Anda di halaman 1dari 14

Sejarah Perkembangan Hadits pada Masa Seleksi

MAKALAH
Untuk memenuhi salah satu tugas matakuliah Ulumul Hadits
yang dibimbing oleh Tadjudin, S.Ag, M.Pd

Disusun oleh kelompok 7:

Sigma Maula Khoiru na’il (17208153051)


Anisa Fajar Kumala Wardani (17208153064)

JURUSAN TADRIS BIOLOGI


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI TULUNGAGUNG
Maret 2015

ii
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ..........................................................................................i


BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang......................................................................1
B. Rumusan Masalah................................................................1
C. Tujuan Penulisan..................................................................1
BAB II PEMBAHASAN
A. sejarah perkembangan hadits pada masa seleksi...............2
B. pengembangan dan penyempurnaan sunan
Kitab-kitab hadits..................................................................5
C. Sistem pembukuan hadits pada masa seleksi ...................5
BAB III Simpulan..................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA

i
BAB I
PENDAHULUAN

Pada Bab I ini diuraikan a) latar belakang b) rumusan masalah c) tujuan


penulisan yang dipaparkan di bawah ini.

A. Latar Belakang
Kaum muslimin meyakini bahwa Al-Hadits merupakan sumber hukum
utama sesudah al-qur’an. Keberadaannya merupakan realitas nyata dari ajaran
Islam yang terkandung dalam al-qur’an. Hal ini karena tugas rasul adalah
sebagai pembawa risalah dan sekaligus menjelaskan apa yang terkandung
dalam risalah yakni al-Qur’an. Sedangkan Al-Hadits, hakikatnya tak lain adalah
penjelasan dan praktek dari ajaran al-Qur’an itu sendiri.
Keberadaan hadits sebagai salah satu sumber hukum dalam Islam
memiliki sejarah perkembangan dan penyebaran yang kompleks. Sejak dari
masa pra-kodifikasi, zaman Nabi, Sahabat, Tabi’in hingga pada masa seleksi.
Pada maasa seleksi para ulama hadist bersungguh-sungguh mengadakan
penyaringan hadits yang diterimanya. Berdasarkan latar belakang masalah
tersebut, makalah ini kami susun untuk menjelaskan perkembangan hadist
pada masa seleksi ini yang mana pada masa ini para ulama berhasil
memisahkan hadis-hadis yang dhaif dari yang shahih, dan yang maqthu’ dari
marfu’,meskipun berdasarkan penelitian berikutnya masih ditemukan
terselipnya hadis dhaif pada kitab shahih

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas maka rumusan masalah disajikan sebagai
berikut.
1) Bagaimana sejarah perkembangan hadits pada masa seleksi?
2) Bagaimana pengembangan dan penyempurnaan sunan kitab-kitab hadits?
3) Bagaiaman sistem pembukuan hadits pada masa seleksi?

C. Tujuan penulisan
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dijabarkan di atas maka tujuan
penulisan pada makalah ini sebagai berikut.
1) Menjelaskan sejarah perkembangan hadits pada masa seleksi.
2) Menjelaskan pengembangan dan penyempurnaan sunan kitab-kitab hadits.
3) Menjelaskan sistem pembukuan hadits pada masa seleksi.

1
BAB II
PEMBAHASAN

Pada Bab ini diuraikan a) sejarah perkembangan hadits pada masa seleksi
b) masa pengembangan dan penyempurnaan sunan kitab-kitab hadits c) sistem
pembukuan hadits pada masa seleksi.

A. Sejarah Perkembangan Hadits pada Masa Seleksi


Setelah agama Islam tersebar luas di masyarakat, dipeluk dan dianut oleh
penduduk yang bertempat tinggal di luar jazirah arabiah, dan para sahabat
yang tidak sedikit jumlahnya yang telah meninggal dunia, maka terasa perlunya
hadits diabadikan dalam bentuk tulisan dan kemudian dibukukan.Permasalahan
ini menggerakkan hati Khalifah Umar Bin Abdul Aziz seorang Khalifah Bani
Umayyah yang menjabat Khalifah antara tahun 99 sampai tahun 101 H untuk
menulis dan membukukan hadis. Perintah itu Ia keluarkan sesudah
bermusyawarah dengan para ulama dan memperoleh dukungan dari sebagian
besar ulama. Adapun yang melatar belakangi pembukuan hadits antara lain:
1) Pada akhir abad 1 H para penghafal hadits semakin berkurang karena
sudah banyak yang meninggal dunia. Apabila hadis tidak segera
dikumpulkan dan dibukukan, maka hadits dikhawatirkan berangsur-
angsur hilang.
2) Semangat menghafal hadits mulai berkurang
3) Sudah tidak ada kekhawatiran tercampurnya antara al-qur’an dan hadits.
4) Hadits merupakan salah satu sumber ilmu pengetahuan sehingga
pembukuan hadits sangat diperlukan
5) Hadits banyak yang dikaburkan dan dipalsukan oleh golongan-golongan
atau kelompok tertentu.1

