Anda di halaman 1dari 681

1

TERAPI CAIRAN
Penyebab kehilangan cairan :
 Perdarahan
 Non perdarahan (dehidrasi)

I. Perdarahan
EBV (Estimated Blood Volume)
Umur cc/kg BB
Neonatus 85
Bayi 80
Anak 70-75
Dewasa 65-70
Ket = ♀hamil tjd pe  an EBU :40 - 50%

EBL (Estimated Blood Loss)


Kls I : kehilangan darah < 15% BBV
Kls II : kehilangan darah < 15 - 30% BBV
Kls III : kehilangan darah < 30 - 40% BBV
Kls IV : kehilangan darah > 40% BBV

Interstitial Fluid (ISF) 15% BW

ECF

Intra Vascular Fluid (IVF) 5% BW

Intra Cellular Fluid (ICF) 40% BW


16

Untuk TUGASMAS 1
2

Turn-over rate ECF dengan dunia luar

Urine Komposisi
minum ECF 25 ml/kg

Metabolisme S&I
infusi 350 ml/m2 700 ml/m2 • ECF • ICF
• Na 140 • Na 10
Na 2-4 mEq/kg
• K 4 • K 150
K 1-3 mEq/kg
• Ca 5 • Ca 0
ICF • Mg 3 • Mg 40
Tempat cadangan
Kalium yg besar 
sel mati melepas K+

17 19

Turn-over rate ECF dengan dunia luar

Urine
minum ECF 25 ml/kg

Metabolisme S&I
infusi 350 ml/m2 700 ml/m2
Na 2-4 mEq/kg
K 1-3 mEq/kg

ICF

17

Untuk TUGASMAS 2
3
ESTIMASI KEHILANGAN DARAH
A. Menurut ATLS
Kelas I Kelas II Kelas III Kelas IV
Kehilangan Sampai 750 750 – 1500 1500 – 2000 > 2000
darah (ml)
Kehilangan Sampai 15 – 30 % 30 - 40 % > 40 %
darah (% vol. 15%
Darah)
Denyut nadi < 100 > 100 >120 > 140
Tekanan darah Normal Normal Menurun Menurun
Tekanan nadi Normal  Menurun Menurun Menurun
Freq. Nafas 14 -20 20 – 30 30 – 40 > 35
> 30 20 – 30 5 – 15 Tdk berarti
CNS/status Sedikit Agak cemas Cemas, Bingung, lesu
cemas bingung (lethargic)
Penggunaan Kristaloid Kristaloid Kristaloid & Kristaloid & darah
cairan (hukum darah
3:1)
Ket : untuk laki2 BB = 70 kg

B. Menurut TRAUMA STATUS


GIESECKE
Tanda TS I TS II TS III

Sesak nafas - Ringan Berat


Tekanan darah N Turín Tak terukur
Nadi Cepat Sangat Cepat Tanggung
Urine N Oliguria Anuria
Kesadaran N Disorientasi Me ↓ / coma
Gas darah N P02 ↓ P02 ↓
P C02 ↓ P C02 ↑/↓
CVP N Rendah Saturasi rendah
Blood loss (% 10% 30% > 50%
EBU)

Untuk TUGASMAS 3
4
TINDAKAN PADA KASUS PERDARAHAN

Penderita datang
dengan perdarahan

Periksa fisik, TD, N,


prod. Urine ---> EBL

Psg IV line, besar ambil


sample darah

Hemodinamik = buruk

RL/Nacl 0,9%
20 cc/kg.BB
Terus cairan
Cepat (dlm ½ - 1 jam)
2 – 4 x EBL

Hemodinamik
baik (TD > 100, Hemodinamik Hemodinamik
N : < 100, HKM, baik buruk
Urine > ½ cc/kg/jam

B C
A
Surgical
Maintenance Resusitasi

Kebutuhan cairan Maintenance :

40 – 50 cc/kg.BB/24 jam

Ket :
- Kasus A : Transfusi tidak perlu
- Kasus B : bila HG < 8 gr% ( Hct < 25% ) ---> Transfusi 
- Kasus C : Transfusi segera

Contoh Kasus :

o Px, tertarik sepeda motor, internal blooding, Syok, TD tidak terukur, BB = 70 kg.

Diskusi :

Klinis : - syok
Perdarahan
Kls IV
- TB tidak terukur EBL : 40%

Untuk TUGASMAS 4
5
EBV : 70 X 70 = 4900 CC ~ 5000 CC
BL : 40% X 5000 CC = 2000 CC

I. Repiecement = (2 – 4) x EBL
= 3 x 2000 cc
= 6000 cc (dlm 30 menit)

II. Maintanance :
50 x 70 = 3500cc/24 jam
= 150 cc/jam
= 2,5 cc/menit
= 50 tts/mennit

Ket :
Bila unrespond, kemungkinan =
a. In going loss
b. Shock terlalu berat
c. Anemia terlalu berat

Kemungkinan Pasca RESUSITASI =

Immediate Transient resp Un respond


resp (respon sementara) (tanpa respon)
(respon cepat)
Tanda vital Kembali ke N Perbaikan smtr Tetap –
T & N kembali ↓ Abnormal
Dugaan kehilangan Minimal Sedang, masih ada Berat
An darah 10 – 20% 20 – 40% > 40%
Kebutuhan kristaloid Sedikit Banyak Banyak
Kebutuhan darah Sedikit Sedang - Banyak Segera
Persiapan darah Type spesifik x Type spesifik Emergency
Cross match
Operasi Mungkin Sangat mungkin Hampir pasti
Kehadiran dini ahli Perlu Perlu Perlu
bedah
*) RL 2000cc pada dewasa *) respon thd : revuritasi dihitung
20 cc/kg. BB pada anak selama 30 – 60 mnt (prod. Prok. KRD)

gr % Hb= Hb diinginkan - Hb sekarang X EBV


100

whole blood 250 cc (kolf) ---> 12 gr%


PRC 150 cc (kolf) ---> 15 - 20 gr%

contoh: Hb 6 gr% dijadikan 10 gr%


BB= 50 kg
----> butuh HB= 4/100 X 3500 = 140 gr
WB 250 cc mengandung Hb = 12/100 X 250 = 30 gr
PRC 150 cc mengandung Hb = 15/100 X 150 = 22,5 gr
jadi perlu WB = 140/30 = 5 kolf
PRC = 140/22,5 = 6 kolf

Untuk TUGASMAS 5
6
II. NON – PERDARAHAN (Dehidrasi)

 Kebutuhan cairan normal :


Maintanance (40 – 50 cc/kg/BB/hari) ---> perjam = 2 cc/kg/jam
Estimasi water loss =
- Urine : 1 ml/kg BB/jam
- Keringat dan nafas = 700 ml/m2 (SWL & ISWL)
--> 1000 cc/hr (BB = 50)
* Catatan : water lost = 500 cc/hr

 Kebutuhan, kalori dan elektrolit per hari :


- Kalori = 25 kal/kg BB (1 gr glukosa = 4 kal)
- Na = 2 – 4 mEq / kg BB
(Na) = 150 mEg / liter
- K = 1 – 3 mEg / kg BB
[ K ] = 3 – 4,5 mEg / liter j
= 3,5 – 5 mEg / liter
Kebutuhan Protein = 1,5 – 2 gr/kg BB/ hari
Fat =  1,5 gr/kg BB/hari

 Kebutuhan cairan normal untuk anak :


(Kriteria holiday scoore)
BB = 10 kg I = 100 cc/kg BB
10 kg II = 50 cc/kg BB
10 kg III = 20 cc/kg BB

Misal = anak, BB = 25 kg
Kebutuhan cairan / hari
I : 10 x 100 cc = 1000 cc
II : 10 x 50 cc = 500 cc
III : 5 x 20 cc = 100 cc
Jumlah = 1600 cc

 Kebutuhan cairan pada Neonatus = N  10  50 BBkg 


N = hari kelahiran
BB = diambil tg terbaik

ESTIMASI DEFISIT CAIRAN


 Klasifikasi klinik PIERCE

Gejala klinis Deficit


Cairan
Dehidrasi ringan 5% BB
- Turgor kulit sedikit ↓
< 5%
- Takikardi, haus
Dehidrasi sedang 8% BB
- Turgor kulit jelas ↓
- Hipotensi postural,
5 – 10
- Takikardi, nadi lemah,
%
sangat haus
Dehidrasi berat 10% BB
- Turgor kulit sangat ↓
- Hipotensi,stupor s/d coma
> 10%
- nadi lemah s/d ttb
- cyanosis, shock

Untuk TUGASMAS 6
7
System skor DALDIJONO

Gejala Klinik Skor


- Muntah – muntah 1
- Suara sesak 2
- Apatis 1
- Somnoten, spoor, coma* 2
- TD Sistole  90 nmHg* 1
- TD Sistole  80 nmHg* 1
- Nadi  120 x/1 1
- Pernafasan kusnaul [ > 30 x/5] 1
- Turgor kulit ↓ 1
- Mata dan pipi cowong 2
- Extr dingin 1
- Ujung jari keriput 1
- Sianosis 2
- Usia 50 – 60 thn -1
- Usia > 60 thn -2
Jumlah 15
Ket : *) diisi salah satu

Deficit cairan =
Skor total
------------------ X 10% BB x 1 liter
15

 Kriteria lain : ( Baca kuliah Prof. EDDY )


I. Defisit ringan = Interstitial sign 
Kehilangan = haus
Cairan = musosa kering
1 – 3% BB = Turgor kulit ↓
3–5

Defisit sedang :
4 – 8% = mata cowong
6 – 8% = oliguria

II. Deficit berat = sda + plasma sign 


Kehilangan = nadi cepat
Cairan = perfusi ; pucat,
> 10% BB) = dingin
8 = TD ↓

Pengelolaan Defisit Cairan

I. Dehidrasi Ringan

Maintenance Repiacement
2000 – 2500 ml 500 – 1500 ml

8 jam I = 16 jam II =
50 % + 50 % +
Maintenance Maintenance

Untuk TUGASMAS 7
8
Contoh =

Px, 35 thn, BB = 50 kg
Dehidrasi ringan = 3%
Kebutuhan cairan =
Maintenance = 50 cc/kg BB\hari
= 50 cc x 50 = 2500 ml/24j
Replacement = 3% BB
= 3/100 x 50 = 1500 cc
Jumlah kebut. Cairan = 4000 cc

Cara pemberian :
8 jam I = 50%
= 50% x 4000 cc = 2000 cc/8 jam
16 jam II = 50% x 4000 cc = 2000 cc /16 jam

II. Dehidrasi Berat

Maintenance Repiacement
2000 – 2500 ml 5000 ml

20 – 40 cc/kg bb
Dalam 1 – 2 jam

8 jam I = 16 jam II =
50 % + 50 % +
Maintenance Maintenance

Contoh =

♀, 35 thn, BB = 50 kg
Dehidrasi berat = 10%
Kebutuhan cairan =
Maintenance = 50 cc/kg BB\hari
= 50 cc x 50 = 2500 ml/24j

Replacement = 10% BB
= 10/100 x 50 = 5000cc
Jumlah kebut. Cairan = 50000 cc

Langkah I :
Infus super cepat = 20 cc/kg BB/jam
= 20 x 50 = 1000 cc/(RL)
Dalam 30 – 60 menit --> hati2 pada orangtua

Langkah II :
8 jam I = 50% sisa RL + Maintanance
= (50% x 4000) + (8/24 x 2500)
= 2000 + 800 cc
= (RL) (500RL) + 300 D5)
= 2800 cc/8 jam

Untuk TUGASMAS 8
9
Langkah III :
16 jam II = 50% sisa R + Maintanance
= (50% x 4000) + (16/24 x 2500)
= 2000 + 1700cc
= (RL) (500RL) + 1200D5)
= 3700 cc/16 jam

Cara menghitung tetesan infus =


tetes /mnt (micro) = cc/jam

- Tetes / mnt (micro) =


Jlh cairan
---------------------------------------- X 3
Lama pemberian (dalam jam)

- 1 tetes (500 cc) = 7 tetes/menit (habis dalam 24 jam)


0
Ket : setiap kenaikan suhu 1 C maintenance di tambah (10 – 13)%

Pengelolaan Kebutuhan Kalori Dan Elektrolit (Dihitung Pada Maintenance)


Komposisi elektrolit/liter

NaCl 0,9% RL RD5


Natrium 150 130 147
Kalium - 4 4
Lactat - 28 -
Clorida 150 108 155
Kalori - - 200
Calsium - 2 4

Lambung Diarhae Keringat


Natrium 10 – 115 130 50 – 80
Kalium 1 – 35 20 5
Lactat - - -
Clorida 90 – 150 100 40 85
HC03 0 – 15 50 -

Contoh :
♂, 35 thn, BB = 50 kg
Kebutuhan kalori = 25 Kal/kg BB
= 25 x 50 = 1250 Kal

Kebutuhan cairan Maintenance = 50 cc/kg BB\hari


= 50 x 50 = 2500 cc
- 1 kt D 5% = 5/100 x 1000 = 50 gr glukosa
1 gram gluk = 4 Kal
= 50 x 4 = 200 Kal
- 1 kt D 10% = 400 Kal
- 1 kt D 20% = 800 Kal
- 1,5 kt D 20% = 1200 Kal

Untuk Px ini dapat diberikan = RL 1000 cc + D 20% = 1500 cc

Untuk TUGASMAS 9
10
Keterangan :
Perhitungan lain =
Kebutuhan kalori = 1250 kalori ~ 1200 ---> 1 gram Glukosa = 4 Kalori
Px ini membutuhkan glukosa sebanyak :
1200 /4 = 300 gram Glukosa
- 1 kt D 5% = 50 gr glukosa
- 1 kt D 10% = 100 gr glukosa
- 1 kt D 20% = 200 gr glukosa
1,5 kt D 20% = 300 gram glukosa

PILIHAN KOLOID
(D/ : 20 cc/kg BB) ---> per hari

- Syok berat karena dehidrasi = poligetin (BM = 30.000 Dalton)


- Perdarahan baru – syok ringan = Isoonkotic
- Syok berat = hyperoncotik
- Kebocoran kapiler = HES (BM = 100.000 – 300.000)
- Perdarahan tanpa indikasi transfuse : dextran 70, Hes 100.000 – 300.000 (BM
sedang – tinggi)
- Perdarahan menunggu cocok – silang untuk transfuse = Hes 40.000, Gelatin med,
Dexpan 40, poligen.
- Reologi & Antrtrombosis = Dextan

Efek pemberian bikarbonat:


CO2 + H2O  HCO3- + H+
[HCO3- ]  [CO32-] + [H+] Reaksi pembentukan karbonat
Alkalosis  [H+]   reaksi ke kanan  [CO32-] 

• Jika [CO32-]  maka calcium yang terionisasi akan diikat oleh [CO32-] 
hipokalsemia akut; sensitifitas membran sel   tetany, hyperexcitability of
muscles, sustained contraction, dan gangguan kontraksi otot jantung.

• Pe natrium secara cepat  SID  secara cepat  alkalosis berat 


kompensasi paru dengan cara menahan CO2  hipoventilasi  CO2
narkosis  apneu

Asidosis  [H+]   reaksi ke kiri  [CO32-] 

Pada asidosis kronik; [CO32-]  pembentukan CaCO3 <<  integritas


tulang terganggu  osteoporosis

Untuk TUGASMAS 10
11
KESEIMBANGAN ASAM – BASA
DIAGRAM ER
Acidosis ← 7,35 > PH > 7,45 → Alkalosis

Resiratorik ← 45 < P CO2 < 35 → Respiratorik


(Hypercarbia) (hypocarbia)

Metabolik ← -2 > BE > + 2 → metabolik

Contoh :
Lab (BGA) = PH = 7,25
P CO2 = 20
BE = -17
H CO3 = 8
Total CO2 = 9

Kes = Acidosis metabolic,


Kompensasi Respiratorik
T/ koreksi dengan Nabic

BGA = PH = 7,48
P CO2 = 20
BE = -8
H CO3 = 13
Total CO2 = 15

Kes = Alkalosis Respiratorik, kompensasi metabolic


T/ tidak boleh diberi Nabic

EFEK FISIOLOGI ACIDOSIS/ALKALOSIS

ACIDOSIS ALKALOSIS
1. Cardiovascular
 Cardiac conacti UTY ↓ ↑
 Thresold for VF ↓ no – change
 Ceerdiac response to ↓ no – change
cethecolarimne ↓ ↑
 Peripheral vascular resistance

2. Pulmonary
 Hb Afinity to Oxygen ↓(shift to the R) ↑(shift to the left)
 Bronchus - bronchokontriksi
 Pulmonary vasc resisten - ↓
 Contractility of resp. muscle ↓ ↑
 RR Metab Acidosis -
RR ↑& Depth
(kaussmaul)
Acid resp → RR ↓

3. Elektrolit K+ ↑ K+ ↓
Posphat ↑ Ca+ ↓
4. CNS
 CNS Depression Over extability
 CBF ↑ ↓

Untuk TUGASMAS 11
12
KRITERIA NORMAL FUNGSI
VITAL :

A. Air Way
 Udara bebas keluar / masuk
 Nilai → look, listen, feel
 Suara tambahan ( - )
Φ = apakah jalan nafas bebas …. ?

B. Breathing
 Frekwensi : (10 – 25/30) x/mnt
< 10
Hipoxia
> 25/30
 Teratur (reguler)
 Otot pernafasan, tidak bekerja
 Pengembangan rongga dada normal x simetris
 Suara nafas = vesicular +/+
Wheezing -/- , ronekhi -/-
Φ = apakah Dx bernafas dengan normal…. ?

C. Circulation
 Frekwensi nadi = normal
 Teratur (reguler)
 Kekuatan nadi = lebar (sístole – diástole)
 Perfusi :
Kulit : hangat ( X dingin)
Kering ( X basah)
Merah ( X pusat)
Ginjal : produksi Urine > 0,5 cc/kg BB/jam;
 Capilary refill time : cepat { < 2 detik }
Φ = apakah penderita syok ……?

D. Disability
 Bicara , jelas & sesuai
 Disorientasi ①
 Bila disorientasi   kesadaran ↓
Φ= a. bagaimana kesadaran Px ……?
b. apakah ada tanda neurologis lain ……… ?

JIKA FUNGSI VITAL TIDAK NORMAL

 Dapat dilakukan teknik-teknik :


1. Air Way :
 Chin lift
 Jow thrust
 Intubate
 Cricotyrodectomi

2. Breathing :
 Rx oksigen
 Rescue breathing
 Ventilator
 Thoracic drain
3. Circulation :

Untuk TUGASMAS 12
13
 Iv line
 Shock control
 Stop bleeding
 Hemodelution
 CPCR
 EKG ADC – shock
 Pace maker

4. Disability / Consciousness/ Neural injury :


 Cerebral protection
 ICP control
 Penilaian : GCS, AVPU

Henderson
Henderson-Hasselbalch Stewart’
Stewart’s Approach

pCO2
[H+] = 24 X ----------------
[HCO3-]

Untuk TUGASMAS 13
14
AIR–WAY:

Airway Breathing

Gejala Bebas, snoring / gurgling / crowing RR , simetris, flare, tracheal tug, retraksi
Luka bakar : bulu hidung, alis, rambut Suara napas : vesikuler, ronchi,wheezing
terbakar, suara serak Perkusi : redup, sonor, hipersonor
Trauma : maxilofacial injury, cedera Krepitasi, jejas thorax, fractur costa, flail chest
cervical

Kesimpula Normal, obstruksi partial / total Distres napas ringan (>24) / sedang (28) / berat
n Cervical tidak stabil / stabil (>36)
Disertai : hipoventilasi, pneumothoras, tension,
sucking wound, hematothorax, flail chest

Tindakan Pertahankan jalan napas, chin lift, jaw O2 masker ketat / reservoir (6-8 lpm) / jackson
thrust, mayo, nasopharing tube, suction, reese (10 lpm)
cricothyroidotomi. Bantu napas : control / assist ventilasi
Siap intubasi bila perlu (RTT/LMA) Needle thoracotomy, plester 3 sisi, chest tube /
Collar brace, in line immobilization, jangan bullow drain
beri bantal Plester lebar

Evaluasi Bebas RR 
Tetap parsial  perbaiki lagi Stabil  terus pertahankan
Tidak stabil  perbaiki lagi

11

Kriteria Obstruksi Airway ( Jackson )


DERAJAD I : px tampak tenang hanya ada retraksi suprasternal
II : mulai gelisah, tampak retraksi suprasternal dan epigastrium
III : sangat gelisah, sulit bernapas, retraksi suprasternal, epigastrium, intercostal, supra
dan infraclavicula
IV : pola I s/d III ada kelihatan takut, muka pucat, pusat pernapasan mulai letih dan lemah

Derajad II dan III : segera trakeostomi


Derajad III : tidak boleh diberi sedasi
ASMA SCORE
CIMEC O 1 2

Cyanotic (PaO2) None (70-100) < 70 in air < 70 in 40% O2

Inspiratory sound N Equal Decrease to absent

Muscle Accessory None Moderate Max

Expiratory Wheezing None Moderate Marked

Cerebral function N Depressed or agitate Coma

> 7 : acute respiratory failure (PCO2 > 65 mmHg)


12
> 5 : inspiratory res[iratory failure (PCO2 > 55 mmHg, after routine therapy)

Untuk TUGASMAS 14
15

KRITERIA GAGAL NAPAS


I. Kriteria PONTOPPIDAN
(Guna : Perawatan Insufisiensi Napas)

TINDAKAN
Normal Fisioth/Dada, Tx O2 Intub Napas
Obs. Ketat Buatan
Mekanik :
Freg. Napas 12 – 25 25 – 35 > 35
VC (cc/kg BB) 30 – 70 15 – 30 < 15
Kekuatan Insp (CmH2O) 50 – 100 25 – 50 < 25
FEV (ml/kg.BB) 50 – 60 10 – 50 < 10

Oksigenasi
Pa O2 75 – 100 70 – 200 < 70
Aa O2 50 – 200 200 – 350 > 350

Ventilasi
Pa CO2 35 – 45 45 – 55 (60) > 60
UD / UT 0,25 – 0,40 0,4 – 0,6 > 0,6

II. Kriteria SHAPIRO


( Rule of Fifty)
 Gagal napas akute :
- Pa O2 < 50 mm Hg
- Pa O2 > 50 mm Hg

III. Kriteria PETTY


a. Acute Respiratory Failure
- Pa O2 < 50 mm Hg tanpa / atau disertai kenaikan Pa O2
b. Acute Ventilatory Failure
Pa O2 > 50 mm Hg

Untuk TUGASMAS 15
16

Catatan :

Kriteria pontoppidan digunakan untuk menentukan gangguan napas pada Px dengan


anestesi, COPD (bukan pada edema paru, PE, dm)

Harus dikelola dengan cepat, tepat, cermat pastikan korban sadar, jika tidak waktu
ditanya atau disapa :

Pasien sadar

 ajak bicara, jika suara jelas berarti air way bebas

Pasien tidak sadar

- Ada nafas …?
- Cara : look : lihat gerak dada
Listen : dengar suara nafas
Fell : raba udara nafas

Ada nafas : Tidak ada nafas :


Cari suara nafas tambahan - Beri nafas buatan
- Beri oksigen

THERAPHY OKSIGEN :

Fi O2 Lp m
Nasal prong 30% 2–3
Transparan mask 60% 6–8
Reservoar + mask 80% 6–8
Bag – valve – mask 100% 10 – 15
(Jackson ress)

Tujuan pemberian O2 :
Meningkatkan P O2 dalam darah, dengan meningkatkan P O2 Alveoli

Meningkatkan P O2 Alveoli, dengan meningkatkan P O2 udara


Cat : Pa O2 terukur = F1 O2 x (5  4)

OKSIGEN CASCADE :

160 Toor Keterangan :


1 --------------dihisap Kekurangan O2 pada / disebut :
103 1. Hipoxic hipoxia
2 ------------------------ alvcolar 2. Respratorik hipoxia
100 3. Stagnan hipoxia
4. Stagnan hipoxia
3 ----------------------------------- Arterial
50 5. Histotoxic hipoxia
4 ----------------------------------------------- Kapiler
1 - 10
5 ---------------------------------------------------------- Mitokondria

Untuk TUGASMAS 16
17

Barometer: 760
Uap air : 47%
O2 udara : 160 (21% x 760)

TINGKAT KESULITAN INTUBASI :

I. KRITERIA MALLAMPATI :
 menilai tampakan faring
Pada saat mulut terbuka dan lidah dijulurkan maksimal

Gradasi 1 : - Pilar Faring 


- Palatum molle 
- UvuIa 

Gradasi 2 : - Pilar Faring ①


- Palatum molle 
- UvuIa 

Gradasi 3 : - Pilar Faring ①


- Palatum molle 
- UvuIa 

Gradasi 4 : - Pilar Faring ①


- Palatum molle ①
- UvuIa ①

Indikasi Pemasangan Pipa Endotrateal

Untuk TUGASMAS 17
18

Untuk TUGASMAS 18
19

Gambar mulut

 Pilar faring
 UVula
 Palatun Molle

Penilaian :
- Gradasi 3
Insubasi sulit
- Gradasi 4

Untuk TUGASMAS 19
20

Untuk TUGASMAS 20
21

II. STERNOMENTAL DISTANCE

(Yi = jarak dari thynoid cartiroge u/d point of chin)

Penilaian :
< 7 cm (4 finger breath)
 intubasi sulit

PERSIAPAN INTUBASI

STATICS

 S = Scope = - Laringoscope
- Statescope
 T = Tube = - Endotracheal
- tube + Pelicin
 A = Airway = - Pipa napas
- Mulut - faring
 T = Tape = - Plaster
 I = Introducer = - Mandrin / Stilet

Untuk TUGASMAS 21
22
 C = Conector = - Penyambung ke alat Res
 S = Suction = - untuk penyedot sekret, dll
Ukuran tube =

JENIS HIPOKSIA

1. Hipoxia hypoxia = Kelainan paru


2. Stagnant Hipoxia = Kel. Sirkulasi
3. Anemic hypoxia = Hb turun
4. Histotoxic hypoxia = hypoxia tingkat seluler
5. Demand hypoxia = Peningkatan kebutuhan O2

Bila terjadi :
Sumbatan Total Air Way :

 FRC (Fungsional Residual Capasity) 2500 ml


 Kadar O2 dalam Alveolus = 15% ---> 15% x 2500 = 375 ml
 O2 Consumption = 250 ml/mnt
 Maka O2 dalam paru akan habis dalam : 375/250 = 1,5 mnt
Note:
Bila dilakukan pre oksigenasi dengan O2 = 100%
Maka kadar O2 dalam paru = 100% x 2500 = 2500 ml
O2 dalam paru akan habis dalam 2500/250 = 10 mnt

Jarak Mento-thyroid
• Minimal 6 cm : kira-kira 4 jari tangan pemeriksa (jari tangan
ke-2-5)
• Bila kurang 6 cm : mandibula yang turun, sindroma Pierre-
Robin
Silhoutte
Evaluasi penampang kepala, leher dan dada. Perhatikan dagu
yang turun (“chinless wonder”), pembengkakan atau tumor
leher, leher yang pendek atau tidak ada leher, wajah
akromegali, kifosis, terutama pada spondilitis ankylosis dan
payudara yang besar

10

PENILAIAN OBSTRUKSI JALAN NAPAS

Penilaian :
periode II s/d III = segera tracheostomy
III = tidak boleh divari sedatif

II. KRITERIA SILVERSON – ANDERSON


Upper chest Grade

Untuk TUGASMAS 22
23
Sincronized 0
Lag on inspiration 1
See saw 2

Lower chest
No. retraction 0
Just vesible 1
Marked 2

Xyphrid retraction
None 0
Just vesible 1
Marked 2

Nores distraction
None 0
Just vesible 1
Marked 2

Expiratory grunting
None 0
Just vesible 1
Marked 2

DIFFICULT AIRWAY
 Awake Intulaction

Langkah – langkah :

1. Beritahu penderita + O2 masal canul


2. Awake (tanpa midazolam) : k/p SA (untuk mencegah solivasi meningkat)
3. Kumur Lidocain 1 – 2 % : 2 – 3 mnt (akan terasa pahit --> parastese --> tebal)
4. Laryngoscope : Epiglotis --> Hypofaring --> dorsal hipofaring --> plica (semua di
spray dengan hidocain 10% j 2%   4x)
5. Inj. Lidocain 2% Intratiacheal : 2 – 4 cc (Px. Akan batuk keras)
6. Intubasi

Catatan :
- Siap tube No. 6 non king
- Bila menggunakan teknik slep nonapnoe-->induksi IV+halothane
insuflasi

Untuk TUGASMAS 23
24

Untuk TUGASMAS 24
25
BREATHING :

MEKANISME BERNAFAS
INSPIRASI EKSPIRASI

KONTRAKSI OTOT INTERKOSTALIS EKSTERNA RELAKSASI OTOT INTERKOSTALIS


 IGA TERANGKAT EKSTERNA  IGA KE POSISI SEMULA

KONTRAKSI DIAFRAGMA DIAFRAGMA RELAKSASI DIAFRAGMA  DIAFRAGMA


BERGERAK INFERIOR BERGERAK KE POSISI SEMULA

INSERT

VOLUME VOLUME
INTRATORAK PRESSURE
PRESSURE

GAMBAR FISIOLOGI

Hambatan sering terjadi :


1. Hypoxic hypoxia
2. Bagian ventilasi
3. Bagian diffuse
4. Stagnant hypoxia (mis ; shock)
5. Histotoxic hypoxia (mis ; sepsis)

Normal :

Untuk TUGASMAS 25
26

Untuk TUGASMAS 26
27

Q O2
CO

3
Keterangan :
1. Ventilasi (V)
2. Diffusi
3. Perfusi (Q)
V/Q = 1

Oedma Poru PPOM


(Pesfuriom Non – Vom) (Ventilation Non Perf)

Ventilasi : ↓/- Ventilasi : +


Deffusi : ↓/- Deffusi : ↓/-
Perfusi : + Perfusi : ↓/-
PaO2 ↓ dan PCO2 ↑ U/Q < 1 PCO2 ↑ dan PO2 N/↓ V/Q>1
Shunt (berbahaya bila di Anst) Dead Space

Untuk TUGASMAS 27
28

Menghitung F1 O2 :
F1 O2 = (Lpm x 4) + 21%
Misal = O2 marker 6 Lpm
F1 O2 = (6 x 4) + 21 = 45%

Pertukaran gas Oksigen dan CO2 dijaringan

Pertukaran gas dialveolar

Untuk TUGASMAS 28
29

Untuk TUGASMAS 29
30
Oksigen transport dalam darah

Untuk TUGASMAS 30
31

GANGGUAN FUNGSI PARU


Ggan RESTRIKSI fungsi paru :
yaitu kondisi abnormal dimana
kemampuan ekspansi paru
berkurang

Ggan OBSTRUKSIfungsi paru :


yaitu kondisi abnormal dimana
terjadi hambatan aliran udara
karena adanya penyempitan
saluran pernapasan

VOLUME STATIK KAPASITAS PARU

IRV
(3000 ml)
T
L
TV IC C
(500Ket
ml) :
IC = Inspirtory Capasity = 3500 cc VC
VC = Vital Capasity = 4500 cc
ERVTLC = Total Luvan Capasity = 6000 cc
FRC
(1000 ml) =

RV FRC
(1500 ml)

Untuk TUGASMAS 31
32
TRANSPORT OKSIGEN
DZ = DISSOCIATION CURVE

Ket :
- Pergeseran kurva ke kanan (O2 mudah lepas ke jaringan)disebabkan
oleh =
a. Acidosis
b. Temp 
c. 2.3 DPG  (Anemia Kronis)
d. PCO2
- P2O2 Normal = 100 mm Hg

Ca O2 (Oxygen Cantent)
- Kandungan O2 Arteri
- Benyaknya O2 yang terikat dengan Hb

Ca O2 = Hb x Sa O2 x 1,34

Hb = kadar Hb 1 gr%
Sa O2 = satursi oksigen
= bentuknya Hb yang terikat dengan O2 (N = 100%)
1,34 = Konstanta
= bentuknya O2 (ml) yang terikat dengan 1 gram Hb

Konversi PaV2 - Sa O2 =

Sa O2 = 13 35 57 75 83 89 93 95 96 97

PaV2 = 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

(Klinical & Rasusitasi data hal : 150)

Untuk TUGASMAS 32
33
DO2 (Oksigen Delivery)

= Available O2
= Banyaknya O2 yang disuplay ke jaringan

DO2 = CO x Ca O2

CO = Cardiac Output

DO2 Normal = 1000 ml/mnt

Rumus Noun – Freeman =

AvailableO2
{CO x Hb x S a O 2 x1,34}
 COxPa O2 x0,003

VO2 (Oksigen Consumtion)


= banyaknya oksigen yang digunakan oleh jaringan

VO2 = CO x {Ca O2 – Cv O2}

Ket :
Cv O2 = kandungan oksigen vena {Hb x Sv O2 x 1,34}
Sv O2 = Saturasi oksigen vena {Mixed Vena}
VO2 Normal = 250 ml/mnt

Gangguan OXYGENASI

I.AaDO2 = (Arterial Alveolar Oxygen Gradient)


Guna menentukan tindakan terhadap gangguan oxygenasi
Rumus :

AaDO2 =  760 - 47xFiO3  PaCO2   PaO2


0 .8

Interprestasi :

AaDO2 Tindakan
50 – 200 Normal
200 – 350 Oksigenasi
> 350 Intubasi

II. PaO2 / F1O2 =

Guna membedakan ALI & RDS

Untuk TUGASMAS 33
34
Interpretasi :

PaO2 / F1O2 Dx
< 200 ARDS
200 – 300 ALI
> 300 Normal

III. PCWP : Pulnomary Capallary Wiedge, Pressure


Guna : membedakan ARDS & Edema Paru

Interpretasi :
PCWP Dx
< 18 cmH2O (normal) ARDS
> 18 cmH2O Edema paru

Untuk TUGASMAS 34
35
CIRCULATION
Fluid Challegce Test
CVP

<8 8 -14 > 14

RL 200 cc RL 100 cc RL 50 cc
10 mnt 10 mnt 10 mnt

KENAIKAN
CVP

<2 2-5 >5

ULANGI Tunggu
STOP
ASAL 10 mnt

<2 TETAP 2 - 5

INDIKASI CVP :
1. Pembedahan dimana terjadi pertukaran cairan yang massive
2. Semua pembedahan jantung
3. Penderita syok
4. Penderita yang diduga hypovolemic
5. Penderita yang mengalami trauma berat
6. Penderita dengan penyakit cardio vascular yang memerlukan pembedahan
bukan jantung
7. Pemberian cairan dan obat-obatan yang menyebabkan iritasi V penter
8. Nutrisi parenteral jangka panjang

KOMPLIKASI CUP :
A. Trauma :
1. Hidrothorax (ok catheter masuk ke cavum plenta)
2. Tamponade pericard
3. Hematome
4. Pneumothorax
5. Hematothorax
6. Emboli udara
7. Perlukaan saraf (Brachial plexus, Stellate ganglion, Phrenic nerve,
recurrcut laryngeal)
8. Kateter putus
9. Thrombosis
B. Infeksi :
1. Infeks Iokal dan systemic

Untuk TUGASMAS 35
36
2. Thrombophlebitis

LASIX TEST :

Oliguna

Pasang CVP

Rendah Normal Tinggi

Cairan

Urine : N
Lasix test R/ Lasix II Amp,
Double dose →IV →VIII , dst
Max 1,2 gr (setiap 15 mnt)

Prod Urine

Normal Oliguna / Poliuria


Anuria

Lab = baik Lab = jelek Lab = baik Lab = jelek

Sembuh Oliguna / Sembuh Oliguna /


ARF ARF

NORMAL URINE OUTPUT


Umur ml/kg BB/jam
0 – 4 hari 0.3 – 0.7
5 – 7 hari 1 – 2.7
> 7 hari 3
> 2 hari 2
- dewasa 1–2

Keterangan :
- Anuria = 20 ml/24 jam
- Oliguria = 25 ml/jam atau 400 ml/24 jam
- Poliuria = 2500/24 jam
- Normal = 1250 ml/24 jam

Keterangan :
indikasi Lasix test = urine tidak tambah setelah resusitasi cairan s/d gejala
Hipovolemic ① (Anuria atau oliguna)

Untuk TUGASMAS 36
37

TILT TEST :

Indikasi = salah satu cara untuk meneliti perbaikan hemodinamik pada Px dengan
Hypovotemia.
Tilt Test ( - ) = Hemodinamik baik vol. Imavascular cukup
Cara :

0
Px head up 30 0
Bertahap 10 tiap 10menit 45

Tunggu 5 mnt 10 mnt

TD Sistolik tidak turun > 10 mm Hg MAP ↓


< 10%

Tilt Test (-) (Volume Sirkulasi Normal) Tilt Test


(-)

Tilt Test (+) Pex Map > 10


 berarti masih ada deficit  1000 cc

TANDA CARDIAC TAMPONADE

 TRIAS BACK :
1. Bunyi jantung menjauh
2. TVJ ↑
3. Shock

AKSES VENA CENTRAL :


1. V. Jugularis Externa x Int
2. V. Subclavia
3. V. Femoralis (jarang dilakukan)
4. V. Antecubital (V. basilica juga Cephalien)

NYHA
(New York Heart Association)

Guna : menilai kemajuan kerja jantung


I. No Limit
II. Exersice berat ---> sesak
III. Hanya bisa basal (aktifitas rutin tidak sesak)
IV. Basal sesak

Untuk TUGASMAS 37
38
B R A I N (DISABILITY)
GCS (Glasgow Coma Scale)
Jenis Pemeriksaan Nilai
Eye Opening {E}
- Spontan (spontan) 4
- Thd suara (speech) 3
- Thd nyeri (Pain) 2
- Tidak ada (pain) 1
Respon Motorik {M}  Plg Sensitif
- Ikut perintah (control) 6
- Melokalisir nyeri (Pain) 5
- Flexi normal withdrawal (Pain) 4
- Flexi abnormal (Pain) 3
- Extensi abnormal (Pain) 2
- Tidak ada (Pain) 1
Respon Verba {V}
- Berorientasi baik (speecs) 5
- Bicara kacau (bingung) (speecs) 4
- Kata-kata tidak teratur (speecs) 3
- Suara tidak jelas (speecs) 2
- Tidak ada / diam (speecs) 1

E–V–M :4–5–6
Penilaian GCS trauma kepala :
COB : GCS 3 – 8 ( ≤7)
COS : GCS 9 – 13 ( 8 – 12 )
COR : GCS 13 – 15 ( 13 – 15 )
GCS kurang dari 8 ---> Intubasi

KRITERIA Intubasi pada Trauma Kepala ( lihat buku baru)


I. GCS : < 8
II. Kriteria tambahan :
- Pernapasan : Irregular
- RR < 10 j > 40 x/mnt
- TV < 3.5 ml/kg/ BB
- VC < 15 ml/kg BB
- Pa O2 < 70 mm Hg dan Pa O2 > 50 mm Hg

Modifikasi GCS untuk anak (modifikasi)


Respon to verbal Skor
- Kata2 banyak dan senyum 5
- Menangis tetapi dapat dihibur 4
- Cengeng terus menerus 3
- Tak tenang, gelisah terus 2
- Diam 1
Respon mata dan motorik sama
dengan dewasa

PEDOMAN GCS untuk dewasa


1. Mata Skor 2. Verbal Skor 3. Motorik terbaik Skor
 Spontan 4  Terarah 5  Ikut perintah 6
 Panggilan 3  Bingung 4  Lokalisasi nyeri 5
 Rgs. Nyeri 2  Kacau 3  Menarik 4
 Tidak pernah 1  Tidak dimengerti 2  Flexi 3
Tidak bersuara 1  Extensi 2
Tidak respon 1

Untuk TUGASMAS 38
39
Catatan :
- Allert  GCS = 4 – 5 – 6
- Reflex (+)  GCS = 8 – 12
- Respon to pain / coma GCS < 8

PENURUNAN KESADARAN
AVPU

I. Dipanggil : membuka mata, jawab bangun


(Verbal) kesadaran baik
II. Dipanggil : membuka mata, jawab kemudian tidur lagi
(Verbal) kesadaran menurun dari ringan - sedang
III. Dicubit : membuka mata, bangun, jawab, kemudian tidur lagi
(Pain) kesadaran menurun sedang / berat
IV. Dicubit : tidak respon
(Pain) tidak sadar / coma

AVPU :
A = Allert
V = Respond to Verbal
P = Respond to Pain
U = Unresponsive

OUT COME Px Trauma Kapitis / Coma Stl Resusi fesi :


1. Good Recovery
Px dapat hidup mandiri kelainan Neurologis (-) / minimal
2. Moderate Disability
Px dapat hidup mandiri kelainan Neurologis / Intelektual (+)
3. Severe Disability
Px tidak dapat hidup mandiri kesadaran baik
4. Vegetatif State
Kesadaran () hanyak melek saja
5. Death

Prognosa Trauma Kapitis dalam 24 jam I :

GCS Juml. Kasus Death/Vegetatif Nodem = D


Good – R
11 57 7% 87%
8 – 10 190 27% 68%
5–7 525 53% 34%
3–4 176 87%

Untuk TUGASMAS 39
40
APGAR–SCORE
Tujuan : menentukan tingkat Depresi BBL

Nilai
Gejala
0 1 2
HR (-) < 100x/1- > 100x/1
Napas (-) Tangis lemah Tangis keras
Tonus otot Lemas Sedikit fleksi Gerak aktif
Reflex (-) Sedikit Batuk, bersih, nangis
Warna kulit Biru pucat Tubuh merah, Extr biru Merah

Penilaian :
Menit I :
Tujuan : menentukan jenis tindakan pertolongan
AS = 7 – 10 : tidak depresi/depresi rgn
Tx = - Pembersihan jalan napas
- Penghangatan tubuh
- Rangsang taktis pada telapak kaki

AS = 4– 6 : depresi sedang
Tx = - Sda + oksigen

AS = < 3 : Depresi berat


Tx = - Sda, resusitasi
- napas buatan
- intubasi trachea
- pijat jantung

Menit V :
Tujuan : menentukan prognosa selanjutnya, biasanya bayi menunjukkan respon baik
terhadap resusitasi.
Bila apgar score masih rendah, kemungkinan disebabkan :
 Intubasi tidak benar
 Trauma lahir berat
 Hernia diafragmatika
 Kehilangan darah banyak
 Hidrops fetalis
 Pneumothorax

Tx =
 Lanjutkan revusitasi
 Psg kateter V. Umbilikalis
 Berikan :
- Bicnat 2 mmol/kg BB
- Glukosa 10% 10 ml
- Ephinefrin 1 = 10.000 ---> 0,2 ml/kg BB

Untuk TUGASMAS 40
41
TRAUMA KEPALA
Tujuan penatalaksanaan :
Sebagai Prevention secondary Brain Injury, yaitu :
- ICP tidak meningkat
- Oedem tidak bertambah
- CMRO2 tidak bertambah
-
Dengan cara menghindari :
- Hipotensi
- Hipercarbia
- Hipoksia
-
1. HIPOTENSI
CPP = MAP – ICP

Ket :
CPP (N) : > 60 mmHg (80 – 90 mm Hg)
ICP (N) : 5 – 15 mm Hg (x : 10)

Pada trauma kepala bisa > 20


MAP (N) : 50 – 140 mmHg
CPP < 40 ---> Ischemic Otak
< 20 ---> Ischemic Irreversible

Rata-rata :
- CPP : 80 mmHg
- NAP : 100 mmHg
- ICP : 20 mmHg

MAP

1. Sistole + 2 Distote
3

2. Diastole + (Sistote – diastole)


3

Proses Peningkatan ICP

ICP Tanda-tanda :
ICP ↑ :
Trias Cushing
80 4 1. TD ↑
2. HR ↓
3. RR ↓
60
ICP 3
(Torr)
40
2

20 1 X
X Kompensasi ①
Kompensasi 
0

Vol. Intracranial
Batas kompensasi sedikit penambahan
volume ---> ICP ↑↑↑

Untuk TUGASMAS 41
42
Note :
HT = dipertahankan > 30%
Konversi : 1 Cn H2O = 13.8 mmHg

2. HIPERCARBIA
 OK terjadi Vasodilatasi Cerebral
 CO2 dipertahankan : 25 – 35 mmHg

MK = ICP = k {mp + Mv + Mliq}

Mp = massa porenchym
Mv = massa vascular
Mliq = massa liquer

3. HIPOKSIA
Indikatornya : - Pa O2 (N = 100 mmHg)
- Sa O2 (N = 100%)
Lihat Kurve Dissociation O2

Buat kurve disosiasi

Note :
Posisi Px saat Resusitasi :
1. SSAP = Supported Supine Alignes Position
2. SSP = Stable Side Position
= Recovery Position (Neuro Anest 45 – 47)

Management Px Tr Capitis
Primary Survey :
A=
B= tidak
C=
D = Disability

I. Severing of Index :
Menggunakan GCS
GCS < 8 ---> Intubasi

II. Location of Injury :


a. Basis Cranii ---> Bloody Othoroe , Bloodyrhinoroe
b. Skull ---> Temporoparietal ---> Possible to Operation

III. Intra Cerebrall Injury :


Localized ---> Operable
Generalized ---> nonoperable

Untuk TUGASMAS 42
43
PROSEDUR DC – SHOCK

Px Tidak sadar

The net result after fluid


resuscitation:

Cek. A Carotis

Carotis (-)

CPR

(Pijat Jtg 100 x/1-


napas 12 x/1-
Sinkronisasi (15 : 2)

ECG

` VT / VG
+)
Asistole / PEA

DC Shock CPR Terus 3 mnt

Untuk TUGASMAS 43
44
I. Ventricular Fitrilation / Flutter
---> Langsung DC – Shock 200 joules

II.
+)
VT / VF

Carotis (+) Carotis (-)

Lidocain img/kg/IV DC Shock 200 joules


Cepat

Masih VT / VF ROSC, Canotis (+)

200 / 300 joules Pertahankan O 2


Pertahankan TD
ROSC
Masih VT / VF

360 Joules
ROSC
Masih VT / VF

CPR 1 mnt, intubasi, Iv linie


Adrenalin 1mg/IV,it,10

ROSC
DC 360 – 360 – 360

Masih VT / VF

CPR 1 mnt, intubasi, Iv linie

Obat Kls II a
ROSC
Masih VT / VF

Untuk TUGASMAS 44
45
DC – SHOCK :
I. Unsynchronized
Ti = kejutan listrik arus searah (DC – Shock) akan melewati seluruh mycocardium
 sehingga terjadi depolarisasi serentak di seluruh / sebagian besar myocard.
Sesudah ini pace maker normal akan mengendalikan kerja myocard
II. Synchronized
Defibrillator akan menunggu timbulnya 616 R yang akan memicu pelepasan energi
DC – Shock. DC Shock harus disinkronisasi agar jatuh serempak pada 616 R
Jika shock meleset dan jatuh pada 616 T ---> justru akan terjadi VT

ECG (Electro Cardio Graphy)


Sandapan ECG (ECG Lead)
Sedapan ECG biasanya 12 Lead, tdd :
A. Sadapan Bipolar (Lead I, II, III) ---> segitiga “EINTHOVEN”

Lead I
RA
LA
_ +
_
_
_
Lead II Lead III
+ +

LL

B. Sadapan Unipolar :
1. Sedapan unipolar extremitas
(AVR, AVL, AVF)
2. Sedapan unipolar preordial
(Vi u/d V6)

ECG Normal :
PR Si
Segment Segment
Voltage

T
P U

Imm= 0.1 mV

PR QRS ST
Interval Interval Segment

1 mm = 0.04 dtk Waktu

Untuk TUGASMAS 45
46
Kurva ECG terdiri dari :
1. Gelombang P
2. Gelombang QRS
3. Gelombang T
4. Gelombang U (kadang-kadang)
5. Interval PR
6. Segment ST

SA node
(pacemaker)

AV node
(relayer)

AF

Untuk TUGASMAS 46
47

Normal Sinus Rhythm


R R R R R R

p p p p p p

qRS qRS qRS qRS qRS qRS

- jarak antar ‘p’ selalu sama


- setiap ‘p’ diikuti ‘qRS’, PR interval sama

Rate = 1500 : kotak kecil R-R


1500 : 20 kk = 75 x pm

Untuk TUGASMAS 47
48

Coronary Artery Disease :


I. Ischemia :
Ciri – ciri ECG :
- Rate : bervariasi
- Rhytm : biasanya regular, tetapi dapat berupa atrial dan jarang ventricular
disaritmia
- PR interval, normal
- QT interval : Depresi segment ST (Khas)

- ST Elevasi
(Prinzrintal’s angiru)

- T : Wave Inversion
-
Note :
20% Px dengan US, Normal dapat dijumpai Ischemic Intra Operative

∞ Gelombang T :
- T. Mendatar
- T. bifasik

T. Terbalik (Arrow Head)


R

Untuk TUGASMASQ 48

S T
49

II. Myocard Infark :


Secara klinis dibagi 3 fase :
 Fase hipercut
 Fase berkembang penuh (Fully Evolved)
 Fase Resolusi (Old Infarction)

I. Fase Hiperakut :
Terlihat dalam beberapa jam permulaan serangan infark :
Cirri-ciri EKG :
 Elevasi yang curam dari ST segmen
 Gel T yang Tinggi & Lebar
 VAT memanjang
NB : Gelombang Q belum tampak.

II. Fase berkembang penuh


Ciri-ciri EKG :
 Gelombang Q patologis *
 Elevasi segmen ST dengan cembung ke atas
 Gelombang T. terbalik

NB : terjadi 1 – 2 hari kemudian


III. Fase Resolusi :
Terjadi beberapa minggu/bulan kemudian :
Ciri-ciri EKG :
 Gelombang Q patologis tetap ada
 Segmen ST mungkin sudah kembali isoelektris
 Gelombang T. mungkin sudah menjadi normal.

Untuk TUGASMAS 49
50
Menentukan lokasi Infark :
Lokasi infark ditentukan dengan melekat disadapan mana terdapat tanda-tanda infark

Letak Infark Kelainan tampak di


Dengan Arteriol yang luas I, aVL, V1 – V6
Anteroseptal V1 – V4
Lateral I, aVL, V5 – V6
Interior II, III, aVF

Biasanya : interior ---> lead II


Anterior ---> lead V

EKSTRASISTOL :
 Merupakan suatu gangguan pembentukan inpuls
 Terjadi karena untuk focus ectomic melepas inpuls lebih cepat ---> sehingga
menyakitkan myocard
 Focus ectopic bisa terjadi di :
a. Atrium :
Extrasistole Atrial (Atrial Premature Beat)
b. Simpul AV :
Extrasistole AV – Junction (Junctional Premature Beat)
c. Ventricel
Extrasistole Ventricel (Veutricular Premature Beat = PVC)

PVC (Premature Ventricular Contraction)


Asal = Focus Ectopic di Ventricle
Ciri-ciri EKG :
 Gelombang P tidak ada di depan QRS yang abnormal
 QRS timbul premature dan aneh
 Segmen ST tertekan & terbalik
 Masa kompensasi penuh

PVC tg berbahaya
1. PVC > 6 x/mnt
2. Bigeminy
3. Multifocal ---> PVC berasal dan focus yang berbeda-beda
4. Consecutif
5. Phenomena R on T ---> PVC jatuh tepat pada Gelombang T (merupakan awal dari
VT dan VF)
6. Timbul post exercise
7. Timbul pada usia > 40 thn

Ventricular Bigeminy =

Untuk TUGASMAS 50
51

R on T

normal
VF

R on T
menyebabkan jantung jadi
Ventricle Fibrillation / VF

VT (Ventricular Tachycardia)
Criteria EKG :
Irama = teratur
Freq (HR) = > 100 x/mnt
G16 P = (-)
Interval PR = (-)
G16 QRS = > 0.12 dtk

Gambar

Untuk TUGASMAS 51
52

1. Gangguan pembentukan impuls di SA

2a. Gangguan transmisi impuls di AV


R R R R

p p p p

- jarak antar ‘p’ hampir selalu sama


-setiap ‘p’ diikuti ‘qRS’, tetapi PR interval > 5 kk
- (ada hambatan di AV node → AV block derajat 1)

VF (Ventricular Fibrilasi)
Criteria ECG :
Irama = tak teratur
Freq = tidak dapat dihitung
Gelombang P = (-)
Interval PR = (-)
Gelomb QRS = tidak dapat dihitung tidak teratur

Untuk TUGASMAS 52
53
VF Kasar (Coarse)

Gambar

VF Halus (Fine)

Gambar

PEMBACAAN ECG

1.Tentukan Irama : teratur tidak

2.Tentukan Heart rate = 300 dibagi jumlah kotak besar R – R’

3.Tentukan gelombang P
- Normal atau tidak
- Apakah selalu diikuti QRS
- Gelombang P Normal : - lebar ≤ 0.12 detik
- tinggi ≤ 0.3 mV
- selalu positif di Lead II
- selalu negative di aVR

4.Tentukan Interval PR : Normal atau tidak ( Normal 0.12 – 0.20 detik)

5.Tentukan gelombang QRS normal atau tidak.


Gelombang QRS normal : - Lebar 0.06 – 0.12 detik
-Tinggi tergantung dari sandapan (lead)
6.ST Segment = Tsoelektric ?
7. T. Waves =

Ket :
- P (-) diikuti QRS = N ---> proses di Atrium
- P (-) diikuti QRS melebar ---> proses di Ventricel
)*
- 300
HR =
Jlh kotak besar R – R’

KRITERIA IRAMA SINUS NORMAL :


Untuk TUGASMAS 53
54
- Irama : teratur
- HR : 60 – 120
- Gelombang P : Normal dan selalu diikuti QRS
- Interval PR : Normal (0.12 – 0.20 detik)
- Gelombang QRS : Normal (0.06 – 0.12 detik)

LVH (LEFT VENTRICEL HYPERTROPY)

SOKOLOW DAN LION


- S in V1 + R int V5 dan V6 = > 35 mm (3.5 mV)
- R in V5 or V6 : >26mm (2,6 mV)
- R in aVL : > 11 mm (1,1 mV)
- Intrivicoid defletion ( V5 or V6 ) : > 0.05 detik
- ST segmen Depressed and T wave Inverted di V5 or V6

RVH (RIGHT VENTRICEL HYPERTROPY)


- Right axis : + 110˚ to 180˚ juga di -91˚ to 180˚
- QRS de : < 0.12 detik
- R in V1 : > 7 detik
- RS or R1/5 in V1 : > 1 menit dan R or R’ > 5 mm
- R in V1 + S in V5 or V6 : > 10.5 mm

PERUBAHAN GAMBARAN ECG


- ST elevasi : infark
- ST depresi & T inversi : Ischemia
-

Reseptor catecholamine alfa dan beta


• Di Jantung • Di Pembuluh darah
• alfa sedikit • alfa (+) = konstriksi
• beta banyak (beta-1) – tensi naik
– beta (+) = inotropik (+) – kerja jantung > berat
– kontraktilitas naik – t-diastole naik
– EF naik – perfusi koroner > baik
– tetapi heart rate juga • beta (+) = dilatasi
naik – tensi bisa turun
– kedua kenaikan – kerja jantung > ringan
menyebabkan – t-diastole turun
kebutuhan O2 miokard
naik – perfusi koroner bisa
turun

Untuk TUGASMAS 54
55

100

80

60 East
West
40
North
20

0
1st Qtr 2nd Qtr 3rd Qtr 4th Qtr

Untuk TUGASMAS 55
56
PROSES ANESTESI

ASA (Amenicad Society of Anestucsiologist) = PS (Phtsisci Status)

ASA I = Px sehat, tanpa ggn organic


ASA II = ggn sistemik ringan – sedang
ASA III = gangguan sistemik berat
ASA IV = gangguan sistemik berat yang mengancam nyawa
ASA V = monbound, kemungkinan kecil untuk hidup

STATUS ANESTESI
== 6 B ==

B1 = Breath = masalah pernapasan


---> jalan napas bebas ?
B2 = Bivod = masalah hemodinamik
--->apakah pasien pernah syok / mengalami syok ?
B3 = Brain = masalah kesadaran / SSP
--->bagaimana kesadaran Px ?
---> tandan neurologist lain ?
B4 = Badder = masalah tractus unogenital
--->fungsi ginjal dan eliminsasi ?
B5 = Bowel = masalah Digestivus
---> Distensi abdomen ?
---> Fungsi nutrisi ?
B6 = Bone = masalah tulang dan kerangka

STADIUM ANESTESI

Stadium I = Analgesi, Disorientasi mulai saat diberikan sampai dengan hilangnya


kesadaran.

Stadium II = Eksitasi dan hipersekresi ---> delirium.


Mulai hitung kesalahan sampai dengan permulaan tahap bedah.

Stadium III = Pembedahan


Mulai berakhirnya tahap II s/d hilang napas spontan (arrest napas)
Plana 1 : Ventilasi thoraco – abdominal
Plana 2 : Ventilasi abdomino – thoracal
Plana 3 : Ventilasi Abdominal
Plana 4 : Ventilasi tidak teratur

Stadium IV = Paralyisi, kelompok medulla mulai arrest napas s/d Arrest jantung (gagall
sirkulasi)
Ket : Stadium ini jelas terlihat pada Anestesi dengan Eter secara open drops.

Untuk TUGASMAS 56
57
Tx. CAIRAN PRE OP :

Anestesi ?

SAB GA

500 – 1000 cc u/d 500 cc (ganti puasa)

Ket : - Px emergency : semua infuse sesuai dengan kebutuhan (tingkat dehidrasi,


dll)
- Px Elektift : infus malam hari, puasa = 8 jam
- Cairan Maintanance : 50 x 50 = 2500 cc/24 jam jadi 100 cc/jam

Tx CAIRAN DURANTE OP
Berdasarkan pada :
2. Kehilangan cairan karena penguapan durante op =

JENIS OP
Kecil Sedang Besar
Dewasa 6 8 10 cc/kg BB/jam
Anak 4 6 8 cc/kg BB/jam

3. Jumlah perdarahan durante operasi


Misal :
- Perawatan 300 cc, BB 50 Kg
- Operasi kecil, setoran 2 jam
Cairan yang diberikan :
- Penggantian pendarahan 300 cc =  3 x 300 cc = 900 cc
- Penguapan 6 cc x 50 x 2 jam = 600 cc
Jumlah cairan yang diberikan = 1500 cc

Tx CAIRAN POST OP =
INPUT OUTPUT
- Infus = ….. ? - Urine = ….. ?
- Sonde = ….. ? - S&I = 700 cc/24 jam
- WB = 500 cc - Drain = …….?
(water of metabolic 400 – 600 cc)

Jumlah pemberian cairan :


Infuse = (input – output) + out put / 6 jam post op
= (1000 – 500) + out put (urine dan NGT,dll)
= 500 + out put/6 jam post op.

06.00 12.00 18.00 24.00 24.00

125 cc 250 cc 375 cc 500 cc

+ 200 cc
325 cc

Untuk TUGASMAS 57
58
Dalam 6 jam I :
---> diberikan : 125 cc + out put / 6 jam

bila output / 6 jam :


- Urine = 100 cc
200 cc
- NGT = 100 cc

Jadi jumlah cairan yang diberikan : 125 + 200 cc = 325 cc

Dalam 6 jam II =
20 Kal / kg BB/hari
misal : BB = 60 kg
kebutuhan kalori = 1200 Kal

1 gram gluc = 4 Kal


300 gr glac = 1200 Kal

1 liter D 5% = 50 gram gluk


D10% = 100 gram gluk
D20% = 200 gram gluk
D30% = 300 gram gluk
D40% = 400 gram gluk

Jadi jenis cairan yang diberikan


D30% 1000 cc ā D40% 750 cc, dst

Untuk TUGASMAS 58
59
PEMILIHAN TEKNIK ANESTESI

TIPE OPERASI TEKNIK ANESTESI

- Operasi besar – kepala dan leher Anestesi umum, endotrachea


- Abdomen bagian atas
- Intra thorax

- Abdomen bagian bawah Anestesi umum – endotrachea


- Inguinal, perineum - Spinal
- Ekstremitas bawah - Block saraf/block lapangan
- Kombinasi GA & konduksi
- Ekstremitas – atas Anesthesia umum – Endotrachea
- Block saraf
- Regional IV

SPINE TRAUMA

Neurologic Defiste

FRAENKEL

A = Plegia
B = Sensory (+)
= Motoric (-)
C = Sensory (+)
= Motoric (+) use less
D = Sensory (+)
= Motoric (+) use full
hp krg adequate
E = Sensory (M)
= Motoric (N)

Untuk TUGASMAS 59
60

ELEKTROLIT DARAH

Homeostasis Natrium
Cairan ekstra seluler secara langsung terkait dengan total natrium tubuh
Kadar natrium serum 135 – 145 mEq
Kadar yang tinggi dalam ECF dipertahankan oleh Na-K pump yang memerlukan ATP
Kadar Na serum lebih indikatif untuk menggambarkan keseimbangan cairan
dibandingkan kadar total natrium dalam tubuh
Ganguan Keseimbangan Natrium / Air
• Saline defisit / Saline Excess
• Water deisit / Water excess

Management Saline excess :


• Resriksi cairan / stop infus
• Diuresis
• Jika terjadi edema paru dapat diberikan dopamine
Management Saline Defisit :
• Minum Oralit jika bisa
• Infus RL / NaCl 0,9 % / RA

Management water excess :


Restriksi Air (semua infus diganti NaCl 0,9%)
Lasix 1 – 2 mg / kgBB iv
Bila kejang ( Na < 125)
• Resusitasi ABCBrain
• Valium
• Na Cl 3 % 200 – 300 cc 12 – 24 jam
Management water defisit :
• Minum air
• Infus D5% atau D5% ¼ NS

HIPERNATREMIA :
(Na > 145 mEq/lit)

Penyebab:
 Diabetes insipidus
 H2O losses (Renal, GI, Insensisble)
 Salt poisoning
 H2O Deprevation
 Primary hipoxia
 Mineralocorticoid excess

Gejala klinis atau tanda:

Diakibatkan dehidrasi selluler, gangguan status mental, nausea, seizure, intracranial


hemorage

Untuk TUGASMAS 60
61
TERAPI :
Berikan larutan hypotonic solution (misal = 0.5%)

H2O Defisit 0.6 x BB (kg) x Target Na


=
(liter) (actual Na – 1)

Koreksi jangan diturunkan > 0.5 mEq/jam ok koreksi yang cepat dapat menyebabkan
kejang, edema otak, kerusakan neurologic permanent.

HIPONATREMIA :
(Na < 135 mEq/lit)
Penyebab :
 Pseudohipanatremia
 Pure water intoxication
 Hipernatremia with appropriate
ADH Secretion :
- Hipovolemia
- CHF
- Endoerinopathy
- Renal Disease
- Cirhosis
 Sindroma of Inapropriate of antidiuretic hormone
Idiophatic
Drug induced
Pulmonary disease
CNS Disease
Malignancy

Gejala - Tanda :
Nausea, Neuromuscular irritability, gangguan status mental, kejang.
 Gejala utama berupa gangguan neurologist akibat peningkatan cairan intracellular
 (Na) ≥ 125 mEq/L umumnya asimatomatis
 (Na) ≤ 120 mEq/L dapat menyebabkan gejala yang serius
 Gejala awal : Anorexia, Naussea, Weakness
 Bila terjadi “Cerebal Edema” yang progressife dapat menyebabkan :
Lethargi, Confusion, Kejang, coma, kematian

Penatalaksanaan :

NA Require = 0.6 x BB (kg) x (target Na – Plasma Na)

diberikan dalam 24 jam

Untuk TUGASMAS 61
62
Saline fisiologis mengandung 154 mEq/L. Koreksi 1 – 1.5 mEq/jam.
Koreksi terlalu cepat dapat menyebabkan “Demyelinisasi Pons” yang menimbulkan
kerusakan neurologic permanent.

Catatan :

Na+ serum < 120 mEq/L disertai gangguan CNS --- mungkin membutuhkan infuse NaCl
3% / 24 jam. (target koreksi : Na = 125 mEq/L)

Terapi :

- Target koreksi : Na ≥ 125 (mis. 130 mEq/L) untuk semua prosedure, kecuali
symptom (-)

- Rumus :
Na  Defisit  TBWx Na 

TBW = BB x Volair tubuh


- Male = 60% x BB
- Female = 50% x BB
+
[Na ] = [Na] yang diinginkan - [Na] yang ada

misal ♀ BB 80 kg
Na = 118
Koreksi sampai dengan Na = 130

Na+ Defisit :
50% x 80 (130 – 118)
= 40 x 12 = 480 mEq (diberikan dalam 24 jam)
NaCL Fisiologis : Na : 154 mEq/liter

Na yang diperlukan :
480 / 154 = 3120 cc/24 jam = 3120 /24 = 130 cc/jam

Jadi NaCL 3% : 900 cc/24 jam :


 Kecepatan koreksi
 Gejala ringan :  0.5 mEq/L/jam
Gejala sedang :  1 mEq/L/jam
Gejala berat :  1.5 mEq/L/jam
 Bila Na  110 ---> Tx. Saline 3%
 Koreksi terlalu cepat dapat menyebabkan “Cerebral Pontine Myelinolisis”

Catatan :
NaCL 3% : mengandung Na + : 513 mEq/L (setara dengan Pz 3 liter)

Homeostasis Kalium
• Kalium adalah elektrolit utama intraselular
• Homeostasis kalium dipertahankan dalam rentang yang sangat sempit

Untuk TUGASMAS 62
63
• Kadar kalium serum : 3,5 – 5,0 mEq
• Kadar Kalium serum tidak menggambarkan cadangan kalium tubuh secara
keseluruhan
• Fungsi ginjal yang normal berperan sangat penting dalam homeostasis kalium
• Ekskresi kalium 80 % renal; 15 % GI tract; 5 % keringat

Hypokalemia
• Mild : 3,0 – 3,5 mEq
• Moderate : 2,5 – 3,5 mEq
• Severe : < 2,5 mEq
Etiologi :
• Kehilangan dari renal
• Kehilangan dari GI tract
• Perpindahan ke dalam sel
• Kehilangan dari keringat
• Intake kurang
Pada anak hypokalemia sering terjadi karena komplikasi diare atau muntah persisten

Penyebab :
 Pseudohipokalemia (misal : pada Px dengan leuco > 105)
 Cellular K uptake meningkat
 Intake K yang kurang (misal : Int Pz/D5  5 hari)
 GI loss
 Renal Loss

Gejala / Tanda :
 Hipomotilitas
 Kelemahan otot skelet, atau paralisis
 ECG = U wave (+)
 K < 2.5 :
Hiperpolarisasi myocard : ---> mudah PVC ---> mudah VF
Dengan gangguan konduksi ---> T. datar, Gelombang U (+), ST – depressi

Gambaran Klinis Hypokalemia


Cardiovascular effect :
Potensial terjadi atrial atau ventrikular arritmia terutama pada kadar kalium < 3 mEq
Muscular effect :
Kelemahan otot dan ileus terjadi pada kadar kalium serum < 2,5 mEq
!!! Berbahaya terutama bila terjadi kelemahan pada otot nafas

Management :
Kalium replacement paling baik diberikan secara oral secara bertahap dan mengatasi
kelainan yang mendasari
Terapi oral : larutan KCl 60 – 80 mEq / hari
Terapi intravena bertujuan untuk mencegah terjadinya kelainan yang mengancam
nyawa bukan untuk koreksi defisit secara keseluruhan
Koreksi dengan Kcl drip rata dalam 24 jam maksimal 20 mEq / jam atau 100 mEq / hari
Jika tidak ada monitor ECG dapat diberi sebanyak 50 mEq / hari bila tidak ada aritmia
dapat ditingkatkan 75 – 100 mEq / hari selama 2 – 3 hari saja
Jika ada monitor ECG dapat dimulai dengan 100 mEq / hari
Penatalaksanaan :

Untuk TUGASMAS 63
64
 K oral & infuse 10 – 20 mEq/jam kebutuhan sehari-hari 60 – 80 mEq/hari
 Jangan berikan dextrose untuk mencegah hiperglicemia dan sekresi insulin
sekunder.

Koreksi yang dikerjakan :

I. ROI =
Kadar K+ Koreksi KCl
2.5 – 3 mEq 2 mEq/kg BB/24 jam
2 – 2.5 3 mEq/kg BB/24 jam
<2 4 mEq/kg BB/24 jam

+ Maintanance
1 mEq/kg BB/24 jam

Koreksi Hipokalemia :
Pemberian max = 20 mEq / jam (a)
100 mEq / 24 jam
(Prof. ED 200 mEq/24 jam)
Bila ada kekurangan di berikan hari berikutnya.

II. ICU =
KCL 10 mEq/jam
Diulang 3 – 4 x pemberian – setiap jam  kemudian di evaluasi (pemberian harus
melalui V. sentral)

I. Koreksi diruangan
Hanya diberikan “Maintanance”
KCL : 1 – 2 mEq/hari
Misal : BB 50 kg
Koreksi : KCL 50 mEq/24 jam (dalam Pz)
Atau berikan KA – EN 3 B ---> (mengandung K = 20 mEq/lit)

II. Menggunakan Rumus :

Deficit K (mEq/Lit) =
{ K serum yang diinginkan – K serum yang diukur } x 0,25 x BB

Catatan :
Monitor perubahan ECG oleh karena koreksi cepat K dengan monitor!

Hyperkalemia
Terjadi bila kadar kalium serum > 5,5 mEq
Jarang terjadi pada orang dengan fungsi ginjal normal
Causa :
 Pseudohiperkalemia
 Cellular K loss
 Pemasukan K+ berlebihan
 Inadequate renal exretion
 Lysis sel

Untuk TUGASMAS 64
65

Gejala / Tanda :
 Lemah, Parastesia, Paralisa
 ECG =
T meningkat
P Mendatar
Interval PR memanjang
QRS melebar
QT pendek

Etiologi :
• Perpindahan kalium antar kompartment
• Penurunan ekskresi kalium
• Intake yang berlebih
• Gambaran klinis hyperkalemia
• Cardiovascular effect :
• Pada kalium 6-7 mEq terjadi gelombang T yang tajam dan interval QT
memendek
• Pada konsenrasi yang lebih tinggi gelombang QRS melebar diikuti pemanjangan
interval PR dan hilangnya gelombang P
• Paling akhir dapat terjadi ventrikel fibrilasi atau asystole
• Management
• Ca gluconas 10 % 0,3 – 1 cc/kg atau Ca chloride 10% 0,1 -0,3 cc/kg
• Infus glucosa & insulin (0,5 gr/kgBB glucosa + insulin 0,1 UI/kgBB dalam 30 –
60 menit
• Nabic 1 – 2 mEq + mild to moderate hiperventilation

Catatan:
- K+ > 10 ---> bias VT / VF
- Perubahan ECG terjadi bila K + serum 6 – 7 mmol/lit

Penatalaksanaan:
 Ca-Gluconas 10% : 10 – 30 ml/IV (0.5 mg/kg)
 Dextrose 50% : 50 ml/IV bolus
 Regular insulin 5 U/IV
 Na HCO3 50 mEq dalam 4 dosis/IV pelan (1 – 2 mmol/kg)
 Dialysis
 Diuretic dan aldosteron pada kondisi tertentu
 Salbutomol Nebulized 2.5 – 5 mg

Catatan :

K > 7 mEq/lit : perlu th/segera

Contoh Kasus : Wanita / 45 th/ 50 kg, Px GGK (K + 7.05 mEq/L)


Koreksi (lihat hal 300)
Koreksi Hiperkalemia

III. Ca Gluconas 1 ampul IV


IV. D40% 25 cc + 2 IU RI / IV bolus (ACTRAPID)
1 jam

Untuk TUGASMAS 65
66
D40% 25 cc + 2 IU RI / IV bolus (ACTRAPID)
1 jam

D40% 25 cc + 2 IU RI / IV bolus (ACTRAPID)

V. Cek K+ Post – koreksi


(1 jam post koreksi)

HYPER – K HYPO – K
(K > 4,5 mEg/L) (K < 3.0 mEg/L)
Causa : Causa
- GGA - GE
- Trauma luas - Cairan tubuh hilang berlebih
- Luka bakar luas - Infus tanpa KCL > 5 hr
Tanda : Tanda :
- Aritmia Ventricular - Kelemahan otot
- K > 6,0 mudah VF - Ileus paralictic
- K < 2,5 mudah VF
Terapi : Terapi :
- Ca Gluiconas 100 - 200 mg / IV - KCl drips rata-rata 24 jam
- Na Bic 50 - 100 mEg - Max :
- D10 – 20% Plus insulin 10 – 20 20 mEg / jam
unit 200 mEg / hari
perbotol 500 cc 1 cc = 1 mEq
larutkan dalam D5% bagi rata

Calcium
Hypercalcemia (ca > 5; X rays : calcium loss; cardiac irregularity)
Etiology :
Hyperparatiroidsm, malignant neoplastic disease, pagets’s disease, osteoporosis,
prolonged imobilisation, acidosis
Sign & symtomps :
Anorexia, nausea & vomiting, weakness, batu ginjal
Hypocalcemia ( Ca < 4,0; ECG abnormalities)
Seen in severe illness
Rapid blood transfusion with citrat, hypoalbuminemia, hypoparairoidsm, deff vit D,
pancreatitis, alkalosis
Sign & symtomps :
Numbness, tingling, hyperactive reflex, trousseau’s sign , chvostek’s sign, tetany,
muscle cramp, pathological fracture

Untuk TUGASMAS 66
67
Compensation:
Interpreting ABGs If:
pH < 7.35 pH > 7.35 ΔPCO2/ΔHCO3
=
Acidosis Alkalosis CO2/HCO3ratio
Then it IS comp.

pCO2 > 40 HCO3 < 24 pCO2 < 40 HCO3 > 24


Respiratory Metabolic Respiratory Metabolic

Acute
Acute
PaCO2 ↑10 PaCO2 ↓12 PaCO2 ↓10 PaCO2 ↑7
→HCO3 ↑1 →HCO3 ↓10 →HCO3 ↓2 →HCO3 ↑10
Chronic
=Na - (Cl+HCO3) Chronic
PaCO2 ↑10 PaCO2 ↓10
→HCO3 ↑4 →HCO3 ↓4 Urine Cl < 10 Urine Cl > 10
Anion Gap < 12 Anion Gap > 12 Cl Responsive Cl Unresponsive
Non-Anion Gap Anion Gap

HCO3 loss Extra H+

Diarrhea (2xNa) + (Glu/18) +


Renal tubular acidosis (BUN/2.8) = calculated

Acetazolamide
serum osmoles Excess body fluids:
Total parenteral nutrition Exogenous steroids
Ureteral diversion Cushing’s syndrome
Osm Gap > 10
Pancreas transplant Anxiety/pain Hyperaldosteronism
Methanol
Sepsis Bartter’s syndrome
Ethylene Glycol
CNS depressants CNS (stroke)
Neuromuscular disorder Osmolar Gap < 10 Aspirin OD Loss of body fluids:
Thoracic cage abnormalities Ketoacidosis Chronic liver disease Vomiting
Obstructive lung disease Lactic acidosis Pulmonary embolism Nasogastric suctioning
Obesity/hypoventilation syndrome Uremia Pregnancy Diuretic use
Myxedema coma Aspirin/salicylate tox Hyperthyroidism

Reflex Batang Otak :


Batang otak terdapat :

I. Mesenchefalon :
N. II – III : menilai RC,  pupil

II. Pons :
N V – VII : Menilai reflex bulu mata, reflex cornea.
N VIII : Menilai “Doll’s eye – phenomenia”
Cara :
Kepala dimiringkan
Calori test (suhu air 37  7 0C)

III. Medulla Oblongata :


N IX – X : menilai reflex batuk, reflex muntah,

Untuk TUGASMAS 67
68
TATA CARA PREOPERATIF ELEKTIF
KRITERIA PULIH SADAR
Tahap masa pulih sadar menurut Steward :

1. Immerdiate Recovery :
Kembalinya kesadaran dalam waktu singkat (mudah dinilai dengan scoring system)

2. Intermediate Recovery :
Kira-kira 1 jam setelah anestesi yang tidak terlalu dalam

3. Longterm Recovery
Berjam-jam s/d berhari-hari tergantung dalamnya anestesi.
-----> Perlu test psyckomotor ----> Tidak praktis di klinik

KRITERIA KLINIS
a. Bila Px sudah sadar ---> maka ½ duduk ---> bila pusing  ---> tidurkan kembali

b. Bila 15’ Px tidak mengeluh ---> Px dicoba untuk (duduk) ---> bila kelihatan pusing 
---> kembali ke (a) diulangi kembali bila Px merasa enak.

c. Bila 15” posisi duduk ---> keluhan (-)---> kaki menjuntai (selama 15”) (sambil diberi
minum air putih).

d. Bila keluhan C (-), Px dicoba untuk turun, memakai pakaian sendiri ---> keluhan (-),
---> siap dipulangkan.

STEWARD SCORING SYSTEM

KRITERIA SKOR
Kesadaran :
- Bangun 2
- Respon terhadap stimuli 1
- Tidak ada respon 0
Jalan napas :
- Batuk atas perintah atau menangis 2
- Mempertahankan jalan napas dengan 1
baik
- Perlu bantuan untuk mempertahankan 0
jalan napas
Gerakan :
- Menggerakkan anggota badan dengan 2
tujuan
- Gerakan tanpa maksud 1

Untuk TUGASMAS 68
69
- Tidak bergerak 0

REBERTSON Scoring System

KRITERIA SKOR
Kesadaran :
- Sadar penuh, mata terbuka, berbicara 4
- Tidur ringan, sekali-sekali mata terbuka 3
- Mata terbuka atas perintah jika
namanya dipanggil 2
- Respon terhadap cubitan di telinga 1
- Tidak ada respon 0

Jalan Nafas
- Membuka mulut dan batuk atas 3
perintah
- Tidak ada batuk valuator, jalan napas 2
bebas tanpa bantuan
- Obstruksi jalan napas bila leher flexi, 1
tetapi tanpa bantuan bila extensi
- Tanpa bantuan terhadap obstruksi 0

Aktifitas :
- Mengangkat tangan dengan perintah 2
- Gerakan tidak berarti 1
- Tidak bergerak 0

ALDRETE Scoring System


(modul : hal 215) -----> cari di safe anestes
Aldreter scoring system ------> :
1. aktifitas motoris ekstremitas
2. respirasi
3. sirkulasi
4. kesadaran
5. warna kulit
mulai masuk RR----> diikuti tiap 15 menit selama 1 jam ---> nilai total 0 - 10
baik, nilai = 10 ------> dapat dikeluarkan dari RR

URUTAN PROSES ANESTESI :

1. Puasa / Preop
2. Premedikasi
3. Induksi
4. Maintanance (rumatan)
5. Recovery
6. Post Operative

1a 1b 2 3 4 Post OP (RR) Ruangan

MRS OP OP Discharge
( M) (S)
5
Durante op’ 6

Untuk TUGASMAS 69
70

Keterangan :
1a = Preop
1b = Puasa dll
2.= Premedikasi
3. = Induksi
4.= Maintanance
5.= Recovery
6.= Post Op

I. Persiapan Preop =
- Identifikasi Px
- Pemeriksaan fisik (B1 s/d B6)
- Informed Consert
- Puasa : Dewasa : 6 – 8 jam pre induksi
Anak : 3 – 6 jam pre induksi
(lihat hal : 135)

II. Premedikasi =
- Sulfat Atrupi 0,02 mg/kg BB/IV
- Analgetika : morfin 0,15 mg/kg BB/IV
- Sedative : Diazepam 0,15 mg/kg BB/IV

III. Induksi =
- Mis : Penthotal 3 – 5 mg/kg BB/IV
- Scolin
- Intubasi

IV. Maintanance =
Mis Hakothan + O2

V. Recovery
Beri cairan maintenance + output / 6 jam
VI. Post OP

STADIUM ANESTESIA Menurut GUEDEL

STADIUM RESPIRASI RESPIRASI

RYTME VOLUME
STADIUM I Kecil
Analgesia s/d hilang kesadaran Tidak teratur
STADIUM II Besar
S/d pernapasan teratur, otomatis Tidak teratur
STADIUM III
P1 S/d hilang gerakan bola Teratur Besar
mata
P2 S/d awal parese otot Teratur Sedang
pernapasan
P3 S/d Lumpuh otot Teratur, pause Sedang
pernapasan setelah exp
P4 S/d Lumpuh diafragma Tidak teratur,jerky Kecil
Insp.Cepat&

Untuk TUGASMAS 70
71
memanjang
ST IV
Henti pernapasan s/d henti jantung

PUPIL DEPRESI
REFLEX
Ukuran Letak
Kecil Divergen Tidak ada
Lebar Divergen Bulu mata
Kelopak mata
Kecil Divergen Kulit
Konjungtiva
½ lebar Menetap Kornea
Ditengah
¾ lebar Menetap Faring
Ditengah Peritoneum
Melebar Menetap Spingter ani
Maksim Ditengah Karina
al

STADIUM ANESTESIA (GUEDEL’S)

Induction

Std I
(Analgesia
Hilang kesadaran

(Eyeflash Reftex (-)

Std II
(Exciterumt)
Automat ≥ Respiration

Plane I

Gerakan bola mata (-)

Plane II
Mulai InsterCostal Paralisis
Plane III
Untuk TUGASMAS Std III 71
Total intercostal Paralisis (Surgesat Annut)

Plane IV
72

SKOR SEDASI dari RAMSAY

Tingkat Sedasi Respon Pasien


1. Cemas, Agitasi jika tidak tenang
2. Koopertive, orientasi baik, tenang
3. Diam, respon terhadap perintah verbal
4. Tidur, respon cepat thd rangsang verbal yang keras
5. Tidur, respon. Lambat terhadap rangsang verbal yang keras
6 Tidak ada respon terhadap rangsang

Catatan :
1. Light Sedation =
- Disuruh buka mata : respon 
- Dicubit: respon 
2. Deep Sedation =
a. Disuruh buka mata : respon (-)
b. Dicubit: respon 
3. Light Sedation dapat menjadi Deep Sedation pada keadaan =
a. Gizi jelek
b. Critical ILL, dll

PUASA PREOP
Jenis Makanan Lama Puasa
Dewasa Anak Bayi
I. Solid/Partikel 8 jam 6 jam 4 jam
(makanan, buah, juice,
susu, dll)

II. Clear liquid (air putih, 2 jam 3 jam 2 jam


teh, air gula, dll)

Asa – Fasting Guidelines

Ingested Material Minimum Fast


Clear liquids 2 hour
Breast milk 4 hour
Infant formula 6 hour
Non – human milk 6 hour
Ligh – meal 6 hour

Untuk TUGASMAS 72
73

Kebutuhan cairan rumatan pada anak :


1. 10 kg I = 4 cc/kg BB/jam
2. 10 kg II = 2 cc/kg BB/jam
3. 10 kg III = 1 cc/kg BB/jam

misal : anak 25 kg
(10 kg + 10 kg + 5kg)

10 kg x 4 ml/kg = 40 ml/jam
10 kg x 2 ml/kg = 20 ml/jam
5 kg x 1 ml/kg = 5 ml/jam
Total = = 65 ml.jam rumatan

AMPLE =
A = Allergi
M = Medicasi (sebelumnya)
P = Post Ilness (Penyakit penyerta)
L = Last meal / EVENT
E = Environtman (lingkungan) yang berhubungan dengan kejadian perlukaan.
OBAT ANESTESI
KAIDAH (I) SATU :
DOSIS OBAT

Penggunaan dan dosis benzodiazepin

Obat Penggunaan Pemberian Dosis

Diazepam Premedikasi Oral 0,2-0,5mg/kg*


Sedasi iv 0,04-0,02mg/kg
Induksi iv 0,3-0,6mg/kg

Midazolam Premedikasi im 0,07-0,15mg/kg


Seduce iv 0,01-0,1mg/kg
Induksi iv 0,01-0,04mg/kg

* Dosis maksimum 15 mg

Untuk TUGASMAS 73
74

Dosis, penggunaan, dan cara pemberian

Obat Penggunaan Pemberian Dosis


Morfin Premedikasi im 0,05-0,2 mg/kg
Anestesi iv 0,1-1,0 mg/kg
Pascabedah im 0,05-0,2 mg/kg
iv 0,03-0,15 mg/kg

Petidin Premedikasi im 0,5-1 mg/kg


Anestesi iv 2,5-5 mg/kg
Pascabedah im 0,5-1 mg/kg
iv 0,2-0,5 mg/kg

Fentanyl Anestesi iv 2-150 µg/kg


Pascabedah iv 0,2-1,5 µg/kg
2

Dosis dan penggunaan beberapa obat

Obat Penggunaan Rute Dosis

Ketamin Induksi iv 1-2mg/kg


im 3-5mg/kg
Tiopental Induksi iv 3-5mg/kg*
Sedasi iv 0,5-1,5mg/kg*
Propofol Induksi iv 1-2,5mg/kg
Rumatan infus 3-12mg/kg/jam
Droperidol Premedikasi im 0,04-0,07mg/kg
Sedasi iv 0,02-0,07mg/kg
Antiemetik iv 0,05mg/kg

* Larutan 2,5%
4

Untuk TUGASMAS 74
75

OBAT PREMEDIKASI
Nama Sediaan Spuit Dosis Onset Durasi

SA

Midazolam 5 mg/ 5 cc 1 mg/cc (5cc) -3 mg IV < 5 min IV 2-4 h


15 mg/ 3 cc 2,5 mg IM 15 min IM

Valium 10 mg/ 2 cc 2,5-5 mg IV < 5 min 3-8 h

Morphin 10 mg/ cc 1 mg/cc 1,3 mg IV 5 min IV 4-5 h


(5 cc) 2,5-10 mg IM 20 min IM

Pethidin 100 mg/ 2 cc 5 mg/cc (5 cc) 50-100 mg IM 2-3 min IV 2-4 h


15 min IM

Fentanyl 0,1 mg/ 2 cc 2-75 µg/kg IV 1-2 min IV 0.5-1 h IV

DHBP 0,625-1,25 mg IV < 10 min 2-4 h

SA Takikardia, TIO , depresi napas, palpitasi, midriasis


Midazolam Respiratory depresant, anticonvulsant, amnesia
Takikardia, efek vasovagal, hipotensi, nipoventilasi-apnea, bronkospasme, laryngospasm
Valium Bradikardi, hipotensi, depresi napas, sedasi, ataksia, amnesia retrograde
Morphin Hypotension, bradikardi, laryngo-bronchospasm, mual-muntah, miosis
Pethidin Hipotensi, depresi napas, laringospasme, disforia, kejang, urtikaria
Fentanyl Kekakuan otot punggung 3
DHBP Hipotensi, takikardi, laryngo-bronchospasm, ekstrapiramidal, hiperaktifitas

Untuk TUGASMAS 75
76

OBAT INDUKSI INTRAVENA


Nama Sediaan Spuit Dosis Onset Durasi
Pentothal 1g 25 mg/cc 3-5 mg/kg IV < 30 sec 15-30 min
500 mg (20 cc)

Scolin 100 mg 20 mg/cc 0,5-1,5 mg/kg IV 1-2 min IV 6-12 min


50 mg (5 cc)

Norcuron 4 mg 4 mg/cc intubasi 0,08-0,1 mg/kg IV 1-3 min 20-40 min


(vecuronium) (5 cc) Maintenance 0,02 mg/kg

Pavulon 4 mg/ 2 cc 2 mg/cc Intubasi 0,06-0,12 mg/kg 30-60 sec 40-80 min
(pancuronium) (5 cc) Maintenance 0,01 mg/kg

Ketamin 100 mg/10 cc 10 mg/cc 0,5-2,5 mg/kg IV 30 sec IV 8-15 min


(10 cc) 3-4 min IM

Propofol 1% 20 cc 200 mg/cc induksi 1,0-2,5 mg/kg IV 30 sec 5–10 min


1% 50 cc (20 cc) maintenance 75-200 µg/kg/min Infusion
2% 50 cc sedation 0,5 1 mg/kg

Prostigmin 0,5 mg/ cc 50-70 µg/kg IV 4-8 min IV 2-4 h


SA

Valium

OBAT INDUKSI INTRAVENA


Nama
Pentothal Metab otak  hipotensi sementara
takikardia depresi napas dgn premed opioid
kepekaan thd CO2  rangsang parasimpatis (hidung buntu, spasme laring,
interaksi dengan banyak obat. bronkospsme)
KI : hipotensi / shock

Scolin Bradikardia aritmia


hipotensi apnea
hipersalivasi hipertermia
TIO  hati2 pd hiperkalemia (Crush injury, ggl ginjal, burn)   release K

Atracurium Histamin release, tdk m’ganggu fgs ginjal & hepar

Norcuron Bradikardi, alergi, prolong action pada lansia, no CV effect


(vecuronium)

Pavulon Takikardi, hipotensi, salivasi, anafilaktik


(pancuronium) KI : renal failure

Ketamin Hypertension takikardia


salivation ICP 
KI : Cedera otak, HT

Propofol Hypotension due to myocardial depresion & vasodilatation, respiratory depression,


low risk of laryngospasm, muscle twiches

Prostigmin Hipersalivasi, bradikardi, bronkospasme


6

Untuk TUGASMAS 76
77

OBAT EMERGENCY

Nama Sediaan Spuit Dosis Onset Durasi

SA 0.25 mg/ cc 0,25 mg/cc bradiAritmi 0,5-1,0 mg IV 2 min (IV) 2-4 h


0,1 mg/cc antinsialagog 0,2-0,6 mg IM 30 min sbl bedah
(2,5 cc) reversal 0,01 mg/kg IV

Lidokain 40 mg/ 2 cc 20 mg/cc 0,5-1 mg/kg IV < 2 min 0,5-2 h


(5 cc)

Epinephrine 1 mg/ cc < 15 min 1-4 h

Ephedrine 50 mg/ cc 5 mg/cc 5-20 mg IV < 5-10 min (IV)30-60 min


(5cc, 10 cc) (< 150 mg/d)

NorEpninephrine 4 mg/4 cc 8-12 µg/kg/min < 1 min < 5 min

Dopamin 200 mg/10 cc 5 mg/cc (50 cc) renal 0,5-2 µg/kg/min < 5 min < 10 min
cardiac 2-10 µg/kg/min
vascular 10-20 µg/kg/min

Dobutamin 250 mg/ 10 cc 2-20 µg/kg/min IV 1-2 min < 5 min

Lidokain Anestesi lokal, aritmia ventrikel, depresi napas, hati2 pd hipovolemi dan hipotensi
Epinephrine Bronkodilator, memperpanjang anestesi lokal, ,anafilaktik shock, hipertermi, takikardia, angina, agitasi
Ephedrine Vasopresor perifer dan vasodilator coroner (utk hipotensi dan IMA), aritmia, angina
NorEpninephrine Bradikardia, angina, renal failure
Dopamin Aritmia
Dobutamin Aritmia 7

OBAT LAIN

Nama Sediaan Spuit Dosis Onset Durasi

Tramadol 100 mg / 2 cc 50-100 mg IV 1 jam (IV) 4–8h

Ketorolac 30 mg / 2 cc 30 – 60 mg IV 10 min IV 6-8 h

Ondansentron 4 mg / 2 cc 4 – 8 mg IV 1 jam IV 6 – 12 h

Nalokson 0,01 mg/kgBB

Novalgin 1 g / 2 cc 0,1 g / cc 10 mg/kgBB


(10 cc)

Dexamatason 5 mg / cc < 1 jam 2–6

NaBic 1 mg/kg BB

CaGlukonas

Lasix 1-2 mg/kgBB 5 min 2h

Aminophyllin 240 mg/10 cc Loading dose : 5 mg/kgBB IV dlm 10’15’ 30 min 2–6h
Infus : 0,9 mg/kg/jam atau 20 mg/kg/24 jam

Bricasma 0,5 mg / cc 0,05 mg/cc (20 cc) SP

Heparin 25000 IU / 5 cc1000 IU / cc (5cc) 2 min 4-6 h

Herbesser 50 mg 1 mg/cc (50 cc) SP

Prostigmin 0,5 mg/cc 0,05-0,07 mg/kgBB IV 4-8 min 2-4 h


8

Untuk TUGASMAS 77
78

OBAT ANESTESI INHALASI

Agent HALOTHAN ENFLURAN ISOFLURAN

CVS Depresi miokard Depresi miokard, Depresi lebih sedikit,


Aritmia Jarang aritmia, Jantung lebih stabil
Bradikard Penggunaan adrenalin
Miocard sensitif thd adr lebih aman dp halotan

CNS Depresi Depresi Depresi

RS Depresi, Depresi, Depresi,


bronkodilator bronkodilator bronkodilator

Skeletal Relaksasi, Relaksasi, Relaksasi,


muscle Memperkuat non-depol Memperkuat non-depol Memperkuat non-depol

Kerugian Aritmia, Memicu kejang, Bau yang tajam dapat


Miokard lebih sensitif, Hindari pd gagal ginjal iritatif,
Analgesi lemah, mahal
Cenderung malignan hipertermi
Hepatitis

MAC 0,75 1,68 1,15

NO NAMA OBAT DOSIS


1 Pavulon 0,1 mg/Kg BB
2 Norcuron 0,1 mg/Kg BB
3 Pethidin 1 mg/Kg BB
4 Morfin 0,1 mg/Kg BB
5 Fentanyl 1 - 3 ccg/Kg BB
6 Lidocain 1 - 2 mg/Kg BB
7 Adrenalin 0.5 - 1 mg/Kg BB ( CPCR)
8 Ketamin 1 - 2 mg/Kg BB
9 Nabic 1 mEq/Kg BB
10 Ketamin 1 mg/Kg BB/jam
11 Pavulon 0.1 mg/Kg BB/jam
12 Norcuron 0.1 mg/Kg BB/jam

JALUR EKSKRESI MUSCLE RELAXAN

NAMA AGENT JALUR SEKRESI


EMPEDU GINJAL
1. Pancuronium (Pavulon) + +++
2. Atracurium (Tacrium) NS NS
3. Veecuronium (Norcuron) +++ +
4. Rocuronium (Esmeron) +++ +
5. Mivacurium (Mivacron) NS NS

Keterangan :
NS : Nosignificant, Ekresi melalui plasma (Eliminasi Noffman, Hidrolisis Ester)
+: Ekresi : 10 – 25%

Untuk TUGASMAS 78
79
untuk Px dengan gangguan fungsi ginjal / liver Atracurium lebih aman

PILIHAN PELUMPUH OTOT


1. Gangguan Faal Ginjal : Atracurium , Vecoronium
2. Gangguan Faal Hati : Atracurium
3. Myastenia Gravis : jika dibutuhkan adalah 1/10 Atacurium
4. Bedah singkat : Atacurium, Roccuronium, Mivacuronium
5. Kasus Obstetri : semua bisa kecuali Galavis

MUSCLE RELAXAN
DOSIS INTUBASI :

1. Scolin = 1 – 2 mg/kg BB ---> kerja sangat singkat


2. Pavulun (Pancuronium) = 0,1 mg/kg ---> kerja panjang
3. Norcuron (Veceuronium Bromide) = 0.008 – 0.1 mg/kg ---> kerja sedang
4. Tracrium (Atracurium bestat) = 0.5 mg/kg ---> kerja sedang

REVERSAL :
Merupakan Anticholinesterase

NEOSTIGMIN (PROSTIGMIN)
Dosis: 0.04 – 0.08 mg/kg BB/IV
ATROPIN :
Dosis : 0.01 – 0.02 mg/kg BB/IV

Tanda2 Blok sudah mulai berkurang


1. mengangkat kepala : sisa block 30%
2 ./menggenggam, TV Adequate : sisa block 50 – 80%

PEMAKAIAN SYRINGE PUMP UNTUK MUSCLE RELAXANT

I. PAVULON
2 Amp Pavulon (jadi 4 mg) dilarutkan u/d 16 cc  0.5 mg/cc
diberikan melalui syringe pump dengan rate : 4.0 ml/jam
(2 mg/jam)
precuratisasi = 0.015 mg/kg BB

II. NORCURON
2 amp norcuron (jadi 4 mg) dilarutkan u/d 16 cc  0.5 mg/cc
diberikan melalui syringe pump dengan rate : 6.0 cc/jam
(3 mg/jam)
precuratisasi = 0.02 mg/kg BB

III. TRACRIUM
2 amp norcuron (jadi 25 mg) dilarutkan u/d 20 cc  2.5 mg/cc
diberikan melalui syringe pump dengan rate : 8 – 10 cc/jam
(20 – 25 mg/jam)
precuratisasi = 0.05 mg/kg BB

catatan : Dosis Maintanance :


 Pavulon : 0.05 – 0.075 mg/kg/jam

Untuk TUGASMAS 79
80
 Norcuron : 0.1 mg/kg/jam
 Dosis Precuratison diberikan : 1 – 2 mnt sebelum intubasi

HALOTAN

Cardio Vaskular respiratory cerebral neuromuscular

Central Peripheral CV dilator CV resistanse Relaxasi otot


Cardio depresi Blunting reflex
baroreseptor Potensiasi dgn NMBA
Apneic threshold  Muscles disfunction
CBF 
Triger malignat
Bradicardi Nafas cepat & dangkal Nb.-autoregulasi diblunting hypertermia
SBP PaCO2  -CBF  ICP  
CO  Tek. Intratorak  dicegah dgn hiperventilasi
-cerebral activity  
Nb. –jantung: coronary vasodilator
?? kebutuhan O2 
coronary BF(ok BP) Reverse sebagian
kompensasi O2 demand Depresi CO, BP, HR Hepar
Renal
Adequat myocardial perfusion -HBF
Nb.-efek bronkodilator - CBF lebih besar GFR
-hepatic artery
-ref airway  vasospasme
Filtrasi fraction 
-ref brochial smooth muscle  -clearance obat
-clearance of mucus - Urine output 
Lain terganggu
-promoting postop hypoxia and -hepatic cellular
atelectasis Dysfuntion
-liver transaminase
Contraindikasi: Drug interaction: 
-hindari px unexpected -β adrenergic blocking agent
liver dysfunction (propanolol) & Ca chanel blocking
-perhatian pd intra mass agent (verapamil)  myocardial
cranial  ICP depression
-hati2 pd hypovolemic & -dgn aminophillin  serious
severe cardiac deseas ventricular arrhytmic
-hati2 penggunaan -tricyclic antidepresan & MAOI 
ephinephryn(halotan ber fluctuation BP & arrhytmia
sifat arytmogenic)

ISOFLURANE

cardiovascular respiratory cerebral neuromuscular Renal


-Depresi pernafasan - > 1MAC dapat CBF Relaxasi otot RBF, GFR
Stimulus ref. Stimulus β Mirip yg lainnya dan ICP, ini dpt dikurangi rangka Urine output
baroceptor Adrenegic ringan dgn hiperventilasi
-dosis rendah 0,1 MAC
-CMRO2  Hepar
memblunting respon -total HBF 
HR  -muscles BF  -2 MAC silent EEG 
hypoxia & hypercapnia brain protection -hepatic oxygenasi >
-SVR
-BP -cenderung mengiritasi halotan
thp uper airway -liver function tes
-good broncodilator < minimal

CO stabil halotan
Cardiac depressi minimal

Nb. -dilatasi artery coronary


-hati2 pd coronary heard
disease (coronary steal
syndrom during tachycardi
atau drop in perfution Contraindikasi: Drug interaction:
pressure) Hipovolemi berat Epinephrine aman sampai
Dosis 4,5 цg/kg

Untuk TUGASMAS 80
81
DESFLURANE

cardiovascular respiratory cerebral neuromuscular Renal/ hepar


-CBF & ICP  -respon tetrain-of
SVR  uneffected
-CMRO2 four
TV RR AV Depresi respon -cerebral vaskuler
ventilasi -tetanic peripheral
BP 
respon thp perubahan
nerve stimuli
PaCO2
PaCO2 
-CO tdk berubah pd -efek pd EEG sama dgn
Iritasi waktu induksi isofluran
1-2 MAC
-peningkatan cepat:
-Salivasi
HR ,BP, kateko
-menahan nafas Contraindikasi:
lamine  > isofluran
-batuk -Hipovolemi berat
-laringospasme
Dapat dikurangi dgn -Maligna hypertermia
Fentanyl,esmolol,
-intracranial hipertension
clonidine

-coronary BF tdk meningkat Drug interaction:

-potensiasi dgn NMBA

-jantung tdk sensitive terjadi arytmogenic

dgn epinephrine up to 4,5 цg/kgbb

-dpt terjadi delirium pd anak

SEVOFLURANE

cardiovascular respiratory cerebral neuromuscular Renal


-depresi respirasi Relaxasi otot RBFminimal
-CBF & ICP 
rangka
-reversal broncospasme minimal
Depresi miocard SVR & BP me -> 1,5 MAC menekan Hepar
minimal kecil drp iso/des autoregulasi
-portal vein BF
-CMRO2 -hepatic artery BF
HR normal

Maintaining total
Hepatic BF & oxygen
CO me delivery
Lebih< iso/des

Contraindikasi: Drug interaction:


-Hipovolemi berat -potensiasi dgn NMBA
-suspect maligna hypertermia -jantung tdk sensitive dgn
-intracranial hipertension katekolamine

Untuk TUGASMAS 81
82
KRITERIA INTUBASI

7. INDIKASI INTUBASI :
1. Operasi daerah kepala dan leher
2. Operasi Thoracotomi
3. Operasi Laparotomi
4. Operasi dengan posisi LAT / Prone
5. Penderita dengan resiko tinggi =
Usia tua, perdarahan
Bayi < 1 bln, lambung penuh
6. Kebutuhan untuk pemberian respirasi
7. Penderita dengan obstruksi napas

5. KRITERIA TAMBAHAN untuk INTUBAS Px dengan GCS < 8


1. RR < 10 atau > 40 x/mnt
2. Pernapasan irregular
3. Tidal volume < 3.5 ml/Kg BB
4. VC < 15 ml/kg BB
5. Pa O2 > 70 j Pa O2 > 50 mm Hg

5. INDIKASI INTUBASI MASAL


1. Menyempitnya jalan napas akibat proses inflamasi / Neoplasma
2. Kesulitan memasukkan laryngoscope karena tidak dapat membuka mulut,
agenesis mandibula, bull neek, bull teeth
3. Maxilo facial Deformitas (misal : setelah trauma)
4. Tidak dapat di pakaikan sungkup – muka
5. Cedera tulang leher, sehingga membatasi gerakan leher

Untuk TUGASMAS 82
83
REGIONAL ANESTESI
KETINGGIAN SPINAL ANESTESI

Untuk TUGASMAS 83
84
KETINGGIAN PROSEDUR OPERASI
T 4 – 5 (Nipple) Abdomen atas
T 6 – 8 (Xyphoid) Intestinal, Ginec, Ureter
T 10 (Umbilicus) TUR, HIP; kelahiran Vaginal
L1 (Lig. Ingunal) Paha, Extr. Bawah,
L 2 – 3 (Lutut) Kaki
S 2 – 5 (Pesineal) Perineal, Hemoroid

Level of Anestesia :
S3 = Sadle Block
T12 = Low Spinol
T10 = Midle Spinal
T6 = Migh Spinal

Gambar
Dengan : Lidocain 2% 15 cc (7.25 amp) + Adrenalin 1 strip dilarutkan menjadi 20 cc
I. 15 cc ---> inj.Interscalenus

Untuk TUGASMAS 84
85
II. 5 cc ---> inj. Axiller

Setelah 20 menit (Latent Periode) ---> operasi bisa dimulai dengan diberikan
midazolam 3 mg (0.1 mg/kgBB) sebagai Sedasi. Bila insisi harus segera dimulai dapat
diberikan : --->Ketamin dosis 0.25 mg/kg BB/IV

AXYLLARY BLOCK

Indikasi :
Untuk Block lengah bagian Volar Land Mark :

Roba Arteri Axillais, lalu tusukkan needle tanpa spuit --> keluar darah --> prof dengan
spuit --> perdalam needle s/d darah (-) --> 5 cc lidocain sisa.

ANESTESI PADA Px DM :

 Perhatikan DM sudah teregulasi atau belum teregulasi.


 Misal : KGD 252  berarti DM belum teregulasi. Diskusikan dengan Bedah untuk
consul Interna pro regulasi DM (konversi ke insulin IV bila Px mendapat OAD).
Advis interna : Insulin 6 IU/ 8 jam SC (Px operable bila KGD  200 gr/dl)
 Jam 05.00 pagi cek KGD ulang bila KGD ≥ 200, ulangi RCI, 1 jam kemudian cek
ulang KGD.
 Bila KGD tetap ≥ 200 ---> operasi dijadwalkan ulang.

SPINAL ANESTESI DOSES

LOKAL Dose (mg) Duration(jam)


ANESTESI Sadle T10 T1-4 Plain +Adi
Procain 50 >5 100 1.5 2
Lidocain 25-40 50 75 2 2.25
Tetracain 3-6 6 8 - 12 2.5 3
Bupivacain 6-8 15 20 2.5 3
Keterangan :
Kemasan obat spinal :
- Lidodex 5% : 1 ampul 2 cc = 50 mg/cc
- Marcain 0,5% : 1 ampul 4 cc = 5 mg/cc
- Xylocain 2% : 1 ampul 20 cc =

Toxic Dose obat spinal :


- Lidocain + Adrenalin = 7 mg/kbBB
- Lidocain (plain) = 3 mg/kgBB
Untuk TUGASMAS 85
86

BROMAGE SCORE
Scala Modifikasi Original
0 Tidak ada kelumpuhan (kekuatan motorik Full flexion of feet and kness
penuh) possible
Dapat menggerakan kaki lurus keatas dan No Block / 0%
menahan tekanan
Mampu menekuk lutut dan kaki
No Block / 0%
1 Tidak mampu mengangkat kaki / menahan Just table to flexi knees, still
gravitasi full flexion of feat possible
Mampu menggerakan / menekuk lutut Partial block 33%
Partial block 33%
2 Tidak mampu menekuk lutut Unable to flexy kness, still
Mampu menggerakan kaki(geser) flexion of feet
Almoust Complete block 66% Almoust Complete block 66%
3 Tidak mampu menggerakan kaki(geser) Unable to move legs or feet
Complete block 100% Complete block 100%

MUAL / MUNTAH PADA SAB


Penyebab :
 Hipotensi (paling banyak)
 Hypoxia (dari hipoventilasi)
 Traksi pembedahan pada intestinal
 Peristatik usus / ( ok block spinal)
 Analgetic narcotik
 Anxietas

Theraphy:
 DHBP
 Metoclopropamide

TOTAL SPINAL :
SIGN :
 Px sesak (napas seperti di leher)
 Bradicardia
 TD turun (bisa s/d cardiac arrest)
 Px dingin & Cyanosis
SAB, Kontra Indikasi :
I. Absolut :
 Px menolak
 Infeksi Tempat suntikan
 Hipovolemic berat (syok)
 Koagulopsthy dengan theraphy antikoagulan
 TIK meningkat
 Fasilitas resusitasi minim
 Kurang pengalaman

II. Relatif :
 Infeksi sistemik
 Infeksi Sekitar tempat suntikan
 Kelainan Neurologis, Psikhis
 Bedah lama

Untuk TUGASMAS 86
87
 Penyakit Jantung
 Hipovolemic ringan
 Nyeri punggung

III. Kontroversial
 Ff
 Lk
 Kk

INTERSCALENUS BLOCK

Indikasi :
Block extr. Superior (lengan bagian bawah tidak bisa terblock)
Teknik :

Px disuruh mengangkat kepala untuk mencari Interscalene Groove.

INTERSCALENUS BLOCK,
KOMPLIKASI :
 Block Cervical
 Lidocain Intoxicasi :
Gejala klinik : Telinga berdengung dan Lidah pegal
I. Land Mark :
“Sacral Hiatus:

Procedure :
1. Tentukan “Sacral Hiatus”
2. Jarum 18 – 22 G di- apex hiatus Sacralis cephalad 45 – 750
(Infant = 15 – 300)
3. Terasa menembus lig Sacro coceigeal
4. Jarum Paralel sacrum
5. Perdarahan < 3 mm
6. Aspirasi sebelum injeksi obat

II. Obat & Dosis


Obat :

Untuk TUGASMAS 87
88
1. Bufivacain  0.25%
2. Nalorpin 0.5%
3. Lidocain 1%
Tanpa Adrenalin Volume maximal = 20 cc

DOSIS
(Armilages Scheme – 1989)

Level Segment Operasi Dosis (ml/kg)


Lumbo – Sacral (T10 – 12) 0.5 – 0.75
Thoraco – lumbal (T8) 1.0
Mid Thoracal (T4) 1.25
Obat =
Bufivacain  0.25% Tanpa adrenalin. Max vol : 20 ml
Dose : 3 mg/kg BB

Adjuvant :
Obat yang bias ditambahkan untuk memperlama durasi :

1. Adrenalin :
1 cc jadikan 5 cc dengan Pz  ambil 2 strip
2. Clonidine : dosis 2 µg/kg BB ---> memperpanjang durasi s/d 6 jam
Oplosan :
Klonidine 1 Amp (150 µg) larutkan dengan Pz menjadi 6 cc ---> 25 µg/cc
3. Ketamin : dosis 1 mg/kg BB ---> meningkatkan durasi sampai dengan 24 jam

Analgetic Post – OP =
Morfin dosis 0.03 – 0.05 mg/kg caudel Epidural ---> durasi 12 – 24 jam

III. Komplikasi :
1. Intravascular / Intrausseus Injection
2. Dural Puncture
3. Penetration of the Sacrom
4. Hematome & Infection
5. Subcutaneus Injection
6. Bloody Tap
7. Parathesis & motor weakness
8. Urenary Retention
9. Toxic Reaction

Untuk TUGASMAS 88
89
TACHICARDIA CAUSES

I Faktor Anestesi :
 Obat-obatan : SA, Galamin, Ciclopropane, Trilene
 Hipercarbia
 Hypoxia
 Hipotensi
 Anestesi yang dangkal

II. Faktor Pembedahan :


 Infiltasi Adrenalin
 Traksi viscera
 NS dan Cardiac pergery

III. Factor pasien :


 Kondisi medis Px :
Misal : cardiac failure, Thyrotosicosis, demam, hipovolevia
 Pre excisting arithmia
 Vory sick Px (nonbuud)
 Preop th/ misal : digoxin therapi
 Cemas dan takut

MALIGNANT HIPERTERMIA
Tanda-tanda awal :
 Kekuatan otot (khususnya otot rahang)
 Takhicardia
 Takhipnoe yang tidak respon terhadap kedalaman anestesi
 Suhu tubuh 
 Arritmia jantung

Untuk TUGASMAS 89
90
PEMBACAAN RADIOLOGI

PEMBACAAN CT – SCAN KEPALA


( Prof. Eddy. R)

1. Tulang : ada fracture atau tidak

2. Hemorage (volume): - Subkutan


- Epidural
- Subdural
- Intra Cerebral

3. Mid Line Shift : Shift > 5 nm  resiko herviasi meningkat

4. Edema Cerebrii : ada atau tidak.


Edema meningkat ---> Ventricel tertutup
Pada edema bisa terjadi :
- Gangguan shift
- Herniasi

JUMLAH PERDARAHAN =

Lebar x panjang) + jumlah Slide


2

Mid line shieft > 1 cm ---> operable

Untuk TUGASMAS 90
91
PEMBACAAN RÕ CERVICAL
(Õ Dr. Tommy. S)

A = Adequate {C1 s/d Thoracal I terlihat}


Alingment
B = Bone (struktur tulang)
C = Cartilage
D = Discuss
S = Soft – Tissue

Trauma Cervical di curigai bila :


1. Px tidak sadar
2. Multiple Trauma
3. Defisit Neurologis (+)
4. Luka diatas Clavicula (+)

Note :
- C1 u/d C7 : Sempurna
- C2 u/d C6 : Cukup

PEMBACAAN RG THORAX
( Dr. Tommy)

A = Adequacy yaitu :
- Kedua pundak terlihat
- Sinus terlihat (2 bahu)
- Verteba jelas terlihat s/d, Th. IV , Th V dan seterusnya tidak jelas

A = Air Way :
N : ditengah (terlihat berupa gambaran processus spinosus)
B = Breathing:
Lihat gambaran paru dan pembuluh darah
B = Bone :
Lihat (Lavicula, Costa, Scapula, dll)
C = Circulation :
Lihat apakah jantung membesar atau tidak
S = Soft Tissue:

CTR (Cardio Thoracic Ratio)

Tujuan = menilai derajat pembesaran jantung


Normal = < 50%

b
a
c

CTR = a + b
c

Untuk TUGASMAS 91
92
ARDS & Ali

Dinilai melalui perbandingan :


PO2 / F1 O2 = normal > 300
Bila : PO2 / F1 O2 < 200 ---> ARDS
Bila : PO2 / F1 O2 = 200 – 300 ---> ALI

Misal :
BGA :

pH = 7.206
PCO2 = 40.6 - F1 O2 = 80%
PO2 = 139.4 - 10 lPm dengan masker ketat
BE = -6

PO2 140
= = 175 ---> ARDS
F1 O2 0.8

Cat :
ARDS merupakan kelanjutan dari ALI

Untuk TUGASMAS 92
93
TIVA
(Total Intravenous Anestesia)

Penggolongan obat TIVA :


1. Barbiturat (misal : Penthotale)
2. Imidazole (misal : Etomidate)
3. Benzodiazepin (misal : Diazepam, Midazolam)
4. Arycylohexilamine (misal : Ketamine)
5. Alkilphenols (misal : Propotol)

I. KETAMIN TIVA
Telah dibahas dibawah

II. PROPOFOL TIVA :


A. Premed : Pethidine 25 mg/IV atau Fentanyl 50 µg/IV

B. Induksi
Dewasa = dosis 1.5 – 2.5 mg/kg BB/IV (plasma Cons = 2 – 6 ug/ml)
---> dengan Titrasi biasanya target = 3 ecg/cc
Anak = dosis lebih tinggi
Manula = dosis diturunkan s/d 25 – 50%
Kons. Plasma = 1 – 1.5 ecg/cc ---> Px akan sadar

C. Maintenance :
Dosis 6 – 12 mg/kg BB/Iv ---> Rata-rata = 8 mg/kg BB/jam atau
Dosis 100 – 300 µ/kg BB/mnt/IV (kombinasi dengan short acting opioid)
Dosis sedasi = 25 – 100 µg/kg/mnt (rata-rata = 100 m/jam)
dosis Px tertentu dapat ditambahkan opioid atau midazolam

III. PENTHOTAL TIVA :


A. Preved :
Pethidine : 25 mg/IV (dosis 0.5 mg/kg BB/IV)
Fentanyl : 1 – 2 µ/kg BB/IV

B. Induksi :
Dosis Penthotal = 3 – 5 mg/kg BB/IV

C. Maintanance : 1 mg/kgBB
D.

KETAMIN TIVA
Efek ketamin pada Air Way :
1. Kekakuan otot dan gerakan tidak beraturan (bila terjadi pada
otot rahang ---> gangguan pada Air Way / Obstruksi
2. Hipersalivasi
3. Mual / Muntah
4. Pemberian cepat ---> henti napas
Pada induksi dengan ketamin reflex muntah masih (+) ---> hati-hati waktu intubasi

Premed :
- SA (untuk melawan Hipersekresi)
- Benzodiasephine (untuk melawan Emergency Delinum)
Induksi :
- Ketamin (Dosis 1 – 2 mg/kg BB/IV) ---> pelan ( > 60 dtk)

Untuk TUGASMAS 93
94
Maintenance :
- Bolus = Ketamin dengan dosis ½ dosis induksi.
Diberikan tiap : 7 – 10 mnt
- Drips Ketamin dengan dosis : 2 – 4 mg/kg BB/jam
- Stiringe Pump Ketamin : 2 – 4 mg/kg BB/jam

Analgenic dosc

MPL

Catatan :
- Bila Px mengalami gangguan eliminasi obat (misal : gangguan fungsi
Hepar & fungsi Ginjal), efek obat akan memanjang oki, dosis obat harus
dikurangi
- Syarat TIVA:
1. Quick onset
2. Short / Ultra short Destion
- Dosis 4 mg/kg / Jam ~ 1 tts/kg BB/mnt

Catatan :
- Morfin ---> tidak bisa TIVA
- Fentonyl ---> bisa untuk TIVA

Menurut “Safe Anatesia”


Maintenance : sediaan : 1 mg = 1 cc
Ketamin = 2 tetes/kg BB/mnt (macro) sampai dengan stad. Pembedahan tercapai
Dilanjutkan : 1 tetes/kg BB/mnt (macro) ---> (  4 mg/kg/ jam)

Contoh :
♂, 35 th, BB = 45 kg / PS I
Dx = Combustio gr II 59%
Tx = Tangention Excisi + STG
An = Ketamin TIVA

Anestesia Planning :
- Premed =
a. Domicum 2.5 mg
b. SA 0.25 mg
(1/2 jam sebelum Induksi)
- Induksi Ketamin 80 mg/IV
- Maintenance Ketamin : 4 mg/kg BB/jam = (4 x 45) mg/jam = 180 mg/jam

Dibuat sediaan dalam = 1 mg = 1cc


Cara = 250 mg ketamin dilarutkan dalam 250 cc D5% atau PZ
= 180 cc/jam = 180/60 mnt = 3 cc/mnt = 3 x 20 tetes/mnt = 60 tetes/mnt (macro)

Untuk TUGASMAS 94
95
KELAINAN FAAL HEMOSTATIS
(Dikutip dari Handbook Preop 173 – 183)

I. KELAINAN PLATELETS
- Bersifat Quantitative (Trombocitopeni)
- Bersifat Qualitatif

Inherited Acquired

- Jarang terjadi - Lebih sering


- Penyebab : - Biasanya berhubungan dengan :
Defisiensi plasma --->Penggunaan obat :
Factor (mis :Von Willenbrand Diss)  Aspirin
 Phenylbutazon
 NSAID
 Alcohol, dll
--->Kondisi medis :
 Renal disesse
 Liver disesse

II. THRONBOCYTOPENIA
- Definisi : Platelet Count (150.000/Mm3)
- Etiologi :
A. Produksi menurun :
- Neoplasma
- Aplastic Anemia
- Toxin : misal Chemotherapi
-
B. Sequestration =
Hipersplenisme ec ; Anemia, Leucopenia

C. Destruksi meningkat :
Px immune dan nonimmune dari infeksi ITP, DIC
Thrombhosite : 50.000 – 100.000
Hemostasis yang adequate untuk operasi (kecuali : cardiac Surqery dan
NS)

Untuk TUGASMAS 95
96
VITAMIN K. DEFICIENCY
- Menunjukkan deficiensi factor II, VII, IX, X, Protein C, Protein S
- Etiologi :
a. Malnutrition
b. Intestinal Malabsorption
c. Obstructive jaundice
d. Therapy AB (AB mengeliminasi intestinal Flora yang memproduksi Vit. K)

- Khas :
PT (Protrombine Time) : meningkat
PTT (Partial Tromboplastine Time) : N

PT & PTT =
PT (Protrombine Time) :
 Menggambarkan activitas factor Extrintic (Factor VII) dan jalur biasa (I, II, V, X)
 N : 10 – 12 detik ( < 2 detik dari control)
 PT memanjang pada :
Warfarin therapi
Deficiensi Vit. K (bila lama dapat memperpanjang PTT)
 Tx = VIt. K {dosis (1 – 3) x 1 Ampul/hari/IV}

PTT (Partial Tromboplastine Time)


 Menggambarkan activitas factor Intrintik & jalur biasa (kecuali factor XIII)
 Nilai normal : 25 – 35 detik ( < 7 detik control )
 PTT memanjang pada :
Deficiency F. VIII (Hemofili A)
Deficiency F. IX (Hemofili B)
Deficiency F. XI (Hemofili C)
Lupus Anticoagulan
 Tx : FFP 2 bag/hari (selama 3 hari)

PT & PTT memanjang pada :


 Aktifitas factor koagulasi < 30% dapat normal (dengan single factor defisiensi)
 Aktifitas factor koagulasi < 50% dapat normal (dengan multiple factor deficiensi)
 Liver disease
 D1C
 Theraphy : FFP : D/ 10 cc/Kg BB pada jam I :
Selanjutnya 1 cc/Kg/jam untuk FH < 1,5 x control
DD/ pemanjangan PT & PTT :

PT PTT FACTOR DEFICIENCI


Meningkat Normal VII
Normal Meningkat VIII, IX, XI, XII
Meningkat Meningkat II, V, X

BLEEDING TIME :
 Nilai normal :
Metode Ivi : 1 – 7 mnt
Metode Duke : 1 – 3 mnt
 Bleeding Time biasa normal bila platelet > 100.000 /nm3
 BT abnormal biasanya fungsi platelet seperti : Anemia, SLE, Deffisiensi Vit. K pada
Newbor Congenetal Heart Dissease, dll)

Untuk TUGASMAS 96
97

Intrinsic Pathway Extrinsic Pathway

XII Tissue Factor


Prekallikrein
HMLU – Kinogen VII
XI
IX
VIII

X
V
II
Fibrinogen

Command Pathway

Note :
Vit.K diperlukan oleh hati untuk pembentukan 5 factor pembekuan :
1. Protrombin
2. Factor VII
3. Factor IX
4. Factor X
5. Protein

Untuk TUGASMAS 97
98
FAAL HEMOSTASIS

Jalur Jalur
Extrinsik Intrinsik

Jalur Umum
(Common Pathway)
PPT APTT

Koagulasi
(“Cloth” terbentuk stabil)

APIT = selisih 7 dt/ < 1.5 xc


PPT = selisih 2 dt/ < 1.5 xc

FFP Vit K
Fresh Plasma Fresh Plasma

Catatan :
 Pemanjangan FH dianggap senifikan bila > 1.5 x c
 Dosis vit K : 1 mg/hari/IM selama 3 hari
Vit K 3 x 1 ampul / IM ---> tidak bermanfaat
 Common pathway : jalur yang dilalui dua-duanya
 Dosis FFP : 10 cc/kgBB

Untuk TUGASMAS 98
99
Instrinsic pathway

Prekalikrein
XII XIIa
HMW kininogen

XI XIa extrinsic pathway

IX IXa III
Ca 2+
VII VII
Fosfolipid
Ca2+ Ca2+
-------------------------------------------------------------------------------------------------------

X Xa

Ca2+
common pathway Fosfolipid

II IIa(trombin)

XIIIa XIII

Ca2+

Fibrinogen fibrin fibrin


monomer polimer

Untuk TUGASMAS 99
100

FACIAL TRAUMA :
(Maxillary Fracture)

GAMBAR TENGKORAK MNS

Fraktur Maxilla di kelompok kan menurut Le Fort Classification :


Le Fort I = Transverse or Horizontal
Le Fort II = Pyramidal
Le Frot III = Cranio Facial – Dysjunction

LF II, dan khususnya LF III, kontra indikasi untuk :


 Intubasi masal
 Pasang NG Tube

REVISED TRAUMA SCORE

No Nafas Score
1 Freq. Nafas : 1 sat x 4
10 – 29 4
> 29 3
6–9 2
1–5 1
0 0
2 Tekanan Sistolik
Tensi Auskultasi/Palpasi(mm Hg)
> 89 4
76 – 89 3
50 – 75 2
1 – 49 1
0 0
3 Glasgow Coma Scale
Skala konversi
13 – 15 4
9 – 12 3
6–8 2
4–5 1
<4 0

Harapan hidup :

 Truma Score
= x 100%
16

Untuk TUGASMAS 100


101
OBAT-OBAT EMERGENCY

DOSIS ADRENALIN YANG BERKAITAN DENGAN KEJADIAN ARRITMIA

Agent Arrhythmia Threhold Arrhythmia ED 50


dose (ccg/kg) dose (ccg/kg)
Halothane 1.8 2.1
Isoflurane 5.4 6.71
Enflurane 3.6 10.9

Pencegahan kejadian antmia Holothane – Adrenalin =

- Hindari dosis adrenalin lebih 1.5 µ/kg dengan konsentrasi larutan tidak lebih dari 1 :
200.000 (5 µg/ml)
- Penyuntikan adrenalin secara perlahan (10 cc dalam 10 mnt jadi 30 cc dalam 1
jam)
- Pemberian adrenalin bersama lidocain, 1 – adrenergic (prazosin, droperidol,
metaprolol) ---> dapat meninggikan ambang arrithmia.
- Cegah hipercarbia & hypoxia

MK = Halothane meningkatkan sensitasi myocard terhadap kathecolomin sehingga


menirukan ambang arrithmia (arrithmia threshold)

Catatan :
Konsentrasi larutan =
- Dextrose 5% =
5% = 5/100 = 5 gram dextrose dalam 100 cc (5 gr/100 cc = 50 gr/ltr)
- Lidocain 2% = 20 mg/cc

Untuk TUGASMAS 101


102
- Adrenalin (Epinephrine)= 1 : 1000 = 1 mg/cc
1 : 400.000 = 2.5 µg/cc
1 : 200.000 = 5 µg/cc
1 : 80.000 = 12.5 µg/cc
- Oplosan Adrenalin = 1 : 200.000 :
- Kemasan Adrenalin = 1 : 1000

Jadikan 10 cc

1 : 10.000 (ambil 1 cc)

Jadikan 20 cc

1 : 200.000

DOPAMIN

BB x  x 60
Konsentrasi

Misal : bb : 50 kg, kons ; 1 cc = 5 mg


Dopamine 3 

50 x 3 x 60 90
= = 1.8 cc/jam
5000 50

ENDOTRACHEAL TUBE
ETT:
10 (mm) = (age/4) + 4
panjang (cm) = (age/2) + 12 (coal)
(age/2) + 15 (coal)

Catatan : bataku untuk anak > 1 thn


 ETT untuk Neonatus = 3 – 3.5 ; Immature = 2.5
ETT  3 ---> suction catheter  6

French = 4 n + 2
Cm = French – 2
4

ENDOTRACHEAL TUBE SIZE

Age Or ETT SIZE Suction


Weight Cartheter
(French)
10 (mm) EO Length
(French) (cm)
< 1500 gr 2.5 un –C 12 8 6
< 6 bln 3.0 un –C 14 10 6
6 – 18 bl 3.5 un –C 16 12 8
18 bl – 3 th 4 un –C 18 14 8
3 – 5 th 4.5 un –C 20 16 8
5 – 6 th 5.0 un –C 22 16 10

Untuk TUGASMAS 102


103
6 – 8 th 5.5 artted 24 18 10
8 – 10 th 6 artted 26 18 10
10 – 12 th 6.5 artted 28 20 12
12 – 14 th 6.5 artted 28 20 12
14 – 16 th ♂ 7.0 cuff 30 22 12
♀ 6.5 cuff
16 – 21 th ♂ 7.5 cuff 32 22 12
♀ 7.0 cuff

Perbandingan MAC
Anestesie Inhalasi :

Usia = 30 – 55 tahun
 N2 O : 104%
 Desflurane : 6.3%
 Sevoflurane : 2.0%
 Halothane : 0.74%
 Euflurane : 1.68%
 Isoflurane : 1.15%
 Methoxythiane : 0.16%

Arterial – Alveolar Oxygen Gradient


{[A – a] DO2 }

 A  a DO2  BP  PH 20 xF1O2  PaCO2   PaO2


 RQ 

Ket :
BP = Borometric pressure (1 Atm = 760)
PH2O= Water Vapour Pressure (= 47 hour)
F IO2 = Fraction of Inspired Oxygen
RQ = Respiatory Anotient ( = 0.8)

 P CO 
Aa DO2  760  PH 2O F1O2  a 2   PAO2
 0.8 

Kecuali : COPD = F1O2 : 0.21 – 1.0%


PH2O = 47

A = Arteri, a = Alveoli
PAO2 Pa O2
aDO2  
F1O2 B6 A

A – a DO2 = 760 – (PO2 + PCO2 + PH2O ) torr

Catatan :
Normal : 50 – 200 torr

Untuk TUGASMAS 103


104
PH2O (37 0C) = 47 torr
A a DO2 dinilai setelah pemberian O2 100%

 P CO 
Aa DO2  760  47 100%  a 2   PAO2
 RQ(0.8) 

C O M A, penyebab :
1. CVA
2. CNS Trauma
3. CNS Infection
4. Drug Intoxication
5. Metabolic
6. Neoplasma CNS (Primer & Metastase)
7. Infeksi systemic (Sepsis)
8. Unknown

Atau :
C = Circulation
Extra
E = Electrolite
Cranial
M = Metabolite
E = Encephalopati Meningitis
N = Neoplasma IIntra
T = Trauma Cranial
E = Epilepsi
D = Drug

Mnemonic Aid For Coma Causes

TIPS

T = Trauma (all types), Tempteratur


I = Infection (Neurologic, Systemic)
P = Psyckiatric, Posphyria
S = Space Occupaying Lession, SAH, Stroke, Shock, Seizure

VOWELS:

A = Alkohol (other ingested drug or toxin)


I = Insulin (DM)
U = Uremia, Renal couses, including hypertension.
E = Endocrine (all type)
Exocrime (liver, electrolit)
O = oxygen, opiate

Untuk TUGASMAS 104


105
TRANSFUSI DARAH

Program Reduksi Praktisi Klinik di RS DS

Hb = 12

Special
Case
Hb =10 Tua > 60 th
Sepsis
DM
Optimal Stroke
Hb = 8 Stage
Mungkin tidak perlu
Tolerable transfusi
Hb = 5 Stage
Mungkin perlu
Critical transfuse
Stage
Perlu - transfusi

CURVA “ Sunder – Plassman & Messmer”

Hb 7-15

End-1

Ket :
- Kapasitas transport O2 sama antara :
Ht = 20% (Hb  7 gr/dtk) dengan
Ht = 45% (Hb  15 gr/dtk)
- Darah simpan > 7 hari : Enzym ≥ 3 DP6  (Inactive)  setelah masuk
ke sirkulasi selama 12 hari 23 DP6 akan normal kembali

Untuk TUGASMAS 105


106

Kemampuan menaikan Hb =
- PRC 1 bag (150 cc) ---> menaikan Hb = 1 gr%
- WB 1 bag (250 cc) ---> menaikan Hb = ½ gr%
- Rumus = “Rule of – 5”

Jumlah WB (ml) yang dibutuhkan =


5 x  Hb x BB (kg)

Contoh :
Untuk menaikkan Hb = 7 gr/dl menjadi 10 gr/dl 5 orang dengan BB 50 kg dibutuhkan
WB :

5 x 3 x 50 = 750 ml (3 bag)

Untuk PRC kebutuhan dibagi dua (375 cc)

Perhitungan =
Penurunan Hb jika perdarahan 1000 cc (diganti RL) kadar Hb sebelum berdarah 12
gr/dl EBV = 3500 cc. Total Hb sebelum berdarah = 0.12 x 3500 = 420 gr.
Hb yang hilang = 0.12 x 1000 = 120 gr.
Hb yang sisa dalam EBV = 420 – 120 = 300 gr
Hb setelah EBV normal = 300 / 3500 = 8.5 gr/dl

Penurunan HCT =
HCT sebelum berdarah = 40%
Vol erytrosit sebelum berdarah = 0.4 x 3500 = 1400 cc
Eritrosit yang hilang = 0.4 x 1000 = 400 cc
Eritrosit yang sisa dalam EBV = 1000 cc
HCT setelah EBV normal = 1000 / 3500 = 0.28 (28%)

Cat :
Hb = 12 gr/dl = 0.12 gr/ml.

Penurunan Albumin =
Kadar albumin sebelum berdarah = 4.0 gr/dl
HCT = 40%
Vol Plasma = 4% BB = 2000 cc

Untuk TUGASMAS 106


107
Atau 60% EBV = 2100 cc
Total Albumin sebelum berdarah = 0.04 x 2000 = 80 gr
Albumin yang hilang = 0.04 x 0.6 x 1000 = 24 gr
Alb yang tersisa = 80 – 24 = 56 gr
Kadar albumin setelah PV normal = 56 / 2000 = 2.8 gr%

Catatan :
TRANSFUSI MASIF: pemberian darah > EBV dalam waktu 24 jam
Resiko :
1. Hemodelusi massif, dapat terjadi = overhidrasi (Edema paru)
2. Hilangnya entrolit dan faktur pembekuan (Delutional Coagulopnality)
---> mudah bleeding

MANFAAT BERHENTI MEROKOK


Dan hubungan dengan Anestesi

Berhenti Manfaat
12 – 24 jam Penurunan kadar CO dan Nikotin
48 – 72 jam Kadar CO – Hb normal fungsi cuia membaik
1 – 2 mgg Produksi sputum 
4 – 6 mgg Memperbaiki F / paru
8 – 12 mgg Morbiditas post – op 

Catatan :
Berhenti merokok yang bermanfaat minimal 4 minggu

Untuk TUGASMAS 107


108
UROLOGI :

Fungsi Ginjal :

1. Excesi sisa metabolic


2. Filtrasi cairan tubuh
3. Reabsorpsi komponen yang diperlukan
4. Sekresi produk yang dating
5.
INDIKASI DIALISA :
1. Fluid Overload
2. Hiperkalemia (K >6 mEq/L) bila respon therapy (-)
3. Serum Crestinine > 8 -10 mg% ( > 10 mg/100 ml)
4. BUN > 80 – 100 ( > 200 mg/100 ml)
5. Acidosis metabolic berat
6. Encephatopaty Metabolic
7. Pericarditis
8. Coagulopathy
9. Retractory GI – Sindrome
10. Toxicutas obat  lihat hal 178

Creatinime Clearance Category

Cr. Ucarace (ml/mnt) Perlakuan


> 50 Seperti biasa
30 – 50 Cegah dehidrasi (obat-obatan nefrotoxic)
10 – 30 Evaluasi, mungkin Preop perlu HD
< 10 HD 24 jam pre-op

CrCl (140 – umur) x BB (kg)


(ml/mnt) =
72 x sc

Komplikasi DIALISIS
“Dialisis Disquilibrium – Syndrome”

Simptome :
 Naussea, Vomiting
 Restlessness
 Headaches, Fatique
 Seizure, Coma
 Aritmia

Indikasi HD secara klinis :


1. Edema Paru
2. BUN (SC meningkat 2 x base line
3. Hiperkalemia
4. Acidosis metabolic yang tidak terkoreksi
5. Uremic syndrome (mual, dll)
6. Anuria =
Urine < 400 cc/24 jam
Urine < 100 cc/6 jam

Untuk TUGASMAS 108


109
Patofisiologi =
Terjadi penurunan yang cepat dari osmolaritas extracellular terhadap
osmolaritas intracellular =

Gradient BUN Rapid Correction PH


Plasma – CSF

Plasma bicnat naik

PH CSF naik

PC O2 Arteri naik

Freely Diffusible

PC O2 CSF turun

CSF H naik

Brain - Edema Brain Osmolaritas naik

Transfuse pada CRF :


Anemia umumnya terjadi pada Cr Cl < 30 ml/mnt, Hb biasanya 6 – 7 gr/dl ok
menurunnya crythropoetin (produksi darah merah) dan penghancuran darah merah.
Peningkatan 2 – 3 DPG dan metabolic acidosis membuat kurva dissosiasi oxygen – Hb
bergeser ke kanan.
Pemberian transfusi yang tidak tepat hanya akan meningkatkan penghancuran
erytrosit ; menambah produk hasil metabolisme dan dapat menyebabkan terjadinya
overload akibatnya bergesernya ECF ke IVF.
Transfusi hanya diberikan pada Px CRF dengan anemia berat (Hb : < 6 – 7 gr/dl) atau
bila dikhawatirkan terjadi perdarahan massif intra operatif.

OLIGURIA :
Definisi = produksi urine / 24 jam

 < 100 cc ---> Anuria


 100 – 400 cc ---> OLIGURIA
 < 400 cc ---> gagal ginjal j < 20 cc/jam

Untuk TUGASMAS 109


110
Patofisiologi :
Produksi urine < 400 cc/24 jam ---> 20 cc/jam ---> 0.5 cc/kg/jam

Causa

Prerenal Renal Post = Renal


 Hypovolemic (syok)  Inteksi  Proses obstr. Uretra s/d
 RBF turun  Zat toxic ginjal (pyelum)
 Ischemi – lama (ATN)  Catheter + jepit ---> buntu.
 Hemolitic (Rx. Transfusi)

Mekanisme Oliguria =
Kekurangan cairan Extracelluler (Syok)

Stress Anestesi
Stress Pembedahan

Ginjal Hypofise

Apparatus juxta Aliran darah


glomenular menurun

Rennin GFR 

Angiotenrin II ADH

Adrenal

Penyerapan air naik


Aldosteron

Penyerapan Na naik

OLIGURIA

Untuk TUGASMAS 110


111
Management Oliguria =

 Kontrol causa
 Hidrasi balik
OLIGURIA
 TD = normal

Pasang CVP
(N = 10 – 20 cmH2O)

Rendah Normal Tinggi

Cairan

Normal Test Furo semide


(240 mg dlm 1 jam)

Urine > Urine <<

Urine << Urine bertambah

ARF
BUN / SC BUN / SC
Turun Tetap

Sembuh High out put


Renal Failure

Untuk TUGASMAS 111


112
HYPERTENSI

Krisis Hypertensi :

Peninggian tensi yang berat, biasanya :


Tekanan Sist ≥ 220 mmHg /j
Tekanan Diast ≥ 120 mmHg (JNC VI, 1997)

Hypertensi Emergency :

Peninggian tensi yang berat, dengan komplikasi akut pada target organ (misal :
Ischemic Coroner, Stroke, JCH, edema, Paru & ARF)

Management :
 Turunkan MAP tidak lebih dari 25% dalam 2 jam
 Kemudian turunkan TD menjadi 160/100 m Hg dalam 2 – 6 jam berikut
 Hindari penurunan TD yang excessive
 Hindari dengan Anti HT Agent/IV

Hipertensi Urgency
Peninggian tensi yang berat
Tanpa gangguan target organ

Accelerated HT =
HT yang disertai Retino Pathy, dll

Malignant HT :
HT yang disertai TIK meningkat

Klassifikasi HT (JNC V)
JNC V =

Kategori Systolic Diastolic


(mm Hg) (mm Hg)
Normal < 130 < 85
High normal 130 – 139 85 – 89
Hipertensi :
Stg I (mild) 140 – 159 90 – 99
Stg II (moderate) 160 – 179 100 – 109
Stg III (severe) 180 – 209 110 – 119
Stg IV (vr. Severe) ≥ 210 120

JNC VII (Age ≥ 18 Years)


Normal < 120 and < 80
Prebitilatention 120 – 139 or 80 – 89
Stage I HT 140 – 159 or 90 – 99
Stage II HT > 160 or > 100

Untuk TUGASMAS 112


113
=SEPSIS=

Sepsis yaitu gejala infeksi / Peradangan/sumber inteksi + 2 dari tanda SIRS.


Tanda-tanda SIRS :
(Systemic Inflamatory Respond Sindrome)

1. Tempeatur > 38 0C atau < 36 0C


2. HR : > 90 x/mnt
3. RR : > 20 x/mnt ---> Pa CO2 < 32 mm Hg
4. Leucosit > 12.000 atau < 4.000

Patofisiologi :
Pro Inflamatory ---> Anti inflamatori ---> SEPSIS
Pro Inflamatory ---> Anti Inflamatory ---> INFEKSI

SIRS

iInflamasi

SEPSIS

SEPTIS Berat
(Sepsis + MODS)

Septic
Shock

Kematian

Tx =
- AB = Cefalosphorin 2nd
- Membuang jaringan infeksi (Debridement)
 Mechanical washing hrs >>>
 Quality control
Catatan :

- MODS (Multiple Organ Dysfungtion Syndrome)


- Tiap kenaikan Temp = 1 0C
Kebutuhan O2 meningkat = 13 0C

INDIKASI PEMBERIAN OBAT

Kelas I = Pasti bermanfaat


Kelas II A = Dapat diterima
Mungkin bermanfaat
Kelas II B = Dapat diterima
Barangkali bermanfaat
Kelas III = Tidak dianjurkan
Mungkin berbahaya

Untuk TUGASMAS 113


114
GDT Sepsis =

1. CVP ≥ 8 – 12 mm Hg
2. MAP ≥ 65 mm Hg
3. Urine output = > 0.5 cc/kg/jam
4. SaO2 ≥ 93%
5. HCT ≥ 30%
6. AT (Tcore – T skin) = > 4 0C

Perubahan Sirkulasi Pada SIRS

Dellinger RP. Crit Care Med 2003;31:946-955

Untuk TUGASMAS 114


115
Treatment Pictocol for Status EPILEPTICUS

Diazepam
0.25/0.4 mg/kg IV/PR

Diazepam
0.25/0.4 mg/kg IV/PR

Paraldehyde
0.4 mg/kg PR in adchis oil

> 1 Mounth  1 Mounth


Phenytoin Phenobarbitone
18 mg/kg IV 15 mg/kg IV/

PARALYSE & VENTILATE


(THIOPENTONE INFUSION)

Bila sudah menggunakan phenitoin regular ---> gunakan phenobarbital

Untuk TUGASMAS 115


116
COMBUSTIO =

Resusitasi cairan Baxter =


Dewasa = 4 cc x luas luka bakar x BB (kg)
8 jam I : ½ bagian
16 jam II : ½ bagian
Setelah 18 jam diberikan
Dextran = 500 – 1000 cc/24 jam

Anak :
2 cc x luas luka bakar x BB (kg) + cairan maintenance
Dengan komposisi :
kristaloid : koloid = 17 : 3 (dioplos)

Kebutuhan Maintanance :
USIA Kebutuhan Cairan
< 1 thn BB x 100 cc
1 – 3 thn BB x 75 cc
3 – 5 thn BB x 50 cc

8 jam I = ½ bagian
16 jam II = ½ bagian

indikasi BEXTER :

- Dewasa : Conbustio ≥ 20%


- Anak : Conbustio ≥ 15%

RESUSITASI CAIRAN Px BURN


PARKLAND FORMULA

24 jam I :
Fluide Replacement :
RL : 4 ml x Burn Area x BB (Kg)

Mis = Deficit :
BW = 50 kg 4 x 60 x 50
Burn = 60% = 12.000 ml

Hari I

50% / 8 jam I 50% / 16 jam berikutnya


(RL = 6000 cc/ 8 jam (RL = 6000 cc/ 16 jam

Hari II =
1. Infus D5W : 3000 – 4000 ml/24 jam (cairan tanpa elektrolit) ditambah
dengan
2. Cairan Koloid (Albumin ; plasma expander 250 ml tiap 10% Burn Area.
Bila burn Area < 20% ---> tidak perlu-+
3. Tranfusi bila PCV < 25%
4. Perdarahan :
Elektrolit : Na dan K = N
Urine = > 1 ml/kg BB/jam

Untuk TUGASMAS 116


117
Early Intulation Pada Luka Bakar
Tujuan :
1. Mencegah pembuntuan
2. Mencegah lacerasi jalan napas
3. Mencegah edema yang menjerat leher (max dalam 24 jam)
4. Blass Injury (Pneumothorax)

Rute of Nine :
(Rule of Wallace)

Gambar

Untuk TUGASMAS 117


118
OVER VIEW Px TRAUMA
(oleh Prof. ED)

M = Mechanisme :
I = Injury Sustained
Tampak luka tusuk di ……….
Dengan ukuran ………….
S = Sign
Misal = sesak napas, nyeri, syok, dll
T = Treatment
- Oksigenasi
- Infuse : RL , dll
- Dll

Diskripsi luka tusuk =


- Menggunakan apa, dari arah mana lokasinta dimana ? ---> sehingga bisa
diprediksikan organ apa yang terkena
Misal :
Usus
Pancreas
Ginjal
Aorta, dll

Untuk TUGASMAS 118


119
PEDIATRI
VITAL SIGN Pada PEDIATRIC

The Relationship Of Age To Respiratory Rate

Age RR (beat/nm)
NB 50  1
6 mounth 35  5
12 mounth 24  6
3 Years 24  6
5 Years 23  5
12 Years 18  5
Adult
12  3

Depicts Cardiovascular Difference

Age Neonate Infant I Yr 5 Yr Adult


O2 Consuption
(ml/kg/min) 6 5 5 4 3
Systolic BP
(mm Hg) 65 90 95 95 120
Heart Rate
(beat / min) 130 120 120 90 77
Blood volume 85 80 80 75 70
Haerwglogis
(gr/dl) 17 11 12 13 14

The Relationship Of Age To HR

Age Mcon HR
(best/min)
0 – 24 hours 120
1 – 7 days 135
8 – 30 days 160
3 – 12 mounth 140
1 – 3 years 125
3 – 5 years 100
8 - 12 years 80
12 - 16 years 75

The Ralitionship of Age to BP

Age Normal BP (nm Hg)


Mean Sistol Mean Diastol
0 – 12 hours (preterm) 50 35
1 – 12 hours (fullterm) 65 45
4 days 75 50
6 weeks 95 55
1 years 95 60
2 years 100 65
9 years 105 70
12 years 115 75

Untuk TUGASMAS 119


120
The Relationship of Age to ID Endotacheal Tube :

Age ID ETT (mm)


Premature 2.5 – 3
Neonate V/d 6 mo 3 – 3.5
6 mo u/d 1 year 3.5 – 4
1 – 2 Yr 4.0 – 5.0
> 2 Yr 4 + age/4

Pemilihan pipa Tachea untuk bayi dan anak kecil :

4. Diameter pipa trachea (mm) = 4.0 + ¼ umur (thn)


5. Panjang pipa orothcheal (cm) = 12 + ½ umur (thn)
6. Panjang pipa Nasotacheal (cm) = 15 + ½ umur (thn)

URUTAN INTUBASI CEPAT Pada PEDIATRIC

1. Suttas Atropin = 0.01 – 0.02 mg/kg


Minimum = 0.1 mg
Maximum = 1 mg

2. Morfin = 0.1 mg/kg


Fentanyl = 2 – 5 µg / kg

3. Etomidate : 0.2 – 0.3 mg/kg

4. Scholin : 1 – 2 mg/kg

5. Keadaan khusus :
 Status asmatikus =
Ketamin = 1 – 2 mg/kg
 Trauma kepala, tanpa hipovolemi
Thiopental = 1.5 – 5 mg/kg
 Hypotensi / gagal myocard :
Etomidate = 0.3 mg/kg (2)
Ketamine = 1 – 2 mg/kg
 Midazolam = 0.1 – 0.5 mg/kg
(max : 5 mg)

6. Muscle relaxant :
 Bila tidak ada scolin
 Dalam semua kasus: Rocuronium = 1 mg/kg
Vecuronium = 0.1 – 0.2 mg/kg
Catatan :

 Dalam keadaan Cardiac arrest : Tidak perlu sedasi maupun analgetik


 Kegawatan lain = perlu
 RSI (Rapid Sequence Intubation)
Tujuannya :
- Induksi Anestasi
- Mencegah hypoxia
- Mencegah reflux & aspirasi isi lambung
- Mempertahankan napas spontan
- Dll

DOSIS OBAT YANG SERING

Untuk TUGASMAS 120


121
Digunakan :

I. Thiopental :
Induksi = 3 – 6 mg/kg/IV
Sedasi = 0.5 – 1.5 mg/kg/IV

II. Diazepam :
Premed = 0.2 – 0.5 mg/kg/oral
Sedasi = 0.04 – 0.2 mg/kg/IV
Induksi = 0.3 – 0.6 mg/kg/IV

III. Midazolam :
Premed : 0.07 – 0.15 mg/kg/im
Sedasi : 0.01 – 0.1 mg/kg/IV
Induksi : 0.1 – 0.4 mg/kg/IV

IV. Ketamin :
Analgetic : 0.2 – 0.5 mg/kg/IV
Induksi : 1 – 2 mg/kg/IV
5 - 10 mg/kg/im

V. Propofol :
Induksi : 1 – 2.5 mg/kg/IV
Maintenance (inf) : 50 – 200 µg/kg/mnt/IV
Sedasi (infuse) : 25 – 100 µg/kg/mnt/IV

VI. Morfine :
Premed : 0.05 – 0.2 mg/kg/1m
I0 Anestesi : 0.1 – 1.0 mg/kg/IV
PO Analgetic : 0.05 – 0.2 mg/kg/IV
0.03 – 0.15 mg/kg/IV

VII. Meperidine :
Premed : 0.5 – 1 mg/kg/im
I0 Anestesi : 2.5 – 5 mg/kg/IV
PO Analgetic : 0.5 – 1 mg/kg/Im
0.2 – 0.5 mg/kg/IV

VIII. Fentanyl :
10 Anestesi : 2 – 150 mg/kg/IV
DO Analgesia : 0.5 – 1.5 ccg/kg/IV

IX. DHBP :
Premed : 0.04 – 0.07 mg/kg/1m
Sedasi : 0.02 – 0.07 mg/kg/IV
Autiemetic : 0.05 mg/kg/IV

TEKNIK INDUKSI INHALASI Px PEDIATRI

Untuk TUGASMAS 121


122

1. Halothane (Dial 4) + O2
5 Lpm overface sampai dengan Px tidur (bilai Px belum diinfus)
2. Turunkan Halothane menjadi dial 1
3. Naikkan secara bertahap
Prof. H =
Setiap 5x napas spontan, naikkan dial 0.5 sampai dengan dial 4.
Dr. Au =
Setiap 10x napas spontan, naikkan dial 0.25 sampai dengan dial 4.
4. Berikan 10x napas spontan pada dial 4
5. Matikan Agent ---> biarkan Px napas spontan 3 – 5 x
6. Intubasi non – apnue
7. Buka kembali Agent sesuai dengan kebutuhan (Dial 0.8 – 1)

Efek Halotan pada Kardiovaskuler


Neonatus 0,87 Halotan Dalam 2 MAC
Infants 1,1 -1,2
1 MAC
Small Children 0,87 CVS
Adults 0,75

Jantung Pembuluh darah Baroreseptor


sistemik

Konduksi ? Otot Jantung A.Coronary

SA Node Na-Ca exchange Tetap


Blunting reflek
Vasodilatasi Blood Flow ?

Contractility ? Nadi tidak meningkat

Hipotensi, Bradikardia
Cardiac Outputmenurun50 %

Untuk TUGASMAS 122


123

Efek Atropin pada Kardiovaskuler


Kompetitif Antagonis
Parasimpatis (Cholinergic)
Agonis lemah muscarinik perifer
Atropin
Simpatomimetik
Reseptor nikotinik

NMJ Ganglia otonom Reseptor muskarinik

M1 M2 M3 M4,M5
(CNS,lambung) (Paru,jantung) (CNS,Otot (CNS)
polos,
kelenjar)
Takikardia Bradikardia

Salivasi

Halotan

Penggunaan SA pada Pediatri

• Dosis :
1. 0,01 – 0,02 mg/kg IV
2. 0,02 mg/kg IM
3. 0,1 mg (Minimum dose)
• Heart rate :
1. Neonatus 140 x/menit
2. 12 month 120 x/menit
3. 3 years 100 x/menit
4. 12 years 80 x/menit

Untuk TUGASMAS 123


124
PEDIATRIC ANESTESIA
DEFINISI UMUR
1. Newborn : Bbrp menit s/d beberapa jam
2. Neoratus :  28 hari (bulan I)
3. Infant : s/d 1 thn
4. Child : 1 – 8 thn
5. Large Child : 8 – 12 thn
6. Adolescent : 12 – 18 thn
7. Adult : > 18 thn
8. Geriatri : > 65 thn

NILAI NORMAL

< 1 th 2 – 5 th 5 – 12 th > 12 th
RR 30 – 40 25 – 30 20 – 25 15 – 20
HR 110 – 160 95 – 140 80 – 120 60 – 100
TS 70 – 90 80 – 100 90 – 110 100 – 120
TD 53 – 66 53 – 66 57 – 71 66 – 80

Fisiologi Pernafasan perbedaan fisiologi pernafasan anak


yang mempengaruhi penatalaksanaan jalan nafas

Neonatus (3 kg) Dewasa

Konsumsi Oksigen
6-8 3,5
(cc/kg/menit)

Produksi Karbondioksida
6 3
(cc/kg/menit)

Volum tidal (cc/kg) 6 6


Laju pernafasan
32-35 12-16
(kali/menit)
Kapasitas vital (cc/kg) 35 70

Kapasitas residu
30 35
fungsional (FRC) cc/kg

Taksiran BP Anak (1 – 10 th)


BP = 80 + (umur x 2)

Taksiran BP Anak (1 – 10 th)


BP = 2 x (umur + 4)

Taksiran Blood Volume :

Umur Cc/kg BB
Premature Neonate 85 – 100
Fulterm neonale 85 – 90
Infant 80
Adult 65 – 75

Untuk TUGASMAS 124


125

Kadar Hb normal pada anak :

(gr/dl)
At Birth 19.5
2 wk 16.5
2 mounth 14.0
6 mounth 12.0
1 yr 11.0
2 yr 11.5
5 yr 12.6
6 – 12 Yr 13.5

Criteria for anemia :


Hb Veule (gr/dl) are =

At Birth Hb < 13.5


2 wk Hb < 13
2 – 3 mounth Hb < 9.5
≥ 6 mo Hb < 10

Transfusi pada Anak =

I. Rumus :
80 x BB (kg) x  Hb
 22 x 100
100

Cara pemberian :
1. 5 mnt I : 5 – 10 tts/mnt
Dilanjutkan : 10 – 15 cc/kg/2 jam ---> (10 – 15 tetes/mnt)

II. Untuk Anemia kronis : 6 – 10 cc/kg / hari


(sisanya diulang setelah 24 jam)
Px dengan gagal ginjal/jantung : 2 cc/kg/jam

Misal :
Anak / 2 ½ thn / BB = 10 kg, Hb = 8
Rencana operasi dengan Hb minimal = 12

Maka kebutuhan transfuse =


80 x 10 x4
 22 x 100
100
 145 cc[1bagPRC ]

Untuk mengejar Hb dapat di berikan transfuse malam hari PRC : 75 – 100 cc


Besok pagi cek Hb ulang, kekurangannya dapat dikejar durante op.

III.  Hb x 5 x BB (kg)
indikasi =
- Hb < 8 gr % / < 10 gr%
- Blood lose ≥ 20 % / ≥ 10%

IV. PRC 4 cc/kg BB

Untuk TUGASMAS 125


126
Dapat menaikkan Hb : 1 gr%
Max = 10 cc/kg/hari

FFP (Fresh Froozen Plasma)


Indikasi :
- Kehilangan darah lebih dari 1 – 2 x EBV
- Dosis : 10 – 15 cc/kg BB

Platelets :
TC = (Trombosite Cryopresipitate)
Dosis 1 unit / 10 Kg BB
---> dapat menaikan Platelet  50.000 / cc L

Air Way – Equipment For Pediatric Patient

Premat Neomate Infant Toddler Small Large


ure Child Child
Age 0 – 1 mo 0 – 1 mo 1 – 12 mo 1 – 3 yr 3 – 8 yr 8 – 12 yr
Weigh (kg) 0.5 – 3 3–5 4 – 10 8 – 16 14 -30 25 – 50
ETT (mm 10) 2.5 – 3 3 - 3.5 3.5 – 4 4 – 4.5 4.5 – 5.5 5.5 – 6
cc
ETT Dept 6–9 9 – 10 10 – 12 12 – 14 14 – 16 16 – 18
(cmat lips)
Suction Cath 6 6 8 8 10 12
(F)
Latingos 00 0 1 1.5 2 3
cope blode
Mask – size 00 0 0 1 2 3

Oplairway 000 – 00 00 0 (40 mm) 1 (50 mm) 2 (70 mm) 3


(80 mm)
LMA - 1 1 2 2.5 3

Endotracheal Tube Size

Age or ETT size Suction


Weight Cath (F)
ID (mm) ED (F)
< 1500 gr 2.5 unc 12 6
< 6 Mont 3.0 unc 14 6
6 – 18 Mont 3.5 unc 16 8
18 Mont – 3 yr 4.0 unc 18 8
3 – 5 yr 4.5 unc 20 8
5 – 6 yr 5.0 unc 22 10
6 – 8 yr 5.5 c 24 10

Untuk TUGASMAS 126


127
8 – 10 yr 6.0 c 26 10
10 – 12 yr 6.5 c 28 12
12 – 14 yr 6.5 c 28 12
14 – 16 yr M = 7.0 c 30 12
F = 6.5 c
16 – 21 yr M = 7.5 c 32 12
F=7c

Note :

French = 4 n + 2
Cm = (French – 2) : 4

Ukuran tube untuk Neonatus :

BB (gram) Umur hamil ID Kedalaman


(mgg) (mm) ET
< 1000 (4 kg) < 28 2.5 6
1000 – 2000 (1 kg) 28 – 34 3.0 7 (1 + 6)
2000 – 3000 (2 kg) 34 – 38 3.5 8 (2 + 6)
> 3000 (3 kg) > 38 3.5 – 4.0 9 (3 + 6)
4000 (4 kg) 10 (4 + 6)
Rumus :
Ukuran Tube (mm ID) = 4 + (1/4 umur)

Kedalaman Tube / oral (dalam cm) = 12 + (1/2 umur ) pada bibir atas
Untuk anak  1 th = No 10 diatas alveolar ridge

Kedalaman tube / nasal = 15 + (1/2 umur)

Pediatric Durg Dosages

I. Obat Premedikasi
1. SA ; 0.01 – 0.02 mg/kg BB/im (Dosis iv = ½ dosis im)
Antivagal : 0.02 mg/kg
Antisialogog : 0.1 mg/kg

2. Dormicum : 0.1 - 0.2 mg/kg BB/Iv (dosis oral 0.50 – 0.75 mg/kg)
3. Diazepham : 0.25 mg/kg/IV

II. Obat Induksi :


1. Ketamin
1 – 2 mg/kg BB/IV
5 – 10 mg/kg BB/im
3 – 5 mg/kg BB/im
2. Penthotal : 5 – 7 mg/kg BB/IV
3. Propofol : 2 – 5 mg/kg BB/IV

III. Relaxant :
1. Scholin : 1– 2 mg/kg / BB/IV
2. Norcuron : 0.1– 0.2 mg/kg / BB/IV
3. Atracurium : 0.5 mg/kg / BB/IV

IV. Analgetic :
1. Morfin : 0.1– 0.2 mg/kg / IM/4 jam (dosis iv = ½ im)
2. Pethidinie : 1 – 1.5 mg/kg/IM/4 jam
3. Fentanyl : 2 – 5 µg/Kg BB/Iv

Untuk TUGASMAS 127


128
4. Codein : 0.5 – 1 mg/kg BB/6 jam ---> oral
5. Paracetamol : 15 – 30 mg/kg BB/6 jam ---> oral
6. Diclofenac : 1 – 3 mg/kg BB ---> oral
7. Ketoprofen : 1 mg/kg BB/IV.IM.PO.PR/6 jam
8. Metamizole : (Novalgin) 10 mg/kg BB/IV

V. Reversal :
Prostigmin :0.04 – 0.08 mg/kg/IV
S. Atropin :0.01 – 0.02 mg/kg/IV
Naloxon :0.01 mg/kg/ BB/IV

VI. Lain-lain :
1. Dexamethason :
0.25 – 0.5 mg/kg/IV
Bayi = (BB < 10 kg) = 4 kg/IV
Anak = (BB > 10 kg) = 8 kg/IV
2. Ondancentron : 0.1 mg/kg BB/IV
3. Cairan Infus :
Umur < 1 th = D5 ¼ NS
> 1 th = D5 ½ NS
Neunatus = D10 0.18 NS
Breathing Circuit :

BB (Kg) Jenis Sirkuit


0 – 15 Jackson Reese (Semi open)
15 – 30 Micro corgated (Semi close)
> 30 Sirkuit Dewasa (Semi Close)

Flow O2 =
Open Sistem = 2 x MV
Semi Close = > 4 LPM

Approximate MAC Valves for Pediatric Px

Agent N Conate Intant Small Children Adult


0 – 1 bln 1 – 12 bln 3 – 8 thn > 12 thn
Halothane 0.87 1.1 – 1.2 0.87 0.75
Sevoflurane 3.2 3.2 1.5 2.0
Isoflurane 1.60 1.8 – 1.9 1.3 – 1.6 1.2
Desflurane 8–9 9 – 10 7–8 6.0
Enflurane
MAC = Minimum Alveolar Vaitilation

Persiapan Anestesi Pediatic

I. Siap Pasien

II. Siap Alat =

1. Intubasi Set 17. Kasa


2. ETT sesuai ukuran 18. Bantal + Donat
3. Tampon 19. Spuit 10 cc
4. Benang merah 20. Hb – Sahli

Untuk TUGASMAS 128


129
5. Plaster Hipafix 21. KJ – Jelly
6. Plaster Coklat 22. Spalk + kasa gulung
7. Stilet 23. Mayo
8. Magil tang 24. Catheter Suction
9. NG Tube (No. 8 & 10) 25. Catheter Urine
10. Jackson reese + masker 26. Topi + Kapas penghangat
11. Spidol 27. Termometer
12. Cairan Infus 28. Gunting
13. Bigles (penghangat cairan) 29. Syringe Pump
14. Selimut 30. Senter
15. Salep Mata 31. Xylocain Spray
16. Stetoscope precordial

III. Siap Obat :


A. Obat Emergency
1. Adrenalin : 0.1 mg/cc
2. S. Atropin : 0.1 & 0.25 mg/cc
3. Efedrin : 5 mg/cc
4. Lidocain : 20 mg/cc

B. Obat / Anestesi
1. Ketamin : 1 mg/cc (untuk induksi & drips)
5 & 20 mg/cc (untuk pumpt)
2. Dornicum : 1 mg/cc
3. Valium : 5 mg/cc
4. Morfin : 0.1 & 1 mg/cc
5. Norcuron : 1 mg/cc
6. Dexameth : 5 mg/cc

IV. Siap Team

Pesanan Pre – Op :
Preop Visite Anestesi = Px rencana operasi besok. Mohon dipersiapkan :
1. Informed Consent
2. Puasa :
- Makan padat/susu mulai jam 24.00
- Minum air putih mulai jam 05.00
3. Infus : D5 ½ NS ……………. Cc/jam ---> Mulai jam 05.00 pagi
4. Lavement s/d bersih
5. Fisioterapi napas
6. Nebulizer 2 x 10’ / hari
7. Siap PRC, 1 bag + GSn 1 bag
8. Diazepam 2 mg tab/peroral di minum dengan air putih jam 05.00 pagi
9. siap obat & Alat
10. Berdoa

Resep :
R/ ECG electrode III
Surflow (no. 24) I
Infuse set pediatric I
PZ 250 cc I
D5 ½ NS Hs II
3 way stopcock panjang I
Valium AMP I

Untuk TUGASMAS 129


130
Diazepam tab 5 mg I
Spuit Disp 3 cc II
5 cc II
10 cc II
Dulcolac Supp II

Pesanan Post – OP :
1. Sadar baik, mual (-), mts (-) Bu (+)/N ---> NSS bertahap I
2. Infus = D5 ½ NS = 1500 cc/24 jam
Infuse dipertahankan s/d makan / minum bebas
3. Tx : inj Odantron 3 x 2 mg/IV (2hr)
Inj Novalgis 3 x 250 mg/IV (2hr)
Inj Cefotaxin 3 x 500 mg/IV ---> 1hari selanjutnya oral
4. Nebulizer 2 x 10’/hari
5. Fisioterapi napas 2 x / hari
6. Mx :
 VS
 Produksi urine
 Perdarahan luka op
 Cek Hb pose op

CAUDAL EPIDURAL BLOCK

IV. Indikasi :
1. Abdoran bawah & Perineum
 Inguinal Herniotomy
 Orchidopexy
 Anoplasty
 Operasi Bladder
2. Pensi :
 Hipospadia
 Sirkumsisi
3. Operasi pada kaki :
 Osteotomy hip
 Koreksi Talipes

V. Kontra Indikasi :
1. Local Sepsi
2. Septacemia
3. Coagulopathy
4. Peny. Neurologis active
5. Meningomyelocele
6. Hidrocephalus
7. Peningkatan ICP
8. Hipotensi yang tidak bias di koreksi
9. Mayor abnormal dari sacrum

VI. Equipment :
1. Spidol + Plaster
2. Spinal set + Hand schoen
3. Surflow 18 & 22 & 20 G
4. Spuit 5 cc I, 10 cc I
5. Nedle 18 G
6. Marcain 0.5% & lidocain 2%
7. Pz 25 cc

Untuk TUGASMAS 130


131

DOPAMIN DILUTION & RATE PROTOKOL =

Dilution : Dopamin 200 mg (1Amp)


Volume : Pz s/d 40 cc
Konsentrasi : 5 mg/cc = 5000 µg/cc
Dosis : 3 – 10 

Rumus :

BBxx60
cc / jam
konsentrasi (ecg / cc

Misal :
Dopamine 5  (BB 50 kg) = 50 x 5 x 60 = 5000 ---> 30 / 10 = 3 cc/jam

DOBUTAMIN DILUTION & RATE PROTOKOL =

Dilution : Dobutamin 250 mg


Volume : Pz u/d 50 cc
Konsentrasi : 5 mg/cc = 5000 µg /cc
Dosis : 3 – 10 
Rumus :

BBxx60
cc / jam
konsentrasiecg 

Misal :

ADRENALIN DILUTIONAL & RATE PROTOKOL

Dilution : Adrenalin 5 mg (5cc) sampai 5 Am


Volume : Pz s/d 50 cc
Konsentrasi : 0.1 mg/cc = 100 µg/cc = 100.000 ñg/cc
Dosis : 50 – 150 ñg/kg/mnt

Rumus :

BBxngx60
cc / jam
konsentrasi(mg )

Misal :
Adrenalin 100 nano (BB 50 kg) = 50 x 100 x 60
100.000
= 30 / 10 = 3 cc/jam

Untuk TUGASMAS 131


132
HERBESSER DILUTIONAL & RATE PROTOKOL

Dilution : Herbesser 50 mg (1 Amp)


Volume : Pz s/d 50 cc
Konsentrasi : 1 mg/cc = 1000 µg /cc

Dosis : 5 – 15 mcg/kg/mnt
Rumus :

BBxmcgx60
cc / jam
konsentrasi(mcg / cc)

Misal :
BB = 50 kg
3  = 9.0 cc/jam
4  = 12 cc/jam
5  = 15 cc/jam
6  = 18 cc/jam

= 50 x 5 x 60 = 150 / 10 = 15 cc/jam
1000.

Loding dose = 0.2 mg/kg BB/IV bolus ---> observasi 10 mnt

NITROGLICERIN DILUTION & RATE PROTOKOL

Dilution : Nitrocin 10 mg (1 Amp)


Volume : Pz s/d 50 cc
Konsentrasi : 0.2 mg/cc = 200 µg /cc

Dosis :

Catatan :
Mulai dengan dosis = 0.5 mg/jam
Dapat dinaikkan sampai dengan 2 mg/jam

NOREPINEPHRIN DILUTIONAL & RATE PROTOKOL

Dilution : Vascon 1 Amp (4 mg)


Volume : Pz sampai dengan 40 cc
Konsentrasi : 0.1 mg/cc = 100 µg /cc = 100.000 ñg/cc

Dosis : 20 – 100 ñg/kg/mnt ---> (Dosis lazim : 50 – 150 nano)

Untuk TUGASMAS 132


133
PERDIPINE DILUTIONAL & RATE PROTOKOL

Dilution : Nicardipine Hcl 10 mg


Volume : D5% atau PZ sampai dengan 50 cc
Konsentrasi : 0.2 mg/cc = 200 µg /cc

Dosis : 0.5 – 6 µg/kg/mnt

Rumus : Permintaan (micro) x BB x 60 cc/jam


200

Misal : perdipin 2 micro (BB 50 kg)

= 2 x 50 x 60 = 30 cc/jam
200

Untuk TUGASMAS 133


134
PROTAP ANESTESI LSSC

Dengan kelainan jantung =

I. Premed (-), dopamine on line


II. Induksi :
 Dormicum 2 mg
 Ketamin 25 mg
 Norcuron 4 – 6 mg ---> Ventilasi 3’
 Fentanyl 25 µg
 Ketamin 25 mg
 Intubasi ---> Incisi
 anak lahir (inj. lasix 1 ampul iv dan inj. Piton 1 ampul iv + 1 ampul im)

III. Maintanance
 Isoflurane + O2
 Suplement :
Fentanyl 25 µg (K/P)
Morfin 2 mg/IV (boleh ditambah lagi K/P)

IV. Post – Op :
 Lasix 1 – 2 Amp/IV
 Restruksi cairan 1500 – 2000 ce dalam 24 jam I
Selanjutnya restriksi : 500 cc/24 jam
 Morfin 0.5 mg/jam (SP)

Left Ventricle Systolic EF


Quality LV Fungtion Ejection Fraction
Normal > 60%
Mild 50 – 60%
Mild to Moderate 40 – 50%
Moderate 30 – 40%
Moderate to severe 20 – 30%
Severe < 20%

Untuk TUGASMAS 134


135
FISIOLOGI SIRKULASI

Keterangan :
 Stenosis = penyempitan
 Insutisiensi = kebocoran

Untuk TUGASMAS 135


136
ANESTESI PADA KELAINAN JANTUNG =

1. Tigh Stemosis ---> tidak boleh Tachicardia


2. PJK ---> tidak boleh Work of the Heart meningkat
3. Septal Defeek ---> tidak boleh Shunt Reverse

PRINSIP ANESTESI PADA :


I. Mitral STENOSIS
1. Hindari Tachicardia :
Ok bila HR meningkat, pengisian ventricle (EDV) turun ---> cardiac output turun
Cara : Analgetic harus kuat untuk menghindari nyeri

2. Hindari Vasoconstriksi :
Karena akan menambah PHT : (Pulmonal Hipertensi)
Cara :
A. Jangan hipoksia dan Hipercarbia
B. Jangan Hipovolemia
C. Usahakan slight vasodilarasi (SVR turun) tetapi tidak hipotensi (OKI siap
Dopamine)

II. ASD (ATRIAL SEPTAL DEFECT)


Yaitu : ada hubungan antara LA & RA bila Px dengan L to R Shunt : Prognosa lebih
baik, dalam proses anestesi : hindari R to L Shunt.

Cara :
1.Pertahankan tekanan darah Sistemik (Tekanan darah systole, tidak sama
dengan / lebih rendah dari tekanan darah Pulmonal
2.Siap Dopamin adalah Dobutamin. Prediksi penurunan TD sistemik dimulai
dengan melihat S aO2.
Misal =
TD : 120/70 ---> SaO2 = 100% turun 5%
TD : 114/66.5 ---> SaO2 = 95%
Bila saturasi turun 5% berarti tekanan darah juga akan turun 5% menjadi
114/66.5

Untuk TUGASMAS 136


137
Berarti penurunan tekanan darah diusahakan tidak sampai menyebabkan
penurunan saturasi < 95%

III. RIGHT VENTRICLE OVERLOAD


Disebabkan oleh aliran darah dari LA ke RA melalui ASD.
Keadaan ini mempunyai prognosa lebih baik daripada left Ventricle overload di
mana akan terjadi “Shunt Reversal” sehingga akan menyebabkan hipoksia yang
tidak bias dikoreksi.

IV. REGURGITASI
Bila terjadi regurgitasi maka Cardiac Output akan lebih kecil dari EF. Untuk
menaikkan CO berikan : 1. Inotropic (Dopamin jadi Dobutamin)
2. Vasodilator untuk meurunkan TPR

V. PULMONAL HIPERTENSI
Hindari Vasocontriksi ok akan menambah PHT
Cara: 1. Jangan HIpoksia atau Hiperkarbia
2. Jangan Hipovolemia
3. Usahakan Slight VAsodilatasi sehingga SVR turun, tetapi tidak
hipotensi.
Tensi pulmonal absolute diukur dengan schwangatnt catheter.

