalah ............................................................................2
I.5. Tujuan ............................................................................................3
I.6. Manfaat ..........................................................................................3
BAB II
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Allah itu bersih dan suci. Untuk menemuinya, manusia harus terlebih
dahulu bersuci atau disucikan. Allah mencintai sesuatu yang bersih dan suci.
Dalam hukum Islam bersuci dan segala seluk beluknya adalah termasuk bagian
ilmu dan amalan yang penting terutama karena diantaranya syarat-syarat sholat
telah ditetapkan bahwa seseorang yang akan melaksanakan sholat, wajib suci dari
hadas dan suci pula badan, pakaian dan tempatnya dari najis. Dalam kehidupan
sehari-hari kita tidak terlepas dari sesuatu (barang) yang kotor dan najis sehingga
thaharah dijadikan sebagai alat dan cara bagaimana mensucikan diri sendiri agar
sah saat menjalankan ibadah.
I.2. Identifikasi Masalah
Kata Thaharah yang berarti bersih, sangat identik sekali dengan agama
islam. Sebab islam itu mengajarkan kepada umatnya agar tetap bersih. Seperti
sabdanya Rasulullah SAW Kebersihan adalah sebagian dari iman. kebersihan
itu adalah sebahagian dari iman. Hanya saja tidak sedikit umat islam yang belum
mengetahui banyak tentang kebersihan yang sebenarnya dalam pandangan islam.
Terkadang tanpa kita sadari hal yang kecil dapat dikatakan najis (tidak bersih),
namun kita tidak membersihkan nya dengan cara yang benar, melainkan hanya
menggunkan air saja.
I.3. Perumusan Masalah
Berikut ini beberapa rumusan masalah yang akan dicari penyelesaiannya
antara lain:
1
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
I.6. Manfaat
Adapun manfaat dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
BAB II
PEMBAHASAN TEORI
II.1. Pengertian Thaharah
Thaharah secara bahasa berarti bersih dan membebaskan diri dari kotoran
dan najis. Sedangkan pengertian thaharah secara istilah (syara) yaitu bersuci dari
hadas, baik hadas besar maupun hadas kecil dan bersuci dari najis yang meliputi
badan, pakaian, tempat, dan benda-benda yang terbawa di badan atau najis yang
menghalangi ibadah-ibadah sejenisnya dengan air, atau menghilangkan hukumnya
(hadas dan najis) dengan tanah.
Thaharah terbagi atas dua, yaitu :
1. Thaharah manawiyah atau thaharah qalbu (hati), yaitu bersuci dari syirik
dan maksiat dengan cara bertauhid dan beramal sholeh, dan thaharah ini
lebih penting dan lebih utama dari pada thaharah badan. Karena thaharah
badan tidak mungkin akan terlaksana apabila terdapat syirik.
2. Thaharah hissiyah atau thaharah badan, yaitu mensucikan diri dari hadats
dan najis, dan ini adalah bagian dari iman yang kedua. Allah
mensyariatkan thaharah badan ini dengan wudhu dan mandi, atau
pengganti keduanya yaitu tayammum (bersuci dengan debu).
Air yang seperti ini dzatnya suci, tetapi tidak sah apabila dipakai untuk
menyucikan sesuatu. Yang termasuk bagian ini ada 3 macam, yaitu:
a. Air yang mustamal, yaitu air yang sedikit (kurang dari 2 kulah) yang
sudah dipakai untuk bersuci, baik dari hadas maupun najis.
b. Air yang telah tercampur dengan sesuatu yang suci dan telah merubah
salah satu sifatnya, sepeti kopi, teh, susu dan lainnya, tapi kalau air
yang tercampur minyak wangi atau kapur yang dipakai untuk bak
mandi maka hukumnya boleh dipakai
3.
4.
5.
6.
1. Barang yang kena najis mughallazhah seperti jilatan anjing atau babi, wajib
dibasuh 7 kali dan salah satu diantaranya dengan air yang bercampur tanah.