Orang yang pertama kali menaruh perhatian untuk membukukan hadits


Nabi adalah Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Syihab Al-Zuhri Al-
Madani. Shalih bin Kaisan pernah berkata,
“Aku berkumpul dengan Al-Zuhri ketika menuntut ilmu, lalu aku katakan,
‘Mari kita menuliskan sunnah-sunnah, lalu kami menulis hadits yang
dating dari Nabi Muhammad SAW’, kemudian Al-Zuhri mengatakan,
‘Mari kita tulis yang dating dari sahabat, karena dia termasuk sunah
juga’. Aku katakan, ‘Itu bukan sunah, sehingga tidak perlu kita tulis.’
Meski demikian Al-Zuhri tetap menuliskan berita yang dating dari
sahabat, sedangkan aku tidak, akhirnya dia berhasil sedangkan aku
gagal.”

Dalam kitab Al-Muwatha’ diriwayatkan dan begitu juga dalam sunan sal-
Darimi, ketika Umar bin Abdul Aziz menjabat khalifah, beliau merasa khawatir
akan merosot dan hilangnya ilmu karena meninggalnya para ulama, maka
beliau menyerukan kepada Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm untuk
membukukan hadits seraya berkata:2
1
Muhammad Gufron dan Rahmawati, Ulumul Hadits, (Yogyakarta: Teras, 2013), hal. 35

2
Ibid.hlm. 36

2
‫ث رسوْ ظللاُ صلى عليه وَ سلم انوَ سننُتثثه انوَ حثدير ث‬
‫ث عمر ناوَ نرحوْ هذا‬ ‫ث ث ث‬
‫ر ظ ر ن‬ ‫اظنرظظرر نماَ نكاَنن مرن نحدير ن ظ ر‬
‫ب الرعظلننماَثء‬ ‫ث‬ ‫ت ظدروَ ث‬
‫س الرعلثم نوَ ذنهاَ ن‬
‫ث‬ ‫ث‬
‫نفاَ ركتظربهظ لى نفإَننى حرف ظ ظ ر ن‬

“Lihatlah apa yang terjadi pda hadits Rasulullah atau Sunnahnya, atau
hadits dari ‘amra atau lainnya, maka tulislah karena aku mengkhawatirkan
merosotnya ilmu dan hilangnya para ulama.”

Kemudian Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm menyerukan
Muhammad bin Syihab Al-Zuhri, yang dinilainya sebagai orang yang lebih
banyak mengetahui hadits. Al-Zuhri tercatat sebagaui ulama besar pertama
yang membukukan hadits. Kebijaksanaan Khalifah Umar bin Abdul Aziz ini oleh
sejarah dicatat sebagai kodifikasi hadits yang pertama secara resmi. Pengertian
resmi disini ialah kebijaksanaan itu dilaksanakan atas perintah penguasa yang
sah dan disebarluaskan ke seluruh jajaran kekuasaannya. Peristiwa tersebut
terjadi di penghujung abad pertama Hijriyah. 3
Perkembangan hadits setelah masa tabi’in disebut sebagai periode seleksi
karena pada masa ini terjadi perhimpunan dan penertiban. Ulama yang hidup
pada abad ke-4 H ini disebut ulama muta’akhirin atau khalaf (modern). Diantara
kegiatan pengodifikasian hadis pada periode ini adalah dalam berbagai bentuk,
yaitu bentuk mu’jam (ensiklopedia), shahih (himpunan shahih saja), mustadrak
(susulan shahih), sunan, al-jam’u (gabungan dua atau atau beberapa kitab
hadis), ikhtisar (rangkuman), istikhraj, dan syarah (ulasan). Perkembangan
teknik pembukuan hadis pada masa ini (abad 4-6 H) adalah sebagai berikut.
1) Mu’jam, penghimpunan hadis yang diperoleh berdasarkan nama sahabat
secara abjad (alphabet) seperti Al-Mu’jam Al-Kabir Sulaiman bin ahmad
Ath-Tabrani. Atau diartikan seperti kamus yaitu didasarkan pada nama
masyayikh-nya atau negeri tempat tinggal atau kabilah secara abjad
seperti Al-Mu’jam AlAl-Awsath oleh penulis yang sama.
2) Shahih, metode pembukuannya mengikuti metode pembukuan hadis
shahihayn (Al-Bukhori dan Muslim) yang hanya mengumpulkan hadis
shahih saja menurut penulisnya seperti Shahih Ibnu Hibban Al-Basti.
3) Sunan, metode penulisannya seperti kitab Sunan pada abad
sebelumnya, yaitu cakupannya hadis-hadis tentang hukum seperti fikih
dan kualitasnya meliputi shahih, hasan, dhaif.
4) Syarah, berupa penjelasan hadis, baik yang berkaitan dengan sanad
atau matan, terutama maksud dan makna matan hadis atau
pemecahannya atau jika terjadi kontradiksi dengan ayat atau dengan
hadis lain
5) Mustakhraj, seorang penghimpun hadis mengeluarkan beberapa buah
hadis dari sebuah buku hadis, seperti yang diterima dari gurunya sendiri
dengan menggunakan sanad sendiri.
3
Ibid.hlm. 37