Halaman 393

Untuk TUGASMAS 137


138
ANESTESI PADA OBSTETRI
Pemilaian teknik anestesi :
1. Regional Anestesia
SAB dan Epidural Anestesia SAB merupakan teknik terpilih ok :
1. Prosedurnya sederhana
2. Kontak obat anestesi dengan fetus minimal
2. General Anestesia
A. Induksi: Ketamin dosis 0.5 – 1 mg/kgBB
Scholin 1.5 mg/kgBB
Bila ada kontraindikasi ketamin dipilih :
Penthotal dosis 3 – 5 mg/kgBB
Scolin 1.5mg/kgBB
B. Maintenence : - Halotane : 0.5 %
- Isoflurane : 0.75 %
- Enflurane : 1.0%

Catatan :
- Penthotal keluar dari sirkulasi bayi setelah 10 – 12 menit
- Halothane hati2 karena bisa menyebabkan relaksasi uterus meningkat -
--> atonia uteri ---> HPP

PREEKLAMSIA
Definisi :
Adanya trias :
Hipertensi, proteinuria, edema ---> yang timbul setelah usia kehamilan 20 mgg

Patofisiologi :
Ketidakseimbangan antara :
- Thromboksan sebagai vasokonstriktor
- Prostasiklin sebagai vasodilator
Menyebabkan
- vasoconstriktor, Agregasi platelet dan penurunan uteroplacnta blood
flow
- Vasospasme menyeluruh ---> disfungsi organ

Pembagian :
1. PE Ringan
- Tekan darah > 140/90 atau kenaikan lebih > 30 / 15 mmHg
- Edema
- Proteinuria > 300 mg/L ( + 1 – 2 )

2. PE Berat
- Tensi > 160 / 110 mmHg
- Proteinuria >5 gram/24 jam
- Gejala cerral (+) nyeri kepala, gangguan visus
- Oliguria
- Serum cratinin meningkat
- Edema paru(kadang terjadi setelah 15 jam post op)
- HELLP (hemolisis, elevated liver enzyme, low platelet)
- Thrombocithopenia juga DIC
3. Eklamsia
- PE yang diikuti dengan kejang(20% px eclamsia edema cerebri)

Contoh kasus :
Wanita 39 th/82 kg ---> PS 2 PEB

Untuk TUGASMAS 138


139
Teknik anestesi :
1. Preop
2. Induksi
3. Maintenance
4. Post operasi

Untuk TUGASMAS 139


140
KRITERIA EXTUBASI
ABCD / PS Methode

A. Airway yakin jalan napas bebas setelah extubasi

B. Blood Gas :
PaO2 > 80
PCO2 < 45
---> dengan F1O2 < 40% PEEP : 0 – 5
C. Conscirusness & Circulation = Px sadar dan circulasi stabil
D. Dispnoe : Sesak (-)

P. Respiration Parameter
 TIdak berkeringat
 VC > 15 cc/kg
 VT > 5 cc/kg
 RR < 20 x/mnt
 MV < 10 liter/mnt
 AaDD2 < 350 mmHg

E. Secretion : Tidak ada hipersekresi dari saluran napas

Jadi KRITERIA PONTOPPIDAN Bergeser ke Kiri

Untuk TUGASMAS 140


141
TERAPI HIPOGLIKEMIA =
Rumus : 3 – 2 – 1

GDA D40%
< 30 ngr %  3 Hs
< 60  2 Hs
< 90  1 Hs

1 Amp D40% menaikkan KGD : 25 – 50 mg%

Metabolisme laktat pada px. normal


Produksi Eliminasi
Glukoneogenesis
Cori pathway

Glukosa Liver Oksidasi

Bikarbonat
Sel otot (Eventually)

Asam Piruvat Jantung


Stoelting p.798

Laktat Piruvat ATP


Anaerob
Guyton & Hall, P. 1073
Asam Laktat Jar. Lain

EP Lactat - Infus Cairan RL ?


+
1 mmol/kg/h H
Harper, Biokimia

EP = Endogenous Production

Untuk TUGASMAS 141


142

Metabolisme laktat pada px. DM


Produksi Eliminasi
Hipergikemi
Glukosa Glukoneogenesis

DM (Insulin Liver Oksidasi


defisiensi)
Bikarbonat
(Eventually)
Intrasel
Stoelting p.798
Jantung
Asam Piruvat
Laktat Piruvat ATP
Anaerob
Guyton & Hall, P. 1073
Asam Laktat Jar. Lain

EP Lactat - Infus Cairan RL ?


+
1 mmol/kg/h H
Harper, Biokimia

EP = Endogenous Production

Untuk TUGASMAS 142


143

ANESTESI pada Px HT =
 Tekanan Darah diturunkan sampai dengan 180/100 mmHg (Cut of Point)
 Malam hari (jam 22.00)
Dapat diberikan :
Diazepam 5 mg/oral
Esilgan 2mg/oral
Captopril 25 mg/oral
Obat HT tetap diminum jam 05.00 pagi dengan 2 sendok air putih.
 Jam 05.00 pagi cek tensi basal bila T. Diastole > 100 mmHg ---> op ditunda.
 Evaluasi keterlibatan target organ :
1. Jantung : NYHA, ECG, Cardionegatif
2. Ginjal : BUN / SC
3. Otak : riwayat TIA, CVA

Induksi Px HT :
1. LIdocain 2% 40 mg (1mg/kg BB) ---> untuk memblok inpuls
2. Fentanyl 50 µg --->untuk mencegah pembentukan inpuls
3. Norcuron 6 mg ---> ok onset noicuron > penthotal
4. Penthotal 150 mg ---> Sleeping dose dulu ---> setelah Px tidur
5. Penthotal 100 mg ---> ventilasi  3 mnt
6. Intubasi
Cat :
Lidocain + Fentanyl ---> potensiasi resiko bradikardi meningkat

Untuk TUGASMAS 143


144
MECHANICAL VENTILATION

I. Indikasi :
Traditional criteria for instituting
Mechanical Ventilation

Parameter Ventilation Normal


Indicated Range
Mechanic :
RR (x/mnt) > 35 10 – 20
TV (cc/kg BB) <5 5–7
VC(cc/kg BB) < 15 65 – 75
Max. Inspiratory < 25 75 – 100
Force (em H2O)
Oxygenation :
PaO2 (mm Hg) < 60 (F1O2 0.6) 75 – 100 (air)
P (A-aDO2)(mmHg) > 350 25 – 65 (F1O2 1.0)
Ventilation :
P2CO2 (mm Hg) > 60 35 – 45
VD/VT ratio > 0.6 0.3

II. Pengaturan Setting Awal =

 TV : 6 – 8 – 10 cc/kg BB
 Freq : 12 – 20 x/mnt
 MV : VT x F
 F1O2 : 1.0
 1 : E = 1 : 2 atau 1 : 3
 PEEP = 2.5 – 5 cm H2O
 Mode = CMV – PCV / VCV
 Setelah ventilator sudah berjalan dan berfungsi baik :
Pertimbangan PEEP (Start low = 5 cm H2O)
 Setelah 10’ --->turunkan F1O2 < 60% untuk mencegah intoxicasi O2 (monitor:
saturasi harus > 95%)
Penurunan F1O2 = 60 – 50 – 40 dst

III. Kriteria Weaning :


1. Kondisi klinik (SSP, Hemodinamik) stabil
2. Minimal analgesia & Sedasi
3. Psikologis stabil & koperatif
4. Kemampuan ventilasi dan beban ventilasi seimbang
5. Kemampuan Ventilasi & pertukaran gas Adequate
 PaO2 ≥ 60 mm Hg dengan F1O2 40%
 PaO2 / F1O2 : > 150
 PaO2 > 50 mm Hg dengan F1O2 35% (PPOM)
 PEEP  5 cm H2O
 RR < 30 x/mnt
 MV < 15 ltr/mnt

IV. Proses Weaning

1. CMV
2. ACV
3. SIMV + PS

Untuk TUGASMAS 144


145
4. PS
5. CPAP (Syarat F1O2 < 50%)
6. T – Piece
7. Extubasi

Note :
CMV : Atur volume
PC : Atur pressure (misal : PC 10)
SIMV : Turunkan RR menjadi ½ kali normal (misal ; 10 x/mnt ---> SIMV 10)
P5 : Turunkan RR menjadi 0 (misal : P5 10)
CPAP : Turunkan P5 menjadi 0 (Px hanya dengan PEEP)

Untuk TUGASMAS 145


146
KEBUTUHAN NUTRISI :
Perhitungan :
Cukupi kebutuhan perhari :
 Volume : 40 – 50 cc/kg/hari
 Kalori : 25 – 30 Kcal/kg/hari
 Natrium 2 – 4 mEq/kg/ari
 Kalium : 1 – 3 mEq/kg/hari
 Protein : 1 – 2 mg / kg/ hari

Contoh pehitungan : BB – 40 Kg
Kebutuhan :
 Volume = 40 – 50 cc/kg/hari = (40 – 50) x 40 = 1600 – 2000 cc / hari
 Kalori = 25 – 30 Kcal/kg/hari = (25 – 30) x 40 = 1000 – 12000 Kcal /hari
 Natrium = 2 – 4 mEq/kg/hari = ( 2 – 4) x 40 = 80 – 160 mEq/hari
 Kalium = 1 – 2 mEq/kg/hari = (1 – 2) x 40 = 40 – 80 mEq/hari
 Asam Amino = 1 – 2 mg/kg/hari = (1 – 2) x 40 = 40 – 80 mg/hari

Cairan Vol Kalori Na K AA osmol


Triofusin E 1000 500 500 - - - 1600
Kaen MG3 1000 400 500 20 -
Amiparen 10% 500 - - - 50
Total 2000 900 50 20 50

Catatan :
Untuk menurunkan osmolaritas dapat diberikan infuse cabang

Contoh infuse yang efektif :


HI = RD5 = 1000 cc
24 jam
D5% = 1000 cc

H II = Kaen MG3 : 2000 cc/24 jam

HIII = Kaen MG3 : 1000 cc


24 jam
Panamine G : 1000 cc

Misal : BB : 60 kg
Perlu kalori : 1500 kalori
Volume : 2500 cc

I. D20% = 2000 cc
24 jam
AA 10% = 500 cc

Osmolaritas = 1000(> 900) ---> sebaiknya melalui vena central

II. D20% = 1000 cc


Fat 20% = 400 cc 24 jam
AA 10% = 1000 cc

Osmolaritas =  700 (< 900) ---> boleh melalui vena perifer

Lihat hal 416

Penyebab Henti JTG : (yang perlu dikoreksi)

Untuk TUGASMAS 146


147

4H+4T=
 Hipoksia
 Hipovolemia
 Hiper / Hipokalemia oleh karena gangguan metabolik
 Hipotermia :
 Tension Pneumothorax
 Tamponade pericard
 Toxic/Overdose obat
 Thromboemboli
 Massive MI
 Asidosiss

Untuk TUGASMAS 147


148
RECRUITMENT :

Tujuan : Memperbaiki compliance paru ---> Oksigenasi meningkat


ES : Pneumothorax

Cara =
I. Dewasa
BIPAP / IPPV =
Tidak lebih 24 ( 30) x/mnt
P. Insp : 30 sampai dengan 40/45
T. Insp : 1.0
Biarkan 3 x napas, lalu kembali ke setting awal

II. Bayi
IPPV =
P. Inspirasi : Dari 18 naikkan menjadi 35 biarkan 3x napas, lalu kembali ke setting
awal (misal : P. Insp. 18)

Untuk TUGASMAS 148


149
VENA SENTRAL

Jalur pemasangan Vena Sentral

I. Vena Innominate (b)


Land Mark

Gambar

 Cari Tonjolan kedua sebelah lateral (D) Infundibulum Sterni


 Tentukan puncak dari trigonum
 Insert medle diatas tonjolan kedua kearah papilla mammae dengan
sudut 300 – 400 .

Untuk TUGASMAS 149


150
II. VENA JUGULARIS INTERNA (D)

 Tentukan trigonum
 Raba Arteri Carofis
CV. Jugularis interna terletak di sebelah lateral adalah Carotis
 Insert needle disebelah lateral adalah carotis kearah papilla mammae
dengan sudut 30 – 400.

III. VENA FEMORALIS (D)

 Raba arteri femoralis (D)


(V. Femoralis terletak disebelah rudial dari arteri Femoralis)
 Insert jarum di sebelah medial arteri femoralis kearah umbilicus dengan
sudut 30 – 400.

IV. VENA SUBCLAVIA

 Raba Clavicula (D)


 Insert jarum pada 1/3 medial 1 cm dibawah clavicula kearah suprasternal
match
 Vena akan dijumpai setelah jarum masuk 4 – 6 cm

Untuk TUGASMAS 150


151

V.

VI.

IV.

V.

V.

VII.

V.

I.

VI.

Untuk TUGASMAS 151


152

2.

1.

IV.

C.

7.

b.

Untuk TUGASMAS 152


153

i.

C.

Untuk TUGASMAS 153


154

II.

I.

4.

Untuk TUGASMAS 154


155
ANESTESI PADA Px ASMA
Prinsip :
 Hindari Agent yang dapat menyebabkan Brochospasme (misal : Pento, dll)
 Hindari Agent yang dapat menyebabkan Histamin relese meningkat (misal :
morfin, Atracurium, dll)
 Intubasi & Extubasi dilakukan pada anestesi dalam

Premedikasi :
 Phenergan 25 – 50 mg/Im
 Pethidine (low dose)
 SA : masih kontroversi OK dapat menyebabkan secret menjadi kental
 Midazolam

Induksi :
 Ketamin : 1 – 2 mg/kg BB/IV
 Propofol : 3 – 4 mg/kg BB/IV
 Halothane Inhalasi

Maintanance :
 Ketamin TIVA
 Halothane
 Enflurane
 Isoflurane
 RA = SAB, dll

 Sebelum induksi dapat diberikan Bronchodilator (Amimophyline 5 mg/kg BB).


½ Dosis IV bolus + ½ dosis drip
 Sebelum extubasi dapat diberikan Lidocain 40 mg/IV

Laparoskopi :
Tindakan insuflasi gas atau cairan ke dalam rongga abdomen dengan trochard
endoskop Ø 6-10 mm dapat digunakan untuk melihat isi abdomen tanpa kontak
langsung dengan organ intra-abdomen
Bidang ginekologi : Dx & Tx endometriosis, KE, myomektomi, histerektomi,
tubektomi,fertilisasi invitro
Bidang bedah: kolesistektomi, repair diafragma, gastroplasti, herniotomi,
appendiktomi, laigasi varicocele
 Keuntungan untuk Px :

Prosedur “minimally invasive”, lama rawat inap↓, morbiditas pasca bedah↓(


nyeri post-op lebih ringan, kejadian ileus post-op jarang) & lama recovery lbh
singkat

PERHATIAN UNTUK ANESTESI


Tehnik laparoskopik mengganggu sistem pernapasan & kardiovaskuler pasien.
Sebaliknya, tehnik ini diperkenalkan ke masyarakat merupakan tehnik bedah yg
aman, sederhana & dapat dilakukan untuk penderita rawat jalan

Untuk TUGASMAS 155


156
PROSEDUR PEMBEDAHAN
Persiapan: harus dilakukan dekompresi lambung dengan NG tube & kandung
kencing dikosongkan dengan kateter.
Dibentuk pneumoperitoneum sebelum trokar+ laparoskop masuk ke rongga
peritoneum
Bila pasien sudah pernah operasi abdomen sebelumnya→bahaya adhesi→ maka
pemasangan trokar dilakukan dengan cara mini-laparotomi
Insuflasi gas CO2 ke abdomen karena sangat larut dalam air sehingga kurang
berbahaya bila tak secara sengaja terjadi emboli ke dalam sirkulasi, tidak mudah
terbakar.
Kerugian: Penyerapan secara sistemik dari rongga peritoneum→memberi beban
eliminasi tambahan pd paru.
Insuflasi diatur dengan insuflator mekanik, dibatasi oleh tekanan (pressure
limited)yg di set pada tekanan tertentu (15-18 cm H20)
Tek. Insuflasi yang kurang→pneumoperitoneum yang dibentuk tidak adekwat,
mengganggu visualisasi & kelancaran pembedahan
Tekanan yang berlebihan, membahayakan respirasi & sirkulasi.

PERUBAHAN PADA FUNGSI SISTEMIK


1. Sistem Respirasi

Insuflasi CO2 ke rongga peritoneum dan posisi Trendelenberg→Absorbsi CO2


ke aliran darah,meningkatkan produksi CO2 efektif (VCO2)sebanyak 20-
30%→mudah terjadi hiperkarbia.Tekanan abdomen ↑ →ventilasi↓ &
mempersulit pengeluaran beban tambahan CO2
Anestesi umum→FRC↓ ok diafragma terdorong ke atas,hilangnya tonus otot
inspirasi, perubahan volume darah intra-thorax. FRC↓→ atelektasis &
ventilation perfusion mismatch (V/Q) ↑
Insuflasi CO2 selama laproskopi-operasi→ absorbsi sistemik CO2→ asidosis
respiratorik
Insuflasi CO2 retroperitoneal→absorbsi CO2 > dibanding intraperitoneal, &
absorbsinya masih tetap ada meski sdh dilakukan exsufflasi
Compliance paru ↓ ok perubahan dinding thorax & paru. Distensi
abd→kekakuan seluruh dinding dada ↑ →tekanan intra-thorax ↑ →venous
return & CO ↓
Resistensi paru ↑ →airway pressure ↑ →distensi paru>> → memperberat V/Q
mismatch →bula pecah & terjadi pneumothorax pada pasien dengan riwayat
emfisema paru.
Posisi memberikan efek mekanik pada system respirasi. Posisi Trendelenberg
→tek. Diafragma ↑ . Posisi Reverse Trendelenberg →tekanan Intra-abdominal
↓↓→ mengganggu hemodinamik
Beresiko terhadap px gemuk & dengan gangguan penyakit obstruksi paru
karena tidak dapat mentoleransi FRC ↓& compliance tambahan.
Pada px yg bernafas spontan, terjadi hiperkarbia →dapat diatasi dengan
peningkatan MV sebanyak 10-15%
FEV1 & Vital Capacity yang rendah serta status fisik yang berat →resiko terjadi
hiperkarbia >> →perlu pengawasan BGA selama laparoskopi pada pasien
dengan riwayat penyaki paru
Insuflasi gas di luar rongga peritoneum, beresiko terjadi emfisema subkutis gas
CO2.
2. Sistem Sikulasi

Untuk TUGASMAS 156


157
Insuflasi gas dengan tekanan rendah→ kapasitas vena mesenteric ↓ok
penekanan vena-vena usus→preload naik & CVP naik
Alat insuflator modern dpt mengontrol tek.insuflasi → timbul sedikit resistensi
pada v. cava inferior tetapi tidak menekan total
Peningkatan resistensi aliran ke arteri,bersama dengan reflex neurohumoral→
afterload naik
Hiperkarbia yang tidak tertangani →stimulasi s.sympatis →level
katekolamin,vasopresin, kortisol  & merangsang sistem renin-angiotensin dan
prostaglandin.
Anestesi yang tidak adekwat → Hipertensi, afterload  & menambah beban
miokard
Anestesi terlalu dalam → depresi kardiovaskuler,terutama pd pasien dengan
sakit berat.
Efek pneumoperitoneum terhadap hemodinamik dipengaruhi status volume
intra-vaskuler, kondisi pembedahan,tehnik ventilasi, volume CO2 yang
terabsorbsi scr sistemik, pemilihan agen anestesi, posisi px & tekanan insuflasi
gas.
Gangguan hemodinamik terutama karena tekanan insuflasi & posisi px.
Pasien dengan penyakit kardio-vaskuler sering dilakukan penyesuaian, seperti
mengurangi tekanan insuflasi, posisi reverse Trendelenberg yg tdk terlalu
curam atau penggunaan alat retraktor dinding abdomen
Posisi reverse Trendelenberg yang curam (>30º)→ VR ↓secara bermakna &
CO↓ pd orang sehat dapat mencapai 50%

TEKNIK ANESTESI
1. Prinsip: Memberikan kondisi intra-operative yang baik, waktu recovery lebih
singkat, ES minimal serta kembalinya aktivitas sehari-hari lebih awal
2. Umumnya menggunakan anestesi umum dengan intubasi endotracheal &
pernapasan buatan
3. Untuk prosedur yang singkat, tekanan intra-abdominal rendah, posisi yg
tidak terlalu ekstrem,dpt menggunakan:
a. Anestesi umum tanpa intubasi& pelemas otot
b. Anestesi regional
c. hati-hati!! 1/3 kematian yg berkaitan dengan laparoskopi dengan
penggunaan GA tanpa intubasi)

ANESTESI GENERAL :
Dapat menggunakan :
Untuk TUGASMAS 157
158
a. Inhalasi : isofluran
b. TIVA : Propofol, midazolam dan ketamin
1. SA dapat diberikan sebelum induksi anestesi karena potensial terjadi reflex
vagal selama laparoskopi
2. Penggunaan N2O untuk laparoskopi: kontroversi karena kemampuan
berdifusi ke lumen usus→ distensi & dapat mengganggu operasi. Pada
penelitian Taylor dkk,disimpulkan tidak ada perbedaan kondisi operasi
selama laparoskopi dg/tanpa N2O
3. Dilaporkan juga meningkatkan insiden PONV→ tidak signifikan.

ANESTESI REGIONAL:
1. Menghilangkan nyeri somatic saat penetrasi trocar ke dinding abdomen,
tetapi terjadi distensi & retraksi viseral→ketidaknyamanan viseral
2. Penggunaan CO2→ gradien konsentrasi asam karbolik sangat iritatif
pada permukaan peritoneum
3. Dapat dikerjakan untuk prosedur singkat atau extraperitoneal seperta
tubektomi, fertilisasiinvitro atau herniotomi
4. Modifikasi tehnik SSA dapat diberikan untuk px riwayat jalan karena
waktu untuk mencapai pemulihan lebih singkat dapat anestesi umum
dengan propofol
5. SSA merupakan Cairan hipobarik,dapat dipakai untuk prosedur dengan
wkt 10-87 mnt

Obat obat yang digunakan :


1. lidocain 20 mg 1%+25µg fentanyl + sterile water 0,5 ml
2. lidocain 20 mg 1%+ 10µg sufenta+ sterile water 0,8 ml
3. lidocain 10 mg 1%+ 10µg sufenta+ sterile water 1,8 ml

Durante operasi :
1. Monitor rutin EKG, SaO2,TD,Nadi,kerja ventilator,konsentrasi gas anestesi &
suhu pasien
2. Orang sehat, Mo; EtCO2 ~ PaCO2
3. Pada px dengan penyakit paru, peningkatan EtCO2 setelah insuflasi gas CO2
tidak sebanding dengan peningkatan PaCO2 karena terjadi ventilation-perfusion
missmatch

Komplikasi
1. Komplikasi yang berhubungan dengan prosedur pembedahan

* 0,1-1% kasus terjadi kerusakan struktur organ abdomen karena jarum


Verres/trokar
* perdarahan yang tidak terdeteksi,bila berat dapat terjadi shock hipovolemik

* perforasi organ→ infeksi


2. Sistem Respirasi

Untuk TUGASMAS 158


159
a. Endobronchial intubation berkaitan dg posisi penderita dan
Pneumoperitoneum,bersifat sementara . Airway pressure ↑,desaturasi tanpa
peningkatan EtCO2.
b. Pneumothorax Ditandai EtCO2 ↑,timbul emfisema subkutis
Tx.klasik: pasang drain thorax
Tx.lain: meningkatkan konsentrasi O2 insp,penghentian penggunaan N2O
& penambahan PEEP
c. Aspirasi pneumonia karena regurgitasi isi lambung.

3. Sistem Kardiovaskuler

Yang paling ditakutkan adalah emboli gas → henti jantung


Tanda klinis: hipotensi,takikardia,disritmi,murmur,tekanan pengisian jantung
meningkat & perubahan kapnograf berpola bifasik,awalnya EtCO2↑,lama-lama
EtCO2 ↓ok CO ↓↓.
 Terapi Emboli gas:

a. segera defflasi rongga peritoneum


b. pemakaian N2O distop
c. posisi head down, left lateral decubitus
d. resusitasi hemodinamik

4. Ledakan gas bisa dengan l terjadi 3 kondisi bersamaan: jejas pada usus
+kebocoran gas metana dari dalam usus,penggunaan Kauter, N2O yg terkumpul
di rongga peritoneum.

5. Hipotermia pencegahan: humidifikasi gas anestesi, cairan infus & irigant


dihangatkan ,penghangatan udara utk meningkatkan outcome post-op.

PENATALAKSANAAN PASCA BEDAH:


1. Nyeri pasca laparoskopi lebih ringan dp laparotomi oleh karena distensi cepat
peritoneum, robekan pemb.drh, tarikan saraf, pelepasan mediator inflamasi.
2. Nyeri bahu ok rgs n.phrenicus
3. Nyeri dinding abdomen diatasi dg narkotik dosis rendah, analgesik NSAID atau
anestesi lokal pada luka operasi
4. Laparoskopi besar seperti kolesistektomi, nyeri viseral sulit diprediksi & diatasi.
Nyeri membaik seiring berkurangnya sisa gas dlm rongga abd. Yg mengiritasi
peritoneum& diafragma.
Terapi: NSAID, anestesi lokal, Opioid. Bl bekerja sendiri,NSAID & parasetamol
tdk efektif untuk penanggulangan nyeri pot-op
Efek obat tsb: menurunkan derajat keparahan nyeri atau kebutuhan analgesi
gol.opioid
5. PONV
* insiden 40-75%,meningkat dg pemakaian narkotik, menurun bila induksi dg
propofol
* profilaxis :Ondansentron atau metocloperamide sebelumnya
* akibat manipulasi organ intra-abd & ileus
* pengosongan lambung scr berkala dg NG tube

Untuk TUGASMAS 159


160
6. Gg. Fungsi pernapasan, terutama pada operasi abd.atas
* pola napas restriktif dg FVC↓, kontribusi diafragma thd pernapasan ↓, kdg
hipoxemia, mek.batuk melemah, tjd VC↓ sebesar 20-40% yg bisa membaik Lbh
cepat , ± 2-3 hari
* FRC↓, terutama pd perokok,gemuk, orang tua atau menderita peny.paru.
Terapi: lat.napas &b atuk harus lbh agresif.

ALDRETE’S SCORE
Aktifitas Nilai
– Semua angg.gerak bergerak secara sadar atas perintah 2
– Dua angg.gerak bergerak secara sadar atas perintah 1
– Tidak bergerak 0
Respirasi
– Bernafas adekuat dan dapat batuk 2
– Bernafas kurang adekuat (distress) / hip oventilasi 1
– Belum bernafas / apneu 0
Sirkulasi
– Tekanan darah berbeda ± 20% dari semula 2
– Tekanan darah berbeda ± 20% - 50% dari semula 1
– Tekanan darah berbeda > 50% dari semula 0
Kesadaran
– Sadar penuh 2
– Gelisah 1
– Belum sadar 0
Warna kulit

Untuk TUGASMAS 160


161
– Seperti semula 2
– Pucat pasi 1
– Sianosis 0

HALOTAN

Cardio Vaskular respiratory cerebral neuromuscular

Relaxasi otot
Central Peripheral CV dilator CV resistanse
Cardio depresi Blunting reflex
baroreseptor Potensiasi dgn NMBA
Apneic threshold  Muscles disfunction
CBF 
Triger malignat
Bradicardi Nafas cepat & dangkal Nb.-autoregulasi diblunting hypertermia
SBP PaCO2  -CBF  ICP  
CO  Tek. Intratorak  dicegah dgn hiperventilasi
-cerebral activity  
Nb. –jantung: coronary vasodilator ?? kebutuhan O2 
coronary BF(ok BP) Reverse sebagian
kompensasi O2 demand Depresi CO, BP, HR Hepar
Renal
Adequat myocardial perfusion -HBF
Nb.-efek bronkodilator - CBF lebih besar GFR
-hepatic artery
-ref airway  vasospasme
Filtrasi fraction 
-ref brochial smooth muscle  -clearance obat
-clearance of mucus - Urine output 
Lain terganggu
-promoting postop hypoxia and -hepatic cellular
atelectasis Dysfuntion
-liver transaminase
Contraindikasi: Drug interaction: 
-hindari px unexpected -β adrenergic blocking agent
liver dysfunction (propanolol) & Ca chanel blocking
-perhatian pd intra mass agent (verapamil)  myocardial
cranial  ICP depression
-hati2 pd hypovolemic & -dgn aminophillin  serious
severe cardiac deseas ventricular arrhytmic
-hati2 penggunaan -tricyclic antidepresan & MAOI 
ephinephryn(halotan ber fluctuation BP & arrhytmia
sifat arytmogenic)

Untuk TUGASMAS 161


162

ISOFLURANE

cardiovascular respiratory cerebral neuromuscular Renal


-Depresi pernafasan - > 1MAC dapat CBF Relaxasi otot RBF, GFR
Stimulus ref. Stimulus β Mirip yg lainnya dan ICP, ini dpt dikurangi rangka Urine output
baroceptor Adrenegic ringan dgn hiperventilasi
-dosis rendah 0,1 MAC
-CMRO2  Hepar
memblunting respon -total HBF 
HR  -muscles BF  -2 MAC silent EEG 
hypoxia & hypercapnia -hepatic oxygenasi >
-SVR brain protection
-BP -cenderung mengiritasi halotan
thp uper airway -liver function tes
minimal
-good broncodilator <
CO stabil halotan
Cardiac depressi minimal

Nb. -dilatasi artery coronary


-hati2 pd coronary heard
disease (coronary steal
syndrom during tachycardi
atau drop in perfution Contraindikasi: Drug interaction:
pressure) Hipovolemi berat Epinephrine aman sampai
Dosis 4,5 цg/kg

Untuk TUGASMAS 162


163
SEVOFLURANE

cardiovascular respiratory cerebral neuromuscular Renal


-depresi respirasi Relaxasi otot RBFminimal
-CBF & ICP 
rangka
-reversal broncospasme minimal
Depresi miocard SVR & BP me -> 1,5 MAC menekan Hepar
minimal kecil drp iso/des autoregulasi -portal vein BF
-CMRO2
HR normal -hepatic artery BF

Maintaining total
Hepatic BF & oxygen
CO me delivery
Lebih< iso/des

Contraindikasi: Drug interaction:


-Hipovolemi berat -potensiasi dgn NMBA
-suspect maligna hypertermia -jantung tdk sensitive dgn
-intracranial hipertension katekolamine

DESFLURANE

cardiovascular respiratory cerebral neuromuscular Renal/ hepar


-CBF & ICP  -respon tetrain-of
SVR  uneffected
-CMRO2 four
TV RR AV Depresi respon -cerebral vaskuler
BP  ventilasi -tetanic peripheral
respon thp perubahan
nerve stimuli
PaCO2
PaCO2 
-CO tdk berubah pd -efek pd EEG sama dgn
Iritasi waktu induksi isofluran
1-2 MAC
-peningkatan cepat:
-Salivasi
HR ,BP, kateko
-menahan nafas Contraindikasi:
lamine  > isofluran
-batuk -Hipovolemi berat
-laringospasme
Dapat dikurangi dgn -Maligna hypertermia
Fentanyl,esmolol,
-intracranial hipertension
clonidine

-coronary BF tdk meningkat Drug interaction:

-potensiasi dgn NMBA

-jantung tdk sensitive terjadi arytmogenic

dgn epinephrine up to 4,5 цg/kgbb

-dpt terjadi delirium pd anak

Untuk TUGASMAS 163


164

Untuk TUGASMAS 164


165

Untuk TUGASMAS 165


166

Untuk TUGASMAS 166


167

1. Korban tidak sadar


A. bebaskan jalan nafas Call for help

B. jalan nafas bebas


2.
tidak bernafas

C. 2 x tiupan awal
3.
raba nadi carotis
tidak teraba nadi
4.
Awam ( 1,2,4)
Beri pijatan jantung
Pasang
dan nafas buatan 5.
monitor EKG
30 pijat + 2 nafas

1. Korban tidak sadar


A. bebaskan jalan nafas Call for help

B. jalan nafas bebas


2.
tidak bernafas

C. 2 x tiupan awal
3.
raba nadi carotis
tidak teraba nadi
4.
Awam ( 1,2,4)
Beri pijatan jantung
Pasang
dan nafas buatan 5.
monitor EKG
30 pijat + 2 nafas

Untuk TUGASMAS 167


168

CPR 30 : 2 raba carotis Adrenaline: 1 mg, iv, repeated


2 menit every 3-5 minutes

ada tidak ada


lihat EKG
rosc
pertahankan jl nafas bebas
tetap beri oksigen shockable un-shockable
raba arteri radialis
lihat EKG- ukur tensi nadi VF / VT Asistol
pertahankan infus PEA / EMD
hipotensi : beri inotropik
terapi aritmia
koreksi elektrolit & cairan single shock 360 J CPR 30 : 2
2 menit
CPR 30:2 (2 menit)
adrenalin
Observasi di ICU lihat managemen
Waspada CA berulang VT / VF managemen asistol

VF / pulseless VT

1). a single shock


Biphasic 150-200 Joule
Defibrilation strategy-1 Monophasic 360 Joule
CPR 30 : 2
2 MINUTES, 30 : 2

NO Check ECG
YES
Check pulse

2). a single shock ROSC


Biphasic 150-360 Joule
Monophasic 360 Joule Recovery of
2 MINUTES, 30 : 2 Spontaneous
Adrenaline Circulation
CPR 30 : 2 3).

Untuk TUGASMAS 168


169

1). a single shock VF / pulseless VT


Defibrilation strategy - 2

NO Check ECG YES


Check pulse
a single shock ROSC
2).
Biphasic 150-360 Joule
Monophasic 360 Joule
Adrenaline
CPR 30 : 2 Adrenaline: 1 mg, iv,
repeated every 3-5
2 MINUTES, 30 : 2 minutes
No Check ECG YES
Check pulse
3). a single shock ROSC
Biphasic 150-360 Joule
Monophasic 360 Joule 2 MINUTES, 30 : 2 Check ECG
CPR 30 : 2 Check pulse

2). a single shock VF / pulseless VT


Defibrilation strategy-3

No Check ECG
YES
Check pulse

3). a single shock


Biphasic 150-360 Joule
ROSC
Monophasic 360 Joule
CPR 30 : 2
2 MINUTES, 30 : 2
No Check ECG YES
Check pulse
Amiodarone 300 mg or ROSC
4).
Lidocaine 1 mg/kg Adrenaline: 1 mg, iv,
A single shock repeated
every 3-5 minutes a single shock
Biphasic 150-360 Joule Biphasic 150 – 360 Joule
Monophasic 360 Joule Monophasic 360 Joule
CPR 30 : 2 CPR 30 : 2 (2minutes)

Untuk TUGASMAS 169


170

VF/ VT
Intubasi : as soon as possible, without stop CPR Pijat 100x/menit
Nafas 8x/menit

Cardiac adrenalin adrenalin


arrest VF / VT
2 menit 2 menit

2 menit 2 menit
CPR -1 Amiodaron
a single shock a single shock a single shock a single shock
30 : 2 a single shock
CPR-2 CPR-3 CPR-4 CPR-6
CPR-5
CALL adrenalin
FOR Amiodaron is the first choice
HELP 300 mg, bolus. Repeated 150 mg
Adrenaline: 1 mg, iv,
for reccurrent VT/VF. Followed by
PASANG repeated every 3-5
900 mg infusion over 24 hours
MONITOR minutes
LIDOCAIN. Do not exceed
a total dose of 3 mg/kg,
Evaluasi CPR : tiap 2 menit during the first hour.

DRUGS
• Adrenaline : 1 mg, iv, repeated every 3-5 minutes
• Amiodarone: 300 mg, bolus,
if VF/VT persist after 3 shocks.
Dose of 150 mg maybe given for recurrent
or refractory VF/VT, followed by an infusion
of 900 mg over 24 hours
• Lidocain : 1 mg/kg, iv, if amiodarone is not available.
Do not exceed a total dose of 3 mg/kg,
during the first hour.
Do not give lidocaine if amiodarone has already been given

Asystole (ECG flat)


PEA  ECG ada gelombang tetapi carotis (-)
|
CPR 2 menit
| 30 : 2
+Intubasi, iv line,
+adrenalin 1 mg / 3-5 menit
|
| |
Asystole / PEA ROSC
| |
bradycardia normal

CPR 2 menit atropin 1-1-1 / obat klas IIa


30 : 2

Untuk TUGASMAS 170


171

ASYSTOL/PEA/EMD
Intubasi : as soon as possible, without stop CPR Pijat 100x/menit
Nafas 8x/menit
• evaluasi
• evaluasi
Cardiac evaluasi • adrenalin
evaluasi • adrenalin
arrest
ASYST
2 menit 2 menit

2 menit 2 menit
CPR -1
CPR-2 CPR-3 CPR-4 CPR-5 CPR-6
30 : 2
adrenalin
CALL
FOR Adrenaline: 1 mg, iv,
HELP repeated every 3-5
minutes
PASANG
MONITOR

Evaluasi CPR : tiap 2 menit

KEMATIAN

Jenis kematian :
III. Clinised Death : Apnea Coculatory Arrest

IV. Biological Death : Panorganic Death

V. PVS (Vegetative State Persisten)


Social bath :
- Self Awarenes (-) {Pengendalian diri (-)
- Respon rangsang geterual(-)
- Sleep – awake sequel – cess (+)
- Gerakan-gerakan menguap, menelan, menguyah (+)

VI. Cerebral Death : Cortical death

VII. Brain death : Total brain death


Kematian yang diberikan spesifikasi adalah “Brain Death” dengan tanda :
- Klinis :
Apnea
Pupil dilatasi & fixed
Gerakan spontan (-)
Sirkulasi (-)
- EEG = Isoelektric

POLA KEMATIAN :
I. Immediate = 0 – 1 jam
Cousa : CNS injury or heart
Or Great vessel injury

II. Early = 1 – 4 jam


Causa : Hemorage

Untuk TUGASMAS 171


172
III. Late = 1 – 2 s/d 5 – 6 week
Causa : mOF , Sepsis

BRAIN DEATH DETERMINATION


2. Coma
Temp ≥ 32 0C
Depresi CNS (-)
Gangguan Metabolic (-)
Syok (-)
3. Gerakan Spontan
4. Respon batang otak (-)
Pupil fixed
Reflex cornea (-)
Respon terhadap nyeri (-) pada rangsang saraf clauid (misal : tekanan supraorbita)
Cough j gangguan relflex (-)
Doll’s eye (-) ---> Kalori test
5. Napas (-) selama > 3 menit  Apnea tes

CONSEPTUAL FRAME WORK

Variable Variable Proses Variabel Hasil (out put)


Input
- Safe
- Stress
II. Pasien Variable + Pai n free
I.1. Fungsi Sistem + Anestesia
A ANESTESIA
B1 Tahapan =
B
C  B2
Brain  B3 Preop OP POST OP
B4 u/d B6
I.2. Conobdity
I.3. Spesial Condition (Pediatric, dll)
Action Potensial Dini Lambat
III. OPERASI Variable
2.1.Requrament + (Kebutuhan up)
2.2. Penyulit / Komplikasi op - sedetik
- Analgetic
- relavan

KONDISI2 SAAT OPERASI

Untuk TUGASMAS 172


173
REFLEX VAGAL

Vagal Refleks merupakan suatu refleks yang berhubungan dengan nervus vagus
ditandai dengan bradikardi tiba – tiba dengan hipotensi hingga asistole akibat
penekanan simpatis dan peningkatan kerja parasimpatis. Refleks ini sering terjadi pada
anak – anak dan umumnya merupakan respon terhadap takut atau nyeri. Faktor
predisposisi kondisi tubuh lemah (fatique), hipotensi ortostatik, hipovolume,febris,
status emosional, operasi gigi dan mata.
Mekanisme

SINDROM AFFERENT PATHWAY BRAIN


STEIM EFFERENT PATHWAY

Higher centers Higher centers


Emosional
(cortex) (cortex)
NUCLEUS TRACTUS
SOITARIUS

Cardiac and/or
IX,X
Carotid sinus syncope N. Vagus (X)
Cough syncope cardiopulmonary
Exercise induced baroreceptors
IX,X
Head up tilt

MEDULLARY
Airway stimulation Cranial nerves V, VASODEPRESSOR
X, Spinal cord Spinal cord
Swallow syncope VII,VIII
REGION

GI stimulation GI/GU X, Spinal cord


syncope mechanoreceptors
Micturition syncope

Vagal reflex merupakan aktivitas dari sistem saraf otonom terutama parasimpatis.
Preganglionik mulai dari daerah kepala (ganglion ciliary, pterygopalatina,
submandibular,otic ) hingga genitalia.
Cardiac center berada di medulla oblongata terbagi atas cardioacceletory center untuk
mengontrol saraf simpatis meningkatkan irama jantung sedangkan cardioinhibitiry
center mengontrol parasimpatis sehingga irama jantung melambat.Aktivitas cardiac

Untuk TUGASMAS 173


174
center diatur oleh jalur reflex dan input berasal dari center yang lebih tinggi terutama
dari simpatis dan parasimpatis di hypothalamus.

Informasi system cardiovascular berasal daari serat sensoris viscersal yang


berhubungan dengan n vagus dan saaraf simpatis dari plexuass cardiac. Cardiac center
memon itor baroreseptor (perubahan tekanan darah) dan chemoreseptor ( konsentrasi
oksigen pada arteri dan karbondioksida)yang diinervasi oleh n glossopharyngeal (IX)
dan n vagus.
Nervus V berfungsi sebagai sensoris melalui ganglion semilunar, bercabang menjadi
tiga .Cabang pertama, ophthamic branch , mensarafi daerah mata (saraf-saraf
supraorbital)cavum nasi,kulit daerah frontal dan bergabung dengan nervus Occulomotor
(n.III) pada ganglia ciliaris. Cabang kedua, Maxillary branch , mensarafi daerah
infraorbita rahang bagian atas bibir ,gigi, palatum, sebagian pharing dan bersama
dengan n. Fascialis (n. VII) pada ganglion ptererypopalatina mensarafi daerah maksila.
Cabang ketiga, Mandibular branch, mensarafi rahang bagian baawah.Bertemu cabang n
VII pada ganglion submandibular.
Nervus VIII
Melalui cabang vestibular bersifat sebagai afferent sensorik terhadap orientasi dan
gerakan kepala (sensasi keseimbangan.
Nervus VII
Membawa serat autonomic preganglion pada ganglia pterygopalatina dan
submandibular
Nervus Vagus
Visceral sensoris pathway
Informasi sensoris visceral dikumpulkan oleh interoceptors monitoring jaringan dan
organ terutama rongga dada dan abdomen. Termasuk nosiceptors,termoreseptor,taktil
reseptor, baro dan kemo .akson –aksonnya biasanya berjalan bergabung dengan saraf
otonom .N cranialis V, VII,IX, dan X membawas sensoris visceral untuk mulut,
palatum, faring,laring,trakea esophagus dan pembuluh darah dan kelenjar.Informasi
tersebut dihantarkan ke nucleus solitorius pada medulaoblongata. Nukleus inin pusat
utama proses dan pemilah informasi visceral dan menghubungkan dengan pusat
respirasi dan cardiovaskuler

Untuk TUGASMAS 174


175

Brain: Solitary nucleus

The cranial nerve nuclei schematically represented; dorsal


view. Motor nuclei in red; sensory in blue.

Untuk TUGASMAS 175


176

Hernia diafragmatika (CDH : Congenital Diaphragmatic Hernia)

Pendahuluan
Pertama kali tercatat dalam literature pada abad 18.
Epidemiologi (Nelson)
- Penyebabnya tidak diketahui

- Insiden CDH didapatkan 1 dari 5000 kelahiran hidup dan 1 dari 2000 kelahiran
meninggal

- Defect yang ditimbulkan 70-85 % berada disebelah kiri dan bisa bilateral (5%)

- Sering berhubungan dengan kelainan malformasi dari intestinal dan hypoplasia


pulmonal berbagai tingkat, reaktivitas arteriolar dan pulmonar hipertensi,

- Kelainan anomali ini dapat berupa kelainan lesi dari central nervous system,
atresia esophageal, omphalocale, cardiovascular lesi, dan berbagai kelainan
cromosom.

- Mortalitas tinggi (30-50%),

- Morbiditas bermakna, jangka pendek maupun panjang.

Etiologi (Nelson)
- Gangguan separasi pertumbuhan dada dan abdominal dimana diantaranya
terdpat canalis posterolateral pleuroperitoneal yang terjadi diusia kehamilan 8 –
9 minggu.

- Kegagalan penutupan dari canalis ini merupakan postulat mecanik dari kejadian
hernia posterolateral diaphragmatic.

Pathology
Organ visera yang ber-herniasi meliputi: lambung, sebagian kolon desenden, ginjal kiri,
dan lobus kiri hepar; mempengaruhi paru
Anatomis : Sebagian besar menyebabkan hipoplasia paru ipsilateral dan kontralateral
(dlm berbagai derajat), menggeser mediastinum kearah kontralateral, jumlah airway
menurun, pola percabangan arteri menjadi amat sederhana, jumlah otot polos pembuluh
darah yang tinggi, abnormalitas ventrikel kiri

Pathophysiology:
Ada 3 macam CDH yaitu :
1. Herina posterolateral Bochdalek, didapatkan pada kehamilan 6 minggu,
dengan 90% kasus

2. Hernia anterior Morgagni

3. Hiatus hernia disebelah kiri

Untuk TUGASMAS 176


177
Organ visera yang mengalami herniasi meliputi: lambung, sebagian kolon desenden,
ginjal kiri, dan lobus kiri hepar, yang mempengaruhi paru
Hernia disebabkan olehkarena herniasi dari sebagian kecil atau sebagian besar dari isi
intra abdomen kedalam rongga thorakal. Isi dari hernia dapat hepar saja, atau seluruh
organ abdomen, bila terjadi secara bilateral akan berakibat fatal.
Sebagian besar menyebabkan hipoplasia paru ipsilateral dan kontralateral (dlm berbagai
derajat), menggeser mediastinum kearah kontralateral, jumlah airway menurun, pola
percabangan arteri menjadi amat sederhana, jumlah otot polos pembuluh darah yang
tinggi
Jika penyatuan/penutupan kanal pleuro-peritoneal terjadi setelah minggu ke 9 - 10
kehamilan, atau rotasi normal dan penempatan midgut terjadi sebelum minggu ke - 10
(atau sebelum penyatuan pleuro-peritoneal), maka midgut (visera abdomen) akan ber-
herniasi ke rongga toraks. Kelainan berat (hipoplasia bilateral, atau unilateral berat):
dalam menit pertama - jam pertama. Kelainan ringan : muncul dalam 24 jam pertama,
TRIAD Klasik : sianosis, dyspnea, dekstrokardia

Klinis
Abdomen skaphoid, dada bulging, suara napas menurun, suara jantung menjauh atau
bergeser kekanan, bising usus di dada.
Radiografi
Bayangan gas usus di dada, pergeseran mediastinum, sedikit jaringan paru di sulkus
kosto-phrenik
USG :
Baik untuk diagnosis antenatal, perbandingan “lung to head” dan ada / tidak herniasi
hepar berkorelasi dengan outcome postnatal

Penentuan waktu pembedahan


- Hindari intervensi bedah saat masih hipoksik dan asidosis.

- Lakukan stabilisasi kardiorespirasi dengan memperbaiki oksigenasi, koreksi


asidosis metabolik, kurangi shunting, dan tingkatkan perfusi pulmoner.

- Hipoksia dan Hiperkarbia meningkatkan hipertensi pulmoner dan shunting R-L.

Indikasi bedah bisa dilakukan :


- Shunting ductal sudah berbalik arah

- Indeks oksigenasi < 40,


- PCO2 arterial dapat dipertahankan dibawah 40 mmHg,Hemodinamik stabil

Persiapan preoperative
Respirasi : paru yang efektive akan mengalami hypoplastik dan paru kontralateral yang
mengalami penekanan juga mengalami hypoplastik. Pasien dengan gangguan paru
hypoplastik akan mengalami herniasi pada awalnya, mungkin pada sebagian kecil kasus
mengalaminya setelah kelahiran. Pemeriksaan : Thorax photo, arterial blood gas
Cardiovasculer : R L shunting mungkin setingkat dengan PDA. Derajat R  L shunt
secara mendadak dapat meningkatkan vasocontriksi pulmonal (↓PO2, ↑PCO2, ↑ pH,
peningkatan rangsang simpatik mengakibtkan keadaan sistemik hypoxemia.↓ CO2 pada
pulmonal hipertensi persisten dan keadaan hipoksemia memegang peranpenting
terjadinya metabolic acidosis. Pemeriksaan : Thorax photo, ECHO, arterial blood gas.

Untuk TUGASMAS 177


178
Neurologi : mungkin dijumpai Myelomeningocele dan atau dengan hydrocephalus. Pada
bayi kurang bulan keadaan hypoxemia dapat terjadi intraventricular hemorage (IVH).
Pada daerah perdarahan mengalami kehilangan dari mekanisme autoregulasi dan
tekanan darah yang meningkat,ini dialami pada daerah transisi dari microvasculer, ini
akan menyebabkan peningkatan perdarahan ulangan dan edema. Pemeriksaan :
Ultrasound kepala
Hematologi : hematocrite dipertahankan berkisar 35%, Hb F mempunyai afinitas
meningkat pada O2 dan penurunan sensitive terhadap 2,3 DPG. Pemberian vitamin K
bisa diberikan setelah kelahiran. Pemeriksaan : darah lengkap, PPT, APPT, type and
cross match

Metabolik : catatan glycogen neonates harus diperhatikan, untuk itu pemberian dextrose
sebagai pengganti yang diberikn sejak awal.Pasien dengan congenital heart disease
dapat diberikan diuretic. Pemeriksaan :serum elektrolit, glucose, BUN, SC
Gastro intestinal : suction aktif, bila mengalami distensi akan mengganggu dari
ventilasi.

Intraoperative
- Resusitasi meliputi : intubasi, ventilasi mekanik (PIP < 30 mmH2O), insersi
jalur vena & arterial, resusitasi cairan, dekompresi NG tube . Strategi penting
intervensi ventilasi awal adalah minimalisasi barotrauma akibat ventilasi tekanan
positif.

- Induksi : persiapan dengan ETT 3,0 – 3,5 dengan stylet. Siap obat-obat resusitasi
.

- Maintenance : opiate (fentanyl 10-25 microgram, isoflurane, ventilasi dengan


udara/oksigen dengan saturasi 95-100%. Muscle relaksan diperlukan misal
pancoronium, rocuronium, vecoronium.

- Monitoring : standard, precordial stethoscope, arteri line, pulse oxymetri,


- Komplikasi : pneumothorax, hypoventilasi, hypothermia, metabolic asidosis, R
 L shunting, congenital heart failure.

Post operasi
Komplikasi : kurang lebih sama dengan intraoperative
Pain manajemen : Fentanyl (0.5 – 2.0 microgram/kgBB/jam iv) dan epidural
analgesia.
Pemeriksaan : thorax photo, arterial blood gas, Hct, glucose, elektrolit.

ANESTESIA PADA PENDERITA DENGAN OBESITAS

INDEX BROCA:
BB ideal (kg) = TB (cm) - 100 cm
over weight : kelebihan < 20 %
obese : kelebihan > 20 %
morbid obesity : > 2 X normal
Body Mass Index:
BB (kg)

Untuk TUGASMAS 178


179
TB(m)XTB(m)
N = 24
obesity > 28
morbid obesity > 35
Pickwickian Syndrom
Severe obesity + Respiratory Compromase
6. O2 konsumsi meningkat
7. produksi CO2 meningkat
8. minute volume meningkat
9. work of breathing meningkat
10. volume paru menurun
11. chest wall compliance menurun
12. hipotermia
Semuanya ini dapat mengakibatkan
13. hiperkarbia
14. hipoksemia
15. polisitemia
16. sleep apnea
17. pulmonary hypertention
18. congestive heart failure
19. predisposisi obstruksi jalan nafas
Jalan nafas pada penderita obese:
20. leher pendek tebal
21. jaringan pharynx dan palatum mole banyak
22. anterir larynx
23. lidah besar
PENDAHULUAN
Prevalensi yang bermakna pada obesitas semakin meningkat pada negara berkembang
dan sedang berkembang, yang berhubungan dengan makin meluasnya spektrum
patologi medis dan pembedahan. Sebagai dampaknya seorang anestetis diharapkan
dapat lebih sering mengaktualisasikan diri diruang operasi, unit intensif care dan
resusitasi. Pemahaman yang mendalam mengenai patofisiologi dan komplikasi khusus
yang berhubungan dengan kondisi penderita mengharuskan penanganan yang lebih
efektif dan aman bagi kelompok pasien yang unik ini.[1]

Tabel 1. Kondisi medis dan pembedahan yang berhubungan dengan penderita


Obesitas[1,2]
Kategori Contoh
Peny. Kardiovaskuler Sudden(death)cardiac,cardiomyopati-obesitas,hipertensi,
ischemic heart disease,hyperlipidemia,corpulmonale,
penyakit cerebrovaskuler,penyakit vaskuler perifer,vena varikose,deep
vein thrombosis dan emboli paru
Peny. Respirasi Restrictive lung disease,obstructive sleep apnea,obesity hypoventilation
syndrome
Peny.Endokrin Diabetes mellitus,Cushing,s disease,hypotyroidism,infertility
Peny.Gastrointestinal Hiatus hernia,gallstone,inguinal hernia
Genitourinari Menstrual abnormality,female urinary incontinence, renal calculi
Malignansi Breast, prostate,colorectal,cervical dan endometrial cancer
Muskuloskeletal Osteoarthritis of weight bearing joints, back pain

Untuk TUGASMAS 179


180

DEFINISI
Obesitas berasal dari bahasa latin obesus, yang berarti kelebihan lemak tubuh yang
berasal dari makanan.[1,2,3,4] Pengukuran yang akurat dari lemak tubuh sendiri sangatlah
sukar dan membutuhkan peralatan yang cukup canggih seperti CT-Scan atau MRI.
Estimasi yang akurat dapat menggunakan pengukuran tinggi badan dan berat badan
yang dikenal dengan konsep Ideal Body Weight atau IBW dengan formula :
IBW(kg) = TB (cm) – X ( X =100 untuk pria dan = 105 untuk wanita
[1,2,3,4,6]
dewasa).
Body Mass Index (BMI) adalah pengukuran yang lebih kasar untuk menyatakan
hubungan antara tinggi badan dan berat badan dan secara luas digunakan untuk studi
klinis dan epidemiologis.[1,2,3]
BMI = BB (kg) / TB2 ( m )[1,2,3,4,6,8]
Kriteria :
BMI < 25 kg/m2 Normal
BMI 25 – 30 kg/m2 Overweight,low risk of serious medical
Complikation
BMI > 30 kg/m2 Obese
BMI > 35 kg/m2 Morbidly Obese
BMI > 55 kg/m2 Super morbidly obese

Morbiditas dan mortalitas meningkat dengan tajam pada BMI > 30 kg/m2.

EPIDEMIOLOGI
Ada tendensi bahwa obesitas makin meluas di seluruh dunia. Pada tahun 1997
International Obesity Task Force merangkum informasi pada epidemiologi obesitas.
Dengan definisi BMI > 30kg/m2 adalah obesitas, mereka menyimpulkan bahwa
prevalensi obesitas di Eropa adalah sebesar 15 – 25% dengan penyebaran yang
bervariasi disetiap wilayahnya. Di United Kingdom prevalensi obesitas pada periode
tahun 1980 – 1991 telah meningkat dari 6% menjadi 13% pada pria dan 8% menjadi
15% pada wanita , yang berarti bahwa rata-rata berat badan penduduk United Kingdom
meningkat lebih dari 1 kg dalam 10 tahun terakhir. Di Amerika Serikat situasi lebih
buruk, dengan prevalensi BMI > 25kg/m2 adalah 59,4% untuk pria dan 54,9% untuk
wanita dewasa.Secara menyeluruh prevalensi obesitas dengan BMI> 30kg/m2 telah
meningkat secara bermakna dari 12,8% menjadi 22,5%. [1,3]

MORTALITY

Untuk TUGASMAS 180


181
Morbiditas dan mortalitas meningkat secara tajam ketika BMI >30kg/m2, teristimewa
bila dibarengi dengan kebiasaan merokok. Resiko kematian lebih dini meningkat dua
kali pada penderita dengan BMI > 35kg/m2. Kematian tiba-tiba yang tidak diketahui
penyebabnya 13 kali lebih banyak pada wanita obesitas daripada wanita yang tidak
mengalami obesitas. Pria yang overweight memiliki mortality rate 3,9 kali lebih besar
daripada pria dengan berat badan normal.[1,4]
Penderita morbidly obese memiliki resiko kematian yang lebih besar terhadap diabetes
mellitus, gangguan kardiovaskuler dan cerebrovaskuler juga cancer seperti yang telah
disebutkan pada tabel 1.
Tampaknya penderita obese pria memiliki resiko mortalitas yang lebih tinggi
dibandingkan dengan wanita, tetapi pada kedua kelompok penurunan berat badan juga
menurunkan resiko tersebut. Meskipun demikian, penurunan berat badan sesaat
menjelang preoperasi tidak menunjukkan penurunan resiko morbiditas dan mortalitas. [1]

ETIOLOGI
Obesitas adalah kompleks dan penyakit yang menyangkut multi faktorial, tetapi terjadi
apabila net energy intake melebihi net energy expenditure pada periode waktu tertentu.
Meskipun demikian hal tersebut kadang sulit dijelaskan mengapa hal tersebut terjadi
pada seseorang dan tidak terjadi pada orang yang lain.
Beberapa faktor penyebab tersebut adalah :[1,2]
1. Predisposisi genetik[1,2,3]
Obesitas cenderung bersifat familial dimana anak-anak dari orang tua yang
obesitas memiliki peluang 70% untuk menjadi obese dibandingkan dengan
resiko 20% pada anak-anak yang orangtuanya tidak memiliki obesitas.
Bagian ini dapat dijelaskan karena pengaruh diet dan gaya hidup. Tetapi di
bagian lain dinyatakan bahwa anak-anak yang diadopsi dari orangtua yang
obesitas dan dialihkan dari gaya hidupnya, tetap memiliki peluang untuk
obesitas. Sedangkan pada percobaan binatang menunjukkan adanya gene
obesitas yang diidentifikasi pada tikus, mengontrol produksi dari protein leptin
yang berperan pada obesitas. Pada studi klinis menunjukkan bahwa hanya
sedikit defect pada gene yang produksi leptin yang mengakibatkan obesitas.
Rata-rata penderita obesitas memiliki protein leptin yang tinggi akibat
kandungan lemak dalam tubuhnya yang cukup tinggi. Sehingga pengaruh
lingkungan yang lebih penting menentukan terjadinya obesitas.
2. Etnik [1,2,3]

Untuk TUGASMAS 181


182
Afrika dan Mexiko memiliki resiko yang lebih besar daripada Amerika. Asia
lebih cenderung mendistribusikan lemak di sentral tubuh daripada Caucasian
yang berhubungan dengan peningkatan resiko diabetes dan penyakit jantung
koroner.
3. Sosioekonomi[1,2]
Di United Kingdom terdapat korelasi yang terbalik antara status sosial ekonomi
dengan obesitas dimana wanita dengan klas sosial I memiliki resiko 10%
dibandingkan 25% pada wanita kelas sosial V. Demikian juga dengan wanita
yang menikah dan kemudian berubah menjadi klas sosial yang lebih tinggi
hanya memiliki 12% prevalensi untuk menjadi gemuk dibanding wanita yang
kelas sosialnya turun yaitu 22%.
4. Gangguan Medis[1,3]
Gangguan endokrin seperti pada Cushings’s disease atau hypotyroidism dapat
menjadi predisposisi untuk obesitas. Beberapa obat-obatan seperti corticosteroid,
antidepresant dan antihistamin dapat pula meningkatkan berat badan.
5. Keseimbangan Energi[1,2,3]
Jumlah kalori yang dikonsumsi teristimewa kandungan lemak didalam makanan
sangat berpengaruh terhadap obesitas. Alkohol juga berpengaruh terhadap
desposisi lemak terutama lemak sentral tubuh. Berlawanan dengan keyakinan
selama ini, ternyata penderita obesitas memiliki energy expenditure yang lebih
besar daripada yang lebih kurus karena mereka harus memiliki energi yang lebih
untuk menjaga peningkatan tubuhnya.

DISTRIBUSI LEMAK TUBUH DAN RESIKO TERHADAP TUBUH


Jelaslah sekarang bahwa bukan hanya jumlah lemak tubuh yang penting menentukan
resiko tetapi juga distribusi anatomisnya. Pada distribusi sentral atau android dimana
lebih banyak terdapat pada pria, lemak lebih dominan berdistribusi pada sentral tubuh
yaitu pada intra abdominal atau lemak visceral. Pada tipe perifer atau gynecoid, lemak
lebih cenderung berada disekitar pinggul, pantat dan paha yang lebih banyak
didapatkan pada wanita. Lemak di daerah sentral tubuh secara metabolik lebih aktif
daripada yang perifer dan berhubungan dengan lebih banyak komplikasi seperti
dislipidemia, intoleransi glukosa dan diabetes mellitus serta tingginya insiden kematian
karena ischemic heart disease. Penderita morbidly obese dengan lemak pada viscera
memiliki resiko yang tinggi terhadap penyakit cardiovaskuler, disfungsi ventrikel kiri
dan stroke. Mekanismenya tidak diketahui tetapi ada satu teori yang menyatakan bahwa

Untuk TUGASMAS 182


183
lemak viscera yang dipecah langsung menuju ke sistem portal dan mempengaruhi
ketidakseimbangan metabolik secara sekunder. [1]
Meskipun pengukuran distribusi lemak membutuhkan tehnik imaging yang canggih
tetapi dengan pengukuran ratio lingkar lengan dengan lingkar pinggul menjadi
pengukuran klinis yang bermanfaat. Di Eropa rasio lingkar lengan dan panggul >1.0
pada pria dan > 0,85 pada wanita cenderung untuk lebih banyak distribusi lemak pada
sentral tubuh.[1]
PATOFISIOLOGI[3]
Otak mengontrol selera makan yang berarti sinyal dirangsang oleh produk makanan dan
secara otonom oleh sinyal yang diberikan oleh gangguan pada lambung dan usus.
Banyak sinyal yang dibangkitkan diproses melalui interaksi yang kompleks antara
jaringan syaraf dan neurotransmitter.
Yang terpenting diantara semuanya adalah cholecystokinin 8 yang bekerja dijaringan
usus dan otak. Zat tersebut merangsang nafsu makan saat pertamakali makanan
disajikan dengan mempengaruhi produksi insulin pancreas yang menurunkan gula darah
dan meningkatkan nafsu makan.Insulin melewati blood brain barrier dan merangsang
hipothalamus, yang pada gilirannya akan merangsang berbagai sinyal. Karenanya
mempertahanan berat badan menjadi kompleks.[3]

PERUBAHAN PADA BERBAGAI SISTEM


1. OBESITAS DAN SISTEM RESPIRASI
 Obstructive sleep apnoe (OSA)
Kira-kira 5% pasien dengan morbidly obese akan mengalami obstructive
sleep apnoe (OSA) dengan ciri-ciri sebagai berikut :
- Seringnya terdapat episode apnoe atau hypoapnoe selama
tidur.
Obstuctive apnoeic episode didefinisikan sebagai
berhentinya aliran udara selama 10 detik atau lebih
meskipun usaha nafas berlanjut untuk melawan jalan nafas
yang tertutup.
Hypopnoea didefinisikan sebagai penurunan 50% aliran
udara atau penurunan cadangan udara yang mengakibatkan
penurunan 4% saturasi oksigen arteri.
Jumlah episode yang dianggap secara klinis bermakna
adalah 5 atau lebih per jam atau > 30 selama semalam.

Untuk TUGASMAS 183


184
Meskipun demikian yang lebih penting secara klinis adalah
squele dari episode tersebut yaitu hypoxia, hypercapnia,
systemic dan pulmonary hypertension dan cardiac arritmia.
 Snoring
 Daytime sleepiness
 Perubahan fisiologis
Berulangnya apnoe menimbulkan hipoksemia, hipercapnea dan
vasokonstriksi sistemik dan pulmonal. Berulangnya hipoksemia
menjadikan timbulnya policitemia sekunder dan berhubungan dengan
peningkatan resiko ischemic heart disease dan penyakit cerebrovaskuler
dimana vasokonstriksipulmoner karena hipoksia menimbulkan gagal
ventrikel kanan.[1,3]

Patogenesis terjadinya OSA


Apnea terjadi ketika jalan nafas difaring tertutup selama tidur. Patensi
faringeal tergantung pada aktivasi otot dilator yang mencegah jalan nafas
atas tertutup. Tonus otot ini hilang selama tidur dan pada banyak orang,
keadaan ini menimbulkan penyempitan yang berarti dari jalan nafas yang
menyebabkan turbulensi aliran udara dan snoring.[1,3,7]
Faktor Resiko terjadinya OSA
Faktor predisposisi adalah pria, usia pertengahan dengan obesitas,
dengan faktor lain seperti peminum alkohol dan sedasi pada malam hari.
Faktor lain yang membantu identifikasi adanya OSA adalah BMI >30
kg/m2, hipertensi episode apnoe saat tidur, ukuran collar >16,5,
polycytemia, hypoxemia/hypercapnea dan hypertrofi atau gangguan
[1,3,7]
pada EKG atau echocardiography.

OBESITY HYPOVENTILATION SYNDROME


Disebut sebagai Pickwickian syndrome dengan ditandai adanya
obesitas,hypersomnolence, hypoxia, hypercapnea, right ventricular
failure and polycitemia.[1,5,7,8]
PENILAIAN AIRWAY
Penilaian airway harus hati-hati dan teliti, kesulitan sering ditemui saat
memberikan ventilasi dengan masker serta intubasi
endotracheal.(insidennya kira-kira 13%). Kesulitan itu antara lain karena

Untuk TUGASMAS 184


185
wajah yang gemuk, leher yang pendek, mamma yang besar, lidah yang
besar, jaringan lunak faring dan palatum, laring yang letaknya tinggi dan
anterior, buka mulut yang terbatas, terbatasnya fleksi dan ekstensi
cervical spine dan atlanto-ocipital.[1,3,6,7]

EVALUASI AIRWAY PREOPERATIF


- Fleksi dan ekstensi leher, rotasi ke lateral
- Buka mulut dan pergerakan rahang
- Patensi dari nostril
- Bentuk gigi dan inspeksi orofaring
- Membaca kembali catatan anestesi dan anamnesa adakah
riwayat kesulitan intubasi.
- Anamnesa tentang adanya snoring, dengan atau tanpa
episode apnea[1,3]

Obesitas dan Lung volume


Jumlah massa yang berlebih pada dinding thoraks dan abdomen pada
posisi terlentang membuat volume kedua paru dan pertukaran udara
menjadi tidak normal.[1]
Morbidly obese berhubungan dengan FRC-functional residual capasity,
ERV-expiratory reserve volume dan TLC-total lung capasity, FRC
menurun secara exponential dengan peningkatan BMI[1], demikian juga
dengan ERV dan TLC yang juga menurun.[3,4,5,6]
Anestesia melengkapi masalah tersebut diatas, seperti penurunan 50%
FRC pada penderita dengan obesitas dibandingkan 20% pada penderita
normal.[1,6]
Soderburg menemukan bahwa terdapat intrapulmonary shunt 10 – 25%
penderita obese dibanding 2- 5% penderita normal.
FRC dapat ditingkatkan dengan memberikan ventilasi dengan tidal
volume yang cukup besar ( 15 -20 cc/kg) meskipun diketahui akan
memperbaiki tension oksigen arteri yang minimal. Sebaliknya
penambahan PEEP akan mencapai perbaikan pada FRC maupun tension
oksigen arteri. Penambahan PEEP memperbaiki oksigenasi tetapi
menurunkan cardiac output dan delivery oksigen.[1]

Untuk TUGASMAS 185


186

Gambar 1 Efek dari severe obesity pada functional residual capacity (FRC).
Pada kondisi normal FRC (dan tidal excursion) tidak terdapat closing volume
dari the lungs. Baik anaesthesia dan obesitas berhubungan dengan penurunan
pada FRC, menghasilkan airway closure dan ventilation/perfusion
mismatching selama tidal ventilation yang normal.

Penurunan FRC merusak kapasitas paru penderita obesitas untuk


menoleransi periode apnoe. Sehingga mudah mengalami desaturasi
dengan cepat setelah induksi anestesi meskipun telah dilakukan
[1,3]
preoksigenasi.
Hal ini merupakan hasil dari sedikitnya cadangan oksigen pada FRC
mereka dan meningkatnya kebutuhan akan oksigen.[1]
Oxygen consumption dan produksi carbondioksida.
Biasanya meningkat pada penderita dengan obesitas sebagai hasil dari
aktivitas metabolik karena kelebihan lemak dan peningkatan workload
pada jaringan softtissue.[1,3,4,5,8]
Pertukaran udara
Penderita dengan obesitas preoperatif memiliki penurunan Pa O2 dan
peningkatan pada perbedaan alveolar-arterial oxygen dan fraksi shunting.
Perubahan ini secara bermakna terjadi saat induksi anestesi dan fraksi
inspirasi oksigen yang tinggi selalu dibutuhkan untuk menjaga tension
oksigen arterial yang adekuat. Seperti telah dijelaskan sebelumnya
bahwa PEEP memperbaiki PaO2 tetapi hanya pada saaat cardiac output
dan delivery oksigen yang berlebih.[1,3]

Untuk TUGASMAS 186


187
Implikasi terhadap anestesi
Penilaian preoperatif harus meliputi pemeriksaan darah lengkap untuk
mengeksklusi polycitemia, chest x-ray, BGA supine dan duduk, test
fungsi paru dan oximetry sepanjang malam. Penderita dengan tanda-
tanda OSA untuk mencegah obstruksi airway nokturnal seperti continous
CPAP atau BIPAP. Anestetis harus menilai kemampuan penderita untuk
bernafas dalam dan harus mengevaluasi bahwa nostrilnya cukup patent.
Segala resiko harus diberitahukan kepada penderita untuk kemungkinan
awake intubasi, ventilator setelah operasi dan kemungkinan
dilakukannya tracheostomi.
Awake intubation seringkali direkomendasikan untuk penderita dengan
actual body weight >175% IBW. Laringoskopi direkta dengan lokal
anestesi dapat dilakukan untuk melihat struktur faring, bila struktur
laring tidak jelas visualisasinya maka awake fiber optic laringoskopi
dapat dilakukan.
Nasal blind intubation juga direkomendasikan, tetapi membutuhkan
keahlian khusus dan resiko epistaksis cukup besar.
Induksi merupakan saat yang paling berbahaya karena kesulitan intubasi
seringkali dijumpai. Ventilasi dengan bag and mask dapat terjadi
obstruksi nafas atas dan penurunan compliance paru.
Resiko aspirasi juga begitu besar mengingat masker dan ventilasi yang
sulit menyebabkan gaster makin membesar dan mengakibatkan
regurgitasi serta aspirasi.
Salah satu cara yang aman selain awake intubation adalah dengan rapid
sequence intubation dengan suksinilkholin dengan preoksigenasi yang
adekuat. Kita harus memiliki tim yang solid untuk membantu proses
intubasi dengan persiapan intubasi yang lengkap seperti short handle
laringoskop, polio blade, McCoy laringoskope, a gum elastic bougie dan
LMA. Peralatan untuk cricotyroidotomy dan transtracheal ventilation
harus tersedia. Posisi tracheal tube harus dikonfirmasi baik dengan
auskultasi dan capnography.
Periode hipoksemia dan hipercapnea dapat meningkatkan resistensi
vaskuler paru dan memprecipitasi gagal jantung kanan.

Untuk TUGASMAS 187


188
Penderita dengan obesitas sebaiknya tidak dispontankan selama anestesi
karena hipoventilasi dapat terjadi disertai dengan hipoksia dan
hypercapnea.
Gangguan pada respirasi dapat terjadi apabila penderita diposisikan
lithotomi atau trendelenburg sehingga hal itu harus dihindari.
Penderita dengan obesitas membutuhkan ventilasi mekanik dengan fraksi
oksigen inspirasi, dengan penambahan PEEP untuk menjaga tension
oksigen arterial yang adekuat, dengan ventilator yang baik sangat
dibutuhkan.
Serial BGA dibutuhkan untuk mencapai minute volume yang adekuat.
Penderita obese lebih sensitif terhadap efek obat sedatif, opioid dan obat-
obat anestesi sehingga periode ventilasi pasca operasi harus diberikan
sampai eliminasi obat-obat tersebut diatas hilang. Regional anestesia
seperti blok epidural thoracolumbar dan nervus perifer dapat mengatasi
beberapa masalah yang tersebut diatas.
Ventilasi postoperatif dibutuhkan pada penderita dengan obesitas yang
memiliki comorbid penyakit cardiorespirasi atau retensi carbondioksida
dan menjalani prosedur yang lama dan pireksia setelah operasi.
Penderita seharusnya diekstubasi ketika penderita sadar baik dan
ditransfer ke ruang pemulihan dengan posisi setengah duduk 45o.
Oksigen yang diberikan seharusnya dihumidifikasi segera dengan
fisioterapi dada segera setelah pembedahan.
Penderita dengan riwayat OSA lebih menguntungkan apabila diberikan
nasal CPAP nocturnal.[1]

2. OBESITAS DAN SISTEM CARDIOVASCULAR


Penyakit cardiovaskuler mendominasi morbiditas dan mortalitas penderita
dengan obesitas. Prevalensi terjadinya penyakit cardiovaskuler adalah 37% pada
dewasa dengan BMI >30kg/m2, 21% dengan BMI 25 – 30kg/m2 dan hanya 10%
pada BMI < 25/kg/m2.

Perubahan cardiovasculer[1]
Massa tubuh yang berlebih meningkatkan kebutuhan metabolik sehingga cardiac
output meningkat.

Untuk TUGASMAS 188


189
SVI – stroke volume index dan SWI- stroke work index hampir sama antara
penderita obesitas dengan penderita normal, karenanya stoke volume dan stroke
work harus meningkat seiring dengan berat badan. Peningkatan stroke volume
dan stroke work dapat memicu left ventricular dilatation atau hyperthrophy.
Hipoksemia dan hypercapnea menimbulkan vasokonstriksi pulmoner dan
menyebabkan hipertensi pulmonal yang kronik sehingga terjadi gagal jantung
kanan.[4]
Hipertensi
Ekspansi volume ekstracelluler, menghasilkan hipervolemia dan meningkatkan
cardiac output yang merupakan penyebab hipertensi pada penderita dengan
obesitas.
Mekanisme terjadinya hipertensi pada obesitas itu sendiri tidak jelas, dapat
merupakan interaksi antara genetic, hormonal, renal dan faktor hemodinamik.
Hyperinsulinemia yang khas pada penderita dengan obesitas dapat
mempengaruhi melalui aktivasi sistem saraf simpatik dan melalui retensi
sodium. Insulin retensi sendiri menyebabkan peningkatan pada penekanan
aktivitas dari norepinephrine dan angiotensine II.[1,3,4,5]
Ischemic heart disease
Obesitas merupakan faktor resiko untuk terjadinya ischemic heart disease
terutama pada penderita obesitas dengan distribusi lemak di sentral tubuh.[1]
Blood volume
Total blood volume meningkat pada penderita obese tapi dengan volume dan
berat badan dasar yang lebih sedikit dibandingkan orang normal ( 50cc/kg
dibandingkan 75ml/kg) dengan sebagian besar volume ekstra terdistribusi pada
[1]
organ yang berlemak. Literatur lain menyatakan blood volume bahkan
mencapai 45 cc/kg.[4]Splanchnic blood flow meningkat 20% sedangkan renal
dan cerebral blood flow normal.[1]
Cardiac aritmia
Aritmia pada penderita obese dipicu oleh beberapa faktor antara lain : hipoksia,
hipercapnea, gangguan elektrolit yang disebabkan oleh terapi diuretik, penyakit
arteri koroner, peningkatan konsentrasi sirkulasi katekolamin, OSA, hypertrophy
myocardial dan infiltrasi lemak pada sitem konduksi.[1,4,5]
Fungsi Cardiac
Obesitas berhubungan dengan peningkatan blood volume dan cardiac output,
peningkatannya sampai 20-30 cc/kg peningkatan lemak tubuh. [1,3]

Untuk TUGASMAS 189


190
Peningkatan cardiac output yang terbesar disebabkan karena dilatasi ventricle
dan peningkatan pada stroke volume.
Dilatasi ventrikel menyebabkan peningkatan stress dinding ventrikel kiri dan
memicu hipertrofi.
Beberapa hipertrofi ventrikel kiri menyebabkan penurunan compliance dan
fungsi diastolik ventrikel kiri contohnya kegagalan pengisian ventrikel yang
menjadikan peningkatan LVEDP dan oedem pulmonal.
Penderita dengan obesitas sangat tidak menoleransi exercise, dengan setiap
peningkatan cardiac output dicapai dengan peningkatan heart rate, tanpa
peningkatan dalam stroke volume atau ejection fraction. Keadaan ini seringkali
diikuti dengan peningkatan pada filling pressure. Pada keadaan yang sama
perubahan posisi dari duduk menjadi terlentang sangat berhubungan dengan
peningkatan cardiac output yang bermakna, pulmonary capillary wedge pressure
dan mean pulmonary artery pressure bersamaan dengan penurunn pada heart rate
dan tahanan perifer.[1]
Gejala Klinis
Penderita obesitas menunjukkan tanda-tanda cardiac failure seperti peningkatan
jugular venous pressure, penambahan suara jantung, ronchi paru, hepatomegali
dan oedema perifer.[1]
Pemeriksaan
Electrocardiography menggambarkan low voltage karena distribusi lemak yang
berlebih, gambaran cardiomegali, deviasi axis dan atrial tachiaritmia relatif
sering. Thoraks foto seringkali menggambarkan cardiomegali yang menandakan
cardiac failure tetapi seringkali normal. Echocardiografi seringkali sulit, dengan
gambaran eksentrik hipertrofi ventrikel kiri menunjukkan bahwa perubahan
yang bermakna karena obesitas meskipun tampaknya normal.[1]

Implikasi pada anestesi[1]


Ventricular failure selama operasi dapat terjadi terutama karena kecepatan
pemberian cairan intra vena( menandakan disfungsi diastolik ventrikel kiri),
inotropik negatif dari agent anestesi atau hipertensi pulmonal yang dipresipitasi
oleh hipoksia dan hipercapnea.Anestetis harus siap inotrop dan vasodilator.
Premedikasi

Untuk TUGASMAS 190


191
Obat-obat sedatif dan opioid dapat menyebabkan depresi nafas, yang sebaiknya
dihindari meski ada satu studi yang gagal membuktikan peningkatan resiko
desaturasi oxyhemoglobine dengan benzodiazepin.
Rute intramuskuler dan subcutan sebaiknya dihindari karena absorbsinya yang
tidak dapat diduga.Seluruh penderita obesitas harus mendapatkan profilaksis
untuk mencegah aspirasi. Kombinasi H2 bloker ranitidin 150mg peroral dan
prokinetik metoclopramide 10 mg peroral 12 jam dan 2 jam sebelum
pembedahan akan mengurangi resiko aspirasi. Beberapa anestetis memberikan
juga 30 cc dari magnesium sitrat sebelum induksi sebagai pencegahan ekstra.
Penderita yang telah mendapat obat-obat jantung dan steroid harus diberikan
sampai saat menjelang pembedahan meskipun direkomendasikan bahwa ACE-
inhibitor dihentikan satu hari menjelang pembedahan karena dapat menyebabkan
hipotensi yang berkelanjutan selama anestesia.
Penderita dengan obesitas biasanya immobilisasinya kurang selama postoperatif
sehingga menyebabkan resiko deep vein trombosis.
Dosis rendah rendah heparin seharusnya diberikan sebagai profilaksis dan
dilanjutkan selama postoperatif sampai penderita mampu mobilisasi.
Kelompok penderita ini juga rawan terhadap resiko infeksi sehingga antibiotik
profilaksis sangat dibutuhkan.[1,3]
Positioning dan transfer
Penderita harus dilindungi pada lokasi yang mudah mengalami penekanan dan
neural injury dengan memberikan padding.
Penekanan terhadap vena cava inferior harus dihindari dengan posisi lateral tilt
kiri. [1,3]
Akses intravena
Pastikan akses intravena didapat karena biasanya sulit untuk mencari akses
vena.[1,3]
Monitoring
Penggunaan non-invasif cuff untuk tekanan darah harus sesuai dengan ukuran
karena ukuran standar akan terjadi over estimate tekanan arteri.[1,3]
Regional Anestesia
Penggunaan regional anestesia memperkecil resiko kesulitan intubasi dan resiko
aspirasi serta menyediakan postoperatif analgesia yang efektif, termasuk
menurunkan kebutuhan opioid dan agent anestesia, ekstubasi trachea lebih cepat,

Untuk TUGASMAS 191


192
menurunkan komplikasi pulmonal postoperatif, memudahakan fisioterapi dan
batuk yang efektif.
Meskipun demikian regional anestesia memerlukan ketrampilan khusus karena
untuk menemukan landmark pada tulang belakang merupakan tantangan
tersendiri.
Kebutuhan lokal anestesi diturunkan 70-80% dari normal pada penderita
morbidly obese karena infiltrasi lemak dan peningkatan blood volume yang
disebabkan karena peningkatan tekanan intra abdominal, mengurangi volume
epidural space. Hal ini menyebabkan penyebaran lokal anestesi yang tidak dapat
diduga dan variabilitas pada ketinggian blok. Ketinggian blok lebih dari T5
beresiko terhadap gangguan respirasi, kolaps carsiovaskular sekunder karena
blok autonomik. Pada kondisi seperti ini seorang anestetis harus selalu siap
dengan general anestesi dengan perlengkapan yang lengkap dan asisten yang
terampil.[1,3]
Systemic analgesia
Penggunaan opioid pada penderita dengan obesitas sangat berbahaya. Rute
intramuskuler tidak direkomendasikan karena tidak dapat diduga dan
menghasilkan analgesia yang lebih jelek daripada rute yang lain.
Penggunaan intra vena lebih sering untuk PCAS-Patient -control Analgesia
System tetapi harus dimonitor dan diberikan oksigen serta dosisnya disesuaikan
dengan IBW.
Epidural anestesia postoperatif dengan opiod atau cairan lokal anestesi,
menyediakan analgesia yang paling efektif dan aman untuk penderita obese.
Rute epidural untuk opioid lebih disukai karena memberikan rasa mual, depresi
nafas, motilitas usus yang segera normal kembali , memperbaiki fungsi paru dan
menurunkan lama tinggal di rumah sakit. Continuous epidural anestesia dengan
lokal anestesia sangat disukai kerena memberikan keuntungan pada sistem
cardiovaskuler dengan menurunkan stroke work pada ventrikel kiri meskipun
kadang-kadang blok motorik menghambat mobilisasi penderita.
Regimen diatas dapat dikombinasi dengan pemberian paracetamol atau steroid
peroral yang sesuai.[1]
KONSEKUENSI PADA PENDERITA OBSTETRI[1]
Penderita hamil dengan obesitas memiliki beberapa kesulitan antara lain :
- meningkatnya resiko hipertensi kronis, pre-eklamsia dan diabetes
- tingginya insiden kesulitan dalam melahirkan dan seksio cesaria

Untuk TUGASMAS 192


193
- sectio-cesaria cenderung berlangsung lama dan memiliki
beberapa komplikasi postoperatif termasuk perdarahan yang
banyak,deep vein thrombosis, penyembuhan luka
- peningkatan resiko anestesi termasuk morbiditas dan mortalitas
selama sectio yaitu kesulitan intubasi dan resiko aspirasi dengan
general anestesi.
- Resiko kegagalan pemasangan epidural dengan posisi duduk
- Peningkatan resiko morbiditas dan mortalitas pada janin yang
pada beberapa studi menunjukkan peningkatan resiko fetal
distress
- Posisi terlentang dan trendelenberg yang beresiko menurunkan
FRC dan resiko hipoksemia
- Meningkatnya resiko cephalad pada spinal maupun epidural
anestesia
- Hilangnya fungsi muskulus interkostal selama spinal anestesia
yang menyebabkan kesulitan pada respirasinya
- Kemungkinan penurunan pada cardiac output dengan general
anestesia yang berhubungan dengan aortocaval compression dan
penggunaan PEEP.
Solusi :
- Apabila memungkinkan hindari general anestesia pada penderita
dengan obesitas.
Apabila sulit, maka kesulitan intubasi harus diantisipasi, dengan
tersedianya peralatan intubasi sulit yang lengkap dengan asisten
yang kompeten. Mungkin dapat dipertimbangkan awake
fiberoptic intubation.
- Keselamatan ibu didahulukan, apabila kesulitan intubasi telah
diprediksi maka rapid sequence intubasi harus segera disiapkan.
- Epidural analgesia dapat digunakan selama prosedur operasi dan
mengurangi resiko deep vein thrombosis post-partum.
- Spinal anestesia mungkin tidak mencukupi untuk sectio penderita
obese yang cukup lama, sehingga dapat dikombinasi antara spinal
– epidural analgesia. Lokal anestesi dapat dikurangi sampai 25%
pada penderita hamil dengan obesitas.

Untuk TUGASMAS 193


194
ANESTESI PADA PENDERITA OBESITAS ANAK-ANAK
Prader-Willi syndrome ditandai dengan hipotonia,retardasi mental, obesitas,
diabetes mellitus,scoliosis dan sleep apnoe ( yang biasanya menjelek
postoperatf). Gangguan sistem cardiovaskuler ( hipertensi,aritmi) restrictive
pulmonary defect dan regulasi suhu tubuh yang abnormal.[1]

3. OBESITAS DAN SISTEM GASTROINTESTINAL[1,3]


Resiko aspirasi isi lambung yang diikuti dengan pneumonia karena aspirasi
sering terjadi pada penderita obesitas mengingat tingginya tekanan intra-
abdominal,tingginya volume dan rendahnya pH gaster, gastric emptying time
yang lambat, peningkatan insiden hiatal hernia dan gastroesophageal
refluks.[1,4,5,8] Peningkatan volume lambung sampai 75% daripada normal.[3]
Dapat ditanggulangi dengan pemberian H2 reseptor antagonis, antacida dan
prokinetik, rapid sequence induction dengan cricoid pressure dan intubasi
dengan penderita awake.[1]
Diabetes Mellitus
Seluruh penderita obesitas harus dilakukan randomisasi pemeriksaan gula darah
sebelum operasi dan apabila terdapat indikasi dilakukan glucose tolerance test.[1]

Tromboembolic disease
Peningkatan resiko thromboembolic disease disebabkan karena immobilisasi
yang lama menyebabkan venous stasis, polycitemia, peningkatan tekanan
abdominal dengan peningkatan tekanan pada deep venous channel pada
ekstremitas bawah, gagal jantung dan penurunan aktivitas fibrinolitik dengan
peningkatan konsentrasi fibrinogen. Insidennya antara 2,4 – 4,5%.[1,3]

FARMAKOLOGI OBAT DAN OBESITAS


Perubahan fisiologi yang berhubungan dengan obesitas menyebabkan perubahan pada
distribusi, ikatan dan eliminasi beberapa jenis obat.
Efek farmakologi obat pada beberapa penderita seringkali tidak sama, sehingga harus
dilakukan monitoring pada hasil akhir secara klinis seperti tekanan darah, nadi, sedasi.
Konsentrasi serum dari obat lebih penting daripada dosis obat secara empiris.

Untuk TUGASMAS 194


195
Pada obat dengan indikasi terapetik yang sempit, seperti aminophilin, aminoglicoside
dan digoxin, reaksi toksik seringkali terjadi bila penderita diberikan dosis obat yang
sesuai dengan berat badannya yang nyata. [1]
Absorbsi
Absorbsi peroral tetap tidak berubah pada penderita dengan obesitas.[1]
Volume Distribution
Faktor-faktor yang mempengaruhi volume distribusi penderita dengan obesitas
termasuk ; ukuran organ yang berlemak, peningkatan massa tubuh yang ideal,
peningkatan blood volume dan cardiac output, penurunan total body water, perubahan
pada ikatan plasma protein dan kelarutan dalam lemak dari obat. [1,3]
Thiopental memiliki volume distribusi yang meningkat karena tingginya kelarutan
dalam lemak secara alamiah dan juga karena peningkatan blood volume, cardiac output
dan jaringan otot. Karenanya dosis yang absolut harus ditingkatkan. Peningkatan dalam
volume distribusi akan menurunkan elimination half-life jika clearancenya tidak
ditingkatkan.
Dengan thiopental dan obat lipofilik yang lainnya seperti benzodiazepin atau agent
anestesi inhalasi poten yang lainnya, efeknya masih tetap ada meskipun telah lama
dihentikan.
Peningkatan konsentrasi trigliserida, lipoprotein,kolesterol dan free fatty acid dapat
menghambat ikatan protein beberapa obat sehingga meningkatkan konsentrasi bebas
dalam plasma.
Sebaliknya peningkatan konsentrasi alfa-1 acid glycoprotein dapat meningkatkan ikatan
protein obat yang lain ( lokal anestesi ) jadi mengurangi fraksi bebas dalam plasma.[1,3]
Eliminasi
Meskipun abnormalitas liver secara histologis seringkali ada, hepatic clearance biasanya
tidak menurun pada penderita dengan obesitas.
Gagal jantung dan penurunan liver blood flow akan memperlambat eliminasi beberapa
obat yang secara cepat dieliminasi di liver seperti midazolam atau lidocain.
Renal clerance meningkat pada obesitas, karena peningkatan renal blood flow dan GFR.
Pada penderita obesitas dengan gangguan renal perkiraan creatinine clearance dari
formula standard cenderung untuk tidak akurat dan regimen dosis untuk obat yang
diekskresi lewat renal, harus didasarkan pada pengukuran clearance creatinine.[1,3]
Anestesi Inhalasi
Penurunan blood flow ke organ berlemak akan membatasi pengiriman volatile agent
kedalam cadangan lemak. Dengan slow emergence yang mungkin disebabkan karena

Untuk TUGASMAS 195


196
peningkatan sensitivitas sentral. Beberapa studi menunjukkan adanya perbandingan
recovery time pada penderita obese dengan penderita normal selama anestesi berakhir
kurang lebih 2 – 4jam.
Penderita obesitas lebih peka terhadap efek dari perubahan metabolisme hepar dari
volatile agent. Konsentrasi plasma bromide-sebagai marker dari metabolisme reduksi
dan oksidasi halotan- yang meningkat pada penderita obesitas. Karenanya penderita
obesitas sangat sensitif terhadap penurunan liver blood flow. Konsentrasi fluoride bebas
inorganik lebih tinggi pada penderita dengan obesitas yang diikuti dengan paparan
dengan enflurane dan halotan, yang meningkatkan resiko nefrotoksik.[1]
Hal ini tidak tampak pada penggunaan sevofluran meskipun sevo sangat bermakna
dalam metabolisme di hepar. Konsentrasi fluoride tidak meningkat secara bermakna
setelah anestesi dengan isofluran, sehingga agent ini menjadi pilihan bagi banyak
anestetis. [1,3]
Dosing guidelines :[4]

1. Suxametonium : some suggest--dose/total wt., others suggest-- 120-140 mg

absolute dose for all patients.

2. Pancuronium : low lipid solubility, dose/total wt.


3. Vecuronium : dose/total wt--recovery time is unaffected.
4. Fentanyl : dose/total wt.
5. Alfentanyl : dose/lean body wt.
6. Benzodiazipines : dose/total wt.
7. Thiopental : highly lipophilic--use higher absolute dose--expect longer

duration of action.

8. Intravenous (IV) Lidocaine: dose/total wt.


9. Epidural/spinal local anesthetics: dose/total body wt, but decrease dose by 20%-
25%.
10. Inhalational agents: metabolism of inhalational agents is increased over non-
obese pts. Higher fluoride concentrations with enflurane & methoxyflurane are
seen when compared to non-obese patients. Incidence of "halothane hepatitis" is
allegedly higher in obese patients.

Untuk TUGASMAS 196


197
PENATALAKSANAAN ANESTESI

Preoperatif[4]

1.Hindari opioids dan sedasi

2.H2 blocker, metoclopromide sangat sesuai

3.Hindari injeksi intramuskular (IM) karena absorbsinya tidak terduga

4.Electrocardiogram (EKG): cari ischemia, arrhythmias, strain pattern, &

hypertrophy.

5.Chest X-ray (CXR): periksa ukuran jantung dan vaskularisasi paru (pada kondisi

hipertensi pulmonal)

Intra operatif[4]

1.Pertimbangkan regional, jika memungkinkan dan tidak ada kontraindikasi

2.Ukuran manset tensi yang sesuai, karena bila terlalu kecil maka akan menjadi

overestimate, panjang harus melebihi 20% lingkar lengan.

3.Positioning:

o 2 meja operasi berdampingan, harus bisa dibuat setengah duduk.


o Penderita diposisikan setengah duduk agar tidak menurunkan FRC akibat
tekanan intraabdominal yang meningkat.
o Tengkurap posisi yang paling buruk, yang terbaik adalah lateral
decubitus karena menjaga massa perut untuk tidak membebani rongga
dada.

Induksi :[4]

 Persiapkan untuk intubasi sulit dan ventilasi masker yang sulit


 Induksi dapat menyebabkan kolaps airway dan menyebabkan obstruksi jalan
nafas.
 Pertimbangkan awake intubation (dengan sedasi minimal sampai tanpa sedasi):
hindari kolaps airway pada saat induksi
 Persiapkan tracheostomi dan cricotirodotomy apabila diperlukan
 Awake intubasi termasuk blind nasal atau blind oral intubasi[6]
 Fiber optic dapat digunakan baik melalui nasal maupun oral[6]

Untuk TUGASMAS 197


198
Maintenance:[4]

 Combined epidural/general (GA) mungkin menguntungkan untuk mengurangi


dosis obat general
 Pertimbangkan suatu "balanced" GA --> menurunkan kebutuhan dosis setiap
agent sehingga kadarnya sangat minimal pada saat postoperatif
 Pertimbangkan penggunaan short acting agents (seperti : alfentanyl, propofol,
atracurium),dan hindari penggunaan long acting agents (e.g. morphine, valium,
pancuronium)
 Ventilator:
o Gunakan tidal volume -- 15-20 ml/kg ideal body weight.
o Titrasi PEEP untuk menjaga saturasi oksigen

Post-op:[4]

 Meningkatkan mortalitas -- 6.6% dibandingkan 2.7 % pada penderita non-


obese.
 Patient controlled analgesia (PCA) dapat memberikan pain relief yang baik—
dosis didasarkan pada IBW .
o Epidural route lebih disukai memberikan dosis yang lebih sedikit
dibandingkan dengan intravena
 Penurunan kapasitas paru diharapkan paling sedikit 5 hari postoperatif.
 Acute airway obstruction isering dijumpai pada penderita dengan obesitas yang
juga memiliki sleep apnea.
 Peningkatan insiden infeksi luka operasi.
 Peningkatan insiden deep vein thrombosis dan pulmonary embolus (hampir 2
kali daripada yang non-obese).
 Cegah komplikasi pulmonal :
1. Posisi setengah duduk (30 derajat - 45 derajat). [4,6]
2. Gunakan udara yang sudah dihumidifikasi; Mulai chest physical therapy
lebih awal
3. Penggunaan nocturnal nasal continuous positive airway pressure
(CPAP) at 10-15 cm H2O, apabila terdapat
4. Obstructive Sleep Apnea.

Untuk TUGASMAS 198


199
5. Ekstubasi hanya ketika penderita sudah sadar. Persiapkan operator
apabila dibutuhkan untuk emergency tracheostomy (terutama jika
penderita mengalami difficult intubation).

Managemen Ventilator
Ideal body weight harus digunakan untuk menghitung tidal volume 10 -12 cc/kg dengan
frekuensi nafas yang menghindari hiper atau hipocapnea yang berlebihan
( biasanya 10 -14 kali/menit).[5,6]
Tidal volume yang lebih besar secara bermakna meningkatkan airway pressure dan
menimbulkan resiko barotrauma atau volutrauma tanpa peningkatan oksigenasi yang
berarti.
PEEP dan peningkatan inspiratory time dapat memperbaiki oksigenasi dengan
rekruitmen alveoli dan membiarkan mereka terbuka. (yang menghasilkan perbaikan
dalam ventilation-perfusion mismatch.[5]

DAFTAR KEPUSTAKAAN

1. Adams J.P. dan Murphy P.G. Obesity in anaesthesia and intensive care.British
Journal of Anaesthesia 2000;85:91 – 108.
2. Lyznicki, James M, M.S.,M.PH et al. Obesity : Assessment and Management in
Primary Care. American Family Physician 2001;63.no 11.
3.Rao Manimala Prof.S.,MD,DA. Morbid Obesity – Anaesthetic Management.
Department of Anaesthesiology & Intensive Care, Nizam’s Institute of Medical
Sciences, Hyderabad.2003
4.Langer Robert A,M.D.Anesthesia for the Morbidly Obese Patient.Educational
Synopsis in Anesthesiology and Critical Care Medicine in Journal of
Anesthesiology 1995;2. no 9.
5.Venable Clark J,M.D. and Ting Paul H, M.D. Obesity : Anesthetic Considerations.
GASNET Anesthesiology.2003
6.Pelosi Paolo,MD et al. Respiratory Function in Obese Patients.RT
International Article.2006
7. Ogan Okoronkwo U,M.D. and Plevak David J, M.D.Anesthesia Safety Always an
Issue with Obstructive Sleep Apnea.The American Sleep Apnea Association.1996
8. Barash Paul G, et al. Anesthesia and Obesity and Gastrointestinal Disorders.
Handbook of Clinical Anesthesia.2001

PENATALAKSANAAN PERITONITIS GENERALISATA ET CAUSA


PERFORASI GASTER

Untuk TUGASMAS 199


200
I. Pendahuluan

Peritonitis adalah suatu peradangan membran serosa yang melapisi rongga abdomen dan
organ-organ di dalamnya. Peritonitis sering disebabkan oleh adanya infeksi yang masuk
ke dalam rongga peritoneum yang steril melalui perforasi usus, seperti pada ruptur
appendix atau divertikel kolon. Peritonitis bisa juga disebabkan adanya bahan kimia
yang iritatif seperti asam lambung pada perforasi lambung atau asam empedu pada
perforasi kandung empedu atau suatu laserasi liver. Pada wanita, peritonitis yang
terlokasir paling sering ditemukan di pelvis akibat infeksi tuba fallopi atau ruptur kista
ovarium.
Peritonitis merupakan problem yang sering ditemui dalam praktek kedokteran klinik
saat ini dan bila tidak ditangani segera bisa berakibat fatal. Pada umumnya peritonitis
memperlihatkan gejala dan tanda antara lain nyeri abdomen dan nyeri tekan pada
palpasi, kekakuan otot dinding abdomen dan tanda sistemik peradangan. Pasien bisa
berada pada onset gejala yang akut atau insidious, terlokalisir dan ringan atau
generalisata dan berat dengan syok septik.

II. Etiologi

Berdasarkan penyebab peritonitis diklasifikasikan sebagai berikut :


1. Primer (spontan)
Penyebab utama peritonitis primer adalah spontaneous bacterial peritonitis
(SBP) karena penyakit liver yang kronis. Sekitar 10-30% pasien dengan sirosis
yang mengalami asites berkembang menjadi bacterial peritonitis dalam
perjalanan waktu
2. Sekunder (berkaitan dengan proses patologi dalam organ visceral)
3. Tersier (infeksi yang resisten atau rekuren setelah terapi inisial yang adekuat)
Infeksi intra-abdomen bisa terlokalisir atau generalisata dengan atau tanpa terbentuknya
abses

Tabel 1 Grade and mortality of peritonitis

Severity Cause Mortality


Mild Appendicitis < 10%
Perfoarted gastroduodenal ulcers
Acute salphingitis
Moderate Diverticulitis (localized peritonitis) < 20%
Nonvascular small bowel perforation
Gangrenous cholecystisis
Multiple trauma
Severe Large bowel perforations 20 – 80%
Ischemic small bowel injuries
Acute necrotizing pancreatitis
Postoperative complication

Untuk TUGASMAS 200


201
Table 2. Common Causes of Secondary Peritonitis

Source Regions Causes


Esophagus Malignancy
Trauma (mostly penetrating)
Iatrogenic*
Stomach Peptic ulcer perforation
Malignancy (eg, adenocarcinoma, lymphoma,
gastrointestinal stromal tumor)
Trauma (mostly penetrating
Iatrogenic*
Duodenum Peptic ulcer perforation
Trauma (blunt and penetrating)
Iatrogenic*
Biliary tract Cholecystitis
Stone perforation from gallbladder (ie, gallstone
ileus) or common duct
Malignancy
Choledochal cyst (rare)
Trauma (mostly penetrating)
Iatrogenic*
Pancreas Pancreatitis
Trauma (blunt and penetrating)
Iatrogenic*
Small bowel Ischemic bowel
Incarcerated hernia (internal and external)
Closed loop obstruction
Crohn disease
Malignancy (rare)
Meckel diverticulum
Trauma (mostly penetrating)
Large bowel and Ischemic bowel
appendix Diverticulitis
Malignancy
Ulcerative colitis and Crohn disease
Appendicitis
Colonic volvulus
Trauma (mostly penetrating)
Iatrogenic
Uterus, salphinx, and Pelvic inflammatory disease (eg, salpingo-oophoritis,
ovaries tuboovarian abscess, ovarian cyst)
Malignancy (rare)
Trauma (uncommon)

*Iatrogenic trauma to the upper GI tract, including the pancreas and biliary tract and
colon, often results from endoscopic procedures; anastomotic dehiscence and
inadvertent bowel injury (eg, mechanical, thermal) are common causes of leak in the
postoperative period.

Untuk TUGASMAS 201


202

Table 3. Microbiology of Primary, Secondary, and Tertiary Peritonitis

Peritonitis Etiologic Organisms Antibiotic Therapy


(Type) Class Type of Organism (Suggested)
E coli (40%)
K pneumoniae (7%)
Pseudomonas sp (5%) Third-generation
Primary Gram-negative Proteus sp (5%) cephalosporin
Streptococcus sp (15%)
Staphylococcus sp (3%)
Anaerobic sp (<5%)
Gram-negative E coli , Enterobacter sp Second-generation
Klebsiella sp, Proteus sp cephalosporin
Third-generation
Gram-positive Streptococcus sp cephalosporin
Enterococcus sp Penicillins with
anaerobic activity
Secondary Bacteroides fragilis Quinolones with
Other Bacteroides sp anaerobic activity
Anaerobic Eubacterium sp Quinolone and
Clostridium sp, Anaerobic metronidazole
Streptococcus sp Aminoglycoside and
metronidazole
Second-generation
Gram-negative Enterobacter sp cephalosporin
Pseudomonas sp Third-generation
Enterococcus sp cephalosporin
Penicillins with
anaerobic activity
Gram-positive Staphylococcus sp Quinolones with
anaerobic activity
Tertiary Quinolone and
Fungal Candida sp metronidazole
Aminoglycoside and
metronidazole
Carbapenems
Triazoles or
amphotericin
(considered in fungal
etiology)
(Alter therapy based on
culture results)

IV. Diagnosis

Untuk TUGASMAS 202


203
Diagnosis peritonitis umumnya dapat ditegakkan berdasarkan gejala dan tanda klinis
antara lain :
- Abdominal pain (essensial)
- Anoreksia, nausea dan vomiting
- Demam
- Takikardi (disebabkan pelepasan mediator inflamasi, intravascular hypovolemia
oleh karena anoreksia dan muntah, demam dan third space loss ke dalam cavum
peritoneum)
- Dehidrasi sampai syok
- Nyeri tekan (tenderness to palpation)
- Kekakuan dinding abdomen
- Abdomen sering distended
- Bising usus menurun atau tidak ada
Pemeriksaan laboratorium penunjang
- Lekositosis (>11,000 cells/mL)
- Perubahan serum electrolyte dan peningkatan BUN akibat vomiting, diare, fistel,
disfungsi renal)
- BGA : metabolic acidosis
- Pemeriksaan lain atas indikasi mis LFT , serum amylase dan lipase, urinalisis
Pemeriksaan radiology
- Plain abdominal : gambaran ileus dengan distended loops of bowel and air-
fluid level
- Upright films berguna untuk identifikasi free air di bawah the diaphragm
(paling sering di kanan) sebagai inidikasi adanya perforated viscus.
- USG abdomen untuk evaluasi right upper quadrant (mis: perihepatic abscess,
cholecystitis, biloma, pancreatitis, pancreatic pseudocyst), right lower quadrant,
and pelvic pathology (mis, appendicitis, tubo-ovarian abscess, Douglas pouch
abscess). Juga untuk deteksi cairan intraperitoneal (ascites)
- CT scan abdomen dapat mendeteksi cairan dalam jumlah yang sedikit, areas of
inflammation, and GI tract pathology yang lain, dengan sensitivities mencapai
100%.

V. Penatalaksanaan

Saat ini pengobatan peritonitis adalah melalui pendekatan multimodal antara lain
koreksi langsung penyebabnya, pemberian antibiotik dan terapi suportif untuk
mencegah atau membatasi komplikasi sekunder oleh karena kegagalan organ.
Prinsip umum pengobatan infeksi intra-abdomen adalah :
1. Kontrol sumber infeksi
2. Mengeluarkan bakteri dan toksin
3. Mempertahankan fungsi sistem organ
4. Kontrol proses radang
Intervensi pengobatan peritonitis berupa medis non-operatif dan tindakan operatif.

Terapi suportif mencakup :


1. Terapi antibiotic sistemik
2. Perawatan intensif dengan support hemodinamik, pulmonal dan renal
3. Support nutrisi dan metabolic
4. Inflammatory response modulation therapy.

Untuk TUGASMAS 203


204
Kontrol sumber infeksi secara dini sangat dianjurkan dan dapat dilakukan dengan
tindakan nonoperatif dan operatif. Terapi intervensi non-operatif berupa drainase abses
perkutaneus dan pemasangan percutaneous and endoscopic stent.
Penatalaksanaan dengan pembedahan ditujukan untuk mengontrol sumber infeksi dan
mengeluarkan bakteri dan toksin.

Penatalaksanaan Pre-operatif
- Resusitasi cairan dan pencegahan disfungsi organ sekunder adalah sangat
penting.
- Pemasangan folley catheter untuk monitor urine output.
- Pada kasus berat diperlukan monitoring hemodinamik secara invasif unuk
memandu resusitasi cairan dan pemberian obat inotropik.
Early Goal Directed Therapy inisial resusitasi 6 jam pertama untuk sepsis :
 MAP ≥ 65 mmHg
 Urine output ≥ 0,5 ml/kgBB/jam
 CVP 8 – 12 mmHg
 Central venous (vena cava superior) atau mixed venous oxygen
saturation ≥ 70%
 Ht ≥ 30 %
- Koreksi gangguan elektrolit dan koagulasi sebisa mungkin sebelum intervensi
bedah.
- Mulai pemberian antibiotik sistemik secara empiris segera mungkin setelah
dicurigai diagnosis peritonitis.dan terapi selanjutnya tergantung proses
penyakitnya dan hasil kultur.
- Peritonitis sering disertai nyeri abdomen yang berat maka sesegera mungkin
diberikan analgetik yang adekuat.
- Bila disertai nausea , muntah dan distensi abdomen segera dilakukan dekompresi
nasogastrk.
- Pertimbangkan support intubasi dan ventilasi pada pasien dengan syok septic
atau penurunan kesadaran untuk mencegah dekompensasi yang lanjut.
- Pada kasus berat, inform concent .harus mencakup potensial memerlukan
operasi ulang dan diversi enteral serta memerlukan perawatan ICU.

Penatalaksanaan Intra-operatif
Tujuan pembedahan pada peritonitis adalah mengeliminasi sumber infeksi, menurunkan
inokulum bakteri dan mencegah sepsis yang rekuren dan persisten.
Jenis dan ekstensi pembedahan tergantung proses underlying disease dan keparahan
infeksi intra-abdominal.
- Insisi midline vertical merupakan pilihan yang paling sering dilakukan pada
peritonitis generalisata oleh karena dimungkinkan untuk mengakses seluruh
rongga peritoneum.
- Eksplorasi harus dilakukan secara hati-hati sebab mungkin sudah ada perubahan
anatomi intra-abdominal oleh karena massa inflamasi dan adhesi.
- Monitoring dan support hemodinamik.
- Pada kasus dengan inflamasi abdomen yang ekstensif dan syok septic, dilakukan
pemasangan drain temporer dan damage controle operation.
- Pemilihan untuk menggunakan closed-abdomen atau open-abdomen technique
sangat kritikal.pada peritonitis berat.
Tujuan closed-abdomen technique adalah untuk definitive surgical treatment dengan
primary fascial closure dan dilakukan relaparotomi hanya bila ada indikasi klinis.
Tujuan open-abdomen technique adalah untuk menyediakan akses langsung pada area
yang terinfeksi dan dapat dilakukan operasi ulang atau open packing of the abdomen

Untuk TUGASMAS 204


205
untuk source control. Teknik ini sesuai untuk initial damage control pada peritonitis
yang ekstensif dan pada pasien yang beresiko tinggi untuk terjadinya abdominal
compartment syndrome (distensi intestinal, edema organ intra-abdominal dan dinding
abdomen).

Penatalaksanaan Pasca-operatif
- Monitoring secara ketat :
o volume resusitasi cairan yang adekuat
o sepsis mengalami resolusi atau persisten
o perkembangan kegagalan system organ
- Antibiotik sistemik dengan broad-spectrum harus terus dilanjutkan.
- Umumnya kondisi pasien mengalami perbaikan yang signifikan dan progresif dalam
24-72 jam setelah pengobatan inisial. Bila tidak ada perbaikan harus segera dicari
adanya focus infeksi intraperitoneal yang persisten atau rekuren atau focus infeksi
ekstra peritoneal yang baru.
- Monitoring terjadinya potensial komplikasi :
o infeksi luka operasi / dehiscence
o penyembuhan luka yang gagal sampai burst abdomen
o infeksi oportunis sekunder akibat pemberian antibiotik yang lama
o ventilator-associated pneumonia
o abdominal compartement syndrome bila pada akhir operasi penutupan abdomen
dengan tension (visceral edema dan akumulasi cairan peritoneal).
- Dukungan nutrisi secara dini. Data yang ada menunjukkan bahwa nutrisi enterel
lebih superior daripada parenteral hyperalimentation. Enteral feeding, bahkan
dalam volume yang sedikit dapat mempertahan integritas mukosa saluran cerna dan
menurunkan insidens komplikasi infeksi..
Pada kasus yang berat, pertimbangkan suplementasi diet dengan immune-enhancing
Additives ( arginine, glutamine, -3 fatty acids).

VI. Perforasi Gaster


Perforasi gaster bisa terjadi bila lapisan lambung dimakan oleh asam lambung
atau digestive juice. Normalnya lapisan tersebut dilindungi dari asam lambung. Tetapi
pada beberapa kondisi perlindungan itu gagal dan perforasi dapat terjadi.
Penyebabnya antara lain :
- bakteri H. Pylori
- penggunaan obat NSAID jangka panjang seperti aspirin, ibuprofen, naproxen
Ulcer muncul lebih sering pada perokok dan peminum kopi. Stres juga diduga bisa
menyebabkan ulcer walaupun hubungannya belum jelas.
Gejala perforasi gaster :
- Nyeri yg hebat dan mendadak di epigastrium
- Pucat
- Menggigil
- Lemah badan
- Napas yang cepat dan dalam
- Takikardi
- Adanya udara bebas di rongga abdomen yang terlihat dari foto left lateral
decubitus

Treatment
Perforasi gaster memerlukan tindakan pembedahan emergency. Penundaan akan
meningkatkan morbiditas dengan batas kritis 6 jam dari mulai perforasi.

Untuk TUGASMAS 205


206
Tujuan utama dari pembedahan ini adalah menutup lubang perforasinya dan
mengeluarkan cairan asam yang iritatif dengan cuci abdomen dengan PZ hangat dan
suction.

ANESTESIA PADA GERIATRI

Sekitar tahun 2040, orang yang berumur 65 atau lebih diharapkan mencapai 24%
populasi dan terhitung sebagai pemakai 50% daya perawatan kesehatan.1 Jumlah yang
besar ini disebabkan oleh angka harapan hidup yang makin panjang. 2 Separuh dari
jumlah tersebut membutuhkan pembedahan sebelum kematian mereka, sehubungan
dengan resiko yang berlipat terhadap kematian perioperatif. 1,2

Penuaan adalah proses dimana terjadi kehilangan sel secara progresif, pada kecepatan
yang bervariasi, pada pasien individual dan sistem organ mereka.2 Seperti halnya pasien
pediatrik, penatalaksanaan anestesi yang optimal terhadap pasien geriatri bergantung
pada pemahaman tentang perubahan yang normal dalam fisiologi, anatomi, dan respon
terhadap agen farmakologi yang menyertai penuaan. Dalam kenyataannya terdapat
banyak kesamaan antara pasien pediatri dan geriatri, bagaimanapun, orang tua
menunjukkan rentang variasi yang lebih lebar dalam parameternya. Abnormalitas
fisiologi serius yang relatif berfrekuensi tinggi pada pasien tua membutuhkan evaluasi
preoperatif yang spesial hati-hati. 1

Konsep “cadangan fungsional” diangkat dari perbedaan antara tingkat fungsi basal
organ saat istirahat dan tingkat maksimum fungsi organ yang dapat dicapai sebagai
respon terhadap peningkatan kebutuhan, sebagai contoh yaitu saat latihan ataupun
respon terhadap stres pembedahan. Cadangan fungsional seringkali menurun pada
orangtua, dan dipikirkan sebagai faktor utama dalam peningkatan morbiditas dan
mortalitas dalam populasi tua. Penurunan tersebut dapat menjadi sulit terdeteksi.
Beberapa orang menjadi terbatas mobilitasnya dan sebagai akibatnya tidak
menggerakkan tubuhnya cukup baik. Pasien tersebut jarang masuk rumah sakit karena
gangguan napas ataupun angina, sedangkan mereka mungkin mempunyai penyakit
jantung iskemia yang signifikan tetapi tak terdeteksi.2

PERUBAHAN ANATOMI - FISIOLOGI YANG BERHU-


BUNGAN DENGAN UMUR
SISTEM KARDIOVASKULER
Adalah penting untuk membedakan antara perubahan dalam fisiologi yang secara
normal menyertai penuaan dan patofisiologi penyakit yang umum terjadi pada populasi
geriatri. Sebagai contoh, aterosklerosis, adalah patologis, penyakit ini tidak ada pada
pasien tua yang sehat. Dilain pihak penurunan elastisitas arterial yang disebabkan
fibrosis lapisan media, merupakan bagian dari proses penuaan yang normal. Penurunan
komplians arterial menghasilkan peningkatan afterload, peningkatan tekanan darah
sistolik, dan hipertrofi ventrikel kiri. Pada ketiadaan penyakit lain, tekanan darah
diastolik tetap tak berubah atau menurun. Serupa pula, ketika output jantung biasanya
menurun sejalan pertambahan usia, ini tampaknya terjaga pada individu yang sehat dan
berkondisi bagus. Peningkatan tonus vagal dan penurunan sensitifitas dari reseptor
adrenergik membawa ke penurunan dari denyut jantung sebesar 1 denyut/menit/tahun
Untuk TUGASMAS 206
207
untuk usia diatas 50 tahun. Fibrosis sistem konduksi dan hilangnya sel-sel sinoatrial
meningkatkan insidensi disritmia.1

Pasien tua yang menjalani evakuasi untuk pembedahan, mempunyai peningkatan


insidensi dari tekanan baji pulmoner yang abnormal, hipertensi pulmoner, dan disfungsi
ventrikel kiri. Penurunan cadangan jantung pada banyak pasien tua mungkin berwujud
penurunan yang berlebihan dalam tekanan darah pada waktu induksi anestesia umum.
Waktu sirkulasi yang memanjang akan menunda onset dari obat intravena, kecuali
induksi cepat dengan agen inhalasi. Seperti halnya anak, pasien tua mempunyai
kemampuan yang kurang/lebih kecil untuk berespon terhadap hipovolemia, hipotensi,
atau hipoksia, dengan peningkatan denyut jantung. 1 Penumpulan ini mungkin
berhubungan dengan penurunan sensitivitas baroreseptor dan fungsi otonom.
Ketidakmampuan kompensasi ini mungkin penting bila pasien sedang mendapat
pengobatan seperti penyekat beta maupun penghambat ACE. 2

SISTEM RESPIRASI
Elastisitas pada jaringan paru juga menurun, yang memungkinkan overdistensi alveoli
dan kolaps jalan napas yang kecil. Yang disebut pertama, menurunkan luas permukaan
alveolar, yang menurunkan efisiensi pertukaran gas. Kolaps jalan napas meningkatkan
volume residual (volume udara yang tetap berada dalam paru pada waktu akhir ekspirasi
paksa) dan kapasitas penutupan (volume udara dalam paru saat jalan napas kecil mulai
menutup).1 Kapasitas total paru (TLC), kapasitas vital paksa (FVC), volume ekspirasi
paksa dalam satu detik (FEV1), kapasitas vital (VC), dan volume inspirasi cadangan
(IRV), kesemuanya menurun dengan peningkatan pada volume residual (RV). 2 Bahkan
pada individu normal, kapasitas penutupan melampaui kapasitas residual fungsional
(volume udara yang tetap berada dalam paru pada akhir ekspirasi normal) pada usia 45
tahun pada posisi telentang dan usia 65 tahun pada posisi duduk. 1,2 Ketika ini terjadi,
sebagian jalan napas tertutup selama bagian dari pernapasan tidal normal, menghasilkan
ketidaksesuaian ventilasi dan perfusi. Efek tambahan dari efek yang mirip emfisema ini
dikatakan adalah kolaps jalan napas2, ketidaksesuaian VQ2, hipoksemia2, penurunan
tekanan oksigen arterial dengan rerata kecepatan 0,35 mmHg pertahun walaupun PaCO2
tetap konstan.1,2 Terdapat rentang yang lebar dari tekanan oksigen arterial pada pasien
preoperatif geriatri.1

Ventilasi menggunakan masker mungkin sulit pada pasien yang tak bergigi, sementara
artritis sendi temporomandibular ataupun tulang servikal dapat membuat intubasi
menjadi tantangan. Dilain pihak, ketiadaan gigi atas memperluas visualisasi pita suara
selama laringoskopi. 1

Pencegahan hipoksia perioperatif meliputi konsentrasi oksigen inspirasi yang lebih


tinggi, peningkatan sedikit dari tekanan akhir-ekspirasi positif (PEEP), dan pembersihan
pulmoner yang agresif. Pneumonia aspiratif sering terjadi dan merupakan komplikasi
yang potensial membahayakan jiwa pada pasien geriatri. Satu alasan terhadap
predisposisi ini adalah penurunan progresif dalam refleks laringeal protektif sejalan
dengan usia. Gangguan ventilasi di ruang pulih sadar lebih sering terjadi pada pasien
geriatri. Karena itu, pasien dengan penyakit pernapasan dan mereka yang telah
menjalani pembedahan abdomen besar sebaiknya dibiarkan terintubasi pada saat post
operatif. Sebagai tambahan, tehnik pengendalian nyeri yang membantu fungsi pulmoner
postoperatif sebaiknya dipertimbangkan dengan serius (seperti opioid epidural, blok
saraf interkostal). 1

FUNGSI GINJAL

Untuk TUGASMAS 207


208
Aliran darah ginjal dan massa ginjal (seperti jumlah glomerulus dan panjang tubuler)
menurun sejalan pertambahan umur. Perubahan ini khususnya menonjol pada korteks
ginjal. Fungsi renal yang dibedakan sebagai kecepatan filtrasi glomerulus dan bersihan
kreatinin menurun. Kreatinin serum tidak berubah karena penurunan massa tulang dan
produksi kreatinin, sementara BUN meningkat bertahap (0,2 mg/dL pertahun).
Gangguan penanganan Natrium, kemampuan pengkonsentrasian, dan kapasitas
pengenceran, mem-predisposisikan pasien geriatri untuk cenderung dehidrasi atau
terbeban cairan berlebihan. Kombinasi pertambahan umur dan peningkatan nitrogen
uriner darah atau kreatinin serum meningkatkan resiko gagal ginjal akut pada periode
post operatif. 1

Sejalan dengan penurunan fungsi ginjal, kemampuan ekskresinya terhadap obat juga
menurun. Penurunan kapasitas untuk menangani air dan beban elektrolit membuat
penatalaksanaan cairan yang tepat menjadi kritikal. Hal ini lebih jauh lagi diperumit
oleh penggunaan diuretik yang sering terjadi pada populasi geriatri. Untuk hal tersebut,
serum elektrolit, tekanan pengisian jantung, dan keluaran urine hendaknya lebih sering
diamati.1

SISTEM GASTROINTESTINAL
Aliran darah hati dan massa hati menurun sejalan dengan pertambahan umur. Kecepatan
biotransformasi, produsi albumin, dan sintesis kolin esterase plasma melambat.
Keasaman lambung cenderung meningkat, sedangkan pengosongan lambung cenderung
memanjang. Faktor tersebut dapat mempengaruhi farmakokinetik obat. 1

SISTEM SARAF
Aliran darah otak dan massa otak menurun sejalan pertambahan umur; kehilangan
neuronal menonjol pada bagian korteks serebral. Sintesa beberapa neurotransmiter
menurun. Degenerasi sel saraf perifer menghasilkan penurunan velositas konduksi dan
atrofi otot rangka. 1

Dosis yang dibutuhkan untuk anestesia lokal (Cm : konsentrasi minimum anestesia) dan
umum (MAC : konsentrasi alveolar minimum) menurun. Pemberian volume tertentu
dari anestesia epidural cenderung untuk menghasilkan penyebaran ke kepala yang lebih
luas pada pasien geriatri, tetapi dengan durasi yang lebih singkat dari analgesia dan
blokade motorik. Sebagai kontrasnya, durasi yang lebih lama dapat diharapkan dari
anestesi spinal. Pasien geriatri sering membutuhkan waktu yang lebih lama untuk pulih
secara lengkap dari efek anestesia umum pada CNS, khususnya jika mereka
kebingungan dan disorientasi sebelum operasi. Hal ini penting khususnya pada pasien
geriatri rawat jalan, dimana faktor sosioekonomis seperti ketiadaan perawat di rumah
memerlukan perhatian diri sendiri yang lebih tinggi. Banyak pasien geriatri yang
mengalami berbagai tingkatan keadaan kebingungan akut post operatif. 1

MUSKULOSKELETAL
Kulit mengalami atrofi pada penuaan dan cenderung mendapat trauma dari perekat
adesif, pedal elektrokauter dan elektrode elektrokardiografi. Vena seringkali amat rapuh
dan dengan mudah terobek oleh infusi intravena. Sendi yang meradang mungkin
mempengaruhi penempatan (seperti litotomi) atau anestesia regional (seperti blokade
subarachnoid). 1

PERUBAHAN FARMAKOLOGIS YANG BERHUBUNGAN


DENGAN UMUR

Untuk TUGASMAS 208


209
Penuaan menghasilkan perubahan farmakokinetik dan farmakodinamik. Distribusi
dipengaruhi oleh penurunan total air dalam tubuh dan penggandaan total lemak tubuh
pada pasien geriatri. Sebagai akibatnya, volume distribusi adalah menurun pada obat
yang larut air, menyebabkan konsentrasi plasma yang lebih tinggi. Bila diperluas pada
obat larut lemak, menyebabkan penurunan konsentrasi plasma. Penurunan dalam
volume distribusi ini dapat mempengaruhi waktu paruh eliminasi. Jika volume distribusi
suatu obat meningkat, waktu paruh eliminasinya memanjang kecuali bila kecepatan
bersihan juga meningkat. Fungsi renal dan fungsi hati menurun sejalan dengan
pertambahan umur, sehingga obat yang bergantung pada bersihannya dapat
menampilkan pemanjangan durasi kerja. 1

Distribusi dan eliminasi juga dipengaruhi oleh perubahan ikatan plasma protein.
Albumin yang cenderung mengikat obat yang bersifat asam (seperti barbiturat,
bensodiasepin, dan agonis opium), secara khas menurun dengna pertambahan umur.
Alpha1 glikoprotein asam yang mengikat obat dasar (seperti anestesi lokal) meningkat.
Obat yang terikat protein tidak dapat berinteraksi dengan reseptor organ akhir dan tidak
tersedia untuk metabolisme ataupun ekskresi. Perubahan farmakokinetik utama yang
berhubungan dengan umur adalah penurunan kebutuhan anestesia, yang ditunjukkan
oleh MAC yang lebih rendah. 1

ANESTESI INHALASI
MAC agen inhalasi menurun sekitar 4% setiap dekade mulai usia diatas 40 tahun.
Sebagai contoh, MAC halothane pada orang berumur 80 tahun dapat diharapkan sekitar
0,65 (0,77 – (0,77 x 4% x 4)). Onset kerjanya akan lebih cepat bila output jantung
terdepresi, dan akan tertunda bila terdapat abnormalitas ventilasi / perfusi. Efek depresi
miokardial dari anestetik volatile sangat berlebihan pada pasien geriatri, sedangkan
kecenderungan takikardia pada isofluran dan enfluran ditumpulkan. Jadi, sebagai
kontras terhadap efeknya terhadap pasien muda, isofluran menurunkan output jantung
dan kecepatan denyut jantung pada pasien geriatri. Pemulihan dari anestesia dengan
anestetik volatile dapat memanjang karena peningkatan volume distribusi (peningkatan
lemak tubuh), penurunan fungsi hepatik (penurunan metabolisme halothane), dan
penurunan pertukaran gas pulmoner. 1

AGEN ANESTETIK NONVOLATILE


Secara umum, pasien tua menunjukkan kebutuhan dosis yang lebih rendah untuk
barbiturat, agonis opioid, dan benzodiazepin. Sebagai contoh, suatu oktogenarian yang
khas membutuhkan kurang dari separuh dosis tiopental untuk induksi anestesia umum
daripada untuk umur 20 tahun. Ini mungkin merupakan akibat dari kadar puncak
tiopental tidak menurun secepat pasien geriatri karena distribusi yang lebih lambat dari
kompartemen sentral ke kompartemen ekuilibrasi cepat. Pada beberapa kejadian,
perbedaan farmakokinetik dan bukan farmakodinamik yang bertanggung jawab. Ini
berbeda dengan agonis opioid, yang menunjukkan perubahan farmakokinetik (volume
distribusi inisial yang lebih kecil, pemanjangan waktu paruh eliminasi) dan
farmakodinamik (peningkatan sensitifitas otak). Karena diazepam cenderung
berakumulasi pada tempat penyimpanan lemak, volume distribusinya lebih besar pada
pasien tua dan karenanya eliminasi dari tubuh melambat. Waktu paruh sebesar lebih
dari 36 jam dapat menyebabkan kebingungan selama berhari-hari setelah pemberian
diazepam. Walaupun midazolam larut air pada pH yang asam, obat ini larut lemak pada
pH fisiologis dan mengalami perubahan farmakokinetik yang serupa. Lebih jauh lagi,
Penuaan sensitifitas farmakodinamik terhadap midazolam, bebas dari berbagai
perluasan farmakokinetik. Lorazepam kurang larut lemak dibanding diazepam, dan
eliminasi dan waktu paruhnya relatif tetap tak berubah. 1

Untuk TUGASMAS 209


210

PELUMPUH OTOT
Penurunan output jantung dan aliran darah otot yang menurun dapat menyebabkan
pemanjangan lebih dari dua kali lipatdalam onset obat pelumpuh otot. Pemulihan dari
pelumpuh otot non depolarisasi yang bergantung pada ekskresi renal (seperti metokurin,
pankuronium, doxakurin, tubokurin) dapat tertunda karena penurunan bersihan obat.
Juga, penurunan ekskresi hepatik karena hilangnya massa hati, memperpanjang waktu
paruh eliminasi dan durasi aksi rocuronium dan vecuronium. Profil farmakologis dari
atracurium dan pipecuronium tidak dipengaruhi secara bermakna oleh penuaan. Geriatri
lelaki, bukan wanita, dapat menunjukkan pemanjangan ringan suksinilkolin karena
tingkat kadar kolinesterase-nya yang lebih rendah dalam darah. 1

PERUBAHAN ANATOMI - PATOLOGI YANG BERHU-


BUNGAN DENGAN UMUR
SISTEM KARDIOVASKULER
Penyakit jantung iskemia adalah sering terjadi pada kelompok yang berperilaku kurang
sehat. Merokok, hiperkolesterolemia, hipertensi, DM tipe II dan obesitas berkontribusi
pada pembentukan aterosklerosis. Hasilnya adalah kurangnya komplians cabang-cabang
areterial, peningkatan resistensi sistem vaskuler dan hipertensi sistemik. Hasil akhirnya
pada jantung adalah hipertrofi ventrikuler kiri konsentrik, penurunan komplians
ventrikuler, dan penurunan output jantung. Sebaliknya, penyakit katup jantung yang
merupakan sekunder dari demam rheuma lebih sering terlihat pada negara berkembang.
Lebih dari 50% pasien akan menderita penyakit katup mitral. Lesi aortik lebih jarang. 2

Penurunan output jantung pada penyakit jantung iskemia akan menyesuaikan aliran ke
ginjal dan otak. Sistem autoregulasi ke organ ini terganggu pada pasien tua, dan
karenanya kedua organ ini cenderung mengalami iskemia perioperatif.2

Fibrilasi atrium sering terjadi pada pasien tua, mungkin berhubungan dengan kehilangan
sel pacu atrial yang progresif sejalan pertambahan usia. Orang berusia 70 tahun
mempunyai hanya 10% sel pacu atrial dibanding dewasa sehat. Cepatnya denyut
ventrikuler pada AF mengarah ke pengisian diastolik yang buruk dan penurunan output
jantung; yang keduanya kurang baik ditoleransi oleh pasien tua. Saat pre operasi,
sebaiknya pasien dengan AF secara ideal di-kardioversi, tetapi bila gagal, kecepatan
denyut ventrikuler sebaiknya dikendalikan < 100 x/menit. 2

SISTEM RESPIRASI
Atelektase, emboli pulmoner dan infeksi paru, kesemuanya lebih sering terjadi pada
pasien tua, khususnya setelah operasi abdominal ataupun torakal. Aktifitas mukosiliar
yang tidak efektif yang ditimbulkan oleh asap rokok meningkatkan resiko komplikasi.
Mobilisasi dan analgesi yang baik setelah operasi abdominal membantu mengurangi
atelektase dan kolaps paru.2

FUNGSI GINJAL
Peningkatan yang ringan sampai sedang dari serum kreatinin dapat mewakili gangguan
ginjal yang signifikan. Fungsi ginjal dapat menurun dengan cepat pada pasien
hipovolemik, khususnya pada yang mendapat NSAID atau penghambat ACE.
Pengamatan ketat terhadap keluaran urine per-jam setelah operasi besar perlu
dilakukan.2

SISTEM SARAF

Untuk TUGASMAS 210


211
Penurunan fungsi CNS sering terjadi, disebabkan oleh penyakit serebrovaskuler,
perubahan kadar hormon, kerusakan saraf yang diinduksi oleh stres oksidatif maupun
kehilangan sel yang prograsif. Gangguan kognitif meningkat sesuai pertambahan umur,
dan dimensia terjadi pada 20% pasien diatas usia 80 tahun. Dimensia sebaiknya
didiagnosis melalui tes formal oleh psikolog geriatri. Kebutaan mempengaruhi sekitar
30% geriatri, sebagian besar berhubungan dengan katarak dan glaukoma, dan dapat
membuat pemahaman tentang material tertulis (seperti inform consent dan skala visual
analog nyeri) menjadi amat sukar. Tuli lebih sering terjadi, dan mungkin cukup berat
pada sekitar 35% pasien geriatri. 2

Disfungsi otonom juga sering terjadi, dan dapat mengakibatkan tekanan darah yang
labil, dan aritmia perioperatif. Reflek baroreseptor mungkin tertumpulkan, mengarah ke
hipotensi postural, dan jatuhnya tekanan darah selama anestesia, khususnya selama
induksi pada pasien yang relatif hipovolemia. Gangguan regulasi temperatur dan
perpanjangan waktu pengosongan lambung dapat juga muncul, yang disebut terakhir
merupakan predisposisi aspirasi. Karena itu induksi sekuensial cepat perlu dilakukan
pada pasien geriatri. 2

MUSKULOSKELETAL
Hampir semua penyakit degeneratif mempengaruhi populasi geriatri, dan artritis diderita
oleh hampir keseluruhannya. Hal ini membatasi latihan dan membuatnya sulit untuk
menduga kesegaran tubuh. Osteoporosis dan pengerasan ligamen membuat tehnik
epidural dan spinal menjadi sulit, pasien mempunyai kecenderungan untuk fraktur
maupun dislokasi sendi (bahkan pada servikal) pada saat dianestesi. Perlu perhatian
yang baik akan pergerakan dan penempatan pasien. Bagian yang mudah terkena tekanan
sebaiknya diberi bantal yang baik. 2

ENDOKRINOLOGI
Insidensi Diabetes Melitus meningkat pada usia tua, dan dapat terlihat pada lebih dari
25% pasien diatas 80 tahun. Pasien diabetes biasanya mendapat gangguan
kardiovaskuler, ginjal, neurologis, dan visual, dan membutuhkan pengendalian kadar
gula darah selama periode perioperatif.2

NUTRISI
Malnutrisi sering terjadi pada usia tua, dan berhubungan dengan peningkatan morbiditas
dan mortalitas. Percobaan pemberian suplementasi menurunkan lama tinggal di rumah
sakit dan komplikasi post operatif. Pertimbangkan suplementasi protein oral pada
mereka yang mengalami malnutrisi signifikan.2

PERSIAPAN PREOPERATIF2
1. Dibutuhkan riwayat penyakit dan penilaian klinis yang lengkap dan menyeluruh
:
a. ECG selalu diperlukan
b. Foto toraks diperlukan bila pasien diketahui mengidap keganasan atau
mungkin tuberkulosis, maupun pasien dengan gejala penyakit
kardiovaskuler atau pernapasan yang tidak mempunyai foto toraks
terbaru.
c. Perlu dicatat tingkat kognitif pasien dan lingkungan sosial pasien, karena
dapat membedakan prognosis perioperatif dan rencana untuk rehabilitasi
pasien post operatif.

Untuk TUGASMAS 211


212
2. Pada pasien fraktur, perlu secara aktif dicari penyebab tersembunyi terjadinya
jatuh, seperti aritmia, infark miokardial, TIA, CVE, emboli pulmoner, dan
perdarahan GIT.

3. Penilaian toleransi terhadap latihan dan kemampuan fungsional juga penting.


Fungsi dasar pasien sebaiknya didokumentasikan dengan baik. Jika terdeteksi
adanya penurunan cadangan fungsional, suatu fasilitas perawatan yang baik
ataupun intensif mungkin tepat dilakukan post operatif.

4. Penjelasan yang lengkap tentang periode perioperatif sebaiknya diberikan


dengan rinci (seperti terpasangnya kateter, NG tube, CVC, sehingga pasien
dapat menghadapinya ketika bangun). Jika pasien akan dipindah bangsal-kan
setelah operasi, suatu kunjungan preoperatif dapat membantu menurunkan
kebingungan setelah operasi.

5. Nilai ASA seharusnya dicatat, karena masih merupakan penduga yang baik
untuk outcome geriatri.

6. Resusitasi dan optimalisasi pre-operatif. Dehidrasi sering terjadi (perlu dicatat


bahwa kehilangan sejumlah besar cairan berhubungan dengan persiapan rutin
saluran cerna, dan sering terjadi kehilangan 50 – 1000 ml darah pada fraktur
leher femoral, khususnya dengan fraktur trokanter ekstrakapsuler). Selalu
pertimbangkan peresepan cairan preoperatif. Bila perlu pertimbangkan
kombinasi antara terapi cairan, oksigen, dan obat inotropik.

7. Bila dapat, pertimbangkan bedah satu hari, dengan keuntungan berupa


berkurangnya kebingungan, mobilisasi lebih dini, dan berkurangnya
kemungknan infeksi nosokomial. Cara ini membutuhkan perencanaan dan
penilaian preoperatif yang teliti, termasuk juga perincian keadaan sosial seperti
kemampuan dukungan dan perawatan di rumah.

8. Operasi luas dapat membahayakan pasien. Kadang-kadang keputusan terbaik


adalah tidak melakukan operasi dan keputusan ini harus dibuat pada tingkat
konsultan, yang secara ideal dilakukan saat konsultasi pasien yang disertai
anggota keluarganya.

PERAWATAN PERIOPERATIF2
1. Induksi Anestesi.
a. Waktu sirkulasi lengan ke otak meningkat, dan kebutuhan dosis agen
anestesi menurun secara drastis.
b. Titrasikanlah obat secara lambat sesuai efek, dan injeksikan kedalam
infusi yang masih berjalan.
c. Tiopental maupun propofol, keduanya bermanfaat, tetapi harus diberikan
secara lambat untuk mencegah overdosis. Dosis induksi porpofol dapat
menyebabkan induksi dan membutuhkan vasopresor.
d. Hindari penggunaan ketamine bila ada penyakit jantung karena
takikardia dan hipertensi yang terjadi dapat mengakibatkan peningkatan
kebutuhan oksigen miokardial dan memicu iskemia. Tetapi perlu diingat
bahwa efek halusinogenik ketamine pada geriatri tidak begitu tampak

Untuk TUGASMAS 212


213
dan karena itu obat ini tetap aman, dengan kemampuan analgesik,
anestetik, dan sedatif yang efektif.

2. Pemeliharan Anestesi
a. Pemeliharan dengan obat anestesi inhalasi merupakan tehnik yang cocok
untuk geriatri karena kedalamannya dapat diubah dengan cepat dan agen
inhalasi dimetabolisme minimal.
b. Isofluran mungkin yang paling cocok, karena relatif stabil dalam
pengaruh kardiovaskuler, mempunyai waktu onset dan ofset yang
pendek, dan hanya 0,2% dosis yang diberikan yang dimetabolisme.
c. Halotan mempunyai keuntungan tidak iritasi terhadap jalan napas atas,
walaupun mensensitisasi jantung terhadap katekolamin, sehingga dapat
mempredisposisikan pasien ke takiaritmia.
d. Eter telah berhasil digunakan selama bertahun-tahun, dan pada pasien
geriatri sebaiknya diberikan dalam konsentrasi rendah disertai dukungan
ventilasi, sehingga pasien dapat bangun lebih cepat dibanding bila
dipakai eter anestesia dalam.

3. Suhu tubuh
Pemeliharaan suhu tubuh baik pre-, intra- maupun post operatif amat
penting. Pasien geriatri mempunyai BMR yang menurun dan peka terhadap
kehilangan panas sebagai akibat gangguan termoregulasi. Menggigil akan
meningkatkan kebutuhan oksigen, dan sebaiknya dihindari semaksimal
mungkin. Pemeliharaan panas tubuh dengan pembungkusan (termasuk
kepalanya bila memungkinkan), menggunakan pemanas cairan ataupun
sistem pemanas udara aktif bila ada, dan dengan melakukan operasi pada
temperatur ambien hangat.

4. Penatalaksanaan cairan
Selalu pertimbangkan melakukan pengawasan cairan menggunakan CVC.
Pasien cenderung lebih sering kurang cairan daripada berlebihan, tetapi
harus selalu hati-hati terhadap kemungkinan overload, khususnya bila ada
gangguan ginjal, karena dapat menimbulkan edema pulmoner. Sebaliknya,
dehidrasi yang dapat sulit dinilai pada pasien tua, dapat memicu gagal ginjal.
Penilaian kembali secara reguler terhadap terapi cairan penting setelah
dilakukannya operasi besar.

5. Daerah tekanan
Kebanyakan luka akibat tekanan muncul dalam 24 jam setelah operasi, dan
lebih sering terjadi pada operasi yang lama, pada mereka yang mengalami
periode hipotensi dan perfusi jaringan yang buruk.

6. Anestesia regional atau umum ?


a. Keuntungan anestesia regional meliputi : jarang terjadi tromboemboli,
kebingungan, dan problem pernafasan post operatif. Untuk pembedahan
perifer, anestesia anggota tubuh dan pleksus cukup ideal, sedangkan
hernia dan katarak seringkali dilaksanakan dalam lokal anestesia.
b. Hipotensi lebih sering terjadi pada pasien geriatri yang menjalani
anestesia epidural / spinal karena gangguan fungsi otonom dan
penurunan komplians arterial. Pada pasien dengan penyakit
kardiovaskuler berat yang membutuhkan penjagaan ketat tekanan
darahnya mungkin lebih mendapatkan keuntungan dari anestesia umum.

Untuk TUGASMAS 213


214

PERAWATAN POSTOPERATIF2
1. Terapi Oksigen
Adalah baik bila diterapkan terapi oksigen post operatif, khususnya setalah
operasi bedah abdomen ataupun toraks, pada keberadaan penyakit
kardiovaskuler dan pernapasan, pada situai terjadi kehilangan darah
signifikan, ataupun bila analgesia opioid diberikan. Kanula nasal ditoleransi
lebih baik daripada masker.

2. Fasilitas Perawatan Tingkat Tinggi


Fasilitas ini dapat meningkatkan outcome jangka panjang pasien geriatri,
khususnya mereka yang menjalani operasi darurat maupun urgent.

3. Analgesia
a. Perimbangkanlah untuk memberikan analgesia yang sederhana seperti
parasetamol, dan gunakan NSAID dengan kehati-hatian karena
komplikasinya seperti gangguan ginjal dan ulkus peptikum sering terjadi
pada geriatri.
b. Opioid intramuskuler dan subkutan tidak dapat terjamin penyerapannya
karena perfusi jaringan yang bervariasi, dan seorang pasien geriatri yang
kebingungan mungkin kesulitan menggunakan PCA. Tehnik regional
maupun infusi opioid intravena dengan supervisi yang tepat mungkin
yang paling cocok untuk mengurangi nyeri.
c. Libatkan tim nyeri akut bila memungkinkan dan pertimbangkan
penggunaan tabel / kartu nyeri yang meliputi nyeri reguler, dan skor
sedasi.

4. Penatalaksanaan cairan
Penatalaksanan terapi cairan tetap penting pada tahap post operatif. Kartu
keseimbangan cairan sebaiknya digunakan dan secara hati-hati di-artikan.

5. Pertimbangan lain :
a. Fisioterapi dini dan fasilitas mobilisasi.
b. Pertimbangkan profilaksis trombosis vena dalam (khususnya pada
fraktur femur dan mereka yang terikat pada tempat tidurnya dalam waktu
lama).
c. Pengamatan kembali secara reguler akan kemungkinan komplikasi
postoperatif.
d. Nutrisi parenteral maupun enteral sebaiknya dilanjutkan.
e. Rehabilitasi dengan tim multidisiplin.

KEPUSTAKAAN
1. Morgan, G.E, Mikhail, M.S., Clinical Anesthesiology, Prentice-Hall International, Canada, 1996, p 743-8
2. Kelly F., et al, An Anesthesia for the Elderly Patient, Update In Anesthesia, 2003, II, p34-8.
3. Perioperatif Care, The Merck Manual of Geriatrics, http://www.merck.com, 27 Desember 2004.
4. Cook, D.J., Geriatric Anesthesia, http://www.americangeriatrics.org, 27 Desember 2004.

Untuk TUGASMAS 214


215

ICU
Strategi Oksigenasi
Pertukaran gas di paru, yaitu, pengambilan oksigen (O2) dan eliminasi karbon dioksida
(CO2), berhubungan dengan pergerakan dan distribusi gas ke dalam alveoli (ventilasi),
difusi gas antra alveoli dan darah (difusi), dan dengan volume dan distribusi aliran darah
melalui sirkulasi pulmoner (perfusi). Maka, hipoksemia pulmoner dapat terjadi akibat
hal-hal berikut:
1. Penurunan tekanan O2 yang diinspirasi (PIO2) (pada tempat yang tinggi)

2. Hipoventilasi alveolar yang mengakibatkan penurunan tekanan O2 alveolar (PAO2).

3. Gangguan difusi pada sawar darah alveoli (alveoli-blood barier)

4. Gangguan distribusi ventilasi dan perfusi akibat penyakit paru atau jantung1

Selama pernapasan dalam keadaan istirahat, jarang terjadi gangguan difusi yang
menyebabkan hipoksemia kecuali jika kapasitas difusi menurun kurang dari 45% nilai
yang diperkirakan (kapasitas difusi diukur dengan menggunakan metode single-breath
carbon monoxida (CO) diffusion).2 Hipoksemia arterial juga dapat diakibatkan oleh
adanya campuran darah vena sistemik tidak jenuh (desaturated) yang abnormal,
terutama dengan adanya gangguan pertukaran dan cardiac output yang rendah.3
Begitu pengambilan O2 ke dalam sirkulasi pulmoner sempurna, maka O2 akan diantar
ke dalam jaringan. Pengantaran O2 tergantung pada banyak faktor, termasuk tekanan O2
arterial (Pa O2), saturasi oksigen hemoglobin arterial, konsentrasi hemoglobin, bentuk
kurva disosiasi dan posisi dari oksihemoglobin, cardiac output, dan perfusi masing-
masing organ.1 Hipoksia jaringan dapat terjadi karena gangguan pada salah satu atau
lebih dari faktor-faktor tersebut.
Peningkatan fraksi O2 pada udara yang diinspirasi (FIO2) atau peningkatan tekanan O2
yang diinspirasi (PIO2) dapat memberi manfaat terapeutik dalam menangani penyakit
yang memiliki manifestasi berupa hipoksemia atau hipoksia jaringan. Terapi O2 telah
ditunjukkan memiliki manfaat jangka panjang dalam penanganan hipoksemia kronik
pada pasien denan penyakit paru obstruktif kronis (PPOK [COPD]).4,5 Namun, tidak
tersedia bukti mengenai outcome yang membaik dari percobaan klinis terkontrol
sehingga dapat memastikan manfaat terapi O2 pada pasien dengan sakit yang kritis.
Percobaan seperti itu dianggap tidak etis berdasarkan patofisiologi hipoksemia, dimana
percobaan tersebut dapat berakibat terjadi hipoksemia jaringan dan efek yang sangat
berat pada fungsi organ vital.6 Bab ini akan membahas strategi oksigenasi secara umum
dalam kaitannya terhadap pasien dengan sakit yang kritis dan juga membahas keadaan
klinis yang spesifik dengan tujuan memperbaiki keadaan hipoksemia.

INDIKASI TERAPI OKSIGEN


Pemberian suplemen O2 pada kondisi akut diindikasikan jika PaO2 kurang dari 60
mmHg atau jika saturasi oksigen hemoglobin arterial (SaO2) kurang dari 90%.1 Pada
nilai ini, dianggap telah terjadi hipoksia jaringan.1 Terapi O2 juga diindikasikan untuk
penyakit dengan hipoksia jaringan yang signifikan meskipun PaO2 tinggi, misalnya,
pada keracunan CO (akan dibahas kemudian).7

TUJUAN TERAPI OKSIGEN

Untuk TUGASMAS 215


216
Tujuan utama terapi O2 adalah untuk mengkoreksi keadaan hipoksemia, dan dengan
demikian, berarti meningkatkan kandungan O2 arterial (CaO2). Bila cardiac output
normal (Qt), koreksi hipoksemia akan meningkatkan pengantaran O2 (Qt X CaO2).
Salah satu ukuran kemampuan paru untuk mengantarkan O2 ke bed kapiler adalah
gradien tekanan O2 dari alveolar ke arterial, PAO2 - PaO2 atau P(A-a)O2. PAO2 dihitung
dengan menggunakan persamaan gas alveolar yang disederhanakan, yang didasarkan
pada prinsip kekekalan massa, yaitu:
PAO2 = FIO2(PB – PH2O) X PaCO2/R
Yaitu, dimana PB adalah tekanan barometrik (760 mmHG di atas permukaan laut),
PH2O adalah tekanan uap air (47 mmHg pada suhu 37oC), PaCO2 adalah tekanan
karbon dioksida arterial, dan R adalah respiratory quotient yang diestimasi sebesar 0,8.
PaO2 dan PaCO2 diukur dari sampel darah. Bagi seorang individu muda yang sehat
udara pernapasan pada ketinggian di permukaan laut nilai normal P(A-a)O2 nya adalah
sebesar 11 ± 3,1 (±SD) mmHg, tetapi gradien normal ini meningkat seiring dengan
pertambahan usia 8,9 dan FIO23,6. Hipoventilasi O2 maupun PIO2 yang rendah tidak
menyebabkan peningkatan gradien P(A-a)O2. Di sisi lain, difussi yang terganggu,
ketidak sesuaian (mismatch) antara ventilasi dan perfusi, shunting dari darah yang
melewati kapiler alveolar, dan percampuran darah vena desaturasi yang abnormal
kesemuanya dapat menyebabkan peningkatan gradien P(A-a)O2. Mudah atau tidaknya
koreksi hipoksemia dengan terapi O2 tergantung pada mekanisme patofisologi dari
hipoksemia yang terjadi.
FIO2 yang relatif rendah, yaitu kurang dari 50%, akan mengkoreksi hipoksemia yang
terkait dengan semua penyebab hipoksemia kecuali yang diakibatkan oleh mismatch
ventilasi-perfusi dan shunt intrapulmoner atau intrakardiak. Jika hipoksemia tidak
dikoreksi dengan FIO2 yang relatif rendah, maka pengantaran FIO2 yang tinggi harus
ditingkatkan dengan langkah-langkah yang lain guna menghindari toksisitas oksigen.
Namun, beberapa langkah yang ditujukan untuk menghindari toksisitas O2, seperti,
penggunaan positive end-expiratory pressure (PEEP), telah dikaitkan dengan terjadinya
barotrauma dan memperburuk kondisi kardiovaskular. Oleh karena itu, tujuan dari
terapi O2 tidak hanya untuk mengkoreksi O2 tetapi juga mencegah toksisitas O2 dan juga
komplikasi yang berkaitan dengan usaha meminimalkan toksisitas.

METODE PEMBERIAN OKSIGEN


Di rumah sakit, sumber gas untuk O2 dan udara yang tersedia berasal dari pipa yang
diberi tekanan sekitar 50 pound per inchi persegi (psi). Flowmeter yang disesuaikan
dengan tekanan ini mengatur laju pengantaran gas. Flowmeter standar dikalibrasi
hingga 15L/min, tetapi saat kran dari katup dibuka lebar (flush), maka akan diantarkan
aliran yang jauh lebih besar (sekitar 50 L/menit). Semua gas yang keluar dari sumber
tersebut bersifat kering dan harus dilembabkan untuk mencegah kekeringan pada
mukosa saluran pernafasan atas, kecuali jika laju aliran pemberiannya lambat.
Udara yang diperkaya dengan oksigen dapat diantarkan dengan metode yang noninvasif
atau yang invasif untuk mempertahankan hemoglobin arterial pada nilai saturasi sebesar
88% hingga 90% (60 mmHg PaO2) (tabel 120-1). Tidak perlu menargetkan kadar PaO2
yang lebih tinggi daripada 60 mmHg karena sedikit kenaikan pada hemoglobin yang
jenuh (saturated) tidak akan meningkatkan pengantaran O2 ke jaringan. Malah, jika hal
ini berkaitan dengan FIO2 yang tinggi, maka kadar PAO2 tersebut akan menjadi
predisposisi terjadinya toksisitas O2 pulmoner dan dapat berbahaya bagi pasien yang
mengalami depresi dorongan pernapasan sentral (central respiratory drive depression)
atau yang mengalami PPOK yang berat, karena akan terjadi hiperkapnea akut (akan
dibahas kemudian).10 Jika hipoksemia tidak dapat dikoreksi, maka digunakan berbagai
peralatan tambahan untuk meningkatkan oksigenasi (lihat tabel 120-1). Langkah ini
akan dibahas kemudian (lihat keadaan klinis spesifik).

Untuk TUGASMAS 216


217
Metode Pengantaran Oksigen Noninvasif
Dengan semua metode pengantaran O2 yang diperlihatkan pada tabel 120-1, kecuali
cuffed endotracheal tube, FIO2 dapat bervariasi tergantung padapola pernapasan pasien.
Pilihan terbaik yang memenuhi persyaratan paling rendah hingga sedang untuk
pemberian suplemen O2 kemungkinan adalah nasal cannula (gambar 120-1A). Bahkan
yang lebih penting daripada sekedar kenyamanan dalam penggunaannya, nasal cannula
akan memberikan aliran O2 yang terus menerus (kontinyu) saat pasien sedang makan,
meludah juga saat dilakukan perawatan rutin, seperti oropharingeal suctioning dan
pengukuran temperatur, atau saat salah satu lubang hidung lubang hidung mengalami
oklusi (misalnya, saat menggunakan pipa nasogastrik). Aliran O2 yang kontinyu
mengisi reservoir anatomis saluran pernapasan atas (yaitu, nasofaring dan orofaring).
Reservoir tersebut kosong sampai ke dalam paru-paru pada setiap inspirasi, bahkan saat
mulut terbuka lebar. Oleh karena itu, nasal cannula sama efektifnya saat pernapasan
hidung maupun mulut.11,12 Laju aliran O2 bervariasi dari 0,5 samapi 6 L/menit.
Pelembaban udara (humidification) harus dibrikan untuk aliran yang lebih dari 4
L/menit. Pada laju aliran O2 tersebut, FIO2 yang didapatkan tergantung pada menit
ventilasi (VE) dan pola pernapasan pasien. Trabel 120-2 menunjukkan pengantaran
FIO2 yang diinginkan dibandingkan dengan FIO2 yang diukur pada trakhea.13,14 karena
laju aliran yang lebih besar daripada 6 L/menit akan memberi rasa tidak nyaman pada
sebagian besar pasien, maka nasal cannula tidak cocok bila untuk FIO2 yang diinginkan
lebih 0,40.
Alat bantu telah ditambahkan pada nasal cannula sehingga pengantaran O2 menjadi
lebih ekonomis. Suatu reservoir miniatur yang terisi dengan O2 saat ekhalasi yang
kemudian akan diantarkan saat inhalasi.15 Cara pengantaran O2 seperti ini lebih sesuai
untuk pasien yang ambulatori (dapat bergerak berpindah tempat).
Masker (face mask) dapat digunakan untuk memberikan konsentrasi O2 yang lebih
tinggi daripada yang didapat dengan nasal cannula, karena masker menambah reservoir
O2 lebih banyak daripada reservoir pada saluran pernapasan atas. Untuk mendapatkan
hasil maksimal dari masker, maka masker dapat dipasang cukup ketat ke wajah pasien
jika diperlukan, dimana hal ini dapat memberi rasa kurang nyaman kepada pasien.
Dalam praktiknya, masker yang dipasang dengan cukup ketat ini masih dapat
ditoleransi. Masker juga kurang praktis jika dibandingkan dengan nasal cannula, karena
masker tersebut harus dilepas pada beberapa aktivitas yang perlu dilakukan oleh pasien
atau perawat sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, sehingga menyebabkan
FIO2 menurun selama aktivitas tersebut dilakukan.16
Ada empat jenis masker yang umum digunakan:
 Simple face mask

 Partial rebreather mask

 Non-rebreather masks

 Venturi mask

Semua masker ini menggunakan aliran O2 yang sedang dari sumber O2 yang berada di
dinding.

Simple face mask memiliki inlet O2 pada bagian dasarnya dan lubang-lubang pada
bagian sisinya untuk ekshalasi (lihat gambar 120-1B). FIO2 tergantung pada laju aliran
O2 yang masuk (inflow), volume tidal pasien (VT), dan laju inspirasi. Pada saat laju

Untuk TUGASMAS 217


218
aliran puncak melebihi laju aliran O2 yang masuk (inflow), maka akan ditambahkan
dengan udara dari ruangan sekitar masker dan masuk melalui lubang pada sisi masker.
FIO2 yang diantarkan oleh simple mask bervariasi dari sekitar 0,35 pada laju aliran 6
L/menit sampai 0,55 pada laju aliran 10 L/menit.17 pada laju aliran O2 yang kurang dari
6 L/menit, CO2 dapat mengumpul di dalam masker, yang secara efektif akan menambah
dead space (VD).18 Umumnya, simple mask tidak digunakan dengan pelembab udara
(humidifier).18

Partial rebreather mask terdiri dari simple mask dengan kantung reservoir (reservoir
bag) yang dapat mengempis (collapsible) yang melekat pada bagian dasar masker
(gambar 120-2A). O2 mengalir secara terus menerus ke reservoir bag. Saat ekshalasi,
sekitar sepertiga dari udara yang dihembuskan akan kembali ke dalam reservoir bag dan
bercampur dengan O2 yang berasal dari sumber O2, sementara sisanya keluar melalui
lubang. Jadi selama inhalasi pasien menghisap kembali udara yang telah dihembuskan
sebelumnya. Jika laju aliran O2 yang masuk (inflow) disesuaikan sehingga bag tidak
mengempis selama inhalasi, maka jumlah CO2 yang mengkontaminasi reservoir bag
dapat diabaikan. Meskipun masker ini dapat memberikan pengantaran O2 dengan
konsentrasi yang lebih tinggi, FIO2 yang dapat dicapai dengan alat ini hanya sekitar
0,60 dengan laju inflow O2 sebesar 10 L/menit.19

Non-rebreather mask juga merupakan masker dengan reservoir bag yang berisi O2
(lihat gambar 120-2B). Perbedaan dengan partial rebreather mask adalah non-
rebreather mask menggunakan dua set katup satu arah. Pada non-rebreather mask, satu
set katup satu arah menutup lubang pada sisi masker selama inhalasi sehingga hampir
semua gas yang dihirup berasal dari reservoir bag. Katup satu arah yang lain berada di
antara masker dengan reservoir bag sehingga gas yang dihembuskan (ekshalasi) tidak
memasuki reservoir bag dan harus keluar melalui lubang di bagian sisi masker atau
keluar di sekitar masker. Umumnya, dengan menggunakan non-rebreather mask bisa
didapatkan konsentrasi O2 yang lebih tinggi (80% sampai 95%) dengan laju aliran lebih
dari 10L/menit dibandingkan dengan partial rebreather mask. Diperlukan kewaspadaan
untuk memastikan agar reservoir bag tidak mengempis (kolaps). Begitu bag kolaps,
maka laju pengantaran O2 tidak akan memenuhi VE yang dibutuhkan, yang akan
menyebabkan pasien harus berusaha keras melawan katup untuk mendapatkan
tambahan udara yang berasal dari ruangan. Jadi, pasien yang menggunakan non-
rebreather mask harus diobservasi ketat.

Non-rebreather mask dan partial rebreather digunakan untuk pasien dengan kegagalan
pernasan akut yang menolak untuk dilakukan intubasi endotrakheal, dimana metode
pengantaran O2 noninvasif merupakan pilihan yang lebih disenangi. Umumnya masker
ini digunakan jika noninvasive positive pressure ventilation (NPPV) telah gagal atau
pasien tidak dapat mentoleransinya.

Venturi mask dipasangkan pada bagian alat untuk memasukan gas yang diberi kode
warna yang spesifik (color-coded entrainment device) yang mengantarkan suatu nilai
FIO2 yang telah ditentukan (set) dalam laju aliran yang telah ditentukan pula (gambar
120-3). Color-coded entrainment device memiliki beberapa lubang (orifices) dengan
berbagain ukuran tertentu dimana O2 mengalir dengan kecepatan tinggi atau sebagai
suatu jet. Udara dimasukkan melalui tempat jet dengan proporsi yang sebanding dengan
kecepatan O2 yang bergerak melalui orifice. Percampuran O2 dan udara disebabkan
oleh perpotongan gaya-gaya yang terjadi pada tepi aliran jet dan bukan karena tekanan
lateral di orifice dari jet. 20 Dengan menggunakan venturi mask, FIO2 tidak dapat
melewati nilai yang telah ditentukan, tetapi jika aliran total O2 dan udara yang ikut
bercampur kurang daripada nilai yang telah aliran inspirasi puncak pasien, maka FIO2

Untuk TUGASMAS 218


219
nya akan kurang daripada nilai yang ditentukan.13 FIO2 yang diantarkan dapat berkisar
dari 0,24 sampai 0,50. Karena dengan metode ini FIO2 relatif lebih dapat dikontrol
daripada metode pengantaran O2 noninvasif yang lain, venturi mask ideal untuk pasien
dengan COPD yang dekompensasi dengan retensi CO2.

Sistem masker non-rebreather dengan aliran tinggi memberikan FIO2 yang konstan
dalam rentang yang lengkap dari 0,21 sampai 1,0 (gambar 120-4). Sistem ini
memerlukan sumber O2 dengan aliran yang tinggi. Dnegna menggunakan masker non-
rebreather, alat pencampur yang dapat memberikan aliran keluar lebih dari 100 L/menit
mencampur udara tekanan tinggi dan O2 yang berasal dari sumber gas. Flowmeter yang
dapat mengantarkan aliran sebesar 100 sampai 120 L/menit juga dapat langsung
dipasangkan di pada outlet standar 50 psi yang terdapa di dinding untuk memberikan
aliran O2 yang tinggi. Udara yang diperkaya dengan O2 kemudian dilembabkan dan
mengisi reservoir bag sebelum kemudian diantarkan ke pasien.21 Rasio antara laju
aliran udara dan O2 ditentukan oleh FIO2. Selama aliran gas memenuhi kebutuhan VE
pasien, maka tetap diberikan FIO2 yang konstan.

Satu atau dua jet nebulizer juga dapat digunakan bersamaan dengan masker non-
rebreather untuk membuat sistem aliran tinggi dengan FIO2 yang terkontrol dari 0,28
sampai 1,0.21 Jet nebulizer ini memberikan aliran O2 100% yang maksimum sebesar 12
sampai 14 L/menit. Sayangnya, aliran gas total yang diduga dihasilkan pada FIO2 yang
lebih dari 0,50 tidak adekuat untuk mengantarkan konsentrasi O2 yang diinginkan. Pada
konsentrasi O2 yang lebih rendah, total aliran gas tinggi karena rasio udara masuk tinggi,
tetapi untuk FIO2 yang tinggi, aliran gas total lebih rendah karena untuk mencapai
konsentrasi O2 yang tinggi, maka udara yang dibutuhkan lebih sedikit. Dengan
menggunakan model paru, antara FIO2 yang telah ditentukan (set) sebesar 1,0 dengan
konsentrasi O2 yang dianalisa pada bagian distal paru didapatkan perbedaan yang
diperkirakan sebesar 9% sampai 50%. Rentang perbedaan yang lebar antara FIO2 yang
telah ditentukan dan yang dapat dicapai tersebut merupakan suatu fungsi dari pola
pernafasan.21

Metode Invasif Pengantaran Oksigen

Metode pengantaran oksigen yang invasif meliputi nasal dan transtrakheal catheter
serta tracheostomy dan endotracheal tube (lihat gambar 120-1). Nasal catheter terdiri
dari pipa dengan beberapa lubang pada bagian ujungnya, dan ditempatkan pada bagian
belakang palatum molle. Kateter ini harus selalu digunakan bersama dengan pelembab
udara (humidifier). Nasal catheter lebih aman daripada nasal cannula tetapi
mengantarkan konsentrasi O2 yang sama dengan laju aliran yang sama pula. 12
Pengunaan nasal catheter untuk perawatan dalam keadaan yang kritis secara jangka
panjang kurang populer dilakukan dibandingkan dengan nasal cannula karena catheter
harus digunakan pada salah satu lubang hidung secara bergantian setiap 8 jam dan hal
ini memberikan iritasi yang lebih besar terhadap mukosa nasal. Penggunaan yang paling
sering dilakukan saat ini terbatas pada terapi jangka pendek, yang mungkin akan
diperlukan di ruang pemulihan.19

Untuk pengantaran O2 dengan menggunakan catheter trastracheal diperlukan tindakan


memasukan kateter kecil ke dalam trachea di antara membran cricothyroid dan
manubrium sterni.22 Bentuk pengantaran O2 ini ditujukan untuk penggunaan jangka
panjang pada pasien ambulatori dengan hipoksemia kronis.22,23 Metode ini bisa
ditoleransi oleh sebagian besar pasien dan memiliki angka komplikasi yang masih bisa
diterima. 24 Keunggulan utamanya adalah penghematan O2 yang diperoleh dengan
mengurangi laju aliran sehingga menurunkan biaya yang dikeluarkan. 22,25 selain itu,

Untuk TUGASMAS 219


220
metode ini memiliki manfaat memperbaiki toleransi terhadap latihan (exercise) dan
mengurangi lamanya pasien tinggal di rumah sakit karena penyakit pada
pernapasan.25,26 Mekanisme perbaikan toleransi terhadap exercise masih belum jelas dan
tampaknya tidak berkaitan dengan koreksi hipoksemia.

Endotracheal tube dengan cuff merupakan cara pemberian O2 tanpa memasukan udara.
Jika pasien tidak dihubungkan dengan sirkuit ventilator, gas yang telah dilembabkan
diberikan melalui T piece atau dengan mask endotracheal (untuk pasien yang
ditrakheostomi). Jika O2 diantarkan melalui T piece, maka FIO2 tergantung pada sistem
nebulisasi udara yang masuk. Konsentrasi O2 yang diantarkan akan tetap konstan jika
total aliran keluar setara atau melebihi kebutuhan ventilasi pasien. 19 Suatu pendekatan
alternatif untuk mempertahankan FIO2 tetap konstan adalah dengan penggunaan tube
ekstensi dengan kaliber yang lebar (wide-bore extension tubing) pada T piece sisi
ekspirasi.19 Cara ini berguna untuk membentuk suatu reservoir dan menghindari agar
gas yang dihirup tidak didilusi oleh udara yang berasal dari ruangan.

Tracheostomy mask merupakan suatu tudung kecil dengan kubah terbuka yang
membentuk daerah yang menyerupai tenda di atas trakheostomi. FIO2 dan kelembaban
udara bervariasi dikarenakan masuknya udara dari ruangan. Cara ini lebih nyaman
daripada menggunakan T piece karena kurang menyebabkan traksi.

MONITORING TERAPI OKSIGEN

Dengan metode pengantaran O2 noninvasif dan beberapa metode yang invasif, FIO2
yang diberikan seringkali bervariasi dan tidak dapat ditentukan secara akurat. Selain itu,
efisiensi pertukaran gas tidak dapat dinilai kecuali pasien bernapas dengan udara di
dalam ruangan. Karena tujuan dari terapi O2 adalah mengembalikan PaO2 yang adekuat,
maka pengukuran langsung PaO2 atau SaO2 diperlukan untuk menilai efikasi terapi.
PaO2 bisa didapatkan dari analisis gas darah arterial (blood gas analysis), yang juga
akan sekaligus memberikan informasi mengenai ventilasi dan status asam-basa. Sampel
darah arterial dapat diambil secara intermiten sesuai kondisi klinis dengan analisis gas
darah yang dilakukan di laboratorium.

Cara yang lain, sampel darah arterial dapat diambil dan dianalisa segera ditempat
dengan tujuan menempatkan sensor fluorescent ekstravaskular pada arterial
monitoring-pressure line.27 Untuk mengukur gas darah, darah dikeluarkan dan masuk ke
dalam arterial pressure line dan melewati sensor yang terdapat pada line tersebut.
Setelah pengukuran, darah dikembalikan ke dalam tubuh pasien. Keunggulan dari
metode ini adalah mengurangi kesalahan sampling pre-analisis yang dikaitkan dengan
analisis gas darah yang konvensional, mengurangi resiko infeksi pada pasien dan
operator, dan memberi kesempatan untuk dapat melakukan analisis gas darah lebih
sering.27 namun, dengan kedua metode tersebut, hanya suatu nilai PaO2 tersendiri saja
(isolated) yang diperoleh dan digunakan untuk membuat keputusan dalam
penatalaksanaan.

Variasi spontan PaO2 yang sangat besar terjadi pada pasien di unit perawatan intensif
(ICU) yang malah tampak stabil secara klinis. 28,29 Suatu penelitian memperlihatkan
variasi rata-rata dari PaO2 (yang diukur dengan interval 5 menit selama 1 jam) sebesar
17,4 ± 9,0 (±SD) mmHg.28 Variasi dengan besar yang sama dilaporkan pada penelitian
yang lebih awal.29 derajat variasi spontan dari PaO2 sama untuk pasien yang bernapas
secara spontan dan pasien yang mendapatkan ventilasi mekanis.28 Atas alasan ini,

Untuk TUGASMAS 220


221
keputusan terapi mungkin seharusnya tidak didasarkan pada satu nilai PaO2 tersendiri
saja (isolated) tetapi lebih didasarkan pada nilai trend yang terjadi. Analisis gas darah
intra-arterial yang menggunakan sensor intravaskular akan memberikan jalan untuk
memonitor trend PaO2 dan dapat mendeteksi perubahan oksigenasi yang signifikan
secara lebih dini. Sayangnya, ada beberapa kesulitan substasial dalam pembuatan sensor
gas darah intravaskular sehingga teknologi ini belum dapat digunakan di ICU saat ini.30

Begitu suplemen O2 diberikan, menjadi suatu kebiasan untuk melakukan pengukuran


gas darah arterial setelah sekitar 30 menit. Pada penelitian yang melibatkan 30 pasien
heterogen yang secara klinis stabil yang mendapatkan ventilasi mekanis, setelah
peningkatan FIO2 sebesar 0,20 waktu equilibrium rata-rata 90% (t90%) untuk PaO2
adalah 6,0 ± 3,4 menit (±SD) dengan kisaran (range) dari 1,7 sampai 14,3 menit.31 t90%
didefinisikan sebagai waktu yang dibutuhkan untuk mencapai 90% dari keseimbangan
(equilibrium) akhir PaO2. Suatu persamaan eksponensial digunakan untuk
menggambarkan peningkatan PaO2. Untuk suatu subgrup pasien dengan PPOK
(COPD), t90% rata-ratanya lebih panjang daripada pasien tanpa PPOK, yaitu masing-
masing secara berurutan adalah 7,1 menit dibandingkan dengan 4,4 menit. Pada grup
gabungan yang terdiri dari pasien yang mengidap PPOK dan yang tidak menderita
PPOK (n =8), t90% yang didapatkan tidak berbeda secara signifikan setelah peningkatan
FIO2 sebsesar 0,20 atau 0,40. Para penulis tersebut juga memeriksa korelasi antara t90%
dan tekanan darah rata-rata, forced expiratory volume dalam 1 detik (FEV1), frekuensi
pernapasan, heart rate, dan PaO2 awal. Dari berbagai variabel tersebut, tekanan arteri
rata-rata memilii korelasi yang paling tinggi dengan t90%,, diikuti dengan korelasi
terbalik dari FEV1. Variabel yang lain tidak memiliki korelasi secara signifikan dengan
t90%. Oleh karena itu, efek perubahan FIO2 terhadap PaO2 selama ventilasi mekanis
dapat dnilai dalam waktu sekitar 15 menit.31 waktu equilibrium yang memanjang
mungkin diperlukan bagi pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil dan PPOK
berat.

