Anda di halaman 1dari 117

ANALISIS PENGETAHUAN ETNOLINGUISTIK GURU

SEKOLAH DASAR DI KECAMATAN PEMAYUNG

SKRIPSI

OLEH
NUR AMALINA
NIM A1D115002

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JAMBI
JANUARI 2019
ANALISIS PENGETAHUAN ETNOLINGUISTIK GURU
SEKOLAH DASAR DI KECAMATAN PEMAYUNG

SKRIPSI
Diajukan kepada Universitas Jambi
untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan
Program Sarjana Pendidikan Guru Sekolah Dasar

oleh:
Nur Amalina
NIM A1D115002

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JAMBI
JANUARI, 2019
HALAMAN PERSETUJUAN

Skripsi yang berjudul Analisis Pengetahuan Etnolinguistik Guru Sekolah Dasar di


Kecamatan Pemayung: Skripsi Program Pendidikan Guru Sekolah Dasar, yang
disusun oleh Nur Amalina, Nomor Induk Mahasiswa A1D115002 telah diperiksa
dan disetujui untuk diuji.

Jambi, Desember 2018


Pembimbing I

Drs. Syahrial, M. Ed., Ph.D


NIP. 196412311990031037

Jambi, Desember 2018


Pembimbing II

Ahmad Hariandi, S. Pd.i., M. Ag


NIP. 197809172009121001
HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi yang berjudul Analisis Pengetahuan Etnolinguistik Guru Sekolah Dasar di


Kecamatan Pemayung, Skripsi, Pendidikan Guru Sekolah Dasar, yang disusun
oleh Nur Amalina, Nomor Induk Mahasiswa A1D115002 telah dipertahankan di
depan tim penguji pada Kamis, 10 Januari 2019.

Tim Penguji

1. Drs. Syahrial, M.Ed., Ph. D Ketua


NIP. 196412311990031037

2. Ahmad Hariandi, S. Pd.i., M. Ag Sekretaris


NIP. 197809172009121001

3. Drs. Faizal Chan, S.Pd., M. Si Penguji Utama


NIP. 196311081988061001

4. Drs. Arsil, M. Pd Anggota


NIP. 195912311985031314

5. Agung Rimba Kurniawan, S.Pd., M.Pd Anggota


NIK. 201605051006

Mengetahui Mengetahui
Dekan FKIP Univeritas Jambi Ketua Jurusan Ilmu Pendidikan

Prof. Dr. rer.nat. Asrial, M.Si Drs. Arsil, M.Pd


NIP. 196308071990031002 NIP. 195912311985031314

Didaftarkan Tanggal :
Nomor :
MOTTO

Bila kamu tak tahan lelahnya belajar, maka kamu akan

menanggung perihnya kebodohan

-Imam Syafi’i-

Kupersembahkan skripsi ini untuk ayahanda dan ibunda tercinta yang dengan
perjuangan kerasnya telah mengantarkanku untuk meraih ilmu. Terimakasih atas
pengorbanan dan doa tulus yang tiada henti untuk keberhasilanku.
PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini,

Nama : Nur Amalina

NIM : A1D115002

Program Studi : Pendidikan Guru Sekolah Dasar

Dengan ini menyatakan dengan sesunguhnya bahwa skripsi ini benar-benar karya

sendiri dan bukan merupakan jiplakan dari hasil penelitian pihak lain. Apabila di

kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa skripsi ini merupakan

jiplakan atau plagiat, saya bersedia menerima sanksi dicabut gelar dan ditarik

ijazah.

Demikianlah pernyataan ini dibuat dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab.

Jambi, Januari 2019


Yang membuat pernyataan,

Nur Amalina
NIM. A1D115002
ABSTRAK

Amalina, Nur. 2019. Analisis Pengetahuan Etnolinguistik Guru Sekolah Dasar di


Kecamatan Pemayung: Skripsi Program Studi Pendidikan Guru Sekolah
Dasar, Jurusan Ilmu Pendidikan, FKIP Universitas Jambi, Pembimbing:
(I) Drs. Syahrial, M. Ed., Ph.D (II) Ahmad Hariandi, S. Pd.i., M. Ag.

Kata Kunci: Etnolinguistik, Implementasi, Kendala

Etnolinguistik dalam perspektif pembelajaran merupakan pengetahuan yang


dimiliki guru tentang bahasa daerah yang berhubungan atau dimasukkan pada
pembelajaran. Penelitian ini umtuk melihat kondisi sejauh mana pengetahuan
etnolinguistik guru sekolah dasar di kecamatan Pemayung.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengetahuan guru kelas tentang


etnolinguistik di Sekolah Dasar kecamatan Pemayung, mengetahui strategi atau
cara guru dalam mengimplemntasikan etnolinguistik dan kendala yang dialami
guru dalam mengimplementasikan ilmu etnolinguistik pada pembelajaran di
Sekolah Dasar kecamatan Pemayung. Penelitian ini menggunakan pendekatan mix
methods dengan desain sequential explanatory. Sampel pada penelitian ini adalah
18 guru dari 3 sekolah dasar di kecamatan Pemayung. Adapun teknik sampel yang
digunakan adalah jenis purposive sampling. Teknik pengumpulan data kuantitatif
yang digunakan berupa angket. Teknik pengumpulan data kualitatif yang
digunakan adalah wawancara dan analisis dokumen.

Hasil penelitian yang diperoleh dari data angket menunjukkan bahwa guru
sekolah dasar di kecamatan Pemayung memiliki pengetahuan etnolinguistik dalam
kategori sedang dengan persentase sebesar 56% yaitu sebanyak 10 dari 18 orang
guru. Hasil wawancara diperoleh hasil mengenai cara-cara guru dalam
menggunakan ilmu etnolinguistik di dalam kelas yang ditinjau dari 4 aspek yaitu:
1. menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar dalam pembelajaran ; 2.
dengan cara menyisipkan bahasa daerah ke dalam pembelajaran secara spontan.
3. mengintegrasikan bahasa daerah dengan memberi contoh penggunaan kosa kata
dengan bahasa daerah; 4.engaitkan tema satu dengan tema lainnya.Hasil
wawancara mengenai kendala guru dalam mengimplementasikan ilmu
etnolinguistik dapat ditinjau dari lima aspek yaitu: 1. lingkungan peserta didik
yang merupakan masyarakat pendatang; 2. adanya perbedaan kemampuan atau
pengetahuan setiap peserta didik; 3. kurangnya pemahaman guru pada kosa kata
bahasa daerah karena terdapat guru yang berasal dari daerah pendatang;
4.terbatasnya pemanfaatan media pengembangan materi dalam
mengimplementasikan ilmu etnolinguistik; 5. Petunjuk penggunaan etnolinguistik
yang dimasukkan ke dalam pembelajaran belum disampaikan pada forum KKG.

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah Swt yang telah memberikan rahmat serta

karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan proposal skripsi

ini. Begitu pula kepada berbagai pihak yang telah membantu, dalam kesempatan

ini penulis sampaikan terima kasih terutama kepada Bapak Drs. Syahrial, M.Ed.,

Ph.D., selaku dosen pembimbing I yang senantiasa dengan sabar memberikan

bimbingan dan memotivasi penulis dalam penyusunan proposal skripsi ini. Semua

itu akan penulis kenang sebagai bekal di masa mendatang.

Begitu juga Bapak Ahmad Hariandi, S.Pd.I., M. Ag., selaku dosen

pembimbing skripsi II yang dengan ketelitian memberikan arahan, senantiasa

sabar, tulus, dan ikhlas dalam membantu penyusunan proposal skripsi ini. Semoga

Allah SWT senantiasa memberikan yang terbaik untuk beliau.

Bapak Dwi Agus Kurniawan, S.Pd., M.Pd selaku dosen FKIP Universitas

Jambi yang tulus dan ikhlas telah meluangkan waktu untuk membimbing,

memberikan pengetahuan, arahan dan selalu memberikan motivasi serta

menasehati penulis tetapi kritis dan cemerlang dalam berpikir telah menggugah

penulis untuk tidak menyerah memperbaiki kesalahan atau kekeliruan yang masih

muncul dalam penyusunan proposal skipsi ini. Semoga Allah SWT senantiasa

memberikan keberkahan untuk beliau.

Untuk dosen program studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar FKIP

Universitas Jambi yang telah memberikan ilmunya, penulis sampaikan terima

kasih yang dalam. Semoga semuanya menjadi amal ibadah yang baik. Tidak lupa

pula penulis sampaikan terimakasih kepada Bapak Drs. Maryono.,M.Pd., sebagai

ii
dosen Pembimbing Akademik yang dengan gurauannya yang hangat tetapi penuh

makna telah menghantarkan penulis untuk menyelesaikan pendidikan. Ini semua

tentu berkat kerjasama beliau dengan Ketua dan Sekretaris jurusan Ilmu

Pendidikan, Wakil Dekan Bidang Akademik serta Dekan FKIP Universitas Jambi

yang selalu memberikan kemudahan dan pengarahan kepada mahasiswanya,

terutama dalam proses perizinan studi pendahuluan awal proposal skripsi ini.

Secara khusus kepada orang tua tercinta yaitu Bapak Hery Batjo (Alm)

dan Ibu Helmiah serta Muhammad Rinaldi (Saudara) dan Hamdi Kurniawan

(Saudara) yang tiada hentinya mendoakan, memberikan semangat, dukungan dan

kasih sayang pada setiap langkah penulis dalam menuntut ilmu sehingga dapat

menyelesaikan penyusunanl skripsi ini. Muhammad Afrillyan Dwi sebagai kakak,

sahabat dan motivator pribadi yang selalu memberikan saran, dukungan dan

semangat serta selalu mendengarkan keluh kesah penulis pada saat penyusunan

proposal skripsi ini. Sahabat-sahabat seperjuangan penulis yang selalu

memberikan semangat, membantu dan memberikan motivasi sehingga

penyusunan proposal skripsi ini dapat diselesaikan.

Terimakasih juga kepada pemerintah Indonesia karena Program Beasiswa

Bidikmisi telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk terus “Menggapai

Asa” dan telah menghantarkan penulis untuk bisa melanjutkan kuliah di jenjang

perguruan tinggi.

Jambi, Januari 2019

Penulis

iii
DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK .............................................................................................................. i
KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... ivv
DAFTAR TABEL................................................................................................. vi
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... vii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... viiiii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah............................................................................. 6
1.3 Batasan Masalah ............................................................................... 6
1.4 Tujuan Penelitian .............................................................................. 6
1.5 Manfaat Penelitian ............................................................................ 7
BAB II KAJIAN TEORETIK
2.1 Mengenal Kearifan Lokal ................................................................. 9
2.2 Konsep Kearifan Lokal dalam Pembelajaran Bahasa..................... 11
2.3 Ruang Lingkup Etnolinguistik........................................................ 14
2.4 Penerapan Etnolinguistik pada Pembelajaran di Sekolah Dasar .... 16
2.5 Penelitian Relevan .......................................................................... 25
2.6 Kerangka Berpikir .......................................................................... 27
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian......................................................... 28
3.2 Pendekatan Penelitian ..................................................................... 28
3.3 Populasi dan Sampel ....................................................................... 30
3.4 Teknik Pengambilan Sampel .......................................................... 31
3.5 Teknik Pengumpulan Data ............................................................. 32
3.6 Teknik Uji Validitas Instrumen ...................................................... 38
3.7 Teknik Analisis Data ...................................................................... 40
3.8 Prosedur Penelitian ......................................................................... 44
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil ................................................................................................ 47
4.2 Pembahasan .................................................................................... 62

iv
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan ..................................................................................... 77
5.2 Saran ............................................................................................... 78
DAFTAR RUJUKAN.......................................................................................... 79
LAMPIRAN

v
DAFTAR TABEL

Tabel Halaman
3.1 Kisi-kisi Angket ............................................................................................ 34
3.2 Kisi-kisi Wawancara ..................................................................................... 37
3.3 Kisi-kisi Analisis Dokumen .......................................................................... 38
3.4 Rumus Kategorisasi ...................................................................................... 40
4.1 Nilai angket ................................................................................................... 47
4.2 Rumus Kategorisasi ...................................................................................... 48
4.3 Hasil Angket.................................................................................................. 48
4.4 Hasil Perhitungan SPSS ................................................................................ 49

vi
DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

2.1 Bagan Kerangka Berpikir ............................................................................27


3.1 Bagan Desain Tipe Penelitian Kombinasi...................................................29
3.8 Bagan Prosedur Penelitian ..........................................................................44
4.1 Diagram pie chart .......................................................................................49

vii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Instrumen Angket .......................................................................................... 84


2. Instrumen Wawancara ................................................................................... 85
3. Instrumen Analisis Dokumen ........................................................................ 87
4. Dokumentasi Wawancara di SDN 51 ........................................................... 89
5. Dokumentasi Wawancara di SDN 82 ........................................................... 90
6. Dokumentasi Wawancara di SDN 180 ......................................................... 91
7. Dokumen RPP Guru di SDN 51.................................................................... 92
8. Dokumem RPP Guru di SDN 82 .................................................................. 93
9. Dokumen RPP Guru di SDN 180.................................................................. 97

viii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kurikulum merupakan bagian dari komponen sistem pendidikan sekaligus

sebagai pedoman dalam penyelenggaraan kegiatan pendidikan. Kurikulum

dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip pengembangan kurikulum. Salah satu

prinsip dalam pengembangan kurikulum yaitu kurikulum dikembangkan sesuai

dengan khas konten budaya masing-masing daerah. Beuchamp (2016)

menyatakan bahwa Optimally, a curriculum should contain a body of culture

content that has the potential for the realization of the goals (Kurikulum harus

berisi konten budaya yang memiliki potensi untuk mewujudkan tujuan).

Selanjutnya, Undang undang Nomor 20 Tahun 2003 Bab X Pasal 36 ayat (2)

tentang Kurikulum menyatakan “Kurikulum pada semua jenjang dan jenis

pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan

pendidikan, potensi daerah dan peserta didik”.

Disversifikasi merupakan upaya pemerintah dalam kerangka desentralisasi

pendidikan dengan memuat konten kearifan lokal. Sutjipto (2015:319)

berpendapat tentang diversifikasi kurikulum sebagai berikut konten dalam

diversifikasi kurikulum juga menggambarkan ragam potensi yang terdapat di

daerah, seperti kearifan lokal, budaya lokal, sumber daya alam, norma dan nilai-

nilai yang memerlukan kesepakatan di tingkat daerah. Selanjutnya, menurut

Nakpodia (2010:2) menyatakan bahwa Culture is maintained or modified through

education by way of curriculum development (Budaya dipertahankan atau

dimodifikasi melalui pendidikan melalui pengembangan kurikulum).

1
2

Kekhasan potensi daerah dalam kurikulum penting karena setiap daerah

memiliki karakteristik dan kebutuhan yang berbeda. Menurut Sanjaya (2008:141)

“Kurikulum memuat perbedaan dan keragaman setiap daerah, agar setiap lulusan

lembaga pendidikan dapat mengembangkan daerahnya sendiri”. Tujuannya yaitu

agar peserta didik mempunyai kepribadian karakter bangsa yang bersumber dari

nilai-nilai luhur yang terkandung dalam kekayaan budaya bangsa. Saat ini

pelaksanaan kurikulum 2013 seharusnya sudah memasukkan pembelajaran

berbasis kearifan lokal khususnya di sekolah dasar. Tindakan pemerintah dalam

rangka melestarikan budaya khususnya kearifan lokal suatu daerah melalui jalur

pendidikan sudah dilaksanakan sejak diberlakukannya Kurikulum Tingkat Satuan

Pendidikan hingga Kurikulum 2013. “Local curriculum into educational

programs and media content delivery is associated with the natural environment,

social environment, and cultural needs of the region and must be studied by

students in that area” (the Education Minister Decree No. RI. 0412/U/87 in

Adilah 2013:614). Kurikulum lokal dimasukkan ke dalam program pendidikan

dan pengiriman konten media dikaitkan dengan lingkungan alam, lingkungan

sosial dan kebutuhan budaya daerah dan harus dipelajari oleh siswa di daerah itu”

(Keputusan Menteri Pendidikan No. RI. 0412/ U/87 dalam Adilah 2013:614).

Pendidikan berbasis kearifan lokal dapat diintegrasikan ke dalam muatan

pembelajaran. Pembelajaran yang mengintegrasikan nilai-nilai kearifan lokal

tersebut penting, menimbang hal tersebut merupakan upaya dalam proses

pelestarian kebudayaan Indonesia yang beragam. Khususnya bahasa daerah,

provinsi Jambi memiliki bahasa daerah yang dikenal dengan bahasa Melayu

Jambi yang merupakan alat komunikasi yang digunakan dalam keseharian


3

masyarakat. Bahasa Melayu Jambi adalah sebuah bahasa yang memegang peranan

penting dalam sejarah Sumatera (Oktariza, 2:2017). Selain bahasa pada kearifan

lokal juga terdapat nilai religi, contohnya pada seloko adat sebagai pandangan

hidup yang berasal dari agama Islam (Nurhasanah, 2013:43).

Kearifan lokal yang ditinjau dari bahasa memiliki peranan penting dalam

kehidupan karena bahasa dan budaya memiliki saling keterkaitan. Menurut Afini

(2015:45) menyatakan bahwa “bahasa dan budaya memiliki keterkaitan satu sama

lain karena untuk memahami budaya harus mengerti bahasanya terlebih dahulu

dan untuk mengerti bahasa maka harus paham tentang budayanya”. Tujuan

penggunaan bahasa daerah Jambi yaitu agar bahasa daerah dengan dialek melayu

Jambi dapat dilestarikan. Upaya ini dapat dilaksanakan melalui proses pendidikan.

Pengintegrasian nilai-nilai kearifan lokal pada konteks bahasa ke dalam pembe-

lajaran disebut dengan istilah etnolinguistik. Etnolinguistik merupakan

pembelajaran yang membelajarkan bagaimana kearifan lokal dijadikan konsep

dalam pembelajaran pada konteks bahasa yang disusun berdasarkan nilai-nilai

yang dikonstruksi berdasarkan pengalaman belajar peserta didik.

Pembelajaran yang mengintegrasikan nilai-nilai kearifan lokal berdampak

pada pendidikan khususnya di sekolah dasar. Pembelajaran akan menjadi lebih

bermakna, artinya apa yang dipelajari berada di lingkungan siswa tersebut.

Menurut Nuraeni dan Alfan (2012:80) menyatakan bahwa “anak-anak secara

otomatis dikenalkan pada warisan kebudayaan dari masyarakat mereka dan belajar

menghargai dan menilaianya”. Melalui ilmu etnolinguistik yang diintegrasikan ke

dalam pembelajaran, dapat menjadikan siswa merasa bangga memiliki

kebudayaan, sehingga guru dapat mengeksplorasi minat siswa terhadap budaya


4

dan mengembangkan nilai-nilai karakter. Menurut Anggraini (2017:26)

menyatakan bahwa

By the existence of local wisdom, the students would be easier to catch some
information related to prior values, then, synchronize the cultural values through
literary works. This also would affect the preservation of the local wisdoms that
have been agreed within the societies as the inheritance from the ancestors (Dengan
adanya kearifan lokal, para siswa akan mudah untuk menangkap beberapa informasi
terkait dengan nilai-nilai sebelumnya, kemudian menyinkronkan nilai-nilai
kebudayaan melalui karya sastra. Ini juga akan mempengaruhi pelestarian kearifan
lokal yang telah disepakati dalam masyarakat sebagai ketidaktahuan dari nenek
moyang).

Berdasarkan studi pendahuluan yang dilaksanakan pada tanggal 27

September-27 Oktober, pelaksanaan pembelajaran menggunakan ilmu

etnolinguistik pada kelas rendah dan kelas tinggi di 3 SD Negeri kecamatan

Pemayung sudah dilaksanakan namun pelaksanaannya belum dilaksanakan secara

optimal. Khususnya penyisipan bahasa daerah ke dalam pembelajaran belum

dilaksanakan secara optimal karena guru belum mengeksplor ilmu etnolinguistik

ke dalam pembelajaran. Berdasarkan analisis dokumen, dapat diketahui bahwa

ilmu etnolinguistik belum dicantumkan oleh guru ke dalam RPP. Petunjuk

penggunaan ilmu etnolinguistik yang dimasukkan dalam pembuatan RPP belum

disampaikan oleh dinas pendidikan. Selain itu, berdasarkan latar belakang dari

guru-guru tersebut, tidak semua guru berasal dari daerah Jambi karena terdapat

guru pendatang dari daerah lain sehingga guru tersebut kurang memiliki

kemampuan dalam mengeksplorasi ilmu etnolinguistik yang ada di kecamatan

Pemayung. Kekurangan guru dalam mengeksplor ilmu etnolinguistik ke dalam

pembelajaran disebabkan karena lemahnya kemampuan guru dalam bidang

etnologi. Menurut Sudarmin (2014:33) “Pendidikan yang berpendekatan atau

berbasis kearifan lokal tentu akan berhasil apabila guru memahami wawasan

kearifan lokal itu sendiri. Guru yang kurang memahami kearifan lokal, cenderung
5

kurang sensitif terhadap kemajemukan budaya setempat.” Kondisi tersebut

membuktikan bahwa dalam kompetensi pedagogik guru mengalami

permasalahan.

Urgensi jika pembelajaran tidak diterapkan dengan mengintegrasikan

pengetahuan etnolinguistik, maka dikhawatirkan kebudayaan Indonesia khususnya

penutur bahasa daerah akan punah dan akan terjadi krisis karakter. Selain itu,

peserta didik sebagai generasi penerus bangsa dapat kehilangan jati diri seiring

dengan perkembangan teknologi dan pengaruh dari budaya asing yang masuk.

Melalui etnolinguistik yang dimasukkan ke dalam pembelajaran, dapat

menjadikan siswa merasa bangga memiliki bahasa daerah. Sehingga, guru dapat

mengeksplorasi minat siswa terhadap budaya serta mengembangkan nilai-nilai

karakter. Guru harus dapat menciptakan pembelajaran yang inovatif karena tugas

guru yaitu menjembatani pengetahuan yang didapatkan siswa dari lingkungannya

tersebut dengan pengethauan baru yang akan didapatkannya di sekolah.

Tujuannya agar pembelajaran menjadi kontekstual sehingga peserta didik dapat

dengan mudah dalam memahami pembelajaran. Oleh sebab itu, penting bagi guru

untuk memiliki pengetahuan etnolinguistik.

Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan di atas, maka pentingnya

dilakukan penelitian mengenai pengetahuan guru tentang etnolingusitik di

Sekolah Dasar. Peneliti tertarik ingin mengetahui kondisi sejauh mana

pengetahuan guru tentang etnolinguistik pada pembelajaran di Sekolah Dasar

kecamatan Pemayung. Inilah yang melatarbelakangi peneliti tertarik untuk

melakukan penelitian yang berjudul “Analisis Pengetahuan Etnolinguistik Guru

Sekolah Dasar di Kecamatan Pemayung”.


6

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini

adalah:

1. Bagaimana pengetahuan ilmu etnolinguistik guru kelas di Sekolah Dasar

kecamatan Pemayung?