3
6) Al-Jam’u, gabungan dua atau beberapa gabungan hadis menjadi satu
buku.4

Masa seleksi atau penyaringan hadis terjadi ketika pemerintahan dipegang


oleh dinasti Abasiyyah, khususnya sejak masa Al-Makmun sampai dengan Al-
Muktadir (sekitar tahun 201-300 H). Periode seleksi ini muncul karena periode
sebelumnya belum berhasil memisahkan hadis mauquf dan maqthu’ dari hadis
marfu’. Begitu pula belum bisa memisahkan beberapa hadis yang dhaif dari
yang shahih. Bahkan masih ada hadis yang maudhu’ tercampur pada hadis
yang shahih. Pada masa ini ulama bersungguh-sungguh mengadakan
penyaringan hadis yang diterimanya. Melalui kaidah-kaidah yang
ditetapkannya, para ulama pada masa ini berhasil memisahkan hadis-hadis
yang lemah dari yang shahih dan hadis-hadis yang mauquf (periwayatannya
berhenti pada sahabat) dan yang maqthu’ (terputus) dari yang marfu’
(sanandnya sampai Nabi SAW), meskipun berdasarkan penelitian berikutnya
masih ditemukan terselipnya hadis yang dhaif pada kitab-kitab shahih karya
mereka.
Berkat keuletan dan keseriusan para ulama pada masa ini, maka
bermunculanlah kitab-kitab hadis yang Shahih.Kitab-kitab tersebut pada
perkembangannya kemudian dikenal dengan Kutub Al-Sittah (kitab induk yang
enam). Ulama yang berhasil menyusun kitab tersebut adalah Abu Abdillah
Muhammad atau yang dikenal dengan Imam Bukhori (194-252 H) dengan
kitabnya Al-Jami’ Al-Shahih. Kemudian Abu Husain Muslim atau yanhg dikenal
dengan Imam Muslim (204-261 H) dengan kitabnya juga disebut Al-Jami’ Al-
Shahih.
Usaha yang sama dilakukan oleh Abu daud Sulaiman (202-279 H), Abu Isa
Muhammad Al-Tirmidzi (200-279 H), Abu Abdillah bin Yazid bin Majah (207-273
H) dan Al-Nasa’i. Hasil karya keempat ulama ini dikenal dengan kitab Sunan
yang menurut para ulama kualitasnya dibawah karya Bukhori dan Muslim.
Secara lengkap kitab-kitab yang enam di atas diurutkan sebagai berikut. 5
a) Al-Jami’ Al-Shahih susunan Imam Al-Bukhari
b) Al-Jami’ Al-Shahih susunan Imam Muslim
c) Al-Sunan susunan Abu Daud
d) Al-Sunan susunan Al-Tirmidzi
e) Al-Sunan susunan Al-Nasa’i
f) Al-Sunan susunan Ibnu Majah

