Anda di halaman 1dari 103

No Peneliti Latar Belakang Penelitian Tahun Judul Penelitian Hasil Penelitian Keterangan

1. Dian Kartikasari, Salah satu penatalaksanaan asma 2019 LATIHAN PERNAPASAN Hasil penelitian terdapat perbedaan Jurnal Keperawatan
Ikhlas Muhammad yaitu latihan pernapasan diafragma DIAFRAGMA yang signifikan rerata selisih APE Indonesia, 2019, 22
Jenie, yang dapat meningkatkan fungsi paru MENINGKATKAN ARUS kelompok intervensi (mean (1)
Yanuar Primanda pasien asma. Tujuan penelitian untuk PUNCAK EKSPIRASI 126,43±22,05 L/menit) dan
menguji pengaruh latihan pernapasan (APE) DAN kelompok kontrol (mean
diafragma terhadap peningkatan Arus MENURUNKAN 52,14±56,45 L/menit) dengan p
Puncak Ekspirasi (APE) dan penurunan FREKUENSI 0,001, serta terdapat perbedaan
frekuensi kekambuhan pasien asma. KEKAMBUHAN PASIEN yang signifikan rerata selisih
ASMA frekuensi kekambuhan kelompok
intervensi (mean 1,29±0,61) dan
kelompok kontrol (mean 0,79±0,57)
dengan nilai p 0,038. Latihan
pernapasan diafragma menjadi
pertimbangan dalam
penatalaksanaan pasien asma
2. Made Virgo Community acquired pneumonia 2017 POLA PEMBERIAN Dapat disimpulkan bahwa terapi E-JURNAL
Baharirama, merupakan penyakit infeksi yang ANTIBIOTIKA UNTUK pilihan utama pada pasien MEDIKA,VOL 6 NO 3,
I Gusti Ayu Artini sangat sering ditemukan dan PASIEN COMMUNITY community acquired pneumonia
menyebabkan jumlah kematian yang ACQUIRED anak di Instalansi Rawat Inap Rumah
tinggi pada balita di negara PNEUMONIA ANAK DI Sakit Umum Daerah Kabupaten
berkembang khususnya di Indonesia. INSTALASI RAWAT Buleleng adalah cefotaxime.
INAP RSUD BULELENG
TAHUN 2013
3. Cornelia D.Y Proses hemodialisis juga sering 2019 DAMPAK FREKUENSI Hasil analisa Chi-Square Jurnal
Nekada, menimbulkan dampak kesakitan PERNAPASAN menunjukkan nilai p sebesar 0,020 Keperawatan
Mohamad Judha seperti terjadinya kram otot saat PREDIALISIS TERHADAP yang berarti terdapat hubungan Indonesia, Volume
intradialisis KRAM OTOT yang signifikan antara frekuensi 0 No.0
INTRADIALISIS DI RSUD napas predialisis terhadap kram
PANEMBAHAN otot intradialisis. Kram otot yang
SENOPATI BANTUL terjadi selama proses hemodialisis
dapat terjadi karena adanya stress
oksidatif selama intradialisis.
Observasi frekuensi pernapasan
dapat mengantisipasi adanya risiko
stres oksidatif yang mungkin akan
terjadi
4. Elza Febria Sari, Menegakkan diagnosis pneumonia 2016 FAKTOR – FAKTOR Dari 158 subjek, 106 didiagnosis Jurnal Penyakit
C. Martin pada pasien usia lanjut seringkali sulit YANG BERHUBUNGAN pneumonia sesuai kriteria baku Dalam Indonesia
Rumende, mengingat gejala dan tanda klinis DENGAN DIAGNOSIS emas. Pada model akhir regresi Vol. 3, No. 4
Kuntjoro Harimurti sering tidak lengkap dan manifestasi PNEUMONIA PADA logistik didapatkan tiga faktor yang
klinis yang tidak khas serta PASIEN USIA LANJUT berhubungan dengan diagnosis
pemeriksaan penunjang yang sulit pneumonia yaitu batuk, ronki dan
diinterpretasi. Hal ini mengkibatkan infiltrat dengan nilai p masing-
under ataupun over diagnosis dengan masing secara berturut-turut yaitu
konsekuensi meningkatnya morbiditas <0,0001; 0,02; dan 0,0001. Nilai AUC
dan mortalitas. Data faktorfaktor yang yang diperoleh dari metode ROC
berhubungan dengan diagnosis untuk mengetahui kemampuan CRP
pneumonia baik manifestasi khas dalam mendiagnosis pneumonia
ataupun tidak khas pada pasien usia adalah 0,57 (IK 95%; 0,47-0,66).
lanjut belum banyak tersedia. Simpulan. Faktor-faktor yang
berhubungan dengan diagnosis
pneumonia pada usia lanjut adalah
batuk, ronki dan infiltrat. Sementara
itu, c-reactive protein tidak memiliki
peran dalam memprediksi diagnosis
pneumonia pada pasien usia lanjut.
5. Nurul Husna Tuberkulosis (TB) paru merupakan 2018 Gambaran Faktor Didapatkan penderita TB paru Jurnal Kesehatan
Muchtar, penyakit infeksi paru menular yang Risiko Timbulnya dengan HIV negatif sebanyak 86,2 Andalas 2018; 7 (1)
Deddy Herman, masih menjadi masalah kesehatan di Tuberkulosis Paru pada %, tidak memiliki riwayat DM 87,7%,
Yulistini dunia terutama di negara Pasien yang memiliki status gizi kurang sebanyak
berkembang. Timbulnya penyakit Berkunjung ke Unit 66,2% dan berdasarkan riwayat
Tuberkulosis paru sangat dipengaruhi DOTS RSUP Dr. M. konsumsi alkohol 98,5% bukan
oleh berbagai faktor Djamil Padang Tahun kelompok berisiko, serta 60%
2015 merupakan former smoker (mantan
perokok). Sebagian besar penderita
TB Paru tidak memiliki riwayat HIV,
tidak memiliki faktor risiko DM dan
berdasarkan riwayat konsumsi
alkohol hampir semua pasien TB
paru bukan kelompok risiko. Namun
sebagian besar merupakan mantan
perokok dan memiliki status gizi
kurang.
6. Mar’atul Hasanah, TB-MDR terjadi karena kegagalan 2018 HUBUNGAN Dukungan keluarga tidak JURNAL
Makhfudli, pengobatan, putus pengobatan, atau DUKUNGAN KELUARGA berhubungan secara signifikan KESEHATAN Vol 11
Andri Setiya pengobatan yang tidak benar sehingga DENGAN EFIKASI DIRI terhadap Efikasi Diri dengan p-value No 2
Wahyudi terjadinya resistensi primer PENDERITA = 0,120 atau (p ≥ 0,05). Kesimpulan :
TUBERCULOSIS semua responden penderita TB-
MULTIDRUG MDR di Poli TB-MDR RSUD Ibnu Sina
RESISTANT (TB-MDR) Gresik memiliki dukungan keluarga
DI POLI TB-MDR RSUD yang positif dan Efikasi Diri tinggi.
IBNU SINA GRESIK Saran bagi peneliti selanjutnya agar
meneliti tentang hubungan antara
dukungan keluarga dengan Efikasi
Diri yang dapat meningkatkan
partisipasi dukungan keluarga.
7. Windy D. P. Pemeriksaan radiologi khususnya foto 2016 PROFIL HASIL Yang tersering ditemukan ialah Jurnal e-Clinic (eCl),
Masengi , toraks dapat menegakkan berbagai PEMERIKSAAN FOTO pasien laki-laki sebanyak 37 orang Volume 4, Nomor 2,
Elvie Loho, macam diagnosis penyakit paru, salah TORAKS PADA PASIEN (90,2%), kelompok usia >50 tahun
Vonny Tubagus satunya ialah pneumotoraks. PNEUMOTORAKS DI sebanyak 15 orang (36,6%), lokasi
Pneumotoraks adalah terdapatnya BAGIAN / SMF lesi hemitoraks deksra sebanyak 22
udara bebas didalam rongga pleura RADIOLOGI kasus (53,7%), serta etiologi
dengan penyebab yang sangat FK UNSRAT RSUP Prof. pneumotoraks spontan sekunder
beragam mulai dari idiopatik, infeksi, Dr. R. D. KANDOU sebanyak 18 kasus (43,9%).
trauma, maupun iatrogenik. MANADO PERIODE Simpulan: Pada penelitian ini
JANUARI 2015 – didapatkan pneumotoraks paling
AGUSTUS 2016 banyak pada laki-laki, kelompok usia
≥50 tahun, dengan pneumotoraks
spontan sekunder sebagai etiologi
tersering.
8. Nurul Dwi Astuti , Asma Bronkial adalah kelainan yang 2017 TERAPI SLOW DEEP Dari hasil analisis penelitian HIGEIA: JOURNAL OF
Mahalul Azam berupa inflamasi kronik saluran BREATHING (SDB) didapatkan bahwa ada perbedaan PUBLIC HEALTH
pernapasan yang menyebabkan TERHADAP TINGKAT bermakna antara selisih skor pretest RESEARCH AND
hiperaktivitas bronkus terhadap KONTROL ASMA dan posttest ACT (p=0,001), nilai DEVELOPMENT 1 (1)
berbagai rangsangan. Data tahun 2015 APE (p=0,004), variasi harian APE
BKPM Wilayah Semarang periode (p=0,005), efek samping obat
bulan Januari-Juli penderita asma (p=0,010) dan kunjungan ke UGD
sebanyak 299 orang. Upaya yang (p=0,038) antara kelompok
dilakukan dalam pengontrolan asma eksperimen dengan kelompok
selain pengendalian faktor pemicu kontrol. Kesimpulannya dari
adalah dengan cara pemberian terapi penelitian ini adalah pemberian
napas slow deep breathing sebagai terapi slow deep breathing efektif
terapi tambahan asma untuk peningkatan kontrol asma
pada penderita asma bronkial
persisten sedang.
9. Luhur Arifian, Pada penyakit asma, serangan 2018 PENGARUH Hasil penelitian menunjukkan uji Jurnal Kesehatan
Joko Kismanto umumnya datang pada malam hari, PEMBERIAN POSISI Wilcoxon dengan nilai p value 0,000 Kusuma Husada
tetapi dalam keadaan berat serangan SEMI FOWLER sehingga ada pengaruh pemberian
dapat terjadi setiap saat tidak TERHADAP posisi semi fowler terhadap
tergantung waktu. Inspirasi pendek RESPIRATION RATE respiration rate pada pasien asma
dan dangkal, mengakibatkan PADA PASIEN ASMA bronkial di Puskesmas Air Upas
penderita menjadi sianosis, wajahnya BRONKIAL DI Ketapang
pucat dan lemas, serta kulit banyak PUSKESMAS AIR UPAS
mengeluarkan keringat KETAPANG
10. Muhammad Arif, Pasien yang menderita asma terjadi 2018 Pengaruh Tekhnik Hasil penelitian ini menunjukkan ada Jurnal Pembangunan
Mariza Elvira bronchospasme dan bronchokontriksi Pernafasan Buteyko perbedaan bermakna fungsi Nagari Volume 3
yang mengakibatkan hiperventilasi Terhadap Fungsi ventilasi oksigenasi paru setelah Nomor 1
sehingga terjadi penurunan ventilasi Ventilasi Oksigenasi melakukan teknik pernapasan
dan oksigenasi.Intervensi untuk Paru Buteyko selama 6 minggu (p= 0.00,
mempertahankan fungsi ventilasi α= 0.05). Rekomendasi peneliti
oksigenasi paru salah satunya dengan adalah sebaiknya untuk
intervensi teknik pernapasan Buteyko meningkatkan fungsi ventilasi
oksigenasi paru dilakukan intervensi
teknik pernapasan Buteyko pada
pasien asma bronkial
Jurnal Keperawatan Indonesia, 2019, 22 (1), 53–64 © JKI 2019
DOI: 10.7454/jki.v22i1.691 pISSN 1410-4490; eISSN 2354-9203
Received July 2018; Accepted February 2019

LATIHAN PERNAPASAN DIAFRAGMA


MENINGKATKAN ARUS PUNCAK EKSPIRASI (APE) DAN
MENURUNKAN FREKUENSI KEKAMBUHAN PASIEN ASMA
Dian Kartikasari1, Ikhlas Muhammad Jenie2, Yanuar Primanda3

1. School of Health Sciences of Muhammadiyah Pekajangan Pekalongan, Central Java 51172, Indonesia
2. Faculty of Medicine and Health Sciences Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Yogyakarta 55183, Indonesia
3. Nursing Master Program Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Yogyakarta 55183, Indonesia

*E-mail: dian.kartikasari1989@gmail.com

Abstrak

Salah satu penatalaksanaan asma yaitu latihan pernapasan diafragma yang dapat meningkatkan fungsi paru pasien asma.
Tujuan penelitian untuk menguji pengaruh latihan pernapasan diafragma terhadap peningkatan Arus Puncak Ekspirasi
(APE) dan penurunan frekuensi kekambuhan pasien asma. Penelitian true experiment pretest-posttest with control group
melibatkan 28 subjek penelitian secara random. Subjek dibagi menjadi kelompok intervensi dan kelompok kontrol
melalui randomisasi sejumlah 14 orang untuk masing-masing kelompok. Pengukuran APE menggunakan peak flow meter
dan frekuensi kekambuhan dicatat dengan lembar catatan observasi. Hasil penelitian terdapat perbedaan yang signifikan
rerata selisih APE kelompok intervensi (mean 126,43±22,05 L/menit) dan kelompok kontrol (mean 52,14±56,45 L/menit)
dengan p 0,001, serta terdapat perbedaan yang signifikan rerata selisih frekuensi kekambuhan kelompok intervensi (mean
1,29±0,61) dan kelompok kontrol (mean 0,79±0,57) dengan nilai p 0,038. Latihan pernapasan diafragma menjadi
pertimbangan dalam penatalaksanaan pasien asma.

Kata kunci: arus puncak ekspirasi, asma, frekuensi kekambuhan, latihan pernapasan diafragma

Abstract

Effect of Diaphragmatic Breathing Exercises on Peak Expiratory Flow Rate (PEFR) Enhancement and The Mild-
Moderate Asthma Patients’ Relapse Frequency Reduction. One of the management of asthma is diaphragmatic
breathing exercises that could improve lung function of asthma patients. The objective of the study was to examine the
effect of diaphragmatic breathing exercises on Peak Expiratory Flow Rate (PEFR) and decreased frequency of mild-
moderate asthma relapse on the patients. True experiment method pretest-posttest with control group was applied in this
study with involved 28 random research subject. Subjects were divided into intervention groups and control groups
through randomization of 14 people for each group. PEFR measurements using peak flow meter and relapse frequency
were recorded with an observation note sheet. There was a significant difference of difference PEFR mean between
intervention groups (mean 126.43±22.05) and control group (mean 52.14±56.45) with p 0.001. There was a significant
difference of difference mean frequency between intervention group (mean 1.29±0.61) and control group (mean
0.79±0.57) with p 0.038. Diaphragmatic breathing exercise is a consideration in the management of asthma patients.

Keywords: asthma, diaphragmatic breathing exercises, frequency of recurrence, peak expiratory flow rate

Pendahuluan 2002 memaparkan jumlah pasien asma di


seluruh dunia setidaknya tiga ratus juta orang
Asma adalah penyakit inflamasi yang ditandai dan jumlah pasien asma diperkirakan mencapai
dengan kesulitan bernapas, batuk, wheezing, empat ratus juta pada tahun 2025 (Kemenkes
dan sesak di dada yang bervariasi dari waktu 2014). Berdasarkan Pusat Data dan Informasi
ke waktu (Lemon-Burke, 2000 dalam Sahat, Kementrian Kesehatan Republik Indonesia pada
Irawaty, dan Hastono, 2011; Global Initiative 2007, Yogyakarta masuk dalam urutan ke 18
for Asthma (GINA), 2016). WHO pada tahun dari 18 provinsi yang mempunyai prevalensi

53
Kartikasari, et al., Latihan Pernapasan Diafragma Meningkatkan APE dan Menurunkan Frekuensi Kekambuhan Pasien Asma
JKI, Vol. 22, No. 1, Maret 2019, 53–64

penyakit asma melebihi angka nasional. Pada pas menjadi berkurang dan ventilasi mening-
2013, Yogyakarta masuk dalam urutan ke 3 dari kat. Peningkatan ventilasi menyebabkan pe-
18 provinsi yang mempunyai prevalensi pe- ningkatan perfusi sehingga tekanan intraalveoli
nyakit asma melebihi angka nasional (Kemenkes, meningkat dan pertukaran gas efektif. Hal ini
2014). mengakibatkan derajat keasaman (pH) menu-
run sehingga CO₂ dalam arteri menurun dan
Penyakit asma yang sering kambuh dapat ter- APE meningkat (Muttaqin, 2008). Selain dapat
jadi dari ringan sampai berat. Pada pasien asma, meningkatkan fungsi respirasi, latihan perna-
proses inspirasi terjadi ketika adanya kontraksi pasan dapat memelihara keseimbangan kadar
yang minimal dari otot pernapasan yang meng- Imunoglobulin E (IgE) pada bronkus serta me-
akibatkan diafragma terdorong ke atas sehingga nurunkan respon yang berlebihan dari jalan
membutuhkan energi yang tinggi untuk meng- napas (Widjanegara, Tirtayasa, & Pangkahila,
angkat rongga dada dan pengembangan paru 2015). Penatalaksanaan keperawatan pada pa-
menjadi minimal. Hal tersebut menyebabkan sien COPD bertujuan untuk meningkatkan ber-
oksigen (O₂) yang masuk ke paru-paru minimal. sihan jalan napas, meningkatkan koping serta
Pada proses ekspirasi, terjadi kontraksi otot menangani komplikasi (Suryantoro, Isworo, &
pernapasan yang minimal, sehingga diafragma Upoyo, 2017).
terdorong ke bawah dan karbondioksida (CO₂)
yang keluar dari paru-paru sedikit, akibatnya Penelitian yang dilakukan Fernandes, Cukier,
Arus Puncak Ekspirasi (APE) menurun. Selain dan Feltrim (2011) menyatakan bahwa latihan
itu, penyempitan bronkus menyebabkan fungsi pernapasan diafragma selama dua minggu da-
paru pada penderita asma terjadi penurunan pat meningkatkan pola pernapasan dan ventilasi
Force Expired Volume in one second (FEV₁), paru pada pasien COPD. Menurut Aini, Sitorus,
Forced Vital Capacity (FVC), serta rasio FEV₁ dan Budiharto (2008), bahwa latihan pernapas-
dan FVC (Rhoades, 2011 dalam Santoso, an diafragma mampu meningkatkan ventilasi
Harmayetty, & Bakar 2014). alveolar dan membantu mengeluarkan CO2
pasien PPOK. Widjanegara, et al. (2015) me-
Dampak dari serangan asma menyebabkan pen- nambahkan bahwa dengan melakukan latihan
derita tidak masuk sekolah bahkan kerja, akti- pernapasan diafragma sebanyak tiga kali dalam
vitas fisik menjadi terbatas, tidak bisa tidur, se- seminggu, selain dapat meningkatkan saturasi
hingga dirawat di rumah sakit. Pada beberapa oksigen, dapat menurunkan frekuensi kekam-
kasus, asma dapat mengakibatkan kematian buhan pada pasien asma.
(Agustiningsih, Kafi, & Djunaidi, 2007).
Petugas kesehatan Rumah Sakit Paru Respira
Tindakan non farmakologis yang dapat dilaku- Yogyakarta mengatakan jumlah Ners yang ada
kan pada pasien asma yaitu dengan berhenti di sana minimal dan pemeriksaan APE dilaku-
merokok, diet sehat, menghindari alergen, me- kan ketika kondisi pasien asma dalam keadaan
ngurangi aktifitas berat, menurunkan berat badan, kambuh. Selain itu, petugas kesehatan di sana
menghindari polusi, vaksinasi, mengurangi stres, mengatakan pernah ada klub asma, tetapi se-
menghindari makanan dan bahan kimia yang telah lokasi rumah sakit pindah klub asma ter-
menyebabkan alergi, serta menjaga kebugaran sebut sudah tidak aktif. Pada saat ini penata-
seperti physical activity dan breathing exercise laksanaan pasien asma di rumah sakit tersebut
(GINA, 2016). masih secara farmakologis berupa pemberian
obat-obatan seperti bronkhodilator dan obat as-
Latihan pernapasan diafragma merupakan te- ma lainnya sesuai dengan advice dokter. Terapi
rapi latihan pernapasan utama untuk pasien as- non farmakologis seperti latihan pernapasan
ma. Latihan pernapasan diafragma dapat meng- diafragma belum pernah diaplikasikan pada
akibatkan CO₂ keluar dari paru-paru, kerja na- pasien asma.

54
Kartikasari, et al., Latihan Pernapasan Diafragma Meningkatkan APE dan Menurunkan Frekuensi Kekambuhan Pasien Asma
JKI, Vol. 22, No. 1, Maret 2019, 53–64

Pangestuti, Murtaqib, dan Widayati (2015) kontrol di ukur APE pre test dan frekuensi
memaparkan bahwa latihan pernapasan diaf- kekambuhan. Kelompok intervensi diberikan
ragma mampu meningkatkan APE dan menu- obat-obatan sesuai advice dokter dan tambahan
runkan Respirasi Rate (RR), namun di pene- intervensi latihan pernapasan diafragma selama
litian ini belum memaparkan pengaruh latihan 15 menit, sedangkan kelompok kontrol hanya
pernapasan diafragma dengan frekuensi ke- diberikan obat-obatan sesuai advice dokter.
kambuhan.
Kelompok intervensi melakukan latihan per-
Metode napasan diafragma dengan cara mengatur posisi
terlentang yang nyaman dengan bahu rileks.
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif Tangan kiri diletakkan di tengah dada dan
menggunakan metode true eksperimen dengan tangan kanan diletakkan diperut (tepat di bawah
bentuk pretest-posttes with control group di iga), lalu hirup napas melalui hidung dan
mana pada kelompok pertama diberikan obat biarkan perut menonjol sebesar mungkin dan
asma dan tambahan intervensi latihan perna- rasakan pergerakan tangan kanan terdorong ke
pasan diafragma dan kelompok kedua adalah atas. Menghembuskan napas melalui bibir yang
kelompok kontrol yang diberikan obat asma. dirapatkan (dengan bibir dimonyongkan seperti
meniup lilin) sambil merasakan tangan kanan
Data yang diperoleh dari Rumah Sakit Paru menekan ke arah dalam dan atas abdomen. Ge-
Respira Yogyakarta, didapatkan jumlah pengun- rakan tersebut diulang selama 1 menit diikuti
jung pasien asma di tahun 2016 sebanyak 1.464 masa istirahat 2 menit dan mengulangi seba-
dengan peringkat kedua dari 10 jenis penyakit nyak 5 kali selama 15 menit. Latihan perna-
terbanyak di rumah sakit tersebut. Jumlah pa- pasan diafragma dilakukan 2 kali/hari di pagi
sien asma rawat inap di tahun 2016 sebanyak 53 setelah solat shubuh dan setelah sholat ashar
dan jumlah pasien asma rawat inap di bulan selama 2 minggu berturut-turut dengan penga-
Januari–Februari 2017 sebanyak 9. Jumlah pa- wasan motivator. Motivator ditunjuk dari kelu-
sien rawat jalan di tahun 2016 sebanyak 1.379 arga atau orang yang tinggal dalam satu rumah
dan jumlah pasien asma rawat jalan di bulan dengan pasien. Pada minggu ke-2 subjek pe-
Januari–Februari 2017 sebanyak 165. nelitian baik kelompok intervensi maupun ke-
lompok kontrol diukur kembali APE dan fre-
Populasi pada penelitian ini adalah semua pasi- kuensi kekambuhan.
en asma rawat jalan di Rumah Sakit Yogyakarta.
Sampel penelitian berjumlah 28 subjek pene- Program statistik yang digunakan peneliti ada-
litian yang dibagi menjadi dua kelompok, ke- lah SPSS 19.0. Analisis univariat data jenis
lompok intervensi dan kelompok kontrol. Kri- kelamin, riwayat keluarga asma, dan riwayat
teria inklusi pada penelitian ini adalah penderita merokok dilihat dari frekuensi dan persenta-
asma derajat ringan dan sedang, sedang men- senya, sedangkan data usia dan IMT kelompok
jalani terapi obat asma, Indeks Masa Tubuh intervensi dan kelompok kontrol dihitung nilai
(IMT) 18–24, tidak merokok, belum pernah mean, standar deviasi, nilai minimum dan mak-
melakukan latihan pernapasan selama 2 bulan simumnya. Analisis bivariat dengan Paired T-
terakhir, tidak sedang dalam serangan asma. test dilakukan untuk melihat perbedaan pening-
Kriteria ekslusi pada penelitian ini adalah wa- katan APE dan frekuensi kekambuhan sebelum
nita dalam keadaan hamil. dan sesudah intervensi. Mann-Whitney diguna-
kan untuk melihat perbedaan APE dan freku-
Pengukuran APE menggunakan Philips respi- ensi kekambuhan kelompok intervensi dan ke-
ronics peak flow meter dan frekuensi kekam- lompok kontrol. Delta peningkatan APE meru-
buhan dilihat menggunakan lembar catatan pakan selisih APE sebelum dan setelah di-
peneliti. Kelompok intervensi dan kelompok lakukan intervensi sedangkan delta penurunan

55
Kartikasari, et al., Latihan Pernapasan Diafragma Meningkatkan APE dan Menurunkan Frekuensi Kekambuhan Pasien Asma
JKI, Vol. 22, No. 1, Maret 2019, 53–64

frekuensi kekambuhan merupakan selisih fre- kedua kelompok dapat dibandingkan. Rerata
kuensi kekambuhan sebelum dan setelah dila- IMT kelompok intervensi didapatkan nilai
kukan intervensi. 21,50±1,35 kg/m² dan rerata IMT kelompok
kontrol didapatkan nilai 21,79±0,89 kg/m². Ha-
Hasil sil analisis didapatkan bahwa sebagian besar
subjek penelitian dengan jenis kelamin pe-
Pada Tabel 1 hasil analisis didapatkan rerata rempuan baik kelompok intervensi maupun
usia kelompok intervensi (46,00±7,98 tahun) kelompok kontrol dengan persentase kedua ke-
dan rerata usia kelompok kontrol (48,07±7,80 lompok sama yaitu 85,7% (12 orang). Sebagian
tahun). Nilai p yang didapatkan untuk usia an- besar subjek penelitian dengan riwayat mero-
tara kelompok intervensi dan kelompok kontrol kok baik kelompok intervensi maupun kelom-
yaitu 0,494 (p> 0,05), berarti tidak ada perbe- pok kontrol memiliki persentase yang sama ya-
daan bermakna (homogen) antara kelompok in- itu 85,7% (12 orang) untuk masing-masing ke-
tervensi dan kelompok kontrol yang berarti lompok.

Tabel 1. Karakteristik Subjek Penelitian

Karakteristik Kelompok Intervensi (n=14) Kelompok Kontrol (n=14) p


Usia
Rerata±SD 46,00±7,98 48,07±7,80 0,494
Min-Max 28–55 31–55
IMT
Rerata±SD 21,50±1,35 21,79±0,89 0,514
Min-Max 19–24 20–23
Jenis Kelamin
Laki-laki 2 (14,3%) 2 (14,3%) 1,000
Perempuan 12 (85,7%) 12 (85,7%)
Riwayat Keluarga Asma
Ya 14 (100%) 14 (100%) No statistics
Tidak 0 (0%) 0 (0%)
Riwayat Merokok
Ya 2 (14,3%) 2 (14,3%) 1,000
Tidak 12 (85,7%) 12 (85,7%)

Catatan: usia dalam tahun


IMT dalam kg/m²

Tabel 2. APE Pasien Asma pada Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol

Variabel n Rerata±SD Min-Maks p


Kelompok Intervensi
APE sebelum 202,14±27,78 160–240
APE setelah 14 300–360 0,001
328,57±21,43
Kelompok Kontrol
APE sebelum 202,86±27,86 160–240
APE setelah 14 200–310 0,004
255,00±35,68

Catatan: APE dalam L/menit

56
Kartikasari, et al., Latihan Pernapasan Diafragma Meningkatkan APE dan Menurunkan Frekuensi Kekambuhan Pasien Asma
JKI, Vol. 22, No. 1, Maret 2019, 53–64

Tabel 3. Frekuensi Kekambuhan Pasien Asma pada Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol

Variabel n Rerata±SD Min–Maks p


Kelompok Intervensi
Frekuensi kekambuhan sebelum 2,57±1,34 0–5
Frekuensi kekambuhan setelah 14 0–3 0,001
1,29±1,07
Kelompok Kontrol
Frekuensi kekambuhan sebelum 3,07±1,44 0–5
Frekuensi kekambuhan setelah 14 0–4 0,001
2,29±1,38

Tabel 4. Perbedaan Peningkatan APE Pasien Asma

Variabel n Rerata±SD Min–Maks p


Delta APE
Kelompok intervensi 14 126,43±22,05 90–160
Kelompok kontrol 14 0–150 0,001
52,14±56,45
Catatan: APE dalam L/menit

Tabel 5. Perbedaan Penurunan Frekuensi Kekambuhan Pasien Asma

Variabel N Rerata±SD Min–Maks p


Delta Frekuensi Kekambuhan
Kelompok intervensi 14 1,29±0,61 0–2
Kelompok kontrol 14 0–2 0,038
0,79±0,57

Tabel 6. Perubahan APE dan Frekuensi Kekambuhan Pasien Asma

Variabel Jumlah (Orang) Persentase (%)


APE
Kelompok Intervensi
Tidak ada perubahan 0 0%
Meningkat 14 100%
Kelompok Kontrol
Tidak ada perubahan 7 50%
Meningkat 7 50%
Frekuensi Kekambuhan
Kelompok Intervensi
Tidak ada perubahan 1 7,14%
Menurun 13 92,86%
Kelompok Kontrol
Tidak ada perubahan 4 28,57%
Menurun 10 71,43%

Rerata nilai APE kelompok intervensi sebelum intervensi. Rerata nilai APE kelompok kontrol
dilakukan intervensi dapat disimpulkan terda- dapat disimpulkan terdapat rerata perbedaan ni-
pat rerata perbedaan nilai APE yang signifikan lai APE yang signifikan pada kelompok kontrol
pada kelompok intervensi sebelum dan sesudah sebelum dan sesudah intervensi (Lihat Tabel 2).

57
Kartikasari, et al., Latihan Pernapasan Diafragma Meningkatkan APE dan Menurunkan Frekuensi Kekambuhan Pasien Asma
JKI, Vol. 22, No. 1, Maret 2019, 53–64

Pada Tabel 3 rerata frekuensi kekambuhan ke- satu pasien dengan frekuensi kekambuhan kon-
lompok intervensi sebelum dilakukan interven- stan. Menurut wawancara dengan motivator
si dapat disimpulkan bahwa terdapat rerata per- kemungkinan hal tersebut disebabkan karena
bedaan frekuensi kekambuhan yang signifikan stres psikologis.
pada kelompok intervensi sebelum dan sesudah
intervensi. Rerata frekuensi kekambuhan ke- Pembahasan
lompok kontrol sebelum dilakukan intervensi
dapat disimpulkan bahwa terdapat rerata per- Pada penelitian ini, berdasarkan hasil analisis
bedaan frekuensi kekambuhan yang signifikan distribusi frekuensi dapat dilihat bahwa seba-
pada kelompok kontrol sebelum dan sesudah gian besar subjek penelitian berusia lebih dari
intervensi. 45 tahun. Menurut Guyton dan Hall (2007),
terjadi penurunan elastisitas alveoli, penebalan
Rerata nilai delta APE dapat disimpulkan bah- kelenjar bronchial, penurunan kapasitas paru,
wa nilai delta APE kelompok intervensi lebih dan peningkatan ruang rugi selama proses pe-
tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol nuaan. Pangestuti, et al. (2015) menyatakan
yang berarti terdapat rerata perbedaan nilai del- bahwa penurunan pada fungsi pernapasan yang
ta APE yang signifikan pada kelompok inter- ditinjau dari nilai Forced Expiratory Volume in
vensi dan kelompok kontrol (Lihat Tabel 4). one second w(FEV₁) memiliki hubungan yang
signifikan dengan tingkat usia. Sejak usia an-
Pada Tabel 5 rerata delta frekuensi kekambuh- tara 35 sampai 40 tahun, jumlah penurunan
an kelompok intervensi dapat disimpulkan bah- rata-rata FEV1 adalah 25–30 ml/tahun dan usia
wa delta frekuensi kekambuhan kelompok in- di atas 70 tahun mengalami jumlah penurunan
tervensi lebih tinggi daripada kelompok kontrol 60 ml/tahun.
yang berarti delta frekuensi kekambuhan pada
kelompok intervensi lebih berkurang diban- Pada penelitian ini, jumlah perempuan yang
dingkan dengan kelompok kontrol dan terdapat menderita asma di kelompok intervensi mau-
rerata perbedaan frekuensi kekambuhan yang pun kelompok kontrol lebih banyak daripada
signifikan pada kelompok intervensi dan ke- laki-laki. Ikawati (2016) menyatakan bahwa
lompok kontrol. kejadian asma lebih banyak pada perempuan
daripada laki-laki pada usia dewasa. Hal ini
Pada Tabel 6 menunjukkan kelompok interven- dikarenakan ukuran paru atau saluran napas
si terdapat 100% (14 pasien) mengalami pe- pada laki-laki lebih kecil daripada perempuan
ningkatan APE setelah diberikan intervensi se- pada saat anak-anak, tetapi menjadi lebih besar
dangkan pada kelompok kontrol terdapat 50% pada usia dewasa. Penelitian ini didukung oleh
(7 pasien) mengalami peningkatan dan 50% (7 Rujito et al. (2015) menyatakan bahwa laki-laki
pasien) mengalami nilai konstan APE setelah memiliki kapasitas inspirasi yang lebih besar
diberikan intervensi. dibandingkan dengan perempuan dikarenakan
kekuatan otot laki-laki lebih besar dibanding-
Pada kelompok intervensi terdapat 7,14% (1 kan dengan perempuan termasuk otot pernapas-
pasien) mengalami nilai konstan frekuensi ke- an.
kambuhan dan terdapat 92,86% (13 pasien)
mengalami penurunan frekuensi kekambuhan IMT pada subjek penelitian ini normal baik
setelah diberikan intervensi sedangkan pada pada kelompok intervensi maupun kelompok
kelompok kontrol terdapat 28,57 (4 pasien) kontrol. Peneliti tidak melakukan pengukuran
mengalami nilai konstan frekuensi kekambuh- IMT subjek penelitian sebelum menderita as-
an dan 71,43% (10 pasien) mengalami penu- ma, tetapi mengukur IMT subjek penelitian
runan frekuensi kekambuhan setelah diberikan setelah menderita asma. Beberapa penelitian
intervensi. Pada kelompok intervensi terdapat menunjukkan bahwa obesitas merupakan salah

58
Kartikasari, et al., Latihan Pernapasan Diafragma Meningkatkan APE dan Menurunkan Frekuensi Kekambuhan Pasien Asma
JKI, Vol. 22, No. 1, Maret 2019, 53–64

satu faktor risiko terhadap peningkatan derajat kuran klinis memperlihatkan penurunan sangat
keparahan asma. Ikawati (2016) menyatakan besar laju ekspirasi maksimum dan berkurang-
kelebihan berat badan dan obesitas meningkat- nya volume ekspirasi terukur (timed expiratory
kan risiko kejadian asma sampai 50%, baik volume) (Guyton & Hall, 2007).
pada laki-laki maupun perempuan. Suryantoro,
et al. (2017) mengatakan obesitas mengakibat- Pada penelitian ini subjek penelitian melakukan
kan kerja napas meningkat yang disebabkan latihan pernapasan diafragma dengan didam-
karena compliance dinding dada menurun dan pingi motivator yaitu keluarga yang tinggal di
terjadi penurunan kekuatan otot pernapasan. dalam satu rumah dengan subjek. Menurut
penelitian Sari, Harun, dan Nursiswati (2016)
Pada penelitian ini semua subjek penelitian menyatakan bahwa dukungan keluarga sangat
mempunyai riwayat keluarga asma dari orang memengaruhi perubahan individu. Pada pe-
tua. Ikawati (2016) menyatakan bahwa asma nelitian ini terjadi peningkatan APE pasien
memiliki komponen herediter. Akib (2016) asma ringan-sedang setelah melakukan latihan
menyatakan bahwa kelompok anak dengan pernapasan diafragma pada kelompok inter-
gejala mengi pada usia kurang dari 3 tahun, vensi.
yang menetap sampai usia 6 tahun, mempunyai
predisposisi ibu asma, dermatitis atopi, rinitis Muttaqin (2008) menjelaskan ketika pasien
alergi, dan peningkatan kadar lgE, dibanding- asma melakukan latihan pernapasan diafragma
kan dengan kelompok anak dengan mengi yang proses inspirasi terjadi kontraksi otot diafrag-
tidak menetap. ma, sehingga volume thoraks membesar. Hal
ini menyebabkan tekanan intrapleura menurun
Peningkatan Nilai APE dengan Latihan Per- dan paru mengembang, sehingga tekanan in-
napasan Diafragma. Proses inspirasi terjadi traalveoli menurun dan udara masuk ke dalam
ketika dada mengembang, paru-paru ikut me- paru. Proses ekspirasi dimulai dari relaksasi ot-
ngembang sehingga penurunan tekanan yang ot diafragma, sehingga volume thorak menge-
menyebabkan peningkatan ada volume paru cil. Hal ini menyebabkan tekanan intrapleura
dan udara masuk ke dalam paru-paru. Proses meningkat dan volume paru mengecil, sehingga
respirasi terjadi ketika dada mengecil, paru- tekanan intraalveoli meningkat dan udara ber-
paru ikut mengecil, sehingga terjadi pening- gerak ke luar paru.
katan tekanan, menyebabkan volume paru me-
ngecil dan udara keluar dari paru-paru (Guyton Hasil penelitian oleh Pangestuti, et al. (2015)
& Hall, 2007). menunjukkan peningkatan APE dengan latihan
pernapasan diafragma pada minggu ke dua.
Pada penelitian ini semua pasien asma ringan- Menurut penelitian tersebut, bahwa pernapasan
sedang terjadi penurunan APE baik kelompok dengan menggunakan otot diafragma lebih baik
intervensi maupun kelompok kontrol. Pada dibandingkan pernapasan dengan mengguna-
pasien asma, diameter bronkiolus lebih banyak kan otot interkosta. Latihan pernapasan diafrag-
berkurang selama ekspirasi daripada selama ma mampu meningkatkan otot ekspirasi se-
inspirasi, karena bronkiolus kolaps selama hingga mampu mengeluarkan udara yang ter-
upaya ekspirasi akibat penekanan pada bagian perangkap di dalam paru-paru. Latihan perna-
luar bronkiolus. Paru-paru pada pasien asma pasan diafragma dapat melatih otot-otot perna-
mengalami sumbatan sebagian yang mengaki- pasan yaitu otot diafragma. Hal ini sesuai de-
batkan sumbatan berikutnya akibat dari tekanan ngan penelitian yang dilakukan oleh Mayuni,
eksternal yang menimbulkan obstruksi berat Kamayani, dan Puspita (2010) dimana terjadi
terutama selama ekspirasi. Pasien dapat me- peningkatan kapasitas vital paru (KVP) setelah
lakukan inspirasi dengan baik dan adekuat te- dilakukan latihan pernapasan diafragma selama
tapi sukar melakukan ekspirasi. Pada pengu- dua minggu.

59
Kartikasari, et al., Latihan Pernapasan Diafragma Meningkatkan APE dan Menurunkan Frekuensi Kekambuhan Pasien Asma
JKI, Vol. 22, No. 1, Maret 2019, 53–64

Otot diafragma akan memipih dan mendatar farmakologis serta tambahan latihan pernapas-
pada saat inspirasi sehingga memberikan ruang an diafragma akan lebih terlihat peningkatan
yang lebih luas untuk pengembangan paru. fungsi paru dibandingkan dengan yang diberi-
Udara masuk ke paru-paru dan terjadi pengem- kan terapi farmakologis saja.
bangan perut karena penggunaan otot diafrag-
ma ketika melakukan latihan pernapasan diaf- Perubahan Frekuensi Kekambuhan dengan
ragma. Otot abdomen membantu udara keluar Latihan Pernapasan Diafragma. Gejala asma
saat ekspirasi dan memberi kekuatan yang lebih adalah sesak napas, wheezing, dan batuk. Hal
besar untuk mengosongkan paru, sehingga ke- ini dikarenakan adanya penyempitan saluran
kuatan ekspirasi bertambah dan APE mening- napas yang disebabkan oleh edema bronchus,
kat setelah latihan. Aliran ekspirasi maksimum kontraksi otot dan hipersekresi mukus yang
jauh lebih besar ketika paru terisi volume udara bersifat lengket (Ikawati, 2016). Istilah kambuh
yang besar daripada ketika keadaan paru ham- atau relapse atau sering juga disebut rechute
pir kosong (Santoso, et al., 2014; Pangestuti, et atau recidive, dalam istilah kedokteran diarti-
al., 2015). kan bangkitnya kembali penyakit yang sudah
mulai sembuh (Rab, 2010). Dapat disimpulkan
Pada penelitian ini, terjadi peningkatan APE bahwa kekambuhan pada penderita asma ada-
pasien asma ringan-sedang setelah intervensi lah munculnya kembali atau serangan kembali
pada kelompok kontrol. Asma merupakan pe- keluhan peningkatan responsivitas saluran na-
nyakit kronis, sehingga membutuhkan peng- fas yang luas sehingga menyebabkan gangguan
obatan yang perlu dilakukan secara teratur. aliran udara pernafasan yang menimbulkan ge-
Salah satu obat asma yaitu golongan pelega jala seperti sesak nafas, wheezing dan kesulitan
(reliever) yang digunakan untuk meredakan bernafas terutama pada saat ekspirasi.
gejala asma. golongan obat tersebut direkomen-
dasikan untuk mencegah bronko-konstriksi. Pada penelitian ini semua pasien asma ringan-
Obat yang digunakan adalah inhalasi kortiko- sedang baik kelompok intervensi maupun ke-
steroid, agonis β2 adrenergik, antikolinergik, lompok kontrol terjadi kekambuhan sebelum
anti IgE (Ikawati, 2016). dilakukan intervensi. Novarin, Murtaqib, dan
Widayati (2015) menyatakan bahwa adanya
Juhariyah, Djajalaksana, Sartoro, dan Ridwan keterbatasan aliran udara yang keluar dari paru-
(2012) menyatakan tujuan terapi asma adalah paru pada pasien asma akibat dari perubahan
mengntrol gejala dan mencegah kematian ka- struktur saluran pernapasan dalam jangka wak-
rena asma. Hal ini sesuai dengan penelitian tu yang lama, sehingga terjadi obstruksi pada
yang dilakukan oleh Idrus, et al. (2012) yang jalan napas.
menyatakan bahwa ada perbaikan APE pada
pasien asma setelah diberikan terapi farmako- Frekuensi kekambuhan pasien asma menurun
logis. setelah melakukan latihan pernapasan diafrag-
ma pada kelompok intervensi. Hal ini sesuai
Pada penelitian ini terjadi peningkatan APE dengan penelitian Maulani (2014) yang mem-
yang signifikan pada kelompok intervensi di- perlihatkan bahwa adanya penurunan frekuensi
bandingkan kelompok kontrol. Perry dan Potter kekambuhan pada pasien asma setelah dilaku-
(2005) memaparkan bahwa latihan pernapasan kan latihan pernapasan. Huyton (2006) dalam
dilakukan untuk meningkatkan ventilasi dan penelitian yang dilakukan oleh Melastuti, Erna,
oksigenasi. Latihan pernapasan terdiri dari la- dan Husna (2015) menyatakan bahwa pasien
tihan dan praktik pernapasan yang dirancang asma yang dilakukan latihan pernapasan di-
dan dijalankan untuk mencapai ventilasi yang afragma menghasilkan perbedaan yang signi-
lebih terkontrol dan efisien, serta mengurangi fikan pada pengontrolan asma. Latihan perna-
kerja napas. Pasien asma yang diberikan terapi pasan diafragma diharapkan mampu mengu-

60
Kartikasari, et al., Latihan Pernapasan Diafragma Meningkatkan APE dan Menurunkan Frekuensi Kekambuhan Pasien Asma
JKI, Vol. 22, No. 1, Maret 2019, 53–64

rangi penyempitan jalan napas sehingga ven- Hasil analisis pada perubahan APE dan fre-
tilasi dan perfusi di dalam paru akan mening- kuensi kekambuhan pasien asma ringan-sedang
kat serta kondisi yang mengakibatkan tubuh pada kelompok intervensi dan kelompok kon-
menyimpan CO₂ berlebih dalam tubuh dapat trol didapatkan hasil satu pasien mengalami
berkurang. nilai konstan pada frekuensi kekambuhan. Ber-
dasarkan hasil wawancara pada motivator, me-
Pada penelitian ini, terjadi penurunan frekuensi nyatakan kemungkinan hal tersebut dikarena-
kekambuhan pasien asma ringan-sedang sete- kan stres psikologis. Perlu kita ketahui bahwa
lah intervensi pada kelompok kontrol. Hal ini salah satu penyebab dari asma adalah stres.
sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Lutfiyati, Ikawati, dan Wiedyaningsih (2014) Penelitian yang dilakukan oleh Wahyu, Pepin,
yang menyatakan bahwa terdapat peningkatan dan Hexawan (2015) didapatkan bahwa stres
fungsi paru pada pasien asma yang diberikan dapat berperan pada pasien asma. Hal ini se-
terapi farmakologis yang ditunjukkan dengan jalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
penurunan frekuensi serangan. Idrus, Yunus, Lestari dan Hartini (2014), didapatkan bahwa
dan Andarini. (2012) menambahkan terjadinya terdapat hubungan yang signifikan antara stres
penurunan frekuensi pernapasan dan sesak na- dengan frekuensi kekambuhan asma bronkial.
pas pada pasien asma yang diberikan terapi Ukuran jalan napas akan berubah ketika ter-
farmakologis. dapat peran dari saraf vagus aferen. Selain itu,
endorphin juga dapat berperan dalam hal ini
Pada penelitian ini terjadi penurunan frekuensi (Wahyu, et al. 2015).
kekambuhan yang signifikan pasien asma ri-
ngan-sedang pada kelompok intervensi diban- Menurut Guyton dan Hall (2007), yang me-
dingkan kelompok kontrol. Hasil penelitian maparkan bahwa stres mengakibatkan rang-
yang dilakukan oleh Maulani (2014) didapat- sangan menuju ke hipofisis yang selanjutnya
kan latihan pernapasan dapat meningkatkan disalurkan ke ginjal untuk melepaskan hormon
PEF dan menurunkan frekuensi kekambuhan. adrenalin dan kortisol. Hal ini mengakibatkan
Moreira, et al. (2008) menambahkan latihan pelepasan histamin. Tumigolung, Kumaat, dan
fisik dapat mengurangi kesukaran bernapas dan Onibala (2016) menambahkan adanya pelepas-
gejala asma lainnya dengan menguatkan otot- an histamin pada pasien asma yang mengalami
otot pernapasan dan mengurangi ventilasi pada kecemasan dapat menyebabkan sakit tenggo-
saat latihan. rokan dan sesak napas sehingga memicu ter-
jadinya serangan asma.
Tortora dan Derrickson (2012) menyatakan
bahwa penggunaan otot dapat merubah serabut Dengan adanya penelitian ini, khususnya untuk
otot sehingga dapat menyebabkan peningkatan pelayanan keperawatan, maka aspek pernapas-
dia-meter, jumlah mitokondria, suplai darah, an seperti APE menjadi hal yang perlu diper-
dan kekuatan otot sistem pernapasan. Keter- timbangkan untuk dilakukan pengkajian oleh
kaitan antara sistem musculoskeletal dengan perawatan. Kecilnya sampel menjadi keterba-
pernapasan menyebabkan aliran udara yang tasan dalam penelitian ini.
masuk dan keluar paru menjadi efektif, mele-
barkan serabut otot polos pada saluran perna- Kesimpulan
pasan yang mengalami penyempitan sehingga
mem-bantu membersihkan saluran pernapasan Terdapat peningkatan APE lebih tinggi pada
dari sekret karena dengan latihan pernapasan kelompok pasien asma ringan-sedang yang men-
akan menerima suplai oksigen dan nutrisi yang dapatkan latihan pernapasan diafragma diban-
cukup. dingkan dengan kelompok pasien asma ringan-

61
Kartikasari, et al., Latihan Pernapasan Diafragma Meningkatkan APE dan Menurunkan Frekuensi Kekambuhan Pasien Asma
JKI, Vol. 22, No. 1, Maret 2019, 53–64

sedang yang tidak mendapatkan latihan per- Global Initiative for Asthma (GINA). (2016).
napasan diafragma. Selain itu, terdapat penu- Global strategy for asthma management and
runan frekuensi kekambuhan lebih tinggi pa- prevention. Retrieved from https://ginasthma.
da kelompok pasien asma ringan-sedang yang org/wp-content/uploads/2016/04/GINA-2016-
main-report_tracked.pdf
mendapatkan latihan pernapasan diafragma di-
bandingkan dengan kelompok pasien asma ri- Guyton, A.C., Hall, J.E., (2007). Buku ajar fisiologi
ngan-sedang yang tidak mendapatkan latihan kedokteran (Edisi 22). Jakarta: EGC.
pernapasan diafragma. Diharapkan pada pe-
neliti selanjutnya dapat melakukan penelitian Idrus, I.S., Yunus, F., Andarini, S.L., & Setiawati,
latihan pernapasan diafragma pada pasien asma A. (2012). Perbandingan efek salbutamol
dibandingkan intervensi keperawatan lain de- dengan salbutamol yang diencerkan dengan
ngan mengambil jumlah sampel yang lebih NaCl 0,9% pada pasien dewasa dengan asma
besar (YS, TN, DW). akut sedang di RS Persahabatan. Jurnal
Respirologi Indonesia, 32 (3), 167–177.