2. Bagaimana guru kelas mengimplementasikan ilmu etnolinguistik pada

pembelajaran kelas rendah dan kelas tinggi di Sekolah Dasar kecamatan

Pemayung ?

3. Apa kendala yang dihadapi guru kelas dalam mengimplementasikan ilmu

etnolinguistik pada pembelajaran kelas rendah dan kelas tinggi di Sekolah

Dasar kecamatan Pemayung ?

1.3 Batasan Masalah

Batasan masalah pada penelitian ini yaitu hanya untuk pengetahuan guru

kelas, implementasi dan kendala dalam mengimplementasikan ilmu etnolinguistik

pada pembelajaran kelas rendah dan kelas tinggi di Sekolah Dasar kecamatan

Pemayung.

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk :

1. Mengetahui pengetahuan ilmu etnolinguistik guru kelas di Sekolah Dasar

kecamatan Pemayung.

2. Mengetahui guru kelas mengimplementasikan ilmu etnolinguistik pada

pembelajaran kelas rendah dan kelas tinggi di Sekolah Dasar kecamatan

Pemayung.
7

3. Mengetahui kendala yang dihadapi guru kelas dalam mengimplemen-tasikan

ilmu etnolinguistik pada pembelajaran kelas rendah dan kelas tinggi di Sekolah

Dasar kecamatan Pemayung.

1.5 Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk

mengembangkan dan menguatkan teori mengenai pembelajaran etnolinguistik

yang selanjutnya dapat diterapkan untuk meningkatkan mutu dan kualitas

pendidik dan kependidikan.

1. Manfaat Teoritis

Dari hasil penelitian yang diperoleh, penulis berharap dapat menambah

khazanah keilmuan dalam bidang pendidikan secara teoritis mengenai

pembelajaran ilmu etnolinguistik sebagai bahan kajian teori untuk pembelajaran

di Sekolah Dasar.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian yang di peroleh diharapkan dapat menambah pengalaman

keilmuan secara langsung, lebih kompleks dan mendalam mengenai masalah

yang diteliti.

a. Manfaat bagi mahasiswa

Dengan penelitian yang dilakukan dimaksudkan untuk mengetahui secara

mendalam dan lebih kompleks lagi terkait teori dan praktik pembelajaran ilmu

etnolinguistik di Sekolah Dasar dan selanjutnya mahasiswa selaku calon guru

dapat lebih mempersiapkan diri untuk terjun ke dunia pendidikan untuk menjadi

pendidik yang profesional.

b. Manfaat bagi guru


8

Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan refleksi

guru dalam meningkatkan kompetensi pedagogiknya dengan melaksanakan

pembelajaran ilmu etnolinguistik dengan baik dan penuh tanggung jawab.

c. Manfaat bagi sekolah

Hasil dari penelitian ini teruntuk sekolah dimana dilakukan penelitian

pihak sekolah dapat melakukan evaluasi dan perbaikan pelaksanaan pembelajaran

ilmu etnolinguistik sehingga tujuan pembelajaran tersebut dapat tercapai.

Sedangkan untuk sekolah lain dapat melakukan pembelajaran ilmu etnolinguistik

untuk diterapkan dan dikembangkan di sekolahnya.


BAB II
KAJIAN TEORETIK

2.1 Mengenal Kearifan Lokal

Kearifan lokal (local wisdom) terdiri atas dua kata: kearifan (wisdom) dan

lokal (local). Local berarti setempat, sedangkan wisdom dapat berarti

kebijaksanaan. Menurut Geertz (1973:10) menyatakan bahwa:

Local wisdom is part of culture. Local wisdom is traditional culture element thet
deeply rooted in human life and community that related with human resources,
sources of culture, economic, security and laws. Local wisdom can be viewed as a
tradition that related with arming activities, livestock build house etc (Kearifan
lokal adalah bagian dari budaya. Kearifan lokal adalah unsur budaya tradisional
yang sangat berakar dalam kehidupan manusia dan masyarakat yang terkait dengan
sumber daya manusia, sumber budaya, ekonomi, keamanan dan hukum. Kearifan
lokal dapat dilihat sebagai tradisi yang terkait dengan kegiatan pemadatan,
peternakan membangun rumah dll).

Kearifan lokal merupakan bagian dari budaya tradisional yang menjadi identitas

masyarakat suatu daerah. Menurut Dwiyanto dalam Kusumarini (141:2017),

“Kearifan lokal merupakan identitas yang mengandung unsur kecerdasan dan

kreativitas kolektif, sehingga sangat menentukan harkat dan martabat manusia

dalam sebuah komunitas untuk pembangunan peradaban bangsa”.

Kearifan lokal adalah bagian kekayaan-kekayaan budaya bangsa yang

terletak pada suatu lokalitas atau wilayah tertentu. Menurut Sudarmin (2014:26),

“Kearifan lokal dapat didefinisikan sebagai kebijaksanaan atau nilai-nilai luhur

yang terkandung dalam kekayaan-kekayaan budaya lokal berupa tradisi, pepatah

dan semboyan hidup.” Selanjutnya, Soebadio dalam Wibowo dan Gunawan

(2014) mendefinisikan kearifan lokal sebagai sebuah identitas atau kepribadian

budaya sebuah bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap,

bahkan mengolah kebudayaan yang berasal dari luar/bangsa lain menjadi watak

9
10

dan kemampuan sendiri”. Beberapa fungsi dari kearifan lokal menurut Sudarmin

(2014:31) yaitu untuk:

1. Konservasi dan pelestarian sumberdaya alam, misalnya sumber daya alam


terkait konservasi flora dan fauna atau sumber daya alam.
2. Pengembangan sumber daya manusia, misalnya upacara pada masyarakat Jawa
mitoni, ata upacara selamatan untuk bayi lahir.
3. Pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan, misalnya pada upacara
keagamaan dan kepercayaan tertentu, misalnya upacara saraswati pada orang Bali,
upacara merti desa pada orang jawa, kepercayaan dan pemujaan pada dewa atau
leluhur bagi masyarakat Bali dan Jawa, dan sebagainya.
4. Petuah, kepercayaan, sastra dan pantangan, dan lain-lain.

Fungsi kearifan lokal diatas relevan dengan penelitian Sartini (2006), bahwa

fungsi kearifan lokal adalah sebagai berikut:

1.Berfungsi untuk konservasi dan pelestarian sumber daya alam.


2.Berfungsi untuk pengembangan sumber daya manusia.
3.Berfungsi untuk pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
4. Berfungsi sebagai petuah, kepercayaan, sastra dan pantangan.
5.Bermakna sosial misalnya upacara integrasi komunal/kerabat.
6.Bermakna sosial, misalnya pada upacara daur pertanian.
7.Bermakna etika dan moral.
8.Bermakna politik, misalnya upacara ngangkuk merana dan kekuasaan patron
client

Selain fungsi di atas, kearifan lokal memiliki peran penting terhadap

pendidikan. Menurut Sudarmin (2014:30) “kearifan lokal itu merujuk pada

lokalitas dan komunitas tertentu. Dalam masyarakat kita, kearifan lokal wujudnya

dapat ditemui dalam nyanyian, pepatah, sasanti, petuah, semboyan, dan kitab-

kitab kuno yang melekat dalam perilaku sehari-hari.” Guru yang bijaksana harus

dapat menyelipkan nilai-nilai kearifan lokal dalam daerah atau suku bangsa

setempat dalam proses pembelajaran. Pendidikan yang berpendekatan atau

berbasis kearifan lokal tentu akan berhasil apabila guru memahami wawasan

kearifan lokal itu sendiri. Guru yang kurang memahami kearifan lokal, cenderung

kurang sensitif terhadap kemajemukan budaya setempat. Hambatan yang biasanya


11

muncul ketika guru melakukan pembelajaran sains berbasis dan berpendekatan

kearifan lokal adalah guru mengalami lack of skill, akibatnya, para guru kurang

mampu menciptakan pembelajaran yang menghargai keragaman budaya daerah

dan kearifan lokal daerah (Sudarmin, 2014:33).

Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa kearifan lokal

merupakan sebuah identitas atau kepribadian bangsa bersumber dari nilai-nilai

luhur yang terkandung dalam kekayaan-kekayaan budaya lokal berupa tradisi,

pepatah dan semboyan hidup yang berkaitan dengan tata nilai kehidupan yang

sifatnya menyatu dengan karakter masyarakat.

2.2 Konsep Kearifan Lokal dalam Pembelajaran Bahasa

Kearifan lokal menjadi acuan yang mempengaruhi kehidupan masyarakat

dalam berinteraksi, baik dengan sesama masyarakat maupun dengan

lingkungannya. Menurut Suardiman (2007:137) menyatakan “Pengetahuan yang

lahir dari kearifan lokal masyarakat tersebut merupakan pengetahuan yang ramah

lingkungan, selaras dengan alam, dan tidak menimbulkan dampak negatif pada

manusia”. Pengetahuan masyarakat yang lahir dari kearifan lokal ini akan melekat

sangat kuat pada masyarakat sepanjang keberadaan masyarakat tersebut.

Sumayana (2017:23) menyatakan “Kearifan lokal sifatnya khas karena

masyarakat tersebut yang mengalami langsung sehingga masyarakat lain belum

tentu mengalaminya”. Oleh sebab itu, sebelum menempuh tingkat pendidikan di

jenjang pendidikan dasar seorang peserta didik sudah memiliki pengetahuannya

yang berasal dari lingkungan masyarakatnya sendiri. Pendapat ini relevan dengan
12

teori How People Learn menurut (Bransford, et.al: 2000) yang menyatakan

bahwa :

1. Students come to the classroom with preconceptions about how the world
works. If their initial understanding is not engaged, they may fail to grasp the
new concepts and information that are taught, or they may learn them for
purposes of a test but revert to their preconceptions outside the classroom.
(Siswa datang ke kelas dengan prasangka tentang bagaimana dunia bekerja. Jika
pemahaman awal mereka tidak terlibat, mereka mungkin gagal untuk memahami
konsep dan informasi baru yang diajarkan, atau mereka dapat mempelajarinya
untuk tujuan tes tetapi kembali ke prakonsepsi mereka di luar kelas).
2. To develop competence in an area of inquiry, students must: (a) have a deep
foundation of factual knowledge, (b) understand facts and ideas in the context of
a conceptual framework, and (c) organize knowledge in ways that facilitate
retrieval and application. (Untuk mengembangkan kompetensi dalam bidang
penyelidikan, siswa harus: (a) memiliki landasan pengetahuan faktual yang
mendalam, (b) memahami fakta dan ide dalam konteks kerangka konseptual, dan
(c) mengatur pengetahuan dengan cara yang memfasilitasi pengambilan dan
aplikasi).
3. A “metacognitive” approach to instruction can help students learn to take
control of their own learning by defining learning goals and monitoring their
progress in achieving them. (Pendekatan "metakognitif" terhadap instruksi dapat
membantu siswa belajar mengendalikan pembelajaran mereka sendiri dengan
mendefinisikan tujuan pembelajaran dan memantau kemajuan mereka dalam
mencapainya).

Berdasarkan teori How People Learn di atas, dapat diketahui bahwa

peserta didik yang datang ke sekolah tidak dengan kepala kosong, melainkan

sudah memiliki pengetahuan yang berasal dari lingkungan masyarakatnya.

Pengetahuan yang sudah dimiliki ini seharusnya sudah menjadi tugas dan

tanggung jawab seorang guru untuk menjembatani atau menghubungkan

pengetahuan yang sudah dimiliki siswa tersebut dengan ilmu baru yang akan

dipelajarinya. Peserta didik harus dibekali pengetahuan tentang prosedur dan fakta

dalam konteks nyata yang berasal dari lingkungan peserta didik. Selain itu, peserta

didik belajar dari pendekatan metakognitif yakni seorang pebelajar dapat

menentukan tujuan belajarnya, dapat mengatur dan memonitor kemajuan

belajarnya sendiri. Hal ini bertujuan agar peserta didik dapat dengan mudah dalam

memahami pembelajaran karena pengetahuan yang didapatkannya sesuai dengan

lingkungannya sehingga pembelajaran menjadi kontekstual. Sebagaimana konsep


13

teori belajar kontruktivisme bahwa “berdasarkan pandangan kontruktivistik,

peserta didik akan belajar dengan baik apabila mereka dapat membawa

pembelajaran ke dalam konteks apa yang sedang mereka pelajari ke dalam

penerapan kehidupan nyata sehari-hari dan mendapat manfaat bagi dirinya”

(Rusman, 2015:49).

Khususnya pada pembelajaran bahasa, pembelajaran berbasis kearifan

lokal yang diterapkan ke dalam pembelajaran merupakan upaya dalam

mempertahankan jati diri atau identitas bangsa. Menurut Manurung (2013)

bahasa sangatlah tepat untuk mengangkat kearifan lokal karena melalui bahasa

dapat disampaikan nilai-nilai sosial yang terjadi di daerah. Pembelajaran bahasa

harus mampu mengungkapkan kekayaan berbagai etnis dan menonjolkan

khazanah kedaerahan yang tentu saja merupakan warna lokal yang termasuk

identitas bangsa Indonesia.

Nilai-nilai keaifan lokal pada konteks bahasa yang diintegrasikan ke dalam

pembelajaran disebut dengan istilah etnolinguistik. Etnolinguistik secara harfiah

berasal dari kata ethnos yang berarti suku bangsa dan linguistik yang berarti ilmu

bahasa. Etnolinguistik merupakan penggabungan antara etnologi dan linguistik.

“Etnolinguistik adalah suatu cabang linguistik yang menyelidiki tentang hubungan

bahasa dengan pola kebudayaan.” (Dinawati, 2010:17). Selanjutnya, menurut

Baehaqie (2013), “etnolinguistik secara terminologi merupakan ilmu perihal

bahasa yang berkaitan dengan unsur atau masalah kebudayaan suku bangsa dan

masyarakat penduduk suatu daerah di seluruh dunia secara komparatif dengan

tujuan mendapat pengertian ihwal sejarah dan proses evolusi serta penyebaran

kebudayaan umat manusia di muka bumi.” Konsep etnolinguistik yaitu perpaduan


14

antara bahasa dan budaya masyarakat. Hal ini relevan dengan pendapat Dinawati

(2010:15) yang menyatakan “Etnolinguistik merupakan ilmu perpaduan antara

bahasa dan kebudayaan yang mengacu pada budaya masyarakat sebagai sarana

dalam komunikasi dalam ranah kebudayaan.” Berdasarkan pengertian menurut

beberapa ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa etnolinguistik merupakan ilmu

yang mempelajari tentang bahasa dan kebudayaan sebagai alat komunikasi. Ilmu

etnolinguistik pada pembelajaran esensinya termuat dalam penyisipan bahasa

daerah yang diintegrasikan ke dalam pembelajaran.

2.3 Ruang Lingkup Etnolinguistik

Kajian etnolinguistik tidak terbatas pada suku bangsa yang tidak

mempunyai tulisan tetapi yang sudah mempunyai tulisan pun dapat dikaji

(Rahayu dan Listiyorini, 2009:3). Selanjutnya Wierzbicka dalam Komariyah

(2018:4) menelaah gambaran nyata mengenai hubungan empirik dan teoritik

antara bahasa dan kebudayaan yang berpatokan pada tiga kata kunci, yakni: (1)

masyarakat/guyub, baik guyub tutur maupun guyub budaya; (2) cara berinteraksi;

dan (3) nilai budaya. Guyub berbeda memperlihatkan cara berinteraksi yang

berbeda, yang juga memperlihatkan nilai budaya yang berbeda. Selanjutnya,

menurut Mufidah (2014:305) Ruang lingkup etnolinguistik meliputi hubungan

bahasa dengan budaya khususnya dari aspek penyelidikan antropologi budaya +

linguistik. Ilmu etnolinguistik mempelajari hubungan antara penggunaan bahasa

dan kebudayaan pada umumnya. Menurut Dinawati (2010:16) menyatakan bahwa

”Kajian etnolinguistik dapat dibagi menjadi dua yaitu kajian linguistik yang
memberikan sumbangan bagi etnologi, yaitu kajian yang mempunyai maksud untuk
mengetahui lebih dalam kebudayaan suatu masyarakat yang tersimpan maka
dibutuhkan bahasa sebagai pengungkapnya. Selanjutnya kajian etnologi yang
memberikan sumbangan kepada linguistik dimana ketika konteks suatu kata muncul
dengan konteks sosial budaya masyarakat pemilik bahasa yang beraneka ragam.”
15

Menurut Tondo (2012:205) Bahasa merupakan warisan budaya yang tidak

saja menjadi milik nasional tetapi oleh UNESCO (United Nations Educational,

Scientific, and Cultural Organization), salah satu badan Perserikatan Bangsa-

Bangsa (PBB) yang bergerak di bidang pendidikan, ilmu pengetahuan, dan

kebudayaan, bahasa dinyatakan sebagai warisan dunia (world heritage). Hal lain

yang juga penting untuk diingat bahwa bahasa menyimpan nilai budaya sebuah

kelompok etnik yang berpengaruh terhadap tingkah laku anggota kelompok itu.

Menurut Baehaqie (2014:181) Etnolinguistik atau linguistik antropologis

adalah cabang linguistik mengenai bahasa dalam konteks budaya tertentu. Dengan

linguistik antropologis, seorang ahli bahasa dapat menemukan makna di balik

pemakaian bentuk-bentuk kebahasaan dan register tertentu. Selain itu, dengan

berbekal linguistik antropologis, para ahli dapat memahami budaya masyarakat

lewat bahasa yang dituturkannya (Foley, 2001). Adapun Mufidah (2014:305)

berpendapat tentang fungsi etnolinguistik memberikan pemahaman tentang

masalah-masalah yang menyangkut: hubungan timbal-balik antara struktur bahasa

dan kebudayaan, yaitu bahasa sebagai sistem kognitif dan manifestasinya dalam

penataan lingkungan sosial budaya dan biofisik. Menurut Manurung (2013)

menyatakan bahwa “Dalam era modern, pembelajaran bahasa yang berperspektif

kearifan lokal di sekolah-sekolah dapat :

1. mengembangkan dan menumbuhkan nilai-nilai positif manusia, seperti suka


menolong, berbuat baik, beriman, dan bertaqwa;
2. mengajarkan pesan moral kepada manusia, terutama pemimpin, agar berbuat
yang sesuai dengan harapan masyarakat, mencintai keadilan, kebenaran, dan
kejujuran;
3. mendorong orang untuk bekerja keras demi kepentingan dirinya dan
kepentingan bersama;
4. memperkukuh dan menumbuhkembangkan karakter pribadi, identitas dan
ketahanan bangsa yang positif, tangguh, dan kuat, demi mencapai cita-cita bangsa
dan negara.
16

Berdasarkan pendapat di atas, dapat diketahui bahwa ilmu

etnolinguistik mengkaji bahasa yang berkaitan dengan budaya suku bangsa

di manapun berada.

2.4 Penerapan Etnolinguistik pada Pembelajaran di Sekolah Dasar

Pendidikan merupakan media penyampaian pesan atau transfer nilai-nilai

kebudayaan kepada generasi penerus. Namun, tidak bisa dipungkiri pesatnya

perkembangan IPTEK saat ini, telah menelan kebudayaan tradisional yang sema-

kin tidak terlihat di tengah masyarakat. Pelaksanaan pembelajaran dengan

menerapkan kearifan lokal di dalamnya penting sebagai upaya pelestarian budaya

bangsa. Menurut Panjaitan, dkk (2014) “Sekolah-sekolah belum tentu secara

maksimal mengajarkan tentang budaya-budaya lokal karena pengaruh kurikulum

dan minimnya jumlah les yang ditawarkan serta minimnya peranan pendidikan

dalam menggali dan mewariskan kebudayaan warisan leluhur tersebut.”

Menurut Panjaitan, dkk (2014), Kebudayaan nasional maupun kebudayaan

daerah atau kebudayaan lokal milik suku-suku, sepatutnya diberdayakan untuk

menciptakan dan menghasilkan kurikulum dan silabus yang sesuai dan mampu

membentuk manusia-manusia yang pintar dan cerdas serta berkarakter

kebangsaan yang mengakui dan menjunjung karakter pluralisme. Sebab itu,

seharusnya pemerintah dan lembaga-lembaga pendidikan melakukan kajian

intensif terhadap kebudayaan-kebudayaan bangsa Indonesia untuk menemukan

sistem pendidikan yang tepat diterapkan bagi siswa Sekolah Dasar sebagai

generasi penerus sesuai dengan sifat, kelakuan, karakter keindonesiaan.

Pelaksanaan pembelajaran berbasis budaya dapat dilakukan dengan

berbagai cara yang dapat digunakan. Menurut Sutarno (2008) ada empat macam
17

pembelajaran berbasis budaya, yaitu:

1. Belajar tentang budaya, yaitu menempatkan budaya sebagai bidang ilmu.


Budaya dipelajari dalam program studi khusus, tentang budaya dan untuk
budaya. Dalam hal ini, budaya tidak terintegrasi dengan bidang ilmu.
2. Belajar dengan budaya, terjadi pada saat budaya diperkenalkan kepada siswa
sebagai cara atau metode untuk mempelajari pokok bahasan tertentu. Belajar
dengan budaya meliputi pemanfaatan beragam untuk perwujudan budaya. Dalam
belajar dengan budaya, budaya dan perwujudannya menjadi media pembelajaran
dalam proses belajar, menjadi konteks dari contoh-contoh tentang konsep atau
prinsip dalam suatu mata pelajaran, serta menjadi konteks penerapan prinsip atau
prosedur dalam suatu mata pelajaran.
3. Belajar melalui budaya, merupakan strategi yang memberikan kesempatan
siswa untuk menunjukkan pencapaian pemahaman atau makna yang
diciptakannya dalam suatu mata pelajaran melalui ragam perwujudan budaya.
4. Belajar berbudaya, merupakan bentuk mengejawantahkan budaya itu dalam
perilaku nyata sehari-hari siswa. Misalnya, anak dibudayakan untuk selalu
menggunakan bahasa krama inggil pada hari sabtu melalui Program Sabtu
Budaya.

Sementara itu Sutarno (2008) menuliskan ada tiga macam model pembelajaran

berbasis budaya, yaitu: 1. Model pembelajaran berbasis budaya melalui

permainan tradisional dan lagu-lagu daerah; 2. Model Pembelajaran berbasis

budaya melaui cerita rakyat ; 3. Model pembelajaran berbasis budaya melalui

penggunaan alat-alat tradisional. Sudarmin (2014:41) berpendapat dalam konteks

pembelajaran berpendekatan kearifan lokal, sedikitnya terdapat tiga model

implementasi yaitu:

1. Model komplementatif (single subject), implementasi kearifan lokal


ditambahkan ke dalam program pendidikan kurikuler dan struktur kurikulum
yang ada. Pelaksanaanya dapat berupa menambahkan mata pelajaran khusus
kearifan lokal dalam struktur kurikulum atau menyelenggarakan program
sesuai dengan nilai-nilai kearifan lokal dalam kalender pendidikan.
2. Model terpadu (integrative), implementasi kearifan lokal melekat dan terpadu
dalam program-program kurikuler, kurikulum yang ada dan atau mata
pelajaran yang ada, bahkan proses pembelajaran. Model ini membutuhkan
kesiapan dan kemampuan tinggi dari sekolah, kepala sekolah dan guru mata
pelajaran. Guru dan kepala sekolah harus pandai dan cekatan menyiasati dan
menjabarkan kurikulum, mengelola pembelajaran dan mengembangkan
penilaian.
3. Model terpisah (discreet), implementasi kearifan lokal disendirikan,
dipisahkan, dan dilepas dari program-program kurikuler atau mata pelajaran.
Pelaksana-annya dapat berupa pengembangan nilai-nilai kearifan lokal yang
dikemas dan disajikan secara khusus pada peserta didik. Penyajiannya bisa
terkait dengan program kurikuler atau bisa juga berbentuk program
ekstrakurikuler.