B. Masa Pengembangan dan Penyempurnaan Sunan kitab-kitab Hadits


Setelah munculnya kitab Al-Sittah dan Al-Muwaththa’ malik serta Musnad
Ahmad ibn Hambal, para ulama mengalihkan perhatiannya untuk menyusun
kitab-kitab Jawami’, kitab syarah mukhtasar, mentakhrij, menyusun kitab Athraf,
dan Jawa’id serta penyusunan kitab hadis untuk topik-topik tertentu. Diantara

4
Dr.H.Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, (Jakarta: Amzah, 2015), hal. 65

5
Drs.Munzier Supatra, Ilmu Hadits, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), hal.91-93

4
ulama yang masih melakukan penyusunan kitab hadis yang memuat hadis-
hadis Sahih ialah Ibn Hibban Al-Bisti, Ibn Huzaimah, dan Al-Hakim.
Penyusunan kitab-kitab pada masa ini lebih mengarah kepada usaha
mengembangkan dengan beberapa variasi pentadwinan terhadap kitab-kitab
yang sudah ada. Di antara usaha itu, ialah mengumpulkan isi kitab shahih
Bukhari dan Muslim, seperti yang dilakukan oleh Muhammad ibn Abdillah dan
ibn Al-Furat. Mereka juga mengumpulkan isi kitab hadis yang enam, seperti
yang dilakukan oleh Abd Al-Haqiban, Al-Fairuz Abadi, dan Ibn Al-Atshir Al-
Jazari. Ada yang mengumpulkan kitab-kitab hadis mengenai hokum, seperti
yang dilakukan oleh Al-Daruqutni, Al-Baihaqi, Ibn Daqiq, Ibn Hajar, Ibn
qudamah Al-Maqdisi. Masa perkembangan hadis yang disebut terakhir ini
terbentang cukup panjang, mulai abad keempat berikutnya sampai abad
kontemporer. Dengan demikian masa perkembangan ini meleawati dua fase
sejarah perkembangan Islam, yakni fase pertengahan dan fase modern. 6

C. Sistem Pembukuan Hadits


Ada tiga system pembukuan hadits pada masa ini, antara lain.
1) Pengarang menghimpun semua serangan (celaan) yang dilancarkan
oleh ulama-ulama Kalam kepada pribadi ulama-ulama hadits sendiri
(misalnya dituduh si X tidak adil atau tidak dhabit, jadi tidak dapat
diterima haditsnya), atau ditujukan kepada hadis-hadisnya sendiri
(dikatakan hadis ini tidak dapat diterima karena mengandung khurafat
atau bertentangan dengan dalil lain dan sebagainya, jadi tidak mungkin
dating dari nabi). Kemudian si pengarang menanggapi dan menjawab
semua serangan atau celaan tersebut dengan alasan-alasan yang kuat,
sehingga dapat menjaga nama baik ulama hadis dan membersihkan
hadis-hadis yang telah dicatatnya. Diantara ulama hadis yang
mengarang denmgan system ini ialah Ibnu Qutaibah dan Ali Bin Abi
Madini.
2) Pengarang menghimpun hadis secara “musnad”, yakni menghimpun
semua hadis dari tiap-tiap sahabat tanpa memperhatikan masalah-
masalahnya (isi hadisnya) dan nilainya (ada yang shahih, hasan, dan
dhaif). Misalnya semua hadis Nabi yang melalui Aisyah dihimpun di
bawah nama (judul) “Hadits-hadits Aisyah”, meskipun memuat hadis-
hadis yang berbeda-beda masalahnya. Kitab hadis yang disusun dengan
sistem ini misalnya, antara lain Musnad oleh Ahmad Bin Hanbal (164-
241) dan Musnad oleh Ahmad Bin rahawaih (161-238)
3) Pengarang menghimpun hadis-hadis secara bab-bab seperti kitab fikih
dan tiap bab memuat hadis-hadis yang sama masalahnya. Misalnya bab
shalat, bab Zakat, dan sebagainya. Dan ini ada dua macam, antara lain.
a) Hanya menghimpun hadis yang shahih saja, seperti Imam
Bukhori/Muslim dalam kitab “shahihain” dan
b) Menghimpun hadis-hadis yang shahih dan tidak shahih atau dhaif
atau hasan, seperti Imam Nasai cs dalam kitab-kitab Sunan 7

