Anda di halaman 1dari 151

RUMOH ADAT ACEH(WILAYAH UTARA-TIMUR)

Dosen pembimbing :

Nasrullah Ridwan, S.T., MT

Di susun oleh :

Kelompok B

UNIVERSITAS SYIAH KUALA

FAKULTAS TEKNIK

PROGRAM STUDI ARSITEKTUR


Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ilmiah tentang limbah dan manfaatnya untuk masyarakat.

Makalah ilmiah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan
bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah
ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang
telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena
itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca
agar kami dapat memperbaiki makalah ilmiah ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah ilmiah tentang limbah dan
manfaatnya untuk masyarakan ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi
terhadap pembaca.

Banda aceh,13 juni 2019

kelompok B

DOSEN PEMBIMBING
Nasrullah Ridwan, S.T., MT

Nasrullah Ridwan lahir di Kabupaten Aceh Barat Daya di Provinsi Aceh pada
19 Mei 1968. Menyelesaikan gelar Sarjana di Jurusan Arsitektur Institut
Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya pada tahun 1996, dan kemudian
menyelesaikan Program Magister Teknik di Jurusan Arsitektur Fakultas Arsitektur
Teknik, Universitas Sumatera Utara pada Program Studi Manajemen
Pengembangan Kota. Pada tahun 1999 ia diterima sebagai dosen di Departemen
Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Syiah Kuala dan secara resmi ditunjuk
sebagai Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Universitas Syiah Kuala pada tahun
2000 dan aktif hingga saat ini.
ANGGOTA KELOMPOK

AINIL HUSNA MULKAN AZIZI


1704104010031 1704104010009

CUT SARAH FADHILA MUHAMMAD FARIS DARFIA


1704104010022 17041040100
DIRA KUNTUM CHAIRA EGA JULIANSYAH

17041040100 17041040100

HAZDRIAN RIZKI FARIZLY IWA WAHYU PUTRA

1704104010057 17041040100
KHAIRUNNISAK LUFTI AMINAH
1704104010070 1704104010021

NAZARUL IKRAM NURIZHA PUTRI

1704104010060 17041040100
RIDHA MAULANA RIFAK SAKINAH

1704104010081 1704104010053

SHERINA MEVIANSHA SHYNTA RAUDHAH RAZIQQAH


1704104010044 1704104010051
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ........................................................................................................

Keterangan Kelompok .............................................................................................

BAB I Latar Belakang ............................................................................................

Deskripsi tentang Aceh ...........................................................................................

Geografis .................................................................................................................

Iklim ........................................................................................................................

Sejarah .....................................................................................................................

Politik ......................................................................................................................

Demografi ...............................................................................................................

Rumah tradisional ...................................................................................................

BAB II Pembahasan ................................................................................................

Aceh Besar ..............................................................................................................

Pidie ........................................................................................................................

Pidie Jaya ................................................................................................................

Bireun ......................................................................................................................

Lhoksemawe dan Aceh Utara .................................................................................

Aceh Timur dan Langsa ..........................................................................................

Aceh Tamiang .........................................................................................................

Aceh Tengah dan Benar Meriah .............................................................................

BAB III Penutup .....................................................................................................

Kesimpulan .............................................................................................................
Bab I Latar Belakang

DESKRISI TENTANG ACEH

Aceh adalah sebuah provinsi di Indonesia yang beribu kota Banda Aceh.
Aceh merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang diberi status sebagai daerah
istimewa dan juga diberi kewenangan otonomi khusus. Aceh terletak di ujung
utara pulau Sumatra dan merupakan provinsi paling barat di Indonesia. Jumlah
penduduk provinsi ini sekitar 4.500.000 jiwa. Letaknya dekat dengan Kepulauan
Andaman dan Nikobar di India dan terpisahkan oleh Laut Andaman. Aceh
berbatasan dengan Teluk Benggala di sebelah utara, Samudra Hindia di sebelah
barat, Selat Malaka di sebelah timur, dan Sumatra Utara di sebelah tenggara dan
selatan.

Aceh dianggap sebagai tempat dimulainya penyebaran Islam di Indonesia dan


memainkan peran penting dalam penyebaran Islam di Asia Tenggara. Pada awal
abad ke-17, Kesultanan Aceh adalah negara terkaya, terkuat, dan termakmur di
kawasan Selat Malaka. Sejarah Aceh diwarnai oleh kebebasan politik dan
penolakan keras terhadap kendali orang asing, termasuk bekas
penjajah Belanda dan pemerintah Indonesia. Jika dibandingkan dengan dengan
provinsi lainnya, Aceh adalah wilayah yang sangat konservatif (menjunjung tinggi
nilai agama). Persentase penduduk Muslimnya adalah yang tertinggi di Indonesia
dan mereka hidup sesuai syariah Islam. Berbeda dengan kebanyakan provinsi lain
di Indonesia, Aceh memiliki otonomi yang diatur tersendiri karena alasan sejarah.

Aceh memiliki sumber daya alam yang melimpah, termasuk minyak


bumi dan gas alam. Sejumlah analis memperkirakan cadangan gas alam Aceh
adalah yang terbesar di dunia. Aceh juga terkenal dengan hutannya yang terletak
di sepanjang jajaran Bukit Barisan dari Kutacane di Aceh Tenggara sampai Ulu
Masen di Aceh Jaya. Sebuah taman nasional bernama Taman Nasional Gunung
Leuser (TNGL) didirikan di Aceh Tenggara.
Aceh adalah daratan yang paling dekat dengan episentrum gempa bumi Samudra
Hindia 2004. Setelah gempa, gelombang tsunami menerjang sebagian besar
pesisir barat provinsi ini. Sekitar 170.000 orang tewas atau hilang akibat bencana
tersebut. Bencana ini juga mendorong terciptanya perjanjian damai antara
pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
GEOGRAFI

Aceh menempati wilayah ujung paling barat di pulau Sumatra dan Negara
Indonesia, di mana titik terluar Negara Kesatuan Republik Indonesia terletak
di Pulau Rondo, sementara itu kilometer Nol Indonesia berada di pulau Weh.
Secara geografis Aceh terletak antara 2° - 6° lintang utara dan 95° – 98° lintang
selatan dengan ketinggian rata-rata 125 meter diatas permukaan laut. Batas batas
wilayah Aceh, sebelah utara dan timur berbatasan dengan Selat Malaka, sebelah
selatan adalah satu-satunya perbatasan darat dengan Sumatra Utara dan sebelah
barat dengan Samudra Hindia.

Luas Aceh 5.677.081 ha, dengan hutan sebagai lahan terluas yang mencapai
2.290.874 ha, diikuti lahan perkebunan rakyat seluas 800.553 ha. Sedangkan lahan
industri mempunyai luas terkecil yaitu 3.928 ha. Cakupan wilayah Aceh terdiri
dari 119 pulau, 35 gunung dan 73 sungai utama.
IKLIM

Sebagai daerah yang berada tidak jauh dari garis khatulistiwa, iklim di Aceh
hampir seluruhnya tropis. Pada wilayah pesisir pantai suhu udara rata-rata
26,9 °C, suhu udara maksimum mencapai 32,5 °C dan minimum 22,9 °C.
Kelembaban relatif daerah ini berkisar antara 70 dan 80 persen. Antara bulan
Maret sampai Agustus Aceh mengalami fase musim kemarau, kondisi ini
dipengaruhi oleh massa udara benua Australia. Sementara musim hujan
berlangsung antara bulan September hingga Februari yang dihasilkan dari massa
udara daratan Asia dan Samudra Pasifik. Aceh memiliki curah hujan yang
bervariasi berkisar antara 1.500-2.500 mm per tahun.

SEJARAH

Daerah Aceh yang terletak di bagian paling Barat gugusan kepulauan


Nusantara, menduduki posisi strategis sebagai pintu gerbang lalu lintas perniagaan
dan kebudayaan yang menghubungkan Timur dan Barat sejak berabad-abad
lampau. Aceh sering disebut-sebut sebagai tempat persinggahan para pedagang
Cina, Eropa, India dan Arab, sehingga menjadikan daerah Aceh pertama
masuknya budaya dan agama di Nusantara. Pada abad ke-7 para pedagang India
memperkenalkan agama Hindu dan Budha. Namun peran Aceh menonjol sejalan
dengan masuk dan berkembangnya agama islam di daerah ini, yang diperkenalkan
oleh pedagang Gujarat dari jajaran Arab menjelang abad ke-9.

Menurut catatan sejarah, Aceh adalah tempat pertama masuknya agama Islam
di Indonesia dan sebagai tempat timbulnya kerajaan Islam pertama di Indonesia,
yaitu Peureulak dan Pasai. Kerajaan yang dibangun oleh Sultan Ali Mughayatsyah
dengan ibukotanya di Bandar Aceh Darussalam (Banda Aceh sekarang) lambat
laun bertambah luas wilayahnya yang meliputi sebagaian besar pantai Barat dan
Timur Sumatra hingga ke Semenanjung Malaka. Kehadiran daerah ini semakin
bertambah kokoh dengan terbentuknya Kesultanan Aceh yang mempersatukan
seluruh kerajaan-kerajaan kecil yang terdapat di daerah itu. Dengan demikian
Kesultanan Aceh mencapai puncak kejayaannya pada permulaan abad ke-17,
pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Pada masa itu pengaruh agama
dan kebudayaan Islam begitu besar dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Aceh,
sehingga daerah ini mendapat julukan “ Seuramo Mekkah” (Serambi Mekkah).
Keadaan ini tidak berlangsung lama, karena sepeninggal Sultan Iskandar Muda
para penggantinya tidak mampu mempertahankan kebesaran kerajaan tersebut.
Sehingga kedudukan daerah ini sebagai salah satu kerajaan besar di Asia Tenggara
melemah. Hal ini menyebabkan wibawa kerajaan semakin merosot dan mulai
dimasuki pengaruh dari luar.

Kesultanan Aceh menjadi incaran bangsa Barat yang ditandai dengan


penandatanganan Traktat London dan Traktat Sumatera antara Inggris dan
Belanda mengenai pengaturan kepentingan mereka di Sumatera. Sikap bangsa
Barat untuk menguasai wilayah Aceh menjadi kenyataan pada tanggal 26 Maret
1873, ketika Belanda menyatakan perang kepada Sultan Aceh. Tantangan yang
disebut ‘Perang Sabi’ ini berlangsung selama 30 tahun dengan menelan jiwa yang
cukup besar tersebut memaksa Sultan Aceh terakhir, Twk. Muhd. Daud untuk
mengakui kedaulatan Belanda di tanah Aceh. Dengan pengakuan kedaulatan
tersebut, daerah Aceh secara resmi dimasukkan secara administratif ke dalam
Hindia Timur Belanda (Nederlansch Oost-Indie) dalam bentuk propinsi yang
sejak tahun 1937 berubah menjadi karesidenan hingga kekuasaan kolonial
Belanda di Indonesia berakhir. Pemberontakan melawan penjajahan Belanda
masih saja berlangsung sampai ke pelosok- pelosok Aceh.

Kemudian peperangan beralih melawan Jepang yang datang pada tahun 1942.
Peperangan ini berakhir dengan menyerahnya Jepang kepada Sekutu pada tahun
1945. Dalam jaman perang kemerdekaan, sumbangan dan keikutsertaan rakyat
Aceh dalam perjuangan sangatlah besar, sehingga Presiden Pertama Republik
Indonesia, Ir. Sukarno memberikan julukan sebagai “Daerah Modal” pada daerah
Aceh. Sejak bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaan pada tanggal 17
Agustus 1945 sebagai bangsa dan negara yang merdeka dan berdaulat,

Aceh merupakan salah satu daerah atau bagian dari negara Republik
Indonesia sebagai sebuah karesidenan dari Propinsi Sumatera. Bersamaan dengan
pembentukan keresidenan Aceh, berdasarkan Surat Ketetapan Gubernur Sumatera
Utara Nomor 1/X tanggal 3 Oktober 1945 diangkat Teuku Nyak Arief sebagai
Residen. Kedudukan daerah Aceh sebagai bagian dari wilayah Negara Republik
Indonesia telah beberapa kali mengalami perubahan status.Pada masa revolusi
kemerdekaan, Keresidenan Aceh pada awal tahun 1947 berada di bawah daerah
administratif Sumatera Utara. Sehubungan dengan adanya agresi militer Belanda
terhadap Republik Indonesia, Keresidenan Aceh, Langkat dan Tanah Karo
ditetapkan menjadi Daerah militer yang berkedudukan di Kutaradja (Banda Aceh
sekarang) dengan Gubernur Militer Teungku Muhammad Daud Beureueh.

Walaupun pada saat itu telah dibentuk Daerah Militer namun keresidenan
masih tetap dipertahankan. Selanjutnya pada tanggal 5 April 1948 ditetapkan
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1948 yang membagi Sumatera menjadi 3
Propinsi Otonom, yaitu : Sumatera Utara, Sumatera Tengah dan Sumatera Selatan.
Propinsi Sumatera Utara meliputi keresidenan Aceh, Sumatera Timur dan
Tapanuli Selatan, dengan pimpinan Gubernur Mr. S.M. Amin. Dalam menghadapi
agresi militer kedua yang dilancarkan Belanda untuk menguasai Negara Republik
Indonesia, Pemerintah bermaksud untuk memperkuat pertahanan dan keamanan
dengan mengeluarkan Ketetapan Pemerintah Darurat Republik Indonesia Nomor
21/Pem/PDRI tanggal 16 Mei 1949 yang memusatkan kekuatan Sipil dan Militer
kepada Gubernur Militer.

Pada akhir tahun 1949 Keresidenan Aceh dikeluarkan dari Propinsi Sumatera
Utara dan selanjutnya ditingkatkan statusnya menjadi Propinsi Aceh. Teungku
Muhammad Daud Beureueh yang sebelumnya sebagai Gubernur Militer Aceh,
Langkat dan Tanah Karo diangkat menjadi Gubernur Propinsi Aceh. beberapa
waktu kemudian, berdasarkan Peraturan pemerintah pengganti Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1950 propinsi Aceh kembali menjadi Keresidenan sebagaimana
halnya pada awal kemerdekaan. Perubahan status ini menimbulkan gejolak politik
yang menyebabkan terganggunya stabilitas keamanan, ketertiban dan ketentraman
masyarakat. Keinginan pemimpin dan rakyat Aceh ditanggapi oleh Pemerintah
sehingga dikeluarkan Undang-undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang
pembentukan kembali propinsi Aceh yang meliputi seluruh wilayah bekas
keresidenan Aceh.
Dengan dikeluarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957, status Propinsi
Aceh menjadi Daerah Swatantra Tingkat I dan pada tanggal 27 Januari 1957 A.
Hasjmy dilantik sebagai Gubernur Propinsi Aceh. Namun gejolak politik di Aceh
belum seluruhnya berakhir. Untuk menjaga stabilitas Nasional demi persatuan dan
kesatuan bangsa, melalui misi Perdana Menteri Hardi yang dikenal dengan nama
MISSI HARDI tahun 1959 dilakukan pembicaraan yang berhubungan dengan
gejolak politik, pemerintahan dan pembangunan daerah Aceh. Hasil misi tersebut
ditindak lanjuti dengan keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia Nomor
1/MISSI/1959. Maka sejak tanggal 26 Mei 1959 Daerah Swatantra Tingkat I atau
Propinsi Aceh diberi status “Daerah Istimewa” dengan sebutan lengkap Propinsi
Daerah Istimewa Aceh. Dengan predikat tersebut, Aceh memiliki hak-hak
otonomi yang luas dalam bidang agama, adat dan pendidikan. status ini
dikukuhkan dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965.

Berbagai kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintah pada masa lalu yang


menitik beratkan pada sistem yang terpusat dipandang sebagai sumber bagi
munculnya ketidakadilan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kondisi yang
demikian ini memunculkan pergolakan. Hal ini ditanggapi oleh pemerintah pusat
dengan pemberian Otonomi Khusus dengan disahkannya Undang-Undang no. 18
tahun 2002 dan Propinsi Daerah Istimewa Aceh berubah menjadi Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam. Kemudian berdasarkan Peraturan Gubernur Aceh
Nomor 46 Tahun 2009 tentang Penggunaan Sebutan Nama Aceh dan Gelar
Pejabat Pemerintahan alam Tata Naskah Dinas di Lingkungan Pemerintah Aceh
tertanggal 7 April 2009, ditegaskan bahwa sebutan Daerah Otonom, Pemerintahan
Daerah, Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,
Nomenklatur dan Papan Nama Satuan Kerja Pemerintah Aceh (SKPA), Titelatur
Penandatangan, Stempel Jabatan dan Stempel Instansi dalam Tata Naskah Dinas
di lingkungan Pemerintah Aceh, diubah dan diseragamkan dari
sebutan/nomenklatur "Nanggroe Aceh Darussalam" ("NAD") menjadi
sebutan/nomenklatur " Aceh ". Ini dilakukan sambil menunggu ketentuan dalam
Pasal 251 UU Pemerintahan Aceh yang menyatakan bahwa nama Aceh sebagai
provinsi dalam sistem NKRI, akan ditentukan oleh DPRA hasil Pemilu 2009
POLITIK

Sistem pemerintahan yang berlaku di Aceh saat ini ada 2, yaitu Sistem
Pemerintahan Lokal Aceh dan Sistem Pemerintahan Indonesia. Berdasarkan
penjenjangan, perbedaan yang tampak adalah adanya Pemerintahan Mukim di
antara kecamatan dan gampong.

Aceh Sebagai Daerah Istimewa

Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh meliputi:

a.penyelenggaraan kehidupan beragama

b.penyelenggaraan kehidupan adat;

c.penyelenggaraan pendidikan; dan

d.peran ulama dalam penetapan kebijakan Daerah.

Aceh Sebagai Daerah Khusus

Berdasarkan Undang-undang Pemerintahan Aceh (UU-PA), Sebagai daerah


Khusus, saat ini sudah memiliki 26 Kewenangan Khusus. Dengan demikian,
otonomi seluas-luasnya pada dasarnya bukanlah sekadar hak, tetapi lebih dari itu
yaitu merupakan kewajiban konstitusional untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya
bagi kesejahteraan di Aceh.

DEMOGRAFI
ETNIS BANGSA

Aceh memiliki 13 etnis bangsa asli. Yang terbesar adalah etnis Aceh yang
mendiami wilayah pesisir mulai dari Langsa di pesisir timur utara sampai
dengan Trumon di pesisir barat selatan. Etnis lain nya adalah etnis Gayo, (Gayo
Lut, Gayo Luwes, Gayo Serbejadi) yang mendiami wilayah pegunungan di tengah
Aceh. Selain itu juga dijumpai etnis-etnis lainnya seperti, etnis Jamèë di Aceh
Selatan, etnis Singkil dan etnis Pakpak di Subulussalam, Singkil dan etnis
Alas di Aceh Tenggara, etnis Kluet di Aceh Selatandan etnis
Tamiang di Aceh Tamiang, dan di Pulau Simeulue terdapat etnis Sigulai.
Etnis yang ada di Aceh, yaitu

Aceh 70,65%
Jawa 8,94%
Gayo 7,22%
Batak 3,29%
Alas 2,13%
Simeulue 1,49%
Aneuk Jamee 1,40%

Tamiang 1,11%
Singkil 1,04%
Minangkabau 0,74%

BAHASA

Bahasa yang paling banyak dipakai di Aceh adalah Aceh . Bahasa lain nya
adalah Bahasa Gayo di Aceh bagian tengah, Bahasa Alas di Aceh
Tenggara, Bahasa Aneuk Jamee di Aceh Selatan, Bahasa
Singkil dan Bahasa Pakpak di Aceh Singkil, Bahasa Kluet di Aceh
Selatan, Bahasa Melayu Tamiang di Aceh Tamiang, Di Simeulue bagian utara
dijumpai Bahasa Sigulai dan Bahasa Lekon, sedangkan di selatan simeulue di
jumpai Bahasa Devayan, Bahasa Haloban.

AGAMA

Sebagian besar penduduk Aceh menganut agama Islam. Dari ke 13 etnis asli
yang ada di Aceh hanya etnis Nias yang tidak semuanya memeluk agama Islam.

Agama lain yang dianut oleh penduduk Aceh adalah agama Kristen yang
dianut oleh pendatang beretnis Batak dan sebagian warga
keturunan Tionghoa yang kebanyakan beretnis Hakka. Sedangkan sebagian
lainnya tetap menganut agama Konghucu.

Agama yang di aceh


Islam 98,19%
Kristen Protestan 1.12%

Katolik 0,07%
Buddha 0,16%
Hindu 0,003%
Konghucu 0,0008%
lain-lain (0,006%

GPIB di banda Aceh Vihara Dharma Bhakti di Banda Aceh

gereja katolik hati kudus banda Aceh kuil hindu palani Andawar di Banda
Aceh

SENI DAN BUDAYA

Aceh merupakan kawasan yang sangat kaya dengan seni budaya lazimnya
wilayah Indonesia lainnya. Aceh mempunyai aneka seni budaya yang khas seperti
tari-tarian, dan budaya lainnya
Sastra aceh yang terkenal antara lain:

 Bustanus Salatin
 Hikayat Prang Sabi
 Hikayat Malem Diwa
 Hikayat Raja-raja Pasai
 Legenda Amat Rhang Manyang
 Legenda Putroe Neng
 Legenda Magasang dan Magaseueng

SENJATA TRADISIONAL

Rencong adalah senjata tradisional bangsa Aceh, bentuknya menyerupai huruf


L, dan bila dilihat lebih dekat bentuknya merupakan kaligrafi tulisan bismillah.
Rencong termasuk dalam kategori belati.

