Sintesis Jurnal-Rafiuddin
Sintesis Jurnal-Rafiuddin
1. Dian Kartikasari, Salah satu penatalaksanaan asma 2019 LATIHAN PERNAPASAN Hasil penelitian terdapat perbedaan Jurnal Keperawatan
Ikhlas Muhammad yaitu latihan pernapasan diafragma DIAFRAGMA yang signifikan rerata selisih APE Indonesia, 2019, 22
Jenie, yang dapat meningkatkan fungsi paru MENINGKATKAN ARUS kelompok intervensi (mean (1)
Yanuar Primanda pasien asma. Tujuan penelitian untuk PUNCAK EKSPIRASI 126,43±22,05 L/menit) dan
menguji pengaruh latihan pernapasan (APE) DAN kelompok kontrol (mean
diafragma terhadap peningkatan Arus MENURUNKAN 52,14±56,45 L/menit) dengan p
Puncak Ekspirasi (APE) dan penurunan FREKUENSI 0,001, serta terdapat perbedaan
frekuensi kekambuhan pasien asma. KEKAMBUHAN PASIEN yang signifikan rerata selisih
ASMA frekuensi kekambuhan kelompok
intervensi (mean 1,29±0,61) dan
kelompok kontrol (mean 0,79±0,57)
dengan nilai p 0,038. Latihan
pernapasan diafragma menjadi
pertimbangan dalam
penatalaksanaan pasien asma
2. Made Virgo Community acquired pneumonia 2017 POLA PEMBERIAN Dapat disimpulkan bahwa terapi E-JURNAL
Baharirama, merupakan penyakit infeksi yang ANTIBIOTIKA UNTUK pilihan utama pada pasien MEDIKA,VOL 6 NO 3,
I Gusti Ayu Artini sangat sering ditemukan dan PASIEN COMMUNITY community acquired pneumonia
menyebabkan jumlah kematian yang ACQUIRED anak di Instalansi Rawat Inap Rumah
tinggi pada balita di negara PNEUMONIA ANAK DI Sakit Umum Daerah Kabupaten
berkembang khususnya di Indonesia. INSTALASI RAWAT Buleleng adalah cefotaxime.
INAP RSUD BULELENG
TAHUN 2013
3. Cornelia D.Y Proses hemodialisis juga sering 2019 DAMPAK FREKUENSI Hasil analisa Chi-Square Jurnal
Nekada, menimbulkan dampak kesakitan PERNAPASAN menunjukkan nilai p sebesar 0,020 Keperawatan
Mohamad Judha seperti terjadinya kram otot saat PREDIALISIS TERHADAP yang berarti terdapat hubungan Indonesia, Volume
intradialisis KRAM OTOT yang signifikan antara frekuensi 0 No.0
INTRADIALISIS DI RSUD napas predialisis terhadap kram
PANEMBAHAN otot intradialisis. Kram otot yang
SENOPATI BANTUL terjadi selama proses hemodialisis
dapat terjadi karena adanya stress
oksidatif selama intradialisis.
Observasi frekuensi pernapasan
dapat mengantisipasi adanya risiko
stres oksidatif yang mungkin akan
terjadi
4. Elza Febria Sari, Menegakkan diagnosis pneumonia 2016 FAKTOR – FAKTOR Dari 158 subjek, 106 didiagnosis Jurnal Penyakit
C. Martin pada pasien usia lanjut seringkali sulit YANG BERHUBUNGAN pneumonia sesuai kriteria baku Dalam Indonesia
Rumende, mengingat gejala dan tanda klinis DENGAN DIAGNOSIS emas. Pada model akhir regresi Vol. 3, No. 4
Kuntjoro Harimurti sering tidak lengkap dan manifestasi PNEUMONIA PADA logistik didapatkan tiga faktor yang
klinis yang tidak khas serta PASIEN USIA LANJUT berhubungan dengan diagnosis
pemeriksaan penunjang yang sulit pneumonia yaitu batuk, ronki dan
diinterpretasi. Hal ini mengkibatkan infiltrat dengan nilai p masing-
under ataupun over diagnosis dengan masing secara berturut-turut yaitu
konsekuensi meningkatnya morbiditas <0,0001; 0,02; dan 0,0001. Nilai AUC
dan mortalitas. Data faktorfaktor yang yang diperoleh dari metode ROC
berhubungan dengan diagnosis untuk mengetahui kemampuan CRP
pneumonia baik manifestasi khas dalam mendiagnosis pneumonia
ataupun tidak khas pada pasien usia adalah 0,57 (IK 95%; 0,47-0,66).
lanjut belum banyak tersedia. Simpulan. Faktor-faktor yang
berhubungan dengan diagnosis
pneumonia pada usia lanjut adalah
batuk, ronki dan infiltrat. Sementara
itu, c-reactive protein tidak memiliki
peran dalam memprediksi diagnosis
pneumonia pada pasien usia lanjut.
5. Nurul Husna Tuberkulosis (TB) paru merupakan 2018 Gambaran Faktor Didapatkan penderita TB paru Jurnal Kesehatan
Muchtar, penyakit infeksi paru menular yang Risiko Timbulnya dengan HIV negatif sebanyak 86,2 Andalas 2018; 7 (1)
Deddy Herman, masih menjadi masalah kesehatan di Tuberkulosis Paru pada %, tidak memiliki riwayat DM 87,7%,
Yulistini dunia terutama di negara Pasien yang memiliki status gizi kurang sebanyak
berkembang. Timbulnya penyakit Berkunjung ke Unit 66,2% dan berdasarkan riwayat
Tuberkulosis paru sangat dipengaruhi DOTS RSUP Dr. M. konsumsi alkohol 98,5% bukan
oleh berbagai faktor Djamil Padang Tahun kelompok berisiko, serta 60%
2015 merupakan former smoker (mantan
perokok). Sebagian besar penderita
TB Paru tidak memiliki riwayat HIV,
tidak memiliki faktor risiko DM dan
berdasarkan riwayat konsumsi
alkohol hampir semua pasien TB
paru bukan kelompok risiko. Namun
sebagian besar merupakan mantan
perokok dan memiliki status gizi
kurang.
6. Mar’atul Hasanah, TB-MDR terjadi karena kegagalan 2018 HUBUNGAN Dukungan keluarga tidak JURNAL
Makhfudli, pengobatan, putus pengobatan, atau DUKUNGAN KELUARGA berhubungan secara signifikan KESEHATAN Vol 11
Andri Setiya pengobatan yang tidak benar sehingga DENGAN EFIKASI DIRI terhadap Efikasi Diri dengan p-value No 2
Wahyudi terjadinya resistensi primer PENDERITA = 0,120 atau (p ≥ 0,05). Kesimpulan :
TUBERCULOSIS semua responden penderita TB-
MULTIDRUG MDR di Poli TB-MDR RSUD Ibnu Sina
RESISTANT (TB-MDR) Gresik memiliki dukungan keluarga
DI POLI TB-MDR RSUD yang positif dan Efikasi Diri tinggi.
IBNU SINA GRESIK Saran bagi peneliti selanjutnya agar
meneliti tentang hubungan antara
dukungan keluarga dengan Efikasi
Diri yang dapat meningkatkan
partisipasi dukungan keluarga.
7. Windy D. P. Pemeriksaan radiologi khususnya foto 2016 PROFIL HASIL Yang tersering ditemukan ialah Jurnal e-Clinic (eCl),
Masengi , toraks dapat menegakkan berbagai PEMERIKSAAN FOTO pasien laki-laki sebanyak 37 orang Volume 4, Nomor 2,
Elvie Loho, macam diagnosis penyakit paru, salah TORAKS PADA PASIEN (90,2%), kelompok usia >50 tahun
Vonny Tubagus satunya ialah pneumotoraks. PNEUMOTORAKS DI sebanyak 15 orang (36,6%), lokasi
Pneumotoraks adalah terdapatnya BAGIAN / SMF lesi hemitoraks deksra sebanyak 22
udara bebas didalam rongga pleura RADIOLOGI kasus (53,7%), serta etiologi
dengan penyebab yang sangat FK UNSRAT RSUP Prof. pneumotoraks spontan sekunder
beragam mulai dari idiopatik, infeksi, Dr. R. D. KANDOU sebanyak 18 kasus (43,9%).
trauma, maupun iatrogenik. MANADO PERIODE Simpulan: Pada penelitian ini
JANUARI 2015 – didapatkan pneumotoraks paling
AGUSTUS 2016 banyak pada laki-laki, kelompok usia
≥50 tahun, dengan pneumotoraks
spontan sekunder sebagai etiologi
tersering.
8. Nurul Dwi Astuti , Asma Bronkial adalah kelainan yang 2017 TERAPI SLOW DEEP Dari hasil analisis penelitian HIGEIA: JOURNAL OF
Mahalul Azam berupa inflamasi kronik saluran BREATHING (SDB) didapatkan bahwa ada perbedaan PUBLIC HEALTH
pernapasan yang menyebabkan TERHADAP TINGKAT bermakna antara selisih skor pretest RESEARCH AND
hiperaktivitas bronkus terhadap KONTROL ASMA dan posttest ACT (p=0,001), nilai DEVELOPMENT 1 (1)
berbagai rangsangan. Data tahun 2015 APE (p=0,004), variasi harian APE
BKPM Wilayah Semarang periode (p=0,005), efek samping obat
bulan Januari-Juli penderita asma (p=0,010) dan kunjungan ke UGD
sebanyak 299 orang. Upaya yang (p=0,038) antara kelompok
dilakukan dalam pengontrolan asma eksperimen dengan kelompok
selain pengendalian faktor pemicu kontrol. Kesimpulannya dari
adalah dengan cara pemberian terapi penelitian ini adalah pemberian
napas slow deep breathing sebagai terapi slow deep breathing efektif
terapi tambahan asma untuk peningkatan kontrol asma
pada penderita asma bronkial
persisten sedang.
9. Luhur Arifian, Pada penyakit asma, serangan 2018 PENGARUH Hasil penelitian menunjukkan uji Jurnal Kesehatan
Joko Kismanto umumnya datang pada malam hari, PEMBERIAN POSISI Wilcoxon dengan nilai p value 0,000 Kusuma Husada
tetapi dalam keadaan berat serangan SEMI FOWLER sehingga ada pengaruh pemberian
dapat terjadi setiap saat tidak TERHADAP posisi semi fowler terhadap
tergantung waktu. Inspirasi pendek RESPIRATION RATE respiration rate pada pasien asma
dan dangkal, mengakibatkan PADA PASIEN ASMA bronkial di Puskesmas Air Upas
penderita menjadi sianosis, wajahnya BRONKIAL DI Ketapang
pucat dan lemas, serta kulit banyak PUSKESMAS AIR UPAS
mengeluarkan keringat KETAPANG
10. Muhammad Arif, Pasien yang menderita asma terjadi 2018 Pengaruh Tekhnik Hasil penelitian ini menunjukkan ada Jurnal Pembangunan
Mariza Elvira bronchospasme dan bronchokontriksi Pernafasan Buteyko perbedaan bermakna fungsi Nagari Volume 3
yang mengakibatkan hiperventilasi Terhadap Fungsi ventilasi oksigenasi paru setelah Nomor 1
sehingga terjadi penurunan ventilasi Ventilasi Oksigenasi melakukan teknik pernapasan
dan oksigenasi.Intervensi untuk Paru Buteyko selama 6 minggu (p= 0.00,
mempertahankan fungsi ventilasi α= 0.05). Rekomendasi peneliti
oksigenasi paru salah satunya dengan adalah sebaiknya untuk
intervensi teknik pernapasan Buteyko meningkatkan fungsi ventilasi
oksigenasi paru dilakukan intervensi
teknik pernapasan Buteyko pada
pasien asma bronkial
Jurnal Keperawatan Indonesia, 2019, 22 (1), 53–64 © JKI 2019
DOI: 10.7454/jki.v22i1.691 pISSN 1410-4490; eISSN 2354-9203
Received July 2018; Accepted February 2019
1. School of Health Sciences of Muhammadiyah Pekajangan Pekalongan, Central Java 51172, Indonesia
2. Faculty of Medicine and Health Sciences Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Yogyakarta 55183, Indonesia
3. Nursing Master Program Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Yogyakarta 55183, Indonesia
*E-mail: dian.kartikasari1989@gmail.com
Abstrak
Salah satu penatalaksanaan asma yaitu latihan pernapasan diafragma yang dapat meningkatkan fungsi paru pasien asma.
Tujuan penelitian untuk menguji pengaruh latihan pernapasan diafragma terhadap peningkatan Arus Puncak Ekspirasi
(APE) dan penurunan frekuensi kekambuhan pasien asma. Penelitian true experiment pretest-posttest with control group
melibatkan 28 subjek penelitian secara random. Subjek dibagi menjadi kelompok intervensi dan kelompok kontrol
melalui randomisasi sejumlah 14 orang untuk masing-masing kelompok. Pengukuran APE menggunakan peak flow meter
dan frekuensi kekambuhan dicatat dengan lembar catatan observasi. Hasil penelitian terdapat perbedaan yang signifikan
rerata selisih APE kelompok intervensi (mean 126,43±22,05 L/menit) dan kelompok kontrol (mean 52,14±56,45 L/menit)
dengan p 0,001, serta terdapat perbedaan yang signifikan rerata selisih frekuensi kekambuhan kelompok intervensi (mean
1,29±0,61) dan kelompok kontrol (mean 0,79±0,57) dengan nilai p 0,038. Latihan pernapasan diafragma menjadi
pertimbangan dalam penatalaksanaan pasien asma.
Kata kunci: arus puncak ekspirasi, asma, frekuensi kekambuhan, latihan pernapasan diafragma
Abstract
Effect of Diaphragmatic Breathing Exercises on Peak Expiratory Flow Rate (PEFR) Enhancement and The Mild-
Moderate Asthma Patients’ Relapse Frequency Reduction. One of the management of asthma is diaphragmatic
breathing exercises that could improve lung function of asthma patients. The objective of the study was to examine the
effect of diaphragmatic breathing exercises on Peak Expiratory Flow Rate (PEFR) and decreased frequency of mild-
moderate asthma relapse on the patients. True experiment method pretest-posttest with control group was applied in this
study with involved 28 random research subject. Subjects were divided into intervention groups and control groups
through randomization of 14 people for each group. PEFR measurements using peak flow meter and relapse frequency
were recorded with an observation note sheet. There was a significant difference of difference PEFR mean between
intervention groups (mean 126.43±22.05) and control group (mean 52.14±56.45) with p 0.001. There was a significant
difference of difference mean frequency between intervention group (mean 1.29±0.61) and control group (mean
0.79±0.57) with p 0.038. Diaphragmatic breathing exercise is a consideration in the management of asthma patients.
Keywords: asthma, diaphragmatic breathing exercises, frequency of recurrence, peak expiratory flow rate
53
Kartikasari, et al., Latihan Pernapasan Diafragma Meningkatkan APE dan Menurunkan Frekuensi Kekambuhan Pasien Asma
JKI, Vol. 22, No. 1, Maret 2019, 53–64
penyakit asma melebihi angka nasional. Pada pas menjadi berkurang dan ventilasi mening-
2013, Yogyakarta masuk dalam urutan ke 3 dari kat. Peningkatan ventilasi menyebabkan pe-
18 provinsi yang mempunyai prevalensi pe- ningkatan perfusi sehingga tekanan intraalveoli
nyakit asma melebihi angka nasional (Kemenkes, meningkat dan pertukaran gas efektif. Hal ini
2014). mengakibatkan derajat keasaman (pH) menu-
run sehingga CO₂ dalam arteri menurun dan
Penyakit asma yang sering kambuh dapat ter- APE meningkat (Muttaqin, 2008). Selain dapat
jadi dari ringan sampai berat. Pada pasien asma, meningkatkan fungsi respirasi, latihan perna-
proses inspirasi terjadi ketika adanya kontraksi pasan dapat memelihara keseimbangan kadar
yang minimal dari otot pernapasan yang meng- Imunoglobulin E (IgE) pada bronkus serta me-
akibatkan diafragma terdorong ke atas sehingga nurunkan respon yang berlebihan dari jalan
membutuhkan energi yang tinggi untuk meng- napas (Widjanegara, Tirtayasa, & Pangkahila,
angkat rongga dada dan pengembangan paru 2015). Penatalaksanaan keperawatan pada pa-
menjadi minimal. Hal tersebut menyebabkan sien COPD bertujuan untuk meningkatkan ber-
oksigen (O₂) yang masuk ke paru-paru minimal. sihan jalan napas, meningkatkan koping serta
Pada proses ekspirasi, terjadi kontraksi otot menangani komplikasi (Suryantoro, Isworo, &
pernapasan yang minimal, sehingga diafragma Upoyo, 2017).
terdorong ke bawah dan karbondioksida (CO₂)
yang keluar dari paru-paru sedikit, akibatnya Penelitian yang dilakukan Fernandes, Cukier,
Arus Puncak Ekspirasi (APE) menurun. Selain dan Feltrim (2011) menyatakan bahwa latihan
itu, penyempitan bronkus menyebabkan fungsi pernapasan diafragma selama dua minggu da-
paru pada penderita asma terjadi penurunan pat meningkatkan pola pernapasan dan ventilasi
Force Expired Volume in one second (FEV₁), paru pada pasien COPD. Menurut Aini, Sitorus,
Forced Vital Capacity (FVC), serta rasio FEV₁ dan Budiharto (2008), bahwa latihan pernapas-
dan FVC (Rhoades, 2011 dalam Santoso, an diafragma mampu meningkatkan ventilasi
Harmayetty, & Bakar 2014). alveolar dan membantu mengeluarkan CO2
pasien PPOK. Widjanegara, et al. (2015) me-
Dampak dari serangan asma menyebabkan pen- nambahkan bahwa dengan melakukan latihan
derita tidak masuk sekolah bahkan kerja, akti- pernapasan diafragma sebanyak tiga kali dalam
vitas fisik menjadi terbatas, tidak bisa tidur, se- seminggu, selain dapat meningkatkan saturasi
hingga dirawat di rumah sakit. Pada beberapa oksigen, dapat menurunkan frekuensi kekam-
kasus, asma dapat mengakibatkan kematian buhan pada pasien asma.
(Agustiningsih, Kafi, & Djunaidi, 2007).
Petugas kesehatan Rumah Sakit Paru Respira
Tindakan non farmakologis yang dapat dilaku- Yogyakarta mengatakan jumlah Ners yang ada
kan pada pasien asma yaitu dengan berhenti di sana minimal dan pemeriksaan APE dilaku-
merokok, diet sehat, menghindari alergen, me- kan ketika kondisi pasien asma dalam keadaan
ngurangi aktifitas berat, menurunkan berat badan, kambuh. Selain itu, petugas kesehatan di sana
menghindari polusi, vaksinasi, mengurangi stres, mengatakan pernah ada klub asma, tetapi se-
menghindari makanan dan bahan kimia yang telah lokasi rumah sakit pindah klub asma ter-
menyebabkan alergi, serta menjaga kebugaran sebut sudah tidak aktif. Pada saat ini penata-
seperti physical activity dan breathing exercise laksanaan pasien asma di rumah sakit tersebut
(GINA, 2016). masih secara farmakologis berupa pemberian
obat-obatan seperti bronkhodilator dan obat as-
Latihan pernapasan diafragma merupakan te- ma lainnya sesuai dengan advice dokter. Terapi
rapi latihan pernapasan utama untuk pasien as- non farmakologis seperti latihan pernapasan
ma. Latihan pernapasan diafragma dapat meng- diafragma belum pernah diaplikasikan pada
akibatkan CO₂ keluar dari paru-paru, kerja na- pasien asma.
54
Kartikasari, et al., Latihan Pernapasan Diafragma Meningkatkan APE dan Menurunkan Frekuensi Kekambuhan Pasien Asma
JKI, Vol. 22, No. 1, Maret 2019, 53–64
Pangestuti, Murtaqib, dan Widayati (2015) kontrol di ukur APE pre test dan frekuensi
memaparkan bahwa latihan pernapasan diaf- kekambuhan. Kelompok intervensi diberikan
ragma mampu meningkatkan APE dan menu- obat-obatan sesuai advice dokter dan tambahan
runkan Respirasi Rate (RR), namun di pene- intervensi latihan pernapasan diafragma selama
litian ini belum memaparkan pengaruh latihan 15 menit, sedangkan kelompok kontrol hanya
pernapasan diafragma dengan frekuensi ke- diberikan obat-obatan sesuai advice dokter.
kambuhan.
Kelompok intervensi melakukan latihan per-
Metode napasan diafragma dengan cara mengatur posisi
terlentang yang nyaman dengan bahu rileks.
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif Tangan kiri diletakkan di tengah dada dan
menggunakan metode true eksperimen dengan tangan kanan diletakkan diperut (tepat di bawah
bentuk pretest-posttes with control group di iga), lalu hirup napas melalui hidung dan
mana pada kelompok pertama diberikan obat biarkan perut menonjol sebesar mungkin dan
asma dan tambahan intervensi latihan perna- rasakan pergerakan tangan kanan terdorong ke
pasan diafragma dan kelompok kedua adalah atas. Menghembuskan napas melalui bibir yang
kelompok kontrol yang diberikan obat asma. dirapatkan (dengan bibir dimonyongkan seperti
meniup lilin) sambil merasakan tangan kanan
Data yang diperoleh dari Rumah Sakit Paru menekan ke arah dalam dan atas abdomen. Ge-
Respira Yogyakarta, didapatkan jumlah pengun- rakan tersebut diulang selama 1 menit diikuti
jung pasien asma di tahun 2016 sebanyak 1.464 masa istirahat 2 menit dan mengulangi seba-
dengan peringkat kedua dari 10 jenis penyakit nyak 5 kali selama 15 menit. Latihan perna-
terbanyak di rumah sakit tersebut. Jumlah pa- pasan diafragma dilakukan 2 kali/hari di pagi
sien asma rawat inap di tahun 2016 sebanyak 53 setelah solat shubuh dan setelah sholat ashar
dan jumlah pasien asma rawat inap di bulan selama 2 minggu berturut-turut dengan penga-
Januari–Februari 2017 sebanyak 9. Jumlah pa- wasan motivator. Motivator ditunjuk dari kelu-
sien rawat jalan di tahun 2016 sebanyak 1.379 arga atau orang yang tinggal dalam satu rumah
dan jumlah pasien asma rawat jalan di bulan dengan pasien. Pada minggu ke-2 subjek pe-
Januari–Februari 2017 sebanyak 165. nelitian baik kelompok intervensi maupun ke-
lompok kontrol diukur kembali APE dan fre-
Populasi pada penelitian ini adalah semua pasi- kuensi kekambuhan.
en asma rawat jalan di Rumah Sakit Yogyakarta.
Sampel penelitian berjumlah 28 subjek pene- Program statistik yang digunakan peneliti ada-
litian yang dibagi menjadi dua kelompok, ke- lah SPSS 19.0. Analisis univariat data jenis
lompok intervensi dan kelompok kontrol. Kri- kelamin, riwayat keluarga asma, dan riwayat
teria inklusi pada penelitian ini adalah penderita merokok dilihat dari frekuensi dan persenta-
asma derajat ringan dan sedang, sedang men- senya, sedangkan data usia dan IMT kelompok
jalani terapi obat asma, Indeks Masa Tubuh intervensi dan kelompok kontrol dihitung nilai
(IMT) 18–24, tidak merokok, belum pernah mean, standar deviasi, nilai minimum dan mak-
melakukan latihan pernapasan selama 2 bulan simumnya. Analisis bivariat dengan Paired T-
terakhir, tidak sedang dalam serangan asma. test dilakukan untuk melihat perbedaan pening-
Kriteria ekslusi pada penelitian ini adalah wa- katan APE dan frekuensi kekambuhan sebelum
nita dalam keadaan hamil. dan sesudah intervensi. Mann-Whitney diguna-
kan untuk melihat perbedaan APE dan freku-
Pengukuran APE menggunakan Philips respi- ensi kekambuhan kelompok intervensi dan ke-
ronics peak flow meter dan frekuensi kekam- lompok kontrol. Delta peningkatan APE meru-
buhan dilihat menggunakan lembar catatan pakan selisih APE sebelum dan setelah di-
peneliti. Kelompok intervensi dan kelompok lakukan intervensi sedangkan delta penurunan
55
Kartikasari, et al., Latihan Pernapasan Diafragma Meningkatkan APE dan Menurunkan Frekuensi Kekambuhan Pasien Asma
JKI, Vol. 22, No. 1, Maret 2019, 53–64
frekuensi kekambuhan merupakan selisih fre- kedua kelompok dapat dibandingkan. Rerata
kuensi kekambuhan sebelum dan setelah dila- IMT kelompok intervensi didapatkan nilai
kukan intervensi. 21,50±1,35 kg/m² dan rerata IMT kelompok
kontrol didapatkan nilai 21,79±0,89 kg/m². Ha-
Hasil sil analisis didapatkan bahwa sebagian besar
subjek penelitian dengan jenis kelamin pe-
Pada Tabel 1 hasil analisis didapatkan rerata rempuan baik kelompok intervensi maupun
usia kelompok intervensi (46,00±7,98 tahun) kelompok kontrol dengan persentase kedua ke-
dan rerata usia kelompok kontrol (48,07±7,80 lompok sama yaitu 85,7% (12 orang). Sebagian
tahun). Nilai p yang didapatkan untuk usia an- besar subjek penelitian dengan riwayat mero-
tara kelompok intervensi dan kelompok kontrol kok baik kelompok intervensi maupun kelom-
yaitu 0,494 (p> 0,05), berarti tidak ada perbe- pok kontrol memiliki persentase yang sama ya-
daan bermakna (homogen) antara kelompok in- itu 85,7% (12 orang) untuk masing-masing ke-
tervensi dan kelompok kontrol yang berarti lompok.
Tabel 2. APE Pasien Asma pada Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol
56
Kartikasari, et al., Latihan Pernapasan Diafragma Meningkatkan APE dan Menurunkan Frekuensi Kekambuhan Pasien Asma
JKI, Vol. 22, No. 1, Maret 2019, 53–64
Tabel 3. Frekuensi Kekambuhan Pasien Asma pada Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol
Rerata nilai APE kelompok intervensi sebelum intervensi. Rerata nilai APE kelompok kontrol
dilakukan intervensi dapat disimpulkan terda- dapat disimpulkan terdapat rerata perbedaan ni-
pat rerata perbedaan nilai APE yang signifikan lai APE yang signifikan pada kelompok kontrol
pada kelompok intervensi sebelum dan sesudah sebelum dan sesudah intervensi (Lihat Tabel 2).