6
Ibid.hlm. 93-94

7
Drs. Masjfuk Zuhdi, Pengantar Ilmu Hadits, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1985), hal. 91

5
Dalam abad 4 H ini masih terdapat ulama hadits yang mempunyai
kesanggupan serta kemampuan untuk menghimpun hadis atas usaha sendiri,
tidak mengutip dari kitab-kitab hadis yang sudah ada sebelumnya, antara lain.
1) Al-Hakim, menurut Adz-Dzahabi, bahwa tiga per empat hadisnya benar-
benar shahih, dan seper empatnya (sisanya) dhaif. Salah satu
karangannya adalah Musnad Roku ‘Ala Shahih
2) Ad-Daruquthni, salah satu karangannya adalah Al-Ilzamaat
3) Ibnu Hibban, salah satu karangannya adalah Musnad Shahih. Kitab ini
disusun menjadi 5 bagian, antara lain.
a) Tentang perintah-perintah
b) Tentang larangan-larangan
c) Tentang berita-berita
d) Tentang hal-hal yang mubah
e) Tentang perbuatan-perbuatan Nabi
Tiap-tiap bagian ini memuat hadis yang bermacam-macam masalahnya.
Karena itu sukar sekali mencari hadis di kitab ini, tetapi syukurlah seorang ahli
hadis yang bernama Alaudin Ali Al-Farisi menghimpun hadis-hadis Ibnu Hibban
secara bab-bab dalam kitabnya “Al-Ihsan fii Taqribi Shahih” sehingga
memudahkan bagi orang yang mencari hadis yang dikehendakinya. Ulama
berpendapat bahwa nilai kitab-kitab hadis yang dikarang ulama yang hanya
menghimpun hadis-hadis shahih itu urutan-urutannya sebagai berikut: yang
terbaik ialah kitab shahihain, kemudian kitab Ibnu Khuzaimah dan kemudian
kitab Ibnu Hibban.
4) Ath-Thabrani, salah satu karangannya adalah Al-Mu’jam yaitu kitab yang
disusun menurut tertib nama sahabat-sahabat Nabi atau nama guru-guru
si pengarang atau kota-kota atau daerah-daerah dari mana hadis itu
didapat, dan pada umumnya kitab Mu’jam itu disusun secara alfabetis.
Karya-karya ilmiah ulama hadits pada masa ini antara lain.
1) Menghimpun hadis-hadis yang terdapat di kitab Shahihain dalam satu
kitab. Yang menyusun antara lain Ibnul Furot dan Al-Baghowi
2) Menghimpun hadis-hadis dari kutub Sittah dalam satu kitab. Disusun
oleh ibnul Atsir Al-Jazari.
3) Menghimpun hadis-hadis menurut bidangnya. Ada yang menghimpun
hadis-hadis tentang hukum saja yakni Ibnul Taimiyah. Beliau memilih
hadis-hadis hokum dari Kutub Sittah dan Kitab Musnad Ahmad Bin
Hambal. Kitab ini diberi syarah oleh Imam Syaukani dalam kitabnya
Nailul Author.
4) Pengarang menyusun kitab Al-Athraf, yaitu suatu kitab hadis dimana
pengarang menyebutkan sebagian (permulaan) dari hadits yang dapat
menunjukkan sisanya atau kelanjutannya. Kitab yang disusun secara Al-
Athraf ini antara lain,
a) Athraf Ash-shahihain, oleh Abu Nai’im Ahmad bin Abdullah Al-
Asfahany
b) Athraf As-Sunan Al-Arba’ah, oleh Ibnu Asakir dalam tiga jilid dan
disusun secara alfabetis
c) Athraf Al-Kutub As-Sittah, oleh Muhammad bin Thahir Al-Maqdisi.

