Anda di halaman 1dari 26

SATUAN ACARA PENYULUHAN (SAP)

PROSES PENYAKIT DIABETES

Disusun untuk memenuhi tugas Blok Endokrin

Oleh:

KELOMPOK 5:

Kadek Aryandari 145070201111020


Ni Komang Tri Yasanti 145070201111022
Maya Cintia Melani 145070201111024
Hayatus Sa’adah Ayu Lestari 145070201111026
Kadek Chintya Nurlita W 145070201111028
Novia Ecci 145070201131016
Feny Dwi Anggraeni 145070207111002
Amirullah 125070207111010

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNUVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2016
SATUAN ACARA PENYULUHAN

PROSES PENYAKIT DIABETES

Mata kuliah : Blok Endokrin

Pokok bahasan : Proses Penyait Diabetes

Sasaran : Masyarakat awam dan pasien pre Diabetes

Tempat : Rumah Tn.A. jln.Ranurejo no.24 Situbondo

Hari/tanggal : Rabo, 21 September 2016

Alokasi waktu : 45 Menit

Pertemuan ke :1

A. ANALISA SITUASI
1. AUDIENCE
 Jumlah audience ± 10-15 orang
 Minat dan perhatian dalam menerima materi penyuluhan cukup baik
 Interaksi antara penyuluh dengan audience cukup baik
2. PENYULUH
 Mahasiswa ilmu keperawatan brawijaya
 Mampu mengkomunikasikan materi penyuluhan
 Mampu menjawab pertanyaan pasien yang sehubungan dengan proses
penyakit Diabetes
3. RUANGAN
 Di ruang tamu Tn.A
 Penerangan dan ventilasi cukup baik
 Mampu menampung seluruh audience
B. TUJUAN INSTRUKSIONAL
1. Tujuan umum
Setelah mengikuti penyuluhan kepada masyarakat awam dan pasien prediabet
mengerti dan memahami tentang penyakit Diabetes serta dapat menerapkannya.

2. Tujuan instruksional khusus


Setelah mengikuti kegiatan penyuluhan kepada masyarakat awam dan pasien
prediabet diharapkan memahami tentang :

a. Menjelaskan tentang sejarah Diabetes


b. Menyebutkan tentang patofisiologi Diabetes
c. Menyebutkan tentang etiologi atau faktor pencetus Diabetes
d. Menyebutkan tentang gejala dan tanda awal Diabetes
e. Menjelaskan tentang pengobatan Diabetes
f. Menjelaskan tentang komplikasi Diabetes
g. Menjelaskan tentang pencegahan Diabetes

C. SUB POKOK BAHASAN


a. Sejarah Diabetes
b. Patofisiologi Diabetes
c. Etiologi Atau Faktor Pencetus Diabetes
d. Pengobatan Diabetes
e. Gejala Dan Tanda Awal Diabetes
f. Komplikasi Diabetes
g. Pencegahan Diabetes

D. KEGIATAN BELAJAR MENGAJAR


Kegiatan Kegiatan Penyuluh Kegiatan Metode Media waktu
Peserta

Pendahuluan  Memberi salam - Menjawab Ceramah 5 Menit


 Memperkenalkan salam
diri - Mendengark
 Menanyakan an
keadaan peserta
 Menyampaikan
tujuan penyuluhan
 Menyebarkan
leaflet
 Mengkaji
pengetahuan
audience

Menjelaskan  Mendengark Ceramah Leaflet 25


tentang: an Menit
 Menanyakan
a. Sejarah
materi yang
Diabetes
belum
b. Patofisiologi
dimengerti
Diabetes
Penyajian
c. Etiologi Atau
Faktor
Pencetus
Diabetes
d. Pengobatan
Diabetes
e. Gejala Dan
Tanda Awal
Diabetes
f. Komplikasi
Diabetes
g. Pencegahan
Diabetes

Penutup Menyampikan Mendengarkan Tanya - 15


kesimpulan dan dan tanya jawab jawab Menit
melakukan hasil
evaluasi hasil
penyuluhan

E. MATERI PENULUHAN
Terlampir

F. MEDIA
 leaflet
G. METODE
o Ceramah
o Tanya jawab
H. EVALUASI
1. Bagaimana sejarah diabetes?
2. Bagaimana patofisiologi diabetes?
3. Apa etiologi atau faktor pencetus diabetes?
4. Bagaimana pengobatan pada diabetes?
5. Bagaimana cara kita mengenali gejala dan tanda awal diabetes?
6. Apa saja komplikasi dari diabetes?
7. Bagaimana cara pencegahan diabetes?
MATERI PENYULUHAN

A. SEJARAH
Diabetes sudah dikenal sejak berabad-abad sebelum masehi. Pada Papyrus
Ebers di Mesir kurang lebih 1500 SM, digambarkan adanya penyakit dengan tanda-
tanda banyak kencing.Kemudian Celsus atau Paracelsus kira-kira pada 30 SM juga
menemukan penyakit tersebut. Pada 200 tahun kemudian, Artaeus menamai penyakit
itu Diabetes dari kata Diabere yang berarti siphon atau tabung untuk mengalirkan
cairan dari suatu tempat ke tempat lain (Suyono,dkk, 2007).
Cendekiawan India dan Cina pada abad ke 3 sampai dengan 6 masehi juga
menemukan penyakit ini dan mengatakan bahwa urin pasien-pasien rasanya manis.
Pada tahun 1674 Willis melukiskan urin tersebut seperti digelimangi madu dan gula.
Sejak saat itu nama penyakit ditambah dengan kata Mellitus yang berarti madu
(Suyono, dkk, 2007).
Ibnu Sina pertama kali melukiskan ganggren diabetik pada tahun 1000. Pada
tahun 1889 Von Mehring dan Minowski mendapatkan gejala diabetes pada anjing
yang diambil pankreasnya. Kemudian pada abad ke-20, tepatnya tahun 1921 seorang
ahli bedah Frederick Grant Banting dan Charles Herbert Best asistennya menemukan
insulin. Pada tahun 1954-1956 ditemukan tablet jenis sulfonilurea yang dapat
meningkatkan kadar insulin. Tahun 1969 ditemukan jenis sulfonilurea generasi kedua
yaitu Glibenklamid (Suyono, dkk, 2007).
Menurut American Diabetes (ADA) tahun 2003, diabetes mellitus merupakan
suatu kelompok penyakit metabolic dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi
karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Hiperglikemia
kronik pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi dan
kegagalan beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, syaraf, jantung dan pembuluh
darah (Soegondo, 2005).
Menurut Suyono S (2005) secara umum diabetes mellitus merupakan
kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang disebabkan oleh karena adanya
peningkatan kadar gula (glukosa) darah akibat kekurangan insulin.
Diabetes mellitus adalah penyakit kronis gangguan metabolic pada
metabolism karbohidrat, lemak dan protein dalam tubuh sebagai sumber energy,
akibat kekurangan hormone insulin yang dibentuk pankreas. Hal ini dapat
mengakibatkan kadar gula dalam darah meningkat dan kelebihannya akan dikeluarkan
melalui ginjal dan selanjutnya melalui urine (Depkes, 2007).