Etnolinguistik dalam perspektif pembelajaran merupakan pengetahuan


18

yang dimiliki guru tentang bahasa daerah yang berhubungan dengan pembela-

jaran. Menurut Pusat Kurikulum dalam Sutjipto (2015:326) berikut ini bahan

kajian bahasa dalam konteks kurikulum daerah:

1. Mendengarkan dan mengidentifikasi unsur cerita rakyat yang sarat


bermuatan kearifan lokal (mendengarkan).
2. Dengan topik khas kedaerahan: pembicara, topik, forum, penyimak,
tangga-pan (berbicara).
3. Sajian tulisan/karangan khas daerah untuk dipahami, diterima, ditolak,
dibandingkan, dianalisis, diyakini, ditetapkan (membaca).
4. Membuat karya tulis yang efektif tentang khas daerah dengan segala
perniknya (menulis).
5. Penggunaan kode-kode kebahasaan yang dianggap sopan dan santun, biasa
saja, dan yang dianggap kaku dan kasar dalam setiap pertuturan oleh
komunitas antarwarga di daerah (kebahasaan).
6. Mengapresiasi karya sastra khas daerah baik secara instrinsik/dari dalam
maupun ekstrinsik/dari luar (apresiasi sastra).

Penerapan pembelajaran berbasis budaya khususnya pada pembelajaran

bahasa dapat diintegrasikan ke dalam kurikulum di Sekolah Dasar. Hal ini

relevan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Wuri Wuryandari (2010)

bahwa salah satu cara yang dapat ditempuh guru di sekolah untuk menanamkan

rasa cinta terhadap budaya lokal adalah dengan cara mengintegrasikan nilai-nilai

kearifan lokal dalam proses pembelajaran di sekolah. Salah satu contoh aplikasi

pengintegrasian nilai-nilai kearifan lokal di kecamatan Pemayung yaitu di

lingkungan siswa yang dekat dengan sungai Batanghari serta mata pencaharian

orang tua siswa yang sebagian besar sebagai nelayan dan petani, terdapat jenis

ikan salah satunya ikan patin yang merupakan andalan daerah tersebut. Maka guru

dalam pembelajaran bisa memanfaatkan tema “Ikan”. Tema ini bisa diintegrasikan

ke dalam beberapa muatan pelajaran, yaitu:

1. Muatan pelajaran matematika: siswa diminta untuk menghitung jumlah gambar

ikan patin. Pada aspek etnolinguistik dapat dikaji melalui penggunaan bahasa

untuk satuan berat yang digunakan oleh masyarakat daerah setempat seperti istilah
19

semato untuk menyatakan 100 gram. Selain itu dalam budidaya ikan, diperlukan

lahan untuk membuat kolam ikan. Kajian etnolinguistik ditunjukkan pada

penggunaan istilah depo untuk pengukuran terhadap tanah serta istilah tumbuk

untuk menunjukkan luas tanah.

2. Muatan pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam: Ditinjau dari etnolinguistik dapat

dikaji melalui pengolahan ikan patin tersebut dapat dijadikan olahan makanan

yang dikenal dengan istilah tempoyak. Proses terjadinya tempoyak tersebut

melalui fermentasi.

3. Muatan pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial: siswa diminta untuk menjelaskan

kondisi geografis lingkungan siswa yang dekat dengan sungai. Umumnya,

masyarakat Jambi yang tinggal di dekat sungai memiliki rumah berbentuk

panggung. Rumah adat khas Jambi ini disebut dengan rumah adat Kajang Leko.

4. Muatan pelajaran Bahasa: Siswa diminta untuk mengamati teks mengenai

tradisi masyarakat Jambi. Terdapat tradisi adat masyarakat yang dikenal dengan

istilah bekarang. Tradisi tahunan ini dilakukan ketika air payau mulai mengering

sehingga bercampurnya air dengan lumpur. Tradisi ini dilakukan dengan

menangkap ikan liar dalam lumpur dengan menggunakan alat yang terbuat dari

buluh (bambu) dengan sebutan serkab.

5. Muatan Pelajaran PPKn: siswa diminta untuk menjelaskan hak dan kewajiban

dalam memelihara sungai agar lingkungan tetap terjaga dan budidaya ikan dapat

terus dilakukan.

Pada pelaksanaan pembelajaran, bahasa digunakan sebagai pengantar

dalam pelaksanaan prakik pendidikan. Oleh sebab itu, semua pembelajaran

tentunya melibatkan keterampilan dalam berbahasa. Penggunaan bahasa daerah


20

dalam mengintegrasikan pembelajaran digunakan agar anak dapat dengan mudah

mengerti dan memahami pembelajaran. Contoh di atas merupakan salah satu cara

mengintegrasikan nilai-nilai kearifan lokal dalam pembelajaran di Sekolah Dasar.

Melalui model integrasi yang menyesuaikan kurikulum 2013, nilai-nilai kearifan

lokal ini diharapkan nilai nasionalisme siswa terhadap budaya lokalnya akan dapat

ditumbuhkan, bahkan ditingkatkan.

Selanjutnya contoh kajian etnolinguistik daerah Jambi yaitu dapat berupa

tradisi tutur atau ungkapan tradisional daerah melayu Jambi seperti seloko adat,

petatah petitih, cerita rakyat, syair khas daerah Jambi seperti syair H. Syukur.

Contoh etnolinguistik yang ditinjau dari petatah petitih masyarakat seberang kota

Jambi, berdasarkan penelitian relevan yang berjudul Repetisi Dalam Petatah-

petitih Masyarakat Seberang Kota Jambi oleh Aswin Saputra (2016) yaitu :

1. Makan seukur perut, berpakaian seukur badan.

(Tidak boleh berlebih-lebihan)

2. Kalu jalan dipeliharo kaki, kalu bejalan peliharo lidah.

(Berhati- hati dalam pergaulan sehari-hari)

3. Motong kayu dengan pisau, motong bawang dengan parang.

(Pekerjaan yang sia-sia)

Penyisipan bahasa daerah seperti yang terdapat pada petatah-petitih diatas

dapat disisipkan pada saat pembelajaran ketika guru memberikan nasihat kepada

siswa.
21

2.4.1 Penyisipan Bahasa Daerah ke dalam Pembelajaran

Penyisipan bahasa daerah merupakan contoh penerapan kajian

etnolinguistik dalam pembelajaran. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003

tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 33 tentang bahasa pengantar disebutkan

bahwa bahasa pengantar dalam pendidikan nasional adalah bahasa Indonesia (ayat

1) namun, bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahasa pengantar dalam tahap

awal pendidikan apabila diperlukan dalam penyampaian pengetahuan dan/atau

keterampilan tertentu (ayat 2). Guru dalam proses belajar mengajar diperbolehkan

menggunakan bahasa daerah untuk membantu pemahaman siswa yang masih

kurang fasih dalam berbahasa Indonesia (Sari, 2015:200). Selain itu, dengan

penggunaan bahasa daerah dapat mempermudah peserta didik dalam memahami

pembelajaran.

Guru menggunakan dwibahasa untuk membantu pemahaman siswa terhadap


materi menulis cerita narasi sederhana, sedangkan siswa menggunakan dwibahasa
karena keterbatasan perbendaharaan kata dalam bahasa Indonesia. Dengan
demikian komunikasi antara guru dan siswa dapat berjalan dengan baik sehingga
siswa dapat mengerti akan materi yang diajarkan guru (Sari, 2015:203).

Siswa akan merasakan suasana lebih akrab dan menyenangkan karena

menganggap guru lebih mengerti dunia mereka yang masih menggunakan bahasa

ibu atau bahasa daerah dalam berinteraksi dengan orang lain (Sari, 2015:203).

Namun sebaliknya, apabila pembelajaran di sekolah dasar tidak

menyisipkan bahasa daerah makan akan menyebabkan siswa kesulitan dalam

memahami pembelajaran. Proses pembelajaran yang mengabaikan “cultural

diversity” siswa dapat menimbulkan stres dan frustasi karena pendidik tidak dapat

merespon dan mengerti permasalahan tersebut secara efektif yang selanjutnya

akan berakibat munculnya sikap negatif anak terhadap materi yang diberikan

(Jones dalam Rosita, dkk, 2006:38). Sari (2015:203) menyatakan bahwa.


22

Salah satu faktor penyebab siswa sulit berkomunikasi adalah siswa kurang
memahami isi pembicaraan guru karena kurangnya perbendaharaan kata pada
siswa. Siswa akan lebih memahami isi pembicaraan guru yang tidak terlalu formal
menggunakan bahasa Indonesia,akan tetapi menggunakan bahasa Indonesia dan
bahasa daerahnya.

Rosita,dkk (2006:39) “Demikian halnya dengan penggunaan bahasa daerah pada

lingkungan keluarga, semakin sering anak-anak dididik dalam lingkungan bahasa

daerah tertentu maka akan terbentuk suatu komunikasi yang konstan pada

penggunaan bahasa daerah”. Melalui penggunaan bahasa daerah dalam

pembelajaran ini, siswa memahami dan akrab dengan lingkungannya sehingga

terhindar dari keterasingan terhadap lingkungan sendiri, mampu memanfaatkan

pengetahuan dan keterampilannya untuk memecahkan masalah yang dihadapi

disekitarnya, dan mampu menolong orang tuanya dan dirinya sendiri dalam

rangka memenuhi kebutuhan hidupnya (Depdikbud, 1997).

2.4.2 Kendala Guru dalam Menyisipkan Bahasa Daerah ke dalam

Pembelajaran

Keberhasilan strategi guru dalam menyisipkan bahasa daerah ke dalam

pembelajaran dapat dipengaruhi oleh beberapa penyebab salah satunya yaitu latar

belakang budaya. Rosita, dkk (2006:38) “Latar belakang budaya anak terutama

bahasa daerah harus menjadi kekuatan yang dapat mempengaruhi dia dalam

berinteraksi dengan guru di dalam menyusun pengetahuan dalam benak si anak”.

Banyak peserta didik yang berasal dari Jawa, sehingga bahasa yang digunakan

yaitu bahasa daerah Jawa yang mereka dapatkan dari keluarga. Maka dari itu,

bahasa ibu berhubungan erat dengan bahasa daerah di mana seorang individu

lahir, besar dan tinggal (Ibda, 2017:198). Hal ini menyebabkan etnolinguistik

yang peserta didik dapatkan antara di lingkungan keluarga dan sekolah berbeda.
23

Rosita, dkk (2006:39) Pada anak didik yang mempunyai latar belang keluarga

bukan daerah lingkungan tersebut tentunya harus belajar banyak supaya dapat

menyesuaikan lingkungan barunya dengan bahasa daerah yang berbeda sehingga

dapat terus eksis dalam lingkungan barunya tersebut. (Rosita dkk, 2006: 38).

Sari (2015:203) berpendapat sebagai berikut:

Salah satu faktor penyebab siswa sulit berkomunikasi adalah siswa kurang
memahami isi pembicaraan guru karena kurangnya perbendaharaan kata pada siswa.
Siswa akan lebih memahami isi pembicaraan guru yang tidak terlalu formal
menggunakan bahasa Indonesia, akan tetapi menggunakan bahasa Indonesia dan
bahasa daerahnya

Oleh sebab itu,sudah menjadi tugas guru untuk mengembangkan pengetahuan dan

potensi diri khusunya dalam mengeksplor etnolinguistik ini. Guru juga harus

belajar bahasa daerah untuk membantu pemahaman terhadap siswa dan

memperlancar proses belajar mengajar (Sari, 2015:206). Sudaryat (2004:12)

“guru di daerah atau di sekolah dapat mengembangkan, menggabungkan, atau

menyesuaikan bahan yang disajikan dengan keadaan dan keperluan setempat

dalam silabus dan rencana pembelajaran”

Untuk mendukung penerapan pelaksanaan pembelajaran dengan ilmu

etnolinguistik diperlukan peran penting seorang guru. Undang- Undang No 20

Tahun 2003 Pasal 39 ayat (2) tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan

“bahwa guru/tenaga pendidik professional merupakan tenaga professional yang

bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil

pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan”. Selanjutnya, Husein

(2017) menyatakan bahwa:

“Guru yang professional adalah guru yang mempunyai banyak ilmu dan
pengalaman yang mampu merancang, mengelola pembelajaran, dengan tugas
utama adalah mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai,
dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan
formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah”.
24

Berdasarkan beberapa pendapat diatas, dapat diketahui bahwa guru

professional adalah guru yang mampu melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai

guru dengan maksimal baik dalam hal merencanakan dan melaksanakan proses

pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan

pelatihan. Salah satu kualifikasi yang harus dimiliki oleh seorang guru yamg

professional adalah memiliki kompetemsi pedagogik. Menurut Suprihatiningrum

(2016) menyatakan “kompetensi pedagogik merupakan kemampuan yang

berkaitan dengan pemahaman siswa dan pengelola pembelajaran yang mendidik

dan dialogis”. Adapun menurut (Rusman, 2010) menyatakan bahwa:

kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik


yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan
pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk
mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliknya (Standar Nasional
Pendidikan, penjelasan Pasal 28 ayat 3 butir a). Artinya guru harus mampu
mengelola kegiatan pembelajaran, mulai dari merencanakan, melaksanakan, dan
mengevaluasi kegiatan pembelajaran. Guru harus menguasai manajemen
kurikulum, mulai dari merencanakan perangkat kurikulum, melaksanakan
kurikulum, dan mengevaluasi kurikulum, serta memiliki pemahaman tentang
psikologi pendidikan, terutama terhadap kebutuhan dan perkembangan peserta
didik agar kegiatan pembelajaran lebih bermakna dan berhasil guna.

Untuk dapat menerapkan ilmu etnolinguistik ke dalam pembelajaran

dibutuhkan kompetensi pedagogik oleh seorang guru yaitu kompetensi yang

dikembangkan berbasis pengetahuan dan keterampilan. Oleh sebab itu, guru harus

memahami wawasan tentang kearifan lokal daerah setempat dan mengeksplor

kearifan lokal tersebut untuk diintegrasikan ke dalam pembelajaran. Menurut

Pornpimon (2014:630-631) dalam penelitiannya mengemukakan faktor yang

berpengaruh dalam kesuksesan implementasi kearifan lokal di sekolah adalah:

1. Teacher study community and information to the community both observations


and query the lokals. The lokal knowledge as well as the students around the issue
to the community defined in the curriculum to lead to learning (Guru mempelajari
masyarakat dan informasi kepada masyarakat baik pengamatan maupun
pertanyaan lokal. Pengetahuan lokal dan juga siswa seputar isu tersebut kepada
masyarakat didefinisikan dalam kurikulum untuk menghasilkan pembelajaran).
25

2. Teachers need to learn about the science of folklore, village philosophers and
scholars into combination of lokal wisdom (Guru perlu belajar tentang ilmu cerita
rakyat, filsuf desa dan ilmuwan menjadi kombinasi kebijaksanaan lokal).
3. Teacher should seek more knowledge and learn different ways drom the visiting
other schools to guide their development and development of the school for the
better (Guru harus mencari lebih banyak pengetahuan dan belajar cara yang
berbeda dari mengunjungi sekolah lain untuk membimbing pengembangan dan
pengembangan sekolah mereka menjadi lebih baik).
4. In the teaching and learning of one subject in particular. Teachers should
pulled lokal wisdom potential to participate as a guest speaker or consultant.
Should mobilize personnel group of person who understand the lokal
organizations such as the monks to teaching and learning as much as possible
(Dalam pengajaran dan pembelajaran satu topik pada khususnya. Guru harus
menarik potensi kearifan lokal untuk berpartisipasi sebagai pembicara tamu atau
konsultan. Harus memobilisasi personel personel orang yang mengerti organisasi
lokal seperti biksu untuk belajar dan mengajar sebanyak mungkin).
5. Teachers should provide a variety of teaching and learning process. Should not
be taken but only school textbooks (Guru harus menyediakan berbagai proses
belajar mengajar. Sebaiknya tidak diambil hanya dari buku teks sekolah).

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat diketahui pentingnya seorang guru

professional untuk memenuhi salah satu kualifikasi yaitu memiliki

kompetensi pedagogik. Dalam hal ini, guru harus memiliki wawasan

mengenai ilmu etnolinguistik. Pembelajaran yang mengintegrasikan nilai-nilai

kearifan lokal daerah setempat dapat mempermudah siswa dalam memahami

pembelajaran.

2.5 Penelitian Relevan

Penelitian relevan yang sesuai dengan konteks pada penelitian ini yaitu

mengenai etnolinguistik dalam perspektif pembelajaran belum ditemukan. Namun

terdapat penelitian relevan yang dikaji berdasarkan nilai kearifan lokal dalam

pembelajaran dan penggunaan bahasa daerah. Penelitian relevan yang sebelumnya

telah dilakukan mengenai nilai kearifan lokal adalah yang telah dilaksanakan oleh

Wuri Wuryandari (2010) yang berjudul Integrasi Nilai-nilai Kearifan Lokal dalam

Pembelajaran untuk Menanamkan Nasionalisme di Sekolah Dasar. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa salah satu cara yang dapat ditempuh guru di sekolah
26

untuk menanamkan rasa cinta terhadap budaya lokal adalah dengan cara

mengintegrasikan nilai-nilai kearifan lokal dalam proses pembelajaran di sekolah.

Penelitian relevan selanjutnya oleh Aswin Saputra (2016) yang berjudul

Repetisi dalam Petatah-Petitih Masyarakat Seberang Kota Jambi. Hasil penelitian

ini adalah contoh petatah petitih masyarakat seberang kota Jambi yaitu: Makan

seukur perut, berpakaian seukur badan (Tidak boleh berlebih-lebihan); Kalu jalan

dipeliharo kaki, kalu bejalan peliharo lida (Berhati- hati dalam pergaulan sehari-

hari); Motong kayu dengan pisau, motong bawang dengan parang (Pekerjaan

yang sia-sia).

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian relevan yaitu penelitian oleh

Wuri Wuryandari membahas tentang pengintegrasian nilai-nilai kearifan lokal

dalam pembelajaran, sedangkan penelitian ini khusus membahas etnolinguistik.

Selanjutnya penelitian relevan oleh Aswin Saputra membahas tentang petatah-

petitih dalam masyarakat seberang kota Jambi, sedangkan penelitian ini tentang

pengetahuan etnolinguistik guru sekolah dasar.


27

2.6 Kerangka Berpikir

Etnolinguistik dalam perspektif pembelajaran merupakan pengetahuan

yang dimiliki guru tentang bahasa daerah yang berhubungan dengan pembela-

jaran. Etnolinguistik memiliki peran sebagai penyambung pengetahuan bahasa

daerah yang dimiliki oleh peserta didik yang dikaitkan dengan pembelajaran yang

dipelajari di sekolah. Dengan begitu peserta didik dapat dengan mudah dalam

memahami pembelajaran.

Pembelajaran dengan ilmu etnolinguistik belum dieksplor dan


dicantumkan ke dalam RPP

Analisis: Cara guru dalam mengimplementasikan ilmu etnolinguistik


dan kendala yang dihadapi guru dalam mengimplementasikan
pengetahuan etnolinguistik

Dampak : Siswa dapat dengan mudah dalam memahami pembe-


lajaran, kebudayaan dapat dilestarikan dan dapat membentuk karakter
peserta didik

Gambar 2.1 Bagan Kerangka Berpikir


BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan di tiga Sekolah Dasar yang berada di

Kecamatan Pemayung, Kabupaten Batanghari. Waktu pelaksanaan penelitian ini

disesuaikan dengan jadwal yang telah ditentukan yaitu pada semester ganjil tahun

ajaran 2018/2019.

3.2 Pendekatan Penelitian

Berdasarkan masalah dan tujuan yang akan diteliti, penelitian ini

menggunakan pendekatan kombinasi (mix methods). Menurut Creswell (2009)

“mixed methods research is an approach to inquiry that combines or associates

both qualitative and quantitative forms it involves philosophichal assumptions, the

use of qualitative and quantitative approaches, and the mixing of both approaches

in a study” (Penelitian metode campuran adalah pendekatan untuk penyelidikan

yang mengga-bungkan atau mengasosiasikan baik bentuk kualitatif maupun

kuantitatif, melibatkan asumsi filosofis, penggunaan pendekatan kualitatif dan

kuantitatif, dan pencampuran kedua pendekatan dalam sebuah penelitian). Adapun

Sugiyono (2016) menjelaskan bahwa “metode penelitian kombinasi adalah suatu

metode penelitian yang mengkombinasikan atau menggabungkan antara metode

kuantitatif dan metode kualitatif untuk digunakan secara bersama-sama dalam

suatu kegiatan penelitian, sehingga diperoleh data yang lebih komprehensif, valid,

reliabel, dan obyektif”. Penelitian ini menggunakan mixed method karena

memiliki dua jenis data yaitu data pertama data kuantitatif. Data yang dikumpul-

28
29

kan adalah data tentang sejauh mana guru memiliki penge-tahuan tentang ilmu

etnolinguistik yang dikumpulkan melalui angket yang berupa angka-angka. Data

pertama digunakan untuk menjawab pertanyaan nomor 1 yaitu bagaimana

pengetahuan ilmu etnolinguistik guru kelas di Sekolah Dasar kecama-tan

Pemayung.

Penelitian ini juga menggunakan metode kualitatif. Pertanyaan nomor 2

memerlukan data kualitatif yaitu data tentang cara-cara guru dalam mengimple-

mentasikan pengetahuan etnolinguistik dalam pembelajaran di kelas rendah dan

kelas tinggi. Data ini dikumpulkan dengan teknik wawancara. Selain itu

digunakan analisis dokumen berupa RPP yang digunakan guru untuk melengkapi

dan memperkuat data hasil angket dan wawancara agar hasil penelitian dapat lebih

kredibel/dapat dipercaya.

Creswell dalam Sugiyono (2016) mengklasifikasikan metode kombi-nasi

seperti ditunjukkan pada bagan berikut ini :

Sequential
Explanatory Design

Tipe
Sequential
Penelitian Sequential
Ekplaratory Design
Kombinasi

Transformative
Design

Gambar

Gambar 3.1 Bagan Desain Tipe Penelitian Kombinasi


30

Desain penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah desain

sequential explanatory. Metode penelitian kombinasi model sequential

explanatory dicirikan dengan pengumpulan data dan analisis data kuantitatif pada

tahap pertama dan diikuti dengan pengumpulan dan analisis data kualitatif pada

tahap ke dua, guna memperkuat hasil penelitian kuantitatif yang dilakukan pada

tahap pertama (Sugiyono, 2016). Blackwell (2009) berpendapat tentang desain

sequential explanatory sebagai berikut:

Sequential explanatory design is typically characterised by an initial quantitative


phase, which is then followed by a qualitative data collection phase. The two
methods are integrated during the interpretation phase. Findings from the
qualitative study component are used to explain and contextualise the results from
the quantitative study component. (Desain penjelasan sekuensial biasanya dicirikan
oleh fase kuantitatif awal, yang kemudian diikuti oleh fase pengumpulan data
kualitatif. Kedua metode tersebut terintegrasi selama fase interpretasi. Temuan dari
komponen penelitian kualitatif digunakan untuk menjelaskan dan mengontekstua-
lisasikan hasil dari komponen penelitian kuantitatif).