Ikawati, Z. (2016). Penatalaksanaan terapi


Referensi penyakit sistem pernapasan. Yogyakarta: Bursa
Ilmu.
Agustiningsih, D., Kafi, A., & Djunaidi, A. (2007).
Latihan Pernapasan dengan Metode Buteyko Juhariyah, S., Djajalaksana, S., Sartono, T.R., &
Meningkatkan Nilai Force Expiratory Volume Ridwan, M. (2012). Efektivitas latihan fisis dan
In 1 Second (% Fev1) Penderita Asma Dewasa latihan pernapasan pada asma persisten sedang-
Derajat Persisten Sedang. Berita Kedokteran berat. Jurnal Respirologi Indonesia, 32 (1), 17–
Masyarakat, 23 (2), 52. https://doi.org/10.22 24.
146/bkm.3624
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Aini, F., Sitorus, R., & Budiharto, B. (2008). (2014). Profil kesehatan Indonesia. Jakarta:
Pengaruh breathing retraining terhadap Pusat Data dan Informasi Kementerian
peningkatan fungsi ventilasi paru pada asuhan Kesehatan RI. Retrieved from http://www.
keperawatan pasien PPOK. Jurnal depkes.go.id/resources/download/pusdatin/prof
Keperawatan Indonesia, 12 (1), 29–33. il-kesehatan-indonesia/profil-kesehatan-indone
https://doi.org/10.7454/jki.v12i1.196. sia-2014.pdf

Akib, A.P. (2016). Asma pada anak. Sari Pediatri, Lestari, N.F., & Hartini, N. (2014). Hubungan
4 (2), 78–82. http://dx.doi.org/10.14238/sp4.2. antara tingkat stres dengan frekuensi kekam-
2002.78-82. buhan pada wanita penderita asma usia dewasa
awal yang telah menikah. Jurnal Psikologi
Atmoko, W., Faisal, H.K.P., Bobian, E.T., Klinis dan Kesehatan Mental, 2 (1), 7–15.
Adisworo, M.W., & Yunus, F. (2011).
Prevalens asma tidak terkontrol dan faktor- Lutfiyati, H., Ikawati, Z., & Wiedyaningsih, C.
faktor yang berhubungan dengan tingkat (2014). Evaluasi terapi oral terhadap hasil terapi
kontrol asma di poliklinik asma rumah sakit pasien asma. Jurnal Manajemen dan Pelayanan
persahabatan, jakarta. Jurnal Respirologi Farmasi, 4 (3), 193–199.
Indonesia, 31(2), 53-60.
Maulani, M. (2014). Latihan sepeda statis
Fernandes, M., Cukier, A., & Feltrim, M. I. Z. meningkatkan peak expiratory flow (PEF) dan
(2011). Efficacy of diaphragmatic breathing in mengurangi frekuensi kekambuhan pada
patients with chronic obstructive pulmonary penderita asma. IJNP (Indonesian Journal of
disease. Chronic Respiratory Disease, 8 (4), Nursing Practices), 1 (1), 55–61.
237–244. https://doi.org/10.1177/14799723114
24296.

62
Kartikasari, et al., Latihan Pernapasan Diafragma Meningkatkan APE dan Menurunkan Frekuensi Kekambuhan Pasien Asma
JKI, Vol. 22, No. 1, Maret 2019, 53–64

Mayuni, A.A.I.D., Kamayani, M.O.A., & Puspita, Rujito, L., Ristianingrum, I., & Rahmawati, I.
L.M. (2010). Pengaruh diaphragmatic breathing (2015). Hubungan antara indeks massa tubuh
exercise terhadap kapasitas vital paru pada (IMT) dengan tes fungsi paru. Mandala of
pasien asma di wilayah kerja Puskesmas III Health, 4(2), 105–112.
Denpasar Utara. COPING (Community of
Publishing in Nursing) Ners Journal, 3 (3), 31– Sahat, C.S., Irawaty, D., & Hastono, S.P. (2011).
36. Peningkatan kekuatan otot pernapasan dan
fungsi paru melalui senam asma pada pasien
Melastuti, E., & Husna, L. (2015). Efektivitas asma. Jurnal Keperawatan Indonesia, 14 (2),
teknik pernafasan buteyko terhadap 101–106. https://doi.org/10.7454/jki.v14i2.316.
pengontrolan asma di balai kesehatan paru
masyarakat semarang. Nurscope: Jurnal Santoso, F.M., Harmayetty, H., & Bakar, A. (2014).
Penelitian dan Pemikiran Ilmiah Keperawatan, Perbandingan latihan napas buteyko dan upper
1 (2), 1–7. http://dx.doi.org/10.30659/nurscope. body exercise terhadap arus puncak ekspirasi
1.2.1-7. pada pasien dengan asma bronkial. Critical,
Medical, & Surgical Nursing Journal, 2 (2),
Moreira, A., Delgado, L., Haahtela, T., Fonseca, J., 91–98.
Moreira, P., Lopes, C., ... & Castel-Branco, M.
G. (2008). Physical training does not increase Sari, C.W.M., Haroen, H., & Nursiswati, N. (2016).
allergic inflammation in asthmatic children. Pengaruh program edukasi perawatan kaki
European respiratory journal, 32 (6), 1570– berbasis keluarga terhadap perilaku perawatan
1575. http://doi.org/10.1183/09031936.001717 kaki pada pasien diabetes melitus tipe 2. Jurnal
07. Keperawatan Padjadjaran, 4 (3), 305–314.
https://doi.org 10.24198/jkp.v4i3.293/
Muttaqin, A. (2008). Buku ajar asuhan
keperawatan klien dengan gangguan sistem Suryantoro, E., Isworo, A., & Upoyo, A. S. (2017).
pernapasan. Jakarta: Salemba Medika. Perbedaan efektivitas pursed lips breathing
dengan six minutes walk test terhadap forced
Novarin, C., Murtaqib, M., & Widayati, N. (2015). expiratory. Jurnal Keperawatan Padjadjaran,
Pengaruh progressive muscle relaxation 5(2). https://doi.org/10.24198/jkp.v5i2.448
terhadap aliran puncak ekspirasi klien dengan
asma bronkial di Poli Spesialis Paru B Rumah Tumigolung, G.T., Kumaat, L., & Onibala, F.
Sakit Paru Kabupaten Jember. Pustaka (2016). Hubungan tingkat kecemasan dengan
Kesehatan, 3 (2), 311–318. serangan asma pada penderita asma di
Kelurahan Mahakeret Barat dan Mahakeret
Pangestuti, S.D., Murtaqib, M., & Widayati, N. Timur Kota Manado. Jurnal Keperawatan, 4
(2015). Pengaruh diaphragmatic breathing (2), 1–7.
exercise terhadap fungsi pernapasan (RR dan
APE) pada lansia di UPT PSLU Kabupaten Tortora, G.J., Derrickson, B. (2012). Principles of
Jember (The Effect of Diaphragmatic Breathing anatomy & physiology (13th Ed.). United States
Exercise on Respiration Function (RR and of America: John Wiley & Sons, Inc.
PEFR) in Elderly at UPT PSLU Jember
Regency). Pustaka Kesehatan, 3 (1), 74–81. Wahyu, C., Pepin, N., & Hexawan, T. (2015).
Analisa faktor-faktor pencetus derajat serangan
Potter, P.A, & Perry, A.G. (2005). Buku ajar asma pada penderita asma di Puskesmas Perak
fundamental keperawatan: Konsep, proses, dan Kabupaten Jombang Tahun 2013. Jurnal
praktik (Edisi 4, Volume 2). (Alih Bahasa: R. Metabolisme, 2 (3). Retrieved from
Komalasari, dkk.). Jakarta: Penerbit EGC. http://ejurnal.stikespemkabjombang.ac.id/inde
x.php/Juli-2013/article/view/33/63.
Rab, T. (2010). Ilmu penyakit paru. Jakarta: CV
Trans Info Media.

63
Kartikasari, et al., Latihan Pernapasan Diafragma Meningkatkan APE dan Menurunkan Frekuensi Kekambuhan Pasien Asma
JKI, Vol. 22, No. 1, Maret 2019, 53–64

Widjanegara, I.G., Tirtayasa, K., & Pangkahila, A.


(2015). Senam asma mengurangi kekambuhan
dan meningkatkan saturasi oksigen pada
penderita asma di Poliklinik Paru Rumah Sakit
Umum Daerah Wangaya Denpasar. Sport and
Fitness Journal, 3 (2), 1–1.

64
ISSN:2303-1395 E-JURNAL MEDIKA,VOL 6 NO 3,MARET 2017
POLA PEMBERIAN ANTIBIOTIKA UNTUK PASIEN COMMUNITY ACQUIRED
PNEUMONIA ANAK DI INSTALASI RAWAT INAP RSUD BULELENG TAHUN 2013

Made Virgo Baharirama1, I Gusti Ayu Artini2


1
Program Studi Pendidikan Dokter
2
Bagian Farmakologi
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

ABSTRAK
Community acquired pneumonia merupakan penyakit infeksi yang sangat sering ditemukan dan
menyebabkan jumlah kematian yang tinggi pada balita di negara berkembang khususnya di Indonesia.
Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pola pemberian antibiotika untuk pasien
community acquired pneumonia anak di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten
Buleleng tahun 2013. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif observasional dengan pendekatan
cross-sectional. Subjek penelitian adalah semua pasien community acquired pneumonia anak bulan
Juni sampai September 2013 di Instalansi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten
Buleleng yang dipilih dengan menggunakan metode total sampling kemudian dianalisis secara
statistik deskriptif. Dari 77 sampel yang didapatkan, golongan antibiotika yang diberikan adalah
golongan cephalosporin generasi ketiga yaitu Cefotaxime intravena (96,1%) dan Ceftriaxone
intravena (3,9%). Dapat disimpulkan bahwa terapi pilihan utama pada pasien community acquired
pneumonia anak di Instalansi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Buleleng adalah
cefotaxime.

Kata kunci: community acquired pneumonia, antibiotika, anak

ABSTRACT
Community acquired pneumonia is an infectious disease that very common and cause high
number of deaths among children under five years old in developing countries, especially in
Indonesia. Therefore, this study was conducted to determine the pattern of antibiotics treatment for
patients with community acquired pneumonia in children at Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum
Daerah Kabupaten Buleleng in 2013. The design of this study is a descriptive observational study
with cross-sectional approach. The subjects are all children patients with community acquired
pneumonia from June to September 2013 at Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah
Kabupaten Buleleng which selected by total sampling method and analyzed by descriptive statistics.
From 77 samples were obtained, the class of antibiotics that are given are third generations of
cephalosporin, such as intravenous Cefotaxime (96.1%) and intravenous Ceftriaxone (3.9%). It can be
concluded that the treatment of choice for community acquired pneumonia patients in children at
Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Buleleng in 2013 is cefotaxime.

Keywords: community acquired pneumonia, antibiotics, children

PENDAHULUAN pneumonia yang diakibatkan aspirasi secret


Pneumonia adalah peradangan yang mengenai oropharyngeal dan cairan lambung. 3
parenkim paru, distal dari bronkiolus terminalis yang Insiden pneumonia masih cukup tinggi di
mencakup bronkiolus respiratorius, dan alveoli serta beberapa negara. Data dari WHO/UNICEF tahun
menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan 2006 menunjukkan bahwa Indonesia menduduki
pertukaran gas setempat. 1,2 peringkat ke-enam dunia dengan jumlah penderita
Ditinjau dari asal patogen, maka pneumonia mencapai enam juta jiwa. 4
dibagi menjadi tiga macam yang berbeda Data riskesdas tahun 2007 menunjukkan
penatalaksanaannya. Community acquired pneumonia prevalensi pneumonia pada bayi cukup tinggi di
(CAP) merupakan pneumonia yang didapat di luar Indonesia yaitu sebanyak 0,76%. Prevalensi tertinggi
rumah sakit. Nosokomial pneumonia merupakan adalah Provinsi Gorontalo (13,2%) dan Bali berada di
pneumonia yang didapat selama pasien di rawat di peringkat ke dua (12,9%), sedangkan provinsi lainnya
rumah sakit. Pneumonia aspirasi merupakan di bawah 10%.5 Riskesdas 2007 juga melaporkan
1 http://ojs.unud.ac.id/index.php/eum
ISSN:2303-1395 E-JURNAL MEDIKA,VOL 6 NO 3,MARET 2017
bahwa pneumonia adalah penyebab kematian balita (50.6%) dan yang lebih dari lima hari sebanyak 38
nomor dua dari seluruh kematian balita (15,5%) di pasien (49.4%).
Indonesia. Jumlah kematian balita akibat penumonia Pola Pemberian Antibiotika Pada Pasien
tahun 2007 adalah 30.470 balita (15,5% x 196.579), Community Acquired Pneumonia Anak
atau rerata pneumonia mengakibatkan 83 orang balita Dalam tabel 2 dapat kita ketahui hampir semua
meninggal setiap hari. 5,6 pasien diberikan cefotaxime intravena, yaitu sebanyak
Berdasarkan paparan diatas maka pneumonia 74 pasien (96.1%). Ceftriaxone intravena hanya
harus mendapatkan perhatian yang serius karena dapat diberikan kepada 3 pasien (3,9%). Berdasarkan
mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang cukup frekuensi pemberian, lebih banyak diberikan 2 kali
tinggi pada anak. Atas dasar itu maka dilakukan dalam sehari yaitu pada 60 pasien (77,9%). Seluruh
penelitian deskriptif mengenai gambaran dan pola pasien diberikan antibiotika lewat intravena.
pemberian antibiotika pada pasien Community
Acquired Pneumonia (CAP) pada anak di Rumah Tabel 1. Karakteristik Subjek
Sakit Umum Daerah Kabupaten Buleleng. Variabel Jumlah Persentase
Data sekunder dari rumah sakit yang perlu (%)
dilakukan kajian untuk pneumonia meliputi gambaran Jenis Kelamin
pasien dan pola pemberian antibiotika. Adanya data Laki-laki 42 54.5
dan kajiannya diharapkan nantinya dapat membantu Perempuan 35 45.5
tenaga medis dalam mengetahui epidemiologi, faktor Usia
resiko, penegakan diagnosis serta pengobatan yang Infant 35 45.5
lebih baik dan tepat. Toddlers 27 35.1
Preschoolers 13 16.9
METODE PENELITIAN Middle Childhood 1 1.3
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif Teenagers 1 1.3
observasional menggunakan pendekatan cross- Tempat Tinggal (Kecamatan)
sectional. Sampel penelitian yang diambil adalah Gerokgak 4 5.2
semua pasien anak berusia kurang dari 18 tahun Seririt 9 11.7
dengan Community Acquired Pneumonia yang Busungbiu 2 2.6
mendapat pengobatan antibiotika sedang menjalani Banjar 8 10.4
rawat inap serta memiliki data rekam medis dari bulan Sukasada 18 23.4
Juni 2013 sampai September 2013 di Rumah Sakit Buleleng 19 24.7
Umum Daerah Kabupaten Buleleng. Sampel Sawan 6 7.8
penelitian yang dieksklusi adalah pasien Community Kubutambahan 7 9.1
Acquired Pneumonia (CAP) anak dengan penyakit Tejakula 4 5.2
penyerta dan tidak memiliki data yang lengkap dalam Derajat Pneumonia
rekam medis. Pengambilan sampel dalam penelitian Ringan sampai berat 55 71.4
ini dilakukan secara total sampling yang kemudian Sangat Berat 22 28,6
didapatkan sebanyak 77 sampel. Lama Rawat
< 5 hari 39 50.6
HASIL > 5 hari 38 49.4
Karakteristik subyek
Berdasarkan tabel 1 maka dapat diketahui Tabel 2. Pola Pemberian Antibiotika
bahwa pada pasien community acquired pneumonia Variabel Jumlah Persentase
anak sebagian besar didapatkan berjenis kelamin laki- (%)
laki yaitu sebanyak 42 pasien (54.5%) dan golongan Jenis Antibiotika
infant sebanyak 35 pasien (45.5%). Cefotaxime 74 96.1
Berdasarkan tempat tinggal, pasien yang paling Ceftriaxone 3 3.9
banyak merupakan pasien yang berasal dari Frekuensi Pemberian
kecamatan Buleleng yang berjumlah 19 pasien 2 kali sehari 60 77,9
(24,7%) dan tidak jauh berbeda ditemukan pasien 3 kali sehari 17 22,1
yang berasal dari kecamatan Sukasada dengan 18
Rute Pemberian
pasien (23,4%). Jumlah pasien yang paling sedikit
Intravena 77 98,7
yaitu yang berasal dari kecamatan Busungbiu yang
Oral 0 0
hanya berjumlah 2 pasien (2,6%).
Sebagian besar didapatkan mengalami
pneumonia ringan sampai berat yaitu sebanyak 55 Tabel 3. Pola Pemberian Antibiotika
pasien (71.4%). Sedangkan pneumonia sangat berat Berdasarkan Usia
ditemukan sebanyak 22 pasien (28,6%). Usia Pemberian Antibiotika
Berdasarkan lama rawat didapatkan hasil yang Cefotaxime Ceftriaxone
tidaklah jauh berbeda. Pasien yang dirawat kurang Infant 33 (94,3%) 2 (5,7%)
atau sama dengan lima hari sebanyak 39 pasien Toddlers 27 (100%) 0 (0%)

2 http://ojs.unud.ac.id/index.php/eum
ISSN:2303-1395 E-JURNAL MEDIKA,VOL 6 NO 3,MARET 2017
Preschoolers 12 (92,3%) 1 (7,7%) Society) bahwa untuk kasus pneumonia pada anak
Middle childhood 1 (100%) 0 (0%) lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan
Teenagers 1 (100%) 0 (0%) perempuan. Namun mekanisme mengapa pneumonia
lebih banyak diderita laki-laki belum diketahui.7
Berdasarkan usia, jumlah pasien terbanyak
Tabel 4. Pola Pemberian Antibiotika yaitu berada pada kelompok usia 0-1 tahun (Infants).
Berdasarkan Derajat Pneumonia Data ini juga serupa dengan penelitian Suharjono dkk.
Derajat Pneumonia Pemberian Antibiotika yang menyebutkan insiden pneumonia tertinggi terjadi
Cefotaxime Ceftriaxone pada rentang usia 0-1 tahun (infant).7 Pada anak
Ringan sampai berat 52 (94,5%) 3 (5,5%) kelompok umur 0 sampai 1 tahun masih memiliki
Sangat berat 22(100%) 0 (0%) imunitas pasif yang berasal dari ibunya. Sehingga
anak rentan terkena pneumonia akibat daya tahan
Dalam tabel 3 didapatkan bahwa cefotaxime tubuh yang belum berkembang dengan sempurna.8
merupakan antibiotika yang digunakan sebagai pilihan Berdasarkan tempat tinggal, pasien yang paling
utama dari berbagai golongan usia. Hampir seluruh banyak merupakan pasien yang berasal dari
infant dan preschoolers mendapat cefotaxime yaitu kecamatan Buleleng yang berjumlah 19 pasien
sebanyak 33 pasien (94,3%) dan 12 pasien (92,3%). (24,7%). Kemudian diikuti jumlah pasien yang
Sedangkan untuk pasien toddlers, middle childhood, berasal dari kecamatan Sukasada dengan 18 pasien
dan teenagers seluruhnya mendapat cefotaxime. (23, 4%). Letak RSUD Buleleng sendiri berada di
Dalam tabel 4 didapatkan bahwa berdasarkan kecamatan Buleleng. Hal tersebut dapat menjadi
derajat pneumonia, hampir seluruh pasien dengan faktor kenapa di kecamatan Buleleng jumlah
pneumonia ringan sampai berat mendapat antibiotika penderita pneumonia lebih besar dari kecamatan yang
cefotaxime yaitu sebanyak 52 pasien (94,5%). lainnya. Ini berkaitan dengan akses atau jarak tempat
Sedangkan pasien dengan pneumonia ringan sampai tinggal pasian dengan Rumah Sakit dimana penelitian
berat yang mendapat ceftriaxone hanya sebanyak 3 ini dilakukan. Namun semua data tersebut tidak dicari
pasien (5,5%). Pasien dengan pneumonia sangat berat sehingga ini menjadi kelemahan dalam penelitian ini.
seluruhnya mendapat cefotaxime yaitu sebanyak 22 Walaupun deminkian, kecamatan Buleleng dan juga
pasien. Sukasada haruslah menjadi perhatian lebih dalam
Dalam tabel 5 didapatkan bahwa lama rawat penanggulangan kasus pneumonia terutama yang
pada pasien yang mendapat antibiotika Cefotaxime terjadi pada anak sehingga angka mortalitas dan
tidaklah jauh berbeda yaitu sebanyak 38 pasien morbiditas dapat diturunkan.
(51,4%) dirawat kurang atau sama dengan 5 hari dan Berdasarkan derajat pneumonia, sebagian
sebanyak 36 pasien (48,6%) dirawat lebih dari 5 hari. besar didapatkan mengalami pneumonia ringan
Pasien yang mendapat ceftriaxone lebih banyak sampai berat yaitu sebanyak 55 pasien (71.4%). Anak
dirawat lebih dari 5 hari yaitu sebanyak 2 pasien yang menderita pneumonia ringan tidak perlu dirawat
(66,7%). Jumlah sampel yang diberikan ceftriaxone inap, sedangkan untuk anak dengan pneumonia berat
dalam penelitian ini sangat kecil yaitu sebanyak 3 dan sangat berat harus di rawat inap di rumah sakit.9
sampel sehingga diperlukan sampel yang lebih banyak Namun masih ditemukan pneumonia ringan yang
agar mendapatkan hasil yang lebih bermakna. dirawat inap di rumah sakit. Ini harus menjadi evalusi
Dalam penelitian ini mendapatkan bahwa bagi tenaga kesehatan untuk meningkatkan kualitas
pasien anak yang dirawat dari bulan Juni 2013 sampai pelayanan yang terbaik bagi pasien. Penggolongan
September 2013 di RSUD Buleleng tidak ada yang derajat pneumonia dalam penelitian ini sangat
meninggal murni akibat Community Acquired bergantung pada kelengkapan pencatatan rekam medis
Pneumonia. oleh tenaga kesehatan. Ini menjadi kelemahan dalam
penelitian ini karena jika ada pencatatan yang tidak
PEMBAHASAN lengkap maka akan mempengaruhi hasil penelitian.
Penelitian ini melibatkan sampel sebanyak 77 Berdasarkan lama rawat didapatkan hasil yang
pasien yang diambil dari data sekunder berupa rekam tidaklah jauh berbeda pada pasien yang dirawat
medis pasien community acquired pneumonia Anak di kurang atau sama dengan lima hari (50.6%) dan yang
Instalasi Rawat Inap RSUD Buleleng. lebih dari lima hari (49.4%). Hal tersebut tidak sejalan
Didapatkan bahwa jumlah pasien laki-laki dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh suharjono
lebih banyak dari pasien perempuan. Hal ini serupa dkk., 2009 yang mendapatkan bahwa lama rawat
dengan penelitian yang dilakukan oleh Suharjono dkk. pasien pneumonia yang mendapatkan golongan
Tabel 5. Lama Rawat Berdasarkan Pemberian antibiotika sefalosporin generasi ketiga, penisilin dan
Antibiotika gentamisin dimana paling banyak menggunakan
Pemberian Lama Rawat sefalosporin generasi ketiga baik kombinasi maupun
Antibiotika < 5 hari > 5 hari tidak didapatkan hasil bahwa lama riwat paling
Cefotaxime 38 (51,4%) 36 (48,6%) banyak selama 2 sampai 7 hari.7 Hal tersebut dapat
Ceftriaxone 1 (33,3%) 2 (66,7%) diakibatkan modalitas penanganan pneumonia anak di
RSUD Buleleng hanya menggunakan cefotaxime
untuk menangani semua kasus pneumonia. Sehingga
dan data epidemiologi dari BTS (British Thoracic
perlu dipertimbangkan pemberian antibiotika yang
3 http://ojs.unud.ac.id/index.php/eum
ISSN:2303-1395 E-JURNAL MEDIKA,VOL 6 NO 3,MARET 2017
lebih sensitif atau pemberian secara kombinasi serta Pemberian antibiotika secara parenteral hanya boleh
perlu dilakukan biakan kuman dan sensitivitas tes diberikan kepada anak-anak yang mengalami sakit
untuk penanganan yang lebih efektif terhadap parah dan dengan gangguan gastrointestinal (muntah
berbagai derajat pneumonia. WHO sendiri dan diare).13 Kemudahan pemberian antibiotika lewat
merekomendasikan bahwa pasien anak dengan parenteral melalui selang infus mungkin menjadi
pneumonia ringan dirawat jalan dan diberi antibiotika pertimbangan pemberian karena pasien anak cendrung
oral selama 3 hari. Untuk kasus pneumonia berat menolak jika diberikan lewat oral. Pada anak yang
diberikan antibiotika intravena, bila dalam 72 jam menerima terapi intravena, obat oral harus
pertama anak memberi respon yang baik maka dipertimbangkan ketika perbaikan klinis telah terjadi
berikan selama 5 hari. Selanjutnya terapi dilanjutkan dan anak dapat mentoleransi asupan oral.13
di rumah atau di rumah sakit dengan antibiotika oral Cefotaxime digunakan sebagai modalitas
untuk 5 hari berikutnya.9 utama dalam menanganai pneumonia untuk semua
Pola pemberian antibiotika pada pasien golongan usia di RSUD Buleleng. Hal ini berbeda
community acquired pneumonia anak pada penelitian dengan yang direkomendasikan WHO yang lebih
ini dibagi menjadi beberapa kategori yakni jenis memilih cotrimoxazole, amoxicillin atau ampicillin
antibiotika, frekuensi pemberian dan rute pemberian. sebagai pilihan pertama.9 Menurut Ikatan Dokter
Penanganan kasus pneumonia pada anak di RSUD Anak Indonesia (IDAI) pilihan pertama untuk usia
Buleleng terutama dalam pemilihan antibiotika, hanya dibawah lima tahun adalah amoxicillin dan untuk usia
menggunakan 2 jenis antibiotika golongan 5 tahun ke atas adalah macrolide jika tidak ada tanda
cephalosporin genarasi ketiga, yaitu cefotaxime dan pneumonia berat.14 Sedangkan berdasarkan pedoman
ceftriaxone yang kebanyakan diberikan 2 kali sehari pelayanan medis ilmu kesehatan anak RSUP Sanglah
dan seluruhnya lewat intravena. merekomendasikan untuk pneumonia anak berat atau
Cephalosporin serupa dengan penicillin, tetapi sangat berat diberikan antibiotika secara empiris
lebih stabil terhadap banyak beta-laktamase bakteri (sebelumnya dilakukan biakan kuman dan tes
sehingga memiliki aktivitas spektrum yang lebih luas. sensitivitas). Untuk usia dibawah 3 bulan pilihan
Cephalosporin generasi ketiga termasuk cefotaxime antibiotikanya adalah ampisilin + gentamisin, Usia 3
dan ceftriaxone merupakan broad spectrum yang bulan sampai 5 tahun yaitu ampisilin + kloramfenikol,
memilki aktifitas baik terhadap bakteri gram positif tambahkan makrolid jika tidak berespon, Usia 5 tahun
dan memilki cakupan gram negatif yang lebeih luas yaitu makrolid, tambahkan golongan Beta-laktam bila
serta aktif melawan S. Pneumonia. Cephalosporin tidak berespon dengan makrolid. Pada kasus sangat
dapat menpenetrasi cairan dan jaringan tubuh dengan berat/empiema, diberi sefalosporin. Antibiotik
baik. Obat ini digunakan untuk mengobati berbagai parenteral diberi sampai 48-72 jam bebas demam, lalu
macam infeksi berat yang disebabkan oleh organisme ganti oral (total 7-10 hari).15
yang resisten terhadap kebanyakan antibiotika lain. Pola pemberian antibiotika berdasarkan derajat
Ceftriaxone dan cefotaxime adalah cephalosporin pneumonia di RSUD Buleleng menggunakan
yang paling aktif terhadap galur pneumococcus yang cefotaxime sebagai pilihan utama untuk semua derajat
resisten terhadap penicillin dan direkomendasikan pneumonia. Hal ini tidaklah sesuai dengan yang
untuk terapi empiris infeksi berat yang mungkin direkomendasikan WHO. WHO menjelaskan
disebabkan oleh galur tersebut.10 Cefotaxim memiliki tatalaksana pasien anak dengan pneumonia berat dan
aktivitas yang paling luas di antara generasinya yaitu sangat berat adalah sebagai berikut. Antibiotika
mencakup pula Pseudominas aeruginosa, B. Fragilis pilihan pertama untuk kasus pneumonia berat adalah
meskipun lebih lemah.3 ampicillin/amoxicillin yang diberikan 25-50 mg/kg IV
Penelitian yang dilakukan oleh Menon dkk. atau IM setiap 6 jam, kemudian diamati dalam 24 jam
pada tahun 2013 mendapatkan bahwa cefotaxime selama 72 jam pertama. Bila anak memberi respon
memiliki sensitivitas yang lebih tinggi dari ampicillin yang baik maka lanjutkan pengobatan dan berikan
maupun amoxicillin terhadap kebanyakan pathogen selama 5 hari. Selanjutnya terapi dilanjutkan di rumah
penyebab communtity acquired pneumonia terutama atau di rumah sakit dengan amoxicillin oral (15 mg/kg
terhadap S. Pneumoniae yang merupakan bakteri tiga kali sehari) untuk 5 hari berikutnya. Bila keadaan
penyebab tersering ditemukan pada anak.12 klinis memburuk sebelum 48 jam, atau menunjukkan
Cefotaxime memiliki aktifitas baik terhadap bakteri derajat peneumonia yang sangat berat (tidak dapat
gram negatif maupun positif dan sensitif terhadap S. menyusu atau minum/makan, atau memuntahkan
Pneumonia. Hal-hal tersebut mungkin menjadi alasan semuanya, kejang, letargis atau tidak sadar, sianosis,
tenaga kesehatan di RSUD Buleleng lebih memilih distres pernapasan berat) maka ditambahkan
cefotaxime sebagai pilihan pertama dalam penanganan chloramphenicol (25 mg/kg IM atau IV setiap 8 jam).
pneumonia. Namun WHO dan Ikatan Dokter Anak Bila pasien datang dalam keadaan klinis berat, segera
Indonesia (IDAI) merekomendasikan antibiotika berikan oksigen dan pengobatan kombinasi
golongan aminopenicillin sebagai pilihan pertama ampicillin-chloramphenicol atau ampicillin-
dalam menangani pneumonia. 11 gentamicin. Sebagai alternatif, beri ceftriaxone (80-
Semua pasien pada penelitian ini diberikan 100 mg/kg IM atau IV sekali sehari). Bila anak tidak
antibiotika lewat intravena. Pemberian antibiotika membaik dalam 48 jam, jika memungkinkan lakukan
secara parenteral lebih mahal dan tidak menunjukkan pemeriksaan foto dada. Apabila diduga pneumonia
hasil yang lebih baik dalam terapi pneumonia. staphylococcus, ganti antibiotika dengan gentamicin
4 http://ojs.unud.ac.id/index.php/eum
ISSN:2303-1395 E-JURNAL MEDIKA,VOL 6 NO 3,MARET 2017
(7.5 mg/kg IM sekali sehari) dan cloxacillin (50
mg/kgBB IM atau IV setiap 6 jam) atau clindamycin Pasien yang mendapat ceftriaxone lebih
(15 mg/3 kali pemberian). Bila keadaan anak banyak dirawat lebih dari 5 hari. Namun jumlah
membaik, lanjutkan cloxacillin (atau dikloksasilin) sampel yang mendapat ceftriaxone sangat sedikit
secara oral 4 kali sehari sampai secara keseluruhan yaitu berjumlah 3 sampel sehingga kurang bermakna
mencapai 3 minggu, atau clindamycin secara oral untuk dibandingkan.
selama 2 minggu.9 Untuk derajat pneumonia berat Seluruh pasien anak dengan Community
atau pasien tidak dapat menerima obat per oral Ikatan Acquired Pneumonia yang dirawat di RSUD Buleleng
Dokter Anak Indonesia (IDAI) menganjurkan tanpa penyakit lainnya seluruhnya mencapai
memberikan antibiotika intravena. Antibiotika kesembuhan. Tidak ada pasien anak yang yang
intravena yang dipilih adalah ampicillin dan dirawat di RSUD Buleleng dari bulan Juni 2013
chloramphenicol, co-amoxiclav, ceftriaxone, sampai September 2013 meninggal murni akibat
cefuroxime dan cefotaxime.14 Hal-hal yang dipaparkan Community Acquired Pneumonia. Oleh karena itu
diatas berbeda dengan apa yang diterapkan di RSUD cefotaxime bisa digunakan sebagai pilihan terapi
Buleleng. untuk pasien Community Acquired Pneumonia anak,
Berdasarkan penelitian sensitivitas keseluruhan namun perlu dipertimbangkan untuk pemberian
patogen penyebab community acquired pneumonia antibiotika lainnya yang lebih sensitif serta
yang dilakukan oleh Menon dkk., mendapatkan sebelumnya perlu dilakukan biakan kuman dan tes
bahwa amikacin menunjukkan sensitifitas paling sensitivitas agar pemilihan antibiotika bisa lebih tepat.
tinggi (44,84%), diikuti oleh ofloxacin (43,45%),
gentamicin (38,62%), gatifloxacin (37,93%), SIMPULAN
augmentin dan ciprofloxacin (34,48%), ceftriaxone Pasien Community Acquired Pneumonia
(33,79%) dan linezolid (32,41%). Obat yang (CAP) pada anak di Rumah Sakit Umum Daerah
ditemukan memilki sensitifitas rendah yaitu penicillin Kabupaten Buleleng lebih banyak terjadi pada laki-
G (0,69%), ampicillin (1,38%) dan amoxicillin laki dengan insiden tertinggi terjadi pada usia 0-1
(2,07%).12 Hal ini perlu menjadi pertimbangan dalam tahun (infant). Pasien paling banyak berasal dari
pemilihan antibiotika karena obat yang kecamatan Buleleng. Sebagian besar pasien
direkomendasikan oleh WHO dan Ikatan Dokter Anak mengalami pneumonia ringan sampai berat.
Indonesia (IDAI) yaitu ampicillin dan amoxicillin Cefotaxime merupakan antibiotika pilihan
dalam penelitian tersebut didapatkan memilki utama untuk pasien community acquired pneumonia
sensitivitas yang rendah terhadap gabungan bakteri anak di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten
penyebab community acquired pneumonia. Sedangkan Buleleng dengan frekuensi pemberian 2 kali sehari,
cefotaxime dan ceftriaxone yang merupakan jenis selama lima hari atau lebih lewat intravena.
antibiotika yang dipakai oleh tenaga kesehatan di
RSUD Buleleng didapatkan memilki sensitivitas yang DAFTAR PUSTAKA
jauh lebih tinggi 1. Sudoyo W, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S. Ilmu Penyakit
Lama rawat pada pasien yang diberikan Dalam. Cetakan Pertama. Jakarta: Internal
cefotaxime pada penelitian ini ternyata tidak jauh Publishing. 2009.
berbeda dengan pasien yang dirawat kurang atau sama 2. Alsagaff H, Mukty A. Dasar-Dasar Ilmu
dengan lima hari dibandingkan dengan pasien yang Penyakit Paru. Cetakan Ketiga. Surabaya:
dirawat lebih dari 5 hari. Hal tersebut mungkin Airlangga University Press. 2006.
diakibatkan dalam penanganan pneumonia hanya 3. Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat
menggunkan cefotaxime sebagai modalitas utama Kesehatan. Pharmaceutical Care untuk
terapi untuk semua kasus pneumonia baik ringan Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan. Jakarta
sedang maupun berat. Penelitian yang dilakukan oleh : Departemen Kesehatan RI. 2005.
suharjono dkk., 2009 mendapatkan hasil yang 4. Ostapchuk M, Robberts M, Haddy R.
berbeda, dimana pasien pneumonia yang Community-Acquired Pneumonia in Infants
mendapatkan golongan antibiotika sefalosporin and Children. American Family Physician.
generasi ketiga, penisilin dan gentamisin dimana 2004. 70(5): 899-908.
paling banyak menggunakan sefalosporin generasi 5. Badan Penelitian dan Pengembangan
ketiga baik kombinasi maupun tidak didapatkan hasil Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar
bahwa lama riwat paling banyak selama 2 sampai 7 (RISKESDAS). Kementrian Kesehatan
hari.7 Republik Indonesia; 2007
6. Weber M, Handy F. Situasi Pneumonia Ramelan Surabaya). Majalah Ilmu
Balita di Indonesia. Epidemiologi. 2010. 3: Kefarmasian. 2009. 6(3): 142-155.
1-10. 8. Hapsari I. Astuti B. Pola Penggunaan
7. Suharjono, Yuniati T, Sumarno, Semedi S. Antibiotika Pada Infeksi Saluran Pernapasan
Studi Penggunaan Antibiotika Pada Aku Pneumonia Balita Pada Rawat Jalan
Penderita Rawat Inap Pneumonia (Penelitian Puskesmas I Purwareja. 2007.
Di Sub Departemen Anak Rumkital Dr. 9. Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di
5 http://ojs.unud.ac.id/index.php/eum
ISSN:2303-1395 E-JURNAL MEDIKA,VOL 6 NO 3,MARET 2017
Rumah Sakit Rujukan Tingkat Pertama di 11. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit
Kabupaten. Jakarta: Departemen Kesehatan dan Penyehatan Lingkungan. Modul
Republik Indonesia. 2009. Tatalaksana Standar Pneumonia. Jakarta:
10. Katzung B. Farmakologi Dasar dan Kinik. Kementerian Kesehatan RI. 2012.
Cetakan pertama. Jakarta: EGC. 2012.
12. Menon R, George A, Menon U. Etiology and African Thoracic Society Guidelines. South
Anti-microbial Sensitivity of Organisms Afr J Epidemiol Infect. 2009. 24(1): 25-36.
Causing Community Acquired 14. Pudjiadi A, Hegar B, Handryastuti S, Idris N,
Pneumonia: A Single Hospital Study. Journal Gandaputra E, Harmoniati E. Pedoman
of Family Medicine and Primary Care. 2013. Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak
3:244-49. Indonesia. Jakarta: IDAI. 2009.
15. Arhana P, Purniti N, Subanada I, Kumara K,
Santoso H, Arimbawa M, Suryawan W, et al.
Pelayanan Medis Ilmu Kesehatan Anak.
Denpasar : FK UNUD/RSUP Sanglah. 2010.

13. Zar H, Jeena P, Argent A, Gie R, Madhi S.


Diagnosis and Management of Community-
Acquired Pneumonia in Childhood – South

6 http://ojs.unud.ac.id/index.php/eum
Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 0 No.0, 2019, pp. XX-XX
pISSN 1410-4490, eISSN 2354-9203
DOI: 10.7454/jki.v0i0.604

DAMPAK FREKUENSI PERNAPASAN PREDIALISIS TERHADAP KRAM


OTOT INTRADIALISIS DI RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL
Cornelia D.Y Nekada*, Mohamad Judha

Faculty of Health Sciences, Universitas Respati Yogyakarta, Yogyakarta 55281, Indonesia

*Email: cornelia.nekada@gmail.com

Abstrak

Proses hemodialisis juga sering menimbulkan dampak kesakitan seperti terjadinya kram otot saat intradialisis. Tujuan
penelitian ini untuk mengidentifikasi dampak meningkatnya frekuensi pernapasan terhadap kram otot intradialisis.
Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan desain analitik cross sectional. Penelitian ini dilakukan di ruang
hemodialisis RSUD Panembahan Senopati Bantul. Subyek penelitian ini diambil secara accidental sampling.
Keseluruhan subyek penelitian ini adalah 91 responden. Peneliti mengukur frekuensi pernapasan predialisis dan
mengkaji kram otot intradialisis. Penelitian ini menggunakan analisa bivariabel Chi-Square. Hasil analisa Chi-Square
menunjukkan nilai p sebesar 0,020 yang berarti terdapat hubungan yang signifikan antara frekuensi napas predialisis
terhadap kram otot intradialisis. Kram otot yang terjadi selama proses hemodialisis dapat terjadi karena adanya stress
oksidatif selama intradialisis. Observasi frekuensi pernapasan dapat mengantisipasi adanya risiko stres oksidatif yang
mungkin akan terjadi.

Kata Kunci: pernapasan, predialisis, intradialisis, kram

Abstract

Effect of Predialysis Respiration Rate on Intradialysis Muscle Cramps at Regional Hospital Panembahan Senopati
Bantul. Hemodialysis process often causes painful impact such as muscle cramps during intradialysis. The objective of
this research was to identify the increased between respiratory rate and intradialysis muscle cramps. The method of this
research was analytical survey method. This research is descriptif quantitative with cross sectional design. This
research conducted in hemodialysis unit in Panembahan Senopati General Hospital in Bantul. The subjects of the
research taken using accidental sampling. The total research subjects were 91 respondents. The researchers measured
the relationship between predialysis respiratory rate and assesed the intradialysis muscle cramps. The data analyzed
with bivariate chi square. The Chi-Square analysis results showed that the p value is 0,020, meaning that there was a
significant relationship between predialysis respiratory rate and intradialysis muscle cramps. Muscle cramps during
hemodialysis process may occur due to oxidative stress during intradialysis. Observing respiratory rate can anticipate
the risks of oxidative stress that may occur.

Keywords: cramps, intradialysis, predialysis, respiratory

Pendahuluan
Makanan dan minuman junk food atau cepat
Kemajuan ilmu teknologi serta pola aktivitas saji merupakan salah satu pilihan alternatif
individu juga memengaruhi kondisi kesehatan untuk memenuhi kebutuhan makanan. Minum-
individu. Gaya hidup yang dituntut serba cepat an suplemenpun menjadi pilihan masyarakat
dan instan pun mulai memengaruhi semua kita untuk menambah stamina selama berakti-
aspek kehidupan. Cara mengonsumsi makanan vitas. Berawal dari perubahan pola kehidupan
pun terkadang tidak sesuai dengan konsep di masyarakat inilah yang akhirnya juga akan
asupan nutrisi sehat. berdampak pada status kesehatan di masyarakat.
2 Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 0, No. 0, 2019, pp. XX-XX

Berbagai macam kondisi kesakitan seperti hi- mulai proses hemodialisis (predialisis), selain
pertensi, diabetes mellitus, dan penyakit kronis penimbangan berat badan yang sudah rutin di-
lainnya mulai berkembang pada masyarakat lakukan sebelum pasien menjalani hemodia-
kita. Kondisi kesakitan tersebut berkembang lisis (Angraini & Putri, 2016; Katzberg, et al.,
dengan progresif dan mendukung terjadinya 2015; Hashimoto, et al., 2014). Perawat juga
penyakit terminal. Kondisi penyakit dengan perlu mengetahui bagaimana status pernapasan
kategori end of life care atau penyakit terminal pasien sebelum hemodialisis dimulai, dan apa
mulai banyak terjadi di masyarakat kita, salah hasilnya dapat menjadi penyebab terjadi kram
satunya adalah gagal ginjal kronis (Afsar, otot selama hemodialisa (Angraini & Putri,
Elsurer, 2013; Camporota & Barrett, 2016; 2016; S.A.M., Rustina & Syahreni, 2013).
Sopha & Wardhani, 2016).
Metode
Terapi hemodialisis merupakan terapi yang
cukup efektif bagi pasien dengan gagal ginjal Jenis penelitian ini adalah kuantitatif dengan
kronis (Setyaningsih, Mustikasari, & Nuraini, metode survey analitik, menggunakan pende-
2016; Sopha & Wardhani, 2016). Terapi he- katan cross sectional. Penelitian ini dilakukan
modialisis dilakukan seminggu 2 kali, dengan untuk mengetahui hubungan frekuensi perna-
lama waktu proses hemodialisis berkisar 4-5 pasan predialisis terhadap kram otot intradia-
jam (Afsar, Elsurer, Kirkpantur, 2013; Ferrario, lisis. Penelitian ini dilakukan di ruang hemo-
et al., 2014). Pasien hemodialisis merupakan dialisis RSUD Panembahan Senopati Bantul.
pasien dengan masalah kesehatan yang sangat Jumlah responden dalam penelitian ini adalah
kompleks, bukan hanya gangguan fisik yang 91 responden. Teknik sampling dalam pene-
terjadi melainkan juga secara sosial ekonomi litian ini adalah accidental sampling, dengan
juga terganggu (Setyaningsih, Mustikasari, & kriteria inklusi yaitu bersedia menjadi respon-
Nuraini, 2016; Sopha & Wardhani, 2016). Hal den, kooperatif, lama hemodialisis lebih dari 3
ini karena kurang lebih selama 2 kali dalam bulan, dan kriteria eksklusi memiliki riwayat
seminggu mereka harus meninggalkan semua penyakit paru, kategori usia lebih dari sama
aktivitasnya dan berada di rumah sakit untuk dengan 60 tahun.
melakukan proses hemodialisis (Ishii, et al.,
2017; Setyaningsih, Mustikasari, & Nuraini, Pasien yang datang ke ruang hemodialisis dan
2016). memenuhi kriteria pengambilan sampel, dibe-
rikan surat kesediaan sebagai responden dan
Selama proses hemodialis tidak jarang ber- kemudian diukur frekuensi pernapasan dengan
bagai keluhan komplikasi juga terjadi, salah menggunakan respiratory rate timer. Setelah
satunya yaitu kram otot (Afsar, Elsurer, & 1–2 jam proses hemodialisis, pasien kemudian
Kirkpantur, 2013; Ferrario, et al., 2014). Pada dikaji terhadap keluhan kram otot intradialisis.
hasil studi pendahuluan yang dilakukan oleh Penelitian ini menganalisis karakteristik res-
peneliti kepada 5 orang responden di RSUD ponden berdasarkan umur dan lama hemodia-
Panembahan Senopati Bantul, keluhan kram lisis, untuk melihat nilai minimal dan maksi-
otot selama proses hemodialisis (intradialisis) mal, serta nilai rata-rata. Penelitian ini meng-
ini digambarkan dengan berbagai macam kon- analisis distribusi frekuensi karakteristik res-
disi yaitu rasa tegang di kaki atau tangan, ponden yaitu jenis kelamin, frekuensi perna-
sensasi rasa pegel dan kaku di sekitar perut pasan predialisis kram otot intradialisis. Ana-
maupun maupun punggung. Kondisi ini tentu- lisis bivariat pada penelitan ini menggunakan
nya dirasakan sebagai sesuatu hal yang sangat Chi-square, yaitu untuk melihat hubungan fre-
mengganggu oleh pasien. Oleh sebab itu, kon- kuensi pernapasan predialisis terhadap kram
disi ini perlu mendapatkan perhatian khusus otot intradialisis. Proses penelitian ini telah
sejak dari awal pasien datang atau akan me- diijinkan secara etik (No: 395.4/FIKES/PL/IV/
Nekada, et al., Dampak Frekuensi Pernapasan Predialisis Terhadap Kram Otot Intradialisis 3

Tabe1 l. Karakteristik Responden Berdasarkan Umur dan Lama Hemodialisis

Karakteristik Mean Min Max


Umur(tahun) 45,8 22 59
Lama Hemodialisis(bulan) 33,62 3 108

Tabel 2. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin, Respiratory Rate Predialisis, dan Kram
Otot Intradialisis

Karakteristik Jumlah n (%)


Jenis Kelamin
Perempuan 44 (48,4)
Laki-laki 47 (51,6)
Respiratory Rate Predialisis
Tidak Normal 27 (29,7)
Normal 64 (70,3)
Kram Otot Intradialisis
Tidak 60 (65,9)
Ya 31 (34,1)

Tabel 3. Hubungan RR Predialisis Terhadap Kram Otot Intradialisis

Kram Otot Intradialisis


Total
Kondisi Tidak Kram Otot Kram Otot p
n (%)
n (%) n (%)
RR Predialisis Tidak Normal 13 (48,1) 14 (51,9) 27 (100) 0,020
Normal 47 (73,4) 17 (26,6) 64 (100)

2017), karena tidak menimbulkan kondisi yang hubungan antara frekuensi pernapasan predia-
membahayakan kepada responden (pasien he- lisis terhadap kram otot intradialisis dengan
modialisis). ditunjukkan oleh nilai p sebesar 0,020.

