Oleh:
KELOMPOK 5:
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNUVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2016
SATUAN ACARA PENYULUHAN
Pertemuan ke :1
A. ANALISA SITUASI
1. AUDIENCE
Jumlah audience ± 10-15 orang
Minat dan perhatian dalam menerima materi penyuluhan cukup baik
Interaksi antara penyuluh dengan audience cukup baik
2. PENYULUH
Mahasiswa ilmu keperawatan brawijaya
Mampu mengkomunikasikan materi penyuluhan
Mampu menjawab pertanyaan pasien yang sehubungan dengan proses
penyakit Diabetes
3. RUANGAN
Di ruang tamu Tn.A
Penerangan dan ventilasi cukup baik
Mampu menampung seluruh audience
B. TUJUAN INSTRUKSIONAL
1. Tujuan umum
Setelah mengikuti penyuluhan kepada masyarakat awam dan pasien prediabet
mengerti dan memahami tentang penyakit Diabetes serta dapat menerapkannya.
E. MATERI PENULUHAN
Terlampir
F. MEDIA
leaflet
G. METODE
o Ceramah
o Tanya jawab
H. EVALUASI
1. Bagaimana sejarah diabetes?
2. Bagaimana patofisiologi diabetes?
3. Apa etiologi atau faktor pencetus diabetes?
4. Bagaimana pengobatan pada diabetes?
5. Bagaimana cara kita mengenali gejala dan tanda awal diabetes?
6. Apa saja komplikasi dari diabetes?
7. Bagaimana cara pencegahan diabetes?
MATERI PENYULUHAN
A. SEJARAH
Diabetes sudah dikenal sejak berabad-abad sebelum masehi. Pada Papyrus
Ebers di Mesir kurang lebih 1500 SM, digambarkan adanya penyakit dengan tanda-
tanda banyak kencing.Kemudian Celsus atau Paracelsus kira-kira pada 30 SM juga
menemukan penyakit tersebut. Pada 200 tahun kemudian, Artaeus menamai penyakit
itu Diabetes dari kata Diabere yang berarti siphon atau tabung untuk mengalirkan
cairan dari suatu tempat ke tempat lain (Suyono,dkk, 2007).
Cendekiawan India dan Cina pada abad ke 3 sampai dengan 6 masehi juga
menemukan penyakit ini dan mengatakan bahwa urin pasien-pasien rasanya manis.
Pada tahun 1674 Willis melukiskan urin tersebut seperti digelimangi madu dan gula.
Sejak saat itu nama penyakit ditambah dengan kata Mellitus yang berarti madu
(Suyono, dkk, 2007).
Ibnu Sina pertama kali melukiskan ganggren diabetik pada tahun 1000. Pada
tahun 1889 Von Mehring dan Minowski mendapatkan gejala diabetes pada anjing
yang diambil pankreasnya. Kemudian pada abad ke-20, tepatnya tahun 1921 seorang
ahli bedah Frederick Grant Banting dan Charles Herbert Best asistennya menemukan
insulin. Pada tahun 1954-1956 ditemukan tablet jenis sulfonilurea yang dapat
meningkatkan kadar insulin. Tahun 1969 ditemukan jenis sulfonilurea generasi kedua
yaitu Glibenklamid (Suyono, dkk, 2007).
Menurut American Diabetes (ADA) tahun 2003, diabetes mellitus merupakan
suatu kelompok penyakit metabolic dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi
karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Hiperglikemia
kronik pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi dan
kegagalan beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, syaraf, jantung dan pembuluh
darah (Soegondo, 2005).
Menurut Suyono S (2005) secara umum diabetes mellitus merupakan
kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang disebabkan oleh karena adanya
peningkatan kadar gula (glukosa) darah akibat kekurangan insulin.