6
Pada masa berikutnya yakni abad 7-8 H dan berikutnya disebut masa
penghimpunan dan pembukuan hadis secara sistematik. Setelah pemerintahan
Abbasiyah jatuh ke tangan bangsa Tartar pada tahun 656 H, maka pusat
pemerintahan pindah dari Baghdad ke Cairo Mesir dan India. Pada masa ini
banyak kepala pemerintahan yang berkecimpung dalam bidang ilmu Hadis
seperti Al-Barquq. Di samping itu, banyak usaha ulama India dalam
mengembangkan kitab-kitab hadis. Diantaranya, merekalah yang menerbitkan
‘Ulum Al-Hadits karangan Al-Hakim.
Pada akhir abad 7 H Turki dapat menguasai daerah-daerah islam, kecuali
bagian barat seperti Maroko dan sekitarnya. Pada pertengahan abad 9 H, Turki
di bawah pemerintahan Utsmani berhasil merebut kota Konstantinopel dan
dijadikan ibu kotanya. Kemudian menakhlukkan Mesir dan melenyapkan
khilafah Abbasiyyah. Turki semakin kuat, tetapi saying, bersamaam dengan itu
pemerintahan Islam di Andalusia hancur dan Islam padam setelah memancar
sinarnya selama 8 abad, Belum lagi imperialis Barat yang menguasai dunia
Islam dengan menjajah dan memperbudak umat Islam. Hal ini menyebabkan
kemunduran umat islam dalam segala bidang termasuk dalamk pengabdiannya
terhadap agama.8
Berhubung situasi dan kondisi umat islam seprti tersebut di atas, maka
menyebabkan ulama tidak dapat bebas bergerak untuk menyampaikan dan
menerima ajaran-ajaran Nabi secara langsung dengan lisan atau dari orang
lain. Oleh karena itu penyampaian dan penerimaan hadis-hadis dilakukan
dengan jalan surat-menyurat dan ijazah (memberi izin kepada murid untuk
meriwayatkan hadits-hadits yang ditulis oleh seorang guru dalam kitab nya).
Umat islam pada umumnya tidak lagi meneliti tentang pribadi-pribadi
perawi hadits (sanad), bahkan sanad itu dipelajari atau dibaca sekedar untuk
mendapat berkahnya. Keadaan yang demikian ini adalah pada umumnya, tetapi
masih ada beberapa ulama yang sanggup dan berani melawat ke daerah-
daerah Islam dan di tempat-tempat yang mereka kunjungi, mereka memberikan
imla’ hadits.
Imla’ hadits berarti seorang ahli hadits duduk di masjid pada hari Jumat
biasanya, kemudian menguraikan hadits (tentang nilai, kandungan sanadnya,
dan sebagainya) kepada hadirin, dan mereka mencatatnya. Ulama hadits yang
berbuat demikian antara lain.
1) Zainuddin Al-Iraqi. Beliau mengimla’kan hadis mulai tahun 796 H serta
lebih 400 tempat dikunjungi untuk memberikan imla’ hadis.
2) Ibnu Hajar. Beliau memberikan imla’ hadis di beberapa daerah, lebih
1000 tempat yang dikunjungi untuk memberikan imla’
3) As-Sakhawi. Beliau adalah murid Ibnu Hajar yang juga mengikuti jejak
gurunya. Ia mengadakan perjalanan ke daerah-daerah lebih dari 600
tempat untuk mengimla’kan hadits.

Pada masa ini ada tiga daerah atau Negara dimana umat islam termasuk
penguasanya besar sekali perhatiaannya terhadap Sunnah. Tiga Negara
tersebut adalah Mesir, India, dan Arab Saudi.
1) Mesir

8
Dr.H.Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, (Jakarta: Amzah, 2015), hal. 67

7
Setelah Baghdad pusat pemerintahan Abbasyah jatuh, di Mesir pada
waktu itu diperintah raja-raja Mamalik. Penguasa-penguasa di Mesir besar
seklai perhatiannya kepada ilmu pengetahuan dan ulamanya. Mereka
mendirikan universitas-universitas, lembaga-lembaga ilmiah dan keagamaan,
serta mendatangkan ulama dari tempat-tempat yang jauh dengan diberi
fasilitas-fasilitas, dan dana-dana yang cukup.
Hal ini menyebabkan kemajuan pesat dalam lapangan ilmiah dan
khususnya dalam lapangan hadits. Tetapi kemajuan ini hanya sampai awal
abad X H (sampai jatuhnya dinasti Mamalik di Mesir). Diantara penguasa yang
berjasa dalam lapangan hadits ialah Raja Sdh-Dhahir Barquq dan Al-Muayyid.
Adapun ulama yang berjasa antara lain Al-Buqini dan Syamsudin Addairi. 9