Hasil Pembahasan
Tabel 1 menjelaskan bahwa rerata responden Rentang usia kehidupan responden yang ditun-
berusia 45,8 tahun, dengan usia paling muda jukkan pada Tabel 1 merupakan kategori tahap
adalah 22 tahun dan paling tua 59 tahun, rata- usia tumbuh kembang dewasa akhir, dengan
rata lama hemodialisis responden yang ditemui ciri telah memiliki keputusan penuh terhadap
selama pengambilan data adalah 33,62 bulan. kehidupannya. Individu tersebut mempunyai
Tabel 2 menjelaskan bahwa karakteristik res- otonomi penuh untuk gaya hidup yang dija-
ponden dengan jenis kelamin laki-laki lebih lani, kehidupan berkeluarga, cara bekerja, cara
banyak daripada wanita yaitu 47 (51,6%) dari beraktivitas, berolahraga, maupun respon stres
total keseluruhan responden yaitu 91 respon- (Afsar, et.al, 2013; Sopha & Wardhani, 2016).
den, sebesar 70,3 % responden memiliki freku- Pada tahap ini individu sering mengalami ke-
ensi pernapasan predialisis normal dan 65,9 % sakitan. Hal ini dikarenakan oleh pada usia ini
responden tidak mengalami kram otot intra- mereka memiliki kewenangan penuh untuk me-
dialisis. Tabel 3, menjelaskan bahwa terdapat mutuskan makanan dan minuman yang akan
4 Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 0, No. 0, 2019, pp. XX-XX

mereka konsumsi maupun cara beraktivitas me- 2014). Data penelitian ini juga menjelaskan
reka. Kebiasaan konsumsi makanan maupun bahwa sampai dengan waktu pengambilan data
minuman yang tidak sehat, seperti makanan terdapat responden yang telah melakukan he-
instan yang tinggi bahan pengawet, minuman modialisis selama 108 bulan atau sekitar 9 ta-
bersoda, dapat berdampak pada gangguan me- hun. Terapi hemodialisis bukanlah obat, hemo-
tabolisme tubuh (Nasution, 2014; Sopha & dialisis bukan menghilangkan suatu penyakit,
Wardhani, 2016). Gangguan yang berkelanjut- namun dengan terapi hemodialisis akan mem-
an sampai tahap usia dewasa akhir ini, tentu perpanjang usia harapan hidup pasien (Ishii, et
akan terakumulasi di dalam tubuh dan dapat al., 2017). Terapi hemodialisis merupakan su-
menimbulkan situasi kesakitan pada rentang atu bentuk terapi yang masuk kategori ranah
usia tertentu (Narayan, et al., 2014; Palamidas, asuhan keperawatan pada pasien akhir (end of
et al., 2014; Rosdiana,Yetty, & Sabri, 2014). life care) dengan pendekatan paliatif care
(Afsar, et al., 2013; Allegretti, et al., 2015).
Hasil penelitian ini menunjukkan usia pasien Apabila pasien hemodialisis tersebut melaku-
yang mengalami gagal ginjal kronis dan men- kan terapi dengan tepat dan melakukan semua
jalani terapi hemodialisis adalah usia kategori anjuran tim kesehatan terkait gaya hidup se-
dewasa akhir. Semakin bertambah umur se- perti, pola makan, pola aktivitas, dan koping
orang individu, tentu akan semakin meningkat terhadap stres, maka harapannya pasien terse-
faktor risikonya terhadap penyakit gagal ginjal but dapat tetap sehat dan produktif seperti bia-
kronis (Ferrario, et al., 2014). Namun hal ini sanya (Debroy, 2016; Ferrario, et al., 2014;
memang sangat didukung oleh gaya hidup in- Ishii, et al., 2017).
dividu tersebut, sepanjang rentang kehidupan
dalam melakukan pengelolaan status kesehatan Pasien hemodialisis juga hendaknya mematuhi
(Afsar, et al., 2013; Setyaningsih, Mustikasari, jadwal pelaksanaan hemodialisis yang harus ia
Nuraini, 2016). Kondisi ini juga didukung dari jalani, minimal adalah seminggu 2 kali, sesuai
data penelitian yang menunjukkan bahwa ter- jadwal yang telah ditetapkan, harapannya ada-
nyata ada responden hemodialisis yang berusia lah supaya beban tubuh akibat sisa metabolis-
paling muda adalah 22 tahun. Hasil wawan- me tidak akan semakin meningkat dan mem-
cara pada responden tersebut juga didapatkan bahayakan fungsi tubuh yang lain (Ferrario, et
data bahwa ia memiliki kebiasaan mengonsum- al., 2014; Nasution, 2014; Sopha & Wardhani,
si minuman penambah stamina dan jamu instan. 2016).

Tabel 1 juga menjelaskan bahwa rata-rata lama Karakteristik responden pada Tabel 2, dijelas-
hemodialisis responden yang ditemui selama kan bahwa pasien dengan jenis kelamin laki-
pengambilan data adalah 33,62 bulan. Hemo- laki lebih banyak daripada wanita yaitu 47
dialisis merupakan terapi yang bermanfaat un- (51,6%) dari total keseluruhan responden yaitu
tuk menggantikan fungsi ginjal (Nasution, 2014; 91 responden. Salah satu pendukung dari hal
Sopha & Wardhani, 2016). Pada kondisi pasien tersebut karena secara anatomi, laki-laki me-
gagal ginjal tahap akhir menunjukkan bahwa miliki saluran perkemihan yang lebih panjang
ginjal sudah kehilangan fungsinya ≥ 60%. Gin- daripada perempuan. Kondisi ini memungkin-
jal tidak mampu lagi melakukan proses filtrasi kan laki-laki memiliki risiko lebih besar untuk
dengan baik, sehingga terjadilah penumpukan mengalami pengendapan karena batu ginjal
sampah tubuh (Camporota & Barrett, 2016; (Afsar, et al, 2013; Citirak, et al, 2016). Faktor
Palamidas, et al., 2014; Saravu, et al., 2014). pendukung lainnya adalah laki-laki juga me-
Terapi hemodialisis pada pasien gagal ginjal miliki jumlah hormone esterogen yang lebih
kronis ini dilakukan sepanjang rentang usia ke- sedikit bila dibandingkan dengan perempuan,
hidupannya semenjak ia didiagnosa penyakit padahal hormon tersebut berfungsi untuk meng-
tersebut (Ferrario, et al., 2014; Nasution, hambat pembentukan sitokin dan bermanfaat
Nekada, et al., Dampak Frekuensi Pernapasan Predialisis Terhadap Kram Otot Intradialisis 5

menghambat osteoklast sehingga kadar kalsi- tubuh yang lain juga dapat terkena. (Küçükali,
um seimbang (Futterman, 2016; Wang, et al., et al., 2015; Laliberte, 2017; Panza, et al.,
2018). Penyakit batu ginjal inilah yang dapat 2017). Sel otot mendapatkan energi yang me-
menjadi salah satu predisposisi dari gagal gin- reka butuhkan dari oksidasi karbohidrat, le-
jal kronis. Faktor risiko lainnya adalah pem- mak, dan protein, semua proses metabolisme
besaran pada prostat yang selain berdampak ini membutuhkan oksigen (Küçükali, et al.,
pada obstruksi sistem perkemihan juga dapat 2015; Reilly, et al., 2015). Jaringan vital ter-
berdampak pada infeksi (Angraini & Putri, 2016; tentu, seperti jaringan pada otak dan jantung,
Palamidas, et al., 2014; Wisniewski, et al., tidak dapat bertahan lama tanpa suplai oksigen
2017). kontinu (Behringer, et al., 2014; Citirak, et al.,
2016). Sebagian hasil oksidasi tersebut harus
Tabel 2 menjelaskan bahwa pada hasil pene- di buang dari sel-sel untuk mencegah penum-
litian ini sejumlah 70,3% responden memiliki pukan produk sampah asam, proses pembuang-
frekuensi pernapasan predialisis normal. Res- an ini dilakukan oleh ginjal, jika pembuangan
piratory Rate (RR) atau frekuensi pernapasan sisa metabolisme tubuh ini tidak sempurna,
adalah kemampuan paru dalam melakukan maka akan menjadi racun dan menumpuk pada
proses ventilasi yang diukur dalam satu menit tubuh, sehingga menyebabkan kerusakan organ
(Umei, et al., 2016; Watanabe, et al., 2015; yang lain, contohnya adalah hepar (Kitaoka,
Wertheim, et al., 2013). Mekanisme pernapas- 2014; Zaman, 2015; S.A.M, et al., 2013).
an atau ventilasi terdiri dari proses inspirasi dan
ekspirasi. Saat inspirasi, udara mengalir dari Pada pasien hemodialisis karena ginjal tidak
atmosfer (tekanan tinggi) ke alveoli paru (te- dapat berfungsi dengan baik maka terjadilah
kanan rendah) melalui trakea, bronkus, dan penumpukan asam sisa metabolisme, yang da-
bronkiolus, sedangkan saat ekspirasi, udara da- pat mengganggu fungsi otot yaitu asam laktat
lam alveolar (tekanan tinggi) ke luar menuju (Kitaoka, 2014; Zang, et al., 2015). Satu sam-
atmosfer (tekanan rendah) melalui jalan yang pai dengan dua jam pertama proses hemodia-
sama (Angelo daSilva, et al., 2016; Rosdiana, lisis, terjadi pemecahan sel darah dalam jum-
Yetty, & Sabri, 2014; Wunderink, et al., 2014). lah besar sehingga terjadi kondisi stres oksida-
Frekuensi pernapasan orang dewasa normal tif untuk sementara pada setiap sel otot, yang
yang cukup istirahat bernapas 12–20 kali per dapat menyebabkan asam laktat meningkat dan
menit (Priyanto, Irawaty, & Sabri, 2011). terjadilah kram (Mori, et al., 2014).
Perubahan frekuensi pernapasan yang sering
terjadi adalah bradipnea atau pernapasan labat Tabel 3 menjelaskan bahwa terdapat hubung-
(kurang dari 12 per menit) dan takipnea atau an antara frekuensi pernapasan predialisis ter-
pernpasan cepat (lebih dari 20 kali per menit) hadap kram otot intradialisis dengan ditunjuk-
(Watanabe, Ooishi, & Kashino, 2015; Wertheim, kan oleh nilai p sebesar 0,020. Hasil penelitian
et al., 2013). yang disajikan dalam Tabel 3 tersebut juga me-
nunjukkan bahwa pasien hemodialisis yang me-
Kondisi kram otot intradialisis dijelaskan pada miliki nilai frekuensi pernapasan normal ter-
tabel 2 bahwa sejumlah 65,9% responden tidak nyata juga tidak mengalami kram otot (73,4%).
mengalami kram otot intradialisis. Kram otot Kondisi ini memiliki makna bahwa apabila ke-
intradialisis merupakan rasa atau sensasi tidak mampuan bernapas pasien saat predialisis baik,
nyaman pada sekitar otot berupa rasa kaku, maka suplay oksigen ke seluruh sel tubuh, ter-
pegal, tegang, maupun kesemutan (Andrews, masuk sel otot juga menjadi adekuat. Oksigen
2018; Behringer, et al., 2014; Behringer, et al., dipasok ke sel dan karbon dioksida dibuang
2017). Bagian tubuh yang sering mengalami dari sel melalui sirkulasi darah. Sel-sel berhu-
kram otot saat intradialisis adalah daerah teng- bungan dekat dengan kapiler, sehingga me-
kuk dan ekstremitas, namun demikian bagian mungkinkan terjadinya pertukaran atau oksi-
6 Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 0, No. 0, 2019, pp. XX-XX

gen dan karbon dioksida lewat dengan mudah resistensi, dibutuhkan upaya pernapasan yang
(Kitaoka, 2014; S.A.M., et al., 2013; Priyanto, lebih besar dari normal untuk mencapai tingkat
Irawaty, & Sabri, 2011). ventilasi yang normal.

Oksigen berdisfusi dari kapiler ke cairan in- Frekuensi pernapasan atau respiratory rate (RR)
terstisial, dan kemudian menuju membran sel, atau kecepatan pernapasan adalah indikator ke-
sehingga terjadilah pernapasan selular oleh mi- mampuan paru dalam melakukan proses venti-
tokondria, sedangkan karbondioksida melaku- lasi yang diukur dalam satu menit. Fungsi paru
kan proses difusi dengan arah yang berlawan- yang mencerminkan mekanisme ventilasi, di-
an (Watanabe, et al., 2015). Kondisi ini ber- sebut dengan istilah volume paru dan kapasitas
langsung secara berkelanjutan, sehingga mam- paru (Bilo, et al., 2012; Priyanto, et al., 2011).
pu memurnikan oksigen dan membuang kar- Oleh karena itu, frekuensi pernapasan pada
bon dioksida dari paru. Pada saat individu me- akhirnya akan memengaruhi jumlah volume pa-
narik napas, maka udara akan mengalir dari ru pada individu. Kondisi pasien hemodialisis
daerah yang tekanannya tinggi (atmosfer) ke terkadang menunjukkan sesak napas dikarena-
daerah dengan tekanan lebih rendah (sistem kan adanya efek samping yang sering terjadi
pernapasan). Selama inspirasi, gerakan diafrag- yaitu anemia, sehingga memengaruhi ikatan
ma dan otot-otot pernapasan lain memperbesar oksigen dan hemoglobin (oksihemoglobin) yang
rongga toraks dan dengan demikian menurun- berdampak pada perubahan pola pernapasan,
kan tekanan di dalam toraks sampai tingkat di sebagai bentuk mekanisme koping pemenuhan
bawah tekanan atmosfir (Küçükali, et al., 2015; kebutuhan oksigen (Angraini & Putri, 2016; S.
Mori, et al., 2014). Karenanya, udara tertarik A.M., et al., 2013; Priyanto, et al., 2011). Oleh
melalui trakea dan bronkus ke dalam alveoli. sebab itu, perawat hemodialisis perlu melaku-
Selama ekspirasi normal, diafragma rileks, dan kan pengkajian terhadap pola pernapasan pa-
paru mengempis sehingga mengakibatkan pe- sien dengan mengamati kedalaman dan freku-
nurunan ukuran rongga toraks. Tekanan alveo- ensi pernapasan. Pada orang dewasa normal,
lar kemudian melebihi tekanan atmosfir, dan frekuensi pernapasan normal adalah 12–20 kali
udara mengalir dari paru ke dalam atmosfir (S. permenit, kedalaman dan irama yang teratur
A.M., et al., 2013; Priyanto, et al., 2011; (Angraini & Putri, 2016; Nekada, Roesli, Sriati,
Watanabe, et al., 2015). 2015; Priyanto, et al., 2011).

Resistesi jalan udara ditentukan terutama oleh Peningkatan dalam frekuensi pernapasan dise-
diameter atau ukuran saluran udara tempat uda- but takipnea, peningkatan kedalaman perna-
ra mengalir (S.A.M., et al., 2013; Priyanto, et al., pasan disebut hiperpnea (S.A.M., et al., 2013;
2011). Oleh karena itu, setiap proses yang me- Priyanto, et al., 2011). Kondisi peningkatan
ngubah diameter atau kelebaran bronkial akan baik pada frekuensi maupun kedalaman rendah
memengaruhi resisten jalan udara dan meng- disebut sebagai hiperventilasi. Hiperventilasi
ubah kecepatan aliran udara sampai gradient yang ditandai oleh peningkatan frekuensi dan
tekanan tertentu selama respirasi. Faktor-faktor kedalaman, yang berkaitan dengan diabetik asi-
umum yang dapat mengubah diameter bronki- dosis berat atau yang bersumber dari ginjal di-
al termasuk kontraksi otot polos bronkial, se- sebut pernapasan kussmaul (Angraini & Putri,
perti pada asma; penebalan mukosa bronkus, 2016; Priyanto, et al., 2011). Rata-rata volume
seperti pada bronkitis kronis; atau obstruksi pernapasan satu menit pada individu dengan
jalan udara akibat lender, tumor atau benda frekuensi pernapasan normal adalah sekitar 6
asing (S.A.M., et al., 2013; Priyanto, et al., liter/menit (Angraini & Putri, 2016; Watanabe,
2011). Oleh sebab itu, kondisi penyakit perna- et al., 2015). Penyakit gagal ginjal kronik se-
pasan tersebut menjadi kriteria eksklusi dalam ring menunjukkan gangguan frekuensi perna-
penelitian ini. Karena dengan meningkatnya pasan yaitu pernapasan kussmaul akibat pe-
Nekada, et al., Dampak Frekuensi Pernapasan Predialisis Terhadap Kram Otot Intradialisis 7

numpukan cairan paru yang gagal dibuang oleh mempertahankan homeostasis (Nekada, Roesli,
ginjal, sehingga mengakibatkan adanya kondi- Sriati, 2015). Perpindahan cairan dari tubuh ke
si asidosis metabolik (Angraini & Putri, 2016; tabung dialisat, dan sebaliknya inilah yang
Priyanto, et al., 2011). Kondisi ini tentunya ha- memicu adanya stress oksidatif, sehingga otot
rus mendapatkan perhatian oleh perawat kare- menjadi kekurangan energi khususnya dalam
na ketidakefektifan frekuensi pernapasan dapat bentuk ATP (adenosit triphospat). Sel otot be-
berdampak pada volume paru dan berdampak kerja melalui system biologis metabolis, yang
juga pada jumlah oksigen yang diterima oleh memberi respon terhadap aktivitas kimia, lis-
sel tubuh. Hasil pengkajian sistem pernapasan trik, maupun mekanik (Behringer, et al., 2014;
yang dapat dilihat pada pasien hemodialisis El-Azizi, et al., 2016). Energi dalam bentuk
adalah perubahan pola nafas yaitu takipnea, ATP yang dibutuhkan untuk aktivitas otot di-
hiperventilasi, dispnea, orthopnea, bahkan ter- bentuk melalui proses metabolisme glukosa
kadang apnea (Bilo, et al., 2012; Priyanto, et pada siklus krebs (S.A.M., et al., 2013; Reilly,
al., 2011). Keadaan ini merupakan temuan khu- et al., 2015). Ketika intradialisis berlangsung,
sus bagi perawat dan menjadi acuan dalam tubuh mengalami ketidakseimbangan suplai
memberikan terapi oksigen. oksigen, sehingga otot mendapatkan energi da-
ri metabolisme anaerobik melalui siklus krebs,
Kram otot intradialisis adalah kondisi yang yang akhirnya menghasilkan tiga molekul ATP
menunjukkan adanya ketegangan pada otot, se- dan produk sampingan yaitu dua molekul asam
hingga menimbulkan keluhan seperti rasa kaku piruvat (S.A.M., et al., 2013; Nekada, Roesli,
atau tegang (Nekada, Roesli, & Sriati, 2015). Sriati, 2015). Asam piruvat ini selanjutnya
Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa ter- akan di metabolisme bersamaan dengan glu-
dapat hubungan antara frekuensi pernapasan kosa melalui siklus cori yang menghasilkan
predialisis dengan terjadinya komplikasi intra- produk akhir berupa asam laktat. Proses ini
dialisis, yang ditunjukkan dengan nilai p se- terjadi di organ hati. Proses yang berlangsung
besar 0,020. Tabel 3 menjelaskan bahwa, pa- beberapa saat selama intradialisis ini meng-
sien hemodialisis yang memiliki frekuensi per- akibatkan penumpukan asam laktat, sehingga
napasan tidak normal saat predialisis ternyata memengaruhi kontraktilitas pada otot dalam
51,9% mengalami kram otot intradialisis. Fre- dan berdampak pada terjadinya kram otot in-
kuensi pernapasan yang tidak adekuat tentunya tradialisis (Reilly, et al., 2015; Priyanto, et al.,
akan berpengaruh pada jumlah volume total 2011).
udara dalam paru, oleh sebab itu apabila jum-
lah volume paru berkurang, maka jumlah ok- Kram otot terjadi sebagai mekanisme secara fi-
sigen yang diterima oleh sel tubuh pun juga siologis saat sel otot kekurangan oksigen, pada
berkurang. Kondisi ini dapat menyebabkan kondisi ini otot kemudian melakukan metabo-
permasalahan selama proses intradialisis, di- lisme untuk tetap menghasilkan energi dengan
antaranya adalah kram otot. Lokasi kram otot cara memecahkan karbohidrat tanpa menggu-
yang paling sering adalah daerah ekstremitas, nakan oksigen dan menghasilkan asam laktat,
namun tidak menutup kemungkinan daerah proses ini disertai juga dengan adanya kon-
tengkuk, otot sekitar perut dan punggung juga traksi pada otot (Nekada, Roesli, Sriati, 2015;
timbul keluhan tersebut. Kram otot intradia- Mori, et al., 2014). Namun karena proses he-
lisis merupakan suatu keadaan yang diakibat- modialisis yang masih berlangsung, maka otot
kan karena adanya stres oksidatif pada tubuh pun mengalami kontraksi semakin lama dan
(Mori, et al., 2014). Kondisi ini dapat diaki- terkadang mengalami kesulitan untuk relak-
batkan dari perubahan osmolaritas yang terjadi sasi. Kondisi ini pun akan sangat mengganggu
selama proses hemodialisis, khususnya 1–2 jam pasien hemodialisis, sehingga terkadang ber-
awal proses tersebut berlangsung (Ferrario, et dampak pada dihentikannya proses hemodia-
al, 2014). Pada 1–2 jam awal tubuh mencoba lisis (Angraini & Putri, 2016; Nekada, et al.,
8 Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 0, No. 0, 2019, pp. XX-XX

2015). Tabel 3 menjelaskan bahwa pada res- siko munculnya keluhan kram otot selama pro-
ponden yang memang sudah dari awal (pre- ses hemodialisis berlangsung (El-Azizi, et al.,
dialisis) menunjukkan bahwa frekuensi per- 2016; Watanabe, et al., 2015).
napasannya tidak normal, sebanyak 51,9% res-
ponden mengalami kram otot, sedangkan pada Selain akibat stres oksidatif selama proses he-
responden yang memiliki frekuensi pernapasan modialisis, kram otot yang terjadi pada intra-
predialisis yang normal sebanyak 73,4% tidak dialisis juga diakibatkan karena pasien hemo-
mengalami kram otot. Hal ini membuktikan dialisis mengalami kelemahan secara umum
bahwa pasien hemodialisis yang menunjukkan pada otot (Angraini & Putri, 2016; Nekada,
kesiapan pernapasan dari awal sudah baik, Roesli, Sriati, 2015). Perkembangan predispo-
pasien tersebut akan lebih adaptif terhadap sisi dari gagal ginjal kronis serta proses he-
proses hemodialisis, sehingga kecil kemung- modialisis yang berkelanjutan berdampak juga
kinan timbul keluhan intradialisis yaitu kram pada stres oksidatif yang berkelanjutan di otot,
otot. Proses hemodialisis memang untuk se- sehingga terjadi miopati otot, neuropati otot,
mentara waktu akan berdampak pada ketidak- atrofi otot (Mori, et al, 2014). Kondisi stress
seimbangan cairan tubuh, selama proses ter- oksidatif ini berakhir dengan gangguan res-
sebut berlangsung pembuluh darah akan meng- pirasi tingkat seluler, mitochondria DNA LL-
alami hipovolemia (Angraini & Putri, 2016; 37 merespon kondisi tersebut untuk mencegah
Nekada, Roesli, Sriati, 2015). Hal ini menye- infeksi seluler terjadi, namun karena pada pa-
babkan ototpun akan kekurang suplai oksigen sien hemodialisis kondisi ini berlangsung terus
sehingga terjadilah proses metabolisme an- menerus, maka proses respirasi anaerob pun
aerob di otot dengan hasil sampingan akhir akhirnya terjadi (Zhang, et al, 2015).
adalah asam laktat. Asam laktat ini untuk se-
mentara waktu digunakan oleh otot sebagai Responden penelitian yang mengalami kram
sumber energi, khususnya saat proses hemo- otot menjelaskan bahwa keluhan kram tersebut
dialisis berlangsung. Namun sesungguhnya masih sedikit ada sampai dengan proses hemo-
penumpukan asam laktat pada otot juga ber- dialisis selesai, sehingga mereka merasakan
dampak hal yang negative yaitu terhambatnya kesulitan berjalan. Peran perawat sangat pen-
proses sirkulasi kalium dan kalsium, sehingga ting untuk mencegah terjadinya kram otot ya-
mengganggu proses depolarisasi dan repolari- itu dengan meminimalkan terjadi risiko stres
sasi pada otot dan mengakibatkan otot lama oksidatif selama proses hemodialisis. Kondisi
berkontraksi serta kesulitan untuk relaksasi stress oksidatif tersebut terjadi selama proses
(Angraini & Putri, 2016; Citirak, et al., 2016). hemodialisis, sehingga mengganggu juga pro-
Frekuensi pernapasan predialisis yang adekuat ses metabolisme tubuh, pada pasien hemodia-
merupakan gambaran status oksigenasi yang lisis yang harus menjalani terapi berkelanjutan
baik sebelum pasien memulai proses hemodia- metabolisme asam lemak juga terganggu. Hal
lisis. Status oksigenasi yang baik sebelum he- ini diakibatkan mediator transportasi asam le-
modialisis tersebut menjadi modal awal bagi mak yaitu L-carnittine mengalami gangguan
pasien dalam menghadapi situasi stres oksida- saat melewati mitokondria, keadaan selanjut-
tif yang akan dialami selama proses hemodi- nya yang terjadi pada pasien adalah kelemahan
alisis (intradialisis). Saat oksigenasi predialisis dan mudah letih (Zhang, 2015; Zaman, 2015).
adekuat, maka cadangan oksigenasi yang dapat
digunakan untuk energy seluler pun masih Perawat perlu melakukan pengkajian secara
adekuat, sehingga otot masih dapat energi me- komprehensif khususnya sebelum pasien me-
lalui metabolisme aerob, dengan demikian pro- mulai hemodialisis. Pada fase predialisis ini
duksi asam laktat sebagai hasil akhir dari me- perawat harus mengkaji adaptasi frekuensi per-
tabolisme anaerob akan lebih sedikit terbentuk. napasan pasien, yang bertujuan untuk menge-
Kondisi ini tentunya juga akan mengurangi ri- tahui kondisi oksigenasi sebelum proses hemo-
Nekada, et al., Dampak Frekuensi Pernapasan Predialisis Terhadap Kram Otot Intradialisis 9

dialisis dimulai. Apabila perawat menemukan untuk melakukan pengkajian secara kompre-
pasien yang mengalami ketidaknormalan fre- hensif. Perawat sebaiknya memperhatikan fre-
kuensi pernapasan, maka perawat dapat me- kuensi pernapasan pasien pada fase predia-
mutuskan tindakan yang tepat, sebagai contoh lisis, sehingga meminimalkan kejadian kram
memberikan terapi oksigen selama proses he- otot (YS, AW, TN).
modialisis berlangsung. Pemberian terapi oksi-
gen ini bertujuan agar stress oksidatif intra-
dialisis tersebut dapat diminimalkan, sehingga Referensi
sel otot masih dapat melakukan proses meta-
bolisme secara aerob, selain itu jika diperlukan Afsar, B., Elsurer, R., & Kirkpantur, A. (2013).
perawat dapat melakukan kolaborasi dengan Body shape index and mortality in hemo-
medis untuk pemberian kalsium (Laliberte, dialysis patients. Nutrition, 29 (10), 1214–
2017; Mori, et al., 2014; Reilly, 2015). Jika 1218. doi: 10.1016/j.nut.2013.03.012.
masih terjadi kram otot selama proses hemo-
Allegretti, A.S., Flythe, J.E., Benda, V., Robinson,
dialis, perawat dapat mengajarkan relaksasi E.S., & Charytan, D. M. (2015). The effect
napas dalam maupun memberikan kompres air of bicarbonate administration via continu-
hangat pada daerah yang mengalami kram ous venovenous hemofiltration on acid-base
(Andrews, et al., 2018; Behringer, et al., 2014; parameters in ventilated patients. BioMed
Behringer, et al., 2017; Debroy, 2017). Relak- Research International, 2015. doi: 10.1155/
sasi napas dalam bertujuan untuk memperbai- 2015/901590.
ki pernapasan seluler, sedangkan kompres air
hangat membantu vasodilatasi pembuluh darah Andrews, L. (2018). Dehydration: How to avoid
dan sehingga oksigenasi sel juga menjadi ade- painful muscle cramps in the hot summer
kuat (Andrews, 2018; Nekada, et al., 2015; weather. Express (Online). Retrieved from
Priyanto, et al., 2011) https://search.proquest.com/docview/203487
6856?accountid=25704.

Kesimpulan Angelo daSilva, L.D., Almeida, M.M.M.F.,


Quaresma, M.O., Castro, T., Santos, M.A.,
Pasien hemodialisis yang menjadi responden & Chiavegato, L.D. (2016). Success or
sebagian besar memiliki jenis kelamin laki-laki failure predictive indexes of extubation in
dengan rerata telah menjalani terapi selama 33, renal transplants patients under mechanical
62 bulan dengan rerata berusia 45,8 tahun. Peng- ventilation - Pilot study. Manual Therapy,
kajian predialisis dengan mengidentifikasi kon- Posturology & Rehabilitation Journal:
disi respiratory rate (RR) menunjukkan bahwa Revista Manual Therapy, 14. doi: 10.
nilai RR responden rata-rata dalam rentang nor- 17784/mtprehabjournal.2016.14.337.
mal, sedangkan pengkajian intradialisis dengan
Angraini, F., & Putri, A.F. (2016). Pemantauan
mengidentifikasi kondisi kram otot menunjuk- The effect of bicarbonate administration via
kan bahwa sebagian respoden tidak mengalami continu-ous venovenous hemofiltration on
kram otot. Pengkajian predialisis respiratory acid-base parameters in ventilated patients.
rate (RR) memiliki peran terhadap timbulnya Jurnal Keperawatan Indonesia, 19 (3), 152–
kram otot intradialisis. Penelitian ini menunjuk- 160. doi: 10.7454/jki.v19i3.475.
kan bukti bahwa pemeriksaan frekuensi per-
napasan predialisis menjadi suatu langkah pen- Behringer, M., Moser, M., McCourt, M., Montag,
ting untuk mengantisipasi kejadian kram otot J., & Mester, J. (2014). A promising
intradialisis. approach to effectively reduce cramp
susceptibility in human muscles: A
randomized, controlled clinical trial. PLoS
Tenaga kesehatan baik medis maupun perawat
One, 9 (4). doi: 10.1371/ journal.pone.009
berperan penting pada setiap fase hemodialisis 4910.
10 Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 0, No. 0, 2019, pp. XX-XX

Neuroscience, 15, 103. doi: 10.1186/1471-


Behringer, M., Nowak, S., Leyendecker, J., & 2202-15-103
Mester, J. (2017). Effects of TRPV1 and
TRPA1 activators on the cramp threshold Ishii, T., Taguri, M., Tamura, K., & Oyama, K.
frequency: A randomized, double-blind (2017). Evaluation of the effectiveness of
placebo-controlled trial. European Journal xanthine oxidoreductase inhibitors on
of Applied Physiology, 117 (8), 1641–1647. haemodialysis patients using a marginal
doi: 10.1007/s00421-017-3653-6. structural model. Scientific Reports (Nature
Publisher Group), 7, 1–12. doi: 10.1038/s
Camporota, L., & Barrett, N. (2016). Current 41598-017-13970-4.
applications for the use of extracorporeal
carbon dioxide removal in critically ill Katzberg, H.D., Breiner, A., & Hogan, D.B.
patients. BioMed Research International, (2015). Quinine and leg cramps/the author
2016. doi: 10.1155/2016/ 9781695 responds. Canadian Medical Association
Journal, 187 (10), 757. doi: https://doi.
Citirak, G., Cejvanovic, S., Andersen, H., & org/10.1503/cmaj.1150039. Retrieved from
Vissing, J. (2016). Effect of gender, disease https://search.proquest.com/docview/169702
duration and treatment on muscle strength in 5616?accountid=25704.
myasthenia gravis. PLoS One, 11 (10). doi:
10.1371/journal.pone. 0164092. Kitaoka, Y. (2014). McArdle disease and exercise
physiology. Biology, 3 (1), 157–166. doi: 10.
Debroy, L. (2017). What muscle cramps can mean 3390/biology3010157.
health and lifestyle. Mumbai Mirror.
Retrieved from https://search.proquest.com/ Küçükali, C.I., Kürtüncü, M., Akçay, H.I., Tüzün,
docview/1942324990?accountid=25704. E., & öge, A.E. (2015). Peripheral nerve
hyperexcitability syndromes. Reviews in the
El-Azizi, N., Farouk, H. M., Abdel-Rahman, M., & Neurosciences, 26 (2), 239–251. doi: 10.
Shalaby, S. A. (2016). AB0911 sarcopenia 1515/revneuro-2014-0066.
assessment in chronic kidney disease
patients. Annals of the Rheumatic Diseases, Laliberte, R. (2017). Muscle Cramps. Prevention,
75, 1213. doi: 10.1136/ annrheumdis-2016- 69, 18–21. Retrieved from https://search.
eular.2293 proquest.com/docview/1906857929?account
id=25704.
Ferrario, M., Moissl, U., Garzotto, F., Cruz, D.N.,
Clementi, A., Brendolan, A., Tetta, C., Gatti, S.A.M., R., Rustina, Y., & Syahreni, E. (2013).
E., Signorini, M.G., Cerutti, S., & Ronco, C. Memperbaiki saturasi oksigen, frekuensi
(2014). Effects of fluid overload on heart denyut jantung, dan pernafasan neonatus
rate variability in chronic kidney disease yang menggunakan ventilasi mekanik
patients on hemodialysis. BMC Nephrol, 15 dengan terapi musik. Jurnal Keperawatan
(26). doi: 10.1186/1471-2369-15-26. Indonesia, 16 (3), 154–160. doi: 10.7454/
jki.v16i3.324.
Futterman, M. (2016). A spicy new way to prevent
muscle cramps - A nobel winner invents a Mori, L., Marinelli, L., Pelosin, E., Currà, A.,
spicy drink and a new view of the cause of Molfetta, L., Abbruzzese, G., et al. (2014).
cramps. Wall Street Journal. Retrieved from Shock waves in the treatment of muscle
https://search.proquest.com/docview/180299 hypertonia and dystonia. BioMed Research
3978?accountid=25704. International. doi: 10.1155/2014/637450.

Hashimoto, Y., Ota, T., Mukaino, M., Liu, M., & Narayan, R., Rizzo, M., & Cole, M. (2014).
Ushiba, J. (2014). Functional recovery from Successful treatment of severe carbama-
chronic writer's cramp by brain-computer zepine toxicity with 5 % albumin-enhanced
interface rehabilitation: A case report. BMC continuous venovenous hemodialysis. Journal
Nekada, et al., Dampak Frekuensi Pernapasan Predialisis Terhadap Kram Otot Intradialisis 11

of Artificial Organs, 17 (2), 206–209. doi:


10.1007/s10047-014-0754-4 Saravu, K., Rishikesh, K., & Parikh, C.R. (2014).
Risk factors and outcomes stratified by
Nasution, S.T. (2014). Faktor-faktor yang ber- severity of acute kidney injury in malaria.
hubungan dengan manajemen diri pada PLoS One, 9 (3). doi:
pasien yang menjalani hemodialisis di ruang 10.1371/journal.pone.0090419.
hemodialisis RSUP Dr Hasan Sadikin
Bandung. Bandung: Universitas Padjadjaran. Setyaningsih, T., Mustikasari, M., & Nuraini, T.
(2016). Peningkatkan harga diri pada klien
Nekada, C.D., Roesli, R.M., & Sriati, A. gagal ginjal kronik melalui cognitive
(2015). Pengaruh gabungan relaksasi napas behavior therapy (CBT). Jurnal
dalam dan otot progresif terhadap kompli- Keperawatan Indonesia, 14 (3), 165–170.
kasi intradialisis di Unit Hemodialisis RSUP doi: 10.7454/jki.v14i3.63.
Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten. Bandung:
Universitas Padjadjaran. Sopha, R.F., & Wardhani, I.Y. (2016). Stres dan
tingkat kecemasan saat ditetapkan perlu
Palamidas, A.F., Sofia-Antiopi Gennimata, hemodialisis berhubungan dengan
Karakontaki, F., Kaltsakas, G., Papantoniou, karakteristik pasien. Jurnal Keperawatan
I., Koutsoukou, A., et al. (2014). Impact of Indonesia, 19 (1), 55–61.
hemodialysis on dyspnea and lung function https://doi.org/10.7454/jki.v19i1.431
in end stage kidney disease patients.
BioMed Research International, 2014. doi: Umei, N., Atagi, K., Okuno, H., Usuke, S., Otsuka,
10.1155/2014/212751. Y., Ujiro, A., et al. (2016). Impact of
mobilisation therapy on the haemodynamic
Panza, G., Stadler, J., Murray, D., Lerma, N., and respiratory status of elderly intubated
Barrett, T., Pettit-Mee, R., et al. (2017). patients in an intensive care unit: A
Acute passive static stretching and cramp retrospective analysis. Intensive & Critical
threshold frequency. Journal of Athletic Care Nursing, 35, 16–21. doi:
Training, 52 (10), 918–924. doi: 10.1016/j.iccn.2016.02.001
10.4085/1062-6050-52.7.03.
Wang, B., Gong, Y., Ying, B., & Cheng, B.
Priyanto, P., Irawaty, D., & Sabri, L. (2011). (2018). Association of initial serum total
Peningkatan fungsi ventilasi oksigenasi paru calcium concentration with mortality in
pada klien pasca ventilasi mekanik dengan critical illness. BioMed Research
deep breathing exercise. Jurnal Keperawat- International, 8. doi:
an Indonesia, 14 (1), 23–30. doi: 10.7454/ 10.1155/2018/7648506.
jki.v14i1.53.
Watanabe, K., Ooishi, Y., & Kashino, M. (2015).
Reilly, B.D., Cramp, R.L., & Franklin, C.E. Sympathetic tone induced by high acoustic
(2015). Activity, abundance and expression tempo requires fast respiration. PLoS One,
of Ca2+-activated proteases in skeletal 10 (8). doi: 10.1371/journal.pone.0135589.
muscle of the aestivating frog, cyclorana
alboguttata. Journal of Comparative Wertheim, D., Olden, C., Symes, L., Rabe, H., &
Physiology B, Biochemical, Systemic, and Seddon, P. (2013). Monitoring respiration in
Environmental Physiology, 185 (2), 243– wheezy preschool children by pulse oxi-
255. doi: 10.1007/s00360-014-0880-6. metry plethysmogram analysis. Medical and
Biological Engineering and Computing, 51
Rosdiana, I., Yetty, K., & Sabri, L. (2014). (9), 965–970. doi: 10.1007/s11517-013-
Kecemasan dan lamanya waktu menjalani 1068-z.
hemodialisis berhubungan dengan kejadian
insomnia pada pasien gagal ginjal kronik. Wisniewski, N., Bondar, G., Rau, C., Chittoor, J.,
Jurnal Keperawatan Indonesia, 17 (2), 39– Chang, E., Esmaeili, A., et al. (2017).
47. doi: 10.7454/jki.v17i2.440. Integrative model of leukocyte genomics
12 Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 0, No. 0, 2019, pp. XX-XX

and organ dysfunction in heart failure Watch Gastroenterology. doi: 10.1056/nejm-


patients requiring mechanical circulatory jw.NA38768.
support: a prospective observational study.
BMC Medical Genomics, 10. doi: 10.1186/ Zhang, Z., Meng, P., Han, Y., Shen, C., Li, B.,
s12920-017-0288-8. Hakim, M.A., et al. (2015). Mitochondrial
DNA-LL-37 complex promotes atheroscle-
Wunderink, R.G., & Waterer, G.W. (2014). rosis by escaping from autophagic recog-
Community-Acquired Pneumonia. The New nition. Immunity, 43 (6), 1137–1147. doi:
England Journal of Medicine, 370 (6), 543– 10.1016/j.immuni.2015.10.018.
551. doi: 10.1056/NEJMcp1214869.

Zaman, A. (2015). L-carnitine for muscle cramps


in patients with cirrhosis. NEJM Journal
LAPORAN PENELITIAN

Faktor–Faktor yang Berhubungan dengan Diagnosis


Pneumonia pada Pasien Usia Lanjut
Factors Related to Diagnosis of Community-Acquired Pneumonia
in the Elderly
Elza Febria Sari1,2, C. Martin Rumende3, Kuntjoro Harimurti4
1
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Bekasi
2
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta
3
Divisi Respirologi dan Penyakit Kritis, Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/Rumah
Sakit dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta
4
Divisi Geriatri, Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/Rumah Sakit dr. Cipto
Mangunkusumo, Jakarta

Korespondensi:
C. Martin Rumende. Divisi Respirologi dan Penyakit Kritis, Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/Rumah
Sakit dr. Cipto Mangunkusumo. Jln. Pangeran Diponegoro 71, Jakarta 10430, Indonesia. email: rumende_martin@yahoo.com

ABSTRAK
Pendahuluan. Menegakkan diagnosis pneumonia pada pasien usia lanjut seringkali sulit mengingat gejala dan tanda klinis
sering tidak lengkap dan manifestasi klinis yang tidak khas serta pemeriksaan penunjang yang sulit diinterpretasi. Hal ini
mengkibatkan under ataupun over diagnosis dengan konsekuensi meningkatnya morbiditas dan mortalitas. Data faktor-
faktor yang berhubungan dengan diagnosis pneumonia baik manifestasi khas ataupun tidak khas pada pasien usia lanjut
belum banyak tersedia.
Metode. Penelitian diagnostik dilakukan terhadap 158 pasien usia lanjut dengan kecurigaan pneumonia yang dirawat
di Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta pada kurun waktu Januari-Oktober 2010. Hubungan data klinis,
laboratoris serta radiologis yang mencakup manifestasi spesifik (batuk, sputum produktif, sesak napas, demam, ronki,
leukositosis , infiltrat) dan manifestasi tidak spesifik (intake sulit, jatuh, penurunan status fungsional inkontinensia urin)
dengan diagnosis pneumonia komunitas dianalisis dengan regresi logistik. Kemudian, ditentukan kontribusi masing-masing
determinan diagnosis terhadap diagnosis pneumonia. Kemampuan C-reactive protein dalam menegakkan diagnosis
pneumonia dinilai dengan membuat kurva ROC dan menghitung AUC.
Hasil. Dari 158 subjek, 106 didiagnosis pneumonia sesuai kriteria baku emas. Pada model akhir regresi logistik didapatkan
tiga faktor yang berhubungan dengan diagnosis pneumonia yaitu batuk, ronki dan infiltrat dengan nilai p masing-masing
secara berturut-turut yaitu <0,0001; 0,02; dan 0,0001. Nilai AUC yang diperoleh dari metode ROC untuk mengetahui
kemampuan CRP dalam mendiagnosis pneumonia adalah 0,57 (IK 95%; 0,47-0,66).
Simpulan. Faktor-faktor yang berhubungan dengan diagnosis pneumonia pada usia lanjut adalah batuk, ronki dan infiltrat.
Sementara itu, c-reactive protein tidak memiliki peran dalam memprediksi diagnosis pneumonia pada pasien usia lanjut.
Kata Kunci: diagnosis, pneumonia komunitas, usia lanjut

ABSTRACT
Introduction. Diagnosing community-acquired pneumonia (CAP) in the elderly remains a clinical challenge for various
reasons. The clinical manifestation in the elderly is not frank and atypical manifestations, e.g. falls, decrease of functional
status and food intake or urinary incontinence, may be present. These reasons may be associated with under or over
diagnosis, which consequently contribute to the higher observed mortality rate in the elderly population with CAP. Study
about factors related to diagnosis of CAP in the elderly was rarely performed.
Methods. From January to October 2010, 158 elderly patients suspected of having pneumonia at RSCM were registered.
Relationship between clinical, laboratory and radiologic factors which consist of classic manifestations (cough, productive
cough, dyspnea, fever, rales, leucocytosis, infiltrates) and atypical manifestations (decrease of intake and functional
status, falls, urinary incontinence) with diagnosis community acquired pneumonia were analyzed. Receiver operating
characteristics analysis of C-reactive protein was performed to find its association with diagnosis of pneumonia.