Diabetes mellitus adalah penyakit kronis gangguan metabolic pada
metabolism karbohidrat, lemak dan protein dalam tubuh sebagai sumber energy,
akibat kekurangan hormone insulin yang dibentuk pankreas. Hal ini dapat
mengakibatkan kadar gula dalam darah meningkat dan kelebihannya akan dikeluarkan
melalui ginjal dan selanjutnya melalui urine (Depkes, 2007).
B. PATOFISIOLOGI
Pada proses pencernaan, pengolahan bahan makanan dimulai di mulut
kemudian ke lambung dan selanjutnya ke usus. Di dalam saluran pencernaan makanan
dipecah menjadi bahan dasar dari makanan itu. Karbohidrat menjadi glukosa, protein
menjadi asam amino dan lemak menjadi asam lemak. Didalam tubuh, zat makanan
terutama glukosa dibakar melalui proses metabolisme, dan hasil akhirnya timbulnya
energi. Insulin bertugas memasukkan glukosa ke dalam sel, untuk selanjutnya dapat
digunakan sebagai bahan bakar (Suyono,dkk, 2007).
Insulin memainkan peranan sebagai transportasi untuk menghantar glukosa
memasuki ke dalam sel-sel. Tanpa insulin, sel-sel akan kekurangan glukosa untuk
digunakan sebagai sumber energi meskipun adanya glukosa di dalam aliran darah.
Akhirnya, glukosa yang lebih ini atau glukosa yang tidak digunakan ini akan
diekskresikan dalam urin (Suyono,dkk, 2007). Selain membantu glukosa memasuki
sel-sel, insulin juga penting dalam mengatur tingkat glukosa dalam darah. Setelah
makan, kadar glukosa darah akan meningkat, untuk mengatasi peningkatan kadar
glukosa, pankreas biasanya melepaskan lebih banyak insulin ke dalam aliran darah
untuk membantu glukosa memasuki sel-sel dan menurunkan kadar glukosa darah
setelah makan. Ketika kadar glukosa darah diturunkan, maka pelepasan insulin dari
pankreas dihentikan (Suyono, dkk, 2007).
Dalam DM tipe I, pankreas mengalami serangan autoimmune oleh tubuh
sendiri, dan menyebabkan sel-sel pankreas tidak bisa menghasilkan insulin.Antibodi
abnormal telah ditemukan di sebagian besar pasien dengan DM tipe I. Pada pasien
DM Tipe I, sel-sel beta pankreas yang bertanggung jawab untuk produksi insulin
diserang oleh sistem kekebalan tubuh.Hal ini diyakini bahwa warisan genetik
mungkin suatu faktor risiko berkembangnya antibiotic yang abnormal.Selain itu,
paparan terhadap infeksi virus tertentu atau racun-racun lingkungan hidup lainnya
bisa memicu respons antibodi abnormal yang merusakan sel-sel pankreas (Suyono,
dkk, 2007).
Pada DM tipe 2, sekresi insulin di fase 1 atau early peak yang terjadi dalam 3-
10 menit pertama setelah makan yaitu insulin yang disekresi pada fase ini adalah
insulin yang disimpan dalam sel beta (siap pakai) tidak dapat menurunkan glukosa
darah sehingga merangsang fase 2 adalah sekresi insulin dimulai 20 menit setelah
stimulasi glukosa untuk menghasilkan insulin lebih banyak, tetapi sudah tidak mampu
meningkatkan sekresi insulin sebagaimana pada orang normal. Gangguan sekresi sel
beta menyebabkan sekresi insulin pada fase 1 tertekan, kadar insulin dalam darah
turun menyebabkan produksi glukosa oleh hati meningkat, sehingga kadar glukosa
darah puasa meningkat. Secara berangsur-angsur kemampuan fase 2 untuk
menghasilkan insulin akan menurun. Dengan demikian perjalanan DM tipe 2, dimulai
dengan gangguan fase 1 yang menyebabkan hiperglikemi dan selanjutnya gangguan
fase 2 di mana tidak terjadi hiperinsulinemi akan tetapi gangguan sel beta. Penelitian
menunjukkan adanya hubungan antara kadar glukosa darah puasa dengan kadar
insulin puasa. Pada kadar glukosa darah puasa 80-140 mg/dl kadar insulin puasa
meningkat tajam, akan tetapi jika kadar glukosa darah puasa melebihi 140 mg/dl
maka kadar insulin tidak mampu meningkat lebih tinggi lagi; pada tahap ini mulai
terjadi kelelahan sel beta menyebabkan fungsinya menurun. Pada saat kadar insulin
puasa dalam darah mulai menurun maka efek penekanan insulin terhadap produksi
glukosa hati khususnya glukoneogenesis mulai berkurang sehingga produksi glukosa
hati makin meningkat dan mengakibatkan hiperglikemi pada puasa. Faktor-faktor
yang dapat menurunkan fungsi sel beta diduga merupakan faktor yang didapat
(acquired) antara lain menurunnya massa sel beta, malnutrisi masa kandungan dan
bayi, adanya deposit amilyn dalam sel beta dan efek toksik glukosa (glucose toXicity)
(Schteingart, 2005 dikutip oleh Indraswari, 2010).
