TERAPI CAIRAN
Penyebab kehilangan cairan :
Perdarahan
Non perdarahan (dehidrasi)
I. Perdarahan
EBV (Estimated Blood Volume)
Umur cc/kg BB
Neonatus 85
Bayi 80
Anak 70-75
Dewasa 65-70
Ket = ♀hamil tjd pe an EBU :40 - 50%
ECF
Untuk TUGASMAS 1
2
Urine Komposisi
minum ECF 25 ml/kg
Metabolisme S&I
infusi 350 ml/m2 700 ml/m2 • ECF • ICF
• Na 140 • Na 10
Na 2-4 mEq/kg
• K 4 • K 150
K 1-3 mEq/kg
• Ca 5 • Ca 0
ICF • Mg 3 • Mg 40
Tempat cadangan
Kalium yg besar
sel mati melepas K+
17 19
Urine
minum ECF 25 ml/kg
Metabolisme S&I
infusi 350 ml/m2 700 ml/m2
Na 2-4 mEq/kg
K 1-3 mEq/kg
ICF
17
Untuk TUGASMAS 2
3
ESTIMASI KEHILANGAN DARAH
A. Menurut ATLS
Kelas I Kelas II Kelas III Kelas IV
Kehilangan Sampai 750 750 – 1500 1500 – 2000 > 2000
darah (ml)
Kehilangan Sampai 15 – 30 % 30 - 40 % > 40 %
darah (% vol. 15%
Darah)
Denyut nadi < 100 > 100 >120 > 140
Tekanan darah Normal Normal Menurun Menurun
Tekanan nadi Normal Menurun Menurun Menurun
Freq. Nafas 14 -20 20 – 30 30 – 40 > 35
> 30 20 – 30 5 – 15 Tdk berarti
CNS/status Sedikit Agak cemas Cemas, Bingung, lesu
cemas bingung (lethargic)
Penggunaan Kristaloid Kristaloid Kristaloid & Kristaloid & darah
cairan (hukum darah
3:1)
Ket : untuk laki2 BB = 70 kg
Untuk TUGASMAS 3
4
TINDAKAN PADA KASUS PERDARAHAN
Penderita datang
dengan perdarahan
Hemodinamik = buruk
RL/Nacl 0,9%
20 cc/kg.BB
Terus cairan
Cepat (dlm ½ - 1 jam)
2 – 4 x EBL
Hemodinamik
baik (TD > 100, Hemodinamik Hemodinamik
N : < 100, HKM, baik buruk
Urine > ½ cc/kg/jam
B C
A
Surgical
Maintenance Resusitasi
40 – 50 cc/kg.BB/24 jam
Ket :
- Kasus A : Transfusi tidak perlu
- Kasus B : bila HG < 8 gr% ( Hct < 25% ) ---> Transfusi
- Kasus C : Transfusi segera
Contoh Kasus :
o Px, tertarik sepeda motor, internal blooding, Syok, TD tidak terukur, BB = 70 kg.
Diskusi :
Klinis : - syok
Perdarahan
Kls IV
- TB tidak terukur EBL : 40%
Untuk TUGASMAS 4
5
EBV : 70 X 70 = 4900 CC ~ 5000 CC
BL : 40% X 5000 CC = 2000 CC
I. Repiecement = (2 – 4) x EBL
= 3 x 2000 cc
= 6000 cc (dlm 30 menit)
II. Maintanance :
50 x 70 = 3500cc/24 jam
= 150 cc/jam
= 2,5 cc/menit
= 50 tts/mennit
Ket :
Bila unrespond, kemungkinan =
a. In going loss
b. Shock terlalu berat
c. Anemia terlalu berat
Untuk TUGASMAS 5
6
II. NON – PERDARAHAN (Dehidrasi)
Misal = anak, BB = 25 kg
Kebutuhan cairan / hari
I : 10 x 100 cc = 1000 cc
II : 10 x 50 cc = 500 cc
III : 5 x 20 cc = 100 cc
Jumlah = 1600 cc
Untuk TUGASMAS 6
7
System skor DALDIJONO
Deficit cairan =
Skor total
------------------ X 10% BB x 1 liter
15
Defisit sedang :
4 – 8% = mata cowong
6 – 8% = oliguria
I. Dehidrasi Ringan
Maintenance Repiacement
2000 – 2500 ml 500 – 1500 ml
8 jam I = 16 jam II =
50 % + 50 % +
Maintenance Maintenance
Untuk TUGASMAS 7
8
Contoh =
Px, 35 thn, BB = 50 kg
Dehidrasi ringan = 3%
Kebutuhan cairan =
Maintenance = 50 cc/kg BB\hari
= 50 cc x 50 = 2500 ml/24j
Replacement = 3% BB
= 3/100 x 50 = 1500 cc
Jumlah kebut. Cairan = 4000 cc
Cara pemberian :
8 jam I = 50%
= 50% x 4000 cc = 2000 cc/8 jam
16 jam II = 50% x 4000 cc = 2000 cc /16 jam
Maintenance Repiacement
2000 – 2500 ml 5000 ml
20 – 40 cc/kg bb
Dalam 1 – 2 jam
8 jam I = 16 jam II =
50 % + 50 % +
Maintenance Maintenance
Contoh =
♀, 35 thn, BB = 50 kg
Dehidrasi berat = 10%
Kebutuhan cairan =
Maintenance = 50 cc/kg BB\hari
= 50 cc x 50 = 2500 ml/24j
Replacement = 10% BB
= 10/100 x 50 = 5000cc
Jumlah kebut. Cairan = 50000 cc
Langkah I :
Infus super cepat = 20 cc/kg BB/jam
= 20 x 50 = 1000 cc/(RL)
Dalam 30 – 60 menit --> hati2 pada orangtua
Langkah II :
8 jam I = 50% sisa RL + Maintanance
= (50% x 4000) + (8/24 x 2500)
= 2000 + 800 cc
= (RL) (500RL) + 300 D5)
= 2800 cc/8 jam
Untuk TUGASMAS 8
9
Langkah III :
16 jam II = 50% sisa R + Maintanance
= (50% x 4000) + (16/24 x 2500)
= 2000 + 1700cc
= (RL) (500RL) + 1200D5)
= 3700 cc/16 jam
Contoh :
♂, 35 thn, BB = 50 kg
Kebutuhan kalori = 25 Kal/kg BB
= 25 x 50 = 1250 Kal
Untuk TUGASMAS 9
10
Keterangan :
Perhitungan lain =
Kebutuhan kalori = 1250 kalori ~ 1200 ---> 1 gram Glukosa = 4 Kalori
Px ini membutuhkan glukosa sebanyak :
1200 /4 = 300 gram Glukosa
- 1 kt D 5% = 50 gr glukosa
- 1 kt D 10% = 100 gr glukosa
- 1 kt D 20% = 200 gr glukosa
1,5 kt D 20% = 300 gram glukosa
PILIHAN KOLOID
(D/ : 20 cc/kg BB) ---> per hari
• Jika [CO32-] maka calcium yang terionisasi akan diikat oleh [CO32-]
hipokalsemia akut; sensitifitas membran sel tetany, hyperexcitability of
muscles, sustained contraction, dan gangguan kontraksi otot jantung.
Untuk TUGASMAS 10
11
KESEIMBANGAN ASAM – BASA
DIAGRAM ER
Acidosis ← 7,35 > PH > 7,45 → Alkalosis
Contoh :
Lab (BGA) = PH = 7,25
P CO2 = 20
BE = -17
H CO3 = 8
Total CO2 = 9
BGA = PH = 7,48
P CO2 = 20
BE = -8
H CO3 = 13
Total CO2 = 15
ACIDOSIS ALKALOSIS
1. Cardiovascular
Cardiac conacti UTY ↓ ↑
Thresold for VF ↓ no – change
Ceerdiac response to ↓ no – change
cethecolarimne ↓ ↑
Peripheral vascular resistance
2. Pulmonary
Hb Afinity to Oxygen ↓(shift to the R) ↑(shift to the left)
Bronchus - bronchokontriksi
Pulmonary vasc resisten - ↓
Contractility of resp. muscle ↓ ↑
RR Metab Acidosis -
RR ↑& Depth
(kaussmaul)
Acid resp → RR ↓
3. Elektrolit K+ ↑ K+ ↓
Posphat ↑ Ca+ ↓
4. CNS
CNS Depression Over extability
CBF ↑ ↓
Untuk TUGASMAS 11
12
KRITERIA NORMAL FUNGSI
VITAL :
A. Air Way
Udara bebas keluar / masuk
Nilai → look, listen, feel
Suara tambahan ( - )
Φ = apakah jalan nafas bebas …. ?
B. Breathing
Frekwensi : (10 – 25/30) x/mnt
< 10
Hipoxia
> 25/30
Teratur (reguler)
Otot pernafasan, tidak bekerja
Pengembangan rongga dada normal x simetris
Suara nafas = vesicular +/+
Wheezing -/- , ronekhi -/-
Φ = apakah Dx bernafas dengan normal…. ?
C. Circulation
Frekwensi nadi = normal
Teratur (reguler)
Kekuatan nadi = lebar (sístole – diástole)
Perfusi :
Kulit : hangat ( X dingin)
Kering ( X basah)
Merah ( X pusat)
Ginjal : produksi Urine > 0,5 cc/kg BB/jam;
Capilary refill time : cepat { < 2 detik }
Φ = apakah penderita syok ……?
D. Disability
Bicara , jelas & sesuai
Disorientasi ①
Bila disorientasi kesadaran ↓
Φ= a. bagaimana kesadaran Px ……?
b. apakah ada tanda neurologis lain ……… ?
2. Breathing :
Rx oksigen
Rescue breathing
Ventilator
Thoracic drain
3. Circulation :
Untuk TUGASMAS 12
13
Iv line
Shock control
Stop bleeding
Hemodelution
CPCR
EKG ADC – shock
Pace maker
Henderson
Henderson-Hasselbalch Stewart’
Stewart’s Approach
pCO2
[H+] = 24 X ----------------
[HCO3-]
Untuk TUGASMAS 13
14
AIR–WAY:
Airway Breathing
Gejala Bebas, snoring / gurgling / crowing RR , simetris, flare, tracheal tug, retraksi
Luka bakar : bulu hidung, alis, rambut Suara napas : vesikuler, ronchi,wheezing
terbakar, suara serak Perkusi : redup, sonor, hipersonor
Trauma : maxilofacial injury, cedera Krepitasi, jejas thorax, fractur costa, flail chest
cervical
Kesimpula Normal, obstruksi partial / total Distres napas ringan (>24) / sedang (28) / berat
n Cervical tidak stabil / stabil (>36)
Disertai : hipoventilasi, pneumothoras, tension,
sucking wound, hematothorax, flail chest
Tindakan Pertahankan jalan napas, chin lift, jaw O2 masker ketat / reservoir (6-8 lpm) / jackson
thrust, mayo, nasopharing tube, suction, reese (10 lpm)
cricothyroidotomi. Bantu napas : control / assist ventilasi
Siap intubasi bila perlu (RTT/LMA) Needle thoracotomy, plester 3 sisi, chest tube /
Collar brace, in line immobilization, jangan bullow drain
beri bantal Plester lebar
Evaluasi Bebas RR
Tetap parsial perbaiki lagi Stabil terus pertahankan
Tidak stabil perbaiki lagi
11
Untuk TUGASMAS 14
15
TINDAKAN
Normal Fisioth/Dada, Tx O2 Intub Napas
Obs. Ketat Buatan
Mekanik :
Freg. Napas 12 – 25 25 – 35 > 35
VC (cc/kg BB) 30 – 70 15 – 30 < 15
Kekuatan Insp (CmH2O) 50 – 100 25 – 50 < 25
FEV (ml/kg.BB) 50 – 60 10 – 50 < 10
Oksigenasi
Pa O2 75 – 100 70 – 200 < 70
Aa O2 50 – 200 200 – 350 > 350
Ventilasi
Pa CO2 35 – 45 45 – 55 (60) > 60
UD / UT 0,25 – 0,40 0,4 – 0,6 > 0,6
Untuk TUGASMAS 15
16
Catatan :
Harus dikelola dengan cepat, tepat, cermat pastikan korban sadar, jika tidak waktu
ditanya atau disapa :
Pasien sadar
- Ada nafas …?
- Cara : look : lihat gerak dada
Listen : dengar suara nafas
Fell : raba udara nafas
THERAPHY OKSIGEN :
Fi O2 Lp m
Nasal prong 30% 2–3
Transparan mask 60% 6–8
Reservoar + mask 80% 6–8
Bag – valve – mask 100% 10 – 15
(Jackson ress)
Tujuan pemberian O2 :
Meningkatkan P O2 dalam darah, dengan meningkatkan P O2 Alveoli
OKSIGEN CASCADE :
Untuk TUGASMAS 16
17
Barometer: 760
Uap air : 47%
O2 udara : 160 (21% x 760)
I. KRITERIA MALLAMPATI :
menilai tampakan faring
Pada saat mulut terbuka dan lidah dijulurkan maksimal
Untuk TUGASMAS 17
18
Untuk TUGASMAS 18
19
Gambar mulut
Pilar faring
UVula
Palatun Molle
Penilaian :
- Gradasi 3
Insubasi sulit
- Gradasi 4
Untuk TUGASMAS 19
20
Untuk TUGASMAS 20
21
Penilaian :
< 7 cm (4 finger breath)
intubasi sulit
PERSIAPAN INTUBASI
STATICS
S = Scope = - Laringoscope
- Statescope
T = Tube = - Endotracheal
- tube + Pelicin
A = Airway = - Pipa napas
- Mulut - faring
T = Tape = - Plaster
I = Introducer = - Mandrin / Stilet
Untuk TUGASMAS 21
22
C = Conector = - Penyambung ke alat Res
S = Suction = - untuk penyedot sekret, dll
Ukuran tube =
JENIS HIPOKSIA
Bila terjadi :
Sumbatan Total Air Way :
Jarak Mento-thyroid
• Minimal 6 cm : kira-kira 4 jari tangan pemeriksa (jari tangan
ke-2-5)
• Bila kurang 6 cm : mandibula yang turun, sindroma Pierre-
Robin
Silhoutte
Evaluasi penampang kepala, leher dan dada. Perhatikan dagu
yang turun (“chinless wonder”), pembengkakan atau tumor
leher, leher yang pendek atau tidak ada leher, wajah
akromegali, kifosis, terutama pada spondilitis ankylosis dan
payudara yang besar
10
Penilaian :
periode II s/d III = segera tracheostomy
III = tidak boleh divari sedatif
Untuk TUGASMAS 22
23
Sincronized 0
Lag on inspiration 1
See saw 2
Lower chest
No. retraction 0
Just vesible 1
Marked 2
Xyphrid retraction
None 0
Just vesible 1
Marked 2
Nores distraction
None 0
Just vesible 1
Marked 2
Expiratory grunting
None 0
Just vesible 1
Marked 2
DIFFICULT AIRWAY
Awake Intulaction
Langkah – langkah :
Catatan :
- Siap tube No. 6 non king
- Bila menggunakan teknik slep nonapnoe-->induksi IV+halothane
insuflasi
Untuk TUGASMAS 23
24
Untuk TUGASMAS 24
25
BREATHING :
MEKANISME BERNAFAS
INSPIRASI EKSPIRASI
INSERT
VOLUME VOLUME
INTRATORAK PRESSURE
PRESSURE
GAMBAR FISIOLOGI
Normal :
Untuk TUGASMAS 25
26
Untuk TUGASMAS 26
27
Q O2
CO
3
Keterangan :
1. Ventilasi (V)
2. Diffusi
3. Perfusi (Q)
V/Q = 1
Untuk TUGASMAS 27
28
Menghitung F1 O2 :
F1 O2 = (Lpm x 4) + 21%
Misal = O2 marker 6 Lpm
F1 O2 = (6 x 4) + 21 = 45%
Untuk TUGASMAS 28
29
Untuk TUGASMAS 29
30
Oksigen transport dalam darah
Untuk TUGASMAS 30
31
IRV
(3000 ml)
T
L
TV IC C
(500Ket
ml) :
IC = Inspirtory Capasity = 3500 cc VC
VC = Vital Capasity = 4500 cc
ERVTLC = Total Luvan Capasity = 6000 cc
FRC
(1000 ml) =
RV FRC
(1500 ml)
Untuk TUGASMAS 31
32
TRANSPORT OKSIGEN
DZ = DISSOCIATION CURVE
Ket :
- Pergeseran kurva ke kanan (O2 mudah lepas ke jaringan)disebabkan
oleh =
a. Acidosis
b. Temp
c. 2.3 DPG (Anemia Kronis)
d. PCO2
- P2O2 Normal = 100 mm Hg
Ca O2 (Oxygen Cantent)
- Kandungan O2 Arteri
- Benyaknya O2 yang terikat dengan Hb
Ca O2 = Hb x Sa O2 x 1,34
Hb = kadar Hb 1 gr%
Sa O2 = satursi oksigen
= bentuknya Hb yang terikat dengan O2 (N = 100%)
1,34 = Konstanta
= bentuknya O2 (ml) yang terikat dengan 1 gram Hb
Konversi PaV2 - Sa O2 =
Sa O2 = 13 35 57 75 83 89 93 95 96 97
PaV2 = 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
Untuk TUGASMAS 32
33
DO2 (Oksigen Delivery)
= Available O2
= Banyaknya O2 yang disuplay ke jaringan
DO2 = CO x Ca O2
CO = Cardiac Output
AvailableO2
{CO x Hb x S a O 2 x1,34}
COxPa O2 x0,003
Ket :
Cv O2 = kandungan oksigen vena {Hb x Sv O2 x 1,34}
Sv O2 = Saturasi oksigen vena {Mixed Vena}
VO2 Normal = 250 ml/mnt
Gangguan OXYGENASI
Interprestasi :
AaDO2 Tindakan
50 – 200 Normal
200 – 350 Oksigenasi
> 350 Intubasi
Untuk TUGASMAS 33
34
Interpretasi :
PaO2 / F1O2 Dx
< 200 ARDS
200 – 300 ALI
> 300 Normal
Interpretasi :
PCWP Dx
< 18 cmH2O (normal) ARDS
> 18 cmH2O Edema paru
Untuk TUGASMAS 34
35
CIRCULATION
Fluid Challegce Test
CVP
RL 200 cc RL 100 cc RL 50 cc
10 mnt 10 mnt 10 mnt
KENAIKAN
CVP
ULANGI Tunggu
STOP
ASAL 10 mnt
<2 TETAP 2 - 5
INDIKASI CVP :
1. Pembedahan dimana terjadi pertukaran cairan yang massive
2. Semua pembedahan jantung
3. Penderita syok
4. Penderita yang diduga hypovolemic
5. Penderita yang mengalami trauma berat
6. Penderita dengan penyakit cardio vascular yang memerlukan pembedahan
bukan jantung
7. Pemberian cairan dan obat-obatan yang menyebabkan iritasi V penter
8. Nutrisi parenteral jangka panjang
KOMPLIKASI CUP :
A. Trauma :
1. Hidrothorax (ok catheter masuk ke cavum plenta)
2. Tamponade pericard
3. Hematome
4. Pneumothorax
5. Hematothorax
6. Emboli udara
7. Perlukaan saraf (Brachial plexus, Stellate ganglion, Phrenic nerve,
recurrcut laryngeal)
8. Kateter putus
9. Thrombosis
B. Infeksi :
1. Infeks Iokal dan systemic
Untuk TUGASMAS 35
36
2. Thrombophlebitis
LASIX TEST :
Oliguna
Pasang CVP
Cairan
Urine : N
Lasix test R/ Lasix II Amp,
Double dose →IV →VIII , dst
Max 1,2 gr (setiap 15 mnt)
Prod Urine
Keterangan :
- Anuria = 20 ml/24 jam
- Oliguria = 25 ml/jam atau 400 ml/24 jam
- Poliuria = 2500/24 jam
- Normal = 1250 ml/24 jam
Keterangan :
indikasi Lasix test = urine tidak tambah setelah resusitasi cairan s/d gejala
Hipovolemic ① (Anuria atau oliguna)
Untuk TUGASMAS 36
37
TILT TEST :
Indikasi = salah satu cara untuk meneliti perbaikan hemodinamik pada Px dengan
Hypovotemia.
Tilt Test ( - ) = Hemodinamik baik vol. Imavascular cukup
Cara :
0
Px head up 30 0
Bertahap 10 tiap 10menit 45
TRIAS BACK :
1. Bunyi jantung menjauh
2. TVJ ↑
3. Shock
NYHA
(New York Heart Association)
Untuk TUGASMAS 37
38
B R A I N (DISABILITY)
GCS (Glasgow Coma Scale)
Jenis Pemeriksaan Nilai
Eye Opening {E}
- Spontan (spontan) 4
- Thd suara (speech) 3
- Thd nyeri (Pain) 2
- Tidak ada (pain) 1
Respon Motorik {M} Plg Sensitif
- Ikut perintah (control) 6
- Melokalisir nyeri (Pain) 5
- Flexi normal withdrawal (Pain) 4
- Flexi abnormal (Pain) 3
- Extensi abnormal (Pain) 2
- Tidak ada (Pain) 1
Respon Verba {V}
- Berorientasi baik (speecs) 5
- Bicara kacau (bingung) (speecs) 4
- Kata-kata tidak teratur (speecs) 3
- Suara tidak jelas (speecs) 2
- Tidak ada / diam (speecs) 1
E–V–M :4–5–6
Penilaian GCS trauma kepala :
COB : GCS 3 – 8 ( ≤7)
COS : GCS 9 – 13 ( 8 – 12 )
COR : GCS 13 – 15 ( 13 – 15 )
GCS kurang dari 8 ---> Intubasi
Untuk TUGASMAS 38
39
Catatan :
- Allert GCS = 4 – 5 – 6
- Reflex (+) GCS = 8 – 12
- Respon to pain / coma GCS < 8
PENURUNAN KESADARAN
AVPU
AVPU :
A = Allert
V = Respond to Verbal
P = Respond to Pain
U = Unresponsive
Untuk TUGASMAS 39
40
APGAR–SCORE
Tujuan : menentukan tingkat Depresi BBL
Nilai
Gejala
0 1 2
HR (-) < 100x/1- > 100x/1
Napas (-) Tangis lemah Tangis keras
Tonus otot Lemas Sedikit fleksi Gerak aktif
Reflex (-) Sedikit Batuk, bersih, nangis
Warna kulit Biru pucat Tubuh merah, Extr biru Merah
Penilaian :
Menit I :
Tujuan : menentukan jenis tindakan pertolongan
AS = 7 – 10 : tidak depresi/depresi rgn
Tx = - Pembersihan jalan napas
- Penghangatan tubuh
- Rangsang taktis pada telapak kaki
AS = 4– 6 : depresi sedang
Tx = - Sda + oksigen
Menit V :
Tujuan : menentukan prognosa selanjutnya, biasanya bayi menunjukkan respon baik
terhadap resusitasi.
Bila apgar score masih rendah, kemungkinan disebabkan :
Intubasi tidak benar
Trauma lahir berat
Hernia diafragmatika
Kehilangan darah banyak
Hidrops fetalis
Pneumothorax
Tx =
Lanjutkan revusitasi
Psg kateter V. Umbilikalis
Berikan :
- Bicnat 2 mmol/kg BB
- Glukosa 10% 10 ml
- Ephinefrin 1 = 10.000 ---> 0,2 ml/kg BB
Untuk TUGASMAS 40
41
TRAUMA KEPALA
Tujuan penatalaksanaan :
Sebagai Prevention secondary Brain Injury, yaitu :
- ICP tidak meningkat
- Oedem tidak bertambah
- CMRO2 tidak bertambah
-
Dengan cara menghindari :
- Hipotensi
- Hipercarbia
- Hipoksia
-
1. HIPOTENSI
CPP = MAP – ICP
Ket :
CPP (N) : > 60 mmHg (80 – 90 mm Hg)
ICP (N) : 5 – 15 mm Hg (x : 10)
Rata-rata :
- CPP : 80 mmHg
- NAP : 100 mmHg
- ICP : 20 mmHg
MAP
1. Sistole + 2 Distote
3
ICP Tanda-tanda :
ICP ↑ :
Trias Cushing
80 4 1. TD ↑
2. HR ↓
3. RR ↓
60
ICP 3
(Torr)
40
2
20 1 X
X Kompensasi ①
Kompensasi
0
Vol. Intracranial
Batas kompensasi sedikit penambahan
volume ---> ICP ↑↑↑
Untuk TUGASMAS 41
42
Note :
HT = dipertahankan > 30%
Konversi : 1 Cn H2O = 13.8 mmHg
2. HIPERCARBIA
OK terjadi Vasodilatasi Cerebral
CO2 dipertahankan : 25 – 35 mmHg
Mp = massa porenchym
Mv = massa vascular
Mliq = massa liquer
3. HIPOKSIA
Indikatornya : - Pa O2 (N = 100 mmHg)
- Sa O2 (N = 100%)
Lihat Kurve Dissociation O2
Note :
Posisi Px saat Resusitasi :
1. SSAP = Supported Supine Alignes Position
2. SSP = Stable Side Position
= Recovery Position (Neuro Anest 45 – 47)
Management Px Tr Capitis
Primary Survey :
A=
B= tidak
C=
D = Disability
I. Severing of Index :
Menggunakan GCS
GCS < 8 ---> Intubasi
Untuk TUGASMAS 42
43
PROSEDUR DC – SHOCK
Px Tidak sadar
Cek. A Carotis
Carotis (-)
CPR
ECG
` VT / VG
+)
Asistole / PEA
Untuk TUGASMAS 43
44
I. Ventricular Fitrilation / Flutter
---> Langsung DC – Shock 200 joules
II.
+)
VT / VF
360 Joules
ROSC
Masih VT / VF
ROSC
DC 360 – 360 – 360
Masih VT / VF
Obat Kls II a
ROSC
Masih VT / VF
Untuk TUGASMAS 44
45
DC – SHOCK :
I. Unsynchronized
Ti = kejutan listrik arus searah (DC – Shock) akan melewati seluruh mycocardium
sehingga terjadi depolarisasi serentak di seluruh / sebagian besar myocard.
Sesudah ini pace maker normal akan mengendalikan kerja myocard
II. Synchronized
Defibrillator akan menunggu timbulnya 616 R yang akan memicu pelepasan energi
DC – Shock. DC Shock harus disinkronisasi agar jatuh serempak pada 616 R
Jika shock meleset dan jatuh pada 616 T ---> justru akan terjadi VT
Lead I
RA
LA
_ +
_
_
_
Lead II Lead III
+ +
LL
B. Sadapan Unipolar :
1. Sedapan unipolar extremitas
(AVR, AVL, AVF)
2. Sedapan unipolar preordial
(Vi u/d V6)
ECG Normal :
PR Si
Segment Segment
Voltage
T
P U
Imm= 0.1 mV
PR QRS ST
Interval Interval Segment
Untuk TUGASMAS 45
46
Kurva ECG terdiri dari :
1. Gelombang P
2. Gelombang QRS
3. Gelombang T
4. Gelombang U (kadang-kadang)
5. Interval PR
6. Segment ST
SA node
(pacemaker)
AV node
(relayer)
AF
Untuk TUGASMAS 46
47
p p p p p p
Untuk TUGASMAS 47
48
- ST Elevasi
(Prinzrintal’s angiru)
- T : Wave Inversion
-
Note :
20% Px dengan US, Normal dapat dijumpai Ischemic Intra Operative
∞ Gelombang T :
- T. Mendatar
- T. bifasik
Untuk TUGASMASQ 48
S T
49
I. Fase Hiperakut :
Terlihat dalam beberapa jam permulaan serangan infark :
Cirri-ciri EKG :
Elevasi yang curam dari ST segmen
Gel T yang Tinggi & Lebar
VAT memanjang
NB : Gelombang Q belum tampak.
Untuk TUGASMAS 49
50
Menentukan lokasi Infark :
Lokasi infark ditentukan dengan melekat disadapan mana terdapat tanda-tanda infark
EKSTRASISTOL :
Merupakan suatu gangguan pembentukan inpuls
Terjadi karena untuk focus ectomic melepas inpuls lebih cepat ---> sehingga
menyakitkan myocard
Focus ectopic bisa terjadi di :
a. Atrium :
Extrasistole Atrial (Atrial Premature Beat)
b. Simpul AV :
Extrasistole AV – Junction (Junctional Premature Beat)
c. Ventricel
Extrasistole Ventricel (Veutricular Premature Beat = PVC)
PVC tg berbahaya
1. PVC > 6 x/mnt
2. Bigeminy
3. Multifocal ---> PVC berasal dan focus yang berbeda-beda
4. Consecutif
5. Phenomena R on T ---> PVC jatuh tepat pada Gelombang T (merupakan awal dari
VT dan VF)
6. Timbul post exercise
7. Timbul pada usia > 40 thn
Ventricular Bigeminy =
Untuk TUGASMAS 50
51
R on T
normal
VF
R on T
menyebabkan jantung jadi
Ventricle Fibrillation / VF
VT (Ventricular Tachycardia)
Criteria EKG :
Irama = teratur
Freq (HR) = > 100 x/mnt
G16 P = (-)
Interval PR = (-)
G16 QRS = > 0.12 dtk
Gambar
Untuk TUGASMAS 51
52
p p p p
VF (Ventricular Fibrilasi)
Criteria ECG :
Irama = tak teratur
Freq = tidak dapat dihitung
Gelombang P = (-)
Interval PR = (-)
Gelomb QRS = tidak dapat dihitung tidak teratur
Untuk TUGASMAS 52
53
VF Kasar (Coarse)
Gambar
VF Halus (Fine)
Gambar
PEMBACAAN ECG
3.Tentukan gelombang P
- Normal atau tidak
- Apakah selalu diikuti QRS
- Gelombang P Normal : - lebar ≤ 0.12 detik
- tinggi ≤ 0.3 mV
- selalu positif di Lead II
- selalu negative di aVR
Ket :
- P (-) diikuti QRS = N ---> proses di Atrium
- P (-) diikuti QRS melebar ---> proses di Ventricel
)*
- 300
HR =
Jlh kotak besar R – R’
Untuk TUGASMAS 54
55
100
80
60 East
West
40
North
20
0
1st Qtr 2nd Qtr 3rd Qtr 4th Qtr
Untuk TUGASMAS 55
56
PROSES ANESTESI
STATUS ANESTESI
== 6 B ==
STADIUM ANESTESI
Stadium IV = Paralyisi, kelompok medulla mulai arrest napas s/d Arrest jantung (gagall
sirkulasi)
Ket : Stadium ini jelas terlihat pada Anestesi dengan Eter secara open drops.
Untuk TUGASMAS 56
57
Tx. CAIRAN PRE OP :
Anestesi ?
SAB GA
Tx CAIRAN DURANTE OP
Berdasarkan pada :
2. Kehilangan cairan karena penguapan durante op =
JENIS OP
Kecil Sedang Besar
Dewasa 6 8 10 cc/kg BB/jam
Anak 4 6 8 cc/kg BB/jam
Tx CAIRAN POST OP =
INPUT OUTPUT
- Infus = ….. ? - Urine = ….. ?
- Sonde = ….. ? - S&I = 700 cc/24 jam
- WB = 500 cc - Drain = …….?
(water of metabolic 400 – 600 cc)
+ 200 cc
325 cc
Untuk TUGASMAS 57
58
Dalam 6 jam I :
---> diberikan : 125 cc + out put / 6 jam
Dalam 6 jam II =
20 Kal / kg BB/hari
misal : BB = 60 kg
kebutuhan kalori = 1200 Kal
Untuk TUGASMAS 58
59
PEMILIHAN TEKNIK ANESTESI
SPINE TRAUMA
Neurologic Defiste
FRAENKEL
A = Plegia
B = Sensory (+)
= Motoric (-)
C = Sensory (+)
= Motoric (+) use less
D = Sensory (+)
= Motoric (+) use full
hp krg adequate
E = Sensory (M)
= Motoric (N)
Untuk TUGASMAS 59
60
ELEKTROLIT DARAH
Homeostasis Natrium
Cairan ekstra seluler secara langsung terkait dengan total natrium tubuh
Kadar natrium serum 135 – 145 mEq
Kadar yang tinggi dalam ECF dipertahankan oleh Na-K pump yang memerlukan ATP
Kadar Na serum lebih indikatif untuk menggambarkan keseimbangan cairan
dibandingkan kadar total natrium dalam tubuh
Ganguan Keseimbangan Natrium / Air
• Saline defisit / Saline Excess
• Water deisit / Water excess
HIPERNATREMIA :
(Na > 145 mEq/lit)
Penyebab:
Diabetes insipidus
H2O losses (Renal, GI, Insensisble)
Salt poisoning
H2O Deprevation
Primary hipoxia
Mineralocorticoid excess
Untuk TUGASMAS 60
61
TERAPI :
Berikan larutan hypotonic solution (misal = 0.5%)
Koreksi jangan diturunkan > 0.5 mEq/jam ok koreksi yang cepat dapat menyebabkan
kejang, edema otak, kerusakan neurologic permanent.
HIPONATREMIA :
(Na < 135 mEq/lit)
Penyebab :
Pseudohipanatremia
Pure water intoxication
Hipernatremia with appropriate
ADH Secretion :
- Hipovolemia
- CHF
- Endoerinopathy
- Renal Disease
- Cirhosis
Sindroma of Inapropriate of antidiuretic hormone
Idiophatic
Drug induced
Pulmonary disease
CNS Disease
Malignancy
Gejala - Tanda :
Nausea, Neuromuscular irritability, gangguan status mental, kejang.
Gejala utama berupa gangguan neurologist akibat peningkatan cairan intracellular
(Na) ≥ 125 mEq/L umumnya asimatomatis
(Na) ≤ 120 mEq/L dapat menyebabkan gejala yang serius
Gejala awal : Anorexia, Naussea, Weakness
Bila terjadi “Cerebal Edema” yang progressife dapat menyebabkan :
Lethargi, Confusion, Kejang, coma, kematian
Penatalaksanaan :
Untuk TUGASMAS 61
62
Saline fisiologis mengandung 154 mEq/L. Koreksi 1 – 1.5 mEq/jam.
Koreksi terlalu cepat dapat menyebabkan “Demyelinisasi Pons” yang menimbulkan
kerusakan neurologic permanent.
Catatan :
Na+ serum < 120 mEq/L disertai gangguan CNS --- mungkin membutuhkan infuse NaCl
3% / 24 jam. (target koreksi : Na = 125 mEq/L)
Terapi :
- Target koreksi : Na ≥ 125 (mis. 130 mEq/L) untuk semua prosedure, kecuali
symptom (-)
- Rumus :
Na Defisit TBWx Na
misal ♀ BB 80 kg
Na = 118
Koreksi sampai dengan Na = 130
Na+ Defisit :
50% x 80 (130 – 118)
= 40 x 12 = 480 mEq (diberikan dalam 24 jam)
NaCL Fisiologis : Na : 154 mEq/liter
Na yang diperlukan :
480 / 154 = 3120 cc/24 jam = 3120 /24 = 130 cc/jam
Catatan :
NaCL 3% : mengandung Na + : 513 mEq/L (setara dengan Pz 3 liter)
Homeostasis Kalium
• Kalium adalah elektrolit utama intraselular
• Homeostasis kalium dipertahankan dalam rentang yang sangat sempit
Untuk TUGASMAS 62
63
• Kadar kalium serum : 3,5 – 5,0 mEq
• Kadar Kalium serum tidak menggambarkan cadangan kalium tubuh secara
keseluruhan
• Fungsi ginjal yang normal berperan sangat penting dalam homeostasis kalium
• Ekskresi kalium 80 % renal; 15 % GI tract; 5 % keringat
Hypokalemia
• Mild : 3,0 – 3,5 mEq
• Moderate : 2,5 – 3,5 mEq
• Severe : < 2,5 mEq
Etiologi :
• Kehilangan dari renal
• Kehilangan dari GI tract
• Perpindahan ke dalam sel
• Kehilangan dari keringat
• Intake kurang
Pada anak hypokalemia sering terjadi karena komplikasi diare atau muntah persisten
Penyebab :
Pseudohipokalemia (misal : pada Px dengan leuco > 105)
Cellular K uptake meningkat
Intake K yang kurang (misal : Int Pz/D5 5 hari)
GI loss
Renal Loss
Gejala / Tanda :
Hipomotilitas
Kelemahan otot skelet, atau paralisis
ECG = U wave (+)
K < 2.5 :
Hiperpolarisasi myocard : ---> mudah PVC ---> mudah VF
Dengan gangguan konduksi ---> T. datar, Gelombang U (+), ST – depressi
Management :
Kalium replacement paling baik diberikan secara oral secara bertahap dan mengatasi
kelainan yang mendasari
Terapi oral : larutan KCl 60 – 80 mEq / hari
Terapi intravena bertujuan untuk mencegah terjadinya kelainan yang mengancam
nyawa bukan untuk koreksi defisit secara keseluruhan
Koreksi dengan Kcl drip rata dalam 24 jam maksimal 20 mEq / jam atau 100 mEq / hari
Jika tidak ada monitor ECG dapat diberi sebanyak 50 mEq / hari bila tidak ada aritmia
dapat ditingkatkan 75 – 100 mEq / hari selama 2 – 3 hari saja
Jika ada monitor ECG dapat dimulai dengan 100 mEq / hari
Penatalaksanaan :
Untuk TUGASMAS 63
64
K oral & infuse 10 – 20 mEq/jam kebutuhan sehari-hari 60 – 80 mEq/hari
Jangan berikan dextrose untuk mencegah hiperglicemia dan sekresi insulin
sekunder.
I. ROI =
Kadar K+ Koreksi KCl
2.5 – 3 mEq 2 mEq/kg BB/24 jam
2 – 2.5 3 mEq/kg BB/24 jam
<2 4 mEq/kg BB/24 jam
+ Maintanance
1 mEq/kg BB/24 jam
Koreksi Hipokalemia :
Pemberian max = 20 mEq / jam (a)
100 mEq / 24 jam
(Prof. ED 200 mEq/24 jam)
Bila ada kekurangan di berikan hari berikutnya.
II. ICU =
KCL 10 mEq/jam
Diulang 3 – 4 x pemberian – setiap jam kemudian di evaluasi (pemberian harus
melalui V. sentral)
I. Koreksi diruangan
Hanya diberikan “Maintanance”
KCL : 1 – 2 mEq/hari
Misal : BB 50 kg
Koreksi : KCL 50 mEq/24 jam (dalam Pz)
Atau berikan KA – EN 3 B ---> (mengandung K = 20 mEq/lit)
Deficit K (mEq/Lit) =
{ K serum yang diinginkan – K serum yang diukur } x 0,25 x BB
Catatan :
Monitor perubahan ECG oleh karena koreksi cepat K dengan monitor!
Hyperkalemia
Terjadi bila kadar kalium serum > 5,5 mEq
Jarang terjadi pada orang dengan fungsi ginjal normal
Causa :
Pseudohiperkalemia
Cellular K loss
Pemasukan K+ berlebihan
Inadequate renal exretion
Lysis sel
Untuk TUGASMAS 64
65
Gejala / Tanda :
Lemah, Parastesia, Paralisa
ECG =
T meningkat
P Mendatar
Interval PR memanjang
QRS melebar
QT pendek
Etiologi :
• Perpindahan kalium antar kompartment
• Penurunan ekskresi kalium
• Intake yang berlebih
• Gambaran klinis hyperkalemia
• Cardiovascular effect :
• Pada kalium 6-7 mEq terjadi gelombang T yang tajam dan interval QT
memendek
• Pada konsenrasi yang lebih tinggi gelombang QRS melebar diikuti pemanjangan
interval PR dan hilangnya gelombang P
• Paling akhir dapat terjadi ventrikel fibrilasi atau asystole
• Management
• Ca gluconas 10 % 0,3 – 1 cc/kg atau Ca chloride 10% 0,1 -0,3 cc/kg
• Infus glucosa & insulin (0,5 gr/kgBB glucosa + insulin 0,1 UI/kgBB dalam 30 –
60 menit
• Nabic 1 – 2 mEq + mild to moderate hiperventilation
Catatan:
- K+ > 10 ---> bias VT / VF
- Perubahan ECG terjadi bila K + serum 6 – 7 mmol/lit
Penatalaksanaan:
Ca-Gluconas 10% : 10 – 30 ml/IV (0.5 mg/kg)
Dextrose 50% : 50 ml/IV bolus
Regular insulin 5 U/IV
Na HCO3 50 mEq dalam 4 dosis/IV pelan (1 – 2 mmol/kg)
Dialysis
Diuretic dan aldosteron pada kondisi tertentu
Salbutomol Nebulized 2.5 – 5 mg
Catatan :
Untuk TUGASMAS 65
66
D40% 25 cc + 2 IU RI / IV bolus (ACTRAPID)
1 jam
HYPER – K HYPO – K
(K > 4,5 mEg/L) (K < 3.0 mEg/L)
Causa : Causa
- GGA - GE
- Trauma luas - Cairan tubuh hilang berlebih
- Luka bakar luas - Infus tanpa KCL > 5 hr
Tanda : Tanda :
- Aritmia Ventricular - Kelemahan otot
- K > 6,0 mudah VF - Ileus paralictic
- K < 2,5 mudah VF
Terapi : Terapi :
- Ca Gluiconas 100 - 200 mg / IV - KCl drips rata-rata 24 jam
- Na Bic 50 - 100 mEg - Max :
- D10 – 20% Plus insulin 10 – 20 20 mEg / jam
unit 200 mEg / hari
perbotol 500 cc 1 cc = 1 mEq
larutkan dalam D5% bagi rata
Calcium
Hypercalcemia (ca > 5; X rays : calcium loss; cardiac irregularity)
Etiology :
Hyperparatiroidsm, malignant neoplastic disease, pagets’s disease, osteoporosis,
prolonged imobilisation, acidosis
Sign & symtomps :
Anorexia, nausea & vomiting, weakness, batu ginjal
Hypocalcemia ( Ca < 4,0; ECG abnormalities)
Seen in severe illness
Rapid blood transfusion with citrat, hypoalbuminemia, hypoparairoidsm, deff vit D,
pancreatitis, alkalosis
Sign & symtomps :
Numbness, tingling, hyperactive reflex, trousseau’s sign , chvostek’s sign, tetany,
muscle cramp, pathological fracture
Untuk TUGASMAS 66
67
Compensation:
Interpreting ABGs If:
pH < 7.35 pH > 7.35 ΔPCO2/ΔHCO3
=
Acidosis Alkalosis CO2/HCO3ratio
Then it IS comp.
Acute
Acute
PaCO2 ↑10 PaCO2 ↓12 PaCO2 ↓10 PaCO2 ↑7
→HCO3 ↑1 →HCO3 ↓10 →HCO3 ↓2 →HCO3 ↑10
Chronic
=Na - (Cl+HCO3) Chronic
PaCO2 ↑10 PaCO2 ↓10
→HCO3 ↑4 →HCO3 ↓4 Urine Cl < 10 Urine Cl > 10
Anion Gap < 12 Anion Gap > 12 Cl Responsive Cl Unresponsive
Non-Anion Gap Anion Gap
Acetazolamide
serum osmoles Excess body fluids:
Total parenteral nutrition Exogenous steroids
Ureteral diversion Cushing’s syndrome
Osm Gap > 10
Pancreas transplant Anxiety/pain Hyperaldosteronism
Methanol
Sepsis Bartter’s syndrome
Ethylene Glycol
CNS depressants CNS (stroke)
Neuromuscular disorder Osmolar Gap < 10 Aspirin OD Loss of body fluids:
Thoracic cage abnormalities Ketoacidosis Chronic liver disease Vomiting
Obstructive lung disease Lactic acidosis Pulmonary embolism Nasogastric suctioning
Obesity/hypoventilation syndrome Uremia Pregnancy Diuretic use
Myxedema coma Aspirin/salicylate tox Hyperthyroidism
I. Mesenchefalon :
N. II – III : menilai RC, pupil
II. Pons :
N V – VII : Menilai reflex bulu mata, reflex cornea.
N VIII : Menilai “Doll’s eye – phenomenia”
Cara :
Kepala dimiringkan
Calori test (suhu air 37 7 0C)
Untuk TUGASMAS 67
68
TATA CARA PREOPERATIF ELEKTIF
KRITERIA PULIH SADAR
Tahap masa pulih sadar menurut Steward :
1. Immerdiate Recovery :
Kembalinya kesadaran dalam waktu singkat (mudah dinilai dengan scoring system)
2. Intermediate Recovery :
Kira-kira 1 jam setelah anestesi yang tidak terlalu dalam
3. Longterm Recovery
Berjam-jam s/d berhari-hari tergantung dalamnya anestesi.
-----> Perlu test psyckomotor ----> Tidak praktis di klinik
KRITERIA KLINIS
a. Bila Px sudah sadar ---> maka ½ duduk ---> bila pusing ---> tidurkan kembali
b. Bila 15’ Px tidak mengeluh ---> Px dicoba untuk (duduk) ---> bila kelihatan pusing
---> kembali ke (a) diulangi kembali bila Px merasa enak.
c. Bila 15” posisi duduk ---> keluhan (-)---> kaki menjuntai (selama 15”) (sambil diberi
minum air putih).
d. Bila keluhan C (-), Px dicoba untuk turun, memakai pakaian sendiri ---> keluhan (-),
---> siap dipulangkan.
KRITERIA SKOR
Kesadaran :
- Bangun 2
- Respon terhadap stimuli 1
- Tidak ada respon 0
Jalan napas :
- Batuk atas perintah atau menangis 2
- Mempertahankan jalan napas dengan 1
baik
- Perlu bantuan untuk mempertahankan 0
jalan napas
Gerakan :
- Menggerakkan anggota badan dengan 2
tujuan
- Gerakan tanpa maksud 1
Untuk TUGASMAS 68
69
- Tidak bergerak 0
KRITERIA SKOR
Kesadaran :
- Sadar penuh, mata terbuka, berbicara 4
- Tidur ringan, sekali-sekali mata terbuka 3
- Mata terbuka atas perintah jika
namanya dipanggil 2
- Respon terhadap cubitan di telinga 1
- Tidak ada respon 0
Jalan Nafas
- Membuka mulut dan batuk atas 3
perintah
- Tidak ada batuk valuator, jalan napas 2
bebas tanpa bantuan
- Obstruksi jalan napas bila leher flexi, 1
tetapi tanpa bantuan bila extensi
- Tanpa bantuan terhadap obstruksi 0
Aktifitas :
- Mengangkat tangan dengan perintah 2
- Gerakan tidak berarti 1
- Tidak bergerak 0
1. Puasa / Preop
2. Premedikasi
3. Induksi
4. Maintanance (rumatan)
5. Recovery
6. Post Operative
MRS OP OP Discharge
( M) (S)
5
Durante op’ 6
Untuk TUGASMAS 69
70
Keterangan :
1a = Preop
1b = Puasa dll
2.= Premedikasi
3. = Induksi
4.= Maintanance
5.= Recovery
6.= Post Op
I. Persiapan Preop =
- Identifikasi Px
- Pemeriksaan fisik (B1 s/d B6)
- Informed Consert
- Puasa : Dewasa : 6 – 8 jam pre induksi
Anak : 3 – 6 jam pre induksi
(lihat hal : 135)
II. Premedikasi =
- Sulfat Atrupi 0,02 mg/kg BB/IV
- Analgetika : morfin 0,15 mg/kg BB/IV
- Sedative : Diazepam 0,15 mg/kg BB/IV
III. Induksi =
- Mis : Penthotal 3 – 5 mg/kg BB/IV
- Scolin
- Intubasi
IV. Maintanance =
Mis Hakothan + O2
V. Recovery
Beri cairan maintenance + output / 6 jam
VI. Post OP
RYTME VOLUME
STADIUM I Kecil
Analgesia s/d hilang kesadaran Tidak teratur
STADIUM II Besar
S/d pernapasan teratur, otomatis Tidak teratur
STADIUM III
P1 S/d hilang gerakan bola Teratur Besar
mata
P2 S/d awal parese otot Teratur Sedang
pernapasan
P3 S/d Lumpuh otot Teratur, pause Sedang
pernapasan setelah exp
P4 S/d Lumpuh diafragma Tidak teratur,jerky Kecil
Insp.Cepat&
Untuk TUGASMAS 70
71
memanjang
ST IV
Henti pernapasan s/d henti jantung
PUPIL DEPRESI
REFLEX
Ukuran Letak
Kecil Divergen Tidak ada
Lebar Divergen Bulu mata
Kelopak mata
Kecil Divergen Kulit
Konjungtiva
½ lebar Menetap Kornea
Ditengah
¾ lebar Menetap Faring
Ditengah Peritoneum
Melebar Menetap Spingter ani
Maksim Ditengah Karina
al
Induction
Std I
(Analgesia
Hilang kesadaran
Std II
(Exciterumt)
Automat ≥ Respiration
Plane I
Plane II
Mulai InsterCostal Paralisis
Plane III
Untuk TUGASMAS Std III 71
Total intercostal Paralisis (Surgesat Annut)
Plane IV
72
Catatan :
1. Light Sedation =
- Disuruh buka mata : respon
- Dicubit: respon
2. Deep Sedation =
a. Disuruh buka mata : respon (-)
b. Dicubit: respon
3. Light Sedation dapat menjadi Deep Sedation pada keadaan =
a. Gizi jelek
b. Critical ILL, dll
PUASA PREOP
Jenis Makanan Lama Puasa
Dewasa Anak Bayi
I. Solid/Partikel 8 jam 6 jam 4 jam
(makanan, buah, juice,
susu, dll)
Untuk TUGASMAS 72
73
misal : anak 25 kg
(10 kg + 10 kg + 5kg)
10 kg x 4 ml/kg = 40 ml/jam
10 kg x 2 ml/kg = 20 ml/jam
5 kg x 1 ml/kg = 5 ml/jam
Total = = 65 ml.jam rumatan
AMPLE =
A = Allergi
M = Medicasi (sebelumnya)
P = Post Ilness (Penyakit penyerta)
L = Last meal / EVENT
E = Environtman (lingkungan) yang berhubungan dengan kejadian perlukaan.
OBAT ANESTESI
KAIDAH (I) SATU :
DOSIS OBAT
* Dosis maksimum 15 mg
Untuk TUGASMAS 73
74
* Larutan 2,5%
4
Untuk TUGASMAS 74
75
OBAT PREMEDIKASI
Nama Sediaan Spuit Dosis Onset Durasi
SA
Untuk TUGASMAS 75
76
Pavulon 4 mg/ 2 cc 2 mg/cc Intubasi 0,06-0,12 mg/kg 30-60 sec 40-80 min
(pancuronium) (5 cc) Maintenance 0,01 mg/kg
Valium
Untuk TUGASMAS 76
77
OBAT EMERGENCY
Dopamin 200 mg/10 cc 5 mg/cc (50 cc) renal 0,5-2 µg/kg/min < 5 min < 10 min
cardiac 2-10 µg/kg/min
vascular 10-20 µg/kg/min
Lidokain Anestesi lokal, aritmia ventrikel, depresi napas, hati2 pd hipovolemi dan hipotensi
Epinephrine Bronkodilator, memperpanjang anestesi lokal, ,anafilaktik shock, hipertermi, takikardia, angina, agitasi
Ephedrine Vasopresor perifer dan vasodilator coroner (utk hipotensi dan IMA), aritmia, angina
NorEpninephrine Bradikardia, angina, renal failure
Dopamin Aritmia
Dobutamin Aritmia 7
OBAT LAIN
Ondansentron 4 mg / 2 cc 4 – 8 mg IV 1 jam IV 6 – 12 h
NaBic 1 mg/kg BB
CaGlukonas
Aminophyllin 240 mg/10 cc Loading dose : 5 mg/kgBB IV dlm 10’15’ 30 min 2–6h
Infus : 0,9 mg/kg/jam atau 20 mg/kg/24 jam
Untuk TUGASMAS 77
78
Keterangan :
NS : Nosignificant, Ekresi melalui plasma (Eliminasi Noffman, Hidrolisis Ester)
+: Ekresi : 10 – 25%
Untuk TUGASMAS 78
79
untuk Px dengan gangguan fungsi ginjal / liver Atracurium lebih aman
MUSCLE RELAXAN
DOSIS INTUBASI :
REVERSAL :
Merupakan Anticholinesterase
NEOSTIGMIN (PROSTIGMIN)
Dosis: 0.04 – 0.08 mg/kg BB/IV
ATROPIN :
Dosis : 0.01 – 0.02 mg/kg BB/IV
I. PAVULON
2 Amp Pavulon (jadi 4 mg) dilarutkan u/d 16 cc 0.5 mg/cc
diberikan melalui syringe pump dengan rate : 4.0 ml/jam
(2 mg/jam)
precuratisasi = 0.015 mg/kg BB
II. NORCURON
2 amp norcuron (jadi 4 mg) dilarutkan u/d 16 cc 0.5 mg/cc
diberikan melalui syringe pump dengan rate : 6.0 cc/jam
(3 mg/jam)
precuratisasi = 0.02 mg/kg BB
III. TRACRIUM
2 amp norcuron (jadi 25 mg) dilarutkan u/d 20 cc 2.5 mg/cc
diberikan melalui syringe pump dengan rate : 8 – 10 cc/jam
(20 – 25 mg/jam)
precuratisasi = 0.05 mg/kg BB
Untuk TUGASMAS 79
80
Norcuron : 0.1 mg/kg/jam
Dosis Precuratison diberikan : 1 – 2 mnt sebelum intubasi
HALOTAN
ISOFLURANE
CO stabil halotan
Cardiac depressi minimal
Untuk TUGASMAS 80
81
DESFLURANE
SEVOFLURANE
Maintaining total
Hepatic BF & oxygen
CO me delivery
Lebih< iso/des
Untuk TUGASMAS 81
82
KRITERIA INTUBASI
7. INDIKASI INTUBASI :
1. Operasi daerah kepala dan leher
2. Operasi Thoracotomi
3. Operasi Laparotomi
4. Operasi dengan posisi LAT / Prone
5. Penderita dengan resiko tinggi =
Usia tua, perdarahan
Bayi < 1 bln, lambung penuh
6. Kebutuhan untuk pemberian respirasi
7. Penderita dengan obstruksi napas
Untuk TUGASMAS 82
83
REGIONAL ANESTESI
KETINGGIAN SPINAL ANESTESI
Untuk TUGASMAS 83
84
KETINGGIAN PROSEDUR OPERASI
T 4 – 5 (Nipple) Abdomen atas
T 6 – 8 (Xyphoid) Intestinal, Ginec, Ureter
T 10 (Umbilicus) TUR, HIP; kelahiran Vaginal
L1 (Lig. Ingunal) Paha, Extr. Bawah,
L 2 – 3 (Lutut) Kaki
S 2 – 5 (Pesineal) Perineal, Hemoroid
Level of Anestesia :
S3 = Sadle Block
T12 = Low Spinol
T10 = Midle Spinal
T6 = Migh Spinal
Gambar
Dengan : Lidocain 2% 15 cc (7.25 amp) + Adrenalin 1 strip dilarutkan menjadi 20 cc
I. 15 cc ---> inj.Interscalenus
Untuk TUGASMAS 84
85
II. 5 cc ---> inj. Axiller
Setelah 20 menit (Latent Periode) ---> operasi bisa dimulai dengan diberikan
midazolam 3 mg (0.1 mg/kgBB) sebagai Sedasi. Bila insisi harus segera dimulai dapat
diberikan : --->Ketamin dosis 0.25 mg/kg BB/IV
AXYLLARY BLOCK
Indikasi :
Untuk Block lengah bagian Volar Land Mark :
Roba Arteri Axillais, lalu tusukkan needle tanpa spuit --> keluar darah --> prof dengan
spuit --> perdalam needle s/d darah (-) --> 5 cc lidocain sisa.
ANESTESI PADA Px DM :
BROMAGE SCORE
Scala Modifikasi Original
0 Tidak ada kelumpuhan (kekuatan motorik Full flexion of feet and kness
penuh) possible
Dapat menggerakan kaki lurus keatas dan No Block / 0%
menahan tekanan
Mampu menekuk lutut dan kaki
No Block / 0%
1 Tidak mampu mengangkat kaki / menahan Just table to flexi knees, still
gravitasi full flexion of feat possible
Mampu menggerakan / menekuk lutut Partial block 33%
Partial block 33%
2 Tidak mampu menekuk lutut Unable to flexy kness, still
Mampu menggerakan kaki(geser) flexion of feet
Almoust Complete block 66% Almoust Complete block 66%
3 Tidak mampu menggerakan kaki(geser) Unable to move legs or feet
Complete block 100% Complete block 100%
Theraphy:
DHBP
Metoclopropamide
TOTAL SPINAL :
SIGN :
Px sesak (napas seperti di leher)
Bradicardia
TD turun (bisa s/d cardiac arrest)
Px dingin & Cyanosis
SAB, Kontra Indikasi :
I. Absolut :
Px menolak
Infeksi Tempat suntikan
Hipovolemic berat (syok)
Koagulopsthy dengan theraphy antikoagulan
TIK meningkat
Fasilitas resusitasi minim
Kurang pengalaman
II. Relatif :
Infeksi sistemik
Infeksi Sekitar tempat suntikan
Kelainan Neurologis, Psikhis
Bedah lama
Untuk TUGASMAS 86
87
Penyakit Jantung
Hipovolemic ringan
Nyeri punggung
III. Kontroversial
Ff
Lk
Kk
INTERSCALENUS BLOCK
Indikasi :
Block extr. Superior (lengan bagian bawah tidak bisa terblock)
Teknik :
INTERSCALENUS BLOCK,
KOMPLIKASI :
Block Cervical
Lidocain Intoxicasi :
Gejala klinik : Telinga berdengung dan Lidah pegal
I. Land Mark :
“Sacral Hiatus:
Procedure :
1. Tentukan “Sacral Hiatus”
2. Jarum 18 – 22 G di- apex hiatus Sacralis cephalad 45 – 750
(Infant = 15 – 300)
3. Terasa menembus lig Sacro coceigeal
4. Jarum Paralel sacrum
5. Perdarahan < 3 mm
6. Aspirasi sebelum injeksi obat
Untuk TUGASMAS 87
88
1. Bufivacain 0.25%
2. Nalorpin 0.5%
3. Lidocain 1%
Tanpa Adrenalin Volume maximal = 20 cc
DOSIS
(Armilages Scheme – 1989)
Adjuvant :
Obat yang bias ditambahkan untuk memperlama durasi :
1. Adrenalin :
1 cc jadikan 5 cc dengan Pz ambil 2 strip
2. Clonidine : dosis 2 µg/kg BB ---> memperpanjang durasi s/d 6 jam
Oplosan :
Klonidine 1 Amp (150 µg) larutkan dengan Pz menjadi 6 cc ---> 25 µg/cc
3. Ketamin : dosis 1 mg/kg BB ---> meningkatkan durasi sampai dengan 24 jam
Analgetic Post – OP =
Morfin dosis 0.03 – 0.05 mg/kg caudel Epidural ---> durasi 12 – 24 jam
III. Komplikasi :
1. Intravascular / Intrausseus Injection
2. Dural Puncture
3. Penetration of the Sacrom
4. Hematome & Infection
5. Subcutaneus Injection
6. Bloody Tap
7. Parathesis & motor weakness
8. Urenary Retention
9. Toxic Reaction
Untuk TUGASMAS 88
89
TACHICARDIA CAUSES
I Faktor Anestesi :
Obat-obatan : SA, Galamin, Ciclopropane, Trilene
Hipercarbia
Hypoxia
Hipotensi
Anestesi yang dangkal
MALIGNANT HIPERTERMIA
Tanda-tanda awal :
Kekuatan otot (khususnya otot rahang)
Takhicardia
Takhipnoe yang tidak respon terhadap kedalaman anestesi
Suhu tubuh
Arritmia jantung
Untuk TUGASMAS 89
90
PEMBACAAN RADIOLOGI
JUMLAH PERDARAHAN =
Untuk TUGASMAS 90
91
PEMBACAAN RÕ CERVICAL
(Õ Dr. Tommy. S)
Note :
- C1 u/d C7 : Sempurna
- C2 u/d C6 : Cukup
PEMBACAAN RG THORAX
( Dr. Tommy)
A = Adequacy yaitu :
- Kedua pundak terlihat
- Sinus terlihat (2 bahu)
- Verteba jelas terlihat s/d, Th. IV , Th V dan seterusnya tidak jelas
A = Air Way :
N : ditengah (terlihat berupa gambaran processus spinosus)
B = Breathing:
Lihat gambaran paru dan pembuluh darah
B = Bone :
Lihat (Lavicula, Costa, Scapula, dll)
C = Circulation :
Lihat apakah jantung membesar atau tidak
S = Soft Tissue:
b
a
c
CTR = a + b
c
Untuk TUGASMAS 91
92
ARDS & Ali
Misal :
BGA :
pH = 7.206
PCO2 = 40.6 - F1 O2 = 80%
PO2 = 139.4 - 10 lPm dengan masker ketat
BE = -6
PO2 140
= = 175 ---> ARDS
F1 O2 0.8
Cat :
ARDS merupakan kelanjutan dari ALI
Untuk TUGASMAS 92
93
TIVA
(Total Intravenous Anestesia)
I. KETAMIN TIVA
Telah dibahas dibawah
B. Induksi
Dewasa = dosis 1.5 – 2.5 mg/kg BB/IV (plasma Cons = 2 – 6 ug/ml)
---> dengan Titrasi biasanya target = 3 ecg/cc
Anak = dosis lebih tinggi
Manula = dosis diturunkan s/d 25 – 50%
Kons. Plasma = 1 – 1.5 ecg/cc ---> Px akan sadar
C. Maintenance :
Dosis 6 – 12 mg/kg BB/Iv ---> Rata-rata = 8 mg/kg BB/jam atau
Dosis 100 – 300 µ/kg BB/mnt/IV (kombinasi dengan short acting opioid)
Dosis sedasi = 25 – 100 µg/kg/mnt (rata-rata = 100 m/jam)
dosis Px tertentu dapat ditambahkan opioid atau midazolam
B. Induksi :
Dosis Penthotal = 3 – 5 mg/kg BB/IV
C. Maintanance : 1 mg/kgBB
D.
KETAMIN TIVA
Efek ketamin pada Air Way :
1. Kekakuan otot dan gerakan tidak beraturan (bila terjadi pada
otot rahang ---> gangguan pada Air Way / Obstruksi
2. Hipersalivasi
3. Mual / Muntah
4. Pemberian cepat ---> henti napas
Pada induksi dengan ketamin reflex muntah masih (+) ---> hati-hati waktu intubasi
Premed :
- SA (untuk melawan Hipersekresi)
- Benzodiasephine (untuk melawan Emergency Delinum)
Induksi :
- Ketamin (Dosis 1 – 2 mg/kg BB/IV) ---> pelan ( > 60 dtk)
Untuk TUGASMAS 93
94
Maintenance :
- Bolus = Ketamin dengan dosis ½ dosis induksi.