Berkebalikan dengan pengukuran PaO2 yang intermiten, pemeriksaan SaO2 yang terus
menerus (kontinyu) dengan pulse oxymetri telah digunakan secara luas untuk
memonitor oksigenasi arterial.32 Pulse oxymetri telah menjadi bagian standar monitorin
di ICU. Prinsip kerjanya adalah berdasarkan absorbsi cahaya merah dan inframerah
yang berbeda-beda oleh oxyhemoglobin dan hemoglobin tereduksi dari fraksi pulsatile
darah (pulsatile:pulse/denyutan yang sedang berlangsung) di bawah probe sensor.
Persentase saturasi hemoglobin kemudian dihitung dari nomogram yang didapatkan dari
penelitian terhadap relawan yang sehat.33 Alat tersebut dapat mengkalibrasi sendiri dan
sederhana dalam penggunaannya. Pada pasien yang sehat dan sakit kritis dengan perfusi
arteri yang adekuat, pulse oxymeter umumnya akurat pada SaO2 yang lebih dari
90%.34,35 Akurasi pulse oxymetri terganggu jika SaO2 turun dibawah 80% atau kurang
dari itu pada subjek sehat yang bernapas spontan36 dasn jika SaO2 adalah sebesar 90%
atau kurang pada pasien dengan ventilasi mekanik. 37 Pada pasien dengan hipoksemia,
saturasi oksigen hemoglobin yang direkam oleh pulse oxymetri (SpO2) secara sistematis
memberi perkiraan SaO2 yang berlebihan (overestimate). Tabel 120-3 mendata faktor
lain yang mempengaruhi akurarasi pembacaan saturasi pulse oxymetri.

Pulse oxymetri dapat diandalkan untuk digunakan dalam menilai respo terhadap
perubahan FIO2 .37 Namun, target yang sering digunakan, SpO2 sebesar 90%, tidak
perlu selalu memiliki korelasi dengan nilai PaO2 yang adekuat. Target SpO2 yang
optimal tampaknya dipengarui oleh pigmentasi kulit pasien.37 Pada pasien kulit putih
yang diintubasi, nilai target SpO2 sebesar 92% dapat diandalkan untuk memprediksi
oksigenasi yang adekuat. Pada pasien kulit hitam, target SpO2 sebesar 95% diperlukan
untuk menghindari hipoksemia. Namun, pada beberapa pasien, nilai target ini dapat pula
Untuk TUGASMAS 221
222
dikaitkan dengan dengan PaO2 yang lebih dari 100 mmHg, dan jika kadar PaO2 ini
berkaitan dengan FIO2 yang tinggi, maka target SpO2 yang sebesar 95% dapat
menyebabkan toksisitas O2.37 Tampaknya bijaksana untuk mentargetkan SpO2 92% atau
95% , tergantung pada pigmentasi kulit pasien, pada FIO2 paling rendah yang mungkin
terjadi.

Artifak bergerak yang mengganggu (mendistorsi) akurasi pembacaan saturasi oleh pulse
oxymetri merupakan masalah yang sering dihadapi pada praktik klinis50 yang menjadi
tanda peringatan palsu (false alarms).31 Baru-baru ini, telah dilakukan usaha untuk
memperbaiki rasio sinyal dan gangguan (noise). 32 Masalah lain yang membingungkan
pada situasi klinis adalah kurangnya pengetahuan di antara para praktisi mengenai
prinsip dasar dan interpretasi pembacaan pulse oxymetri. 33 Pada kenyataannya, salah
satu masalah yang paling serius adalah salah dalam memeriksa kembali (false
reassurance) pembacaan SpO2 “normal” untuk pasien yang mendapatkan suplemen O2.
Meskipun demikian, pasien dapat merasakan bahwa kondisi klinisnya memburuk
dengan terjadinya hiperkapnea yang mengancam nyawa dan dapat memerlukan ventilasi
segera.

TERAPI OKSIGEN DALAM SITUASI KLINIS YANG SPESIFIK

Kegagalan Ventilasi Hiperkapnea Akut

Pasien dengan PPOK dapat mengalami kondisi klinis yang memburuk yang ditandai
oleh hiperkapnea dan hipoksemia. Hiperkapnea berkaitan dengan ketidakmampuan
pompa ventilasi untuk mengkompensasi beban pengisian yang meningkat pada otot-otot
pernapasan. Hipoksemia terutama berkaitan dengan ketidaksesuaian (mismatch) antara
ventilasi dan perfusi dan umumnya memberi respon terhadap pemberian suplemen O2
dalam kadar tertentu. Pemberian O2 yang berlebihan dapat mengakibatkan peningkatan
PaCO2, khususnya selama terjadinya kegagalan ventilasi akut. 36,37 fenomena ini telah
diyakini sebelumnya diakibatkan oleh supresi dorongan bernapas saat hipoksia (hipoxic
drive to breath) yang diinduksi oleh O2 dengna akibat penurunan VE dan peningkatan
PaCO2. Penelitian yang terbaru pada pasien dengan PPOK yang secara klinis stabil 56,58
atau selama kegagalan ventilasi akut 10,57 menperlihatkan bahwa pemberian O2 hanya
menyebabkan perubahan VE yang kecil saja yang hanya mempengaruhi sebagian kecil
dari peningkatan PaCO2 . Bagian besar dari hiperkapnea yang diinduksi O2 berkaitan
dengan peningkatanan rasio VD terhadap VT (VD/VT) atau akibat perubahan dalam
penyesuaian ventilasi-perfusi sebagai akibat relaksasi jalan nafas yang dimediasi oleh
O2 dan membebaskan dari vasokonstriksi pulmoner hipoksik. 57 Pada model komputer ,
pembebasan dari vasokonstriksi pulmoner hipoksik dan efek Haldane masing-masing
telah ditunjukkan bertanggungjawab terhadap setengah dari peningkatan PaCO2 yang
diinduksi oleh O2.59 Efek Haldane menjelaskan peningkatean PaCO2 untuk kandungan
CO2 yang telah fix bersamaan dengan peningkatan SaO2. Namun, efek Haldane dapat
berkerja pada suatu sistem tertutup. Oleh karena itu, pentingnya efek Haldane di dalam
suatu sistem terbuka sebagaimana padas hiperkapnea yang diinduksi O2 masih belum
jelas.

Selama kegagalan ventilasi akut, terapi O2 memiliki efek terhadap hemodinamik yang
terbatas. Pasien dengan cor pulmonale dekompensasi dan edema perifer memunculkan
depresi pada kontraktilitas ventrikel kanan dengan fraksi pengeluaran (ejection)
ventrikel kanan yang rendah dibandingkan dengan fraksi pengeluaran ventrikel kanan
pada pasien tanpa edema.60 Pada pasien ini, pemberian O2 tidak mengurangi tekanan

Untuk TUGASMAS 222


223
arteri pulmoner rata-rata (Ppa) atau resistensi vaskuler pulmoner (PVR) atau
memperbaiki kontraktilitas ventrikel kanan. Serupa dengan hal itu, pada pasien dengan
PPOK yang dekompensasi akibat bronkhitis kronis, maka pemberian O2 untuk
mengembalikan PaO2 dari rata-rata sebesar 36 mmHg hingga lebih dari 60 mmHg tidak
merubah Ppa, PVR, ataupun cardiac output.61 Pengantaran O2 meningkat dari 11,1
hingga 19,3 mL/Kg/menit. Efek terapi O2 tampaknya memperbaiki sistem pengantaran
O2 karena perbaikan SaO2 tanpa perubahan yang signifikan dari variabel yang lain.

Meskipun terapi O2 memilii sedikit efek pada Ppa dan PVR, terapi kombinasi O2 dan
Nitric Oxide (NO) yang akut menurunkan Ppa dan PVR dan memperbaiki PaO2 pada
pasien dengan PPOK berat yang stabil.62 Sebaliknya, terapi NO sendiri saja telah
diperlihatkan menyebabkan pengurangan PaO2 yang signifikan.63 Namun, terapi
kombinasi ini belum dievaluasi selama terjadinya kegagalan ventilasi.

Terapi O2 yang digunakan selama kegagalan ventilasi akut untuk pasien PPOK adalah
pemberian O2 aliran rendah dengan menggunakan nasal cannula atau Venturi mask
untuk mencapai PaO2 sebesar 60mmHg atau SaO2 sebesar 92%. Dengan memberikan
keseimbangan yang tepat antara perbaikan oksigenasi dan terjadinya hiperkapnea, maka
seharusnya pasien tidak mengalami kekurangan O2 untuk mengkoreksi hipoksemia.
Intubasi diindikasikan berdarakan terjadinya efek yang tidak diinginkan akibat asidosis
respiratori yang objektif, yaitu, pH yang kurang dari 7,20, status mental yang depresi,
atau terjadinya aritmia kardiak. 64 Namun, berdasarkan data dari perbandingan antara
NPPV dan terapi konvensional, NPPV secara signifikan menurunkan frekuensi
intubasi.65,66

Dari empat penelitian prospektif terkontrol yang random (randomized controlled)67-70


yang membandingkan beberapa terapi tersebut, hasil utama dari tiga penelitian di
antaranya adalah menghindari penggunaan intubasi endotrakheal.68-70 Dari dua
penelitian diantaranya, 68,69 yaitu penelitian terhadap pasien PPOK yang telah diseleksi
(sebagian besar dengan kegagalan pernapasan hiperkapnea), jumlah pasien yang
membutuhkan intubasi endotrakheal secara signifikan lebih sedikit jika dengan
menggunakan NPPV (sekitar 30%) dibandingkan dengan grup kontrol yang
mendapatkan terapi konvensional (sekitar 70 %). Pasien yang diikut sertakan di dalam
penelitian sangat diseleksi. Padas penelitan oleh Brochard dan kolega, 69% pasien
dengan PPOK yang telah mengalami kegagalan ventilasi akut dikeluarkan dari
penelitian. Pada penelitian yang ketiga, dimana peneliti mengevaluasi pasien tanpa
PPOK atau kegagalan pernapasan nonhiperkapnea, jumlah pasien membutuhkan
intubasi adalah sama di antara pasien yang menerima NPPV (13 dari 21 pasien atau
62%) dan pasien yang mendapatkan terapi konvensional (14 sampai 20 pasine atau
70%).70 Tingginya jumlah pasien yang membutuhkan intubasi berkaitan dengan
pertukaran O2 yang memburuk, distress pernapasan, dan encephalopaty. NPPV
tampaknya memiliki sedikit efek yang bermanfaat untuk terapi pasien dengan kegagalan
pernapasan nonhiperkapnea.70 Berbagai penelitian tersebut menunjukkan bahwa pasien
dengan PPOK yang memperlihatkan kegagalan ventilasi hiperkapnea, maka harus
diberikan terapi NPPV sebagai lini pertama bersama dengan pemberian bronchodilator,
kortikosteroid, dan terapi untuk penyebab terjadinya eksaserbasi.

Tipe mask atau cara ventilasi yang optimal untuk memberikan NPPV masih belum
jelas. Masker yang digunakan adalah masker untuk nasal ataupun facial yang dipasang
ketat untuk menghindari kebocoran yang signifikan. Assist control (AC) dengan
volume-cycled atau pressure support ventilation (PSV) baik dengan ataupun tanpa
PEEP telah digunakan.68-70 Kedua cara ventilasi tersebut efektif dalam mengurangi kerja
pernapasan dan usaha pasien, tetapi tampaknya PSV memberi kenyamanan lebih

Untuk TUGASMAS 223


224
daripada AC.71 sebagian besar cara ventilasi menggunakan tekanan inspirasi 12 sampai
20 cm H2O dan PEEP sebesar 0 – 6 cm H2O.65 O2 diberikan langsung ke dalam masker
untuk mendapatkan SaO2 yang lebih dari 92%. Indikasi dan kontraindikasi spesifik,
seleksi pasien, seting ventilasi, proses aplikasi dan penghentiannya, dan efek samping
yang berkaitan dengan penggunaan masker nasal dan facial dibahas pada bab 119.

Inhalasi NO memiliki efek menguntungkan sebagai tambahan untuk terapi O2 pada


pasine dengan sindrom distress pernapasan dewasa (ARD) (dibahas kemudian). Pada
pasien dengan PPOK berat dan dengan hipertensi arteri pulmoner sekunder, inhalasi NO
sebesar 40 bagian per sejuta (ppm) mengurangi tekanan arteri pulmoner dari 26 ke 22
mmHg dan PaO2 dari 56 mmHg hingga 53 mmHg pada pernapasan dengan udara di
dalam ruangan. Penurunan PaO2 yang diakibatkan memburukanya distribusi ventilasi-
perfusi. Shunt intrapulmoner pada udara ruangan adalah kecil (2,7%) dan tidak
berpengaruh terhadap pernapasan NO.72 Jadi, pada pasien dengan PPOK, yang
hipoksemianya terutama lebih diakibatkan oleh ketidakseimbangan ventilasi-perfusi
daripada oleh shunt, dengan menghirup NO dapat memperburuk oksigenasi.

Asma Akut

Selama episode akut dari asma berat, dituntut dilakukan penilaian gas darah. PaO2
berkurang dengan dengan meningkatnya obstruksi jalan nafas, tetapi pasien dengan
obstruksi jalan nafas dapat mempertahankan PaO2 yang lebih dari 60 mmHg. 73
Umumnya, hiperkapnea tidak terjadi kecuali jika FEV`1 turun di bawah 20% dari nilai
prediksinya.73 Jadi, terjadinhya hiperkapnea pada pasein asma berat yang akut dianggap
sebgai indikator dari beratnya penyakit.

Tidak seperti kasus asma pada dewasa, SaO2 merupakan indikator yang berguna untuk
asma akut pada anak-anak dengan outcome yang buruk dan oleh karenanya beratnya
penyakit tidak tergantung oleh faktor klinis.74 pada 280 anak dengan asma akut yang
didapatkan di departemen gawat darurat, SaO2, dari anak-anak tersebut yang memiliki
outcome yang buruk adalah 92,7% ± 3,0% (± SD, n = 150), dan SaO2 dari anak-anak
yang memiliki outcome yang baik adalah 95,4% ± 1,8% (n = 130) (P < 0,01). Outcome
yag buruk didefinisikan sebagai kambuhnya asma akut dan perlu rawat inap di rumah
sakit. Dengan penggunaan receiver operating characteristic (ROC), SaO2 yang sebesar
91% adalah nilai ambang (trehshold) yang terbaik untuk memprediksi outcome yang
terburuk (misalnya, memerlukan terapi kortikosteroid intravena dan bronkodilator).
Namun, hasil dari penelitian ini didasarkan pada analisis post hoc (post hoc = hubungan
sebab akibat berdasarkan urutan kejadian saja).

Mekanisme yang mendasari hipoksemia selama episode akut dari asma berat berkaitan
dengan mismatch ventilasi-perfusi tanpa adanya shunt yang bermakna.75,76 Pada asma
akut, dengan pemberian bronkodilator parenteral akan lebih memperburuk
ketidaksesuaian ventilasi-perfusi jika dibandingkan dengan pemberian bronkodilator
untuk tingkat perbaikan laju aliran yang sama. 77 Ketidakseimbangan ventilasi-perfusi
dengan penggunaan bronkhodilator yang diberikan secara parenteral diakibatkan oleh
peningkatan cardiac output yang substansial. Karena tidak adanya shunt yang bermakna,
pasien ini dengan mudah dapat merespon terhadap pemberian suplemen O2 sedang
dengan adanya perbaikan dari kondisi hipoksemia.

Terapi O2 tidak perlu dikontrol.78 Laju aliran O2 dapat diberi setinggi yang dibutuhkan,
meskipun pada pasien dengan PPOK akan mengalami keadaan hiperkapnea yang
semakin memburuk karena terjadi peningkatan mismatch ventilasi-perfusi (dibahas
kemudian). Pada lima orang pasien dengan asma yang dapat bernapas spontan, dengan

Untuk TUGASMAS 224


225
rasio FEV1 basal terhadap forced vital capacity (FEV1/FVC) sebesar 53% dan PaO2
sebesar 77 mmHg dengan udara ruangan, PaCO2 meningkat dari rata-rata sebesar 37
mmHg menjadi 40 mmHg (P < 0,05) setelah 20 menit dengan pernapasan O2 100%).77
Serupa dengan itu, rasio area perfusi-ventilasi yang rendah juga meningkat secra
signifikan setelah FIO2 yang tinggi. Meskipun demikian, tampaknya pasien dnegan
asma akut memiliki resiko yang kecil untuk mengalami hiperkapnea yang diinduksi
oleh O2. Namun, penelitian tersebut dilakukan pada sejumlah kecil pasien dengan
obstruksi saluran nafas. Di sini hipoksemia lah, dan juga asidosis (dalam tingkatan yang
lebih rendah) yang merupakan masalah yang menggangu.

Pemberian oksigen meningkatkan bronkokonstriksi yang diinduksi oleh latihan


(exercise) pada pasien dengan asma yang stabil. 79 FIO2 yang tinggi dapat merubah
respon jalan nafas terhadap rangangan bronkokonnstriktor dan bronkodilator. Pada
pasien dengan asma stabil dengan SaO2 basal sebesar 96% dengan pernapasan udara
ruangan, FIO2 sebesar 1,0 tidak akan lebih memberikan potensi respon bronkodilator
terhadap salbutamol yang dinebulisasi jika dibandingkan dengan plasebo.80 Interaksi
antara FIO2 yang tinggi dan beta agonis pada pasien hipoksemia dengan asma akut yang
berat belum dievaluasi.

Modalitas terapi supportif yang lain pada asma berat yang akut terutama diarahkan pada
membebaskan jalan nafas dari obstruksi dan hipoventilasi alveolar. Hal ini akan
didiskusikan pada bab 134.

OBSTRUKSI JALAN NAPAS ATAS


Obstruksi jalan napas atas dapat memicu timbulnya gagal ventilasi. Berbagai macam
penyebabnya antara lain tumor laring, edema laring, sindroma disfungsi pita suara,
croup, dan stridor pasca ekstubasi. Manifestasi yang tampak pada pasien adalah distres
napas, kerja dari otot bantu pernapasan, dan stridor inspiratoar. Gejala ini desebabkan
oleh tahanan jalan napas yang meningkat nyata selama obstruksi. Kelainan pertukaran
gas dicirikan dengan hiperkapnea akut dengan hipoksemia yang terutama dihubungkan
dengan hipoventilasi alveolar. Pada sebagian besar pasien dari penelitian ini memiliki
penyakit parenkim paru sebelumnya dengan rasio ventilasi-perfusi yang rendah yang
menyebabkan peningkatan yang sesuai dengan gradien P(A-a)O2. O2 tambahan
sederhana mengoreksi hipoksemia pada kasus ini. Distres napas dan hipoventilasi
alveolar merespon cepat terhadap pemberian campuran gas helium-oksigen (helioks—
80% He, 20% O2). Hal ini dikarenakan hilangnya tekanan karena aliran turbulensi gas
pada obstruksi tergantung dari densitas gas. Densitas sebesar 80% He adalah sekitar
sepertiga dari udara ruangan, dan oleh karena itu helioks menurunkan tekanan yang
bergerak di jalan napas yang menyempit, tahanan jalan napas menurun.
Secara umum, helioks adalah gas campuran dengan konsentrasi 80% atau 70%
He dan 20% atau 30% O2. Karena tingginya kemampuan difusi He, helipks harus
diberikan dalam sistem tertutup seperti pada masker non-rebreathing. Ketika FIO2 yang
Untuk TUGASMAS 225
226
lebih tinggi diperlukan, O2 tambahan yang sesuai dapat diberikan melalui kanula
hidung.
Helioks telah dilaporkan bermanfaat dalam pengobatan penyakit jalan napas
difus yang berhubungan dengan asma dan penyakit paru obstruktif kronis.
Bagaimanapun, penelitian ini adalah percobaan yang tidak dikontrol. Penelitian acak,
crossover, double-blind pada 11 pasien anak yang masuk rumah sakit karena asma
(berusia 5 sampai 18 tahun) dilaporkan bahwa setelah15 menit menghirup helioks (70%
He, 30% O2) tidak menunjukkan perbaikan FEV1, FVC, atau skor dispneu. Laju aliran
ekspirasi puncak secara signifikan lebih tinggi dengan helioks dibandingkan dengan
udara (berturut-turut 56% vs 50% dari nilai yang diprediksi), tetapi perubahannya kecil.
Pada kelompok anak dengan asma akut ini, pengobatan helioks jangka pendek tidak
memberi manfaat apapun.
KEGAGALAN NAPAS HIPOKSEMIK AKUT
Penyebab penting kegagalan napas hipoksemik akut adalah sindroma distres napas akut.
Ada banyak sebab yang berhubungan dengan sindroma distres napas akut, tetapi
penyelidikan terakhir berfokus pada mediator inflamasi yang menyebabkan inflamasi
sistemik. “Sindroma distres napas akut” adalah istilah yang umum digunakan untuk
stadium paling berat dari spektrum jejas paru akut dan didefinisikan sebagai sindrom
inflamasi dan peningkatan permeabilitas yang berhubungan dengan kumpulan kelainan
klinis, radiologis, dan fisiologis yang dapat muncul bersamaan dengan hipertensi atrium
kiri dan hipertensi pulmonal.
Hipoksemia pada sindroma distres napas akut adalah akibat dari alveoli yang
dipenuhi cairan dan penurunan volume paru yang menyebabkan terbentuknya pintas
intrapulmonar dari kanan-ke-kiri. Penelitian fisiologis dari pasien ini menunjukkan
bahwa pintas (shunt) adalah mekanisme utama terjadinya hipoksemia. Pada pasien ini,
penurunan PO2 (PVO2) vena campuran atau pemberian FIO2 sebesar 1.0 tidak
mempengaruhi derajat pintas intrapulmonal. Dan sebaliknya, pintas intrapulmonal
memiliki konsekuensi:
1. PaO2 dipengaruhi secara nyata oleh perubahan Pvo 2
2. Hipoksemia resisten terhadap peningkatan FIO2.
Implikasi klinis adalah sebagai berikut:
1. Penurunan PaO2 tidak tidak mempengaruhi memburuknya edema paru tetapi mungkin
berhubungan dengan faktor-faktor yang menyebabkan ketidakseimbangan antara
kebutuhan dan pengiriman oksigen. Faktr-faktor ini meliputi konsentrasi yang rendah

Untuk TUGASMAS 226


227
dari hemoglobin, Sao2, dan cardiac output dan peningkatankonsumsi oksigen yang
dapat muncul bersamaan pada pasien dengan sindroma distres napas akut.
2. Dengan pintas yang besar, terdapat peningkatan PaO2 yang kecil meskipun dengan
pemberian O2 100%. Tetapi, karena bentuk kurva disosiasi hemoglobin , untuk
kenaikan FIO2 yang diberikan, peningkatan Cao 2 pada pintas kecil atau besar adalah
mirip. Karena Cao 2 adalah determinaan yang penting dari pengiriman oksigen,
meningkatkan FIO2 dengan target Sao 2 sebesar 90% adalah strategi O2 awal yang
penting. Sayangnya, respon ini mendatangkan risiko kemungkinan toksisitas oksigen
karena tingginya FIO2. Konsentrasi tepat dari O2 dan lama paparan yang menginduksi
kerusakan paru pada manusia tidak diketahui. Bagaimanapun, akan lebih bijak
membatasi paparan FIO2 yang tinggi (> 60%) sesingkat mungkin, dan untuk alasan itu,
cara tambahan untuk memperbaiki oksigenasi pada FIO2 yang paling rendah penting
untuk dilakukan.
Oleh karena itu, strategi O2 awal pada pasien dengan kegagalan napas
hipoksemik adalah memberikan FIO2 tinggi melalui masker non-rebreathing. Rasio Pao2
/FIO2 adalah indeks terbaik untuk memantau kelainan pertukaran gas pada pasien
dengan sindroma distres napa akut. Ini disebabkan rasio ini memiliki variabilitas paling
kecil, terutama pada nilai FIO2 di atas 0,50 dan nilai Pao2 di bawah 100 mmHg.
Hiperkapnea jarang terjadi dengan pemberian FIO2 tinggi kecuali pintasnya besar
(>50% dari cardiac output ). Bahkan pada tingkat ini, hipoksemia berat meningkatkan
VE yang sebagian diperantarai oleh rangsangan hipoksia yang diinduksi oleh
kemoreseptor perifer. Pemakaian ventilasi tekanan positif dengan maksud
meningkatkan tekanan rata-rata jalan napas dan mengurangi pintas adalah terapi O2
tambahan yang penting. Tekanan rata-rata jalan napas dapat ditingkatkan dengan
meningkatkan tekanan inspirasi puncak, VT , PEEP,atau waktu inspirasi.
Selain penggunaannya pada pasien dengan kegagalan ventilasi hiperkapnik,
NPPV telah dipakai pada pengobatan pasien dengan kegagalan napas hipoksemik. Pada
penelitian yang tisak dikontrol, NPPV digunakan pada sejumlah besar pasien dengan
kegagalan napas hipoksemik akut dari berbagai macam kasus (n= 41). Empat belas
(34%) dari pasien, termasuk dua dari tiga pasien dengan sindroma distres napas akut,
memerlukan intubasi. Pada penelitian retrospektif terkontrol pada pasien dengan
kegagalan napas hipoksemik, frekuensi intubasi pada mereka yang mendapat NPPV dan
pengobatan konvensional adalah mirip. Tampaknya, jika pengobatan konvensional
gagal, ventilasi bertekanan positif yang invasif adalah aliran utama terapi O2.

Untuk TUGASMAS 227


228
Penelitian acak pada 64 pasien dengan kegagalan napas hipoksemik akut yang
mula-mula diobati dengan NPPV atau ventilasi mekanikkonvensional, NPPV sama
efektifnya dengan ventilasi mekanik konvensional dalam memperbaiki pertukaran gas
pada pasien yang tahan terhadap NPPV. NPPV juga dihubungkan dengan kemungkinan
kecil pneumonia-karena-ventilasi dan durasi perawatan di ICU yang lebih singkat.
Perawatan di ICU lebih singkat karena NPPV menghindarkan penggunaan sedasi.
Bagaimanapun juga, 10 dari 32 (31%) pasien dalam kelompok NPPV membutuhkan
intubasi rata-rata setelah 15 jam. pasien yang membutuhkan intubasi berusia lebih tua
(rata-rata, 62 vs 47 tahun) dan memiliki nila SAP (simplified acute physiologic) (rata-
rata, 16 vs 12) daripada mereka yang tahan terhadap NPPV. Pasien dengan nilai SAP 16
atau lebih memiliki hasil yang mirip tanpa tergantung dengan tipe ventilasi.
Penelitian yang menyokong penggunaan VT rendah (<6 ml/kg) dan kadar PEEP
sedikit di atas titik infleksi yang rendah pada kurva tekanan-volume yang statis. Dalam
perbandingan dengan ventilasi mekanik konvensional dengan VT sebesar 12 ml/kg dan
PEEP sukup untk mempertahankan SPO2 lebih besar dari 85% (rata-rata, 13,4; antara 6-
20 cm H2O), pendekatan dengan VT rendah memperbaiki oksigenasi arteri secara
signifikan. Pada pendekatan VT rendah, kebalikan rasio ventilasi dipakai ketika
kebutuhan FIO2 lebih besar dari 0,50. Oksigenasi, yang tercermin dari rasio Pao 2/FIO2,
meningkat segera dengan penurunan fraksi pintas (shunt). Tekanan jalan napas rata-rata
meningkat hanya saat tahap awal ventilasi mekanik, tetapi perbaikan oksigenasi
menetap, mencerminkan pemulihan nyata dari proses parenkim paru yang mendasari.
Dengan pendekatan ini, jumlah hari rata-rata dimana kebutuhan FIO2 lebih besar dari
0,50 secara signifikan lebih pendek, 1,1 dibandingkan 5,1 hari, daripada dengan
ventilasi mekanik konvensional. Frekuensi komplikasi-yang-diinduksi-ventilasi, seperti
barotrauma atau pneumonia-yang-diinduksi ventilator, adalah mirip diantara kedua cara
ventilasi mekanik tersebut.
Perluasan dari penelitian ini, kelompok investigator yang sama telah
menunjukkan bahwa pendekatan VT rendah memperbaiki kelangsungan hidup pada 28
hari (11 dari 29 pasien atau 38% vs 17 dari 24 pasien atau 71% pada kelompok ventilasi
mekanik konvensional meninggal) dan meningkatkan angka penghentian ventilasi
mekanik. Berlawanan dengan penelitian sebelumnya, angka barotrauma juga menurun
secara signifikan. Faktor yang berhubungan dengan meningkatnya kelangsungan hidup
adalah nilai APACHE II (Acute Physiology and Chronic Health Evaluation), rata-rata
PEEP, dan tekanan penggerak (yaitu perbedaan antara tekanan plateu dan PEEP) selama
36 jam pertama daripada pencegahan toksisitas oksigen atau penghindaran barotrauma.

Untuk TUGASMAS 228


229
Pendekatan VT rendah memungkinkan CO2 meningkat, menyebabkan apa yang
disebut hiperkapnea “permisif”. Efek dari hiperkapnea permisif pada hemodinamik
diteliti dalam penelitian pada 25 pasien (usia rata-rata 32 tahun) dengan sindroma
distres napas akut yang mendapat pendekatan VT rendah dan 23 pasien yang mendapat
ventilasi mekanik konvensional. Kenaikan Paco 2 rata-rata adalah sebesar 23 ± 11 mm
Hg (± SD) dari nilai dasar sebesar 35 mm Hg dengan Paco 2 maksimum sebesar 114 mm
Hg dan pH minimum 6,88. Hiperkapnea permisif memicu takikardi, peningkatan
cardiac output dan pengiriman oksigen, dengan konsumsi oksigen yang tidak berubah.
Tekanan rata-rata arteri paru meningkat, tetapi karena peningkatan yang bersamaan dari
cardiac output , PVR tetap tidak berubah. Tekanan oklusi arteri paru juga meningkat
ketika tahanan pembuluh darah sistemik turun. Dalam penelitian ini, tingkat PEEP yang
relatif tinggi (rata-rata 16,3 cm H2O) pada kelompok VT-rendah tidak memiliki efek
depresan pada kardiovaskular. Setelah sekitar 36 jam, variabel-varuabel ini serupa pada
pasien yang mendapat ventilasi mekanik konvensional. Karenanya, efek hiperkapnea
permisif pada hemodinamik berlangsung singkat. Bagaimanapun juga, pasien masih
muda dan tidak memiliki penyakit kardiovaskular dan saraf sebelumnya.
Sebagai jalan lain untuk mengatasi hiperkapnea permisif, beberapa metode telah
diperkenalkan untuk meningkatkan eliminasi CO2. Ini meliputi: (1) Insuflasi gas trakea,
(2) teknik pertukaran gas ektrapulmonal (penghilangan CO2 ekstrakorporeal), dan (3)
pertukaran gas caval intravena (IVOX). Oksigenasi membran ekstrakorporeal (ECMO)
adalah tehnik pertukaran gas ekstrapulmonal yang ditujukan untuk mengoksigenasi
darah daripada mengeliminasi CO2
Cara lain untuk memperbaiki oksigenasi meliputi:
 Posisi telungkup(prone)
 Ventilasi cair parsial
 Penggunaan surfaktan, NO, dan inhalasi prostasiklin

Posisi Telungkup
Pada penelitian yang telah diterbitkan pada 129 pasien dengan sindroma distres napas
akut, posisi telungkup memperbaiki oksigenasi pada 100 pasien (78%) dengan derajat
efek samping yang dpaat diterima. Kriteria perbaikan Pao2 bervariasi. Perbaikan yang
didapat dari posisi telungkup secara umum menghilang ketika pasien dikembalikan ke
posisi terlentang, walaupun beberapa pasien memepertahankan pertukaran gas yang
lebih baik. Perbaikan pada Pao2 adalah hasil penurunan fraksi pintas intrapulmonal dan
kesesuaian ventilasi-perfusi yang lebih baik.

Untuk TUGASMAS 229


230
Mekanisme dimana posisi telungkup memperbaiki oksigenasi pada sindroma
distres napas akut berhubungan dengan penurunan gradien tekanan pleura regional dari
daerah dependen ke nondependen. Pada posisi telungkup, gradien ini lebih rendah dan
daerah dorsal 9nondependen) terpapar tekanan pleura yang lebih rendah, menyebabkan
pengerahan alveoli yang sebelumnya atelektasis sementara perfusi dipertahankan.
Untuk alasan itu, dinyatakan bahwa posisi telungkup paling menguntungkan pada tahap
awal sindroma distres napas akut ketika edema paru dan atelektasis mendominasi.
Blanch dkk menunjukkan bahwa durasi sindroma distres napas akut sebelum
posisi telungkup secara signifikan lebih pendek pada perespon daripada non-perespon,
berturut-turut 12 ± 16 (±SD) vs 33 ± 42 hari. Pada penelitian yang tidak dikontrol,
posisi telungkup dikombinasikan dengan pendekatan VT-rendah dari ventilasi mekanik
memperbaiki kelangsungan hidup pada pasien dengan sindroma distres napas akut.
Pengamatan ini perlu dikonfirmasi pada penelitian besar yang dikontrol.
Ventilasi Cair Parsial
Ventilasi cair parsial (PVL) atau PAGE (perfluorocarbon-associated gas exchange),
tehnik ventilasi kombinasi antara gas mekanik dan cairan dengan perfluoro-oktil
bromida (perflubron), menjanjikan sebagai terapi O2 tambahan pada pasien dengan
sindroma distres napas akut. Perflubron adalah cairan dengan kelarutan O2 dan CO2
yang tinggi dan memiliki tegangan permukaan yang rendah dan densitasnya hampir dua
kali densitas air. Ini mengup secara perlahan dan didistribusikan secara homogen.
Karena densitasnya tinggi, sekresi jalan napas debris sel nonadherent cenderung
mengapung di atasnya; oleh karena itu, perflubron kemungkinan besar bekerja sebagai
pembersih. Karena penguapan, PLV membutuhkan penggantian perflubron setiap hari.
Perflubron memperbaiki mekanik paru oleh dua mekanisme yang berbeda.
Pertama, ini menurunkan tegangan permikaan dengan melapisi alveoli dan
mempertahankan stabilitas alveolus. Kedua, zat cair yang non-compressible secara fisik
menggelembungkan alveoli dan meniadakan hubungan antar permukaan alveoli-udara.,
dan secara bersamaan, aliran darah dialihkan ke daerah nondependen. Perubahan ini
menyebabkan perbaikan kesesuaian ventilasi-perfusi dan oksigenasi dengan
mengerahkan dan mempertahankan pengerahan area atelektasis dan dengan
mengarahkan kembali aliran darah terhadap daerah nondependen yang terventilasi lebih
baik.
Sebuah penelitian pendahuluan pada 10 pasien dengan sindroma distres napas
akut yang juga mendapat dukungan ekstrakorporeal dijumpai bahwa pemenuhan statis
membaik dan fraksi pintas menurun dari median (nilai tengah) 0,72 sampai 0,46 selama

Untuk TUGASMAS 230


231
72 jam setelah inisiasi PLV. Komplikasi yang berhubungan dengan PLV adalah satu
kasus masing-masing pneumotoraks pembentukan sumbatan mukus. Kelangsungan
hidup seluruhnya adalah 50%. Percobaan terkontrol lebih lanjut dibutuhkan untuk
mengklarifikasi peranan PLV pada pengobatan sindroma distres napas akut.
Surfaktan
Surfaktan mengurangi tegangan permukaan dan menstabilkan alveoli. Pada sindroma
distres napas akut, baik komposisi kimia maupun aktivitas fungsional sistem surfaktan
paru rusak. Terapi surfaktan, oleh karena itu, kemungkinan besar bermanfaat untuk
pengobatan sindroma distres napas akut. Dua jenis surfaktan yang tersedia untuk terapi
surfaktan:
 Surfaktan alami dari ekstrak bovine (misalnya Survanta dan Alveofact) atau porcine
lung (misalnya Curosurf)
 Surfaktan sintetis (misalnya Exosurf)
Surfaktan alami mengandung protein surfaktan B dan C, yang penting untuk aktivitas
permukaan dan fisiologis. Surfaktan sintetis tidak mengandung kedua protein ini.
Penelitian besar terkontrol satu-satunya pada terapi surfaktan telah dilakukan oleh
Anzueto dkk, yang menggunakan surfaktan sintetis aerosol dalam pengobatan pasien
dengan sepsis yang diinduksi sindroma distres napas akut. Terapi surfaktan tidak
menawarkan manfaat dalam memperbaiki oksigenasi atau menurunkan mortalitas
dibandingkan dengan plasebo. Pada penelitian yang tidak dikontrol dari 10 pasien, juga
dengan sepsis yang diinduksi sindroma distres napas akut, surfaktan bovine (300 mg/kg
berat badan) diberikan melalui bronkoskopi meningkatkan rasio Pao2/FIO2 dan
mengurangi fraksi pintas. Pasien telah menggunakan ventilasi mekanik selama rata-rata
3 hari (antara 1 sampai 7 hari). Pada separuh pasien, dosis ulangan sebesar 200 mg/kg
berat badan diberikan dalam waktu 18 sampai 24 jam karena penurunan rasio Pao 2/FIO2
setelah terapi awal. Angka kelangsungan hidup adalah sebesar 80% (8 dari 10 pasien)
selama 14 hari periode observasi. Penelitian pendahuluan acak terkontrol, surfaktan
bovine dalam berbagai dosis yang berbeda diberikan melalui kateter yang ditempatkan
proksimal terhadap karina selama 48 jam pada pasien dengan sindroma distres napas
akut. Satu-satunya rejimen yang menghasilkan perbaikan oksigenasi dan penurunan
mortalitas dibandingkan kelompok kontrol adalah dengan dosis 100 mg/kg berat badan
dalam 4 dosis. Dua rejimen lain diteliti, 50 dan 100 mg/kg berat badan , masing-msing
diberikan dalam 8 dosis, tidak menunjukkan efek bermanfaat apapun. Dosis 50 mg/kg
berat badan menginduksi perubahan kecil pada konsentrasi desaturated
phosphatidylcholine. Dosis terbesar menyebabkan perubahan terbasar pada kadar

Untuk TUGASMAS 231


232
fosfatidilkolin, tetapi manfaatnya tampaknya diimbangi oleh volume cairan yang besar.
Surfaktan alami mungkin memiliki peranan sebagai tambahan terapi O2 pada sindroma
distres napas akut, tetapi penelusuran lebih jauh diperlukan untuk menetukan cara
pengiriman yang optimal, jumlah dosis dan waktu pemberian.
Nitrat Oksida (NO)
Tidak seperti keadaan pada pasien dengan penyakit paru obstriktif kronik, NO inhalasi
menurunakn tekanan arteri paru dan memperbaiki oksigenasi pada pasien dengan
sindroma distres napas akut. NO secara selektif mendilatasi pembuluh darah paru tanpa
vasodilatasi sistemik yang signifikan karena NO diinaktivasi dengan cepat oleh ikatan
dengan hemoglobin. NO menurunakan tekanan arteri paru terutama karena penurunan
tahanan kapiler-venus.
Respon terhadap NO tergantung pada derajat vasokonstriksi paru.
Semakin berat vasokonstriksi, semakin berat penurunan PVR. Karena vasodilatasi
regional, NO menyebabkan redistribusi aliran darah ke daerah yang terventilasi, oleh
karena itu menurunkan pintas intrapulmonal dan memperbaiki kesesuaian ventilasi-
perfusi dan oksugenasi. Penurunan fraksi pintas, bagaimanapun, adalah bentuk
sederhana (<10%). Hanya NO konsentrasi kecil ( 2ppm) yang dibutuhkan untuk
mencapai penurunan maksimum pada tekanan arteri paru. Inhalasi NO jangka panjang
tidak menginduksi takifikasis. Toksisitas NO melibatkan peningkatan kadar
methemoglobin dan pembentukan nitrogen dioksida (NO2), yang tergantung pada
konsentrasi NO dan O2. Konsentrasi NO2 sebesar 2 ppm cukup untuk mengubah
permeabilitas alveoli, dan oleh karena itu NO konsentrasi tinggi harus dihindari.
Efek inhalasi NO jangka panjang padea produksi NO2 tidak diketahui.
Penghentian NO yang tiba-tiba dapat menyebabkan hipertensi pulmonal rebound dan
memburukanya oksugenasi. NO memiliki peran yang menjanjikan sebagai tambahan
terapi O2 pada pasien dengan sindroma distres napas akut, tetapi sejumlah besar
penelitian klinis terkontrol diperlukan untuk menentukan apakah NO akan memperbaiki
hasil.
Dalam masa terapi O2 selama ventilasi mekanik, O2 yang diberikan
mungkin terkontaminasi NO dengan kadar yang signifiksn. Pinsky dkk kontaminasi
sistem udara yang dimampatkan di rumah sakit dengan kadar variabel NO (<1 sampai 6
ppm) yang bervariasi luas sepanjang waktu. Karena ventilasi mekanik menggunakan
udara yang dimampatkan untuk mengirimkan udara ruangan yang dicampur dengan O2
murni untuk menetukan variabel FIO2, kontaminasi ini adalah sumber inhalasi NO
“gaib”. Hal ini dapat mempengaruhi oksigenasi. Faktanya, pada pasien pasca operasi

Untuk TUGASMAS 232


233
dengan paru normal, kelompok investigator yang sama menunjukkan bahwa
kontaminasi NO dalam sistem udara yang dimampatkan memperbaiki oksigenasi secara
signifikan dibandingkan dengan nilai yang didapat ketika subjek menghirup O2 yang
dicampur dengan N2 untuk FIO2. Apakah kadar NO dan kadar variabelnya di sistem
udara yang dimampatkan di rumah sakit memiliki arti fisiologis atau farmakologis
masih harus ditentukan.
Prostasiklin
Penggunaan prostasiklin aerosol (PGI2) adalah sebuah tehnik lain yang menghasilkan
vasodilatasi selektif dan redistribusi aliran darah ke daerah yang terventilasi-dengan
baik. Berlawanan dengan infus prostasiklin, yang mendilatasi pembuluh darah paru baik
pada daerah yang terventilasi maupun tidak, oleh karena itu meningkatkan pintas
intrapulmonal, prostasiklin inhalasi menurunkan pintas dan tekanan arteri paru. Dosis
NO (18 ppm) dan prostasiklin (8 ng/kg/menit) yang dititrasi secara individual telah
dibuktikan mengurangi tekanan arteri paru dan pintas intrapulmonal pada derajat yang
mirip. Pengalaman yang lebih jauh dengan pemakaian prostasiklin aerosol sebagai
tambahan terapi O2 pada pasien dengan sindroma distres napas akut adalah hal yang
penting.
Berbagai Macam Keadaan Klinis
Penyakit Kardiovaskular
Hipoksemia arteri sering dijumpai dalam keadaan infark miokard, dan O2 tambahan
hampir selalu dipesan untuk pasien seperti ini. Selain itu, penelitian terkontrol, double-
blind gagal membuktikan bahwa terapi O2 memiliki efek pada mortalitas atau insiden
aritmia. Pada percobaan binatang, O2 tambahan (FIO2 sebesar 0,50) mungkin memiliki,
jika ada, efek yang mengganggu daripada efek menguntungkan dalam hal perubahan
konsentrasi elektrolit dan kandungan air dalam miokard iskemik. Dalam penelitian pada
binatang, O2 100% dan terapi reperfusi mengurangi ukuran infark miokard dan
memperbaiki fungsi ventrikel kiri dibandingkan dengan binatang kontrol yang bernapas
dengan udara ruangan. Demikian juga, pemberian O2 hiperbarik dan terapi trombolitik
secara bersamaan memiliki efek yang sinergis dalam mengurangi ukuran infark
dibandingkan dengan terapi tunggal. Penelitian ini menyatakan bahwa FIO2 tinggi
(diperantarai oleh radikal bebas yang berasal dari oksigen) tidak memperluas jejas
miokard.
Hipoksemia arteri juga sering terjadi (80%) pada pasien dengan stenosis
arteri koroner yang mendapat premedikasi sebelum operasi bypass arteri koroner. Pada

Untuk TUGASMAS 233


234
kelompok pasien ini, O2 tambahan menurunnya frekuensi desaturasi hemoglobin arteri,
tetapi ini mengurangi frekuensi iskemia miokard.
Pada pasien dengan edema paru kardiogenik akut, O2 tambahan adalah
bagian dari terapi standard. Selanjutnya, penelitian acak terkontrol pada beberapa pasien
pilihan dengan edema paru kardiogenik, penambahan continuous positive airway
pressure (CPAP) sebesar 12,5 cm H2O pada terapi O2 memperbaiki oksigenasi dan
fungsi jantung. Angka intubasi juga menurun secara signifikan, dari 36% pasien (18 dari
50) dengan oksigen saja menjadi 16% pasien (8 dari 50) dengan terapi oksigen dan
CPAP. CPAP digunakan selama 3 tahun dengan masker wajah. Semua pasien mendapat
terapi farmakologis berdasarkan panduan yang telah ditetapkan. Sayangnya, mortalita
rumah sakit atau lama tinggal secara signifikan tidak berbeda antara kedua kelompok.
Pada penelitian lain pada pasien dengan gagal jantung kongestif berat,
pemberian oksigen 100% menyebabkan penurunan cardiac output dan meningkatkan
tekanan pengisian ventrikel kiri dan tahanan pembuluh darah sistemik. Peningkatan
konsentrasi oksigen (24%, 40%, dan 100%) menyebabkan pemburukan yang progresif
dari variabel-variabel ini. Hiperoksia dipercaya melemahkan relaxing factor yang
didapat dari endotelium, menyebabkan perubahan hemodinamik yang tidak diinginkan.
Oleh karena itu, oksigen tambahan pada pasien normoxic dengan gagal
jantung kongestif dapat berbahaya. Karena efek yang menggangu dari hipoksemia pada
fungsi miokard, kami merekomendasikan terapi oksigen pada asien dengan arteri
koroner yang compromised atau gagal jantung kongestif dengan hipoksemia terkait.
Percobaan klinis terkontrol diperlukan untuk mengklarifikasi peranan terapi oksigen
dengan atau tanpa reperfusi pada pasien dengan infark miokard akut yang tidak
mengalami hipoksemia arteri . CPAP noninvasif memiliki peranan yang potensial dalam
pengobatan pasien dengan gagal jantung kongestif, tetapi lamanya terapi dan pemilihan
pasien masih harus ditentukan.
Pada pasien dengan penyakit kardiovaskular, kita juga harus terbiasa
terhadap fakta bahwa hipoksemia dapat diperburuk oleh obat-obat yang digunakan
untuk memperbaiki infark miokard. Misalnya, nitrogliserin dapat menginduksi
hipoksemia dengan meningkatkan pintas intrapulmonal, dan dopamin dan dobutamin
dapat menginduksi hipoksemia yang signifikan secara klinis dengan meningkatkan baik
pintas(shunt) maupun kesesuaian ventilasi-perfusi.
Penyakit Hati
Sindroma hepatopulmonal adalah keadaan klinis dengan ciri-ciri (1) penyakit hati kronis
(umumnya, tetapi tidak selalu, sirosis), (2) peningkatan gradien P(A-a)O2 waktu istirahat

Untuk TUGASMAS 234


235
saat menghirup udara ruang, dan (3) bukti pelebaran pembuluh darah intrapulmonal
tanpa adanya penyakit kardiopulmonal yang signifikan. Mekanisme hipoksemia yang
berbeda dihubungkan dengan derajat keparahan hipoksemia yang berbeda. Dengan
hipoksemia ringan, ketidakseimbangan ventilasi-perfusi karena kontrol yang tidak
adekuat dari tonus pembuluh darah paru dalam merespon hipoksia atau hiperoksia
adalah hal yang utama. Bagaimanapun, ketika penyakit berlanjut dan hipoksemia
menjadi lebih parah, pintas intrapulmonal dan keterbatasan difusi oksigen memainkan
peran yang penting dalam mekanisme hipoksemia.
Keterbatasan difusi oksigen dinamai defek difusi-perfusi. Karena
pelebaran pembuluh darah paru yangn nyata, jarak difusi antara udara alveoli dan pusat
kapiler bertambah. Ketika seseorang menghirup udara ruang, tekanan pendorong
terhadap O2 (PAO2 ≈ 150 mm Hg) tidak cukup tinggi untuk mengoksigenasi pusat
kapiler, menyebabkan hipoksemia arteri. Cardiac output yang tinggi yang biasanya
dijumpai pada pasien ini makin memperparah hipoksemia karena menurunnya waktu
penyeimbangan kapiler. Proses ini juga diperhebat ketika pasien berdiri dari posisi
berbaring. Mekanisme yang menyebabkan pelebaran pembuluh darah paru masih sedikit
yang dimengerti. Terdapat bukti dari beberapa penelitian percobaan binatang bahwa NO
mungkin memiliki peran. Satu penelitian menunjukkan korelasi signifikan antara NO
yang dihembuskan dengan gradien P(A-a)O2 pada pasien dengan sindroma
hepatopulmonal.
Konsentrasi sedang dari O2 tambahan mengoreksi sebagian besar
hipoksemia, tetapi konsentrasi tinggi O2 dibutuhkan untk mengoreksi hipoksemia berat.
Pengobatan farmakologis (menggunakan almitrine bismesylate, analog somatostatin,
indomethacin, methylene blue, atau plasmaferesis) yang ditujukan untuk memperbaiki
pelebaran pembuluh darah paru ternyata mengecewakan. Pengalaman terbaru telah
mendokumentasikan perbaikan sindroma hepatopulmonal-karena hipoksemia setelah
transplantasi hepar. Waktu perbaikan oksigenasi pasca operasi bervariasi dari beberapa
hari sampai 14 bulan. Pintas portosistemik intrahepatik transjugular dapat memainkan
peran tetapi hanya pengobatan paliatif pada pasien yang menunggu transplantasi hepar.
Pneumotoraks
Pada perawatan kritis, pneumotoraks dapat berkembang secara spontan atau dengan
cara iatrogenik (misalnya insersi kateter subklavia, thoracentesis, atau ventilasi tekanan-
positif).pipa torakostomi harus dipasang secepatnya ketika pneumotoraks terjadi selama
ventilasi tekanan-positif dengan keadaan kardiopulmonal yang membahayakan atau
ketika menghentikan bantuan ventilator tidak memungkinkan. Pasien dengan

Untuk TUGASMAS 235


236
pneumotoraks derajat ringan (<20% dari hemitoraks) yang tidak diobati dengan pipa
torakostomi atau aspirasi harus mendapat oksigen konsentrasi tinggi. Ini karena laju
absorpsi udara pleura, yang rendah, 1,25% dari volume tiap 24 jam, dipercepat ketika
pasien bernapas dengan oksigen konsentrasi tinggi.
Pada penelitian binatang dna manusia, tambahan oksigen meningkatkan
laju absorpsi udara pleura berturut-turur sebanyak enam kali lipat dan empat kali lipat.
Pada penelitian binatang, helioks (80% He-20% O2) meningkatkan laju absorpsi udara
pleura sebanyak sembilan kali lipat, leju yang serupa dengan binatang yang mendapat
oksigen 100%. Penggunaan helioks dapat menghindarkan efek merugikan yang serius
yang dikaitkan dengan menghirup oksigen konsentrasi tinggi. Percobaan klinis perlu
dilakukan untuk mengkonfirmasikan hasil ini.
Keracunan Karbon Monoksida
Karbon monoksida dohasilkan dari pembakaran tidak sempurna material organik.
Inhalasi CO akut dapat disebabkan paparan yang tidak disengaja (misalnya menghirup
asap rokok) atau yang disengaja (misalnya percobaan bunuh diri). CO menginduksi
hipoksia melalui mekanisme berikut ini:
1. CO memiliki afinitas lebih tinggi terhadap hemoglobin daripada O2; karenanya CO
menggantikan hemoglobin dan membuatnya tidak tersedia untuk transport oksigen.
2. Kurva disosiasi O2-hemoglobin bergeser ke kiri, menurunkan pembongkaran O2 pada
tingkat jaringan.
3. Sitokrom dalam sel dan mioglobin dalam otot sebagian diinaktivasi.
Perubahan-perubahan ini menyebabkan hipoksia jaringan. Otak dan miokard adalah
organ yang rentan terkena dampaknya.
Kapanpun keracunan CO dicurigai, kadar CO-hemoglobin harus
ditentukan dengan oksimeter CO. Kadar CO_hemoglobin tidak berhubungan dengan
manifestasi klinis keracunan CO. Kadar CO-hemoglobin yang diperoleh dari sampel
vena dapat digunakan untuk memprediksi secara akurat kadarnya dalam darah arteri,
dan oleh karena itu skrining cepat pasien dengan kecurigaan keracunan CO dapat
dilakukan tanpa mengambil darah arteri. Pada keracunan CO, PaO2 , yang
mencerminkan O2 yang secara fisik terlarut dalam plasma, adalah normal kecuali
komplikasi paru muncul. Pulse oximetry tidak dapat dipercaya karena pembacaan Spo2
tinggi yang palsu karena deteksi yang salah dari CO-hemoglobin sebagai
oksihemoglobin.
Ketika keracunan CO dicurigai, oksigen 100% harus diberikan
secepatnya melalui masker wajah non-rebreathing tanpa menunggu hasil penentuan

Untuk TUGASMAS 236


237
CO-hemoglobin. Keracunan yang berat dapat ditandai dengan koma, kejang, defisit
neurologis, ketidakstabilan kardiovaskular, edema paru, atau asidosis metabolik.
Walaupun tidak ada konsensus mengenai penentuan derajat keparahan keracunan CO,
dlaam hal keracunan CO berat atau ketika kadar CO-hemoglobin lebih besar dari 25%,
pengobatan dengan oksigen hiperbarik direkomendasikan. Rekomendasi ini berdasarkan
eliminasi CO yang lebih pendek saat bernapas dengan oksigen 100% (80 menit) dan
dengan oksigen hiperbarik pada 3 atm (23 menit), dibandingkan dengan mereka yang
bernapas dengan udara ruang (320 menit). Bagaimanapun, bukti dari sebuah penelitian
tidak mendukung keunggulan terapi oksigen hiperbarik dibandingkan normobarik pada
keracunan CO ringan sampai sedang.
Sebaliknya, percobaan perbandingan acak, nonblinded terapi oksigen
normobarik dan hiperbarik pada pasien dengan keracunan CO ringan sampai sedang,
menunda sekuele neurologis yang terjadi pada tujuh dari 30 (23%) pasien dalam
kelompok normobarik, dimana tidak terapat bukti sekuele neurologis yang tertunda
dalam kelompok oksigen hiperbarik.sekuele neurologis yang tertunda terjadi dalam
waktu rata-rata 6 hari setelah keracunan dan menetap selama 41 hari. Dalam penelitian
ini, terapi oksigen hiperbarik diberikan pada 2,8 atm selama 30 menit diikuti pemberian
sebesar 2 atm selama 90 menit.
Tampaknya terapi dengan oksigen hiperbarik mengurangi frekuensi
sekuele neurologis yang tertunda, tetapi sayangnya, penelitian ini tidak blinded dan
tidak ada penilaian sebelum pengobatan dari fungsi neuropsikologikal. Karena terapi
oksigen hiperbarikadlah cara tercepat menurunkan efek potensial yang mengancam
nyawa dari keracunan CO akut, pasien dengan keracunan CO berat harus mendapat
sedikitnya sekali pengobatan dengan oksigen hiperbarik.
Krisis Sel Sabit
Anemia sel sabit melibatkan dua gambaran klinis: (1) hemolisis kronik dan (2) krisis
akut, vaso-oklusif episodik yang dapat menyebabkan gagal organ.
Gambaran kedua, dengan tampilan yang berhubungan dengan nyeri
dada; demam, leukositosis, dan perubahan radiografi meliputi infiltrat paru, dengan atau
tanpa hipoksemia, disebut acute chest syndrome. Sulit membedakannya dengan infeksi.
Ini juga penyebab penting morbiditas dan komplikasi yang dapat fatal dalam penyakit
sel sabit pada dewasa. Proses patofisiologis dari episode vaso-oklusif akut
dipostulasikan berdasarkan adanya polimer deoksihemoglobin S dan pembentkan sel
diskotik yang kaku dalam mikrosirkulasi dimana Po2 menurun.

Untuk TUGASMAS 237


238
Penanganan awal krisis sel sabit terdiri dari pemberian cairan, analgesia,
dan oksigen pada pasien dengan hipoksemia. Pemantauan terapi oksigen harus
mencakup analisa gas darah, karena pembacaan pulse oximetry memberikan hasil Sao2
tinggi yang salah selama krisis sel sabit. Ini disebabkan oleh CO-hemoglobin endogen
yang meningkat dan perubahan kurva disosiasi O2-hemoglobin. P(A-a)O2 dalam udara
ruang juga bermanfaat dalam memprediksi keparahan krisis vaso-oklusif dan kebutuhan
transfusi darah.
Peranana terapi oksugen tanpa ada hipoksemia masih diperdebatkan. Oksigen
adalah agen antisickling yang poten. Eritrosit yang teroksigenasi tidak bisa menjadi sel
sabit, dan sel menjadi sabit oleh deoksigenasi kembali ke bentuk normal ketika
dioksigenasi. Penelitian lebih sebelumnya melaporkan keuntungan terapi oksigen
selama krisis sel sabit, tetapi penelitian selanjutnya tidak menunjukkan efek
menguntungkan dari tambahan oksigen. Inhalasi oksigen tidak menurunkan derajat atau
durasi krisis yang menyakitkan atau kebutuhan akan analgesia. Peranaan terapi oksigen
dalam penanganan pasien seperti ini masih perlu ditegaskan.
Cluster Headache
Cluster headache adalah berbagai macam sakit kepala dengan vasodilatasi yang
dicirikan oleh satu sampai beberapa serangan yang berulang setiap 24 jam. selama
beberapa minggu atau bulan, dengan periode bebas-sakit kepala antar serangan. Selain
farmakoterapi, pengobatan dapat meliputi pemberian oksigen 100% melalui masker
non-rebreathing.
Pada penelitian double-blind yang membandingkan bernapas dengan
oksigen dengan bernapas dengan udara ruang, pernapasan dengan oksigen mengurangi
gejala subjektif sakit kepala secara signifikan. Sembilan dari 16 pasien (56%) yang
bernapas dengan oksigen mengalami keringanan seluruhnya atau substansial dalam 80%
atau lebih dari cluster headache mereka. Sebaliknya, hanya satu dari 14 (7%) pasien
yang bernapas dengan udara ruang yang mengalami keringanaan. Nilai keringanaan
rata-rata, adalah, 1,93 vs 0,77 (nilai yang lebih tinggi mengindikasikan keringanana
yang lebih besar). Keuntungan yang diberikan oleh oksigen mungkin karena
vasokonstriksi dari pembuluh darah intra dan ekstrakranial yang terlibat.
EFEK SAMPING TERAPI OKSIGEN
Efek samping yang berhubungan dengan terapi oksigen mungkin berhubungan dengan
alat untuk pemberian oksigen atau oksigen konsentrasi tinggi. Beberapa efek samping
yang berhubungan dengan alat untuk pembeian oksigen adalah iritasi ringan dari
mukosa hidung (kanula hidung), konjungtivitis dan epistaksis masif (NPPV),

Untuk TUGASMAS 238


239
pnemosefalus (kateter hidung atau NPPV), dan inspissated secretion dan
pneumomediastinum (kateter trakea). Komplikasi lainnya berhubungan dengan ventilasi
mekanik invasif, meliputi barotrauma dan volutrauma.
Pemberian oksigen 100% menginduksi hiperkapnea sebagai akibat
ketidakseimbangan ventilasi-perfusi yang meningkat pada pasien dengan penyakit paru
obstruksi kronis yang berat dan menurunkan cardiac output sebagai akibat tahanan
pembuluh darah sistemik yang meningkat pada pasien dengan gagal jantung kongestif.
Oksigen konsentrasi tinggi juga menyebabkan atelektasis absorpsi dan toksisitas
oksigen paru. Terbentuknya atelektasis absorpsi tergantung pada adanya daerah dengan
ventilasi-perfusi rendah, penurunan yang bersamaan dalam mixed venous Po 2, mixed
venous nitrogen tension (PN2) yang menurun, dan FIO2 tinggi lebih besar dari 0,60.
Bagaimanapun, pada pasien dengan gagal napas akut, atelektasis absorpsi dapat terjadi
pada FIO2 sebesar 0.50.
Hiperoksia diduga menyebabkan toksisitas oksigen paru dengan
meningkatkan konsentrasi oksigen intrasel yang menyebabkan produk radikal bebeas
kimia dan enzimatik (ion superoksida [O2-], ion hidroksil (OH-) pada nilai yang
melebihi pertahanan alami dari sel (antioksidan). Radikal bebas O2 bereaksi dengan dan
merusak biomolekul penting, meliputi enzim, lipid membran, dan asam nukleat,
menyebabkan kerusakan sel dan, bahkan, kematian sel. Pada babon, perubahan
histologis pada stadium awal (40 sampai 60 jam paparan terhadap O2 100% pada 1 atm)
toksisitas oksigen meliputi kerusakan sel endotel yang berkembang ke selularitas
interstisial yang meningkat dari sel-sel inflamasi. Pada stadium lanjut (setelah 80 jam
paparan), jejas kapiler yang luas, edema interstisial, membran dasar yang gundul dengan
endapan fibrin, destruksi sel alveoli tipe I, dan terjadi proliferasi sel tipe II.
Faktor-faktor yang berperan pada terjadinya toksisitas oksigen meliputi:
 FIO2
 Lama paparan
 Tekanan barometrik diamana paparan terjadi
Kadar FIO2 atau lamanya paparan yang menghasilkan toksisitas oksigen pada
manusia belum ditegaskan, tetapi ketika kebutuhan FIO2 melebihi 0,60, usaha untuk
memperbaiki efisien pertukaran gas paru harus dilakukan. Ini meliputi mengoptimalkan
PEEP, VT, posisi telungkup, dan cara lain yang disebutkan sebelumnya. Pada baboon
yang dipaparkan pada hiperoksia, surfaktan sintetik aerosol tampaknya memperbaiki
efek toksisitas oksigen paru. Bagaimanapun, apakah pemberian surfaktan atau

Untuk TUGASMAS 239


240
antioksigen eksogen pada manusia akan menurunkan jejas paru yang diinduksi-
hiperoksia atau tidak masih belum jelas.
Efek samping paparan oksigen hiperbarik mungkin dikaitkan dengan efek toksik
langsung dari O2 atau perubahan tekanan yang cepat (barotrauma). Toksisitas oksigen
paru. Miopia, dan terbentuknya katarak dapat terjadi sebagai akibat dari efek langsung
oksigen. Ruptur membran timpani, trauma telinga tengah atau sinus, pneumotoraks, dan
emboli udara adalah efek samping barotrauma.
Penggunaan oksigen yang sembarangan adalah berbahaya; namun penggunaan
oksigen tidak seharusnya ditunda dalam penatalaksanaan pasien yang sakit kritis hanya
karena ketakutan akan toksisitas. Sekuele hipoksemia bersifat mengancam nyawa,
sedangkan toksisitas oksigen baru akan terjadi setelah hitungan jam.

TERAPI OKSIGEN

Oksigen dibutuhkan dalam jalur metabolisme aerob untuk menghasilkan energi


biologis dari bahan makanan. Dengan oksigenasi yang tidak adekuat, metabolisme
anaerob akan mengakibatkan penurunan energi biologis dan asidosis laktat yang
berbahaya. Terapi oksigen diindikasikan bila terdapat gangguan oksigenasi jaringan,
dengan tujuan memudahkan terjadinya reaksi metabolisme penting, dan untuk
mencegah komplikasi yang disebabkan oleh hipoksemia.
Indikasi klinis yang sering dijumpai adalah:
 Henti nafas dan henti jantung
 Gagal nafas:
A. Tipe I: hipoksemia tanpa retensi CO2 (misalnya asma, pneumonia, edema paru,
dan emboli paru).
B. Tipe II: hipoksemia dengan retensi CO2 (misalnya bronkitis kronis, trauma pada
dada, overdosis obat yang menyebabkan hilang kesadaran, hipoksemia post
operasi, dan penyakit neuromuskular.
 Gagal jantung atau infark miokard
 Shock dengan berbagai penyebab
 Peningkatan kebutuhan metabolik (misalnya luka bakar, luka multipel, dan infeksi
berat).
 Keadaan setelah operasi.
 Keracunan karbon monoksida.

Untuk TUGASMAS 240


241
TEKANAN OKSIGEN ARTERIAL (PaO2)
Oksigenasi jaringan tergantung pada transportasi dan ekstraksi/pemecahan
oksigen. Sulit untuk menentukan nilai aman PaO2 dimana di atas nilai tersebut tidak
terjadi hipoksia jaringan. PaO2 tidak mencerminkan oksigenasi jaringan dan mekanisme
pemecahan oksigen bervariasi pada tiap-tiap organ. Secara umum, bantuan tambahan
oksigen dibutuhkan bila PaO2 60 mmHg (8,0 kPa) atau kurang. Terjadi hipoksemia
berat dan mendekati kematian bila PaO2 kurang dari 30 mmHg (4,0 kPa). Signifikansi
klinis dari nilai PaO2 dan saturasi (SaO2) yang umun terdapat pada Tabel 22.1.

KURVA DISOSIASI OKSIGEN


Oksigenasi jaringan tergantung sebagian pada kurva disosiasi oksigen. Pergeseran
kurva ke kanan (Tabel 22. 2) berarti Hb membebaskan oksigen, sehingga terjadi
transpor oksigen ke jaringan. Sebaliknya, pergeseran kurva ke kiri (Tabel 22.2)
meningkatkan afinitas Hb terhadap oksigen dengan penurunan oksigenasi jaringan (lihat
Gambar 22.1).

TRANSPORTASI DAN KONSUMSI OKSIGEN


Oxygen delivery (DO2) ke sel ditunjukkan oleh kaskade oksigen (Tabel 22.3).
Suplai oksigen tergantung pada Hb, SaO2, dan cardiac output (Q). DO2 (atau ‘flux
oksigen’) merupakan jumlah total oksigen yang didistribusikan ke seluruh tubuh per
menit dan dijelaskan dengan persamaan:

DO2 = 1,39 x Hb dalam g/dl x SaO2/100 x Q/100 dalam ml/menit


= 1000 ml/menit

(1,39 = kapasitas Hb dalam membawa oksigen yang dinyatakan dalam ml/g Hb).
Jumlah oksigen yang dibawa dalam bentuk terurai dalam darah dapat diabaikan.
Dengan demikian DO2 untuk orang dewasa normal kira-kira 1000 ml/menit atau
14 ml/kg per menit. Namun demikian, tidak semua jumlah ini tersedia untuk
penggunaan seluler. Oksigen berdifusi dari kapiler jaringan ke mitokondria dalam sel.
Rata-rata PO2 jaringan bervariasi dari satu organ ke organ lain, dan nilainya lebih tinggi
di dekat kapiler. Meskipun mitokondria dalam sel jaringan mungkin berfungsi pada
PaO2 yang rendah, yaitu 8-40 mmHg (1,06 – 5,32 kPa), difusi membutuhkan gradient
sel jaringan-kapiler. Jadi ekstraksi oksigen dari darah ke jaringan secara umum terbatas,
dan fungsi mitokondria akan terganggu pada PaO2 kurang dari 30 mmHg (4,0 kPa) atau

Untuk TUGASMAS 241


242
SaO2 30 %. Oleh karena itu, oksigen yang tersedia per menit kurang dari suplai (sekitar
250 – 300 ml/menit) dan kira-kira sebanyak 700 ml pada orang dewasa normal.
Konsumsi oksigen (VO2) normal pada saat istirahat sebesar 200 – 250 ml/menit.
Sisa oksigen (persediaan dikurangi pemakaian) pada laki-laki normal saat istirahat
sebesar 450 – 500 ml/menit. Beberapa faktor pada orang yang sedang sakit
meningkatkan konsumsi oksigen yang cukup besar, misalnya demam, sepsis, menggigil,
kelelahan, dan hiperkatabolisme. Saat faktor-faktor lain yang berkaitan secara
bersamaan mengurangi suplai dan persediaan oksigen, sisa oksigen mungkin berkurang
sampai ke titik kritis. DO2 minimal yang sesuai dengan kemampuan bertahan hidup saat
istirahat berkisar 400 ml/menit. Maka penggunaan bantuan oksigen untuk mengatasi
hipoksemia harus dipertimbangkan dengan tujuan untuk:
- Mengurangi kebutuhan oksigen berlebihan (misalnya dengan pendinginan, paralisa,
dan ventilasi mekanik)
- Meningkatkan DO2 (dengan mengoreksi anemia, cardiac output yang rendah, dan
faktor-faktor yang menggeser kurva disosiasi ke kiri).

APPARATUS DAN PERALATAN TERAPI OKSIGEN


Kebutuhan dasar apparatus atau peralatan untuk terapi oksigen (lihat Tabel 22.4) adalah:
- Kontrol konsentrasi fraksi oksigen yang terinspirasi (FiO2)
- Pencegahan akumulasi CO2 berlebihan
- Resistensi minimal terhadap pernapasan
- Penggunaan oksigen yang ekonomis dan efisien
- Penerimaan oleh pasien
Sirkuit anestesi dan bag resuscitator digunakan untuk memberikan pre-oksigenasi pada
pasien sebelum intubasi endotrakeal. Pemberian oksigen diperoleh sangat besar melalui
masker wajah atau kateter nasal. Penting sekali untuk mengetahui apakah FiO2 yang
diberikan oleh alat akan bervariasi menurut ventilasi pasien. Selain dari sirkuit
pernapasan beraliran rendah (low-flow), beberapa bag resuscitator dan ventilator
manual, tidak ada alat yang akan memberikan oksigen 100 %, kecuali oksigen diberikan
pada aliran yang lebih besar dari aliran inspirasi puncak (PIFR : Peak Inspirasi Flow
Rate ). PIFR pada orang dewasa sekitar 25 – 35 ml.menit saat istirahat, meningkat
sangat besar hingga melebihi 60 l/menit pada keadaan dispnocic. Apparatus dan
peralatan untuk terapi oksigen diklasifikasikan di bawah ini.

FIXED PERFORMANCE SYSTEM (FiO2 BEBAS DARI FAKTOR PASIEN)

Untuk TUGASMAS 242


243

MASKER TIPE VENTURI BERALIRAN TINGGI


Aliran oksigen menempatkan udara dengan prinsip venturi untuk memberikan FiO2
yang tetap. Masker venturi secara individual memberikan konsentrasi oksigen yang
terpisah, misalnya 24 %, 28 %, 35 %, 40 %. Yang lainnya menggunakan masker wajah
dengan pipa ‘belalai gajah’ pendek yang dilekatkan pada cakram penempatan yang
dapat diganti untuk membuat suatu kisaran konsentrasi. Aliran oksigen diatur pada 6-8
ml tergantung pada FiO2 yang dipilih, udara ruang penempatan untuk menghasilkan
resultan aliran total sebesar 40-60 ml/menit. Karena udara ruangan ditempatkan,
penggunaan humidifier tidak diperlukan. Sistem beraliran tinggi juga menghilangkan
rebreathing dan kebutuhan pemasangan alat yang ketat di wajah. Namun demikian,
masker ini mungkin tidak memberikan FiO2 yang dimaksudkan bila terjadi dispnea
berat. PIFR yang besar pada pasien tersebut mungkin melemahkan reservoir pada
volume masker yang lebih kecil dan menjadikan FiO2 yang lebih rendah dan fluktuatif.
Hal ini diatasi dengan meningkatkan aliran oksigen menjadi 12-14 l/menit (untuk
memberikan aliran udara inspirasi total melebihi 60 l/menit).

SIRKUIT PERNAPASAN BERALIRAN RENDAH


Meliputi sirkuit anestesi dan sirkuit untuk memberikan continuous positive airway
pressure (CPAP) atau PEEP spontan. Sirkuit ini melibatkan sebuah bag reservoir untuk
memberikan rangkaian FiO2 dengan campuran gas segar, melalui sebuah endotracheal
tube, atau masker wajah ketat, atau laryngeal mask.

VARIABLE PERFORMANCE SYSTEM (FiO2 TERGANTUNG PADA ALIRAN


OKSIGEN, FAKTOR ALAT, DAN FAKTOR PASIEN)

SISTEM TANPA KAPASITAS


Kateter nasal pada aliran rendah (kurang dari 2 l/menit); memiliki simpanan oksigen
yang tidak cukup pada jalan napas selama jeda ekspirasi yang mempengaruhi inspirasi
selanjutnya secara signifikan. Maka FiO2 tergantung pada aliran oksigen tambahan dan
aliran puncak inspirasi. Untuk mempertahankan FiO2 yang sama, aliran oksigen
tambahan perlu diubah sesuai dengan setiap perubahan pada aliran insiprasi puncak.

SISTEM DENGAN KAPASITAS KECIL


Kateter Nasal pada Aliran Tinggi

Untuk TUGASMAS 243


244
Sejumlah simpanan oksigen terjadi selama jeda ekspirasi, dan bervariasi menurut
panjangnya jeda. Dengan variasi antar pernapasan dari PIFR, FiO2 juga akan bervariasi
menurut ventilasi. Aliran yang tinggi akan menyebabkan ketidaknyamanan dan
kekeringan mukosa hidung. Tetapi, kateter nasal murah dan mudah digunakan, dan
pasien mampu makan atau minum meski memakainya. Rebreathing CO2 tidak terjadi.

Masker Sederhana, Plastik Semi-Rigid (MC, Edinburgh, Harris, Hudson)


Karena terjadi sejumlah rebreathing CO2, terutama pada aliran rendah, aliran oksigen
harus dirangkai pada 4 liter/menit atau lebih. FiO2 bervariasi menurut ventilasi pasien
dan aliran oksigen (Tabel 22.5). Konsentrasi maksimum oksigen yang hanya sebesar
60-70% dapat dicapai oleh masker ini. Perbedaan yang besar antara FiO2 yang dialirkan
dan yang diterima oleh pasien (yaitu FiO2 intratracheal) terjadi karena peningkatan
frekuensi dan dalamnya pernapasan (yaitu peningkatan PIFR).

Masker Trakeostomi
Masker ini kecil, dari bahan plastik, yang ditempatkan di atas lubang atau tube
trakeostomi. Pasien akan menginspirasi oksigen lebih kecil dari yang dialirkan, karena
terjadi dilusi oleh udara ruangan. Jika tidak demikian, cara kerja masker ini sama
dengan masker wajah sederhana.

Laryngeal Mask dan Masker Wajah Plastik Sederhana


Masker wajah plastik sederhana sering diletakkan diatas tube konektor laryngeal mask
untuk mengalirkan oksigen. Oksigen yang diinspirasi akan terbatas karena dilusi oleh
udara ruangan.

Sirkuit T-Piece
Sebuah T-piece adalah sirkuit non-rebreathing sederhana dengan diameter yang besar
yang dilekatkan langsung pada endotracheal tube atau tracheostomy tube. Oksigen yang
dilembabkan dialirkan melalui satu cabang T, dan udara yang diekspirasi mengalir
melalui cabang lainnya. T-piece dapat menjadi fixed performance device bila aliran
udara segar dan volume sirkuit lebih besar daripada PIFR pasien.

Face Tent
Alat ini adalah separuh masker berukuran besar dari plastik semi-rigid yang diletakkan
di sekitar dagu dan pipi. Campuran oksigen dialirkan melalui bagian bawah masker dan

Untuk TUGASMAS 244


245
udara diekspirasikan melalui bagian atas yang terbuka. Alat ini digunakan untuk
menyediakan humidifikasi tambahan dari suatu humidifier yang dipanaskan. Jika tidak
demikian, alat ini tidak memiliki keuntungan dibandingkan dengan masker wajah
sederhana.

SISTEM DENGAN KAPASITAS BESAR


Simpanan oksigen dan CO2 yang signifikan (yaitu rebreathing) ada pada peralatan ini.

Masker Plastik Lunak (Pneumask, Polymask, Oxyaire)


Masker ini memiliki bag reservoir tambahan dan dengan demikian ada dead space besar
yang efektif. FiO2 lebih besar daripada masker semi-rigid mungkin diperoleh, tetapi
terjadi rebreathing CO2 yang perlu dipertimbangkan bila cadangan oksigen habis atau
berkurang. Alat ini memiliki bahaya yang potensial pada pasien tanpa cadangan
cardiopulmoner, dan harus digunakan dengan aliran oksigen yang tinggi. Rebreathing
dapat dihilangkan, dan FiO2 yang dialirkan akan meningkat bila ditambahkan katup
unidirectional, tetapi asfiksia mungkin terjadi pada pasien yang tidak sadar bila katup
rusak. Masker ini sudah tidak dipakai lagi tetapi mungkin masih ada pada beberapa
institusi.

PERALATAN TEKANAN POSITIF


CPAP mempertahankan tekanan saluran napas positif berkelanjutan melalui siklus
pernapasan spontan. Oksigenasi ditingkatkan terutama sebagai resultan peningkatan
kapasitas residu fungsional. Komplians paru dan kerja pernapasan mungkin juga
ditingkatkan. CPAP dapat dilakukan melalui suatu endotracheal tube, masker wajah,
atau nasal prong khusus. Modifikasi CPAP lain sepertu airway pressure release
ventilation (APRV) dan bilevel positive airway pressure (BIPAP) juga dapat digunakan.
Ventilasi tekanan positif non-invasif dapat dialirkan melalui masker wajah atau
hidung. Alat ini dapat menyediakan oksigenasi dan bantuan ventilasi pada beberapa
pasien tanpa intubasi endotracheal.

METODE OKSIGENASI LAIN


Oksigenasi extracorporeal membrane tidak memiliki keuntungan lebih dibandingkan
dengan model ventilasi. Alat penukar gas darah intravascular (IVOX, suatu membran
oksigenator yang diperpanjang sehingga ditempatkan dalam vena cava) telah didesain,
tetapi belum banyak digunakan.

Untuk TUGASMAS 245


246

TERAPI OKSIGEN PEDIATRIK

PIFR anak-anak, karena ukuran fisik mereka yang lebih kecil, diperkirakan lebih dekat
dengan rata-rata aliran peralatan bantuan oksigen. Dengan demikian diperoleh FiO2
yang lebih tinggi. Namun demikian, sulit mempertahankan kateter nasal dan masker
tetap terpasang pada anak-anak. Kateter nasal tunggal, ditempatkan setinggi uvula dan
direkatkan ke wajah, lebih ditoleransi dengan baik dan berguna pada bayi dan anak
kecil.

HOOD ATAU HEADBOX OKSIGEN


Oksigen dialirkan ke dalam suatu kotak yang membungkus kepala dan leher anak. FiO2
tergantung pada aliran udara segar, ukuran kotak, kebocoran di sekitar leher, posisi
kepala, dan seberapa sering kotak dipindahkan. Metode ini berguna pada bayi dan anak
kecil, tetapi harus diberikan aliran yang tinggi, dan monitoring konsentrasi oksigen di
dekat wajah sangat penting.

INKUBATOR
Incubator menyediakan oksigen serta lingkungan suhu yang netral. Akses pasien dan
perbaikan konsentrasi oksigen setelah membuka incubator merupakan masalah.
Penggunaan headbox di dalam incubator sering dilakukan untuk menyediakan
lingkungan oksigen yang stabil.

OXYGEN COT/TENT
Oxygen cot atau tent mungkin digunakan untuk merawat anak yang lebih besar. Akses,
waktu perbaikan konsentrasi oksigen yang lama, dan kesulitan memperoleh FiO2 di atas
0,4 merupakan masalah.

BAHAYA TERAPI OKSIGEN

NARKOSIS CO2
Ketika FiO2 tinggi yang diberikan pada pasien tergantung pada hypoxic drive
(kemoreseptor), misalnya mereka dengan eksaserbasi akut bronchitis kronis, depresi
napas berat dapat terjadi disertai dengan hilangnya kesadaran. Jika narcosis CO2 akibat
induksi oksigen ini dicurigai, oksigen seharusnya tidak dikurangi secara tiba-tiba karena

Untuk TUGASMAS 246


247
akan terjadi hipoksemia yang berbahaya. Pasien seperti ini harus dirangsang untuk
bernapas, atau bila tidak sadar, harus diberikan ventilasi dengan segera.

TOKSISITAS OKSIGEN
EFEK NEUROLOGIS (PAUL BERT EFFECTS)
Epilepsy idiopatik terjadi karena paparan terhadap oksigen pada tingkat absolute lebih
dari tiga atmosfer.

TOKSISITAS PARU
Toksisitas paru setelah paparan FiO2 yang tinggi merupakan masalah klinis yang dapat
dikenali, tetapi pengetahuan mengenai gangguan ini masih terbatas. Penurunan
progresif pada komplians paru dapat terjadi, dihubungkan dengan terjadinya perdarahan
interstisial dan edema intra-alveolar, serta fibrosis pada akhirnya. Mekanisme pasti
mengenai efek toksik oksigen pada paru masih belum diketahui, tetapi dipercaya bahwa
oksigen secara langsung mempengaruhi jaringan paru. Pathogenesis biokimiawi oksigen
toksik radikal bebas (‘spesies oksigen reaktif’) dalam menyebabkan kerusakan jaringan
paru sudah diusulkan. Antioksidan protektif normal pada cairan yang ada sepanjang
saluran pernapasan (misalnya mucin, asam urat, asam askorbat, glutathione tereduksi,
superoxide dismutase, dan protein ‘sacrificial’) berkurang karena tantangan oksidatif
yang hebat atau lama. Faktor indirek lain yang telah diusulkan termasuk peningkatan
aktivitas simpatis, pengurangan aktivitas surfaktan, dan gagalnya absorbsi. Pembedaan
toksisitas oksigen dari kondisi kerusakan paru lain sangat sulit, dan kerusakan tersebut
mungkin merupakan respon yang umum terhadap tipe kerusakan yang berbeda.
Secara umum disetujui bahwa toksisitas oksigen pada paru tergantung pada durasi
paparan dan konsentrasinya. Tetapi, rincian yang tepat mengenai periode paparan yang
‘aman’ dan konsentrasi yang ‘aman’ tidak diketahui. Kepekaan individual terhadap
oksigen yang menyebabkan kerusakan mungkin bervariasi. Bahkan ketika
menggunakan FiO2 yang tinggi kerusakan paru tidak terjadi. Kerusakan pada paru yang
sehat dapat terjadi, tetapi apakah responnya sama dengan paru yang sebelumnya terkena
penyakit masih belum jelas. Secara umum, tanda klinis toksisitas (misalnya dyspnea,
nyeri substernal, penurunan pertukaran gas, dan perubahan X-Ray) tidak selalu
terdeteksi dengan menggunakan oksigen kurang dari 50 %, atau 100 % selama periode
kurang dari 24 jam.
Displasia bronkopulmoner, penyakit paru kronis pada anak-anak yang berawal
dari periode neonatus memiliki abnormalitas yang sama. Hal ini terlihat ketika paru

Untuk TUGASMAS 247


248
yang imatur diberi ventilasi dengan FiO2 yang tinggi. Kontribusi patogenetis dari
imaturitas, toksisitas oksigen, dan tekanan ventilasi tidak diketahui. Volume dan
tekanan ventilasi yang berlebihan mungkin menjadi faktor predisposisi, tetapi oksigen
mungkin mempercepat proses patologis tersebut.

RETROLENTAL FIBROPLASIA
Kebutaan terjadi pada bayi dengan berat badan di bawah 1200 g (sekitar 28 minggu)
yang terpapar oksigen konsentrasi tinggi, dan berhubungan dengan PaO2 serta
imaturitas retina. Oksigen tampaknya merangsang pembuluh darah retina yang imatur
sehingga terjadi spasme dan proliferasi, yang mengakibatkan obliterasi, fibrosis, ablasio
retina, dan kebutaan. FiO2 harus dibatasi untuk menjada paO2 diantara 60-80 mmHg
(6,6 – 10,6 kPa). Terapi oksigen harus diawasi dengan ketat.

BAROTRAUMA
Ruptur alveoli dengan emfisema interstisial dan mediastinal merupakan konsekuensi
yang membahayakan bila aliran oksigen tanpa sengaja dialirkan melalui lubang partisi
atau tekanan silinder langsung ke saluran napas pasien.
APLIKASI KLINIS OKSIGEN
Oksigen adalah obat dan harus digunakan dengan benar. Oksigen biasa digunakan
sebagai alat sementara untuk mengurangi hipoksemia, tetapi tidak menggantikan terapi
definitif kondisi yang melatarbelakangi. Terapi oksigen harus dinilai dengan indikator
oksigenasi (misalnya pulse oxymetry SpO2, gas darah arterial, PO2 vena campuran, dan
shunt equation). PaO2 harus selalu berhubungan dengan FiO2 dan pola ventilasi; nilai
PaO2 yang telah diperkirakan, dengan demikian, tidak berarti. Terapi oksigen harus
berkelanjutan. Oksigen internitten sangat berbahaya, karena PaO2 akan turun (mungkin
menjadi sangat rendah) saat oksigen dihentikan.

HIPOKSEMIA RINGAN
Kateter nasal dengan aliran 2-4 l/menit atau masker sederhana dengan 4 l/menit sangat
cocok.

HIPOKSEMIA SEDANG DENGAN PaCO2 NORMAL ATAU RENDAH (GAGAL


NAPAS TIPE I)
Masker sederhana digunakan dengan aliran 4 – 15 l/menit sesuai dengan PaO2 dan
kebutuhan pasien. Pasien yang mengalami dyspnea berat dengan PIFR yang besar akan

Untuk TUGASMAS 248


249
membutuhkan aliran oksigen setinggi mungkin. Standar flowmeter oksigen hanya
memiliki aliran maksimal 15 l/menit, dan mungkin tidak mengalirkan oksigen inspirasi
yang adekuat. Flowmeter khusus beraliran tinggi atau dua flowmeter yang digabungkan
dengan konektor Y dapat digunakan. Oksigen tidak boleh dibatasi (terapi asfiksia) pada
asma akut dan shock.

HIPOKSEMIA DENGAN PENINGKATAN PaCO2 (GAGAL NAPAS TIPE II)


Penyebab Hipoventilasi
Penyebab hipoventilasi (misalnya depresi sentral, disfungsi neuromuscular, trauma
kepala, dan abnormalitas dinding thorax). FiO2 yang tinggi melalui masker wajah
sederhana mungkin cukup. Intubasi endotrakeal mungkin diindikasikan untuk
melindungi jalan napas, dan ventilasi mekanik dilakukan bila usaha venilasi inadekuat.
Membatasi oksigen untuk pasien ini tidak logis dan berbahaya.

Penyakit Saluran Napas Obstruktif Kronis


Terapi oksigen terkontrol dengan masker tipe venturi digunakan. Dimulai dengan
konsentrasi 24 %, dan gas darah diukur setelah 30 – 60 menit. Bila PaO2 meningkat
kurang dari 10 mmHg (1,3 kPa) dan di bawah 75 mmHg (10 kPa), FiO2 meningkat
menjadi 0,28. Karena pasien-pasien ini berada dalam bagian yang terjal dari kurva
disosiasi oksigen, peningkatan ringan PaO2 akan terjadi pada peningkatan oksigen yang
relative besar yang tersedia untuk jaringan. FiO2 mungkin akan meningkat lebih jauh
dengan cara yang sama bila hipoksemia persisten. Kateter nasal dengan aliran rendah
mungkin digunakan, tetapi tidak ideal. Pada aliran yang lebih tinggi, terapi oksigen
terkontrol tidak dapat diperoleh dengan kateter nasal. Konsep untuk membatasi FiO2
karena takut terjadi depresi hypoxic drive untuk bernapas berdasarkan pada bukti ilmiah
yang sangat kecil. Pada banyak pasien, bahaya hiperkarbia ditekankan secara
berlebihan, dan hipoksemia berat tidak ditangani dengan baik.

HIPOKSEMIA BERAT
Bantuan ventilasi mekanik diindikasikan. CPAP dengan masker, atau ventilasi tekanan
non invasive mungkin awalnya dicoba pada pasien yang sadar untuk enghindari
intubasi. PEEP mungkin digunakan untuk membantu mengurangi FiO2.

SUPLAI OKSIGEN ‘SUPRANORMAL’

Untuk TUGASMAS 249


250
Pada manusia dan hewan normal, VO2 masih relative konstan di atas kisaran DO2 yang
luas. Autoregulasi VO2 ini disebabkan peningkatan ekstraksi oksigen saat DO2
menurun. Tetapi, jika DO2 menurun di bawah ‘DO2 kritis’ sebesar 5-10 ml/kg/menit,
VO2 kemudian akan menjadai tergantung pada DO2, yang menunjukkan suplai oksigen
ke jaringan inadekuat. Beberapa pekerja telah melaporkan bahwa DO2 kritis meningkat
pada sepsis dan systemic inflammatory response syndrome (hingga 16 – 22
ml/kg/menit) karena gangguan ekstraksi oksigen dan peningkatan VO2. Jadi, beberapa
pekerja menyarankan menggunakan DO2 ‘supranormal’ dan nilai hemodinamik (Tabel
22.6) dengan meningkatkan FiO2, hemoglobin, dan cardiac output, untuk mencapai
oksigenasi jaringan yang adekuat untuk pasien-pasien ini. Dengan tujuan ini, dilaporkan
angka mortalitas yang lebih rendah. Namun demikian, konsep ‘dependensi suplai
patologis’ tidak diterima secara universal. Pada studi sebelumnya, VO2 lebih banyak
dihitung daripada diukur, dan hubungan resultan VO2/DO2 mungkin karena pasangan
matematis. Data dari pasien yang terlalu sedikit seringkali kolektif, dan efek kalorigenik
inotropik diabaikan. Bukti DO2 kritis yang patologis dengan plateau belum pernah
ditunjukkan secara klinis. Studi yang lebih baru belum menunjukkan hubungan
patologis VO2/DO2 maupun outcome pasien yang lebih baik dengan terapi
‘supranormal’. Oleh karena itu, meskipun berharga untuk meningkatkan DO2 pada
pasien yang sangat kritis, ahli perawatan intensif tidak seharusnya secara buta
melakukan terapi ‘supranormal’ pada semua pasien, karena mencapai tujuan ini
mungkin tidak menguntungkan. Konsep ini tidak mendapatkan banyak dukungan.

TERAPI OKSIGEN HIPERBARIK


Terapi oksigen hipebarik (HBO) mengalirkan oksigen 100 % pada tekanan di atas
atmosfer, pada ruangan bertekanan yang dapat diisi satu atau banyak orang. Oksigen
dihirup pada tekanan yang terlarut dalam plasma, misalnya PaO2 mendekati 1500
mmHg (200 kPa) pada absolute dua atmosfer. Peningkatan tekanan oksigen dalam
jaringan sangt bervariasi, tergantung perfusi lokal dan kondisi metabolic. Terapi HBO
adalah terapi untuk penyakit dekompresi. Terapi ini telah digunakan untuk keracunan
karbonmonoksida, luka bakar, gas gangrene, osteomyelitis, osteoradionecrosis, crush
injury, dan skin graft iskemik. Meskipun telah diperoleh hasil klinis yang sangat disukai
pada tiap kondisi tersebut, belum ada percobaan yang tepat yang menunjukkan
keuntungan terapi HBO dibandingkan dengan terapi konvensional. Komplikasi terapi
HBO meliputi barotrauma pada telinga, sinus, dan paru, toksisitas oksigen, grand mal

Untuk TUGASMAS 250


251
fits dan perubahan ketajaman penglihatan. Seleksi pasien untuk terapi HBO mungkin
penting.

BAB III PENGATURAN NEUROKIMIA PERNAFASAN


Collin’s

Pengaturan neuro kimia bertujuan untuk mempertahankan homeostasis PaO2 dan


PaCO2, dan pH arteri melalui perubahan / kecepatan pernafasan. Pengambilan O2 dan
pembuangan CO2 sangat tergantung kebutuhan metabolisme tubuh, misal: kebutuhan O2
= 250 ml/min, pembuangan CO2 200 ml/min akan naik 10 x lipat pada kerja keras,
sedangkan PaO2, PaCO2 dan pH perlu pengaturan dalam rentang yang cukup kecil.
Kestabilan variabel tersebut walaupun dihadapkan pada metabolisme yang selalu
berubah, dapat tetap terjaga oleh sistem respirasi yang meliputi :
24. Reseptor, baik di perifer maupun sentral, yang menangkap informasi dan
mengirimnya melalui jalur aferen.
25. Pusat kontrol di otak, terdiri atas neuron respirasi di batang otak, berlokasi di
medula dan pons, yang memproses dan mengintegrasikan serta mengirim impuls
motorik.
26. Saraf eferen respirasi, terdiri atas saraf spinal (phrenikus dan intercostales) dan saraf
kranial (vagus, asesoris, dan hipoglosus).
27. Otot-otot pernafasan (efektor), yang kontraksinya menimbulkan ventilasi.

3.1 RESEPTOR
Reseptor Kimia Perifer
Kenaikan ventilasi yang cepat akan terjadi ketika kadar O2 inspirasi turun lebih dari
10%. Hal ini terjadi pada mamalia dan tergantung reseptor kimia khusus yang
mendeteksi PaO2. Reseptor ini terletak pada bifurkasio arteri karotis komunis dan badan
aorta di sekitar percabangan aorta.

Impuls aferen dari reseptor kimia karotis diteruskan pada cabang nervus sinus karotikus
dan mencapai pusat pernafasan batang otak di nervus IX saraf otak; semua itu melalui
reseptor kimia aortik yang dijalarkan melalui n.vagus (X). Impuls aferen yang dibawa
n.hipoglosus dan n.vagus akan mencapai nukleus traktus solitarius di medula oblongata

Untuk TUGASMAS 251


252
yang akan merangsang pusat pernafasan untuk menaikkan ventilasi dengan cara nafas
dalam dan meningkatkan frekuensi nafas.

Reseptor kimia karotis dirangsang oleh penurunan PaO2 dan pH serta kenaikan PaCO2.
Reseptor kimia aortik juga dirangsang oleh penurunan PaO2 dan kenaikan PaCO2, tapi
tidak oleh penurunan pH. Interaksi berbagai rangsangan ini terjadi pada peningkatan
aktifitas reseptor kimia sebagai tanggapan terhadap rendahnya PaO2, dipacu oleh PaCO2
yang tinggi; dan pada arteri karotis juga oleh pH rendah.

Penelitian menunjukkan bahwa badan karotis bertanggung jawab memacu timbulnya


ventilasi karena hipoksia, tercatat 30% respon terhadap hiperkarbia dan memacu
kompensasi ventilasi terhadap terjadinya asidosis metabolik akut pada latihan.
Kenyataannya, ketiadaan badan karotis, hipoksemia berat akan menekan pernafasan
diduga melalui hambatan langsung pada pusat pernafasan di otak. Keadaan kehilangan
respon pernafasan terhadap hipoksia secara lengkap diperlihatkan oleh pasien dengan
reseksi bilateral badan karotis.

Pencatatan oleh serat tunggal ataupun seluruh serat terhadap aktivitas resptor kimia
dengan PaO2 menunjukkan hubungan yang non linear. PO2 arteri 500 mmHg atau lebih
menunjukkan tidak ada aktivitas saraf. Peningkatan progresif pada kecepatan
penembakan sinyal oleh saraf (nerve firing rate) berkembang ketika PaO2 turun dari 500
mmHg, dengan kenaikkan aktivitas yang cepat dibawah 100 mmHg. Respon maksimum
terjadi ketika PO2 dibawah 50 mmHg. Ketika PaO2 kurang dari 30 mmHg, aktivitas
kemoreseptor tidak dipertahankan dan secara bertahap akan turun seiring dengan waktu.
Kebalikannya, respon kimia karotis pada PaCO2 dan pH; dan reseptor kimia aortik pada
PCO2 adalah hampir linear pada rentang PCO2 dari 20-60 mmHg, dan pada kadar ion
H+ arteri dari 20-60 mmeq per liter (pH: 7,2-7,6).

Ada hubungan yang baik antara pengamatan pendahuluan dengan respon ventilasi pada
PO2 rendah atau PCO2 tinggi. Misalnya: peningkatan ventilasi sebagai respon untuk
menjadikan kadar O2 inspirasi menurun adalah non linear, peningkatan sedikit ventilasi
terjadi hingga kadar O2 kurang dari 10%. Sebaliknya adalah, hubungan linear antara
kenaikan PCO2 dan kenaikan ventilasi; yaitu kenaikan 1,5-2,5L/min per 1 mmHg
PCO2.

Untuk TUGASMAS 252


253
Badan karotis adalah tempat / organ yang kaya akan aliran darah, yaitu 2000 ml/ 100
gr/menit, dibanding aliran darah otak 50 ml/ 100 gr/min atau ginjal 400 ml/ 100 gr/min.
Penurunan aliran darah ke badan karotis yang disebabkan oleh proses hipotensi /
stimulasi simpatis menghasilkan vasokonstriksi pembuluh darah yang mengaliri badan
karotis, dan merangsang aktivitas kemoreseptor. Stimulasi yang kuat juga dihasilkan
oleh obat yang bekerja menghambat konsumsi O2 jaringan dengan cara menghambat
sitokrom oksidase, misalnya: natrium sianida.

Bagian Kemosensitif pada Badan Karotis


Badan karotis mengandung 2 tipe sel utama, yaitu sel glomus dan sel pembantu. Serabut
saraf yang kontak dengan sel glomus adalah ujung bebas sel saraf yang tidak bermielin,
yang saling berhubungan satu sama lain membentuk cabang reseptor kimia pada saraf
sinus karotikus (Herring’s nerve). Secara mikroskop, sel glomus tampak lebih terang
dibawah mikroskop fluoresen karena pengaruh katekolamin, terutama dopamin.

Pada dasarnya sel glomus adalah kemoreseptor. Menurut teori, terminal saraf aferen
pada n. sinus karotis juga kemoreseptor. Hal ini menegaskan bahwa sel glomus adalah
interneuron penghambat dopaminergik yang mengatur impuls saraf aferen. Sebaliknya,
dopamin bereaksi pada ujung saraf bebas untuk menghambat impuls umum.

Kemoreseptor Sentral
Setelah denervasi kemoreseptor perifer, respon ventilasi terhadap peningkatan PCO2
tidak hilang, tetapi sedikit menurun. Selanjutnya, di kondisi lain,peningkatan ini
tertunda sekitar 60-90 detik, yang menunjukkan bahwa berbeda dengan kemoreseptor
perifer, kemoreseptor sentral tidak dengan cepat membuat kesetimbangan dengan darah
arteri. Adanya zat kimia sensitif sentral tidak muncul dari saraf pusat pernafasan otak
tapi dari medula dekat permukaan ventrolateral. Zat ini dipercaya terletak di 200-400
µm dibawah medula.
Kemoreseptor sentral berespon terhadap kadar ion H+ disekelilingnya, yaitu cairan
interstisial lokal. Ketika ion H+ naik, ventilasi naik dan sebaliknya. Komposisi cairan
interstisial di sekitar reseptor itu dipengaruhi oleh CSF, aliran darah lokal, dan
metabolisme lokal. Dari semuahal tersebut, pengaruh CSF yang paling penting.

Kadar keasaman normal CSF adalah 7,33 dan pCO2-nya 50 mmHg, sedikit berbeda
dengan pH 7,4 dan pCO2 40 mmHg pada darah arterial. CSF mempunyai sedikit

Untuk TUGASMAS 253


254
kandungan protein (15-45 mg/100 ml) dan karenanya mempunyai kapasitas penyangga
yang kurang dari darah yang mempunyai hemoglobin dan protein plasma, yang dapat
berperan sebagai penyangga untuk menjaga pH darah tetap konstan. Sebagai akibatnya,
perubahan pH CSF karena perubahan pCO2 atau konsentrasi H+ lebih besar daripada
dalam darah.

CSF dipisahkan dengan darah oleh sawar darah otak. Penyangga ini dapat dilewati CO2
yang berdifusi cepat dari darah ke CSF, tapi tidak dapat ditembus oleh H+ dan HCO3-.
Ketika PCO2 naik, CO2 berdifusi ke CSF dari pembuluh otak sehingga H+ naik.
Kenaikan H+ ini memacu kemoreseptor yang kemudian memacu ventilasi. Jadi kadar
CO2 dalam darah mengatur ventilasi terutama dengan cara mempengaruhi pH CSF.
Hiperventilasi menurunkan kadar PCO2 dalam darah, oleh karena itu CSF dapat
menghasilkan penyesuaian pH CSF.

Perubahan pH yang lama di CSF menghasilkan perubahan kompensasi HCO3- CSF,


sebab aliran lambat HCO3- dapat menembus sawar darah otak, sehingga pH berubah,
walau tidak sampai 7,33. Keadaan ini digambarkan pada pasien paru kronis dan yang
dengan retensi CO2. Pasien tersebut dapat mempunyai pH CSF normal dan oleh karena
itu PCO2 arterinya rendah. Keadaan yang sama terlihat pada subjek normal yang
terekspos pada udara yang mengandung 3% CO2 selama beberapa hari.

Reseptor Paru
Ada 3 jenis reseptor paru yang bertanggungjawab pada perubahan mekanis yang disebut
mekanoreseptor yaitu reseptor regangan, reseptor iritan, dan reseptor J (Juxta pumonary
capillary receptors). Seluruh serabut aferen reseptor ini berjalan melalui n. vagus dan
berakhir di nukleus traktus solitarius di medula. Semuanya mengatur kecepatan dan
kedalaman pernafasan atau mengubah ketegangan otot jalan nafas.

Reseptor Regangan
Reseptor ini terletak di otot halus trakhea hingga bronkioli, dapat dirangsang oleh
regangan jalan nafas (bukan alveoli) dan dipertahankan oleh pengembangan paru, dan
aktifitasnya diperpanjang dengan penjagaan inflasi paru dan karenanya menunjukkan
adaptsi ringan. Infus aferan dari PIR (pulmonary inspiratory receptors) menuju ke
medula melalui serat besar bermielin pada nervus vagus. Efek primer aktifasi reseptor
ini berasal dari akhir inspirasi, yang disebut reflek penghambat nafas Hering-Breuer

Untuk TUGASMAS 254


255
klasik akatu reflek inflasi. Karena itu, saat paru mengembang, inspirasi dihambat, dan
ekspirasi diperkuat. Penguncupan paru, dilain pihak, menghambat impuls ekspirasi dan
meningkatkan impuls inspirasi Hering-Breuer atau reflek deflasi.

Refleks ini menyediakan mekanisme pengaturan untuk mempertahankan irama


pernafasan melalui umpan balik negatif. Dari kedua reflek tersebut, reflek inflasi lebih
kuat, dan membawa arti lebih dalam mengubah kecepatan dan kedalaman respirasi.
Vagotomi servikal bilateral yang menghentikan lengkung reflek, menghasilkan
pernapasan yang lambat dan dalam pada sebagian besar binatang.

Pada tahun 1868, Hering-Breuer mengamati reflek inflasi dan deflasi pada hewan yang
dianestesi. Walaupun reflek Hering-Breuer tetap aktif pada hewan selama pernapasan
volume tidal, hal ini tidak terjadi pada pernapasan manusia pada volume tidal normal,
kecuali volume tidal kira-kira 1 liter atau lebih. Reflek tersebut terjadi pada bayi yang
baru lahir pada pernapasan volume tidal, tetapi terjadi penurunan efektifitas selama 5
hari pertama kehidupannya sejalan dengan makin aktifnya sentral yang lebih tinggi.

Karena reflek inflasi dan deflasi mengakhiri ekspirasi dan inspirasi, mereka mungkin
memainkan peran pada mekanisme hidup-mati dari pusat napas di medula. Bukti juga
menunjukkan bahwa reflek inflasi mengatur kecepatan dan kedalaman pernapasan
dalam jalur yang memunculkan ventilasi alveolar yang optimal dengan kerja otot
seminimal mungkin.

Anestesi inhalasi, seperti halotan, cenderung meningkatkan frekuensi pernapasan,


mungkin dengan merangsang reseptor inflasi, dan terminasi yang lebih awal pada
inspirasi.

Reseptor Iritan
Reseptor ini bertanggung jawab pada perubahan kimia akibat stimuli mekanik yang
terletak diantara sel epitel trakhea, bronki dan bronkhiolus, termasuk juga reseptor iritan
epitel intra pulmoner dan reseptor batuk di bronkus dan trakhea. Reseptor iritan dipacu
oleh gas iritan dan bau (ammonia,SO2), mediator kimia (histamin, leukotrine, C4,
bradikinin), partikel dalam rokok, debu dan polutan. Reseptor ini cepat beradaptasi.
Impuls aferennya berjalan dalam serat kecil bermielin dalam n. vagus menuju ke
medula.

Untuk TUGASMAS 255


256

Ketika dirangsang, reseptor ini menghasilkan batuk, bronkokonstriksi dan takipnea.


Respon ini dapat membatasi masuknya zat yang berpotensi berbahaya kedalam paru dan
mencegahnya bereaksi dengan permukaan tempat pertukaran gas. Reseptor ini
membantu memaksimalkan compliance paru dengan mengawali periode nafas panjang
atau nafas dalam yang terjadi selama pernafasan normal. Pernapasan dalam akan
memperluas permukaan alveoli dan melengkapi kembali molekul permukaan yang aktif.

Reseptor J
Istilah reseptor J (reseptor kapiler juxta pulmoner) digunakan oleh karena keyakinan
bahwa reseptor ini terletak di jaringan interstitial diantara kapiler pulmonal dan alveoli.
Impuls aferen reseptor J dibawa oleh serabut servikal n. vagus nonmyelin, yang dipacu
oleh perubahan sel interstitisal paru, misal: udema, kongesti paru, hipertensi, dan
beberapa zat kimia (histamin dan capsaicin, suatu iritan aktif pada merica). Reseptor ini
menyebabkan penutupan laringeal dan apneu oleh karena pernafasan yang cepat dan
dangkal. Hal ini terjadi pada pasien udema paru, emboli paru dan pnemonia yang
pernah mengalami takipnea.

Reseptor Lain
Reseptor Jalan Nafas
Hidung, nasofaring, laring, dan trakhea mempunyai reseptor khusus zat kimia dan
mekanik. Serabut saraf aferen terletak di n. trigeminal dan olfaktorius, dengan refleks
primer bila terpacu berbentuk : apneu, bradikardi dan bersin-bersin. Reseptor pada
laring, mungkin suatu reseptor iritan, juga bereaksi terhadap stimulasi mekanis
dankimia. Serat aferen dari reseptor ini terdapat pada cabang internal nervus laringeal
superior dan nervus laringeal inferior ( n. laryngeal recurren). Akibat refleks lain adalah
batuk, nafas dalam dan lambat, spame laring, bronkokonstriksi dan hipertensi.

Reseptor Sendi
Gerakan aktif dan pasif pada sendi menghasilkan rangsangan yang secara reflek
meningkatkan kecepatan dan kedalaman respirasi. Respon ini mungkin yang berperan
dalam hiperpnea yang disebabkan oleh olahraga.

Reseptor Otot

Untuk TUGASMAS 256


257
Terdapat 2 jenis reseptor ini yaitu simpul otot dan organ tendon golgi; yang disebut
pertama bekerja mengurusi refleks regangan dan yang kedua terlibat dalam refleks
regangan balik, dimana banyak terdapat di intercostal dan otot dinding abdomen,
kecuali di diafragma. Impuls aferen respon ini terutama lewat serabut saraf spinal yang
terintegrasi pada beberapa tingkat segmen dan pengaruhnya pada pengaturan volume
tidal dapat diabaikan. Simpul otot cukup membantu koordinasi pernafasan selama ada
perubahan posisi dan bicara, sementara organ tendon golgi memonitor kekuatan
kontraksi otot dan membantu menghambat inspirasi. Simpul saraf aferen juga
mengirimkan sinyal ke korteks serebri tentang informasi terbaru pergerakan nafas.

Saraf motorik menginervasi simpul otot (terdiri atas serabut otot intrafusal) melalui
sistem eferen gamma, dimana yang ke unit kontraktil reguler (serat ekstrafusal) adalah
melalui sistem eferen alfa; keduanya terorganisasi dari sel kornu anterior korda spinalis.

Reseptor Nyeri
Reseptor nyeri adalah ujung saraf bebas. Nyeri dapat menyebabkan stimulasi / inhibisi
nafas tergantung karakter, asal (viseral / somatis) dan intensitasnya.

Reseptor Suhu
Kenaikan suhu tubuh membuat ventilasi paru meningkat, terkadang menjadi alkalosis
berat dan tetani. Efek ini terjadi akibat stimuli pusat panas termoreseptor hipotalamus.
Pemanasan kulit dapat juga menimbulkan hiperventilasi sebagai hasil perangsangan
termoreseptor perifer. Jadi kenaikan ventilasi setelah stimulasi perifer dan stimulasi
reseptor peka panas di hipotalamus merupakan salah satu pengatur panas tubuh, yang
terjadi saat suhu tubuh dalam dan superfisial meningkat, dan dikenali suatu kebutuhan
adanya peningkatan pelepasan panas lewat suatu respon.

PENGATUR / CONTROLLER
Meskipun pernafasan adalah proses otonom tak sadar, tapi dapat dikontrol, diusahakan
oleh impuls motorik dari korteks serebri selama kesadaran penuh. Pada dasarnya,
pernafasan diatur oleh batang otak untuk pengaturan respirasi otomatis, dan korteks
serebri untuk pernapasan volunter. Sebagai contoh adalah hiperventilasi volunter,
hipoventilasi volunter, dan penahanan napas, semuanya dibawah kontrol volunter. Jadi
pengontrol respirasi dalam sistem saraf pusat terdiri atas 2 bagian anatomis dan

Untuk TUGASMAS 257


258
fungsional : batang otak, yang mengatur respirasi otomatis, dan korteks otak, yang
mengatur respirasi volunter.

Traktus respirasi volunter desenden (sadar) berjalan terpisah dari traktus involunter
desenden (tak sadar). Yng pertama berjalan dari korteks ke motoneuron respirasi di
korda spinalis melalui traktus kortikospinalis, dengan melintasi neuron respirasi di
medula. Yng kedua berjalan dari medula ke motoneuron respirasi di korda spinalis
dalam white mater antara traktus kortikospinalis ventral dan lateral. Karena itu kedua
sistem berproyeksi ke neuron respirasi di korda spinalis pada segmen servikal dan
torakal, dimana impuls motorik dalam kedua sistem yang menuju kebawah terintegrasi.
Motoneuron respirasi di spinal pada kornu anterior bekerja sebagai jalur umum terakhir
ke sistem respirasi. Dalam diskusi berikut, fokus primernya adalah pada regulasi
otomatis respirasi.

SISTEM PERNAFASAN EFEREN


Neuron Respirasi di Medula
Dalam medula oblongata terdapat dua kelompok neuron respirasi yang berbeda,
berlokasi bilateral dan simetris. Kelompok respirasi dorsal (dorsal respiraratory group,
DRG), terdiri atas terutama sel inspirasi, terletak dibagian dorsomedial medula.
Kelompok respirasi ventral (ventral respiratory group, VRG) terdiri atas kelompok sel
inspirasi maupun ekspirasi, terletak dibagian ventrolateral medula.

Kelompok Respirasi Dorsal (DRG)


DRG diasosiasikan dengan nukleus traktur solitarius (NTS) yang sisi proyeksinya untuk
aferen viseral pada saraf IX (glosofaringeal) dan X (vagus). Sebagai dasar respon
terhadap pengembangan paru, dikenal ada tiga tipe neuron DRG. Satu tipe dikenal
sebagai Ialpha atau Ralpha (I dan R singkatan dari inspirasi dan respirasi) yang dihambat
oleh pengembangan paru. Akson sel ini memproyeksikan diri ke n. phrenikus dan
motoneuron interkostal eksternal pada korda spinalis. Tipe lain dinamakan Ibeta atau
Rbeta, dirangsang oleh inflasi paru. Apakah akson Ibeta menuju ke motoneuron respirasi di
korda spinalis masih kontroversial. Aktifitas tembakan ritmis dari sel Ialpha dan Ibeta tetap
berlanjut bahkan ketika pengembangan paru terhenti atau n. vagus dileher rusak,
memberikan gambaran bahwa sel-sel ini menerima input perangsangan dari pembangkit
pola sentral (central pattern generator, CPG) untuk bernapas.

Untuk TUGASMAS 258


259
DRG juga mengandung sejumlah sel tanpa input dari CPG untuk bernapas. Aktifitas
tambahan dari sel-sel tersebut sangat mengikuti inflasi paru yang terjadi selama
ventilasi, baik spontan maupun terkontrok; sel-sel ini disebut pump atau sel P, dan
diasumsikan sebagai interneuron.
Karena perangsangan neuron Ibeta yang dilepas oleh inflasi paru adalah berhubungan
dengan pemendekan respirasi, telah diketahui bahwa fungsi neuron Ibeta adalah untuk
membawa fase inspirasi ke ekspirasi, yang diubah oleh aksi penghambatan dari neuron
Ialpha, dan bahwa jaringan ini bertanggung jawab terhadap reflek inhibisi Hering-Breuer
pada inspirasi saat inflasi paru, yang disebut reflek inflasi Hering-Breuer atau reflek
penghambatan inspirasi Hering-Breuer.

Kelompok Respirasi Ventral (VRG)


VRG berkembang dari rostral ke kaudal medula dan mempunyai 3 subdivisi. Kompleks
Botzinger, berlokasi di bagian paling rostral dari medula. Terdiri atas terutama neuron
ekspirasi yang mengirim koneksi inhibisi ke neuron inspirasi DRG untuk menimbulkan
penghambatan neuronal inspirasi selama ekspirasi berlangsung (penghambatan
resiprokal) dan untuk turut serta dalam mekanisme penghentian inspirasi.

Nukleus ambiguus (NA) dan paraambigualis (NPA) berada saling bersisian dibagian
tengah (intermediate) dari VRG. NA berisi motoneuron respirasi, suatu akson yang
keluar dari otak bersama serat eferen vagal yang lain dan menginervasi abduktor
laringeal (inspirasi) dan otot adduktor (ekspirasi) melalui n. laryngeal recurren. NPA
trdiri atas terutama neuron inspirasi, disebut sebagai neuron Igamma, untuk
membedakannya dari neuron Ialpha dan Ibeta dari DRG. Neuron Igamma bertanggung jawab
pada inflasi paru dalam perilaku yang mirip dengan neuron Ialpha. Akson dari neuron ini
mengarah ke n.phrenikus dan kumpulan motoneuron eksternal (inspirator) intercostal
pada korda spinalis.

Nukleus retroambigualis (NRA) menempati bagian kaudal dari VRG, berisi neuron-
neuron ekspirator dengan akson yang mengarah kedalam kumpulan motoneuron spinal
untukotot interkostal dan abdominal.

Neuron Respirasi pada Pons


Bagian dorsolateral dari rostral / kaudal pons berisi baik neuron ekspirator maupun
inspirator. Yang disebut terakhir barada pada bagian nukleus parabrachialis medial

Untuk TUGASMAS 259


260
(NPBM) dan yang lebih dulu disebut berada pada nukleus parabrachialis lateral
(NPBL). Neuron respirasi dari nukleus ini disebut sebagai kelompok respirasi pons
(Pons Respiratory Group, PRG), yang juga disebut pusat pneumotaksik (pneumotaksik
centre, PC), suatu istila yang dibuat oleh Lumsden pada tahun 1923. Stimulasi listrik
pada PRG menghasilkan napas cepat dengan pergantian prematur dari fase pernapasan.
Sebaliknya pemotongan otak pada tingkat di kaudal PRG, atau lesi yang mengenai PRG
akan memperlama pernapasan, menghasilkan pernapasan yang lambat dan dalam.
Vagotomi servikal bilateral menghasilkan pola yang mirip, yaitu pernapasan yang
lambat dan dalam. Vagotomi servikal bilateral, dikombinasikan dengan pemotongan
kontrol dari PRG atau lesi pada PRG, menghasilkan apneusis (pemanjangan inspirasi
atau penghentian respirasi pada fase inspirasi) (Tabel 3-4) atau pernapasan apneustik
(ritme respirasi yang lambat dengna peningkatan waktu inspirasi) (Gambar 3-12).

Sebagai ringkasan, terdapat 3 kelompok neuron respirasi pada batang otak; satu di pons,
dan dua di medula. Yang dua terakhir, satu grup menempati bagian dorsomedial
medula, dan disebut kelompok respirasi dorsal (DRG), dan ang lain terletak di bagian
ventroleteral medula, dan disebut kelompok respirasi ventral (VRG). Neuron respirasi di
pons terletak di kaudal / rostral pons, dan disebut sebagai kelompok respirasi pons
(PRG), atau disebut pusat pneumotaksik.

Pembentukan Ritme Pernafasan


Pada semua spesies yang diteliti, ritme napas dapat muncul pada ketiadaan umpan balik
dari reseptor perifer, menunjukkan bahwa ritme respirasi dihasilkan oleh CPG dan
bukan input dari perifer. Karena transeksi otak pada tingkat rostral pons mempunyai
efek kecil terhadap pola respirasi, dan transeksi dibawah tingkat medula menghilangkan
ritme napas, CPG seharusnya berada dibagian bawah batang otak, yaitu di pons dan
medula. Sebagian besar setuju bahwa CPG yang mendasari ritme pernapasan berada di
medula, tetapi lokasi tepatnya pada medula tetap tidak jelas. DRG, VRG, dan PRG
disadari sebagai lokasi yang mungkin, tetapi elemen saraf yang membentuk CPG
tampaknya terpisah dari neuron respirasi yang telah teridentifikasi.

Mekanisme pemunculan ritme pernapasan juga belum jelas, dan masih menjadi
perdebatan dan objek penelitian. Secara singkat ritme pernapasan mungkin merupakan
hasil dari aktifitas sel pemacu (pace maker) atau jaringan saraf atau keduanya. Sel
pemacu tidak membutuhkan interaksi dengan elemen saraf yang lain untuk

Untuk TUGASMAS 260


261
menghasilkan output ritme, karena mereka mampu melakukan depolarisasi sendiri dan
hiperpolarisasi. Walaupun merupakan hipotesis yang menarik, tidak ada bukti yang
cukup baik untuk mengkonfirmasi maupun menolak keberadaan sel pemacu, dan
perannya dalam pembentukan ritme pernapasan. Karena kesulitan tehnis untuk
menunjukkan sel pemacu, kebanyakan penelitian tentang mekanisme pembangkitan
ritme napas telah terfokus pada interaksi jaringan saraf sebagai penghambatan
resiprokal (yaitu penghambatan neuron ekspirasi oleh neuron inspirasi, dan
penghambatan neuron inspirasi oleh neuron ekspirasi selama berlangsung ekspirasi),
walaupun penghambatan reiprokal saja tidak dapat menjelaskan perubahan fase
respirasi, yaitu perubahan inspirasi ke ekspirasi dan sebaliknya.

Seperti telah disebutkan, CPG untuk pernapasan berlokasi di medula. Aktifitas CPG
dipengaruhi oleh input dari kemoreseptor (perifer dan sentral), nosiseptor, dan struktur
lain yang lebih tinggi, seperti PRG. Fungsi input ini adalah untuk adaptasi pola napas
untuk disesuaikan dengan perubahan kebutuhan metabolisme dan kegiatan.

Sebagai rangkuman, dasar ritme pernapasan dibangkitkan oleh CPG yang berlokasi di
suatu tempat di medula yang aktifitasnya bebas dari input aferen yang outputnya
mungkin sesuai dengan kebutuhan metabolisme dan kegiatan yang selalu berubah.

Tes terhadap Kontrol Pernafasan


Kontrol respirasi dites dengna menyediakan rangsangan untuk mengaktifkan sistem
kontrol nafas dan mengatur respon ventilasinya. Karena terdapat berbagai komponen
dalam sistem kontrol respirasi, tidak ada satu tes pun yang dapat mengukur efisiensi dan
integritas semua komponen. Jadi, respon ventilasi terhadap hiperkarbia terutama
menguji kemoreseptor perifer, dan hiperventilasi volunter dapat menguji efisiensi sistem
neuromuskuler.

Pengukuran output pusat respirasi, yang disebut respiratory drive, adalah lebih sukar
dikuantifikasi. Pengukuran langsung terhadap aktifitas neuron inspirasi akan ideal,
tetapi pendekatan ini masih belum mungkin dilakukan. Metode tidak langsung untuk
melakukan evaluasi output dari pusat napas sentral adalah :
1. integrasi aktifitas listrik dari n. phrenikus
2. integrasi aktifitas listrik diafragma (elektromiograf)

Untuk TUGASMAS 261


262
3. tekanan dalam mulut tertutup sebagai pengukur kekuatan inspirasi yang ditimbulkan
oleh otot inspirasi, dan
4. ventilasi paru.

Respon terhadap CO2


Dua tipe tes terhadap respon CO2 yang tersedia adalah metode keadaan setimbang
(steady-state) dan metode pernapasan ulang (rebreathing). Pada metode steady-state,
subjek menghirup campuran gas yang berisi konsentrasi CO2 yang ditingkatkan, dan
perubahan ventilasi (atau satu dari parameter output pusat napas) pada kondisi steady-
state diukur. Lima persen CO2 dalam O2 adalah gas untuk tes yang umum digunakan,
walaupun reliabilitas yang lebih baik dapat dicapai dengan menggunakan beberapa
konsentrasi CO2, seperti 0, 3%, 5%, dan 7%. Subjek normal menunjukkan kira-kira 4
kali lipat peningkatan ventilasi ketika menghirup 5% CO2, atau suatu peningkatan
ventilasi sebesar 1,5 s/d 2,5 liter/menit/mmHg muncul pada pCO2 arterial. Gambar 3-13
menggambarkan hasil dari tes respon steady-state CO2 yang dikerjakan pada orang
dengan fungsi respirasi yang normal, satu dengan emfisema, dan satu dengan depresi
pusat napas.

Pada metode rebreathing , subjek bernapas dari kantong yang diisi 7% CO2 dan 93%
O2. Konsentrasi atau tekanan parsial CO2 pada ventilasi semenit dan end-tidal CO2
dicatat secara kontinu.

Respon ventilasi terhadap CO2 menurun sejalan dengan umur dan selama tidur, dan
dapat didepresi kuat oleh berbagai obat sedatif, narkotik, dan anestesi. Respon itu juga
menurun pada pasien dengan penyakit obstruktif paru. Depresi ini dapat ditimbulkan
pada subjek normal saat mereka bernapas dengan tambahan beban mekanik.

Respon terhadap Hipoksia


Dengan menurunkan secara bertahap konsentrasi O2 pada campuran gas yang dihirup
dan mengukur perubahan ventilasi yang berhubungan, adalah mungkin untuk mengukur
respon subjek terhadap hipoksia. Hubungan antara pO2 dan ventilasi adalah hiperbolik
(Gambar 3-14a) dan berbeda-beda tergantung pada apakah CO2 arterial diperkenankan
jatuh, yang secara normal terjadi pada saat ventilasi meningkat, atau dipertahankan
konstan dengan menambahkan CO2 kedalam udara yang dihirup, seperti pada kasus tes
respon terhadap hipoksia pada isokapnea. Karena kurva hiperbolik terlalu lambat untuk

Untuk TUGASMAS 262


263
dianalis, respon terhadap hipoksia sekarang sering diekspresikan sebagai hubungan
antara ventilasi semenit dan saturasi O2 arterial, yang dimonitor lewat pulse oximeter
(Gambar 3-14b).

Untuk menghindari efek sistemik dari hipoksia, dan untuk meminimalisasi penumpukan
alveolar CO2, tes dapat juga dilaksanakan dengan mengambil satu sampai tiga hirup
100% nitrogen, yang pada individu sehat akan menghasilkan rangsangan ventilasi awal
karena stimulasi kemoreseptor karotis.

Sensitifitas hipoksia menurun pada peningkatan umur dan pemberian obat sedatif,
narkotik, dan anestesi, dan terdepresi secara khas atau bahkan menghilang pada mereka
yang bertempat tinggal di daerah ketinggian dalam jangka lama. Pada ketiadaan badan
karotis, hipoksia (PaO2 pada 45 s/d 55 mmHg) menurunkan ventilasi melalui efek
depresi langsung pada pusat napas.

Tes respon hipoksia dan tes respon CO2 menyediakan informasi yang berguna tentang
kemosensitifitas, tetapi interpretasinya terbatas karena kedua tes tersebut dipengaruhi
oleh abnormalitas mekanik diberbagai tempat pada sistem respirasi.

Tekanan dalam Mulut Tertutup


Tes ini digunakan sebagai metode tidak langsung untuk mengukur output pusat
respirasi, yang disebut respiratory drive. Kekuatan yang ditimbulkan otot respirasi
sebagai respon terhadap output pusat inspirasi diperkirakan dengan mengukur tekanan
negatif di mulut pada saat onset inspirasi terhadap katup yang telah menutup, sehingga
disebut tekanan oklusi (occlussion pressure). Subjek bernapas melalui mouthpiece
dengan katup ekspirasi dan inspirasi yang terpisah. Selama ekspirasi, pada suatu waktu
yang tidak diketahui oleh subjek, operator menutup katup inspirasi, sehingga subjek
tetap bernapas seperti biasa. Karena tidak ada lairan udara, tekanan mulut
menggambarkan kekuatan mekanis statis dalam sistem respirasi yang ditimbulkan oleh
otot inspirasi sebagai respon terhadap output pusat napas. Perubahan tekanan diukur 0,1
detik (Po.1) setelah penutupan katup untuk meminimalisasi perubahan karena kesadaran
atau reflek dalam tegangan otot yang dapat muncul pada oklusi yang lebih lama. Karena
itu Po.1 menggambarkan baik kendali saraf terhadap otot inspirasi maupun kemampuan
kontraktilitas otot tersebut. Tes ini dapat digunakan untuk mempelajari sensitifitas
respirasi terhadap CO2, hipoksia, dan faktor lain.

Untuk TUGASMAS 263


264

Pengaturan Waktu Siklus Penafasan


Siklus waktu respirasi dihitung sebagai waktu inspirasi (ti) dibagi total waktu siklus
respirasi (ttot), yaitu ti / ttot yang merupakan refleksi dari pengaturan waktu respirasi
(respiration timing). Rata-rata kecepatan sistem inspirasi dihitung sebagai volume tidal
(Vt) dibagi waktu inspirasi (ti), yaitu Vt / ti adalah suatu pengukuran dari inspiratory
drive.

Penyebab Hasil Tes Abnornal


Respon Abnormal terhadap CO2
Ketika respon tes terhadap CO2 abnormal, hal tersebut menjelaskan bahwa terdapat
suatu abnormalitas pada satu atau lebih komponen sistem kontrol respirasi : sensor
(receptor), pengatur (controller), dan efektor. Secara klinis, tiga keadaan umum yang
dapat dihitung sebagai penyebab paling sering terjadinya respon CO2 yang abnormal.
Pertama adalah kegagalan / penurunan sensitifitas kemoreseptor sentral atau respon
neuron di batang otak yang tidak adekuat untuk merangsang kemoreseptor sentral.
Kondisi tersebut dapat melibatkan defek kongenital atau mungkin juga dapatan setelah
lesi traumatik atau inflamasi otak. Obat sedatif, narkotik, dan anestesi juga bekerja pada
sistem kontrol kemoreseptor sentral untuk menurunkan respon terhadap CO2. Retensi
CO2 yang kronis yang muncul pada pasien dengan penyakit paru kronis, menghasilkan
penurunan respon kemoreseptor sentral. Respon ventilasi terhadap CO2 juga menurun
selama tidur dan pada usia tua.

Kondisi kedua yang juga menyebabkan respon tes CO2 menurun adalah penyakit sistem
neuromuskuler, sedemikian hingga walaupun output pusat respirasi sebagai respon
terhadap penurunan CO2 dalam keadaan normal, perangkat neuromuskuler gagal
merespon peningkatan output pusat respirasi. Contohnya meliputi poliomielitis, dengna
kerusakan pada sel kornu anterior yang menginervasi otot pernapasan, dan myasthenia
gravis. Kondisi ini juga berhubungan dengna penurunan kekuatan otot inspirasi,
sehingga tekanan mulut tertutup (Po.1) akan rendah.

Kondisi ketiga melibatkan pembatasan mekanis dari pengembangan dada, seperti


terdapat pada pasien dengan penyakit paru obstruktif menahun (COPD), atau deformitas
dinding dada (Gambar 3-13). Dalam situasi ini, output pusat respirasi dan respon
neuromuskuler terhadap tantangan (challenge) CO2 adalah normal, tetapi karena

Untuk TUGASMAS 264


265
perubahan mekanis dinding paru atau dada, aktifitas otot respirasi tidak efektif dalam
menimbulkan peningkatan ventilasi yang diharapkan terjadi. Pengukuran
elektromiogram diafragma atau kekuatan kontraksi otot inspirasi (tekanan mulut
tertutup) adalah normal, yang mengindikasikan respon yang adekuat dari kemoreseptor
sentral terhadap CO2 eksogen.

Pasien dengan COPD, yang mempunyai retensi CO2, mengalami penurunan respon
ventilasi terhadap CO2 eksogen, sebagian karena penurunan sensitifitas kemoreseptor
sentral terhadap konsentrasi H+ di CSF, dan sebagian lagi karena disfungsi mekanis
paru, yaitu peningkatan tahanan jalan napas.

Respon Abnormal terhadap Hipoksia


Tes ini mempunyai aplikasi klinis yang terbatas. Subjek dengan hipoksemia lama,
seperti pada mereka yang lahir dan dibesarkan di daerah ketinggian, pasien dengan
penyakit jantung kongenital, dan pasien yang telah menjalani pengambilan badan
karotisnya melalui pembedahan, mungkin kehilangan banyak kemampuan atau bahkan
hilang sama sekali sensitifitas kimianya terhadap O2. Derajat depresi kemosensitifitas
O2 pada individu ini dapat dievaluasi dengan tes respon terhadap hipoksia.

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, pasien dengan COPD dan retensi CO2 telah
menurun respon ventilasinya terhadap CO2. Pasien ini dapat bergantung pada dorongan
hipoksia (hipoksia drive) untuk ventilasinya. Adalah dimungkinkan untuk membedakan
sampai sejauh mana hipoksemia bertanggung jawab untuk menjaga ventilasi pasien
dengan mengukur ventilasi saat pasien bernapas dengan udara dan saat O2
menggantikan udara. Pada individu sehat dengan PO2 arterial yang normal, inhalasi
100% O2 menurunkan ventilasi semenit hanya sedikit dan untuk beberapa hirupan
napas. Pada pasien dengan penurunan kemosensitifitas sentral terhadap CO2 yang
bergantung pada ventilasi yang didorong hipoksia, inhalasi 100% CO2 dapat
menurunkan ventilasi secara substansial karena terjadi penghilangan stimulasi hipoksia.

OTOT EFEKTOR RESPIRASI


Otot respirasi terdiri atas otot inspirasi dan ekspirasi.

Otot Inspirasi

Untuk TUGASMAS 265


266
Kelompok otot ini meliputi diafragma, interkostal eksternal, skalenus (anterior, media,
dan posterior) dan otot sternocleidomastoid. Pada latihan otot berat, atau selama
ventilasi maksimal volunter, otot inspirasi tambahan juga aktif, meliputi otot trapezius
dan otot punggung. Otot yang terikat pada tempatnya (strap muscles), otot laringeal,
dan otot lidah membantu inspirasi bukan dengan membesarkan rongga dada, tetapi
dengan mengurangi tahanan jalan napas.

Diafragma
Lembar yang berbentuk kubah yang besar ini adalah otot utama inspirasi. Selama
pernapasan tenang saat istirahat, pergerakan diafragma terhitung setidaknya berperan
75% dalam peningkatan volume intratoraks. Selama kontraksi, diafragma bergerak
kebawah, mendorong isi abdomen, dan menggeser dinding abdomen kedepan. Selama
inspirasi maksimal, puncak bawahnya mungkin mencapai 10 cm. Aksi utama diafragma
adalah untuk membesarkan ruang toraks kebawah. Walaupun secara primer adalah otot
inspirasi, tetapi tetap aktif (berkontraksi) selama bagian awal dari ekspirasi, diduga
untuk membuat volume toraks tidak menurun secara mendadak, sehingga ekspirasi
diperhalus. Saraf motorik yang menginervasi diafragma adalah n.phrenikus yang
muncul dari segmen servikal ketiga sampai kelima, tetapi terutama dari yang keempat.

Otot Intercostal Eksterna


Kontraksi otot ini mengangkat ujung anterior tiap rusuk dan menariknya keatas dan
keluar, sehingga meningkatkan diameter anteroposterior toraks. Otot ini diinervasi oleh
n.interkostalis yang muncul dari segmen torakal pertama sampai ke dua belas.

Otot Inspirasi Lain


Otot skalenus (anterior, media, dan posterior) mempunyai irama ritmis selama
pernapasan tenang saat istirahat. Otot ini mengangkat 2 iga teratas, sehingga
memperbesar volume intratoraks, dan diinervasi oleh n. servikalis. Sternokleidomastoid
mengangkat sternum dengan kontraksinya, sehingga memperbesar volume intratoraks.
Otot ini aktif sebagai otot napas selama pernapasan berat dan diinervasi oleh n. asesoris
(n.cranialis XI).

Pada latihan otot yang berat atau selama ekspirasi volunter maksimal, seluruh otot
tambahan , termasuk trapezius dan otot punggung, turut aktif. Otot respirasi lain

Untuk TUGASMAS 266


267
membantu respirasi dengan menurunkan tahanan aliran udara. Otot ini terdiri atas otot
lidah (glossal), otot laring (laryngeal), dan otot penahan (strap muscles). Salah satu otot
lidah eksternal (genioglossus) telah dikenal karena kemungkinan perannya pada apnea
selama tidur dan obstruksi jalan napas atas. Kontraksi ritmis otot ini terjadi pada fase
inspirasi dan menarik lidah keatas. Pada kucing, gangguan aktifitas ini tercatat selama
anestesia. Adalah masuk akal untuk menganggap bahwa induksi dan pemeliharaan
anestesi dapat mengganggu aktifitas genioglossus pada manusia, menyebabkan lidah
jatuh kebelakang, berhadapan dengan dinding posterior faringeal dan menjelaskan
terjadinya obstruksi jalan napas yang sering muncul saat anestesi diinduksikan. Salah
satu penyebab tipe obstruktif pada apnea waktu tidur tampaknya adalah kegagalan otot
genioglossus untuk berkontraksi selama inspirasi waktu tidur, menyebabkan lidah jatuh
kebelakang dan kemudian menyumbat jalan napas. Kontraksi maksimal otot inspirasi
dapat menurunkan tekanan intraleural sebanyak 60 s/d 100 mmHg dibawah tekanan
atmosfir, yaitu ke angka -60 s/d -100 mmHg.

Otot Ekspirasi
Ekspirasi adalah proses pasif dan muncul karena kembalinya jaringan elastik dari posisi
teregang dan untuk melepaskan energi yang tersimpan selama inspirasi. Pada kecepatan
ventilasi yang tinggi atau pada obstruksi napas sedang sampai berat, otot ekspirasi yang
diinervasi oleh n. interkostalis berkontraksi. Otot Interkostalis interna dan otot abdomen
termasuk kelompok otot ini. Kontraksi otot intercostalis interna menggerakkan iga
kebawah dan kedalam sehingga menurunkan volume intratoraks. Kontraksi dinding
abdomen (rektus abdominis, oblique external, oblique internal, dan transversus
abdomen) menekan iga bawah dan membungkukkan tubuh , tetapi lebih dari itu
meningkatkan tekanan intra abdomen, yang mendorong diafragma keatas.

Kontraksi yang hebat dari otot respirasi dapat membangkitkan pemanjangan tekanan
intrapulmonal pada 120 mmHg. Kontraksi maksimal otot abdomen selama regangan
dapat menimbulkan tekanan intra abdominal sebesar 150 s/d 200 mmHg, cukup untuk
menghentikan aliran darah lewat aorta abdominalis.

Pengaturan Ventilasi selama Tidur


Tidur adalah bukanlah proses homogen, tapi suatu siklus fenomena yang tergambar
dalam EEG dan EOG secara khas; terdapat 2 fase yang berbeda, yaitu REM atau tidur
aktif, dan NonREM atau tidur tenang. NonREM mempunyai 4 tahap kedalaman tidur,

Untuk TUGASMAS 267


268
dimana dua yang terdalam (tahap 3-4) disebut tidur gelombang lambat karena
karakteristik pola EEG-nya. Pada dewasa tiap siklus berakhir sekitar 90 menit, dan rata-
rata terjadi 4-5 episode REM muncul tiap malam.

Tahap I disebut dozing (mengantuk), EEG tampak sebagai gelombang cepat dengan
amplitudo kecil. Tahap 2 sama dengan tahap I dengan periode tidur dengan sedikit
simpulan gelombang (spindles sleep) pada frekuensi 12-14 hz. Tahap 3 ditampakkan
sebagai gelombang simpulan dengan pola lambat, amplitudo besar dan lebih sedikit
periode spindles sleep. Tahap 4 didominasi gelombang delta (2-7 siklus / detik,
amplitudo lebih dari 75 µv). Dalam tidur REM, EEG sama dengan tahap 1, tetapi EOG
menunjukkan frekuensi gerakan mata yang cepat. Tidur REM dihubungkan dengan
proses bermimpi.

Pada orang sehat, selama tidur gelombang lambat (tahap 3 dan 4 tidur non REM),
impuls dari pusat pernapasan di batang otak dikurangi dan ventilasi semenit diturunkan.
Sebagai akibatnya PCO2 arterial meningkat 4 sampai 6 mmHg, PO2 arteri turun 4
sampai 9 mmHg, dan pH arteri turun 0,03-0,05 unit. Perubahan yang sama terjadi pada
blood gas arteri dan pH selama tidur REM. Respon ventilasi terhadap CO2 turun dan
kurvanya pun bergeser ke kanan, pada tidur gelombang lambat dan pada tidur REM,
mengindikasikan. penurunan sensivitas kemoreseptor sentral. Sebaliknya, respon
ventilasi pada PO2 arteri yang rendah menjadi naik selama tidur, meskipun masih
kontroversi.

Kelainan paling banyak dalam pengaturan nafas selama tidur adalah kejadian episode
apneu, seperti sleep apneu, baik tipe sentral dan maupun obstruktif. Episode apneu
terjadi lebih dari 10 detik, yang muncul lebih kurang 11 kali per jam selama tidur, yang
mungkin berhubungan dengan penurunan saturasi O2 arteri hingga 75% atau kurang.

Pada apneu tidur sentral (central sleep apneu), pengontrol pernafasan otomatis di otak
tidak membangkitkan impuls pernapasan selama tidur. Hal ini mungkin disebabkan oleh
kerusakan serabut asenden spinal, yang secara normal membawa impuls afferen dari
reseptor perifer ke neuron pernafasan di batang otak. Kondisi ini bersifat reversible bila
orang tersebut sadar. Dalam penyakit Ondine, pusat pernafasan otak gagal bekerja
bahkan ketika orang itu sadar. Pasien ini bernafas bila diperintah atau bila ingat harus
bernafas, dan bergantung sepenuhnya kepada sistem pernapasan volunter untuk

Untuk TUGASMAS 268


269
mempertahankan hidupnya. Pada pasien ini terdapat bulbar poliomeilitis atau proses
penyakit yang menekan medula. Kondisi ini juga telah diketahui terjadi pada pasien
yang menjalani bilateral anterolateral cordotomy untuk menghilangkan nyeri. Prosedur
ini memotong jalur yang membawa respirasi otomatis tetapi tetap meninggalkan jalur
eferen volunter pada traktus kortikospinalis. Snoring adalah manifestasi parsial
obstruksi jalan nafas atas.

PENGATURAN PERNAFASAN SELAMA LATIHAN


Mekanisme yang melatarbelakangi ikatan erat antara peningkatan kebutuhan metabolik
dan peningkatan ventilasi pada olahraga masih belum jelas. Beberapa pandangan yang
cukup baik dapat diperoleh tentang topik ini.

Pada orang dewasa saat istirahat, O2uptake adalah 250 ml/min. Ketika latihan berat,
kebutuhan ini dapat meningkat hingga 5500 ml/min, suatu peningkatan sebesar 22 kali
lipat. Tubuh memenuhi kebutuhan O2 yang sangat tinggi ini dengan sangat
memperbesar cardiac output dan kenaikan tinggi pada ventilasi alveolar (Gambar 3-15).

Tingkat tertinggi kerja tubuh tanpa menimbulkan asidosis metabolik yang


berkepanjangan disebut ambang anaerobik (anaerobic threshold). Kesimbangan asam
basa biasanya normal selama latihan steady-state (lebih dari 6 kali lipat konsumsi O2),
ketika pengiriman O2 ke mitokondria cukup memenuhi semua kebutuhan. Pada latihan
yang lebih berat melewati ambang anaerobik, energi hanya dapat dicukupi dengan
kombinasi metabolik aerob dan glikolisis anaerobik. Asam laktat yang terbentuk selama
glikolisis berdifusi kedalam darah dan kadar H+ pun naik. Di bawah batas anaerobik,
PO2, PCO2, pH arteri biasanya tidak berubah, walaupuin nilai dalam vena berubah.

Dikarenakan tidak adanya perubahan yang bermakna pada PO2, PCO2, dan pH arterial
selama latihan / kerja sedang pada orang normal, peningkatan dorongan kimia (chemical
drive) pada kemoreseptor pusat dan perifer tidak terjadi, hal ini tidak dapat
menjelaskan tentang peningkatan ventilasi. Teori lain yang mencoba menjelaskan
tentang hiperpnea pada latihan dengan keadaan PO2, PCO2, dan pH arterial yang
normal adalah sebagai berikut :
1. Peningkatan sensivitas kemoreseptor pusat terhadap PCO2 arteri normal, disebabkan
sebagian oleh karena ada pelepasan sebagian mediator adenergik.

Untuk TUGASMAS 269


270
2. Bombardemen pusat respirasi batang otak oleh korteks motorik otak yang
menginervasi otot yang sedang menjalani latihan, sehingga terjadi peningkatan output
pusat nafas di batang otak.
3. Peningkatan suhu badan yang menstimuli pernafasan melalui efek langsung pada
pusat napas, maupun tidak langsung melalui termoreseptor sentral dan perifer.
4. Peningkatan stimuli input ke pusat nafas di batang otak melalui reseptor mekanik di
sendi, tendon, dan otot.
5. Adanya substansi X tak teridentifikasi yang terbentuk selama latihan otot dan bekerja
pada pusat pernafasan di batang otak.
Tidak ada satu teori yang sejauh ini cukup adekuat, dan sepertinya terdapat banyak
faktor yang berpengaruh pada hiperpnea selama latihan / kerja.

TRANSPORTASI OKSIGEN DAN KARBONDIOKSIDA


Collin’s

Volume oksigen yang dikonsumsi permenit pada rata-rata orang dewasa kira-kira 225
ml. Produksi karbondioksida sedikit lebih kecil dan bervariasi dengan jenis makanan
dalam diet. Seseorang dengan diet tinggi karbohidrat akan mengkonsumsi sejumlah
oksigen dan karbondioksida yang lebih kurang setara, sedangkan pengkonsumsi diet
tinggi lemak membutuhkan relatif lebih besar volume oksigen. Rasio karbondioksida
terhadap oksigen disebut respiratory exchange ratio (rasio pertukaran respirasi).

Transpor oksigen
Sistem kardiovaskuler bekerja bersama dengan sistem respirasi dalam mentranspor
oksigen dari udara luar ke mitokondria sel. Oksigen berlaku sebagai penerima elektron
pada oksidasi fosforilasi, yang memungkinkan produksi ATP melalui jalur aerobik
secara efisien. Ikatan fosfat tinggi energi pada ATP menyediakan energi untuk proses
fungsional dan biokimia dalam sel, seperti kontraksi protein otot dan aktifitas
metabolisme enzim.

Gambar 5-1 menunjukkan pengaruh tekanan partial oksigen (pO2) terhadap konsumsi
oksigen pada mitokondria terisolasi. Gambar tersebut menunjukkan bahwa diatas ± 0,1
mmHg, VO2 (konsumsi oksigen) tidak tergantung pada pO2. Sehubungan dengan hal
tersebut, tujuan sistem penyaluran oksigen terintegrasi pada mahluk hidup adalah untuk
meyakinkan bahwa pO2 dijaga diatas 0,1 mmHg pada permukaan mitokondria. Satu-
satunya fungsi pO2 diatas 0,1 mmHg adalah untuk menyediakan kekuatan pengarah
untuk difusi O2 ke mitokondria dari kapiler terdekat.

Determinan penyaluran oksigen


Jumlah O2 yang dibawa dari paru-paru ke jaringan oleh sirkulasi darah disebut
connective systemic O2 delivery (DO2), ditunjukkan oleh persamaan :
DO2 = CaO2 x CO
dimana CaO2 adalah kadar O2 arterial dalam vol% dan CO adalah aliran darah sistemik
atau cardiac output dalam liter/menit.

Untuk TUGASMAS 270


271

Kadar O2 arterial
Kadar O2 arterial adalah terdiri atas O2 yang diikat Hb dan O2 yang larut dalam plasma.
CaO2 = O2 terikat + O2 terlarut

Oksigen yang terikat hemoglobin


Struktur molekul hemoglobin manusia yang khas pada semua molekul hemoglobin
ditunjukkan oleh gambar 5-2. Molekul Hb tersusun atas 2 bagian dasar. Bagian protein
atau globin tersusun dari rantai polipeptida yang identik yaitu 2 rantai a dan 2 rantai ß.
Rantai polipeptida tersebut terlipat dan tersusun sebagai tetramer. Tiap rantai ini
mengandung 1 grup heme berkandungan besi yang bekerja sebagai pembawa reversibel
satu molekul oksigen. Jadi tiap molekul hemoglobin dapat mengikat empat molekul
oksigen. Ikatan oksigen adalah fungsi dari konsentrasi hemoglobin, kapasitas
pengangkutan oksigen oleh hemoglobin (1,39 ml O2/mmHg), dan saturasi O2 dari
hemoglobin (SaO2), menurut persamaan :
O2 terikat= Hb x SaO2 x 1,39
Kurva disosiasi
SaO2 adalah fungsi dari pO2 dan kurva disosiasi oksihemoglobin adalah suatu titik dari
saturasi oksihemoglobin sebagai fungsi dari pO2 (gambar 5-3). Bentuk sigmoid kurva
menggambarkan fakta bahwa keempat sisi ikatan pada molekul hemoglobin
berinteraksi. Ketika sisi pertama telah mengikat satu molekul O2, ikatan pada sisi
berikutnya difasilitasi dan seterusnya. Hasilnya adalah sebuah kurva yang naik tajam
sampai pO2 60 mmHg dan kemudian menjadi landai setelahnya, dan mencapai 100%
saturasi secara perlahan. Pada pO2 100 mmHg, pO2 dalam darah arteri normal, 97%
heme mengikat O2; pada 40 mmHg, suatu nilai yang tipikal pada tekanan O2 vena saat
istirahat, saturasi menurun ke sekitar 75%. Bentuk kurva disosiasi oksihemoglobin
mempunyai implikasi fisiologis yang penting. Pendataran kurva diatas pO2 80 mmHg
meyainkan saturasi oksihemoglobin yang konstan untuk darah arteri, walaupun terdapat
variasi luas pada tekanan O2 alveolar. Bagian yang curam pada kurva antara 20 – 60
mmHg memungkinkan pelepasan O2 dari hemoglobin pada nilai pO2 yang relatif tinggi,
yang mengijinkan pengiriman sejumlah besar O2 ke jaringan secara difusi.

Kemampuan pengikatan O2 oleh Hb dipengaruhi oleh beberapa faktor, termasuk pH,


pCO2, dan temperatur (Gambar 5-4). Faktor-faktor ini menyebabkan pergeseran kurva
disosiasi oksihemoglobin ke kanan atau ke kiri tanpa mengubah kelengkungan kurva.
Sebagai contoh, peningkatan suhu atau penurunan pH, yang dapat terjadi pada jaringan
aktif, menurunkan daya ikat Hb terhadap O2, dan menggeser kurva disosiasi
oksihemoglobin ke kanan. Jadi, pO2 yang lebih tinggi dibutuhkan untuk mencapai
saturasi tertentu, yang membantu pelepasan O2 pada jaringan. Untuk menghitung
perluasan pergeseran pada kurva disosiasi oksihemoglobin, digunakan istilah p50, yang
berarti pO2 yang dibutuhkan untuk saturasi 50%. P50 pada orang dewasa dengan Hb
normal pada 37oC, pH normal, dan pCO2 26 mmHg adalah 27 mmHg.

Hemoglobin fetus
Hb fetus berbeda secara struktural dari Hb dewasa pada dua rantai polipeptidanya yaitu
tipe v yang banyak menggantikan tipe ß. Kurva disosiasi pada fetus sama dengan pada
dewasa, kecuali bahwa kurvanya bergeser ke kiri, menghasilkan p50 pada 20 mmHg.

Methemoglobin
Methemoglobin adalah bentuk ferri dari heme. Kadar ferrous dan ferri besi berada
dalam kesetimbangan, dengan hanya 0,1% dari besi secara normal berbentuk ferri.
Bentuk ferri ini tidak berikatan secara reversibel dengan oksigen dan karenanya tidak

Untuk TUGASMAS 271


272
dapat mengantar oksigen ke jaringan. Ketika konsentrasi methemoglobin melampaui 8 –
10% dari total (mencapai 1,5 – 2 gram) dapat muncul sianosis. Gejala hipoksia muncul
jika 30% Hb dalam bentuk ferri.

Obat-obatan tertentu menyebabkan produksi methemoglobin; besi bentuk disolven


dioksidasi ke bentuk trivalen. Metilen blue dan benzocaine membentuk senyawa met,
obat lain yang mengoksidasi besi ferrous termasuk nitrat, chlorat dan beberapa senyawa
sulfa.

Faktor pelepasan oksigen


Senyawa 2-3-difosfogliserat (2-3-DPG) merupakan senyawa antara pada glikolisis
aerobik (jalur biokimia yang dipakai sel darah merah untuk produksi ATP) yang terikat
pada hemoglobin. Peningkatan konsentrasi 2-3-DPG dalam sel darah merah
menurunkan daya ikat hemoglobin terhadap oksigen, dengan kata lain, menyebabkan
pergeseran kurva disosiasi oksihemoglobin ke kanan, sedangkan penurunan mempunyai
efek yang berlawanan. Beberapa faktor mempengaruhi konsentrasi 2-3-DPG sel darah
merah. Sebagai contoh, setelah disimpan di bank darah selama hanya satu minggu,
kadar 2-3-DPG menjadi 1/3 normal, mengakibatkan pergeseran ke kiri. Dilain pihak,
keadaan yang berhubungan dengan hipoksia kronis, seperti hidup pada daerah
ketinggian atau anemia kronis, menstimulasi produksi 2-3-DPG, yang menyebabkan
pergeseran kurva disosiasi oksi-hemoglobin ke kanan. P50 bergeser dari 26 ke 29
mmHg saat terjadi peningkatan 2-3-DPG sebesar 15%.

Kapasitas oksigen hemoglobin


Jumlah oksigen yang dapat dibawa setiap gram hemoglobin masih kontroversial.
Semula angka 1,34 dipakai, tetapi dengan penemuan berat molekul hemoglobin, nilai
teoritis 1,39 menjadi populer. Pada studi manusia, Gregory mengamati bahwa nilai yang
lebih tepat adalah 1,306 pada dewasa. Akan tetapi, nilai 1,39 tetap digunakan pada
sebagian besar studi.

Oksigen terlarut dalam plasma


Oksigen juga ditransportasikan oleh darah dalam bentuk terlarut fisik sederhana dalam
air plasma. Oksigen terlarut secara linear berhubungan dengan pO2 dan mematuhi
hukum Henry (Gambar 5-3). Pada suhu 37oC, hal ini didefinisikan dengan persamaan :
O2terlarut = 0,003 vol% / mmHg pO2

Oksigen terlarut secara normal terhitung hanya 1,5% dari total oksigen, tetapi
kontribusinya meningkat ketika komponen terikat berkurang selama hemodilusi. Karena
hemoglobin tersaturasi secara lengkap pada pO2 100 mmHg, peningkatan arterial pO2
ketingkat diatas 100 mmHg meningkatkan CaO2 dengan meningkatnya komponen
terlarut.

Nilai karakteristik untuk parameter pengangkutan O2


Pada individu dengan konsentrasi hemoglobin 15 g/100 ml, PaO2 100 mmHg, dan
cardiac output 5000 ml/menit :
CaO2 = (15x0,97x1,39) + (0,003 x 100)
= 20,5 vol%;
DO2=(5000x(20,5/100))=1025 ml/menit
CvO2= (15 x 0,75 x 1,39) + (0,003 x 40)
= 15,8 vol%;

Untuk TUGASMAS 272


273
dan beda kadar O2 arteri-vena adalah :
(CaO2 – CvO2) =20,5 – 15,8= 4,7 vol%

Karbonmonoksida
Karbonmonoksida mempengaruhi fungsi transpor oksigen oleh darah dengan
membentuk karboksihemoglobin (COHb). Kurva disosiasi oksihemo-globin dan
karboksihemoglobin mem-punyai bentuk yang serupa. Karbon-monoksida mempunyai
daya ikat lebih kurang 250x daya ikat oksigen terhadap hemoglobin; hal ini berarti
bahwa karbonmonoksida akan berikatan dalam jumlah yang sama dengan hemoglobin
terhadap oksigen ketika tekanan parsial karbonmonoksida 250 kali lebih rendah.
Sebagai contoh pada pCO hanya 0,16 mmHg, 75% hemoglobin berikatan dengan
karbonmonoksida sebagai COHb. Karena itu, saat diplot pada skala yang sama (Gambar
5-5), kurva disosiasi karbonmonoksida mempunyai hampir suatu lipatan ke sudut kanan
dekat nilai pCO-nol.

Makin tinggi afinitas karbonmonoksida terhadap hemoglobin berakibat bahwa orang


yang tak terduga terekspose terhadap CO di udara (sebagai contoh, selama kebakaran
gedung) dapat mempunyai proporsi yang tinggi dalam konsentrasi karboksihemoglobin
sehingga tidak dapat mengantar oksigen. Dalam kondisi ini, kadar hemoglobin dan PO2
darah bisa normal. Tetapi isi O2-nya dapat sangat berkurang. Sejumlah kecil
karboksihemoglobin juga menggeser kurva disosiasi oksigen ke kiri sehingga membuat
darah makin sulit melepas O2 yang dibawanya. Gambar 5-5 juga menunjukkan kurva
disosiasi oksigen yang mengandung 60% karboksihemoglobin yang dikontraskan
dengan kurva untuk anemia.

Pasien dengan keracunan karbon-monoksida diterapi dengan memberikan oksigen


murni atau 95% ditambah CO2 5% untuk pernapasannya. Tambahan 5% CO2
mempercepat bersihan CO dari darah. Pada pusat medis spesiali, terapi oksigen
hiperbarik sering diberikan dengan meningkatkan pO2 inspirasi ke 2000 mmHg,
kebutuhan jaringan tubuh akan oksigen dapat dipenuhi melalui jumlah O2 yang larut
dalam plasma.

Aliran darah ke jaringan perifer – prinsip reologi darah


Sebagai tambahan terhadap isi oksigen arterial, aliran darah adalah pembeda primer
terhadap pengiriman oksigen ke jaringan. Aliran darah di jaringan adalah fungsi dari
beda tekanan arteri – vena (pa – pv) dan tahanan vaskuler lokal, sesuasi dengan
persamaan :
F (aliran) = pa – pv / R
Hal ini analog dengan hukum Ohm pada sirkuit listrik. Karena tekanan vena dan arteri
dalam keadaan normal terjaga dengan baik dalam batas yang sempit, aliran darah
jaringan biasanya bervariasi terbalik terhadap fungsi dari tekanan vaskuler.

Hukum Poiseuille
Poiseuille membuat studi yang menghasilkan persamaan yang menggambarkan tahanan
terhadap aliran dalam tabung yang lurus dan kaku dengan panjang (l) dan jari-jari (r) :
R (tahanan) = ? 8 l / p r4
dimana ? adalah viskositas. Tahanan aliran darah bervariasi terbalik dengan jari-jari
tabung sampai ke pangkat 4. Karena itu, perubahan kecil pada jari-jari tabung
menyebabkan perubahan besar dalam tahanan.

Faktor Geometri

Untuk TUGASMAS 273


274
Karena panjang pembuluh darah in situ itu tetap, perubahan geometrik pada tahanan
aliran darah muncul karena variasi dari jari-jari pembuluh darah. Penyesuaian ini
merupakan akibat dari kontraksi atau relaksasi terhadap otot polos yang terdapat pada
arteriol, yang merupakan tempat utama tahanan vaskuler. Faktor kimia yang berkaitan
dengan aktifitas metabolisme jaringan, seperti adenosin, mengubah tahanan vaskuler
sehingga aliran darah (dan pengantaran O2) disesuaikan dengan kebutuhan oksigen
setempat.

Viskositas
Viskositas adalah gaya gesek internal hasil dari gaya antar molekul yang terjadi dalam
cairan yang mengalir. Istilah gaya gesek internal menekankan bahwa sejalan dengan
pergerakan cairan dalam tabung, lapisan melingkar pada cairan melewati / tergelincir
satu sama lain dan bergerak pada kecepatan yang berbeda. Hal ini menyebabkan
percepatan gerakan dalam arah tegak lurus terhadap dinding tabung. Gradien kecepatan
ini disebut shear rate (kecepatan memotong). Dalam sirkulasi, shear rate menunjukkan
korelasi langsung terhadap kecepatan aliran darah. Pengertian intuitif terhadap istilah
kecepatan dapat diambil dari eksperimen yang ditunjukkan dalam gambar 5-6. Dalam
eksperimen ini, cairan yang homogen dibatasi oleh dua piringan paralel (analog dengan
kartu remi) dalam jarak yang rapat. Diperanggapkan bahwa luas daerah tiap piringan
adalah A, jarak diantaranya adalah Y, dan dasar piringan dalam keadaan stasioner. Jika
gaya tangensial (shear stress) diterapkan pada piringan atas, piringan tersebut akan
bergerak dengan kecepatan v searah dengan kekuatan yang terjadi dan suatu gradien
gaya ( atau shear rate) terbentuk dalam cairan tersebut. Viskositas didefiisikan sebagai
faktor proporsional yang berhubungan dengan shear stress dan shear rate dalam cairan.
Viskositas = shear stress / shear rate

Newton menganggap bahwa viskositas adalah suatu ciri konstan dari cairan dan bebas
terhadap shear rate. Cairan yang menunjukkan perilaku ini disebut Newtonian. Unit
viskositas adalah dynes/detik/cm2 atau poise.

Faktor yang berpengaruh terhadap viskositas darah


Faktor yang berpengaruh terhadap viskositas darah ditampilkan pada tabel 5-1.
Viskositas darah bervariasi sebagai fungsi langsung dari hematokrit (Hct) (Gambar 5-7),
makin besar Hct, makin besar gaya gesek yang terjadi antar tiap lapisan. Plasma adalah
cairan Newtonian, bahkan dalam keadaan berkonsentrasi tinggi protein (Gambar 5-7).
Walaupun demikian, karena darah juga mengandung sel darah merah yang tersuspensi
dalam plasma, darah tidak berperilaku seperti cairan Newtonian yang homogen;
viskositas darah meningkat tajam sejalan dengan penurunan shear rate. Perilaku
Newtonian darah berperan dalam perilaku sel darah merah dalam aliran darah :
28. sel darah merah kehilangan posisi aksial mereka dalam aliran darah,
29. sel darah merah kehilangan bentuk elipsoidal mereka,
30. sel darah merah membentuk agregat; kecenderungan membentuk agregat
muncul tergantung pada konsentrasi molekul protein besar dalam plasma, seperti
fibrinogen, yang membentuk sel ke bentuk jembatan sel,
31. sel darah merah melekat ke dinding sel mikrovaskuler.

Gambar 5-9 menunjukkan bahwa perilaku non Newtonian terlokalisir in vivo pada sisi
vena dari sirkulasi karena shear rate-nya yang lebih rendah, tetapi perilaku ini dapat
hilang karena hemodilusi.

Efek ukuran pembuluh darah

Untuk TUGASMAS 274


275
Kecenderungan peningkatan Hct untuk meningkatkan viskositas darah, muncul saat
darah mengalir lewat tabung berdiameter kapiler (Gambar 5-10). Hal ini terjadi karena
sel darah merah dapat berubah bentuk, dan dengan diameter yang sesuasi dengan
kapiler, mereka dapat cukup mengkerut untuk melewati lumen pembuluh satu demi satu
dengan hanya memerlukan tenaga tambahan yang minimal. Jadi kecepatan dimana sel
darah merah melewati kapiler mempunyai pengaruh yang kecil terhadap viskositas
darah setempat; viskositas tetap terkait dengan plasma.

Efek suhu
Viskositas darah bervariasi terbalik terhadap suhu (Gambar 5-11). Penurunan Hct
dibutuhkan untuk menjaga viskositas yang konstan selama hipotermia. Hal ini
menunjukkan bahwa pada 20oC, dibutuhkan penurunan Hct dari 45 ke 25% untuk
mengembalikan viskositas ke nilai yang sama dengan pada suhu 37 oC. Hal tersebut
sangat penting disadari selama hipotermia pada pelaksanaan cardiopulmonar bypass.
Setelah arres sirkulasi, shear stress yang diperlukan untuk memulai aliran dan untuk
memisahkan agregat sel darah merah tampaknya cukup tinggi. Keuntungan reologi
tambahan dapat diperoleh dengan penurunan Hct yang lebih jauh.

Aliran turbulen
Persamaan Poiseuille menganggap bahwa disipasi energi keseluruhannya kental di
alam. Walaupun begitu, disipasi energi kinetik atau inersia dapat muncul pada nagka
Reynold yang tinggi. Angka Reynold setara dengan :
Re =(?vr)/?
dimana ? adalah kepadatan / densitas cairan dan v adalah kecepatan linear dari aliran.
Dengan angka Reynold yang tinggi, disipasi inersia yang berhubungan dengan aliran
turbulen meningkatkan tekanan titik yang diramalkan persamaan Poiseuille (Gambar 5-
12). Jaringan dengan pola aliran yang pulsatif ekstrim dan dengan geometri vaskuler
yang sangat komplikatif, seperti miokardium, adalah yang paling mudah diserang oleh
disipasi inersia dari tekanan.

Difusi Oksigen ke jaringan


Pengiriman oksigen dari kapiler ke sel
Tahap akhir dari pengiriman oksigen ke mitokondria sel adalah difusi dari pembuluh
darah kapiler. Menurut hukum difusi, proses ini ditentukan oleh beda pO2 kapiler
terhadap sel, parameter difusi, permukaan kapiler dan jarak difusi sel darah. Tahun
1919, Krogh memformulasikan model rekruitmen kapiler untuk menggambarkan proses
yang melatarbelakangi transpor oksigen pada tingkat jaringan. Model dasar ini
kemudian dikembangkan dan diperhalus oleh Honig. Walaupun model Krogh terbatas
oleh banyak peranggapan penyederhanaan, model ini bernilai sebagai alat untuk
mengapresiasikan peran dari mekanisme kontrol vaskuler dalam transpor oksigen ke
jaringan.

Gambaran Umum model Krogh


Model Krogh terdiri atas kapiler tunggal dan silinder jaringan yang melingkarinya
(Gambaran 5-13). Dua gradien oksigen yang saling berhubungan ikut terlibat, yaitu
gradien oksigen longitudinal dalam kapiler (panel atas) dan gradien oksigen radial yang
meluas kedalam jaringan (panel bawah). Sebagian besar oksigen dalam darah kapiler
terikat pada hemoglobin dan tidak dapat meninggalkan kapiler. Oksigen terikat ini
berada dalam kesetimbangan dengan oksigen yang terlarut dalam plasma. Konsumsi
oksigen oleh jaringan menyebabkan terjadinya gradien transkapiler oksigen. Difusi
oksigen ke jaringan sekitarnya menggeser kesetimbangan antara oksigen yang terikat
dan yang terlarut, sehingga lebih banyak oksigen yang lepas dari hemoglobin. Melalui

Untuk TUGASMAS 275


276
mekanisme ini, disosiasi oksigen dan hemoglobin dikontrol oleh konsumsi oksigen
jaringan.

Gradien oksigen longitudinal


Gradien longitudinal oksigen dalam kapiler tercipta karena ekstraksi oksigen oleh
jaringan ketika darah melewati arteri ke end-vena dari kapiler. Sejalan dengan
persamaan Fick (persamaan 10), perbedaan kadar oksigen arteri – vena setara dengan
rasio konsumsi oksigen dari aliran darah. Peningkatan konsumsi oksigen, penurunan
aliran darah, atau keduanya, akan meningkatkan perbedaan kadar oksigen longitudinal
(Gambar 5-13). Perubahan proporsional dalam VO2 dari aliran darah dibutuhkan untuk
menjaga gradien longitudinal oksigen tetap konstan.

Nilai yang berhubungan dengan PO2 (PcO2) dapat diperkirakan dari nilai pengambilan
CcO2 terhadap konsentrasi hemoglobin dan kurva disosiasi oksihemoglobin. Bentuk
dari gradien longitudinal PO2 dalam kapiler lebih kurang eksponensial karena pengaruh
dari kurva disosiasi oksihemoglobin. PcO2 adalah kekuatan pengarah difusi oksigen ke
jaringan. Karena PcO2 minimum pada vena akhir kapiler, mitokondria di daerah ini
adalah yang paling mudah diserang terhadap defisit oksigen.

Gradien oksigen radial


Gradien oksigen radial dapat digambarkan melalui nilai rerata pO2 jaringan, yang
dihitung sesuai dengan persamaan :
Rerata PtO2= PcO2 – A(VO2 r2 / 4 D)
dimana PcO2 adalah tegangan oksigen darah pada titik tengah kapiler, A adalah
konstanta yang berhubungan dengan hubungan antara diameter kapiler dan diameter
jaringan, VO2 adalah konsumsi O2 oleh jaringan, r adalah jari-jari jaringan (setengah
jarak antar kapiler), dan D adalah koefisien difusi O2. r dinyatakan sebagai angka
kapiler yang terisi sel darah merah per volume jaringan dan dikontrol oleh sfingter
prekapiler. Pengaruh yang lebih disukai dari pengumpulan / rekruitmen kapiler terhadap
pO2 jaringan telah terbukti (Gambar 5-13, panel bawah). Jika hanya kapiler 1 dan 3
terbuka, jarak difusi begitu besar sehingga pO2 jatuh ke nol di daerah pusat silinder
jaringan. Kadar PtO2 yang rendah menyebabkan relaksasi sfingter kapiler yang
mengontrol kapiler 2. Perfusi pada kapiler 2 menurunkan jarak difusi, dan
meningkatkan PtO2 ke level yang cukup untuk menembus jaringan.

Rerata PtO2 adalah gambaran kesetimbangan keseluruhan antara kebutuhan dan


penyediaan oksigen dalam suatu jaringan. Sebagai contoh, peningkatan aliran darah
tanpa perubahan kebutuhan oksigen, seperti pada perfusi khusus, meningkatkan rerata
PtO2, sedangkan penurunan aliran darah tanpa perubahan kebutuhan akan menurunkan
rerata PtO2. Jika rerata PtO2 jatuh dibawah level kritis, konsumsi O2 jaringan akan
terganggu (Gambar 5-1). Pengukuran terhadap PtO2 telah dilaksanakan pada hewan
coba di berbagai jaringan yang berbeda, termasuk miokardium dan tulang, dengan
menggunakan tehnik polarografik melibatkan elektrode platina berujung terbuka.
Keinvasifan tehnik ini telah memperjelas pengukuran rerata PtO2 pada pasien.
Pengukuran PvO2 vena lokal menyediakan perkiraan terhadap rerata kadar pO2 pada
end-kapiler, dan walaupun hal ini menga-baikan gradien pO2 radial, secara umum
menunjukkan korelasi yang masuk akal terhadap rerata PtO2.

Konsumsi oksigen dan variabel in vivo lain yang dapat diukur


Konsumsi oksigen
Pada keadaan klinis, terdapat beberapa cara untuk mengukur pO2 jaringan tubuh :
5. Pengukuran oksigen atau penggantiannya ke sistem pernapasan tertutup.

Untuk TUGASMAS 276


277
6. Pengurangan volume oksigen ekspirasi terhadap inspirasi
7. Penggunaan prinsip dari Fick.

Metode pertama adalah yang paling mendasar, telah divalidasi dengan baik, dan
mempunyai akurasi yang baik sesuai dengan kebutuhan klinis. Bagaimanapun, metode
ini tidak praktis dan membutuhkan perhatian yang tinggi terhadap detail jika akan
digunakan secara aman selama perawatan intensif. Metode kedua, pengurangan volume
oksigen ekspirasi terhadap inspirasi, sulit dan potensial tidak akurat untuk mengukur
VO2. Sumber masalah utamanya adalah bahwa VO2 adalah angka kecil yang dihitung
sebagai beda dari dua angka yang besar. Perkembangan tehnik terakhir telah
mengurangi akibat dari keterbatasan ini.

Dalam keadaan stabil, persamaan Fick dapat dipakai untuk menghitung VO2 :
VO2 = CO x (CaO2 – CvO2)
dimana CvO2 dalam vol% dan CaO2 – CvO2 adalah beda antara kadar oksigen arteri –
vena sistemik. Pendekatan ini sering disebut sebagai tehnik Fick cadangan. Pada tehnik
ini, CO diukur dengan termodilusi menggunakan kateter Swan-Ganz yang ditempatkan
di arteri pulmonal. Contoh darah dikumpulkan dari arteri dan dari arteri pulmonal
(contoh darah vena tercampur) kemudian dianalisa kadar oksigennya. Nilai dari kadar
oksigen darah digunakan untuk mengukur perbedaan kadar arteri – vena sistemik.
Dengan menggunakan nilai CO dan CaO2-CvO2 pada waktu istirahat, persamaan Fick
dapat digunakan untuk menghitung nilai keseluruhan konsumsi oksigen oleh tubuh.

Petanda oksigenasi vena campuran


Rasio ekstraksi oksigen
Rasio ekstraksi oksigen (ER dalam %) didefinisikan dalam persamaan :
ER = (CaO2-CvO2) / CaO2
Dengan mengkombinasikan lagi persamaan dan mengatur istilah, dapat ditunjukkan
bahwa ER juga setara dengan rasio VO2 terhadap DO2, dan juga bahwa memungkinkan
menggambarkan keseimbangan antara kebutuhan oksigen sistemik dan pengirimannya.
Pengukuran ER seperti halnya pengukuran PvO2, sering digunakan di klinis untuk
menduga kecukupan DO2 (atau CO) secara keseluruhan pada pasien-pasien kritis.

Transpor kritis oksigen


Pada keadaan istirahat DO2 jauh melampaui VO2 (dalam contoh kami 1025 terhadap
228 ml/menit), jadi kecenderungan ER (kira-kira 25%) memberikan cadangan
substansial untuk ekstraksi oksigen. Pada DO2 normal ataupun level tinggi, VO2 adalah
konstan dan bebas dari perubahan DO2 (Gambar 5-14A). Pada beberapa penelitian,
oksigen meningkat lebih jauh ketika DO2 berkurang sampai dibawah DO2 kritis,
sementara pada penelitian lain, ekstraksi oksigen mencapai maksimum saat DO2 kritis
(Gambar 5-14B). Hubungan bifasik DO2 – VO2 yang normal ditunjukkan oleh pasien
tanpa gagal napas yang menjalani bedah arteri koronaria, sementara hubungan langsung
yang linear antara DO2 – VO2 ditunjukkan oleh pasien dengan ARDS akut,
menyebabkan gangguan patologis terhadap ekstraksi oksigen jaringan pada pasien ini.

Faktor yang menurunkan pengiriman oksigen


Penurunan DO2 dapat terjadi pada penurunan Hct, PaO2, ataupun cardiac output.
Terminologi lama yang menunjuk pada keadaan ini adalah anemia, hipoksia, atau
stagnan hipoksia. Jika penurunan DO2 amat berat, dapat terjadi hipoksia jaringan,
selanjutnya menurunkan PtO2, yang cukup untuk membatasi VO2 dan merangsang
produksi laktat. Walaupun nilai kritis DO2 tampak sama bila dilihat dari etiologi, nilai
yang berhubungan dengan PvO2 kritis berbeda.