Selain rencong, bangsa Aceh juga memiliki beberapa senjata khas lainnya,
seperti sikin panyang, peurise awe, peurise teumaga, siwah, geuliwang
dan peudeueng.
RUMAH TRADISIONAL

Rumah tradisonal Aceh dinamakan Rumoh Aceh. Rumah ini bertipe rumah
panggung dengan 3 bagian utama dan 1 bagian tambahan. Tiga bagian utama dari
rumah Aceh yaitu seuramoë keuë (serambi depan), seuramoë teungoh (serambi
tengah) dan seuramoë likôt (serambi belakang). Sedangkan 1 bagian tambahannya
yaitu rumoh dapu (rumah dapur).

Rumah adat aceh

TARIAN

Aceh yang memiliki setidaknya 10 etnis, memiliki kekayaan tari-tarian yang


sangat banyak dan juga sangat mengagumkan. Beberapa tarian yang terkenal di
tingkat nasional dan bahkan dunia merupakan tarian yang berasal dari Aceh,
seperti Tari Rateb Meuseukat dan Tari Saman.

Tari seudati di samalanga tahun 1997

Tari saman dari gayo lues


POTENSI BENCANA DI ACEH

Provinsi Aceh memiliki 11 potensi bencana yang diketahui berdasarkan


catatan sejarah kejadian bencana dari Data dan Informasi Bencana Indonesia
(DIBI). potensi bencana keseluruhan untuk Provinsi Aceh dapat dilihat pada tabel
berikut

Bab II Pembahasan

KABUPATEN ACEH BESAR

Kabupaten Aceh Besar (Bahasa Aceh: Acèh


Rayek; Jawi, ‫راييك‬ ‫)اچيه‬ adalah salah satu
kabupaten di Provinsi Aceh, Indonesia. Sebelum
dimekarkan pada akhir tahun 1970-an, ibu kota
Kabupaten Aceh Besar adalah Kota Banda
Aceh. Setelah Kota Banda Aceh berpisah
menjadi kotamadya tersendiri, ibu kota
kabupaten dipindahkan ke Jantho di Pegunungan Seulawah. Kabupaten
Aceh Besar juga merupakan tempat kelahiran pahlawan nasional Cut
Nyak Dhien yang berasal dari Lampadang.

SEJARAH

Pada waktu Aceh masih sebagai sebuah kerajaan, yang dimaksud


dengan Aceh atau Kerajaan. Aceh adalah wilayah yang sekarang
dikenal dengan nama Kabupaten Aceh Besar ditambah dengan
beberapa kenegerian/ daerah yang telah menjadi bagian dari
Kabupaten Pidie. Selain itu, juga termasuk Pulau
Weh ( sekarang telah menjadi pemerintah kota Sabang),
sebagian wilayah pemerintah kota Banda Aceh, dan beberapa
kenegerian/ daerah dari wilayah Kabupaten Aceh Barat. Aceh
Besar dalam istilah Aceh disebut Aceh Rayeuk. Penyebutan
Aceh Rayeuk sebagai Aceh yang sebenarnya karena daerah
inilah yang pada mulanya menjadi inti Kerajaan Aceh dan
juga karena di situlah terletak ibu kota kerjaaan yang
bernama Bandar Aceh atau Bandar Aceh Darussalam. Untuk
nama Aceh Rayeuk ada juga yang menamakan dengan
sebutan Aceh Lhee Sagoe ( Aceh Tiga Sagi). Sebelum
dikeluarkannya Undang- Undang Darurat Nomor 7 Tahun
1956,

Kabupaten Aceh Besar merupakan daerah yang terdiri dari tiga


kawedanan, yaitu Kawedanan Seulimum, Kawedanan Lhoknga dan
Kawedanan Sabang. Akhirnya dengan perjuangan yang panjang
Kabupaten Aceh besar disahkan menjadi daerah otonom melalui
Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1956 dengan ibu kotanya pada waktu
itu adalah Banda Aceh dan juga merupakan wilayah hukum Kotamadya
Banda Aceh.

Sehubungan dengan tuntutan dan perkembangan daerah


yang semakin maju dan berwawasan luas, Kota Banda Aceh
sebagai ibu kota dianggap kurang efisien lagi, baik untuk
masa kini maupun untuk masa yang akan datang. Usaha
pemindahan ibu kota tersebut dari Kota Banda Aceh mulai
dirintis sejak tahun 1969, lokasi awalnya dipilih Kecamatan

Indrapuri yang jaraknya 25 km dari Kota Banda Aceh. Usaha


pemindahan tersebut belum berhasil dan belum dapat dilaksanakan
sebagaimana diharapkan.

Kemudian pada tahun 1976 usaha perintisan pemindahan ibu kota untuk
kedua kalinya mulai dilaksanakan lagi dengan memilih lokasi yang lain yaitu di
Kecamatan Seulimeum tepatnya di kemukiman Janthoi yang jaraknya sekitar 52
km dari Kota Banda Aceh.

Akhirnya usaha yang terakhir ini berhasil dengan ditandai dengan keluarnya
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 1976 tentang
Pemindahan Ibu kota Kabupaten Daerah Tingkat II Aceh Besar dari wilayah
Kotamadya Daerah Tingkat II Banda Aceh ke kemukiman Janthoi di Kecamatan
Seulimeum, Wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Aceh Besar, berdasarkan hasil
penelitian yang dilakukan oleh tim Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia
dan Pemerintah Daerah yang bekerjasama dengan Konsultan PT. Markam Jaya
yang ditinjau dari segala aspek dapat disimpulkan bahwa yang dianggap
memenuhi syarat sebagai ibu kota Kabupaten Daerah Tingkat II Aceh Besar
adalah Kemukiman Janthoi dengan nama Kota Jantho.

Setelah ditetapkan Kota Jantho sebagai ibu kota Kabupaten Daerah Tingkat II
Aceh Besar yang baru, maka secara bertahap pemindahan ibu kota terus dimulai,
dan akhirnya secara serentak seluruh aktivitas perkantoran resmi dipindahkan dari
Banda Aceh ke Kota Jantho pada tanggal 29 Agustus 1983, dan peresmiannya
dilakukan oleh Bapak Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia pada masa itu,
yaitu Bapak Soepardjo Rustam pada tanggal 3 Mei 1984.

Di Kota Jantho hanya terdapat kompleks perumahan dan kantor-kantor


pemerintahan, tidak ada losmen ataupun hotel. Kota Jantho dihubungkan dengan
labi-labi dengan jarak 60 km dari Banda Aceh, 28 km menuju Saree, dan 12 km
menuju jalan utama Banda Aceh - Medan.
GEOGRAFI

Wilayah darat Aceh Besar berbatasan dengan Kota Banda Aceh di sisi utara,
Kabupaten Aceh Jaya di sebelah barat daya, serta Kabupaten Pidie di sisi selatan
dan tenggara.

Aceh Besar juga mempunyai wilayah kepulauan yaitu wilayah Kecamatan Pulo
Aceh. Kabupaten Aceh Besar bagian kepulauan di sisi barat, timur dan utaranya
dibatasi dengan Samudera Indonesia, Selat Malaka, dan Teluk Benggala, yang
memisahkannya dengan Pulau Weh, tempat di mana Kota Sabang berada. Pulau-
pulau utamanya adalah Pulau Breueh dan Pulau Nasi.

Secara geografis sebagian besar wilayah Kabupaten Aceh Besar berada pada hulu
aliran Sungai Krueng Aceh. Saat ini kondisi tutupan lahan adalah 62,5% (menurut
data citra landsat tahun 2007). Bandar Udara Internasional Sultan Iskandar Muda
yang merupakan bandara internasional dan menjadi salah satu pintu gerbang untuk
masuk ke Provinsi Aceh berada di wilayah kabupaten ini. Pulau Benggala yang
merupakan pulau paling barat dalam wilayah Republik Indonesia merupakan
bagian dari Kabupaten Aceh Besar.
RUMAH ADAT ACEH BESAR

Rumah adat Aceh Besar ini berbentuk panggung seperti rumah


Adat Aceh lainnya. Mengapa demikian? Agar rumah tidak terkena
banjir dan penghuni rumah aman dari ancaman binatang buas.

Maka, diperlukan tangga untuk memasuki rumah. Uniknya, tangga


rumah adat aceh berjumlah ganjil.
PINTU DAN JENDELA

Pintu dan Jendela pada Rumah Adat Aceh besar menggunakan material kayu.
Dengan pintu yang bermotif bunga dan jendela ayun biasa yang memiliki lubang-
lubang untuk mengalirkan udara ke dalam ruangan rumah.
DINDING, TIANG, DAN ATAP

Dinding pada rumah Adat Aceh Besar dipenuhi dengan ukiran-ukiran yang
bermotif bunga. Hal itu juga dapat ditemukan pada tiang-tiang rumah tersebut.
Dan pada bagian atap terdapat ventilasi/lubang angin yang berfungsi untuk
menyejukkan ruangan pada rumah tersebut.

JEUNGKI
Jeungki merupakan alat penumbuk padi yang banyak dijumpai pada rumah
adat Aceh. Jeungki terdiri dari tiga bagian yaitu Jeungki, Pha Jeungki, dan Bruek
Leusong Batee. Masyarakat Aceh membuat Jeungki dari pohon kayu mene yang
dibuat dengan bagus dan penuh dengan seni. Panjang Jeungki 2,5 meter dengan di
ujungnya dibuat alu, biasanya untuk alu kayu yang lebih lunak diujungnya dibuat
lesung juga dari pohon kayu mane atau kayu lainnya. Dulunya, tiap rumah
memiliki Jeungki, karena dengan Jeungki proses penumbukan gabah (padi) lebih
murni. Lebih-lebih kalau mendekati hari lebaran, banyak ibu rumah tangga di
daerah pedesaan, mulai melakukan kegiatan menumbuk tepung (top teupong)
sebagai bahan baku berbagai jenis kue persiapan dalam menyambut tamu lebaran
yang datang ke rumahnya. Kebiasaan wanita desa ramai-ramai melakukan top
teupong sebagai menu kue persiapan menyambut hari lebaran, dalam sebuah
jeungki ada empat-sampai lima wanita bekerja secara saling membantu. Bagi para
gadis berdiri menginjak di ujung jeungki, sementara ibu rumah tangga duduk di
pinggir lesung menjaga tepung sambil menghaliskan (hayak). Dengan adanya
Jeungki juga menjadi budaya saling membantu atau bekerjasama ibu rumahtangga
dalam segala hal. Namun, selama langkanya Jeungki bagi wanita desa mulai
renggang pula keakraban dan kebersamaan di dalam gampong.

KABUPATEN PIDIE
Pidie adalah salah satu kabupaten di provinsi Aceh, Indonesia. Pusat
pemerintahan kabupaten ini berada di Sigli, kabupaten ini merupakan kabupaten
dengan jumlah penduduk terbesar ke 2 di provinsi aceh setelah kabupaten aceh
utara. Dua pertiga masyarakat kabupaten ini ada di perantauan, buat masyarakat
wilayah ini merantau adalah sebuah kebiasaan yang turun temurun untuk melatih
kemandirian dan keterampilan. Masyarakat wilayah ini mendominasi pasar-pasar
di berbagai wilayah di provinsi Aceh dan sebagian ke provinsi sumatera utara dan
negara tetangga malaysia. Selain itu, wilayah ini juga terkenal sebagai daerah asal
tokoh-tokoh terkenal Aceh.

SEJARAH
Pidie sebelumnya adalah kerajaan Pedir yang berbeda dengan Aceh,
sehingga sampai sekarang Pidie tidak disebut sebagai Aceh Pidie, melainkan
kabupaten Pidie saja. Ketika terjadi konfrontasi dengan Portugal, maka kerajaan
Pedir menggabungkan diri dengan Kerajaan Aceh untuk melawan Penjajah
Portugis. Daerah ini merupakan tempat cikal bakal lahirnya Gerakan Aceh
Merdeka atau Hasan Tiro yang bermukim di Swedia. Namun anehnya, pergolakan
justru paling banyak terjadi di kawasan tetangganya dibanding Pidie sendiri.

GEOGRAFIS
BATAS WILAYAH

Sebelah utara berbatasan dengan Selat Malaka

Sebelah selatan berbatasan dengan kabupaten Aceh Jaya

Sebelah timur berbatasan dengan Pidie Jaya

Sebelah barat berbatasan dengan Aceh Besar

IKLIM

 Tinggi /Lembah/Pegunungan)
 Iklim Tropis (Dataran Rendah/Pesisir Pantai) ; Iklim Sejuk (Dataran Curah
Hujan dan Suhu Rata-Rata
 Curah Hujan 1.482 mm pertahun ; Suhu rata-rata 24° – 32 °C
 Panjang Pantai dan Sungai
 Sungai 567, 40 Km ; Pantai 122 Km Jenis Tanah
JENIS TANAH

 Alluvial (Kembang Tanjong, Pidie, Simpang Tiga), merupakan tanah endapan,


dibentuk dari lumpur dan pasir halus yang mengalami erosi tanah. Banyak
terdapat di dataran rendah, di sekitar muara sungai, rawa-rawa, lembah-
lembah,maupun di kanan kiri aliran sungai besar. Tanah ini banyak
mengandung pasir dan liat, tidak banyak mengandung unsur-unsur zat hara.
Ciri-cirinya berwarna kelabu dengan struktur yang sedikit lepas-lepas dan peka
terhadap erosi. Kadar kesuburannya sedang hingga tinggi tergantung bagian
induk dan iklim. Di Indonesia tanah alluvial ini merupakan tanah yang baik dan
dimanfaatkan untuk tanaman pangan (sawah dan palawija) musiman hingga
tahunan.
 Hydromof(PeukanBaro,GeulumpangTiga,Mutiara, Titeue, Keumala, Tiro,
Teurusep, Muara Tiga), Jenis tanah ini bersifat hidromorf dan berwarna kelabu,
coklat dan hitam. Produktifitas tanah ini dari rendah sampai tinggi dan
digunakan untuk pertambakan, pertanian padi dan palawija serta permukiman
 Podsolik (Padang Tiji, Kota Sigli, Indra Jaya, Tangse) Tanah podzolik adalah
tanah yang terbentuk di daerah yang memiliki curah hujan tinggi dan suhu
udara rendah. Di Indonesia jenis tanah ini terdapat di daerah pegunungan.
Umumnya, tanah ini berada di daerah yang memiliki iklim basah dengan curah
hujan lebih dari 2500 mm per tahun. Di Indonesia, tanah ini tersebar di daerah-
daerah dengan topografi pegunungan, seperti Sumatera Utara dan Papua Barat.
Tanah podzolik memiliki karakteristik kesuburan sedang, bercirikan warna
merah atau kuning, memiliki tekstur yang lempung atau berpasir, memiliki pH
rendah, serta memiliki kandungan unsur aluminum dan besi yang tinggi.

PENGGUNAAN TANAH

 Sawah 29.391 Ha
 Pekarangan 9.175
 Tegalan/Kebun 26.857
 Ladang/Huma 19.772
 Padang Penggembalaan 16.194
 Hutan Rakyat 23.782
 Hutan Negara 81.448
 Perkebunan 21.212
 Rawa-Rawa 2.128
 Tambak 2.890
 Tebat/Empang 162
 Pemukiman 30.714
 Belum diupayakan 78.093

PEMERINTAHAN

Mulai Akhir
No Foto Nama Wakil Keterangan
Jabatan Jabatan

Teuku Chik
1. 1945 1946
Mad Sayed

Teungku
2. Abdul Wahab 1946 1949
Seulimum

tidak
ada

Teungku
3. Sulaiman 1949 1952
Daud

Teuku A.
4. 1952 1953
Hasan
M. Salim
5. 1953 1954
Hasyim

Mohd. Ali,
Teuku
6. 1954 1955
Panglima
Polim

Yuhana
7. Datuk Nan 1955 1956
Labih

Teungku
8. 1956 1960
Usman Aziz

Teungku
9. Ibrahim 1960 1965
Abduh

Letkol. Abdul
10. 1965 1967
lah Benseh

11. M. Husen 1967 1968


Letkol. Abdul
12. 1968 1970
lah Benseh

13. Hasbi Usman 1970 1970

Mahyuddin
14. 1970 1974
Hasyim

Teuku
15. Sulaiman 1974 1975
Effendi

Letkol. Sayid
16. 1975 1980
Zakaria

Drs. Nurdin
17. Abdul 1980 1990
Rahman

Drs. HM.
18. 1990 1995
Diah Ibrahim
Drs. HM.
19. Djakfar 1995 2000
Ismail

Drs.
Ir. H. H.
20. Abdullah Jalalu 2000 2007
Yahya ddin
Harun

Drs. H.
Saifuddin tidak Penjabat
* 2007 2007
AR, S, M.Ph, ada Bupati
M.Kes

Nazir
H. Mirza Adam,
21. 2007 2012
Ismail, S.Sos SE,
MM

Drs. H.
Teuku tidak Penjabat
* 2012 2012
Anwar, ZA, ada Bupati
M.Si

KECAMATAN
Setelah pemekaran, maka kecamatan di Kabupaten Pidie tersisa sebanyak 23
buah, yaitu:
 Batee  Grong Grong  Mane
 Delima  Indrajaya  Mila
 Geumpang  Keumala  Muara Tiga
 Glumpang Baro  Kembang Tanjong  Mutiara
 Glumpang Tiga  Kota Sigli  Mutiara Timur
DEMOGRAFI

220.917 jiwa laki-laki ( 49,78 % ) + 222.801 jiwa perempuan ( 50,22 % ) =


443.718 jiwa ; 117.592 KK. Kepadatan, Laju Pertumbahan Penduduk dan Jumlah
Jiwa/KK Kepadatan 143 jiwa / Km2 ; Laju pertumbuhan 2,29 % ; + 4 Jiwa / KK

JUMLAH PENDUDUK PER KECAMATAN


 Batee 20.405 Jiwa  Mila 10.221  Simpang Tiga 24.180
 Delima 22.986  Muara Tiga 19.367  Tangse 27.720
 Geumpang 6.657  Mutiara 21.267  Tiro/Truseb 8.298
 Glumpang Tiga 19.542  Padang Tiji 23.575  Keumala 10.468
 Indra Jaya 24.987  Peukan Baro 20.314  Mutiara Timur 36.451
 Kembang Tanjong 22.561  Pidie 45.630  Grong-Grong 7.018
 Kota Sigli 22.311  Sakti 21.752  Mane 9.391

TOKOH-TOKOH KABUPATEN PIDIE


Daftar tokoh-tokoh Pidie diantaranya:

 Teungku Daud Beureueh, Gubernur Aceh ke-2 (1948-1952)


 Mr. Teuku Mohammad Hasan, Gubernur Sumatera (1945-1948)
 Prof. Ibrahim Hasan, Menteri Negara Urusan Pangan Indonesia (1993-1995)
 Dr. Ir. Mustafa Abubakar, Menteri Badan Usaha Milik Negara Indonesia ke-6
(2009-2011)
 Dr. Hasballah M Saad, Menteri Negara Urusan Hak Asasi Manusia (1999-
2000)
 Dr. Tengku Hasan di Tiro, Wali Neugara Aceh (1976-2010)
 dr. Husaini M. Hasan, Sekretaris Neugara Aceh (1976-1985)
 dr. Zaini Abdullah, Gubernur Aceh ke-16 (2012-2017)
 Dr.(H.C.) Sanusi Juned, Ph.D, Menteri Besar Kedah ke-7, Malaysia (1996-
1999)
RUMAH ADAT ACEH DI PIDIE

Lokasi : tampieng tunong, kecamatan indrajaya kabupaten pidie

BAHAN-BAHAN UNTUK MEMBUAT RUMOH ACEH


bahan-bahan yang diperlukan di antaranya adalah :

 Kayu. Kayu merupakan bahan utama untuk membuat Rumoh Aceh. Kayu
digunakan untuk membuat tameh (tiang), toi, roek, bara, bara linteung, kuda-
kuda, tuleueng rueng, indreng, dan lain sebagainya.
 Papan, digunakan untuk membuat lantai dan dinding. Trieng (bambu). Bambu
digunakan untuk membuat gasen (reng), alas lantai, beuleubah (tempat
menyemat atap), dan lain sebagainya.
 Enau (temor). Selain menggunakan bambu, adakalanya untuk membuat lantai
dan dinding Rumoh Aceh menggunakan enau.
 Taloe meu-ikat (tali pengikat). Tali pengikat biasanya dibuat dari tali ijuk,
rotan, kulit pohon waru, dan terkadang menggunakan tali plastik.
 Oen meuria (daun rumbia), digunakan untuk membuat atap.
ARSITEKTURAL
DENAH

Seuramoe likot

Seuramoe
teras

Kamar induk teungoh

Seuramoe keue

Denah rumoh adat aceh

Keterangan :
 Seuramoe Keue (Serambi Depan), Serambi keue digunakan untuk menyambut
tamu
 Seuramoe Teungoh (Serambi Tengah), lantai serambi tengah lebih tinggi dari
serambi depan dan serambi belakang
 Seuramoe Likot (Serambi Belakang)
 Seulasa (Teras), terletak di arah timur rumah
 Rumoh Dapu (Dapur), letaknya berdekatan atau tersambung dengan serambi
belakang dengan lantai yang lebih rendah dari serambi belakang

TAMPAK
INTERIOR

mpak dari barat

Seuramoe keue

Seuramoe teungeh
EKSTERIOR

Bagian barat

Bagian barat

Bagian barat
Bagian selatan

Bagian timur

Bagian timur

STRUKTURAL

PONDASI

Rumah aceh menggunakan pondasi umpak, Pondasi umpak dipakai untuk


bangunan sederhana yang umumnya di buat dari rangka kayu dengan dinding dari
papan atau anyaman dari bambu.
KOLOM

Kolom pada rumah aceh ini berjumlah 16 yg disusun persegi dengan jarak
2,5 meter per kolom

TANGGA
Untuk memasuki Rumoh Aceh, pertama-tama harus melewati “reunyeun”
(tangga). Tangga yang terdapat pada setiap Rumoh Aceh ini memiliki jumlah anak
tangga ganjil yaitu 9 buah anak tangga. Makna dari jumlah anak tangga tersebut
berdasarkan kepercayaan orang Aceh bahwa setiap jumlah hitungan selalu ada
hubungan dan pengaruhnya dengan ketentuan langkah, rezeki, pertemuan dan maut.
Serta tangganya terletak di bagian timur
PINTU

Tinggu pintu masuk Rumoh Aceh sekitar 150 cm.Dengan ketinggian yang
tidak melebihi dahi manusia ini membuat siapapun yang hendak masuk ke dalam
Rumoh harus merunduk. Hal ini merupakan aturan turun menurunyang berarti
sebuah penghormatan kepada tuan rumah saatmemasuki rumahnya

JENDELA

Jendela Rumoh Aceh umumnya dibuat pada dinding sebelah Barat dan
Timur. Jendela ini merupakan jendela utama yangmenyambut udara bersih dan
sinar mataharai pagi ke dalam rumah.Sedangkan jendela yang dibuat pada dinding
bagian Utara dan Selatan hanya berfungsi untuk menerangi bagian dalam rumah
Jendela bagian timur

LANTAI

lantai rumah aceh terbuat dari papan kayu dengan lebar sekitar 25 cm

ATAP
Penutup atap Rumoh Aceh menggunakan daun rumbia yang diikatdan
disusun dari pojok kiri bawah sampai ke pojok kanan atas dengan jarak antara
tulang daun berikatannya rata-rata 1,5-2 cm sehingga terlihat sangat tebal. Hal ini
bertujuan apabila terjadi kebakaran maka cukup hanya dengan menurunkan ikatan
di atas secara keseluruhan dan atap akan terseret jatuh ke bawah.
FUNGSI RUMAH ADAT
Selain memiliki fungsi sebagai identitas budaya, rumah adat aceh juga
memiliki fungsi praktis yaitu sebagai rumah tinggal masyarakat Aceh. Bagian-
bagian Rumoh Aceh Pada bagian bawah rumah atau disebut dengan (Yup Moh)
bisa digunakan untuk menyimpan berbagai benda, seperti penumbuk padi dan
tempat menyimpan padi.Tidak hanya itu, bagian yup moh juga sering difungsikan
sebagai tempat bermain anak-anak, membuat kain songket Aceh yang dilakoni
oleh kaum perempuan, bahkan bisa dijadikan sebagai kandang untuk peliharaan
seperti ayam, itik, dan kambing.