Diberikan tiap : 7 – 10 mnt
- Drips Ketamin dengan dosis : 2 – 4 mg/kg BB/jam
- Stiringe Pump Ketamin : 2 – 4 mg/kg BB/jam
Analgenic dosc
MPL
Catatan :
- Bila Px mengalami gangguan eliminasi obat (misal : gangguan fungsi
Hepar & fungsi Ginjal), efek obat akan memanjang oki, dosis obat harus
dikurangi
- Syarat TIVA:
1. Quick onset
2. Short / Ultra short Destion
- Dosis 4 mg/kg / Jam ~ 1 tts/kg BB/mnt
Catatan :
- Morfin ---> tidak bisa TIVA
- Fentonyl ---> bisa untuk TIVA
Contoh :
♂, 35 th, BB = 45 kg / PS I
Dx = Combustio gr II 59%
Tx = Tangention Excisi + STG
An = Ketamin TIVA
Anestesia Planning :
- Premed =
a. Domicum 2.5 mg
b. SA 0.25 mg
(1/2 jam sebelum Induksi)
- Induksi Ketamin 80 mg/IV
- Maintenance Ketamin : 4 mg/kg BB/jam = (4 x 45) mg/jam = 180 mg/jam
Untuk TUGASMAS 94
95
KELAINAN FAAL HEMOSTATIS
(Dikutip dari Handbook Preop 173 – 183)
I. KELAINAN PLATELETS
- Bersifat Quantitative (Trombocitopeni)
- Bersifat Qualitatif
Inherited Acquired
II. THRONBOCYTOPENIA
- Definisi : Platelet Count (150.000/Mm3)
- Etiologi :
A. Produksi menurun :
- Neoplasma
- Aplastic Anemia
- Toxin : misal Chemotherapi
-
B. Sequestration =
Hipersplenisme ec ; Anemia, Leucopenia
C. Destruksi meningkat :
Px immune dan nonimmune dari infeksi ITP, DIC
Thrombhosite : 50.000 – 100.000
Hemostasis yang adequate untuk operasi (kecuali : cardiac Surqery dan
NS)
Untuk TUGASMAS 95
96
VITAMIN K. DEFICIENCY
- Menunjukkan deficiensi factor II, VII, IX, X, Protein C, Protein S
- Etiologi :
a. Malnutrition
b. Intestinal Malabsorption
c. Obstructive jaundice
d. Therapy AB (AB mengeliminasi intestinal Flora yang memproduksi Vit. K)
- Khas :
PT (Protrombine Time) : meningkat
PTT (Partial Tromboplastine Time) : N
PT & PTT =
PT (Protrombine Time) :
Menggambarkan activitas factor Extrintic (Factor VII) dan jalur biasa (I, II, V, X)
N : 10 – 12 detik ( < 2 detik dari control)
PT memanjang pada :
Warfarin therapi
Deficiensi Vit. K (bila lama dapat memperpanjang PTT)
Tx = VIt. K {dosis (1 – 3) x 1 Ampul/hari/IV}
BLEEDING TIME :
Nilai normal :
Metode Ivi : 1 – 7 mnt
Metode Duke : 1 – 3 mnt
Bleeding Time biasa normal bila platelet > 100.000 /nm3
BT abnormal biasanya fungsi platelet seperti : Anemia, SLE, Deffisiensi Vit. K pada
Newbor Congenetal Heart Dissease, dll)
Untuk TUGASMAS 96
97
X
V
II
Fibrinogen
Command Pathway
Note :
Vit.K diperlukan oleh hati untuk pembentukan 5 factor pembekuan :
1. Protrombin
2. Factor VII
3. Factor IX
4. Factor X
5. Protein
Untuk TUGASMAS 97
98
FAAL HEMOSTASIS
Jalur Jalur
Extrinsik Intrinsik
Jalur Umum
(Common Pathway)
PPT APTT
Koagulasi
(“Cloth” terbentuk stabil)
FFP Vit K
Fresh Plasma Fresh Plasma
Catatan :
Pemanjangan FH dianggap senifikan bila > 1.5 x c
Dosis vit K : 1 mg/hari/IM selama 3 hari
Vit K 3 x 1 ampul / IM ---> tidak bermanfaat
Common pathway : jalur yang dilalui dua-duanya
Dosis FFP : 10 cc/kgBB
Untuk TUGASMAS 98
99
Instrinsic pathway
Prekalikrein
XII XIIa
HMW kininogen
IX IXa III
Ca 2+
VII VII
Fosfolipid
Ca2+ Ca2+
-------------------------------------------------------------------------------------------------------
X Xa
Ca2+
common pathway Fosfolipid
II IIa(trombin)
XIIIa XIII
Ca2+
Untuk TUGASMAS 99
100
FACIAL TRAUMA :
(Maxillary Fracture)
No Nafas Score
1 Freq. Nafas : 1 sat x 4
10 – 29 4
> 29 3
6–9 2
1–5 1
0 0
2 Tekanan Sistolik
Tensi Auskultasi/Palpasi(mm Hg)
> 89 4
76 – 89 3
50 – 75 2
1 – 49 1
0 0
3 Glasgow Coma Scale
Skala konversi
13 – 15 4
9 – 12 3
6–8 2
4–5 1
<4 0
Harapan hidup :
Truma Score
= x 100%
16
- Hindari dosis adrenalin lebih 1.5 µ/kg dengan konsentrasi larutan tidak lebih dari 1 :
200.000 (5 µg/ml)
- Penyuntikan adrenalin secara perlahan (10 cc dalam 10 mnt jadi 30 cc dalam 1
jam)
- Pemberian adrenalin bersama lidocain, 1 – adrenergic (prazosin, droperidol,
metaprolol) ---> dapat meninggikan ambang arrithmia.
- Cegah hipercarbia & hypoxia
Catatan :
Konsentrasi larutan =
- Dextrose 5% =
5% = 5/100 = 5 gram dextrose dalam 100 cc (5 gr/100 cc = 50 gr/ltr)
- Lidocain 2% = 20 mg/cc
Jadikan 10 cc
Jadikan 20 cc
1 : 200.000
DOPAMIN
BB x x 60
Konsentrasi
50 x 3 x 60 90
= = 1.8 cc/jam
5000 50
ENDOTRACHEAL TUBE
ETT:
10 (mm) = (age/4) + 4
panjang (cm) = (age/2) + 12 (coal)
(age/2) + 15 (coal)
French = 4 n + 2
Cm = French – 2
4
Perbandingan MAC
Anestesie Inhalasi :
Usia = 30 – 55 tahun
N2 O : 104%
Desflurane : 6.3%
Sevoflurane : 2.0%
Halothane : 0.74%
Euflurane : 1.68%
Isoflurane : 1.15%
Methoxythiane : 0.16%
Ket :
BP = Borometric pressure (1 Atm = 760)
PH2O= Water Vapour Pressure (= 47 hour)
F IO2 = Fraction of Inspired Oxygen
RQ = Respiatory Anotient ( = 0.8)
P CO
Aa DO2 760 PH 2O F1O2 a 2 PAO2
0.8
A = Arteri, a = Alveoli
PAO2 Pa O2
aDO2
F1O2 B6 A
Catatan :
Normal : 50 – 200 torr
P CO
Aa DO2 760 47 100% a 2 PAO2
RQ(0.8)
C O M A, penyebab :
1. CVA
2. CNS Trauma
3. CNS Infection
4. Drug Intoxication
5. Metabolic
6. Neoplasma CNS (Primer & Metastase)
7. Infeksi systemic (Sepsis)
8. Unknown
Atau :
C = Circulation
Extra
E = Electrolite
Cranial
M = Metabolite
E = Encephalopati Meningitis
N = Neoplasma IIntra
T = Trauma Cranial
E = Epilepsi
D = Drug
TIPS
VOWELS:
Hb = 12
Special
Case
Hb =10 Tua > 60 th
Sepsis
DM
Optimal Stroke
Hb = 8 Stage
Mungkin tidak perlu
Tolerable transfusi
Hb = 5 Stage
Mungkin perlu
Critical transfuse
Stage
Perlu - transfusi
Hb 7-15
End-1
Ket :
- Kapasitas transport O2 sama antara :
Ht = 20% (Hb 7 gr/dtk) dengan
Ht = 45% (Hb 15 gr/dtk)
- Darah simpan > 7 hari : Enzym ≥ 3 DP6 (Inactive) setelah masuk
ke sirkulasi selama 12 hari 23 DP6 akan normal kembali
Kemampuan menaikan Hb =
- PRC 1 bag (150 cc) ---> menaikan Hb = 1 gr%
- WB 1 bag (250 cc) ---> menaikan Hb = ½ gr%
- Rumus = “Rule of – 5”
Contoh :
Untuk menaikkan Hb = 7 gr/dl menjadi 10 gr/dl 5 orang dengan BB 50 kg dibutuhkan
WB :
5 x 3 x 50 = 750 ml (3 bag)
Perhitungan =
Penurunan Hb jika perdarahan 1000 cc (diganti RL) kadar Hb sebelum berdarah 12
gr/dl EBV = 3500 cc. Total Hb sebelum berdarah = 0.12 x 3500 = 420 gr.
Hb yang hilang = 0.12 x 1000 = 120 gr.
Hb yang sisa dalam EBV = 420 – 120 = 300 gr
Hb setelah EBV normal = 300 / 3500 = 8.5 gr/dl
Penurunan HCT =
HCT sebelum berdarah = 40%
Vol erytrosit sebelum berdarah = 0.4 x 3500 = 1400 cc
Eritrosit yang hilang = 0.4 x 1000 = 400 cc
Eritrosit yang sisa dalam EBV = 1000 cc
HCT setelah EBV normal = 1000 / 3500 = 0.28 (28%)
Cat :
Hb = 12 gr/dl = 0.12 gr/ml.
Penurunan Albumin =
Kadar albumin sebelum berdarah = 4.0 gr/dl
HCT = 40%
Vol Plasma = 4% BB = 2000 cc
Catatan :
TRANSFUSI MASIF: pemberian darah > EBV dalam waktu 24 jam
Resiko :
1. Hemodelusi massif, dapat terjadi = overhidrasi (Edema paru)
2. Hilangnya entrolit dan faktur pembekuan (Delutional Coagulopnality)
---> mudah bleeding
Berhenti Manfaat
12 – 24 jam Penurunan kadar CO dan Nikotin
48 – 72 jam Kadar CO – Hb normal fungsi cuia membaik
1 – 2 mgg Produksi sputum
4 – 6 mgg Memperbaiki F / paru
8 – 12 mgg Morbiditas post – op
Catatan :
Berhenti merokok yang bermanfaat minimal 4 minggu
Fungsi Ginjal :
Komplikasi DIALISIS
“Dialisis Disquilibrium – Syndrome”
Simptome :
Naussea, Vomiting
Restlessness
Headaches, Fatique
Seizure, Coma
Aritmia
PH CSF naik
PC O2 Arteri naik
Freely Diffusible
PC O2 CSF turun
CSF H naik
OLIGURIA :
Definisi = produksi urine / 24 jam
Causa
Mekanisme Oliguria =
Kekurangan cairan Extracelluler (Syok)
Stress Anestesi
Stress Pembedahan
Ginjal Hypofise
Rennin GFR
Angiotenrin II ADH
Adrenal
Penyerapan Na naik
OLIGURIA
Kontrol causa
Hidrasi balik
OLIGURIA
TD = normal
Pasang CVP
(N = 10 – 20 cmH2O)
Cairan
ARF
BUN / SC BUN / SC
Turun Tetap
Krisis Hypertensi :
Hypertensi Emergency :
Peninggian tensi yang berat, dengan komplikasi akut pada target organ (misal :
Ischemic Coroner, Stroke, JCH, edema, Paru & ARF)
Management :
Turunkan MAP tidak lebih dari 25% dalam 2 jam
Kemudian turunkan TD menjadi 160/100 m Hg dalam 2 – 6 jam berikut
Hindari penurunan TD yang excessive
Hindari dengan Anti HT Agent/IV
Hipertensi Urgency
Peninggian tensi yang berat
Tanpa gangguan target organ
Accelerated HT =
HT yang disertai Retino Pathy, dll
Malignant HT :
HT yang disertai TIK meningkat
Klassifikasi HT (JNC V)
JNC V =
Patofisiologi :
Pro Inflamatory ---> Anti inflamatori ---> SEPSIS
Pro Inflamatory ---> Anti Inflamatory ---> INFEKSI
SIRS
iInflamasi
SEPSIS
SEPTIS Berat
(Sepsis + MODS)
Septic
Shock
Kematian
Tx =
- AB = Cefalosphorin 2nd
- Membuang jaringan infeksi (Debridement)
Mechanical washing hrs >>>
Quality control
Catatan :
1. CVP ≥ 8 – 12 mm Hg
2. MAP ≥ 65 mm Hg
3. Urine output = > 0.5 cc/kg/jam
4. SaO2 ≥ 93%
5. HCT ≥ 30%
6. AT (Tcore – T skin) = > 4 0C
Diazepam
0.25/0.4 mg/kg IV/PR
Diazepam
0.25/0.4 mg/kg IV/PR
Paraldehyde
0.4 mg/kg PR in adchis oil
Anak :
2 cc x luas luka bakar x BB (kg) + cairan maintenance
Dengan komposisi :
kristaloid : koloid = 17 : 3 (dioplos)
Kebutuhan Maintanance :
USIA Kebutuhan Cairan
< 1 thn BB x 100 cc
1 – 3 thn BB x 75 cc
3 – 5 thn BB x 50 cc
8 jam I = ½ bagian
16 jam II = ½ bagian
indikasi BEXTER :
24 jam I :
Fluide Replacement :
RL : 4 ml x Burn Area x BB (Kg)
Mis = Deficit :
BW = 50 kg 4 x 60 x 50
Burn = 60% = 12.000 ml
Hari I
Hari II =
1. Infus D5W : 3000 – 4000 ml/24 jam (cairan tanpa elektrolit) ditambah
dengan
2. Cairan Koloid (Albumin ; plasma expander 250 ml tiap 10% Burn Area.
Bila burn Area < 20% ---> tidak perlu-+
3. Tranfusi bila PCV < 25%
4. Perdarahan :
Elektrolit : Na dan K = N
Urine = > 1 ml/kg BB/jam
Rute of Nine :
(Rule of Wallace)
Gambar
M = Mechanisme :
I = Injury Sustained
Tampak luka tusuk di ……….
Dengan ukuran ………….
S = Sign
Misal = sesak napas, nyeri, syok, dll
T = Treatment
- Oksigenasi
- Infuse : RL , dll
- Dll
Age RR (beat/nm)
NB 50 1
6 mounth 35 5
12 mounth 24 6
3 Years 24 6
5 Years 23 5
12 Years 18 5
Adult
12 3
Age Mcon HR
(best/min)
0 – 24 hours 120
1 – 7 days 135
8 – 30 days 160
3 – 12 mounth 140
1 – 3 years 125
3 – 5 years 100
8 - 12 years 80
12 - 16 years 75
4. Scholin : 1 – 2 mg/kg
5. Keadaan khusus :
Status asmatikus =
Ketamin = 1 – 2 mg/kg
Trauma kepala, tanpa hipovolemi
Thiopental = 1.5 – 5 mg/kg
Hypotensi / gagal myocard :
Etomidate = 0.3 mg/kg (2)
Ketamine = 1 – 2 mg/kg
Midazolam = 0.1 – 0.5 mg/kg
(max : 5 mg)
6. Muscle relaxant :
Bila tidak ada scolin
Dalam semua kasus: Rocuronium = 1 mg/kg
Vecuronium = 0.1 – 0.2 mg/kg
Catatan :
I. Thiopental :
Induksi = 3 – 6 mg/kg/IV
Sedasi = 0.5 – 1.5 mg/kg/IV
II. Diazepam :
Premed = 0.2 – 0.5 mg/kg/oral
Sedasi = 0.04 – 0.2 mg/kg/IV
Induksi = 0.3 – 0.6 mg/kg/IV
III. Midazolam :
Premed : 0.07 – 0.15 mg/kg/im
Sedasi : 0.01 – 0.1 mg/kg/IV
Induksi : 0.1 – 0.4 mg/kg/IV
IV. Ketamin :
Analgetic : 0.2 – 0.5 mg/kg/IV
Induksi : 1 – 2 mg/kg/IV
5 - 10 mg/kg/im
V. Propofol :
Induksi : 1 – 2.5 mg/kg/IV
Maintenance (inf) : 50 – 200 µg/kg/mnt/IV
Sedasi (infuse) : 25 – 100 µg/kg/mnt/IV
VI. Morfine :
Premed : 0.05 – 0.2 mg/kg/1m
I0 Anestesi : 0.1 – 1.0 mg/kg/IV
PO Analgetic : 0.05 – 0.2 mg/kg/IV
0.03 – 0.15 mg/kg/IV
VII. Meperidine :
Premed : 0.5 – 1 mg/kg/im
I0 Anestesi : 2.5 – 5 mg/kg/IV
PO Analgetic : 0.5 – 1 mg/kg/Im
0.2 – 0.5 mg/kg/IV
VIII. Fentanyl :
10 Anestesi : 2 – 150 mg/kg/IV
DO Analgesia : 0.5 – 1.5 ccg/kg/IV
IX. DHBP :
Premed : 0.04 – 0.07 mg/kg/1m
Sedasi : 0.02 – 0.07 mg/kg/IV
Autiemetic : 0.05 mg/kg/IV
1. Halothane (Dial 4) + O2
5 Lpm overface sampai dengan Px tidur (bilai Px belum diinfus)
2. Turunkan Halothane menjadi dial 1
3. Naikkan secara bertahap
Prof. H =
Setiap 5x napas spontan, naikkan dial 0.5 sampai dengan dial 4.
Dr. Au =
Setiap 10x napas spontan, naikkan dial 0.25 sampai dengan dial 4.
4. Berikan 10x napas spontan pada dial 4
5. Matikan Agent ---> biarkan Px napas spontan 3 – 5 x
6. Intubasi non – apnue
7. Buka kembali Agent sesuai dengan kebutuhan (Dial 0.8 – 1)
Hipotensi, Bradikardia
Cardiac Outputmenurun50 %
M1 M2 M3 M4,M5
(CNS,lambung) (Paru,jantung) (CNS,Otot (CNS)
polos,
kelenjar)
Takikardia Bradikardia
Salivasi
Halotan
• Dosis :
1. 0,01 – 0,02 mg/kg IV
2. 0,02 mg/kg IM
3. 0,1 mg (Minimum dose)
• Heart rate :
1. Neonatus 140 x/menit
2. 12 month 120 x/menit
3. 3 years 100 x/menit
4. 12 years 80 x/menit
NILAI NORMAL
< 1 th 2 – 5 th 5 – 12 th > 12 th
RR 30 – 40 25 – 30 20 – 25 15 – 20
HR 110 – 160 95 – 140 80 – 120 60 – 100
TS 70 – 90 80 – 100 90 – 110 100 – 120
TD 53 – 66 53 – 66 57 – 71 66 – 80
Konsumsi Oksigen
6-8 3,5
(cc/kg/menit)
Produksi Karbondioksida
6 3
(cc/kg/menit)
Kapasitas residu
30 35
fungsional (FRC) cc/kg
Umur Cc/kg BB
Premature Neonate 85 – 100
Fulterm neonale 85 – 90
Infant 80
Adult 65 – 75
(gr/dl)
At Birth 19.5
2 wk 16.5
2 mounth 14.0
6 mounth 12.0
1 yr 11.0
2 yr 11.5
5 yr 12.6
6 – 12 Yr 13.5
I. Rumus :
80 x BB (kg) x Hb
22 x 100
100
Cara pemberian :
1. 5 mnt I : 5 – 10 tts/mnt
Dilanjutkan : 10 – 15 cc/kg/2 jam ---> (10 – 15 tetes/mnt)
Misal :
Anak / 2 ½ thn / BB = 10 kg, Hb = 8
Rencana operasi dengan Hb minimal = 12
III. Hb x 5 x BB (kg)
indikasi =
- Hb < 8 gr % / < 10 gr%
- Blood lose ≥ 20 % / ≥ 10%
Platelets :
TC = (Trombosite Cryopresipitate)
Dosis 1 unit / 10 Kg BB
---> dapat menaikan Platelet 50.000 / cc L
Note :
French = 4 n + 2
Cm = (French – 2) : 4
Kedalaman Tube / oral (dalam cm) = 12 + (1/2 umur ) pada bibir atas
Untuk anak 1 th = No 10 diatas alveolar ridge
I. Obat Premedikasi
1. SA ; 0.01 – 0.02 mg/kg BB/im (Dosis iv = ½ dosis im)
Antivagal : 0.02 mg/kg
Antisialogog : 0.1 mg/kg
2. Dormicum : 0.1 - 0.2 mg/kg BB/Iv (dosis oral 0.50 – 0.75 mg/kg)
3. Diazepham : 0.25 mg/kg/IV
III. Relaxant :
1. Scholin : 1– 2 mg/kg / BB/IV
2. Norcuron : 0.1– 0.2 mg/kg / BB/IV
3. Atracurium : 0.5 mg/kg / BB/IV
IV. Analgetic :
1. Morfin : 0.1– 0.2 mg/kg / IM/4 jam (dosis iv = ½ im)
2. Pethidinie : 1 – 1.5 mg/kg/IM/4 jam
3. Fentanyl : 2 – 5 µg/Kg BB/Iv
V. Reversal :
Prostigmin :0.04 – 0.08 mg/kg/IV
S. Atropin :0.01 – 0.02 mg/kg/IV
Naloxon :0.01 mg/kg/ BB/IV
VI. Lain-lain :
1. Dexamethason :
0.25 – 0.5 mg/kg/IV
Bayi = (BB < 10 kg) = 4 kg/IV
Anak = (BB > 10 kg) = 8 kg/IV
2. Ondancentron : 0.1 mg/kg BB/IV
3. Cairan Infus :
Umur < 1 th = D5 ¼ NS
> 1 th = D5 ½ NS
Neunatus = D10 0.18 NS
Breathing Circuit :
Flow O2 =
Open Sistem = 2 x MV
Semi Close = > 4 LPM
I. Siap Pasien
B. Obat / Anestesi
1. Ketamin : 1 mg/cc (untuk induksi & drips)
5 & 20 mg/cc (untuk pumpt)
2. Dornicum : 1 mg/cc
3. Valium : 5 mg/cc
4. Morfin : 0.1 & 1 mg/cc
5. Norcuron : 1 mg/cc
6. Dexameth : 5 mg/cc
Pesanan Pre – Op :
Preop Visite Anestesi = Px rencana operasi besok. Mohon dipersiapkan :
1. Informed Consent
2. Puasa :
- Makan padat/susu mulai jam 24.00
- Minum air putih mulai jam 05.00
3. Infus : D5 ½ NS ……………. Cc/jam ---> Mulai jam 05.00 pagi
4. Lavement s/d bersih
5. Fisioterapi napas
6. Nebulizer 2 x 10’ / hari
7. Siap PRC, 1 bag + GSn 1 bag
8. Diazepam 2 mg tab/peroral di minum dengan air putih jam 05.00 pagi
9. siap obat & Alat
10. Berdoa
Resep :
R/ ECG electrode III
Surflow (no. 24) I
Infuse set pediatric I
PZ 250 cc I
D5 ½ NS Hs II
3 way stopcock panjang I
Valium AMP I
Pesanan Post – OP :
1. Sadar baik, mual (-), mts (-) Bu (+)/N ---> NSS bertahap I
2. Infus = D5 ½ NS = 1500 cc/24 jam
Infuse dipertahankan s/d makan / minum bebas
3. Tx : inj Odantron 3 x 2 mg/IV (2hr)
Inj Novalgis 3 x 250 mg/IV (2hr)
Inj Cefotaxin 3 x 500 mg/IV ---> 1hari selanjutnya oral
4. Nebulizer 2 x 10’/hari
5. Fisioterapi napas 2 x / hari
6. Mx :
VS
Produksi urine
Perdarahan luka op
Cek Hb pose op
IV. Indikasi :
1. Abdoran bawah & Perineum
Inguinal Herniotomy
Orchidopexy
Anoplasty
Operasi Bladder
2. Pensi :
Hipospadia
Sirkumsisi
3. Operasi pada kaki :
Osteotomy hip
Koreksi Talipes
V. Kontra Indikasi :
1. Local Sepsi
2. Septacemia
3. Coagulopathy
4. Peny. Neurologis active
5. Meningomyelocele
6. Hidrocephalus
7. Peningkatan ICP
8. Hipotensi yang tidak bias di koreksi
9. Mayor abnormal dari sacrum
VI. Equipment :
1. Spidol + Plaster
2. Spinal set + Hand schoen
3. Surflow 18 & 22 & 20 G
4. Spuit 5 cc I, 10 cc I
5. Nedle 18 G
6. Marcain 0.5% & lidocain 2%
7. Pz 25 cc
Rumus :
BBxx60
cc / jam
konsentrasi (ecg / cc
Misal :
Dopamine 5 (BB 50 kg) = 50 x 5 x 60 = 5000 ---> 30 / 10 = 3 cc/jam
BBxx60
cc / jam
konsentrasiecg
Misal :
Rumus :
BBxngx60
cc / jam
konsentrasi(mg )
Misal :
Adrenalin 100 nano (BB 50 kg) = 50 x 100 x 60
100.000
= 30 / 10 = 3 cc/jam
Dosis : 5 – 15 mcg/kg/mnt
Rumus :
BBxmcgx60
cc / jam
konsentrasi(mcg / cc)
Misal :
BB = 50 kg
3 = 9.0 cc/jam
4 = 12 cc/jam
5 = 15 cc/jam
6 = 18 cc/jam
= 50 x 5 x 60 = 150 / 10 = 15 cc/jam
1000.
Dosis :
Catatan :
Mulai dengan dosis = 0.5 mg/jam
Dapat dinaikkan sampai dengan 2 mg/jam
= 2 x 50 x 60 = 30 cc/jam
200
III. Maintanance
Isoflurane + O2
Suplement :
Fentanyl 25 µg (K/P)
Morfin 2 mg/IV (boleh ditambah lagi K/P)
IV. Post – Op :
Lasix 1 – 2 Amp/IV
Restruksi cairan 1500 – 2000 ce dalam 24 jam I
Selanjutnya restriksi : 500 cc/24 jam
Morfin 0.5 mg/jam (SP)
Keterangan :
Stenosis = penyempitan
Insutisiensi = kebocoran
2. Hindari Vasoconstriksi :
Karena akan menambah PHT : (Pulmonal Hipertensi)
Cara :
A. Jangan hipoksia dan Hipercarbia
B. Jangan Hipovolemia
C. Usahakan slight vasodilarasi (SVR turun) tetapi tidak hipotensi (OKI siap
Dopamine)
Cara :
1.Pertahankan tekanan darah Sistemik (Tekanan darah systole, tidak sama
dengan / lebih rendah dari tekanan darah Pulmonal
2.Siap Dopamin adalah Dobutamin. Prediksi penurunan TD sistemik dimulai
dengan melihat S aO2.
Misal =
TD : 120/70 ---> SaO2 = 100% turun 5%
TD : 114/66.5 ---> SaO2 = 95%
Bila saturasi turun 5% berarti tekanan darah juga akan turun 5% menjadi
114/66.5
IV. REGURGITASI
Bila terjadi regurgitasi maka Cardiac Output akan lebih kecil dari EF. Untuk
menaikkan CO berikan : 1. Inotropic (Dopamin jadi Dobutamin)
2. Vasodilator untuk meurunkan TPR
V. PULMONAL HIPERTENSI
Hindari Vasocontriksi ok akan menambah PHT
Cara: 1. Jangan HIpoksia atau Hiperkarbia
2. Jangan Hipovolemia
3. Usahakan Slight VAsodilatasi sehingga SVR turun, tetapi tidak
hipotensi.
Tensi pulmonal absolute diukur dengan schwangatnt catheter.
Halaman 393
Catatan :
- Penthotal keluar dari sirkulasi bayi setelah 10 – 12 menit
- Halothane hati2 karena bisa menyebabkan relaksasi uterus meningkat -
--> atonia uteri ---> HPP
PREEKLAMSIA
Definisi :
Adanya trias :
Hipertensi, proteinuria, edema ---> yang timbul setelah usia kehamilan 20 mgg
Patofisiologi :
Ketidakseimbangan antara :
- Thromboksan sebagai vasokonstriktor
- Prostasiklin sebagai vasodilator
Menyebabkan
- vasoconstriktor, Agregasi platelet dan penurunan uteroplacnta blood
flow
- Vasospasme menyeluruh ---> disfungsi organ
Pembagian :
1. PE Ringan
- Tekan darah > 140/90 atau kenaikan lebih > 30 / 15 mmHg
- Edema
- Proteinuria > 300 mg/L ( + 1 – 2 )
2. PE Berat
- Tensi > 160 / 110 mmHg
- Proteinuria >5 gram/24 jam
- Gejala cerral (+) nyeri kepala, gangguan visus
- Oliguria
- Serum cratinin meningkat
- Edema paru(kadang terjadi setelah 15 jam post op)
- HELLP (hemolisis, elevated liver enzyme, low platelet)
- Thrombocithopenia juga DIC
3. Eklamsia
- PE yang diikuti dengan kejang(20% px eclamsia edema cerebri)
Contoh kasus :
Wanita 39 th/82 kg ---> PS 2 PEB
B. Blood Gas :
PaO2 > 80
PCO2 < 45
---> dengan F1O2 < 40% PEEP : 0 – 5
C. Conscirusness & Circulation = Px sadar dan circulasi stabil
D. Dispnoe : Sesak (-)
P. Respiration Parameter
TIdak berkeringat
VC > 15 cc/kg
VT > 5 cc/kg
RR < 20 x/mnt
MV < 10 liter/mnt
AaDD2 < 350 mmHg
GDA D40%
< 30 ngr % 3 Hs
< 60 2 Hs
< 90 1 Hs
Bikarbonat
Sel otot (Eventually)
EP = Endogenous Production
EP = Endogenous Production
ANESTESI pada Px HT =
Tekanan Darah diturunkan sampai dengan 180/100 mmHg (Cut of Point)
Malam hari (jam 22.00)
Dapat diberikan :
Diazepam 5 mg/oral
Esilgan 2mg/oral
Captopril 25 mg/oral
Obat HT tetap diminum jam 05.00 pagi dengan 2 sendok air putih.
Jam 05.00 pagi cek tensi basal bila T. Diastole > 100 mmHg ---> op ditunda.
Evaluasi keterlibatan target organ :
1. Jantung : NYHA, ECG, Cardionegatif
2. Ginjal : BUN / SC
3. Otak : riwayat TIA, CVA
Induksi Px HT :
1. LIdocain 2% 40 mg (1mg/kg BB) ---> untuk memblok inpuls
2. Fentanyl 50 µg --->untuk mencegah pembentukan inpuls
3. Norcuron 6 mg ---> ok onset noicuron > penthotal
4. Penthotal 150 mg ---> Sleeping dose dulu ---> setelah Px tidur
5. Penthotal 100 mg ---> ventilasi 3 mnt
6. Intubasi
Cat :
Lidocain + Fentanyl ---> potensiasi resiko bradikardi meningkat
I. Indikasi :
Traditional criteria for instituting
Mechanical Ventilation
TV : 6 – 8 – 10 cc/kg BB
Freq : 12 – 20 x/mnt
MV : VT x F
F1O2 : 1.0
1 : E = 1 : 2 atau 1 : 3
PEEP = 2.5 – 5 cm H2O
Mode = CMV – PCV / VCV
Setelah ventilator sudah berjalan dan berfungsi baik :
Pertimbangan PEEP (Start low = 5 cm H2O)
Setelah 10’ --->turunkan F1O2 < 60% untuk mencegah intoxicasi O2 (monitor:
saturasi harus > 95%)
Penurunan F1O2 = 60 – 50 – 40 dst
1. CMV
2. ACV
3. SIMV + PS
Note :
CMV : Atur volume
PC : Atur pressure (misal : PC 10)
SIMV : Turunkan RR menjadi ½ kali normal (misal ; 10 x/mnt ---> SIMV 10)
P5 : Turunkan RR menjadi 0 (misal : P5 10)
CPAP : Turunkan P5 menjadi 0 (Px hanya dengan PEEP)
Contoh pehitungan : BB – 40 Kg
Kebutuhan :
Volume = 40 – 50 cc/kg/hari = (40 – 50) x 40 = 1600 – 2000 cc / hari
Kalori = 25 – 30 Kcal/kg/hari = (25 – 30) x 40 = 1000 – 12000 Kcal /hari
Natrium = 2 – 4 mEq/kg/hari = ( 2 – 4) x 40 = 80 – 160 mEq/hari
Kalium = 1 – 2 mEq/kg/hari = (1 – 2) x 40 = 40 – 80 mEq/hari
Asam Amino = 1 – 2 mg/kg/hari = (1 – 2) x 40 = 40 – 80 mg/hari
Catatan :
Untuk menurunkan osmolaritas dapat diberikan infuse cabang
Misal : BB : 60 kg
Perlu kalori : 1500 kalori
Volume : 2500 cc
I. D20% = 2000 cc
24 jam
AA 10% = 500 cc
4H+4T=
Hipoksia
Hipovolemia
Hiper / Hipokalemia oleh karena gangguan metabolik
Hipotermia :
Tension Pneumothorax
Tamponade pericard
Toxic/Overdose obat
Thromboemboli
Massive MI
Asidosiss
Cara =
I. Dewasa
BIPAP / IPPV =
Tidak lebih 24 ( 30) x/mnt
P. Insp : 30 sampai dengan 40/45
T. Insp : 1.0
Biarkan 3 x napas, lalu kembali ke setting awal
II. Bayi
IPPV =
P. Inspirasi : Dari 18 naikkan menjadi 35 biarkan 3x napas, lalu kembali ke setting
awal (misal : P. Insp. 18)
Gambar
Tentukan trigonum
Raba Arteri Carofis
CV. Jugularis interna terletak di sebelah lateral adalah Carotis
Insert needle disebelah lateral adalah carotis kearah papilla mammae
dengan sudut 30 – 400.
V.
VI.
IV.
V.
V.
VII.
V.
I.
VI.
2.
1.
IV.
C.
7.
b.
i.
C.
II.
I.
4.
Premedikasi :
Phenergan 25 – 50 mg/Im
Pethidine (low dose)
SA : masih kontroversi OK dapat menyebabkan secret menjadi kental
Midazolam
Induksi :
Ketamin : 1 – 2 mg/kg BB/IV
Propofol : 3 – 4 mg/kg BB/IV
Halothane Inhalasi
Maintanance :
Ketamin TIVA
Halothane
Enflurane
Isoflurane
RA = SAB, dll
Laparoskopi :
Tindakan insuflasi gas atau cairan ke dalam rongga abdomen dengan trochard
endoskop Ø 6-10 mm dapat digunakan untuk melihat isi abdomen tanpa kontak
langsung dengan organ intra-abdomen
Bidang ginekologi : Dx & Tx endometriosis, KE, myomektomi, histerektomi,
tubektomi,fertilisasi invitro
Bidang bedah: kolesistektomi, repair diafragma, gastroplasti, herniotomi,
appendiktomi, laigasi varicocele
Keuntungan untuk Px :
TEKNIK ANESTESI
1. Prinsip: Memberikan kondisi intra-operative yang baik, waktu recovery lebih
singkat, ES minimal serta kembalinya aktivitas sehari-hari lebih awal
2. Umumnya menggunakan anestesi umum dengan intubasi endotracheal &
pernapasan buatan
3. Untuk prosedur yang singkat, tekanan intra-abdominal rendah, posisi yg
tidak terlalu ekstrem,dpt menggunakan:
a. Anestesi umum tanpa intubasi& pelemas otot
b. Anestesi regional
c. hati-hati!! 1/3 kematian yg berkaitan dengan laparoskopi dengan
penggunaan GA tanpa intubasi)
ANESTESI GENERAL :
Dapat menggunakan :
Untuk TUGASMAS 157
158
a. Inhalasi : isofluran
b. TIVA : Propofol, midazolam dan ketamin
1. SA dapat diberikan sebelum induksi anestesi karena potensial terjadi reflex
vagal selama laparoskopi
2. Penggunaan N2O untuk laparoskopi: kontroversi karena kemampuan
berdifusi ke lumen usus→ distensi & dapat mengganggu operasi. Pada
penelitian Taylor dkk,disimpulkan tidak ada perbedaan kondisi operasi
selama laparoskopi dg/tanpa N2O
3. Dilaporkan juga meningkatkan insiden PONV→ tidak signifikan.
ANESTESI REGIONAL:
1. Menghilangkan nyeri somatic saat penetrasi trocar ke dinding abdomen,
tetapi terjadi distensi & retraksi viseral→ketidaknyamanan viseral
2. Penggunaan CO2→ gradien konsentrasi asam karbolik sangat iritatif
pada permukaan peritoneum
3. Dapat dikerjakan untuk prosedur singkat atau extraperitoneal seperta
tubektomi, fertilisasiinvitro atau herniotomi
4. Modifikasi tehnik SSA dapat diberikan untuk px riwayat jalan karena
waktu untuk mencapai pemulihan lebih singkat dapat anestesi umum
dengan propofol
5. SSA merupakan Cairan hipobarik,dapat dipakai untuk prosedur dengan
wkt 10-87 mnt
Durante operasi :
1. Monitor rutin EKG, SaO2,TD,Nadi,kerja ventilator,konsentrasi gas anestesi &
suhu pasien
2. Orang sehat, Mo; EtCO2 ~ PaCO2
3. Pada px dengan penyakit paru, peningkatan EtCO2 setelah insuflasi gas CO2
tidak sebanding dengan peningkatan PaCO2 karena terjadi ventilation-perfusion
missmatch
Komplikasi
1. Komplikasi yang berhubungan dengan prosedur pembedahan
3. Sistem Kardiovaskuler
4. Ledakan gas bisa dengan l terjadi 3 kondisi bersamaan: jejas pada usus
+kebocoran gas metana dari dalam usus,penggunaan Kauter, N2O yg terkumpul
di rongga peritoneum.
ALDRETE’S SCORE
Aktifitas Nilai
– Semua angg.gerak bergerak secara sadar atas perintah 2
– Dua angg.gerak bergerak secara sadar atas perintah 1
– Tidak bergerak 0
Respirasi
– Bernafas adekuat dan dapat batuk 2
– Bernafas kurang adekuat (distress) / hip oventilasi 1
– Belum bernafas / apneu 0
Sirkulasi
– Tekanan darah berbeda ± 20% dari semula 2
– Tekanan darah berbeda ± 20% - 50% dari semula 1
– Tekanan darah berbeda > 50% dari semula 0
Kesadaran
– Sadar penuh 2
– Gelisah 1
– Belum sadar 0
Warna kulit
HALOTAN
Relaxasi otot
Central Peripheral CV dilator CV resistanse
Cardio depresi Blunting reflex
baroreseptor Potensiasi dgn NMBA
Apneic threshold Muscles disfunction
CBF
Triger malignat
Bradicardi Nafas cepat & dangkal Nb.-autoregulasi diblunting hypertermia
SBP PaCO2 -CBF ICP
CO Tek. Intratorak dicegah dgn hiperventilasi
-cerebral activity
Nb. –jantung: coronary vasodilator ?? kebutuhan O2
coronary BF(ok BP) Reverse sebagian
kompensasi O2 demand Depresi CO, BP, HR Hepar
Renal
Adequat myocardial perfusion -HBF
Nb.-efek bronkodilator - CBF lebih besar GFR
-hepatic artery
-ref airway vasospasme
Filtrasi fraction
-ref brochial smooth muscle -clearance obat
-clearance of mucus - Urine output
Lain terganggu
-promoting postop hypoxia and -hepatic cellular
atelectasis Dysfuntion
-liver transaminase
Contraindikasi: Drug interaction:
-hindari px unexpected -β adrenergic blocking agent
liver dysfunction (propanolol) & Ca chanel blocking
-perhatian pd intra mass agent (verapamil) myocardial
cranial ICP depression
-hati2 pd hypovolemic & -dgn aminophillin serious
severe cardiac deseas ventricular arrhytmic
-hati2 penggunaan -tricyclic antidepresan & MAOI
ephinephryn(halotan ber fluctuation BP & arrhytmia
sifat arytmogenic)
ISOFLURANE
Maintaining total
Hepatic BF & oxygen
CO me delivery
Lebih< iso/des
DESFLURANE
C. 2 x tiupan awal
3.
raba nadi carotis
tidak teraba nadi
4.
Awam ( 1,2,4)
Beri pijatan jantung
Pasang
dan nafas buatan 5.
monitor EKG
30 pijat + 2 nafas
C. 2 x tiupan awal
3.
raba nadi carotis
tidak teraba nadi
4.
Awam ( 1,2,4)
Beri pijatan jantung
Pasang
dan nafas buatan 5.
monitor EKG
30 pijat + 2 nafas
VF / pulseless VT
NO Check ECG
YES
Check pulse
No Check ECG
YES
Check pulse
VF/ VT
Intubasi : as soon as possible, without stop CPR Pijat 100x/menit
Nafas 8x/menit
2 menit 2 menit
CPR -1 Amiodaron
a single shock a single shock a single shock a single shock
30 : 2 a single shock
CPR-2 CPR-3 CPR-4 CPR-6
CPR-5
CALL adrenalin
FOR Amiodaron is the first choice
HELP 300 mg, bolus. Repeated 150 mg
Adrenaline: 1 mg, iv,
for reccurrent VT/VF. Followed by
PASANG repeated every 3-5
900 mg infusion over 24 hours
MONITOR minutes
LIDOCAIN. Do not exceed
a total dose of 3 mg/kg,
Evaluasi CPR : tiap 2 menit during the first hour.
DRUGS
• Adrenaline : 1 mg, iv, repeated every 3-5 minutes
• Amiodarone: 300 mg, bolus,
if VF/VT persist after 3 shocks.
Dose of 150 mg maybe given for recurrent
or refractory VF/VT, followed by an infusion
of 900 mg over 24 hours
• Lidocain : 1 mg/kg, iv, if amiodarone is not available.
Do not exceed a total dose of 3 mg/kg,
during the first hour.
Do not give lidocaine if amiodarone has already been given
ASYSTOL/PEA/EMD
Intubasi : as soon as possible, without stop CPR Pijat 100x/menit
Nafas 8x/menit
• evaluasi
• evaluasi
Cardiac evaluasi • adrenalin
evaluasi • adrenalin
arrest
ASYST
2 menit 2 menit
2 menit 2 menit
CPR -1
CPR-2 CPR-3 CPR-4 CPR-5 CPR-6
30 : 2
adrenalin
CALL
FOR Adrenaline: 1 mg, iv,
HELP repeated every 3-5
minutes
PASANG
MONITOR
KEMATIAN
Jenis kematian :
III. Clinised Death : Apnea Coculatory Arrest
POLA KEMATIAN :
I. Immediate = 0 – 1 jam
Cousa : CNS injury or heart
Or Great vessel injury
Vagal Refleks merupakan suatu refleks yang berhubungan dengan nervus vagus
ditandai dengan bradikardi tiba – tiba dengan hipotensi hingga asistole akibat
penekanan simpatis dan peningkatan kerja parasimpatis. Refleks ini sering terjadi pada
anak – anak dan umumnya merupakan respon terhadap takut atau nyeri. Faktor
predisposisi kondisi tubuh lemah (fatique), hipotensi ortostatik, hipovolume,febris,
status emosional, operasi gigi dan mata.
Mekanisme
Cardiac and/or
IX,X
Carotid sinus syncope N. Vagus (X)
Cough syncope cardiopulmonary
Exercise induced baroreceptors
IX,X
Head up tilt
MEDULLARY
Airway stimulation Cranial nerves V, VASODEPRESSOR
X, Spinal cord Spinal cord
Swallow syncope VII,VIII
REGION
Vagal reflex merupakan aktivitas dari sistem saraf otonom terutama parasimpatis.
Preganglionik mulai dari daerah kepala (ganglion ciliary, pterygopalatina,
submandibular,otic ) hingga genitalia.
Cardiac center berada di medulla oblongata terbagi atas cardioacceletory center untuk
mengontrol saraf simpatis meningkatkan irama jantung sedangkan cardioinhibitiry
center mengontrol parasimpatis sehingga irama jantung melambat.Aktivitas cardiac
Pendahuluan
Pertama kali tercatat dalam literature pada abad 18.
Epidemiologi (Nelson)
- Penyebabnya tidak diketahui
- Insiden CDH didapatkan 1 dari 5000 kelahiran hidup dan 1 dari 2000 kelahiran
meninggal
- Defect yang ditimbulkan 70-85 % berada disebelah kiri dan bisa bilateral (5%)
- Kelainan anomali ini dapat berupa kelainan lesi dari central nervous system,
atresia esophageal, omphalocale, cardiovascular lesi, dan berbagai kelainan
cromosom.
Etiologi (Nelson)
- Gangguan separasi pertumbuhan dada dan abdominal dimana diantaranya
terdpat canalis posterolateral pleuroperitoneal yang terjadi diusia kehamilan 8 –
9 minggu.
- Kegagalan penutupan dari canalis ini merupakan postulat mecanik dari kejadian
hernia posterolateral diaphragmatic.
Pathology
Organ visera yang ber-herniasi meliputi: lambung, sebagian kolon desenden, ginjal kiri,
dan lobus kiri hepar; mempengaruhi paru
Anatomis : Sebagian besar menyebabkan hipoplasia paru ipsilateral dan kontralateral
(dlm berbagai derajat), menggeser mediastinum kearah kontralateral, jumlah airway
menurun, pola percabangan arteri menjadi amat sederhana, jumlah otot polos pembuluh
darah yang tinggi, abnormalitas ventrikel kiri
Pathophysiology:
Ada 3 macam CDH yaitu :
1. Herina posterolateral Bochdalek, didapatkan pada kehamilan 6 minggu,
dengan 90% kasus
Klinis
Abdomen skaphoid, dada bulging, suara napas menurun, suara jantung menjauh atau
bergeser kekanan, bising usus di dada.
Radiografi
Bayangan gas usus di dada, pergeseran mediastinum, sedikit jaringan paru di sulkus
kosto-phrenik
USG :
Baik untuk diagnosis antenatal, perbandingan “lung to head” dan ada / tidak herniasi
hepar berkorelasi dengan outcome postnatal
Persiapan preoperative
Respirasi : paru yang efektive akan mengalami hypoplastik dan paru kontralateral yang
mengalami penekanan juga mengalami hypoplastik. Pasien dengan gangguan paru
hypoplastik akan mengalami herniasi pada awalnya, mungkin pada sebagian kecil kasus
mengalaminya setelah kelahiran. Pemeriksaan : Thorax photo, arterial blood gas
Cardiovasculer : R L shunting mungkin setingkat dengan PDA. Derajat R L shunt
secara mendadak dapat meningkatkan vasocontriksi pulmonal (↓PO2, ↑PCO2, ↑ pH,
peningkatan rangsang simpatik mengakibtkan keadaan sistemik hypoxemia.↓ CO2 pada
pulmonal hipertensi persisten dan keadaan hipoksemia memegang peranpenting
terjadinya metabolic acidosis. Pemeriksaan : Thorax photo, ECHO, arterial blood gas.
Metabolik : catatan glycogen neonates harus diperhatikan, untuk itu pemberian dextrose
sebagai pengganti yang diberikn sejak awal.Pasien dengan congenital heart disease
dapat diberikan diuretic. Pemeriksaan :serum elektrolit, glucose, BUN, SC
Gastro intestinal : suction aktif, bila mengalami distensi akan mengganggu dari
ventilasi.
Intraoperative
- Resusitasi meliputi : intubasi, ventilasi mekanik (PIP < 30 mmH2O), insersi
jalur vena & arterial, resusitasi cairan, dekompresi NG tube . Strategi penting
intervensi ventilasi awal adalah minimalisasi barotrauma akibat ventilasi tekanan
positif.
- Induksi : persiapan dengan ETT 3,0 – 3,5 dengan stylet. Siap obat-obat resusitasi
.
Post operasi
Komplikasi : kurang lebih sama dengan intraoperative
Pain manajemen : Fentanyl (0.5 – 2.0 microgram/kgBB/jam iv) dan epidural
analgesia.
Pemeriksaan : thorax photo, arterial blood gas, Hct, glucose, elektrolit.
INDEX BROCA:
BB ideal (kg) = TB (cm) - 100 cm
over weight : kelebihan < 20 %
obese : kelebihan > 20 %
morbid obesity : > 2 X normal
Body Mass Index:
BB (kg)
DEFINISI
Obesitas berasal dari bahasa latin obesus, yang berarti kelebihan lemak tubuh yang
berasal dari makanan.[1,2,3,4] Pengukuran yang akurat dari lemak tubuh sendiri sangatlah
sukar dan membutuhkan peralatan yang cukup canggih seperti CT-Scan atau MRI.
Estimasi yang akurat dapat menggunakan pengukuran tinggi badan dan berat badan
yang dikenal dengan konsep Ideal Body Weight atau IBW dengan formula :
IBW(kg) = TB (cm) – X ( X =100 untuk pria dan = 105 untuk wanita
[1,2,3,4,6]
dewasa).
Body Mass Index (BMI) adalah pengukuran yang lebih kasar untuk menyatakan
hubungan antara tinggi badan dan berat badan dan secara luas digunakan untuk studi
klinis dan epidemiologis.[1,2,3]
BMI = BB (kg) / TB2 ( m )[1,2,3,4,6,8]
Kriteria :
BMI < 25 kg/m2 Normal
BMI 25 – 30 kg/m2 Overweight,low risk of serious medical
Complikation
BMI > 30 kg/m2 Obese
BMI > 35 kg/m2 Morbidly Obese
BMI > 55 kg/m2 Super morbidly obese
Morbiditas dan mortalitas meningkat dengan tajam pada BMI > 30 kg/m2.
EPIDEMIOLOGI
Ada tendensi bahwa obesitas makin meluas di seluruh dunia. Pada tahun 1997
International Obesity Task Force merangkum informasi pada epidemiologi obesitas.
Dengan definisi BMI > 30kg/m2 adalah obesitas, mereka menyimpulkan bahwa
prevalensi obesitas di Eropa adalah sebesar 15 – 25% dengan penyebaran yang
bervariasi disetiap wilayahnya. Di United Kingdom prevalensi obesitas pada periode
tahun 1980 – 1991 telah meningkat dari 6% menjadi 13% pada pria dan 8% menjadi
15% pada wanita , yang berarti bahwa rata-rata berat badan penduduk United Kingdom
meningkat lebih dari 1 kg dalam 10 tahun terakhir. Di Amerika Serikat situasi lebih
buruk, dengan prevalensi BMI > 25kg/m2 adalah 59,4% untuk pria dan 54,9% untuk
wanita dewasa.Secara menyeluruh prevalensi obesitas dengan BMI> 30kg/m2 telah
meningkat secara bermakna dari 12,8% menjadi 22,5%. [1,3]
MORTALITY
ETIOLOGI
Obesitas adalah kompleks dan penyakit yang menyangkut multi faktorial, tetapi terjadi
apabila net energy intake melebihi net energy expenditure pada periode waktu tertentu.
Meskipun demikian hal tersebut kadang sulit dijelaskan mengapa hal tersebut terjadi
pada seseorang dan tidak terjadi pada orang yang lain.
Beberapa faktor penyebab tersebut adalah :[1,2]
1. Predisposisi genetik[1,2,3]
Obesitas cenderung bersifat familial dimana anak-anak dari orang tua yang
obesitas memiliki peluang 70% untuk menjadi obese dibandingkan dengan
resiko 20% pada anak-anak yang orangtuanya tidak memiliki obesitas.
Bagian ini dapat dijelaskan karena pengaruh diet dan gaya hidup. Tetapi di
bagian lain dinyatakan bahwa anak-anak yang diadopsi dari orangtua yang
obesitas dan dialihkan dari gaya hidupnya, tetap memiliki peluang untuk
obesitas. Sedangkan pada percobaan binatang menunjukkan adanya gene
obesitas yang diidentifikasi pada tikus, mengontrol produksi dari protein leptin
yang berperan pada obesitas. Pada studi klinis menunjukkan bahwa hanya
sedikit defect pada gene yang produksi leptin yang mengakibatkan obesitas.
Rata-rata penderita obesitas memiliki protein leptin yang tinggi akibat
kandungan lemak dalam tubuhnya yang cukup tinggi. Sehingga pengaruh
lingkungan yang lebih penting menentukan terjadinya obesitas.
2. Etnik [1,2,3]
Gambar 1 Efek dari severe obesity pada functional residual capacity (FRC).
Pada kondisi normal FRC (dan tidal excursion) tidak terdapat closing volume
dari the lungs. Baik anaesthesia dan obesitas berhubungan dengan penurunan
pada FRC, menghasilkan airway closure dan ventilation/perfusion
mismatching selama tidal ventilation yang normal.
Perubahan cardiovasculer[1]
Massa tubuh yang berlebih meningkatkan kebutuhan metabolik sehingga cardiac
output meningkat.
Tromboembolic disease
Peningkatan resiko thromboembolic disease disebabkan karena immobilisasi
yang lama menyebabkan venous stasis, polycitemia, peningkatan tekanan
abdominal dengan peningkatan tekanan pada deep venous channel pada
ekstremitas bawah, gagal jantung dan penurunan aktivitas fibrinolitik dengan
peningkatan konsentrasi fibrinogen. Insidennya antara 2,4 – 4,5%.[1,3]
duration of action.
Preoperatif[4]
hypertrophy.
5.Chest X-ray (CXR): periksa ukuran jantung dan vaskularisasi paru (pada kondisi
hipertensi pulmonal)
Intra operatif[4]
2.Ukuran manset tensi yang sesuai, karena bila terlalu kecil maka akan menjadi
3.Positioning:
Induksi :[4]
Post-op:[4]
Managemen Ventilator
Ideal body weight harus digunakan untuk menghitung tidal volume 10 -12 cc/kg dengan
frekuensi nafas yang menghindari hiper atau hipocapnea yang berlebihan
( biasanya 10 -14 kali/menit).[5,6]
Tidal volume yang lebih besar secara bermakna meningkatkan airway pressure dan
menimbulkan resiko barotrauma atau volutrauma tanpa peningkatan oksigenasi yang
berarti.
PEEP dan peningkatan inspiratory time dapat memperbaiki oksigenasi dengan
rekruitmen alveoli dan membiarkan mereka terbuka. (yang menghasilkan perbaikan
dalam ventilation-perfusion mismatch.[5]
DAFTAR KEPUSTAKAAN
1. Adams J.P. dan Murphy P.G. Obesity in anaesthesia and intensive care.British
Journal of Anaesthesia 2000;85:91 – 108.
2. Lyznicki, James M, M.S.,M.PH et al. Obesity : Assessment and Management in
Primary Care. American Family Physician 2001;63.no 11.
3.Rao Manimala Prof.S.,MD,DA. Morbid Obesity – Anaesthetic Management.
Department of Anaesthesiology & Intensive Care, Nizam’s Institute of Medical
Sciences, Hyderabad.2003
4.Langer Robert A,M.D.Anesthesia for the Morbidly Obese Patient.Educational
Synopsis in Anesthesiology and Critical Care Medicine in Journal of
Anesthesiology 1995;2. no 9.
5.Venable Clark J,M.D. and Ting Paul H, M.D. Obesity : Anesthetic Considerations.
GASNET Anesthesiology.2003
6.Pelosi Paolo,MD et al. Respiratory Function in Obese Patients.RT
International Article.2006
7. Ogan Okoronkwo U,M.D. and Plevak David J, M.D.Anesthesia Safety Always an
Issue with Obstructive Sleep Apnea.The American Sleep Apnea Association.1996
8. Barash Paul G, et al. Anesthesia and Obesity and Gastrointestinal Disorders.
Handbook of Clinical Anesthesia.2001
Peritonitis adalah suatu peradangan membran serosa yang melapisi rongga abdomen dan
organ-organ di dalamnya. Peritonitis sering disebabkan oleh adanya infeksi yang masuk
ke dalam rongga peritoneum yang steril melalui perforasi usus, seperti pada ruptur
appendix atau divertikel kolon. Peritonitis bisa juga disebabkan adanya bahan kimia
yang iritatif seperti asam lambung pada perforasi lambung atau asam empedu pada
perforasi kandung empedu atau suatu laserasi liver. Pada wanita, peritonitis yang
terlokasir paling sering ditemukan di pelvis akibat infeksi tuba fallopi atau ruptur kista
ovarium.
Peritonitis merupakan problem yang sering ditemui dalam praktek kedokteran klinik
saat ini dan bila tidak ditangani segera bisa berakibat fatal. Pada umumnya peritonitis
memperlihatkan gejala dan tanda antara lain nyeri abdomen dan nyeri tekan pada
palpasi, kekakuan otot dinding abdomen dan tanda sistemik peradangan. Pasien bisa
berada pada onset gejala yang akut atau insidious, terlokalisir dan ringan atau
generalisata dan berat dengan syok septik.
II. Etiologi
*Iatrogenic trauma to the upper GI tract, including the pancreas and biliary tract and
colon, often results from endoscopic procedures; anastomotic dehiscence and
inadvertent bowel injury (eg, mechanical, thermal) are common causes of leak in the
postoperative period.
IV. Diagnosis
V. Penatalaksanaan
Saat ini pengobatan peritonitis adalah melalui pendekatan multimodal antara lain
koreksi langsung penyebabnya, pemberian antibiotik dan terapi suportif untuk
mencegah atau membatasi komplikasi sekunder oleh karena kegagalan organ.
Prinsip umum pengobatan infeksi intra-abdomen adalah :
1. Kontrol sumber infeksi
2. Mengeluarkan bakteri dan toksin
3. Mempertahankan fungsi sistem organ
4. Kontrol proses radang
Intervensi pengobatan peritonitis berupa medis non-operatif dan tindakan operatif.
Penatalaksanaan Pre-operatif
- Resusitasi cairan dan pencegahan disfungsi organ sekunder adalah sangat
penting.
- Pemasangan folley catheter untuk monitor urine output.
- Pada kasus berat diperlukan monitoring hemodinamik secara invasif unuk
memandu resusitasi cairan dan pemberian obat inotropik.
Early Goal Directed Therapy inisial resusitasi 6 jam pertama untuk sepsis :
MAP ≥ 65 mmHg
Urine output ≥ 0,5 ml/kgBB/jam
CVP 8 – 12 mmHg
Central venous (vena cava superior) atau mixed venous oxygen
saturation ≥ 70%
Ht ≥ 30 %
- Koreksi gangguan elektrolit dan koagulasi sebisa mungkin sebelum intervensi
bedah.
- Mulai pemberian antibiotik sistemik secara empiris segera mungkin setelah
dicurigai diagnosis peritonitis.dan terapi selanjutnya tergantung proses
penyakitnya dan hasil kultur.
- Peritonitis sering disertai nyeri abdomen yang berat maka sesegera mungkin
diberikan analgetik yang adekuat.
- Bila disertai nausea , muntah dan distensi abdomen segera dilakukan dekompresi
nasogastrk.
- Pertimbangkan support intubasi dan ventilasi pada pasien dengan syok septic
atau penurunan kesadaran untuk mencegah dekompensasi yang lanjut.
- Pada kasus berat, inform concent .harus mencakup potensial memerlukan
operasi ulang dan diversi enteral serta memerlukan perawatan ICU.
Penatalaksanaan Intra-operatif
Tujuan pembedahan pada peritonitis adalah mengeliminasi sumber infeksi, menurunkan
inokulum bakteri dan mencegah sepsis yang rekuren dan persisten.
Jenis dan ekstensi pembedahan tergantung proses underlying disease dan keparahan
infeksi intra-abdominal.
- Insisi midline vertical merupakan pilihan yang paling sering dilakukan pada
peritonitis generalisata oleh karena dimungkinkan untuk mengakses seluruh
rongga peritoneum.
- Eksplorasi harus dilakukan secara hati-hati sebab mungkin sudah ada perubahan
anatomi intra-abdominal oleh karena massa inflamasi dan adhesi.
- Monitoring dan support hemodinamik.
- Pada kasus dengan inflamasi abdomen yang ekstensif dan syok septic, dilakukan
pemasangan drain temporer dan damage controle operation.
- Pemilihan untuk menggunakan closed-abdomen atau open-abdomen technique
sangat kritikal.pada peritonitis berat.
Tujuan closed-abdomen technique adalah untuk definitive surgical treatment dengan
primary fascial closure dan dilakukan relaparotomi hanya bila ada indikasi klinis.
Tujuan open-abdomen technique adalah untuk menyediakan akses langsung pada area
yang terinfeksi dan dapat dilakukan operasi ulang atau open packing of the abdomen
Penatalaksanaan Pasca-operatif
- Monitoring secara ketat :
o volume resusitasi cairan yang adekuat
o sepsis mengalami resolusi atau persisten
o perkembangan kegagalan system organ
- Antibiotik sistemik dengan broad-spectrum harus terus dilanjutkan.
- Umumnya kondisi pasien mengalami perbaikan yang signifikan dan progresif dalam
24-72 jam setelah pengobatan inisial. Bila tidak ada perbaikan harus segera dicari
adanya focus infeksi intraperitoneal yang persisten atau rekuren atau focus infeksi
ekstra peritoneal yang baru.
- Monitoring terjadinya potensial komplikasi :
o infeksi luka operasi / dehiscence
o penyembuhan luka yang gagal sampai burst abdomen
o infeksi oportunis sekunder akibat pemberian antibiotik yang lama
o ventilator-associated pneumonia
o abdominal compartement syndrome bila pada akhir operasi penutupan abdomen
dengan tension (visceral edema dan akumulasi cairan peritoneal).
- Dukungan nutrisi secara dini. Data yang ada menunjukkan bahwa nutrisi enterel
lebih superior daripada parenteral hyperalimentation. Enteral feeding, bahkan
dalam volume yang sedikit dapat mempertahan integritas mukosa saluran cerna dan
menurunkan insidens komplikasi infeksi..
Pada kasus yang berat, pertimbangkan suplementasi diet dengan immune-enhancing
Additives ( arginine, glutamine, -3 fatty acids).
Treatment
Perforasi gaster memerlukan tindakan pembedahan emergency. Penundaan akan
meningkatkan morbiditas dengan batas kritis 6 jam dari mulai perforasi.
Sekitar tahun 2040, orang yang berumur 65 atau lebih diharapkan mencapai 24%
populasi dan terhitung sebagai pemakai 50% daya perawatan kesehatan.1 Jumlah yang
besar ini disebabkan oleh angka harapan hidup yang makin panjang. 2 Separuh dari
jumlah tersebut membutuhkan pembedahan sebelum kematian mereka, sehubungan
dengan resiko yang berlipat terhadap kematian perioperatif. 1,2
Penuaan adalah proses dimana terjadi kehilangan sel secara progresif, pada kecepatan
yang bervariasi, pada pasien individual dan sistem organ mereka.2 Seperti halnya pasien
pediatrik, penatalaksanaan anestesi yang optimal terhadap pasien geriatri bergantung
pada pemahaman tentang perubahan yang normal dalam fisiologi, anatomi, dan respon
terhadap agen farmakologi yang menyertai penuaan. Dalam kenyataannya terdapat
banyak kesamaan antara pasien pediatri dan geriatri, bagaimanapun, orang tua
menunjukkan rentang variasi yang lebih lebar dalam parameternya. Abnormalitas
fisiologi serius yang relatif berfrekuensi tinggi pada pasien tua membutuhkan evaluasi
preoperatif yang spesial hati-hati. 1
Konsep “cadangan fungsional” diangkat dari perbedaan antara tingkat fungsi basal
organ saat istirahat dan tingkat maksimum fungsi organ yang dapat dicapai sebagai
respon terhadap peningkatan kebutuhan, sebagai contoh yaitu saat latihan ataupun
respon terhadap stres pembedahan. Cadangan fungsional seringkali menurun pada
orangtua, dan dipikirkan sebagai faktor utama dalam peningkatan morbiditas dan
mortalitas dalam populasi tua. Penurunan tersebut dapat menjadi sulit terdeteksi.
Beberapa orang menjadi terbatas mobilitasnya dan sebagai akibatnya tidak
menggerakkan tubuhnya cukup baik. Pasien tersebut jarang masuk rumah sakit karena
gangguan napas ataupun angina, sedangkan mereka mungkin mempunyai penyakit
jantung iskemia yang signifikan tetapi tak terdeteksi.2
SISTEM RESPIRASI
Elastisitas pada jaringan paru juga menurun, yang memungkinkan overdistensi alveoli
dan kolaps jalan napas yang kecil. Yang disebut pertama, menurunkan luas permukaan
alveolar, yang menurunkan efisiensi pertukaran gas. Kolaps jalan napas meningkatkan
volume residual (volume udara yang tetap berada dalam paru pada waktu akhir ekspirasi
paksa) dan kapasitas penutupan (volume udara dalam paru saat jalan napas kecil mulai
menutup).1 Kapasitas total paru (TLC), kapasitas vital paksa (FVC), volume ekspirasi
paksa dalam satu detik (FEV1), kapasitas vital (VC), dan volume inspirasi cadangan
(IRV), kesemuanya menurun dengan peningkatan pada volume residual (RV). 2 Bahkan
pada individu normal, kapasitas penutupan melampaui kapasitas residual fungsional
(volume udara yang tetap berada dalam paru pada akhir ekspirasi normal) pada usia 45
tahun pada posisi telentang dan usia 65 tahun pada posisi duduk. 1,2 Ketika ini terjadi,
sebagian jalan napas tertutup selama bagian dari pernapasan tidal normal, menghasilkan
ketidaksesuaian ventilasi dan perfusi. Efek tambahan dari efek yang mirip emfisema ini
dikatakan adalah kolaps jalan napas2, ketidaksesuaian VQ2, hipoksemia2, penurunan
tekanan oksigen arterial dengan rerata kecepatan 0,35 mmHg pertahun walaupun PaCO2
tetap konstan.1,2 Terdapat rentang yang lebar dari tekanan oksigen arterial pada pasien
preoperatif geriatri.1
Ventilasi menggunakan masker mungkin sulit pada pasien yang tak bergigi, sementara
artritis sendi temporomandibular ataupun tulang servikal dapat membuat intubasi
menjadi tantangan. Dilain pihak, ketiadaan gigi atas memperluas visualisasi pita suara
selama laringoskopi. 1
FUNGSI GINJAL
Sejalan dengan penurunan fungsi ginjal, kemampuan ekskresinya terhadap obat juga
menurun. Penurunan kapasitas untuk menangani air dan beban elektrolit membuat
penatalaksanaan cairan yang tepat menjadi kritikal. Hal ini lebih jauh lagi diperumit
oleh penggunaan diuretik yang sering terjadi pada populasi geriatri. Untuk hal tersebut,
serum elektrolit, tekanan pengisian jantung, dan keluaran urine hendaknya lebih sering
diamati.1
SISTEM GASTROINTESTINAL
Aliran darah hati dan massa hati menurun sejalan dengan pertambahan umur. Kecepatan
biotransformasi, produsi albumin, dan sintesis kolin esterase plasma melambat.
Keasaman lambung cenderung meningkat, sedangkan pengosongan lambung cenderung
memanjang. Faktor tersebut dapat mempengaruhi farmakokinetik obat. 1
SISTEM SARAF
Aliran darah otak dan massa otak menurun sejalan pertambahan umur; kehilangan
neuronal menonjol pada bagian korteks serebral. Sintesa beberapa neurotransmiter
menurun. Degenerasi sel saraf perifer menghasilkan penurunan velositas konduksi dan
atrofi otot rangka. 1
Dosis yang dibutuhkan untuk anestesia lokal (Cm : konsentrasi minimum anestesia) dan
umum (MAC : konsentrasi alveolar minimum) menurun. Pemberian volume tertentu
dari anestesia epidural cenderung untuk menghasilkan penyebaran ke kepala yang lebih
luas pada pasien geriatri, tetapi dengan durasi yang lebih singkat dari analgesia dan
blokade motorik. Sebagai kontrasnya, durasi yang lebih lama dapat diharapkan dari
anestesi spinal. Pasien geriatri sering membutuhkan waktu yang lebih lama untuk pulih
secara lengkap dari efek anestesia umum pada CNS, khususnya jika mereka
kebingungan dan disorientasi sebelum operasi. Hal ini penting khususnya pada pasien
geriatri rawat jalan, dimana faktor sosioekonomis seperti ketiadaan perawat di rumah
memerlukan perhatian diri sendiri yang lebih tinggi. Banyak pasien geriatri yang
mengalami berbagai tingkatan keadaan kebingungan akut post operatif. 1
MUSKULOSKELETAL
Kulit mengalami atrofi pada penuaan dan cenderung mendapat trauma dari perekat
adesif, pedal elektrokauter dan elektrode elektrokardiografi. Vena seringkali amat rapuh
dan dengan mudah terobek oleh infusi intravena. Sendi yang meradang mungkin
mempengaruhi penempatan (seperti litotomi) atau anestesia regional (seperti blokade
subarachnoid). 1
Distribusi dan eliminasi juga dipengaruhi oleh perubahan ikatan plasma protein.