Untuk TUGASMAS 277


278

Nilai kritis PvO2 selama anemia akut (hemodilusi) adalah 40 mmHg, dibanding 17
mmHg dan 31 – 36 mmHg pada hipoksemia dan penurunan cardiac output. Nilai yang
tinggi pada PvO2 menyarankan bahwa hemodilusi dapat mengganggu ekstraksi osigen
oleh jaringan. Hal ini mengkin terjadi karena penurunan waktu singgah sel darah merah
dalam melalui sirkulasi kapiler, sehingga mengurangi waktu yang tersedia untuk
melepas oksigen ke jaringan, dan kapiler pada jaringan menjadi shunt fungsional
terhadap oksigen. Berkaitan dengan model Krogh, hal tersebut berarti kepadatan kapiler
yang terbuka efektif akan berkurang, berakibat gradien PO2 antara kapiler darah dan sel
jaringan yang lebih datar.

Penjelasan potensial lain tentang nilaikritis PvO2 yang lebih tinggi selain hemodilusi,
berhubungan dengan kemungkinan bahwa beberapa jaringan tubuh dengan aliran darah
yang tinggi, seperti ginjal, diperfusi berlebihan dibanding kebutuhan O2, yang
meningkatkan nilai PvO2, sementara daerah kurang perfusi yang lain telah
memproduksi laktat.

Persamaan 1, 12, dan 13 dapat diterap-kan pada jaringan secara individual dengan
menggantikan aliran darah lokal untuk cardiac output dan pengukuran kadar oksigen
vena lokal untuk PvO2. Jaringan tubuh individual bervariasi luas dalam hal hubungan
antara dasar DO2 dan VO2, dan dalam ER dasar mereka (tabel 5-2). Sebagai contoh, di
ventrikel kiri, ER dasar adalah 70 – 75%, sementara di ginjal 5 – 10%. Dasar ER yang
tinggi pada ventrikel menyebabkan ketergantungannya terhadap perubahan aliran darah
untuk menjaga kecukupan oksigen.

Transpor CO2
Pembakaran makanan oleh metabolisme sel adalah sumber CO2 tubuh. Pada tingkat sel,
tekanan parsial karbon-dioksida adalah tertinggi, dan ada gradien mulai dari sel ke
interstisial, darah, dan paru. Difusi terjadi dalam arah tersebut. Saat masuk darah, CO2
terhidrasi sebagai asam karbonat yang dengan cepat disangga dan berperan dalam
pembentukan bikarbonat atau masuk dalam reaksi kimia dengan sekelompok amino.
Karbondioksida ditemukan dan ditransportasi dalam darah dalam 3 bentuk utama. CO2
secara fisik larut sebagai bikarbonat, dan berkombinasi dengan hemoglobin sebagai
carbamino.

CO2 larut
Secara fisik CO2 terlarut mengikuti hukum Henry. Menurut hukum tersebut, sebagian
besar karbonmonoksida terlarut dalam plasma, dan hanya sebagian kecil yang berada
dalam sitoplasma eritrosit. CO2 kira-kira 20 x lebih larut dalam darah daripada oksigen.

CO2 sebagai bikarbonat


Bikarbonat terbentuk dalam darah dengan reaksi :
?CO2 + H2O H2CO3 H+ + HCO3-.

Pembentukan asam karbonat (H2CO3) amat lambat dalam plasma, tetapi cepat dalam sel
darah merah karena adanya enzim karbonik anhidrase. Enzim ini adalah protein yang
mengandung seng, yang tinggi kadarnya dalam sel darah merah, tetapi tidak dalam
plasma. Ionisasi asam karbonat dalam sel darah merah muncul dengan cepat dan tidak
memerlukan enzim. Ketika konsentrasi H+ dan HCO3 - dalam sel meningkat, ion HCO3-
berdifusi keluar, tetapi ion H+ tidak dapat keluar dengan mudah karena dinding sel
relatif tidak dapat ditembus kation. Karena itu, untuk menjaga netralitas listrik, ion Cl-
berdifusi dari plasma, masuk kedalam sel, yang disebut pergeseran chlorida (Chlorida’s

Untuk TUGASMAS 278


279
shift). Sebagian besar ion H+ yang bebas kemudian terikat ke hemoglobin, yang
merupakan penyangga menonjol dalam darah :
?H+ + HbO2 H-Hb + O2

Reaksi ini muncul karena Hb tereduksi adalah penerima proton ynag lebih baik daripada
bentuk teroksigenasi. Karena itu, kehadiran Hb tereduksi pada daerah perifer akan
meningkatkan pengangkutan CO2, sementara oksigenasi kembali darah di paru-paru
akan meningkatkan pelepasan CO2 (sering disebut efek Haldane).

Senyawa karbamino
Senyawa karbamino dibentuk oleh kombinasi CO2 dengan kelompok amino terminal
dari protein darah. Protein utama adalah globin dari hemoglobin, dan reaksinya dapat
ditunjukkan :
?CO2 + Hb-NH2 Hb-NH-COOH
? Hb-NH-COO + H+

Reaksi ini muncul cepat tanpa perlu enzim, dan sebagian besar asam karbamat dalam
bentuk terionisasi. Hemoglobin tereduksi dapat mengikat CO2 lebih banyak daripada
HbO2. Deoksigenasi darah pada kapiler meningkatkan pengangkutan CO2, sementara
oksigenasi pulmonal mening-katkan pelepasan CO2 (efek Haldane). Kontribusi dari
berbagai bentuk CO2 di darah arteri dapat diperkirakan sebagai berikut :
1. Terlarut secara fisik: 5%
2. Bikarbonat : 90%
3. Karbamino : 5%.

Kurva Disosiasi
Hubungan antara pCO2 dan kadar total CO2 dalam darah ditunjukkan dalam gambar 5-
16. Kurva disosiasi CO2 jauh lebih linear daripada kurva disosiasi oksigen (Gambar 5-
3). Makin rendah saturasi hemoglobin beroksigen, makin besar kadar CO2 pada kondisi
pCO2 tertentu. Seperti telah disebutkan, efek Haldane dapat dijelaskan dengan
kemampuan hemoglobin yang lebih baik dalam menyapu ion H+ yang diproduksi saat
disosiasi asam karbonat, dan makin besar kemampuan hemoglobin tereduksi untuk
karbamino-hemoglobin.

Gambar 5-17 menunjukkan bahwa kurva disosiasi untuk CO2 adalah jauh lebih curam
daripada oksigen. Sebagai contoh : pada rentang 40-50 mmHg, kadar CO2 berubah
sekitar 4,7 ml /100ml dibanding kadar oksigen yang sekitar 1,7 ml /100ml.

A SIRKUIT MAPLESON

Sistem insuflasi dan draw-over memiliki beberapa kerugian: kontrol konsentrasi gas
inspirasi dan kedalaman anestesi yang buruk, ketidakmampuan membantu atau
mengontrol ventilasi, tidak ada konservasi panas atau kelembaban yang dihembuskan,
kesulitan manajemen saluran napas selama pembedahan kepala dan leher, dan polusi
ruang operasi dengan volume buangan gas yang besar. Sistem Mapleson memecahkan
beberapa dari masalah ini dengan menambahkan beberapa komponen (selang
pernapasan / Breathing tube, saluran masuk segar / fresh gas inlet,katup pembatasan

Untuk TUGASMAS 279


280
tekanan yang dapat disesuaikan / adjustable pressure limiting [APL], dan kantong
reservoir / reservoir bag) ke dalam sirkuit pernapasan. Lokasi relatif komponen ini
menentukan performa sirkuit dan merupakan dasar klasifikasi Mapleson (Tabel 3-2).

Komponen Sirkuit Mapleson


A. Breathing Tube
Breathing tube dengan lengkungan seperti gelombang terbuat dari plastic
(langsung dibuang / disposable) atau karet (dapat dipakai lagi) menghubungkan
komponen sirkuit Mapleson ke pasien (Gamber 3-5). Diameter selang yang
besar (22 mm) menciptakan jalur dengan resistensi yang rendah dan reservoir
yang potensial untuk gas anestesi. Untuk meminimalkan kebutuhan aliran udara
segar, volume breathing tube pada sebagian besar sirkuit Mapleson seharusnya
minimal sebesar volume tidal pasien.
Komplians breathing tube menentukan sebagian komplians sirkuit.
(Komplians didefinisikan sebagai perubahan volume yang dibuat oleh perubahan
tekanan.) Breathing tube yang panjang dengan komplians yang tinggi
meningkatkan perbedaan antara volume udara yang disalurkan ke sirkuit oleh
reservoir bag atau ventilator dengan volume yang sebenarnya dialirkan ke
pasien. Misalnya, jika sirkuit pernapasan dengan komplians 5 mL udara /
cmH20 mengalami penekanan selama pengaliran volume tidal ke 20 cm H20,
160 mL dari volume tidal akan hilang ke sirkuit. 160 mL tersebut mewakili
kombinasi kompresi gas dan ekspansi breathing tube. Ini adalah suatu
pertimbangan yang penting pada sirkuit mana pun yang mengalirkan ventilasi
tekanan positif melalui breathing tube (misalnya circle system / sistem
lingkaran).

B. Fresh Gas Inlet


Gas-gas (anestesi dengan oksigen atau udara) dari mesin anestesi terus
memasuki sirkuit melalui fresh gas inlet. Seperti yang dibahas di bawah, posisi
relative komponen ini merupakan faktor kunci yang membedakan dalam
performa sirkuit Mapleson.

C. APL Valve (Pressure-Relief Valve, Pop-Off Valve)


Gas-gas anestesi memasuki sirkuit pernapasan, tekanan akan meningkat jika
inflow / aliran masuk gas lebih besar dari kombinasi ambilan / uptake pasien dan

Untuk TUGASMAS 280


281
sirkuit. Mengalirkan gas-gas keluar dari sirkuit melalui suatu katup APL
mengendalikan tekanan ini. Gas-gas yang keluar memasuki atmosfer ruang
operasi atau yang lebih baik, sistem penampungan gas buangan. Semua katup
APL membuat suatu variasi ambang tekanan untuk pengaliran keluar. Katup
APL seharusnya terbuka lebar selama ventilasi spontan sehingga tekanan sirkuit
tetap kecil selama inspirasi dan ekspirasi. Ventilasi yang dibantu dan dikontrol
membutuhkan tekanan positif selama inspirasi untuk mengembangkan paru.
Penutupan parsial katup APL membatasi keluarnya udara, menyebabkan tekanan
sirkuit posiif selama penekanan reservoir bag.

D. Reservoir Bag
Fungsi reservoir bag sebagai reservoir gas anestesi dan suatu metode
membentuk ventilasi tekanan positif. Mereka didesain untuk meningkatkan
komplians saat volumenya meningkat. Tiga fase berbeda dalam pemenuhan
reservoir bag dapat dikenali (Gambar 3-6). Setelah kapasitas nominal 3 L dari
sebuah reservoir bag dewasa dicapai (fase I), tekanan meningkat dengan cepat
sampai puncak (fase II). Peningkatan lebih jauh dalam volume menghasilkan
plateau atau bahkan penurunan tekanan ringan (fase III). Efek batas maksimal
ini membantu melindungi paru-paru pasien dari tekanan saluran pernapasan
yang tinggi jika katup APL tanpa sengaja berada pada posisi tertutup ketika
udara segar terus mengalir ke sirkuit.

Karakteristik Performa Sirkuit Mapleson


Sirkuit Mapleson beratnya ringan, tidak mahal dan sederhana. Efisiensi sirkuit
pernapasan diukur dengan aliran udara segar yang dibutuhkan untuk menghilangka
rebreathing CO2 sebesar mungkin. Karena tidak ada katup satu arah atau absorbsi CO2
pada sirkuit Mapleson, rebreathing dicegah dengan mengeluarkan udara yang
dihembuskan melalui katup APL sebelum inspirasi. Biasanya terdapat beberapa
rebreathing pada sirkuit Mapleson manapun. Aliran melalui sirkuit mengontrol
jumlahnya. Untuk memperkecil rebreathing dibutuhkan aliran udara segar yang tinggi.
Periksa kembali gambaran sirkuit Mapleson A pada Gambar 3-5. Selama
ventilasi spontan, udara alveolar yang mengandung CO2 akan dihembuskan ke
breathing tube atau langsung dikeluarkan melalui katup APL yang terbuka. Sebelum
terjadi inhalasi, jika aliran udara segar melebihi minute ventilasi alveoli, aliran masuk
udara segar akan menekan udara alveolar yang masih ada di breathing tube untuk keluar

Untuk TUGASMAS 281


282
dari katup APL. Jika volume breathing tube sama atau lebih besar dari volume tidal
pasien, inspirasi yang selanjutnya akan mengandung hanya udara segar. Karena aliran
udara segar yang sama dengan minute ventilation cukup untuk mencegah rebreathing,
Mapleson A adalah desain sirkuit Mapleson yang paling efisien untuk ventilasi spontan.
Tekanan positif selama ventilasi yang dikontrol membutuhkan katup APL yang
tertutup sebagian. Meskipun sejumlah udara alveolar dan segar keluar dari katup selama
inspirasi, tidak ada udara yang dikeluarkan selama ekspirasi. Sebagai hasilnya, aliran
udara segar yang sangat tinggi (lebih dari tiga kali minute ventilation) dibutuhkan untuk
mencegah rebreathing dengan sirkuit Mapleson A selama ventilasi yang dikontrol.
Pertukaran letak katup APLdan fresh gas inlet mengubah Mapleson A ke sirkuit
Mapleson D (Tabel 3-2). Sirkuit Mapleson D efisien selama ventilasi yang dikontrol,
karena aliran udara segar mendorong udara alveolar menjauhi pasien dan menuju katup
APL. Maka, dengan memindah komponen dengan sederhana dapat mengubah
sepenuhnya kebutuhan udara segar sirkuit Mapleson.
Sirkuit Bain adalah modifikasi popular dari sistem Mapleson D yang
menggabungkan pemipaan fresh gas inlet di dalam breathing tube (gambar 3-7).
Modifikasi ini menurunkan beban sirkuit dan memperoleh panas dan kelembaban yang
lebih baik daripada sirkuit Mapleson D sebagai akibat penghangatan parsial udara
inspirasi dengan pertukaran aliran balik dengan udara ekspirasi yang dihangatkan.
Kerugian sirkuit coaxial ini adalah kemungkinan tertekuknya atau putusnya pipa fresh
gas inlet. Jika tidak diketahui, kecelakaan tersebut dapat mengakibatkan rebreathing
udara eskpirasi yang signifikan.

CIRCLE SYSTEM
Meskipun sirkuit Mapleson mengatasi beberapa kerugian insuflasi dan draw-over
system, aliran udara segar yang tinggi dibutuhkan untuk mencegah rebreathing yang
dihasilkan dalam buangan agen anestesi, polusi lingkungan ruang operasi, dan
hilangnya panas dan kelembaban pasien (Tabel 3-3). Dalam suatu usaha untuk
mencegah masalah ini, circle system menambahkan lebih banyak komponen ke dalam
sistem pernapasan.

Komponen Circle System


A. Absorben Karbondioksida
Rebreathing udara alveolar mempertahankan panas dan kelembaban. Tetapi,
CO2 dalam udara yang dihembuskan harus dihilangkan untuk mencegah

Untuk TUGASMAS 282


283
hiperkapnea. CO2 secara kimia dikombinasikan dengan air untuk membentuk
asam karbonat. Absorben CO2 (misalnya soda lime / bariom hidroxyde lime)
mengandung garam hidroksida yang mampu menetralkan asam karbonat (Tabel
3-4). Reaksi hasil akhir meliputi panas (panas netralisasi), air, dan kalsium
karbonat. Soda lime merupakan absorben yang lebih sering dan mampu
menyerap sampai 23 L CO2 per 100 g absorben. Reaksinya sebagai berikut:
CO2 + H2O  H2CO3

H2CO3 + 2NaOH  Na2CO3 + 2H2O + Panas


(reaksi cepat)

Na2CO3 + Ca (OH)2  CaCO3 + 2 NaOH


(reaksi lambat)
Perhatikan bahwa air dan natrium hidroksida yang awalnya dibutuhkan
diregenerasi.
Perubahan warna cat indikator pH (misalnya ethyl violet) dengan
meningkatkan konsentrasi ion hydrogen menandakan kelelahan absorben (tabel
3-5). Absorben harus digantikan bila 50 – 70 % telah berubah warna. Meskipun
granule yang lelah akan berubah kembali ke warna asalnya bila beristirahat,
tidak ada perbaikan kapasitas absorbtif yang signifikan. Ukuran granule
menyesuaikan antara daerah permukaan absorptive yang lebih tinggi dari
granule kecil dan resistensi terhadap aliran udara yang besar pada granule yang
lebih besar. Garam hidroksida menyebabkan iritasi kulit dan membran mukosa.
Meningkatkan kekerasan soda lime dengan menambahkan silica memperkecil
risiko inhalasi debu natrium hidroksida. Karena barium hydroxide lime memilki
air pada strukturnya (air kristalisasi), tetapi cukup keras tanpa silica. Air
tambahan ditambahkan ke kedua tipe absorben selama pengepakan untuk
menyediakan kondisi yang optimal untuk pembentukan asam karbonat. Soda
lime komersial memiliki kandungan air 14 – 19 %.
Granule absorben dan mengabsorbsi dan kemudian membebaskan
sejumlah gas anestesi yang signifikan. Sifat ini berperan pada induksi yang
terlambat atau kegawatdaruratan. Semakin kering soda limenya, semakin banyak
dia akan menyerap dan mengurai gas anestesi. Desflurane dapat diurai menjadi
karbonmonoksida oleh barium hydroxide lime kering menjadi suatu derajat yang
mampu menyebabkan keracunan karbonmonoksida klinis yang signifikan.

Untuk TUGASMAS 283


284
Absorben karbondioksida yang baru mengandung kalsium hidroksida
dan kalsium klorida (dengan kalsium sulfat dan polyvinylpirrolidone yang
ditambahkan untuk meningkatkan kekerasan) telah dikembangkan. Absorben ini
(Amsorb) memiliki sifat inert yang lebih besar daripada soda lime atau barium
hydroxide lime, menghasilkan degradasi yang lebih kecil dari gas anestesi
(misalnya sevoflurane menjadi bahan A atau desflurane menjadi
karbonmonoksida; lihat bab 7).

B. Absorber Karbondioksida
Granule absorben ditempatkan dalam satau atau dua canister / kaleng yang pas
ddalam suatu piringan di bagian atas dan dasarnya. Bila bersatu unit ini disebut
sebagai absorber. (Gambar 3-8). Meskipun besar, dua canister menyediakan
absorbs CO2 yang lebih lengkap, lebih sedikit perubahan absorben, dan
resistensi aliran udara yang lebih rendah. Untuk memastikan absorbs yang
lengkap, volume tidal pasien seharusnya tidak melebihi ruang udara antara
granule absorben, yang secara kasar sama dengan 50 % kapasitas absorber.

C. Katup Unidirectional
Katup unidirectional yang berfungsi sebagai katup pemeriksa mengandung
diskus keramik atau mika yang terletak horizontal dalam valve seat / tempat
katup yang melingkar (Gambar 3-9). Aliran ke depan akan mendorong diskus ke
atas, melewatkan udara untuk melaju di dalam sirkuit. Inkompetensi katup
biasanya disebabkan oleh diskus yang tertekuk atau irregularitas seat. Katup
ekspirasi terpapar pada kelembaban udara alveolar.
Inhalasi membuka katup insipratory, menyebabkan pasien menghirup
campuran udara segar dan hembusan yang sudah melewati absorber CO2.
Secara bersamaan, katup ekspiratory menutup untuk mencegah rebreathing
udara yang dihembuskan yang masih mengandung CO2. Aliran udara yang
selanjutnya menjauhi pasien selama ekspirasi membuka katup ekspiratori. Udara
dikeluarkan melalui katup APL atau dihirup kembali oleh pasien setelah
melewati absorber. Penutupan katup inspiratory selama ekspirasi mencegah
udara ekspirasi tercampur dengan udara segar pada inspirasi. Malfungsi katup
unidirectional akan menyebabkan rebreathing CO2 yang mengakibatkan
hiperkapnea.

Untuk TUGASMAS 284


285
Optimisasi Desain Circle System
Meskipun komponen utama circle system (katup unidirectional, fresh gas inlet, katup
APL, CO2 absorber, dan suatu kantong reservoir) dapat diletakkan dalam beberapa
konfigurasi, penataan berikut lebih disarankan (gambar 3-10):
- Katup unidirectional relative dekat dengan pasien untuk mencegah aliran ke
belakang, ke cabang inspirasi, jika terjadi kebocoran sirkuit. Namun demikian,
katup unidirectional tidak ditempatkan pada Y-piece, karena hal itu akan
mempersulit memastikan orientasi yang tepat dan fungsi intraoperatif.
- Fresh gas inlet diletakkan antara absorber dan katup inspiratory.
Menempatkannya di bagian bawah katup inspiratory akan membuah udara segar
melewati pasien selama ekspirasi dan akan terbuang. Udara segar ditempatkan
antara katup ekspiratory dan absorber akan dilarutkan oleh udara yang
mengalami sirkulasi ulang. Lebih jauh lagi, anesthesia inhalasi akan diserap atau
dibebaskan oleh granule soda lime, sehingga memperlambat induksi.
- Katup APL seharusnya diletakkan tepat sebelum absorber untuk
mempertahankan kapasitas absorbs dan untuk memperkecil pembuangan udara
segar.
- Resistensi terhadap ekspirasi diturunkan dengan menempatkan kantong reservoir
pada cabang ekspirator. Kompresi kantong selama ventilasi yang dikontrol akan
membuang udara ekspirasi melalui katup APL, mengawetkan absorben.

Karakteristik Performa Circle System


A. Kebutuhan Udara Segar
Dengan sebuah absorber, circle system mencegah rebreathing CO2 pada aliran
udara segar pelan yang diduga rendah (≤ 1 L) atau bahkan aliran udara segar
yang sama dengan ambilan udara anestesi dan oksigen oleh pasien dan sirkuit
sendiri (Closed-system anesthesia; baca Diskusi Kasus pada Bab 7). Pada aliran
udara segar yang lebih besar dari 5 L/menit, rebreathing sangat minimal
sehingga absorber CO2 biasanya tidak dibutuhkan.
Dengan aliran udara segar yang rendah, konsentrasi oksigen dan
anesthesia inhalasi dapat bervariasi antara udara segar (yaitu udara dalam fresh
gas inlet) dan udara yang diinspirasi (yaitu udara dalam cabang inspiratory dari
breathing tube). Yang terakhir adalah camuran udara segar dan udara ekspirasi
yang telah lewat melalui absorber. Semakin besar aliran udara segar, semakin
sedikit waktu yang dibutuhkan dalam konsentrasi udara anesthesia segar yang

Untuk TUGASMAS 285


286
dapat dibuat dalam perubahan konsentrasi gas anestesi yang diinspirasi. Aliran
yang lebih tinggi mempercepat induksi dan recovery, mengkompensasi
kebocoran sirkuit dan menurunkan risiko campuran udara yang tidak
diantisipasi.

B. Dead Space
Bagian volume tidal yang tidak mengalami ventilasi alveolar disebut sebagai
dead space (baca bab 22). Maka, peningkatan dead space harus disertai dengan
peningkatan volume tidal yang sesuai jika ventilasi alveolar masih tetap tidak
berubah. Karena katup unidirectional, dead space pada circle system dibatasi
pada daerah distal dari titik percampuran udara inspirasi dan ekspirasi pada Y-
piece. Tidak seperti sirkuit Mapleson, panjang breathing tube tidak
mempengaruhi komplians sirkuit dan dengan demikian jumlah volume tidal
masuk ke sirkuit selama ventilasi tekanan positif. Circle system pediatric
mungkin memiliki sebuah sekat yang memisahkan udara inspirasi dan ekspirasi
dalam Y-piece dan breathing tube dengan komplians rendah yang lebih jauh
mengurangi dead space, meskipun mereka jarang digunakan dalam praktik saat
ini.

C. Resistensi
Katup unidirectional dan absorber meningkatkan resistensi circle system,
terutama pada frekuensi napas yang tinggi dan volume tidal yang besar. Namun
demikian, bahkan neonatus premature dapat diventilasi dengan baik
menggunakan circle system.

D. Konservasi Kelembaban dan Panas


Sistem penyampaian udara medis mendehumidifikasi udara ke sirkuit anestesi
pada suhu ruangan. Udara yang diekspirasi, pada satu sisi, disaturasikan dengan
air pada suhu tubuh. Oleh sebab itu, panas dan kelembaban udara inspirasi
tergantung pada proporsi relative udara yang dihirup kembali terhadap udara
segar. Aliran yang tinggi disertai dengan kelembaban yang relative rendah,
sedangkan aliran yang rendah menyebabkan saturasi yang lebih besar. Granule
absorben menyediakan sumber panas dan kelembaban yang signifikan pada
circle system.

Untuk TUGASMAS 286


287
E. Kontaminasi Bakteri
Risiko retensi mikroorganisme ringan pada komponen circle system secara teori
dapat menyebabkan infeksi pernapasan pada pasien selanjutnya. Karena alasan
ini, penyaring bakteri kadang digabungkan dalam breathing tube inspiratory atau
ekspiratory pada Y-piece.

Kerugian Circle System


Meskipun sebagian besar masalah sirkuit Mapleson dipecahkan oleh circle system,
perbaikan telah menyebabkan kerugian lain; ukuran yang lebih besar dan kesulitan
pemindahan; peningkatan kerumitan, yang menyebabkan risiko pemutusan dan
malfungsi yang lebih tinggi; peningkatan resistensi; dan kesulitan memprediksi
konsentrasi udara yang diinspirasi selama aliran udara segar yang rendah.

RESUSITASI BREATHINGSYSTEM
Resuscitation bag (AMBU bag atau unit bag-mask) sering digunakan untuk ventilasi
emergency karena kesederhanaannya, portabilitasnya, dan kemampuan untuk
memberikan hampir 100 % oksigen (Gambar 3-11). Sebuah resuscitator tidak seperti
sirkuit Mapleson atau circle system karena memiliki katup nonrebreathing. (ingat bahwa
sistem Mapleson dianggap tidak memiliki katup meskipun memiliki katup APL,
sedangkan circle system memiliki katup unidirectional yang langsung mengalir melalui
absorber tetapi dapat menyebabkan rebreathing udara ekspirasi.)
Konsentrasi oksigen yang tinggi dapat dialirkan ke masker atau tracheal tube
selama ventilasi spontan atau terkontrol jika sumber aliran udara segar dihubungkan
dengan inlet nipple. Katup pasien membuka selama inspirasi spontan atau dikontrol
sehingga udara dapat mengalir dari ventilation bag ke pasien. Rebreathing dicegah
dengan mengeluarkan gas yang diekspirasi ke atmosfer melalui bagian ekshalasi pada
katup ini. Ventilation bag yang dapat dipijat dan terisi otomatis juga memiliki sebuah
intake valve. Katup ini menutup selama pemijatan bag sehingga menimbulkan ventilasi
tekanan positif. Bag akan terisi ulang oleh aliran melalui fresh gas inlet dan melewati
intake valve. Menghubungkan suatu reservoir ke intake valve membantu mencegah
penempatan udara ruangan. Penggabungan katup reservoir sebenarnya dua katup
unidirectional; inlet valve dan outlet valve. Inlet valve menyebabkan udara luar
memasuki ventilation bag bila aliran udara segar tidak cukup untuk mempertahankan

Untuk TUGASMAS 287


288
pemenuhan reservoir. Tekanan positif pada reservoir bag membuka outlet valve, yang
mengeluarkan oksigen jika aliran udara segar berlebihan.
Ada beberapa kerugian resuscitator breathing system. Pertama, mereka
membutuhkan aliran udara segar untuk mencapai FiO2 yang tinggi. FiO2 secara
langsung proporsional terhadap konsentrasi oksigen dan frekuensi aliran campuran
udara yang masuk ke resuscitator (bisanya 100 % oksigen) dan sebaliknya proporsional
terhadap minute ventilation yang diberikan kepada pasien. Contohnya, resuscitator
Laerdal yang ditambah reservoir membutuhkan aliran 10 L/menit untuk mencapai
konsentrasi gas inspirasi yang mendekati 100 % bila pasien dengan volume tidal 750
mL diberi ventilasi pada frekuensi 12 kali / menit. Volume tidal maksimum yang dapat
dicapai kurang dari yang dapat dicapai dengan sistem yang menggunakan breathing bag
3 L. pada kenyataannya, sebagian besar resuscitator dewasa memilki volume tidal yang
maksimal pada 1000 mL. Akhirnya, meskipun katup pasien yang berfungsi normal
memiliki resistensi yang rendah terhadap inspirasi dan ekspirasi, kelembaban yang
diekspirasikan dapat menyebabkan melekatnya katup.

SIRKUIT ANESTESI

Ada beberapa klasifikasi sirkuit nafas anestesi, antara lain didasarkan pada ada
atau tidaknya rebreathing atau reservoir, atau susunan dari komponen-komponen
penyusun sirkuit dan aliran sumber gas (fresh gas flow)2,3,4,6. Dalam makalah ini, sistem
nafas akan dikelompokkan didasarkan pada ada atau tidaknnya katup (valve).

2.1. Sirkuit tanpa Katup

Jenis sirkuit yang mempunyai arti penting dalam sejarah anestesi pediatri adalah
T-piece. T-piece telah diperkenalkan sebelum abad ke 20, dimana pemakaiannya pada
praktik anestesi diperkenalkan oleh Ayre. Pertama kali dipakai pada anak-anak yang
menjalani operasi labioplasty dan repair palatum dengan ventilasi spontan. Sirkuit ini
dibuat dari pipa (tube) metal dengan diameter 1 cm. N2O, oksigen dan anestesi volatil
memasuki tabung lewat celah kecil ke dalam tabung utama. Untuk mencegah dilusi gas
inspirasi dengan udara ruangan, laju aliran sumber gas (fresh gas flow) paling tidak
harus sama dengan aliran puncak inspirasi (kurang lebih tiga kali volume ventilasi
semenit pasien). Karena menggunakan aliran gas yang cukup besar, Ayre
menggabungkan dengan sebuah reservoir berupa pipa ombak (corrugated tube) yang
volumenya kurang lebih sepertiga dari volume tidal pasien. Selama rehat ekspirasi,

Untuk TUGASMAS 288


289
aliran kontinyu dari sumber gas akan mendorong gas alveolar dari pipa ombak. Jika
kemudian aliran gas inspirasi melebihi aliran sumber gas, pasien akan menginspirasi gas
yang masih berada dalam tabung reservoir. Dalam praktek klinik, aliran sumber gas 1,5
sampai 2 kali volume semenit dapat dipergunakan tanpa adanya rebreathing atau dilusi
oleh gas inspirasi4,6.

Untuk ventilasi kendali, Ayre menutup pipa ombak secara intermiten. Dia
mengamati tidak terjadi kongesti vena, dan ventilasi memadai untuk prosedur bedah
saraf. Tahanan atau resistensi dari sirkuit ini minimal, yaitu 1cmH2O pada flow 50
L/menit. Sejak penjelasan yang dikemukakan oleh Ayre, banyak muncul modifikasi dari
T-piece, masing-masing dengan konektor berdiameter berbeda-beda, dengan Y konektor
yang baru, atau reservoir dengan kapasitas berbeda. Dari modifikasi-modifikasi yang
dikemukan tersebut di atas, salah satu yang populer adalah Jackson Rees, dengan
menambahkan Ayre’s T-piece dengan sebuah kantung bermuara ganda, yang salah satu
muaranya dengan katup berfungsi sebagai pembuangan. Selama ventilasi spontan,
katup ini dibuka, dan fungsi sirkuit identik dengan T-piece. Ventilasi pasien dapat
dimonitor dari mengamati kantung cadang. Selama ventilasi kontrol, katup ini ditutup
sebagian, bertindak sebagai katup ekspirasi. Sirkuit berfungsi seperti Mapleson D4,5.

Gambar 1: T-piece, salah satu sirkuit tanpa katup yang dikemukakan oleh Ayre4.

2.2. Sirkuit dengan Katup Overflow (Popoff)

Sirkuit berikutnya didesain dengan penambahan katup overflow dan kantong


cadang pada T-piece. Bila katup overflow sebagian ditutup, ventilasi dapat dikontrol
dengan melakukan kompresi manual pada kantong cadang. Mapleson membagi sirkuit-
sirkuit jenis ini menjadi kategori A, B, C, D dan E, tergantung dari letak aliran sumber
gas, katup overflow dan kantung cadang, termasuk ukuran dari pipa ombak. Karena
perbedaan lokasi dari komponen-komponen ini, masing-masing sirkuit ini mempunyai

Untuk TUGASMAS 289


290
sifat dan karakteristik yang berbeda. Mapleson E tidak mempunyai katup ekspirasi,
sehingga sifatnya sama dengan Ayre’s T-piece. Sirkuit dengan katup, Mapleson A dan
D paling umum dipergunakan dalam praktik klinik1,2,3,4,6,7,9.

Gambar 2: Klasifikasi sirkuit menurut Mapleson, tampak perbedaan lokasi dari


masuknya gas segar, katup overflow dan kantong cadang2.

2.2.1. Sirkuit Mapleson A

Pada sistem Mapleson A (juga dikenal dengan sistem Magill), gas segar masuk
dekat dengan kantung cadang, dan katup overflow terletak di bagian proksimal dekat
pasien. Jika sirkuit dipergunakan pada ventilasi spontan, selama ekshalasi, terjadi
pergeseran gas ruang rugi, diikuti oleh gas alveolar memasuki pipa ombak, dimana
pada saat yang sama kantung cadang diisi dengan campuran gas dari pipa ombak
dan sumber gas segar. Saat kantong cadang terisi, tekanan akan semakin meningkat,
akan membuka katup overflow dan mengeluarkan gas ventilasi alveolar. Pada saat
Untuk TUGASMAS 290
291
rehat ekspirasi, gas segar tetap mengisi kantung cadang, selanjutnya gas alveolar,
gas ruang rugi sampai di katup overflow. Jadi akhirnya hanya gas segar yang
mengisi ruang pipa ombak dan pasien hanya menginspirasi gas segar. Mapleson
memperkirakan, rebreathing dapat dicegah bila aliran gas segar sama atau lebih
besar dari ventilasi semenit pasien. Pada pasien dewasa, studi laboratorium dan
klinis mencatat bahwa rebreathing masih belum terjadi sampai laju aliran gas segar
turun di bawah 70 persen, atau bahkan sampai 50 persen ventilasi semenit
penderita2,4.

Pada permulaan ekshalasi, kantong cadang yang kolaps selanjutnya diisi gas
ruang rugi dan gas alveolar memasuki pipa pipa ombak dan pada saat yang sama gas
segar mengisi kantung cadang. Saat inspirasi, karena tekanan yang diberikan pada
kantong cadang, pasien menginspirasi gas alveolar dari proksimal pipa ombak.
Karena tekanan jalan nafas yang meningkat pada akhir inspirasi, katup overflow
terbuka, mengeluarkan campuran gas raung rugi dan gas segar. Sebagai akibatnya,
penderita akan menginspirasi gas yang kaya dengan CO2 saat gas segar dikelurkan
lewat katup overflow. Pada pasien dewasa, aliran gas segar lebih besar dari 20
L/menit diperlukan untuk mencegah rebreathing selama ventilasi kendali. Data
pembanding untuk pasien anak-anak belum tersedia, dimana selama ventilasi
kendali adakah sirkuit dengan karakteristik rebreathing lebih kecil dari Mapleson
A2,4,5.

Gambar 3: Sistem Mapleson A selama ventilasi spontan4.

Untuk TUGASMAS 291


292

2.2.2. Sirkuit Mapleson D

Sirkuit yang banyak dipakai pada anestesi pediatrik adalah Mapleson D atau
sistem D. Dengan Mapleson D, gas segar memasuki sirkuit di bagian proksimal
(dekat pasien), dan katup overflow terletak dekat kantung cadang. Walaupun sirkuit
ini telah banyak dipergunakan dalam beberapa tahun, masih belum ada
kesepahaman mengenai aliran gas optimal yang diperlukan. Pada sistem ini, terdapat
perbedaan selama ventilasi kendali dan ventilasi spontan. Selama ventilasi kendali,
katup overflow tertutup parsial, dan terbuka jika tekanan melebihi tekanan akhir
inspirasi. Selama ekshalasi, gas ruang rugi, gas alveolar dan gas segar memasuki
pipa ombak. Selama rehat ekspirasi (expiratory pause), gas segar tetap memasuki
sirkuit, mendorong campuran gas dalam pipa ombak ke dalam kantung cadang.
Sampai siklus nafas berikutnya dimulai, pasien menginspirasi isi dari pipa ombak,
gas segar, gas ruang rugi dan gas alveolar. Dengan meningkatnya tekanan dalam
sistem ini, katup overflow terbuka, mengeluarkan isi dari kantong cadang2,7,8.

Selama ventilasi spontan, katup overflow terbuka dan gas dikeluarkan dari
sirkuit saat tekanan jalan nafas maksimal, pada akhir ekshalasi. Pada awal ekshalasi,
gas ruang rugi, alveolar, dan gas segar memasuki pipa ombak, seperti selama
ventilasi kendali. Selama kantong cadang terisi, tekanan sistem akan meningkat,
membuka katup overflow sehingga memungkinkan sebagian dari campuran gas
keluar. Saat inspirasi, penderita menerima gas segar seperti campuran gas dalam
pipa ombak2,7.

Beberapa faktor mempengaruhi campuran gas dalam pipa ombak atau campuran
gas inspirasi. Pengaruhnya terhadap ventilasi alveolar harus dipertimbangkan.

a. Produksi Karbondioksida

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, jumlah ventilasi yang diperlukan


oleh seorang pasien berhubungan dengan produksi CO2. Ventilasi harus
disesuaikan dengan berat dan temperatur pasien dan teknik anestesi, dan hal
ini bervariasi disesuaikan dengan variasi individu 4.

Untuk TUGASMAS 292


293
b. Laju Respirasi

Pada sirkuit nafas nonrebreathing, perubahan ventilasi semenit


disesuaikan dengan perubahan ventilasi alveolar. Dengan sistem Mapleson
D, pengaruh laju respirasi terhadap eliminasi CO2 terjadi lebih kompleks.
Baik selama ventilasi kendali maupun ventilasi spontan, gas inspirasi berasal
dari gas segar dan campuran gas dalam pipa ombak. Pada awal ekshalasi, gas
dari pipa ombak bagian proksimal (terdekat dengan pasien) merupakan fresh
gas yang terlumpul pada saat rehat ekspirasi. Kalau rehat ekspirasi
berlangsung lama, misalnya pada laju respirasi lambat, laju gas segar akan
mendorong gas alveolar menuju kantong cadang. Selanjutnya, pada siklus
nafas berikutnya, kandungan dari gas inspirasi didominasi oleh gas segar.
Jika rehat ekspirasi berlangsung singkat, misalnya pada laju respirasi cepat,
terjadi insufisiensi waktu untuk gas segar mendorong gas alveolar melewati
pipa ombak, kecuali kalau laju gas segar dibuat tinggi. Saat respirasi
berikutnya mulai, terdapat sebagian gas alveolar pada pipa ombak di bagian
proksimal (dekat pasien), sehingga penderita menginspirasi gas segar dari
sumber gas dan campuran gas dalam pipa ombak. Jelasnya, perubahan laju
respirasi, dapat menimbulkan penurunan, atau peningkatan PCO2,
2,4,6
tergantung besarnya rebreathing .

c. Laju Gas Segar (Freh Gas Flow)

Gas yang diterima oleh pasien saat inspirasi berasal dari sumber gas
segar dan gas dalam pipa ombak. Jika pada bagian proksimal dari pipa
ombak mengandung gas segar, penderita akan menerima lebih dominan gas
segar. Sebaliknya, jika gas alveolar sebagian tidak terdorong melewati
kantong cadang, penderita akan menerima beberapa bagian dari udara
ekspirasi dari siklus nafas sebelumnya. Perubahan laju aliran gas segar
mempengaruhi isi dari pipa ombak. Jika laju gas segar ditingkatkan, gas
alveolar akan terdorong lebih banyak dan gas inspirasi akan terisi sebagian
besar oleh gas segar. Jika laju gas segar mampu secara total mengeliminasi
rebreathing, peningkatan lebih tinggi dari laju gas segar tidak akan
mempengaruhi PCO2 udara inspirasi. Saat aliran gas segar diturunkan, lebih
sedikit gas alveolar yang dikeluarkan dari bagian proksimal sirkuit, dan
resikonya rebreathing akan terjadi lebih besar2,4.

Untuk TUGASMAS 293


294
Laju aliran gas segar sangat besar pengaruhnya terhadap ventilasi
alveolar (misalnya perubahan aliran gas segar, PCO2 berubah sesuai dengan
peningkatan ventilasi). Pertama, saat ventilasi ditingkatkan, kontribusi gas
segar pada setiap silkus nafas akan menurun (misalnya setiap nafas
mangandung isi pipa ombak yang semakin meningkat). Kedua, jika ventilasi
melebihi tiga kali aliran gas segar, isi pipa ombak menjadi homogen dan
sama dengan gas yang dileluarkan lewat katup overflow, diasumsikan
keadaan steady dan tidak ada kebocoran (dimana diabaikan perbedaan antara
ambilan oksigen dan eliminasi CO2, serta pengaruh humidifikasi), PCO2
campuran gas ini sama dengan produksi CO2 dibagi dengan laju aliran gas
segar. Ketiga, PaCO2 harus selalu lebih tinggi dari PCO24.

Gambar 4: Sistem Mapleson D selama ventilasi kendali4.

d. Volume Tidal

Meskipun efek perubahan volume tidal terhadap perubahan gas


dalam Mapleson D telah terbukti pada beberapa studi, pengetahun tentang
karakteristik rebreathing dari sirkuit ini masih menjadi pertanyaan.
Peningkatan tidal volume menyebabkan volume gas alveolar yang mencapai

Untuk TUGASMAS 294


295
pipa ombak meningkat. Apabila rehat ekspirasi atau aliran gas segar
mencukupi, memungkinkan gas dalam pipa ombak mengosongkan gas
alveolar, sehingga tidak akan terjadi rebreathing dan PCO2 akan menurun.
Sebaliknya, bila aliran gas segar atau rehat ekspirasi tidak mempu
mengosongkan gas alveolar dalam pipa ombak, rebreathing akan meningkat
dan PCO2 mungkin tidak menurun. Dengan aliran gas segar yang tinggi dan
peningkatan volume tidal menghasilkan penurunan PCO2. Dengan aliran gas
segar yang lebih rendah, perubahan volume tidal mungkin tidak berdampak
terhadap perubahan tekanan parsial karondioksida4,6.

Kompleksnya faktor-faktor yang mempengaruhi rebreathing dengan sistem


Mapleson D, menimbulkan perbedaan rekomendasi untuk aliran gas segar dan ventilasi
semenit yang harus diberikan pada penderita. Karena perbedaan rebreathing dengan
ventilasi spontan dan ventilasi kendali, rekomendasi pada masing-masing keadaan
tersebutpun berbeda pula.

2.2.2.1. Aliran gas segar selama ventilasi kendali

Nightingale dkk. membedakan aliran gas dan laju respirasi untuk anestesi pada
anak dengan N2O dengan pengukuran PETCO2. Mereka menemukan bahwa retensi
karbondioksida dapat dicegah dengan menggunakan total gas flow minimal 3
L/menit untuk anak dibawah 30 lb (13,5 kg), atau dengan aliran gas segar 100 ml/lb
(220 ml/kg) untuk anak yang lebih besar. Dianjurkan juga laju respirasi berada pada
kisaran 20 sampai dengan 60 kali permenit, tanpa memandang besar anak2.

Rose dan Froese dengan menggunakan lung model, membedakan aliran gas,
ventilasi semenit, dan volume ruang rugi untuk menentukan hubungan masing-
masing variabel di atas dengan PETCO2. Hasil dari studi ini dipergunakan untuk
menentukan kebutuhan optimal untuk aliran gas segar dan ventilasi semenit untuk
sirkuit ini. Untuk tercapai keadaan normokarbia, mereka menganjurkan laju gas
sebesar 1000 ml/menit ditambah 100 ml/kgBB/menit untuk pasien dengan berat
badan antara 10 sampai dengan 30 kg, dan 2000 ml/kgBB/menit ditambah 50
ml/kbBB/mienit untuk anak dengan berat badan di atas 30 kg. Dengan
menggunakan ventilasi semenit sama atau dua kali aliran gas segar, PCO2 rata-rata
44 mmHg, atau pada kisaran 30 – 48 mmHg. Agar terjadi hipokarbia (PCO2 30
mmHg), mereka menyarankan peningkatan laju aliran gas mencapai 1600 ml/menit
ditambah 100 ml/kgBB/menit, atau 3200 ml/menit ditambah 50 ml/kgBB/mnt untuk

Untuk TUGASMAS 295


296
anak yang lebih besar. Dengan ventilasi semenit sebesar dua kali aliran gas segar,
PCO2 rata-rata 34 mmHg, atau dengan kisaran 27-41 mmHg4.

Rayburn dan Graves menggunakan persamaan gas alveolar dan nilai Bain dan
Spoerel untuk produksi CO2, dihitung dengan aliran gas segar sebesar 2000
ml/m2/menit mencukupi untuk mempertahankan normokarbi selama anestesi
dengan menggunakan N2O, halotan dan d-tubokurarin. Dalam praktik, aliran gas
segar 2500 ml/m2/menit diperlukan untuk mempertahankan PCO2 40 mmHg,
ketidakcocokan yang mereka jelaskan dengan perbedaan produksi CO2, ambilan
anestetik dan ruang rugi alveolar2,4.

Baraka dkk. mengevaluasi sirkuit Mapleson D selama ventilasi kendali pada


pasien umur 2 bulan sampai 4 tahun pada pembiusan dengan menggunakan halotan.
Dengan menggunakan aliran gas segar sebesar 5 L/m2/menit, volume tidal 15 ml/kg
dan laju respirasi antara 19 sampai dengan 26 kali permenit, PCO2 rata-rata 37
mmHg, atau antara 32-42 mmHg. Meraka menyimpulkan bahwa normokarbi dapat
dipertahankan dengan aliran gas segar di atas, dan volume semenit sama sampai 1,5
kali aliran gas segar6.

Bain dan Spoerel menggunakan sirkuit D untuk pasien dewasa, awalnya


menganjurkan aliran gas segar 5,5 L/menit ditambah 1 kali ventilasi semenit untuk
mempertahankan noemokarbia. Tapi kemudian meraka meralat dengan aliran gas
segar sebesar 70 ml/kgBB/menit, volume tidal 10 ml/kgBB dan laju respirasi 12
sampai 14 kali permenit. Untuk pasien di bawah 50 kg, mereka menganjurkan aliran
gas segar 3,5 L/menit. Pada anak dengan berat badan dibawah 10 kg dengan aliran
gas segar 3,5 L/menit selalu didapatkan keadaan hipokapnik. Mereka
merekomendasikan laju aliran gas segar 2 L/menit untuk anak yang lenih kecil2,4.

Ramanathan dkk. menyampaikan bahwa normokapnea dapat dipertahan dengan


aliran gas segar yang disarankan oleh Bain dan Spoerel. Dengan menggunakan lung
model, mereka mendapatkan konsentrasi karbondioksida yang tinggi sebesar 2,4 %
dalam udara inspirasi, dimana dapat diterima bila CO2 1%. Sehingga merekan
menyarankan sirkuit ini dipergunakan dengan aliran gas 8 L/menit untuk
meyakinkan retensi CO2 dalam sirkuit tidak terjadi rebreathing2,4.

Seely dkk. melakukan analisa hubungan antara PACO2, produksi CO2, ventilasi
alveolar dan aliran gas segar. Analisis ini menghasilkan normogram dimana PACO2
dapat diprediksi didasarkan pada aliran gas segar dan ventilasi semenit. Tapi
normogram ini tidak diuji pada manusia. Untuk mengetahui kebutuhan aliran gas
Untuk TUGASMAS 296
297
pada bayi baru lahir dengan Mapleson D, Gwill dkk. melakukan studi pada kelinci
dengan berat 2 sampai dengan 4 kg. Mereka menyimpulkan bahwa dengan laju
aliran gas 3 L/menit, volume tidal 10 ml/kgBB dan laju respirasi 40 kali permenit
didapatkan keadaan hipokapnia dengan PCO2 rata-rata 27 mmHg. Mereka
menyimpulkan keadaan ini dapat diaplikasikan pada neonatus2.

Ada banyak anjuran atau rekomendasi dalam hal aliran gas segar dan ventilasi
semenit bagi anestetis yang mempergunakan sistem mapleson D dengan ventilasi
kendali. Tiap rekomendasi memerlukan perhatian khusus tertentu. Rayburn dan
Graves menganjurkan menyesuaikan normogram dengan berdasarkan mengetahui
luas permukaan tubuh, seperti yang dianjurkan oleh Seeley dkk. Dari studi yang
telah dilakukan, rekomendasi yang diajukan oleh Rose dkk, serta Bain dan Spoerel
adalah yang paling sederhana.

Tabel 1. Rekomendasi aliran gas segar dan ventilasi semenit untuk


mempertahankan Normokapnia selama ventilasi dengan sirkuit Mapleson
D4 .

Rekomendasi oleh Bain dan Spoerel

Berat Laju Aliran Gas Volume Tidal Laju Respirasi


(kg) (ml/min) (ml/kg) (kali/menit)

< 10 2.000 10 12-14

10-50 3.500 10 12-14

> 50 70 ml/kgBB/min 10 12-14

Rekomendasi oleh Rose dan Froese

Berat (kg) Laju Aliran Gas (ml/min) Ventilasi semenit (ml/kg)

10-30 1.000 ml/min + 100 ml/kgBB/min 2 x aliran gas segar

>30 2.000 ml/min + 50 ml/kgBB/min 2 x aliran gas segar

Untuk TUGASMAS 297


298

Mengacu pada rekomendasi dari Rose dkk, diperlukan pemahaman tentang dua
formula untuk aliran gas segar, ventilasi yang diberikan sebesar 2 kali aliran gas
segar. Walaupun Bain dan Spoerel merekomendasikan aliran gas segar 70
ml/kgBB/min dengan laju minimal 3,5 L/menit, pada infan dengan berat badan
kurang dari 10 kg, aliran gas 2 L/menit sering dipergunakan. Ventilasi identik untuk
semua pasien, laju respirasi 12 sampai 14 kali permenit dan volume tidal 10
ml/menit. Dengan laju respirasi 12 sampai 14 kali permenit, aliran udara inspirasi
dapat ditingkatkan sampai tekanan jalan nafas puncak kurang lebih 20 cmH2O, yang
kurang lebih dengan volume tidal 10 ml/kbBB4.

2.2.2.2. Aliran gas segar selama ventilasi spontan

Mapleson menetapkan bahwa selama ventilasi spontan, aliran gas segar melebihi
dua kali ventilasi semenit pasien diperlukan untuk mencegah rebreathing. Harrison
meneliti bentuk aliran respirasi dan mendemonstrasikan bahwa rebreathing dapat
dicegah dengan sempurna bila aliran gas segar melebihi aliran puncak inspirasi.
Masalahnya, aliran puncak tersebut sangat bervariasi pada tiap individu. Pada infan,
aliran puncak inspirasi melebihi tiga kali volume semenit. Harrison berpendapat
bahwa aliran gas segar 2,5 kali volume semenit umumnya cukup efektif mencegah
rebreathing. Selama bertahun-tahun dipercaya bahwa sirkuit ini dapat dipergunakan
dengan ventilasi spontan hanya jika rebreathing dapat dicegah dengan sempurna.
Untuk itu, laju aliran gas segar yang tinggi diperlukan dan dianggap sirkuit ini tidak
efisien dipergunakan untuk ventilasi spontan4.

Spoerel dkk. mendemonstrasikan bahwa disamping rebreathing, normocpnea


dapat dicapai selama ventilasi spontan dengan Mapleson D dengan laju aliran gas
segar lebih kecil dari dua kali volume semenit. Mereka mempelajari penderita
dewasa yang menjalani anestesi dengan N2O dan halotan dengan ventilasi spontan.
PETCO2 meningkat dari 36 ± 3 sampai 42 ± 4 mmHg dengan aliran gas segar
diturunkan dari 14-0 sampi 70 ml/kgBB/menit. Disamping adanya CO2 dalam udara
inspirasi, semua penderita dapat mempertahankan ventilasi alveolar normal dengan
peningkatan yang tajam pada ventilasi semenit. Volume semrnit 4,7 ml/m2/menit
dengan sistem sirkuit, tidak berbeda secara bermakna dari nilai 5,3 l/m2/menit pada
pasien bernafas dengan Mapleson D dengan aliran gas segar tinggi (140
ml/kgBB/menit). Karena itu dijelaskan aliran gas segar di bawa 100 sampai 70
ml/kgBB/menit, ventilasi semenit ditingkatkan 5,7 sampai 7,5 ml/m2/ment.

Untuk TUGASMAS 298


299
PETCO2 masih noemal kecuali terjadi rebreathing yang signifikan, dan ini dapat
dicegah dengan peningkatan ventilasi semenit. Bersasarkan temuan ini, Spoerel dkk.
menganjurkan pemakainan Mapleson D dengan ventilasi spontan pada pasien
dewasa dengan laju aliran gas segar 100 ml/kgBB/menit. Mereka juga
menganjurkan rebreathing juga bermanfaat karena menstimulasi pasien untuk
hiperventilasi, sehingga mengkontribusi oksigenasi yang lebih baik dan mencegah
kolaps alveoli2,4.

Rekomendasi ini dicermati oleh Byrick, yang menganalisa aliran gas segar
rendah lebih meningkatkan laju respirasi daripada volume tidal. Disamping itu,
respon ventilasi terhadap CO2 dalam udara inspirasi sangat bervariasi pada pasien
dewasa. Kalau aliran gas segar diturunkan, dari 150 sampai 70 ml/kgBB/menit
beberapa pasien terjadi peningkatan ventilasi semenit, akibatnya terjadi perubahan
PETCO2 yang sangat minimal. Pada beberapa pasien, penurunan laju aliran gas
segar tidak diikuti peningkatan ventilasi semenit, sehngga PETCO2 meningkat.
Byrick mempertanyakan manfaat hiperpnea2,4.

Gas segar yang dibutuhkan selama ventilasi spontan sedikit mendapat perhatian.
Soliman dkk. mempelajari anak berumur 1 sampai 5 tahun yang menjalani anestesi
dengan N2O dan halotan. Aliran gas segar diberikan 50% lebih besar dari kebutuan
ventilasi alveolar didasarkan luas permukaan tubuh. Dengan aliran gas segar 206 ±
42 (rata-rata ± SD) ml/kgBB/menit menghasilkan keadaan normokapnea2.

Lindahl dkk. mengevaluasi beberapa formula untuk aliran gas segar selama
ventilasi spontan dan menentukan formula yang mana yang meyakinkan tidak
terjadi rebreathing. Mereka melakukan anestesi terhadap infan dan anak dengan
N2O dan halotan dengan ventilasi spontan. Aliran gas segar diturunkan sampai CO2
udara inspirasi dapat dideteksi. Aliran gas segar saat terjadi rebreathing
dibandingkan dengan laju aliran gas segar yang dibutuhkan yang diprediksi dengan
beberapa formula. Aliran gas segar sama dengan dua kali ventialsi semenit mesih
terjadi rebreathing, sedangkan rebreathing dapat dihindari dengan tiga kali ventilasi
semenit. Formula ketiga, aliran gas segar sebesar 15 x BB x laju respirasi, terlalu
rendah untuk seorang subjek (dengan RR 15 kali permenit). Formula keempat,
dengan aliran gas segar 3 x (1000 + 1000 x BB) mencukupi2,4.

Seperti dengan ventilasi kendali, ahli anestesi memilih beberapa rekomendasi


untuk lairan gas selama ventilasi spontan. Pada infan, aliran gas segar tiga kali
ventilasi semenit dapat dipergunakan karena relatif hemat dan sedikit polusi kamar

Untuk TUGASMAS 299


300
operasi. Untuk infan BB 10 kg, mendekati 4,5 L/menit. Pada anak yang lebih besar,
aliran gas 3 kali dari perkiraan ventilasi semenit sangat boros. Dengan menggunakan
rekomendasi dari Spoerel dkk. sebesar 100 ml/kgBB/menit, dapat dipertahankan
normocapnea tapi dengan penikatan yang cukup besar ventilasi semenit. Bila klinisi
dapat memeoitor ventilasi alveolar dan kapnografi, aliran gas yang lebih rendah
dapat dipergunakan lebih aman. Sebaliknya, jika klinisi tidak dapat memonitor end
tidal (dan inspirasi) PCO2, aliran gas yang lebih tinggi dianjurkan untuk
meyakinkan tidak terjadi rebreathing. Sebagian besar kasus, sistem sirkuit dengan
penyerap CO2 dapat dipergunakan dengan aliran gas yang lebih rendah
dibandingkan dengan pada Mapleson D4,6.

2.2.3. Sirkuit Bain

Sirkuit Bain merupakan varian dari Mapleson D dimana aliran gas segar
ditempatkan koaksial dari pipa ombak. Sirkuit ini diperkenalkan pertama kali oleh Bain
dan Spoerel tahun 1972. Disamping penempatan aliran gas segar dalam limbus
ekspirasi, gas segar memasuki sirkuit langsung dekat pasien dan gas alveolar langsung
dikeluarkan lewat tabung ekspirasi menuju katup overflow. Fungsi sirkuit ini mirip
dengan Mapleson D. Bain dan Spoerel menyarankan sirkuit ini sebagai sirkuir yang
dapat diterima universal, dapat dipergunakan pada ventilasi spontan dan kendali, dan
pada pasien dengan berbagai umur2,4,6,7.

Sirkuit Bain mempunyai beberapa keuntungan dibandingan dengan Mapleson D.


Karena aliran gas segar berada di dalam, sirkuit menjadi ringkas dan berhubungan
minimal dengan ruang operasi selama bedah saraf dan prosedur lain di daerah kepala
dan leher. Dibuat dari plastik yang ringan, sirkuit ini kecil kemingkinannya tertekuk
atau ketarik. Karena dapat dihubungkan dengan mesin anestesi, gas-gas ekspirasi lebih
mudah dikeluarkan dari Mapleson D biasa4,6,7.

Gambar 5: Sirkuit Bain, modifikasi Mapleson D dengan gas segar terletak koaksial
pipa ombak3.

Untuk TUGASMAS 300


301

Keyakinan bahwa penempatan aliran gas segar dalam pipa ombak dapat menghangatkan
dan melembabkan gas inspirasi tidak sepenuhnya dapat diterima untuk pasien pediatri.
Misalnya pada aliran gas segar 2 L/menit untuk infan dengan berat 5 kg. Jika ventilasi
semenit 150 ml/kgBB/menit, hanya 37,5% (750/2000) dari aliran gas menju pasien yang
dihangatkan dan dilembabkan. Sebagian besar sisanya dari gas inspirasi tetap dingin dan
kering. Penurunan aliran gas dapat meningkatkan kehangatan dan kelembaban, tapi
meningkatkan rebreathing. Para klinisi yang perhatian terhadap temperatur dan
kelembaban gas inspirasi menambahkan humadifier pada sirkuit nafas yang
dipergunakan4.

Salah satu masalah yang dapat terjadi pada pemakaian sirkuit Bain adalah
potensial terjadi rebreathing yang berlebihan kalau pipa aliran gas segar patah atau
bocor di dalam pipa ombak. Jika keadaan ini terjadi, gas segar akan masuk kedalam
pipa ombak dekan kantong cadang (lebih banyak dari pada dekat pasien). Keseluruhan
volume sirkuit antara bagian yang patah dengan pasien akan menjadi ruang rugi, dan
akan terjasi hiperkarbi yang berlaebihan. Untuk menilai integritas aliran gas segar,
Pethick merekomendasikan aliran gas tinggi (oxygen flush) melewati sirkuit. Jika pipa
aliran gas segar utuh, efek venturi akan menurunkan tekanan dalam ruang ekspirasi,
menyebabkan kantong cadang kolaps. Jika pipa aliran gas patah, gas akan mengisi
ruang ekspirasi, mengisi kantong cadang. Menover ini dapat dikerjakan dalam beberapa
detik, dan direkomendasi sebagai bagian dari pemeriksaan preanestetik untuk sirkuit
ini4.

Gambar 6: Manouver Pethicks, pemeriksaan intergritas aliran gas segar pada sirkuit
Bain / CPRM3.

Untuk TUGASMAS 301


302

Sirkuit koaksial yang lain yang dikenal adalah CPRAM (Controlled Partial
Rebreathing Anesthesia Method), berbeda dengan sirkuit Bain dengan adanya dua
lubang pada sisi pasien dan muara dalam. Penerbit mengklaim sirkuit ini
memungkingkan humidifikasi lebih baik, dan efisien mengeluarkan CO2. Tapi sistem
ini menyulitkan klinisi untuk melakukan manouver Pethick, karena gas dapat keluar dari
lubang samping sehingga kantong cadang tetep terisi, walaupun penerbit mengklaim
sirkuit ini kecil kemungkinannya untuk patah atau bocor. Pethick manouver
dimodifikasi oleh Robinson dan Fisher dengan menutup celah samping dengan
menggunakan 1,5 cm ETT 6,5 cm3,4.

2.2.4. Kombinasi Mapleson A dan D

Kalau ventilasi kendali dan spontan diperlukan, misalnya pelumpuh otot


diberikan untuk memfasilitasi intubasi endotrakea, periode ventilasi kendali diperlukan
sampai terjadi ventilasi spontan, mungkin diperlukan kombinasi Mapleson A dan D.

Waters mengemukakan sirkuit dengan katup overflow dan sumber gas segar
pada kedua ujungnya. Dengan menambahkan katup overflow dan sumber gas segar
yang memadai, sirkuit in dapat diubah konfigurasinya dengan cepat dari kondigurasi A
ke D. Baraka mengemukakan sirkuit dengan dua T-pieces, satu dekat resevoir dan yang
lain di bagian proksimal dekat pasien. Bila gas segar dihubungkan pada bairn
proksimal, fungsi sirkuit sesuai dengan D. Jiga dihubungkan dengan bagian lainnya,
fungsi sirkuit sesuai dengan A2,3,4,6.

Untuk TUGASMAS 302


303
2.2.5. Sirkuit dengan katup overflow (Popoff) Inspirasi dan Ekspirasi

Sistem sirkuit yang lebih banyak dipergunakan pasien dewasa adalah sistem
lingkar (circle). Sirkuit ini terdiri atas sumber gas segar, katup searah inspirasi dan
ekspirasi, katup overflow, pipa inspirasi dan ekspirasi, kantong cadang, penghubung Y
dan kanister yang berisi penyerap CO2.

Gambar 7: Komponen penyusun sistem lingkar beserta urutannya3.

Pemakaian sirkuit ini sama selama ventilasi spontan dan kendali. Katup inspirasi
terbuka dengan tekanan intrapleura yang negatif dan tekanan dari kantong cadang. Gas
segar langsung menuju bagian inspirasi, dan laju inspirasi dipercepat dengan aliran gas
segar, gas yang melewati kanister. Saat ekspirasi, tekanan dalam sirkuit meningkat,
menutup katup inspirasi dan membuka katup ekspirasi. Gas alveolar menuju bagian
ekspirasi menuju katup overflow dan kanister. Selama rehat ekspirasi, katup inspirasi
tertutup, dan gas segar mengalir terbalik melewati kanister. Kalau katup kompeten dan
penyerap CO2 berfungsi baik, gas menuju pasien secara tidak langsung, tidak terjadi
inpirasi CO2. Meskipun katup berfungsi baik, sebagian gas ekspirasi memasuki bagian
inspirasi dan terjadi rebreathing, jika katup inspirasi tidak tertutup segera selama
ekspirasi. Pada pasien dewasa dengan komplien paru normal, sebanyak 150 ml gas
keluar dari katup inspirasi selama ventialsi manual. Ruang rugi sistem sirkuit ini mulai
dari Y-piece sampai ruang nafas pasien, tidak termasuk volume rongga nafas. Sistem ini
berbeda dengan sistem nafas sebelumnya dengan adanya katup searah dan kanister,
yang masing-masing meningkatkan resistensi dari sirkuit2,4,6.

Sebelum era 1950-an, sistem lingkar ini dipercaya tidak sesuai untuk
dipergunakan pada anestesi pediatrik. Hal ini karena ruang rugi dan resistensi jalan

Untuk TUGASMAS 303


304
nafas yang tinggi. Keadaan ini membatasi penggunaan sistem ini untuk pasien dewasa.
Kemudian dengan ditemukannya cyclopropane yang poten dipergunakan pada anak dan
harga yang relatif lebih mahal yang harus dipergunakan pada sistem semi tertutup,
menyebabkan munculnya sistem lingkar yang didesign dengan ruang rugi dan resistensi
lebih rendah. Terlebih mempertimbangkan inhalan baru yang lebih mahal, seperti
desfluran dan sevofluran, menyebabkan banyak klinisi yang lebih memilih
mempergunakan sistem lingkar untuk pasien pediatri3.

Sistem lingkar pada pasien pediatri terbagi atas sistem lingkar dewasa
konvensional dan sistem lingkar pediatri. Sistem lingkar dewasa konvensional mirip
dengan sistem lingkar dewasa, dimana katup, kanister dan konektor dengan resistensi
dan ruang rugi lebih kecil. Graff dkk. melakukan anestesi pada infan dengan N2O dan
halotan dengan menggunakan Ayre T-piece dan sistem lingkar. Pemeriksaan darah
kapiler dilakukan 15 menit menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna pH dan PCO2.
Tidak terdapat perbedaan tanda-tanda kardiovaskuler dan tanda klinik lain pada
pemakaian kedua sistem sirkuit ini2,4.

Sistem lingkar pediatri yang khusus didesain khusus untuk pasien pediari sudah
banyak diperkenalkan. Masing-masing memiliki komponen dasar sistem lingkar pada
pasien dewasa dengan ukuran yang disesuaikan. Misalnya dengan Bloomquist Pediatric
Circle Absorber, anestetis dapat memasang kanister pada bagian inspirasi maupun
ekspirasi. Pemasangan kanister pada bagian inspirasi memungkinkan anestetis
melakukan asisst ventilasi untuk melawan resistensi kanister. Ohio Infant Circle
Absorber berbeda dengan konfigurasi sistem lingkar pada umumnya karena sumber gas
segar ditempatkan setelah katup inspirasi, untuk meyakinkan aliran gas yang konstan
yang mendorong ruang rugi pada sungkup. Dengan laju gas segar 3 L/menit, ruang rugi
dengan sungkup kurang dari 5 ml dibandingkan dengan sistem lain yang mencapa 7
sampi 19 ml. Kedua sistem lingkar ini disertai dengan pipa inspirasi dan ekspirasi,
reservoir, kanister dan konektor Y yang lebih kecil, untuk meminimalkan ruang rugi.
Resistensi dari sirkuit ini rendah, dibawah 0,3 cmH2O pada laju gas 10 L/menit dengan
Sistem Ohio 2,4.

Perhitungan Nutrisi dr.Wahyu


1. Bila PCO2 tinggi :

Pediatri (kalori = 100 – 120 kal/kgbb/hari.

Untuk TUGASMAS 304


305
50% lemak +protein sisanya kbh
Missal : BB 6,4 kalori 640 kal lemak 320 kalori ; protein 70 kal ; sisanya
Kbh? (250kal)
2. Pediatri kebutuhan Kalori : 100 – 120 kal/kgBB/hari
3. PPOK dewasa 25 kkal/kgBB/hari dengan komposisi 50% lemak sisanya protein dan
karbohidrat
Dan protein

Pemeriksaan CT Scan Abdomen:


1.Subcapsuler hematoma Lien < 10% (grade 1)
2. intra parenchimal hematoma lien >50%

Untuk TUGASMAS 305


306

Nutrisi parenteral yang benar (Eddy Rahardjo)


Banyak perdebatan yang diajukan tentang untung rugi nutrisi parenteral dibanding
nutrisi enteral. Sayangnya, banyak diantara debat itu yang lepas dari konteks awal
paradigma terapi nutrisi. Nutrisi adalah bagian dari kebutuhan vital tubuh setelah
oksigen dan cairan. Secara fisiologis, nutrisi adalah fungsi oral dan enteral (usus).
Nutrisi parenteral adalah jalan pintas yang digunakan bila usus tidak dapat berfungsi
memenuhi kecukupan nutrisi. Tehnik ini memerlukan tambahan pengetahuan dan
ketrampilan, bukan dari dokter saja tetapi juga tim perawat yang harus mendukung
pelaksanaannya. When properly done, parenteral nutrition is indispensable in the
treatment of the critically ills.

Kapan nutrisi parenteral perlu diberikan ?


Jika usus tidak dapat menyerap dan mencerna nutriens dalam jumlah cukup untuk
kebutuhan metabolisme normal dengan proteolisis yang minimal.

Apa yang diberikan untuk nutrisi parenteral per hari ?


ASPEN dalam rekomendasi / guidelines 2002 mengajukan :
1. Karbohidrat 20-35 kcal /kg
2. Lemak 1 gm/kg pada masa kritis, pada masa penyembuhan dapat dinaikkan
sampai 2.5 gm/kg
3. Asam amino 0.8-2 gm/kg
4. Diberikan dalam volume maintenance 30-40 ml/

Apa route vena yang dapat dipakai untuk nutrisi ?


Pada dasarnya vena yang dapat dipakai untuk memberikan cairan nutrisi tergantung
jenis nutriens yang diberikan. Karbohidrat atau glukose 5% dapat diberikan pada semua
vena. Glukose 20% sangat venous-irritant, menyebabkan thrombo-phlebitis dan jika
diberikan pada vena kaki dapat menyebabkan thrombo-emboli. Osmolaritas tiap cairan
berbeda.
Glukose 5%, NaCl 0.9%, asam amino 5%, emulsi lemak (10-30%) semua adalah
isotonik, osmolaritasnya sekitar 300 mOsm.

Untuk TUGASMAS 306


307
Glukose 10% atau lebih, asam amino 10%, NaCl 0.9%-Dextrose 5% 1:1, Ringer
Dextrose semua adalah hipertonik sedang (350-900 mOsm). Cairan ini dapat diberikan
melalui vena tangan, tetapi jangan vena kaki.
Larutan seperti Triofusin 1000, Triparen-1, Aminovel, Aminofusin adalah sangat
hipertonik (lebih dari 900 mOsm). Larutan ini idealnya harus diberikan lewat vena
sentral. Bila terpaksa, hanya vena tangan yang boleh digunakan.
Untuk mengurangi kepekatan / hiper-osmolaritas, cairan dapat diteteskan bersama-sama
melalui infus cabang dengan cairan yang isotonis.

Apa beda Total Parenteral Nutrition dan Partial Parenteral Nutrition ?


TPN memerlukan dosis yang tinggi. Masuknya nutriens dosis tinggi langsung ke vena
menyebabkan metabolic overload. Excess dari nutriens dapat menyebabkan patologi
yang tidak menguntungkan : hiperglisemia, hipertrigliseridemia, cholestasis, fatty
degeneration hepar, penurunan immuno-response yang menyebabkan sepsis dsb. Karena
itu trend dan rekomendasi mengarah pada PPN, yang sifatnya adalah “sekedar”
memberi tambahan nutrisi sampai sebatas kemampuan metabolik pasien, bukan sampai
memnuhi seluruh kebutuhan pasien. Sedini mungkin, jika usus memungkinkan, nutrisi
enteral dimulai dan ditingkatkan, sampai kebutuhan normal dapat dicukupi

NUTRISI PARENTERAL

Nutrisi adalah bagian dari kebutuhan vital tubuh setelah oksigen dan cairan. Secara
fisiologis nutrisi adalah fungsi oral dan enteral (usus). Sedangkan nutrisi parenteral
adalah jalan pintas yang digunakan bila usus tidak dapat berfungsi memenuhi
kecukupan nutrisi.
Kapan nutrisi parenteral diberikan ?
Jika usus tidak dapat menyerap dan mencerna nutrien dalam jumlah cukup untuk
memenuhi kebutuhan metabolisme normal dengan proteolisis yang minimal
Apa yang diberikan untuk nutrisi parenteral perhari ? (rekomendasi ASPEN guidelines
2002)
1. Karbohidrat 20 -35 kcal/kg (rata-rata 25 kcal/kg/hari tergantung kemampuan
tubuh = 6m karbohidrat/kg)
2. Glukosa sampai 5 g/kg/hari
3. Lemak 1 gm/kg/hari pada masa kritis. Pada fase penyembuhan dapat dinaikan
maksimal sampai 2,5 gm/kg/hari
4. Asam amino 0,8 – 2 gm/kg/hari
Untuk TUGASMAS 307
308
5. Diberikan dalam volume maintenens 30 – 40 ml

Jalur vena yang dapat dipakai untuk nutrisi


1. Glukosa 5% dapat lewat semua vena.
2. Glukosa 5%, NaCl 0,9%, asam amino 5%, emulsi lemak 10-30% semua adalah
isotonik dengan osmolaritas 300 mOsm dapat lewat vena tangan maupun kaki
3. Glukosa 10% atau lebih, asam amino 10%, NaCl 0,9%- dekstrose 5%, Ringer
Dekstrose semua adalah hipertonik sedang dengan osmolaritas 350 – 900
mOsm. Dapat diberikan lewat vena tangan, tidak vena kaki mudah terjadi
trombosis
4. Triofusin 1000, Triparen-1, Aminovel, Aminofusin semua adalah sangat
hipertonik dengan osmolaritas lebih 900 mOsm. Dapat diberikan lewat vena
sentral

Perbedaan Total Parenteral Nutrisi ( TPN ) dan Partial Parenteral Nutrisi ( PPN )
TPN : -memerlukan dosis tinggi
-Obserasi dan monitoring karena dengan dosis tinggi dapat terjadi metabolik
overload yang tidak menguntungkan seperti hiperglisemia, hipertrigliseridemia,
colestasis, fatty degenaration hepar, penurunan respon imun, BUN meningkat,
infeksi jalur inus, sumbatan
PPN : -sifatnya sekedar memberi tambahan nutrisi sampai sebatas kemampuan
metabolik pasien bukan memenuhi seluruh kebutuhan. Dengan tetap
memperhatikan fungsi sedini mungkin nutrisi enteral segera diberikan dan
dinaikan sampai kebutuhan normal tercukupi.
Hal penting dalam nutrisi parenteral
1. Cairan nutrisi selalu pekat (hipertonis), mudah thromboplebitis
2. Jika lewat jalur vena perifer, gunakan jarum kecil ( manitenens-nutrisi Ф 20-22-
24, replasement Ф 16-18-20 )
3. Hindari vena kaki
4. Dilakukan secara aseptik

Kapan pasien perlu NPE?


Usus tidak mampu menyerap, seperti dalam kondisi :
- Ileus paralitik
- Ileus obstruktif
- Fistula usus kulit yang bocor
- Luka bakar
Untuk TUGASMAS 308
309
- Tetanus berkepanjangan

Isi beberapa cairan


. Ringer Dextrose, Dextrose 5% ~ 500 cc = 25 gm glukosa = 100 kcal
. Dextrose 10%, KaEnMg3 ~ 500 cc = 50 gm glukosa = 200 kcal
. Intrafusin 10%, Amiparen, Kalbamin, aminosteril 10% ~ 500 cc = 50 gm asam amino
. Aminovel, -fusin , - steril 5% ~ 500cc = 25 gm asam amino
. Ivelip 20%, Lipovenous 20% ~250 cc = 50 gm lipid = 450 kcal
( Jika memberikan emulsi lipid sebaiknya :
- Tidak lebih 1 g/kg/hari
- Kalori Karbohidrat > lemak, bukan sealiknya
- Lebih baik yang 20% daripada 10% karena kandungan phospolipid lebih rendah
- Tidak boleh mencampur dengan zat apapun dalam emulsi

Contoh pemberian :
Umur 5 th, BB 25 kg dengan operasi apendicitis perforasi, dengan kebutuhan minimal
- Maintenans Na 75 mEq, K 25 mEq, Kalori 750 kcal , cairan 1500 cc perhari
a. 1000 cc Dext 5% + 500 cc NaCl 0,9% = Na 75 mEq, K (-), Kalori 200
kcal
b. 1500 cc D5%-NaCl 0,225 = Na 55 mEq, K (-), Kalori 300 kcal
c. 1500 cc D10%-NaCl 0,18% = Na 45 mEq, K (-), Kalori 600 kcal
d. 1500 cc KaEnMg3 = Na 75 mEq, K 30 mEq, Kalori 750 kcal
e. 1000 cc KaEnMg3 + 500 cc Panamin G = Na 50 mEq, K 20 mEq, Kalori
500 kcal, a.a 13 gm

Pilihan untuk awal post operatif, cukup memenuhi kebutuhan cairan, elektrolit serta
kalori pada hari I sampai ke 2, selanjutnya meningkat dengan pemberian asam
amino maupun emulsi lemak bila diperlukan sesuai kondisi pasien dengan tetap
memperhatikan kondisi nutrisi enteral sedini mungkin.

Nama Cairan Kalori Protein Lemak Na K Osml


(kal/l) (g/l) (g/l) (mEq/l) (mEq/l) (mOsm/l)
INTRA
VENOUS
NaCl 0,9% 0 0 0 154 0 308
RL 0 0 0 130 4 273
KaEnMg3 400 0 0 50 20 728
RD5 200 0 0 147 4 588
Potacol R 200 0 0 130 0 412
D5 200 0 0 0 0 253

Untuk TUGASMAS 309


310
D10 400 0 0 0 0 555
D40 1600 0 0 0 0 2018
Martos 10 400 0 0 0 0 278
D5NS 200 0 0 154 0 578
D51/2NS 200 0 0 77 0 428
D51/4NS 200 0 0 38.5 0 353
D101/5NS 400 0 0 31 0 615
NaCl 3% 0 0 0 513 0 1026
NaCl 15% 0 0 2565 0 5133
KCl 7,46% 0 0 0 0 1000 2
6%HES 0 0 0 154 0 310
Haemacell 0 0 0 145 5,1
Voluven 0 0
Gelofusin 0 0
Manitol 0 0 0 0 0 1098
Triparen 1 932 0 5 45 1668
Triparen 2 1168 0 57.5 45 1946
Aminofusin
400 50 40 30 1100
1600
Aminofusin
500 25 51.5 30 1100
TPN
Aminofusin
0 50 30 25 600
Paed
Aminovel 600 408 50 35 25 1320
Amiparen 100 0 100 2 0 888
Pan Amin G 200 27.2 0 0 507
Triofusin 500 500 0 0 0 700
Triofusin 1000 1000 0 0 0 1400
Triofusin
1000 0 80 30 1600
E1000
Triofusin 1600 1600 0 0 0 2500
Tutofusin OPS 200 0 100 18 500
Intralipid 10% 1100 0 0 0 300
Intralipid 20% 2000 0 0 0 350
Ivelip 20% 2000 0 20 0 0 270
Kalbamin 0 91.13 0 0 800

Nama Cairan Kalori Protein Lemak KH AAE


(kal/cc) (g/cc) (g/cc) (g/cc) (g)
ORAL / SONDE
Pan enteral
510 15.3
100g
PE 1 0.05 47% 38%
Bubur halus 1.5 0.05
Cair TKTP 1.7 0.05
Cair Gurih 2.1 0.05
Nephrisol 1 0.01 0.015 0.21 12,5

Pt weight kg 85
Kcal/day 2550 30 Kcal/kg/24h
Protein 4 Kcal/gm
Prot Reqt
(gm/day) 59.5 0.7 g/kg
Calories from prot 238
AA10% ml/24h 595 0.1 g/ml
AA8.5% ml/24h 700 0.085 g/ml
remainder 2312

Untuk TUGASMAS 310


311

Lipids reqt
kcal/24h 693.6 30%
g Lipid/24h 77.0666667 9 kcal/gm
Lipids 20% ml/24h 385.33 20 g/100 ml
Lipids 10% 630.545455 1.1 Kcal/ml

CHO kcal reqt/24h 1618.4


Dext 70% ml/24h 680 2.38 Kcal/ml
Dext 50% ml/24h 952 1.7
Dext 20% ml/24h 2380 0.68 Kcal/ml

Total 1660.33333
ml/hr 69.1805556

KALIUM

Kalium tubuh total pada orang dewasa normal kira-kira 40-50 mEq/kgBB. Hanya kira-
kira 1,5% didapatkan didalam CES. Intake kalium harian yang umum adalah 1,0-1,5
mEq/kgBB; kira-kira 10% dari ini diekskresi lewat feces dan keringat, sisanya
diekskresi lewat ginjal. Ginjal normal dapat mengekskresi sampai 6 mEq/kgBB/hari.
Kadar kalium serum merupakan indikator petunjuk umum dari kalium total tubuh, tatapi
beberapa faktor dapat mempengaruhi distribusi transeluler kalium ini [kelainan asam
basa,kenaikan osmolaritas ekstraseluler,defisiensi insulin].

HIPOKALEMI. Dengan menganggap pH normal, maka kadar kalium serum


kenyataaannya dapat berada dalam keadaan defisit tubuh total sampai 200 mEq.
walaupun pada umumnya setiap pengurangan kadar kalium serum sebesar 1 mEq/dl
mencerminkan defisit kira-kira 350 mEq. Kadar kalium serum kurang dari 2 mEq/dl
mencerminkan defisit kalium tubuh total >1000 mEq.
32. A. MANIFESTASI hipokalemi biasanya terjadi pada kaliium yang lebih rendah
dari 2,5 mEq/liter. Pengurangan kadar kalium serum yang cepat dapat
menimbulkan gejala pada kadar kalium yang lebih tinggi. TANDA DAN
GEJALA NYA meliputi malaise,kelelahan,gangguan neuromuskuler[misalnya
kelemahan,hiporefleksi,kejang otot,sindroma tungkai yang bergerak
terus,rabdomiolisis,paralisis],kelainan gastrointestinalis [konstipasi,ileus].dan
memburuknya ensefalopati hepatik. Kelainan kardiovaskuler misalnya hipotensi
ortostatik,memburuknya hipertensi,aritmia[terutama pada terapi dgn digitalis],
dan perubahan EKG [pendataran gel T,gel U yang menyolok,dan depresi
segmen ST] dapat terjadi. Kelainan ginjal dan elektrolit meliputi alkalosisi

Untuk TUGASMAS 311


312
metabolik,gangguan pemekatan urin dengan poliuri dan berakibat
polidipsi,pengurangan GFR,dan intoleransi glukosa.

B. PENYEBAB

8. HIPOKALEMI KARENA PERPINDAHAN TRANSELULER dapat terjadi


oleh adanya agonis beta,alkalemia,kelebihan insulin,kelebihan glukosa
akut,delirium tremens,paralisis periodik hipokalemi,dan status anabolik.
9. HIPOKALEMI DENGAN KESEIMBANGAN ASAM BASA NORMAL dapat
disebabkan oleh diuretik osmotik,diare kronik,leukemia
akut,aminoglikosida,dosis tinggi penisilin[anion-anion yang penyerapannya sulit
dapat menyebabkan muatan lebih negatif pada tubulus distalis sehingga
meningkatkan sekresi kalium] atau adanya defisiensi magnesium. Intake kalim
yang tidak memadai dalam jangka lama [kurang dari 10-20 mEq/hari] dapat
menyebabkan defisit yang brmakna karena adanya kelainan yang terus menerus
lewat ginjal dan gastrointestinalis.
10. HIPOKALEMI DENGAN ACIDOSIS METABOLIK biasanya disebabkan oleh
diare,acidosis tubular ginjal [proksimal dan distalis], amfoterisin,ketoasidosis
diabetikum, penggunaan pencahar yang berlebihan, fistulla intestinal dan
biliaris,uretero enterostomi atau toluen.
11. HIPOKALEMI DENGAN ALKALOSIS METABOLIK dapat disebabkan oleh
kehilangan kalium lewt gastrointestinalis [vomitus atau hisapan nasogastrik]
atau lewat ginjal [hiperaldosteronisme primer,kelebihan
glukokortikoid,sindromaLiddle,terapi diuretikum atau sindroma Batter].
Alkalosis dan penyusutan volume yang menyertai kelainan-kelainan ini akan
menyebabkan defisit kalium lebih lanjut dengan cara meningkatkan kehilangan
kalium lewat ginjal.

C. PENGOBATAN

Kalium dapat diberikan untuk mengganti kehilangan kalium secara kronis atau
ditujukan untuk memperbaiki kadar kalium serun yang rendah. Pasien yang sedang
mengalami kehilangan Natrium perlu pengawasan kadar kaliumnya untuk
merencanakan terapinya. Pengobatan hipokalemi [kadar kalium lebih rendah dari 3,5
mEq/liter] adalah paling penting pada pasien yang menderita penyakit Jantung dan para

Untuk TUGASMAS 312


313
pasien yang menggunakan Digitalis [untuk memperkecil resiko aritmia dan gangguan
hantaran].
1. Terapi Oral. apabila pasien mengkonsumsi diet yang kekurangan kalium [buah-
buahan dan sayuran], maka penggantian diet yang dapat menaikkan intake
kalium sebesar 40-60 mEq/hari dapat merupakan terapi yang memadai.
Penggantian GARAM memberikan pilihan lain yang ekonomis untuk
meresepkan suplemen kalium, dan pengganti garam ini mengandung 7-14 mEq
kalium [5 g setera dengankira-kira 1 sendok teh]. Pemberian kalium
biasanyadalam bentuk kalium klorida, walaupun dapat tersedia bentuk yang lain.
Klorida biasanya dibutuhkan pada kasus-kasus yang menderita hipokalemi yang
disertai dengan kontraksi [penyusutan] volume CES. Tab atau Caps KCL "slow-
realese" adalah bermanfaat untuk pasien yang tidak dapat mentolelir [menerima]
bentuk cairan dari suplementasi kalium. Adanya ulkus gastrointestinalis yang
jarang terjadinya pernah dilaporkan sebagai akibat dari penggunaan sediaan ini,
terutama pada keadaan dismolitas intestinalis. Suplemen kalim yang tidak
mengandung klorida mungkin lebih enak rasanya untuk pasien yang tidak dapat
mentolelir sesiaan KCL. Hiperkalemi yang berat dapat terjadi selama
suplementasi kalium peroral, dengan demikian kadar kalium serum perlu diamati
selama pengobatan. DIURETIK YANG BERSIFAT POTASSIUM SPARING
atau dapat menghemat kalim seperti spironolacton,trimterin,atau amilorid dapat
merupakan pilihan lain untuk para pasien yang mengalami hipokalemia karena
kehilangan kalium lewat ginjal. Obat ini merupankan KI pada penderita
kelainan/insufisiensi ginajal bersamaan dengan suplemen kalium atau bersamaan
dengan obat-obat yang mengganggu sekresi kalium misalnya ACE inhibitor.
Juga obat ini hati-hati penggunaannya pada penderita DM.
2. TERAPI IV. Pemberian kalium IV adalah cocok pada pasien yang mengalami
hipokalemi berat dan pada para pasien yang tidak dapat menerima suplementasi
oral. Apabila kadar kalim serum > 2,5 mEq/liter dan perubahan EKG tidak ada,
maka kalium dapat diberikan dengan kecepatan sampai 30 mEq/liter. Apbila
kadar kalim serum < 2,5 mEq/liter atau disertai dengan adanya kelainan EKG
[gel T datar atau terbalik,sement ST depresi], atau disertai komplikasi
neuromuskuler yang berat, maka dibutuhkan pengobatan emergensi. Dalam hal
ini kalium dapat diberikan lewat jalur IV perifer dengan kecepatan sampai 40
mEq/hari dan dengan kadar sampai 6 mEq/liter.Perlu PEMANTAUAN EKG
TERUS MENERUS dan MENGUKUR KADAR KALIM SERUM SETIAP 4

Untuk TUGASMAS 313


314
Jam. Sekali indikasi untuk pengobatan emergensi telah dapat diatasi, maka
penggantian kalium yang kurang agresif dapat diberikan seperti yang telah
disebutkan didepan. Pada hipokalemi yang berat dan mengancam jiwa,
penggantian kalium inisial [mula-mula] perlu diberikan pada larutan bebas
glukose, karena glukose dapat menyebabkan kadar kalium serum akan terus
turun.
SYARAT PEMBERIAN INFUS KALIUM
1. Kosentrasi : < 40 mEq/L
2. Kecepatan : 10 mEq/jam*
3. Jumlah : < 100 mEq/hari
4. EKG monitor, Periksa kadar Kalim serum/jam
5. Urin : > 0,5 ml/kgBB/jam
6. Jangan diberikan secara langsung/bolus.

* bila kadar serum 2-3 mEq/L.

HIPERKALEMI

A. MANIFESTASI HIPERKALEMI biasanya terjadi apabila kadar kalium serum > 6.5
mEq/L. Manifestasi NEROMUSKULER meliputi:
kelemahan,parestesia,aregleksi,paralisis asendens,dan kegagalan pernafasan.
Manifestasi JANTUNG meliputi bradikardi yang dapat berkembang menjadi
asistol,pemanjangan hantaran AV yang dapat menyebabkan hambatan jantung total,dan
fibrilasi ventrikularis. Kalau kadar kalium serum meningkat, maka manisfetasi EKG
BERUBAH SECARA PROGRESIF. Mula-mula timbul gelombang meninggi atau
bentuk tenda. Kemudian terjadi depresi segmen T, hambatan AV derajat 1, dan terjadi
pemanjangan QRS. Akhirnya timbul suatu gel bifasik ["sine wave"] yang menunjukkan
fusi [persatuan] antara QRS yang memanjang dan gel T, yang merupakan tanda henti
ventrikuler iminen ["imminent ventricular standstill"]. Kecepatan perkembangan
pemburukan ini sulit diramalkan, dan pasien dapat berkembang dari perubahan EKG
inisial menjadi gangguan hantaran yang mebahayakan atau aritmia dalam beberapa

Untuk TUGASMAS 314


315
menit. Perubahan EKG yang tiba-tiba dengan adanya
hiponatremia,hipokalemi,hipermagnesemia dan asidosis yang menyertai.
B. PENYEBAB
1. PENURUNAN EKSKRESI GINJAL dapat terjadi dari [1] hiporeninemia
hiperaldosteronisme karena penyakit ginjal intrinsik [misalnya DM dan nefritis
interstisiil] atau karena penghambat sintesa prostagladin, [2]
hiperaldosteronisme [baik primer atau sekunder karena heparin,siklosporin,atau
penghambat enzim angiotensin-converting] atau insufisiensi adrenal[biasa nya
dengan pengurangan volume atau GFR], [3] gagal ginjal akut atau kronik, [4]
asidosis tubular ginjal tipe IV, [5] penurunan peneluaran natrium nefron
distalis,misalnya pada gagal jantung,dan [6] diuretik yang dapat menghemat
kalium.
2. REDISTRIBUSI KALIUM DARI INTRASEL KE-EKSTRASEL dapat
disebabkan oleh asidosis. Karena membran sel lebih permeabel terhadap asam-
asam organik [mis. asam keta,asam laktat], maka asam-asam organik kurang
mungkin untuk menyebabkan hiperkalemi dibandingkan dengan asam-asam
mineral[NH4CL,HCL]. Penyebab-penyebab lain redistribusi kalim meliputi:
Paralisis periodik hiperkalemik, Keracunan Digitalis, Defisiensi Insulin, dan
Kenaikkan Osmolaritas CES yang cepat [pemberian glukosa hipertonik atau
manitol]. SUKSINILCHOLIN yang menyebabkan kebocoran kalium dari sel-sel
otot [kalium release] yang berlangsung kira-kira 10 menit dan biasanya adalah
tidak penting; walaupun demikian pada pasien yang mengalami kerusakan
jaringan yang luas, maka kadar kalium serum dapat meningkat menyolok. Obat-
obat ANTAGONIS BETA yang dapat menghambat pengambilan kalium oleh
sel, dapat menyebabkan hiperkalemi pada para pasien yang menderita
DM,pasien yang sedang menjalani dialisis,dan para pasien yang sedang
menjalani operasi bypass kardiopulmoner.
3. SUATU KELEBIHAN KALIUM dapat berasal dari sumber Eksogen, misalnya
pemberian kalium IV, tranfusi darah,terapi penisilin dosis tinggi [1,7 mEq
kalium/1 juta unit], dan suplementasi kalium atau pengganti garam peroral.
Kelebihan kalim Endogen dapat timbul dari pengrusakan jaringan misalnya
terjadi lisis tumor, luka bakar, trauma yang merusak jaringan ["crush injuries"],
hemolisis masif, pembedahan mayor, atau perdarahan gastrointestinalis.
4. PSEUDOHIPERKALEI memberikan suatu kenaikan serum kalium PALSU.
Keadaan demikian dapat terjadi apabila kalium dibebaskandari sel-sel, baik

Untuk TUGASMAS 315


316
selama pembekuan cuplikan darah pada adanya leukositosis [> 70.000/
mikroliter] atau trombositosis [> 1 juta/mikroliter] atau pada hemolisis eritrosit
kerena darah dihisap lewat jarum yang kecil, kelambatan analisis, atau
pembendungan darah dengan torniket yang terlalu kencang. Kadar kalim plasma
noramal [yang tidak beku] akan menyingkirkan lekositosis dan trombositosis
sebagai penyebab.
C PENGOBATAN AKUT
Tujuan dari pengobatan akut hiperkalemi adalah:
1. Melindungi jantung dari pengaruh kalium dengan cara memberikan pengaruh
kebalikan pada hantaran jantung [pemberian kalsium]
2. Memindah kan kalium dari CES ke CIS [dengan NaBic, Insulin Glukosa]
3. Mengurangi kalium tubuh total [dengan resin penukar kation, Diuretikum dan
Dialisis]
Kebutuhan untuk penobatan adalah sangat mendesak apabila kalium serum > 7
mEq/L, atau apabila EKG memperlihatkan perubahan yang mengarah pada hiperkalemi.
Aritmia yang Mengancam Jiwa DAPAT TERJADI setiap saat selama pengobatan maka
perlu Monitoring EKG yang terus menerus. Kadar kalium serum perlu diikuti dengan
seksama selama pengobatan. Pada pasien yang mengalami hiperkalemi karena
pengrusakan jaringan atau karena kenaikkan kadar kalium total tubuh, maka pengobatan
yang ditujukan pada pembuangan kalium netto dari tubuh sebaiknya dimulai secara
serentak bersama pengobatan akut meliputi"
1. PEMBERIAN KALSIUM akan memberikan efek antagonis sementara terhadap
efek hiperkalemi pada jantung dan neuromuskuler. Kalsium gluconas[Ca
Glukonas] 10 ml dalam larutan 10 % diberikan IV selama 2-5 menit. Dosis
kedua atau ulangan dapat diberikan setelah 5 menit apabila tidak ada respons.
Kecepatan infus yang lebih lambat sebaiknya dipertimbangkan pada pasien yang
mendapat Digitalis karena adanya bahaya dari hiperkalsemia yang dibangkitkan
oleh keracunan digitalis. Terapi kalsium lebih lanjut rupanya tidak memberi
keuntungan, kecuali bila terdapat hipokalsemia. Pengaruh kalsium dapat terjadi
dalam beberapa menit dan berakhir dalam 1 jam; dengan demikian modalitas
yang lain sebaiknya dilaksanakan secepat mungkin.
2. PEMBERIAN NABIC dapat menyebabkan perpindahan kalium dari CES ke
CIS. Pengobatan dengan Bikarbonat adalah penting terutama pada penderita
yang mengalami asidosis. 1 amp NaHCO3 75 % [44 mEq HCO3] dapat
diberikan IV selama 5 menit dan diulang dalam jarak waktu 10-15 menit apabila

Untuk TUGASMAS 316


317
perubahan/kelainan EKG menetap. Onset kerja terjadi dalam waktu 30 menit
dan pengaruh tadi dapat berlangsung selama 1-2 jam. Overload sirkulasi dan
hipernatremia apabila dinerikan NaBic hipertonok dengan volume tinggi.
Natrium bikarbonat dapat juaga ditambahkan pada infus glukosa [lihat dibawah[.
Apbila terdapat hipokalsemia, maka dapat terjadi kejang dan tetani karena pH
darah yang meningkat; dengan demikian kalsium sebaiknya diberikan pertama
kali
3. INFUS GLUKOSA DAN INSULIN bekerja untuk memindahkan kalium dari
CES kedalam sel-sel. Insulin reguler 10 unit diberikan IV, dan pada saat yang
sama diberikan 1 amp glukosa 50 % [25 g] IV dalam waktu 5 menit. Responnya
perlu diamati dalam waktu 30-60 menit, dan efeknya adalah khas berlangsung
dalam beberapa jam. METODE LAIN/CARA LAIN adalah dengan
mencampurkan NaCHO3 89 mEq [2 ampul] dengan 1 liter D 10%. Sejumlah
300 ml yang pertama diberikan dalam waktu 30 menit dan sisanya diberikan
dalam waktu 3 jam berikutnya; Insulin reguler 25 unit diberikan SQ [subkutan]
pada saat yang sama dengan mulainya infus [med.clin.North.AM 65:165,1981].
Kombinasi Albuteror nebula dengan insulin dan glukosa telah terbukti sangat
efektif dalam mengobati kiperkalemi pada pasien yang dilakukan dialisis; dan
perlu ditambahkan bahwa pemberian bersama Albuterol dapat mengurangi
pengaruh hipoglikemia insulin.
4. RESIN PENUKAR KATION mengikat kalium untuk diganti dengan kation
yang lain [biasanya natrium] dalan tractus gastrointestinalis, dengan demikian
akan membuang kalium dari tubuli. Metode pengobatan ini perlu diberikan
secepat mungkin apabila hiperkalemianya disebabkan oleh penurunan ekskresi
kalim atau kenaikkan pemasukan kalium. Setiap gram Natrium Polistiren
Sulfonat [ KAYEXALATE ] mengikat kira-kira 1,5 mEq Na untuk setiap 1 mEq
kalium yang dibuang dan dengan demikian harus dipakai dengan hati-hati pada
pasien yang tidak mampu mentoleril kelebihan natrium [gagal ginjal atau
hipertensi berat]; dapat juga terjadi hipernatremia.
5. DIALISIS dapat membuat natriun dari tubuh dengan sangat efektif, tetapi
sebaiknya hanya dilakukan pada keadaan-keadaan klinik pada mana metode
yang konservatif telah gagal atau tidak sesuai. Yang penting, reaksi rebound
hiperkalemia yangbermakna dapat terjadi setelah dialisis karena kalium
dimobilisasi dari simpanan intraseluler.

Untuk TUGASMAS 317


318
D. PENGOBATAN KRONIK. Pengobatan penyakit yang mendasari dapat menghindari
kebutuhan pengobatan spesifik untuk hiperkalemia. Pasien yang menderita gagal ginjal
[ GFS < 10 ml/menit] memerlukan pembatasan kalium diet sampai 40-60 mEq/hari.
"Loop Diuretic" [furosemid,bumetanide] adalah manjur dalam mengobati hiperkalemia
maupun kelebihan volume padagagal ginjal. Natrium polistiren sulfonat dapat juga
diberikan secara oral untuk terapi kronik.

PROSES HEMOSTASIS

Pada saat cedera ada 3 proses utama yang menyebabkan hemostasis dan
koagulasi yang melindungi dari perdarahan masif yaitu vasokonstriksi sementara ,
reaksi trombosit dan aktivasi faktor-faktor pembekuan(1,2,3,4).

VASOKONSTRIKSI(2,3)

Vasokonstriksi terjadi sejak saat pembuluh darah cedera hingga kontraksi pembuluh
darah (kurang lebih 30 menit). Selama fase ini sel endotel berkontraksi dan
mengeluarkan faktor kimia dan hormone lokal yaitu Adenosin difosfat,
prostacyclin,endothelin hormone . Faktor kimia dan hormone tersebut menstimulasi
kontraksi otot polos dan kontraksi pembuluh darah serta respon saraf ke saraf pusat .

TROMBOSIT (2,3,4)

Trombosit atau platelet bukan merupakan sel tapi fragmen sel granular berbentuk
cakram dan tidak berinti. Berasal dari sel induk pluripoten yang berdiferensiasi menjadi
megakarioblas, melalui serangkaian proses maturasi menjadi megakariosit raksasa.
Sitoplasma sel ini memisahkan diri menjadi trombosit – trombosit yang beredar dalam
sirkulasi darah.
Trombosit berukuran diameter 1 – 4 mikrometer dan siklus hidupnya 9 – 12 hari.
Sepertiga dari jumlah total berada dalam lien sebagai cadangan yang akan keluar bila
jumlah di sirkulasi menurun (perdarahan hebat). Jumlah yang beredar dalam sirkulasi
antara 150.000 – 300.000 permikroliter darah.
Fungsi trombosit :

Untuk TUGASMAS 318


319
1. mengeluarkan enzim dan faktor kimia lain yaitu adenosine difosfat (stimulasi
agregasi trombosit), tromboksan A2 dan serotonin ( stimulasi konstraksi
vaskular), platelet –derived growth factor (PDGF) ; suatu peptide yang
mendahului perbaikan pembuluh darah, Ca2+.
2. Membentuk sumbatan / plak sememtara pada dinding pembuluh darah yang
rusak
3. Mengurangi ukuran sumbatan / plak yang sudah terbentuk. Trombosit
mengandung filament aktin dan myosin bertugas memadatkan kumpulan
trombosit yang membentuk plak pada dinding pembuluh darah yang rusak.

Reaksi trombosit terjadi beberapa detik setelah sel endotel mengeluarkan hormonnya
sebagai tanda adanya kerusakan pembuluh darah. Trombosit akan menempel pada
dinding pembuluh darah yang rusak ( adesi ). Setiap trombosit yang datang akan
mengeluarkan enzim dan faktor kimia lain yang merangsang trombosit lain untuk adesi
sehingga terjadi agregasi. Agregasi terbentuk 15 detik setelah cedera. Agregasi
trombosit membentuk plak yang akan menutup kerusakan dinding pembuluh darah dan
plak dipadatkan oleh filamen – filamen dari trombosit sehingga kebocoran dinding
pembuluh darah tidak bertambah. Proses ini akan terus berlanjut dan bisa terjadi
trombosis sistemik. Proses fibrinolitik akan menghentikan reaksi trombosit . Reaksi
trombosit diikuti dengan aktivasi faktor pembekuan dimana fibrin akan mengikat plak
trombosit.
Aktivasi faktor pembekuan terjadi 30 detik kemudian setelah vase konstriksi dan
trombosit.

FAKTOR-FAKTOR PEMBEKUAN DARAH(1,2,3,4)

Faktor – faktor pembekuan terdiri atas:


I : fibrinogen , prekursor fibrin, sumber dari hepar, fungsi pada common
pathway.
II : protrombin, prekursor enzim proteolitik trombin, sumber dari hepar dengan
bantuan vitamin K, fungsi pada common pathway.
III : tromboplastin, aktivator lipoprotein jaringan pada protrombin, sumber dari
jaringan yang rusak, diaktifkan oleh trombosit, fungsi pada extrinsic pathway.
IV : kalsium, aktivator protrombin dan pembentukan fibrin, sumber dari tulang ,
diet, platelet, fungsi membantu proses pembekuan.

Untuk TUGASMAS 319


320
V : akselerator plasma globulin, faktor plasma mempercepat konversi protrombin
menjadi trombin, sumber dari hepar dan platelet, fungsi pada extrinsic dan instrinsic
pathway.
VII : akselerator konversi protrombin serum, mempercepat konversi protrombin,
sumber dari hepar dengan bantuan vitamin K, fungsi pada extrinsic pathway.
VIII : globulin antihemolitik, suatu faktor yang berkaitan dengan faktor III dan IX,
mengaktivasi protrombin, sumber dari platelet dan sel endotel , fungsi pada instrinsic
pathway.
IX : plasma tromboplastin / Faktor chrismas, sumber dari hepar dengan bantuan
vitamin K, fungsi pada instrinsic pathway.
X : faktor stuart Prower, akselerator konversi protrombin sumber dari hepar,
fungsi pada extrinsic dan instrinsic pathway.
XI Plasma tromboplastin antecedent(PTA), sumber dari hepar, fungsi pada
instrinsic pathway.
XII : Faktor Hageman, sumber dari hepar, fungsi pada instrinsic pathway.
XIII : faktor penstabil fibrin : faktor fletcher (prakalikrein) dan Faktor fiztgerald (
high molecule weight kininogen) , faktor pengaktivasi kontak sumber dari hepar dan
platelet, fungsi pada stabilisasi fibrin dan melambatkan fibrinolisis.

Penghentian pembekuan (fibrinolitik) (1,2,3,4)


Setelah pembentukan pembekuan,perlu diakhiri untuk mencegah trombotik
sistemik yang berlebihan. Sistem fibrinolitik merupakan rangkaian pemecahan fibrin
oleh plasmin (fibrinolisin) menjadi produk – produk degradasi fibrin yang akan
mengganggu aktivitas trombin, fungsi trombosit dan polimerisasi fibrin sehingga terjadi
hancurnya bekuan. Antikoagulan meliputi antitrombin II(ko-faktor heparin), protein C
dan protein S, proaktivator plasminogen, dengan adanya enzim-enzim seperti
streptokinase, stafilokinase, kinase jaringan serta faktor XIIa yang dikatalisasi menjadi
aktivator plasminogen.
Adanya enzim tambahan seperti urokinase, activator mengubah plasminogen ,suatu
protein plasma yang ada dalam fibrin ,menjadi plasmin

Untuk TUGASMAS 320


321

Bagan proses terjadinya pembekuan (2)

Instrinsic pathway

Prekalikrein
XII XIIa
HMW kininogen

XI XIa extrinsic pathway

IX IXa III
Ca 2+
VII VII
Fosfolipid
Ca2+ Ca2+
-------------------------------------------------------------------------------------------------------

X Xa

Ca2+
common pathway Fosfolipid

II IIa(trombin)

XIIIa XIII

Ca2+

Fibrinogen fibrin fibrin


monomer polimer

Untuk TUGASMAS 321


322

Evaluasi laboratorium (3)

Bleeding time ( waktu perdarahan) : mengetahui keadaan vaskular dan trombosit


(jumlah dan fungsi trombosit). Cara ini mudah dilakukan tapi tidak bisa membedakan
antara kelainan fungsi vaskuler (vasokonstriksi) dan trombosit. Normal 2-9,5 menit.
Memanjang pada trombositopenia, trombositopati, terapi koagulan, uremia, terapi
aspirin, penyakit von willebrand.
Thrombocyt Count (hitung trombosit ) : menilai konsentrasi trombosit dalam sirkulasi
darah. Normal 150.000 – 400.000/mm3,menurun pada ITP,keganasan,kelainan sumsum
tulang,obat-obatn seperti kemoterapi.Meningkat pada gangguan mieloproliferatif,
splenektomi.

Clotting time (watu pembekuan Lee White): menilai mekanisme koagulasi ,waktu yang
diperlukan untuk membentuk bekuan padat. Normal 6 – 12 menit. Tes ini relatif tidak
sensitif, memanjang pada defisiensi faktor koagulasi, terapi antikoagulan berlebihan dan
menurun pada terapi kortikosteroid.

Protrombin time : mengukur jalur pembekuan ekstrinsik dan jalur bersama(common


pathway). Normal 11-16 detik.Memanjang pada defisiensi faktor I, VII dan X, terapi
antikoagulan, penyakit hati berat dan defisiensi vitamin K.

Activated parsial tromboplastin time : mengukur jalur pembekuan instrinsik dan


common pathway. Normal 26- 42 detik. Memanjang pada defisiensi faktor I, VIII, IX,
X, XI dan XII ,vitamin K,penyakit hati dan terapi antikoagulan. Memendek pada
keganasan( kecuali pada hati).
International Normalized Ratio (INR) : perbandingan antara reagen yang digunakan
untuk mengukur nilai protombin time terhadap reagen internasional. Ini dibuat karena
luasnya kisaran variasi nilai protombin. INR berfungsi untuk memantau pasien pasien
yang mendapat terapi antikoagulan . Contoh: INR yang direkomendasikan untuk
pencegahan dan pengobatan trombosis vena atau emboli paru,stroke setelah infark
miokardium adalah 2,0 – 3,0.

Untuk TUGASMAS 322


323
Thrombin time (TT) mengukur pembentukan fibrin dan fibrinogen. Pemeriksaan
lanjutan jika PTT dan APTT abnormal. Nilai normal 10 – 13 detik. Memanjang pada
DIC, penyakit hati,terapi antikoagulan.

D-Dimer Test : mengukur pemecahan produk-produk bekuan fibrin plasma .Normal <
500, meningkat pada DIC,terapi trombolitik,trauma.

TERAPI KELAINAN HEMOSTASIS

Adanya kelainan hemostasis yang ditandai dengaan anamnesa, pemeriksaan fisik dan
nilai laboratorium yang abnormal perlu dievaluasi apakah memerlukan koreksi segera
sebelum operasi,selama operasi atau setelah operasi.

Kelainan vaskuler (3,7)

Kelainan vaskuler ditandai dengan perdarahan kulit dan sering mengenai membran
mukosa. Fungsi trombosit dan pembekuan normal. Perdarahan terbagi atas purpura
alergik dan non alergik. Purpura adalah perdarahan kulit terutama bagian mukosa
berukuran lebih dari 4 mm, datar,tidak pucat jika ditekan.
Purpura alergik/ anafilaktoid diduga akibat kerusakan imunologik pada vaskuler
ditandai dengan perdarahan petekie (ukuran perdarahan 1 – 4 mm). Contoh : purpura
Henoch- Schönlein (trias : purpura, gangguan saluran cerna dan arthritis) pada anak –
anak.
Purpura non alergik diawali dengan vaskulitis, peradangan pada vaskuler yang merusak
integritas dan mengakibatkan perdarahan. Contohnya: lupus erimatosus sistemik, dan
purpura senilis akibat penuaan.
Pengobatan kelainan vaskuler bersifat suportif dan menghindari obat – obatan yang
bersifat antikoagulan.

Kelainan trombosit

A. Kelainan jumlah trombosit (3)


Trombositosis merupakan peningkatan jumlah trombosit lebih dari 400.000/mm3.
Trombositosis primer , merupakan kelainan pembentukan trombosit ,proliferasi
abnormal megakariosit dengan jumlah trombosit bisa lebih dari 1 juta. Penyebab lain

Untuk TUGASMAS 323


324
yaitu gangguan mieloproliferasi seperti polisitemia vera dan leukemia granulositik
kronis. Terapi diberikan jika trombosit lebih dari 1 juta atau simptomatik dan ditujukan
untuk mengurangi aktivitas sumsum tulang seperti hidroksi urea. Penambahan
Anogrelid hidroklorida (agrylin) untuk mengurangi jumlah trombosit. Kadangkala
digunakan obat anti trombosit seperti aspirin dan antikoagulan.
Trombositosis sekunder terjadi akibat penyebab lain yang bersifat sementara setelah
stress, olahraga dan pelepasan trombosit dari tempat penyimpanan ( pengangkatan lien)
atau dapat menyertai keadaan peningkatan aktivitas sumsum tulang seperti pada
perdarahan, anemia hemolitik atau anemia defisiensi besi. Terapi umumnya tidak
diberikan.
Trombositopenia didefinisikan sebagai jumlah trombosit kurang dari 100.000/ mm3.
Penyebab bisa berupa :
- berkurangnya produksi seperti pada anemia aplastik, mielofibrosis, metastase
karsinoma yang menyebabkan sumsum tulang abnormal, defisiensi vitamin B12
dan asam folat, kemoterapi.
- penyimpanan berlebihan pada segala kondisi yang menyebabkan splenomegali
seperti sirhosis hepatik, limfoma dan penyakit mieoproliferatif.
- penghancuran trombosit yang berlebihan akibat adanya antibodi yang diinduksi
oleh obat yaitu heparin, quinidin dan emas atau adanya auto antibodi seperti
pada leukemia limfositik kronis, lupus erimatosus, purpura trombositopenik
idiopatik (ITP), HELLP syndrome, DHF.
Pengobatan ditujukan pada penyakit yang menyebabkan trombositopenia.
Transfusi trombosit diberikan jika terjadi perdarahan intrakranial (trombosit < 100.000
– 20.000/mm3), perdarahan aktif, ekimosis yang bertambah dan perdarahan yang
memanjang akibat trauma ringan ( trombosit < 50.000/mm3), petekie ( trombosit <
30.000/mm3).Transfusi juga diberikan sebagai profilaksis pada pasien dengan
trombositopenia tanpa tanda perdarahan namun jumlah trombosit < 10.000/mm3,
jumlah trombosit < 20.000/mm3 tapi memiliki resiko perdarahan (seperti ulkus peptic)
dan jumlah trombosit < 50.000/mm3 ,akan menjalani operasi atau prosedur diagnostik
invasif . Target yang diinginkan adalah trombosit > 100.000/mm3, atau sampai
perdarahan berhenti (1,3,4,5,6).
Setiap kantong Thrombocyt concentrate berisi 50 juta – 100 juta trombosit dalam 50 ml
plasma yang akan meningkatkan kadar trombosit dalam darah 5.000 – 10.000/ mm3
setelah 1 jam transfusi dan bertahan hingga 8 hari (1,5,6).

Untuk TUGASMAS 324


325
B. Kelainan fungsi trombosit(3,7)
Perdarahan yang memanjang dapat terjadi dimana jumlah trombosit normal tapi proses
reaksi trombosit dalam mekanisme pembekuan berubah. Ini disebut trombositopati.
Trombositopati ditandai dengan bleeding time yang memanjang. Penyebabnya banyak
misalnya penghanbatan proses agregasi trombosit dan reaksi pelepasan trombosit oleh
obat –obatan aspirin,indomethasin dan fenilbutazone. Penyakit multiple miyeloma dan
makroglobunemia mengeluarkan suatu protein plasma yang dapat mengganggu proses
adesi trombosit hingga polimerasi fibrin. Terapi trombositopati ditujukan pada
penyebab yang mendasari misalnya penghentian obat-obatan selama 7 hari. Transfusi
trombosit diberikan jika terjadi perdarahan aktif atau akan menjalani operasi dengan
perkiraan perdarahan banyak.

Kelainan faktor – faktor pembekuan

a. Kelainan herediter
Penyakit Hemofilia(3,7)
Hemofilia klasik atau tipe A merupakan gangguan koagulasi herediter akibat defisiensi
faktor VIII atau tidak adanya faktor antihemofilia VIII.Hemofilia B atau penyakit
Christmas merupakan gangguan koagulasi akibat defisiensi faktor IX. Keduanya
merupakan penyakit genetic terkait X resesif. Manifestasi berupa perdarahan sendi
(hemartrosis) sampai perdarahan spontan. Laboratorium menunjukkan jumlah dan
fungsi trombosit normal, PPT normal tapi APTT memanjang. Terapi yang diberikan
untuk mengatasi defisiensi faktor VIII adalah recombinate , kogenate atau monoclate- P.
Mononine merupakan terapi untuk faktor IX. DDAVP (1- deamino 8 -D- arginine
vasopressin) diberikan untuk hemofilia ringan hingga sedang.
Pada hemofilia B, pemberian konsentrat faktor IX untuk mencapai target kadar Faktor
IX 80 – 100% nilai normal. Bisa juga diberikan Fresh Frozen Plasma (FFP) bila defisit
faktor IX dan perdarahan minimal karena beresiko terjadi hiperkoaguasi. FFP banyak
mengandung faktor pembekuan yang lain. Mungkin perlu dipikirkan pemberian heparin
5000 unit setiap 8 jam.
Penyakit Von Willebrand(1,3,7)
Penyakit ini akibat penurunan glikoprotein, Von Willebrand Factor (VWF) yang
membawa protein untuk aktivitas faktor VIII. VWF juga berfungsi melapisi permukaan
membran pembuluh darah yang rusak untuk melekatkan adesi platelet. Tingkatan
penyakit mulai dari severe hingga mild.

Untuk TUGASMAS 325


326
Penyakit ini ditandai dengan perdarahan gusi akibat trauma ringan seperti menyikat
gigi, epistaksis dan menoragi. Laboratorium menunjukkan bleeding time memanjang
tapi bisa normal pada tipe mild walau jumlah platelet normal, APTT memanjang dan
PTT normal. Diagnostik pasti dengan tes risosetin (suatu antibiotik yang menyebabkan
agregasi trombosit).
Pengobatan diberikan bila timbul perdarahan atau profilaksis saat operasi dengan tujuan
meningkatkan VWF 80 – 100 U/dL, mengganti VWF abnormal dan meningkatkan
faktor VIII. Terapi berupa DDAVP (1- deamino 8 -D- arginine vasopressin) atau
desmopressin , dosis 0,3 µg/kg dalam 20 ml saline selama 30 menit intravena atau 1,5
mg/ ml intra nasal, diberikan selama 7 – 10 hari. Bila tidak ada respon , diberikan
cryoprecipitate (plasma yang mengandung faktor VIII). Setiap unitnya perkilogram
berat badan akan meningkatkan kadar dalam plasma 2%.Sehingga pemberiannya harus
dikalkulasi berdasarkan target yang diinginkan. Evaluasi pemberian setiap 8 jam
sehingga tercapai kadarnya 80 – 85 % dari nilai normal. Fresh Frozen Plasma (FFP)
bisa diberikan dengan target yang sama namun beresiko terjadi hiperkoaguasi karena
banyak mengandung faktor pembekuan yang lain.

Defisiensi faktor V, VII, X, XI,XII dan XIII(7).


Kelainan pembekuan darah akibat faktor – faktor ini bersifat autosomal resesif dan
jarang terjadi. Defisiensi faktor V ( Owren disease atau parahemofilia) jarang
menunjukkan gejala. Epistaksis dan perdarahan aktif terjadi setelah operasi bila kadar
dalam plasma 1 – 10%.Pengobatan multimodal berupa transfusi platelet, FFP,
kemoterapi dan imunosupresor.
Defisiensi faktor VII ditandai dengan Prothrombin time yang memanjang. Defisiensi
faktor VII sebenarnya lebih banyak karena perubahan mutasi genetik atau kekurangan
vitamin K daripada kelainan herediter. Tanda berupa menorrhagia dan metorrhagia atau
perdarahan mukosa hingga hemartosis bila kadar dalam plasma kurang dari 1%.
Perdarahan hebat atau meninggal saat lahir terjadi bila tidak ada faktor VII dalam
plasma. Terapi berupa FFP dan Prothrombin complex concentrate.
Defisiensi faktor X menimbulkan perdarahan hebat bila disertai kelainan faktor yang
lain. Banyak ditemukan pada penyakit amyloidosis. Pengobatan pasti belum jelas.
Terapi pertukaran plasma disertai immunoglobulin dan steroid terus – menerus
menunjukkan peningkatan faktor X dalam plasma. Namun untuk kontrol perdarahan
selama operasi membutuhkan rekombinasi dengan faktor VII.

Untuk TUGASMAS 326


327
Kelainan defisiensi faktor XI (hemofilia C atau Rosenthal syndrome) dicurigai pada
APTT yang memanjang , adanya perdarahan dengan penyebab tidak diketahui dan
riwayat keluarga. Pengobatan berupa FFP, antifibrinolitik, DDAVP (1- deamino 8 -D-
arginine vasopressin) atau desmopressin.
Defisiensi faktor XII bersifat asimptomatis atau tanpa gejala perdarahan namun APTT
memanjang

b.Kelainan faktor pembekuan non herediter


Kelainan ini berkaitan dengan penurunan produksi seperti pada penyakit hepar dan
defisiensi vitamin K atau adanya penigkatan konsumsi yang berlebihan pada DIC dan
fibrinolisis.
Karena hepar merupakan tempat utama sintesis faktor II, VII,IX dan X maka penyakit
hepar berat seperti sirhosis akan mengganggu proses koagulasi (1,3,4)
Vitamin K diperoleh dari diet dan sintesis bakteri pada usus. Kebutuhan perhari adalah
100 µg oral atau 10 µg perenteral( 5).Vitamin K membantu sintesis faktor II,VII,IX dan
X . Defisiensi bisa terjadi akibat malnutrisi , malabsorpsi atau gangguan penyerapan
karena obstruksi bile, dan sterisasi saluran cerna oleh antibiotik golongan cefalosporin,
cefoperazone dan moxalactam(3,7).
Pengobatan yang diberikan berupa FFP 10 ml/kgbb selama 1 jam pertama dilanjutkan 1
ml/kgbb /jam sampai PPT dan APTT menunjukkan nilai <1,5 x nilai kontrol yang
normal. Maksimal 20 ml/kgbb/hari(6). Vitamin K bisa diberikan secara oral,
intramuscular , intravena atau subkutan. Dosis intravena berupa 1- 5 mg setiap
pemberian dengan kecepatan 1 mg/menit dan onset tercapai pada 1 – 2 jam. Evaluasi
dilakukan tiap 8 jam.Bahaya pemberian intravena berupa reaksi anafilaktik. Dosis
intramuskuler sama dengan intravena hanya onsetnya lebih lama ,3-4 jam dan beresiko
terjadi perdarahan dan hematom pada tempat suntikan. Dosis secara oral 2 – 25 mg /hari
dengan onset 6 – 12 jam. Pemberian secara oral tidak efektif karena absorpsi lama( 7).

Penggunaan obat antikoagulan


Terapi tromboemboli biasanya menggunakan heparin dan koumarin. Keduanya
menyebabkan koagulasi memanjang. Heparin menyebabkan PPT,APTT,TT,CT
memanjang(PPT sangat memanjang dibandingkan APTT) namun fibrinogen normal (1).
Efek heparin akan hilang dalam 1,5 – 4 jam kemudian sejak terapi dihentikan(4).
Koumarin , contoh : warfarin, menyebabkan kadar protrhombin, faktor VII, IX dan X
,semua yang disintesis oleh hepar menurun hingga 50 % dalam 12 jam setelah

Untuk TUGASMAS 327


328
pemberian. Laboratorium menunjukkan PPT, APTT,TT memanjang, fibrinogen normal
dimana APTT sangat memanjang. Warfarin bersifat kompetitif dengan vitamin K dalam
proses pembekuan. Penghentian pemberian warfarin akan mengembalikan kadar faktor
pembekuan normal dalam 1 – 3 hari. (4).
Pengobatan terapi antikoagulan tergantung INR, bila INR 5- 9, diberikan vit k 0,5 – 1
mg intravena atau vit K 1-2,5 mg subkutan. Bila INR 9-20 dosis vit k 2,5 mg intravena
atau 5 mg subkutan. Bila INR lebih dari 20 diberikan terapi FFP dan vitamin K 2,5 mg
intravena atau 5 mg subkutan (7).

Disseminated Intravascular Coagulation (DIC)


Suatu kelainan koagulasi dimana terjadi proses pembentukan trombin-fibrin difus yang
menyumbat mikrosirkulasi atau terjadi perdarahan difus.Trombin mengaktivasi
fibrinogen menjadi fibrin, merangsang agregasi trombosit,aktivasi faktor V dan VII
.Selain itu melepas aktivator plasminogen menjadi plasmin dan plasmin akan
memecahkan fibrin. Aktivitas trombin yang berlebihan mengakibatkan terjadinya
trombositopenia, berkurangnya fibrinogen dan faktor pembekuan dan fibrinolisis
DIC bukan merupakan penyakit tapi akibat proses penyakit lain yang menyebabkan
perubahan pada komponen sistem vaskular. Penyebabnya bisa karena adanya
endotoksin pada syok septik atau kerusakan jaringan yang berlebihan sehingga
produksi tromboplastin jaringan meningkat contohnya pada solusio plasenta, luka bakar
,tumor, luka remuk. Laboratorium menunjukkan PPT, APTT ,TT memanjang , jumlah
trombosit dan fibrinogen menurun.Terapi ditujukan pada penyakit dasarnya dan
penggantiaan faktor- faktor plasma dengan FFP, cryoprecipitate,Trombosit atau whole
blood. Terapi heparin dosis rendah sebagai antikoagulan dan antitrombin, diberikan bila
terapi dengan pengganti koagulasi gagal(1,3).

Kelainan Fibrinolitik
Proses fibrinolitik secara normal menghentikan proses pembekuan. Bila berlebihan
dapat menimbulkan perdarahan. Antifibrinolitik yaitu Asam tranexamat dan epsilon-
aminocaproic acid (EACA) menghambat proses plasminogen menjadi plasmin sehingga
pemecahan fibrin berhenti. Asam tranexamat 6 – 10 kali lebih kuat dari EACA, dosis
awal 10-15 mg /kgbb diikuti dengan 1 mg/kgbb/jam (infus) sampai perdarahan berhenti.
(1,7).

Untuk TUGASMAS 328


329
PUSTAKA
1. Morgan G.E,Jr.,Mikhail M.S, Murray M.J: Hepatic physiology & anesthesia. In : Clinical anesthesiology. 4th ed.Lange
Medical Books/McGraw-Hill.2006
2. Martini F.H: Blood. In : Fundamentals of anatomy & physiology. 7th ed,vol.2 . Pearson Education,inc.2006.
3. Wilson L.M: Gangguan koagulasi. In: patosifiologi: konsep klinis proses – proses penyakit. edisi 6, volume 1. EGC. 2003.
4. Guyton A.C, Hall J.E: hemostasis and blood coagulation.In:Textbook of medical physiology. 11th ed.Elsevier
Saunders.2006.
5. Marino P.L: Transfusion practices in critical care. In: ICU book.Lippicott Williams&Wilkins.2007.
6. Pedoman Pelaksanaan transfusi darah dan komponen darah edisi III. rumah sakit umum daerah dokter sutomo Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya.2001
7. Spiess B. D: Coagulation issues.In : Perioperative transfusion medicine. 2nd edition . Lippicot Williams & Wilkins.2006

LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK


Achmad Wahib

BATASAN
Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah penyakit otoimun yang terjadi karena
produksi antibodi terhadap komponen inti sel tubuh sendiri yang berkaitan dengan
manifestasi klinik yang sangat luas pada satu atau beberapa organ tubuh, dan ditandai
oleh inflamasi luas pada pembuluh darah dan jaringan ikat, bersifat episodik diselangi
episode remisi.

PATOFISIOLOGI
Tidak diketahui etiologi pasti. Ada faktor keluarga yang kuat terutama pada
keluarga dekat. Resiko meningkat 25–50% pada kembar identik dan 5% pada kembar
dizygotic, menunjukkan kaitannya dengan faktor genetik. Fakta bahwa sebagian kasus
bersifat sporadis tanpa diketahui faktor predisposisi genetiknya, menunjukkan faktor
lingkungan juga berpengaruh. Infeksi dapat menginduksi respon imun spesifik berupa
molecular mimicry yang mengacau regulasi sistem imun. Faktor lingkungan yang
mencetuskan LES, bisa dilihat pada tabel berikut :
Tabel 1. : Faktor Lingkungan yang mungkin berperan dalam patogenesis Lupus
Eritematous Sistemik (dikutip dari Ruddy: Kelley's Textbook of
Rheumatology, 6th ed 2001

Untuk TUGASMAS 329


330
 Definite
Ultraviolet B light
 Probable
Hormon sex
rasio penderita wanita : pria = 9:1; rasio penderita menarche : menopause = 3:1
 Possible
Faktor diet
Alfalfa sprouts dan sprouting foods yang mengandung L-canavanine; Pristane atau bahan yang
sama; Diet tinggi saturated fats
Faktor Infeksi
DNA bakteri; Human retroviruses; Endotoksin, lipopolisakarida bakteri
Faktor paparan dengan obat tertentu :
Hidralazin; Prokainamid; Isoniazid; Hidantoin; Klorpromazin; Methyldopa; D-Penicillamine;
Minoksiklin; Antibodi anti-TNF; Interferon-

GEJALA KLINIK/SYMPTOM
 Kulit.
Sebesar 2 sampai 3% lupus discoid terjadi pada usia dibawah 15 tahun. Sekitar 7%
Lupus diskoid akan menjadi LES dalam waktu 5 tahun, sehingga perlu dimonitor
secara rutin Hasil pemeriksan laboratorium menunjukkan adanya antibodi
antinuclear (ANA) yang disertai peningkatan kadar IgG yang tinggi dan lekopeni
ringan.
 Serositis (pleuritis dan perikarditis).
Gejala klinisnya berupa nyeri waktu inspirasi dan pemeriksaan fisik dan radiologis
menunjukkan efusi pleura atau efusi parikardial.

 Ginjal
Pada sekitar 2/3 dari anak dan remaja LES akan timbul gejala lupus nefritis. Lupus
nefritis akan diderita sekitar 90% anak dalam tahun pertama terdiagnosanya LES.
Berdasarkan klasifikasi WHO, urutan jenis lupus nefritis yang terjadi pada anak
berdasarkan prevalensinya adalah : (1) Klas IV, diffuse proliferative
glomerulonephritis (DPGN) sebesar 40%-50%; (2) Klas II, mesangial nephritis
(MN) sebesar 15%-20%; (3) Klas III, focal proliferative (FP) sebesar 10%-15%;
dan (4) Klas V, membranous pada > 20%.
 Hematologi
Kelainan hematologi yang sering terjadi adalah limfopenia, anemia,
trombositopenia, dan lekopenia.
 Pneumonitis interstitialis
Merupakan hasil infiltrasi limfosit. Kelainan ini sulit dikenali dan sering tidak dapat
diidentifikasi. Biasanya terdiagnosa setelah mencapai tahap lanjut.

Untuk TUGASMAS 330


331
 Susunan Saraf Pusat (SSP)
Gejala SSP bervariasi mulai dari disfungsi serebral global dengan kelumpuhan dan
kejang sampai gejala fokal seperti nyeri kepala dan kehilangan memori. Diagnosa
lupus SSP ini membutuhkan evaluasi untuk mengeksklusi ganguan psikososial
reaktif, infeksi, dan metabolik. Trombosis vena serebralis bisanya terkait dengan
antibodi antifosfolipid. Bila diagnosa lupus serebralis sudah diduga, konfirmasi
dengan CT Scan perlu dilakukan.
 Arthritis
Dapat terjadi pada lebih dari 90% anak dengan LES. Umumnya simetris, terjadi
pada beberapa sendi besar maupun kecil. Biasanya sangat responsif terhadap terapi
dibandingkan dengan kelainan organ yang lain pada LES. Berbeda dengan JRA,
arthritis LES umumnya sangat nyeri, dan nyeri ini tak proporsional dengan hasil
pemeriksaan fisik sendi. Pemeriksaan radiologis menunjukkan osteopeni tanpa
adanya perubahan pada tulang sendi. Anak dengan JRA polyarticular yang beberapa
tahun kemudian dapat menjadi LES.
 Fenomena Raynaud
Ditandai oleh keadaan pucat, disusul oleh sianosis, eritema dan kembali hangat.
Terjadi karena disposisi kompleks imun di endotelium pembuluh darah dan aktivasi
komplemen lokal.

CARA PEMERIKSAAN/DIAGNOSIS
Tidak ada gejala atau tanda-tanda tunggal yang cukup untuk menegakkan diagnosa. Bila
seorang anak diduga LES, pemeriksaan yang perlu dilakukan adalah: darah lengkap dan
hitung jenis, trombosit, LED, ANA, urinalisis, serta pemeriksaan laboratorium
tambahan lainnya seperti sel LE, antibodi anti-ds DNA, dan sebagainya. Mendiagnosa
LES pada anak bisa memakai kriteria ARA, seperti berikut :
Kriteria
 malar rash
 discoid rash
 fotosensitivitas
 ulkus oral dan nasofaring
 artritis non erosif pada 2 atau lebih dengan ciri-ciri bengkak atau efusi
 serositis (pleuritis atau perikarditis atau efusi perikardial)
 kelainan ginjal (proteinuria (> 0.5 g/d atau > 3+) atau adanya cellular casts
 kelainan neurologis, kejang tanpa sebab lain, atau psikosa tanpa sebab lain
Untuk TUGASMAS 331
332
 kelainan hematologi :
 anemia hemolitik
lekopenia (< 40 per µL); limfopenia (< 1500 per µL); trombositopenia (< 1000 per
µL) yang bukan karena obat-obatan
 kelainan imunologis
sel LE positif; antibodi anti-ds DNA /anti-Sm positif; antinuclear antibodies (ANA).
Titer ANA abnormal yang bukan karena obat yang menginduksi peningkatan ANA.
Interpretasi: Bila 4 kriteria atau lebih didapatkan, diagnosa LES bisa ditegakkan
dengan spesifitas 98% dan sensitivitas 97%.

KOMPLIKASI
Komplikasi LES pada anak meliputi hipertensi (41%), gangguan pertumbuhan (38%),
gangguan paru-paru kronik (31%), abnormalitas mata (31%), kerusakan ginjal
permanen (25%), gejala neuropsikiatri (22%), kerusakan muskuloskeleta (9%) dan
gangguan fungsi gonad (3%).

PENATALAKSANAAN
Prinsip penatalaksanaan
Jenis penatalaksanaan ditentukan oleh beratnya penyakit. Luas dan jenis gangguan
organ harus ditentukan secara hati-hati. Dasar terapi adalah kelainan organ yang sudah
terjadi. Adanya infeksi dan proses penyakit bisa dipantau dari pemeriksaan serologis.
Monitoring dan evaluasi bisa dilakukan dengan parameter laboratorium yang
dihubungkan dengan aktivitas penyakit.
Lupus diskoid
Terapi standar adalah fotoproteksi, anti-malaria dan steroid topikal. Krim luocinonid 5%
lebih efektif dibadingkan krim hidrokrortison 1%. Terapi dengan hidroksiklorokuin
efektif pada 48% pasien dan acitrenin efektif terhadap 50% pasien.
Serositis lupus (pleuritis, perikarditis)
Standar terapi adalah NSAIDs (dengan pengawasan ketat terhadap gangguan ginjal),
antimalaria dan kadang-kadang diperlukan steroid dosis rendah.
Arthritis lupus
Untuk keluhan muskuloskeletal, standar terapi adalah NSAIDs dengan pengawasan
ketat terhadap gangguan ginjal dan antimalaria. Sedangkan untuk keluhan myalgia dan
gejala depresi diberikan serotonin reuptake inhibitor antidepresan (amitriptilin).
Miositis lupus

Untuk TUGASMAS 332


333
Standar terapi adalah kortikosteroid dosis tinggi (dimulai dengan prednison dosis 1-2
mg/kg/hari dalam dosis terbagi, bila kadar komplemen meningkat mencapai normal,
dosis di tapering off secara hati-hati dalam 2-3 tahun sampai mencapai dosis efektif
terendah. Metode lain yang digunakan untuk mencegah efek samping pemberian harian
adalah dengan cara pemberian prednison dosis alternate yang lebih tinggi (5 mg/kg/hari,
tak lebih 150-250 mg), metrotreksat atau azathioprine.
Fenomena Raynaud
Standar terapinya adalah calcium channel blockers, misalnya nifedipin; alfa 1
adrenergic-receptor antagonist dan nitrat, misalnya isosorbid mononitrat.
Lupus nefritis
Tidak ada terapi khusus pada klas I dari klasifikasi WHO. Lupus nefritis kelas II
(mesangial) mempunyai prognosis yang baik dan membutuhkan terapi minimal.
Peningkatan proteinuria harus diwaspadai karena menggambarkan perubahan status
penyakit menjadi lebih parah. Lupus nefritis kelas III (focal proliferative
Nefritis/FPGN) memerlukan terapi yang sama agresifnya dengan DPGN, khususnya
bila ada lesi focal necrotizing. Pada Lupus nefritis kelas IV (DPGN) kombinasi
kortikosteroid dengan siklofosfamid intravena ternyata lebih baik dibandingkan bila
hanya dengan prednison. Siklofosfamid intravena telah digunakan secara luas baik
untuk DPGN maupun bentuk lain dari lupus nefritis. Azatioprin telah terbukti
memperbaiki outcome jangka panjang untuk tipe DPGN. Prednison dimulai dengan
dosis tinggi harian selama 1 bulan, bila kadar komplemen meningkat mencapai normal,
dosis di tapering off secara hati-hati selama 4-6 bulan. Siklofosfamid intravena
diberikan setiap bulan, setelah 10-14 hari pemberian, diperiksa kadar lekositnya. Dosis
siklofosfamid selanjutnya akan dinaikkan atau diturunkn tergantung pada jumlah
lekositnya (normalnya 3.000-4.000/ml). Pada Lupus nefritis kelas V regimen terapi
yang biasa dipakai adalah (1). monoterapi dengan kortikosteroid. (2). terapi kombinasi
kortikosteroid dengan siklosporin A, (3). sikofosfamid, azathioprine,atau klorambusil.
Proteinuria sering bisa diturunkan dengan ACE inhibitor. Pada Lupus nefritis kelas V
tahap lanjut. pilihan terapinya adalah dialisis dan transplantasi renal.
Gangguan hematologis
Untuk trombositopeni, terapi yang dipertimbangkan pada kelainan ini adalah
kortikosteroid, imunoglobulin intravena, anti D intravena, vinblastin, danazol dan
splenektomi. Sedangkan untuk anemi hemolitik, terapi yang dipertimbangkan adalah
kortikosteroid, siklfosfamid intravena, danazol dan splenektomi.

Untuk TUGASMAS 333


334
Pneumonitis interstitialis lupus
Obat yang digunakan pada kasus ini adalah kortikosteroid dan siklfosfamid intravena.
Vaskulitis lupus dengan keterlibatan organ penting
Obat yang digunakan pada kasus ini adalah kortikosteroid dan siklfosfamid intravena.
Penurunan densitas mineral berhubungan dengan dosis dan lamanya pengobatan
steroid. Penggunaan dosis rendah harian kortikosteroid dengan dosis tinggi
intermitten intravena disertai suplementasi vitamin D dan kalsium bisa mempertahankan
densitas mineral tulang. Fraktur patologis jarang terjadi pada anak SLE. Resiko fraktur
bisa dicegah dengan intake kalsium dan program exercise yang lebih baik. Melalui
program alternate, efek samping steroid pada pertumbuhan bisa dikurangi. Sebelum
menetapkan efek obat, penyebab endokrin seperti tiroiditis dan defisiensi hormon
pertumbuhan harus dieksklusi. Nekrosis avaskuler bisa terjadi pada 10-15% pasien
LES anak yang mendapat steroid dosis tinggi dan jangka panjang.
Tabel 2. : Obat-obat yang sering digunakan pada penderita LES
Antimalaria
Hidroksiklorokin 3-7 mg/kg/hari PO sebagai garam sulfat (maksimal 400 mg/hari)
Kortiko-steroid
Prednison
Dosis harian(1 mg/kg/hari); prednison dosis alternate yang lebih tinggi (5 mg/kg/hari,
tak lebih 150-250 mg); prednison dosis rendah harian (0.5 mg/kg)/hari yg digunakan
bersama methylprednisolone dosis tinggi intermitten (30 mg/kg/dosis, maksimum mg)
per minggu
Obat imuno-supresif
Siklofosfamid
500-750 mg/m2 IV 3 kali sehari selama 3 minggu. maksimal 1 g/m2. Harus diberikan
IV dengan infus terpasang, dan dimonitor. Monitor lekosit pada 8-14 hari mengikuti
setiap dosis (lekosit dimaintenance > 2000-3000/mm3)
Azathioprine
1-3 mg/kg/hari PO 4 kali sehari
Non-steroidal anti-inflam-matory drugs (NSAIDs)
Naproxen
7-20 mg/kg/hari PO dibagi 2-3 dosis maksimal 500-1000 mg/hari
Tolmetin
15-30 mg/kg/hari PO dibagi 2-3 dosis maksimal 1200-1800 mg/hari
Diclofenac
< 12 tahun : tak dianjurkan
> 12 tahun : 2-3 mg/kg/hari PO digagi 2 dosis maksimal 100-200 mg/hari
Suplemen Kalsium dan vitamin D
Kalsium karbonat
< 6 bulan : 360 mg/hari
6-12 bulan : 540 mg/hari
1-10 bulan : 800 mg/hari
11-18 bulan : 1200 mg/hari
Calcifediol
< 30 kilogram : 20 mcg PO 3 kali/minggu
> 30 kilogram : 50 mcg PO 3 kali/minggu
Anti-hipertensi
Nifedipin
0.25-0.5 mg/kg/dosis PO dosis awal, tak lebih dari 10 mg, diulang tiap 4-8 jam.

Untuk TUGASMAS 334


335
Enalapril
0.1 mg/kg/hari PO 4 kali sehari atau 2 kali sehari bisa ditingkatkan bila perlu,
maksimum 0.5 mg/kg/hari
Propranolol
0.5-1 mg/kg/hari PO dibagi 2-3 dosis, dapat ditingkatkan bertahap dalam 3-7 hari
dengan dosis biasa 1-5 mg/kg/hari
PROGNOSIS
LES memiliki angka survival untuk masa 10 tahun sebesar 90%. Penyebab kematian
dapat langsung akibat penyakit lupus, yaitu karena gagal ginjal, hipertensi maligna,
kerusakan SSP, perikarditis, sitopenia autoimun. Data dari beberapa penelitian tahun
1950-1960, menunjukkan 5-year survival rates sebesar 17.5%-69%. Sedangkan tahun
1980-1990, 5-year survival rates sebesar 83%-93%. Beberapa peneliti melaporkan
bahwa 76%-85% pasien LES dapat hidup selama 10 tahun sebesar 88% dari pasien
mengalami sedikitnya cacat dalam beberapa organ tubuhnya secara jangka panjang dan
menetap.

DAFTAR PUSTAKA
1. Klein-Gitteman MS, Miller ML. Systemic Lupus Erythematosus. In : Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB.
Textbook of Pediatrics. 17th Ed Philadelphia, WB Saunders 2004. pp. 809-812.
2. Lehman TJ. A practical guide to systemic lupus erythematosus. Pediatr Clin North Am 1995; 42 : 1223–38.
3. Boumpas DT, Austin HA, Fessler BJ. Systemic lupus erythematosus : Renal, neuropsychiatric, cardiovascular,
pulmonary and hematologic disease. Ann Intern Med 1995; 122 : 940–50.
4. Wallace DJ. Antilamarial agents and lupus. Rheum Dis Clin North Am 1994; 20 : 243-263.
5. Bansal VK, Beto JA. Treatment of lupus nephritis: a meta-analysis of clinical trials. Am J Kidney Dis 1997; 29 : 193-
199.

TEKANAN DARAH, NADI, DAN ALIRAN


James A.Di Nardo dan Vincent J. Collins

Tekanan darah adalah tekanan yang dimiliki ( didesak ) oleh darah pada dinding
pembuluh dimana ia mengalir. Untuk mempelajari tekanan darah, sebuah cannula dapat
dimasukkan pada arteri besar dalam tubuh seperti carotis, dan dihubungkan dengan
transducer, tekanan direkam secara elektronis. Sebuah catatan perekaman tekanan darah
menunjukkan empat tipe aliran / gelombang yang merepresentasikan variasi normal
pada tekanan dalam satu periode 1 menit atau lebih.
33. Konstruksi Cardiac
34. Efek Mekanis dari Respirasi. Perubahan tekanan didalam thorax direfleksikan
dalam pembuluh dan cardiac output. Selama inspirasi, cardiac rate meningkat
dan seluruh tekanan arterial meningkat secara perlahan.
35. Perubahan Vasomotor Tone

Untuk TUGASMAS 335


336
Dalam sistem syaraf pusat, fluktuasi pada aktivitas efferent vagal synchron
dengan respirasi,juga menjadi penyebab perubahan pada heart rate dan tekanan
darah. Selama inspirasi,vagal tone menurun dan meningkat selama ekspirasi. Hal
yang sama dengan variasi siklus dalam aktivitas dan area brain stem
mempengaruhi efferent autonomic sampai system cardiovascular. Interaksi
antara respirator “pacemaker” dan pusat cardiovascular merubah output otonomi
dan mempengaruhi heart rate serta tekanan darah. Variasi tekanan darah
menyebabkan adanya kesamaan periode sebagaimana pada respirasi. Gelombang
tekanan darah yang meningkat dinamakan Traube-Hering dan terjadi pada rate 5
– 10 per menit.
36. Perubahan pada Volume splenic (Limpa)
Limpa berkontraksi dan berelaksasi secara teratur. Kontraksi terjadi rata – rata
setiap 50 detik, yang meningkatkan volume darah dan yang sebaliknya
meningkatkan tekanan.
Analisa dan pembesaran pada masing – masing denyut tekanan darah berkait
dengan cardiac action yang menunjukkan tekanan atau yang terjadi pada tingkat
kontraksi cardiac dan menunjukkan total energi jantung dan suatu tekanan diastolic
atau minimum yang terjadi selama relaksasi cardiac dan merefleksikan integritas
pembuluh darah tersebut . Ini merupakan kesimpulan dari kekuatan yang bekerja
berlawanan dengan kekuatan cardiac.
Tekanan nadi ( Pulse Pressure ) merupakan perbedaan antara tekanan sistolik
dan diastolik. Ini menunjukkan suatu kerja yang efisien dari jantung dan
menunjukkan suatu tingkatan dimana cardiac action dapat mengatasi / menguasai
resistensi peripher. Ini menunjukkan dampak dari tekanan yang meningkat dan hal
diatas yang dibutuhkan untuk menyertakan tekanan diastolic, membuka katup aorta,
meningkatkan energi potensial pada dinding arteri, dan untuk memompa darah ke
dalam kapiler.

SKEMA DARI TEKANAN DARAH


Tekanan darah menunjukkan suatu gradien penurunan dari jantung dan aorta
melalui arteri dan arterioles. Pada arterioles ada penurunan tajam dalam tekanan diikuti
oleh penurunan yang lebih gradual (bertahap) dalam capillary bed. Tekanan terus
menurun pada venula hingga pada vena besar dalam dada dan pada permulaan / pintu
masuk vena besar ke dalam auricle kanan, tekanan negatif atau sub atmospheric terjadi
(Fig.9-1).

Untuk TUGASMAS 336


337

TENAGA GERAK ( DYNAMICS ) DARI ALIRAN PULSATILE – TEKANAN


Dengan aliran pulsatile (denyut) yang disebabkan oleh denyut tekanan
intermiten pada suatu system yang ketat (vissereolstic arterial tree). Gelombang
kecepatan mengalir tertinggal dibandingkan gelombang tekanan berjalan (driving
pressure wave). Gelombang tekanan mendahului gelombang kecepatan mengalir dalam
arteri peripheral dan dapat dipalpasi sebagai pulse (denyut). Pada awalnya kontraksi
ventricular memberikan kekuatan pengarah (driving force) pada columna darah dalam
aorta ascending, yang dipercepat untuk menggerakkan keatas gelombang tekanan ke
dalam arterial tree, akan tetapi pada titik ini gelombang tekanan semakin memiliki
kecepatan yang lebih besar daripada aliran darah. Darah terus bergerak sepanjang ada
perbedaan tekanan dinamis, akan tetapi berhenti apabila perbedaannya adalah nol, yaitu
ketika ada perhentian penyemburan (ejection) ventricular.
Sering meningkatnya frekuensi pada kontraksi ventricular, perjalanan pulse
pressure menjadi kontinyu dan alirannya mendekati steady state. Musculature dari
arterial dan arteriolar tree juga memberikan kontribusi aliran yang tetap (steady).

FISIOLOGI DARI ALIRAN TEKANAN PULSATILE


Ventricel kiri dan arterial tree berpasangan. Pembentukan tekanan darah dan
denyut arterial merupakan konsekwensi langsung interaksi antara contractile ventrikel
kiri dan viscoelastisitas arterial tree. Arterial tree mempengaruhi kinerja ventricular
melalui perubahan dalam tahanan input aortic (aortic input impedance). Hal yang sama
tekanan darah arterial secara langsung berhubungan dengan volume yang dikeluarkan
oleh ventrikel kiri kedalam arterial tree.

Aortic Input Impedance / Tahanan Input Aortic


Aortic Input Impedance didefinisikan sebagai rasio tekanan pulsatile dan bentuk
gelombang aliran yang diperoleh melalui silkus cardiac dan ditunjukkan sebagai
frequensi modulasi (gelombang frekuensi). Analisa Fourier memberi peluang tekanan
atau bentuk gelombang aliran yang didefinisikan sebagai suatu rangkaian unik dari
gelombang sinus atau harmoni. Masing – masing harmoni memiliki suatu modus
(amplitudo), phase angle (waktu relatif tekanan dan gelombang aliran) dan frekwensi.
Rasio dari harmoni tekanan terhadap harmoni aliran pada frekwensi yang diberikan
didefinisikan sebagai impedance / tahanan. Suatu spectrum tahanan input aortic
merupakan suatu gambaran grafik dari rasio ini diatas range frekwensi yang seharusnya

Untuk TUGASMAS 337


338
.dari tipe analisis ini, untuk spectrum tahanan yang diberikan, bentuk gelombang
tekanan akan secara unik ditentukan oleh bentuk gelombang tekanan aortic, hanya satu
pola aliran yang dikeluarkan dari bilik kiri kedalam aorta.
Tahanan input aortic juga dapat didefinisikan sebagai kumpulan factor eksternal
yang melawan pengeluaran / penyemburan ventricular. Sehingga ia dapat menjadi suatu
ukuran setelah pengeluaran yang siap pakai. Tahanan input aortic ditentukan baik oleh
komponen pulsatil (densitas darah, diameter dan kompliance aorta,dan tekanan yang
ditampakkan dan gelombang aliran yang dihasilkan dalam arteri peripheral tree) dan
komponen non-pulsatile (resistensi peripheral). Normalnya, tahanan frekwensi-
dependent adalah 5-10% dari total tahanan input.
Contoh spectrum tahanan input aorta diilustrasikan pada figure 9-2.
Karakteristik tahanan Zo menggambarkan bentuk property elastik dari arterial tree.
Refleksi gelombang menekan bagian besar pengaruh pada frekwensi rendah (< 2
Hz),dan oleh karenanya, pada frekwensi yang lebih tinggi tahanan input mendekati
karakteristik tahanan.Input tahanan pada frekwensi 0 merupakan komponen non-
pulsatile yang secara umum dinamakan resistensi periferal dan terdiri dari tekanan arteri
(arteriolar tone) dan kekentalan darah.

Mean Arterial Blood Pressure


Rata-rata Tekanan Darah Arterial merupakan tekanan rata-rata yang ada dalam
arterial tree selama satu siklus cardiac. Ini merupakan komponen non-pulsatile dari
tekanan darah dimana komponen pulsatile (sistolik dan diastolik) terlapisi. Rata-rata
tekanan darah arteri ditentukan oleh volume darah yang dikeluarkan oleh ventrikel kiri
(stroke volume) dan resistensi peripheral ( tahanan pada frekwensi 0 ).
Sehingga untuk stroke volume yang diberikan, rata-rata tekanan arterial akan
meningkat sebagaimana resistensi meningkat.Setelah adanya peningkatan dalam stroke
volume, besarnya rata-rata tekanan arterial meningkat bergantung pada resistensi
peripheral sedangkan angka dimana peningkatan itu berkembang pada kompliance aorta
(Z0).

Pulse Pressure
Pulse pressure adalah perbedaan antara tekanan sistolik dan diastolik. Utamanya
hal ini ditentukan oleh volume stroke dan karakteristik tahanan. Ketika pemenuhan
aorta rendah (Z0 tinggi), pengiriman aliran pulsatile akan menciptakan tekanan denyut
yang luas. Hal ini analog dengan pengiriman aliran pulsatile ke system yang sangat

Untuk TUGASMAS 338


339
penuh (Z0 terbatas) akan menghasilkan pembangkitan suatu tekanan konstan, yang
bukan merupakan tekanan denyut.
Normalnya perbedaan antara tekanan sistolik dan rata-rata tekanan akan lebih
besar dibandingkan dengan perbedaan antara mean dan tekanan diastolik. Secara tipikal
80 % stroke volume yang dikeluarkan dilibatkan dalam distensi aorta selama systole,
dimana hanya 20 % yang mengalir ke peripher selama fase yang sama ini.

Tekanan Darah Systolic


Tekanan darah systolic merupakan puncak dari fase pengeluaran kontraksi aorta.
Pengeluaran dimulai ketika tekanan bilik kiri melebihi tekanan diastolic aorta.
Pengeluaran berhenti ketika stroke volume dikeluarkan dan volume akhir-sistolik bilik
kiri dicapai. Katup aortic menutup ketika tekanan ventricular kiri turun dibawah tekanan
aortic.
Tekanan sistolik merupakan tekanan puncak selama fase pengeluaran. Hal ini
utamanya ditentukan oleh stroke volume dan properti viscoelastic dari aorta (Z0). Akan
tetapi, faktor lain juga memberikan kontribusi pada peningkatan tekanan sistolik.
Resistensi peripheral yang meningkat dapat meningkatkan mean tekanan darah arterial.
Hal ini sebaliknya merubah faktor-faktor yang mempengaruhi aliran darah pulsatile
aortic. Peningkatan mean tekanan arterial menyebabkan adanya peningkatan pada
tekanan dinding arterial. Hal ini sebaliknya meningkatkan Z0 yang meningkatkan
kecepatan gelombang arterial pulse.
Untuk suatu jumlah aliran yang ditentukan , puncak dari lintasan arterial
(systole) akan lebih besar pada seseorang dengan mengurangi pemenuhan aortic (Z0
meningkat) dari kasus primer atau dari resistensi peripheral yang meningkat. Z0 yang
meningkat menyebabkan adanya waktu gelombang refleksi dari peripher untuk
berubah.Pada orang muda normal waktu gelombang refleksi dari peripher sebagaimana
tekanan yang diperbesar selama diastole. Dengan meningkatnya umur, Z0 meningkat
dan kecepatan gelombang refleksi meningkat sebagaimana ia memperbesar selama
systole. Konsep ini digambarkan dalam Fig. 9-3.
Peningkatan secara cepat dalam kontraksi ventricular diperlukan untuk
mempertahankan aliran dihadapan seperti peningkatan tahanan penyemburan. Elevasi
kronis dalam tahanan akan menstimulasi perkembangan concentric ventricular
hypertrophy dan peningkatan pada massa ventricular.

Tekanan Darah Diastolic

Untuk TUGASMAS 339


340
Tekanan Darah Diastolic adalah titik nadir dari tekanan darah aortic, yang terjadi
setelah katub aortic menutup tetapi sebelum permulaan fase pengeluaran berikutnya.
Tekanan darah diastolic akan ditentukan oleh end volume diastolic aortic dan Z0.
Tekanan diastolic dapat diharapkan untuk dikurangi pada situasi dimana aliran
peripheral tinggi. Secara klinis situasi ini eksis dengan keberadaan resistensi peripheral
yang rendah, dengan aliran systemic sampai vena (systemic to venous shunt) dan
dengan insufisiensi aortic.
Tekanan diastolic akan berkurang pada situasi dimana terdapat pengisolasian
elevasi Z0 dan pengurangan kompliance aortic. Pada keadaan ini aliran peripheral akan
ditingkatkan dengan tekanan penggerak yang tinggi dalam aorta selama diastole.
Tekanan diastolic juga akan berkurang dengan bradicardi sebisa mungkin untuk
penyeimbang pada awal systole berikutnya.

Kecepatan dan Aliran Darah


Kecepatan Darah adalah kecepatan rata – rata tetesan darah, sedangkan
kecepatan gelombang aliran darah adalah kecepatan gerakan dalam darah
ditransmisikan (disalurkan).Paling tidak dua detak jantung dibutuhkan untuk
menggerakkan setetes darah dari katup aorta ke aorta distal yang mana untuk 0,1 detik
yang dibutuhkan oleh gelombang aliran untuk memindahkan jarak ini. Kecepatan darah
rata-rata adalah 0,5m/detik, sedangkan kecepatan gelombang aliran adalah 5 m/detik.
Sebagaimana gelombang denyut, memindahkan system arterial merefleksikan
gelombang dari peripher yang mempengaruhi ukuran bentuk gelombang arterial. Efek
dari refleksi gelombang pada aliran dan kecepatan merupakan lawan dari efek pada
tekanan. Tekanan arterial puncak dan tekanan denyut meningkat sebagaimana tekanan
arterial dicontohkan lebih distal pada arterial tree. Sebaliknya, amplitudo aliran dan
kecepatan menunjukkan pengurangan sebagaimana mereka dicontohkan lebih distal.
Tiga tipe umum dari pola gelombang yang terefleksi dalam aorta yang naik telah
digambarkan (Fig. 9-5). Pola tipe A dikenal pada individu yang lebih tua. Pada pola ini
gelombang direfleksikan dari bagian yang lebih rendah dari tubuh terjadi sebelum
penutupan katup aorta. Sebagaimana didiskusikan sebelumnya hal ini menghasilkan
penambahan tekanan sistolik. Pola tipe C ini dikenal pada anak – anak. Disini
gelombang refleksi terjadi setelah penutupan katup aorta (selama diastole). Pola tipe B
merupakan pola menengah dalam karakternya dengan gelombang refleksi yang terjadi
selama penutupan katup aortic.

Untuk TUGASMAS 340


341
Ventriculoarterial Coupling
Dalam suatu system sirkulasi ideal kerja ventricular stroke dimaximalkan karena
elastansi ventricular dan arterial dipertemukan. Tidaklah mengejutkan,elastansi arterial
dan ventricular sama bagian keluaran yang efektif adalah 50 %. Ketika tahanan dan
aliran diketahui, kondisi ideal ketika nilai maximal untuk aliran yang harmonis terjadi
pada nilai tahanan minimal. Yang tidak menguntungkan, pada manusia bertemunya
aliran dan tahanan terjadi hanya selama masa anak-anak. Ketika ini terjadi Z0 meningkat
dan aliran maximal terjadi ketika tahanan aortic tinggi. Sebagaimana didiskusikan
dimuka hasil ini untuk menambah pemuatan dan kebutuhan terhadap ventricular
concentric hypertrophy adalah untuk menjaga pertemuan system ventricular dan arterial.

VARIASI NORMAL DALAM TEKANAN DARAH


Tidak ada peraturan yang kaku yang berkaitan dengan sesuatu factor variable
sebagaimana tekanan darah systolic. Dalam semua kemungkinan, tidak ada kesamaan
antara 2 gerakan yang berurutan / bertalian. Tekanan systolic yang umum pada orang
dewasa mempunyai range antara 105 sampai 145 mmHg. Tekanan diastolic normal
mempunyai range antara 25 sampai 50 mmHg lebih rendah dari systolic. Tekanan
systolic dibawah 100 mmHg atau diatas 150 mmHg dan tekanan denyut dibawah 25
mmHg atau diatas 50 mmHg mungkin digolongkan sebagai abnormal. Tekanan
diastolic 110 mmHg atau lebih hampir selalu besifat patologis.
12. Umur : Tekanan pada anak-anak bergantung secara umum pada tinggi dan berat.Ada
peningkatan yang cepat dari tekanan systolic pada usia pubertas. Tekanan systolic
untuk beberapa jangka umur adalah sebagai berikut : Umur 20 – 35 adalah 123
mmHg; 36 – 50 adalah 128 mmHg; 51 – 65 adalah 133 mmHg. Usia tua biasanya
dihubungkan dengan tekanan yang lebih tinggi, ini berkaitan dengan hilangnya
kegemukan, penyusutan jaringan umum dan peningkatan tekanan dari system
vascular.
13. Sex / Jenis Kelamin : Pada wanita,tekanan kurang lebih 20 mmHg lebih sedikit
dibanding pria. Tekanan pada anak-anak nampaknya tidak terpengaruh jenis
kelamin.
14. Habitus : Individu yang gemuk memiliki tekanan systolic yang lebih tinggi apabila
dibandingkan dengan individu normal.
15. Kelembaban : Temperatur tinggi dan kelembaban atmosfir tinggi secara material
lebih rendah baik pada tekanan systolic dan diastolic. Peningkatan yang berlebihan
pada temperatur meningkatkan tekanan systolic dan menurunkan tekanan diastolic.

Untuk TUGASMAS 341


342
16. Ketinggian : Hal ini secara temporer meningkatkan tekanan systolic dan diastolic.
Sejumlah aktivitas pada suatu tempat yang tinggi meningkatkan tekanan lebih tinggi
dibanding jumlah yang sama yang diberikan pada tempat yang lebih rendah.
17. Postur : Postur mempengaruhi utamanya tekanan diastolic. Ia berada pada posisi
paling tinggi saat berdiri dan paling rendah saat berbaring. Tekanan sistolik juga
berubah tapi dengan angka-angka yang lebih sedikit.Disini, tekanan denyut pada
posisi berdiri lebih rendah dibanding berbaring.
18. Pengaruh Psikis : Pengeluaran emosi mungkin bisa menyebabkan marked
meningkat atau profound menurun tekanannya, kontemplasi aktivitas akan
menyebabkan adanya peningkatan yang signifikan pada tekanan systolic.
19. Variasi Regional : Bagian yang berbeda dari tubuh menunjukkan variasinya, pada
kaki biasanya lebih tinggi dibanding pada lengan. Tekanan pada lengan mempunyai
sedikit variasi, yang kiri lebih tinggi.
20. Stress Fisik : Pengaruh transitory yang meningkatkan tekanan termasuk pencernaan
dan aktivitas.
21. Nutrisi : Kalori tinggi dan lemak jenuh yang didapatkan serta hypercholesterolemia
seluruhnya meningkatkan tekanan darah.

TEKANAN DARAH NEONATAL


Tekanan darah arterial diperoleh dengan cara ultrasound Doppler pada bayi
(noenatus) mature tanpa seleksi (berat kelahiran 2,6 – 3,9 Kg). Metode ultrasound
memiliki kesamaan dengan nilai yang diperoleh dengan pengukuran intra aortic
langsung pada bayi kecil dan baru lahir ketika mengukur pada brachial arteri. Tekanan
darah diukur selama 3 – 5 menit, 10 dan 30 menit kehidupan dan tidak terus menerus
(berjangka) selama 24 –48 jam berikutnya (table 9 – 1).Penemuan berikut ini penting
sifatnya, tekanan lengan kiri dan kanan identik atau bervariasi kurang dari 2 mmHg.
Tekanan yang lebih rendah dibanding tekanan darah normal ditemukan pada bayi yang
dilahirkan dengan operasi Caesar, sehingga recovery dilakukan dari intrauterine
asphyxia, yang diekspos dengan terapi maternal anti hypertensi dan dimana ibunya
mendapatkan thiopental dalam 4 menit pengiriman.

PENJAGAAN TEKANAN
Faktor – faktor berikut termasuk didalamnya :
3. Memompa kerja jantung
4. Resistensi periheral

Untuk TUGASMAS 342


343
5. Volume darah
6. Kekentalan darah
7. Elastisitas arteri.

PULSE
Pulse adalah perubahan tekanan yang dihasilkan oleh penyemburan ventricular
dan disebarkan sebagai suatu gelombang melalui arterial tree ke periphery. Darah yang
dikeluarkan / disemburkan tidak berpindah pada jarak ini akan tetapi hanya
mentransmisikan energi geraknya pada kuantitas darah yang berdekatan. Partikel darah
merubah posisi mereka dengan perhatian pada dinding pembuluh, akan tetapi dengan
memperhatikan satu sama lain perubahan posisi relatif kecil. Kecepatan darah dalam
aorta sebagai misal, pada 0,5 m/dt, sedangkan gelombang tekanan denyut, bergerak
pada angka kecepatan 5 m/dt.
Studi tentang bentuk gelombang denyut disempurnakan dengan sphygmography
( Fig 9-6). Gelombang menunjukkan cabang naik yang dinamakan gelombang anacrotic
serta cabang turun atau gelombang catacrotic. Pada cabang turun derajat dicrotic diikuti
dengan gelombang dicrotic. Hal ini disebabkan adanya penutupan katub aorta, dan
gelombang dicrotic merupakan gerak refleksi. Puncak dari gelombang berhubungan
dengan tekanan systolic, dan titik terendah berdubungan dengan tekanan diastolic.

VARIASI
Perubahan denyut tertentu yang kadang dicatat hendaknya bisa digambarkan.
Sehingga dengan pernafasan thoracic yang dipertinggi, denyut mungkin bisa menjadi
tidak terasa selama inspirasi. Ini merupakan denyut paraxodic karena biasanya selama
inspirasi biasa denyut lebih penuh karena peningkatan tekanan. Pulsus Alternans adalah
perubahan dari gelombang denyut kuat dengan yang lemah terlepas dari aktivitas
pernafasan / respiratory.

Gelombang Pulse Peripheral


Penjejakan gelombang denyut jari tangan dapat dikerjakan dengan menggunakan
inflatable cult 2,5 cm dengan luas yang dipakai kurang lebih sama dengan jam tengah
dan di pompa dengan tekanan yang diinginkan. Penjejakan maximum diobservasi
dibawah tingkat tekanan darah diastolic. Perubahan tekanan dalam cuff kemudian
ditransduksikan dan dicatat. Aspek penting dari gelombang denyut adalah derajat
dicrotic ( Fig. 9-5, 9-6).

Untuk TUGASMAS 343


344
Dengan dasar penampakan dari derajat dicrotic, vasculograms (kontur gelombang
denyut) dapat dibagi dalam empat kelas:
Kelas I-A _ distinc incisura diperhatikan pada lekuk bawah gelombang denyut.
Kelas II _ Tidak ada incisura yang berkembang akan tetapi garis turun menjadi
horisontal
Kelas III _ Tidak ada derajat yang diperhatikan akan tetapi perubahan yang terjadi
dengan baik dari sudut turun diobservasi
Kelas IV _ Tidak ada peristiwa dari satu derajatpun yang nampak.
Gelombang normal menunjukkan suatu derajat dierotic (Kelas I). Variasi
meliputi umur dan jenis kelamin dengan peningkatan umur pada laki-laki. Jumlah
“normal” menurun sampai kurang dari 50 % pada usia 50 tahun dan kurang dari 10 %
pada usia 65–75 tahun.
Wanita memiliki lebih sedikit gelombang normal (hanya 5 %) daripada pria.
Gelombang normal dapat dilihat dalam 28 % populasi pria dibawah 40 tahun. Hal ini
mungkin mengindikasikan tingkat vasospasm yang lebih tinggi pada wanita.
Banyak wanita memiliki kelas III vasculograms.
Dengan adanya penyakit arteri coroner ada kehilangan yang progressif dari
dicrotic incisura. Tekanan darah yang tinggi diasosiasikan dengan hilangnya incisura
kecuali perubahan yang baik dalam lekuk gelombang dicrotic.
Kontur gelombang denyut mewakili interaksi dari tiga variable prinsip:
7. Distensibilitas dinding pembuluh
8. Kecepatan denyut
9. Fungsi cardiac, yang termasuk didalamnya kekuatan tergo, bagian penyemburan
(ejection fraction) dan volume penyemburan untuk cardiac output.
Tinggi dari derajat dicrotic pada prinsipnya ditentukan oleh resistensi vascular sistemik
dan aliran diastolic dari kekuatan denyut, sebagaimana pada cardiac output.

WAKTU SIRKULASI
Waktu bagi sebuah partikel di dalam vascular tree untuk berpindah dari satu titik
ke titik yang lain disebut waktu sirkulasi. Waktu sirkulasi total adalah waktu yang
diperlukan oleh sebuah partikel untuk berpindah melalui sirkulasi paru-paru dan
sistemik dan kembali titik awal semula. Berbagai metode dipergunakan untuk mengukur
waktu sirkulasi.Dengan menggunakan fluorescein waktu sirkulasi total, sebagai contoh
dari lengan ke lengan, kurang lebih 21 detik dan dengan histamin, dimana titik akhirnya

Untuk TUGASMAS 344


345
adalah wajah, waktu sirkulasi total adalah kurang lebih 24 detik. Dengan menggunakan
garam radioaktif, rata-rata waktu sirkulasi dari lengan ke jantung 6,6 detik.
Waktu sirkulasi paru-paru diukur dengan Radium C14. Pada jarak dari serambi
ke brachial artery, rata-rata waktu adalah 11,0 detik.Pengukuran dengan thorotrast
terhadap jarak dari bilik kanan ke bilik kiri memberikan nilai kurang lebih 1,7 sampai
2,0 detik. Ini yang dianggap sebagai waktu sirkulasi paru-paru.

ALIRAN DARAH
Kecepatan
Mean linear kecepatan aliran darah dalam aorta manusia adalah 0,5 m/dt dan
dalam kapiler 0,5 mm/dt. Sebagaimana vascular bed yang melebar, kecepatan menurun,
kecepatan meningkat pada bagian vena dan cepat pada vena besar ( Fig. 9-7, 9-8).

Distribusi dari Volume Darah


Volume darah yang eksis pada bagian system vascular yang berbeda telah dapat
diperkirakan. Pada arterial atau system tekanan tinggi jumlah muatan cukup sedikit dan
jumlahnya kurang lebih 8 % dan arterioles kurang lebih 1 %.
Sistem vena sistemik memuat sebagian besar volume darah 75 % atau lebih.
Ruangan jantung secara bersama-sama memuat 400 ml darah atau kurang lebih 8 % dari
volume.

Volume Aliran Darah (Fig.9-8)


Volume darah yang mengalir melalui organ atau bagian ditentukan oleh
beberapa metode meliputi thermostomuhr, plethysmograph dan calorimeter.
Plethysmograph secara khusus bermanfaat untuk merekam perubahan volume
ekstremitas.
Tangan atau bagian lain diletakkan pada ruang hampa udara yang menghubungkannya
dengan tranducer tekanan yang sensitive. Adanya peningkatan atau penurunan akan
direkam melalui saluran instrument elektronik pilihan.
Volume bagian dipengaruhi oleh detak jantung, respirasi, perubahan vasomotor,
area potongan silang vascular bed dan resistensi arteriolar. Volume aliran darah per
menit pada jaringan representatif di catat (Tabel 9-3).
Sebagian besar cardiac output memberikan suplay massa jaringan yang relatif
minor yang secara kolektif dapat dinamakan “Visceral mass” yaitu renal hepato
portal,system syaraf pusat dan jaringan cardiac. Ini mewakili 70 % cardiac output.

Untuk TUGASMAS 345


346
Aliran darah renal luar biasa tinggi dan hal ini mungkin merefleksikan fungsi ekskresi
dan pembersihan dari ginjal. Myocardium memiliki jumlah aliran darah yang kecil akan
tetapi dalam hubungannya dengan massa yang dimilikinya menunjukkan angka aliran
yang tinggi. Aliran ini mungkin lebih tinggi jika tidak terbatasi dengan fakta bahwa
myocardial perfusin utamanya terjadi selama diastole dan sulit terjadi selam systole.
Aliran kecil dalam hubungannya dengan kepentingannya direfleksiakn dalam ekstrasi
yang tinggi.

Ekstraksi Oksigen Normal


Kuantitas oksigen yang ditunjukkan pada seluruh jaringan tubuh kurang lebih
1000 ml/menit atau 19 ml/100ml darah.Rata-rata perbedaan oksigen A-V atau rata-rata
nilai ekstraksi oksigen kurang lebih 4-6 ml oksigen per 100ml/menit, sehingga muatan
oksigen darah vena kurang lebih 14 ml/100 ml darah ( Fig.9-9).
Masing-masing tubuh memiliki nilai ekstraksi. Sebagai syarat perbedaan
oksigen A-V, myocardium menunjukkan nilai ekstraksi yang tertinggi. Kurang lebih 14
ml oksigen dipindahkan oleh otot jantung setiap 100 ml darah yang melewatinya. Ini
menunjukkan 70 % ekstraksi. Dengan nilai tinggi semacam ini, permintaan yang
meningkat dari jantung dapat dipenuhi dengan hanya meningkatkan aliran. Pada sisi
lain, ginjal memiliki satu nilai ekstraksi yang paling kecil dengan hanya 2,0 ml/100 ml
aliran darah. Perbedaan oksigen A-V liver adalah 10 ml dan pada otak kurang lebih 6,0
ml/100ml dari sirkulasi darah (Tabel 9-4)
Otot resting skeletal merupakan massa tubuh yang utama, kurang lebih 50 %.
Akan tetapi ia hanya memperoleh 16 % cardiac output dan ekstraksi kurang lebih 30 %
oksigen ditunjukkannya, yang mana hal itu kurang lebih 6,6 ml/100 ml aliran darah. Ia
membutuhkan 20 % jumlah total oksigen tubuh.