Pada sebagian orang kepekaan jaringan terhadap kerja insulin tetap dapat
dipertahankan sedangkan pada sebagian orang lain sudah terjadi resistensi insulin
dalam beberapa tingkatan. Pada seorang penderita dapat terjadi respons metabolik
terhadap kerja insulin tertentu tetap normal, sementara terhadap satu atau lebih kerja
insulin yang lain sudah terjadi gangguan. Resistensi insulin merupakan sindrom yang
heterogen, dengan faktor genetik dan lingkungan berperan penting pada
perkembangannya. Selain resistensi insulin berkaitan dengan kegemukan, terutama
gemuk di perut, sindrom ini juga ternyata dapat terjadi pada orang yang tidak gemuk.
Faktor lain seperti kurangnya aktifitas fisik, makanan mengandung lemak, juga
dinyatakan berkaitan dengan perkembangan terjadinya kegemukan dan resistensi
insulin (Indraswari, 2010).
C. FAKTOR PENCETUS atau ETIOLOGI
Kondisi kadar gula yang drastis menurun akan cepat menyebabkan seseorang
tidak sadarkan diri bahkan memasuki tahapan koma. Gejala diabetes melitus dapat
berkembang dengan cepat waktu ke waktu dalam hitungan minggu atau bulan,
terutama pada seorang anak yang menderita penyakit diabetes mellitus tipe 1. Lain
halnya pada penderita diabetes mellitus tipe 2, umumnya mereka tidak mengalami
berbagai gejala diatas. Bahkan mereka mungkin tidak mengetahui telah menderita
kencing manis.
Menurut Supartondo, gejala-gejala akibat DM pada usia lanjut yang sering
ditemukan adalah :
1. Katarak
2. Glaukoma
3. Retinopati
4. Gatal seluruh badan
5. Pruritus Vulvae
6. Infeksi bakteri kulit
7. Infeksi jamur di kulit
8. Dermatopati
9. Neuropati perifer
10. Neuropati visceral
11. Amiotropi
12. Ulkus Neurotropik
13. Penyakit ginjal
14. Penyakit pembuluh darah perifer
15. Penyakit koroner
16. Penyakit pembuluh darah otak
17. Hipertensi
E. PENGOBATAN
Tujuan utama terapi diabetes adalah mencoba menormalkan aktivitas insulin
dan kadar glukosa darah dalam upaya untuk mengurangi terjadinya komplikasi
vaskuler serta neuropatik. Tujuan teraupetik pada setiap jenis diabetes adalah
mencapai kadar glukosa darah normal tanpa terjadinya hipoglikemia dan gangguan
serius pada pola aktivitas klien.