2) India
Mulai pertengahan abad 10 H, ulama India menaruh perhatian yang besar
terhadap hadits. Mereka mempelajari ilmu-ilmu hadits dan meneliti pribadi-
pribadi perawi hadits dan nilai haditsnya. Tidak sedikit hasil-hasil karya ilmiah
mereka yang berupa syarah atau ulasan-ulasan dan kritik-kritik terhadap hadis-
hadis dan sanadnya yang ada pada kutub Sittah dan kitab-kitab lain. Mereka
juga menghimpun kitab-kitab hadis hukum dan mengkritik sanadnya,
menerangkan cacat yang tersembunyi pada beberapa hadits. Di samping itu
ulama dengan gigih dan berani mengarang kitab-kitab yang isinya membela
kebenaran dan kesucian islam dari fitnah dan serangan yang dilancarkan oleh
orientalis dan golongan Kristen dan sebagainya.
Untuk kepentingan penyiaran hadis dan ilmu-ilmu hadits, tidak sedikit ahli-
ahli agama dikirim ke Eropa, antara lain Dr. Sayid Mu’dhom Husen yang pernah
belajar di Universitas Oxford, telah berhasil mencetak kitab Ma’rifat Ulum Al-
Hadits karangan Al-Hakim dengan diberi Muqaddimah yang memuat antara lain
biografi Al-Hakim, sejarah pembukuan hadits dan perkembangan Ilmu
Musthalah. Untuk keperluan ini beliau melawat ke beberapa negara Timur
antara Mesir, Syiria dan Turki, kemudian Beliau juga melawat ke beberapa
Negara Barat untuk mencoba mencocokkan naskah kitab Al-Hakim yang ada
padanya dengan naskah-naskah yang ada di beberapa perpustakaan dari
Negara-negara tersebut. Di antara naskah kitab Al-Hakim ini ada yang
tersimpan di perpustakaan dari Negara-negara tersebut. Di antara naskah kitab
Al-hakim ini ada yang tersimpan di perpustakaan London. 10

3) Saudi Arabia
Raja Abdul Aziz As-Sa’udi dan penguasa-penguasa lain dari keluarga Saudi
besar sekali perhatiannya untuk menerbitkan kitab-kitab Hadits. Untuk
penyiaran ilmu-ilmu agama termasuk hadits, mereka mendirikan Fakultas
syariah di Makkah dan Madinah dan Fakultas Sastra di Riyad dan mereka
menerbitkan kitab-kitab yang sabgat berharga salah satunya Kitab Tafsir oleh
Ibnu Katsir.

Karya-karya Ilmiah Ulama Hadits dan Sistem penyusunannya


9
Drs. Masjfuk Zuhdi, Pengantar Ilmu Hadits, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1985), hal. 97

10
Ibid.hlm. 98

8
1) Kitab Zawaid, kitab hadis dimana pengarang menghimpun hadis-hadis
yang ada di dalam satu kitab hadis tertentu dalam satu karangan, dan
hadis-hadis tersebut tidak terdapat di kitab-kitab lainnya.

‫سثة‬ ‫نزنوَائثظد ظسننثن ابرثن نماَ نجةن نعنلى الرظكتظ ث‬


‫ب الرنخرم ن‬
Karangan Syihabuddin Ahmad Al-Bushiri dan kitab

‫ستنُثة‬ ‫نزنوَائثظد ظمرسننثد أنرحنمند نعنلى الرظكتظ ث‬


‫ب الر ن‬
Karangan Nuruddin Abu Hasan Ali Al-Haitamy

2) Menghimpun Hadits dari beberapa kitab hadits dalam satu karangan.


Misalnya kitab ‫ص رغَّييظر نوَ نجرمظع ارلجنجنوْاثمثع‬
ُ‫الرنجاَ ثمظع الر ن‬
Kitab ini diambil dari hadis-hadis yang ada di kutub Sittah dan kitab-kitab
lainnya (disusun Imam Sayuti)
3) Menghimpun hadis-hadis menurut bidangnya, misalnya bidang hokum.
Contoh “Bulughul Maram” oleh ibnu Hajar, memuat hadis sebanyak 1400
hadis dan banyak ulama yang memeberi syarah pada kitab ini, antara
lain Imam Ash-Shona’any dalam kitabnya “Subulus Salam”.
4) Menghimpun hadis yang terdapat dalam kitab-kitab fikih, tafsir, tasawuf,
dan sebagainya, kemudian meneliti atau mencari sumber sanadnya dan
memberikan penilaian pada hadis-hadis tersebut. Cara penyususnan
seperti ini disebut Takhrij. Banyak ulama fikih ataupun ulama tafsir dan
sebagainya mengutip hadis0hadis Nabi dalam kitab karangannya untuk
memperkuat pendapatnya, tetapi sering mereka tidak menyebutkan
sumber pengambilan hadis tersebut, dan juga tidak diterangkan nilainya.
Hadis-hadis inilah yang dihimpun ulama hadits, kemudian dicarikan
sanadnya dan diberikan nilainya. Contoh :
‫ث اثلرحىْنياَثء لثرلغَّننزاثلى‬
‫تنرحثرىرج أحاَ ثدير ث‬
‫ظ ن‬
Yang dikarang oleh Zainudin Al-Iraqi11

5) Kitab Al-Atraf, seperti kitab Tharaf Shahihi Ibnu Hibban oleh Zainudin Al-
Iraqi.