Karakteristik Imunologik dari inhibitor factor VIII

BAGIAN DARI ANTIBODI


Dengan pengecualian yang jarang, inhibitor yang berkembang pada pasien hemofilia
setelah terpapar oleh faktor VIII adalah antibodi Immunoglobulin G (IgG). Didominasi
oleh subklas IgG4 ketika assay neutralisasi inhibitor menggunakan anti-heavy-chain
antisera (Hoyer, Gawryl and de la Fuente, 1984). Subklas ini hanya 4% total IgG pada
plasma normal, tetapi sering sekali meningkat pada populasi dari antibodi yang
berkembang setelah imunisasi kronik (Aalberse, Van der Gaag dan Van Leeuwen,

Untuk TUGASMAS 346


347
1983) Antibodi IgG4 tidak berpasangan dengan komplemen, yang mana dapat
menjelaskan kenapa pasien ini tidak mengalami serum sickness atau manifestasi lain
dari penyakit imun kompleks. Dengan immunoglobuting, reaktifitas antifaktor VIII
IgG4 dan IgG1 telah dideteksi pada kebanyakan inhibitor plasma (Fulcher, Mahoney and
Zimmerman, 1987). Antibodi antifaktor VIII hemofili memiliki rantai κ ringan yang
predominan pada beberapa studi neutralisasi (Hoyer et al., 1984).
Dua hal yang merupakan karakteristik properti dari antibodi faktor VIII adalah
inhibisi yang relatif lambat dari aktifitas faktor VIII dan ketidakmampuan untuk
membuat immunopresipitat. Gambaran ini tampaknya disebabkan oleh konsentrasi yang
sangat rendah dari antigen pada plasma normal (0,2 µg/ml: Fulcher and Zimmerman ,
1982), dan sedikit jumlah dari IgG antifaktor VIII pada plasma inhiitor (Lazarchick and
Hoyer, 1978), dan properti dari antibodi subklas IgG4(Van Der Zec, Van Swieten and
………,1986).

EPITOPES FAKTOR VIII


Tempat ikatan inhibitor dengan faktor VIII pertama kali diketahui melalui studi
immunoblotting. Baik plasma inhibitor hemofili dan autoantibodi bereaksi dengan Mr
44 000 A2 domain dari rantai berat faktor VIII, Mr 72 000 dari trombin bereaksi dengan
rantai ringan atau keduanya (Fulcher et al. 1985). Lokalisasi yang lebih tepat
menggunakan rekombinan fragmen faktor VIII yang mengandung deletion yang
berkarakteristik jelas. Studi ini telah menunjukkan bahwa kebanyakan antibodi
antifaktor VIII bereaksi dengan segmen yang kecil pada porsi amino terminal dari
domain A2 (Scandela et al., 1989; Ware et al.,1992) atau dengan porsi carboxy terminal
dari domain rantai ringan C2 (Scandela et al., 1995).
Studi imunoprecipitin yang lebih baru lagi, menggunakan 35S-labelled fragmen
A2 menunjukkan bahwa beberapa inhibitor plasma bereaksi dengan domain faktor VIII
meskipun assay immunoblot tidak mendeteksi antibodi (Scandela et al., 1992). Mirip
juga, assay immunoprecipitasi mendekteksi reaktivitas fragmen C2 lebih sering jika
dengan immunoblotting (Scandela, Martingly and Prescott, 1993). Dengan assay yang
leih sensitif ini, jelas bahwa kebanyakan inhibitor plasma mengandung baik antibodi
rantai berat dan rantai ringan dari antifaktor VIII (Hoyer dan Scandela, 1994). Ketika
studi neutralisasi telah dilakukan dengan fragmen faktor VIII, reaktivitas anti A2 dan
anti C2 dketahui bertanggung jawab atas kebanyakan, jika tidak bisa dibilang semua,
aktivitas inhibitor (Scandela, Martingly and Prescott, 1993).
Meskipun perbedaan dari sekuen asam amino dari manusia dan porcine faktor
VIII cukup konservatif yang mana fungsi prokoagulan dapat dibandingkan (Lollar,
Parker and Tracy, 1988), hal ini dapat mempengaruhi bagian dari immunologi.
Differensiasi dari reaktivitas dengan kebanyakan inhibitor antibodi (Brettler et al., 1989;
Fiks-Sigaud et al., 1993; Lozier et al., 1993; Morrison, Ludlam and Kessler, 1993) telah
membuat menjadi mungkin sebuah terapi yang efektif untuk banyak pasien inhibitor
(liat kebawah). Ini juga telah digunakan untuk mengkarakteristik tempat berikatan
antifaktor VIII menggunakan molekul rekombinan faktor VIII yang mana “putative
inhibitor epitope” telah digantikan oleh sekuen porcine faktor VIII yang homolog
(Lubin et al., 1994; Healey et al., 1995). Molekul hyrid dengan residu faktor porcine
387-604 disubtitusi untuk sekuen manusia yang homolog memiliki aktivtas faktor VIII
yang tidak diiinaktivasi dengan inhibitor antifaktor VIII A2 domain spesifik, tetapi di
netralisasi oleh antibodi anti C2 (Lubin et al., 1994). Studi yang selanjutnya
menegaskan lokalisasi dan menunjukkan bahwa sekuen faktor VIII arginine484 -
isoleusin508 mengandung determinan mayor A2 (Healey et al., 1995). Ketika potensi
dari pendekatan ini tergantung dari jumlah variabilitas pada ikatan antifaktor VIII
terhadap epitope mayor, mungkin juga menyiapkan molekul dengan jumlah subtitusi
yang sedikit dari asam amino yang tidak diinaktivasi oleh kebanyakan inhibitor.

Untuk TUGASMAS 347


348
2 tehnik lainnya juga telah digunakan untuk mengidentifikasi epitope inhibitor.
Sebuah perpustakaan λgt11 telah digunakan untuk mengekspresikan fragmen faktor
VIII acak yang kecil dengan sebuah inhibitor yang mengidentifikasi sebuah epitop 25-
amino-acid-heavy-chain terhadap daerah lekukan trombin Arg172 (Lubhan et al., 1989).
Peptida faktor VIII sintetik juga telah digunakan untuk memetakan reaktivitas antibodi.
Pada suatu studi sebuah antibodi telah diidentifikasi berikatan dengan sekuen faktor
VIII yang berdekatan dengan lekukan trombin Arg172 (Foster et al., 1988). Selain itu
tiga inhibitor anti C2 berikatan dengan sebuah peptida yang mengandung asam amino
2303-2332 (Scandela et al., 1995).

MEKANISME DARI INHIBISI FAKTOR VIII


Studi terkini telah mulai mengidentifikasi mekanisme yang manakah antibodi inhibitor
berpengaruh terhadap faktor fungsi VIII. Awalnya, ditunjukkan bahwa inhibitor anti C2
mencegah ikatan faktor VIII dengan fosfolipid, meenunjukkan bahwa mereka terlibat
dalam inkorporasi yang tergantung membran dari faktor VIII didalam faktor komplek
Xase intrisik (Arai, Scandela and Hoyer, 1989). Hal ini diverifikasi pada studi yang
mengidentifikasi sebuah overlap dari epitop yang dikenali oleh antibodi anti C2 (residu
asam amino 2248-2312) dengan daerah ikatan fosfolipid faktor VIII (residu asam amino
2303-2332; Scandela et al ., 1995).
Lollar dan teman2 kerjanya telah berhasil mendemonstrasikan bahwa grup besar
dari antibodi antifaktor VIII lainnya, yang mana berikatan dengan daerah A2, tidak
mencegah pengumpulan dari faktor X, faktor VIII dan faktor IXa pada permukaan
fosfolipid, tetapi mereka mengeblok fungsi dari pengumpulan komplek faktor Xase
(Lollar et al., 1994). Pemahaman yang inkomplit tentang bagaimana faktor VIIIa
mengakselerasi pemisahan faktor VIII telah membatasi definisi yang lebih jauh dari
mekanisme yang mana inhibitor anti A2 mempengaruhi kompleks.

Diagnosis laboratorium dari inhibitor


DIAGNOSIS LABORATORIUM DARI INHIBITOR FAKTOR VIII
Perkembangan dari sebuah inhibitor oleh seorang pasien hemofili biasanya pertama kali
dicurigai ketika ada kegagalan untuk merespon terhadap terapi pengganti, sedangkan
autoantibodi dari faktor VIII biasanya dikenali melalui evaluasi dari pasien yang
memiliki onset perdarahan saat dewasa dan APTT yang panjang pada skrinning. Pada
kedua kasus, test laboratorium tambahan diperlukan untuk mengkonfirmasi kehadiran
dari inhibitor, untuk menentukan spesifitas dan kuantitasnya.
Inaktivasi kinetik lambat dari faktor VIII oleh inhibitor harus diingat ketika
mengevaluasi pasien yang dicurigai memiliki inhibitor (Biggs et al.,1972). Untuk alasan
ini, skrining inhibitor biasanya dilakukan dengan menginkubasi jumlah pasien dan
plasma normal yang sama 2 jam sebelum pengukuran APTT. Bagaimanapun juga, assay
ini tidak cukup sensitif untuk mendeteksi beberapa inhibitor faktor VIII dan telah
disarankan bahwa assestment rutin dari pasien hemofili harus dilakukan dengan
peningkatan rasio plasma pasien : plasma normal sampai 4:1 untuk meningkatkan
sensitifitasnya (Kasper 1984). Jika efek inhibitor diidentifikasi oleh skrining assay
seperti itu untuk pasien hemofili, spesifitas dari reaksi jarang dipertanyakan. Bukan
merupakan suatu kasus, bila ketika sebuah inhibitor dicurigai pada pasien non hemofili.
Untuk pasien ini, penting untuk menentukan level faktor pembekuan dan assay ini
dilakukan dengan beberapa dilusi plasma yang berbeda (Kasper, 1991). Assay untuk
faktor yang hilang akan menunjukkan defisiensi yang konsisten pada semua dilusi jika
inhibitor spesifik untuk sebuah faktor pembekuan, sedangkan defisiensi variabel
(mengurangi inaktivasi dengan dilusi) dapat dilihat pada assay faktor pembekuan
lainnya karena inhibitor dapat mempengaruhi assay substrat plasma. Sebagai antibodi
antifosfolipid, biasanya disebut antikoagulan tipe lupus, juga memperpanjang APTT

Untuk TUGASMAS 348


349
dan mungkin mempengaruhi level penampakan faktor koagulan yang di test di assay
APTT satu tahap, test juga harus dilakukan yang secara spesifik dapat mengidentifikasi
antikoagulan tipe lupus (Hoyer, 1994).
Assay inhibitor kuantitatif juga penting untuk mengarahkan terapi dan
mendeteksi perubahan dalam level inhibitor. Mereka berdasar pada pengukuran jumlah
dari faktor VII inaktif ketika plasma pasien diinkubasi dengan sumber faktor VIII, dan
metode Bethesda sekarang digunakan oleh kebanyakan laboratorium (Kasper et al.,
1975)
Pada assay ini, plasma pasien, didilusi ataupun tidak dengan buffer imidazole,
ditambahkan ke volume yang sama dari normal plasma yang ditampung. Setelah
inkubasi selama 2 jam pada 37°C, nilai faktor VIII untuk campuran dibandingkan
dengan kontrol dimana buffer menggantikan plasma pasien. Bethesda Unit (BU)
didefinisikan sebagai dilusi plasma yang menyebabkan reduksi aktivitas dari residu
faktor VIII samapi 50% dibanding nilai kontrol (Kasper et al., 1975; Kasper, 1991;
Kessler, 1991). Pada assay lain yang sering digunakan, metoda Oxford yang baru,
konsentrat faktor VIII adalah sumber dari faktor VIII, inkubasinya selama 4 jam pada
suhu 37°C, dan satu unit inhibitor menginaktivasi 0,5 unit faktor VIII (Rizza and Biggs,
1973). Satu BU ekuivalen dengan 1,21 New Oxford Unit (Austen et al., 1982).
Meskipun nilai assay Bethesda yang mengkalkulasi dilusi plasma berbeda
konsisten terhadap kebanyakan pasien inhibitor hemofili A, beberapa inhibitor memiliki
kinetik inhibitor yang komplek yang dianggap sebagai tipe II, sebaliknya dengan pola
inaktivasi second –order tipe I yang linear (Gawryl and Hoyer, 1982). Hal ini dapat
mengarah kepada kebingungan di laboratorium koagulasi, untuk inaktivasi faktor VIII
oleh antibodi tipe II memberikan penampakan titer inhibitor yang berbeda untuk setiap
dilusi plasma yang diperiksa. Kebanyakan investigator melaporkan bahwa titer yang
didapatkan dengan dilusi plasma yang memberikan hasil paling mendekati 50%
aktivitas residual (Kasper, 1989, 1991). Kebanyakan autoantibodi memiliki kinetik
inaktivasi tipe II dan, kecuali karena titer yang sangat tinggi, ada level faktor VIII residu
rendah di plasma pasien. Pasien yang mengalami perdarahan memiliki level aktivitas 2-
5% dari normal, meskipun titer inhibitor yang terhitung adalah 10-500 BU. Pada pasien
ini, plasma faktorVIII yang dapat dideteksi tidak mengeksklusi inhibitor faktor VIII
autoantibodi bertiter tinggi.
Meskipun assay Bethesda digunakan untuk mendeteksi dan menghitung
inhibitor faktor VIII pada kebanyakan laboratorium, metoda ini memiliki limitasi,
karena tidak menjamin kontrol pH selama 2 jam inkubasi (Verbruggen et al., `1995).
Telah disarankan menggunakan assay yang dimodifikasi menggunakan sample buffer
yang lebih baik dapat meningkatkan diskriminasi antara sampel positif dan negatif
dengan mengurangi variabel, inaktivasi faktor VII non imunologik level rendah
(Verbruggen et al., 1995).
Assay Bethesda, terbatas……………. Dengan plasma normal yang
dikumpulkan ebagai sumber faktor VIII. Titer inhibitor mungkin berubah ketika umber
faktor VIII lain digunakan, dan biasanya lebih rendah ketikakonentrat faktor VIII
intermediate-purity disubstitusikan dan meningkat bila menggunakan faktor VIII
monoklonal antibodi-purified. Littlewood et al menyatakan bahwa mungkin ini
dikarenakan adanya fosfolipid di konsentrat intermediate-purity, karena banyak
inhibitor bereaksi dengan faktor VIII di dekat ikatan fosfolipidnya. Alternatifnya, lebih
banyak faktor VIII non-functional di dalam konsentrat yang kurang murni……………..
menetralisasi beberapa dari antifaktor VIII. Hal ini tidak tampak menjadi suatu
perhatian untuk konsentrat faktor VIII rekombinan, karena memiliki bagian yang dapat
diperbandingka ketika disubstitusi untuk plasma normal pada assay Bethesda (Hilman-
Wiseman, Vitale and Lusher, 1994). Assay Bethesda dapat juga digunakan untuk
mendeterminasi perluasan dari reaktivitas silang dari inhibitor dengan porcine faktor

Untuk TUGASMAS 349


350
VIII (Kasper, 1991; Kessler, 1991) dan respon klinis ke perawatan porcine faktor VIII
konsisten terhadap prediksi yang dibuat dari titewr ini (White, 1994).
Antibodi antifaktor VIII dapat juga dideteksi dengan enzime-linked
immunosorbentassay (ELISA ; mondorf et al.,1994; Regnault and Stolz, 1994). Pada
kebanyakan kasus, nilai assay ini dibandingkan dengan level inhibitor, tetapi ada plasma
yang memiliki hasil ELISA yang sangat positif meskipun assay Bethesda negatif.
Plasma ini dapat mengandung antibodi yang terikat ke faktor VIII tetapi tidak mencegah
fungsi prokoagulannya. Hal ini tidak terlalu mengejutkan karena banyak seali antibodi
monoklonal dari faktor VIII bukan merupakan suatu inhibitor (Goodall and Meyer,
1985). Ketika tipe antibodi inidapat mempengaruhi persistensi faktor VIII di sirkulasi
setelah transfusi, tidak ada dokumentasi yag jelas tentang efek itu.

PROPERTI IMUNOLOGIK DAN DIAGNOSIS LABORATORIUM DARI


INHIBITOR FAKTOR IX
Seperti inhibitor faktor VIII, kebanyakan inhibitor faktor IX adalah IgG (Briet, Reisner
and Robert, 1984). Beberapa diantaranya memiliki heterogenitas terbatas rantai berat
maupun ringan (Pike et al., 1972 ; Giddings et al., 1983) tetapi kebanyakan adalah
poliklonal (Orstavik, 1981; Orstavik and Miller, 1988). Mereka dideteksi dengan cara
yang sama seperti inhibitor faktor VIII, menggunakan assay berdasar APTT untuk
skrining dan metode assay Bethesda yang dimodifikasi untuk menghitung level
inhibitor. Bagaimanapun juga, kontras dengan inhibitor faktor VIII kinetik, inaktivasi
faktor IX cepat, dengan kehilangan yang tiba2 dari aktivitas prokoagulan dan tidak ada
kehilangan lebih lanjut saat inkubasi.
Spesifisitas epitope dari inhibitor faktor IX belum ditentukan pada kasus
manapun. Assay ikaatan menunjukkan bahwa tiga inhibitor bereaksi dengan faktor IX
antara residu asam amino 155 dan 176, tetapi peptida yang pendek (8-mer) peptida
sintetik tidak menetralisir aktivitas inhibitor (takahashi et al., 1994). Studi lebih lanjut
dibutuhkan untuk menentukan jangkauan spesifisitas epitop dan mekanisme oleh
inhibitor antibodi mana yang menginaktivasi fungsi faktor IX.

Manajemen Inhibitor
MANAJEMEN PASIEN DENGAN INHIBITOR FAKTOR IX
Ada 2 manajemen yang jelas, yang harus dilakukan terhadap pasien inhibitor (*Bloom,
1987; Kasper, 1989; Macik,1993;Nilson, Berntop and Freiburghaus, 1993; Morrison
and Ludlam , 1995). Awalnya, perhatian difokuskan kepada perawatan yang cepat
terhadap perdarahan akut. Pada kebanyakan kasus, pilihannya bergantung kepada titer
inhibitor dan perluasan kemana inhibitor pasien bereaksi silang dengan porcine faktor
VIII. Pilihan pertama untuk perawatan perdarahan akut juga tergantung pada pasiennya,
apakah dia seorang high-responder, yang mana respon amnestik mengikuti infus faktor
VIIIatau seorang low responder, yang mana titernya tetap pada jangkauan 0,6-5 BU
setelah pemberian faktor VIII. Pasien dengan respon rendah dapat dirawat dengan faktor
VIII tanpa harapan mereka akan memberikan respon amnestik yang mana akan
mempengaruhi perawatan selanjutnya. Pada beberapa kasus, reduksi sementara dari titer
inhibior dapat diselesaikan dengan plasmaferesis ataupun immunoadsorpsi.
Hal kedua yang penting untuk dilakukan adalah kemampuan untuk mengurangi
titer inhibitor dengan menginduksi toleransi imun atau melalui imunosupresi. Hal ini
memerlukan waktu untuk dapat dilakukan dan dilakukan setelah perdarahan akut
diatasi.

Perawatan dengan konsentrat faktor VIII


Perdarahan paling efektif dikontrol saat faktor VIII yang cukup dapat diberikan untuk
meningkatkan level plasma yang mendukung hemostasis normal, i.e diatas 0,25 µ/ml.

Untuk TUGASMAS 350


351
pada pasien yang respon rendah dengan titer rendah, hal ini dapat diatasi dengan
memberikan infus konsentrat faktor VIII dengan jumlah yang meningkat, dimana
dosisnya disesuaikan dengan respon assay. Umumnya,efek inhibitor setinggi 5-10 BU
dapat dinetralisir dengan cara ini. Kasper telah menyarankan bahwa pasien seperti itu
menerima dosis awal 40µ faktor VIII / kg untuk tiap BU (Kasper, 1989). Hal yang
esensial untuk memonitor respon denagn assay faktor VIII untuk memastikan level yag
adekuat telah dicapai. Sekali saja sirkulasi inhibitor dapat dineutralisasi, jumlah dari
faktor VIII yang diperlukan untuk infus selanjutnya dapat sama seperti pada pasien
hemofili A yang tidak bermaslah. Perawatan, atau mungkin saja menjadi sangat besar
jika respon anamnestik mengarah kepada peningkatan produksi antibodi. Klinisi lain
memberikan perhatian yang lebih sedikit terhadap level plasma faktor VIII, dan
prakteknya di Oxford hemofilia center adalah merawat perdarahan menggunakan infus
2 sampai 3 kali dosis yang sama dengan standar faktor VIII, tidak peduli titer yang
benar (Rizza and Matthews, 1982).
Terapi infus yang kontinyu memiliki keuntungan pada pasien inhibitor, dan
hemostasis yang memuaskan dan pemulihan faktor VIII yang dapat diukur telah dicapai
ketika faktor VIII yang cukup telah diberikan (Blatt et al., 1977; Gordon, Albanitji dan
Goldsmith, 1994). Studi invitro membantu kemungkinan akan sukses pada pasien ini,
untuk inaktivasi kinetik faktor VIII pada campuran dari plasma pasien dan faktor VIII
dapat digunakan untuk mengestimasi dosis saturasi in vitro yang digunakan untuk
menuntun terapi (Gordon, Al Banatji and Goldsmith, 1994).

Perawatan dengan faktor procine VIII.


Banyak inhibitor faktor VIII tidak menginaktivasi porcine faktor VIII sama luasnya
dengan yang mereka lakukan pada proteinkoagulasi manusia, dan konsentrat porcine
faktor VIII yang sangat murni, Hyate:C (Lollar, Parker and Tracy, 1988) telah
digunakan secara efektif pada berbagai pasien inhibitor Hemofilia A secara efektif
(Gatti and Manucci, 1984; Kernoff et al.,1984; Brettler et al., 1989; Lozier et al., 1993;
Hay and Lozier., 1995) dan autoantibody (Bretlerr et al., 1989; Hay and Bolton-Maggs,
1991; Morrison, Ludlam and Kessler, 1993). Maka sangatlah penting untuk menentukan
apakah plasma pasien memiliki titer yang rendah atau bisa diabaikan saat diinkubasi
dengan porcine faktor VIII (Kasper, 1991).
Untuk pasien inhibitor Hemofili A, titer dengan porcine faktor VIII biasanya 15-
30% dibanding faktor VIII manusia, dengan nilai tengah 22% untuk 88 plasma yang
ditest pada 5 seri terbesar (Ciavarella, Antonecchi and Ranieri, 1984; Gatti and
Manucci, 1984; Kernoff et al., 1984; Bretlerr et al., 1989; Lozier et al., 1993).
Reaktivitas silang berkurang untuk kebanyakan auto antibodi, i.e, untuk 69 pasien,
kebanyakan dilaporkan dngan sri tunggal yang besar (Morrison, Ludlam and Kessler,
1993). Pada faktanya, banyak autoantibodi plasma tidak memiliki inhibitor yang dapat
dideteksi ketika ditest denga procine faktor VIII, meskipun mereka memiliki faktor VIII
antihuman yang cukup besar.
Untuk pasien dengan hemofili A, porcine faktor VIII adalah pilihan perawatan
yang penting apabila ada perdarahan yang signifikan, atau ancaman akan perdarahan
serius, dan antibodi pasien memiliki reaktivitas silang yang rendah, i.e titer kurang dari
10-15 BU terhadap procine faktor VIII (Gatti and Manucci, 1984; Kernoff et al, 1984;
Brettler et al., 1989, Lozier et al.,1993; Hay and Lozier, 1995). Data klinis yang paling
komprehensif di derivat dari sebuah survey internasional pada pusat perawatan yang
dikeluarkan oleh Factor VIII and Factor IX Scientific and Standarization Subcomitee of
the International Society of Thrombosis and Hemostasis (Hay et al., 1994). 154 pasien
inhibitor hemofili A dirawat dengan porcine faktor VIII mendapatkan hampir 5000
infus untul lebih dari 2400 episode perdarahan. Keseluruhan, 80% dari infus memiliki
efek klinis yang bagus atau ekselen dan 13% menunjukkan efek lumayan. Ada 7% dari

Untuk TUGASMAS 351


352
episode dimana tidak didapatkan respon terhadap porcine faktor VIII. Kebanyakan dari
perawatan yang gagal didapatkan pada pasien dengan titer yang tinggi pada pasien yang
menerima porcine faktor VIII emergency darurat tanpa informasi assay. Dosis yang
inadekuat dari porcine faktor VIII dianggap seagai penyebab kegagalan pada kasus
lainnya. Penggunaan yang efektif dari porcine faktor VIII termasuk prosedur operasi
darurat maupun elektif, dengan hemostasis yang memuaskan pada 53 dari 57 operasi
(Lozier et al., 1993).
Procine faktor VIII dianggap oleh banyak orang sebagai perawatan lini pertama
untuk pasien dengan antibodi faktor VIII ketika titer dari faktor VIII manusia lebih dari
10 BU, sejak beberapa antibodi ini memiliki reaktivitas silang yang signifikan. Level
faktor VIII yang memuaskan biasanya dicapai pada pasien ini, seperti pada hemostasis
normal (Morrison, Ludlam and Kessler, 1993)
Efek samping dari porcine faktor VIII dicatat ada setelah 2-3% dari infus,
biasanya demam derajat rendah, rash, menggigil (Kernoff et al., 1984; Bretter et
al.,1989)
Moderate trombositopeni juga didapatkan, setelah lima dari 809 infus dalam satu seri
yang besar (Hay and Bolton Maggs.,1991), tetapi trombositopeni yang signifikan masih
jarang. Kebebasan dari efek samping yang berat telah membuat jadi mungkinuntuk
menggunakan porcine faktor VIII untuk tyerapi di rumah pada beberapa pasien, seperti
contohnya, i.e profilaksis atau perawatan rutin dari pasien hemarthrosis (Hay et
al.,1990).
Respon imun ke koagulasi protein sendiri telah bervariasi. Banyak pasien
inhibitor hemofili (kira2 satu per tiga) telah dirawat dengan sukses menggunakan
porcine faktor VIII untuk episode perdarahan berulang, tetapi di sisi lain meningkatkan
titer inhibisi terhadap porcine faktor VII dan manusia yang akan membatasi penggunaan
selanjutnya.
10 persen pasien hemofili A yang merupakan pasien inhibitor memiliki respon
anmnestik yang jelas yang membatasi terapi hanya 2 sampai 3 kali infus sebelum
mereka lepas dari terapi.

Bentuk lain dari faktor VIII


Bloom dan Hutton mengatakan bahwa transfusi dari konsentrasi platelet segar dapat
berguna pada kasus perdarahan yang berat pada pasien dengan titer inhibisi yang tinggi
(Bloom and ………., 1978; Bloom , 1987). Mereka menyarankan bahwa platelet yang
menempel dan terakumulasi pada tempat luka vaskular mungkin mengandung faktor
pembekuan yang dilindungi dari inhibitor. Saat mereka menyediakan bukti sugestif dari
inhibitor,. Saat tersedia bukti klinis dari 3 pasien , jelas tidak pasti bahwa ada faktor
VIII dalam platelet atau berada dalam bentuk yang terlindungi pada permukaan platelet.
Pengenalan bahwa beberapa faktor VIII antibodi memblok interaksi faktor VIII dengan
fosfolipid……………… mekanisme alternatif, i.e netralisasi beberapa efek inhibitor
oleh permukaan platelet (Bloom, 1987).

Reduksi temporer dari level inhibisi


Untuk pasien dengan titer antibodi yang tinggi yang memiliki perdarahan yang serius
atau membutuhkan operasi, harus dipertimbangkan terapi yang secara cepat
menurunkan level inhibisi. Hal ini telah dicapai dengan pertukaran plasmaferesis, teknik
yang biasanya tersedia (Strauss, 1969; McCullogh et al., 1973) dimana pertukaran
manual multipel dapat menjadi efektif (Strauss .1969), aliran sel pemisah memfasilitasi
proses ini (McCullogh et al.,1973). Plasma dalam jumlah yang besar, ekuivalen dengan
satu atau dua volume plasma, dapat ditukar secara cepat (2-4 jam) dan aman.
Sedangkan prosedur dasar tidaklah berbeda ydari yang digunakan pada aferesis
terapetik dari kondisi lainnya, pilihan dari cairan pengganti penting untuk pasien

Untuk TUGASMAS 352


353
inhibitor. Secara umumdisetujui bahwa bahwa plasma harus digantikan pada pasien
hemofilia A dengan albumin (atau fraksi protin yang dimurnikan) atau saline untuk
menghindari stimulasi cepat dari produksi antifaktor VIII selanjutnya ketika pemberian
konsentrat faktor VIII tidak direncanakan langsung setelah selsai sebuah prosedur, e.g.
ketika pasien dipersiapkan untuk prosedur bedah (Erskine). Pada kasus autoantibodi,
tidak ada hal yang didapat pada anamnesa, sehingga pergantian parsial dengan normal
plasma dapat dilakukan.
Prosedur yang lebih komplek, kromatografi affinitas pada IgG pasien yang
dihilangkan dengan protein A-sepharose, telah efektif pada perawatan sejumlah pasien
hemofili A dan B seperti juga pasien dengan autoantibodi ke faktor VIII (Nilsonn et
al.,1981; Uehlinger et al., 1991; Gjorstrup et al.,1991). Baik kedua inhibitor faktor VIII
dan faktor IX predominan IgG4 dan IgG1, penyingkiran selektif dari protein A (dengan
IgG2) menyediakan jalan untuk mengurangi titer inhibitor tanpa menyingkirkan plasma
protein yang lain. Pada satu laporan, mean menurun baik pada konsentrasi plasma IgG
dan titer antifaktor VIII sebesar 82% (Uehlinger et al., 1991). Tujuh pasien inhibitor
faktor VIII dirawat pada 8 kesempatan,dengan prosesing dua plasma volume tiap hari
selama 1-4 hari, tergantung pada level inhibitor. Pada enam pasien hemofili, titernya
direduksi kurang dari 10 BU, sehingga mungkin dilakukan perawatan dengan konsentrat
faktor VIII. Deplesi dari autoantibodi ke faktor VIII seringkali lebih susah (Uehlinger et
al.,1991; Gjorstrup et al.,1991)

Produk koagulasi yang mem bypass faktor VIII


Ketika titer inhibitor mencegah perkembangan dari hemostatik faktor VIII melalui
terapi konsentrat faktor VIII, preparasi yang membypass kebutuhan akan faktor VIII
mungkin bisa dilakukan. Konsentrat faktor IX digunakan sampai saat ini untuk
perawatan pasien hemofili B mengandung jumlah yang signikan dari protombin, faktor
X, dan dengan derajat yang bervariasi, faktor VII. Preparasi ini biasanya didesain
berbentuk Prothrombin Complex Concentrate (PCC), juga mengandung sedikit faktor
aktivasi yang mungkin bertanggung jawab atas aktivitas by pass nya. Aktivasi
intensional saat produksi konsentrat mengenali kemungkinan ini, dan konsentrat PCC
yang teraktivasi (APCC), juga dibuat produk koagulan anti-inhibitor komplek, telah
digunakan secara luas pada perawatan pasien inhibitor (Preston et al.,, 1977; Kurczynki
and Penner, 1974).
Percobaan klinis yang terkontrol memastikan bahwa ada efek hemostatik yang baik
ketika PCC digunakan untuk merawat hemarthroses akut pada pasien inhibitor faktor
VIII (Lusher et al., 1980). Perdarahan sendi akutjuga memberi respon terhadap APCC,
tetapi pada percobaan terkontrol tidak ditemukan perbedaan efektivitas antara PCC dan
APCC, keduanya memberikan hasil yang bagus sebesar 48-64% pasien (Sjamsoedin,
Heijnen and Mausser-Bunschoten, 1981; Lusher, Blatt and Penner, 1983). Saat laporan
kasus dan survey (Blatt, Menache dan Robert, 1980) menunjukkan bahwa PCC dan
APCC efektif dalam mengkontrol tipe lain dari perdarahan, termasuk luka terbuka pada
saat kondisi bedah , perawatan terhadap kondisi yang lebih serius belum dievaluasi pada
percobaan terkontrol (Lusher, 1994).
Satu limitasi lebih serius dari APCC dan PCC adalah adalah kurangnya test
koagulasi untuk memonitor efektivitasnya. ‘unitages’ in vitro untuk APCC didefinisikan
berbeda dibanding untuk 2 produk yang beredar di AS, dan assay ini tidak bisa
dihubungkan dengan pengukuran in vivo. Pada kasus PCC, potensi yang terlabel hanya
kandungan faktor IX.
Hal penting lainnya pada penggunaan APCC dan PCC, terutama jika dosis besar
diberikan, resiko dari trombogenicitas atau infark miokard,tampaknya resiko ini lebih
jarang terjadi pada pasien inhibitor dibanding pada hemofili B (Lusher, 1994). Saat ini

Untuk TUGASMAS 353


354
PCC dan APCC berlisensi dan terdistribusi termasuk langkah inaktivasi virus pada
produksi mereka, dan resiko HIV atau transmisi virus hepatitis dipercaya sangat kecil.
Sedangkan sesuatu tidak akan mengharapkan suatu peningkatan titer antifaktor
VIII inhibitor setelah pengobatan dengan PCC atau APCC, hal ini tidak selalu
merupakan kasus dan satu studi mendokumentasikan suatu dua kali peningkatan titer
inhibitor dalam 13,5% dari 261 episode perawatan. Peningkatan ini tidak diragukan
karena adanya level rendah dari protein faktor VIII inaktif dalam konsentrasi ini.
Faktor VII yang teraktivasi merupakan salah satu komponen dalam konsentrasi
ini yang kemungkinan bertanggung jawab atas efek hemostatik (Hedner and Kisiel,
1983). Faktor VII mempunyai keuntungan terapetik tidak aktif secara proteolitik oleh
dirinya sendiri. Dengan begitu, tidak menyebabkan peristiwa thromboemboli dan
sebaiknya dibatasi sampai efek di tempat luka di mana jaringan faktor terpapar. Selain
itu, karena faktor VIIa tidak dinetralisasi oleh antitrombin III pada sirkulasi, maka
diharapkan mencapai tempat luka tanpa modifikasi. Ketetapannya masih sangat pendek
di dalam plasma- kira-kira T1/2 90menit- sehingga dibutuhkan pemakaian yang sering.
Sedangkan factor VIIa berpengaruh pada waktu trombin dan APTT, masih tidak jelas
bahwa tes ini memiliki nilai untuk panduan terapi.
Faktor VIIa rekombinan telah dipelajari secara ekstensif pada clinical trials fase
II dan telah ada suatu case report tambahan dan seri-seri kecil. Penelitian terbesar secara
klinis meliputi suatu kelompok dari 41 pasien hemofilia A inhibitor yang telah diobati
dengan factor VIIa rekombinan. Suatu efek terapetik telah didapatkan pada kebanyakan
pasien dan tidak ada efek samping yang serius atau kejadian dari aktivasi cascade
koagulasi sistemik. Hedner, Glazer dan Falch mencatat bahwa infuse factor VIIa
rekombinan pada interval 2-3 jam diperlukan, setidaknya mengawali, pada pasien
dengan perdarahan parah. Seri yang lebih kecil telah melaporkan hasil klinis yang
memuaskan pada 5 pasien yang dirawat karena perdarahan sendi dan otot (Scremetis,
1994), tiga pasien dengan perdarahan refractory intracranial dengan pendekatan lainnya
(Majumdar and Savidge, 1993; Scmidt et.al., 1994) dan suatu kejadian dari hemostasis
yang bagus selama operasi ortopedik mayor (O’Marcaigh et.al., 1994)

Induksi toleransi
Induksi toleransi imun memiliki keuntungan jangka panjang yang potensial dan banyak
pasien inhibitor telah diobati dengan factor VIII dosis tinggi pada suatu usaha untuk
mereduksi titer inhibitor. Pada studi awal, infuse besar factor VIII yang sering (
100u/Kg factor VIII setiap 12 jam) dikombinasikan dengan pengobatan APCC untuk
mencegah perdarahan selama periode inisial dimana respon anamnesti meningkatkan
titer inhibitor (Brackmann, 1983). Titer inhibitor kemudian turun sehingga dosis factor
VIII dapat dikurangi dan inhibitor sering tidak bias dideteksi pada kebanyakan pasien
yang dijaga oleh infuse factor VIII regular. Sedangkan hasil dari jadwal pengobatan
tersebut relative bagus ( level inhibitor turun menjadi <1 BU pada 15 dari 21 pasien)
suatu jumlah yang luar biasa dari infuse factor VIII dibutuhkan dan dirasakan bahwa
infuse factor VIII yang sering diperlukan untuk menjaga toleransi. Keefektifan dari
regimen telah dikonfirmasi oleh center-center lainnya, namun biaya menghambat
aplikasinya.
Protokol dengan dosis factor VIII yang lebih rendah juga telah efektif dalam
mereduksi titer antifaktor VIII (Ewing et.al., 1988). Meskipun begitu, pasien dengan
titer tinggi jarang memiliki respon yang bagus pada regimen dosis rendah, kecuali jika
dimulai secepatnya setelah pengembangan inhibitor(Peerlinck et.al., 1994). Di Belanda,
27 pasien inhibitor menerima 25u dari factor VIII/kg setiap berselang hari selama 1-12

Untuk TUGASMAS 354


355
bulan dan toleransi tercapai dalam 18 (Van Leeuwen et.al., 1986). Lagi, sukses lebih
disukai jika pasien memiliki titer inhibitor rendah atau menengah atau jika pengobatan
dimulai secepatnya setelah inhibitor terdeteksi.
Suatu regimen toleransi imun yang lebih kompleks telah dikerjakan oleh Nilsson
dan koleganya di Malmo. Ketika level antibody tinggi (>10BU), titer inhibitor lebih
rendah dengan immunoadsorption menggunakan protein A-sepharose.
Cyclophosphamide kemudian diberikan secara peroral selama 8-10 hari (2-3mg/kg) dan
factor VIII (atau factor IX) diinfuskan setiap hari selama 3 minggu pada dosis yang
sesuai untuk menjaga lavel plasma diatas 0.4u/ml. Sebagai tambahan, IgG intarvena
diberikan setiap hari (0.4 g/kg) selama 5 hari dimulai pada hari keempat dari protocol
treatment. Pendekatan ini telah sangat berhasil pada 10 dari 11 pasien hemofilia A
inhibitor menjadi tolerant. Dua dari mereka memerlukan dua jalan dari pengobatan
kombinasi untuk mengeradikasi inhibitor dan satu memerlukan tiga jalan(Nilsson,
1992). Setelah induksi toleransi, rekoveri in-vivo dan half-life dari infuse factor VIII
dibandingkan terhadap hemofilia non-inhibitor. Anak-anak ini kemudian menerima
factor VIII dua atau tiga kali setiap minggu pada jadwal profilaksis. Protokol yang sama
untuk pasien hemofilia B telah berhasil pada 6 dari 7 kasus (Nilsson, 1994).
Karena tidak ada center memperlakukan sejumlah besar pasien dengan kelainan
yang sangat heterogen ini, studi kooperatif sangat diperlukan. Sebuah pencatatn
internasional dari protocol toleransi imun telah berdiri dan merangkum laporan data
terbaru dari 204 pasien yang dirawat pada 40 center di USA, Kanada, Eropa dan Jepang.
Dari 158 pasien yang telah menjalani pengobatan cukup panjang untuk menilai hasil
akhirnya, 107 (68%) mencapai toleransi dan 12 (8%) memiliki respon parsial. Banyak
dari pasien tersebut menampakkan tolerant dengan negative pada tes in-vitro juga
memiliki rekoveri in-vivo faktor VIII yang normal dan dapat diobati untuk episode
penrdarahan dengan dosis standar dari faktor VIII. Probabilitas kesuksesannya terbesar
untuk pasien yang diberi dosis tinggi factor VIII (lebih dari 100units/kg per hari) dan
untuk pasien yang memiliki titer inhibitor kurang dari 10BU pada saat pengobatan imun
toleransi dimulai. Toleransi, ketika diinduksi, dapat bertahan lama, dengan hanya satu
inhibitor berulang. Periode terpanjang yang terdokumentasi dari tolerasnsi setelah
induksi adalah 16 tahun.
Sedangkan pencatatan internasional tidak memasukkan data umur pasien,
pengalaman dengan faktor VIII rekombinan menyatakan bahwa usaha awal dari induksi
toleransi imun mungkin dapat berhasil. Pendukung dari konsep ini adalah sebuah
laporan dari kesuksesan yang sangat bagus dari 21 anak-anak penderita hemofilia A
dengan suatu inhibitor.

Untuk TUGASMAS 355


356

KUMPULAN KULIAH SENIOR

ANESTHESIA UNTUK TRAUMA KEPALA

Oleh :
Dr. Puger Rahardjo
Lab. Anestesiologi FK Unair – RSUD Dr. Soetomo
Surabaya

Incidence
Trauma kepala yang memelrukan tindakan operasi sangat banuyak kita temui di
UGD RSUD Dr. Soetomo.
Sebagai gambaran selama tahun ..... s/d ..... didapatkan trauma kepala yang memerlukan
pembedahan.
Bila ditambahkan dengan rumah sakit-rumah sakit lain (bukan RSUD Dr. Soetomo)
tentunya akan lebih banyak lagi.

Untuk TUGASMAS 356


357
Mengingat banyaknya kasus-kasus tersebut,, maka kami mencoba untuk membuat
gambaran bagaimana sebaiknya penderita-penderita tersebut dikelola dari segi anestesi
berdasarkan beberapa literatur.

Derajat beratnya trauma


Derajat beratnya trauma pada umumnnya berdasarkan pada penilaian GCS.
GCS INSIDENS
Mild 13 – 15 80%
Moderate 8 – 12 10%
Severe 0-7 10%

Mengenai outcome dari penderita-penderita tersebut sangatlah sulit dievaluasi karena


sangat banyak variabel-variabel yang menyertainya misalnya macam dari injury. Injury
lain yang menyertai, cara penanganannya dan lain-lain.
Outcome dari pasien-pasien head trauma dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
- group 1  good recovery
- group 2  moderate disability
- group 3  severe disability
- group 4  persistant vegetative state
- group 5  death

pada negara-negara maju :


- Mild head injury  100% a live
- Moderate  93% a live
- Severe  42% a live

Severe head trauma mortality rata ±40%, hal ini sering disebabkan oleh karena
secondary komplikasi. Bagaimanapun juga kemajuan ilmu kedokteran yang dicapai
untuk menurunkan angka kematian trauma kepala ini, yang sangat penting adalah
pencegahannya yaitu pemakaian helm dan seat belt.
GCS adalah nilai yang sangat penting untuk memperkirakan outcome penderita-
penderita head trauma.
Dikatakan 95% penderita dengan GCS > 8 adalah baik outcomenya.
Bila GCS < 5  outcome jelek. Untuk GCS 5 – 7  outcome kurang akurat dinilai
dengan GCS.

Untuk TUGASMAS 357


358
Tentunya hal lain seperti reaksi pupil, fungis brain stemp, vital sign, HCT, umur,
macam trauma mempunyai pengaruh yang cukjp besar pada outcome.

Penilaian dini
Dua sebab yang sering memberatkan penderita dengan head tgrauma adalah
hipoksia dan hipovolemia (shock). Oleh karena itu haruslah segera dideteksi dan harus
segera ditanggulangi.

 Hipoksemia (PaO2 < 60 mmHg)


Pada umumnya disebabkan oleh karena obstruksi airwaysebab lain aspirasi,
pneumo, hemato thoraks, contusi paru, neurogenic pulmo edema.

 Shock (systemik BP > 90mmHg)


Ingat cerebral PP = mean art, pressure (-) ICP
Dimana pada penderita trauma kepala + shock ICP meningkat, MAP menurun
 CPP akan sangat menurun.

 Normal CPP  80 – 90 mmHg  bila CPP ini turun sampai dengan 40 mmHg
 cerebral ischemia.
 Sustemik hypotension sangatlah jarang disebabkan hanya oleh head trauma
terkecuali pada terminal state  harus dicari penyebab dari hipotensi ini.

Primary dan secondary injury


 Primary injury terjadi waktu kejadian
Kerusakan disebabkan rusaknya struktur jaringan otak langsung oleh karena
trauma tersebut misalnya arteri, vena, white, gray, matter.

 Secondary injury
Dimulai dari setelah kejadian
Pada umumnya disebabkan oleh hipoksia, lactic, asidosis.
Empat hal yang sering menyebabkan brain damage adalah :
1. mechanical injury
2. perdarahan
3. edema
4. ischemia

Untuk TUGASMAS 358


359

Traumatic aedema pada head injury


Dibagi 2 :
- vasogenic
- cytotoxic

Vasogenic :
Karena tissue hemorrhage  ekstra vasasi cairan yang kaya protein disebabkan
rusaknya blood brian barier.
Edema menuju ke white matter lalu diabsorbsi ke vertikal cerebral.

Callulaair edema
Tidak tergantung dari extra cell edema, mungkin karena rekasi dari metabolisme
yang terganggu pada head injury misalnya terjadinya absorbsi extra cell fluid dan
elektrolite oleh cell glia.
Edemoa dan ischemia sangatlah penting karena ischemia ini sering terjadi dan berakibat
fatal.
Hal ini disebabkan karena oleh compressi intra/extra cerebral. Naiknya ICP >/ 60
mmHg dapat berakibat fatal.

Penilaian Neurologic
Mekanisme trauma, letak trauma haruslah ditanyakan/dicatat, latar belakang
terjadi kejadiannya. Misalnya stroke, kejang-kejang, obat-obatan dan lain-lain haruslah
dicatat.
Gangguan kesadaran waktu setelah terjadinya kecelakaan harus ditanyakan/dicatgat.

GCS score dan ICP


GCS mempunyai nilai yang baik untuk memprediksi outcome dan juga untuk
menilai beratnya trauma kepala.
Motor respons adalah paling sensitive.
GCS penialain dapat dipengaruhi oleh penyebab-penyebabb lain misalnya :
1. intoksikasi
2. hipoksia
3. drug
4. shock dll.

Untuk TUGASMAS 359


360
Tanda- tanda adanya ICP yang meningkat sangatlah penting.
- normal ICP 5 – 15 mmHg
- intracranial hipertensi bila ICP > 15-20 mmHg
- kenaikan ICP dapat disebabkan oleh :
1. membesarnya volume jaringan otak (edema)
2. cerebral vasodilatasi (hiperaemi, brain swelling)
3. absorbsi CFS yang menurun
obstruksi drainage CSF
naiknya produksi CFS
4. adanya tumor otak atau mass misalnya hematome.
Tanda-tanda ICP yang meningkat :
- papil edema
- asimetrik pupil
- neusea
- vomiting’headace
- tinnifus
- gangguan penglihatan.
Tanda-tanda akan terjadinya herniasi dari otak pada umumnya dibagi dalam 2 syndroma
:
1. the central syndrome of rostrol caudal
2. syndrome of uncal herniation

Central rostrol caudal


Tekanan pada otak terjadi pada diencepalon dan upper midbrain
Tanda-tanda tekanan pada diencephalon :
1. apatis
2. agitasi
3. kesadaran yang fluktuasi
4. lalu kesadaran menurun (sommolent)
5. gangguan nafas dari normal sampai dengan chyene stokes
6. dengan rangsangan nyeri terjadi normal withdraws.

Upper midbrain
1. midsize irregular pupils
2. bilat flekxion motor response

Untuk TUGASMAS 360


361
3. cheyne strokes + hiperventilasi

Tindakan harus dilakukan pada penderita dengan tanda-tanda diatas karena bikla
tekanan > berat lagi akan terjadi keadaan yang memberat progresif  death.

Uncal herniation
- mass adalah pada lateral bag otak menyebabkan pergeseran pada bagian tengah
tenmporal lobe (uncus) melalui tentorial edge dan mid brain.
- Nervus 3 akan tertekan  pupil dilatasi ipsilateral
- Kadang-kadang penderita masih dalam keadaan sadar
- Harus dilakukan tindakan pada saat ini, kalau terlambat akan terjadi depresi pada
kardiovaskular dan respirasi karena tekanan pada medulla.

Penilaian kepala dan leher


Hemotympanum, ecchymosis pada daerah mastoid (Battle sign) dan peni orbital
edema  tanda-tanda fr. Basis cranii.
Hati-hati adanya patah tulang leher sering terjadi pada C 1 – 2, C 5 – 6.
Pada penderita yang dicurigai patah tulang leher, lakukan immobilisasi cervical.

Macam-macam injury
Injury pada tulang kepala
Tiap ada gragmen tulang tidak boleh di manipulasi kecuali di kamar operasi
karena fragmen ini barangkali merupakan tampon perdarahan dari vena/arteri  hati-
hati waktu intubasi atau airway management.
Tanda-tanda fraktur basis cranil cukup penting  jangan melakukan nasal intubasi
kecuali sangat terpaksi (bahaya infeksi).
Tanda-tanda basis craniii fraktur :
 Battle sign :
o hemotympanum
o otorrhoe
o ecchymosis di daerah mastoid

 raccoon eye :
o ecchymosis sekitar mata

Untuk TUGASMAS 361


362
Injury pada otak dan intracranial hematome
Epidural hematome.
Sering disebabkan oleh pecahnya arteri meningeal media karena fraktur dari
temporal lobe.
Pada umumnya disebabkan oleh kecelakaan automobile dan 90% berhubungan dengan
fraktur tulang kepala.
Insidens epidural hematom 2% dari apda pasien yang mengalami head injury.
Epidural karena ruptur arteri meningeal medial  sangat jarang ada pada anak-anak.
Sebab lain dari epidural hematome : ruptur dari venous sincsus  pada umumnya
terlihat setelah beberapa hari setelah kejadian.
Tanda-tanda klasik :
- hilangnya kesadaran penderita sebentar setelah kejadiannya, diikuti kembalinya
kesadaran normal seperti semula tanpa tanda-tanda gangguan neurologis (lucid
interval) lalu diikuti dengan nyeri kepala, menurunnya kesaran, lalu terjadi
tanda-tanda ICP meningkat dan Impending herniation dengan tanda-tanda :
o dilatasi ipsilateral pulil (N III palsy)
o parese/paralyse kontra lateral ekstremitas
o decerebrasi
- kadang-kadang kenaikan ICP diikuti kenaikan systolic blood pressure (chusing’s
response)
Epidural hematome dibagi : akut, sub akut dan kronik

Akut
- Paling banyak disebabkan oleh trauma
- Darah ada diantara dura dan subarachnoid
- Dikatakan akut bila dalalm 72 jam sesudah kejadian, sudah menimbulkan
gangguan klinik
- Sangat sering memerlukan tindakan pembedahan
- Pada umumnyan penderita tidak sadar tanpa ada lucid interval dan diikuti
gangguan ICP meningkat.
- Bila subdural hematom ini terjadi bilateral atau terjadi multipel laserasi angka
kematian > 50%.

Sub akut subdural hematome


- Gangguan klinik timbul 3 – 15 hari setelah trauma.

Untuk TUGASMAS 362


363

Kronik subdural hematome


- Gangguan klinik timbul setelah > 2 minggu setelah pecahnnya pembuluh darah.
- Pada umumnya riwayat trauma tidak ada, banyak disebabkan oleh karena
pecahnya kapiler.
- Gangguan-gangguan sering menunjukkan focal sign.
- Dx  CT-Scan.
- Jarang memerlukan tindakan pembedahan yang besar.

Intra cerebral hematome


- Sering disebabkan oleh karena luka tembak, jaring terjadi oleh karena trauma
tumpul.
- Hematome yang besar atau yang timbulnya pelan-pelan memerlukan tindakan
operasi.
- Bila multipelnkecil-kecilntidak memerlukan (sulit).

Early management
Tujuan penolong pada head injury adalah mencegah terjadinya secondary injury, dalam
hal ini seorang anesthetist berperan dalam :
- airway management
- ventilasi dan oksigenasi yang adekuat
- normalisasi status kodiovaskuler
- kontrol ICP
resusitasi dan stabilisasi fungsi vital adalah tindakan pertama yang dilakukan, bila ini
telah dilakukan baru tindakan-tindakan untuk diagnosis misalnya CT-Scan, Ro,
arteriografi, Hb, HCt, FH, sampel darah dan lain-lain.

Airway
Sangat penting untuk dievaluasi dan dibebaskan.
Hipoksia haruslah segera diketahui dan cepat diatasi. 75% kasus trauma kepala yang
berat mengalami hipoksia.
Hipoksia diatasi dengan pemberian O2 50-100%, hipoventilasi diatasi dengan
hiperventilasi. Bila PaO2 ( 50 mmHg dan PaCo2 meningkat > 50 mmHg, maka CBF
akan meningkat. CBF meningkat  ICP meningkat.
Dalam menangani airway hati-hati adanya cervical fraktur.

Untuk TUGASMAS 363


364
Melakukan intubasi pada penderita trauma kepala seharusnya dilakukan dengan
pemberian obat-obatan untuk mengurangi gejolak hemodinamik yang dapat
menyebabkan kenaikan ICP (dengan menghilangkan nyeri dan kesadaran).
Pasien yang mengalami trauma kepala kadang-kadang mengalami spontaneous
hiperventilasi yang disebabkan oleh karena :
 catecholamina yang meningkat

 hipoxic drive
 cerebral effect oleh karena cerebral acidosis
 oleh karena letak dari lesi di otaknya sendiri.
Trauma kepala dimana GCS penderita < B sebaiknya dilakukan intubasi.
Kriteria intubasi penderita dengan head trauma selain GCS < B adalah :
1. resp. Yang iregular
2. RR < 10 >40/menit
3. Vt <3.5 ml/kg
4. Vc <15 ml/kg
5. PaO2 , 70mmHg
6. PaCO2 > 50 mmHg.
Waktu untuk memutuskan intubasi pada penderita head trauma adalah sangat
menentukan, pada penyelidikan dari 2000 pasien dalam waktu 8 bulan
- mortality 22.5% penderita head injury yang berat dan dilakukan intubasi \< 1
jam setalah kejadian.
- Mortality naik 38.4% setelah diintubasi > 1 jam setelah kejadian (p < 0.1)
Tahap – tahap cara-cara intubasi supaya tidak terjadi gejolak hemodinamik stuggling,
bucking yang dapat menaikkan ICP.
1. prosedur cricoid pressure-- mencegah aspirasi
2. pemberian non depolarisasi relaxant
3. ventilasi + 100% O2
4. sodium pentothal 2-3 mg/kg BB, lidokain (1 mg/kg BB) vecuronium (0.1 mg/kg BB)
5. ventilasi terus diberikan
6. oral intubasi.
Maagslang dipasang setelah endotracheal tuba terpasang.
Hiperventilasi untuk menurunkan PaCO2 adalah cara yang tercepat untuk menaikkan

Untuk TUGASMAS 364


365
Phcsf (asidosis CSF terjadi karena CO2 masuk CSF melalui blood brain barier lalu
terperangkap di CSF dalam bentuk ion).
Turunnya PaCO2 akan menimbulkan lokal “inverse steal” dimana pembuluh darah
disekitar trauma akan vasokonstriksin sedangkan ditempat trauma vasodilatasi (apakah
hal ini menguntungkan--- masih kontraversi)

Standart untuk penurunan PaCO2 adalah antara 25-30 mmHg (untuk longterm theropy,
PaCO2 buat 30-35 mmHg)
Bila airway telah terkuasai dosis kecil fentanyl diberikan 50-100 U untuk menurunkan
Hipercetecholamine, central hyperventilasi state.
Posisi penderita dianjurkan 15-30 head up.
volume status Cardiovasculer
- Shock sering menyertai trauma kepala, hal ini disebabkan bukan oleh karena
trauma pada kepalanya tetapi sering oleh karena trauma pada organ tubuh yang
lain. Hipovolemia shock harus diatasi dengan pemberian Ringer laktat
- Kombinasi dengan isotonik saline. Pemberian free water tidak dianjurkan--
- Dapat menyebabkan edame otak
- Bila terjadi hipertensi yang berlebih, pemberian B-Blocker, propanolol 1 mg tiap
15 menit titrasi sampai dengan sistole kurang lebih 160 mmHg dan diastole
kurang lebih 90 mmHg dianjurkan. Atau pemberian labetol infuse 0.0% titrasi
setalah pemberian bolus 10-20 mg i.v.
Osmotherapy
- Naiknya ICP -- mortality meningkat
- Kenaikkan ICP > 20 mmHg disebut severe head injury.
- Manitol atau hypertonic solution yang tujuannya untuk menurunkan edeme otak
dengan menarik air dari jarungan otak yang blood brain bariernya masih intack.
- Beberapa center di Amerika manitol dan diuretika merupakan standart terapi
pada trauma kepala.
Pemberian hiperventilasi dan osmoterapi memberikan waktu surgeon untuk melakukan
tindakan-tindakan diagnostik, kecuali
dengan GCS < 7 setelah dilakukan resusitasi.
ICP monitor dilakukan secepatnya setelah injury.
Obat-obat untuk mengurangi keasaman dan produksi asam lambung dianjurkan (untuk
mengurangi bahaya aspirasi).

Untuk TUGASMAS 365


366
Monitoring
- ECG pulse oxymetri,precordial/osophageal stetoskop, temperatur urine, BP cuff,
end tidal CO2/kalau perlu direct arterial blood pressure.
- CVP atau pulmonary arteri kateter digunakan bila ada keraguan mengenai status
hemodinamik penderita.
- Kateter khusus untuk terapi air embolisme kadang-kadangt diperlukan pada
venous sinosus yang robek, operasi dengan posisi duduk ini precordial Doppler
juga digunakan.
- Monitoring elektrolit dan osmolalitas juga diperlukan.
- ICP monitoring pada umumnya dipasang pada akhir operasi

Indusi
- Idealnya induksi jangan menimbulkan gejolalk tensi dan kenaikan ICP.
- Pada waktu induksi jangan menimbulkan rasa sakit pada penderita suction pada
endotracheal, manipulasi pada tempat trauma.
- Batuk, bucking, berontak sangat tak diharapkan karena hal-hal tersebut akan
menimbulkan hypersimpathetic state  menimbulkan kenaikan blood pressure,
edema otak, ICP meningkat  herniasi.
- Posisi kepala sebaiknya netral, jangan membuat posisi yang dapat menghambat
venous return mis, extrem flexi, rotasi.
- Setelah semua monitoring terpasang-- lakukan oksigenasi 100% kalau perlu
lakukan hiperventilasi, thiopental masih tetap merupakan obat pilihan untuk
induksi menurunkan CBF dan ICP karena efek vasokontruksi.
- Etomedate, imidazole derivat alternatif lain untuk induksi karena tidak
mempunyai pengaruh yang banyak atau jelek pada kardiovasculer dosis 0.2 –
0.4 mg/kg BB i.v. CBF menurun, CMR O2 menurun dan ICP menurun, CPP
tetap baik. Karena daya analgesik etomedate tidak ada maka sebaiknya diberikan
bersama narkotik analgesik mis. Fentanyl.
- Lidokain 1,5 mg/kg BB diberikan 1-3 menit sebelum intubasi untuk mencegah
terjadinya kenaikan blood pressure ataupun ICP.
- Fentanyl 1-4 Ug/kh dibeirkan 3-4 menit sebelum melakukan intubasi untuk
mencegah rasa sakit yang berlebihan.
- Morphin, sufertanil, alfentanil  menyebabkan vasodilatasi. Dalam hal ini
fentanyl lebih bdaik dari ke 3 obat di atas untuk penderita yang menderita ICP
meningkat.

Untuk TUGASMAS 366


367
- Jadi pemberian lidokain, fentanyl diikuti thiopental dosis hati-hati merupakan
pilihan untuk induksi, kecuali adanya gangguan kardiovaskular misalnya
hipovolemia, hipotensi.
- Muscle relaxant tidak mempunyai efek langsung pada CBF dan CMR O2 karena
mereka tidak dapat melewati blood brain barier.
- Pengaruh mereka secara tidak langsung melalui cerebral hemodinamik melalui
blood pressure.
- Vecuronium adalah muscle relaxant yang terbaik karena tidak mengganggu
kardiovaskular dan tidak menaikkan ICP, kombinasi rentanyl dan vecuronium
kadang-kadang menimbulkan bradikardi.
- Pancuronium juga cukup baik karena mepmertahankan CPP dan menghilangkan
efek thiopental yang negatif yaitu depresi kardiovaskular. Bagaimanapun juga
penderita dengan gangguan patolotis pada otaknya dan ganguan regulasi pada
otaknya. Pancuronium dosis besar dapat menyebabkan kenaikan CBF dan ICP
mungkin karena pancuronium menyebabkan hypertension.
- Muscle relaxant yang menyebabkan histamin release mis curare, metocurarine,
atracurium dosis besar sebaiknya dihindari.
- Penggunaan succinylcholine masih kontrversi (succunylcholine menyebabkan
kenaikan muscle spendle activity  menaikkan cerebral afferent input,
menaikkan CBF, ICP CMR O2, juga menimbulkan gelombang pada EEG.
- Pemberian metocurine 0,03 mg/kg untuk menghilangkan fasiculasi pada
penderita yang diberi succnylcholine akan menghilangkan semua efek-efek
tersebut.
- Dilaporkan ada kenaikan kadar kalium darah pada pemberian succinylcholine
pada penderita head injury.
- Jadi pemberian succinylcholine untuk penderita yang mengalami trauma kepala
(untuk intubasi) haruslah dipertimbangkan baik dan buruknya dan bila diberikan
sebaiknya cegahlah fasiculasi yang timbul.

Maintenance
Teknik anestesi ideal untuk penderita dengan multi trauma adalah :
 sangat sedikit pengaruhnya terhadap autoregulasi otak
 sedikit pengaruhnya terhadap pusat regulasi CO2
 memelihara kardiovaskular tetap stabil
 menurunkan ICP

Untuk TUGASMAS 367


368
 menaikkan CPP

- Head injury sering menyebabkan gangguan pada autoregulasi otak,


menyebabkan penderita sangat mudah terjadi edema otak, hiperaemi sebagai
akibat dari kenaikan MAP karena manipulasi otak.
- Salah satu tujuan anestesi adalah menghilangkan/mengecilkan respons ini.
- Intravenous anestesi adalah salah satu pilihannya.
Narkotik, barbiturat, benzodiazepine semua menurunkan CBF, CMR O2 dan
ICP, adanya sisa-sisa narkotik post operative penderita-penderita dengan
gangguan otak yuang berat sebaiknya penderita tersebut direspirator dulu dan
dilakukan hiperventilasi.
N2O
- masih merupakan kontroversial
- sebelum pemberian N2O sebaiknya dilakuikan hiperventilasi dulu sehingga
PCO2 25 – 30 mmHg.
- Pada umumnya setelah pemberian thiopental + narkotik maka pemberian N2O
tidak terlalu menaikkan ICP karena efek vasodilatasi N2O dinetralisir oleh
pemberian hiperventilasi dan pemberian thiopental + narkotik (rentanyl).
- Dapat terjadi pneumoencephalus dan dapat terjadinya peningkatan ICP karena
vasodilatasi, menyebabkan beberapa senter tidak menggunakan N2O untuk head
trauma.
- Semua obat inhalasi anestesi menghilangkan autoregulasi otak (dose
dependend).
- Head injury dapat menyebabkan kadar catecholamine darah meningkat.
- Halothane selain menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah otak juga zat yang
arrytmogenic.
- Enflurance
o vasodilatasi pembuluh darah otak.
o Dapat menyebabkan kejang-kejang umum (generating seizure) pada
pendierta yang dilakukan hiperventilasi (PaCO2 < 30 mmHg dosis 1,5
MAC).
- Isoflurane
o Merupakan obat pilihan untuk penderita trauma tumpul kepala
o Tidak menyebabkan :
 vasodilatasi pembuluh darah otak.

Untuk TUGASMAS 368


369
 Arrhymia
 Seizure
o gelombang otak isoelektrik apda pemakaian isofluran dosis 2 MAC
o menurunkan CMCO2
o tidak terlalu mengganggu hemodinamik
o respons pembuluh darah otak terhadap kadar CO2 masih terpelihara.
o Sehingga dengan hiperventilasi area non trauma akan terjadi
vasokontriksi, daerah yang trauma akan menadpat darah lebih banyak.
o Disebutkan pada center penlis ini bahwa belum ditemukan cara terbaik
anesthetic untuk head trauma tetapi dari pengalaman mereka, untuk head
injury memberikan N2O saja + muscle relaxant didapatkan outcome
yang kurang baik bila memkai  70% N2O.
o Pemakaian N2O dalam dosis kecil tidak memperburun outcome
penderita.
o Pemakaian isoflurane karena sifat farmakologinya didapatkan outcome
yang lebih baik untuk trauma tumpul otak.
o Untuk pasien dengan penetrating trauma adalah lebih baik memakai
fentanyl kombinasi dengan barbiturat karena efek vasokonstriksinya
pada pembuluh darah otak.
o Fentanyl diberikan 4 Ug/kg/BB/jam untuk maintenance anesthetic dan
dihentikan segera pada waktu operasi mau selesai.
o Thiopental 1-6 mg/menit dan lidokain 1-4 mg/menit juga diberikan.
o Sebaiknya pemberian volatine anestesi pada penderita dengan syndrome
herniasi diberikan setelah dura terbuka.

Emergency
- Bila penderita dapat bangun dan spontan bernafas pada waktu sebelum operasi,
minimal kondisi ini harus kembali pada waktu post operasi.
- Ekstubasi postop haruslah dirundingkan antara anesthetic dan surgeon dan ini
terganugn kasus per kasus.
- Dengan pengambilan massa yang menekan jaringan otak seharusnya penderita
postop lebih baik dari preop.
- Adanya trauma di tempat lain misalnya multiple fraktur costa, chest injury, cervical
spine, internal bleeding, edema otak haruslah dipertimbangkan pemakaian respirator
postop (hiperventilasi).

Untuk TUGASMAS 369


370
- Kerugian pemakaian resporator + sedative adalah menghilangkan gejala dini terjadi
rebleeding dan komplikasi serius.
- Penderita dengan postop severe head trauma dengan GCS tetap < 8  sebaiknya
lakukan tracheostomy untuk airway management.
- Bila tube intubasi masih terpadang waktu transport dari OK ke ICU sebaiknya
berikan narkotik dan thiopental dosis secukupnya  pada umumnya dengan
pemberrian obat-obatan ini, penderita dapat menerima adanya endotracheal tube
tersebut (haruslah dicegah timbulnya batuk atau bahkan terjadi bucking).
- Pemberian lidokasin 1,5 mg/kg BB juga dapat digunakan untuk mendapatkan cara
bangun yang lancar.
- Pada waktu transport posisi penderita datar atau elevasis 0 – 15o disertai monitoring
+ pemberian O2.

Terapi tambahan
Antikunvulasi
- 5% blunt injury mengalami seizure
- 40 – 60% karena loka tembak mengalami seizure.
- Dan penderita tersebut 75% akan mengalami seizure untuk selanjutnya (selamanya).
- Kejang-kejang dapat menyebabkan hipoksia, naiknya ICP, naiknya CMCCO2 dan
CBF
- Pemberian prophylactic penytoin (dilantin) 10-15 mg/kg i.v diberikan pelan-pelan
(50 mg/menit) sebagai loading dose.
- Dosis selanjutnya tergantung level di darah penderita.
- Dilantin (penytoin) mempunyai efek lain menurunkan CBF mungkin memperbaiki
brain metabolisme.

Steroid
- Pada beberapa center anak-anak dengan GCS < 6, dewasa dengan GCS < 8 
diberikan dexamethazone dosis tinggi 1 1,5 mg/kg BB. Kemudian ditapering off
dalam waktu yang singkat.
- Pada penelitian ternyata keuntungan pemakaian steroid ini tak jelas, tapi
kerugiannya jelas yaitu terjadi hiperglikemia  oleh sebab itulah pemakaian ini
dihentikan untuk head injury.

Fluid management

Untuk TUGASMAS 370


371
Blood brain barier adalah selective permiable. Air akan bebas masuk melalui blood
brain barier, 05%  bila glukose dibakar akan tinggal air saja  dapat masuk melalui
blood brain barier.
- Dalam kamar operasi pada umumnya diberikan RL, NS, plasmalyte.
- Free water tidak boleh diberikan ini nuntuk mencegah terjadinya edema otak yang
lebih parah.
- Glukose haruslah dihindari, pada penelitian disebutkan outcome yang jelek pada
penderta head injury dengan glukose darah >/ 150 mg/dl (kadar glukose darah yang
tinggi menyebakan naiknya kadar laktat di CBF yang diproduksi oleh anaerob
metabolisme selanjutnya dosis ini akan merusak sel-sel otak).
- Mungkin penderita pada saat trauma mengalami hipovolemia  lakukan resusitasi
dengan cairan RL kombinasi dengan NS colloid.
Setelah stabil, buat kondisi pasien dalam keadaan agak dehidrasi dengan kadar
serum sodium dalam batas atas normal dan serum osmosality antara 295 – 315
mosm/L. Hal ini dapat dicapai dengan pemberian cairan 20 – 30 ml/BB/hari.
Elektrolit dan serum osmolality harus diperiksa tiap hari.
 0,9% NS  309 Mosm/L
 RL  272 Mosm/L
- Kehilangan darah yang cukup besar haruslah diganti darah untuk mencegah
ischemia dan anemia HCt buat diatasn 30%.
- Hestatarch 6% sedikit pengaruhnya untuk kenaikan ICP, pemberian > 30 ml/kg
dapat memperngaruhi fungsi platelet dan pemanjangan dari clotting time.
- Albumin digunakan untuk mencegah adema otak dan kenaikan ICP. Hati-hati bila
terjadi gangguan pembuluh darah (blood brain barier)  bisa terajdi ekstravasasi 
bahaya menarik air ekstravasasi  ICP meningkat.
- Pemakaian CVP dilakukan bila ada indikasi yaitu bila balancecairan
meragukan/hemodinamik tak stabil.
- Untuk mencegah terjadi komplikasi penumothorax pemasangan jugular
interna/subclavian adalah pilihan terakhir bilamana pemasangan melalui vena
basilica sulit dilakukan.
- Pemasangan CVP dengan head down position sebaiknya dihindari.

Diuretic dan osmoteraphy


Monitol

Untuk TUGASMAS 371


372
Dikeluarkan melalui ginjal tanpa direabsorbsi melalui tubulus renalis, molekulnya besar
sehingga tak dapat melalui blood brain barier yang intack. Tidak dimetabolisme dan
tidak masuk cell, menaikkan plasma osmolality, menarik ari dari intra cell ke ekstra cell
harus diingat pada trauma kepala yang merusak blood brain barier akan dapat
menyebabkan kebocoran monitol  menarik air  lokal edema  ICP meningkat.

- Efek monitol mula-mula menaikkan CBF dan CBV, lalu menurunkan viscositas dan
dapat menaikkan freeadical scavenger.
- ICP pada umumnya menurun 10-20 menit setelah pemberian (ini bila autoregulasi
intack). Dosis 0,5 g/kg BB diberikan dalam 10 – 20 menit, dosis ulangan tiap 3-6
jam.
- Pada anak-anak kadang-kadang terjadi hiperaemicpost traumatic state, dalam hal ini
ICP meningkat bukan oleh karena brain edema seperti penderita dewasa tapi oleh
karena naiknya blood volume  jadi dalam hal ini monitolo bukan indikasi.

Furosemid
- Bekerja di tubulis distalis dengan cara menghambat reabsorbsi Ha.
- Juga menghambat carbonic anhydrase  menyebabkan penurunan dari produksi
CFS.
- Pada umumnya diberikan 0,5 – 1 mg/kg BB i.v. diberikan sebelum pemberian
mobitol lasix ini dapat memelihara osmolality 30 mosm diatas normal (kenaikan
osmolality > 10 mosm/L sudah cukup untuk dehidrasi brain tissue).
- Monitor kadar kalium darah harus dilakukan.

Barbiturat
- Pada penderita yang hipovolemia dapat menyebabkan hipotensi yang berat
- Maka sebelum pemberian  sebaiknya hipovolemia harus dikoreksi dulu barbiturat
mempunyai efek anesthesi, scavenging free radical, menurunkan CBF, CBV, ICP,
CmCO2.
- Semua efek diatas baik untuk brain injury, tapi waspadalah pada penderita
hipovolemia  dapat menyebabkan hipotensi  menurunkan CPP.

Intra Operative complication


Cardiovascular complication
- Sering komplikasi dari head injury hiperaktif sympathetic yang mempunyai efek :

Untuk TUGASMAS 372


373
 menaikkan BP baik systolic dan diastolic
 menaikkan cardiac output
 menaikkan O2 consumtion
 syst. Vasc. Resist. Meningkat
 intra pulmonary shunt dan V/Q match meningkat
kadang-kadang diikuti arrhytmia, semua hal ini disebbakan oleh central adrenalin
discharge.
- Pemberian loading dose lidocain 1 - 1,5 mg/kg BB i.v. dan titrasi 1 – 4 mg/menit
mungkin dapat menolong hal ini.
- Bila terjadi intra operative hipertensi dipertimabngkan pemberian hydralasine.
Nitropruside atau nitrogluserin i.v.  semua obat-obat di atas menyebabkan
vasodilatasi parifer dan juga terjadi vasodilatasi otak  bahaya untuk penderita
head trauma pemberian dianjurkan bila dura sudah terbuka.
- Pemberian B-Blocker mis. Esnolol, propanolol, labetol lebih disukai (lafetol
mempunyai efek Alfa Blocker).
- Obat-obatan diatas harus dititrasi sehingga sistolic blood pressure dikembalikan ke
tensi normal penderita ( 160 mmHg).

Neurogenic pulmonary edema


- Permeabilitas dari alveclar capillary endothalium dipengaruhi oleh hipothalamic
autonomoc neural out flow ke paru
- Kebocoran kapiler ini menyebabkan interstitial edema dan shunting penurunan
compliance. Pulmonary edema ini pada umumnya cepat terjadi dan berhubungan
dengan kenaikkkan ICP yang mendadak.
- Tanda-tanda neurogenic pulmo edema, dispnea, cyanotic, pucat, sweating nadi cepat
dan lemah + pink fronty sputum.
- Terapi adalah surgical decompression atau pengambilan penyebab naiknya ICP +
pemberian obat-obatan untuk menurunkan ICP.
- Terapi : - dehidrasi brain tissue
- naikkan FIO1 PaO2 70-80-mmHg
- PEEP yaitu sesuai (minimal menaikkan ICP dengan minimal gangguan
- hemodinamik.
- PaCO2 25-30 mmHg
- sedikit head up position.

Untuk TUGASMAS 373


374
Fat embolisme.
- Gejala umum dari fat emboli ini adalah kesadaran yang menurun.
- Sulit untuk mendiadnose hal ini pada penderita head trauma.
- Pada umumnya terjadi pada fr. Tulang panjang mis. Femur atau tulang pelvis.
- Embolosme ini akan menyumbat paru terjadi pulmonory cap leak.
- Flutty infiltrat terlihat pada Ro thorax.
- Kadang-kadang edema otak + DIC sering menyertai pada umumnya 12-24 jam setelah
injury.
- Terapi hanya supportive, pemberian steroid dipertimbangkan, angka kematiannya
tinggi.

Air embolism.
-Pada umumnya terjadi karena ruptur dari venous sinosus atau bila terbukanya venous
sinosusu ini ke udara luar, hal ini sering terjadi bila tempat operasi lebih tinggi daripada
level jantung menyebabkan masuknya udara ke pembuluh darah karena pressure
gradien ke atrium kanan.
- Untuk mendeteksi yang paling sensitive adalah transoesophageal precordial doppler,
perubahan dan tidal nitrogen, naiknya pulmo arteri pressure, turunnya end tidal CO2,
CVP meningkat, turunnya PaO2.
.............terdengar melalui oesophageal stetoskop.
Terapi :
- beritahu surgeon
- head down
- tenggelamkan lapangan operasi dengan NS
- hentikan NO2
- vent. 100% O2
- pasang tripel lumen kateter melalui superior vena cava kanan atrium kanan untuk
aspirasi udara.
- posisi pasien kiri bawah untuk mencegah udara masuk ke pulmonary out flow tract.
- cardiobasculer supportberi inotropik.

RINKASAN
1. Tujuan utama dari seorang anesthetic pada penderita head injury adalah initial
resuscitation, stabilisasi dari hemodinamik dan paru-paru dan menurunkan ICP.

Untuk TUGASMAS 374


375
2. Perhatilkan tanda-tanda dari sentral ros trocaudal, uncal herniation.
3. Oksigenasi, hiperventilasi pemberian matinol sebelum intubasi mungkin menolong
menurunkan ICP.
4. Stabilisasi vertebra cervicalis dicurigai fraktur cervical.
5. Pemberian obat-obatan untuk mengurangi gejolak hemodinamik dan rasa nyeri waktu
intubasi.

6. Pemberian cairan resusitasi kombinasi RL dan NS dan colloid.


7. Cegah terjadinya hiperglikamia.

Untuk TUGASMAS 375


376

ANESTESI UNTUK BEDAH SYARAF


PENGANTAR

Pembedahan syaraf pusat memerlukan penanganan anestesi yang khusus. Untuk


dapat melakukan pengelolahan anestesi pada tindakan bedah syaraf pusat, diperlukan
penguasaan beberapa ilmu dasar medik, yaitu anatomi dan fisiologi terutama mengenai
cairan cerebrospinal, aliran darah otak dan tekanan intra cranial, metabolisme otak,
farmakologi obat-obatan baik obat anestesi maupun obat yang sering digunakan pada
tindakan anestesi untuk pembedahan otak, serta obat yang tidak boleh digunakan pada
neuroanestesi.
Pengertian tentang keseimbangan cairan dan elektrolit serta perdarahan dan
penggantiannya yang agak berbeda dari pembedahan yang lain, tidak kalah pentingnya
untuk diperhatikan.
Buku pedoman ini dibuat berdasar atas kepustakaan dan pengalaman pribadi penulis di
RS Dr. Soetomo Surabaya, dengan maksud agar dapat digunakan sebagai pedoman bagi
para peserta didik serta para dokter spesialis anestesi yangn ada di daerah.
Oleh karena itu maka pengertian dasar tersebut diatas akan dibahas secara umum,
dengan harapan bahwa para peserta didik akan terpacu untuk mencari dan membaca
sumber-sumber lain yang dianjurkan dan lebih lengkap. Pembahasan akan meliputi hal-
hal sebagai berikut :
1. Anatomi dan fisiologi untuk neuroanestesia.
2. Fisiologi klinik dari susunan syaraf pusat :
- metabolisme
- aliran darah otak
- tekanan intra cranial dan pengaturannya.
3. Farmakologi obat-obat yang sering digunakan dalam praktek neuroanestesia.
4. Anestesia untuk pembedahan supratentorial.
5. Anestesia untuk pembedahan infratentorial (fossa post ).
6. Anestesia untuk pembedahan vasculer otak.
7. Anestesia untuk pembedahan kelenjar hypofise.

Untuk TUGASMAS 376


377
8. Anstesia untuk tindakan neurodiagnostik.
9. Anestesia pada pasien dengan hidrosefalus.
10.Anestesia untuk sumsum tulang belakang.
11.Trauma kepala dan aspek anestesia.
12.Anestesia untuk trauma leher.
13.Monitoring.
14.Pengaruh posisi pada pembedahan.
15.Pengaruh cairan.
16.Neurosurgical intesive care.
Diharapkan pembahasan di atas cukup menjadi bekal para peserta didik untuk mengerti
dasar-dasar praktis untuk neuroanestesia.
Didalam pelaksanaan penulisan, dibagi dalam dua tahap, dimana tahap pertama berisi
pokok bahasan 1 sampai dengan 7 sedangkan yang lain akan disusul kemudian.

ANATOMI DAN FISIOLOGI UNTUK NEUROANESTESI


Susuna saraf pusat (SSP) sangat peka terhadap trauma, hipoksia, anatomi dan
keadaan patefisiologi yang lain. Selain itu SSP tidak mempunyai kemampuan
pemulihan yang baik bila mengalami kerusakan. Keadaan ini mengharuskan kita untuk

Untuk TUGASMAS 377


378
memahami aspek anatomi dan fisiologi ssp dalam keadaan normal, yang mempunyai
nilai yang sangat menentukan dalam pengelolahan neoroanestesia. Sementara itu
keadaan patologis dari ssp sendiri juga mempunyai pengaruh yang besar terhadap
pemilihan obat dan cara pemberian anestesi. Dalam praktek sehari-hari setiap pasien
mempunyai masalah yang berbeda yang selalu diperhitunhkan secara hati-hati.
Komunikasi antara dokter anestesi dan dokter bedah saraf sangat penting dalam
menghadapi pasien-pasien ini sebagai suatu tim yang utuh. Masalah penyulit anestesi
yang timbul dan mempunyai dampak yang besar terhadap keberhasilan pembedahan.
Demikianpun sebaliknya, masalah pembedahan yang timbul akan penyebabkan
pengambilan keputusan segera melaksanakan penyesuian dalam management anestesi
dan pasca bedahnya.

SUSUNAN SARAF PUSAT


Terdiri dari otak dan sumsum belakang yang menempati suatu rongga yang
berhubungan dengan dibatasi oleh calvaria dan canalis spinalis. Otak berada dalam
tempurung kepala yang kuat sehingga akan melindungi otak dari cedera. Dibawah
tempurung ini terdapat durameter yang didalamnya terdapat jaringan otak, cairan
cerebrospinal dan cairan intravasculer. Tetapi rigiditas tempurung kepala ini
menyebabkan compliance jaringan didalamnya sangat dibatasi. Adanya suatu masa
tambahan didalam paremchymotakatau diluar otak (misalnya hidrocephalus, tumor atau
perdarahan) akan menyebabkan pendesakan itu sendiri ke arah dalam sehingga tekanan
dalam otak akan meningkat. Secara anatyomis ruang craniolspinal dibagi dalam
beberapa kompartemen yaitu supratentorial, fossa posterior dan spinal intradural.

Kompartemen supratentorial
Merupakan bagian terbesar, dibatasi oleh calvaris dan tentorium carebelli. Digaris
tengah terdapat faxx cerebri yang membagi ruang menjadi dua yaitu fossa cranialis
anterior dan fossa cranialis medialis, serta membagi otak menjadi 2 hemisfer.
Kompartemen supratentorial berhubungan dengan fossa posterior melalui suatu luban
g yaitu incisura tentorii, sedang fossa posterior berhubungan dengan kompartemen
intraspinalis melalui foremen magnum. Kedua ujung bawah dari falx cereori dan inci
sura pentori merupakan lokasi yang sangat penting untuk terjadinya kerusakan sekunder
terhadap ssp.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan :

Untuk TUGASMAS 378


379
1. Apabila daerah lubus fronspilis terdapat massa maka akan terjadi herniasi subfeccial.
Keadaan ini akan dapat menyebabkan kerusakan langsung pada daerah gyrus cingulata
dan ischemis otak karena terkenanya a. Cerebri anterior.
2. Herniasi yang terjadi melalui incisura tentorial akan menyebabkan tertekannya batang
otak yang merupakan tempat dari pusat-pusat vital, sehingga mempunyai arti klinik
yang jauh lebih penting.
3. Terdapatnya massa dilateral akan memberikan penekanan keadaan caudal dan medial
dilobus temporalis, sehingga menyebabkan ischemia dari cortex uncus yang berakibat
penekanan pada n. Oculomotorius, a. Cerebri posterior dan pedunculus cerebri.
Keadaan tersebut secara klinis dapat dideteksi dengan adanya :
- dilatasi pupil yang ipsilateral dan reaksi pupil terhadap cahaya jelek.
- hemiplegia kontralateral
- kadang-kadang infrax dari lobus medialis occipitalis yang ipsilateral
Apabila lateral yang terjadi diffus, maka dapat terjadi penekanan pedunculus cerebri
yang dapat kontralasteral terhadap dinding medial dari incisura tentorii yang
kontralateral, sehingga menghasilkan suatu hemiplegi ipsilateral.
4. Adanya massa paramedial didaerah supratentorial dapat menyebabkan terjadinya
herniasi melalui...... tentorii yang dapat menimbulkan pergeseran tempat dari struktur-
struktur melalui foremen magnum.

Posma posterior
Merupakan ruangan dibawah tentorium dengan banyak pusat-pusat vital. Disini
terdapat cerebellum dan bagian caudal batang otak. Bagian caudal batang otak ini
terletak sebelah ventral sepanjang clivus dihubungkan dengan bagian rostral batang otak
melalui suatu incisura tentorial dan berhubungan dengan spinal cord melalui foremen
magnum. Adanya massa meskipun kecil baik di cerebellum ataupun didaerah batang
otak akan memberi efek yang sangat besar, meskipun hanya didahului oleh gejala yang
tidak terlalu berat. Kerusakan di daerah reticular activating sistem akan menyebabkan
turunnya kesadaran, sedangkan kerusakan di pusat nafas atau pudat pengatur
hemodinamik akan menyebabkan henti nafas dan gangguan hemodinamik. Kerusakan di
batang otak akan menyebabkan pula gangguan fungsi dari sarf-saraf pusat.

Kompartemen spinal intradural :


Kompartemen ini menggambarkan bagian penting dari seluruh isi kompartemmen
craniospinal. Chords spinalis memanjang hanya sampai disegmen limbangn I.

Untuk TUGASMAS 379


380
Sedangkan rongga subarachncid didaerah sakral dan lumbal (LRS-2) menggambarkan
reservoir cairan cerebrospinalis (CSF) melalui manaradix saraf sakral dan lumbal lewat.
Disekitar dura dalam canalis spinalis terdapat plexus venosus spinalis yang
menggambarkan volume vascular ekstradura yang dapat dipindahkan. Kemampuan
distensi dari dura meskipun kecil serta kemampuan mengecil dari plesus venosus
epidural merupakan landasan dari kemampuan rongga subaraclinoid untuk menampung
perpindahan CSF karena adanya ekspansi intrakranial dengan cepat.
Kompliance dari kompartemen spinal intradural yang lebih besar ini juga merupakan
faktor dari patogenesis herniasi transforaminal.

Pembuluh darah otak dan sumsum tulang belakang :


Dalam mneuroanastesi pengetahuan tentang aliran darah otak sangat penting.
Terjadinya ischemia otak dalam waktu yang singkat pada otak yang normal akan
menyebabkan kerusakan yang menetap. Keadaan global ischemia ini misalnya terjadi
padan pasca henti jantung atau hipotensi sistemik yang sangat hebat. Anatomi pembuluh
darah otak dan sumsung tulang belakang mempunyai keunikan yang perlu
dipertimbangkan dalam praktek neuroanestesi. Pembuluh darah otak ini mempunyai
kemampuan untuk mengadakan kolateral yang berasal dari anastomosis arteri pada
circulus willisi dan potensi perfusi yang berlebihan dari hampor semua area diotak oleh
berbagai suplai pembuluh darah. Aliran kolateral dari arteri distal tumbuh lambat, jadi
terjadinya pembuntuan yang mendadak dari distal arteri akan menyebabkan terjadinya
necrosis karena ischemia dari daerah tengah otak yang mendapat darah. Tetapi bila
pembutuan terjadi pada pembuluh darah besar misalnya a. Carotis interna mungkin
tidak menyebabkan sesuatu karena adanya kolateral dari circulus willisi.
Disumsum tulang belakang daerah yang mempunyai resiko besar untuk
mengalami ischemia ialah thoracal IV. Sistem vena juga mempunyai anastomosis yang
sangat banyak yang berguna untuk drainage daerah vena.

Untuk TUGASMAS 380


381
FISIOLOGI KLINIK SUSUNAN SYARAF PUSAT

1. Metabolisme otak
Energi yang digunakan untuk berfungsinya neuron berasal dari pemecahan
molekul kaya energi (TP).
Sebagian besar ATP dihasilkan oleh otak dengan jalan okidasi glukosa dengan
ADP dan Fa
2.

Untuk TUGASMAS 381


382

FRAKOLOGI OBAT-OBAT YANG SERING DIGNAKAN

Obat inhalasi anestesi


Pada obat-obat yang akan digunakan pada pemberian anestesi untuk
pembedahan syaraf pusat mempunyai peran sangat penting. Pengaruh dari obat-obat ini
terhadap fisiologi otak harus dimengerti sebaik-baiknya, agar dapat dihindari atau
dikurangi seminimal mungkin terjadinya pengaruh yang kurang baik tetapi dapat
diambil manfaatnya sebesar mungkin.
Obat-obat anestesi inhalasi akan menyebabkan depresi SSP tergantung dari dosis
yang digunakan (dose dependent).
Keadaan ini dapat dilihat dari gambaran EEG yang secara progresif lambat. EEG
menjadi isoelectrik pada keadaan depresi. Maksimal dari fungsi neuron. Dalam keadaan
ini maka CMRG2 menjadi minimal pula yaitu 40-50%. Dalam memilih obat-obat
anestei yang akan digunakan perlu dieprtimbagnkan efek obat tersebut terhadai :
- Aliran darah otak (CRF)
- Volume darah otak (CBV)
- Tekanan intracranial (ICP)
- Metabolism otak (CMRO2)

Halotan
Halotan menurunkan CMRO2 yang paling kecil, bila dibandingkan dengna obat
volatile anestesi yang lain. Pada kadar 1,5% halotan akan menurunkan CMRO2 25%.
Keadaan isoelektrik tercapai pada kadar 4,5%. Pada kadar lebih dari 2% didug akan
menyebabkan terhentinya respirasi mitochondria.
Kadar asam laktat otak meningkat sementara itu komponen energy tinggi akan
berkurang bila dosis halotan dinaikkan.
Halotan akan meningkatkan CBF 2 kali lebih besar daripada obat valatil anestesi yang
lain sehingga jelas akan mengganggu autoregulasi.
CBV meningkat dengan 12% kecepatan produksi CSF akan berkurang tetapi hambatan
dalam obsorbsi lebih besar.
Kenaikan ICP tidak akan tampak bila dilakukan hiperventilasi sebelum halotan
diberikan.

Nitrous Oxida (N2O)

Untuk TUGASMAS 382


383
N2O sangat banyak digunakan dalam neuroanestesi. N2O hanya mempunyai
pengaruh kecil atau hanya terjadi kenaikan sedikit dari CMRO2 dibandingkan dengan
obat volatile anestesi lainnya. Dianara obat inhalasi anestesi, N2O merupakan obat yang
paling kecil potensinya dan paling lemah efek vasodilatasinya pada sirkulasi otak. Dari
percobaan-percobaan binatang dilaporkan bahwa dengan kadar 70% N2O akan
menyebabkan pengurnagan CMRO2 25% dengan CBF yang tidak berubah. Ini berarti
bahwa CBF sedikit meningkat, peneliti lain mendapatkan terjadinya kenaikan sedang
dari ICP bila N2O diberikan dengan teknik cormocapnia pada pasien dengan tumor
otak. ICP akan segera turun kembali keharga normal apabila N2O dihetnikan. Pada
percobaan anjung dengan pengukuran secara langsung didapatkan terjadinya kenaikan
CMRO2 dan CBF yang dapat dicegah dengan pemebrian barbiturate sebelumnya.
Pemberian diazepam dan thicpentone jelas akan memblokir terjadinya kenaikan ICP
yang disebabkan oleh N2O. sementara itu peneliti lain mendapatkan bahwa pada trauma
kepala yang hebat, pemebrian H2O 50% untuk sedasi selama fisioterapi jelas
meningkatkan ICP. Kalau dilihat hasil-hasil penelitian tersebut di atas, maka diduga
bahwa efek N2O terhadap metabolisme otak dan perubahan CBF berubah sesuai dengan
dalamnya anestesi dan obat anestesi lain yang digunakan ebrsama-sama.

Enflurane
Enflurane merupakan isomer dari isoflurane tetapi mempunyai efek terhadap
SSF yang sangat berbeda.
Pada penggunaan enflurane dengan dosis ringan disertai dengan adanya hipocapnia
kaerna tekhnik hiperventlasi akan terjadi rangsangan seperti epilepsi. Oleh Karen aitu
maka enflurane tidak banyak mendapat tempat pada neuroanesteia.
Enflurane menurunkan CMRO2 lebih besar dari halatan tapi lebih sedikit dari isoflunae.
Tetapi dengan adanya rangsangan seperti epilepsi tersebuat maka CMRO2 akan
meningkat 400% dengan diikuti kenaikan CBF jauh diatas harga nrmal yang bias
didapat pada penggunaan enflurane. Dalam pemakaian klinis sehari-hari sebetulnya
hanya terjadi kenaikan sedikit dari CBF karena terjadinya penurunan tekanan darah.
Dalam kadar pemakaian klinis CBV akan meningkat 15%.

Isoflurane
Isoflurane merupakan obat pilihan untuk neuroanestesia. Isoflurane jelas
menurnkan CMRO2 sebanyak 50% pada 2,0 MAC yang sesuai dengan isoelektrik pada
EEG. Efek penurunan CMRO2 ini disebabkan oleh penruunan fungsi neuron, bukan

Untuk TUGASMAS 383


384
karena toksisitas metabolic. Isoflurane meningkatkan CBF paling rendah dibandingkan
dengan obat inhalasi anestesi lainnya. Autoregulasi terganggu tetapi masih berfungsi
sampai 1,5 MAC.
Respon terhadap hipocapnia tetap utuh sampai 2,8 MAC tetapi bila dosis dinaikkan lagi
maka PaCO2 gagal untuk mempengaruhi CBF, terutama karena pembuluh darah otak
telah mengalami dilatasi maksimal. Isoflurane akan menyebabkan kenaikan CBV dan
penurunan tahanan terhadap absorbsi CSF. Dengan tekhnik hiperventilasi maka
perubahan ICP yang terjadi minimal.

Barbiturat
Kegunaan barbiturate dalam neuroanestesia mempunyai beberapa alas an antara
lain :
1. Menurunkan CMRO2 dengan jalan mengurangi aktifitas neuron. Keadaan ini
akan menghasilkan pengurangan CBF dan ICP sekaligus. Peningkatan CVR
yang terjadi hanya mengurangi CBF pada daerah yang normal. Didaerah yang
mengalami ischemia atau kerusakan terjadi vasoparalisis, sehingga gagal untuk
bereaksi dan akibatnya tetap dalam keadaan dilatasi maksimal. Akibatnya
terjadilah shuting darah dari daerah normal kedaerah yang mengalami ischemia.
CMR dapat turun maksimal 50% dari normal dengan gambaran EEG datar.
Dengan penambahan dosis lagi tidak akan menambah pengaruhnya pada
CMRO2.
2. Barbiturat bekerja dengan menimgkatkan inhibisi dan blocking trasmisi synaps
untuk eksitansi dengan jalan berinteraksi dengan kompleks reseptor GABA pada
tempat yang berbeda dari reseptor benzodiazepin. Dengan memperpanjang
penempatan GABA maka lamanya inhibisi GABA diperpanjang pula.
3. Barbiturat mengurangi aktifitas radikal bebas yang mungkin dapat mencegah
kerusakan lebih lanjut dari zona ischemik. Juga merupakan anti konvulsan yang
kuat. Efek tersebut menyebabkan barbiturat digunakan untuk proteksi otak.

Kerugian pengunaan barbiturate

Kerugian pertama ialah depresi kardiovasculer yang tergantung pada dosis baik
secara langsung maupun tidak langsung. Terjadi vasedilatasi perofer sebagai
akibat dari turunnya tonus simpatis dan depresi pusat presor dimedulla. Hasil
akhir berupa penurunan tekanan darah yang membantu terjadinya penurunan

Untuk TUGASMAS 384


385
CPP. Penyuntikan sacara pelan tidak akan mengilangkan efek ini, sehingga yang
terjadi bahkan perlunya dosis yang lebih besar. Barbiturat yang paling sering
digunakan pada neuroanestesia yaitu thiopental (pentotal). Thiopental
dimetabolisir dihepar dengan kecepatan 10-25% / jam, sebagian besar diubah
menjadi metabolit yang tidak aktif, kecuali sedukit yang menjadi long acting
pentobarbital. Ratio ekstrasi oleh hepar lamoat dan tergantung pada aliran
daerah hepar (HBF = hepatic blood flow), sedang eliminasinya tergantuing pada
kapasitas enzim. Saturasi enzim hepar mulai pada kadar dalam plasma 10-50
u/ml. Eliminasi yang lambat ini memungkinkan terjadinya penumpukan bila
digunakan infuse dosis yang besar.

Promofol

Sebagai obat anestesi intravena yang baru, propofol efektif baik untuk induksi
maupun maintenance. Dengan obat ini CBF turun dengan 30%, CMRO2 turun dengan
39% dan ICP maupun CPP juga turun sebagai akibat penurunan tekanan darah pada
waktu induksi dengan dosisi besar. Neuroanestesia dapat dilakukan dengan infuse
kontinu. Depresi SPP tregantung pada dosis. Pulih sadar cepat, terlihat dari kembalinya
gelombang alfa pada EEG. Tidak menimbulkan gelombang seperti epilepsy. Pada 15%
pasien dapat timbul tremor atau twitching.
Propofol menyebabkan depresi sirkulasi yang lebih besar daripada barbiturate,
yaitu penurunan tensi sebesar 15-30%, tanpa adanya kenaikan nadi. Propofol juga
menyebabkan depresi respirasi dengan periode apnea sampai 2 menit.

Narkotik

Narkotik menghasilkan pelambatan EEG secara dose-dependent. Narkotik ini


tidak pernah menyebabkan terjadinya gambaran isoelektrik pada EEG. CMR menurun,
CBF dan ICP menurun dengan menurunnya CMR. Tetapi perubahan ini sedikit sekali
dan tampaknya tergantung pada teknik anestesi yang digunakan. Narkotik menimbulkan
sedasi, diperkirakan ini disebabkan lebih banyak karena terjadinya blockade afferent
dari pada depresi menyeluruh dari SSP. Narkotik menyebabkan timbulnya depresi pusat
nafas yang tergantung dari dosis. Yang dipengaruhi frekwensi pernafasan , irama,
respon terhadap CO2 dan volume tidal. Secara klinis keadaan ini dapat terlihat dari
frekwensi nafas yang menurun, yang sebagian dikompensirdengan naiknya volume

Untuk TUGASMAS 385


386
tidal. Turunnya respon terhadap CO2 menghasilkan hiperkapnia yang akan menaikan
CBF dan CBV. Bagi pasien-pasien dengan compliance intracranial yang rendah
keadaan ini akan menghasilkan suatu kenaikkan tekanan intracranial yang
membahayakan pasien karena akan menyebabkan turunya CPP. Anak-anak dan orang
tua atau pasien dengan gangguan paru sangat sensitive terhadap obat-obat yang
menyebabkan depresi nafas, sehingga pengunaaan narkotik pada kelompok umur ini
harus lebih hati-hati. Penyulit yang cukup serius atas pengunaan narkotik pada pasien
bedah saraf yaitu terjadinya kekakuan otot (muscle rigidity). Angka kejadian meningkat
dengan penambahan dosis dan kecepatan pemberian. Keadaan ini dapat menyebabkan
kesulitan dalam melakukan pemberian nafas buatan pada pasien, terutama pada waktu
induksi. Sementara itu rigiditas juga akan menyebabkan hipoventilasi sebagai akibat
dari depresi nafas, yang kemudian menyebabkan naiknya PaCO2. Berikutnya dapat
terjadi kenaikan CVP sehingga drainage veous dari intracranial akan berkurang,
akibatnya CBV meningkat yang potensial akan meningkakan ICP. Untuk mengatasi
rigiditas ini yang terbaik dengan memberikan obat pelemas otot sebelum narkotik
diberikan. Efek narkotik pada saluran cerna antara lain menurunkan mobilitas saluran
cerna, meningkatkan isi lambung sehingga menambah resiko terjadinya aspirasi.

Morphin

Morphin ini tidak larut dalam lemak dan peentrasi ke SSP kurang baik. Hanya
sebagian kecil yang sebenarnya menembus otak, lebih banyak ditentukan oleh CBF.
Kadar pucak dalam CSF dicapai 15-30 menit setelah pemberian secara bolus IV,
kemudian pelan-pelan menurun. Efek terhadap kardiovaskuler menurunkan tekanan
darah dengan jalan :
- Menurunkan denyut jantung.
- Hilangnya tonus simpatis akan menghasilkan vasodilatasi yang diikuti oleh
turunnya vaneus return.
- Pelepasan histamine bila morfin diberikan dengan dosis lbih besar dari 5
mg/menit.

Fetidine
Potensi sepersepuluh dari morfin. Mempunyai efek yang kurang menguntungkan
yaitu eksitasi SSP dan kejang dapat terjadi dengan terjadinya akumulasi metabolit yang
aktif (normaperidine). Keadaan ini terjadis etelah pemberian infuse dengan dosis yang

Untuk TUGASMAS 386


387
besar atau pada pasoen dengan kegagalan ginjal. Petidine menyebabkan meningkatnya
nadi, karena sirukturnya mikrip dengan atropine. Selain itu patidin juga menyebakan
midranisis, kurang mempunyai efek autitusif. Secara keseluruhan peditin kuran cocok
digunakan pada neuroanestesia.

Fentanyl
Fentanyl merupakan narktik pilihan ntuk neuroanastesia. Fentanyl 100 kali lebih
besar dari morfin, ensena lebih cepat dan masa kerjanya lebih pendek. Dengan
kombinasi N2O akan menurunkan ICP dan mempertahankan CRP lebih baik dari pada
subfentanyl itu

Sufentinyl
Potensi sufentinyl kira-kira 5-10 kaly fentanyl, tetapi emmpunyai index terapi
tertinggi dari golongan opiate yang digunakan secara klinis.
Subfentanyl mampu menurunkan MAC dengan 90% hemodinamik stabil tetapi
diketahui bahwa menyebabkan kenaikan ICP, mungkin karena terjadinya vasodilatasi
cerebral dengan penurunan ringan dari CPP. Oleh karna itu sebaiknya dihindari
pemakaiannya pada pasien dengan komplians intrakarsial yang menruun. Sufentanyl
sangat larut dalam lipid dan memasuki SSP dalam waktu cepat, peak tercapai dalam
waktu 5 menit. Volume distribusi lebih rendah dari fentanyl, ikatan dengan protein lebih
tinggi dari pada fentanyl. Ketablisme terjadi diheper, eliminasi lewt empedu dan ginjal.

Alfentanyl

Untuk TUGASMAS 387


388
Alfentanyl dikatakan 10 kali kurang poten disbanding fentanyl, bahkan ada yagn
mengatakan 70 kali lebih lemah. Onset cepet (1*2 menit) dengan lama kerja yang lebih
pendek dari pada narkotik yang lain. Volume distribusi sangat kecil setelah pemberian
50 ug/kgbb hanya diperlukan waktu 10 menit untuk kembalinya ventilasi yang spontan.
Hal ini disebabkan oleh terjadinya redistribusi, sangat luas dimetabolisir diheper
sebagai retabolit inaktif. Meskipun alfentanyl menyebabkan kenaikan ringan ICP
tekanan darah sangat menurun sehingga menghasilkan penurunan CPP yang sangat
besar.

Golongan Benzadiazeoin
Merupakan sedative-hipnotika yang mempunyai efek yang luas, juga bersifat
ansiolotik, antikunvulan dan menyebabkan amnesia. Benzodiazepine menghasilkan
depresi SSP tergantung pada dosis dengan penurunan cmro2 dan dengan hasl akhir
penurunan CBF dan ICP. Mekanisme kerja mempengaruhi fasilitasi CABA inhibisi
dalam SSP tetapi juga mengantagonisir serotonin sentral dan menurunkan acetylcholine
dalam otak.
Benzodiazepine juga mempunyai efek proteksi terhadpa otak tetapi lebih dari
barbiturut.

Dlazepam
Dlazepam terutama digunakan sebagai obat premedikasi oral, dengan kadar
puncak dalam darah dicapai setelah 1 jam pada orang dewasa, 15-30 menit pada anak-
anak. Merupakan antikonvulsan yang sangat baik.
Depresi kardiovaskuler minimal, sehingga dapat digunakan sebagai obat induksi,
tetapi omsetnya lambat sedang pulih sadarnya memendek. Metabolism terjadi di hepar
dengan menghaslkan metabilit yang berefek lama (long acting). Eliminasi memanjang
dengan bertambahnya umur, penggunaan cimetidin dan penyakit hepar. Dlazepam
terikat pada protein tetapi dengan mudah diusir oleh heparin.

Midazolam
Potensi medazolam kira-kira 3-4 kali diazepam dengan omset yang lebih cepat
dan pulih sadar juga lebih cepat. Tetapi midazolam mempenguruhi stabilitas
hemodinamik dengan menurunkan tekanan darah yang diperberat dengan adanya
hipovolemia, sehingga tahanan pariver dan curah jantung turun. Dengan midazolam
terjadi penurunan CBF dan CMRO2 dengan 40% . Midazolam juga mempunyai efek

Untuk TUGASMAS 388


389
antikonvulsan yang lebih baik dari pada diazepam karena adanya penetrasi dan
kekuatan terhadap SSP yang lebih besar. Midazolam tidak mempunyai kekuatan uang
analgesic. Depresi pernafasan yang terjadi sedikit lebih besar daripada diazepam.
Anterograde amnesia sangat kuat dan berlangsung sampai 1 jam setalah pemberian
premedikasi secara imbang, 2 jam setelah pemberian induksi secara iv.

Ketamin
Pengunaan ketamin dalam neuroanestesia sangat terbatas. Obat ini menyebabkan
vesodilatasi cerebral sehingga meningkatkan CBF dengan 60-80 % yang dengan
sendirinya masih akan mengakibatkan kenaikan ICP. Ketamin juga meningkatkan
hambatan terhadap resobrasi CSF. Metabolisme otak tidak terpengaruh.
Ketamin mengaktifkan struktur limbic (sehingga meningkatkan metabolisme
glikose), tetapi menyebabkan depresi di daerah lain (menurunkan metabolism glucose)
terutama di cortex dan serabut-serabut asosiatif. Keadaan ini hanya terjadi pada kadar
anestesi dalam plasma. Pada kadas subanestesi maka akan terjadi eksitasi menyeluruh
dengan kenaikan CMRO2 yang menyeluruh.

Butyrophenon.
Droperidol terutama digunakan sebagai antiemetic atau sebagai neurolept
dengan kombinasi narkotik. Oleh karena droperidol merupakan vasokonstriktor
pembuluh darah otak, maka akan terjadinya penurunan CBF dan juga ICP tanpa
terjadinya perubahan pada CMRO2. Secara teori ini mungkin dapat memperburuk
inchemia karena mungkin CBF tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan. Dropeidol
tidak menyebabkan amnesia dan tidak mempinyai efek antikonvulsan.
Dropeidol meningkatkan respon pernafasan terhadap hipoksemia bila digunakan sendiri.
Efek samping dari dropeidol antara lain diskinesia, halusinasi, agitasi. Dropeidol
mempunyai efek anti disritmia dan proteksi terhadap distrimia yang disebabkan karena
andrenalin. Dropeidol menurunkan tekanan darah sebagai akibat dari kerjanya terhadap
susunan saraf pusat. Pada umumnya penurunan tidak terlalu besar, meskipun kadang-
kadang dapat menyebabkan hipotensi yang cukup besar.

Obat pelemas otot (muscle relaxant)


Obat pelemas otot secara tidak langsung dapat menyebabkan CBF, dengan
mempermudah intubasi, memberikan relaksasi selama pembedahan, menjamin bahwa

Untuk TUGASMAS 389


390
pasien tidak bergerak. Pemilihan obat pelemas otot dengan mempertimbangkan
beberapa hal :

- Lama kerjanya
- Eliminasinya
- Efek sampingnya
Efek samping yang perlu diperhatikan ialah kenaikan ICP, tekanan darah yang
keduanya merupakan penentu bagi CPP.
Succinylcholine
Obat ini merupakan satu-satunya depolarizing muscle relaxant yang digunakan
untuk mempermudah intubasi. Succinylcholine tidak memp[unyai efek pada dinamika
CSF. Kenaikan ICP yang terjadi tidak tergatung pada fasikulasi, tetapi mungkin karena
vasodilatasi cerebral. Meskipun telah didahului dengan pemberian penthotal dan
hiperventilasi pada waktu induksi, kenaikan ICP yang lebih besar terjadi pada
pemberian succinylcholine dibanding dengan pancuronium. Kenaikan ini dapat dicegah
dengan blockade nondepolarisasi secara lengkap. Dengan pemberian dosis kecil
nondepolarizing mucle relaxant sebelum cuccinylcholine diberikan. Untuk itu
diperlukan waktu antara 3-4 menit. Pemberian succinylcholine pada pasien dengan
trauma dan luka bakar harus dilakukan dengan hati-hati, demikian pula pada pasien
dengan penyakit saraf atau penyakit otot karena bahaya terjadinya hiperkalemia yang
mengancam jiwa. Dalam keadaan ini pre-treatment dengan nondepolarizing relaxant
tidak dapat melindungi.
Respons hiperkalemia ini dapat terjadi dalam beberapa jam setelah trauma, beberapa
hari setelah combustrio dan beberapa minggu setelah stoke.

Nondepolarizing relaxant
Obat pelemas otot nondepolarisasi (NDMR) bekerja sebagai kompetitif
antagonis terutama di postsynaptic tetapi juga presynaptic, reesptor cholinergic pada
neuromuscular junction. Farmakologi dari golongan ini bervariasi. Seleksi untuk
pengunaannya harus didasarkan atas efek utamanya pada fisiologi cerebral dan
pertahanan CPP.

Pancuronium
Pancuronium tidak mempunyai efek langsung pada ICP tetapi mempunyai efek otonom
yang kuat. Sifatnya vagolitik dan simpatomimetik, serta mempengaruhi konduksi SA

Untuk TUGASMAS 390


391
dan AV node. Hasilnya ialah terjadinya takhikardia, seringkali nodal dan kenaikan
ringan darah jantung dan tekanan darah. Pancuronium dimetabolisit di hepar dan
diekskresi melalui ginjal.

Atracurium.
Atracurium dapat menyebabkan pelepasan histamine (ringan), tidak mempunyai efek
pada ICP. Dapat menyebabkan penurunan tensi bila diberikan dosis besar dan cepat,
yang dapat dicegah dengan pemberian dosis kecil yang berulang. Metabolisme terjadi di
jaringan dan dalam plasma, 2/3 dengan jal;an hidrolosis dan yang 1/3 nya dengan
degragasi hormone. Lama kerjanya 30 sampai 40 menit setelah dosis intubasi.
Atracurium dapat menembus plasenta barier.

Vecuronium.
Vecuronium tidak mempengasruhi dinamika CSF maupun ICP. Dengan kombinasi
narkotik dapat menyebabkan bradikardia terutama disebabkan oleh karena tidak ada
yang melawan aktifitas vagotonik dari narkotik. Untuk itu yang dapat mencegah yaitu
dengan pemberian atropine sebelumnya. Metabolisme vecuronium terjadi di hepar. Pada
kegagalan fungsi hepar akan terjadi pemanjangan waktu kerja, karena pemulihan dari
efek vecuronium terjadi sebagai akibat distribusinya, bukan karena fase eliminasi.
Metabolitnya mempunyai aktifitas sedang dan dibuang melewati empedu.

dTubocurarine
Curare bila diberikan dengan cepat dapat menyebabkan pelepasan histamia yang akan
menyebabkan penurunan CCP dan vasodilatasi cerebral. Histamin akan menyebabkan
vasodilatasi, hipotensi, reflex bradikardia dan inotropik positif ringan dan meningkatkan
parmeabilitas vascular. Keadaan ini di dalam otak mengakibatkan edema otak.

Obat-obat vasoaktif.
1. Vasopressor (phenylephirene, andrenalin dan nonandrenalin) tidak dapat
menembus BBB, sehingga hanya sedikit mempunyai efek langsung terhadap
pembuluh darah otak. Tetapi karena obat-obat tersebut menyebabkan naiknya
tekanan arteri perifer, maka secara tidak langsung dapat mengakibatkan naiknya
CBF. Dalam keadaan dimana terjadi kerusakan BBB maka andrenalin akan
menstimulir metabolism otak dan meningkatkan CBF.

Untuk TUGASMAS 391


392
2. Obat vasodilator seperti ganglion blocker (misalnya trimetaphon) dengan dosis
1-4 mg/menit digunakan untuk tekhik dilabreta hypotension pada bedah otak,
karena obat ini tidak menyebabkan kenaikan CBF atau ICP sebanyak yang
disebabkan oleh vasodilator lainnya. Tetapi obat ini menyebabkan cycloplegia
dan mydriasis, sehingga sering mengacaukan penilaian pasca bedah dini.
Sodium nitroprusid, nitroglycerin dan hydralazine menyebabkan dilatasi cerebral
secara langsung, sehingga menaikan CBF.

Efek suhu pada metabolisme


Hipotermi akan menurunkan CMRO2 7% pada tiap penurunan 1.. C, sedang hipertermi
sebaliknya.

B A B IV

ANSTESI UNTUK PEMBEDAHAN SUPRATENTORIAL

Sebagian besar pembedahan saraf adalah pembedahan di daerah supratentorial, yang


meliputi tumor, hematoma atau trauma. Secara umum akan diuraikan piñata laksana
anesthesia untuk prosedur operasi di daerah supratentorial. Namun demikian perlu
diingat patologi yang mendasarinya, yang dapat menyebabkan perencanaan anestesi
yang berbeda pula.
I. Evaluasi pra bedah.
Seperti pada persiapan pemberian anestesi pada umunya, maka persiapan dimulai
dengan kunjungan pra bedah (pra-operation visit). Dilakukan pengambilan anamnesis
terhadap riwayat penyakit yang lengkap, terutama meliputi fungsi jantung dan paru serta
adanya penyakit sistemik lainnya. Keadaan ini harus dipastikan untuk dilakukan
perbaikan/ terapi sebelum dan sesudah tindakan operasi dilakukan dan semua harus
tercantum pada perencanaan. Penyakit yang menyangkut SSP, adanya riwayat kejang-
kejang harus mendapat terapi yang akurat. Harus dicatat riwayat pengunaan obat-obatan
dan dipelajari apakah ada yang berpengaruh terhadap masa perioperatif. Obat yang

Untuk TUGASMAS 392


393
sering digunakan ialah steroid, yang akan menaikan kadar gula darah dengan jalan
stimulasi gluconeogenesis dan menyebabkan supresi langsung kelenjar adrenal yang
mengakibatkan terjadinya hipotensi dengan adanya stress berupa anestesi dan operasi.
Hipotensi ini sering sulit diatasi. Obat lain yang juga sering digunakan ialah
antihipetensi, yang akan merubah keadaan volume intravascular dari pasien. Diuretik
dan manitol yang digunakan untuk mengurangi edema dapat menimbulkan hipotensi
dan ….. pada waktu induksi. Antidepresi golongan ……… akan menyebabkan
terjadinya hipertensi selama operasi dan aritmia. Pemeriksaan fisik terutama langsung
ditujukan pada jalan nafas, paru dan sitem kardiovasculer. Sementara itu status
neurologis harus dinilai. Derajad kesadaran harus di nilai dengan Glasgow Coma Scale.
Penilaian adanya gejala neurologis dan kesadaran harus dilakukan lagi sebelum pasien
induksi.

Intracranial compliance.
Telah disebutkan bahwa adanya massa di dalam otak menyebabkan intracranial
compliance menurun. Adanya shift dari garis tengah serta adanya penekanan pada
ventrikel yang tampak pada CT Scan menandakan compliance jelek. Kenaikan tekanan
intracranial ini harus dinilai pada waktu pemeriksaan fisik, tanda-tanda klinis yang
spesifik untuk kenaikan tekanan intracranial yang meningkat.

Keseimbangan cairan dan elektrolit.


Pasien-pasien dengan SOP biasanya menunjukkan gangguan keseimbangan cairan dan
elektrolit, serta intoleransi glikosa. Hal ini disebabkan oleh karena restriksi cairan,
pengunaan diuretic, pemasukan cairan yang kurang, pengunaan steroid dan kadang-
kadang adanya abnormalitas endoktrin yang bersifat sentral. Gangguan yang
ditimbulkan oleh adanya hipokalemia, hiponatremia dan hyperglycemia harus dikoreksi
dulu pada masa prabedah. Selain itu juga perlu diperhatikan dan bila perlu perbaikan
dari kadar hemoglobin dan albumin. Adanya hipoalbuminemia harus dikoreksi lebih
dulu mengingat bahaya terjadinya edema otak akan menjadi lebih besar.

Ketergantungan pada obat.


Dalam keadaan tertentu, pasien kadang-kadang tergantung pada obat obat anti
convulsan atau steroid. Obat obat ini harus diberikan sampai pada pagi hari sebelum
operasi dilakukan.

Untuk TUGASMAS 393


394
II. Premedikusi
Pada umumnya pasien pasien dengan SOP sangat sensitive terhadap obat obat yang
mempengaruhi CNS (misalnya sedative, narkotika), sehingga pemberian premedikasi
haruslah dengan sangat hati hati. Sebagai gambaran secara umum, biasanya pasien yang
datang di RSUD Dr. Soetomo pada umumnya dalam keadaan yang jelek dan
compliance yang rendah. Pemberian narkotik akan menyebabkan retensi CO2 atau
muntah, dan keadaan ini akan menyebabkan kenaikan tekanan intracranial. Bila untuk
pasien yang akan dioperasi dipandang perlu untuk diberi premedikasi, maka dapat
dipilih benzodiazopin (diazepam) atau bila ada dapat diberikan yang short acting seperti
Midazolam dengan dosis 0.025 -00.05 mg/kg.BB im. Obat lain yang dapat digunakan
untuk premedikasi ialah droperidol dengan dosis 2.5 mg. Keuntungan pengunaan obat
ini ialah efek anti emektiknya yang sangat kuat. Obat ini akan menyebabkan
vasodilatasi perifir dan dapat menurunkan tekanan darah. Dari pengalaman di RSUD
Dr. Soetomo, obat premedikasi yang dianjurkan yaitu kombinasi droperidol dan sulfas
atropine, yang memberi hasil yang memuaskan.
III. Management anestesi
Induksi
Induksi yang terbaik dengan mengunakan barbiturate yaitu pentothal. Dengan
pemberian pentothal akan terjadi penurunan yang cukup besar dari CMRO2, CBF dan
ICP. Induksi harus dilakukan sedemikian agar pasien tidak mengalami batuk batuk yang
dapat menyebabkan kenaikan tekanan intracranial dan herniasi. Urut urutan induksi
terdiri dati 4 tahap :
1. Preoksigenasi dengan nafas dalam (hiperventilasi)
2. …………………….. mg/kg bb iv. Diikuti dengan pemberian hiperventilasi
dengan masker untuk meyakinkan bahwa jalan nafas bebas.
3. Diberikan succcinyleno…., dengna dosis 1.5 – 2 mg/kg bb disuntikkan
pelan-pelan agar tidak terjadi fasikulasi yang hebat.
Apabila tekanan intrakrantat sangat tinggi atau pada AVM maka tidak
diberikan succlnyline. Sebagai gantinya diberikan nondapolariaing relazan
(……………………………….) dengan dosis 0.8 mg/kb bb yang diberikan
sebelum pemberian pentothal.
Sementara itu hiperventilasi terus diberikan.
4. Apabila relaksasi sudah tercapai dilakukan spray daerah pilleu vocalis
dengan xylocain 10%. Kemudian dilakkan pemasangan pula endotracheal
non kink. Dilakukukan pemasangan tampon didaerah pharynx.

Untuk TUGASMAS 394


395
Sebagai pengganti …. Dapat pula dilakukan pemberian ……………….
Sebelum intubasi.

Maintenance (rumatan)
Tujuan pemberian anastesi untuk pembedahan otak ialah :
1. Agar selama pembedahan pasien kehilangan kesadarannya dan tidak bergerak.
2. Menajga agar tekanan perfusi otak (CCP) tetap adekuat.
3. Mendapatkan “slack” brain agar kondisi operasi dapat ooptimal.
4. Menghindari terjadinya peningkatan tekanan intra cranial.
5. Mengusahakan agar pada akhir pembedahan pasien dalam keadaan sadar.
Didalam praktek seringkali dilakukan “blackout” pada pasien, dimana pasien
tetap dipasang pada ventilator untuk beberapa saat (beberapa jam sampai 24
jam) dengan indikasi yang kadang-kadang tidak jelas.
Pada keadaan ini maka pada akhir operasi pasien tidak segera dibangunkan.
Pada umumnya hal ini dilakukan pada keadaan dimana terjadi penyulit pada
waktu pembedahan (misalnya perdarahan yang banyak, edema otak yang hebat)
atau pada pembedahan yang sangat lama. Pada keadaan tersebut kemungkinan
terjadinya penylt pasca bedah yang memungkinkan dilakukan pemebdahan
ualng ada, sehingga memudahkan tindakan tersebut.
Meskipun dalam beberapa kepustakaan hal tersebut dianjurkan, tidak berarti
meniadakan ketentuan nomor 5 tersebut.
Agar tujuan tersebut dpaat dilampaui, maka perlu diperhatikan hal sebagai berikut :
1. Induksi haru dilakukan sedemikian sehingga tidak terjadi kenaikan tekanan intra
cranial, dengan menghindari terjadinya hipertensi, hipotensi, hiperkarbia dan
batuk.
2. Jalan nafas ahrus betul-betul bebas.
3. Mengusulkan masalah masalah elsiologi dan farmakologi seperti yang telah
diuraikan sebelumnya.
4. Pada akhir pembedahan sebelum durameter ditutup dengan sempurna, harus
diusahakan agar tensi cukup baik : 100 mmHg pada pasien normotensi atau lebih
tinggi pada pasien hipertensi. Hal ini sangat petning, terutama bila dilakukan
teknik deliberate hypotension.
Apabila hal ini tidak diperhatikan maka cepat atau lamabt akan terjadi
hematoma atau perdarahan pasca bedah. Keadaan pasien akan memburuk dalam
arti terjadi kenaikan tekanan intra krannial pasca bedah dini.

Untuk TUGASMAS 395


396
Sebagai obat anestesi digunakan N2O/O2 (50%-50% atau 60%-40%). Suplemen
fentanyl bag/kg.bb dan midazolam diberikan berganti ganti. Dalam keadaan dimana
fentanyl tidak tersedia, maka dapat digunakan morfin dengan pemberian secara titrasi.
Morfin diberikan setelah pasien stabil, dengan dosis permulaan 0.050-0.075 mg/kg bb
tergantung keadaan pasien. Waktu pemberian narkotik ini harus dengan perhitungan
agar kadar tertinggi dalam plasma tercapai pada waktu insisi dimulai. (lihat bab III).
Pavulon diberikan agar pasien tetap tidak bergerak sehingga memudahkan dilakukannya
pernafasan buatan. Dijaga agar pasien tidak sampai mengalami bucking, supaya tidak
terjadi kenaikan tekanan intracranial yang dapat menimbulkan penyakit. Obat volatile
anestesi yang digunakan bersama N20 yang paling ideal ialah isoflurance (lihat bab III).
Tetapi bila tidak ada maka dapat diberikan halothane 0.5%.

IV. Monitoring (Pemantauan)


Selama pembedahan harus dilakukan monitoring terus menerus terhadap :
1. Tekanan darah
Dilakukan pengukuran tekanan darah secara non invasive dengan alat
pengukur otomatis yang terprogram (pengukuran tiap 3-5 menit), misalnya
dengan Dynamap.
2. Monitoring EKG secara terus menerus, dan sedapat munhkin dapat pula
direkam. Defibrilator harus selalu tersedia.
3. Adanya capnograph akan sangat berguna untuk menentukan end tidal CO2 ,
terutama bila digunakan teknik hiperventilasi. Apabila tidak terdapat
capnograph maka perlu dilakukan pemeriksaan analisa gas darah pada
waktu waktu tertentu atas indikasi, untuk menentukan PaCO2. Teknik
hiperventilasi sedang dilakukan dengan mempertahankan PaCO2 25 mmHg
– 30 mmHg.
4. Pemasangan IV line yang lebih dari satu.
5. Pemasangan kateter tetap untuk mengukur produksi urine secara terus
menerus.

V. Management Cairan Pertoperatif


Management cairan merupakan hal penting yang tidak dapat dipisahkan dari
management anestesi secara keseluruhan. Disamping prinsip umu terapi
cairan, pada neuroanestesi ada factor yang sangat penting dan harus

Untuk TUGASMAS 396


397
diperhatikan yaitu blood-brain barrier. BBB ini merupakan elemen kunci
dari pengaturan cairan dalam otak. Tujuan umu dari pengelolahan cairan
perioperatif ialah untuk mengurangi kandungan air di otak, optimasi kondisi
operasi dan menurunkan ICP. Selain itu juga untuk mempertahankan
stabilitas kardiovasculer dan tekanan perfusi otak (CPP). Untuk mencapai
tujuan tersebut, maka ada beberapa hal yang perlu dibahas :

1. Blood-Brain Barrier (BBB).


BBB mempunyai sifat selective permeable.

1.1 Air bebas melalui BBB dan bergerak dari daerah yang bertekanan
osmotic rendah ke tinggi. Seorang yang diberi infus air, maka jumlah
kandungan air di otak akan bertambah dan ICP akan meningkat.
Keadaan yang sama akan dicapai bila pasien diberi infuse D5%. Glukosa
5% mempunyai efek yang sama seperti keadaan di mana orang diberi
infuse air, sebab glukosa dimetabolisir dan yang tinggi hanya H2O saja.
1.2 Substansi yang besar hamper tidak menembus BBB.
Albumin hanya mempunyai efek sedikit saja terhadap kandungan cairan
ekstra selular otak, tetapi dapat menaikan tekanan intra cranial nila
diberikan dengan cepat. Efficacy mannitol tergantung pula ada tidaknya
BBB yang membatasi pengaruhnya pada otak. Jadi mannitol menaikkan
osmolalitas intravascular relative terhadap ECF otak dan menurunkan
kandungan air otak.
1.3 Dalam keadaan di mana BBB rusak (misalnya karena hipoksia,trauma
kepala atau adanya tumor), permeabilitas terhadap mannitol, albumin
dan cairan garam… meningkat sedemikian, sehingga molekul molekul
tersebut mempunyai pengaruh yang sama terhadap ECF otak. Oleh
karena itu tidak ada gunanya memberikan albumin untuk menganti
larutan garam faal pada pasien seperti ini.
2. Hipovolemia dan Hipervolemia
Adanya hipovolemi yang jelas akan menyebabkan hipotensi, turunnya CBF
dan ischemia otak. Oleh karena itu maka masalah management cairan
perioperatif pada pasien dengan SOP ini harus betul betul dikuasai.
2.1 Defisit cairan

Untuk TUGASMAS 397


398
Defisit cairan yang disebabkan oleh karena puasa untuk persiapan
operasi pada umumnya tidak perlu diganti. Defisit ini jelas dapat ditolerir
sampai keadaan di mana arah menjadi lunak (slack) dan terjadi relaksasi
otak yang adekuat. Setelah keadaan ini tercapai maka pemberian cairan
dapat dilakukan dengan berpedoman pada produksi urine. Setiap 3 cc
urine diganti dengan 2cc cairan kristaloid (Ringer laktat atau larutan
garam faal). Bila ada tanda tanda klinis hipovolami baru pemberian
cairan dapat ditambah.
Dalam hal ini perlu diperhatikan bahwa :
Pasien dengan tumor ganas condong untuk mendapatkan edema otak
pasca bedah, sehingga pada keadaan seperti ini pasien memerlukan
cairan lebih sedikit. Pada pembedahan vascular setelah aneirisma diklip
pasien harus mendapat cairan yang cukup berupa larutan garam faal,
klitaroid, albumin atau darah agar tercapai keseimbangan cairan positif
ringan. Hal ini diperlikan untuk mencegah terjadinya keadaan serupa
vasospasma pasca bedah.
2.2 Penggantian Darah
Pada umumnya untuk operasi tumor otak tidak dilakukan hemodilasi,
karena hal ini dapat menyebabkan terjadinya edema otak. Selain itu otak
juga sangat peka terhadap kekurangan oksigen. Oleh karena itu dapat
dikatakan bahwa pada operasi otak setiap darah yang keluar harus
diganti dengan darah.
3. Keseimbangan elektrolit
Hipokalemia.
Keadaan ini dapat terjadi karena pengunaan diuretic dan teknik
hiperventilasi.
4. Bila terdapat hiperglicemia harus ditafsirkan dengan hati hati agar tidak
terjadi kekeliruan dalam pengambilan keputusan dalam pemberian terapi.
Pda binatang percobaan hiperglicemia ini akan meningkatkan terjadinya
gangguan nerologi yang disebabkan oleh ischemia otak. Pada manusia belum
diketemukan batas kritis dari hiperglichemia yang dapat berpengaruh pada
gangguan nerologi ini. Oleh karena itu tidak dianjurkan untuk menurunkan
kadar gula darah intraoperatif semata mata atas dasar untuk mengurangi
resiko tersebut. Sebaiknya pengunaan cairan glikose dilakukan hati hati pada

Untuk TUGASMAS 398


399
pasien pasien yang mempunyai kecenderungan untuk mendapat resiko
ischemia otak tersebut.
5. Hiperosmolalitas.
Apabila keadaan ini terjadi (osmolalitas 25…..) akan menyebabkan
timbulnya serangan kejang kejang pasca bedah. Keadaan ini harus diatasi
dengan pemberian cairan hipotonis, misalnya 0.25% NaCl atau Dextrose 5%.

VI. PERAWATAN PASCA BEDAH DINI.


Observasi ketat di ICU atau ruangan observasi intensive lainnya tergantung dari
situasi dan kondisi setempat. Tujuan dari observasi ketat ini ialah untuk
mendeteksi secara dini penyulit penyulit yang timbul.
1. Semua staff (dokter, paramedic) yang bertugas di ICU harus mengetahui
keadaan nerologik dari pasien pada waktu masuk ICU sebagai data dasar.
2. Apabila kardiovasculer stabil dan tidak ada kontra indikasi, pasien
diposisikan = 20 .. head up.
3. Penilaian kesadaran pasien harus dilakukan sesering mungkin (dengan
Glasglow Coma Scale), demikian pula keadaan pupil, pola pernafasan dan
kekuatan motorik. Pada keadaan di mana pada waktu penutupan duramater
dalam keadaan tegang sedang fasilitas untuk pengukuran klinis ini sangat
menentukan.
4. Stabilisasi kardiovasculer.
Terjadinya hipotensi maupun hipertensi harus segera dikoreksi.
5. Oksigenasi dan ventilasi harus adekuat. Pembersihan jalan nafas harus
efektif, terutama pada pasien yang kesadarannya menurun. Latihan nafas
sangat dianjurkan demikian pula fisioterapi nafas.
6. Keseimbangan elektrolit
Bila mungkin harus secara rutin dilakukan pemeriksaan elektrolit dan
melakukan koreksi bila dipandang perlu. Urine produksi harus selalu
diperhatikan.
7. Monitor EKG dan T/N secara kontinu, demikian pula suhu tubuh.

Untuk TUGASMAS 399


400

BAB V

ANESTESI UNTUK PEMBEDAHAN FOSSA POSTERIOR


Anestesi untuk pembedahan pada fossa posterior merupakan suatu tindakan yang
memerlukan perencanaan yang sangat hati hati, serta perlakuan yang juga harus sangat
hati hati. Kerja sama seluruh tim merupakan kunci keberhasilan dari pembedahan ini.
Telah diketahui bahwa dalam fossa posterior terdapat pusat pusat vital, sehingga apabila
terjadi suatu tindakan yang kurang sempurna (baik dari aspek pembedahan maupun dari
aspek anestesi) akan terjadi keadaan yang sangat dramatis. Pusat pusat vital tersebut
terdapat dalam suatu rongga yang sangat ketat dengan hanya sedikit ruang gerak untuk
dapat menampung terjadinya edema, perdarahan ataupun tumor.

1. Evaluasi prabedah.
Evaluasi prabedah harus dilakukan sebagaimana mestinya pada persiapan
operasi, termasuk riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik seperti yang telah
disebut pada bab sebelumnya. Beberapa hal yang khusus untuk fossa posterior
ialah :
1. Kemungkinan ada sesuatu yang mempengaruhi batang otak. Oleh karena itu
maka …….mungkin. Adanya pengaruh pada pusat pernafasan dan
kardiovasculer akan menjadi nyata bila pasien mendapat obat yang
menyebabkan depresi nafas, menyebabkan hiperkarbia dan menambah
pengaruh massa yang ada tersebut pada keadaan pasien.
2. Posisi pada waktu operasi. Berbagai posisi dapat diminta oleh ahli bedah
untuk mengerjakan operasi di daerah fossa posterior ini.
2.1. Posisi Tengkurap
Pada posisi ini harus dijaga agar posisi perut tidak menekan pada meja
operasi. Cara menilai dengan memasukkan lengan di bawah perut pasien.
Lengan harus dapat bebas bergerak. Di daerah leher harus dilihat jangan
sampai tertekan oleh bantal yang digunakan untuk menganjal dada.
Penekana pada V jugularis akan menyebabkan terganggunya pengembalian
darah ke jantung, terjadi bendungan di leher dan akan mempengaruhi CBV.
Perdarahan bertambah, dan operasi dapat terganggu.
2.2. Posisi setengah tengkurap.
2.3. Posisi duduk

Untuk TUGASMAS 400


401
Atas dasar indikasi tertentu mungkin ahli bedah menghendaki posisi duduk.
Posisi ini akan mengundang beberapa masalah, yang akan dibicarakan pada
bab tersendiri. Karena terbatasnya sarana maka posisi ini tidak dikerjakan di
RSDS.

Pengelolahan anestesi.
Pasien dengan kelaianan di fossa posterior sangat potensial untuk terjadinya obstruksi
cairan serebrospinal di daerah……… Pada umumnya hipertensi intracranial sudah
terjadi meskipun hanya ada satu massa yang kecil di fossa posterior. Oleh karena itu
pasien harus diperlakukan sebagai resiko tinggi untuk terjadinya kenaikan tekanan
itrakranial, dan harus dilakukan upaya tindakan yang tepat. Cairan rumat berupa cairan
garam seimbang (balanced salt solution) dengan mengingat agar terjadi deficit ringan.
Penggantian kehilangan darah dengan darah atau koloid. Pada akhir pembedahan harus
dicegah terjadinya pulih sadar yang tidak lancar, misalnya bucking atau batuk. Keadaan
ini dapat menyebabkan terjadinya perdarahan intracranial. Sementara itu terjadinya
muntah dan aspirasi juga merupakan bahaya bagi paien yang reflex proteksinya belum
pulih. Untuk mencegah terjadinya batuk maka narkotik dengan kadar dalam plasma
yang adekuat dapat menghasilkan pasien dengan keadaan bangun tetapi tidak batuk.
Cara lain yang dapat dilaksanakan sama pada waktu induksi yaitu dengan pemberian
…… Pemberian ini akan mengurangi terjadinya batuk atau straining. Pada akhir
pembedahan harus dinilai dengan teliti keadaan pasien seluruhnya untuk menentukan
apakah pasien akan diekstrabasi segera ataukah tetap dalam keadaan intubasi. Masing
masing kasus harus dinilai sendiri sendiri. Sebagai patokan umum bila tindakan
pembedahan tidak mengenai struktur jaringan yang letaknya tidak terlalu dalam, pada
waktu operasi tidak terjadi penyulit dan prabedah kesadaran pasien cukup baik, maka
pada akhir operasi dapat dilakukan ekstubasi. Sebaliknya bila tindakan pembedahan
mengharuskan terjadinya traksi darah batang otak, akan terjadi keadaan yang
membahayakan jiwa pasien yaitu kemungkinan terjadinya apnea atau penurunan
sensorium dan hilangnya reflex jalan nafas. Dalam keadaan seperti ini maka pasien
perlu tetap di intubasi dan diberi pernafasan buatan, sampai bahaya tersebut hilang.

Masalah masalah khusus


1. Stimulasi batang otak.
Apabila terjadi stimulasi batang otak maka akan terjadi akibat yang sangat
dramatis. Hiffjpertensi yang hebat akan terjadi sebagai akibat stimulasi pada

Untuk TUGASMAS 401


402
periventrikuler dari area grisea, formation retikularis atau nucleus dari traktus
solitaries. Stimulasi pada vagus akan menimbulkan ibradikardia. Penekanan
pada pons dan medulla akan menyebabkan hipotensia. Stimulasi struktur
struktur di batang otak akan menyebabkan terjadinya aritmia baik ventrikuler
maupun supra ventrikuler. Jika terdapat gejala gejala tersebut maka anestesis
berkewajiban memberitahu ahli bedah tentang kemungkinan terjadinya
gangguan pada batang otak atau saraf saraf pusat.
2. Emboli udara
Vena vena terletak lebih tinggi dari level atrium kanan sedang tekanannya lebih
rendah dari tekanan vena sentralis. Makin tinggi letak vena dari atrium, makin
kecil tekanannya. Pada ketinggian tertentu vena mempunyai tekanan
intravascular yang negative. Pada pasien dengan posisi dengan head up 65
tekanan dalam bulbus jugularis menjadi di bawah tekanan atmosfer, demikian
pula vena vena di kepala dan di leher. Bila pasa waktu operasi vena terbuka,
maka udara dengan tekanan atmosfir akan masuk ke dalam vena ikut aliran
darah masuk ke dalam paru.

B A B VI

ANESTESI UNTUK PEMBEDAHAN VASKULER OTAK

Pembedahan vaskuler otak pada umumnya dilakukan pada pasien dengan sah karena
pecahnya ancurisma, aneurisma atau AVM yang belum pecah. Operasi ini dilakukan
dibawah mikroskop (operasi mikro), yang memerlukan keadaan pasien yang betul betil
diam dengan hemodinamik yang stabil, agar tidak terjadi pecahnya aneurisma atau
AVM. Pada SAH atau intracerebral hemorrhage keputusan untuk melakukan tindakan
pembedahan untuk evakuasi biasanya diambil dini, karena ditakutkan terjadinya

Untuk TUGASMAS 402


403
perdarahan ulang. Pendapat lain menetapkan bahwa pembedahan lain dilakukan setelah
beberapa minggu setelah keadaan stabil. Kedua pendapat ini masih kontroversi. Namun
tampaknya yang dianut oleh ahli bedah saraf di RSDS tergantung dari kasus per kasus,
dengan trend untuk melakukan tindakan lebih dini. Masalah yang timbul pada tindakan
dini ini ialah terjadinya vasospasme, karena evakuasi, sehingga harus diantipasi apa
yang harus dilakukan bila terjadi hal tersebut. Pada umumnys tindakan yang dilakukan
ialah memasang klip logam. Pasien dengan SAH pada umumnya termasuk golongan tua
(antara 40-60 tahun), bila disbanding dengan pasien dengan AVM.
Masalah masalah yang mungkin timbul :
Pecahnya aneurisma pada waktu tindakan pembedahan sedang berlangsung. Dalam
keadaan seperti ini maka tekanan darah harus segera diturunkan sedemikian agar ahli
bedah dapat melihat pembuluh darah untuk mengendalikan perdarahan yang terjadi.
Penurunan ini sering diperlukan sampai tekanan darah rat-rata (mean) antara 30-
50mmHg. Darah yang hilang harus segera diganti dengan darah. Pada keadaan seperti
ini hipotensi dapat berkepanjangan, maka obat anestesi pilihan ialah yang dapat
memberi proteksi terhadap terjadinya iskemia otak, yaitu pentothal dan iso….

Penilaian prabedah.
Kunjungan pra bedah dan penentuan premikasi.
Aspek kunjungan prabedah pada pasien yang direncanakan untuk menjalani
pembedahan vaskuler otak ini sangat penting, karena pasien harus tetap dalam keadaan
tenang tanpa kenaikan tekanan darah pada waktu induksi. Pada pasien pasien dengan
kesadaran yang baik harus diberikan sedative yang adekuat. Diazepam atau midazolam
merupakan obat pilihan. Penggunaan droperidol sering menyebabkan orang gelisah,
karena itu mungkin dengan kombinasi droperidol dengan dosis kecil dan midazolam
pasien akan menjadi tenang. Obat antihipertensi dapat tetap diberikan. Pda pasien
pasien dalam keadaan kesadaran yang sangat rendah tidak perlu diberikan sedative.

Evaluasi system kardiovasculer.


Seringkali pasien pasien dengan SAH telah diberikan diuretic untuk menjaga agar tidak
terjadi hipertensi yang dapat meningkatkan tekanan pada dinding aneurisma. Selain
diuretic pasien juga mendapat restriksi cairan. Keadaan ini menyebabkan terjadinya
kenaikan katekolamin dan vasokonstriksi, serta turunnya fungsi ruang intravascular.
Akibatnya bila pasien mendapat anestesi yang menyebabkan vasodilatasi, maka ruang
intravascular perlu diisi dengan cairan sebelum induksi dimulai.

Untuk TUGASMAS 403


404
Untuk menghindari terjadinya vasospasme maka pemberian cairan selama masa
prabedah tidak perlu terlalu dibatasi.
Secara menyeluruh maka perlu diperhatikan :
- Status hidrasi secara klinis (tensi, nadi, urine produksi, kwalitas urine, perfusi
perifer). Bila terdapat dehidrasi maka harus dilakukan koreksi lebih dulu.
- Hipertensi
Pasien tanpa riwayat hipertensi dapat menjadi hipertensi karena naiknya kadar
katekolamine. Pasien dengan takanan intra cranial yang meningkat secara reflex
dapat mempertahankan tekanan perfusi otak dengan menaikan tensi. Pada
keadaan dimana aneurisma pacah, maka tekanan darah harus diturunkan
dibawah tensi normal debgab memperhatikan agar perfusi otak tetap adekuat.
Masalah vasospasma merupakan suatu masalah yang paling sulit diatasi pada
pasien pasien seperti ini, karena bertambahnya volume darah dan tensi akan
diperlukan untuk mengatasi spasmenya tanpa harus terjadi pecahnya aneurisma
lagi. Dalam keadaan ini ada dua kemungkinan :
- Bila TEK normal dapat diberikan… dosis kecil dengan atau tanpa propanolo
atau ….drip. Calcium bloker dapat dicoba diberikan untuk mengatasi hipertensi
dan mencegah vasospasme.
- Jika TIK meningkat maka diberikan labetalol dosis dinaikan pelan-pelan.
Preparat ini merupakan kombinasi alpha dan beta reseptor blocker hanya
menyebabkan kenaikan CBF yang minimal.
Propanolol infuse juga dapat digunakan.
Kelainan EKG.
Pda umumnya lebih dari 50% pasien yang mengalami SAH terdapat kelainan EKG yang
tidak diterangkan. Kelainan ini dapat berupa pemanjangan Q-T, S-T segmen dan
gelombang T yang abnormal, adanya gelombang U, aritmia termasuk ventrikuler
takhikardia.

Induksi Anestesi.
Induksi dengan pentothal dengan dosis 4 – 5 mg/kg.bb. Intubasi dilakukan dengan
nondepolacizing muscle relaxant. Pada pasien semacam ini tidak dilakukan intubasi
dengan depolarizing relaxant untuk menghindari terjadinya ruptur dari aneurisma akibat
kenaikan tensi yang disebabkan oleh fasikulasi. Untuk memperdalam anestesinya
sebelum intubasi dapat dilakukan, diberikan luntanyl 10-15 mg/kg.bb. Selama
laringoskopi harus diamati dengan teliti terjadinya kenaikan tekanan darah. Bila

Untuk TUGASMAS 404


405
sebelum tube masuk tensi naik, maka anestesi harus diperdalam dulu, dapat dengan
pemberian pentotal dosis kecil. Untuk mempermudah intubasi, dapat diberikan
succinyicholine beberapa saat setelah pemberian nondepolarizing relaksan. Pada waktu
induksi dapat terjadi pecahnya aneurisma, keadaan yang sangat ditakuti. Terjadi
hipertensi dan harus segera dilakukan tindakan dengan pemberian pentothal dan
nitroprusid. Dijaga agar tidak terjadi hipertensi agar tekanan perfusi otak masih dapat
dipertahankan.

Maintenace (rumatan) anestesi


Selama pembedahan dilakukan anestesi harus dilakukan sedemikian sehingga pasien
sama sekali tidak bergerak, dan tidak terjadi gejolak kenaikan tensi. Perhatikan hal ini
sangat diperlukan yaitu pada saat ahli bedah mulai memasang penjepit, pada waktu
insisi dan pada waktu membuat ……Kenaikan tensi harus segera diatasi dengan
pendalamkan anestesinya atau dengan bolus pentothal, dengan menambah fentanyl.
Dapat pula diberikan tambahan lidokain IV. Obat anestesi yang digunakan yaitu
kombinasi N 20/02 dengan isoflurance.

Monitoring (pemantauan)
Monitoring ditujukan pada keadaan system kardiovasculer dan pernafasan.
- Monitoring kardiovasculer.
Sebaiknya dilakukan pengukuran takanan arteri langsung dengan kanulasi arteri
radialis. Apabila memungkinkan maka kanulasi arteri dilakukan prainduksi,
sehingga dapat digunakan untuk memonitor perubahan tekanan darah pada
waktu induksi.
Dalam keadaan dimana tidak mungkin dilakukan kanulasi arteri sebelum
induksi, maka pengukuran tekanan darah harus dilakukan secara otomatis
terprogram dengan Dinamap. Baru kemudian kanulasi arteri dilakukan setelah
pasien dibawah pengaruh anestesi. Pemasangan CVP tidak mutlak, tetapi dapat
digunakan untuk estimasi keadaan volume penderita.
- Pernafasan.
Monitoring dilakukan dengan pemeriksaan analisis gas darah untuk PaCO2.
Capnograf tidak mutlak, kecuali operasi dilakukan pada posisi duduk.

Untuk TUGASMAS 405


406
Teknik khusus.
Deliberate hypertension / hypotensive anesthesia.
Tujuan penggunaan teknik ini ialah :
- Mengurangi tekanan pada dinding aneurisma agar tidak terjadi rupture.
- Memudahkan ahli bedah dalam melakukan clipping aneurisma.
- Mengurangi perdarahan bila terjadi ruptur.
Teknik ini dapat dilakukan dengan isoflurance yang secara teoratis berguna untuk
proteksi terhadap iskemia otak. Apabila pasien diberi captopril (3 mg/kg oral) atau
clonidin CO 0.5 mg/kg oral, maka akan mengurangi kebutuhan jumlah obat anestesi
yang digunakan untuk teknik hipotensi, agar tercapai tekanan darah yang dikehendaki.

B A B VII
ANESTESI UNTUK PEMBEDAHAN KELENJAR HIPOFISE

Anatomi.
Kelenjar hipofise terletak dalam sella turcica, terdiri dari 2 lobus yaitu lobus anterior
atau adenohipofisis dan lobus posterior atau neurohipofisis. Besarnya kelenjar ini
berkisar antara 0.5 – 0.6 gr, lebih besar pada wanita dari pada pria. Dalam sella kelenjar
ini dipisahkan dari chiasma n. optici disebelah superior oleh diafragma sella. Hubungan
dengan hipotalamus dengan suatu tangkal. Batas lateral hipofise ialah sinus cavernosus
dengan isinya yaitu : saraf-saraf pusat N III, IV, V, VI dan bagian cavernosus dari a.
carotis interna.
Mengingat letak hipofise yang sangat dekat dengan struktur – struktur penting tersebut,
maka tindakan pembedahan potensiil dapat menimbulkan penyulit yang berbahaya

Untuk TUGASMAS 406


407
misalnya perdarahan baik arterial maupun vena yang dapat menyulitkan tindakan
pembedahannya sendiri. Selain itu juga mungkin terjadi kerusakan nerves cranialis
tersebut.

Fisiologi
Fungsi hipofise dikontrol oleh hipotalamus. Pembagian anatomis yang telah disebut
diatas juga merupakan pembagian fungsionil. Masing-masing bagian tersebut
mensekresi hormone yang berbeda.

Adenohipofise.
Bagian ini menghasilkan hormone dan dibedakan dalam 2 golongan berdasar atas reaksi
terhadap pengecatan, yaitu acinopil dan basophil.

ADENONHYPIP…
1. Hormon dari sel-sel acidofic :
Hormon ini meningkatkan pertumbuhan semua jaringan dan organ dengan efek
metabolic yang spesifik :
- Meningkatkan protein sintesis
- Menaikkan mobilisasi asam lemak bebas
- Menurunkan pengunaan glukosa dan mengambilan oleh sel
- Menaikkan penyimpanan glikogen
Penurunan penggunaan glukosa oleh sel ini dihasilkan oleh stimulasi GH
terhadap pancreas untuk melepaskan insulin. Keadaan yang dikenal dengan
pituitary diabetes muncul bila pancreas tidak mampu memproduksi cukup
insulin untuk mengatasi kebutuhan terhadap hiperglikemia yang disebabkan oleh
kelebihan GH.
GH merupakan stress hormone, sehingga kondisi stress seperti anestesi dan
pembedahan, kecemasan, latihan fisik dan hipoglikemia akan menyebabkan
pelepasan GH. Obesitas dan meningkatnya kadar asam lemak bebas akan
mengurangi pelepasan GH.
Prolactin

Untuk TUGASMAS 407


408
Hormon ini bertanggung jawab atas petumbuhan dan perkembangan jaringan
payudara dalam persiapan menyusui. Sekresinya dikontrol oleh hipotalamus.
2. Hormon dari sel – sel basofil
2.1. Gena . ………
Ada 2 hormon yaitu….. Keduanya mempunyai peranan penting pada
masa reproduksi, dimana menstimulasi pertumbuhan dan maturitas dari
organ reproduktif.
2.2. Adenocpr ………..
ACTH menstimulir korteks kelenjar suprarenalis untuk menghasilkan
dan mensekresi kortiksteroid. Apabila ACTH tidak ada maka akan terjadi
atroti dari korteks adrenal. Zona glomerulosa yang menghasilkan
mnineralokortikoid (aldostreron) hanya sedikit sekali dipengaruhi oleh
tidak adanya ACTH.
Hipofisektomi tidak banyak pengaruhinya pada keseimbangan elektrolit,
karena masih ada pengeluaran aldosteron dari korteks adrenal.
Kadar ACTH dalam plasma diatur oleh hipotalamus yang menskresi
corticotrophin releasing factor (CRF).

2.3. Thyrota selmulating hormone (TSH)


SH mepercepat pembentukan hormone tiroid dan pengambilan yodium
oleh kelenjar tiroid. TSH dileparkan dari kelenjar hipofise setelah
mendapat stimulasi FRF (thyrotropin re leasing factor). TRF ini
dilepaskan dari hipotalamus sebagai jawaban atas rendahnya hormone
tiroid.

NEUROHYPHYSIS
Hipofise lobus posterior menghasilkan 2 macam hormone yaitu vasopressin
(ADH) dan ozytosta. Kedua hormone tersebut disintesis dalam hipotalamos dan
diangkut ke neurohipofisis untuk kemudian dilepaskan.
1. ADH (Anti diuretic hormone, vasopression)
Hormone ini dibentuk oleh nucleus supraoptikus dari hipotalamus. ADH
mempunyai peran untuk regulasi tekanan osmotic dari cairan ekstraseluler
maupun intravaskuler. ADH mempunyai efek diginjal yaitu dengan
meningkatkan permeabilitas duktus colectivus remaja terhadap air. Keadaan ini
akan menghasilkan tertahannya air bebas dengan ekskresi urine yang pekat.

Untuk TUGASMAS 408


409
Pengeluaran ADH ini diatur oleh osmoreseptor dalma hipotapamus. Bila
reseptor ini mendeteksi kenaikan osmolalitas plasma lebih dari 280 mosm/L,
maka ADH akan dilepaskan. Factor lain yang penting dalam pelepasan ADH ini
ialah hiptensi karena perdarahan. Selama pemebdahan kadar ADH dalam serum
meningkat.
2. Oksitosin
Oksitosin dihasilkan oleh nucleus paraventrikularis hipotalamus. Pelepasan
oksotosin ini tidak tergantung pada ADH. Oksitosin merupakan substansi yang
sangat poten dalam peningkatan kontraksi uterus.

Tumor hipofise
Tumor hipofise ini merupakan 15% dari semua tumor intracranial. Sebagian
besar tumor ini jinak dan berasal dari dapi pasr anterior hipofise. Dari tumor hipofise
tersebut yang paling sering ditemukan ialah prolactin-secreting adenoma (30% dari
semua adenoma hipfise). Pada wanita didaptkan galactorhoe, umernohoe dan keluhan
infertilitas. Sedang pada pria seringkali gejala utama berupa impotensi. Sakit kepala,
gangguan visual dan kenaikan tekanan intruktania lebih sering dijumpai pada laki-laki
karena umumnya didapat tumor yang besar pada waktu diagnosis ditegakkan (> 10mm).
Tumor yang meksekresi GH akan menyebabkan timbulnya acromagall dimana
Gh mengenai semua jaringan dan system organ untuk menghasilkan pembsaran struktur
tubuh. Yang paling sering dikenail ialah jaringan tlang dan jaringan lunak dintangan,
kaki dan muka. Perubahan struktur muka ini sering menimbulkan kesulitan untuk
intubasi. Kelebihan GH akan menyebabkan menyakit jantung koroner, hipertensi dan
kardiomiopati. Hiperglikemia yang sering didapatkan menunjukkan keadaan GH yang
menimbulkan intoleransin glukosa.\ ekses produksi ACTH dan hiperkorticolemia
menimbulkan sidroma cushing, termasuk disini tumor hipofise yang menghasilkan
ACTH, tumor-tumor ektopik yang menghasilkan ACTH (oat sel tumor dari paru-paru)
dan hyperplasia adrenalis.
Penyakit chusing ditunjukkan dengan produksi aCTH yang abnormal dari
hipofise, baik karena tumor maupun hyperplasia. Gambaran klinisnya berupa hirsutism,
ablominal striae, obesitas, mudah menglaami memar, berjerawat dan fool-moon face.
Semua gambaran ini berhubungan dengan naiknya produksi ACTH dan
hiperkotisolemia. Klinis dapat pula dijumpai diabetes mellitus, hipertensi, kelemahan
otot-otot proksimal dan osteoporosis.

Untuk TUGASMAS 409


410
Pembedahan untuk tumor hipofise
Pembedahan sebagai terapi untuk mengangkat tumor hipofise dapat dilakukan
dengan 2 pendekatan yaitu :
- Transphenoida
- Intraksranial

1. Pedekatan transphenoidal
Pada pendekatan ini dilakukan pembedahan dibawah mikroskop. Beberapa
keuntungan :
1.1. Secara statistic angka kejadian morbiditas dan mortalitas lebih kecil,
karena perdarahan yang jauh lebih sedikit dan maniputasi jaringan otak
kurang.
1.2. Insiden untuk terjadinya permanen diabetes insipidus dan
panhipopituitarisme kecil.
1.3. Pendekatan ini hanya dilakukan untuk tumor yang kecil.
2. Pendekatan intracranial
Untuk tumor yang besar, tumor yang telah mendesak kedaerah ekstraselluir atau
tumor yang belum dapat dipastikan tipenya dilakukan pendekatan intracranial.

Persiapan prabedah
Persiapan prabedah secara umum seperti apa yang dilakukan pada pembedahan
tumor-tumor otak pada umumnya. (lihat bab terdahulu). Prabedah perlu dilakukan
pemeriksaan ………………………………… steroid yang merupakan hasil peemcahan
hormone korteks adrenal, sebagia respon terhadap aktivitas hipofise. Harga normal 17
ketosteroid dalam urine adalah 3-5 mg /14 jam. Sedang kategonik steroid 8-18 mg/24
jam.

Masalah khusus
Dalam menghadapi pembedahan hipofise, kebanyakan klinis menganggap perlu
diberikan suplemen steroid selama operasi sebagai suatu standard. Alas an mengapa
dilakukan hal terebut ialah :
1. Ketidakpastian apakah penyakit yang menyangkut hipofise tersebtu akan
memberi respon terhadap stress ancstesi dan pembedahan.
2. Manipulasi atau pengangkatan jaringan lebus anterior hipofise yang dapat terjadi
pada operasi akan menyebabkan terputusnya fungsi hipotalamo-hipofise-adrena.

Untuk TUGASMAS 410


411
Ada beberapa patokan yang digunakan untuk pemberian suplemen
kortikosteroid ini. Di RSDS patokan yang dianut sampai sekarang ialah dari ………,
sebagai berikut:

Waktu Dosis Cara


Sehari prabedah Kartisen Im. Pagi dan sore
100-200 mg Im
Bersama premedikasi Hidrokortison Iv drip dalam 500 cc
100 mg glucose 5% atau darah
Pasca bedah Hidrokertison Im
100mg

Dalam persiapan prabedah penting untuk diinformasikan pada pasien kemungkinan


penggunaan kortikosteroid jangka panjang.

Premedikasi
Harus dihindari pemberian premedikasi yang berat mengingat pengaruhnya pada
kardiovskuler dan respirasi.

Management anestesi
Management anestesi suparti pada anestesi untuk tumor otak lainnya. Obat
pelemas otot mutlak digunakan untuk menjaga agar pasien sama sekali dalam keadaan
diam, untuk memungkinkan bedah mikro dijalankan.

Pasca bedah
Sedapat mungkin diusahakan agar pasca bedah dini pasien kembali sadar.
Skema pemberian kortikosteroid yang digunakan sesuai dengan protocol menurut
OYAMA sebagai berikut :

Hari pasca bedah Preparat Pemberian


1 cortisol 4 x 50 mg im
2-4 Cortisol 4 x 50 mg im
5-6 Cortisol 3 x 50 mg im
7 Cortisol 2 x 50 mg im

Untuk TUGASMAS 411


412
8-10 Dexamethasone 4 x 0.5 mg oral
11-13 Dexamethasone 3 x 0.5 mg
14-seterusnya Dexamethasone 2 x 0.5 mg

Monitor
Selama pembedahan minimal perlu dilakukan monitoring dasar yang terdiri dari
:
- EKG
- Tekanan darah otomatis terprogram (dengan dinamap)
- Precordial stetoskop
- Urine (kateter)
- Analisa gas darah (PaCO2)
Apabila mungkin maka adanya capnograf akan sangat menolong.

Penyulit-penyulit
Penyulit yang mungkin timbul dapat dibagi dua : selama pembedahan dan pasca
bedah.
Penyakit yang munkgin timbul selama pembedahan :
1. Kemungkinan perdarahan karena dekatnya lokasi operasi dengan sinus
cavernosus dan pembuluh darah carotis.
2. Embori udara dapat terjadi bila sinus cavernosus terbuka.
3. Apabila pada pembedahan lewat transphenoid digunakan obat local unestesi
yang mengandung adrenalin untuk local anestesi sepanjang yang akan ditempati
speculum, maka dapat terjadi ……… yang mungkin berbahaya.
4. Pembedahan dengan jalan kraniotomi dapat menimbulkan edema otak yang
disebabkan karena tekanan retractor yang terlalu keras.
Penyakit yang mungkin timbul pasca bedah.
1. Diabetes insipidus
Di ini dapat disebabkan baik karena edema local pada daerah operasi atau
trauma pada pars posterior-hipofisis. Angka kejadian sampai lebih dari 40%
dalam berbagai bentuk, biasanya transien dan berlangsung kurang dari 7 hari.
Manifestasi dini dari DI ialah ……………. Pasca bedah, dengan jumlah urine
150-200 cc/jam bahkan dapat sampai 1-2L/jam. Umumnya terjadi dalam 12-24
jam pasca bedah.

Untuk TUGASMAS 412


413
Gambaran klinis DI pasca bedah dibedakan dalam 4 sindroma yang berbeda :
1. Transien poliurea
Merupakan bentuk yang paling srring dijumpai. Timbul pada hari pertama
atau kedua pasca bedah dan berlangsung 1-7 hari. Penyebab ialah traksi
didaerah batang hipofise, dan tidak tergantung pada utuhnya lobus posterior
hipofise. Penyebab primer tampaknya dari hipotalamus. Waktu
perjalanannya sesuai dengan timbul serta hilangnya edema setempat.
2. Triphas patterh
Poliuria timbul pada hari ke 1 – 2 pasca bedah dan berlangsung sampai 1- 7
hari. Diikuti oleh periode dimana jumlah urine normal. Setelah keadaan
normal berlangsung 14 jam sampai ebberapa hari, diikuti lagi oleh keadaan
dimana jumlah urine menjadi abnormal lagi dan keadaan ini ementap. Hal ini
terjdi sebagai respons terhadap kerusakan hipotelamus di daerah median
eminens dengan lobus posterior hipofise tetap utuh.
3. Poliuria timbul dalam waktu 2 – 3 hari pasca bedah, kemudian setelah
beberapa hari jumlah urine berkurang sedikit. Mungkin pada keadaan ini
pada dasarnya telah ada defisiensi partial dari ADH yang menjadi meningkat
pada stadium permulaan pasea bedah karena ditumpangi adanya edema
setempat.
4. Polluria permanen
Timbul pada hari ke 2 – 3 pasca bedah, tanpa ada interfase dan tanpa ada
perubahan jumlah urine yang berarti. Kemungkinan penyebabnya ialah
adanya kerusakan yang luas dari hipotalamus, sehingga setelah sisa ADH
terpakai semua tidak cukup banyak sel-sel yang mampu menghasilkan atau
menyimpan ADH.
Dianosa dini sangat penting, agar dapat segera dilakukan tindakan pengaturan
cairan dan elektrolit. Diagnosis ditegakkan dengna mengukur jumlah urine dan
berat jenis urine. Idealnya tentu saja dengan pengukuran osmolalitas serum dan
urine. Terdapatnya poliuria dengan BJ dan osmolalitas urine yang rendah
ditambah dengan kadar sodium dalam serum yang tinggi patut dicurigai
terjadinya DI.
Dalam hal produksi urine yang berlebihan ini perlu dieprhitugnkan dulu masalah
pengggunaan mannitol dan diuretic pad waktu pembedahan.
Tujuan dari terapi ialah mengembalikan keseimbangan cairan dan elektrolit.

Untuk TUGASMAS 413


414
Bilamana pengembalian keseimabgnan cairan ini sulit karena urine yang sangat
banyak (lebih dari 250 cc/jam dakan 3 jam berturut-turut atau lebih dari 6-7 L/24
jam), maka dipertimbangkan pemberian medikasi dengan eksogenous ADH atau
vasopressin yang larut dalam air. Piressin tannat 9in oil) baru boleh diberikan
pada diabetes insipidus yang sudah stabil.
Pada fase pra pollurua cairan diberikan seperti pada kruniotomi biasa dengan
memeprhitungkan jumlah ruine yang keluar. Setiap 2 jam jumlah dan BJ urine
diukur. Apabila pasien sadar baik, maka diperbolehkan minum sebanyak pasien
tersebut dapat menerima. Jumlah cairan yang diminum harus diukur.
Pada fase poliuria maka elektrolit harus diperiksa setiap hari. Secepatnya pasien
diberikan diet per oral, sehingga dapat mengatur regulasi pemasukan cairan yang
dibutuhkannya dengan mekanisme rasa haus. Cairan infuse tidam perlu
mengandung elektrolit. Kesalahan yang serign terjadi ialah pemberian infuse
untuk mengganti urine dengan cairan yang mengandung elektrolit.
Apabila terjadi hipernatremia karena kehilangan air yang sangat banyak maka
dapat dilakukan pennghitungan defiwit.
Contoh : seorang pasien laki-laki dengan berat badan 60 kg, dengan kadar
natrium …………………… dapat diperhitungkan sebagai berikut :
Total kandungan air dalam tubuh (TBW) normal
60 x 60% berat air = 36 L TBW
Kadar natrium normal
140 mEq/L x 36 L = 5,040 mEq total Na+ tubuh
Keadaan saat ini :
Natirum 160 mEq/L/5,040 mEq = 31,75L TBW
Defisit yang terhitung :
36 L – 31,75 L = 4,25 L
2. Insufisiensi adrenal cortox pasea hipofisektoral
Telah disebutkan bahwa pasien harus dipersiapkan untuk mendapatkan terapi
substitusi kortikosteroid selamanya. Hal ini memerlukan persiapan mental yang
cukup baik dari si pasien. Mengingat pentingnya peran kortison dalam stress
maka pasca bedah diberikan sesuai dengan skema yang telah disebutkan di atas.

Monitoring dan tindakan pasca bedah


1. Tanda-tanda vital seperti pada pembedahan tumorotak lainnya.
2. Pengukuran urine tiap 2 jam : jumlah dan berat jenisnya.

Untuk TUGASMAS 414


415
3. Pemeriksaan serum (elektrolit sertiap harus selama 10 hari)
4. Bila terjadi poliuria segera dilakukan pemeriksaan serum elektrolit, kadar gula
darah, dan elektrolit dalam urine.
5. Bila terjadi poliuria lebih dari 250 cc / jam 2 jam berturut-turut, atau apabila
urine lebih dari 6 L/24 jam, atau bila pemberian cairan untuk mengejar deficit
mengalami kesukaran, dipertimbangkan pemberian pitressin aquous yang lama
kerjanya 4-6 jam.
Dosis akuos pitressin 0.1 sampai 0.3 cc dari kemasan 20u/cc, sedang untuk
pitressin in oil 0,25-0,5 cc dari kemasan 5u/cc. dosis vasopressin harus dititrasi
tergantung dari respons pasien. Observasi terjadinya intoksikasi air dan
hiponatremi setelah pemberian pitressin harus dilakukan dengan ketat.
6. Pemberian kortikosteroid mengikuti skema dari OYAMA.

Untuk TUGASMAS 415


416
TATA LAKSANA ANESTESI
PADA PENDERITA HIPERTENSI

Oleh :
Dr. Puger Rahardjo
Lab. Anestesiologi FK Unair – RSUD Dr. Soetomo

Hipertensi adalah penyakit yang sering menyertai penderita yang oleh suatu
sebab memerlukan tindakan pembedahan. Seperti diketahui, penyakit ini bila tidak
dikelola dengan hati-hati dapat menimbulkan masalah bagi penderita baik sebelum
operasi, waktu operasi maupun setelah operasi. Lebih dari 90% hipertensi ini tanpa
diketahui sebabnya sedangkan kurang dari 10% diketahui sebabnya dan pada umumnya
oleh karena gangguan/kelainan pada ginjal.
Definisi :
Masih sering terjadi beda pendapat tapi pada umunya dikatakan bahwa bila
penderita mempunyai tekanan systole lebih dari 160 mmHg dan atau pada diastole > 30
mmHg penderita tersebut sudah menderita hipertensi (pada umumnya dikatakan bila
umur penderita 60 tahun). Beberapa buku mengolongkan menurut berat/tingginya tensi
penderita menjadi :
I. Bonder line hipertensi/labil hipertensi pada umunya tensi naik turun dan
belum ada gangguan target organ. T 150/90 sampai dengan 160/100
mmHg kadang-kadang tensi kembali normal.
II. Mild hipertensi – diastolic > 90 terus menerus tetapi masih (105 mmHg
minimal 3 kali pengukuran).
III. Moderate hipertensi – diastole 105-114 mmHg (minimal 3 kali
pengukuran).
IV. Severe hipertensi – diastole 115-129 mmHg disertai komplikasi (perlu
diterapi segera).
V. Malignant hipertensi – diastole > 140 + end organ damage.
Misal : - popil edema

Adalah penting bagi seorang anestesi yang akan membius penderita mengetahui
farmakologi penderita, karena obat –obat ini pada umumnya mempunyai
pengaruh/saling mempengaruhi obat anestesi yang akan dipakai membius penderita

Untuk TUGASMAS 416


417
sehingga efek yang tak diharapkan dapat dihindari. Pada umumnya obat-obatan yang
dipakai penderita hipertensi dapat digolongkan :
1. Golongan diuretika
2. Golongan angiotensia converting enzyme inhibitors (ACE inhibitor)
3. Golongan calcium channel blockers
4. Golongan Symphatolytic
5. Vasodilator : - arterial, arterial dan vensus

Golongan Diuretics
1. Golongan Thiazides
Hydrocholorothiazide (hydrodiuril, hydrosaluric, esidriv, esidrex, onetic,
direma).
Cara kerja :
o Menurunkan intravase volume dengan meningkatkan excresi Na & Cl
dan juga K pada distal tubulus
o Arteriolar dilatasi
Dosis 25 mg pagi hari max 100 mg/hari
Obat ini dapat dianjurkan kepada penderita :
o Anuria, severe renal failure
o Dapat terjadi hipokalemia  arrhythmia
Golongan thiazides ini sangat banyak jenisnya dengan cara kerja yang lebih
kurang sama.

2. Golongan loop diuretics


o Furosomid (lasik, dryptol)
Cara kerja :
o Menghambat reabsorbsi Na & Cl di asending limb of the loop of henle.
o Kerja lebih cepat disbanding golongan thiazide.
Dosis 20-30 mg pagi hari disesuaikan dengan yang dikehendaki.
o Pemberian intravenous :
 Dewasa 20-40 mg, 1 kali dosis ini dapat dinaikkan tiap 2 jam.
 Pediatric dose 1 mg/kg max. 6 mg/kg
Tidak dianjurkan pada penderita :
o Hepatic failure

Untuk TUGASMAS 417


418
o Hipokalemia
o Anuria renal failure
Catatan :
o Dapat terjadi dehidrasi
o Dapat terjadi hipokalemia
o Dosis sangat besar dapat terjadi gangguan pendengaran
3. Golongan K sparing diuretics
Aldosterone antagonists (spironolactone/aldactone)
Cara kerja :
Compective antagonists dengan minelao corticoids hormone (dalam hal
ini aldosteron) didistal tubulus dan collecting system.
Kerja aldosteron adalah reabsorbsi Na dan mengekskresi K.
Dosis :
o 100 – 300 mg/hari dewasa dosis terbagi
o 3.3 mg/kg pada anak-anak
Catatan :
o Dapat terjadi hiperkalemia
o Tidak dianjurkan pada renal failure
o Tidak dianjurkan pada penderita yang mendapat terapi K. asidosis, terapi
captopril.

Golongan kerja Ace Inhibitor (Captoril/Capoten)


Cara kerja :
- Competitive inhibition dengan exzym angiotensin converting  menghambat
angiotensin I (tak aktif)  angiotensin II (aktif).
- Arterional dilatasi
- Menurunkan symphatetic activity
- Menurunkan aldosteron sekresi  menyebabkan Na exresi dan K retensi.
Dosis : 6.25 – 12.5 mg  2-3 kali/hari
Tidak dianjurkan :
- Penderita yang mendapat K sparing effect diureticum
- Renal failure
Catatan :
- Dapat menyebabkan prot. Uria
- Takhikardi pada beberapa penderita

Untuk TUGASMAS 418


419

Golongan calcium entry blockers


- Menghambat transmbrane Ca influx
- Ion Ca memegang peran penting pada kontraksi otot bergaris jantung otot polos.
- Kontraksi otot poles pada dinding vakuoler tergantung dari ion Ca yang bebas
- Hambatan pada transmembrane Ca influx akan menurunkan jumlah ion Ca yang
mencapai dalam sel  vasolilatasi dari pembuluh darah perifer.
Pada uumnya Ca antagonist dibagi dalam 3 golongan besar :
- Golongan nifedipine
- Golongan verapamil
- Golongan diltiazem

1. Nifedipine (procardix, adalat)


Cara kerja :
o Menghambat transmembrane Ca—influx  vasodilatasi.
o Sedikit sekali mempengaruhi electrophysiology effect  tidak dapat
digunakan untuk pengobatan supraventricular takhikardia.
Dosis :
o 10 mg 1-2 kali/hari dapat dinaikkan pelan-pelan tergantugn efeknya.
Catatan :
o Hati-hati pemberian pada penderita left hert failure (negative inotropik)
o Hati-hati pemberian pada aortic stenolsis yang berat  karena negative
inotropik dapat menyebabkan pulmonary edema.
o Hati-hati pada pednerita bradikardia, sick sinus syndrome, second degree
AV-Block.