Jurnal Penyakit Dalam Indonesia | Vol. 3, No. 4 | Desember 2016 | 183


Elza Febria Sari, C. Martin Rumende, Kuntjoro Harimurti

Results. Of 158 subject, 106 were confirmed of having pneumonia. Final model of multiple logistics regression analysis
revealed three factors: cough (p<0,0001), rales (p=0,02) and infiltrate (p<0,0001) related to diagnosis of pneumonia. All four
atypical manifestations were proved unrelated with diagnosis of pneumonia. The area under the ROC curve for c-reactive
protein was 0,57 (95% CI 0,47- 0,66).
Conclusions. Factors related with diagnosis of community-acquired penumoni in the elderly are cough, rhales and infiltrates.
All four atypical manifestations are proven unrelated with diagnosis of pneumonia. C-reactive protein does not predict
diagnosis of CAP in the eldery.
Keywords: community-acquired pneumonia, diagnostic factors, elderly

PENDAHULUAN Banyak kepustakaan yang menjelaskan tentang


Pneumonia komunitas atau community acquired manifestasi klinis tidak khas pneumonia pada seorang
pneumonia (CAP) merupakan salah satu masalah pasien usia lanjut. Berbagai teori telah dikembangkan
kesehatan yang sering dijumpai dan mempunyai dampak tentang patogenesis yang mendasarinya. Gambaran klinis
yang signifikan di seluruh dunia, terutama pada populasi yang menyimpang seperti yang telah disebutkan di atas
usia lanjut.1,2 Insiden pneumonia komunitas dilaporkan penting untuk diwaspadai dalam diagnosis pneumonia
meningkat sesuai dengan bertambahnya usia.3-5 Pada pasien usia lanjut untuk menghindari kesalahan dan
pasien usia ≥65 tahun yang dirawat di rumah sakit, keterlambatan diagnosis dengan segala konsekuensinya.
pneumonia merupakan diagnosis terbanyak ketiga. Sementara tidak banyak tersedia data mengenai seberapa
Angka ini menjadi semakin penting mengingat bahwa sering manifestasi klinis yang tidak khas ini muncul,
diperkirakan sebanyak 20% dari penduduk dunia akan termasuk seberapa pengaruhnya terhadap penegakkan
berusia lebih dari 65 tahun di tahun 2050.1,6-9 diagnosis pneumonia pada usia lanjut.
Menegakkan diagnosis pneumonia pada pasien usia Pemeriksaan dini c-reactive protein (CRP) serum
lanjut masih merupakan tantangan bagi para klinisi mengingat 24-48 jam merupakan uji laboratorium yang telah dikenal
tampilan klinis yang tidak lengkap dan tidak spesifik. Gejala luas untuk mendiagnosis dan memonitor berbagai proses
dan tanda pneumonia yang khas sering tidak didapatkan pada infeksi dan inflamasi akut, termasuk pneumonia. Almiral,
pasien usia lanjut. Metlay, dkk.10 dan Fernandez, dkk.11 yang dkk.17 melaporkan bahwa median kadar CRP pada pasien
melakukan studi pada pasien usia lanjut dengan pneumonia, yang sudah dikonfirmasi menderita pneumonia lebih
melaporkan bahwa gejala-gejala saluran pernapasan seperti tinggi dibandingkan median CRP pada mereka yang tidak
batuk dan sesak napas lebih jarang dikeluhkan pada kelompok pneumonia (110,7 mg/L vs. 31,9 mg/L, p<0,05). Studi
usia yang lebih tua. Sementara itu, gejala berupa nyeri dada lainnya mendapatkan bahwa sensitifitas CRP dalam
pleuritik dan hemoptisis lebih banyak pada kelompok usia mendiagnosis infeksi saluran napas bagian bawah berkisar
muda. Hasil temuan fisik yang konsisten dengan diagnosis antara 10-98% dengan spesifisitas berkisar antara 44-
pneumonia komunitas sama sekali tidak ditemukan pada 99%.18 Namun demikian, penelitian-penelitian tersebut
20%-47% pasien usia lanjut. Sesak napas dan ronki pada tidak secara khusus melibatkan pasien usia lanjut maupun
umumnya lebih sering ditemukan.12,13 melakukan analisis sub-grup pada kelompok usia lanjut.
Manifestasi klinis yang tidak khas seperti hilangnya Belum banyak penelitian sejenis yang meneliti
nafsu makan, penurunan status fungsional, inkontinensia tentang peran CRP dalam menegakkan diagnosis
urin dan jatuh bisa muncul sebagai penanda pneumonia pneumonia komunitas. Penelitian-penelitian yang
pada pasien usia lanjut. Menegakkan diagnosis suatu mengevaluasi hubungan berbagai determinan diagnostik,
penyakit akibat infeksi bakteri, termasuk pneumonia pada termasuk manifestasi pneumonia yang tidak khas pada
pasien usia lanjut seringkali sulit. Sebab, riwayat penyakit pasien usia lanjut juga belum banyak dilakukan.
sulit didapat dan seringkali sulit dipercaya akibat adanya
sensory loss, gangguan kognisi dan isolasi sosial. Adanya METODE
komorbiditas merancukan pemeriksaan fisik dan tanda- Penelitian ini merupakan studi diagnostik dengan
tanda utama pneumonia seringkali tidak muncul, seperti desain potong lintang untuk mendapatkan kriteria
demam, batuk produktif, dan tanda-tanda konsolidasi paru. diagnosis pneumonia komunitas pada usia lanjut.
Selain itu, parameter laboratorium seperti tidak adanya Penelitian dilakukan di Divisi Geriatri Departemen Ilmu
peningkatan leukosit, serta gambaran radiologis yang sulit Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-
diinterpretasi membuat penegakkan diagnosis pneumonia Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo (FKUI-RSCM) pada
pada usia lanjut masih menjadi tantangan para klinisi.14-16 bulan Desember 2010 sampai dengan Maret 2011. Data

184 | Jurnal Penyakit Dalam Indonesia | Vol. 3, No. 4 | Desember 2016


Faktor–Faktor yang Berhubungan dengan Diagnosis Pneumonia pada Pasien Usia Lanjut

yang digunakan yaitu data sekunder berupa data rekam Tabel 1. Karakteristik subjek penelitian
medic pasien usia lanjut yang datang ke instalansi gawat Karakteristik
Jenis Kelamin, n (%)
darurat dan atau poliklinik geriatri RSCM dengan dugaan Laki-laki 75 (47,5)
diagnosis pneumonia pada periode Januari-Oktober 2010. Perempuan 83 (52,5%)
Populasi terjangkau penelitian ini adalah pasien usia ≥60 Usia, rerata (SB), tahun 68,44 (6,65)
Katagori Usia, n (%)
tahun yang diduga menderita pneumonia di RSCM. >80 Tahun 11 (6,6)
Teknik pengambilan sampel menggunakan metode 70-79 Tahun 128 (83,2)
60-69 Tahun 19 (10,2)
consecutive sampling, yaitu semua pasien usia lanjut yang Pendidikan, n (%)
didiagnosis pneumonia serta mendapat perawatan di RSCM Tidak sekolah/tidak lulus SD 58 (38)
baik di poli rawat jalan, unit gawat darurat dan ruang rawat SD 30 (19,3)
SMP 19 (12,7)
inap penyakit dalam. Kriteria inklusi sampel meliputi: 1) SMA 30 (18,1)
pasien berusia ≥ 60 thn; 2) diduga menderita pneumonia Akademi/Perguruan Tinggi 21 (12)
Status Perkawinan, n (%)
pneumonia komunitas; dan 3) mendapat perawatan di RSCM Nikah 97 (61,39)
(poli rawat jalan, Unit Gawat Darurat dan ruang rawat inap) Belum Nikah 3 (1,89)
Duda/Janda 58 (43,03)
pada kurun waktu Januari-Oktober 2010. Kriteria eksklusi
Suku, n (%)
sampel yaitu pasien yang menderita hospital aquired Jawa 56 (34,7)
pneumonia dan pasien yang menderita infeksi lainnya. Pasien Betawi 48 (30,5)
Sunda 18 (13,2)
yang memenuhi kriteria inklusi selanjutnya dikumpulkan data Padang 12 (7,8)
anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, Batak 6 (3,6)
Lain-lain 12 (7,8)
serta radiologi (rontgen toraks). Pembayaran , n (%)
Analisis data dilakukan dengan menggunakan perangkat Umum 40 (42,2)
ASKES 46 (27,7)
SPSS versi 15.0 untuk mendapatkan tabel frekuensi dan tabel
SKTM 10 (6,0)
silang sesuai dengan tujuan penelitian. Perhitungan nilai JPS/Gakin 42 (24,1)
rerata hitung dan sebaran baku dilakukan untuk data yang Faktor Klinis
Komorbiditas, n (%)
bersifat kuantitatif, sekaligus dihitung rentangan nilainya Keganasan 14 (8,4)
menurut batas kepercayaan (confidence interval) 95%. Kurva Gagal jantung kongestif 56 (33,7)
Penyakit hati kronik 13 (7,8)
reciever operating characteristic (ROC) dibuat dan area under
Penyakit serebrovaskular 25 (15,1)
curve (AUC) dari CRP dihitung untuk mengetahui kemampuan Penyakit ginjal 29 (7,5)
CRP untuk meningkatkan ketepatan dalam mendiagnosis Diabetes melitus 50 (30,1)
PPOK 9 (5,4)
pneumonia komunitas pada usia lanjut. Tuberkulosis 15 (9)
Asma bronchial 2 (4)
Gula darah, rerata (SB) 147,6 ( 69,84)
HASIL Hematokrit, rerata (SB) 33,4 (7,61)
Penelitian ini dilakukan dengan melihat rekam Status nutrisi (MNA), rerata (SB) 16,7 (4,26)
medik pasien usia lanjut yang didiagnosis pneumonia ADL, rerata (SB) 11,8 (7,12)
Tekanan Darah sistolik, rerata (SB) 136,1 ( 28,20)
serta mendapat perawatan di RSCM baik di poli rawat Tekanan Darah diastolic, rerata (SB) 80,1 (13,89)
jalan, unit gawat darurat dan ruang rawat inap penyakit Suhu, rerata (SB) 37,1 (0,89)
Leukosit, rerata (SB), /mm3 13.060,5 (7297)
dalam pada kurun waktu Januari-Oktober 2010. Selama
hsCRP, rerata (SB) 79,4 (74,08)
kurun waktu tersebut, didapatkan sebanyak 158 pasien Diagnosis pneumonia, n (%) 106 (67)
usia lanjut dengan kecurigaan diagnosis pneumonia yang
diikutkan dalam penelitian. Rerata usia subjek penelitian batuk, sesak nafas, sputum produktif, ronki, infiltrat, suhu
adalah 68,44 (6,65) tahun, dengan jumlah perempuan dan intake sulit (variabel yang dengan nilai p <0,2 pada
sedikit lebih banyak dibanding laki-laki. Sebanyak 67,9% bivariat). Hasilnya, terdapat tiga variabel determinan
pasien memenuhi kriteria Riquelme untuk diagnosis pada model akhir analisis multivariat yang mencapai
pneumonia. Karakteristik demografi dan klinis subjek kemaknaan secara statistik yaitu batuk, ronki dan infiltrat
penelitian selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1. (Tabel 3). Selain itu, hasil analisis kemampuan CRP
Pada analisis bivariat, didapatkan determinan dalam memprediksi pneumonia dengan metode ROC
diagnosis yang bermakna secara statistik adalah batuk, mendapatkan nilai AUC CRP dalam memprediksi CAP pada
ronki dan infiltrat dan demam (p <0,05) (Tabel 2). usia lanjut yaitu sebesar 0,57 (IK 95%; 0,47-0,66) dengan
Selanjutnya, Variabel yang dianalisis multivariat adalah nilai p= 0,149 (Gambar 1).

Jurnal Penyakit Dalam Indonesia | Vol. 3, No. 4 | Desember 2016 | 185


Elza Febria Sari, C. Martin Rumende, Kuntjoro Harimurti

Gambar 1. Kurva ROC nilai CRP dalam memprediksi diagnosis CAP

Tabel 2. Analisis bivariat kriteria diagnostik pneumonia


Faktor diagnosis Pneumonia p value P value OR (IK 95%)
Ya (n=106) Tidak (n=52)
Batuk 78 (74) 25 (48,1) <0,0001 3,12 (1,55-6,27)
Sputum produktif 26 (24,8) 6 (11,5) 0,053 2,52 (0,97-6,58)
Sesak Napas 57 (74) 20 (38,5) 0,07 1,81 (0,94-3,66)
Demam 37 (34,6-40,1) 36,8 (36,3-39,1) 0,04 2,6 (1-6,78)
Ronki 91 (86,7) 34 (65,4) 0,002 3,33 (1,54-7,67)
Leukositosis 11,4 (2,1-40) 11 (2-43) 0,8 1,09 (0,52-2,27)
Infiltrat 106 (100) 15 (28,8) <0,0001 8,06 (5,02-12,9)
Jatuh 15 (14,3) 9 (17,3) 0,62 0,79 (0,32-1,96)
Inkontinensia urin 19 (18,1) 7 (14) 0,52 1,35 (0,3-3,47)
Intake sulit 74 (70,5) 41 (80) 0,18 0,582 (0,25-1,3)
Penurunan status 43 (41,9) 16 (31,4) 0,24 1,51 (0,74-3,07)
fungsional

Tabel 3. Analisis multivariat determinan diagnostik


Variabel B Wald p value OR (IK 95%)
Batuk 2,72 9,457 0,002 15,18 (2,85-88,1)
Sputum produktif 0,62 0,25 0,612 1,876 (0,17-22,52)
Sesak nafas -0,26 0,15 0,695 0,76 (0,21-2,94)
Demam 0,69 2,63 0,10 2,01 (0,89-4,7)
Ronki 2,06 8,79 0,003 7,861 (2,0-30,1)
Infiltrat 6,13 34,17 <0,0001 461,57 (59-370)
Intake sulit -0,25 0,10 0,752 0,71 (0,19-2,83)

DISKUSI Penelitian oleh Kaplan, dkk.19 yang mendapatkan rerata


usia pasien pneumonia adalah 77 tahun, sedangkan
Karakteristik Subjek Zalacain, dkk.18 mendapatkan rerata pasien adalah 76,3
Penelitian ini merupakan suatu penelitian diagnostik (7,3) tahun. Perbedaan tersebut disebabkan oleh batasan
dengan jumlah subjek sebanyak 158 pasien usia lanjut usia lanjut yang diterapkan pada penelitian di negara barat
yang diduga menderita pneumonia komunitas. Subjek lebih tinggi, yaitu >65 tahun.
perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki (52,53%). Pada subjek penelitian ini didapatkan penyakit
Rerata usia subjek adalah 68,44 (6,65) tahun (Tabel 1). komorbid yang paling banyak adalah gagal jantung
Penelitian serupa yang melibatkan pasien usia lanjut kongestif (33,7%), diikuti diabetes melitus (DM) (30,1%)
umumnya memiliki rerata usia subjek yang lebih tinggi. dan penyakit serebrovaskular (15,1%) (Tabel 1). Hasil ini

186 | Jurnal Penyakit Dalam Indonesia | Vol. 3, No. 4 | Desember 2016


Faktor–Faktor yang Berhubungan dengan Diagnosis Pneumonia pada Pasien Usia Lanjut

kurang lebih sama dengan penelitian sebelumnya. Lera, Pada penelitian ini, didapatkan sebanyak 106 (67%)
dkk.20 yang membagi pasien menjadi 2 grup (>85 tahun subjek yang diduga menderita CAP memenuhi kriteria
dan 65-85 tahun) mendaparkan komorbiditas terbanyak diagnosis pneumonia komunitas. Angka ini hampir sama
adalah gagal jantung kongestif, pada masing-masing dengan hasil penelitian yang didapatkan oleh Muller, dkk.26
kelompok yaitu sebesar 31,2% dan 18,4% (p<0,001). yang meneliti tentang akurasi diagnostik dan prognostik
Komorbiditas merupakan determinan penting pada parameter klinis dan laboratorium pada CAP. Muller, dkk.26
risiko terjadinya pneumonia dan memengaruhi prognosis. mendapatkan sebanyal 373 (68,4%) subjek dikonfirmasi
Gagal jantung kongestif dan penyakit serebrovaskular akan diagnosis pneumonia komunitas dengan menggunakan
memengaruhi fungsi saluran pernafasan yang bersaman kriteria diagnostik infiltrat di rontgen toraks disertai
dengan gangguan refleks batuk, gangguan bersihan adanya gejala dan tanda kelainan saluran pernafasan.
muko silier dan batuk tidak efektif. Kondisi tersebut
berakibat pada tertundanya kemunculan manifestasi Manifestasi Pneumonia Komunitas Pada Pasien Usia
klinis pada pneumonia.9 Penyakit komorbid lainnya yang Lanjut
dinilai memengaruhi pneumonia adalah keganasan, DM, Pada penelitian ini, dikumpulkan sebanyak 12
penyakit paru kronik dan penyakit ginjal kronik.21 determinan diagnostik pneumonia komunitas pada usia
Frekuensi penyakit komorbid pada pasien pneumonia lanjut yang terdiri dari 7 manifestasi khas dan 4 manifestasi
usia lanjut sangat tinggi. Fry, dkk.22 mendapatkan bahwa tidak khas pneumonia, serta CRP. Pada analisis bivariat,
diantara pasien usia lanjut yang dirawat di RS dengan didapatkan determinan diagnostik yang bermakna adalah
diagnosis pneumonia, minimal terdapat satu penyakit batuk, sesak napas, sputum produktif, intake sulit, ronki,
komorbid pada tiap pasien. Penyakit jantung kongestif infiltrat dan demam (Tabel 2). Sementara itu, hasil analisis
didapatkan pada 56,9% kasus, PPOK pada 47,25% dan DM mulivariat menunjukkan hanya determinan diagnostik batuk,
pada 19,5% kasus. ronki dan infiltrat yang didapatkan bermakna (Tabel 3).
Rerata nilai albumin pada penelitian ini lebih rendah
dari nilai normal, yaitu 3,117 mg/dl dan rerata skor mini Manifestasi Khas Pneumonia Pada Usia Lajut
nutritional assessment (MNA) adalah 16,796 (skor <17
adalah malnutrisi). Kobashi, dkk.23 mendapatkan nilai Batuk
albumin serum <3,5 gr/dl pada 35% pasien usia lanjut Terdapat hubungan yang bermakna secara statistik
dengan pneumonia. Sementara itu, Riquelme, dkk.24 antara batuk dengan diagnosis pneumonia (p= 0,002, OR
mendapatkan bahwa kadar albumin yang rendah dan 15,18; IK 95%; 2,85-88,1) (Tabel 3). Sebanyak 74,3% pasien
variabel antropometrik yang menunjukkan adanya usia lanjut yang didiagnosis pneumonia komunitas dari
malnutrisi berhubungan dengan timbulnya pneumonia penelitian ini mengeluhkan batuk. Hasil ini lebih sedikit jika
pada pasien usia lanjut. dibandingkan dengan yang didapatkan oleh Muller, dkk.26
Malnutrisi merupakan penyebab utama menurunnya dan Christ, dkk.27 yang mendapatkan proporsi batuk masing-
fungsi imun. Terdapat 10-25% populasi usia lanjut yang masing 91,2% dan 89%. Penelitian serupa dengan populasi
mengalami defisit nutrisional dan meningkat menjadi pasien usia lanjut oleh Riquelme, dkk.12 yang meneliti 101
sekitar 50% pada pasien usia lanjut yang dirawat. Malnutrisi pasien menemukan bahwa batuk dikeluhkan 67% pasien
pada usia lanjut dapat muncul sebagai defisiensi kalori usia lanjut. Sementara itu, Hopstaken, dkk.16 mendapatkan
global, defisiensi protein dan atau nutrisi mikro (vitamin nilai yang lebih sedikit, yaitu 29% pasien pneumonia
dan mineral). Bukan hanya sebagai faktor risiko untuk komunitas usia lanjut (>65 tahun) yang mengalami batuk.
timbulnya infeksi, meningkatnya demand metabolik dan Terdapat sedikitnya enam mekanisme pertahanan
durasi serta infeksi juga merupakan penyebab malnutrisi. yang penting dalam pencegahan CAP yang terganggu
Hubungan dua arah antara nutrisi dan infeksi seperti ini pada pasien-pasien usia lanjut, yaitu filtrasi aerodinamik,
menciptakan pola yang continue dan harus diputus. refleks batuk, transport mukosilier, fungsi sel fagositik,
Namun demikian, perlu diperhatikan bahwa fungsi imunologi dan klirens sekresi pulmoner. Perubahan
penurunan fungsi imun akibat malnutrisi harus dibedakan ini akan memengaruhi epidemiologi, faktor risiko
dengan imunosenescence. Sebab, imunosenescene tidak dan keluaran pneumonia komunitas.6 Teori-teori ini
berhubungan dengan usia. Selain itu, yang paling penting menjelaskan mengapa pada populasi pasien pneumonia
yaitu malnutrisi merupakan penyebab penurunan fungsi komunitas usia lanjut keluhan batuk relatif lebih jarang
imun yang dapat diobati.25 muncul seperti pada penelitian ini.

Jurnal Penyakit Dalam Indonesia | Vol. 3, No. 4 | Desember 2016 | 187


Elza Febria Sari, C. Martin Rumende, Kuntjoro Harimurti

Sputum Produktif Ronki


Diantara subjek penelitian yang dikonfirmasi Ronki didapatkan pada 86,7% subjek dan terdapat
diagnosis pneumonia komunitas, terdapat sebanyak 26 hubungan bermakna dengan diagnosis pneumonia (p=
orang (24,8%) yang mengeluhkan sputum produktif (p= 0,002, OR 7,861; IK 95% 2,0-30,1). Hopstaken, dkk.16 yang
0,053, OR 1,87; IK 95% 017-22,52). Persentase sputum melakukan penelitian tentang kontribusi gejala dan tanda
produktif pada pasien CAP penelitian ini lebih sedikit klinis serta CRP terhadap diagnosis pneumonia komunitas
daripada yang didapatkan Metlay, dkk.10 Penelitian pada subjek berusia 18-89 tahun mendapatkan ronki
tersebut mengkaji mengenai pengaruh usia terhadap ditemukan pada 20.6% kasus (OR 1,5, 95% IK 0,7-3,7).
tampilan klinis pneumonia dan mendapatkan keluhan Penelitian lain mendapatkan bahwa ketiadaan ronki pada
sputum produktif yang tidak jauh berbeda pada kelompok auskultasi didapatkan lebih banyak pada kelompok usia
usia 18-44, 45-64, 65-74 dan >75 tahun yaitu masing- sangat lanjut (>80 tahun) dibandingkan dengan kelompok
masing 64%, 62%, 65%, dan 64%. usia lebih muda (77% dan 84%).7 Namun, penelitian lain
Berbagai kepustakaan menyatakan bahwa mayoritas mendapatkan bahwa walaupun secara umum temuan
pasien usia lanjut dengan pneumonia mengeluhkan klinis yang konsisten pada pasien usia lanjut dengan
sputum produktif. Namun, pasien-pasien usia lanjut pneumonia sama sekali tidak ditemukan pada 20%-
yang mengalami dehidrasi atau gangguan dalam 47% pasien, sesak napas dan adanya ronki lebih sering
kemampuan untuk batuk hanya mengekspektorasi sedikit ditemukan.31
bahkan tidak ada sputum.28 Selain itu, data sputum
produktif pada penelitian ini didapatkan dari anamnesis. Demam
Adanya gangguan kognitif juga sangat berperan dalam Rerata suhu tubuh pasien pneumonia pada
mempersulit diagnosis pneumonia komunitas pada pasien penelitian ini adalah 37,1oC (0,89). Sesuai kriteria diagnosis
usia lanjut. Subjek tidak mampu mengkomunikasikan pneumonia pada penelitian ini, yaitu pasien dikatakan
secara tepat kepada dokter gejala yang timbul, terutama demam jika suhu >37,8oC, maka didapatkan hubungan
pada pasien usia lanjut dengan penurunan fungsi kognitif yang bermakna antara demam dengan diagnosis
dan status fungsional.29 pneumonia (p= 0,04 OR 2,01; IK 95% 0,89-4,7). Nilai OR
yang hampir sama juga didapatkan oleh Muller, dkk.26 yang
Sesak napas mendapatkan nilai OR sebesar 2,71 (IK 95% 2,02-3,64).
Keluhan sesak napas didapatkan pada 57 subjek Penelitian tentang pneumonia pada usia lanjut
penelitian (74%), namun tidak mencapai kemaknaan oleh Riquelme, dkk.32 mendapatkan bahwa demam
secara statistik bila dihubungkan dengan diagnosis tidak didapat sesering pada pasien dewasa muda. Hal ini
pneumonia komunitas (p= 0,07, OR 0,76; IK 95% 0,21- disebabkan terdapat penurunan nilai dasar suhu tubuh
2,94). Hopstaken, dkk.16 yang meneliti 246 pasien usia pada pasien usia lanjut, yang dikenal dengan istilah the
18-89 tahun untuk mengetahui kontribusi gejala dan older the colder. Selain itu, juga terdapat respon yang
tanda klinis, LED serta CRP terhadap diagnosis pneumonia tumpul terhadap demam akibat gangguan kapasitas
menemukan bahwa 77,4% pasien pneumonia komunitas termoregulator untuk memproduksi dan berespon
mengeluhkan sesak napas (OR= 0,7; IK 95% 0,3-1,6). Pada terhadap pirogen endogen. Setiap penambahan usia satu
penelitian dengan subjek pasien pneumonia usia lanjut dekade, suhu tubuh rata-rata selama tiga hari pertama
oleh Riquelme, dkk.12, didapatkan keluhan sesak napas sakit pasien pneumonia menurun 0,15oC.12 Perbedaan ini
hampir sama dengan yang didapatkan pada penelitian ini, dapat diterjemahkan sebagai perbedaan 10oC antara suhu
yaitu 68%. tubuh pasien pneumonia berusia 20 tahun dengan usia 80
Berkurangnya sensitifitas dari pusat pernafasan tahun.33
terhadap hipoksia atau hiperkapnia pada pasien usia Muder, dkk.34 mendapatkan hanya sekitar sepertiga
lanjut mengakibatkan hilangnya respon ventilasi pada pasien dari panti rawat yang mengeluhkan batuk dan
kasus-kasus akut seperti pneumonia. Hal ini secara lebih demam. Waterer, dkk.28 menemukan bahwa pasien CAP
lanjut menyebabkan terlambatnya muncul gejala dan usia lanjut dengan tidak adanya demam dan adanya
tanda klinis yang penting seperti sesak napas yang berguna perubahan status mental mengakibatkan pasien menjadi 4
untuk menegakkan diagnosis pneumonia.30 jam lebih lambat mendapat antibiotik dan keterlambatan
ini memengaruhi mortalitas. Walaupun pemberian
antibiotik pada waktu yang tepat telah menjadi standar

188 | Jurnal Penyakit Dalam Indonesia | Vol. 3, No. 4 | Desember 2016


Faktor–Faktor yang Berhubungan dengan Diagnosis Pneumonia pada Pasien Usia Lanjut

perawatan pasien pneumonia, namun memenuhi target ini (p <0,0001). Semua pasien yang didiagnosis pneumonia
menjadi problematik pada pasien pneumonia komunitas memiliki gambaran infiltrat pada rontgen toraks. Hal ini
usia lanjut. Hal tersebut mengingat tampilan klinis infeksi disebabkan oleh kriteria diagnosis yang dijadikan baku
yang tidak biasa, sehingga menimbulkan ketidakyakinan emas pada penelitian ini mengharuskan adanya gambaran
diagnosis pada populasi usia lanjut. Beberapa peneliti infiltrat baru atau bertambah dibandingkan rontgen
lainnya menambahkan bahwa penyakit-penyakit komorbid thoraks sebelumnya. Pada pasien yang bukan pneumonia,
menambah ketidakpastian diagnosis pneumonia dan didapatkan gambaran infiltrat pada sebanyak 15 subjek
meningkatkan mortalitas akibat penundaan dalam (28,8%). Penyakit komorbid yang dapat memunculkan
memulai terapi.28 gambaran infiltrat yang sering ditemukan pada penelitian
ini adalah gagal jantung kongestif, keganasan dan PPOK.
Leukositosis
Rerata leukosit pada pasien pneumonia adalah Manifestasi Tidak Khas Pneumonia Pada Usia Lajut
114.00/mm3. Bila dihubungkan dengan diagnosis
pneumonia, jumlah leukosit >15.000/mm3 tidak memiliki Jatuh
kemaknaan secara statistik (p= 0,8, OR 1,09; IK 95% 0,52- Sebanyak 14,3% pasien CAP usia lanjut datang
2,27). Rerata leukosit pada penelitian ini lebih rendah dengan keluhan jatuh, namun dalam hubungannya dengan
dibandingkan dengan yang didapat Zalacain, dkk.18 yaitu diagnosis pneumonia tidak mencapai kemaknaan secara
sebesar 15.400/mm3. statistik (p= 0,79, OR 0,79; IK 95% 0,32-1,96) (Tabel 2).
Proses infeksi menstimulasi pelepasan akut netrofil Pneumonia pada pasien usia lanjut dapat bermanifestasi
dari pool storage marginated di sumsum tulang. Netrofilia sebagai jatuh akibat perubahan status mental, hipotensi
lazim terjadi pada infeksi bakteri akut dan jarang pada postural, ataupun kelemahan umum.38 Pneumonia
infeksi virus. Peningkatan netrofil batang dan metamielosit merupakan bagian dari faktor intrinsik sistemik yang
juga sering ditemukan. Namun demikian, proses penuaan dapat memicu timbulnya gangguan keseimbangan dan
tidak menyebabkan perubahan signifikan dari jumlah jatuh. Beberapa pasien memiliki baroreseptor karotis yang
leukosit ataupun hitung jenis leukosit. Karenanya, kelainan sensitif dan rentan mengalami sinkop akibat refleks tonus
dalam hal jumlah leukosit harus dievaluasi sebagai vagal yang meningkat akibat batuk, mengedan, berkemih
kemungkinan tanda proses penyakit aktif.35 sering terjadi bradikardia dan hipotensi.36
Pemeriksaan laboratorium memiliki keterbatasan
untuk menegakkan diagnosis dan penyebab spesifik Inkontinensia Urin
pneumonia. Meskipun temuan jumlah leukosit >15,000/ Inkontinensia urin terdapat pada 18,1% pasien
mm3 meningkatkan probabilitas pasien menderita pneumonia. Keluhan ini tidak bermakna secara statistik
pneumonia akibat infeksi bakteri daripada virus, namun jika dihubungkan dengan diagnosis pneumonia (p= 0,524,
hasil ini tergantung kepada stadium penyakit. Selain itu, OR 1,35; IK 95% 0,3-3,47) (Tabel 2). Inkontinensia urin
kondisi tersebut belum diketahui apakah cukup sensitif yang terjadi pada pasien penumonia tergolong ke dalam
atau spesifik untuk membantu memutuskan pilihan terapi inkontinensia akut yang terjadi secara mendadak yang
pada pasien tertentu.26 berkaitan dengan kondisi sakit akut yang menghilang
Pasien usia lanjut secara in vitro menunjukkan jika kondisi akut teratasi. Pada usia lanjut, inkontinensia
penurunan fungsi leukosit polimorfonuklear secara jelas. urin juga berhubungan dengan depresi, batuk, gangguan
Selain itu, terjadi pula gangguan migrasi, ingesti dan mobilitas, demensia, depresi, stroke, DM dan parkinson.
killing netrofil. Namun demikian, temuan in vitro ini tidak Pada penelitian terhadap 5.418 usia lanjut di luar negeri
memliki kepentingan klinis yang jelas. Walaupun terdapat mendapatkan tiga faktor risiko yang dapat dimodifikasi
penurunan fungsi yang bermakna secara statistik dalam dan berhubungan secara bermakna dengan inkontinensia
kisaran 10%-30%, umumnya para ahli berpendapat bahwa urin yaitu ISK, keterbatasan aktifitas dan faktor gangguan
fungsi netrofil memang harus menurun sampai lebih dari lingkungan.37
90% agar risiko infeksi meningkat.29
Intake sulit
Infiltrat Keluhan intake sulit didapatkan pada sebanyak
Terdapat hubungan yang bermakna antara adanya 70,5%, namun tidak bermakna secara statistik bila
infiltrat pada rontgen thoraks dengan diagnosis pneumonia dihubungkan dengan diagnosis pneumonia (p= 0,18,

Jurnal Penyakit Dalam Indonesia | Vol. 3, No. 4 | Desember 2016 | 189


Elza Febria Sari, C. Martin Rumende, Kuntjoro Harimurti

OR 0,77; IK 95% 0,19-2,83) (Tabel 2). Persentase pada AUC yang diperoleh dari metode ROC untuk mengetahui
penelitian ini didapatkan lebih tinggi dibandingkan dengan kemampuan CRP dalam mendiagnosis pneumonia adalah
berbagai penelitian tentang gejala intake sulit pada sebesar 0,57 (95% IK 0,47- 0,66), p= 0,149 (Gambar 1).
pneumonia usia lanjut berkisar antara 57%-64%.38 Hasil ini menunjukkan bahwa CRP tidak memiliki peranan
Efek merugikan penyakit akut terhadap dalam mendiagnosis pneumonia komunitas pada usia
metabolisme nutrisi menjadi lebih jelas pada usia lanjut. lanjut.
Hal ini disebabkan oleh penyakit akut ataupun kronik Harus diperhitungkan bahwa CRP merupakan
yang menginduksi respon inflamasi. Seiring dengan penanda non-spesifik inflamasi akut, sehingga banyak
pertambahan usia, respon inflamasi yang menjadi faktor yang memengaruhi. Karakteristik umum pasien
disregulasi terlihat pada peningkatan persisten mediator seperti usia dan jenis kelamin juga memengaruhi kadar
inflamasi. Sitokin proinflamasi diantaranya IL-6, IL-1(beta), CRP, sehingga nilai titik potong yang didapat bisa berbeda-
tumor necrosis factor (TNF)-alpha dan kemungkinan IL- beda. Oleh karena itu, sebaiknya pemeriksaan CRP
8. Sitokin-sitokin ini berfungsi baik secara intermediet dibedakan menurut usia dan jenis kelamin. Selain itu,
ataupun langsung dalam menginduksi gejala dan tanda kondisi-kondisi patologis dapat menimbulkan kerusakan
yang berkaitan dengan inflamasi, termasuk nafsu makan.39 jaringan yang menjadi stimulus penting untuk sintesis CRP
di hepar. Pada penelitian ini, persentase penyakit-penyakit
Penurunan Status Fungsional kronik seperti DM dapat memengaruhi kadar CRP.21
Sebanyak 41,9% subjek mengalami penurunan Meer, dkk.41 mengevaluasi keakuratan diagnostik
status fungsional yang bila dihubungkan dengan diagnosis CRP dalam mendeteksi pneumonia yang didagnosis secara
pneumonia tidak mencapai kemaknaan secara statistik radiologis. Penelitian tersebut juga mengevaluasi seberapa
(p= 1,51, OR 1,51; IK 95% 0,74-3,07). Pengukuran baik CRP dalam membedakan infeksi bakteri dengan viral
status fungsional merupakan komponen esensial dalam pada pneumonia. Kesimpulannya, CRP cukup sensitif pada
penatalaksaan paripurna pasien usia lanjut. Kemampuan rule in dan juga cukup spesifik dalam rule out pneumonia.
seorang usia lanjut untuk berfungsi dapat dipandang Albazzaz, dkk.21 yang meneliti tentang penanda
sebagai pengaruh keseluruhan dari kondisi kesehatan inflamasi pada pneumonia mendapatkan bahwa pasien
dalam konteks sistem lingkungan dan dukungan sosial. usia lanjut mampu menginisiasi respon inflamasi yang
Pada pasien usia lanjut, kemampuan untuk berfungsi adekuat. Hal ini dibuktikan dengan meningkatnya suhu,
sesuai dengan gaya hidup yang diinginkan harus menjadi jumlah leukosit dan kadar CRP jika dibandingkan dengan
pertimbangan penting dalam perencanaan perawatan. pasien bukan pneumonia. Pada orang dewasa, konsentrasi
Karenanya, perubahan pada status fungsional harus CRP lebih dari 100 mg/l merupakan indikator kuat infeksi
dievaluasi dan diintervensi lebih lanjut. Penilaian status bakterial aktif dan memerlukan antibiotik meskipun tidak
fungsional juga berguna dalam memonitor respon spesifik untuk infeksi bakteri.
terhadap terapi dan juga sebagai faktor prognostik yang
akan membimbing klinisi dalam merencanakan perawatan Kelebihan dan Keterbatasan Penelitian
jangka panjang.40 Kelebihan penelitian ini yaitu merupakan penelitian
Perubahan status fungsional, gangguan metabolik, pertama yang menilai faktor-faktor diagnosis pneumonia
episode jatuh yang berulang ataupun eksaserbasi akut pada pasien usia lanjut di Indonesia dan mencoba mencari
dari penyakit kronik bisa menjadi gejala yang paling utama peranan manifestasi tidak khas terhadap diagnosis
muncul atau bahkan menjadi satu-satunya manifestasi pneumonia pada usia lanjut di Indonesia. Sedangkan,
pneumonia pad pasien usia lanjut. Perubahan status keterbatasan pada penelitian ini adalah jumlah subjek
fungsional ditandai dengan ketidakmampuan seorang usia yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan penelitian-
lanjut dalam melakukan aktivitas yang biasa dilakukan penelitian serupa di luar negeri. Selain itu, terdapat
sehari-hari.35 overlap antara baku emas diagnostik pneumonia dengan
faktor diagnostik yang diteliti dapat mengakibatkan over
Peran C-Reactive Protein Dalam Mendiagnosis estimate hasil analisis. Sebenarnya, standar baku emas
Pneumonia Komunitas Pada Usia Lanjut tidak boleh mengandung komponen variabel yang diteliti.
Pada penelitian ini, didapatkan median CRP pada Namun, kriteria diagnostik dapat dipakai karena memiliki
pasien pneumonia adalah 86,09 mg/dl (0,59-300). Nilai kriteria terbaik yang dapat dijadikan baku emas.32

190 | Jurnal Penyakit Dalam Indonesia | Vol. 3, No. 4 | Desember 2016


Faktor–Faktor yang Berhubungan dengan Diagnosis Pneumonia pada Pasien Usia Lanjut

SIMPULAN 17. Almirall J,Bolíbar I,Toran P,Pera G, Boquet X,Balanzó X, et


al. Contribution of C-reactive protein to the diagnosis and
Faktor-faktor yang berhubungan dengan diagnosis assesment of severity of community-acquired pneumonia. Chest.
2004;125(4):1335-42.
pneumonia pada usia lanjut adalah batuk, ronki dan
18. Zalacain R, Torres A, Celis R, Blanquer J, Aspa J, Esteban L, et
infiltrat. Sementara itu, manifestasi tidak khas pneumonia al. Community-acquired pneumonia in the elderly: Spanish
multicentre study. Eur Respir J. 2003;21(2):294-302.
pada pasien usia lanjut (intake sulit, jatuh, inkontinensia
19. Nazarian DJ, Eddy OL, Lukens TW, Weingart SD, Decker WW.
urin dan penurunan status fungsional) tidak berhubungan Clinical policy: Critical issue in the managenment of adult patients
dengan diagnosis pneumonia komunitas pada usia lanjut. presenting to the emergency departement with community-
acquired pneumonia. Ann Emerg Med. 2009;54(5):704-29.
Hasil analisis CRP pada penelitian ini juga didapatkan tidak 20. Lera R, Cervera A, Fernandez-Fabrellas E, Aguar MC, Chiner E,
mempunyai peranan dalam mendiagnosis pneumonia Sanz F, Blanquer J, et al. Characteristics of community acquired
pneumonia in very elderly patients. Am J Respir Crit Care Med.
komunitas pada pasien usia lanjut. 2010;181:293-8.
21. Albazzaz MK, Pal C, Berman P, Shale DJ. Inflammatory markers
of lower respiratory tract infection in elderly people. Age Aging.
DAFTAR PUSTAKA 1994;23(4):299-302.
1. Joseph JG, Hillary RB. The context of geriatric care. In: Joseph JG, 22. Fry AM, Shay DK, Holman RC. Trends in hospitalization for
editor. Handbook of Geriatric Asessment edisi 4. Massachusetts: pneumonia among persons aged 65 yers and older in the United
Jones and Bartlett publishers inc; 2006. p.3-11 States, 1988-2002. JAMA. 2005;294(21):272-9.
2. Hoare Z, Wei SL. Pneumonia: update on diagnosis and management. 23. Kobashi Y, Okimoto N, Matsushima T, Soejima R. Clinical analysis
BMJ. 2006;332(7549):1077-9. of Community-acquired pneumonia in the elderly. Intern Med.
3. Pilotto A, Addante F, Ferucci L, Leandro G, D’onofrio G. The 2001;40(8):703-7.
multidimensional prognostik index predicts short-and long-Term 24. Gavazziand G, Krause KH. Ageing and infection. Lancet Infect Dis.
mortality in hospitalized geriatric patients with pneumonia. J 2002;2(11):659-66.
Gerontol A Biol Sci Med. 2009;64(8):880-7. 25. High KP. Infection in the elderly. In: Halter JB, Ouslander JG, Rtineti
4. Viegi G, Pistelli R, Cazzola M, Falcon F, Cerveri I, Rossi, et al. ME, Studenski S,High KP, Asthana S, dkk, editors. Hazzard’s Geriatric
Epidemiological survey on incidence and treatment of community Medicine and Gerontology Edisi 6. New York: McGraw-Hill; 2009.
acquired pneumonia in Italy. Respir Med. 2006;100(1):46-55. p.1507-15.
5. Ochoa-Gondar O, Vila-corcoles A, Diego C, Arija V, Maxenchs M, 26. Muller B, Harbarth S, Stolz D, Bingisser R, Mueller C, Leuppi J, et
Grive M, dkk. The burden of community-acquired pneumonia al. Diagnostic and prognostic accuracy of clinical and laboratory
in the elderly: The Spanish EVAN-65 study. BMC Public Health. parameters in community-acquired pneumonia. BMC Infect Dis.
2008;222:751-71. 2007;7:1-10.
6. Donowitz GR, Heather L. Bacterial community-acquired pneumonia 27. Christ-Crain M, Muller B. Procalcitonin on the dusty way to the
in older patients. Clin Geriatr Med. 2007;23(3):515–34. holy grail: a progress report. In: Vincent JL, editor. 2005 Yearbook
7. Chong, Carol P, Street, Philip R. Pneumonia in elderly: a review of intensive care and emergency medicine. Berlin: Springer Berlin
of the epidemiology, pathogenesis, microbiology, and clinical Heidelberg; 2005. p.461-765
features. South Med J. 2008;101(11):1141-4. 28. Waterer GW, Kessler LA, Wunderink RG. Delayed administration
8. Bahar A. Penatalaksanaan paripurna pasien geriatri dengan of antibiotics and atypical presentation in community-acquired
pneumonia. Dalam: Soepartondo, Setiati S,Soejono CH, editor. pneumonia. Chest. 2006;130(1):11-5.
Prosiding temu ilmiah geriatri 2003; penatalaksanaan pasien 29. Bender BS. Infectious disease risk in the elderly. Immunol Allergy
geriatri dengan pendekatan interdisiplin. Jakarta: Pusat informasi Clin North Am. 2003;23(1):57–64.
dan penerbitan bagian ilmu penyakit dalam FKUI; 2003. hal.55-8. 30. Roghman MC, Warner J, Mackowiak PA. The relationship between
9. Niederman MS, Ahmed QA. Community-acquired pneumonia in age and fever magnitude. Am J Med Sci. 2001;322(2):68-70.
elderly patients. Clin Geriatr Med. 2003;19(1):101–20. 31. Coroles AV, Blanco TR, Gondar OG, Serrano ES, Cabanes CD.
10. Metlay JP, Schulz R, Li H, et al. Influence of age on symptoms at Incidence and clinical characteristics of community-acquired
presentation in patients with community-acquired pneumonia. pneumonia managed as outpatient among elderly people
Arch Intern Med. 1997;157(13):1453–9. in Tarragana-Valls, Spain. Revista Espanola De Salud Publica.
11. Fernandez-Sabe N, Carratala J, Roson B, et al. Community- 2009;83:321-9.
acquired pneumonia in very elderly patients: causative organism, 32. Riquelme R, Torres A, El-Ebiary M. Community acquired pneumonia
clinical characteristics and outcomes. Medicine (Baltimore). in the elderly;a multivariate analysis of risk and prognostic factors.
2003;82(3):159–69. Am J Respir Crit Care Med. 1996;154(5):1450-5.
12. Riquelme R, Torres A, El-Ebiary M. Community-aquired pneumonia 33. King MB. Falls. In: Halter JB, Ouslander JG, Rtineti ME, Studenski
in the elderly clinical and nutritional aspect. Am J Respir Crit Care S,High KP, Asthana S, dkk, editor. Hazzard’s Geriatric Medicine and
Med. 1997;156(6):56-9. Gerontology Edisi 6. New York: McGraw-Hill; 2009. p.659-69.
13. Steichen O, Bouvard E,Grateau G, Bailleul S, Capeau J, Lefèvre G. 34. Muder RR, Aghababian RV, Loeb MB. Nursing home-acquired
Diagnostic value of procalcitonin in acutely hospitalized elderly pneumonia : an emergency departement treatment algorithm.
patients. Eur J Clin Microbiol Infect Dis 2009;28(12):1471–6. Curr Med Res Opin. 2004;20(8):1309-20.
14. Viegi G, Pistelli R, Cazzola M, Falcon F, Cerveri I, Rossi ,dkk. 35. Klepin HD, Powell BL. White cell disorders. In: Halter JB, Ouslander
Epidemiological survey on incidence and treatment of community JG, Rtineti ME, Studenski S,High KP, Asthana S, dkk, editors.
acquired pneumonia in Italy. Respir Med. 2006;100(1):46-55. Hazzard”s Geriatric Medicine and Gerontology Edisi 6. New York:
15. Espana PP, Capestagui A, Gorordo I, Esteban C, Oribe M, Ortega McGraw-Hill; 2009. p.1215-27.
M, dkk. Development and validation of a prediction rule for severe 36. Setiati s, Laksmi PW. Gangguan keseimbangan, jatuh dan fraktur.
community-acquired pneumonia. Am J Respir Crit Care Med. Dalam: Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I, Kolopaking MS, Setiati S,
2006;174(11):1249-56 editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam edisi ke-4. Jakarta: Pusat
16. Hopstaken RM, Muris JW, Knottnerus JA, Kester AD, Rinkens PE, Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam; 2006. hal.1388-96.
Dinant GJ,dkk. Contributions of symptoms, signs, erythrocyte 37. Setiati S, Pramantara IDP. Inkontinensia urin dan kandung kemih
sedimentation rate, and C-reactive protein to a diagnosis of hiperaktif. Dalam: Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I, Kolopaking MS,
pneumonia in acute lower respiratory tract infection. Br J Gen Setiati S, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam. edisi ke-4. Jakarta:
Pract. 2003;53(490):358-64. Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam; 2006. hal.1402-9.

Jurnal Penyakit Dalam Indonesia | Vol. 3, No. 4 | Desember 2016 | 191


Elza Febria Sari, C. Martin Rumende, Kuntjoro Harimurti

38. Donowitz GR, Cox HL. Bacterial communityiacquired pneumonia in


older patient. Clin Geriatr Med. 2007;23(3):515-34.
39. Baez-Franceshi D, Morley JE. Physiopathology of the catabolism
associated with malnutrition in the elderly. Z Gerontol Geriatr.
1999;32(Suppl 1):12-9.
40. Meteresky ML, Sweeney TA, Getzow MB. Antibiotic timing and
diagnostic uncertainty in medicare patient with pneumonia: is it
reasonable to expect all patients to receive antibiotics within 4
hours? Chest. 2006;130(1):16-21
41. Van der Meer V, Neven AK, Van den Broek PJ, Assendelft WJ.
Diagnostic value of C reactive protein in infections of the lower
respiratory tract: systematic review. BMJ 2005;331(7507):26.