Albumin yang cenderung mengikat obat yang bersifat asam (seperti barbiturat,
bensodiasepin, dan agonis opium), secara khas menurun dengna pertambahan umur.
Alpha1 glikoprotein asam yang mengikat obat dasar (seperti anestesi lokal) meningkat.
Obat yang terikat protein tidak dapat berinteraksi dengan reseptor organ akhir dan tidak
tersedia untuk metabolisme ataupun ekskresi. Perubahan farmakokinetik utama yang
berhubungan dengan umur adalah penurunan kebutuhan anestesia, yang ditunjukkan
oleh MAC yang lebih rendah. 1
ANESTESI INHALASI
MAC agen inhalasi menurun sekitar 4% setiap dekade mulai usia diatas 40 tahun.
Sebagai contoh, MAC halothane pada orang berumur 80 tahun dapat diharapkan sekitar
0,65 (0,77 – (0,77 x 4% x 4)). Onset kerjanya akan lebih cepat bila output jantung
terdepresi, dan akan tertunda bila terdapat abnormalitas ventilasi / perfusi. Efek depresi
miokardial dari anestetik volatile sangat berlebihan pada pasien geriatri, sedangkan
kecenderungan takikardia pada isofluran dan enfluran ditumpulkan. Jadi, sebagai
kontras terhadap efeknya terhadap pasien muda, isofluran menurunkan output jantung
dan kecepatan denyut jantung pada pasien geriatri. Pemulihan dari anestesia dengan
anestetik volatile dapat memanjang karena peningkatan volume distribusi (peningkatan
lemak tubuh), penurunan fungsi hepatik (penurunan metabolisme halothane), dan
penurunan pertukaran gas pulmoner. 1
PELUMPUH OTOT
Penurunan output jantung dan aliran darah otot yang menurun dapat menyebabkan
pemanjangan lebih dari dua kali lipatdalam onset obat pelumpuh otot. Pemulihan dari
pelumpuh otot non depolarisasi yang bergantung pada ekskresi renal (seperti metokurin,
pankuronium, doxakurin, tubokurin) dapat tertunda karena penurunan bersihan obat.
Juga, penurunan ekskresi hepatik karena hilangnya massa hati, memperpanjang waktu
paruh eliminasi dan durasi aksi rocuronium dan vecuronium. Profil farmakologis dari
atracurium dan pipecuronium tidak dipengaruhi secara bermakna oleh penuaan. Geriatri
lelaki, bukan wanita, dapat menunjukkan pemanjangan ringan suksinilkolin karena
tingkat kadar kolinesterase-nya yang lebih rendah dalam darah. 1
Penurunan output jantung pada penyakit jantung iskemia akan menyesuaikan aliran ke
ginjal dan otak. Sistem autoregulasi ke organ ini terganggu pada pasien tua, dan
karenanya kedua organ ini cenderung mengalami iskemia perioperatif.2
Fibrilasi atrium sering terjadi pada pasien tua, mungkin berhubungan dengan kehilangan
sel pacu atrial yang progresif sejalan pertambahan usia. Orang berusia 70 tahun
mempunyai hanya 10% sel pacu atrial dibanding dewasa sehat. Cepatnya denyut
ventrikuler pada AF mengarah ke pengisian diastolik yang buruk dan penurunan output
jantung; yang keduanya kurang baik ditoleransi oleh pasien tua. Saat pre operasi,
sebaiknya pasien dengan AF secara ideal di-kardioversi, tetapi bila gagal, kecepatan
denyut ventrikuler sebaiknya dikendalikan < 100 x/menit. 2
SISTEM RESPIRASI
Atelektase, emboli pulmoner dan infeksi paru, kesemuanya lebih sering terjadi pada
pasien tua, khususnya setelah operasi abdominal ataupun torakal. Aktifitas mukosiliar
yang tidak efektif yang ditimbulkan oleh asap rokok meningkatkan resiko komplikasi.
Mobilisasi dan analgesi yang baik setelah operasi abdominal membantu mengurangi
atelektase dan kolaps paru.2
FUNGSI GINJAL
Peningkatan yang ringan sampai sedang dari serum kreatinin dapat mewakili gangguan
ginjal yang signifikan. Fungsi ginjal dapat menurun dengan cepat pada pasien
hipovolemik, khususnya pada yang mendapat NSAID atau penghambat ACE.
Pengamatan ketat terhadap keluaran urine per-jam setelah operasi besar perlu
dilakukan.2
SISTEM SARAF
Disfungsi otonom juga sering terjadi, dan dapat mengakibatkan tekanan darah yang
labil, dan aritmia perioperatif. Reflek baroreseptor mungkin tertumpulkan, mengarah ke
hipotensi postural, dan jatuhnya tekanan darah selama anestesia, khususnya selama
induksi pada pasien yang relatif hipovolemia. Gangguan regulasi temperatur dan
perpanjangan waktu pengosongan lambung dapat juga muncul, yang disebut terakhir
merupakan predisposisi aspirasi. Karena itu induksi sekuensial cepat perlu dilakukan
pada pasien geriatri. 2
MUSKULOSKELETAL
Hampir semua penyakit degeneratif mempengaruhi populasi geriatri, dan artritis diderita
oleh hampir keseluruhannya. Hal ini membatasi latihan dan membuatnya sulit untuk
menduga kesegaran tubuh. Osteoporosis dan pengerasan ligamen membuat tehnik
epidural dan spinal menjadi sulit, pasien mempunyai kecenderungan untuk fraktur
maupun dislokasi sendi (bahkan pada servikal) pada saat dianestesi. Perlu perhatian
yang baik akan pergerakan dan penempatan pasien. Bagian yang mudah terkena tekanan
sebaiknya diberi bantal yang baik. 2
ENDOKRINOLOGI
Insidensi Diabetes Melitus meningkat pada usia tua, dan dapat terlihat pada lebih dari
25% pasien diatas 80 tahun. Pasien diabetes biasanya mendapat gangguan
kardiovaskuler, ginjal, neurologis, dan visual, dan membutuhkan pengendalian kadar
gula darah selama periode perioperatif.2
NUTRISI
Malnutrisi sering terjadi pada usia tua, dan berhubungan dengan peningkatan morbiditas
dan mortalitas. Percobaan pemberian suplementasi menurunkan lama tinggal di rumah
sakit dan komplikasi post operatif. Pertimbangkan suplementasi protein oral pada
mereka yang mengalami malnutrisi signifikan.2
PERSIAPAN PREOPERATIF2
1. Dibutuhkan riwayat penyakit dan penilaian klinis yang lengkap dan menyeluruh
:
a. ECG selalu diperlukan
b. Foto toraks diperlukan bila pasien diketahui mengidap keganasan atau
mungkin tuberkulosis, maupun pasien dengan gejala penyakit
kardiovaskuler atau pernapasan yang tidak mempunyai foto toraks
terbaru.
c. Perlu dicatat tingkat kognitif pasien dan lingkungan sosial pasien, karena
dapat membedakan prognosis perioperatif dan rencana untuk rehabilitasi
pasien post operatif.
5. Nilai ASA seharusnya dicatat, karena masih merupakan penduga yang baik
untuk outcome geriatri.
PERAWATAN PERIOPERATIF2
1. Induksi Anestesi.
a. Waktu sirkulasi lengan ke otak meningkat, dan kebutuhan dosis agen
anestesi menurun secara drastis.
b. Titrasikanlah obat secara lambat sesuai efek, dan injeksikan kedalam
infusi yang masih berjalan.
c. Tiopental maupun propofol, keduanya bermanfaat, tetapi harus diberikan
secara lambat untuk mencegah overdosis. Dosis induksi porpofol dapat
menyebabkan induksi dan membutuhkan vasopresor.
d. Hindari penggunaan ketamine bila ada penyakit jantung karena
takikardia dan hipertensi yang terjadi dapat mengakibatkan peningkatan
kebutuhan oksigen miokardial dan memicu iskemia. Tetapi perlu diingat
bahwa efek halusinogenik ketamine pada geriatri tidak begitu tampak
2. Pemeliharan Anestesi
a. Pemeliharan dengan obat anestesi inhalasi merupakan tehnik yang cocok
untuk geriatri karena kedalamannya dapat diubah dengan cepat dan agen
inhalasi dimetabolisme minimal.
b. Isofluran mungkin yang paling cocok, karena relatif stabil dalam
pengaruh kardiovaskuler, mempunyai waktu onset dan ofset yang
pendek, dan hanya 0,2% dosis yang diberikan yang dimetabolisme.
c. Halotan mempunyai keuntungan tidak iritasi terhadap jalan napas atas,
walaupun mensensitisasi jantung terhadap katekolamin, sehingga dapat
mempredisposisikan pasien ke takiaritmia.
d. Eter telah berhasil digunakan selama bertahun-tahun, dan pada pasien
geriatri sebaiknya diberikan dalam konsentrasi rendah disertai dukungan
ventilasi, sehingga pasien dapat bangun lebih cepat dibanding bila
dipakai eter anestesia dalam.
3. Suhu tubuh
Pemeliharaan suhu tubuh baik pre-, intra- maupun post operatif amat
penting. Pasien geriatri mempunyai BMR yang menurun dan peka terhadap
kehilangan panas sebagai akibat gangguan termoregulasi. Menggigil akan
meningkatkan kebutuhan oksigen, dan sebaiknya dihindari semaksimal
mungkin. Pemeliharaan panas tubuh dengan pembungkusan (termasuk
kepalanya bila memungkinkan), menggunakan pemanas cairan ataupun
sistem pemanas udara aktif bila ada, dan dengan melakukan operasi pada
temperatur ambien hangat.
4. Penatalaksanaan cairan
Selalu pertimbangkan melakukan pengawasan cairan menggunakan CVC.
Pasien cenderung lebih sering kurang cairan daripada berlebihan, tetapi
harus selalu hati-hati terhadap kemungkinan overload, khususnya bila ada
gangguan ginjal, karena dapat menimbulkan edema pulmoner. Sebaliknya,
dehidrasi yang dapat sulit dinilai pada pasien tua, dapat memicu gagal ginjal.
Penilaian kembali secara reguler terhadap terapi cairan penting setelah
dilakukannya operasi besar.
5. Daerah tekanan
Kebanyakan luka akibat tekanan muncul dalam 24 jam setelah operasi, dan
lebih sering terjadi pada operasi yang lama, pada mereka yang mengalami
periode hipotensi dan perfusi jaringan yang buruk.
PERAWATAN POSTOPERATIF2
1. Terapi Oksigen
Adalah baik bila diterapkan terapi oksigen post operatif, khususnya setalah
operasi bedah abdomen ataupun toraks, pada keberadaan penyakit
kardiovaskuler dan pernapasan, pada situai terjadi kehilangan darah
signifikan, ataupun bila analgesia opioid diberikan. Kanula nasal ditoleransi
lebih baik daripada masker.
3. Analgesia
a. Perimbangkanlah untuk memberikan analgesia yang sederhana seperti
parasetamol, dan gunakan NSAID dengan kehati-hatian karena
komplikasinya seperti gangguan ginjal dan ulkus peptikum sering terjadi
pada geriatri.
b. Opioid intramuskuler dan subkutan tidak dapat terjamin penyerapannya
karena perfusi jaringan yang bervariasi, dan seorang pasien geriatri yang
kebingungan mungkin kesulitan menggunakan PCA. Tehnik regional
maupun infusi opioid intravena dengan supervisi yang tepat mungkin
yang paling cocok untuk mengurangi nyeri.
c. Libatkan tim nyeri akut bila memungkinkan dan pertimbangkan
penggunaan tabel / kartu nyeri yang meliputi nyeri reguler, dan skor
sedasi.
4. Penatalaksanaan cairan
Penatalaksanan terapi cairan tetap penting pada tahap post operatif. Kartu
keseimbangan cairan sebaiknya digunakan dan secara hati-hati di-artikan.
5. Pertimbangan lain :
a. Fisioterapi dini dan fasilitas mobilisasi.
b. Pertimbangkan profilaksis trombosis vena dalam (khususnya pada
fraktur femur dan mereka yang terikat pada tempat tidurnya dalam waktu
lama).
c. Pengamatan kembali secara reguler akan kemungkinan komplikasi
postoperatif.
d. Nutrisi parenteral maupun enteral sebaiknya dilanjutkan.
e. Rehabilitasi dengan tim multidisiplin.
KEPUSTAKAAN
1. Morgan, G.E, Mikhail, M.S., Clinical Anesthesiology, Prentice-Hall International, Canada, 1996, p 743-8
2. Kelly F., et al, An Anesthesia for the Elderly Patient, Update In Anesthesia, 2003, II, p34-8.
3. Perioperatif Care, The Merck Manual of Geriatrics, http://www.merck.com, 27 Desember 2004.
4. Cook, D.J., Geriatric Anesthesia, http://www.americangeriatrics.org, 27 Desember 2004.
ICU
Strategi Oksigenasi
Pertukaran gas di paru, yaitu, pengambilan oksigen (O2) dan eliminasi karbon dioksida
(CO2), berhubungan dengan pergerakan dan distribusi gas ke dalam alveoli (ventilasi),
difusi gas antra alveoli dan darah (difusi), dan dengan volume dan distribusi aliran darah
melalui sirkulasi pulmoner (perfusi). Maka, hipoksemia pulmoner dapat terjadi akibat
hal-hal berikut:
1. Penurunan tekanan O2 yang diinspirasi (PIO2) (pada tempat yang tinggi)
4. Gangguan distribusi ventilasi dan perfusi akibat penyakit paru atau jantung1
Selama pernapasan dalam keadaan istirahat, jarang terjadi gangguan difusi yang
menyebabkan hipoksemia kecuali jika kapasitas difusi menurun kurang dari 45% nilai
yang diperkirakan (kapasitas difusi diukur dengan menggunakan metode single-breath
carbon monoxida (CO) diffusion).2 Hipoksemia arterial juga dapat diakibatkan oleh
adanya campuran darah vena sistemik tidak jenuh (desaturated) yang abnormal,
terutama dengan adanya gangguan pertukaran dan cardiac output yang rendah.3
Begitu pengambilan O2 ke dalam sirkulasi pulmoner sempurna, maka O2 akan diantar
ke dalam jaringan. Pengantaran O2 tergantung pada banyak faktor, termasuk tekanan O2
arterial (Pa O2), saturasi oksigen hemoglobin arterial, konsentrasi hemoglobin, bentuk
kurva disosiasi dan posisi dari oksihemoglobin, cardiac output, dan perfusi masing-
masing organ.1 Hipoksia jaringan dapat terjadi karena gangguan pada salah satu atau
lebih dari faktor-faktor tersebut.
Peningkatan fraksi O2 pada udara yang diinspirasi (FIO2) atau peningkatan tekanan O2
yang diinspirasi (PIO2) dapat memberi manfaat terapeutik dalam menangani penyakit
yang memiliki manifestasi berupa hipoksemia atau hipoksia jaringan. Terapi O2 telah
ditunjukkan memiliki manfaat jangka panjang dalam penanganan hipoksemia kronik
pada pasien denan penyakit paru obstruktif kronis (PPOK [COPD]).4,5 Namun, tidak
tersedia bukti mengenai outcome yang membaik dari percobaan klinis terkontrol
sehingga dapat memastikan manfaat terapi O2 pada pasien dengan sakit yang kritis.
Percobaan seperti itu dianggap tidak etis berdasarkan patofisiologi hipoksemia, dimana
percobaan tersebut dapat berakibat terjadi hipoksemia jaringan dan efek yang sangat
berat pada fungsi organ vital.6 Bab ini akan membahas strategi oksigenasi secara umum
dalam kaitannya terhadap pasien dengan sakit yang kritis dan juga membahas keadaan
klinis yang spesifik dengan tujuan memperbaiki keadaan hipoksemia.
Non-rebreather masks
Venturi mask
Semua masker ini menggunakan aliran O2 yang sedang dari sumber O2 yang berada di
dinding.
Simple face mask memiliki inlet O2 pada bagian dasarnya dan lubang-lubang pada
bagian sisinya untuk ekshalasi (lihat gambar 120-1B). FIO2 tergantung pada laju aliran
O2 yang masuk (inflow), volume tidal pasien (VT), dan laju inspirasi. Pada saat laju
Partial rebreather mask terdiri dari simple mask dengan kantung reservoir (reservoir
bag) yang dapat mengempis (collapsible) yang melekat pada bagian dasar masker
(gambar 120-2A). O2 mengalir secara terus menerus ke reservoir bag. Saat ekshalasi,
sekitar sepertiga dari udara yang dihembuskan akan kembali ke dalam reservoir bag dan
bercampur dengan O2 yang berasal dari sumber O2, sementara sisanya keluar melalui
lubang. Jadi selama inhalasi pasien menghisap kembali udara yang telah dihembuskan
sebelumnya. Jika laju aliran O2 yang masuk (inflow) disesuaikan sehingga bag tidak
mengempis selama inhalasi, maka jumlah CO2 yang mengkontaminasi reservoir bag
dapat diabaikan. Meskipun masker ini dapat memberikan pengantaran O2 dengan
konsentrasi yang lebih tinggi, FIO2 yang dapat dicapai dengan alat ini hanya sekitar
0,60 dengan laju inflow O2 sebesar 10 L/menit.19
Non-rebreather mask juga merupakan masker dengan reservoir bag yang berisi O2
(lihat gambar 120-2B). Perbedaan dengan partial rebreather mask adalah non-
rebreather mask menggunakan dua set katup satu arah. Pada non-rebreather mask, satu
set katup satu arah menutup lubang pada sisi masker selama inhalasi sehingga hampir
semua gas yang dihirup berasal dari reservoir bag. Katup satu arah yang lain berada di
antara masker dengan reservoir bag sehingga gas yang dihembuskan (ekshalasi) tidak
memasuki reservoir bag dan harus keluar melalui lubang di bagian sisi masker atau
keluar di sekitar masker. Umumnya, dengan menggunakan non-rebreather mask bisa
didapatkan konsentrasi O2 yang lebih tinggi (80% sampai 95%) dengan laju aliran lebih
dari 10L/menit dibandingkan dengan partial rebreather mask. Diperlukan kewaspadaan
untuk memastikan agar reservoir bag tidak mengempis (kolaps). Begitu bag kolaps,
maka laju pengantaran O2 tidak akan memenuhi VE yang dibutuhkan, yang akan
menyebabkan pasien harus berusaha keras melawan katup untuk mendapatkan
tambahan udara yang berasal dari ruangan. Jadi, pasien yang menggunakan non-
rebreather mask harus diobservasi ketat.
Non-rebreather mask dan partial rebreather digunakan untuk pasien dengan kegagalan
pernasan akut yang menolak untuk dilakukan intubasi endotrakheal, dimana metode
pengantaran O2 noninvasif merupakan pilihan yang lebih disenangi. Umumnya masker
ini digunakan jika noninvasive positive pressure ventilation (NPPV) telah gagal atau
pasien tidak dapat mentoleransinya.
Venturi mask dipasangkan pada bagian alat untuk memasukan gas yang diberi kode
warna yang spesifik (color-coded entrainment device) yang mengantarkan suatu nilai
FIO2 yang telah ditentukan (set) dalam laju aliran yang telah ditentukan pula (gambar
120-3). Color-coded entrainment device memiliki beberapa lubang (orifices) dengan
berbagain ukuran tertentu dimana O2 mengalir dengan kecepatan tinggi atau sebagai
suatu jet. Udara dimasukkan melalui tempat jet dengan proporsi yang sebanding dengan
kecepatan O2 yang bergerak melalui orifice. Percampuran O2 dan udara disebabkan
oleh perpotongan gaya-gaya yang terjadi pada tepi aliran jet dan bukan karena tekanan
lateral di orifice dari jet. 20 Dengan menggunakan venturi mask, FIO2 tidak dapat
melewati nilai yang telah ditentukan, tetapi jika aliran total O2 dan udara yang ikut
bercampur kurang daripada nilai yang telah aliran inspirasi puncak pasien, maka FIO2
Sistem masker non-rebreather dengan aliran tinggi memberikan FIO2 yang konstan
dalam rentang yang lengkap dari 0,21 sampai 1,0 (gambar 120-4). Sistem ini
memerlukan sumber O2 dengan aliran yang tinggi. Dnegna menggunakan masker non-
rebreather, alat pencampur yang dapat memberikan aliran keluar lebih dari 100 L/menit
mencampur udara tekanan tinggi dan O2 yang berasal dari sumber gas. Flowmeter yang
dapat mengantarkan aliran sebesar 100 sampai 120 L/menit juga dapat langsung
dipasangkan di pada outlet standar 50 psi yang terdapa di dinding untuk memberikan
aliran O2 yang tinggi. Udara yang diperkaya dengan O2 kemudian dilembabkan dan
mengisi reservoir bag sebelum kemudian diantarkan ke pasien.21 Rasio antara laju
aliran udara dan O2 ditentukan oleh FIO2. Selama aliran gas memenuhi kebutuhan VE
pasien, maka tetap diberikan FIO2 yang konstan.
Satu atau dua jet nebulizer juga dapat digunakan bersamaan dengan masker non-
rebreather untuk membuat sistem aliran tinggi dengan FIO2 yang terkontrol dari 0,28
sampai 1,0.21 Jet nebulizer ini memberikan aliran O2 100% yang maksimum sebesar 12
sampai 14 L/menit. Sayangnya, aliran gas total yang diduga dihasilkan pada FIO2 yang
lebih dari 0,50 tidak adekuat untuk mengantarkan konsentrasi O2 yang diinginkan. Pada
konsentrasi O2 yang lebih rendah, total aliran gas tinggi karena rasio udara masuk tinggi,
tetapi untuk FIO2 yang tinggi, aliran gas total lebih rendah karena untuk mencapai
konsentrasi O2 yang tinggi, maka udara yang dibutuhkan lebih sedikit. Dengan
menggunakan model paru, antara FIO2 yang telah ditentukan (set) sebesar 1,0 dengan
konsentrasi O2 yang dianalisa pada bagian distal paru didapatkan perbedaan yang
diperkirakan sebesar 9% sampai 50%. Rentang perbedaan yang lebar antara FIO2 yang
telah ditentukan dan yang dapat dicapai tersebut merupakan suatu fungsi dari pola
pernafasan.21
Metode pengantaran oksigen yang invasif meliputi nasal dan transtrakheal catheter
serta tracheostomy dan endotracheal tube (lihat gambar 120-1). Nasal catheter terdiri
dari pipa dengan beberapa lubang pada bagian ujungnya, dan ditempatkan pada bagian
belakang palatum molle. Kateter ini harus selalu digunakan bersama dengan pelembab
udara (humidifier). Nasal catheter lebih aman daripada nasal cannula tetapi
mengantarkan konsentrasi O2 yang sama dengan laju aliran yang sama pula. 12
Pengunaan nasal catheter untuk perawatan dalam keadaan yang kritis secara jangka
panjang kurang populer dilakukan dibandingkan dengan nasal cannula karena catheter
harus digunakan pada salah satu lubang hidung secara bergantian setiap 8 jam dan hal
ini memberikan iritasi yang lebih besar terhadap mukosa nasal. Penggunaan yang paling
sering dilakukan saat ini terbatas pada terapi jangka pendek, yang mungkin akan
diperlukan di ruang pemulihan.19
Endotracheal tube dengan cuff merupakan cara pemberian O2 tanpa memasukan udara.
Jika pasien tidak dihubungkan dengan sirkuit ventilator, gas yang telah dilembabkan
diberikan melalui T piece atau dengan mask endotracheal (untuk pasien yang
ditrakheostomi). Jika O2 diantarkan melalui T piece, maka FIO2 tergantung pada sistem
nebulisasi udara yang masuk. Konsentrasi O2 yang diantarkan akan tetap konstan jika
total aliran keluar setara atau melebihi kebutuhan ventilasi pasien. 19 Suatu pendekatan
alternatif untuk mempertahankan FIO2 tetap konstan adalah dengan penggunaan tube
ekstensi dengan kaliber yang lebar (wide-bore extension tubing) pada T piece sisi
ekspirasi.19 Cara ini berguna untuk membentuk suatu reservoir dan menghindari agar
gas yang dihirup tidak didilusi oleh udara yang berasal dari ruangan.
Tracheostomy mask merupakan suatu tudung kecil dengan kubah terbuka yang
membentuk daerah yang menyerupai tenda di atas trakheostomi. FIO2 dan kelembaban
udara bervariasi dikarenakan masuknya udara dari ruangan. Cara ini lebih nyaman
daripada menggunakan T piece karena kurang menyebabkan traksi.
Dengan metode pengantaran O2 noninvasif dan beberapa metode yang invasif, FIO2
yang diberikan seringkali bervariasi dan tidak dapat ditentukan secara akurat. Selain itu,
efisiensi pertukaran gas tidak dapat dinilai kecuali pasien bernapas dengan udara di
dalam ruangan. Karena tujuan dari terapi O2 adalah mengembalikan PaO2 yang adekuat,
maka pengukuran langsung PaO2 atau SaO2 diperlukan untuk menilai efikasi terapi.
PaO2 bisa didapatkan dari analisis gas darah arterial (blood gas analysis), yang juga
akan sekaligus memberikan informasi mengenai ventilasi dan status asam-basa. Sampel
darah arterial dapat diambil secara intermiten sesuai kondisi klinis dengan analisis gas
darah yang dilakukan di laboratorium.
Cara yang lain, sampel darah arterial dapat diambil dan dianalisa segera ditempat
dengan tujuan menempatkan sensor fluorescent ekstravaskular pada arterial
monitoring-pressure line.27 Untuk mengukur gas darah, darah dikeluarkan dan masuk ke
dalam arterial pressure line dan melewati sensor yang terdapat pada line tersebut.
Setelah pengukuran, darah dikembalikan ke dalam tubuh pasien. Keunggulan dari
metode ini adalah mengurangi kesalahan sampling pre-analisis yang dikaitkan dengan
analisis gas darah yang konvensional, mengurangi resiko infeksi pada pasien dan
operator, dan memberi kesempatan untuk dapat melakukan analisis gas darah lebih
sering.27 namun, dengan kedua metode tersebut, hanya suatu nilai PaO2 tersendiri saja
(isolated) yang diperoleh dan digunakan untuk membuat keputusan dalam
penatalaksanaan.
Variasi spontan PaO2 yang sangat besar terjadi pada pasien di unit perawatan intensif
(ICU) yang malah tampak stabil secara klinis. 28,29 Suatu penelitian memperlihatkan
variasi rata-rata dari PaO2 (yang diukur dengan interval 5 menit selama 1 jam) sebesar
17,4 ± 9,0 (±SD) mmHg.28 Variasi dengan besar yang sama dilaporkan pada penelitian
yang lebih awal.29 derajat variasi spontan dari PaO2 sama untuk pasien yang bernapas
secara spontan dan pasien yang mendapatkan ventilasi mekanis.28 Atas alasan ini,
Berkebalikan dengan pengukuran PaO2 yang intermiten, pemeriksaan SaO2 yang terus
menerus (kontinyu) dengan pulse oxymetri telah digunakan secara luas untuk
memonitor oksigenasi arterial.32 Pulse oxymetri telah menjadi bagian standar monitorin
di ICU. Prinsip kerjanya adalah berdasarkan absorbsi cahaya merah dan inframerah
yang berbeda-beda oleh oxyhemoglobin dan hemoglobin tereduksi dari fraksi pulsatile
darah (pulsatile:pulse/denyutan yang sedang berlangsung) di bawah probe sensor.
Persentase saturasi hemoglobin kemudian dihitung dari nomogram yang didapatkan dari
penelitian terhadap relawan yang sehat.33 Alat tersebut dapat mengkalibrasi sendiri dan
sederhana dalam penggunaannya. Pada pasien yang sehat dan sakit kritis dengan perfusi
arteri yang adekuat, pulse oxymeter umumnya akurat pada SaO2 yang lebih dari
90%.34,35 Akurasi pulse oxymetri terganggu jika SaO2 turun dibawah 80% atau kurang
dari itu pada subjek sehat yang bernapas spontan36 dasn jika SaO2 adalah sebesar 90%
atau kurang pada pasien dengan ventilasi mekanik. 37 Pada pasien dengan hipoksemia,
saturasi oksigen hemoglobin yang direkam oleh pulse oxymetri (SpO2) secara sistematis
memberi perkiraan SaO2 yang berlebihan (overestimate). Tabel 120-3 mendata faktor
lain yang mempengaruhi akurarasi pembacaan saturasi pulse oxymetri.
Pulse oxymetri dapat diandalkan untuk digunakan dalam menilai respo terhadap
perubahan FIO2 .37 Namun, target yang sering digunakan, SpO2 sebesar 90%, tidak
perlu selalu memiliki korelasi dengan nilai PaO2 yang adekuat. Target SpO2 yang
optimal tampaknya dipengarui oleh pigmentasi kulit pasien.37 Pada pasien kulit putih
yang diintubasi, nilai target SpO2 sebesar 92% dapat diandalkan untuk memprediksi
oksigenasi yang adekuat. Pada pasien kulit hitam, target SpO2 sebesar 95% diperlukan
untuk menghindari hipoksemia. Namun, pada beberapa pasien, nilai target ini dapat pula
Untuk TUGASMAS 221
222
dikaitkan dengan dengan PaO2 yang lebih dari 100 mmHg, dan jika kadar PaO2 ini
berkaitan dengan FIO2 yang tinggi, maka target SpO2 yang sebesar 95% dapat
menyebabkan toksisitas O2.37 Tampaknya bijaksana untuk mentargetkan SpO2 92% atau
95% , tergantung pada pigmentasi kulit pasien, pada FIO2 paling rendah yang mungkin
terjadi.
Artifak bergerak yang mengganggu (mendistorsi) akurasi pembacaan saturasi oleh pulse
oxymetri merupakan masalah yang sering dihadapi pada praktik klinis50 yang menjadi
tanda peringatan palsu (false alarms).31 Baru-baru ini, telah dilakukan usaha untuk
memperbaiki rasio sinyal dan gangguan (noise). 32 Masalah lain yang membingungkan
pada situasi klinis adalah kurangnya pengetahuan di antara para praktisi mengenai
prinsip dasar dan interpretasi pembacaan pulse oxymetri. 33 Pada kenyataannya, salah
satu masalah yang paling serius adalah salah dalam memeriksa kembali (false
reassurance) pembacaan SpO2 “normal” untuk pasien yang mendapatkan suplemen O2.
Meskipun demikian, pasien dapat merasakan bahwa kondisi klinisnya memburuk
dengan terjadinya hiperkapnea yang mengancam nyawa dan dapat memerlukan ventilasi
segera.
Pasien dengan PPOK dapat mengalami kondisi klinis yang memburuk yang ditandai
oleh hiperkapnea dan hipoksemia. Hiperkapnea berkaitan dengan ketidakmampuan
pompa ventilasi untuk mengkompensasi beban pengisian yang meningkat pada otot-otot
pernapasan. Hipoksemia terutama berkaitan dengan ketidaksesuaian (mismatch) antara
ventilasi dan perfusi dan umumnya memberi respon terhadap pemberian suplemen O2
dalam kadar tertentu. Pemberian O2 yang berlebihan dapat mengakibatkan peningkatan
PaCO2, khususnya selama terjadinya kegagalan ventilasi akut. 36,37 fenomena ini telah
diyakini sebelumnya diakibatkan oleh supresi dorongan bernapas saat hipoksia (hipoxic
drive to breath) yang diinduksi oleh O2 dengna akibat penurunan VE dan peningkatan
PaCO2. Penelitian yang terbaru pada pasien dengan PPOK yang secara klinis stabil 56,58
atau selama kegagalan ventilasi akut 10,57 menperlihatkan bahwa pemberian O2 hanya
menyebabkan perubahan VE yang kecil saja yang hanya mempengaruhi sebagian kecil
dari peningkatan PaCO2 . Bagian besar dari hiperkapnea yang diinduksi O2 berkaitan
dengan peningkatanan rasio VD terhadap VT (VD/VT) atau akibat perubahan dalam
penyesuaian ventilasi-perfusi sebagai akibat relaksasi jalan nafas yang dimediasi oleh
O2 dan membebaskan dari vasokonstriksi pulmoner hipoksik. 57 Pada model komputer ,
pembebasan dari vasokonstriksi pulmoner hipoksik dan efek Haldane masing-masing
telah ditunjukkan bertanggungjawab terhadap setengah dari peningkatan PaCO2 yang
diinduksi oleh O2.59 Efek Haldane menjelaskan peningkatean PaCO2 untuk kandungan
CO2 yang telah fix bersamaan dengan peningkatan SaO2. Namun, efek Haldane dapat
berkerja pada suatu sistem tertutup. Oleh karena itu, pentingnya efek Haldane di dalam
suatu sistem terbuka sebagaimana padas hiperkapnea yang diinduksi O2 masih belum
jelas.
Selama kegagalan ventilasi akut, terapi O2 memiliki efek terhadap hemodinamik yang
terbatas. Pasien dengan cor pulmonale dekompensasi dan edema perifer memunculkan
depresi pada kontraktilitas ventrikel kanan dengan fraksi pengeluaran (ejection)
ventrikel kanan yang rendah dibandingkan dengan fraksi pengeluaran ventrikel kanan
pada pasien tanpa edema.60 Pada pasien ini, pemberian O2 tidak mengurangi tekanan
Meskipun terapi O2 memilii sedikit efek pada Ppa dan PVR, terapi kombinasi O2 dan
Nitric Oxide (NO) yang akut menurunkan Ppa dan PVR dan memperbaiki PaO2 pada
pasien dengan PPOK berat yang stabil.62 Sebaliknya, terapi NO sendiri saja telah
diperlihatkan menyebabkan pengurangan PaO2 yang signifikan.63 Namun, terapi
kombinasi ini belum dievaluasi selama terjadinya kegagalan ventilasi.
Terapi O2 yang digunakan selama kegagalan ventilasi akut untuk pasien PPOK adalah
pemberian O2 aliran rendah dengan menggunakan nasal cannula atau Venturi mask
untuk mencapai PaO2 sebesar 60mmHg atau SaO2 sebesar 92%. Dengan memberikan
keseimbangan yang tepat antara perbaikan oksigenasi dan terjadinya hiperkapnea, maka
seharusnya pasien tidak mengalami kekurangan O2 untuk mengkoreksi hipoksemia.
Intubasi diindikasikan berdarakan terjadinya efek yang tidak diinginkan akibat asidosis
respiratori yang objektif, yaitu, pH yang kurang dari 7,20, status mental yang depresi,
atau terjadinya aritmia kardiak. 64 Namun, berdasarkan data dari perbandingan antara
NPPV dan terapi konvensional, NPPV secara signifikan menurunkan frekuensi
intubasi.65,66
Tipe mask atau cara ventilasi yang optimal untuk memberikan NPPV masih belum
jelas. Masker yang digunakan adalah masker untuk nasal ataupun facial yang dipasang
ketat untuk menghindari kebocoran yang signifikan. Assist control (AC) dengan
volume-cycled atau pressure support ventilation (PSV) baik dengan ataupun tanpa
PEEP telah digunakan.68-70 Kedua cara ventilasi tersebut efektif dalam mengurangi kerja
pernapasan dan usaha pasien, tetapi tampaknya PSV memberi kenyamanan lebih
Asma Akut
Selama episode akut dari asma berat, dituntut dilakukan penilaian gas darah. PaO2
berkurang dengan dengan meningkatnya obstruksi jalan nafas, tetapi pasien dengan
obstruksi jalan nafas dapat mempertahankan PaO2 yang lebih dari 60 mmHg. 73
Umumnya, hiperkapnea tidak terjadi kecuali jika FEV`1 turun di bawah 20% dari nilai
prediksinya.73 Jadi, terjadinhya hiperkapnea pada pasein asma berat yang akut dianggap
sebgai indikator dari beratnya penyakit.
Tidak seperti kasus asma pada dewasa, SaO2 merupakan indikator yang berguna untuk
asma akut pada anak-anak dengan outcome yang buruk dan oleh karenanya beratnya
penyakit tidak tergantung oleh faktor klinis.74 pada 280 anak dengan asma akut yang
didapatkan di departemen gawat darurat, SaO2, dari anak-anak tersebut yang memiliki
outcome yang buruk adalah 92,7% ± 3,0% (± SD, n = 150), dan SaO2 dari anak-anak
yang memiliki outcome yang baik adalah 95,4% ± 1,8% (n = 130) (P < 0,01). Outcome
yag buruk didefinisikan sebagai kambuhnya asma akut dan perlu rawat inap di rumah
sakit. Dengan penggunaan receiver operating characteristic (ROC), SaO2 yang sebesar
91% adalah nilai ambang (trehshold) yang terbaik untuk memprediksi outcome yang
terburuk (misalnya, memerlukan terapi kortikosteroid intravena dan bronkodilator).
Namun, hasil dari penelitian ini didasarkan pada analisis post hoc (post hoc = hubungan
sebab akibat berdasarkan urutan kejadian saja).
Mekanisme yang mendasari hipoksemia selama episode akut dari asma berat berkaitan
dengan mismatch ventilasi-perfusi tanpa adanya shunt yang bermakna.75,76 Pada asma
akut, dengan pemberian bronkodilator parenteral akan lebih memperburuk
ketidaksesuaian ventilasi-perfusi jika dibandingkan dengan pemberian bronkodilator
untuk tingkat perbaikan laju aliran yang sama. 77 Ketidakseimbangan ventilasi-perfusi
dengan penggunaan bronkhodilator yang diberikan secara parenteral diakibatkan oleh
peningkatan cardiac output yang substansial. Karena tidak adanya shunt yang bermakna,
pasien ini dengan mudah dapat merespon terhadap pemberian suplemen O2 sedang
dengan adanya perbaikan dari kondisi hipoksemia.
Terapi O2 tidak perlu dikontrol.78 Laju aliran O2 dapat diberi setinggi yang dibutuhkan,
meskipun pada pasien dengan PPOK akan mengalami keadaan hiperkapnea yang
semakin memburuk karena terjadi peningkatan mismatch ventilasi-perfusi (dibahas
kemudian). Pada lima orang pasien dengan asma yang dapat bernapas spontan, dengan
Modalitas terapi supportif yang lain pada asma berat yang akut terutama diarahkan pada
membebaskan jalan nafas dari obstruksi dan hipoventilasi alveolar. Hal ini akan
didiskusikan pada bab 134.
Posisi Telungkup
Pada penelitian yang telah diterbitkan pada 129 pasien dengan sindroma distres napas
akut, posisi telungkup memperbaiki oksigenasi pada 100 pasien (78%) dengan derajat
efek samping yang dpaat diterima. Kriteria perbaikan Pao2 bervariasi. Perbaikan yang
didapat dari posisi telungkup secara umum menghilang ketika pasien dikembalikan ke
posisi terlentang, walaupun beberapa pasien memepertahankan pertukaran gas yang
lebih baik. Perbaikan pada Pao2 adalah hasil penurunan fraksi pintas intrapulmonal dan
kesesuaian ventilasi-perfusi yang lebih baik.
TERAPI OKSIGEN
(1,39 = kapasitas Hb dalam membawa oksigen yang dinyatakan dalam ml/g Hb).
Jumlah oksigen yang dibawa dalam bentuk terurai dalam darah dapat diabaikan.
Dengan demikian DO2 untuk orang dewasa normal kira-kira 1000 ml/menit atau
14 ml/kg per menit. Namun demikian, tidak semua jumlah ini tersedia untuk
penggunaan seluler. Oksigen berdifusi dari kapiler jaringan ke mitokondria dalam sel.
Rata-rata PO2 jaringan bervariasi dari satu organ ke organ lain, dan nilainya lebih tinggi
di dekat kapiler. Meskipun mitokondria dalam sel jaringan mungkin berfungsi pada
PaO2 yang rendah, yaitu 8-40 mmHg (1,06 – 5,32 kPa), difusi membutuhkan gradient
sel jaringan-kapiler. Jadi ekstraksi oksigen dari darah ke jaringan secara umum terbatas,
dan fungsi mitokondria akan terganggu pada PaO2 kurang dari 30 mmHg (4,0 kPa) atau
Masker Trakeostomi
Masker ini kecil, dari bahan plastik, yang ditempatkan di atas lubang atau tube
trakeostomi. Pasien akan menginspirasi oksigen lebih kecil dari yang dialirkan, karena
terjadi dilusi oleh udara ruangan. Jika tidak demikian, cara kerja masker ini sama
dengan masker wajah sederhana.
Sirkuit T-Piece
Sebuah T-piece adalah sirkuit non-rebreathing sederhana dengan diameter yang besar
yang dilekatkan langsung pada endotracheal tube atau tracheostomy tube. Oksigen yang
dilembabkan dialirkan melalui satu cabang T, dan udara yang diekspirasi mengalir
melalui cabang lainnya. T-piece dapat menjadi fixed performance device bila aliran
udara segar dan volume sirkuit lebih besar daripada PIFR pasien.
Face Tent
Alat ini adalah separuh masker berukuran besar dari plastik semi-rigid yang diletakkan
di sekitar dagu dan pipi. Campuran oksigen dialirkan melalui bagian bawah masker dan
PIFR anak-anak, karena ukuran fisik mereka yang lebih kecil, diperkirakan lebih dekat
dengan rata-rata aliran peralatan bantuan oksigen. Dengan demikian diperoleh FiO2
yang lebih tinggi. Namun demikian, sulit mempertahankan kateter nasal dan masker
tetap terpasang pada anak-anak. Kateter nasal tunggal, ditempatkan setinggi uvula dan
direkatkan ke wajah, lebih ditoleransi dengan baik dan berguna pada bayi dan anak
kecil.
INKUBATOR
Incubator menyediakan oksigen serta lingkungan suhu yang netral. Akses pasien dan
perbaikan konsentrasi oksigen setelah membuka incubator merupakan masalah.
Penggunaan headbox di dalam incubator sering dilakukan untuk menyediakan
lingkungan oksigen yang stabil.
OXYGEN COT/TENT
Oxygen cot atau tent mungkin digunakan untuk merawat anak yang lebih besar. Akses,
waktu perbaikan konsentrasi oksigen yang lama, dan kesulitan memperoleh FiO2 di atas
0,4 merupakan masalah.
NARKOSIS CO2
Ketika FiO2 tinggi yang diberikan pada pasien tergantung pada hypoxic drive
(kemoreseptor), misalnya mereka dengan eksaserbasi akut bronchitis kronis, depresi
napas berat dapat terjadi disertai dengan hilangnya kesadaran. Jika narcosis CO2 akibat
induksi oksigen ini dicurigai, oksigen seharusnya tidak dikurangi secara tiba-tiba karena
TOKSISITAS OKSIGEN
EFEK NEUROLOGIS (PAUL BERT EFFECTS)
Epilepsy idiopatik terjadi karena paparan terhadap oksigen pada tingkat absolute lebih
dari tiga atmosfer.
TOKSISITAS PARU
Toksisitas paru setelah paparan FiO2 yang tinggi merupakan masalah klinis yang dapat
dikenali, tetapi pengetahuan mengenai gangguan ini masih terbatas. Penurunan
progresif pada komplians paru dapat terjadi, dihubungkan dengan terjadinya perdarahan
interstisial dan edema intra-alveolar, serta fibrosis pada akhirnya. Mekanisme pasti
mengenai efek toksik oksigen pada paru masih belum diketahui, tetapi dipercaya bahwa
oksigen secara langsung mempengaruhi jaringan paru. Pathogenesis biokimiawi oksigen
toksik radikal bebas (‘spesies oksigen reaktif’) dalam menyebabkan kerusakan jaringan
paru sudah diusulkan. Antioksidan protektif normal pada cairan yang ada sepanjang
saluran pernapasan (misalnya mucin, asam urat, asam askorbat, glutathione tereduksi,
superoxide dismutase, dan protein ‘sacrificial’) berkurang karena tantangan oksidatif
yang hebat atau lama. Faktor indirek lain yang telah diusulkan termasuk peningkatan
aktivitas simpatis, pengurangan aktivitas surfaktan, dan gagalnya absorbsi. Pembedaan
toksisitas oksigen dari kondisi kerusakan paru lain sangat sulit, dan kerusakan tersebut
mungkin merupakan respon yang umum terhadap tipe kerusakan yang berbeda.
Secara umum disetujui bahwa toksisitas oksigen pada paru tergantung pada durasi
paparan dan konsentrasinya. Tetapi, rincian yang tepat mengenai periode paparan yang
‘aman’ dan konsentrasi yang ‘aman’ tidak diketahui. Kepekaan individual terhadap
oksigen yang menyebabkan kerusakan mungkin bervariasi. Bahkan ketika
menggunakan FiO2 yang tinggi kerusakan paru tidak terjadi. Kerusakan pada paru yang
sehat dapat terjadi, tetapi apakah responnya sama dengan paru yang sebelumnya terkena
penyakit masih belum jelas. Secara umum, tanda klinis toksisitas (misalnya dyspnea,
nyeri substernal, penurunan pertukaran gas, dan perubahan X-Ray) tidak selalu
terdeteksi dengan menggunakan oksigen kurang dari 50 %, atau 100 % selama periode
kurang dari 24 jam.
Displasia bronkopulmoner, penyakit paru kronis pada anak-anak yang berawal
dari periode neonatus memiliki abnormalitas yang sama. Hal ini terlihat ketika paru
RETROLENTAL FIBROPLASIA
Kebutaan terjadi pada bayi dengan berat badan di bawah 1200 g (sekitar 28 minggu)
yang terpapar oksigen konsentrasi tinggi, dan berhubungan dengan PaO2 serta
imaturitas retina. Oksigen tampaknya merangsang pembuluh darah retina yang imatur
sehingga terjadi spasme dan proliferasi, yang mengakibatkan obliterasi, fibrosis, ablasio
retina, dan kebutaan. FiO2 harus dibatasi untuk menjada paO2 diantara 60-80 mmHg
(6,6 – 10,6 kPa). Terapi oksigen harus diawasi dengan ketat.
BAROTRAUMA
Ruptur alveoli dengan emfisema interstisial dan mediastinal merupakan konsekuensi
yang membahayakan bila aliran oksigen tanpa sengaja dialirkan melalui lubang partisi
atau tekanan silinder langsung ke saluran napas pasien.
APLIKASI KLINIS OKSIGEN
Oksigen adalah obat dan harus digunakan dengan benar. Oksigen biasa digunakan
sebagai alat sementara untuk mengurangi hipoksemia, tetapi tidak menggantikan terapi
definitif kondisi yang melatarbelakangi. Terapi oksigen harus dinilai dengan indikator
oksigenasi (misalnya pulse oxymetry SpO2, gas darah arterial, PO2 vena campuran, dan
shunt equation). PaO2 harus selalu berhubungan dengan FiO2 dan pola ventilasi; nilai
PaO2 yang telah diperkirakan, dengan demikian, tidak berarti. Terapi oksigen harus
berkelanjutan. Oksigen internitten sangat berbahaya, karena PaO2 akan turun (mungkin
menjadi sangat rendah) saat oksigen dihentikan.
HIPOKSEMIA RINGAN
Kateter nasal dengan aliran 2-4 l/menit atau masker sederhana dengan 4 l/menit sangat
cocok.
HIPOKSEMIA BERAT
Bantuan ventilasi mekanik diindikasikan. CPAP dengan masker, atau ventilasi tekanan
non invasive mungkin awalnya dicoba pada pasien yang sadar untuk enghindari
intubasi. PEEP mungkin digunakan untuk membantu mengurangi FiO2.
3.1 RESEPTOR
Reseptor Kimia Perifer
Kenaikan ventilasi yang cepat akan terjadi ketika kadar O2 inspirasi turun lebih dari
10%. Hal ini terjadi pada mamalia dan tergantung reseptor kimia khusus yang
mendeteksi PaO2. Reseptor ini terletak pada bifurkasio arteri karotis komunis dan badan
aorta di sekitar percabangan aorta.
Impuls aferen dari reseptor kimia karotis diteruskan pada cabang nervus sinus karotikus
dan mencapai pusat pernafasan batang otak di nervus IX saraf otak; semua itu melalui
reseptor kimia aortik yang dijalarkan melalui n.vagus (X). Impuls aferen yang dibawa
n.hipoglosus dan n.vagus akan mencapai nukleus traktus solitarius di medula oblongata
Reseptor kimia karotis dirangsang oleh penurunan PaO2 dan pH serta kenaikan PaCO2.
Reseptor kimia aortik juga dirangsang oleh penurunan PaO2 dan kenaikan PaCO2, tapi
tidak oleh penurunan pH. Interaksi berbagai rangsangan ini terjadi pada peningkatan
aktifitas reseptor kimia sebagai tanggapan terhadap rendahnya PaO2, dipacu oleh PaCO2
yang tinggi; dan pada arteri karotis juga oleh pH rendah.
Pencatatan oleh serat tunggal ataupun seluruh serat terhadap aktivitas resptor kimia
dengan PaO2 menunjukkan hubungan yang non linear. PO2 arteri 500 mmHg atau lebih
menunjukkan tidak ada aktivitas saraf. Peningkatan progresif pada kecepatan
penembakan sinyal oleh saraf (nerve firing rate) berkembang ketika PaO2 turun dari 500
mmHg, dengan kenaikkan aktivitas yang cepat dibawah 100 mmHg. Respon maksimum
terjadi ketika PO2 dibawah 50 mmHg. Ketika PaO2 kurang dari 30 mmHg, aktivitas
kemoreseptor tidak dipertahankan dan secara bertahap akan turun seiring dengan waktu.
Kebalikannya, respon kimia karotis pada PaCO2 dan pH; dan reseptor kimia aortik pada
PCO2 adalah hampir linear pada rentang PCO2 dari 20-60 mmHg, dan pada kadar ion
H+ arteri dari 20-60 mmeq per liter (pH: 7,2-7,6).
Ada hubungan yang baik antara pengamatan pendahuluan dengan respon ventilasi pada
PO2 rendah atau PCO2 tinggi. Misalnya: peningkatan ventilasi sebagai respon untuk
menjadikan kadar O2 inspirasi menurun adalah non linear, peningkatan sedikit ventilasi
terjadi hingga kadar O2 kurang dari 10%. Sebaliknya adalah, hubungan linear antara
kenaikan PCO2 dan kenaikan ventilasi; yaitu kenaikan 1,5-2,5L/min per 1 mmHg
PCO2.
Pada dasarnya sel glomus adalah kemoreseptor. Menurut teori, terminal saraf aferen
pada n. sinus karotis juga kemoreseptor. Hal ini menegaskan bahwa sel glomus adalah
interneuron penghambat dopaminergik yang mengatur impuls saraf aferen. Sebaliknya,
dopamin bereaksi pada ujung saraf bebas untuk menghambat impuls umum.
Kemoreseptor Sentral
Setelah denervasi kemoreseptor perifer, respon ventilasi terhadap peningkatan PCO2
tidak hilang, tetapi sedikit menurun. Selanjutnya, di kondisi lain,peningkatan ini
tertunda sekitar 60-90 detik, yang menunjukkan bahwa berbeda dengan kemoreseptor
perifer, kemoreseptor sentral tidak dengan cepat membuat kesetimbangan dengan darah
arteri. Adanya zat kimia sensitif sentral tidak muncul dari saraf pusat pernafasan otak
tapi dari medula dekat permukaan ventrolateral. Zat ini dipercaya terletak di 200-400
µm dibawah medula.
Kemoreseptor sentral berespon terhadap kadar ion H+ disekelilingnya, yaitu cairan
interstisial lokal. Ketika ion H+ naik, ventilasi naik dan sebaliknya. Komposisi cairan
interstisial di sekitar reseptor itu dipengaruhi oleh CSF, aliran darah lokal, dan
metabolisme lokal. Dari semuahal tersebut, pengaruh CSF yang paling penting.
Kadar keasaman normal CSF adalah 7,33 dan pCO2-nya 50 mmHg, sedikit berbeda
dengan pH 7,4 dan pCO2 40 mmHg pada darah arterial. CSF mempunyai sedikit
CSF dipisahkan dengan darah oleh sawar darah otak. Penyangga ini dapat dilewati CO2
yang berdifusi cepat dari darah ke CSF, tapi tidak dapat ditembus oleh H+ dan HCO3-.
Ketika PCO2 naik, CO2 berdifusi ke CSF dari pembuluh otak sehingga H+ naik.
Kenaikan H+ ini memacu kemoreseptor yang kemudian memacu ventilasi. Jadi kadar
CO2 dalam darah mengatur ventilasi terutama dengan cara mempengaruhi pH CSF.
Hiperventilasi menurunkan kadar PCO2 dalam darah, oleh karena itu CSF dapat
menghasilkan penyesuaian pH CSF.
Reseptor Paru
Ada 3 jenis reseptor paru yang bertanggungjawab pada perubahan mekanis yang disebut
mekanoreseptor yaitu reseptor regangan, reseptor iritan, dan reseptor J (Juxta pumonary
capillary receptors). Seluruh serabut aferen reseptor ini berjalan melalui n. vagus dan
berakhir di nukleus traktus solitarius di medula. Semuanya mengatur kecepatan dan
kedalaman pernafasan atau mengubah ketegangan otot jalan nafas.
Reseptor Regangan
Reseptor ini terletak di otot halus trakhea hingga bronkioli, dapat dirangsang oleh
regangan jalan nafas (bukan alveoli) dan dipertahankan oleh pengembangan paru, dan
aktifitasnya diperpanjang dengan penjagaan inflasi paru dan karenanya menunjukkan
adaptsi ringan. Infus aferan dari PIR (pulmonary inspiratory receptors) menuju ke
medula melalui serat besar bermielin pada nervus vagus. Efek primer aktifasi reseptor
ini berasal dari akhir inspirasi, yang disebut reflek penghambat nafas Hering-Breuer
Pada tahun 1868, Hering-Breuer mengamati reflek inflasi dan deflasi pada hewan yang
dianestesi. Walaupun reflek Hering-Breuer tetap aktif pada hewan selama pernapasan
volume tidal, hal ini tidak terjadi pada pernapasan manusia pada volume tidal normal,
kecuali volume tidal kira-kira 1 liter atau lebih. Reflek tersebut terjadi pada bayi yang
baru lahir pada pernapasan volume tidal, tetapi terjadi penurunan efektifitas selama 5
hari pertama kehidupannya sejalan dengan makin aktifnya sentral yang lebih tinggi.
Karena reflek inflasi dan deflasi mengakhiri ekspirasi dan inspirasi, mereka mungkin
memainkan peran pada mekanisme hidup-mati dari pusat napas di medula. Bukti juga
menunjukkan bahwa reflek inflasi mengatur kecepatan dan kedalaman pernapasan
dalam jalur yang memunculkan ventilasi alveolar yang optimal dengan kerja otot
seminimal mungkin.
Reseptor Iritan
Reseptor ini bertanggung jawab pada perubahan kimia akibat stimuli mekanik yang
terletak diantara sel epitel trakhea, bronki dan bronkhiolus, termasuk juga reseptor iritan
epitel intra pulmoner dan reseptor batuk di bronkus dan trakhea. Reseptor iritan dipacu
oleh gas iritan dan bau (ammonia,SO2), mediator kimia (histamin, leukotrine, C4,
bradikinin), partikel dalam rokok, debu dan polutan. Reseptor ini cepat beradaptasi.
Impuls aferennya berjalan dalam serat kecil bermielin dalam n. vagus menuju ke
medula.
Reseptor J
Istilah reseptor J (reseptor kapiler juxta pulmoner) digunakan oleh karena keyakinan
bahwa reseptor ini terletak di jaringan interstitial diantara kapiler pulmonal dan alveoli.
Impuls aferen reseptor J dibawa oleh serabut servikal n. vagus nonmyelin, yang dipacu
oleh perubahan sel interstitisal paru, misal: udema, kongesti paru, hipertensi, dan
beberapa zat kimia (histamin dan capsaicin, suatu iritan aktif pada merica). Reseptor ini
menyebabkan penutupan laringeal dan apneu oleh karena pernafasan yang cepat dan
dangkal. Hal ini terjadi pada pasien udema paru, emboli paru dan pnemonia yang
pernah mengalami takipnea.
Reseptor Lain
Reseptor Jalan Nafas
Hidung, nasofaring, laring, dan trakhea mempunyai reseptor khusus zat kimia dan
mekanik. Serabut saraf aferen terletak di n. trigeminal dan olfaktorius, dengan refleks
primer bila terpacu berbentuk : apneu, bradikardi dan bersin-bersin. Reseptor pada
laring, mungkin suatu reseptor iritan, juga bereaksi terhadap stimulasi mekanis
dankimia. Serat aferen dari reseptor ini terdapat pada cabang internal nervus laringeal
superior dan nervus laringeal inferior ( n. laryngeal recurren). Akibat refleks lain adalah
batuk, nafas dalam dan lambat, spame laring, bronkokonstriksi dan hipertensi.
Reseptor Sendi
Gerakan aktif dan pasif pada sendi menghasilkan rangsangan yang secara reflek
meningkatkan kecepatan dan kedalaman respirasi. Respon ini mungkin yang berperan
dalam hiperpnea yang disebabkan oleh olahraga.
Reseptor Otot
Saraf motorik menginervasi simpul otot (terdiri atas serabut otot intrafusal) melalui
sistem eferen gamma, dimana yang ke unit kontraktil reguler (serat ekstrafusal) adalah
melalui sistem eferen alfa; keduanya terorganisasi dari sel kornu anterior korda spinalis.
Reseptor Nyeri
Reseptor nyeri adalah ujung saraf bebas. Nyeri dapat menyebabkan stimulasi / inhibisi
nafas tergantung karakter, asal (viseral / somatis) dan intensitasnya.
Reseptor Suhu
Kenaikan suhu tubuh membuat ventilasi paru meningkat, terkadang menjadi alkalosis
berat dan tetani. Efek ini terjadi akibat stimuli pusat panas termoreseptor hipotalamus.
Pemanasan kulit dapat juga menimbulkan hiperventilasi sebagai hasil perangsangan
termoreseptor perifer. Jadi kenaikan ventilasi setelah stimulasi perifer dan stimulasi
reseptor peka panas di hipotalamus merupakan salah satu pengatur panas tubuh, yang
terjadi saat suhu tubuh dalam dan superfisial meningkat, dan dikenali suatu kebutuhan
adanya peningkatan pelepasan panas lewat suatu respon.
PENGATUR / CONTROLLER
Meskipun pernafasan adalah proses otonom tak sadar, tapi dapat dikontrol, diusahakan
oleh impuls motorik dari korteks serebri selama kesadaran penuh. Pada dasarnya,
pernafasan diatur oleh batang otak untuk pengaturan respirasi otomatis, dan korteks
serebri untuk pernapasan volunter. Sebagai contoh adalah hiperventilasi volunter,
hipoventilasi volunter, dan penahanan napas, semuanya dibawah kontrol volunter. Jadi
pengontrol respirasi dalam sistem saraf pusat terdiri atas 2 bagian anatomis dan
Traktus respirasi volunter desenden (sadar) berjalan terpisah dari traktus involunter
desenden (tak sadar). Yng pertama berjalan dari korteks ke motoneuron respirasi di
korda spinalis melalui traktus kortikospinalis, dengan melintasi neuron respirasi di
medula. Yng kedua berjalan dari medula ke motoneuron respirasi di korda spinalis
dalam white mater antara traktus kortikospinalis ventral dan lateral. Karena itu kedua
sistem berproyeksi ke neuron respirasi di korda spinalis pada segmen servikal dan
torakal, dimana impuls motorik dalam kedua sistem yang menuju kebawah terintegrasi.
Motoneuron respirasi di spinal pada kornu anterior bekerja sebagai jalur umum terakhir
ke sistem respirasi. Dalam diskusi berikut, fokus primernya adalah pada regulasi
otomatis respirasi.
Nukleus ambiguus (NA) dan paraambigualis (NPA) berada saling bersisian dibagian
tengah (intermediate) dari VRG. NA berisi motoneuron respirasi, suatu akson yang
keluar dari otak bersama serat eferen vagal yang lain dan menginervasi abduktor
laringeal (inspirasi) dan otot adduktor (ekspirasi) melalui n. laryngeal recurren. NPA
trdiri atas terutama neuron inspirasi, disebut sebagai neuron Igamma, untuk
membedakannya dari neuron Ialpha dan Ibeta dari DRG. Neuron Igamma bertanggung jawab
pada inflasi paru dalam perilaku yang mirip dengan neuron Ialpha. Akson dari neuron ini
mengarah ke n.phrenikus dan kumpulan motoneuron eksternal (inspirator) intercostal
pada korda spinalis.
Nukleus retroambigualis (NRA) menempati bagian kaudal dari VRG, berisi neuron-
neuron ekspirator dengan akson yang mengarah kedalam kumpulan motoneuron spinal
untukotot interkostal dan abdominal.
Sebagai ringkasan, terdapat 3 kelompok neuron respirasi pada batang otak; satu di pons,
dan dua di medula. Yang dua terakhir, satu grup menempati bagian dorsomedial
medula, dan disebut kelompok respirasi dorsal (DRG), dan ang lain terletak di bagian
ventroleteral medula, dan disebut kelompok respirasi ventral (VRG). Neuron respirasi di
pons terletak di kaudal / rostral pons, dan disebut sebagai kelompok respirasi pons
(PRG), atau disebut pusat pneumotaksik.
Mekanisme pemunculan ritme pernapasan juga belum jelas, dan masih menjadi
perdebatan dan objek penelitian. Secara singkat ritme pernapasan mungkin merupakan
hasil dari aktifitas sel pemacu (pace maker) atau jaringan saraf atau keduanya. Sel
pemacu tidak membutuhkan interaksi dengan elemen saraf yang lain untuk
Seperti telah disebutkan, CPG untuk pernapasan berlokasi di medula. Aktifitas CPG
dipengaruhi oleh input dari kemoreseptor (perifer dan sentral), nosiseptor, dan struktur
lain yang lebih tinggi, seperti PRG. Fungsi input ini adalah untuk adaptasi pola napas
untuk disesuaikan dengan perubahan kebutuhan metabolisme dan kegiatan.
Sebagai rangkuman, dasar ritme pernapasan dibangkitkan oleh CPG yang berlokasi di
suatu tempat di medula yang aktifitasnya bebas dari input aferen yang outputnya
mungkin sesuai dengan kebutuhan metabolisme dan kegiatan yang selalu berubah.
Pengukuran output pusat respirasi, yang disebut respiratory drive, adalah lebih sukar
dikuantifikasi. Pengukuran langsung terhadap aktifitas neuron inspirasi akan ideal,
tetapi pendekatan ini masih belum mungkin dilakukan. Metode tidak langsung untuk
melakukan evaluasi output dari pusat napas sentral adalah :
1. integrasi aktifitas listrik dari n. phrenikus
2. integrasi aktifitas listrik diafragma (elektromiograf)
Pada metode rebreathing , subjek bernapas dari kantong yang diisi 7% CO2 dan 93%
O2. Konsentrasi atau tekanan parsial CO2 pada ventilasi semenit dan end-tidal CO2
dicatat secara kontinu.
Respon ventilasi terhadap CO2 menurun sejalan dengan umur dan selama tidur, dan
dapat didepresi kuat oleh berbagai obat sedatif, narkotik, dan anestesi. Respon itu juga
menurun pada pasien dengan penyakit obstruktif paru. Depresi ini dapat ditimbulkan
pada subjek normal saat mereka bernapas dengan tambahan beban mekanik.
Untuk menghindari efek sistemik dari hipoksia, dan untuk meminimalisasi penumpukan
alveolar CO2, tes dapat juga dilaksanakan dengan mengambil satu sampai tiga hirup
100% nitrogen, yang pada individu sehat akan menghasilkan rangsangan ventilasi awal
karena stimulasi kemoreseptor karotis.
Sensitifitas hipoksia menurun pada peningkatan umur dan pemberian obat sedatif,
narkotik, dan anestesi, dan terdepresi secara khas atau bahkan menghilang pada mereka
yang bertempat tinggal di daerah ketinggian dalam jangka lama. Pada ketiadaan badan
karotis, hipoksia (PaO2 pada 45 s/d 55 mmHg) menurunkan ventilasi melalui efek
depresi langsung pada pusat napas.
Tes respon hipoksia dan tes respon CO2 menyediakan informasi yang berguna tentang
kemosensitifitas, tetapi interpretasinya terbatas karena kedua tes tersebut dipengaruhi
oleh abnormalitas mekanik diberbagai tempat pada sistem respirasi.
Kondisi kedua yang juga menyebabkan respon tes CO2 menurun adalah penyakit sistem
neuromuskuler, sedemikian hingga walaupun output pusat respirasi sebagai respon
terhadap penurunan CO2 dalam keadaan normal, perangkat neuromuskuler gagal
merespon peningkatan output pusat respirasi. Contohnya meliputi poliomielitis, dengna
kerusakan pada sel kornu anterior yang menginervasi otot pernapasan, dan myasthenia
gravis. Kondisi ini juga berhubungan dengna penurunan kekuatan otot inspirasi,
sehingga tekanan mulut tertutup (Po.1) akan rendah.