57
Kartikasari, et al., Latihan Pernapasan Diafragma Meningkatkan APE dan Menurunkan Frekuensi Kekambuhan Pasien Asma
JKI, Vol. 22, No. 1, Maret 2019, 53–64
Pada Tabel 3 rerata frekuensi kekambuhan ke- satu pasien dengan frekuensi kekambuhan kon-
lompok intervensi sebelum dilakukan interven- stan. Menurut wawancara dengan motivator
si dapat disimpulkan bahwa terdapat rerata per- kemungkinan hal tersebut disebabkan karena
bedaan frekuensi kekambuhan yang signifikan stres psikologis.
pada kelompok intervensi sebelum dan sesudah
intervensi. Rerata frekuensi kekambuhan ke- Pembahasan
lompok kontrol sebelum dilakukan intervensi
dapat disimpulkan bahwa terdapat rerata per- Pada penelitian ini, berdasarkan hasil analisis
bedaan frekuensi kekambuhan yang signifikan distribusi frekuensi dapat dilihat bahwa seba-
pada kelompok kontrol sebelum dan sesudah gian besar subjek penelitian berusia lebih dari
intervensi. 45 tahun. Menurut Guyton dan Hall (2007),
terjadi penurunan elastisitas alveoli, penebalan
Rerata nilai delta APE dapat disimpulkan bah- kelenjar bronchial, penurunan kapasitas paru,
wa nilai delta APE kelompok intervensi lebih dan peningkatan ruang rugi selama proses pe-
tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol nuaan. Pangestuti, et al. (2015) menyatakan
yang berarti terdapat rerata perbedaan nilai del- bahwa penurunan pada fungsi pernapasan yang
ta APE yang signifikan pada kelompok inter- ditinjau dari nilai Forced Expiratory Volume in
vensi dan kelompok kontrol (Lihat Tabel 4). one second w(FEV₁) memiliki hubungan yang
signifikan dengan tingkat usia. Sejak usia an-
Pada Tabel 5 rerata delta frekuensi kekambuh- tara 35 sampai 40 tahun, jumlah penurunan
an kelompok intervensi dapat disimpulkan bah- rata-rata FEV1 adalah 25–30 ml/tahun dan usia
wa delta frekuensi kekambuhan kelompok in- di atas 70 tahun mengalami jumlah penurunan
tervensi lebih tinggi daripada kelompok kontrol 60 ml/tahun.
yang berarti delta frekuensi kekambuhan pada
kelompok intervensi lebih berkurang diban- Pada penelitian ini, jumlah perempuan yang
dingkan dengan kelompok kontrol dan terdapat menderita asma di kelompok intervensi mau-
rerata perbedaan frekuensi kekambuhan yang pun kelompok kontrol lebih banyak daripada
signifikan pada kelompok intervensi dan ke- laki-laki. Ikawati (2016) menyatakan bahwa
lompok kontrol. kejadian asma lebih banyak pada perempuan
daripada laki-laki pada usia dewasa. Hal ini
Pada Tabel 6 menunjukkan kelompok interven- dikarenakan ukuran paru atau saluran napas
si terdapat 100% (14 pasien) mengalami pe- pada laki-laki lebih kecil daripada perempuan
ningkatan APE setelah diberikan intervensi se- pada saat anak-anak, tetapi menjadi lebih besar
dangkan pada kelompok kontrol terdapat 50% pada usia dewasa. Penelitian ini didukung oleh
(7 pasien) mengalami peningkatan dan 50% (7 Rujito et al. (2015) menyatakan bahwa laki-laki
pasien) mengalami nilai konstan APE setelah memiliki kapasitas inspirasi yang lebih besar
diberikan intervensi. dibandingkan dengan perempuan dikarenakan
kekuatan otot laki-laki lebih besar dibanding-
Pada kelompok intervensi terdapat 7,14% (1 kan dengan perempuan termasuk otot pernapas-
pasien) mengalami nilai konstan frekuensi ke- an.
kambuhan dan terdapat 92,86% (13 pasien)
mengalami penurunan frekuensi kekambuhan IMT pada subjek penelitian ini normal baik
setelah diberikan intervensi sedangkan pada pada kelompok intervensi maupun kelompok
kelompok kontrol terdapat 28,57 (4 pasien) kontrol. Peneliti tidak melakukan pengukuran
mengalami nilai konstan frekuensi kekambuh- IMT subjek penelitian sebelum menderita as-
an dan 71,43% (10 pasien) mengalami penu- ma, tetapi mengukur IMT subjek penelitian
runan frekuensi kekambuhan setelah diberikan setelah menderita asma. Beberapa penelitian
intervensi. Pada kelompok intervensi terdapat menunjukkan bahwa obesitas merupakan salah
58
Kartikasari, et al., Latihan Pernapasan Diafragma Meningkatkan APE dan Menurunkan Frekuensi Kekambuhan Pasien Asma
JKI, Vol. 22, No. 1, Maret 2019, 53–64
satu faktor risiko terhadap peningkatan derajat kuran klinis memperlihatkan penurunan sangat
keparahan asma. Ikawati (2016) menyatakan besar laju ekspirasi maksimum dan berkurang-
kelebihan berat badan dan obesitas meningkat- nya volume ekspirasi terukur (timed expiratory
kan risiko kejadian asma sampai 50%, baik volume) (Guyton & Hall, 2007).
pada laki-laki maupun perempuan. Suryantoro,
et al. (2017) mengatakan obesitas mengakibat- Pada penelitian ini subjek penelitian melakukan
kan kerja napas meningkat yang disebabkan latihan pernapasan diafragma dengan didam-
karena compliance dinding dada menurun dan pingi motivator yaitu keluarga yang tinggal di
terjadi penurunan kekuatan otot pernapasan. dalam satu rumah dengan subjek. Menurut
penelitian Sari, Harun, dan Nursiswati (2016)
Pada penelitian ini semua subjek penelitian menyatakan bahwa dukungan keluarga sangat
mempunyai riwayat keluarga asma dari orang memengaruhi perubahan individu. Pada pe-
tua. Ikawati (2016) menyatakan bahwa asma nelitian ini terjadi peningkatan APE pasien
memiliki komponen herediter. Akib (2016) asma ringan-sedang setelah melakukan latihan
menyatakan bahwa kelompok anak dengan pernapasan diafragma pada kelompok inter-
gejala mengi pada usia kurang dari 3 tahun, vensi.
yang menetap sampai usia 6 tahun, mempunyai
predisposisi ibu asma, dermatitis atopi, rinitis Muttaqin (2008) menjelaskan ketika pasien
alergi, dan peningkatan kadar lgE, dibanding- asma melakukan latihan pernapasan diafragma
kan dengan kelompok anak dengan mengi yang proses inspirasi terjadi kontraksi otot diafrag-
tidak menetap. ma, sehingga volume thoraks membesar. Hal
ini menyebabkan tekanan intrapleura menurun
Peningkatan Nilai APE dengan Latihan Per- dan paru mengembang, sehingga tekanan in-
napasan Diafragma. Proses inspirasi terjadi traalveoli menurun dan udara masuk ke dalam
ketika dada mengembang, paru-paru ikut me- paru. Proses ekspirasi dimulai dari relaksasi ot-
ngembang sehingga penurunan tekanan yang ot diafragma, sehingga volume thorak menge-
menyebabkan peningkatan ada volume paru cil. Hal ini menyebabkan tekanan intrapleura
dan udara masuk ke dalam paru-paru. Proses meningkat dan volume paru mengecil, sehingga
respirasi terjadi ketika dada mengecil, paru- tekanan intraalveoli meningkat dan udara ber-
paru ikut mengecil, sehingga terjadi pening- gerak ke luar paru.
katan tekanan, menyebabkan volume paru me-
ngecil dan udara keluar dari paru-paru (Guyton Hasil penelitian oleh Pangestuti, et al. (2015)
& Hall, 2007). menunjukkan peningkatan APE dengan latihan
pernapasan diafragma pada minggu ke dua.
Pada penelitian ini semua pasien asma ringan- Menurut penelitian tersebut, bahwa pernapasan
sedang terjadi penurunan APE baik kelompok dengan menggunakan otot diafragma lebih baik
intervensi maupun kelompok kontrol. Pada dibandingkan pernapasan dengan mengguna-
pasien asma, diameter bronkiolus lebih banyak kan otot interkosta. Latihan pernapasan diafrag-
berkurang selama ekspirasi daripada selama ma mampu meningkatkan otot ekspirasi se-
inspirasi, karena bronkiolus kolaps selama hingga mampu mengeluarkan udara yang ter-
upaya ekspirasi akibat penekanan pada bagian perangkap di dalam paru-paru. Latihan perna-
luar bronkiolus. Paru-paru pada pasien asma pasan diafragma dapat melatih otot-otot perna-
mengalami sumbatan sebagian yang mengaki- pasan yaitu otot diafragma. Hal ini sesuai de-
batkan sumbatan berikutnya akibat dari tekanan ngan penelitian yang dilakukan oleh Mayuni,
eksternal yang menimbulkan obstruksi berat Kamayani, dan Puspita (2010) dimana terjadi
terutama selama ekspirasi. Pasien dapat me- peningkatan kapasitas vital paru (KVP) setelah
lakukan inspirasi dengan baik dan adekuat te- dilakukan latihan pernapasan diafragma selama
tapi sukar melakukan ekspirasi. Pada pengu- dua minggu.
59
Kartikasari, et al., Latihan Pernapasan Diafragma Meningkatkan APE dan Menurunkan Frekuensi Kekambuhan Pasien Asma
JKI, Vol. 22, No. 1, Maret 2019, 53–64
Otot diafragma akan memipih dan mendatar farmakologis serta tambahan latihan pernapas-
pada saat inspirasi sehingga memberikan ruang an diafragma akan lebih terlihat peningkatan
yang lebih luas untuk pengembangan paru. fungsi paru dibandingkan dengan yang diberi-
Udara masuk ke paru-paru dan terjadi pengem- kan terapi farmakologis saja.
bangan perut karena penggunaan otot diafrag-
ma ketika melakukan latihan pernapasan diaf- Perubahan Frekuensi Kekambuhan dengan
ragma. Otot abdomen membantu udara keluar Latihan Pernapasan Diafragma. Gejala asma
saat ekspirasi dan memberi kekuatan yang lebih adalah sesak napas, wheezing, dan batuk. Hal
besar untuk mengosongkan paru, sehingga ke- ini dikarenakan adanya penyempitan saluran
kuatan ekspirasi bertambah dan APE mening- napas yang disebabkan oleh edema bronchus,
kat setelah latihan. Aliran ekspirasi maksimum kontraksi otot dan hipersekresi mukus yang
jauh lebih besar ketika paru terisi volume udara bersifat lengket (Ikawati, 2016). Istilah kambuh
yang besar daripada ketika keadaan paru ham- atau relapse atau sering juga disebut rechute
pir kosong (Santoso, et al., 2014; Pangestuti, et atau recidive, dalam istilah kedokteran diarti-
al., 2015). kan bangkitnya kembali penyakit yang sudah
mulai sembuh (Rab, 2010). Dapat disimpulkan
Pada penelitian ini, terjadi peningkatan APE bahwa kekambuhan pada penderita asma ada-
pasien asma ringan-sedang setelah intervensi lah munculnya kembali atau serangan kembali
pada kelompok kontrol. Asma merupakan pe- keluhan peningkatan responsivitas saluran na-
nyakit kronis, sehingga membutuhkan peng- fas yang luas sehingga menyebabkan gangguan
obatan yang perlu dilakukan secara teratur. aliran udara pernafasan yang menimbulkan ge-
Salah satu obat asma yaitu golongan pelega jala seperti sesak nafas, wheezing dan kesulitan
(reliever) yang digunakan untuk meredakan bernafas terutama pada saat ekspirasi.
gejala asma. golongan obat tersebut direkomen-
dasikan untuk mencegah bronko-konstriksi. Pada penelitian ini semua pasien asma ringan-
Obat yang digunakan adalah inhalasi kortiko- sedang baik kelompok intervensi maupun ke-
steroid, agonis β2 adrenergik, antikolinergik, lompok kontrol terjadi kekambuhan sebelum
anti IgE (Ikawati, 2016). dilakukan intervensi. Novarin, Murtaqib, dan
Widayati (2015) menyatakan bahwa adanya
Juhariyah, Djajalaksana, Sartoro, dan Ridwan keterbatasan aliran udara yang keluar dari paru-
(2012) menyatakan tujuan terapi asma adalah paru pada pasien asma akibat dari perubahan
mengntrol gejala dan mencegah kematian ka- struktur saluran pernapasan dalam jangka wak-
rena asma. Hal ini sesuai dengan penelitian tu yang lama, sehingga terjadi obstruksi pada
yang dilakukan oleh Idrus, et al. (2012) yang jalan napas.
menyatakan bahwa ada perbaikan APE pada
pasien asma setelah diberikan terapi farmako- Frekuensi kekambuhan pasien asma menurun
logis. setelah melakukan latihan pernapasan diafrag-
ma pada kelompok intervensi. Hal ini sesuai
Pada penelitian ini terjadi peningkatan APE dengan penelitian Maulani (2014) yang mem-
yang signifikan pada kelompok intervensi di- perlihatkan bahwa adanya penurunan frekuensi
bandingkan kelompok kontrol. Perry dan Potter kekambuhan pada pasien asma setelah dilaku-
(2005) memaparkan bahwa latihan pernapasan kan latihan pernapasan. Huyton (2006) dalam
dilakukan untuk meningkatkan ventilasi dan penelitian yang dilakukan oleh Melastuti, Erna,
oksigenasi. Latihan pernapasan terdiri dari la- dan Husna (2015) menyatakan bahwa pasien
tihan dan praktik pernapasan yang dirancang asma yang dilakukan latihan pernapasan di-
dan dijalankan untuk mencapai ventilasi yang afragma menghasilkan perbedaan yang signi-
lebih terkontrol dan efisien, serta mengurangi fikan pada pengontrolan asma. Latihan perna-
kerja napas. Pasien asma yang diberikan terapi pasan diafragma diharapkan mampu mengu-
60
Kartikasari, et al., Latihan Pernapasan Diafragma Meningkatkan APE dan Menurunkan Frekuensi Kekambuhan Pasien Asma
JKI, Vol. 22, No. 1, Maret 2019, 53–64
rangi penyempitan jalan napas sehingga ven- Hasil analisis pada perubahan APE dan fre-
tilasi dan perfusi di dalam paru akan mening- kuensi kekambuhan pasien asma ringan-sedang
kat serta kondisi yang mengakibatkan tubuh pada kelompok intervensi dan kelompok kon-
menyimpan CO₂ berlebih dalam tubuh dapat trol didapatkan hasil satu pasien mengalami
berkurang. nilai konstan pada frekuensi kekambuhan. Ber-
dasarkan hasil wawancara pada motivator, me-
Pada penelitian ini, terjadi penurunan frekuensi nyatakan kemungkinan hal tersebut dikarena-
kekambuhan pasien asma ringan-sedang sete- kan stres psikologis. Perlu kita ketahui bahwa
lah intervensi pada kelompok kontrol. Hal ini salah satu penyebab dari asma adalah stres.
sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Lutfiyati, Ikawati, dan Wiedyaningsih (2014) Penelitian yang dilakukan oleh Wahyu, Pepin,
yang menyatakan bahwa terdapat peningkatan dan Hexawan (2015) didapatkan bahwa stres
fungsi paru pada pasien asma yang diberikan dapat berperan pada pasien asma. Hal ini se-
terapi farmakologis yang ditunjukkan dengan jalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
penurunan frekuensi serangan. Idrus, Yunus, Lestari dan Hartini (2014), didapatkan bahwa
dan Andarini. (2012) menambahkan terjadinya terdapat hubungan yang signifikan antara stres
penurunan frekuensi pernapasan dan sesak na- dengan frekuensi kekambuhan asma bronkial.
pas pada pasien asma yang diberikan terapi Ukuran jalan napas akan berubah ketika ter-
farmakologis. dapat peran dari saraf vagus aferen. Selain itu,
endorphin juga dapat berperan dalam hal ini
Pada penelitian ini terjadi penurunan frekuensi (Wahyu, et al. 2015).
kekambuhan yang signifikan pasien asma ri-
ngan-sedang pada kelompok intervensi diban- Menurut Guyton dan Hall (2007), yang me-
dingkan kelompok kontrol. Hasil penelitian maparkan bahwa stres mengakibatkan rang-
yang dilakukan oleh Maulani (2014) didapat- sangan menuju ke hipofisis yang selanjutnya
kan latihan pernapasan dapat meningkatkan disalurkan ke ginjal untuk melepaskan hormon
PEF dan menurunkan frekuensi kekambuhan. adrenalin dan kortisol. Hal ini mengakibatkan
Moreira, et al. (2008) menambahkan latihan pelepasan histamin. Tumigolung, Kumaat, dan
fisik dapat mengurangi kesukaran bernapas dan Onibala (2016) menambahkan adanya pelepas-
gejala asma lainnya dengan menguatkan otot- an histamin pada pasien asma yang mengalami
otot pernapasan dan mengurangi ventilasi pada kecemasan dapat menyebabkan sakit tenggo-
saat latihan. rokan dan sesak napas sehingga memicu ter-
jadinya serangan asma.
Tortora dan Derrickson (2012) menyatakan
bahwa penggunaan otot dapat merubah serabut Dengan adanya penelitian ini, khususnya untuk
otot sehingga dapat menyebabkan peningkatan pelayanan keperawatan, maka aspek pernapas-
dia-meter, jumlah mitokondria, suplai darah, an seperti APE menjadi hal yang perlu diper-
dan kekuatan otot sistem pernapasan. Keter- timbangkan untuk dilakukan pengkajian oleh
kaitan antara sistem musculoskeletal dengan perawatan. Kecilnya sampel menjadi keterba-
pernapasan menyebabkan aliran udara yang tasan dalam penelitian ini.
masuk dan keluar paru menjadi efektif, mele-
barkan serabut otot polos pada saluran perna- Kesimpulan
pasan yang mengalami penyempitan sehingga
mem-bantu membersihkan saluran pernapasan Terdapat peningkatan APE lebih tinggi pada
dari sekret karena dengan latihan pernapasan kelompok pasien asma ringan-sedang yang men-
akan menerima suplai oksigen dan nutrisi yang dapatkan latihan pernapasan diafragma diban-
cukup. dingkan dengan kelompok pasien asma ringan-
61
Kartikasari, et al., Latihan Pernapasan Diafragma Meningkatkan APE dan Menurunkan Frekuensi Kekambuhan Pasien Asma
JKI, Vol. 22, No. 1, Maret 2019, 53–64
sedang yang tidak mendapatkan latihan per- Global Initiative for Asthma (GINA). (2016).
napasan diafragma. Selain itu, terdapat penu- Global strategy for asthma management and
runan frekuensi kekambuhan lebih tinggi pa- prevention. Retrieved from https://ginasthma.
da kelompok pasien asma ringan-sedang yang org/wp-content/uploads/2016/04/GINA-2016-
main-report_tracked.pdf
mendapatkan latihan pernapasan diafragma di-
bandingkan dengan kelompok pasien asma ri- Guyton, A.C., Hall, J.E., (2007). Buku ajar fisiologi
ngan-sedang yang tidak mendapatkan latihan kedokteran (Edisi 22). Jakarta: EGC.
pernapasan diafragma. Diharapkan pada pe-
neliti selanjutnya dapat melakukan penelitian Idrus, I.S., Yunus, F., Andarini, S.L., & Setiawati,
latihan pernapasan diafragma pada pasien asma A. (2012). Perbandingan efek salbutamol
dibandingkan intervensi keperawatan lain de- dengan salbutamol yang diencerkan dengan
ngan mengambil jumlah sampel yang lebih NaCl 0,9% pada pasien dewasa dengan asma
besar (YS, TN, DW). akut sedang di RS Persahabatan. Jurnal
Respirologi Indonesia, 32 (3), 167–177.
Akib, A.P. (2016). Asma pada anak. Sari Pediatri, Lestari, N.F., & Hartini, N. (2014). Hubungan
4 (2), 78–82. http://dx.doi.org/10.14238/sp4.2. antara tingkat stres dengan frekuensi kekam-
2002.78-82. buhan pada wanita penderita asma usia dewasa
awal yang telah menikah. Jurnal Psikologi
Atmoko, W., Faisal, H.K.P., Bobian, E.T., Klinis dan Kesehatan Mental, 2 (1), 7–15.
Adisworo, M.W., & Yunus, F. (2011).
Prevalens asma tidak terkontrol dan faktor- Lutfiyati, H., Ikawati, Z., & Wiedyaningsih, C.
faktor yang berhubungan dengan tingkat (2014). Evaluasi terapi oral terhadap hasil terapi
kontrol asma di poliklinik asma rumah sakit pasien asma. Jurnal Manajemen dan Pelayanan
persahabatan, jakarta. Jurnal Respirologi Farmasi, 4 (3), 193–199.
Indonesia, 31(2), 53-60.
Maulani, M. (2014). Latihan sepeda statis
Fernandes, M., Cukier, A., & Feltrim, M. I. Z. meningkatkan peak expiratory flow (PEF) dan
(2011). Efficacy of diaphragmatic breathing in mengurangi frekuensi kekambuhan pada
patients with chronic obstructive pulmonary penderita asma. IJNP (Indonesian Journal of
disease. Chronic Respiratory Disease, 8 (4), Nursing Practices), 1 (1), 55–61.
237–244. https://doi.org/10.1177/14799723114
24296.
62
Kartikasari, et al., Latihan Pernapasan Diafragma Meningkatkan APE dan Menurunkan Frekuensi Kekambuhan Pasien Asma
JKI, Vol. 22, No. 1, Maret 2019, 53–64
Mayuni, A.A.I.D., Kamayani, M.O.A., & Puspita, Rujito, L., Ristianingrum, I., & Rahmawati, I.
L.M. (2010). Pengaruh diaphragmatic breathing (2015). Hubungan antara indeks massa tubuh
exercise terhadap kapasitas vital paru pada (IMT) dengan tes fungsi paru. Mandala of
pasien asma di wilayah kerja Puskesmas III Health, 4(2), 105–112.
Denpasar Utara. COPING (Community of
Publishing in Nursing) Ners Journal, 3 (3), 31– Sahat, C.S., Irawaty, D., & Hastono, S.P. (2011).
36. Peningkatan kekuatan otot pernapasan dan
fungsi paru melalui senam asma pada pasien
Melastuti, E., & Husna, L. (2015). Efektivitas asma. Jurnal Keperawatan Indonesia, 14 (2),
teknik pernafasan buteyko terhadap 101–106. https://doi.org/10.7454/jki.v14i2.316.
pengontrolan asma di balai kesehatan paru
masyarakat semarang. Nurscope: Jurnal Santoso, F.M., Harmayetty, H., & Bakar, A. (2014).
Penelitian dan Pemikiran Ilmiah Keperawatan, Perbandingan latihan napas buteyko dan upper
1 (2), 1–7. http://dx.doi.org/10.30659/nurscope. body exercise terhadap arus puncak ekspirasi
1.2.1-7. pada pasien dengan asma bronkial. Critical,
Medical, & Surgical Nursing Journal, 2 (2),
Moreira, A., Delgado, L., Haahtela, T., Fonseca, J., 91–98.
Moreira, P., Lopes, C., ... & Castel-Branco, M.
G. (2008). Physical training does not increase Sari, C.W.M., Haroen, H., & Nursiswati, N. (2016).
allergic inflammation in asthmatic children. Pengaruh program edukasi perawatan kaki
European respiratory journal, 32 (6), 1570– berbasis keluarga terhadap perilaku perawatan
1575. http://doi.org/10.1183/09031936.001717 kaki pada pasien diabetes melitus tipe 2. Jurnal
07. Keperawatan Padjadjaran, 4 (3), 305–314.
https://doi.org 10.24198/jkp.v4i3.293/
Muttaqin, A. (2008). Buku ajar asuhan
keperawatan klien dengan gangguan sistem Suryantoro, E., Isworo, A., & Upoyo, A. S. (2017).
pernapasan. Jakarta: Salemba Medika. Perbedaan efektivitas pursed lips breathing
dengan six minutes walk test terhadap forced
Novarin, C., Murtaqib, M., & Widayati, N. (2015). expiratory. Jurnal Keperawatan Padjadjaran,
Pengaruh progressive muscle relaxation 5(2). https://doi.org/10.24198/jkp.v5i2.448
terhadap aliran puncak ekspirasi klien dengan
asma bronkial di Poli Spesialis Paru B Rumah Tumigolung, G.T., Kumaat, L., & Onibala, F.
Sakit Paru Kabupaten Jember. Pustaka (2016). Hubungan tingkat kecemasan dengan
Kesehatan, 3 (2), 311–318. serangan asma pada penderita asma di
Kelurahan Mahakeret Barat dan Mahakeret
Pangestuti, S.D., Murtaqib, M., & Widayati, N. Timur Kota Manado. Jurnal Keperawatan, 4
(2015). Pengaruh diaphragmatic breathing (2), 1–7.
exercise terhadap fungsi pernapasan (RR dan
APE) pada lansia di UPT PSLU Kabupaten Tortora, G.J., Derrickson, B. (2012). Principles of
Jember (The Effect of Diaphragmatic Breathing anatomy & physiology (13th Ed.). United States
Exercise on Respiration Function (RR and of America: John Wiley & Sons, Inc.
PEFR) in Elderly at UPT PSLU Jember
Regency). Pustaka Kesehatan, 3 (1), 74–81. Wahyu, C., Pepin, N., & Hexawan, T. (2015).
Analisa faktor-faktor pencetus derajat serangan
Potter, P.A, & Perry, A.G. (2005). Buku ajar asma pada penderita asma di Puskesmas Perak
fundamental keperawatan: Konsep, proses, dan Kabupaten Jombang Tahun 2013. Jurnal
praktik (Edisi 4, Volume 2). (Alih Bahasa: R. Metabolisme, 2 (3). Retrieved from
Komalasari, dkk.). Jakarta: Penerbit EGC. http://ejurnal.stikespemkabjombang.ac.id/inde
x.php/Juli-2013/article/view/33/63.
Rab, T. (2010). Ilmu penyakit paru. Jakarta: CV
Trans Info Media.
63
Kartikasari, et al., Latihan Pernapasan Diafragma Meningkatkan APE dan Menurunkan Frekuensi Kekambuhan Pasien Asma
JKI, Vol. 22, No. 1, Maret 2019, 53–64
64
ISSN:2303-1395 E-JURNAL MEDIKA,VOL 6 NO 3,MARET 2017
POLA PEMBERIAN ANTIBIOTIKA UNTUK PASIEN COMMUNITY ACQUIRED
PNEUMONIA ANAK DI INSTALASI RAWAT INAP RSUD BULELENG TAHUN 2013
ABSTRAK
Community acquired pneumonia merupakan penyakit infeksi yang sangat sering ditemukan dan
menyebabkan jumlah kematian yang tinggi pada balita di negara berkembang khususnya di Indonesia.
Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pola pemberian antibiotika untuk pasien
community acquired pneumonia anak di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten
Buleleng tahun 2013. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif observasional dengan pendekatan
cross-sectional. Subjek penelitian adalah semua pasien community acquired pneumonia anak bulan
Juni sampai September 2013 di Instalansi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten
Buleleng yang dipilih dengan menggunakan metode total sampling kemudian dianalisis secara
statistik deskriptif. Dari 77 sampel yang didapatkan, golongan antibiotika yang diberikan adalah
golongan cephalosporin generasi ketiga yaitu Cefotaxime intravena (96,1%) dan Ceftriaxone
intravena (3,9%). Dapat disimpulkan bahwa terapi pilihan utama pada pasien community acquired
pneumonia anak di Instalansi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Buleleng adalah
cefotaxime.
ABSTRACT
Community acquired pneumonia is an infectious disease that very common and cause high
number of deaths among children under five years old in developing countries, especially in
Indonesia. Therefore, this study was conducted to determine the pattern of antibiotics treatment for
patients with community acquired pneumonia in children at Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum
Daerah Kabupaten Buleleng in 2013. The design of this study is a descriptive observational study
with cross-sectional approach. The subjects are all children patients with community acquired
pneumonia from June to September 2013 at Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah
Kabupaten Buleleng which selected by total sampling method and analyzed by descriptive statistics.
From 77 samples were obtained, the class of antibiotics that are given are third generations of
cephalosporin, such as intravenous Cefotaxime (96.1%) and intravenous Ceftriaxone (3.9%). It can be
concluded that the treatment of choice for community acquired pneumonia patients in children at
Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Buleleng in 2013 is cefotaxime.
2 http://ojs.unud.ac.id/index.php/eum
ISSN:2303-1395 E-JURNAL MEDIKA,VOL 6 NO 3,MARET 2017
Preschoolers 12 (92,3%) 1 (7,7%) Society) bahwa untuk kasus pneumonia pada anak
Middle childhood 1 (100%) 0 (0%) lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan
Teenagers 1 (100%) 0 (0%) perempuan. Namun mekanisme mengapa pneumonia
lebih banyak diderita laki-laki belum diketahui.7
Berdasarkan usia, jumlah pasien terbanyak
Tabel 4. Pola Pemberian Antibiotika yaitu berada pada kelompok usia 0-1 tahun (Infants).
Berdasarkan Derajat Pneumonia Data ini juga serupa dengan penelitian Suharjono dkk.
Derajat Pneumonia Pemberian Antibiotika yang menyebutkan insiden pneumonia tertinggi terjadi
Cefotaxime Ceftriaxone pada rentang usia 0-1 tahun (infant).7 Pada anak
Ringan sampai berat 52 (94,5%) 3 (5,5%) kelompok umur 0 sampai 1 tahun masih memiliki
Sangat berat 22(100%) 0 (0%) imunitas pasif yang berasal dari ibunya. Sehingga
anak rentan terkena pneumonia akibat daya tahan
Dalam tabel 3 didapatkan bahwa cefotaxime tubuh yang belum berkembang dengan sempurna.8
merupakan antibiotika yang digunakan sebagai pilihan Berdasarkan tempat tinggal, pasien yang paling
utama dari berbagai golongan usia. Hampir seluruh banyak merupakan pasien yang berasal dari
infant dan preschoolers mendapat cefotaxime yaitu kecamatan Buleleng yang berjumlah 19 pasien
sebanyak 33 pasien (94,3%) dan 12 pasien (92,3%). (24,7%). Kemudian diikuti jumlah pasien yang
Sedangkan untuk pasien toddlers, middle childhood, berasal dari kecamatan Sukasada dengan 18 pasien
dan teenagers seluruhnya mendapat cefotaxime. (23, 4%). Letak RSUD Buleleng sendiri berada di
Dalam tabel 4 didapatkan bahwa berdasarkan kecamatan Buleleng. Hal tersebut dapat menjadi
derajat pneumonia, hampir seluruh pasien dengan faktor kenapa di kecamatan Buleleng jumlah
pneumonia ringan sampai berat mendapat antibiotika penderita pneumonia lebih besar dari kecamatan yang
cefotaxime yaitu sebanyak 52 pasien (94,5%). lainnya. Ini berkaitan dengan akses atau jarak tempat
Sedangkan pasien dengan pneumonia ringan sampai tinggal pasian dengan Rumah Sakit dimana penelitian
berat yang mendapat ceftriaxone hanya sebanyak 3 ini dilakukan. Namun semua data tersebut tidak dicari
pasien (5,5%). Pasien dengan pneumonia sangat berat sehingga ini menjadi kelemahan dalam penelitian ini.
seluruhnya mendapat cefotaxime yaitu sebanyak 22 Walaupun deminkian, kecamatan Buleleng dan juga
pasien. Sukasada haruslah menjadi perhatian lebih dalam
Dalam tabel 5 didapatkan bahwa lama rawat penanggulangan kasus pneumonia terutama yang
pada pasien yang mendapat antibiotika Cefotaxime terjadi pada anak sehingga angka mortalitas dan
tidaklah jauh berbeda yaitu sebanyak 38 pasien morbiditas dapat diturunkan.
(51,4%) dirawat kurang atau sama dengan 5 hari dan Berdasarkan derajat pneumonia, sebagian
sebanyak 36 pasien (48,6%) dirawat lebih dari 5 hari. besar didapatkan mengalami pneumonia ringan
Pasien yang mendapat ceftriaxone lebih banyak sampai berat yaitu sebanyak 55 pasien (71.4%). Anak
dirawat lebih dari 5 hari yaitu sebanyak 2 pasien yang menderita pneumonia ringan tidak perlu dirawat
(66,7%). Jumlah sampel yang diberikan ceftriaxone inap, sedangkan untuk anak dengan pneumonia berat
dalam penelitian ini sangat kecil yaitu sebanyak 3 dan sangat berat harus di rawat inap di rumah sakit.9
sampel sehingga diperlukan sampel yang lebih banyak Namun masih ditemukan pneumonia ringan yang
agar mendapatkan hasil yang lebih bermakna. dirawat inap di rumah sakit. Ini harus menjadi evalusi
Dalam penelitian ini mendapatkan bahwa bagi tenaga kesehatan untuk meningkatkan kualitas
pasien anak yang dirawat dari bulan Juni 2013 sampai pelayanan yang terbaik bagi pasien. Penggolongan
September 2013 di RSUD Buleleng tidak ada yang derajat pneumonia dalam penelitian ini sangat
meninggal murni akibat Community Acquired bergantung pada kelengkapan pencatatan rekam medis
Pneumonia. oleh tenaga kesehatan. Ini menjadi kelemahan dalam
penelitian ini karena jika ada pencatatan yang tidak
PEMBAHASAN lengkap maka akan mempengaruhi hasil penelitian.