Ada lima komponen dalam penatalaksanaan diabetes:
1. Diet
2. Latihan
3. Pemantauan
4. Terapi
5. Pendidikan (keperawatan medical bedah, brunner and suddarth, 2002)
b. Latihan Jasmani
Dianjurkan latihan jasmani teratur, 3-4 kali tiap minggu selama kurang lebih
0,5 jam yang sifatnya sesuai CRIPE (continous, Rhtmical, Interval, Progresiv,
endurance training). Latihan dilakukan terus menerus tanpa berhenti, otot-otot
berkontraksi dan relaksasi secara teratur, selang seling antara gerak cepat dan
lambat, berangsur angsur dari sedikit ke latihan yang lebih berat secara bertahap
dan bertahan dalam waktu tertentu. Latihan yang dapat dijadikan pilihan adlah
jalan kaki, jogging, lari, renang, bersepeda, dan mendayung.
Sedapat mungkin mencapai zona sasaran atau zona latihan, yaitu 75%-85%
denyut nadi maksimal.Denyut nadi maksimal dapat dihitung dengan
menggunakan formula berikut:
DNM= 220 – umur (dalam tahun)
Hal yang perlu diperhatikan dalam latihan jasmani ini adalah jangan memulai
olahraga sebelum makan, memakai sepatu yang pas, harus didampingi orang yang
tahu mengatasi serangan hipoglikemia, harus selalu membawa permen, dan
memeriksa kaki setelah berolahraga.
1) Latihan Kontinyu, latihan yang dilakukan berkesinambungan, dilakukan terus
menerus. Contoh : jika jogging 30 menit maka selama 30 menit penderita
harus melakukan jogging tanpa istirahat.
2) Latihan Ritmis, latihan olahraga harus dipilih yang berirama, yaitu otot-otot
berkontraksi dan relaksasi secara teratur. Contoh : jalan kaki.
3) Latihan Interval, latihan olahraga yang dilakukan selang-seling antara gerak
cepat dan lambat. Contoh : jalan cepat diselingi jalan lambat.
4) Latihan Progresif, latihan yang dilakukan berangsur-angsur dari ringan ke
latihan yang lebih berat, secara bertahap.
5) Latihan Daya tahan, padat memperbaiki system kardiovaskuler.
Kerja Insulin:
a) menghambat glikogenolisis.
b) menghambat konversi asam amino menjadi glukosa.
c) menaikkan simpanan glukosa sebagai glikogen ( mengindukasi glukokinase ).
Injeksi Insulin
Preparat Suntik insulin yang tersedia
Jenis Kerja Preparat
Kerja pendek Actrapid human 40/humulin
Actrapid human 100
Kerja Sedang Monotard human 100
Insulatard
NPH
Kerja panjang PZL
Campuran kerja pendek dan Mixtard
sedan/panjang
Dosis insulin oral atau suntikan dimulai dengan dosis rendah, lalu dinaikkan
perlahan-lahan sesuai dengan hasil glukosa darah apsien. Jika pasien sudah diberikan
sulfonylurea dan metformin sampai dosis maksimal namun kadar glukosa darah
belum mencapai sasaran dianjurkan penggunaan kombinasi sulfonylurea dengan
metformin. Jika cara ini tidak berhasil juga, dipakai kombinasi sulfonilaria dan
metformin
Beberapa cara pemberian insulin
1) Suntikan insulin subkutan
Insulin reguler mencapai puncak kerjanya pada 1-4 jam, sesudah suntikan
subcutan, kecepatan absorpsi di tempat suntikan tergantung pada beberapa factor
antara lain:
a. lokasi suntikan
ada 3 tempat suntikan yang sering dipakai yitu dinding perut, lengan,
dan paha. Dalam memindahkan suntikan (lokasi) janganlah dilakukan
setiap hari tetapi lakukan rotasi tempat suntikan setiap 14 hari, agar tidak
memberi perubahan kecepatan absorpsi setiap hari.
b. Pengaruh latihan pada absorpsi insulin
Latihan akan mempercepat absorbsi apabila dilaksanakan dalam waktu
30 menit setelah suntikan insulin karena itu pergerakan otot yang berarti,
hendaklah dilaksanakan 30 menit setelah suntikan.