Pasien dengan COPD, yang mempunyai retensi CO2, mengalami penurunan respon
ventilasi terhadap CO2 eksogen, sebagian karena penurunan sensitifitas kemoreseptor
sentral terhadap konsentrasi H+ di CSF, dan sebagian lagi karena disfungsi mekanis
paru, yaitu peningkatan tahanan jalan napas.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, pasien dengan COPD dan retensi CO2 telah
menurun respon ventilasinya terhadap CO2. Pasien ini dapat bergantung pada dorongan
hipoksia (hipoksia drive) untuk ventilasinya. Adalah dimungkinkan untuk membedakan
sampai sejauh mana hipoksemia bertanggung jawab untuk menjaga ventilasi pasien
dengan mengukur ventilasi saat pasien bernapas dengan udara dan saat O2
menggantikan udara. Pada individu sehat dengan PO2 arterial yang normal, inhalasi
100% O2 menurunkan ventilasi semenit hanya sedikit dan untuk beberapa hirupan
napas. Pada pasien dengan penurunan kemosensitifitas sentral terhadap CO2 yang
bergantung pada ventilasi yang didorong hipoksia, inhalasi 100% CO2 dapat
menurunkan ventilasi secara substansial karena terjadi penghilangan stimulasi hipoksia.
Otot Inspirasi
Diafragma
Lembar yang berbentuk kubah yang besar ini adalah otot utama inspirasi. Selama
pernapasan tenang saat istirahat, pergerakan diafragma terhitung setidaknya berperan
75% dalam peningkatan volume intratoraks. Selama kontraksi, diafragma bergerak
kebawah, mendorong isi abdomen, dan menggeser dinding abdomen kedepan. Selama
inspirasi maksimal, puncak bawahnya mungkin mencapai 10 cm. Aksi utama diafragma
adalah untuk membesarkan ruang toraks kebawah. Walaupun secara primer adalah otot
inspirasi, tetapi tetap aktif (berkontraksi) selama bagian awal dari ekspirasi, diduga
untuk membuat volume toraks tidak menurun secara mendadak, sehingga ekspirasi
diperhalus. Saraf motorik yang menginervasi diafragma adalah n.phrenikus yang
muncul dari segmen servikal ketiga sampai kelima, tetapi terutama dari yang keempat.
Pada latihan otot yang berat atau selama ekspirasi volunter maksimal, seluruh otot
tambahan , termasuk trapezius dan otot punggung, turut aktif. Otot respirasi lain
Otot Ekspirasi
Ekspirasi adalah proses pasif dan muncul karena kembalinya jaringan elastik dari posisi
teregang dan untuk melepaskan energi yang tersimpan selama inspirasi. Pada kecepatan
ventilasi yang tinggi atau pada obstruksi napas sedang sampai berat, otot ekspirasi yang
diinervasi oleh n. interkostalis berkontraksi. Otot Interkostalis interna dan otot abdomen
termasuk kelompok otot ini. Kontraksi otot intercostalis interna menggerakkan iga
kebawah dan kedalam sehingga menurunkan volume intratoraks. Kontraksi dinding
abdomen (rektus abdominis, oblique external, oblique internal, dan transversus
abdomen) menekan iga bawah dan membungkukkan tubuh , tetapi lebih dari itu
meningkatkan tekanan intra abdomen, yang mendorong diafragma keatas.
Kontraksi yang hebat dari otot respirasi dapat membangkitkan pemanjangan tekanan
intrapulmonal pada 120 mmHg. Kontraksi maksimal otot abdomen selama regangan
dapat menimbulkan tekanan intra abdominal sebesar 150 s/d 200 mmHg, cukup untuk
menghentikan aliran darah lewat aorta abdominalis.
Tahap I disebut dozing (mengantuk), EEG tampak sebagai gelombang cepat dengan
amplitudo kecil. Tahap 2 sama dengan tahap I dengan periode tidur dengan sedikit
simpulan gelombang (spindles sleep) pada frekuensi 12-14 hz. Tahap 3 ditampakkan
sebagai gelombang simpulan dengan pola lambat, amplitudo besar dan lebih sedikit
periode spindles sleep. Tahap 4 didominasi gelombang delta (2-7 siklus / detik,
amplitudo lebih dari 75 µv). Dalam tidur REM, EEG sama dengan tahap 1, tetapi EOG
menunjukkan frekuensi gerakan mata yang cepat. Tidur REM dihubungkan dengan
proses bermimpi.
Pada orang sehat, selama tidur gelombang lambat (tahap 3 dan 4 tidur non REM),
impuls dari pusat pernapasan di batang otak dikurangi dan ventilasi semenit diturunkan.
Sebagai akibatnya PCO2 arterial meningkat 4 sampai 6 mmHg, PO2 arteri turun 4
sampai 9 mmHg, dan pH arteri turun 0,03-0,05 unit. Perubahan yang sama terjadi pada
blood gas arteri dan pH selama tidur REM. Respon ventilasi terhadap CO2 turun dan
kurvanya pun bergeser ke kanan, pada tidur gelombang lambat dan pada tidur REM,
mengindikasikan. penurunan sensivitas kemoreseptor sentral. Sebaliknya, respon
ventilasi pada PO2 arteri yang rendah menjadi naik selama tidur, meskipun masih
kontroversi.
Kelainan paling banyak dalam pengaturan nafas selama tidur adalah kejadian episode
apneu, seperti sleep apneu, baik tipe sentral dan maupun obstruktif. Episode apneu
terjadi lebih dari 10 detik, yang muncul lebih kurang 11 kali per jam selama tidur, yang
mungkin berhubungan dengan penurunan saturasi O2 arteri hingga 75% atau kurang.
Pada apneu tidur sentral (central sleep apneu), pengontrol pernafasan otomatis di otak
tidak membangkitkan impuls pernapasan selama tidur. Hal ini mungkin disebabkan oleh
kerusakan serabut asenden spinal, yang secara normal membawa impuls afferen dari
reseptor perifer ke neuron pernafasan di batang otak. Kondisi ini bersifat reversible bila
orang tersebut sadar. Dalam penyakit Ondine, pusat pernafasan otak gagal bekerja
bahkan ketika orang itu sadar. Pasien ini bernafas bila diperintah atau bila ingat harus
bernafas, dan bergantung sepenuhnya kepada sistem pernapasan volunter untuk
Pada orang dewasa saat istirahat, O2uptake adalah 250 ml/min. Ketika latihan berat,
kebutuhan ini dapat meningkat hingga 5500 ml/min, suatu peningkatan sebesar 22 kali
lipat. Tubuh memenuhi kebutuhan O2 yang sangat tinggi ini dengan sangat
memperbesar cardiac output dan kenaikan tinggi pada ventilasi alveolar (Gambar 3-15).
Dikarenakan tidak adanya perubahan yang bermakna pada PO2, PCO2, dan pH arterial
selama latihan / kerja sedang pada orang normal, peningkatan dorongan kimia (chemical
drive) pada kemoreseptor pusat dan perifer tidak terjadi, hal ini tidak dapat
menjelaskan tentang peningkatan ventilasi. Teori lain yang mencoba menjelaskan
tentang hiperpnea pada latihan dengan keadaan PO2, PCO2, dan pH arterial yang
normal adalah sebagai berikut :
1. Peningkatan sensivitas kemoreseptor pusat terhadap PCO2 arteri normal, disebabkan
sebagian oleh karena ada pelepasan sebagian mediator adenergik.
Volume oksigen yang dikonsumsi permenit pada rata-rata orang dewasa kira-kira 225
ml. Produksi karbondioksida sedikit lebih kecil dan bervariasi dengan jenis makanan
dalam diet. Seseorang dengan diet tinggi karbohidrat akan mengkonsumsi sejumlah
oksigen dan karbondioksida yang lebih kurang setara, sedangkan pengkonsumsi diet
tinggi lemak membutuhkan relatif lebih besar volume oksigen. Rasio karbondioksida
terhadap oksigen disebut respiratory exchange ratio (rasio pertukaran respirasi).
Transpor oksigen
Sistem kardiovaskuler bekerja bersama dengan sistem respirasi dalam mentranspor
oksigen dari udara luar ke mitokondria sel. Oksigen berlaku sebagai penerima elektron
pada oksidasi fosforilasi, yang memungkinkan produksi ATP melalui jalur aerobik
secara efisien. Ikatan fosfat tinggi energi pada ATP menyediakan energi untuk proses
fungsional dan biokimia dalam sel, seperti kontraksi protein otot dan aktifitas
metabolisme enzim.
Gambar 5-1 menunjukkan pengaruh tekanan partial oksigen (pO2) terhadap konsumsi
oksigen pada mitokondria terisolasi. Gambar tersebut menunjukkan bahwa diatas ± 0,1
mmHg, VO2 (konsumsi oksigen) tidak tergantung pada pO2. Sehubungan dengan hal
tersebut, tujuan sistem penyaluran oksigen terintegrasi pada mahluk hidup adalah untuk
meyakinkan bahwa pO2 dijaga diatas 0,1 mmHg pada permukaan mitokondria. Satu-
satunya fungsi pO2 diatas 0,1 mmHg adalah untuk menyediakan kekuatan pengarah
untuk difusi O2 ke mitokondria dari kapiler terdekat.
Kadar O2 arterial
Kadar O2 arterial adalah terdiri atas O2 yang diikat Hb dan O2 yang larut dalam plasma.
CaO2 = O2 terikat + O2 terlarut
Hemoglobin fetus
Hb fetus berbeda secara struktural dari Hb dewasa pada dua rantai polipeptidanya yaitu
tipe v yang banyak menggantikan tipe ß. Kurva disosiasi pada fetus sama dengan pada
dewasa, kecuali bahwa kurvanya bergeser ke kiri, menghasilkan p50 pada 20 mmHg.
Methemoglobin
Methemoglobin adalah bentuk ferri dari heme. Kadar ferrous dan ferri besi berada
dalam kesetimbangan, dengan hanya 0,1% dari besi secara normal berbentuk ferri.
Bentuk ferri ini tidak berikatan secara reversibel dengan oksigen dan karenanya tidak
Oksigen terlarut secara normal terhitung hanya 1,5% dari total oksigen, tetapi
kontribusinya meningkat ketika komponen terikat berkurang selama hemodilusi. Karena
hemoglobin tersaturasi secara lengkap pada pO2 100 mmHg, peningkatan arterial pO2
ketingkat diatas 100 mmHg meningkatkan CaO2 dengan meningkatnya komponen
terlarut.
Karbonmonoksida
Karbonmonoksida mempengaruhi fungsi transpor oksigen oleh darah dengan
membentuk karboksihemoglobin (COHb). Kurva disosiasi oksihemo-globin dan
karboksihemoglobin mem-punyai bentuk yang serupa. Karbon-monoksida mempunyai
daya ikat lebih kurang 250x daya ikat oksigen terhadap hemoglobin; hal ini berarti
bahwa karbonmonoksida akan berikatan dalam jumlah yang sama dengan hemoglobin
terhadap oksigen ketika tekanan parsial karbonmonoksida 250 kali lebih rendah.
Sebagai contoh pada pCO hanya 0,16 mmHg, 75% hemoglobin berikatan dengan
karbonmonoksida sebagai COHb. Karena itu, saat diplot pada skala yang sama (Gambar
5-5), kurva disosiasi karbonmonoksida mempunyai hampir suatu lipatan ke sudut kanan
dekat nilai pCO-nol.
Hukum Poiseuille
Poiseuille membuat studi yang menghasilkan persamaan yang menggambarkan tahanan
terhadap aliran dalam tabung yang lurus dan kaku dengan panjang (l) dan jari-jari (r) :
R (tahanan) = ? 8 l / p r4
dimana ? adalah viskositas. Tahanan aliran darah bervariasi terbalik dengan jari-jari
tabung sampai ke pangkat 4. Karena itu, perubahan kecil pada jari-jari tabung
menyebabkan perubahan besar dalam tahanan.
Faktor Geometri
Viskositas
Viskositas adalah gaya gesek internal hasil dari gaya antar molekul yang terjadi dalam
cairan yang mengalir. Istilah gaya gesek internal menekankan bahwa sejalan dengan
pergerakan cairan dalam tabung, lapisan melingkar pada cairan melewati / tergelincir
satu sama lain dan bergerak pada kecepatan yang berbeda. Hal ini menyebabkan
percepatan gerakan dalam arah tegak lurus terhadap dinding tabung. Gradien kecepatan
ini disebut shear rate (kecepatan memotong). Dalam sirkulasi, shear rate menunjukkan
korelasi langsung terhadap kecepatan aliran darah. Pengertian intuitif terhadap istilah
kecepatan dapat diambil dari eksperimen yang ditunjukkan dalam gambar 5-6. Dalam
eksperimen ini, cairan yang homogen dibatasi oleh dua piringan paralel (analog dengan
kartu remi) dalam jarak yang rapat. Diperanggapkan bahwa luas daerah tiap piringan
adalah A, jarak diantaranya adalah Y, dan dasar piringan dalam keadaan stasioner. Jika
gaya tangensial (shear stress) diterapkan pada piringan atas, piringan tersebut akan
bergerak dengan kecepatan v searah dengan kekuatan yang terjadi dan suatu gradien
gaya ( atau shear rate) terbentuk dalam cairan tersebut. Viskositas didefiisikan sebagai
faktor proporsional yang berhubungan dengan shear stress dan shear rate dalam cairan.
Viskositas = shear stress / shear rate
Newton menganggap bahwa viskositas adalah suatu ciri konstan dari cairan dan bebas
terhadap shear rate. Cairan yang menunjukkan perilaku ini disebut Newtonian. Unit
viskositas adalah dynes/detik/cm2 atau poise.
Gambar 5-9 menunjukkan bahwa perilaku non Newtonian terlokalisir in vivo pada sisi
vena dari sirkulasi karena shear rate-nya yang lebih rendah, tetapi perilaku ini dapat
hilang karena hemodilusi.
Efek suhu
Viskositas darah bervariasi terbalik terhadap suhu (Gambar 5-11). Penurunan Hct
dibutuhkan untuk menjaga viskositas yang konstan selama hipotermia. Hal ini
menunjukkan bahwa pada 20oC, dibutuhkan penurunan Hct dari 45 ke 25% untuk
mengembalikan viskositas ke nilai yang sama dengan pada suhu 37 oC. Hal tersebut
sangat penting disadari selama hipotermia pada pelaksanaan cardiopulmonar bypass.
Setelah arres sirkulasi, shear stress yang diperlukan untuk memulai aliran dan untuk
memisahkan agregat sel darah merah tampaknya cukup tinggi. Keuntungan reologi
tambahan dapat diperoleh dengan penurunan Hct yang lebih jauh.
Aliran turbulen
Persamaan Poiseuille menganggap bahwa disipasi energi keseluruhannya kental di
alam. Walaupun begitu, disipasi energi kinetik atau inersia dapat muncul pada nagka
Reynold yang tinggi. Angka Reynold setara dengan :
Re =(?vr)/?
dimana ? adalah kepadatan / densitas cairan dan v adalah kecepatan linear dari aliran.
Dengan angka Reynold yang tinggi, disipasi inersia yang berhubungan dengan aliran
turbulen meningkatkan tekanan titik yang diramalkan persamaan Poiseuille (Gambar 5-
12). Jaringan dengan pola aliran yang pulsatif ekstrim dan dengan geometri vaskuler
yang sangat komplikatif, seperti miokardium, adalah yang paling mudah diserang oleh
disipasi inersia dari tekanan.
Nilai yang berhubungan dengan PO2 (PcO2) dapat diperkirakan dari nilai pengambilan
CcO2 terhadap konsentrasi hemoglobin dan kurva disosiasi oksihemoglobin. Bentuk
dari gradien longitudinal PO2 dalam kapiler lebih kurang eksponensial karena pengaruh
dari kurva disosiasi oksihemoglobin. PcO2 adalah kekuatan pengarah difusi oksigen ke
jaringan. Karena PcO2 minimum pada vena akhir kapiler, mitokondria di daerah ini
adalah yang paling mudah diserang terhadap defisit oksigen.
Metode pertama adalah yang paling mendasar, telah divalidasi dengan baik, dan
mempunyai akurasi yang baik sesuai dengan kebutuhan klinis. Bagaimanapun, metode
ini tidak praktis dan membutuhkan perhatian yang tinggi terhadap detail jika akan
digunakan secara aman selama perawatan intensif. Metode kedua, pengurangan volume
oksigen ekspirasi terhadap inspirasi, sulit dan potensial tidak akurat untuk mengukur
VO2. Sumber masalah utamanya adalah bahwa VO2 adalah angka kecil yang dihitung
sebagai beda dari dua angka yang besar. Perkembangan tehnik terakhir telah
mengurangi akibat dari keterbatasan ini.
Dalam keadaan stabil, persamaan Fick dapat dipakai untuk menghitung VO2 :
VO2 = CO x (CaO2 – CvO2)
dimana CvO2 dalam vol% dan CaO2 – CvO2 adalah beda antara kadar oksigen arteri –
vena sistemik. Pendekatan ini sering disebut sebagai tehnik Fick cadangan. Pada tehnik
ini, CO diukur dengan termodilusi menggunakan kateter Swan-Ganz yang ditempatkan
di arteri pulmonal. Contoh darah dikumpulkan dari arteri dan dari arteri pulmonal
(contoh darah vena tercampur) kemudian dianalisa kadar oksigennya. Nilai dari kadar
oksigen darah digunakan untuk mengukur perbedaan kadar arteri – vena sistemik.
Dengan menggunakan nilai CO dan CaO2-CvO2 pada waktu istirahat, persamaan Fick
dapat digunakan untuk menghitung nilai keseluruhan konsumsi oksigen oleh tubuh.
Nilai kritis PvO2 selama anemia akut (hemodilusi) adalah 40 mmHg, dibanding 17
mmHg dan 31 – 36 mmHg pada hipoksemia dan penurunan cardiac output. Nilai yang
tinggi pada PvO2 menyarankan bahwa hemodilusi dapat mengganggu ekstraksi osigen
oleh jaringan. Hal ini mengkin terjadi karena penurunan waktu singgah sel darah merah
dalam melalui sirkulasi kapiler, sehingga mengurangi waktu yang tersedia untuk
melepas oksigen ke jaringan, dan kapiler pada jaringan menjadi shunt fungsional
terhadap oksigen. Berkaitan dengan model Krogh, hal tersebut berarti kepadatan kapiler
yang terbuka efektif akan berkurang, berakibat gradien PO2 antara kapiler darah dan sel
jaringan yang lebih datar.
Penjelasan potensial lain tentang nilaikritis PvO2 yang lebih tinggi selain hemodilusi,
berhubungan dengan kemungkinan bahwa beberapa jaringan tubuh dengan aliran darah
yang tinggi, seperti ginjal, diperfusi berlebihan dibanding kebutuhan O2, yang
meningkatkan nilai PvO2, sementara daerah kurang perfusi yang lain telah
memproduksi laktat.
Persamaan 1, 12, dan 13 dapat diterap-kan pada jaringan secara individual dengan
menggantikan aliran darah lokal untuk cardiac output dan pengukuran kadar oksigen
vena lokal untuk PvO2. Jaringan tubuh individual bervariasi luas dalam hal hubungan
antara dasar DO2 dan VO2, dan dalam ER dasar mereka (tabel 5-2). Sebagai contoh, di
ventrikel kiri, ER dasar adalah 70 – 75%, sementara di ginjal 5 – 10%. Dasar ER yang
tinggi pada ventrikel menyebabkan ketergantungannya terhadap perubahan aliran darah
untuk menjaga kecukupan oksigen.
Transpor CO2
Pembakaran makanan oleh metabolisme sel adalah sumber CO2 tubuh. Pada tingkat sel,
tekanan parsial karbon-dioksida adalah tertinggi, dan ada gradien mulai dari sel ke
interstisial, darah, dan paru. Difusi terjadi dalam arah tersebut. Saat masuk darah, CO2
terhidrasi sebagai asam karbonat yang dengan cepat disangga dan berperan dalam
pembentukan bikarbonat atau masuk dalam reaksi kimia dengan sekelompok amino.
Karbondioksida ditemukan dan ditransportasi dalam darah dalam 3 bentuk utama. CO2
secara fisik larut sebagai bikarbonat, dan berkombinasi dengan hemoglobin sebagai
carbamino.
CO2 larut
Secara fisik CO2 terlarut mengikuti hukum Henry. Menurut hukum tersebut, sebagian
besar karbonmonoksida terlarut dalam plasma, dan hanya sebagian kecil yang berada
dalam sitoplasma eritrosit. CO2 kira-kira 20 x lebih larut dalam darah daripada oksigen.
Pembentukan asam karbonat (H2CO3) amat lambat dalam plasma, tetapi cepat dalam sel
darah merah karena adanya enzim karbonik anhidrase. Enzim ini adalah protein yang
mengandung seng, yang tinggi kadarnya dalam sel darah merah, tetapi tidak dalam
plasma. Ionisasi asam karbonat dalam sel darah merah muncul dengan cepat dan tidak
memerlukan enzim. Ketika konsentrasi H+ dan HCO3 - dalam sel meningkat, ion HCO3-
berdifusi keluar, tetapi ion H+ tidak dapat keluar dengan mudah karena dinding sel
relatif tidak dapat ditembus kation. Karena itu, untuk menjaga netralitas listrik, ion Cl-
berdifusi dari plasma, masuk kedalam sel, yang disebut pergeseran chlorida (Chlorida’s
Reaksi ini muncul karena Hb tereduksi adalah penerima proton ynag lebih baik daripada
bentuk teroksigenasi. Karena itu, kehadiran Hb tereduksi pada daerah perifer akan
meningkatkan pengangkutan CO2, sementara oksigenasi kembali darah di paru-paru
akan meningkatkan pelepasan CO2 (sering disebut efek Haldane).
Senyawa karbamino
Senyawa karbamino dibentuk oleh kombinasi CO2 dengan kelompok amino terminal
dari protein darah. Protein utama adalah globin dari hemoglobin, dan reaksinya dapat
ditunjukkan :
?CO2 + Hb-NH2 Hb-NH-COOH
? Hb-NH-COO + H+
Reaksi ini muncul cepat tanpa perlu enzim, dan sebagian besar asam karbamat dalam
bentuk terionisasi. Hemoglobin tereduksi dapat mengikat CO2 lebih banyak daripada
HbO2. Deoksigenasi darah pada kapiler meningkatkan pengangkutan CO2, sementara
oksigenasi pulmonal mening-katkan pelepasan CO2 (efek Haldane). Kontribusi dari
berbagai bentuk CO2 di darah arteri dapat diperkirakan sebagai berikut :
1. Terlarut secara fisik: 5%
2. Bikarbonat : 90%
3. Karbamino : 5%.
Kurva Disosiasi
Hubungan antara pCO2 dan kadar total CO2 dalam darah ditunjukkan dalam gambar 5-
16. Kurva disosiasi CO2 jauh lebih linear daripada kurva disosiasi oksigen (Gambar 5-
3). Makin rendah saturasi hemoglobin beroksigen, makin besar kadar CO2 pada kondisi
pCO2 tertentu. Seperti telah disebutkan, efek Haldane dapat dijelaskan dengan
kemampuan hemoglobin yang lebih baik dalam menyapu ion H+ yang diproduksi saat
disosiasi asam karbonat, dan makin besar kemampuan hemoglobin tereduksi untuk
karbamino-hemoglobin.
Gambar 5-17 menunjukkan bahwa kurva disosiasi untuk CO2 adalah jauh lebih curam
daripada oksigen. Sebagai contoh : pada rentang 40-50 mmHg, kadar CO2 berubah
sekitar 4,7 ml /100ml dibanding kadar oksigen yang sekitar 1,7 ml /100ml.
A SIRKUIT MAPLESON
Sistem insuflasi dan draw-over memiliki beberapa kerugian: kontrol konsentrasi gas
inspirasi dan kedalaman anestesi yang buruk, ketidakmampuan membantu atau
mengontrol ventilasi, tidak ada konservasi panas atau kelembaban yang dihembuskan,
kesulitan manajemen saluran napas selama pembedahan kepala dan leher, dan polusi
ruang operasi dengan volume buangan gas yang besar. Sistem Mapleson memecahkan
beberapa dari masalah ini dengan menambahkan beberapa komponen (selang
pernapasan / Breathing tube, saluran masuk segar / fresh gas inlet,katup pembatasan
D. Reservoir Bag
Fungsi reservoir bag sebagai reservoir gas anestesi dan suatu metode
membentuk ventilasi tekanan positif. Mereka didesain untuk meningkatkan
komplians saat volumenya meningkat. Tiga fase berbeda dalam pemenuhan
reservoir bag dapat dikenali (Gambar 3-6). Setelah kapasitas nominal 3 L dari
sebuah reservoir bag dewasa dicapai (fase I), tekanan meningkat dengan cepat
sampai puncak (fase II). Peningkatan lebih jauh dalam volume menghasilkan
plateau atau bahkan penurunan tekanan ringan (fase III). Efek batas maksimal
ini membantu melindungi paru-paru pasien dari tekanan saluran pernapasan
yang tinggi jika katup APL tanpa sengaja berada pada posisi tertutup ketika
udara segar terus mengalir ke sirkuit.
CIRCLE SYSTEM
Meskipun sirkuit Mapleson mengatasi beberapa kerugian insuflasi dan draw-over
system, aliran udara segar yang tinggi dibutuhkan untuk mencegah rebreathing yang
dihasilkan dalam buangan agen anestesi, polusi lingkungan ruang operasi, dan
hilangnya panas dan kelembaban pasien (Tabel 3-3). Dalam suatu usaha untuk
mencegah masalah ini, circle system menambahkan lebih banyak komponen ke dalam
sistem pernapasan.
B. Absorber Karbondioksida
Granule absorben ditempatkan dalam satau atau dua canister / kaleng yang pas
ddalam suatu piringan di bagian atas dan dasarnya. Bila bersatu unit ini disebut
sebagai absorber. (Gambar 3-8). Meskipun besar, dua canister menyediakan
absorbs CO2 yang lebih lengkap, lebih sedikit perubahan absorben, dan
resistensi aliran udara yang lebih rendah. Untuk memastikan absorbs yang
lengkap, volume tidal pasien seharusnya tidak melebihi ruang udara antara
granule absorben, yang secara kasar sama dengan 50 % kapasitas absorber.
C. Katup Unidirectional
Katup unidirectional yang berfungsi sebagai katup pemeriksa mengandung
diskus keramik atau mika yang terletak horizontal dalam valve seat / tempat
katup yang melingkar (Gambar 3-9). Aliran ke depan akan mendorong diskus ke
atas, melewatkan udara untuk melaju di dalam sirkuit. Inkompetensi katup
biasanya disebabkan oleh diskus yang tertekuk atau irregularitas seat. Katup
ekspirasi terpapar pada kelembaban udara alveolar.
Inhalasi membuka katup insipratory, menyebabkan pasien menghirup
campuran udara segar dan hembusan yang sudah melewati absorber CO2.
Secara bersamaan, katup ekspiratory menutup untuk mencegah rebreathing
udara yang dihembuskan yang masih mengandung CO2. Aliran udara yang
selanjutnya menjauhi pasien selama ekspirasi membuka katup ekspiratori. Udara
dikeluarkan melalui katup APL atau dihirup kembali oleh pasien setelah
melewati absorber. Penutupan katup inspiratory selama ekspirasi mencegah
udara ekspirasi tercampur dengan udara segar pada inspirasi. Malfungsi katup
unidirectional akan menyebabkan rebreathing CO2 yang mengakibatkan
hiperkapnea.
B. Dead Space
Bagian volume tidal yang tidak mengalami ventilasi alveolar disebut sebagai
dead space (baca bab 22). Maka, peningkatan dead space harus disertai dengan
peningkatan volume tidal yang sesuai jika ventilasi alveolar masih tetap tidak
berubah. Karena katup unidirectional, dead space pada circle system dibatasi
pada daerah distal dari titik percampuran udara inspirasi dan ekspirasi pada Y-
piece. Tidak seperti sirkuit Mapleson, panjang breathing tube tidak
mempengaruhi komplians sirkuit dan dengan demikian jumlah volume tidal
masuk ke sirkuit selama ventilasi tekanan positif. Circle system pediatric
mungkin memiliki sebuah sekat yang memisahkan udara inspirasi dan ekspirasi
dalam Y-piece dan breathing tube dengan komplians rendah yang lebih jauh
mengurangi dead space, meskipun mereka jarang digunakan dalam praktik saat
ini.
C. Resistensi
Katup unidirectional dan absorber meningkatkan resistensi circle system,
terutama pada frekuensi napas yang tinggi dan volume tidal yang besar. Namun
demikian, bahkan neonatus premature dapat diventilasi dengan baik
menggunakan circle system.
RESUSITASI BREATHINGSYSTEM
Resuscitation bag (AMBU bag atau unit bag-mask) sering digunakan untuk ventilasi
emergency karena kesederhanaannya, portabilitasnya, dan kemampuan untuk
memberikan hampir 100 % oksigen (Gambar 3-11). Sebuah resuscitator tidak seperti
sirkuit Mapleson atau circle system karena memiliki katup nonrebreathing. (ingat bahwa
sistem Mapleson dianggap tidak memiliki katup meskipun memiliki katup APL,
sedangkan circle system memiliki katup unidirectional yang langsung mengalir melalui
absorber tetapi dapat menyebabkan rebreathing udara ekspirasi.)
Konsentrasi oksigen yang tinggi dapat dialirkan ke masker atau tracheal tube
selama ventilasi spontan atau terkontrol jika sumber aliran udara segar dihubungkan
dengan inlet nipple. Katup pasien membuka selama inspirasi spontan atau dikontrol
sehingga udara dapat mengalir dari ventilation bag ke pasien. Rebreathing dicegah
dengan mengeluarkan gas yang diekspirasi ke atmosfer melalui bagian ekshalasi pada
katup ini. Ventilation bag yang dapat dipijat dan terisi otomatis juga memiliki sebuah
intake valve. Katup ini menutup selama pemijatan bag sehingga menimbulkan ventilasi
tekanan positif. Bag akan terisi ulang oleh aliran melalui fresh gas inlet dan melewati
intake valve. Menghubungkan suatu reservoir ke intake valve membantu mencegah
penempatan udara ruangan. Penggabungan katup reservoir sebenarnya dua katup
unidirectional; inlet valve dan outlet valve. Inlet valve menyebabkan udara luar
memasuki ventilation bag bila aliran udara segar tidak cukup untuk mempertahankan
SIRKUIT ANESTESI
Ada beberapa klasifikasi sirkuit nafas anestesi, antara lain didasarkan pada ada
atau tidaknya rebreathing atau reservoir, atau susunan dari komponen-komponen
penyusun sirkuit dan aliran sumber gas (fresh gas flow)2,3,4,6. Dalam makalah ini, sistem
nafas akan dikelompokkan didasarkan pada ada atau tidaknnya katup (valve).
Jenis sirkuit yang mempunyai arti penting dalam sejarah anestesi pediatri adalah
T-piece. T-piece telah diperkenalkan sebelum abad ke 20, dimana pemakaiannya pada
praktik anestesi diperkenalkan oleh Ayre. Pertama kali dipakai pada anak-anak yang
menjalani operasi labioplasty dan repair palatum dengan ventilasi spontan. Sirkuit ini
dibuat dari pipa (tube) metal dengan diameter 1 cm. N2O, oksigen dan anestesi volatil
memasuki tabung lewat celah kecil ke dalam tabung utama. Untuk mencegah dilusi gas
inspirasi dengan udara ruangan, laju aliran sumber gas (fresh gas flow) paling tidak
harus sama dengan aliran puncak inspirasi (kurang lebih tiga kali volume ventilasi
semenit pasien). Karena menggunakan aliran gas yang cukup besar, Ayre
menggabungkan dengan sebuah reservoir berupa pipa ombak (corrugated tube) yang
volumenya kurang lebih sepertiga dari volume tidal pasien. Selama rehat ekspirasi,
Untuk ventilasi kendali, Ayre menutup pipa ombak secara intermiten. Dia
mengamati tidak terjadi kongesti vena, dan ventilasi memadai untuk prosedur bedah
saraf. Tahanan atau resistensi dari sirkuit ini minimal, yaitu 1cmH2O pada flow 50
L/menit. Sejak penjelasan yang dikemukakan oleh Ayre, banyak muncul modifikasi dari
T-piece, masing-masing dengan konektor berdiameter berbeda-beda, dengan Y konektor
yang baru, atau reservoir dengan kapasitas berbeda. Dari modifikasi-modifikasi yang
dikemukan tersebut di atas, salah satu yang populer adalah Jackson Rees, dengan
menambahkan Ayre’s T-piece dengan sebuah kantung bermuara ganda, yang salah satu
muaranya dengan katup berfungsi sebagai pembuangan. Selama ventilasi spontan,
katup ini dibuka, dan fungsi sirkuit identik dengan T-piece. Ventilasi pasien dapat
dimonitor dari mengamati kantung cadang. Selama ventilasi kontrol, katup ini ditutup
sebagian, bertindak sebagai katup ekspirasi. Sirkuit berfungsi seperti Mapleson D4,5.
Gambar 1: T-piece, salah satu sirkuit tanpa katup yang dikemukakan oleh Ayre4.
Pada sistem Mapleson A (juga dikenal dengan sistem Magill), gas segar masuk
dekat dengan kantung cadang, dan katup overflow terletak di bagian proksimal dekat
pasien. Jika sirkuit dipergunakan pada ventilasi spontan, selama ekshalasi, terjadi
pergeseran gas ruang rugi, diikuti oleh gas alveolar memasuki pipa ombak, dimana
pada saat yang sama kantung cadang diisi dengan campuran gas dari pipa ombak
dan sumber gas segar. Saat kantong cadang terisi, tekanan akan semakin meningkat,
akan membuka katup overflow dan mengeluarkan gas ventilasi alveolar. Pada saat
Untuk TUGASMAS 290
291
rehat ekspirasi, gas segar tetap mengisi kantung cadang, selanjutnya gas alveolar,
gas ruang rugi sampai di katup overflow. Jadi akhirnya hanya gas segar yang
mengisi ruang pipa ombak dan pasien hanya menginspirasi gas segar. Mapleson
memperkirakan, rebreathing dapat dicegah bila aliran gas segar sama atau lebih
besar dari ventilasi semenit pasien. Pada pasien dewasa, studi laboratorium dan
klinis mencatat bahwa rebreathing masih belum terjadi sampai laju aliran gas segar
turun di bawah 70 persen, atau bahkan sampai 50 persen ventilasi semenit
penderita2,4.
Pada permulaan ekshalasi, kantong cadang yang kolaps selanjutnya diisi gas
ruang rugi dan gas alveolar memasuki pipa pipa ombak dan pada saat yang sama gas
segar mengisi kantung cadang. Saat inspirasi, karena tekanan yang diberikan pada
kantong cadang, pasien menginspirasi gas alveolar dari proksimal pipa ombak.
Karena tekanan jalan nafas yang meningkat pada akhir inspirasi, katup overflow
terbuka, mengeluarkan campuran gas raung rugi dan gas segar. Sebagai akibatnya,
penderita akan menginspirasi gas yang kaya dengan CO2 saat gas segar dikelurkan
lewat katup overflow. Pada pasien dewasa, aliran gas segar lebih besar dari 20
L/menit diperlukan untuk mencegah rebreathing selama ventilasi kendali. Data
pembanding untuk pasien anak-anak belum tersedia, dimana selama ventilasi
kendali adakah sirkuit dengan karakteristik rebreathing lebih kecil dari Mapleson
A2,4,5.
Sirkuit yang banyak dipakai pada anestesi pediatrik adalah Mapleson D atau
sistem D. Dengan Mapleson D, gas segar memasuki sirkuit di bagian proksimal
(dekat pasien), dan katup overflow terletak dekat kantung cadang. Walaupun sirkuit
ini telah banyak dipergunakan dalam beberapa tahun, masih belum ada
kesepahaman mengenai aliran gas optimal yang diperlukan. Pada sistem ini, terdapat
perbedaan selama ventilasi kendali dan ventilasi spontan. Selama ventilasi kendali,
katup overflow tertutup parsial, dan terbuka jika tekanan melebihi tekanan akhir
inspirasi. Selama ekshalasi, gas ruang rugi, gas alveolar dan gas segar memasuki
pipa ombak. Selama rehat ekspirasi (expiratory pause), gas segar tetap memasuki
sirkuit, mendorong campuran gas dalam pipa ombak ke dalam kantung cadang.
Sampai siklus nafas berikutnya dimulai, pasien menginspirasi isi dari pipa ombak,
gas segar, gas ruang rugi dan gas alveolar. Dengan meningkatnya tekanan dalam
sistem ini, katup overflow terbuka, mengeluarkan isi dari kantong cadang2,7,8.
Selama ventilasi spontan, katup overflow terbuka dan gas dikeluarkan dari
sirkuit saat tekanan jalan nafas maksimal, pada akhir ekshalasi. Pada awal ekshalasi,
gas ruang rugi, alveolar, dan gas segar memasuki pipa ombak, seperti selama
ventilasi kendali. Selama kantong cadang terisi, tekanan sistem akan meningkat,
membuka katup overflow sehingga memungkinkan sebagian dari campuran gas
keluar. Saat inspirasi, penderita menerima gas segar seperti campuran gas dalam
pipa ombak2,7.
Beberapa faktor mempengaruhi campuran gas dalam pipa ombak atau campuran
gas inspirasi. Pengaruhnya terhadap ventilasi alveolar harus dipertimbangkan.
a. Produksi Karbondioksida
Gas yang diterima oleh pasien saat inspirasi berasal dari sumber gas
segar dan gas dalam pipa ombak. Jika pada bagian proksimal dari pipa
ombak mengandung gas segar, penderita akan menerima lebih dominan gas
segar. Sebaliknya, jika gas alveolar sebagian tidak terdorong melewati
kantong cadang, penderita akan menerima beberapa bagian dari udara
ekspirasi dari siklus nafas sebelumnya. Perubahan laju aliran gas segar
mempengaruhi isi dari pipa ombak. Jika laju gas segar ditingkatkan, gas
alveolar akan terdorong lebih banyak dan gas inspirasi akan terisi sebagian
besar oleh gas segar. Jika laju gas segar mampu secara total mengeliminasi
rebreathing, peningkatan lebih tinggi dari laju gas segar tidak akan
mempengaruhi PCO2 udara inspirasi. Saat aliran gas segar diturunkan, lebih
sedikit gas alveolar yang dikeluarkan dari bagian proksimal sirkuit, dan
resikonya rebreathing akan terjadi lebih besar2,4.
d. Volume Tidal
Nightingale dkk. membedakan aliran gas dan laju respirasi untuk anestesi pada
anak dengan N2O dengan pengukuran PETCO2. Mereka menemukan bahwa retensi
karbondioksida dapat dicegah dengan menggunakan total gas flow minimal 3
L/menit untuk anak dibawah 30 lb (13,5 kg), atau dengan aliran gas segar 100 ml/lb
(220 ml/kg) untuk anak yang lebih besar. Dianjurkan juga laju respirasi berada pada
kisaran 20 sampai dengan 60 kali permenit, tanpa memandang besar anak2.
Rose dan Froese dengan menggunakan lung model, membedakan aliran gas,
ventilasi semenit, dan volume ruang rugi untuk menentukan hubungan masing-
masing variabel di atas dengan PETCO2. Hasil dari studi ini dipergunakan untuk
menentukan kebutuhan optimal untuk aliran gas segar dan ventilasi semenit untuk
sirkuit ini. Untuk tercapai keadaan normokarbia, mereka menganjurkan laju gas
sebesar 1000 ml/menit ditambah 100 ml/kgBB/menit untuk pasien dengan berat
badan antara 10 sampai dengan 30 kg, dan 2000 ml/kgBB/menit ditambah 50
ml/kbBB/mienit untuk anak dengan berat badan di atas 30 kg. Dengan
menggunakan ventilasi semenit sama atau dua kali aliran gas segar, PCO2 rata-rata
44 mmHg, atau pada kisaran 30 – 48 mmHg. Agar terjadi hipokarbia (PCO2 30
mmHg), mereka menyarankan peningkatan laju aliran gas mencapai 1600 ml/menit
ditambah 100 ml/kgBB/menit, atau 3200 ml/menit ditambah 50 ml/kgBB/mnt untuk
Rayburn dan Graves menggunakan persamaan gas alveolar dan nilai Bain dan
Spoerel untuk produksi CO2, dihitung dengan aliran gas segar sebesar 2000
ml/m2/menit mencukupi untuk mempertahankan normokarbi selama anestesi
dengan menggunakan N2O, halotan dan d-tubokurarin. Dalam praktik, aliran gas
segar 2500 ml/m2/menit diperlukan untuk mempertahankan PCO2 40 mmHg,
ketidakcocokan yang mereka jelaskan dengan perbedaan produksi CO2, ambilan
anestetik dan ruang rugi alveolar2,4.
Seely dkk. melakukan analisa hubungan antara PACO2, produksi CO2, ventilasi
alveolar dan aliran gas segar. Analisis ini menghasilkan normogram dimana PACO2
dapat diprediksi didasarkan pada aliran gas segar dan ventilasi semenit. Tapi
normogram ini tidak diuji pada manusia. Untuk mengetahui kebutuhan aliran gas
Untuk TUGASMAS 296
297
pada bayi baru lahir dengan Mapleson D, Gwill dkk. melakukan studi pada kelinci
dengan berat 2 sampai dengan 4 kg. Mereka menyimpulkan bahwa dengan laju
aliran gas 3 L/menit, volume tidal 10 ml/kgBB dan laju respirasi 40 kali permenit
didapatkan keadaan hipokapnia dengan PCO2 rata-rata 27 mmHg. Mereka
menyimpulkan keadaan ini dapat diaplikasikan pada neonatus2.
Ada banyak anjuran atau rekomendasi dalam hal aliran gas segar dan ventilasi
semenit bagi anestetis yang mempergunakan sistem mapleson D dengan ventilasi
kendali. Tiap rekomendasi memerlukan perhatian khusus tertentu. Rayburn dan
Graves menganjurkan menyesuaikan normogram dengan berdasarkan mengetahui
luas permukaan tubuh, seperti yang dianjurkan oleh Seeley dkk. Dari studi yang
telah dilakukan, rekomendasi yang diajukan oleh Rose dkk, serta Bain dan Spoerel
adalah yang paling sederhana.
Mengacu pada rekomendasi dari Rose dkk, diperlukan pemahaman tentang dua
formula untuk aliran gas segar, ventilasi yang diberikan sebesar 2 kali aliran gas
segar. Walaupun Bain dan Spoerel merekomendasikan aliran gas segar 70
ml/kgBB/min dengan laju minimal 3,5 L/menit, pada infan dengan berat badan
kurang dari 10 kg, aliran gas 2 L/menit sering dipergunakan. Ventilasi identik untuk
semua pasien, laju respirasi 12 sampai 14 kali permenit dan volume tidal 10
ml/menit. Dengan laju respirasi 12 sampai 14 kali permenit, aliran udara inspirasi
dapat ditingkatkan sampai tekanan jalan nafas puncak kurang lebih 20 cmH2O, yang
kurang lebih dengan volume tidal 10 ml/kbBB4.
Mapleson menetapkan bahwa selama ventilasi spontan, aliran gas segar melebihi
dua kali ventilasi semenit pasien diperlukan untuk mencegah rebreathing. Harrison
meneliti bentuk aliran respirasi dan mendemonstrasikan bahwa rebreathing dapat
dicegah dengan sempurna bila aliran gas segar melebihi aliran puncak inspirasi.
Masalahnya, aliran puncak tersebut sangat bervariasi pada tiap individu. Pada infan,
aliran puncak inspirasi melebihi tiga kali volume semenit. Harrison berpendapat
bahwa aliran gas segar 2,5 kali volume semenit umumnya cukup efektif mencegah
rebreathing. Selama bertahun-tahun dipercaya bahwa sirkuit ini dapat dipergunakan
dengan ventilasi spontan hanya jika rebreathing dapat dicegah dengan sempurna.
Untuk itu, laju aliran gas segar yang tinggi diperlukan dan dianggap sirkuit ini tidak
efisien dipergunakan untuk ventilasi spontan4.
Rekomendasi ini dicermati oleh Byrick, yang menganalisa aliran gas segar
rendah lebih meningkatkan laju respirasi daripada volume tidal. Disamping itu,
respon ventilasi terhadap CO2 dalam udara inspirasi sangat bervariasi pada pasien
dewasa. Kalau aliran gas segar diturunkan, dari 150 sampai 70 ml/kgBB/menit
beberapa pasien terjadi peningkatan ventilasi semenit, akibatnya terjadi perubahan
PETCO2 yang sangat minimal. Pada beberapa pasien, penurunan laju aliran gas
segar tidak diikuti peningkatan ventilasi semenit, sehngga PETCO2 meningkat.
Byrick mempertanyakan manfaat hiperpnea2,4.
Gas segar yang dibutuhkan selama ventilasi spontan sedikit mendapat perhatian.
Soliman dkk. mempelajari anak berumur 1 sampai 5 tahun yang menjalani anestesi
dengan N2O dan halotan. Aliran gas segar diberikan 50% lebih besar dari kebutuan
ventilasi alveolar didasarkan luas permukaan tubuh. Dengan aliran gas segar 206 ±
42 (rata-rata ± SD) ml/kgBB/menit menghasilkan keadaan normokapnea2.
Lindahl dkk. mengevaluasi beberapa formula untuk aliran gas segar selama
ventilasi spontan dan menentukan formula yang mana yang meyakinkan tidak
terjadi rebreathing. Mereka melakukan anestesi terhadap infan dan anak dengan
N2O dan halotan dengan ventilasi spontan. Aliran gas segar diturunkan sampai CO2
udara inspirasi dapat dideteksi. Aliran gas segar saat terjadi rebreathing
dibandingkan dengan laju aliran gas segar yang dibutuhkan yang diprediksi dengan
beberapa formula. Aliran gas segar sama dengan dua kali ventialsi semenit mesih
terjadi rebreathing, sedangkan rebreathing dapat dihindari dengan tiga kali ventilasi
semenit. Formula ketiga, aliran gas segar sebesar 15 x BB x laju respirasi, terlalu
rendah untuk seorang subjek (dengan RR 15 kali permenit). Formula keempat,
dengan aliran gas segar 3 x (1000 + 1000 x BB) mencukupi2,4.
Sirkuit Bain merupakan varian dari Mapleson D dimana aliran gas segar
ditempatkan koaksial dari pipa ombak. Sirkuit ini diperkenalkan pertama kali oleh Bain
dan Spoerel tahun 1972. Disamping penempatan aliran gas segar dalam limbus
ekspirasi, gas segar memasuki sirkuit langsung dekat pasien dan gas alveolar langsung
dikeluarkan lewat tabung ekspirasi menuju katup overflow. Fungsi sirkuit ini mirip
dengan Mapleson D. Bain dan Spoerel menyarankan sirkuit ini sebagai sirkuir yang
dapat diterima universal, dapat dipergunakan pada ventilasi spontan dan kendali, dan
pada pasien dengan berbagai umur2,4,6,7.
Gambar 5: Sirkuit Bain, modifikasi Mapleson D dengan gas segar terletak koaksial
pipa ombak3.
Keyakinan bahwa penempatan aliran gas segar dalam pipa ombak dapat menghangatkan
dan melembabkan gas inspirasi tidak sepenuhnya dapat diterima untuk pasien pediatri.
Misalnya pada aliran gas segar 2 L/menit untuk infan dengan berat 5 kg. Jika ventilasi
semenit 150 ml/kgBB/menit, hanya 37,5% (750/2000) dari aliran gas menju pasien yang
dihangatkan dan dilembabkan. Sebagian besar sisanya dari gas inspirasi tetap dingin dan
kering. Penurunan aliran gas dapat meningkatkan kehangatan dan kelembaban, tapi
meningkatkan rebreathing. Para klinisi yang perhatian terhadap temperatur dan
kelembaban gas inspirasi menambahkan humadifier pada sirkuit nafas yang
dipergunakan4.
Salah satu masalah yang dapat terjadi pada pemakaian sirkuit Bain adalah
potensial terjadi rebreathing yang berlebihan kalau pipa aliran gas segar patah atau
bocor di dalam pipa ombak. Jika keadaan ini terjadi, gas segar akan masuk kedalam
pipa ombak dekan kantong cadang (lebih banyak dari pada dekat pasien). Keseluruhan
volume sirkuit antara bagian yang patah dengan pasien akan menjadi ruang rugi, dan
akan terjasi hiperkarbi yang berlaebihan. Untuk menilai integritas aliran gas segar,
Pethick merekomendasikan aliran gas tinggi (oxygen flush) melewati sirkuit. Jika pipa
aliran gas segar utuh, efek venturi akan menurunkan tekanan dalam ruang ekspirasi,
menyebabkan kantong cadang kolaps. Jika pipa aliran gas patah, gas akan mengisi
ruang ekspirasi, mengisi kantong cadang. Menover ini dapat dikerjakan dalam beberapa
detik, dan direkomendasi sebagai bagian dari pemeriksaan preanestetik untuk sirkuit
ini4.
Gambar 6: Manouver Pethicks, pemeriksaan intergritas aliran gas segar pada sirkuit
Bain / CPRM3.
Sirkuit koaksial yang lain yang dikenal adalah CPRAM (Controlled Partial
Rebreathing Anesthesia Method), berbeda dengan sirkuit Bain dengan adanya dua
lubang pada sisi pasien dan muara dalam. Penerbit mengklaim sirkuit ini
memungkingkan humidifikasi lebih baik, dan efisien mengeluarkan CO2. Tapi sistem
ini menyulitkan klinisi untuk melakukan manouver Pethick, karena gas dapat keluar dari
lubang samping sehingga kantong cadang tetep terisi, walaupun penerbit mengklaim
sirkuit ini kecil kemungkinannya untuk patah atau bocor. Pethick manouver
dimodifikasi oleh Robinson dan Fisher dengan menutup celah samping dengan
menggunakan 1,5 cm ETT 6,5 cm3,4.
Waters mengemukakan sirkuit dengan katup overflow dan sumber gas segar
pada kedua ujungnya. Dengan menambahkan katup overflow dan sumber gas segar
yang memadai, sirkuit in dapat diubah konfigurasinya dengan cepat dari kondigurasi A
ke D. Baraka mengemukakan sirkuit dengan dua T-pieces, satu dekat resevoir dan yang
lain di bagian proksimal dekat pasien. Bila gas segar dihubungkan pada bairn
proksimal, fungsi sirkuit sesuai dengan D. Jiga dihubungkan dengan bagian lainnya,
fungsi sirkuit sesuai dengan A2,3,4,6.
Sistem sirkuit yang lebih banyak dipergunakan pasien dewasa adalah sistem
lingkar (circle). Sirkuit ini terdiri atas sumber gas segar, katup searah inspirasi dan
ekspirasi, katup overflow, pipa inspirasi dan ekspirasi, kantong cadang, penghubung Y
dan kanister yang berisi penyerap CO2.
Pemakaian sirkuit ini sama selama ventilasi spontan dan kendali. Katup inspirasi
terbuka dengan tekanan intrapleura yang negatif dan tekanan dari kantong cadang. Gas
segar langsung menuju bagian inspirasi, dan laju inspirasi dipercepat dengan aliran gas
segar, gas yang melewati kanister. Saat ekspirasi, tekanan dalam sirkuit meningkat,
menutup katup inspirasi dan membuka katup ekspirasi. Gas alveolar menuju bagian
ekspirasi menuju katup overflow dan kanister. Selama rehat ekspirasi, katup inspirasi
tertutup, dan gas segar mengalir terbalik melewati kanister. Kalau katup kompeten dan
penyerap CO2 berfungsi baik, gas menuju pasien secara tidak langsung, tidak terjadi
inpirasi CO2. Meskipun katup berfungsi baik, sebagian gas ekspirasi memasuki bagian
inspirasi dan terjadi rebreathing, jika katup inspirasi tidak tertutup segera selama
ekspirasi. Pada pasien dewasa dengan komplien paru normal, sebanyak 150 ml gas
keluar dari katup inspirasi selama ventialsi manual. Ruang rugi sistem sirkuit ini mulai
dari Y-piece sampai ruang nafas pasien, tidak termasuk volume rongga nafas. Sistem ini
berbeda dengan sistem nafas sebelumnya dengan adanya katup searah dan kanister,
yang masing-masing meningkatkan resistensi dari sirkuit2,4,6.
Sebelum era 1950-an, sistem lingkar ini dipercaya tidak sesuai untuk
dipergunakan pada anestesi pediatrik. Hal ini karena ruang rugi dan resistensi jalan
Sistem lingkar pada pasien pediatri terbagi atas sistem lingkar dewasa
konvensional dan sistem lingkar pediatri. Sistem lingkar dewasa konvensional mirip
dengan sistem lingkar dewasa, dimana katup, kanister dan konektor dengan resistensi
dan ruang rugi lebih kecil. Graff dkk. melakukan anestesi pada infan dengan N2O dan
halotan dengan menggunakan Ayre T-piece dan sistem lingkar. Pemeriksaan darah
kapiler dilakukan 15 menit menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna pH dan PCO2.
Tidak terdapat perbedaan tanda-tanda kardiovaskuler dan tanda klinik lain pada
pemakaian kedua sistem sirkuit ini2,4.
Sistem lingkar pediatri yang khusus didesain khusus untuk pasien pediari sudah
banyak diperkenalkan. Masing-masing memiliki komponen dasar sistem lingkar pada
pasien dewasa dengan ukuran yang disesuaikan. Misalnya dengan Bloomquist Pediatric
Circle Absorber, anestetis dapat memasang kanister pada bagian inspirasi maupun
ekspirasi. Pemasangan kanister pada bagian inspirasi memungkinkan anestetis
melakukan asisst ventilasi untuk melawan resistensi kanister. Ohio Infant Circle
Absorber berbeda dengan konfigurasi sistem lingkar pada umumnya karena sumber gas
segar ditempatkan setelah katup inspirasi, untuk meyakinkan aliran gas yang konstan
yang mendorong ruang rugi pada sungkup. Dengan laju gas segar 3 L/menit, ruang rugi
dengan sungkup kurang dari 5 ml dibandingkan dengan sistem lain yang mencapa 7
sampi 19 ml. Kedua sistem lingkar ini disertai dengan pipa inspirasi dan ekspirasi,
reservoir, kanister dan konektor Y yang lebih kecil, untuk meminimalkan ruang rugi.
Resistensi dari sirkuit ini rendah, dibawah 0,3 cmH2O pada laju gas 10 L/menit dengan
Sistem Ohio 2,4.
NUTRISI PARENTERAL
Nutrisi adalah bagian dari kebutuhan vital tubuh setelah oksigen dan cairan. Secara
fisiologis nutrisi adalah fungsi oral dan enteral (usus). Sedangkan nutrisi parenteral
adalah jalan pintas yang digunakan bila usus tidak dapat berfungsi memenuhi
kecukupan nutrisi.
Kapan nutrisi parenteral diberikan ?
Jika usus tidak dapat menyerap dan mencerna nutrien dalam jumlah cukup untuk
memenuhi kebutuhan metabolisme normal dengan proteolisis yang minimal
Apa yang diberikan untuk nutrisi parenteral perhari ? (rekomendasi ASPEN guidelines
2002)
1. Karbohidrat 20 -35 kcal/kg (rata-rata 25 kcal/kg/hari tergantung kemampuan
tubuh = 6m karbohidrat/kg)
2. Glukosa sampai 5 g/kg/hari
3. Lemak 1 gm/kg/hari pada masa kritis. Pada fase penyembuhan dapat dinaikan
maksimal sampai 2,5 gm/kg/hari
4. Asam amino 0,8 – 2 gm/kg/hari
Untuk TUGASMAS 307
308
5. Diberikan dalam volume maintenens 30 – 40 ml
Perbedaan Total Parenteral Nutrisi ( TPN ) dan Partial Parenteral Nutrisi ( PPN )
TPN : -memerlukan dosis tinggi
-Obserasi dan monitoring karena dengan dosis tinggi dapat terjadi metabolik
overload yang tidak menguntungkan seperti hiperglisemia, hipertrigliseridemia,
colestasis, fatty degenaration hepar, penurunan respon imun, BUN meningkat,
infeksi jalur inus, sumbatan
PPN : -sifatnya sekedar memberi tambahan nutrisi sampai sebatas kemampuan
metabolik pasien bukan memenuhi seluruh kebutuhan. Dengan tetap
memperhatikan fungsi sedini mungkin nutrisi enteral segera diberikan dan
dinaikan sampai kebutuhan normal tercukupi.
Hal penting dalam nutrisi parenteral
1. Cairan nutrisi selalu pekat (hipertonis), mudah thromboplebitis
2. Jika lewat jalur vena perifer, gunakan jarum kecil ( manitenens-nutrisi Ф 20-22-
24, replasement Ф 16-18-20 )
3. Hindari vena kaki
4. Dilakukan secara aseptik
Contoh pemberian :
Umur 5 th, BB 25 kg dengan operasi apendicitis perforasi, dengan kebutuhan minimal
- Maintenans Na 75 mEq, K 25 mEq, Kalori 750 kcal , cairan 1500 cc perhari
a. 1000 cc Dext 5% + 500 cc NaCl 0,9% = Na 75 mEq, K (-), Kalori 200
kcal
b. 1500 cc D5%-NaCl 0,225 = Na 55 mEq, K (-), Kalori 300 kcal
c. 1500 cc D10%-NaCl 0,18% = Na 45 mEq, K (-), Kalori 600 kcal
d. 1500 cc KaEnMg3 = Na 75 mEq, K 30 mEq, Kalori 750 kcal
e. 1000 cc KaEnMg3 + 500 cc Panamin G = Na 50 mEq, K 20 mEq, Kalori
500 kcal, a.a 13 gm
Pilihan untuk awal post operatif, cukup memenuhi kebutuhan cairan, elektrolit serta
kalori pada hari I sampai ke 2, selanjutnya meningkat dengan pemberian asam
amino maupun emulsi lemak bila diperlukan sesuai kondisi pasien dengan tetap
memperhatikan kondisi nutrisi enteral sedini mungkin.
Pt weight kg 85
Kcal/day 2550 30 Kcal/kg/24h
Protein 4 Kcal/gm
Prot Reqt
(gm/day) 59.5 0.7 g/kg
Calories from prot 238
AA10% ml/24h 595 0.1 g/ml
AA8.5% ml/24h 700 0.085 g/ml
remainder 2312
Lipids reqt
kcal/24h 693.6 30%
g Lipid/24h 77.0666667 9 kcal/gm
Lipids 20% ml/24h 385.33 20 g/100 ml
Lipids 10% 630.545455 1.1 Kcal/ml
Total 1660.33333
ml/hr 69.1805556
KALIUM
Kalium tubuh total pada orang dewasa normal kira-kira 40-50 mEq/kgBB. Hanya kira-
kira 1,5% didapatkan didalam CES. Intake kalium harian yang umum adalah 1,0-1,5
mEq/kgBB; kira-kira 10% dari ini diekskresi lewat feces dan keringat, sisanya
diekskresi lewat ginjal. Ginjal normal dapat mengekskresi sampai 6 mEq/kgBB/hari.
Kadar kalium serum merupakan indikator petunjuk umum dari kalium total tubuh, tatapi
beberapa faktor dapat mempengaruhi distribusi transeluler kalium ini [kelainan asam
basa,kenaikan osmolaritas ekstraseluler,defisiensi insulin].
B. PENYEBAB
C. PENGOBATAN
Kalium dapat diberikan untuk mengganti kehilangan kalium secara kronis atau
ditujukan untuk memperbaiki kadar kalium serun yang rendah. Pasien yang sedang
mengalami kehilangan Natrium perlu pengawasan kadar kaliumnya untuk
merencanakan terapinya. Pengobatan hipokalemi [kadar kalium lebih rendah dari 3,5
mEq/liter] adalah paling penting pada pasien yang menderita penyakit Jantung dan para
HIPERKALEMI
A. MANIFESTASI HIPERKALEMI biasanya terjadi apabila kadar kalium serum > 6.5
mEq/L. Manifestasi NEROMUSKULER meliputi:
kelemahan,parestesia,aregleksi,paralisis asendens,dan kegagalan pernafasan.
Manifestasi JANTUNG meliputi bradikardi yang dapat berkembang menjadi
asistol,pemanjangan hantaran AV yang dapat menyebabkan hambatan jantung total,dan
fibrilasi ventrikularis. Kalau kadar kalium serum meningkat, maka manisfetasi EKG
BERUBAH SECARA PROGRESIF. Mula-mula timbul gelombang meninggi atau
bentuk tenda. Kemudian terjadi depresi segmen T, hambatan AV derajat 1, dan terjadi
pemanjangan QRS. Akhirnya timbul suatu gel bifasik ["sine wave"] yang menunjukkan
fusi [persatuan] antara QRS yang memanjang dan gel T, yang merupakan tanda henti
ventrikuler iminen ["imminent ventricular standstill"]. Kecepatan perkembangan
pemburukan ini sulit diramalkan, dan pasien dapat berkembang dari perubahan EKG
inisial menjadi gangguan hantaran yang mebahayakan atau aritmia dalam beberapa
PROSES HEMOSTASIS
Pada saat cedera ada 3 proses utama yang menyebabkan hemostasis dan
koagulasi yang melindungi dari perdarahan masif yaitu vasokonstriksi sementara ,
reaksi trombosit dan aktivasi faktor-faktor pembekuan(1,2,3,4).
VASOKONSTRIKSI(2,3)
Vasokonstriksi terjadi sejak saat pembuluh darah cedera hingga kontraksi pembuluh
darah (kurang lebih 30 menit). Selama fase ini sel endotel berkontraksi dan
mengeluarkan faktor kimia dan hormone lokal yaitu Adenosin difosfat,
prostacyclin,endothelin hormone . Faktor kimia dan hormone tersebut menstimulasi
kontraksi otot polos dan kontraksi pembuluh darah serta respon saraf ke saraf pusat .
TROMBOSIT (2,3,4)
Trombosit atau platelet bukan merupakan sel tapi fragmen sel granular berbentuk
cakram dan tidak berinti. Berasal dari sel induk pluripoten yang berdiferensiasi menjadi
megakarioblas, melalui serangkaian proses maturasi menjadi megakariosit raksasa.
Sitoplasma sel ini memisahkan diri menjadi trombosit – trombosit yang beredar dalam
sirkulasi darah.
Trombosit berukuran diameter 1 – 4 mikrometer dan siklus hidupnya 9 – 12 hari.
Sepertiga dari jumlah total berada dalam lien sebagai cadangan yang akan keluar bila
jumlah di sirkulasi menurun (perdarahan hebat). Jumlah yang beredar dalam sirkulasi
antara 150.000 – 300.000 permikroliter darah.
Fungsi trombosit :
Reaksi trombosit terjadi beberapa detik setelah sel endotel mengeluarkan hormonnya
sebagai tanda adanya kerusakan pembuluh darah. Trombosit akan menempel pada
dinding pembuluh darah yang rusak ( adesi ). Setiap trombosit yang datang akan
mengeluarkan enzim dan faktor kimia lain yang merangsang trombosit lain untuk adesi
sehingga terjadi agregasi. Agregasi terbentuk 15 detik setelah cedera. Agregasi
trombosit membentuk plak yang akan menutup kerusakan dinding pembuluh darah dan
plak dipadatkan oleh filamen – filamen dari trombosit sehingga kebocoran dinding
pembuluh darah tidak bertambah. Proses ini akan terus berlanjut dan bisa terjadi
trombosis sistemik. Proses fibrinolitik akan menghentikan reaksi trombosit . Reaksi
trombosit diikuti dengan aktivasi faktor pembekuan dimana fibrin akan mengikat plak
trombosit.
Aktivasi faktor pembekuan terjadi 30 detik kemudian setelah vase konstriksi dan
trombosit.
Instrinsic pathway
Prekalikrein
XII XIIa
HMW kininogen
IX IXa III
Ca 2+
VII VII
Fosfolipid
Ca2+ Ca2+
-------------------------------------------------------------------------------------------------------
X Xa
Ca2+
common pathway Fosfolipid
II IIa(trombin)
XIIIa XIII
Ca2+
Clotting time (watu pembekuan Lee White): menilai mekanisme koagulasi ,waktu yang
diperlukan untuk membentuk bekuan padat. Normal 6 – 12 menit. Tes ini relatif tidak
sensitif, memanjang pada defisiensi faktor koagulasi, terapi antikoagulan berlebihan dan
menurun pada terapi kortikosteroid.
D-Dimer Test : mengukur pemecahan produk-produk bekuan fibrin plasma .Normal <
500, meningkat pada DIC,terapi trombolitik,trauma.
Adanya kelainan hemostasis yang ditandai dengaan anamnesa, pemeriksaan fisik dan
nilai laboratorium yang abnormal perlu dievaluasi apakah memerlukan koreksi segera
sebelum operasi,selama operasi atau setelah operasi.
Kelainan vaskuler ditandai dengan perdarahan kulit dan sering mengenai membran
mukosa. Fungsi trombosit dan pembekuan normal. Perdarahan terbagi atas purpura
alergik dan non alergik. Purpura adalah perdarahan kulit terutama bagian mukosa
berukuran lebih dari 4 mm, datar,tidak pucat jika ditekan.