Selanjutnya, Biber (2010) berpendapat tentang sequential explanatory mixed

methods design bahwa:

Researchers can also integrate the data from both studies in this explanatory
mixed methods design at the data interpretation stage by allowing for the
comparison of research findings, especially if the two studies have utilized similar
questions of interest to the research question. This would serve to increase the
validity of the qualitative results and potentially provide a more complex
understanding of qualitative results when an apparent contradiction exists.
(Peneliti juga dapat mengintegrasikan data dari kedua studi dalam desain metode
campuran penjelasan ini pada tahap interpretasi data dengan memungkinkan untuk
perbandingan temuan penelitian, terutama jika dua penelitian telah menggunakan
pertanyaan yang sama yang menarik untuk pertanyaan penelitian. Ini akan
berfungsi untuk meningkatkan validitas hasil kualitatif dan berpotensi memberikan
pemahaman yang lebih kompleks dari hasil kualitatif ketika kontradiksi yang nyata
ada).

3.3 Populasi dan Sampel

Menurut Sugiyono (2016), “Populasi adalah wilayah generalisasi yang

terdiri atas: obyek/subyek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik

tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik

kesimpulannya”. Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang


31

dimiliki oleh populasi tersebut (Sugiyono, 2016). Populasi pada penelitian ini

adalah seluruh guru kelas di tiga Sekolah Dasar kecamatan Pemayung.

Adapun sampel dalam penelitian ini adalah guru kelas rendah dan kelas

tinggi dari 3 sekolah dasar yaitu di SD Negeri No. 180/I Ture, SD Negeri No.

82/I Serasah dan SD Negeri No. 51/I Simpang Kubu Kandang dengan jumlah

18 guru. Peneliti memilih semua populasi menjadi sampel karena jumlah

populasi yang relatif kecil.

3.4 Teknik Pengambilan Sampel

Teknik sampling yang digunakan pada penelitian ini adalah

nonprobability sampling. Menurut Sugiyono (2016), “Nonprobability sampling

adalah teknik pengambilan sampel yang tidak memberi peluang/ kesempatan sama

bagi setiap unsur/populasi untuk dipilih menjadi sampel”. Adapun teknik sampel

yang digunakan adalah jenis purposive sampling. Cohen (2005) “they build up

sample that is satisfactory to their specific need. As its name suggests, the sample

has been chosen for a sepecific purpose” (Mereka membangun sampel yang baik

untuk kebutuhan khusus mereka. Seperti namanya, sampel telah dipilih untuk

tujuan tertentu). Teknik pengambilan sampel pada purposive sampling dilakukan

dengan cara mengambil subjek bukan didasarkan pada tingkatan, random atau

daerah tetapi didasarkan atas adanya tujuan tertentu (Arikunto, 2010).

Pengambilan sampel dengan teknik purposive sampling cukup baik karena sesuai

dengan pertimbangan peneliti sendiri sehingga dapat mewakili populasi. Menurut

Sugiyono (2016) sampling purposive merupakan teknik penentuan sampel dengan

pertimbangan tertentu. Purposive sampling digunakan pada teknik pengambilan


32

sampel karena sesuai dengan kriteria dan tujuan penelitian. Pertimbangan atau

kriteria pemilihan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Guru sekolah dasar negeri di kecamatan Pemayung.

2. Guru kelas dari 3 sekolah dasar negeri di kecamatan Pemayung.

3. Guru kelas rendah dan guru kelas tinggi sekolah dasar di kecamatan

Pemayung.

4. Ditinjau dari pengetahuan etnolinguistik guru pada pembelajaran di Sekolah

Dasar.

3.5 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan teknik

pengumpulan data kuantitatif dan teknik pengumpulan data kualitatif.

3.5.1 Teknik Pengumpulan Data Kuantitatif

Pada penelitian ini, teknik pengumpulan data kuantitatif yang digunakan

berupa angket.

1. Kuesioner (Angket )

Teknik pengumpulan data yang digunakan untuk menjaring data tentang

pengetahuan awal guru mengenai etnolinguistik menggunakan kuesioner (angket).

Menurut Sugiyono (2016), “kuesioner merupakan teknik pengumpulan data yang

dilakukan dengan cara memberi seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis

kepada responden untuk dijawabnya”. Selanjutnya Taniredja (2014) menyatakan

bahwa “angket (questionnaire) merupakan suatu daftar pertanyaan atau

pernyataan tentang topik tertentu yang diberikan kepada subyek baik secara

individual atau kelompok, untuk mendapatkan informasi tertentu, seperti


33

preferensi, keyakinan, minat dan perilaku”. Melengkapi pengertian angket,

Widoyoko (2012:33) menyatakan bahwa “angket atau kuesioner merupakan

metode pengumpulan data yang dilakukan dengan cara memberi seperangkat

pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada responden untuk diberikan respon

sesuai dengan permintaan pengguna”.

Furchan (2011:260) menyatakan bahwa “kuesioner ada dua macam, yaitu

kuesioner berstruktur atau bentuk tertutup dan kuesioner tak berstruktur atau

bentuk terbuka”. Penelitian ini menggunakan kuesioner berstruktur atau bentuk

tertutup. Menurut Furchan (2011:260) “kuesioner berstruktur berisi pertanyaan-

pertanyaan yang disertai dengan pilihan jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan

tersebut”. Selanjutnya, Widoyoko (2012:36) “angket tertutup merupakan angket

yang jumlah item dan alternatif jawaban maupun responnya sudah ditentukan,

responden tinggal memilihnya sesuai dengan keadaan yang sebenarnya”. Alasan

penggunaan kuesioner berstruktur atau bentuk tertutup pada penelitian ini karena

pada pelaksanaan dan pemberian skor kuesioner, informasi yang dihasilkan

bersifat langsung untuk diproses dan dianalisis. Cohen (2005) berpendapat tentang

kuesioner berstruktur sebagai berikut.

If a closed and structured questionnaire is used, enabling patterns to be observed


and comparisons to be made, then the questionnaire will need to be piloted and
refined so that the final version contains as full a range of possible responses as
can be reasonably fore-seen. Such a questionnaire is heavy on time early in the
research; however,once the questionnaire has been „set up‟ then the mode of
analysis might be comparatively rapid. For example, it may take two or three
months to devise a survey questionnaire, pilot it, refine it and set it out in a format
that will enable the data to be processed and statistics to be calculated. (Jika
kuesioner tertutup dan terstruktur digunakan, memungkinkan pola untuk diamati
dan perbandingan yang akan dibuat, maka kuesioner akan perlu diujicobakan dan
disempurnakan sehingga versi final berisi berbagai respons yang mungkin karena
dapat secara wajar dilihat. Kuesioner semacam itu sangat berat pada awal
penelitian; Namun, setelah kuesioner telah 'disetel' maka mode analisis mungkin
relatif cepat. Misalnya, mungkin diperlukan dua atau tiga bulan untuk menyusun
kuesioner survei, perintis, perbaiki, dan siapkan dalam format yang akan
memungkinkan data diproses dan statistik dihitung.)
34

Penelitian ini menggunakan angket yang mengukur sejauh mana ilmu

etnolinguistik yang dimiliki guru untuk diterapkan dalam pembelajaran dengan

butir pernyataan sebanyak 15. Berikut ini kisi- kisi angket :

Tabel 3.1 Kisi- kisi Angket Pemahaman Guru Sekolah Dasar tentang Ilmu Etnolinguistik

Variabel Dimensi Indikator


Pengetahuan guru Pembelajaran berbasis Penerapan pembelajaran tentang
tentang ilmu etnolinguistik etnolinguistik pada kurikulum
etnolinguistik sekolah
Penyusunan RPP dengan
mengaitkan etnolinguistik
Pelaksanaan Pembelajaran Mengaitkan budaya lokal dengan
bahasa daerah
Menyampaikan tujuan
pembelajaran tentang
etnolinguistik

Evaluasi Pembelajaran Evaluasi hasil proses belajar


Evaluasi kegiatan belajar
mengajar (KBM)

Instrumen angket diadopsi dari Asrial dan Syahrial (2018). Format angket

pengetahuan guru terhadap pembelajaran terdapat di lampiran 1.

3.5.2 Teknik Pengumpulan Data Kualitatif

Pada penelitian ini, teknik pengumpulan data kualitatif yang digunakan

adalah wawancara dan analisis dokumen.

1. Wawancara

Menurut Widoyoko (2012:40), “Wawancara merupakan suatu proses tanya

jawab atau dialog secara lisan antara pewawancara (interviewer) dengan

responden atau orang yang diinterviu (interviewee) dengan tujuan untuk

memperoleh informasi yang dibutuhkan oleh peneliti”. Menurut Kval dalam

Cohen (2005) menyatakan “remarks as an interview, an interchange of views


35

between two or more people on a topic of mutual interest, sees the centrality of

human interactionfor knowledge production, and emphasizes the social

situatedness of research data”. (Catatan sebagai wawancara, pertukaran

pandangan antara dua atau lebih orang pada topik yang saling menguntungkan,

melihat sentralitas interaksi manusia untuk produksi pengetahuan dan menekan-

kan keterjagaan sosial data penelitian.)

Selanjutnya, menurut Esterberg dalam Sugiyono (2016), “wawancara

adalah pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya

jawab, sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam suatu topik tertentu”. Jadi,

yang dimaksud dengan wawancara adalah percakapan yang dilakukan oleh dua

pihak yaitu pewawancara (interview) dan orang yang memberikan jawaban atas

pertanyaan atau disebut responden (interviewee) untuk memperoleh tujuan berupa

informasi yang sesuai dengan topik tertentu.

Menurut Hadi dalam Widoyoko (2012:41), “fungsi wawancara pada

dasarnya dapat digolongkan ke dalam tiga golongan besar, yaitu: (1) sebagai

metode primer, (2) sebagai metode pelengkap, dan (3) sebagai kriterium”. Pada

penelitian ini, wawancara digunakan sebagai metode pelengkap. Wawancara

digunakan sebagai informasi pelengkap terhadap informasi yang dipeoleh dengan

mengguakan metode lain (Widoyoko, 2012:42).

Terdapat macam-macam jenis wawancara. Menurut Widoyoko (2012:42),

“berdasarkan sifat pertanyaan, wawancara dapat dibedakan mejadi dua yaitu

wawancara terstruktur dan wawancara tidak terstruktur”. Pada penelitian ini, jenis

wawancara yang digunakan adalah wawancara terstruktur. Menurut Widoyoko

(2012:42), “wawancara terstruktur adalah wawancara yang telah disusun secara


36

sistematis dan lengkap untuk pengumpulan data”. Pertanyaan dan alternatif jawa-

ban yang diberikan kepada responden terlebih dahulu telah ditetapkan oleh

pewawancara (Furchan, 2011). Sugiyono (2016) menyatakan “dalam melakukan

wawancara, pengumpul data telah menyiapkan instrumen penelitian berupa

pertanyaan-pertanyaan tertulis yang alternatif jawabannya pun telah disiapkan”.

Selanjutnya, Cohen (2005) berpendapat tentang wawancara terstruktur sebagai

berikut.

The structured interview is one in which the content and procedures are organized
in advance. This means that the sequence and wording of the questions are
determined by means of a schedule and the interviewer is left little freedom to
make modifications. Where some leeway is granted her, it too is specified in
advance. It is therefore characterized by being a closed situation. (Wawancara
terstruktur adalah wawancara dimana konten dan prosedur diatur sebelumnya. Ini
berarti bahwa urutan dan kata-kata pertanyaan ditentukan dengan cara jadwal dan
pewawancara dibiarkan sedikit kebebasan untuk melakukan modifikasi. Dimana
beberapa kelonggaran diberikan kepadanya, itu juga ditentukan sebelumnya. Oleh
karena itu ditandai dengan situasi tertutup.)

Pada penelitian ini, responden adalah guru kelas rendah dan kelas tinggi di

tiga Sekolah Dasar kecamatan Pemayung. Pertanyaan wawancara ditanyakan pada

pelaksanaan semester ganjil tahun ajaran 2018/2019. Kisi-kisi wawancara

mengenai bagaimana guru mengimplementasikan ilmu mereka tentang

etnolinguistik pada pembelajaran sesuai dengan kurikulum. Berikut ini kisi-kisi

wawancara yang akan ditanyakan :

Tabel 3.2 Kisi- kisi Wawancara Pemahaman Guru Sekolah Dasar tentang Ilmu
Etnolinguistik

Variabel Sub variabel Indikator


1. Mengetahui ilmu a. Mampu menjelaskan
etnolinguistik yang tentang etnolinguistik
diterapkan pada b. Menguasai teori
pembelajaran bahasa tentang etnolinguistik
2. Memahami ilmu a. Memberikan contoh
metnolinguistik yang nyata pada proses
diajarkan kepada peserta pembelajaran
didik b. Mampu menggunakan
Pengetahuan guru media belajar yang
tentang ilmu dikaitkan etnolinguistik
37

Variabel Sub variabel Indikator


etnolinguistik. 3. Mengetahui tujuan a. Membentuk karakter
diterapkannya peserta didik
pembelajaran dengan ilmu b. Menanamkan karakter
etnolinguistik kepada peserta didik
4. Mengetahui hubungan a. Mampu menyebutkan
etnolinguistik dengan contoh kebudayaan
kuikulum SD lokal yang berkaitan
dengan bahasa daerah
b. Mengetahui hubungan
etnolinguistik dengan
kurikulum sekolah

Instrumen wawancara diadopsi dari Asrial dan Syahrial (2018). Format

wawancara mengenai pengetahuan guru terhadap etnolinguistik terdapat di

lampiran 2.

2. Analisis Dokumen

Menurut Widoyoko (2012), “metode analisis dokumen merupakan suatu

cara pengumpulan data yang dilakukan dengan menganalisis isi dokumen yang

berhubungan dengan masalah yang diteliti”. Selanjutnya, menurut Sugiyono

(2016) “Dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen

bisa berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang”.

Widoyoko (2012) menyatakan bahwa “data yang diperoleh dari analisis dokumen

dapat digunakan sebagai data pendukung dan pelengkap bagi data primer yang

diperoleh melalui observasi dan wawancara”. Penelitian ini menggu-nakan

analisis dokumen untuk memperkuat data hasil penelitian dari angket dan

wawancara agar hasil penelitian yang diperoleh dapat lebih kredibel/dapat

dipercaya. Untuk memperoleh data relevan mengenai pelaksanaan pembelajaran

dengan menggunakan etnolinguistik digunakan analisis data dokumentasi berupa

RPP.
38

Tabel 3.3 Kisi- kisi Analisis Dokumen Pemahaman Guru Sekolah Dasar tentang Ilmu
Etnolinguistik

Variabel Dimensi Indikator


Kurikulum dan RPP Penerapan pembelajaran tentang
etnolinguistik pada kurikulum
sekolah
Penyusunan RPP dengan
mengaitkan etnolinguistik
Pelaksanaan Pembelajaran Mengaitkan pembelajaran dengan
ilmu etnolinguistik
Pengetahuan guru Menyampaikan tujuan pembe-
tentang lajaran tentang etnolinguistik
etnolinguistik Evaluasi Pembelajaran Penilaian peserta didik dikaitkan
dengan pembelajaran yang
berbasis etnolinguistik
Kemampuan guru membuat
instrumen penilaian yang sesuai
dengan etnolinguistik

Instrumen analisis dokumen diadopsi dari Asrial dan Syahrial (2018). Format

instrumen analisis dokumen RPP mengenai pengetahuan guru terhadap

etnolinguistik terdapat di lampiran 3.

3.6 Teknik Uji Validitas Instrumen

Pada penelitian ini, teknik uji validitas instrumen yang digunakan adalah

validitas isi yang dilakukan sesuai dengan keutusan ahli (expert judgement).

Retnawati (2016) menyatakan bahwa “Tugas ahli adalah melihat kesesuaian

indikator dengan tujuan pengembangan instrumen, kesesuaian indikator dengan

cakupan materi atau kesesuaian teori, melihat kesesuaian instrumen dengan

indikator butir, melihat kebenaran konsep butir soal, melihat kebenaran isi,

kebenaran kunci (pada tes), bahasa dan budaya”. Selanjutnya, menurut Widoyoko

(2017:143) menyatakan bahwa “validitas isi berkaitan dengan pertanyaan sejauh

mana butir tes mencakup keseluruhan indikator kompetensi yang dikembangkan

dan materi atau bahan yang ingin diukur”. Menurut Bernard (2006) menyatakan
39

bahwa “Content validity is achieved when an instrument has appropriate content

for measuring a complex concept, or construct” (Validitas isi dicapai ketika

instrumen memiliki konten yang sesuai untuk mengukur konsep yang kompleks

atau membangun. Singh (2007) berpendapat tentang content validity sebagai

berikut:

Content validity, as the name suggests, tries to assess whether the content of the
measurement technique is in consonance with the known literature on the topic. It
can easily be estimated from a review of the literature on the concept/construct
topic or through consultation with experts in the field of the concept. Thus, this
process ensures that the researcher has covered all the conceptual space. Content
validity is usually established by content experts. (Validitas isi, seperti namanya,
mencoba untuk menilai apakah isi teknik pengukuran selaras dengan literatur yang
diketahui tentang topik tersebut. Ini dapat dengan mudah ditaksir dari tinjauan
literatur tentang topik konsep/konstruk atau melalui konsultasi dengan para ahli di
bidang konsep. Dengan demikian, proses ini memastikan bahwa peneliti telah
mencakup semua ruang konseptual. Validitas konten biasanya ditetapkan oleh ahli
konten.)

Pada penelitian ini, pengujian validitas isi harus sesuai dengan konten

yang diteliti yaitu pengetahuan awal guru Sekolah Dasar mengenai etnolinguistik.

Secara teknis pengujian validitas isi dibantu dengan menggunakan kisi-kisi

instrumen, atau matrik pengembangan instrumen. Dalam kisi-kisi itu terdapat

variabel yang diteliti, indikator sebagai tolak ukur dan nomor butir (item)

pertanyaan yang dijabarkan dari indikator (Sugiyono, 2016:212). Adapun

langkah-langkah yang dilakukan peneliti pada validitas isi yaitu:

1. Memberikan kisi-kisi dan instrumen kepada ahli dengan bidang yang

relevan mengenai etnolinguistik

2. Memperoleh masukan dari ahli berupa kesesuaian komponen instrumen

dengan indikator pada kisi-kisi.

3. Berdasarkan masukan dari ahli, peneliti memperbaiki butir instrumen.

4. Meminta ahli memberikan penilaian terhadap validitas butir intrumen

dengan menggunakan skala likert.


40

3.7 Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan yaitu pada data kuantitatif dan data

kualitatif.

3.7.1 Teknik Analisis Data Kuantitatif

Pada penelitian ini, teknik analisis data kuantitatif digunakan statistik

deskriptif. Menurut Sugiyono (2016:238), “statistik deskriptif adalah statistik

yang digunakan untuk menganalisis data dengan cara mendeskripsikan atau

menggambarkan data yang telah terkumpul sebagaimana adanya tanpa bermaksud

membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum atau generaliasi”. Penggunaan

statistik deskriptif dikarenakan pada penelitian ini peneliti ingin mendeskripsikan

data sampel. Menurut Sugiyono (2016:239) “Statisitik deskriptif dapat digunakan

bila peneliti hanya ingin mendeskripsikan data sampel, dan tidak ingin membuat

kesimpulan yang berlaku untuk populasi dimana sampel diambil”.

Prosedur perhitungan analisis data dengan statistik deskriptif menggunakan

bantuan software SPSS Statistics 20. Pada penelitian ini peneliti menggunakan

bantuan program SPSS 20 untuk menentukan kategorisasi.

Rumus :

Mean =

Standar Deviasi =

Tabel 3.4 Rumus kategorisasi

Kategorisasi Rumus
Rendah X ≤ Mean – 1.5 x SD
Sedang Mean – 1.5 x SD < X ≤ Mean + 1.5 x SD
Tinggi Mean + 1.5 SD < X
Sumber : Azwar (1993)
41

1. Penyajian data yang diperoleh dari kuesioner (angket)

a. Tabel

Menurut Sugiyono (2014:30), “setiap tabel berisi judul tabel, judul setiap

kolom, dan sumber data darimana data tersebut diperoleh.

b. Diagram Lingkaran (Piechart).

Menurut Sugiyono (2014:43), “diagram lingkaran digunakan untuk

membandingkan data dari berbagai kelompok.

3.7.2 Teknik Analisis Data Kualitatif

Menurut Bogdan dalam Sugiyono (2016:401), “analisis data adalah proses

mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil

wawancara, catatan lapangan dan bahan-bahan lain, sehingga dapat mudah

dipahami dan temuannya dapat diinformasikan kepada orang lain”. Penelitian ini

menggunakan analisis model Miles and Huberman. “Aktivitas dalam analisis data,

yaitu data reduction, data display dan conclusion drawing/verification (Sugiyono,

2016:404)”.

a. Data Reduction (Reduksi Data)

Menurut Sugiyono (2016:405) menyatakan bahwa “data yang diperoleh

dari lapangan jumlahnya cukup banyak, untuk itu maka perlu dicatat secara teliti

dan rinci. Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok,

memfokuskan pada hal-hal yang penting, serta dicari tema dan polanya. Dengan

demikian data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas,

dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya, dan

mencarinya apabila diperlukan.”

b. Data Display (Penyajian Data)


42

Pada penelitian kualitatif penyajian data dilakukan dalam bentuk uraian

singkat, bagan, hubungan antarkategori, flowchart dan sejenisnya (Sugiyono,

2016). Selanjutnya, menurut Miles dan Huberman dalam Sugiyono (2016)

menyatakan “yang paling sering digunakan untuk menyajikan data dalam

penelitian kualitatif adalah dengan teks yang bersifat naratif”.

Dengan adanya penyajian data, maka akan memudahkan untuk memahami

apa yang terjadi dan merencanakan kerja selanjutnya berdasarkan apa yang telah

dipahami tersebut. Selanjutnya oleh Miles dan Huberman disarankan agar dalam

melakukan display data, selain dengan teks yang naratif, juga dapat berupa grafik,

matrik, network (jaringan kerja) dan chart (Sugiyono, 2016). Pada penelitian ini,

penyajian data dilakukan dengan mendeskripsikan pengetahuan guru tentang

etnolinguistik pada pembelajaran kelas rendah dan kelas tinggi di kecamatan

Pemayung.

c. Conclusion Drawing/ Verification (Penarikan Kesimpulan)

Kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat sementara dan akan

mengalami perubahan apabila tidak ditemukan bukti-bukti yang kuat yang

mendukung pada tahap pengumpulan data berikutnya. Tetapi apabila kesimpulan

yang dikemukakan pada tahap awal didukung oleh bukti-bukti yang valid dan

konsisten saat peneliti kembali ke lapangan mengumpulkan data, maka kesimpu-

lan yang dikemukakan merupakan kesimpulan yang kredibel.