CIRI KHAS DAN FILOSOFI


Ada beberapa ciri khas yang membedakan rumah adat aceh dengan rumah
adat Indonesia lainnya. Ciri khas rumah adat Aceh tersebut antara lain:

1. Memiliki gentong air di bagian depan untuk tempat membersihkan kaki


mereka yang akan masuk rumah. Ciri ini memiliki filosofi bahwa setiap tamu
yang datang harusmemiliki niat baik.
2. Strukturnya rumah panggung memiliki fungsi sebagai perlindungan
anggota keluargadari serangan binatang buas.-Memiliki tangga yang anak
tangganya berjumlah ganjil, merupakan simbol tentang sifat religius dari
masyarakat suku Aceh.
3. Terbuat dari bahan-bahan alam, merupakan simbol bahwa masyarakat suku
Aceh memiliki kedekatan dengan alam.
4. Memiliki banyak ukiran dan lukisan di dinding rumah, menandakan
masyarakat Aceh adalah masyarakat yang sangat mencintai keindahan.Selain
sebagai manifestasi dari keyakinan masyarakat dan adaptasi
terhadaplingkungannya, keberadaan rumoh Aceh juga untuk menunjukan
status sosial penghuninya. Semakin banyak hiasan pada rumoh Aceh, maka
pastilah penghuninyasemakin kaya. Bagi keluarga yang tidak mempunyai
kekayaan berlebih, maka cukupdengan hiasan yang relatif sedikit atau bahkan
tidak ada sama sekali.Dalam rumoh Aceh,

ada beberapa motif hiasan yang dipakai, yaitu:

 Motif keagamaan yang merupakan ukiran-ukiran yang diambil dari ayat-ayat


al-Quran;
 Motif flora yang digunakan adalah stelirisasi tumbuh-tumbuhan
baik berbentukdaun, akar, batang, ataupun bunga-bungaan. Ukiran berbentuk
stilirisasi tumbuh-tumbuhan ini tidak diberi warna, jikapun ada, warna yang
digunakan adalahmerah dan hitam. Ragam hias ini biasanya terdapat pada
rinyeuen (tangga),dinding, tulak angen, kindang, balok pada bagian kap, dan
jendela rumah

 Motif alam digunakan oleh masyarakat Aceh di antaranya adalah langit dan
awannya, langit dan bulan, dan bintang dan laut dan Motif lainnya, seperti
rantee, lidah, dan lain sebagainya.
5. Berbentuk persegi panjang dan membujur dari arah barat ke timur,
menandakan masyarakat Aceh adalah masyarakat yang religius.Pengaruh
keyakinan masyarakat Aceh terhadap arsitektur bangunan rumahnya dapat
dilihat pada orientasi rumah yang selalu berbentuk memanjang dari timur ke
barat,yaitu bagian depan menghadap ke timur dan sisi dalam atau belakang
yang sakral beradadi barat. Arah Barat mencerminkan upaya masyarakat
Aceh untuk membangun garis
KABUPATEN PIDIE JAYA

Kabupaten Pidie Jayaadalah salah satu kabupaten di Aceh, Indonesia. Ibu


kotanya adalah Meureudu. Kabupaten ini dibentuk berdasarkan Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2007 pada tanggal 2 Januari2007. Pidie jaya merupakan
kabupaten pemekaran dari Kabupaten Pidie.

1. Letak Georafi

Kabupaten Pidie Jaya berada pada 4°54' 15,702"N sampai 5° 18' 2,244"
N dan 96°1' 13,656"E sampai 96°22'1,007"E. Secara Topografi Kabupaten Pidie
Jaya berada pada ketinggian 0 mdpl s.d 2300 mdpl dengan tingkat kemiringan
lahan antara 0 sampai 40%.

2. Batas Wilayah

Utara Selat Malaka

Selatan Kabupaten Pidie

Barat Kabupaten Pidie

Timur Kabupaten Bireuen


3. Sejarah

Meureudu sudah terbentuk dan diakui sejak zaman Kerajaan Aceh. Ketika
Sultan Iskandar Muda berkuasa (1607-1636) Meureudu semakin diistimewakan.
Menjadi daerah bebas dari aturan kerajaan. Hanya satu kewajiban Meureudu saat
itu, menyediakan persediaan logistik (beras) untuk kebutuhan kerajaan Aceh.
Sampai Kerajaan Aceh runtuh, Meureudu masih sebuah negeri bebas.

Peranan Negeri Meureudu yang sangat strategis dalam percaturan politik


pemerintahan Kerajaan Aceh. Ketika Sultan Iskandar Muda hendak melakukan
penyerangan (ekspansi) ke Semenanjung Melayu (Malaysia-red). Ia mengangkat
Malem Dagang dari Negeri Meureudu sebagai panglima perang, serta Teungku Ja
Pakeh-juga putra Meureudu-sebagai penasehat perang, mendampingi Panglima
Malem Dagang.

Setelah Semenanjung Melayu, yakni Johor berhasil ditaklukkan oleh Pasukan


Pimpinan Malem Dagang, Sultan Iskandar Muda semakin memberikan perhatian
khusus terhadap Negeri Meureudu. Kala itu sultan paling tersohor dari Kerajaan
Aceh itu mengangkat Teungku Chik di Negeri Meureudu, putra bungsu dari
Meurah Ali Taher yang bernama Meurah Ali Husein, sebagai perpanjangan tangan
sultan di Meureudu.

Negeri Meureudu negeri yang langsung berada di bawah Kesultanan Aceh


dengan status nanggroe bibeueh (negeri bebas-red). Di mana penduduk negeri
Meureudu dibebaskan dari segala beban dan kewajiban terhadap kerajaan.

Keistimewaan Negeri Meureudu terus berlangsung sampai Sultan Iskandar


Muda diganti oleh Sultan Iskandar Tsani. Pada tahun 1640, Iskandar Tsani
mengangkat Teuku Chik Meureudu sebagai penguasa definitif yang ditunjuk oleh
kerajaan. Ia merupakan putra sulung dari Meurah Ali Husein, yang bermana
Meurah Johan Mahmud, yang digelar Teuku Pahlawan Raja Negeri Meureudu.

Pada zaman penjajahan Belanda, Negeri Meureudu diubah satus menjadi


Kewedanan (Orderafdeeling) yang diperintah oleh seorang Controlleur. Selama
zaman penjajahan Belanda, Kewedanan Meureudu telah diperintah oleh empat
belas orang Controlleur, yang wilayah kekuasaannya meliputi dari Ulee Glee
sampai ke Panteraja.

Setelah tentara pendudukan Jepang masuk ke daerah Aceh dan mengalahkan


tentara Belanda, maka Jepang kemudian mengambil alih kekuasaan yang
ditinggalakan Belanda itu dan menjadi penguasa baru di Aceh. Pada masa
penjajahan Jepang, masyarakat Meureudu dipimpin oleh seorang Suntyo
Meureudu Sun dan Seorang Guntyo Meureudu Gun.

Sesudah melewati zaman penjajahan, sejak tahun 1967, Meureudu berubah


menjadi Pusat Kawedanan sekaligus pusat kecamatan. Selama Meureudu berstatus
sebagai kawedanan, telah diperintah oleh tujuh orang Wedana. Pada tahun 1967,
Kewedanan Meureudu dipecah menjadi empat kecamatan yaitu Ulee Glee, Ulim,
Meureudu dan Trienggadeng Penteraja, yang masing-masing langsung berada di
bawah kontrol Pemerintah Daerah Kabupaten Pidie.

4. Pembagian Wilayah Kabupaten Pidie Jaya

Kecamatan Mukim Gampong


Meunasah Mulieng, Lampoh Lada,
Glumpang Tutong, Rungkom, Blang Awe,
Manyang Lancok, Pohroh, Kudrang,
Meunasah Hagu, Deah Tuha, Rumpuen,
Beuracan,
Meunasah Kulam, Rambong, Grong-
Beuriweuh,
Meureudu grong, Kuta Trieng, Pulo U, Manyang
Manyang, Meureudu
Cut, Beurawang, Dayah Timu, Bunot,
Dalam
Teupin Peuraho, Geulidah, Meunasah
Lhok, Masjid Tuha, Rhing Mancang,
Rhing Krueng, Rhing Blang, Meuraksa,
Meunasah Balek, Kota Meureudu
Seunong, Lhok Sandeng, Sarah Mane,
Lancok, Meunasah Kulam, Teungoh,
Kuta Simpang, Kuta
Genteng, Meunasah Bie, Meunasah Raya,
Meurah Dua Baroh, Kuta
Dayah Usen, Blang, Blang Cut, Dayah
Reuntang
Kruet, Beuringen, Mancang, Pante
Beureune, Jurong, Buangan, Lueng Bimba
Bandar Dua Ulee Glee Dalam, Gaharu, Kumba, Blang Mirou, Beurasan,
Ulee Glee Barat, Cot Keng, Krueng Kiran, Asan Kumbang,
Ulee Glee Tunong, Pulo Gapu, Cot Geurefai, Alue Sane, Lhok
Ulee Glee Timu, Pusong, Alue Keutapang, Jeulanga Barat,
Jangka Buya Timu Jeulanga Mata ie, Jeulanga Masjid,
Meunasah Paku, Meurandeh Alue,
Reudeup Meulayui, Paya Pisang Klat,
Alue Mee, Drien Tujoh, Blang Kuta,
Seunong, Pohroh, Babah Krueng, Uteun
Bayu, Meuko Buloh, Drien Bungong,
Meugit Sagoe, Meugit Kayee Panyang,
Adan, Muko Dayah, Keude Ulee Gle,
Pulo, Kampung Baro, Ulee Gle, Muko
Kuthang, Peulakan Tunong, Peulakan
Tambo, Kuta Krueng, Paya Tunong, Paya
Baroh, Blang Dalam, Meuko Baroh,
Peulakan Ceubrek
Muko Jurong, Buket Teungoh, Jurong
Ara, Jurong Teungoh, Jurong Binje,
Reului Mangat, Meunasah Me, Meunasah
Jangka Buya Barat, Kumbang, Kuta Baroh, Meuko Meugit,
Jangka Buya
Jangka Buya Baroh Meunasah Raya, Kiran Dayah, Kiran
Baroh, Kiran Krueng, Meunasah Lueng,
Keude Jangka Buya, Cot, Meunasah
Beureumbang
Alue Keumiki, Lhok Gajah, Blang Rheue,
Cot Seutui, Meunasah Masjid, Blang Cari,
Bidok, Balee Ulim, Pantang Cot Baloi,
Nanggroe Barat, Reuleut, Sambong Baro,
Ulim Teunong, Paya
Dayah Baroh, Meunasah Pupu, Nanggroe
Seutui, Ulim Baroh,
Ulim Timu, Meunasah Kumbang, Masjid Ulim
Nanggroe, Blang
Tunong, Siblah Coh, Pulo Ulim, Grong-
Rheu
grong Capa, Tanjong Ulim, Krueng,
Keude Ulim, Dayah Leubue, Masjid Ulim
Baroh, Meunasah Bueng, Geulanggang,
Tijien Husen, Pulo Lhok, Tijien Daboh
Panton Raya, Peulandok Tunong,
Peulandok Teungoh, Buloh, Dayah Ujong
Trienggadeng,
Baroh, Matang, Dee, Dayah Teumanah,
Peulandok, Pangwa,
Trienggadeng Tampui, Reusep, Masjid Peuduek, Tuha,
Peuduek Baroh,
Paya, Masjid Trienggadeng, Tung Kluet,
Peuduek Tunong
Mee Pangwa, Rawasari, Cot Makaso,
Kuta Pangwa, Meucat Pangwa, Dayah
Pangwa, Cot Lheu Rheung, Meuee, Keude
Trienggadeng, Raya, Me Peudeuk Baroh,
Sagoe
Tunong Panteraja, Lhok Puuk, Muka
Panteraja Barat, Blang, Teungoh Panteraja, Peurade,
Panteraja
Panteraja Timu Reudeup, Masjid Panteraja, Hagu, Tu,
Keude Panteraja
Aki Neungoh, Abah Lueng, Jijiem, Sarah
Panyang, Blang Sukon, Kayee Jatoe,
Blang Baro, Blang Iboih, Langien, Blang
Krueng, Alue, Tanoh Mirah, Ujong
Leubat, Tualada, Cot Langien, Sagoe,
Lueng Putu, Nyong,
Baroh Cot, Bale, Teungoh, Baroh Musa,
Langien, Musa,
Bandar Baru Paru Keude, Lancang, Udeung,, Ara,
Cubo, Lancok, Tanoh
Blang Glong, Keude, Puep/Lueng Nibong,
Mirah, Jalan Rata
Daboih, Pulo Rheng, Meunasah Gampong,
Dayah Nyong, Beurandeh, Kayee Raya,
Siren, Tutong, Manyang, Baroh Lancok,
Masjid Lancok, Pulo Pueb, Sawang, baro
Nyong, Cut Nyong, Paru Cot

5. Pemerintahan

Sistem pemerintahan kabupaten pidie jaya dipimpin oleh bupati.

6. Agama
 Islam 98.35%,
 Kristen 0.23%,
 Buddha 0.37%

7. Lambang Daerah
1. Wadah Perisai: Perlindungan kepada segenap masyarakat Pidie Jaya dalam
menghadapi berbagai tantangan guna menuju masyarakat yang adil dan
makmur.
2. Untaian Padi dan Rangkaian Tandan Kapas: Kemakmuran rakyat Pidie
Jaya yang adil dan merata.
3. Buku/Kitab dan Pena: Peningkatan SDM atau cita-cita agar Kabupaten
Pidie Jaya senantiasa mengikuti perkembangan ilmu dan teknologi.
4. Rencong: Kepahlawanan dan keperkasaaan serta menjunjung tinggi nilai
budaya leluhur.
5. Timbangan dan Neraca: Pemerintah yang adil di Kabupaten Pidie Jaya.
6. Kubah Masjid dengan Bintang Bulan: Syariat Islam yang merupakan
falsafah hidup bagi masyarakat Pidie Jaya.
7. Delapan (8) Pintu di Bawah Kubah: Kabupaten Pidie Jaya memiliki
delapan (8) kecamatan dalam wilayahnya.
8. Pita Merah bertuliskan "Pidie Jaya": Masyarakat Pidie Jaya berani
manghadapi tantangan kemajuan daerah.
9. Warna Dasar Biru Tua: Potensi laut di seluruh wilayah Pidie Jaya.
10. Warna Dasar Biru Muda: Bagian atas bermakna warna angkasa yang
bersih sebagai cita-cita warga Pidie Jaya.

8. Arsitektur Rumah Adat Daerah Pidie Jaya (Rumah Cubo)

Rumah Adat Daerah Pidie Jaya Masa Kini

Rumah tradisonal di Daerah Pidie Jaya dinamakan Rumoh Adat Cubo.


Rumah adat ini bertipe rumah panggung dengan 3 bagian utama dan 1 bagian
tambahan. Tiga bagian utama dari rumah Aceh yaitu seuramoe reungeun (serambi
depan), seuramoe teungoh (serambi tengah) dan seuramoe likot (serambi
belakang). Sedangkan 1 bagian tambahannya yaitu rumoh dapu (rumah dapur).
walaupun tidak terlalu jauh dengan model Rumah Adat Aceh Umumnya, Rumah
Adat Cubo ini memiliki Karakteristik Ukiran yang Unik nan Sederhana.

a. Asal usul Rumah Adat Aceh di daerah Pidie Jaya

Kepercayaan individu atau masyarakat dan kondisi alam di mana individu atau
masyarakat hidup mempunyai pengaruh signifikan terhadap bentuk arsitektur
bangunan, rumah, yang dibuat.. Rumoh Aceh bukan sekadar tempat hunian, tetapi
merupakan ekspresi keyakinan terhadap Tuhan dan adaptasi terhadap alam..
Adaptasi masyarakat Aceh terhadap lingkungannya dapat dilihat dari bentuk
Rumoh Aceh yang berbentuk panggung, tiang penyangga yang terbuat dari kayu
pilihan, dindingnya dari papan, dan atapnya dari rumbia. Pemanfaatan alam juga
dapat dilihat ketika mereka hendak menggabungkan bagian-bagian rumah, mereka
tidak menggunakan paku tetapi menggunakan pasak atau tali pengikat dari rotan.
Walaupun hanya terbuat dari kayu, beratap daun rumbia, dan tidak menggunakan
paku, Rumoh Aceh bisa bertahan hingga 200 tahun.

b. Filosofi dan Keunikan Rumoh Adat Cubo

Pengaruh keyakinan masyarakat Aceh terhadap arsitektur bangunan rumahnya


dapat dilihat pada orientasi rumah yang selalu berbentuk memanjang dari timur ke
barat, yaitu bagian depan menghadap ke timur dan sisi dalam atau belakang yang
sakral berada di barat.

Arah Barat mencerminkan upaya masyarakat Aceh untuk membangun garis


imajiner dengan Ka'bah yang berada di Mekkah.Selain itu, pengaruh keyakinan
dapat juga dilihat pada penggunaan tiang-tiang penyangganya yang selalu
berjumlah genap, jumlah ruangannya yang selalu ganjil, dan anak tangganya yang
berjumlah ganjil.

Selain sebagai manifestasi dari keyakinan masyarakat dan adaptasi terhadap


lingkungannya, keberadaan rumoh Aceh juga untuk menunjukan status sosial
penghuninya.Semakin banyak hiasan pada rumoh Aceh, maka pastilah
penghuninya semakin kaya. Bagi keluarga yang tidak mempunyai kekayaan
berlebih, maka cukup dengan hiasan yang relatif sedikit atau bahkan tidak ada
sama sekali.

Dalam perkembangannya, masyarakat Aceh memiliki anggapan bahwa dalam


pembuatan rumoh Aceh memiliki garis imajiner antara rumah dan Ka'bah (motif
keagamaan), tetapi sebelum Islam masuk ke Aceh, arah rumah tradisional Aceh
memang sudah demikian.Kecenderungan ini nampaknya merupakan bentuk
penyikapan masyarakat Aceh terhadap arah angin yang bertiup di daerah Aceh,
yaitu dari arah timur ke barat atau sebaliknya.

Jika arah rumoh Aceh menghadap kearah angin, maka bangunan rumah
tersebut akan mudah rubuh. Di samping itu, arah rumah menghadap ke utara-
selatan juga dimaksudkan agar sinar matahari lebih mudah masuk kekamar-kamar,
baik yang berada di sisi timur ataupun di sisi barat.Setelah Islam masuk ke Aceh,
arah rumoh Aceh mendapatkan justifikasi keagamaan.Nilai religiusitas juga dapat
dilihat pada jumlah ruang yang selalu ganjil, jumlah anak tangga yang selalu
ganjil, dan keberadaan gentong air untuk membasuh kaki setiap kali hendak
masuk rumoh Aceh.

c. Denah

Rumah adat Cubo ini bertipe rumah panggung dengan 3 bagian utama dan 1
bagian tambahan. Tiga bagian utama dari rumah Aceh yaitu seuramoe reungeun
(serambi depan), seuramoe teungoh (serambi tengah) dan seuramoe likot (serambi
belakang). Sedangkan 1 bagian tambahannya yaitu rumoh dapu (rumah dapur).
Bagian Dalam Rumah Adat di daerah Pidie Jaya Masa Kini

Adanya bagian ruang yang berfungsi sebagai ruang-ruang privat, seperti


rumoh inong, ruang publik, seperti serambi depan, dan ruang khusus perempuan,
seperti serambi belakang merupakan usaha untuk menanamkan dan menjaga nilai
kesopanan dan etika bermasyarakat.