Purpura alergik/ anafilaktoid diduga akibat kerusakan imunologik pada vaskuler
ditandai dengan perdarahan petekie (ukuran perdarahan 1 – 4 mm). Contoh : purpura
Henoch- Schönlein (trias : purpura, gangguan saluran cerna dan arthritis) pada anak –
anak.
Purpura non alergik diawali dengan vaskulitis, peradangan pada vaskuler yang merusak
integritas dan mengakibatkan perdarahan. Contohnya: lupus erimatosus sistemik, dan
purpura senilis akibat penuaan.
Pengobatan kelainan vaskuler bersifat suportif dan menghindari obat – obatan yang
bersifat antikoagulan.
Kelainan trombosit
a. Kelainan herediter
Penyakit Hemofilia(3,7)
Hemofilia klasik atau tipe A merupakan gangguan koagulasi herediter akibat defisiensi
faktor VIII atau tidak adanya faktor antihemofilia VIII.Hemofilia B atau penyakit
Christmas merupakan gangguan koagulasi akibat defisiensi faktor IX. Keduanya
merupakan penyakit genetic terkait X resesif. Manifestasi berupa perdarahan sendi
(hemartrosis) sampai perdarahan spontan. Laboratorium menunjukkan jumlah dan
fungsi trombosit normal, PPT normal tapi APTT memanjang. Terapi yang diberikan
untuk mengatasi defisiensi faktor VIII adalah recombinate , kogenate atau monoclate- P.
Mononine merupakan terapi untuk faktor IX. DDAVP (1- deamino 8 -D- arginine
vasopressin) diberikan untuk hemofilia ringan hingga sedang.
Pada hemofilia B, pemberian konsentrat faktor IX untuk mencapai target kadar Faktor
IX 80 – 100% nilai normal. Bisa juga diberikan Fresh Frozen Plasma (FFP) bila defisit
faktor IX dan perdarahan minimal karena beresiko terjadi hiperkoaguasi. FFP banyak
mengandung faktor pembekuan yang lain. Mungkin perlu dipikirkan pemberian heparin
5000 unit setiap 8 jam.
Penyakit Von Willebrand(1,3,7)
Penyakit ini akibat penurunan glikoprotein, Von Willebrand Factor (VWF) yang
membawa protein untuk aktivitas faktor VIII. VWF juga berfungsi melapisi permukaan
membran pembuluh darah yang rusak untuk melekatkan adesi platelet. Tingkatan
penyakit mulai dari severe hingga mild.
Kelainan Fibrinolitik
Proses fibrinolitik secara normal menghentikan proses pembekuan. Bila berlebihan
dapat menimbulkan perdarahan. Antifibrinolitik yaitu Asam tranexamat dan epsilon-
aminocaproic acid (EACA) menghambat proses plasminogen menjadi plasmin sehingga
pemecahan fibrin berhenti. Asam tranexamat 6 – 10 kali lebih kuat dari EACA, dosis
awal 10-15 mg /kgbb diikuti dengan 1 mg/kgbb/jam (infus) sampai perdarahan berhenti.
(1,7).
BATASAN
Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah penyakit otoimun yang terjadi karena
produksi antibodi terhadap komponen inti sel tubuh sendiri yang berkaitan dengan
manifestasi klinik yang sangat luas pada satu atau beberapa organ tubuh, dan ditandai
oleh inflamasi luas pada pembuluh darah dan jaringan ikat, bersifat episodik diselangi
episode remisi.
PATOFISIOLOGI
Tidak diketahui etiologi pasti. Ada faktor keluarga yang kuat terutama pada
keluarga dekat. Resiko meningkat 25–50% pada kembar identik dan 5% pada kembar
dizygotic, menunjukkan kaitannya dengan faktor genetik. Fakta bahwa sebagian kasus
bersifat sporadis tanpa diketahui faktor predisposisi genetiknya, menunjukkan faktor
lingkungan juga berpengaruh. Infeksi dapat menginduksi respon imun spesifik berupa
molecular mimicry yang mengacau regulasi sistem imun. Faktor lingkungan yang
mencetuskan LES, bisa dilihat pada tabel berikut :
Tabel 1. : Faktor Lingkungan yang mungkin berperan dalam patogenesis Lupus
Eritematous Sistemik (dikutip dari Ruddy: Kelley's Textbook of
Rheumatology, 6th ed 2001
GEJALA KLINIK/SYMPTOM
Kulit.
Sebesar 2 sampai 3% lupus discoid terjadi pada usia dibawah 15 tahun. Sekitar 7%
Lupus diskoid akan menjadi LES dalam waktu 5 tahun, sehingga perlu dimonitor
secara rutin Hasil pemeriksan laboratorium menunjukkan adanya antibodi
antinuclear (ANA) yang disertai peningkatan kadar IgG yang tinggi dan lekopeni
ringan.
Serositis (pleuritis dan perikarditis).
Gejala klinisnya berupa nyeri waktu inspirasi dan pemeriksaan fisik dan radiologis
menunjukkan efusi pleura atau efusi parikardial.
Ginjal
Pada sekitar 2/3 dari anak dan remaja LES akan timbul gejala lupus nefritis. Lupus
nefritis akan diderita sekitar 90% anak dalam tahun pertama terdiagnosanya LES.
Berdasarkan klasifikasi WHO, urutan jenis lupus nefritis yang terjadi pada anak
berdasarkan prevalensinya adalah : (1) Klas IV, diffuse proliferative
glomerulonephritis (DPGN) sebesar 40%-50%; (2) Klas II, mesangial nephritis
(MN) sebesar 15%-20%; (3) Klas III, focal proliferative (FP) sebesar 10%-15%;
dan (4) Klas V, membranous pada > 20%.
Hematologi
Kelainan hematologi yang sering terjadi adalah limfopenia, anemia,
trombositopenia, dan lekopenia.
Pneumonitis interstitialis
Merupakan hasil infiltrasi limfosit. Kelainan ini sulit dikenali dan sering tidak dapat
diidentifikasi. Biasanya terdiagnosa setelah mencapai tahap lanjut.
CARA PEMERIKSAAN/DIAGNOSIS
Tidak ada gejala atau tanda-tanda tunggal yang cukup untuk menegakkan diagnosa. Bila
seorang anak diduga LES, pemeriksaan yang perlu dilakukan adalah: darah lengkap dan
hitung jenis, trombosit, LED, ANA, urinalisis, serta pemeriksaan laboratorium
tambahan lainnya seperti sel LE, antibodi anti-ds DNA, dan sebagainya. Mendiagnosa
LES pada anak bisa memakai kriteria ARA, seperti berikut :
Kriteria
malar rash
discoid rash
fotosensitivitas
ulkus oral dan nasofaring
artritis non erosif pada 2 atau lebih dengan ciri-ciri bengkak atau efusi
serositis (pleuritis atau perikarditis atau efusi perikardial)
kelainan ginjal (proteinuria (> 0.5 g/d atau > 3+) atau adanya cellular casts
kelainan neurologis, kejang tanpa sebab lain, atau psikosa tanpa sebab lain
Untuk TUGASMAS 331
332
kelainan hematologi :
anemia hemolitik
lekopenia (< 40 per µL); limfopenia (< 1500 per µL); trombositopenia (< 1000 per
µL) yang bukan karena obat-obatan
kelainan imunologis
sel LE positif; antibodi anti-ds DNA /anti-Sm positif; antinuclear antibodies (ANA).
Titer ANA abnormal yang bukan karena obat yang menginduksi peningkatan ANA.
Interpretasi: Bila 4 kriteria atau lebih didapatkan, diagnosa LES bisa ditegakkan
dengan spesifitas 98% dan sensitivitas 97%.
KOMPLIKASI
Komplikasi LES pada anak meliputi hipertensi (41%), gangguan pertumbuhan (38%),
gangguan paru-paru kronik (31%), abnormalitas mata (31%), kerusakan ginjal
permanen (25%), gejala neuropsikiatri (22%), kerusakan muskuloskeleta (9%) dan
gangguan fungsi gonad (3%).
PENATALAKSANAAN
Prinsip penatalaksanaan
Jenis penatalaksanaan ditentukan oleh beratnya penyakit. Luas dan jenis gangguan
organ harus ditentukan secara hati-hati. Dasar terapi adalah kelainan organ yang sudah
terjadi. Adanya infeksi dan proses penyakit bisa dipantau dari pemeriksaan serologis.
Monitoring dan evaluasi bisa dilakukan dengan parameter laboratorium yang
dihubungkan dengan aktivitas penyakit.
Lupus diskoid
Terapi standar adalah fotoproteksi, anti-malaria dan steroid topikal. Krim luocinonid 5%
lebih efektif dibadingkan krim hidrokrortison 1%. Terapi dengan hidroksiklorokuin
efektif pada 48% pasien dan acitrenin efektif terhadap 50% pasien.
Serositis lupus (pleuritis, perikarditis)
Standar terapi adalah NSAIDs (dengan pengawasan ketat terhadap gangguan ginjal),
antimalaria dan kadang-kadang diperlukan steroid dosis rendah.
Arthritis lupus
Untuk keluhan muskuloskeletal, standar terapi adalah NSAIDs dengan pengawasan
ketat terhadap gangguan ginjal dan antimalaria. Sedangkan untuk keluhan myalgia dan
gejala depresi diberikan serotonin reuptake inhibitor antidepresan (amitriptilin).
Miositis lupus
DAFTAR PUSTAKA
1. Klein-Gitteman MS, Miller ML. Systemic Lupus Erythematosus. In : Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB.
Textbook of Pediatrics. 17th Ed Philadelphia, WB Saunders 2004. pp. 809-812.
2. Lehman TJ. A practical guide to systemic lupus erythematosus. Pediatr Clin North Am 1995; 42 : 1223–38.
3. Boumpas DT, Austin HA, Fessler BJ. Systemic lupus erythematosus : Renal, neuropsychiatric, cardiovascular,
pulmonary and hematologic disease. Ann Intern Med 1995; 122 : 940–50.
4. Wallace DJ. Antilamarial agents and lupus. Rheum Dis Clin North Am 1994; 20 : 243-263.
5. Bansal VK, Beto JA. Treatment of lupus nephritis: a meta-analysis of clinical trials. Am J Kidney Dis 1997; 29 : 193-
199.
Tekanan darah adalah tekanan yang dimiliki ( didesak ) oleh darah pada dinding
pembuluh dimana ia mengalir. Untuk mempelajari tekanan darah, sebuah cannula dapat
dimasukkan pada arteri besar dalam tubuh seperti carotis, dan dihubungkan dengan
transducer, tekanan direkam secara elektronis. Sebuah catatan perekaman tekanan darah
menunjukkan empat tipe aliran / gelombang yang merepresentasikan variasi normal
pada tekanan dalam satu periode 1 menit atau lebih.
33. Konstruksi Cardiac
34. Efek Mekanis dari Respirasi. Perubahan tekanan didalam thorax direfleksikan
dalam pembuluh dan cardiac output. Selama inspirasi, cardiac rate meningkat
dan seluruh tekanan arterial meningkat secara perlahan.
35. Perubahan Vasomotor Tone
Pulse Pressure
Pulse pressure adalah perbedaan antara tekanan sistolik dan diastolik. Utamanya
hal ini ditentukan oleh volume stroke dan karakteristik tahanan. Ketika pemenuhan
aorta rendah (Z0 tinggi), pengiriman aliran pulsatile akan menciptakan tekanan denyut
yang luas. Hal ini analog dengan pengiriman aliran pulsatile ke system yang sangat
PENJAGAAN TEKANAN
Faktor – faktor berikut termasuk didalamnya :
3. Memompa kerja jantung
4. Resistensi periheral
PULSE
Pulse adalah perubahan tekanan yang dihasilkan oleh penyemburan ventricular
dan disebarkan sebagai suatu gelombang melalui arterial tree ke periphery. Darah yang
dikeluarkan / disemburkan tidak berpindah pada jarak ini akan tetapi hanya
mentransmisikan energi geraknya pada kuantitas darah yang berdekatan. Partikel darah
merubah posisi mereka dengan perhatian pada dinding pembuluh, akan tetapi dengan
memperhatikan satu sama lain perubahan posisi relatif kecil. Kecepatan darah dalam
aorta sebagai misal, pada 0,5 m/dt, sedangkan gelombang tekanan denyut, bergerak
pada angka kecepatan 5 m/dt.
Studi tentang bentuk gelombang denyut disempurnakan dengan sphygmography
( Fig 9-6). Gelombang menunjukkan cabang naik yang dinamakan gelombang anacrotic
serta cabang turun atau gelombang catacrotic. Pada cabang turun derajat dicrotic diikuti
dengan gelombang dicrotic. Hal ini disebabkan adanya penutupan katub aorta, dan
gelombang dicrotic merupakan gerak refleksi. Puncak dari gelombang berhubungan
dengan tekanan systolic, dan titik terendah berdubungan dengan tekanan diastolic.
VARIASI
Perubahan denyut tertentu yang kadang dicatat hendaknya bisa digambarkan.
Sehingga dengan pernafasan thoracic yang dipertinggi, denyut mungkin bisa menjadi
tidak terasa selama inspirasi. Ini merupakan denyut paraxodic karena biasanya selama
inspirasi biasa denyut lebih penuh karena peningkatan tekanan. Pulsus Alternans adalah
perubahan dari gelombang denyut kuat dengan yang lemah terlepas dari aktivitas
pernafasan / respiratory.
WAKTU SIRKULASI
Waktu bagi sebuah partikel di dalam vascular tree untuk berpindah dari satu titik
ke titik yang lain disebut waktu sirkulasi. Waktu sirkulasi total adalah waktu yang
diperlukan oleh sebuah partikel untuk berpindah melalui sirkulasi paru-paru dan
sistemik dan kembali titik awal semula. Berbagai metode dipergunakan untuk mengukur
waktu sirkulasi.Dengan menggunakan fluorescein waktu sirkulasi total, sebagai contoh
dari lengan ke lengan, kurang lebih 21 detik dan dengan histamin, dimana titik akhirnya
ALIRAN DARAH
Kecepatan
Mean linear kecepatan aliran darah dalam aorta manusia adalah 0,5 m/dt dan
dalam kapiler 0,5 mm/dt. Sebagaimana vascular bed yang melebar, kecepatan menurun,
kecepatan meningkat pada bagian vena dan cepat pada vena besar ( Fig. 9-7, 9-8).
Manajemen Inhibitor
MANAJEMEN PASIEN DENGAN INHIBITOR FAKTOR IX
Ada 2 manajemen yang jelas, yang harus dilakukan terhadap pasien inhibitor (*Bloom,
1987; Kasper, 1989; Macik,1993;Nilson, Berntop and Freiburghaus, 1993; Morrison
and Ludlam , 1995). Awalnya, perhatian difokuskan kepada perawatan yang cepat
terhadap perdarahan akut. Pada kebanyakan kasus, pilihannya bergantung kepada titer
inhibitor dan perluasan kemana inhibitor pasien bereaksi silang dengan porcine faktor
VIII. Pilihan pertama untuk perawatan perdarahan akut juga tergantung pada pasiennya,
apakah dia seorang high-responder, yang mana respon amnestik mengikuti infus faktor
VIIIatau seorang low responder, yang mana titernya tetap pada jangkauan 0,6-5 BU
setelah pemberian faktor VIII. Pasien dengan respon rendah dapat dirawat dengan faktor
VIII tanpa harapan mereka akan memberikan respon amnestik yang mana akan
mempengaruhi perawatan selanjutnya. Pada beberapa kasus, reduksi sementara dari titer
inhibior dapat diselesaikan dengan plasmaferesis ataupun immunoadsorpsi.
Hal kedua yang penting untuk dilakukan adalah kemampuan untuk mengurangi
titer inhibitor dengan menginduksi toleransi imun atau melalui imunosupresi. Hal ini
memerlukan waktu untuk dapat dilakukan dan dilakukan setelah perdarahan akut
diatasi.
Induksi toleransi
Induksi toleransi imun memiliki keuntungan jangka panjang yang potensial dan banyak
pasien inhibitor telah diobati dengan factor VIII dosis tinggi pada suatu usaha untuk
mereduksi titer inhibitor. Pada studi awal, infuse besar factor VIII yang sering (
100u/Kg factor VIII setiap 12 jam) dikombinasikan dengan pengobatan APCC untuk
mencegah perdarahan selama periode inisial dimana respon anamnesti meningkatkan
titer inhibitor (Brackmann, 1983). Titer inhibitor kemudian turun sehingga dosis factor
VIII dapat dikurangi dan inhibitor sering tidak bias dideteksi pada kebanyakan pasien
yang dijaga oleh infuse factor VIII regular. Sedangkan hasil dari jadwal pengobatan
tersebut relative bagus ( level inhibitor turun menjadi <1 BU pada 15 dari 21 pasien)
suatu jumlah yang luar biasa dari infuse factor VIII dibutuhkan dan dirasakan bahwa
infuse factor VIII yang sering diperlukan untuk menjaga toleransi. Keefektifan dari
regimen telah dikonfirmasi oleh center-center lainnya, namun biaya menghambat
aplikasinya.
Protokol dengan dosis factor VIII yang lebih rendah juga telah efektif dalam
mereduksi titer antifaktor VIII (Ewing et.al., 1988). Meskipun begitu, pasien dengan
titer tinggi jarang memiliki respon yang bagus pada regimen dosis rendah, kecuali jika
dimulai secepatnya setelah pengembangan inhibitor(Peerlinck et.al., 1994). Di Belanda,
27 pasien inhibitor menerima 25u dari factor VIII/kg setiap berselang hari selama 1-12
Oleh :
Dr. Puger Rahardjo
Lab. Anestesiologi FK Unair – RSUD Dr. Soetomo
Surabaya
Incidence
Trauma kepala yang memelrukan tindakan operasi sangat banuyak kita temui di
UGD RSUD Dr. Soetomo.
Sebagai gambaran selama tahun ..... s/d ..... didapatkan trauma kepala yang memerlukan
pembedahan.
Bila ditambahkan dengan rumah sakit-rumah sakit lain (bukan RSUD Dr. Soetomo)
tentunya akan lebih banyak lagi.
Severe head trauma mortality rata ±40%, hal ini sering disebabkan oleh karena
secondary komplikasi. Bagaimanapun juga kemajuan ilmu kedokteran yang dicapai
untuk menurunkan angka kematian trauma kepala ini, yang sangat penting adalah
pencegahannya yaitu pemakaian helm dan seat belt.
GCS adalah nilai yang sangat penting untuk memperkirakan outcome penderita-
penderita head trauma.
Dikatakan 95% penderita dengan GCS > 8 adalah baik outcomenya.
Bila GCS < 5 outcome jelek. Untuk GCS 5 – 7 outcome kurang akurat dinilai
dengan GCS.
Penilaian dini
Dua sebab yang sering memberatkan penderita dengan head tgrauma adalah
hipoksia dan hipovolemia (shock). Oleh karena itu haruslah segera dideteksi dan harus
segera ditanggulangi.
Normal CPP 80 – 90 mmHg bila CPP ini turun sampai dengan 40 mmHg
cerebral ischemia.
Sustemik hypotension sangatlah jarang disebabkan hanya oleh head trauma
terkecuali pada terminal state harus dicari penyebab dari hipotensi ini.
Secondary injury
Dimulai dari setelah kejadian
Pada umumnya disebabkan oleh hipoksia, lactic, asidosis.
Empat hal yang sering menyebabkan brain damage adalah :
1. mechanical injury
2. perdarahan
3. edema
4. ischemia
Vasogenic :
Karena tissue hemorrhage ekstra vasasi cairan yang kaya protein disebabkan
rusaknya blood brian barier.
Edema menuju ke white matter lalu diabsorbsi ke vertikal cerebral.
Callulaair edema
Tidak tergantung dari extra cell edema, mungkin karena rekasi dari metabolisme
yang terganggu pada head injury misalnya terjadinya absorbsi extra cell fluid dan
elektrolite oleh cell glia.
Edemoa dan ischemia sangatlah penting karena ischemia ini sering terjadi dan berakibat
fatal.
Hal ini disebabkan karena oleh compressi intra/extra cerebral. Naiknya ICP >/ 60
mmHg dapat berakibat fatal.
Penilaian Neurologic
Mekanisme trauma, letak trauma haruslah ditanyakan/dicatat, latar belakang
terjadi kejadiannya. Misalnya stroke, kejang-kejang, obat-obatan dan lain-lain haruslah
dicatat.
Gangguan kesadaran waktu setelah terjadinya kecelakaan harus ditanyakan/dicatgat.
Upper midbrain
1. midsize irregular pupils
2. bilat flekxion motor response
Tindakan harus dilakukan pada penderita dengan tanda-tanda diatas karena bikla
tekanan > berat lagi akan terjadi keadaan yang memberat progresif death.
Uncal herniation
- mass adalah pada lateral bag otak menyebabkan pergeseran pada bagian tengah
tenmporal lobe (uncus) melalui tentorial edge dan mid brain.
- Nervus 3 akan tertekan pupil dilatasi ipsilateral
- Kadang-kadang penderita masih dalam keadaan sadar
- Harus dilakukan tindakan pada saat ini, kalau terlambat akan terjadi depresi pada
kardiovaskular dan respirasi karena tekanan pada medulla.
Macam-macam injury
Injury pada tulang kepala
Tiap ada gragmen tulang tidak boleh di manipulasi kecuali di kamar operasi
karena fragmen ini barangkali merupakan tampon perdarahan dari vena/arteri hati-
hati waktu intubasi atau airway management.
Tanda-tanda fraktur basis cranil cukup penting jangan melakukan nasal intubasi
kecuali sangat terpaksi (bahaya infeksi).
Tanda-tanda basis craniii fraktur :
Battle sign :
o hemotympanum
o otorrhoe
o ecchymosis di daerah mastoid
raccoon eye :
o ecchymosis sekitar mata
Akut
- Paling banyak disebabkan oleh trauma
- Darah ada diantara dura dan subarachnoid
- Dikatakan akut bila dalalm 72 jam sesudah kejadian, sudah menimbulkan
gangguan klinik
- Sangat sering memerlukan tindakan pembedahan
- Pada umumnyan penderita tidak sadar tanpa ada lucid interval dan diikuti
gangguan ICP meningkat.
- Bila subdural hematom ini terjadi bilateral atau terjadi multipel laserasi angka
kematian > 50%.
Early management
Tujuan penolong pada head injury adalah mencegah terjadinya secondary injury, dalam
hal ini seorang anesthetist berperan dalam :
- airway management
- ventilasi dan oksigenasi yang adekuat
- normalisasi status kodiovaskuler
- kontrol ICP
resusitasi dan stabilisasi fungsi vital adalah tindakan pertama yang dilakukan, bila ini
telah dilakukan baru tindakan-tindakan untuk diagnosis misalnya CT-Scan, Ro,
arteriografi, Hb, HCt, FH, sampel darah dan lain-lain.
Airway
Sangat penting untuk dievaluasi dan dibebaskan.
Hipoksia haruslah segera diketahui dan cepat diatasi. 75% kasus trauma kepala yang
berat mengalami hipoksia.
Hipoksia diatasi dengan pemberian O2 50-100%, hipoventilasi diatasi dengan
hiperventilasi. Bila PaO2 ( 50 mmHg dan PaCo2 meningkat > 50 mmHg, maka CBF
akan meningkat. CBF meningkat ICP meningkat.
Dalam menangani airway hati-hati adanya cervical fraktur.
hipoxic drive
cerebral effect oleh karena cerebral acidosis
oleh karena letak dari lesi di otaknya sendiri.
Trauma kepala dimana GCS penderita < B sebaiknya dilakukan intubasi.
Kriteria intubasi penderita dengan head trauma selain GCS < B adalah :
1. resp. Yang iregular
2. RR < 10 >40/menit
3. Vt <3.5 ml/kg
4. Vc <15 ml/kg
5. PaO2 , 70mmHg
6. PaCO2 > 50 mmHg.
Waktu untuk memutuskan intubasi pada penderita head trauma adalah sangat
menentukan, pada penyelidikan dari 2000 pasien dalam waktu 8 bulan
- mortality 22.5% penderita head injury yang berat dan dilakukan intubasi \< 1
jam setalah kejadian.
- Mortality naik 38.4% setelah diintubasi > 1 jam setelah kejadian (p < 0.1)
Tahap – tahap cara-cara intubasi supaya tidak terjadi gejolak hemodinamik stuggling,
bucking yang dapat menaikkan ICP.
1. prosedur cricoid pressure-- mencegah aspirasi
2. pemberian non depolarisasi relaxant
3. ventilasi + 100% O2
4. sodium pentothal 2-3 mg/kg BB, lidokain (1 mg/kg BB) vecuronium (0.1 mg/kg BB)
5. ventilasi terus diberikan
6. oral intubasi.
Maagslang dipasang setelah endotracheal tuba terpasang.
Hiperventilasi untuk menurunkan PaCO2 adalah cara yang tercepat untuk menaikkan
Standart untuk penurunan PaCO2 adalah antara 25-30 mmHg (untuk longterm theropy,
PaCO2 buat 30-35 mmHg)
Bila airway telah terkuasai dosis kecil fentanyl diberikan 50-100 U untuk menurunkan
Hipercetecholamine, central hyperventilasi state.
Posisi penderita dianjurkan 15-30 head up.
volume status Cardiovasculer
- Shock sering menyertai trauma kepala, hal ini disebabkan bukan oleh karena
trauma pada kepalanya tetapi sering oleh karena trauma pada organ tubuh yang
lain. Hipovolemia shock harus diatasi dengan pemberian Ringer laktat
- Kombinasi dengan isotonik saline. Pemberian free water tidak dianjurkan--
- Dapat menyebabkan edame otak
- Bila terjadi hipertensi yang berlebih, pemberian B-Blocker, propanolol 1 mg tiap
15 menit titrasi sampai dengan sistole kurang lebih 160 mmHg dan diastole
kurang lebih 90 mmHg dianjurkan. Atau pemberian labetol infuse 0.0% titrasi
setalah pemberian bolus 10-20 mg i.v.
Osmotherapy
- Naiknya ICP -- mortality meningkat
- Kenaikkan ICP > 20 mmHg disebut severe head injury.
- Manitol atau hypertonic solution yang tujuannya untuk menurunkan edeme otak
dengan menarik air dari jarungan otak yang blood brain bariernya masih intack.
- Beberapa center di Amerika manitol dan diuretika merupakan standart terapi
pada trauma kepala.
Pemberian hiperventilasi dan osmoterapi memberikan waktu surgeon untuk melakukan
tindakan-tindakan diagnostik, kecuali
dengan GCS < 7 setelah dilakukan resusitasi.
ICP monitor dilakukan secepatnya setelah injury.
Obat-obat untuk mengurangi keasaman dan produksi asam lambung dianjurkan (untuk
mengurangi bahaya aspirasi).
Indusi
- Idealnya induksi jangan menimbulkan gejolalk tensi dan kenaikan ICP.
- Pada waktu induksi jangan menimbulkan rasa sakit pada penderita suction pada
endotracheal, manipulasi pada tempat trauma.
- Batuk, bucking, berontak sangat tak diharapkan karena hal-hal tersebut akan
menimbulkan hypersimpathetic state menimbulkan kenaikan blood pressure,
edema otak, ICP meningkat herniasi.
- Posisi kepala sebaiknya netral, jangan membuat posisi yang dapat menghambat
venous return mis, extrem flexi, rotasi.
- Setelah semua monitoring terpasang-- lakukan oksigenasi 100% kalau perlu
lakukan hiperventilasi, thiopental masih tetap merupakan obat pilihan untuk
induksi menurunkan CBF dan ICP karena efek vasokontruksi.
- Etomedate, imidazole derivat alternatif lain untuk induksi karena tidak
mempunyai pengaruh yang banyak atau jelek pada kardiovasculer dosis 0.2 –
0.4 mg/kg BB i.v. CBF menurun, CMR O2 menurun dan ICP menurun, CPP
tetap baik. Karena daya analgesik etomedate tidak ada maka sebaiknya diberikan
bersama narkotik analgesik mis. Fentanyl.
- Lidokain 1,5 mg/kg BB diberikan 1-3 menit sebelum intubasi untuk mencegah
terjadinya kenaikan blood pressure ataupun ICP.
- Fentanyl 1-4 Ug/kh dibeirkan 3-4 menit sebelum melakukan intubasi untuk
mencegah rasa sakit yang berlebihan.
- Morphin, sufertanil, alfentanil menyebabkan vasodilatasi. Dalam hal ini
fentanyl lebih bdaik dari ke 3 obat di atas untuk penderita yang menderita ICP
meningkat.
Maintenance
Teknik anestesi ideal untuk penderita dengan multi trauma adalah :
sangat sedikit pengaruhnya terhadap autoregulasi otak
sedikit pengaruhnya terhadap pusat regulasi CO2
memelihara kardiovaskular tetap stabil
menurunkan ICP
Emergency
- Bila penderita dapat bangun dan spontan bernafas pada waktu sebelum operasi,
minimal kondisi ini harus kembali pada waktu post operasi.
- Ekstubasi postop haruslah dirundingkan antara anesthetic dan surgeon dan ini
terganugn kasus per kasus.
- Dengan pengambilan massa yang menekan jaringan otak seharusnya penderita
postop lebih baik dari preop.
- Adanya trauma di tempat lain misalnya multiple fraktur costa, chest injury, cervical
spine, internal bleeding, edema otak haruslah dipertimbangkan pemakaian respirator
postop (hiperventilasi).
Terapi tambahan
Antikunvulasi
- 5% blunt injury mengalami seizure
- 40 – 60% karena loka tembak mengalami seizure.
- Dan penderita tersebut 75% akan mengalami seizure untuk selanjutnya (selamanya).
- Kejang-kejang dapat menyebabkan hipoksia, naiknya ICP, naiknya CMCCO2 dan
CBF
- Pemberian prophylactic penytoin (dilantin) 10-15 mg/kg i.v diberikan pelan-pelan
(50 mg/menit) sebagai loading dose.
- Dosis selanjutnya tergantung level di darah penderita.
- Dilantin (penytoin) mempunyai efek lain menurunkan CBF mungkin memperbaiki
brain metabolisme.
Steroid
- Pada beberapa center anak-anak dengan GCS < 6, dewasa dengan GCS < 8
diberikan dexamethazone dosis tinggi 1 1,5 mg/kg BB. Kemudian ditapering off
dalam waktu yang singkat.
- Pada penelitian ternyata keuntungan pemakaian steroid ini tak jelas, tapi
kerugiannya jelas yaitu terjadi hiperglikemia oleh sebab itulah pemakaian ini
dihentikan untuk head injury.
Fluid management
- Efek monitol mula-mula menaikkan CBF dan CBV, lalu menurunkan viscositas dan
dapat menaikkan freeadical scavenger.
- ICP pada umumnya menurun 10-20 menit setelah pemberian (ini bila autoregulasi
intack). Dosis 0,5 g/kg BB diberikan dalam 10 – 20 menit, dosis ulangan tiap 3-6
jam.
- Pada anak-anak kadang-kadang terjadi hiperaemicpost traumatic state, dalam hal ini
ICP meningkat bukan oleh karena brain edema seperti penderita dewasa tapi oleh
karena naiknya blood volume jadi dalam hal ini monitolo bukan indikasi.
Furosemid
- Bekerja di tubulis distalis dengan cara menghambat reabsorbsi Ha.
- Juga menghambat carbonic anhydrase menyebabkan penurunan dari produksi
CFS.
- Pada umumnya diberikan 0,5 – 1 mg/kg BB i.v. diberikan sebelum pemberian
mobitol lasix ini dapat memelihara osmolality 30 mosm diatas normal (kenaikan
osmolality > 10 mosm/L sudah cukup untuk dehidrasi brain tissue).
- Monitor kadar kalium darah harus dilakukan.
Barbiturat
- Pada penderita yang hipovolemia dapat menyebabkan hipotensi yang berat
- Maka sebelum pemberian sebaiknya hipovolemia harus dikoreksi dulu barbiturat
mempunyai efek anesthesi, scavenging free radical, menurunkan CBF, CBV, ICP,
CmCO2.
- Semua efek diatas baik untuk brain injury, tapi waspadalah pada penderita
hipovolemia dapat menyebabkan hipotensi menurunkan CPP.
Air embolism.
-Pada umumnya terjadi karena ruptur dari venous sinosus atau bila terbukanya venous
sinosusu ini ke udara luar, hal ini sering terjadi bila tempat operasi lebih tinggi daripada
level jantung menyebabkan masuknya udara ke pembuluh darah karena pressure
gradien ke atrium kanan.
- Untuk mendeteksi yang paling sensitive adalah transoesophageal precordial doppler,
perubahan dan tidal nitrogen, naiknya pulmo arteri pressure, turunnya end tidal CO2,
CVP meningkat, turunnya PaO2.
.............terdengar melalui oesophageal stetoskop.
Terapi :
- beritahu surgeon
- head down
- tenggelamkan lapangan operasi dengan NS
- hentikan NO2
- vent. 100% O2
- pasang tripel lumen kateter melalui superior vena cava kanan atrium kanan untuk
aspirasi udara.
- posisi pasien kiri bawah untuk mencegah udara masuk ke pulmonary out flow tract.
- cardiobasculer supportberi inotropik.
RINKASAN
1. Tujuan utama dari seorang anesthetic pada penderita head injury adalah initial
resuscitation, stabilisasi dari hemodinamik dan paru-paru dan menurunkan ICP.
Kompartemen supratentorial
Merupakan bagian terbesar, dibatasi oleh calvaris dan tentorium carebelli. Digaris
tengah terdapat faxx cerebri yang membagi ruang menjadi dua yaitu fossa cranialis
anterior dan fossa cranialis medialis, serta membagi otak menjadi 2 hemisfer.
Kompartemen supratentorial berhubungan dengan fossa posterior melalui suatu luban
g yaitu incisura tentorii, sedang fossa posterior berhubungan dengan kompartemen
intraspinalis melalui foremen magnum. Kedua ujung bawah dari falx cereori dan inci
sura pentori merupakan lokasi yang sangat penting untuk terjadinya kerusakan sekunder
terhadap ssp.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan :
Posma posterior
Merupakan ruangan dibawah tentorium dengan banyak pusat-pusat vital. Disini
terdapat cerebellum dan bagian caudal batang otak. Bagian caudal batang otak ini
terletak sebelah ventral sepanjang clivus dihubungkan dengan bagian rostral batang otak
melalui suatu incisura tentorial dan berhubungan dengan spinal cord melalui foremen
magnum. Adanya massa meskipun kecil baik di cerebellum ataupun didaerah batang
otak akan memberi efek yang sangat besar, meskipun hanya didahului oleh gejala yang
tidak terlalu berat. Kerusakan di daerah reticular activating sistem akan menyebabkan
turunnya kesadaran, sedangkan kerusakan di pusat nafas atau pudat pengatur
hemodinamik akan menyebabkan henti nafas dan gangguan hemodinamik. Kerusakan di
batang otak akan menyebabkan pula gangguan fungsi dari sarf-saraf pusat.
1. Metabolisme otak
Energi yang digunakan untuk berfungsinya neuron berasal dari pemecahan
molekul kaya energi (TP).
Sebagian besar ATP dihasilkan oleh otak dengan jalan okidasi glukosa dengan
ADP dan Fa
2.
Halotan
Halotan menurunkan CMRO2 yang paling kecil, bila dibandingkan dengna obat
volatile anestesi yang lain. Pada kadar 1,5% halotan akan menurunkan CMRO2 25%.
Keadaan isoelektrik tercapai pada kadar 4,5%. Pada kadar lebih dari 2% didug akan
menyebabkan terhentinya respirasi mitochondria.
Kadar asam laktat otak meningkat sementara itu komponen energy tinggi akan
berkurang bila dosis halotan dinaikkan.
Halotan akan meningkatkan CBF 2 kali lebih besar daripada obat valatil anestesi yang
lain sehingga jelas akan mengganggu autoregulasi.
CBV meningkat dengan 12% kecepatan produksi CSF akan berkurang tetapi hambatan
dalam obsorbsi lebih besar.
Kenaikan ICP tidak akan tampak bila dilakukan hiperventilasi sebelum halotan
diberikan.
Enflurane
Enflurane merupakan isomer dari isoflurane tetapi mempunyai efek terhadap
SSF yang sangat berbeda.
Pada penggunaan enflurane dengan dosis ringan disertai dengan adanya hipocapnia
kaerna tekhnik hiperventlasi akan terjadi rangsangan seperti epilepsi. Oleh Karen aitu
maka enflurane tidak banyak mendapat tempat pada neuroanesteia.
Enflurane menurunkan CMRO2 lebih besar dari halatan tapi lebih sedikit dari isoflunae.
Tetapi dengan adanya rangsangan seperti epilepsi tersebuat maka CMRO2 akan
meningkat 400% dengan diikuti kenaikan CBF jauh diatas harga nrmal yang bias
didapat pada penggunaan enflurane. Dalam pemakaian klinis sehari-hari sebetulnya
hanya terjadi kenaikan sedikit dari CBF karena terjadinya penurunan tekanan darah.
Dalam kadar pemakaian klinis CBV akan meningkat 15%.
Isoflurane
Isoflurane merupakan obat pilihan untuk neuroanestesia. Isoflurane jelas
menurnkan CMRO2 sebanyak 50% pada 2,0 MAC yang sesuai dengan isoelektrik pada
EEG. Efek penurunan CMRO2 ini disebabkan oleh penruunan fungsi neuron, bukan
Barbiturat
Kegunaan barbiturate dalam neuroanestesia mempunyai beberapa alas an antara
lain :
1. Menurunkan CMRO2 dengan jalan mengurangi aktifitas neuron. Keadaan ini
akan menghasilkan pengurangan CBF dan ICP sekaligus. Peningkatan CVR
yang terjadi hanya mengurangi CBF pada daerah yang normal. Didaerah yang
mengalami ischemia atau kerusakan terjadi vasoparalisis, sehingga gagal untuk
bereaksi dan akibatnya tetap dalam keadaan dilatasi maksimal. Akibatnya
terjadilah shuting darah dari daerah normal kedaerah yang mengalami ischemia.
CMR dapat turun maksimal 50% dari normal dengan gambaran EEG datar.
Dengan penambahan dosis lagi tidak akan menambah pengaruhnya pada
CMRO2.
2. Barbiturat bekerja dengan menimgkatkan inhibisi dan blocking trasmisi synaps
untuk eksitansi dengan jalan berinteraksi dengan kompleks reseptor GABA pada
tempat yang berbeda dari reseptor benzodiazepin. Dengan memperpanjang
penempatan GABA maka lamanya inhibisi GABA diperpanjang pula.
3. Barbiturat mengurangi aktifitas radikal bebas yang mungkin dapat mencegah
kerusakan lebih lanjut dari zona ischemik. Juga merupakan anti konvulsan yang
kuat. Efek tersebut menyebabkan barbiturat digunakan untuk proteksi otak.
Kerugian pertama ialah depresi kardiovasculer yang tergantung pada dosis baik
secara langsung maupun tidak langsung. Terjadi vasedilatasi perofer sebagai
akibat dari turunnya tonus simpatis dan depresi pusat presor dimedulla. Hasil
akhir berupa penurunan tekanan darah yang membantu terjadinya penurunan
Promofol
Sebagai obat anestesi intravena yang baru, propofol efektif baik untuk induksi
maupun maintenance. Dengan obat ini CBF turun dengan 30%, CMRO2 turun dengan
39% dan ICP maupun CPP juga turun sebagai akibat penurunan tekanan darah pada
waktu induksi dengan dosisi besar. Neuroanestesia dapat dilakukan dengan infuse
kontinu. Depresi SPP tregantung pada dosis. Pulih sadar cepat, terlihat dari kembalinya
gelombang alfa pada EEG. Tidak menimbulkan gelombang seperti epilepsy. Pada 15%
pasien dapat timbul tremor atau twitching.
Propofol menyebabkan depresi sirkulasi yang lebih besar daripada barbiturate,
yaitu penurunan tensi sebesar 15-30%, tanpa adanya kenaikan nadi. Propofol juga
menyebabkan depresi respirasi dengan periode apnea sampai 2 menit.
Narkotik
Morphin
Morphin ini tidak larut dalam lemak dan peentrasi ke SSP kurang baik. Hanya
sebagian kecil yang sebenarnya menembus otak, lebih banyak ditentukan oleh CBF.
Kadar pucak dalam CSF dicapai 15-30 menit setelah pemberian secara bolus IV,
kemudian pelan-pelan menurun. Efek terhadap kardiovaskuler menurunkan tekanan
darah dengan jalan :
- Menurunkan denyut jantung.
- Hilangnya tonus simpatis akan menghasilkan vasodilatasi yang diikuti oleh
turunnya vaneus return.
- Pelepasan histamine bila morfin diberikan dengan dosis lbih besar dari 5
mg/menit.
Fetidine
Potensi sepersepuluh dari morfin. Mempunyai efek yang kurang menguntungkan
yaitu eksitasi SSP dan kejang dapat terjadi dengan terjadinya akumulasi metabolit yang
aktif (normaperidine). Keadaan ini terjadis etelah pemberian infuse dengan dosis yang
Fentanyl
Fentanyl merupakan narktik pilihan ntuk neuroanastesia. Fentanyl 100 kali lebih
besar dari morfin, ensena lebih cepat dan masa kerjanya lebih pendek. Dengan
kombinasi N2O akan menurunkan ICP dan mempertahankan CRP lebih baik dari pada
subfentanyl itu
Sufentinyl
Potensi sufentinyl kira-kira 5-10 kaly fentanyl, tetapi emmpunyai index terapi
tertinggi dari golongan opiate yang digunakan secara klinis.
Subfentanyl mampu menurunkan MAC dengan 90% hemodinamik stabil tetapi
diketahui bahwa menyebabkan kenaikan ICP, mungkin karena terjadinya vasodilatasi
cerebral dengan penurunan ringan dari CPP. Oleh karna itu sebaiknya dihindari
pemakaiannya pada pasien dengan komplians intrakarsial yang menruun. Sufentanyl
sangat larut dalam lipid dan memasuki SSP dalam waktu cepat, peak tercapai dalam
waktu 5 menit. Volume distribusi lebih rendah dari fentanyl, ikatan dengan protein lebih
tinggi dari pada fentanyl. Ketablisme terjadi diheper, eliminasi lewt empedu dan ginjal.
Alfentanyl
Golongan Benzadiazeoin
Merupakan sedative-hipnotika yang mempunyai efek yang luas, juga bersifat
ansiolotik, antikunvulan dan menyebabkan amnesia. Benzodiazepine menghasilkan
depresi SSP tergantung pada dosis dengan penurunan cmro2 dan dengan hasl akhir
penurunan CBF dan ICP. Mekanisme kerja mempengaruhi fasilitasi CABA inhibisi
dalam SSP tetapi juga mengantagonisir serotonin sentral dan menurunkan acetylcholine
dalam otak.
Benzodiazepine juga mempunyai efek proteksi terhadpa otak tetapi lebih dari
barbiturut.
Dlazepam
Dlazepam terutama digunakan sebagai obat premedikasi oral, dengan kadar
puncak dalam darah dicapai setelah 1 jam pada orang dewasa, 15-30 menit pada anak-
anak. Merupakan antikonvulsan yang sangat baik.
Depresi kardiovaskuler minimal, sehingga dapat digunakan sebagai obat induksi,
tetapi omsetnya lambat sedang pulih sadarnya memendek. Metabolism terjadi di hepar
dengan menghaslkan metabilit yang berefek lama (long acting). Eliminasi memanjang
dengan bertambahnya umur, penggunaan cimetidin dan penyakit hepar. Dlazepam
terikat pada protein tetapi dengan mudah diusir oleh heparin.
Midazolam
Potensi medazolam kira-kira 3-4 kali diazepam dengan omset yang lebih cepat
dan pulih sadar juga lebih cepat. Tetapi midazolam mempenguruhi stabilitas
hemodinamik dengan menurunkan tekanan darah yang diperberat dengan adanya
hipovolemia, sehingga tahanan pariver dan curah jantung turun. Dengan midazolam
terjadi penurunan CBF dan CMRO2 dengan 40% . Midazolam juga mempunyai efek
Ketamin
Pengunaan ketamin dalam neuroanestesia sangat terbatas. Obat ini menyebabkan
vesodilatasi cerebral sehingga meningkatkan CBF dengan 60-80 % yang dengan
sendirinya masih akan mengakibatkan kenaikan ICP. Ketamin juga meningkatkan
hambatan terhadap resobrasi CSF. Metabolisme otak tidak terpengaruh.
Ketamin mengaktifkan struktur limbic (sehingga meningkatkan metabolisme
glikose), tetapi menyebabkan depresi di daerah lain (menurunkan metabolism glucose)
terutama di cortex dan serabut-serabut asosiatif. Keadaan ini hanya terjadi pada kadar
anestesi dalam plasma. Pada kadas subanestesi maka akan terjadi eksitasi menyeluruh
dengan kenaikan CMRO2 yang menyeluruh.
Butyrophenon.
Droperidol terutama digunakan sebagai antiemetic atau sebagai neurolept
dengan kombinasi narkotik. Oleh karena droperidol merupakan vasokonstriktor
pembuluh darah otak, maka akan terjadinya penurunan CBF dan juga ICP tanpa
terjadinya perubahan pada CMRO2. Secara teori ini mungkin dapat memperburuk
inchemia karena mungkin CBF tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan. Dropeidol
tidak menyebabkan amnesia dan tidak mempinyai efek antikonvulsan.
Dropeidol meningkatkan respon pernafasan terhadap hipoksemia bila digunakan sendiri.
Efek samping dari dropeidol antara lain diskinesia, halusinasi, agitasi. Dropeidol
mempunyai efek anti disritmia dan proteksi terhadap distrimia yang disebabkan karena
andrenalin. Dropeidol menurunkan tekanan darah sebagai akibat dari kerjanya terhadap
susunan saraf pusat. Pada umumnya penurunan tidak terlalu besar, meskipun kadang-
kadang dapat menyebabkan hipotensi yang cukup besar.
- Lama kerjanya
- Eliminasinya
- Efek sampingnya
Efek samping yang perlu diperhatikan ialah kenaikan ICP, tekanan darah yang
keduanya merupakan penentu bagi CPP.
Succinylcholine
Obat ini merupakan satu-satunya depolarizing muscle relaxant yang digunakan
untuk mempermudah intubasi. Succinylcholine tidak memp[unyai efek pada dinamika
CSF. Kenaikan ICP yang terjadi tidak tergatung pada fasikulasi, tetapi mungkin karena
vasodilatasi cerebral. Meskipun telah didahului dengan pemberian penthotal dan
hiperventilasi pada waktu induksi, kenaikan ICP yang lebih besar terjadi pada
pemberian succinylcholine dibanding dengan pancuronium. Kenaikan ini dapat dicegah
dengan blockade nondepolarisasi secara lengkap. Dengan pemberian dosis kecil
nondepolarizing mucle relaxant sebelum cuccinylcholine diberikan. Untuk itu
diperlukan waktu antara 3-4 menit. Pemberian succinylcholine pada pasien dengan
trauma dan luka bakar harus dilakukan dengan hati-hati, demikian pula pada pasien
dengan penyakit saraf atau penyakit otot karena bahaya terjadinya hiperkalemia yang
mengancam jiwa. Dalam keadaan ini pre-treatment dengan nondepolarizing relaxant
tidak dapat melindungi.
Respons hiperkalemia ini dapat terjadi dalam beberapa jam setelah trauma, beberapa
hari setelah combustrio dan beberapa minggu setelah stoke.
Nondepolarizing relaxant
Obat pelemas otot nondepolarisasi (NDMR) bekerja sebagai kompetitif
antagonis terutama di postsynaptic tetapi juga presynaptic, reesptor cholinergic pada
neuromuscular junction. Farmakologi dari golongan ini bervariasi. Seleksi untuk
pengunaannya harus didasarkan atas efek utamanya pada fisiologi cerebral dan
pertahanan CPP.
Pancuronium
Pancuronium tidak mempunyai efek langsung pada ICP tetapi mempunyai efek otonom
yang kuat. Sifatnya vagolitik dan simpatomimetik, serta mempengaruhi konduksi SA
Atracurium.
Atracurium dapat menyebabkan pelepasan histamine (ringan), tidak mempunyai efek
pada ICP. Dapat menyebabkan penurunan tensi bila diberikan dosis besar dan cepat,
yang dapat dicegah dengan pemberian dosis kecil yang berulang. Metabolisme terjadi di
jaringan dan dalam plasma, 2/3 dengan jal;an hidrolosis dan yang 1/3 nya dengan
degragasi hormone. Lama kerjanya 30 sampai 40 menit setelah dosis intubasi.
Atracurium dapat menembus plasenta barier.
Vecuronium.
Vecuronium tidak mempengasruhi dinamika CSF maupun ICP. Dengan kombinasi
narkotik dapat menyebabkan bradikardia terutama disebabkan oleh karena tidak ada
yang melawan aktifitas vagotonik dari narkotik. Untuk itu yang dapat mencegah yaitu
dengan pemberian atropine sebelumnya. Metabolisme vecuronium terjadi di hepar. Pada
kegagalan fungsi hepar akan terjadi pemanjangan waktu kerja, karena pemulihan dari
efek vecuronium terjadi sebagai akibat distribusinya, bukan karena fase eliminasi.
Metabolitnya mempunyai aktifitas sedang dan dibuang melewati empedu.
dTubocurarine
Curare bila diberikan dengan cepat dapat menyebabkan pelepasan histamia yang akan
menyebabkan penurunan CCP dan vasodilatasi cerebral. Histamin akan menyebabkan
vasodilatasi, hipotensi, reflex bradikardia dan inotropik positif ringan dan meningkatkan
parmeabilitas vascular. Keadaan ini di dalam otak mengakibatkan edema otak.
Obat-obat vasoaktif.
1. Vasopressor (phenylephirene, andrenalin dan nonandrenalin) tidak dapat
menembus BBB, sehingga hanya sedikit mempunyai efek langsung terhadap
pembuluh darah otak. Tetapi karena obat-obat tersebut menyebabkan naiknya
tekanan arteri perifer, maka secara tidak langsung dapat mengakibatkan naiknya
CBF. Dalam keadaan dimana terjadi kerusakan BBB maka andrenalin akan
menstimulir metabolism otak dan meningkatkan CBF.
B A B IV
Intracranial compliance.
Telah disebutkan bahwa adanya massa di dalam otak menyebabkan intracranial
compliance menurun. Adanya shift dari garis tengah serta adanya penekanan pada
ventrikel yang tampak pada CT Scan menandakan compliance jelek. Kenaikan tekanan
intracranial ini harus dinilai pada waktu pemeriksaan fisik, tanda-tanda klinis yang
spesifik untuk kenaikan tekanan intracranial yang meningkat.
Maintenance (rumatan)
Tujuan pemberian anastesi untuk pembedahan otak ialah :
1. Agar selama pembedahan pasien kehilangan kesadarannya dan tidak bergerak.
2. Menajga agar tekanan perfusi otak (CCP) tetap adekuat.
3. Mendapatkan “slack” brain agar kondisi operasi dapat ooptimal.
4. Menghindari terjadinya peningkatan tekanan intra cranial.
5. Mengusahakan agar pada akhir pembedahan pasien dalam keadaan sadar.
Didalam praktek seringkali dilakukan “blackout” pada pasien, dimana pasien
tetap dipasang pada ventilator untuk beberapa saat (beberapa jam sampai 24
jam) dengan indikasi yang kadang-kadang tidak jelas.
Pada keadaan ini maka pada akhir operasi pasien tidak segera dibangunkan.
Pada umumnya hal ini dilakukan pada keadaan dimana terjadi penyulit pada
waktu pembedahan (misalnya perdarahan yang banyak, edema otak yang hebat)
atau pada pembedahan yang sangat lama. Pada keadaan tersebut kemungkinan
terjadinya penylt pasca bedah yang memungkinkan dilakukan pemebdahan
ualng ada, sehingga memudahkan tindakan tersebut.
Meskipun dalam beberapa kepustakaan hal tersebut dianjurkan, tidak berarti
meniadakan ketentuan nomor 5 tersebut.
Agar tujuan tersebut dpaat dilampaui, maka perlu diperhatikan hal sebagai berikut :
1. Induksi haru dilakukan sedemikian sehingga tidak terjadi kenaikan tekanan intra
cranial, dengan menghindari terjadinya hipertensi, hipotensi, hiperkarbia dan
batuk.
2. Jalan nafas ahrus betul-betul bebas.
3. Mengusulkan masalah masalah elsiologi dan farmakologi seperti yang telah
diuraikan sebelumnya.
4. Pada akhir pembedahan sebelum durameter ditutup dengan sempurna, harus
diusahakan agar tensi cukup baik : 100 mmHg pada pasien normotensi atau lebih
tinggi pada pasien hipertensi. Hal ini sangat petning, terutama bila dilakukan
teknik deliberate hypotension.
Apabila hal ini tidak diperhatikan maka cepat atau lamabt akan terjadi
hematoma atau perdarahan pasca bedah. Keadaan pasien akan memburuk dalam
arti terjadi kenaikan tekanan intra krannial pasca bedah dini.
1.1 Air bebas melalui BBB dan bergerak dari daerah yang bertekanan
osmotic rendah ke tinggi. Seorang yang diberi infus air, maka jumlah
kandungan air di otak akan bertambah dan ICP akan meningkat.
Keadaan yang sama akan dicapai bila pasien diberi infuse D5%. Glukosa
5% mempunyai efek yang sama seperti keadaan di mana orang diberi
infuse air, sebab glukosa dimetabolisir dan yang tinggi hanya H2O saja.
1.2 Substansi yang besar hamper tidak menembus BBB.
Albumin hanya mempunyai efek sedikit saja terhadap kandungan cairan
ekstra selular otak, tetapi dapat menaikan tekanan intra cranial nila
diberikan dengan cepat. Efficacy mannitol tergantung pula ada tidaknya
BBB yang membatasi pengaruhnya pada otak. Jadi mannitol menaikkan
osmolalitas intravascular relative terhadap ECF otak dan menurunkan
kandungan air otak.
1.3 Dalam keadaan di mana BBB rusak (misalnya karena hipoksia,trauma
kepala atau adanya tumor), permeabilitas terhadap mannitol, albumin
dan cairan garam… meningkat sedemikian, sehingga molekul molekul
tersebut mempunyai pengaruh yang sama terhadap ECF otak. Oleh
karena itu tidak ada gunanya memberikan albumin untuk menganti
larutan garam faal pada pasien seperti ini.
2. Hipovolemia dan Hipervolemia
Adanya hipovolemi yang jelas akan menyebabkan hipotensi, turunnya CBF
dan ischemia otak. Oleh karena itu maka masalah management cairan
perioperatif pada pasien dengan SOP ini harus betul betul dikuasai.
2.1 Defisit cairan
BAB V
1. Evaluasi prabedah.
Evaluasi prabedah harus dilakukan sebagaimana mestinya pada persiapan
operasi, termasuk riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik seperti yang telah
disebut pada bab sebelumnya. Beberapa hal yang khusus untuk fossa posterior
ialah :
1. Kemungkinan ada sesuatu yang mempengaruhi batang otak. Oleh karena itu
maka …….mungkin. Adanya pengaruh pada pusat pernafasan dan
kardiovasculer akan menjadi nyata bila pasien mendapat obat yang
menyebabkan depresi nafas, menyebabkan hiperkarbia dan menambah
pengaruh massa yang ada tersebut pada keadaan pasien.
2. Posisi pada waktu operasi. Berbagai posisi dapat diminta oleh ahli bedah
untuk mengerjakan operasi di daerah fossa posterior ini.
2.1. Posisi Tengkurap
Pada posisi ini harus dijaga agar posisi perut tidak menekan pada meja
operasi. Cara menilai dengan memasukkan lengan di bawah perut pasien.
Lengan harus dapat bebas bergerak. Di daerah leher harus dilihat jangan
sampai tertekan oleh bantal yang digunakan untuk menganjal dada.
Penekana pada V jugularis akan menyebabkan terganggunya pengembalian
darah ke jantung, terjadi bendungan di leher dan akan mempengaruhi CBV.
Perdarahan bertambah, dan operasi dapat terganggu.
2.2. Posisi setengah tengkurap.
2.3. Posisi duduk
Pengelolahan anestesi.
Pasien dengan kelaianan di fossa posterior sangat potensial untuk terjadinya obstruksi
cairan serebrospinal di daerah……… Pada umumnya hipertensi intracranial sudah
terjadi meskipun hanya ada satu massa yang kecil di fossa posterior. Oleh karena itu
pasien harus diperlakukan sebagai resiko tinggi untuk terjadinya kenaikan tekanan
itrakranial, dan harus dilakukan upaya tindakan yang tepat. Cairan rumat berupa cairan
garam seimbang (balanced salt solution) dengan mengingat agar terjadi deficit ringan.
Penggantian kehilangan darah dengan darah atau koloid. Pada akhir pembedahan harus
dicegah terjadinya pulih sadar yang tidak lancar, misalnya bucking atau batuk. Keadaan
ini dapat menyebabkan terjadinya perdarahan intracranial. Sementara itu terjadinya
muntah dan aspirasi juga merupakan bahaya bagi paien yang reflex proteksinya belum
pulih. Untuk mencegah terjadinya batuk maka narkotik dengan kadar dalam plasma
yang adekuat dapat menghasilkan pasien dengan keadaan bangun tetapi tidak batuk.
Cara lain yang dapat dilaksanakan sama pada waktu induksi yaitu dengan pemberian
…… Pemberian ini akan mengurangi terjadinya batuk atau straining. Pada akhir
pembedahan harus dinilai dengan teliti keadaan pasien seluruhnya untuk menentukan
apakah pasien akan diekstrabasi segera ataukah tetap dalam keadaan intubasi. Masing
masing kasus harus dinilai sendiri sendiri. Sebagai patokan umum bila tindakan
pembedahan tidak mengenai struktur jaringan yang letaknya tidak terlalu dalam, pada
waktu operasi tidak terjadi penyulit dan prabedah kesadaran pasien cukup baik, maka
pada akhir operasi dapat dilakukan ekstubasi. Sebaliknya bila tindakan pembedahan
mengharuskan terjadinya traksi darah batang otak, akan terjadi keadaan yang
membahayakan jiwa pasien yaitu kemungkinan terjadinya apnea atau penurunan
sensorium dan hilangnya reflex jalan nafas. Dalam keadaan seperti ini maka pasien
perlu tetap di intubasi dan diberi pernafasan buatan, sampai bahaya tersebut hilang.
B A B VI
Pembedahan vaskuler otak pada umumnya dilakukan pada pasien dengan sah karena
pecahnya ancurisma, aneurisma atau AVM yang belum pecah. Operasi ini dilakukan
dibawah mikroskop (operasi mikro), yang memerlukan keadaan pasien yang betul betil
diam dengan hemodinamik yang stabil, agar tidak terjadi pecahnya aneurisma atau
AVM. Pada SAH atau intracerebral hemorrhage keputusan untuk melakukan tindakan
pembedahan untuk evakuasi biasanya diambil dini, karena ditakutkan terjadinya
Penilaian prabedah.
Kunjungan pra bedah dan penentuan premikasi.
Aspek kunjungan prabedah pada pasien yang direncanakan untuk menjalani
pembedahan vaskuler otak ini sangat penting, karena pasien harus tetap dalam keadaan
tenang tanpa kenaikan tekanan darah pada waktu induksi. Pada pasien pasien dengan
kesadaran yang baik harus diberikan sedative yang adekuat. Diazepam atau midazolam
merupakan obat pilihan. Penggunaan droperidol sering menyebabkan orang gelisah,
karena itu mungkin dengan kombinasi droperidol dengan dosis kecil dan midazolam
pasien akan menjadi tenang. Obat antihipertensi dapat tetap diberikan. Pda pasien
pasien dalam keadaan kesadaran yang sangat rendah tidak perlu diberikan sedative.
Induksi Anestesi.
Induksi dengan pentothal dengan dosis 4 – 5 mg/kg.bb. Intubasi dilakukan dengan
nondepolacizing muscle relaxant. Pada pasien semacam ini tidak dilakukan intubasi
dengan depolarizing relaxant untuk menghindari terjadinya ruptur dari aneurisma akibat
kenaikan tensi yang disebabkan oleh fasikulasi. Untuk memperdalam anestesinya
sebelum intubasi dapat dilakukan, diberikan luntanyl 10-15 mg/kg.bb. Selama
laringoskopi harus diamati dengan teliti terjadinya kenaikan tekanan darah. Bila
Monitoring (pemantauan)
Monitoring ditujukan pada keadaan system kardiovasculer dan pernafasan.
- Monitoring kardiovasculer.
Sebaiknya dilakukan pengukuran takanan arteri langsung dengan kanulasi arteri
radialis. Apabila memungkinkan maka kanulasi arteri dilakukan prainduksi,
sehingga dapat digunakan untuk memonitor perubahan tekanan darah pada
waktu induksi.
Dalam keadaan dimana tidak mungkin dilakukan kanulasi arteri sebelum
induksi, maka pengukuran tekanan darah harus dilakukan secara otomatis
terprogram dengan Dinamap. Baru kemudian kanulasi arteri dilakukan setelah
pasien dibawah pengaruh anestesi. Pemasangan CVP tidak mutlak, tetapi dapat
digunakan untuk estimasi keadaan volume penderita.
- Pernafasan.
Monitoring dilakukan dengan pemeriksaan analisis gas darah untuk PaCO2.
Capnograf tidak mutlak, kecuali operasi dilakukan pada posisi duduk.
B A B VII
ANESTESI UNTUK PEMBEDAHAN KELENJAR HIPOFISE
Anatomi.
Kelenjar hipofise terletak dalam sella turcica, terdiri dari 2 lobus yaitu lobus anterior
atau adenohipofisis dan lobus posterior atau neurohipofisis. Besarnya kelenjar ini
berkisar antara 0.5 – 0.6 gr, lebih besar pada wanita dari pada pria. Dalam sella kelenjar
ini dipisahkan dari chiasma n. optici disebelah superior oleh diafragma sella. Hubungan
dengan hipotalamus dengan suatu tangkal. Batas lateral hipofise ialah sinus cavernosus
dengan isinya yaitu : saraf-saraf pusat N III, IV, V, VI dan bagian cavernosus dari a.
carotis interna.
Mengingat letak hipofise yang sangat dekat dengan struktur – struktur penting tersebut,
maka tindakan pembedahan potensiil dapat menimbulkan penyulit yang berbahaya
Fisiologi
Fungsi hipofise dikontrol oleh hipotalamus. Pembagian anatomis yang telah disebut
diatas juga merupakan pembagian fungsionil. Masing-masing bagian tersebut
mensekresi hormone yang berbeda.
Adenohipofise.
Bagian ini menghasilkan hormone dan dibedakan dalam 2 golongan berdasar atas reaksi
terhadap pengecatan, yaitu acinopil dan basophil.
ADENONHYPIP…
1. Hormon dari sel-sel acidofic :
Hormon ini meningkatkan pertumbuhan semua jaringan dan organ dengan efek
metabolic yang spesifik :
- Meningkatkan protein sintesis
- Menaikkan mobilisasi asam lemak bebas
- Menurunkan pengunaan glukosa dan mengambilan oleh sel
- Menaikkan penyimpanan glikogen
Penurunan penggunaan glukosa oleh sel ini dihasilkan oleh stimulasi GH
terhadap pancreas untuk melepaskan insulin. Keadaan yang dikenal dengan
pituitary diabetes muncul bila pancreas tidak mampu memproduksi cukup
insulin untuk mengatasi kebutuhan terhadap hiperglikemia yang disebabkan oleh
kelebihan GH.
GH merupakan stress hormone, sehingga kondisi stress seperti anestesi dan
pembedahan, kecemasan, latihan fisik dan hipoglikemia akan menyebabkan
pelepasan GH. Obesitas dan meningkatnya kadar asam lemak bebas akan
mengurangi pelepasan GH.
Prolactin
NEUROHYPHYSIS
Hipofise lobus posterior menghasilkan 2 macam hormone yaitu vasopressin
(ADH) dan ozytosta. Kedua hormone tersebut disintesis dalam hipotalamos dan
diangkut ke neurohipofisis untuk kemudian dilepaskan.
1. ADH (Anti diuretic hormone, vasopression)
Hormone ini dibentuk oleh nucleus supraoptikus dari hipotalamus. ADH
mempunyai peran untuk regulasi tekanan osmotic dari cairan ekstraseluler
maupun intravaskuler. ADH mempunyai efek diginjal yaitu dengan
meningkatkan permeabilitas duktus colectivus remaja terhadap air. Keadaan ini
akan menghasilkan tertahannya air bebas dengan ekskresi urine yang pekat.
Tumor hipofise
Tumor hipofise ini merupakan 15% dari semua tumor intracranial. Sebagian
besar tumor ini jinak dan berasal dari dapi pasr anterior hipofise. Dari tumor hipofise
tersebut yang paling sering ditemukan ialah prolactin-secreting adenoma (30% dari
semua adenoma hipfise). Pada wanita didaptkan galactorhoe, umernohoe dan keluhan
infertilitas. Sedang pada pria seringkali gejala utama berupa impotensi. Sakit kepala,
gangguan visual dan kenaikan tekanan intruktania lebih sering dijumpai pada laki-laki
karena umumnya didapat tumor yang besar pada waktu diagnosis ditegakkan (> 10mm).