Kesimpulan dalam penelitian kualitatif merupakan temuan baru yang

sebelumnya belum pernah ada. Temuan dapat berupa deskripsi atau gambaran

suatu objek yang sebelumnya masih remang-remang atau bahkan gelap, sehingga
43

setelah diteliti menjadi jelas. Kesimpulan ini dapat berupa hubungan kausal atau

interaktif, maupun hipotesis atau teori (Sugiyono, 2016).

3.7.3 Triangulasi Data

Pengumpulan data dengan menggabungkan berbagai teknik pengum-pulan

data dan sumber data disebut sebagai triangulasi (Sugiyono, 2016). Penelitian ini

menggunakan triangulasi teknik. Triangulasi teknik yaitu peneliti menggunakan

teknik pengumpulan data yang berbeda-beda untuk memperoleh data dari sumber

yang sama (Sugiyono, 2016). Peneliti menggunakan teknik pengumpulan data

angket, wawancara dan analisis dokumen pada sumber data yang sama. Data yang

diperoleh dari hasil angket disesuaikan dengan data hasil wawancara kemudian

disesuaikan lagi dengan data hasil analisis dokumen. Sehingga hasil dari studi

kuantitaif kemudian kualitatif, diperoleh kesimpulan mengenai pengetahuan guru

dan implementasi pembelajaran tentang etnolinguistik. Tujuannya agar data yang

diperoleh bersifat konsisten dan kredibel/dapat dipercaya.


44

3.8 Prosedur Penelitian

Prosedur pada penelitian ini menggunakan diagram alur fishbone (diagram

tulang ikan). Berikut diagram alur penelitian yang digunakan :

TAHAP I TAHAP III


Studi Kualitatif
Data Pendahuluan

Wawancara strategi
Analisis
Dokumen dan kendala guru
Awal dalam mengimplemen-
tasikan pengetahuan
etnolinguistik.

Wawancara
awal Analisis
Dokumen (RPP)

Analisis
Pengetahuan
Analisis pengetahuan Etnolinguistik
guru dan Guru Sekolah
implementasi Dasar di
Angket pembelajaran tentang Kecamatan
pengetahuan guru etnolinguistik
tentang etnolinguistik Pemayung

Kendala yang dihadapi


guru dalam mengim-
plementasikan
pengetahuan
etnolinguistik
diimplementasikan
TAHAP II
Studi Kuantitatif TAHAP IV
Hasil dan Kesimpulan

Gambar 3.8 Bagan Prosedur Penelitian


45

Berikut ini prosedur atau tahap-tahap penelitian yang digunakan pada

penelitian ini :

1. Peneliti melaksanakan studi pendahuluan berupa wawancara awal dan analisis

dokumen awal. Kegiatan ini dilakukan untuk memperoleh data awal mengenai

pengetahuan guru tentang etnolinguistik pada kelas rendah dan kelas tinggi di

sekolah dasar kecamatan Pemayung.

2. Peneliti melaksanakan tahap studi kuantitatif terlebih dahulu. Teknik

pengumpulan data yang digunakan pada studi kuantitatif yaitu menggunakan

angket pengetahuan guru tentang etnolinguistik pada kelas rendah dan kelas

tinggi di Sekolah Dasar kecamatan Pemayung. Instrumen diuji terlebih dahulu

dengan menggunakan uji validitas data yaitu uji valididtas isi, uji validitas

konstruk dan uji validitas eksternal. Selanjutnya pada teknik analisis data,

digunakan pengolahan data dengan SPSS. Data hasil kuantitatif digunakan

untuk mengecek dan memperbaiki kebenaran data dari kuesioner (angket).

3. Selanjutnya, peneliti melaksanakan studi kualitatif. Teknik pengumpulan data

kualitatif yang digunakan yaitu wawancara terstruktur mengenai pengetahuan

guru tentang etnolinguistik pada pembelajaran kelas rendah dan kelas tinggi di

Sekolah Dasar kecamatan Pemayung. Selain itu digunakan analisis dokumen

berupa RPP. Instrumen wawancara dan analisis dokumen diuji terlebih dahulu

dengan menggunakan teknik uji validitas data yaitu uji validitas isi dan uji

validitas konstruk. Data yang diperoleh diolah dengan menggunakan analisis

model Miles and Huberman yang terdiri atas tahap reduksi data, penyajian

data dan penarikan kesimpulan. Pada analisis data kualitatif digunakan

triangulasi teknik yaitu menggunakan teknik pengumpulan data yang berbeda-


46

beda (angket, wawancara dan analisis dokumen) untuk memperoleh data dari

sumber yang sama.

4. Data yang diperoleh dari hasil angket disesuaikan dengan data hasil

wawancara kemudian disesuaikan lagi dengan data hasil analisis dokumen.

Sehingga hasil dari studi kuantitatif kemudian kualitatif, diperoleh kesimpulan

mengenai pengetahuan guru dan implementasi pembelajaran tentang

etnolinguistik pada kelas rendah dan kelas tinggi di Sekolah Dasar kecamatan

Pemayung serta faktor-faktor kendala pengetahuan guru tentang etnolinguistik

untuk diimplementasikan pada kelas rendah dan kelas tinggi di Sekolah Dasar

kecamatan Pemayung. Hasil dari penelitian ini yaitu analisis pengetahuan

etnolinguistik guru Sekolah Dasar di Kecamatan Pemayung.


47

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

Hasil pada penelitian ini terdiri atas data hasil kuantitatif dan data

kualitatif. Data kuantitatif diperoleh dari hasil angket dan data kualitatif diperoleh

dari hasil wawancara dan analisis dokumen.

4.1.1 Hasil Angket

Untuk menjawab pertanyaan penelitian nomor 1 (Bagaimana pengetahuan

etnolinguistik guru sekolah dasar di kecamatan Pemayung) diperlukan data

tentang pengetahuan etnolinguistik guru sekolah dasar. Data tentang pengetahuan

etnolinguistik guru dikumpulkan dengan menggunakan angket. Angket tersebut

terdapat pada lampiran 1. Responden pada penelitian ini sebanyak 18 guru di 3

sekolah dasar negeri kecamatan Pemayung. Dari 18 guru yang dijadikan sampel

ditemukan hasil sebagai berikut:

Tabel 4.1 Nilai angket pengetahuan etnolinguistik guru sekolah dasar di kecamatan
Pemayung

No Inisial Responden Nilai Angket


1 Zn 44
2 Er 36
3 Ms 37
4 Mh 36
5 Js 21
6 MH 32
7 Li 31
8 Na 23
9 ND 30
10 Sy 27
11 Im 18
12 Mi 22
13 FU 30
14 Pi 26
15 Si 27
48

No Inisial Responden Nilai Angket


16 Sn 39
17 Me 39
18 MB 35

Tabel 4.2 Rumus kategorisasi

Kategorisasi Rumus
Rendah X ≤ Mean – 1.5 x SD
Sedang Mean – 1.5 x SD < X ≤ Mean + 1.5 x SD
Tinggi Mean + 1.5 SD < X
Sumber : Azwar (1993)

Data yang diperoleh dari hasil angket yang telah disebarkan kepada 18

guru selanjutnya dilakukan analisis. Data hasil angket diolah dengan

menggunakan analisis data statistik deskriptif dengan bantuan aplikasi SPSS.

Instrumen angket terdiri atas 14 item pernyataan. Data yang diperoleh dari angket,

disajikan dalam bentuk tabel dan diagram piechart. Perhitungan statistik yang

digunakan yaitu mean, standar devasi dan perhitungan persentase. Hasil angket

pengetahuan guru tentang etnolinguistik yang telah diolah dapat dilihat pada tabel

di bawah ini.

Tabel 4.3 Hasil Angket Pengetahuan Etnolinguistik Guru Sekolah Dasar di Kecamatan
Pemayung

Range Kategori Jumlah %


18 – 24.5 Rendah 4 22.2 %
25 – 36.5 Sedang 10 55.6 %
37 – 44 Tinggi 4 22.2 %

Total 18 100 %
49

Tabel 4.4 Hasil Perhitungan SPSS Data Angket Pengetahuan Etnolinguistik Guru Sekolah
Dasar di Kecamatan Pemayung

Kategori
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Rendah 4 22.2 22.2 22.2
Sedang 10 55.6 55.6 77.8
Valid
Tinggi 4 22.2 22.2 100.0
Total 18 100.0 100.0

Gambar 4.1 Diagram Pengetahuan Etnolinguistik Guru Sekolah Dasar di Kecamatan


Pemayung

Pengetahuan Etnolinguistik Guru Sekolah Dasar di


Kecamatan Pemayung

22% 22%

Tinggi
Sedang
Rendah
56%

Berdasarkan gambar pada grafik di atas, hasil yang diperoleh dari data

angket sebanyak 18 responden menunjukkan bahwa untuk kategori pengetahuan

etnolinguistik tinggi sebanyak 4 dari 18 guru dengan persentase 22%, sedang 56%

dengan total 10 dari 18 guru, rendah sebanyak 4 dari 18 guru dengan persentase

22%. Hal ini menunjukkan bahwa guru sekolah dasar di kecamatan Pemayung

memiliki pengetahuan etnolinguistik dominan dalam kategori sedang dengan

persentase kategori sedang sebesar 56% yaitu sebanyak 10 dari 18 orang guru.
50

4.1.2 Hasil Wawancara Implementasi

Untuk menjawab pertanyaan penelitian nomor 2 (Bagaimana guru kelas

mengimplementasikan ilmu etnolinguistik pada pembelajaran kelas rendah dan

kelas tinggi di sekolah dasar kecamatan Pemayung ? ) diperlukan data mengenai

cara-cara guru dalam menggunakan ilmu etnolinguistik pada pembelajaran sehari-

hari. Untuk mengumpulkan data, peneliti mewawancarai guru tersebut.

Wawancara pada penelitian ini menggunakan jenis wawancara terstruktur.

Narasumber pada penelitian ini adalah guru kelas rendah dan guru kelas tinggi di

sekolah dasar negeri kecamatan Pemayung dengan jumlah 18 guru. Adapun inisial

nama dari narasumber adalah Zn, Er, Ms, Mh, Js, MH, Li, Na, ND, Sy, Im, Mi,

FU, Pi, Si, Sn, Me dan MB. Hasil wawancara mengenai cara-cara guru

menggunakan ilmu etnolinguistik di dalam kelas dapat dilaporkan sebagai berikut:

Penerapan etnolinguistik dalam pembelajaran dilaksanakan dengan cara

menyisipkan bahasa daerah ke dalam pembelajaran sebagaimana yang

disampaikan oleh guru dengan inisial Zn menyatakan bahwa “Pembelajaran

bahasa daerah secara spontan saja. Bahasa daerah (kearifan lokal) pernah

mengajarnya, biasanya itu bahasa daerah bercampur bahasa Indonesia

(disisipkan). Kalau kelas rendah dominan bahasa daerah, kalau tinggi bahasa

Indonesia” (Wawancara pada tanggal 3 Desember 2018). Penyisipan bahasa

daerah dengan cara spontan dalam pembelajaran juga dilaksanakan oleh guru

berinisial Mi pada tanggal 7 Desember 2018, sebagaimana yang disampaikannya

“Secara spontan, misalnya matematika menentukan sudut. itu bahasa daerah

Jambi sama dengan bucu. Secara spontan saja penggunaan bahasa daerah”. Cara

ini juga diterapkan oleh guru berinisial Na yang memaparkan sebagai berikut.
51

Bahasa daerah sudah diterapkan di kelas ini. Namun tidak sepenuhnya. Jika
dihitung persentase sekitar 25%. Anak itu saja banyak yang kurang mengetahui
bahasa daerah karena rata-rata berasal dari daerah pendatang. Seperti tadi bahasa-
bahasa daerah secara garis besar saja. Jadi cara Ibu dalam memasukannya ke
dalam pembelajaran secara sedikit-sedikit saja yang mengerti di Ibu. Dengan
menyisipkannya dalam pembelajaran (Wawancara pada tanggal 6 Desember
2018).

Cara menyisipkan bahasa daerah ke dalam pembelajaran juga dilaksanakan oleh

guru dengan inisial ND pada tanggal 7 Desember 2018 sebagaimana

pemaparannya berikut ini:

Kalau kelas rendah lebih dominan bahasa daerah karena belum bisa menggunakan
bahasa Indonesia yang baik dan benar lebih kepada bahasa sehari-hari. Kalau
kelas tinggi bisa membedakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Sesekali
menggunakan bahasa daerah sesekali dengan bahasa Indonesia, untuk
meningkatkannya lagi kebanyakan bahasa daerah.

Menurut guru dengan inisial MB, penyisipan bahasa daerah juga dimasukkan ke

dalam pembelajaran. Berikut ini pemaparannya:

Caranya untuk menyisipkan bahasa daerah ke dalam pembelajaran itu karena di


desa ini kan bahasa sehari-harinya bahasa daerah. Jika kita bahasa Indonesia itu,
anak-anak itu belum paham apa yang di ajar. Nah, jadi berbanding terbalik gitu
kan. Kadang-kadang kita bahasa daerah. Baru kita terapkan lagi dengan bahasa
Indonesia (Wawancara pada tanggal 29 November 2018).

Selanjutnya, cara mengimplementasikan ilmu etnolinguistik dapat

dilaksanakan pada kegiatan inti pembelajaran yaitu pada saat menyampaikan

pembelajaran. Sebagaimana yang disampaikan oleh guru dengan inisial Er

berikut:

Misalnya kalau kita belajar sesuaikan dengan itu. Kadang anak tidak mengerti
dengan bahasa Indonesia kita bawa ke bahasa daerah. Di selang-selingin begitu.
Jadi, tidak seluruhnya menggunakan bahasa daerah. Disisipkan seperti itu. Untuk
penerapannya di kelas tinggi sama saja. Misalnya kalau di kelas rendah cerita
daerah belum bisa, Kalau cerita daerah itu dikelas tinggi seperti kelas 4, 5, 6.
Kalau sudah disuruh membaca buku perpustakaan. Kalau kelas 2 itu belum bisa
itu. Kalau kelas rendah belum bisa diceritakan cerita daerah. Budaya-budaya itu.
Kalau ini misalnya dengan bahasa ini buat cerita-cerita bergambar. Di buku itu
kan ada cerita-cerita bergambar. Ini sedang apa. Ini sedang apa. Misalnya anak-
anak itu disuruh melihat gambar. Jika dia tidak tahu baru diberi tahu. Jadi kita
sampaikan dengan bahasa daerah. Penyampaiannya menggunakan bahasa daerah.
(Wawancara pada tanggal 3 Desember 2018).
52

Penerapan etnolinguistik di dalam kelas dapat dilaksanakan dengan cara

melalui penggunaan kosa kata dalam bahasa daerah. Sebagaimana yang

dipaparkan oleh guru dengan inisial Mh berikut:

Kalau di dalam kelas tidak terbatas karena ada kosa kata-kosa kata bahasa. Dalam
bacaan itu kan ada beberapa kata yang daya paham anak itu mengerti dengan
menggunakan bahasa daerah. Untuk etnolinguistik boleh juga diterapkan di luar
kelas seperti pada saat di halaman jam anak istirahat, jam anak bermain. Kalau di
luar kelas diadakan diskusi kecil (Wawancara 4 Desember 2018).

Selanjutnya, guru dengan inisial MH juga menyatakan strategi dalam

mengimplementasikan ilmu etnolinguistik ke dalam pembelajaran bahwa

Pertama kalau misalnya kelas tinggi ada istilah yang tidak diketahui anak tentang
materi pembelajaran, maka kita berikan dalam contoh bahasa setempat misalnya
bahasa bakunya apa kemudian bahasa daerahnya apa biar anak mengerti ini
bahasa daerahnya dan ini bahasa bakunya. Umumnya kalau kelas rendah anak-
anak masih pakai bahasa Ibu, jadi bahasa yang dibawa itu bahasa-bahasa
rumahnya sendiri. Tapi untuk kelas tinggi ini sudah ada perkembangan dalam hal
bahasa. Jadi anak- anak kelas tinggi sudah mulai memahami bahasa baku, bahasa
Indonesia namun tetap bercampur dengan bahasa ibunya.Strateginya ya itu tadi,
kita membawa pembelajaran secara umum dahulu nanti kita tanyakan kira-kira
dimana yang tidak mengerti dari pembelajaran tadi, tentang materi tadi boleh
digunakan bahasa daerah untuk bertanya. Ya, bisa kedua-duanya. Bisa di dalam
kelas bisa di luar kelas. Tergantung dengan situasinya.Ya. Kalau di dalam kelas
itu kita gunakan sebagai pengantar dalam pembelajaran (Wawancara 5 Desember
2018).

Guru dengan inisial Im megimplementasikan ilmu etnolinguistik dengan cara

mengubah kata. Berikut ini pemaparannya :

Sebenarnya bahasa ibu ini kalau untuk di Jambi ini dimana tempat pun tetap ada,
apalagi orang asli sini. Bahasa sehari-harinya campur aduk. Kalau saya sendiri
sering menggunakan bahasa daerah untuk membangkitkan semangat anak.
Contohnya suatu benda, bahasa jawanya caluk bahasa Jambinya terasi. sebab
disini berasal dari berbagai daerah. Jadi sedikit-sedikit saya menggunakan bahasa
dalam pembelajaran terkadang sering menggunakan bahasa ibu ini. Jadi, disini
kita bisa mengubah kata, tapi kalau kalimat tidak bisa. Pada umumnya bahasa
Indonesia adalah bahasa melayu apalagi Jambi. Jadi, di kelas kalau dengan anak
itu per kata bisa di ubah ke bahasa daerah, kalau per kalimat tidak (wawancara
pada tanggal 10 Desember 2018).

Penerapan etnolinguistik selanjutnya dapat diimplementasikan pada saat

memberikan contoh seperti pada materi pantun. Sebagaimana yang dipaparkan

oleh guru yang berinisial Js yang menyatakan bahwa


53

Iya maksudnya gini, ibu lihat materinya juga. Kira-kira nanti materinya
sesuai tidak dengan bahasa daerah ini begitu, kan tidak semua pembelajaran
itu dimasukkan. Jadi kalau menurut ibu sesuai materi. Kalau misalnya nanti
dibilang seloko, memang ada nanti materinya. Maksudnya bukan materi
seloko, misalnya pantun nanti anak akan diberikan pantun apa yang pernah
kamu dengar. Ibu suruh anak mencari di rumah terlebih dahulu. Tanyakan
kepada orang tua misalnya jika ada pesta, acara seloko nya apa. Lalu
tanyakan apakah orang tua mu mengetahuimu. Jadi anak yang mencari
(Wawancara 4 Desember 2018).

Selanjutnya guru berinisial Ms (Wawancara 3 Desember 2018) menyatakan


bahwa :
Mungkin kalau misalnya di kelas rendah karena dia masih sering mendengar
bahasa orang tua nya bahasa daerah gitu kan kebiasaan, mungkin di kelas rendah
lebih agak banyak di gunakan. Nah di kelas tinggi mungkin sudah bisa diajak
menggunakan bahasa baku. Paling ya seperti tema nya yang ada muatan bahasa
seperti pantun kemudian nyanyian daerah.

Penyisipan bahasa daerah ke dalam pembelajaran dan implementasi ilmu

etnolinguistik dengan cara memberikan contoh juga diterapkan oleh guru dengan

inisial Li sebagaimana pemaparannya sebagai berikut :

Ya pasti pernah lah, pertama sekali membaca, setelah membaca kita mengatakan
nak ini ada pantun daerah kalau bahasa Jambi ini namanya seloko, sering dak nak
kita dengar di tempat penganten. Di antara murid kami ada bapaknya yang tukang
seloko. Kalau di kelas rendah seperti kelas I banyak bermain dari pada belajar,
bagaimana mengusahakan siswa senang dengan kita dan menjadi guru yang
dirindukan. Permainan kelereng, Jadi saya mengenalkan bahwa bahasa daerahnya
kelereng adalah ekal, seperti itu. Pengenalan bahasa daerah. Sebelum masuk
kegiatan inti pembelajaran, kita harus mengenalkan dahulu baru kegiatan inti
seperti memperkenalkan permainan atau cerita atau tentang seloko. Cara
menjelaskannya harus campur dengan bahasa daerah, namun yang diutamakan
bahasa indonesia ini. Menyampaikan pembelajaran dengan bantuan bahasa daerah
bagi anak yang tidak begitu paham bahasa Indonesia (Wawancara pada tanggal 6
Desember 2018)

Contoh ilmu etnolinguistik selain seloko, guru juga mengenalkan cerita maupun

puisi tentang pahlawan Jambi dalam mengimplementasikan ilmu etnolinguistik

pada pembelajaran di kelas. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh guru

dengan inisial Si pada wawancara tanggal 28 November 2018 yang menyatakan

“strateginya dengan membuat sebuah puisi ataupun cerita mengenai perjuangan

pahlawan Jambi”.
54

Selain itu, contoh ilmu etnolinguistik juga dapat ditinjau dari

pembelajaran matematika. Cara guru dalam memberikan contoh ilmu

etnolinguistik seperti yang dipaparkan oleh guru dengan inisial MB berikut ini.

Contohnya, misalnya bahasa daerah itu kan kalau ons= mato. Jadi kalau saya
bilang sebenarnya mato itu kan bahasa Jambi. Ons itu kan bahasa Indonesia. Jadi
1 ons= 100 gram. Itu yang sering saya ajarkan anak-anak. Ada lagi satu Hun di
Medan= 1 ons. Jadikan beda daerah pengertiannya beda. Pernah saya ajarkan itu
misalnya 1 kg= 10 mato. Anak-anak ini kan kalau di bilang 1 ons dia bingung.
Jadi pernah pelajaran matematika tadi kalau bahasa Jambi, orang tua menyuruh
pergi dulu ke warung beli tempoyak misalnya 1 mato. Jadi 1 mato itu sama
dengan 1 ons dalam bahasa Indonesia, kalau bahasa di Medan itu 1 hun. Kadang-
kadang kalau di ajakan 1 ons langsung anak tidak mengerti. Jadi saya jelaskan
dahulu (Wawancara pada tanggal 29 November 2018).

Strategi penyisipan bahasa daerah dengan cara menggunakan bahasa

daerah pada saat penjelasaan pembelajaran diterapkan oleh guru dengan inisal FU

sebagaimana pemaparannya sebagai berikut :

Dengan menjelaskan dan menyisipkannya dalam pembelajaran namun disini


dominan bahasa daerah. Kelas rendah lebih banyak atau terfokus bahasa daerah
kalau kelas tinggi tidak. Pada penjelasan pembelajaran dimasukkan tapi kalau
latihan pakai bahasa Indonesia (Wawancara pada tanggal 27 November 2018).