2. Barang yang terkena najis mukhaffafah, cukup diperciki air pada tempat
najis itu.
3. Barang yang terkena najis mutawassithah dapat suci dengan cara di basuh
sekali, asal sifat-sifat najisnya (warna, bau dan rasanya) itu hilang. Adapun
dengan cara tiga kali cucian atau siraman lebih baik. Jika najis hukmiyah
cara menghilangkannya cukup dengan mengalirkan air saja pada najis tadi.
II.4. Hadas
Hadats secara etimologi (bahasa), artinya tidak suci atau keadaan badan
tidak suci, jadi tidak boleh shalat. Adapun menurut terminologi (istilah) Islam,
hadats adalah keadaan badan yang tidak suci atau kotor dan dapat dihilangkan
dengan cara berwudhu, mandi wajib, dan tayamum. Dengan demikian, dalam
kondisi seperti ini dilarang (tidak sah) untuk mengerjakan ibadah yang menuntut
keadaan badan bersih dari hadats dan najis, seperti shalat, thawaf, itikaf.
Sebabnya dinamakan hadas kecil ialah kerana kawasan yang didiami oleh hadas
kecil ini kecil sahaja yaitu sekadar anggota wudhu.
2. Hadats Besar
Hadats besar mengikut istilah syara artinya sesuatu yang maknawi
(kotoran yang tidak dapat dilihat oleh mata kasar), yang berada pada seluruh
badan seseorang, yang dengannya menegah mendirikan solat dan amal ibadah
seumpamanya, selama tidak diberi kelonggaran oleh syara. Selama seseorang itu
tidak menempuh atau melakukan salah satu perkara yang menyebabkan hadas
besar, maka selama itu badannya suci dari hadas besar. Sebab dinamakan hadas
besar ialah kerana kawasan yang didiami atau dikenai ole hadas besar ini terlalu
luas yaitu meliputi seluruh badan dan rambut.
Sebagaimana yang telah kami kutip dari sebuah buku yang ditulis oleh
Musthafa Kamal Pasha, bahwa yang menyebabkan seseorang dihukumkan terkena
hadats besar antaralian sebagai berikut:
a. Mengeluarkan mani (sperma)
Keluaarnya mani seseorang dapat terjadi dalam berbagai keadaan, baik
diwaktu jaga maupun diwaktu tidur (mimpi), dengan cara disengaja atau tidak,
baik bagi pria ataupun wanita.
Bahwa Rasulullah saw. telah bersabda: Apabila air itu terpancar keras
maka mandilah. (H.R. Abu Daud)
Sesungguhnya Ummu Sulain r.a. berkata:Ya Rasulullah, sesungguhnya
Allah tidak malu mengenai kebenaran! Wajibkah perempuan itu mandi bilamana
ia bermimpi? Beliau menjawab, benar, bila ia melihat air. (H.R. Bukhari dan
Muslim serta lainnya).
b.
10
11
NO
HAL-HAL YANG
MEMBATALKAN
WUDHU`
Al-Hanafiyah
Al-Malikiyah
As-Syafi`i
Al-han
Batal
Ba
Batal
Batal
Batal
Batal w
dalam
tama
Batal
Batal
Batal
Ba
Tidak batal
Batal
Batal
Ba
Tidak Batal
Batal
Batal
Tidak Batal
1. Sesuatu yang keluar dari kedua jalan (qubul dan dubur) sepakat bahwa
semua yang keluar dari 2 jalan (qubul dan dubul) dapat membatalkan
wudhu. Sedangkan keluarnya ulat, batu kecil, darah dan nanah maka ia
dapat membatalkan wudhu, Menurut Syafii.
12
Batal d
syah
Tidak
13
15
2.