Ruangan depan atau disebut dengan seuramoe reungeun merupakan


ruangan yang tidak berbilik (berkamar-kamar). Dalam sehari-hari ruangan ini
berfungsi untuk menerima tamu, tempat tidur-tiduran anak laki-laki, dan tempat
anak-anak belajar mengaji saat malam atau siang hari.Disaat-saat tertentu, seperti
ada upacara perkawinan atau upacara kenduri, maka ruangan inilah yang menjadi
tempat penjamuan tamu untuk makan bersama.

Ruangan tengah yang disebut dengan seuramoe teungoh merupakan bagian


inti dari rumoh Aceh, maka dari itu banyak pula disebut sebagai rumoh inong
(rumah induk). Sedikit perbedaan dengan ruang lain, dibagian ruangan ini terlihat
lebih tinggi dari ruangan lainnya, karena tempat tersebut dianggap suci, dan
bersifat sangat pribadi. Di ruangan ini pula akan kita dapati dua buah bilik atau
kamar tidur yang terletak di kanan-kiri dengan posisi menghadap ke utara atau
selatan dengan pintu yang menghadap ke belakang.

Ruangan belakang disebut seuramoe likot yang memiliki tinggi lantai yang
sama dengan seuramoe reungeun, serta tidak mempunyai bilik atau sekat-sekat
kamar. Fungsinya sering dipergunakan untuk dapur dan tempat makan bersama
keluarga, selain itu juga dipergunakan sebagai ruang keluarga, baik untuk
berbincang-bincang atau untuk melakukan kegiatan sehari-hari perempuan seperti
menenun dan menyulam.

Namun, ada waktunya juga dapur sering dipisah dan malah berada di
bagian belakang seuramoe likot.Sehingga ruang tersebut dengan rumoh dapu
(dapur) sedikit lebih rendah lagi dibanding lantai seuramoe likot.
d. Ornamen

Ornamen yang terdapat pada Rumah Adat Cubo

Dalam Rumoh Aceh, ada beberapa motif hiasan yang dipakai, yaitu:
(1) Motif keagamaan yang merupakan ukiran-ukiran yang diambil dari ayat-
ayat al-Quran;
(2) Motif flora yang digunakan adalah stelirisasi tumbuh-tumbuhan baik
berbentuk daun, akar, batang, ataupun bunga-bungaan. Ukiran berbentuk
stilirisasi tumbuh-tumbuhan ini tidak diberi warna, jikapun ada, warna
yang digunakan adalah merah dan hitam. Ragam hias ini biasanya terdapat
pada rinyeuen (tangga), dinding, tulak angen, kindang, balok pada bagian
kap, dan jendela rumah;
(3) Motif fauna yang biasanya digunakan adalah binatang-binatang yang
sering dilihat dan disukai;
(4) Motif alam digunakan oleh masyarakat Aceh di antaranya adalah: langit
dan awannya, langit dan bulan, dan bintang dan laut; dan
(5) Motif lainnya, seperti rantee, lidah, dan lain sebagainya.

e. Bagian-bagian Rumoh Aceh

Rumoh Aceh merupakan rumah panggung yang miliki tinggi beragam


sesuai dengan arsitektur si pembuatnya, namun pada kebiasaannya memiliki
ketinggian sekitar 2,5 - 3 meter dari atas tanah. Terdiri dari tiga atau lima ruangan
di dalamnya, untuk ruang utama sering disebut dengan rambat.

Rumoh Aceh yang bertipe tiga ruang memiliki 16 tiang, sedangkan untuk
tipe lima ruang memiliki 24 tiang.

Memasuki pintu utama rumoh Aceh, kita akan berhadapan dengan


beberapa anak tangga yang terbuat dari kayu pada umumnya. Untuk tingginya
sendiri, pintu tersebut pasti lebih rendah dari tinggi orang dewasa.

Biasanya tinggi pintu sekitar 120 - 150 cm dan membuat siapa pun yang
masuk harus sedikit merunduk, konon makna dari merunduk ini menurut orang-
orang tua adalah sebuah penghormatan kepada tuan rumah saat memasuki
rumahnya, siapa pun dia tanpa peduli derajat dan kedudukannya. Selain itu juga,
ada yang menganggap pintu rumoh Aceh sebagai hati orang Aceh. Hal ini terlihat
dari bentuk fisik pintu tersebut yang memang sulit untuk memasukinya, namun
begitu kita masuk akan begitu lapang dada disambut oleh tuan rumah.

Saat berada di ruang depan ini atau disebut juga dengan seuramoe
keu/seuramoe reungeun, akan kita dapati ruangan yang begitu luas dan lapang,
tanpa ada kursi dan meja. Jadi, setiap tamu yang datang akan dipersilahkan duduk
secara lesehan atau bersila di atas tikar bak ngom (sejenis tumbuhan ilalang yang
ada di rawa lalu diproses dan dianyam) serta dilapisi dengan tikar pandan.

Saat melihat rumoh Aceh, kita akan menjumpai terlebih dahulu dengan
bagian bawahnya. Bagian bawah ini akrab disebut dengan yup moh/miyup moh,
yakni bagian antara tanah dan lantai rumah.

Lazimnya dibagian bawah ini bisa kita dapati berbagi benda, seperti
jeungki (penumbuk padi) dan kroeng (tempat menyimpan padi).Tidak hanya itu,
bagian yup moh juga sering difungsikan sebagai tempat bermain anak-anak,
membuat kain songket Aceh yang dilakoni oleh kaum perempuan, bahkan bisa
dijadikan sebagai kandang untuk peliharaan seperti ayam, itik, dan kambing.

1. Tangga

Tangga Rumah Cubo


Keberadaan tangga untuk memasuki rumoh Aceh bukan hanya berfungsi sebagai
alat untuk naik ke dalam rumah, tetapi juga berfungsi sebagai titik batas yang
hanya boleh didatangi oleh tamu yang bukan anggota keluarga atau saudara
dekat.Apabila dirumah tidak ada anggota keluarga yang laki-laki, maka "pantang
dan tabu" bagi tamu yang bukan keluarga dekat (baca: muhrim) untuk naik ke
rumah. Dengan demikian, reunyeun juga memiliki fungsi sebagai alat kontrol
sosial dalam melakukan interaksi sehari-hari antar masyarakat.

2. Tali Hitam
Ada juga keunikan lainnya dari rumoh Aceh, yakni terletak di atapnya.Tali
hitam atau tali ijuk tersebut (lihat gambar sebelah kiri) mempunyai kegunaan yang
sangat berarti, saat terjadi kebakaran misalnya yang rentan menyerang atap karena
bahan dari rumbia yang begitu mudah terbakar, maka pemilik rumah hanya perlu
memotong tali tersebut. Sehingga, seluruh atap yang terhubungan atau terpusat
pada tali hitam ini akan roboh dan bisa meminimalisir dampak dari musibah yang
terjadi.

f. Material

Penggunaan Material pada Rumah Cubo

1. Kayu merupakan bahan utamanya. Kayu sendiri banyak digunakan untuk


membuat tameh (tiang), toi, roek, bara, bara linteung, kuda-kuda, tuleueng rueng,
indreng, dan lain sebagainya. Ada juga kayu yang telah dijadikan sebagai papan,
ini biasanya akan digunakan untuk membuat lantai dan dinding rumah.

2. Trieng (bambu) juga tidak kalah penting dalam pembuatan rumoh Aceh, salah
satu gunanya untuk membuat gasen (reng), alas lantai, beuleubah (tempat
menyemat atap), dan lain sebagainya.
3. Enau atau aren juga adakalanya digunakan untuk membuat lantai dan dinding
selain menggunakan bambu, daun Enau sendiri bisa juga sebagai pengganti daun
rumbia untuk atap rumoh Aceh.

4. Taloe meu-ikat (tali pengikat) yang dibuat ijuk, rotan, kulit pohon waru, dan
terkadang untuk saat ini biasa digunakan tali plastik. 'Oen meuria (daun rumbia,
buahnya sering dikenal dengan salak Aceh) merupakan salah satu bagian penting
untuk pembuatan atap dari rumoh Aceh.

5. Daun rumbia, tentu peuleupeuk meuria (pelepah rumbia). Salah satu kegunaan
pelepah rumbia digunakan untuk membuat dinding rumah, seperti rak-rak, dan
sanding.Namun, pelepah ini bukan semata-semata pengganti dari papan.

Rumoh Aceh Kini

Seiring perkembangan zaman yang menuntut semua hal dikerjakan secara


efektif dan efisien serta semakin mahalnya biaya pembuatan dan perawatan rumoh
Aceh, maka lambat laun semakin sedikit orang Aceh yang membangun rumah
tradisional ini.Akibatnya, jumlah rumoh Aceh semakin hari semakin sedikit.

Masyarakat lebih memilih untuk membangun rumah modern berbahan


beton yang pembuatan dan pengadaan bahannya lebih mudah dari pada rumoh
Aceh yang pembuatannya lebih rumit, pengadaan bahannya lebih sulit, dan biaya
perawatannya lebih mahal.Namun, ada juga orang-orang yang karena
kecintaannya terhadap arsitektur warisan nenek moyang mereka ini membuat
rumoh Aceh yang ditempelkan pada rumah beton mereka.

Saat ini, taksiran untuk membuat rumoh Aceh memang terbilang mahal,
salah seorang utoh (tukang) dari Peukan Pidie, Syafie menuturkan bahwa
membangun rumoh Aceh yang sedang pada masa sekarang bisa berkisar Rp 20
juta, itu terdiri dari bahan-bahan kayu, atap daun rumbia yang bagus dan semua
bagian rumah bisa menghabiskan uang lebih dari Rp 75 juta. Kalau yang besar,
tidak kurang Rp 300 juta, jika melihat maksud dari yang besar ini tidak lain adalah
rumoh Aceh yang memiliki 80 tiang.

Dengan mengetahui nilai-nilai yang terkandung dalam rumoh Aceh, maka


kita akan mampu memahami dan menghargai beragam khazanah yang terkandung
di dalamnya. Bisa saja, karena perubahan zaman, arsitektur rumoh Aceh berubah,
tetapi dengan memahami dan memberikan pemaknaan baru terhadap simbol-
simbol yang digunakan, maka nilai-nilai yang hendak disampaikan oleh para
pendahulu dapat terjaga dan tetap sesuai dengan zamannya.
Satu hal lainnya, walaupun ketidakmampuan kita untuk membangun rumoh Aceh
seperti sediakala dulu, paling tidak menjaga dan melestarikan pusaka Nanggroe ini
menjadi hak atas masyarakat Aceh semua.Karena dari setiap pemaknaan rumoh
Aceh, setidaknya kita bisa mengambil berbagai pelajaran berarti tentang Aceh,
dan masyarakatnya.

g. Tampak rumah adat Pidie Jaya pada masa lampau


h. Tampak rumah adat Pidie jaya pada masa kini
i. Kesimpulan
Rumah adat Pidie Jaya memiliki nilai-nilai arsitektural yang beradaptasi
dengan lingkungan sekitarnya. Bangunan ini menggunakan material kayu
atau papan sebagai material utamanya dan menggunakan daun rumbia
sebagai material atap. Rumah adat pidie jaya ini berbentuk panggug dan
memiliki jumlah tiang sebanyak 16 tiang.
KABUPATEN BIREUEN

1. Pengenalan terhadap Suku Aceh di Bireuen


1.1. Letak Geografis

Gambar 1.1.1. Peta Lokasi Kabupaten Bireuen


(Sumber : id.wikipedia.com (diakses Juni 2019))

Bireuen adalah salah satu kabupaten yang terdapat di Aceh,


Indonesia. Secara geografis Kabupaten Bireuen terletak diantara 04° 54'
00” - 05° 21' 00” LU dan 96° 20' 00” - 97° 21' 00” BT. Luas wilayah
Kabupaten Bireun adalah 1.796,32 Km², dengan ketinggian 0 - 2.637
mdpl. Terbagi dalam 17 kecamatan, dimana Kecamatan Peudada
merupakan kecamatan terluas dengan luas wilayah 312,84 Km2.
Sedangkan kecamatan terkecil adalah Kecamatan Kota Juang dengan luas
hanya 16,91 Km2. Adapun batas-batas administratifnya ialah sebagai
berikut :
Sebelah Utara : Selat Malaka
Sebelah Selatan : Kabupaten Pidie dan Bener Meriah
Sebelah Barat : Kabupaten Pidie Jaya
Sebelah Timur : Kabupaten Aceh Utara

1.2. Sejarah dan Asal Muasal


Kabupaten Bireuen dalam catatan sejarah dikenal sebagai daerah
Jeumpa. Dahulu Jeumpa merupakan sebuah kerajaan kecil di Aceh.
Menurut Ibrahim Abduh dalam Ikhtisar Radja Jeumpa, Kerajaan Jeumpa
terletak di Desa Blang Seupeung, Kecamatan Jeumpa, Kabupaten
Bireuen.
Awalnya Bireuen masuk dalam wilayah Kabupaten Aceh Utara.
Kabupaten ini menjadi wilayah otonom sejak 12 Oktober
tahun 1999 sebagai hasil pemekaran dari Kabupaten Aceh Utara.
Kabupaten ini terkenal dengan julukan Kota Juangnya, namun sempat
menjadi salah satu basis utama Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Semenjak diberlakukannya darurat militer sejak bulan Mei 2003, situasi
di kabupaten ini berangsur-angsur mulai kembali normal, meski belum
sepenuhnya.

1.3. Sistem Kekerabatan


Sistem kekerabatan di lingkungan masyarakat Aceh di Bireuen
ialah prinsip keturunan bilateral. Untuk adat menetap setelah menikah
bersifat matrilokal, yaitu pengantin baru menetap di rumah orangtua istri
selama beberapa waktu sebelum memutuskan untuk pinda ke rumah
sendiri. Sedangkan anak merupakan tanggung jawab sang ayah
sepenuhnya.

1.4. Bahasa dan Agama


Bahasa yang digunakan masyarakat Bireuen adalah bahasa Aceh.
Bahasa ini dianggap berkerabat dengan bahasa Campa atau termasuk
rumpun Chamic (daerah Komboja dan Vietnam), cabang dari
rumpun bahasa Austronesia Barat.
Bahasa Aceh masyarakat Bireuen merupakan bahasa Aceh murni
dengan dialek dari Aceh Utara. Bahasa masyarakat Bireuen terkenal
sebagai bahasa Aceh dengan pemilihan kata dan intonasi paling lembut
diantara daerah-daerah lainnya.
Mengenai keagamaan, Aceh termasuk salah satu daerah yang
paling awal menerima agama Islam. Oleh karena itu provinsi ini dikenal
dengan sebutan Serambi Mekah. Begitu pula dengan daerah Bireuen,
yang penduduk aslinya beragama Islam. Beberapa kebudayaan Aceh
mendapat pengaruh dan berbaur dengan kebudayaan Islam, yang
menghasilkan corak kebudayaan Islam-Aceh yang khas.

1.5. Seni dan kebudayaan


Corak kesenian Aceh banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Islam,
namun telah diolah dan disesuaikan dengan nilai-nilai budaya yang
berlaku. Terdapat seni tari seperti Seudati, lalu ada seni kaligrafi Arab,
seperti yang terlihat pada ukiran mesjid, rumah adat dan sebagainya, lalu
ada juga seni sastra dalam bentuk hikayat yang bernafaskan Islam seperti
Hikayat Perang Sabil.

1.6. Sistem Mata Pencaharian Penduduk Setempat


Kabupaten Bireuen terletak pada jalur Banda Aceh – Medan yang
di apit oleh tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Bener Meriah, Kabupaten
Pidiy Jaya dan Kabupaten Aceh Utara yang membuat Bireuen sebagai
daerah transit yang maju.
Daerah tingkat dua pecahan Aceh Utara ini termasuk Wilayah
agraris. Sebanyak 52,2 persen wilayah Bireuen adalah wilayah pertanian.
Tanaman pangan memberi kontribusi terbesar untuk pendapatan
Kabupaten Bireuen. Produk andalan bidang ini adalah padi dan kedelai
dengan luas tanaman sekitar 29.814 hektar. Kondisi itu pula yang
membuat 33,05 persen penduduknya bekerja di sektor agraris.
Sedangkan masyarakat yang bermukim di sepanjang pantai pada
umumnya menjadi nelayan. Sisanya tersebar di berbagai lapangan usaha
seperti jasa perdagangan dan industri.

1.7. Pengetahuan Lokal dalam Membangun Rumah


Rumoh Aceh merupakan salah satu hunian tradisional yang
didirikan secara bekelompok dan berderet-deret karena penghuninya
mempunyai hubungan tali persaudaraan (kekerabatan). Dall dalam
Watterson (1993) menyebutkan bahwa “rumah tradisional Aceh dibangun
pada lapangan yang terbuka dan pada umumnya bagian depan rumah
ditanami dengan tanaman bunga dan pada bagian belakang ditanami
dengan sayuran serta pohon berbuah”. Pada umumnya tanaman-tanaman
tersebut sering digunakan untuk keperluan sehari-hari.
Tentang membangun Rumah, Adat Aceh menyebutkan bahwa,
ketika anak perempuan telah menginjak umur 7 tahun, sang ayah mulai
mengumpulkan bahan-bahan kayu, bahan atap dan bahan-bahan lain
untuk mendirikan rumah untuk anak perempuannya.
Rumah dan pekarangannya menjadi milik anak-anak perempuan
atau ibunya. Menurut adat Aceh, rumah dan pekarangannya tidak boleh
di pra-é (faraidh - hukum waris). Jika seorang suami meninggal dunia,
maka Rumoh Aceh itu menjadi milik anak-anak perempuan atau menjadi
milik isterinya bila mereka tidak mempunyai anak perempuan. Itu
sebabnya isteri di dalam bahasa Aceh disebut ”peurumoh” (yang punya
rumah). Adat ini telah ada di Aceh semenjak Putroe Phang isteri Sultan
Iskandar Muda membuat qanun tersebut di abad ke 17. Qanun ini
melindungi kehidupan seorang janda, sehingga bila seorang isteri
diceraikan oleh suaminya, maka janda tersebut memiliki rumah yang
dibuat oleh sang suami tersebut.
Tukang kayu yang mengerjakan pembangunan rumah itu
disamping memperoleh upah yang telah disepakati kedua pihak, juga
mendapat sarapan dan makan siang dari si pemilik rumah selama masa
pelaksanaan. Tukang itu terus bekerja di situ hingga waktu ’asar.
Pendirian awal Rumoh Aceh dilakukan secara gotongroyong yang
disebut ”meuramè”, dibawah pimpinan seorang utôh (kepala tukang).
Jika rumah itu sudah berdiri, maka selanjutnya utoh akan
menyelesaikannya. Jika nanti ternyata membutuhkan lagi banyak tenaga,
maka barulah diadakan lagi ”meuramè”
2. Arsitektur Rumah Tradisional Rumoh Tgk. Chik Awe Geutah
Bangunan tempat tinggal (Rumah tradisional Aceh) disebut juga dengan
Rumoh Aceh. Rumoh Aceh merupakan rumah panggung yang terdiri atas tiga
ruang utama, yaitu seramoe keue (serambi depan), tungai (ruang tengah), dan
seuramoe likot (serambi belakang).
Pada umumnya rumah tradisional Aceh di setiap daerah mempunyai
bentuk yang sama, karena sudah menjadi kebiasaan masyarakat Aceh,
penyebutan rumoh Aceh hanya untuk rumah panggung yang ada di seluruh
daerah Aceh. Yang membedakan rumoh Aceh di tiap-tiap kabupaten di
Provinsi aceh adalah dari segi ukir-ukiran atau ornamen dari rumah
tradisional tersebut. Begitu pula halnya untuk rumoh Aceh di Bireuen.
Kami mengambil Rumoh Tgk. Chik Awe Geutah di Desa Awe Geutah,
Kecamatan Peusangan Siblah Krueng, sebagai rumah tradisional Aceh di
kabupaten Bireuen untuk dibahas secara menyeluruh.

2.1. Sejarah dan Asal Muasal Rumoh Tgk. Chik Awe Geutah
Dalam catatan sejarah Bireuen dikenal sebagai daerah Jeumpa,
Jeumpa merupakan sebuah kerajaan kecil yang pertama di Aceh.
Menurut Ibrahim Abduh dalam Ikhtisar Radja Jeumpa, Kerajaan Jeumpa
terletak di Desa Blang Seupeung, Kec. Jeumpa, Kab. Bireuen.
Rumoh Aceh tersebut merupakan rumah peninggalan Tgk Chiek
Awe Geutah, dibangun pada masa kepimpinannya yang diperkirakan
pada abad ke -13. Bangunannya hingga saat ini masih berdiri dengan
kokoh walaupun usianya sudah cukup tua dan ukiran-ukiran pada
dinding, pintu, jendela yang melambangkan ciri-ciri khas daerah pada
masa itu juga masih sangat jelas keasliannya.
Tgk Chik Awe Geutah nama aslinya adalah Syaikh Abdurrahim
Bawarith al-Asyi adalah anak Syaikh Jamaluddin al-Bawaris dari Zabid
Yaman. Bersama adiknya dan tujuh ulama lain, mereka berangkat ke
Aceh. Tgk. Syaikh Abdurrahim akhirnya memilih untuk menetap di
wilayah Jeumpa bersama beberapa pengikutnya.
Dikisahkan ketika akan membuka lahan yang ditumbuhi rotan,
Tgk. Syeikh Abdurrahim melihat salah satu pohon rotan yang
mengeluarkan cahaya. Ketika dipotong, tampak tetesan getah rotan. Tgk.
Syeikh Abdurrahman kemudian memberi nama daerah ini menjadi Awe
Geutah dan sejak itu penyebaran agama Islam mulai dilakukan. Nama
Abdurrahim semakin dikenal di seluruh Aceh sebagai seorang tokoh
ulama Sufi, hingga dikenal dengan sebutan Teungku Chik Awe Geutah.