Cara guru dalam mengimplementasikan ilmu etnolinguistik dapat juga ditinjau

dari materi pembelajarannya. Seperti yang disampaikan guru dengan inisial Pi

pada wawancara tanggal 27 November 2018 berikut:

Pemerintah setempat mengharuskan guru untuk menggunakan bahasa Indonesia


yang baik dan benar, tapi jika mengajarkan di kelas rendah, siswa masih kental
menggunkan bahasa daerah. Bahasa daerah tidak bisa di tinggal. Pelaksanan di
kelas lain dilihat dahulu materinya. Tergantung dengan materi pelajaran, misalnya
seni budaya daerah Jambi dimasukkan ke dalam muatan lokal. Muatan lokal di
kelas tinggi bisa budaya Jambi. Pada saat absen pun anak menjawab "sayo bu".
Pada umunya kelas rendah masih menggunakan bahasa daerah. Tapi di kelas saya
optimalkan cara berbahasa yang baik dan benar. Ya adalah seperti seloko dan
pantun tadi. Misalnya seperti sinonim persamaan kata dengan bahasa daerah
hanya saja pengucapannya berbeda.

Strategi dalam mengimplementasikan ilmu etnolinguistik harus

disesuaikan dengan materi yang akan di ajarkan. Sebagaimana pemaparan guru

dengan inisial Me berikut ini “Strategi, kita lihat materi. Cakupan materinya.

Hanya dari situ saya dapat melihat dari mana kita harus memulai menggunakan
55

bahasa daerah. Harus sesuai keadaan juga apa yang harus disampaikan itu apa”

(Wawancara pada tanggal 29 November 2018).

Pengimplementasian ilmu etnolinguistik dapat diterapkan dengan cara

bahasa daerah digunakan sebagai pengantar dalam pembelajaran. Guru dengan

inisial Sn yang diwawancarai pada tanggal 28 November 2018 memaparkan

bahwa :

Khususnya bahasa daerah, saya biasa menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa
pengantar dalam pembelajaran, karena mereka dengan adanya bahasa daerah
mereka cepat memahami. Setelah itu baru bahasa Indonesia kita ajarkan. Baru kita
benarkan bunyi intonasi bahasa, agar mereka walaupun orang daerah tetapi bahasa
indonesia nya tetap baik.

Dari 18 guru yang diwawancarai, terdapat 1 orang guru yang belum

mengimplementasikan ilmu etnolinguistik yaitu guru dengan inisial Sy,

sebagaimana pemaparannya sebagai berikut: “Pelaksanaannya belum ada. Karena

selama ini dari atasan kan belum pernah menyampaikan bahwa harus disampaikan

kearifan lokal disini, kan tidak pernah” (Wawancara pada tanggal 10 Desember

2018).

Berdasarkan hasil wawancara mengenai cara-cara guru dalam

menggunakan ilmu etnolinguistik di dalam kelas, dapat diketahui bahwa cara

tersebut dapat ditinjau melalui 1. Menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa

pengantar dalam pembelajaran yang dilaksanakan dengan menyisipkan bahasa

daerah pada saat kegiatan inti pembelajaran yaitu pada saat memberikan

penjelasan kepada peserta didik; 2. Dengan cara menyisipkan bahasa daerah ke

dalam pembelajaran secara spontan; 3. Mengintegrasikan bahasa daerah ke dalam

muatan pembelajaran yang dilaksanakan pada saat memberi contoh penggunaan

kosa kata dengan bahasa daerah; 4. Mengaitkan tema satu dengan tema lainnya.
56

4.1.3 Hasil Analisis Dokumen (RPP)

Data cara guru mengimplementasikan ilmu etnolinguistik dalam kelas juga

dikumpulkan melalui analisis RPP. Setelah dilihat dari wawancara, peneliti juga

memeriksa dokumen pembelajaran guru yaitu RPP untuk mengetahui cara-cara

guru dalam mengembangkan RPP khususnya yang berhubungan dengan

etnolinguistik. Analisis dokumen berupa RPP digunakan untuk melengkapi dan

memperkuat data hasil angket dsn wawancara agar hasil penelitian dapat lebih

kredibel/dapat dipercaya. Analisis dokumen berupa RPP bertujuan untuk

memperoleh data relevan mengenai pelaksanaan pembelajaran dengan

menggunakan etnolinguistik.

Ditemukan bahwa dari 18 guru terdapat 10 guru yang melengkapi

dokumen RPP. Dalam analisis dokumen RPP yaitu mengenai pengintegrasian

etnolinguistik pada kegiatan pendahuluan, kegiatan inti, penutup, serta penilaian,

berdasarkan pada item tersebut guru belum mencantumkan mengenai

pengintegrasian etnolinguistik ke dalam RPP. Namun, ditemukan 1 orang guru

dengan inisial Sn yang mengembangkan RPP khususnya mengenai cara guru

dalam mengimplementasikan etnolinguistik yang terletak pada kegiatan inti

pembelajaran.

Berdasarkan hasil analisis dokumen RPP di atas, ditemukan bahwa dari 10

orang guru yang melengkapi dokumen RPP tersebut ditemukan hanya 1 orang

guru yang mengembangkan RPP khususnya yang berhubungan dengan

etnolinguistik yaitu dimasukkan pada kegiatan inti pembelajaran. Sedangkan 9

orang guru lainnya belum mengembangkan RPP yang berhubungan dengan

etnolinguistik karena pada item mengenai mengintegrasikan etnolinguistik pada


57

kegiatan pendahuluan, kegiatan inti, penutup, serta penilaian, guru tersebut tidak

mencantumkan kegiatan mengenai pengintegrasian etnolinguistik ke dalam RPP.

4.1.4 Hasil Wawancara Kendala

Untuk menjawab pertanyaan penelitian nomor 3 (Apa kendala yang

dihadapi guru kelas dalam mengimplementasikan ilmu etnolinguistik pada

pembelajaran kelas rendah dan kelas tinggi di sekolah Dasar kecamatan

Pemayung?) peneliti mengumpulkan data tentang kendala-kendala yang dihadapi

guru dalam mengimplementasikan ilmu etnolinguistik di dalam kelas. Data ini

dikumpulkan dengan wawancara. Hasil wawancara mengenai kendala yang

dihadapi oleh guru dalam mengimplementasikan ilmu etnolinguistik dapat

dilaporkan sebagai berikut.

Lingkungan peserta didik yang merupakan masyarakat pendatang menjadi

salah satu kendala yang dihadapi oleh guru. Peserta didik yang merupakan

masyarakat pendatang tersebut membawa bahasa daerah asalnya dalam

berkomunikasi, sehingga tidak menggunakan khas bahasa daerah Jambi.

Sebagaimana yang dipaparkan oleh guru dengan inisial Zn berikut ini: “Disini

banyak anak yang berasal dari Jawa sehingga sering berbicara dengan

menggunakan bahasa Jawa” (Wawancara pada tanggal 3 Desember 208). Kendala

ini juga dikemukakan oleh guru dengan inisial Ms seperti yang disampaikan

berikut ini:

Terkadang ada juga sih kendala, seperti anak-anak ini kan memiliki suku-suku
yang berbeda. Terkadang kan kita tinggal di daerah Jambi. Nah ada anak ini
sukunya dari jawa. Kan otomatis etnolinguistik nya berbeda kan di rumah, orang
tuanya dan di sekolah dengan ibu gurunya (Wawancara pada tanggal 3 Desember
2018).
58

Selanjutnya, hal serupa juga dialami guru dengan inisial Im yang menyatakan

bahwa

Di desa ini jarang menggunakan seloko karena bahasanya berbagai macam


disebabkan banyak masyarakat pendatang. Masyarakat asli jambi tidak ada, jadi
karena banyak pendatang tidak menggunakan adat Jambi (Wawancara pada
tanggal 10 Desember 2018).

Terkait penggunaan bahasa daerah khususnya pada kelas rendah, karena

peserta didik masih di kelas rendah justru mereka lebih mudah memahami

pembelajaran dengan menggunakan bahasa daerah sehingga kendala dalam

penggunaannya tidak banyak. Hal ini dipaparkan oleh guru dengan inisial Er

berikut ini.

Kalau bahasa daerah tidak perlu banyak. Kendala di bahasa Indonesia yang
banyak. Anak-anak itu yang tidak paham. Terkadang apa yang kita ucapkan itu,
anak-anak tidak mengerti itu. Kalau pengetahuan bahasa daerah ini kan tidak
terlalu banyak di dalam pembelajaran sebab kita kan gabung dengan bahasa
Indonesia. Tidak terlalu banyak sebab sehari-hari kan anak-anak itu sudah
menggunakan bahasa daerah dengan orang tuanya. Jadi tidak terlalu mengalami
kendala (Wawancara pada tanggal 3 Desember).

Hal ini juga dialami oleh guru dengan inisial Li (wawancara pada tanggal 6

Desember 2018) yang menyatakan

Watak siswa yang berbeda-beda dan kemampuan anak. Anak di kelas


menggunakan bahasa Indonesia tapi cara menjelaskannya harus campur dengan
menggunakan bahasa daerah tetapi penerapan bahasa yang digunakan adalah
bahasa Indonesia.

Hal serupa juga dialami oleh guru dengan inisial Pi yang menyatakan kendala yang

dihadapi yaitu “Ada perbedaan kemampuan atau pengetahuan antar anak”

(wawancara pada tanggal 27 November 2018). Terkait kemampuan peserta didik,

hal ini juga merupakan kendala bagi guru berinisial Sn dalam

mengimplementasikan ilmu etnolinguistik sebagaimana yang dijelaskan yaitu

“Mereka itu banyak tidak memahami. Apabila materi itu tadi berkaiatan, kalau

mereka itu harus dipahami terlebih dahulu baru mereka dapat menjelaskan”

(wawancara pada tanggal 28 November 2018).


59

Kendala yang dihadapi guru dalam mengimplementasikan ilmu

etnolinguistik selanjutnya dapat ditinjau dari pemahaman kosa kata. Sebagaimana

yang disampaikan oleh guru dengan inisal Mh berikut ini

Kendala ini sekedar penamahan kosa kata saja kan. Tapi kendala nya belum
terlihat. Paling ibu hanya memberi tahu kepada anak tentang bahasa- baahsa
Jambi, bacaan cerita itu. Kalau kendalanya ibu melihat kamus. Dikamus kan ada
bahasa daerah (Wawancara pada tanggal 4 Desember 2018).

Selanjutnya, kendala yang dihadapi oleh guru dalam mengimplementasikan ilmu

etnolinguistik juga disebabkan karena terdapat guru yang berasal dari daerah

pendatang sehingga guru tersebut kurang memahami pengetahuan bahasa daerah.

Sebagaimana yang dipaparkan oleh guru dengan inisial Js berikut

Jadi karena anak berasal dari berbagi daerah, Ibu tanya kepada anak-anak apakah
kamu mengerti yang ibu katakan, paham atau tidak. Jika tidak mengerti ibu
tanyakan kepada anak, orang Jambi apa bahasa Jambinya. Anak yang berasal dari
Jambi pun tidak memahami bahasa Jambi. Ibu terbiasa bahasa Indonesia di kelas,
jarang menggunakan bahasa daerah karena ibu tidak mengerti bahasa daerah. Ibu
kurang tertarik dengan bahasa daerah (Wawancara pada tanggal 4 Desember
2018).

Kendala ini juga dialami oleh guru yang berinisial MH yang disampaikan sebagai

berikut.

Yang pertama bahwa kitanya sendiri bukan berasal dari sini. Tapi ada hubungan
bahwa kita juga sama-sama melayu Jambi, jadi sedikit banyaknya kita mengerti
namun, kekhususan dari dialek atau bagaimana dari penduduk setempat ini
banyak juga yang belum kita mengerti (Wawancara pada tanggal 5 Desember
2018).

Selanjutnya, kendala pengetahuan guru tentang bahasa daerah ini juga dialami

oleh guru dengan inisial Na yang menyatakan

Ibu secara terus terang bahasa Jambi ibu kurang mengerti, tapi kalau misalnya
bahasa yang kecil seperti "galo-galo". Saya saja di rumah dalam keluarga
menggunakan bahasa Indonesia. Jadi bingung. Ibu kendalanya karena ibu bukan
asli dari Jambi. Kan bahasa Jambi ada yang halus. saya pernah mendengar teman
saya mengatakan "kenyok" bagi ibu, ynag jarang mendengar. Apalagi di dalam
lingkungan masyarakat tempat tinggal saya banyak pendatang (Wawancara pada
tanggal 6 Desember 2018).

Pemanfaatan museum daerah dapat dijadikan sebagai sumber belajar

dalam mengimplementasikan ilmu etnolinguistik. Sebagaimana kendala yang


60

dipaparkan oleh guru yang berinisial Si yaitu “Jarak antara museum daearah

sangat jauh” (Wawancara pada tanggal 28 November 2018).

Ditinjau dari pemanfaatan media pembelajaran khususnya dalam

mengimplementasikan ilmu etnolinguistik dapat menjadi penunjang keberhasilan

pembelajaran. Kendala dalam penggunaan media juga dialami oleh guru dengan

inisial MB sebagaimana pemaparannya berikut ini.

“Ya, ada lah kendalanya. Tidak mungkin langsung pembelajaran itu bisa kita.
Adalah kendalanya. Kendalanya itulah di bidang bahasa daerahnya tadi.
Terkendala karena medianya tidak ada. Jadi berpengaruh terhadap keberhasilan
peserta didik (Wawancara pada tanggal 29 November 2018).

Berdasarkan hasil wawancara pada 18 orang guru, ditemukan 4 orang guru

yang tidak mengalami kendala dalam mengimplementasikan ilmu etmolingistik

yaitu guru dengan inisial ND, FU, Mi dan Me. Sebagaimana yang dipaparkan oleh

guru dengan inisial Mi yaitu “Tidak ada karena sesuai dengan materi jika bisa

disisipkan dengan mengunakan bahasa daerah” (Wawancara pada tanggal 7

Desember 2018). Selanjutnya guru dengan inisial Me menyatakan “Kalau kendala

karena penggunaan bahasa daerah rentannya memang situasi lingkungan,

sepertinya tidak ada kendala. Bisa menyesuaikan” (wawancara pada tanggal 29

November 2018) .

Kendala guru dalam mengimplementasikan ilmu etnolinguistik

selanjutnya disebabkan karena petunjuk dalam menggunakan ilmu etnolinguistik

yang dimasukkan ke dalam pembelajaran dan RPP belum disampaikan oleh dinas

pendidikan ataupun dibahas dalam KKG. Belum adanya perintah dari dinas

pendidikan untuk menyampaikan ilmu etnolinguistik ini dipaparkan oleh guru Sy

yaitu :

Karena selama ini dari atasan kan belum pernah menyampaikan bahwa harus
disampaiakan kearifan lokal disini kan tidak pernah. Tidak ada dalam forum KKG
dijelaskan tentang itu.Kalau misalnya ada perintah dari atasan, dari dinas
61

pendidikan tentu dalam forum KKG pasti di bahas (Wawancara pada tanggal 10
Desember 2018).

Hal ini juga dijelaskan oleh guru dengan inisial Mi yang menyatakan “Tidak

pernah di bahas dalam KKG. Baru mengetahui sekarang. Kita kan tidak ada

pembelajaran mengenai bahasa daerah. Di sekolah- sekolah pun bahasa daerah

tidak ada” (wawancara pada tanggal 7 Desember 2018). Hal ini sejalan dengan

MH yang menyatakan kendalanya yaitu

“Secara khusus etnolingistik belum pernah dibahas dalam KKG dan belum
disampaikan oleh dinas pendidikan, apa mungkin saya yang tidak tahu tapi
sepengetahuan saya belum ada dibahas tentang dimasukkan bahasa daerah ke
dalam pembelajaran, Yang ada itu budaya daerah yang ada. Tapi dibahas secara
untuk bahasa kedaerahannya belum pernah rasanya disampaikan oleh dinas
pendidikan. Bahasa ini digunakan sebagai bahasa pengantar saja. Kalau untuk RPP
tetap dengan bahasa kurikulum kita tidak menggunakan bahasa daerah”
(Wawancara pada tanggal 5 Desembr 2018).

Berdasarkan pemaparan wawancara di atas, kendala guru dalam

mengimplementasikan ilmu etnolinguistik dapat ditinjau dari beberapa aspek yaitu

: 1. Lingkungan peserta didik yang merupakan masyarakat pendatang; 2. Adanya

perbedaan kemampuan atau pengetahuan setiap peserta didik; 3. Kurangnya

pemahaman guru pada kosa kata bahasa daerah karena terdapat guru yang berasal

dari daerah pendatang sehingga guru tersebut kurang memahami pengetahuan

bahasa daerah; 4. Terbatasnya pemanfaatan media pembelajaran dan

pengembangan materi dalam mengimplementasikan ilmu etnolinguistik belum

terlaksana; 5. Petunjuk dalam menggunakan ilmu etnolinguistik yang dimasukkan

ke dalam pembelajaran dan RPP belum disampaikan oleh dinas pendidikan

ataupun dibahas dalam KKG.


62

4.2 Pembahasan

Etnolinguistik dalam perspektif pembelajaran merupakan pengetahuan

yang dimiliki guru tentang bahasa daerah yang berhubungan atau dimasukkan

pada pembelajaran. Pengetahuan etnolinguistik ini penting dimiliki seorang guru

karena dengan ilmu etnolinguistik peserta didik dapat dengan mudah dalam

memahami pembelajaran. Berdasarkan temuan di lapangan yang diperoleh dari

hasil angket, pengetahuan etnolinguistik guru sekolah dasar di kecamatan

Pemayung menunjukkan bahwa guru sekolah dasar di kecamatan Pemayung

memiliki pengetahuan etnolinguistik dominan dalam kategori sedang dengan

persentase kategori sedang sebesar 56% yaitu sebanyak 10 dari 18 orang guru.

Berdasarkan hasil tersebut dapat diperoleh kesimpulan bahwa pengetahuan

etnolinguistik guru sekolah dasar di kecamatan Pemayung masuk pada kategori

sedang.

4.2.1 Strategi atau Cara-cara Guru dalam Mengimpelentasikan Ilmu

Etnolinguistik

Cara guru dalam mengimplementasikan ilmu etnolinguistik yang pertama

yaitu dengan menjadikan bahasa daerah sebagai pengantar dalam pembelajaran.

Bahasa daerah yang dijadikan pengantar dalam pembelajaran ini dilaksanakan

dengan menyisipkan bahasa daerah pada saat kegiatan inti pembelajaran yaitu

pada saat memberikan penjelasan kepada peserta didik. Sebagaimana sudah diatur

dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional Pasal 33 tentang bahasa pengantar disebutkan bahwa bahasa pengantar

dalam pendidikan nasional adalah bahasa Indonesia (ayat 1) namun, bahasa

daerah dapat digunakan sebagai bahasa pengantar dalam tahap awal pendidikan
63

apabila diperlukan dalam penyampaian pengetahuan dan/atau keterampilan

tertentu (ayat 2). Hal ini sesuai dengan temuan penelitian bahwa cara atau strategi

yang digunakan oleh guru dalam mengimplementasikan ilmu etnolinguistik

berdasarkan pernyataan guru tersebut yaitu dengan cara menggunakan bahasa

daerah sebagai bahasa pengantar dalam pembelajaran.

Dengan adanya penggunaan bahasa daerah, peserta didik dapat dengan

mudah dalam memahami pembelajaran. Siswa akan merasakan suasana lebih

akrab dan menyenangkan karena menganggap guru lebih mengerti dunia mereka

yang masih menggunakan bahasa ibu atau bahasa daerah dalam berinteraksi

dengan orang lain (Sari, 2015:203). Disamping menggunakan bahasa daerah

sebagai pengantar dalam pembelajaran, bahasa Indonesia tetap menjadi bahasa

pertama yang diajarkan dan digunakan dalam pembelajaran. Meskipun berasal

dari daerah, peserta didik harus dapat menggunakan bahasa Indonesia dengan baik

dan benar. Namun, secara situasional penggunaan bahasa daerah tersebut perlu

dipertimbangankan karena beberapa pengantar bahasa Indonesia yang digunakan

dalam pembelajaran menyebabkan peserta didik tidak mengerti dalam memahami

pembelajaran sehingga perlu digunakan bahasa daerah untuk pendekatan pada

materi pembelajaran. Guru dalam proses belajar mengajar diperbolehkan

menggunakan bahasa daerah untuk membantu pemahaman siswa yang masih

kurang fasih dalam berbahasa Indonesia (Sari, 2015:200).

Temuan ini juga sesuai dengan penelitian Desmi Yati (2015). Hasil

penelitiannya menunjukkan bahwa cara untuk menyelamatkan bahasa daerah dari

kepunahan adalah dengan menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar,

sekurang-kurangnya mulai dari jenjang taman kanak-kanak sampai dengan


64

sekolah dasar kelas tiga. Dalam jurnal ini disebutkan juga bahwa terdapat

penelitian yang menunjukkan tentang keberhasilan strategi pemertahanan bahasa

daerah melalui penggunaannya di dalam pengajaran bidang studi. Contoh itu

adalah yang dilakukan oleh The Rock Point Community School dalam

pemertahanan bahasa Navajo (Reyhner, dalam Ellis 1990:36). Di situ, dua per tiga

dari aktivitas “belajar” di TK dan setengah aktivitas belajar di kelas I sampai

dengan kelas III menggunakan bahasa Navajo sebagai bahasa pengantar

pembelajaran. Sementara, dari kelas IV sampai dengan kelas XII bahasa Navajo

hanya digunakan dalam seperlima sampai seperempat waktu pembelajaran.

Namun, perbedaan penelitian ini yaitu, penelitian ini mengkaji cara guru dalam

mengimplementasikan ilmu etnolinguistik ditinjau dari penggunaan bahasa daerah

dalam pembelajaran di sekolah dasar sedangkan penelitian Desmi Yati mengkaji

cara menyelamatkan bahasa daerah. Namun terdapat persamaan cara yang

dilakukan yaitu dengan menjadikan bahasa daerah sebagai pengantar dalam

pembelajaran.

Selanjutnya, cara guru menyisipkan bahasa daerah ke dalam pembelajaran

dapat dilakukan dengan cara menyisipkan bahasa daerah ke dalam pembelajaran

secara spontan. Anak usia sekolah dasar belum semuanya menguasai Bahasa

Indonesia sehingga pembelajaran harus kontekstual. Berdasarkan temuan

penelitian, cara atau strategi yang digunakan guru dalam mengimplementasikan

pengetahuan etnolinguistik yaitu menyisipkan bahasa daerah secara spontan

dengan tidak direncanakan. Temuan ini mirip dengan temuan pertama, namun

terdapat perbedaan yaitu pada temuan pertama cara guru

mengimplementasikannya termuat pada saat menjelaskan pembelajaran atau


65

sudah direncanakan namun pada temuan ini, pelaksanaanya tidak direncanakan

karena guru secara spontan menyisipkan bahasa daerah sehingga tidak mutlak

termuat pada kegiatan pendahuluan, kegiatan inti ataupun pada kegiatan penutup

pada pembelajaran. Guru secara spontan menyisipkan kosa kata bahasa daerah

dalam pembelajaran guna untuk mengaitkan pembelajaran langsung dengan

konteks. Pembelajaran bahasa daerah yang diajarkan secara spontan, dilaksanakan

dengan penggunaan bahasa Indonesia yang disisipkan bahasa daerah. Cara ini

sebelumnya belum pernah dipakai. Ini adalah penemuan baru karena belum ada

ditemukan penelitian tentang ini. Partisipan dalam penelitian ini mempunyai

inisiatif yang sesuai dengan ilmu pembelajaran ke SD-an

Temuan ini juga belum ditemukan dalam jurnal di Indonesia. Namun, hal

ini relevan dengan teori How People Learn menurut (Bransford, et.al: 2000)

yang menyata-kan bahwa :

1. Students come to the classroom with preconceptions about how the world
works. If their initial understanding is not engaged, they may fail to grasp the
new concepts and information that are taught, or they may learn them for
purposes of a test but revert to their preconceptions outside the classroom
2. To develop competence in an area of inquiry, students must: (a) have a deep
foundation of factual knowledge, (b) understand facts and ideas in the context of
a conceptual framework, and (c) organize knowledge in ways that facilitate
retrieval and application.
3. A “metacognitive” approach to instruction can help students learn to take
control of their own learning by defining learning goals and monitoring their
progress in achieving them.