192 | Jurnal Penyakit Dalam Indonesia | Vol. 3, No. 4 | Desember 2016


http://jurnal.fk.unand.ac.id 80

Artikel Penelitian

Gambaran Faktor Risiko Timbulnya Tuberkulosis Paru pada


Pasien yang Berkunjung ke Unit DOTS RSUP Dr. M. Djamil
Padang Tahun 2015

1 2 3
Nurul Husna Muchtar , Deddy Herman , Yulistini

Abstrak
Tuberkulosis (TB) paru merupakan penyakit infeksi paru menular yang masih menjadi masalah kesehatan di
dunia terutama di negara berkembang. Timbulnya penyakit Tuberkulosis paru sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor.
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui gambaran distribusi frekuensi faktor risiko penyakit TB paru pada pasien yang
berkunjung ke unit DOTS RSUP Dr. M. Djamil Padang tahun 2015. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif
dengan menggunakan pendekatan cross sectional. Jumlah populasi adalah 77 orang, pengambilan sampel
menggunakan metode consecutive sampling untuk mendapatkan 65 orang. Penelitian dilakukan dari bulan Januari
hingga Oktober 2015 di Unit DOTS RSUP Dr. M. Djamil Padang. Data dianalisa secara komputerisasi dengan
tampilan deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabel. Didapatkan penderita TB paru dengan HIV negatif sebanyak 86,2
%, tidak memiliki riwayat DM 87,7%, memiliki status gizi kurang sebanyak 66,2% dan berdasarkan riwayat konsumsi
alkohol 98,5% bukan kelompok berisiko, serta 60% merupakan former smoker (mantan perokok).
Sebagian besar penderita TB Paru tidak memiliki riwayat HIV, tidak memiliki faktor risiko DM dan berdasarkan riwayat
konsumsi alkohol hampir semua pasien TB paru bukan kelompok risiko. Namun sebagian besar merupakan mantan
perokok dan memiliki status gizi kurang.
Kata kunci: tuberkulosis paru, HIV, diabetes melitus, malnutrisi, alkohol, rokok

Abstract
Pulmonary tuberculosis is a contagious pulmonary infection and still a world-wide health challenge especially in
developing countries. Pulmonary tuberculosis is affected by various factors. The objective of this study was to describe
the frequency distribution of risk factors of pulmonary tuberculosis disease arising among patients attending DOTS unit
of Dr. M. Djamil Padang Hospital in 2015. This cross sectional study was a descriptive research. Using consecutive
sampling method, 65 sample of tuberculosis patients were obtained from a total population of 77 tuberculosis patients.
The study was conducted from January to October 2015 in DOTS Unit of Dr. M. Djamil Padang Hospital. Data were
computerized and presented as descriptive analyzed and tabular form. The pulmonary tuberculosis patients with HIV-
negative are obtained as much as 86.2%, without diabetic 87.7%, malnutrition 66,2% and based on history of alcohol
consumption 98,5% are the non-risk group, while 60% of them are former smoker. In this study, most of the pulmonary
tuberculosis patients does not have history of HIV, without diabetic risk factors, and based on history of alcohol
consumption almost all of the patients are the non-risk group. The most of them has malnutrition status and former
smoker.
Keywords: pulmonary tuberculosis, HIV, diabetic, malnutrition, alcohol, smoking

Affiliasi penulis: 1. Prodi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Korespondensi: Nurul Husna Muchtar,
Universitas Andalas Padang (FK Unand), 2. Bagian Penyakit Paru FK Email: childof_mn@yahoo.com, Telp: 085274840909
Unand/RSUP Dr. M. Djamil Padang, 3. Bagian Pendidikan
Kedokteran FK Unand

Jurnal Kesehatan Andalas. 2018; 7(1)


http://jurnal.fk.unand.ac.id 81

PENDAHULUAN RS Marguno Soekarjo Purwokerto didapatkan proporsi


11
Tuberkulosis (TB) paru merupakan penyakit pasien TB paru dengan riwayat merokok 50%.
infeksi paru menular yang masih menjadi masalah Berdasarkan beberapa penelitian sebelumnya,
kesehatan di dunia terutama negara berkembang. perlu diteliti gambaran faktor risiko timbulnya
Penyakit tuberkulosis sudah dicanangkan oleh WHO tuberkulosis paru pada pasien yang berkunjung ke unit
(World Health Organization) sebagai Global DOTS RSUP Dr. M Djamil Padang pada tahun 2015.
1 Hasil penelitian ini diharapkan mampu mendukung
Emergency sejak tahun 1992.
WHO memperkirakan antara tahun 2002 diwujudkannya visi dunia bebas TB setelah
hingga 2020, 1000 juta orang akan terinfeksi, lebih pencapaian MDGs 2015.
dari 150 juta orang akan sakit dan 36 juta orang akan
2
meninggal akibat TB jika kontrol kedepan tidak baik. METODE
Tuberkulosis merupakan pembunuh nomor satu Penelitian ini merupakan studi deskriptif
diantara penyakit menular dan penyebab ke-3 dengan desain cross sectional yang telah dilakukan di
kematian setelah penyakit jantung dan penyakit Instalasi Rekam Medik RSUP Dr. M. Djamil Padang
3
pernapasan akut di Indonesia. Di kota Padang, TB dan Unit DOTS RSUP Dr. M. Djamil Padang dari
Paru termasuk kepada sepuluh penyebab terbanyak Januari sampai Oktober 2015.
4
kematian. Populasi penelitian adalah pasien TB Paru
Menurut Kementerian Kesehatan Republik yang berkunjung ke Unit DOTS RSUP Dr. M. Djamil
Indonesia, tahun 2010 Indonesia telah mampu Padang pada tahun 2015. Pengambilan sampel
mencapai targetan MDGs (Millenium Development menggunakan teknik consecutive sampling, sehingga
Goals) tahun 2015 yaitu dengan penurunan angka didapatkan sampel yang memenuhi kriteria inklusi
kematian menjadi 27 per 100.000 penduduk, proporsi (pasien TB paru dewasa kasus baru dan masih dalam
kasus TB sebesar 78,3% dan proporsi keberhasilan masa pengobatan OAT) dan memenuhi kriteria ekslusi
pengobatan 91,2%. Namun tetap perlu dilakukan (pasien yang tidak bersedia menjadi responden)
persiapan program TB di dunia untuk mewujudkan sebesar 65 responden.
dunia bebas TB yang diindikasikan dengan tidak ada Data yang digunakan adalah data primer
lagi kematian karena TB. Kegiatan yang inovatif, melalui kuisioner (untuk riwayat konsumsi alkohol dan
program yang agresif dan penelitian yang baik merokok) dan data sekunder dari rekam medik (untuk
diharapkan mampu membantu menurunkan prevalensi riwayat HIV, DM, tinggi badan dan berat badan).
5
hingga 50 persen dari pencapaian pada tahun 2015. Proses pengolahan data secara komputerisasi untuk
Risiko perkembangan infeksi TB menjadi sakit analisis univariat agar diperoleh gambaran distribusi
TB meningkat akibat penurunan sistem imun oleh frekuensi faktor risiko timbulnya tuberkulosis paru.
Human Immunodeficiency Virus (HIV), diabetes
6
melitus (DM), konsumsi alkohol, malnutrisi, merokok. HASIL dan PEMBAHASAN
Berdasarkan Global Report WHO tahun 2013 dalam Tabel 1. Distribusi frekuensi responden berdasarkan
Kementrian Kesehatan RI (2015) jumlah pasien TB jenis kelamin
dengan HIV positif di Indonesia meningkat dari 3,3%
7 Jenis Kelamin f %
pada tahun 2012 menjadi 7,5% pada tahun 2013.
Diabetes dan TB Paru di Poliklinik Penyakit Dalam Laki- laki 47 72,3

RSUP Dr. M. Djamil Padang didapatkan sebanyak Perempuan 18 27,7


8
4,5%. Di RSCM tahun 2010 pasien yang memiliki Umur (tahun) f %

riwayat mengonsumsi alkohol 37% menderita TB 18 – 25 11 16,9


9
paru. Prevalensi pasien TB dengan IMT (Indeks Masa 26 – 45 25 38,5
Tubuh) rendah mencapai sekitar 80% pada penelitian >45 29 44,6
10
yang dilakukan di RS Dr. Soedarso Pontianak dan di Jumlah 65 100

Jurnal Kesehatan Andalas. 2018; 7(1)


http://jurnal.fk.unand.ac.id 82

Berdasarkan Tabel 1, tampak bahwa lebih dari dengan persentase 13,8%, sejalan dengan laporan
separuh penderita TB paru merupakan laki- laki yaitu WHO 2011 yang dikutip oleh Gooze dan Daley
sebesar 72,3% dan umur terlihat bahwa penderita TB menyatakan secara global terdapat 14,8% pasien TB
paru paling banyak pada umur diatas 45 tahun yang memiliki riwayat HIV dan di suatu wilayah di
16
sebesar 44,6%. Afrika didapatkan 50 – 80%. Angka ini lebih tinggi
Pada penelitian ini didapatkan 65 pasien TB dibandingkan angka estimasi nasional yang dilaporkan
paru sebagai responden 72,3% laki- laki. Hal ini sesuai oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
dengan hasil penelitian Masniari di RS. Persahabatan (Kemenkes RI) tahun 2011, dimana secara nasional
yang mendapatkan jumlah penderita TB paru laki-laki estimasi prevalensi HIV pada pasien TB baru adalah
12 17
sebanyak 61,7%. Alasan tingginya prevalensi TB 2,8%.
pada laki-laki sebenarnya belum ada teori yang jelas, Berdasarkan survei yang dilakukan di Unit
tetapi mungkin disebabkan karena aktivitas laki-laki DOTS RSUP Dr. M Djamil Padang hanya 33 orang
yang lebih banyak di luar sehingga lebih berisiko untuk dari 77 orang yang tercatatat di TB 03 sudah dikirim
terpapar kuman TB dan beberapa teori juga untuk melakukan screening HIV. Keputusan Menteri
menyatakan adanya perbedaan prevalensi infeksi, Kesehatan (KEPMENKES) RI Nomor 1278/MENKES/
tingkat perkembangan dari infeksi penyakit, tidak SK/XII/2009 tentang Pedoman Pelaksanaan
terdeteksinya pelaporan untuk perempuan, atau Kolaborasi Pengendalian Penyakit TB dan HIV bahwa
adanya perbedaan dalam akses terhadap layanan pada daerah dengan epidemi HIV rendah dan
13
kesehatan. Hal ini juga diperkuat dengan adanya terkonsentrasi, pasien yang memiliki faktor risiko HIV
kebiasaan merokok yang lebih banyak pada laki- dirujuk ke Unit Pelayanan Konseling dan Tes HIV
14
laki. Sukarela (UPK KTS), sementara daerah dengan
Berdasarkan pengelompokan umur, didapatkan epidemi HIV yang meluas (prevalensi HIV pada pasien
jumlah penderita TB paru tertinggi pada kelompok TB > 5%) KTS harus ditawarkan secara rutin tanpa
18
lansia >45 tahun (29 orang). Hasil ini sesuai dengan penilaian risiko.
survei TB nasional yang menemukan jumlah penderita HIV merupakan penyakit infeksi virus yang
15
TB terbanyak pada kelompok umur diatas 45 tahun. menyebabkan gangguan sistem imun. Setelah
Kejadian TB paru paling banyak pada lansia mungkin menginfeksi tubuh seseorang, virus HIV menyerang
19
disebakan karena pada usia ini sudah mulai terjadi dan merusak sel limfosit T-helper (CD4+), dimana
penurunan daya tahan tubuh, dan kondisi ini lebih sel limfosit CD4+ berperan sebagai pengatur utama
rentan untuk terkena penyakit, terutama penyakit respon imun, terutama melalui sekresi limfokin.
infeksi, salah satunya tuberkulosis. Sebagian zat kimia yang dihasilkan T-helper berfungsi
sebagai kemotaksin dan peningkatan kerja makrofag,
Tabel 2. Distribusi frekuensi responden berdasarkan monosit, dan sel Natular Killer. Kerusakan sel T-helper
riwayat HIV oleh HIV menyebabkan penurunan sekresi antibodi
20
HIV f % dan gangguan pada sel imun lainnya.
Seseorang dengan imunokompeten terinfeksi
Positif 9 13,8
kuman TB, makrofag akan memfagosit kuman yang
Negatif 56 86,2
masuk dan sel CD4+ berperan dalam meningkatkan
Jumlah 65 100
kapasitas fagosit makrofag, sehingga kuman TB tidak
21
berkembang dan tidak akan timbul sakit TB. Pada
Berdasarkan Tabel 2, terlihat bahwa sebagian
orang yang terinfeksi HIV, secara perlahan kadar
besar pasien TB paru tidak memiliki riwayat HIV yaitu 1
CD4+ turun menjauhi kadar normal . Pasien dengan
sebesar 86,2%
kadar CD4+ kurang dari 200/µl darah akan mengalami
Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa
imunosupresi yang berat dan keadaan ini merupakan
terdapat 9 orang responden memiliki status HIV positif 22
risiko tinggi untuk terjangkit infeksi oportunistik.

Jurnal Kesehatan Andalas. 2018; 7(1)


http://jurnal.fk.unand.ac.id 83

27
Penurunan kadar dan disfungsi sel CD4 yang non diabetes. Penyebab meningkatnya insiden
progresif, ditambah dengan adanya kerusakan fungsi tuberkulosis paru pada pasien diabetes mungkin
makrofag dan monosit pada penderita HIV menjadi karena adanya gangguan respon selular pada pasien
21
predisposisi untuk terjadinya sakit TB. Diperkirakan DM yang mengakibatkan melemahnya sistem imun
pasien HIV yang terinfeksi TB lebih berisiko untuk tubuh, sehingga meningkatkan risiko aktivasi TB
29
mengalami perkembangan menjadi sakit TB sebanyak laten.
23
21 – 34 kali, dan sekitar 60% pasien HIV yang Pada orang sehat, kuman TB yang masuk dan
24
terinfeksi TB akan menjadi sakit TB. menginfeksi tubuh akan dihadang oleh sel PMN (Poli
Peningkatan ini dibandingkan dengan estimasi Morfo Nuklear) dan difagosit oleh makrofag. Namun
nasional mungkin dikarenakan meningkatnya angka pada penederita DM, kemampuan mobilisasi,
kasus HIV di Sumatera Barat (Sumbar) terutama di kemotaksis dan fagositosis dari sel PMN menurun
kota Padang, sesuai dengan laporan Badan akibat kondisi hiperglikemia, sehingga aktivitas
Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) bakterisid dari PMN pada penderita DM menurun.
yang menyatakan bahwa jumlah kasus HIV/AIDS di Selain sel PMN, sel mononuklear juga mengalami
provinsi Sumatera Barat mengalami peningkatan sejak penurunan secara kuantitatif, demikian juga
tahun 2007 sebanyak lebih 100 kasus baru per kemampuan deteksinya terhadap mikroorganisme
tahunnya, dan pada tahun 2013 ditemukan 348 kasus juga menurun, diduga akibat penurunan sensitivitas
25
HIV/AIDS di kota Padang. reseptor atau penurunan jumlah reseptor yang ada
pada monosit tersebut.
Tabel 3. Distribusi frekuensi responden berdasarkan Penurunan sistem imun dan rentannya jaringan
riwayat DM terhadap kerusakan terjadi akibat glucotoxicity pada
Riwayat DM f % DM. Glucotoxicity diartikan sebagai proses kerusakan
30
yang timbul akibat adverse effect hiperglikemi kronis.
Ada 8 12,3
Gangguan aktivitas dan lemahnya daya imun seluler
Tidak ada 57 87,7
menyebabkan sel-sel imun tidak mampu menghadang
Jumlah 65 100
dan memfagosit kuman TB yang menginfeksi tubuh,
akibatnya kuman TB terus berkembang dan
Berdasarkan Tabel 3, tampak bahwa
menimbulkan sakit TB pada orang tersebut.
sebagian besar penderita TB paru tidak memiliki
riwayat DM yaitu sebesar 87,7%.
Tabel 4. Distribusi frekuensi responden berdasarkan
Data sekunder yang didapatkan dari rekam
riwayat alkohol
medis pasien, frekuensi pasien TB paru dengan
Riwayat konsumsi
riwayat DM didapatkan lebih banyak pada laki laki f %
alkohol
dibandingkan perempuan (5:3) dengan persentase
Berisiko 1 1,5
62,5%:37,5%, sebagaimana temuan Zhao et al yang
dikutip oleh Widjayanto et al mengatakan bahwa laki- Tidak berisiko 64 98,5

laki penderita DM umumnya dianggap lebih berisiko Jumlah 65 100

TB dibandingkan perempuan, tetapi belum ditemukan


alasan yang jelas.
26 Berdasarkan Tabel 4, terlihat bahwa sebesar
WHO memperkirakan 10% dari kasus TB 98,5% penderita TB paru bukan kelompok berisiko.
berhubungan dengan DM,
27
dan juga pada penelitian Hasil wawancara yang didapatkan dari 65 responden
sebelumnya dilaporkan frekuensi DM pada pasien TB hanya 1,5% yang tergolong berisiko diantara 17 orang
sekitar 10-15%.
28 (26,2%) yang pernah mengonsumsi minuman
Diabetes merupakan salah satu faktor yang beralkohol. Menurut Lonnorth et al prevalensi
meningkatkan risiko timbulnya sakit TB, diperkirakan kelompok berisiko (konsumsi alkohol berat atau
31
sepertiga kasus DM akan terinfeksi TB. Pasien alkoholism) pada pasien TB mencapai 10% - 50%.
diabetes 2 – 3 kali berisiko menderita TB dibandingkan Penelitian yang dilakukan di RS Cipto Mangunkusomo

Jurnal Kesehatan Andalas. 2018; 7(1)


http://jurnal.fk.unand.ac.id 84

pada tahun 2010 didapatkan 14,4% pasien TB paru timbulnya TB, namun konsumsi alkohol berat lebih dari
memiliki riwayat konsumsi alkohol, namun pada 40 gram per hari atau alkoholism meningkatkan risiko
31
penelitian ini tidak memperhitungkan banyaknya yang hingga 3,5 kali untuk mengidap sakit TB.
9
diminum. Dinilai berdasarkan frekuensi minum
didapatkan sebagian kecil minum setiap hari (3 orang), Tabel 5. Distribusi frekuensi responden berdasarkan
satu kali seminggu (3 orang), dan tidak rutin status gizi
(conditional) sebanyak 11 orang dengan banyaknya IMT f %
minum 1 sloki hingga 3 botol per kali minum.
Gizi Kurang 43 66,1
Hasil ini memperlihatkan bahwa mengonsumsi
minuman beralkohol bukan merupakan kebiasaan Gizi Cukup 20 30,8

masyarakat Sumatera Barat terutama masyarakat kota Gizi Lebih 2 3,1


Padang, tidak seperti di negara maju yang
Jumlah 65 100
kebanyakan masyarakatnya memiliki kebiasaan
sering atau bahkan setiap hari mengonsumsi alkohol.
Berdasarkan Tabel 5, terlihat bahwa lebih
Hal ini sesuai dengan data WHO yang mengatakan
dari separuh pasien TB paru memiliki status gizi
bahwa tingkat konsumsi alkohol di Indonesia tidak
kurang sebesar 66,1%.
terlalu tinggi jika dibandingkan dengan negara –
Hasil penelitian ini memperlihatkan jumlah
negara di Eropa seperti Jerman, Rusia dan negara lain
9 pasien dengan status gizi kurang lebih banyak
seperti Argentina, New Zealand dan Australia.
dibandingkan dengan gizi cukup dan gizi lebih, dengan
Alkohol menimbulkan efek toksik baik langsung
perbandingan 66,1% : 30,8% : 3,1%. Angka ini sejalan
ataupun tidak langsung melalui defisiensi
dengan penelitian Supriyo et al di Pekalongan tentang
makronutrien dan mikronutrien akibat konsumsi
TB yang mendapatkan hasil status gizi kurang dengan
alkohol yang menyebabkan melemahnya sistem imun. 34
IMT <18,5 pada kelompok kasus sebanyak 58,6, dan
Pengonsumsian alkohol secara kronik menyebabkan
32 juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
penurunan fungsi limfosit T dan B. Pada
Arsin, et al., di Makasar pada tahun 2012 dengan hasil
pengonsumsian alkohol baik akut maupun kronik
persentase responden yang memiliki status gizi
terjadi gangguan fungsi makrofag dan sistem imun
kurang lebih besar (51,3%) dibandingkan
yang diperantarai sel, selain itu juga terjadi inhibisi dari
responden yang memiliki status gizi normal (40,7%)
TNF, NO, IL-2, IFN gamma, proliferasi CD4+, 35
dan gemuk (8,0%).
sehingga proses destruksi dari Mycobacterium
31 Pada infeksi TB dengan malnutrisi terjadi
tuberculosis menjadi terhambat.
gangguan sistem imun akibat penurunan produksi
Pada suatu studi in vitro ditemukan bahwa
limfosit dan kemampuan proliferasi sel imun. Hal ini
pertumbuhan dan kemampuan hidup kuman TB pada
disebabkan oleh penurunan kadar IFN-gamma, IL-2
makrofag meningkat dengan pajanan alkohol.
dan peningkatan kadar TGF-β yang berfungsi untuk
Gangguan lain pada sistem imun juga ditemukan 36
menghambat aktivasi makrofag. Pada kondisi
akibat pajanan kronik alkohol, diantaranya adalah
kekurangan gizi, ditemukan adanya gangguan
gangguan aktivasi makrofag, berkurangnya
berbagai aspek imunitas, termasuk fagositosis, respon
kemampuan makrofag untuk mempresentasikan 37
proliferasi sel, serta produksi limfosit T dan sitokin.
antigen ke sel T, berkurangnya respon makrofag
Jumlah pasien TB paru dengan status gizi
terhadap sitokin, terjadi pergeseran ke arah
kurang melebihi 50% dibandingkan dengan pasien TB
pembentukan Th2, sehingga jumlah Th1 yang
paru yang memiliki status gizi cukup dan gizi lebih.
berperan pada proses destruksi Mycobacterium
Perbedaan yang besar ini mungkin bisa mendukung
tuberculosis terhambat, kondisi ini menyebabkan
33 penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa
aktivasi kuman TB meningkat. Belum ada penelitian
kondisi malnutrisi (terutama status gizi kurang)
yang menyatakan adanya hubungan kebiasaan
meningkatkan risiko terjadinya sakit TB. Dalam ilmu
meminum alkohol ringan sampai sedang dengan risiko

Jurnal Kesehatan Andalas. 2018; 7(1)


http://jurnal.fk.unand.ac.id 85

epidemiologi, untuk menilai suatu kausalitas itu nyata Merokok menjadi salah satu faktor risiko yang
atau tidak, harus memenuhi beberapa kriteria. Hill meningkatkan kejadian TB akibat penurunan daya
(1965) dalam Mahmudiono (2012) merumuskan tahan tubuh dan kerusakan saluran pernafasan pada
sembilan kriteria kausalitas, salah satunya temporality orang yang sering merokok.
yang mengacu pada perlunya suatu kausa mendahului
suatu outcome yang diasumsikan sebagai efek dari SIMPULAN
38
kausa tersebut. Pada penelitian ini sulit dinilai Hampir semua penderita TB paru bukan
apakah gizi kurang pada pasien terjadi sebelum atau kelompok berisiko berdasarkan riwayat konsumsi
setelah sakit TB. alkohol.
Lebih dari separuh penderita TB paru memiliki
Tabel 6. Distribusi frekuensi responden berdasarkan status gizi kurang.
riwayat merokok Sebagian besar penderita TB paru merupakan
Klasifikasi f % former smoker (mantan perokok).

Current smoker 1 1,5


UCAPAN TERIMA KASIH
Former smoker 39 60
Terimakasih kepada semua pihak yang telah
Never smoker 25 38,5 bersedia memberikan saran yang membangun dalam
Jumlah 65 100 penelitian ini dan kepada Direktur RSUP Dr. M Djamil
Padang, Kepala bagian beserta staf Poli Paru RSUP
Dr. M Djamil Padang yang sudah membantu sehingga
Berdasarkan Tabel 6, tampak bahwa lebih
penelitian ini bisa penulis selesaikan dengan baik dan
dari separuh pasien TB paru merupakan mantan
tepat waktu, serta kepada responden yang telah ikut
perokok (former smoker) yaitu sebesar 60%.
membantu penulis selama penelitian.
Hasil penelitian ini menunjukkan 40 responden
(61,5%) memiliki riwayat merokok dimana sebagian
besar merupakan merupakan former smoker (mantan DAFTAR PUSTAKA
perokok) dengan persentase 60%. Angka ini sejalan 1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI).

dengan angka kejadian merokok pada pasien TB paru Tuberkulosis: pedoman diagnosis dan

yang diteliti oleh Widyanita et al di Manado yaitu penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: PDPI;

57,9%.
39
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di 2011.

Makasar pada pasien yang berkunjung ke Poli Paru 2. World Health Organization (WHO). Fact Sheet No

RSUP Denpasar didapatkan angka 76,1% pasien 104. WHO; 2011.

yang sebelumnya pernah merokok dari 46 orang 3. PDPI. Tuberkulosis: pedoman diagnosis dan

sampel yang didiagnosis TB Paru.


40 penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta:

Hasil wawancara yang dilakukan pada Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2006.

responden yang tergolong former smoker dan current 4. Dinas Kesehatan Kota Padang. Profil kesehatan

smoker 15 orang telah merokok selama lebih dari 20 tahun 2013. Dinas Kesehatan Kota Padang; 2014.

tahun dan yang memiliki Indeks Brinkman (IB) berat 5. Kementrian Kesehatan RI. Riset kesehatan dasar.

sebanyak 12 orang selebihnya IB sedang (12 orang) Kementrian Kesehatan RI; 2013.

dan IB ringan (16 orang). Pasien former smoker 6. Narasimhan P, Wood J, MacIntyree CR, Mathai D.

merupakan pasien TB Paru yang memiliki riwayat Review article: risk factors for tuberculosis.

merokok dan pada saat dilakukan penelitian sudah Hindawi Publishing Corporation. Pulmonary

berhenti merokok, umumnya pasien berhenti merokok Medicine; 2013.

setelah didiagnosis oleh dokter menderita penyakit TB 7. Kementrian Kesehatan RI. Penanggulangan

Paru (30,7%) dan yang lainnya mengaku sudah tuberkulosis terpadu- TB Indonesia. Kementrian

berhenti merokok beberapa tahun sebelum sakit TB. Kesehatan RI; 2015.

Jurnal Kesehatan Andalas. 2018; 7(1)


http://jurnal.fk.unand.ac.id 86

8. Nazulis RA. Drug related problem pada pasien 20. Murtiastutik D. AIDS. Dalam: Barakhbah J, editor
diabetes melitus tipe 2 dengan tuberkulosis paru di (penyunting). Buku Ajar infeksi menular seksual.
bangsal penyakit dalam dan poliklinik Surabaya: Airlangga University Press; 2008.
RSUP.Dr.M.Djamil Padang (artikel penelitian). 21. Bhatia RS. HIV and tuberculosis: the ominous
Padang: Fakultas Kedokteran Universitas connection. IJCP. 2001.
Andalas; 2011. 22. Lan VM. Virus Imunodefisiensi Manusia (Hiv) dan
9. Erick. Hubungan antara konsumsi alkohol dengan Sindrom Imunodefisiensi Didapat (AIDS). Dalam:
prevalensi tuberkulosis paru pada pasien diabetes Hartanto H, (penterjemah). Patofisiologi: konsep
mellitus tipe 2 di rumah sakit Cipto Mangunkusumo klinis proses- proses penyakit. Jakarta: EGC; 2006.
tahun 2010. Jakarta: Fakultas Kedokteran 23. World Health Organization (WHO). TB/HIV facts
Universitas Indonesia (FKUI); 2012. 2012-2013. WHO; 2013.
10. Panjaitan F. Karakteristik penderita tuberkulosis 24. Wijaya IMK. Infeksi HIV (human immunodeficiency
paru dewasa rawat inap di rumah sakit umum DR. virus) pada penderita tuberkulosis. Procc MIPA 3.
Soedarso Pontianak periode September – 2013: 295-303.
November 2010. Pontianak: Fakultas Kedokteran 25. BAPPEDA SUMBAR. Kajian pengembangan
dan Ilmu Kesehatan Universitas Tanjungpura; strategi penanggulangan HIV/AIDS melalui
2012. pendekatan sosial budaya. BAPPEDA SUMBAR;
11. Sarwani D, Nurlela S, Zahrotul I. Faktor risiko 2015.
multidrug resistant tuberculosis (MDR-TB). Jurnal 26. Widjayanto A, Burhan E, Nawas A, Rochsis
Kesehatan Masyarakat. 2012;8:60-6. mandoko. Faktor terjadinya tuberkulosis paru pada
12. Masniari L. Penilaian hasil pengobatan TB paru pasien diabetes mellitus tipe 2. J Respir Indo.
dan faktor- faktor yang mempengaruhinya serta 2015;35:1-11.
alasan putus berobat di RS Persahabatan Jakarta. 27. World Health Organization (WHO). Tuberculosis &
Jakarta: Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran diabetes. WHO; 2011.
Respirasi FKUI; 2004. 28. Cahyadi A, Venty. Tuberkulosis paru pada pasien
13. Zaman K. Tuberculosis: a global health problem. J diabetes mellitus. Departemen Ilmu Penyakit
Health Popul Nutr. 2010;28:111-3. Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Kristen
14. Watkins RE, Plant AJ. Does smoking explain sex Atma Jaya. RS Atma Jaya. Jakarta: J Indon Med
differences in the global tuberculosis epidemic Assoc. 2011.
infect. Cambridge University Press. Epidemiol 29. Restrepo BI, et al.Tuberculosis in poorly controlled
Infect. 2006;134:333-9. type 2 diabetes: altered cytokine expression in
15. Departemen Kesehatan RI. Survei prevalensi peripheral white blood cells. Clin Infect Dis. 2008;
tuberkulosis di Indonesia tahun 2004. Jakarta: 47:634-41.
Badan Litbang DepKes; 2005. 30. Manaf A. Genetical Abnormality and glucotoxicity
16. Gooze L, Daley CL. Tuberculosis and HIV. San in DM. Sub Bagian Metabolik Endokrin. Padang:
Fransisco: University of California; 2013. Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
17. Kementrian Kesehatan RI. Strategi nasional Universitas Andalas; 2008.
pengendalian TB di Indonesia 2010-2014. 31. Lonnorth K, Williams BG, Stadlin S, Jaramillo E,
Kementrian Kesehatan RI; 2011. Dye C. Alcohol use as a risk factor for tuberculosis-
18. Kementrian Kesehatan RI. Keputusan menteri a systematic review. BMC Public Health.
kesehatan (KEPMENKES) RI nomor 1278/ 2008;8:289.
MENKES/SK/XII/2009. Jakarta: Kementrian 32. Diandini R, Roestam AW, Yunus F. Pengaruh
Kesehatan RI; 2009. pekerjaan dengan pajanan debu silika terhadap
19. Simbolon E. Pola kelainan kulit pada pasien HIV/ risiko tuberkulosis. Maj Kedokt Indon. 2009;59:
AIDS di RSUP Haji Adam Malik (artikel penelitian). 412-7.
Medan: Universitas Sumatera Utara; 2011.

Jurnal Kesehatan Andalas. 2018; 7(1)


http://jurnal.fk.unand.ac.id 87

33. Rehm J, Samokhvalov AV, Neuman MG, Room R, 37. Siagan A. Gizi, imunitas, dan penyakit infeksi.
Parry C, Lonnorth K, et al. The Association Medan: Departemen Gizi dan Kesehatan
between alcohol use, alcohol use disorders and Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat
tuberculosis (TB). BMC Public Health. 2009;9:450. Universitas Sumatera Utara; 2010.
34. Supriyo, Baequny A, Hidayati S, Hartono M, 38. Mahmudiono T. Kriteria kausalitas Hill. web
Harnany AS. Pengaruh perilaku dan status gizi mahasiswa Universitas Airlangga. 2012.
terhadap kejadian TB paru di kota Pekalongan. 39. Widyanita KS, Wongkar MCP, Langi Y A. Angka
Pena Medika Jurnal Kesehatan. 2013;4:1-8. kejadian merokok pada pasien TB paru yang
35. Arsin AA, Wahiduddin, Anshar J. Gambaran berobat di poliklinik Dots pada bulan November
asupan zat gizi dan status gizi penderita TB paru di 2014. Jurnal e-Clinic. 2015;3:408 – 11.
kota Makassar. Makassar:Universitas Hasanuddin; 40. Sajinadiyasa IGK, Bagiada IM, Ngurah Rai IB.
2012. Prevalensi dan risiko merokok terhadap penyakit
36. Pratomo IP, Burhan E, Tambunan V. Malnutrisi paru di poliklinik paru rumah sakit umum pusat
dan tuberkulosis. J Indon Med Assoc. 2012. Sanglah, Denpasar. Journal of Internal Medicine.
2010;11:91 – 5.

Jurnal Kesehatan Andalas. 2018; 7(1)


JURNAL KESEHATAN Vol 11 No 2 Tahun 2018 P-ISSN : 2086-2555; E-ISSN : 2622-7363

HUBUNGAN DUKUNGAN KELUARGA DENGAN EFIKASI DIRI


PENDERITA TUBERCULOSIS MULTIDRUG RESISTANT (TB-MDR) DI
POLI TB-MDR RSUD IBNU SINA GRESIK
(THE CORRELATION OF FAMILY SUPPORT WITH SELF EFFICACY OF
TUBERCULOSIS MULTIDRUG RESISTANT (TB-MDR) PATIENT AT TB-MDR
POLY IBNU SINA HOSPITAL GRESIK)

Mar’atul Hasanah1, Makhfudli2, Andri Setiya Wahyudi3

Universitas Airlangga
1,2,3

*maratulhasanah31@gmail.com
*andry_remas@yahoo.co.id

DOI : 10.24252/kesehatan.v11i2.5415

Abstrak
TB-MDR terjadi karena kegagalan pengobatan, putus pengobatan, atau pengobatan yang tidak
benar sehingga terjadinya resistensi primer. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis
hubungan antara dukungan keluarga dengan Efikasi Diri penderita Tuberkulosis resisten obat
di Poli TB-MDR RSUD Ibnu Sina Gresik. Metode : Desain penelitian deskriptif korelasional
melibatkan 15 responden Penderita TB-MDR yang sedang menjalani pengobatan di poli TB-
MDR RSUD Ibnu Sina Gresik pada 28 Maret – 28 Juni 2018 yang di pilih menggunakan
consecutive sampling. Variabel bebas adalah dukungan keluarga. Variabel terikat adalah
Efikasi Diri. Data diperoleh menggunakan kuesioner yang kemudian dianalisis menggunakan
Spearman rho dengan derajat kemaknaan α ≤ 0,05. Hasil dan Analisis : Dukungan keluarga
tidak berhubungan secara signifikan terhadap Efikasi Diri dengan p-value = 0,120 atau (p ≥
0,05). Kesimpulan : semua responden penderita TB-MDR di Poli TB-MDR RSUD Ibnu Sina
Gresik memiliki dukungan keluarga yang positif dan Efikasi Diri tinggi. Saran bagi peneliti
selanjutnya agar meneliti tentang hubungan antara dukungan keluarga dengan Efikasi Diri
yang dapat meningkatkan partisipasi dukungan keluarga.

Kata kunci : Dukungan Keluarga; Efikasi Diri; TB-MDR

Abstract
Multidrug resistant (TB-MDR) occurs due to treatment failure, dropping, treatment, or improper
treatment resulting in primary resistant. This research aimed to analyze the correlation between family
support and self efficacy of multidrug resistant patient at TB-MDR Polly Ibnu Sina Hospital Gresik.
Method : Descriptive correlational involved 15 respondents of TB-MDR patient who were undergoing
treatment in poly TB-MDR of Ibnu Sina Gresik Hospital on 28 march – 28 june 2018 who were selected
using consecutive sampling. Independent variable was family support. Dependent variable was self
efficacy. Data were retrieved by questionnaire then analyzed using spearman rho with degree of meaning
α ≤ 0,05. Result and analyze: Family support not significantly correlated with self efficacy with p-value =
0,120 or (p ≥ 0,05). Conclusion : All respondents of TB-MDR patients in TB-MDR Ibnu Sina Hospital
Gresik have positive family support and high self efficacy. Suggestions for further researcher to research
about health education to increase the participation of family support for TB-MDR patients.

Hubungan dukungan keluarga dengan efikasi diri penderita Tuberculosis Multidrug Resistant 72
(TB-MDR) di poli TB-MDR RSUD Ibnu Sina Gresik
JURNAL KESEHATAN Vol 11 No 2 Tahun 2018 P-ISSN : 2086-2555; E-ISSN : 2622-7363

Keywords : Family Support; Self Efficacy; TB-MDR

PENDAHULUAN

Tuberculosis Multidrug Resistant merupakan penyakit Tuberkulosis (TB) yang telah


mengalami resistensi terhadap isoniazid (INH) dan rifampicin serta satu atau lebih obat
anti tuberkulosis (OAT) berdasarkan pemeriksaan laboratorium yang terstandar
(Tirtana, 2011). TB-MDR terjadi karena kegagalan pengobatan, putus pengobatan, atau
pengobatan yang tidak benar sehingga terjadinya resistensi primer (WHO, 2015).

WHO melaporkan pada tahun 2016 sebanyak 10,4 juta orang terkena TB kasus baru
dan 1,4 juta orang diantaranya meninggal. Indonesia merupakan negara dengan pasien
TB terbanyak ke-2 di dunia (WHO, 2016). Tahun 2015 diperkirakan 3,9% dari kasus
baru dan 21% kasus lama mengalami TB-MDR terhitung sejumlah 580.000 kasus.
Indonesia menempati urutan ke-4 kasus TB-MDR dengan estimasi 32.000 kasus dengan
2,8% dari kasus baru dan 16% kasus lama (WHO, 2016). Kementerian Kesehatan RI
(2014) melaporkan ada sekitar 6.900 pasien TB-MDR dengan 5.900 orang (1,9%) kasus
baru dan 1.000 orang (12%) dari kasus pengobatan ulang. Berbeda dengan data dari
survey yang dilakukan di Kota Surabaya menunjukkan bahwa pasien TB-MDR yang
ditemukan berasal dari kelompok pasien gagal pengobatan dengan kategori-1 maupun
kategori-2 (23,2%), pasien gagal pengobatan kategori-1 (13,2 %), dan 9.8% adalah pasien
yang diobati di luar sarana yang menerapkan strategi DOTS (Dinas Kesehatan Jatim,
2014). Di Gresik, penderita TB paru mencapai ribuan orang. Berdasarkan data Dinas
Kesehatan Gresik (2017) terdapat 7.653 orang yang diperiksa. Sebanyak 1.733 orang
diantaranya dinyatakan positif. Pasien TB yang sudah kebal obat atau TB-MDR
mencapai 101 tiap tahun.

Efikasi Diri merupakan suatu proses kognitif terkait kenyamanan individu dalam
melakukan suatu hal sehingga mempengaruhi motivasi, proses berpikir, kondisi
emosional serta lingkungan sosial yang menunjukkan suatu kebiasaan yang spesifik.
Efikasi Diri yang tinggi dapat meningkatkan pengobatan TB-MDR sedangkan Efikasi
Diri yang rendah akan berakibat pada kegagalan pengobatan. Bandura (1986)
mengungkapkan bahwa semua orang dapat memiliki efikasi diri yang tinggi jika tidak
terdapat suatu halangan yang berarti untuk diatasi, sehingga tugas tersebut sangat
mudah dilakukan. Hal ini dapat terjadi karena adanya faktor pendukung yang dapat
meningkatkan motivasi. Orang yang memiliki keyakinan kuat pada usahanya
meskipun suatu hal terlihat sulit untuk dihadapi, misalnya penyakit tuberkulosis
resisten obat.

Dukungan keluarga akan meningkatkan harapan dan kualitas hidupnya. Hal ini
sesuai dengan yang diungkapkan Laserman & Perkins (2001 dalam Kusuma 2011),
dukungan keluarga sangat dibutuhkan oleh orang dengan penderita TB-MDR sebagai

Hubungan dukungan keluarga dengan efikasi diri penderita Tuberculosis Multidrug Resistant 73
(TB-MDR) di poli TB-MDR RSUD Ibnu Sina Gresik
JURNAL KESEHATAN Vol 11 No 2 Tahun 2018 P-ISSN : 2086-2555; E-ISSN : 2622-7363

sistem pendukung utama sehingga dapat mengembangkan respon koping yang efektif
untuk beradaptasi dengan baik dalam menangani stresor yang dihadapi terkait
penyakitnya baik fisik, psikologis maupun sosial. Pengawas Menelan Obat (PMO)
untuk pasien TB paru terbanyak adalah keluarga (Suami, istri, orangtua, anak,
menantu) yaitu sebanyak 93%, sebanyak 4,7% petugas kesehatan dan sebanyak 2,3%
adalah lainnya (Rachmawati & Turniani, 2006). Dukungan yang baik diperlukan dalam
masa pengobatan penyakit TB yang mengharuskan untuk mengkonsumsi obat dengan
jangka waktu yang lama. Individu yang termasuk dalam memberikan dukungan sosial
salah satunya adalah keluarga. Beberapa pendapat mengatakan kedekatan dalam
hubungan merupakan sumber dukungan sosial yang paling penting (Royce, S.et.al.,
2014). Secara fungsional dukungan mencakup emosional berupa adanya ungkapan
perasaan, memberi nasihat atau informasi, dan pemberian bantuan material. Dukungan
juga terdiri atas pemberian informasi secara verbal atau non verbal, bantuan nyata atau
tindakan yang diberikan oleh keakraban sosial atau didapat karena kehadiran keluarga
mempunyai manfaat emosional atau efek perilaku bagi pihak penerima (Royce, S.et al.,
2014).

Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan di Poli TB-MDR RSUD Ibnu
Sina Gresik pada tanggal 06 April 2018, dari 5 klien TB-MDR di dapatkan informasi
bahwa tiga klien efikasi diri tinggi dan datang ke Poli TB-MDR diantar oleh keluarga.
Dua orang lainnya efikasi diri rendah dan sering datang sendiri ke Poli TB-MDR. Data
lima orang tersebut didapatkan sebanyak dua orang mengatakan sudah bosan dengan
penyakitnya dan merasa membebani keluarga, sedangkan tiga orang lainnya
mengatakan sulit melakukan aktivitas sehari-hari karena sakit yang diderita serta
merasa kurang diperhatikan oleh keluarganya. Hubungan dukungan keluarga dengan
Efikasi Diri penderita Tuberkulosis resisten obat (TB-MDR) di Poli TB-MDR RSUD Ibnu
Sina Gresik belum dapat dijelaskan. Hasil penelitian Muhtar (2013) tentang pengaruh
pemberdayaan keluarga dalam meningkatkan efikasi diri dan self care activity keluarga
dan penderita tuberculosis paru menunjukkan bahwa pasien yang bersama-sama
keluarga mendapatkan intervensi pemberdayaan keluarga memiliki efikasi diri yang
lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol.

Keterkaitan dengan Theory of planned behavior (TPB) menjelaskan perilaku yang


ditimbulkan individu karena adanya intensiniat untuk berperilaku (Ajzen, 2005).
Intensi perilaku kesehatan dipengaruhi oleh variabel hubungan beliefs. Variabel tersebut
dikelompokkan menjadi tiga yaitu personal (sikap, kepribadian, sifat, nilai, emosi, dan
kecerdasan), sosial (usia, jenis kelamin, pendidikan, ras, etnik, pendapatan dan agama),
informasi (pengalaman, pengetahuan dan paparan media). Intensi ditentukan oleh
behavior beliefs, normative beliefs, dan control beliefs. Behavior beliefs menghasilkan perilaku
positif atau negatif, normative beliefs menghasilkan norma subjektif dan control beliefs
menghasilkan perceived behavioral control. Intensi merupakan faktor motivasional yang
memiliki pengaruh pada perilaku, intensi terdiri dari efikasi diri dan motivasi internal
dari individu. Intensi berpengaruh pada perilaku kepatuhan pengobatan pada pasien

Hubungan dukungan keluarga dengan efikasi diri penderita Tuberculosis Multidrug Resistant 74
(TB-MDR) di poli TB-MDR RSUD Ibnu Sina Gresik
JURNAL KESEHATAN Vol 11 No 2 Tahun 2018 P-ISSN : 2086-2555; E-ISSN : 2622-7363

TB Paru (Ajzen, 2005). Dukungan keluarga termasuk dalam control beliefs yang secara
langsung mempengaruhi kendali perilaku. Perilaku terkendali dapat mempengaruhi
intensi/niat atau secara langsung berpengaruh terhadap kepatuhan berobat penderita
TB-MDR. Terjadinya dukungan keluarga didukung oleh beberapa faktor dasar
(Background factors) meliputi personal, sosial, dan informasi.

Berdasarkan kronologi di atas penulis tertarik untuk meneliti Hubungan Dukungan


Keluarga dengan Efikasi Diri Penderita Tuberculosis Multidrug Resistant (TB-MDR) di
Poli TB-MDR RSUD Ibnu Sina Gresik.

METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif korelasional dengan


pendekatan cross sectional. Sampel adalah klien TB-MDR yang sedang menjalani
program pengobatan di Poli TB-MDR RSUD Ibnu Sina Gresik sebanyak 15 orang.
Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah consecutive sampling.
Variabel independen dalam penelitian ini adalah dukungan keluarga. Variabel
dependen dalam penelitian ini adalah efikasi diri klien TB-MDR. Instrumen dalam
penelitian ini adalah kuesioner. Kuesioner dukungan keluarga terkait dengan
pernyataan untuk mengukur domain dukungan keluarga yaitu domain informasional,
instrumental, serta emosional dan harga diri yang berisi 12 item pertanyaan dengan
pilihan jawaban selalu, sering, kadang-kadang, dan tidak pernah. Kuesioner efikasi diri
terkait dengan pertanyaan tentang keyakinan diri pasien dalam menjalankan
pengobatan OAT yang meliputi keyakinan mendapatkan sumber informasi, keyakinan
mendapatkan dukungan sosial serta keyakinan mengatasi gangguan fisik dan emosi
yang berisi 10 item pertanyaan dengan pilihan jawaban sangat setuju, setuju, ragu-ragu,
tidak setuju, sangat tidak setuju. Penelitian ini dilakukan di poli TB-MDR RSUD Ibnu
Sina Gresik. Setiap data akan diukur menggunakan uji statistik Spearman Rho yaitu jika
ditetapkan nilai α = 0,05 dan diperoleh nilai signifikansi ≤ 0.05 maka H1 diterima yaitu
ada hubungan antara dukungan keluarga dengan efikasi diri penderita Tuberculosis
Multidrug Resistant (TB-MDR). Hasil uji validitas penelitian sebelumnya pada kuesioner
dukungan keluarga ditemukan 2 pertanyaan tidak valid. Pertanyaan yang tidak valid
selanjutnya akan diedit dan dimodifikasi kata-katanya sehingga pertanyaan tersebut
benar-benar valid. Hasil uji validitas penelitian sebelumnya pada kuesioner efikasi diri
didapatkan nilai 0,496-0,880 dan uji reliabilitas 0,872 yang diuji cobakan kepada 30
responden. Uji reliabilitas pada kuesioner ini dilakukan setelah melakukan uji validitas.
Hasil uji reliabilitas pada kuesioner pertama yaitu tentang dukungan keluarga
menunjukkan bahwa cronbach's alpha sebesar 0,950, berarti pertanyaan pada kuesioner
dinyatakan sangat reliabel. Hasil uji reliabilitas kedua pada kuesioner self efficacy juga
menunjukkan bahwa cronbach's alpha sebesar 0,872 sehingga pertanyaan pada kuesioner
tersebut dinyatakan sangat reliabel.

Hubungan dukungan keluarga dengan efikasi diri penderita Tuberculosis Multidrug Resistant 75
(TB-MDR) di poli TB-MDR RSUD Ibnu Sina Gresik
JURNAL KESEHATAN Vol 11 No 2 Tahun 2018 P-ISSN : 2086-2555; E-ISSN : 2622-7363

Semua pertanyaan pada dua jenis kuesioner di atas dinyatakan valid dan reliabel
sehingga kuesioner tersebut dapat dipakai dalam penelitian ini.

HASIL DAN PEMBAHASAN

a. Karakteristik responden Penderita Tuberculosis Multidrug Resistant (TB-MDR)


Di bawah ini akan dijabarkan data demografi responden mengenai karakteristik
demografi 15 responden pada penelitian ini.

Tabel Karakteristik responden penderita Tuberculosis Multidrug Resistant (TB-MDR) di


Poli TB-MDR RSUD Ibnu Sina Gresik, Maret – Juni 2018

No Karakteristik Responden Frekuensi (f) Persentase (%)


1 Alamat
Gresik 15 100,0
Total 15 100,0
2 Jenis Kelamin
Laki-laki 8 53,3
Perempuan 7 46,7
Total 15 100,0

3 Umur
< 25 tahun 1 6,7
25 - 35 tahun 5 33,3
> 35 tahun 9 60,0
Total 15 100,0
4 Pendidikan
SD 2 13,3
SLTP 10 66,7
SLTA 3 20,0
Total 15 100,0
5 Pekerjaan
Tidak Bekerja 14 93,3
Wiraswasta 1 6,7
Total 15 100,0
6 Status Pernikahan
Belum 2 13,3
Nikah 13 86,7
Total 15 100,0

Berdasarkan tabel di atas mengenai karakteristik responden menunjukkan bahwa


semua responden penderita tuberkulosis resisten obat yang berobat di Poli TB-MDR
RSUD Ibnu Sina Gresik merupakan warga yang berdomisili di Gresik. Sebanyak 8
orang (53,3%) penderita tuberkulosis resisten obat tersebut berjenis kelamin laki-laki,
sedangkan 7 orang (46,7%) lainnya berjenis kelamin perempuan. Mayoritas penderita

Hubungan dukungan keluarga dengan efikasi diri penderita Tuberculosis Multidrug Resistant 76
(TB-MDR) di poli TB-MDR RSUD Ibnu Sina Gresik
JURNAL KESEHATAN Vol 11 No 2 Tahun 2018 P-ISSN : 2086-2555; E-ISSN : 2622-7363

tuberkulosis resisten obat, yaitu sebanyak 9 orang (60%) berusia lebih dari 35 tahun,
sedangkan sebanyak 6 (33,3%) berusia 25 sampai 35 tahun. Berdasarkan data di atas
tingkat pendidikan SLTP lebih banyak dimiliki oleh responden yaitu sebanyak 10 orang
(66,7%). Sebagian besar responden memiliki status perkawinan sudah menikah
sebanyak 13 orang (86,7%). Terdapat 14 orang (93,3%) responden penderita TB-MDR
tidak bekerja.

b. Dukungan keluarga, Efikasi Diri dan hubungan antara dukungan keluarga


dengan self efficacy

Subbab ini menyajikan tabel distribusi frekuensi mengenai dukungan keluarga, self
efficacy dan dukungan keluarga dengan self efficacy penderita Tuberculosis Multidrug
Resistant (TB-MDR) di Poli TB-MDR RSUD Ibnu Sina Gresik.

1) Dukungan Keluarga

Variabel ini menjelaskan mengenai dukungan keluarga terhadap responden


penderita Tuberkuldosis Resisten Obat (TB-MDR) yang dinilai menggunakan 12 item
pernyataan melalui kuesioner. Hasil penelitian yang diperoleh disajikan pada Tabel
5.2 berikut:

Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Kategori Dukungan Keluarga Terhadap Penderita


Tuberculosis Multidrug Resistant (TB-MDR) di Poli TB-MDR RSUD Ibnu Sina Gresik,
Maret – Juni 2018

No. Domain Pertanyaan Skor Total Rata-Rata Skor


1 Informasional 1 37 2,47
2 37 2,47
3 39 2,60
4 39 2,60
Total 152 2,53
2 Instrumental 5 42 2,80
6 36 2,40
7 36 2,40
8 34 2,27
Total 148 2,47
3 Emosional dan Harga Diri 9 41 2,73
10 41 2,73
11 37 2,47
12 34 2,27
Total 153 2,55

Hubungan dukungan keluarga dengan efikasi diri penderita Tuberculosis Multidrug Resistant 77
(TB-MDR) di poli TB-MDR RSUD Ibnu Sina Gresik
JURNAL KESEHATAN Vol 11 No 2 Tahun 2018 P-ISSN : 2086-2555; E-ISSN : 2622-7363

Dukungan keluarga yang diberikan pada penderita Tuberkulosis Resisten Obat


(TB-MDR) di RSUD Ibnu Sina Gresik yang yang diukur dengan 12 item pertanyaan
jika dihubungkan dengan domain pada definisi operasional, maka diperoleh hasil
bahwa domain dukungan emosional dan harga diri menjadi penyumbang skor
tertinggi dengan rata-rata skor mendekati 3, yaitu 2,55.