Penelitian ini melibatkan sampel sebanyak 77 Berdasarkan lama rawat didapatkan hasil yang
pasien yang diambil dari data sekunder berupa rekam tidaklah jauh berbeda pada pasien yang dirawat
medis pasien community acquired pneumonia Anak di kurang atau sama dengan lima hari (50.6%) dan yang
Instalasi Rawat Inap RSUD Buleleng. lebih dari lima hari (49.4%). Hal tersebut tidak sejalan
Didapatkan bahwa jumlah pasien laki-laki dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh suharjono
lebih banyak dari pasien perempuan. Hal ini serupa dkk., 2009 yang mendapatkan bahwa lama rawat
dengan penelitian yang dilakukan oleh Suharjono dkk. pasien pneumonia yang mendapatkan golongan
Tabel 5. Lama Rawat Berdasarkan Pemberian antibiotika sefalosporin generasi ketiga, penisilin dan
Antibiotika gentamisin dimana paling banyak menggunakan
Pemberian Lama Rawat sefalosporin generasi ketiga baik kombinasi maupun
Antibiotika < 5 hari > 5 hari tidak didapatkan hasil bahwa lama riwat paling
Cefotaxime 38 (51,4%) 36 (48,6%) banyak selama 2 sampai 7 hari.7 Hal tersebut dapat
Ceftriaxone 1 (33,3%) 2 (66,7%) diakibatkan modalitas penanganan pneumonia anak di
RSUD Buleleng hanya menggunakan cefotaxime
untuk menangani semua kasus pneumonia. Sehingga
dan data epidemiologi dari BTS (British Thoracic
perlu dipertimbangkan pemberian antibiotika yang
3 http://ojs.unud.ac.id/index.php/eum
ISSN:2303-1395 E-JURNAL MEDIKA,VOL 6 NO 3,MARET 2017
lebih sensitif atau pemberian secara kombinasi serta Pemberian antibiotika secara parenteral hanya boleh
perlu dilakukan biakan kuman dan sensitivitas tes diberikan kepada anak-anak yang mengalami sakit
untuk penanganan yang lebih efektif terhadap parah dan dengan gangguan gastrointestinal (muntah
berbagai derajat pneumonia. WHO sendiri dan diare).13 Kemudahan pemberian antibiotika lewat
merekomendasikan bahwa pasien anak dengan parenteral melalui selang infus mungkin menjadi
pneumonia ringan dirawat jalan dan diberi antibiotika pertimbangan pemberian karena pasien anak cendrung
oral selama 3 hari. Untuk kasus pneumonia berat menolak jika diberikan lewat oral. Pada anak yang
diberikan antibiotika intravena, bila dalam 72 jam menerima terapi intravena, obat oral harus
pertama anak memberi respon yang baik maka dipertimbangkan ketika perbaikan klinis telah terjadi
berikan selama 5 hari. Selanjutnya terapi dilanjutkan dan anak dapat mentoleransi asupan oral.13
di rumah atau di rumah sakit dengan antibiotika oral Cefotaxime digunakan sebagai modalitas
untuk 5 hari berikutnya.9 utama dalam menanganai pneumonia untuk semua
Pola pemberian antibiotika pada pasien golongan usia di RSUD Buleleng. Hal ini berbeda
community acquired pneumonia anak pada penelitian dengan yang direkomendasikan WHO yang lebih
ini dibagi menjadi beberapa kategori yakni jenis memilih cotrimoxazole, amoxicillin atau ampicillin
antibiotika, frekuensi pemberian dan rute pemberian. sebagai pilihan pertama.9 Menurut Ikatan Dokter
Penanganan kasus pneumonia pada anak di RSUD Anak Indonesia (IDAI) pilihan pertama untuk usia
Buleleng terutama dalam pemilihan antibiotika, hanya dibawah lima tahun adalah amoxicillin dan untuk usia
menggunakan 2 jenis antibiotika golongan 5 tahun ke atas adalah macrolide jika tidak ada tanda
cephalosporin genarasi ketiga, yaitu cefotaxime dan pneumonia berat.14 Sedangkan berdasarkan pedoman
ceftriaxone yang kebanyakan diberikan 2 kali sehari pelayanan medis ilmu kesehatan anak RSUP Sanglah
dan seluruhnya lewat intravena. merekomendasikan untuk pneumonia anak berat atau
Cephalosporin serupa dengan penicillin, tetapi sangat berat diberikan antibiotika secara empiris
lebih stabil terhadap banyak beta-laktamase bakteri (sebelumnya dilakukan biakan kuman dan tes
sehingga memiliki aktivitas spektrum yang lebih luas. sensitivitas). Untuk usia dibawah 3 bulan pilihan
Cephalosporin generasi ketiga termasuk cefotaxime antibiotikanya adalah ampisilin + gentamisin, Usia 3
dan ceftriaxone merupakan broad spectrum yang bulan sampai 5 tahun yaitu ampisilin + kloramfenikol,
memilki aktifitas baik terhadap bakteri gram positif tambahkan makrolid jika tidak berespon, Usia 5 tahun
dan memilki cakupan gram negatif yang lebeih luas yaitu makrolid, tambahkan golongan Beta-laktam bila
serta aktif melawan S. Pneumonia. Cephalosporin tidak berespon dengan makrolid. Pada kasus sangat
dapat menpenetrasi cairan dan jaringan tubuh dengan berat/empiema, diberi sefalosporin. Antibiotik
baik. Obat ini digunakan untuk mengobati berbagai parenteral diberi sampai 48-72 jam bebas demam, lalu
macam infeksi berat yang disebabkan oleh organisme ganti oral (total 7-10 hari).15
yang resisten terhadap kebanyakan antibiotika lain. Pola pemberian antibiotika berdasarkan derajat
Ceftriaxone dan cefotaxime adalah cephalosporin pneumonia di RSUD Buleleng menggunakan
yang paling aktif terhadap galur pneumococcus yang cefotaxime sebagai pilihan utama untuk semua derajat
resisten terhadap penicillin dan direkomendasikan pneumonia. Hal ini tidaklah sesuai dengan yang
untuk terapi empiris infeksi berat yang mungkin direkomendasikan WHO. WHO menjelaskan
disebabkan oleh galur tersebut.10 Cefotaxim memiliki tatalaksana pasien anak dengan pneumonia berat dan
aktivitas yang paling luas di antara generasinya yaitu sangat berat adalah sebagai berikut. Antibiotika
mencakup pula Pseudominas aeruginosa, B. Fragilis pilihan pertama untuk kasus pneumonia berat adalah
meskipun lebih lemah.3 ampicillin/amoxicillin yang diberikan 25-50 mg/kg IV
Penelitian yang dilakukan oleh Menon dkk. atau IM setiap 6 jam, kemudian diamati dalam 24 jam
pada tahun 2013 mendapatkan bahwa cefotaxime selama 72 jam pertama. Bila anak memberi respon
memiliki sensitivitas yang lebih tinggi dari ampicillin yang baik maka lanjutkan pengobatan dan berikan
maupun amoxicillin terhadap kebanyakan pathogen selama 5 hari. Selanjutnya terapi dilanjutkan di rumah
penyebab communtity acquired pneumonia terutama atau di rumah sakit dengan amoxicillin oral (15 mg/kg
terhadap S. Pneumoniae yang merupakan bakteri tiga kali sehari) untuk 5 hari berikutnya. Bila keadaan
penyebab tersering ditemukan pada anak.12 klinis memburuk sebelum 48 jam, atau menunjukkan
Cefotaxime memiliki aktifitas baik terhadap bakteri derajat peneumonia yang sangat berat (tidak dapat
gram negatif maupun positif dan sensitif terhadap S. menyusu atau minum/makan, atau memuntahkan
Pneumonia. Hal-hal tersebut mungkin menjadi alasan semuanya, kejang, letargis atau tidak sadar, sianosis,
tenaga kesehatan di RSUD Buleleng lebih memilih distres pernapasan berat) maka ditambahkan
cefotaxime sebagai pilihan pertama dalam penanganan chloramphenicol (25 mg/kg IM atau IV setiap 8 jam).
pneumonia. Namun WHO dan Ikatan Dokter Anak Bila pasien datang dalam keadaan klinis berat, segera
Indonesia (IDAI) merekomendasikan antibiotika berikan oksigen dan pengobatan kombinasi
golongan aminopenicillin sebagai pilihan pertama ampicillin-chloramphenicol atau ampicillin-
dalam menangani pneumonia. 11 gentamicin. Sebagai alternatif, beri ceftriaxone (80-
Semua pasien pada penelitian ini diberikan 100 mg/kg IM atau IV sekali sehari). Bila anak tidak
antibiotika lewat intravena. Pemberian antibiotika membaik dalam 48 jam, jika memungkinkan lakukan
secara parenteral lebih mahal dan tidak menunjukkan pemeriksaan foto dada. Apabila diduga pneumonia
hasil yang lebih baik dalam terapi pneumonia. staphylococcus, ganti antibiotika dengan gentamicin
4 http://ojs.unud.ac.id/index.php/eum
ISSN:2303-1395 E-JURNAL MEDIKA,VOL 6 NO 3,MARET 2017
(7.5 mg/kg IM sekali sehari) dan cloxacillin (50
mg/kgBB IM atau IV setiap 6 jam) atau clindamycin Pasien yang mendapat ceftriaxone lebih
(15 mg/3 kali pemberian). Bila keadaan anak banyak dirawat lebih dari 5 hari. Namun jumlah
membaik, lanjutkan cloxacillin (atau dikloksasilin) sampel yang mendapat ceftriaxone sangat sedikit
secara oral 4 kali sehari sampai secara keseluruhan yaitu berjumlah 3 sampel sehingga kurang bermakna
mencapai 3 minggu, atau clindamycin secara oral untuk dibandingkan.
selama 2 minggu.9 Untuk derajat pneumonia berat Seluruh pasien anak dengan Community
atau pasien tidak dapat menerima obat per oral Ikatan Acquired Pneumonia yang dirawat di RSUD Buleleng
Dokter Anak Indonesia (IDAI) menganjurkan tanpa penyakit lainnya seluruhnya mencapai
memberikan antibiotika intravena. Antibiotika kesembuhan. Tidak ada pasien anak yang yang
intravena yang dipilih adalah ampicillin dan dirawat di RSUD Buleleng dari bulan Juni 2013
chloramphenicol, co-amoxiclav, ceftriaxone, sampai September 2013 meninggal murni akibat
cefuroxime dan cefotaxime.14 Hal-hal yang dipaparkan Community Acquired Pneumonia. Oleh karena itu
diatas berbeda dengan apa yang diterapkan di RSUD cefotaxime bisa digunakan sebagai pilihan terapi
Buleleng. untuk pasien Community Acquired Pneumonia anak,
Berdasarkan penelitian sensitivitas keseluruhan namun perlu dipertimbangkan untuk pemberian
patogen penyebab community acquired pneumonia antibiotika lainnya yang lebih sensitif serta
yang dilakukan oleh Menon dkk., mendapatkan sebelumnya perlu dilakukan biakan kuman dan tes
bahwa amikacin menunjukkan sensitifitas paling sensitivitas agar pemilihan antibiotika bisa lebih tepat.
tinggi (44,84%), diikuti oleh ofloxacin (43,45%),
gentamicin (38,62%), gatifloxacin (37,93%), SIMPULAN
augmentin dan ciprofloxacin (34,48%), ceftriaxone Pasien Community Acquired Pneumonia
(33,79%) dan linezolid (32,41%). Obat yang (CAP) pada anak di Rumah Sakit Umum Daerah
ditemukan memilki sensitifitas rendah yaitu penicillin Kabupaten Buleleng lebih banyak terjadi pada laki-
G (0,69%), ampicillin (1,38%) dan amoxicillin laki dengan insiden tertinggi terjadi pada usia 0-1
(2,07%).12 Hal ini perlu menjadi pertimbangan dalam tahun (infant). Pasien paling banyak berasal dari
pemilihan antibiotika karena obat yang kecamatan Buleleng. Sebagian besar pasien
direkomendasikan oleh WHO dan Ikatan Dokter Anak mengalami pneumonia ringan sampai berat.
Indonesia (IDAI) yaitu ampicillin dan amoxicillin Cefotaxime merupakan antibiotika pilihan
dalam penelitian tersebut didapatkan memilki utama untuk pasien community acquired pneumonia
sensitivitas yang rendah terhadap gabungan bakteri anak di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten
penyebab community acquired pneumonia. Sedangkan Buleleng dengan frekuensi pemberian 2 kali sehari,
cefotaxime dan ceftriaxone yang merupakan jenis selama lima hari atau lebih lewat intravena.
antibiotika yang dipakai oleh tenaga kesehatan di
RSUD Buleleng didapatkan memilki sensitivitas yang DAFTAR PUSTAKA
jauh lebih tinggi 1. Sudoyo W, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S. Ilmu Penyakit
Lama rawat pada pasien yang diberikan Dalam. Cetakan Pertama. Jakarta: Internal
cefotaxime pada penelitian ini ternyata tidak jauh Publishing. 2009.
berbeda dengan pasien yang dirawat kurang atau sama 2. Alsagaff H, Mukty A. Dasar-Dasar Ilmu
dengan lima hari dibandingkan dengan pasien yang Penyakit Paru. Cetakan Ketiga. Surabaya:
dirawat lebih dari 5 hari. Hal tersebut mungkin Airlangga University Press. 2006.
diakibatkan dalam penanganan pneumonia hanya 3. Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat
menggunkan cefotaxime sebagai modalitas utama Kesehatan. Pharmaceutical Care untuk
terapi untuk semua kasus pneumonia baik ringan Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan. Jakarta
sedang maupun berat. Penelitian yang dilakukan oleh : Departemen Kesehatan RI. 2005.
suharjono dkk., 2009 mendapatkan hasil yang 4. Ostapchuk M, Robberts M, Haddy R.
berbeda, dimana pasien pneumonia yang Community-Acquired Pneumonia in Infants
mendapatkan golongan antibiotika sefalosporin and Children. American Family Physician.
generasi ketiga, penisilin dan gentamisin dimana 2004. 70(5): 899-908.
paling banyak menggunakan sefalosporin generasi 5. Badan Penelitian dan Pengembangan
ketiga baik kombinasi maupun tidak didapatkan hasil Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar
bahwa lama riwat paling banyak selama 2 sampai 7 (RISKESDAS). Kementrian Kesehatan
hari.7 Republik Indonesia; 2007
6. Weber M, Handy F. Situasi Pneumonia Ramelan Surabaya). Majalah Ilmu
Balita di Indonesia. Epidemiologi. 2010. 3: Kefarmasian. 2009. 6(3): 142-155.
1-10. 8. Hapsari I. Astuti B. Pola Penggunaan
7. Suharjono, Yuniati T, Sumarno, Semedi S. Antibiotika Pada Infeksi Saluran Pernapasan
Studi Penggunaan Antibiotika Pada Aku Pneumonia Balita Pada Rawat Jalan
Penderita Rawat Inap Pneumonia (Penelitian Puskesmas I Purwareja. 2007.
Di Sub Departemen Anak Rumkital Dr. 9. Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di
5 http://ojs.unud.ac.id/index.php/eum
ISSN:2303-1395 E-JURNAL MEDIKA,VOL 6 NO 3,MARET 2017
Rumah Sakit Rujukan Tingkat Pertama di 11. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit
Kabupaten. Jakarta: Departemen Kesehatan dan Penyehatan Lingkungan. Modul
Republik Indonesia. 2009. Tatalaksana Standar Pneumonia. Jakarta:
10. Katzung B. Farmakologi Dasar dan Kinik. Kementerian Kesehatan RI. 2012.
Cetakan pertama. Jakarta: EGC. 2012.
12. Menon R, George A, Menon U. Etiology and African Thoracic Society Guidelines. South
Anti-microbial Sensitivity of Organisms Afr J Epidemiol Infect. 2009. 24(1): 25-36.
Causing Community Acquired 14. Pudjiadi A, Hegar B, Handryastuti S, Idris N,
Pneumonia: A Single Hospital Study. Journal Gandaputra E, Harmoniati E. Pedoman
of Family Medicine and Primary Care. 2013. Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak
3:244-49. Indonesia. Jakarta: IDAI. 2009.
15. Arhana P, Purniti N, Subanada I, Kumara K,
Santoso H, Arimbawa M, Suryawan W, et al.
Pelayanan Medis Ilmu Kesehatan Anak.
Denpasar : FK UNUD/RSUP Sanglah. 2010.
6 http://ojs.unud.ac.id/index.php/eum
Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 0 No.0, 2019, pp. XX-XX
pISSN 1410-4490, eISSN 2354-9203
DOI: 10.7454/jki.v0i0.604
*Email: cornelia.nekada@gmail.com
Abstrak
Proses hemodialisis juga sering menimbulkan dampak kesakitan seperti terjadinya kram otot saat intradialisis. Tujuan
penelitian ini untuk mengidentifikasi dampak meningkatnya frekuensi pernapasan terhadap kram otot intradialisis.
Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan desain analitik cross sectional. Penelitian ini dilakukan di ruang
hemodialisis RSUD Panembahan Senopati Bantul. Subyek penelitian ini diambil secara accidental sampling.
Keseluruhan subyek penelitian ini adalah 91 responden. Peneliti mengukur frekuensi pernapasan predialisis dan
mengkaji kram otot intradialisis. Penelitian ini menggunakan analisa bivariabel Chi-Square. Hasil analisa Chi-Square
menunjukkan nilai p sebesar 0,020 yang berarti terdapat hubungan yang signifikan antara frekuensi napas predialisis
terhadap kram otot intradialisis. Kram otot yang terjadi selama proses hemodialisis dapat terjadi karena adanya stress
oksidatif selama intradialisis. Observasi frekuensi pernapasan dapat mengantisipasi adanya risiko stres oksidatif yang
mungkin akan terjadi.
Abstract
Effect of Predialysis Respiration Rate on Intradialysis Muscle Cramps at Regional Hospital Panembahan Senopati
Bantul. Hemodialysis process often causes painful impact such as muscle cramps during intradialysis. The objective of
this research was to identify the increased between respiratory rate and intradialysis muscle cramps. The method of this
research was analytical survey method. This research is descriptif quantitative with cross sectional design. This
research conducted in hemodialysis unit in Panembahan Senopati General Hospital in Bantul. The subjects of the
research taken using accidental sampling. The total research subjects were 91 respondents. The researchers measured
the relationship between predialysis respiratory rate and assesed the intradialysis muscle cramps. The data analyzed
with bivariate chi square. The Chi-Square analysis results showed that the p value is 0,020, meaning that there was a
significant relationship between predialysis respiratory rate and intradialysis muscle cramps. Muscle cramps during
hemodialysis process may occur due to oxidative stress during intradialysis. Observing respiratory rate can anticipate
the risks of oxidative stress that may occur.
Pendahuluan
Makanan dan minuman junk food atau cepat
Kemajuan ilmu teknologi serta pola aktivitas saji merupakan salah satu pilihan alternatif
individu juga memengaruhi kondisi kesehatan untuk memenuhi kebutuhan makanan. Minum-
individu. Gaya hidup yang dituntut serba cepat an suplemenpun menjadi pilihan masyarakat
dan instan pun mulai memengaruhi semua kita untuk menambah stamina selama berakti-
aspek kehidupan. Cara mengonsumsi makanan vitas. Berawal dari perubahan pola kehidupan
pun terkadang tidak sesuai dengan konsep di masyarakat inilah yang akhirnya juga akan
asupan nutrisi sehat. berdampak pada status kesehatan di masyarakat.
2 Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 0, No. 0, 2019, pp. XX-XX
Berbagai macam kondisi kesakitan seperti hi- mulai proses hemodialisis (predialisis), selain
pertensi, diabetes mellitus, dan penyakit kronis penimbangan berat badan yang sudah rutin di-
lainnya mulai berkembang pada masyarakat lakukan sebelum pasien menjalani hemodia-
kita. Kondisi kesakitan tersebut berkembang lisis (Angraini & Putri, 2016; Katzberg, et al.,
dengan progresif dan mendukung terjadinya 2015; Hashimoto, et al., 2014). Perawat juga
penyakit terminal. Kondisi penyakit dengan perlu mengetahui bagaimana status pernapasan
kategori end of life care atau penyakit terminal pasien sebelum hemodialisis dimulai, dan apa
mulai banyak terjadi di masyarakat kita, salah hasilnya dapat menjadi penyebab terjadi kram
satunya adalah gagal ginjal kronis (Afsar, otot selama hemodialisa (Angraini & Putri,
Elsurer, 2013; Camporota & Barrett, 2016; 2016; S.A.M., Rustina & Syahreni, 2013).
Sopha & Wardhani, 2016).
Metode
Terapi hemodialisis merupakan terapi yang
cukup efektif bagi pasien dengan gagal ginjal Jenis penelitian ini adalah kuantitatif dengan
kronis (Setyaningsih, Mustikasari, & Nuraini, metode survey analitik, menggunakan pende-
2016; Sopha & Wardhani, 2016). Terapi he- katan cross sectional. Penelitian ini dilakukan
modialisis dilakukan seminggu 2 kali, dengan untuk mengetahui hubungan frekuensi perna-
lama waktu proses hemodialisis berkisar 4-5 pasan predialisis terhadap kram otot intradia-
jam (Afsar, Elsurer, Kirkpantur, 2013; Ferrario, lisis. Penelitian ini dilakukan di ruang hemo-
et al., 2014). Pasien hemodialisis merupakan dialisis RSUD Panembahan Senopati Bantul.
pasien dengan masalah kesehatan yang sangat Jumlah responden dalam penelitian ini adalah
kompleks, bukan hanya gangguan fisik yang 91 responden. Teknik sampling dalam pene-
terjadi melainkan juga secara sosial ekonomi litian ini adalah accidental sampling, dengan
juga terganggu (Setyaningsih, Mustikasari, & kriteria inklusi yaitu bersedia menjadi respon-
Nuraini, 2016; Sopha & Wardhani, 2016). Hal den, kooperatif, lama hemodialisis lebih dari 3
ini karena kurang lebih selama 2 kali dalam bulan, dan kriteria eksklusi memiliki riwayat
seminggu mereka harus meninggalkan semua penyakit paru, kategori usia lebih dari sama
aktivitasnya dan berada di rumah sakit untuk dengan 60 tahun.
melakukan proses hemodialisis (Ishii, et al.,
2017; Setyaningsih, Mustikasari, & Nuraini, Pasien yang datang ke ruang hemodialisis dan
2016). memenuhi kriteria pengambilan sampel, dibe-
rikan surat kesediaan sebagai responden dan
Selama proses hemodialis tidak jarang ber- kemudian diukur frekuensi pernapasan dengan
bagai keluhan komplikasi juga terjadi, salah menggunakan respiratory rate timer. Setelah
satunya yaitu kram otot (Afsar, Elsurer, & 1–2 jam proses hemodialisis, pasien kemudian
Kirkpantur, 2013; Ferrario, et al., 2014). Pada dikaji terhadap keluhan kram otot intradialisis.
hasil studi pendahuluan yang dilakukan oleh Penelitian ini menganalisis karakteristik res-
peneliti kepada 5 orang responden di RSUD ponden berdasarkan umur dan lama hemodia-
Panembahan Senopati Bantul, keluhan kram lisis, untuk melihat nilai minimal dan maksi-
otot selama proses hemodialisis (intradialisis) mal, serta nilai rata-rata. Penelitian ini meng-
ini digambarkan dengan berbagai macam kon- analisis distribusi frekuensi karakteristik res-
disi yaitu rasa tegang di kaki atau tangan, ponden yaitu jenis kelamin, frekuensi perna-
sensasi rasa pegel dan kaku di sekitar perut pasan predialisis kram otot intradialisis. Ana-
maupun maupun punggung. Kondisi ini tentu- lisis bivariat pada penelitan ini menggunakan
nya dirasakan sebagai sesuatu hal yang sangat Chi-square, yaitu untuk melihat hubungan fre-
mengganggu oleh pasien. Oleh sebab itu, kon- kuensi pernapasan predialisis terhadap kram
disi ini perlu mendapatkan perhatian khusus otot intradialisis. Proses penelitian ini telah
sejak dari awal pasien datang atau akan me- diijinkan secara etik (No: 395.4/FIKES/PL/IV/
Nekada, et al., Dampak Frekuensi Pernapasan Predialisis Terhadap Kram Otot Intradialisis 3
Tabel 2. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin, Respiratory Rate Predialisis, dan Kram
Otot Intradialisis
2017), karena tidak menimbulkan kondisi yang hubungan antara frekuensi pernapasan predia-
membahayakan kepada responden (pasien he- lisis terhadap kram otot intradialisis dengan
modialisis). ditunjukkan oleh nilai p sebesar 0,020.
Hasil Pembahasan
Tabel 1 menjelaskan bahwa rerata responden Rentang usia kehidupan responden yang ditun-
berusia 45,8 tahun, dengan usia paling muda jukkan pada Tabel 1 merupakan kategori tahap
adalah 22 tahun dan paling tua 59 tahun, rata- usia tumbuh kembang dewasa akhir, dengan
rata lama hemodialisis responden yang ditemui ciri telah memiliki keputusan penuh terhadap
selama pengambilan data adalah 33,62 bulan. kehidupannya. Individu tersebut mempunyai
Tabel 2 menjelaskan bahwa karakteristik res- otonomi penuh untuk gaya hidup yang dija-
ponden dengan jenis kelamin laki-laki lebih lani, kehidupan berkeluarga, cara bekerja, cara
banyak daripada wanita yaitu 47 (51,6%) dari beraktivitas, berolahraga, maupun respon stres
total keseluruhan responden yaitu 91 respon- (Afsar, et.al, 2013; Sopha & Wardhani, 2016).
den, sebesar 70,3 % responden memiliki freku- Pada tahap ini individu sering mengalami ke-
ensi pernapasan predialisis normal dan 65,9 % sakitan. Hal ini dikarenakan oleh pada usia ini
responden tidak mengalami kram otot intra- mereka memiliki kewenangan penuh untuk me-
dialisis. Tabel 3, menjelaskan bahwa terdapat mutuskan makanan dan minuman yang akan
4 Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 0, No. 0, 2019, pp. XX-XX
mereka konsumsi maupun cara beraktivitas me- 2014). Data penelitian ini juga menjelaskan
reka. Kebiasaan konsumsi makanan maupun bahwa sampai dengan waktu pengambilan data
minuman yang tidak sehat, seperti makanan terdapat responden yang telah melakukan he-
instan yang tinggi bahan pengawet, minuman modialisis selama 108 bulan atau sekitar 9 ta-
bersoda, dapat berdampak pada gangguan me- hun. Terapi hemodialisis bukanlah obat, hemo-
tabolisme tubuh (Nasution, 2014; Sopha & dialisis bukan menghilangkan suatu penyakit,
Wardhani, 2016). Gangguan yang berkelanjut- namun dengan terapi hemodialisis akan mem-
an sampai tahap usia dewasa akhir ini, tentu perpanjang usia harapan hidup pasien (Ishii, et
akan terakumulasi di dalam tubuh dan dapat al., 2017). Terapi hemodialisis merupakan su-
menimbulkan situasi kesakitan pada rentang atu bentuk terapi yang masuk kategori ranah
usia tertentu (Narayan, et al., 2014; Palamidas, asuhan keperawatan pada pasien akhir (end of
et al., 2014; Rosdiana,Yetty, & Sabri, 2014). life care) dengan pendekatan paliatif care
(Afsar, et al., 2013; Allegretti, et al., 2015).
Hasil penelitian ini menunjukkan usia pasien Apabila pasien hemodialisis tersebut melaku-
yang mengalami gagal ginjal kronis dan men- kan terapi dengan tepat dan melakukan semua
jalani terapi hemodialisis adalah usia kategori anjuran tim kesehatan terkait gaya hidup se-
dewasa akhir. Semakin bertambah umur se- perti, pola makan, pola aktivitas, dan koping
orang individu, tentu akan semakin meningkat terhadap stres, maka harapannya pasien terse-
faktor risikonya terhadap penyakit gagal ginjal but dapat tetap sehat dan produktif seperti bia-
kronis (Ferrario, et al., 2014). Namun hal ini sanya (Debroy, 2016; Ferrario, et al., 2014;
memang sangat didukung oleh gaya hidup in- Ishii, et al., 2017).
dividu tersebut, sepanjang rentang kehidupan
dalam melakukan pengelolaan status kesehatan Pasien hemodialisis juga hendaknya mematuhi
(Afsar, et al., 2013; Setyaningsih, Mustikasari, jadwal pelaksanaan hemodialisis yang harus ia
Nuraini, 2016). Kondisi ini juga didukung dari jalani, minimal adalah seminggu 2 kali, sesuai
data penelitian yang menunjukkan bahwa ter- jadwal yang telah ditetapkan, harapannya ada-
nyata ada responden hemodialisis yang berusia lah supaya beban tubuh akibat sisa metabolis-
paling muda adalah 22 tahun. Hasil wawan- me tidak akan semakin meningkat dan mem-
cara pada responden tersebut juga didapatkan bahayakan fungsi tubuh yang lain (Ferrario, et
data bahwa ia memiliki kebiasaan mengonsum- al., 2014; Nasution, 2014; Sopha & Wardhani,
si minuman penambah stamina dan jamu instan. 2016).