B. PATOFISIOLOGI
Pada proses pencernaan, pengolahan bahan makanan dimulai di mulut
kemudian ke lambung dan selanjutnya ke usus. Di dalam saluran pencernaan makanan
dipecah menjadi bahan dasar dari makanan itu. Karbohidrat menjadi glukosa, protein
menjadi asam amino dan lemak menjadi asam lemak. Didalam tubuh, zat makanan
terutama glukosa dibakar melalui proses metabolisme, dan hasil akhirnya timbulnya
energi. Insulin bertugas memasukkan glukosa ke dalam sel, untuk selanjutnya dapat
digunakan sebagai bahan bakar (Suyono,dkk, 2007).
Insulin memainkan peranan sebagai transportasi untuk menghantar glukosa
memasuki ke dalam sel-sel. Tanpa insulin, sel-sel akan kekurangan glukosa untuk
digunakan sebagai sumber energi meskipun adanya glukosa di dalam aliran darah.
Akhirnya, glukosa yang lebih ini atau glukosa yang tidak digunakan ini akan
diekskresikan dalam urin (Suyono,dkk, 2007). Selain membantu glukosa memasuki
sel-sel, insulin juga penting dalam mengatur tingkat glukosa dalam darah. Setelah
makan, kadar glukosa darah akan meningkat, untuk mengatasi peningkatan kadar
glukosa, pankreas biasanya melepaskan lebih banyak insulin ke dalam aliran darah
untuk membantu glukosa memasuki sel-sel dan menurunkan kadar glukosa darah
setelah makan. Ketika kadar glukosa darah diturunkan, maka pelepasan insulin dari
pankreas dihentikan (Suyono, dkk, 2007).
Dalam DM tipe I, pankreas mengalami serangan autoimmune oleh tubuh
sendiri, dan menyebabkan sel-sel pankreas tidak bisa menghasilkan insulin.Antibodi
abnormal telah ditemukan di sebagian besar pasien dengan DM tipe I. Pada pasien
DM Tipe I, sel-sel beta pankreas yang bertanggung jawab untuk produksi insulin
diserang oleh sistem kekebalan tubuh.Hal ini diyakini bahwa warisan genetik
mungkin suatu faktor risiko berkembangnya antibiotic yang abnormal.Selain itu,
paparan terhadap infeksi virus tertentu atau racun-racun lingkungan hidup lainnya
bisa memicu respons antibodi abnormal yang merusakan sel-sel pankreas (Suyono,
dkk, 2007).
Pada DM tipe 2, sekresi insulin di fase 1 atau early peak yang terjadi dalam 3-
10 menit pertama setelah makan yaitu insulin yang disekresi pada fase ini adalah
insulin yang disimpan dalam sel beta (siap pakai) tidak dapat menurunkan glukosa
darah sehingga merangsang fase 2 adalah sekresi insulin dimulai 20 menit setelah
stimulasi glukosa untuk menghasilkan insulin lebih banyak, tetapi sudah tidak mampu
meningkatkan sekresi insulin sebagaimana pada orang normal. Gangguan sekresi sel
beta menyebabkan sekresi insulin pada fase 1 tertekan, kadar insulin dalam darah
turun menyebabkan produksi glukosa oleh hati meningkat, sehingga kadar glukosa
darah puasa meningkat. Secara berangsur-angsur kemampuan fase 2 untuk
menghasilkan insulin akan menurun. Dengan demikian perjalanan DM tipe 2, dimulai
dengan gangguan fase 1 yang menyebabkan hiperglikemi dan selanjutnya gangguan
fase 2 di mana tidak terjadi hiperinsulinemi akan tetapi gangguan sel beta. Penelitian
menunjukkan adanya hubungan antara kadar glukosa darah puasa dengan kadar
insulin puasa. Pada kadar glukosa darah puasa 80-140 mg/dl kadar insulin puasa
meningkat tajam, akan tetapi jika kadar glukosa darah puasa melebihi 140 mg/dl
maka kadar insulin tidak mampu meningkat lebih tinggi lagi; pada tahap ini mulai
terjadi kelelahan sel beta menyebabkan fungsinya menurun. Pada saat kadar insulin
puasa dalam darah mulai menurun maka efek penekanan insulin terhadap produksi
glukosa hati khususnya glukoneogenesis mulai berkurang sehingga produksi glukosa
hati makin meningkat dan mengakibatkan hiperglikemi pada puasa. Faktor-faktor
yang dapat menurunkan fungsi sel beta diduga merupakan faktor yang didapat
(acquired) antara lain menurunnya massa sel beta, malnutrisi masa kandungan dan
bayi, adanya deposit amilyn dalam sel beta dan efek toksik glukosa (glucose toXicity)
(Schteingart, 2005 dikutip oleh Indraswari, 2010).
Pada sebagian orang kepekaan jaringan terhadap kerja insulin tetap dapat
dipertahankan sedangkan pada sebagian orang lain sudah terjadi resistensi insulin
dalam beberapa tingkatan. Pada seorang penderita dapat terjadi respons metabolik
terhadap kerja insulin tertentu tetap normal, sementara terhadap satu atau lebih kerja
insulin yang lain sudah terjadi gangguan. Resistensi insulin merupakan sindrom yang
heterogen, dengan faktor genetik dan lingkungan berperan penting pada
perkembangannya. Selain resistensi insulin berkaitan dengan kegemukan, terutama
gemuk di perut, sindrom ini juga ternyata dapat terjadi pada orang yang tidak gemuk.
Faktor lain seperti kurangnya aktifitas fisik, makanan mengandung lemak, juga
dinyatakan berkaitan dengan perkembangan terjadinya kegemukan dan resistensi
insulin (Indraswari, 2010).
C. FAKTOR PENCETUS atau ETIOLOGI