2.2. Letak Geografis Rumoh Tgk. Chik Awe Geutah


Rumah Tgk. Chik Awe Geutah berada di Desa Awe Geutah, Kecamatan
Peusangan Siblah Krueng, Kabupaten Bireuen. Rumah ini secara astronomis
berada di koordinat UTM 47 N 0255650 0569044. Rumah ini memiliki
batas-batas sebagai berikut :
Sebelah Utara : Jalan masuk kompleks Rumah Awe Geutah
Sebelah Selatan : Kebun
Sebelah Timur : Rumah Penduduk
Sebelah Barat : Kebun
2.3. Tampak Rumoh Tgk. Chik Awe Geutah
Rumoh Tgk. Chik Awe Geutah seperti rumah tradisional Aceh pada
umumnya dimana dibangun dengan orientasi rumah yang selalu berbentuk
memanjang dari timur ke barat, yaitu bagian depan menghadap ke timur dan
sisi dalam atau belakang yg sakral berada di barat. Arah barat mencerminkan
upaya masyarakat Aceh untuk membangun garis imajiner dengan Ka’bah
yang berada di Mekkah.
Rumoh Tgk. Chik Awe Geutah merupakan rumah panggung dengan
kolong dibawahnya. Adapuni ketinggian panggung sekitar 3 meter dari muka
tanah. Rumoh Tgk. Chik Awe Geutah didirikan di atas tiang-tiang kayu atau
bambu dengan maksud untuk menghindarkan diri dari serangan binatang buas
dan banjir.
Di bagian depan rumah terdapat satu pintu masuk yang untuk masuk ke
dalam rumah tersebut harus menggunakan tangga dimana jumlah anak
tangganya berjumlah ganjil yaitu sebelas buah. Di bagian sisi samping kiri
dan kanan rumah hanya terdapat tiga buah jendela di masing-masing sisi.

Gambar 2.3.1 . Tampak Rumoh Tgk. Chik Awe Geutah


(Sumber : Dokumentasi Penulis, 2019)
Gambar 2.3.2 . Tampak Samping Rumoh Tgk. Chik Awe Geutah
(Sumber : Dokumentasi Penulis, 2019)

Gambar 2.3.3. Tampak Samping Rumoh Tgk. Chik Awe Geutah


(Sumber : Berdasarkan tulisan Sabila dkk (2014))

2.4. Tinjauan Bagian-bagian Rumah Rumoh Tgk. Chik Awe Geutah


2.4.1. Tinjauan Bagian Bawah Rumoh Tgk. Chik Awe Geutah
Karakteristik struktur yang ada pada Rumoh Tgk. Chik Awe
Geutah mempunyai kestabilan struktur yang kuat dan menjamin
ketahanan rumah sehingga dapat bertahan hingga ratusan tahun.
Struktur konstruksi rumah tersebut menggunakan konstruksi kayu.
Dinding hanya sebagai pengisi. Tiang kolom menerus dari tanah
sampai ke atap.
Jumlah tiang kolom berjumlah genap yaitu 24 buah dengan
diameter 20 cm berbentuk bulat. Jarak antara taing ke tiang sekitar
3 meter. Tiang kolom tersebut diletakkan di atas pondasi umpak
yang merupakan batu.
Bagian bawah rumah atau kolong rumah disebut dengan
yup moh yang berungsi sebagai ruang publik, tempat berkumpul,
dan melakukan kegiatan sehari-hari seperti menganyam,
menumbuk, atau hanya duduk dengn para tetangga

Gambar 2.4.1. Bagian Bawah Rumoh Tgk. Chik Awe Geutah


(Sumber : Dokumentasi Penulis, 2019)

2.4.2. Tinjauan Bagian Tengah Rumoh Tgk. Chik Awe Geutah


Bagian tengah rumah adalah bagian yang dipergunakan untuk
kegiatan sehari-hari yang bersifat privat dan semi privat.
Gambar 2.4.2.1. Bagian Tengah Rumoh Tgk. Chik Awe Geutah
(Sumber : Dokumentasi Penulis, 2019)
a) Lantai yang ada di Rumoh Tgk. Chik Awe Geutah terbuat dari bilah
bambu. Penggunaan material tersbut mempengaruhi penghawaan
udara yang sangat baik. Bilah bambu dipasang dengan cara dipaku
diatas gelagar dengan dimensi 5 cm x 10 cm.

Gambar 2.4.2.2. Lantai Rumoh Tgk. Chik Awe Geutah


(Sumber : Dokumentasi Penulis, 2019)
b) Dinding Rumoh Tgk. Chik Awe Geutah terbuat dari papan kayu yang
diukir dengan berbagai motif yang disusun sedemikian rupa hingga
menutup rumah. Penggunaan material tersebut mempengaruhi
penghawan udara yang sangat baik karena udara dapat pengalir
melalui selah selah antara atap dan dinding. Pada bagian dinding
rumah tradisional Aceh terdapat tempelan tempelan ornamen yang
mempengaruhi unsur tradisional Aceh
Gambar 2.4.2.3. Dinding Rumoh Tgk. Chik Awe Geutah
(Sumber : Dokumentasi Penulis, 2019)
c) Pada dinding sebelah depan yang menghadap ke halaman rumah
terdapat pintu masuk yang disebut pinto rumah, yang berukuran lebih
kurang lebar 0,80 meter, dan tingginya 1,20 meter. Pintu masuk ini
kadang-kadang terdapat pada dinding tengah ruangan serambi depan.

Pintu dibuat dengan tinggi 1,20 meter dengan maksud para tamu yang
masuk ke dalam rmah harus menunduk ketika masuk sebagai bentuk
hormat terhadap pemilik rumah. Pada daun dan kusen pintu terdapat
ukiran-ukiran yang dipahat langsung oleh Tgk. Chik Awe Geutah.
Kononnya, daun pintu yang sebelah kanan pada masa penjajahan
diambil oleh kolonial Belanda, sebelah daun pintu yang sekarang
merupakan replika dari pintu aslinya.

Pada dinding sebelah samping kanan dan kiri terdapat jendela yang
berukuran lebih kurang lebar 0.6 meter dan tingginya 1 meter yang
disebut tingkap. Masing-masing pada tiap sisi terdapat tiga buah
jendela.
Gambar 2.4.2.4. Pintu Rumoh Tgk. Chik Awe Geutah
(Sumber : Dokumentasi Penulis, 2019

Gambar 2.4.2.5. Jendela Rumoh Tgk. Chik Awe Geutah


(Sumber : Dokumentasi Penulis, 2019)

Pola ruang Rumoh Tgk. Chik Awe Geutah berbentuk persegi


panjang dan terdiri dari tiga jalur lantai memanjang sejajar dengan
bubungan atapnya. Jalur lantai yang tengah sengaja ditinggikan 40 cm.
Denah Rumah Aceh terdiri dari lima ruang, memiliki 24 tiang kolom
seperti gambar dibawah.

Gambar 2.4.2.6. Denah Rumoh Tgk. Chik Awe Geutah


(Sumber : Analisis penulis (2019) berdasarkan tulisan Sabila dkk
(2014))
Ruangan pada Rumoh Tgk. Chik Awe Geutah terdiri dari tiga
bagian, yaitu :
a) Seuramoe keue (serambi depan)
Seuramoe keue adalah ruangan yang berfungsi sebagai
ruang tamu dan bersifat semi publik. Ruangan dipergunakan untuk
menerima tamu di hari biasa, dan sebagai tempat untuk menerima
linto baro atau pengantin pria pada acara pernikahan.
Jika malam biasanya seuramoe keue juga dipergunakan
sebagai tempat tidur untuk anak laki-laki. Ruangan ini bersifat semi
publik karena pengaruh dari agama Islam yang membedakan
ruangan wanita dan pria. Tamu yang boleh naik keatas hanya tamu
yang diijinkan oleh tuan rumah/kepala rumah tangga. Jika dirumah
tidak ada kepala rumah tangga biasanya tamu akan diterima di
bawah/kolong rumah yang terdapat balee-balee/balai.
Karena di sini ditempatkan tangga masuk, disebut juga
seuramoë rinyeuen. Tangga untuk naik keatas merupakan pemisahan
antara ruang publik (kolong rumah) dengan seuramoe keue sebagai
ruang semi publik. Tangga ini ditaruh dibawah kolong seuramo keu
di bagian sebelah barat atau timur, hal ini dilakukan agar para tamu
masuk ke rumahh dengan menundukkan kepala untuk menghormati
pemilik rumah.

b) Tungai (ruang tengah)


Bagian utama rumah adalah pada bagian tengah, yang
dibuat lebih tinggi daripada lantai serambi depan maupun belakang.
Pada bagian ini terdapat dua buah bilik (kamar) tidur, yaitu rumoh
inong yaitu bilik untuk peurumoh (istri) dan anak perempuan.
Demikan mulianya posisi peurumoh dalam Adat Aceh.
Keharmonisan rumah tangga adalah hal yang paling penting,
sehingga ditempatkan pada posisi yang paling utama, di tengah dan
di lantai tertinggi. Di antara kedua kamar tidur itu ada lorong
penghubung antara seuramoë rinyeuen dengan seuramoë likôt, yang
bernama Rambat.

c) Seuramoe likot (serambi belakang)


Seuramo likot berfungsi sebagai dapur jika rumah tidak
memiliki rumoh dapu dan sekaligus sebagai ruang makan dan
ruang kumpul keluarga. Seuramo likot juga berfungsi untuk
menerima tamu perempuan jika ada acara-acara adat atau tamutamu
yang memiliki kekerabatan yang dekat karena seuramo likot
bersifat privat.

2.4.3. Tinjauan Bagian Atas Rumoh Tgk. Chik Awe Geutah


Atap pada rumah Tgk. Chik Awe Geutah berbentuk pelana yang
hanya
menggunakan satu bubungan dan menggunakan bahan penutup
berbahan rumbia yang memiliki andil besar dalam memperingan
beban bangunan sehingga saat gempa tidak mudah roboh. Fungsi
yang lain pun rumbia juga menambah kesejukan ruangan. Keburukan
sifat rumbiah yang mudah terbakar pun juga sudah ada solusinya
dalam rumah tradisional Aceh. Ketika rumbiah terbakar,pemotongan
tali ijuk di dekat balok memanjang pada bagian atas dinding
mempercepat runtuhnya seluruh kap rumbiah ke samping bawah
sehingga tidak merembet ke elemen bangunan lainnya (Hadjad dkk,
1984).

Gambar 2.4.3.1. Tampak atap Rumoh Tgk. Chik Awe Geutah

2.4.4. Bahan Bangunan Rumoh Tgk. Chik Awe Geutah


1. Kayu
Kayu yang biasanya digunakan adalah kayu Sentang/ barang/pohon
nangka/kayu bak mane dll. Kayu-kayu inidigunakan untuk konstruksi
utama yaitu kolom (tameh) dan balok (rhoek) dan konstruksi
atap,kuda-kuda dan Gording.Selain itu kayu juga digunakan untuk
membuat tangga dan pasak.
Gambar 2.4.4.1. Bahan kayu yang digunakan pada tiang rumah Tgk.
Chik Awe Geutah

Setiap masyarakat Aceh biasanya memiliki Lampoeh atau kebun


yang ditanami kayu untuk keperluan membangun Rumah.Sehingga
mereka bisa membangun rumah dengan kayu yang didapat dari kebun
sendiri. Selain menghemat biaya hal ini juga menjaga kelestarian
hutan dimana setiap pohonyang ditebang akan kembali ditanamuntuk
dipergunakan dalam membangunrumah di generasi yang
berikutnya.Kayu yang dipilih adalah kayu dengan kualitas yang
sangat bagus sehingga dapat bertahan lama.Struktur Utama dari
Rumoh Tgk. Chik Awe Geutah bisa bertahan lebih dari seratus tahun
jika dijaga dengan baik.
2. Papan
Material papan biasanya dipergunakan untuk konstruksi dinding dan
lantai.Begitu juga yang terjadi dengn rumah ini,Kayu yang digunakan
untuk papan adalah kayu sentangau, kayu barang serta ada juga yang
menggunakan kayu pohon kelapa.
Gambar 2.4.4.2. Bahan papan yang digunakan pada tiang rumah
Tgk. Chik Awe Geutah

3. Bambu
Selain kayu, material yang dpergunakan untuk lantai dan dinding
adalah bamboo.Bamboo ini nantinya dibelah dan diikat/digabungkan
dengan tali yang dibuat dari kulit bambu sendiri ataupun tali
ijuk.Penggunaan tanaman bambu sebagai material pada rumah Tgk
Chik Awe Geutah juga merupakan upaya untuk melestarikan
lingkungan agar tetap hijau.Bambu merupakan tanaman yang sangat
mudah hidup dimana saja dan dapat tumbuh lagi dalam waktu yang
singkat.Sehingga bamboo bisadikategorikan kepada material yang
ramah lingkungan dan dapat diperbaharui karena sifatnya yang cepat
tumbuh kembali.
Gambar 2.4.4.3. Bahan bambu yang digunakan pada tiang rumah
Tgk. Chik Awe Geutah
4. Tali Ijuk
Tali ijuk dipergunakan untuk menggabungkan belahan bamboo untuk
material dinding ataupun lantai.Selain itu juga untuk mengikat
konstruksi atap dan daun rumbia sebagai penutup atap.

Gambar 2.4.4.3. Bahan tali ijuk yang digunakan pada tiang rumah
Tgk. Chik Awe Geutah
5. Daun Rumbia/daun kelapa
Daun rumbia dipergunakan sebagai penutup atap.Penggunaan daun
rumbia dan atau daun kelapa ini karena memang di daerah Aceh
dahulunya banyak terdapat daun rumbia dan atau daun
kelapa.Sehingga material sangat mudah untuk
didapatkan.Mempergunakan atap daun rumbia dan atau kelapa sangat
bermamfaat didaerah yang beriklim tropis, dimana material penutup
atap ini merupakan material yang tidak mudah menghantarkan panas
sehingga ruangan dibawahnya tetap terasa sejuk.

Gambar 2.4.4.4. Bahan daun rumbia yang digunakan pada tiang


rumah Tgk. Chik Awe Geutah

6. Batu
Batu kali yang berbentuk pipih biasanya dipergunakan sebagai alas
pondasi. Pondasi seperti ini dinamakan juga gak tameh/keuneuleung
atau pondasi umpak dimana kolom kayu hanya diletakkan diatas batu
sebagai pembatas kayu dengan tanah agar tidak mudah lapuk.
Penggunaan material yang berasal dari lingkungan sekitar ini
menegaskan kearifan lokal dalam menjaga keseimbangan mikro
kosmos dan makro kosmos. Proses penggunaan material setempat
dan kebiasaan menanam kembali pohon yang dipergunakan dapat
melestarikan dan menjaga lingkungan. Proses ini juga secara tidak
langsung akan memaksa manusia untuk tetap menjaga dan
mengembalikan apa yang sudah diambil dari alam, karena untuk
kebutuhan pembangunan selanjutnya. Hal ini tidak hanya bermamfaat
bagi kelestarian lingkungan saja tetapi juga berpengaruh kepada
banyak factor, misalnya berpengaruh pada tetap terjaganya
(memperlambat perubahan) iklim dan makhluk hidup lainnya yang
juga hidup bersama-sama kita.

Gambar 2.4.4.5. Bahan batu yang digunakan pada tiang rumah Tgk.
Chik Awe Geutah

2.4.5. Konstruksi atau Struktur Rumoh Tgk. Chik Awe Geutah


Ada beebrapa konstruksi pada rumah Tgk, Chik Awee Geutah yang
membuat rumah ini kuat dan bagus hingga sekarang antara lain;
1. Kolom dan balok
Ini merupakan elemen utama yang menahan rumah aceh
untuk beriri kokoh .

Gambar 2.4.4.1.konstruksi yang digunakan pada tiang rumah


Tgk. Chik Awe Geutah, Sambungan knockdown kolom dan
balok yang diperkuat pasak
2. Tiang
Rumah tradisional ini mampu bertahan hingga ratusan tahun
tentunya didukung oleh konstruksi yang kokoh dan mutu
bahan bangunan yang berkualitas.Dari segi konstruksi,
penempatan tiang rumah menyebabkan pembagian
ruangrumah tradisional Aceh pada umumnya terdiri tiga ruang
bertiang 16 atau limaruang bertiang 24.

Gambar 2.4.4.2.konstruksi tiang pada rumah Tgk. Chik Awe


geutah
3. pondasi

Gambar 2.4.4.3.Batu pondasi (kiri) dan pondasibeton (kanan)


untuk menghindari kayu dari kelembaban tanah pada rumah
Tgk. Chik Awe Geutah
Konstruksi pondasi system ini hanya meletakkan kayu diatas batu
tanpa menempelkannya dengan material lainnya.Hal ini dilakukan
agar jika terjadi gempa rumah tidak kaku dan bisa mengikuti arah
goyangan gempa sehingga rumah tidak roboh dan strukturnya tidak
rusak.Selanjutnya pemasangan kolom (tameh) dan balok (rhok dan
toi). Balok padastruktur rumah aceh dibagi menjadi 2 yaitu rhok dan
toi. Rhok adalah balok yang menghubungkan kolom pada arah
melintang sedangkan toi adalah alok yang menghubungkan kolom
pada arah memanjang. Rhok dan toi ini berfungsi untuk mengikat
tameh/kolom agar dapat berdiri tegak. Tameh diberi lubang untuk
memasukkan ujung rhok dan toi sehingga tameh/kolom saling terikat
oleh balok (rhok dan toi). Untuk mempererat ikatan pada lubang ini
ditambahkan pasak/bajo. System ini membuat struktur rumah tidak
kaku dan ketika terjadi goyangan ketika gempa rumah dapat
bergerak fleksibel mengikuti gempa sehingga tidak ada gaya yg
berlawanan yang membuat struktur rumah menjadi rusak dan
roboh.Selain rhok dan toi dibagian tengahrumah diantara ruangan
seuramkeu/seuramo likot dengan tungai terdapat balok lebar yang
disebut dengan peulangan.Peulangan ini dipasang untuk memperkuat
bagian tengah rumah yang berbeda ketinggian.
4. Pasak
Pasak merupakan elemen yang membantu balok dan kolom
untuk terikat dengan kuat.

Gambar 2.4.4.3.Pasak untuk meperkuat ikatan balok dan


kolom pada rumah Tgk. Chik Awe Geutah.

Gambar 2.4.4.4.penjelasan gambar

5. Kuda kuda dan gording


Pada rumah ini gording serta usuk terbuat dari kayu dan
menahan penutup atap yang terbuat dari daun rumbia
Gambar 2.4.4.5.konstruksi cara peletkan atap pada rumah Tgk.
Chik Awe Geutah

Gambar 2.4.4.6.ikatan antara kayu,bamboo dan atap dari


rumbia yang digabungkan
Rumah tradisional Aceh didirikan di atas tiang-tiang kayu atau
bambu dengan maksud untuk menghindarkan diri dari serangan
binatang buas dan banjir. Karena berkolong maka orang hidup di atas
lantai yang selalu kering, jadi lebih sehat (Hadjad,1984).
Rumah tradisional ini terbukti mampu bertahan dari gempa karena
struktur utama yang kokoh dan elastis.Kunci kekokohan dan
keelastisan ini adapada hubungan antar struktur utama yang saling
mengunci, hanya dengan pasak dan bajoe tanpa paku, serta
membentuk kotak tiga dimensional yang utuh (rigid).
Keelastisan ini menyebabkan struktur bangunan tidak mudah patah,
namun hanyaterombang-ambing ke kanan kiri yang kemudian
kembali tegak atau punbangunan terlikuifaksi (terangkat ke atas)
yang kemudian mampu jatuh kembalike tempat semula. Jika
bangunan bergeser pun hanya beberapa centimeter saja
dan dalam keadaan utuh.