Haid
Haid secara bahasa berarti: mengalir, sedangkan secara teminologis
(istilah) menurut para ahli fiqih berati: darah yang biasa keluar pada diri wanita
pada hari-hari tertentu. Haid itu mempunyai dampak yang membolehkan
meninggalkan ibadah dan mejadi patokan selesainya iddah bagi wanita yang
dicerai. Biasanya darahnya warna hitam atau merah kental (tua) dan panas.
a. Hukum-hukum haid
Bagi wanita haid yang diharamkan semua yang diharamkan pada orang
yang junub, baik menyentuh al-quran dan berdiam dalam mesjid. Pada hari-hari
haid diharamkan berpuasa dan sholat, hanya ia wajib menggantinya (mengqhada)
hari-hari puasa ramadhan yang di tinggalkannya, tetapi kalu sholat tidak usah
diganti, karena berdasarkan beberapa hadis dan demi menjaga (terhindar)
kesukaran karena banyaknya mengulang-ulang sholat, tapi kalu puasa tidak.
b. Cara-cara mandi
Mandi haid sama dengan mandi junub, baik dari segi airnya, ia wajib air
mutlak, dari sucinya, wajib suci badannya dan tidak ada sesuatu yang mencegah
sampainya air ke badan, niat, mulai dari kepala, kemudian dari bagian tubuh yang
kanan lalu bagian tubuh yang kiri, menurut syafii meratakan air ke semua
badannya, sebagaimana yang telah dijelaskan pada pembahasan mandi junub,
tanpa ada perbedaan.
16
3.
Nifas
Nifas menurut Syafii adalah darah yang keluar setelah persalinan, bukan
sebelumnya dan bukan pula bersamaan. Kalau wanita hamil itu melahirkan tetapi
tidak ada nampak darah yang keluar, ia tetap diwajibkan mandi. Kalau anak yang
lahir itu keluar dari tempat yang bukan biasanya karena di sebabkan pembedahan,
maka wanita itu tidak bernifas.
17
badan dengan hasta atau salah satu kaki atas yang lain,
maka memadai.
5. Menyilang-nyilangi rambut. Adapun rambut jenggot yang
tebal, terdapat khilafiyah sesama mereka yaitu sebagian
mengatakan wajib dan sebagian mengatakan mandub.
II.6.2. Sunnah Mandi
Menurut imam syafii:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
mengulanginya.
7. Berurutan.
8. Membasuh muka pertama.
9. Mendahulukan yang kanan dari yang kiri.
10. Membuang najis yang melekat pada tubuh.
11. Menutup aurat walaupun mandi sendiri.
12. Meniga-niga kalikan basuhan, menyilangi rambut dan jari.
13. Tidak mencukur rambut sampai habis.
14. Memotong kuku sebelum mandi.
15. Semua yang terdapat dalam berwudhu.
16. Tidak meminta bantuan orang lain kecuali dalam keadaan
udzur.
17. Menghadap ke kiblat.
18. Di tempat yang tidak diperciki air mandi.
19. Tidak menyebabkan basah anggota lain.
20. Tidak bicara kecuali dibutuhkan.
21. Wanita memasang kapas yang harus di dalam kemaluannya.
22. Membasuh bagian atas sebelum yang dibawahnya.
23. Berniat mengangkatkan hadats.
II.7. Tayamum
18
Menurut syafii, bahwa orang yang tidak mendapatkan air wajib bertayamum
dan sholat, baik ia dalam keadaan musafir maupun bukan, sakit maupun sehat
berdasarkan hadist yang mutawatir :
Tanah yang baik itu dapat sebagai penyuci orang islam, walupun tidak
mendapatkan air selma 10 tahun.
II.7.1. Rukun-rukun Tayamum
Rukun Tayamum menurut Imam Syafi'I :
1.
2.
3.
4.
20
Maka tidak syah dengan debu yang bercampur dengan najis semisal debu
yang terkena air kencing walaupun sudah kering.
3.Tidak memakai debu yang musta'mal.
Yaitu tidak memakai debu yang pernah digunakan untuk membasuh najis
mugholladoh atau apa yang telah digunakan tayammum.
4.Hendaknya debu tidak bercampur dengan yang lain.
Maka tidak syah menggunakan debu yang bercampur dengan barang
barang lain semisal tepung dan sejenisnya.