Berdasarkan teori How People Learn di atas, dapat diketahui bahwa

peserta didik yang datang ke sekolah tidak dengan kepala kosong, melainkan

sudah memiliki pengetahuan yang berasal dari lingkungan masyarakatnya.

Pengetahuan yang sudah dimiliki ini berupa pengetahuan bahasa daerah yang

dimiliki peserta didik dari keluarga dan lingkungannya. Oleh sebab itu, guru harus

mampu menghubungkan pengetahuan bahasa daerah yang sudah dimiliki peserta


66

didik tadi dengan pengetahuan baru mengenai pembelajaran yang akan

dipelajarinya. Hal ini bertujuan agar peserta didik dapat dengan mudah dalam

memahami pembelajaran karena pengetahuan yang didapatkannya sesuai dengan

lingkungannya sehingga pembelajaran menjadi kontekstual. Sebagaimana konsep

teori belajar kontruktivisme bahwa “berdasarkan pandangan kontruktivistik,

peserta didik akan belajar dengan baik apabila mereka dapat membawa

pembelajaran ke dalam konteks apa yang sedang mereka pelajari ke dalam

penerapan kehidupan nyata sehari-hari dan mendapat manfaat bagi dirinya

(Rusman, 2015)”.

Namun sebaliknya, apabila proses pembelajaran peserta didik tidak

melalui pola budaya masyarakat, maka akan mengakibatkan proses pembelajaran

tidak maksimal. Sebagaimana yang dijelaskan bahwa proses pembelajaran yang

mengabaikan “cultural diversity” siswa dapat menimbulkan stres dan frustasi

karena pendidik tidak dapat merespon dan mengerti permasalahan tersebut secara

efektif yang selanjutnya akan berakibat munculnya sikap negatif anak terhadap

materi yang diberikan (Jones dalam Rosita, dkk, 2006:38).

Cara mengintegrasikan bahasa daerah ke dalam muatan pembelajaran

selanjutnya dilaksanakan pada saat memberi contoh penggunaan kosa kata dengan

bahasa daerah. Model terpadu (integrative), implementasi kearifan lokal melekat

dan terpadu dalam program-program kurikuler, kurikulum yang ada dan atau mata

pelajaran yang ada, bahkan proses pembelajaran (Sudarmin, 2014:41).

Sebagaimana temuan penelitian yang dijelaskan oleh guru yaitu contoh ilmu

etnolinguistik ini dapat diimplementasikan dalam muatan pembelajaran

matematika. Contohnya untuk materi satuan massa pada muatan pembelajaran


67

matematika, terdapat bahasa daerah dengan istilah mato untuk menyatakan ons.

Apabila peserta didik diajarkan dengan istilah ons, peserta didik tersebut bingung.

Sari (2015:203) menyatakan bahwa

Salah satu faktor penyebab siswa sulit berkomunikasi adalah siswa kurang
memahami isi pembicaraan guru karena kurangnya perbendaharaan kata pada
siswa. Siswa akan lebih memahami isi pembicaraan guru yang tidak terlalu formal
menggunakan bahasa Indonesia,akan tetapi menggunakan bahasa Indonesia dan
bahasa daerahnya.

Selanjutnya, guru mencontohkan sesuai dengan kehidupan sehari-hari seperti pada

saat orang tua meminta pergi ke warung untuk membelikan tempoyak semato,

Jadi, peserta didik diberi penjelasan terlebih dahulu bahwa istilah 1 mato itu sama

dengan 1 ons dalam bahasa Indonesia. Selain itu, pada materi menentukan sudut,

dalam bahasa daerah sudut dikenal dengan istilah bucu. Sehingga, guru terlebih

dahulu memberikan penjelasan mengenai istilah-istilah bahasa daerah yang sering

digunakan peserta didik kemudian dihubungkan dengan materi pembelajaran.

Khususnya pada pembelajaran di kelas tinggi, apabila terdapat istilah yang

tidak diketahui peserta didik tentang materi pembelajaran, maka guru memberikan

contoh dengan menggunakan bahasa setempat. Misalnya apa bahasa bakunya,

kemudian apa bahasa daerahnya agar peserta didik mengerti dan dapat

membedakan antara bahasa daerah dan bahasa bakunya. Umumnya pada kelas

rendah, peserta didik masih menggunakan bahasa Ibu, jadi bahasa yang dibawa itu

bahasa-bahasa rumahnya sendiri. Hal ini dikarenakan orang tua berperan penting

teradap perkembangan bahasa anak. Sebagaimana pendapat Rosita,dkk (2006:39)

“Demikian halnya dengan penggunaan bahasa daerah pada lingkungan keluarga,

semakin sering anak-anak dididik dalam lingkungan bahasa daerah tertentu maka

akan terbentuk suatu komunikasi yang konstan pada penggunaan bahasa daerah”.
68

Berbeda dengan kelas rendah, pada kelas tinggi peserta didik sudah

mengalami perkembangan dalam hal bahasa. Jadi peserta didik pada kelas tinggi

sudah mulai memahami bahasa baku namun dalam berkomunikasi tetap

bercampur dengan bahasa ibunya. Hal ini disebabkan karena sebagian besar waktu

peserta didik banyak dihabiskan pada lingkungan keluarga dan masyarakat

dibandingkan waktu di sekolah. Oleh sebab itu, pentingnya pengetahuan bahasa

daerah oleh peserta didik agar mereka dapat bersosialisasi dengan lingkungan

sekitarnya terutama dengan teman bermainnya. Melalui penggunaan bahasa

daerah dalam pembelajaran ini, siswa memahami dan akrab dengan lingkungannya

sehingga terhindar dari keterasingan terhadap lingkungan sendiri, mampu

memanfaatkan pengetahuan dan ketrampilannya untuk memecahkan masalah

yang dihadapi disekitarnya, dan mampu menolong orang tuanya dan dirinya

sendiri dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya (Depdikbud, 1997).

Temuan ini relevan dengan penelitian yang dilakukan oleh Wuri

Wuryandari (2010) bahwa salah satu cara yang dapat ditempuh guru di sekolah

untuk menanamkan rasa cinta terhadap budaya lokal adalah dengan cara

mengintegrasikan nilai-nilai kearifan lokal dalam proses pembelajaran di sekolah.

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian relevan yaitu penelitian oleh Wuri

Wuryandari membahas tentang pengintegrasian nilai-nilai kearifan lokal dalam

pembelajaran, sedangkan penelitian ini mengkaji cara-cara atau strategi guru

sekolah dasar dalam mengimplementasikan pengetahuan etnolinguistik didalam

kelas. Penelitian yang sesuai dengan konteks pada penelitian ini belum ditemukan.

Namun penelitian relevan ini dikaji dari nilai kearifan lokal yang diintegrasikan

dalam pembelajaran karena hal ini mendukung temuan penelitian yaitu cara
69

mengimplementasikan ilmu etnolinguistik di dalam kelas yaitu dengan cara

mengintegrasikan bahasa daerah pada muatan pembelajaran dalam memberikan

contoh penggunaan kosa kata dengan bahasa daerah.

Cara atau strategi guru dalam mengimplementasikan ilmu etnolinguistik di

dalam kelas selanjutnya yaitu dengan mengaitkan tema dengan tema. Berdasarkan

temuan penelitian, diketahui bahwa cara guru dalam mengimplementasikan ilmu

etnolinguistik di dalam kelas yaitu dengan mengaitkan tema satu dengan tema

lainnya seperti mengaitkan pantun dengan seloko, sinonim dikaitkan dengan

persaman kata dengan kosa kata bahasa daearah, menulis cerita dikaitkan pada

menulis cerita perjuangan rakyat Jambi. Pemerintah setempat mengharuskan guru

untuk menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, namun pada

pelaksanaannya untuk mengajarkan peserta didik di kelas rendah, peserta didik

masih menggunakan bahasa daerah dalam berkomunikasi. Penggunaan bahasa

daerah yang disisipkan dalam pembelajaran dan tidak terlepas pada bahasa

Indonesia ini menunjukkan penggunaan dua bahasa dalam pembelajaran untuk

memberikan pemahaman kepada peserta didik usia sekolah dasar.

Guru menggunakan dwibahasa untuk membantu pemahaman siswa terhadap


materi menulis cerita narasi sederhana, sedangkan siswa menggunakan dwibahasa
karena keterbatasan perbendaharaan kata dalam bahasa Indonesia. Dengan
demikian komunikasi antara guru dan siswa dapat berjalan dengan baik sehingga
siswa dapat mengerti akan materi yang diajarkan guru (Sari, 2015:203).

Penggunaan bahasa daerah tidak bisa di tinggal. Pelaksanaannya di dalam kelas

dapat tergantung dengan materi pembelajaran, misalnya seni budaya daerah Jambi

dimasukkan ke dalam muatan lokal. Muatan lokal di kelas tinggi bisa budaya

Jambi. Seperti seloko dan pantun tadi. Misalnya seperti sinonim persamaan kata

dengan bahasa daerah hanya saja pengucapannya berbeda.


70

Temuan ini didukung dengan penelitian terdahulu oleh Panca Junita Sari

(2015) dengan judul Sosiolinguistik Sebagai Landasan Dasar Pendidikan di

Sekolah Dasar. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam kurikulum 2013

pada muatan pembelajaran bahasa Indonesia memuat kompetensi dasar “Menulis

teks narasi sederhana kegiatan dan bermain di lingkungan dengan bantuan guru

atau teman dalam Bahasa Indonesia lisan dan tulisan yang dapat diisi dengan

kosakata bahasa daerah untuk membantu pemahaman”, hal ini menunjukkan

bahwa guru dalam penyampaian materi diperbolehkan menggunakan atau mengisi

dengan kosakata bahasa daerah untuk membantu pemahaman dalam menulis teks

narasi sederhana. Pada penelitian relevan ini, terdapat perbedaan sedikit yaitu

pada penelitian ini mengkaji cara guru dalam mengimplementasikan ilmu

etnolinguistik di dalam kelas khususnya dalam penggunaan bahasa daerah yaitu

dapat dilakukan dengan cara mengaitkan suatu topik pembelajaran. Namun pada

penelitian relevan mengkaji sosiolinguistik dalam hal analisis Kompetensi Dasar

pada Kurikulum 2013 mengenai dwibahasa yang digunakan dalam pembelajaran

sebagai landasan dasar dalam pendidikan di sekolah dasar.

4.2.2 Kendala Guru dalam Mengimplementasikan Ilmu Etnolinguistik

Kendala guru dalam mengimplementasikan ilmu etnolinguistik pada

pembelajaran yaitu disebabkan karena lingkungan peserta didik yang merupakan

masyarakat pendatang. Peserta didik yang merupakan masyarakat pendatang

tersebut membawa bahasa daerah asalnya dalam berkomunikasi, sehingga tidak

menggunakan khas bahasa daerah Jambi. Karena kita tinggal di daerah Jambi,

guru mengajarkan etnolinguistik Jambi kepada peserta didik. Namun, peserta


71

didik di kelas berasal dari suku yang berbeda. Rosita, dkk (2006:38) “Latar

belakang budaya anak terutama bahasa daerah harus menjadi kekuatan yang dapat

mempengaruhi dia dalam berinteraksi dengan guru di dalam menyusun

pengetahuan dalam benak si anak”.

Banyak peserta didik yang berasal dari Jawa, sehingga bahasa yang

digunakan yaitu bahasa daerah Jawa yang mereka dapatkan dari keluarga. Maka

dari itu, bahasa ibu berhubungan erat dengan bahasa daerah di mana seorang

individu lahir, besar dan tinggal (Ibda, 2017:198). Hal ini menyebabkan

etnolinguistik yang peserta didik dapatkan antara di lingkungan keluarga dan

sekolah berbeda. Rosita, dkk (2006:39) Pada anak didik yang mempunyai latar

belang keluarga bukan daerah lingkungan tersebut tentunya harus belajar banyak

supaya dapat menyesuaikan lingkungan barunya dengan bahasa daerah yang

berbeda sehingga dapat terus eksis dalam lingkungan barunya tersebut. (Rosita

dkk, 2006: 38). Dapat diketahui bahwa perkembangan bahasa anak dipengaruhi

oleh keluarga serta lingkungan masyarakatnya. Perbedaan latar belakang budaya

si ayah dan si Ibu memberikan pandangan tersendiri bagi si anak. Maka perlu

adanya bahasa daerah yang memang bisa diikuti tidak saja di lingkungan keluarga

tetapi lingkungan masyarakat sekitar sehingga memberikan konstribusi dan

kesempatan bagi anak supaya bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya

terutama teman-teman di sekitarnya. Menurut Ibda (2017:197) “Penguasaan

bahasa pada anak juga dipengaruhi keluarga, lingkungan setempat dan teknologi”.

Penelitian relevan yang satu konteks dengan penelitian ini yaitu penelitian oleh

Ayik Rosita dkk (2006) namun terdapat perbedaan yaitu temuan penelitian ini

mengkaji kendala guru dalam mengimplementasikan ilmu etnolinguistik,


72

sedangkan penelitian relevan mengkaji tentang faktor yang mempengaruh

pembelajaran bahasa daerah yaitu diantaranya keluarga dan pendidikan orang tua,

lingkungan sekitar tempat tinggal dan ragam bahasa daerah. Persamaan

penelitiannya adalah sama-sama mengkaji pengaruh latar belakang keluarga

dalam tingkat keberhasilan pembelajaran etnolinguistik.

Kendala yang dialami guru selanjutnya yaitu adanya perbedaan

kemampuan atau pengetahuan setiap peserta didik. Peserta didik banyak yang

tidak memahami materi pembelajaran sehingga guru harus menjelaskannya

terlebih dahulu dengan menggunakan bahasa daerah khusunya untuk membuat

pemahaman anak. Sari (2015:203) berpendapat sebagai berikut:

Salah satu faktor penyebab siswa sulit berkomunikasi adalah siswa kurang
memahami isi pembicaraan guru karena kurangnya perbendaharaan kata pada
siswa. Siswa akan lebih memahami isi pembicaraan guru yang tidak terlalu formal
menggunakan bahasa Indonesia, akan tetapi menggunakan bahasa Indonesia dan
bahasa daerahnya.

Setiap peserta didik memiliki kemampuan yang berbeda-beda terutama dalam

memahami materi pembelajaran. Beradasrkan temuan penelitian, kendala yang

dihadapi oleh guru dalam mengimplementasikan ilmu etnolinguistik ini yaitu

tingkat pemahaman atau daya serap materi oleh peserta didik yang berbeda-beda.

Namun, hal ini tidak terlalu menjadi kendala yang berarti karena masih diatasi

oleh guru dengan memanfaatkan bahasa daearh tadi dan memberikan penjelasan

yang berulang kepada peserta didik. Penelitian relevan yang satu konteks

mengenai kendala yang dikaji dari perbedaan tingkat pemahaman peserta didik

belum ditemukan karena dapat dikategorikan penemuan baru.

Kendala selanjutnya yaitu kurangnya pemahaman guru pada kosa kata

bahasa daerah dikarenakan terdapat guru yang berasal dari daerah pendatang

sehingga guru tersebut kurang memahami pengetahuan bahasa daerah.


73

Berdasrakan temuan penelitian, diketahui bahwa kendala yang dialami oleh guru

yaitu dikarenakan terdapatnya guru kelas yang bukan berasal dari daerah setempat

sehingga mneyebabkan guru tersebut kurang mengetahui bahasa daerah setempat.

Hal ini menyebabkan guru tersebut menggunakan bahasa Indonesia di dalam kelas

dan jarang dalam menggunakan bahasa daerah dalam pembelajaran di kelas

karena kurang mengerti. Hal ini akan berdampak kepada peserta didik sendiri,

karena peserta didik yang berasal dari daerah setempat dan terbiasa menggunakan

bahasa ibunya dalam berkomunikasi dituntut untuk menguasai bahasa Indonesia.

Sehingga apabila peserta didik mengalami kesulitan dalam memahami bahasa

Indonesia, guru mengalami kesulitan dalam mengkesplor bahasa daerah karena

guru tidak mengerti. Guru juga harus belajar bahasa daerah untuk membantu

pemahaman terhadap siswa dan memperlancar proses belajar mengajar (Sari,

2015:206). Meskipun demikian, ditemukan juga guru yang bukan berasal dari

daerah setempat, namun ada hubungan bahwa sama-sama berasal dari rumpun

melayu Jambi. Jadi sedikit banyaknya mengerti namun secara kekhususan dari

dialek penduduk setempat banyak yang belum guru mengerti. Penelitian relevan

yang satu konteks dengan penelitian ini yaitu dikaji dari kendala yang dihadapi

guru dalam mengimplementasikan pengetahuan etnolinguistik belum ditemukan.

Adapun kendala yang dialami guru ditinjau dari pemanfaatan media

pembelajaran dalam mengimplementasikan ilmu etnolinguistik belum terlaksana.

Media merupakan salah satu penunjang terhadap keberhasilan pembelajaran

khusunya dalam pengimpelemtasian ilmu etnolinguistik ini. Berdasarkan temuan

penelitian, kendala yang dialami guru dalam mengimplementasikan etnolinguistik

ini yaitu media dalam bidang bahasa daerah ini tidak ada, sehingga mempengaruhi
74

terhadap tingkat keberhasilan peserta didik. Tidak mungkin secara langsung

pembelajaran itu dapat dipahami oleh peserta didik. Melalui media ini lah dapat

membantu peserta didik dalam memahami materi pembelajaran. Ditinjau dari

materi, berdasarkan temuan, guru juga mengalami kendala terhadap materi karena

tidak semua materi dapat diintegrasikan dengan pengetahuan etnolinguistik ini.

Adanya keterbatasan dari dinas untuk memfasilitasi materi bahasa daerah dan

indikator mengenai itu tidak diberikan penguatan secara serius dari dinas.

Sudaryat (2004:12) “guru di daerah atau di sekolah dapat mengembangkan,

menggabungkan, atau menyesuaikan bahan yang disajikan dengan keadaan dan

keperluan setempat dalam silabus dan rencana pembelajaran”. Sehingga

keputusan untuk mengeksplor ilmu etnolinguistik dengan mengintegrasikannya ke

dalam pembelajaran kembali kepada guru yang bersangkutan. Sebagaimana

menurut pendapat Sudarmin (2014:41) Model terpadu (integrative) membutuhkan

kesiapan dan kemampuan tinggi dari sekolah, kepala sekolah dan guru mata

pelajaran. Guru dan kepala sekolah harus pandai dan cekatan menyiasati dan

menjabarkan kurikulum, mengelola pembelajaran dan mengembangkan penilaian.

Belum ditemukan mengenai penelitian relevan yang satu konteks dengan

penelitian ini yang dikaji melalui kendala yang dihadapi guru dalam

mengimplementasikan ilmu etnolinguistik di dalam pembelajaran. Namun,

terdapat penelitian mengenai modul pengembangan bahasa daerah yang mengkaji

aspek media dan materi pembelajaran bahasa daearah.

Selain kendala-kendala yang sudah dipaparkan di atas, ditemukan kendala

guru dalam mengimplementasikan ilmu etnolinguistik yang ditinjau dari petunjuk

dalam menggunakan ilmu etnolinguistik yang dimasukkan ke dalam pembelajaran


75

dan RPP belum disampaikan oleh dinas pendidikan ataupun dibahas dalam KKG.

Berdasarkan temuan penelitian diketahui bahwa belum adanya perintah dari dinas

pendidikan untuk menyampaikan ilmu etnolinguistik ini. Sehingga apabila dari

dinas pendidikan sudah menyampaikan tentunya dalam forum KKG akan dibahas

secara khusus mengenai etnolinguistik. Dinas pendidikan belum secara khusus

menyampaikan tentang dimasukkan bahasa daerah ke dalam pembelajaran. Forum

KKG pernah membahas tenang budaya daerah namun tidak membahas untuk

bahasa kedaerahannya. Untuk memasukkan etnolinguistik ini ke dalam RPP,

kembali disesuaikan pada Kompetensi Dasar dan indikatornya, apakah pencapaian

indikatornya dapat dikembangkan dengan memuat ilmu etnolinguistik. Muatan

dengan etnolinguistik (bahasa daerah) secara tersirat dimasukkan oleh guru ke

dalam pembelajaran. Secara khusus guru belum memfokuskan etnolinguistik yang

dimuat dalam RPP. Namun pelaksanaan pembelajaran di dalam kelas tetap

bermuara pada penggunaan bahasa daerah juga.

Penelitian relevan mengenai kendala yang dikaji dari petujuk untuk

menyampaikan ilmu etnolinguistik yang belum disampaikan dinas pendidikan

belum ditemukan pada penelitian di Indonesia. Ini adalah penemuan baru karena

secara situasional kendala tersebut ditemui pada tempat yang diteliti. Dinas

pendidikan belum menyampaikan petunjuk dalam penggunaan ilmu etnolinguistik

yang dimasukkan dalam pembuatan RPP. Kekurangan guru dalam mengeksplor

ilmu etnolinguistik ke dalam pembelajaran disebabkan karena lemahnya

kemampuan guru dalam bidang etnologi. Menurut Sudarmin (2014:33)

“Pendidikan yang berpendekatan atau berbasis kearifan lokal tentu akan berhasil

apabila guru memahami wawasan kearifan lokal itu sendiri. Guru yang kurang
76

memahami kearifan lokal, cenderung kurang sensitif terhadap kemajemukan

budaya setempat.” Kondisi tersebut membuktikan bahwa dalam kompetensi

pedagogik guru mengalami permasalahan.

Penelitian yang sesuai dengan konteks yaitu etnolinguistik dalam

perspektif pembelajaran belum ditemukan. Namun terdapat penelitian relevan

yang dikaji dari nilai kearifan lokal dalam pembelajaran dan penggunaan bahasa

daerah. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian relevan yaitu penelitian oleh

Wuri Wuryandari membahas tentang pengintegrasian nilai-nilai kearifan lokal

dalam pembelajaran, sedangkan penelitian ini khusus membahas etnolinguistik.