Gambar 2.4.4.7.Kerangka Konstruksi Rumah Tradisional Aceh (Sumber :


Hadjad dkk, 1984)
Pada dasarnya bentuk rumah aceh hampir sama semua,yang
membedakan kebanyakan dari motif,letak tangga dan arah
orientasinya saja.Gambar diatas merupakan ilustrasi dari konstruksi
rumah aceh yang hamper sama halnya dengan rumah Tgk. Chik Awe
Geutah.
Tiga komponen struktur utama yang menjadi pusat kekokohan
bangunanmeliputi pondasi (komponen kaki) sebagai pusat beban
bangunan terbesar,kemudian tiang dan balok antar tiang (komponen
badan) sebagai penyalur bebandari atas dan dari samping, serta
rangka atap (komponen kepala) sebagaipenyangga beban elemen
paling atas bangunan dan dari samping atas (Widosari :2010).
Gambar 2.4.4.8.Komponen Struktur Utama Rumah Tradisional Aceh
(Sumber : Analisis Penulis, 2015 berdasarkan buku Arsitektur
Tradisonal Aceh oleh Hadjad dkk, 1984)

Sistim konstruksinya menggunakan tiang-tiang dan gelagar yang


salingditusukkan dan dikancing dengan pasak dari bambu. Untuk
unsur-unsur bangunanyang kecil dipakai sistim ikat, dengan tali
rotan, ijuk dan lain sebagainya

Gambar 2.4.4.9. Pola Penyambungan dan Hubungan Tiang pada


Rumah
Tradisional Aceh (Sumber : Hadjad dkk, 1984)
2.4.6. Ragam Hias atau Ornamen pada Rumoh Tgk. Chik Awe Geutah
 Dalam rumoh Aceh, ada beberapa motif hiasan yang dipakai,
yaitu: Motif keagamaan yang merupakan ukiran-ukiran yang
diambil dari ayat-ayat al-Quran;
 Motif flora yang digunakan adalah stelirisasi tumbuh-
tumbuhan baik berbentuk daun, akar, batang, ataupun bunga-
bungaan. Ukiran berbentuk stilirisasi tumbuh-tumbuhan ini
tidak diberi warna, jikapun ada, warna yang digunakan adalah
merah dan hitam. Ragam hias ini biasanya terdapat pada
rinyeuen (tangga), dinding, tulak angen, kindang, balok pada
bagian kap, dan jendela rumah.Beberapa motif flaura yang
Terdapat pada rumah Tgk. Chik Awe Geutah:

Gambar 2.4.6.1.motif pada pintu rumah Tgk.Ckik Awe


Geutah
Gambar 2.4.6.2. Motif pada dinding bagian bawah di rumah
Tgk. Chik Awe Geutah

Gambar 2.4.6.3. Motif pada atap bagian dalam rumah


Tgk.Chik Awe Geutah
Gambar 2.4.6.4. Motif pada tiang gantung yang terletak dekat
pada bagian bawah teras(lasar)

Gambar 2.4.6.5. Motif pada tiang gantung yang terletak dekat


pada bagian bawah teras(lasar)
Gambar 2.4.6.6. motif yang terletak pada dinding ruah Tgk.
Chik awe Geutah

Gambar 2.4.6.7.motif yang terletak pada dinding ruah Tgk.


Chik awe Geutah
Gambar 2.4.6.8. motif yang terletak pada tangga rumah
Tgk.Chik Awe Geutah

Gambar 2.4.6.9.motif yang Terletak pada balok dekat denga


atap di rumah Tgk. Chik Awe Geutah.
 Motif fauna yang biasanya digunakan adalah binatang-
binatang yang sering dilihat dan disukai;
 Motif alam digunakan oleh masyarakat Aceh di antaranya
adalah: langit dan awannya, langit dan bulan, dan bintang dan
laut; dan
 Motif lainnya, seperti rantee, lidah, dan lain sebagainya.

2.4.7. Warna pada Rumoh Tgk. Chik Awe Geutah

Gambar 2.4.7.1. warna yang Terdapat pada motif flaura rumah Tgk.
Chik Awee Geutah
Gambar 2.4.7.2. warna yang Terdapat pada motif flaura rumah Tgk.
Chik Awee Geutah

Terdapat makna yang berbeda dari setiap warna yang ada pada rumah
Tgk. Chik Awe GEutah ini diantaranya;
ACEH TIMUR

LETAK GEOGRAFIS

Kabupaten Aceh Timur memiliki luas wilayah sebesar 6.040,60 Km², secara
administratif Kabupaten Aceh Timur terdiri dari 24 kecamatan, 54 mukim, 513
desa, 1 kelurahan dan 1.596 dusun. Nama-nama Kecamatan yang ada di
Kabupaten Aceh Timur adalah Kecamatan Simpang Ulim, Kecamatan Julok,
Kecamatan Nurussalam, Kecamatan Darul Aman, Kecamatan Idi Rayeuk,
Kecamatan Peureulak, Kecamatan Rantau Selamat, Kecamatan Birem Bayeun,
Kecamatan Serba Jadi, Kecamatan Rantau Peureulak, Kecamatan Pante Bidari,
Kecamatan Madat, Kecamatan Indra Makmur, Kecamatan Idi Tunong, Kecamatan
Banda Alam, Kecamatan Peudawa, Kecamatan Peurelak Timur, Kecamatan
Peureulak Barat, Kecamatan Sungai Raya, Kecamatan Simpang Jernih,
Kecamatan Darul Ihsan, Kecamatan Peunaron, Kecamatan Idi Timur, dan
Kecamatan Darul Falah.

Dulu, Langsa termasuk kepada kabupaten Aceh Timur, namun sekarang Langsa
sudah berdiri sebagai Kota langsa.
KONDISI GEOGRAFIS

Secara umum Kabupaten Aceh Timur merupakan dataran rendah, perbukitan,


sebagian berawa-rawa dan hutan mangrove, dengan ketinggian berada 0–308 m di
atas permukaan laut. Keadaan topografi daerah Kabupaten Aceh Timur
dikelompokkan atas 4 kelas lereng yaitu: 0-2%, 2-15%, 5-40% dan > 40%. Dilihat
dari penyebaran lereng tersebut yaitu memiliki kemiringan lereng >40% hanya
sebesar 6,7% yaitu meliputi Kecamatan Birem Bayeun dan Serbajadi. Sedangkan
wilayah yang memiliki kemiringan lereng 0-2%,2-15% dan 5-40% meliputi
seluruh Kecamatan.

PEREKONOMIAN

Komoditi unggulan Kabupaten Aceh Timur yaitu sektor pertanian dan jasa. Sektor
pertanian komoditi unggulannya adalah sub sektor tanaman perkebunan dengan
komoditi Kelapa Sawit, Kakao, Karet dan Kelapa. Sub sektor pertanian komoditi
yang diunggulkan berupa Jagung dan Ubi kayu.

Sebagai penunjang kegiatan perekonomian, di Kabupaten ini Tersedia 1


Pelabuhan Industri, yaitu Pelabuhan Idi. Untuk industri tersedia 6 kawasan
industri, yaitu Kawasan Industri UMKM Pisang Sale, Kawasan Industri Kelapa
Terpadu, Kawasan Industri Pengolahan Rotan, Kawasan Industri Agro dan
Perikanan, Kawasan Industri Kelapa Terpadu Timur (KITAT) dan Kawasan
Industri Migas Pertambangan dan Energi yang didukung juga oleh fasilitas listrik
dan telekomunikasi. Pariwisatanya yaitu wisata alam, wisata adat dan budaya.
RUMAH ADAT

LOKASI

KOTA LANGSA

Kota Langsa adalah salah satu kota di Aceh, Indonesia. Kota Langsa adalah kota
yang menerapkan hukum Syariat Islam. Kota Langsa berada kurang lebih 400 km
dari kota Banda Aceh. Pada awalnya Kota Langsa berstatus Kota Administratif
sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 1991 tentang Pembentukan
Kota Administratif Langsa. Kota Administratif Langsa diangkat statusnya menjadi
Kota Langsa berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 tanggal 21 Juni 2001. Hari
jadi Kota Langsa ditetapkan pada tanggal 17 Oktober 2001.

Kota Langsa terkenal sebagai kota pendidikan, kota perdagangan, kota


kuliner/makanan, dan kota wisata.
KONDISI GEOGRAFIS

Kota Langsa mempunyai luas wilayah 262,41 KM2, yang terletak pada posisi
antara 04° 24’35,68’’ – 04° 33’ 47,03” Lintang Utara dan 97° 53’ 14,59’’ – 98°
04’ 42,16’’ Bujur Timur, dengan ketinggian antara 0 – 25 M di atas permukaan
laut serta mempunyai batas-batas wilayah sebagai berikut.

Utara, Kabupaten Aceh Timur, Selat Malaka.

Selatan, Kabupaten Aceh Tamiang.

Barat, Kabupaten Aceh Timur.

Timur, Selat Malaka.

Kota Langsa merupakan daerah tropis yang selalu dipengaruhi oleh angin musim,
sehingga setiap tahun ada dua musim yang berbeda yaitu musim hujan dan musim
kemarau. Musim hujan dan musim kemarau biasanya terjadi secara acak
sepanjang tahun. Meskipun perubahan cuaca sering, curah hujan rata-rata per
tahun berkisar dari 1500 mm sampai 3000 mm, sedangkan suhu udara rata-rata
berkisar antara 28°-32 °C dan kelembaban relatif rata-rata 75%.
RUMAH ADAT LANGSA

Rumah Aceh berrkembang berdasarkan konsep kehidupan masyarakat Islam yaitu


suci. Konsep suci ini menyebabkan rumah Aceh berdiri di atas panggung.

Ciri Khas

Bentuknya yang selalu persegi panjang dan posisinya tak berubah, yakni
membujur Barat ke Timur.

Memanfaatkan bahan alam untuk membangun rumah.

Adanya ukiran yang hanya menggunakan 7 'canek' (motif ukir) khas Aceh:

Canek kalimah, yang berarti kalimat Allah. Letaknya harus berada di bagian
atas karena sangat sakral.

Canek jeumpa, yang berarti bunga jeumpa yang khas Aceh. Bentuknya seperti
bunga yang melingkar dan diletakkan di sisi samping.

Canek ranum (daun sirih).

Canek talo meputa atau tali berputar di bagian depan dan di sisi samping.

Canek selanga (bunga selanga), bunga khas setempat.

Canek bintang bulan, khas Timur Tengah mengisyaratkan Aceh dimulai dari
kehadiran ulama dari Timur Tengah yang dipasang di sudut-sudut.
canek eun kaye (kayu) dan canek awan, artinya awan yang berputar putar, yang
diletakkan di sudut rumah.

Filosofi

Rumah yang terbuat dari bahan alam, yakni kayu-kayuan dan ijuk. Bermakna
bahwa masyarakat Aceh selalu berdekatan dengan alam mereka. Tanpa adanya
anugerah alam yang diberikan oleh Tuhan YME, maka tidak akan ada hunian
kokoh yang mampu bertahan hingga ratusan tahun.

Rumah yang membujur dari Barat ke Timur, penyesuaian terhadap tata cara
beribadah dalam agama Islam. Kebiasaan Shalat menyebabkan peletakan rumoh
Aceh memanjang mengikuti arah kiblat (ke barat) sehingga rumoh Aceh dapat
menampung banyak orang bersholat. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat
Aceh adalah sosok yang religius dan selalu mengingat sang pencipta.

Peletakan tangga (reunyeun) tidak boleh di depan orang sholat sehingga tangga
ditempatkan di ujung timur atau dibawah kolong rumah.
DENAH

Nama Ruang

Seuramo Keu/Agam

Seuramo Keu/ Serambi depan adalah ruangan yang berfungsi sebagai ruang tamu
dan bersifat semi publik. Ruangan ini dipergunakan untuk menerima tamu,
terutama tamu laki-laki baik tamu dihari biasa ataupun ketika diadakan acara adat.

Seuramo Inong

Seuramo Inong adalah bagian rumah yang berada ditengah. Bagian rumah ini
biasanya terdiri dari 2 bagian yaitu dibagian timur kamar untuk anak perempuan
yang disebut Jurei dan dibagian barat kamar untuk orang tua yang disebut dengan
anjong. Diantara anjong dan Jurei terdapat rabat yang merupakan lorong yang
menghubungkan antara seuramo keu dan seuramo likot.

Seuramo Likot (Serambi Belakang)

Seuramo likot (bagian barat)


berfungsi sebagai ruag tidur anak
perempuan atau dan orang tua jika
ada anak perempuan yang baru saja menikah. Seuramo likot juga berfungsi untuk
menerima tamu perempuan jika ada acara-acara adat atau tamu-tamu yang
memiliki kekerabatan yang dekat karena seuramo likot bersifat privat. Seuramo
likot juga berfungsi sebagai dapur (dibagian timur) jika rumah tidak memiliki
rumoh dapu dan sekaligus sebagai ruang makan dan ruang kumpul keluarga.

Rumoh Dapu (Dapur)

Rumoh Dapu adalah ruangan tambahan yang berfungsi sebagai dapur. Biasanya
rumoh dapu terletak disamping seuramo likot di bagian Timur. Ketinggiannya bisa
sejajar ataupun lebih rendah dari seuramo likot. Ukurannya lebih kecil dari bagian
lain di Rumoh Aceh karena ruangan ini hanya berfungsi sebagai dapur.

Struktur Rumah Aceh

Proses pemasangan struktur dilakukan setelah semua bahan material terkumpul.


Proses ini dimulai dengan mempersiapkan kayu untuk kolom dan balok. Kayu
yang dijadikan kolom dan balok di takik untuk membuat sambungan antara kolom
dan balok. kemudian kolom- kolom ini dibuatkan landasan berupa batu kali.
Konstruksi pondasi

Sistem ini hanya meletakkan kayu diatas batu tanpa menempelkannya dengan
material lainnya. Hal ini dilakukan agar jika terjadi gempa rumah tidak kaku dan
bisa mengikuti arah goyangan gempa sehingga rumah tidak roboh dan
strukturnya tidak rusak.

Kolom dan balok

Balok pada struktur rumah aceh dibagi menjadi 2 yaitu rhok dan toi. Rhok adalah
balok yang menghubungkan kolom pada arah melintang sedangkan toi adalah alok
yang menghubungkan kolom pada arah memanjang. Rhok dan toi ini berfungsi
untuk mengikat kolom agar dapat berdiri tegak. Kolom diberi lubang untuk
memasukkan ujung rhok dan toi sehingga kolom saling terikat oleh balok (rhok
dan toi). Untuk mempererat ikatan pada lubang ini ditambahkan pasak. System ini
membuat struktur rumah tidak kaku dan ketika terjadi goyangan ketika gempa
rumah dapat bergerak fleksibel mengikuti gempa sehingga tidak ada gaya yg
berlawanan yang membuat struktur rumah menjadi rusak dan roboh.
Struktur atap

Material struktur atap biasanya mempergunakan kayu atau bamboo dengan


penutup atap dari daun rumbia yang dirangkai. Sambungan antara penutup atap
menggunakan tali ijuk ataupun tali rotan.

Struktur atap ini merupakan struktur atap yang ringan karena bahan materialnya
yang ringan. Struktur seperti ini sangat cocok untuk didaerah yang rawan
gempa.material penutup atap adalah daun rumbia, material untuk struktur atap
seperti kuda-kuda, gording dan usuk merupakan kayu setempat/local seperti kayu
pohon kelapa sedangkan rengnya biasanya dari bamboo yang dibelah.
Pengikatnya adalah tali ijuk ataupun tali dari kulit kayu.
ELEMEN RUMAH

ATAP, Jerami bahan dasar atap dilihat dari dalam bangunan.

BAGIAN DALAM, Ruang pertama masuk tangga ke dua di bagian dalam


bangunan.
TANGGA DALAM, Tangga ke dua memasuki ruangan inti Rumoh Aceh. Terlihat
ukiran di setiap sisi.

TANGGA LUAR, Tangga pertama masuk dari luar bangunan. Terdapat ukiran-
ukiran khas Aceh di segala sisi, salah satunya di tangga.

JENDELA SISIR
Aceh Tamiang
Kabupaten Aceh Tamiang (Melayu Jawi: ‫كابوڤاتين اچيه‬ ‫ )تميانڠ‬adalah salah
satu kabupaten di provinsi Aceh, Indonesia. Kabupaten ini merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten
Aceh Timur dan terletak di perbatasan Aceh-Sumatra Utara.

Peta lokasi Kabupaten Aceh Tamiang

‫ تميانڠ اچيه كابوڤاتين‬di Aceh

Koordinat: 03°53-04°32' LU dan 97°44'- 98°18' BT

Sejarah
Sebelum kemerdekaan
Kerajaan Tamiang pernah mencapai puncak kejayaannya dibawah pimpinan seorang Raja Muda Setia yang memerintah selama
tahun 1330 - 1366 M.[1] Pada masa itu kerajaan tersebut dibatasi:
1. Sungai Raya/Selat Malaka di bagian Utara
2. Besitang di bagian Selatan
3. Selat Malaka di bagian Timur
4. Gunung Segama (Gunung Bendahara/Wilhelmina Gebergte) di bagian Barat.

Pada masa kesultanan Aceh, Kerajaan Tamiang telah mendapat cap Sukureung dan hak Tumpang Gantung(Zainuddin, 1961:
136-137) dari Sultan Aceh Darussalam atas wilayah Negeri Karang dan Negeri Kejuruan Muda.

Pada tahun 1908, dengan berlakunya Staatblad No.112 tahun 1878, maka wilayah Tamiang dimasukkan ke dalam Geuverment
Aceh en Onderhoorigheden. Maksudnya adalah, Tamiang berada dibawah status hukumOnderafdelling.[1] Dalam Afdeling
Oostkust Van Atjeh (Aceh Timur) beberapa wilayah Landschaps berdasarkan Korte Verklaring diakui sebagai Zelfbestuurder,
dengan status hukum Onderafdelling Tamiang, termasuk wilayah - wilayah:

1. Landschap Karang
2. Landschap Seruway/Sultan Muda
3. Landschap Kejuruan Muda
4. Landschap Bendahara
5. Landschap Sungai Iyu, dan
6. Gouvermentagebied Vierkantepaal Kualasimpang.
Asal kata "Tamiang"
Nama Tamiang tumbuh dari legenda "Te-Miyang" atau "Da-Miyang" yang berarti tidak kena gatal atau kebal gatal dari miang
bambu. Hal tersebut berhubungan dengan cerita sejarah tentang Raja Tamiang yang bernama Pucook Sulooh. Ketika masih bayi,
ia ditemukan dalam rumpun bambu betong (istilah Tamiang adalah bulooh) oleh seorang raja berjulukan "Tamiang Pehok".
Menginjak dewasa, Pucook Sulooh dinobatkan menjadi Raja Tamiang bergelar "Pucook Sulooh Raja Te-Miyang", yang artinya
"seorang raja yang ditemukan di rumpun rebong, tetapi tidak kena gatal atau kebal gatal".

Bahasa Tamiang
Bahasa Tamiang atau Bahasa Melayu Tamiang (Tamiang: Bahase Temiang) adalah merupakan variasi Bahasa Melayu yang
ditutur oleh Suku Tamiang yang tinggal di aceh bagian timur yang langsung berbatasan dengan Sumatra Utara, sebuah
kabupaten yang bernama Aceh Tamiang. Kabupaten Aceh Tamiang tersebut berbatasan dengan Aceh Timur, dan Kabupaten
Langkat, Sumatra Utara.

Pembagian bahasa
Bahasa Tamiang terbagi dengan 2 macam bahasa yaitu:

Tamiang Hulu,
Digunakan oleh penduduk di kawasan Kecamatan Tamiang Hulu, Kejuruan Muda, Kota Kuala Simpang, dan sebagian
Kecamatan Karang Baru dan Rantau.
Tamiang Hilir.
Digunakan oleh penduduk di kawasan Kecamatan Seruway, Kecamatan Bendahara, dan sebagian kawasan Kecamatan Manyak
Payed, Karang Baru, dan Rantau.

Dialek
Bahasa Tamiang menggunakan dealek melayu yang menggunakan pelafalan huruf "R" yang tidah jelas, yaitu seperti lafaz huruf
"‫("غ‬gh). dalam tulisan tidak menggunakan lafal "gh" namun disempurnakan dengan tulisan "ġ" yang bertitik atas pada tengah
kata dan huruf "Q" apabila terdapat pada akhir kata. contoh yang terdapat di tengah kata: deġeh/deġas = deras, dan dengoq/
dengaq = dengar.

Kebudayaan Suku Aceh Tamiang

1. Pakaian Adat
Pakaian adat suku Aceh merupakan peninggalan sejarah dari kerajaan perlak dan Samudra
Pasai. Pakaian adat pria Aceh biasa disebut dengan baju ‘Linto Baro’. Sedangkan untuk pakaian
adat perempuan disebut dengan ‘Daro Baro’.

Pakaian ‘Linto Baro’ yang dikenakan oleh pria merupakan perpaduan dari baju atasan yang disebut ‘Meukasah’ dan bawahan
celana yang disebut ‘cekak musang’ atau ada juga yang menyebut celana ‘sileuweu’. Baju meukasah memiliki desain ornamen
sulaman benang emas yang mirip dengan desain pakaian cina. Konon hal ini merupakan hasil asimiliasi antara pakaian Melayu
dan pakaian Cina. Perpaduan atasan dan bawahan ini kemudian dipadukan dengan kain sarung yang dilingkarkan di bagian
pinggang. Setelan ini juga dilengkapi dengan penutup kepala yang disebut ‘Meukotop’. Meukotop merupakan semacam kopiah
yang dililit dengan lilitan tangkulok yakni lilitan yang berasal dari tenunan sutra berhias bintang berbentuk persegi delapan yang
biasanya berbahan emas atau kuningan.
Sedangkan pakaian wanita ‘Daro Baro’ merupakan perpaduan dari baju atasan yang berbentuk baju kurung berlengan panjang
dan memiliki kerah baju yang juga bergaya seperti kerah baju pakaian Cina. Bagian bawah juga sama mengenakan celana cekak
musang yang juga dibalut dengan kain sarung hingga selutut. Pada bagian kepala tidak menggunakan penutup kepala, hanya
rambut yang dibentuk sanggul dan kemudian diberi semacam hiasan rambut. ‘Daro Baro’ biasanya juga dilengkapi dengan
aksesoris perhiasan seperti kalung, gelang tangan, gelang kaki, anting-anting serta ikat pinggang yang berwarna kuning emas.