Tumor yang meksekresi GH akan menyebabkan timbulnya acromagall dimana
Gh mengenai semua jaringan dan system organ untuk menghasilkan pembsaran struktur
tubuh. Yang paling sering dikenail ialah jaringan tlang dan jaringan lunak dintangan,
kaki dan muka. Perubahan struktur muka ini sering menimbulkan kesulitan untuk
intubasi. Kelebihan GH akan menyebabkan menyakit jantung koroner, hipertensi dan
kardiomiopati. Hiperglikemia yang sering didapatkan menunjukkan keadaan GH yang
menimbulkan intoleransin glukosa.\ ekses produksi ACTH dan hiperkorticolemia
menimbulkan sidroma cushing, termasuk disini tumor hipofise yang menghasilkan
ACTH, tumor-tumor ektopik yang menghasilkan ACTH (oat sel tumor dari paru-paru)
dan hyperplasia adrenalis.
Penyakit chusing ditunjukkan dengan produksi aCTH yang abnormal dari
hipofise, baik karena tumor maupun hyperplasia. Gambaran klinisnya berupa hirsutism,
ablominal striae, obesitas, mudah menglaami memar, berjerawat dan fool-moon face.
Semua gambaran ini berhubungan dengan naiknya produksi ACTH dan
hiperkotisolemia. Klinis dapat pula dijumpai diabetes mellitus, hipertensi, kelemahan
otot-otot proksimal dan osteoporosis.
1. Pedekatan transphenoidal
Pada pendekatan ini dilakukan pembedahan dibawah mikroskop. Beberapa
keuntungan :
1.1. Secara statistic angka kejadian morbiditas dan mortalitas lebih kecil,
karena perdarahan yang jauh lebih sedikit dan maniputasi jaringan otak
kurang.
1.2. Insiden untuk terjadinya permanen diabetes insipidus dan
panhipopituitarisme kecil.
1.3. Pendekatan ini hanya dilakukan untuk tumor yang kecil.
2. Pendekatan intracranial
Untuk tumor yang besar, tumor yang telah mendesak kedaerah ekstraselluir atau
tumor yang belum dapat dipastikan tipenya dilakukan pendekatan intracranial.
Persiapan prabedah
Persiapan prabedah secara umum seperti apa yang dilakukan pada pembedahan
tumor-tumor otak pada umumnya. (lihat bab terdahulu). Prabedah perlu dilakukan
pemeriksaan ………………………………… steroid yang merupakan hasil peemcahan
hormone korteks adrenal, sebagia respon terhadap aktivitas hipofise. Harga normal 17
ketosteroid dalam urine adalah 3-5 mg /14 jam. Sedang kategonik steroid 8-18 mg/24
jam.
Masalah khusus
Dalam menghadapi pembedahan hipofise, kebanyakan klinis menganggap perlu
diberikan suplemen steroid selama operasi sebagai suatu standard. Alas an mengapa
dilakukan hal terebut ialah :
1. Ketidakpastian apakah penyakit yang menyangkut hipofise tersebtu akan
memberi respon terhadap stress ancstesi dan pembedahan.
2. Manipulasi atau pengangkatan jaringan lebus anterior hipofise yang dapat terjadi
pada operasi akan menyebabkan terputusnya fungsi hipotalamo-hipofise-adrena.
Premedikasi
Harus dihindari pemberian premedikasi yang berat mengingat pengaruhnya pada
kardiovskuler dan respirasi.
Management anestesi
Management anestesi suparti pada anestesi untuk tumor otak lainnya. Obat
pelemas otot mutlak digunakan untuk menjaga agar pasien sama sekali dalam keadaan
diam, untuk memungkinkan bedah mikro dijalankan.
Pasca bedah
Sedapat mungkin diusahakan agar pasca bedah dini pasien kembali sadar.
Skema pemberian kortikosteroid yang digunakan sesuai dengan protocol menurut
OYAMA sebagai berikut :
Monitor
Selama pembedahan minimal perlu dilakukan monitoring dasar yang terdiri dari
:
- EKG
- Tekanan darah otomatis terprogram (dengan dinamap)
- Precordial stetoskop
- Urine (kateter)
- Analisa gas darah (PaCO2)
Apabila mungkin maka adanya capnograf akan sangat menolong.
Penyulit-penyulit
Penyulit yang mungkin timbul dapat dibagi dua : selama pembedahan dan pasca
bedah.
Penyakit yang munkgin timbul selama pembedahan :
1. Kemungkinan perdarahan karena dekatnya lokasi operasi dengan sinus
cavernosus dan pembuluh darah carotis.
2. Embori udara dapat terjadi bila sinus cavernosus terbuka.
3. Apabila pada pembedahan lewat transphenoid digunakan obat local unestesi
yang mengandung adrenalin untuk local anestesi sepanjang yang akan ditempati
speculum, maka dapat terjadi ……… yang mungkin berbahaya.
4. Pembedahan dengan jalan kraniotomi dapat menimbulkan edema otak yang
disebabkan karena tekanan retractor yang terlalu keras.
Penyakit yang mungkin timbul pasca bedah.
1. Diabetes insipidus
Di ini dapat disebabkan baik karena edema local pada daerah operasi atau
trauma pada pars posterior-hipofisis. Angka kejadian sampai lebih dari 40%
dalam berbagai bentuk, biasanya transien dan berlangsung kurang dari 7 hari.
Manifestasi dini dari DI ialah ……………. Pasca bedah, dengan jumlah urine
150-200 cc/jam bahkan dapat sampai 1-2L/jam. Umumnya terjadi dalam 12-24
jam pasca bedah.
Oleh :
Dr. Puger Rahardjo
Lab. Anestesiologi FK Unair – RSUD Dr. Soetomo
Hipertensi adalah penyakit yang sering menyertai penderita yang oleh suatu
sebab memerlukan tindakan pembedahan. Seperti diketahui, penyakit ini bila tidak
dikelola dengan hati-hati dapat menimbulkan masalah bagi penderita baik sebelum
operasi, waktu operasi maupun setelah operasi. Lebih dari 90% hipertensi ini tanpa
diketahui sebabnya sedangkan kurang dari 10% diketahui sebabnya dan pada umumnya
oleh karena gangguan/kelainan pada ginjal.
Definisi :
Masih sering terjadi beda pendapat tapi pada umunya dikatakan bahwa bila
penderita mempunyai tekanan systole lebih dari 160 mmHg dan atau pada diastole > 30
mmHg penderita tersebut sudah menderita hipertensi (pada umumnya dikatakan bila
umur penderita 60 tahun). Beberapa buku mengolongkan menurut berat/tingginya tensi
penderita menjadi :
I. Bonder line hipertensi/labil hipertensi pada umunya tensi naik turun dan
belum ada gangguan target organ. T 150/90 sampai dengan 160/100
mmHg kadang-kadang tensi kembali normal.
II. Mild hipertensi – diastolic > 90 terus menerus tetapi masih (105 mmHg
minimal 3 kali pengukuran).
III. Moderate hipertensi – diastole 105-114 mmHg (minimal 3 kali
pengukuran).
IV. Severe hipertensi – diastole 115-129 mmHg disertai komplikasi (perlu
diterapi segera).
V. Malignant hipertensi – diastole > 140 + end organ damage.
Misal : - popil edema
Adalah penting bagi seorang anestesi yang akan membius penderita mengetahui
farmakologi penderita, karena obat –obat ini pada umumnya mempunyai
pengaruh/saling mempengaruhi obat anestesi yang akan dipakai membius penderita
Golongan Diuretics
1. Golongan Thiazides
Hydrocholorothiazide (hydrodiuril, hydrosaluric, esidriv, esidrex, onetic,
direma).
Cara kerja :
o Menurunkan intravase volume dengan meningkatkan excresi Na & Cl
dan juga K pada distal tubulus
o Arteriolar dilatasi
Dosis 25 mg pagi hari max 100 mg/hari
Obat ini dapat dianjurkan kepada penderita :
o Anuria, severe renal failure
o Dapat terjadi hipokalemia arrhythmia
Golongan thiazides ini sangat banyak jenisnya dengan cara kerja yang lebih
kurang sama.
Golongan symphatolytic
1. B-Blocker
Cara kerja :
o Memblok B receptor dengan cara competitive inhibition
o Block pada B1 receptor menyebabkan heart rate menurun, myocardial
contraction menurun, menurunkan oxygen demand.
o Anti arrhythmia yang disebabkan oleh cathecolamine yang meningkat.
o Sebagai anti hipertensi B-Blocker dikatakan menurunkan renin,
menurunkan CO, melalui central NS, emlalui baroreceptor sensisitivy dll
(masih teori).
Catatan :
Tidak dianjurkan pada penderita :
o Heart failure
o Astma bronchiale
o Second-third degree AV-Block
o S3 gallop
2. Alpha Blocker
Prazozin (minpress, hypovase)
Cara kerja :
o Competitive inhibition pada post synaptic alpha adrenergic reseptor
o Terjadi peripheral arterial vasodilatasi
Dosis :
o 0,5 – 1 mg 1 kali/hari dinaikkan pelan-pelan sampai dengan 3 kali/hari
tergantung efeknya
Catatan :
4. Ganglion Blocker
Trimethaphan camsylat (Arfonad)
o Blockade of symphatetic ganglion arteriolar dialtasi
Dosis
1-2 mg/min dinaikkan 2-4 mg/min
(1 ampul = 10 ml ecerkan dalam 500 ml D5%)
Catatan :
o Digunakan pada umumnya hanya pada hipertensi krisis
o Terutama bila ada dissecting aortic aneurysm
Tidak diberikan pada :
o Ischemia hear disease
o Severe renal, hepatic failure
Dapat menyebabkan :
o Resp. arrest
o Takhikardia
o Arrhythmia
Golongan vasodilator
Hydralazine (Apresoline)
Cara kerja :
o Direct vasodilator arterial smooth muscle
Dosis :
10 mg i.v. diikuti dengan 10-20 mg/jam drip tergantung respons
Catatan :
o Digunakan untuk hypertensive emergency oleh karena eclampsia atau +
renal railure.
Tidak diberikan pada penderita :
o Dissecting aneurysma
o Ischemia heart disease
Diazoxide
Cara kerja :
o Direct arterioral vasodilator
Dosis
o 150 mg i/v/ pelan-pelan ± 30 detik
o Infuse pelan-pelan 5 mg/kg NN 15 mg/min
Catatan :
o Digunakan untuk hipertensi emergency + renal failure hipertensi
encephalophaty
o Mempunyai effect salt retaining pada umumnya kombinasi dengan
diuretirum
o Ekstra vasc. Infecsi inflamasi sampai dengan necrosis
o Dapat terjadi takhikardia
o Effect antidiuretic dapat terjadi heart failure
Tidak diberikan kepad a:
o Pulmonary edema
o Dissecting aortic aneurysma
Berikut dibawah ini daftar side effect yang perlu diketahui dari pemakaian obat-obat
anti hipertensi
Side effects obat-obatan anti hipertensi.
Thiazide diuretics
- Hypo K
- Hypo Mg
- Hyper uricemia
- Hyper Ca
- Alkalosis
- Hypoglycemia
- Hypercholesterolemia
- Menurunkan lithium clearance
- Dermatitis
- Photo sensitivity
B-antagonists
- Congestive heart failure
- Bradikardia
- Bronchospasme
- Masking of hypoglycemia
- Raynounds phenomenon
- Sedation
- Angina white abrupt discontinuation
- Paresthesia
Centry blokckers
- Bradikardia
- Takhikardia
- Heart block
- Congestive heart failure
- Weakness
- Hepatic disfunction
- Syncope
Clonidine
- Sedation
- Orthostatic hypotensi
- Impared glucose tolerance
- Rebound hpertensi
- Bradikardia
Methyldopa
-
-
Prazoxin
- Sedation
- Weakness
- Orthostatic hypotensi
- Takhikardia
Hydralazine
- Takhikardia
- Lupus like syndroma
- Fever
Minoxidil
- Orthostatic hypotensi
- Thakikardia
- Corgestive heart failure
- Hypertrichosis
- Na dan water retention
- Hemodilution
- Pericardial effusion
- Non specific T-wave chang
Preop management
- Pertanyaan yang sering timbul adalah tnsi berapa dari penderita hipertensi yang
dapat diterima untuk dilakukan operasi elektif. Sebetulnya hal ini individual
pada uumnya tergantugn dari :
1. Tensi preoperative penderita
2. Adanya ischemia, gangguan ventrikel, gangguan otak/CVA, gangguan ginjal
(gangguan target organ).
3. Macam operasi.
- Ada penulis yang mengatakan bila teni preop elektif sistolik >180 mmHg dan
atau diastolic > 110 mmHg maka sebaiknya operasinya ditunda dulu, apabila
disertai gangguan pada target organ.
- Riwayat hipertensi penderita harus digali mulai dari rimbulnya kapan, tingginya
tensi, obat-obat yang diminum.
Gangguan target organ :
1. Gangguan jantung
2. Gangguan otak
3. Gangguan ginjal
Ad.1. :
o Tanyakan nyeri dada, kemampuan olah raga, nafas pendek
o Apakah ada edema
o Apakah ada irama gallop, rales pada paru-paru (auscultasi)
o ECG kalau perlu echocardiography
Ad.2. :
o Namnese : kepala pusing-pusing, pandangan mata kadang-kadang kabur,
pingsan mendadak (Collaps), setelah duduk lalu berdiri pusing-pusing.
o Palpasi arteri carotis dan auscultasi arteri carotis harus dilakukan.
Ad.3. :
Premed
mapun postopnya.
maupun bradikardia.
Tujuan :
Mengatur sedemikian rupa sehingga tensi penderita berada di range normal tensi
karena kerja jantung yang berat untuk melawan SVR (systemic vascular
pad aventrikel kiri (hal ini kadang-kadang tidak terlihat pada ECG
ini kebutuhan darah/O2 untuk otot ini meningkat, dilain pihak dikatakan
ischemia baik oleh karena tensi yang turun berlebihan atau bila terjadi
(propanolc/esmolol)
dan juga penurunan aliran darah ke ginjal (gangguan auto regulasi). Bila
Monitoring
yang besar (dalam hal ini diperlukan direct intra arterial pressure).
Induksi
o Induksi dan intubasi endotracheal adalah saat yang kritis untuk penderita
hipertensi ini dapat terjadi hipotensi yang berat waktu induksi ataupun
o Hipotensi ini disebabkan oleh kaerna pada umumnya obat anti hipertensi
dan general anestesi adalah obat vasodilator dan cardiac depressant dan
3.
4.
5. B adrenergic :
Propanolol 1-5 mg
Labetol 10-50 mg
profozel.
Muscle relaxant
hati.
menimbulkan :
1. Cathecolamine release
2. Vagal block
Vasopresor
endo/exogenous.
Intra operative HT
anestesi.
Nitroglucernin
Postop management
o Gangguan nafas
o Volume overload
o Balder distesion
o Dan nyeri
Hal-hal tersebut diatas haruslah dikoreksi dulu baru kalau perlu diberi obat
anti hipertensi.
o Hydralazine
o Esmolol
o Propanolol
Severe hypertensi
o Perlu nitropruside/nitroglycerin
Oleh :
Dr. Puger Rahardjo
Lab. Anestesiologi FK Unair-RSUD Dr. Soetomo
Surabaya
Asthma bronciale adalah penyakit reversible, tetapi bila tidak dikelpla dengan
Definisi :
Diagnosis :
Pada waktu diluar serangan pada umumnya rasa sesak dan tanda-tanda klinis
tidak terlihat.
- Batuk-batuk
- Tachypnea.
Pathogenesis :
- Tidak normalnya pengaturan saraf autonome yang emngatur tonus jalan nafas
- Terdapat radang kronis pada jalan nafas (terjadi perubahan pada sub mukosa)
Anamneses :
Physic diagnosis
serangan yang sangat ebrat dan keadaan yang kritis justru wheezing ini dapat
tidak terdengar.
Pemeriskaan lab.
- Alat ini cukup murah dan dapat digunakan setiap waktu (kemampuan penderita
- Mini peak flow meter ini dapat digunakan untuk menilai beratnya serangan
pneumomediastinum.
Pengobatan
Bronchodilator :
bronchodilatasi.
Pemakaian secara semprot ini pada kasus yang sangat berat kadang-kadang tidak
mencapai hasil yang baik, karena obat ini tak dapat mencapai bronchus karena
bronchocontriksi dalam hal ini pemberian dapat melalui nebulizer atau intravena.
Dosis salbutamol :
- 500 Ug (subkutan)
- 250 Ug (i.v.)
- 5 – 15 Ug/menit (infuse)
Pemebrian i.v. lebih sering timbul side effect tachycardia, tremor dibadning nebulizer.
Ipratropium
- Pemberian obat ini dipikirkan bila dengan pemberian B2 agonist tidak member
Xanthenes derivate
- Side effect dan toxit effect lebih sering terjadi disbanding B2 agonist.
- Dosis awal 5-6 mg/kg BB diberikan pelan-pelan ±15 menit. Dosis ini diturunkan
½ nya bila dalam 254 jam terakhir penderita mendapat obat-obatan aminophylin.
therapeutic kadar dalam darah 10-20 mg/L. bila kadar dalam darah > 20 mg/L
dapat terjadi toxic effect berupa gangguan arythmia yang berbahaya, konvulsi
- Merokok
- Alcohol
- Rifampicin
- Barbiturate
Cromoglycate
Corticosteroid
- Pemberian secara inhalasi jarang terjadi side effect systemic ataupun supresi
3-4 mg/kg BB/6 jam (24 jam pertama). Setelah 24 jam pertama ditambah
- Pada penderita yang membaik dengan pengobatan ini dilakukan tapering off ±1
minggu.
- Hipotensi
- Diarrhea
- Vomiting
- Degydrasi
- Oliguri anuric
- Sommolent
- Hypo Na
- Hyper K
- Hypoglucemia
- Acidosis
Untuk penderita yang menerima pengobatan corticosteroid > 6 hari dalma 6 bulan
terakhir dan akan emnerima stress operasi sebaiknya diberikan corticosteroid untuk
Antibiotika
bronchiale. Pada umumnya oleh karena virus bukan oleh karena bakteri.
Tetapi bila ada tanda febris, leko meningkat, neutrophyl meningkat, adanya sputum
beri amoxicillin/erythromucin.
Cairan.
Pada serangan asthma yang akhir penderita cenderung mengalami dehidrasi oleh
karena sulitnya minum (karena sesak) pengeluaran cairan melalui jalan nafas
bertambah.
Jadi pemebrian cairan infuse dan monitoring elektrolit cukup penting untuk penderita
Respirator
5. Gangguan kesadaran
6. Cyanotic
11. Penumothorax/penumomediastinum
A. Evaluasi preop.
o Antibiotika
o Bronchodilator
o Kp corticosteroid
o Anthihistamine
oksigenasi penderita.
hasil terapi dan derajat serangan bila sedang ada serangan akut.
B. Premidkasi
o Pethidin
o Diazepam/Dormicum
2. General anesthesi.
Hati-hati pemakaian :
o Curare
o Syccynilcholine
o Barbiturate
o Morphine
Neostigmine
Prostigmine
Pyridostigmine (mestion)
Surabaya
Dengan makin meningkatnya umur harapan hidup, makin banyak pula penderita yang
terdapat 10 juta penderita diabetes, hamper 50% nya meemrlukan pembedahan semasa
hidupnya. Lebih dari 75% penderita yang meemrlukan pembedahan ini berumur diatas
50 tahun, dimana prevalensi terjadinya penyakit myokard dan pembuluh darah serta
Indoensia terdapat 2,5 juta penderita diabetes (dari 180 juta penduduk – 1991). Dengan
sampai 700.000 penderita DM yang memerlukan pembedahan dan anestesi. Suatu hal
penting lainnya ialah bahwa diperkirakan 25% penderita diabetes baru terdeteksi setelah
berada di RS untuk suatu tindakan pembedahan. Sres yang disebabkan oleh sepsi atau
manifest (5).
yang erjadi pada penderita dibetes selama pembedahan, yang dapat dilihat dari berbagai
anjuran pennganan penderita tersebut (dari 19). Tampaknya hal ini juga disebabkan oleh
belum jelas adanya kesepakatan hasil akhir apa yang harus diukur, yang dapat
menggambarkan keberhasilan penanganan penderita (33). Satu hal yang disepakati oleh
semua penulis ialah bahwa kadar gula darah harus diukur untuk mengatur pemberian
insulin agar tidak terjadi hipo atau hiperglicernia (1). Beberapa hal seperti sejauh mana
persiapan harus diukur harus dilakukan yang menyangkut kadar gula darah, gangguan
metabolic perlu disepakati oleh anggota tim pembedahan (inetrni, ahli bedah dan
terhadap penderita, tanpa saling merasa tersinggung. Sudah selayaknya bila internis
kondisi DM seoptimal mungkin, namun perlu pula masukan dari anestesiologis dan ahli
bedah tentang masalah anestesi dan pembedahan yang akan dilakukan, yang tentu saja
akan mempengaruhi kondisi pasien nantinya. Namun demikian pada periode dekat
pembedahan dan pasca bedah dini, anestesiologis yang berada paling dekat dengan
untuk kemudian diserahkan kembali kepada Internis setelah lewat pasca bedah dini.
Pembagian tanggung jawab ini hanya dapat dilakukan bila ada kesepakatan bersama
faktor penylit seperti syok dan sepsis (dari 1,38). Pada pembedahan sederhana terencana
dapat terjadi kenaikan laju metabolism sebesar 10% dan hanya terjadi ekskresi nitrogen
sedikit sekali. Pada pembedahan yang sulit, BMR dapat meningkat 2 kali lipat selama
beberapa hari. Terjadi perubahan hormonal yaitu kenaikan sekresi katekolamin, ACTH
dan kortisol. Sementara itu terjadi inibisi sekresi insulin. Oyama dan kawan-kawan
(1972, 1979) mmbuktikan pada penderita tanpa kelainan endokrin, bahwa anstesidengan
perubahan kecil pad akadar ACTH dan kortisol, demikian jug kadar insulin dan gula
darah. Perubahan kadar gula darah terjadi setelah dimulai tindakan pembedahan (24,
23). Kenaikan kadar insulin baru terjadi pada akhir pembedahan (23). Respon
neuroendokrin terhadap sters pembedahan ternyata tidak terjadi pada penderita yang
mendapat anestesi spinal (26). Bunter (1959) mendapatkan bahwa anestesi halothane
tidak disertai hiperglikemia, yang didukung oleh Oyama dan kawan-kawan (1971)
dengan catatan anestesi tidak disertai pembedahan (dari 10). Kenaikan kadar gula darah
selama pembedahan berbading dengan berat dan luasnya pembedahan (dari 1). Allison
(1971) menyatakan bawha saat menunggu anestesi mempunyai efek metabolic yang
lebih besar daripada anestesinya sendiri (dari 1). Sebagai patokan umum sebiknya
penderita diabetes diacarakan operasi sepagi mungkin, sehingga masa menunggu tidak
terlalu lama.
Stres semacam ini (pembedahan serta penyulit yang terjadi) tentunya akan
meperburuk keadaan metabolic penderita diabetes baik IDDM maupun NIDDM. Pada
keadaan ini kenaikan kadar insulin pasca bedah tidak akan terjadi, bukan hanya karena
terjadinya insulin resistan tetapi juga karena defisiensi insulin. Hal ini tentu akan
Persiapan prabedah.
terjadinay morbiditas dapat diperkecil. Untuk itu perlu diusahakan agar statu metabolic
keseimbangan elektrolit. Hal ini hanya dapat dicapai dengan pemberian insulin yang
adekuat untuk mengatasi respon katabolic yang telah dibahas diatas. Disamping itu
penderita menjalani rawat inap 2-3 hari sebelum hari pembedahan (dari 2,19). Perlu
jantung, otak dan ginjal (dari 1,19,34). Penyakit vaskuler ini lebih nyata pada penderita
diabetes daripada yang diharpakan terjadi pada nondiabetes dari umur yang sama. Oleh
karena itu Steinke (31) menganjurkan untuk menilai umur fungsional, yaitu umur
kronologis ditambah dengan lamanya pengidap diabetes. Periapan puasa (= 8 jam) yang
secara rutin harus dilakukan pada pembedahan berencana untuk mencegah aspirasi,
lemak. Keadaan ini pada penderita diabetes dapat berkemabng kea rah terjadinya
elektrolit, gula darah, serum kreatinin/BUN, urine (keton dan protein), EKG.
4. Bila kadar gula darah > 300 mg% atau terdapat gangguan elektrolit, dainjurkan
pemberian insulin infusi (GIK). Sementara monitoring gas darah dan gula darah
6. Gula darah (plasma) prabedah dieprtahankan tidak lebih dari 200 mg% (140-
200mg%).
Dari kepustakaan (33) yang ada tidak ada jawaban tunggal, tetapi ada tiga hal yang
dipertimbangkan, yaitu :
a. Pada semua penderita diabetes paling tidak terdapat defisiensi insulin, meskipun
c. Sampai saat ini tidak ada cara yang telah terbukti dapat mempredik sebelumnya
Dengan demikian maka kiranya akan lebih aman bila semua penderita diabetes (baik
IDDM maupun NIDDM (kecuali yang dapat terkontrol dengan diet saja) direncanakan
untuk mendapat insulin. Alberti (2) menekankan pentingnya meliha regimen insulin dan
beberapa hari prabedah. Hal lain yang perlu mendapat perhatian adalah adanya
Untuk penderita NIDDM yang terkontrol dengan OHA yang akan menjalani
acting. Short-acting OHA harus dihentikan pada hari pembedahan, sedang long-acting
dihentikan 2 hari sebelum hari pembedahan. Untuk penderita IDDM yang terkontrol
dengan baik dan menjalani pembedahan ringan/kecil dapat digunakan pola pengelolaan
1. Pada hari pembedahan ditentukan pemberian ½ sampaio 2/3 dosis insulin yang
biasa digunakan (sc.). bila kadar gula darah puasa > 200 mg% diberikan 2/3
dosis.
cc/jam
3. Kadar gula darah diperiksa selama pembedahan dan pasca bedah dini.
4. Pasca bedah diberikan ½ sampai 1/3 dosis insulin yang digunakan sehari-hari
(sc.).
6. Tambahan RI dapat diberikan tiap 4-6 jam pasca bedah, tergantung dari hasil
perubahan mekanik jaringan dengan jalan osmosis, yang bila terjadi dapat
membahayakan pembedahan mata (33). Penggunana infuse ringer laktat yang secara
rutin digunakan selama anestesi dan pembedahan sebaiknya dihindari karena terbukti
dari peneliitian Thomas dan Alberti (36) dapat meingkatkan kadar gula darah. Pada
penderita diabetes kenaikan ini sebesar 13.5 mg% sedang untuk bukan penderita
penderita IDDM yang menjalani pembedahan, masih ada perdebatan regimen mana
dan sudah mulai dikenal sejak tahun 1963 (Galloway). Regimen GIK dimana glikosa,
insuin dan kalium dicampur dalam satu botol infus. Alberti dan Thomas (1)
menunjukkan dengan penggunaan GIK pada IDDM terjadi perbiakn kadar gula plasma
dan kadar keton body, bila disbanding dengan pemberian peberian insulin sc. Dan
pemberian glukosa iv. Selanjutya didapatkan bahwa pada NIDDM tidak terjadi
perbaikan control gula darah dengan GIK disbanding dengan penghentian OHA
prabedah (Thomas dkk., Thomson dkk. Dari 23). Pezzarosa (dari 19) juga mendapatkan
bahwa insulin iv menghasilkan kontrol kadar glukosa yang lebih baik selama
pembedahan dibanding dengan pemberian secara sc. Dunnet (11) berdasarkan atas hasil
survey menyarankan penggunaan GIK untuk pembedahan besar. Regimen GIK yang
diusulkan oleh Alebrti dan kawan-kawan mempunyai kekurangan yaitu kadar insulin
dalam botol yang sudah tetap, sehingga bila diperlukan penyesuaian dosis harus
----------------------------------------------------------------------------------------------------------
--
3. Regimen insulin :
Secara teori hilangnya insulin karena diabsorpsi oleh botol plastic dapat dihindari
dengan mengisi 50 cc tubing infus dengan larutan tersebut sebelum dipasang pada
penderita.
Hal terpenting pasca bedah adalah monitoring kadar gula darah sesering
mungkin, apapin regimen yang digunakan. Idelanya kadar gula darah diperiksa tiap 2-3
jam, dengan yang cepat (bedside monitor) sehingga setiap saat dapat dilakukan
hari (misalnya pada pembedahan abdomen), karena pengaturan cairan pasca bedah bagi
penderita diabetes tidak mudah. Dengan demikian maka pemberian regimen cairan
pasca bedah harus berdasarkan atas kasus per kasus. Pada umumnya untuk penderita
yang diperbolehkan intake oral, pasca bedah dapat diberikan glukosa 5% dalam 0.45%
NaCl 100 cc/jam. Untuk mereka yang menjalani pembedahan besar diperlukan
Pembedahan darurat
untuk mengalami pembedahan darurat. Galloway pada tahun 1963 (dari 1) mendapatkan
yang 80% nya disebabkan oleh infeksi. Apabila pada evaluasi prabedah didapatkan
penderita dlam keadaan koma, prekoma atau dekompensasi metabolic yang berat,
pemebdahan harus ditunda untuk memperbaiki status metabolic penderita. Pada keadaan
tersebut dengan nyeri abdomen hebat, dapat disebabkan murni karena ketoasidosis,
yang bila diatasi maka keluhan akan hilang. Sebaiknya pada penderita dengan neuropati
autonomic, seseorang dengan peritonitis yang ebrat dapat hanya disertai nyeri ringan.
secepatnya.
2. Segera ditentukan kadar gula darah, BUN dan kreatinin, elektrolit (kalium dan
4. Diberikan RI bolus iv.5-10 unit, kemudian dilanjutkan dengan 50 unit dalam 500
cc NaCl 0.9% (infusion pump atau infus biasa yang tubingnya sudah isi dengan
6. Kadar gula ditentukan tiap 2-3 jam dan bila perlu dilakukan pengaturan ulang
1. Dengan pemberian infuse ini turunnya kadar gula darah dapat diperkirakan yaitu
75-100 mg%/jam.
2. Terjadi penurunan kadar kalim 1.6mEq/L untuk setiap kenaikan 100 mg% kadar
3. Untuk koreksi dehidrasi pada penderita ketoasisdosis ini diperlukan cairan yang
cukup banyak berkisar antara 3-5 L (dalat sampai 10L) tergantugn derajat
elektrolit 500 mmol, kalium 350 mmol dan chloride 400 mmol (42).
4. Rehidrasi untuk kehilangan cairan yang disebabkan oleh proses penyakit beda
(bukan ketoasidosis) dilakukan bertahap : ± 1/3 defisit diberikan dalam 6-8 jam
Meskipun dapat keadaan yang sulit karena trauma, semua upaya untuk melakukan
evaluasi prabedah harus ditempuh untuk dapat menetapkan kondisi metabolic penderita.
Semua penderita eiabetes yang mengalami trauma harus dianggap dalam keadan
lambung penuh tanpa mempedulikan kapan makan terakhirnya. Hal ini karena ada
akan terhenti, dna makanan yang dimakan paling tidak 8 jam sebelum trauma harus
dianggap tetap ada dalam lambung. Tergantung dari urgensi pembedahan, bila mungkin
peridural), dianjurkan untuk melakukannya selama tidak ada kontra indikasi, karena
teknik ini hamper tidak ada pengaruhnya terhadap gula darah. Apabila tidak mungkin
(misalnya pada keadaan perdarahan hebat, pembedahan dada dak kepala) harus
hiperglikemia selama anestesi umum atau trauma kepala cukup sulit, sehingga
monitoring kadar gula darah harus dilakukan teraturdan sering (tiap jam). Apabila
terjadi kelambatan bangun dari anestesi umum, harus dicurigai terjadinya hipoglikemia
Ringkasan
khusus dengan tujuan menyiapkan kondisi metabolic yang stabil dan menghindari
pemberian insulin yang adekuat terutama untuk DDM (dan NIDDM yang menggunakan
Apapun regimen insulin yang digunakan, yang paling penting adalah monitoring kadar
gula darah 1 atau 2 kali tergantung lamanya pembedahan, sedang selama pasca bedah
dini tiap 2-3 jam. Dibahas pula regimen insulin untuk pembedahan kecil, bedah dan
Oleh :
Surabaya
Masalah yang kita hadapi adalah adanya isi lambung yang tidak mungkin kita
kosongkan sempurna meski penderita sudah dipupaskan atau dipasang magslang yang
besar dan diisap, sehingga bahaya aspirasi waktu induksi atau intubasi selalu ada.
khusus supaya bahaya aspirasi ini dapat dikurangi yaitu dengan crash intubasi (intubasi
Ada 2 cara :
HEAD UP INTUBASI
Dasar pemikiran cara ini adalah, dengan head uap maka lambugn akan dibawah
dan pharynx ada di atas sehingga waktu terjadi kenaikan tekanan di dalam lambung
karena succinylcholin (dikatakan kenaikan ini dapat sampai 20 cmH2O saat fasciculasi),
karena gravitasi dan jarak cardio gastric sphingter dan pharyx bila terjadi regurgitasi
1. Oksigenasi :
Pada kasus yang dicurigai ada hipoolemia, head uap ini dilakukan bertahap
misalnya 15o dulu lalu di monitor hemodinamiknya (tensi, nadi) naikkan lagi
30 o dan seterusnya.
3. Masukkan obat untuk induksi dengan dosis sleep dose pentothal ±3 mg/kg/
ketalar 1 mg/kg.
4. Begitu penderita tidak sadar, dilakukan Sellick manouvre yaitu menekan dengan
oleh asisten yang emmbantu intubasi dengan menggunakan jari telunjuk dan ibu
jari.
dianjurkan pada anak-anak karena pada anak di tempat cricoids ini physiologis
Lidocain akan mengurangi proteksi jalan nafas waktu sadar. Nafas buatan akan
CATATAN :
a. Anak-anak
diatasi.
Beri nafas buata (oksogenasi) selanjutnya dicoba intubasi secara head down.
3. Suction yang berjalan baik dan catheter penghisap yang cukup besar harus
Dasar pemikiran cara ini adalah bila terjadi regurgitasi maka muntahan ini akan
menjauhi larynx.
1. Oksigenasi :
Posisi penderita saat head down ada yang emngajurkan mirin kiri atas bila
penderita memungkinkan.
5. Masukkan succinylcholin.
6. Begitu otot rahang relaks, lakukan ibtubasi tanpa pemebrian lidocain spray pada
7. Bila intubasi berhasil, segera kembangkan cuff lalu sellick manouvre dilepas.
CATATAN
1. Intubasi head down tak dianjurkan pada penderita dengan tekanna intra cranial
yang meningkat.
Oleh :
Surabaya
PENDAHULUAN
Banyak cara yang dapat dipakai untuk menghasilkan suatu Blok regional bagi
- Blok interascaleneus
- Blok parasceleneus
- Blok infraclavicular
- Blok axiller
Akhir-akhir ini blok axiller lebih populer daripada teknik yang lain. Hal ini disebabkan
karena pada blok axiller tidak terhadi penyulit penumothorax. Kerugian dari cara ini
ialah kurang berhasilnya anestesi untuk lengan bagian atas, serta blok untuk
Hal ini dapat dimengerti karena n.musculocutaneus menginervasi daerah 1/3 atas lengah
atas. (3,5,7).
ANATOMI
anatomi regiocolli.
Plexus brachialis dicapai dengan mudah melalui rigonum colli posterior (1,3,5,6,7).
Trigonum colli posterior dimulai dari 1/3 tengah clavicula dengan batas-batas sebagai
berikut :
Trigonum colli posterior dibagi menjadi dua trigonum oleh perut bagian bawahd ari
1. Trigonum Occipitale
Gambar 1
Plexus brachialis dibentuk oleh Rami Venfrallis C5, C6, C7, C8 dan Th1 dan cabang-
GAMBAR 2
Letak plexus tersebut diantara m.scaleneus anterior dan m.scaleneus medius. Plexus
dan A..Axitlares melalui tabung (canalis) cervico axillares, secara anatomis letak canalis
cervico axillares tepat dibelakang clavicula dan berada diatas costa I. (gambar 3).
Plexus brachalis tersebut melanjutkan ke fossa axillares. Didalam fossa axillares plexus
brachialis mulai terpisah menjadi beberapa nervus yang besar bagi anggota gerak bagian
atas.
TEKNIK :
penderita diletakkan disapming badan dan kepala menengok ke arah yang brelawanan
mastoideus.
ini akan teraba suatu cekungan (groove) yang dibentuk oleh m.scaleneus anterior
3. Ditepi otot scalaneus 1,5 – 2 cm diatas clavicula diberikan tanda “X”, tanda “X”
tersebut berada di atas A.subclavia dan medial dari vena jugularis externa. (gambar
5).
GAMBAR 5 :
Atas dasar topografi tersebut, maka blok pada plexus brachialis dengan mudah dapat
dicapai dari daerah bawah trigonum colli posterior tepat disebelah lateral m.scaleneus
Bahan diambil dari penderita yang akan dilakukan operasi anggota gerak bagian
Tata Laksana :
1. jarum yang dipakai no. 21-22 C 4 cm, dengan sempit 20 cc yang sudah terisi
sudah ditemukan, semprit yang terisi obat tersebut dihisap (aspirasi), apabila
tidak ada darah yang terhisap obat disuntikkan dengan arah memutar (fan like).
a. Tertusuknya a.subclavia : bila hal ini terjadi jarum harus segera ditarik dan
(3,5,7).
b. Jarum tidak boleh diarahkan ke medial dari m.scaleneus anterior, agar tidak
Onset anestesi dipatau selama 20 menit, apabila blok berhasil dapat diketahui :
- Apabila penderita takut dapat diberi valium intravena dengan dosis secukupnya
(5 mg).
- Apabila blok plexus brachiais tidak berhasil maka diganti dengan anestesi
umum.
Pasca bedah dilakukan observasi pada penderita yang meliputi : tekanan darah, nadi,
pernafasan dan timbulnya keluhan lain misalnya nyeri dada, suara parau, sesak nafas,
Hasil kerja :
Di RSUD Dr. Soetomo Surabaya dari Januari 1982 sampai dengan Desember 1985 telah
dilakukan blok plexus brachialis dengan jalan Parascalenus pada 66 penderita terdiri
Jumlah 15
Jumlah 51
Hasil analgesi dinilai baik, apabila 15-20 menit setelah penyuntikan dipenuhi criteria
seperti tersebut di atas. Pemasangan turniket dapat dilakuakn setelah keplumpuhan otot
dapat dilakukan blok plexus brachialis dengan hasil yang memuaskan. (1,3,5) (gambar
6).
GAMBAR 6 :
ELEKTIF
15 – 19 17 17 4 13
20 – 24 13 13 5 8
25 – 29 2 4 6 2 4
30 – 34 3 1 4 2 2
35 – 39 3 1 4 1 3
> 40 10 1 11 1 10
55 15 (27.2%) 40 (72.7%)
DARURAT
15 – 19 1 1 1 -
20 – 24 2 2 2 -
25 – 29 3 3 2 1
30 – 34 3 3 2 1
35 – 39 - - - -
> 40 1 1 2 1 1
11 8 (72.7%) 3 (27.2%)
Dari table dapat diketahui bahwa mencari parestesi tidak begitu mudah. Kepada semua
penderita yang ememrlukan tambahan obat – anestesi yang lain, lama operasi yang
PEMBAHASAN :
Pemberian anestesi dengan cara blok pelzus memelrukan kerjasama yang sngat
harus mengerti dan mau menerima perlakukan tersebut., paraestesi yang sukar dicari
tersebut, disebabkan penderita yang tidak mengerti dan tidak pernah merasakan rasa
Dengan blok pada plexus brachialis ini, hasil yang paling memuaskan didapat bila
digunakan untuk anestesi 1/3 bagian distal lengan atas dan seluruh lengan bawah.
Hal ini dapat dimengerti karena sebagian innervasi lengan atas berasal dari n.intercosta
brachialis (T2) dan n. medial brachialis cutaneus & Papper (1964) membandingkan blok
aziler dan blok supraclavicular pada 500 penderita, ternyata teknik blok axiller memberi
Keberhasilan dengan blok azillar 91,5% sedang dengan blok supracalvicular 84,5%.
Pada blok axiller tidak didapatkan penyulit pneumothorax, sedang angka kejadian untuk
Menurut beberapa kepustakaan blok axilla tidak adekwat untuk operasi lengan atas.
(1,3,5,7)
Kalau ditinjau dari cara melakukan blok pelxus brachialis banyak macam teknik
pneumothorax. (3.5.7).
interscalenus dapat dihindari, namun teknik ini dapat membawa risiko penyulit yang
Ray (1973) dan Sin (1977) melakukan cara infraclavicular dengan maksud yang sama,
Pada blok plexus brachialis dengan jalan Paraschaleneus dapat dihindari terjadinya
TABEL II
15-19 18 2 1
20-24 15 1
25-29 9
30-34 7
35-39 3 1 2
40 13
PNEUMOTHORAX LAIN2
al
6.
Vongvises Horner
Panijaya (1.5%)
7. Hari Horner
dkk (7.5%)
Bambang Wahjuprayitno
Lab. / UPF Anestesiaologi F. K. Unair RSUD Dr. Soetomo
Surabaya
PENDAHULUAN
Obat pelemas otot, baik golongan depolarizing maupun non depolarizing,
merupakan salah satu obat yang paling sering dipakai dalam anestesi. Pemberian
obat pelemas otot ini bukan tanpa bahaya. Disamping variasi individual terdapat
banyak factor yang dapat mempengaruhi efek dan lama kerja obat tersebut. Oleh
karena itu banyak ahli menganjurkan untuk dilakukannya pemantauan secara
rutin. Derajat blikade neuromuskuler ini. Pemantauan penghantaran
neuromuskuler ini dapat memberikan informasi yang berguna bagi anestesist
dan pada akhirnya dapat meningkatkan kwalitas pelayanan anestesi pada pasien.
Tampaknya pengunaan alat-alat untuk pemantauan ini di Surabaya belum
begitu popular, kemungkinan demikian juga di tempat – tempat lain di
Indonesia.
Seorang ahli anestesiologi yang berpengalaman tidak diragukan lagi
dapat menilai derajat blockade neuromuskuler secara klinis tanpa menggunakan
suatu stimulator saraf. Hal serupa dapat pula terjadi bila ia melakukan anestesi
pada penderita penyakit jantung tanpa pemantauan E K G. Yang perlu
dipertanyakan adalah sampai berapa aman dan optimal penderita mendapat
pelayanan anestesinya tanpa pemantauan tersebut.
Dalam suatu study tentang sisa obat pelemas otot oleh Viby- Mogensen
dkk. (1979) pada 72 pasien penderita tanpa pemantauan dengan stimulator saraf,
setibanya di ruang pulih sadar didapatkan 24% penderita tidak dapat
mengangkat kepala (head lift) selama 5 detik, 42% mempunyai train-of-four
ratio kurang dari 0.7 sebagai tanda kepulihan yang cukup. Dari sini dapat
diambil kesimpulan bahwa tanpa pemantauan dengan stimulator saraf terdapat
kemungkinan terjadinya hipoventilasi dan penurunan kemampuan reflex
protektif pasca bedah, dan jelas ini dapat menimbulkan bahaya.
Terdapat 3 faktor yang berperan penting yang mengakibatkan penilaian
klinis itu tidak selalu cukup baik yaitu :
Efek dari obat anticholinesterase sebagai reversal obat pelemas otot non-
depolarizing sangat bergantung dari derajat hambatan neuromuskeler pada saat
obat tersebut diberikan. Menurut Katz (1971) makin berat derajat kurarisasinya
makin lama waktu yang dibutuhkan untuk pulih asal. Hal ini tentu dapat
merugikan bila blok dilakukan tanpa pemantauan dengan stimulator syaraf,
karena tanpa itu derajat blok biasanya ditentukan dengan perkiraan saja. Dengan
pemantauan memakai stimulator syaraf di samping dapat membedakan jenis
blok memungkinkan dosis obat pelemas otot dan antagonisnya dapat diberikan
dengan tepat.
Jadi disamping untuk membedakan jenis blok, tujuan utama pemantauan
neuromuskuler selama dan pasca bedah adalah agar blok dapat diakhiri dengan
cepat dengan antogonis maupun secar spontan dapat dijamin berlangsung lama,
segingga penyulit yang merugikan dapat dicegah.
Pola respons otot yang timbul tergantung dari frekwensi stimulasi syaraf.
Dengan jenis ini dan derajat blok dapat ditentukan.
Elektroda stimulator (dapat memakai electrode E.K.G) diletakkan diatas
Ulnaris pada siku atau pergelangang tangan setelah sebelumnya daerah tersebut
dibersihkan. Bila tidak terdapat E.M.G respon yang timbul dapat dinilai dengan
cara visual atau taktil pada jari-jari tangan. E.K.G juga dapat dipergunakan
dengan meletakkan electrode E.K.G oada daerah thenar, dipothenar atau
belakang tangan.
Stimulus listrik berbentuk segi empat selama 0.2 ms dengan intensitas
maksimal (10 -20% lebih tinggi dari intensitas yang diperlukan untuk
menimbulkan respon yang maksimal). Sebelum diberikan obat respon control
direkam, persentase perubahan dari harga ontrol setelah obat diberikan
menentukan omset kerja dan potensi dari obat. Terdapat 4 macam stimulasi yang
biasa dipakai, yaitu :
1. Stimulasi Twitch Tunggal (Single Twitch Stimulation)
Stimulasi dilakukan dengan frekwensi 0.1 -1.0 Hz (tiap 10 det).
Stimulasi
Metode yang paling kurang peka dalam mendeteksi blok partial adalah stimulasi
twitch tunggal. Respons twitch baru menurun bila 75-80% reseptor cholinergic pada
neuromuskuler end-plate terblok. Bila blok reseptor mencapai 90% respons akan
menghilang.
Pada stimulasi tetanik, makin tinggi frekwensi stimulasinya makin peka
pemeriksaannya. Pada 100 Hz selama 5 detik fade terjadi bila 50% reseptor ter-blok.
Pada 200 Hz selama 5 detik fade sudah terjadi bila 30% reseptor ter-blok (Gissen &
Katz, 1969; Waud & Waud, 1971).
Pada TOF, ratio mulai menurun bila lebih dari 70-75% reseptor terblok (Waud
& Waud, 1972).
Dengan memakai d-tubocurarine dan cara TOF, Lee (1975) dapat
memperkirakan derajat blok. Respon dari stimulus ke-empat menghilang (TOF ratio =
0) bila tinggi respon pertama lebih kurang 25% control. Respons dari stimulus ke-tiga
menghilang bila respon pertama sekitar 10% control (lihat gambar 4)
Pada blok non-depolarizing yang kuat, derajat blok tidak dapat ditentukan
dengan stimulasi twitch tunggal maupun TOF (period of no response). Namun dengan
1. Evaluasi visual
Dengan stimulus tunggal gerakan ibu jari dilihat dan dibandingkan dengan control
(sebelum pemberian obat pelemas otot). Dengan TOF yang dilihat adalah respons yang
timbul. Sulit untuk membandingkan respons keempat terhadap yang pertama
(menentukan TOF ratio).
Bila tidak terdapat fade pada stimulasi tetanik, berarti TOF ratio lebih besar dari 0.7.
Secara visual melihat adanya fade adalah lebih mudah lihat gambar 5.
2. Evaluasi Taktil
Dengan cara menahan dengan ringan ibu jari penderita dalam posisi abduksi dengan
ujung jari kita, dapat dinilai kira-kira kekuatan kontraksinya. Secara ini biasanyan ini
lebih baik dari pada visual.
3. Pengukuran Mekanis
Dilakukan dengan cara mengukur tekanan yang timbul pada otot akibat stimulasi syaraf
dengan suatu force – displacement trasducer. Kekuatan kontraksi isometric diubah
menjadi sinyal listrik yang dapat direkam dan di ukur dengan tepat. Pengukuran ini
memerlukan fiksasi yang tepat, orientasi yang baik dan pencegahan overload trasducer.
4. Pengukuran elekromiografik
Karena yang diukur adalah aksi potensial otot maka problem fiksasi, orientasi dan
overload pada pengukuran mekanikal dapat dikurangi. Keuntungan lain cara ini adalah
dapat merekam perubahan-perubahan yang cepat pada fungsi neuromuskuler.
Relaksasi otot-otot rahang dan larynx yang cukup untuk laryngoskopi terjadi
pada tinggi twitch 5% (depresi 95%). Pada keadaan ini relaksasi yang diperlukan untuk
anestesi sudah dicapai. Secara visual dan taktil gerakan jari hampir tidak terlihat atau
terasa dan TOF hanya respons yang pertama dari keempat respons yang bias dilihat dan
dirasakan.
Pada tinggi twitch 10% (depresi 90%) relaksasi otot dinding perut baik pada
balanced anesthesia. Dengan tinggi twitch 25% dengan obat anestesi yang potent
didapatkan relaksasi yang sama. Otot dinding perut mulai terasa “ketat” pada tinggi
twitch lebih besar dari 25%. Kepala baru dapat diangkat setelah tinggi twictch paling
sedikit 90%, ini sesuai dengan TOF ratio 0.5-0.6. Lebih lanjut dapat dilihat pada table
dibawah.
TABEL 1
Ternyata terdapat korelasi yang baik antara respon TOF dengan kemampuan
angkat kepala. Pada TOF ratio 0.6 penderita dapat mengangkat kepala dan menahannya
selama 3 detik, tetapi kapasitas vital dan kekuatanaspirasi masih menurun. Pada ratio
0.75 angkat kepala selama 5 detik, membuka mata lebar, megeluarkan lidah dan mampu
batuk dengan baik. Ini setara dengan stimulasi tetani selama 5 detik tanpa fade. Pada
TOF ratio 0.8 atau lebih baru kapasitas vital dan kekuatan inspirasi menjadi normal.
Telah dikemukakan sebelumnya, bahwa meskipun tinggi twitch telah menjadi
normal (100%), TOF ratio bias masih 0.7 dan setelah TOF NORMALPUN BISA 70 –
75% reseptor masih kena blok. Dengan rangsangan tetanik frekwensi tinggi hal tersebut
dapat dilihat. Lebih jelas korelasi kliniknya dapat dilihat pada table di bawah ini.
TABEL II. Hubungan antara beberapa test neuromuskuler, ventilasi dan jumlah
Selama Induksi
Selama Reserval
Jangan memberikan reversal pada derajat blok yang dalam, yaitu tidak ada
respon terhadap stimuli tunggal maupun TOF. Bila tinggi twitch lebih dari 20% control
(keempat respon TOF ada) waktu yang diperlukan sejak pemberian neostigmine (2.5
mg) sampai tercapainya twitch setinggi 100% control (TOF ratio 0.7) adalah 3 – 14
menit. Bila saat diberikan reversal tinggi twitch kurang 20% maka waktu pemulihan
berkisar antara 8 – 29 menit.
KESIMPULAN
Pada umumnya dengan observasi klinis yang baik dengan menilai tonus otot,
gerakan-gerakan spontan otot-otot, pegangan pada reservoir bag, inspiritory force,
kemampuan membuka mata, menjulurkan lidah, seorang anestest umunya mampu
dengan baik menilai derajat blok neuromuskuler tanpa mempergunakan stimulator
syaraf. Namun terdapat keadaan-keadaan tertentu dimana pemantauan fungsi
neuromuskuler dengan stimulator syaraf yang dipasang sejak pra bedah akan sangat
berguna dan lebih aman bagi penderita.
PENDAHULUAN
Beberapa tahun terakhir ini pengetahuan tentang shock umumnya dan shock
karena perdarahan khususnya mengalami kemajuan sangat pesat. Salah satu sebabnya
adalah kemajuan teknologi pengukuran faal peredaran darah. Apa yang dulu hanya
mungkin dilakukan pada binatang di laboratorium, sekarang dapat dilakukan pada
manusia di rumah sakit. Majunya penelitian ini menyebabkan banyak gugurnya dalil-
dalil lama, dan timbulnya pengertian –pengertian baru. Disamping itu walaupun agak
janggal didengar adanya perang, perang dunia II, perang korea, perang Vietnam telah
memaksa orang untuk mempelajari lebih teliti patologi yang ditimbulkan loeh
perdarahan. Sangat kurangnya darah yang tersedia, dibandingkan dengan yang
B. Tahap hemodilusi
Pada tahap ini volume darah menjadi normal kembali karena naiknya volume
Plasma, sedang jumlah eritrosit pada waktu ini belum pulih asal. Dalam hal ini terjadi
“pengenceran” darah (hemodilusi) dan kadar hemoglobin akan turun.
Hemodilusi ini tanpa pertolongan berjalan lambat, 24-48 jam bahkan kadang-kadang
lebih lama diperlukan untuk volume darah kembali menjadi normal.
Dua mekanisme menyebabkan volume darah pulih asal.
Pertama, pada tahap vasokonstriksi karena konstraksi spingater ke kapiler, tekanan
hidrostatik dalam kapiler menurun. Tekanan onkotik relative menjadi lebih kuat, cairan
ekstraseluler ekstravaskuler “diisap” masuk ke dalam kapiler.
Mekanisme yang kedua adalah karena kerja ginjal.
Turunnya volume darah merangsang reseptor pada atrium ini kemudian menyebabkan
dikeluarkannya A.D.H. oleh hipophise. Disamping itu turunnya perfusi ginjal
menimnulkan satu rantai peristiwa yang berakibat terangsangnya system rennin
angiotensi-aldosteron, berakhir dengan dikeluarkannya aldosteron oleh kulit kelanjar
adrenalin. A.D.H menyebabkan pengeluaran air oleh ginjal dikurangi, aldosteron
menyebabkan pengeluaran natrium dikurangi. Ditahannya air dan natrium berasal dari
makanan didalam tubuh oleh ginjal akhirnya mengembalikan volume darah menjadi
seperti semula.
Hemodilusi ini berbeda dengan tahap vasokonstriksi, tidak mengurangi perfusi
dan oksigenasi jaringan. Karena itu tubah dapat bertahan lama pada tahap ini.
Dari uraian diatas jelas agaknya bahwa membantu tahap vasokonstriksi dengan
obat vasokonstriktor tidak akan menolong penderita bahkan dapat membahayakan.
Perlu diperhatikan bahwa pada shock karena perdarahan vasokonstriktor tidak
berguna. Pada shock karena sebab yang lain, obat itu dapat sangat berguna.
B. Tahap Hemodilusi
1. Bagaimana kekurangan oksigenasi jaringan tidak terjadi
Berlawanan dengan tahap vasokonstriksi dimana oksigenasi jaringan-jaringan
Tertentu terganggu, pada tahap hemodilusi walaupun kadar hemoglobin turun perfusi
dan oksigenasi jaringan dapat dicukupi. Hal ini dapat terjadi karena ada dua cara
kompensasi.
Cara pertama adalah naiknya cardiac output. Dalam keadaan biasa darah arteri
mengandunh 20 vol. % O2 (tiap-tiap 100 ml darah mengandung 20 ml oksigen). Darah
vena berisi 15 vol. % O2. Jadi tiap-tiap 100 ml darah diambil 5 ml oksigen. Kebutuhan
oksigen per menit yaitu 5 liter per menit.
Misalnya karena turunnya kadar hemoglobin setelah perdarahan, darah arteri hanya
mengandung 17.5 vol % O2. Darah vena dipertahankan 15 vol % O2.
Jadi tiap 100 ml darah hanya diambil 2.5 ml oksigen, bukan 5 ml oksigen seperti
biasanya. Kebutuhan oksigen tiap menit akan dicapai dengan mudah dengan menaikkan
cardiac output menjadi 250/2.5 kali 100 ml yaitu 10 liter per menit.
Cara kompensasi yang lain ialah pengambilan oksigen tetap 5 ml dari tiap-tiap
100 ml darah. Dalam hal ini cardiac output tidak perlu naik. Hanya darah vena kadar
V. PELAKSANAAN DI KLINIK
A. Pembedahan yang direncanakan (elektip)
Dari uraian di atas jelas kiranya bahwa apa yang dapat kita lakukan adalah
Menolong penderita dengan cairan untuk mengembalikan volume darah. Sedangkan
kompensasi menaikkan cardiac output dan menambah oksigen tergantung pada
kemampuan penderita sendiri. Azas itu dalam pembedahan yang direncanakan dapat
digunakan untuk melakukan “penghematan” dalam pemberian darah.
Yang dimaksud dengan penghematan disini adalah tidak memberikan darah apabila
darah itu tidak sungguh-sungguh diperlukan. Dua hal yang perlu diperhatikan dalam
melaksanakan azas di atas ialah : pertama pemilihan penderita, dan kedua membatasi
diri dalam mengganti jumlah darah yang hilang dengan cairan.
Penderita dibatasi pada golongan dewasa muda, sehat, tak mempunyai penyakit
jantung atau paru-paru, kadar hemoglobin 10 g% atau lebih.
Batas hemodilusi dibuat sedemikian, sehingga kadar hemoglobin berdasarkan
perhitungan dan pemeriksaan akhirnya tidak lebih rendah dari 7.5 – 8 g%.
Volume darah penderita dalam hal ini diperhitungkan berdasarkan berat
badannya. Volume darah orang berkisar antara 44 ml – 101 ml per kg berat badan,
RINGKASAN
1. Perdarahan menyebabkab terjadinya perubahan-perubahan dalam tubuhyang
untuk mudahnya dan berdasar waktu dan lamanya terjadi dapat dibagi menjadi 3
tahap : tahap vasokonstriksi, hemodilusi dan produksi eritrosit.
2. Apa yang terjadi pada tahap vasokonstriksipada dasarnya adalah
mempertahankan perfusi otak dan jantung dengan “mengorbankan’ perfusi
organ-organ seperti ginjal, hati dan lain-lain.
Dengan demikian pada tahap ini terjadi anoxia/hypoxia pada organ-organ
tertentu.
3. Memberikan vasokonstriktor (vasoprossesor) untuk membantu tahap
vasokonstriksi ini tidak akan menolong penderita.
4. Pada tahap hemodilusi volume darah kembali menjadi normal akan tetapi jumlah
eritrosit belum cukup. Oksigenasi jaringan dicukupi dengan menaikkan cardiac
output dan menambah ekstrasi oksigen. Tahap ini dapat terjadi dengan tidak
menimbulkan anoxia/hypoxia pada jaringan.
5. Tahap hemodilusi dapat dibantu (dipercepat) dengan memberikan cairan sebagai
ganti darah yang hilang. Pemberian cairan ini dapat dilaksanakan dalam
pembedahan yang direncanakan untuk “menghemat” pemberian darah, dan juga
untuk menghadapi keadaan darurat karena perdarahan dimana darah tidak
tersedia.
PENDAHULUAN
Pada umumnya kegawatan bedah darurat gastrointestinal disebabkan oleh karena :
1. Perdarahan
2. Infeksi atau keradangan
3. Gangguan pasase isi usus atau ileus
Pada ketiga keadaan tersebut sering terjadi gangguan system sirkulasi yang berupa
hipovolemia baik karena kehilangan darah, cairan maupun elektrolit. Tidak jarang
kehilangannya sedemikian banyak sebelumnya sehingga penderita pada waktu datang
berada dalam keadaan syok yang dapat mengancam nyawa. Pemberian cairan adalah
merupakan salah satu terapi yang terpenting dan ditujukan untuk mengembalikan
keseimbangan cairan tubuh kembali normal.
Bila penderita kemudian memerlukan operasi maka rehidrasi mutlak diperlukan, karena
tindakan anesthesia dapat menyebabkan depresi miokard dan vasodilatasi. Rehidrasi
akan menyebabkan toleransi penderita menjadi lebih baik terhadap stress anestesi dan
pembedahan.
Stone menyatakan, bahwa Surgical Mortality Rate dari ileus obstruktif sebelum tahun
1930 adalah sekitar 30% sedangkan pada waktu ini antara 5 – 10%. Penurunan ini
terutama disebabkan karena telah disadarinya pentingnya rehidrasi pra bedah disamping
PATOFISIOLOGI
Tiap hari saluran pencernaan makanan mensekresi sekitar 3000 ml. Cairan kedalam
lumennya, namun dari jumlah itu hanya 200 – 400 ml, akan dikeluarkan berupa faeces,
sedangkan lainnya diserap kembali oleh usus.
Pada ileus baik obstruktif (pembuntuan mekanis) maupun paralitik (pembuntuan
fungsionil), terjadi gangguan pada pasase dari isi usus. Meskipun keduanya mempunyai
penyebab yang berbeda, tetapi akibat yang ditimbulkannya hamper sama. Cairan
ekstraseluler yang disekresikan tersebut tidak dapat diresorpsi, sehingga secara
fungsional dianggap hilang dari tubuh karena tidak ikut lagi berperan pada pengaturan
keseimbangan cairan tubuh. Kehilangan cairan ini sering disebut sebagai “third space”
fluid loss. Kehilangan cairan ini hanya bisa diganti tubuh dengan cara mengambil dari
cairan intraseluler.2.9.10
Muntah-muntah yang kemudian dapat terjadi akan lebih memperjelek keadaan
penderita, sehingga akan terjadi dehidrasi yang hebat.
Gangguan pasase kemudian akan menyebabkan timbulnya penumpukkan gas dalam
usus, yang berasal dari aerofagia dan produksi bakteri usus. Bersama-sama dengan
penumpukkan cairan, maka akan terjadi kenaikkan tekanan intraluminal yang
selanjutnya bila lebih besar dari tekanan dalam venulae akan menyebabkan tekanan
kapiler meningkat. Kenaikkan tekanan ini akan menyebabkan cairan ekstraseluler keluar
dinding dan lumen usus. Dinding usus akan menebal dan oedematous. Tekanan
intraluminal kemudian akan meninggi melebihi tekanan kapiler. Kapiler dan venuela
akan kolaps dan aliran darah arterial terganggu yang akan menyebabkan penurunan
oksigenasi jaringan dan akhirnya kematian sel (nekrosis) yang selanjutnya akan
mengakibatkan terjadinya perforasi usus. (gambar 1)10.
Gangguan pasase selain itu menyebabkan gangguan nutrisi normal yang akan lebih
memperburuk keadaan penderita.
Pemeriksaan lain yang dapat membantu adalah adanya kenaikkan berat jenis urine,
kenaikkan hematokrit dan blood urea nitrogen (BUN).
Pemeriksaan elektrolit darah tidak banyak membantu pada “third space loss” karena
cairan yang hilang komposisinya menyerupai cairan ekstraseluler. Pada obstruksi atas
(,is : pylorus) maka kehilangan chorida akan lebih banyak dari pada kehilangan natrium
dan kalium.
Pemeriksaan gas darah dapat dilakukan untuk membantu menentukan adanya gangguan
perfusi jaringan atau gangguan ventilasi.
Dengan dasar pemeriksaan di atas maka estimasi jumlah cairan yang hilang kemudia
dihitung berdasarkan prosentase berat badan.
Karena yang hilang pada “third space” loss adalah cairan ekstraseluler maka untuk
koreksi deficit cairan dipilih juga larutan infuse yang komposisi bahan yang
dikandungnya menyerupai cairan ekstraseluler.
Pada tabek di bawah ini dapat dibandingkan beberapa macam larutan infuse dengan
bahan yang dikandungnya yang pada saat ini bias didapat di pasaran.
Tabel II Perbandingan antara komposisi ECF dengan beberapa macam cairan infuse
Larutan Na + K+ Cl - pH Ca ++ Mg ++ Kalori
per L
ECF 138 5 108 7.4 5 3 12
D5W 0 0 0 4.5 0 0 200
NaCl 154 0 154 6.0 0 0 0
0.9%
Ringer 130 4 109 6.5 3 0 0
Ringer laktat memiliki komposisi yang hamper menyerupai ECF, disamping itu
mengandung sodium laktat yang berguna untuk mengoreksi asidosis.
Ringer laktat dekstore selain itu mengandung dekstore yang dapat memberikan kalori.
Maltose dalam metabolismenya tidak memerlukan insulin dan merupakan sumber
energy yang pengaruhnya terhadap kadar gula darah lebih kecil.
Dalam praktek cairan-cairan tersebut diatas (terkecuali D5W) dapat dipakai untuk
mengoreksi deficit ECF.
Pada deficit cairan yang telah berlangsung lama kadang-kadang urine masih minimal
meskipun deficit plasma telah terkoreksi. Ini terjadi karena kuatnya pengaruh ADH dan
Aldosteron. Untuk mengatasinya dapat dicoba diberikan Furosemide 1 mg/kg. BB atau
dapat diberikan Mannitol 0.5 – 1 mg/kg.BB. Bila CVP dan diuretika telah diberikan
sampai optimum urine belum keluar juga, sangat mungkin penderita telah mengalami
kegagalan ginjal akut.
Bila fungsi sirkulasi telah membaik dan cukup stabil, maka penderita telah cukup siap
untuk dilakukan operasi maupun transportable untuk dirujuk dengan aman ke rumah
sakit lain yang dapat melakukan operasi. Bola ternyata kemudian operasi tidak
diperlukan, maka sisa deficit diberikan ½ nya dalam waktu 6 – 7 jam berikutnya dan
sisanya diberikan dalam 16 jam berikutnya. Pemberian ini masih perlu ditambah dengan
kebutuhan cairan normal per hari sebanyak 50 ml/kg. BB/24 jam (dewasa) plus
perkiraan cairan yang masih akan hilang dalam 24 jam mendatang.
Jumlah keduanya itu diberikan dengan cara membagi rata. 8
Contoh :
Penderita dengan ileus obstruktif, BB = 50 kg, diperkirakan mengalami deficit cairan
sekitar 10% BB.