5.Bertujuan tayammum.
Yaitu seorang yang bertayammum maka harus memiliki niat atau sengaja
memindahkan debu ke anggota tayammum.
6.Mengusap wajah dan kedua tangannya.
Seorang yang tayamum mengusap wajah dan kedua tangannya minimal 2
kali dan dihukumi makruh jika lebih dari 2 kali. akan tetapi jika mengusap 2 kali
tidak bisa meratakan debu dianggota tayammum maka wajib ditambahi atau lebih
dari 2 kali.
7.Menghilangkan najasah
Seseorang yang memiliki najis kemudian bertayammum maka tetap wajib
mengqodhoi sholatnya walaupun syah tayammumnya menurut Ibn hajar .
8.Mengetahui kiblat.
21
2.
3.
tayamum.
Mendahulukan anggota yang kanan dari pada yang kiri.
Menipiskan Debu dari tangan dengan cara menghembuskan
(meniupnya kedua sisi telapak tangan dalam posisi terbalik (telapak
4.
5.
tidak batal dengan sebab melihat air secara mutlak (sebelum, sedang, maupun
sesudah shalat), seperti tayamum karena sakit, tapi bila shalat yang dilakukan
termasuk wajib diulangi ketika ada air, maka jika melihat air sebelum atau sedang
shalat, tayamumnya batal.
BAB III
PENUTUP
III.1. KESIMPULAN
Kebersihan yang sempurna menurut syara disebut thaharah, merupakan
masalah yang sangat penting dalam beragama dan menjadi pangkal dalam
beribadah yang menghantarkan manusia berhubungan dengan Allah SWT. Tidak
ada cara bersuci yang lebih baik dari pada cara yang dilakukan oleh syarit Islam,
karena syariat Islam menganjurkan manusia mandi dan berwudlu. Walaupun
23
manusia masih dalam keadaan bersih, tapi ketika hendak melaksanakan sholat dan
ibadah-ibadah lainnya yang mengharuskan berwudlu, begitu juga dia harus pula
membuang kotoran pada diri dan tempat ibadahnya dan mensucikannya karena
kotoran itu sangat menjijikkan bagi manusia.
Adapun manfaat dari thaharah antara lain :
1. Untuk membersihkan badan, pakaian, dan tempat dari hadats dan najis
ketika hendak melaksanakan ibadah.
2. Dengan bersih badan dan pakaiannya, seseorang tampak cerah dan enak
dilihat oleh orang lain karena Allah swt mencintai kesucian dan
kebersihan.
3. Menunjukkan seseorang memiliki iman yang tercermin dalam kehidupan
sehari-harinya karena kebersihan adalah sebagian dari iman.
4. Seseorang yang menjaga kebersihan, baik badan, pakaian ataupun tempat
mencerminkan akhlak dan ketaqwaan yang baik dalam kebersihan.
III.2. SARAN
1. Dengan apa yang sudah di jabarkan di atas, penulis berharap pendengar
dapat memahami apa yang sudah disampaikan, dan dapat diaplikasikan ke
dalam kehidupan sehari-hari.
2. Kebersihan itu adalah sebagian dari iman. Untuk dari itu kita dapat tetap dan
terus
menjaga
kebersihan
baik
badan,
pakaian
ataupun
tempat,
24
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Sarwat, Lc. 2010. Fiqih Thaharah. Jakarta: Du Center Press.
Eko, Haryanto Abu Ziyad (Ed.) (1991).Fiqih level-1. Indonesia: Divisi Dakwah
Kantor Dakwah Rabwah
Syaikh, Muhammad (2011).Hakikat Thaharah. Indonesia: Islam House.
Aboebakar, Atjeh (1977). Ilmu Fiqh Islam Dalam Lima Mazhab. Jakarta:
Islamic Research Institute.
Marhamah, Saleh (2009). Fiqh Thaharah. Jakarta: Universitas Islam Negeri
Jakarta
25
26