2. Verapamil (Isoptine, Condilox, Celan)


Cara kerja :
o Vasodilator seperti halnya nifedipine
o Negative initropic effect
o Cepresi sinus node & conduction AV node
Dosis :
o 350 mg/hari
o i.v. titrasi (0,075 mg/kg)
Catatan :

Untuk TUGASMAS 419


420
Obat ini lebih cenderung untuk digunakan mengatasi supra ventricular
tachycardia/atria fibrilasi dengan ventricular rapid respons, dan untuk
hyperthropy cardio myophaty disbanding untuk pengobatan hipertensi.
Tidak diajurkan kepada :
o AV block/bradykardia, sick sinus syndrome
o HF dan cardiomegali atau fungsi ventrikel yang jelek
o Acute myorard infarct
o Dosis hati-hati/turunkan pada penderita gangguan liver dan pemakaian
obat cemitidine
o Jangan diberikan i.v. bila penderita memakai B-Blocker.
o Jangan diberikan pada penderita dengan kecurigaan adanya digitalis
toxicity (meingkatkan serum digitalis 50-75%).
o Menaikkan effects transquilizer

3. Diltiazem (cardizem, anginyl, dilam, herbersser, mardil)


Cara kerja :
o Vasodilatasi perifer
o Sama dengan verapamil dapat mengatasi arrhythmia
Dosis :
o 35 mg 4 kali/hari dinaikkan pelan-pelan tergantung efeknya.
Catatan:
Pada umumnya sebagai pengganti verapamil atau nifedipine bila terjadi
allergi obat-obat diatas.

Golongan symphatolytic
1. B-Blocker
Cara kerja :
o Memblok B receptor dengan cara competitive inhibition
o Block pada B1 receptor menyebabkan heart rate menurun, myocardial
contraction menurun, menurunkan oxygen demand.
o Anti arrhythmia yang disebabkan oleh cathecolamine yang meningkat.
o Sebagai anti hipertensi B-Blocker dikatakan menurunkan renin,
menurunkan CO, melalui central NS, emlalui baroreceptor sensisitivy dll
(masih teori).

Untuk TUGASMAS 420


421
Dosis :
Propanolol.
o 40 mg 2 kli/hari  dinaikkan pelan-pelan 3 kali/hari – 4 kali/hari.
o 160 mg long caps 1 kali/hari

B-Blocker Daily Starting Maintenance Maximum suggest.


Dose (mg) Dose (mg) Dose (mg)
Atenolol 50 50-100 100
Acebutolol 100-400 600-1200 1200
Alprenolol 200 600 800
Labetol 100-400 500-1000 2000
Metropolol 50-100 100-300 400
Nodolol 40-80 80-160 200
Oxprenolol 60-120 120-320 480
Pindolol 7.5 10-15 15-30
Propanolol 60-120 80-320 320
Saboilol 80-160 160-480 600
Timolol 5-10 20-30 40

Catatan :
Tidak dianjurkan pada penderita :
o Heart failure
o Astma bronchiale
o Second-third degree AV-Block
o S3 gallop

2. Alpha Blocker
Prazozin (minpress, hypovase)
Cara kerja :
o Competitive inhibition pada post synaptic alpha adrenergic reseptor
o Terjadi peripheral arterial vasodilatasi
Dosis :
o 0,5 – 1 mg 1 kali/hari dinaikkan pelan-pelan sampai dengan 3 kali/hari
tergantung efeknya
Catatan :

Untuk TUGASMAS 421


422
o Kadang-kadang menyebabkan syncope terutama bila kombinasi dengan
diureticum.
o Orthostatic hipotensi
o Hati-hati kombinasi dengan B-Blocker  severe hipotensi
o Kadang-kadang terjadi takhirkardia.

3. ……………. Acting Agents


……….. (Aldomet, Dopamet, Hydromet, Medomet)
Cara kerja :
o Menurunkan symphatetic vasomotor out flow
o Menruunkan total peripheral resistance
o Menurunkan pengeluarna renin.
Dosis :
o 250 mg 2 kali/hari dinaikkan pelan-pelan sampai dengan maksimum 2
gram/hari tergantung responsnya\
Catatan :
Tidak diberikan pada :
o Active hepatitis
o Depressive state
o Pheochromocytoma
o Dapat menyebabkan haemolytic anemia
o Dapat menyebabkan rebound hupertensi
o Dapat menyebabkan myocarditis
o Interaksi dengan obat-obatan : haloperidol, MAO inhibitor, bartiturat,
phenothiazine.
o Obat ini menaikkan cardiac output, aliran darah ke ginjal dan otak tetapi
baik.
 Clonidine (Catapres)
Cara kerja :
o Menrujnkan symphatetic out flow di CNS (merangsang pengeluarna
alpha inhibitoru neurons di medullary vasomotor center
o Menurunkan heart rate dan cardiac out put
o Menurunkan peripheral vascular resistance
Dosis :
0.1 mg/hari dinaikkan pelan-pelan sampai dengan 0.2-0.8 mg/hari

Untuk TUGASMAS 422


423
Catatan :
Daoat terhadu rebound hipertensi bila dihentikan mendadak.
Tidak diajurkan pada penderita :
o depresi
o penderita dengan B-Blocker  dapat terjadi rebound hipertensi
Interaksi dengan obat-obat sedative, transcuilizer, MAO inhibitor, Tricyclic anti
depressant.

4. Ganglion Blocker
Trimethaphan camsylat (Arfonad)
o Blockade of symphatetic ganglion  arteriolar dialtasi
Dosis
1-2 mg/min  dinaikkan 2-4 mg/min
(1 ampul = 10 ml  ecerkan dalam 500 ml D5%)
Catatan :
o Digunakan pada umumnya hanya pada hipertensi krisis
o Terutama bila ada dissecting aortic aneurysm
Tidak diberikan pada :
o Ischemia hear disease
o Severe renal, hepatic failure
Dapat menyebabkan :
o Resp. arrest
o Takhikardia
o Arrhythmia

5. Adrenergic neuron blocking agents


Rescrpine (serpasil)
Car akerja :
o Mengikat vesicles pada CNS dan peripheral adrenergic neuron
o Menurunkan biogenic amine  gangguan symphatis
o Menurunkan cadangan cathecholamine di CNS
Dosis :
0.25 mg/hari  diturunkan pelan-pelan sampai dengan 0.1 mg/hari tergantung
respns penderita.
Catatan :

Untuk TUGASMAS 423


424
Tidak dianjurkan pada penderita :
o Depresi\digitals intoksikasi
o Pheochromosytoma

6. Mixed Antagonists (Alpha1 dan Beta Antagonists)


Labetol (trandate, normodyne) :
Cara kerja :
o Copetive antagonists alpha1 dan Beta adrenergic reseptors.
o Alpha 1 block  vasodilator pembuluh darah perifer
o B block  menurunkan symphatetic effect pada otot jantung.
Dosis :
o Oral 100 mg 2 kali/hari  dinaikkan sesuai respons penderita sampai
dengan 200-400 mg 2 kali/hari.
o Pada emergency hipertensi 0.25 mg/kg i.v. pelan-pelan dalam beberapa
menit dapat dinaikkan 40-80 mg sampai dengan tensi yang dikehendaki
(selang 10 menit), total dose 300 mg atau didrips 2 mg/menit.
Catatan :
o Hat-hati dapat terjadi orthostatic hypotensi
o Retensi cairan  dapat dicegah dengan pemberian obat anti diuretic.
o Over dose dapat terjadi bradikardia hebat.

Golongan vasodilator
 Hydralazine (Apresoline)
Cara kerja :
o Direct vasodilator arterial smooth muscle
Dosis :
10 mg i.v. diikuti dengan 10-20 mg/jam drip tergantung respons

Catatan :
o Digunakan untuk hypertensive emergency oleh karena eclampsia atau +
renal railure.
Tidak diberikan pada penderita :
o Dissecting aneurysma
o Ischemia heart disease

Untuk TUGASMAS 424


425
 Minoxidil
Cara kerja :
o Arteriolar vasodilator
Dosis
5 mg /hari dinaikkan 5-10 mg maksimum dosis 50 mg/hari.
Catatan :
o Digunakan untuk severe diastolic hypotensi
o Sering terjadi retensi cairan, takhikardia  maka pada umumnya
dikombinasikan dnegan obat B-Blocker.
o Dapat terjadi :
 T wave change
 Acute myocard infark
 Pericardial effusin  cardiac tamponade
Tidak diberikan pada pednerita dengan pheochromocytoma

 Diazoxide
Cara kerja :
o Direct arterioral vasodilator
Dosis
o 150 mg i/v/ pelan-pelan ± 30 detik
o Infuse pelan-pelan 5 mg/kg NN  15 mg/min
Catatan :
o Digunakan untuk hipertensi emergency + renal failure hipertensi
encephalophaty
o Mempunyai effect salt retaining  pada umumnya kombinasi dengan
diuretirum
o Ekstra vasc. Infecsi  inflamasi sampai dengan necrosis
o Dapat terjadi takhikardia
o Effect antidiuretic  dapat terjadi heart failure
Tidak diberikan kepad a:
o Pulmonary edema
o Dissecting aortic aneurysma

 Sodium Niropruside (Nipride)


Cara kerja :

Untuk TUGASMAS 425


426
o Direct arterial dan venous vasodilator
o Efek sangat segera ± 0.5 – 2 min setelah pemberian
Dosis
Infusion pump dibalut dengan aluminium foil
1 vial = 50 mg  encerkan dalam 500 ml 5% D5 = 100 Ug/ml.
3 Ug/kg/min (0.5 – 5 Ug/kg/min)
Catatan :
o Oral anti hupertensive dimulai segera untuk mengganti nitropruside
o Dapat terjadi keracunan cyanide
o Meth Hb.
Tidak diberikan pada penderita :
o Hepatic failure
o Abnormal cyanide metabolisme
o Vit. B12 defisiensi
o Renal failure

Berikut dibawah ini daftar side effect yang perlu diketahui dari pemakaian obat-obat
anti hipertensi
Side effects obat-obatan anti hipertensi.
Thiazide diuretics
- Hypo K
- Hypo Mg
- Hyper uricemia
- Hyper Ca
- Alkalosis
- Hypoglycemia
- Hypercholesterolemia
- Menurunkan lithium clearance
- Dermatitis
- Photo sensitivity

Potassium – sparing diuretics


- Hyper K
- Gypo Na
- Megaloblastik anemia

Untuk TUGASMAS 426


427
- Dermatitis

Angiotensin-coverting enzyme inhibitors


- Hyper K
- Proteinuria
- Cough
- Foetal death
- Dermatitis
- Angio edema

B-antagonists
- Congestive heart failure
- Bradikardia
- Bronchospasme
- Masking of hypoglycemia
- Raynounds phenomenon
- Sedation
- Angina white abrupt discontinuation
- Paresthesia

Centry blokckers
- Bradikardia
- Takhikardia
- Heart block
- Congestive heart failure
- Weakness
- Hepatic disfunction
- Syncope

Clonidine
- Sedation
- Orthostatic hypotensi
- Impared glucose tolerance
- Rebound hpertensi
- Bradikardia

Untuk TUGASMAS 427


428
- Heart block
- Dry mouth

Methyldopa
-
-

Prazoxin
- Sedation
- Weakness
- Orthostatic hypotensi
- Takhikardia

Hydralazine
- Takhikardia
- Lupus like syndroma
- Fever

Minoxidil
- Orthostatic hypotensi
- Thakikardia
- Corgestive heart failure
- Hypertrichosis
- Na dan water retention
- Hemodilution
- Pericardial effusion
- Non specific T-wave chang

Management pembiusan pada penderita hipertensi


Preoperative
- Haruslah disadari bahwa hiptetensi adalah merupakan risk factor untuk
terjadinya penyakit jantung, otak dan gangguan vascular juga gangguan ginjal
(target organ).
- Diagnose dari hipertensi tidaklah dapat dibuat hanya dengan melihat tensi sesaat
saja karena :

Untuk TUGASMAS 428


429
o Rasa takut dan cemas,
o Rasa sakit dapat menyebabkan tensi meningkat meski penderita
sebetulnya normal.
Jadi bila dicurigai penderita mengidap hipertensi haruslah dievaluasi secara
menyeluruh dan epemriksaan tensi penderita berulang-ulang baik tensi basal
ataupun tensi bukan basal, diikuti pemerisaan fungsi dari target organ mulai dari
anamneses pemeriksaan fisik dan laboratorium.

Preop management
- Pertanyaan yang sering timbul adalah tnsi berapa dari penderita hipertensi yang
dapat diterima untuk dilakukan operasi elektif. Sebetulnya hal ini individual
pada uumnya tergantugn dari :
1. Tensi preoperative penderita
2. Adanya ischemia, gangguan ventrikel, gangguan otak/CVA, gangguan ginjal
(gangguan target organ).
3. Macam operasi.
- Ada penulis yang mengatakan bila teni preop elektif sistolik >180 mmHg dan
atau diastolic > 110 mmHg maka sebaiknya operasinya ditunda dulu, apabila
disertai gangguan pada target organ.
- Riwayat hipertensi penderita harus digali mulai dari rimbulnya kapan, tingginya
tensi, obat-obat yang diminum.
Gangguan target organ :
1. Gangguan jantung
2. Gangguan otak
3. Gangguan ginjal
Ad.1. :
o Tanyakan nyeri dada, kemampuan olah raga, nafas pendek
o Apakah ada edema
o Apakah ada irama gallop, rales pada paru-paru (auscultasi)
o ECG kalau perlu echocardiography
Ad.2. :
o Namnese : kepala pusing-pusing, pandangan mata kadang-kadang kabur,
pingsan mendadak (Collaps), setelah duduk lalu berdiri pusing-pusing.
o Palpasi arteri carotis dan auscultasi arteri carotis harus dilakukan.
Ad.3. :

Untuk TUGASMAS 429


430
Pemeriksaan BUN dan serum creatinin
o Pemeriksaan phusis selain tensi, yang penting pemriksaan
ephalmoscopy, sangat pentign karena perubahan pembuluh darah pada
mata ini umumnya parallel dengan beratnya HT penderita dan gangguan
organ lain.
o Tensi sebaiknya diukur waktu tidur dan duduk kalau perlu berdiri untuk
mengetahui status volume penderita.
o Pemeriksaan ECG sering menunjukkan gangguan konduksi, ischemia
ventricular hupertropy.
o Serum elekctrolit terutama penderita yang mendapat diurect atau digoxin
terutama dalma hal ini kadar patasiumnya.
o Selidiki side efek obat yang diminum penderita.
o Hati-hati waktu transport penderita kadang-kadang dapat terjadi
orthostatic hipotensi.

Premed

o Tujuan utama untuk menurunkan rasa takut/cemas penderita dapat

diberikan golongan midazolam dan narkotik

o Obat-obat anti hipertensi harus tetap diebrikan sampai dengan hari

operasi diteruskan postop secepat mungkin bila memungkinkan.

o Kadang-kadang perlu pemberian clonidir 0.2 – 0.3 mg yang selain

memberi efek sedatitive juga untuk menyetabilkan tensi durate operasi

mapun postopnya.

o Hati-hati clonidin ini kadang-kadang dapat menyebabkan hipotensi

maupun bradikardia.

Intra operative Management

Tujuan :

Mengatur sedemikian rupa sehingga tensi penderita berada di range normal tensi

penderita ±10-25% tensi preoperative penderita.

Untuk TUGASMAS 430


431
o Sangat epnting apda pednerita hipertensi adalah gangguan pada jantung,

karena kerja jantung yang berat untuk melawan SVR (systemic vascular

resistensi) maka pad apednerita hipertensi pelan-pelan terjadi hiperthropi

pad aventrikel kiri (hal ini kadang-kadang tidak terlihat pada ECG

ataupun thorax photo tetapi dapat dibuktikan degan echocardiography).

o Yang harus diperhatikan adalah dengan adanya hiperthropi otot ventrike

ini kebutuhan darah/O2 untuk otot ini meningkat, dilain pihak dikatakan

±50-60% penderita hipertensi mengalami coronary arteri disease. Hal

diatas menjadikan otot jantung penderita hipertensi mudah terjadi

ischemia baik oleh karena tensi yang turun berlebihan atau bila terjadi

takhikardia (diastolic time memendek) ataupun tensi yagn baik

berlebihan. Takhirkadia haruslah segera diatasi pada penderita hipertensi,

baik durante ataupun psot op kalau pelu memakai obat-obatan

(propanolc/esmolol)

o Pada ginjal hipertensi ini menyebbakan gangguan fungsi dari nephron

dan juga penurunan aliran darah ke ginjal (gangguan auto regulasi). Bila

terjadi hipotensi aliran darah ke ginjal bertambah jelek.

o Pada otak sering terjadi arterosclerosis pembuluh darah otak dan

gangguan pada auto regulasi gejolak tensi yang ebrlebihan bias

membahayakan (CVA bleeding ataupun ischemia pada otak).

Monitoring

o Pada umumnya tak diperlukan monitoring yang canggih, kecuali operasi

yang sangat besar dan diperkirakan menimbulkan gejolak hemodinamik

yang besar (dalam hal ini diperlukan direct intra arterial pressure).

o ECG  terutama ditujukan untuk melihat/menderteksi adanya ischemia

Untuk TUGASMAS 431


432
o Catheterisasi urine diperlukan untuk operasi besar atau dipertimbangkan

bila iperasi diperkirakan > 2 jam.

Induksi

o Induksi dan intubasi endotracheal adalah saat yang kritis untuk penderita

hipertensi ini dapat terjadi hipotensi yang berat waktu induksi ataupun

hipertensi yang berlebihan pada saat intubasi.

o Hipotensi ini disebabkan oleh kaerna pada umumnya obat anti hipertensi

dan general anestesi adalah obat vasodilator dan cardiac depressant dan

juga sering penderita dalam keadaan hipovolemia (obat diuretic).

o Hipertensi pada waktu intubasi ini dapat dikurangi dengan cara :

1. Laryngoscopy se-smooth mungkin

2. Didalamkan dengna gas anestesi 10-15 menit sampai dengan surgical

level lakukan intubasi.

3.

4.

5. B adrenergic :

 Esmolol 0.3 – 1.5 mg/kg BB

 Propanolol 1-5 mg

 Labetol 10-50 mg

6. Nitropriside 1-2 Ug/kg BB

7. Premed dengan clonidine 0.2 – 0.3 mg

o Obat induksi dapat dipakai golongan barbiturate, benxodiazepin

profozel.

o Ketamin merupakan kontraindikasi

Untuk TUGASMAS 432


433
Maintenance anestesi

o Regional anestesi  sering menyebbakan hipotensi/hati-hati

o Dapat memakai gas anestesi sendiri atau kombinasi dengan N.O

 Balance anestesi (narkotik, NO + muscle relaxant)

 Total intravenous anestesi.

o Yang penting semuanya haruslahd ititrasi sedemikian rupa supaya tidak

terjadi gejolak tensi yang berlebihan (pada umumnya dikatakan gejolak

ini jangan lebih 10-25% dari tensi preoperative).

o Jangan terjadi takhirkardia

Muscle relaxant

o Semua muscle relaxant dapat dipakai kecuali Pancuronium harus hati-

hati.

o Pemakaian pancuronium ini harus hati-hati karena diaktakan dapat

menimbulkan :

1. Cathecolamine release

2. Vagal block

Vasopresor

o Penderita hipertensi pada umumnya peka terhadap cathecolamine baik

endo/exogenous.

o Bila diperlukan dapat diberikan phenyphrine (25-50 Ug).

o Sphedrin 5-10 mg (penderita yang mendapat obat symphatolytic kadang-

kadang kurang peka terhadpa ephedrine ini (indirect acting).

Intra operative HT

Untuk TUGASMAS 433


434
o Kadang-kadang tidak member respons dengan mendalamkan volatile

anestesi.

o Setelah menyingkirkan adanya rasa sakit, hipoksemia, hiperkarbiabaru

dipikirkan pemberian obat anti hipertensi, mis :

 Nitropruside (drug of choce sampai dengan saat ini)

 Nitroglucernin

 B-Blocker atau labetol

Postop management

o Cukup sering terjadi hipertensi

o Monitoring tensi dan ECG sebaiknya terus dilakukan.

Hipertensi postop sering disebabkan oleh karena :

o Gangguan nafas

o Volume overload

o Balder distesion

o Dan nyeri

Hal-hal tersebut diatas haruslah dikoreksi dulu baru kalau perlu diberi obat

anti hipertensi.

Bila terjadi Mild-moderate HT dapat diberikan :

o Sublingual nifedipine pada umumnya cukup efektif

o Hydralazine

o Esmolol

o Propanolol

Severe hypertensi

o Perlu nitropruside/nitroglycerin

o Kalau perlu direct intra arterial monitoring.

Untuk TUGASMAS 434


435

Untuk TUGASMAS 435


436
PENATALAKSAAN ANESTESI PADA PEDNERITA
ASTHMA BRONCHIALE

Oleh :
Dr. Puger Rahardjo
Lab. Anestesiologi FK Unair-RSUD Dr. Soetomo
Surabaya

Asthma bronciale adalah penyakit reversible, tetapi bila tidak dikelpla dengan

baik dapat menimbulkan masalah bahkan dapat membahayakan keadaan penderita.

Definisi :

- Naiknya kepekaan jalan nafas terhadap segala rangsangan penyumbatan jalan

anfas yang reversible.

- Perubahan sub mukosa jalan nafas karena radang yang kronis.

Diagnosis :

Pada waktu diluar serangan pada umumnya rasa sesak dan tanda-tanda klinis

tidak terlihat.

Pada waktu serangan maka akan didapatkan :

- Keluhan sesak anfas

- Batuk-batuk

- Wheezing (terlihat pada serangan akut)

- Tachypnea.

Pathogenesis :

- Tidak normalnya pengaturan saraf autonome yang emngatur tonus jalan nafas

(antara excitatory & inhibition)

- Terdapat radang kronis pada jalan nafas (terjadi perubahan pada sub mukosa)

Untuk TUGASMAS 436


437
- Keluarnya mediator-mediator histamine, prostaglandin dan leuko trienes dll.

Penilaian derajat beratnya serangan.

Anamneses :

- Bagaimana beratnya serangan kali ini disbanding yang lain

- Berapa kali masuk rumah sakit

- Apakah pernah memakai respirator

- Berapa kali serangan terjadi

Physic diagnosis

- Distress nafas waktu istirahat

- RR > 30 kali per menit

- Nadi > 120 kali per menit

- Pulsus paradosus (turunnya tensi sistolik > 10 mmHg waktu inspirasi)

- Derajat wheezing adalah bukan indiaktor akutnya asthma bronchiale (pada

serangan yang sangat ebrat dan keadaan yang kritis justru wheezing ini dapat

tidak terdengar.

Pemeriskaan lab.

FEVI FEF 25-75% PaO2 PaCO2


% Predikted % Predikted
Mild 65-85 60-75 >60 > 40
(asymtomatis)
Moderate 50-64 45-59 > 60 > 45
Marked 35-49 30-44 < 60 > 50
Severe (status < 35 < 30 < 60 > 50
asthamticus)

Untuk TUGASMAS 437


438
FEVI = force axhaledvolume dalam 1 menit

FEF 25-75% = max mid expiratory flow rate

Mini peak flow meter

- Alat ini cukup murah dan dapat digunakan setiap waktu (kemampuan penderita

untuk meniup beban)

- Mini peak flow meter ini dapat digunakan untuk menilai beratnya serangan

ataupun respons penderita terhadap pengobatan.

- Pemeriksaan blood gas

- Pemeriksaan Ro untuk mendiagnosis adanya pneumonia, pneumothorax dan

pneumomediastinum.

Pengobatan

Bronchodilator :

B2 agonist merangsang B2 reseptor yang ada di bronchus  menyebabkan

bronchodilatasi.

Sering digunakan sebagia obat semprot missal salbutamol, terbutaline, fenoterol.

Pemakaian secara semprot ini pada kasus yang sangat berat kadang-kadang tidak

mencapai hasil yang baik, karena obat ini tak dapat mencapai bronchus karena

bronchocontriksi dalam hal ini pemberian dapat melalui nebulizer atau intravena.

Dosis salbutamol :

- 500 Ug (subkutan)

- 250 Ug (i.v.)

- 5 – 15 Ug/menit (infuse)

Pemebrian i.v. lebih sering timbul side effect tachycardia, tremor dibadning nebulizer.

Untuk TUGASMAS 438


439
Pada penderita dengan gangguan koronair pemebrian dosis diberikan ½ nya. Dosis

nebulizer albuterol (ventolin) 2,5 mg/ml atau metaproterenol 500mg/ml dalam 3 ml NS

diberikan secara nebulizer dalam 5-15 menit.

Ipratropium

- Muscarini antagonist dan efektif untuik bronchodilator dengan mengurangi

vagal broncho contriction yang disebabkan pelepasan histamine.

- Pemberian secara inhalasi jarang menimbulkan side effect seeprti pemberian

atropine (mulut kering, pengerignan mukosa).

- Dosis nebulizer 500 – 1000 Ug diencerkan dengan NS.

- Onset of action 30-60 menit (lebih lambat daripada salbutanol).

- Pemberian obat ini dipikirkan bila dengan pemberian B2 agonist tidak member

respons yang baik.

Xanthenes derivate

- Aminophyline cukup baik tapi tak lebih baik disbanding B2 agonist.

- Side effect dan toxit effect lebih sering terjadi disbanding B2 agonist.

- Dosis awal 5-6 mg/kg BB diberikan pelan-pelan ±15 menit. Dosis ini diturunkan

½ nya bila dalam 254 jam terakhir penderita mendapat obat-obatan aminophylin.

- Dosis pemberian kontinyu 0.5 mg/kg BB/jam.

- Idealnya pemberian aminophyline dimonitor kadarnya di dalam darah dosis

therapeutic kadar dalam darah 10-20 mg/L. bila kadar dalam darah > 20 mg/L

dapat terjadi toxic effect berupa gangguan arythmia yang berbahaya, konvulsi

dan kadang-kadang dapat menyebabkan kematian.

- Side effect pemberian aminophylin : nausea, vomiting, gangguan perut,

headache dan takhykardia.

Untuk TUGASMAS 439


440

Adanya cimetidine (H2 Blocker), erythromucin menyebabkan clearance aminophylin

menjadi lambat mudah terjadi intoksikasi.

- Merokok

- Alcohol

- Phenitoin mempercepat clearance

- Rifampicin

- Barbiturate

Cromoglycate

- Mencegah keluarnya histamine

- Merupakan obat untuk prophylactic tidak untuk seragnan akut

- Pemberian melalui inhalasi

Corticosteroid

- Mengurangi reaksi radang submukosa (mengurangi edema, sekresi bronchus).

- Pemberian secara inhalasi jarang terjadi side effect systemic ataupun supresi

kelenjar supra renalis.

- Pemberian PO 7-14 hari dengan dosis 20-40 mg lalu diturunkan pelan-pelan

- Pada serangan yagn berat diberikan Hydrocortison 4 mg/kg BB diikuti dengan

3-4 mg/kg BB/6 jam (24 jam pertama). Setelah 24 jam pertama ditambah

prednisolone 40-60 mg/hari, hydrocortisone diteruskan lagi 6-12 jam. 50 mg

prednisolone equivalent dengan 200 mg hydrocortisone.

- Pada penderita yang membaik dengan pengobatan ini dilakukan tapering off ±1

minggu.

- Pemberian cortisteroid dapat mensupresi hypothalamic pituitary adreanal axis.

Untuk TUGASMAS 440


441

Dikatakan pemberian > 9 hari obat-obatan corticosteroid memerlukan waktu ±6 bulan

supaya “fungsi gld. Adrenalis kembali normal”.

- Hipotensi

- Diarrhea

- Vomiting

- Degydrasi

- Oliguri anuric

- Sommolent

- Hypo Na

- Hyper K

- Hypoglucemia

- Acidosis

Penyebabnya dapat disebbakan oleh karena pemberhentian mendadak dari pemberian

corticosteroid dosis tinggi dan cukup lama.

Untuk penderita yang menerima pengobatan corticosteroid > 6 hari dalma 6 bulan

terakhir dan akan emnerima stress operasi sebaiknya diberikan corticosteroid untuk

pencegahan terjadi gangguan diatas.

1. Malam sebelum operasi beri 100 mg hydrocortisone im/iv

2. Pada waktu premed 100 mg im/iv.

3. Intra operasi beri 100-300 mg dalam 500 cc D5 drip.

4. Post op dosis diturunkan 50 mg pada hari pertama dan 25 mg hari berikutnya.

Antibiotika

Untuk TUGASMAS 441


442
Infeksi jalan nafas atas sering menjadi penyebab dari serangan asthma

bronchiale. Pada umumnya oleh karena virus bukan oleh karena bakteri.

Tetapi bila ada tanda febris, leko meningkat, neutrophyl meningkat, adanya sputum 

beri amoxicillin/erythromucin.

O2 diberikan pada serangan asthma yang berat.

Cairan.

Pada serangan asthma yang akhir penderita cenderung mengalami dehidrasi oleh

karena sulitnya minum (karena sesak) pengeluaran cairan melalui jalan nafas

bertambah.

Hal ini dapat menyebabkan mucus mengental  plugging.

Jadi pemebrian cairan infuse dan monitoring elektrolit cukup penting untuk penderita

dengan serangan yang berat.

Respirator

Penderita-penderita yang mengalami tanda-tanda kepayahan atau menjeleknya

oksigenasi sebaiknya dipasang respirator, janganlah menunggu-nunggu bila sudah

terjadi cardiac arrest.

Tanda-tanda serangan asthma yang mengancam jiwa :

1. Serangan asthma yang berulang-ulang

2. Tidakd apat tidur terlentang/datar

3. Tidak terdengarnya suara nafas

4. Sukar bicara karena sesak

5. Gangguan kesadaran

6. Cyanotic

Untuk TUGASMAS 442


443
7. Penggunaan otot-otot pernafasan tambahan

8. FEVI < 20% predicted

9. Peak expiratory flow rate < 150 L/menit

10. Pulsus paradoxus (> 18 mmHg)

11. Penumothorax/penumomediastinum

12. PXO2 < 50 mmHg

13. Kenaikan PaCO2 > 45 mmHg

MANAGEMENT ANESTHESI PENDERITA-PENDERITA ASTHMA

BRONCHIALE YANG AKAN DIOPERASI

A. Evaluasi preop.

o Chest physioterapi nafas

o Hydrasi yang cukup

o Antibiotika

o Bronchodilator

o Kp corticosteroid

o Anthihistamine

o Bloodgas bila kita ragu-ragu tentang fungsi nafas penderita atau

oksigenasi penderita.

o Pemeriksaan FEVI atau peak flow meter untuk mengetahui kemajuan

hasil terapi dan derajat serangan bila sedang ada serangan akut.

B. Premidkasi

o Prometazine (Phenergan)25-50 mg i.m.

o Pethidin

o Diazepam/Dormicum

Untuk TUGASMAS 443


444
o Hati-hati pemakaian :

 Morphin  histamine release

 Anticholinergic (pengentalan secret)

 H2 receptor antagonist (cimetidine, ranitidine)  dapat

menyebabkan H1 mediated bronchocontriksi tak terkendali.

o Onat-obatan bronchodilator diberikan terus.

o Corticosteroid diberikan bila curiga ada supresi terhadap kelenjar cortex

adrenalis atau pemberian corticosteroid sebelum operasi (lebih dari 6 hari

dalam waktu 6 bulan terakhir sebelum operasi).

C. Induksi dan maintenance

Tujuan utama adalah mendepresi reflek jalan nafas, mencegah

bronchoconstriksi, hiper reaktif jalan nafas.

1. Regional anesthesi bila memungkinkan.

2. General anesthesi.

o Ketamine untuk induksi (1-2 mm/Kg BB)

o Etomidate untuk induksi

o Pemberian gas anesthesia yang cukup dalam untuk mendepresi reflek

alan nafas sebelum intubasi missal dengan isflurane, halothane

(bahayanya dengan halothane sering terjadi arrhythmia).

o Pemberian lidocain 1-2 mg/kg BB i.v. sebelum intubasi.

o Pemberian relaxant yang tidak menyebabkan histamine release

(atracurium, curare menyebabkan histamine release).

o Ekstubasi dilakukan pada stadium anesthesia yang cukup dalam atau

pemberian lidocain 1-3 mg/kg BB sebelum ekstubasi.

Untuk TUGASMAS 444


445
o Harus diingat bila terjadi bronchokonstriksi pemberian muscle relaxant

tak akan memperbaiki bronchocontriksi ini.

o Cairan yang cukup.

Hati-hati pemakaian :

o Curare

o Syccynilcholine

o Barbiturate

o Morphine

o Choline exterase inhibitor :

 Neostigmine

 Prostigmine

 Pyridostigmine (mestion)

Untuk TUGASMAS 445


446
ANESTESI DAN PEMBEDAHAN PENDERITA DM

Penatalaksaan prabedah, selama pembedahan dan pasca bedah dini

Siti Chasnak Saleh

Fakultas Kodokteran Unair/RSUD Dr. Soetomo

Surabaya

Penderita diabetes lama, baik IDDM maupun NIDMM mempunyai

kemungkinan untuk mengalami penyulit yang memerlukan tindakan pembedahan.

Dengan makin meningkatnya umur harapan hidup, makin banyak pula penderita yang

mempunyai kemungkinan menjalani pemebdahan. Di Amerika serikat diperkirakan

terdapat 10 juta penderita diabetes, hamper 50% nya meemrlukan pembedahan semasa

hidupnya. Lebih dari 75% penderita yang meemrlukan pembedahan ini berumur diatas

50 tahun, dimana prevalensi terjadinya penyakit myokard dan pembuluh darah serta

gangguan ginjal meningkat (Galloway, dari 1,3,4). Askandar (3,4) memperkirakan di

Indoensia terdapat 2,5 juta penderita diabetes (dari 180 juta penduduk – 1991). Dengan

memperhatikan prevalensi penyakit tertentu, diperkriakan pula akan terdapat 600.000

sampai 700.000 penderita DM yang memerlukan pembedahan dan anestesi. Suatu hal

penting lainnya ialah bahwa diperkirakan 25% penderita diabetes baru terdeteksi setelah

berada di RS untuk suatu tindakan pembedahan. Sres yang disebabkan oleh sepsi atau

penyakit pembedahan lainnya dapat menebabkan penderita laten diabetes menjadi

manifest (5).

- Haruskah dibedakan pengelolaan NIDDM dan IDDM ?

- Samakah regimen untuk pemebdahan kecil dan besar ?

- Apakah insulin diberikan secara infuse, bolus atau subkutan ?

Untuk TUGASMAS 446


447
Belum ada kesepakatan tentang cara optimal untuk menangani perubahan metabolic

yang erjadi pada penderita dibetes selama pembedahan, yang dapat dilihat dari berbagai

anjuran pennganan penderita tersebut (dari 19). Tampaknya hal ini juga disebabkan oleh

belum jelas adanya kesepakatan hasil akhir apa yang harus diukur, yang dapat

menggambarkan keberhasilan penanganan penderita (33). Satu hal yang disepakati oleh

semua penulis ialah bahwa kadar gula darah harus diukur untuk mengatur pemberian

insulin agar tidak terjadi hipo atau hiperglicernia (1). Beberapa hal seperti sejauh mana

persiapan harus diukur harus dilakukan yang menyangkut kadar gula darah, gangguan

metabolic perlu disepakati oleh anggota tim pembedahan (inetrni, ahli bedah dan

asetesiologis). Kesepakatan ini perlu untuk meningkatkan mutu pelayanan medic

terhadap penderita, tanpa saling merasa tersinggung. Sudah selayaknya bila internis

bertanggung jawab terhadap persiapan penderita terutama dalam upaya stabilisasi

kondisi DM seoptimal mungkin, namun perlu pula masukan dari anestesiologis dan ahli

bedah tentang masalah anestesi dan pembedahan yang akan dilakukan, yang tentu saja

akan mempengaruhi kondisi pasien nantinya. Namun demikian pada periode dekat

sebelum anetesi (persiapan anetesi dimana penderita mendapat obat premedikasi),

pembedahan dan pasca bedah dini, anestesiologis yang berada paling dekat dengan

penderita sehingga harus mempertanggung jawabkan keadaan DM dan metaboliknya,

untuk kemudian diserahkan kembali kepada Internis setelah lewat pasca bedah dini.

Pembagian tanggung jawab ini hanya dapat dilakukan bila ada kesepakatan bersama

tentang pola pengelolaan penderita.

Respon metabolic dan hormonal terhadap pembedahan dan anestesi.

Pembedahan merupakan situasi stress yang klasik. Respon terhadap pembedahan

berupa meingkatnya laju metabolik, meningkatnya pemecahan protein disertai

kehilangan nitrogen dan intoleransi glukosa. Telah dibuktikan bahwa besarnya

Untuk TUGASMAS 447


448
gangguan metabolism berbanding dengan beratnya pembedahan dan adanya factor-

faktor penylit seperti syok dan sepsis (dari 1,38). Pada pembedahan sederhana terencana

dapat terjadi kenaikan laju metabolism sebesar 10% dan hanya terjadi ekskresi nitrogen

sedikit sekali. Pada pembedahan yang sulit, BMR dapat meningkat 2 kali lipat selama

beberapa hari. Terjadi perubahan hormonal yaitu kenaikan sekresi katekolamin, ACTH

dan kortisol. Sementara itu terjadi inibisi sekresi insulin. Oyama dan kawan-kawan

(1972, 1979) mmbuktikan pada penderita tanpa kelainan endokrin, bahwa anstesidengan

enflurance selama 45 menit tanpa disertai tindakan pemebdahan hanya menyebabkan

perubahan kecil pad akadar ACTH dan kortisol, demikian jug kadar insulin dan gula

darah. Perubahan kadar gula darah terjadi setelah dimulai tindakan pembedahan (24,

23). Kenaikan kadar insulin baru terjadi pada akhir pembedahan (23). Respon

neuroendokrin terhadap sters pembedahan ternyata tidak terjadi pada penderita yang

mendapat anestesi spinal (26). Bunter (1959) mendapatkan bahwa anestesi halothane

tidak disertai hiperglikemia, yang didukung oleh Oyama dan kawan-kawan (1971)

dengan catatan anestesi tidak disertai pembedahan (dari 10). Kenaikan kadar gula darah

selama pembedahan berbading dengan berat dan luasnya pembedahan (dari 1). Allison

(1971) menyatakan bawha saat menunggu anestesi mempunyai efek metabolic yang

lebih besar daripada anestesinya sendiri (dari 1). Sebagai patokan umum sebiknya

penderita diabetes diacarakan operasi sepagi mungkin, sehingga masa menunggu tidak

terlalu lama.

Stres semacam ini (pembedahan serta penyulit yang terjadi) tentunya akan

meperburuk keadaan metabolic penderita diabetes baik IDDM maupun NIDDM. Pada

keadaan ini kenaikan kadar insulin pasca bedah tidak akan terjadi, bukan hanya karena

terjadinya insulin resistan tetapi juga karena defisiensi insulin. Hal ini tentu akan

memperburuk penggunaan glokogen otot dan mempercepat glukoneogenesis dengan

hasil akhir hiperglikemia hebat dan hiperosmolalitas.

Untuk TUGASMAS 448


449

Persiapan prabedah.

Tujuan pengelolaan prabedah penderita diabetes ialah agar kemungkinan

terjadinay morbiditas dapat diperkecil. Untuk itu perlu diusahakan agar statu metabolic

mendekati normal tetapi dengan menjaga agar tidak terjadi : hipoglikemia,

hiperglikemia yang berlebihan, liposis, ketegenesis, katabolisme protein dan gangguan

keseimbangan elektrolit. Hal ini hanya dapat dicapai dengan pemberian insulin yang

adekuat untuk mengatasi respon katabolic yang telah dibahas diatas. Disamping itu

glukosa harus diberiakn untuk menghadapi peningkatan kebutuhan akibat stress

pembedahan, diluar kebutuhan basal. Upaya optimalisasi tersebut mengharuskan

penderita menjalani rawat inap 2-3 hari sebelum hari pembedahan (dari 2,19). Perlu

pula diperhatikan kemungkinan adanya penyakit vaskuler menyeluruh termasuk

jantung, otak dan ginjal (dari 1,19,34). Penyakit vaskuler ini lebih nyata pada penderita

diabetes daripada yang diharpakan terjadi pada nondiabetes dari umur yang sama. Oleh

karena itu Steinke (31) menganjurkan untuk menilai umur fungsional, yaitu umur

kronologis ditambah dengan lamanya pengidap diabetes. Periapan puasa (= 8 jam) yang

secara rutin harus dilakukan pada pembedahan berencana untuk mencegah aspirasi,

dapat menslimulir terjadinay glokogenolisis dan lukoneogenesis serta mobilisasi asam

lemak. Keadaan ini pada penderita diabetes dapat berkemabng kea rah terjadinya

ketoasidosis. Salah satu contoh pengelolaan prabedah adalah sebagai berikut

(modifikasi dari 19) :

Pengelolaan prabedah (terencana) penderita IDDM

1. Sebelum masuk RS monitoring gula darah secara ambulatoir.

2. Masuk rumah sakit 2-3 hari prabedah untuk optimalisasi keadaan.

Untuk TUGASMAS 449


450
3. Penilaian terhadap keadaan metabolic, ginjal dan jantung : pemeriksaan

elektrolit, gula darah, serum kreatinin/BUN, urine (keton dan protein), EKG.

4. Bila kadar gula darah > 300 mg% atau terdapat gangguan elektrolit, dainjurkan

pemberian insulin infusi (GIK). Sementara monitoring gas darah dan gula darah

tiap jam (bedside).

5. Untuk mencegah hipoglikemia dan hipokalemia, perlu diberikan glukosa dan

kalium secukupnya (5-10g/jam jlukosa dan 2-4 mEc/jam kalium).

6. Gula darah (plasma) prabedah dieprtahankan tidak lebih dari 200 mg% (140-

200mg%).

7. Penggunaan long acting insulin perlu dikonversi ke RI untuk memudahkan

penanganan selama pembedahan dan pasca bedah ini.

Penanganan selama pembedahan dan pasca bedah dini.

Haruskah dibedakan antara IDDM dan NIDDM ?

Dari kepustakaan (33) yang ada tidak ada jawaban tunggal, tetapi ada tiga hal yang

dipertimbangkan, yaitu :

a. Pada semua penderita diabetes paling tidak terdapat defisiensi insulin, meskipun

tidak sedang menjalani pembedahan.

b. Anestesi dan pembedahan merupakan stress yang akan meningkatkan kebutuhan

insulin bagi semua penderita.

c. Sampai saat ini tidak ada cara yang telah terbukti dapat mempredik sebelumnya

apakah penderita memerlukan insulin selama pembedahan.

Dengan demikian maka kiranya akan lebih aman bila semua penderita diabetes (baik

IDDM maupun NIDDM (kecuali yang dapat terkontrol dengan diet saja) direncanakan

untuk mendapat insulin. Alberti (2) menekankan pentingnya meliha regimen insulin dan

OHA yang digunakan Ultralente insulin dapat menimbulkan masalah “delayed

Untuk TUGASMAS 450


451
hypoglycemia” sehingga perlu diganti dengan preparat lain/intermediate-acting

beberapa hari prabedah. Hal lain yang perlu mendapat perhatian adalah adanya

autonomic neuropati yang dapat menyebabkan hipotensi selama periode perioperatif.

Untuk penderita NIDDM yang terkontrol dengan OHA yang akan menjalani

pembedahan kecil/supersisial, dibedakan apakah yang digunakan short-acting atau long-

acting. Short-acting OHA harus dihentikan pada hari pembedahan, sedang long-acting

dihentikan 2 hari sebelum hari pembedahan. Untuk penderita IDDM yang terkontrol

dengan baik dan menjalani pembedahan ringan/kecil dapat digunakan pola pengelolaan

sebagai berikut (35) :

1. Pada hari pembedahan ditentukan pemberian ½ sampaio 2/3 dosis insulin yang

biasa digunakan (sc.). bila kadar gula darah puasa > 200 mg% diberikan 2/3

dosis.

2. Sebelum insulin disuntikkan, dipasang infuse D5%W dengan kecepatan 100-150

cc/jam

3. Kadar gula darah diperiksa selama pembedahan dan pasca bedah dini.

4. Pasca bedah diberikan ½ sampai 1/3 dosis insulin yang digunakan sehari-hari

(sc.).

5. Kadar gula darah diperiksa tiap 4-6 jam.

6. Tambahan RI dapat diberikan tiap 4-6 jam pasca bedah, tergantung dari hasil

pemeriksaan kadar gula darah sebagai berikut :

Gula darah (mg%) regular insulin (sc)

200-250 2-3 unit

250-300 3-4 unit

300-400 5-8 unit, periksa gula darah dalam


1-2 jam

> 400 10 unit, periksa gula darah tiap jam

Untuk TUGASMAS 451


452
Diharapkan selama pemebdahan berlangsung, kadar gula darah ada dalam batas antara

tertentu karena ternadinya hipoglikemia selama pembedahand apat membahayakan jiwa

penderita, sedang hiperglikemia meskpun hanya sebentar dapat menyebabkan

perubahan mekanik jaringan dengan jalan osmosis, yang bila terjadi dapat

membahayakan pembedahan mata (33). Penggunana infuse ringer laktat yang secara

rutin digunakan selama anestesi dan pembedahan sebaiknya dihindari karena terbukti

dari peneliitian Thomas dan Alberti (36) dapat meingkatkan kadar gula darah. Pada

penderita diabetes kenaikan ini sebesar 13.5 mg% sedang untuk bukan penderita

diabetes 4.5 mg%.

Cara pemberian insulin

Dari kepustakaan masih didapatkan berbagia cara pemberian insulin untuk

penderita IDDM yang menjalani pembedahan, masih ada perdebatan regimen mana

yang ebaiknya digunakan. Regimen glukosa-inulin-kalium (GIK) banyak dianjurkan

dan sudah mulai dikenal sejak tahun 1963 (Galloway). Regimen GIK dimana glikosa,

insuin dan kalium dicampur dalam satu botol infus. Alberti dan Thomas (1)

menunjukkan dengan penggunaan GIK pada IDDM terjadi perbiakn kadar gula plasma

dan kadar keton body, bila disbanding dengan pemberian peberian insulin sc. Dan

pemberian glukosa iv. Selanjutya didapatkan bahwa pada NIDDM tidak terjadi

perbaikan control gula darah dengan GIK disbanding dengan penghentian OHA

prabedah (Thomas dkk., Thomson dkk. Dari 23). Pezzarosa (dari 19) juga mendapatkan

bahwa insulin iv menghasilkan kontrol kadar glukosa yang lebih baik selama

pembedahan dibanding dengan pemberian secara sc. Dunnet (11) berdasarkan atas hasil

survey menyarankan penggunaan GIK untuk pembedahan besar. Regimen GIK yang

diusulkan oleh Alebrti dan kawan-kawan mempunyai kekurangan yaitu kadar insulin

dalam botol yang sudah tetap, sehingga bila diperlukan penyesuaian dosis harus

Untuk TUGASMAS 452


453
mengganti dengan botol baru. Oleh karena itu Watts (dari 19) kemudian melakukan

modifikasi sebagai berikut :

Algoritme Infusi insulin prabedah untuk pembedahan terencana.

----------------------------------------------------------------------------------------------------------

--

1. Campurkan 50 unit RI ke dalam 500 cc NaCl 0.9% (1u/jam – 10 cc/jam)

2. Mulai infus dengan dosis 0.5-1.0 u/jam

3. Regimen insulin :

Kadar glukosa Algoritme infus

80 mg% hentikan infus selama 30 menit,


berikan 25 cc dekstrose 50%, cek
ulang kadar gula darah dalam 30
menit.
81-120 mg% Turunkan infus insulin menjadi 0.3
u/jam
120-180 mg% Tidak ada perubahan kecepatan infus

181-240 mg% Naikkan infus insulin dengan 0.3 u/jam

> 240 mg% Naikkan infus insulin dengan 0.5u/jam

Secara teori hilangnya insulin karena diabsorpsi oleh botol plastic dapat dihindari

dengan mengisi 50 cc tubing infus dengan larutan tersebut sebelum dipasang pada

penderita.

Hal terpenting pasca bedah adalah monitoring kadar gula darah sesering

mungkin, apapin regimen yang digunakan. Idelanya kadar gula darah diperiksa tiap 2-3

jam, dengan yang cepat (bedside monitor) sehingga setiap saat dapat dilakukan

pengaturan kembali kebutuhan insulin. Harus dipertimbangkan apakah penderita dapat

Untuk TUGASMAS 453


454
intake oral beberapa jam setelah pembedahan (misalnya pada pembedahan

kecil/oropedi/superficial), ataukah penderita tidak boleh intake oral selama beberapa

hari (misalnya pada pembedahan abdomen), karena pengaturan cairan pasca bedah bagi

penderita diabetes tidak mudah. Dengan demikian maka pemberian regimen cairan

pasca bedah harus berdasarkan atas kasus per kasus. Pada umumnya untuk penderita

yang diperbolehkan intake oral, pasca bedah dapat diberikan glukosa 5% dalam 0.45%

NaCl 100 cc/jam. Untuk mereka yang menjalani pembedahan besar diperlukan

pengaturan yang lebih rumit.

Pembedahan darurat

Seperti juga pada nondiabetes, penderita diabetes mempunyai kemungkinan

untuk mengalami pembedahan darurat. Galloway pada tahun 1963 (dari 1) mendapatkan

5% dari penderita diabetes yang mengalami pemebdahan berupa pembedahan darurat,

yang 80% nya disebabkan oleh infeksi. Apabila pada evaluasi prabedah didapatkan

penderita dlam keadaan koma, prekoma atau dekompensasi metabolic yang berat,

pemebdahan harus ditunda untuk memperbaiki status metabolic penderita. Pada keadaan

tersebut dengan nyeri abdomen hebat, dapat disebabkan murni karena ketoasidosis,

yang bila diatasi maka keluhan akan hilang. Sebaiknya pada penderita dengan neuropati

autonomic, seseorang dengan peritonitis yang ebrat dapat hanya disertai nyeri ringan.

Regimen insulin pada pemedahan darurat dan ketoasisdosis

1. Penderita dirawat inap untuk dilakukan stabilisasi keadaan metabolic

secepatnya.

2. Segera ditentukan kadar gula darah, BUN dan kreatinin, elektrolit (kalium dan

natrium), gas darah (pH, PaCO2).

3. Apabila terdapat dehidrasi dikoreksi dengan NaCl 0.9%, dengan kecepatan

pemberian 250-1000 cc/jam tergantung derajat dehidrasi dan keadaan

Untuk TUGASMAS 454


455
jantungnya. Apabila kadar gula darah sudah mencapai 250 mg%, cairan diganti

dengan yang mengandung glukosa.

4. Diberikan RI bolus iv.5-10 unit, kemudian dilanjutkan dengan 50 unit dalam 500

cc NaCl 0.9% (infusion pump atau infus biasa yang tubingnya sudah isi dengan

cairan yang mengandung insulin ini).

5. Pengaturan kecepatan tetesan :

Kadar gula plasna terakhir (mg%)


Unit/jam
150

(bila penderita mengalami infeksi, menggunakan steroid atau obesitas maka

bilangan pembagi 100)

6. Kadar gula ditentukan tiap 2-3 jam dan bila perlu dilakukan pengaturan ulang

kecepatan pemberian insulin untuk mempertahankan kadar gula 120-250 mg%.

7. Monitoring kadar kalium dan pH darah.

Beberapa hal yang perlu diingat :

1. Dengan pemberian infuse ini turunnya kadar gula darah dapat diperkirakan yaitu

75-100 mg%/jam.

2. Terjadi penurunan kadar kalim 1.6mEq/L untuk setiap kenaikan 100 mg% kadar

gula darah diatas normal.

3. Untuk koreksi dehidrasi pada penderita ketoasisdosis ini diperlukan cairan yang

cukup banyak berkisar antara 3-5 L (dalat sampai 10L) tergantugn derajat

dehidrasi. Pada ketoasidosis terjadi kehilangan cairan ratar-ata 6L, kehilangan

elektrolit 500 mmol, kalium 350 mmol dan chloride 400 mmol (42).

4. Rehidrasi untuk kehilangan cairan yang disebabkan oleh proses penyakit beda

(bukan ketoasidosis) dilakukan bertahap : ± 1/3 defisit diberikan dalam 6-8 jam

selesai dalam 24 jam.

Untuk TUGASMAS 455


456
Penderita diabetes dapat pula menghadapi pembedahan darurat karena trauma.

Meskipun dapat keadaan yang sulit karena trauma, semua upaya untuk melakukan

evaluasi prabedah harus ditempuh untuk dapat menetapkan kondisi metabolic penderita.

Semua penderita eiabetes yang mengalami trauma harus dianggap dalam keadan

lambung penuh tanpa mempedulikan kapan makan terakhirnya. Hal ini karena ada

kemungkinan penderita dalam berbagai derajat diabetic utonomic neuropathy (DAN)

yang menyebabkan gastroparesis. Dengan adanya trauma proses pengosongan lambung

akan terhenti, dna makanan yang dimakan paling tidak 8 jam sebelum trauma harus

dianggap tetap ada dalam lambung. Tergantung dari urgensi pembedahan, bila mungkin

pembedahan diundur 4-6 jam untuk memperbaiki kondisi penderita.

Untuk pembedahan dimana dimungkinkan dilakukan anestesi regional (spinal,

peridural), dianjurkan untuk melakukannya selama tidak ada kontra indikasi, karena

teknik ini hamper tidak ada pengaruhnya terhadap gula darah. Apabila tidak mungkin

(misalnya pada keadaan perdarahan hebat, pembedahan dada dak kepala) harus

dilakukan dengan enestesi umum. Mengingat bahwa eteksi hipoglikemia atau

hiperglikemia selama anestesi umum atau trauma kepala cukup sulit, sehingga

monitoring kadar gula darah harus dilakukan teraturdan sering (tiap jam). Apabila

terjadi kelambatan bangun dari anestesi umum, harus dicurigai terjadinya hipoglikemia

atau hiperglikemia yang berlebihan.

Ringkasan

Penderita diabetes yang akan menjalani pembedahan memerlukan pengelolaan

khusus dengan tujuan menyiapkan kondisi metabolic yang stabil dan menghindari

terjadinay hipoglikemia, hiperglikemia yang berlebihan dan gangguan elektrolit/asam

basa. Untuk mengatasi respon terhadap stress pembedahan, diperlukan pengaturan

pemberian insulin yang adekuat terutama untuk DDM (dan NIDDM yang menggunakan

Untuk TUGASMAS 456


457
OHA) tergantung dari macam besar kecilnya pembedahan. Pada keadaan darurat

tergantung dari urgensinya pembedahan, dieprlukan waktu untuk menyiapkan penderita.

Apapun regimen insulin yang digunakan, yang paling penting adalah monitoring kadar

gula darah sesering mungkin. Selama pembedahan dianjurkan melakukan pemeriksaan

gula darah 1 atau 2 kali tergantung lamanya pembedahan, sedang selama pasca bedah

dini tiap 2-3 jam. Dibahas pula regimen insulin untuk pembedahan kecil, bedah dan

pembedahan darurat/keadaan darurat penderita diabetes.

Untuk TUGASMAS 457


458
CARA INTUBASI PADA PENDERITA

DENGAN LAMBUNG PENUH/DIANGGAP PENUH

Oleh :

Dr. Puger Rahardjo

Lab/UPF Anestesiologi FK Unair-RSUD Dr. Soetomo

Surabaya

Pada kasus-kasus emergency, seringkali penderita datang dalam keadaan

lambung yang terisi padahal pednerita-penderita tersebut harus segera dioperasi.

Masalah yang kita hadapi adalah adanya isi lambung yang tidak mungkin kita

kosongkan sempurna meski penderita sudah dipupaskan atau dipasang magslang yang

besar dan diisap, sehingga bahaya aspirasi waktu induksi atau intubasi selalu ada.

Untuk penderita-penderita yang memerlukan intubasi, diperlukan cara yang

khusus supaya bahaya aspirasi ini dapat dikurangi yaitu dengan crash intubasi (intubasi

cepat lancar secara intravena).

Ada 2 cara :

1. Head uap intubasi

2. Head down intubasi

HEAD UP INTUBASI

Dasar pemikiran cara ini adalah, dengan head uap maka lambugn akan dibawah

dan pharynx ada di atas sehingga waktu terjadi kenaikan tekanan di dalam lambung

karena succinylcholin (dikatakan kenaikan ini dapat sampai 20 cmH2O saat fasciculasi),

karena gravitasi dan jarak cardio gastric sphingter dan pharyx bila terjadi regurgitasi

cairan labung tak akan mencapai pharynx.

Untuk TUGASMAS 458


459
Syaratnya :

- Sudut head upa harus > 40 o

- Dilakukan pada orang dewasa

1. Oksigenasi :

o Dengan masker + reservoir bag/mesin anestesi

o Gas flow 7-10 L/menit

o Selama 7-10 menit

2. Head up sampai dengan sudut meja > 40 o

Pada kasus yang dicurigai ada hipoolemia, head uap ini dilakukan bertahap

misalnya 15o dulu lalu di monitor hemodinamiknya (tensi, nadi)  naikkan lagi

30 o dan seterusnya.

3. Masukkan obat untuk induksi dengan dosis sleep dose pentothal ±3 mg/kg/

ketalar 1 mg/kg.

4. Begitu penderita tidak sadar, dilakukan Sellick manouvre yaitu menekan dengan

tekanan secukupnya pada cartilage cricoit (dikatakan ±40 newton), dilakukan

oleh asisten yang emmbantu intubasi dengan menggunakan jari telunjuk dan ibu

jari.

Tujuannya adalah cartilage cricoids ini akan menekan oesophagus ke vertebra

cervical ke VI sehingga oesophagus akan tertutup. Sellick manouvre tak

dianjurkan pada anak-anak karena pada anak di tempat cricoids ini physiologis

ada penyempitan  dapat terjadi edema.

5. Masukkan succinylcholine dosis 1-2 mg/kg BB.

Ada yang menganjurkan pada saat oksigenasi sesaat sebelum pentothal/ketalar

dimasukkan  diberi pavulon 1 mg atau tubocurare 3 mg i.v untuk mengurangi

fasciculasi karena pemberian succinylcholin.

Untuk TUGASMAS 459


460
6. Setelah otot rahang relaks dilakukan intubasi, tanpa emmberikan lidocain spray

pada plicavocalis dan tanpa member nafas buatan.

Lidocain akan mengurangi proteksi jalan nafas waktu sadar. Nafas buatan akan

memperbesar bahaya terjadinya regurgitasi.

7. Segera setelah intubasi berhasil dikembangkan cuff, setelah cuff terkembang

lepaskan sellick manouvre.

8. Kembalikan ke posisi normal kembali masukkan gas anestesi.

CATATAN :

1. Cara ini tak dianjurkan pada penderita :

a. Anak-anak

b. Penderita dengan hemodinaik tak stabil misalnya hipovolemia yang sulit

diatasi.

c. Perdarahan daerah mulut hidung  bahaya asporasi

2. Bila intubasi gagal  segera penderita di head down.

Beri nafas buata (oksogenasi) selanjutnya dicoba intubasi secara head down.

3. Suction yang berjalan baik dan catheter penghisap yang cukup besar harus

tersedia dan siap dipakai.

HEAD DOWN INTUBASI

Dasar pemikiran cara ini adalah bila terjadi regurgitasi maka muntahan ini akan

menjauhi larynx.

1. Oksigenasi :

o Gas flow 8-10 L/menit

o Lama 7-10 menit

o Masker dan reservoir bag/mesin anestesi

Untuk TUGASMAS 460


461
2. Head down (steel head down) > 30 o

Posisi penderita saat head down ada yang emngajurkan mirin kiri atas bila

penderita memungkinkan.

3. Masukkan pentothal 3 mg/kg atau ketalar 1 mg/kg (sleep dose).

4. Begitu penderita tidak sadar lakukan sellic manouvre.

5. Masukkan succinylcholin.

Ada yang mengajurkan waktu oksigenasi, sesaat sebelum pentothal/ketalar

masuk diebriakn pavulon I mg/tubocurare 3 mg i.v.

6. Begitu otot rahang relaks, lakukan ibtubasi tanpa pemebrian lidocain spray pada

plicavocalis dan tanpa anfas buatan.

7. Bila intubasi berhasil, segera kembangkan cuff lalu sellick manouvre dilepas.

8. Posisi dikembalikan ke normal dan gas anestesi dimasukkan.

CATATAN

1. Intubasi head down tak dianjurkan pada penderita dengan tekanna intra cranial

yang meningkat.

2. Kadang-kadang teknik intubasi ini lebih sulit dibanding heat up.

3. Siap suction yang kuat dan catheter yang cukup besar.

Untuk TUGASMAS 461


462
ANESTESI UNTUK PEMBEDAHAN ANGGOTA GERAK ATAS DENGAN

TEKNIK BLOK PARASCALENUS

Oleh :

Dr. Hari Anggoro Dwianto

Lab. Anestesiologi FK Unair/RSUD Dr. Soetomo

Surabaya

PENDAHULUAN

Banyak cara yang dapat dipakai untuk menghasilkan suatu Blok regional bagi

anggota gerak atas yaitu :

- Blok interascaleneus

- Blok parasceleneus

- Blok infraclavicular

- Blok axiller

- Blok intravena regional (IVR)

Akhir-akhir ini blok axiller lebih populer daripada teknik yang lain. Hal ini disebabkan

karena pada blok axiller tidak terhadi penyulit penumothorax. Kerugian dari cara ini

ialah kurang berhasilnya anestesi untuk lengan bagian atas, serta blok untuk

n.musculocutaneus tidak dapat tercapai. (2,3,4,5,7).

Hal ini dapat dimengerti karena n.musculocutaneus menginervasi daerah 1/3 atas lengah

atas. (3,5,7).

ANATOMI

Untuk TUGASMAS 462


463
Untuk melakukan anestesi regional bagi anggota gerak atas perlu dikenal

anatomi regiocolli.

Regiocolli dibagi menjadi :

1. Trigonum colli posterior (lateral) (gambar 1)

2. Trigonum collu anterior.

Plexus brachialis dicapai dengan mudah melalui rigonum colli posterior (1,3,5,6,7).

Trigonum colli posterior dimulai dari 1/3 tengah clavicula dengan batas-batas sebagai

berikut :

Bagian depan : m.sterno cleido mastoideus

Bagian belakang : m.trapezius

Bagian atas : kulit subkutis, m.platysma

Bagian bawah : m.scaleneus, m.levator scapulae dan m.splenius capitus.

Trigonum colli posterior dibagi menjadi dua trigonum oleh perut bagian bawahd ari

m.omohyoid (interior belly) :

1. Trigonum Occipitale

2. Trigonum Subclavia/supra clavicular

Gambar 1

Untuk TUGASMAS 463


464

Plexus brachialis dibentuk oleh Rami Venfrallis C5, C6, C7, C8 dan Th1 dan cabang-

cabang C4 dan Th2. (1,2,3,4,5,6,7) (Gambar 2)

GAMBAR 2

Letak plexus tersebut diantara m.scaleneus anterior dan m.scaleneus medius. Plexus

brachialis berjalan dibagina bawah trigonum colli posterlor bersama-sama A.Subelavia

dan A..Axitlares melalui tabung (canalis) cervico axillares, secara anatomis letak canalis

cervico axillares tepat dibelakang clavicula dan berada diatas costa I. (gambar 3).

Plexus brachalis tersebut melanjutkan ke fossa axillares. Didalam fossa axillares plexus

brachialis mulai terpisah menjadi beberapa nervus yang besar bagi anggota gerak bagian

atas.

TEKNIK :

Untuk TUGASMAS 464


465
Posisi penderita tidur telentang dengan memakai bantal di kepala. Tangan

penderita diletakkan disapming badan dan kepala menengok ke arah yang brelawanan

dengan anggota gerak atas yang akan dilakukan blok regional.

Petunjuk arah (land mark) :

1. Penderita diperintah mengangkat kepalanya untuk indentitikfasi m. sterno cleido

mastoideus.

2. Kemudian penderita diperintahkan meletakkan kepalanya. Dengan jari telunjuk, kita

meraba bagian m.sterno cleido mastoideus beberapa cm diatas clavicula. Didaerah

ini akan teraba suatu cekungan (groove) yang dibentuk oleh m.scaleneus anterior

dan m. scaleneus medius.

3. Ditepi otot scalaneus 1,5 – 2 cm diatas clavicula diberikan tanda “X”, tanda “X”

tersebut berada di atas A.subclavia dan medial dari vena jugularis externa. (gambar

5).

GAMBAR 5 :

Untuk TUGASMAS 465


466

Atas dasar topografi tersebut, maka blok pada plexus brachialis dengan mudah dapat

dicapai dari daerah bawah trigonum colli posterior tepat disebelah lateral m.scaleneus

dan 1,5-2 cm diatas clavicula. (Gambar 4).

Bahan dan Tata Laksana :

Bahan diambil dari penderita yang akan dilakukan operasi anggota gerak bagian

atas, baik pembedahan terencana maupun darurat.

Pednerita diberi penjelasan tentang teknik yang akan dilakukan

Pada semua penderita diberikan premedikasi ringan :

- narkotik (Pethidin) dengan dosis 0.5 mg/kg/BB

- diazepam dengan dosis 0,2 mg/kg/BB

dengan maksud mempermudah indentifikasi paraestersi. (5.7).

pada umumnya penderita dipasang infuse RL.

Tata Laksana :

1. jarum yang dipakai no. 21-22 C 4 cm, dengan sempit 20 cc yang sudah terisi

Lidocain 1 ½ % + Adrenalin 0.2 cc (1 : 1000) disuntikkan pada tanda “X” yang

Untuk TUGASMAS 466


467
didapat dengan cara yng telah disebutkan, dengan arah tegak lurus (entero-

posterior) menuju ke costa I.

2. jarum diarahkan ke atas dan kebawah mencari plexus brachalis. Indentifikasi

plexus bracjialis bila dirasakan paraestesi oleh penderita. Apabila paraestesi

sudah ditemukan, semprit yang terisi obat tersebut dihisap (aspirasi), apabila

tidak ada darah yang terhisap obat disuntikkan dengan arah memutar (fan like).

Tindakan yang harus diperhatikan :

a. Tertusuknya a.subclavia : bila hal ini terjadi jarum harus segera ditarik dan

a.subclavia ditekan didaerah Trigonum Subclavia, agar tidak terjadi hematoma

(3,5,7).

b. Jarum tidak boleh diarahkan ke medial dari m.scaleneus anterior, agar tidak

terjadi penumothorax. (1,2,3,4,5,6,7).

Onset anestesi dipatau selama 20 menit, apabila blok berhasil dapat diketahui :

- Rasa tebal di jari-jari penderita.

- Kelumpuhan pergelangan tangan (wrist drop).

- Penderita tidak kuat mengangkat lengannya.

Pemberian ulang obat local anestesi tidak dilakukan :

- Apabila penderita takut dapat diberi valium intravena dengan dosis secukupnya

(5 mg).

- Apabila blok plexus brachiais tidak berhasil maka diganti dengan anestesi

umum.

Pasca bedah dilakukan observasi pada penderita yang meliputi : tekanan darah, nadi,

pernafasan dan timbulnya keluhan lain misalnya nyeri dada, suara parau, sesak nafas,

untuk mengetahui adanya penyulit (pneumothorax, n.laryngeus paralysa). (4,5,7).

Untuk TUGASMAS 467


468
Penderita dipihdakna ke ruangan setelah dapat menggerakkan kembali lengannya, serta

tidak mengalami penyulit tersebut di atas.

Hasil kerja :

Di RSUD Dr. Soetomo Surabaya dari Januari 1982 sampai dengan Desember 1985 telah

dilakukan blok plexus brachialis dengan jalan Parascalenus pada 66 penderita terdiri

dari 21 wanita dan 45 pria, usia antara 15 – 80 tahun.

Macam operasi yang dilakukan sebagia berikut :

Operasi tendon dan vascular/soft tissue.

1. Operasi vascular/hemangiom/AV Shunt lengan bawah ….3

2. Operasi ruptur tendon …………………………………….3

3. Operasi pelepasan kontraktur jari …..……………………5

4. Excisi tumor lengan bawah ………………………………4

Jumlah 15

Operasi tulang dan sendi :

1. Operasi tulang humerus 1/3 bawah ……………………..1

2. Operasi tulang sendi siku ………………………………..4

3. Operasi tulang lengan bawah …………………………..28

4. Operasi angkat plat & sekerup lengan bawah …………..2

5. Operasi tulang tangan ………………………………….16

Jumlah 51

Hasil analgesi dinilai baik, apabila 15-20 menit setelah penyuntikan dipenuhi criteria

seperti tersebut di atas. Pemasangan turniket dapat dilakuakn setelah keplumpuhan otot

secara sempurna tercapai.

Untuk TUGASMAS 468


469
Semua anggota gerak atas terutama lengan bawha dan 1/3 bagian bawah lengan atas

dapat dilakukan blok plexus brachialis dengan hasil yang memuaskan. (1,3,5) (gambar

6).

GAMBAR 6 :

TABEL-I : Umur penderita dan status phisisk

ELEKTIF

USIA (TH) STATUS PHISISK PARESTHESI

1 2 3 4 5 Jumlah Mudah (%) Sukar/Ragu

15 – 19 17 17 4 13

20 – 24 13 13 5 8

25 – 29 2 4 6 2 4

30 – 34 3 1 4 2 2

35 – 39 3 1 4 1 3

> 40 10 1 11 1 10

55 15 (27.2%) 40 (72.7%)

Untuk TUGASMAS 469


470

DARURAT

USIA (TH) STATUS PHISISK PARESTHESI

1 2 3 4 5 Jumlah Mudah (%) Sukar/Ragu

15 – 19 1 1 1 -

20 – 24 2 2 2 -

25 – 29 3 3 2 1

30 – 34 3 3 2 1

35 – 39 - - - -

> 40 1 1 2 1 1

11 8 (72.7%) 3 (27.2%)

Dari table dapat diketahui bahwa mencari parestesi tidak begitu mudah. Kepada semua

penderita diberikan Diazepam intravenous, selama pembedahan berlangsung. Tidak ada

penderita yang ememrlukan tambahan obat – anestesi yang lain, lama operasi yang

dilakukan 1-2 jam.

Penyulit yang terjadi :

- horner syndrome 7,6%

- blok n. laryng 1,5%

- reaksi sistemik obat local anestesi & penumothorax 0%

PEMBAHASAN :

Pemberian anestesi dengan cara blok pelzus memelrukan kerjasama yang sngat

baik antara dokter dan penderita.

Untuk TUGASMAS 470


471
Penderita harus mendapat penjelasan tentang cara yang akan dilakukan terhadpanya dan

harus mengerti dan mau menerima perlakukan tersebut., paraestesi yang sukar dicari

tersebut, disebabkan penderita yang tidak mengerti dan tidak pernah merasakan rasa

seperti yang kita maksudkan (arus listrik yang lemah).

Dengan blok pada plexus brachialis ini, hasil yang paling memuaskan didapat bila

digunakan untuk anestesi 1/3 bagian distal lengan atas dan seluruh lengan bawah.

Hal ini dapat dimengerti karena sebagian innervasi lengan atas berasal dari n.intercosta

brachialis (T2) dan n. medial brachialis cutaneus & Papper (1964) membandingkan blok

aziler dan blok supraclavicular pada 500 penderita, ternyata teknik blok axiller memberi

hasil yang lebih baik.

Keberhasilan dengan blok azillar 91,5% sedang dengan blok supracalvicular 84,5%.

Pada blok axiller tidak didapatkan penyulit pneumothorax, sedang angka kejadian untuk

pneumothorax pada blok supraclavicular adalah 6.1%. (7).

Menurut beberapa kepustakaan blok axilla tidak adekwat untuk operasi lengan atas.

(1,3,5,7)

Kalau ditinjau dari cara melakukan blok pelxus brachialis banyak macam teknik

pendekatan (approach) , sebenarnya tujuan utamanya adalah menghindari penyulit

pneumothorax. (3.5.7).

Winnie (1970) melakukan blok interscalenus, penyulit pneumothorax dengan cara

interscalenus dapat dihindari, namun teknik ini dapat membawa risiko penyulit yang

berbahaya oleh karena tertusuknya arachnoid. (7).

Ray (1973) dan Sin (1977) melakukan cara infraclavicular dengan maksud yang sama,

namun memerlukan nerve stimulator untuk mencari plexus tersebut. (7).

Pada blok plexus brachialis dengan jalan Paraschaleneus dapat dihindari terjadinya

pneumothorax apabila arah jarum tidak ke medial.

Hasil blok plexus dengan cara ini sangat memuaskan 98.5%.

Untuk TUGASMAS 471


472
Untuk melakukan bilateral blok plexus tidak dianjurkan, walaupun penyulit

penumothorax jarang terjadi.

TABEL II

USIA KEBERHASILAN GAGAL PENYULIT

(TH) HORNER PARALYSA PNEUMOTHORAX

15-19 18 2 1

20-24 15 1

25-29 9

30-34 7

35-39 3 1 2

40 13

65 (98.5%) 1 (1.5%) 5 (7.6%) 1 (1.5%) 0%

TABEL III: PERBANDINGAN BEBERAPA BLOK PLEXUS BRACHIALIS (7)

PENULIS TEKNIK JML.KASUS KEBERHASILAN PENYULIT

PNEUMOTHORAX LAIN2

1. Dejong Axillary 94 91.5 0 -

2. Brand Axillary 246 91.5 0 -

Untuk TUGASMAS 472


473
& Paper Supraclavicular 230 84.4 6.1 -

3. Winnie Subclavian 100 98 0 Phrenic

& Colloin nerve 1%

4. Winnie Intrescalene 200 94 0 -

5. Ray et Infraclavicular 200 95 0 -

al

6.

Vongvises Horner

& Parascalenus 100 97 0 Syndrome

Panijaya (1.5%)

7. Hari Horner

Hanggoro Parascalenus 66 98.5 0 Syndrome

dkk (7.5%)

Untuk TUGASMAS 473


474

Untuk TUGASMAS 474


475
PEMANTAUAN BLOKADE NEUROMUSKULER

Bambang Wahjuprayitno
Lab. / UPF Anestesiaologi F. K. Unair RSUD Dr. Soetomo
Surabaya

PENDAHULUAN
Obat pelemas otot, baik golongan depolarizing maupun non depolarizing,
merupakan salah satu obat yang paling sering dipakai dalam anestesi. Pemberian
obat pelemas otot ini bukan tanpa bahaya. Disamping variasi individual terdapat
banyak factor yang dapat mempengaruhi efek dan lama kerja obat tersebut. Oleh
karena itu banyak ahli menganjurkan untuk dilakukannya pemantauan secara
rutin. Derajat blikade neuromuskuler ini. Pemantauan penghantaran
neuromuskuler ini dapat memberikan informasi yang berguna bagi anestesist
dan pada akhirnya dapat meningkatkan kwalitas pelayanan anestesi pada pasien.
Tampaknya pengunaan alat-alat untuk pemantauan ini di Surabaya belum
begitu popular, kemungkinan demikian juga di tempat – tempat lain di
Indonesia.
Seorang ahli anestesiologi yang berpengalaman tidak diragukan lagi
dapat menilai derajat blockade neuromuskuler secara klinis tanpa menggunakan
suatu stimulator saraf. Hal serupa dapat pula terjadi bila ia melakukan anestesi
pada penderita penyakit jantung tanpa pemantauan E K G. Yang perlu
dipertanyakan adalah sampai berapa aman dan optimal penderita mendapat
pelayanan anestesinya tanpa pemantauan tersebut.
Dalam suatu study tentang sisa obat pelemas otot oleh Viby- Mogensen
dkk. (1979) pada 72 pasien penderita tanpa pemantauan dengan stimulator saraf,
setibanya di ruang pulih sadar didapatkan 24% penderita tidak dapat
mengangkat kepala (head lift) selama 5 detik, 42% mempunyai train-of-four
ratio kurang dari 0.7 sebagai tanda kepulihan yang cukup. Dari sini dapat
diambil kesimpulan bahwa tanpa pemantauan dengan stimulator saraf terdapat
kemungkinan terjadinya hipoventilasi dan penurunan kemampuan reflex
protektif pasca bedah, dan jelas ini dapat menimbulkan bahaya.
Terdapat 3 faktor yang berperan penting yang mengakibatkan penilaian
klinis itu tidak selalu cukup baik yaitu :

Untuk TUGASMAS 475


476
- Kepekaan individu terhadap obat pelemas otot yang bervariasi
- Batas keselamatan dari end-plate neuromuskuler
- Hubungan antara derajat hambatan neuromuskuler non-depolarizing dengan efek
dari obat anticholinesterase
Seseorang yang mempunyai kadar cholinesterase plasma yang rendah karena
kelainan genetika akan sangat peka terhadap obat pelemas otot depolarizing.
Katz (1976) yang memberikan 0.1 mg/kg BB tubocurarine pada
penderita normal mendapatkan 6% penerita tidak mengalami perubahan tinggi
twich, 7% penderita mengalami kelumpuhan total (100% depresi twich),
sedangkan sisanya 87% mengalami kelumpuhan dengan derajat yang berbeda-
beda. Chesnut dkk. (1989) dengan memberikan suxamethorium dengan dosis 0.3
mg/kg BB pun mendapatkan blockade yang bervariasi antara 4% - 90%.
Karena jumlah reseptor di end-plate neuromuskuler jauh lebih besar
dibandingkan dengan yang diperlukan untuk memicu terjadinya aksi potensial.
Batas keselamatan end-plate neuromuskuler lebar. Ini mengakibatkan bahwa
meskipun didapatkan kekuatan inspirasi (inspiratory force), kapasitas vital, dan
kemampuan angkat kepala 5 detik yang normal, dapat terjadi 75-80% reseptor
masih terikat oleh obat pelemas otot non depolarizing.

Efek dari obat anticholinesterase sebagai reversal obat pelemas otot non-
depolarizing sangat bergantung dari derajat hambatan neuromuskeler pada saat
obat tersebut diberikan. Menurut Katz (1971) makin berat derajat kurarisasinya
makin lama waktu yang dibutuhkan untuk pulih asal. Hal ini tentu dapat
merugikan bila blok dilakukan tanpa pemantauan dengan stimulator syaraf,
karena tanpa itu derajat blok biasanya ditentukan dengan perkiraan saja. Dengan
pemantauan memakai stimulator syaraf di samping dapat membedakan jenis
blok memungkinkan dosis obat pelemas otot dan antagonisnya dapat diberikan
dengan tepat.
Jadi disamping untuk membedakan jenis blok, tujuan utama pemantauan
neuromuskuler selama dan pasca bedah adalah agar blok dapat diakhiri dengan
cepat dengan antogonis maupun secar spontan dapat dijamin berlangsung lama,
segingga penyulit yang merugikan dapat dicegah.

Untuk TUGASMAS 476


477
JENIS BLOK NEUROMUSKULER
Secara klinis blok neuromuskuler dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu :
a. Blok non-depolarizing
Blok jenis ini diakibatkan oleh antara lain tubocurorin, gallamin, alcuronium,
pancuronium, vecuronium dan attacurium dimana obat ini terikat pada
reseptor di end-plate neuromuskuler.
Sifat-sifatnya adalah :
1. Tidak terdapat fasikulasi sebelum saat paralisis
2. Response twitch menurun terhadap stimulus tunggal
3. Terjadinya fase pada stimulus yang terus-menerus (tetanik)
4. Posttetanic potentiation
5. Train-of-four ratio kurang 70%
6. Antogonisme dengan obat anticholinetrase
7. Potensiasi dengan obat penghambtat neuromuskuler non-depolarizung yang
lain
8. Antagonism dengan obat depolarizing
b. Blok depolarizing
Blok jenis ini terjadi oleh karene pemberian succinylcholine dan
decamethonium.
Sifat-sifatnya adalah :
1. Fasikulasi otot sebelum dimulainya blok
2. Kontraksi menurun terhadap stimulus tunggal
3. Amplitude menurun tetapi tidak terjadi fade pada stimulus tetanik
4. Tidak terdapat posttetanic potention
5. Train-of-four ratio lebih dari 70%
6. Potensiasi dangan anticholinesterase
7. Antagonism dengan golongan non-depolsrizing
8. Potensiasi dengan obat depolarizing

c. Blok phase II ( phase II blok, dual block desensitization block )


Pemakaian pelemas otot depolarizing berulang dalam waktu panjang dapat
menyebabkab terjadinya blok phase II ini, yang mempunyai sifat-sifat mirip
dengan blok non-depolarizing. Churchil-Davidson dkk. (1960) menemukan
bahwa dengan dosis 500 mg succinylcholine dapat menyebabkan jenis blok ini
timbul pada anestesi ini dengan thiopenthal-N2O. Katz (1963) dan Lee (1975)

Untuk TUGASMAS 477


478
menyatakan jenis blok ini dapat timbul setelah dosis succynlycholine 2.0 – 4.0
mg/kg BB. Bahkan pada penderita dengan plasma cholinesterase acipik dengan
1 mg/kg (Savarase dkk.1975).
Terdapat 5 tahap dalam terjadinya blok phase II, yaitu :
1. Mula-mula terjadi blok depolarisasi yang khas
2. Stadium takhifilaksis
3. Stadium inhibisi wadensky terjadi fase pada stimulant tetanik, tetapi pada
stimulant yang rendah tidak dipertahankan
4. Stadium fade and potention pada stadium ini anticholinseterase memperbaiki
hantaran neoromuskuler
5. Stadium non-depolarizing dengan semua tanda-tanda klasiknya
Jadi muali timbul phase blok II ecara klinis pertama kali dirasakan dengan
timbulnya takhifilaksis, namun menurut penyelidikan Lee dengan memantau
TOF ternyata transisi ini berjalan relative mendadak.

METODE STIMULASI SYARAF

Pola respons otot yang timbul tergantung dari frekwensi stimulasi syaraf.
Dengan jenis ini dan derajat blok dapat ditentukan.
Elektroda stimulator (dapat memakai electrode E.K.G) diletakkan diatas
Ulnaris pada siku atau pergelangang tangan setelah sebelumnya daerah tersebut
dibersihkan. Bila tidak terdapat E.M.G respon yang timbul dapat dinilai dengan
cara visual atau taktil pada jari-jari tangan. E.K.G juga dapat dipergunakan
dengan meletakkan electrode E.K.G oada daerah thenar, dipothenar atau
belakang tangan.
Stimulus listrik berbentuk segi empat selama 0.2 ms dengan intensitas
maksimal (10 -20% lebih tinggi dari intensitas yang diperlukan untuk
menimbulkan respon yang maksimal). Sebelum diberikan obat respon control
direkam, persentase perubahan dari harga ontrol setelah obat diberikan
menentukan omset kerja dan potensi dari obat. Terdapat 4 macam stimulasi yang
biasa dipakai, yaitu :
1. Stimulasi Twitch Tunggal (Single Twitch Stimulation)
Stimulasi dilakukan dengan frekwensi 0.1 -1.0 Hz (tiap 10 det).
Stimulasi

Untuk TUGASMAS 478


479
Tunggal ini dapat mendeteksi derajat kuearisasi yang dalam dan mungkin
berguna untuk membedakan apnea pasca bedah itu jenisnya netral atau perifer
karena obat pelemas otot lihat gambar 1).
2. Stimulsi Tetanik
Diberikan stimuli berurutan dengan frekwensi cepat (30-100 Hz).
Biasanya dipakai 50 Hz selama 5 detik, karena lebih dari itu tidak fisiologis
(melebihi maximal voluntary effort)
Pada saat permulaan stimulasi tetanik, sejumlah besar acethycholine
dilepaskan dari tempat penyimpanan pada bagian terminal syaraf. Sewaktu
jumlah penyimpanan ini berkurang, pelepasan acethylcholin juga berkurang
sampai terjadi keseimbangan antara mobilisasi dan sistesis dari acethylcholine.
Meskipun demikian kekuatan respon mekanik akibat stimulasi tetanik pada
fungsi neuromuskuler yang normal tetap dipertahankan, hal ini karena
pelepasan acethylcholine jauh lebih banyak dari pada yang dibutuhkan untuk
menimbulkan respon. Jadi terdapat batas keselamatan yang lebar (Paton &
Waud 1967). BAila batas keselamatan ini berkurang karena adanya obat
pelemas otot, maka pengurangan pelepasan acethylcholine ini akan
mengakibatkan terjadinya fade atau non-sustained response (lihat gambar 2).
Derajat fade tergantung pada derajat blok, frekwensi dan lama stimulus tetanik
dan pada berapa sering stimull dilakukan.

3. Posttetanic Potentiation (PTP)


Mobilisasi dan sintesis acetylcholine masih tetap meningkat
selama.stimulasi tetanik sampai beberapa waktu setelah stimuli
dihentikan. Jadi pada periode posttetanik jumlah acethycholine yang siap
dilepaskan lebih besar dari pada periode pretetanik. Tanpa adanya
penurunan batas keselamatan hal ini tidak berarti apa-apa, tetapi bila
terdapat kurarisasi otot dapat timbul Posttetanic Potentiation (PTP). PTP
ini akan menurun setelah beberapa waktu sesuai dengan penurunan
acethycholine ke level pretetanik.
Kerugian dari stimulasi tetanik ini adalah nyeri yang ditimbulkannya oleh karena
itu hanya bias dilakukan pada penderita yang masih ter-anestesi.
4. Stimulasi Train-of-four (TOF)
Dengan cara-cara diatas diperlukan suatu nilai control tinggi twitch .

Untuk TUGASMAS 479


480
Sebelum kurarisasi, oleh karena itu diinginkan suatu cara untuk menilai derajat blok
tanpa suatu nilai control. All dkk. Mengemukakan suatu cara tambahan untuk menilai
derajat blok neuromuskuler non-depolarizing yang disebut Train-of-four (TOF), Disini
diberikan 4 kali stimulus supermaksimal berurutan dengan frekwensi 2 Hz (2x/det
selama 2 detik). TOF ini dapat diulangi minimal tiap 10 detik. Bila amplitude respon
yang ke 4 dibandingkan dengan yang ke 1 akan didapatkan train-of-four ratio. Jadi
dengan cara stimulasi disini derajat blok dapat dilihat langsung mekipun control pra
kurarisasi tidak ada.
Pada blok non-depolarizing ratio ini akan menurun, sedangkan pada blok
Depolarizing tinggi keempat twich tersebut akan sama. Penurunan ratio pada blok
depolarizing menunjukkan pada perubahan blok phase II (lihat gambar 3).
Disamping keuntungan diatas, karena TOF ini berkurang menimbulkan
nyeri disbanding stimulasi tetanik, maka stimulasi TOF ini dapat dipergunakan detiap
saat baik selama maupun sesudah anesthesia.

HUBUNGAN ANTARA METODE – METODE STIMULASI

Metode yang paling kurang peka dalam mendeteksi blok partial adalah stimulasi
twitch tunggal. Respons twitch baru menurun bila 75-80% reseptor cholinergic pada
neuromuskuler end-plate terblok. Bila blok reseptor mencapai 90% respons akan
menghilang.
Pada stimulasi tetanik, makin tinggi frekwensi stimulasinya makin peka
pemeriksaannya. Pada 100 Hz selama 5 detik fade terjadi bila 50% reseptor ter-blok.
Pada 200 Hz selama 5 detik fade sudah terjadi bila 30% reseptor ter-blok (Gissen &
Katz, 1969; Waud & Waud, 1971).
Pada TOF, ratio mulai menurun bila lebih dari 70-75% reseptor terblok (Waud
& Waud, 1972).
Dengan memakai d-tubocurarine dan cara TOF, Lee (1975) dapat
memperkirakan derajat blok. Respon dari stimulus ke-empat menghilang (TOF ratio =
0) bila tinggi respon pertama lebih kurang 25% control. Respons dari stimulus ke-tiga
menghilang bila respon pertama sekitar 10% control (lihat gambar 4)
Pada blok non-depolarizing yang kuat, derajat blok tidak dapat ditentukan
dengan stimulasi twitch tunggal maupun TOF (period of no response). Namun dengan

Untuk TUGASMAS 480


481
menggunakan stimulasi tetanik kemudian melihat respons terhadap stimulus posttetanic
(PTP) pada blok dengan pancoronium. Viby-Mogensen dkk, (1981) dapat menentukan
PTP mulai tampak 32 menit sebelum respons pertama terhadap TOF timbul. Dengan
menghitung jumlah twitch yang masih bias timbul (Posttetanic Count = PTC) derajat
blok yang kuat dapat diestiniasi.

EVALUASI REPONS TERHADAP STIMULASI


Biasanya dipakai n. Ulnaris dan respons yang timbul pada jari dapat dievaluasi
secara visual, taktil, mekanikal ataupun elektrikal.

1. Evaluasi visual
Dengan stimulus tunggal gerakan ibu jari dilihat dan dibandingkan dengan control
(sebelum pemberian obat pelemas otot). Dengan TOF yang dilihat adalah respons yang
timbul. Sulit untuk membandingkan respons keempat terhadap yang pertama
(menentukan TOF ratio).
Bila tidak terdapat fade pada stimulasi tetanik, berarti TOF ratio lebih besar dari 0.7.
Secara visual melihat adanya fade adalah lebih mudah lihat gambar 5.

2. Evaluasi Taktil
Dengan cara menahan dengan ringan ibu jari penderita dalam posisi abduksi dengan
ujung jari kita, dapat dinilai kira-kira kekuatan kontraksinya. Secara ini biasanyan ini
lebih baik dari pada visual.

3. Pengukuran Mekanis
Dilakukan dengan cara mengukur tekanan yang timbul pada otot akibat stimulasi syaraf
dengan suatu force – displacement trasducer. Kekuatan kontraksi isometric diubah
menjadi sinyal listrik yang dapat direkam dan di ukur dengan tepat. Pengukuran ini
memerlukan fiksasi yang tepat, orientasi yang baik dan pencegahan overload trasducer.

Untuk TUGASMAS 481


482

4. Pengukuran elekromiografik
Karena yang diukur adalah aksi potensial otot maka problem fiksasi, orientasi dan
overload pada pengukuran mekanikal dapat dikurangi. Keuntungan lain cara ini adalah
dapat merekam perubahan-perubahan yang cepat pada fungsi neuromuskuler.

5. Neuromusculer transmission analyzer


Dengan alat ini maka tinggi twitch, ratio TOF tidak perlu dihitung secara manual lagi.
Respons langsung ditayangkan atau direkam berupa tinggi twitch (% konrol), jumlah
respons TOF maupun TOF ratio. Terdapat 2 macam analyzer, yaitu yang mengukur
respons mekanikal dan elektomiografis. Dengan kemajuan dunia elektronika alatnyapun
makin dapat diperkecil sehingga mudah dibawa-bawa (portable).

HUBUNGAN ANTARA RESPONS STIMULASI DAN OBSERVASI KLINIK

Relaksasi otot-otot rahang dan larynx yang cukup untuk laryngoskopi terjadi
pada tinggi twitch 5% (depresi 95%). Pada keadaan ini relaksasi yang diperlukan untuk
anestesi sudah dicapai. Secara visual dan taktil gerakan jari hampir tidak terlihat atau
terasa dan TOF hanya respons yang pertama dari keempat respons yang bias dilihat dan
dirasakan.
Pada tinggi twitch 10% (depresi 90%) relaksasi otot dinding perut baik pada
balanced anesthesia. Dengan tinggi twitch 25% dengan obat anestesi yang potent
didapatkan relaksasi yang sama. Otot dinding perut mulai terasa “ketat” pada tinggi
twitch lebih besar dari 25%. Kepala baru dapat diangkat setelah tinggi twictch paling
sedikit 90%, ini sesuai dengan TOF ratio 0.5-0.6. Lebih lanjut dapat dilihat pada table
dibawah.

TABEL 1

Untuk TUGASMAS 482


483

Tinggi twitch (control) Relaksasi Klinis Ventilasi


Tidak ada, TCF > 0.7,
100 tetanus dipertahankan Normal
(sustained)
75 Kurang, angkat kepala Kapasitas vital berkurang
inadequate sedikit sampai sedang
50 Cukup Kap. Vital berkurang
sedang – nyata, vT
mungkin cukup
25 Baik dengan obat inhalasi vT menurun
potent
10 Baik dengan balanced vT tidak cukup
anestesia
5 Baik sekali, cukup untuk Beberapa pergerakkan
intubasi dengan anesthesia diafragma mungikin ada
ringan
0 Sangat baik untuk intubasi Apnea

Ternyata terdapat korelasi yang baik antara respon TOF dengan kemampuan
angkat kepala. Pada TOF ratio 0.6 penderita dapat mengangkat kepala dan menahannya
selama 3 detik, tetapi kapasitas vital dan kekuatanaspirasi masih menurun. Pada ratio
0.75 angkat kepala selama 5 detik, membuka mata lebar, megeluarkan lidah dan mampu
batuk dengan baik. Ini setara dengan stimulasi tetani selama 5 detik tanpa fade. Pada
TOF ratio 0.8 atau lebih baru kapasitas vital dan kekuatan inspirasi menjadi normal.
Telah dikemukakan sebelumnya, bahwa meskipun tinggi twitch telah menjadi
normal (100%), TOF ratio bias masih 0.7 dan setelah TOF NORMALPUN BISA 70 –
75% reseptor masih kena blok. Dengan rangsangan tetanik frekwensi tinggi hal tersebut
dapat dilihat. Lebih jelas korelasi kliniknya dapat dilihat pada table di bawah ini.

TABEL II. Hubungan antara beberapa test neuromuskuler, ventilasi dan jumlah

Untuk TUGASMAS 483


484
Reseptor yang kena blok

Stimulasi syaraf parifer Ventilasi Perkiraan reseptor terkena


blok (%)
Tetanus 200 Hz Angkat kepala dan test 33
dipertahankan genggam tangan normal
Tetanus 100 Hz Insp. Force normal 50
dipertahankan
TOP normal Ex. Flow rata dan kap. 70-75
Vital normal
Tinggi twitch menurun & Volume tidal normal 75-80
tetanus 30 Hz
dipertahankan (sustained)

PENGGUNAAN STIMULATOR SYARAF DALAM PRAKTEK KLINIS

Selama Induksi

Sebaiknya stimulator syaraf dipasang sebelum anesthesia dimulai, tetap jangan


dicoba dulu sebelum penderita ditidurkan. Setelah penderita tidur diberi stimulus
sipramaksimal dan responnya pada jari dicatat, baru kemudian obat pelemas otot
diberikan.

Untuk TUGASMAS 484


485
Karena adanya respons individual, dengan pedoman stimulator syaraf dapat
dicapai derajat blok neuromuskuler yang diinginkan.
Selama Anestesia
.
Untuk mendapat relaksasi otot yang baik, cukup diberikan obat pelemas otot
non-depolarizing sedemikian rupa sehingga didapatkan tinggi twitch 5 – 10% (90 – 95%
depresi). Pada keadaan ini gerakan jari hamper hilang bila secara visual atau taktil.
Dengan stimulasi TOF hanya respon pertama atau yang pertama dan yang kedua yang
bias dilihat atau dirasa. Pada keadaan ini balanced anesthesia akan mendapatkan
lapangan operasi yang baik dan sisa relaksan dapat di antagonisir dengan mudah (lihat
gambar 6). Dengan obat anesthesia inhasil yang kuat, derajat blok mungkin dapat
dikurangi sedikit
Bila dipakai obat epolarizing melewati infuse terus-menerus, derajat relaksasi
yang baik didapatkan bila hamper tidak ada reaksi terhadap stimulasi syaraf. Secara
berkala dosis perlu dikurangi dan dilakukan test untuk mencegah over dosis.

Selama Reserval
Jangan memberikan reversal pada derajat blok yang dalam, yaitu tidak ada
respon terhadap stimuli tunggal maupun TOF. Bila tinggi twitch lebih dari 20% control
(keempat respon TOF ada) waktu yang diperlukan sejak pemberian neostigmine (2.5
mg) sampai tercapainya twitch setinggi 100% control (TOF ratio 0.7) adalah 3 – 14
menit. Bila saat diberikan reversal tinggi twitch kurang 20% maka waktu pemulihan
berkisar antara 8 – 29 menit.

Selama pasca bedah


Bila terdapat tanda-tanda depresi napas berupa : pernafasan dangkal, menyentak,
terdapat” tracheal tug” PERNAFASAN “see-saw, sianosis, penderita gelisah, ketakutan,
berontak, merasa susah bernapas, diplopia dan tak mampu mengangkat kepala maupun
menjulurkan lidah segera berikan bantuan napas IPPV dengan masker dan oksigen.
Sementara itu evaluasi penyebabnya sentral atau perifer.\
Bila TOF ratio 0.7 dan tidak terdapat fade pada rangsang tetanik berarti bukan
sisa kurarisasi. Sebaliknya bila TOF rendah dan terdapat dengan rangsang tetanik berarti
masih terdapat sisa kurarisasi. Sementara meneruskan IPPV, evaluasi keseimbangan
asam-asam dan elektrolit tubuh, suhu, reaksi obat releksan, obat-obat dan penyakit-

Untuk TUGASMAS 485


486
penyakit lain yang dapatmempengaruhi blok meuromuskuler. Selanjutnya pemberian
anticholinesterase dapat dilakukan dengan berpedoman pada stimulator syaraf.

INDIKASI PENGGUNAAN STIMULATOR SYARAF


Meskipun dengan evaluasi klinik yang seksama kemungkinan terjadinya
gangguan penghantaran neuromuskuler dapat dicegah, tetapi pada keadaan-keadaan
tertentu penggunaan stimulator syaraf ini akan sangat berguna dalam memantau fungsi
neoromuskuler selama pembedahan. Keadaan-keadaan ini ialah :
- Penderita dengan gangguan fungsi ginjal atau hepar atau keduanya terganggu
- Penderita dengan gangguan penyakit paru berat
- Penderita dengan penyakit jantung berat
- Penderita dengan keadaan umum yang jelek
- Penderita dengan obese sekali
- Penderita dengan operasi yang lama > 4 jam
- Penderita dengan penyakit neuromuskuler
- Pebderita yang mendapat relaksan dengan teknik infuse yang kontinyu

KESIMPULAN
Pada umumnya dengan observasi klinis yang baik dengan menilai tonus otot,
gerakan-gerakan spontan otot-otot, pegangan pada reservoir bag, inspiritory force,
kemampuan membuka mata, menjulurkan lidah, seorang anestest umunya mampu
dengan baik menilai derajat blok neuromuskuler tanpa mempergunakan stimulator
syaraf. Namun terdapat keadaan-keadaan tertentu dimana pemantauan fungsi
neuromuskuler dengan stimulator syaraf yang dipasang sejak pra bedah akan sangat
berguna dan lebih aman bagi penderita.

Untuk TUGASMAS 486


487
Seorang ahli anestesiologi seyogyanya harus terbiasa dan mampu melakukan
pemantauan fungsi neuromuskuler secara klinis maupun dengan alat stimulator syaraf,
sebagai suatu pedoman dosis pemberian obat pelemas otot dan untuk memastikan
terbebasnya penderita dari pemgaruh obat tersebut pasca bedah.

MENGATASI PERDARAHAN DALAM PEMBEDAHAN DENGAN CAIRAN


Oleh
Karijadi Wirjoatmodjo
Laboratorium Anestesiologi FK. Unair/ RSUD Dr. Soetomo
Surabaya

PENDAHULUAN
Beberapa tahun terakhir ini pengetahuan tentang shock umumnya dan shock
karena perdarahan khususnya mengalami kemajuan sangat pesat. Salah satu sebabnya
adalah kemajuan teknologi pengukuran faal peredaran darah. Apa yang dulu hanya
mungkin dilakukan pada binatang di laboratorium, sekarang dapat dilakukan pada
manusia di rumah sakit. Majunya penelitian ini menyebabkan banyak gugurnya dalil-
dalil lama, dan timbulnya pengertian –pengertian baru. Disamping itu walaupun agak
janggal didengar adanya perang, perang dunia II, perang korea, perang Vietnam telah
memaksa orang untuk mempelajari lebih teliti patologi yang ditimbulkan loeh
perdarahan. Sangat kurangnya darah yang tersedia, dibandingkan dengan yang

Untuk TUGASMAS 487


488
dibutuhkan menjadi dorongan untuk menyediliki kemungkinan mengatasi perdarahan
dengan cairan bukan darah.
Di Indonesia persoalan kekurangan persediaan darah sangat dirasakan, lebih-
lebih di daerah.
Maksud tulisan ini adalah untuk mengemukakan pengetahuan yang didapat dari
penelitian diatas dan kemungkinan pelaksanaannya di Indonesia.

I. BEBERAPA PENGERTIAN TENTANG FAAL KARDIOVASKULER


Sebelum membicarakan pokok tulisan ini, beberapa pengertian dasar tentang
faal
Kardiovaskuler perlu dijelaskan. Hanya dari pengetahuan faal yang baik akan timbul
pengertian tentang terapi yang baik.
Salah satu tugas peredarahan darah yabg sangat penting adalah oksigenasi jaringan.
Cukupnya oksigenasi dapat diukur dengan mudah sekarang di klinik-klinik yang maju.
Dasar pengukuran sangat sederhana. Jika oksigenasi cukup glikose dibakar jadi CO2
dan air. Bila terjadi anoxia atau hypoxia, glucose hanya dapat dipecah menjadi asam
laktat. Ini berakibat kadar laktat naik berlebihan. Kejadian ini disebut “excess lactate”.
Pada shock excess lactate yang tinggi berarti kegagalan peredaran darah yang hebat, ini
berakibat angka kematian yang tinggi.
Cra lain untuk menentukan hypoxia ialah dengan mengukur pemakaian oksigen semenit
(oxygen consumption).
Turunnya pemakaian oksigen berarti terjadinya hypoxia.
Peredaran darah yang baik berarti oksigenasi jaringan yang baik.
Oksigenasi yang baik, memerlukan perfusi yang baik. Perfusi yang baik, memerlukan
cardiac output (volume darah yang dipompa keluar jantung kiri dalam satu menit) yang
baik. Cardiac output yang baik, menimbulkan tensi yang “baik”.
Kesalahan pemikiran yang sering terjadi adalah pembalikan jalan pikiran diatas :
Apabila tensi tinggi maka peredarahan darah pasti baik. Ini tidak selamanya benar.
Sebagai contoh ialah apa yang terjadi sebagai akibat pemberian obat vasokonstriksi
(vasoprossesor) yang kuat non andrenalin pada orang. Pembuluh darah mengalami
vasokonstriksi hebat. Tahanan pembuluh darah naik. Jantung mengalami kesukaran
memompa darah keluar. Cardiac output menurun.Dalam hal ini tensi naik karena
vasokonstriksi tapi cardiac output justru turun.
Akibat perfusi turun dan oksigenasi jaringan juga turun.

Untuk TUGASMAS 488


489
Memperbaiki peredaran darah berarti mengusahakan baiknya oksigenasi, baiknya
perfusi, baiknya cardiac output, bukan hanya sekedar menaikkan tensi. Sayangnya yang
dapat diukur pada waktu itu hanyalah tensi. Karena itu pula pada setiap pengukuran
tensi harus kita Tanyakan “dalam hati” apakah dengan tensi ini berarti perfusi jaringan
baik atau tidak.

II. PERUBAHAN-PERUBAHAN SESUDAH PERDARAHAN, TAHAP


VASOKONSTRIKSI, HEMODILISI DAN PRODUKSI ERETROSIT
Dari percobaan binatang, dan juga dari pemerikasaan pada manusia, diketahui
Bahwa setelah terjadi perdarahan, tanpa pertolongan akan terjadi perubahan-perubahan
dalam tubuh menurut pola tertentu.
Untuk mudahnya dan berdasar waktu dan lama terjadinya, perubahan-perubahan itu
dapat dibagi menjadi tiga tahap ; tahap vasokonstriksi, tahap hemodilusi dan tahap
produksi eritrosit.
Tahap vasokonstriksi terjadi segera setelah perdarahan.
Pda tahap ini perfusi organ vital (otak dan jantung) dipertahankan dengan
mengorbankan perfusi organ-organ lain, dengan demikian kematian dihindarkan. Tahap
hemodilusi menyusul. Pada tahap ini volume darah kembali normal sedang jumlah
eritrosit belum.
Oksigenasi jaringan dicukupi dengan menaikkan carciac output dan menambah
ekstraksi oksigen. Tahap terakhir ini adalah produksi erotrosit, dengan demikian daya
angkut oksigen darah kembali menjadi normal.
A. Tahap vasokonstriksi
1. Cara terjadinya dan akibatnya
Tahap vasokonstriksi terjadi segera setelah perdarahan.
“Persoalan” bagi tubuh pada waktu itu adalah bagaimana mengatur cardiac output yang
turun karena berkurangnya volume darah untuk tetap hidup.
Rentetan kejadian yang menimbulkan vasokonstriksi ini adalah sebagai berikut : volume
darah turun, cardiac output turun, tensi turun, baroreceptor pada arteri dan vena besar
terangsang – terjadi akibat reflex yang berakibat timbulnya pacuan pada susunan sayaf
simpatik dan dikeluarkannya catecholamine (andrenalin dan non andrenalin) oleh
kelenjar andrenalin, - terjadilah vasokonstriksi.
Vasikonstriksi ini pada berbagai bagian pembuluh darah mempunyai akibat yang
berbeda. Pada system vena, vasokonstriksi menyebabkan terjadinya penyesuaian yang
paling besar antara kapasitas pembuluh darah dengan volume darah yang tinggal.

Untuk TUGASMAS 489


490
Seolah-olah darah dari vena ke jantung dengan demikian cardiac output tidak turun
banyak.
Hal itu terjadi karena dalam keadaan normal 75% dari volume darah ada di system
vena.
Andaikata vasokonstriksi itu tidak terjadi, volume darah yang ketinggalan sebagian
besar akan tertimbun vena, darah yang balik ke jantung sangat berkurang, cardiac output
sangat turun. Pada system arteri, vasokonstriksi tidak terjadi merata. Arteri untuk ke
jantung dan otak kurang peka terhadap pengaruh syaraf simpatik dan catecholamine.
Disitu tak terjadi vasokonstriksi. Arteri untuk ginjal, otot, kulit, usus dan hati sebaliknya
sangat peka terhadap pengaruh saraf simpatik dan catecholamine.
Disini vasokonstriksi terjadi sangat hebat. Hasilnya perfusi jantung dan otak
relative tidak berkurang, sedang perfusi ginjal, hti dan lain-lain berkurang sangat
banyak.
Disamping itu akibat dari vasokonstriksi secara menyeluruh adalah naiknya tahanan
perifer.
Dengan demikian walaupun cardiac output turun tensi tidak banyak turun. Ini
menyebabkan perfusi otak dan jantung lebih terjamin. Dengan singkat “logika” tubuh
menghadapi turunnya cardiac output karena perdarahan ialah mempertahankan perfusi
organ vital otak dan jantung, dan “mengorbankan” perfusi organ “kelas dua” seperti
ginjal dan lainnya. Hal ini dinamakan “protective redistribution”.

2. Hubungan antara vasokonstriksi dan tanda-tanda shock

Terjadinya vasokonstriksi dan naiknya kadar catecholamine menimbulkan tanda


Tanda yang khas pada shock karena perdarahan. Turunnya perfusi otot dan kulit
menyebabkan kaki dan tangan penderita dingin dan pucat.
Pengaruh catecholamine pada kelenjar keringat menyebabkan pebderita berkeringat.
Itulah keterangan terjadinya “keringat dingin” . Akibat lainnya adalah terjadinya
tacnycardia.
Vasokonstriksi pada vena menyebabkan vena kempis. Turunnya perfusi ginjal
menimbulkan oliguri sampai anuri. Tanda-tanda tersebut diatas dan tidak hanya rendah
atau tingginya tensi menjadi petunjuk adanya shock. Sebaliknya hilangnya gejala-gejala
diatas, kaki dan tangan menjadi hangat dan kering, vena tampak kembali berisi,
produksi urine menjadi normal (60 ml/jam pada organ dewasa) dapat dipakai sebagai

Untuk TUGASMAS 490


491
petunjuk berhasil baiknya terapi. Tensi yang “baik” saja tak dapat digunakan sebagai
ukuran baiknya pengobatan.
Suatu hal yang perlu juga diingat ialah bahwa turunnya tensi tidak sebanding
dengan turunnya cardiac output. Pada binatang didapatkan pada perdarahan sebanyak
10% volume darahnya 21% sedang tensi hanya turun 7%. Bila volume darah hilang
sebesar 20% , cardiac output turun 45% sedang tensi hanya turun 15%. Diklinik ini
berarti terapi pada perdarahan tidak boleh menunggu sampai tensi betul-betul turun,
tetapi perlu melihat atau menduga jumlah darah yang hilang.
Hal lain yang perlu diketahui ialah pada perdarahan akut, sebelum terjadi
hemodilusi kadar hemoglobin tak dapat digunakan sebagai ukuran jumlah darah yang
hilang.

B. Tahap hemodilusi
Pada tahap ini volume darah menjadi normal kembali karena naiknya volume
Plasma, sedang jumlah eritrosit pada waktu ini belum pulih asal. Dalam hal ini terjadi
“pengenceran” darah (hemodilusi) dan kadar hemoglobin akan turun.
Hemodilusi ini tanpa pertolongan berjalan lambat, 24-48 jam bahkan kadang-kadang
lebih lama diperlukan untuk volume darah kembali menjadi normal.
Dua mekanisme menyebabkan volume darah pulih asal.
Pertama, pada tahap vasokonstriksi karena konstraksi spingater ke kapiler, tekanan
hidrostatik dalam kapiler menurun. Tekanan onkotik relative menjadi lebih kuat, cairan
ekstraseluler ekstravaskuler “diisap” masuk ke dalam kapiler.
Mekanisme yang kedua adalah karena kerja ginjal.
Turunnya volume darah merangsang reseptor pada atrium ini kemudian menyebabkan
dikeluarkannya A.D.H. oleh hipophise. Disamping itu turunnya perfusi ginjal
menimnulkan satu rantai peristiwa yang berakibat terangsangnya system rennin
angiotensi-aldosteron, berakhir dengan dikeluarkannya aldosteron oleh kulit kelanjar
adrenalin. A.D.H menyebabkan pengeluaran air oleh ginjal dikurangi, aldosteron
menyebabkan pengeluaran natrium dikurangi. Ditahannya air dan natrium berasal dari
makanan didalam tubuh oleh ginjal akhirnya mengembalikan volume darah menjadi
seperti semula.
Hemodilusi ini berbeda dengan tahap vasokonstriksi, tidak mengurangi perfusi
dan oksigenasi jaringan. Karena itu tubah dapat bertahan lama pada tahap ini.

C. Tahap produksi eritrosit

Untuk TUGASMAS 491


492
Produksi eritrosit terjadi sangat lambat, 3 – 4 minggu diperlukan sebelum
jumlah
Eritrosit kembali menjadi normal. Bahwa ini “tidak begitu merugikan” tubuh untuk
“sekedar hidup”, pengalaman kita sehari-hari menunjukkan bagaimana penderita-
penderita hemoglobin yang rendah-rendah (kadang-kadang di bawah 5 g%), dapat
bertahan kadang-kadang tanpa keluhan yang berarti.
Pada percobaan binatangpun dibuktikan bahwa batas keselamatan (margin of
safety) untuk eritrosit jauh lebih besar dari pada untuk volume plasma. Mereka dapat
hidup dengan jumlah eritrosit 35% dari normal, akan tetapi akan mati apabila volume
plasma kurang dari 70% dari normal.

III. PERSOALAN DI KLINIK ; TAHAP MANA YANG PALING BAIK


DIBANTU
A. Tahap vasokonstriksi
Seperti diuraikan diatas dasar dari tahap ini adalah protective redistribution :
mempertahankan perfusi organ vital dan “mengorbankan” perfusi organ “kelas
dua”.
Hanya pada perdarahan ringan (dibawah 10% dari volume darah) tahap vasokonstriksi
ini tidak merugikan perfusi jaringan. Jika perdarahan banyaknya lebih dari 10% volume
darah, perfusi dari jaringan-jaringan tertentu selalu terganggu.
Dulu dengan “membuka” tensi dipertahankan dengan obat-obatan vasokonstriksi
(vasopresor). Dengan pengertian baru tentang lebih pentingnya perfusi disbanding
dengan tensi, dapat diramalkan bahwa pemberian vasokonstriksi akan lebih
memperburuk keadaan. Lebih hebatnya vasokonstriksi akan lebih-lebih mengurangi
perfusi ke jaringan-jaringan seperti ginjal, hati dan lain-lainnya. Ini terbukti juga pada
percobaan-percobaan binatang.
Lillehei mendapatkan bahwa pada hemorrhagic shock pemberian vasokonstriksi justru
mempercepat kematian anjing-anjing. Survival tidak bertambah baik. Pada otopsi
didapatkan necrose yang lebih luas pada organ-organ yang lebih banyak, dibandingkan
pada golongan yang tak diberi vasokonstriktor.
Bell, menfeluarkan darah anjing sehingga tensinya menjadi setengah dari harga normal.
Bila kemudian diberi vasokonstriksi sehingga tensinya menjadi normal, ternyata bahwa
aliran darah ginjal malahan turun lebih rendah dari pada sebelum diberikan apa-apa.

Untuk TUGASMAS 492


493
Bahwa vasokonstriksi sendiri pada shock tanpa tambahan vasokonstriksi dalam waktu
lama dapat membahayakan tubuh, ternyata pada penelitian Rojas.
Pada anjing-anjing yang dibuat mengalami shock irreversible, pada golongan yang satu
hanya dibantu, plasma expander atau cairan saja. Mortality adalah 75%.
Golongan lain selain diberi cairan seperti tersebut di atas juga diberi obat vasokonstriksi
(alpha blocking agent) untuk menghilangkan vasokonstriksi. Pada golongan ini
mortality hanya 15%.
Beberapa obat vasokonstriktor, seperti noradrenalin dan metaraminol (aramine)
walaupun pada orang sehat menyebabkan naiknya tensi, tidak mempunyai pengaruh
bahkan dapat menyebabkan turunnya cardiac output. Pada umumnya apabila perdarahan
sedemikian banyaknya sehingga cardiac output turum menjadi ½ - 1/3 normal,
kebanyakan binatang percobaan akan mati.

Dari uraian diatas jelas agaknya bahwa membantu tahap vasokonstriksi dengan
obat vasokonstriktor tidak akan menolong penderita bahkan dapat membahayakan.
Perlu diperhatikan bahwa pada shock karena perdarahan vasokonstriktor tidak
berguna. Pada shock karena sebab yang lain, obat itu dapat sangat berguna.

B. Tahap Hemodilusi
1. Bagaimana kekurangan oksigenasi jaringan tidak terjadi
Berlawanan dengan tahap vasokonstriksi dimana oksigenasi jaringan-jaringan
Tertentu terganggu, pada tahap hemodilusi walaupun kadar hemoglobin turun perfusi
dan oksigenasi jaringan dapat dicukupi. Hal ini dapat terjadi karena ada dua cara
kompensasi.
Cara pertama adalah naiknya cardiac output. Dalam keadaan biasa darah arteri
mengandunh 20 vol. % O2 (tiap-tiap 100 ml darah mengandung 20 ml oksigen). Darah
vena berisi 15 vol. % O2. Jadi tiap-tiap 100 ml darah diambil 5 ml oksigen. Kebutuhan
oksigen per menit yaitu 5 liter per menit.
Misalnya karena turunnya kadar hemoglobin setelah perdarahan, darah arteri hanya
mengandung 17.5 vol % O2. Darah vena dipertahankan 15 vol % O2.
Jadi tiap 100 ml darah hanya diambil 2.5 ml oksigen, bukan 5 ml oksigen seperti
biasanya. Kebutuhan oksigen tiap menit akan dicapai dengan mudah dengan menaikkan
cardiac output menjadi 250/2.5 kali 100 ml yaitu 10 liter per menit.
Cara kompensasi yang lain ialah pengambilan oksigen tetap 5 ml dari tiap-tiap
100 ml darah. Dalam hal ini cardiac output tidak perlu naik. Hanya darah vena kadar

Untuk TUGASMAS 493


494
oksigennya turun dari normal 15 vol % menjadi 12.5 vol % (dari darah arteri yang
mengandung 17.5 vol %O2 dikurangi 5 ml oksigen). Cara ini disebut penggunaan
cadangan oksigen vena (venous oxygen reserve).
Pada orang dewasa sehat, pada waktu gerak badan misalnya dengan mudah cardiac
output dapat dinaikkan lima kali, sedang pengambilan oksigen darah dapat dinaikkan
menjadi tiga kali lebih besar dari biasa.
Karena itu jika perlu mereka itu dengan mudah dapat menanggung hemodilusi ini.
Mekanisme seperti diterangkan di atas menyebabkan tahap hemodilusi ini dapat
dibantu (dipercepat) dengan pemberian cairan dalam batas-batas tertentu tanpa
menimbulkan anoxia atau hyposia jaringan.

2. Beberapa batas hemodilusi akut yang dapat dilakukan


Dalam pelaksanaannya tahap hemodilusi ini dibantu dengan menganti darah,
Yang hilang dengan cairan. Persoalan berikutnya adalah berapa jauh penggantian
perdarahan dengan cairan ini dapat dilakukan, atau dengan kata lain ampai dimana
hemodilusi akut ini dapat dilaksanakan.
Rush dengan menggunakan larutan garam dengan buffer, volume yang diberikan
empat kali volume darah yang hilang, pada perdarahan yang meliputi 50% volume
darah anjing, mendapatkan survival jangka pendek sebesar 100%.
Pada waktu hematokrit yang tercatat adalah 16% (kira-kira sama dengan kadar
hemoglobin 5 gr%)
Takaori dengan mengunakan larutan colloid (plasma expander). Dextran 40,
mendapatkan pada perdarahan yang meliputi 80 % volume darah anjing, survival jangka
panjang sebesar 85%.
Pada waktu itu kadar hemoglobin adalah 5 gr. Hal lain yang didapatkan pada penelitian
itu adalah bahwa pada kadar hemoglobin di bawah 6 gr % waktu perdarahan (bleeding
time) memanjang lebih dari 10 menit (normal 3 – 5 menit).
Angka-angka survival diatas sangat menyolok bila dibandingkan dengan laporan yang
menyatakan tanpa cairan perdarahan sebesar 39% volume darah anjing survivalnya
hanya 50%.
Di klinik pemberian cairan pada perdarahan ini juga sudah dilakukan. Pada
golongan penderita tertentu perdarahan 500 – 2000 ml dapat diganti dengan larutan non
colloid (crystalloid) dengan hasil yang baik. Jelas bahwa tahap hemodilusi ini dalam
batas-batas tertentu dapat dibantu dengan pemberian cairan tanpa merugikan tubuh.

Untuk TUGASMAS 494


495
Akan tetapi perlu juga diingat, jika hal ini dilakukan kelewat batas bahaya-bahaya
seperti edema paru-paru pasti akan timbul.

IV. CAIRAN YANG MANA UNTUK MENGGANTI PERDARAHAN


1. Dua macam cairan.
Berdasarkan ada atau tidak adanya molekul besar di dalamnya, ada dua macam
Cairan yang dapat digunakan. Cairan non colloid (crystalloid) dan cairan colloid
(plasma expamder).
Cairan non colloid adalah cairan yang tidak mengandung molekul-molekul
besar, contoh yang dipakai sehari-hari adalah larutan garam faal.
Cairan ini apabila diberikan dawaktu yang singkat sebagian besar dari padanya akan
keluar dari ruang intravaskuler (pembuluh darah). Karena itu volume yang diberikan
harus lebih banyak 2.5 sampai 4 kali) dari volume darah yang hilang.
Dengan demikian bagian yang tetap tinggal dalam ruang intravaskuler akan cukup
banyak menganti volume darah yang hilang.
Cairan yang lain adalah cairan colloid, yaitu cairan yang mengandung molekul-
molekul besar yang dimaksudkan untuk berfungsi seperti album di dalam plasma.
Cairan ini juga disebut plasma expander. Sebagian besar dari volume yang diberikan
dalam waktu yang cukup lama akan tinggal dalam ruang intravaskuler. Karena itu
volume yang diberikan cukup sama dengan volume darah yang hilang.

2. Cairan non colloid


Mudah dimengerti bahwa cairan yang paling baik untuk digunakan adalah
cairanyang susunannya mirip dengan cairan extravaskuler. Pada waktu ini cairan yang
umum digunakan adalah larutan Ringer laktat (larutan Hartmann).
Bila larutan itu tidak ada, larutan garam faal dapat digunakan. Susunan cairan
ekstraseluler, Ringer laktat dan garam faal dapat dilihat pada table I. Sebaiknya cairan
ini hanya digunakan pada perdarahan yang banyaknya tidak melebihi 15% volume
darah penderita. Seperti diterangkan di atas cairan ini harus diberikan dalam volume
yang lebih banyak dari volume darah yang hilang.

3. Cairan colloid (plasma expander)


Jika perdarahan sangat banyak sebaiknya dipakai plasma expander.

Untuk TUGASMAS 495


496
Di Indonesia ada 3 macam plasma expander yang terdapat di pasaran, yaitu yang berisi
Dextran, pecahan gelatin (haemcoel) dan slyvinyil pyrrolidone (PVP) (Periston,
Subtosan, Plasmosan).
Ada beberapa persyaratan yang dikehendaki untuk plasma expander yang baik.
Diantaranya ialah, tidak bersifat antigen, tidak ditimbun (stored) didalam tubuh, tidak
mengganggu faal tubuh, tidak mengganggu reaksi silang (cross match), tidak
mengadakan gangguan pembekuan darah (lihat table II). Dextran, pecahan gelatin
maupun PVP tidak terdiri atas molekul-molekul yang sama besar (tidak homogeny).
Berat molekulnya berbeda-beda. Makin besar molekulnya, PVP dapat disimpan lama
dan dalam jumlah yang banyak di dalam tubuh.
Dripps melaporkan bahwa pemyimpanan ini dapat menimbulkan perubahan sel, dan
pada binatang percobaan dapat bersifat menumbuhkan kanker dan sarkom.
Lee dan Gropper tidak menyebutkan tentang hal yang terakhir ini. Rupanya plasma
expander yang paling baik pada waktu ini adalah dari golongan pecahan gelatin. Pada
pemberian plasma expander volume yang diberikan cukup sama dengan volume darah
yang hilang.

V. PELAKSANAAN DI KLINIK
A. Pembedahan yang direncanakan (elektip)
Dari uraian di atas jelas kiranya bahwa apa yang dapat kita lakukan adalah
Menolong penderita dengan cairan untuk mengembalikan volume darah. Sedangkan
kompensasi menaikkan cardiac output dan menambah oksigen tergantung pada
kemampuan penderita sendiri. Azas itu dalam pembedahan yang direncanakan dapat
digunakan untuk melakukan “penghematan” dalam pemberian darah.
Yang dimaksud dengan penghematan disini adalah tidak memberikan darah apabila
darah itu tidak sungguh-sungguh diperlukan. Dua hal yang perlu diperhatikan dalam
melaksanakan azas di atas ialah : pertama pemilihan penderita, dan kedua membatasi
diri dalam mengganti jumlah darah yang hilang dengan cairan.
Penderita dibatasi pada golongan dewasa muda, sehat, tak mempunyai penyakit
jantung atau paru-paru, kadar hemoglobin 10 g% atau lebih.
Batas hemodilusi dibuat sedemikian, sehingga kadar hemoglobin berdasarkan
perhitungan dan pemeriksaan akhirnya tidak lebih rendah dari 7.5 – 8 g%.
Volume darah penderita dalam hal ini diperhitungkan berdasarkan berat
badannya. Volume darah orang berkisar antara 44 ml – 101 ml per kg berat badan,

Untuk TUGASMAS 496


497
tergantung antara lain pada gemuk kurusnya penderita. Harga rata-rata adalah 77.6 ml
per kg untuk laki-laki dan 65.2 ml per kg untuk wanita.
Dari segi praktisnya, jika penderita tidak terlalu gemuk atau kurus volume darahnya
dapat diperkirakan 75 ml per kg untuk laki-laki dan 65 ml per kg untuk wanita.
Perdarahan yang meliputi 10% - 15% volume darah diganti dengan larutan
garam faal dengan volume 2.5 kali volume darah yang hilang.
Perdarahan yang meliputi 15% - 30% volume darah diganti dengan plasma expander
dengan volume yang sama.
Pasca bedah, untuk menaikkan kadar hemoglobin dapat diberikan preparat zat
besi, kalau perlu dapat diberi transfuse.
Dalam hal ini jika transfuse harus diberikan, masih terdapat juga hal yang
mengguntungkan. Reaksi transfuse yang hebat (……… Transfusion reaction) sering
terjadi setelah diberikan hanya beberapa ml darah.
Pada orang yang sedang diberi anestesi gejala-gejala reaksi transfuse sering tidak jelas.
Jika transfuse dapat diberikan dengan tidak tergesa-gesa dan penderita dalam keadaan
sadar, jika ada reaksi dapat dengan mudah diketahui, dengan demikian terapi dapat
diberikan lebih dini dan prognose lebih baik.
Contoh perhitungan yang lebih terperinci adalah sebagai berikut . Seorang
penderita berat badan 50 kg. Kadar hemoglobin 15 g%. volume darah diperkirakan 75
ml kali 50 ialah 3750 ml untuk mudahnya dibulatkan menjadi 4000 ml.
Pada waktu pembedahan, jika terjadi perdarahan 600 ml (15% dari volume darah, atau
15% dari 4000 ml), diganti dengan larutan garam 2.5 kali 600 ml yaitu 1500 ml.
Jika penderita berdarah lagi 600 ml sehingga jumlah perdarahan menjadi 1200 ml (30%
dari volume darah) atau 30% dari 4000 ml, maka perdarahan 600 ml yang akhir ini
diganti dengan 600 ml plasma expander.
Pada akhir pembedahan kadar hemoglobin akan turun menjadi 10 g% (15 g% dikurangi
30% dari 15 g%). Dengan hemoglobin 10 g% ini transfuse tidak perlu diberikan. Pada
contoh di atas 1200 ml darah telah “di hemat”.

B. Keadaan darurat karena perdarahan.


Dalam keadaan darurat di mana terjadi perdarahan sedangkan persediaan
Darah tidak ada, dasar-dasar yang diuraikan diatas dapat digunakan.
Sudak barang tentu dalam keadaan darurat begini persoalannya biasanya sangat ruwet
“dalil-dalil” yang pasti tak dapat diberikan. Walaupun demikian patokan-patokan
tertentu masih tetap berlaku. Jangan diberikan vasokonstriksi, akan tetapi berikanlah

Untuk TUGASMAS 497


498
cairan atau plasma expander. Dari pengalaman sendiri beberapa penderita dengan
perdarahan yang kira-kira meliputi 40-50% volume darah penderita dapat tertolong
(hemoglobin turun dari 10 g% menjadi 5 g%).
Jumlah darah yang hilang pada orang dewasa muda dapat diperkirakan, dengan ancer-
ancer sebagai berikut:
Perdarahan sampai dengan 10% volume darah tidak menimbulkan tanda-tanda
yang berarti. Perdarahan 15% - 25% volume darah menimbulkan terjadinya shock
ringan, desakan darah turun sedikit, kaki dan tangan dingin. Perdarahan 25% - 35%
volume darah, menimbulkan shock sedang, tensi systole 90-100 mmHg, tachycqrdia
100-120 per menit, gelisah, pucat dan berkeringat. Perdarahan sampai dengan 50%
volume darah menyebabkan shock berat, tensi systole dibawah 60 mmHg bahkan
kadang-kadang tak terukur, tachycardia diatas 120, stupor dan sangat pucat.

C. Monitor : apakah darah atau cairan sudah cukup diberikan.


Dalam menghadapi perdarahan yang sangat banyak dimana telah diberikan
cairan
Dan darah dan juga meliputi jumlah yang banyak, seringkali timbul pertanyaan apabila
penderita tetap rendah tensinya, apakah tidak terjadi pemberian cairan yang berlebihan
sehingga penderita sekarang sebetulnya mengalami cardiac failure .
Persoalan itu sebetulnya dapat dengan mudah dipecahkan apabila CVP (central venous
pressure) dapat dimonitor.
Tetapi karena hal itu belum dapat dilaksanakan satu-satunya yang dapat dilakukan
adalah pemeriksaan badan. Adakah tanda-tanda vena bending, adakah rhonchi basal.
Pemeriksaan ini tidak memuaskan karena jika tanda-tanda positif ditemukan hal ini
sudah sangat terlambat.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah kapankah pemberian cairan dianggap
cukup apabila tensi sudah mulai baik.
Pengukuran tensi saja tidak cukup dalam hal ini, karena serinh kali pada keadaan
darurat tensi yang normal dari penderita tidak diketahui, disamping itu volume darah
yang hilang juga tidak diketahui.
Tanda-tanda selain tensi yang dapat digunakan untuk menilai cukupnya pemberian
darah dan cairan berdasar pada hilangnya vasokonstriksi dan hilangnya pengaruh
catecholamine. Tnda-tanda yang segera tampak ialah menjadi baiknya perfusi otot dan
kulit, dalam hal ini kaki dan tangan menjadi hangat.

Untuk TUGASMAS 498


499
Hilangnya vasokonstriksi menyebabkan vena pada tungkai yang tadinya kempis
Nampak mulai berisi lagi. Hilangnya pengaruh catecholamine menyebabkan penderita
tidak lagi berkeringat, kulit menjadi kering dan hangat.
Timbulnya tanda-tanda diatas sudah cukup untuk menganggap bahwa cairan
atau darah sudah cukup diberikan.
Lebih sempurna apabila produksi urine juga menjadi normal yaitu kira-kira 60 ml per
jam. Akan tetapi tanda ini tidak perlu ada pada saat itu, karena kadang-kadang baiknya
produksi urine baru terjadi sesudah 240jam kemudian.

VI. PENUTUP : PERSOALAN CAIRAN DAN DARAH


Beberapa dokter telah membawa prinsip penggantian darah dengan cairan terlalu
Jauh. Seolah-olah mereka mau mengganti semua perdarahan dengan cairan. Jelas bahwa
bahaya seperti paru-paru akan timbul. Dalam keadaan darurat soalnya adalah lain. Di
mana darah tidak ada persoalannya adalah mencoba menolong penderita dengan apa
yamg ada.
Sebaliknya dari dokter-dokter yang “menganggap enteng” pemberian darah.
Seolah-olah “tiap-tiap ml” darah yang hilang harus diganti dengan transfuse.
Pendapat inipun mengandung bahaya. Transfusi adalah bukannya sesuatu yang dapat
diberikan tanpa resiko.
Baker dalam satu survey menduga bahwa mortality hanya karena transfuse saja adalah
0.5 – 1%.
Dripps menduga 0.03 – 0.1%. Penderita-penderita yang diberi darah 5.1% diantaranya
akan mengalami reaksi transfuse. Walaupun dengan resiko demikian dia juga
mendapatkan bahwa 30% dari penderita yang mendapat darah sebetulnya tak
memerlukan.
Pedoman yand seharusnya dianut adalah, berikanlah darah apabila diperlukan.
Akan tetapi bila tidak diperlukan janganlah sekali-kali member transfuse.
Pedoman itu hendaknya tetap dipegang dalam melaksanakan gagasan yang
dikemukakan dalam tulisan ini. Sementara itu batas-batas tertentu “penghematan”
dalam pemberian darah dapat dilakukan, dengan demikian darah dapat dinerikan kepada
yang betul-betul membutuhkan.
Satu hal lain dimana dasar-dasar penggantian darah dengan cairan dapat
digunakan ialah dalam menghadapi keadaan darurat atau dalam kecelakaan besar (mass
disaster) dimana persediaan darah tidak ada.

Untuk TUGASMAS 499


500
Dalam hal ini karena keadaan, ada kemungkinan bahwa pemberian cairan terpaksa
dilakukan dengan berlebihan.

RINGKASAN
1. Perdarahan menyebabkab terjadinya perubahan-perubahan dalam tubuhyang
untuk mudahnya dan berdasar waktu dan lamanya terjadi dapat dibagi menjadi 3
tahap : tahap vasokonstriksi, hemodilusi dan produksi eritrosit.
2. Apa yang terjadi pada tahap vasokonstriksipada dasarnya adalah
mempertahankan perfusi otak dan jantung dengan “mengorbankan’ perfusi
organ-organ seperti ginjal, hati dan lain-lain.
Dengan demikian pada tahap ini terjadi anoxia/hypoxia pada organ-organ
tertentu.
3. Memberikan vasokonstriktor (vasoprossesor) untuk membantu tahap
vasokonstriksi ini tidak akan menolong penderita.
4. Pada tahap hemodilusi volume darah kembali menjadi normal akan tetapi jumlah
eritrosit belum cukup. Oksigenasi jaringan dicukupi dengan menaikkan cardiac
output dan menambah ekstrasi oksigen. Tahap ini dapat terjadi dengan tidak
menimbulkan anoxia/hypoxia pada jaringan.
5. Tahap hemodilusi dapat dibantu (dipercepat) dengan memberikan cairan sebagai
ganti darah yang hilang. Pemberian cairan ini dapat dilaksanakan dalam
pembedahan yang direncanakan untuk “menghemat” pemberian darah, dan juga
untuk menghadapi keadaan darurat karena perdarahan dimana darah tidak
tersedia.

Untuk TUGASMAS 500


501

BEDAH DARURAT GASTROINTESTINAL


Bambang Wahjuprajitno, Hardiono, Sri Wahjuningsih
Laboratorium Anestesiologi FK Unair/RSUD Dr. Soetomo
Surabaya

PENDAHULUAN
Pada umumnya kegawatan bedah darurat gastrointestinal disebabkan oleh karena :
1. Perdarahan
2. Infeksi atau keradangan
3. Gangguan pasase isi usus atau ileus
Pada ketiga keadaan tersebut sering terjadi gangguan system sirkulasi yang berupa
hipovolemia baik karena kehilangan darah, cairan maupun elektrolit. Tidak jarang
kehilangannya sedemikian banyak sebelumnya sehingga penderita pada waktu datang
berada dalam keadaan syok yang dapat mengancam nyawa. Pemberian cairan adalah
merupakan salah satu terapi yang terpenting dan ditujukan untuk mengembalikan
keseimbangan cairan tubuh kembali normal.
Bila penderita kemudian memerlukan operasi maka rehidrasi mutlak diperlukan, karena
tindakan anesthesia dapat menyebabkan depresi miokard dan vasodilatasi. Rehidrasi
akan menyebabkan toleransi penderita menjadi lebih baik terhadap stress anestesi dan
pembedahan.
Stone menyatakan, bahwa Surgical Mortality Rate dari ileus obstruktif sebelum tahun
1930 adalah sekitar 30% sedangkan pada waktu ini antara 5 – 10%. Penurunan ini
terutama disebabkan karena telah disadarinya pentingnya rehidrasi pra bedah disamping

Untuk TUGASMAS 501


502
karena kemajuan dalam bidang anestesi, teknik pembedahan dan penggunaan
antibiotika.
Bila penderita memerlukan operasi, rehidrasi harus diberikan dalam waktu yang
secepatnya, namun dengan cara yang aman. Rehidrasi dengan cara sembarangan akan
menyebabkan waktu rehidrasi lebih lama atau dapat menyebabkan terjadinya fluid
overloading yang berbahaya.
Disini akan dibahas masalah rehidrasi pada kehilangan cairan yang bukan disebabkan
karena perdarahan. Pemberian cairab pengganti perdarahan akan dibahas tersendiri.

PATOFISIOLOGI
Tiap hari saluran pencernaan makanan mensekresi sekitar 3000 ml. Cairan kedalam
lumennya, namun dari jumlah itu hanya 200 – 400 ml, akan dikeluarkan berupa faeces,
sedangkan lainnya diserap kembali oleh usus.
Pada ileus baik obstruktif (pembuntuan mekanis) maupun paralitik (pembuntuan
fungsionil), terjadi gangguan pada pasase dari isi usus. Meskipun keduanya mempunyai
penyebab yang berbeda, tetapi akibat yang ditimbulkannya hamper sama. Cairan
ekstraseluler yang disekresikan tersebut tidak dapat diresorpsi, sehingga secara
fungsional dianggap hilang dari tubuh karena tidak ikut lagi berperan pada pengaturan
keseimbangan cairan tubuh. Kehilangan cairan ini sering disebut sebagai “third space”
fluid loss. Kehilangan cairan ini hanya bisa diganti tubuh dengan cara mengambil dari
cairan intraseluler.2.9.10
Muntah-muntah yang kemudian dapat terjadi akan lebih memperjelek keadaan
penderita, sehingga akan terjadi dehidrasi yang hebat.
Gangguan pasase kemudian akan menyebabkan timbulnya penumpukkan gas dalam
usus, yang berasal dari aerofagia dan produksi bakteri usus. Bersama-sama dengan
penumpukkan cairan, maka akan terjadi kenaikkan tekanan intraluminal yang
selanjutnya bila lebih besar dari tekanan dalam venulae akan menyebabkan tekanan
kapiler meningkat. Kenaikkan tekanan ini akan menyebabkan cairan ekstraseluler keluar
dinding dan lumen usus. Dinding usus akan menebal dan oedematous. Tekanan
intraluminal kemudian akan meninggi melebihi tekanan kapiler. Kapiler dan venuela
akan kolaps dan aliran darah arterial terganggu yang akan menyebabkan penurunan
oksigenasi jaringan dan akhirnya kematian sel (nekrosis) yang selanjutnya akan
mengakibatkan terjadinya perforasi usus. (gambar 1)10.
Gangguan pasase selain itu menyebabkan gangguan nutrisi normal yang akan lebih
memperburuk keadaan penderita.

Untuk TUGASMAS 502


503
Distensi abdomen sendiri akan menimbulkan gangguan volume dan ekspansi paru.
Ventilasi alveolar menurun sehingga terjadi gangguan oksigenasi darah dengan segala
akibatnya.
Keadaan umum yang buruk, lemah dan gangguan paru akan menyebabkan bahaya
terjadinya aspirasi isi usus ke paru-paru bila penderita muntah. Penderita dapat
mengalami sufokasi yang fatal atau mengalami pneumonitas yang biasanya sulit diatasi.
7.10

EVALUASI DEFISIT CAIRAN


Derajat kehilangan cairan pada muntaber relative lebih mudah dihitung dengan cara
mengukur berat badan penderita dan membandingkannya dengan berat sebelum sakit. 3.
Pada “third space” loss penilaian ini lebih sulit karena cairan yang hilang masih berada
dalam tubuh. Untuk mengetahui berapa kira-kira deficit yang terjadi diperlukan
anamnesa dan pemeriksaan fisis yang teliti.
Pada anamnesa perlu diketahui berapa lama penderita telah sakit, berapa banyak ia
mintah-muntah, berapa banyak ia masih dapat makan dan minum, apakah pernah
pingsan dan lain-lainnya.
Pada tabek di bawah ini dapat dilihat tanda-tanda fisis deficit cairan akstraseliler.
Tabel I tanda-tanda deficit cairan ekstraseluler

RINGAN SEDANG BERAT


* CNS Mengantuk, apatis Refleks tendon
respon lambat, turun, anestesi
anorexia, aktifitas akral, distal stupor,
menurun coma
* takhikardia Takhikardia, Sianosis, hipotensi,
KARDIOVASKULER hipotensi akral dingin, nadi
ortostatik, nadi perifer tak teraba,
lemah, vena kolaps detak jantung jauh

Untuk TUGASMAS 503


504
* JARINGAN Mukosa lidah Lidah kecil, lunak, Atonia, mata
mongering, turgor keriput, turgor cowong, turgor
* URINE pekat Pekat, turun Oliguria
* DEFISIT 3 -5 % BB 6 – 8 % BB 10 % BB

Pemeriksaan lain yang dapat membantu adalah adanya kenaikkan berat jenis urine,
kenaikkan hematokrit dan blood urea nitrogen (BUN).
Pemeriksaan elektrolit darah tidak banyak membantu pada “third space loss” karena
cairan yang hilang komposisinya menyerupai cairan ekstraseluler. Pada obstruksi atas
(,is : pylorus) maka kehilangan chorida akan lebih banyak dari pada kehilangan natrium
dan kalium.
Pemeriksaan gas darah dapat dilakukan untuk membantu menentukan adanya gangguan
perfusi jaringan atau gangguan ventilasi.
Dengan dasar pemeriksaan di atas maka estimasi jumlah cairan yang hilang kemudia
dihitung berdasarkan prosentase berat badan.
Karena yang hilang pada “third space” loss adalah cairan ekstraseluler maka untuk
koreksi deficit cairan dipilih juga larutan infuse yang komposisi bahan yang
dikandungnya menyerupai cairan ekstraseluler.
Pada tabek di bawah ini dapat dibandingkan beberapa macam larutan infuse dengan
bahan yang dikandungnya yang pada saat ini bias didapat di pasaran.
Tabel II Perbandingan antara komposisi ECF dengan beberapa macam cairan infuse

Larutan Na + K+ Cl - pH Ca ++ Mg ++ Kalori
per L
ECF 138 5 108 7.4 5 3 12
D5W 0 0 0 4.5 0 0 200
NaCl 154 0 154 6.0 0 0 0
0.9%
Ringer 130 4 109 6.5 3 0 0

Untuk TUGASMAS 504


505
Laktat
RL D5 130 4 109 3 0 200
RL 130 4 109 3.5-6.5 3 0 200
Maltose

Ringer laktat memiliki komposisi yang hamper menyerupai ECF, disamping itu
mengandung sodium laktat yang berguna untuk mengoreksi asidosis.
Ringer laktat dekstore selain itu mengandung dekstore yang dapat memberikan kalori.
Maltose dalam metabolismenya tidak memerlukan insulin dan merupakan sumber
energy yang pengaruhnya terhadap kadar gula darah lebih kecil.
Dalam praktek cairan-cairan tersebut diatas (terkecuali D5W) dapat dipakai untuk
mengoreksi deficit ECF.

REHIDRASI PRA BEDAH


Beberapa liter cairan dapat hilang pada 24 jam pertama gangguan pasase usus. Bila
proses telah berlangsung beberapa waktu biasanya fisiologi tubuh telah mengadakan
penyesuaian atas kehilangan cairan tersebut. Karena itu bila fungsi hemodinamika telah
diatasi, maka sisa deficit dapat dilanjutkan diberikan dengan lebih pelan. Pengembalian
yang lebih cepat dapat menimbulkan bahaya terjadinya fluid overloading terutama pada
penderita tua dan penderita dengan penyakit jantung.
Pada penderita yang memerlukan laporotami maka pemberian cairan diberikan
secepatnya. Rehidrasi cepat disini ditujukan terutama memperbaiki deficit sirkulasi,
yaitu mengembalikan volume plasma sampai sirkulasi menjadi stabil. Diharapkan dalam
waktu sekitar 1 – 3 jam hal tersebut sudah dapat dilakukan. Tentu saja untuk itu
dibutuhkan cara dan pemantauan (monitoring) tertentu. 6.10.
Tindakan yang pertama dilakukan bila menemui penderita dengan kegawatan
gastrointestinal adalah menentukan apakah terdapat gangguan pada fungsi

Untuk TUGASMAS 505


506
pernafasannya, bila ada segera atasi. Tentukan kemudian derajat dehidrasinya, dan
segera dipasang saluran infuse dengan kanula berdiameter besar (nomer 16 atau 18g).
Bila penderita syok kadang-kadang agak susah mencari venanya sehingga diperlukan
pemasangan melalui vena jugularis eksterna atau melalui vena seksi.
Pada dehidrasi sedang atau berat berikan bolus RL sebanyak 20 – 40 ml.per kg BB.
Dalam waktu sekitar 1 jam.
Bila setalah pemberian tersebut belum terdapat perbaikkan fungsi vital dapat diulangi
dengan bolus 20 ml/kg BB/jam.
Bila terdapat keragu-raguan dalam pemberian cairan atau belum terdapat perbaikan
pada fungsi vital (tensi meningkat, nadi menurun dan menguat, urine mulai keluar,
dllnya), akan lebih baik bila pemberian cairan dilakukan dengan pedoman CVP
sehingga dapat lebih akurat dan aman.(lihat flow chart fluid challenge test). 11
Bila fungsi sirkulasi membaik dapat dicoba dilakukan Tilt Test, yaitu dengan mengukur
tensi pada posisi anti trendelenberg atau duduk. Penurunan Mean Arterial Pressure
(MAP = Diast + 1/3 (sist – diast) lebih dari 10 mm Hg menunjukkan masih adanya
deficit sekitar 1000 ml. 8

Pada deficit cairan yang telah berlangsung lama kadang-kadang urine masih minimal
meskipun deficit plasma telah terkoreksi. Ini terjadi karena kuatnya pengaruh ADH dan
Aldosteron. Untuk mengatasinya dapat dicoba diberikan Furosemide 1 mg/kg. BB atau
dapat diberikan Mannitol 0.5 – 1 mg/kg.BB. Bila CVP dan diuretika telah diberikan
sampai optimum urine belum keluar juga, sangat mungkin penderita telah mengalami
kegagalan ginjal akut.
Bila fungsi sirkulasi telah membaik dan cukup stabil, maka penderita telah cukup siap
untuk dilakukan operasi maupun transportable untuk dirujuk dengan aman ke rumah
sakit lain yang dapat melakukan operasi. Bola ternyata kemudian operasi tidak
diperlukan, maka sisa deficit diberikan ½ nya dalam waktu 6 – 7 jam berikutnya dan
sisanya diberikan dalam 16 jam berikutnya. Pemberian ini masih perlu ditambah dengan
kebutuhan cairan normal per hari sebanyak 50 ml/kg. BB/24 jam (dewasa) plus
perkiraan cairan yang masih akan hilang dalam 24 jam mendatang.
Jumlah keduanya itu diberikan dengan cara membagi rata. 8

Contoh :
Penderita dengan ileus obstruktif, BB = 50 kg, diperkirakan mengalami deficit cairan
sekitar 10% BB.

Untuk TUGASMAS 506


507
Perhitungan :
a. Deficit cairan = 10% x 50 = 5000 ml
b. Kebutuhan cairan/hari = 50 x 50 ml = 2500 ml
c. Andaikan perkiraan cairan yang masih akan hilang = 1000 ml.hari
Jumlah b & c = 2500 ml + 1000 ml = 3500 ml/24 jam.
= 150 ml/jam
Cara pemberian :
 Tahap I : RL = 20 – 40 ml/kg BB/jam
= 1000 – 2000 ml. dalam 1 – 2 jam
 Tahap II : RL = ½ x ( 5000 – 2000 ) dalam 6 – 7 jam = 250 ml/jam
Cairan maintenance = 150 ml/jam
Jumlah = 400 ml/jam dalam 6 – 7 jam.
 Tahap III : RL = ½ ( 5000-2000 ) dalam 16 jam = 100 ml/jam.
Cairan maintenance = 150 ml/jam.
Jumlah = 250 ml/jam.
Bila telah terdapat perbaikan fungsi vital, mala selesai tahap I atas pada tahap II
penderita sudah cukup baik untuk dioperasi.

PENUTUP
Rehidrasi adalah merupakan salah satu tindakan yang terpenting dalam penanganan
kasus-kasus kegawatan bedah gastrointestinal. Pemberian cairan dengan cara-cara yang
sembarangan dapat memperlambat persiapan operasi, yang selanjutnya tentu dapat
merugikan penderita.
Dengan bekal pengetahuan patofisiologinya, anamnesa dan pemeriksaan fisis yang teliti
untuk menentukan derajat dehidrasinya, cara pemberian dan pemilihan cairan yang
sesuai, maka diharapkan penderita dapat dibawa ke kondisi yang seoptimal mungkin
untuk menghadapi strees anesthesia dan pembedahan yang akan dihadapinya.

Untuk TUGASMAS 507


508

TERAPI CAIRAN PENGGANTI PERDARAHAN


Oleh
Eddy Rahardjo, Puger Raharjo dan Gatut Dwijdo Prijambodo
Lab. Anestesialogi FK. Unair / RSUD Dr. Soetomo Surabaya

I. PENDAHULUAN
Kemajuan industry dan kenaikkan jumlah kendaraan bermotor membawa juga dampak
negative berupa man-made-disaster yang menyebabkan banyak penderita terauma dan
perdarahan. Kemampuan bank darah dan masyarakat menyediakan donor darah tidak
akan mencukupi kebutuhan transfuse.
Seorang dewasa sehat dengan berat badan 50 kg yang berdarah 50 ml per menit karena
patah tulang pahanya, akan mengalami irreversible shock 30 menit kemudian. Dalam
waktu 30 menit itu sangat sukar untuk mencari dan memberikan 1500 ml darah dengan
segera.
Tom Shires, Canizzaro dan peyelidik-pemyelidik lain meneliti perubahab volume
kompartemen-kompartemen cairan tubuh dangan radioisotope action potential intra cel
selama shock dan sesudah terapinya. Penemuan mereka diterapkan untuk menolong
korban-korban perang Vietnam dengan hasil yang memuaskan. (4,8).
Perdarahan dan hemorrhagic shock dapat ditolong dengan memberikan larutan Ringer
Laktat atau normal saline dalam jumlah besar.
Lahir istilah “hemodilusi” karena selama darah yang hilang diganti cairan, terjadilah
pengenceran darah dan unsure-unsurnya. Hemodilusi keadaan fisiologik, tetapi suatu
“batu berpijak” yang berguna untuk menyelamatkan penderita dengan perdarahan berat.
Pola ini kami terapkan juga di RSUD Dr. Soetomo dan rumah sakit lainnya sejak 1973.

II. DASRA-DASAR PEMIKIRAN

Untuk TUGASMAS 508


509
Penderita yang berdarah, menghadapi dua masalah :
 Berapa sisa volume darah yang beredar
 Berapa sisa eritrosit untuk mengangkut oksigen ke jaringan.

1. Volume darah
Bila volume darah hilang 1/3, penderita akan meninggal dalam waktu beberapa jam.(7).
Penyebab kematian adalah shock progresif dan menyebabkan hipoksia jaringan.
2. Eritrosit untuk transport oksigen
Dalam keadaan normal, jumlah oksigen yang tersedia untuk jaringan adalah :
= cardiac output x saturasi O2 x Hb x 1,34 CO x pO2 x 0.003 (5.9).
Kalau unsure CO x pO2 x 0.003 karena kecil diabaikan, maka tampak bahwa persediaan
oksigen untuk jaringan tergantung pada cardiac output, saturasi dan kadar Hb saja.
Karena kebutuhab oksigen tubuh tidak dapat dikurangi kecuali dengan hipotemia atau
anestesi dalam, maka jika eritrosit hilang, total Hb berkurang, cardiac output HARUS
naik agar penyediaan oksigen jaringan tidak terganggu. Orang normal dapat menaikkan
Cardiac Output 3 x normal dengan cepat, asalkan volume sirkulasi cukup
(normovolemia).
Faktor-faktor Hb dan saturasi jelas tidak dapat naik.
Hipovolemia akan mematahkan Cardiac Output. Dengan mengembalikan volume darah
yang telah hilang dengan apa saja asal segera normovolemia, CO akan mampu
berkompensasi.(1,4,7,8).
Jika Hb turun sampai tinggal 1/3, tetapi CO dapat naik sampai 3 x, maka penyediaan
oksigen jaringan masih tetap normal.
PENGEMBALIAN VOLUME, MUTLAK DIPRIORITASKAN DARI PADA
PENGEMBALIAN EROTROSIT.

III. PENGGUNAAN
1. PENDERITA DATANG DENGAN PENDARAHAN

Pasang infus jarum besar Catat tekanan darah, nadi


Ambil sample darah Perfusi ( produksi urine )

Ringer laktat atau NACL 0.9%

Untuk TUGASMAS 509


510
20 ml/kg BB cepat, ulangi
1000 – 2000 ml dalam ½ -1 jam

Hemodinamik baik Hemodinamik Buruk


Tekanan darah > 100, nadi < 100
Perfusi hangat, kering Teruskan cairan
1 – 4 x estimated loss

Hipovolemia menyebabkab beberapa perubahan:


a. Vasokonstriksi organ sekunder (viscera, otot, kulit) untuk menyelamatkan organ
primer (otak, jantung) dengan aliran darah yang tersisa.
b. Vasokonstriksi menyebabkab hipoksia jaringan, terjadi metabolism anaerobic
dengan produk asam laktat yang menyebabkan lactic acidosis.
c. Lactic acidosis menyebabkan perubahan-prubahan sekunder pada organ-organ
primer dan organ-organ sekunder sehingga terjadi kerusakan merata.
d. Pergeseran kompartemen cairan. Kehilangan darah dari intravaskuler sampai
10% EBV tidak menganggu kompartemen lain.
Penggantian cukup mengunakan volume sebesar yang hilang.
Tetapi kehilangan lebih dari 25% atau bila terjadi shock/hipotensi maka
sekaligus kompartemen interstitial dan intrasel ikut terganggu. Bila dalam terapi
hanya diberikan sejumlah kehilangan plasma volume (intra vaskuler), penderita
masih mengalami deficit yang menyebabkan shock irreversible dan berakhir
kematian.(4.7.8)
Percobaan Shires dkk dengan hewan yang dibuat irreversible shock menurut cara
Wiggers mendapatkan angka kematian 80%.
Pada kelompok yang diberi pengembalian volume darah ditambah ekstra Ringer Laktat,
angka kematian turun menjadi tinggal 30%.
Pada percobaan ini dilakukan juga pengukuran volume red cell mass dengan ratio-Cr
51, plasma volume dengan ratio-I 131, albumin dengan radio-I 125 serta ECF total
volume dengan natrium sulfat S-35. Plasma volume atau intravaskuler volume berada
dalam keseimbangan dengan interstitial volume mengikuti Hukum Starling. Keduanya
membentuk cairan Extra Celluer Volume.

Untuk TUGASMAS 510


511
Ekspansi plasma volume dengan Ringer Laktat akan menyebabkan ekspansi interstitial
volume pula. Sedang pemberian transfuse hanya mengkoreksi plasma volume, sedang
interstitial volumenya masih tetap deficit.(1.4.7.8).
Pada kasusu B, jika hemoglobin kurang dari 8 gm% atau hematokrit kurang dari 25%,
transfuse sebaiknya diberikan. Tetapi seandainya akan dilakukan pem,bedahan untuk
menghentikan suatu perdarahan, transfuse dapat ditunda sebentar sampai sumber
perdarahan terkuasai dulu.
Pada kasus C, transfuse harus segera diberikan. Ada tiga kemungkinan penyebab yaitu :
a. Perdarahan masih berlangsung terus (continuing loss)
b. Shock terlalu berat, hipoksia jaringan terlalu lama
c. Anemia terlalu berat, kalau diukur Hb/Hct, hasil yang diperoleh mungkin masih
“normal” (4). Harga Hb yang benar adalah yang diukur setelah penderita
kembali normovolemik dengan pemberian cairan.
Penderita didalam keadaan anestesi, dengan napas buatan atau dengan
hypothermia, dapat mentolerir hematocrit 10 – 15%.
Tetapi penderita biasa, sadar, nafas sendiri, memerlukan Hb 8 gm% atau lebih
agar cadangan kompensasinya tidak terkuras habis.
2. JUMLAH CAIRAN
Lebih dulu dihitung Estimated Blood volume penderita.
65-70 ml/kg berat badan. Kehilangan sampai 10% EBV dapat ditolerir dengan baik.
Kehilangan 10-30% EBV memerlukan cairan lebih banyak dan lebih cepat. Kehilangan
lebih dari 30-5-% EBV masih dapat ditunjang untuk sementara dengan cairan saja
sampai darah transfuse tersedia.
Total volume cairan yang dibutuhkan pada kehilangan lebih dari 10% EBV berkisar
antara 2 – 4 x volume yang hilang.(2.4.5.7.8)
Perkiraan volume darah yang hilang dilakukan dengan criteria Trauma Status dari
Giesecke. (4)
TANDA TS I T S II T S III
Sesak nafas - ringan ++
Tekanan darah N turun Tak terukur
Nadi cepat Sangat cepat Tak teraba
Urine N oliguria anuria
Kesadaran N disorientasi Coma
Gas darah N pO2 / pCO2 pO2 / pCO2

Untuk TUGASMAS 511


512
CVP N rendah Sangat rendah
Blood loss % EBV Sampai 10% Sampai 30% Lebih 50%

Dalam waktu 30 sampai 60 menit sesudah infuse, cairan Ringer Laktat akan meresap
keluar vaskuler menuju unterstitial. Demikian sampai terjadi keseimbangan baru antara
Plasma Volume (IVF) dan (ISF) (4.7.8)
Ekspansi ISF merupakan “interstitial edema” yang tidak berbahaya.
Bahaya edema paru-paru dan edema otak dapat terjadi jika semula organ-organ tersebut
telah terkena trauma. Dua puluh empat jam kemudian akan terjadi dieresis spontan.
Jika keadaan terpaksa, dieresis dapat dipercepat lebih awal dengan frusemida setelah
transfuse diberikan. (4.7.8)

3. MACAM CAIRAN
Ada 4 pilihan pokok yang bertahun-tahun menjadi perbantahan sengit.
a. Tansfusi darah. Ini adalah pilihan pokok kalau donor yang cocok ada.
Hemodilusi dengan cairan tidak bertujuan meniadakan trasfusi tetapi :
 Mempertahankan hemodinamik dan perfusi yang baik sementara darah donor
belum tersedia.
 Menghemat jumlah darah donor yang perlu ditrasfusikan
 Memberikan koreksi ECF deficit
Versal donor yaitu golongan O dangan titer anti A rendah (Rh negative) atau Packed
Red Cell – 0-(8). Sebaiknya darah universal ini selalu tersedia di UGD.
b. Plasma expander. Cairan koloid ini mempunyai nilai oncotic yang tinggi .
(dextran, gelatin, hydroxyl-ethyl starch) sehingga mempunyai volume-effect lebih baik
dan tinggal lebih lama intravaskuler.
Sayang ECF deficit tidak dapat dikoreksi oleh plasma expander.(1.3.7)
Selain itu harga plasma expander adalah 10 x lebih mahal daripada Ringer. Reaksi
anaphylactoid dapat terjadi baik karena dextran maupun gelatin (0,03 – 0,08%
pemberian).(1.3)
Penulis mengalami 2 kasus reaksi ini shock, yang memerlukan adrenalin untuk
mengatasinya.
Reaksi ini dapat berakhir fatal (3)
Dextran juga menyebabkan gangguan pada cross macth darah dan pada dosis lebih dari
10 – 15 ml/kg BB akan menyebabkan gangguan pembekuan darah.(1,3,4)

Untuk TUGASMAS 512


513
c. Albumin
Albumin 5% ataupun plasma protein fraction adalah alternative yang baik dari segi
volume effect. Tetapi harganya adalh 70 x harga Ringer Laktat untuk volume effect
yang sama.
Dari penelitian-penelitian Shires, Nyhus dan Virgillio, kekhawatiran untuk edema paru-
paru karena hipoalbunemia pasca hemodilusi tidak terbukti beralasan.(2,4,7)
Virgillio dkk menyelidiki 29 penderita operasi aortic graft dengan perdarahan rata-rata
3300 ml. Pada kelompok I diberikan Ringer Laktat rata-rata 11,3 liter dan pada
kelompok II diberikan albumin 5% dalam Ringer Laktat rata-rata 6.2 liter. Volume
diberikan sedemikian agar cardiac output, pulmonary wedge pressure dan produksi
urine tetap normal seperti preop. Hasilnya sebagai berikut.(7)

Kadar albumin Ringer’s Colloid 3.5 – 0.1 2.5 – 0.1


3.8 – 0.1 4.7 – 0.1
Colloid Oncotic Ringer’s Colloid 21 – 0.4 13 – 1.0
Press 21 – 1.0 20 -1.0
COP - PCWP Ringer’s Colloid 11 - 1 2–1
11 - 2 6-1

Harga-harga Qs/Qt ratio tidak berbeda antara group Ringer Laktat dengan COP yang
turun banyak dibanding group colloid yang tidak turun. Bahkan 2 orang dari 15 orang
group colloid mengalami edema paru-paru yang baru membaik setelah diberi frusemid.
Dari group Ringer Laktat tidak seorangpun mengalami edema paru-paru.
d. Ringer Laktat atau NACL 0.9%.(2.4.5.7.8.9)Cairan ini paling mirip
komposisinya dengan cairan ECF. Meskipun pemberian infuse IVF diikuti
perembesan, namun akhirnya tercapai keseimbangan juga setelah ISF jenuh.
Cairan lain seperti Dextrose, 0.45 NaCl tidak dapat digunakan.

4. PENYULIT

Untuk TUGASMAS 513


514
Kemungkinan terjadinya pemyulit memang selalu ada. Tetapi falsafah hemodilusi
adalah a. life can be sustained with fluid until blood is available
b. fluid is given in addition to, NOT instead of blood
** Dekompensasi jantung
Dekompensasi ditandai oleh kenaikkan PCWP (Pulmonary Cappilary Wedge Pressure).
Contoh kasus-kasus Virgillio dari group Ringer’s menunjukkan bahwa sekalipun
mereka excess cairan 8.4 liter pada hari operasi, PCWP tetap normal, hanya naik dari 10
+ 1 menjadi 11 +1. Ini disebabkan karena cairan tidak bertahan dalam IVF tetapi segera
merembes ke ISF.
Jadi bahaya terjadinya dekompensasi jantung sangat kecil, kecuali pada jantung yang
sudah sakit sebelumnya. Justru
group colloid menunjukkan kenaikan PCWP 50% yang potensial akan mengalami
dekompensasi jantung.(7)
** Edema paru-paru
Adanya edema paru-paru dapat dinilai antara lain dengan meningkatkan ratio Qs/Qt.
Kembali kepada kasus-kasus Virgillio, group Ringer’s mendapat 8.4 liter pada hari
operasi namun kenaikkan Qs/Qt hanya mencapai 15 + 1% dari harga preop 11 +1%.
Sekalipun kenaikkan ini mempunyai makna statistic namun dalam klinik tidak
menganggu pernapasan penderita. Group colloid yang diharapkan “tidak merembes”
keluar IVF ternyata mengalami kenaikan Qs/Qt yang sama yaitu 16 |+1%.
Akibat pengenceran darah, terjadi transient hypoalbumin 2.5 + 0.1 mg% dari harga
preop sebesar 3.5 + 0.1 mg.
Penurunan albumin ini diikuti penurunan tekanan oncotic plasma dari 21 + 0.4 menjadi
13 + 1.0. Ini berarti juga penurunan selisih tekanan COP – PCWP dari nilai preop 11 +
1 menjadi 2 + 1. Tetapi toh edema paru-paru tidak terjadi.
Giesecke member batasan bahwa kadar albumin terendah yang masih aman adalah 2.5
mg%.(4).
Kalau albumin perlu dinaikkan, infuse albumin 20 – 25% dapat diberikan dengan
tetesan lambat 2 jam – 100 ml.
Dosis ini akan menaikkan kadar 0.25 – 0.50 gm%.
Jika masih juga terjadi edema paru-paru :
a. Berikan frusemide, 1-2 mg/kg. Gejala sesak napas akan berkurang setelah urine
keluar 1000-2000 ml.
b. Digitalisasi atau Dopamin drip 5 – 10 microgram/kg/menit
c. Simptomatik berikan oksigen, bila mendesak sekali : nafas buatan + PEEP
Incidence pulmonary insufficiency post resusitasi cairan adalah 2.1% (8).

Untuk TUGASMAS 514


515
** Lactic acidosis
Apakah pengunaan Ringer Laktat tidak menambah buruk acidosis laktat karena shock.
Jawabanya adalah TIDAK (1.4.5.7.8). Laktat dirubah hepar menjadi bicarbonate yang
menetralisir metabolic acidosis pada shock. Perbaikkan sirkulasi akibat pemberian
volume justru memurunkan kadar laktat darah karena perbaikkan transport oksigen ke
jaringan-metabolisme aerobic bertambah, produksi asam laktat berkurang – timbunan
asam laktat terbawa sirkulasi yang sudah membaik ke hepar dan di metabolisir di sana.
** Gangguan hemostatis
Gangguan karena pengenceran ini mungkin terjadi jika hemodilusi sudah mencapai 11/2
x EBV . Faktor pembekuan yang terganggu adalah thrombocyt. Pemberian Fresh
Frozen Plasma dsb. Tidak berguna karena tidak mengandung thromocyt, sedang factor
V dan VIII sebenarnya hanya dibutuhkan dalam jumlah sedikit (5-30% normal).
Thrombocyt dapat diberikan sebagai fresh blood, platelet rich plasma atau thromcohy
concretate dengan masa simpan kurang dari 6 jam.
Untuk hemostatis yang baik diperlukan kadar thrombochy 100.000 per mm3.
Dextran juga dapat menimbulkan gangguan jiwa dosis melebihi 10 ml/kg BB.

IV. P E N U T U P
Dapat dimengerti jika banyak klinisi yang masih ragu-ragu terhadap konsep hemodilusi
ini meskipun dasar teori yang diajukan cukup kuat, pembuktian klinik sejak 1964 dan
pembuktian selama perang Vietnam sudah menunjukkan hasil-hasil baik. Lancet 1969
dan banyak penulis lain yang masih mengkritik teknik ini. Perlu dihayati bahwa
umumnya para pengkritik berasal dari institusi akademis yang penuh dengan fasilitas
lengkap dan tidak berorintasi pada kebutuhan lapangan, pada bencana missal, pada
kondisi-kondisi sub standart dimana kita sehari-hari berada.
Harga yang murah, tersedia dengan mudah sampai ke tingkat Puskesmas, tanpa perlu
cross match, tanpa reaksi allergi, waktu simpan tak terbatas, tak perlu lemari es, dan
dapat menyelamatkan nyawa dengan pasti, adalah segi-segi menguntungkan dari Ringer
Laktat maupun NaCl 0.9%. Dengan kemasan botol plastic, paket-paket cairan ini dapat
didrop dengan cepat dari helicopter dan langsung dugunakan untuk stabilisasi korban,
dimanapun dia berada.
Cairan, bila berlebih sekalipun tidak mudah menyebabkan kematian penderita jika
diikuti pedoman-pedoman tadi. Jika toh akan menyebabkan kematian, prosesnya jauh
lebih lama daripada proses shock perdarahan. Sehingga kita mempunyai cukup waktu
untuk melakukan koreksi-koreksi terhadap penyulit yang mengancam jiwa tersebut.

Untuk TUGASMAS 515


516

TERAPI CAIRAN PASCA BEDAH


Oleh
Rita A. Sutjahjo, Herdy Sulistiyono dan Tommy Sunartomo
Laboratorium Anestesiologi FK. Unair/RSUD. Dr Soetomo
Surabaya

Untuk TUGASMAS 516


517

I. PENDAHULUAN
Keseimbangan cairan dan elektrolit merupakan salah satu segi yang
Menunjang berlangsungnya metabolism tubuh dan kehidupan. Penyakit dasar,
pembedahan dan anestesi memberikan pengaruh besar dan menyebabkan perubahan-
perubahan pada keseimbangan cairan ini.
Secara khusus dibicarakan masalah pasca bedah, dimana keseimbangan cairan ini
sangat berarti bagi proses penyembuhan dan pencegahan infeksi. Terapi cairan meliputi
: penggantian kehilangan cairan, memenuhi kebutuhan air, elektrolit dan nutrisi, untuk
membantu tubuh mendapatkan kembali keseimbangan yang normal.
Dengan berkembangnya pelayanan kesehatan, semakin banyak tindakan pembedahan
dapat dilakukan dimana-mana, seyogyanya pengetahuan mengenai pengelolaan cairan
pasca bedah ini bersama-sama kita kuasai.

II. TERAPI CAIRAN PADA KASUS BEDAH


Terapi cairan dilakukan pada masa pra bedah, untuk :
- Mengatasi keadaan shock karena dehidrasi dan perdarahan
- Mengganti sebagian dari dehidrasi sedang dan ringan
Kekurangan cairan karena persiapan pembedahan dan anestesi (puasa, lavement) harus
diperhitungkan, dan sedapat mungkin diganti pada masa pra bedah.
Pada penderita-penderita yang karena penyakitnya tidak mendapat nutrisi yang adekuat
kwalitatif maupun kwantitatif, tetapi caiaran dan nutrisi diberikan lebih dini lagi.
Hidrasi yang cukup ini diperlukan untuk menghadapi trauma anestesi dan pembedahan,
yaitu kehilangan-kehilangan yang disebabkan perdarahan, odema jaringan karena
manipulasi dan penguapan dari cavum peritoneum pada laparatomy.
Terapi cairan pasca bedah ditujukan pada hal-hal dibawah ini :
- Memenuhi kebutuhan air, elektrolit dan nutrisi
- Mengganti kehilangan cairan pada masa pasca bedah (cairan lambung, febris)
- Melamjutkan penggantian deficit prabedah dan selama pembedahan
- Koreksi terhadap gangguan keseimbangan yang disebabkan terapi cairan
tersebut

III. TERAPI CAIRAN PASCA BEDAH


Kebutuhan basal air dan elektrolit.

Untuk TUGASMAS 517


518
Dalam keadaan normal, rata-rata pengeluaran air dan elektrolit seorang penderita
dengan BB 50 kg, adalh sebagai berikut :
Urine 1500 65 90
Pernafasan 1000(700/M2/24 jam) - -
Penguapan Feces 100 5 10
Didaerah tropis kehilangan cairan karena penguapan dapat mencapai 1500 cc dalam 24
jam, hanya terdiri dari air tanpa elektrolit.
Keringat menambah kehilangan ini 300 – 600 cc/24 jam, yang merupakan air dengan
sejumlah kecil Na dan K.
Sebaliknya, pemecahan jaringan otak dan lemak karena puasa menghasilkan kurang
lebih 400 cc air yang meningkat sampai 1000 cc pada katabolisme yang cukup
besar/sepsis.(5.9)
Secara umum dapat disimpulkan, kebutuhan air seorang penderita dengan BB 50 kg
dalam keadaan basal kurang lebih (3100 – 400) cc yaitu : 2700 cc/24 jam atau kurang
lebih 50 cc/kg/24 jam.
Pada terapi cairan selama 2-3 hari saja, elektrolit yang diutamakan adalah Na dan K.
Kebutuhan Na sekitar 60-100 mEq/24 jam, Kalium sekitar 40-60 mEq/24 jam. (5.8.9)
Pada hari-hari pasca bedah tidak dianjurkan penambahan K, karena adanya pengeluaran
K dari sel/jaringan rusak, proses katabolisme dan transfuse darah (Whole blood
mengandung Kalium kurang lebih 20 mEq/L). Yang perlu diperhatikan adalah
kenyataan bahwa stress pembedahan menyebabkan pelepasan Aldosterone dan ADH
sehingga terjadi kecenderungan tubuh untuk menahan air dan Na. Pada orang tua
dengan cardiac reserve yang sempit sebaiknya pada permulaan terapi cairan hanya
diberikan 2/3 dari kebutuhan yang diperhitungkan. Berdasarkan pengamatan dan
penilaiaan selanjutnya, jumlah cairan dapat diatur kembali. Pada hari 2 – 5 pasca bedah,
terjadi reabsorpsi kembali cairan yang hilang ke “third space”. Penambahan yang tak
tampak ini harus diperhitungkan dalam evaluasi untuk pengaturan cairan.