PENUTUP
Rehidrasi adalah merupakan salah satu tindakan yang terpenting dalam penanganan
kasus-kasus kegawatan bedah gastrointestinal. Pemberian cairan dengan cara-cara yang
sembarangan dapat memperlambat persiapan operasi, yang selanjutnya tentu dapat
merugikan penderita.
Dengan bekal pengetahuan patofisiologinya, anamnesa dan pemeriksaan fisis yang teliti
untuk menentukan derajat dehidrasinya, cara pemberian dan pemilihan cairan yang
sesuai, maka diharapkan penderita dapat dibawa ke kondisi yang seoptimal mungkin
untuk menghadapi strees anesthesia dan pembedahan yang akan dihadapinya.
I. PENDAHULUAN
Kemajuan industry dan kenaikkan jumlah kendaraan bermotor membawa juga dampak
negative berupa man-made-disaster yang menyebabkan banyak penderita terauma dan
perdarahan. Kemampuan bank darah dan masyarakat menyediakan donor darah tidak
akan mencukupi kebutuhan transfuse.
Seorang dewasa sehat dengan berat badan 50 kg yang berdarah 50 ml per menit karena
patah tulang pahanya, akan mengalami irreversible shock 30 menit kemudian. Dalam
waktu 30 menit itu sangat sukar untuk mencari dan memberikan 1500 ml darah dengan
segera.
Tom Shires, Canizzaro dan peyelidik-pemyelidik lain meneliti perubahab volume
kompartemen-kompartemen cairan tubuh dangan radioisotope action potential intra cel
selama shock dan sesudah terapinya. Penemuan mereka diterapkan untuk menolong
korban-korban perang Vietnam dengan hasil yang memuaskan. (4,8).
Perdarahan dan hemorrhagic shock dapat ditolong dengan memberikan larutan Ringer
Laktat atau normal saline dalam jumlah besar.
Lahir istilah “hemodilusi” karena selama darah yang hilang diganti cairan, terjadilah
pengenceran darah dan unsure-unsurnya. Hemodilusi keadaan fisiologik, tetapi suatu
“batu berpijak” yang berguna untuk menyelamatkan penderita dengan perdarahan berat.
Pola ini kami terapkan juga di RSUD Dr. Soetomo dan rumah sakit lainnya sejak 1973.
1. Volume darah
Bila volume darah hilang 1/3, penderita akan meninggal dalam waktu beberapa jam.(7).
Penyebab kematian adalah shock progresif dan menyebabkan hipoksia jaringan.
2. Eritrosit untuk transport oksigen
Dalam keadaan normal, jumlah oksigen yang tersedia untuk jaringan adalah :
= cardiac output x saturasi O2 x Hb x 1,34 CO x pO2 x 0.003 (5.9).
Kalau unsure CO x pO2 x 0.003 karena kecil diabaikan, maka tampak bahwa persediaan
oksigen untuk jaringan tergantung pada cardiac output, saturasi dan kadar Hb saja.
Karena kebutuhab oksigen tubuh tidak dapat dikurangi kecuali dengan hipotemia atau
anestesi dalam, maka jika eritrosit hilang, total Hb berkurang, cardiac output HARUS
naik agar penyediaan oksigen jaringan tidak terganggu. Orang normal dapat menaikkan
Cardiac Output 3 x normal dengan cepat, asalkan volume sirkulasi cukup
(normovolemia).
Faktor-faktor Hb dan saturasi jelas tidak dapat naik.
Hipovolemia akan mematahkan Cardiac Output. Dengan mengembalikan volume darah
yang telah hilang dengan apa saja asal segera normovolemia, CO akan mampu
berkompensasi.(1,4,7,8).
Jika Hb turun sampai tinggal 1/3, tetapi CO dapat naik sampai 3 x, maka penyediaan
oksigen jaringan masih tetap normal.
PENGEMBALIAN VOLUME, MUTLAK DIPRIORITASKAN DARI PADA
PENGEMBALIAN EROTROSIT.
III. PENGGUNAAN
1. PENDERITA DATANG DENGAN PENDARAHAN
Dalam waktu 30 sampai 60 menit sesudah infuse, cairan Ringer Laktat akan meresap
keluar vaskuler menuju unterstitial. Demikian sampai terjadi keseimbangan baru antara
Plasma Volume (IVF) dan (ISF) (4.7.8)
Ekspansi ISF merupakan “interstitial edema” yang tidak berbahaya.
Bahaya edema paru-paru dan edema otak dapat terjadi jika semula organ-organ tersebut
telah terkena trauma. Dua puluh empat jam kemudian akan terjadi dieresis spontan.
Jika keadaan terpaksa, dieresis dapat dipercepat lebih awal dengan frusemida setelah
transfuse diberikan. (4.7.8)
3. MACAM CAIRAN
Ada 4 pilihan pokok yang bertahun-tahun menjadi perbantahan sengit.
a. Tansfusi darah. Ini adalah pilihan pokok kalau donor yang cocok ada.
Hemodilusi dengan cairan tidak bertujuan meniadakan trasfusi tetapi :
Mempertahankan hemodinamik dan perfusi yang baik sementara darah donor
belum tersedia.
Menghemat jumlah darah donor yang perlu ditrasfusikan
Memberikan koreksi ECF deficit
Versal donor yaitu golongan O dangan titer anti A rendah (Rh negative) atau Packed
Red Cell – 0-(8). Sebaiknya darah universal ini selalu tersedia di UGD.
b. Plasma expander. Cairan koloid ini mempunyai nilai oncotic yang tinggi .
(dextran, gelatin, hydroxyl-ethyl starch) sehingga mempunyai volume-effect lebih baik
dan tinggal lebih lama intravaskuler.
Sayang ECF deficit tidak dapat dikoreksi oleh plasma expander.(1.3.7)
Selain itu harga plasma expander adalah 10 x lebih mahal daripada Ringer. Reaksi
anaphylactoid dapat terjadi baik karena dextran maupun gelatin (0,03 – 0,08%
pemberian).(1.3)
Penulis mengalami 2 kasus reaksi ini shock, yang memerlukan adrenalin untuk
mengatasinya.
Reaksi ini dapat berakhir fatal (3)
Dextran juga menyebabkan gangguan pada cross macth darah dan pada dosis lebih dari
10 – 15 ml/kg BB akan menyebabkan gangguan pembekuan darah.(1,3,4)
Harga-harga Qs/Qt ratio tidak berbeda antara group Ringer Laktat dengan COP yang
turun banyak dibanding group colloid yang tidak turun. Bahkan 2 orang dari 15 orang
group colloid mengalami edema paru-paru yang baru membaik setelah diberi frusemid.
Dari group Ringer Laktat tidak seorangpun mengalami edema paru-paru.
d. Ringer Laktat atau NACL 0.9%.(2.4.5.7.8.9)Cairan ini paling mirip
komposisinya dengan cairan ECF. Meskipun pemberian infuse IVF diikuti
perembesan, namun akhirnya tercapai keseimbangan juga setelah ISF jenuh.
Cairan lain seperti Dextrose, 0.45 NaCl tidak dapat digunakan.
4. PENYULIT
IV. P E N U T U P
Dapat dimengerti jika banyak klinisi yang masih ragu-ragu terhadap konsep hemodilusi
ini meskipun dasar teori yang diajukan cukup kuat, pembuktian klinik sejak 1964 dan
pembuktian selama perang Vietnam sudah menunjukkan hasil-hasil baik. Lancet 1969
dan banyak penulis lain yang masih mengkritik teknik ini. Perlu dihayati bahwa
umumnya para pengkritik berasal dari institusi akademis yang penuh dengan fasilitas
lengkap dan tidak berorintasi pada kebutuhan lapangan, pada bencana missal, pada
kondisi-kondisi sub standart dimana kita sehari-hari berada.
Harga yang murah, tersedia dengan mudah sampai ke tingkat Puskesmas, tanpa perlu
cross match, tanpa reaksi allergi, waktu simpan tak terbatas, tak perlu lemari es, dan
dapat menyelamatkan nyawa dengan pasti, adalah segi-segi menguntungkan dari Ringer
Laktat maupun NaCl 0.9%. Dengan kemasan botol plastic, paket-paket cairan ini dapat
didrop dengan cepat dari helicopter dan langsung dugunakan untuk stabilisasi korban,
dimanapun dia berada.
Cairan, bila berlebih sekalipun tidak mudah menyebabkan kematian penderita jika
diikuti pedoman-pedoman tadi. Jika toh akan menyebabkan kematian, prosesnya jauh
lebih lama daripada proses shock perdarahan. Sehingga kita mempunyai cukup waktu
untuk melakukan koreksi-koreksi terhadap penyulit yang mengancam jiwa tersebut.
I. PENDAHULUAN
Keseimbangan cairan dan elektrolit merupakan salah satu segi yang
Menunjang berlangsungnya metabolism tubuh dan kehidupan. Penyakit dasar,
pembedahan dan anestesi memberikan pengaruh besar dan menyebabkan perubahan-
perubahan pada keseimbangan cairan ini.
Secara khusus dibicarakan masalah pasca bedah, dimana keseimbangan cairan ini
sangat berarti bagi proses penyembuhan dan pencegahan infeksi. Terapi cairan meliputi
: penggantian kehilangan cairan, memenuhi kebutuhan air, elektrolit dan nutrisi, untuk
membantu tubuh mendapatkan kembali keseimbangan yang normal.
Dengan berkembangnya pelayanan kesehatan, semakin banyak tindakan pembedahan
dapat dilakukan dimana-mana, seyogyanya pengetahuan mengenai pengelolaan cairan
pasca bedah ini bersama-sama kita kuasai.
KALORI
Penderita-penderita dengan keadaan umu baik dan trauma pembedahan yang minimal,
pemberian karbohidrat 100-150 gr adalah memadai.
Jumlah ini cukup untuk memenuhi kebutuhan sel-sel yang harus memakai glikose
sebagai sumber kalori, dan dapat menekan pemecahan protein sebanyak 50%.(1.5.7).
WATER DEFICIT
Terjadi bilamana tubuh kehilangan air lebih banyak daripada Na, misalnya pada
keadaan-keadaan : febris lama, hiperventilasi, tracheostomy tanpa humidifikasi,
diabetes insipidus, non ketotic hyperosmolar dehydration. Kekurangan 2% ddari BB
menimbulkan rasa haus, makin berat terjadi kelemahan umum otot-otot, delirium dan
convulsi.
Terapi adalah pemberian cairan Dextrose 5% (isotonis)
SALINE EXCESS
Umumnya terjadi sebagai akibat sampai resusitasi cairan colloid untuk ,
Mengatasi syok dan mempertahankan volume “ECF” pada masa-masa prabedah dan
selama pembedahan. Kelebihan volume yang isotonis ini umumnya ditolerir oleh
penderita-penderita muda, tetapi pada orang tua mudah menyebabkan decompensasi
cordis dan edema paru-paru.
Terapi adalah restriksi cairan, bila perlu diberikan diuretic dan digitalisasi.
SALINE DEFICIT
Terutama terdapat pada penderita-penderita yang mengalami dehidrasi.
Pada masa prabedah, dan belum terkoreksi seluruhnya. Kehilangan-kehilangan dari
saluran pencernaan pada masa pasca bedah memperbesar deficit ini. Terapi adalah
penggantian dengan Ringer Laktat atau NaCl 0.9%.
HIPOKALEMI
Terutama disebabkan, pemberian tanpa kalium atau penggantian tidak sesuai,
Pada kehilangan yang banyak misalnya kehilangan dari saluran pencernaan.
Gejala-gejala klinis adalah kelemahan otot, paraanestesia, paralyticileus. Kecuali bila
kadar K serum dibawah 2 mEq/L, tetapi kalium dapat dilakukan dalam 2 – 4 hari.
Pemberian Kalium jangan melebihi 200 mEq/ 24 jam, dengan kecepatan 10 – 20
mEq/jam, dicampurkan dalam cairan infus.
Pemyimpangan kearah acidosis (pH kurang dari 7.35) dan alkalosis (pH lebih dari 7.45)
dapat disebabkan oleh gangguan pernafasan maupun gangguan metabolic.
Secara mudah interpretasi hasil pemeriksaan gas darah dapat dilakukan sebagai berikut :
- Tentukan acidosis atau alkalosis
- Jika pCO2 menyimpang searah dengan pH penyebabnya respiratorik.
Jika BE menyimpang searah dengan pH : penyebabnya metabolic
- Tentukan apakah sudah terjadi usaha-usaha kompensasi dengan melihat Pco2
Atau BE yang menyimpang kearah yang berlawanan dengan Ph. BE yang
rendah karena kompensasinya misalnya, tidak boleh dikoreksi dengan Na
bicarbonate.
PARENTERAL NUTRITION
Penderita pasca bedah tanpa komplikasi yang tidak mendapat nutrisi sama
sekali, akan kehilangan protein 75 – 125 gr/hari.(1.5)
Pemberian karbohidrat saja 100 – 150 gr, menekan pemecahan ini sebanyak 50%. Bila
pemberian kalori minimal ini berlangsung terus-menerus, kehilangan protein menjadi
cukup besar. Albumin dan enzyme pencernaan mengalami penurunan yang lebih cepat,
karena turn over ratenya yang tinggi. Hipoalbuminemia menyebabkan edema jaringan,
infeksi dan dehidrasi luka operasinya, turunnya enzyme pencernaan menyulitkan proses
realimentasi.
Total parenteral nutrition bertujuan menyediakan nutrisi secara lengkap yaitu kalori,,
protein dan lemak termasuk unsure-unsur penunjang yaitu elektrolit, vitamin dan trace
element. Pemberian kalori mencapai 40 -50 Kcal/kg dengan protein 0.2 – 0.24 N/kg.
Cairan hipertonis yang mengandung semua unsure ini, memberikan beberapa masalah
mengenai teknik pemberian, akibat samping maupun pemantauan.
Oleh karena itu, dalam praktek sehari-hari pada kasus-kasus yang :
- Diperkirakan realimentasi sesudah 3 -5 hari
- Mengalami pembedahan besar pada saluran pencernaan
- Keadaan umum/status gizi yang kurang baik
Sejak hari pertama pasca bedah telah diberikan protein dan kalori, tetapi dalam jumlah
lebih sedikit dari yang seharusnya diberikan pada total parenteral nutrition.
ED dkk dalam preliminary reportnya (2) melaporkan bahwa pemberiaan 30 Kcal/kg
dengan 0.1 N/kg dapat mengurangi penurunan albumin serum sebesar 0.7 gr%, dan
tidak didapatkan akibat samping hiperglikemi.
IV. MONITORING
Secara sederhana terapi cairan ditetapkan berdasarkan :
1. Perhitungan cairan keluar masuk
Umumnya dilakukan setelah 24 jam, kecuali pada keadaan khusus misalnya penderita
dengan gagal ginjal, dilakukan setiap 3/6 jam.
2. Pemeriksaan laboratorium\
Terapi cairan selama 1 – 2 hari tidak memerlukan pemeriksaan laboratorium. Bila
berlangsung lebih dari 3 hari atau terdapat tanda-tanda klinis yang mencurigakan,
minimal dilakukan pemeriksaan elektrolit serum.
3. Tanda-tanda klinis
Tanda-tanda dehidrasi yang klasik, kelemahan otot, bendungan vena leher melengkapi
perkiraan berdasarkan perhitungan cairan keluar masuk.
Contoh perhitungan :
Penderita pasca hernyotomi (hernia incarcerate) BB 50 kg, hari 1 pasca bedah.
V. PEDOMAN TEHNIS
Pemasangan infus/melakukan vena punksi umumnya belum mendapat,
Perhatian khusus. Komplikasi thrombus/thromophleibitis dapat terjadi dan dapat
berkembang menjadi septicemia yang berbahaya.
Beberapa pedoman umum yang dapat dipakai :
PENUTUP
Dalam pelaksanaan sehari-hari tidak selalu mudah menerapkan terapi cairan
seperti yang telah dibahas dalam makalah ini. Terutama pada masa pasca bedah dimana
banyak aspek (medis, bedah) yang secara tumpang tindih mempengaruhi cairan
penderita.
Namun sebagian besar kesulitan-kesulitan pengaturan cairan dapat diatasi dengan
pengelolahan kasus demi kasus, observasi dan evaluasi yang teliti.
Oleh
PENDAHULUAN
Dengan meningkatnya jumlah kasus kecelakaan lalu lintas dan makin bertambahnya
macam pembedahan-pembedahan besar maka keperluan akan transfuse darah tentu akan
meningkat. Seperti telah diketahui, transfuse darah tidaklah bebas dari resiko hepatitis,
bermacam-macam reaksi transfuse bahkan juga AIDS.
Didalam usaha untuk mengurangi resiko trasfusi tersebut maka dipikirkan penggunaan
cairan elektrolit atau plasma substitute, agar pemakaian darah dapat dikurangi. Tidak
pada semua keadaan indikasi penggunaan darah dapat diganti dengan plasma substitute.
Harus juga diingat keuntungan-keuntungan yang didapat dari transfuse darah atau
komponen-komponen darah pada indikasi yang tepat termasuk disini kesamaan dari
cairan tubuh yang hilang dengan penggantinya, kemampuan mengiikat dan mengangkut
O2 dan kemampuan mengambil alih bermacam fungsi biokhenis dari cairan yang
hilang.
Di Eropa kira-kira setiap tahun menghabiskan 7 juta unit plasma substitute (10).
Penggunaan yang makin mengikat ini disebabkan karena resiko penggunaan darah,
tidak cukupnya jumlah donor untuk semua golongan darah dan masalah penyimpanan
darah.
Di Perancis dalam 4 tahun telah digunakan 2.200.000 unit @ 500 cc modified liquid
gelatin pada 1 juta penderita. (12)
Angka-angka untuk Indonesia belum diketahui dengan pasti
Dalam makalah ini akan dibahas beberapa macam plasma substitute masing-masing
dengan keuntungan dan kerugiannya, sehingga dapat dipilih cairan mana yang sesuai
untuk keadaan tertentu. Selain itu juga dibicarakan, tindakan-tindakan untuk mengatasi
bila terjadi reaksi yang tidak diinginkan.
PLASMA SUBSTITUTE
Cairan colloid dimaksud sebagai pengganti plasma dan biasa disebut plasma
substitute atau plasma expander. Pembagian :
Dari hasil kwesioner yang diadakan pada 31 rumah sakit pada tahun 1975 (14),
didapatkan pemakaian 200906 unit koloid, dimana ditemukan 69 reaksi anafilaktoid
(insidens 0.033%).
Perincian kejadian reaksi tersebut dapat dilihat pada table IV.
Dextran
- dextran 34.621 24 00.069
60/70
- dextran 40 51.261 4 0.007
- Total 85.882 28 0.032
Gelatin
- urea linked 6.157 9 0.146
gelatin
- oxypoly gel 810 2 0.617
- modified 6.989 4 0.066
fluid gel
- Total 12.989 15 0.115
Starch
- hydroxyethy starch 16.405 14 0.85
TOTAL 200.906 69 0.033
Frey dkk mendapatkan bahwa reaksi pada pemberian dextran biasanya timbul segera
setelah dimulainya infus, dan gambaran reaksi yang jelas tampak dalam 1 – 3 menit
dengan volume yang masuk tubuh _+ 10 – 30 cc.
Sedang pada pemberian gelatin pada umumnya reaksi timbul setelah pemberian
sejumlah 200 – 500 cc.
Invaginasi merupakan suatu obstruksi usus yang banyak terjadi pada bayi atau
Anak kecil dan sering memerlukan tindakan bedah darurat untuk pengobatannya.
Umumnya penderita datang pada keadaan yang jelek karena gangguan keseimbangan
hemodinamik akibat proses sakitnya sendiri.
Penundaan waktu operasi disatu pihak akan lebih memperbesar kemungkinan infeksi
dan makin beratnya kerusakan usus, namun disegi lain diperlukan juga waktu untuk
tindakan rehidrasi guna memperbaiki kondisi umum penderita pra bedah.
Tanpa rehidrasi yang baik dapat memperbesar kemungkinan kematian penderita selama
operasi.
Karena itu, masalah rehidrasi / terapi cairan sangatlah penting dalam menunjang
tindakan.
Dalam tulisan di bawah ini akan kami sampaikan pengalaman team Bedah-
Anestesi selama ini dalam menangani kasus-kasus invaginasi di RS.Dr. Soetomo
Surabaya, yang dapat pula ditrapkan dimanapun bila kita menghadapi kasus serupa.
Memang, tidak semua Rumah sakit dapat melakukan pembedahan kasus ini, namun
setidak-tidaknya bila kemudian penderita dirujuk ke Rumah Sakit lain, telah dapat
dilakukan persiapan yang lebih baik tanpa membuang waktu yang berharga bagi
penderita ini.
3. GANGGUAN GINJAL
Akibat terjadinya kehilangan cairan ECF, maka akan terjadi kekurangan
Cairan tubuh. Ginjal sebagai salah satu organ klas dua akan mengalami penurunan
perfusi.
Terjadi penumpukkan sisa pembakaran termasuk juga ion H sehingga dapat timbul
keadaan asidosis.
PENILAIAN KLINIS
Penilaian klinis didapatkan dari heteroanamnesa (karena penderita adalah anak
Kecil / bayi) dan pemeriksaan gejala klinis.
Fasilitas laboratorium memang akan sangat membantu untuk mempertajam kesimpulan
pemeriksaan namun tidak secara mutlak menentukan.
Tingkat jumlah kehilangan cairan diperkirakan dengan membandingkan derajat
penurunan dari berat badan semula berdasar gejala klinis yang ada. Dibedakan :
Deficit cairan ringan, kehilangan cairan 3-5% berat badan
Deficit cairan sedang, kehilangan cairan 6-8% berat badan
Deficit cairan berat, kehilangan cairan 10% , bila mencapai 15% maka akan
terjadi terminal shock.
TINDAKAN REHIDRASI :
Karena cairan yang hilang sebagian besar merupakan cairan dengan komposisi
seperti ECF, maka kehilangan ini harus diganti dengan cairan yang kira-kira sama
komposisinya.
Penggantian cairan yang hilang ini harus dilakukan dalam waktu yang tidak terlalu lama
agar penderita dapat segera dioperasi.
Untuk itu dilakukan :
A. Dari hasil pemeriksaan, perkiraan berapa defisitnya. Selanjutnya berikan Ringer
Laktat atau NaCl 0.9 % sebanyak 20 ml/kg berat badan dalam waktu cepat, kira-kira
dalam waktu ½ - 1 jam.
Lakukan observasi tekanan darah, nadi, perbaikan perfusi perifer.
Bila masih shock, ulangi lagi pemberiaan Ringer Laktat atau NaCl 0.9 % 20 ml/kg bb
dalam waktu cepat sambil tetap mengawasi hal tersebut diatas.
B. Dalam hal shock telah teratasi, maka berikan 50 % sisa deficit dalam 8 jam
Berikutnya dan sisa 50 % lainnya berikan dalam 16 jam.
C. Cairan maintainanceharium dapat diberikan sesudah shock teratasi, bersama
Dengan cairan sisa deficit.
Selama tindakan tersebut di atas, lakukan observasi dari :
Tensi
CONTOH KASUS :
Penderita 1.5 tahun dengan diagnose invaginasi, berat badan 11 kilogram.
Perkiraan deficit berdasar pemeriksaan fisik saat datang di Rumah Sakit, sekitar 10 %
dari berat badan.
Tabel 2 :
Tabel 3 :
Kematian Pasca Bedah pada 76 jam Pertama
1986 1987 (Sept.)
Status fisik
Jumlah Mati Jumlah Mati
1 - - - -
2 10 - 5 -
3 23 1 14 1
4 2 2 1 -
5 1 - - -
Jumlah 36 3 20 1
(8,3%) (5%)
Dari tinjauan kepustakaan, angka kematian pada 50 tahun yang lalu sekitar 30
%. Angka kematian yang kami lakukan dengan cara tersebut di atas pada 1986 8.3 %
sedang pada tahun 1987 sampai dengan bulan September adalah 5 %.
Untuk memperbaiki kondisi penderita sampai kondisi “laik operasi “, tidaklah
terlalu sulit dan rumit.
Adanya fasilitas laboratorium memang akan lebih menunjang namun sampai dengan
tahap laik operasi, bila kita menunggu sampai hasil datang justru akan lebih menunda
lagi saat mulai operasi.
Pedoman klinis seperti telah kami sebutkan di atas berdasar pengalaman kami telah
cukup memadai pada sebagian besar kasus.
PENUTUP
Bambang Wahjuprajitno
Lab / UPF Anestesiologi FK Unair / RSUD Dr. Soetomo
Surabaya
PENDAHULUAN
Preclampsia – eclampsia adalah merupakan salah satu keadaan gawat darurat
kebidanan yang memerlukan penangan yang baik, karena kelalaian dalam
penanganannya dapat berakibat buruk, baik terhadap ibu maupun janin yang
dikandungnya. Meskipun telah banyak terjadi kemajuan-kemajuan dalam dunia ilmu
pengetahuan dan kedokteran, preeclampsia-eclampsia tetap masih merupakan teka-teki
yang belum terpecahkan secara keseluruhan. Perbaikan perawatan antenatal dan
penanganan yang dini dari preeclampsia berat telah dapat menurunkan insidens dan
mortalitas dari eclampsia. Pritchard dkk tahun 1984 melaporkan hanya satu kasus dari
245 kasus eclampsia yang ditanganinnya.
Dalam penangan eclampsia, dulu dipergunakan bermacam-macam obat antara
lain dengan memakai obat-obat yang mempunyai efek sedative, hipotensiv, ataupun
diuretika pada penderita hamil tersebut. Namun konsep penanganan sekarang telah
berbeda. Umumnya konsep penanganan eclampsia sekarang seperti yang telah diajukan
oleh Pritchard di Parkland Memorial Hospital adalah sebagai berikut :
1. Mengatasi kejang dengan magnesium sulfat
2. Mengatasi hipertensi (menurunkan tekanan darah)
3. Menghindari penggunaan diuretika dan cairan hiperosmotik
4. Pembatasan pemberian cairan
5. Memulai langkah-langkah untuk melahirkan bayi setelah keadaan penderita
terkuasai.
Dapat dilihat di sini bahwa terapi cairan pada eclampsia hanyalah merupakan
Salah satu aspek saja dari tindakan yang menyeluruh pada penanganan aclampsia.
Dalam makalah ini akan dibahas beberapa pengalaman dalam penanganan penderita
eclampsia, dan disinngung antara lain mengenai pemberian cairan pada penderita yang
dirawat di I.C.U. RSUD Dr. Sotomo Surabaya.
Diuretika hanya dipakai bila ada payah jantung dengan tanda-tanda edema paru,
jadi tidak dipakai secara rutin. Jenis yang dipakai biasanya dari golongan Furosemid.
Adapun pengaruh pemberian obat inotropik positif, vasodilator, diuretika dan
pemberian cairan dapat dilihat pada gambar 1 di atas.
2.4 memperbaiki frekwensi denyut jantung
Pengelolaan fungsi ini dilakukan serupa dengan pengelolaan system kardiovaskuler,
karena dengan perbaikan fungsi jantung, maka akan terjadi perbaikan renal blood flow.
PENGALAMAN KASUS
Selama tahun1987 telah dirawat 8 penderita, yaitu 5 penderita dengan Severa
Preclampsia dan 3 penderita dengan eclampsia. Meninggal 4 orang (50%), masing-
masing 2 dari Severa Preclampsia dan 2 dari Eclampsia. Pada semua penderita yang
Tabel 3. balans Cairan & CVP pend. preclampsia-eclampsia di ICU th. 1987
Hari 0 Hari I Hari 2 Hari 3
Cairan masuk Cairan masuk Cairan masuk Cairan masuk
No. Nama pend Cairan keluar Cairan keluar Cairan keluar Cairan keluar Keterangan
C.V.P C.V.P C.V.P C.V.P
1. Ny. Sr. 900 1465 770 780 Meninggal
930 600 260 390 Hari
14 cm air 12 cm air 20 cm air 18 cm air Ke 4
2. Ny. SM 2250 1500 1500 1500 Psikosa
2700 2725 1830 2115 Sembuh
3 cm air 6 cm air 6 cm air 8 cm air Normala
3. Ny. M 1250 600 900 1400 Meninggal
1260 3425 2670 3150 Hari
15 cm air 14 cm air 14 cm air 10 cm air Ke 4
4. Ny. Il 2250 Meninggal
1650 Hari
14 cm air Ke 1
5. Ny. St 250 600 1400
900 3100 2080
10 cm air 8 cm air 8 cm air
6. Ny. Mk 2250 2500 2500 2500
1325 1750 1200 3750
7. Ny. SH 1645 1260 2000 1350 Meninggal
475 540 900 720 Hari
16 cm air 10 cm air 15 cm air 14 cm air Ke 3
PENUTUP
Telah disampaikan pengalaman pengelolaan penderita preeclampsia- eclampsia
yang masuk di ICU, yang ada pada umumnya masuk dalam stadium lanjut, dengan hasil
mortalitas yang tinggi.
Dengan prenatal care yang teratur dari penderita, sangat mungkin dapat dicegah
terjadinya stadium lanjut penyakitnya, sehingga sangat mungkin mortalitasnya dapat
diturunkan.
Terapi cairan pada penderita preclampsai-eclampsia haruslah dilakukan dengan
ekstra hati-hati untuk mencegah terjadinya edema paru. Penggunaan CVP sebagai
sarana pemantauan mungkin akan sangat berguna sebagai pedoman terapi.
Kerjasama multidisipliner yang kompak akan sangat membantu dalam
pengelolaan penderita.
I. P E N D A H U L U A N
Urine merupakan produk kerja sama antara system sirkulasi, fungsi ginjal dan
saluran-salurannya. Penurunan fungsi-fungsi ini akan menyebabkan berkurangnya
produksi dan kualitas urine. Dengan memantau produksi dan kwalitas urine dari
waktu ke waktu maka dapat diperoleh gambaran bagaimana keadaan system
sirkulasi, fungsi ginjal dan saluran-salurannya.
Dikatakan oliguria bila produksi urine kurang dari 400 cc/24 jam atau kurang dari
20 cc/24 jam (2.5). Menurut Samuel Powers (11) “persistent oliguria below 25 ml
per hour more than two hours constitute a true medical emergency reguiring the
most urgent and aggressive corrective therapy”.
Oliguria yang berlangsung lama dan tidak segera ditanggulangi akan menyebabkan
terjadinya gagal ginjal akut (GGA).
Sampai saat ini, walaupun telah banyak kemajuan di bidang kedokteran, angka
kematian GGA masih sekitar 50 – 60% (2.9) ma;ahan pada kasus pasca bedah
jantung terbuka angka kematian GGA lebih tinggi, sampai 75% (10 12). Mengingat
tingginya angka kematian, maka pencegahan merupakan tindakan yang paling tepat.
Pada pencegahan ini dituntut untuk membuat diagnose dan melakukan terapi cepat
dan tepat pada setiap kasus oliguria agar tidak terjadi kerusakan ginjal yang
irreversible.
Kesalahan imbangan cairan perioperatif merupakan factor menyebab oliguria yang
sering dijumpai pada kasus pembedahan.
II. ETIOLOGI
Penyebab oliguria perioperatif dapat dibagi menjadi 3 golongan :
Penyebab prerenal
- Kekurangan cairan ekstraseluler
- Shock
- Gangguan sirkulasi yang lain
V. TENTANG FUROSEMIDE
Furosemide adalah suatu senyawa sintesis derivate dari monosulfamylanthranilic acid.
Merupakan diuretika yang kuat dan kerja cepat dengan cara menghambat penyerapan
natrium pada ascending limb loop dari HENLE, tubulus proximalis dan tubulus distalis
(1.7.8.10.14.17). Karena itu furosemide dapat digunakan pada kasus oliguria dimana
tidak ada masalah post renal dan factor pre-renal sudah diatasi, untuk mematahkan
mekanisme Aldosteron-ADH yang terjadi (1.11.17).
Sekalipun diberikan pada keadaan dimana telah ada penurunan filtrasi glomeruli,
alkalosis dan hipoalbunemia, furosemide tetap merupakan diuretika yang aman efektif
dibandingkan dengan diuretika yang lain (8.14).
Hanya pada keadaan azotemia dosis furosemide perlu ditingkatkan. Pemberian
furosemide pada penderita dengan keadaan hidrasi yang baik tapi tidak didapatkan
respons yang adekwat, harus waspada akan adanya GGA yang imminens.(1)
Furosemide bekerja lebih kuat dibandingkan dengan golongan thiazide. (8). Timbulnya
dieresis cepat. Pada pemberian intravena dieresis dimulai setelah 3 – 5 menit, sedangkan
pada pemberian secara oral, kurang dari 30 menit (14). Lamanya natriuresis relative
pendek, kira-kira 1 – 2 jam pada pemberian intravena dan pemberian oral 4 – 6 jam.
Dosis yang dianjurkan 40 - 80 mg/hari, bila perlu bias ditingkatkan sampai 1800
mg/hari dalam dosis yang terbagi.(14). LUDEN dkk dengan percobaannya dengan
ginjal anjing mendapatkan bahwa furosemide menyebabkan penurunan tahanan
pembuluh darah ginjal sehingga menambah aliran darah ginjal.(1). STONE dan STAHL
PENDAHULUAN
Pertolongan pertama korban perdarahan adalah menghentikan perdarahan dengan
menekan langsung sumber perdarahannya (jika mungkin) dan mengangkat tungkai
korban ke atas, agar terjadi re-distribusi darah dari tungkai ke sirkulasi untuk jantung
dan otak. Tindakan berikutnya adalah memberikan infus cairan.
Sejauh manakah pelayanan gawat darurat di Indonesia dari segi kecepatan bertindak dan
penyediaan logistic sudah siap menangani.
Dari sisi pandang epidemiologic, angka nasional tahun 1987 tentang kecelakaan lalu
lintas menunjukkan korban mati 10.000 orang, korban luka berat 20.000 orang dan luka
ringan 26.000 orang. Dari data ini minimal ada 50.000 pasien perdarahan karena
kecelakaan lalu lintas yang perlu ditangani. Ditambah dengan kecelakaan kerja, bencana
alam dan pasien pembedahan angka ini mudah mencapai 300.000 per tahun. Bagian
terbesar pasien perdarahan adalah mereka yang berusia produktif, sehingga setiap
kegagalan terapi membawa konsekwensi kehilangan tenaga produktif yang akan
merugikan pembangunan.
DIAGNOSIS SHOCK
I. PERFUSI MENURUN
1. Perfusi perifer
Ujung jari kaki adalah tempat yang terjauh dari jantung dan akan mengalami gangguan
perfusi paling awal jika sirkulasi terganggu. Dahi dan ujung yang mendapat perfusi dari
arteria carotis, akam paling akhir mengalami gangguan perfusi karena letaknya lebih
dekat ke jantung. Jika pada perabaan tempat-tempat tersebut kering, hangat dan tampak
pewarna merah [pink], sirkulasi masih baik.
Pada waktu shock kulit terasa dingin, basah, dan pucat ke-abu2-an. Tanda perfusi
lainnya adalah Capillary Refill Time. Kuku dan telapak tangan bila ditekan akan
menjadi pucat. Jika perfusi baik, begitu dilepas segera menjadi merah lagi. Bandingkan
ini dengan tangan si pemeriksa sendiri sebagai control.
2. Perfusi ginjal
Ginjal normal memproduksi urine >0.5 ml/kg/jam [pada pasien 50 kg = 25 ml/jam].
Ginjal, kulit, otot dan viscera adalah organ kelas 2 yang memakai 80% cardiac output.
Pada waktu shock, secara reflektoris, perfusi organ kelas 2 ini ditutup. Produksi urine
berkurang dan urine menjadi pekat. Bila shock berlangsung lama, mekanisme hormone
ADH dan Aldosterone menyebabkan oliguri yang kadang kadang masih terus
berlangsung meskipun shock sudah diatasi.
Untuk mengatasi oliguri ini dapat diberikan Lasix a mg/kg i.v. diulang kalau perlu
dengan dosis lipat dua tiap 30 menit sampai total.
II. KRISTALOID
Cairan Ringer meresap keluar vaskuler ke interstitial 30 – 60 menit sesudah infuse
[plasma half life 20 menit] dan akan membentuk keseimbagan baru antara intravaskuler
[20%] dan interstitial [80%] [5.10.16.18]. Expansi ISF ini tampak sebagai interstitial
edema yang sebenarnya tak berbahaya. Adanya edema disini tidak berarti ada edema di
III. KOLOID
Ada 2 macam koloid yakni derivate plasma protein [albumin, plasma protein fraction]
dan sediaan semi-sintetik Plasma Substitute. Derivat plasma protein tidak diuraikan
lebih lanjut karena harganya praktis tidak terjangkau. Seratus ml Albumin 25% yang
memberikan volume IVF 500 ml harganya Rp. 300.000.
Cairan plasma substitute atau plasma expander adalah cairan yang berisi molekul-
molekul dengan berat molekul 35.000 – 500.000 dan memiliki efek mirip albumin
dalam hal mengembalikan volume plasma [IVF]. Karena nilai oncotic nya tinggi, cairan
ini tinggal lama dalam IVF [5.10.13]. Isbister J.P. dan Fisher M.M dalam
Anesth.Intens.Care : 8. 145-151.1980 menyebutkan bahwa dalam waktu 4 – 12 jam,
90% volume Dextran dan H.E.S masih berada intravaskuler. Gelatine hanya menambah
50% volumenya, sisanya merembes ke ISF [5].
Dengan plasma substitute tekanan darah lebih cepat kembali normal. Tetapi ada hal-hal
yang perlu diperhatikan dalam penggunaan Plasma Substitute.
Plasma substitute/expander tidak tepat diberikan sebagai terapi awal ataupun
terapi tunggal pengganti perdarahan. Sebaiknya diberikan HANYA SETELAH
Ringer Laktat / NaCl 0.9% untuk membantu mempercepat stabilisasi
hemodinamik.
Lakukan cross match dahulu sebelum Dextran diberikan. Dextran dapat
mengganggu crossmatch golongan darah.
Dextran dapat mengganggu pembekuan darah pada dosis lebih dari 15 – 20
ml/kg BB atau 1.5 gm dextran/kg BB [1000-1500 ml bagi pasien BB 50kg].
[5.6.7].
Contoh kasus :
Seorang pemuda 19 tahun, menderita luka tusuk di daerah lambung. Tekanan darah
palpasi 80, nadi 120, perfusi tangan dingin, kesadaran menurun luka darah banyak
keluar, dipasang infus di tangan kanan dan diberikan Ringer Laktat 3000 cc cepat.
Tekanan darah dapat naik menjadi 110/70, nadi 100. Waktu pembedahan dimulai dan
rongga perut dibuka, darah menyembur banyak, terjadi cardiac arrest diberikan
andrenalin 0.5 mg i.v dan Na Bicarb 40 mEq. Jantung berdenyut kembali. Tekanan
darah 90/60, nadi 120. Tusukan ternyata merobek hepar 3 cm, merobek vena porta dan
melukai duodenum. Selama operasi 3 jam, sirkulasi dipertahankan dengan Ringer
Laktat 3500 ml. Transfusi 2000 ml baru dapat diberikan menjelang operasi selesai.
Pasien sembuh sempurna. Perdarahan yang berjumlah 5000 ml hanya diganti transfuse
2000 ml. Sisa deficit sebesar 3000 ml diganti sementara dengan “excess” Ringer Laktat
6500 ml.
PENYULIT
Jangan menunda hemodilusi karena takut penyulit.
Lazimnya selama Hb > 8, penyulit berikut ini jarang terjadi.
1. Edema paru-paru
Bagi pasien trauma thorax dan contusion pulmonum, teknik hemodilusi sebaiknya
dihindari. Tetapi dalam keadaan mendesak dimna pilihan adalah mati atau edema paru-
paru, resiko edema paru-paru ini harus diambil sewaktu transfuse, kelebihan cairan
Before op After op
Kadar Albumin Ringer’s 3.5 + 0.1 2.5 + 0.1
Colloid 3.8 + 0.1 4.7 + 0.1
Colloid oncotic Ringer’s 21 + 0.4 13 + 1.0
Press Colloid 21 + 1.0 20 + 1.0
PENDAHULUAN
Lima puluh persen kematian, korban trauma berat terjadi pada saat kejadian
karena kerusakan pada otak, jantung atau pembuluh darah besar. Tiga puluh persen
kematian yang lain terjadi dalam waktu 1 – 4 jam berikutnya karena perdarahan [Lewis,
1991; Parr. 1993]. Pada trauma berat, kehilangan darah dapat mencapai 150 ml/menit.
Dalam waktu 10 menit akan hilang 1500 ml atau 50% volume darah yang dimiliki
korban. Jam pertama pasca trauma yang disebut “the golden hour” (Stene, 1991). Dalam
periode ini “ time saving is life saving”. Pertolongan harus cepat diberikan, yakni
CAIRAN TUBUH
Seorang dengan berat badan (BB) 50 kg memiliki cairan tubuh 30 liter (60% B)
Jumlah ini disebut Total Body Water yang terbagi :
a. Intra Cellular Volume (ICV), didalam sel-sel, 40% BB
b. Extra Cellular Volume (ECV), diluar sel-sel, 20%BB
ECV terbagi menjadi plasma volume (PV 20%) dan sisanya adalah Inter Stitial Volume
(ISV) [Ganong 1989, Cogan 1991, Zaloga 1992].
Ion-ion utama dalam ECV adalah Natrium 135-150 mEq/L dan Kalium 4-5mEq/L,
sedangkan di dalam ICV adalah Natrium 14 mEq/L dan Kalium 157 mEq/L.
Keseimbangan di antara ICV – ISV –PV mengikuti hokum tekanan hidrostatik, tekanan
onkotik dan tekanan osmotic [Hukum Starling]. Albumin adalah koloid terpenting yang
mengatur keseimbangan onkotik. Albumin berada di dalam PV [4 g/dl] dan ISV [1
g/dl].
TRANSPOR OKSIGEN
Cardiac Output = SV x f
Available O2 = CO x CaO2
TERAPI PERDARAHAN
Infusi Ringer laktat mempercepat koreksi hipovolemia.
Holcroft (1991) menganjurkan pemberian RL 2000 ml secepat mungkin. Jika
hemodinamik masih belum baik, ditambahkan 1000 ml lagi dalam waktu 10 menit.
Dengan demikian masa hipovolemia, vasokonstriksi, penurunan perfusi organ dan
hipoksia jaringan dapat dipersingkat. Penelitian Shires dan Canizaro menunjukkan
bahwa angka kematian karena syok hipovolemik perdarahan pada kelompok yang diberi
Ringer laktat disamping transfuse adalah lebih rendah disbanding jika hanya diberi
transfuse. Karena sebagian dari RL meresap keluar pembuluh darah maka menurut
hukum Straling, ekspansi PV akan menyebabkan ekspansi ISV pula sampai tercapai
keseimbangan baru antara PV (20%) dan ISP (80%). Jumlah RL yang diperlukan adalah
2-4 kali volume darah yang hilang. Pada titik imbang baru “ekspansi” ISV dapat
menimbulkan edema. Apakah edema ini berbahaya ? Di dalam jaringan interstitial
terdapat glycosaminoglycans dan proteoglycans yang bersifat menyerap cairan. Apabila
ISV meningkat, kadar kedua glycans ini menurun, maka cairan ini akan lebih cepat
menuju drainase infuse. Di dalam vaskuler basement membrane juga terdapat proteo-
glycans yang membantu mempertahankan vascular-permeability. Jika basement-
membrane tetap utuh, cairan koloid akan tetap tinggal dalam PV. Tetapi permeabilitas
dapat meningkat akibat injury, infeksi dan hipoperfusi jaringan yang berlangsung lama.
PENDAHULUAN
Data dari Commite on Trauma College of Surgetion 1991 mengungkapkan bahwa
kematian korban trauma berdistribusi menurut waktu dengan 3 puncak. Lima puluh %
kematian terjadi pada menit-menit pertama setelah trauma, yang terjadi pada penderita
dengan trauma berat pada otak, tulang belakang, jantung dan pembuluh darah besar.
Hanya sedikit yang diselamatkan walaupun resusitasi sudah dilakukan dengan sebaik-
baiknya.
Puncak kedua adalah kematian adalah kematian dalam waktu beberapa jam setelah
trauma. Hal ini umumnya sebaghian besar oleh perdarahan massif.[Parr 1989].
Berdasarkan atas distribusi tersebut, kiranya target perbaikan sistim dan cara
pertolongan pertama pada penderita gawat darurat (PPGD) adalah menyelamatkan
penderita-penderita yang termasuk kelompok kedua.
Dari data Dit Lan Tas POLRI mengenai kecelakaan lalu lintas di Indonesia pada tahun
1994 diketahui jumlah korban 34.407, meninggal di tempat sekitar 30% sedang 30%
korban termasuk dalam kelompok luka berat (Sumarsono 1996). Dapat dikatakan bahwa
terdapat sekitar 11.000 korban yang sebenarnya potensial menjadi target tindakan
resusitasi yang cepat dan tepat.
Perdarahan adalah masalah yang hamper selalu terdapat pada penderita trauma, serta
merupakan penyebab terbesar syok pada trauma.
Kehilangan darah lebih dari 50% akan menyebabkan gangguan perfusi dan oksigenasi
yang melampui batas oksigen debt yang dapat ditolerir sel. Jika jumlah sel rusak
melampui critical mass of cells akan terjadi cardiac arrest (Parr 1989). Prognosis sangat
tergantung dari pertolongan pada jam pertama yang disebut golden hour untuk
mencegah terjadinya kerusakan sel yang menetap (Stone JK 1991). Pertolongan yang
primer adalah segera mengisi kehilangan volume dengan memberikan cairan. Tetapi
komponen yang berperan dalam penyediaan dan pengangkutan oksigen harus dikelolah
yaitu dengan cara memperbaiki ventilasi dan memberikan oksigen.
PEMILIHAN CAIRAN
Pemilihan cairan yang terbaik untuk resusitasi masih selalu meruipakan kontroversi
antara kristaloid atau koloid. Namun demikian penggunaan cairan kristaloid sebagai
langkah pertama dalam resusitasi telah menjadi pedoman umum (Safar 1988, Calcagni
1989, ATLS Manual 1993).
Terdapat beberapa pilihan yaitu :
cairan elektrolit [isotonic] / kristaloid
cairan koloid
- alami : plasma
albumin
- sintesis : gelatin
starch
dextran
cairan hipertonik + dextran (HSD NaCl 7.5% + 6% Dextran 70)
CAIRAN KRISTALOID
Bila perdarahan tidak melebihi 30% volume darah, cairan kristaloid Ringer Laktat atau
NaCl 0.9% saja cukup untuk mempertahankan volume itravaskuler dan homeostasis.
Hal ini disebabkan karena susunan elektrolit mendekati susunan cairan ekstravaskuler
cairan kristaloid akan menetap di ruang ekstraseluler [extra celluler fluid] yaitu
intravaskuler [intravaskuler fluid] dan interstitial [interstitial fluid]. Ringer Laktat
merupakan pilihan pertama sebagai cairan pengganti. Dibandingkan dengan NaCl 0.9%,
Ringer Laktat lebih mendekati sususnan cairan fisiologis tubuh dan mempunyai pH
yang lebih tinggi dari NaCl 0.9%.
CAIRAN KOLOID
Cairan koloid adalah cairan yang mempunyai tekanan onkontik hamper sama dengan
tekanan onkontik plasma. Hal ini menyebabkan koloid lebih lama bertahan di ruang
intravaskuler. Sebagai perbandingan dalam waktu 1 jam setelah pemberian hanya tersisa
kurang lebih 25% kristaloid dalam intravakuler, sedangkan koloid masih bertahan
hamper seluruhnya.(Falk 1989). Menambahkan cairan koloid umumnya
dipertimbangkan bila perdarahan lebih dari 20% volume darah. Pemberian kristaloid
lebih lanjut dapat menyebabkan udem jaringan, sehingga diberikan koloid dengan
perbandingan 1 : 1 [Safar 1989, Falk 1989]. Namun demikian bila hemodinamik tetap
buruk harus diberikan darah atau Paced Red Cells.
Resusitasi cairan yang menyebabkan penurunan kadar serum albumin sampai dengan
2.5 g/dl dan penurunan sampai dengan 2/3 tekanan osmotic normal cenderung
menyebabkan edema jaringan. Edema paru terutama terjadi pada penderita politrauma
dan kontusio paru. Tetapi beberapa peneliti menyebutkan resiko edema paru sama besar
pada kedua jenis cairan. Adanya edema pada kulit dan otot tidak harus disertai edema
paru. Edema jaringan [kulit, otot, saluran pernafasan] dapat mengurangi konsumsi
oksigen sel dan mempengaruhi penyembuhan luka [Hilmann 1989].
Ekstravasasi cairan pada penderita trauma lebih mudah terjadi oleh karena kerusakan
jaringan dan sel menyebabkan dikeluarkannya berbagai mediator biokimia yang
meningkatkan permiabilitas kapiler.
ALBUMIN
KOLOID SINTETIS
Koloid sintetis dibuat dari bahan dasar gelatin, starch dan dextran.
Syarat koloid yang ideal adalah :
waktu paruh cukup panjang
tidak menyebabkan reaksi pirogen atau alergi
metabolisme dan eliminasinya tidak menganggu fungsi organ
tidak menyebabkan hemolisis dan aglutinasi eritrosit
stabil dalam penyimpanan
Manfaatnya terutama dengan melihat efek pertambahan volume, lamanya bertahan
dalam ruang intravaskuler dan efek rheologi.
Hampir semua jenis koloid adalah plasma expander. Oleh karena perpindahan cairan
interstitial ke dalam intravaskuler, jumlah pertambahan volume intravaskuler pada saat
permulaan pemberian cairan dapat melebihi volume koloid yang diberikan (Hillman
1989).
Walaupun ada perbedaan insidens semua jenis koloid mempunyai resiko menyebabkan
reaksi anaphilaksis.
Hemodilusi menyebabkan trombositopeni sehingga efek antithrombotic dari Dextran
harus dipertimbangkan. Pemberian yang dianjurkan maksimal 1.5 g atau 1500 cc/24 jam
pada orang dewasa (Davies 1988, Hillman 1986).
RINGKASAN
Resusitasi cairan pada perdarahan karena trauma harus dilakukan dalam golden hour.
Pada tahap permulaan yang terpenting adalah mengembalikan volume intravaskuler.
Sampai saat ini cairan kristaloid merupakan pilihan, alternative lain adalah kombinasi
NaCl hipertonik koloid.
Cairan tubuh terbagi dalam 2 bagian terbesar, yaitu sekitar 55% berada di dalam
sel (ruang intraseluler) dan 45 % lainnya berada diluar sel (ruang ekstraseluler). Cairan
ekstraseluler sendiri terbagi dalam 2 bagian, yaitu ruang intravaskuler (plasma) dan
ruang interstitial dalam perbandungan 1:5.
Dalam plasma albumin merupakan cairan dengan molekul yang besar (berat
molekul 6.9 x 10) sehingga tidak mudah keluar dari ruang intravaskuler. Albumin di
sintesa di liver sebanyak 180 – 300 mg/kg BB setiap hari. 40% albumin berada
intravaskuler dan 60% di ekstravaskuler.
COP plasma normal adalah sekitar 25 mm Hg dan hampir 80% disebabkan oleh
konsentrasi albumin dalam plasma sebesar 5 g %. Penurunan konsentrasi albumin serum
menjadi 2.5% memyebabkan penurunan COP menjadi sekitar 17 mmHg dimana edema
jaringan dapat terjadi.
Berbaring selama 12 jam akan memyebabkan COP menurun menjadi sekitar 21
mmHg. Hal ini mungkin disebabkan karena reabsorpsi cairan interstitial dibagian bawah
tubuh ke ruang intravaskuler.
COP pada pasien sakit berat biasanya berkisar antara 18 – 20 mmHg,
kemungkinan disebabkan karena gabungan posisi berbaring yang lama, malnutrisi dan
faktor-faktor lain yang disebabkan oleh penyakit akutnya.
CAIRAN KRISTALOID
Cairan kristaloid merupakan cairan yang paling sering digunakan untuk
resusitasi karena paling murah harganya bila dibandingkan dengan cairan koloid. Yang
paling banyak digunakan adalah larutan NaCl 0.9% dan Ringer Laktat. Larutan dekstose
5% tidak digunakan karena tidak mengandung elektrolit, sehingga setelah dekstrose
dimetabolisir tinggallah air yang dengan bebas akan keluar masuk ruang ekstra dan
intraseluler tanpa mengembangkan volume ruang intravaskuler.
Bila dilihat komposisi macam cairan kristaloid, maka Ringer Laktat merupakan
cairan yang komposisinya mendekati komposisi plasma. Oleh karena itu cairan inilah
yang mungkin paling sering digunakan dalam resusitasi cairan. Namun efek volumenya
tidak berbeda dengan NaCl 0.9%.
Cairan kristaloid isotonis dapat menembus dinding vaskuler dan terdistribusi
merata dari keseluruh ruang tubuh tanpa merubah keseimbangannya. Karena itu
dibutuhkan cairan kristaloid dalam volume yang cukup besar untuk mengembangkan
CAIRAN KOLOID
Cairan koloid yang digunakan dalam resusitasi cairan sering disebut sebagai
plasma expander atau plasma substitute. Yang termasuk dalam golongan ini adalah :
- koloid alami (natural) : human albumin dan fraksi plasma protein
- koloid sintesis : dextran, gelatin, polivinil pirolidon (hydroxythyl stach)
Cairan koloid merupakan cairan makromolekuler, sehingga tidak mudah
Keluar dari ruang intravaskuler. Sifat tersebut merupakan kelebihan utama cairan ini,
karena cairan elektrolit mempunyai efek volume yang setara dengan darah dan dapat
tinggal lebih lama disirkulasi.
ALBUMIN
Cairan koloid albumin dibuat dari donor plasma manusia. Larutannya
dipanaskan dalam suhu 60% selama 10 jam untuk mencegah penularan hepatitis. Cairan
koloid Human Albumin terdapat dalam sediaan 5%, 20% atau 25%. Albumin 5%
mengandung albumin sebanyak 50 gram per liter dan COP sebesar 25 mmHg.
DEXTRAN
Dextran diproduksi oleh enzim dextran sucrase dalam masa pertumbuhan
bakteria Leuconostoc dalam media yang mengandung suucrose. Dextran 40 mempunyai
berat molekul 40.000, sedangkan dextran 70 mempunyai BM 70.000. Keduanya
merupakan cairan hiperokontik.
Dextran 70, dalam larutan garam isotonis 6%, setelah 24 jam retensi
intravaskuler-nya masih sekitar 30%. Infusi 1 liter dextran 70`pada pasien pasca bedah
mampu meningkatkan volume plasma sampai 800 ml. Dextran 40, dalam larutan garam
isotonis 10%, mempunyai retensi yang lebih rendah dan mempunyai efek antiplatelet.
Kelebihan utama dari dextran 40 ml ini adalah efek rheologisnya, karena itu sering
disebut sebagaiu Rheomacrodex. Dextran 40 mempunyai efek anti sludging dari
eritrosit di mikrosirkulasi. Keadaan ini bersama penurunan viskositasi darah akan
memperbaiki aliran darah mikrosirkulasi, meningkatkan curah jantung.
Pada pasien dengan fungsi gagal ginjal yang normal, 60% dextran 40 akan
dikeluarkan lewat urine dalam waktu 6 jam dan dalam waktu 24 jam hampir 70% sudah
dikeluarkan. Sebagian akan disekresi di usus atau dimetabolisir di viscera menjadi
karbon dioksida. Karena urine menjadi lebih kental dapat timbul penumpukan dextran
di tubulus ginjal yang dapat menyebabkan pembuntuan. Karena itu dextran 40 harus
diberikan dengan hati-hati. Sebaiknua didahului dengan pemberian cairan kristaloid dan
baru diberikan setelah aliran urine mulai keluar. Masalah ini tidak timbul pada dextran
70, karena berat molekulnya lebih besar sehingga lebih lambat difiltrasi.
Efek samping yang ditakuti adalah reaksi anafilaksis yang dapat menyebabkan
syok dan kematian. Insidennya dilaporkan sekitar 5.3%, ditandai dengan rasa tidak enak
(discomport) yang hebat diikuti reaksi gastroinstetinal dan vaskuler yang hebat.
PEMILIHAN CAIRAN
Meskipun pilihan cairan yang terbaik untuk resusitasi masih kontroversial, tetapi
sudah jelas bahwa mengganti kehilangan darah adalah tidak benar dan tidak perlu.
Darah dapat menyebabkan reaksi transfusi allergi, hemolitik, septik, febril, pirogen dan
menyebarkan hepatitis, AIDS. Selain itu darah yang disimpan dapat menyebabkan
defisiansi faktor pembekuan, hipotermia, hiperkalemia, asidosis dan mikroemboli.
Darah dan produk darah yang memenuhi kriteria aman cukup mahal harganya dan perlu
waktu untuk mendapatkannya.
Jumlah dan macam cairan yang digunakan dalam resusitasi cairan sebagian
besar tergantung dari status klinis pasien dan sebagian kecil tergantung dari pemilihan
individual atau institusional. Pada dasarnya cairan kristaloid (NaCl 0.9% dan Ringer
Laktat) merupakan pilihan utama dalam tahap awal resusitasi cairan pada kasus-kasus
syok hemorganis.
Resusitasi cairan dengan cairan kristaloid dalam jumlah cukup banyak pada
pasien dewasa, muda dan sebelumnya sehat dapat dilakukan dengan aman dengan
resiko yang relatif kecil untuk timbul edema paru. Mekanisme kompensasi untuk
mencegah timbulnya edema paru pada pasien dewasa, muda dan sebelumnya sehat
mungkin berjalan lebih effisien dibandingkan pasien yang tua dengan penyakit
kardiopulmoner.
Pada perdarahan dalam jumlah sedang, tidak melebihi 20 % volume darah,
cairan kristaloid saja sudah cukup untuk menjaga keseimbangan volume darah dan
homeostasis. Kristaloid dapat diberikan dalam jumlah sampai 4 kali volume darah yang
hilang, dan mungkin masih perlu ditambah untuk menjaga stabilitas hemodinamik dan
menggaanti urine yang keluar.
Pada perdarahan yang lebih banyak (kehilangan darah lebih dari 20 % volume
darah), penggunaan kristaloid saja sering kali tidak cukup untuk menjaga volume darah,
cardiac output, oksigenasi jaringan dan beresiko timbulnya edema jaringan. Dalam
keadaan ini cairan koloid sebaiknya diberikan paling sedikit dengan penggantian 1:1
untuk kehilangan diatas 20% volume darah.
Albumin 5% mungkin merupakan koloid yang mendekati ideal tetapi harganya
sekitar 20 kali harga cairan kristaloid, sehingga sebaiknya tidak perlu digunakan. Dapat
PENUTUP
Syok karena perdarahan merupakan keadaan darurat yang memerlukan
penanganan amat segera. Pemberian cairan intravena dengan larutan kristaloid maupun
koloid merupakan pilihan awal dalam usaha resusitasi.
Cairan yang ideal untuk resusitasi pasien trauma tetap masih belum jelas yang
memenuhi syarat mampu memperbaiki perfusi jaringan dan mikrovaskuler, maqmpu
memperbaiki atau menjaga fungsi immunologis tubuh, mempunyai efek sanping yang
minimal dan murah harganya. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa cairan kristaloid
masih merupakan pilihan yang pertama karena cukup effektif, mudah didapat dan
sangat murah harganya dan karena itu masih akan terus dipergunakan secara luas.
Pedoman urutan penggunaan cairan yang digunakan adalah dengan memberikan
cairan kristaloid sebanyak 2 – 4 kali volume darah yang hilang untuk kehilangan darah
sampai 20%, diikuti koloid sebagai pengganti plasma sebanyak 1 kali volume
kehilangan darah untuk kehilangan di atas 20% diikuti dengan darah atau PRC untuk
menjaga hematokrit sebesar 30%.
PENDAHULUAN
Tentang darah, sebenarnya dapat dikatakan : “blood is R – E – D”, selain merah,
R-E-D berarti Rare – Expensive – Dangerous.
Rare : darah adalah “komoditi’ langka. Pengalaman di berbagai daerah menunjukkan
betapa sulit menyiapkan donor darah, lebih-lebih pada bulan puasa.
Expensive : biaya penyiapan transfusi adalah mahal. Penyediaan darah PMI mendapat
subsidi pemerintah. Biaya ini selalu meningkat jika semakin banyak pemeriksaan yang
dituntut untuk menghindarkan penyebaran berbagai penyakit.
Dangerous : Transfusi adalah prosedur medik yang berpotensi besar untuk menyebarkan
penyakit hepatitis B. Hepatitis C dan HIV/AIDS disamping malaria dan lues. Transfusi
juga menyebabkan berbagai reaksi imunologis. Kekambuhan kanker lebih sering dan
lebih dini apabila sewaktu pembedahan pasien tersebut mendapat transfusi (Blumberg,
1988). Transfusi juga dianggap menyebabkan penurunan daya tahan tubuh terhadap
infeksi pada pasien trauma berat (Agarwal, 1993).
Atas alasan-alasan tersebut di atas, trasfusi harus dilandasi indikasi kuat dan quality
control yang baik. Sebenarnya transfusi bukanlah satu-satunya cara mengatasi
kehilangan darah dan keadaan anemia. Ini berlaku baik pada kehilangan darah akut
maupun kronis. Kehilangan darah akut dapat diganti volumenya dengan larutan
elektrolit. Kehilangan darah kronis dan berbagai anemia dapat diatasi dengan perbaikan
nutrisi dan terapi Fe (besi). Sering kali disebutkan bahwa indikasi untuk transfusi adalah
untuk “meningkatkan oksigenasi jaringan”, “mempercepat kesembuhan luka” atau
“memperbaiki keadaan umum”.
Available O2 = CO x CaO2
PENYEMBUHAN LUKA
Telah diuraikan di atas bahwa anemia tidak mengganggu transfor oksigen
selama volume PV normal. Dalam keadaan anemia, viskositas darah rendah hingga
hambatan aliran juga rendah. Darah lebih mudah mengalir sehingga sirkulasi mikro
dapat mengantarkan oksigen ke jaringan dengan lebih baik. Dengan adanya kompensasi
curah jantung meningkat, maka jumlah oksigen per satuan waktu tidak menurun. Satu-
satunya pernyataan keberatan terhadap anemia adalah anggapan bahwa anemia
menghambat kesembuhan luka. Jonsson (1991) membuktikan bahwa pembentukan
deposit kolagen pada luka tidak terhambat oleh anemia. Tidak ada korelasi antara
hematokrit (16-57%) dengan kecepatan deposisi kolagen pada jaringan luka yang
diderita oleh 33 kasus bedah. Bryan-Brown (1989) dan Hunt (1991) menyebutkan
bahwa selama hematoktrit masih > 15%, deposisi kolagen untuk kesembuhan luka tidak
terpengaruh.
LANGKAH-LANGKAH RASIONALISASI
1. Menetapkan Batas Awal dan Akhir Transfusi Yang Tepat
Dulu transfusi Whole Blood diberikan untuk mengganti setiap kehilangan
volume dan Hb pada perdarahan. Konsep ini sudah berubah. Volume darah normal
adalah 65-70 cc/kg Berat Badan. Pada perdarahan akut, pasien kehilangan sejumlah
volume darah dan eritrosit yang berisi Hemaglobin (Hb). Penggantian volume yang
hilang harus didahulukankarena penurunan 30% saja sudah dapat menyebabkan
kematian. Sebaliknya batas toleransi kehilangan Hb lebih besar. Kehilangan Hb sampai
50% masih dapat di atasi. Bagi pasien tanpa penyakit jantung, Hb 8-10 gm/dl masih
dapat memberikan cukup oksigenuntuk jaringan dengan baik (asal volume sirkulasi
normal).
Karena itu tidak semua perdarahan harus diganti transfusi. Tetapi diprioritaskan untuk
mengembalikan volume sirkulasi dengan cairan Ringer Laktat atau NaCl 0.9% atau
Plasma Substitute selama Hb masih 8-10 gtm/dl. Cara terapi dengan cairan ini disebut
hemodilusi. Perdarahan sampai 25 % volume darah masih dapat diganti cairan saja
tanpa transfusi. Pada kehilangan > 30-50 % volume darah, maka setelah pemberian
3. Transfusi Autologous
Dalam metode ini darah pasien sendiri diambil pada masa pra-bedah, disimpan
untuk digunakan pada waktu pembedahan yang terencana (elektif). Dengan demikian
dapat dipastikan bahwa tidak ada resiko penularan penyakit sama sekali.
MENABUBG DARAH SEBELUM PEMBEDAHAN
Pada waktu 2-7 hari sebelum pembedahan 250-500 ml darah dapat diambil untuk
disimpan .
Jika kita menghadapi pasien perdarahan trauma, apakah teknik ini dapat digunakan
(secara umum) sebagai terapi standart ? Anggapan bahwa populasi Indonesia cenderung
menderita anemia dan hipoalbumenia tidak tepat. Hasil survey di beberapa rumah sakit
pada pasien yang menjalani pembedahan dan dalam usia potensial mengalami trauma /
perdarahan menemukan data Hb dan albumin .,
PENUTUP
Secara ringkas telah diuraikan langkah-langkah yang perlu diambil untuk
mengurangi jumlah transfusi darah yaitu dengan merubah batas-batas indikasi transfusi
serta memanfaatkan kemampuan kompensasi tubuh secara maksimal. Dengan menekan
jumlah transfusi maka penularan hepatitis B / C dan HIV AIDS dapat dikurangi. Darah
masih banyak mengandung rahasia yang belum mampu kita telusuri, sehingga sangat
bijaksana kalau kita bersikap “ err on safe side”, yaitu selalu berusaha menghindari
transfusi yang tidak / kurang perlu.