2. Upacara Adat
Upacara Troen Bak Tanoeh
Merupakan upacara yang digelar pada masa kelahiran bayi.

Upacara Kelahiran
Terdapat beberapa tahapan dalam melaksanakan upacara kelahiran. Tahapan
pertama disebut ‘upacara bahu’, upacara ini dilakukan pada saat usia kehamilah berada pada usia 4-5 bulan. Pada upacara bahu,
mertua dari perempuan akan membuatkan makanan bagi menantunya yang berupa nasi lengkap dengan lauk pauk dan sejumlah
buah yang dimasukkan dalam satu wadah yang disebut kating. Selanjutnya makanan ini diantarkan kepada menantu yang
ditemani oleh para kerabat (kawon) dan para tetangga (Jiran) untuk kemudian nasi dalam kating disajikan dan disantap bersama.
Upacara bahu biasanya diulang ketika kehamilan memasuki usia 7-8 bulan.
Tahapan kedua disebut dengan ‘peunulang’, bentuk adatnya hampir sama dengan upacara bahu, yang membedakan hanya yang
menyerahkan dan menerima kating. Pada adat peunulang, yang menyerahkan adalah mertua dan besan sekaligus, sedangkan
yang menerima adalah mablien (orang yang dianggap ahli dalam membantu proses persalinan). Peuneulang juga dilengkapi
dengan penyerahan sirih setapak, sejumlah uang serta sesalin (satu stel pakaian). Sejak peunulang, maka mablien akan rajin
menjenguk dan mengontrol kondisi ibu hamil serta membantu proses perawatannya hingga masa persalinan tiba.
Tahapan ketiga adalah prosesi kelahiran, pada proses kelahiran ini mablien memegang peranan yang amat penting dan sentral.
Pada saat bayi lahir, mablien akan mengikat tali pusar bayi dengan jumlah ikatan ganjil, yakni 7 ikatan untuk putra dan 5 ikatan
untuk putri, kemudian baru memotong tali pusat dengan menggunakan sembilu (alat pemotong yang berasal dari bambu). Pada
hari ke 7 kelahiran akan dilakukan upacara menyangke rambut budak yaitu upacara mencukur rambut bayi sekaligus pemberian
nama bayi, serta upacara peucicap yakni tradisi mengoleskan madu lebah pada bibir bayi.
Tahapan terakhir disebut ‘manao peut ploh peut’, yakni kegiatan memandikan ibu bayi dengan air yang bercampur irisan limau
yang dilakukan oleh mablien sebagai simbol pensucian ibu bayi. Sebagai ungkapan terima kasih biasanya pihak keluarga akan
memberikan sejumlah pemberian kepada mablien berupa uang dan bahan pangan.

Upacara perkawinan
Upacara perkawinan suku Aceh terdiri dari beberapa tahapan :
1. Ba Ranup, yakni tahapan melamar calon mempelai wanita.
2. Jakba Tanda, yakni tahapan pertunangan antara kedua calon mempelai.
3. Pesta pelaminan, yakni pesta yang dilakukan setelah kedua calon mempelai melaksanakan pernikahan sesuai dengan
agama.
4. Tueng Dara Baro, yakni tradisi penjemputan yang dilakukan oleh pihak laki-laki sesuai dengan hukum adat Aceh
5. Tueng Linto Baro, yakni tradisi penjemputan yang dilakukan oleh pihak perempuan sesuai dengan hukum adat Aceh.

Upacara Troen U Laoet


Merupakan upacara hajat semacam kenduri yang dilakukan pada saat musim melaut. Bertujuan sebagai rasa syukur agar hasil
ikan di laut melimpah.

Upacara Peusijuek
Merupakan tradisi memercikan air yang bercampur dengan tepung tawar kepada orang
yang hendak melaksanakan hajat tertentu. Dipercayai tradisi ini agar orang yang sudah
diberi peusijuek terhindar dari mara bahaya ketika melaksanakan hajatnya. Upacara
peusijuek biasanya dilakukan bersamaan dengan kegiatan upacara yang selainnya.

Rumah Adat Aceh Tamiang


Rumah tradisional Tamiang diberi nama sesuai dengan jumlah tiang yang menjadi penopang rumah, yaitu rumah tiang enam,
tiang Sembilan,dan rumah tiang dua belas. Diantara ketiga jenis rumah tersebut, rumah tiang dua belas termasuk rumah yang
cukup besar. Rumah tradisional Tamiang berbentuk rumah panggung dengan kolong di bawahnya. Hal ini terjadi karena pada
masa lalu perkampungan masyarakat Tamiang berada di pinggir hutan dan dekat dengan sungai atau pantai, sehingga untuk
menghindari binatang buas agar tidak masuk ke dalam rumah dan terhindar dari banjir, maka rumah tradisional dibangun tinggi-
tinggi dari permukaan tanah.

Rumah rumah berada di pinggir sungai, maka rumah harus menghadap kesungai karena adalah tabu bagi sub etnis Tamiang
kalau bubungan (atap)rumahnya melintang sungai, dan dapat juga diusahakan menghadap ke Barat, sehingga bentuk
perkampungan pada masyarakat Tamiang tampak seperti pada gambar di bawah ini Rumah panggung, bertiang empat persegi,
banyaknya tiang rumah induk 6, 9 atau 12, berbubungan panjang agak melengkung sedikitditengah, bubungan dapur terpisah dan
agak rendah sedikit. dari bubungan rumah induk tinggi rumah induk sekerunjong (sepenjangkauan orang dewasa) atau
bertangga tujuh anak tangga (tengkah). Manju (serambi muka) dan dapur tingginya sama, tetapi lebih rendah kira kira 30 cm dari
rumah induk.

Struktur Bangunan
A. Atap
Atap rumah Tamiang dibuat dari beberapa bahan yaitu ada yangterbuat dari daun nipah, seng, dan ada yang terbuat dari genteng
dan memiliki bentuk ubungan kombinasi merupakan atap terdiri dari lebih satu bentukatap, misalnya rabung lima dengan rabung
panjang, rabung lima denganrabung piramid. Variasi atap ini dibuat karena bangunan itu lebih rumitdari bangunan dengan model
atap panjang. Selain terdapat atap induk,terdapat atap tambahan yang biasanya atap ini dipergunakan untukteras/serambi atau
dapur.

B. Tangga
Tangga adalah sarana bantu yang menghubungkan dengan lantai diatasnya. Agar tangga mudah dan nyaman dilalui oleh
pengguna, pembuatan tangga perlu didasarkan pada beberapa pertimbangan sehingga tangga menjadi aman dan nyaman bagi
penggunanya. Pijakan anak tangga perlu diperhitungkan agar bisa memberi kenyamanan bagi penggunanya. Biasanya tinggi
anak tangga yang paling nyaman antara15cm – 18cm, bila anak tangga terlalu tinggi maka kaki akan terasa berat bila
menaikinya. Lebarnya anak tangga harus melebihi lebar telapak kaki orang dewasa, hal ini diperlukan supaya tangga aman di
gunakan untuk naik dan turun. Lebar minimal untuk anak tangga adalah 22cm jika lebar anak tangga 22cm dapat membuat orang
jatuh terpeleset atau tersandung dan ini sangat membahayakan penggunanya.
Pada rumah tempat tinggal di masyarakat Tamiang yang dimaksud dengan tangga adalah sarana yang dipergunakan naik dari
tanah menuju rumah (bukan dari lantai 1 ke lantai 2 karena rumah Tamiang berbentuk rumah panggung, maka diperlukan tangga
untuk mencapai atas. Pada umumnya tangga di sana dibuat dari bahan kayu dan sedikit sekali yang dibuat dari cor/susunan batu
bata.
Selain itu, pada umumnya tangga naik ke rumah mengarah ke jalan umum, tetapi ada juga yang tidak mengarah ke jalan, yaitu
khususnya rumah yang berteras. Kiri dan kanan tangga diberi tangan tangga. Tiang dan kepala tangga diberi hiasan. Anak tangga
kebanyakan ganjil sebab menurut kepercayaan, bilangan genap kurang baik artinya. Tangga depan selalu berada di bawah atap
dan terletak pada pintu serambi muka atau selang muka. Tangga penghubung setiap ruangan terdiri dari satu atau tiga buah anak
tangga. Curam tangga sekitar 60 derajat, Jarang tegaklurus. Tiang tangga berbentuk segi empat atau bulat.Pada kiri kanan tangga
ada kalanya diberi tangan tangga yang dipasang sejajar dengan tiang tangga, dan selalu diberi tiang hiasan berupa kisi-kisi larik
atau papan tembus. Menurut seorang informan, Madlan, mengatakan bahwa jumlahanak tangga di rumah tradisional biasanya
menurut bilangan ganjil,misalnya 3, 5, 7, dan seterusnya. Bahkan menurutnya, jumlah anaktangga ini menunjukkan simbol status
sosial dari siempunya, semakinbanyak anak tangga, maka makin tinggi status sosialnya.
C. Tata Ruang
Biasanya penataan ruang sebuah rumah (tradisional) berlandaskanpada konsep asli masyarakat tersebut tentang tempat tinggal
yang baikdan budaya yang dianutnya sehari-hari. Seperti tampak pada gambar tataruang rumah tradisional Tamiang, rumah
tradisional Tamiang dibagidalam beberapa bagian, yaitu kamar untuk tidur, ruang tamu, serambi/manju , dan dapur. Pengaturan
tata ruang mengacu pada adat/budaya yang berlaku di daerah ini. Untuk itu, tata ruang rumah tradisional Tamiang ditata
sedemikian rupa dimana kamar dara (anak perempuan) terletak di depan kamar ayah dan ibu. Sedangkan di samping atau sebelah
kamar ayah dan ibu terletak kamar bujangan (anak laki-laki). Halini menunjukkan bahwa peranan orang tua dalam mengawasi
anak-anaknya sangat menonjol. Bila orang tua tidak ada di rumah disediakan manju untuk tempat tamu menunggu bagi laki-laki
yang berada diserambi muka dan serambi belakang bagi tamu perempuan. Serambi muka dan serambi belakang ini tidak
berdinding penuh. Biasanya hanya sebatas bahu orang dewasa.

ACEH TENGAH DAN BENER MERIAH

SUKU GAYO
Daerah Kawasan : Bener Meriah, Aceh Tengah, Gayo Lues, sebagian Aceh Tenggara Aceh Timur dan Aceh Tamiang.

Bahasa : Bahasa Gayo

Agama : Islam

Jumlah Populasi : 336.856 jiwa

Suku Gayo adalah sebuah suku bangsa yang mendiami dataran tinggi Gayo di Provinsi Aceh bagian tengah. Berdasarkan sensus
2010 jumlah suku Gayo yang mendiami provinsi Aceh mencapai 336.856 jiwa. Wilayah tradisional suku Gayo meliputi
kabupaten Bener Meriah, Aceh Tengah dan Gayo Lues. Selain itu suku Gayo juga mendiami sebagian wilayah di Aceh
Tenggara, Aceh Tamiang, dan Aceh Timur.

Suku Gayo beragama Islam dan mereka dikenal taat dalam agamanya dan mereka menggunakan Bahasa Gayo dalam percakapan
sehari-hari mereka.

Sejarah
Pada abad ke-11, Kerajaan Linge didirikan oleh orang-orang Gayo pada era pemerintahan Sultan Makhdum Johan
Berdaulat Mahmud Syah dari Kesultanan Perlak. Informasi ini diketahui dari keterangan Raja Uyem dan anaknya Raja Ranta
yaitu Raja Cik Bebesen dan dari Zainuddin yaitu dari raja-raja Kejurun Bukit yang kedua-duanya pernah berkuasa sebagai raja
di era kolonial Belanda.

Raja Linge I, disebutkan mempunyai 4 orang anak. Yang tertua seorang wanita bernama Empu Beru atau Datu Beru, yang lain
Sebayak Lingga (Ali Syah), Meurah Johan (Johan Syah) dan Meurah Lingga (Malamsyah).

Sebayak Lingga kemudian merantau ke tanah Karo dan membuka negeri di sana dia dikenal dengan Raja Lingga Sibayak.
Meurah Johan mengembara ke Aceh Besar dan mendirikan kerajaannya yang bernama Lam Krak atau Lam Oeii atau yang
dikenal dengan Lamuri atau Kesultanan Lamuri. Ini berarti Kesultanan Lamuri di atas didirikan oleh Meurah Johan sedangkan
Meurah Lingga tinggal di Linge, Gayo, yang selanjutnya menjadi raja Linge turun termurun. Meurah Silu bermigrasi ke daerah
Pasai dan menjadi pegawai Kesultanan Daya di Pasai. Meurah Mege sendiri dikuburkan di Wih ni Rayang di Lereng Keramil
Paluh di daerah Linge, Aceh Tengah. Sampai sekarang masih terpelihara dan dihormati oleh penduduk.

Penyebab migrasi tidak diketahui. Akan tetapi menurut riwayat dikisahkan bahwa Raja Linge lebih menyayangi bungsunya
Meurah Mege. Sehingga membuat anak-anaknya yang lain lebih memilih untuk mengembara.

Bahasa
Bahasa Gayo adalah bahasa yang dipakai sebagai bahasa sehari-hari oleh suku Gayo. Bahasa Gayo ini mempunyai
keterkaitan dengan bahasa Suku Karo di Sumatra Utara. Bahasa ini termasuk kelompok bahasa yang disebut "Northwest
Sumatra-Barrier Islands" dari rumpun bahasa Austronesia.

Pengaruh dari luar yaitu bahasa di luar bahasa Gayo turut mempengaruhi variasi dialek tersebut. Bahasa Gayo yang ada di
Lokop, sedikit berbeda dengan bahasa Gayo yang ada di Gayo Kalul, Gayo Lut, Linge dan Gayo Lues. Hal tersebut disebabkan
karena pengaruh bahasa Aceh yang lebih dominan di Aceh Timur. Begitu juga halnya dengan Gayo Kalul, di Aceh Tamiang,
sedikit banyak terdapat pengaruh Melayu karena lebih dekat ke Sumatra Utara. Kemudian, Gayo Lues lebih dipengaruhi oleh
bahasa Alas dan bahasa Karo karena interaksi yang lebih banyak dengan kedua suku tersebut lebih-lebih komunitas Gayo yang
ada di kabupaten Aceh Tenggara.

Budaya
Suatu unsur budaya yang tidak pernah lesu di kalangan masyarakat Gayo adalah kesenian, yang hampir tidak pernah
mengalami kemandekan bahkan cenderung berkembang. Bentuk kesenian Gayo yang terkenal, antara lain tari Saman dan seni
bertutur yang disebut Didong. Selain untuk hiburan dan rekreasi, bentuk-bentuk kesenian ini mempunyai fungsi ritual,
pendidikan, penerangan, sekaligus sebagai sarana untuk mempertahankan keseimbangan dan struktur sosial masyarakat. Di
samping itu ada pula bentuk kesenian seperti tari Bines, tari Guel, tari Munalu, Sebuku /Pepongoten (seni meratap dalam bentuk
prosa), guru didong, dan melengkan (seni berpidato berdasarkan adat).

Dalam seluruh segi kehidupan, orang Gayo memiliki dan membudayakan sejumlah nilai budaya sebagai acuan tingkah laku
untuk mencapai ketertiban, disiplin, kesetiakawanan, gotong royong, dan rajin (mutentu). Pengalaman nilai budaya ini dipacu
oleh suatu nilai yang disebut bersikemelen, yaitu persaingan yang mewujudkan suatu nilai dasar mengenai harga diri (mukemel).
Nilai-nilai ini diwujudkan dalam berbagai aspek kehidupan, seperti dalam bidang ekonomi, kesenian, kekerabatan, dan
pendidikan. Sumber dari nilai-nilai tersebut adalah agama Islam serta adat setempat yang dianut oleh seluruh masyarakat Gayo.
RUMAH ADAT SUKU GAYO
(UMAH PITU RUANG)
LOKASI : JL. MESS TIME RUANG, BLANG KOLAK I, BEBESEN, TAKENGON, ACEH TENGAH, ACEH

Sejarah
Umah Edet Pitu Ruang ( Rumah Adat Tujuh Ruang) adalah rumah adat yang berasal dari suku gayo, rumah yang berbentuk
panggung ini memiliki keunikannya tersendiri. Berdasarkan asal usul nya Rumah Adat Tujuh Ruang (Umah Edet Pitu
Ruang)dalam bahasa Gayo berarti peninggalan raja Baluntara yang sebenarnya nama aslinya Jalaluddin. Sudah berdiri dari sejak
jaman pra-kemerdekaan sebelum kolonial Belanda masuk. Rumah adat Tujuh Ruang ini menjadi bukti sejarah dari orang asli
Gayo yang sampai sekarang masih ada. Umah Edet Pitu Ruang Gayo tersebut tidak mengunakan paku, tetapi dipasak dengan
kayu dan bermacam-macam ukiran di setiap kayu. Ukiran tersebut bentuk nya berbeda-beda, ada yang berbentuk hewan dan
ada yang berbetuk seni kerawang Gayo yang di pahat khusus.

Walaupun tidak mengunakan paku tapi kekuatan rumah adat pitu ruang tersebut sangatlah kuat apalagi bahan kayu yang
sangat bermutu pada zaman duhulu, tetapi bagaimana pun kuatnya tanpa adanya perawatan bangunan tersebut akan roboh
dengan sendirinya di makan zaman.

Arsitektural dan Struktural


Umah pitu ruang adalah rumah yang dimiliki oleh setiap kaum atau keluarga dalam satu dukuh atau belah/cland. Bedanya
dengan rumah kepala cland atau Rojo/reje hanya lokasinya dan jalan menju rumah rojo lebih lebar dan halamannya lebih luas.

Pembangunan Umah pitu Ruang dipimpin oleh UTOS, orang yang ahli untuk membangun rumah. Tugas khusus utos
mempersiapkan peralatan kerja seperti beliung, cekeh, rimos dan pahat dan membentuk suyen atau tiangnya, dan kite/tangga.
Bangunan dikerjakan oleh keluarga ( satu dukuh/belah adalah satu keluarga ) dibawah pengawasan Utos.

Bahan bangunan :
a. Rotan, Ijok, dipergunakan untuk mengikat semua komponen bangunan.
b. Bambu, batang temor ( tetemor), batang pinang, dibelah untuk lantai.
c. Bambu yang dianyam atau tepas untuk dinding.
d. Pohon pinus dan jenis kayu lainnya untuk tiang.
e. Daun dun, ijok pohon pangoh/aren, ilalang ( di Gayo lues ), disusun berlapis dijadikan atap.

Ukuran lantai :

1. Lebar ( melintang arah utara selatan ), ada 4 tiang, atau 3 ruas/ruang. Panjang antar tiang tidak disebut, diperkirakan
antara 3 sampai 4 meter.
2. Panjang (membujur arah timur ke barat ), ada 6-9 tiang, ada juga 5 sd 12 tiang, panjangnya disesuaikan dengan
kebutuhan.
3. Letak tete/tangga naik ada di tengah-tengah bagian timur bangunan.
4. Dua buah tiang ditengah dinamakan tiang reje disebelah kanan , tiang puteri dipasang disebelah kiri. Pemasangan kedua
tiang ini dengan acara kenduri memotong hewan kambing atau kerbau.
UMAH PITU RUANG adalah bangunan rumah yang mempunyai 7 ruang, terdiri dari :

a) 2 ruangan besar disebut Lepo, 5 unit belek/bilik atau umah renong berjejer dari arah dinding timur, posisinya diantara
serami rawan dan serami banan.
b) Lepo adalah ruangan selain belek/bilik dan lantainya lebih rendah
c) Lepo rawan dan lepo banan, lepo rawan disebelah kiri dan depan tangga naik, sisanya lepo banan yang disekat dan diberi
Pintu Kul untuk masuk lepo banan.
d) Bagian depan lepo banan arah timur disebut anyong, anyong tempat wanita tua dan anak gadis. Di ruang anyong ada
dapur, fungsinya tempat menyalakan api penghangat dan masak.
e) Serami banan bagian dari lepo banan yang disekat sesuai bidang ke lima bilik/kamar. Serami banan untuk tempat
memasak dan makan masing-masing keluarga.
f) Lantai belek/kamar lebih tinggi dari lantai lepo, pintunya mengarah ke serami banan dan diberi anak tangga.
g) Ruang serami rawan disebelah barat dari Lepo rawan, untuk tempat pria dewasa atau tua. Sisa serami rawan dapat
dipergunakan untuk kenduri, sunatan dan pernikahan. Di dinding belek atau kamar mengarah tangga dijadikan tempat
susunan tikar hasil anyaman kaum wanitanya.

Fungsi bilik :

 Untuk tidur pasangan suami isteri dengan anak-anak kecil berusia dibawah 8 tahun.
 Penyimpanan barang pribadi, seperti pakaian, perhiasan, beras, alat kerja, alat kesenian seperti canang, gong, rapana.
Bahan untuk sirih, tembakau, candu dll.
 Diatas bilik dibuat tempat penyimpanan barang-barang penting, namanya parabuang.
 Disetiap bilik ada tungku/dapur kecil, tempat menyalakan api penerangan dan penghangat badan.

FOTO EKSISTING UMAH PITU RUANG

Tampak Belakang Tampak Samping

Bagian Bawah dari Umah Pitu Ruang Ukiran beserta tangga (kite) dari Umah Pitu
Ruang
Selasar depan Umah Pitu Ruang Ukiran pada dinding Umah Pitu Ruang

Bentuk Atap Umah Pitu Ruang Pondasi Umah Pitu Ruang

Pintu Umah Pitu Ruang

View depan Umah Pitu Ruang


FOTO TAMPAK UMAH PITU RUANG

Tampak Depan

Tampak Kanan

Tampak Kiri

Tampak Belakang
ACEH UTARA DAN LHOKSEUMAWE

Kabupaten Aceh Utara adalah sebuah kabupaten yang terletak di provinsi Aceh, Indonesia. Ibukota kabupaten ini
dipindahkan dari Lhokseumawe ke Lhoksukon, menyusul dijadikannya Lhokseumawesebagai kota otonom.

Kabupaten ini tergolong sebagai kawasan industri terbesar di provinsi ini dan juga tergolong industri terbesar di luar
pulau Jawa, khususnya dengan dibukanya industri pengolahan gas alam cair PT. Arun LNG di Lhokseumawe pada tahun 1974.
Di daerah wilayah ini juga terdapat pabrik-pabrik besar lainnya: Pabrik Kertas Kraft Aceh, pabrik Pupuk AAF (Aceh Asean
Fertilizer) dan pabrik Pupuk Iskandar Muda (PIM).