Selanjutnya penelitian relevan oleh Aswin Saputra membahas tentang petatah-

petitih dalam masyarakat seberang kota Jambi, sedangkan penelitian ini tentang

pengetahuan etnolinguistik guru sekolah dasar.


77

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari hasil penelitian, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :

1. Pengetahuan etnolinguistik guru sekolah dasar di kecamatan Pemayung

dalam kategori sedang.

2. Implementasi pengetahuan etnolinguistik guru sekolah dasar di kecamatan

Pemayung dilaksanakan dengan cara:

a. Menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar dalam

pembelajaran yang dilaksanakan dengan menyisipkan bahasa daerah

pada saat kegiatan inti pembelajaran yaitu pada saat memberikan

penjelasan kepada peserta didik;

b. Dengan cara menyisipkan bahasa daerah ke dalam pembelajaran secara

spontan.

c. Mengintegrasikan bahasa daerah ke dalam muatan pembelajaran yang

dilaksanakan pada saat memberi contoh penggunaan kosa kata dengan

bahasa daerah.

d. Mengaitkan tema satu dengan tema lainnya.

3. Kendala yang dihadapi guru dalam mengimplementasikan ilmu etnolinguistik

pada pembelajaran kelas rendah dan kelas tinggi yaitu:

a. Lingkungan peserta didik yang merupakan masyarakat pendatang;

b. Adanya perbedaan kemampuan atau pengetahuan setiap peserta didik;


78

c. Kurangnya pemahaman guru pada kosa kata bahasa daerah karena

terdapat guru yang berasal dari daerah pendatang sehingga guru tersebut

kurang memahami pengetahuan bahasa daerah;

d. Terbatasnya pemanfaatan media pembelajaran dan pengembangan materi

dalam mengimplementasikan ilmu etnolinguistik belum terlaksana;

e. Petunjuk dalam menggunakan ilmu etnolinguistik yang dimasukkan ke

dalam pembelajaran dan RPP belum disampaikan oleh dinas pendidikan

ataupun dibahas dalam KKG.

5.2 Saran

Penelitian ini telah menghasilkan temuan awal, diharapkan adanya

penelitian lebih lanjut dari penelitian ini. Khususnya memperdalam mengenai

petunjuk dalam menggunakan ilmu etnolinguistik ke dalam pembelajaran berupa

modul yang dapat dijadikan pedoman dalam pelaksanaan ilmu etnolinguistik.

Selain itu, diharapkan bagi guru agar dapat lebih mengembangkan pengetahuan

dan potensi diri untuk menciptakan pembelajaran yang inovatif khususnya dalam

mengeksplor pengetahuan etnolinguistik untuk diterapkan pada pembelajaran di

sekolah dasar.
79

DAFTAR RUJUKAN

Adilah, G. 2013. Enhacing Local Wisdom Through Local Content Of Elementary


School In Java, Indonesia. Kuala Lumpur: Proceding of the Global
Summit on Education 2013.E-ISBN 978-967-11768-0-1
Afini, Farah Nur. 2015. Leksikon Tumbuhan dalam Peribahasa Jawa (Kajian
Etnolinguistik. Universitas Negeri Semarang
Anggraini, Purwati. 2017. Character and Local Wisdom-Based Instructional
Model of Bahasa Indonesia in Vocational High Schools. ISSN 2222-288X
(Online). Vol.8, No.5, 2017
Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik.
Jakarta: Rineka Cipta
Baehaqi, Imam. 2013. Etnolinguistik : Telaah Teoretis dan Praktis. Surakarta:
Cakrawala Media
Beauchamp, George, A . 2009. Curriculum theory: Meaning, development, and
use. Wilmette, Illions: KAGG Press
Bernard, Russell. 2006. Research Methods in Anthropology: Qualitative and
Quantitative Approaches. United States of America: AltaMira Press.
ISBN: 0-7591-0868-4
Biber, Sharlene, N,B. 2010. Mixed Method Research: Merging Theory Practice.
United States of America: The Guilford Press ISBN 978-1-60623-259-0
Blackwell. 2009. Mixed Methods Research for nursing and the health sciences.
University of Wesern Sydney: Ltd. Publication
Bransford, John, D., Brown, Ann, L., and Cocking, Rodney, R.: 2000. How
People Learn: Brain, Mind, Experience, and School: Expanded Edition.
Washington, D. C: National Academy Press. ISBN 978-0-309-07036-2.
DOI 10.17226/9853
Cohen, Louis, Manion, Lawrence, & Morrison, Keith. 2005. Research Methods in
Education- 5 th ed. London and New York: Taylor and Francis e-Library.
ISBN: 0-203- 22434- 5
Creswell, J.W. 2009. Research Design Third Edition. University Of Nebraska
Lincoln: SAGE Publication
Dinawati. 2010. Istilah Istilah Sesaji Dalam Tradisi Merti Desa Di Desa
Dadapayam Kecamatan Suruh Kabupaten Semarang. Surakarta:
Universitas Sebelas Maret
Foley, W.A. 2001. Anthropological Linguistics. Oxford: Blackwell.
80

Furchan, Arief. 2011. Pengantar Penelitian dalam Pendidikan. Yogyakarta:


Pustaka Pelajar
Geertz, C. 1973. The Interpretation of Culture. New York: Basic
Husien, Latifah. 2017. Profesi Keguruan: Mejadi Guru Professional. Yogyakarta:
Pustaka Baru Press
Ibda, H. 2017. Urgensi Pemertahanan Bahasa Ibu di Sekolah Dasar. Jurnal
Shahih: LP2M IAIN Surakarta. Vol. 2( 2), 194-206. ISSN: 2527-8118
Komariyah, Siti. Leksikon Peralatan Rumah Tangga Berbahan Bambu di
Kabupaten Magetan ( Kajian Etnolinguistik). Jurnal Ilmiah Bahasa Sastra
dan Pembelajaran( Paramasastra). Vol. 5 No. 1. e-ISSN 2527-8754.
http://journal.unesa.ac.id/index.php/paramasastra
Kusumarini, euis. 2017. Pembelajaran IPS Berbasis Pengetahuan Daur Hidup
Manusia Kalimantan Sebagai Kearifan Lokal Siswa Kelas IV MI Sulamul
Ulum Sungai Kunjang Samarinda. Jurnal Pendas Mahakam: Universitas
Widyagama Mahakam. Vol 2( 2). 138-149.
Manurung, Rosida, T. 2013. Kearifan Lokal Bahasa dan Sastra dalam Masyarakat
Lintas Budaya . Universitas Kristen Maranatha. Vol 2 No. 2.
Mufidah, Nida. 2014. Etnolinguistik, Sebuah Kajian Antropologi Masyarakat
Banjar di Pasar Tterapung Lok Baintan Kabupaten Banjar Kalimantan
Selatan. Al- AdzkaJurnal Ilmiah Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah.
Vol 4. No 1. ISSN: 2088- 9801
Nakpodia. 2010. Curriculum development in Nigerian School. African Journal of
History and Culture (AJHC). Vol. 2 (1), pp. 001-009
Nuraeni, H. G dan Alfan. 2012. Studi Budaya di Indonesia. Bandung : CV
Pustaka Setia
Nurhasanah. 2013. Ekspresi Simbolik Seloko Adat Jambi. Jambi: IAIN Sulthan
Thaha Saifuddin Jambi
Oktariza, Dodi. 2017. Korespondensi Fonem Austronesia dalam Bahasa Melayu
Jamb. Jambi: Universitas Muaro Bungo. ISSN: 2580-0728
Panjaitan, Ade.P dkk, 2014. Korelasi Kebudayaan dan Pendidikan: Membangu
Pendidikan Berbasis Budaya Lokal. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia
Pornpinon, C., Wallapa, A., & Prayuth, C. (2014). Strategy Challenges The Local
Wisdom Applications Sustainability In Schools. Procedia Social and
Behavioral Sciences, Vol. 112, No. 626-634.
Rahayu dan Listiyorini, 2009. Peningkatan Kompetensi Etnolinguistik Mahasiswa
Program Studi Bahasa Dan Sastra Indonesia Melalui Metode Catatan
81

Singkat Dan Peta Konsep.Laporan Penelitian : Universitas Negeri


Yogyakarta
Republik Indonesia. 2003. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20
tentang Sistem Pedidikan Nasional. Jakarta: Departemen Pendidikan
Nasional

Retnawari, Heri. 2016. Analisis Kuantitatif Instrumen Penelitian. Yogyakarta:


Parama Publishing

Rosita, A dan Aprila, F. 2006. Pentingnya Mata Pelajaran Bahasa Daerah dalam
Kurikulum Sekolah Dasar dalam Eksistensi Bangsa. Pengembangan
Pendidikan, Vol 3(1), 35-43.
Rusman, 2015. Pembelajaran Tematik Terpadu. Jakarta : PT Raja Grafindo
Sanjaya, Wina. 2008. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Prenada Media
Group
Saputra, Aswin. 2016. Repetisi dala Petatah- Petitih Masyarakat Seberang Kota
Jambi. Jambi: Universitas Jambi
Sari, P, J. 2015. Sosiolinguistik Sebagai Landasan Dasar Pendidikan di Sekolah
Dasar. Bengkulu. Prosiding Seminar Nasionak Bulan Bahasa: UNIB
Sartini. 2006. Menggali Kearifan Lokal Nusantara Sebuah kajian Filsafati.
http://filsafat.ugm.ac.id, diakses tanggal 30 Agustus 2018.
Singh, Kultar. 2007. Quantitative Social Research Methods.. India: Sage
Publication India Pvt Ltd. ISBN: 978- 0-7619-3383-0
Suardiman, Siti, P. 2007. Sosialisasi Kearifan Lokal dalam Budaya Jawa Bagi
Siswa Sekolah Dasar di Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal
Kependidikan Penelitian Inovasi Pembelajaran. Vol 37 (2). E- ISSN:
2580-5533. DOI: http://dx.doi.org/10.21831/jk.v37i2.4940
Sudarmin. 2014. Pendidikan Karakter, Etnosains dan Kearifan Lokal. Semarang:
Unnes
Sudaryat, Y. 2008. Pengembangan Pembelajaran Bahasa Daerah. Modul (PLPG)
Mata Pelajaran Muatan Lokal Bahasa Daerah UPI.
Sugiyono. 2014. Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta
Sugiyono. 2016. Metode Penelitian Manajemen. Bandung: Alfabeta
Sumayana, Yena. 2017. Pembelajaran Sastra di Sekolah Dasar Berbasis Kearifan
Lokal (Cerita Rakyat). Mimbar Sekolah Dasar. 4 (1). doi: 10.
23819/mimbar- sd.v4i.
Suprihatiningrum, Jamil. 2016. Guru Profesional: Pedoman Kinerja, Kualifikasi
& Kompetensi Guru. Yogyakarta: Ar- Ruzz Media.
82

Sutarno. 2008. Pendidikan Multikultural. Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan


Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.
Sutjipto. 2015. Diversifikasi Kurikulum Dalam Kerangka Desentralisasi
Pendidikan. Jakarta: Pusat Kurikulum Dan Perbukuan, Balitbang,
Kemdikbud
Taniredja, Tukiran, & Mustafidah, Hidayati. 2014. Penelitian Kuantitatif (sebuah
pengantar). Bandung: Alfabeta
Tondo, Fanny, H. 2012. Bahasa Minoritas Hamap dalam Perkebunan Jagung:
Tinjauan Etnolinguistik: Tinajuan Etnolinguistik. PMB- LIPI. Jurnal
Pendidikan dan Kebudayaan. Vol 18 No.2
Wibowo, Agus dan Gunawan. 2014. Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan
Lokal di Sekolah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Widoyoko, Eko,P. 2017. Teknik Penyususnan Instrumen Penelitian. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
Wuryandani, Wuri. 2010. Integrasi Nilai- nilai Kearifan Lokal dalam
Pembelajaran Untuk Menanamkan Nasionalisme di Sekolah Dasar.
Universitas Negeri Yogyakarta: Proceding seminar nasional lembaga
penelitian UNY
Yati, D. 2015. Menyelamatkan Bahasa Daerah Melalui Pembelajaran Bahasa yang
Komunikatif. Prosiding Seminar Nasional Bulan Bahasa: UNIB
83

LAMPIRAN-LAMPIRAN
84

Lampiran 1. Angket Pengetahuan Guru Sekolah Dasar Terhadap Ilmu


Etnolinguistik

NO PERNYATAAN SKALA LIKERT


4 3 2 1
1 Saya menyusun silabus sesuai dengan kurikulum dan
mengintegrasikan dengan ilmu etnolinguistik
2 Saya menyusun RPP dengan mengintegrasikan ilmu
etnolinguistik
3 Saya merumuskan materi sesuai dengan KD yang
diintegrasikan dengan ilmu etnolinguistik
4 Saya menentukan metode pembelajaran yang mampu
menghubungkan ilmu etnolinguistik ke dalam pembelajaran
5 Saya memilih media pembelajaran yang mampu
menghubungkan ilmu etnolinguistik ke dalam pembelajaran
Pelaksanaan pembelajaran
6 Saya memperkenalkan ilmu etnolinguistik khas daerah
Jambi kepada siswa pada kegiatan pembukaan pembelajaran
7 Saya menggunakan bahasa daerah Jambi sebagai pengantar
dalam pembelajaran
8 Saya mengajak peserta didik ke museum daerah untuk
memperkenalkan aksara bahasa melayu Jambi
9 Saya mengajarkan peserta didik membaca dan menulis
dengan cerita daerah melayu Jambi
Saya
0 menggunakan kearifan lokal kecamatan Pemayung
10 sebagai sumber belajar pengetahuan ilmu Etnolinguistik
11 Saya mengajarkan peserta didik untuk melestarikan kearifan
lokal salah satunya dengan menggunakan bahasa daerah
Saya
1 menyisipkan bahasa daerah pada saat menyampaikan
12 pembelajaran
Saya
1 memfasilitasi siswa untuk mempelajari sastra Jambi
13 seperti seloko
Saya
1 memperkenalkan jenis-jenis bahasa daerah yang ada di
14 provinsi Jambi

Keterangan :

T = Terlaksana =4

MT = Mulai Terlaksana =3

BT = Belum Terlaksana =2

TT = Tidak Terlaksana =1
85

Lampiran 2. Instrumen Wawancara Pengetahuan Guru Terhadap Ilmu


Etnolinguistik

NO. PERTANYAAN JAWABAN


Apakah bapak/ ibu pernah mendengar etnolinguistik?
a. Dimana bapak/ ibu pernah mendengar
etnolinguistik?
b. Menurut pendapat bapak/ ibu, apa yang
dimaksud dengan etnolinguistik?
c. Apakah pada saat mendengar etnolinguistik
1.
tersebut bapak/ ibu tertarik untuk
menggunakannya dalam pembelajaran ?
d. Bagaimana pendapat bapak/ ibu jika
etnolinguistik dimasukkan ke dalam
pembelajaran ?

Bagaimana cara bapak/ ibu mengimplementasikan


ilmu etnolinguistik dalam pembelajaran di kelas
rendah/ kelas tinggi?
a. Bagaimana perbedaan antara implementasi
etnolinguistik dalam pembelajaran di kelas
rendah dan kelas tinggi?
b. Kearifan lokal yang diterapkan di sekolah
2.
ini tentunya berasal dari lingkungan sekitar.
Kearifan lokal apa saja yang diterapkan di
sekolah ini?
c. Bagaimana pendapat bapak/ ibu tentang
tingkat keberhasilan implementasi
etnolinguistik di sekolah ini? Khususnya
kelas yang diampu.
Apa strategi yang anda gunakan dalam
mengimplementasikan etnolinguistik?
a. Dalam strategi pengimplementasian
pengetahuan etnolinguistik apakah bapak/
ibu hanya mengimplementasikan di dalam
kelas atau diluar kelas juga?
b. Apakah ada perbedaan strategi yang bapak/
ibu gunakan dalam mengimplementasikan
3.
pengetahuan etnolinguistik di dalam kelas
ataupun diluar kelas?
c. Bagaimana strategi yang bapak/ ibu
gunakan dalam mengimplementasikan
pengetahuan etnolinguistik di dalam kelas?
d. Bagaimana strategi yang bapak/ ibu
gunakan dalam mengimplementasikan
pengetahuan etnolinguistik di luar kelas?
Apakah bapak/ ibu mengalami kendala dalam
mengimplementasikan etnolinguistik?
a. Bagaimana pengaruh kendala dalam
pembelajaran etnolinguistik terhadap tingkat
keberhasilan belajar siswa?
4.
b. Bagaimana kendala yang bapak/ibu alami
pada saat mengimplementasikan
pembelajaran yang berbasis etnolinguistik ?
c. Bagaimana kendala yang dihadapi dalam
pembelajaran berbasis etnolinguistik
86

NO. PERTANYAAN JAWABAN


terhadap pembentukan karakter siswa?

Bagaimana cara bapak/ ibu mengatasi kendala dalam


mengimplementasikan etno-linguistik ?
a. Berdasarkan kendala yang bapak/ibu
temukan solusi apa yang bapak terapkan
guna mengatasi kendala-kendala tersebut ?
5. b. Apakah dalam mencari solusi dalam
mengatasi kendala bapak/ ibu
melaksanakan diskusi bersama guru kelas
lainnya?
c. Bagaimana bapak/ibu mengatasi kendala
dalam pembentukan karakter siswa ?
Bagaimana cara bapak/ ibu memanfaatkan teknologi
informasi dan komunikasi untuk mengintegrasikan
pengetahuan etno-linguistik?
a. Teknologi informasi dan komunikasi seperti
apa yang dapat di gunakan dalam
pengintegrasian pengetahuan etnolinguistik
?
b. Apa saja Kendala yang bapak/ibu temukan
dalam memanfaatkan teknologi informasi
6. dan komunikasi untuk mengintegrasikan
pengetahuan etnolinguistik?
c. Bagaimana cara bapak/ibu mengatasi
kendala dalam memanfaatkan teknologi
informasi dan komunikasi untuk
mengintegrasikan pengetahuan
etnolinguistik ?
d. Bagaimana pengaruh penggunaan teknologi
informasi dan komunikasi terhadap
keberhasilan pembelajaran etnolinguistik ?
87

Lampiran 3. Instrumen Analisis Dokumentasi

No Pernyataan Skala likert


T MT BT TT
1 Memuat identitas dalam RPP yaitu nama sekolah,
mata pelajaran atau tema/subtema, kelas/semester,
materi pembelajaran, alokasi waktu.
2 Memuat Kompetensi Inti (KI-1, KI-2, KI-3, dan
KI4) yang sesuai dengan buku guru dan silabus.
3 Memuat KD pada setiap Kompetensi Inti (KI-1,
KI2, KI-3, dan KI-4) yang sesuai dengan buku guru
dan silabus.
4 Memuat Indikator dari KI-1, KI-2, KI-3, KI-4
5 Kesesuaian perumusan indikator yang ingin dicapai
dengan KD (KD-1, KD-2, KD-3, dan KD-4).
6 Indikator menggunakan kata kerja operasional
7 Kesesuaian materi ajar pada RPP dengan buku
guru, buku siswa dan silabus
8 Termuat paparan materi pembelajaran dari materi
pokok
9 Kesesuaian materi ajar dengan indikator
pembelajaran yang menunjang pencapaian indikator
10 Tergambarkan secara jelas pada kegiatan
pendahuluan, a) salam dan doa, b) apersepsi, c)
mengondisikan suasana belajar yang
menyenangkan, d) keterkaitan materi sebelumnya
dengan materi selanjutnya, e) menyampaikan
kompetensi yang akan dicapai, f) menyampaikan
garis besar materi, g) menyampaiakan lingkup dan
teknik penilaian ada RPP
11 Mengintegrasikan etnolinguistik pada kegiatan
pendahuluan
12 Tergambarkan secara jelas pada kegiatan inti yang
menggambarkan kegiatan santifik (mengamati,
menanya, mencoba, menalar, dan
mengomunikasikan)
13 Mencantumkan etnolinguistik pada kegiatan inti
14 Tergambarkan secara jelas pada kegiatan penutup
yang menggambarkan a) membuat
rangkuman/simpulan pembelajaran, b) melakukan
refleksi terhadap kegiatan yang sudah dilaksanakan,
c) memberikan umpan balik terhadap proses dan
hasil pembelajaran, d) merencanakan tindak lanjut
dalam bentuk remedial, pengayaan, e)
menyampaikan materi yang akan dipelajari pada
pertemuan berikutnya, dan f) salam dan doa untuk
mengakhiri pelajaran
15 Mengintegrasikan kegiatan penutup dengan ilmu
etnolinguistik
16 Kesesuaian penilaian yang disusun pada RPP
dengan silabus
17 Termuat secara jelas penilaian autentik yang
mencangkup KI-1 (sikap spiritual), KI-2 (siakap
sosial), KI-3 (pengetahuan), KI-4 (keterampilan)
18 Setiap penilaian yang tercantum dalam RPP
dikaitkan dengan pembelajaran berbasis
88

No Pernyataan Skala likert


T MT BT TT
etnolinguistik
19 Tergambar pembelajaran yang berbasis
etnolinguistik di kelas
20 Guru memberikan penilaian yang berkaitan dengan
etnolinguistik
21 Termuat kesesuaian sumber belajar pada RPP
dengan silabus
22 Sumber belajar dan media yang tercantum dalam
RPP menunjang ketercapaian indikator
pembelajaran

T : Terlaksana Diberi skor 4

MT : Mulai Terlaksana Diberi skor 3

BT : Belum Terlaksana Diberi skor 2

TT : Tidak Terlaksana Diberi skor 1


89

Lampiran 4. Dokumentasi Wawancara di SD Negeri No. 51/I Simpang Kubu


Kandang

Wawancara guru kelas 1 Wawancara guru kelas 2

Wawancara guru kelas 3 Wawancara guru kelas 4

Wawancara Guru Kelas 5 Wawancara guru kelas 6


90

Lampiran 5. Dokumentasi Wawancara di SD Negeri No. 82/I Serasah

Wawancara guru kelas 1 Wawancara Guru kelas 2

Wawancara guru kelas 3 Pengisian angket guru kelas 4

Wawancara guru kelas 5 Wawancara guru kelas 6


91

Lampiran 6. Dokumentasi Wawancara di SD Negeri No. 180/I Ture

Wawancara guru kelas 1 Wawancara guru kelas 2

Pengisian angket guru kelas 4 Wawancara guru kelas 5

Wawancara guru kelas 6


92

Lampiran 7. Dokumen RPP Guru Kelas di SD Negeri No. 51/I Simp. Kubu
Kandang

Dokumen RPP Guru Kelas 2


93

Lampiran 8. Dokumen RPP Guru Kelas di SD Negeri No. 82/I Serasah

Dokumen RPP Guru Kelas 1


94

Dokumen RPP Guru Kelas II


95

Dokumen RPP Guru Kelas II


96

Dokumen RPP Guru Kelas VI


97

Lampiran 9. Dokumen RPP Guru Kelas di SD Negeri No. 180/I Ture


98

Dokumen RPP Guru Kelas I


99
100

Dokumen RPP Guru Kelas II


101

Dokumen RPP Guru Kelas IV


102

Dokumen RPP Guru Kelas V


103

Dokumen RPP Guru Kelas VI

Anda mungkin juga menyukai