2) Pemijatan (Masage)
Pemijatan juga akan mempercepat absorpsi insulin.
a. Suhu
Suhu kulit tempat suntikan (termasuk mandi uap) akan mempercepat absorpsi
insulin.
Dalamnya suntikan
Makin dalam suntikan makin cepat puncak kerja insulin dicapai. Ini berarti
suntikan intramuskuler akan lebih cepat efeknya daripada subcutan.
Konsentrasi insulin
Apabila konsentrasi insulin berkisar 40 – 100 U/ml, tidak terdapat
perbedaan absorpsi. Tetapi apabila terdapat penurunan dari u –100 ke u –
10 maka efek insulin dipercepat.
3) Suntikan intramuskular dan intravena
Suntikan intramuskular dapat digunakan pada koma diabetik atau pada kasus-
kasus dengan degradasi tempat suntikan subkutan. Sedangkan suntikan intravena
dosis rendah digunakan untuk terapi koma diabetik.
F. KOMPLIKASI
Beberapa komplikasi dari Diabetes Mellitus (Mansjoer dkk, 1999) adalah
1. Akut
a. Hipoglikemia dan hiperglikemia
b. Penyakit makrovaskuler : mengenai pembuluh darah besar, penyakit jantung
koroner (cerebrovaskuler, penyakit pembuluh darah kapiler).
Penderita diabetes dapat mengakibatkan perubahan aterosklerosis pada
arteri-arteri besar. Penderita NIDDM mengalami perubahan makrovaskuler
lebih sering daripada penderita IDDM. Insulin memainkan peranan utama
dalam metabolisme lemak dan lipid. Selain itu, diabetes dianggap
memberikan peranan sebagai faktor dalam timbulnya hipertensi yang dapat
mempercepat aterosklerosis. Pengecilan lumen pembuluh darah besar
membahayakan pengiriman oksigen ke jaringan-jaringan dan dapat
menyebabkan ischemia jaringan, dengan akibatnya timbul berupa penyakit
cerebro vascular, penyakit arteri koroner, stenosis arteri renalis dan penyakit-
penyakit vascular perifer.
c. Penyakit mikrovaskuler, mengenai pembuluh darah kecil, retinopati, nefropati.
Ditandai dengan penebalan dan kerusakan membran basal pembuluh kapiler,
sering terjadi pada penderita IDDM dan bertanggung jawab dalam terjadinya
neuropati, retinopati diabetik.
d. Neuropati saraf sensorik (berpengaruh pada ekstrimitas), saraf otonom
berpengaruh pada gastro intestinal, kardiovaskuler (Suddarth and Brunner,
1990).
G. PENCEGAHAN
Pada dasarnya ada empat tingkatan pencegahan penyakit secara umum yang
meliputi: pencegahan tingkat dasar (primordial prevention), pencegahan tingkat
pertama (primary prevention) yang meliputi promosi kesehatan dan pencegahan
khusus, pencegahan tingkat kedua (secondary prevention) yang meliputi diagnosa dini
serta pengobatan yang tepat, pencegahan tingkat ketiga (tertiary prevention) yang
meliputi pencegahan terhadap terjadinya cacat dan rehabilitasi (Noor, 2002).
A. Pencegahan Tingkat Dasar
Pencegahan tingkat dasar (primordial prevention) adalah usaha mencegah
terjadinya resiko atau mempertahankan keadaan resiko rendah dalam masyarakat
terhadap penyakit secara umum. Pencegahan ini meliputi usaha memelihara dan
mempertahankan kebiasaan atau perilaku hidup yang sudah ada dalam masyarakat
yang dapat mencegah resiko terhadap penyakit dengan melestarikan perilaku atau
kebutuhan hidup sehat yang dapat mencegah atau mengurangi tingkat resiko
terhadap suatu penyakit tertentu atau terhadap berbagai penyakit secara umum.