PATOFISIOLOGI SHOCK
Dr. Eddy Rahardjo
FK UnAir – RSUD Dr. Soetomo – Surabaya
PENDAHULUAN
Shock adalah sindroma klinik yang ditandai keadaan umum yang lemah, pucat, kulit
yang dingin dan basah, vena perifer tak nampak, kesadaran menurun dan produksi urine
menurun.
Masalah pokok pada shock adalah penurunan perfusi (aliran darah ) yang efektif ke
jaringan dan penurunan oxygen delivery ke daerah kapiler. Tekanan darah sistolik
lazimnya kurang dari 90 mmHg atau lebih dari 50 mmHg dibawah tekanan darah
semula.
Pembicaraan tentang shock menyangkut medan yang sangat luas. Uraian dapat
ditujukan pada masalah klinis dari shock dan cara-cara penanganannya. Atau ditujukan
pada perubahan-perubahan fungsi organ selama shock, karena shock pada dasarnya
I. Kehilangan volume :
Beri volume dengan larutan Ringer Laktat atau Plasma Expender atau Transfusi.
II. Kegagalan fungsi pompa : myocardial failure, arrythmia tamponade (?)
Beri beta-agonis (dopamin), digitalis, dibantu diuretika dan vasodilator (mengurangi
afterload). Untuk arrythimia dibahas tersendiri. Untuk tamponade ; punksi dan dranage.
III. Perubahan2 vaskuler : vasodilatasi atau shunt atau leakage. Beri
vasoprosesor untuk mengatasi vasodilatasi disampinh menambah isi vaskuler dengan
volume. Untuk shunt dan leakage tidak ada obat yang khusus selain menghilangkan
causa.
Shock yang masih primer relatif mudah ditangani dan memang harus cepat ditangani
agar tidak progresi ke derajat lebih berat atau diikuti shock sekunder dan kegagalan
organ ganda.
Shock yang sudah menjadi ruwet memerlukan penanganan khusus di ruang ICU dengan
monitoring sebanyak mungkin parameter hemodinamik. Selain pengukuran tekanan
darah konvensional (dengan spygmomanometer) masih diperlukan pengukuran tekanan
vena sentral (CVP) untuk memastikan apakah volume pre-load sudah memadai.
Jika dapat diketahui sekaligus Pulmonary Cappilary Wedge Pressure yang
mencerminkan volume pre-load atrium kiri
dan fungsi ventrikle kiri maka kita dapat dengan mudah menentukan ada tidaknya
myocardial failure dan jantung sisi mana yang failure.
Ini dapat dilakukan dengan cara invasif memasang Swan Ganz catheter dulu, sekaligus
kemudian mengukur Cardiac Output cara thermodilution atau dye dilution. Ada
perkembangan baru yang memungkinkan pengukuran cardiac output secara non-invasif
dengan menggunakan echocardiografi trans-esophageal.
SYOK ANAFILAKTIK
TINJAUAN MASALAH DAN PENANGANANNYA
Bambang Wahjuprajitno
Lab. / U.P.F Anestesiologi dan Perawatan Intensif
F.K. Unair / RSUD Dr. Soetomo
Su r a b a ya
PENDAHULUAN
Anafilaksis, karena sifatnya yang tidak dapat diramalkan dan datangnya
mendadak, merupakan salah satu ke gawat daruratan dalam dunia kedokteran yang
paling berbahaya. Penyakit ini dapat menyebabkan kegagalan napas akut dan syok
hipovolemik yang dapat menyebabkan kematian dalam waktu singkat. Pengenalan dini
sangat menentukan nasib penderita, karena manifestasi klinisnya yang berbahaya
sebagian atau seluruhnya dapat diatasi dengan penanganan yang tepat dan intensip.
Catatan sejarah yang paling dini tentang episode anafilaksis yang fatal terdapat
pada hicroglyph pada makam raja Menes di Mesir. Dikatakan bahwa pada tahun 2641
SM raja ini meninggal mendadak akibat disengat lebah. Istilah anafilaksis sendiri
diperkenalkan oleh sarjana Perancis Charles Richet dan Paul Portier untuk menerangkan
suatu respon hipersensitif berupa syok dan kematian pada anjing yang ditelitinya setelah
menerima suntikan sublethal yang kedua dengan toksin anemone. Istilah ini berasal dari
bahasa Yunani, yaitu ana berarti “melawan” sedangkan phylasis berarti “perlindungan”.
Ini berarti kebalikan dari istilah prophylaxis.
Anafilaksis adalah suatu sindroma klinik yang jelas dengan tanda-tanda yang
khas berupa perubahan yang mendadak dan dramatik pada permeabilitas vaskuler dan
hiperaktifitas bronkial. Perubahan sifat yang eksplosif ini disebabkan oleh beberapa
mediator endogen yang dilepaskan segera setelah suatu stimuli baik oleh antigenik
maupun non-antigenik.
Reaksi anafilaktit yang klasik ialah anafilaksis yang mekanismenya merupakan
suatu reaksi immunologis, yaitu interaksi yang berkelanjutan dari suatu antigen
(allergen), antibodi dari kelas IgE (Reagin) dan sel efektor spesifik (basofil dan mast
cell), yang menimbulkan sintesis dan pelepasan beberapa mediator yang secara
fisiologis sangat aktif.
Reaksi anafilaktoid secara klinis tampak serupa dengan reaksi anafilaktik yang
klasik, tetapi tidak jelas kaitannya dengan antibodi atau tidak dapat dibuktikan antibodi
PATOFISIOLOGI
Aktifitas immunologis dan nonimmunologis
Bila suatu antigen memasuki tubuh baik melalui kulit, saluran nafas, maupun
makanan maka sel-sel plasma (mast cell dan basofil) akan membuat antibodi jenis IgE
yang spesifik. Antibodi ini mempunyai bagian yang dapat berikatan dengan reseptor
yang cocok pada sel plasma (Fc), juga mempunyai bagian yang berperan dalam
mengenali dan mengikat antigen (Fab). Proses ini disebut sensitisasi.
Bila suatu saat antigen serupa masuk lagi ke dalam tubuh, maka antigen ini akan
dikenali dan diikat oleh bagian Fab dari IgE yang telah terbentuk sebelumnya.
Pengikatan antigen dengan 2 molekul IgE yang melekat pada sel plasma (bridging) akan
mencetuskan suatu rangkaian reaksi biokimia intraseluler yang menghasilkan pelepasan
mediator-mediator antara lain histamin, ECF-A (Eosinipholic Chemotactic Factor of
Anapylaksis, NCF (Neutrophilic CF), SRS-A (Slow Reacting Substance of
TERAPI FARMAKOLOGIS
Obat-Obatan
Obat-obatan yang dipergunakan dalam terapi anafilaksis umumnya ditujukan
untuk ;
1. menghambat sintesis dan lepasnya mediator
2. blokade reseptor jaringan terhadap mediator yang lepas
3. mengembalikan fungsi organ terhadap pengaruh mediator
Berdasarkan tujuan utama diatas maka terdapat 4 jenis obat yang sering dipakai
dalam terapi anafilaksis, yaitu golongan kathekholamia, golongan penghambat
fosfodiesterase (xanthin), antihistamin dan korkikosteroid.
Cairan
Disamping mengatasi gangguan nafas dan sirkulasi dengan obat katekholaamin,
pemberian cairan mungkin adalah merupakan terapi yang terpenting pada anafiloksis.
Pemberian cairan ditujukan untuk mengatasi syok hipovolemia dan meningkatkan
kompensasi kardiovaskulernya. Selain itu dengan adanya saluran infus pemberian obat-
obatan selanjutnya akan lebih mudah.
Cairan yang diberikan dapat berupa cairan kristaloid dan koloid untuk
mengganti cairan plasma yang merembes keluar. Dalam hal ini cairan kolloid lebih
menguntungkan, karena cairan ini akan lebih lama tinggal dalam sirkulasi dibandingkan
kristaloid.
A. PERSIAPAN
PENUTUP
Syok anafilaksis adalah peristiwa yang akut dan menyebabkan kematian.
Betapapun dengan persiapan yang marang, antisipasi, pengenalan dini dan terapi yang
cepat dan tepat malapeka tersebut dapat dihindari.
Terapi farmakologi dengan obat-obatan seperti epinefrin dan aminofilin dapat
menurunkan sintesa mediator intraseluler dan pelepasaanya dan mengatasi pengaruhnya
pada organ-organ. Tidak boleh dilupakan adalah usaha-usaha untuk menjamin jalan
napas yang bebas dan mengembalikan volume intravaskuler.
SHOCK SEPTIK
PERMASALAHAN DAN PENANGANANNYA
Tommy Sunartomo
Lab. / UPF Anestesiologi
F.K. Unair / RSUD. Dr. Soetomo
I. DEFINISI
a. Shock
Weil : syndroma klinik yang ditandai dengan kelemahan, kulit yang pucat, dingin
dan basah, vena superfisial kolaps, gangguan mental dan produksi urine
menurun sebagai akibat berkurangnya perfusi efektif ke jaringan dan pelepasan
oksigen di kapiler. Tensi sistolik kurang dari 90 mmHg atau menurun lebih dari
50 mmHg dari tensi awal pada keadaan hipertensi (15).
Maclean :
Keadaan dimana aliran darah ke organ vital tidak adekwat atau kegagalan dari
sel organ vital untuk mempergunakan oksigen (5).
b. Sepsis
Rackow :
Respon sistemik terhadap infeksi yang ditandai dengan demam atau hiportemi,
perubahan mental dan tampak toksik.
c. Septisemia
Rackow :
Beredarnya mikroorganisme atau jamur atau produk-produknya dalam sirkulasi
darah yang menimbulkan gejala-gejala sistematik berupa demam atau
hipotermia, perubahan mental dan tampak toksik (12) Bakteremia
Pan Med Dalin :
II. P E N D A H U L U A N
Sepsis dan shock septik merupakan salah satu penyebab morbiditas dan
Mortalitas yang utama di unit perawatan intensif untuk kasus medik maupun kasus
Bedah. Meskipun telah banyak kemajuan dibidang penelitian, fisiologi, monitoring
Farmakologi dan resusitasi, tetapi angka kematian shock septic masih bertahan sekitar
40-80 % . Sebagai penyebab kematian adalah hipotensi yang tak teratasi, gagal jantung
dan gagal organ multiple.
Di Amerika serikat tiap tahun diperkirakan ada 330.000 penderita bakteremia
gram negatif (3, 12). Jumlah ini diperkirakan akan terus meningkat mengingat makin
meluasnya penggunaan antibiotika dan kenaikan insidens penderita “immuno
compromised” (9).
Banyak perbedaan pandangan dan pendapat di antara para ahli tentang shock
septik dalam hal penggolongan, patofisiologi dan terapinya. Sebagai contah Maclean
memasukkan shock septik pada golongan “celluler defect” karena kelainan yang primer
akibat sepsis pada sel, sehingga tidak mampu mengambil (up take) oksigen walaupun
ada peningkatan aliran darah ke jaringan, dengan hasil akhir hipoksia jaringan tetap
terjadi.
Sedangkan Weil menggolongkan shock septik sebagai “shock distributif” karena
endotoksin atau mediator lainnya menyebabkan turunnya penekanan tahanan perifer
yang menyebabkan adanya distribusi darah di perifer / sistem vena.
Dalam makalah ini akan dibicarakan permasalahan dan penangan shock septik serta
beberapa pengalaman perawatan penderita shock septik di I.C.U RSUD Dr. Soetomo.
III. ETIOLOGI
Penyebab shock septik yang paling sering adalah kuman gram negatif. Di Amerika tiap
tahun didapatkan kurang lebih 330.000 penderita sepsis oleh kuman gram negatif yang
25% diantaranya mmengalami shock septik (12). Escherichia coli, Krebsiella
merupakan kuman negatif yang paling sering menyebabkan shoick septik.
IV. `PATOFISIOLOGI
Tidak semua septisemia/bakteremia disertai shock. Di Amerika Serikat dari 330.000
penderita bakteremia negatif hanya 25% disertai shock (12).
Bagaimana mekanisme terjadinya shock yang menyertai suatu seposis belum
seluruhnya diketahui dengan jelas (1,8,9).
Banyak ahli berpendapat bahwa endotoksin dan mediator endogen mempunyai peranan
yang penting untuk terjadinya shock.
Pada hewan percobaab penyuntikan endotoksin dengan dosis tertentu menimbulkan
demam, neutropenis dan hipotensi dan bila dosis ditingkatkan terjadi hipotensi yang
fatal (8,9). Tiap spesies hewan mempunyai reaksi yang berbeda terhadap endotoksin.
Pada manusia volunteer, pemberian endotoksin dosis kecil menyebabkan peningkatan
cardaic output, menurunkan sistemik Vascular Resistenct (VR), normal stoke volume
(SV), Left Ventrickle Enjection Fraction (LVEF) menurun, dan Left Ventrickle and
Diastolic Volume (LVEDV) meningkat. Perubahan kardiovaskuler ini identik dengan
apa yang terlihat pada shock septik.
Untuk lebih jelasnya Parrillo (8) menggambarkan patofisiologi terjadinya shock
septiksebagai berikut.
Mikroorganisme dari sumber infeksi melakukan migrasi ke aliran darah dan
merangsang terbentuknya beberapa mediator yang masing-masing mempunyai
kemampuan boilogis tersendiri. Tindakan operatif dan instrumentasi dapat mempercepat
proses migrasi ini. Pada beberapa infeksi ini, mikro organisme ini tetap berada di
tempatnya, tapi dilepas beberapa mediator yang mempunyai efek sismatik.
Mediator-mediator diatas dapat menimbulkan bermacam-macam perubahan
metabolisme dan gangguan fisiologis, misalnya kesulitan sel untuk “up take” oksigen.
Efek mediator pada sistem kardiovaskuler, berakibat langsung pada pembuluh darah
dan pada jantung.
Pada pembuluh darah dapar berupa vasodilatasi arteri dan vena, vasokonstriksi,
gangguan permebilitas endotel yang menyebabkan kebocoran kapiler, meningkatkan
agregasi sel-sel darah yang menyebabkan terjadinya mikroemboli.
Pada jantung, juga berakibat langsung pada otot jantung sehingga menurunkan ejection
fraction bilik kiri (LVEJ) dilatasi bilik kiri (LVEDV naik) dan gangguan compliance
bilik jantung.
V. GAMBARAN KLINIS
1. Hyperdynamic/warm septic shock
Merupakan stadium permulaan, terlihat penderita hyperventilasi,
alkalosis respiratorik, CVP normal atau meningkat, hipotensi, tachycardia,
cardiac output meningkat, cardiac index meningkat, systemic vasculer resistance
rendah, vasodilatasi, oliguria, ekstremitas hangat, merah dan kering. Perbedaan
O2 di arteri dan vena sempit (A-V DO2) berarti up take O2 rendah, timbul
lacticacidemia ringan, (A-V) DO2 yang sempit dan up take O2 yang rendah,
kemungkinan karena bertambahnya A-V shunt perifer dan defect celluler, seperti
apa yang digambarkan Maclean (5).
Hasil pemeriksaan Lab pada fase ini belum banyak kelainan (1.5).
2. Hypodynamic/cold septic shock.
Merupakan stadium lanjut dari warm shock yang tak mendapat terapi
dengan adekwat atau merupakan stadium awal pada penderita sepsis yang telah
ada hipovolemia atau kelainan jantung sebelumnya.
Gambaran klinis mirip penderita hipovolemik yaitu hipotensi, tachycardia, CVP
rendah, cardiac output menurun, vasokonstriksi, systemic vascular resistance
meningkat, ekstrimitas dingin, basah, pucat dan cyanosis, urine menurun, kadar
asam laktat meningkat yang menyebabkan asidosis metabolik dan memperjelek
prognosa.
Kelainan hipovolemik ini disebabkan berpindahnya cairan dari intravaskuler ke
ekstravaskuler akibat kenaikan permebilitas kapiler (kebocoran kapiler).
VI. T E R A P I
b. Terapi suportif
Dasar terapi : V.I.P + P.S
1. V= Ventilate
Untuk mencegah hipoksemia dan hipoventilasi, dengan cara :
a. oksigen terapi :
- Nasal prong : aliran O2 2-4 1/m, bila ada hipoksemia ringan.
- Masker : aliran O2 4-6 1/m, bila ada hipoksemia sedang.
- Masker + kantong nafas : aliran O2 8-12 1/m, bila ada hipoksemia berat.
b. nafas buatan :
- bila ada hipoventilasi (paCo2 > 50 mmHg) atau gagal nafas (paCo2 < 50
mmHg, paCo2 > 50 mmHg).
c. fisio terapi nafas
- untuk mencegah atalektasis dan retensi sputum
d. monitoring :
- fisik
- foto paru/toraks
- gas darah
2. I = Infus
4. P = Pharmacologic
VIII. K E S I M P U L A N
1. Shock septik masih mempunyai angka mortalitas yang tinggi, oleh karena itu lebih
ditekankan pada segi pencegahan.
2. Patofisiologi shock septik sampai saat ini masih belum jelas seluruhnya.
I. PENDAHULUAN
Untuk fungsi yang normal dari semua enzim dan proses metabolisme sel-sel
tubuh diperlukan suasana asam basa yang baik. Milliue interiur tubuh sendiri tidak
begitu saja aman terhadap gangguan-gangguan dari luar. Gangguan pernafasan sedikit
saja sudah akan menyebabkan perubahan pH darah melalui reaksi CO 2 + H2O menjadi
H + HCO3.
Stabilitas pH adalah syarat mutlak untuk menjamin kehidupan dan survival. Mekanisme
pertahanan tubuh untuk menjaga pH dalam batas aman meliputi mekanisme
pengendalian pernafasan di paru, mekanisme pengendalian ion Hidrogen di ginjal
disamping mekanmisme Buffer. Perubahan asam basa dan gas darah adalah proses
biokimia yang mencerminkan perubahan di tingkat bioseluler. Data asam basa ini daoat
menjadi pertanda yang dini (early tracer)untuk mendeteksi perubahan-perubahan klinis
yang akan segera mengiringinnya. Kejadian tragis seperti cardiac arrest karena
gangguan elektrolit dan pernafasan dapat di ramalkan beberapa menit bahkan beberapa
jam sebelumnya bila dilakukan blood gas monitoring dengan baik. Makalah ini akan
NaOH Na- + OH
PENDAHULUAN
Sistem pernafasan adalah salah satu sistim tubuh yang pertama-tama harus
dinilai pada kegawatan yang mengancam jiwa. Bila pernafasan sampai berhenti maka
dengan cepat akan terjadi kerusakan sel-sel yang bisa berakibat fatal bila tidak cepat
diatasi. Dalam pertolongan penderita dengan kegawatan napas umumnya yang
dilakukan pertama-tama adalah pemberian oksigen dan atau bantuan napas buatan,
tergantung dari macam dan derajat gangguan napasnya. Pemberian napas buatan ini
dalam keadaan darurat dapat dilakukan tanpa alat (mouth to mouth) atau dengan
bantuan alat yang sederhana seperti Safar Airway, T-piece, Ambu bag maupun bag and
musk. Namun tentu saja dengan alat ini bantuan napas tidak dapat dilakukan dengan
baik dan terus menerus untuk jangka waktu yang lama. Untuk itu diperlukan suatu
ventilator atau respirator yang digerakkan tekanan gas atau tenaga listrik. Dengan
perkembangan yang pesat dalam ilmu kedokteran dan teknologi, maka napas buatan
saat ini dapat diberikan dalam jangka waktu yang praktis tak terbatas.
Dari pengalaman kami lebih kurang 10 tahun yang lalu dengan ventilator yang
sederhana dan sarana yang terbatas kami dapat memberikan pernapasan buatan pada
seorang anak kecil sampai hampir 2 tahun. Pada saat ini ventilator yang canggih yang
dikendalikan oleh suatu mikroprosesor sebagai otaknya, mempunyai ketepatan dan
kemampuan yang jauh lebih baik dari ventilator terdahulu. Dengan kemampuan tersebut
diharapkan akan didapatkan hasil yang lebih baik, yaitu penderita lebih dapat
diselamatkan dengan lebih mudah.
Dalam kenyataan tidaklah selalu terjadi seperti apa yang dibayangkan. Memberi
pernapasan buatan dengan ventilator, terutama pada anak kecil, tidaklah segera selesai
masalahnya setelah penderita diintubasi dan ventilator disambung.
Masalah-masalah justru timbul setelah dan akibat pemasangan ventilator
tersebut, yang bila diabaikan akan dapat menyebabkan penyulit lain yang dapat
membawa kematian. Jadi sesungguhnya pernapasan buatan adalah suatu obat juga
Dalam menilai fungsi pernapasan pada anak adalah sulit untuk melakukan
pengukuran parameter-parameter volume paru karena kecilnya paru anak. Dengan
demikian kita sangat menguntungkan pada penilaian tanda-tanda klinis dan pemeriksaan
yang berulang-ulang untuk mengetahui kemajuan dan kemunduran fungsi
pernapasannya.
Tanda-tanda klinis dari pernapasan akut adalah :
1. Tachypnea dan tachycardiac
2. Retraksi
3. Pernapasan cuping hidung
4. Grunting
5. Apneic spell (20 menit)
Tanda-tanda lain yang tidak reliable adalah :
1. Pola napas , bagi prematur sering pola napasnya tidak teratur.
2. Warna, pada neonatus sering terdapat sianosis perifer dalam hal ini warna dinding
mukosa lebih penting dari warna kuku.
3. Suara napas, sukar dinilai bila terdapat grunting dan retraksi intercostal
Pemeriksaan gas darah dengan fungsi arteri untuk menegakkan diagnose gagal napas
yang ada pada orang dewasa dapat dengan mudah dilakukan, pada neonatus sulit
dikerjakan, selain itu dapat pula menyebabkan trombosit.
Beberapa penyebab kegagalan napas akut pada neonatus dan bayi antara lan :
1. IRDS (Infant Respiratir Distress Syndrome, Hyaline membran disese)
2. Penyakit jantung kongenital
3. Pneumonia
4. Pneumonia aspirasi meconium
5. Hernia diamagfratika
6. Omphalocele
7. TEF
8. Gangguan CNS : - perdarahan ; kenaikan TIK
9. Depresi obat-obatan : - sedasi ibu ; keracunan
10. Trauma
Pernapasan buatan pada neonatus dan anak kecil dilakukan bila setelah diberikan
terapi oksigen sampai dengan FIO2 1.0 tanda-tanda klinis dan gas darah tidak
menunjukkan perbaikan.
Tujuan dari pemberian napas buatan ini adalah untuk menurunkan kerja napas dan kerja
jantung akibat respon simpatis terhadap hipoventilasi sehingga balance antara oksigen
supply (meningkat) dan oksigen demand (menjadi turun) menjadi seimbang sampai
gagguan parunya sendiri menyembuh.
Intubasi Endotracheal.
Respirator.
Ada beberapa macam tipe respirator yang biasa dipakai. Pada dasarnya
respirator consnsional yang bisa dipakai untuk anak harus memenuhi persyaratan-
persyaratan antara lain :
1. Volume controlled respirator
2. Mode assist/control (S) IMV, CPAP, PSV
3. Respirator rate dapat mencapai 60 x/menit atau lebih
4. I : E ratio bisa diukur
5. Gas flow rate sampai 25 LPM
6. PEEP bisa diatur
7. FIO2 dapat diatur dengan tepat
8. Sistem alaram untuk volume, tekanan, kadar oksigen, apnea
9. Heated humidifer dengan temperatur probe dan alaram
2. Assistet Ventulution
Dalam mode ini setiap usaha napas buatan penderita akan menyebabkan
ventilator memompa saru siklus napas. Jika penderita dapat mengatur sendiri
ventilasinya sesuai dengan kebutuhannya. Pada cara ini maka control mode bekerja
sebagai back up. Bila usaha penderita berkurang maka ventilstor mengambil alih fungsi
napasnya dengan memompa sejumlah volume sesuai dengan yang diatur.
MONITORING
Pemantauan pada pernapasan buatan meliputi :
1. Expansi dada
2. Suara napas
3. Warna kuku, bibir
4. Status nuerologis
5. Tensi, nadi, suhu dan perfusi perifer
6. EKG
7. gas darah
8. Parameter-parameter ventilasi
9. Balance cairan
10. CVP
11.Alaram ventilator
PENUTUP
Pemberian bantuan dan perawatan napas pada bayi dan anak kecil memerlukan
penanganan dan pemantauan yang teliti dan ketat karena adanya perbedaan anatomi dan
fisiologinya. Dengan kemajuan yang pesat didalam bidang teknologi dan ilmu
kedokteran diharapkan penderita yang tertolong dapat lebih meningkat dengan penyulit
yang lebih sedikit.
Namun juga disadari bahwa kali ini harus ditebus dengan biaya yang tinggi yang mesti
dikeluarkan.
Penanganan oleh tim yang multidisipliner dengan dedikasi yang tinggi akan
memberikan hasil yang optimal.
PENDAHULUAN
Terapi oksigen dan fisio terapi napas merupakan paket terapi yang umum
diberikan pada penderita-penderita kritis di unit perawatan intensif. Pengetahuan dasar
tentang patofisiologis tubuh akan menentukan indikasi, dosis dan cara pemberiannya,
sehingga menghindari terjadinya efek samping yang merugikan.
TERAPI OKSIGEN.
Cara Pemberian :
Secara umum 2 cara pemberian adalah :
- Closed system
Sistem tertutup terhadap udara luar. Kadar oksigen inhalasi dapat mendekati 100% tapi
kerugiannya antara lain kemungkinan keracunan oksigen dan barotrauma.
- Open System
Terdapat kemungkinan tercampurnya aliran oksigen dengan udara luar.
Low Flow adalah besarnya aaliran oksigen/menit lebih kecil dari flow inspiratory rate
sehingga udara sekitar ikut terhisap. Kerugiannya perubahan flow inspiratory rate
menyebabkan perubahan kadar oksigen yang dihisap.
Sistem ini yang umum dipakai dengan memakai alat :
- nasal catheter
- nasal pronge
- mask/sungkup
- mask/sungkup + reservoir
Penggunaan mask/sungkup disesuaikan dengan masing-masing pemakai agar tidak
terjadi re breating.
Efek samping :
Beberapa efek samping yang bisa timbul adalah pada pemberian terapi oksigen
adalah sebagai berikut :
HUMIDFIKASI
Pemberian terapi oksigen harus melewati proses humadifikasi. Terdapat 2 jenis
humidifikasi yaitu :
- Humidifer dingin :
Hanya menambah sedikit uap air pada udara pernapasan.
Misalnya cara bubble through yang dipakai untukmenambahkan uap air pada
terapi O2 untuk penderita-penderita yang bernapas spontan, lewat jalan
napas normal.
- Humidifer panas :
Dengan pemanasan didapatkan uap air yang lebih jenuh dan dapat mencapai
100% RH.
Pada respirator, humidifer merupakan suatu kelengkapan yang essensial dan
umumnya mempunyai pengatur suhu.
TERAPI AEROSOL
Aerosol adalah partikel-partikel air yang sangat kecil dengan diameter sekitar 1-
10 mikron. Menurut pembentuk aerosolnya, terdapat beberapa jenis Nebulizer antara
lain Jet Nebulizer, Ultrasonic Nebulizer.
2. Perkusi
Tujuannya untuk melepaskan gumpalan sputum yang melekat pada dinding
bronchus dan bronchiole.
Caranya dengan cupped shapes hands melakukan clapping pada daerah paru yang
diduga ada penumpukan sekret.
Clapping yang benar menimbulkan bunyi redam, tanpa rasa nyeri. Prinsipnya :
- hindari bejolan tulang, mammae
- jangan dilakukan diatas daerah hematoma, fraktur.
3. Vibrilasi
Tujuannya untuk membantu mengalirkan sputum kearah bron chus utama. Caranya,
menekan dengan hati-hati dinding torax dan melakukan getaran-getaran ritmis
dengan cepat.
Tuntunan melakukan napas dalam dan batuk yang benar (sejauh otot-otot pernapasan
dan abdomen masih berfungsi).
- Penderita diperintahkan menarik napas dalam, semetnara kedua tepalak
tangan penolong diletakkan diatas dinding dengan thorax dengan sedikit
tekanan.
- Penderita diperintahkan menarik napas dalam, sementara kedua telapak
tangan penolong diletakkan dibawah arcus coste/dinding depan atas
abdomen, dengan sedikit tekanan.
- Pada kedua tindakan menarik napas dalam tersebut penderita harus dapat
mengatasi tekanan dari telapak tangan penolong, dengan demikian penderita
terlatih untuk membesarkan rongga thorax kearah depan, samping dan
kebawah/menurunkan diagprama.
- Penderita diperintahkan menarik napas dalam dan menahan selama 3
hitungan (sustained maximal inspiration) dengan demikian distribusi udara
pernapasan akan merata keseluruh paru.
- Setelah hitungan tiga penderita membantukkan sekuat-kuatnya dengan
memakai kekuatan otot-otot dinding depan abdomen. Bantuan penolong
dapat diberikan dengan cara menekan dinding atas depan abdomen pada
waktu akhir inspirasi.
IPPB
Napas bantuan dengan tekanan positive secara manual diberikan selama fisio
terapi napas dan dilanjutkan dengan pengisapan sekret. Tujuan pemberian IPPB
adalah agar terjadi distribusi hawa inspirasi merata sampai kebagian perifer
paru, membuka bagian-bagian yang kolaps dan merangsang timbulnya batuk.
CPAP
Selain sebagai suatu alternatif yang dapat dicoba sebelum dilakukan intubasi
endotracheal, pemberian CPAP pada penderita dengan napas spotan dapat
PENGISIPAN SEKRET
Hendaknya dilakukan menujrut cara-cara aseptik langsung berhubungan dengan
jalan napas bawah.
Bambang Wahjuprajitno
Lab/UPF Anestesiologi FK Unair/RSUD Dr. Soetomo
Surabaya
Bila didapatkan pO > 100 mmHg maka FIO, diturunkan sampai didapatkan pO2
sesuai target.
Pada dasarnya bila mungkin dipilih FIO, serendah mungkin ( < 0.5 ) asal
targetnya tercapai bila perlu dengan memberikan PEEP.
Sebagai pegangan kasar bila pada FIO = 1.0 didapatkan pO2 > 200 mmHg maka
FIO dapat diturunkan menjadi 0.5.
c. Gas darah sendiri diukur tiap kali, 20 – 30 menit setelah melakukan perubahan
setting ventilator atau bila ada perubahan status ventilasi.
Setiap kali pengukuran gas darah harus dicatat parameter ventilator (termasuk
FIO2) pada waktu pengambilan gas darah.
P E N Y A P I H A N (WEANING)
1. Kapasitas vital 10 -15 ml/kgBB (ini setara dengan 2 x Tidal Volume), untuk
menjamin kemampuan batuk yang cukup.
1. Keadaan penderita sudah stabil selama 12 -24 jam, biasanya tanpa obat inotropik atau
vasopressor, kecuali dopamin dosis rendah (2-3 meg/kgBB/menit), atau dobutamin
dosis rendah.
6. Bila penyapihan memerlukan waktu lama, maka penderita dihubungkan lagi dengan
ventilator pada waktu malam hari.
Prosedur Penyapihan
TINDAKAN PENUNJANG
1. Penderita yang mendapat ventilasi mekanis harus ditunjang dengan nutrisi
mekanis harus ditunjang dengan nutrisi yang cukup. Bila tidak ada gangguan
pasase usus penderita dapat diberi makanan melalui nasogastric tube ukuran 12
atau 14. penderita dengan tracheostomi setelah beberapa waktu dapat dilatih
untuk minum dengan menggunakan sendok atau sedotan.
Bila ada gangguan pasase usus dapat diberikan nutrisi parenteral melalui kateter
vena sentral (Jugularis interna atau Subelavia, jangan yang Basilica).
2. Higiene penderita selalu harus diperhatikan, meliputi higiene oral, keramas,
membedaki daerah-daerah yang lembab, ganti posisi tidur, perawatan kateter,
perawatan exreta dan lain sebagainya. Ini semua dilakukan secara berkala.
3. Tindakan aseptik secara fanatik harus diterapkan dalma perawatan penderita.
Dinegara-negara maju angka kejadian pneumonia nosokomial di UPI mencapai
angka 15%. Penderita yang mendapat ventilasi mekanis mungkin memelrukan
Selective Decontamination saluran cernanya untuk mengurangin kemungkinan
terkena penumonia nosokonial.
4. Pembinaan mental (psikoterapi) perlu dilakukan terhadap penderita. Penderita
yang dirawat di UPI sering menderita psikosis karena putusnya hubungan
dengan manusia dan dunia sekitarnya (deprivasi mental) Penderita harus
diperlakukan secara manusiawi, diajak berbicara dan diberi doorongan untuk
ingin sembuh. Penderita yang memppunyai motivasi tinggi akan lebih cepat
sembuh.
PUTUP
Perawatan penderita dengan ventilasi mekanis di Unit Perawatan Intensip
memerlukan kerja sama antara dokter dan perawat sebagia suatu team dengan motivasi,
dedikasi, ketelitian dan ketekunan yang tinggi yang bekerja penuh tanpa terputus.
PENDAHULUAN
ARITMIA (DYSRYTHMIA)
Irama jantung yang normal adalah irama sinyal yang diatur oleh SA node,
dengan kecepatan yang teratur dengan 60 -100 kali permenit. Dengan demikian
ARITMIA ADALAH GANGGUAN IRAMA DAN KECEPATAN DENYUT PER
MENIT. Aritmia dapat terjadi baik karena adanya kelainan pada jantung ataupun
PENGGOLONGAN ARITMIA
Aritmia dibagi dalam 2 kelompok yaitu SUPRAVENTRIKULER DAN
VENTRIKULER, sedangkan aritmia supraventrikuler dibagi lagi menjadi ATRIAL dan
JUNCTIONAL (NODAL). Pembagian tersebut diatas didasarkan darimana asal
kelainan tsb. Selain itu adapula yang didasarkan pada gangguan hantaran (Conduction).
SINUS BRADIKARDI
Denyut jantung kurang dari 60 kali/menit, iramanya teratur. Dapat terjadi baik
pada jantung yang normal atau pada jantung yang sakit, misalnya : olahragawan, nyeri
hebat, AMI atau akibat pemberian obat digitalis, verapamil dll. Pada penderita penyakit
jantung adanya Sinus Bradikardi dapat mengakibatkan penurunan Cardiac out-put, bila
tidak diatasi dapat mengakibatkan payah jantung atau aritmia ventrikuler.
SINUS TACHYKARDI
Denyut jantung antara 100 -180 kali/menit, iramanya teratur, biasanya terjadi
pada penderita Febris, anemia, hipoksia, basedow atau karena pemberian obat, misalnya
Sulfas Atropin, Andrenalin.
ATRIAL FLUTTER
Irama ektopik atrium dengan kecepatan antara 250-350 kali/menit, pada
mulanya denyut ventrikel lebih kurang setengahnya, konfigurasi QRS komplek seperti
normal, pada EKG gambaran Atrial flutter seperti “gigi gergaji”. Sering terjadi pada
ATRIAL FIBRILLASI
Impuls yang terjadi sangat tinggi sekitar 400-600 kali/menit, respon ventrikel
dapat lambat atau cepat, serta tidak teratur. Biasanya terdapat pada penderita dengan
kelainan jantung, yang mengakibatkan penurunan cardiac output, baik disebabkan
karena tidak efektifnya kontraksi Atrium ataupun kurangnya waktu pengisian ventrikel.
VENTRIKULER TAKHYCARDI.
Kecepatan impuls yang berasal dari ventrikel berkisar antara 100-220 kali/menit,
gambaran QRS kompleks seperti halnya pada PVC 20% - 30% merupakan komplikasi
dari AMI atau keracunan Digitalis.Aritmia ini menyebabkan penurunan cardiac output.
VENTRIKULER FIBRILLASI.
Kontraksi yang cepat, tidak teratur dan tidak effektif pada ventrikel, sehingga
fungsi jantung sebagai pompa tidak ada, yang secara klinis kita tidak dapat meraba
denyut nadi, dikatakan penderita mengalami CARDIAC ARREST. Pada keadaan
tersebut harus segera dilakukan Resusitasi Kardio-pulmoner.
TOTAL AV BLOCK
Semua impuls dari SA node tidak dihantarkan melalui AV junction, sehingga
kontraksi lebih lambat dibandingkan kontraksi atrium rata-rata 30-45 kali/menit,
konfigurasi QRS kompleks bisa normal atau melebar, sedangkan gelombang P normal
dan teratur. Beberapa penyebab terjadinya Total AV Block adalah : terjadi degenerasi
sistem konduksi karena usia yang tua, AMI. Keracunan Digitalis, Bedah Jantung dan
Myocarditis. Seringkali untuk pengobatannya diperlukan Pace-Maker.
P EN G O B A T A N
Precordial thumping.
Bukti-bukti klinik mengemukakan bahwa precordial thumping dapat mengubah
Ventrikel takhikardi/Ventrikel Fibrillasi menjadi irama sinus, konversi ini tidak terjadi
bila dilakukan pada jenis aritmia yang lain. Pada Bradikardi yang berat atau pada
asistole heart block, precordial thumping berulang yang dilakukan segera setelah
terjadinya sinkope, sering kali dapat merangsang terjadinya kontraksi jantung yang
normal, seolah-olah berfungsi sebagai pace-maker (first pacing). Kapan dilakukan
Precordial thumping ?
1. Witnessed cardiac arrest, tanpa monitor EKG, DC shock belum siap
2. Witnessed cardiac arrest, pada monitor EKG tampak gambaran VF atau VT.
TEKNIK. Penolong jongkok disamping penderita dilakukan pukulan dengan sisi lunak
telapak tangan, setinggi 20 -30 cm, pada pertengahan tulang dada. Bila tidak berhasil
segera dilakukan RKP.
DC SHOCK
Memberi kejutan listrik pada jantung dengan tujuan untuk konversi ke irama sinus atau
untuk memperbaiki hemodinamik. Dilakukan pada : VT/VF/Supraventikuler tachycardi.
TEHNIK :
1. Alat DC Shock dihidupkan, tentukan besarnya daya yang akan digunakan 3
Joule/kg BB pada dewasa atau 2 Joule/kg BB pada anak-anak.
RINGKASAN
1. Pada penderita yang gawat, sebaiknya dirawat di ICU yang dilengkapi
dengan EKG monitor.
2. Untuk menangkap adanya aritmia monitoring EKG atau rekaman pada Lead
II.
3. Perawat harus dibekali kemampuan membaca EKG, khususnya gambaran
EKG yang mengancam jiwa.
4. Sebelum penggunaan obat anti aritmia, maka faktor-faktor pencetus diluar
jantung harus dikoreksi lebih dahulu.
5. Harus tersedia obat anti aritmia yang lengkap, yang sewaktu-waktu dapat
digunakan.
6. Kemampuan penanganan aritmia, harus disertai pula kemampuan untuk
melakukan Resusitasi Kardio-pulmoner.
7. Perawat yang bekerja di ICU harus mempunyai kemampuan untuk
meramalkan kemungkinan terjadinya aritmia yang berbahaya, berdasarkan
pemeriksaan atau gejala-2 yang ada.
PENDAHULUAN
Pada permulaanya terapi nyeri terutama bertujuan mengatasi penderitaan. Kemudian
diketahui bahwa nyeri selain menyebabkan perasaan yang tidak menyenangkan juga
mempunyai akibat yang merugikan pada sistem tubuh yang lain. Pengaruh pada sistem
tubuh lain misalnya pada respirasi, sirkulasi, sistem otonom, endoktrin dapat
memperburuk penyakit primer dan memperlambat proses penyembuhan.
Transduksi
Rangsangan harus diubah menjadi impuls listrik. Transduksi adalah perubahan stimulus
noksius menjadi arus elektrobiokimia (impuls nyeri) yang diteruskan lewat serabut
syaraf ke susunan syaraf pusat.
Transmisi
Proses penerusan impuls nyeri melalui jaringan sistem syaraf.
Modulasi
Modulasi adalah pengendalian transmisi impuls nyeri, dapat bermula dari perifer
maupun sentral.
Modulasi perifer adalah hambatan transmisi nyeri presinaps oleh rangsangan pada
serabut syaraf besar.
Diduga rangsangan pada serabut syaraf dengan diameter besar akan menyebabkan
pengeluaran neurotransmiter GABA oleh neuron kornu dorsalis. GABA berperan dalam
proses hambatan tersebut (Bonica 1991).
Kontrol kortikal (sentral) terjadi melalui penerusan sinyal dari otak ke reseptor korda
spinalis yang berperan dalam hambatan transmisi impuls. Disini biogenik amine
(monoamine) serotonin, norepinefrin dan peptida opioid enkefalin bertindak sebagai
neorotrasmiter.
Kontrol kortikal diaktifkan oleh pengeluaran opioid endogen antara lain beta endorfin,
enkefalin, dynorfin dari beberapa lokasi tertentu di otak.
Persepsi
Merupakan hasil integrasi antara impuls yang masuk dari perifer dengan pusat kognisi
dan emosi di otak yang menentukan bagaimana nyeri yang dirasakan secara individual.
Informasi kognitif berdasarkan intelengensia, nilai sosial budaya, kepribadian dan
pengaruh psikis situasional sangat mempengaruhi persepsi seseorang.
Transduksi
Pada dasarnya mekanisme pengelolaan nyeri pada tahap ini adalah menghambat proses
biokimiawi – reaksi inflami jaringan.
Trauma jaringan menyebabkan reaksi inflamasi. Reaksi inflamasi menyebabkan
timbulnya impuls nyeri pada ujung syaraf / reseptor nyeri perifer. NSAID menghambat
sintesa prostaglandin sehingga menekan proses inflamasi.
Oleh karena itu pada mulanya NSAID terutama dipakai untuki nyeri khrinik karena
penyakit inflamasi.
Kemudian diketahui bahwa NSAID selain mempunyai efek analgesia yang bekerja
perifer, juga bekerja sentral pada korda spinalis maupun sistim supra spinal.
Oleh karena itu pemilihan jenis NSAID untuk masing keadaan tergantung titik erat
tujuan terapi mengatasi reaksi inflamasi atau meningkatkan analgesia sentral.
TRANSMISI
Penerusan imppuls nyeri lewat serabut syaraf dihambat oleh obat-obatan analgesi lokal.
Efelk Na channel blocking obat anaestesi lokal penghambat konduksi impuls pada
reseptor perifer (infiltrasi lokal) serabut syaraf perifer, serabut dari korda spinalis dan
gangglion otonom (anestesi regional) (Jong 1996).
Pemutusan syaraf yang permanen umumnya dilakukan sebagia upaya paliatif dengan
cara pembedahan, kimiawi (alkohol) maupun termal (hipotermi, cryoanalgesia).
Pengelolaan pada tahap ini membutuhkan ketrampilan khusus dan dilakukan di rumah
sakit.
Modulasi
Pemberian opioid eksogen sistemik akan menyebabkan ikatan dengan reseptor opioid di
otak. Sinyal kemudian diteruskan ke distal mengaktifkan sistem hambatan pada tingkat
korda spinalis, dengan peningkatan pelepasan neurotransmiter monoaminergik yaitu
serottonindan nor epinefrin. Terjadi hambatan persinaps pada transmisi impuls dari
perifer sebelum mencapai otak (Guyton 1991).
Demikian pula dengan diketahui adanya reseptor opioid di korda spinalis pemberian
opioid epidural maupun subarachoid merupakan alternatif lain untuk menghambat
transmisi nyeri (Cousin 1988, No ren 1994).
Akhir-akhir ini pemberian aplha 2 agonist pada korda spinalis dibuktikan bermanfaat
dalam meningkatkan mekanisme hambatan ini. (Ferrante 1994).
PERSEPSI
Faktor psikis yaitu aspek kognisi dan emosi mempengaruhi persepsi nyeri. Hal ini lebih
nyata pada nyeri khronik.
Kontribusi dari faktor psikologis pada nyeri akut umumnya ditujukan pada mengatasi
kecemasan edan agitasi.
PENUTUP
Pemilihan cara yang tepat dan efektif untuk pengelolaan nyeri harus didasari
pengetahuan tentang patogenesis nyeri sesuai dengan penyakit dasar/patologi yang
menyebabkan timbulnya nyeri tersebut.
Eddy Rahardjo
Lab Anestesiologi & Terapi Intensif
FK. Univ. Airlangga RSUD Dr. Soetomo
Surabaya
1. PENDAHULUAN
Dalam keadaan sehat, nutrisi disadari sebagia sendi ;pokok kehidupan. Tetapi
pada waktu waktu sakit, kebutuhan pokok ini bergeser ke obat. Nutrisi sebagai
kebutuhan pokok dilupakan.
Malnutrisi selama perawatan di rumah sakit sebenarnya terjadi lebih sering dari
yang disadari. Sisa porsi makanan yang kembali dari penderita dapat mencapai 50%
atau lebih. Hal ini masih ditambah kemungkinan salah diet karena variasi kandungan
gizi dalam bahan makanan. Bagi penderita yang tinggal hanya beberapa hari untuk
bedah herniotomi, masalah ini tidak berarti. Namun bagi penderita dengan pembedahan
kanker radikal, dengan masa persiapan yang panjang, berkali-kali puasa untuk test
diagnosis, masalah nutrisi ini menjadikan beda hidup dan mati. Bagi penderita infeksi
berat/spesis atau trauma ganda yang luas.
Kekurangan nutrisi dapat menjadi penyebab kematian.
Puasa lebih dari 24 jam menghabiskan cadangan glokogen dihati dan diotot.
Tanpa bantuan nutrisi nini, tubuh memenuhi kebutuhan enersi basal 25 kcal/kg per hari.
Jika cadangan habis, kebutuhan glukose selanjutnya dipenuhi melalui proses
glukoneogenesis, antara lain dengan lipolisis dan proteolisis 125 – 150 gram/hari
(4,5,13,16,19).
Penderita trauma dan spesis bahkan mengalami rangkaian perubahan hormonal
yang menambah laju katabolisme.
Proteilisis sangat menganggu bahkan menghambat sintesa visceral protein yang
half-life-nya pendek. Enzym, immunoglobin dan albumin. Hal ini menyebabkan daya
tahan teradap infeksi menurun, mudah terjadi edema dan hambatan penyembuhan luka.
Pada akhirnya fungsi tubuh secara umum merosot dengan cepat. Pemberian nutrisi
memang tidak menghemtikan katablosme tetapi mengurangi laju dampak negatif akibat
katabolisme.
TEPAT PENDERITA :
NPE di-indikasi-kan sebagai “jalur substitusi” bagi setiap penderita dengan saluran
digesif yang tidak dapat menerima dan mencerna makanan. Sedang NPE sebagai “jalur
supplement” di-indikasikan bagi kasus luka bakar yang luas, contusio cerebri, trauma
ganda dan sepsis dimana peningkatan kebutuhan energi dan nutrient sangat tinggi
dimana usus tidak dapat menampung volume makanan yang dibutuhkan untuk
mengatasi kaltabolisme.
SUMBER KALORI
Sumber kalori yang utama dan harus ada adalah Dextrose. Otak dan erotrosit
mutlak memerluakn dextrose/glukose ini setiap saat. Jika tak tersedia, tubuh melakukan
glikoneogenesis dari substrat lain.
Pada periode 1960-1970 hampir semua sarjana berpendapat bahwa diperlukan
kalori setinggi 40-60 kcal/kg dan protein 2-3 gm per kg tiap hari. Beban langsung
intravena sebesar 0.5 kg gula (40 kcal x 50 kgBB = 2000 kcal) tentu merupakan strees
berat bagi tubuh dan menimbulkan masalah hiperosmolar, hiperglikemia, gangguan
elektrolit, diuresis osmotik bahkan kematian.
Penelitian baru dengan calorymetri dan metabolik computers mendapatkan data
yang lebih teliti tentang kebutuhan kalori yang sebenarnya, yang ternyata jauh lebih
rendah daripada anggapan-anggapan terdahulu.
Quebbeman dkk (1982) menemukan bahwa pada penderita yang mengalami
stress dan katabolisme berat, resting energy expenditure berkisar 1000 kcal/m2/hari. Ini
setara dengan 1700 kcal pada penderita 70 kg dengan luas tubuh 1.73 m2 atau kira-kira
25 kcal/kg/hari.
Kinney menyarankan pemberian 40% diatas basal energy expenditure. Sumber kalori
lain seperti kombinasi Fruktose-Glukosee atau emuli lemak dapat dipertimbangkan
Tommy Sunartomo
Lab-UPF. Anestesiologi
FK. Unair-RSUD Dr. Soetomo
Surabaya
PENDAHULUAN
Sepsis merupakan respons sistemik terhadap infeksi yang ditandai dengan
demam atau atau hipotermi perubahan mental (psikosis) dan tampak toksik. Penyebab
Penderita.
Apakah penderita sudah tepat ?
Penderita sepsis mengalami proses katabolisme yang hebat, laju metabolisme yang
meningkat, bila tidak disertai dengan pemberian nutrisi yang adekwat maka akan terjadi
Tepat waktu
Kapan nutrisi parenteral dimulai dan kapan distop ?
Pada umumnya nutrisi parenteral mulai diberikan bila keadaan hemodinamik telah
stabil.
Pada penderita post trauma atau sepsis nutrisi parenteral belum dapat dimulai pada fase
ebb, karena pada fase ini merupakan fase resusitasi untuk stabilisasi hemodinamik
masih ada aktivitas simpatik yang tinggi, dan laju metabolik yang rendah.
Nutrisi parenteral segera diberikan setelah berada pada fase flow. Keterlambatan
pemberian nutrisi dapat menyebabkan penderita kembali normal, yang bila disertai
gagal organ yang multiple untuk mencapai kesembuhan akan semakin sulit.
Pemberian nutrisi parenteral pada umumnya dimulai dengan dosis paling rendah
kemudian ditingkatkan secara bertahap dan diakihri dengan bertahap pula selanjutnya
stop bila nutrisi enternal telah adekwat.
Waspada terhadap penyulit
Penyulit yang sering timbul :
penyulit dari kateter : infeksi; bakterimia harus diperlakukan secara aseptis.
Bila ada tanda-tanda infeksi segera dicabut dan diganti.
Penyulit dari substrat nutrisi
Hiperglikemia
Hipoglikemia
Koma
Diuresis osmotik
Hiperkapnea
Distress napas
Emboli lemak
RINGKASAN
Rauma (injury) atau sepsis menyebabkan perubahan metabolisme energi
(karbohidrat, lemak) dan protein diseluruh tubuh. Perubahan ini terjadi 2 fase
pasang dan surut :
Fase ebb, terjadi setelah injury dengan gejala mobilisasi cadangan energi, tetapi
tanpa kenaikkan laju metabolik.
Fase flow terjadi setelah fase ebb diatasi, dengan gejala hipermetabolisme dan
hiperkatabolisme.
Nutrisi parenteral pada penderita sepsis diberikan pada fase flow.
Kebutuhan kalori dan protein disesuaikan dengan kondisi penderita, respons
metabolik dan harmonalnya.
PENDAHULUAN
Meluasnya pemakaian Nutrisi Parenteral (NPE) harus diikuti pula dengan
dikembangkannya suatu protokol standar yang berkaitan dengan penerapannya, maupun
peningkatan pengetahuan mengenai substrat yang dipakai. Protokol standart ini antara
lain mengenai tehnik pemasangan kateter intervena, cara pemberian infus dan
perawatannya maupun cara-cara pemantauan. Diharapkan adanya protokol standart
dapat mengurangi kemungkinan terjadinya komplikasi dan memanfaatkan pemberian
NPE sebaik-baiknya.
Tujuan pemantauan pada penderita-penderita dengan NPE pada dasarnya
mempunyai 2 tujuan yaitu :
STATUS NUTRISI
Sebelum NPE diberikan, diperlukan suatu data dasar Keadaan umum penderita
maupun data tentang status nutrisi penderita.
Status nutrisi ditetapkan berasarkan beberapa parameter antara lain :
Data objektif
data subjektif dan status nutrisi ini akan berperan dalam menyusun rencana pemberian
NPE misalnya :
- saat pemberian (pada penderita dengan nutrisi berat, NPE dimulai sebelum
pembedahan elektif).
- Pola pemberian (pada penderita malnutrisi pemberian kalori harus dinaikkan
secara bertahap untuk menghindari “refeeding edema”).
- Perlunya penambahan khusus vitamin tertentu (pada penderita dengan
inflamatory bowel disease dapat diperkirakan ada defisiensi vitamin B).
Kebutuhan protein
Ditentukan berdasarkan standart kebutuhan sesuai kondisi atau stress penderita,
atau dengan mengikuti perhitungan kehilangan Nitrogen. Kesulitan memperkirakan
kebutuhan ini terjadi bila ada kehilangan protein dari sumber yang tidak dapat dihitung
misalnya dari luka atau proses inflamasi.
Pengukuran Anthropetik
Pada dasarnya bertujuan mengukur tebalnya jaringan lemak subkutan dan
jaringan otot.
Yang termasuk disini adalah pengukuran skin fold thickness (jaringan lemak subkutan
merupakan 50% dari cadangan lemak tubuh) dan creatin heigt index.
Kenaikan berat badan sebanyak 25% hanya menyebabkan pertambahan 5% dan
perubahan-perubahan ini baru berarti bila pemantauan dilakukan dalam waktu lebih
dalam 1 bulan. Hal ini dapat menyebabkan pengukuran tidak praktis sebagai indikator
pemantauaan efek nutrisi.
Plasma Protein
Kadar plasma protein dalam darah sebenarnya merefleksikan banyak faktor
selain nutrisi. Karena kadarnya dalam darah tergantung dari proses sintesa(sumber
precusoy yang adekwat, kemampuan hati)distribusi dan kecepatan katabolisme. Tetapi
kurangnya asupan protein menyebabkan penurunan sintesa plasma protein dan
menyebabkan penurunan plasma protein dalam waktu yang singkat, sehingga
bermanfaat dalam penilaian efek nutrisi.
Plasma protein yang umumnya dipakai sebagai “nutrisi maker” adalah albumin,
transferin dan pre albumin.
Tetapi albumin dapat dikatakan sebagai prediktor yang dapat diandalkan oleh karena
merupakan protein utama yang disintesa oleh hati.
Kekurangannya adalah albumin mempunyai half life yang cukup panjang yaitu 18 hari,
sehingga dapat saja kadarnya dalam darah masih belum berubah walaupun status
nutrisinya memburuk.
Perlu juga diperhatikan bahwa pada keadaan tertentu seperti pada trauma (termasuk
pembedahan terencana), sepsis dan penyakit berat lainnya, dapat terjadi penurunan
kadar albumin.
Tranferin mempunyai waktu paruh yang lebih pendek, tetapi kadarnya juga dipengaruhi
oleh berbagai faktor lain yang terkait dalam proses sintesa dan degradasinya.
Fungsi Imunologi
Umumnya yang dipakai sebagai parameter adalah “Total Lympocyte count” dan
“Delayed cutaneus hypersensitive”.
Banyak faktor non nutrisi yang mempengaruhi nilai kedua pemeriksaan tersebut
sehingga tidak dianjurkan sebagai pemeriksaan rutine.
PENUTUP
Salah satu konsekwensi pemberian NPE, adalah melaksanakan pemantauan.
Pemantauan NPE dalam jangka pendek dengan sarana terbatas dapat dilakukan dengan
pemerikasaan klinis dan laboratorium rutine.
Serum albumin memberikan gambaran tentang status nutrisi dan pemerikasaanya secara
berkala dapat dipakai sebagai indikator efek nutrisi.
Bilamana mungkin dilakukan pemeriksaan imbangan nitrogen berdasarkan jumlah urea
urine (UUN).
Pemantauan komplikasi karena vena sentral dimulai dengan pemantauan cara
pemasangan kateter yang benar dan perawatan infus dengan sistem tertutup dan aseptis.
Komplikasi metabolik terutama berkaitan metabolisme glukosa dan gangguan
PENDAHULUAN
Esensi dari tunjangan nutrisi adalah memberikan nutrisi yang adekwat untuk
mencegah terjadinya katabolisme dan memperbaiki kerusakan jaringan. Konsep
memasukkan makanan ke saluran pencernaan bukan lewat mulut, telah diketahui bangsa
Yunani dan mesir berabad-abad sebelum masehi yaitu dengan memberikan rectal
enema. Rectal feeding bahkan masih dipergunakan sampai akhir perang dunia ke II,
sebelum permulaan abad ke-20 diperkenalkan cara-cara yang lebih efektif dengan
gastric dan duodenal tube feeding.
Berbagai penelitian ilmiah kemudian membvuktikan efektifitas enternal feeding
sebagai penunjang nutrisi. Pemakaian nutrisi parenteral yang dipopulerkan
meningkatkan survival maupun mempercepat proses penyembuhan penderita.
Adanya nutrient dalam lumen usus menyebabkan meningkatnya sel mukosa
yang diikuti oleh pertumbuhan sel baru. Hal ini akan mempertahankan tingginya vili,
massa sel dan aktifitas enzim brush border dengan demikian fungsi pencernaan dan
absorpsi berjalan baik.
Enteral nitrisi mempertahankan produksi secretory IgA dan menekan respon
hipermetabolik dengan mengurangi stimulasi neuroendoktrin. Atopi mukosa akan
Disease spesific :
Formula disesuaikan dengan kondisi klinik atau penyakit penderita.
Modular diet :
Paket khusus yang mengandung nutrient tertentu, sehingga dapat diberikan
secara terpisah sesuai kebutuhan.
TEKNIK PEMBERIAN
Beberapa alternatif masuknya feeding tube ke saluran pencernaan adalah sebagai
berikut :
PENDAHULUAN
Secara konseptual, nutrisi belum disadari seabgai pemeran penting dalam kesembuhan
pasien. Perhatian dan upaya pemberian nutrisi dianggap rutinitas, taken for granted,
dokter menganggap perawat sudah otomatis menangani, perawat menganggap petugas
gizi menangani, petugas gizi menganggap pasien dan keluarganya sudah mengerti.
Malnutrisi di rumah sakit sering terjadi. Hal ini digambarkan dari sisa porsi makanan
yang kembali dari pasien mencapai 50%. Penelitian Willcuts (1980) diantara 1500
pasien rumah sakit yang digolongkan menurut stats nutrisi normal, malnutrisi sedang
dan malnutrisi berat setelah menjalani pembedahan menunjukkan perbandingan
kejadian penylit 5:30:75 dan angka kematian 5:20:25. Yamada (1983) yang menelikti
kelompok yang lebih spesifik yakni 96 pasien kanker lambung dengan bedah radikal
dan diikuti terapi sitostatika menunjukkan bahwa pada kelompok yang menedapat
nutrisi parenteral total selama masa peri-operatif survival setelah 3 tahun pasca bedah
adalah 54%, padahal dari kelompok tanpa nutrisi parenteral SEMUA meninggal. Upaya
mengatasi malnutrisi adalah tunjangan nutrisi (nutritional support) yang akhir-akhir ini
diberi istilah “nutrisi artifisial”. Nutrisi artifisial dapat diberikan melalui pipa lambung,
pipa usus halus atau intravena (parenteral).
Di rumah sakit Dr Sutomo Surabaya, upaya NutrisimParenteral telah dirintis sejak tahun
1974 oleh karijadi, wahjuningsih dan rahardjo di bangsal bedah A. Seorang pasien total
anuria (gagal ginjal akut) pasca bedah histerektomi karena ruptura uteri diiringi sepsis,
mendapat NPE selama 3 minggu dengan Dextrose 40%, pengaturan balans cairan dan
Natrium bicarbonat untuk mengatasi asidosis metabolik. Pada waktu pulang, serum
creatinin < 2 mg%.
Walaupun sejak itu NPE dilakukan pada beberapa pasien namun belum tercapai
penggunaan secara luas. Pelaksanaan yang ada hanya sporadis/insidental saja. Survey
kami pada tahun 1990 menunjukkan bahwa diantara pasien RS Swasta dimana dana
tidak menjadi masalah, hanya kira-kira 20% pasien yang mendapat NPE sewaktu intake
oralnya terhenti. Survey 1992 di ICU RS Dr Sutomo menunjukkan hanya 10% pasien
yang mendapat NPE dalam dosis cukup.
HAMBATAN
Hambatan untuk nutrisi enternal lewat pipa lambung juga banyak. Banyak dokter dan
perawat beranggapan bahwa pipa lewat hidung ini menyiksa pasien. Hal ini tidak benar.
Dugaan menggunakan pipa lambung ukuran kecil dan cara memasang yang baik,
keluhan pasien hampir tidak dijumpai. Dengan pipa kecil ini bubur dapat dimasukkan
dengan spuilt injeksi sedang nutrisi Entrasol, pepti, Ensure pekat dapat menetes dengan
gaya berat.
LEMAK
Sumber kalori ini efisien (9 kcal/gram) dan menguntungkan (RQ 0.7, produksis CO2
sedikit). Tetapi tubuh tidak mungkin “hidup” dari membakar lemak saja, harus dalam
kombinasi dengan glukose atau karbohidrat lain. Kalori yang berasal dari lemak
dianjurkan tidak lebih dari 50% dari kalori total, 50% sisanya harus dari glukose.
Contoh untuk 1200 kcal : 150 gm glukose = 600 kcal, sisanya dari 70 gram lemak (9
kcal/gram).
ASAM AMINO
Bahan ini diberikan setelah kebutuhan kalori dicukupo dengan karbohidrat. Makin dini
asam amino diberikan, makin baik. Dosis ideal menurut rekomendasi ASPEN (1993)
adalah 1.5 – 2 gm/kg/hari. Memperhatikan kenyataan bahwa penduduk Indonesia
umumnya hidup dengan konsumsi protein hanya sekitar 1 gm/kg/hari maka perlu
difikirkan untuk membatasi dosisi awal NPE sebesar 1 gm/kg/hari. Prinsip pemberian
naik bertahap juga berlaku disini. Tubuh perlu menyesuaikan bertahap terhadap substrat
yang langsung masuk vena sistemik tanpa detoksifikasi di hati. Walaupun tiap gram
asam amino dapat menghasilkan 4 kcal kalori tetapi kalori dari asam amino ini tidak
boleh ikut diherhitungkan untuk memenuhi kebutuhan kalori. Asam amino ditujukan
untuk regenerasi sel, sintesa protein dan enzim vital. Untuk itu pemberuan asam
amino/protein harus disertai (“dilindungi”) kaliro, agar asam amino tersebut tidak
“dibakar” menjadi enersi (gluko-neo-genesis). Satu gram N (nitrogen) setara 6.25 gram
asam amino atau protein. Tiap gram Nitrogen harus dilindungi 100-150 kcal
karbohidrat. Perbandingan ini lazim disebut C/N RATIO. Dalam keadaan normal C/N
adalah 150 – 250. dalam keadaan stress diperlukan nitrogen lebih banyak, C/N 80 –
125. kalau dosis asam amino ditingkatkan, dosis kalori pengiring juga harus ditambah.
Protein 50 gram/hari memerlukan 1200 kcal atau 300 gram glukose.
2. KOMPOSISI
Komposisi awal hendaknya larutan encer. Larutan dextrose atau glukose yang
dapat diberikan hanya 5%, jangan lebih pekat. Larutan susu atau sediaan nabati
lain dapat ditingkatkan kepekatannya jika pasien tidak mengeluh nyeri perut
(abdominal cramps), tidak terdengan hiperperostaltik dan tidak terjadi diare.
Larutan optimal adalah 1 kcal/ml, meskipun pada nutrusi jangka panjang, usus
akan dapat diadaptasi untuk menerima 1.5 kcal/ml.
TATALAKSANA KOMBINASI :
Pasien 60 kg yang tidak dapat makan, membutuhkan 60 x 25 kcal = 1500 kcal per hari
(375 gram glukose). Kebutuhan cairan adalah 60 x 35 ml = 2100 ml per hari. Kalori
sebanyak itu bila diberikan intravena (parenteral) dalam bentuk glukose memerlukan
kepekatan 20%. Larutan ini hipertonis dan harus diberikan melalui vena sentral. Karena
psien masih memerlukan asam amino juga maka sebagian volume cairan harus
diberikan sebagia larutan asam amino. Dengan kata lain, kadar glukose harus dibeirkan
PENUTUP
Alternatif kombinasi ini perlu dikembangkan pengetrapannya seluas mungkin dalam
upaya menjamin masukan nutrisi artifisial yang maksimal bagi setiap pasien. Cara lama
dengan membiarkan pasien puasa beberapa hari sampai ususnya dapat menerima makan
oral secara normal tidak dapat dibenarkan lagi. Hari-hari awal ini perlu ditunjang nutrisi
parenteral. Segera setelah bising usus kembali dan retensi lambung kembali, nutrisi
enteral dapat dimulai. Beberapa klinik bahkan mampu memulai nutrisi enteral lebih dini
lagi, mulai hari pertama. Kami tidak mengajurkan cara ini untuk dikerjakan disemua
tempat kecuali jiak tim perawatan siap dan terlatih khusus untuk mengatasi
komplikasinya.
Selama masa transisi nutrisi enteral belum mencapai dosisi maksimal, nutrisi intravena
tetap diberikan sebagai KOMBINASI.