Etiologi secara umum tergantung dari tipe Diabetes, yaitu :


1. Diabetes Tipe 1 (Insulin Dependent Diabetes Melitus/ IDDM)
Diabetes yang tergantung insulin yang ditandai oleh penghancuran sel-sel beta
pancreas disebabkan oleh :
a. Faktor Genetik
Penderita DM tidak mewarisi DM tipe 1 itu sendiri tapi mewarisi suatu
predisposisi kecenderungan genetic kearah terjadinya DM tipe 1. Ini
ditemukan pada individu yang mempunyai tipe antigen HLA (Human
Leucocyte Antigen) tertentu. HLA merupakan kumpulan gen yang
bertanggung jawab atas antigen transplatasi dan proses imun lainnya.
b. Faktor Imunologi
Respon abnormal dimana antibody terarah pada jaringan normal tubuh
dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggap seolah-olah
sebagai jaringan asing.
c. Faktor Lingkungan
Virus atau toksin dapat memicu proses autoimun yang menimbulkan
destruksi sel beta.

2. Diabetes Tipe 2 (Non Insulin Dependent Diabetes Melitus/ NIDDM)


Mekanisme yang tepat yang menyebabkan resistensi insulin dan gangguan sekresi
insulin pada diabetes tipe II belum diketahui. Faktor genetic diperkirakan
memegang peranan dalam proses terjadinya resistensi insulin. Selain itu terdapat
faktor-faktor resiko tertentu yang berhubungan yaitu :
a. Usia
Umumnya manusia mengalami penurunan fisiologi yang secara
dramatis menurun dengan cepat pada usia setelah 40 tahun. Penurunan ini
yang akan beresiko pada penurunan fungsi endokrin pancreas untuk
memproduksi insulin. (Sujono & Sukarmin, 2008)
b. Obesitas
Obesitas mengakibatkan sel-sel beta pancreas mengalami hipertropi
yang akan berpengaruh pada penurunan produksi insulin. Hipertropi pancreas
disebabkan karena peningkatan beban metabolism glukosa pada penderita
obesitas untuk mencukupi energy sel yang terlalu banyak (Sujono &
Sukarmin, 2008).
c. Riwayat Keluarga
Pada anggota keluarga dekat pasien diabetes tipe II (dan pada kebar
non identik), resiko menderita penyakit ini 5 hingga 10 kali lebih besar
daripada sebjek (dengan usia dan berat yang sama) yang tidak memiliki
riwayat penyakit dalam keluarganya. Tidak seperti diabetes tipe I, penyakit ini
tidak berkaitan dengan gen HLA. Penelitian epidemiologi menunjukkan
bahwa diabetes tipe 2 tampaknya terjadi akibat sejumlah defek genetif,
masing-masing member kontribusi pada resiko dan masing-masing juga
dipengaruhi oleh lingkungan (Robbins, 2007).
d. Gaya Hidup (Stress)
Stress kronis cenderung membuat seseorang mencari makanan yang
cepa saji dengan banyak pengawet, lemak, dan gula. Makanan ini berpengaruh
besar terhadap kerja pancreas. Stress juga akan meningkatkan kerja
metabolism dan meningkatkan kebutuhan akan sumber energy yang berakibat
pada penurunan insulin (Smeltzer and Bare, 1996).

D. GEJALA DAN TANDA AWAL


Tanda awal yang dapat diketahui bahwa seseorang menderita DM atau
kencing manis yaitu dilihat langsung dari efek peningkatan kadar gula darah, dimana
peningkatan kadar gula dalam darah mencapai nilai 160 - 180 mg/dL dan air seni
(urine) penderita kencing manis yang mengandung gula (glucose), sehingga urine
sering dilebung atau dikerubuti semut.
Pada tahap awal sering ditemukan :
a. Poliuri (banyak kencing)
Hal ini disebabkan oleh karena kadar glukosa darah meningkat
sampai melampaui daya serap ginjal terhadap glukosa sehingga terjadi osmotic
diuresis yang mana gula banyak menarik cairan dan elektrolit sehingga klien
mengeluh banyak kencing.
b. Polidipsi (banyak minum)
Hal ini disebabkan pembakaran terlalu banyak dan kehilangan cairan banyak
karena poliuri, sehingga untuk mengimbangi klien lebih banyak minum.
c. Poliphagi (banyak makan)
Hal ini disebabkan karena glukosa tidak sampai ke sel-sel mengalami starvasi
(lapar). Sehingga untuk memenuhinya klien akan terus makan. Tetapi walaupun
klien banyak makan, tetap saja makanan tersebut hanya akan berada sampai pada
pembuluh darah.
d. Berat badan menurun, lemas, lekas lelah, tenaga kurang.
Hal ini disebabkan kehabisan glikogen yang telah dilebur jadi glukosa, maka
tubuh berusama mendapat peleburan zat dari bahagian tubuh yang lain yaitu
lemak dan protein, karena tubuh terus merasakan lapar, maka tubuh selanjutnya
akan memecah cadangan makanan yang ada di tubuh termasuk yang berada di
jaringan otot dan lemak sehingga klien dengan DM walaupun banyak makan akan
tetap kurus.
e. Mata kabur
Hal ini disebabkan oleh gangguan lintas polibi (glukosa – sarbitol fruktasi)
yang disebabkan karena insufisiensi insulin. Akibat terdapat penimbunan sarbitol
dari lensa, sehingga menyebabkan pembentukan katarak.