Umpamanya memelihara cara masyarakat pedesaan yang kurang mengonsumsi
lemak hewani dan banyak mengonsumsi sayuran, kebiasaan berolahraga dan
kebiasaan lainnya dalam usaha mempertahankan tingkat resiko yang rendah
terhadap penyakit (Noor, 2002).
Bentuk lain dari pencegahan ini adalah usaha mencegah timbulnya kebiasaan
baru dalam masyarakat atau mencegah generasi yang sedang bertumbuh untuk
tidak meniru atau melakukan kebiasaan hidup yang dapat menimbulkan resiko
terhadap beberapa penyakit. Sasaran pencegahan tingkat dasar ini terutama pada
kelompok masyarakat berusia muda dan remaja dengan tidak mengabaikan orang
dewasa dan kelompok manula (Noor, 2002).
B. Pencegahan Tingkat Pertama.
Pencegahan tingkat pertama (primary prevention) adalah upaya mencegah
agar tidak timbul penyakit diabetes mellitus. Faktor yang berpengaruh pada
terjadinya diabetes adalah faktor keturunan, faktor kegiatan jasmani yang kurang,
faktor kegemukan, faktor nutrisi berlebih, faktor hormon, dan faktor lain seperti
obat-obatan.
Faktor keturunan jelas berpengaruh pada terjadinya diabetes mellitus.
Keturunan orang yang mengidap diabetes (apalagi kalau kedua orangtuanya
mengidap diabetes, jelas lebih besar kemungkinannya untuk mengidap diabetes
daripada orang normal). Demikian pula saudara kembar identik pengidap diabetes
hampir 100% dapat dipastikan akan juga mengidap diabetes pada nantinya
(Sidartawan, 2001). Faktor keturunan merupakan faktor yang tidak dapat diubah,
tetapi faktor lingkungan (kegemukan, kegiatan jasmani kurang, nutrisi berlebih)
merupakan faktor yang dapat diubah dan diperbaiki. Usaha pencegahan ini
dilakukan menyeluruh pada masyarakat tapi diutamakan dan ditekankan untuk
dilaksanakan dengan baik pada mereka yang beresiko tinggi untuk kemudian
mengidap diabetes. Orang-orang yang mempunyai resiko tinggi untuk mengidap
diabetes adalah orang-orang yang pernah terganggu toleransi glukosanya, yang
mengalami perubahan perilaku/gaya hidup ke arah kegiatan jasmani yang kurang,
yang juga mengidap penyakit yang sering timbul bersamaan dengan diabetes,
seperti tekanan darah tinggi dan kegemukan.
Tindakan yang dilakukan untuk pencegahan primer meliputi penyuluhan
mengenai perlunya pengaturan gaya hidup sehat sedini mungkin dengan cara
memberikan pedoman:
1. Mempertahankan perilaku makan seharihari yang sehat dan seimbang
dengan meningkatkan konsumsi sayuran dan buah, membatasi makanan
tinggi lemak dan karbohidrat sederhana.
2. Mempertahankan berat badan normal sesuai dengan umur dan tinggi
badan.
3. Melakukan kegiatan jasmani yang cukup sesuai dengan umur dan
kemampuan.
C. Pencegahan Tingkat Kedua
Sasaran utama pada mereka yang baru terkena penyakit atau yang terancam
akan menderita penyakit tertentu melalui diagnosa dini serta pemberian
pengobatan yang cepat dan tepat.Salah satu kegiatan pencegahan tingkat kedua
adanya penemuan penderita secara aktif pada tahap dini. Kegiatan ini meliputi
pemeriksaan berkala, penyaringan (screening) yakni pencarian penderita dini
untuk penyakit yang secara klinis belum tampak pada penduduk secara umum
pada kelompok resiko tinggi dan pemeriksaan kesehatan atau keterangan sehat
(Noor, 2002).