Ditinjau dari ketiga domain pada dukungan keluarga menunjukkan hasil bahwa
tiap domain memiliki total skor yang berbeda. Domain informasional memiliki total
skor sebesar 152, dan domain instrumental sebesar 148, sedangkan domain
emosional dan harga diri sebesar 153, sehingga pada penelitian ini menunjukkan
bahwa domain emosional dan harga diri memiliki peran yang besar dalam
dukungan keluarga. Domain dukungan emosional dan harga diri oleh keluarga
untuk penderita ini sangat penting karena menyangkut faktor psikologis dan mental
yang dapat meningkatkan motivasi penderita untuk sembuh. Hal ini dikarenakan
dalam domain ini mencakup ungkapan empati, kepedulian, dan perhatian terhadap
penderita yang diberikan keluarga selaku pihak yang paling dipercayai oleh
penderita. Meskipun demikian, domain lain juga sangat diperlukan sebagai
dukungan, baik secara informasional maupun instrumental karena motivasi saja
tidak akan cukup bagi penderita untuk sembuh dari tuberkulosis resisten obat.

2) Efikasi Diri

Variabel ini menjelaskan mengenai Efikasi Diri responden penderita Tuberculosis


Multidrug Resistant (TB-MDR) yang dinilai menggunakan 10 item pernyataan melalui
kuesioner. Hasil penelitian yang diperoleh disajikan pada Tabel 5.3 berikut:

Tabel 5.3 Pemaparan Distribusi Frekuensi Kategori Efikasi Diri Penderita


Tuberculosis Multidrug Resistant (TB-MDR) di Poli TB-MDR Rsud Ibnu Sina Gresik
No Domain Pertanyaan Skor Total Rata-Rata
Skor
1 Keyakinan mendapatkan 1 69 4,60
sumber informasi 4 72 4,80
Total 141 4,70
2 Keyakinan mendapatkan 2 67 4,47
dukungan sosial 3 73 4,87
Total 140 4,67
3 Keyakinan mengatasi 5 72 4,80
gangguan fisik dan emosi 6 67 4,47
7 62 4,13
8 68 4,53
9 66 4,40
10 67 4,47
Total 402 4,47

Hubungan dukungan keluarga dengan efikasi diri penderita Tuberculosis Multidrug Resistant 78
(TB-MDR) di poli TB-MDR RSUD Ibnu Sina Gresik
JURNAL KESEHATAN Vol 11 No 2 Tahun 2018 P-ISSN : 2086-2555; E-ISSN : 2622-7363

Efikasi Diri penderita Tuberkulosis Resisten Obat (TB-MDR) di RSUD Ibnu Sina
Gresik yang yang diukur dengan 10 item pertanyaan jika dihubungkan dengan
klasifikasi keyakinan pada definisi operasional, maka diperoleh hasil bahwa
keyakinan mendapat sumber informasi pada variabel Efikasi Diri menjadi
penyumbang skor tertinggi dengan rata-rata skor mendekati 5, yaitu sebesar 4,70.

3) Hubungan Dukungan Keluarga dan Efikasi Diri Penderita Tuberkulosis Resisten


Obat

Pada bagian ini akan disajikan data dalam bentuk tabel yang menjelaskan mengenai
pola hubungan antar variabel penelitian yaitu dukungan keluarga dan Efikasi Diri
yang dinilai menggunakan uji statistik bivariat dengan Spearman Rho. Berikut
adalah tabel hubungan antara variabel tersebut:

Tabel 5.4 Hubungan Dukungan Keluarga dan Efikasi Diri Penderita Tuberculosis
Multidrug Resistant (TB-MDR)
Dukungan Self Efficacy Total P-Value Coefficient
Keluarga Rendah Sedang Tinggi correlation
Positif 0 0% 0 0% 15 100% 15 100%
0,120 -0,419
Negatif 0 0% 0 0% 0 0% 0 0%
Total 0 0% 0 0% 15 100% 15 100%

Tabel 5.4 menunjukkan bahwa tingkat Efikasi Diri dengan dukungan keluarga
positif sangat tinggi, yaitu sebanyak 15 responden dengan persentase 100%.
Responden berkategori Efikasi Diri tinggi dengan dukungan keluarga yang positif
sebanyak 15 responden dengan persentase 100%. Sedangkan Efikasi Diri berkategori
rendah dengan keluarga yang mendukung secara positif sebesar 0%. Berdasarkan
hasil tersebut, diketahui bahwa nilai p-value atau Sig. (2-tailed) pada Spearman Rho
Test sebesar 0,120 yang lebih dari taraf signifikan α=0,05. Hal ini menyebabkan
penerimaan hipotesis nol (H0) yang menyatakan bahwa tidak terdapat korelasi atau
hubungan yang signifikan antara dukungan keluarga dan Efikasi Diri. Sedangkan
koefisien korelasi (correlation coefficient) Spearman Rho dukungan keluarga dan
Efikasi Diri sebesar -0,419.

Faktor dalam membentuk Efikasi Diri bukanlah semata dari dukungan keluarga,
melainkan pengetahuan, sikap, tingginya harga diri, merasa mempunyai
kemampuan yang cukup, mempunyai keyakinan untuk mengambil tindakan serta
kepercayaan akan kemampuan untuk mengubah situasi (Notoatmodjo, 2010).
Dengan demikian faktor-faktor tersebut yang dimungkinkan berperan lebih kuat
dalam pembentukan Efikasi Diri responden penelitian. Hal ini didukung dengan
penelitian Kholifah (2014) dan Hidayati (2012) bahwa kedua penelitian
menunujukkan Efikasi Diri terbentuk dari self management intervention yang
diterapkan pada kasus diabetes mellitus dan hipertensi. Intervensi tersebut tidak

Hubungan dukungan keluarga dengan efikasi diri penderita Tuberculosis Multidrug Resistant 79
(TB-MDR) di poli TB-MDR RSUD Ibnu Sina Gresik
JURNAL KESEHATAN Vol 11 No 2 Tahun 2018 P-ISSN : 2086-2555; E-ISSN : 2622-7363

menitik beratkan pada faktor lingkungan atau dukungan keluarga melainkan


manajemen diri untuk memunculkan Efikasi Diri. Selain itu, penelitian Kulsum
(2015) yang melibatkan 34 pasien Tuberkulosis menunujukkan bahwa adanya
hubungan variabel jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, pengetahuan, dan peran
petugas dalam membentuk ketidakteraturan berobat pasien Tuberkulosis. Pasien
tuberkulosis yang tidak memiliki Pengawas Minum Obat (PMO) yang baik berisiko 5
kali lebih besar untuk tidak teratur dalam menjalankan pengobatan.

PEMBAHASAN

a. Dukungan Keluarga

Tabel 5.2 menunjukkan bahwa semua responden penderita Tuberculosis Multidrug


Resistant (TB-MDR) mendapatkan dukungan yang positif dari keluarga. Dukungan
keluarga merupakan faktor penting bagi penderita TB-MDR karena termasuk dalam
sistem pendorong yang dapat menyebabkan ketenangan pikiran bagi penderita bahwa
memiliki orang yang mendukung dan akan selalu siap memberikan pertolongan jika
diperlukan (Friedman, 2010). Hal ini terjadi karena dalam keluarga terdapat kedekatan
emosional akibat adanya ikatan hubungan darah, perkawinan, maupun adopsi (Duval
dan Logan dalam Efendi dan Makhfudi, 2009).

Individu yang memperoleh dukungan keluarga tinggi akan menjadi lebih optimis
dalam menghadapi masalah kesehatan serta kehidupannya akan lebih terampil dalam
memenuhi kebutuhan psikologi (Suhita, 2005 dalam setiadi,2008). Hal ini sesuai dengan
hasil penelitian ini bahwa semua anggota keluarga penderita TB-MDR telah
memberikan dukungan yang positif bagi penderita baik secara moril maupun materil.
Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Irnawati dkk (2016) bahwa dukungan
keluarga yang diperoleh klien tuberkulosis adalah baik atau positif.

Dukungan keluarga yang paling baik dalam penelitian ini terletak pada domain
dukungan emosional dan harga diri, sedangkan domain dukungan keluarga yang
paling rendah terletak pada domain dukungan instrumental. Domain dukungan
emosional dan harga diri berperan penting karena menyangkut faktor psikologis dan
mental yang dapat meningkatkan motivasi penderita untuk sembuh. Hal ini
dikarenakan dalam domain ini mencakup ungkapan empati, kepedulian, dan perhatian
terhadap penderita yang diberikan keluarga selaku pihak yang paling dipercayai oleh
penderita. Domain keluarga lainnya juga sangat penting untuk meningkatkan derajat
kesehatan klien, seperti domain instrumental. Domain ini mencakup waktu dan fasilitas
kesehatan terkait pengobatan (biaya dan transportasi), peran aktif keluarga, dan
pembiayaan kesehatan sangat mendukung terjaminnya kesehatan klien.

Peneliti berpendapat Keluarga merupakan orang terdekat dan paling mengerti


penderita. Ketika terdapat salah satu anggota keluarga yang sakit, maka anggota

Hubungan dukungan keluarga dengan efikasi diri penderita Tuberculosis Multidrug Resistant 80
(TB-MDR) di poli TB-MDR RSUD Ibnu Sina Gresik
JURNAL KESEHATAN Vol 11 No 2 Tahun 2018 P-ISSN : 2086-2555; E-ISSN : 2622-7363

keluarga lain tentu akan memberikan dukungan yang positif bagi penderita untuk
sembuh. Peneliti meyakini bahwa empati yang dimiliki keluarga terhadap sesama
anggota sangat tinggi dibanding orang lain. Hal ini menyebabkan empati tersebut
mendorong keluarga untuk memberikan dukungan penuh bagi penderita apalagi
penyakit tuberkulosis resisten obat mengharuskan penderita mengkonsumsi obat
dalam kurun waktu yang lama.

b. Efikasi Diri

Tabel 5.3 menunjukkan Efikasi Diri 15 responden penderita tuberkulosis resisten


obat (TB-MDR) di RSUD Ibnu Sina Gresik dengan hasil bahwa semua (100%) penderita
berada pada kategori Efikasi Diri tinggi. Efikasi Diri merupakan proses kognitif terkait
kenyamanan individu dalam mengukur kemampuannya dalam melakukan suatu hal
sehingga mempengaruhi motivasi, proses berpikir, kondisi emosional, serta lingkungan
sosial yang menunjukkan suatu kebiasaan yang spesifik. Efikasi Diri yang dimaksud
dalam penelitian ini adalah motivasi dan usaha penderita dalam menghadapi
tuberkulosis resisten obat.

Bandura (1986) mengungkapkan bahwa semua orang dapat memiliki Efikasi Diri
yang tinggi jika tidak terdapat suatu halangan yang berarti untuk diatasi, sehingga
tugas tersebut sangat mudah dilakukan. Hal ini dapat terjadi karena adanya faktor
pendukung yang dapat meningkatkan motivasi. Orang yang memiliki keyakinan yang
kuat akan bertekun pada usahanya meskipun suatu hal terlihat sulit untuk dihadapi,
misalnya penyakit tuberkulosis resisten obat. Sehingga pada penelitian ini terdapat
banyak responden penderita tuberkulosis resisten obat yang memiliki Efikasi Diri
tinggi.

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa skor terendah (62 dari skor maksimal 75)
berada pada item pernyataan nomor 7, yaitu penderita yakin dapat mengatasi
ketidaknyamanan fisik atau rasa sakit yang saya alami selama sakit. Hal ini dapat
terjadi karena penderita mungkin mampu secara mental untuk memotivasi diri dari
menahan rasa sakit, namun faktanya fisik penderita tidak mampu. Hal ini
menyebabkan jawaban yang diberikan responden pada item pernyataan ini lebih
rendah dari item pernyataan lain.

Item pernyataan yang memiliki skor paling tinggi (73 dari skor maksimal 75)
terdapat pada nomor 3, yaitu penderita yakin keluarga mau mendengarkan keluhan
dan memberi dukungan emosional kepada penderita. Hal ini terjadi karena penderita
menganggap bahwa keluarga merupakan orang terdekat yang mampu memberi
dukungan emosional bagi penderita. Sebagaimana dijelaskan Duval dan Logan dalam
Efendi dan Makhfudi (2009) bahwa dalam keluarga terdapat kedekatan emosional
akibat adanya ikatan hubungan darah, perkawinan, maupun adopsi. Sehingga,

Hubungan dukungan keluarga dengan efikasi diri penderita Tuberculosis Multidrug Resistant 81
(TB-MDR) di poli TB-MDR RSUD Ibnu Sina Gresik
JURNAL KESEHATAN Vol 11 No 2 Tahun 2018 P-ISSN : 2086-2555; E-ISSN : 2622-7363

keyakinan responden penderita tuberkulosis resisten obat terhadap peran keluarga


dapat menjadi tinggi.

Peneliti berpendapat bahwa Efikasi Diri penderita tuberkulosis resisiten obat


merupakan keyakinan penderita akan kemampuannya untuk menjalani pengobatan
tuberkulosis dalam jangka waktu yang ditentukan. Kemampuan tersebut berasal dari
motivasi dan kondisi emosional penderita. Pengalaman baik langsung maupun tidak
langsung dalam menjalani pengobatan tuberkulosis dapat menjadi pendorong
tingginya Efikasi Diri penderita. Pengalaman tersebut mengajarkan penderita langkah
tepat yang mampu memotivasi diri sehingga dapat menjadikan kebiasaan penderita
untuk menjadi semakin mudah menjalani pengobatan tersebut. Peneliti meyakini
bahwa motivasi dan pengalaman merupakan faktor penting yang menjadi pendorong
tingginya Efikasi Diri penderita tuberkulosis resisten obat di RSUD Ibnu Sina Gresik.

c. Hubungan Dukungan Keluarga dan Efikasi Diri

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dukungan keluarga dan Efikasi Diri
penderita Tuberkulosis Resisten Obat (TB-MDR) di poli TB-MDR RSUD Ibnu Sina
Gresik. Analisis tersebut dilakukan dengan melibatkan 15 responden, yaitu penderita
tuberkulosis resisten obat yang dinilai menggunakan kuesioner. Berdasarkan hasil
penelitian yang diperoleh dengan Spearman Rho Test seperti ditunjukkan pada tabel
5.6, dukungan keluarga dan Efikasi Diri penderita tuberkulosis resisten tidak terdapat
hubungan yang signifikan. Hal ini terlihat dari nilai p-value (Sig. 2-tailed) yang lebih
dari α.

Rock dan Dooley dalam Kuntjoro (2002) menyatakan bahwa keluarga memainkan
suatu peranan penting yang bersifat mendukung selama penyembuhan dan pemulihan
anggota keluarga, sehingga dapat mencapai derajat kesehatan secara optimal. Namun,
teori ini tidak sesuai dengan hasil penelitian karena kedua variabel yang tidak memiliki
hubungan yang signifikan berdasarkan hasil uji Spearman Rho. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa keluarga penderita memberikan dukungan yang positif terhadap
penderita dan Efikasi Diri penderita juga berada pada kategori tinggi.

Ramdhani (2009) menjelaskan bahwa terdapat 2 faktor utama yang dapat


mempengaruhi intensi yang berhubungan dengn beliefs pembentuk Efikasi Diri
seseorang. Faktor tersebut adalah faktor sosial dan faktor personal. Dukungan keluarga
pada penderita tuberkulosis termasuk dalam faktor sosial. Jika dukungan keluarga
positif, namun Efikasi Diri masih dalam kategori rendah atau sedang, maka dapat
dikatakan bahwa faktor personal penderita kurang mendukung. Sebagaimana Bandura
(1997) menegaskan salah satu faktor yang mempengaruhi Efikasi Diri, yaitu sifat dari
tugas yang dapat mempengaruhi kemampuan diri seseorang.

Hubungan dukungan keluarga dengan efikasi diri penderita Tuberculosis Multidrug Resistant 82
(TB-MDR) di poli TB-MDR RSUD Ibnu Sina Gresik
JURNAL KESEHATAN Vol 11 No 2 Tahun 2018 P-ISSN : 2086-2555; E-ISSN : 2622-7363

Faktor dalam membentuk Efikasi Diri bukanlah semata dari dukungan keluarga,
melainkan pengetahuan, sikap, tingginya harga diri, merasa mempunyai kemampuan
yang cukup, mempunyai keyakinan untuk mengambil tindakan serta kepercayaan akan
kemampuan untuk mengubah situasi (Notoatmodjo, 2010). Dengan demikian faktor-
faktor tersebut yang dimungkinkan berperan lebih kuat dalam pembentukan Efikasi
Diri responden penelitian. Hal ini didukung dengan penelitian Kholifah (2014) dan
Hidayati (2012) bahwa kedua penelitian menunujukkan Efikasi Diri terbentuk dari self
management intervention yang diterapkan pada kasus diabetes mellitus dan hipertensi.
Intervensi tersebut tidak menitik beratkan pada faktor lingkungan atau dukungan
keluarga melainkan manajemen diri untuk memunculkan Efikasi Diri. Selain itu,
penelitian Kulsum (2015) yang melibatkan 34 pasien Tuberkulosis menunujukkan
bahwa adanya hubungan variabel jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, pengetahuan,
dan peran petugas dalam membentuk ketidakteraturan berobat pasien Tuberkulosis.
Pasien tuberkulosis yang tidak memiliki Pengawas Minum Obat (PMO) yang baik
berisiko 5 kali lebih besar untuk tidak teratur dalam menjalankan pengobatan.

Peneliti berpendapat bahwa dukungan keluarga merupakan salah satu faktor


penting dalam mendorong Efikasi Diri penderita tuberkulosis resisten obat dalam
menjalani pengobatan. Menurut peneliti, selain faktor internal berupa motivasi dan
pengalaman yang diperoleh penderita dalam menjalani pengobatan tuberkulosis
resisten obat, faktor eksternal berupa dukungan keluarga juga memainkan peran
penting untuk meningkatkan Efikasi Diri penderita. Dukungan keluarga sangat
diperlukan sebagai faktor penguat tindakan (reinforcing) dan penyedia sumber
dukungan (enabling) ketika penderita mengalami penurunan Efikasi Diri dalam proses
pengobatannya.

KESIMPULAN

1. Semua responden penderita Tuberculosis Multidrug Resistant (TB-MDR) di Poli TB-


MDR RSUD Ibnu Sina Gresik memiliki dukungan keluarga yang positif.
2. Semua responden penderita Tuberculosis Multidrug Resistant (TB-MDR) di poli TB-
MDR RSUD Ibnu Sina Gresik berada pada kategori Efikasi Diri tinggi.
3. Dukungan keluarga tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan Efikasi Diri
penderita Tuberculosis Multidrug Resistant (TB-MDR).

DAFTAR PUSTAKA

Andrianti, A. (2013). Faktor Risiko Kejadian Tuberkulosis Resisten Obat Ganda (TB
ROG). Fakultas Kedokteran UNPAD.
Arikunto, S. (2014). Manajemen Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.
Ajzen, I. (2010). Attitudes, Personality and Behavior Second. Buckingham: Open University
Press.

Hubungan dukungan keluarga dengan efikasi diri penderita Tuberculosis Multidrug Resistant 83
(TB-MDR) di poli TB-MDR RSUD Ibnu Sina Gresik
JURNAL KESEHATAN Vol 11 No 2 Tahun 2018 P-ISSN : 2086-2555; E-ISSN : 2622-7363

Bandura, A. (1994). Self Efficacy. In V.S. Ramachaudran (Ed). Ensiclopedia of Human


Behavior 4, 71-81. New York : Academic Press
Bandura, A. (1997). Self-Efficacy: Toward a Univying Theory of Bhavioral Change.
Psychologycal Review. 84 (2), 191-215.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2008). Pedoman Nasional
Penanggulangan TBC. edisi 2. Jakarta : Bakti Husada
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2014). TBC Masalah Kesehatan
Dunia, Jakarta : Bakti Husada
Efendi & Makhfudli. (2009). Keperawatan Kesehatan Komunitas: Teori dan Praktik Dalam
Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika
Fauzia,, L. (2013). Faktor-faktor yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Tuberkulosis Multidrug
Resistan (TB-MDR) di RSUP Persahabatan Tahun 2013. Tesis Universitas Indonesia
Friedman, MM, Bowden, VR, & Jones, EG. (2010). Buku Ajar Keperawatan Keluarga: Riset,
Teori, dan Praktik. Jakarta : EGC
Hidayat, A.Aziz Alimul. (2010). Metode Penelitian Kesehatan: Paradigma Kuantitatif,
Kelapa Pariwara, Surabaya
Hudoyo, A. (2012). Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Perkumpulan Pemberantasan
Tuberkulosis Indonesia, 8 (2).
Kementrian Kesehatan RI. (2013). Petunjuk Teknis Manajemen Terpadu Pengendalian
Tuberkulosis Resitance Obat. Jakarta: Kemenkes RI.
Kementrian Kesehatan RI. (2014). Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, Jakarta:
Kemenkes RI Direktorat Jenderal P2PL
Keshavjee, S., dan Farmer. (2010). Time to Put Boots on the Ground: Making Universal
Acces to MDR – TB Treatment a Reality. The International Journal of Tuberculosis
and Lung Disease.
Mardhiyyah, A., Carolia, N. (2016). MDR TB Pada Pasien DO dan Tatalaksana OAT Lini
Kedua. Majority, 5 (2).
Masniari, L, Priyanti, Z. Tjandra, Y. (2007). Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesembuhan
Pasien TB Paru. J. Respir Indo.
Megawati. (2015). Karakteristik Pasien Tuberkulosis Paru dengan Multidrug Resistent (TB-
MDR) di RSUP dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar Periode Januari 2012 –Juni 2015.
Skripsi. Fakultas KedokteranUniversitas Hasanuddin.
Mekonnen, F., Tessema, B., Moges, F., Gelaw, A. (2015). Multidrug Resistant Tuberculosis:
Prevalence and Risk Factors In Districts Of Metema And West
Morisky, DE, Green, LW & Levine, DM. (1988). Concurrent and Predictive Validity of a
Self-reported of Medication Adherence. Med Care. 24, 67-74
Mubarrak, Wahit I. (2009). Ilmu Keperawatan Komunitas. Jakarta : Salemba Medika
Muaz, F. (2014). Faktor – faktor yang Mempengaruhi Kejadian Tuberkulosis Paru Basil Tahan
Asam Positif di Puskesmas Wilayah Kecamatan Serang Kota Serang Tahun 2014. Skripsi.
UIN Syarif Hidayatullah. Jakarta
Mulissa, G., Workneh, T., Hordofa, N., Suaudi, M. (2015). Multidrug-resistant
Mycobacterium tuberculosis and associated risk factors in Oromia Region of
Ethiopia. International Journal of Infectious Diseases. 39 (57).

Hubungan dukungan keluarga dengan efikasi diri penderita Tuberculosis Multidrug Resistant 84
(TB-MDR) di poli TB-MDR RSUD Ibnu Sina Gresik
JURNAL KESEHATAN Vol 11 No 2 Tahun 2018 P-ISSN : 2086-2555; E-ISSN : 2622-7363

Munawwarah. (2013). Gambaran Faktor Risiko Pengobatan Pasien TB-MDR RS Labuang Baji
Kota Makassar. Tesis. Universitas Hasanuddin.
Nursalam. (2016). Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan: Pendekatan Praktis, edisi. 4.
Jakarta : Salemba Medika
Neville, K., Bromberg, R. (1994). The Third Epidemic – MDR. Journal Of The American
College Of Chest Physicians.
Notoatmodjo, S. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.
Pant, R. (2009) Risk Factor Assesment of Multidrug – Resisteance Tuberculosis. Journal
of Nepal Health Respiratory Council. 7 (2).
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan
Tuberkulosis di Indonesia. Diakses 18 Maret
2018.http://www.klikpdpi.com/konse nsus/TB/TB.html
Pramonodjati, F. (2010). Pengaruh Pemberian Pembelajaran Tuberkulosis terhadap Kepatuhan
Berobat dan Tingkat Kesembuhan Penderita Tuberkulosis. Surakarta : Tesis FK UNS
Rachmawati, T & Turniani. (2006), Pengaruh dukungan sosial dan pengetahuan
tentang penyakit TB terhadap motivasi untuk sembuh klien TB paru
yang berobat di puskesmas. Buletin penelitian sistem kesehatan. 9(3).
Riset Kesehatan Dasar. (2013). Riset Kesehatan Dasar. Badan Litbangkes Depkes RI.
Jakarta
Salindria. (2011). Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian MDR – TB di RSUD Dr.
Soetomo Surabaya. Skripsi. Universtas airlangga
Sarwani., D. (2012). Faktor Risiko Multidrug Resistant Tuberculosis (TB-MDR). Jurnal
Kesehatan Masyarakat. 1, 60-66
Soepandi, P. (2015). Diagnosis dan Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya TB-MDR, Jakarta:
Departemen Pulmonologi & Ilmu kedokteran Respirasi FKUI-RS Persahabatan.
Smeltzer, S. C. (2013). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Jakarta:
EGC.
Sukartini, (2015). Pengembangan Model Peningkatan Kepatuhan. Jakarta: Disertasi
Universitas Indonesia.
Tirtana., Tanggap, B. Musrican (2011). Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan
Pengobatan pada Pasien Tuberkuloisis Paru dengan Resistensi Obat Tuberculosis di
Wilayah Jawa Tengah. Semarang : Tesis FK Undip
World Health Organization. (2014). Multidrug-Resistant Tuberculosis (MDR TB).
www.who.int/tb/challenges/mdr/mdr_tb_factsheet.pdf

Hubungan dukungan keluarga dengan efikasi diri penderita Tuberculosis Multidrug Resistant 85
(TB-MDR) di poli TB-MDR RSUD Ibnu Sina Gresik
Jurnal e-Clinic (eCl), Volume 4, Nomor 2, Juli-Desember 2016

Profil hasil pemeriksaan foto toraks pada pasien pneumotoraks


di Bagian / SMF Radiologi FK Unsrat
RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado
periode Januari 2015 – Agustus 2016

1
Windy D. P. Masengi
2
Elvie Loho
2
Vonny Tubagus

1
Kandidat Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado
2
Bagian/SMF Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado
Email: windy.mas3ngi@gmail.com

Abstract: Radiology examination especially chest x-ray can enforce various kinds of
pulmonary diseases inter alia pneumothorax. Pneumothorax is defined as the presence of air
in the pleural cavity. The causes of pneumothorax are very diverse ranging from idiopathic,
infection, trauma, and iatrogenic. This study was aimed to obtain the profile of chest x-ray in
patients with pneumothorax. This was a retrospective descriptive study by using secondary
data from the medical records at the Department of Radiology Prof. Dr. R. D. Kandou
Hospital Manado from January 2015 to August 2016. Samples were the medical records of
patients that were radiologically diagnosed as pneumothorax. There were 41 patients that
were diagnosed radiologically as pneumothorax. The majority of cases were male (90.2%),
age group >50 years (36.6%), location of lesion in the right hemithorax (53.7%), and
secondary spontaneous pneumothorax as the etiology (43,9 %). Conclusion: In this study,
pneumothorax was more common among males, age group of ≥50 years, and secondary
spontaneous pneumothorax as the etiology of pneumothorax.
Keywords: pneumothorax, radiology, chest x-ray

Abstrak: Pemeriksaan radiologi khususnya foto toraks dapat menegakkan berbagai macam
diagnosis penyakit paru, salah satunya ialah pneumotoraks. Pneumotoraks adalah
terdapatnya udara bebas didalam rongga pleura dengan penyebab yang sangat beragam mulai
dari idiopatik, infeksi, trauma, maupun iatrogenik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
profil hasil pemeriksaan foto toraks pada pasien pneumotoraks. Jenis penelitian ialah
deskriptif retrospektif dengan pengambilan data di Bagian Radiologi RSUP Prof. Dr. R. D.
Kandou Manado pada bulan Januari 2015 sampai dengan Agustus 2016. Sampel yaitu data
rekam medik pasien yang didiagnosis pneumotoraks secara radiologis sebanyak 41 pasien.
Yang tersering ditemukan ialah pasien laki-laki sebanyak 37 orang (90,2%), kelompok usia
>50 tahun sebanyak 15 orang (36,6%), lokasi lesi hemitoraks deksra sebanyak 22 kasus
(53,7%), serta etiologi pneumotoraks spontan sekunder sebanyak 18 kasus (43,9%).
Simpulan: Pada penelitian ini didapatkan pneumotoraks paling banyak pada laki-laki,
kelompok usia ≥50 tahun, dengan pneumotoraks spontan sekunder sebagai etiologi tersering.
Kata kunci: pneumotoraks, radiologi, foto toraks

Pernapasan merupakan salah satu sistem gawat napas. Peningkatan penyakit


organ terpenting yang khususnya melibat- pernapasan beberapa tahun terakhir terus
kan paru-paru sehingga bila terjadi meningkat dengan berbagai penyebab, dan
gangguan pernapasan dapat mengakibatkan yang paling banyak terjadi yakni trauma
Masengi, Loho, Tubagus: Profil hasil pemeriksaan...

dan infeksi. Salah satu penyakit saluran R. D. Kandou Manado periode Januari
pernapasan ialah pneumotoraks yang bisa 2015 – Agustus 2016.
disebabkan oleh trauma maupun infeksi.
Pneumotoraks merupakan keadaan darurat METODE PENELITIAN
yang harus segera cepat tertangani.1 Jenis penelitian ini ialah deskriptif
Pneumotoraks adalah kondisi adanya retrospektif dengan memanfaatkan data
udara di rongga pleura.2 Kondisi ini sekunder berupa catatan medik di Bagian
merupakan gangguan pernapasan yang Radiologi FK Unsrat/SMF RSUP Prof. Dr.
relatif umum dan dapat terjadi dalam R. D. Kandou Manado. Penelitian dilaksa-
berbagai penyakit dan pada individu dari nakan pada bulan Oktober – November
segala usia.3 Pneumotoraks ditandai dengan 2016.
dispnea dan nyeri dada yang berasal dari Populasi penelitian ialah semua data
paru-paru maupun dinding dada yang rekam medik pasien pneumotoraks yang
disebabkan oleh adanya udara pada rongga terdiagnosis klinis dan melakukan
pleura yang diikuti pecahnya bula.4 pemeriksaan foto toraks di Bagian
Klasifikasi pneumotoraks berdasarkan Radiologi RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou
penyebab dan gejalaklinis yang timbul. Manado periode Januari 2015 – Agustus
Pneumotoraks dapat dibagi menjadi 2016. Sampel penelitian ialah semua data
spontan primer (PSP) dan sekunder (PSS), rekam medik pasien pneumotoraks yang
serta traumatik dan iatrogenik.5 terdiagnosis klinis dan yang sudah
Insiden pneumotoraks pada laki-laki terdiagnosis secara radiologis.
lebih banyak dari pada perempuan (5:1).6 Kriteria inklusi yaitu pasien dengan
Kasus PSP di Amerika 7,4/100.000 per klinis pneumotoraks dengan data berupa
tahun untuk laki-laki dan 1,2/100.000 per umur, jenis kelamin, dan mempunyai hasil
tahun untuk perempuan sedangkan insiden ekspertisi foto toraks berisi lokasi lesi
PSS dilaporkan 6,3/100.000 untuk laki-laki hemitoraks sedangkan kriteria eksklusi
dan 2/100.000 untuk perempuan.7 PSS yaitu semua data rekam medik yang tidak
yang paling sering terjadi yaitu pada PPOK lengkap. Variabel penelitian ialah distribusi
sedangkan penelitian oleh Myers melapor- jenis kelamin, kelompok usia, lokasi lesi
kan bahwa tuberkulosis selalu menunjuk- hemitoraks, dan etiologi pada pasien
kan terjadinya pneumotoraks.8 Penelitian dengan diagnosis radiologis pneumotoraks.
Weissberg9 terhadap 1.199 pasien pneumo- Data diolah berdasarkan variabel
toraks mengenai insiden beberapa jenis penelitian dengan menggunakan SPSS,
pneumotoraks mendapatkan 218 pasien disajikan dalam bentuk teks dan tabel, serta
PSP, 505 PSS, 403 pneumotoraks dianalisis.
traumatik, dan 73 pneumotoraks iatrogenik.
Untuk letak lesi pneumotoraks, lesi kanan HASIL PENELITIAN
lebih banyak ditemukan dibandingkan lesi Hasil penelitian mendapatkan 83
kiri10 sedangkan pada penelitian Sadikot11 pasien dengan diagnosis klinis pneumo-
didapatkan letak lesi kiri lebih banyak toraks dan yang terdiagnosis secara
ditemukan. radiologik yaitu 41 pasien. Berdasarkan
Suatu penyakit paru belum dapat data dari 41 pasien pneumotoraks,
disingkirkan dengan pasti sebelum didapatkan bahwa pneumotoraks paling
dilakukan pemeriksaan radiologik,12 banyak diderita oleh laki-laki berjumlah 37
khususnya foto toraks yang dapat pasien (90,2%) sedangkan pada perempuan
membantu dalam menegakkan diagnosis berjumlah 4 pasien (9,8%) (Tabel 1).
pneumotoraks.12,13 Kasus pneumotoraks terbanyak
Penelitian ini bertujuan untuk ditemukan pada kelompok usia ≥50 tahun
mendapatkan profil hasil pemeriksaan foto yaitu 15 pasien (36,6%), dan yang paling
toraks pada pasien pneumotoraks di Bagian sedikit yakni pada kelompok usia 10-19
Radiologi/SMF FK Unsrat RSUP Prof. Dr. tahun yakni 3 pasien (7,3%) (Tabel 2).
Jurnal e-Clinic (eCl), Volume 4, Nomor 2, Juli-Desember 2016

Tabel 1. Distribusi pasien pneumotoraks tuberkulosis sebanyak 16 pasien dan kasus


berdasarkan jenis kelamin pneumotoraks hanya 2 pasien. Pada
pneumotoraks traumatik ditemukan akibat
Jenis kelamin n % KLL sebanyak 9 kasus dan akibat luka
Laki-laki 37 90,2 tusuk sebanyak 7 kasus.
Perempuan 4 9,8
Total 41 100,0 BAHASAN
Pada penelitian ini ditemukan sebanyak
Tabel 2. Distribusi pasien pneumotoraks 83 kasus pasien dengan klinis pneumotoraks
berdasarkan kelompok usia yang melakukan pemeriksaan foto toraks di
Kelompok usia Bagian Radiologi RSUP Prof. Dr. R. D.
n %
(tahun) Kandou Manado periode Januari 2015-
10-19 3 7,3 Agustus 2016 dan terdiagnosis secara
20-29 10 24,4 radiologis sebanyak 41 kasus.
30-39 8 19,5 Temuan berdasarkan jenis kelamin
40-49 5 12,2 didapatkan pasien pneumotoraks terbanyak
≥50 15 36,6 yaitu pada laki-laki sebanyak 37 orang
Total 41 100,0
(90,2%), sedangkan pada perempuan hanya
ditemui sekitar 4 orang (9,8%). Hasil
Berdasarkan gambaran foto toraks penelitian ini sesuai dengan penelitian yang
pasien pneumotoraks ditemukan lesi pada dilakukan oleh Surjanto et al.10 di RSUD
hemitoraks kanan lebih banyak yaitu 22 Dr. Moewandi Surakarta tahun 2010 yaitu
pasien (53,7%) dibandingkan lesi pada pasien pneumotoraks lebih banyak
hemitoraks kiri yaitu 19 (46,3%) (Tabel 3). dijumpai pada jenis kelamin laki-laki
(64,10%) dari pada perempuan (35,90%).
Tabel 3. Distribusi pasien pneumotoraks
berdasarkan lokasi lesi hemitoraks
Hal ini dikarenakan laki-laki mempunyai
kebiasaan merokok yang merupakan salah
Lokasi hemitoraks n % satu faktor risiko spontan PSP.14
Kanan 22 53,7 Pada temuan berdasarkan kelompok
Kiri 19 46,3 usia didapatkan kelompok usia terbanyak
Total 41 100,0 ialah ≥50 tahun dengan jumlah 15 orang
(36,6%). Kelompok usia ≥50 tahun
Etiologi yang didapat dari 41 pasien dikaitkan dengan faktor biologi yaitu
pneumotoraks yang terdiagnosis klinis dan proses menua yang mengubah seorang
radiologis terbagi atas spontan primer, dewasa sehat menjadi seorang yang rapuh
spontan sekunder, dan traumatik (Tabel 4). dengan berkurangnya sebagian besar
cadangan sistem fisiologis dan meningkat-
Tabel 4. Distribusi pasien pneumotoraks nya kerentanan terhadap berbagai penyakit
berdasarkan kelompok umur seiring dengan bertambahnya usia.15
Etiologi n % Temuan berdasarkan lokasi lesi
Spontan primer 7 17,1 hemitoraks pada 41 kasus pneumotoraks
Spontan sekunder 18 43,9 ditemukan lokasi lesi hemitoraks terbanyak
Traumatik 16 39,0 pada lokasi paru kanan yaitu sekitar 22
Total 41 100,0 orang (53,7%) sedangkan paru kiri sekitar
19 orang (46,3%). Hasil penelitian ini tidak
Dari 41 pasien dalam penelitian ini, jauh berbeda dengan penelitian yang
etiologi yang tersering yaitu PSS sebanyak dilakukan oleh Zeybek et al.14 di Turki
18 pasien (43,9%). Pada pneumotoraks yang mendapatkan dari 78 kasus pneumo-
traumatik didapatkan 15 pasien (39,0%) toraks ditemukan lokasi lesi pada paru
sedangkan PSP ditemukan 7 pasien kanan (59,5%) lebih banyak dari pada paru
(17,1%). Pada PSS ditemukan kasus kiri (39,3%). Hal ini kemungkinan
Masengi, Loho, Tubagus: Profil hasil pemeriksaan...

berkaitan dengan bentuk anatomis bronkus penelitian ini masih kurang dilakukan di
kanan yang lebih vertikal, pendek, dan Indonesia.
lebar dibandingkan dengan bronkus kiri
sehingga benda asing yang terhirup lebih DAFTAR PUSTAKA
mudah tersangkut dalam percabangan 1. Ince A, Ozucelik DN, Avci A, Nizam O,
bronkus kanan karena arahnya vertikal.16 Dogan H, Topal MA. Management of
Benda asing tersebut dapat berkaitan pneumothorax in emergency medicine
dengan agen infeksi penyebab penyakit departements: multicenter trial. Iran
paru yang mendasari terjadinya pneumo- Red Cres Med J. 2013;15(12):1.
2. Light RW, Lee YCG. Pneumothorax,
toraks contohnya tuberkulosis. chylothorax, hemothorax and
Pada penelitian ini didapatkan etiologi fibrothorax. In: Mason RJ, Broaddus
terbanyak dari pneumotoraks yaitu PSS VC, Murray JF, Nadel JA, editors.
(46,3%). Pneumotoraks spontan sekunder Murray and Nadel’s Textbook of
timbul oleh karena penyakit paru yang Respiratory Medicine (4th ed).
mendasari.6 Tuberkulosis menjadi kasus Pennsylvania: Saunders, 2005; p. 1439.
penyebab PSS yang paling banyak dan ada 3. Currie G, Alluri R, Christie GL, Legge JS.
juga oleh karena pneumonia. Penelitian ini Pneumothorax: an update. Postgrad
sejalan dengan yang dilaporkan oleh Med J. 2007;83:461.
Surjanto10 di RSUD Dr. Moewandi 4. Choi W. Pneumothorax. Tuberc Respir Dis.
2014;76:99.
Surakarta tahun 2010 bahwa PSS lebih
5. Pearson FG, Deslauriers J, Ginsberg RJ,
banyak dijumpai pada pasien dan yang
Hiebert CA, McKneally MF, Urschel
tersering ialah tuberkulosis (46,15%), diikuti HC. Spontaneous pneumothorax and
keganasan (33,33%), pneumonia (7,69%), pneumo-mediastinum. In: Beauchamp
dan PPOK (2,56%). Hal ini terjadi G, editors. Thoracic surgery. USA:
mengingat kasus tuberkulosis masih tinggi Churchill Livingstone, 1995; p. 1037.
di dunia.17 6. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S.
SIMPULAN Pneumotoraks spontan. In: Hisyam B,
Dari hasil penelitian yang dilakukan di Budiono E, editors. Buku Ajar Ilmu
Bagian/SMF Radiologi RSUP Prof. R. D. Penyakit Dalam (5th ed). Jakarta:
Interna Publishing, 2009; p. 2339.
Kandou Manado selama periode Januari
7. Melton LJ, Hepper NCG, Offord KP.
2015-Agustus 2016 dapat disimpulkan Incidence of spontaneous pneumo-
bahwa dari 83 kasus dengan klinis thorax in Olmsted Country,
pneumotoraks yang terdiagnosis secara Minnesota:1950-1974. Am Rev Respir
radiologis dengan gambaran pneumotoraks Dis. 1979;120(6):1379.
sebanyak 41 pasien. Mayoritas kasus ialah 8. Parrish S, Browning RF, Turner F,
jenis kelamin laki-laki, kelompok usia ≥50 Zarogoulidis K, Kougioumtzi I,
tahun, distribusi lesi pada hemitoraks kanan, Dryllis G, et al. The role for medical
dengan etiologi pneumotoraks spontan thoracoscopy in pneumothorax. Thorax
sekunder. Dis. 2014; 6(S4):383.
9. Weissberg D, Refaely Y. Pneumothorax:
experience with 1.199 patients. Chest.
SARAN
2000;117(5):1279.
Disarankan dalam kelengkapan data 10. Surjanto Y, Suradi, Raharjo AF.
rekam medik perlu diperhatikan untuk Tuberkulosis paru sebagai penyebab
memperjelas data penyakit pasien tertinggi kasus pneumotoraks di
khususnya pada hasil ekspertisi foto bangsal paru RSUD Dr Moewardi
radiografi. Perlu dilakukan pencegahan (RSDM) Surakarta tahun 2009 [Tesis].
terhadap faktor resiko untuk menurunkan Surakarta: SMF Pulmonologi RSUD
angka kejadian penyakit pneumotoraks. Dr Moewardi; 2010.
Penelitian yang lebih lanjut tentang 11. Sadikot RT, Greene T, Meadows, A G
pneumotoraks sangat disarankan karena Arnold. Recurrence of primary
Jurnal e-Clinic (eCl), Volume 4, Nomor 2, Juli-Desember 2016

spontaneous pneumothorax. Thorax. pneumothorax surgery. Iran Red Cres


1997;52:808. Med J. 2013;15(2)136-41.
12. Rasad, Sjahriar. Radiologi Diagnostik (2nd 15. Pranarka K. Penerapan geriatrik kedokteran
ed). Jakarta: Balai Penerbit FK UI, menuju usia lanjut yang sehat. Universa
2005; p. 22,85,90. Medica. 2006;25(4):188.
13. Astowo P. Pneumotoraks. In: Swidarmoko B, 16. Tortora G.J, Derrickson B. Principles of
Susanto AD, editors. Pulmonologi Anatomy and Physiology (13th ed).
Intervensi dan Gawat Darurat Napas. USA: John Wiley & Sons, 2012; p. 92.
Jakarta: Departemen Pulmonologi dan 17. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
Ilmu Kedokteran Respirasi FK UI, TBC masalah kesehatan dunia. 24
2010; p. 60. Maret 11 [cited 25 November 2016].
14. Zeybek A, Kalemci S, Alma OG, Suzen A, Available from: http://depkes.go.id/
Akgul M, Koc K. The effect of article/print/1444/tbc-masalah-
additional pleural procedures onto kesehatan-dunia.html
recurrence rates on the spontaneous
HIGEIA 1 (1) (2017)

HIGEIA: JOURNAL OF PUBLIC HEALTH


RESEARCH AND DEVELOPMENT

http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/higeia

TERAPI SLOW DEEP BREATHING (SDB) TERHADAP TINGKAT KONTROL


ASMA

Nurul Dwi Astuti , Mahalul Azam

Epidemiologi dan Biostatistika, Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat,


Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang

Info Artikel Abstrak


________________ ____________________________________________________________
Sejarah Artikel: Asma Bronkial adalah kelainan yang berupa inflamasi kronik saluran pernapasan yang
Diterima November 2016 menyebabkan hiperaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan. Data tahun 2015 BKPM
Disetujui Desember 2016 Wilayah Semarang periode bulan Januari-Juli penderita asma sebanyak 299 orang. Upaya yang
Dipublikasikan Januari dilakukan dalam pengontrolan asma selain pengendalian faktor pemicu adalah dengan cara
2017 pemberian terapi napas slow deep breathing sebagai terapi tambahan asma. Tujuan dari penelitian
________________ ini adalah untuk meningkatkan tingkat kontrol asma pada penderita asma bronkial persisten
Keywords: sedang. Jenis penelitian ini adalah quasi eksperimen dengan rancangan nonequivalent control
Bronchial Asthma, Slow group design. Teknik sampling yang digunakan adalah purposive dengan sampel 15 orang pada
Deep Breathing Therapy, masing-masing kelompok eksperimen dan kontrol. Dari hasil analisis penelitian didapatkan bahwa
Level of Asthma Control ada perbedaan bermakna antara selisih skor pretest dan posttest ACT (p=0,001), nilai APE
________________ (p=0,004), variasi harian APE (p=0,005), efek samping obat (p=0,010) dan kunjungan ke UGD
(p=0,038) antara kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol. Kesimpulannya dari penelitian
ini adalah pemberian terapi slow deep breathing efektif untuk peningkatan kontrol asma pada
penderita asma bronkial persisten sedang.