Kondisi kadar gula yang drastis menurun akan cepat menyebabkan seseorang
tidak sadarkan diri bahkan memasuki tahapan koma. Gejala diabetes melitus dapat
berkembang dengan cepat waktu ke waktu dalam hitungan minggu atau bulan,
terutama pada seorang anak yang menderita penyakit diabetes mellitus tipe 1. Lain
halnya pada penderita diabetes mellitus tipe 2, umumnya mereka tidak mengalami
berbagai gejala diatas. Bahkan mereka mungkin tidak mengetahui telah menderita
kencing manis.
Menurut Supartondo, gejala-gejala akibat DM pada usia lanjut yang sering
ditemukan adalah :
1. Katarak
2. Glaukoma
3. Retinopati
4. Gatal seluruh badan
5. Pruritus Vulvae
6. Infeksi bakteri kulit
7. Infeksi jamur di kulit
8. Dermatopati
9. Neuropati perifer
10. Neuropati visceral
11. Amiotropi
12. Ulkus Neurotropik
13. Penyakit ginjal
14. Penyakit pembuluh darah perifer
15. Penyakit koroner
16. Penyakit pembuluh darah otak
17. Hipertensi

E. PENGOBATAN
Tujuan utama terapi diabetes adalah mencoba menormalkan aktivitas insulin
dan kadar glukosa darah dalam upaya untuk mengurangi terjadinya komplikasi
vaskuler serta neuropatik. Tujuan teraupetik pada setiap jenis diabetes adalah
mencapai kadar glukosa darah normal tanpa terjadinya hipoglikemia dan gangguan
serius pada pola aktivitas klien.
Ada lima komponen dalam penatalaksanaan diabetes:
1. Diet
2. Latihan
3. Pemantauan
4. Terapi
5. Pendidikan (keperawatan medical bedah, brunner and suddarth, 2002)

a. Penatalaksanaan Diet/Perencanaan Makanan (Meal planning)


Tujuan utama pengaturan diet adalah membantu orang dengan diabetes
memperbaiki kebiasaan gizi dan olahraga untuk mendapatkan kontrol metabolik
yang lebih baik, mempertahankan kadar glukosa darah mendekati normal,
memberikan energi yang cukup untuk mecapai atau mempertahankan kadar
glukosa darah mendekati normal, memberikan energi yang cukup untuk mencapai
atau mempertahankan berat badan yang memadai, menghindari dan menangani
komplikasi baik akut maupun kronis serta meningkatkan kesehatan secara
keseluruhan melalui gizi yang optimal.
Perencanaan diet bagi penderita DM, harus difikirkan tentang kepatuhan
dalam menjalankan diet. Cara terbaik adalah dengan penyesuaian aktifitas, pola
makan dan keadaan ekonomi penderita. Komposisi energi adalah 60-70 %
karbohidrat, 10-15 % dari protein dan 20-25 % dari lemak. Makanan dengan
jumlah kalori yang telah dihitung dibagi dalam 3 porsi besar untuk makan pagi
(20 %), siang (30 %) dan sore (25 %) serta 2-3 porsi makanan ringan (10-15 %).
Pada consensus perkumpulan endokrinologi Indonesia (PERKENI) telah
ditetapkan bahwa standar yang dianjurkan adalah santapan dengan komposisi
seimbang berupa karbohidrat(60-70%), protein (10-15%), lemak (20-25%),.
Apabila diperlukan santapan dengan komposisi karbohidrat sampai 70-75% juga
memberikan hasil yang baik, terutama untuk golongan ekonomi rendah. Jumlah
kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stress akut, dan
kegiatan jasmani untuk mencapai berat badan ideal. Jumlah kandungan kolestrol
<300mg/hari. Jumlah kandungan serat kurang lebih 25 g/hari, diutamakan jenis
serat larut. Konsumsi garam dibatasi bila terdapat hipertensi. Pemanis dapat
digunakan secukupnya.
Cara menghitung kalori pada pasien DM:
Tentukan terlebih dahulu berat badan ideal untuk mengetahui jumlah kalori basal
pasien DM. Cara termudah adalah perhitungan menurut Bocca :
BB ideal=(TB dalam cm – 100)x 1 kg
Kemudian hitung jumlah kalori yang dibutuhkan. Ada beberapa cara untuk
menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan seorang pasien DM.
1) Menghitung kebutuhan basal dengan cara mengalihkan berat badan ideal
dengan 30 untuk laki-laki dan 25 untuk wanita. Kebutuhan kalori sebenarnya
harus ditambah lagi sesuai dengan kegiatan sehari-hari
Daftar kalori yang dikeluarkan pada berbagai aktifitas
Ringan Sedang Berat
100 – 200 kkal/jam 200-350 kkal/jam 400-900 kkal/jam
Mengendarai mobil Rumah tangga Aerobic
Memancing Bersepeda Bersepeda
Kerja laboratorium Bowling Memanjat
Kerja sekretaris Jalan cepat Menari
Mengajar kerja Berkebun Lari
Golf Sepak bola
Sepatu roda tenis
2) Kebutuhan basal dihitung seperti 1, tetapi ditambah kalori berdasarkan
persentase kalori basal.
a) Kerja ringan, ditambah 10% dari kalori basal
b) Kerja sedang, ditambah 20% dari kalori basal
c) Kerja berat, ditambah 40-100% dari kalori basal
d) Pasien kurus, masih tumbuh kembang, terdapat infeksi, sedang hamil
atau menyusui, ditambah 20-30%

3) Kebutuhan kalori dihitung berdasarkan kebutuhan kalori


Dewasa Kkal/BB ideal
Kerja santai Kerja sedang kerja
berat
Gemuk 25 30 35
Normal 30 35 40
Kurus 35 40 40-50

4) Suatu pegangan kasar dapat dibuat sebagai berikut:


a) Pasien kurus = 2300-2500 kkal
b) Pasien normal =1700-2100 kkal
c) Pasien gemuk =1300-1500 kkal