Tabel 1 juga menjelaskan bahwa rata-rata lama Karakteristik responden pada Tabel 2, dijelas-
hemodialisis responden yang ditemui selama kan bahwa pasien dengan jenis kelamin laki-
pengambilan data adalah 33,62 bulan. Hemo- laki lebih banyak daripada wanita yaitu 47
dialisis merupakan terapi yang bermanfaat un- (51,6%) dari total keseluruhan responden yaitu
tuk menggantikan fungsi ginjal (Nasution, 2014; 91 responden. Salah satu pendukung dari hal
Sopha & Wardhani, 2016). Pada kondisi pasien tersebut karena secara anatomi, laki-laki me-
gagal ginjal tahap akhir menunjukkan bahwa miliki saluran perkemihan yang lebih panjang
ginjal sudah kehilangan fungsinya ≥ 60%. Gin- daripada perempuan. Kondisi ini memungkin-
jal tidak mampu lagi melakukan proses filtrasi kan laki-laki memiliki risiko lebih besar untuk
dengan baik, sehingga terjadilah penumpukan mengalami pengendapan karena batu ginjal
sampah tubuh (Camporota & Barrett, 2016; (Afsar, et al, 2013; Citirak, et al, 2016). Faktor
Palamidas, et al., 2014; Saravu, et al., 2014). pendukung lainnya adalah laki-laki juga me-
Terapi hemodialisis pada pasien gagal ginjal miliki jumlah hormone esterogen yang lebih
kronis ini dilakukan sepanjang rentang usia ke- sedikit bila dibandingkan dengan perempuan,
hidupannya semenjak ia didiagnosa penyakit padahal hormon tersebut berfungsi untuk meng-
tersebut (Ferrario, et al., 2014; Nasution, hambat pembentukan sitokin dan bermanfaat
Nekada, et al., Dampak Frekuensi Pernapasan Predialisis Terhadap Kram Otot Intradialisis 5
menghambat osteoklast sehingga kadar kalsi- tubuh yang lain juga dapat terkena. (Küçükali,
um seimbang (Futterman, 2016; Wang, et al., et al., 2015; Laliberte, 2017; Panza, et al.,
2018). Penyakit batu ginjal inilah yang dapat 2017). Sel otot mendapatkan energi yang me-
menjadi salah satu predisposisi dari gagal gin- reka butuhkan dari oksidasi karbohidrat, le-
jal kronis. Faktor risiko lainnya adalah pem- mak, dan protein, semua proses metabolisme
besaran pada prostat yang selain berdampak ini membutuhkan oksigen (Küçükali, et al.,
pada obstruksi sistem perkemihan juga dapat 2015; Reilly, et al., 2015). Jaringan vital ter-
berdampak pada infeksi (Angraini & Putri, 2016; tentu, seperti jaringan pada otak dan jantung,
Palamidas, et al., 2014; Wisniewski, et al., tidak dapat bertahan lama tanpa suplai oksigen
2017). kontinu (Behringer, et al., 2014; Citirak, et al.,
2016). Sebagian hasil oksidasi tersebut harus
Tabel 2 menjelaskan bahwa pada hasil pene- di buang dari sel-sel untuk mencegah penum-
litian ini sejumlah 70,3% responden memiliki pukan produk sampah asam, proses pembuang-
frekuensi pernapasan predialisis normal. Res- an ini dilakukan oleh ginjal, jika pembuangan
piratory Rate (RR) atau frekuensi pernapasan sisa metabolisme tubuh ini tidak sempurna,
adalah kemampuan paru dalam melakukan maka akan menjadi racun dan menumpuk pada
proses ventilasi yang diukur dalam satu menit tubuh, sehingga menyebabkan kerusakan organ
(Umei, et al., 2016; Watanabe, et al., 2015; yang lain, contohnya adalah hepar (Kitaoka,
Wertheim, et al., 2013). Mekanisme pernapas- 2014; Zaman, 2015; S.A.M, et al., 2013).
an atau ventilasi terdiri dari proses inspirasi dan
ekspirasi. Saat inspirasi, udara mengalir dari Pada pasien hemodialisis karena ginjal tidak
atmosfer (tekanan tinggi) ke alveoli paru (te- dapat berfungsi dengan baik maka terjadilah
kanan rendah) melalui trakea, bronkus, dan penumpukan asam sisa metabolisme, yang da-
bronkiolus, sedangkan saat ekspirasi, udara da- pat mengganggu fungsi otot yaitu asam laktat
lam alveolar (tekanan tinggi) ke luar menuju (Kitaoka, 2014; Zang, et al., 2015). Satu sam-
atmosfer (tekanan rendah) melalui jalan yang pai dengan dua jam pertama proses hemodia-
sama (Angelo daSilva, et al., 2016; Rosdiana, lisis, terjadi pemecahan sel darah dalam jum-
Yetty, & Sabri, 2014; Wunderink, et al., 2014). lah besar sehingga terjadi kondisi stres oksida-
Frekuensi pernapasan orang dewasa normal tif untuk sementara pada setiap sel otot, yang
yang cukup istirahat bernapas 12–20 kali per dapat menyebabkan asam laktat meningkat dan
menit (Priyanto, Irawaty, & Sabri, 2011). terjadilah kram (Mori, et al., 2014).
Perubahan frekuensi pernapasan yang sering
terjadi adalah bradipnea atau pernapasan labat Tabel 3 menjelaskan bahwa terdapat hubung-
(kurang dari 12 per menit) dan takipnea atau an antara frekuensi pernapasan predialisis ter-
pernpasan cepat (lebih dari 20 kali per menit) hadap kram otot intradialisis dengan ditunjuk-
(Watanabe, Ooishi, & Kashino, 2015; Wertheim, kan oleh nilai p sebesar 0,020. Hasil penelitian
et al., 2013). yang disajikan dalam Tabel 3 tersebut juga me-
nunjukkan bahwa pasien hemodialisis yang me-
Kondisi kram otot intradialisis dijelaskan pada miliki nilai frekuensi pernapasan normal ter-
tabel 2 bahwa sejumlah 65,9% responden tidak nyata juga tidak mengalami kram otot (73,4%).
mengalami kram otot intradialisis. Kram otot Kondisi ini memiliki makna bahwa apabila ke-
intradialisis merupakan rasa atau sensasi tidak mampuan bernapas pasien saat predialisis baik,
nyaman pada sekitar otot berupa rasa kaku, maka suplay oksigen ke seluruh sel tubuh, ter-
pegal, tegang, maupun kesemutan (Andrews, masuk sel otot juga menjadi adekuat. Oksigen
2018; Behringer, et al., 2014; Behringer, et al., dipasok ke sel dan karbon dioksida dibuang
2017). Bagian tubuh yang sering mengalami dari sel melalui sirkulasi darah. Sel-sel berhu-
kram otot saat intradialisis adalah daerah teng- bungan dekat dengan kapiler, sehingga me-
kuk dan ekstremitas, namun demikian bagian mungkinkan terjadinya pertukaran atau oksi-
6 Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 0, No. 0, 2019, pp. XX-XX
gen dan karbon dioksida lewat dengan mudah resistensi, dibutuhkan upaya pernapasan yang
(Kitaoka, 2014; S.A.M., et al., 2013; Priyanto, lebih besar dari normal untuk mencapai tingkat
Irawaty, & Sabri, 2011). ventilasi yang normal.
Oksigen berdisfusi dari kapiler ke cairan in- Frekuensi pernapasan atau respiratory rate (RR)
terstisial, dan kemudian menuju membran sel, atau kecepatan pernapasan adalah indikator ke-
sehingga terjadilah pernapasan selular oleh mi- mampuan paru dalam melakukan proses venti-
tokondria, sedangkan karbondioksida melaku- lasi yang diukur dalam satu menit. Fungsi paru
kan proses difusi dengan arah yang berlawan- yang mencerminkan mekanisme ventilasi, di-
an (Watanabe, et al., 2015). Kondisi ini ber- sebut dengan istilah volume paru dan kapasitas
langsung secara berkelanjutan, sehingga mam- paru (Bilo, et al., 2012; Priyanto, et al., 2011).
pu memurnikan oksigen dan membuang kar- Oleh karena itu, frekuensi pernapasan pada
bon dioksida dari paru. Pada saat individu me- akhirnya akan memengaruhi jumlah volume pa-
narik napas, maka udara akan mengalir dari ru pada individu. Kondisi pasien hemodialisis
daerah yang tekanannya tinggi (atmosfer) ke terkadang menunjukkan sesak napas dikarena-
daerah dengan tekanan lebih rendah (sistem kan adanya efek samping yang sering terjadi
pernapasan). Selama inspirasi, gerakan diafrag- yaitu anemia, sehingga memengaruhi ikatan
ma dan otot-otot pernapasan lain memperbesar oksigen dan hemoglobin (oksihemoglobin) yang
rongga toraks dan dengan demikian menurun- berdampak pada perubahan pola pernapasan,
kan tekanan di dalam toraks sampai tingkat di sebagai bentuk mekanisme koping pemenuhan
bawah tekanan atmosfir (Küçükali, et al., 2015; kebutuhan oksigen (Angraini & Putri, 2016; S.
Mori, et al., 2014). Karenanya, udara tertarik A.M., et al., 2013; Priyanto, et al., 2011). Oleh
melalui trakea dan bronkus ke dalam alveoli. sebab itu, perawat hemodialisis perlu melaku-
Selama ekspirasi normal, diafragma rileks, dan kan pengkajian terhadap pola pernapasan pa-
paru mengempis sehingga mengakibatkan pe- sien dengan mengamati kedalaman dan freku-
nurunan ukuran rongga toraks. Tekanan alveo- ensi pernapasan. Pada orang dewasa normal,
lar kemudian melebihi tekanan atmosfir, dan frekuensi pernapasan normal adalah 12–20 kali
udara mengalir dari paru ke dalam atmosfir (S. permenit, kedalaman dan irama yang teratur
A.M., et al., 2013; Priyanto, et al., 2011; (Angraini & Putri, 2016; Nekada, Roesli, Sriati,
Watanabe, et al., 2015). 2015; Priyanto, et al., 2011).
Resistesi jalan udara ditentukan terutama oleh Peningkatan dalam frekuensi pernapasan dise-
diameter atau ukuran saluran udara tempat uda- but takipnea, peningkatan kedalaman perna-
ra mengalir (S.A.M., et al., 2013; Priyanto, et al., pasan disebut hiperpnea (S.A.M., et al., 2013;
2011). Oleh karena itu, setiap proses yang me- Priyanto, et al., 2011). Kondisi peningkatan
ngubah diameter atau kelebaran bronkial akan baik pada frekuensi maupun kedalaman rendah
memengaruhi resisten jalan udara dan meng- disebut sebagai hiperventilasi. Hiperventilasi
ubah kecepatan aliran udara sampai gradient yang ditandai oleh peningkatan frekuensi dan
tekanan tertentu selama respirasi. Faktor-faktor kedalaman, yang berkaitan dengan diabetik asi-
umum yang dapat mengubah diameter bronki- dosis berat atau yang bersumber dari ginjal di-
al termasuk kontraksi otot polos bronkial, se- sebut pernapasan kussmaul (Angraini & Putri,
perti pada asma; penebalan mukosa bronkus, 2016; Priyanto, et al., 2011). Rata-rata volume
seperti pada bronkitis kronis; atau obstruksi pernapasan satu menit pada individu dengan
jalan udara akibat lender, tumor atau benda frekuensi pernapasan normal adalah sekitar 6
asing (S.A.M., et al., 2013; Priyanto, et al., liter/menit (Angraini & Putri, 2016; Watanabe,
2011). Oleh sebab itu, kondisi penyakit perna- et al., 2015). Penyakit gagal ginjal kronik se-
pasan tersebut menjadi kriteria eksklusi dalam ring menunjukkan gangguan frekuensi perna-
penelitian ini. Karena dengan meningkatnya pasan yaitu pernapasan kussmaul akibat pe-
Nekada, et al., Dampak Frekuensi Pernapasan Predialisis Terhadap Kram Otot Intradialisis 7
numpukan cairan paru yang gagal dibuang oleh mempertahankan homeostasis (Nekada, Roesli,
ginjal, sehingga mengakibatkan adanya kondi- Sriati, 2015). Perpindahan cairan dari tubuh ke
si asidosis metabolik (Angraini & Putri, 2016; tabung dialisat, dan sebaliknya inilah yang
Priyanto, et al., 2011). Kondisi ini tentunya ha- memicu adanya stress oksidatif, sehingga otot
rus mendapatkan perhatian oleh perawat kare- menjadi kekurangan energi khususnya dalam
na ketidakefektifan frekuensi pernapasan dapat bentuk ATP (adenosit triphospat). Sel otot be-
berdampak pada volume paru dan berdampak kerja melalui system biologis metabolis, yang
juga pada jumlah oksigen yang diterima oleh memberi respon terhadap aktivitas kimia, lis-
sel tubuh. Hasil pengkajian sistem pernapasan trik, maupun mekanik (Behringer, et al., 2014;
yang dapat dilihat pada pasien hemodialisis El-Azizi, et al., 2016). Energi dalam bentuk
adalah perubahan pola nafas yaitu takipnea, ATP yang dibutuhkan untuk aktivitas otot di-
hiperventilasi, dispnea, orthopnea, bahkan ter- bentuk melalui proses metabolisme glukosa
kadang apnea (Bilo, et al., 2012; Priyanto, et pada siklus krebs (S.A.M., et al., 2013; Reilly,
al., 2011). Keadaan ini merupakan temuan khu- et al., 2015). Ketika intradialisis berlangsung,
sus bagi perawat dan menjadi acuan dalam tubuh mengalami ketidakseimbangan suplai
memberikan terapi oksigen. oksigen, sehingga otot mendapatkan energi da-
ri metabolisme anaerobik melalui siklus krebs,
Kram otot intradialisis adalah kondisi yang yang akhirnya menghasilkan tiga molekul ATP
menunjukkan adanya ketegangan pada otot, se- dan produk sampingan yaitu dua molekul asam
hingga menimbulkan keluhan seperti rasa kaku piruvat (S.A.M., et al., 2013; Nekada, Roesli,
atau tegang (Nekada, Roesli, & Sriati, 2015). Sriati, 2015). Asam piruvat ini selanjutnya
Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa ter- akan di metabolisme bersamaan dengan glu-
dapat hubungan antara frekuensi pernapasan kosa melalui siklus cori yang menghasilkan
predialisis dengan terjadinya komplikasi intra- produk akhir berupa asam laktat. Proses ini
dialisis, yang ditunjukkan dengan nilai p se- terjadi di organ hati. Proses yang berlangsung
besar 0,020. Tabel 3 menjelaskan bahwa, pa- beberapa saat selama intradialisis ini meng-
sien hemodialisis yang memiliki frekuensi per- akibatkan penumpukan asam laktat, sehingga
napasan tidak normal saat predialisis ternyata memengaruhi kontraktilitas pada otot dalam
51,9% mengalami kram otot intradialisis. Fre- dan berdampak pada terjadinya kram otot in-
kuensi pernapasan yang tidak adekuat tentunya tradialisis (Reilly, et al., 2015; Priyanto, et al.,
akan berpengaruh pada jumlah volume total 2011).
udara dalam paru, oleh sebab itu apabila jum-
lah volume paru berkurang, maka jumlah ok- Kram otot terjadi sebagai mekanisme secara fi-
sigen yang diterima oleh sel tubuh pun juga siologis saat sel otot kekurangan oksigen, pada
berkurang. Kondisi ini dapat menyebabkan kondisi ini otot kemudian melakukan metabo-
permasalahan selama proses intradialisis, di- lisme untuk tetap menghasilkan energi dengan
antaranya adalah kram otot. Lokasi kram otot cara memecahkan karbohidrat tanpa menggu-
yang paling sering adalah daerah ekstremitas, nakan oksigen dan menghasilkan asam laktat,
namun tidak menutup kemungkinan daerah proses ini disertai juga dengan adanya kon-
tengkuk, otot sekitar perut dan punggung juga traksi pada otot (Nekada, Roesli, Sriati, 2015;
timbul keluhan tersebut. Kram otot intradia- Mori, et al., 2014). Namun karena proses he-
lisis merupakan suatu keadaan yang diakibat- modialisis yang masih berlangsung, maka otot
kan karena adanya stres oksidatif pada tubuh pun mengalami kontraksi semakin lama dan
(Mori, et al., 2014). Kondisi ini dapat diaki- terkadang mengalami kesulitan untuk relak-
batkan dari perubahan osmolaritas yang terjadi sasi. Kondisi ini pun akan sangat mengganggu
selama proses hemodialisis, khususnya 1–2 jam pasien hemodialisis, sehingga terkadang ber-
awal proses tersebut berlangsung (Ferrario, et dampak pada dihentikannya proses hemodia-
al, 2014). Pada 1–2 jam awal tubuh mencoba lisis (Angraini & Putri, 2016; Nekada, et al.,
8 Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 0, No. 0, 2019, pp. XX-XX
2015). Tabel 3 menjelaskan bahwa pada res- siko munculnya keluhan kram otot selama pro-
ponden yang memang sudah dari awal (pre- ses hemodialisis berlangsung (El-Azizi, et al.,
dialisis) menunjukkan bahwa frekuensi per- 2016; Watanabe, et al., 2015).
napasannya tidak normal, sebanyak 51,9% res-
ponden mengalami kram otot, sedangkan pada Selain akibat stres oksidatif selama proses he-
responden yang memiliki frekuensi pernapasan modialisis, kram otot yang terjadi pada intra-
predialisis yang normal sebanyak 73,4% tidak dialisis juga diakibatkan karena pasien hemo-
mengalami kram otot. Hal ini membuktikan dialisis mengalami kelemahan secara umum
bahwa pasien hemodialisis yang menunjukkan pada otot (Angraini & Putri, 2016; Nekada,
kesiapan pernapasan dari awal sudah baik, Roesli, Sriati, 2015). Perkembangan predispo-
pasien tersebut akan lebih adaptif terhadap sisi dari gagal ginjal kronis serta proses he-
proses hemodialisis, sehingga kecil kemung- modialisis yang berkelanjutan berdampak juga
kinan timbul keluhan intradialisis yaitu kram pada stres oksidatif yang berkelanjutan di otot,
otot. Proses hemodialisis memang untuk se- sehingga terjadi miopati otot, neuropati otot,
mentara waktu akan berdampak pada ketidak- atrofi otot (Mori, et al, 2014). Kondisi stress
seimbangan cairan tubuh, selama proses ter- oksidatif ini berakhir dengan gangguan res-
sebut berlangsung pembuluh darah akan meng- pirasi tingkat seluler, mitochondria DNA LL-
alami hipovolemia (Angraini & Putri, 2016; 37 merespon kondisi tersebut untuk mencegah
Nekada, Roesli, Sriati, 2015). Hal ini menye- infeksi seluler terjadi, namun karena pada pa-
babkan ototpun akan kekurang suplai oksigen sien hemodialisis kondisi ini berlangsung terus
sehingga terjadilah proses metabolisme an- menerus, maka proses respirasi anaerob pun
aerob di otot dengan hasil sampingan akhir akhirnya terjadi (Zhang, et al, 2015).
adalah asam laktat. Asam laktat ini untuk se-
mentara waktu digunakan oleh otot sebagai Responden penelitian yang mengalami kram
sumber energi, khususnya saat proses hemo- otot menjelaskan bahwa keluhan kram tersebut
dialisis berlangsung. Namun sesungguhnya masih sedikit ada sampai dengan proses hemo-
penumpukan asam laktat pada otot juga ber- dialisis selesai, sehingga mereka merasakan
dampak hal yang negative yaitu terhambatnya kesulitan berjalan. Peran perawat sangat pen-
proses sirkulasi kalium dan kalsium, sehingga ting untuk mencegah terjadinya kram otot ya-
mengganggu proses depolarisasi dan repolari- itu dengan meminimalkan terjadi risiko stres
sasi pada otot dan mengakibatkan otot lama oksidatif selama proses hemodialisis. Kondisi
berkontraksi serta kesulitan untuk relaksasi stress oksidatif tersebut terjadi selama proses
(Angraini & Putri, 2016; Citirak, et al., 2016). hemodialisis, sehingga mengganggu juga pro-
Frekuensi pernapasan predialisis yang adekuat ses metabolisme tubuh, pada pasien hemodia-
merupakan gambaran status oksigenasi yang lisis yang harus menjalani terapi berkelanjutan
baik sebelum pasien memulai proses hemodia- metabolisme asam lemak juga terganggu. Hal
lisis. Status oksigenasi yang baik sebelum he- ini diakibatkan mediator transportasi asam le-
modialisis tersebut menjadi modal awal bagi mak yaitu L-carnittine mengalami gangguan
pasien dalam menghadapi situasi stres oksida- saat melewati mitokondria, keadaan selanjut-
tif yang akan dialami selama proses hemodi- nya yang terjadi pada pasien adalah kelemahan
alisis (intradialisis). Saat oksigenasi predialisis dan mudah letih (Zhang, 2015; Zaman, 2015).
adekuat, maka cadangan oksigenasi yang dapat
digunakan untuk energy seluler pun masih Perawat perlu melakukan pengkajian secara
adekuat, sehingga otot masih dapat energi me- komprehensif khususnya sebelum pasien me-
lalui metabolisme aerob, dengan demikian pro- mulai hemodialisis. Pada fase predialisis ini
duksi asam laktat sebagai hasil akhir dari me- perawat harus mengkaji adaptasi frekuensi per-
tabolisme anaerob akan lebih sedikit terbentuk. napasan pasien, yang bertujuan untuk menge-
Kondisi ini tentunya juga akan mengurangi ri- tahui kondisi oksigenasi sebelum proses hemo-
Nekada, et al., Dampak Frekuensi Pernapasan Predialisis Terhadap Kram Otot Intradialisis 9
dialisis dimulai. Apabila perawat menemukan untuk melakukan pengkajian secara kompre-
pasien yang mengalami ketidaknormalan fre- hensif. Perawat sebaiknya memperhatikan fre-
kuensi pernapasan, maka perawat dapat me- kuensi pernapasan pasien pada fase predia-
mutuskan tindakan yang tepat, sebagai contoh lisis, sehingga meminimalkan kejadian kram
memberikan terapi oksigen selama proses he- otot (YS, AW, TN).
modialisis berlangsung. Pemberian terapi oksi-
gen ini bertujuan agar stress oksidatif intra-
dialisis tersebut dapat diminimalkan, sehingga Referensi
sel otot masih dapat melakukan proses meta-
bolisme secara aerob, selain itu jika diperlukan Afsar, B., Elsurer, R., & Kirkpantur, A. (2013).
perawat dapat melakukan kolaborasi dengan Body shape index and mortality in hemo-
medis untuk pemberian kalsium (Laliberte, dialysis patients. Nutrition, 29 (10), 1214–
2017; Mori, et al., 2014; Reilly, 2015). Jika 1218. doi: 10.1016/j.nut.2013.03.012.
masih terjadi kram otot selama proses hemo-
Allegretti, A.S., Flythe, J.E., Benda, V., Robinson,
dialis, perawat dapat mengajarkan relaksasi E.S., & Charytan, D. M. (2015). The effect
napas dalam maupun memberikan kompres air of bicarbonate administration via continu-
hangat pada daerah yang mengalami kram ous venovenous hemofiltration on acid-base
(Andrews, et al., 2018; Behringer, et al., 2014; parameters in ventilated patients. BioMed
Behringer, et al., 2017; Debroy, 2017). Relak- Research International, 2015. doi: 10.1155/
sasi napas dalam bertujuan untuk memperbai- 2015/901590.
ki pernapasan seluler, sedangkan kompres air
hangat membantu vasodilatasi pembuluh darah Andrews, L. (2018). Dehydration: How to avoid
dan sehingga oksigenasi sel juga menjadi ade- painful muscle cramps in the hot summer
kuat (Andrews, 2018; Nekada, et al., 2015; weather. Express (Online). Retrieved from
Priyanto, et al., 2011) https://search.proquest.com/docview/203487
6856?accountid=25704.
Hashimoto, Y., Ota, T., Mukaino, M., Liu, M., & Narayan, R., Rizzo, M., & Cole, M. (2014).
Ushiba, J. (2014). Functional recovery from Successful treatment of severe carbama-
chronic writer's cramp by brain-computer zepine toxicity with 5 % albumin-enhanced
interface rehabilitation: A case report. BMC continuous venovenous hemodialysis. Journal
Nekada, et al., Dampak Frekuensi Pernapasan Predialisis Terhadap Kram Otot Intradialisis 11
Korespondensi:
C. Martin Rumende. Divisi Respirologi dan Penyakit Kritis, Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/Rumah
Sakit dr. Cipto Mangunkusumo. Jln. Pangeran Diponegoro 71, Jakarta 10430, Indonesia. email: rumende_martin@yahoo.com
ABSTRAK
Pendahuluan. Menegakkan diagnosis pneumonia pada pasien usia lanjut seringkali sulit mengingat gejala dan tanda klinis
sering tidak lengkap dan manifestasi klinis yang tidak khas serta pemeriksaan penunjang yang sulit diinterpretasi. Hal ini
mengkibatkan under ataupun over diagnosis dengan konsekuensi meningkatnya morbiditas dan mortalitas. Data faktor-
faktor yang berhubungan dengan diagnosis pneumonia baik manifestasi khas ataupun tidak khas pada pasien usia lanjut
belum banyak tersedia.
Metode. Penelitian diagnostik dilakukan terhadap 158 pasien usia lanjut dengan kecurigaan pneumonia yang dirawat
di Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta pada kurun waktu Januari-Oktober 2010. Hubungan data klinis,
laboratoris serta radiologis yang mencakup manifestasi spesifik (batuk, sputum produktif, sesak napas, demam, ronki,
leukositosis , infiltrat) dan manifestasi tidak spesifik (intake sulit, jatuh, penurunan status fungsional inkontinensia urin)
dengan diagnosis pneumonia komunitas dianalisis dengan regresi logistik. Kemudian, ditentukan kontribusi masing-masing
determinan diagnosis terhadap diagnosis pneumonia. Kemampuan C-reactive protein dalam menegakkan diagnosis
pneumonia dinilai dengan membuat kurva ROC dan menghitung AUC.
Hasil. Dari 158 subjek, 106 didiagnosis pneumonia sesuai kriteria baku emas. Pada model akhir regresi logistik didapatkan
tiga faktor yang berhubungan dengan diagnosis pneumonia yaitu batuk, ronki dan infiltrat dengan nilai p masing-masing
secara berturut-turut yaitu <0,0001; 0,02; dan 0,0001. Nilai AUC yang diperoleh dari metode ROC untuk mengetahui
kemampuan CRP dalam mendiagnosis pneumonia adalah 0,57 (IK 95%; 0,47-0,66).
Simpulan. Faktor-faktor yang berhubungan dengan diagnosis pneumonia pada usia lanjut adalah batuk, ronki dan infiltrat.
Sementara itu, c-reactive protein tidak memiliki peran dalam memprediksi diagnosis pneumonia pada pasien usia lanjut.
Kata Kunci: diagnosis, pneumonia komunitas, usia lanjut
ABSTRACT
Introduction. Diagnosing community-acquired pneumonia (CAP) in the elderly remains a clinical challenge for various
reasons. The clinical manifestation in the elderly is not frank and atypical manifestations, e.g. falls, decrease of functional
status and food intake or urinary incontinence, may be present. These reasons may be associated with under or over
diagnosis, which consequently contribute to the higher observed mortality rate in the elderly population with CAP. Study
about factors related to diagnosis of CAP in the elderly was rarely performed.
Methods. From January to October 2010, 158 elderly patients suspected of having pneumonia at RSCM were registered.
Relationship between clinical, laboratory and radiologic factors which consist of classic manifestations (cough, productive
cough, dyspnea, fever, rales, leucocytosis, infiltrates) and atypical manifestations (decrease of intake and functional
status, falls, urinary incontinence) with diagnosis community acquired pneumonia were analyzed. Receiver operating
characteristics analysis of C-reactive protein was performed to find its association with diagnosis of pneumonia.
Results. Of 158 subject, 106 were confirmed of having pneumonia. Final model of multiple logistics regression analysis
revealed three factors: cough (p<0,0001), rales (p=0,02) and infiltrate (p<0,0001) related to diagnosis of pneumonia. All four
atypical manifestations were proved unrelated with diagnosis of pneumonia. The area under the ROC curve for c-reactive
protein was 0,57 (95% CI 0,47- 0,66).
Conclusions. Factors related with diagnosis of community-acquired penumoni in the elderly are cough, rhales and infiltrates.
All four atypical manifestations are proven unrelated with diagnosis of pneumonia. C-reactive protein does not predict
diagnosis of CAP in the eldery.