Demikianlah sebagian karya-karya ilmiah ulama hadits pada stadium ini,


tetapi kegiatan ulama dalam lapangan hadits ini hanya sampai abad ke XII H.
Kemudian mulai abad ke XII H sampai sekarang, dapat dikatakan sudah tidak
ada kegiatan yang berarti dari ulama dalam lapangan hadis. Ulama islam
banyak yang membaca kitab-kitab hadits seperti Shahih Bukhari hanya sekedar

11
Ibid.hlm. 98-100

9
untuk mendapat berkahnya, meskipun demikian ada juga beberapa ulama yang
mencurahkan perhatiannya kepada hadits, seperti :
‫ب الاُ الثشرنثقيثطرى‬
‫نحبنيري ظ‬
Yang telah berhasil menyusun suatu kitab yang besar sekali faedahnya bagi
umat islam, yakni :
‫نزاظد الرظمرسلثثم فثرينماَ اتنُينفنق نعلنريه الربظنخرير نوَ ظمرسثلم‬
Dan disusun secara alfabetis, memuat 1200 hadits yang telah disepakati
keshahihannya sanadnya. Beliau memberi syarah (ulasan) atas kitabnya
tersebut dan diberi nama12 :
‫فنيرتظح الرظمرنثعثم بثبثنياَثن نماَ ارحتثرينج ثلبنينياَنثثه ثمرن نزا ثد الرظمرسثلم‬

12
Ibid.hlm. 101

10
BAB III
SIMPULAN

Setelah agama islam tersebar luas di masyarakat, dipeluk dan dianut


oleh penduduk yang bertempat tinggal di luar jazirah arabiah, dan para sahabat
yang tidak sedikit jumlahnya yang telah meninggal dunia, maka terasa perlunya
hadits diabadikan dalam bentuk tulisan dan kemudian dibukukan.Permasalahan
ini menggerakkan hati Khalifah Umar Bin Abdul Aziz seorang Khalifah Bani
Umayyah. Orang yang pertama kali menaruh perhatian untuk membukukan
hadits Nabi adalah Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Syihab Al-Zuhri Al-
Madani.
Perkembangan hadits setelah masa tabi’in disebut sebagai periode
seleksi karena pada masa ini terjadi perhimpunan dan penertiban. Ulama yang
hidup pada abad ke-4 H ini disebut ulama muta’akhirin atau khalaf (modern).
Diantara kegiatan pengodifikasian hadis pada periode ini adalah dalam
berbagai bentuk, yaitu bentuk mu’jam (ensiklopedia), shahih (himpunan shahih
saja), mustadrak (susulan shahih), sunan, al-jam’u (gabungan dua atau atau
beberapa kitab hadis), ikhtisar (rangkuman), istikhraj, dan syarah (ulasan).
Penyusunan kitab-kitab pada masa ini lebih mengarah kepada usaha
mengembangkan dengan beberapa variasi pentadwinan terhadap kitab-kitab
yang sudah ada. Diantara ulama yang masih melakukan penyusunan kitab
hadis yang memuat hadis-hadis Sahih ialah Ibn Hibban Al-Bisti, Ibn Huzaimah,
dan Al-Hakim. Ada tiga system pembukuan hadits pada masa ini, antara lain
menghimpun semua serangan (celaan) yang dilancarkan oleh ulama-ulama
Kalam kepada pribadi ulama-ulama hadits sendiri, menghimpun hadis secara
“musnad”, dan menghimpun hadits secara bab-bab.

11
DAFTAR PUSTAKA

Gufron, Muhammad, Rahmawati. 2013. Ulumul Hadits. Yogyakarta: Teras

Khon, Dr. H. Abdul Majid. 2015. Ulumul Hadis. Jakarta: Amzah

Supatra, Drs. Manzier. 2003. Ilmu Hadits. Jakarta: PT Raja Gravindo Persada

Zuhdi, Drs. Masjfuk.1985. Pengantar Ulumul Hadits. Surabaya: PT Bina Ilmu

Anda mungkin juga menyukai