Diit DM sesuai dengan paket-paket yang telah disesuaikan dengan kandungan


kalorinya.
1) Diit DM I : 1100 kalori
2) Diit DM II : 1300 kalori
3) Diit DM III : 1500 kalori
4) Diit DM IV : 1700 kalori
5) Diit DM V : 1900 kalori
6) Diit DM VI : 2100 kalori
7) Diit DM VII : 2300 kalori
8) Diit DM VIII: 2500 kalori
Keterangan :
Diit I s/d III : diberikan kepada penderita yang terlalu gemuk
Diit IV s/d V : diberikan kepada penderita dengan berat badan normal
Diit VI s/d VIII : diberikan kepada penderita kurus. Diabetes remaja, atau diabetes
komplikasi.
Dalam melaksanakan diit diabetes sehari-hari hendaklah diikuti pedoman 3 J yaitu:
 JI : jumlah kalori yang diberikan harus habis, jangan dikurangi atau ditambah
 J II : jadwal diit harus sesuai dengan intervalnya.
 J III : jenis makanan yang manis harus dihindari
Penentuan jumlah kalori Diit Diabetes Mellitus harus disesuaikan oleh status
gizi penderita, penentuan gizi dilaksanakan dengan menghitung Percentage of
relative body weight (BBR= berat badan normal) dengan rumus:
BBR = < BB (Kg) / TB (cm) – 100 > X 100 %
Kurus (underweight)
Kurus (underweight) : BBR < 90 %
Normal (ideal) : BBR 90 – 110 %
Gemuk (overweight) : BBR > 110 %
Obesitas, apabila : BBR > 120 %
Obesitas ringan : BBR 120 – 130 %
Obesitas sedang : BBR 130 – 140 %
Obesitas berat : BBR 140 – 200 %
Morbid : BBR > 200 %
Sebagai pedoman jumlah kalori yang diperlukan sehari-hari untuk penderita
DM yang bekerja biasa adalah:
Kurus : BB X 40 – 60 kalori sehari
Normal : BB X 30 kalori sehari
Gemuk : BB X 20 kalori sehari
Obesitas : BB X 10-15 kalori sehari

b. Latihan Jasmani
Dianjurkan latihan jasmani teratur, 3-4 kali tiap minggu selama kurang lebih
0,5 jam yang sifatnya sesuai CRIPE (continous, Rhtmical, Interval, Progresiv,
endurance training). Latihan dilakukan terus menerus tanpa berhenti, otot-otot
berkontraksi dan relaksasi secara teratur, selang seling antara gerak cepat dan
lambat, berangsur angsur dari sedikit ke latihan yang lebih berat secara bertahap
dan bertahan dalam waktu tertentu. Latihan yang dapat dijadikan pilihan adlah
jalan kaki, jogging, lari, renang, bersepeda, dan mendayung.
Sedapat mungkin mencapai zona sasaran atau zona latihan, yaitu 75%-85%
denyut nadi maksimal.Denyut nadi maksimal dapat dihitung dengan
menggunakan formula berikut:
DNM= 220 – umur (dalam tahun)
Hal yang perlu diperhatikan dalam latihan jasmani ini adalah jangan memulai
olahraga sebelum makan, memakai sepatu yang pas, harus didampingi orang yang
tahu mengatasi serangan hipoglikemia, harus selalu membawa permen, dan
memeriksa kaki setelah berolahraga.
1) Latihan Kontinyu, latihan yang dilakukan berkesinambungan, dilakukan terus
menerus. Contoh : jika jogging 30 menit maka selama 30 menit penderita
harus melakukan jogging tanpa istirahat.
2) Latihan Ritmis, latihan olahraga harus dipilih yang berirama, yaitu otot-otot
berkontraksi dan relaksasi secara teratur. Contoh : jalan kaki.
3) Latihan Interval, latihan olahraga yang dilakukan selang-seling antara gerak
cepat dan lambat. Contoh : jalan cepat diselingi jalan lambat.
4) Latihan Progresif, latihan yang dilakukan berangsur-angsur dari ringan ke
latihan yang lebih berat, secara bertahap.
5) Latihan Daya tahan, padat memperbaiki system kardiovaskuler.

c. Obat berkhasiat hipoglikemik


Jika pasien telah melakukan pengaturan makan dan kegiatan jasmani yang
teratur tapi kadar glukosa darah masih belum baik, dipertimbangkan pemakaian
obat berkhasiat hipoglikemik (oral/suntikan)
Obat Hipoglikemik Oral (OHO)
1) Sulfonylurea
Obat golongan sulfonylurea bekerja dengan cara :
a) Menstimulasi penglepasan insulin yang tersimpan
b) Menurunkan ambang sekresi insulin
c) Meningkatkan rangsangan insulin sebagai akibat rangsangan glukosa
2) Biguanid
Biguanid menurunkan kadar glukosa darah tapi tidak sampai dibawah
normal. Preparat yang ada dan normal adalah metformin. Obat ini dianjurkan
untuk pasien gemuk(IMT>30) sebagai obat tunggal. Pada pasien dengan berat
lebih (IMT 27-30), dapat dikombinasi dengan obat golongan sulfonylurea.
Kerja Metformin :
(a) Menurunkan glukosa darah dengan memperbaiki transport glukosa.
(b) Menurunkan produksi glukosa hati.
(c) Meningkatkan pemakaian glukosa oleh sel.
(d)Menghambat absorpsi glukosa dari usus pada keadaan sesudah makan.
(e) Meningkatkan jumlah reseptor insulin.
3) Inhibitor α glukosidase
Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim α
glukosidase di dalam saluran cerna, sehingga menurunkan penyerapan glukosa
4) Insulin sensitizing agent
Thoazolidinediones adalah golongan obat baru yang mempunyai efek
farmakologi meningkatkan sensitifitas insulin, sehingga bias mengatasi
masalah resistensi insulin tanpa menyebabkan hipoglikemia. Obat ini belum
beredar di Indonesia.
Indikasi penggunaan insulin pada NIDDM adalah:
a) DM dengan berat badan menurun cepat/kurus
b) Ketoasidosis, asidosis laktat, dan koma hyperosmolar
c) DM yang mengalami stress berat
d) Dm dengan kehamilan
e) DM yang tidak berhasil dikelola dengan obat hipoglikemik oral dosis
maksimal atau kontraindikasi obat tersebut.