Abstract
__________________________________________________________________________________
Bronchial asthma is a abnormality such as inflammatory (inflammation) chronic hyperactivity of
the airways that causes the bronchi to various stimuli. Data of year 2015 BKPM Semarang the
periode from January to July noted that asthmatics reached 299 people. Efforts that can be taken to
controlling asthma in addition to controlling the trigger factor is by way of slow deep breathing
breathing therapy as adjunctive therapy of asthma. The purpose of this research was to increase the
level of asthma control in patients with moderate persistent bronchial asthma. This research is a
quasi-experimental design with nonequivalent control group design. The sampling technique used
was purposive with a sample of 15 people on each of the experimental and control groups. The
result showed that where was a significant differences between the difference scores pretest and
posttest ACT (p = 0.001), the value of APE (p = 0.004), daily variation APE (p=0,005), drug side
effect (p = 0.010) and visit to the emergency unit (p = 0.038), between the experimental group and
control group. This research conclution was slow deep breathing therapy effective for improving
asthma control in patients with moderate persistent bronchial asthma.
© 2017 Universitas Negeri Semarang
Alamat korespondensi: p ISSN 1475-362846
Gedung F5 Lantai 2 FIK Unnes e ISSN 1475-222656
Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229
E-mail: nurul.dwi.a15@gmail.com

36
Nurul Dwi A. & Mahalul Azam/Terapi Slow Deep Breathing/HIGEIA 1 (1) (2017)

PENDAHULUAN terhadap 15 penderita asma bronkial di BKPM


Wilayah Semarang berstatus pasien lama.
Asma Bronkial adalah kelainan yang Karakteristik penderita asma yaitu 47% (7
berupa inflamasi kronik saluran pernapasan orang) berjenis kelamin perempuan dan 53% (8
yang menyebabkan hiperaktivitas bronkus orang) berjenis kelamin laki-laki. Dengan
terhadap berbagai rangsangan yang ditandai golongan umur penderita asma tertinggi sekitar
dengan gejala episodik berulang berupa mengi, 53% (8 orang) berusia 50-65 tahun. Didapat
batuk, sesak napas dan rasa berat didada 60% (9 orang) berpendidikan SMA, dengan
(Depkes RI, 2009). pekerjaan terbanyak adalah IRT sebanyak 47%
Prevalensi asma bronkial diperkirakan (7 orang). Dari pengisian kuesioner terhadap
sebanyak 235 juta orang pada 2011. Di negara tingkat kontrol asma dalam 1 bulan terakhir
berkembang angka kematian asma mencapai gejala harian dan gejala malam yang dirasakan
lebih 8%(WHO,2011). Prevalensi asma pada responden rata-rata sama yaitu batuk, dada
orang dewasa sekitar 9,5%, sedangkan menurut terasa berat, mengi, dan sesak napas dengan
jenis kelamin sebanyak 9,7% pada perempuan frekuensi tertinggi >4kali/minggu ada sebanyak
dan 7,2% pada laki-laki (NCHS,2011). 47% (7 orang), dan serangan 2-3 kali/minggu
Indonesia merupakan salah satu negara sebanyak 20% (3 orang). Pada poin aktivitas
berkembang, sedangkan angka kasus asma fisik yang diukur selama 1 bulan terakhir,
masih cukup tinggi. Di Indonesia, provinsi sekitar 47%(7 orang) responden mengaku
dengan prevalensi asma tertinggi adalah mengalami keterbatasan.
Provinsi Sulawesi Tengah dengan persentase Pada penggunaan obat asma responden
7,8%, sedangkan Jawa Tengah menempati yang menggunakan obat asma jenis inhaler
peringkat 17 yakni sebesar 4,3% (Depkes RI, (hisapan) sebanyak 53% (8 orang) efek samping
2013). yang ditimbulkan gemetaran, batuk, mulut
Jumlah kasus asma di Jawa Tengah terasa kering. Frekuensi penggunaan obat
menurut Dinas Kesehatan Provinsi tahun 2013 terbanyak adalah >3 kali sehari sekitar 53% (8
sebesar 113.028 kasus mengalami penurunan orang), Menurut data rekam medis klinik umum
bila dibandingkan pada tahun 2012 sebesar 12 sekitar 47% (7 orang) pasien lama kambuh
140.026 kasus (Dinkes Jateng, 2013). mengalami kunjungan ulang dalam sebulan
Berbanding terbalik dengan kasus asma bronkial sebanyak 2 kali dengan klinik tujuan klinik
di Kota Semarang pada tahun 2014 mencapai umum, Berdasarkan analisis kuesioner studi
5711 kasus, yang semula berjumlah 5040 kasus pendahuluan terhadap tingkat kontrol asma
pada tahun 2013 (Dinkes Kota Semarang, didapatkan hasil sebanyak 13% responden
2014). masuk dalam kategori terkontrol dan sebanyak
Balai Kesehatan Paru Masyarakat 77% dalam kategori tidak terkontrol.
(BKPM) Wilayah Semarang merupakan salah Menurut Cooper (2011) yang meneliti
satu instansi kesehatan yang menangani tentang gejala asma, program pemberian terapi
masalah paru. Berdasarkan data rekam medik napas deep breathing exercise meningkatkan
BKPM di klinik umum 12 penderita asma tahun kontrol asma dengan perubahan nilai median
2014 mencapai 372, dan penderita asma periode pada masing-masing kelompok yaitu skor -3
bulan Januari-Juli tahun 2015 mencapai 299 untuk kelompok eksperimen dan skor -1 untuk
orang dengan karakteristik 43,8% (131 orang) kelompok kontrol sehingga dapat disimpulkan
berjenis kelamin laki-laki, 51,6%(168 orang) bahwa pemberian terapi napas berpengaruh
berjenis kelamin perempuan dan usia tertinggi besar terhadap penurunan gejala asma, dan
45-65 tahun sebanyak 55,8% (167 orang) dapat meminimalisir serangan.
(BKPM Wilayah Semarang, 2015). Berdasarkan Focus Group Discussion
Studi pendahuluan yang dilakukan pada (FGD) yang dilaksanakan pada tanggal 3
tanggal 31 Maret 2015 telah dilakukan peneliti Agustus 2015 dihadiri oleh Kepala Seksi

37
Nurul Dwi A. & Mahalul Azam/Terapi Slow Deep Breathing/HIGEIA 1 (1) (2017)

Diagnosa, Ketua dan Tim Pemberdayaan


Koordinasi Klinik Umum 12, Koordinasi 01 02
E X1
Instruktur Senam. diperoleh hasil bahwa terapi
napas slow deep breathing sangat dibutuhkan
sebagai upaya peningkatan tingkat kontrol asma C 01 X0 02
pada penderita asma bronkial dan juga
digunakan sebagai metode komplementer
kelompok Pre perlakuan post
penanganan asma jangka panjang di Balai
test test
Kesehatan Paru Masyarakat Wilayah
Semarang.
Berdasarkan latar belakang tersebut maka Gambar 1. Skema rancangan control group pretest-
peneliti ingin melakukan penelitian efektivitas posttest design
terapi slow deep breathing (SDB) terhadap Keterangan:
tingkat kontrol asma pada penderita asma E : kelompok eksperimen
bronkial persisten sedang di Balai Kesehatan C : kelompok kontrol
Paru Masyarakat Wilayah Semarang. O1 : Pretest sebelum dilakukan perlakuan
O2 : Posttest sesudah dilakukan perlakuan
METODE X0 : Perlakuan yang dilakukan tanpa terapi
SDB
Jenis penelitian yang digunakan adalah
X1 : Perlakuan yang dilakukan dengan
jenis penelitian kuantitatif dengan
terapi SDB
menggunakan desain penelitian quasi
eksperimen. Rancangan penelitian yang
HASIL DAN PEMBAHASAN
digunakan adalah non equivalent control group
design. Pengambilan sampel menggunakan
Peningkatan skor ACT pada kelompok
purposive sampling sehingga didapat 15
eksperimen dapat dilihat pada tabel 1 yaitu rata-
responden pada masing-masing kelompok
rata skor pretest sebesar 14,00 meningkat
eksperimen dan kelompok kontrol. Variabel-
menjadi 21,80 pada rata-rata nilai posttest,
variabel yang digunakan dalam penelitian ini
sedangkan hasil skor pada kelompok control
adalah terapi napas slow deep breathing sebagai
dapat dilihat pada tabel 2 yang menunjukkan
variabel bebas dan tingkat kontrol asma sebagai
bahwa skor pretest sebesar 13,47 menurun
variabel terikat. Penelitian ini dilakukan dengan
menjadi 13,13 pada posttest. Nilai probabilitas
mengkaji terapi slow deep breathing terhadap
selisih skor pretest dan posttest ACT kelompok
tingkat kontrol asma antara kelompok
eksperimen adalah p=0,113 (p>0,05), kontrol
eksperimen dan kelompok kontrol yang
adalah p=0,244 (p>0,05) (lihat pada tabel 3).
diberikan pretest dan posttest untuk mengetahui
Hasil analisis uji Mc.Nemar antara
perbedaan dari kedua kelompok tersebut
pretest dan posttest ACT pada kelompok
sebelum dan sesudah penelitian (Sugiyono,
eksperimen dan kontrol masing-masing
2008:79). Penelitian dilakukan selama 10
diperoleh nilai p=0,008 (p<0,05) dan kotrol
minggu dan menggunakan alat peak flow meter
p=1,00 (p>0,05). Sehingga dapat disimpulkan
yang akan digunakan untuk mengukur fungus
bahwa terdapat perbedaan yang bermakna
faal paru pasien. Dalam penelitian ini sampel
antara skor pretest dan posttest ACT pada
yang digunakan ada 2 kelompok, yaitu sebagai
kelompok eksperimen tetapi tidak terdapat
kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.
perbedaan skor ACT pada kelompok kontrol.
Kelompok eksperimen dan kelompok kontrol
Uji hipotesis yang digunakan adalah uji Mann-
yaitu penderita asma bronkial persisten sedang
Whitney antara selisih skor ACT (Asthma
yang berusia 21-65 tahun.
Control Test) pada kelompok eksperimen dan
kontrol. Diperoleh hasil atau nilai p=0,001

38
Nurul Dwi A. & Mahalul Azam/Terapi Slow Deep Breathing/HIGEIA 1 (1) (2017)

(p<0,05), maka hipotesis Ho ditolak dan Ha eksperimen adalah p=0,679 (p>0,05), dan
diterima. Artinya bahwa terdapat perbedaan probabilitas selisih skor pretest dan posttest nilai
bermakna antara selisih skor pretest dan posttest APE kelompok kontrol adalah p=0,080
ACT pada penderita asma bronkial antara (p>0,05).
kelompok eksperimen dengan kelompok Hasil analisis uji Mc.Nemar antara pretest dan
kontrol. posttest nilai APE pada kelompok eksperimen
Terapi slow deep breathing (SDB) pada dan kontrol masing-masing diperoleh nilai
dasarnya bertujuan untuk melenturkan dan p=0,016 (p<0,05) dan p=0,375 (p>0,05).
memperkuat otot-otot pernapasan sehingga Simpulannya adalah terdapat perbedaan yang
dapat melatih cara bernapas yang benar dan bermakna antara skor pretest dan posttest nilai
dapat mempertahankan asma tetap terkontrol APE pada kelompok eksperimen tetapi tidak
(Ignatavicius & Workman, 2006). ACT terdapat perbedaan selisih skor pretest dan
mengukur tingkat keterbatasan aktivitas, gejala posttest pada kelompok kontrol. Uji hipotesis
harian dan malam, penggunaan obat pelega. yang digunakan adalah uji Mann-Whitney
Rata-rata skor pretest pada kelompok antara selisih skor APE kelompok eksperimen
eksperimen sebesar 349,27 meningkat menjadi dan kontrol. Diperoleh hasil atau nilai p=0,004
430,33 pada rata-rata nilai posttest, sedangkan (p<0,05), maka hipotesis nol (Ho) ditolak dan
pada kelompok kontrol rata-rata skor pretest hipotesis alternatif (Ha) diterima. Artinya
sebesar 348,93 menurun menjadi 343,73 pada bahwa terdapat perbedaan bermakna antara
rata-rata nilai posttest. Nilai probabilitas selisih selisih skor pretest dan posttest nilai APE antara
skor pretest dan posttest nilai APE kelompok kelompok eksperimen dengan kelompok
Tabel 1. Distribusi Rata-rata Skor Tingkat Kontrol Asma Awal-Akhir (Pretest-Posttest) Kelompok
Eksperimen
Hasil Pengukuran Indikator Tingkat Kontrol
Rata-rata Skor Standar Deviasi
Kelompok Eksperimen Asma
Pretest ACT 14,40 5,95
APE (Arus Puncak Ekspirasi) 349,27 88,08
Variasi Harian APE 39,20 37,0
Efek Samping Obat 1,40 1,05
Kunjungan ke UGD 0,67 0,82
Posttest ACT 20,80 4,10
APE (Arus Puncak Ekspirasi) 430,33 60,95
Variasi Harian APE 16,73 11,63
Efek Samping Obat 0,47 0,92
Kunjungan ke UGD 0,27 0,59

Tabel 2. Distribusi Rata-Rata Skor Tingkat Kontrol Asma Awal-Akhir (Pretest-Posttest) Kelompok
Kontrol
Hasil Pengukuran Indikator Tingkat Kontrol
Rata-rata Skor Standar Deviasi
Kelompok Kontrol Asma
Pretest ACT 13,47 3,58
APE (Arus Puncak Ekspirasi) 348,93 98,43
Variasi Harian APE 31,20 14,95
Efek Samping Obat 1,87 1,46
Kunjungan ke UGD 0,33 0,62
Posttest ACT 13,13 4,12
APE (Arus Puncak Ekspirasi) 343,73 89,23
Variasi Harian APE 31,27 14,65
Efek Samping Obat 1,53 1,06
Kunjungan ke UGD 0,40 0,74

39
Nurul Dwi A. & Mahalul Azam/Terapi Slow Deep Breathing/HIGEIA 1 (1) (2017)

kontrol. Berat serangan asma yang ditimbulkan kelompok eksperimen dan kelompok kontrol
berhubungan dengan nilai arus puncak ekspirasi tetapi terdapat perubahan skor pre-post pada
yang akan dihasilkan, semakin buruk derajat kelompok eksperimen.
serangan asma pada penderita asma maka Tabel 3. Hasil Uji Normalitas Selisih Skor
kemungkinan nilai APE yang dihasilkan akan Pretest dan Posttest Skor Tingkat Kontrol Asma
rendah dan jauh dibatas normal. Batas normal Kelompok Indikator Tingkat
Nilai p
nilai APE pada laki-laki adalah 500-700 Kontrol Asma
L/menit dan pada perempuan 380-500 L/menit Eksperimen ACT 0,113
(Menaldi, 2001). APE (Arus
0,679
Puncak Ekspirasi)
Rata-rata skor pretest eksperimen sebesar 39,20 Variasi Harian
menurun menjadi 16,73 pada rata-rata nilai 0,067
APE
posttest, sedangkan kelompok kontrol skor rata- Efek Samping
0,140
rata skor pretest sebesar 31,27 meningkat Obat
menjadi 31,27. Nilai probabilitas adalah selisih Kunjungan ke
0,072
UGD
skor pretest dan posttest variasi harian APE
Kontrol ACT 0,244
kelompok eksperimen adalah p=0,0,067 APE (Arus
(p>0,05), dan pada kelompok kontrol adalah 0,080
Puncak Ekspirasi)
p=0,325 (p>0,05). Hasil analisis uji Mc.Nemar Variasi Harian
0,325
antara pretest dan posttest variasi harian APE APE
pada kelompok eksperimen dan kontrol masing- Efek Samping
0,340
Obat
masing diperoleh nilai p=0,039 (p<0,05) dan
Kunjungan ke
p=1,000 (p>0,05). Simpulannya adalah terdapat 0,137
UGD
perbedaan yang bermakna antara skor pretest
dan posttest variasi harian APE pada kelompok Rata-rata skor pretest eksperimen sebesar
eksperimen tetapi tidak terdapat perbedaan yang 1,,40 menurun menjadi 0,47 pada rata-rata nilai
bermakna pada skor pretest-posttest variasi posttest, sedangkan kelompok kontrol skor rata-
harian APE kelompok kontrol. Dari uji Mann- rata skor pretest sebesar 1,87 menurun menjadi
Whitney antara selisih skor variasi harian APE 1,53. Nilai probabilitas adalah selisih skor
kelompok eksperimen dan kontrol diperoleh pretest dan posttest efek samping obat kelompok
nilai p=0,005 (p<α (0,05)), maka hipotesis nol eksperimen adalah p=0,140 (p>0,05), dan pada
(Ho) ditolak dan hipotesis alternatif (Ha) kelompok kontrol adalah p=0,340 (p>0,05).
diterima. Artinya bahwa terdapat perbedaan Hasil analisis uji Mc.Nemar antara pretest dan
bermakna antara selisih skor pretest dan posttest posttest efek samping obat pada kelompok
variasi harian APE penderita asma antara eksperimen dan kontrol masing-masing
kelompok eksperimen dengan kelompok diperoleh nilai p=0,039 (p<0,05) dan p=0,625
kontrol. (p>0,05).
Nilai variasi harian APE didapat dari Simpulannya adalah terdapat perbedaan
hasil tiupan Arus Puncak Ekspirasi (APE) yang bermakna antara skor pretest dan posttest
selama 1 minggu. Variasi harian berguna untuk efek samping obat pada kelompok eksperimen,
mengetahui nilai tertinggi standar normal tetapi tidak terdapat perbedaan pada kelompok
seseorang (Pradjnaparamita, 1997). Variasi kontrol. Dari uji Mann-Whitney antara selisih
harian didapat dengan menambahkan nilai skor efek samping obat kelompok eksperimen
tertinggi dan nilai terendah dibagi nilai tertinggi dan kontrol diperoleh nilai p=0,010 (p<α
dikali 100% maka akan didapat nilai variasi (0,05)). Artinya bahwa terdapat perbedaan
harian pada masing-masing responden. Asma bermakna antara selisih skor pretest dan posttest
dikatakan terkontrol apabila nilai variasi harian efek samping obat pada penderita asma antara
APE <15% (Menaldi, 2001). Berdasarkan hasil kelompok eksperimen dengan kelompok
analisis tersebut ditemukan perbedaan pada kontrol.

40
Nurul Dwi A. & Mahalul Azam/Terapi Slow Deep Breathing/HIGEIA 1 (1) (2017)

Efek samping obat adalah respon minggu ke-10, setelah pemberian terapi.
terhadap suatu obat yang dapat merugikan atau Evaluasi dilakukan dengan cara peneliti
tidak diharapkan, yang terjadi pada dosis yang memberikan kuesioner kepada responden dan
digunakan pada manusia untuk tujuan melakukan wawancara. Kuesioner tersebut
profilaksis, diagnose dan terapi (WHO, 2011). berisi pertanyaan tentang tingkat kontrol asma
Salah satu indikator tingkat kontrol asma adalah selama delapan minggu penelitian. Kemudian
efek samping obat minimal (tidak ada). peneliti melakukan pengukuran faal paru
Penggunaan obat asma yang berlebihan dapat responden untuk melihat perubahan pada fungsi
menimbulkan efek samping yang berat seperti faal paru.
gemetaran, dada bergetar, nadi cepat, sakit Dalam evaluasi tersebut didapatkan 90%
kepala, muntah, batuk karena iritasi saluran kelompok eksperimen telah memenuhi kriteria
napas atas, rasa pahit, dan mulut kering (PDPI, kontrol asma, hal ini didukung dengan
2009). perubahan skor pada masing-masing kriteria.
Rata-rata skor pretest eksperimen sebesar Sedangkan pada kelompok kontrol hanya
0,67 menurun menjadi 0,27 pada rata-rata nilai mampu memenuhi beberapa poin (<4 kriteria)
posttest, sedangkan kelompok kontrol skor rata- pada kriteria asma terkontrol, hal ini
rata skor pretest sebesar 0,33 meningkat menjadi dikarenakan kelompok kontrol tidak mendapat
0,40. Nilai probabilitas adalah selisih skor perlakuan berupa terapi slow deep breathing
pretest dan posttest kunjungan pemeriksaan (SDB).
ulang kelompok eksperimen adalah p=0,072 Hasil dari penelitian ini menunjukkan
(p>0,05), dan pada kelompok kontrol adalah bahwa intervensi yang dilakukan oleh peneliti
p=0,137 (p>0,05). Hasil analisis uji Mc.Nemar yaitu pemberian terapi SDB memberikan
antara pretest dan posttest kunjungan ulang pengaruh yang positif terhadap tingkat kontrol
pemeriksaan pada kelompok eksperimen dan asma pada penderita asma bronkial persisten
kontrol masing-masing diperoleh nilai p=0,031 sedang. Dalam FGD yang dilakukan oleh
(p<0,05) dan p=1,000 (p>0,05). Simpulannya peneliti telah meminta pendapat kepada pihak-
adalah terdapat perbedaan yang bermakna pihak yang terkait diantaranya kepala BKPM
antara skor pretest dan posttest kunjungan ke Wilayah Semarang, ketua dan tim
UGD pada kelompok eksperimen dan tidak pemberdayaan, koordinasi klinik umum, dan
terdapat perbedaan pada kelompok kontrol. koordinasi instruktur senam untuk melanjutkan
Dari uji Mann-Whitney antara selisih skor program pemberian terapi napas ditujukan pada
kunjungan ulang pemeriksaan kelompok penderita asma baik pasien baru maupun pasien
eksperimen dan kontrol diperoleh nilai p=0,038 lama. Selain itu diharapkan terapi SDB dapat
(p<α (0,05)). Artinya bahwa terdapat perbedaan diaplikasikan pada program senam asma yang
bermakna antara selisih skor pretest dan posttest sudah ada sebagai program atur napas
kunjungan ke UGD antara kelompok tambahan. Bagi penderita asma diharapkan
eksperimen dengan kelompok kontrol. tetap melakukan olah napas SDB dengan tujuan
Berdasarkan hasil analisis tersebut dapat mempertahankan fungsi paru dan melatih cara
disimpulkan bahwa pemberian terapi dapat bernapas dengan baik dan benar.
menimalisir keterbatasan aktivitas fisik,
frekuensi gejala harian dan malam serta PENUTUP
menimalisir penggunaan obat pelega.
Evaluasi merupakan suatu hal yang Berdasarkan hasil penelitian mengenai
penting dilakukan untuk menilai keberhasilan efektivitas terapi slow deep breathing (SDB)
suatu program. Tujuan dari evaluasi kinerja terhadap tingkat kontrol asma pada penderita
adalah untuk menyediakan informasi mengenai asma bronkial persisten sedang di BKPM
kinerja pekerjaan (Ivancevich, 2006:216). Wilayah Semarang diperoleh simpulan sebagai
Evaluasi program dilakukan oleh peneliti pada berikut: terdapat perbedaan bermakna antara

41
Nurul Dwi A. & Mahalul Azam/Terapi Slow Deep Breathing/HIGEIA 1 (1) (2017)

selisih skor pretest dan posttest ACT (p=0,001), Martini F. 2006. Fundamentals of Anatomy &
nilai APE (p=0,004), variasi harian APE (p Physiology, Seventh Edition. Pearson: Benjamin
=0,005), efek samping obat (p=0,010) dan Cummings.
Menaldi R. 2001. Prosedur Tindakan Bidang paru dan
kunjungan ke UGD (p=0,038) pada penderita
Pernafasan dan Diagnosa dan Terapi, Bagian
asma bronkial persisten sedang antara kelompok
Pulmonologi. Jakarta: FK UI,.33-36
eksperimen dengan kelompok kontrol. National Center for Health Statistics. Ambulatory
Health Care Data: Estimation procedures. Diakses
DAFTAR PUSTAKA tanggal 11 Mei 2015.
(http://www.cdc.gov/nchs/ahcd_estimation_
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan procedures.htm)
Kementrian Kesehatan RI. 2007. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2004. PPOK
Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Asma. Pedoman Diagnosa dan Penatalaksanaan di
Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta: PDPI
Indonesia Rowlands, Barbara. 2009. Jawaban – Jawaban
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Alternatif untuk Asma dan Alergi. Klaten: PT.
Kementrian Kesehatan RI. 2013. Riset Citra Aji Parama
Kesehatan Dasar. Jakarta: Departemen WHO (World Health Organization, 2011). Fact about
Kesehatan Republik Indonesia Asthma. Diakses tanggal 12 Desember 2014
Balai Kesehatan Paru Masyarakat. 2015. Data Rekap (http://www.who.int/mediacentre/factsheets
Medik Penderita Asma Bronkial 2015. Semarang: /fs307/en/index.html)
Balai Kesehatan Paru Masyarakat Wilayah
Semarang
Bull, Eleanor. 2007. Asma. Jakarta: Erlangga
Dahlan, Z. 2000. Penanganan Asma Dalam Perawatan
Primer. Jakarta: Hipokrates
Dinas Kesehatan Kota Semarang. 2014. Profil
Kesehatan Provinsi Jawa Tengah 2013.
Semarang: Dinas Kesehatan Kota Semarang
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. 2014. Profil
Kesehatan Provinsi Jawa Tengah 2013.
Semarang: Dinas Kesehatan Provinsi Jawa
Tengah
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit
dan Penyehatan Lingkungan. Direktorat
Pengendalian Penyakit Tidak Menular,
2009. Pedoman Pengendalian Penyakit Asma.
Jakarta: Departemen Kesehatan RI
Hardiarto, M., Adji, W, dkk. 2006. Asma Pedoman
Diagnosis & Penatalaksanaan Di Indonesia,
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka
Ignatavicius, D.D. & Workman, M.L. 2006.
Medical surgical nursing; critical thinking for
collaborative care; fifth edition volume 2.
Elsevier Saunders, Westline Industrial Drive,
St. Louis, Missouri.
Mangunnegoro, Hadiarto. 2004. Asma Pedoman
Diagnosis dan Penatalaksanaan Di Indonesia.
Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia

42
Jurnal Kesehatan Kusuma Husada - Juli 2018

PENGARUH PEMBERIAN POSISI SEMI FOWLER


TERHADAP RESPIRATION RATE PADA PASIEN ASMA
BRONKIAL DI PUSKESMAS AIR UPAS KETAPANG

1) 2)
Luhur Arifian , Joko Kismanto
1, 2
Prodi Kedokteran Keluarga Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta
mister_loe@yahoo.co.id
2
Prodi D-III Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta
c.endang@yahoo.com

ABSTRAK
Pada penyakit asma, serangan umumnya datang pada malam hari, tetapi dalam keadaan berat serangan
dapat terjadi setiap saat tidak tergantung waktu. Inspirasi pendek dan dangkal, mengakibatkan penderita
menjadi sianosis, wajahnya pucat dan lemas, serta kulit banyak mengeluarkan keringat. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian posisi Semi fowler terhadap respiration rate pada
pasien asma bronkial di Puskesmas Air Upas Ketapang
Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan rancangan Quasi Eksperimental dengan Pre
and post test with control group design. Populasi dalam penelitian ini adalah sejumlah 48 orang yang
mengalami asma bronkial di Puskesmas Air Upas Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Pemilihan
sampel dilakukan dengan metode purposive sampling dengan jumlah sampel pada penelitian ini adalah
42 responden. Analisa data dalam penelitian ini menggunakan uji Wilcoxon.
Hasil penelitian menunjukkan uji Wilcoxon dengan nilai p value 0,000 sehingga ada pengaruh
pemberian posisi semi fowler terhadap respiration rate pada pasien asma bronkial di Puskesmas Air
Upas Ketapang
Kata Kunci: posisi semi fowler, respiration rate, asma bronkial

ABSTRACT
In asthma, the attacks usually come at night, but in a state of severe attacks can occur at any time does
not depend on time. Inspiration short and shallow, resulting in the patient became cyanotic, his face pale
and limp, and skin a lot of sweat. This study aimed to determine the effect of semi fowler position against
respiration rate in patients with bronchial asthma in the Main Clinic Air Upas Ketapang. This research
used the quasi experimental quantitative method with the pre and post test with control group design. It’s
population was 48 asthma sufferers at the main clinic Air Upas Ketapang of west Borneo. The samples
of research were determined through the purposive sampling technique and consisted of 42 respondents
who were divided into two groups: 21 in the control group and 21 in the experimental group. The data
of research were analyzed by using the Wilcoxon’s analysis.The results showed the Wilcoxon test with p
value of 0.000 so that there is the effect of semi fowler position against respiration rate in patients with
bronchial asthma in the Main Clinic Air Upas Ketapang.
Keywords: position semi fowler, respiration rate, bronchial asthma

134
Jurnal Kesehatan Kusuma Husada - Juli 2018

1. PENDAHULUAN 12,5 juta pasien asma. 95% diantaranya adalah


Asma bronkial adalah penyakit inßamasi pasien asma tak terkontrol (Widodo, 2009).
saluran nafas yang dapat menyerang semua Jeremy (2006) mengemukakan bahwa, satu dari
kelompok umur. Asma ditandai dengan serangan tujuh orang di Inggris memiliki penyakit alergi
berulang sesak napas dan mengi, yang bervariasi dan lebih dari 9 juta orang mengalami mengi dan
setiap individunya dalam tingkat keparahan dan sesak nafas. Dalam 12 tahun terakhir ini jumlah
frekuensi (Somantri, 2009). Asma merupakan usia dewasa yang mengalami penyakit asma
gangguan inßamasi kronis di jalan napas. Dasar hampir dua kali lipat dari usia anak-anak
penyakit ini adalah hiperaktivitas bronkus Pada tahun 2013, RISKESDAS (Riset
dan obstruksi jalan napas. Gejala asma adalah Kesehatan Dasar) mencatat prevalensi Asma
gangguan pernapasan (sesak), batuk produktif masih yang tertinggi sebanyak 4,5% dari total
terutama pada malam hari atau menjelang pagi, penduduk di Indonesia (Depkes, 2013) Prevalensi
dan dada terasa tertekan (Depkes, 2013). asma di Kalimantan Barat mencapai 4,3 % dari
Pada penyakit asma, serangan umumnya total penduduk Kalimantan Barat. Prevalensi
datang pada malam hari, tetapi dalam keadaan asma bronkial di Ketapang mencapai 4.318 orang
berat serangan dapat terjadi setiap saat tidak pada tahun 2012 (Dinkes, 2012).
tergantung waktu. Inspirasi pendek dan dangkal, Hyperventilation yang diikuti dengan
mengakibatkan penderita menjadi sianosis, kecemasan merupakan gejala yang sering
wajahnya pucat dan lemas, serta kulit banyak ditemukan pada penderita asma, sehingga
mengeluarkan keringat. Bentuk thorax terbatas mengakibatkan bronkokonstriksi jalan nafas
pada saat inspirasi dan pergerakannya pun (PDPI, 2014). Penebalan dinding jalan nafas
juga terbatas, sehingga pasien menjadi cemas karena remodelling jalan nafas meningkat dengan
dan berusaha untuk bernafas sekuat-kuatnya tajam dan berkontribusi terhadap obstruksi aliran
(Kumoro, 2008). Pelaksanaan keperawatan udara. Pernafasan yang seperti ini berkontribusi
dalam pemberian posisi semi fowler itu sendiri dalam kerentanan dan kelemahan tubuh terhadap
dengan menggunakan tempat tidur orthopedik berbagai macam penyakit dan berhubungan erat
dan fasilitas bantal yang cukup untuk menyangga dengan cara bernafas yang efektif dan benar
daerah punggung, sehingga dapat memberi (Zara, 2012).
kenyamanan saat tidur dan dapat mengurangi Gejala asma yang paling umum adalah
kondisi sesak nafas pada pasien asma saat terjadi batuk. Batuk umumnya terjadi di malam hari,
serangan (Ruth, 2012). dini hari, saat cuaca dingin, dan saat beraktivitas
Pada tahun 2008, WHO (World Health Þsik. Napas yang terdengar seperti bunyi peluit
Organization) mencatat sebanyak 300 juta juga kesulitan bernapas. Gejala asma akan
orang menderita asma dan 225 ribu penderita berlangsung selama 2-3 hari, atau bahkan lebih.
meninggal karena asma diseluruh dunia. Angka Setelah serangan asma membaik, penderita akan
kejadian asma 80% terjadi di negara berkembang membutuhkan pereda serangan (reliever) 3-4
yang diakibatkan kemiskinan, rendahnya kali per hari hingga batuk dan mengi menghilang
tingkat pendidikan, pengetahuan dan fasilitas (Nugroho, 2011).
pengobatan. Angka kematian yang disebabkan Pengobatan untuk asma dibedakan atas dua
oleh penyakit asma diseluruh dunia diperkirakan macam yaitu pengobatan secara farmakologis
akan meningkat 20% pada 10 tahun kedepan, jika dan non farmakologis. Terdapat dua golongan
tidak terkontrol dengan baik. Prevalensi asma di medikasi secara farmakologis yakni pengobatan
seluruh dunia adalah sebesar 8-10% pada anak jangka panjang dan pengobatan cepat atau quick
dan 3-5% pada dewasa, dan dalam 10 tahun relief sebagai pereda gejala yang dikombinasikan
terakhir ini meningkat sebesar 50% (PDPI, 2014). sesuai kebutuhan (PDPI, 2014). Bentuk
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pengobatan nonfarmakologis adalah pengobatan
mencatat tahun 2008 ada 300 juta pasien asma komplementer yang meliputi breathing technique
di seluruh dunia. Indonesia sendiri memiliki (teknik pernafasan), acupunture, exercise

135
Jurnal Kesehatan Kusuma Husada - Juli 2018

theraphy, psychological therapies, manual Kriteria inklusi:


therapies (Council, 2006). a. Pasien yang mengalami asma
Metode yang paling sederhana dan efektif b. Pasien yang kooperatif
dalam biaya untuk mengurangi risiko stasis Alat penelitan yang digunakan yaitu lembar
sekresi pulmonar dan mengurangi risiko observasi frekuensi pernapasan. Analisis data
penurunan pengembangan dinding dada yaitu univariat penelitian meliputi jenis kelamin, usia,
dengan pengaturan posisi saat istirahat (Burn pendidikan dan pekerjaan yang disajikan dalam
dalam Potter, 2008). Posisi semi fowler mampu bentuk proporsi presentase. Analisis bivariat
meredakan penyempitan jalan napas dan yang dilakukan untuk mengetahui keterkaitan
memenuhi O2 dalam darah. Saat terjadi serangan dua variable menggunakan uji Wilcoxon.
sesak biasanya pasien merasa sesak dan tidak
dapat tidur dengan posisi berbaring. Melainkan 3. HASIL DAN PEMBAHASAN
harus dalam posisi duduk atau setengah duduk a. Karakteristik Responden
untuk meredakan penyempitan jalan napas
dan memenuhi O2 dalam darah. Dengan posisi Tabel 3.1 Karakterstik responden berdasarkan
tersebut pasien lebih rileks saat makan dan jenis kelamin (n=42)
berbicara sehingga kemampuan berbicara pasien Kontrol Perlakuan
tidak terputus – putus dan dapat menyelesaikan Jenis Kelamin
F (%) F (%)
kalimat (Supadi, et al., 2008). Laki-laki 13 61,9 12 57,1
Hasil studi pendahuluan yang dilakukan di Perempuan 8 38,1 9 42,9
puskesmas Air Upas didapatkan hasil pada bulan Jumlah 21 100 21 100
Juni-Juli 2016 terdapat sekitar 30 pasien perbulan
Dari Tabel 3.1 menunjukkan bahwa karakteristik
dengan gangguan asma dan penatalaksanaan
responden berdasarkan jenis kelamin paling
menggunakan oksigen dan obat bronkodilator
banyak di kelompok kontrol adalah laki-laki
sedangkan posisi tubuh saat pemberian obat
sebanyak 13 orang (61,9%) sedangkan kelompok
bronkodilator diberikan posisi semi fowler
perlakuan adalah perempuan sebanyak 12 orang
(Dinkes, 2012).
(57,1%).
Latar belakang diatas dapat disimpulkan
bahwa adanya upaya posisi semi fowler untuk Hasil penelitian ini sejalan dengan
melonggarkan jalan nafas sehingga aliran oksigen Majampoh (2013), bahwa responden berjenis
bisa maksimal sehingga peneliti tertarik untuk kelamin laki – laki sebanyak 22 orang (55,0%)
melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh lebih banyak dari perempuan. Laki–laki memiliki
Pemberian Posisi Semi Fowler Terhadap resiko terkena asma lebih tinggi dari perempuan.
Respiration Rate Pada Pasien Asma Bronkial di Hal ini terkait bahwa laki–laki cenderung
Puskesmas Air Upas Ketapang”. merokok dan mengkonsumsi miras sehingga
dapat menurunkan sistem pertahanan tubuh dan
2. METODE PENELITIAN lebih mudah terpapar dengan agen penyebab
Penelitian ini menggunakan rancangan asma. Perokok dan peminum terjadi gangguan
penelitian Quasi Eksperimental dengan Pre and makrofag dan meningkatkan resistensi saluran
post test with control group design. Populasi napas dan permeabilitas epitel paru. Rokok dapat
pada penelitian ini adalah sebanyak 48 orang menurunkan sifat responsif antigen (PDPI, 2014).
mengalami asma bronkial. Teknik pengambilan Pada penelitian ini jumlah laki-laki lebih banyak
sampel menggunakan purpose sampling dibandingkan perempuan. Laki-laki cenderung
menggunakan kriteria inklusi dengan jumlah memiliki gaya hidup yang kurang sehat seperti
sampel 42 responden dengan pembagian 21 merokok, minum alkohol, minum kopi dan
responden pada kelompok perlakuan dan 21 jarang olahraga sehingga cenderung berisiko
responden pada kelompok kontrol. lebih tinggi terkena penyakit paru.

136
Jurnal Kesehatan Kusuma Husada - Juli 2018

Tabel 3.2 Karakteristik responden berdasarkan Tabel 3.3 Karakteristik responden berdasarkan
umur (n=42) tingkat pendidikan (n=42)
Kontrol Perlakuan Kontrol Perlakuan
Umur Pendidikan
F (%) F (%) F (%) F (%)
21-25 2 9,5 TS 6 28,6 1 4,8
26-35 5 23,8 5 23,8 SD 8 38,1 11 52,4
36-45 15 71,4 13 61,9 SMP 4 19,0 4 19,0
46-55 1 4,8 1 4,8 SMA 2 9,5 4 19,0
Jumlah 21 100 21 100 Sarjana 1 4,8 1 4,8
Jumlah 21 100 21 100
Dari Tabel 3.2 menunjukkan bahwa karakteristik
responden berdasarkan umur yang paling banyak Dari Tabel 3.3 menunjukkan bahwa karakteristik
pada kelompok kontrol adalah 36-45 tahun responden berdasarkan pendidikan yang
sebanyak 15 orang (71,4%) dan kelompok paling banyak pada kelompok kontrol adalah
perlakuan adalah 36-45 tahun sebanyak 13 orang SD sebanyak 8 orang (38,1%) dan kelompok
(61,9%). Hasil penelitian ini sejalan dengan perlakuan adalah SD sebanyak 11 orang (52,4%).
penelitian SaÞtri (2011), yang memperlihatkan Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian
bahwa umur responden kelompok perlakuan Majampoh (2013), yang menunjukka bahwa
sebagian besar yaitu berumur 41-50 tahun pendidikan paling dominan adalah SD sebanyak
sebanyak 11 pasien (33%). Orang yang bekerja 11 orang (27,5%). Berdasarkan penelitian yang
di lingkungan laboratorium hewan, industri telah dilakukan oleh SaÞtr (2011) menjelaskan
tekstil, pabrik asbes, polisi lalu lintas mempunyai bahwa adanya hubungan antara pengetahuan
kecenderungan tinggi menderita asma. Faktor- dengan tindakan perilaku hidup sehat. Dalam
faktor pencetus tersebut menimbulkan suatu hal ini seseorang melakukan tindakan yang baik
predisposisi genetik terhadap alergi sehingga terhadap kesehatannya apabila pengetahuan yang
orang yang bekerja selama bertahun-tahun rentan dimiliki seseorang juga baik. Pada penelitian
terhadap penyakit asma. Kondisi lingkungan ini didapatkan tingkat pendidikan responden
tempat tinggal yang ditempati individu banyak paling banyak adalah SD. Rendahnya tingkat
debunya menimbulkan kerentanan penyakit asma pendidikan akan memepengaruhi seseorang
pada usia individu menjelang tua di atas 41 tahun untuk hidup tidak sehat karena kurangnya
(Kurniawan, 2008). informasi terkait kesehatan dan bagaimana cara
Hasil penelitian ini mendukung teori mencegah penyakit paru.
Guyton dan Hall (2011), serta Hudak dan Gallo Tabel 3.4 Karakteristik responden berdasarka
(2015) yang mengatakan semakin tua usia pekerjaan (n=42)
seseorang, maka fungsi ventilasi parunya akan
semakin menurun. Hal ini disebabkan semakin Kontrol Perlakuan
menurunnya elastisitas dinding dada. Selama Pekerjaan
F (%) F (%)
proses penuaan terjadi penurunan elastisitas
TB 10 47,6 7 33,3
alveoli, penebalan kelenjar bronkial, penurunan
Buruh 9 42,9 12 57,1
kapasitas paru dan peningkatan jumlah ruang
Swasta 2 9,5 2 9,5
rugi. Perubahan ini menyebabkan penurunan
kapasitas difusi oksigen. Pada penelitian ini Jumlah 21 100 21 100
mayoritas berusia dewasa tua karena semakin Dari Tabel 3.4 menunjukkan bahwa karakteristik
tinggi usia seseorang maka akan lebih rentang responden berdasarkan pekerjaan yang paling
terhadap berbagai penyakit seperti penyakit paru banyak pada kelompok kontrol adalah tidak
dikarenakan kondisi tubuh yang makin melemah bekerja sebanyak 10 orang (47,6%) dan
dan sistem kekebalan tubuh yang semakin kelompok perlakuan adalah buruh sebanyak 12
menurun. orang (57,1%).

137
Jurnal Kesehatan Kusuma Husada - Juli 2018

Asma akibat kerja merupakan keadaan perlakuan semuanya adalah tacypnea sebanyak
yang umum pada penyakit paru dengan perkiraan 21 orang (100%). Penyempitan saluran napas
15%-23% kasus baru asma pada dewasa di menyebabkan sulitnya udara yang melewatinya,
Amerika Serikat disebabkan oleh pemaparan maka pasien asma akan cenderung melakukan
akibat kerja. Pemaparan pada tempat kerja dapat pernafasan pada volume paru yang tinggi
memperparah keadaan asma (Lewis, et al. 2007). dan membutuhkan kerja keras dari otot–otot
Menurut British Thoracic Society and Scottish pernapasan sehingga akan menambah energi
Intercollegiate Guidelines Network tahun 2011, untuk pernapasan (Brooker, 2009). Pendapat
jenis pekerjaan yang dapat meningkatkan risiko Brooker (2009) tersebut dibuktikan oleh Setiawati
serangan asma antara lain pembuat roti dan (2008) dalam penelitiannnya yang menyatakan
makanan, pekerja kehutanan, pekerja di pabrik bahwa pasien asma mengalami sesak nafas berat
kimia, plastik dan karet, pekerja tekstil, pekerja sehingga kesulitan bernapas karena penyempitan
di industri elektronik, pekerja gudang, pekerja saluran napas ini terjadi adanya hyperreaktiÞtas
di area pertanian, pelayan rumah makan, pekerja dari saluran napas terhadap berbagai macam
bagian kebersihan, tukang cat dan teknisi rangsang.
laboratorium.
Pada penelitian ini mayoritas responden
Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan memiliki nafas tacypnea dikarenakan kondisi
teori karena bila dilihat dari karakteristik bronkospasme sehingga tubuh akan berupaya
responden yaitu jenis pekerjaan, responden pada untuk lebih menarik oksigen ke paru-paru
penelitian ini terbanyak pada kategori lain-lain sehingga akan hiperventilasi.
(ibu rumah tangga, tidak bekerja dan siswa)
sehingga kemungkinan terpapar oleh faktor kerja c. Respiration Rate Setelah Tindakan
di luar rumah juga lebih sedikit. Walaupun hasil
Tabel 4.6 Distribusi Respiration Rate Setelah
penelitian menyatakan bahwa faktor kerja tidak
Perlakuan
berhubungan dengan terjadinya serangan asma,
bukan berarti faktor kerja tidak lagi menjadi Kontrol Perlakuan
Pernafasan
pemicu tetapi faktor kerja disini tetap menjadi F (%) F (%)
risiko terhadap kejadian serangan asma pada Bradypnea 0 0 0 0
orang yang sensitif. Pada penelitian ini paling Normal 3 14,3 18 85,7
banyak memiliki pekerjaan buruh. Pekerjaan Tacypnea 18 85,7 3 14,3
buruh berisiko terkena penyakit paru akibat Jumlah 21 100 21 100
pupuk serbuk serta obat pestisida yang digunakan Dari Tabel 3.6 menunjukkan respiration rate
pada saat bekerja dengan kondisi responden tanpa pada post test yang paling banyak pada kelompok
menggunakan masker. kontrol adalah tacypnea sebanyak 18 orang
b. Respiration Rate Sebelum Tindakan (85,7%) dan kelompok perlakuan adalah normal
sebanyak 18 orang (85,7%).
Tabel 3.5 Distribusi Respiration Rate Sebelum
Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil
Perlakuan
penelitian SaÞtri (2011) yang menunjukkan
Kontrol Perlakuan bahaw hasil pengukuran sesak nafas setelah
Pernafasan
F (%) F (%) dilakukan perlakuan dari 33 responden selama
Bradypnea 0 0 0 0 tiga hari diperoleh data yaitu sebanyak 18 pasien
Normal 0 0 0 0 (55%). Peningkatan sesak nafas tersebut dapat
Tacypnea 21 100 21 100 dijelaskan ada pengurangan sesak nafas berat
Jumlah 21 100 21 100 ke sesak nafas ringan sebanyak 11 pasien (33%)
yaitu dari 17 pasien sesak nafas berat menjadi
Dari Tabel 3.5 menunjukkan hasil respiration menjadi 6 pasien. Jadi, ada pengurangan pasien
rate pre test pada kelompok kontrol dan sesak nafas berat ke sesak nafas ringan.

138
Jurnal Kesehatan Kusuma Husada - Juli 2018

Hasil perbedaan tersebut menunjukkan ada Tabel 3.8 Pengaruh Posisi Semi Fowler
pengaruh pemberian posisi semi fowler terhadap Terhadap Respiration Rate
sesak nafas. Hal tersebut berarti mendukung
K P
penelitian yang dilakukan oleh Supadi et al (2008) Kelompok P value
T N T
bahwa pemberian semi fowler mempengaruhi
Kontrol 21 3 18 0,160
berkurangnya sesak nafas sehingga kebutuhan
Perlakuan 21 18 3 0,000
dan kualitas tidur pasien terpenuhi. Saat sesak
napas pasien lebih nyaman dengan posisi duduk Dari Tabel 3.8 menunjukkan bahwa pada
atau setengah duduk sehingga posisi semi kelompok kontrol p value = 0,160 sehingga p
fowler memberikan kenyamanan dan membantu value > 0,05 maka tidak ada perubahan yang
memperingan kesukaran bernapas. Menurut sgniÞkan sedangkan pada kelompok perlakuan
Angela (dalam Supadi et al, 2008) saat terjadi p value = 0,000 sehinga p value < 0,05 maka
serangan sesak biasanya pasien merasa sesak terdapat pengaruh posisi Semi fowler terhadap
dan tidak dapat tidur dengan posisi berbaring. Respiration Rate pada pasien asma bronkial di
Melainkan harus dalam posisi duduk atau Puskesmas Air Upas Ketapang.
setengah duduk untuk meredakan penyempitan
Dijelaskan oleh Wilkison (Supadi et al,
jalan napas dan memenuhi darah. Dengan posisi
2008) bahwa posisi semi fowler dimana kepala
tersebut pasien lebih rileks saat makan dan
dan tubuh dinaikkan 45º membuat oksigen
berbicara sehingga kemampuan berbicara pasien
didalam paru–paru semakin meningkat sehingga
tidak terputus–putus dan dapat menyelesaikan
memperingan kesukaran napas. Penurunan sesak
kalimat. Pada penelitian ini semua responden
napas tersebut didukung juga dengan sikap pasien
pada kelompok perlakuan mengalami perubahan
yang kooperaktif, patuh saat diberikan posisi
pada respiration rate karena posisi jalan nafas
semi fowler sehingga pasien dapat bernafas.
lebih terbuka dibandingkan dengan kelompok
kontrol. Posisi semi fowler mampu meredakan
penyempitan jalan napas dan memenuhi O2
d. Pengaruh Posisi Semi Fowler Tehadap dalam darah ini mendukung penelitian yang
Respiration Rate dilakukan oleh Kim (2014) bahwa pemberian
posisis semi fowler dapat meningkatkan masukan
Tabel 3.7 Uji Normalitas Data oksigen bagi pasien pasca pembedahan perut
Shapiro-Wilk laparoskopi. Sedangkan perbedaan sebelum dan
Kelompok
Statistic df Sig. sesudah dilakukan pemberian posisi semi fowler
Pre_perlakuan 0,864 21 ,007 ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh
Pre_kontrol 0,808 21 ,001 Setiawati (2008). Dalam penelitian tersebut
Post_perlakuan 0,874 21 ,011 diperoleh kesimpulan bahwa penggunaan posisi
P0st_kontrol 0,876 21 ,012 semi fowler dapat efektif untuk mengurangi sesak
napas pada pasien TBC. Hal ini dapat diketahui
Dari Tabel 3.7 menunjukkan uji normalitas pada melalui nilai Sig. (0,001) < 0,05. dan Z hitung
kelompok perlakuan adalah pre: 0,007, post: (-3,196) > Z tabel (1,96). Pada penelitian ini
0,011 dan kelompok kontrol adalah pre: 0,001, posisi semi fowler membuat jalan nafas lebih
post: 0,12 sehingga data tidak terdistribusi secara terbuka sehingga kapasitas oksigen yang masuk
normal karena p value < 0,05 sehingga uji bivariat ke paru lebih maksimal dan membuat frekuensi
menggunakan uji Wilcoxon. pernafasan menjadi lebih stabil dan dalam batas
normal.