KALORI
Penderita-penderita dengan keadaan umu baik dan trauma pembedahan yang minimal,
pemberian karbohidrat 100-150 gr adalah memadai.
Jumlah ini cukup untuk memenuhi kebutuhan sel-sel yang harus memakai glikose
sebagai sumber kalori, dan dapat menekan pemecahan protein sebanyak 50%.(1.5.7).

Untuk TUGASMAS 518


519
Pemberian kalori yang minimal ini berdasarkan pertimbangan mengenai kesulitan-
kesulitan pemakaian cairan hipertonis yang diperlukan untuk mendapatkan jumlah asam
amine dan kalori sesuai kebutuhan.
Tersedianya larutan 2.5% asam amine dengan 150 gr karbohidrat merupakan suatu
pilihan baru, karena dengan osmolalitas dibawah 800 mOms memungkinkan pemberian
lewat vena perifer. Dilain pihak, penambahan asam amine ini dapat membuat “N
Balanced” mendekati keseimbanngan.(7)
Contoh perhitungan :
Kebutuhan basal air, elektrolit dan kalori penderita pasca bedah Herniotomy, berat
badan 50 kg. Terapi cairan hari ke 0 pasca bedah.
Kehilangan pasca bedah.
Sumber kehilangan pada masa pasca bedah antara lain :
- Febris
Kebutuhan cairan meningkat sebanyak 15% setiap kenaikkan 1 derajat suhu tubuh.
- Saluran pencernaan.
Dapat disebabkan oleh retensi cairan lambung yang berlebihan, muntah dan diaree.
Tergantung dari tempat kehilangan ini berasal, dapat diganti dengan P2/RL dengan
penambahan Kalium sesuai kebutuhan.
- Hiperventilasi dan tracheostomy tanpa humidifikasi
Hiperventilasi memperbesar pengeluaran air lewat paru-paru, sedang humidifikasi udara
kering mengambil sejumlah besar cairan tubuh.
Kedua hal tersebut dapat menyebabkan kehilangan air 1 – 1.5 L/hari.

KOREKSI GANGGUAN KESEIMBANGAN AIR DAN ELEKTROLIT


WATER EXCESS
Terjadi pada penderita – penderita yang mendapat terapi cairan dengan
sedikit/tanpa Na, untuk mengatasi sejumlah besar kehilangan Na. Contoh yang jelas
adalah kehilangan dari saluran pencernaan (muntah, diaree, cairan lambung) yang
diganti hanya dengan cairan Dextrose 5%.
Kelebihan air terhadap keseimbangannya dengan Na, menyebabkan turunnya kadar Na
serum. Hiponatremi ini dapat menyebabkan edema pada sel-sel otak, dan timbulnya
gejala-gejala tergantung cepatnya penurunan tersebut. Keadaan ringan dapat diatasi
dengan restriksi air, tetapi bila kadar Na serum kurang dari 120 mEq/L, perlu diberi
terapi dengan Na hipertonis. Pemberian Na hipertonis ini harus berhati-hati pada
penderita-penderita tua dengan cardiac reserve yang sempit.

Untuk TUGASMAS 519


520
Kelebihan air dapat dikeluarkan dengan pemberian glucose hipertonis atau furosemide
yang sebaiknya harus diberikan bersama-sama NaCl dan KCL. Terapi dengan
furosemide dalam jangka waktu yang lama juga akan menyebabkan penurunan kadar
Na serum.

WATER DEFICIT
Terjadi bilamana tubuh kehilangan air lebih banyak daripada Na, misalnya pada
keadaan-keadaan : febris lama, hiperventilasi, tracheostomy tanpa humidifikasi,
diabetes insipidus, non ketotic hyperosmolar dehydration. Kekurangan 2% ddari BB
menimbulkan rasa haus, makin berat terjadi kelemahan umum otot-otot, delirium dan
convulsi.
Terapi adalah pemberian cairan Dextrose 5% (isotonis)

SALINE EXCESS
Umumnya terjadi sebagai akibat sampai resusitasi cairan colloid untuk ,
Mengatasi syok dan mempertahankan volume “ECF” pada masa-masa prabedah dan
selama pembedahan. Kelebihan volume yang isotonis ini umumnya ditolerir oleh
penderita-penderita muda, tetapi pada orang tua mudah menyebabkan decompensasi
cordis dan edema paru-paru.
Terapi adalah restriksi cairan, bila perlu diberikan diuretic dan digitalisasi.

SALINE DEFICIT
Terutama terdapat pada penderita-penderita yang mengalami dehidrasi.
Pada masa prabedah, dan belum terkoreksi seluruhnya. Kehilangan-kehilangan dari
saluran pencernaan pada masa pasca bedah memperbesar deficit ini. Terapi adalah
penggantian dengan Ringer Laktat atau NaCl 0.9%.

HIPOKALEMI
Terutama disebabkan, pemberian tanpa kalium atau penggantian tidak sesuai,
Pada kehilangan yang banyak misalnya kehilangan dari saluran pencernaan.
Gejala-gejala klinis adalah kelemahan otot, paraanestesia, paralyticileus. Kecuali bila
kadar K serum dibawah 2 mEq/L, tetapi kalium dapat dilakukan dalam 2 – 4 hari.
Pemberian Kalium jangan melebihi 200 mEq/ 24 jam, dengan kecepatan 10 – 20
mEq/jam, dicampurkan dalam cairan infus.

Untuk TUGASMAS 520


521
HIPERKALEMI
Terjadi pada penderita-penderita dengan gangguan fungsi ginjal.
Kerusakan jaringan luas, combustion/luka bakar dan menyertai keadaan acidosis.
Tanda-tanda klinis dapat hanya kelemahan otot atau tanpa keluhan sampai terjadi
gangguan irama jantung dan cardiac arrest.
Umumnya sertelah kadar K serum lebih dari 6 mEq/L terjadi perubahan-perubahan khas
pada ECG. Bila kadar K serum mencapai 6 mEq/L segera diberikan terapi untuk
menurunkan sebagai berikut :
1. Calcium glukonat/chloride 10% 10 – 30 ml perlahan dalam waktu 2 menit.
Pemberian calcium ini kontraindikasi pada penderita yang mendapat terapi
digitalis.
2. Sodium bicarbonate 50 – 100 mEq untuk alkalinisasi darah.
3. Glukosa 25% bersama regular insulin 1 unit setiap 4 – 5 gr glukosa (pada renal
failure 1 unit setiap 10 gr glukosa) sebanyak 200 dalam ½ jam.
Penurunan kadar K dengan terapi ini dapat bertahan selama 6 jam.

KESEIMBANGAN ASAM BASA


Perubahan pH cairan tubuh sangat berpengaruh pada kerja sel dan enzim tubuh
sehingga tubuh selalu berusaha mempertahankan keseimbangan asam basa dalam suatu
batas fisiologi yang sempit.
Pemeriksaan dilakukan pada contoh darah arteri dengan harga normal sebagai berikut :
Po2 80 – 100 mmHg Pco2 35 – 45 mmHg
pH 7.35 – 7.45 HCO3 21 -25 mmol/L
BE -2 s/d + 2

Pemyimpangan kearah acidosis (pH kurang dari 7.35) dan alkalosis (pH lebih dari 7.45)
dapat disebabkan oleh gangguan pernafasan maupun gangguan metabolic.
Secara mudah interpretasi hasil pemeriksaan gas darah dapat dilakukan sebagai berikut :
- Tentukan acidosis atau alkalosis
- Jika pCO2 menyimpang searah dengan pH penyebabnya respiratorik.
Jika BE menyimpang searah dengan pH : penyebabnya metabolic
- Tentukan apakah sudah terjadi usaha-usaha kompensasi dengan melihat Pco2
Atau BE yang menyimpang kearah yang berlawanan dengan Ph. BE yang
rendah karena kompensasinya misalnya, tidak boleh dikoreksi dengan Na
bicarbonate.

Untuk TUGASMAS 521


522
Penyebab metabolic antara lain :
Asidosis : - ketoacidosis
Penderita diabet yang tidak diterapi dengan baik
-laktic acidosis akibat gangguan perfusi jaringan oleh sebab cardiac, sepsis,
Perdarahan.
Alkalosis : kehilangan cairan lambung dalam jumlah yang besar.
Terapi utama adalah memperbaiki dan mengatasi penyebab. Pada acidosis metabolic
koreksi dilakukan dengan Na bicarbonate memakai patokan rumus :
Dosis = 1/3 x Berat Badan x BE (mEq)
Jumlah ini mula-mula diberikan separohnya, sisanya diberikan ½ atau 1 jam kemudian.
Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulangan setelah terapi.

PARENTERAL NUTRITION
Penderita pasca bedah tanpa komplikasi yang tidak mendapat nutrisi sama
sekali, akan kehilangan protein 75 – 125 gr/hari.(1.5)
Pemberian karbohidrat saja 100 – 150 gr, menekan pemecahan ini sebanyak 50%. Bila
pemberian kalori minimal ini berlangsung terus-menerus, kehilangan protein menjadi
cukup besar. Albumin dan enzyme pencernaan mengalami penurunan yang lebih cepat,
karena turn over ratenya yang tinggi. Hipoalbuminemia menyebabkan edema jaringan,
infeksi dan dehidrasi luka operasinya, turunnya enzyme pencernaan menyulitkan proses
realimentasi.
Total parenteral nutrition bertujuan menyediakan nutrisi secara lengkap yaitu kalori,,
protein dan lemak termasuk unsure-unsur penunjang yaitu elektrolit, vitamin dan trace
element. Pemberian kalori mencapai 40 -50 Kcal/kg dengan protein 0.2 – 0.24 N/kg.
Cairan hipertonis yang mengandung semua unsure ini, memberikan beberapa masalah
mengenai teknik pemberian, akibat samping maupun pemantauan.
Oleh karena itu, dalam praktek sehari-hari pada kasus-kasus yang :
- Diperkirakan realimentasi sesudah 3 -5 hari
- Mengalami pembedahan besar pada saluran pencernaan
- Keadaan umum/status gizi yang kurang baik
Sejak hari pertama pasca bedah telah diberikan protein dan kalori, tetapi dalam jumlah
lebih sedikit dari yang seharusnya diberikan pada total parenteral nutrition.
ED dkk dalam preliminary reportnya (2) melaporkan bahwa pemberiaan 30 Kcal/kg
dengan 0.1 N/kg dapat mengurangi penurunan albumin serum sebesar 0.7 gr%, dan
tidak didapatkan akibat samping hiperglikemi.

Untuk TUGASMAS 522


523
Pada kasus-kasus yang saluran pencernaannya memungkinkan, gabungan enternal dan
parenteral nutrition merupakan suatu pilihan lain.

IV. MONITORING
Secara sederhana terapi cairan ditetapkan berdasarkan :
1. Perhitungan cairan keluar masuk
Umumnya dilakukan setelah 24 jam, kecuali pada keadaan khusus misalnya penderita
dengan gagal ginjal, dilakukan setiap 3/6 jam.
2. Pemeriksaan laboratorium\
Terapi cairan selama 1 – 2 hari tidak memerlukan pemeriksaan laboratorium. Bila
berlangsung lebih dari 3 hari atau terdapat tanda-tanda klinis yang mencurigakan,
minimal dilakukan pemeriksaan elektrolit serum.
3. Tanda-tanda klinis
Tanda-tanda dehidrasi yang klasik, kelemahan otot, bendungan vena leher melengkapi
perkiraan berdasarkan perhitungan cairan keluar masuk.
Contoh perhitungan :
Penderita pasca hernyotomi (hernia incarcerate) BB 50 kg, hari 1 pasca bedah.

Cairan masuk Keluar


NaCl 0.9% 500 ml Urine 650 ML
Dextrose 5% 2000 ml Penguapan 1500 ml
Pada pemeriksaan klinis didapatkan tanda-tanda dehidrasi ringan denga abdomen yang
membesar (paralytic ileus), tanpa febris.
Dehidrasi ringan berarti kehilangan 3% = kurang lebih 1500 cc.
Kehilangan ini diganti dengan RL (yang kurang lebih sesuai dengan cairan usus bagian
bawah) diberikan selama 24 jam berikutnya, disampimg kebutuhan basalnya.
Bila hari ke 2 tidak terdapat perbaikkan dari p-aralytic ileus dapat dilakukan
pemeriksaan elektrolit serum terutama melihat kadar-kadar K serum. Bila perlu dapat
diberikan tambahan K hipertonis.

V. PEDOMAN TEHNIS
Pemasangan infus/melakukan vena punksi umumnya belum mendapat,
Perhatian khusus. Komplikasi thrombus/thromophleibitis dapat terjadi dan dapat
berkembang menjadi septicemia yang berbahaya.
Beberapa pedoman umum yang dapat dipakai :

Untuk TUGASMAS 523


524
1. Tempat punksi
- Jangan memakai vena pada kaki kecuali pada keadaan darurat
- Sedapat mungkin hindari tempat di mana terdapat sendi/banyak pergerakkan.
- Sedapat mingkin memakai vena perifer, vena cubiti disiapkan untuk kebutuhan
vena besar (missal TPN)
2. Diameter vena :
- Untuk pemberian cepat pakailah vena besar
- Pemberian cairan dengan osmolalitas tinggi, pakailah vena besar/sentral
3. Diameter canula :
- Makin kecil makin baik, mengurangi iritasi / pembentukan thrombus pada
dinding pembuluh darah.
4. Perhatikan hygiene pada saat pemasangan, dan pemeliharaan selama terapi
cairan berlangsung.
5. Fiksasi yang baik untuk mengurangi trauma mekanik pada dinding pembuluh
darah.

PENUTUP
Dalam pelaksanaan sehari-hari tidak selalu mudah menerapkan terapi cairan
seperti yang telah dibahas dalam makalah ini. Terutama pada masa pasca bedah dimana
banyak aspek (medis, bedah) yang secara tumpang tindih mempengaruhi cairan
penderita.
Namun sebagian besar kesulitan-kesulitan pengaturan cairan dapat diatasi dengan
pengelolahan kasus demi kasus, observasi dan evaluasi yang teliti.

Oleh

Untuk TUGASMAS 524


525
Siti Chsnak Saleh, Hari Anggoro Dwianto dan Sutan Arifin
Laboratorium Anestesiologi FK. Unair/RSUD Dr. Soetomo
Surabaya

PENDAHULUAN
Dengan meningkatnya jumlah kasus kecelakaan lalu lintas dan makin bertambahnya
macam pembedahan-pembedahan besar maka keperluan akan transfuse darah tentu akan
meningkat. Seperti telah diketahui, transfuse darah tidaklah bebas dari resiko hepatitis,
bermacam-macam reaksi transfuse bahkan juga AIDS.
Didalam usaha untuk mengurangi resiko trasfusi tersebut maka dipikirkan penggunaan
cairan elektrolit atau plasma substitute, agar pemakaian darah dapat dikurangi. Tidak
pada semua keadaan indikasi penggunaan darah dapat diganti dengan plasma substitute.
Harus juga diingat keuntungan-keuntungan yang didapat dari transfuse darah atau
komponen-komponen darah pada indikasi yang tepat termasuk disini kesamaan dari
cairan tubuh yang hilang dengan penggantinya, kemampuan mengiikat dan mengangkut
O2 dan kemampuan mengambil alih bermacam fungsi biokhenis dari cairan yang
hilang.
Di Eropa kira-kira setiap tahun menghabiskan 7 juta unit plasma substitute (10).
Penggunaan yang makin mengikat ini disebabkan karena resiko penggunaan darah,
tidak cukupnya jumlah donor untuk semua golongan darah dan masalah penyimpanan
darah.
Di Perancis dalam 4 tahun telah digunakan 2.200.000 unit @ 500 cc modified liquid
gelatin pada 1 juta penderita. (12)
Angka-angka untuk Indonesia belum diketahui dengan pasti
Dalam makalah ini akan dibahas beberapa macam plasma substitute masing-masing
dengan keuntungan dan kerugiannya, sehingga dapat dipilih cairan mana yang sesuai
untuk keadaan tertentu. Selain itu juga dibicarakan, tindakan-tindakan untuk mengatasi
bila terjadi reaksi yang tidak diinginkan.

PLASMA SUBSTITUTE
Cairan colloid dimaksud sebagai pengganti plasma dan biasa disebut plasma
substitute atau plasma expander. Pembagian :

Untuk TUGASMAS 525


526
- Cairan colloid dibagi dalam 2 golongan besar :
1. Colloid alami (natural colloid) : termasuk golongan ini adalah plasma protein
dan human albumin.
2. Colloid sintetis (synthetic colloid) : termasuk golomgan ini :
2.1. Dextran – dextran 70
- Dextran 40 (low molecular weigth dextran) – LMWD
- 2.2. Gellatin : - hemaccel
- 2.3. Hydroxyethyl stach (HES)
- 2.4. Polyvinyl pyrrolidone (PVC) – subtosan, periston
- 2.5. Gum acacia.
Syarat yang diperlukan untuk suatu plasma substitute yang ideal adalah (2.4).
1. Mempunyai tekanan Onkotik yang sesuai dengan plasma.
2. Tetap berada dalam sirkulasi dalam waktu tertentu agar dapat berfungsi untuk
ekspansi volume yang segera.
3. Tidak ada efek antigenic, anti alergi dan piretik.
4. Tidak ada pengaruh yang kurang baik terhadap fungsi visceral.
5. Dibuang lewat ekskresi atau metabolism degradasi.
6. Tak mempengaruhi Crossmatch.
7. Dapat disimpan pada suhu yang bervariasi dalam jangka lama dan tetap efektif.
8. Dapat disterillkan dengan viskositas cocok untuk infus pada suhu yang
bervariasi.
Dalam memilih cairan colloid yang akan digunakan ada beberapa hal yang harus
diketahui :
1. Efek perubahan volume sirkulasi pada pemberian colloid
Pada gambar 1 dapat terlihat perubahan volume tersebut. (diambil dari Ahnefeld et al).
Ahnefeld, Halmagyi dan Urbela (1965) melakukan suatu seri percobaan untuk
membandingkan “volume effect” dari 4 macam “Plasma Expander” dengan darah dan
plasma protein.
Percobaan ini dilakukan pada 170 volunteer yang dibagi dalam 5 control group dan 4
test group yang masing-masing terdiri dari 30 orang.
Dari test group masing-masing dibuat perdarahan sebanyak 400 cc kemudian diberikan
500 cc Dextran 40, Dextran 70, Hemacoel atau PVC. Pada control group diberikan 500
cc darah, plasma protein atau normal saline, setelah dilakukan hal yang sama.Hasil
dapat dilihat pada diagram diatas.
2. Sifat dari beberapa macam cairan colloid

Untuk TUGASMAS 526


527
Gum Accacia :
Digunakan pada perang dunia I, berupa larutan 6% dari gum dalam saline. Berat
molekul rendah, menyebabkan pembenrukkan roulleaux dari eritrosit yang sangat hebat.
Cara ini tak digunakan lagi.
PVC :
Rata-rata berat molekul 25.000 – 50.000 merupakan suatu sintetik polymer dari vinyl
pyrrolidone.
Tidak dipecah dalam tubuh. Bagian dari material yang diinfuskandan tidak
diekskresikan lewat urine akan tetap tinggal di tubuh bertahun-tahun. PVP membentuk
suatu kompleks dengan jodium yang digunakan untuk desinfeksi kulit.
BM yang < 140.000 tak dapat dielemir lewat urine.
Periston
Pemakaian tidak lebih dari 1000 cc
Subtosan
Gelatin :
Cairan 3 – 4, 5% dalam balanced elektrolit. Berat molekul rata-rata 35.000. Berasal dari
hydrolysis collagen binatang.
Ada 3 macam gelatin yaitu :
- Modified fluid gelatin (plasmion, hemaccel)
- Urea linked gelatin
- Oxypoly gelatin
DEXTRAN :
Dextran 40 (LMWD) dengan BM 40.000 dan dextran 60 – 70 dengan BM 60.000 dan
70.000 diproduksi oleh bacterium leuco-nostoc mesenteroides B 512 dari agar-agar-
compound.
Lamanya dextran berada di sirkulasi tergantung dari BM nya. Makin besar BM makin
lama tinggal di sirkulasi. Semua molekul dextran dipecah menjadi molekul yang lebih
kecil dan diekskresikan lewat ginjal, atau diubah menjadi CO2 dan H2O.
Dextran 40 mempunyai efek antitrombotik. Hak ini dipergunakan untuk pengobatan
akut stroke.
Hydroxyethyl starch
Mempunyai BM yang sangat bervariasi, dan yang biasa digunakan sebagai plasma
substitute yaitu HES dengan BM 450.000.

Untuk TUGASMAS 527


528

Tabel II : Bermacam cairan koloid dan asalnya


Substitute Produksi Tipe BM Half life Indikasi
( rata - intravaskuler
2)
Plasma Human Serum conserved 50.000 4 – 15 hari - Pengganti volume
protein plasma, Human albumin - hypoproteintemia
placenta - hemodilusi
Dextran B D 60/70 60.000 6 jam - hemodilusi
Leuconostoc D 40 40.000 2 – 3 jam - gangguan mikro
mesenteroid sirkulasi
B 512 pd (keduanya volume
agar-sucrose substitus profilaksis
trombosis)
Gelatin Hydrolisis - Modified

Untuk TUGASMAS 528


529
dari gelatin
collogen - Urea linked 35.000 2-3 jam Volume substitusi
binatang - Oxypoly
gelati
Strach Hydrolosis
asam dan
etylen oxide - Volume
treatment Hydroxyethyl strach 450.000 6 jam substotusi
dari kedelai - Hemodilusi
dan jagung
PVC Sintetik
polimer Subtosan 50.000 Volume substitusi
vinyl Periston 25.000
pyrrolidone

3. Reaksi pada penggunaan cairan colloid


Oleh karena sering ada laporan reaksi pemakaian cairan colloid ini,
Maka tahun 1975 diadakan pengumpulan laporan secara sukarela oleh ahli bedah dan
ahli anestesi dari 31 rumah sakit (termasuk rumah sakit pendidikan) di Bavaria Selatan.
Berat ringannya reaksi anafilaksis digolongkan dalam 4 golongan seperti pada table III.
Tabel III.
Skala beratnya reaksi anfilaktoid (2.14).
GRADE Simto m
I Gejala-gejala kulit/ dan atau reksi panas
sedang
II Gejala kardiovaskuler dan gastrointestinal
ringan. Gangguan pernafasan.
III Shock, spasme otot yang mengancam jiwa
IV Arrest jantung dan / atau arrest nafas

Dari hasil kwesioner yang diadakan pada 31 rumah sakit pada tahun 1975 (14),
didapatkan pemakaian 200906 unit koloid, dimana ditemukan 69 reaksi anafilaktoid
(insidens 0.033%).
Perincian kejadian reaksi tersebut dapat dilihat pada table IV.

Untuk TUGASMAS 529


530
Dari 85.630 pemberian plasma protein, terjadi 12 reaksi anafilatoid (0.014%) sedang
dari 85882 pemberian dextran didapati 28 reaksi (0.032%).

Tabel IV. Indens reaksi anafilaksis


Macam Kolloid Jumlah Infus Jumlah reaksi Insidens (%)
Plasma protein
- serum 25.582 5 0.019
- human albumin 60.048 7 0.011
- Total 85.630 12 0.014

Dextran
- dextran 34.621 24 00.069
60/70
- dextran 40 51.261 4 0.007
- Total 85.882 28 0.032

Gelatin
- urea linked 6.157 9 0.146
gelatin
- oxypoly gel 810 2 0.617
- modified 6.989 4 0.066
fluid gel
- Total 12.989 15 0.115
Starch
- hydroxyethy starch 16.405 14 0.85
TOTAL 200.906 69 0.033

Untuk TUGASMAS 530


531

 RING & MESSEMER (14)


Dari apa yang didapatkan diatas, tampaknya tak ada colloid substitute yang tidak dapat
menimbulkan resiko.
Mekanisme dari anafilaktoid reaksi setelah pemberian cairan colloid tidak sama untuk
masing-masing colloid.
Ring dkk (1974), Ring (1976), Ring dan Messmer (1977).
Johnson & Lorenz (1974), Lorenz dkk (1971, 1976), Doenicke & Lorenz (1977) telah
menyelidiki bermacam – macam mekanisme reaksi-reaksi yang ditimbulkan oleh
pemberian colloid, seperti pada table V.
Tabel V.
Patologi dari mekanisme reaksi anafilaktoid setelah infuse koloid
COLLOID MACAM REAKSI MEKANISME PENULIS
Plasma protein Reaksi segera Allergi protein, Ring dkk (1974)
Agregasi
Reaksi lambat Agregasi, stabilisasi Ring (1976)
Dextran Reaksi segera Disposisi allergi Ring (1976)
berat Anti dextran Ring & Messemer
Anti bodi
Gelatin Reaksi segera Pelepasan histamin Lorenz dkk (1976)
Starch Reaksi segera Complement Ring dkk (1976)
activasi

Frey dkk mendapatkan bahwa reaksi pada pemberian dextran biasanya timbul segera
setelah dimulainya infus, dan gambaran reaksi yang jelas tampak dalam 1 – 3 menit
dengan volume yang masuk tubuh _+ 10 – 30 cc.
Sedang pada pemberian gelatin pada umumnya reaksi timbul setelah pemberian
sejumlah 200 – 500 cc.

Untuk TUGASMAS 531


532
Reaksi ini tak dapat diramalkan baik timbulnya maupun macamnya dan berat ringannya.
Untuk cairan colloid yang sama dapat timbul reaksi yang berbeda pada orang yang
berbeda.
Untuk mengurangi hal-hal yang tidak diinginkan pada penggunaan cairan colloid, perlu
diperhatikan hal-hal sebagai berikut :

1. Indikasi penggunaan yang tepat


2. Monitoring yang ketat dan terus-menerus pada penderita yang mendapat infus
colloid tersebut
3. Pengetahuan yang tepat terhadap gejala reaksi yang timbul dan cara-cara
penanganannya.
Tentang penggantian cairan pada perdarahan sudah dibicarakan pada topic lain. Setelah
penggantian dengan cairan, baru langkah berikutnya dengan cairan colloid, kemudian
darah.
Indikasi penggunaan cairan yang tepat diperkirakan pada hipovolemic shock. Pada
penderita seperti ini biasanya jarang timbul reaksi yang tak dikehendaki.

Langkah-langkah dalam menangani reaksi :


Apabila terjadi reaksi yang berat yang menyangkut respirasi dan sirkulasi, maka
tindakan yang harus segera dilakukan :
1. Adrenalin 0.05 – 0.1 mg i.v
Dosis ini harus diulangi dengan interval 1 – 2 menit tergantung dari respond an
kondisi penderita. Monitoring T/N harus dilakukan, kemungkinan timbul
aritmia.
2. Corticosteroid : Prednisolone 250-1000 mg i.v. atau corticosteroid lain dengan
dosis equipotent.
Perlu diingat bahwa corticosteroid memerlukan waktu 10-15 menit sebelum
menjadi efektif.
3. Antihistamin : diberikan i.v. pelan-pelan ½ - 1 amp.
4. Plasma expander : diganti yang lain, yang dianjurkan 5% albumin. Tetapi perlu
diingat tentang kondisi setempat. Bila tak ada plasma expander sementara
diberikan cairan kristaloid, kemudian dapat diberi plasma.

Untuk TUGASMAS 532


533
RINGKASAN:
Dalam memilih caiaran colloid yang akan digunakan, perlu dipertimbangkan hal-hal
sebagai berikut :
1. Indikasi yang tepat, terutama pada hypovolemic shock
2. Sifat-sifat dari cairan colloid tersebut dipilih yang mendekati ideal
3. Efek perubahan volume setelah pemberian
4. Kemungkinan reaksi yang timbul
Apabila terjadi reaksi yang berat maka tindakan pertama yang harus dilakukan adalah :
1. Menghentikan pemberian
2. Memberikan andrenalin 0.05 – 0.1 mg i.v. yang dapat diulang setelah 1 – 2
menit tergantung kondisi penderita
3. Corticosteroid
4. Antihistamin
5. Mengganti cairan dengan cairan kristaloid kemudian plasma.

Untuk TUGASMAS 533


534
REHIDRASI PRABEDAH PADA INVAGINASI
Dr. Teguh Sylvaranto, dr. Gatut Dwidjo Prijambodo
dr. Herlien H. Megawe
Lab. Anestesiologi FK. Unair / RSUD. Dr. Soetomo
Surabaya

Invaginasi merupakan suatu obstruksi usus yang banyak terjadi pada bayi atau
Anak kecil dan sering memerlukan tindakan bedah darurat untuk pengobatannya.
Umumnya penderita datang pada keadaan yang jelek karena gangguan keseimbangan
hemodinamik akibat proses sakitnya sendiri.
Penundaan waktu operasi disatu pihak akan lebih memperbesar kemungkinan infeksi
dan makin beratnya kerusakan usus, namun disegi lain diperlukan juga waktu untuk
tindakan rehidrasi guna memperbaiki kondisi umum penderita pra bedah.
Tanpa rehidrasi yang baik dapat memperbesar kemungkinan kematian penderita selama
operasi.
Karena itu, masalah rehidrasi / terapi cairan sangatlah penting dalam menunjang
tindakan.
Dalam tulisan di bawah ini akan kami sampaikan pengalaman team Bedah-
Anestesi selama ini dalam menangani kasus-kasus invaginasi di RS.Dr. Soetomo
Surabaya, yang dapat pula ditrapkan dimanapun bila kita menghadapi kasus serupa.
Memang, tidak semua Rumah sakit dapat melakukan pembedahan kasus ini, namun
setidak-tidaknya bila kemudian penderita dirujuk ke Rumah Sakit lain, telah dapat
dilakukan persiapan yang lebih baik tanpa membuang waktu yang berharga bagi
penderita ini.

GANGGUAN YANG TERJADI PADA INVAGINASI DAN AKIBATNYA


1. GANGGUAN PASASE USUS
Akan terjadi fluid shift dari cairan ekstra selluler ke dalam lumen usus.
Tergantung dari derajat beratnya penyakit. Makin banyak cairan yang tertumpuk dlam
lumen usus, makin besar kehilangan ECF yang terjadi. Kehilangan ini tidak tampak
keluar, namun akibat yang ditimbulkan sama seperti bila cairan ini keluar dari tubuh
(suatu “third space” fluid loss).
Jumlah cairan yang hilang ini sulit untuk diukur secara pasti tetapi dapat diperkirakan
dengan melihat gejala yang ada.
Gejala yang timbul dapat minimal (pada kehilangan cairan ringan), sampai shock berat.

Untuk TUGASMAS 534


535

2. GANGGUAN INTAKE PER ORAL


Akibat “sumbatan” jalan makanan ini, maka penderita tidak akan mendapatkan
Cairan dan makanan sesuai kebutuhan.
Akan tetapi kekurangan air karena penguapan air dengan Natrium relative minimal
melalui keringat dan pernafasan berjalan terus.
Umumnya penderita juga mengalami infeksi sehingga timbul febris yang akan makin
menambah kehilangan air.

3. GANGGUAN GINJAL
Akibat terjadinya kehilangan cairan ECF, maka akan terjadi kekurangan
Cairan tubuh. Ginjal sebagai salah satu organ klas dua akan mengalami penurunan
perfusi.
Terjadi penumpukkan sisa pembakaran termasuk juga ion H sehingga dapat timbul
keadaan asidosis.

4. GANGGUAN KESEIMBANGAN ELEKTROLIT LAIN :


Dengan hilangnya cairan tubuh baik yang keluar tubuh maupun keluar
Ke lumen usus, maka selain Natrium, Kalium juga akan ikut keluar. Akan timbul
gangguan keseimbangan kadar Kalium.
Bila terjadi kerusakan jaringan yang luas, apalagi bila juga terdapat gagal ginjal akut,
dapat terjadi keadaan hyperkalemia.

PENILAIAN KLINIS
Penilaian klinis didapatkan dari heteroanamnesa (karena penderita adalah anak
Kecil / bayi) dan pemeriksaan gejala klinis.
Fasilitas laboratorium memang akan sangat membantu untuk mempertajam kesimpulan
pemeriksaan namun tidak secara mutlak menentukan.
Tingkat jumlah kehilangan cairan diperkirakan dengan membandingkan derajat
penurunan dari berat badan semula berdasar gejala klinis yang ada. Dibedakan :
 Deficit cairan ringan, kehilangan cairan 3-5% berat badan
 Deficit cairan sedang, kehilangan cairan 6-8% berat badan
 Deficit cairan berat, kehilangan cairan 10% , bila mencapai 15% maka akan
terjadi terminal shock.

Untuk TUGASMAS 535


536
TANDA-TANDA KLINIS
RINGAN SEDANG BERAT
Defisit 3-5% BB 6-8% BB 10% BB
Hemodinamik tachycardia tachycardia tachycardia
hipotensi orto static cyanosis
nadi lemah nadi sulit diraba
vena kolaps akral dingin
Jaringan Mukosa lidah Lidah lunak, keriput Atoni
kering Mata cowong
<< <<<
Turogr kuli <
Urine Pekat Pekat, jumalh < Oliguri
SSP apatis Sangat menurun/
coma

TINDAKAN REHIDRASI :
Karena cairan yang hilang sebagian besar merupakan cairan dengan komposisi
seperti ECF, maka kehilangan ini harus diganti dengan cairan yang kira-kira sama
komposisinya.
Penggantian cairan yang hilang ini harus dilakukan dalam waktu yang tidak terlalu lama
agar penderita dapat segera dioperasi.
Untuk itu dilakukan :
A. Dari hasil pemeriksaan, perkiraan berapa defisitnya. Selanjutnya berikan Ringer
Laktat atau NaCl 0.9 % sebanyak 20 ml/kg berat badan dalam waktu cepat, kira-kira
dalam waktu ½ - 1 jam.
Lakukan observasi tekanan darah, nadi, perbaikan perfusi perifer.
Bila masih shock, ulangi lagi pemberiaan Ringer Laktat atau NaCl 0.9 % 20 ml/kg bb
dalam waktu cepat sambil tetap mengawasi hal tersebut diatas.
B. Dalam hal shock telah teratasi, maka berikan 50 % sisa deficit dalam 8 jam
Berikutnya dan sisa 50 % lainnya berikan dalam 16 jam.
C. Cairan maintainanceharium dapat diberikan sesudah shock teratasi, bersama
Dengan cairan sisa deficit.
Selama tindakan tersebut di atas, lakukan observasi dari :
 Tensi

Untuk TUGASMAS 536


537
 Nadi
 Perfusi perifer
 Urine produksi, kepekatan urine
Perlu kita perhatikan bersama masalah jenis cairan untuk rehidrasi, bila kita gunakan
Cairan yang mengandung Natrium jauh di bawah kadar ECF misalnya Dextrose 5 %
dalam NaCl 0.225 % akan dapat menimbulkan keadaan water excess.
Hal ini disebabkan cairan yang hilang (dengan komposisi seperti ECF) mengandung
Natrium sekitar 135-145 mEq/1 sedang cairan pengganti (D 5 % dalam NaCl 0.225 %)
mengandung natrium 37.5 mEq/liter sehingga penderita meskipun mendapatkan volume
yang sama, akan mendapat cairan yang relative mengandung natrium lebih sedikit
dengan kadar air yang lebih banyak.

KAPAN PENDERITA “LAIK BEDAH” :


Dilihat dari segi stabilitas hemodinamik, maka penderita telah “laik bedah” bila
shock telah teratasi dan stabilitas hemodinamik telah tercapai.
Akan terlihat :
 Tensi membaik
 Nadi menurun
 Perfusi perifer kering, hangat warna kulit kemerahan
Urine produksi bukanlah merupakan satu indicator untuk dapat mulainya saat operasi
karena dapat terjadi stabilitas hemodinamik telah tercapai tetapi urine produksi belum
membaik. Hal ini terjadi karena deficit cairan yang terjadi sebelumnya menyebabkan
meningkatnya produksi aldesteron dan ADH yang akibatnya menghambat urine
produksi.
Dalam keadaan meragukan, dapat dilakukan “Tilt test” untuk melihat stabilitas
hemodinamik. Caranya dengan mengukur tensi penderita dalam keadaan terlentang,
selanjutnya posisi diubah anti Trendelenburg 30 derajat.
Sesudah 5 menit dalam posisi ini, dilakukan pengukuran tensi ulang. Bila tensi tak turun
lebih dari 10 mm Hg , berarti volume telah normal dan operasi dapat dimulai. Dalam hal
tensi turun, berarti masih terdapat deficit yang perlu dikoreksi.

CONTOH KASUS :
Penderita 1.5 tahun dengan diagnose invaginasi, berat badan 11 kilogram.
Perkiraan deficit berdasar pemeriksaan fisik saat datang di Rumah Sakit, sekitar 10 %
dari berat badan.

Untuk TUGASMAS 537


538
Tindakan untuk rehidrasi :
Perhitungan deficit cairan : 10 % x 11 kg = 1100 ml
Diberikan segera 20 ml./kg bb = 20 x 11 = 220 ml RL atau NaCl 0.9 %
Observasi stabilitas hemodinamika, bila tanda shock masih ada, tambahkan lagi
20 ml / kg bb RL atau NaCl 0.9 %.
Sisa deficit 1100 ml – 220 ml = 880 ml sebanyak 50 % (440 ml) diberikan
dalam 8 jam berikutnya, sedang 440 ml sisanya diberikan dalam 16 jam berikutnya.
Cairan maintenance (untuk anak ini diperkirakan 100 ml/kg berat badan)
diberikan bersama sisa deficit tersebut.
Dengan demikian maka :
a. Tahap rehidrasi :
20 ml x berat badan diberikan dalam ½ - 1 jam, observasi tanda-tanda
hemodinamik, bila perlu ulangi pemberian dengan 20 ml/kg bb dalam waktu
yang sama.
b. Tahap koreksi 50 % sisa deficit dan maintenance 8 jam :
50 % deficit sejumlah 440 ml.
c. Tahap koreksi sisa 50 % deficit dan maintenance 16 jam :
50 % sisa deficit sejumlah 440 ml.
Pembedahan dapat dimulai bila hemodinamik telah membaik, tanda-tanda telah kami
sebutkan di atas.
Dengan demikian maka pada awal tahap koreksi 50 % bagian pertama deficit
pembedahan telah dapat dimulai, secara teoritis sekitar 2 – 3 jam sesudah kedatangan
penderita ke Rumah Sakit.
Dari pengalaman kami sendiri (team Bedah – Anestesi) di RS Dr. Soetomo
dapat kami kemukakan angka-angka seperti table di bawah ini :
Tabel 1 :
Jumlah Penderita
Umur Penderita 1986 1987(sept)
< 0.5 th 12 6
0.5 – 1 th 21 11
1 – 2 th 2 -
>2 th 1 3
Jumlah 36 20

Tabel 2 :

Untuk TUGASMAS 538


539
Kondisi penderita pra bedah berdasar criteria A.S.A
Status 1986 1987
fisik Penderita Sembuh Mati Penderita Sembuh Mati
1 - - - - - -
2 10 9 1 5 5 -
3 23 19 4 14 13 1
4 2 - 2 1 - 1
5 1 - 1 - - -
Jumlah 36 28 8 20 18 2

Tabel 3 :
Kematian Pasca Bedah pada 76 jam Pertama
1986 1987 (Sept.)
Status fisik
Jumlah Mati Jumlah Mati
1 - - - -
2 10 - 5 -
3 23 1 14 1
4 2 2 1 -
5 1 - - -
Jumlah 36 3 20 1
(8,3%) (5%)

Dari tinjauan kepustakaan, angka kematian pada 50 tahun yang lalu sekitar 30
%. Angka kematian yang kami lakukan dengan cara tersebut di atas pada 1986 8.3 %
sedang pada tahun 1987 sampai dengan bulan September adalah 5 %.
Untuk memperbaiki kondisi penderita sampai kondisi “laik operasi “, tidaklah
terlalu sulit dan rumit.
Adanya fasilitas laboratorium memang akan lebih menunjang namun sampai dengan
tahap laik operasi, bila kita menunggu sampai hasil datang justru akan lebih menunda
lagi saat mulai operasi.
Pedoman klinis seperti telah kami sebutkan di atas berdasar pengalaman kami telah
cukup memadai pada sebagian besar kasus.

Untuk TUGASMAS 539


540

PENUTUP

Rehidrasi pra bedah merupakan langkah awal dari penangganan menyeluruh


pada kasus invaginasi. Tanpa tindakan yang benar akan dapat timbul penyulit, bahkan
mungkin kematian penderita.
Prosedur rehidrasi juga bukan suatu tindakan yang sulit, sarana dasar banyak
tersedia ditempat kerja kita.
Ketajaman dan kecermatan observasi serta penguasaan problema yang ada merupakan
kunci keberhasilan penangannan.

Untuk TUGASMAS 540


541
TERAPI CAIRAN PRECLAMPSIA – ECLAMPSIA DI I . C. U

Bambang Wahjuprajitno
Lab / UPF Anestesiologi FK Unair / RSUD Dr. Soetomo
Surabaya

PENDAHULUAN
Preclampsia – eclampsia adalah merupakan salah satu keadaan gawat darurat
kebidanan yang memerlukan penangan yang baik, karena kelalaian dalam
penanganannya dapat berakibat buruk, baik terhadap ibu maupun janin yang
dikandungnya. Meskipun telah banyak terjadi kemajuan-kemajuan dalam dunia ilmu
pengetahuan dan kedokteran, preeclampsia-eclampsia tetap masih merupakan teka-teki
yang belum terpecahkan secara keseluruhan. Perbaikan perawatan antenatal dan
penanganan yang dini dari preeclampsia berat telah dapat menurunkan insidens dan
mortalitas dari eclampsia. Pritchard dkk tahun 1984 melaporkan hanya satu kasus dari
245 kasus eclampsia yang ditanganinnya.
Dalam penangan eclampsia, dulu dipergunakan bermacam-macam obat antara
lain dengan memakai obat-obat yang mempunyai efek sedative, hipotensiv, ataupun
diuretika pada penderita hamil tersebut. Namun konsep penanganan sekarang telah
berbeda. Umumnya konsep penanganan eclampsia sekarang seperti yang telah diajukan
oleh Pritchard di Parkland Memorial Hospital adalah sebagai berikut :
1. Mengatasi kejang dengan magnesium sulfat
2. Mengatasi hipertensi (menurunkan tekanan darah)
3. Menghindari penggunaan diuretika dan cairan hiperosmotik
4. Pembatasan pemberian cairan
5. Memulai langkah-langkah untuk melahirkan bayi setelah keadaan penderita
terkuasai.
Dapat dilihat di sini bahwa terapi cairan pada eclampsia hanyalah merupakan
Salah satu aspek saja dari tindakan yang menyeluruh pada penanganan aclampsia.
Dalam makalah ini akan dibahas beberapa pengalaman dalam penanganan penderita
eclampsia, dan disinngung antara lain mengenai pemberian cairan pada penderita yang
dirawat di I.C.U. RSUD Dr. Sotomo Surabaya.

PROBLEMA KLINIK PENDERITA ECLAMPSIA DI I.C.U

Untuk TUGASMAS 541


542
Tidak semua penderita preeclampsia – eclampsia yang masuk di RSUD. Dr.
Soetomo memerlukan perawatan di ICU. Penderita umumnya bias dirawat dengan baik
di bagian kebidanan. Namun bila penderita datang dengan keadaan yang jelek atau
keadaannya menurun sedemikian rupa sehingga memerlukan penanganan yang lebih
lanjut, di unit khusus, barulah penderita kemudian akan dipindahkan ke ICU. Hal seperti
ini terpaksa dilakukan mengingat keterbatasan tempat, alat dan personil di ICU.
Karena factor-faktor di atas, maka keadaan penderita pada waktu datang di ICU
sangat bervariasi, namun secara umum boleh dikatakan berada dalam keadaan yang
gawat.
Penyulit-penyulit yang berat dari penderita dengan eclampsia tidak bias
dipisahkan dari gangguan yang terjadi dari eclampsia itu sendiri.
Untuk memudahkan, maka penyulit yang bias berbahaya dapat dibagi berdasarkan
system tubuh yang terkena, yaitu :
1. Gangguan pada sisitem pernafasan.
2. Gangguan pada system kariosirkulasi
3. Gangguan pada system sayraf pusat
4. Gangguan pada system urogenital
Umumnya gangguan yang terjadi tidak hanya mengenai salah satu system saja, tetapi
biasanya beberapa system saja, bahkan pada keadaan yang sangat berat semua system
dapat mengalami gangguan sampai terjadi kegagalan organ-organ (multiple organ
failure) yang sulit diatasi.

1. Gangguan system pernafasan


Gangguan pada system pernafasan dapat berupa :
 Hipoventilasi sampai apnea
 Edema paru
Setelah kejang tonik dan klonik, selama beberapa saat penderita eclampsia mengalami
coma dan apnea yang kemudian diikuti pernafasan yang cepat dan labourous sebagao
respon keadaan hiperkarbia dan laktik asidemia. Namun ini sesungguhnya adalah
merupakan respons yang bersifat fisiologis saja. Apnea yang sesungguhnya dapat terjadi
sebagai akibat dari overdosis pemberian MgSO4. Apnea ini bias terjadi bila kadar
magnesium dalam darah mencapai 12 mEq/L atau lebih.
Kejang sendiri dapat menyebabkan terjadinya aspirasi isi/asam lambung yang
selanjutnya dapat menyebabkan terjadinya hipoventilasi sampai kegagalan nafas
(ARDS).

Untuk TUGASMAS 542


543
Bila penderita mengalami kelebihan cairan (fluid overload) dan payah jantung
dapat terjadi edema paru yang juga bias menyebabkan ARDS. Terjadinya edema paru
pada penderira eclampsia selalu merupakan tanda pronostik yang jelek.
Pada keadaan-keadaan tersebut, diatas intubasi segera dan pemberian pernafasan
buatan adalah merupakan salah satu cara yang tercepat yang mungkin dapat
menyelamatkan penderita.

2. Gangguan system kardiosirkulasi


Ada beberapa perubahan yang bisa terjadi pada system kardiosirkulasi pada penderita
eclampsia, yaitu antara lain :
 Hipertensi & vasospasme (gangguan afterload)
 Payah jantung (gangguan contractility)
 Hipovolemia dan hilangnya “protective hipervolemia” (gangguan preload)
Tabel 1. Blood volume in five women measured (51cr) during antepartum eclampsia,
again. When nonpregnant, and finally at a comparable time in their second pregnancy
uncomplicated by hypertension.
Eclampsia Nonpregnent Nornal Pregmant
Blood volume (ml) 3530 3035 4425
Change (%) + 16 + 47
Hematocrit 40.5 38.2 34.7

(From Prutchard et al.: Am J Obstet Cynecol (in press, 1984).

Penderita eclampsia mempunyai cairan yang berlebihan dalam tubuhnya, tetapi


cairan ini terdistribusi secara kacau dalam kompartemen cairan tubuh, sehingga terjadi
hipovolemia intravascular dan edema unterstitial. Keadaan “protective hypervolemia”,
dimana volume cairan intravascular naik sampai sekitar 50 %, pada penderita hamil
normal justru tidak terjadi.
Hilangnya protective hipovolemia ini menyebabkan penderita aclampsia lebih
mudah jatuh ke dalam syock bila terjadi perdarahan atau kehilangan cairan, jika
dibandingkan dengan penderita hamil normal. Meskipun penderita dalam keadaan
hipovolemia, tetapi dilain pihak ternyata penderita eclampsia pun tidak mampu
menampung volume sirkulasi yang cukup untuk mendapatkan cardiac output normal
seperti hamil biasa. Pemberian terapi cairan yang agresif justru sering menyebabkan
tejadinya edema paru, dan gagal ginjal yang bias fatal.

Untuk TUGASMAS 543


544
Payah jantung, yang biasanya merupakan stadium terminal dari aclampsia, juga
ditandai dari terjadinya edema paru disertai sianosis, nadi yang cepat dan turunnya
tekanan darah.

3. Gangguan system syaraf pusat


Kejang-kejang dan coma yang terjadi sesudahnya pada eclampsia dapat menimbulkan
penyulit pada system organ yang lain, seperti pernafasan karena aspirasi. Kematian
kadang-kadang dapat terjadi secara mendadak, sewaktu atau segera setelah kejang-
kejang tersebut. Namun ini biasanya disebabkan karena terjadi perdarahan otak yang
massif. Hemiplegia dapat pula terjadi bila perdarahan otak tidak terlalu besar.
Kerusakkan yang bias terjadi di otak pada penderita eclampsia dapat berupa :
 Edema otak
 Hyperemia
 Anemia fokal
 Thrombosis
 Perdarahan otak
Sheehan (1950) mendapatkan adanya perdarahan 50 % dari 48 eclampsia pada
pemeriksaan segera post mortem.
Kadang kala terjadi psikosa setelah eclampsia, namun keadaan ini biasanya
menghilang setelah 1 – 2 minggu.
Bila terjadi hipertermia (temp. > 39.5 c), yang diduga penyebab sentral, maka
ini merupakan tanda prognosa yang sangat jelek.

4. Gangguan system urogenital


Pada eclampsia terjadi penurunan dari perfusi ginjal dan glomerular filtration rate.
Biasanya setelah kelahiran bayi maka akan terjadi kesembuhan yang komplet dari
gangguan ginjal ini. Pada keadaan yang hebat dapat terjadi renal cortical necrosis yang
irreversible, yang ditandai dengan adanya oliguria atau anuria dan timbulnya azotemia
yang progresif.
Gagal ginjal akut karena tubular necrosis, dapat terjadi karena kasus-kasus yang
“terlantar” atau kehilangan cairan yang cukup banyak pada penderita yang juga
mengalami hipovolemia intravaskuler ini.

PENGELOLAAN PRECLAMPSIA – ECLAMPSIA DI I. C. U.

Untuk TUGASMAS 544


545
Seperti umumnya penderita lain yang dirawat di I.C.U, maka penderita
preeclampsia-eclampsia pun dirawat secara multidisipliner sesuai dengan gangguan
yang terjadi pada penderita.
Karena umumnya penderita yang masuk ke ICU berada dalam stadium yang
lanjut/jelek, maka pengelolaan penderita agak berbeda dengan pengelolaan kasus-kasus
yang belum mengalami penyulit yang berat, tetapi dasar penanganannya adalah sama.
Prinsip dasar penanganan penderita eclampsia di ICU adalah sebagai berikut :
1. Menguasai system pernafasan
2. Optimasi system kardiovaskuler
3. Menguasai kejang-kejang
4. Optimasi faal ginjal
5. Memulai langkah-langkah untuk melahirkan bayi setelah keadaan terkuasai atas
indikasi tertentu
Biasanya penderita yang masuk ke ICU telah mengalami persalinan sebelumnya, baik
secara spontan maupun melalui operasi, sehingga langkah ke 5 jarang sekali perlu
dilakukan di ICU. Dengan demikian tidak diperlukan cara-cara atau pemberian obat-
obatan tertentu yang dapat mengakibatkan depresi pada janin. Namun bila ternyata
memang janin in utero masih dalam keadaan baik, hal-hal tersebut perlu diperhatikan.

1. Menguasai system pernafasan


Setelah kejang-kejang pada eclampsia, biasanya penderita berada dalam keadaan koma
atau setengah koma. Fungsi pernafasan mungkin akan terganggu karena pembuntuan
jalan nafas bagian atas. Disini tindakan pembebasan jalan nafas akan sangat menolong.
Bila terjadi tanda-tanda distress pernafasan meskipun dengan pemberian terapi oksigen,
harus dipertimbangkan untuk segera melakukan intubasi endotrakheal dan dilanjutkan
dengan pernafasan buatan.
Biasanya diperlukan penambahan dengan P.E.E.P (Positive End Expiratory Pressure)
pada penggunaan respirator, untuk mengatasi distress nafasnya. Diusahakan untuk dapat
mempertahankan gas darah penderita pada PaO2 sekitar 100 torr dan PaCO2 sekitar 30
torr. Tindakan tersebut harus dilakukan sedini mungkin, terutama bila janin masih
hidup. Penundaan akan menyebabkan hipoksemia dan kematian pada janin in untero.
2. Optimasi system kardiovaskuler
Diusahakan untuk melakukan tindakan agar supaya fungsi system kardiovaskuler se
optimal mungkin dengan cara :
1. Memperbaiki afterload dengan menurunkan tekanan darah

Untuk TUGASMAS 545


546
2. Memperbaiki kontraktilitas jantung
3. Memperbaiki preload
4. Memperbaiki frekwensi denyut jantung
Di ICU tindakan supportive terhadap system kardiovaskuler ini dilakukan dengan
memakai pedoman pengukuran tekanan vena sentral (CVP).
2.1.memperbaiki afterload
Dilaporkan bahwa pemberian hydralazine par enternal sangat efektif untuk
menurunkan tekanan darah. Hydralazine ini tidak mempengaruhi sirkulasi
uteroplacentral, sehingga pengaruhnya minimal pada janin, asalkan turunnya tekanan
darah tidak terlalu cepat. Sayang sekali obat tersebut tidak terdapat di Indonesia. Bila di
ICU dipakai CVP untuk pedoman pemberian cairan, dengan cara sebagai berikut :
 Bila hipovolemia (CVP rendah) dengan tanda-tanda kegagalan sirkulasi fluid
challenge test.
Macam cairan yang dipakai : kristaloid.
Bila serum albumin < 2.5 gm % : bila mungkin albumin 25 %.
 Bila hipervolemia (CVP tinggi) dengan tanda-tanda kegagalan sirkulasi 
pembatasan cairan, diuretika, obat inotropik positif, mungkin vasodilator.
 Bila normovolemia tanpa tanda-tanda kegagalan sirkulasi  cairan sebanyak 60
– 125 ml/jam.
Pemberian cairan (fluid challenge test) harus dilakukan dengan hati-hati. Pemberian
yang agressif dapat memperburuk maldistribusi cairan tersebut dan menyebabkan
timbulnya edema, baik itu pada otak, paru maupun laryngeal.

Diuretika hanya dipakai bila ada payah jantung dengan tanda-tanda edema paru,
jadi tidak dipakai secara rutin. Jenis yang dipakai biasanya dari golongan Furosemid.
Adapun pengaruh pemberian obat inotropik positif, vasodilator, diuretika dan
pemberian cairan dapat dilihat pada gambar 1 di atas.
2.4 memperbaiki frekwensi denyut jantung
Pengelolaan fungsi ini dilakukan serupa dengan pengelolaan system kardiovaskuler,
karena dengan perbaikan fungsi jantung, maka akan terjadi perbaikan renal blood flow.

PENGALAMAN KASUS
Selama tahun1987 telah dirawat 8 penderita, yaitu 5 penderita dengan Severa
Preclampsia dan 3 penderita dengan eclampsia. Meninggal 4 orang (50%), masing-
masing 2 dari Severa Preclampsia dan 2 dari Eclampsia. Pada semua penderita yang

Untuk TUGASMAS 546


547
meninggal didapatkan kegagalan nafas berat (ARDS) karena edema paru, dan disertai
kegagalan organ yang multiple. Hanya seorang penderita (nomer 5) dengan edema paru
yang berhasil diselamatkan. Seorang penderita (nomer 4) bahkan datang di RS dengan
arrest nafas, yang berhasil diresusitasi, tetapi akhirnya meninggal karena sebab sentral
(brain death).

Tabel 3. balans Cairan & CVP pend. preclampsia-eclampsia di ICU th. 1987
Hari 0 Hari I Hari 2 Hari 3
Cairan masuk Cairan masuk Cairan masuk Cairan masuk
No. Nama pend Cairan keluar Cairan keluar Cairan keluar Cairan keluar Keterangan
C.V.P C.V.P C.V.P C.V.P
1. Ny. Sr. 900 1465 770 780 Meninggal
930 600 260 390 Hari
14 cm air 12 cm air 20 cm air 18 cm air Ke 4
2. Ny. SM 2250 1500 1500 1500 Psikosa
2700 2725 1830 2115 Sembuh
3 cm air 6 cm air 6 cm air 8 cm air Normala
3. Ny. M 1250 600 900 1400 Meninggal
1260 3425 2670 3150 Hari
15 cm air 14 cm air 14 cm air 10 cm air Ke 4
4. Ny. Il 2250 Meninggal
1650 Hari
14 cm air Ke 1
5. Ny. St 250 600 1400
900 3100 2080
10 cm air 8 cm air 8 cm air
6. Ny. Mk 2250 2500 2500 2500
1325 1750 1200 3750
7. Ny. SH 1645 1260 2000 1350 Meninggal
475 540 900 720 Hari
16 cm air 10 cm air 15 cm air 14 cm air Ke 3

Untuk TUGASMAS 547


548
8. Ny. SF 400 1500 1000 Pindah
835 1625 1580 Hari
22 cm air (?) 10 cm air 6 cm air Ke 3

PENUTUP
Telah disampaikan pengalaman pengelolaan penderita preeclampsia- eclampsia
yang masuk di ICU, yang ada pada umumnya masuk dalam stadium lanjut, dengan hasil
mortalitas yang tinggi.
Dengan prenatal care yang teratur dari penderita, sangat mungkin dapat dicegah
terjadinya stadium lanjut penyakitnya, sehingga sangat mungkin mortalitasnya dapat
diturunkan.
Terapi cairan pada penderita preclampsai-eclampsia haruslah dilakukan dengan
ekstra hati-hati untuk mencegah terjadinya edema paru. Penggunaan CVP sebagai
sarana pemantauan mungkin akan sangat berguna sebagai pedoman terapi.
Kerjasama multidisipliner yang kompak akan sangat membantu dalam
pengelolaan penderita.

Untuk TUGASMAS 548


549
OLIGURIA PERIOPERATIF
PERANAN CENTRAL VENOUS PRESSURE DAN FUROSEMIDE
Tommy Sunartomo, Rita A. Sutjahjo, Sri Wahjoeningsih, Puger Rahardjo
Laboratorium Anestesiologi FK. Unair – RSUD Dr. Soetomo
SURABAYA

I. P E N D A H U L U A N
Urine merupakan produk kerja sama antara system sirkulasi, fungsi ginjal dan
saluran-salurannya. Penurunan fungsi-fungsi ini akan menyebabkan berkurangnya
produksi dan kualitas urine. Dengan memantau produksi dan kwalitas urine dari
waktu ke waktu maka dapat diperoleh gambaran bagaimana keadaan system
sirkulasi, fungsi ginjal dan saluran-salurannya.
Dikatakan oliguria bila produksi urine kurang dari 400 cc/24 jam atau kurang dari
20 cc/24 jam (2.5). Menurut Samuel Powers (11) “persistent oliguria below 25 ml
per hour more than two hours constitute a true medical emergency reguiring the
most urgent and aggressive corrective therapy”.
Oliguria yang berlangsung lama dan tidak segera ditanggulangi akan menyebabkan
terjadinya gagal ginjal akut (GGA).
Sampai saat ini, walaupun telah banyak kemajuan di bidang kedokteran, angka
kematian GGA masih sekitar 50 – 60% (2.9) ma;ahan pada kasus pasca bedah
jantung terbuka angka kematian GGA lebih tinggi, sampai 75% (10 12). Mengingat
tingginya angka kematian, maka pencegahan merupakan tindakan yang paling tepat.
Pada pencegahan ini dituntut untuk membuat diagnose dan melakukan terapi cepat
dan tepat pada setiap kasus oliguria agar tidak terjadi kerusakan ginjal yang
irreversible.
Kesalahan imbangan cairan perioperatif merupakan factor menyebab oliguria yang
sering dijumpai pada kasus pembedahan.

II. ETIOLOGI
Penyebab oliguria perioperatif dapat dibagi menjadi 3 golongan :
 Penyebab prerenal
- Kekurangan cairan ekstraseluler
- Shock
- Gangguan sirkulasi yang lain

Untuk TUGASMAS 549


550
 Penyebab renal
- Kelaionan prerenal yang tidak segera diatasi
- Ischemia
- Bahan nephrotoxic
- Reaksi transfuse
 Penyebab post renal
- Obstruksi saluran kencing : - batu , debris, terjahit
- Putusnya saluran kencing : - trauma, iatrogenic.
Pada umumnya bila penyebab segera diatasi, kelainan ginjal yang terjadi masih bersifat
reversible dan dapat disembuhkan.
III. PATOFISIOLOGI OLIGURIA PERIOPERATIF
Oliguria perioperatif paling sering disebabkan oleh factor prerenal yaitu berkurangnya
cairan ekstra seluler. (11)
Berkurangnya cairan ekstraseluler dapat disebabkan karena :
a. Pemasukan (intake) yang kurang, baik secara oral maupun parenteral.
b. Kehilangan (loss) yang banyak, berupa perdarahan, muntah, diare atau febris.
Juga karena perpindahan cairan ke “rongga ketiga” (third space loss), antara lain
ke peritoneum, retroperitoneal, dinding usus dan jaringan yang meradang dari
organ abdomen : (13, 16).
Faktor prerenal lain yang berpengaruh antara lain macam premedikasi stadium anestesi,
ada tidaknya hipotensi dan lamanya pembedahan. Secara sederhana terjadinya oliguria
perioperatif akibat factor prerenal dapatditerangkan sebagai berikut (11.16) :
Berkurangnya cairan ekstra seluler (deficit Na dan deficit air) akan merangsang “
afferent arteriolar juxta glomerular apparatus” untuk mengeluarkan rennin, yang melalui
proses dalam plasma kemudian berubah menjadi angiotensin I, lalu membentuk
angiotensin II yang merangsang cortex kelenjar anak ginjal untuk mensekresi
aldosteron. Aldosteron ini menyebabkan penyebaran sodium pada tubulus distalis
meningkat. Penyerapan sodium selalu diikuti oleh air dengan demikian produksi urine
akan menurun. Selain itu, penurunan volume ekstra seluler akan merangsang kelenjar
hipofise untuk mensekresi Anti Diuretic Hormon (ADH) yang menyebabkan
penyerapan air dan urea di collecting “tube” meningkat.
Juga akibat berkurangnya cairan ekstra seluler, maka aliran darah ke ginjal berkurang,
glomerular filtration rate (GFR) akan menurun sehingga produksi urine akan berkurang.
Hal-hal tersebut diatas, akan menyebabkan timbulnya oliguria.

Untuk TUGASMAS 550


551
Ada 3 faktor yang saling berhubungan yang memudahkan terganggunya fungsi ginjal
pada waktu pembedahan (9) :
1. Ischemia ginjal
2. Bahan nephrotaxic
3. Keadaan hidrasi pra bedah
Oleh karena itu untuk mencegah terjadinya oliguria atau GGA perioperatif, maka
sebelum dilakukan pembedahan, hidrasi penderita harus optimal.
Beberapa sarjana mengatakan bila terjadi ischemia pada ginjal, maka timbul anoxia
pada sel-sel tubulus, yang berakibat meningkatnya premeabilitas sel membrane terhadap
racun-racun dalam urine. Hal ini akan menyebabkan kerusakkan sel-sel ginjal. (9).
Tanpa ischemia racun-racun tersebut tidak berakibat banyak. Kekurangan cairan tubuh
dan oliguria menyebabkan konsentrasi racun dalam tubulus meningkat.(9).

IV. TENTANG PENGUKURAN CENTRAL VENNOUS PRESSURE (C.V.P)


Mengukur tekanan vena sentral (C,V.P) mempunyai arti yang penting, karena vena
mempunyai peranan yang cukup besar dalam pengaturan sirkulasi darah sebab sebagian
besar darah (50%) berada dalam system vena dan hanya 15% yang berada dalam system
arteri. (4).
Kateter C.V.P biasanya dipasang secara “blind” lewat vena lengan, vena subclavia atau
vena jugularis. Ujung kateter diharapkan terletak di vena cava atau di atrium kanan.
Untuk menentukan lokasi ujung kateter dapat dilakukan dengan foto Rontgen atau
dengan memperhatikan fluktuasi permukaan air dari manometer. Fluktuasi yang seirama
nafas, berarti ujung kateter berada di vena cava atau atrium kanan, tapi bila seiram
dengan nadi berarti berada di ventrikel kanan. Dalam hal ini kateter perlu ditarik sedikit
demi sedikit hingga fluktuasi seirama nafas. Sebagai titik hal diambil ketiak tengah
(linea axillaris media). Harga C.V.P normal 5 – 10 cmH2o, C.V.P rendah (< 5 cmH2O)
kemungkinan hipovolemia dan C.V.P tinggi (> 10 cmH2O) kemungkinan hipervolemia.
Yang penting adalah hubungan antara CVP dan parameter yang lain, tensi, nadi dan
perfusi organ dan perifer.
Pada umumnya dicari harga CVP terendah dimana didapatkan tensi, nadi dan perifer
yang baik. Menurut Mc. Lean (5), pada penderita yang baru senbuh dari shock
hipovolemik, effective blood volume “ yaitu volume darah dimana didapatkan tensi,
nadi, produksi urine dan perfusi jaringan yang baik, tercapai bila CVP antara 10 – 20
cmH2O.
Harga CVP dipengaruhi oleh (5) :

Untuk TUGASMAS 551


552
- Volume darah pada vena sentral
- Aktifitas venomotor vena sentral
- Distensibilitas dan kontrakbilitas jantung kanan
- Tekanan rongga dada
Kegunaan pengukuran CVP :
- Dapat mengetahui keadaan hidrasi penderita
- Merupakan petunjuk yang jitu apakah cairan yang diberikan sudah cukup dan
dapat memberi tanda dini bila ada overhidrasi
- Untuk menetapkan effective blood volume
- Mengetahui kemampuan jantung kanan
Pada kasus oliguria, pengukuran CVP berguna untuk mengetahui apakah disebabkan
oleh factor pre-renal atau renal dan bila penyebabnya pre-renal dengan memantau CVP
dapat diberikan cairan dengan lebih aman.

V. TENTANG FUROSEMIDE
Furosemide adalah suatu senyawa sintesis derivate dari monosulfamylanthranilic acid.
Merupakan diuretika yang kuat dan kerja cepat dengan cara menghambat penyerapan
natrium pada ascending limb loop dari HENLE, tubulus proximalis dan tubulus distalis
(1.7.8.10.14.17). Karena itu furosemide dapat digunakan pada kasus oliguria dimana
tidak ada masalah post renal dan factor pre-renal sudah diatasi, untuk mematahkan
mekanisme Aldosteron-ADH yang terjadi (1.11.17).
Sekalipun diberikan pada keadaan dimana telah ada penurunan filtrasi glomeruli,
alkalosis dan hipoalbunemia, furosemide tetap merupakan diuretika yang aman efektif
dibandingkan dengan diuretika yang lain (8.14).
Hanya pada keadaan azotemia dosis furosemide perlu ditingkatkan. Pemberian
furosemide pada penderita dengan keadaan hidrasi yang baik tapi tidak didapatkan
respons yang adekwat, harus waspada akan adanya GGA yang imminens.(1)
Furosemide bekerja lebih kuat dibandingkan dengan golongan thiazide. (8). Timbulnya
dieresis cepat. Pada pemberian intravena dieresis dimulai setelah 3 – 5 menit, sedangkan
pada pemberian secara oral, kurang dari 30 menit (14). Lamanya natriuresis relative
pendek, kira-kira 1 – 2 jam pada pemberian intravena dan pemberian oral 4 – 6 jam.
Dosis yang dianjurkan 40 - 80 mg/hari, bila perlu bias ditingkatkan sampai 1800
mg/hari dalam dosis yang terbagi.(14). LUDEN dkk dengan percobaannya dengan
ginjal anjing mendapatkan bahwa furosemide menyebabkan penurunan tahanan
pembuluh darah ginjal sehingga menambah aliran darah ginjal.(1). STONE dan STAHL

Untuk TUGASMAS 552


553
mengatakan bahwa furosemide lebih kuat dibandingkan dengan ethacrynic acid dalam
hal efek terhadap aliran darah ginjal meskipun dalam keadaan hipovolemia.(15).
Pada pemberian furosemide, tidak didapatkan hasil ikutan yang berarti.(7.8). Hasil
ikutan yang pernah dilaporkan antara lain metabolic alkalosis, hipokalemia,
hiponatramia, hipochloremia dan hipeuricemia.(1.7.14). Transient nerve deafness terjadi
pada pemberian furosemide dengan dosis tinggi, tetapi insidens lebih kecil
dibandingkan dengan ethacrynic acid.(16). Karena itu perlu control pendengaran pada
pemberian furosemide dosis tinggi, apalagi bila disertai dengan obat ototoxic.

VI. TINDAKAN PADA KASUS OLIGURIA


Oliguria yang menetap kurang dari 25 cc/jam selama 2 jam merupakan keadaan darurat
yang memerlukan tindakan segera.(11), karena dapat menyebabkan terjadinya GGA.
Bila penyebab dapat segera diatasi, maka gangguan fungsi ginjal akan reversible dan
dapat disembuhkan, namun bila berlarut-larut akan menimbulkan gangguan organic
yang menetap. Tindakan yang perlu dilakukan dalam menghadapi penderita oliguria.
1. Observasi / anamnesa.
Perlu dicari dan diobservasi kemungkinan factor mana yang menyebabkan terjadinya
oliguria, prerenal, renal atau postrenal.
2. Pemeriksaan fisik
Diperiksa keadaan hidrasi penderita apakah hipovolemia, normovolemia atau
hipervolemia. Diukur tensi, nadi dan keadaan perfusinya. Bila perlu dilakukan
pemasangan CVP manometer.
3. Pemasangan CVP manometer
CVP manometer dipaasang bila sulit menentukan status hidrasi penderita atau akan
memberikan cairan dalam jumlah yang banyak. Setelah CVP terpasang dengan benar,
maka akan didapat 3 kemungkinan hasil yaitu CVP rendah, normal atau tinggi.
Bila CVP rendah berikan cairan dulu sampai mencapai harga normal dan diikuti
bagaimanakah respons terhadap pemberian cairan tersebut. Apabila urine bertambah
berarti ada respons yang baik, namun bila tetap oliguria maka perlu dilakukan test
furosemide.
4. Test furosemide
Dilakukan bila telah yakin bahwa factor penyebab post renal disingkirkan, telah
diusahakan perbaikan factor post renal dan harga CVP normal atau tinggi.(16.17).

Untuk TUGASMAS 553


554
Sebagai dosis permulaan diberikan dosis 40 mg intravena (10.16) bila ditunggu 15
menit belum ada respons, dosis ditingkatkan 2 kali dan seterusnya sampai total dosis
1000 mg.(10). Thompson pernah mencapai total dosis 3000 mg dengan hasil yang
memuaskan.(16).
Setelah pemberian furosemide, kemungkinan hasil yang didapat (lihat skema).
a. Produksi urine meningkat dengan disertai peningkatan glomerular filtration rate
(GFR), penurunan dari blood urea nitrogen (BUN) dan penurunan keratin serum.
Pada keadaan ini penderita dibawa kea rah kesembuhan.
b. Produksi urine meningkat tetapi GFR tetap rendah, BUN dan kreatinin serum
tetap meningkat. Pada keadaan seperti ini penderita dirawat sebagai gagal ginjal
akut non oligurik (GGANO-High acute renal failure).
c. Tidak ada respons dengan furosemide dosis tinggi. Dalam hal ini penderita
mengalami gagal ginjal akut oligurik (GGAO = oliguria acute renal failure).
Ada cara test furosemide yang lain yaitu dengan menggunakan dosis permulaan 120 –
160 mg intravena. Bila belum ada respons dosis tidak ditingkatkan, karena juga tidak
ada efeknya. Dosis tersebut diulang tiap 6 – 8 jam.(17).
Jadi test furosemide selain mempunyai arti diagnostic juga mempunyai arti pengobatan.
Setidak-tidaknya membawa kea rah GGANO yang bila dibandingkan dengan GGAO
perawatan lebuh mudah, prognosa lebih baik dan angka kematian lebih
rendah.(10.12.06).
Pada anesthesia dengan pentharane, dapat terjadi penthrane nephropathy yang gejalanya
mirip GGANO.(10.12)
5. Pemeriksaan laboratorium
Bertambahnya produksi urine setelah test furosemide bukan berarti tidak ada gangguan
fungsi ginjal. Karena itu perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium.
Pemeriksaan yang perlu dilakukan antara lain :
a. Berat jenis urine
b. UUN/BUN (perbandingan ureum ditrogen dalam urine dengan ureum nitrogen
dalam darah).
c. Urine creatinin/serum creatinin.
d. Kadar natrium dalam urine
e. Sendimen urine
f. Perbandingan osmolalitas urine dengan plasma
Osmolalitas sebenarnya merupakan pemeriksaan yang paling reliable (16). Hanya saja
di beberapa rumah sakit pemeriksaan ini belum dapat dilakukan. Hasil-hasil

Untuk TUGASMAS 554


555
pemeriksaan laboratorium dapat dipergunakan untuk membuat diagnose banding apakah
oliguria tersebut disebabkan oleh factor pre-renal atau renal.(16).
VII. CONTOH KASUS
Bebarapa contoh kasus yang diambil dari RSUD. Dr. Soetomo akan disajikan
langsung pada waktu symposium.
VIII. PENUTUP
Telah dibicarakan tentang oliguria perioperatif mengenai etiologi, patofisiologi, cara
membuat diagnose dini dan perawatannya.
Ditekankan pemakaian CVP manometer dan furosemide sebagai pembantu untuk
mendapatkan diagnose dini.

TERAPI CAIRAN PADA SHOCK PERDARAHAN


Dr. Eddy Rahardjo
Lab. Anestesiologi FK. Unair / RSUD. Dr. Soetomo- Surabaya

PENDAHULUAN
Pertolongan pertama korban perdarahan adalah menghentikan perdarahan dengan
menekan langsung sumber perdarahannya (jika mungkin) dan mengangkat tungkai
korban ke atas, agar terjadi re-distribusi darah dari tungkai ke sirkulasi untuk jantung
dan otak. Tindakan berikutnya adalah memberikan infus cairan.
Sejauh manakah pelayanan gawat darurat di Indonesia dari segi kecepatan bertindak dan
penyediaan logistic sudah siap menangani.
Dari sisi pandang epidemiologic, angka nasional tahun 1987 tentang kecelakaan lalu
lintas menunjukkan korban mati 10.000 orang, korban luka berat 20.000 orang dan luka
ringan 26.000 orang. Dari data ini minimal ada 50.000 pasien perdarahan karena
kecelakaan lalu lintas yang perlu ditangani. Ditambah dengan kecelakaan kerja, bencana
alam dan pasien pembedahan angka ini mudah mencapai 300.000 per tahun. Bagian
terbesar pasien perdarahan adalah mereka yang berusia produktif, sehingga setiap
kegagalan terapi membawa konsekwensi kehilangan tenaga produktif yang akan
merugikan pembangunan.

PERUBAHAN-PERUBAHAN TUBUH AKIBAT PERDARAHAN


Shock dan kematian pada perdarahan disebabkan kehilangan volume darah dan eritrosit.
Estimated Blood Volume (EBV) jumlahnya 65 – 70 ml.kg BB (1.3.6.10.14.17).

Untuk TUGASMAS 555


556
Kehilangan darah yang mencapai 25%EBV akan menyebabkan pasien jatuh dalam
shock. Korban meninggal jika volume yang hilang > 30% atau eritrosit yang hilang >
60% (6.10).
Transfusi akan serentak mengembalikan volume dan eritrosit. Tetapi sebenarnya fungsi
hemodinamik SUDAH DAPAT kembali normal meskipun TANPA transfuse, jika
“volume” saja dikembalikan dengan cairan [tanpa eritrosit] seperti infus Ringer Laktat
atau Normal Saline, sebanyak 2 – 4x volume yang hilang.
Jika volume sudah normal, Hb yang rendah dapat diatasi tubuh dengan meningkatkan
cardiac output. Meskipun Hb yang rendah menyebabkan “O2 per unit volume” yang
dibawa darah menurun, tetapi karena CO [cardiac output] meningkat, “O2 per unit
time” yang sampai di jaringan TIDAK menurun. Orang normal dapat menaikkan
cardiac output 3 x normal dengan cepat, asalkan volume sirkulasi cukup [norma
volemia] [9.10]. Hipovolemia mematahkan kompensasi cardiac output.
APAKAH SHOCK ITU.
Definisi “Shock” yang sesuai untuk kerja klinikMclean [6] :
Kegagalan perfusi/aliran darah ke organ vital atau kegagalan penggunaan
oksigen
Oleh jaringan vital.
Perfusi darah membawa oksigen ke jaringan. Dan jantung adalah pompa.
Jika cardiac output baik, perfusi akan baik. Jika keadaan ini disertai Tahanan Perifer
yang baik, tekanan darah akan “normal”. Jika CO rendah [jelek], perfusi akan jelek. Jika
pada saat ini Tahanan Perifer tidak meningkat, tekanan darah akan rendah/hipotensi.
Tapi jika Tahanan Perifer meningkat [missal ; pemberian vasopressor] maka tekanan
darah dapat tampak “normal” meski sebenarnya normal semu.
Tekanan darah TIDAK DAPAT menilai cardiac output. Hasil pengamatan terhadap
perfusi lebih dapat dipercaya untuk memperkirakan CO.

Pada shock hipovolemik terjadi hipoksia jaringan. Metabolisme berjalan, anaerobic


dengan sisa asam laktat. Karena perfusi jelek, asam laktat tertimbun dijaringan dan
menyebabkan acidosis dan gangguan fungsi organ. Jika pasien mendapat cairan
elektrolit cukup, darah memang belum cukup membawa O2 [Hb masih rendah] tetapi
karena perfusi baik, asam laktat yang tertimbun dapat dibilas ke hepar dan dimetabolisir
di sana.
Terapi shock hipovolemik pada perdarahan :
 Bukan memberi O2 agar hipoksia jaringan teratasi

Untuk TUGASMAS 556


557
 Bukan member Na-bicarbonat agar acidosis teratasi
 Tetapi memberikan volume agar perfusi segera baik
 Lalu transfuse jika Hb < 8 gm%

DIAGNOSIS SHOCK
I. PERFUSI MENURUN
1. Perfusi perifer
Ujung jari kaki adalah tempat yang terjauh dari jantung dan akan mengalami gangguan
perfusi paling awal jika sirkulasi terganggu. Dahi dan ujung yang mendapat perfusi dari
arteria carotis, akam paling akhir mengalami gangguan perfusi karena letaknya lebih
dekat ke jantung. Jika pada perabaan tempat-tempat tersebut kering, hangat dan tampak
pewarna merah [pink], sirkulasi masih baik.
Pada waktu shock kulit terasa dingin, basah, dan pucat ke-abu2-an. Tanda perfusi
lainnya adalah Capillary Refill Time. Kuku dan telapak tangan bila ditekan akan
menjadi pucat. Jika perfusi baik, begitu dilepas segera menjadi merah lagi. Bandingkan
ini dengan tangan si pemeriksa sendiri sebagai control.
2. Perfusi ginjal
Ginjal normal memproduksi urine >0.5 ml/kg/jam [pada pasien 50 kg = 25 ml/jam].
Ginjal, kulit, otot dan viscera adalah organ kelas 2 yang memakai 80% cardiac output.
Pada waktu shock, secara reflektoris, perfusi organ kelas 2 ini ditutup. Produksi urine
berkurang dan urine menjadi pekat. Bila shock berlangsung lama, mekanisme hormone
ADH dan Aldosterone menyebabkan oliguri yang kadang kadang masih terus
berlangsung meskipun shock sudah diatasi.
Untuk mengatasi oliguri ini dapat diberikan Lasix a mg/kg i.v. diulang kalau perlu
dengan dosis lipat dua tiap 30 menit sampai total.

II. PENGISIAN NADI MELEMAH


Pada shock berat, nadi radialis sukar atau tidak teraba. Dengan mengikuti perubahan
besarnya pengisian dan desakan nadi ini kita dapat menilai hasil terapi yang diberikan.
Selisih systole-distole akan makin melebar jika keadaan membaik.

III. TEKANAN DARAH MENURUN

Untuk TUGASMAS 557


558
Pada shock hipovolemik, tekanan darah turun, seiring jauh di bawah 100 mmHg
sistolik. Sebenarnya tekanan darah bukan indicator shock yang reliable sebab tekanan
sistolik 120 belum tentu baik [jika pasien semula tekanan sistolik normalnya 180] dan
sebaliknya tekanan sistolik 80 belum tentu shock [jika pasien semula tekanan sistolik
normalnya 90]. Namun perlu dicatat bahwa jika menemukan korban dengan tekanan
darah <100 mmHg, DIAGNOSE KERJA adalah SHOCK sampai dapat dibuktikan
bahwa bukan shock.

PILIHAN TERAPI : Transfusi, Kristaloid atau Koloid.


I. TRANSFUSI
Untuk membawa cukup O2 ke jaringan hanya dibutuhkan Hb 8 gm % dan jantung yang
dapat berdenyut 2 x lebih cepat daripada biasa [nadi 120 – 140 per menit] jika volume
sirkulasi dipertahankan normal. Jadi sebenarnya transfuse tidak tepat jika diberikan
sebagai terapi awal pada perdarahan.
Perdarahan adalah kehilangan cairan ECF. Ringer Laktat, NaCl 0.9% dan larutan
Hartman komposisinya mirip ECF jadi dapat dipakai sebagai pengganti darah untuk
sementara. Cara ini disebut HEMODILUSI. Pada dasarnya penggantian itu TIDAK
selalu harus sama dengan yang hilang. Kita dapat memanfaatkan kompensasi tubuh
pasien sampai batas-batas tertentu untuk mencapai kesembuhan [10], yaitu :
- Kapasitas transport oksigen tidak terganggu
- Tekanan oncotic tidak terlalu rendah
Tom Shires, Canizzaro dkk melakukan percobaan pada hewan yang dibuat irreversible
shock menurut cara Wiggers. Angka mortalitas 80% jika dilakukan pengembalian
volume darah saja. Pemberian transfuse hanya saja dapat mengembalikan plasma
colume, tetapi interstitial volume masih deficit [4.5.9.10.13.16.18]. Jika selain
dikembalikan darahnya ditambahkan extra Ringer Laktat, angka kematian ternyata turun
menjadi tinggal 30%. Selain mengembalikan plasma volume, Ringer Laktat juga
mengembalikan interstitial volume [16].

II. KRISTALOID
Cairan Ringer meresap keluar vaskuler ke interstitial 30 – 60 menit sesudah infuse
[plasma half life 20 menit] dan akan membentuk keseimbagan baru antara intravaskuler
[20%] dan interstitial [80%] [5.10.16.18]. Expansi ISF ini tampak sebagai interstitial
edema yang sebenarnya tak berbahaya. Adanya edema disini tidak berarti ada edema di

Untuk TUGASMAS 558


559
paru-paru [5]. Dalam 24 – 48 jam, edema ini akan dikeluarkan sebagai urine. Jika
diperlukan dieresis lebih cepat, berikan Lasix.
Edema di conjunctiva bulbi yang Nampak pada batas cornea, identik dengan “excess”
cairan 2 – 3 liter. Edema paru-paru hanya mudah terjadi jika pasien mengalami
contusion pulmonum.
Apakah penggunaan Ringer Laktat tidak menambah buruk acidosis laktat karena shock.
Jawabnya : [10.13.16]. Laktat diubah hepar menjadi HCO3 yang menetralkan metabolic
acidosis. Pemberian volume memperbaiki sirkulasi dan transportasi O2 ke jaringan 
metabolism aerobic bertambah, asam laktat berkurang. Timbunan asam laktat terbawa
sirkulasi yang membaik ke hepar dan dimetabolisir.

III. KOLOID
Ada 2 macam koloid yakni derivate plasma protein [albumin, plasma protein fraction]
dan sediaan semi-sintetik Plasma Substitute. Derivat plasma protein tidak diuraikan
lebih lanjut karena harganya praktis tidak terjangkau. Seratus ml Albumin 25% yang
memberikan volume IVF 500 ml harganya Rp. 300.000.
Cairan plasma substitute atau plasma expander adalah cairan yang berisi molekul-
molekul dengan berat molekul 35.000 – 500.000 dan memiliki efek mirip albumin
dalam hal mengembalikan volume plasma [IVF]. Karena nilai oncotic nya tinggi, cairan
ini tinggal lama dalam IVF [5.10.13]. Isbister J.P. dan Fisher M.M dalam
Anesth.Intens.Care : 8. 145-151.1980 menyebutkan bahwa dalam waktu 4 – 12 jam,
90% volume Dextran dan H.E.S masih berada intravaskuler. Gelatine hanya menambah
50% volumenya, sisanya merembes ke ISF [5].
Dengan plasma substitute tekanan darah lebih cepat kembali normal. Tetapi ada hal-hal
yang perlu diperhatikan dalam penggunaan Plasma Substitute.
 Plasma substitute/expander tidak tepat diberikan sebagai terapi awal ataupun
terapi tunggal pengganti perdarahan. Sebaiknya diberikan HANYA SETELAH
Ringer Laktat / NaCl 0.9% untuk membantu mempercepat stabilisasi
hemodinamik.
 Lakukan cross match dahulu sebelum Dextran diberikan. Dextran dapat
mengganggu crossmatch golongan darah.
 Dextran dapat mengganggu pembekuan darah pada dosis lebih dari 15 – 20
ml/kg BB atau 1.5 gm dextran/kg BB [1000-1500 ml bagi pasien BB 50kg].
[5.6.7].

Untuk TUGASMAS 559


560
Sebenarnya dengan Ringer saja, perfusi dapat dipertahankan meski tekanan darah agak
rendah disbanding jika diberi Plasma Substitute. Reaksi anafilaktoid dapat terjadi pada
plasma substitute walaupun relative jarang [0.03-0.08%] dan beberapa berakhir fatal
[5.6.8].

PROSEDUR PENANGANAN SHOCK


I. APAKAH PASIEN SHOCK
Lihatlah perfusi, nadi, tekanan darah. TIDAK PERLU cara-cara rumit memakai alat
canggih Cardiac Output Computer, Blood Gas Analyzer dsb.
II. BERAPA BANYAK DARAH TELAH HILANG
Lakukan estimasi. Darah yang telah hilang memang tak dapat diukur, tetapi dapat
diestimasi/perkiraan .
CARA # 1
Estimasi loss % EBV Gejala
10 -15 % Minimal
15 -25 % Preshock, acral mulai dingin
25-35 % Shock, perfusi menurun, T<90, N>120
>35-50 % Shock berat, perfusi sangat buruk,
Tensi tak terukur, N tak teraba dan
Gangguan kesadaran

CARA # 2 TRAUMA STATUS DARI GIESECKE


TANDA TS I TS II TS III
Sesak nafas - ringan ++
Tekanan darah N turun tak terukur
NadI cepat sangat cepat tak teraba
Urine N oliguria anuria
Kesadaran N disorientasi !/coma
Blood loss sampai 10% sampai 30% lebih 50%

III. POLA KERJA

Untuk TUGASMAS 560


561
Penderita datang dengan perdarahan, infus dilambatkan. Biasanya tidak perlu transfuse
jika Hb < 8 gm% / hematokrit < 25%, transfuse diberikan [3.5.6.10.14.15]. Tetapi jika
sedang dilakukan pembedahan untuk penghentian perdarahan, transfuse dapat ditunda
sampai sumber perdarahan terkuasai.
Transfusi perlu segera diberikan, jika tak tersedia golongan darah yang sama, dapat
diberikan Packed Red Cel –o- dengan mengunakan –O-, resiko salah crossmatch tak
mungkinterhenti. Hanya akan terjadi reaksi minor positif yang tidak berbahaya, reaksi
majornya negative [2.4.10]. Jika pasien sudah mendapat anti golongan O > 4 unit
transfuse selanjutnya harus tetap dengan kecuali sudah lewat dari 14 hari [ titer antibody
sudah turun lagi]. Plasma substitute amat berguna pada kasus-kasus tersebut.
Selanjutnya untuk masa pasca bedah/pasca trauma, biasanya kadar Hb diupayakan
mencapai > 8 – 10 mg%.

Contoh kasus :
Seorang pemuda 19 tahun, menderita luka tusuk di daerah lambung. Tekanan darah
palpasi 80, nadi 120, perfusi tangan dingin, kesadaran menurun luka darah banyak
keluar, dipasang infus di tangan kanan dan diberikan Ringer Laktat 3000 cc cepat.
Tekanan darah dapat naik menjadi 110/70, nadi 100. Waktu pembedahan dimulai dan
rongga perut dibuka, darah menyembur banyak, terjadi cardiac arrest diberikan
andrenalin 0.5 mg i.v dan Na Bicarb 40 mEq. Jantung berdenyut kembali. Tekanan
darah 90/60, nadi 120. Tusukan ternyata merobek hepar 3 cm, merobek vena porta dan
melukai duodenum. Selama operasi 3 jam, sirkulasi dipertahankan dengan Ringer
Laktat 3500 ml. Transfusi 2000 ml baru dapat diberikan menjelang operasi selesai.
Pasien sembuh sempurna. Perdarahan yang berjumlah 5000 ml hanya diganti transfuse
2000 ml. Sisa deficit sebesar 3000 ml diganti sementara dengan “excess” Ringer Laktat
6500 ml.

PENYULIT
Jangan menunda hemodilusi karena takut penyulit.
Lazimnya selama Hb > 8, penyulit berikut ini jarang terjadi.
1. Edema paru-paru
Bagi pasien trauma thorax dan contusion pulmonum, teknik hemodilusi sebaiknya
dihindari. Tetapi dalam keadaan mendesak dimna pilihan adalah mati atau edema paru-
paru, resiko edema paru-paru ini harus diambil sewaktu transfuse, kelebihan cairan

Untuk TUGASMAS 561


562
dikeluarkan dengan lasix. Biasanya sesak nafas berkurang setelah urine keluar 1000 –
2000 ml. Kadang – kadang diperlukan digitalis atau duromin drip 5 – 10 meg/kg/menit.
Memberikan albumin bukan terapi yang baik. Pemberian yang terlalu cepat
menyebabkan circulatory overload karena 100 ml albumin 25% menarik 400 ml cairan
interstitial masul IVF. Sesak nafas menjadi lebih parah.
Shires, Nyhus dan Virgillio, menunjukkan bahwa resiko edema paru-paru pasca
hemodilusi tidaklah berlebihan [13.06.08].
Virgillio menyelidiki 29 pasien operasi aortic graft dengan perdarahan rata-rata 3300
ml. Pada kelompok I diberikan Ringer rata-rata 11.3 liter dan pada kelompok II
diberikan albumin 5% dalam Ringer Laktat rata-rata 6.2 liter. Volume diberikan
sedemikian agar cardiac output, pulmonary wadge pressure dan produksi urine tetap
normal seperti pre-op.

Before op After op
Kadar Albumin Ringer’s 3.5 + 0.1 2.5 + 0.1
Colloid 3.8 + 0.1 4.7 + 0.1
Colloid oncotic Ringer’s 21 + 0.4 13 + 1.0
Press Colloid 21 + 1.0 20 + 1.0

Akibat pengenceran darah, terjadi hypoalbuminemia yang diikuti turunnya tekanan


onkotik plasma. Tetapi toh edema paru-paru tak terjadi. Giescke membagi batasan kadar
albumin terendah yang masih aman adalah 2.5 gm% [10]
2. GANGGUAN HEMOSTASIS
Dapat terjadi bila diberikan cairan atau transfuse sampai jumlah 1.5x EBV atau > 10
unit darah donor [ 2.5.7.12.15]. Penyebab gangguan ini BUKAN penurunan factor
koagulasi tapi trombositopenia [2.7.12]. Untuk hemostasis yang baik diperlukan
trombosit 100.000. Jika kadarnya, < 50.000/mm3, kemungkinan terjadinya pedarahan
spontan adalah 100%. Jika jumlahnya 50 – 75.000 / mm3 kemungkinannya 25.4%
[7.12].
Terapi : fresh blood atau rich plasma [7]. Pemakaian fresh frozen plasma tak berguna
karena tak mengandung trombocyt sedang kebutuhan factor V dan VIII agar hemostatis
baik sebenarnya hanya sedikit [ cukup dengan kadar 5 – 30% norma ] [ 2.7.12].

Untuk TUGASMAS 562


563

PERUBAHAN PATOFISIOLOGIS AKIBAT PERDARAHAN


DR.Dr. Eddy Rahardjo
Lab. Anestesiologi FK Unair
Inst. Anestesi & Reanimasi RSUD Dr. Soetomo
Surabaya

PENDAHULUAN
Lima puluh persen kematian, korban trauma berat terjadi pada saat kejadian
karena kerusakan pada otak, jantung atau pembuluh darah besar. Tiga puluh persen
kematian yang lain terjadi dalam waktu 1 – 4 jam berikutnya karena perdarahan [Lewis,
1991; Parr. 1993]. Pada trauma berat, kehilangan darah dapat mencapai 150 ml/menit.
Dalam waktu 10 menit akan hilang 1500 ml atau 50% volume darah yang dimiliki
korban. Jam pertama pasca trauma yang disebut “the golden hour” (Stene, 1991). Dalam
periode ini “ time saving is life saving”. Pertolongan harus cepat diberikan, yakni

Untuk TUGASMAS 563


564
menghentikan sumber perdarahan dan mengganti kehilangan darah dengan infuse.
Prognosis pasien ditentukan oleh kecepatan mengenai syock hipovolemik akibat
kehilangan volume darah. Makin berat makin lama shock, makin tinggi hutang oksigen,
maka makin tinggi angka kematiannnya. Anoksia/hipoksia akibat shock menyebabkan
kematian sel-sel jaringan. Jika sel-sel yang mati menyebabkan angka kritis [critical
mass of cell], maka akan terjadi gagal organ dan kematian. Perdarahan menyebabkan
dua perubahan yang serentak yaitu :
a. Kehilangan volume intravaskuler sehingga aliran (perfusi) darah dan jumlah
oksigen jaringan menurun.
b. Kehilangan eritrosit dan hemoglobin sehingga kapasitas transport oksigen per
unit volume darah menurun.
Mekanisme kerusakan organ dan kematian pasca trauma disebabkan oleh :
a. Kerusakan jaringan primer oleh trauma
b. Keruakan jaringan sekunder oleh hipoksia
c. Perdarahan yang menyebabkan shock
Respons tubuh terhadap trauma dipicu oleh perdarahan, nyeri dan pelepasan berbagai
mediator dari sel-sel yang rusak. Pelepasan mediator dari sel-sel yang rusak dan mati
tidak dapat dicegah atau dinetralisir. Keberhasilan terapi sangat tergantung pemberian
cairan untuk mengatasi hipovolemia.

CAIRAN TUBUH
Seorang dengan berat badan (BB) 50 kg memiliki cairan tubuh 30 liter (60% B)
Jumlah ini disebut Total Body Water yang terbagi :
a. Intra Cellular Volume (ICV), didalam sel-sel, 40% BB
b. Extra Cellular Volume (ECV), diluar sel-sel, 20%BB
ECV terbagi menjadi plasma volume (PV 20%) dan sisanya adalah Inter Stitial Volume
(ISV) [Ganong 1989, Cogan 1991, Zaloga 1992].
Ion-ion utama dalam ECV adalah Natrium 135-150 mEq/L dan Kalium 4-5mEq/L,
sedangkan di dalam ICV adalah Natrium 14 mEq/L dan Kalium 157 mEq/L.
Keseimbangan di antara ICV – ISV –PV mengikuti hokum tekanan hidrostatik, tekanan
onkotik dan tekanan osmotic [Hukum Starling]. Albumin adalah koloid terpenting yang
mengatur keseimbangan onkotik. Albumin berada di dalam PV [4 g/dl] dan ISV [1
g/dl].

TRANSPOR OKSIGEN

Untuk TUGASMAS 564


565
Mekanisme ini terdiri dari 3 tahapan :
a. System pernafasan yang membawa O2 udara sampai alveoli, kemudian difusi
masuk ke dalam darah.
b. System sirkulasi yang membawa darah berisi O2 ke jaringan.
c. System O2 – Hb dalam eritrosit dan transport ke jaringan
Gangguan oksigenasi menyebabkan berkurangnya oksigen di dalam darah (hipoksemia)
yang selanjutnya akan menyebabkan berkurangnya oksigen di dalam jaringan
(hipoksia).
Atas penyebabnya, dibedakan 4 jenis hipoksia :
a. Hipoksia-hipoksik : gangguan ventilasi-difusi
b. Hipoksia-stagnan : gangguan perfusi/sirkulasi
c. Hipoksia-anemik : anemia\
d. Hipoksia-histotoksik : gangguan utilisasi oksigen di dalam sel ( racun HCN,
sepsis)
Pada perdarahan dan syock terjadi gabungan hipoksia stagnan dan anemic.
Kandungan oksigen dalam darah arterial [CaO2] menurut rumus Nunn-Freeman
(MacLean, 1971; Lentner 1984; Buran 1987) adalah :

CaO2 = (Hb x Saturasi O2 x 1.34) + (pO2 x 0.003)

Hb = kadar hemoglobin darah (g/dl)


Saturasi O2 = saturasi oksigen dalam hemoglobin (%)
1.34 = koefisien tetap (angka huffner). Beberapa penulis menyebut 1.36 atau 1.39
pO2 = tekanan parsiel oksigen dalam plasma, mmHg
Dengan harga normal, maka rumus akan menjadi :
= (15x100%x1.34) + (100x0.003) = (20.1) + (0.3) = 20.4 ml/100 ml darah arterial

SISTEM SIRKULASI DARAH


Cardiac output (CO) atau curah jantung adalah volume aliran darah yang
membawa oksigen ke jaringan.

Cardiac Output = SV x f

SV : Stroke Volume, isi secukup


F : Frekwensi denyut jantung

Untuk TUGASMAS 565


566
SV tergantung jumlah darah yang kembali (Venous Return)

Available O2 = CO x CaO2

Available O2 : oksigen tersedia (untuk jaringan)


CaO2 : kandungan oksigen darah arterial

Dalam keadaan normal, Hb 15g/dl, SaO2 100% dan CO 5L/menit. Oksigen


tersedia = 50x15x1x1.34 =1005 ml/menit. Dari jumlah ini hanya kurang lebih 250 ml
yang diekstrasi oleh jaringan untuk metabolism aerobic (Ganong, 1989 ; Sibbald, 1984;
Weil, 1986). Unsur-unsur untuk kompensasi adalah kadar Hb dan curah jantung.
Kompensasi Hb sangat lamban dan tidak dapat mengatasi krisis akut. Curah jantung
dapat naik 300% jika volume sirkulasi tidak hipovolemia (venous return normal).
Perdarahan akut menyebabkan CO turun karena venous return turun. Kompensasi CO
baru optimal, jika Venous Return sudah normal. Tubuh berusaha menormalkan venous
return dengan transcapillary refill (Ganong, 1989; Gieseckle, 1993). Proses refill inim
lambat. Pada pasien shock, refill harus dipercepat dengan bantuan cairan infuse.
Setelah keadaan normovolemia tercapai kembali, kadar Hb menjadi lebih rendah. Tetapi
karena venous return normal, CO dapat naik. Misalkan Hb 5 g/dl, SaO2 100% dan CO
naik menjadi 15 L/menit, maka oksigen tersedia = 150x5x1x1.34 = 1005 ml/menit.
Oksigenisasi jaringan menjadi normal kembali. Hemoglobin dalam eritrosit mendapat
oksigen dari difusi yang terjadi di kapiler paru. Dinamika oksigen dalam eritrosit
mengikuti kurva disosiasi oksigen-hemoglobin (Lentner, 1984; Odorico, 1993). Kurva
ini dapat bergeser ke kiri dan kanan (shift). Jika bergeser ke kanan, oksigen lebih mudah
lepas ke sel-sel di jaringan.
Faktor-faktor yang mengeser kurva ke kanan adalah :
a. Asidosis, yang sering mengikuti keadaan shock
b. Demam
c. pCO2 yang meningkat di atas nilai normal
d. anemia [peningkatan enzim 2.3- DPG]
Pergeseran kurva ke kanan sangat penting sebagai kompensasi dalam kondisi anemia
dan asidosis.
Dulu diyakini bahwa kadar Hb harus lebih tinggi dari 9 sampai 10 g/dl agar tersedia
cukup oksigen untuk memenuhi kebutuhan organ vital (otak, jantung) dalam keadaan
stress. Sekarang sudah dibuktikan, bahwa Hb 3 sampai 6 gl/dl masih dapat mencukupi

Untuk TUGASMAS 566


567
kebutuhan oksigen jaringan (Odorico, 1993; Rotondo, 1993). Dari percobaan terhadap
hewan dan pengalaman klinik dengan pasien penganut Sekte Saksi Jehova, diketahui
bahwa Hb 2-3 g/dl atau Hct 6-8% masih mampu menunjang kehidupan. Batas “anemia
aman” bagi pasien yang memiliki jantung normal adalah hematokrit 20. Pasien yang
menderita penyakit jantung koroner memerlukan batas 30%.

PERDARAHAN DENGAN SHOCK


Syok adalah sindroma yang ditandai dengan keadaan umum yang lemah, pucat,
kulit yang dingin dan basah, denyut nadi meningkat, vena perifer tak tampak, tekanan
darah menurun, produksi urine menurun dan kesadaran menurun. Tekanan darah sistolik
lazimnya kurang dari 90 mmHg atau menurun lebih dari 50 mmHg dibawah tekanan
darah semula. Masalah utama adalah penurunan perfusi (aliran darah) yang efektif dan
gangguan penyampaian oksigen ke jaringan. Keadaan syok menandakan bahwa
mekanisme hemodinamik dan transport oksigen lumpuh (MacLean, 1971; Ganong,
1989; Stene, 1991). Guyton menekankan masalah syok pada penurunan curah jantung
sebagai penyebab aliran darah (perfusi) yang tidak memadai, sehingga jaringan menjadi
rusak karena tidak mendapat oksigen yang cukup untuk metabolism aerobic. Jika sel-sel
melakukan metabolism anaerobic maka akan dihasilkan asam laktat yang merugikan.
Percobaan hewan oleh Crowell dan Smith menunjukkan bahwa bila Cummulative
oxygen deficit meningkat dari 100 menjadi 150 ml/kg, maka mortalitas meningkat
menjadi 100%. Mortalitas meningkat seiring dengan naiknya kadar asam laktat arterial.
Hal serupa juga disampaikan pada korban trauma/perdarahan [MacLean, 1971; Kruse,
1987; Buran, 1987]. Apabila oksigen di dalam sel sudah menurun di bawah titik kritis,
maka kerja mitokondria dan pembentukkan senyawa fosfat energy tinggi (ATP) akan
menurun.Membran sel menjadi lebih permeable. Karena pompa Natrium tidak bekerja,
Natrium masuk ke dalam sel diikuti air sehingga sel mengalami edema. Shires
menemukan pergeseran patologis ISV ke ICV jika perdarahan > 30% EBV atau terjadi
syok. Asidosis di dalam sel kemudian menyebabkan lisis lisosom yang melepas
hidrolase. Hidrolase menyebabkan oto-digesti sel itu sendiri.
“Cedera Iskemia” menyebabkan terlepasnya berbagai zat antara lain enzim lysosome,
histamine,serotonim, kallikrenz, prostaglandin dan “Oxygen Free-Radicals”.
Suasana di jaringan menjadi semakin asam (asidosis) karena asam laktat, asam piruvat,
berbagai asam lemak, keton dan asam amino lain(Stene, 1991).
Menurut Weil, MacLean dan Guyton, gangguan perfusi organ vital selama syok
menjadi pencetus reaksi berantai. Syok hipovolemik yang berlangsung lama akan

Untuk TUGASMAS 567


568
menganggu oksigenasi miokard sehingga menyebabkan syok kardiogenik sekunder.
Pada tahap lanjut, terjadi gagal fungsi ginjal, paru, otak dan jantung. Angka kematian
meningkat seiring dengan jumlah organ yang mengalami gagal fungsi. Kematian pada
gagal 2 organ adalah > 60%, pada 3 organ mencapai > 90%.
Terapi vasopresor untuk syok pada masa yang lalu menyebabkan vasokonstriksi
lebih kerja jantung lebih berat dan perfusi organ menjadi lebih buruk. Dalam konsep
yang baru, diberikan adalah penggantian volume secepat mungkin agar syok tidak
berlanjut. Resustasi cairan akan mengembalikan perfusi dan oksigen jaringan ke tahap
normal. Dalam beberapa keadaan, aliran darah yang kembali normal diikuti penyulit
“ischemia reperfusion injury”. Hal ini disebabkan karena terkumpulnya radiasi bebas
oksigen di jaringan selama iskemia. Kerusakan akibat radikal bebas ini makin berat
iskemia berlangsung lama. Penanggulangan hipovolemia dan syok dilakukan dengan
memperkirakan jumlah darah yang hilang dan memperhatikan derajat berat syok,
berpedoman sebagai berikut :
Klasifikasi dari Stene-Gieseck (1991) dan ACS (1993).

TERAPI PERDARAHAN
Infusi Ringer laktat mempercepat koreksi hipovolemia.
Holcroft (1991) menganjurkan pemberian RL 2000 ml secepat mungkin. Jika
hemodinamik masih belum baik, ditambahkan 1000 ml lagi dalam waktu 10 menit.
Dengan demikian masa hipovolemia, vasokonstriksi, penurunan perfusi organ dan
hipoksia jaringan dapat dipersingkat. Penelitian Shires dan Canizaro menunjukkan
bahwa angka kematian karena syok hipovolemik perdarahan pada kelompok yang diberi
Ringer laktat disamping transfuse adalah lebih rendah disbanding jika hanya diberi
transfuse. Karena sebagian dari RL meresap keluar pembuluh darah maka menurut
hukum Straling, ekspansi PV akan menyebabkan ekspansi ISV pula sampai tercapai
keseimbangan baru antara PV (20%) dan ISP (80%). Jumlah RL yang diperlukan adalah
2-4 kali volume darah yang hilang. Pada titik imbang baru “ekspansi” ISV dapat
menimbulkan edema. Apakah edema ini berbahaya ? Di dalam jaringan interstitial
terdapat glycosaminoglycans dan proteoglycans yang bersifat menyerap cairan. Apabila
ISV meningkat, kadar kedua glycans ini menurun, maka cairan ini akan lebih cepat
menuju drainase infuse. Di dalam vaskuler basement membrane juga terdapat proteo-
glycans yang membantu mempertahankan vascular-permeability. Jika basement-
membrane tetap utuh, cairan koloid akan tetap tinggal dalam PV. Tetapi permeabilitas
dapat meningkat akibat injury, infeksi dan hipoperfusi jaringan yang berlangsung lama.

Untuk TUGASMAS 568


569
Kebocoran kapiler ini mengakibatkan albumin ini ikut kelaur ke ISV sehingga
menambah “penarikan air” ke ISV. Dalam keadaan begini, RL harus
dihentikan[Hilman, 1986; Lucas, 1991]. Virgilio (1979) dan Lucas (1991) menegaskan
bahwa jika pasien tidak syok berat atau syok berlarut, maka tidak akan terjadi edema
yang berbahaya selama tekanan hidrostatik tidak naik. Kadar albumin terendah yang
masih aman dari resiko edema adalah 2.5 g/dl atau tekanan onkotik serendah 25% nilai
normal (Giessecke, 17-976; Rackow, 1984; Sinclair, 1991). Kebocoran yang terjadi di
paru mengakibatkan edema paru dan hipoksia yang berbahaya. Mekanisme ini yang
mendasari penyulit “Shock Lung atau Da Nang Lung”.
Ringer Laktat tidak memperberat asidosis laktat. Volume yang diberikan akan
memperbaiki sirkulasi dan transport oksigen ke jaringan, sehingga metabolism aerobic
bertambah dan produksi asam laktat berkurang. Sirkulasi yang membaik akan
membawa timbunan asam laktat ke hati di mana asam laktat melalui siklus Krebb
dirubah menjadi HCO3 yang menetralkan asidosis metabolic (Giescvke, 1976; Stene,
1991).
Cairan koloid memiliki tekanan onkontik mirip plasma dan tinggal dalam
pembuluh darah lebih lama. Defisit PV dan tekanan darah akan kembali normal lebih
cepat (Carey, 1965; Dawidson, 1982; Hillman, 1986; Davies, 1988). Ada 2 macam
caiaran koloid yaitu derifat plasma protein (albumin, plasma protein fraction) dan bahan
sintetik yakni Plasma Substitute (dulu disebut plasma expander0. Albumin adalah cairan
yang paling fisiologis, tetapi harganya sangat mahal. Banyak peneliti menyatakan
bahwa larutan albumin isotonis tidak memberikan hasil yang lebih baik disbanding
dengan RL atau plasma substitute (Virgillio, 1979; Moss, 1986).
Pemilihan plasma substitute, apakah Dextran (berat molekul 40.000-70.000), gelatin
(35.000) atau Hydroxy-ethyl-stach/HES (450.000) didasarkan atas pertimbangan berapa
zat ini akan tinggal di PV dan berapa banyak yang merembes ke ISV (Isbister, 1980).
Larutan Dextran-60 6% bertahan seluruh volumenya (100%) di dalam PV selama 4 jam
(Halmagyi, 1986). Larutan Dextran-70 dapat bertahan sampai 12 jam (Stoelting, 1987)
Cairan koloid yang mampu tinggal lebih lama dan lebih banyak di dalam PV akan dapat
mempertahankan hemodinamik yang lebih baik. Dextrans dosis yang berlebih dapat
menyebabkan gangguan koagulasi antara lain karena pengenceran factor-faktor
koagulasi. Efektiv anti-trombotic melalui mekanisme penurunan ringan aktifitas plasma
ristocetin cofactor davon tidak menyebabkan perdarahan (patologis) jika tidak
bersamaan dengan pemberian heparin (Calcagni, 1993).

Untuk TUGASMAS 569


570
Untuk menghindarti gangguan koagulasi itu dosis larutan 6% dibatasi sampai 20 ml/kg.
Dosis ini setara 1.2 gram dekstran per kilo atau 60 gram untuk berat badan 50 kg. Dua
puluh lima gram dekstran akan menahan 500 ml cairan dalam PV.
Penggunaan NaCl hipertonis dengan kadar 7.5% dalam volume kecil untuk
mengganti perdarahan mulai banyak diteliti.
Kadar Natriium cairan infus yang lebih tinggi dari pada kadar di dalam plasma
menyebabkan selisih tekanan osmotic (osmotic gradient) yang besar . Kadar Natrium
infus menentukan selisih tekanan osmotic dan jumlah air yang diserap masuk ke PV
dari ISV dan ICV. Air ini berasal dari sel-sel endothelial lining pembuluh darah dan
eritrosit.
Dalam proses ini 100 ml NaCl 7.5% dapat menarik cairan 800-900 ml. Larutan NaCl
7.5% Dextran memiliki volume-expanding-effect sampai 12 kali volume yang
diinfusikan. Masa paruh cairan ini adalah 6-9 jam . Tambahan dekstran bertujuan agar
air yang masuk bertahan lebih lama di dalam PV.
Syarat untuk penggunaan NaCl-hipertonis adalah pasien yang masih memiliki ISV
normal sebelum terjadinya perdarahan.
Hasil-hasil baik diperoleh Holcroft (1987) pada korban trauma, Boldt (1991) pada
pasien bedah jantung. Mattox (1991) dalam USA Multi Centre Trial mendapatkan
perbaikan hemodinamik dan survival pasien-pasien korban trauma.
Waktu untuk infuse 100-250 ml ini hanya 5-10 menit. Reaksi tubuh sangat cepat, dalam
waktu 5-10 menit sirkulasi sudah membaik. Karena tekanan darah dan perfusi cepat
menjadi normal kembali, derajat syok menjadi lebih ringan atau periode syok menjadi
lebih pendek. Jika volume plasma sudah stabil, pasien dapat dirujuk (trans-portable),
prosedur anestesi dan pembedahan dapat dimulai.
Cairan NaCl hipertonis tidak menyebabkan ekspansi ISV. Bagi pasien trauma kepala /
edema otak, NaCl hipertonis sangat berguna karena tidak menyebabkan peningkatan
tekanan intra cranial atau peningkatan kandungan air di otak..

PROSPEK APLIKASI TEHNIK HEMODILUSI


Jika kita menghadapi pasien perdarahan trauma, apakah teknik ini dapat digunakan
(secara umum) sebagai terapi standar ? Anggapan bahwa populasi Indonesia cenderung
menderita anemia dan hipoalbumine tidak tepat. Hasil survey di beberapa rumah sakit

Untuk TUGASMAS 570


571
pada pasien yang menjalani pembedahan dan dalam usia potensial mengalami trauma /
perdarahan menemukan data Hb dan Albumin saja.
Data Hb dan Albumin (umur > 12 tahun )
RS Dr. SOETOMO RS. DARMO RSU. AMBON
HEMOGLOBIN N = 131 N = 293 N = 70
Median 11.6 14.1 12.7
75% ile 12.9 15.2 14.7
Median – laki 12.8 14.7
Median - prp 11.7 13.0
ALBUMIN N = 136 N = 70
Median 4.36 3.80
75 % ile 4.76 4.30
Median – laki 4.56 4.00
Median - prp 4.33 3.80

Untuk TUGASMAS 571


572

RESUSITASI CAIRAN PADA PERDARAHAN KARENA TRAUMA


Dr. Rita A. Sutjahjo, DSAn
Laboratorium Anestesiologi FK Unair
Instalasi Anestesi dan Reaminasi RSUD Dr. Soetomo

PENDAHULUAN
Data dari Commite on Trauma College of Surgetion 1991 mengungkapkan bahwa
kematian korban trauma berdistribusi menurut waktu dengan 3 puncak. Lima puluh %
kematian terjadi pada menit-menit pertama setelah trauma, yang terjadi pada penderita
dengan trauma berat pada otak, tulang belakang, jantung dan pembuluh darah besar.
Hanya sedikit yang diselamatkan walaupun resusitasi sudah dilakukan dengan sebaik-
baiknya.
Puncak kedua adalah kematian adalah kematian dalam waktu beberapa jam setelah
trauma. Hal ini umumnya sebaghian besar oleh perdarahan massif.[Parr 1989].
Berdasarkan atas distribusi tersebut, kiranya target perbaikan sistim dan cara
pertolongan pertama pada penderita gawat darurat (PPGD) adalah menyelamatkan
penderita-penderita yang termasuk kelompok kedua.
Dari data Dit Lan Tas POLRI mengenai kecelakaan lalu lintas di Indonesia pada tahun
1994 diketahui jumlah korban 34.407, meninggal di tempat sekitar 30% sedang 30%
korban termasuk dalam kelompok luka berat (Sumarsono 1996). Dapat dikatakan bahwa
terdapat sekitar 11.000 korban yang sebenarnya potensial menjadi target tindakan
resusitasi yang cepat dan tepat.
Perdarahan adalah masalah yang hamper selalu terdapat pada penderita trauma, serta
merupakan penyebab terbesar syok pada trauma.
Kehilangan darah lebih dari 50% akan menyebabkan gangguan perfusi dan oksigenasi
yang melampui batas oksigen debt yang dapat ditolerir sel. Jika jumlah sel rusak
melampui critical mass of cells akan terjadi cardiac arrest (Parr 1989). Prognosis sangat
tergantung dari pertolongan pada jam pertama yang disebut golden hour untuk
mencegah terjadinya kerusakan sel yang menetap (Stone JK 1991). Pertolongan yang
primer adalah segera mengisi kehilangan volume dengan memberikan cairan. Tetapi
komponen yang berperan dalam penyediaan dan pengangkutan oksigen harus dikelolah
yaitu dengan cara memperbaiki ventilasi dan memberikan oksigen.

Untuk TUGASMAS 572


573
Selain tindakan tersebut di atas, dilakukan juga usaha mengkontrol perdarahan dengan
bebat tekan atau pemakaian pneumatic antishock trousers untuk perdarahan daerah
pelvis dan ekstremitas bawah. Bila diperlukan segera diteruskan dengan terapi
definitive/pembedahan.

PENYEBAB SYOK PADA TRAUMA


Semua penyebab syok dapat terjadi pada penderita trauma, walaupun perdarahan
merupakan penyebab yang paling sering.
Pada pemeriksaan pertama bila didapatkan penderita dengan perfusi perifer dingin dan
takhikardi harus dianggap dalam keadaan syok, sampai dapat dibuktikan bahwa
penderita tidak dalam syok. Yang terpenting adalah membedakan 2 kemungkinan
penyebab yaitu syok karena perdarahan dan syok bukan karena perdarahan.
Syok bukan karena perdarahan yaitu syok kardiogenik (kontusi miokard, tamponade
jantung, emboli udara), syok akibat tension pneumothorax dan syok neurogenik (spinal
cord injury).
Resusitasi cairan dimulai pada saat ditemukan tanda dini atau kecurigaan adanya
kehilangan darah. Menunggu tanda-tanda perubahan fisiologis untuk menentukan
klasifikasi merupakan tindakan yang berbahaya; sebagai contoh tekanan darah dan
dapat tetap normal sampai perdarahan mencapai 30% volume darah penderita (BV).

MENGAPA CAIRAN PENGGANTI ?


Tergantung dari jumlah perdarahan dan kecepatan hilangnya darah, trauma dapat
menyebabkan terjadinya syok hipovolemik yang berbahaya. Terjadinya lingkaran sebab
akibat yaitu hilangnya darah menyebabkan perfusi kurang, hipoksia, metabolism
anerob, asidosis sehingga terjadi gangguan fungsi organ termasuk kontraktilitas otot
jantung. Kontraktilitas jantung yang menurun menyebabkan curah jantung lebih
menurun lagi sehingga memperburuk perfusi perifer dan memperberat asidosis. Oleh
karena itu diperlukan penggantian volume secepat mungkin untuk menghindari
kerusakan akibat ischemia-reperfusion yang akan mengaktifkan rangkaian system
mediator (free oxygen, cytokines, arrachidonic acid) dan menyebabkan terjadinya gagal
organ ganda (multiple organ failure) (Peitzman 1993).
Pemakaian cairan ( bukan darah ) sebagai pengganti perdarahan akut mempunyai
beberapa keuntungan :
1. mudah di dapat dan murah
2. sangat jarang menyebabkan reaksi alergi

Untuk TUGASMAS 573


574
Sebaliknya pemberian darah untuk mengganti perdarahan akut mempunyai beberapa
konsekwensi antara lain :
1. tidak selalu tersedia
2. memerlukan waktu untuk reaksi silang
3. dapat menyebabkan reaksi karena inkompabilitas, allergi
4. dapat menularkan penyakit
Konsep hemodilusi dengan pemberian cairan memungkinkan pengenceran darah dalam
batas aman sampai hematokrit minimal 25% dan albumin minimal 2.5 g/dl, kecuali pada
penderita dengan keterbatasan dalam kemampuan jantung dan pernafasan sebelumnya.

PEMILIHAN CAIRAN
Pemilihan cairan yang terbaik untuk resusitasi masih selalu meruipakan kontroversi
antara kristaloid atau koloid. Namun demikian penggunaan cairan kristaloid sebagai
langkah pertama dalam resusitasi telah menjadi pedoman umum (Safar 1988, Calcagni
1989, ATLS Manual 1993).
Terdapat beberapa pilihan yaitu :
 cairan elektrolit [isotonic] / kristaloid
 cairan koloid
- alami : plasma
albumin
- sintesis : gelatin
starch
dextran
 cairan hipertonik + dextran (HSD NaCl 7.5% + 6% Dextran 70)

CAIRAN KRISTALOID
Bila perdarahan tidak melebihi 30% volume darah, cairan kristaloid Ringer Laktat atau
NaCl 0.9% saja cukup untuk mempertahankan volume itravaskuler dan homeostasis.
Hal ini disebabkan karena susunan elektrolit mendekati susunan cairan ekstravaskuler
cairan kristaloid akan menetap di ruang ekstraseluler [extra celluler fluid] yaitu
intravaskuler [intravaskuler fluid] dan interstitial [interstitial fluid]. Ringer Laktat
merupakan pilihan pertama sebagai cairan pengganti. Dibandingkan dengan NaCl 0.9%,
Ringer Laktat lebih mendekati sususnan cairan fisiologis tubuh dan mempunyai pH
yang lebih tinggi dari NaCl 0.9%.

Untuk TUGASMAS 574


575
NaCl 0.9% dapat menyebabkan hyperchoremic asidosis terutama apabila telah
didapatkan gangguan fungsi ginjal sebelumnya.
Jumlah cairan yang diberikan minimal 2 – 4 x jumlah perdarahan yang diperkirakan
karena keseimbangan yangb terjadi antara ruang intravaskuler dan interstitial (Safar
1988, Falk 1989). Kurang lebih ¾ bagian dari cairan pengganti akan menempati ruang
interstitial karena volumenya 3 kali lebih besar daripada ruang intravaskuler.
Setelah berlangsung kurang lebih dari satu jam, hanya 25% cairan yang nasih berada di
ruang intravaskuler (Falk 1989).
Menurut Shires dan kawan-kawan, pada syok hemorganik terjadinya perpindahan ini
justru bermanfaat karena akan mengembalikan volume cairan interstitial yang ditarik ke
ruang intravaskuler pada saat kehilangan darah.

CAIRAN KOLOID
Cairan koloid adalah cairan yang mempunyai tekanan onkontik hamper sama dengan
tekanan onkontik plasma. Hal ini menyebabkan koloid lebih lama bertahan di ruang
intravaskuler. Sebagai perbandingan dalam waktu 1 jam setelah pemberian hanya tersisa
kurang lebih 25% kristaloid dalam intravakuler, sedangkan koloid masih bertahan
hamper seluruhnya.(Falk 1989). Menambahkan cairan koloid umumnya
dipertimbangkan bila perdarahan lebih dari 20% volume darah. Pemberian kristaloid
lebih lanjut dapat menyebabkan udem jaringan, sehingga diberikan koloid dengan
perbandingan 1 : 1 [Safar 1989, Falk 1989]. Namun demikian bila hemodinamik tetap
buruk harus diberikan darah atau Paced Red Cells.
Resusitasi cairan yang menyebabkan penurunan kadar serum albumin sampai dengan
2.5 g/dl dan penurunan sampai dengan 2/3 tekanan osmotic normal cenderung
menyebabkan edema jaringan. Edema paru terutama terjadi pada penderita politrauma
dan kontusio paru. Tetapi beberapa peneliti menyebutkan resiko edema paru sama besar
pada kedua jenis cairan. Adanya edema pada kulit dan otot tidak harus disertai edema
paru. Edema jaringan [kulit, otot, saluran pernafasan] dapat mengurangi konsumsi
oksigen sel dan mempengaruhi penyembuhan luka [Hilmann 1989].
Ekstravasasi cairan pada penderita trauma lebih mudah terjadi oleh karena kerusakan
jaringan dan sel menyebabkan dikeluarkannya berbagai mediator biokimia yang
meningkatkan permiabilitas kapiler.

ALBUMIN

Untuk TUGASMAS 575


576
Cairan koloid yang ideal adalah albumin. Dalam plasma albumin memberikan 80% dari
tekanan onkotik plasma. Dalam paket pemasaran terdapat konsentrasi 5% dan 25%,
yang umum dipakai dalam resusitasi adalah albumin 5% iso onkotik. Cairan ini
mengandung elektrolit dan protein seperti plasma dengan waktu paruh 5 – 10 hari lebih
panjang dari cairan koloid sintesis.
Produk darah ini sangat mahal karena dibuat dari kumpulan plasma donor.
Proses pembuatannya dilakukan dengan menghilangkan kemungkinan penularan
penyakit, tetapi masih mungkin terjadi reaksi alergi pada 0.5% kasus (Falk 1989).
Alternatif lain adalah pemakaian koloid sintetis.

KOLOID SINTETIS
Koloid sintetis dibuat dari bahan dasar gelatin, starch dan dextran.
Syarat koloid yang ideal adalah :
 waktu paruh cukup panjang
 tidak menyebabkan reaksi pirogen atau alergi
 metabolisme dan eliminasinya tidak menganggu fungsi organ
 tidak menyebabkan hemolisis dan aglutinasi eritrosit
 stabil dalam penyimpanan
Manfaatnya terutama dengan melihat efek pertambahan volume, lamanya bertahan
dalam ruang intravaskuler dan efek rheologi.
Hampir semua jenis koloid adalah plasma expander. Oleh karena perpindahan cairan
interstitial ke dalam intravaskuler, jumlah pertambahan volume intravaskuler pada saat
permulaan pemberian cairan dapat melebihi volume koloid yang diberikan (Hillman
1989).
Walaupun ada perbedaan insidens semua jenis koloid mempunyai resiko menyebabkan
reaksi anaphilaksis.
Hemodilusi menyebabkan trombositopeni sehingga efek antithrombotic dari Dextran
harus dipertimbangkan. Pemberian yang dianjurkan maksimal 1.5 g atau 1500 cc/24 jam
pada orang dewasa (Davies 1988, Hillman 1986).

CAIRAN HIPERTONIK SALINE – DEXTRAN


Cairan hipertonik ini dapat menarik cairan interstitial ke dalam ruang intravaskuler
karena perbedaan tekanan osmotic. Dextran memperpanjang lamanya tinggal di ruang
tersebut. Kemampuan menambah volume 12 x lebih besar dibandingkan cairan

Untuk TUGASMAS 576


577
kristaloid dengan volume yang sama. Seratus cc NaCl 7.5% - Dextran 6% dapat
mengembalikan kehilangan darah 700 cc dalam waktu 1 menit. (Calcagni 1993).
Penelitian Rahordjo E 1995 mengungkapkan cairan NaCl 5% - Dextran 6% / 10%
sebanyak 200-250 cc menormalkan tekanan darah arterial yang turun akibat kehilangan
darah akut 750-1000 cc.
Dalam usaha mempercepat resusitasi pada masa golden hour kemungkinan memberikan
volume yang sedikit dalam waktu yang pendek akan sangat bermanfaat. Periode syok
diperpendek dan hal ini sangat mempengaruhi hasil akhir. Efek yang mungkin terjadi
adalah hipernatremia dan hemolisis.

BERAPA BANYAK CAIRAN ?


Pada penderita trauma jumlah perdarahan sukar dipastikan.
Karena mengganti volume yang hilang harus secepat mungkin, kebutuhan cairan
ditentukan berdasarkan tanda klinik. Pemberian pertama berupa cairan kristaloid bolus
1000-2000 cc pada orang dewasa dan 20 cc pada anak-anak.
Tanda klinis sebagai respon pemberian pertama, dinilai untuk menentukan langkah
selanjutnya.
Terdapat tiga kemungkinan hasil evaluasi setelah pemberian cairan permulaan yaitu
kelompok penderita dengan
1. Respon segera
Segera menunjukkan tanda hemodinamik normal setelah mendapatkan
penggantian cairan yang sesuai tanda-tanda klinik dan tak ada perubahan
walaupun kecepatan pemberian cairan dikurangi sesuai kebutuhan maintenance
saja. Kelompok ini umumnya kehilangan < 20% BV.
2. Respon sementara
Setelah memberi respon yang positif terhadap pemberian cairan pertama,
hemodinamik memburuk lagi. Terdapat dua kemungkinan yaitu resusitasi
belum cukup atau ada sumber perdarahan yang masih berlangsung.
Kelompok ini kehilangan antara 20 – 40 % BV>
3. Tak ada respon
Pada kelompok ini tidak ada perbaikan sama sekali. Hal ini menunjukkan
adanya sumber perdarahan yang masih berlangsung. Walaupun jarang, penyebab
syok lain harus dipikirkan misalnya tamponade jantung atau kontusio miokard.
Pada keadaan ini, penilaian tekanan vena sentral dapat membantu .

Untuk TUGASMAS 577


578
Pada kelompok II bila darah tersedia pemberian cairan dapat di ulangi dengan kristaloid
atau koloid. Bila hemodinamik tetap buruk darah adalah esensial. Intevensi pembedahan
mungkin diperlukan untuk menghentikan sumber perdarahan,
Pada kelompok III bila tidak ada sebab lain, sangat mungkin intervensi pembedahan
diperlukan untuk menghentikan sumber perdarahan.

Kapan mulai pemberian darah ?


Secara umum darah harus diberikan bila :
1. Perkiraan perdarahan lebih dari 30 %
2. Hb 8 gr / <
3. Hemodinamik tidak membaik dengan penggantian cairan sesuai perkiraan .
Penggantian denga cairan saja pada perdarahan lebih dari 30 % BV akan melampaui
batas aman perpindahan cairan antar ruang tubuh, dan oxygen carrying capacity (Safar
1988, Suffredini 1991).
Hb 8 gr % merupakan batas dimana kemampuan jantung menaikkan cardiac output
masih dapat diandalkan sehingga tidak menganggu transportasi oksigen. Berdasarkan
rumus available oxygen, pada orang sehat dalam keadaan normovolemia denyut nadi
dapat dinaikkan sampai 120 – 130 / menit untuk meningkatkan cardiac output.
Pada keadaan tertentu misalnya sumber perdarahan belum ditemukan, keterbatasan
penyediaan darah, walaupun Hb < 8 g % hemodilusi dapat diteruskan dengan
aman,asalkan disertai pemantauan ketat dan kondisi yang menunjang misalnya
menurunkan kebutuhan oksigen seminimal mungkin (sedasi, analgesi dan relaksasi),
meningkatkan kelarutan oksigen dalam plasma dan mencegah terjadinya edema paru
(ventilator, oksigen 100% dengan PEEP).

RINGKASAN
Resusitasi cairan pada perdarahan karena trauma harus dilakukan dalam golden hour.
Pada tahap permulaan yang terpenting adalah mengembalikan volume intravaskuler.
Sampai saat ini cairan kristaloid merupakan pilihan, alternative lain adalah kombinasi
NaCl hipertonik koloid.

Untuk TUGASMAS 578


579

Untuk TUGASMAS 579


580
CAIRAN PLASMA TUBUH

Cairan tubuh terbagi dalam 2 bagian terbesar, yaitu sekitar 55% berada di dalam
sel (ruang intraseluler) dan 45 % lainnya berada diluar sel (ruang ekstraseluler). Cairan
ekstraseluler sendiri terbagi dalam 2 bagian, yaitu ruang intravaskuler (plasma) dan
ruang interstitial dalam perbandungan 1:5.
Dalam plasma albumin merupakan cairan dengan molekul yang besar (berat
molekul 6.9 x 10) sehingga tidak mudah keluar dari ruang intravaskuler. Albumin di
sintesa di liver sebanyak 180 – 300 mg/kg BB setiap hari. 40% albumin berada
intravaskuler dan 60% di ekstravaskuler.
COP plasma normal adalah sekitar 25 mm Hg dan hampir 80% disebabkan oleh
konsentrasi albumin dalam plasma sebesar 5 g %. Penurunan konsentrasi albumin serum
menjadi 2.5% memyebabkan penurunan COP menjadi sekitar 17 mmHg dimana edema
jaringan dapat terjadi.
Berbaring selama 12 jam akan memyebabkan COP menurun menjadi sekitar 21
mmHg. Hal ini mungkin disebabkan karena reabsorpsi cairan interstitial dibagian bawah
tubuh ke ruang intravaskuler.
COP pada pasien sakit berat biasanya berkisar antara 18 – 20 mmHg,
kemungkinan disebabkan karena gabungan posisi berbaring yang lama, malnutrisi dan
faktor-faktor lain yang disebabkan oleh penyakit akutnya.

CAIRAN KRISTALOID
Cairan kristaloid merupakan cairan yang paling sering digunakan untuk
resusitasi karena paling murah harganya bila dibandingkan dengan cairan koloid. Yang
paling banyak digunakan adalah larutan NaCl 0.9% dan Ringer Laktat. Larutan dekstose
5% tidak digunakan karena tidak mengandung elektrolit, sehingga setelah dekstrose
dimetabolisir tinggallah air yang dengan bebas akan keluar masuk ruang ekstra dan
intraseluler tanpa mengembangkan volume ruang intravaskuler.
Bila dilihat komposisi macam cairan kristaloid, maka Ringer Laktat merupakan
cairan yang komposisinya mendekati komposisi plasma. Oleh karena itu cairan inilah
yang mungkin paling sering digunakan dalam resusitasi cairan. Namun efek volumenya
tidak berbeda dengan NaCl 0.9%.
Cairan kristaloid isotonis dapat menembus dinding vaskuler dan terdistribusi
merata dari keseluruh ruang tubuh tanpa merubah keseimbangannya. Karena itu
dibutuhkan cairan kristaloid dalam volume yang cukup besar untuk mengembangkan

Untuk TUGASMAS 580


581
volume plasma, tergantung berat ringannya dan lamanya syok. Pada perdarahan
diperlukan sekitar 2 – 4 kali volume darah yang hilang untuk mengembalikan volume
plasma.
Syok hemorganik menyebabkan pasien cepat menjadi hipoproteinemik karena
terjadi hemodilusi internal, yaitu masuknya cairan interstitial yang relatif bebas protein
kedalam intravaskuler. Pemberian cairan kristaloid dalam jumlah yang besar
(hemodilusi eksterna) memperberat keadaan ini. Kedua hal tersebut memyebabkan COP
menurun, sehingga daya retensi cairan plasma menurun diikuti timbulnya edema paru.
Tubuh mempunyai mekanisme yang berusaha mencegah penurunan COP yang dratis
dengan cara meningkatkan mobilisasi protein dari depo ekstravaskuler, meningkatkan
kembalinya protein ke sirkulasi malalui ductus thoracicus, dan melalui dinding kapiler
dengan cara pinositosis.
Cairan kristaloid lain yang akhir-akhir ini mulai digunakan adalah cairan garam
hipertonis (hypertonic caline), baik itu berupa cairan larutan NaCl 3%, NaCl 7.5%
maupun yang dicampur dengan koloid, yaitu hypertonic saline-dextran (HSD, larutan
NaCl 7.5% dalam 6% dextran 70). Karena sifat hipertonisnya, cairan ini menarik cairan
interstitial ke ruang intravaskuler tanpa bahaya meningkatkan cairan ekstravaskuler paru
dan dapat digunakan untuk resusitasi cairan secara cepat dengan pemberian dalam
jumlah yang sedikit saja.

CAIRAN KOLOID
Cairan koloid yang digunakan dalam resusitasi cairan sering disebut sebagai
plasma expander atau plasma substitute. Yang termasuk dalam golongan ini adalah :
- koloid alami (natural) : human albumin dan fraksi plasma protein
- koloid sintesis : dextran, gelatin, polivinil pirolidon (hydroxythyl stach)
Cairan koloid merupakan cairan makromolekuler, sehingga tidak mudah
Keluar dari ruang intravaskuler. Sifat tersebut merupakan kelebihan utama cairan ini,
karena cairan elektrolit mempunyai efek volume yang setara dengan darah dan dapat
tinggal lebih lama disirkulasi.

ALBUMIN
Cairan koloid albumin dibuat dari donor plasma manusia. Larutannya
dipanaskan dalam suhu 60% selama 10 jam untuk mencegah penularan hepatitis. Cairan
koloid Human Albumin terdapat dalam sediaan 5%, 20% atau 25%. Albumin 5%
mengandung albumin sebanyak 50 gram per liter dan COP sebesar 25 mmHg.

Untuk TUGASMAS 581


582
Efek samping pemberian albumin berupa urtikaria, demam dan menggigil,
namun jarang terjadi (sekitar 0.5%). Pemberian albumin tidak menganggu faal
pembekuan.
Retensi vaskuler tergantung dari derajat hipovolemia dan COP pasien
sebelumnya. Pada umumnya efek volume akan bertahan selama lebih kurang 24 jam.
Albumin 5% sebaiknya digunakan untuk mengatasi hipovolemia akut. Pasien
yang hipovolemik diseratai penumpukan cairan ekstravaskuler (edema) dapat
menganakan albumin 25%. Albumin hiperokotik ini akan menarik cairan edema
tersebut ke ruang intravaskuler.Kerugian penggunaan cairan ini adalah karena harganya
yang sangat mahal.

DEXTRAN
Dextran diproduksi oleh enzim dextran sucrase dalam masa pertumbuhan
bakteria Leuconostoc dalam media yang mengandung suucrose. Dextran 40 mempunyai
berat molekul 40.000, sedangkan dextran 70 mempunyai BM 70.000. Keduanya
merupakan cairan hiperokontik.
Dextran 70, dalam larutan garam isotonis 6%, setelah 24 jam retensi
intravaskuler-nya masih sekitar 30%. Infusi 1 liter dextran 70`pada pasien pasca bedah
mampu meningkatkan volume plasma sampai 800 ml. Dextran 40, dalam larutan garam
isotonis 10%, mempunyai retensi yang lebih rendah dan mempunyai efek antiplatelet.
Kelebihan utama dari dextran 40 ml ini adalah efek rheologisnya, karena itu sering
disebut sebagaiu Rheomacrodex. Dextran 40 mempunyai efek anti sludging dari
eritrosit di mikrosirkulasi. Keadaan ini bersama penurunan viskositasi darah akan
memperbaiki aliran darah mikrosirkulasi, meningkatkan curah jantung.
Pada pasien dengan fungsi gagal ginjal yang normal, 60% dextran 40 akan
dikeluarkan lewat urine dalam waktu 6 jam dan dalam waktu 24 jam hampir 70% sudah
dikeluarkan. Sebagian akan disekresi di usus atau dimetabolisir di viscera menjadi
karbon dioksida. Karena urine menjadi lebih kental dapat timbul penumpukan dextran
di tubulus ginjal yang dapat menyebabkan pembuntuan. Karena itu dextran 40 harus
diberikan dengan hati-hati. Sebaiknua didahului dengan pemberian cairan kristaloid dan
baru diberikan setelah aliran urine mulai keluar. Masalah ini tidak timbul pada dextran
70, karena berat molekulnya lebih besar sehingga lebih lambat difiltrasi.
Efek samping yang ditakuti adalah reaksi anafilaksis yang dapat menyebabkan
syok dan kematian. Insidennya dilaporkan sekitar 5.3%, ditandai dengan rasa tidak enak
(discomport) yang hebat diikuti reaksi gastroinstetinal dan vaskuler yang hebat.

Untuk TUGASMAS 582


583
Dextran dalam jumlah banyak akan melapisi sel platelet, sehingga dapat
mengganggu fungsinya. Karena alasan inilah pemberian dextran dianjurkan tidak
melebihi 20 mg/kg BB dalam waktu 24 jam.

Hydroxythyl Starch (HES)


HES dibuat dari amilopektin, mempunyai BM rata-rata sekitar 40.000,
mengandung 154 mEq/L natrium dan chlorida, pH 5.5, COP sekitar 30 mmHg dan
osmolaritas sekitar 310 mOsm/L.
Sebagian HES dikeluarkan lewat urine, sebagian mengalami degradasi di liver
sebelum dikeluarkan ke urine dan faces dan sebagian mengalami fagositosis di RES.
90% HES mempunyai half life 17 hari dan 10% sampai selama 48 hari. Efek volumenya
dapat berlangsung selama 24 – 48 jam. Infusi 1 liter HES mampu mengembangkan
volume plasma sekitar 710 ml.
HES merupakan cairan non toksi dan non antigenik. Kemungkinan untuk
menyebabkan reaksi anafilaktoid rendah dan sebanding dengan albumin. HES dapat
mengganggu faal pembekuan, namun tampaknya tergantung dari dosisnya.
Pemberiannya sebaiknya dibatasi dan tidak melebihi 20 ml/kg BB dalam waktu 24 jam.

GELATIN ATAU POLYGELINE


Merupakan larutan 4% dalam NaCl 0.9%. Gelatin dibuat dari hidrolisis kologen
yang diambil dari sapi. Berat molekulnya rata-rata sekitar 35.000.
Gelatin mempunyai biological half-life yang pendek, kurang dari 12 jam.
Aktifitas yang berguna untuk mengembangkan volume plasma adalah sekitar 1,5 jam.
Sekitar 85% diekskresi lewat urine.
Gelatin dikatakan tidak mengganggu fungsi pembekuan darah, sehingga dapat
digunakan dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan cairan koloid yang lain.
Meskipun dikatakan gelatin bersifat “ non antigenik “ tetapi reaksi anafilaktoid tetap
dapat terjadi meskipun jarang dan biasanya timbul pada awal pemberian. Lundsgaard-
Hansen dan Tschirren (1979) melaporkan dari suatu studi selama 17 tahun terhadap efek
samping penggunaan lebih dari 100.000 unit cairan ini, hanya diketemukan satu
kematian dan 7 reaksi hipersensitivitas. Ini lebih rendah daripada yang dilaporkan oleh
Messmer.

PERBANDINGAN EFEK INTRAVASKULER KRISTALOID & KOLOID

Untuk TUGASMAS 583


584
HES dalam larutan garam isotonis 6%, mempunyai efek volume yang setara
dengan albumin dan dextran 70.
NaCl membuktikan bahwa untuk mendapatkan hasil hemodinamik yang sama
diperlukan volume cairan NaCl 0.9% sebanyak 2 sampai 4 kali volume cairan koloid.
Pada umumnya kristaloid dalam jumlah yang sama. Pemberian cairan pasca bedah
sebanyak 1 liter dextran 70, HES, albumin 5% dan NaCl 0.9% manpu mengenbangkan
volume plasma berturut-turut sebanyak 790 ml, 710 ml, 490 ml dan 180 ml.
Pada umumnya kristaloid isotonis merupakan cairan yang paling banyak
digunakan pada resusitasi pasien syok dibandingkan cairan koloid, tetapi sampai
sekarang konversinya masih tetap berlangsung mengenai pilihan cairan yang terbaik.
Kelompok yang pro koloid menyatakan bahwa pemberian cairan kristaloid
dalam jumlah banyak menyebabkan penurunan COP yang sebetulnya diperlukan untuk
menahan cairan tetap berada di ruang intravaskuler. Secara teoritis dapat menyebabkan
timbulnya edema paru dan gangguan oksigenasi jaringan. Cairan koloid mampu
mempertahankan COP di jaringan kapiler pulmoner. Caiaran koloid juga memperbaiki
oksigenasi jaringan sedangkan kristaloid tidak. Cairan koloid mampu menaikkan
cardiac index, left ventricular stroke work dan oxygen availability lebih baik dari pada
kristaloid.
Kelompok pro kristaloid menyatakan bahwa endothel kapiler pulmoner
sebetulnya juga dapat dilalui oleh cairan dalam jumlah yang lumayan termasuk protein
plasma. Penurunan COP akan diimbangi penurunan tekanan onkotik interstitial,
sehingga beda tekannanya akan minimal. Tampaknya yang paling penting adalah faktor
pulmonary artery wedge pressure (PAWP). Menjaga agar PWAP tidak melebihi 15
mmHg mungkin adalah cara yang terbaik untuk mencegah terjadinya edema paru.
Zhuang, Shacford, Schmoker, Piettropoli (1995) membuktikan bahwa pada trauma
kepala pemberian koloid meskipun mampu meningkatkan COP tetapi ternyata tidak
mampu mencegah pembentukan edema maupun memperbaiki oksigenasi jaringan.
Banyak studi telah menyatakan bahwa trauma berakibat buruk bagi sistem
kekebalan tubuh manusia. Sepsis sering menjadi penyebab utama mortalitas pasien
trauma. Ini ada hubungannya dengan pengaruh cytokine dan perubahan pada cell-
mediated immunity.
Sampai sekarang belum dapat dibuktikan bahwa cairan kristaloid maupun koloid
mampu mengembalikan atau memperbaiki fungsi kekebalan tubuh. Diperlukan studi
yang lebih mendalam untuk menentukan keunggulan masing-masing cairan dalam hal
mempertahankan fungsi sistem kekebalan tubuh.

Untuk TUGASMAS 584


585

CaO2 = ( Hb x Saturasi 02 x 1.34 ) + (pO2 x 0.003 )

PEMILIHAN CAIRAN
Meskipun pilihan cairan yang terbaik untuk resusitasi masih kontroversial, tetapi
sudah jelas bahwa mengganti kehilangan darah adalah tidak benar dan tidak perlu.
Darah dapat menyebabkan reaksi transfusi allergi, hemolitik, septik, febril, pirogen dan
menyebarkan hepatitis, AIDS. Selain itu darah yang disimpan dapat menyebabkan
defisiansi faktor pembekuan, hipotermia, hiperkalemia, asidosis dan mikroemboli.
Darah dan produk darah yang memenuhi kriteria aman cukup mahal harganya dan perlu
waktu untuk mendapatkannya.
Jumlah dan macam cairan yang digunakan dalam resusitasi cairan sebagian
besar tergantung dari status klinis pasien dan sebagian kecil tergantung dari pemilihan
individual atau institusional. Pada dasarnya cairan kristaloid (NaCl 0.9% dan Ringer
Laktat) merupakan pilihan utama dalam tahap awal resusitasi cairan pada kasus-kasus
syok hemorganis.
Resusitasi cairan dengan cairan kristaloid dalam jumlah cukup banyak pada
pasien dewasa, muda dan sebelumnya sehat dapat dilakukan dengan aman dengan
resiko yang relatif kecil untuk timbul edema paru. Mekanisme kompensasi untuk
mencegah timbulnya edema paru pada pasien dewasa, muda dan sebelumnya sehat
mungkin berjalan lebih effisien dibandingkan pasien yang tua dengan penyakit
kardiopulmoner.
Pada perdarahan dalam jumlah sedang, tidak melebihi 20 % volume darah,
cairan kristaloid saja sudah cukup untuk menjaga keseimbangan volume darah dan
homeostasis. Kristaloid dapat diberikan dalam jumlah sampai 4 kali volume darah yang
hilang, dan mungkin masih perlu ditambah untuk menjaga stabilitas hemodinamik dan
menggaanti urine yang keluar.
Pada perdarahan yang lebih banyak (kehilangan darah lebih dari 20 % volume
darah), penggunaan kristaloid saja sering kali tidak cukup untuk menjaga volume darah,
cardiac output, oksigenasi jaringan dan beresiko timbulnya edema jaringan. Dalam
keadaan ini cairan koloid sebaiknya diberikan paling sedikit dengan penggantian 1:1
untuk kehilangan diatas 20% volume darah.
Albumin 5% mungkin merupakan koloid yang mendekati ideal tetapi harganya
sekitar 20 kali harga cairan kristaloid, sehingga sebaiknya tidak perlu digunakan. Dapat

Untuk TUGASMAS 585


586
digunakan koloid lain yang harganya jauh lebih murah seperti gelatin, dextran maupun
HES. Dalam penggunaan perlu diingat sifat-sifat masing-masing koloid tersebut
disesuaikan dengan keadaan pasien.
Bila perdarahan mencapai lebih dari 30% volume darah, darah atau PRC harus
diberikan untuk menjaga hematokrit diatas 30%. Bila pasien mempunyai anemia atau
penyakit kardiopulmoner darah sebaiknya diberikan labih awal.
Pada transfusi darah yang cukup banyak, biasanya pemberian kalsium juga tidak
diperlukan. Yang penting adalah darah (dan mungkin cairan) harus dihangatkan sampai
mendekati suhu tubuh untuk mencegah hipotermia dan cardiac arrest.
Untuk melancarkan aliran, PRC sebaiknya diencerkan dengan menambah
kristaloid isotonis ke dalam kantong darah.

PENUTUP
Syok karena perdarahan merupakan keadaan darurat yang memerlukan
penanganan amat segera. Pemberian cairan intravena dengan larutan kristaloid maupun
koloid merupakan pilihan awal dalam usaha resusitasi.
Cairan yang ideal untuk resusitasi pasien trauma tetap masih belum jelas yang
memenuhi syarat mampu memperbaiki perfusi jaringan dan mikrovaskuler, maqmpu
memperbaiki atau menjaga fungsi immunologis tubuh, mempunyai efek sanping yang
minimal dan murah harganya. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa cairan kristaloid
masih merupakan pilihan yang pertama karena cukup effektif, mudah didapat dan
sangat murah harganya dan karena itu masih akan terus dipergunakan secara luas.
Pedoman urutan penggunaan cairan yang digunakan adalah dengan memberikan
cairan kristaloid sebanyak 2 – 4 kali volume darah yang hilang untuk kehilangan darah
sampai 20%, diikuti koloid sebagai pengganti plasma sebanyak 1 kali volume
kehilangan darah untuk kehilangan di atas 20% diikuti dengan darah atau PRC untuk
menjaga hematokrit sebesar 30%.

Untuk TUGASMAS 586


587

MENUJU TRANSFUSI DARAH YANG RASIONAL


Dr. dr Eddy rahardjo
PanMed Transfusi RSUD Dr. Sutomo Surabaya
Lab. Anestesiologi FK. Unair
Su raba ya

PENDAHULUAN
Tentang darah, sebenarnya dapat dikatakan : “blood is R – E – D”, selain merah,
R-E-D berarti Rare – Expensive – Dangerous.
Rare : darah adalah “komoditi’ langka. Pengalaman di berbagai daerah menunjukkan
betapa sulit menyiapkan donor darah, lebih-lebih pada bulan puasa.
Expensive : biaya penyiapan transfusi adalah mahal. Penyediaan darah PMI mendapat
subsidi pemerintah. Biaya ini selalu meningkat jika semakin banyak pemeriksaan yang
dituntut untuk menghindarkan penyebaran berbagai penyakit.
Dangerous : Transfusi adalah prosedur medik yang berpotensi besar untuk menyebarkan
penyakit hepatitis B. Hepatitis C dan HIV/AIDS disamping malaria dan lues. Transfusi
juga menyebabkan berbagai reaksi imunologis. Kekambuhan kanker lebih sering dan
lebih dini apabila sewaktu pembedahan pasien tersebut mendapat transfusi (Blumberg,
1988). Transfusi juga dianggap menyebabkan penurunan daya tahan tubuh terhadap
infeksi pada pasien trauma berat (Agarwal, 1993).
Atas alasan-alasan tersebut di atas, trasfusi harus dilandasi indikasi kuat dan quality
control yang baik. Sebenarnya transfusi bukanlah satu-satunya cara mengatasi
kehilangan darah dan keadaan anemia. Ini berlaku baik pada kehilangan darah akut
maupun kronis. Kehilangan darah akut dapat diganti volumenya dengan larutan
elektrolit. Kehilangan darah kronis dan berbagai anemia dapat diatasi dengan perbaikan
nutrisi dan terapi Fe (besi). Sering kali disebutkan bahwa indikasi untuk transfusi adalah
untuk “meningkatkan oksigenasi jaringan”, “mempercepat kesembuhan luka” atau
“memperbaiki keadaan umum”.

Available O2 = CO x CaO2

Untuk TUGASMAS 587


588

PENYEMBUHAN LUKA
Telah diuraikan di atas bahwa anemia tidak mengganggu transfor oksigen
selama volume PV normal. Dalam keadaan anemia, viskositas darah rendah hingga
hambatan aliran juga rendah. Darah lebih mudah mengalir sehingga sirkulasi mikro
dapat mengantarkan oksigen ke jaringan dengan lebih baik. Dengan adanya kompensasi
curah jantung meningkat, maka jumlah oksigen per satuan waktu tidak menurun. Satu-
satunya pernyataan keberatan terhadap anemia adalah anggapan bahwa anemia
menghambat kesembuhan luka. Jonsson (1991) membuktikan bahwa pembentukan
deposit kolagen pada luka tidak terhambat oleh anemia. Tidak ada korelasi antara
hematokrit (16-57%) dengan kecepatan deposisi kolagen pada jaringan luka yang
diderita oleh 33 kasus bedah. Bryan-Brown (1989) dan Hunt (1991) menyebutkan
bahwa selama hematoktrit masih > 15%, deposisi kolagen untuk kesembuhan luka tidak
terpengaruh.

LANGKAH-LANGKAH RASIONALISASI
1. Menetapkan Batas Awal dan Akhir Transfusi Yang Tepat
Dulu transfusi Whole Blood diberikan untuk mengganti setiap kehilangan
volume dan Hb pada perdarahan. Konsep ini sudah berubah. Volume darah normal
adalah 65-70 cc/kg Berat Badan. Pada perdarahan akut, pasien kehilangan sejumlah
volume darah dan eritrosit yang berisi Hemaglobin (Hb). Penggantian volume yang
hilang harus didahulukankarena penurunan 30% saja sudah dapat menyebabkan
kematian. Sebaliknya batas toleransi kehilangan Hb lebih besar. Kehilangan Hb sampai
50% masih dapat di atasi. Bagi pasien tanpa penyakit jantung, Hb 8-10 gm/dl masih
dapat memberikan cukup oksigenuntuk jaringan dengan baik (asal volume sirkulasi
normal).
Karena itu tidak semua perdarahan harus diganti transfusi. Tetapi diprioritaskan untuk
mengembalikan volume sirkulasi dengan cairan Ringer Laktat atau NaCl 0.9% atau
Plasma Substitute selama Hb masih 8-10 gtm/dl. Cara terapi dengan cairan ini disebut
hemodilusi. Perdarahan sampai 25 % volume darah masih dapat diganti cairan saja
tanpa transfusi. Pada kehilangan > 30-50 % volume darah, maka setelah pemberian

Untuk TUGASMAS 588


589
cairan, jika Hb 8-10 gm/dl atau hematoktrit < 20-25 % maka transfusi diberikan.
Sasaran transfusi adalah mengembalikan kadar Hb sampai 8-10 gm/dl saja. Tidak perlu
sampai Hb “normal “ 15 gm/dl lagi. Transfusi 250-500 ml (1-2 kantong) pada pasien
dewasa wajib dipertanyakan kembali apakah tidak dapat lebih baik kalau dibatalkan.
Pasien yang “hanya perlu” tambahan volume 250-500 ml mungkin sebaiknya TIDAK
PERLU transfusi. Dari perhitungan volume cukup diganti RL atau NaCl 500-1000 ml
saja. Dari perhitungan kadar Hb, darah satu kantong hanya menaikkan Hb 0.5 gm/dl.
Peningkatan sebesar ini juga dapat dicapai dengan pemberian gizi yang baik dan terapi
Fe ++. Manfaat kenaikkan Hb 0.5 gm/dl tidak sebanding dengan resiko penularan
penyakit. Teknik hemodilusi ini tidak dapat digunakan pada pasien traume kepala dan
trauma thorax karena dapat menyebabkan edema paru/otak.
2. Menggunakan Koimponen dan Dosis Yang tepat
Darah Utuh (Whole Blood = WB) berisi semua komponen yang lengkap.
Terutama jika belum lewat 6 jam maka kadar faktor koagulasi labil (labile factor) dan
trombosit masih tinggi.
SEL DARAH MERAH DIPADATKAN (Packed Red Cell = PRC).
Sediaan ini digunakan pada anemia kronis dan anemia perdarahan akut yang sudah
mendapat penggantian cairan. Dari 250 cc darah utuh didapat 125 cc PRC. Dengan 250
cc PRC didapat peningkatan Hb lebih tinggi dan resiko overload lebih kecil.
Trombosit tersedia dalam plasma kaya trombosit (Platelet Rich Plasma = PRP) atau
konsentrat (Thrombocyte Concentrate = TC).
Satu unit PRC (50 cc) berasal dari 250 cc Darah utuh secara teoritis meningkatkan
trtombosit 5000/mm3. Bila disimpan pada 22 C sediaan ini dapat bertahan 24 jam. Pada
suhu 4-10 Chanya bertahan 6 jam. Trombosit ini diberikan pada demam hemoragik
dengue, hemodilusi dengan cairan jumlah besar dan transfusi masif > 1.5 x volume
darah pasien sendiri, yaitu bila dijumpai trombositopenia (50.000-80.000/mm3).
Penambahan trombosit tidak dapat dilakukan dengan Darah Utuh segar sebab trombosit
yang terkandung hanya sedikit. Trombosit diberikan cukup sampai perdarahan berhenti
atau Masa Perdarahan (bleeding time) mendekati 2x nilai normal BUKAN sampai
jumlah trombosit normal.
Plasma, diberikan pada hipovolemia yang disebabklan oleh kehilangan plasma (demam
hemoragik Dengue dan luka bakar yang luas). Untuk demam dengue diberikan 10-20
cc/kg sampai shock teratasi.
PLASMA SEGAR BEKU (Fresh Frozen Plasma = FFP) dan PLASMA SEGAR < 24
jam digunakan untuk mengatasi defisinansi pembekuan. Diberikan 10 cc/kg satu jam

Untuk TUGASMAS 589


590
pertama, dilanjutkan 1 cc/kg BB per jam sampai PPT dan APTT mencapai nilai < 1.5 X
nilai kontrol yang normal.
Terapi plasma tidak tepat untuk memperbaiki pasien hipoalbumenia karena tidak akan
meningkatkan kadar albumin secara nyata.

3. Transfusi Autologous
Dalam metode ini darah pasien sendiri diambil pada masa pra-bedah, disimpan
untuk digunakan pada waktu pembedahan yang terencana (elektif). Dengan demikian
dapat dipastikan bahwa tidak ada resiko penularan penyakit sama sekali.
MENABUBG DARAH SEBELUM PEMBEDAHAN
Pada waktu 2-7 hari sebelum pembedahan 250-500 ml darah dapat diambil untuk
disimpan .
Jika kita menghadapi pasien perdarahan trauma, apakah teknik ini dapat digunakan
(secara umum) sebagai terapi standart ? Anggapan bahwa populasi Indonesia cenderung
menderita anemia dan hipoalbumenia tidak tepat. Hasil survey di beberapa rumah sakit
pada pasien yang menjalani pembedahan dan dalam usia potensial mengalami trauma /
perdarahan menemukan data Hb dan albumin .,

PENUTUP
Secara ringkas telah diuraikan langkah-langkah yang perlu diambil untuk
mengurangi jumlah transfusi darah yaitu dengan merubah batas-batas indikasi transfusi
serta memanfaatkan kemampuan kompensasi tubuh secara maksimal. Dengan menekan
jumlah transfusi maka penularan hepatitis B / C dan HIV AIDS dapat dikurangi. Darah
masih banyak mengandung rahasia yang belum mampu kita telusuri, sehingga sangat
bijaksana kalau kita bersikap “ err on safe side”, yaitu selalu berusaha menghindari
transfusi yang tidak / kurang perlu.

Untuk TUGASMAS 590


591

PATOFISIOLOGI SHOCK
Dr. Eddy Rahardjo
FK UnAir – RSUD Dr. Soetomo – Surabaya

PENDAHULUAN
Shock adalah sindroma klinik yang ditandai keadaan umum yang lemah, pucat, kulit
yang dingin dan basah, vena perifer tak nampak, kesadaran menurun dan produksi urine
menurun.
Masalah pokok pada shock adalah penurunan perfusi (aliran darah ) yang efektif ke
jaringan dan penurunan oxygen delivery ke daerah kapiler. Tekanan darah sistolik
lazimnya kurang dari 90 mmHg atau lebih dari 50 mmHg dibawah tekanan darah
semula.
Pembicaraan tentang shock menyangkut medan yang sangat luas. Uraian dapat
ditujukan pada masalah klinis dari shock dan cara-cara penanganannya. Atau ditujukan
pada perubahan-perubahan fungsi organ selama shock, karena shock pada dasarnya

Untuk TUGASMAS 591


592
adalah “penyakit” yang menyerang multi-organ-system. Atau membahas perubahan-
perubahan patofisiologi tingkat cellular atau bahkan tingkat biokimia-nya.
Selain itu tiap uraian tentang shock perlu kejelasan pada stadium shock yamh mana
yang dimaksudkan. Shock pada fase awal dapat mudah digolongkan kedalam salah satu
penyebab misalnya : hopovolemik, kardiogenik atau distributif. Tetapi jika proses ini
menjadi lanjut, pasien akan jatuh dalam kombinasi dari berbagai jenis shock tadi. Dan
tanda-tanda klinisnya akan berbaur menjadi satu.
Permasalahan shock sudah begitu sulit sehingga kami tidak menambah persoalan
dengan mencoba menterjemahkan istilah2, seperti halnya syock menjadi syok, atau
renjatan atau gugat.

HUBUNGAN SHOCK DENGAN MEKANISME HEMODINAMIK


Peredaran darah dilakukan oleh tiga unsur : jantung sebagai pompa, pembuluh
darah sebagai pipa penyalur dan darah sebagai media yang diedarkan untuk membawa
oksigen dan nutrient ke sel2 yang berada di capillary bed. Jika salah satu unsur atau
lebih mengalami gangguan maka perfusi jaringan akan mulai menurun. Setelah
melewati titik kritis pasien akan jatuh ke dalam keadaan shock.
Guyton menekankan permasalahan pada penurunan cardiac output sebagai penyebab
ferfusi yang tidak memadai sehingga jaringan menjadi rusak karena hipoksia.
Maclean (1971) menekankan permasalahan pada perfusi organ vital yang tak memadai
atau sel2 organ vital tersebut yang karena sesuatu hal tidak mampu menggunakan
oksigen yang sudah tersedia.(1)
Satu hal yang pasti adalah baik Well, Maclean dan Guyton ketiganya sepakat bahwa
pada shock, perfusi organ vital terganggu dan ini akan menjadi pencetus reaksi berantai
dan siklus berulang selanjutnya.
Hipoksia jaringan menyebabkan sel2 terpaksa melakukan metabolisme anaerobik dan
ini menghasilkan asam laktat. Selain itu ischemia injury juga menyebabkan perubahan2
biokimia karena dilepaskannyaberbagai zat seperti enzim2 lysosome, histamin,
serotonim, kallikrein dan prostaglandin. Kemudian akan terjadi coagulopathies dan
DIC. Selain itu kadar zat2 pemecahan pritein meningkat, acidosis juga meningkat
karena asam laktat, piruvat maupun karena asam lemak, ketones dan asam amino lain.
Kerusakan organ pada shock umumnya ginjal, hepar, paru2, otak dan jantung.
Mortalitas meningkat berlipat seiring jumlah organ yang mengalami kegagalan fungsi
tersebut.

Untuk TUGASMAS 592


593
Tubuh mempunyai mekanisme perlindungan untuk mengurangi akibat shock dengan
selective-vasoconstriktion. Refleks ini berguna vasokonstriksi pembuluh darah kulit,
otot dan viscera untuk memprioritaskan aliran darah ke organ vital : otak dan jantung.
Tetapi vasokonstriksi selain bermanfaat juga menyulitkan karena jantung menjadi harus
bekerja lebih berat melawan kenaikkan tahanan pembuluh darah sismatik. Jika shock
berlangsung lama dan memberat disertai terganggunya oksigenasi arteria coronaria
maka dengan mudah akan terjadi shock kardiogenik yang sekunder.
Crowell dan Smith (2) melakukan percobaan hewan yang menunjukkan bahwa survival
menurun dari 100% menjadi 0%. Jika commulative oksigen deficit bertambah dari 100
150 ml/kg. Mortalitas juga meningkat bersama dengan peningkatan kadar asam laktat
dalam darah arteri. (1,2,3)
Jika oxigen intracel sudah menurun di bawah titik kritis maka kerja mitochondria dan
pembentukkan high-energy phosphates menurun. Membran sel menjadi lebih permeable
dan pompa Natrium tak bekerja hingga kalium keluar dan natrium masuk ke dalam sel
diikuti aliran sel bengkak. Acidosis intracel disertai lysosomal lysis melepaskan
hidrolase yang kemudian menyebabkan autodigestion sel itu sendiri.
Dari titik pandang klinis, penggarapan shock memerlukan pedoman penanganan dan
terapi. Suatu penggolongan / klasifikasi yang berorientasi pada mekanisme shock atau
masalah penyebab dasar akan sangat menbantu dan mempercepat pelaksanaan terapi
yang tepat.
Causa shock perlu dipastikan, apakah berada pada unsur volume yang kurang ? Ataukah
pada jantung yang menurun fungsi pompanya, karena kegagalan mycord, atau aritmia
atau obstruksi aliran darah di vena cava atau restriksi tamponade pericard ? Ataukah
pada unsur pembuluh darah karena vasodilasi berlebihan, atau terjadinya arteri venous
shunting pada metarterioles atau kebocoran kapiler karena berbagai hal yang sampai
kini belum tepat jelas dipahami.
Salah satu klasifikasi yang banyak dianut secara umum adalh yang dikemukakan oleh
Max Harry Weil pada tahun 1979 dan kemudian digunakan lagi dalam buku Principle
and Practise of Emmergency Medicine.
I. HYPOVOLEMIC
A. Exogenous : Blood lost, Plasma loss, Electrolyte Loss due to diarrhea,
dehydration.
B. Endogenous : Extravasation due to inflammation, trauma, anaphylaxis.
II. CARDIOGENIC
Myocardial infarction, Cardiac failure, arrhyhmia

Untuk TUGASMAS 593


594
III. OBSTRUCTIVE
A. Vena cava Compression
B. Pericardium Tamponade
C. Cardiac chambers Ball-Valve Thrombus
D. Pulmonary Circuit Embolism
E. Aorta Dissecting Aneurysem
Klasifikasi yang manapun tidak dapat “memuaskan” semua pihak atau pun
menempatkan dengan tepat suatu kondisi klinis shock dalam kelompok tertentu. Satu
dan lain hal penyebabnya adalah karena ditemukannya mekanisme2 baru dari waktu ke
waktu.
Weil menempatkan anaphylasis sebagai hipovolemic shock sedangkan hypersensitive
sebagai Distribute Shock.Obstruksi aliran darah yang penyebabnya sebagian memang
intracardial tetapi sebagian lainnya mungkin di vena cava atau di aorta digolongkan
sendiri dalam Obstuction Shock.
Sepsis dan septic shock ditempatkan sebagai Distribute Shock karena penyebabnya
adalah mal-distribution tingkat capillary, pre-capillary arteriosis atau post capillary
venules.Selanjutnya distribbusi shock masih dibedakan yang High Resistance dimana
terjadi vasokonstriksi dengan cardiac output pada umumnya menurun (Gram negative
sensis) dan Low Resistance dimana terjadi vasodilatasi dan cardiac output yang normal
atau menungkat.
Maclean selanjutnya menguraikan beberapa percobaan yang mendukung klasifikasinya
tersebut. Ada dua beda yang menyolok. Pertama istilah yang dipakai yaitu Peripheral
Pooling untuk segolongan masalah penurunan tonus atau perubahan lain di daerah
kapiler. Kedua adalah istilah Celluler Defect untuk septic shock.
Maclean berpendapat bahwa pada sepsis, primernya dilepaskan endotoksin yang
menyebabkan sel tidak dapat menggunakan oxygen lagi, meskipun oxygen itu tersedia
cukup di daerah kapiler. Ini tampak pada menurunnya ekstraksi oksigen. Percobaab
dengan menaikan oksigen pada O2 content di arteri tidak membawa kenaikan ekstrasi
oksigen.
Jika pada fase lanjut terjadi hipovolemia maka pasien akan jatuh dalam hypodynamic
stage (1). Pada fase awal dari sepsis terjadi hyperdynamic stage dimana sirkulasi
melakukan kompensasi mencoba menyediakan oksigen lebih banyak.
Sebagai klinisi yang menangani langsung kasus2 shock ini, masalahnya bukanlah
semata2 memilih klasifikasi mana yang lebih baik tetapi klasifikasi mana yang
operasional dan sesuai dengan jenis kasus terbanyak yang dijumpai. Sebagai

Untuk TUGASMAS 594


595
penanganan awal di unit2 gawat darurat (dengan mengecualikan kelompok sepsis),
shock dan terapi permulaannya dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

I. Kehilangan volume :
Beri volume dengan larutan Ringer Laktat atau Plasma Expender atau Transfusi.
II. Kegagalan fungsi pompa : myocardial failure, arrythmia tamponade (?)
Beri beta-agonis (dopamin), digitalis, dibantu diuretika dan vasodilator (mengurangi
afterload). Untuk arrythimia dibahas tersendiri. Untuk tamponade ; punksi dan dranage.
III. Perubahan2 vaskuler : vasodilatasi atau shunt atau leakage. Beri
vasoprosesor untuk mengatasi vasodilatasi disampinh menambah isi vaskuler dengan
volume. Untuk shunt dan leakage tidak ada obat yang khusus selain menghilangkan
causa.
Shock yang masih primer relatif mudah ditangani dan memang harus cepat ditangani
agar tidak progresi ke derajat lebih berat atau diikuti shock sekunder dan kegagalan
organ ganda.
Shock yang sudah menjadi ruwet memerlukan penanganan khusus di ruang ICU dengan
monitoring sebanyak mungkin parameter hemodinamik. Selain pengukuran tekanan
darah konvensional (dengan spygmomanometer) masih diperlukan pengukuran tekanan
vena sentral (CVP) untuk memastikan apakah volume pre-load sudah memadai.
Jika dapat diketahui sekaligus Pulmonary Cappilary Wedge Pressure yang
mencerminkan volume pre-load atrium kiri
dan fungsi ventrikle kiri maka kita dapat dengan mudah menentukan ada tidaknya
myocardial failure dan jantung sisi mana yang failure.
Ini dapat dilakukan dengan cara invasif memasang Swan Ganz catheter dulu, sekaligus
kemudian mengukur Cardiac Output cara thermodilution atau dye dilution. Ada
perkembangan baru yang memungkinkan pengukuran cardiac output secara non-invasif
dengan menggunakan echocardiografi trans-esophageal.

Untuk TUGASMAS 595


596

SYOK ANAFILAKTIK
TINJAUAN MASALAH DAN PENANGANANNYA
Bambang Wahjuprajitno
Lab. / U.P.F Anestesiologi dan Perawatan Intensif
F.K. Unair / RSUD Dr. Soetomo
Su r a b a ya

PENDAHULUAN
Anafilaksis, karena sifatnya yang tidak dapat diramalkan dan datangnya
mendadak, merupakan salah satu ke gawat daruratan dalam dunia kedokteran yang
paling berbahaya. Penyakit ini dapat menyebabkan kegagalan napas akut dan syok
hipovolemik yang dapat menyebabkan kematian dalam waktu singkat. Pengenalan dini
sangat menentukan nasib penderita, karena manifestasi klinisnya yang berbahaya
sebagian atau seluruhnya dapat diatasi dengan penanganan yang tepat dan intensip.
Catatan sejarah yang paling dini tentang episode anafilaksis yang fatal terdapat
pada hicroglyph pada makam raja Menes di Mesir. Dikatakan bahwa pada tahun 2641
SM raja ini meninggal mendadak akibat disengat lebah. Istilah anafilaksis sendiri
diperkenalkan oleh sarjana Perancis Charles Richet dan Paul Portier untuk menerangkan
suatu respon hipersensitif berupa syok dan kematian pada anjing yang ditelitinya setelah
menerima suntikan sublethal yang kedua dengan toksin anemone. Istilah ini berasal dari
bahasa Yunani, yaitu ana berarti “melawan” sedangkan phylasis berarti “perlindungan”.
Ini berarti kebalikan dari istilah prophylaxis.
Anafilaksis adalah suatu sindroma klinik yang jelas dengan tanda-tanda yang
khas berupa perubahan yang mendadak dan dramatik pada permeabilitas vaskuler dan
hiperaktifitas bronkial. Perubahan sifat yang eksplosif ini disebabkan oleh beberapa
mediator endogen yang dilepaskan segera setelah suatu stimuli baik oleh antigenik
maupun non-antigenik.
Reaksi anafilaktit yang klasik ialah anafilaksis yang mekanismenya merupakan
suatu reaksi immunologis, yaitu interaksi yang berkelanjutan dari suatu antigen
(allergen), antibodi dari kelas IgE (Reagin) dan sel efektor spesifik (basofil dan mast
cell), yang menimbulkan sintesis dan pelepasan beberapa mediator yang secara
fisiologis sangat aktif.
Reaksi anafilaktoid secara klinis tampak serupa dengan reaksi anafilaktik yang
klasik, tetapi tidak jelas kaitannya dengan antibodi atau tidak dapat dibuktikan antibodi

Untuk TUGASMAS 596


597
IgE berperan pada reaksi ini. Terdapat jalur-jalur atau sistem-sistem lain yang dapat
melepaskan mediator-mediator aktif serupa yang menyebabkan tanda dan gejala yang
sama pada reaksi anafilaksis.
Laporan tentang kasus-kasus reaksi anafilaksis tersering disebabkan karena
pemberian antibiotika, terutama golongan penisilin dan selalosporin. Insidens
anafilakisis karena penisilin berkisar antara 15 sampai 40 per 100000 penderita yang
mendapatkan terapi tersebut. Di Amerika diperkirakan beberapa ratus orang meninggal
tiap tahun karenanya.
Reaksi anafilaktoid karena bahan radiokontras yang mengandung yodium terjadi
kurang dari 2%, namun karena banyaknya prosedur yang menggunakan bahan ini
diperkirakan terjadi sampai 500 kematian per tahun karenanya di Amerika Serikat.
Sampai sekarang belum pernah ada penelitian terkontrol pada manusia tentang
terapi yang terbaik untuk syok anafilaksis. Timbulnya yang mendadak dan tidak bisa
diduga, perbedaan berat manifestasi kliniknya, dan respon yang dramatik terhadap
pengobatan menyebabkan penelitian semacam itu sulit dilakukan. Karena itu salah satu
faktor yang menentukan dalam penanganannya adalah pengetahuan yang cukup tentang
patofisiologis syok anafilaksis, efek mediator terhadap organ-organ, efek farmakologis
obat terhadap mast cell dan organ-organ yang terkena. Hal-hal di atas akan dicoba
dibahas secara singkat dalam makalah ini, dengan penekanan pada tindakan
penangannya.