Kerja Insulin:
a) menghambat glikogenolisis.
b) menghambat konversi asam amino menjadi glukosa.
c) menaikkan simpanan glukosa sebagai glikogen ( mengindukasi glukokinase ).
Injeksi Insulin
Preparat Suntik insulin yang tersedia
Jenis Kerja Preparat
Kerja pendek Actrapid human 40/humulin
Actrapid human 100
Kerja Sedang Monotard human 100
Insulatard
NPH
Kerja panjang PZL
Campuran kerja pendek dan Mixtard
sedan/panjang

Dosis insulin oral atau suntikan dimulai dengan dosis rendah, lalu dinaikkan
perlahan-lahan sesuai dengan hasil glukosa darah apsien. Jika pasien sudah diberikan
sulfonylurea dan metformin sampai dosis maksimal namun kadar glukosa darah
belum mencapai sasaran dianjurkan penggunaan kombinasi sulfonylurea dengan
metformin. Jika cara ini tidak berhasil juga, dipakai kombinasi sulfonilaria dan
metformin
Beberapa cara pemberian insulin
1) Suntikan insulin subkutan
Insulin reguler mencapai puncak kerjanya pada 1-4 jam, sesudah suntikan
subcutan, kecepatan absorpsi di tempat suntikan tergantung pada beberapa factor
antara lain:
a. lokasi suntikan
ada 3 tempat suntikan yang sering dipakai yitu dinding perut, lengan,
dan paha. Dalam memindahkan suntikan (lokasi) janganlah dilakukan
setiap hari tetapi lakukan rotasi tempat suntikan setiap 14 hari, agar tidak
memberi perubahan kecepatan absorpsi setiap hari.
b. Pengaruh latihan pada absorpsi insulin
Latihan akan mempercepat absorbsi apabila dilaksanakan dalam waktu
30 menit setelah suntikan insulin karena itu pergerakan otot yang berarti,
hendaklah dilaksanakan 30 menit setelah suntikan.
2) Pemijatan (Masage)
Pemijatan juga akan mempercepat absorpsi insulin.
a. Suhu
Suhu kulit tempat suntikan (termasuk mandi uap) akan mempercepat absorpsi
insulin.
 Dalamnya suntikan
Makin dalam suntikan makin cepat puncak kerja insulin dicapai. Ini berarti
suntikan intramuskuler akan lebih cepat efeknya daripada subcutan.
 Konsentrasi insulin
Apabila konsentrasi insulin berkisar 40 – 100 U/ml, tidak terdapat
perbedaan absorpsi. Tetapi apabila terdapat penurunan dari u –100 ke u –
10 maka efek insulin dipercepat.
3) Suntikan intramuskular dan intravena
Suntikan intramuskular dapat digunakan pada koma diabetik atau pada kasus-
kasus dengan degradasi tempat suntikan subkutan. Sedangkan suntikan intravena
dosis rendah digunakan untuk terapi koma diabetik.

F. KOMPLIKASI
Beberapa komplikasi dari Diabetes Mellitus (Mansjoer dkk, 1999) adalah
1. Akut
a. Hipoglikemia dan hiperglikemia
b. Penyakit makrovaskuler : mengenai pembuluh darah besar, penyakit jantung
koroner (cerebrovaskuler, penyakit pembuluh darah kapiler).
Penderita diabetes dapat mengakibatkan perubahan aterosklerosis pada
arteri-arteri besar. Penderita NIDDM mengalami perubahan makrovaskuler
lebih sering daripada penderita IDDM. Insulin memainkan peranan utama
dalam metabolisme lemak dan lipid. Selain itu, diabetes dianggap
memberikan peranan sebagai faktor dalam timbulnya hipertensi yang dapat
mempercepat aterosklerosis. Pengecilan lumen pembuluh darah besar
membahayakan pengiriman oksigen ke jaringan-jaringan dan dapat
menyebabkan ischemia jaringan, dengan akibatnya timbul berupa penyakit
cerebro vascular, penyakit arteri koroner, stenosis arteri renalis dan penyakit-
penyakit vascular perifer.
c. Penyakit mikrovaskuler, mengenai pembuluh darah kecil, retinopati, nefropati.
Ditandai dengan penebalan dan kerusakan membran basal pembuluh kapiler,
sering terjadi pada penderita IDDM dan bertanggung jawab dalam terjadinya
neuropati, retinopati diabetik.
d. Neuropati saraf sensorik (berpengaruh pada ekstrimitas), saraf otonom
berpengaruh pada gastro intestinal, kardiovaskuler (Suddarth and Brunner,
1990).

2. Komplikasi menahun Diabetes Mellitus


a. Neuropati diabetic
Diabetes dapat mempengaruhi saraf-saraf perifer, sistem syaraf otonom,
medula spinalis atau sistim saraf pusat.
Neuropati sensorik/neuropati perifer.Lebih sering mengenai ekstremitas
bawah dengan gejala parastesia (rasa tertusuk-tusuk, kesemutan atau baal) dan
rasa terbakar terutama pada malam hari, penurunan fungsi proprioseptif
(kesadaran terhadap postur serta gerakan tubuh dan terhadap posisi serta berat
benda yang berhubungan dengan tubuh) dan penurunan sensibilitas terhadap
sentuhan ringan dapat menimbulkan gaya berjalan yang terhuyung-huyung,
penurunan sensibilitas nyeri dan suhu membuat penderita neuropati beresiko
untuk mengalami cedera dan infeksi pada kaki tanpa diketahui.
b. Retinopati diabetic
Disebabkan karena perubahan dalam pembuluh darah kecil pada retina
selain retinopati, penderita diabetes juga dapat mengalami pembentukan
katarak yang diakibatkan hiperglikemi yang berkepanjangan sehingga
menyebabkan pembengkakan lensa dan kerusakan lensa.
c. Nefropati diabetic
Perubahan struktur dan fungsi ginjal. Empat jenis lesi yang sering timbul
adalah pyelonefritis, lesi-lesi glomerulus, arterisclerosis, lesi-lesi tubular yang
ditandai dengan adanya proteinuria yang meningkat secara bertahap sesuai
dengan beratnya penyakit.
d. Proteinuria
e. Kelainan coroner
f. Ulkus/gangren (Soeparman, 1987, hal 377)
Terdapat lima grade ulkus diabetikum antara lain:
 Grade 0 : Tidak ada luka
 Grade I : Kerusakan hanya sampai pada permukaan kulit
 Grade II : Kerusakan kulit mencapai otot dan tulang
 Grade III : Terjadi abses
 Grade IV : Gangren pada kaki bagian distal
 Grade V : Gangren pada seluruh kaki dan tungkai bawah distal