Keywords: community-acquired pneumonia, diagnostic factors, elderly
yang digunakan yaitu data sekunder berupa data rekam Tabel 1. Karakteristik subjek penelitian
medic pasien usia lanjut yang datang ke instalansi gawat Karakteristik
Jenis Kelamin, n (%)
darurat dan atau poliklinik geriatri RSCM dengan dugaan Laki-laki 75 (47,5)
diagnosis pneumonia pada periode Januari-Oktober 2010. Perempuan 83 (52,5%)
Populasi terjangkau penelitian ini adalah pasien usia ≥60 Usia, rerata (SB), tahun 68,44 (6,65)
Katagori Usia, n (%)
tahun yang diduga menderita pneumonia di RSCM. >80 Tahun 11 (6,6)
Teknik pengambilan sampel menggunakan metode 70-79 Tahun 128 (83,2)
60-69 Tahun 19 (10,2)
consecutive sampling, yaitu semua pasien usia lanjut yang Pendidikan, n (%)
didiagnosis pneumonia serta mendapat perawatan di RSCM Tidak sekolah/tidak lulus SD 58 (38)
baik di poli rawat jalan, unit gawat darurat dan ruang rawat SD 30 (19,3)
SMP 19 (12,7)
inap penyakit dalam. Kriteria inklusi sampel meliputi: 1) SMA 30 (18,1)
pasien berusia ≥ 60 thn; 2) diduga menderita pneumonia Akademi/Perguruan Tinggi 21 (12)
Status Perkawinan, n (%)
pneumonia komunitas; dan 3) mendapat perawatan di RSCM Nikah 97 (61,39)
(poli rawat jalan, Unit Gawat Darurat dan ruang rawat inap) Belum Nikah 3 (1,89)
Duda/Janda 58 (43,03)
pada kurun waktu Januari-Oktober 2010. Kriteria eksklusi
Suku, n (%)
sampel yaitu pasien yang menderita hospital aquired Jawa 56 (34,7)
pneumonia dan pasien yang menderita infeksi lainnya. Pasien Betawi 48 (30,5)
Sunda 18 (13,2)
yang memenuhi kriteria inklusi selanjutnya dikumpulkan data Padang 12 (7,8)
anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, Batak 6 (3,6)
Lain-lain 12 (7,8)
serta radiologi (rontgen toraks). Pembayaran , n (%)
Analisis data dilakukan dengan menggunakan perangkat Umum 40 (42,2)
ASKES 46 (27,7)
SPSS versi 15.0 untuk mendapatkan tabel frekuensi dan tabel
SKTM 10 (6,0)
silang sesuai dengan tujuan penelitian. Perhitungan nilai JPS/Gakin 42 (24,1)
rerata hitung dan sebaran baku dilakukan untuk data yang Faktor Klinis
Komorbiditas, n (%)
bersifat kuantitatif, sekaligus dihitung rentangan nilainya Keganasan 14 (8,4)
menurut batas kepercayaan (confidence interval) 95%. Kurva Gagal jantung kongestif 56 (33,7)
Penyakit hati kronik 13 (7,8)
reciever operating characteristic (ROC) dibuat dan area under
Penyakit serebrovaskular 25 (15,1)
curve (AUC) dari CRP dihitung untuk mengetahui kemampuan Penyakit ginjal 29 (7,5)
CRP untuk meningkatkan ketepatan dalam mendiagnosis Diabetes melitus 50 (30,1)
PPOK 9 (5,4)
pneumonia komunitas pada usia lanjut. Tuberkulosis 15 (9)
Asma bronchial 2 (4)
Gula darah, rerata (SB) 147,6 ( 69,84)
HASIL Hematokrit, rerata (SB) 33,4 (7,61)
Penelitian ini dilakukan dengan melihat rekam Status nutrisi (MNA), rerata (SB) 16,7 (4,26)
medik pasien usia lanjut yang didiagnosis pneumonia ADL, rerata (SB) 11,8 (7,12)
Tekanan Darah sistolik, rerata (SB) 136,1 ( 28,20)
serta mendapat perawatan di RSCM baik di poli rawat Tekanan Darah diastolic, rerata (SB) 80,1 (13,89)
jalan, unit gawat darurat dan ruang rawat inap penyakit Suhu, rerata (SB) 37,1 (0,89)
Leukosit, rerata (SB), /mm3 13.060,5 (7297)
dalam pada kurun waktu Januari-Oktober 2010. Selama
hsCRP, rerata (SB) 79,4 (74,08)
kurun waktu tersebut, didapatkan sebanyak 158 pasien Diagnosis pneumonia, n (%) 106 (67)
usia lanjut dengan kecurigaan diagnosis pneumonia yang
diikutkan dalam penelitian. Rerata usia subjek penelitian batuk, sesak nafas, sputum produktif, ronki, infiltrat, suhu
adalah 68,44 (6,65) tahun, dengan jumlah perempuan dan intake sulit (variabel yang dengan nilai p <0,2 pada
sedikit lebih banyak dibanding laki-laki. Sebanyak 67,9% bivariat). Hasilnya, terdapat tiga variabel determinan
pasien memenuhi kriteria Riquelme untuk diagnosis pada model akhir analisis multivariat yang mencapai
pneumonia. Karakteristik demografi dan klinis subjek kemaknaan secara statistik yaitu batuk, ronki dan infiltrat
penelitian selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1. (Tabel 3). Selain itu, hasil analisis kemampuan CRP
Pada analisis bivariat, didapatkan determinan dalam memprediksi pneumonia dengan metode ROC
diagnosis yang bermakna secara statistik adalah batuk, mendapatkan nilai AUC CRP dalam memprediksi CAP pada
ronki dan infiltrat dan demam (p <0,05) (Tabel 2). usia lanjut yaitu sebesar 0,57 (IK 95%; 0,47-0,66) dengan
Selanjutnya, Variabel yang dianalisis multivariat adalah nilai p= 0,149 (Gambar 1).
kurang lebih sama dengan penelitian sebelumnya. Lera, Pada penelitian ini, didapatkan sebanyak 106 (67%)
dkk.20 yang membagi pasien menjadi 2 grup (>85 tahun subjek yang diduga menderita CAP memenuhi kriteria
dan 65-85 tahun) mendaparkan komorbiditas terbanyak diagnosis pneumonia komunitas. Angka ini hampir sama
adalah gagal jantung kongestif, pada masing-masing dengan hasil penelitian yang didapatkan oleh Muller, dkk.26
kelompok yaitu sebesar 31,2% dan 18,4% (p<0,001). yang meneliti tentang akurasi diagnostik dan prognostik
Komorbiditas merupakan determinan penting pada parameter klinis dan laboratorium pada CAP. Muller, dkk.26
risiko terjadinya pneumonia dan memengaruhi prognosis. mendapatkan sebanyal 373 (68,4%) subjek dikonfirmasi
Gagal jantung kongestif dan penyakit serebrovaskular akan diagnosis pneumonia komunitas dengan menggunakan
memengaruhi fungsi saluran pernafasan yang bersaman kriteria diagnostik infiltrat di rontgen toraks disertai
dengan gangguan refleks batuk, gangguan bersihan adanya gejala dan tanda kelainan saluran pernafasan.
muko silier dan batuk tidak efektif. Kondisi tersebut
berakibat pada tertundanya kemunculan manifestasi Manifestasi Pneumonia Komunitas Pada Pasien Usia
klinis pada pneumonia.9 Penyakit komorbid lainnya yang Lanjut
dinilai memengaruhi pneumonia adalah keganasan, DM, Pada penelitian ini, dikumpulkan sebanyak 12
penyakit paru kronik dan penyakit ginjal kronik.21 determinan diagnostik pneumonia komunitas pada usia
Frekuensi penyakit komorbid pada pasien pneumonia lanjut yang terdiri dari 7 manifestasi khas dan 4 manifestasi
usia lanjut sangat tinggi. Fry, dkk.22 mendapatkan bahwa tidak khas pneumonia, serta CRP. Pada analisis bivariat,
diantara pasien usia lanjut yang dirawat di RS dengan didapatkan determinan diagnostik yang bermakna adalah
diagnosis pneumonia, minimal terdapat satu penyakit batuk, sesak napas, sputum produktif, intake sulit, ronki,
komorbid pada tiap pasien. Penyakit jantung kongestif infiltrat dan demam (Tabel 2). Sementara itu, hasil analisis
didapatkan pada 56,9% kasus, PPOK pada 47,25% dan DM mulivariat menunjukkan hanya determinan diagnostik batuk,
pada 19,5% kasus. ronki dan infiltrat yang didapatkan bermakna (Tabel 3).
Rerata nilai albumin pada penelitian ini lebih rendah
dari nilai normal, yaitu 3,117 mg/dl dan rerata skor mini Manifestasi Khas Pneumonia Pada Usia Lajut
nutritional assessment (MNA) adalah 16,796 (skor <17
adalah malnutrisi). Kobashi, dkk.23 mendapatkan nilai Batuk
albumin serum <3,5 gr/dl pada 35% pasien usia lanjut Terdapat hubungan yang bermakna secara statistik
dengan pneumonia. Sementara itu, Riquelme, dkk.24 antara batuk dengan diagnosis pneumonia (p= 0,002, OR
mendapatkan bahwa kadar albumin yang rendah dan 15,18; IK 95%; 2,85-88,1) (Tabel 3). Sebanyak 74,3% pasien
variabel antropometrik yang menunjukkan adanya usia lanjut yang didiagnosis pneumonia komunitas dari
malnutrisi berhubungan dengan timbulnya pneumonia penelitian ini mengeluhkan batuk. Hasil ini lebih sedikit jika
pada pasien usia lanjut. dibandingkan dengan yang didapatkan oleh Muller, dkk.26
Malnutrisi merupakan penyebab utama menurunnya dan Christ, dkk.27 yang mendapatkan proporsi batuk masing-
fungsi imun. Terdapat 10-25% populasi usia lanjut yang masing 91,2% dan 89%. Penelitian serupa dengan populasi
mengalami defisit nutrisional dan meningkat menjadi pasien usia lanjut oleh Riquelme, dkk.12 yang meneliti 101
sekitar 50% pada pasien usia lanjut yang dirawat. Malnutrisi pasien menemukan bahwa batuk dikeluhkan 67% pasien
pada usia lanjut dapat muncul sebagai defisiensi kalori usia lanjut. Sementara itu, Hopstaken, dkk.16 mendapatkan
global, defisiensi protein dan atau nutrisi mikro (vitamin nilai yang lebih sedikit, yaitu 29% pasien pneumonia
dan mineral). Bukan hanya sebagai faktor risiko untuk komunitas usia lanjut (>65 tahun) yang mengalami batuk.
timbulnya infeksi, meningkatnya demand metabolik dan Terdapat sedikitnya enam mekanisme pertahanan
durasi serta infeksi juga merupakan penyebab malnutrisi. yang penting dalam pencegahan CAP yang terganggu
Hubungan dua arah antara nutrisi dan infeksi seperti ini pada pasien-pasien usia lanjut, yaitu filtrasi aerodinamik,
menciptakan pola yang continue dan harus diputus. refleks batuk, transport mukosilier, fungsi sel fagositik,
Namun demikian, perlu diperhatikan bahwa fungsi imunologi dan klirens sekresi pulmoner. Perubahan
penurunan fungsi imun akibat malnutrisi harus dibedakan ini akan memengaruhi epidemiologi, faktor risiko
dengan imunosenescence. Sebab, imunosenescene tidak dan keluaran pneumonia komunitas.6 Teori-teori ini
berhubungan dengan usia. Selain itu, yang paling penting menjelaskan mengapa pada populasi pasien pneumonia
yaitu malnutrisi merupakan penyebab penurunan fungsi komunitas usia lanjut keluhan batuk relatif lebih jarang
imun yang dapat diobati.25 muncul seperti pada penelitian ini.
perawatan pasien pneumonia, namun memenuhi target ini (p <0,0001). Semua pasien yang didiagnosis pneumonia
menjadi problematik pada pasien pneumonia komunitas memiliki gambaran infiltrat pada rontgen toraks. Hal ini
usia lanjut. Hal tersebut mengingat tampilan klinis infeksi disebabkan oleh kriteria diagnosis yang dijadikan baku
yang tidak biasa, sehingga menimbulkan ketidakyakinan emas pada penelitian ini mengharuskan adanya gambaran
diagnosis pada populasi usia lanjut. Beberapa peneliti infiltrat baru atau bertambah dibandingkan rontgen
lainnya menambahkan bahwa penyakit-penyakit komorbid thoraks sebelumnya. Pada pasien yang bukan pneumonia,
menambah ketidakpastian diagnosis pneumonia dan didapatkan gambaran infiltrat pada sebanyak 15 subjek
meningkatkan mortalitas akibat penundaan dalam (28,8%). Penyakit komorbid yang dapat memunculkan
memulai terapi.28 gambaran infiltrat yang sering ditemukan pada penelitian
ini adalah gagal jantung kongestif, keganasan dan PPOK.
Leukositosis
Rerata leukosit pada pasien pneumonia adalah Manifestasi Tidak Khas Pneumonia Pada Usia Lajut
114.00/mm3. Bila dihubungkan dengan diagnosis
pneumonia, jumlah leukosit >15.000/mm3 tidak memiliki Jatuh
kemaknaan secara statistik (p= 0,8, OR 1,09; IK 95% 0,52- Sebanyak 14,3% pasien CAP usia lanjut datang
2,27). Rerata leukosit pada penelitian ini lebih rendah dengan keluhan jatuh, namun dalam hubungannya dengan
dibandingkan dengan yang didapat Zalacain, dkk.18 yaitu diagnosis pneumonia tidak mencapai kemaknaan secara
sebesar 15.400/mm3. statistik (p= 0,79, OR 0,79; IK 95% 0,32-1,96) (Tabel 2).
Proses infeksi menstimulasi pelepasan akut netrofil Pneumonia pada pasien usia lanjut dapat bermanifestasi
dari pool storage marginated di sumsum tulang. Netrofilia sebagai jatuh akibat perubahan status mental, hipotensi
lazim terjadi pada infeksi bakteri akut dan jarang pada postural, ataupun kelemahan umum.38 Pneumonia
infeksi virus. Peningkatan netrofil batang dan metamielosit merupakan bagian dari faktor intrinsik sistemik yang
juga sering ditemukan. Namun demikian, proses penuaan dapat memicu timbulnya gangguan keseimbangan dan
tidak menyebabkan perubahan signifikan dari jumlah jatuh. Beberapa pasien memiliki baroreseptor karotis yang
leukosit ataupun hitung jenis leukosit. Karenanya, kelainan sensitif dan rentan mengalami sinkop akibat refleks tonus
dalam hal jumlah leukosit harus dievaluasi sebagai vagal yang meningkat akibat batuk, mengedan, berkemih
kemungkinan tanda proses penyakit aktif.35 sering terjadi bradikardia dan hipotensi.36
Pemeriksaan laboratorium memiliki keterbatasan
untuk menegakkan diagnosis dan penyebab spesifik Inkontinensia Urin
pneumonia. Meskipun temuan jumlah leukosit >15,000/ Inkontinensia urin terdapat pada 18,1% pasien
mm3 meningkatkan probabilitas pasien menderita pneumonia. Keluhan ini tidak bermakna secara statistik
pneumonia akibat infeksi bakteri daripada virus, namun jika dihubungkan dengan diagnosis pneumonia (p= 0,524,
hasil ini tergantung kepada stadium penyakit. Selain itu, OR 1,35; IK 95% 0,3-3,47) (Tabel 2). Inkontinensia urin
kondisi tersebut belum diketahui apakah cukup sensitif yang terjadi pada pasien penumonia tergolong ke dalam
atau spesifik untuk membantu memutuskan pilihan terapi inkontinensia akut yang terjadi secara mendadak yang
pada pasien tertentu.26 berkaitan dengan kondisi sakit akut yang menghilang
Pasien usia lanjut secara in vitro menunjukkan jika kondisi akut teratasi. Pada usia lanjut, inkontinensia
penurunan fungsi leukosit polimorfonuklear secara jelas. urin juga berhubungan dengan depresi, batuk, gangguan
Selain itu, terjadi pula gangguan migrasi, ingesti dan mobilitas, demensia, depresi, stroke, DM dan parkinson.
killing netrofil. Namun demikian, temuan in vitro ini tidak Pada penelitian terhadap 5.418 usia lanjut di luar negeri
memliki kepentingan klinis yang jelas. Walaupun terdapat mendapatkan tiga faktor risiko yang dapat dimodifikasi
penurunan fungsi yang bermakna secara statistik dalam dan berhubungan secara bermakna dengan inkontinensia
kisaran 10%-30%, umumnya para ahli berpendapat bahwa urin yaitu ISK, keterbatasan aktifitas dan faktor gangguan
fungsi netrofil memang harus menurun sampai lebih dari lingkungan.37
90% agar risiko infeksi meningkat.29
Intake sulit
Infiltrat Keluhan intake sulit didapatkan pada sebanyak
Terdapat hubungan yang bermakna antara adanya 70,5%, namun tidak bermakna secara statistik bila
infiltrat pada rontgen thoraks dengan diagnosis pneumonia dihubungkan dengan diagnosis pneumonia (p= 0,18,
OR 0,77; IK 95% 0,19-2,83) (Tabel 2). Persentase pada AUC yang diperoleh dari metode ROC untuk mengetahui
penelitian ini didapatkan lebih tinggi dibandingkan dengan kemampuan CRP dalam mendiagnosis pneumonia adalah
berbagai penelitian tentang gejala intake sulit pada sebesar 0,57 (95% IK 0,47- 0,66), p= 0,149 (Gambar 1).
pneumonia usia lanjut berkisar antara 57%-64%.38 Hasil ini menunjukkan bahwa CRP tidak memiliki peranan
Efek merugikan penyakit akut terhadap dalam mendiagnosis pneumonia komunitas pada usia
metabolisme nutrisi menjadi lebih jelas pada usia lanjut. lanjut.
Hal ini disebabkan oleh penyakit akut ataupun kronik Harus diperhitungkan bahwa CRP merupakan
yang menginduksi respon inflamasi. Seiring dengan penanda non-spesifik inflamasi akut, sehingga banyak
pertambahan usia, respon inflamasi yang menjadi faktor yang memengaruhi. Karakteristik umum pasien
disregulasi terlihat pada peningkatan persisten mediator seperti usia dan jenis kelamin juga memengaruhi kadar
inflamasi. Sitokin proinflamasi diantaranya IL-6, IL-1(beta), CRP, sehingga nilai titik potong yang didapat bisa berbeda-
tumor necrosis factor (TNF)-alpha dan kemungkinan IL- beda. Oleh karena itu, sebaiknya pemeriksaan CRP
8. Sitokin-sitokin ini berfungsi baik secara intermediet dibedakan menurut usia dan jenis kelamin. Selain itu,
ataupun langsung dalam menginduksi gejala dan tanda kondisi-kondisi patologis dapat menimbulkan kerusakan
yang berkaitan dengan inflamasi, termasuk nafsu makan.39 jaringan yang menjadi stimulus penting untuk sintesis CRP
di hepar. Pada penelitian ini, persentase penyakit-penyakit
Penurunan Status Fungsional kronik seperti DM dapat memengaruhi kadar CRP.21
Sebanyak 41,9% subjek mengalami penurunan Meer, dkk.41 mengevaluasi keakuratan diagnostik
status fungsional yang bila dihubungkan dengan diagnosis CRP dalam mendeteksi pneumonia yang didagnosis secara
pneumonia tidak mencapai kemaknaan secara statistik radiologis. Penelitian tersebut juga mengevaluasi seberapa
(p= 1,51, OR 1,51; IK 95% 0,74-3,07). Pengukuran baik CRP dalam membedakan infeksi bakteri dengan viral
status fungsional merupakan komponen esensial dalam pada pneumonia. Kesimpulannya, CRP cukup sensitif pada
penatalaksaan paripurna pasien usia lanjut. Kemampuan rule in dan juga cukup spesifik dalam rule out pneumonia.
seorang usia lanjut untuk berfungsi dapat dipandang Albazzaz, dkk.21 yang meneliti tentang penanda
sebagai pengaruh keseluruhan dari kondisi kesehatan inflamasi pada pneumonia mendapatkan bahwa pasien
dalam konteks sistem lingkungan dan dukungan sosial. usia lanjut mampu menginisiasi respon inflamasi yang
Pada pasien usia lanjut, kemampuan untuk berfungsi adekuat. Hal ini dibuktikan dengan meningkatnya suhu,
sesuai dengan gaya hidup yang diinginkan harus menjadi jumlah leukosit dan kadar CRP jika dibandingkan dengan
pertimbangan penting dalam perencanaan perawatan. pasien bukan pneumonia. Pada orang dewasa, konsentrasi
Karenanya, perubahan pada status fungsional harus CRP lebih dari 100 mg/l merupakan indikator kuat infeksi
dievaluasi dan diintervensi lebih lanjut. Penilaian status bakterial aktif dan memerlukan antibiotik meskipun tidak
fungsional juga berguna dalam memonitor respon spesifik untuk infeksi bakteri.
terhadap terapi dan juga sebagai faktor prognostik yang
akan membimbing klinisi dalam merencanakan perawatan Kelebihan dan Keterbatasan Penelitian
jangka panjang.40 Kelebihan penelitian ini yaitu merupakan penelitian
Perubahan status fungsional, gangguan metabolik, pertama yang menilai faktor-faktor diagnosis pneumonia
episode jatuh yang berulang ataupun eksaserbasi akut pada pasien usia lanjut di Indonesia dan mencoba mencari
dari penyakit kronik bisa menjadi gejala yang paling utama peranan manifestasi tidak khas terhadap diagnosis
muncul atau bahkan menjadi satu-satunya manifestasi pneumonia pada usia lanjut di Indonesia. Sedangkan,
pneumonia pad pasien usia lanjut. Perubahan status keterbatasan pada penelitian ini adalah jumlah subjek
fungsional ditandai dengan ketidakmampuan seorang usia yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan penelitian-
lanjut dalam melakukan aktivitas yang biasa dilakukan penelitian serupa di luar negeri. Selain itu, terdapat
sehari-hari.35 overlap antara baku emas diagnostik pneumonia dengan
faktor diagnostik yang diteliti dapat mengakibatkan over
Peran C-Reactive Protein Dalam Mendiagnosis estimate hasil analisis. Sebenarnya, standar baku emas
Pneumonia Komunitas Pada Usia Lanjut tidak boleh mengandung komponen variabel yang diteliti.
Pada penelitian ini, didapatkan median CRP pada Namun, kriteria diagnostik dapat dipakai karena memiliki
pasien pneumonia adalah 86,09 mg/dl (0,59-300). Nilai kriteria terbaik yang dapat dijadikan baku emas.32
Artikel Penelitian
1 2 3
Nurul Husna Muchtar , Deddy Herman , Yulistini
Abstrak
Tuberkulosis (TB) paru merupakan penyakit infeksi paru menular yang masih menjadi masalah kesehatan di
dunia terutama di negara berkembang. Timbulnya penyakit Tuberkulosis paru sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor.
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui gambaran distribusi frekuensi faktor risiko penyakit TB paru pada pasien yang
berkunjung ke unit DOTS RSUP Dr. M. Djamil Padang tahun 2015. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif
dengan menggunakan pendekatan cross sectional. Jumlah populasi adalah 77 orang, pengambilan sampel
menggunakan metode consecutive sampling untuk mendapatkan 65 orang. Penelitian dilakukan dari bulan Januari
hingga Oktober 2015 di Unit DOTS RSUP Dr. M. Djamil Padang. Data dianalisa secara komputerisasi dengan
tampilan deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabel. Didapatkan penderita TB paru dengan HIV negatif sebanyak 86,2
%, tidak memiliki riwayat DM 87,7%, memiliki status gizi kurang sebanyak 66,2% dan berdasarkan riwayat konsumsi
alkohol 98,5% bukan kelompok berisiko, serta 60% merupakan former smoker (mantan perokok).
Sebagian besar penderita TB Paru tidak memiliki riwayat HIV, tidak memiliki faktor risiko DM dan berdasarkan riwayat
konsumsi alkohol hampir semua pasien TB paru bukan kelompok risiko. Namun sebagian besar merupakan mantan
perokok dan memiliki status gizi kurang.
Kata kunci: tuberkulosis paru, HIV, diabetes melitus, malnutrisi, alkohol, rokok
Abstract
Pulmonary tuberculosis is a contagious pulmonary infection and still a world-wide health challenge especially in
developing countries. Pulmonary tuberculosis is affected by various factors. The objective of this study was to describe
the frequency distribution of risk factors of pulmonary tuberculosis disease arising among patients attending DOTS unit
of Dr. M. Djamil Padang Hospital in 2015. This cross sectional study was a descriptive research. Using consecutive
sampling method, 65 sample of tuberculosis patients were obtained from a total population of 77 tuberculosis patients.
The study was conducted from January to October 2015 in DOTS Unit of Dr. M. Djamil Padang Hospital. Data were
computerized and presented as descriptive analyzed and tabular form. The pulmonary tuberculosis patients with HIV-
negative are obtained as much as 86.2%, without diabetic 87.7%, malnutrition 66,2% and based on history of alcohol
consumption 98,5% are the non-risk group, while 60% of them are former smoker. In this study, most of the pulmonary
tuberculosis patients does not have history of HIV, without diabetic risk factors, and based on history of alcohol
consumption almost all of the patients are the non-risk group. The most of them has malnutrition status and former
smoker.
Keywords: pulmonary tuberculosis, HIV, diabetic, malnutrition, alcohol, smoking
Affiliasi penulis: 1. Prodi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Korespondensi: Nurul Husna Muchtar,
Universitas Andalas Padang (FK Unand), 2. Bagian Penyakit Paru FK Email: childof_mn@yahoo.com, Telp: 085274840909
Unand/RSUP Dr. M. Djamil Padang, 3. Bagian Pendidikan
Kedokteran FK Unand
Berdasarkan Tabel 1, tampak bahwa lebih dari dengan persentase 13,8%, sejalan dengan laporan
separuh penderita TB paru merupakan laki- laki yaitu WHO 2011 yang dikutip oleh Gooze dan Daley
sebesar 72,3% dan umur terlihat bahwa penderita TB menyatakan secara global terdapat 14,8% pasien TB
paru paling banyak pada umur diatas 45 tahun yang memiliki riwayat HIV dan di suatu wilayah di
16
sebesar 44,6%. Afrika didapatkan 50 – 80%. Angka ini lebih tinggi
Pada penelitian ini didapatkan 65 pasien TB dibandingkan angka estimasi nasional yang dilaporkan
paru sebagai responden 72,3% laki- laki. Hal ini sesuai oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
dengan hasil penelitian Masniari di RS. Persahabatan (Kemenkes RI) tahun 2011, dimana secara nasional
yang mendapatkan jumlah penderita TB paru laki-laki estimasi prevalensi HIV pada pasien TB baru adalah
12 17
sebanyak 61,7%. Alasan tingginya prevalensi TB 2,8%.
pada laki-laki sebenarnya belum ada teori yang jelas, Berdasarkan survei yang dilakukan di Unit
tetapi mungkin disebabkan karena aktivitas laki-laki DOTS RSUP Dr. M Djamil Padang hanya 33 orang
yang lebih banyak di luar sehingga lebih berisiko untuk dari 77 orang yang tercatatat di TB 03 sudah dikirim
terpapar kuman TB dan beberapa teori juga untuk melakukan screening HIV. Keputusan Menteri
menyatakan adanya perbedaan prevalensi infeksi, Kesehatan (KEPMENKES) RI Nomor 1278/MENKES/
tingkat perkembangan dari infeksi penyakit, tidak SK/XII/2009 tentang Pedoman Pelaksanaan
terdeteksinya pelaporan untuk perempuan, atau Kolaborasi Pengendalian Penyakit TB dan HIV bahwa
adanya perbedaan dalam akses terhadap layanan pada daerah dengan epidemi HIV rendah dan
13
kesehatan. Hal ini juga diperkuat dengan adanya terkonsentrasi, pasien yang memiliki faktor risiko HIV
kebiasaan merokok yang lebih banyak pada laki- dirujuk ke Unit Pelayanan Konseling dan Tes HIV
14
laki. Sukarela (UPK KTS), sementara daerah dengan
Berdasarkan pengelompokan umur, didapatkan epidemi HIV yang meluas (prevalensi HIV pada pasien
jumlah penderita TB paru tertinggi pada kelompok TB > 5%) KTS harus ditawarkan secara rutin tanpa
18
lansia >45 tahun (29 orang). Hasil ini sesuai dengan penilaian risiko.
survei TB nasional yang menemukan jumlah penderita HIV merupakan penyakit infeksi virus yang
15
TB terbanyak pada kelompok umur diatas 45 tahun. menyebabkan gangguan sistem imun. Setelah
Kejadian TB paru paling banyak pada lansia mungkin menginfeksi tubuh seseorang, virus HIV menyerang
19
disebakan karena pada usia ini sudah mulai terjadi dan merusak sel limfosit T-helper (CD4+), dimana
penurunan daya tahan tubuh, dan kondisi ini lebih sel limfosit CD4+ berperan sebagai pengatur utama
rentan untuk terkena penyakit, terutama penyakit respon imun, terutama melalui sekresi limfokin.
infeksi, salah satunya tuberkulosis. Sebagian zat kimia yang dihasilkan T-helper berfungsi
sebagai kemotaksin dan peningkatan kerja makrofag,
Tabel 2. Distribusi frekuensi responden berdasarkan monosit, dan sel Natular Killer. Kerusakan sel T-helper
riwayat HIV oleh HIV menyebabkan penurunan sekresi antibodi
20
HIV f % dan gangguan pada sel imun lainnya.
Seseorang dengan imunokompeten terinfeksi
Positif 9 13,8
kuman TB, makrofag akan memfagosit kuman yang
Negatif 56 86,2
masuk dan sel CD4+ berperan dalam meningkatkan
Jumlah 65 100
kapasitas fagosit makrofag, sehingga kuman TB tidak
21
berkembang dan tidak akan timbul sakit TB. Pada
Berdasarkan Tabel 2, terlihat bahwa sebagian
orang yang terinfeksi HIV, secara perlahan kadar
besar pasien TB paru tidak memiliki riwayat HIV yaitu 1
CD4+ turun menjauhi kadar normal . Pasien dengan
sebesar 86,2%
kadar CD4+ kurang dari 200/µl darah akan mengalami
Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa
imunosupresi yang berat dan keadaan ini merupakan
terdapat 9 orang responden memiliki status HIV positif 22
risiko tinggi untuk terjangkit infeksi oportunistik.