4. KESIMPULAN
a. Jenis kelamin paling banyak di kelompok
kontrol adalah laki-laki sebanyak 13 orang
(61,9%) sedangkan kelompok perlakuan

139
Jurnal Kesehatan Kusuma Husada - Juli 2018

adalah perempuan sebanyak 12 orang College of Nursing, Catholic University of


(57,1%), pendidikan yang paling banyak Pusan, Korea
pada kelompok kontrol adalah SD sebanyak Kumoro, D. 2008. Pengaruh Pemberian Senam
8 orang (38,1%) dan kelompok perlakuan Asma Terhadap Frekwensi Kekambuhan
adalah SD sebanyak 11 orang (52,4%), pe- Asma Bronkial. Karya Ilmiah (tidak
kerjaan yang paling banyak pada kelom- diterbitkan).UMS
pok kontrol adalah tidak bekerja sebanyak
Kurniawan, A. 2008. Asuhan Keperawatan Pada
10 orang (47,6%) dan kelompok perlakuan
Keluarga Tn. A Dengan Gangguan Sistem
adalah buruh sebanyak 12 orang (57,1%).
Pernafasan: Asma Bronkial Pada Ny. S Di
b. Hasil respiration rate pre test pada kelom-
Puskesmas Tanjung, Juwiring, Klaten. Tugas
pok kontrol dan perlakuan semuanya adalah
Akhir (Tidak Diterbitkan) UMS
tacypnea sebanyak 21 orang (100%).
c. Hasil respiration rate pada post test yang Lewis, S. M., Heitkemper, M. M., & Direksen,
paling banyak pada kelompok kontrol adalah S.2007. Medical surgical nursing:
tacypnea sebanyak 18 orang (85,7%) dan ke- Assessment and management of clinical
lompok perlakuan adalah normal sebanyak problem. (5 Ed.). St. Louis: Mosby
18 orang (85,7%). Majampoh, Aneci Boki, Rondonuwu, Rolly &
d. Ada pengaruh posisi fowler terhadap frekue- Onibala, Franly. 2013. Pengaruh pemberian
nsi pernafasan pada pasien asma bronkial di posisi semi fowler terhadap kestabilan pola
Puskesmas Air Upas Ketapang dengan nilai nafas pada pasien TB Paru di Irina C5 RSUP
p value = 0,000 < 0,05. Prof Dr. R.D Kandou Manado.Universitas
Sam Ratulagi. ejournal keperawatan Vol.3
5. REFERENSI No.1.
Brooker, C. 2009. Ensiklopedia Keperawatan. Nugroho, Taufan.2011. Asuhan Keperawatan
Jakarta: EGC. Maternitas, Anak, Bedah dan Penyakit
Council, N. A.2006. Asthma management Dalam. Yogyakarta: Nuha Medika
handbook 2006. Melbourne: National PDPI (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia).
Asthma CouncilLTD. 2014. Asma Pedoman Diagnosis Dan
Depkes, 2013. Riset Kesehatan Dasar 2013. Penatalaksanaan Di Indonesia. Jakarta:
Jakarta: Badan Penelitian dan Pengem- FKUI
bangan Kesehatan Kemenkes RI. Potter, P. 2008. Fundamtal Keperawatan:
Dinkes, 2012. Laporan Survei Penyakit Kalbar Konsep, Proses, dan Praktik. Jakarta: EGC
2012. Pontianak: Dinkes Kalbar. Ruth, F. 2012. Fundamental Of Nursing Human
Guyton, & Hall (2011). Human Physiology Health And Function. Jakarta: EGC.
and Diseases Mechanism. (3ed.) SaÞtri, ReÞ & Andriyani, Annisa. 2011.
(Terjemahanoleh Pet rus Andrianto, 2011). Keefektifan pemberian posisi semi fowler
Jakarta: EGC. terhadap penurunan sesak nafas pada pasien
Hudak, C. M dan Gallo B. M. 2015. Keperawatan asma di Ruang Rawat Inap Kelas III RSUD
Kritis Holistik Edisi VIII, Volume I. Jakarta: dr. Moewardi Surakarta. STIKES Aisyiyah
EGC. Surakarta. GASTER, Vol. 8, No.2
Jeremy. 2006. At a Glance Sistem Respirasi edisi Setiawati, L. 2008. Efektivitas Penggunaan
Kedua. Bandung: Erlangga. Posisi Semi Fowler Pada Klien TBC Untuk
Mengurangi Sesak Napas (Studi Kasus Di
Kim, K. 2014. The Effects of Semi- Fowler's
Rumah Sakit Paru Batu). Jurnal. http://
Position on Post- Operative Recovery
athearobiansyah.blogspot. com/2008/03/
in Recovery Room for Patients with
asuhan keperawatan kebutuhan oksigenasi.
Laparoscopic Abdominal Surgery. Abstract.
html.

140
Jurnal Kesehatan Kusuma Husada - Juli 2018

Somantri, I. 2009. Asuhan Keperawatan pada Widodo. 2009. “Penderita Asma di Indonesia
Klien dengan Gangguan Sistem Pernapasan Meningkat, ”Tribun News.
edisi2. Jakarta: Salemba Medika Zara, A.2012. Pengaruh teknik pernafasan
Supadi, E. Nurachmah, dan Mamnuah. 2008. buteyko terhadap penurunan gejala asma
Hubungan Analisa Posisi Tidur Semi Fowler di wilayah kerja Puskesmas Pasar Baru
Dengan Kualitas Tidur Pada Klien Gagal kecamatan Bayang Painan Pesisir Selatan.
Jantung Di RSU Banyumas Jawa Tengah. Universitas Andalas.
Jurnal Kebidanan dan Keperawatan volume
IV No 2 hal 97-108.

-oo0oo-

141
Pengaruh Tekhnik Pernafasan Buteyko Terhadap Fungsi Ventilasi Oksigenasi Paru

The Influence Of Buteyko Respiratory Techniques ToPulmonary Ventilation Function

Muhammad Arif1 dan Mariza Elvira2


1
Dosen PSIK STIKes Perintis Sumatera Barat
Email : perawat.arif@yahoo.co.id
2
Dosen Akademi Keperawatan Nabila Padang Panjang
Email : mariza_elvira@yahoo.com

Naskah Masuk : 15-04-2018 Naskah Diterima : 28-04-2018 Naskah Disetujui : 04-06-2018

Abstract
Patients suffering from asthmadevelop bronchospasm and bronchokontriksi resulting in hyperventilation
resulting in decreased ventilation and oxygenation. Interventions to maintain lung oxygenation ventilation
function one of them with Buteyko respiratory technique intervention. The purpose of this study was to
identify the effect of Buteyko respiratory technique on lung oxygenation ventilation function in bronchial
asthma patients. The research design used quasy experiment nonequivalent pre-post control group, and
sample number of both groups respectively 15 respondents.The intervention group performed Buteyko
breathing technique for 6 weeks.Sampling by consecutive sampling technique. The results of this study
indicated that there was a significant difference in pulmonary oxygen ventilation function after Buteyko's
breathing technique for 6 weeks (p = 0.00, α = 0.05). The researcher's recommendation is to improve the
ventilation function of lung oxygenation by intervening Buteyko respiratory technique in bronchial asthma
patient.

Keywords : Buteyko breathing techniques, ventilation function of lung oxygenation, bronchial asthma

Abstrak
Pasien yang menderita asma terjadi bronchospasme dan bronchokontriksi yang mengakibatkan hiperventilasi
sehingga terjadi penurunan ventilasi dan oksigenasi.Intervensi untuk mempertahankan fungsi ventilasi
oksigenasi paru salah satunya dengan intervensi teknik pernapasan Buteyko.Tujuan penelitian adalah
mengidentifikasi pengaruh penerapan teknik pernapasan Buteyko terhadapfungsi ventilasi oksigenasi paru
pada pasien asma bronkial.Desain penelitian menggunakan quasy eksperiment nonequivalent pre-post
control group, dan jumlah sampel kedua kelompok masing-masing 15 responden.Pengambilan sampel
dengan teknik consecutive sampling.Kelompok intervensi melakukan teknik pernapasan Buteyko selama 6
minggu.Pengambilan sampel dengan teknik consecutive sampling. Hasil penelitian ini menunjukkan ada
perbedaan bermakna fungsi ventilasi oksigenasi paru setelah melakukan teknik pernapasan Buteyko selama 6
minggu (p= 0.00, α= 0.05). Rekomendasi peneliti adalah sebaiknya untuk meningkatkan fungsi ventilasi
oksigenasi paru dilakukan intervensi teknik pernapasan Buteyko pada pasien asma bronkial.

Kata kunci: Teknik Pernapasan Buteyko, Fungsi Ventilasi Oksigenasi Paru, Asma Bronkial

PENDAHULUAN karbondioksida sebagai zat sisa


Tubuh membutuhkan asupan metabolisme dari sel ke udara secara
oksigen yang konstan untuk menyokong bebas. Proses respirasi agar dapat
pernapasan (Black & Hawk, berlangsung secara sempurna memerlukan
2014).Pernapasan berarti pergerakan fungsi yang baik dari saluran pernapasan,
oksigen dari atmosfer menuju ke sel untuk otot-otot pernapasan, elastisitas jaringan
proses metabolisme dalam rangka paru serta dinding dada. Proses respirasi
menghasilkan energi dan keluarnya dapat terganggu bila terjadi gangguan

Pengaruh Tekhnik Pernafasan Buteyko Terhadap Fungsi Ventilasi Oksigenasi Paru -


Muhammad Arif1 dan Mariza Elvira2 45
pada proses ventilasi, difusi dan transport inflamasi yang didahului oleh faktor
oksigen dan karbondioksida. Ventilasi pencetus (Alsagaff & Mukhty, 2010).
yang adekuat tergantung pada gerakan Trigger yang berbeda akan
bebas udara melalui jalan napas atas dan menyebabkan eksaserbasi asma oleh
bawah. Pada banyak kondisi jalan napas karena inflamasi saluran napas atau
menjadi menyempit atau tersumbat bronkospasme akut atau keduanya.
sebagai akibat proses penyakit, Sesuatu yang dapat menyerang asma ini
bronkokonstriksi (penyempitan jalan sangat bervariasi antara individu dengan
napas oleh konstriksi serabut otot), benda individu yang lain dan dari yang satu
asing atau sekresi. Gangguan ventilasi waktu kewaktu yang lain. Beberapa hal
sering terjadi pada pasien asma (Price & diantaranya adalah faktor alergen, polusi
Wilson, 2006). udara, infeksi saluran napas, kelelahan,
Asma merupakan penyakit perubahan cuaca, makanan, obat atau
gangguan inflamasi kronis saluran ekspresi emosi yang berlebihan (Sudoyo,
pernapasan yang ditandai dengan adanya 2006).
episode wheezing, kesulitan bernapas, Inflamasi saluran napas pada asma
dada yang sesak dan batuk. Inflamasi ini merupakan proses yang sangat kompleks,
terjadi akibat peningkatan responsive melibatkan faktor genetik, antigen
saluran pernapasan terhadap berbagai berbagai sel inflamasi, interaksi sel dan
stimulus (Lemon & Burke, 2000). mediator yang membentuk proses
Hal yang selalu dapat ditemui pada inflamasi kronik dan remodeling. Dalam
penderita asma adalah saluran serangan asma, sangat mudah untuk
pernapasannya yang hiperresponsif menegakkan diagnosisnya, tetapi ketika
terhadap stimulus.Untuk setiap penderita berada dalam episode bebas gejala, tidak
stimulusnya tidak selalu sama. mudah untuk menentukan seseorang
Penyempitan saluran napas pada asma menderita asma.Serangan asma biasanya
bronkial, bukanlah penyempitan yang bermula dengan mendadak dengan batuk
diakibatkan oleh penyakit infeksi dan rasa sesak dalam dada, disertai
menahun pada saluran napas (seperti dengan pernapasan lambat, mengi,
bronkitis menahun) ataupun penyempitan laborius/snoring.Ekspirasi selalu lebih
sebagai akibat kerusakan dinding saluran panjang dibanding inspirasi, yang
napas (misal pada bronkiektasis ataupun mendorong pasien untuk duduk tegak dan
emfisema paru), namun karena reaksi

46 Jurnal Pembangunan Nagari Volume 3 Nomor 1 Edisi Juni 2018 : 45 - 60


menggunakan setiap otot aksesori masyarakat diberbagai negara diseluruh
pernapasan. dunia dengan kekerapan yang bervariasi
Penderita asma akan mengalami disetiap negara dan cenderung meningkat
hiperventilasi yang menyebabkan pada negara-negara berkembang. Angka
rendahnya kadar CO2 yang akan diikuti kejadian asma 80% terjadi di negara
dengan pergeseran efek Bohr dan berkembang akibat kemiskinan,
akibatnya oksigenasi akan semakin kurangnya tingkat pendidikan,
berkurang. Gejala asma dapat menjadi pengetahuan dan fasilitas pengobatan.
lebih buruk dengan terjadinya komplikasi Berdasarkan data WHO pada tahun 2011,
terhadap asma tersebut sehingga sebanyak 235 juta orang diseluruh dunia
bertambahnya gejala terhadap distress menderita asma, dan sekitar 250.000
pernapasan yang biasa dikenal dengan penderita meninggal pertahun karena
status asmatikus(Brunner & Suddarth, asma di seluruh dunia.Angka kematian
2001). yang disebabkan oleh penyakit asma di
Fungsi ventilasi paru ini dapat seluruh dunia diperkirakan akan
dilihat melalui pemeriksaan fungsi paru meningkat 20% untuk sepuluh tahun
menggunakan peak flow meter, mengukur mendatang, jika tidak terkontrol dengan
jumlah aliran udara dalam jalan napas baik. Data American Lung
untuk memonitor kemampuan paru dalam Associationpada tahun 2009, sebanyak
menggerakkan udara dan untuk 3.388 orang meninggal pertahun karena
mengetahui adanya obstruksi jalan asma. Mengamati tingginya angka
napas.Sedangkan penilaian oksigenasi kesakitan dan kematian akibat asma dan
paru dapat menggunakan pulse oximetry terus meningkatnya angka tersebut dari
untuk menunjukkan status oksigenasi tahun ke tahun menuntut keseriusan dari
dengan akurasi pengukuran dipengaruhi bidang kedokteran untuk menanganinya.
Hb. Peningkatan terjadi juga di negara-
Penyakit asma yang merupakan negara Asia Pasifik seperti
penyakit inflamasi kronik saluran Indonesia.Studi di Asia Pasifik baru-baru
pernapasan yang ditandai dengan ini menunjukkan bahwa tingkat tidak
obstruksi aliran napas yang dengan terapi masuk kerja akibat asma jauh lebih tinggi
spesifik dapat secara total ataupun parsial dibandingkan dengan di Amerika Serikat
diredakan gejalanya, adalah penyakit yang dan Eropa (Rengganis, 2008).Di
menjadi masalah serius pada kesehatan Indonesia, ditemukan data prevalesi asma

Pengaruh Tekhnik Pernafasan Buteyko Terhadap Fungsi Ventilasi Oksigenasi Paru -


Muhammad Arif1 dan Mariza Elvira2 47
yang diperoleh berdasarkan hasil Riset keterbatasan aktivitas dan tidak ada efek
Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 samping penggunaan obat (Yunus F,
dari 33 Provinsi di Indonesia, Provinsi 2008). Asma yang tidak diobati
Sumatera Barat menempati urutan 10 menyebabkan penderita harus dirawat di
besar sebagai penyumbang angka rumah sakit, tidak masuk sekolah atau
kesakitan pada penyakit asma sebesar 2,7 kerja, terbatas aktivitas fisiknya, tidak bisa
%, sementara yang menduduki peringkat tidur, bahkan pada beberapa kasus
pertama adalah Provinsi Sulawesi Tengah mengakibatkan kematian.
dengan prevalensi sebesar 7,8 % dan Menurut Supriyantoro (2004),
peringkat kedua adalah Provinsi NTT menyatakan bahwa gangguan saluran
sebesar 7,3 %. Ditemukan kejadian pernapasan yang cukup serius ini apabila
penyakit asma lebih tinggi pada tidak ditangani dengan baik dapat
perempuan dibanding laki-laki dengan menghambat aktivitas pasien asma hingga
kelompok usia diatas ≥ 45 tahun 30%. Oleh karena itu, perlu diupayakan
(RISKESDAS, 2013). agar setiap penderita asma mendapatkan
Di RSUD Dr. Achmad Mochtar diagnosis dan pengobatan yang tepat serta
Bukittinggi berdasarkan rekam medis mampu mengelola asmanya. Pasien asma
jumlah pasien asma bronkial pada tahun harus dapat mengontrol penyakitnya.
2013 sebanyak 153 pasien dengan rerata Asma yang tidak terkontrol dapat
12 atau 13 pasien perbulan. Peningkatan menyebabkan gejala bertambah berat,
kualitas hidup pasien asma diwujudkan sehingga pasien memerlukan bantuan
dengan penatalaksanaan asma yang medis atau harus dibawa ke unit gawat
tepat.Tujuan akhirnya adalah kualitas darurat di rumah sakit. Pasien asma
hidup pasien asma meningkat dengan membutuhkan terapi yang kontinyu
tingkat keluhan minimal, tetapi memiliki sepanjang hidupnya. Terapi asma yang
aktifitas maksimal.Menurut panduan asma terus menerus tentu akan berefek buruk
internasional (Global Initiative for bagi kesehatan penderita asma. Oleh
Asthma/GINA) yang disebut sebagai asma karena itu, banyak penelitian yang
terkontrol adalah asma yang menunjukkan menemukan metode alami untuk
gejala-gejala kronis termasuk munculnya menyembuhkan/mengurangi gejala asma
gejala pada malam hari, jarang terjadi sehingga efek samping yang ditimbulkan
kekambuhan, tidak ada kunjungan ke oleh terapi tersebut dapat diminimalisir.
ruang gawat darurat, tidak ada Tujuan dasar penatalaksanaan dari asma

48 Jurnal Pembangunan Nagari Volume 3 Nomor 1 Edisi Juni 2018 : 45 - 60


mengusahakan agar asma menjadi akibat perut yang dikempiskan.Cenderung
terkontrol yang ditandai dengan gejala tegang dan panik sewaktu serangan, yang
yang tidak ada atau minimal, tidak ada membuat sukar mengatur (kontrol)
keterbatasan aktivitas, faal paru yang pernapasan dan membuat konstriksi
normal atau mendekati normal, tidak ada (menyempitnya) saluran napas bronkus
penggunaan obat agonis β-2 atau minimal bertambah (Herman, 2007). Latihan
dan tidak ada kunjungan ke unit gawat pernapasan bertujuan untuk melatih cara
darurat. bernapas yang benar, melenturkan dan
Dalam penatalaksanaan asma, pola memperkuat otot pernapasan, melatih
hidup sehat sangat dianjurkan. Pola hidup ekspektorasi yang efektif, meningkatkan
sehat akan sangat membantu proses sirkulasi dan mempertahankan asma yang
penatalaksanaan asma. Dengan terkontrol. Pada penderita asma latihan
pemenuhan nutrisi yang memadai, pernapasan selain ditujukan untuk
menghindari stres, dan olahraga atau yang memperbaiki fungsi alat pernapasan, juga
biasa disebut latihan fisik teratur sesuai bertujuan melatih penderita mengatur
toleransi tubuh (The Asthma Foundation pernapasan jika terasa akan datang
of Victoria, 2002). Latihan pernapasan serangan, ataupun sewaktu serangan asma.
merupakan alternatif sarana untuk Selain itu, juga terdapat serangkaian
memperoleh kesehatan yang diharapkan terapi komplementer yang bisa bermanfaat
bisa mengefektifkan semua organ dalam bagi penderita asma.Tujuannya bukan
tubuh secara optimal dengan olah napas untuk menggantikan pengobatan
dan olah fisik secara teratur. Sehingga konvensional yang sedang dijalani,
hasil metabolisme tubuh dan energi melainkan sebagai upaya pelengkap yang
penggerak untuk melakukan aktivitas bisa mempercepat proses penyembuhan.
menjadi lebih besar dan berguna untuk Beberapa terapi komplementer tersebut
menangkal penyakit (Wardoyo, 2003). adalah terapi herbal, homeopati, terapi
Pasien asma memiliki pola nutrisi, tissue salt therapy, aromaterapi,
pernapasan yang salah dan cenderung akupunktur, akupresur, refleksologi,
menggunakan pernapasan dada atas dan meditasi, Yoga, relaksasi progresif,
mengempiskan perut saat inspirasi.Pada Chikung dan teknik pernapasan Buteyko
kondisi ini energi yang diperlukan tinggi (VitaHealth, 2006).
sedangkan pengembangan paru minimal, Teknik pernapasan Buteyko
karena diafragma yang terdorong keatas merupakan bentuk terapi komplementer

Pengaruh Tekhnik Pernafasan Buteyko Terhadap Fungsi Ventilasi Oksigenasi Paru -


Muhammad Arif1 dan Mariza Elvira2 49
atau terapi fisik alternatif yang signifikan dalam gejala asma sehari-hari,
mengusulkan penggunaan latihan peningkatan yang signifikan dalam PEFR,
pernapasan sebagai pengobatan untuk dan uji jeda pengendalian dalam
asma serta kondisi lainnya. Metode ini kelompok intervensi, sementara ada
dikembangkan sekitar tahun 1950-an oleh perubahan signifikan dalam kelompok
ilmuwan Rusia, Konstantin Buteyko kontrol.Pemberian teknik latihan
Pavlovich. Metode Buteyko merupakan pernapasan Buteyko secara teratur akan
rangkaian latihan pola napas yang memperbaiki buruknya sistem pernapasan
dirancang untuk melatih pola napas. pada penderita asma sehingga akan
Metode ini terkenal di Rusia, studi resmi menurunkan gejala asma. Prinsip latihan
pertama pada tahun 1968 tentang teknik pernapasan Buteyko ini adalah
efektivitas metode Buteyko pada asma di latihan teknik bernapas dangkal.
Leninggrad Institute of Pulmonologi, yang Peran perawat dibutuhkan sebagai
kedua di Moscow Institute of Pediatric pemberi asuhan keperawatan khususnya
pada April 1980, kemudian metode ini pada pasien asma.Perawat mempunyai
diperkenalkan ke Australia, Selandia wewenang dalam memberikan tindakan
Baru, Inggris dan Amerika Serikat, tetapi atau intervensi baik mandiri maupun
hampir tak terdengar ditempat lain kolaboratif.Tindakan-tindakan
(Rowland, 2006). Terapi ini membantu keperawatan yang dilakukan mulai dari
untuk mengurangi jumlah dari tingkat tindakan preventif, promotif, kuratif dan
keparahan serangan serta dosis obat. rehabilitatif.Masalah keperawatan yang
Sebagai hasil dari terapi ini, indikator sering muncul pada pasien asma adalah
keseimbangan asam-alkali dan ventilasi pola napas tidak efektif akibat perubahan
paru-paru meningkat.Dalam teknik ventilasi pada paru-paru.Salah satu
pernapasan ini, secara sederhana intervensi keperawatan untuk mengatasi
penanganan asma didasarkan pada usaha pola napas tidak efektif yaitu dengan
mengembalikan cara bernapas yang benar melatih pasien dalam mengontrol pola
(VitaHealth, 2006). napasnya.Latihan ulang pernapasan terdiri
Penelitian yang dilakukan oleh atas latihan dan praktik pernapasan yang
Hassan pada tahun 2012 menjelaskan dirancang dan dijalankan untuk mencapai
bahwa pengaruh latihan teknik pernapasan ventilasi yang lebih terkontrol dan efisien,
Buteyko pada pasien dengan asma dan untuk mengurangi kerja
bronkialmenunjukkan penurunan yang bernapas.Latihan pernapasan dapat

50 Jurnal Pembangunan Nagari Volume 3 Nomor 1 Edisi Juni 2018 : 45 - 60


dipraktikan dalam beberapa posisi, karena memperoleh oksigen dan mengurangi
distribusi udara dan sirkulasi pulmonal hiperventilasi paru.
beragam sesuai dengan posisi dada. Tujuan penelitian ini untuk
Fenomena yang terjadi dilapangan mengidentifikasi manfaat intervensi
pada pasien saat serangan asma, pasien teknik pernapasan Buteyko dalam
mengalami batuk, kesulitan bernapas dan meningkatkan fungsi ventilasi oksigenasi
memerlukan usaha untuk bernapas. Tanda paru pada pasien asma bronkial.
usaha untuk bernapas antara lain napas
METODOLOGI
cuping hidung, bernapas melalui mulut,
Penelitian ini merupakan penelitian
dan penggunaan otot bantu pernapasan.
kuasi eksperimen dengan pendekatan
Teknik pernapasan digunakan oleh
nonequivalent pre-post control group, dan
sebagian besar penderita asma cenderung
jumlah sampel kedua kelompok masing-
bernapas dalam dan berlebihan yang tidak
masing 15 responden. Penelitian
disadari. Bila penderita asma bernapas
dilaksanakan selama 6 minggu.
dengan teknik pernapasan dalam, hal ini
Pengumpulan data dilakukan sebelum dan
semakin memperburuk sistem pernapasan
setelah dilakukan intervensi.Populasi
pasien sehingga dapat menstimulasi
dalam penelitian ini adalah semua pasien
terjadinya penyempitan saluran napas dan
asma bronkial yang dirawat disebuah RS
peningkatan mukus sehingga akan
di Bukittinggi.Jumlah sampel pada
memperburuk gejala asma. Selain itu
penelitian ini adalah 30 orang responden
pasien asma yang dirawat di rumah sakit
yang terdiri dari 15 orang kelompok
jarang diajarkan tentang cara dan manfaat
intervensi dan 15 orang kelompok kontrol.
latihan pernapasan secara spesifik.
Teknik pengambilan sampel dengan
Padahal ada salah satu tindakan yang
caraconsecutive sampling. Kriteria
dapat diberikan untuk menghilangkan
sampel: bersedia menjadi klien dan
gejala hiperventilasi dan meningkatkan
kooperatif, klien dengan asma bronkial,
fungsi ventilasi pada pasien asma
memiliki riwayat pengobatan.
didasarkan pada usaha mengembalikan
cara bernapas yang benar. Teknik HASIL DAN PEMBAHASAN
pernapasan Buteyko sangat efektif pada Hasil
pasien asma, karena teknik pernapasan ini Hasil penelitian dijabarkan dalam
dapat meningkatkan paru dalam dua bentuk yaitu analisa univariat dan

Pengaruh Tekhnik Pernafasan Buteyko Terhadap Fungsi Ventilasi Oksigenasi Paru -


Muhammad Arif1 dan Mariza Elvira2 51
analisa bivariat seperti dalam tabel berikut dilakukan intervensi pada kelompok
ini : kontrol adalah 5.73 (SD= 0.46) dengan
nilai skor terendah 5.00 dan skor tertinggi
Tabel 1. Hasil Pengukuran Mean, SDFungsi
Ventilasi Oksigenasi Paru Sebelum 6.00. Keyakinan 95% nilai fungsi ventilasi
dan Setelah Intervensi Teknik
Pernapasan Buteyko oksigenasi paru sebelum pada kelompok
kontrol berada diantara skor 5.48 sampai
No Jenis Mean SD n
Kelompok skor 5.99. Sedangkan rerata skor fungsi
1 Intervensi 15 ventilasi oksigenasi paru setelah dilakukan
Sebelum 6.27 0.46
Setelah 7.60 0.51 teknik pernapasan Buteyko pada
2 Kontrol 15
Sebelum 5.73 0.46 kelompok kontrol adalah 5.87 (SD= 0.64)
Setelah 5.87 0.64
dengan nilai skor terendah 5.00 dan skor
Sumber : Hasil Analisis
tertinggi 7.00. Keyakinan 95% nilai fungsi
Hasil analisa univariat menunjukkan ventilasi oksigenasi paru setelah intervensi
bahwa rerata skor fungsi ventilasi pada kelompok kontrol diantara skor 5.51
oksigenasi paru sebelum dilakukan sampai 6.22
intervensi teknik pernapasan Buteyko
Tabel 2. Rerata Fungsi Ventilasi Oksigenasi Paru
pada kelompok intervensi adalah 6.27 Pasien yang Diberikan Tekhnik
Pernafasan Buteyko dan yang Tidak
(SD= 0.46) dengan nilai skor terendah Diberikan Tekhnik Pernafasan Buteuko
6.00 dan skor tertinggi 7.00. Keyakinan
No Kelompok Mean SD p_value
95% nilai fungsi ventilasi oksigenasi paru 1 Intervensi 1.33 0.49
0.000*
2 Kontrol 0.13 0.83
sebelum pada kelompok intervensi berada
Sumber : Hasil Analisis
diantara skor 6.01 sampai skor 6.52.
Berdasarkan hasil analisis tabel 5.9
Sedangkan rerata skor fungsi ventilasi
dapat disimpulkan bahwa rerata selisih
oksigenasi paru setelah dilakukan teknik
meandari skor fungsi ventilasi oksigenasi
pernapasan Buteyko pada kelompok
paru setelah intervensi teknik pernapasan
intervensi adalah 7.60 (SD= 0.51) dengan
Buteyko pada kelompok intervensi
nilai skor terendah 7.00 dan skor
sebesar 1.33 dengan standar deviasi 0.49,
tertinggi8.00. Keyakinan 95% nilai fungsi
sedangkan rerata selisih meandari skor
ventilasi oksigenasi paru setelah intervensi
fungsi ventilasi oksigenasi paru setelah
pada kelompok intervensi diantara skor
intervensi pada kelompok kontrol sebesar
7.32 sampai dengan skor 7.88.
0.13 dengan standar deviasi 0.83. Hasil uji
Hasil analisis rerata skor fungsi
t tidak berpasangan (Mann-Whitney t-test)
ventilasi oksigenasi paru sebelum

52 Jurnal Pembangunan Nagari Volume 3 Nomor 1 Edisi Juni 2018 : 45 - 60


diperoleh nilai p= 0.000 (p< 0.05, maka skor fungsi ventilasi oksigenasi paru
dapat disimpulkan ada perbedaan yang sebesar 1.33. Secara klinis peningkatan
signifikan rerata selisih fungsi ventilasi tersebut baik, berarti terjadi perubahan
oksigenasi paru setelah intervensi antara fungsi ventilasi oksigensi paru dari kurang
kelompok intervensi dengan kelompok baik menjadi baik.Sedangkan pada
kontrol. kelompok kontrol setelah enam minggu
dilakukan observasi terhadap fungsi
Pembahasan ventilasi oksigenasi parunya juga
Hasil penelitian ini menunjukkan meningkat sedikit dengan kenaikannya
bahwa pasien asma bronkial yang rerata 0.13.
diberikan intervensi teknik pernapasan Pada kelompok kontrol, walaupun
Buteyko selama empat kali pada hari tidak diberikan intervensi teknik
pertama dan dua kali latihan pada hari pernapasan Buteyko tetapi berdasarkan
kedua dan selanjutnya selama 6 minggu rerata skor fungsi ventilasi oksigenasi
dengan durasi setiap latihan 20 menit paru terjadi peningkatan nilai skor fungsi
memperlihatkan adanya perbedaan yang ventilasi oksigenasi paru 0.13 (SD= 0.83)
bermakna rerata fungsi ventilasi meski tidak memperlihatkan adanya
oksigenasi paru sebelum dan setelah perbedaan yang signifikan pada fungsi
intervensi teknik pernapasan Buteyko (p= ventilasi oksigenasi paru (p= 0.55).
0.00, α= 0.05). Dengan demikian dapat Peningkatan fungsi ventilasi oksigenasi
disimpulkan bahwa hipotesis mayor yang paru pada kelompok kontrol disebabkan
menyatakan bahwa ada pengaruh karena penggunaan obat-obat
intervensi teknik pernapasan Buteyko bronchodilator.Obat bronchodilator
terhadap fungsi ventilasi oksigenasi paru digunakan oleh pasien asma kelompok
pada pasien asma bronkial. kontrol adalah golongan obat beta2
Data statistik diatas menunjukkan agonist.Obat beta2 agonist menstimulasi
bahwa dengan intervensi teknik reseptor adrenergic sel-sel otot polos
pernapasan Buteyko yang dilakukan oleh saluran pernapasan sehingga otot menjadi
pasien asma selama 6 minggu, dimana 4 relaksasi dan jalan napas menjadi
kali dilakukan pada minggu pertama dan 2 dilatasi.Golongan obat antikolinergik juga
kali untuk minggu seterusnya selama 6 diberikan untuk memblok efek dari sistem
minggu intervensi dengan sesi 20 menit saraf parasimpatis.Obat antikolinergik
selama latihan dapat meningkatkan rerata dapat meningkatkan tonus vagal otot-otot

Pengaruh Tekhnik Pernafasan Buteyko Terhadap Fungsi Ventilasi Oksigenasi Paru -


Muhammad Arif1 dan Mariza Elvira2 53
saluran pernapasan (Sudoyo. 2006). restriksi saluran napas dan peningkatan
Namun demikian jika dilihat dari mukus.Rerata penderita asma bernapas 3-
perbedaan selisih mean kelompok 5 kali labih sering dan lebih cepat
intervensi dengan kelompok kontrol dibandingkan yang normal (Dupler,
menunjukkan nilai yang signifikan. Hal 2005).
ini berarti terapi bronkodilator yang Secara garis besar pasien asma
dikombinasi dengan teknik pernapasan sering mengalami
Buteyko lebih efektif meningkatkan untuk hiperventilasi.Hiperventilasi terjadi karena
nilai skor fungsi ventilasi oksigenasi paru mengembangnya tingkat kedalaman
pada pasien asma bronkial dibandingkan pernapasan melebihi batas normal
dengan hanya menggunakan terapi sehingga memperburuk sistem pernapasan
benkodilator saja. karena terjadi kehilangan karbondioksida
Beberapa tindakan perawatan dan secara progresif.Hal ini dapat
medik yang telah diterapkan selama menstimulasi terjadinya penyempitan
rawatan berdampak positif pada saluran napas dan peningkatan mukus.
peningkatan fungsi ventilasi oksigenasi Bila penderita asma melakukan
paru, walaupun sampai minggu ke- 6 pada pernapasan dalam, maka jumlah CO2 yang
kelompok kontrol belum dapat mencapai dikeluarkan akan semakin meningkat. Hal
nilai fungsi ventilasi oksigenasi paru yang ini dapat menyebabkan jumlah CO2
baik, sehingga perlu dipertimbangkan diparu-paru, darah dan jaringan akan
pembahasan fungsi ventilasi oksigenasi berkurang. Terjadinya defisiensi CO2
paru yang telah dicapai pada kelompok disebabkan oleh cara bernapas dalam yang
intervensi, untuk mengetahui lebih jauh dapat menyebabkan pH darah menjadi
tentang manfaat latihan teknik pernapasan alkalis. Perubahan pH dapat menganggu
Buteyko. keseimbangan protein, vitamin dan proses
Asma terjadi karena penderita asma metabolisme. Bila pH mencapai nilai 8,
telah mengembangkan tingkat kedalaman maka hal ini dapat menyebabkan
pernapasan yang jauh melebihi yang gangguan metabolik fatal.Terjadinya
seharusnya, dan tubuh penderita defisiensi CO2 menyebabkan spasme pada
mengkompensasinya dengan langkah- otot polos bronkus, kejang pada otak,
langkah defensive untuk memaksa pembuluh darah, spastic usus, saluran
penderita agar dapat mengurangi frekuensi empedu dan organ lainnya.Bila penderita
pernapasannya.Hal ini menyebabkan asma bernapas dalam, maka semakin

54 Jurnal Pembangunan Nagari Volume 3 Nomor 1 Edisi Juni 2018 : 45 - 60


sedikit jumlah oksigen yang mencapai ke bernapas melalui hidung akan mengurangi
otak, jantung, ginjal dan organ lainnya hiperventilasi (bernapas dalam) sehingga
yang mengakibatkan hipoksia disertai cara terbaik untuk menghemat CO2 yang
dengan hipertensi arteri. Kekurangan CO2 keluar adalah dengan merelaksasikan otot-
pada organ-organ vital (otak) dan sel saraf otot pernapasan sehingga insufisiensi
meningkatkan stimulasi terhadap pusat udara yang terjadi saat serangan asma
pengendalian pernapasan di otak yang dapat berkurang (Thomas, 2004).
menimbulkan rangsangan untuk bernapas, Latihan pernapasan Buteyko
dan lebih lanjut meningkatkan pernapasan membantu menyeimbangkan kadar
sehingga proses pernapasan lebih intensif karbondioksida dalam darah yang hilang
yang kemudian dikenal dengan akibat hiperventilasi sehingga membantu
hiperventilasi. Over breathing dapat pelepasan hemoglobin dalam darah untuk
menybabkan ketidakseimbangan kadar melepaskan oksigen sehingga transportasi
CO2 didalam tubuh (paru dan sirkulasi) oksigen ke jaringan berjalan lancar (Roy,
sehingga hal ini akan mengubah kadar O2 2006). Teknik pernapasan Buteyko juga
dalam darah dan menurunkan jumlah O2 dapat membantu mengurangi kesulitan
seluler. Keseimbangan asam basa tubuh bernapas pada penderita asma dengan cara
juga dipengaruhi oleh pola napas dan menahan karbondioksida agar tidak hilang
konsentrasi O2/CO2.Pada waktu serangan secara progresif akibat hiperventilasi.
over breathing dapat menyebabkan stress Sesuai dengan sifat karbondioksida yang
pada tubuh. mendilatasi pembuluh darah dan otot,
Teknik pernapasan Buteyko maka dengan menjaga keseimbangan
merupakan suatu metode kadar karbondioksida dalam darah akan
manajemen/penatalaksanaan asma yang mengurangi terjadinya bronkospasme
bertujuan untuk mengurangi konstriksi pada penderita asma (Kolb, 2009).
jalan napas dengan prinsip latihan Penelitian yang dilakukan oleh
bernapas dangkal.teknik pernapasan Hasan M.H, dkk tentang pengaruh teknik
Buteyko bertujuan untuk memperbaiki pernapasan Buteyko pada pasien asma
pola napas penderita asma dengan cara bronkial. Responden dibagi menjadi 2
memelihara keseimbangan kadar CO2 dan kelompok yang sama, kelompok
nilai oksigenasi seluler yang pada intervensi terdiri dari 20 pasien menerima
akhirnya dapat menurunkan gejala asma teknik pernapasan Buteyko dan obat yang
(Dupler, 2005).Menurut Buteyko, diresepkan oleh dokter, sedangkan

Pengaruh Tekhnik Pernafasan Buteyko Terhadap Fungsi Ventilasi Oksigenasi Paru -


Muhammad Arif1 dan Mariza Elvira2 55
kelompok kontrol terdiri dari 20 pasien Sesungguhnya dengan melakukan
tidak melakukan program terapi fisik latihan teknik pernapasan Buteyko pada
hanya obat mereka diresepkan oleh pasien asma memberikan dampak positif
dokter. Program dilakukan selama 6 terhadap peningkatan fungsi ventilasi
minggu.Hasil penelitian menunjukkan oksigenasi paru, sehingga intervensi
penurunan yang signifikan dalam gejala teknik pernapasan Buteyko merupakan
asma sehari-hari, peningkatan yang tindakan yang sangat bermanfaat untuk
signifikan dalam PEFR, dan uji jeda memperbaiki fungsi paru.Tindakan
pengendalian pada kelompok dengan tersebut dapat dilakukan perawat secara
intervensi teknik pernapasan Buteyko, nyata dan mandiri dengan mengedepankan
sementara ada perubahan signifikan dalam pelayanan keperawatan yang professional.
kelompok kontrol. Teknik pernapasan Buteyko akan
Hasil penelitian juga sejalan dengan dapat menambah dan melengkapi
temuan Dalimunthe S.D bahwa latihan tindakan-tindakan prosedur perawatan
teknik pernapasan Buteyko yang diberikan terutama terapi modalitas keperawatan
pada pasien asma bronkial diperoleh tuk yang telah ada pada konteks perawatan
gejala asma mingguan (p= 0.002 dan intensif. Monitoring harus dilakukan
gejala asma bulanan p= 0.012), artinya secara terus menerus untuk mengantisipasi
terdapat perbedaan yang signifikan pada perubahan fungsi ventilasi oksigenasi
gejala asma sebelum dan setelah tidak adequate sehingga perlu dilakukan
melakukan teknik pernapasan Buteyko. tindakan emergency untuk
Teknik pernapasan Buteyko mengatasinya.Penyebab paling sering
merupakan salah satu bagian dari pada fungsi ventilasi oksigenasi yang
rehabilitasi paru yang bertujuan untuk tidak adekuat adalah obstruksi jalan napas
memperbaiki ventilasi dan mengurangi serta beberapa faktor penyakit yang
kerja pernapasan sehingga napas sesak mendasarinya.
berkurang. Latihan selama 6 minggu akan Teknik pernapasan Buteyko sebagai
mempercepat perbaikan fungsi ventilasi pilihan terapi modalitas keperawatan
oksigenasi paru. Peningkatan kemampuan dalam menajemen pernapasan menjadi
adaptasi paru melalui perbaikan fungsi kajian terbaru untuk dapat diterapkan
ventilasi oksigenasi merupakan hal yang lebih baik pada pelayanan
sangat berguna bagi pasien asma bronkial. keperawatan.Pada akhirnya memberikan

56 Jurnal Pembangunan Nagari Volume 3 Nomor 1 Edisi Juni 2018 : 45 - 60


peranan yangnyata dan mandiri bagi Bagi manager pelayanan
profesi keperawatan. keperawatan, intervensi teknik pernapasan
Buteyko dapat dijadikan standar
PENUTUP operasional prosedur dalam asuhan
Kesimpulan keperawatan pasien asma bronkial yang
Berdasarkan hasil penelitian dapat mengalami gangguan fungsi ventilasi
disimpulkan bahwa ada pengaruh oksigenasi paru.
bermakna antara rerata nilai skor fungsi
ventilasi oksigenasi paru sebelum dan
DAFTAR PUSTAKA
setelah intervensi teknik pernapasan Alsagaff, Hood & Mukhty (2010). Dasar-
Buteyko pada kelompok intervensi, dasar Ilmu Penyakit Paru.Cet 7.
Surabaya : Airlangga University Press
namun tidak serupa halnya pada
Arikunto (2006).Prosedur Penelitian: Suatu
kelompok control dan ada perbedaan yang Pendekatan Praktek. Edisi Revisi 5.
Jakarta : Rineka Cipta
bermakna pada selisih mean fungsi
Black.JM & Hawks (2014).Keperawatan
ventilasi oksigenasi paru setelah intervensi Medikal Bedah :Manajemen Klinis
untuk Hasil yang Diharapkan Ed 8.
teknik pernapasan Buteyko antara
Singapura : Elsevier Inc
kelompok intervensi dan kelompok Bowler S.D, Green A, and Mitchell C.A
kontrol. (1998).Buteyko Breathing Techniques
in Asthma: a blinded randomized
controlled trial. eMJA Medical
Journal of Australia ; 169 : 575-578
Saran
Brashers, Valentina L (2007).Aplikasi Klinis
Intervensi teknik pernapasan Patofisiologi : Pemeriksaan &
Buteyko dapat dijadikan salah satu Manajemen, Ed. 2. Jakarta : EGC
Creswell, J.W (2002). Research Design :
intervensi keperawatan mandiri pada
qualitative & quantitative
pasien asma dengan gangguan fungsi Approaches. Jakarta : KIK Press

ventilasi oksigenasi paru.Namun demikian Dahlan, M.S (2008). Statistik untuk


Kedokteran dan Kesehatan. Edisi
untuk dapat melaksanakan intervensi 3.Jakarta : Salemba Medika
teknik pernapasan Buteyko, perawat Dahlan, M.S (2005). Besar Sampel untuk
Penelitian Kedokterandan
pelaksana harus dapat melaksanakannya Kesehatan.Jakarta : Arkans
dengan benar sehingga diperlukan Djojodibroto, D (2009). Respirologi
(respiratory medicine).Jakarta : EGC
peningkatan pengetahuan dan
Global Initiative for Asthma (GINA)
keterampilan melalui pelatihan atau (2005).Global Strategy for Asthma
seminar pernapasan khususnya mengenai Management and Prevention, diakses
dari http://www.ginaasthma.com
teknik pernapasan Buteyko. /Guideline Item asp? Int Id= 1170

Pengaruh Tekhnik Pernafasan Buteyko Terhadap Fungsi Ventilasi Oksigenasi Paru -


Muhammad Arif1 dan Mariza Elvira2 57
Guyton & Hall (2014).Buku Ajar Mc. Keown, P (2004). Close Your Mouth:
FisiologiKedokteran. Ed 12. Buteyko Clinic Handbook for Perfect
Singapore : Elsevier Health. Unit Six : Ireland : Calbro
House. Diperoleh 04 April 2014dari
Hasan M.H, Riad N. M & Ahmed F. H
http://asthma.about.com/od/faq/f/BB_
(2013).Effect of Buteyko Breathing
Buteyko_exercise.htm
Technique on Patients with Bronchial
Asthma : The Egyptian Society of Murphy, A (2005). The Buteyko (Shallow
Chest Disease and Tuberculosis Breathing) Method for Controlling
diperoleh dari Asthma.Diakses dari http://
www.sciencedirect.com btinternet.com/-andrew. Murphy /
asthma_buteyko_Shallow_breathing.
Herman P, Deddy (2007). Senam Nafas Sehat
html
sebagai Salah Satu Pilihan Terapi
Latihan pada Penderita Asma
Bronkial. Online
Notoatmodjo (2005).Metodologi Kesehatan.
(http://fisiosby.com/senam -nafas-
Jakarta : Rineka Cipta
sehat-sebagai-salah-satu-pilihan-
terapi-latihan-pada-penderita-asma- Patrick McHugh (2003). Buteyko Breathing
bronkial/) Technique for Asthma : an Effective
Intervention. Diperoleh dari
Halloway E. A (2003).Breathing Exercise for
http://www.nzna.org.nz/journal/116-
Asthma.Online : April 2014
1187/710
Hidayat, A. Aziz Alimul (2011). Metode
PDPI (2006).Asma (Pedoman &
Penelitian Keperawatan dan Teknik
Penatalaksanaan di Indonesia),
Analisa Data. Edisi Pertama. Jakarta :
www.klikpdpi.com/
Salemba Medika
konsesnsus/asma/asma.html
http://endosama.com/2011/06 Asma
Potter P.A, Perry A.G. (2010). Fundamental
bronkial/html.10:14
Keperawatan, Edisi 7. Jakarta :
http://en.wikipedia.org/wiki/Epidemiology_of Salemba Medika
_asthma
Pollit, D.F & Beck, C.T (2004).Nursing
Ignatavicius, D. D & Workman, M. L Research : Principles and Methods,
(2006).Medical Surgical Nursing ; 7Th Edition, Lippincott William &
critical thingking for collaborative Wilkins. A Wolters Kluwer
care. Fifth edition, Volume 2. Company. Philadelpia
Westline Industrial Drive, St. Luois,
Pratiknya, A.W (2011). Dasar-dasar
Missouri : Elsevier Saunders
Metodologi Penelitian Kedokteran
Kolb, P (2009). Buteyko for Reversal of dan Kesehatan. Ed. 1.Jakarta :
Chronic Hyperventilation.Diakses RajawaliPers
dari http://knol.google.com/k/alex-
Price, S.A & Wilson, L.M
spence/buteyko.
(2006).Pathophysiology : clinical
Kozier.Buku Ajar Praktik Keperawatan Klinis concepts of disease process. 6 edition
Kozier Erb : Elsevier Science
Lemone, Burke, Bauldoff (2011). Medical Priyanto (2010).Pengaruh Deep Breathing
Surgical Nursing.Fifth Edition. Exercise Terhadap Fungsi Ventilasi
United States : Pearson Oksigenasi Paru Pada Klien Post
Ventilasi Mekanik. Diperoleh dari
Lewis, Sharon M, Heitkemper, Margaret, M
http://www.fkui.org
& Direksen, Shanon (2000). Medical
Surgical Nursing :assessment and Program Pascasarjana Universitas
management of clinical problem (5th Muhammadiyah Jakarta
Ed). St. Louis. CV. Mosby

58 Jurnal Pembangunan Nagari Volume 3 Nomor 1 Edisi Juni 2018 : 45 - 60


(2010).Pedoman Bimbingan Smeltzer, Suzanne C (2001). Buku Ajar
Tesis/Disertasi.Jakarta : UMJ Press Keperawatan medical-bedah Brunner
& Suddarth. Ed. 8.Jakarta : EGC
Rengganis, I (2004).Peranan Antihistamin
pada Inflamasi Alergi. Cermin Dunia Stalmatski A (1999). Freedom From Asthma
Kedokteran No. 142 :Buteyko’s Revolutionary Treatment.
London : Kyle Cathie Limited
(2013). Riset Kesehatan
Dasar.Badan Penelitian dan Sudoyo A.W, dkk (2006). Buku Ajar
Pengembangan Kesehatan: IlmuPenyakit Dalam.Jilid II Edisi
Kementerian Kesehatan RI IV.Jakarta : Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FIK UI
Rosleny M (2013). Psikologi Eksperimen.
Bandung : CV. Pustaka Setia Sugiyono (2010).Metode Penelitian
Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Ed
Rowlands, B (2006). Asma & Alargi.London :
10. Bandung : Alfabeta
A Quantum Book
Taniredja, T & Mustafidah, H.
Sabri, L &Hastono, S.P (2011).Statistik
(2012).Penelitian Kuantitatif :sebuah
Kesehatan, Edisi 6. Jakarta : Rajawali
pengantar. Bandung :Alfabeta, cv
Pers
VitaHealth (2006).Asma: Informasi Lengkap
Sastroasmoro, S & Ismael, S. (2011). Dasar-
untuk Penderita dan Keluarganya.
dasar Metodologi Penelitian Klinis.
Jakarta : PT. Gramedia Pustaka
Ed 4. Jakarta : CV. Sagung Seto
Utama
Sharon L, Lewis … [et.al] (2011). Medical
Wardoyo (2003).Revitalisasi Senam
Surgical Nursing : assessment and
Penyembuhan Medica. Yogjakarta :
management of clinical problems. 8Th
Spa Medica
Ed. Elsevier Mosby
_________ (2014).Bimbingan dan Teknik
Sherwood, Lauralee (2011). Fisiologi
Penulisan Tesis Program Pasca Sarjana
Manusia : dari sel ke sistem. Ed 6.
Keperawatan.Universitas Muhammadiyah
Jakarta : EGC
Jakarta

Pengaruh Tekhnik Pernafasan Buteyko Terhadap Fungsi Ventilasi Oksigenasi Paru -


Muhammad Arif1 dan Mariza Elvira2 59
60 Jurnal Pembangunan Nagari Volume 3 Nomor 1 Edisi Juni 2018 : 45 - 60

Anda mungkin juga menyukai