G. PENCEGAHAN
Pada dasarnya ada empat tingkatan pencegahan penyakit secara umum yang
meliputi: pencegahan tingkat dasar (primordial prevention), pencegahan tingkat
pertama (primary prevention) yang meliputi promosi kesehatan dan pencegahan
khusus, pencegahan tingkat kedua (secondary prevention) yang meliputi diagnosa dini
serta pengobatan yang tepat, pencegahan tingkat ketiga (tertiary prevention) yang
meliputi pencegahan terhadap terjadinya cacat dan rehabilitasi (Noor, 2002).
A. Pencegahan Tingkat Dasar
Pencegahan tingkat dasar (primordial prevention) adalah usaha mencegah
terjadinya resiko atau mempertahankan keadaan resiko rendah dalam masyarakat
terhadap penyakit secara umum. Pencegahan ini meliputi usaha memelihara dan
mempertahankan kebiasaan atau perilaku hidup yang sudah ada dalam masyarakat
yang dapat mencegah resiko terhadap penyakit dengan melestarikan perilaku atau
kebutuhan hidup sehat yang dapat mencegah atau mengurangi tingkat resiko
terhadap suatu penyakit tertentu atau terhadap berbagai penyakit secara umum.
Umpamanya memelihara cara masyarakat pedesaan yang kurang mengonsumsi
lemak hewani dan banyak mengonsumsi sayuran, kebiasaan berolahraga dan
kebiasaan lainnya dalam usaha mempertahankan tingkat resiko yang rendah
terhadap penyakit (Noor, 2002).
Bentuk lain dari pencegahan ini adalah usaha mencegah timbulnya kebiasaan
baru dalam masyarakat atau mencegah generasi yang sedang bertumbuh untuk
tidak meniru atau melakukan kebiasaan hidup yang dapat menimbulkan resiko
terhadap beberapa penyakit. Sasaran pencegahan tingkat dasar ini terutama pada
kelompok masyarakat berusia muda dan remaja dengan tidak mengabaikan orang
dewasa dan kelompok manula (Noor, 2002).
B. Pencegahan Tingkat Pertama.
Pencegahan tingkat pertama (primary prevention) adalah upaya mencegah
agar tidak timbul penyakit diabetes mellitus. Faktor yang berpengaruh pada
terjadinya diabetes adalah faktor keturunan, faktor kegiatan jasmani yang kurang,
faktor kegemukan, faktor nutrisi berlebih, faktor hormon, dan faktor lain seperti
obat-obatan.
Faktor keturunan jelas berpengaruh pada terjadinya diabetes mellitus.
Keturunan orang yang mengidap diabetes (apalagi kalau kedua orangtuanya
mengidap diabetes, jelas lebih besar kemungkinannya untuk mengidap diabetes
daripada orang normal). Demikian pula saudara kembar identik pengidap diabetes
hampir 100% dapat dipastikan akan juga mengidap diabetes pada nantinya
(Sidartawan, 2001). Faktor keturunan merupakan faktor yang tidak dapat diubah,
tetapi faktor lingkungan (kegemukan, kegiatan jasmani kurang, nutrisi berlebih)
merupakan faktor yang dapat diubah dan diperbaiki. Usaha pencegahan ini
dilakukan menyeluruh pada masyarakat tapi diutamakan dan ditekankan untuk
dilaksanakan dengan baik pada mereka yang beresiko tinggi untuk kemudian
mengidap diabetes. Orang-orang yang mempunyai resiko tinggi untuk mengidap
diabetes adalah orang-orang yang pernah terganggu toleransi glukosanya, yang
mengalami perubahan perilaku/gaya hidup ke arah kegiatan jasmani yang kurang,
yang juga mengidap penyakit yang sering timbul bersamaan dengan diabetes,
seperti tekanan darah tinggi dan kegemukan.
Tindakan yang dilakukan untuk pencegahan primer meliputi penyuluhan
mengenai perlunya pengaturan gaya hidup sehat sedini mungkin dengan cara
memberikan pedoman:
1. Mempertahankan perilaku makan seharihari yang sehat dan seimbang
dengan meningkatkan konsumsi sayuran dan buah, membatasi makanan
tinggi lemak dan karbohidrat sederhana.
2. Mempertahankan berat badan normal sesuai dengan umur dan tinggi
badan.
3. Melakukan kegiatan jasmani yang cukup sesuai dengan umur dan
kemampuan.
C. Pencegahan Tingkat Kedua
Sasaran utama pada mereka yang baru terkena penyakit atau yang terancam
akan menderita penyakit tertentu melalui diagnosa dini serta pemberian
pengobatan yang cepat dan tepat.Salah satu kegiatan pencegahan tingkat kedua
adanya penemuan penderita secara aktif pada tahap dini. Kegiatan ini meliputi
pemeriksaan berkala, penyaringan (screening) yakni pencarian penderita dini
untuk penyakit yang secara klinis belum tampak pada penduduk secara umum
pada kelompok resiko tinggi dan pemeriksaan kesehatan atau keterangan sehat
(Noor, 2002).
Upaya pencegahan tingkat kedua pada penyakit diabetes adalah dimulai
dengan mendeteksi dini pengidap diabetes. Karena itu dianjurkan untuk pada
setiap kesempatan, terutama untuk mereka yang beresiko tinggi agar dilakukan
pemeriksaan penyaringan glukosa darah. Dengan demikian, mereka yang
memiliki resiko tinggi diabetes dapat terjaring untuk diperiksa dan kemudian yang
dicurigai diabetes akan dapat ditindaklanjuti, sampai diyakinkan benar mereka
mengidap diabetes. Bagi mereka dapat ditegakkan diagnosis dini diabetes
kemudian dapat dikelola dengan baik, guna mencegah penyulit lebih lanjut
(Sidartawan, 2001).