27
Penurunan kadar dan disfungsi sel CD4 yang non diabetes. Penyebab meningkatnya insiden
progresif, ditambah dengan adanya kerusakan fungsi tuberkulosis paru pada pasien diabetes mungkin
makrofag dan monosit pada penderita HIV menjadi karena adanya gangguan respon selular pada pasien
21
predisposisi untuk terjadinya sakit TB. Diperkirakan DM yang mengakibatkan melemahnya sistem imun
pasien HIV yang terinfeksi TB lebih berisiko untuk tubuh, sehingga meningkatkan risiko aktivasi TB
29
mengalami perkembangan menjadi sakit TB sebanyak laten.
23
21 – 34 kali, dan sekitar 60% pasien HIV yang Pada orang sehat, kuman TB yang masuk dan
24
terinfeksi TB akan menjadi sakit TB. menginfeksi tubuh akan dihadang oleh sel PMN (Poli
Peningkatan ini dibandingkan dengan estimasi Morfo Nuklear) dan difagosit oleh makrofag. Namun
nasional mungkin dikarenakan meningkatnya angka pada penederita DM, kemampuan mobilisasi,
kasus HIV di Sumatera Barat (Sumbar) terutama di kemotaksis dan fagositosis dari sel PMN menurun
kota Padang, sesuai dengan laporan Badan akibat kondisi hiperglikemia, sehingga aktivitas
Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) bakterisid dari PMN pada penderita DM menurun.
yang menyatakan bahwa jumlah kasus HIV/AIDS di Selain sel PMN, sel mononuklear juga mengalami
provinsi Sumatera Barat mengalami peningkatan sejak penurunan secara kuantitatif, demikian juga
tahun 2007 sebanyak lebih 100 kasus baru per kemampuan deteksinya terhadap mikroorganisme
tahunnya, dan pada tahun 2013 ditemukan 348 kasus juga menurun, diduga akibat penurunan sensitivitas
25
HIV/AIDS di kota Padang. reseptor atau penurunan jumlah reseptor yang ada
pada monosit tersebut.
Tabel 3. Distribusi frekuensi responden berdasarkan Penurunan sistem imun dan rentannya jaringan
riwayat DM terhadap kerusakan terjadi akibat glucotoxicity pada
Riwayat DM f % DM. Glucotoxicity diartikan sebagai proses kerusakan
30
yang timbul akibat adverse effect hiperglikemi kronis.
Ada 8 12,3
Gangguan aktivitas dan lemahnya daya imun seluler
Tidak ada 57 87,7
menyebabkan sel-sel imun tidak mampu menghadang
Jumlah 65 100
dan memfagosit kuman TB yang menginfeksi tubuh,
akibatnya kuman TB terus berkembang dan
Berdasarkan Tabel 3, tampak bahwa
menimbulkan sakit TB pada orang tersebut.
sebagian besar penderita TB paru tidak memiliki
riwayat DM yaitu sebesar 87,7%.
Tabel 4. Distribusi frekuensi responden berdasarkan
Data sekunder yang didapatkan dari rekam
riwayat alkohol
medis pasien, frekuensi pasien TB paru dengan
Riwayat konsumsi
riwayat DM didapatkan lebih banyak pada laki laki f %
alkohol
dibandingkan perempuan (5:3) dengan persentase
Berisiko 1 1,5
62,5%:37,5%, sebagaimana temuan Zhao et al yang
dikutip oleh Widjayanto et al mengatakan bahwa laki- Tidak berisiko 64 98,5
pada tahun 2010 didapatkan 14,4% pasien TB paru timbulnya TB, namun konsumsi alkohol berat lebih dari
memiliki riwayat konsumsi alkohol, namun pada 40 gram per hari atau alkoholism meningkatkan risiko
31
penelitian ini tidak memperhitungkan banyaknya yang hingga 3,5 kali untuk mengidap sakit TB.
9
diminum. Dinilai berdasarkan frekuensi minum
didapatkan sebagian kecil minum setiap hari (3 orang), Tabel 5. Distribusi frekuensi responden berdasarkan
satu kali seminggu (3 orang), dan tidak rutin status gizi
(conditional) sebanyak 11 orang dengan banyaknya IMT f %
minum 1 sloki hingga 3 botol per kali minum.
Gizi Kurang 43 66,1
Hasil ini memperlihatkan bahwa mengonsumsi
minuman beralkohol bukan merupakan kebiasaan Gizi Cukup 20 30,8
epidemiologi, untuk menilai suatu kausalitas itu nyata Merokok menjadi salah satu faktor risiko yang
atau tidak, harus memenuhi beberapa kriteria. Hill meningkatkan kejadian TB akibat penurunan daya
(1965) dalam Mahmudiono (2012) merumuskan tahan tubuh dan kerusakan saluran pernafasan pada
sembilan kriteria kausalitas, salah satunya temporality orang yang sering merokok.
yang mengacu pada perlunya suatu kausa mendahului
suatu outcome yang diasumsikan sebagai efek dari SIMPULAN
38
kausa tersebut. Pada penelitian ini sulit dinilai Hampir semua penderita TB paru bukan
apakah gizi kurang pada pasien terjadi sebelum atau kelompok berisiko berdasarkan riwayat konsumsi
setelah sakit TB. alkohol.
Lebih dari separuh penderita TB paru memiliki
Tabel 6. Distribusi frekuensi responden berdasarkan status gizi kurang.
riwayat merokok Sebagian besar penderita TB paru merupakan
Klasifikasi f % former smoker (mantan perokok).
dengan angka kejadian merokok pada pasien TB paru Tuberkulosis: pedoman diagnosis dan
yang diteliti oleh Widyanita et al di Manado yaitu penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: PDPI;
57,9%.
39
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di 2011.
Makasar pada pasien yang berkunjung ke Poli Paru 2. World Health Organization (WHO). Fact Sheet No
yang sebelumnya pernah merokok dari 46 orang 3. PDPI. Tuberkulosis: pedoman diagnosis dan
Hasil wawancara yang dilakukan pada Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2006.
responden yang tergolong former smoker dan current 4. Dinas Kesehatan Kota Padang. Profil kesehatan
smoker 15 orang telah merokok selama lebih dari 20 tahun 2013. Dinas Kesehatan Kota Padang; 2014.
tahun dan yang memiliki Indeks Brinkman (IB) berat 5. Kementrian Kesehatan RI. Riset kesehatan dasar.
sebanyak 12 orang selebihnya IB sedang (12 orang) Kementrian Kesehatan RI; 2013.
dan IB ringan (16 orang). Pasien former smoker 6. Narasimhan P, Wood J, MacIntyree CR, Mathai D.
merupakan pasien TB Paru yang memiliki riwayat Review article: risk factors for tuberculosis.
merokok dan pada saat dilakukan penelitian sudah Hindawi Publishing Corporation. Pulmonary
setelah didiagnosis oleh dokter menderita penyakit TB 7. Kementrian Kesehatan RI. Penanggulangan
Paru (30,7%) dan yang lainnya mengaku sudah tuberkulosis terpadu- TB Indonesia. Kementrian
berhenti merokok beberapa tahun sebelum sakit TB. Kesehatan RI; 2015.
8. Nazulis RA. Drug related problem pada pasien 20. Murtiastutik D. AIDS. Dalam: Barakhbah J, editor
diabetes melitus tipe 2 dengan tuberkulosis paru di (penyunting). Buku Ajar infeksi menular seksual.
bangsal penyakit dalam dan poliklinik Surabaya: Airlangga University Press; 2008.
RSUP.Dr.M.Djamil Padang (artikel penelitian). 21. Bhatia RS. HIV and tuberculosis: the ominous
Padang: Fakultas Kedokteran Universitas connection. IJCP. 2001.
Andalas; 2011. 22. Lan VM. Virus Imunodefisiensi Manusia (Hiv) dan
9. Erick. Hubungan antara konsumsi alkohol dengan Sindrom Imunodefisiensi Didapat (AIDS). Dalam:
prevalensi tuberkulosis paru pada pasien diabetes Hartanto H, (penterjemah). Patofisiologi: konsep
mellitus tipe 2 di rumah sakit Cipto Mangunkusumo klinis proses- proses penyakit. Jakarta: EGC; 2006.
tahun 2010. Jakarta: Fakultas Kedokteran 23. World Health Organization (WHO). TB/HIV facts
Universitas Indonesia (FKUI); 2012. 2012-2013. WHO; 2013.
10. Panjaitan F. Karakteristik penderita tuberkulosis 24. Wijaya IMK. Infeksi HIV (human immunodeficiency
paru dewasa rawat inap di rumah sakit umum DR. virus) pada penderita tuberkulosis. Procc MIPA 3.
Soedarso Pontianak periode September – 2013: 295-303.
November 2010. Pontianak: Fakultas Kedokteran 25. BAPPEDA SUMBAR. Kajian pengembangan
dan Ilmu Kesehatan Universitas Tanjungpura; strategi penanggulangan HIV/AIDS melalui
2012. pendekatan sosial budaya. BAPPEDA SUMBAR;
11. Sarwani D, Nurlela S, Zahrotul I. Faktor risiko 2015.
multidrug resistant tuberculosis (MDR-TB). Jurnal 26. Widjayanto A, Burhan E, Nawas A, Rochsis
Kesehatan Masyarakat. 2012;8:60-6. mandoko. Faktor terjadinya tuberkulosis paru pada
12. Masniari L. Penilaian hasil pengobatan TB paru pasien diabetes mellitus tipe 2. J Respir Indo.
dan faktor- faktor yang mempengaruhinya serta 2015;35:1-11.
alasan putus berobat di RS Persahabatan Jakarta. 27. World Health Organization (WHO). Tuberculosis &
Jakarta: Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran diabetes. WHO; 2011.
Respirasi FKUI; 2004. 28. Cahyadi A, Venty. Tuberkulosis paru pada pasien
13. Zaman K. Tuberculosis: a global health problem. J diabetes mellitus. Departemen Ilmu Penyakit
Health Popul Nutr. 2010;28:111-3. Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Kristen
14. Watkins RE, Plant AJ. Does smoking explain sex Atma Jaya. RS Atma Jaya. Jakarta: J Indon Med
differences in the global tuberculosis epidemic Assoc. 2011.
infect. Cambridge University Press. Epidemiol 29. Restrepo BI, et al.Tuberculosis in poorly controlled
Infect. 2006;134:333-9. type 2 diabetes: altered cytokine expression in
15. Departemen Kesehatan RI. Survei prevalensi peripheral white blood cells. Clin Infect Dis. 2008;
tuberkulosis di Indonesia tahun 2004. Jakarta: 47:634-41.
Badan Litbang DepKes; 2005. 30. Manaf A. Genetical Abnormality and glucotoxicity
16. Gooze L, Daley CL. Tuberculosis and HIV. San in DM. Sub Bagian Metabolik Endokrin. Padang:
Fransisco: University of California; 2013. Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
17. Kementrian Kesehatan RI. Strategi nasional Universitas Andalas; 2008.
pengendalian TB di Indonesia 2010-2014. 31. Lonnorth K, Williams BG, Stadlin S, Jaramillo E,
Kementrian Kesehatan RI; 2011. Dye C. Alcohol use as a risk factor for tuberculosis-
18. Kementrian Kesehatan RI. Keputusan menteri a systematic review. BMC Public Health.
kesehatan (KEPMENKES) RI nomor 1278/ 2008;8:289.
MENKES/SK/XII/2009. Jakarta: Kementrian 32. Diandini R, Roestam AW, Yunus F. Pengaruh
Kesehatan RI; 2009. pekerjaan dengan pajanan debu silika terhadap
19. Simbolon E. Pola kelainan kulit pada pasien HIV/ risiko tuberkulosis. Maj Kedokt Indon. 2009;59:
AIDS di RSUP Haji Adam Malik (artikel penelitian). 412-7.
Medan: Universitas Sumatera Utara; 2011.
33. Rehm J, Samokhvalov AV, Neuman MG, Room R, 37. Siagan A. Gizi, imunitas, dan penyakit infeksi.
Parry C, Lonnorth K, et al. The Association Medan: Departemen Gizi dan Kesehatan
between alcohol use, alcohol use disorders and Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat
tuberculosis (TB). BMC Public Health. 2009;9:450. Universitas Sumatera Utara; 2010.
34. Supriyo, Baequny A, Hidayati S, Hartono M, 38. Mahmudiono T. Kriteria kausalitas Hill. web
Harnany AS. Pengaruh perilaku dan status gizi mahasiswa Universitas Airlangga. 2012.
terhadap kejadian TB paru di kota Pekalongan. 39. Widyanita KS, Wongkar MCP, Langi Y A. Angka
Pena Medika Jurnal Kesehatan. 2013;4:1-8. kejadian merokok pada pasien TB paru yang
35. Arsin AA, Wahiduddin, Anshar J. Gambaran berobat di poliklinik Dots pada bulan November
asupan zat gizi dan status gizi penderita TB paru di 2014. Jurnal e-Clinic. 2015;3:408 – 11.
kota Makassar. Makassar:Universitas Hasanuddin; 40. Sajinadiyasa IGK, Bagiada IM, Ngurah Rai IB.
2012. Prevalensi dan risiko merokok terhadap penyakit
36. Pratomo IP, Burhan E, Tambunan V. Malnutrisi paru di poliklinik paru rumah sakit umum pusat
dan tuberkulosis. J Indon Med Assoc. 2012. Sanglah, Denpasar. Journal of Internal Medicine.
2010;11:91 – 5.
Universitas Airlangga
1,2,3
*maratulhasanah31@gmail.com
*andry_remas@yahoo.co.id
DOI : 10.24252/kesehatan.v11i2.5415
Abstrak
TB-MDR terjadi karena kegagalan pengobatan, putus pengobatan, atau pengobatan yang tidak
benar sehingga terjadinya resistensi primer. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis
hubungan antara dukungan keluarga dengan Efikasi Diri penderita Tuberkulosis resisten obat
di Poli TB-MDR RSUD Ibnu Sina Gresik. Metode : Desain penelitian deskriptif korelasional
melibatkan 15 responden Penderita TB-MDR yang sedang menjalani pengobatan di poli TB-
MDR RSUD Ibnu Sina Gresik pada 28 Maret – 28 Juni 2018 yang di pilih menggunakan
consecutive sampling. Variabel bebas adalah dukungan keluarga. Variabel terikat adalah
Efikasi Diri. Data diperoleh menggunakan kuesioner yang kemudian dianalisis menggunakan
Spearman rho dengan derajat kemaknaan α ≤ 0,05. Hasil dan Analisis : Dukungan keluarga
tidak berhubungan secara signifikan terhadap Efikasi Diri dengan p-value = 0,120 atau (p ≥
0,05). Kesimpulan : semua responden penderita TB-MDR di Poli TB-MDR RSUD Ibnu Sina
Gresik memiliki dukungan keluarga yang positif dan Efikasi Diri tinggi. Saran bagi peneliti
selanjutnya agar meneliti tentang hubungan antara dukungan keluarga dengan Efikasi Diri
yang dapat meningkatkan partisipasi dukungan keluarga.
Abstract
Multidrug resistant (TB-MDR) occurs due to treatment failure, dropping, treatment, or improper
treatment resulting in primary resistant. This research aimed to analyze the correlation between family
support and self efficacy of multidrug resistant patient at TB-MDR Polly Ibnu Sina Hospital Gresik.
Method : Descriptive correlational involved 15 respondents of TB-MDR patient who were undergoing
treatment in poly TB-MDR of Ibnu Sina Gresik Hospital on 28 march – 28 june 2018 who were selected
using consecutive sampling. Independent variable was family support. Dependent variable was self
efficacy. Data were retrieved by questionnaire then analyzed using spearman rho with degree of meaning
α ≤ 0,05. Result and analyze: Family support not significantly correlated with self efficacy with p-value =
0,120 or (p ≥ 0,05). Conclusion : All respondents of TB-MDR patients in TB-MDR Ibnu Sina Hospital
Gresik have positive family support and high self efficacy. Suggestions for further researcher to research
about health education to increase the participation of family support for TB-MDR patients.
Hubungan dukungan keluarga dengan efikasi diri penderita Tuberculosis Multidrug Resistant 72
(TB-MDR) di poli TB-MDR RSUD Ibnu Sina Gresik
JURNAL KESEHATAN Vol 11 No 2 Tahun 2018 P-ISSN : 2086-2555; E-ISSN : 2622-7363
PENDAHULUAN
WHO melaporkan pada tahun 2016 sebanyak 10,4 juta orang terkena TB kasus baru
dan 1,4 juta orang diantaranya meninggal. Indonesia merupakan negara dengan pasien
TB terbanyak ke-2 di dunia (WHO, 2016). Tahun 2015 diperkirakan 3,9% dari kasus
baru dan 21% kasus lama mengalami TB-MDR terhitung sejumlah 580.000 kasus.
Indonesia menempati urutan ke-4 kasus TB-MDR dengan estimasi 32.000 kasus dengan
2,8% dari kasus baru dan 16% kasus lama (WHO, 2016). Kementerian Kesehatan RI
(2014) melaporkan ada sekitar 6.900 pasien TB-MDR dengan 5.900 orang (1,9%) kasus
baru dan 1.000 orang (12%) dari kasus pengobatan ulang. Berbeda dengan data dari
survey yang dilakukan di Kota Surabaya menunjukkan bahwa pasien TB-MDR yang
ditemukan berasal dari kelompok pasien gagal pengobatan dengan kategori-1 maupun
kategori-2 (23,2%), pasien gagal pengobatan kategori-1 (13,2 %), dan 9.8% adalah pasien
yang diobati di luar sarana yang menerapkan strategi DOTS (Dinas Kesehatan Jatim,
2014). Di Gresik, penderita TB paru mencapai ribuan orang. Berdasarkan data Dinas
Kesehatan Gresik (2017) terdapat 7.653 orang yang diperiksa. Sebanyak 1.733 orang
diantaranya dinyatakan positif. Pasien TB yang sudah kebal obat atau TB-MDR
mencapai 101 tiap tahun.
Efikasi Diri merupakan suatu proses kognitif terkait kenyamanan individu dalam
melakukan suatu hal sehingga mempengaruhi motivasi, proses berpikir, kondisi
emosional serta lingkungan sosial yang menunjukkan suatu kebiasaan yang spesifik.
Efikasi Diri yang tinggi dapat meningkatkan pengobatan TB-MDR sedangkan Efikasi
Diri yang rendah akan berakibat pada kegagalan pengobatan. Bandura (1986)
mengungkapkan bahwa semua orang dapat memiliki efikasi diri yang tinggi jika tidak
terdapat suatu halangan yang berarti untuk diatasi, sehingga tugas tersebut sangat
mudah dilakukan. Hal ini dapat terjadi karena adanya faktor pendukung yang dapat
meningkatkan motivasi. Orang yang memiliki keyakinan kuat pada usahanya
meskipun suatu hal terlihat sulit untuk dihadapi, misalnya penyakit tuberkulosis
resisten obat.
Dukungan keluarga akan meningkatkan harapan dan kualitas hidupnya. Hal ini
sesuai dengan yang diungkapkan Laserman & Perkins (2001 dalam Kusuma 2011),
dukungan keluarga sangat dibutuhkan oleh orang dengan penderita TB-MDR sebagai
Hubungan dukungan keluarga dengan efikasi diri penderita Tuberculosis Multidrug Resistant 73
(TB-MDR) di poli TB-MDR RSUD Ibnu Sina Gresik
JURNAL KESEHATAN Vol 11 No 2 Tahun 2018 P-ISSN : 2086-2555; E-ISSN : 2622-7363
sistem pendukung utama sehingga dapat mengembangkan respon koping yang efektif
untuk beradaptasi dengan baik dalam menangani stresor yang dihadapi terkait
penyakitnya baik fisik, psikologis maupun sosial. Pengawas Menelan Obat (PMO)
untuk pasien TB paru terbanyak adalah keluarga (Suami, istri, orangtua, anak,
menantu) yaitu sebanyak 93%, sebanyak 4,7% petugas kesehatan dan sebanyak 2,3%
adalah lainnya (Rachmawati & Turniani, 2006). Dukungan yang baik diperlukan dalam
masa pengobatan penyakit TB yang mengharuskan untuk mengkonsumsi obat dengan
jangka waktu yang lama. Individu yang termasuk dalam memberikan dukungan sosial
salah satunya adalah keluarga. Beberapa pendapat mengatakan kedekatan dalam
hubungan merupakan sumber dukungan sosial yang paling penting (Royce, S.et.al.,
2014). Secara fungsional dukungan mencakup emosional berupa adanya ungkapan
perasaan, memberi nasihat atau informasi, dan pemberian bantuan material. Dukungan
juga terdiri atas pemberian informasi secara verbal atau non verbal, bantuan nyata atau
tindakan yang diberikan oleh keakraban sosial atau didapat karena kehadiran keluarga
mempunyai manfaat emosional atau efek perilaku bagi pihak penerima (Royce, S.et al.,
2014).
Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan di Poli TB-MDR RSUD Ibnu
Sina Gresik pada tanggal 06 April 2018, dari 5 klien TB-MDR di dapatkan informasi
bahwa tiga klien efikasi diri tinggi dan datang ke Poli TB-MDR diantar oleh keluarga.
Dua orang lainnya efikasi diri rendah dan sering datang sendiri ke Poli TB-MDR. Data
lima orang tersebut didapatkan sebanyak dua orang mengatakan sudah bosan dengan
penyakitnya dan merasa membebani keluarga, sedangkan tiga orang lainnya
mengatakan sulit melakukan aktivitas sehari-hari karena sakit yang diderita serta
merasa kurang diperhatikan oleh keluarganya. Hubungan dukungan keluarga dengan
Efikasi Diri penderita Tuberkulosis resisten obat (TB-MDR) di Poli TB-MDR RSUD Ibnu
Sina Gresik belum dapat dijelaskan. Hasil penelitian Muhtar (2013) tentang pengaruh
pemberdayaan keluarga dalam meningkatkan efikasi diri dan self care activity keluarga
dan penderita tuberculosis paru menunjukkan bahwa pasien yang bersama-sama
keluarga mendapatkan intervensi pemberdayaan keluarga memiliki efikasi diri yang
lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol.
Hubungan dukungan keluarga dengan efikasi diri penderita Tuberculosis Multidrug Resistant 74
(TB-MDR) di poli TB-MDR RSUD Ibnu Sina Gresik
JURNAL KESEHATAN Vol 11 No 2 Tahun 2018 P-ISSN : 2086-2555; E-ISSN : 2622-7363
TB Paru (Ajzen, 2005). Dukungan keluarga termasuk dalam control beliefs yang secara
langsung mempengaruhi kendali perilaku. Perilaku terkendali dapat mempengaruhi
intensi/niat atau secara langsung berpengaruh terhadap kepatuhan berobat penderita
TB-MDR. Terjadinya dukungan keluarga didukung oleh beberapa faktor dasar
(Background factors) meliputi personal, sosial, dan informasi.
METODOLOGI PENELITIAN
Hubungan dukungan keluarga dengan efikasi diri penderita Tuberculosis Multidrug Resistant 75
(TB-MDR) di poli TB-MDR RSUD Ibnu Sina Gresik
JURNAL KESEHATAN Vol 11 No 2 Tahun 2018 P-ISSN : 2086-2555; E-ISSN : 2622-7363
Semua pertanyaan pada dua jenis kuesioner di atas dinyatakan valid dan reliabel
sehingga kuesioner tersebut dapat dipakai dalam penelitian ini.
3 Umur
< 25 tahun 1 6,7
25 - 35 tahun 5 33,3
> 35 tahun 9 60,0
Total 15 100,0
4 Pendidikan
SD 2 13,3
SLTP 10 66,7
SLTA 3 20,0
Total 15 100,0
5 Pekerjaan
Tidak Bekerja 14 93,3
Wiraswasta 1 6,7
Total 15 100,0
6 Status Pernikahan
Belum 2 13,3
Nikah 13 86,7
Total 15 100,0
Hubungan dukungan keluarga dengan efikasi diri penderita Tuberculosis Multidrug Resistant 76
(TB-MDR) di poli TB-MDR RSUD Ibnu Sina Gresik
JURNAL KESEHATAN Vol 11 No 2 Tahun 2018 P-ISSN : 2086-2555; E-ISSN : 2622-7363
tuberkulosis resisten obat, yaitu sebanyak 9 orang (60%) berusia lebih dari 35 tahun,
sedangkan sebanyak 6 (33,3%) berusia 25 sampai 35 tahun. Berdasarkan data di atas
tingkat pendidikan SLTP lebih banyak dimiliki oleh responden yaitu sebanyak 10 orang
(66,7%). Sebagian besar responden memiliki status perkawinan sudah menikah
sebanyak 13 orang (86,7%). Terdapat 14 orang (93,3%) responden penderita TB-MDR
tidak bekerja.
Subbab ini menyajikan tabel distribusi frekuensi mengenai dukungan keluarga, self
efficacy dan dukungan keluarga dengan self efficacy penderita Tuberculosis Multidrug
Resistant (TB-MDR) di Poli TB-MDR RSUD Ibnu Sina Gresik.
1) Dukungan Keluarga
Hubungan dukungan keluarga dengan efikasi diri penderita Tuberculosis Multidrug Resistant 77
(TB-MDR) di poli TB-MDR RSUD Ibnu Sina Gresik
JURNAL KESEHATAN Vol 11 No 2 Tahun 2018 P-ISSN : 2086-2555; E-ISSN : 2622-7363
Ditinjau dari ketiga domain pada dukungan keluarga menunjukkan hasil bahwa
tiap domain memiliki total skor yang berbeda. Domain informasional memiliki total
skor sebesar 152, dan domain instrumental sebesar 148, sedangkan domain
emosional dan harga diri sebesar 153, sehingga pada penelitian ini menunjukkan
bahwa domain emosional dan harga diri memiliki peran yang besar dalam
dukungan keluarga. Domain dukungan emosional dan harga diri oleh keluarga
untuk penderita ini sangat penting karena menyangkut faktor psikologis dan mental
yang dapat meningkatkan motivasi penderita untuk sembuh. Hal ini dikarenakan
dalam domain ini mencakup ungkapan empati, kepedulian, dan perhatian terhadap
penderita yang diberikan keluarga selaku pihak yang paling dipercayai oleh
penderita. Meskipun demikian, domain lain juga sangat diperlukan sebagai
dukungan, baik secara informasional maupun instrumental karena motivasi saja
tidak akan cukup bagi penderita untuk sembuh dari tuberkulosis resisten obat.
2) Efikasi Diri
Hubungan dukungan keluarga dengan efikasi diri penderita Tuberculosis Multidrug Resistant 78
(TB-MDR) di poli TB-MDR RSUD Ibnu Sina Gresik
JURNAL KESEHATAN Vol 11 No 2 Tahun 2018 P-ISSN : 2086-2555; E-ISSN : 2622-7363
Efikasi Diri penderita Tuberkulosis Resisten Obat (TB-MDR) di RSUD Ibnu Sina
Gresik yang yang diukur dengan 10 item pertanyaan jika dihubungkan dengan
klasifikasi keyakinan pada definisi operasional, maka diperoleh hasil bahwa
keyakinan mendapat sumber informasi pada variabel Efikasi Diri menjadi
penyumbang skor tertinggi dengan rata-rata skor mendekati 5, yaitu sebesar 4,70.
Pada bagian ini akan disajikan data dalam bentuk tabel yang menjelaskan mengenai
pola hubungan antar variabel penelitian yaitu dukungan keluarga dan Efikasi Diri
yang dinilai menggunakan uji statistik bivariat dengan Spearman Rho. Berikut
adalah tabel hubungan antara variabel tersebut:
Tabel 5.4 Hubungan Dukungan Keluarga dan Efikasi Diri Penderita Tuberculosis
Multidrug Resistant (TB-MDR)
Dukungan Self Efficacy Total P-Value Coefficient
Keluarga Rendah Sedang Tinggi correlation
Positif 0 0% 0 0% 15 100% 15 100%
0,120 -0,419
Negatif 0 0% 0 0% 0 0% 0 0%
Total 0 0% 0 0% 15 100% 15 100%
Tabel 5.4 menunjukkan bahwa tingkat Efikasi Diri dengan dukungan keluarga
positif sangat tinggi, yaitu sebanyak 15 responden dengan persentase 100%.
Responden berkategori Efikasi Diri tinggi dengan dukungan keluarga yang positif
sebanyak 15 responden dengan persentase 100%. Sedangkan Efikasi Diri berkategori
rendah dengan keluarga yang mendukung secara positif sebesar 0%. Berdasarkan
hasil tersebut, diketahui bahwa nilai p-value atau Sig. (2-tailed) pada Spearman Rho
Test sebesar 0,120 yang lebih dari taraf signifikan α=0,05. Hal ini menyebabkan
penerimaan hipotesis nol (H0) yang menyatakan bahwa tidak terdapat korelasi atau
hubungan yang signifikan antara dukungan keluarga dan Efikasi Diri. Sedangkan
koefisien korelasi (correlation coefficient) Spearman Rho dukungan keluarga dan
Efikasi Diri sebesar -0,419.
Faktor dalam membentuk Efikasi Diri bukanlah semata dari dukungan keluarga,
melainkan pengetahuan, sikap, tingginya harga diri, merasa mempunyai
kemampuan yang cukup, mempunyai keyakinan untuk mengambil tindakan serta
kepercayaan akan kemampuan untuk mengubah situasi (Notoatmodjo, 2010).
Dengan demikian faktor-faktor tersebut yang dimungkinkan berperan lebih kuat
dalam pembentukan Efikasi Diri responden penelitian. Hal ini didukung dengan
penelitian Kholifah (2014) dan Hidayati (2012) bahwa kedua penelitian
menunujukkan Efikasi Diri terbentuk dari self management intervention yang
diterapkan pada kasus diabetes mellitus dan hipertensi. Intervensi tersebut tidak
Hubungan dukungan keluarga dengan efikasi diri penderita Tuberculosis Multidrug Resistant 79
(TB-MDR) di poli TB-MDR RSUD Ibnu Sina Gresik
JURNAL KESEHATAN Vol 11 No 2 Tahun 2018 P-ISSN : 2086-2555; E-ISSN : 2622-7363
PEMBAHASAN
a. Dukungan Keluarga
Individu yang memperoleh dukungan keluarga tinggi akan menjadi lebih optimis
dalam menghadapi masalah kesehatan serta kehidupannya akan lebih terampil dalam
memenuhi kebutuhan psikologi (Suhita, 2005 dalam setiadi,2008). Hal ini sesuai dengan
hasil penelitian ini bahwa semua anggota keluarga penderita TB-MDR telah
memberikan dukungan yang positif bagi penderita baik secara moril maupun materil.
Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Irnawati dkk (2016) bahwa dukungan
keluarga yang diperoleh klien tuberkulosis adalah baik atau positif.
Dukungan keluarga yang paling baik dalam penelitian ini terletak pada domain
dukungan emosional dan harga diri, sedangkan domain dukungan keluarga yang
paling rendah terletak pada domain dukungan instrumental. Domain dukungan
emosional dan harga diri berperan penting karena menyangkut faktor psikologis dan
mental yang dapat meningkatkan motivasi penderita untuk sembuh. Hal ini
dikarenakan dalam domain ini mencakup ungkapan empati, kepedulian, dan perhatian
terhadap penderita yang diberikan keluarga selaku pihak yang paling dipercayai oleh
penderita. Domain keluarga lainnya juga sangat penting untuk meningkatkan derajat
kesehatan klien, seperti domain instrumental. Domain ini mencakup waktu dan fasilitas
kesehatan terkait pengobatan (biaya dan transportasi), peran aktif keluarga, dan
pembiayaan kesehatan sangat mendukung terjaminnya kesehatan klien.
Hubungan dukungan keluarga dengan efikasi diri penderita Tuberculosis Multidrug Resistant 80
(TB-MDR) di poli TB-MDR RSUD Ibnu Sina Gresik
JURNAL KESEHATAN Vol 11 No 2 Tahun 2018 P-ISSN : 2086-2555; E-ISSN : 2622-7363
keluarga lain tentu akan memberikan dukungan yang positif bagi penderita untuk
sembuh. Peneliti meyakini bahwa empati yang dimiliki keluarga terhadap sesama
anggota sangat tinggi dibanding orang lain. Hal ini menyebabkan empati tersebut
mendorong keluarga untuk memberikan dukungan penuh bagi penderita apalagi
penyakit tuberkulosis resisten obat mengharuskan penderita mengkonsumsi obat
dalam kurun waktu yang lama.
b. Efikasi Diri
Bandura (1986) mengungkapkan bahwa semua orang dapat memiliki Efikasi Diri
yang tinggi jika tidak terdapat suatu halangan yang berarti untuk diatasi, sehingga
tugas tersebut sangat mudah dilakukan. Hal ini dapat terjadi karena adanya faktor
pendukung yang dapat meningkatkan motivasi. Orang yang memiliki keyakinan yang
kuat akan bertekun pada usahanya meskipun suatu hal terlihat sulit untuk dihadapi,
misalnya penyakit tuberkulosis resisten obat. Sehingga pada penelitian ini terdapat
banyak responden penderita tuberkulosis resisten obat yang memiliki Efikasi Diri
tinggi.
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa skor terendah (62 dari skor maksimal 75)
berada pada item pernyataan nomor 7, yaitu penderita yakin dapat mengatasi
ketidaknyamanan fisik atau rasa sakit yang saya alami selama sakit. Hal ini dapat
terjadi karena penderita mungkin mampu secara mental untuk memotivasi diri dari
menahan rasa sakit, namun faktanya fisik penderita tidak mampu. Hal ini
menyebabkan jawaban yang diberikan responden pada item pernyataan ini lebih
rendah dari item pernyataan lain.
Item pernyataan yang memiliki skor paling tinggi (73 dari skor maksimal 75)
terdapat pada nomor 3, yaitu penderita yakin keluarga mau mendengarkan keluhan
dan memberi dukungan emosional kepada penderita. Hal ini terjadi karena penderita
menganggap bahwa keluarga merupakan orang terdekat yang mampu memberi
dukungan emosional bagi penderita. Sebagaimana dijelaskan Duval dan Logan dalam
Efendi dan Makhfudi (2009) bahwa dalam keluarga terdapat kedekatan emosional
akibat adanya ikatan hubungan darah, perkawinan, maupun adopsi. Sehingga,
Hubungan dukungan keluarga dengan efikasi diri penderita Tuberculosis Multidrug Resistant 81
(TB-MDR) di poli TB-MDR RSUD Ibnu Sina Gresik
JURNAL KESEHATAN Vol 11 No 2 Tahun 2018 P-ISSN : 2086-2555; E-ISSN : 2622-7363
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dukungan keluarga dan Efikasi Diri
penderita Tuberkulosis Resisten Obat (TB-MDR) di poli TB-MDR RSUD Ibnu Sina
Gresik. Analisis tersebut dilakukan dengan melibatkan 15 responden, yaitu penderita
tuberkulosis resisten obat yang dinilai menggunakan kuesioner. Berdasarkan hasil
penelitian yang diperoleh dengan Spearman Rho Test seperti ditunjukkan pada tabel
5.6, dukungan keluarga dan Efikasi Diri penderita tuberkulosis resisten tidak terdapat
hubungan yang signifikan. Hal ini terlihat dari nilai p-value (Sig. 2-tailed) yang lebih
dari α.
Rock dan Dooley dalam Kuntjoro (2002) menyatakan bahwa keluarga memainkan
suatu peranan penting yang bersifat mendukung selama penyembuhan dan pemulihan
anggota keluarga, sehingga dapat mencapai derajat kesehatan secara optimal. Namun,
teori ini tidak sesuai dengan hasil penelitian karena kedua variabel yang tidak memiliki
hubungan yang signifikan berdasarkan hasil uji Spearman Rho. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa keluarga penderita memberikan dukungan yang positif terhadap
penderita dan Efikasi Diri penderita juga berada pada kategori tinggi.
Hubungan dukungan keluarga dengan efikasi diri penderita Tuberculosis Multidrug Resistant 82
(TB-MDR) di poli TB-MDR RSUD Ibnu Sina Gresik
JURNAL KESEHATAN Vol 11 No 2 Tahun 2018 P-ISSN : 2086-2555; E-ISSN : 2622-7363
Faktor dalam membentuk Efikasi Diri bukanlah semata dari dukungan keluarga,
melainkan pengetahuan, sikap, tingginya harga diri, merasa mempunyai kemampuan
yang cukup, mempunyai keyakinan untuk mengambil tindakan serta kepercayaan akan
kemampuan untuk mengubah situasi (Notoatmodjo, 2010). Dengan demikian faktor-
faktor tersebut yang dimungkinkan berperan lebih kuat dalam pembentukan Efikasi
Diri responden penelitian. Hal ini didukung dengan penelitian Kholifah (2014) dan
Hidayati (2012) bahwa kedua penelitian menunujukkan Efikasi Diri terbentuk dari self
management intervention yang diterapkan pada kasus diabetes mellitus dan hipertensi.
Intervensi tersebut tidak menitik beratkan pada faktor lingkungan atau dukungan
keluarga melainkan manajemen diri untuk memunculkan Efikasi Diri. Selain itu,
penelitian Kulsum (2015) yang melibatkan 34 pasien Tuberkulosis menunujukkan
bahwa adanya hubungan variabel jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, pengetahuan,
dan peran petugas dalam membentuk ketidakteraturan berobat pasien Tuberkulosis.
Pasien tuberkulosis yang tidak memiliki Pengawas Minum Obat (PMO) yang baik
berisiko 5 kali lebih besar untuk tidak teratur dalam menjalankan pengobatan.
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Andrianti, A. (2013). Faktor Risiko Kejadian Tuberkulosis Resisten Obat Ganda (TB
ROG). Fakultas Kedokteran UNPAD.
Arikunto, S. (2014). Manajemen Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.
Ajzen, I. (2010). Attitudes, Personality and Behavior Second. Buckingham: Open University
Press.
Hubungan dukungan keluarga dengan efikasi diri penderita Tuberculosis Multidrug Resistant 83
(TB-MDR) di poli TB-MDR RSUD Ibnu Sina Gresik
JURNAL KESEHATAN Vol 11 No 2 Tahun 2018 P-ISSN : 2086-2555; E-ISSN : 2622-7363
Hubungan dukungan keluarga dengan efikasi diri penderita Tuberculosis Multidrug Resistant 84
(TB-MDR) di poli TB-MDR RSUD Ibnu Sina Gresik
JURNAL KESEHATAN Vol 11 No 2 Tahun 2018 P-ISSN : 2086-2555; E-ISSN : 2622-7363
Munawwarah. (2013). Gambaran Faktor Risiko Pengobatan Pasien TB-MDR RS Labuang Baji
Kota Makassar. Tesis. Universitas Hasanuddin.
Nursalam. (2016). Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan: Pendekatan Praktis, edisi. 4.
Jakarta : Salemba Medika
Neville, K., Bromberg, R. (1994). The Third Epidemic – MDR. Journal Of The American
College Of Chest Physicians.
Notoatmodjo, S. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.
Pant, R. (2009) Risk Factor Assesment of Multidrug – Resisteance Tuberculosis. Journal
of Nepal Health Respiratory Council. 7 (2).
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan
Tuberkulosis di Indonesia. Diakses 18 Maret
2018.http://www.klikpdpi.com/konse nsus/TB/TB.html
Pramonodjati, F. (2010). Pengaruh Pemberian Pembelajaran Tuberkulosis terhadap Kepatuhan
Berobat dan Tingkat Kesembuhan Penderita Tuberkulosis. Surakarta : Tesis FK UNS
Rachmawati, T & Turniani. (2006), Pengaruh dukungan sosial dan pengetahuan
tentang penyakit TB terhadap motivasi untuk sembuh klien TB paru
yang berobat di puskesmas. Buletin penelitian sistem kesehatan. 9(3).
Riset Kesehatan Dasar. (2013). Riset Kesehatan Dasar. Badan Litbangkes Depkes RI.
Jakarta
Salindria. (2011). Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian MDR – TB di RSUD Dr.
Soetomo Surabaya. Skripsi. Universtas airlangga
Sarwani., D. (2012). Faktor Risiko Multidrug Resistant Tuberculosis (TB-MDR). Jurnal
Kesehatan Masyarakat. 1, 60-66
Soepandi, P. (2015). Diagnosis dan Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya TB-MDR, Jakarta:
Departemen Pulmonologi & Ilmu kedokteran Respirasi FKUI-RS Persahabatan.
Smeltzer, S. C. (2013). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Jakarta:
EGC.
Sukartini, (2015). Pengembangan Model Peningkatan Kepatuhan. Jakarta: Disertasi
Universitas Indonesia.
Tirtana., Tanggap, B. Musrican (2011). Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan
Pengobatan pada Pasien Tuberkuloisis Paru dengan Resistensi Obat Tuberculosis di
Wilayah Jawa Tengah. Semarang : Tesis FK Undip
World Health Organization. (2014). Multidrug-Resistant Tuberculosis (MDR TB).
www.who.int/tb/challenges/mdr/mdr_tb_factsheet.pdf
Hubungan dukungan keluarga dengan efikasi diri penderita Tuberculosis Multidrug Resistant 85
(TB-MDR) di poli TB-MDR RSUD Ibnu Sina Gresik
Jurnal e-Clinic (eCl), Volume 4, Nomor 2, Juli-Desember 2016
1
Windy D. P. Masengi
2
Elvie Loho
2
Vonny Tubagus
1
Kandidat Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado
2
Bagian/SMF Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado
Email: windy.mas3ngi@gmail.com
Abstract: Radiology examination especially chest x-ray can enforce various kinds of
pulmonary diseases inter alia pneumothorax. Pneumothorax is defined as the presence of air
in the pleural cavity. The causes of pneumothorax are very diverse ranging from idiopathic,
infection, trauma, and iatrogenic. This study was aimed to obtain the profile of chest x-ray in
patients with pneumothorax. This was a retrospective descriptive study by using secondary
data from the medical records at the Department of Radiology Prof. Dr. R. D. Kandou
Hospital Manado from January 2015 to August 2016. Samples were the medical records of
patients that were radiologically diagnosed as pneumothorax. There were 41 patients that
were diagnosed radiologically as pneumothorax. The majority of cases were male (90.2%),
age group >50 years (36.6%), location of lesion in the right hemithorax (53.7%), and
secondary spontaneous pneumothorax as the etiology (43,9 %). Conclusion: In this study,
pneumothorax was more common among males, age group of ≥50 years, and secondary
spontaneous pneumothorax as the etiology of pneumothorax.
Keywords: pneumothorax, radiology, chest x-ray
Abstrak: Pemeriksaan radiologi khususnya foto toraks dapat menegakkan berbagai macam
diagnosis penyakit paru, salah satunya ialah pneumotoraks. Pneumotoraks adalah
terdapatnya udara bebas didalam rongga pleura dengan penyebab yang sangat beragam mulai
dari idiopatik, infeksi, trauma, maupun iatrogenik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
profil hasil pemeriksaan foto toraks pada pasien pneumotoraks. Jenis penelitian ialah
deskriptif retrospektif dengan pengambilan data di Bagian Radiologi RSUP Prof. Dr. R. D.
Kandou Manado pada bulan Januari 2015 sampai dengan Agustus 2016. Sampel yaitu data
rekam medik pasien yang didiagnosis pneumotoraks secara radiologis sebanyak 41 pasien.
Yang tersering ditemukan ialah pasien laki-laki sebanyak 37 orang (90,2%), kelompok usia
>50 tahun sebanyak 15 orang (36,6%), lokasi lesi hemitoraks deksra sebanyak 22 kasus
(53,7%), serta etiologi pneumotoraks spontan sekunder sebanyak 18 kasus (43,9%).
Simpulan: Pada penelitian ini didapatkan pneumotoraks paling banyak pada laki-laki,
kelompok usia ≥50 tahun, dengan pneumotoraks spontan sekunder sebagai etiologi tersering.
Kata kunci: pneumotoraks, radiologi, foto toraks
dan infeksi. Salah satu penyakit saluran R. D. Kandou Manado periode Januari
pernapasan ialah pneumotoraks yang bisa 2015 – Agustus 2016.
disebabkan oleh trauma maupun infeksi.
Pneumotoraks merupakan keadaan darurat METODE PENELITIAN
yang harus segera cepat tertangani.1 Jenis penelitian ini ialah deskriptif
Pneumotoraks adalah kondisi adanya retrospektif dengan memanfaatkan data
udara di rongga pleura.2 Kondisi ini sekunder berupa catatan medik di Bagian
merupakan gangguan pernapasan yang Radiologi FK Unsrat/SMF RSUP Prof. Dr.
relatif umum dan dapat terjadi dalam R. D. Kandou Manado. Penelitian dilaksa-
berbagai penyakit dan pada individu dari nakan pada bulan Oktober – November
segala usia.3 Pneumotoraks ditandai dengan 2016.
dispnea dan nyeri dada yang berasal dari Populasi penelitian ialah semua data
paru-paru maupun dinding dada yang rekam medik pasien pneumotoraks yang
disebabkan oleh adanya udara pada rongga terdiagnosis klinis dan melakukan
pleura yang diikuti pecahnya bula.4 pemeriksaan foto toraks di Bagian
Klasifikasi pneumotoraks berdasarkan Radiologi RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou
penyebab dan gejalaklinis yang timbul. Manado periode Januari 2015 – Agustus
Pneumotoraks dapat dibagi menjadi 2016. Sampel penelitian ialah semua data
spontan primer (PSP) dan sekunder (PSS), rekam medik pasien pneumotoraks yang
serta traumatik dan iatrogenik.5 terdiagnosis klinis dan yang sudah
Insiden pneumotoraks pada laki-laki terdiagnosis secara radiologis.
lebih banyak dari pada perempuan (5:1).6 Kriteria inklusi yaitu pasien dengan
Kasus PSP di Amerika 7,4/100.000 per klinis pneumotoraks dengan data berupa
tahun untuk laki-laki dan 1,2/100.000 per umur, jenis kelamin, dan mempunyai hasil
tahun untuk perempuan sedangkan insiden ekspertisi foto toraks berisi lokasi lesi
PSS dilaporkan 6,3/100.000 untuk laki-laki hemitoraks sedangkan kriteria eksklusi
dan 2/100.000 untuk perempuan.7 PSS yaitu semua data rekam medik yang tidak
yang paling sering terjadi yaitu pada PPOK lengkap. Variabel penelitian ialah distribusi
sedangkan penelitian oleh Myers melapor- jenis kelamin, kelompok usia, lokasi lesi
kan bahwa tuberkulosis selalu menunjuk- hemitoraks, dan etiologi pada pasien
kan terjadinya pneumotoraks.8 Penelitian dengan diagnosis radiologis pneumotoraks.
Weissberg9 terhadap 1.199 pasien pneumo- Data diolah berdasarkan variabel
toraks mengenai insiden beberapa jenis penelitian dengan menggunakan SPSS,
pneumotoraks mendapatkan 218 pasien disajikan dalam bentuk teks dan tabel, serta
PSP, 505 PSS, 403 pneumotoraks dianalisis.
traumatik, dan 73 pneumotoraks iatrogenik.
Untuk letak lesi pneumotoraks, lesi kanan HASIL PENELITIAN
lebih banyak ditemukan dibandingkan lesi Hasil penelitian mendapatkan 83
kiri10 sedangkan pada penelitian Sadikot11 pasien dengan diagnosis klinis pneumo-
didapatkan letak lesi kiri lebih banyak toraks dan yang terdiagnosis secara
ditemukan. radiologik yaitu 41 pasien. Berdasarkan
Suatu penyakit paru belum dapat data dari 41 pasien pneumotoraks,
disingkirkan dengan pasti sebelum didapatkan bahwa pneumotoraks paling
dilakukan pemeriksaan radiologik,12 banyak diderita oleh laki-laki berjumlah 37
khususnya foto toraks yang dapat pasien (90,2%) sedangkan pada perempuan
membantu dalam menegakkan diagnosis berjumlah 4 pasien (9,8%) (Tabel 1).
pneumotoraks.12,13 Kasus pneumotoraks terbanyak
Penelitian ini bertujuan untuk ditemukan pada kelompok usia ≥50 tahun
mendapatkan profil hasil pemeriksaan foto yaitu 15 pasien (36,6%), dan yang paling
toraks pada pasien pneumotoraks di Bagian sedikit yakni pada kelompok usia 10-19
Radiologi/SMF FK Unsrat RSUP Prof. Dr. tahun yakni 3 pasien (7,3%) (Tabel 2).
Jurnal e-Clinic (eCl), Volume 4, Nomor 2, Juli-Desember 2016
berkaitan dengan bentuk anatomis bronkus penelitian ini masih kurang dilakukan di
kanan yang lebih vertikal, pendek, dan Indonesia.
lebar dibandingkan dengan bronkus kiri
sehingga benda asing yang terhirup lebih DAFTAR PUSTAKA
mudah tersangkut dalam percabangan 1. Ince A, Ozucelik DN, Avci A, Nizam O,
bronkus kanan karena arahnya vertikal.16 Dogan H, Topal MA. Management of
Benda asing tersebut dapat berkaitan pneumothorax in emergency medicine
dengan agen infeksi penyebab penyakit departements: multicenter trial. Iran
paru yang mendasari terjadinya pneumo- Red Cres Med J. 2013;15(12):1.
2. Light RW, Lee YCG. Pneumothorax,
toraks contohnya tuberkulosis. chylothorax, hemothorax and
Pada penelitian ini didapatkan etiologi fibrothorax. In: Mason RJ, Broaddus
terbanyak dari pneumotoraks yaitu PSS VC, Murray JF, Nadel JA, editors.
(46,3%). Pneumotoraks spontan sekunder Murray and Nadel’s Textbook of
timbul oleh karena penyakit paru yang Respiratory Medicine (4th ed).
mendasari.6 Tuberkulosis menjadi kasus Pennsylvania: Saunders, 2005; p. 1439.
penyebab PSS yang paling banyak dan ada 3. Currie G, Alluri R, Christie GL, Legge JS.
juga oleh karena pneumonia. Penelitian ini Pneumothorax: an update. Postgrad
sejalan dengan yang dilaporkan oleh Med J. 2007;83:461.
Surjanto10 di RSUD Dr. Moewandi 4. Choi W. Pneumothorax. Tuberc Respir Dis.
2014;76:99.
Surakarta tahun 2010 bahwa PSS lebih
5. Pearson FG, Deslauriers J, Ginsberg RJ,
banyak dijumpai pada pasien dan yang
Hiebert CA, McKneally MF, Urschel
tersering ialah tuberkulosis (46,15%), diikuti HC. Spontaneous pneumothorax and
keganasan (33,33%), pneumonia (7,69%), pneumo-mediastinum. In: Beauchamp
dan PPOK (2,56%). Hal ini terjadi G, editors. Thoracic surgery. USA:
mengingat kasus tuberkulosis masih tinggi Churchill Livingstone, 1995; p. 1037.
di dunia.17 6. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S.
SIMPULAN Pneumotoraks spontan. In: Hisyam B,
Dari hasil penelitian yang dilakukan di Budiono E, editors. Buku Ajar Ilmu
Bagian/SMF Radiologi RSUP Prof. R. D. Penyakit Dalam (5th ed). Jakarta:
Interna Publishing, 2009; p. 2339.
Kandou Manado selama periode Januari
7. Melton LJ, Hepper NCG, Offord KP.
2015-Agustus 2016 dapat disimpulkan Incidence of spontaneous pneumo-
bahwa dari 83 kasus dengan klinis thorax in Olmsted Country,
pneumotoraks yang terdiagnosis secara Minnesota:1950-1974. Am Rev Respir
radiologis dengan gambaran pneumotoraks Dis. 1979;120(6):1379.
sebanyak 41 pasien. Mayoritas kasus ialah 8. Parrish S, Browning RF, Turner F,
jenis kelamin laki-laki, kelompok usia ≥50 Zarogoulidis K, Kougioumtzi I,
tahun, distribusi lesi pada hemitoraks kanan, Dryllis G, et al. The role for medical
dengan etiologi pneumotoraks spontan thoracoscopy in pneumothorax. Thorax
sekunder. Dis. 2014; 6(S4):383.
9. Weissberg D, Refaely Y. Pneumothorax:
experience with 1.199 patients. Chest.
SARAN
2000;117(5):1279.
Disarankan dalam kelengkapan data 10. Surjanto Y, Suradi, Raharjo AF.
rekam medik perlu diperhatikan untuk Tuberkulosis paru sebagai penyebab
memperjelas data penyakit pasien tertinggi kasus pneumotoraks di
khususnya pada hasil ekspertisi foto bangsal paru RSUD Dr Moewardi
radiografi. Perlu dilakukan pencegahan (RSDM) Surakarta tahun 2009 [Tesis].
terhadap faktor resiko untuk menurunkan Surakarta: SMF Pulmonologi RSUD
angka kejadian penyakit pneumotoraks. Dr Moewardi; 2010.
Penelitian yang lebih lanjut tentang 11. Sadikot RT, Greene T, Meadows, A G
pneumotoraks sangat disarankan karena Arnold. Recurrence of primary
Jurnal e-Clinic (eCl), Volume 4, Nomor 2, Juli-Desember 2016
http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/higeia
Abstract
__________________________________________________________________________________
Bronchial asthma is a abnormality such as inflammatory (inflammation) chronic hyperactivity of
the airways that causes the bronchi to various stimuli. Data of year 2015 BKPM Semarang the
periode from January to July noted that asthmatics reached 299 people. Efforts that can be taken to
controlling asthma in addition to controlling the trigger factor is by way of slow deep breathing
breathing therapy as adjunctive therapy of asthma. The purpose of this research was to increase the
level of asthma control in patients with moderate persistent bronchial asthma. This research is a
quasi-experimental design with nonequivalent control group design. The sampling technique used
was purposive with a sample of 15 people on each of the experimental and control groups. The
result showed that where was a significant differences between the difference scores pretest and
posttest ACT (p = 0.001), the value of APE (p = 0.004), daily variation APE (p=0,005), drug side
effect (p = 0.010) and visit to the emergency unit (p = 0.038), between the experimental group and
control group. This research conclution was slow deep breathing therapy effective for improving
asthma control in patients with moderate persistent bronchial asthma.
© 2017 Universitas Negeri Semarang
Alamat korespondensi: p ISSN 1475-362846
Gedung F5 Lantai 2 FIK Unnes e ISSN 1475-222656
Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229
E-mail: nurul.dwi.a15@gmail.com
36
Nurul Dwi A. & Mahalul Azam/Terapi Slow Deep Breathing/HIGEIA 1 (1) (2017)
37
Nurul Dwi A. & Mahalul Azam/Terapi Slow Deep Breathing/HIGEIA 1 (1) (2017)
38
Nurul Dwi A. & Mahalul Azam/Terapi Slow Deep Breathing/HIGEIA 1 (1) (2017)
(p<0,05), maka hipotesis Ho ditolak dan Ha eksperimen adalah p=0,679 (p>0,05), dan
diterima. Artinya bahwa terdapat perbedaan probabilitas selisih skor pretest dan posttest nilai
bermakna antara selisih skor pretest dan posttest APE kelompok kontrol adalah p=0,080
ACT pada penderita asma bronkial antara (p>0,05).
kelompok eksperimen dengan kelompok Hasil analisis uji Mc.Nemar antara pretest dan
kontrol. posttest nilai APE pada kelompok eksperimen
Terapi slow deep breathing (SDB) pada dan kontrol masing-masing diperoleh nilai
dasarnya bertujuan untuk melenturkan dan p=0,016 (p<0,05) dan p=0,375 (p>0,05).
memperkuat otot-otot pernapasan sehingga Simpulannya adalah terdapat perbedaan yang
dapat melatih cara bernapas yang benar dan bermakna antara skor pretest dan posttest nilai
dapat mempertahankan asma tetap terkontrol APE pada kelompok eksperimen tetapi tidak
(Ignatavicius & Workman, 2006). ACT terdapat perbedaan selisih skor pretest dan
mengukur tingkat keterbatasan aktivitas, gejala posttest pada kelompok kontrol. Uji hipotesis
harian dan malam, penggunaan obat pelega. yang digunakan adalah uji Mann-Whitney
Rata-rata skor pretest pada kelompok antara selisih skor APE kelompok eksperimen
eksperimen sebesar 349,27 meningkat menjadi dan kontrol. Diperoleh hasil atau nilai p=0,004
430,33 pada rata-rata nilai posttest, sedangkan (p<0,05), maka hipotesis nol (Ho) ditolak dan
pada kelompok kontrol rata-rata skor pretest hipotesis alternatif (Ha) diterima. Artinya
sebesar 348,93 menurun menjadi 343,73 pada bahwa terdapat perbedaan bermakna antara
rata-rata nilai posttest. Nilai probabilitas selisih selisih skor pretest dan posttest nilai APE antara
skor pretest dan posttest nilai APE kelompok kelompok eksperimen dengan kelompok
Tabel 1. Distribusi Rata-rata Skor Tingkat Kontrol Asma Awal-Akhir (Pretest-Posttest) Kelompok
Eksperimen
Hasil Pengukuran Indikator Tingkat Kontrol
Rata-rata Skor Standar Deviasi
Kelompok Eksperimen Asma
Pretest ACT 14,40 5,95
APE (Arus Puncak Ekspirasi) 349,27 88,08
Variasi Harian APE 39,20 37,0
Efek Samping Obat 1,40 1,05
Kunjungan ke UGD 0,67 0,82
Posttest ACT 20,80 4,10
APE (Arus Puncak Ekspirasi) 430,33 60,95
Variasi Harian APE 16,73 11,63
Efek Samping Obat 0,47 0,92
Kunjungan ke UGD 0,27 0,59
Tabel 2. Distribusi Rata-Rata Skor Tingkat Kontrol Asma Awal-Akhir (Pretest-Posttest) Kelompok
Kontrol
Hasil Pengukuran Indikator Tingkat Kontrol
Rata-rata Skor Standar Deviasi
Kelompok Kontrol Asma
Pretest ACT 13,47 3,58
APE (Arus Puncak Ekspirasi) 348,93 98,43
Variasi Harian APE 31,20 14,95
Efek Samping Obat 1,87 1,46
Kunjungan ke UGD 0,33 0,62
Posttest ACT 13,13 4,12
APE (Arus Puncak Ekspirasi) 343,73 89,23
Variasi Harian APE 31,27 14,65
Efek Samping Obat 1,53 1,06
Kunjungan ke UGD 0,40 0,74
39
Nurul Dwi A. & Mahalul Azam/Terapi Slow Deep Breathing/HIGEIA 1 (1) (2017)
kontrol. Berat serangan asma yang ditimbulkan kelompok eksperimen dan kelompok kontrol
berhubungan dengan nilai arus puncak ekspirasi tetapi terdapat perubahan skor pre-post pada
yang akan dihasilkan, semakin buruk derajat kelompok eksperimen.
serangan asma pada penderita asma maka Tabel 3. Hasil Uji Normalitas Selisih Skor
kemungkinan nilai APE yang dihasilkan akan Pretest dan Posttest Skor Tingkat Kontrol Asma
rendah dan jauh dibatas normal. Batas normal Kelompok Indikator Tingkat
Nilai p
nilai APE pada laki-laki adalah 500-700 Kontrol Asma
L/menit dan pada perempuan 380-500 L/menit Eksperimen ACT 0,113
(Menaldi, 2001). APE (Arus
0,679
Puncak Ekspirasi)
Rata-rata skor pretest eksperimen sebesar 39,20 Variasi Harian
menurun menjadi 16,73 pada rata-rata nilai 0,067
APE
posttest, sedangkan kelompok kontrol skor rata- Efek Samping
0,140
rata skor pretest sebesar 31,27 meningkat Obat
menjadi 31,27. Nilai probabilitas adalah selisih Kunjungan ke
0,072
UGD
skor pretest dan posttest variasi harian APE
Kontrol ACT 0,244
kelompok eksperimen adalah p=0,0,067 APE (Arus
(p>0,05), dan pada kelompok kontrol adalah 0,080
Puncak Ekspirasi)
p=0,325 (p>0,05). Hasil analisis uji Mc.Nemar Variasi Harian
0,325
antara pretest dan posttest variasi harian APE APE
pada kelompok eksperimen dan kontrol masing- Efek Samping
0,340
Obat
masing diperoleh nilai p=0,039 (p<0,05) dan
Kunjungan ke
p=1,000 (p>0,05). Simpulannya adalah terdapat 0,137
UGD
perbedaan yang bermakna antara skor pretest
dan posttest variasi harian APE pada kelompok Rata-rata skor pretest eksperimen sebesar
eksperimen tetapi tidak terdapat perbedaan yang 1,,40 menurun menjadi 0,47 pada rata-rata nilai
bermakna pada skor pretest-posttest variasi posttest, sedangkan kelompok kontrol skor rata-
harian APE kelompok kontrol. Dari uji Mann- rata skor pretest sebesar 1,87 menurun menjadi
Whitney antara selisih skor variasi harian APE 1,53. Nilai probabilitas adalah selisih skor
kelompok eksperimen dan kontrol diperoleh pretest dan posttest efek samping obat kelompok
nilai p=0,005 (p<α (0,05)), maka hipotesis nol eksperimen adalah p=0,140 (p>0,05), dan pada
(Ho) ditolak dan hipotesis alternatif (Ha) kelompok kontrol adalah p=0,340 (p>0,05).
diterima. Artinya bahwa terdapat perbedaan Hasil analisis uji Mc.Nemar antara pretest dan
bermakna antara selisih skor pretest dan posttest posttest efek samping obat pada kelompok
variasi harian APE penderita asma antara eksperimen dan kontrol masing-masing
kelompok eksperimen dengan kelompok diperoleh nilai p=0,039 (p<0,05) dan p=0,625
kontrol. (p>0,05).