Upaya pencegahan tingkat kedua pada penyakit diabetes adalah dimulai
dengan mendeteksi dini pengidap diabetes. Karena itu dianjurkan untuk pada
setiap kesempatan, terutama untuk mereka yang beresiko tinggi agar dilakukan
pemeriksaan penyaringan glukosa darah. Dengan demikian, mereka yang
memiliki resiko tinggi diabetes dapat terjaring untuk diperiksa dan kemudian yang
dicurigai diabetes akan dapat ditindaklanjuti, sampai diyakinkan benar mereka
mengidap diabetes. Bagi mereka dapat ditegakkan diagnosis dini diabetes
kemudian dapat dikelola dengan baik, guna mencegah penyulit lebih lanjut
(Sidartawan, 2001).
Untuk mencegah terjadinya kecacatan, tentu saja harus dimulai dengan deteksi
dini penyulit diabetes, agar kemudian penyulit dapat dikelola dengan baik di
samping tentu saja pengelolaan untuk mengendalikan kadar glukosa darah
(Sidartawan, 2001).
Carpenito & Moyet (2007). Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC.
Dixon M., dkk, (2005), Kelainan Payudara, Cetakan I, Dian Rakyat, Jakarta.
Doenges M., (2000), Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3, EGC, Jakarta
Guthrie, Diana W. Guthrie ,Richard A. 2002. Management of Diabetes Mellitus, A guide to
the pattern approach. 6th ed. New York : Springer Publishing
Indraswari, W. 2010. Hubungan Indeks Glikemik Asupan Makanan Dengan Kadar Glukosa
Darah Pada Pasien Rawat Jalan Diabetes Mellitus Tipe-2 Di Rsup Dr. Wahidin
Sudirohusodo. Skripsi Sarjana. Program Studi Ilmu Gizi, Fakultas Kesehatan
Masyarakat, Universitas Hasanuddin, Makassar: 42-44.
Johnson, M.,et all, 2008, Nursing Outcomes Classification (NOC) Second Edition, IOWA
Intervention Project, Mosby.
Lanywati, Endang (2007). Diabetes Melitus Penyakit Kencing Manis. Yokyakarta: kanisius.
Mansjoer, dkk, (2000), Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3, Jakarta
Mc Closkey, C.J., Iet all, 2008, Nursing Interventions Classification (NIC) econd Edition,
IOWA Intervention Project, Mosby.
Price, Sylvia A.2005.Patofisiologi volume Edisi 6.Jakarta:EGC
Price & Wilson (2006). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: EGC.
Riyadi, Sujono; Sukarmin. 2008. Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan
Eksokrin dan Endokrin pada Pankreas. Graha Ilmu: Yogyakarta
Robbins, dkk., 2007.Buku Ajar Patologi. Volume 2. Edisi 7. Penerbit buku Kedokteran EGC.
Jakarta.
Sidartawan, S. 2001. Pengalaman Klinis Pengobatan Diabetes Mellitus Tipe 2 (Volume 51).
Jakarta: Majalah Kedokteran Indonesia.
Sjamsuhidajat R., (1997), Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi, EGC, Jakarta.
Smeltzer & Bare. (1996). Keperawatan Medikal Bedah, Volume 2. Jakarta: EGC
Smeltzer, Suzzanne C.2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth
Ed.8.Jakarta: EGC
Soegondo S. Diagnosis dan Kalsifikasi Diabetes Mellitus Terkini. Dalam Soegondo S dkk
(eds), Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Terpadu. Penerbit FKUI. Jakarta. 2005.
Sujono & Sukarmin (2008). Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan Eksokrin &
Endokrin pada Pankreas. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Suyono, Slamet. 2007. Patofisiologi diabetes mellitus dalam: Waspadi, S., Sukardji, K.,
Octariana, M. Pedoman Diet Diabetes Melitus. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta.
Tambayong, Jan dr. 2001. Anatomi dan fisiologi untuk keperawatan. EGC
Tapan, (2005), Kanker, Anti Oksidan dan Terapi Komplementer, Elex Media Komputindo,
Jakarta.
Wiryowidigdo Noor, N.N. 2002. Epidemiologi. Makassar: Lembaga Penelitian Universitas
Hasanuddin.