D. Pencegahan Tingkat Ketiga


Pencegahan tingkat ketiga (tertiary prevention) merupakan pencegahan
dengan sasaran utamanya adalah penderita penyakit tertentu, dalam usaha
mencegah bertambah beratnya penyakit atau mencegah terjadinya cacat serta
program rehabilitasi. Tujuan utama adalah mencegah proses penyakit lebih lanjut,
seperti perawatan dan pengobatan khusus pada penderita diabetes mellitus,
tekanan darah tinggi, gangguan saraf serta mencegah terjadinya cacat maupun
kematian karena penyebab tertentu, serta usaha rehabilitas (Noor, 2002).
Upaya ini dilakukan untuk mencegah lebih lanjut terjadinya kecacatan kalau
penyulit sudah terjadi. Kecacatan yang mungkin timbul akibat penyulit diabetes
ada beberapa macam, yaitu:
1. Pembuluh darah otak, terjadi stroke dan segala gejala sisanya.
2. Pembuluh darah mata, terjadi kebutaan.
3. Pembuluh darah ginjal, gagal ginjal kronik yang memerlukan tindakan
cuci darah.
4. Pembuluh darah tungkai bawah, dilakukan amputasi tungkai bawah.

Untuk mencegah terjadinya kecacatan, tentu saja harus dimulai dengan deteksi
dini penyulit diabetes, agar kemudian penyulit dapat dikelola dengan baik di
samping tentu saja pengelolaan untuk mengendalikan kadar glukosa darah
(Sidartawan, 2001).

Pemeriksaan pemantauan yang diperlukan untuk penyulit ini meliputi


beberapa jenis pemeriksaan, yaitu:

1. Mata, pemeriksaan mata secara berkala setiap 6-12 bulan.


2. Paru, pemeriksaan berkala foto dada setiap 1-2 tahun atau kalau ada
keluhan batuk kronik.
3. Jantung, pemeriksaan berkala urin untuk mendeteksi adanya protein dalam
urin.
4. Kaki, pemeriksaan kaki secara berkala dan penyuluhan mengenai cara
perawatan kaki yang sebaik-baiknya untuk mencegah kemungkinan
timbulnya kaki diabetik dan kecacatan yang mungkin ditimbulkannya.
DAFTAR PUSTAKA

Carpenito & Moyet (2007). Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC.
Dixon M., dkk, (2005), Kelainan Payudara, Cetakan I, Dian Rakyat, Jakarta.
Doenges M., (2000), Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3, EGC, Jakarta
Guthrie, Diana W. Guthrie ,Richard A. 2002. Management of Diabetes Mellitus, A guide to
the pattern approach. 6th ed. New York : Springer Publishing
Indraswari, W. 2010. Hubungan Indeks Glikemik Asupan Makanan Dengan Kadar Glukosa
Darah Pada Pasien Rawat Jalan Diabetes Mellitus Tipe-2 Di Rsup Dr. Wahidin
Sudirohusodo. Skripsi Sarjana. Program Studi Ilmu Gizi, Fakultas Kesehatan
Masyarakat, Universitas Hasanuddin, Makassar: 42-44.
Johnson, M.,et all, 2008, Nursing Outcomes Classification (NOC) Second Edition, IOWA
Intervention Project, Mosby.
Lanywati, Endang (2007). Diabetes Melitus Penyakit Kencing Manis. Yokyakarta: kanisius.
Mansjoer, dkk, (2000), Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3, Jakarta
Mc Closkey, C.J., Iet all, 2008, Nursing Interventions Classification (NIC) econd Edition,
IOWA Intervention Project, Mosby.
Price, Sylvia A.2005.Patofisiologi volume Edisi 6.Jakarta:EGC
Price & Wilson (2006). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: EGC.
Riyadi, Sujono; Sukarmin. 2008. Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan
Eksokrin dan Endokrin pada Pankreas. Graha Ilmu: Yogyakarta
Robbins, dkk., 2007.Buku Ajar Patologi. Volume 2. Edisi 7. Penerbit buku Kedokteran EGC.
Jakarta.
Sidartawan, S. 2001. Pengalaman Klinis Pengobatan Diabetes Mellitus Tipe 2 (Volume 51).
Jakarta: Majalah Kedokteran Indonesia.
Sjamsuhidajat R., (1997), Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi, EGC, Jakarta.
Smeltzer & Bare. (1996). Keperawatan Medikal Bedah, Volume 2. Jakarta: EGC
Smeltzer, Suzzanne C.2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth
Ed.8.Jakarta: EGC
Soegondo S. Diagnosis dan Kalsifikasi Diabetes Mellitus Terkini. Dalam Soegondo S dkk
(eds), Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Terpadu. Penerbit FKUI. Jakarta. 2005.
Sujono & Sukarmin (2008). Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan Eksokrin &
Endokrin pada Pankreas. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Suyono, Slamet. 2007. Patofisiologi diabetes mellitus dalam: Waspadi, S., Sukardji, K.,
Octariana, M. Pedoman Diet Diabetes Melitus. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta.
Tambayong, Jan dr. 2001. Anatomi dan fisiologi untuk keperawatan. EGC
Tapan, (2005), Kanker, Anti Oksidan dan Terapi Komplementer, Elex Media Komputindo,
Jakarta.
Wiryowidigdo Noor, N.N. 2002. Epidemiologi. Makassar: Lembaga Penelitian Universitas
Hasanuddin.

Anda mungkin juga menyukai