Nilai variasi harian APE didapat dari Simpulannya adalah terdapat perbedaan
hasil tiupan Arus Puncak Ekspirasi (APE) yang bermakna antara skor pretest dan posttest
selama 1 minggu. Variasi harian berguna untuk efek samping obat pada kelompok eksperimen,
mengetahui nilai tertinggi standar normal tetapi tidak terdapat perbedaan pada kelompok
seseorang (Pradjnaparamita, 1997). Variasi kontrol. Dari uji Mann-Whitney antara selisih
harian didapat dengan menambahkan nilai skor efek samping obat kelompok eksperimen
tertinggi dan nilai terendah dibagi nilai tertinggi dan kontrol diperoleh nilai p=0,010 (p<α
dikali 100% maka akan didapat nilai variasi (0,05)). Artinya bahwa terdapat perbedaan
harian pada masing-masing responden. Asma bermakna antara selisih skor pretest dan posttest
dikatakan terkontrol apabila nilai variasi harian efek samping obat pada penderita asma antara
APE <15% (Menaldi, 2001). Berdasarkan hasil kelompok eksperimen dengan kelompok
analisis tersebut ditemukan perbedaan pada kontrol.
40
Nurul Dwi A. & Mahalul Azam/Terapi Slow Deep Breathing/HIGEIA 1 (1) (2017)
Efek samping obat adalah respon minggu ke-10, setelah pemberian terapi.
terhadap suatu obat yang dapat merugikan atau Evaluasi dilakukan dengan cara peneliti
tidak diharapkan, yang terjadi pada dosis yang memberikan kuesioner kepada responden dan
digunakan pada manusia untuk tujuan melakukan wawancara. Kuesioner tersebut
profilaksis, diagnose dan terapi (WHO, 2011). berisi pertanyaan tentang tingkat kontrol asma
Salah satu indikator tingkat kontrol asma adalah selama delapan minggu penelitian. Kemudian
efek samping obat minimal (tidak ada). peneliti melakukan pengukuran faal paru
Penggunaan obat asma yang berlebihan dapat responden untuk melihat perubahan pada fungsi
menimbulkan efek samping yang berat seperti faal paru.
gemetaran, dada bergetar, nadi cepat, sakit Dalam evaluasi tersebut didapatkan 90%
kepala, muntah, batuk karena iritasi saluran kelompok eksperimen telah memenuhi kriteria
napas atas, rasa pahit, dan mulut kering (PDPI, kontrol asma, hal ini didukung dengan
2009). perubahan skor pada masing-masing kriteria.
Rata-rata skor pretest eksperimen sebesar Sedangkan pada kelompok kontrol hanya
0,67 menurun menjadi 0,27 pada rata-rata nilai mampu memenuhi beberapa poin (<4 kriteria)
posttest, sedangkan kelompok kontrol skor rata- pada kriteria asma terkontrol, hal ini
rata skor pretest sebesar 0,33 meningkat menjadi dikarenakan kelompok kontrol tidak mendapat
0,40. Nilai probabilitas adalah selisih skor perlakuan berupa terapi slow deep breathing
pretest dan posttest kunjungan pemeriksaan (SDB).
ulang kelompok eksperimen adalah p=0,072 Hasil dari penelitian ini menunjukkan
(p>0,05), dan pada kelompok kontrol adalah bahwa intervensi yang dilakukan oleh peneliti
p=0,137 (p>0,05). Hasil analisis uji Mc.Nemar yaitu pemberian terapi SDB memberikan
antara pretest dan posttest kunjungan ulang pengaruh yang positif terhadap tingkat kontrol
pemeriksaan pada kelompok eksperimen dan asma pada penderita asma bronkial persisten
kontrol masing-masing diperoleh nilai p=0,031 sedang. Dalam FGD yang dilakukan oleh
(p<0,05) dan p=1,000 (p>0,05). Simpulannya peneliti telah meminta pendapat kepada pihak-
adalah terdapat perbedaan yang bermakna pihak yang terkait diantaranya kepala BKPM
antara skor pretest dan posttest kunjungan ke Wilayah Semarang, ketua dan tim
UGD pada kelompok eksperimen dan tidak pemberdayaan, koordinasi klinik umum, dan
terdapat perbedaan pada kelompok kontrol. koordinasi instruktur senam untuk melanjutkan
Dari uji Mann-Whitney antara selisih skor program pemberian terapi napas ditujukan pada
kunjungan ulang pemeriksaan kelompok penderita asma baik pasien baru maupun pasien
eksperimen dan kontrol diperoleh nilai p=0,038 lama. Selain itu diharapkan terapi SDB dapat
(p<α (0,05)). Artinya bahwa terdapat perbedaan diaplikasikan pada program senam asma yang
bermakna antara selisih skor pretest dan posttest sudah ada sebagai program atur napas
kunjungan ke UGD antara kelompok tambahan. Bagi penderita asma diharapkan
eksperimen dengan kelompok kontrol. tetap melakukan olah napas SDB dengan tujuan
Berdasarkan hasil analisis tersebut dapat mempertahankan fungsi paru dan melatih cara
disimpulkan bahwa pemberian terapi dapat bernapas dengan baik dan benar.
menimalisir keterbatasan aktivitas fisik,
frekuensi gejala harian dan malam serta PENUTUP
menimalisir penggunaan obat pelega.
Evaluasi merupakan suatu hal yang Berdasarkan hasil penelitian mengenai
penting dilakukan untuk menilai keberhasilan efektivitas terapi slow deep breathing (SDB)
suatu program. Tujuan dari evaluasi kinerja terhadap tingkat kontrol asma pada penderita
adalah untuk menyediakan informasi mengenai asma bronkial persisten sedang di BKPM
kinerja pekerjaan (Ivancevich, 2006:216). Wilayah Semarang diperoleh simpulan sebagai
Evaluasi program dilakukan oleh peneliti pada berikut: terdapat perbedaan bermakna antara
41
Nurul Dwi A. & Mahalul Azam/Terapi Slow Deep Breathing/HIGEIA 1 (1) (2017)
selisih skor pretest dan posttest ACT (p=0,001), Martini F. 2006. Fundamentals of Anatomy &
nilai APE (p=0,004), variasi harian APE (p Physiology, Seventh Edition. Pearson: Benjamin
=0,005), efek samping obat (p=0,010) dan Cummings.
Menaldi R. 2001. Prosedur Tindakan Bidang paru dan
kunjungan ke UGD (p=0,038) pada penderita
Pernafasan dan Diagnosa dan Terapi, Bagian
asma bronkial persisten sedang antara kelompok
Pulmonologi. Jakarta: FK UI,.33-36
eksperimen dengan kelompok kontrol. National Center for Health Statistics. Ambulatory
Health Care Data: Estimation procedures. Diakses
DAFTAR PUSTAKA tanggal 11 Mei 2015.
(http://www.cdc.gov/nchs/ahcd_estimation_
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan procedures.htm)
Kementrian Kesehatan RI. 2007. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2004. PPOK
Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Asma. Pedoman Diagnosa dan Penatalaksanaan di
Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta: PDPI
Indonesia Rowlands, Barbara. 2009. Jawaban – Jawaban
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Alternatif untuk Asma dan Alergi. Klaten: PT.
Kementrian Kesehatan RI. 2013. Riset Citra Aji Parama
Kesehatan Dasar. Jakarta: Departemen WHO (World Health Organization, 2011). Fact about
Kesehatan Republik Indonesia Asthma. Diakses tanggal 12 Desember 2014
Balai Kesehatan Paru Masyarakat. 2015. Data Rekap (http://www.who.int/mediacentre/factsheets
Medik Penderita Asma Bronkial 2015. Semarang: /fs307/en/index.html)
Balai Kesehatan Paru Masyarakat Wilayah
Semarang
Bull, Eleanor. 2007. Asma. Jakarta: Erlangga
Dahlan, Z. 2000. Penanganan Asma Dalam Perawatan
Primer. Jakarta: Hipokrates
Dinas Kesehatan Kota Semarang. 2014. Profil
Kesehatan Provinsi Jawa Tengah 2013.
Semarang: Dinas Kesehatan Kota Semarang
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. 2014. Profil
Kesehatan Provinsi Jawa Tengah 2013.
Semarang: Dinas Kesehatan Provinsi Jawa
Tengah
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit
dan Penyehatan Lingkungan. Direktorat
Pengendalian Penyakit Tidak Menular,
2009. Pedoman Pengendalian Penyakit Asma.
Jakarta: Departemen Kesehatan RI
Hardiarto, M., Adji, W, dkk. 2006. Asma Pedoman
Diagnosis & Penatalaksanaan Di Indonesia,
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka
Ignatavicius, D.D. & Workman, M.L. 2006.
Medical surgical nursing; critical thinking for
collaborative care; fifth edition volume 2.
Elsevier Saunders, Westline Industrial Drive,
St. Louis, Missouri.
Mangunnegoro, Hadiarto. 2004. Asma Pedoman
Diagnosis dan Penatalaksanaan Di Indonesia.
Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia
42
Jurnal Kesehatan Kusuma Husada - Juli 2018
1) 2)
Luhur Arifian , Joko Kismanto
1, 2
Prodi Kedokteran Keluarga Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta
mister_loe@yahoo.co.id
2
Prodi D-III Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta
c.endang@yahoo.com
ABSTRAK
Pada penyakit asma, serangan umumnya datang pada malam hari, tetapi dalam keadaan berat serangan
dapat terjadi setiap saat tidak tergantung waktu. Inspirasi pendek dan dangkal, mengakibatkan penderita
menjadi sianosis, wajahnya pucat dan lemas, serta kulit banyak mengeluarkan keringat. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian posisi Semi fowler terhadap respiration rate pada
pasien asma bronkial di Puskesmas Air Upas Ketapang
Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan rancangan Quasi Eksperimental dengan Pre
and post test with control group design. Populasi dalam penelitian ini adalah sejumlah 48 orang yang
mengalami asma bronkial di Puskesmas Air Upas Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Pemilihan
sampel dilakukan dengan metode purposive sampling dengan jumlah sampel pada penelitian ini adalah
42 responden. Analisa data dalam penelitian ini menggunakan uji Wilcoxon.
Hasil penelitian menunjukkan uji Wilcoxon dengan nilai p value 0,000 sehingga ada pengaruh
pemberian posisi semi fowler terhadap respiration rate pada pasien asma bronkial di Puskesmas Air
Upas Ketapang
Kata Kunci: posisi semi fowler, respiration rate, asma bronkial
ABSTRACT
In asthma, the attacks usually come at night, but in a state of severe attacks can occur at any time does
not depend on time. Inspiration short and shallow, resulting in the patient became cyanotic, his face pale
and limp, and skin a lot of sweat. This study aimed to determine the effect of semi fowler position against
respiration rate in patients with bronchial asthma in the Main Clinic Air Upas Ketapang. This research
used the quasi experimental quantitative method with the pre and post test with control group design. It’s
population was 48 asthma sufferers at the main clinic Air Upas Ketapang of west Borneo. The samples
of research were determined through the purposive sampling technique and consisted of 42 respondents
who were divided into two groups: 21 in the control group and 21 in the experimental group. The data
of research were analyzed by using the Wilcoxon’s analysis.The results showed the Wilcoxon test with p
value of 0.000 so that there is the effect of semi fowler position against respiration rate in patients with
bronchial asthma in the Main Clinic Air Upas Ketapang.
Keywords: position semi fowler, respiration rate, bronchial asthma
134
Jurnal Kesehatan Kusuma Husada - Juli 2018
135
Jurnal Kesehatan Kusuma Husada - Juli 2018
136
Jurnal Kesehatan Kusuma Husada - Juli 2018
Tabel 3.2 Karakteristik responden berdasarkan Tabel 3.3 Karakteristik responden berdasarkan
umur (n=42) tingkat pendidikan (n=42)
Kontrol Perlakuan Kontrol Perlakuan
Umur Pendidikan
F (%) F (%) F (%) F (%)
21-25 2 9,5 TS 6 28,6 1 4,8
26-35 5 23,8 5 23,8 SD 8 38,1 11 52,4
36-45 15 71,4 13 61,9 SMP 4 19,0 4 19,0
46-55 1 4,8 1 4,8 SMA 2 9,5 4 19,0
Jumlah 21 100 21 100 Sarjana 1 4,8 1 4,8
Jumlah 21 100 21 100
Dari Tabel 3.2 menunjukkan bahwa karakteristik
responden berdasarkan umur yang paling banyak Dari Tabel 3.3 menunjukkan bahwa karakteristik
pada kelompok kontrol adalah 36-45 tahun responden berdasarkan pendidikan yang
sebanyak 15 orang (71,4%) dan kelompok paling banyak pada kelompok kontrol adalah
perlakuan adalah 36-45 tahun sebanyak 13 orang SD sebanyak 8 orang (38,1%) dan kelompok
(61,9%). Hasil penelitian ini sejalan dengan perlakuan adalah SD sebanyak 11 orang (52,4%).
penelitian SaÞtri (2011), yang memperlihatkan Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian
bahwa umur responden kelompok perlakuan Majampoh (2013), yang menunjukka bahwa
sebagian besar yaitu berumur 41-50 tahun pendidikan paling dominan adalah SD sebanyak
sebanyak 11 pasien (33%). Orang yang bekerja 11 orang (27,5%). Berdasarkan penelitian yang
di lingkungan laboratorium hewan, industri telah dilakukan oleh SaÞtr (2011) menjelaskan
tekstil, pabrik asbes, polisi lalu lintas mempunyai bahwa adanya hubungan antara pengetahuan
kecenderungan tinggi menderita asma. Faktor- dengan tindakan perilaku hidup sehat. Dalam
faktor pencetus tersebut menimbulkan suatu hal ini seseorang melakukan tindakan yang baik
predisposisi genetik terhadap alergi sehingga terhadap kesehatannya apabila pengetahuan yang
orang yang bekerja selama bertahun-tahun rentan dimiliki seseorang juga baik. Pada penelitian
terhadap penyakit asma. Kondisi lingkungan ini didapatkan tingkat pendidikan responden
tempat tinggal yang ditempati individu banyak paling banyak adalah SD. Rendahnya tingkat
debunya menimbulkan kerentanan penyakit asma pendidikan akan memepengaruhi seseorang
pada usia individu menjelang tua di atas 41 tahun untuk hidup tidak sehat karena kurangnya
(Kurniawan, 2008). informasi terkait kesehatan dan bagaimana cara
Hasil penelitian ini mendukung teori mencegah penyakit paru.
Guyton dan Hall (2011), serta Hudak dan Gallo Tabel 3.4 Karakteristik responden berdasarka
(2015) yang mengatakan semakin tua usia pekerjaan (n=42)
seseorang, maka fungsi ventilasi parunya akan
semakin menurun. Hal ini disebabkan semakin Kontrol Perlakuan
menurunnya elastisitas dinding dada. Selama Pekerjaan
F (%) F (%)
proses penuaan terjadi penurunan elastisitas
TB 10 47,6 7 33,3
alveoli, penebalan kelenjar bronkial, penurunan
Buruh 9 42,9 12 57,1
kapasitas paru dan peningkatan jumlah ruang
Swasta 2 9,5 2 9,5
rugi. Perubahan ini menyebabkan penurunan
kapasitas difusi oksigen. Pada penelitian ini Jumlah 21 100 21 100
mayoritas berusia dewasa tua karena semakin Dari Tabel 3.4 menunjukkan bahwa karakteristik
tinggi usia seseorang maka akan lebih rentang responden berdasarkan pekerjaan yang paling
terhadap berbagai penyakit seperti penyakit paru banyak pada kelompok kontrol adalah tidak
dikarenakan kondisi tubuh yang makin melemah bekerja sebanyak 10 orang (47,6%) dan
dan sistem kekebalan tubuh yang semakin kelompok perlakuan adalah buruh sebanyak 12
menurun. orang (57,1%).
137
Jurnal Kesehatan Kusuma Husada - Juli 2018
Asma akibat kerja merupakan keadaan perlakuan semuanya adalah tacypnea sebanyak
yang umum pada penyakit paru dengan perkiraan 21 orang (100%). Penyempitan saluran napas
15%-23% kasus baru asma pada dewasa di menyebabkan sulitnya udara yang melewatinya,
Amerika Serikat disebabkan oleh pemaparan maka pasien asma akan cenderung melakukan
akibat kerja. Pemaparan pada tempat kerja dapat pernafasan pada volume paru yang tinggi
memperparah keadaan asma (Lewis, et al. 2007). dan membutuhkan kerja keras dari otot–otot
Menurut British Thoracic Society and Scottish pernapasan sehingga akan menambah energi
Intercollegiate Guidelines Network tahun 2011, untuk pernapasan (Brooker, 2009). Pendapat
jenis pekerjaan yang dapat meningkatkan risiko Brooker (2009) tersebut dibuktikan oleh Setiawati
serangan asma antara lain pembuat roti dan (2008) dalam penelitiannnya yang menyatakan
makanan, pekerja kehutanan, pekerja di pabrik bahwa pasien asma mengalami sesak nafas berat
kimia, plastik dan karet, pekerja tekstil, pekerja sehingga kesulitan bernapas karena penyempitan
di industri elektronik, pekerja gudang, pekerja saluran napas ini terjadi adanya hyperreaktiÞtas
di area pertanian, pelayan rumah makan, pekerja dari saluran napas terhadap berbagai macam
bagian kebersihan, tukang cat dan teknisi rangsang.
laboratorium.
Pada penelitian ini mayoritas responden
Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan memiliki nafas tacypnea dikarenakan kondisi
teori karena bila dilihat dari karakteristik bronkospasme sehingga tubuh akan berupaya
responden yaitu jenis pekerjaan, responden pada untuk lebih menarik oksigen ke paru-paru
penelitian ini terbanyak pada kategori lain-lain sehingga akan hiperventilasi.
(ibu rumah tangga, tidak bekerja dan siswa)
sehingga kemungkinan terpapar oleh faktor kerja c. Respiration Rate Setelah Tindakan
di luar rumah juga lebih sedikit. Walaupun hasil
Tabel 4.6 Distribusi Respiration Rate Setelah
penelitian menyatakan bahwa faktor kerja tidak
Perlakuan
berhubungan dengan terjadinya serangan asma,
bukan berarti faktor kerja tidak lagi menjadi Kontrol Perlakuan
Pernafasan
pemicu tetapi faktor kerja disini tetap menjadi F (%) F (%)
risiko terhadap kejadian serangan asma pada Bradypnea 0 0 0 0
orang yang sensitif. Pada penelitian ini paling Normal 3 14,3 18 85,7
banyak memiliki pekerjaan buruh. Pekerjaan Tacypnea 18 85,7 3 14,3
buruh berisiko terkena penyakit paru akibat Jumlah 21 100 21 100
pupuk serbuk serta obat pestisida yang digunakan Dari Tabel 3.6 menunjukkan respiration rate
pada saat bekerja dengan kondisi responden tanpa pada post test yang paling banyak pada kelompok
menggunakan masker. kontrol adalah tacypnea sebanyak 18 orang
b. Respiration Rate Sebelum Tindakan (85,7%) dan kelompok perlakuan adalah normal
sebanyak 18 orang (85,7%).
Tabel 3.5 Distribusi Respiration Rate Sebelum
Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil
Perlakuan
penelitian SaÞtri (2011) yang menunjukkan
Kontrol Perlakuan bahaw hasil pengukuran sesak nafas setelah
Pernafasan
F (%) F (%) dilakukan perlakuan dari 33 responden selama
Bradypnea 0 0 0 0 tiga hari diperoleh data yaitu sebanyak 18 pasien
Normal 0 0 0 0 (55%). Peningkatan sesak nafas tersebut dapat
Tacypnea 21 100 21 100 dijelaskan ada pengurangan sesak nafas berat
Jumlah 21 100 21 100 ke sesak nafas ringan sebanyak 11 pasien (33%)
yaitu dari 17 pasien sesak nafas berat menjadi
Dari Tabel 3.5 menunjukkan hasil respiration menjadi 6 pasien. Jadi, ada pengurangan pasien
rate pre test pada kelompok kontrol dan sesak nafas berat ke sesak nafas ringan.
138
Jurnal Kesehatan Kusuma Husada - Juli 2018
Hasil perbedaan tersebut menunjukkan ada Tabel 3.8 Pengaruh Posisi Semi Fowler
pengaruh pemberian posisi semi fowler terhadap Terhadap Respiration Rate
sesak nafas. Hal tersebut berarti mendukung
K P
penelitian yang dilakukan oleh Supadi et al (2008) Kelompok P value
T N T
bahwa pemberian semi fowler mempengaruhi
Kontrol 21 3 18 0,160
berkurangnya sesak nafas sehingga kebutuhan
Perlakuan 21 18 3 0,000
dan kualitas tidur pasien terpenuhi. Saat sesak
napas pasien lebih nyaman dengan posisi duduk Dari Tabel 3.8 menunjukkan bahwa pada
atau setengah duduk sehingga posisi semi kelompok kontrol p value = 0,160 sehingga p
fowler memberikan kenyamanan dan membantu value > 0,05 maka tidak ada perubahan yang
memperingan kesukaran bernapas. Menurut sgniÞkan sedangkan pada kelompok perlakuan
Angela (dalam Supadi et al, 2008) saat terjadi p value = 0,000 sehinga p value < 0,05 maka
serangan sesak biasanya pasien merasa sesak terdapat pengaruh posisi Semi fowler terhadap
dan tidak dapat tidur dengan posisi berbaring. Respiration Rate pada pasien asma bronkial di
Melainkan harus dalam posisi duduk atau Puskesmas Air Upas Ketapang.
setengah duduk untuk meredakan penyempitan
Dijelaskan oleh Wilkison (Supadi et al,
jalan napas dan memenuhi darah. Dengan posisi
2008) bahwa posisi semi fowler dimana kepala
tersebut pasien lebih rileks saat makan dan
dan tubuh dinaikkan 45º membuat oksigen
berbicara sehingga kemampuan berbicara pasien
didalam paru–paru semakin meningkat sehingga
tidak terputus–putus dan dapat menyelesaikan
memperingan kesukaran napas. Penurunan sesak
kalimat. Pada penelitian ini semua responden
napas tersebut didukung juga dengan sikap pasien
pada kelompok perlakuan mengalami perubahan
yang kooperaktif, patuh saat diberikan posisi
pada respiration rate karena posisi jalan nafas
semi fowler sehingga pasien dapat bernafas.
lebih terbuka dibandingkan dengan kelompok
kontrol. Posisi semi fowler mampu meredakan
penyempitan jalan napas dan memenuhi O2
d. Pengaruh Posisi Semi Fowler Tehadap dalam darah ini mendukung penelitian yang
Respiration Rate dilakukan oleh Kim (2014) bahwa pemberian
posisis semi fowler dapat meningkatkan masukan
Tabel 3.7 Uji Normalitas Data oksigen bagi pasien pasca pembedahan perut
Shapiro-Wilk laparoskopi. Sedangkan perbedaan sebelum dan
Kelompok
Statistic df Sig. sesudah dilakukan pemberian posisi semi fowler
Pre_perlakuan 0,864 21 ,007 ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh
Pre_kontrol 0,808 21 ,001 Setiawati (2008). Dalam penelitian tersebut
Post_perlakuan 0,874 21 ,011 diperoleh kesimpulan bahwa penggunaan posisi
P0st_kontrol 0,876 21 ,012 semi fowler dapat efektif untuk mengurangi sesak
napas pada pasien TBC. Hal ini dapat diketahui
Dari Tabel 3.7 menunjukkan uji normalitas pada melalui nilai Sig. (0,001) < 0,05. dan Z hitung
kelompok perlakuan adalah pre: 0,007, post: (-3,196) > Z tabel (1,96). Pada penelitian ini
0,011 dan kelompok kontrol adalah pre: 0,001, posisi semi fowler membuat jalan nafas lebih
post: 0,12 sehingga data tidak terdistribusi secara terbuka sehingga kapasitas oksigen yang masuk
normal karena p value < 0,05 sehingga uji bivariat ke paru lebih maksimal dan membuat frekuensi
menggunakan uji Wilcoxon. pernafasan menjadi lebih stabil dan dalam batas
normal.
4. KESIMPULAN
a. Jenis kelamin paling banyak di kelompok
kontrol adalah laki-laki sebanyak 13 orang
(61,9%) sedangkan kelompok perlakuan
139
Jurnal Kesehatan Kusuma Husada - Juli 2018
140
Jurnal Kesehatan Kusuma Husada - Juli 2018
Somantri, I. 2009. Asuhan Keperawatan pada Widodo. 2009. “Penderita Asma di Indonesia
Klien dengan Gangguan Sistem Pernapasan Meningkat, ”Tribun News.
edisi2. Jakarta: Salemba Medika Zara, A.2012. Pengaruh teknik pernafasan
Supadi, E. Nurachmah, dan Mamnuah. 2008. buteyko terhadap penurunan gejala asma
Hubungan Analisa Posisi Tidur Semi Fowler di wilayah kerja Puskesmas Pasar Baru
Dengan Kualitas Tidur Pada Klien Gagal kecamatan Bayang Painan Pesisir Selatan.
Jantung Di RSU Banyumas Jawa Tengah. Universitas Andalas.
Jurnal Kebidanan dan Keperawatan volume
IV No 2 hal 97-108.
-oo0oo-
141
Pengaruh Tekhnik Pernafasan Buteyko Terhadap Fungsi Ventilasi Oksigenasi Paru
Abstract
Patients suffering from asthmadevelop bronchospasm and bronchokontriksi resulting in hyperventilation
resulting in decreased ventilation and oxygenation. Interventions to maintain lung oxygenation ventilation
function one of them with Buteyko respiratory technique intervention. The purpose of this study was to
identify the effect of Buteyko respiratory technique on lung oxygenation ventilation function in bronchial
asthma patients. The research design used quasy experiment nonequivalent pre-post control group, and
sample number of both groups respectively 15 respondents.The intervention group performed Buteyko
breathing technique for 6 weeks.Sampling by consecutive sampling technique. The results of this study
indicated that there was a significant difference in pulmonary oxygen ventilation function after Buteyko's
breathing technique for 6 weeks (p = 0.00, α = 0.05). The researcher's recommendation is to improve the
ventilation function of lung oxygenation by intervening Buteyko respiratory technique in bronchial asthma
patient.
Keywords : Buteyko breathing techniques, ventilation function of lung oxygenation, bronchial asthma
Abstrak
Pasien yang menderita asma terjadi bronchospasme dan bronchokontriksi yang mengakibatkan hiperventilasi
sehingga terjadi penurunan ventilasi dan oksigenasi.Intervensi untuk mempertahankan fungsi ventilasi
oksigenasi paru salah satunya dengan intervensi teknik pernapasan Buteyko.Tujuan penelitian adalah
mengidentifikasi pengaruh penerapan teknik pernapasan Buteyko terhadapfungsi ventilasi oksigenasi paru
pada pasien asma bronkial.Desain penelitian menggunakan quasy eksperiment nonequivalent pre-post
control group, dan jumlah sampel kedua kelompok masing-masing 15 responden.Pengambilan sampel
dengan teknik consecutive sampling.Kelompok intervensi melakukan teknik pernapasan Buteyko selama 6
minggu.Pengambilan sampel dengan teknik consecutive sampling. Hasil penelitian ini menunjukkan ada
perbedaan bermakna fungsi ventilasi oksigenasi paru setelah melakukan teknik pernapasan Buteyko selama 6
minggu (p= 0.00, α= 0.05). Rekomendasi peneliti adalah sebaiknya untuk meningkatkan fungsi ventilasi
oksigenasi paru dilakukan intervensi teknik pernapasan Buteyko pada pasien asma bronkial.
Kata kunci: Teknik Pernapasan Buteyko, Fungsi Ventilasi Oksigenasi Paru, Asma Bronkial