PATOFISIOLOGI
Aktifitas immunologis dan nonimmunologis
Bila suatu antigen memasuki tubuh baik melalui kulit, saluran nafas, maupun
makanan maka sel-sel plasma (mast cell dan basofil) akan membuat antibodi jenis IgE
yang spesifik. Antibodi ini mempunyai bagian yang dapat berikatan dengan reseptor
yang cocok pada sel plasma (Fc), juga mempunyai bagian yang berperan dalam
mengenali dan mengikat antigen (Fab). Proses ini disebut sensitisasi.
Bila suatu saat antigen serupa masuk lagi ke dalam tubuh, maka antigen ini akan
dikenali dan diikat oleh bagian Fab dari IgE yang telah terbentuk sebelumnya.
Pengikatan antigen dengan 2 molekul IgE yang melekat pada sel plasma (bridging) akan
mencetuskan suatu rangkaian reaksi biokimia intraseluler yang menghasilkan pelepasan
mediator-mediator antara lain histamin, ECF-A (Eosinipholic Chemotactic Factor of
Anapylaksis, NCF (Neutrophilic CF), SRS-A (Slow Reacting Substance of

Untuk TUGASMAS 597


598
Anaphylaksis = Leukotrien). Mediator yang bersifat fisiologis aktif inilah yang
kemudian pada organ-organ tubuh yang menimbulkan tanda-tanda anafilaksis.

Reaksi biokimiawi dalam sel


Aktivasi immunologis pada sel plasma ini ternyata menyebabkan perubahan
bifasic kadar cAMP dalam sel, mula-mula kadarnya meningkat kemudian menurun
tajam karena mengalami hidrolisis. Penurunan ini ternyata disertai dengan pelepasan
mediator-mediator. Bila penurunan kadar cAMP dapat dicegah, pelepasan mediator
ternyata tidak terjadi. Katekholamin (mis. Epinefrin) dapat meningkatkan produksi
cAmp, sedangkan Xanthin (mis. Aminopilin) dapat mencegah degradasi cAMP, oleh
karenanya keduanya sangat penting dalam mengatasi anafilaksis.

Peranan ion kalsium


Ca++ ikut berperan dalam proses biokimiawi dalam sel tersebut. Aktivasi
immunologis menyebabkan permeabilitas dinding sel terhadap kalsium meningkat.
Masuknya ion kalsium ke dalam ternyata menurunkan kadar cAMP diikuti degranulasi
dan lepasnya mediator.

Tanda-tanda dan Gejala-gejala Anafilaksis


Mediator yang lepas mempengaruhi sistem pernafasan, kardiovaskuler, kulit dan
gastrointestinal. Manifestasi fisiologisnya dapat diperkirakan.
Umumnya makin cepat timbulnya tanda-tanda dan gejala-gejala tersebut, makin berat
anafilaksisnya. Manifestasi yang paling berbahaya, adalah pada sistem pernafasan dan
kardiovaskuler.
Efek mediator yang paling berat pada sistem pernafasan berupa bronkhospasme, edema
saluran napas dan edema paru akut yang menimbulkan hipoksemia dan
asidosisrespiratoprik berat. Tanpa pertolongan kematian dapat timbul dalam waktu
cepat.
Efek pada sistem pernafasan ini yang paling sulit diatasi karena umumnya tidak
tersedia fasilitas yang memadai di tempat kejadian. Pengenalan dini tanda-tanda dan
gejala-gejala anafilaksis diikuti penanganan yang cepat dan agresif di tempat kejadian
sangat menentukan nasib penderita.
Efek mediator pada sistem kardiovaskuler berupa ;
1. Vasodilatasi pembuluh darah yang menyebabkan hipovolemia yang relatif.

Untuk TUGASMAS 598


599
2. Kenaikan permeabilitas kapiler dan terjadi perembesan cairan intravaskuler ke
intrerstitial yang menyebabkan hipovolemia absolut.
3. Gangguan inotropik otot jantung
Terjadi hipotensi sampai syok berat, hipoksemia dan asidosis metabolik yang jelas akan
memperberat hipoksemia dan asidosis akibat gangguan pernafasan.

TERAPI FARMAKOLOGIS
Obat-Obatan
Obat-obatan yang dipergunakan dalam terapi anafilaksis umumnya ditujukan
untuk ;
1. menghambat sintesis dan lepasnya mediator
2. blokade reseptor jaringan terhadap mediator yang lepas
3. mengembalikan fungsi organ terhadap pengaruh mediator
Berdasarkan tujuan utama diatas maka terdapat 4 jenis obat yang sering dipakai
dalam terapi anafilaksis, yaitu golongan kathekholamia, golongan penghambat
fosfodiesterase (xanthin), antihistamin dan korkikosteroid.

Cairan
Disamping mengatasi gangguan nafas dan sirkulasi dengan obat katekholaamin,
pemberian cairan mungkin adalah merupakan terapi yang terpenting pada anafiloksis.
Pemberian cairan ditujukan untuk mengatasi syok hipovolemia dan meningkatkan
kompensasi kardiovaskulernya. Selain itu dengan adanya saluran infus pemberian obat-
obatan selanjutnya akan lebih mudah.
Cairan yang diberikan dapat berupa cairan kristaloid dan koloid untuk
mengganti cairan plasma yang merembes keluar. Dalam hal ini cairan kolloid lebih
menguntungkan, karena cairan ini akan lebih lama tinggal dalam sirkulasi dibandingkan
kristaloid.

Tindakan dan Pengobatan Syok Anafilaksis


Untuk menjamin keberhasilan penanganan anafilaksis diperlukan suatu
persiapan yang matang dan adanya rencana terapeutik yang jelas. Dengan selalu
berpikir bahwa dalam melakukan suatu tindakan kemungkinan yang terburuk dapat
terjadi (anafilaksis berat) dan siap untuk menghadapi dengan adanya rencana teraupetik
yang jelas, diharapkan akibat buruk dari anafilaksis dapat dikurangi.

Untuk TUGASMAS 599


600
Dibawah ini diuaraikan pedoman tindakan praktis dan pengobatan syok
anafilaksis. Pedoman ini diharapkan dapat dipakai dan masih dalam jangkauan untuk
dilakukan oleh dokter didaerah.

A. PERSIAPAN

1. Persiapan mental, pengetahuan dan ketrampilan


Persiapan mental adalah adanya kewaspadaan yang tinggi bahwa setiap waktu
syok anafilaksis dapat terjadi. Persiapan pengetahuan tentang :
- garis besar mekanisme syok anafilaksis
- farmakologi obat-obatan yang dipakai
Sebagaimana telah dikemukakan sebelum ini.
Persiapan ketrampilan untuk :
- menyuntik intravena, sublingual dan transtracheal
- memasang infus
- resusitasi jantung-paru tanpa alat-alat
2. Persiapan fasilitas, alat dan obat
Persiapan fasilitas dan alat :
- pikirkan untuk menidurkan penderita dalam posisi syok pada alas yang
keras.
- Penerangan yang cukup, agar tindakan dan observasi dapat dilakukan dengan
baik.
- Pikirkan kemungkinan untuk memasang infus dan menggantung botol.
- Tensimeter yang berfungsi baik.
- Sempi ukuran 1-2,5-5-10 ml. Dengan jarum yang tajam.
- Jarum/kateter intravena untuk infus.
- Set infus.
- Tabung oksigen beserta regulator, flowmeter, selang, dan kanula
nasal/masker bila mungkin.
- AMBU bag bila mungkin.
- Jalan napas orofaring.
Persiapan obat-obatan :
- andrenalin siap disemprit tiap kali mulai praktek.
- Simpatomimetik yang lain : efedrin, metaraminol, dopamin.
- Antihistamin : difenhidramin (Benadryl).

Untuk TUGASMAS 600


601
- Kortikosteroid : hidrokortison, deksametason.
- Cairan kristaloid : Ringer laktat. NaCl 0.9%.
- Cairan kolloid (kalau mungkin) ; gelatin, dekstran atau albumin.
Prioritas pertama dalam pertolongan adalah pernafasan. Jalan napas yang terbuka dan
bebas harus dijamin. Kalau perlu lakukan sesuai dengan ABC-nya resusitasi.
Terapi farmakologis harus diberikan secepat mungkin dengan andrenalin,
dengan cara seperti di atas. Dosis ulangan dapat diberikan bila perlu dengan interval 5-
10 menit. Disamping andrenalin aminofilin juga merupakan terapi primer untuk
anafilaksis.
Antihistamin dan kortikostreroid adalah obat sekunder untuk anafilaksis. Setelah
keadaan stabil dapat diberikan :
- difenhdramin = 25-50 mg atau 1mg/kg BB untuk anak kecil, diberikan
dengan interval 4-6 jam.
- Kortikosteroid = 100-200 mg iv dengan interval yang sama.
Koreksi cepat hipovolemia sangat penting dalam terapi anafilaksis. Dipasang jarum
infus ukuran besar. Bila vena perifer masih tetap kolaps dapat dicoba memasang melalui
vena jugalaris eksterna. Karena terjadi hemokonsentrasi (kehilangan plasma) koreksi
dapat diberikan secara lebih akurat dengan pedoman pemeriksaan hematokrit secara
serial (dengan catatan tidak ada perdarahan sebelum dan pada waktu kejadian).

PENUTUP
Syok anafilaksis adalah peristiwa yang akut dan menyebabkan kematian.
Betapapun dengan persiapan yang marang, antisipasi, pengenalan dini dan terapi yang
cepat dan tepat malapeka tersebut dapat dihindari.
Terapi farmakologi dengan obat-obatan seperti epinefrin dan aminofilin dapat
menurunkan sintesa mediator intraseluler dan pelepasaanya dan mengatasi pengaruhnya
pada organ-organ. Tidak boleh dilupakan adalah usaha-usaha untuk menjamin jalan
napas yang bebas dan mengembalikan volume intravaskuler.

Untuk TUGASMAS 601


602

Untuk TUGASMAS 602


603

SHOCK SEPTIK
PERMASALAHAN DAN PENANGANANNYA
Tommy Sunartomo
Lab. / UPF Anestesiologi
F.K. Unair / RSUD. Dr. Soetomo

I. DEFINISI
a. Shock
Weil : syndroma klinik yang ditandai dengan kelemahan, kulit yang pucat, dingin
dan basah, vena superfisial kolaps, gangguan mental dan produksi urine
menurun sebagai akibat berkurangnya perfusi efektif ke jaringan dan pelepasan
oksigen di kapiler. Tensi sistolik kurang dari 90 mmHg atau menurun lebih dari
50 mmHg dari tensi awal pada keadaan hipertensi (15).
Maclean :
Keadaan dimana aliran darah ke organ vital tidak adekwat atau kegagalan dari
sel organ vital untuk mempergunakan oksigen (5).
b. Sepsis
Rackow :
Respon sistemik terhadap infeksi yang ditandai dengan demam atau hiportemi,
perubahan mental dan tampak toksik.
c. Septisemia
Rackow :
Beredarnya mikroorganisme atau jamur atau produk-produknya dalam sirkulasi
darah yang menimbulkan gejala-gejala sistematik berupa demam atau
hipotermia, perubahan mental dan tampak toksik (12) Bakteremia
Pan Med Dalin :

Untuk TUGASMAS 603


604
Demam yang mengancam 38.5 C atau lebih yang bertahan selama minimal 24
jam atau yang berulang paling sedikit 4 kali dalam 24 jam dengan atau tanpa
pemberian obat antipiretika (16). Untuk neonatus ada.
d. Shock septik
Gangguan hemodinamik dan metabolik sebagai suatu akibat suatu infeksi/sepsis.

II. P E N D A H U L U A N
Sepsis dan shock septik merupakan salah satu penyebab morbiditas dan
Mortalitas yang utama di unit perawatan intensif untuk kasus medik maupun kasus
Bedah. Meskipun telah banyak kemajuan dibidang penelitian, fisiologi, monitoring
Farmakologi dan resusitasi, tetapi angka kematian shock septic masih bertahan sekitar
40-80 % . Sebagai penyebab kematian adalah hipotensi yang tak teratasi, gagal jantung
dan gagal organ multiple.
Di Amerika serikat tiap tahun diperkirakan ada 330.000 penderita bakteremia
gram negatif (3, 12). Jumlah ini diperkirakan akan terus meningkat mengingat makin
meluasnya penggunaan antibiotika dan kenaikan insidens penderita “immuno
compromised” (9).
Banyak perbedaan pandangan dan pendapat di antara para ahli tentang shock
septik dalam hal penggolongan, patofisiologi dan terapinya. Sebagai contah Maclean
memasukkan shock septik pada golongan “celluler defect” karena kelainan yang primer
akibat sepsis pada sel, sehingga tidak mampu mengambil (up take) oksigen walaupun
ada peningkatan aliran darah ke jaringan, dengan hasil akhir hipoksia jaringan tetap
terjadi.
Sedangkan Weil menggolongkan shock septik sebagai “shock distributif” karena
endotoksin atau mediator lainnya menyebabkan turunnya penekanan tahanan perifer
yang menyebabkan adanya distribusi darah di perifer / sistem vena.
Dalam makalah ini akan dibicarakan permasalahan dan penangan shock septik serta
beberapa pengalaman perawatan penderita shock septik di I.C.U RSUD Dr. Soetomo.

III. ETIOLOGI
Penyebab shock septik yang paling sering adalah kuman gram negatif. Di Amerika tiap
tahun didapatkan kurang lebih 330.000 penderita sepsis oleh kuman gram negatif yang
25% diantaranya mmengalami shock septik (12). Escherichia coli, Krebsiella
merupakan kuman negatif yang paling sering menyebabkan shoick septik.

Untuk TUGASMAS 604


605
Disamping kuman gram negatif kuman gram positif terutama juga dapat menyebabkan
shock septik.

IV. `PATOFISIOLOGI
Tidak semua septisemia/bakteremia disertai shock. Di Amerika Serikat dari 330.000
penderita bakteremia negatif hanya 25% disertai shock (12).
Bagaimana mekanisme terjadinya shock yang menyertai suatu seposis belum
seluruhnya diketahui dengan jelas (1,8,9).
Banyak ahli berpendapat bahwa endotoksin dan mediator endogen mempunyai peranan
yang penting untuk terjadinya shock.
Pada hewan percobaab penyuntikan endotoksin dengan dosis tertentu menimbulkan
demam, neutropenis dan hipotensi dan bila dosis ditingkatkan terjadi hipotensi yang
fatal (8,9). Tiap spesies hewan mempunyai reaksi yang berbeda terhadap endotoksin.
Pada manusia volunteer, pemberian endotoksin dosis kecil menyebabkan peningkatan
cardaic output, menurunkan sistemik Vascular Resistenct (VR), normal stoke volume
(SV), Left Ventrickle Enjection Fraction (LVEF) menurun, dan Left Ventrickle and
Diastolic Volume (LVEDV) meningkat. Perubahan kardiovaskuler ini identik dengan
apa yang terlihat pada shock septik.
Untuk lebih jelasnya Parrillo (8) menggambarkan patofisiologi terjadinya shock
septiksebagai berikut.
Mikroorganisme dari sumber infeksi melakukan migrasi ke aliran darah dan
merangsang terbentuknya beberapa mediator yang masing-masing mempunyai
kemampuan boilogis tersendiri. Tindakan operatif dan instrumentasi dapat mempercepat
proses migrasi ini. Pada beberapa infeksi ini, mikro organisme ini tetap berada di
tempatnya, tapi dilepas beberapa mediator yang mempunyai efek sismatik.
Mediator-mediator diatas dapat menimbulkan bermacam-macam perubahan
metabolisme dan gangguan fisiologis, misalnya kesulitan sel untuk “up take” oksigen.
Efek mediator pada sistem kardiovaskuler, berakibat langsung pada pembuluh darah
dan pada jantung.
Pada pembuluh darah dapar berupa vasodilatasi arteri dan vena, vasokonstriksi,
gangguan permebilitas endotel yang menyebabkan kebocoran kapiler, meningkatkan
agregasi sel-sel darah yang menyebabkan terjadinya mikroemboli.
Pada jantung, juga berakibat langsung pada otot jantung sehingga menurunkan ejection
fraction bilik kiri (LVEJ) dilatasi bilik kiri (LVEDV naik) dan gangguan compliance
bilik jantung.

Untuk TUGASMAS 605


606
Hal diatas akan menurunkan kemampuan fungsi kardiovaskuler, yang bila berlangsung
terus aakan menimbulkan kematian karena :
- hipotensi berat akibat penurunan Systemic Vasculer Resistance (SVR).
- Hipotensi berat akibat penurunan Cardiac Output (CO).
- Gagal organ multipel (ginjal, hati, paru dan otak).
Jadi endotoksin yang terdiri dari molekul Lipo Poly Saccharide (LPS) merupakan faktor
penting untuk terjadinya shock septik, tetapi bukan satu-satunya faktor, masih ada
mediator lain yang ikut berperan (8,9).

V. GAMBARAN KLINIS
1. Hyperdynamic/warm septic shock
Merupakan stadium permulaan, terlihat penderita hyperventilasi,
alkalosis respiratorik, CVP normal atau meningkat, hipotensi, tachycardia,
cardiac output meningkat, cardiac index meningkat, systemic vasculer resistance
rendah, vasodilatasi, oliguria, ekstremitas hangat, merah dan kering. Perbedaan
O2 di arteri dan vena sempit (A-V DO2) berarti up take O2 rendah, timbul
lacticacidemia ringan, (A-V) DO2 yang sempit dan up take O2 yang rendah,
kemungkinan karena bertambahnya A-V shunt perifer dan defect celluler, seperti
apa yang digambarkan Maclean (5).
Hasil pemeriksaan Lab pada fase ini belum banyak kelainan (1.5).
2. Hypodynamic/cold septic shock.
Merupakan stadium lanjut dari warm shock yang tak mendapat terapi
dengan adekwat atau merupakan stadium awal pada penderita sepsis yang telah
ada hipovolemia atau kelainan jantung sebelumnya.
Gambaran klinis mirip penderita hipovolemik yaitu hipotensi, tachycardia, CVP
rendah, cardiac output menurun, vasokonstriksi, systemic vascular resistance
meningkat, ekstrimitas dingin, basah, pucat dan cyanosis, urine menurun, kadar
asam laktat meningkat yang menyebabkan asidosis metabolik dan memperjelek
prognosa.
Kelainan hipovolemik ini disebabkan berpindahnya cairan dari intravaskuler ke
ekstravaskuler akibat kenaikan permebilitas kapiler (kebocoran kapiler).

VI. T E R A P I

Untuk TUGASMAS 606


607
Karena angka kematian shock septic yang tinggi terutama pada stadium lanjut
(cold shock), maka pada penderita sepsis terapi yang adekwat sudah harus segera
diberikan sebelum berkembang menjadi shock septik.
Terapi ditujukan terhadap penyebab (causal) dan terapi yang bersifat suportif.
a. Terapi causal / definitif

1. Hilangkan sumber infeksi, dengan cara :


- operasi
- drainase/irigasi
- pencabutan kateter intravena, intravesikal, dan lain-lain
2. Berikan antibiotika yang sesuai dengan kuman penyebab (bila ada hasil
`pembiakan/test kepekaan) atau dengan kuman penyebab (bila belum ada hasil
pemeriksaan/test kepekaan).
Pilihlah antibiotika yang efektif, aman, rasional, mutu dan murah, seperti yang
tercantum dalam buku Pedoman Penggunaan Antibiotika (17).

b. Terapi suportif
Dasar terapi : V.I.P + P.S
1. V= Ventilate
Untuk mencegah hipoksemia dan hipoventilasi, dengan cara :
a. oksigen terapi :
- Nasal prong : aliran O2 2-4 1/m, bila ada hipoksemia ringan.
- Masker : aliran O2 4-6 1/m, bila ada hipoksemia sedang.
- Masker + kantong nafas : aliran O2 8-12 1/m, bila ada hipoksemia berat.
b. nafas buatan :
- bila ada hipoventilasi (paCo2 > 50 mmHg) atau gagal nafas (paCo2 < 50
mmHg, paCo2 > 50 mmHg).
c. fisio terapi nafas
- untuk mencegah atalektasis dan retensi sputum
d. monitoring :
- fisik
- foto paru/toraks
- gas darah

2. I = Infus

Untuk TUGASMAS 607


608
- pasang infus perifer dan C.V.P kateter.
- dalam episode shock septik ada kemungkinan terjadi hipivolemia, karena
“kebocoran” kapiler, yang bila tidak segera dikoreksi akan menjurus ke
hypodynamic stage dengan prognosa yang lebih buruk.
- pemberian cairan dapat di monitor dengan C.V.P, tensi, nadi, sensorium dan
produksi urine, sehingga didapat volume darah yang efektif/adekwat.
- cairan yang diberikan berupa Ringer Lactat, atau plasma ekspander atau larutan
albumin tergantung kebutuhan.
- di sini termasuk pemberian nutrisi yang adekwat.
Proses katabolisme meningkat pada sepsis yang bila tidak diikuti dengan
pemberian nutrisi yang adekwat, akan terjadi “muscle wasting’ dan balans
nitrogen yang negatif.
3. P = Pump
Pada sepsis, pelepasan mediator endogen, menyebabkan depresi pada miokard
dan sistem vaskuler, sehingga terjadi insufiensi kardiovaskular (8).
Untuk restorasi sistim kardiovaskuler diperlukan perbaikan :
a. Pre load : dilakukan test cairan dengan monitoring C.V.P atau PCWP
sehingga didapat tensi, nadi dan perfusi yang baiki.
Menurut Maclean, pada penderita yang baru sembuh dari shock, volume
efektif yaitu volume darah yang memberikan tensi, nadi, perfusi dan
produksi urine yang baik, dicapai pada CVP antara 10-20 cm H2O (5) atau
PCWP 12 mmHg (7). Lebih besar dari itu mengancam timbulnya edema
paru.
b. contractillity : dipertimbangkan pemberian kardiotonika bila dipovolemi
sudah teratasi tetapi tensi, perfusi dan produksi urine belum adekwat.
Dapat diberikan : - Dopamin 5-15 ug/kgBB/menit dan atau
- dobutamin 5-15 ug/kgBB/menit.
c. After load : pada keadaan hipodinamik (cold shock) terjadi vasokonstriksi
yang hebat. Bila tidak ada perbaikan dengan pemberian volume,
dipertimbangkan pemberian nitro glycerin. Dari pengalaman Cerra dan
kawan-kawan, 8 penderita yang diberikan nitrate tropical, 5 orang hidup.
Obat lain seperti nitroprusside (pre load + after load), hydralazine (after
load) dapat dipertimbangkan.

4. P = Pharmacologic

Untuk TUGASMAS 608


609
Obat-obat yang lain :
a. Steroid :
Masih merupakan hal yang kontroversial. Menurut Schumer (10) steroid dosis
tinggi meningkatkan survival rate penderita shock septic.
Dari penelitian Sprung (13), steroid dosis tinggi memberikaan perbaikan pada
shock septik dini.
b. Obat-obat kontroversal lain :
- prostaglandin
- naloxone
- indomethacin/ibuprofen
- fibronectin
5. S = Specific/surgical
Tindakan spesifik (medik/bedah) yang ditujukan kepada komplikasi :
- koagulopati
- perdarahan gastrointestinal
- gagal organ

VII. PENGALAMAN DI I.C.U DR. SOETOMO


Sejak januari 1989 sampai dengan desember 1989 secara retrospektif diteliti
kasus shock septik di ICU Dr. Soetomo Surabaya.
Jumlah penderita 19 orang, umur tertua 65 tahun dan termuda 5 tahun, dengan rincian
peritonitis 4, trauma thorax 2, patah tulang leher 3, Guillain Bacre Syndrome 3, trauma
abdomen 2, ekslampsia 2, tenggelam 1, tetanus 1, dan pasca TVR 1.
Semua penderita dilakukan intubasi endotrakheal, mendapat nafas buatan, dipasang
kateter dan dauer kateter. Dilakukan pemeriksaan lab rutin, pembiakan darah, sputum
dan urine.

VIII. K E S I M P U L A N

1. Shock septik masih mempunyai angka mortalitas yang tinggi, oleh karena itu lebih
ditekankan pada segi pencegahan.
2. Patofisiologi shock septik sampai saat ini masih belum jelas seluruhnya.

Untuk TUGASMAS 609


610

ANALISA GAS DARAH


DR.Dr. Eddy Rahardjo, DSAn
Lab. Anestesiologi FK Unair / RSUD Dr. Soetomo Surabaya

I. PENDAHULUAN

Untuk fungsi yang normal dari semua enzim dan proses metabolisme sel-sel
tubuh diperlukan suasana asam basa yang baik. Milliue interiur tubuh sendiri tidak
begitu saja aman terhadap gangguan-gangguan dari luar. Gangguan pernafasan sedikit
saja sudah akan menyebabkan perubahan pH darah melalui reaksi CO 2 + H2O menjadi
H + HCO3.
Stabilitas pH adalah syarat mutlak untuk menjamin kehidupan dan survival. Mekanisme
pertahanan tubuh untuk menjaga pH dalam batas aman meliputi mekanisme
pengendalian pernafasan di paru, mekanisme pengendalian ion Hidrogen di ginjal
disamping mekanmisme Buffer. Perubahan asam basa dan gas darah adalah proses
biokimia yang mencerminkan perubahan di tingkat bioseluler. Data asam basa ini daoat
menjadi pertanda yang dini (early tracer)untuk mendeteksi perubahan-perubahan klinis
yang akan segera mengiringinnya. Kejadian tragis seperti cardiac arrest karena
gangguan elektrolit dan pernafasan dapat di ramalkan beberapa menit bahkan beberapa
jam sebelumnya bila dilakukan blood gas monitoring dengan baik. Makalah ini akan

Untuk TUGASMAS 610


611
membahas sedikit teori untuk landasan membaca hasil pemeriksaan gas darah. Bahasan
juga akan disertai contoh-contoh diahnose serta upaya jalan keluar untuk menguasai
kesulitan tersebut.

2. KESEIMBANGAN ASAM BASA

Lazimnya, keseimbangan yang menjadi fokus pemeriksaan adalah dalam darah


arterial karena darah inilah yang membawa oksigen dan nutrisi sampai tingkat sel-sel di
jaringan. Untuik mendapatkan data tersebut maka diperlukan sample darah dari arterial.
Darah yang diambil harus dipertahankan tidak membeku dengan menambahkan zat
antikoagulasi, yaitu heparin di dalam spuit sample. Selanjutnya sample diperiksa secara
anaerobik. Keadaan anaerobik ini sangat penting karena jika ada sedikit saja gelembung
udara pada permukaan darah, akan terjadi difusi gas antara CO2 dan O2 terlarit dalam
gas yang berada dalam gelembung udara tersebut. Pada waktu-waktu yang lalu sebelum
ditemukannya elektrode pemeriksaan pH, pCO2, lazim dipakai metode van Slijk untuk
mengukur total CO2. Angka ini harus ditafsirkan berbeda dengan pengukuran gas darah
arterial. Alat analisa gas darah mengukur pH dan pCO2 dengan elektrode khusus.
Hasil tersebut di-plot pada nomogram Siggard-Andersen untuk memperoleh “derived
values” dari Base Excess / Deficit, Bicarbonate dan total CO2 . Kadar pO2 diukur
demgan elektrode lain.
Empat parameter pokok yang penting untuk diagnosa keadaan akut dan memulai terapi
adalah : pO2, pH, pCO2 dan BE.

NaOH Na- + OH

2.1. Harga Normal

pO2 : 80-100 mmHg


pH : 7.35-7.45
pCO2 : 35-45 mmHg
BE : -2 - +2
HCO3 : 21-25 mMol/L
Data gas darah dapat dibaca berdasarkan kriteria normalitas tersebut diatas. Namun,
secara sendiri-sendiri data ini tidak mempunyai arti klinis. Data gas darah minimal
harus dibaca dalam satu paket yang meliputi pO2, pH, pCO2 dan BE.

Untuk TUGASMAS 611


612
pO2 < 80 mmHg menunjukan keadaan hipoksia yang menyebabkan sel terpaksa
melakukan metabolisme anaerobik. Sebaliknya pO2 > 100 menunjukan hiperoksia,
keadaan yang ditimbulkan oleh pemberian oksigen yang berlebihan. Hiperoksia yang
berlangsung lama dapat menimbulkan oxygen-toxicity.
Selanjutkan, untuk mendapatkan gambaran lebih lengkap yang menyangkut apakah
penyimpangan keseimbangan asam basa telah diikuti kompensasi, ataukah kompensasi
sudah mulai lumpuh dan apakah terjadi kelainan ganda, diperlukan cara membaca yang
lain. Dengan menggunakan diagram ERS berikut ini, penyimpangan dari harga normal
dapat segera di diagnosa jenis dan penyebabnya.

2.2. Cara Membaca Data


a. tentukan asidosis atau alkolis : baca pH
b. tentukan penyebab primer dari asidosis atau alkolosis
- baca pCO2 : jika menyimpang searah dengan pH respiratorik
- baca BE : jika menyimpang searah dengan pH metabolik

Untuk TUGASMAS 612


613

Untuk TUGASMAS 613


614

MASALAH GAGAL NAPAS DAN PERNAPASAN BUATAN


PADA ANAK
Bambang Wahjuprajitno, Eddy Rahardjo, Tommy Sumartono
Lab/UPF Anestesiologi FK. Unair
S U R A B AY A

PENDAHULUAN

Sistem pernafasan adalah salah satu sistim tubuh yang pertama-tama harus
dinilai pada kegawatan yang mengancam jiwa. Bila pernafasan sampai berhenti maka
dengan cepat akan terjadi kerusakan sel-sel yang bisa berakibat fatal bila tidak cepat
diatasi. Dalam pertolongan penderita dengan kegawatan napas umumnya yang
dilakukan pertama-tama adalah pemberian oksigen dan atau bantuan napas buatan,
tergantung dari macam dan derajat gangguan napasnya. Pemberian napas buatan ini
dalam keadaan darurat dapat dilakukan tanpa alat (mouth to mouth) atau dengan
bantuan alat yang sederhana seperti Safar Airway, T-piece, Ambu bag maupun bag and
musk. Namun tentu saja dengan alat ini bantuan napas tidak dapat dilakukan dengan
baik dan terus menerus untuk jangka waktu yang lama. Untuk itu diperlukan suatu
ventilator atau respirator yang digerakkan tekanan gas atau tenaga listrik. Dengan
perkembangan yang pesat dalam ilmu kedokteran dan teknologi, maka napas buatan
saat ini dapat diberikan dalam jangka waktu yang praktis tak terbatas.
Dari pengalaman kami lebih kurang 10 tahun yang lalu dengan ventilator yang
sederhana dan sarana yang terbatas kami dapat memberikan pernapasan buatan pada
seorang anak kecil sampai hampir 2 tahun. Pada saat ini ventilator yang canggih yang
dikendalikan oleh suatu mikroprosesor sebagai otaknya, mempunyai ketepatan dan
kemampuan yang jauh lebih baik dari ventilator terdahulu. Dengan kemampuan tersebut
diharapkan akan didapatkan hasil yang lebih baik, yaitu penderita lebih dapat
diselamatkan dengan lebih mudah.
Dalam kenyataan tidaklah selalu terjadi seperti apa yang dibayangkan. Memberi
pernapasan buatan dengan ventilator, terutama pada anak kecil, tidaklah segera selesai
masalahnya setelah penderita diintubasi dan ventilator disambung.
Masalah-masalah justru timbul setelah dan akibat pemasangan ventilator
tersebut, yang bila diabaikan akan dapat menyebabkan penyulit lain yang dapat
membawa kematian. Jadi sesungguhnya pernapasan buatan adalah suatu obat juga

Untuk TUGASMAS 614


615
karena mmempunyai indikasi, dosis, cara pemberian dan efek samping. Hasil dari terapi
pernapasan buatan ini akan sangat ditentukan oleh kwalitas perawatan dan terapi
pernapasan yang diberikan selama 24 jam sehari dan 7 hari per minggu.
Diperlukan staffmedis yang siaga terus-menerus, karena perubahan-perubahan
yang cepat pada kondisi penderita memerlukan penanganan yang tepat dan segera,
karena dapat berakibat fatal, bila tertunda beberapa menit saja . Suatu tim yang
multidisipliner dengan kerja sama dan komunikasi yang erat dengan fasilitas yang
cukup memadai akan memberikan hasil yang optimum. Dalam makalah ini akan
dibahas perbedaan-perbedaan yang berhubungan dengan pemberian napas buatan
dengan anak / bayi dibandingkan pada dewasa, cara pemberian napas buatannya,
keruntungan dan kerugiannya masing-masing dan penyulit-penyulit yang mungkin
timbul.

PERBEDAAN ANATOMI DAN FISIOLOGI SISTEM PERNAPASAN


Saluran napas bagian atas anak-anak lebih mudah mengalami obstruksib karena :
a. Nares kecil sedangkan anak kecil bernapas terutama lewat hidung.
b. Glottis dan trachea diameternya kecil sehingga edema sedikit saja
akan cukup menimbulkan penyempitan yang nyata.
c. Lidah yang relatif besar.
d. Jaringan limfe yang banyak.
Selain itu terdapat perbedaan struktur-struktur lain pada saluran napas buatan yaitu :
a. Larynx terletak lebih cephaland
b. Epiglottis panjang dan kaku menonjol ke arah posterior.
c. Tracea diameternya paling kecil di daerah cartilago ericoides.
d. Jaringan ikat kendor dibawah pilka mudah mengalami edema.
Tulang iga anak letaknya lebih horisontal sehingga thorax berbentuk silindris. Hal ini
mengakibatkan ototintercostal tidak berperan banyak dalam pernapasan, dan
ekspansinya tergantung sepenuhnya pada gerakan diagfragma. Bila isi abdomen
meningkat maka gerakannya akan sangat terbatas.
Dinding thorax sendiri lebih compliant dan terdiri dari banyak tulang rawan, sehingga
pada bayi dengan RBS dan obstruksi napas sering terlihat paradoksal waktu inspirasi.
Faktor lain yang mengakibatkan terbatasnya kemampuan anak kecil menaikan tidal
volumenya adalah insersi diagfragma yang hampir horisontal sehingga bagian bawah
dada akan tertarik kedalam waktu bernapas. Dengan demikian bila terjadi distres napas
respon anak lebih cenderung berupa tachynae dan retraksi daripada hypernnea.

Untuk TUGASMAS 615


616
Perkembangan paru sampai minggu ke 28 dimana janin beratnya sekitar 1 kg, belum
sempurna untuk berfungsinya pertukaran gas yang cukup.
Alveoli dengan lapisan tipis surfactant dan jaringan pembuluh darah kapiler baru mulai
matur sesudah minggu ke 28 tersebut.
Pada waktu lahir terminal air sacs berbentuk pendek dengan leher yang lebar dan
alveoli dilapisi oleh epitel yang cuboid. Sewaktu menjadi mature epitel menjadi pipih
dan lebih permiableterhadap pertukaran gas.
Luas permukaan alveoli lebih kurang sepertiga dewasa dan karena metabolik ratenya
sekitar 2x dewasa, maka sesungguhnya cadangan paru (lung reserve) adalah sangat
terbatas. Jumlah alveoli sendiri akan meningkat 10 kali lipat setelah dewasa. Beberapa
data dari sistem pernapasan anak dibandingkan dengan dewasa dapat dilihat pada tabel
(15).

PENILAIAN FUNGSI PERNAPASAN PADA ANAK

Dalam menilai fungsi pernapasan pada anak adalah sulit untuk melakukan
pengukuran parameter-parameter volume paru karena kecilnya paru anak. Dengan
demikian kita sangat menguntungkan pada penilaian tanda-tanda klinis dan pemeriksaan
yang berulang-ulang untuk mengetahui kemajuan dan kemunduran fungsi
pernapasannya.
Tanda-tanda klinis dari pernapasan akut adalah :
1. Tachypnea dan tachycardiac
2. Retraksi
3. Pernapasan cuping hidung
4. Grunting
5. Apneic spell (20 menit)
Tanda-tanda lain yang tidak reliable adalah :
1. Pola napas , bagi prematur sering pola napasnya tidak teratur.
2. Warna, pada neonatus sering terdapat sianosis perifer dalam hal ini warna dinding
mukosa lebih penting dari warna kuku.
3. Suara napas, sukar dinilai bila terdapat grunting dan retraksi intercostal
Pemeriksaan gas darah dengan fungsi arteri untuk menegakkan diagnose gagal napas
yang ada pada orang dewasa dapat dengan mudah dilakukan, pada neonatus sulit
dikerjakan, selain itu dapat pula menyebabkan trombosit.

Untuk TUGASMAS 616


617
Ada cara lain untuk mengambil darah kapiler di tumit atau telinga yang nilainya cukup
akurat asal tidak terdapat gangguan fungsi perfusi perifer.
Diagnose kegagalan napas dapat kita pastikan bila :
 paO2 kurang dari 50 torr pada FIO2 1.0
(kurang dari 30 torr pada penyakit jantung sianotik)
 paCO2 lebih dari 75 torr
Segera setelah diagnose gagal napas ditegakkan, maka penanganan yang agresif dengan
intubasi endotracheal dan pernapasan buatan harus segera dilakukan untuk mengurangi
kerja napas, (work of breating) dan mencukupi kebutuhan oksigen anak.

PENYEBAB KEGAGALAN NAPAS AKUT

Beberapa penyebab kegagalan napas akut pada neonatus dan bayi antara lan :
1. IRDS (Infant Respiratir Distress Syndrome, Hyaline membran disese)
2. Penyakit jantung kongenital
3. Pneumonia
4. Pneumonia aspirasi meconium
5. Hernia diamagfratika
6. Omphalocele
7. TEF
8. Gangguan CNS : - perdarahan ; kenaikan TIK
9. Depresi obat-obatan : - sedasi ibu ; keracunan
10. Trauma

PERNAPASAN BUATAN DAN CARA PERNAPASAN BUATAN

Pernapasan buatan pada neonatus dan anak kecil dilakukan bila setelah diberikan
terapi oksigen sampai dengan FIO2 1.0 tanda-tanda klinis dan gas darah tidak
menunjukkan perbaikan.
Tujuan dari pemberian napas buatan ini adalah untuk menurunkan kerja napas dan kerja
jantung akibat respon simpatis terhadap hipoventilasi sehingga balance antara oksigen
supply (meningkat) dan oksigen demand (menjadi turun) menjadi seimbang sampai
gagguan parunya sendiri menyembuh.

Intubasi Endotracheal.

Untuk TUGASMAS 617


618
Agar pernapasan buatan ini dapat dilakukan dengan optimal maka diperlukan
pemasangan pipa endotracheal. Dengan pemasangan pipa ini maka jalan napas menjadi
terjamin pembersihan jalan napas menjadi lebih mudah dan distensi lambung dapat
dicegah. Ada beberapa macam pilihan pemasangan pipa endotracheal ini, yitu dengan
intubasi lewat mulut, lewat hidung atau tracheotomy. Intubasi orotracheal menyebabkan
rasa kurang nyaman pada penderita, mudah lepas karena fiksasinya kurang kuat, mudah
mengalami obstruksi karena gigitan.
Karena itu intubasi dilakukan bila hanya diperlukan pemberian napas buatan untuk
waktu singkat saja, misalnya untuk mengembangkan bagian paru atelectasis atau
membersihkan jalan napas dari sekret atau benda asing.
Bila diperlukan napas buatan jangka lama, maka yang dipilih adalah tube nasotracheal
atau traeostomy.
Tracheostomy juga diperlukan untuk pernbapasan buatan yang lebih lama dari 5-7 hari
atau bila sekret sangat produktif.

Respirator.
Ada beberapa macam tipe respirator yang biasa dipakai. Pada dasarnya
respirator consnsional yang bisa dipakai untuk anak harus memenuhi persyaratan-
persyaratan antara lain :
1. Volume controlled respirator
2. Mode assist/control (S) IMV, CPAP, PSV
3. Respirator rate dapat mencapai 60 x/menit atau lebih
4. I : E ratio bisa diukur
5. Gas flow rate sampai 25 LPM
6. PEEP bisa diatur
7. FIO2 dapat diatur dengan tepat
8. Sistem alaram untuk volume, tekanan, kadar oksigen, apnea
9. Heated humidifer dengan temperatur probe dan alaram

CARA PERNAPASAN BUATAN (MODE OF VENTILATION)

1. IPPV (Intermitten Posetive Pressure Ventilation)


Dalam mode ini ventilator tidak sensitif terhadap usaha napas penderita, jadi
ventilasi berada dibawah kontrol respirator yang telah ditentukan sebelumnya.

Untuk TUGASMAS 618


619
Jika status pernapasan atau metabolik penderita berubah maka dapat terjadi hipo atau
hiperventilasi. Dalam keadaan hipoventilasi maka penderita akan berontak (fight)
sehingga respirotor tidak dapat bekerja efektif lagi dan bersamaan dengan itu work of
breating meningkat.
Biasanya ventilasi ini digunakan pada gangguan CNS, neuromuskuler, intosidakksi
obat.

2. Assistet Ventulution
Dalam mode ini setiap usaha napas buatan penderita akan menyebabkan
ventilator memompa saru siklus napas. Jika penderita dapat mengatur sendiri
ventilasinya sesuai dengan kebutuhannya. Pada cara ini maka control mode bekerja
sebagai back up. Bila usaha penderita berkurang maka ventilstor mengambil alih fungsi
napasnya dengan memompa sejumlah volume sesuai dengan yang diatur.

3. IMV (Intermittent Mandatory Ventilation)


Biasanya mode ini dipakai pada penyapihan (weaning) dari ventilator. Di sini
penderita dibiarkan bernapas spontan, tetapi secara berkala sesuai dengan frekwensi dan
volume yang telah ditetapkan, ventilator akan memberi 1 siklus pernapasan.
Sebetulnya cara ini sangat mirip dengan pernapasan melalui T piot dimana pada saat-
saat tertentu ventilasi diberikan dengan cara menutup salauran expirasi. Beberapa
keuntungan dari cara pernapasan ini adalah :
 Keanway pressure lebih rendah
 Otot pernapasan tetap aktif berfungsi
 Ratio lebih baik
 Lebih nyaman untuk penderita
 Sedasi lebih minimal
 Pengaturan asam basa lebih baik
Pada ventilasi lebih baru, maka ventilator memberikan bantuan napas bersamaan
waktunya dengan inspirasi penderita sehingga tidak bertabrakan dengan napas
penderita. Ini disebut sebagai SIMV.

4. MMV (Mandytory Minute Volume)


Dalam MMV ini penderita disapih dengan cara (S) IMV dijamin akan menerima
sejumlah volume yang telah dipreset secara otomatis. Pada tahap`permulaan
penyapihan, penderita hanya sanggup menghasilkan ventilasi yang kecil, sisa volume

Untuk TUGASMAS 619


620
akan diambil alih oleh ventilator. Setelah keadaan makin membaik, porsi napas spontan
akan meningkat dan otomatis porsi ventilator akan menurun.

5. PSV (Pressure Supported Ventilation)


Sering kali pada saat permulaan penyapihan kemampuan bernapas dari penderita
belum mencukupi, sehingga terasa berat untuk mengatasi tahanan ventilator dari pipa.
Beberapa ventilator dapat memberikan bantuan pernapasan pada waktu inspirasi.
Posetive pressure yang diberikan hanya kecil saja (antara 5-10 cm H2O) untuk
membantu mengatasi tahanan ventilator dan pipa-pipa. Fasilitas ini disebut pressure
support ventilation. Disini peran napas spontan sangat penting, tanpa usaha napas yang
cukup posetif pressure yang diberikan tidaklah mencukupi. Dibandingkan dengan CPAP
cara ini dapat meningkatkan ventilasi, menurunkan kerja napas dan mengurangi
kelelehan.
Dengan cara-cara diatas berangsur-angsur penderita yang mungkin telah mengalaki
ketergantungan pada ventilator dapat disapih.

6. CPAP (Continous Posetive Airway Pressure)


Tahun 1971 Gregory melaporkan penemuan CPAP setelah sebelumnya
tahun1969 Ashbaugh dan Petty menemukan PEEP.
Sebetulnya pada mode ini ventilator sama sekali tidak memberikan pompaan, jadi disini
ventilasi seluruhnya dilakukan penderita sendiri (spontan). Ventilator hanya
memberikan tekanan-tekanan positif tertentu yang konstan. Ini biasanya dilakukan pada
tahap akhir penyapihan sebelum penderita diextubasi.

7. HFV (High Frequnce Ventilation)


Ini adalah pernapasan buatan yang relatif baru dan dianggap masih
experimental. Dalam napas buatan konvensionalm bantuan napas diberikan berupa
volume sebesar beberapa kali dari volume dead space dengan frekwensi yang rendah
(12-10 x/menit).
Pada HFV tidal volume yang diberikan kecil sekali dengan frekwensi yang
tinggi, tetapi cukup untuk pertukaran gas yang baik. Akibat kecilnya tidal volume dan
tekanan saluran napas maka dapat dicegah terjadinya barotrouma paru dan gangguan
hemodinamik pada penderita.
Meskipun standarisasinya belum ada metode HFV ini dapat dibagi dalam 3
klasifikasi yaitu :

Untuk TUGASMAS 620


621
a. high frekwensi positive pressure ventilation
b. high frekwensi jet ventulation
c. high frekwensi oscillation
Pada tahun 1985 FDA hanya memperbolehkan pemakaian HFJV untuk bantuan napas
pada bronchoscopi dan kasus-kasus bronchpleural fistula. Tetapi pada beberapa keadaan
lain dimana HFV ini bisa dipakai yaitu ventilasi pada operasi thorax, tracea, abdomen,
otak, ARDS, resusitasi, weaning.

MONITORING
Pemantauan pada pernapasan buatan meliputi :
1. Expansi dada
2. Suara napas
3. Warna kuku, bibir
4. Status nuerologis
5. Tensi, nadi, suhu dan perfusi perifer
6. EKG
7. gas darah
8. Parameter-parameter ventilasi
9. Balance cairan
10. CVP
11.Alaram ventilator

PENUTUP
Pemberian bantuan dan perawatan napas pada bayi dan anak kecil memerlukan
penanganan dan pemantauan yang teliti dan ketat karena adanya perbedaan anatomi dan
fisiologinya. Dengan kemajuan yang pesat didalam bidang teknologi dan ilmu
kedokteran diharapkan penderita yang tertolong dapat lebih meningkat dengan penyulit
yang lebih sedikit.
Namun juga disadari bahwa kali ini harus ditebus dengan biaya yang tinggi yang mesti
dikeluarkan.
Penanganan oleh tim yang multidisipliner dengan dedikasi yang tinggi akan
memberikan hasil yang optimal.

Untuk TUGASMAS 621


622

TERAPI OKSIGEN DAN FISIO TERAPI NAPAS


RITA A. SUTJAHYO
LAB. / UPF ANESTESIOLOGI FK UNAIR SURABAYA

PENDAHULUAN

Terapi oksigen dan fisio terapi napas merupakan paket terapi yang umum
diberikan pada penderita-penderita kritis di unit perawatan intensif. Pengetahuan dasar
tentang patofisiologis tubuh akan menentukan indikasi, dosis dan cara pemberiannya,
sehingga menghindari terjadinya efek samping yang merugikan.

FISIOLOGI PERNAPASAN – OKSIGENASI JARINGAN


Proses bernapas merupakan suatu rangkaian proses pengambilan oksigen dan
pengeluaran karbon dioksida. Rangkaian proses tersebut adalah :
- Ventilasi
Masuk keluarnya udara lewat jalan napas atas-broncus utama bronchiolus
sampai ke alveolus.
- Difusi
Pertukaran gas antara alveolus dan kapiler
- Transportasi oksigen ke jaringan.
Gangguan pada salah satu rangkaian proses ini akan menyebabkan terjadinya keadaan
hipoksemia (paO2 70 mmHg). Dibawah 50 mmHg hipoksemia akan menyebabkan
gangguan oksigenasi jaringan yang disebut hipoksia. Hipoksemia akan menyebabkan
terjadinya perubahan pada sistem tubuh lain sebagai kompensasi untuk mencukupi
kebutuhan oksigen jaringan. Kebutuhan oksigen jaringan dapat dihubungkan dengan
rumus dibawah ini.

Aviable oksigen = CO x Hb% x SaO2 x 1.34


CO = SV x Frekwensi
Sehingga bila penyediaan oksigen menurun, atau kebutuhan oksigen meningkat
kompensasi yang terjadi antara lain :
- Cardiac output ditingkatkan

Untuk TUGASMAS 622


623
- Ventilasi ditingkatkan
Pada orang tua dan penderita kritis kemampuan peningkatan cardiac output dan
ventilasi terbatas, sehingga mudah terjadi keadaan dekompensasi.

TERAPI OKSIGEN.

Tujuan terapi oksigen : - memperbaiki oksigenasi jaringan


- mengurangi respon kompensasi
Sebagaimana terapi yang lainnya, langkah pertama dalam pemberian terapi oksigen
adalah menentukan ada tidaknya hipoksemia dan seberapa berat derajat hipoksemia
yang derita. Hipoksemia ditentukan dengan cara :
- Pemantauan tanda klinis
- Analisa gas darah
Tanda klinis penderita dengan hipoksia jaringan adalah sebagai berikut :
SSP : - kekacauan mental, gelisah
- penurunan kesadaran – coma
- keringat banyak
Cardiovaskuler ;
- Tachikardi – Bradikardi
- Aritmia
- Tekanan darah naik / turun
Respirasi :
- Frekwensi napas meningkat
- Dispnoe
- Menguap
- Napas cuping hidung
- Otot napas bantu +
Kulit :
- Sianosis

paO2 pada orang sehat :


Idial 95 -100 mmHg
30 th 90-100 mmHg
30-40 th 85-95 mmHg
40-60 th 75-90 mmHg

Untuk TUGASMAS 623


624
60 th 65-80 mmHg
Diagnose terhadap penyebab primer harus dilakukan untuk memberikan terapi kausal.
Menurut penyebabnya hipoksemia terbagi atas :
- Hipoksik hipoksia : penurunan kadar oksigen udara sekitar atau gangguan
Proses ventalasi.
- Kardiosirculatorik : gangguan kardiovaskuler-perifusi jaringan
- Anemia : rendahnya kadar hemoglobin.
- Histotoksin : gangguan transportasi dan pelepasan oksigen ke jaringan.

Cara Pemberian :
Secara umum 2 cara pemberian adalah :
- Closed system
Sistem tertutup terhadap udara luar. Kadar oksigen inhalasi dapat mendekati 100% tapi
kerugiannya antara lain kemungkinan keracunan oksigen dan barotrauma.
- Open System
Terdapat kemungkinan tercampurnya aliran oksigen dengan udara luar.
Low Flow adalah besarnya aaliran oksigen/menit lebih kecil dari flow inspiratory rate
sehingga udara sekitar ikut terhisap. Kerugiannya perubahan flow inspiratory rate
menyebabkan perubahan kadar oksigen yang dihisap.
Sistem ini yang umum dipakai dengan memakai alat :
- nasal catheter
- nasal pronge
- mask/sungkup
- mask/sungkup + reservoir
Penggunaan mask/sungkup disesuaikan dengan masing-masing pemakai agar tidak
terjadi re breating.

Efek samping :
Beberapa efek samping yang bisa timbul adalah pada pemberian terapi oksigen
adalah sebagai berikut :

- Dapat terjadi pengeringan mukosa jalan napas yangberakibat penumpukan


mukus dan infeksi sekunder. Oleh karena itu terapi oksigen harus selalu
disertai pemberian humidifikasi.

Untuk TUGASMAS 624


625
- Terjadi keracunan oksigen terutama pada pemakaian oksigen konsentrasi
tinggi dengan tekanan untuk jangka waktu lama.
- Pada penderita dengan penyakit-penyakit yang menyebabkan hipoksia
kronis, PaO2 yang tinggi dapat menyebabkan hipoventilasi. Hal ini
disebabkan hilangnya hipoksia drive yang merangsang napas. Oleh karena
itu sebaiknya kadar oksigen diatur untuk mendapatkan PaO2 optimal.
- Terjadinya Retrolental fibroplasis pada bayi prematur dengan terapi oksigen.

FISIOLOGI FUNGSI PEMBERSIHAN JALAN NAPAS.


Dalam fungsinya sebagai tempat pertukaran gas setiap menit kurang lebih 5 liter
udara yang masuk dan keluar dari sistem pernapasan kita, pertukaran gas ini terjadi
melalui proses difusi lewat membran alveoli dan pembuluh kapiler paru. Sistem
pernapasan sekaligus juga mempersiapkan udara luar agar mencapai kondisi yang ideal
untuk proses pertukaran gas tersebut, sehingga tidak menyebabkan kerusakan pada
sistem pernapasan itu sendiri. Pada orang sehat kedua fungsi terakhir ini berlangsung
secara alamiah melalui beberapa proses yaitu :
1. Pemanasan.
Tujuannya agar didapatkan udara pernapasan dengan suhu yang sesuai dengan suhu
tubuh.
2. Humidifikasi/Pelembaban
Tujuannya adalah melebabkan udara pernapasan untuk mempertahankan hidrasi dari
lapisan mukus yang malapisi seluruh permukaan jalan napas. Udara kering akan
menyebabkan kerusakan epitel/mukosa. Kedua proses ini berlangsung sejak udara
melewati hidung dan oropharynx, sehingga waktu mencapai RH dengan suhu 37 derajat
yang berarti mengandung 24 mg air / lt udara (bandingkan dengan udara 21 derajat dan
100% RH hanya mengandung 18 mg air/lt udara).
3. Pembersihan.
Fungsi ini dilakukan dengan 2 cara sebagai berikut :
a. Mucolarry complex. Suatu sistem gabungan antara cilia yang bergetar dan
lapisan mukus yang melapisi permukaan jalan napas. Proses ini berlangsung
sejak udara pernapasan melewati hidung, dimana rambut-rambut halus akan
menangkap debu / partikel kecil antara 1 – 10 mikron akan tertangkap. Partikel-
partikel yang lebih kecil dari 2 mikron dapat mencapai alveoli, tapi kemudian
dicernakan oleh makropnea.

Untuk TUGASMAS 625


626
Pergerakan cilia akan mendorong mukus bergerak keatas ke arah tracea-laryx
dan akhirnya masuk ke oesephagus.
b. Batuk. Mekanisme ini menjadi sangat penting bila bronchial hygiane yang
dilakukan sistem mucocililary complex terganggu. Pergerakan mukus yang
terganggu akan mengakibatkan menumpukan sekret bersama kotoran-kotoran
yang tertangkap.
Pada waktu batuk, tumpukan sekret dan kotoran ini akan dilemparkan keluar
dari jalan napas. Faktor-faktor yang menunjang terjadinya batuk yang adekwat
adalah :
- SSP yang intak (pusat reflek batuk terdapat di midbrain) ;
- Kemampuan menarik napas dalam dan menghembuskan keluar dengan cepat
(minimal 2 kali MV) ;
- Fungsi glotis yang normal ;
- Kekuatan otot-otot dinding depan abdomen yang baik.

GANGGUAN PROSES HUMIDIFIKASI DAN BATUK


1. Gangguan humidifikasi dapat terjadi pada keadaan-keadaan :
- Jalan napas atas di by pass misalnya pada pednerita yang memakai pipa
endotracheal atau tracheostomy
- Keadaan dehidrasi. Untuk proses humidifikasi sistim pernapasan memakai
sekitar 250 ccair/ 24 jam dan kebutuhan ini meningkat pada keadaan tertentu
misalnya hiperventilasi, febris. Oleh karena itu kekurangan cairan tubuh
akan menyebabkan pula kekeringan pada jalan napas.
Gangguan humidifikasi akan mengakibatkan :
- gangguan pergerakan cillia
- mengentalnya mukus
- kerusakan eptiel permukaan
ketiganya hal ini bersama-sama menyebabkan terjadinya retensi sputum, infeksi
dengan segala akibat-akibatnya.
2. Gangguan proses bantuk
Semua keadaan yang menyebabkan gangguan SSP dapat menyebabkan hilangnya
reflex batuk.
Kemampuan menarik napas dalam dan menghemnbuskan keluar de3ngan kuat akan
terganggu pada keadaan dimana terjadi kelumpuhan otot napas, otot abdomen atas
dan glotis.

Untuk TUGASMAS 626


627
- Obstruksi Atelectasis
RETENSI SPUTUM Hipoksis
- Infeksi Pnemonia
Abses paru

PERAWATAN SISTIM PERNAPASAN


Rangkaian tindakan yang termasuk dalam perawatan napas ini adalah :
- Humidifikasi
- Terapi aerosol
- Fisioterapi napas (chest physycal terapi) dan postural drainage
- IPPB (Intermiten Posetive Pressure-Breathing)
- CPAP (Continous Positive Airway Presure)
- Pengisapan lendir (Sactioning)
- Obat-obatan (Mukolitik, Bronchodilator)
- Tracheostomi.

HUMIDFIKASI
Pemberian terapi oksigen harus melewati proses humadifikasi. Terdapat 2 jenis
humidifikasi yaitu :
- Humidifer dingin :
Hanya menambah sedikit uap air pada udara pernapasan.
Misalnya cara bubble through yang dipakai untukmenambahkan uap air pada
terapi O2 untuk penderita-penderita yang bernapas spontan, lewat jalan
napas normal.
- Humidifer panas :
Dengan pemanasan didapatkan uap air yang lebih jenuh dan dapat mencapai
100% RH.
Pada respirator, humidifer merupakan suatu kelengkapan yang essensial dan
umumnya mempunyai pengatur suhu.

TERAPI AEROSOL
Aerosol adalah partikel-partikel air yang sangat kecil dengan diameter sekitar 1-
10 mikron. Menurut pembentuk aerosolnya, terdapat beberapa jenis Nebulizer antara
lain Jet Nebulizer, Ultrasonic Nebulizer.

Untuk TUGASMAS 627


628
Nebulezer ini menghasilkan butir-butir air sampai sekecil 0,5 – 3 mikron dengan
kejenuhan 100 ng/l, sehingga sangat efektif untuk tujuan mengencerkan sekret di jalan
napas bawah. Beberapa akibat samping yang dapat timbul pada terapi aerosol adalah:
- Bronchospasme (terutama pada penderita asthma)
- Pembengkakan sputum yang kering dapat menyebabkan obstruksi.
- Kelebihan cairan
- Infeksi silang.
Terapi aerosol yang dikaitkan dengan IPPB (inline) walaupun efektif untuk pengenceran
sekret dan broncial toilet dapat menyebbakan brocchospasme dan serangan batuk yang
terus menerus.
Sejauh ini terapi aerosol hanya diberikan pada penderita-penderita yang bernapas
spontan secara berkala.
Obat-obatan tertentu misalnya mucolitik, bronchodilator dapat diberikan dalam bentuk
aerosol.

FISIO TERAPI NAPAS


1. Postural drainage
Tujuannya adalah untuk mengalirkan sputum kearah brochusutama dengan
mengandalkan gaya berat.
Tekhnik ini memerlukan pengetahuan tetnang anatomi tracheobronchial tree,
beberapa hal yang perlu diperhatikan a/l :
- Perubahan posisi dapat menyebabkan turunnya tekanan darah pada
penderita-penderita dengan hemodinamik yang belum stabil (schok).
- Penempatan posisi yang diperlukan hanya dilakukan sejauh tidak ada kontra
indikasi dari penyakit dasarnya. Misalnya harus disesuaikan dengan prinsip
perubahan posisi pada penderita dengan trauma tulang belakang atau kepala.

2. Perkusi
Tujuannya untuk melepaskan gumpalan sputum yang melekat pada dinding
bronchus dan bronchiole.
Caranya dengan cupped shapes hands melakukan clapping pada daerah paru yang
diduga ada penumpukan sekret.
Clapping yang benar menimbulkan bunyi redam, tanpa rasa nyeri. Prinsipnya :
- hindari bejolan tulang, mammae
- jangan dilakukan diatas daerah hematoma, fraktur.

Untuk TUGASMAS 628


629

3. Vibrilasi
Tujuannya untuk membantu mengalirkan sputum kearah bron chus utama. Caranya,
menekan dengan hati-hati dinding torax dan melakukan getaran-getaran ritmis
dengan cepat.
Tuntunan melakukan napas dalam dan batuk yang benar (sejauh otot-otot pernapasan
dan abdomen masih berfungsi).
- Penderita diperintahkan menarik napas dalam, semetnara kedua tepalak
tangan penolong diletakkan diatas dinding dengan thorax dengan sedikit
tekanan.
- Penderita diperintahkan menarik napas dalam, sementara kedua telapak
tangan penolong diletakkan dibawah arcus coste/dinding depan atas
abdomen, dengan sedikit tekanan.
- Pada kedua tindakan menarik napas dalam tersebut penderita harus dapat
mengatasi tekanan dari telapak tangan penolong, dengan demikian penderita
terlatih untuk membesarkan rongga thorax kearah depan, samping dan
kebawah/menurunkan diagprama.
- Penderita diperintahkan menarik napas dalam dan menahan selama 3
hitungan (sustained maximal inspiration) dengan demikian distribusi udara
pernapasan akan merata keseluruh paru.
- Setelah hitungan tiga penderita membantukkan sekuat-kuatnya dengan
memakai kekuatan otot-otot dinding depan abdomen. Bantuan penolong
dapat diberikan dengan cara menekan dinding atas depan abdomen pada
waktu akhir inspirasi.

IPPB
Napas bantuan dengan tekanan positive secara manual diberikan selama fisio
terapi napas dan dilanjutkan dengan pengisapan sekret. Tujuan pemberian IPPB
adalah agar terjadi distribusi hawa inspirasi merata sampai kebagian perifer
paru, membuka bagian-bagian yang kolaps dan merangsang timbulnya batuk.

CPAP
Selain sebagai suatu alternatif yang dapat dicoba sebelum dilakukan intubasi
endotracheal, pemberian CPAP pada penderita dengan napas spotan dapat

Untuk TUGASMAS 629


630
mencegah terjadinya atelectasis. Efek samping antara lain dapat terjadi aspirasi
dan dilatasi lambung.

PENGISIPAN SEKRET
Hendaknya dilakukan menujrut cara-cara aseptik langsung berhubungan dengan
jalan napas bawah.

Sterilisasi dari kateter pengisap adalah penting, seandainya mungkin sebaiknya


disposibel. Pada pemakaian berulang bila direndam dalam alkohol setiap dipakai harus
dibilas dengan PZ (NaCl 0,9%) atau aquadest
Kateter yang memenuhi syarat adalah :
- Terbuat dari bahan yang minimal menyebabkan kerusakan/iritasi pada
mukosa jalan napas.
- Licin agar mudah melewati jalan napas buatan (pipa endotracheal/canule
tracheostomi).
- Cukup panjang agar melewati pipa endotracheal.
- Ujung tumpul dengan lubang samping (untuk mencegah kerusakan mukosa
pada waktu mengisap).
- Diameter kateter tidak lebih besar dari ½ diameter pipa endotracheal/kanule
tracheostomi.
Ujung proksimal kateter sebaiknya mempunyai lubang agar pengisapan dapat
dihentikan atau dimulai hanya dengan menutup lubang tersebut. Proses pengisapan
sekret ini dapat menyebabkan timbulnya penyulit-penyulit karena hipoksemia yang
terjadi pada saat pengisapan dapat menimbulkan aritmia yang berbahaya. Dibawah ini
terdapat urutan tindakan yang harus dilakukan untuk menghindari kemungkinan-
kemungkinan penylit etersebut, terutama penderita memakai respirator.
1. Preoksigenasi dengan oksigen 100% manual.
2. Kateter dimasukkan dalam keadaan tidak mengisap sampai batas carina
kemudian hisapan dilakukan sambil menarik keluar dengan gerakan rotating.
Kateter jangan berada dijalan napas lebih dari 15 detik.
3. Kembali pada napas bantuan dengan 100% oksigen manual minimal 5-10 kali
napas sebelum proses diulangi.
Bila terjadi perubahan-perubahan berbahaya pada monitor ECG napas buatan diteruskan
sampai gambaran ECG napas buatan diteruskan sampai gambaran ECG kembali
normal.

Untuk TUGASMAS 630


631

Untuk TUGASMAS 631


632
PERAWATAN PENDERITA DENGAN RESPIRATOR

Bambang Wahjuprajitno
Lab/UPF Anestesiologi FK Unair/RSUD Dr. Soetomo
Surabaya

Kemajuan teknologi kedokteran menyebabkan makin kompleksnya penderita-


penderita yang bisa dirawat di rumah sakit. Penyakit-penyakit atau keadaan-keadaan
yang dahulu tidak mungkin diobati sekarang dicoba untuk mengatasinya. Gagal napas
yang dahulu berakiat kematian penderita meskipun belum sempurna sekarang telah
mampu diatasi oleh manusia.
Hal tersebut tidak lepas dari usaha para pionir dalam bidang pernapasan. Konsep
pernafasan buatan telah dimulai sejak jaman prasejarah. Dalam kitab Injil disebutkan
bagaimana manusia diciptakan dan kemudian teknik perpanasan buatan dari mulut ke
mulut telah dipakai oleh Elisha untuk menghidupkan anaknya Shunammite.
Pada tahun 1543 Andreas Vesalius menyatakan bahwa babi dapat dipertahankan
hidup dengan intubasi trachea dan mengembangkan paru secara ritmis dengan memberi
tekanan positiv. Pada akhir abad 19 O’Dwyer dan Fell menggunakan bellow yang
dijalankan dengan kaki untuk memasukkan udara ke paru melalui masker atau kanula
tracheostomi. Body tank respirator ditemukan oleh Alfred Jones pada tahun 1864.
Penggunaan praktis dari tank respirator pada poliomielitis dilakukan oleh Philip Drinker
cs di Boston tahun 1929.
Crafoord dari Swedia memperkenalkan Spiropulsator pada tahun 1934, yang
merupakan cikal bakal ventilator komersial yang dibuat oleh Aga Co pada tahun 1940.
pada waktu epidemi polio di Swedia tahun 1952, Gunnar Engstrom memperkenalkan
dasar baru dan membuat suatu ventilator yang memberikan volume yang tetap yang
telah ditentukan terlebih dahulu. Sejak itu terjadi perkembangan yang pesar dalam
disain ventilator, cara (model) ventilasi dan teknik monitoring. Perkembangan ini diikuti
bertambahnya secara cepat unit perawatan intensiv diseluruh dunia.
Sejalan dengan perkemabngan tersebut, makin diketahui pula bahwa ventilasi
mekanis tersebut ternyata membawa akibat-akibat yang serius. Mengatasi masalah gagal
napas tidaklah selesai dengan sekedar melakukan intubasi kemudian menghubungkan
penderita dengan ventilator. Ventilasi mekanis adalah suatu cara penanganan yang tidak
fisiologis. Tentu saja ini dapat menimbulkan masalah baru yang merugikan bagi
penderita. Beberapa diantara akibat yang merugikan adalah : barotrauma, gangguan

Untuk TUGASMAS 632


633
distribusi oksigen, keracunan oksigen, infeksi, gangguan sirkulasi dan banyak yang
lainnya.
Untuk mengatasi akibat-akibat negativ tersebut diperlukan perawatan dan
terapin khusus yang sangat kompleks. Penanganan khusus ini memelrukan suatutim
dokter dan perawat yang mempunyai keahlian khusus, berdedikasi tinggi dan kompak
yang bekerja terus menerus 24 jam sehari dan 7 hari seminggu.
Dalam makalah ini akan dibahas beberapa aspek perawatan penderita dengan
ventilator yang merupakan pedoman dasar dalam perawatan tersebut. Pembicaraan yang
mendertail tentu diluar lingkup makalah ini.

MEMASANG VENTILATOR PADA PENDERITA.


Sebelum dipasang pada penderita, ventilator harus dirakit dulu dengan cara
aseptik. Selanjutnya ventilator dipasang dan dijalankan selama lebih kurang 15 menit.
Bila perlu dilakukan kalibrasi atau test terhadap kebocoran haruslah dilakukan sebelum
dipasang pada penderita. Sementara itu penderita diberikan pernapasan manual dengan
oksigen 100%.
Pengaturan ventilator sebelum dipasang pada penderita :
1. Pada pemasangan pertama kali selalu pilihlah mode of ventilation pada
Controlled Ventilation.
2. Aturlah minute volume sebanyak 100 – 125 ml/kgBB/menit atau Tidal Volume
10 – 12 ml/kgBB/menit dengan frekwensi napas 10 -12 kali/menit.
3. Selanjutnya atur I E ratio dengan perintah dokter dengan mengatur inspiratory
time, pause time dan experitory time. Umumnya digunakan I : E ratio = 1 : 2,
yaitu (Ispiratory time + pause Time) : Expiratory = 1 : 2.
4. Putar mixer sehingga didapatkan konsentrasi oksigen 100 %b(FIO = 1,0).
5. Putar PEEP pada – 5 cm H2O.
6. Pasang batas atas tekanan sekitar 10 cm H2O diatas tekanan jalan napas
penderita. Alarm ini berguna untuk mencegah tekanan yang berlebihan pada
jalan napas yang dapat menyebabkan terjadinya pneumothorax.
7. Pasang trigger sensitive pada – 2 sampai -3 cm H2O.
Pemasangan trigger ini tujuannya agar penderita dapat menambah sendiri
napasnya bila memerlukannya.
8. Berikutnya atur humidifier sehingga didapatkan suhu antara 32 – 34 derajat
celcius.

Untuk TUGASMAS 633


634
9. Hubungkan dengan penderita dan perhatikan bahwa: ada kiri kanan terangkat
naik pada waktu inspirasi dan turun walau ekspirasi.
Tidal volume menunjukkan sesuai/sekitar volume yang kita tentukan.
Jarum airway pressure bergerak naik pada waktu inspirasi dan kembali kearah 0
atau PEEP pada waktu ekspirasi.
10. Atur batas bawah dan batas atas volume ekspirasi lebih kurang 10 20 %
dibawah/diatas expired minute volume penderita.
Pengaturan batas bawah alarm volume ini berguna untuk mendeteksi bila terjadi
kebocoran atau lepasnya selang ventilator penderita. Pada SIMV atau CPAP
untuk mengetahui bila penderita mengalami hipoventilasi.
11. Setelah terpasang lebih kurang 30 menit periksa gas darah penderita selanjutnya
atur ventilator sesuai dengan gas darah.

Hal-Hal Yang Perlu Diperhatikan


1. Gas darah
Target pengaturan ventilator adalah untuk mencukupi kebutuhan oksigen tubuh
dan mengeluarkan karbon dioksida sisa pembakaran dari tubuh. Ini bisa
diketahui dengan memeriksa gas darah penderita.
a. Cukup oksigen
Diharapkan dicapai pO = SO – 100 mmHg. Pada ARDS sudah cukup bila
dicapai 70 mmHg. Pada level ini sudah didapatkan saturasi oksigen diatas 90%
yang cukup memadai untuk memenuhi kebutuhan oksigen (lihat rumus
dibawah).
O2 tersedia = CO x Hb x SaO2 x 1.34
= 1000 ml/menit

CO = cardiac output = 5000 ml/menit


Hb = Hemoglobin = 15 gm per 100 ml darah
SaO2 = Saturasi oksigen
1.34 = Jumlah oksigen (ml) yang diikat oleh 1 gm Hb

Bila didapatkan pO > 100 mmHg maka FIO, diturunkan sampai didapatkan pO2
sesuai target.
Pada dasarnya bila mungkin dipilih FIO, serendah mungkin ( < 0.5 ) asal
targetnya tercapai bila perlu dengan memberikan PEEP.

Untuk TUGASMAS 634


635

Sebagai pegangan kasar bila pada FIO = 1.0 didapatkan pO2 > 200 mmHg maka
FIO dapat diturunkan menjadi 0.5.

b. Cukup pengeluaran CO2 (ventilasi)


Dengan memberikan Minute Volume (MV) = 100 – 120 ml/kgBB diharapkan
akan dicapai pCO2 = 35 – 40 mmHg.
Bila didapat pCO2 > 40 mmHg naikkan MV
Bila pCO2 < 30 turunkan MV atau tambahan dead space dengan memperbesar
volume tubuh antara andometroisis tube dengan vena tilator.

c. Gas darah sendiri diukur tiap kali, 20 – 30 menit setelah melakukan perubahan
setting ventilator atau bila ada perubahan status ventilasi.
Setiap kali pengukuran gas darah harus dicatat parameter ventilator (termasuk
FIO2) pada waktu pengambilan gas darah.

PEEP (Positive End Expiratory Pressure)


PEEP diberikanbila untuk mendapatkan pO2 sesuai target masih diperlukan
FIO2 > 0.5. Untuk pemberian ventilasi mekanis jangka panjang PEEP umumnya
diberikan secara rutin sebesar 5 cm H2O untuk mencegah atelekktasis dan
meningkatkan FRC.PEEP pada penderita ARDS diperlukan untuk memperbaiki
oksigenasi. Umumnya ditambah bertahap, tiap kali 2.5 mm H2O 15 – 30 menit
sampai didapatkan PEEP yang optimal yaitu PEEP yang tertinggi yang
memberikan pO2 yang terbaik dengan gangguan yang minimal.
3. Mode of Ventilation.
Pada saat awal ventilasi mekanis penderita selalu mendapat bantuan penuh dari
ventilator (Controlled Mendatory Ventilation = CMV).
Namun pada tahap selanjutnya terkecuali penderita mengalami kelumpuhan otot
napas sentra maupun perifer, setelah pernapasan menjadi stabil dan penderita
cukup mampu, maka umumnya Mode of Ventilation diubah menjadi SIMV
(Synchronized Intermittens Mandotory Ventilation) dengan atau tanpa Pressure
Support atau dengan PSV (Pressure Suppored Ventilation). Dengan cara ini
Mean Airway Pressure akan menjadi lebih rendah, ini akan mengurangi bahaya
barotrauma lebih memperbaiki oksigenasi dan sirkulasi melatih otot penderita
dan mengurangi ketergantungan penderita pada ventilator.

Untuk TUGASMAS 635


636
Harus diperhatikan bahwa bila beban kerja napas meningkat maka porsi bantuan
ventilasi mekanis harus ditambah atau bila perlu dikembalikan kepada CMV.

C. TEST PHYSIOTHERAPY DAN BRONCHIAL TOILET


Fisipterapi dada dan pembersihan bronchus merupakan bagian integral, yang
tidak boleh dilakukan dalam ventilasi mekanis Fisioterapi dada digunakan untuk
mencegah penyulit pernapasan dan untuk memperbaiki fungsi paru pada
penyakit paru akut atau kronis. Kelalaian melakukan akan menimbulkan retensi
sputum, atelektasis paru, infeksi (pneumonia), bakteriemia dan ARSD.
Dasar pemikiran fisiologisnya adalah :
- Mengajari relaksasi otot napas yang baik untuk mencegah kekakuan otot.
- Melatih penderita untuk menggunakan otot napas normal maupun tambahan
secara efektif agar dapat batuk dengan efektif dan mampu mengembangkan
seluruh bagian paru.
- Membantu proses batuk untuk mengeluarkan sekresi dengan cara postural
drainage dan bantuan manual.
Langkah-langkah yang dipergunakan adalah ;
1. Melatih pernapasan diafragma atau abdominal
2. Postural drainage
3. Cupping
4. Vibrating
Tindakan ini dilakukan selama 15 – 20 menit dan dilakukan 3 -4 kali per hari :
Bronchial toilet dengan melakukan pengisapan sekresi melalui pipa endotracheal
atau kanula tracheostomi dalam keadaan-keadaan tertentu dapat menyelamatkan
penderita, namun dapat pula menyebabkan cardiac arrest.
Pembersihan bronchus dengan cara menghisap dilakukan rutin tiap 2 – 4 jam
atau bila penderita batuk-batuk atau bila terdengar banyak sekret di paru-paru. Prosedur
dilakukan dengan cara aseptis yang fanatik dengan sebelumnya pelaku mencuci
tangannya.
Sebelumnya diberikan ventilasi manual dengan oksigen 100% selama 2 – 3 menit.
Pengisapan dilakukan secara steril dengan menggunakan kateter steril dan memakai
sarung tangan steril atau menggunakan pinset memakai “no touch technique”. Tiap kali
tidak boleh lebih dari 15 detik dan selanjutnya diberi ventilasi manual dengan oksigen
100% lagi.

Untuk TUGASMAS 636


637
PEMANTAUAN
Penderita yang mendapat ventilasi mekanis memerlukan pemantauan fungsi vital
yang terus-menerus, sebab mati hidup penderita tergantung dari ventilator tersebut.
Gangguan kerja ventilator, diskoneksi dari ventilator, plugging, tension pneimothorav
dapat berakibat fatal dalam waktu beberapa menit. Pada dasarnya penderita tidak boleh
ditinggalkan, harus selalu ada perawat yang berada disampingnya.
Yang dipantau adalah :
1. Penderita
2. Ventilator dengan sumber tenaganya
Alat pemantauan yang baik dan sudah tersedia adalah panca indera kita, yaitu
penglihatan, pendengaran, dan perabaan. Observasi dapat dilakukan misalnya dengan
warna kulit, pergerakan-pergerakan napas dan tubuh, suara napas atau respons-respons
yang aneh pada penderita. Observasi pada mesin meliputi semua aspek yang
mempengaruhi bekerjanya ventilator, seperti : perubahan fungsi mesin, kegagalan
fungsi mesin atau variasi-variasi indikatornya.

P E N Y A P I H A N (WEANING)

Penderita hanya diberikan ventilasi mekanis selama ia membutuhkan saja.


Penyapihan harus dilakukan secepatnya karena makin lama penderita mendapat
ventilasi mekanis makin besar kemingkinan mendapatkan penyulit dan makin sulit
penderita dilepas dari ventilator.

Beberapa kriteria untuk penyapihan adalah :

1. Kapasitas vital 10 -15 ml/kgBB (ini setara dengan 2 x Tidal Volume), untuk
menjamin kemampuan batuk yang cukup.

2. Inspiratory force minimal -20 cm H2O

3. A-aDO > 350 mmHg dengan oksigen 100%

Untuk TUGASMAS 637


638
4. pCO2 < 50 mmHg

Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan sebelum mencoba melakukan penyapihan :

1. Keadaan penderita sudah stabil selama 12 -24 jam, biasanya tanpa obat inotropik atau
vasopressor, kecuali dopamin dosis rendah (2-3 meg/kgBB/menit), atau dobutamin
dosis rendah.

2. Penderita tidak dalam keadaan bahaya infeksi yang berat

3. Penderita dalam keadaan cukup istirahat sebelumnya

4. Penyapihan dilakukan pada waktu pagi/siang hari.

5. Penderita harus diberitahu mengenai prosedurnya terlebih dahulu dan harus


diyakinkan bahwa dokter selalu siap membantunya sewaktu-waktu.

6. Bila penyapihan memerlukan waktu lama, maka penderita dihubungkan lagi dengan
ventilator pada waktu malam hari.

Prosedur Penyapihan

Ventilator modern mempunyai beberapa fasilitas seperti SIMV (+ Pressure


Support), PSV dan CPAP yang menyebabkan proses weaning dapat dilakukan secara
bertahap dengan mudah. Penderita yang mengalami ventilasi mekanis jangka panjang
(lebih dari 30 hari) memerlukan cara penyapihan yang khusus yang memerlukan
kesabaran dan ketekunan.
Pada umumnya prosedur penyapihan adalah sebagai berikut :
1. Keadaan emosi penderita, frekuensi napas, tekanan darah, nadi sebelumnya
dicatat dan dipantau.
2. Didahului dengan assisted breathing selama 15-30 menit.
3. Periksa gas darah.
4. Bila gas darah normal, biarkan penderita bernapas sendiri selama 3-5 menit
dengan T-piece dengan konsentrasi oksigen yang cukup dan ter-humidifikasi.
5. Tiap 30 menit secara bertahap perpanjang pernapasan spontannya bila ditolerir
oleh penderita.

Untuk TUGASMAS 638


639
6. Bila penderita menggunakan PEE, maka harus diturunkan secara bertahap 1-2
cm H2O tiap jam sambil memperhatikan baik-baik oksigennya.
7. Periksa gas darah secara serial sampai proses penyapihan berjalan baik.
8. Observasi ketat fungsi-fungsi vital untuk melihat adanya distress napas.
9. Perubahan parameter vital, seperti gelisah, keringat dingin, tensi meningkat >
25%, tachycardia, frekwensi napas > 30 kali/menit merupakan tanda-tanda
distress napas yang memerlukan penghentian proses penyapihan.

TINDAKAN PENUNJANG
1. Penderita yang mendapat ventilasi mekanis harus ditunjang dengan nutrisi
mekanis harus ditunjang dengan nutrisi yang cukup. Bila tidak ada gangguan
pasase usus penderita dapat diberi makanan melalui nasogastric tube ukuran 12
atau 14. penderita dengan tracheostomi setelah beberapa waktu dapat dilatih
untuk minum dengan menggunakan sendok atau sedotan.
Bila ada gangguan pasase usus dapat diberikan nutrisi parenteral melalui kateter
vena sentral (Jugularis interna atau Subelavia, jangan yang Basilica).
2. Higiene penderita selalu harus diperhatikan, meliputi higiene oral, keramas,
membedaki daerah-daerah yang lembab, ganti posisi tidur, perawatan kateter,
perawatan exreta dan lain sebagainya. Ini semua dilakukan secara berkala.
3. Tindakan aseptik secara fanatik harus diterapkan dalma perawatan penderita.
Dinegara-negara maju angka kejadian pneumonia nosokomial di UPI mencapai
angka 15%. Penderita yang mendapat ventilasi mekanis mungkin memelrukan
Selective Decontamination saluran cernanya untuk mengurangin kemungkinan
terkena penumonia nosokonial.
4. Pembinaan mental (psikoterapi) perlu dilakukan terhadap penderita. Penderita
yang dirawat di UPI sering menderita psikosis karena putusnya hubungan
dengan manusia dan dunia sekitarnya (deprivasi mental) Penderita harus
diperlakukan secara manusiawi, diajak berbicara dan diberi doorongan untuk
ingin sembuh. Penderita yang memppunyai motivasi tinggi akan lebih cepat
sembuh.

PUTUP
Perawatan penderita dengan ventilasi mekanis di Unit Perawatan Intensip
memerlukan kerja sama antara dokter dan perawat sebagia suatu team dengan motivasi,
dedikasi, ketelitian dan ketekunan yang tinggi yang bekerja penuh tanpa terputus.

Untuk TUGASMAS 639


640
Meskipun diperlengkapi dengan peralatan yang amat canggih tanpa persyaratan diatas
maka usaha mengatasi penyakit penderita akan sia-sia.
Dalam segala aspek perawatan penderita dengan ventilasi mekanis haruslah
dibudayakan usaha-usaha untuk mencegah timbulnya infeksi nosokomial secara fanatik
karena bila terjadi infeksi nosokomial jelas akan menambah morbiditas-mortalitas
penderita yang dirawat, menambah lama rawat tinggal dan menambah biaya perawatan.
Mengingat fasilitas UPI yang masih terbatas di Indonesia hal ini jelas amat merugikan.

Untuk TUGASMAS 640


641
PENANGANAN ARITMIA DI I.C.U
Dr. Hardiono
Instant diagnosis, instant treatment.

PENDAHULUAN

Kegawatan mengancam jiwa sering terjadi karena kegagalan napas dan


kegagalan sirkulasi, oleh karena itu, pada waktu kita merawat penderita di I.C.U yang
pada umumnya adalah penderita gawat (ciritcally ill), maka pengetahuan tentang gagal
napas atau sirkulasi disertai penanganannya, mutak dimiliki oleh setiap personil yang
bekerja di I.C.U. dan kita harus selalu siap dan waspada terhadap kemungkinan
terjadinya kegawatan tersebut.
Pada kesempatan ini kami hanya membahas kegawatan sirkulasi, khususnya
tentang ARITMIA. Keberhasilan penanganan artinya memerlukan pengetahuan tentang
:
1. Macam aritmia
2. Faktor-faktor pencetus
3. Penyakit dasar pada jantung.
4. Pengaruh aritmia terhadap hemodinamik
5. Khasiat dan effek samping obat yang dipakai.

SISTEM KONDUKSI NORMAL


Jumlah denyut per menit dan irama jantung diatur oleh SA node yang terletak di
Atrium kanan dekat muara Vena Cava Superior impuls dari SA node ............ kedinding
atrium (dalam EKG sebagai gelombang P) impuls...................... sampai di AV node,
terletak dekat katup Tricuspid, kemudian di ................ ke Septum interventrikular
melalui BUNDLE OF HIS, selanjutnya bercabang menjadi cabang kanan dan krii,
dibagian distal, impuls tersebut dihantarkan ke otot jantung. Aktifasi listrik sel otot
jantung digambarkan sebagia gelombang QRS dalam EKG.

ARITMIA (DYSRYTHMIA)
Irama jantung yang normal adalah irama sinyal yang diatur oleh SA node,
dengan kecepatan yang teratur dengan 60 -100 kali permenit. Dengan demikian
ARITMIA ADALAH GANGGUAN IRAMA DAN KECEPATAN DENYUT PER
MENIT. Aritmia dapat terjadi baik karena adanya kelainan pada jantung ataupun

Untuk TUGASMAS 641


642
sebagai akibat kelainan diluar jantung ekstra-cardial, misalnya hipoksia, asidosis,
hiperkarbia, gangguan keseimbangan elektrolit, penyakit metabolik (Basedow),
hipovolemia, dll. Faktor ekstra-kardial harus disingkirkan atau diatasi dulu, sebelum
kita menggunakan obat-obatan khusus untuk aritmia. Beberapa jenis aritmia mungkin
tidak perlu pengobatan, tetapi ada pula jenis yang ganas, yang apabila tidak diobati
dapat mengakibstksn kematian penderita. Perlu diketahui sekali lagi, walaupun pada
penderita didapatkan aritmia yang “jinak”, kita harus selalu siap menghadapi
kemungkinan terjadinya aritmia yang “ ganas”.
Misal : Miltiple-Multifocal PVC, Salvo, R on T

PENGGOLONGAN ARITMIA
Aritmia dibagi dalam 2 kelompok yaitu SUPRAVENTRIKULER DAN
VENTRIKULER, sedangkan aritmia supraventrikuler dibagi lagi menjadi ATRIAL dan
JUNCTIONAL (NODAL). Pembagian tersebut diatas didasarkan darimana asal
kelainan tsb. Selain itu adapula yang didasarkan pada gangguan hantaran (Conduction).

ARITMIA BERDASARKAN LOKASI SUMBER KELAINAN.


a/ supraventikuler : sinus aritmia
sinus tachycardia
sinus bradycardia
premature atrial contraction (PAC)
atrial fibrillasi
atrial flutter
sick sinus syndrome
b/ junctional : nodal tachycardia
: premature nodal contraction
c/ ventrikuler : premature ventrikuler contraction
ventrikel tachycardia
ventrikel fibrillasi

II. ARITMIA BERDASARKAN GANGGUAN HANTARAN.


a/ AV block : first degree AV block
second degree AV block
total AV block
b/ Bundle branch block : RBBB dan LBBB

Untuk TUGASMAS 642


643
Sebagian besar aritmia tersebut hanya dapat didiagnose dengan melihat EKG, oleh
karena itu personil yang bekerja di ICU harus mempunyai kemampuan membaca EKG.

PEMBAHASAN MACAM-MACAM ARITMIA


SINUS ARITMIA
Implus dari SA node, tetapi kecepatan pengeluaran implus tersebur berbeda-
beda, sebagian dikeluarkan lebih awal, sedangkan sebagian lain dikeluarkan lebih
lambat. Pada orang muda biasanya berhubungan dengan pernapasan, pada inspirasi
memanjang sedangkan pada waktu ekspirasi lebih lambat. Pada orang tua dapat
disebabkan karena penyakit SA Node (Sick Sinus Syndrome).

SINUS BRADIKARDI
Denyut jantung kurang dari 60 kali/menit, iramanya teratur. Dapat terjadi baik
pada jantung yang normal atau pada jantung yang sakit, misalnya : olahragawan, nyeri
hebat, AMI atau akibat pemberian obat digitalis, verapamil dll. Pada penderita penyakit
jantung adanya Sinus Bradikardi dapat mengakibatkan penurunan Cardiac out-put, bila
tidak diatasi dapat mengakibatkan payah jantung atau aritmia ventrikuler.

SINUS TACHYKARDI
Denyut jantung antara 100 -180 kali/menit, iramanya teratur, biasanya terjadi
pada penderita Febris, anemia, hipoksia, basedow atau karena pemberian obat, misalnya
Sulfas Atropin, Andrenalin.

PREMATURE ATRIAL CONTRACTION


Impuls berasal dari bagian attrium diluar SA node, sehingga terjadi kontraksi
yang mendahului irama jantung normal. Didapatkan gelombang P yang berbeda dengan
gelombang P dari SA node. Bentuk gelombang QRS biasanya normal. Dapat terjadi
pada orang normal atau pada penderita Rheumatic Heart Disease, Ischemia Heart Disae
atau Hiperthyroid.

ATRIAL FLUTTER
Irama ektopik atrium dengan kecepatan antara 250-350 kali/menit, pada
mulanya denyut ventrikel lebih kurang setengahnya, konfigurasi QRS komplek seperti
normal, pada EKG gambaran Atrial flutter seperti “gigi gergaji”. Sering terjadi pada

Untuk TUGASMAS 643


644
penderita penyakit jantung, misalnya Coronary Artery Disease, Cor-pulmonale dan
RHD.

ATRIAL FIBRILLASI
Impuls yang terjadi sangat tinggi sekitar 400-600 kali/menit, respon ventrikel
dapat lambat atau cepat, serta tidak teratur. Biasanya terdapat pada penderita dengan
kelainan jantung, yang mengakibatkan penurunan cardiac output, baik disebabkan
karena tidak efektifnya kontraksi Atrium ataupun kurangnya waktu pengisian ventrikel.

PREMATURE VENTRICULAR CONTRACTION


Jenis aritmia ini paling sering dijumpai, bisa terjadi baik pada jantung yang sehat
atau sakit, pada EKG gambaran QRS kompleks sangat spesifik yiatu : lebar dan
amplitudonya besar. Dari bentuk dan iramanya dapat berupa : multipel, multifokal,
bigemini, salvo atau R on T, yang kesemuanya itu merupakan aritmia yang “ganas”.

VENTRIKULER TAKHYCARDI.
Kecepatan impuls yang berasal dari ventrikel berkisar antara 100-220 kali/menit,
gambaran QRS kompleks seperti halnya pada PVC 20% - 30% merupakan komplikasi
dari AMI atau keracunan Digitalis.Aritmia ini menyebabkan penurunan cardiac output.

VENTRIKULER FIBRILLASI.
Kontraksi yang cepat, tidak teratur dan tidak effektif pada ventrikel, sehingga
fungsi jantung sebagai pompa tidak ada, yang secara klinis kita tidak dapat meraba
denyut nadi, dikatakan penderita mengalami CARDIAC ARREST. Pada keadaan
tersebut harus segera dilakukan Resusitasi Kardio-pulmoner.

TOTAL AV BLOCK
Semua impuls dari SA node tidak dihantarkan melalui AV junction, sehingga
kontraksi lebih lambat dibandingkan kontraksi atrium rata-rata 30-45 kali/menit,
konfigurasi QRS kompleks bisa normal atau melebar, sedangkan gelombang P normal
dan teratur. Beberapa penyebab terjadinya Total AV Block adalah : terjadi degenerasi
sistem konduksi karena usia yang tua, AMI. Keracunan Digitalis, Bedah Jantung dan
Myocarditis. Seringkali untuk pengobatannya diperlukan Pace-Maker.

P EN G O B A T A N

Untuk TUGASMAS 644


645
Penderita aritmia kadang-2 tanpa keluhan, sehingga tidak diperlukan terapi.
Pengobatan harus dipertimbangkan bila :
1. Terdapat gangguan Hemodinamik
2. Potensial menimbulkan gangguan hemodinamik
3. Menimbulkan keluhan
Keluhan-2 yang sering terjadi adalah lemah, berdebar dingin, angina pactoris, sesak,
mudah lelah, pusing, mata berkunang-kunang.
PERHATIKAN
SEBELUM TERAPI DENGAN OBAT ANTI-ARITMIA, MAKA PENYAKIT ATAU
GANGGUAN EKSTRA KARDIAL YANG DAPAT MERUPAKAN PENCETUS
TERJADINYA ARITMIA HARUS DIKOREKSI LEBIH DAHULU.
MACAM OBAT ANTIARITMIA BERDASARKAN LOKASI SUMBER
KELAINAN.
1. SA node/Atrium : Beta Blocker
: Digitalis
: SulfasQuinidine
: Verapamil/Isoptine
2. AV node : Digitalis
: Beta Blocker
: Verapamil/Isoptine
3. Ventrikel : Lidocaine
: Beta Blocker
: Mexiletine(Mecitex)
: Amiodarone (Cordarone)
: Quinidine
: Phenytoin

PENGOBATAN NON – MEDIKAMENTUS


Dikenal beberapa cara untuk pengobatan aritmia, selain penggunaan obat antiaritmia,
yaitu :
1. Precordial Thump
2. Valsava Maneuver
3. Muller Maneuver
4. Eyeball pressure (Oculo-cardiac reflek)
5. Carotid Sinus Massage

Untuk TUGASMAS 645


646
6. DC-Shock
7. Pace-maker

Precordial thumping.
Bukti-bukti klinik mengemukakan bahwa precordial thumping dapat mengubah
Ventrikel takhikardi/Ventrikel Fibrillasi menjadi irama sinus, konversi ini tidak terjadi
bila dilakukan pada jenis aritmia yang lain. Pada Bradikardi yang berat atau pada
asistole heart block, precordial thumping berulang yang dilakukan segera setelah
terjadinya sinkope, sering kali dapat merangsang terjadinya kontraksi jantung yang
normal, seolah-olah berfungsi sebagai pace-maker (first pacing). Kapan dilakukan
Precordial thumping ?
1. Witnessed cardiac arrest, tanpa monitor EKG, DC shock belum siap
2. Witnessed cardiac arrest, pada monitor EKG tampak gambaran VF atau VT.
TEKNIK. Penolong jongkok disamping penderita dilakukan pukulan dengan sisi lunak
telapak tangan, setinggi 20 -30 cm, pada pertengahan tulang dada. Bila tidak berhasil
segera dilakukan RKP.

CAROTID SINUS MASSAGE.


CAROTID SINUS MASSAGE.
Dilakukan pada penderita dengan aritmia supraventrikuler, tidak dianjurkan pada
panderita tua atau penderita dengan kelainan arteri Caritis Massage tidak lebih dari 10
menit, jangan dilakukan pada sisi kiri dan kanan dalam waktu yang sama.
TEHNIK. Penderita tidur terlentang, kepala hiperektensi agak menoleh kesisi yang
berlawanan dengan A. Caritis yang akan di-massase. Dengan menggunakan jari telunjuk
dan jari tengah A. Carotis dimasase dengan arah melingkar, selama 2 – 6 detik. Bila
tidak berhasil, masase pada sisi yang lain.

DC SHOCK
Memberi kejutan listrik pada jantung dengan tujuan untuk konversi ke irama sinus atau
untuk memperbaiki hemodinamik. Dilakukan pada : VT/VF/Supraventikuler tachycardi.

TEHNIK :
1. Alat DC Shock dihidupkan, tentukan besarnya daya yang akan digunakan 3
Joule/kg BB pada dewasa atau 2 Joule/kg BB pada anak-anak.

Untuk TUGASMAS 646


647
2. Letakkan 1 Paddle disebelah kanan tulang dada (pada sela antar iga ke-2)
dibawah clavicula, sedangkan padlle yang lain diletakkan pada sela antar iga
ke-5, garis ketiak depan. Sebelumnya Padlle sudah diberi cairan penghantar
listrik (Jelly).
3. Padlle harus ditekan kuat-kuat pada tubuh penderita dan pada waktu
penderita dalam keadaan ekspirasi penuh, tombol pada masing-masing
Padlle ditekan. Pada saat ini penolong yang lain jangan menyentuh
penderita.
4. Evaluasi monitor EKG, bila belum konversi prosedur tersebut diulangi lagi.
Bila perlu daya ditingkatkan.
5. Tetap diperhatikan tindakan Resusitasi Kardio – pulmoner.

RINGKASAN
1. Pada penderita yang gawat, sebaiknya dirawat di ICU yang dilengkapi
dengan EKG monitor.
2. Untuk menangkap adanya aritmia monitoring EKG atau rekaman pada Lead
II.
3. Perawat harus dibekali kemampuan membaca EKG, khususnya gambaran
EKG yang mengancam jiwa.
4. Sebelum penggunaan obat anti aritmia, maka faktor-faktor pencetus diluar
jantung harus dikoreksi lebih dahulu.
5. Harus tersedia obat anti aritmia yang lengkap, yang sewaktu-waktu dapat
digunakan.
6. Kemampuan penanganan aritmia, harus disertai pula kemampuan untuk
melakukan Resusitasi Kardio-pulmoner.
7. Perawat yang bekerja di ICU harus mempunyai kemampuan untuk
meramalkan kemungkinan terjadinya aritmia yang berbahaya, berdasarkan
pemeriksaan atau gejala-2 yang ada.

Untuk TUGASMAS 647


648

MEKANISME PENGELOLAAN NYERI AKUT


Rita A Sutjahjo
Lab/UPF Anestesiologi FK. UNAIR – RSUD Dr Soetomo
SURABAYA

PENDAHULUAN
Pada permulaanya terapi nyeri terutama bertujuan mengatasi penderitaan. Kemudian
diketahui bahwa nyeri selain menyebabkan perasaan yang tidak menyenangkan juga
mempunyai akibat yang merugikan pada sistem tubuh yang lain. Pengaruh pada sistem
tubuh lain misalnya pada respirasi, sirkulasi, sistem otonom, endoktrin dapat
memperburuk penyakit primer dan memperlambat proses penyembuhan.

Untuk TUGASMAS 648


649
Oleh karena itu berkembang cara cara pengelolaan nyeri yang terutama bertujuan
mengurangi nyeri dan sekaligus dampak negatifnya terhadap penyakit dasar.
Pengetahuan tentang nyeri berkembang pesat, sehingga pengelolaan nyeri pada tahun
tahun terakhir ini tidak lagi bersifat empirikal tetap rasional. Pengelolaan yang rasional
berarti ditujukan kepada proses atau mekanisme yang bertanggung jawab menimbulkan
nyeri. Dengan demikian diperlukan pemahaman mengenai patogenesis timbulnya nyeri
karena patogenesis nyeri merupakan dasar dalam menentukan pengelolaan yang tepat,
efektif dengan efek samping seminimal mungkin.

PATOGENESIS TIMBULNYA NYERI.


Nyeri sebenarnya berfungsi fisiologis yaitu sebagai salah satu mekanisme pertahanan
tubuh.
Nyeri dapat ditimbulkan oleh rangsangan suhu, kimiawi maupun mekanik dengan
intensitas tertentu yang disebut stimulus noksius. Stimulus noksius adalah stimulus yang
potensial menyebabkan kerusakan jaringan tubuh.
Stimulus yang bersifat noksius menyebabkan rangsangan pada reseptor nyeri yaitu
ujung bebas syaraf delta A dan C (reseptor nyeri). Rangsangan ini menimbulkan impuls
noksius yang diteruskan ke sususnan syaraf pusat dan dipersepsikan sebagai nyeri.
Reseptor nyeri terdapat dipermukaan kulit dan jaringan yang lebih dalam antara lain
peritoneum, dinding arteri, periost, permukaan sendi dan otot. Tersebar pula pada
jaringan lain walaupun distribusinya lebih sedikit.
Nyeri fisiologis ditandai dengan nilai ambang reseptor yang tinggi, lokalisasi nyeri
terbatas dan segera hilang.
Nyeri klinik atau nyeri patologis terjadi bila reaksi inflamasi akibat trauma jaringan atau
trauma pada syaraf menyebabkan perubahan nilai ambang/sensitisasi reseptor perifer
maupun neuron korda spinalis. Nyeri akan timbul oleh stimulus dibawah nilai ambang
reseptor dengan reaksi yang berlebihan (Allodynia, hyperalgesia) dan meluas ke daerah
yang tidak terkena trauma (secondary hyperalgesia) (Woolf 1993).

Klasifikasi menurut penyebab adalah sebagai berikut :


- Nyeri organik yaitu nyeri nosiseptif yang disebabkan oleh kerusakan
jaringan dan nyeri noniseptif yang disebabkan kerusakan syaraf
(neoropatik/simpatik).
- Nyeri psikologik

Untuk TUGASMAS 649


650
Proses dari timbulnya impuls nyeri (noniseptif) sampai dengan dipresepsi oleh otak,
melalui 4 tahap sebagai berikut :

Transduksi
Rangsangan harus diubah menjadi impuls listrik. Transduksi adalah perubahan stimulus
noksius menjadi arus elektrobiokimia (impuls nyeri) yang diteruskan lewat serabut
syaraf ke susunan syaraf pusat.

Transmisi
Proses penerusan impuls nyeri melalui jaringan sistem syaraf.

Modulasi
Modulasi adalah pengendalian transmisi impuls nyeri, dapat bermula dari perifer
maupun sentral.
Modulasi perifer adalah hambatan transmisi nyeri presinaps oleh rangsangan pada
serabut syaraf besar.
Diduga rangsangan pada serabut syaraf dengan diameter besar akan menyebabkan
pengeluaran neurotransmiter GABA oleh neuron kornu dorsalis. GABA berperan dalam
proses hambatan tersebut (Bonica 1991).
Kontrol kortikal (sentral) terjadi melalui penerusan sinyal dari otak ke reseptor korda
spinalis yang berperan dalam hambatan transmisi impuls. Disini biogenik amine
(monoamine) serotonin, norepinefrin dan peptida opioid enkefalin bertindak sebagai
neorotrasmiter.
Kontrol kortikal diaktifkan oleh pengeluaran opioid endogen antara lain beta endorfin,
enkefalin, dynorfin dari beberapa lokasi tertentu di otak.

Persepsi
Merupakan hasil integrasi antara impuls yang masuk dari perifer dengan pusat kognisi
dan emosi di otak yang menentukan bagaimana nyeri yang dirasakan secara individual.
Informasi kognitif berdasarkan intelengensia, nilai sosial budaya, kepribadian dan
pengaruh psikis situasional sangat mempengaruhi persepsi seseorang.

MEKANISME PENGELOLAAN NYERI


Pengelolaan nyeri yang tersedia pada saat ini dapat ditujukan pada semua tahap dalam
alur nyeri baik dengan cara farmakologis, pembedahan maupun psikologik.

Untuk TUGASMAS 650


651

Transduksi
Pada dasarnya mekanisme pengelolaan nyeri pada tahap ini adalah menghambat proses
biokimiawi – reaksi inflami jaringan.
Trauma jaringan menyebabkan reaksi inflamasi. Reaksi inflamasi menyebabkan
timbulnya impuls nyeri pada ujung syaraf / reseptor nyeri perifer. NSAID menghambat
sintesa prostaglandin sehingga menekan proses inflamasi.
Oleh karena itu pada mulanya NSAID terutama dipakai untuki nyeri khrinik karena
penyakit inflamasi.
Kemudian diketahui bahwa NSAID selain mempunyai efek analgesia yang bekerja
perifer, juga bekerja sentral pada korda spinalis maupun sistim supra spinal.
Oleh karena itu pemilihan jenis NSAID untuk masing keadaan tergantung titik erat
tujuan terapi mengatasi reaksi inflamasi atau meningkatkan analgesia sentral.

TRANSMISI
Penerusan imppuls nyeri lewat serabut syaraf dihambat oleh obat-obatan analgesi lokal.
Efelk Na channel blocking obat anaestesi lokal penghambat konduksi impuls pada
reseptor perifer (infiltrasi lokal) serabut syaraf perifer, serabut dari korda spinalis dan
gangglion otonom (anestesi regional) (Jong 1996).
Pemutusan syaraf yang permanen umumnya dilakukan sebagia upaya paliatif dengan
cara pembedahan, kimiawi (alkohol) maupun termal (hipotermi, cryoanalgesia).
Pengelolaan pada tahap ini membutuhkan ketrampilan khusus dan dilakukan di rumah
sakit.

Modulasi
Pemberian opioid eksogen sistemik akan menyebabkan ikatan dengan reseptor opioid di
otak. Sinyal kemudian diteruskan ke distal mengaktifkan sistem hambatan pada tingkat
korda spinalis, dengan peningkatan pelepasan neurotransmiter monoaminergik yaitu
serottonindan nor epinefrin. Terjadi hambatan persinaps pada transmisi impuls dari
perifer sebelum mencapai otak (Guyton 1991).
Demikian pula dengan diketahui adanya reseptor opioid di korda spinalis pemberian
opioid epidural maupun subarachoid merupakan alternatif lain untuk menghambat
transmisi nyeri (Cousin 1988, No ren 1994).
Akhir-akhir ini pemberian aplha 2 agonist pada korda spinalis dibuktikan bermanfaat
dalam meningkatkan mekanisme hambatan ini. (Ferrante 1994).

Untuk TUGASMAS 651


652

PERSEPSI
Faktor psikis yaitu aspek kognisi dan emosi mempengaruhi persepsi nyeri. Hal ini lebih
nyata pada nyeri khronik.
Kontribusi dari faktor psikologis pada nyeri akut umumnya ditujukan pada mengatasi
kecemasan edan agitasi.

PENUTUP
Pemilihan cara yang tepat dan efektif untuk pengelolaan nyeri harus didasari
pengetahuan tentang patogenesis nyeri sesuai dengan penyakit dasar/patologi yang
menyebabkan timbulnya nyeri tersebut.

Untuk TUGASMAS 652


653
POLA UMUM PELAKSANAAN NUTRISI PARENTERAL
(pertimbangan pengetrapan dalam sarana terbatas)

Eddy Rahardjo
Lab Anestesiologi & Terapi Intensif
FK. Univ. Airlangga RSUD Dr. Soetomo
Surabaya

1. PENDAHULUAN
Dalam keadaan sehat, nutrisi disadari sebagia sendi ;pokok kehidupan. Tetapi
pada waktu waktu sakit, kebutuhan pokok ini bergeser ke obat. Nutrisi sebagai
kebutuhan pokok dilupakan.
Malnutrisi selama perawatan di rumah sakit sebenarnya terjadi lebih sering dari
yang disadari. Sisa porsi makanan yang kembali dari penderita dapat mencapai 50%
atau lebih. Hal ini masih ditambah kemungkinan salah diet karena variasi kandungan
gizi dalam bahan makanan. Bagi penderita yang tinggal hanya beberapa hari untuk
bedah herniotomi, masalah ini tidak berarti. Namun bagi penderita dengan pembedahan
kanker radikal, dengan masa persiapan yang panjang, berkali-kali puasa untuk test
diagnosis, masalah nutrisi ini menjadikan beda hidup dan mati. Bagi penderita infeksi
berat/spesis atau trauma ganda yang luas.
Kekurangan nutrisi dapat menjadi penyebab kematian.
Puasa lebih dari 24 jam menghabiskan cadangan glokogen dihati dan diotot.
Tanpa bantuan nutrisi nini, tubuh memenuhi kebutuhan enersi basal 25 kcal/kg per hari.
Jika cadangan habis, kebutuhan glukose selanjutnya dipenuhi melalui proses
glukoneogenesis, antara lain dengan lipolisis dan proteolisis 125 – 150 gram/hari
(4,5,13,16,19).
Penderita trauma dan spesis bahkan mengalami rangkaian perubahan hormonal
yang menambah laju katabolisme.
Proteilisis sangat menganggu bahkan menghambat sintesa visceral protein yang
half-life-nya pendek. Enzym, immunoglobin dan albumin. Hal ini menyebabkan daya
tahan teradap infeksi menurun, mudah terjadi edema dan hambatan penyembuhan luka.
Pada akhirnya fungsi tubuh secara umum merosot dengan cepat. Pemberian nutrisi
memang tidak menghemtikan katablosme tetapi mengurangi laju dampak negatif akibat
katabolisme.

Untuk TUGASMAS 653


654
Ada lima kelompok penderita gawat yang masing-masing mempunyai aspek
khusus sehingga memerlukan mekanisme penanganan berbeda.
1. Starvation (masukan nutrisi yang kurang).
2. Trauma dan pembedahan.
3. Sepsis.
4. Luka bakar luas.
5. Gagal organ.
Nutrisi seperti halnya oksigen dan cairan senantiasa dibutuhkan oleh tubuh.
Penderita yang tidak dapat makan, tidak mau makan atau tidak boleh makan harus tetap
mendapat masukan nutrisi melalui cara enteral (pipa nasogastrik) atau cara parenteral
(intra vena).
NPE tidak menggantikan fungsi alamiah usus, karena itu hanya merupakan jalan
pintas sementara sampai usus berfungsi normal kembali. Teknik Nutrisi Par-Enteral
(NPE) memang tidak mudah dan penuh liku-liku masalah biokimia dan fisiologi.
Juga harga NPE relatif mahal, tetapi jika digunakan dengan benar pada penderita
yang tepat, pada akhirnya akan dapat dihemat banyak beaya yang semestinya keluar
untuk antibiotik dan waktu tinggal di rumah sakit. Sebalilknya, missue and abuse yang
tidak terkendali akan memboroskan sarana yang mahal ini dan menjadi tambahan beban
masyarakat.
Makalah ini menguraikan dasar dan pola pemberian nutrisi par-enteral bagi
penderita starvationo dan pasca bedah/trauma.
NPE untuk sepsis, luka bakar luas dna gagal organ tidak dibahas dalam konteks
“pengetrapan dalam sarana terbatas” ini karena untuk tujuan-tujuan tersebut diperlukan
banyak sarana pemantauan laboratorik canggih untuk mengindari banyak penyulit
metabolik.

Pendekatan yang digunakan adalah :


1. Tepat Penderita
2. Tepat Indikasi
3. tepat Obat/Substrat
4. Tepat Dosis
5. Waspada Efek Samping

TEPAT PENDERITA :
NPE di-indikasi-kan sebagai “jalur substitusi” bagi setiap penderita dengan saluran
digesif yang tidak dapat menerima dan mencerna makanan. Sedang NPE sebagai “jalur
supplement” di-indikasikan bagi kasus luka bakar yang luas, contusio cerebri, trauma
ganda dan sepsis dimana peningkatan kebutuhan energi dan nutrient sangat tinggi
dimana usus tidak dapat menampung volume makanan yang dibutuhkan untuk
mengatasi kaltabolisme.

Untuk TUGASMAS 654


655
Jika krisis katabolisme kecil, sedangkan tubuh mempunyai cukup cadangan, tidak akan
timbul masalah apapun. Penderita dewasa muda sehat, dengan status gizi yang baik,
dapat menyalani pembedahan, puasa 5-7 hari sesudahnya, sembuh dan pulang selamat,
hanya dengan kerugian penurunan berat badan.
Tetapi pada kenyataanya, lebih banyak penderita yang kondisi awalnya sudah jelek
(berat badan kurang, kadar albumin < 35 gm/dl). Bagi mereka puasa pasca bedah atau
pasca trauma selama 5-7 hari (hanya mendapat infus cairan elektrolit) sudah cukup
untuk mencetuskan hipoalbuminemia, hambatan penyembuhan luka, penurunan daya
tahan tubuh sehingga infeksi mudah menyerang.
Sehingga banyak penderita pasca bedah perforasi ileum (thypus abdominalis),
invaginasi, volvolus atau hernia incarcerata kemudian mengalami kebocoran jahitan
usus yang menyebabkan peritonitis atau enterofistula ke kulit. Dengan bantuan
tambahan nutrisi yang baik penyulit-penyulit yang fatal ini dapat dihindari.
Sebagai contoh masalah adalaah penderita pasca bedah lapatoromi dengan dan
tanpa reaksi usus. Dipilih model ini sebab trauma cukup besar (dampak katabolisme
besar) disamping penderita masih harus puasa total selama ileus parametiknya belum
hilang (3-7 hari). Penelitian kami meliputi 47 penderita laparotomi yang diberi dua
pilihan cairan infus. Kelompok NPE mendapat infus karbohidrat hipertonis 30 kcal/kg
dan asam amino 5% 0.5 gm/kg per hari melalui vena sentral. Kelompok lainnya
mendapat Ringer-Dextrose 5% dan Dextrose 5% saja.

II. TEPAT INDIKASI :


Ada tiga masalah dalam hal ini,
1. Kapan sebaiknya NPE mulai diberikan ?
2. Pada keadaan – keadaan apa NPE tidak diberikan ?
3. kapan dipilih NPE total dan kapan dipilih NPE parsial ?
KAPAN MULAI DIBERIKAN :
Bagi penderita pasca bedah dan pasca trauma dengan status gizi awalnya
normal, mulai pada hari ke tiga.
Jika gizi awal tidak normal (berat badan kurang, diabetes militus, gagal ginjal,
gangguan-gangguan faal hati) maka NPE dimulai lebih dini, yaitu setelah 24-48 jam,
tetapi tidak lebih dini lagi.
Dua puluh empat jam pertama adalah masa stabilisasi yang belum memungkinkan
diberikannya NPE karena didalam periode ebb-phase ini, penderita mengalami
peningkatan kadar strees hormones, sel-sel resisten terhadap insulin dan kadar gula

Untuk TUGASMAS 655


656
meningkat. Jika demam, nyeri, shock, gagal napas dapat diatasi dengan perawatan yang
optimal, reaksi stress ini segera lewat.
Hanya setelah krisis metabolisme ini lewat, maka NPE dapat diberikan dengan lancar
dan bermanfaat. Sebelum keadaan tenang ini tercapai (flow phase) maka NPE hanya
akan menambah beban srees penderita. Fase ini ditandai dengan menurunnya kadar
cortisol, cathecolemia dan glucagon. Untuk kita di klinik, kadar gula darah < 200 mg/dl
merupakan isyarat awal untuk memulai NPE.
Perhatikan kenaikan kadar gula darah yang menunjukkan derajat strees –
hyperglicemia dalam grafik no 1 antara kondisi pra-bedah dan pasca bedah 24 jam.

KAPAN TIDAK DIBERIKAN :


1. Pada penderita pasca bedah / trauma yang masih ebb phase. Disini diberikan
cairan elektrolit dan Dextrose 5% saja.
2. Pada penderita dengan gagal nafas (pO2 < 80 dan pCO2 > 50). Sebab dengan
NPE penuh metabolisme karbohidrat meningkatkan produksi CO2 dan akan
memperberat gagal napasnya kecuali jika diberikan napas buatan mekanik.
3. Pada penderita yang masih shock, ECF deficit (kekurangan cairan ekstra-seluler)
dan demam tinggi.
4. Pada penderita dengan penyakit yang terminal atau keadaan vegetatif mati otak,
karena alasan cost-benefit.

KAPAN DIPILIH NPE – PARSIAL, KAPAN NPE – TOTAL?


Pada masa-masa awal dahulu, pandangan umum berusaha memberikan seluruh
kebutuhan nutrisi (Total Parenteral Nutrition) atau bahkan lebih daripada kebutuhannya.
Sejak 1974 kami RSUD Dr. soetomo mengambil sikap berbeda dengan pedoman bakwa
“some nutrition is better than no nutrition’. Kami memberikan kalori sebanyak 25
kcal/kg dan protein < 1 gm/kg, dosis yang relatif moderat dibanding pendapat umum
pada masa itu.
Dosis ini sekarang diakui “cukup berguna” dan disebut “Partial Parenteral Nutrition”.
NPE-parsial dipilihn jika :
 jika dalam waktu 5-7 hari penderita diharapkan mampu menerima nutrisi
enternal kembali.
 Masih ada nutrisi enternal yang dapat diterima penderita.
NPE total diberikan jika batasan jumlah kalori ataupun batasan waktu tersebut diatas
tidak terpenuhi.

Untuk TUGASMAS 656


657
Bagi dokter yang bekerja dalam sarana terbatas dimana tidak tersedia kanula
Vena sentral untuk memberikan NPE-total (dengan cairan hipertonis > 1000 mOsm),
gunakanlah NPE-Parsial lewat vena perifer biasa karena cara ini cukup bermanfaat.

III. TEPAT OBAT DAN TEPAT DOSIS


Ada beberapa kaidah penting yang harus ditaati agar didapat manfaat optimal
serta dihindarinya penyulit yang disebabkan oleh masuknya nutrients langsung ke vena
sistemik, beredar tanpa melalui proses-proses detoksifikasi di hati.
Komposisi substrat sangat meningkat. Dosis dan cara pemberian perlu titrasi individual
bagi tiap kasus.
Komposisi ideal adalah kombinasi, asamamino, lemak dan vitamin-mineral
dengan urutan prioritas :
1. Karbohidrat sebagai sumber kalori utama harus selalu ada.
2. Asam amino dapat menyusul 3-5 hari kemudian.
3. Lemak dapat diberikan sejak awal sebagai tambahan kalori atau mulai hari ke-7
sebagai sumber lemak essensial.

SUMBER KALORI
Sumber kalori yang utama dan harus ada adalah Dextrose. Otak dan erotrosit
mutlak memerluakn dextrose/glukose ini setiap saat. Jika tak tersedia, tubuh melakukan
glikoneogenesis dari substrat lain.
Pada periode 1960-1970 hampir semua sarjana berpendapat bahwa diperlukan
kalori setinggi 40-60 kcal/kg dan protein 2-3 gm per kg tiap hari. Beban langsung
intravena sebesar 0.5 kg gula (40 kcal x 50 kgBB = 2000 kcal) tentu merupakan strees
berat bagi tubuh dan menimbulkan masalah hiperosmolar, hiperglikemia, gangguan
elektrolit, diuresis osmotik bahkan kematian.
Penelitian baru dengan calorymetri dan metabolik computers mendapatkan data
yang lebih teliti tentang kebutuhan kalori yang sebenarnya, yang ternyata jauh lebih
rendah daripada anggapan-anggapan terdahulu.
Quebbeman dkk (1982) menemukan bahwa pada penderita yang mengalami
stress dan katabolisme berat, resting energy expenditure berkisar 1000 kcal/m2/hari. Ini
setara dengan 1700 kcal pada penderita 70 kg dengan luas tubuh 1.73 m2 atau kira-kira
25 kcal/kg/hari.
Kinney menyarankan pemberian 40% diatas basal energy expenditure. Sumber kalori
lain seperti kombinasi Fruktose-Glukosee atau emuli lemak dapat dipertimbangkan

Untuk TUGASMAS 657


658
terutama jika hyperglikemia sukar dikendalikan. Dengan membagi beban dari
glukose/dextrose saja menjadi kombinasi glukose maka masing-masing unsur akan
menempuh jalur metabolismenya yang berbeda (sekalipun akhirnya berubah jadi
glukose lagi), hingga jumlah kalori yang sama besarnya tidak lagi menyebabkan
hiperglikemia.
Namun berbeda dengan kadar gula darah, test kadar fruktosa dan xylitol sukar. Dosis
dibatasi secara Fruktose < 3 gm/kg dan Xylitol 1.5 gm/kg per hari, agar tidak terjadi
penyulit metabolik. Kelebihan fruktosa menyebabkan asidosis laktat dan hipofosfatemia
yang membahayakan jiwa.
Sumber kalori adalah lemak. Awal sejarah emulsi lemak diwarnai banyak
penyulit (terutama di Amerika) karena saat itu belum ditemukan cara membuat emulsi
yang stabil. Tetapi sekarang infralipid yang beredar sudah mendekati kesempurnaan,
tidak ada masalah lagi dengan emboli, gangguan paru, gangguan hati dll.
Setiap gram lemak menghasilkan 9 kcal. Emulsi 10% dan 20% tidak hipertonis dapat
diberikan melalui vena perifer serta dapat diteteskan bersama karbohidrat dan asam
amino. Sebagai sumber kalori lemak tidak dapat berdiri sendiri, harus disertai dextrose
dalam perbandingan kalori yang sama.
Keuntungan sumber kalori ini adalah dihindarkannya penyulit hiperosmolar dan
hiperglokemia. Vena juga dapat lebih lama terhindar dari throbophlebitis. Sayang harga
lemak terlalu mahal untuk digunakan rutin. Sebagai sumber asam lemak essensial,
emulsi cukup diberikan 1 x tiap minggu, 200-500 cc larutan 10%.

SUMBER PROTEIN ATAU ASAM AMINO


Selain kalori yang dipenuhi dengan karbohidrat dan lemak, tubuh masih
memerlukan asam amino untuk regenerasi sel, enzim dan visceral-protein.
Pemberian protein/asam amino tidak untuk menjadi sumber energi. Karena itu
pemberian protein/asam amino harus “ dilindungi “ kalori yang cukup agar asam amino
yang diberikan ini tidak “dibakar’ menjadi energi.
Jangan memberikan asam amino jika kebutuhan kalori belum dipenuhi.
Diperlukan perlindungan 150 kcal (karbohidrat) untuk tiap gram Nitrogen atau
25 kcal untuk tiap gram asam amino. Kalori dari asam amino itu sendiri tidak ikut
dalam perhitungan kebutuhan kalori.
Satu gram N (nitrogen) setara 6.25 gram asam amino atau protein. Jika diberikan
protein 1 gram/kg=50 gram/hari maka diperlukan karbohidrat.

Untuk TUGASMAS 658


659
Pemberian asam amino sebaiknya diteteskan bersama karbohidrat agar efek
nutrisi lebih baik disamping untuk mengurangi kepekaan (osmolaritas) melalui
pengenceran.
Prinsip pemberian bertahap juga berlaku untuk asam amino. Tubuh harus diberi
kesempatan menyesuaikan diri lebih dulu terhadap masuknya substrat langsung ke vena
sistematik tanpa melalui sistim portal dan detoksifikasi di hati.

NUTRISI PARENTERAL PADA


PENDERITA SEPSIS

Tommy Sunartomo
Lab-UPF. Anestesiologi
FK. Unair-RSUD Dr. Soetomo
Surabaya

PENDAHULUAN
Sepsis merupakan respons sistemik terhadap infeksi yang ditandai dengan
demam atau atau hipotermi perubahan mental (psikosis) dan tampak toksik. Penyebab

Untuk TUGASMAS 659


660
paling sering adalah kuman negatif gram. Dari sumbu infeksi kuman masuk aliran darah
atau mengeluarkan endotoksin atau mengaktifitaskan mediator yang lain yang
menyebabkan perubahan pada kardiovaskuler, metabolisme dan immunologik.
Perubahan-perubahan ini bila tidak diatasi dengan tepat, akan menyebabkan terjadinya
shock septik, gagal organ multipel dan berakhir dengan kematian.
Angka kematian shock septik masih tinggi sekitar 40-80%.
Tetapi pada sepsisi dan shock septik pada dasarnya adalah menghilangkan aktivator
(kuman penyebab, sumber infeksi), memblokir rantai kerja mediator dan terapi suportif
pada organ responden.
Pemberian nutrisi yang adekwat mempunyai peranan yang penting pada, terapi
penderita yang spesifik, karena adanya hipermetabolisme dan katabolisme yang
meningkat. Tanpa nutrisi yang adekwat katabolisme akan berlangsung terus, otot
mengecil dan melemah, berat badan menurun, penyembuhan luka terhambat, fungsu
immunologik menurun sehingga tubuh tak mampu lagi menghadapi infeksi yang ada.
Pada makalah ini akan dibahas secar singkat respons metabolik yang terjadi pada sepsis
dan hal-hal yang perlu diperhatikan pada pemberian nutrisi parenteral pada penderita
sepsis agar mendapat manfaat seperti yang duharapkan.

RESPONS METABOLIK TERHADAP SEPSIS


Perubahan metabolik yang terjadi pada penderita sepsis dan trauma sangat
kompleks dan belum seluruhnya jelas.
Indikasi,
Apakah indikasi sudah tepat ?
Pada umumnya nutrisi parenteral diberikan pada penderita yang tak boleh makan , tak
dapat makan, tak mau makan.
Penderita sepsis, umumnya lemah, tak mau makan, anoreaksi dan sering disertai dengan
gangguan mental. Tidak jarang mereka adalah penderita pasca laparatomi atau trauma
multipel yang belum bisa “intake” peroral.
Jadi pemberian nutrisi parenteral adalah tepat terutama fase awal sebelum nutrisi enteral
mencukupi.

Penderita.
Apakah penderita sudah tepat ?
Penderita sepsis mengalami proses katabolisme yang hebat, laju metabolisme yang
meningkat, bila tidak disertai dengan pemberian nutrisi yang adekwat maka akan terjadi

Untuk TUGASMAS 660


661
proses kanibalisme pada tubuh penderita, jaringan otot berkurang, berat badan menurun,
jaringan immunologik terganggu, sehingga daya pertahanan tubuh untuk menghadapi
infeksi menurun.
Jika penderita sepsis sangat memerlukan bantuan nutrisi terutama kalori protein yang
dapat diperoleh secara enternal maupun parenteral.

Substrat nutrisi dan dosis


Apakah substrat nutrisi dan dosis yang diberikan sudah tepat ?
Telah diterangkan bahwa penderita sepsis memerlukan bantuan nutrisi yang adekwat
baik kalori maupun protein. Tetapi adanya respons metabolik yang kompleks dan yang
belum jelas seluruhnya menyebabkan kesulitan memilih macam dan jumlah substrat
untuk parenteral pada penderita sepsis.
Sampai saat ini masih banyak perbedaan pendapat dari para ahli dan belum ada substrat
nutrisi pilihan.
Kebutuhan kalori untuk penderita sepsis meningkat 30-50% dari kebutuhan kalori basal.
Kebutuhan kalori basal dapat dihitunh dengan menggunakan rumus Harris-Benedict.
Larutan karbohidrat yang hipertonis harus dilewatkan vena sentral karena memudahkan
terjadinya thromboohlebitis bila lewat vena perifer.
Pada penderita sepsis kemampuan untuk melakukan pembakaran (oksidasi) karbohidrat
eksogen terbatas. Pemberian yang berlebihan akan menimbulkan macam-macam
penyulit antara lain hiperglikemia, koma, diuresis osmotik, produksi CO2 yang
meningkat dan distrees napas.
Diperlukan monitoring yang ketat kadar gula darah dan fungsi vital. Dipertimbangkan
pemberian insulin tambahan dan kecepatan infus diatur tidak melebihi 4-5 mg glukosa /
kg BB/menit.
Disarankan, agar menggunakan kombinasi karbohidrat dan emulsi lemak sebagai
sumber kalori untuk mendapatkan jumlah kalori yang dikehendaki dan menghindari
kelebihan pemberian glukose. Dalam kombinasi ini 50-60% dari ke
butuhan kalori diperoleh dari karbohidrat, 30-40% dari emulsi lemak dan 10-20% dari
larutan asam amino.
Penggunaan emulsi lemak bukan kontradiksi pada penderita sepsis, tetapi pada fase
shock atau fase ebb sebaiknya dihindari atau diperlukan observasi yang ekstra ketat.
Kecepatan maximum untuk larutan lemak 10% adalah 100 ml/jam sedangkan untuk
larutan lemak 20% adalah 50 ml/jam.

Untuk TUGASMAS 661


662
Larutan asam amino kecil peranannya sebagai sumber kalori tetapi lebih berperan
sebagai bahan baku sintesa protein, termasuk protein immunologik dan untuk
mempertahankan massa jaringan tubuh terutama otot.
Pada penderita sepsis kebutuhan asam amino untuk mencapai keseimbangan nitrogen
lebih besar dibandingkan penderita kelaparan biasa, dosis sampai 2-3 g/kg BB/ hari.
Larutan asam amino yang diperkaya dengan asam amino rantai cabang seperti leucine,
isoluecine dan valine, dikatakan lebih menguntungkan.
Vitamin dan trace elemement perlu ditambahkan terutama pada nutrisi parenteral jangka
lama.

Tepat waktu
Kapan nutrisi parenteral dimulai dan kapan distop ?
Pada umumnya nutrisi parenteral mulai diberikan bila keadaan hemodinamik telah
stabil.
Pada penderita post trauma atau sepsis nutrisi parenteral belum dapat dimulai pada fase
ebb, karena pada fase ini merupakan fase resusitasi untuk stabilisasi hemodinamik
masih ada aktivitas simpatik yang tinggi, dan laju metabolik yang rendah.
Nutrisi parenteral segera diberikan setelah berada pada fase flow. Keterlambatan
pemberian nutrisi dapat menyebabkan penderita kembali normal, yang bila disertai
gagal organ yang multiple untuk mencapai kesembuhan akan semakin sulit.
Pemberian nutrisi parenteral pada umumnya dimulai dengan dosis paling rendah
kemudian ditingkatkan secara bertahap dan diakihri dengan bertahap pula selanjutnya
stop bila nutrisi enternal telah adekwat.
Waspada terhadap penyulit
Penyulit yang sering timbul :
 penyulit dari kateter : infeksi; bakterimia harus diperlakukan secara aseptis.
Bila ada tanda-tanda infeksi segera dicabut dan diganti.
 Penyulit dari substrat nutrisi
 Hiperglikemia
 Hipoglikemia
 Koma
 Diuresis osmotik
 Hiperkapnea
 Distress napas
 Emboli lemak

Untuk TUGASMAS 662


663
 Azotemia
Untuk itu perlu monitoring yang ketat.

RINGKASAN
Rauma (injury) atau sepsis menyebabkan perubahan metabolisme energi
(karbohidrat, lemak) dan protein diseluruh tubuh. Perubahan ini terjadi 2 fase
pasang dan surut :
Fase ebb, terjadi setelah injury dengan gejala mobilisasi cadangan energi, tetapi
tanpa kenaikkan laju metabolik.
Fase flow terjadi setelah fase ebb diatasi, dengan gejala hipermetabolisme dan
hiperkatabolisme.
Nutrisi parenteral pada penderita sepsis diberikan pada fase flow.
Kebutuhan kalori dan protein disesuaikan dengan kondisi penderita, respons
metabolik dan harmonalnya.

PEMANTAUAN PADA PENDERITA


DENGAN NPE
Rita Ari Sutjahjo
FK Unair / RSUD Dr Soetomo

PENDAHULUAN
Meluasnya pemakaian Nutrisi Parenteral (NPE) harus diikuti pula dengan
dikembangkannya suatu protokol standar yang berkaitan dengan penerapannya, maupun
peningkatan pengetahuan mengenai substrat yang dipakai. Protokol standart ini antara
lain mengenai tehnik pemasangan kateter intervena, cara pemberian infus dan
perawatannya maupun cara-cara pemantauan. Diharapkan adanya protokol standart
dapat mengurangi kemungkinan terjadinya komplikasi dan memanfaatkan pemberian
NPE sebaik-baiknya.
Tujuan pemantauan pada penderita-penderita dengan NPE pada dasarnya
mempunyai 2 tujuan yaitu :

Untuk TUGASMAS 663


664
1. Mengetahui efek nutrisi yang diberikan. Setelah pemberian kalori dan protein
sesuai dengan perhitungan kebutuhan, dilakukan pemantauan terhadap indikator-
indikator yang dipakai untuk menilai efek nutrisi ini. Dengan demikian akan
diketahui apakah asupan kalori dan protein sesuai dengan kebutuhan penderita
yang sebenarnya. Kesimpulan ini pula akan menunjukkan bagaimana manfaat
pemberian NPE, sehingga bilamana perlu dapat dilakukan perubahan dari
regimen nutrisi yang sedang diberikan.
2. Mengetahui adanya penyimpangan dan komplikasi. Terdapat 2 kemungkinan
komplikasi yaitu yang berkaitan dengan Kateter Intravena dan yang berkaitan
dengan substrat. Langkah pertama menuju berhasilnya penanganan komplikasi
adalah deteksi dini, dan segera melakukan koreksi untuk mengatasinya.

Dalam makalah ini dibahas pemantauan-pemantauan yang dianjurkan dan


dilakukan pada pusat-pusat dengan sarana yang lengkap dan beberapa pemantauan yang
minimal harus dan dapat dilakukan pada Rumah Sakit dengan sarana yang terbatas.

STATUS NUTRISI
Sebelum NPE diberikan, diperlukan suatu data dasar Keadaan umum penderita
maupun data tentang status nutrisi penderita.
Status nutrisi ditetapkan berasarkan beberapa parameter antara lain :

Data subjektif : Anamnese (diet, penurunan Berat Badan, penyakit dasar/khronis).

Data objektif

Gangguan nutrisi sedang Berat


Berat badan (penurunan) 10 – 25 % > 25 % ( BB semula )
Pengukuran antropometix
- triceps axinfold 40 – 60 % < 40 % (standart )
- midarm circumference 80 – 90 % < 80 % ( standart )
- creatinine heigt index 80 – 90 % < 80 % ( standart )
Plasma protein
- albumin ( N > 3.5 ) 2.1 – 2.8 < 2.1 ( g/dL )
- transferin (N 175 – 300) 100 - 150 < 100 (mg/dL)
Fungsi Immunologis

Untuk TUGASMAS 664


665
- total lymphocyte count 1000 – 1500 1000 (/mm3)
- skin test 5 - 10 < 5 – 0 (mm)

data subjektif dan status nutrisi ini akan berperan dalam menyusun rencana pemberian
NPE misalnya :
- saat pemberian (pada penderita dengan nutrisi berat, NPE dimulai sebelum
pembedahan elektif).
- Pola pemberian (pada penderita malnutrisi pemberian kalori harus dinaikkan
secara bertahap untuk menghindari “refeeding edema”).
- Perlunya penambahan khusus vitamin tertentu (pada penderita dengan
inflamatory bowel disease dapat diperkirakan ada defisiensi vitamin B).

KEBUTUHAN KALORI – PROTEIN


Kebutuhan Kalori
Kebutuhan kalori secara sederhana dapat ditentukan berdasarkan Berat Badan.
Dapat diukur dengan memakai rumus Harrist Benefit dengan faktor koreksi dari Long
untuk penyesuaian terhadap aktifitas, penyakit dan suhu badan.
Pengukuran secara kontinyu dapat dilskukan dengan memakai alat (inderect)
calorimetri dengan computer metabolik, dengan mengukur pemakaian energi (Energy
Expenditure).
Dengan alat ini pemakaian energi (kalori) oleh tubuh dihitung secara tidak langsung
dengan pemakaian oksigen dan pengeluaran CO2. Karena untuk sejumlah oksigen yang
dipakai akan dihasilkan sejumlah energi dan CO2 sesuai dengan banyaknya molekul
yang dipecah. Banyaknya oksigen yang dipakai, CO2 yang dihasilkan (RO) dan energi
yang dikeluarkan adalah spesifik untuk masing-masing molekul karbohidrat, protein
maupun lemak.
Keyntungan pemakaian energi dengan calorymetri dengan calorymetri ini adalah
bahwa alat ini dapat memberikan gambaran mengenai kebutuhan nutrisi penderita yang
sebenarnya dan komposisi nutrien yang dipakai tubuh sesuai dengan respons metabolik
pada saat/fase tersebut. Hal ini terutama beguna bagi penderita – penderita dalam

Untuk TUGASMAS 665


666
keadaan hiperkabolik dimana selalu terjadi fluktuasi kebutuhan sehingga diperlukan
reformulasi dari jumlah maupun komposisi substrat.

Kebutuhan protein
Ditentukan berdasarkan standart kebutuhan sesuai kondisi atau stress penderita,
atau dengan mengikuti perhitungan kehilangan Nitrogen. Kesulitan memperkirakan
kebutuhan ini terjadi bila ada kehilangan protein dari sumber yang tidak dapat dihitung
misalnya dari luka atau proses inflamasi.

PEMANTAUAN EFEK NUTRISI


Pada penderita malnutrisi, pemberian NPE antara lain untuk memperoleh
kenaikan berat badan, kenaikan kadar protein plasma, kenaikan jumlah limposit dan
perubahan reaksi skin test dari energi menjadi positif. Pada malnutrisi akut sekunder
karena trauma, pembedahan, infeksi berat, tujuan NPE adalah mencehah terjadinya
autocatabolism.
Untuk mendapatkan efek protein sparing dengan kenaikan berat badan pada penderta-
penderita ini harus dicapai imbangan nitrogen positif +4, +6 gram.
Tetapi walaupun NPE yang diberikan tidak dapat menghentikan proses katabolisme,
dan tidak dapat mencapau suatu imbangan nitrogen yang positif, seridak-tidaknya NPE
akan memberikan energi dan protein sparing efect yang memberikan mempertahankan
daya tahan tubuh, respon immunologis dan fungsi organ. Dalam hal ini NPE bertujuan
mengurangi harga negatif imbangan nitrogen atau mencapai hatga 0 (N keluar = N
masuk).
Efek pemberian NPE ini dievaluasi berdasarkan beberapa parameter antara lain
imbangan nitrogen, Berat badan, Kadar plasma protein (Albumin, Transfellin,
Prealbumin), pengukuran anthropometik dan fungsi immunologis. Masing-masing
pemeriksaan ini mempunyai kelebihan dan kekurangan, sehingga dianjurkan untuk
memakai beberapa parameter untuk mengambil kesimpulan.
Dalam praktek sehari-harinya, hubungan antara nilai imbangan ini dengan mobilitas dan
mortalitas disimpulkan denga memperhitungkan juga status nutrisi semula dan penyakit
dasar penderita. Adalah sulit untuk mencapai keseimbangan positif pada penderita
dalam keadaan hiperkatabolik oleh karena adanya faktor-faktor enternal yang
mendorong terjadinya pemecahan jaringan maupun perubahan-perubahan metabolisme.
Jadi secara praktis imbangan nitrogen tidak tepat dipakai sebagai satu-satunya patokan
untuk meramalkan outcome klinis, tetapi dapat menilai aspek nutrisinya, dalam arti

Untuk TUGASMAS 666


667
seberapa jauh NPE bermanfaat mengurangi laju metabolisme. Perhitungan jumlah
nitrogen yang dikeluarkan dapat memberikan informasi kebutuhan protein sesuai
kondisi penderita, sehingga bilamana perlu dilakukan perubahan-perubahan pada
regimen NPE yang diberikan.

Pengukuran Anthropetik
Pada dasarnya bertujuan mengukur tebalnya jaringan lemak subkutan dan
jaringan otot.
Yang termasuk disini adalah pengukuran skin fold thickness (jaringan lemak subkutan
merupakan 50% dari cadangan lemak tubuh) dan creatin heigt index.
Kenaikan berat badan sebanyak 25% hanya menyebabkan pertambahan 5% dan
perubahan-perubahan ini baru berarti bila pemantauan dilakukan dalam waktu lebih
dalam 1 bulan. Hal ini dapat menyebabkan pengukuran tidak praktis sebagai indikator
pemantauaan efek nutrisi.

Plasma Protein
Kadar plasma protein dalam darah sebenarnya merefleksikan banyak faktor
selain nutrisi. Karena kadarnya dalam darah tergantung dari proses sintesa(sumber
precusoy yang adekwat, kemampuan hati)distribusi dan kecepatan katabolisme. Tetapi
kurangnya asupan protein menyebabkan penurunan sintesa plasma protein dan
menyebabkan penurunan plasma protein dalam waktu yang singkat, sehingga
bermanfaat dalam penilaian efek nutrisi.
Plasma protein yang umumnya dipakai sebagai “nutrisi maker” adalah albumin,
transferin dan pre albumin.
Tetapi albumin dapat dikatakan sebagai prediktor yang dapat diandalkan oleh karena
merupakan protein utama yang disintesa oleh hati.
Kekurangannya adalah albumin mempunyai half life yang cukup panjang yaitu 18 hari,
sehingga dapat saja kadarnya dalam darah masih belum berubah walaupun status
nutrisinya memburuk.
Perlu juga diperhatikan bahwa pada keadaan tertentu seperti pada trauma (termasuk
pembedahan terencana), sepsis dan penyakit berat lainnya, dapat terjadi penurunan
kadar albumin.
Tranferin mempunyai waktu paruh yang lebih pendek, tetapi kadarnya juga dipengaruhi
oleh berbagai faktor lain yang terkait dalam proses sintesa dan degradasinya.

Untuk TUGASMAS 667


668
Tidak rutine dilakukan pemeriksaan kadarnya dalam darah tetapi dihitung berdasarkan
TTBC.

Fungsi Imunologi
Umumnya yang dipakai sebagai parameter adalah “Total Lympocyte count” dan
“Delayed cutaneus hypersensitive”.
Banyak faktor non nutrisi yang mempengaruhi nilai kedua pemeriksaan tersebut
sehingga tidak dianjurkan sebagai pemeriksaan rutine.

Elektrolit dan Vitamin


Pada status katabolik, protein intrasel dipakai untuk mencukupi kebutuhan
energi. Hal ini menyebabkan kehilangan ion-ion intraseluler seperti Kalium.
Magnesium dan phospate. Sebaliknya dengan terapi nutrisi dimana dibentuk sel-sel
baru, ion-ion ini akan disimpan dalam sel. Penggunaan glukosa umumnya menyebabkan
hipikalemia karena transpotion ini kedalam sel. Dengan pemantauan berkala gangguan
keseimbangan dapat diketahui sebagai gejala klinis, oleh karena itu pemantauan
elektrolit serum merupakan keharusan pada penderita yang mendapatkan NPE. Vitamin-
vitamin yang larut dalam bentuk lemak cukup banyak tersimpan sebagai cadangan
dalam tubuh, sehingga gejala kekurangannya baru terjadi setelah jangka waktu yang
cukup lama. Vitamin yang larut dalam air umumnya telah ditambahkan dalam cairan
NPE. Tetapi karena kebutuhan elektrolit dan vitamin juga bervariasi tergantung dari
status nutrisi semula dan kondisi / penyakit dasar penderita, sebaiknya harus waspada
terhadap kemungkinan kekurangan relatif (karena kebutuhan yang meningkat).

PENUTUP
Salah satu konsekwensi pemberian NPE, adalah melaksanakan pemantauan.
Pemantauan NPE dalam jangka pendek dengan sarana terbatas dapat dilakukan dengan
pemerikasaan klinis dan laboratorium rutine.
Serum albumin memberikan gambaran tentang status nutrisi dan pemerikasaanya secara
berkala dapat dipakai sebagai indikator efek nutrisi.
Bilamana mungkin dilakukan pemeriksaan imbangan nitrogen berdasarkan jumlah urea
urine (UUN).
Pemantauan komplikasi karena vena sentral dimulai dengan pemantauan cara
pemasangan kateter yang benar dan perawatan infus dengan sistem tertutup dan aseptis.
Komplikasi metabolik terutama berkaitan metabolisme glukosa dan gangguan

Untuk TUGASMAS 668


669
keseimbangan elektrolit. Kedua keadaan ini dapat dipantau dengan pemerikasaan gula
darah dan elektrolit serum.
Perhitungan keseimbangan cairan dilakukan setiap hari dengan menghitung cairan
keluar (+ sensible & insensibel loss) dan cairan masuk (+ air hasil metabolisme).
Pada akhirnya, pengetahuan tentang metabolisme sustrat yang diberikan, penentuan
kebutuhan / `komposisi kalori nitrogen yang cermat, dan pengetahuan mengenai
komposisi cairan NPE yang dipakai, akan membantu memanfaatkan terapi NPE yang
sebaik-baiknya, dan mengurangi komplikasi sebanyak mungkin.

ASPEK ENTERAL NUTRISI KLINIK


Rita A Sutjahjo
Lab – SMF Anestesiologi
FK Unair – RSUD Dr. Soetomo
Surabaya

PENDAHULUAN
Esensi dari tunjangan nutrisi adalah memberikan nutrisi yang adekwat untuk
mencegah terjadinya katabolisme dan memperbaiki kerusakan jaringan. Konsep
memasukkan makanan ke saluran pencernaan bukan lewat mulut, telah diketahui bangsa
Yunani dan mesir berabad-abad sebelum masehi yaitu dengan memberikan rectal
enema. Rectal feeding bahkan masih dipergunakan sampai akhir perang dunia ke II,
sebelum permulaan abad ke-20 diperkenalkan cara-cara yang lebih efektif dengan
gastric dan duodenal tube feeding.
Berbagai penelitian ilmiah kemudian membvuktikan efektifitas enternal feeding
sebagai penunjang nutrisi. Pemakaian nutrisi parenteral yang dipopulerkan
meningkatkan survival maupun mempercepat proses penyembuhan penderita.
Adanya nutrient dalam lumen usus menyebabkan meningkatnya sel mukosa
yang diikuti oleh pertumbuhan sel baru. Hal ini akan mempertahankan tingginya vili,
massa sel dan aktifitas enzim brush border dengan demikian fungsi pencernaan dan
absorpsi berjalan baik.
Enteral nitrisi mempertahankan produksi secretory IgA dan menekan respon
hipermetabolik dengan mengurangi stimulasi neuroendoktrin. Atopi mukosa akan

Untuk TUGASMAS 669


670
menyebabkan rusaknya barier dan meningkatnya permeabilitas mukosa. Akibatnya
terjadi translokasi bakyterial dan endotoksin melewati sel epitel menuju salauran limpa,
sirkulasi portal dan menyebabkan penyakit sistematik. Faktor yang memperbesar
kemungkinan translokasi ini adalah perubahan mikroflara usus, turunnya daya tahan
tubuh dan gangguan hemodinamik. (Fink, 1995, Wilmore, 1997).

INDIKASI NUTRISI ENTERAL


Tunjangan nutrisi diberikan pada penderita malnutrisi maupun pada penderita
yang terganggu asupan nutrisinya karena penyakit seperti anoreksia, koma, gangguan
pencernaan atau akibat pembedahan.
Untuk pemilihan jalur enteral atau parental dalam memberikan tunjangan nutrisi,
dapat dipakai pedoman ASPEN 1993. untuk memilih jalur enteral atau jalur parenteral
yang dipakai untuk patokan utama adalah berfungsi tidaknya saluran cerna.
Secara umum indikasi adalah :
1. Tidak dapat makan per oral atau makan tidak adekuat
Keadaan kritis misalnya luka bakar, menggunakan respirator, koma, kanker di
daerah leher.
2. Tidak mau makan
Anoreksia, misal pada kanker, sakit berat, depresi.
3. jalur enteral ini juga dapat digunakan pada masa peralihan dari jalur parenteral
ke jalur enteral secara kombinasi untuk mengurangi efek samping dari masing-
masing cara.

FORMULA NUTRISI ENTERAL


Keberhasilan nutrisi enteral tergantung pada pemilihan formula yang tepat
sesuai kondisi penderita dan menetapkan metode pemberiannya. Pemilihan formula
yang tepat berdasarkan beberapa pertimbangan, antara lain proses pencernaan, absorbsi,
penggunaan nutrient oleh sel tubuh dan beban metabolik yang diakibatkannya.
Epitel saluran cerna merupakan interface antara tubuh dan dunia luar yaitu
lumjen usus. Disini terjadi perubahan berbagia bentuk fisik dan kimia dari makanan
menjadi molekul-molekul yang dapat ditransportasikan melewati mebran sel, dan
dipergunakan oleh sel tubuh untuk memenuhi kebutuhan metabolisme.
Pencernaan adalah proses perubahan molekul besar dalam makanan menjadi
molekul kcil yang dapat masuk kedalam enterocytes. Absorpsi adalah proses dimana zat

Untuk TUGASMAS 670


671
makanan dari usus kecil masuk ke dalam sel epitel mukosa kemudian ke vena porta dan
saluran limpa.
Pencernaan dan absorpsi memelukan ensim pakreas, asam empedu, ensim brush border
dan permukaan usus kecil yang berfungsi.

HUBUNGAN PENCERNAAN PROTEIN DENGAN NUTRISI ENTERAL


Pada orang normal bentuk optimal sumber nitrogen adalah protein yang utuh
berupa polymeric, oligopeptide. Penelitian membuktikan bahwa untuk efektivitas
absorpsi tidaklah perlu protein mengalami proses pencernaan menjadi asam amino
bebas, dengan demimian portein yang utuh ini dapat diabsorpsi oleh penderita dengan
fungsi saluran cerna normal dan juga pada sebagian besar penderita dengan gangguan
cerna. Hanya sebagian kecil penderita yang mutlak memerlukan predigested nitrogen
siurce (Jasonpayne, 1988).
Pada formula standar, nilai non protein calori to nitrogen ratio (Cal/N) sekitar
150 : 1. Sedang untuk penderita yang mengalami stres metabolik dengan ufngsi ginjal
normal sebaiknya mendapatkan lebih banyak protein. Umumnya ratio Cal/N adalah 100
: 1 (Nitenberg, 1993).
Formula spesifik misalnya dengna asam amino esensial di buat untuk penderita
gagal ginjal. Formula yang banyak mengandung branched chain amino acid (BCAA)
dibuat untuk penderita dengan gangguan hepar dan stres metabolik.
Pada penderita dengan stres metabolik, hasil penelitian menunjukkan pemberian
BCAA eksogen seperti leucine, valine dan isoleucione pada keadaan hiperkatabolik
dapat memperbaiki keseimbangan nitrogen karena merupakan prekursor protein otot.
Akhir-akhir ini dari hasil penelitian dengan hewan coba dan pada uji klinik
ditekankan manfaat memakai formula yang disebut sebagai immuno enhancing yaitu
formula yang mengandung banyak glutamine, arginine dan Omega-3Fatty Acid (Kudsk,
1997).
Glutamine merupakan asam amino nonesensial yang mempunyai efek tropic
yaitu dapat merangsang pertumbuhan sel enterocyt, sehingga dapat memperbaiki barier
mukosa.

HUBUNGAN PERNCERNAAN LIPID DENGAN NUTRISI ENTERAL


Pencernaan dan absorbsi lipid memerlukan ensim pankreas, asam empedu dan
area absorpsi yang adekuat. Oleh karena itu pada kelompok penderita dengan gangguan
faktor-faktor tersebut di atas, jangan memberikan nutrisi hanya dengan Long Chain

Untuk TUGASMAS 671


672
Triglycerde (LCT). Formula sebaiknya mengandung Medium Triglyceride (MCT) yang
lebih mudah dicerna karena melewati jalur yang berbeda, namun tetap harus
mengandung LCT untuk sumber asam lemak esenssial (asam linoleat) dan vitamin
yanhg larut dalam lemak.l sebagian besar formula komersial standar menyediakan 30-
40% kalori dari sumber lemak.
Pada keadaan stres metabolik, karena resistensi insulin penggunaan karbohidrat
dan LCTG sebagai sumber kalori tidak efektif. Untuk mencapai 50% lipid sebagai
sumber kalori, harus ditambahkan komponen MCT yang melewati jalur lain.
Formula spesifik misalnya dengan kadar lemak rendah diberikan untuk penderita
dengan waktu pengosongan lambung yang memanjang, atau rendah LCT untuk
pendierta dengan pankreatitis.
Sebaliknya pada penderita dengan diabetes melitus kalori terutama dari lemak,
demikian juga pada penderita dengan penyakit paru berat untuk mengurangi retensi
CO2.
Formula yang dianjurkan karena efek immunomodulatory mempunyai ratio
Omega 6/Omega 3 PUFA lebih kecil dari formula standar. Omega 6 PUFA (asam
linoleat dan asam arachidonat) dikatakan mempunyai efek immunosupresan, sebaliknya
omega 3 (asam linolenic) menghambat reaksi inflamasi (Nitenberg, 1993).

HUBUNGAN PENCERNAAN KARBOHIDRAT DENGAN NUTRISI ENTERAL.


Polysaccharida dan disaccharida di hidrolisis menjadi monosaccharida,s trach,
glycogen di hidrolisis menjadi glucosa, lactosa menjadi glucosa dan galactosa, sucrosa
menjadi glucosa dan fruktosa.
Insiden defisiensi laktase tinggi pada beberapa suku bangsa tertentu sehingga
sebagian besar formula nutrisi enteral dibuat bebas atau rendah laktosa.

HUBUNGAN ABSORPSI AIR, ELEKTROLIT DENGAN NUTRISI ENTERAL


Absorpsi natrium sangat efisien, sehingga natrium yang dikeluarkan lewat feces
sedikit (Rambouw). Bila formula nutrisi enteral mengandung Na kurang dari 70 – 90
mmol, akan terjadi reflyks dari mukosa ke lumen usus dengan membawa sejumlah air
(Jasonpayne, 1988).

FIBER ATAU SERAT


Blenderized diet mengandung insoluble fiber yang cenderung menyebabkan
feeding tube buntu. Formula komersial yang standar tidak mengandung fiber kecuali

Untuk TUGASMAS 672


673
beberapa produk yang mengandung soluble fiber dari soy/oats. Untuk enteral feeding
jangka panjang lebih rasional untuk memakai formula yang mengandung fiber karena
potensial manfaatnya untuk pencegahan timbulnya penyakit dan kanker usus besar.
Colonocytes menggunakan butyrate, suatu short chain fatty acid (SCFA)
bersama glutamine dan ketoacid sebagia bahan bakar utama. Glutamine disintesis dalam
tubuh, butyrate didapatkan sebagia hasil fermentasi polisakarida oleh bakteri di kolon.
Oleh karena itu diet fiber memberikan keuntungan adanya polisakarida, yang tidak
dapat dimetabolisme di usus halus dan harus mengalami proses fermentasi di kolon.
Diare sering terjadi oleh karena pemberian abtibiotik usus yang mengakibatkan
menurunnya metabolisme oleh bakteri dan produksi SCFA.

JENIS DIET ENTERAL


Sebelum tahun 1981 diet enteral sebagian besar adalah kitchen prepared.
Banyaknya kontaminasi dan waktu yang diserap untuk menyiapkan, menyebbakan
makin berkemabng usaha membuat diet enteral kimersial yang sintetik maupun
semisintetik. Jenis lainnya adalah sebagai berikut :
Polumeric :
Mengandung protein utuh atau polimerik seabgai sumber nitrogen, demikian
juga karbohidrat dan lipid. Seimbang, isotonik dan tanpa laktosa.

Predigested atau Elemntal diet :


Mengandung nutrient dasar dalam bentuk monomerik, misalnya protein dalam
bentuk asam amino sitentix untuk penderita dengan insufisien pankreas dan shot bowel
syndrome.

Disease spesific :
Formula disesuaikan dengan kondisi klinik atau penyakit penderita.

Modular diet :
Paket khusus yang mengandung nutrient tertentu, sehingga dapat diberikan
secara terpisah sesuai kebutuhan.

TEKNIK PEMBERIAN
Beberapa alternatif masuknya feeding tube ke saluran pencernaan adalah sebagai
berikut :

Untuk TUGASMAS 673


674
Nasal ---------- Nasogastric
Nasoduodenal
Nasojejunal
Pharyngostomy
Oesophagostomy
Gastrotomy
Jejunostomy
Feeding tube dapat berakhir di lambung, duodenum atau jejenum. Nutrient dapat
diberikan secara bolus atau infus, dimana infus dijalankan secara berkala atau kontinyu
dengan mamakai gaya berat atau pompa.

EFEK DAN EFEK SAMPING


Komplikasi yang mungkin terjadi adalah sebagai berikut :
Feeding Tube ----- Ablockage, Malposition
Diet related -------Diarrhoe
Nausea, vomiting
Dumping
Regurgitation/Aspiration
Deficiencies
Metabolic
Pemantauan hasil pemberian nutrisi enteral secara umum tidak berbeda dengan
pemantauan pada nutrisi parenteral. Secara berkala dilakukan pengukuran
anthropometri dan biokimiawi.

Untuk TUGASMAS 674


675
KOMBINASI NUTRISI ENTERAL – PARENTERAL
Upaya optimalisasi nutrisin pasien gawat
DR.Dr.Eddy Rahardjo, DSAnK, IC

PENDAHULUAN
Secara konseptual, nutrisi belum disadari seabgai pemeran penting dalam kesembuhan
pasien. Perhatian dan upaya pemberian nutrisi dianggap rutinitas, taken for granted,
dokter menganggap perawat sudah otomatis menangani, perawat menganggap petugas
gizi menangani, petugas gizi menganggap pasien dan keluarganya sudah mengerti.
Malnutrisi di rumah sakit sering terjadi. Hal ini digambarkan dari sisa porsi makanan
yang kembali dari pasien mencapai 50%. Penelitian Willcuts (1980) diantara 1500
pasien rumah sakit yang digolongkan menurut stats nutrisi normal, malnutrisi sedang
dan malnutrisi berat setelah menjalani pembedahan menunjukkan perbandingan
kejadian penylit 5:30:75 dan angka kematian 5:20:25. Yamada (1983) yang menelikti
kelompok yang lebih spesifik yakni 96 pasien kanker lambung dengan bedah radikal
dan diikuti terapi sitostatika menunjukkan bahwa pada kelompok yang menedapat
nutrisi parenteral total selama masa peri-operatif survival setelah 3 tahun pasca bedah
adalah 54%, padahal dari kelompok tanpa nutrisi parenteral SEMUA meninggal. Upaya
mengatasi malnutrisi adalah tunjangan nutrisi (nutritional support) yang akhir-akhir ini
diberi istilah “nutrisi artifisial”. Nutrisi artifisial dapat diberikan melalui pipa lambung,
pipa usus halus atau intravena (parenteral).
Di rumah sakit Dr Sutomo Surabaya, upaya NutrisimParenteral telah dirintis sejak tahun
1974 oleh karijadi, wahjuningsih dan rahardjo di bangsal bedah A. Seorang pasien total
anuria (gagal ginjal akut) pasca bedah histerektomi karena ruptura uteri diiringi sepsis,
mendapat NPE selama 3 minggu dengan Dextrose 40%, pengaturan balans cairan dan
Natrium bicarbonat untuk mengatasi asidosis metabolik. Pada waktu pulang, serum
creatinin < 2 mg%.
Walaupun sejak itu NPE dilakukan pada beberapa pasien namun belum tercapai
penggunaan secara luas. Pelaksanaan yang ada hanya sporadis/insidental saja. Survey
kami pada tahun 1990 menunjukkan bahwa diantara pasien RS Swasta dimana dana
tidak menjadi masalah, hanya kira-kira 20% pasien yang mendapat NPE sewaktu intake
oralnya terhenti. Survey 1992 di ICU RS Dr Sutomo menunjukkan hanya 10% pasien
yang mendapat NPE dalam dosis cukup.

HAMBATAN

Untuk TUGASMAS 675


676
Pelaksanaan NPE menjumpai banyak kendala yang umumnya dari persepsi dokter
sendiri.
1. Anggapan bahwa NPE itu mahal. Harga bahan nutrisi intra vena memang relatif
mahal. Tetapi jika digunakan dengan benar pada pasien yang tepat, pada
akhirnya akan dapat dihemat banyak beaya yang semestinya keluar untuk
antibiotik dan beaya tinggal di rumah sakit karena pasien dapat sembuh lebih
cepat.
2. Anggapan bahwa NPE itu berbahaya. Memang tehnik NPE tidak mudah dan
penuh masalah biokimia dan fisiologi. Tetapi masalah dipersulit dengan adanay
“takhayul” ilmiah. Misalnya pendapat bahwa infusi lemak (Intralipid) yang
warnanya pekat seperti susu mudah menyebabkan thrombophlebitis dan bahkan
emboli lemak yang bisa fatal. Ada yang memberi terapi satu botol asam amino +
satu botol Dextrose 5% saja tiap hari karena kalau diberi dextrose 10% terjadi
phlebitis dan nyeri. Ada yang memberi larutan asam amino pada pasien shock
pendarahan untuk mengganti protein darah yang hilang.
3. Timbulnya penyulit metabolik bahkan coma karena overdosis dextrose atau
bahan lainnya.

Hambatan untuk nutrisi enternal lewat pipa lambung juga banyak. Banyak dokter dan
perawat beranggapan bahwa pipa lewat hidung ini menyiksa pasien. Hal ini tidak benar.
Dugaan menggunakan pipa lambung ukuran kecil dan cara memasang yang baik,
keluhan pasien hampir tidak dijumpai. Dengan pipa kecil ini bubur dapat dimasukkan
dengan spuilt injeksi sedang nutrisi Entrasol, pepti, Ensure pekat dapat menetes dengan
gaya berat.

KONSEP UMUM NUTRISI ARTIFISIAL


Metabolisme normal memerlukan masukan karbohidrat, protein dan lemak dalam
proporsi tertentu. Dalam keadaan-keadaan gawat pasien harus dibantu dengan tunjangan
nutrisi dimana diberikan sejumlah kalori dari karbohidrat atau kombinasi karbohidrat
dan lemak serta sejumlah asam amino. Nutrisi artifisial bagi pasien sakit, diusahakan
untuk “meniru” (to duplicate) proses alamiah se –“fisiologis” mungkin.
Pasien yang tidak dapat makan, tidak mau makan atau tidak boleh makan harus
mendapat masukan nutrisi melalui pipa nasogastrik atau kalau perlu secara parenteral
(intra vena). Nutrisi melalui usus adalah cara yang “normal”, fisiologis dan efektif.
Namun bagi pasien yang ususnya tidak berfungsi dengan baik, maka nutrisi intra-vena

Untuk TUGASMAS 676


677
yang “abnormal” adalah jalan keluar satu-satunya. Nutrisi parenteral dapat digunakan
sebagai “substansi” (menggantikan) cara makan konvensional atau sebagai “supplemen”
(melengkapi) kebutuhan enersi dan nutrients yang tinggi dimana usus tidak dapat
menampung volume makanan yang dibutuhkan.

TATALAKSANA NUTRISI PARENTERAL


Quebbeman dengan bedside indirect calorimetry menemukan kebutuhan kalori
pasien pasca trauma berat dan pasien spesis berkisar antara 1000 kcal/m2 tubuh
(Resting Energy Expenditure). Angka ini setara dengan 25 kcal/kg berat badan. Dengan
penemuan ini, maka anjuran untuk mengikuti rumus Harris Benedict ditambah faktor
koreksi metabolik tidak perlu diikuti lagi. Pemberian glukose melebihi kebutuhan tidak
bermanfaat, bahkan merugikan sebab produksi CO2 naik. Pasien fase stress (umumnya
24 jam pasca bedah/pasca trauma/pasca sepsis) mengalami penurunan kapasitas
metabolisme glukosa hingga tinggal 4 mg/menit atau 20 kcal/kg/hari. Setelah fase stress
lewat, dapat diberikan glukose lebih banyak, 25-30 kcal/kg/hari atau 5-... /kg/hari
(ASPEN, 1993). Pada tabel berikut ini dapat dilihat bahwa metabolisme sebagai bahan
nutrisi menghasilkan jumlah kalori dan produksi CO2 yang berbeda.

GAS EXCHANGE DURING METABOLISM


O2 consumption CO2 production RQ
Per gm per cal per gm per kcal
Carbohydrate 0.81 0.20 0.81 0.20 1.0
Fat 1.96 0.22 1.39 0.15 0.7
Protein 0.94 0.24 0.75 0.19 0.8

NPE dapat menyebabkan hiperglikemia dan ketidakseimbangan elektrolit. Idelanya


kadar gula darah diperiksa sebelum mulai NPE dan tiap hari sesudahnya sampai tercapai
kadar yang stabil <220 mg/dl (ASPEN, 1993). Pada beberapa pasien diperlukan Regular
Insulin, satu unit untuk tiap 5 gram dextrose. Agar toleransi terhadap beban glukosa
meningkat, pasien perlu kesempatan adaptasi 1-2 hari sebelum dosis ditingkatkan
(bertahap).
Pedoman : “STARTLOW-GOSLOW”.
Dengan cara tersebut sebagian besar pasien dapat menerima beban glukose sampai 20
gram per jam tanpa perlu tambahan insulin eksogen. Sebaliknya penyluiot hipoglikemia
juga dapat terjadi jika pemberian glukose dosis tinggi terhenti mendadak, misalnya pada

Untuk TUGASMAS 677


678
waktu infus dihentikan karena ada penggantian catheter vena, phlebitis atau infus
diselingi cairan lain yang tidak mengandung glukose (rebound hypolycemia).
Pada akhir NPE, penghentian juga tidak boleh mendadak, END SLOW ! Infus harus
diganti dulu Dextrose 5% 500 ml dalam 6 jam, kemudian baru dihentikan.

LEMAK
Sumber kalori ini efisien (9 kcal/gram) dan menguntungkan (RQ 0.7, produksis CO2
sedikit). Tetapi tubuh tidak mungkin “hidup” dari membakar lemak saja, harus dalam
kombinasi dengan glukose atau karbohidrat lain. Kalori yang berasal dari lemak
dianjurkan tidak lebih dari 50% dari kalori total, 50% sisanya harus dari glukose.
Contoh untuk 1200 kcal : 150 gm glukose = 600 kcal, sisanya dari 70 gram lemak (9
kcal/gram).

ASAM AMINO
Bahan ini diberikan setelah kebutuhan kalori dicukupo dengan karbohidrat. Makin dini
asam amino diberikan, makin baik. Dosis ideal menurut rekomendasi ASPEN (1993)
adalah 1.5 – 2 gm/kg/hari. Memperhatikan kenyataan bahwa penduduk Indonesia
umumnya hidup dengan konsumsi protein hanya sekitar 1 gm/kg/hari maka perlu
difikirkan untuk membatasi dosisi awal NPE sebesar 1 gm/kg/hari. Prinsip pemberian
naik bertahap juga berlaku disini. Tubuh perlu menyesuaikan bertahap terhadap substrat
yang langsung masuk vena sistemik tanpa detoksifikasi di hati. Walaupun tiap gram
asam amino dapat menghasilkan 4 kcal kalori tetapi kalori dari asam amino ini tidak
boleh ikut diherhitungkan untuk memenuhi kebutuhan kalori. Asam amino ditujukan
untuk regenerasi sel, sintesa protein dan enzim vital. Untuk itu pemberuan asam
amino/protein harus disertai (“dilindungi”) kaliro, agar asam amino tersebut tidak
“dibakar” menjadi enersi (gluko-neo-genesis). Satu gram N (nitrogen) setara 6.25 gram
asam amino atau protein. Tiap gram Nitrogen harus dilindungi 100-150 kcal
karbohidrat. Perbandingan ini lazim disebut C/N RATIO. Dalam keadaan normal C/N
adalah 150 – 250. dalam keadaan stress diperlukan nitrogen lebih banyak, C/N 80 –
125. kalau dosis asam amino ditingkatkan, dosis kalori pengiring juga harus ditambah.
Protein 50 gram/hari memerlukan 1200 kcal atau 300 gram glukose.

JANGAN MEMBERI ASAM AMINO JIKA KEBUTUHAN KALORI BELUM


DICUKUPI

Untuk TUGASMAS 678


679
TATALAKSANA NUTRUS ENTERAL
1. Dosis
Masalah utama adalah berapa volume yang mampu ditampung oleh usus dan
berapa yang mampu dicerna/disorong ke distal.
Lambung normal dapat memproses 400-500 ml per 4 jam dengtan mudah.
Tetapi bila peristaltik belum baik, dan retensi lambung masih tinggi, pemberian
nutrisi menyebabkan reflux dan mungkin aspirasi ke paru. Nutrisi enteral mulai
diberikan jika retensi lambung sudah kurang dari 200 ml/hari dan warna
cairannya sudah jernih, putih kehijauan. Pada awalnya dapat diberikan 50 ml
tiap jam atau 2-3 jam tergantung response pasien. Dextrose 5% paling tepat
untuk awal ini. Dosis dapat ditingkatkan jika tidak ada retensi > 30% dari
volume yang diberikan. Setiap akan memberikan sejumlah volume lagi, harus
dilakukan penghisapan pipa dulu untuk melihat adanay retensi.
Ada cara-cara lain misalnya dengan memasang unung pipa sonde tidak di
lambung tetapi diduodenum atau jejunum. Perostaltik didaerah ini lebih cepat
kembali daripada lambung, tetapi daya tampungnya jauh lebih sedikit. Jadi pada
pipa duodenum atau jejunum sebaiknya diberikan tetasan/pompa continue,
bukan pemberian bolus.

2. KOMPOSISI
Komposisi awal hendaknya larutan encer. Larutan dextrose atau glukose yang
dapat diberikan hanya 5%, jangan lebih pekat. Larutan susu atau sediaan nabati
lain dapat ditingkatkan kepekatannya jika pasien tidak mengeluh nyeri perut
(abdominal cramps), tidak terdengan hiperperostaltik dan tidak terjadi diare.
Larutan optimal adalah 1 kcal/ml, meskipun pada nutrusi jangka panjang, usus
akan dapat diadaptasi untuk menerima 1.5 kcal/ml.

TATALAKSANA KOMBINASI :
Pasien 60 kg yang tidak dapat makan, membutuhkan 60 x 25 kcal = 1500 kcal per hari
(375 gram glukose). Kebutuhan cairan adalah 60 x 35 ml = 2100 ml per hari. Kalori
sebanyak itu bila diberikan intravena (parenteral) dalam bentuk glukose memerlukan
kepekatan 20%. Larutan ini hipertonis dan harus diberikan melalui vena sentral. Karena
psien masih memerlukan asam amino juga maka sebagian volume cairan harus
diberikan sebagia larutan asam amino. Dengan kata lain, kadar glukose harus dibeirkan

Untuk TUGASMAS 679


680
lebih pekat lagi (sampai 40%). Kalau sebagian volume diberikan enteral, maka beban
intravena dapat dikurangi. Melalui pipa lambung dapat diberikan. ....................
Maka jalur enteral dapat menampung 1000 ml = 1000 kcal. Jatah jalur intravena tinggal
1100 ml dan 500 kcal(125 gm glukose) dimana dapat digunakan larutan 10-12% saja.
Larutan ini dapat diberikan lewat vena perifer.
Cara kombinasi ini dapat dilakukan bertahap dimana proporsi intravena pada awalnya
dominant kemudian bertahap diturunkan sedang proporsi enteral bertahap dinaikkan.
Keuntungan lain dari cara ini adalah bahwa dari waktu ke waktu, jumlah masukan kalori
dan volume selalu mencukupi kebutuhan metabolisme. Makin dini jalur enteral dapat
mengambil alih, makin baik bagi pasien dan makin murah biayanya.

PENUTUP
Alternatif kombinasi ini perlu dikembangkan pengetrapannya seluas mungkin dalam
upaya menjamin masukan nutrisi artifisial yang maksimal bagi setiap pasien. Cara lama
dengan membiarkan pasien puasa beberapa hari sampai ususnya dapat menerima makan
oral secara normal tidak dapat dibenarkan lagi. Hari-hari awal ini perlu ditunjang nutrisi
parenteral. Segera setelah bising usus kembali dan retensi lambung kembali, nutrisi
enteral dapat dimulai. Beberapa klinik bahkan mampu memulai nutrisi enteral lebih dini
lagi, mulai hari pertama. Kami tidak mengajurkan cara ini untuk dikerjakan disemua
tempat kecuali jiak tim perawatan siap dan terlatih khusus untuk mengatasi
komplikasinya.
Selama masa transisi nutrisi enteral belum mencapai dosisi maksimal, nutrisi intravena
tetap diberikan sebagai KOMBINASI.

Untuk TUGASMAS 680


681

Untuk TUGASMAS 681

Anda mungkin juga menyukai