Geografi

Wilayah Aceh Utara memiliki topografi wilayah yang sangat bervariasi, dari daerah dataran rendah yang luas di utara
memanjang barat ke timur hingga daerah pegunungan di selatan. Ketinggian rata-rata wilayah Aceh Utara adalah 125 m. Jalan
lintas timur Sumatra melintasi wilayah dataran rendah sehingga menjadikan wilayah rendah ini menjadi kawasan yang lebih
berkembang secara ekonomi dibanding wilayah selatan

Batas wilayah

Utara= selat malaka dan kota lhok seumawe

Selatan= kabupaten bener meriah

Barat= kabupaten bireun

Timur= kabupaten aceh timur

Sejarah

Aceh Utara sekarang menempati bekas wilayah Kerajaan Islam Samudera Pasai. Kesultanan Pasai menurut beberapa
pendapat disebutkan sebagai kerajaan pertama yang mengadopsi sistem pemerintahan Islam di Nusantara. Kesultanan Pasai
mengalami lebih kurang 300 tahun masa jaya hingga kedatangan penjelajah dari Eropa yang menundukkan kesultanan itu hingga
hampir tak bersisa. Sedikit saja dari jejak sejarah kebesaran Kesultanan Pasai yang masih kita jumpai saat ini. Situs
sejarah Kesultanan Samudera Pasai yang paling menonjol adalah kompleks makam Sultan Malikussaleh dan Makam Sultanah
Nahrasiyah yang berlokasi di pesisir kecamatan Samudera sekarang. Pada masa lalu seringkali artefak sejarah berupa koin uang
emas ditemukan terpendam berserakan di tanah pada bekas pertapakan ibukota Kesultanan Pasai masa lampau, namun kini
penemuan ini sudah jarang terjadi.
Ketika Belanda menginvasi Aceh dan berhasil menegakkan pemerintahan kolonial pada 1904, Aceh Utara ditetapkan sebagai
sebuah (Kabupaten) Afdeeling yang dipimpin oleh Asisten Residen. Wilayah yang luas ini dinamakan sebagai Afdeeling Noord
Kust Van Aceh (Kabupaten Aceh Utara). Afdeeling ini dibagi dalam 3 onderafdeeling (Kewedanaan) yang dikepalai seorang
Countroleur (Wedana) yaitu : Onder Afdeeling Bireuen, Onder Afdeeling Lhokseumawe dan Onder Afdeeling Lhoksukon.
Disamping itu pemerintah Hindia Belanda juga menetapkan beberapa Daerah Kekuasaan Ulee Balang yang memiliki
pemerintahan sendiri terhadap daerah dan rakyatnya. Daerah ini dinamakan sebagai Zelf Bestuur yaitu Selain Onder Afdeeling
tersebut di Aceh Utara juga terdapat beberapa Daerah Ulee Balang (Zelf Bestuur) yang berhak memerintah sendiri terhadap
daerah dan rakyatnya yaitu Ulee Balang Keureutoe, Geureugok, Jeumpa, dan Peusangan masing-masing Zelf Bestuur ini
dipimpin oleh Ampon Chik.

Setelah masa kemerdekaan wilayah pemerintahan Aceh Utara dipertahankan pada wilayah yang pernah ditetapkan oleh Belanda.
Berdasarkan Undang Undang Nomor I tahun 1957 dan Keputusan Presiden Indonesia Nomor 6 tahun 1959. Kabupaten Daerah
Tingkat II Aceh Utara terbagi dalam 3 (tiga) Kewedanaan yaitu: Kewedanaan Bireuen terdiri atas 7 kecamatan, Kewedanan
Lhokseumawe terdiri atas 8 Kecamatan, Kewedanaan Lhoksukon terdiri atas 8 kecamatan.

Seiring dengan perkembangan dan pertumbuhan wilayah, pertambahan penduduk dan semangat otonomi daerah pada tahun 1999
pada bekas kewedanaan Bireun ditetapkan menjadi Kabupaten Bireuen dan pada tahun 2001 Kota Lhokseumawe menyusul
menjadi kotamadya yang baru lepas dari Kabupaten Aceh Utara sekarang pada 14 Maret 2019 Kota Panton Labu menyusul juga
menjadi kotamadya yang lepas dari Kabupaten Aceh Utara bersamaan dengan Kabupaten Aceh Malaka juga lepas dari
Kabupaten Aceh Utara .

Demografi

Komposisi penduduk berdasarkan etnis di Aceh Utara diisi oleh beberapa etnis yang terbesar adalah etnis Aceh dan etnis
Jawa. Mayoritas agama yang dianut adalah agama Islam hampir 100%, sedikit sekali non muslim dalam komposisi beragama
masyarakat di Aceh Utara. Karena itu di wilayah Aceh Utara bahkan tidak menemukan satupun sarana rumah peribadatan selain
masjid, mushala dan meunasah.

Ekonomi

Sebagian besar masyarakat Aceh Utara bekerja dibidang pertanian, tingginya angka pengangguran disebabkan oleh
rendahnya kualitas SDM membuat tidak banyak usaha jasa dan industri yang berkembang. Berbanding terbalik pada masa lalu
ketika sektor migas menjadi primadona di Aceh Utara banyak masyarakatnya yang direkrut di perusahaan-perusahaan eksplorasi
migas meski hanya menempati posisi-posisi rendahan. Seiring dengan berakhirnya era migas dan diperparah oleh konflik politik
dan keamanan di Aceh, maka menurun pula sektor jasa dan industri yang berlokasi di Aceh Utara. Namun pada tahun 2017
Kabupaten Aceh Utara mendapat urutan pertama penduduk paling banyak miskin atau termiskin di Aceh, yakni mencapai
118.740 jiwa.

Rumah adat aceh utara


Rumah Aceh utara memiliki sedikit banyak perbedaan dengan rumah aceh pada umumnya, selain bentuknya yang
sedikit berbeda, pada rumah adat Aceh utara memiliki beberapa fitur-fitur menarik seperti adanya jeungki, kroeng, dan balai,
namun dirumah aceh jenis lain juga terdapat fitur ini namun kebanyakannya terdapat rumah aceh utara.

KONSTRUKSI RUMAH TRADISIONAL ACEH (ACEH UTARA)

Konstruksi pada rumah tradisional aceh utara umumnya memiliki konstruksi yang sama dengan rumah adat aceh daerah
lainnya, berikut akan diuraikan beberapa bagian/konstruksi dari rumah adat Aceh utara.
 PONDASI UMPAK

Kebanyakan rumah aceh memang memakai pondasi umpak, ukuran umpak ini bermacam-macam, mulai dari ukuran
35x35 cm hingga 50x50 cm tergantung keperluannya, namun pada umumnya ukuran pondasi umpak yang digunakan pada
rumah aceh yaitu ukuran 35x35 cm, penggunaan pondasi umpak pada rumah Aceh sendiri disebabkan karena pada zaman itu
masyarakat Aceh belum mengenal sistem beton bertulang atau lain sejenisnya, penggunaan pondasi umpak disini juga berguna
saat terjadi gempa atau bencana alam lainnya rumah ini tidak mudah roboh, karena pondasi umpak ini sangat fleksibel, dan bisa
menyesuaikan.

 KONSTRUKSI TIANG

Dari segi konstruksi, penempatan tiang rumah menyebabkan pembagian ruang rumah tradisional Aceh pada umumnya terdiri
tiga ruang bertiang 16 atau lima ruang bertiang 24. Rumah tradisional Aceh didirikan di atas tiang-tiang kayu atau bambu dengan
maksud untuk menghindarkan diri dari serangan binatang buas dan banjir. Karena berkolong maka orang hidup di atas lantai
yang selalu kering, jadi lebih sehat.Rumah tradisional Aceh terbukti mampu bertahan dari gempa karena struktur utama yang
kokoh dan elastis. Kunci kekokohan dan keelastisan ini ada pada hubungan antar struktur utama yang saling mengunci, hanya
dengan pasak dan bajoe, tanpa paku, serta membentuk kotak tiga dimensional yang utuh (rigid). Keelastisan ini menyebabkan
struktur bangunan tidak mudah patah, namun hanya terombang-ambing ke kanan kiri yang, ukuran kayu yang digunakan sangat
bervariasi namun umunya berukuran diameter 30-35 cm. Umumnya
tiang yang digunakan pada rumah aceh bermaterial kayu, kelas kayu
yang digunakan adalah kayu kelas 1 diantara kayu yang sering
digunakan pada tiang rumah Aceh yaitu kayu Merebau, dan kayu
Damar laut.
Kayu merbau(KIRI) Kayu dammar laut(KANAN)
 DINDING RUMAH TRADISIONAL ACEH UTARA

Dinding rumah tradisional Aceh terbuat dari papan kayu atau bilah bambu, penggunaan material tersebut
mempengaruhi penghawan udara yang sangat baik karena udara dapat pengalir melalui selah selah antara atap dan
dinding. Pada bagian dinding rumah tradisional Aceh terdapat tempelan tempelan ornamen yang mempengaruhi unsur
tradisional Aceh.

 SISTEM PASAK RUMAH TRADISIONAL ACEH UTARA

Masyarakat aceh pada zaman dulu tentu belum mengenal system pemakuan atau perekatan, jadi pada masa itu
masyarakat aceh menggunakan system pasak untuk merekatkan bagian bagian dari rumah mereka. Bagi elemen-lain yang tidak
berpasak, maka hubungan atau jalinannya dibuat dengan mengikatkan tali.

Teknik sambungan konstruksi kayu menggunakan sistem pasak ini mampu menyelesaikan berbagai permasalahan
gaya yang terjadi pada sambungan. Bila kita pahami lebih mendalam, terdapat elemen- elemen lain yang membantu
kekuatan struktur, diantaranya balok-balok pengunci untuk menjaga posisi tiang. Setiap pertemuan elemen yang berbeda,
dihubungkan dengan cara memasukkan bagian ujung elemen ke lubang yang tersedia pada elemen lain. Lalu diberi pasak.
Begitulah cara utoh Aceh menghubungkan setiap elemen sehingga menjadi rumah. TANPA memakai paku. Disini timbul
kekuatan struktur dalam merangkai elemen-elemen tersebut. Sebab bila rangkaian tersebut tidak dipikirkan secara
matang, maka konstruksi rumah tidak dapat berdiri dengan kokoh, dan tidak mungkin dapat bertahan hingga saat ini.

Dalam setiap elemennya pun dibuat dengan kesadaran tinggi akan maksud dari dibuatnya konstruksi tersebut.
Maksudnya terdapat nilai-nilai fungsional yang lebih jauh dipikirkan untuk kebutuhan dan keselamatan penghuni
rumah. Tidak hanya sekadar menyambung-nyambungkan elemen-elemen belaka. Misal, elemen tameh raja dan putroe
dipilih yang paling baik, karena sebagai penyambut di serambi depan, selain juga berfungsi sebagai struktur utama
sebagaimana mestinya.

 SISTEM ATAP RUMAH ADAT ACEH UTARA

Atapnya ditutupi oleh jalinan daun rumbia yang disusun menjadi penutup atap, bahan penutup berbahan rumbia yang
memiliki andil besar dalam memperingan beban bangunan sehingga saat gempa tidak mudah roboh.Karena dulunya belum ada
paku maka solusi untuk perekat atap yaitu menggunakan pengikat, selain itu ini juga berfungsi agar kayu tidak mudah lapuk,
pada salah satu bagian atap rumah ini ada sebuah tali yang biasa disebut taloe pawai yang berfungsi sebagai keseluruhan atap
dengan bangunan.Tali Ini berfungsi sebagai pelepas seluruh atap apabila terjadi kebakaran.taloe pawai berada di ujung papan bui
teungeut, dan dikaitkan pada puteng tiang deretan depan dan belakang. Taloe pawai cukup di potong sehingga terputus, maka
jatuhlah seluruh konstruksi atap tersebut.

 PINTU DAN JENDELA RUMAH ACEH

Pada dinding sebelah depan yang menghadap ke halaman rumah terdapat pintu masuk yang disebut pinto rumah,
yang berukuran lebih kurang lebar 0,8 meter, dan tingginya 1.8 meter. Pintu masuk ini kadang-kadang terdapat pada
dinding sebelah kanan ruangan serambi depan namun pada rumah tradisional Aceh utara tangga masuk terdapad di
bagian depannya.

Pintu utama Rumoh Aceh utara ini tingginya selalu lebih rendah dari ketinggian orang dewasa. Biasanya
ketinggian pintu ini hanya berukuran 120 - 150 cm sehingga setiap orang yang masuk ke Rumoh Aceh harus menunduk.
Namun, begitu masuk, kita akan merasakan ruang yang sangat lapang karena di dalam rumah tak ada perabot berupa
kursi atau meja. Semua orang duduk bersila di atas tikar ngom (dari bahan sejenis ilalang yang tumbuh di rawa) yang
dilapisi tikar pandan.

Makna dari merunduk ini menurut orang-orang tua adalah sebuah penghormatan kepada tuan rumah saat
memasuki rumahnya, siapa pun dia tanpa peduli derajat dan kedudukannya. Selain itu juga, ada yang menganggap pintu
rumoh Aceh sebagai hati orang Aceh.

Pada dinding sebelah samping kanan dan kiri terdapat jendela yang berukuran lebih kurang lebar 0.6 meter dan
tingginya 1 meter yang disebut tingkap. Kadang-kadang jendela terdapat juga pada dinding sisi depan. Jendela-jendela
tersebut terdapat pada rumah yang berdinding papan, sedangkan pada rumah yang berdinding tepas/bamboo pada
umumnya tidak memakai jendela.

 WARNA RUMAH TRADISIONAL ACEH UTARA


Warna berarti emosi yang berubah-ubah, hidup menggairahkan dan menyenangkan serta menumbuhkan
semangat.Warna orange sendiri memiliki makna kesehatan pikiran, kegembiraan, dan kehangatan dan warna hitam
memiliki kesan sebagai pelindung sedangkan dari warna coklat sendiri, coklat tidak memilik filosofi pada rumah
tradisionl Aceh

 ORNAMEN PADA RUMAH TRADISIONAL ACEH UTARA

Rumah tradisional Aceh utara memiliki ornamen yang menyerupai tumbuh-tumbuhan, karena pada dasarnya
masyarakat Aceh mayoritas beragama islam, dan agama melarang umatnya untuk membuat sesuatu yang menyerupai
manusia ataupun hewan.penggunaan ornamen ini tidak bersifat kaku karena motif ornamen ini tergantung pada minat
si pemilik rumah. Motif flora yang digunakan adalah stelirisasi tumbuh-tumbuhan baik berbentuk daun, akar, batang,
ataupun bunga-bungaan. Ukiran berbentuk stilirisasi tumbuh-tumbuhan ini tidak diberi warna, jikapun ada, warna
yang digunakan adalah Merah dan Hitam. Ragam hias ini biasanya terdapat pada rinyeuen (tangga), dinding, tulak
angen, kindang, balok pada bagian kap, dan jendela rumah

 TAMPAK RUMAH TRADISIONAL ACEH (ACEH UTARA)

TAMPAK DEPAN
TAMPAK BELAKANG
TAMPAK SAMPING KIRI
TAMPAK SAMPING KANAN
 DISTRIBUSI RUANG RUMAH TRADISIONAL ACEH (ACEH UTARA)

Rumoh Aceh merupakan rumah panggung. Besarnya Rumoh Aceh tergantung pada banyaknya ruweueng (ruang).
Ada yang tiga ruang, lima ruang, tujuh ruang hingga sepuluh ruang. Beranda muka disebut ”seuramoë keue”(karena di
sini ditempatkan tangga masuk, disebut juga seuramoë rinyeuen), serambi belakang disebut ”seuramoë likot”. Bagian
utama rumah adalah pada bagian tengah, yang dibuat lebih tinggi dari pada lantai serambi. Bagian utama rumah ini
disebut Tungai

Pada bagian Tungai ini terletak dua bilik (kamar) tidur, yaitu rumoh Inong dan anjông. Rumoh inong adalah
bilik peurumoh (master bedroom), sedangkan anjông adalah bilik untuk anak perempuan.

Demikan mulianya posisi peurumoh dalam Adat Aceh. Keharmonisan rumah tangga adalah hal yang paling
penting, sehingga ditempatkan pada posisi yang paling utama, di tengah dan di lantai tertinggi. Di antara kedua kamar
tidur itu ada lorong penghubung antara seuramoë rinyeuen dengan seuramoë likôt, yang bernama Rambat. Di bagian
belakang ada rumoh dapu(dapur) yang elevasi lantainya lebih rendah dari seuramoë likôt. Dapur mendapat posisi
terendah. Karena ruang ini merupakan perluasan rumah, atau sebagai tambahan ruang pada rumah saja.

Dapat kita pahami masyarakat Aceh telah mengonsepkan ruang dengan suatu hirarki. Secara fisik bangunan, hirarki ini
tampak pada elevasi yang berbeda di tiap lantai ruangan. Hal ini :

No. Nama Ruang Arti

1. Seuramo Keue Serambi depan, tempat kaum lelaki.

2. Tungai Ruang tengah yang elevasinya lebih tinggi

daripada lantai serambi. Di dalam tungai terdapat

bilik dan rambat.

3. Rambat Lorong penghubung kedua serambi.

4. Rumoh Inong Kamar tidur untuk orang tua atau anak

perempuan yang baru menikah.

5. Anjong Kamar depan, yang berfungsi sebagai kamar

untuk anak perempuan.

6. Seuramo Likot Serambi belakang, tempat kaum perempuan dan

anak-anak.

7. Dapu Dapur, Untuk kegiatan masak-memasak.


JEUNGKI

Pada zaman dahulu, sebelum ada mesin pengolah beras menjadi tepung, masyarakat aceh menggunakan
Jeungki sebagai alat penumbuk beras.ukuran jeungki ini sangat bervariasi mulai dari ukuran diameter 25 cm s/d 35
cm, panjang normalnya yaitu 3 meter. Pada bagian depan alat tumbuk jengkf jnj terdapat sebuah mata penumbuk
berbentuk kayu yang berdiameter 10 cm, dan ada lobang untuk mengisi beras yang di tumbukyang kurang lebih
berdiameter 10.

KROENG

Kroeng dalam bahasa Indonesianya karung adalah tempat untuk menyimpan padi. Berjumlah tiga buah dan berada di
halaman rumah. disinilah padi setelah panen di simpang sampai sekian lama dan awet tanpa obat pengawet. Bahan bakunya
yaitu bambu atau dahan pohon aren, kedua alat ini JEUENGKI & KROENG selalu berdekatan letaknya. Mitos tentang itu
sampai sekarang belum juga terkuak, apalagi jaman instan seperti sekarang kedua alat ini tidak dibutuhkan lagi sehingga
kepunaanya pun begitu cepat. .ukuran kroeng ini bisa diatur sesuai keinginan karena bersifat elastis
Kearifan lokal masyarakat aceh (aceh utara)

Dalam pengertian kamus, kearifan lokal (local wisdom) terdiri dari dua kata: kearifan (wisdom) dan lokal (local).
Dalam Kamus Inggris Indonesia John M. Echols dan Hassan Syadily, local berarti setempat, sedangkan wisdom
(kearifan) sama dengan kebijaksanaan. Secara umum maka local wisdom (kearifan setempat) dapat dipahami sebagai
gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh
anggota masyarakatnya.

Nilai kearifan lokal pada arsitektur tradisonal tentunya tidak hanya dipengaruhi olehkondisi lingkungan alam saja,
tetapi juga dipengaruhi sosial budayasetempat yang meliputiperilaku, tradisi, adat, dan keper!ayaan setempat, yangpada
penerapannya juga hanyadapat dilakukan oleh masyarakat setempat. 7erhadap nilai-nilai tersebut perlu sebuahpengkajian
se!ara mendalam untukpenerapan nilai tersebut dalam kondisi global diluar darimasyarakatsetempat tersebut.

Sangat banyak kearifan lokal dari masyarakat Aceh utara yang bertahan hingga sekarang,yang sedikit banyaknya
telah disebutkan pada bagian pembahasan sebelumnya, yang dijelaskan secara exsplisit.berikut akan diuraikan beberapa
kearifan lokal masyarakat Aceh utara :

SATU TEMPAT DIHUNI OLEH 1 KELUARGA ATAU KERABAT

Masih terdapat banyak sistem seperti ini pada saat ini, namun tak sedikit pula yang sudah melupakan sistem
seperti ini karena beradaptasi atau mengikuti perkembangan zaman.

PENATAAN RUANG YANG MEMISAHKAN LELAKI DAN PEREMPUAN

Ruang-ruang pada rumah Aceh di tata sedemikian rupa, agar lelaki dan pria berpisah, dimana pria di
seramoe keu dan wanita di seramoe likot, tangganya juga dipisahkan. Hal ini membuktikan nilai keislaman yang
sangat tinggi di Aceh.

RUMAH ACEH DIBUAT MEMANJANG KE ARAH KIBLAT

Setelah Islam masuk ke Aceh, arah Rumoh Aceh mendapatkan justifikasi keagamaan. Dalam agama Islam, ibadah
shalat selalu menghadap ke kiblat. Maka itu, rumah juga dibuat memanjang ke arah kiblat, yakni kurang lebih ke arah
barat, mencerminkan upaya masyarakat Aceh untuk membangun garis imajiner dengan Ka‘bah yang berada di Mekkah.
Itu sebabnya pada seuramoë rinyeuen tangga dan pintu masuk ke Rumoh tidak di letakkan di Barat, tetapi selalu berada di
sebelah Timur atau di tengah seuramoë, maksudnya agar tidak mengganggu orang yang sedang Shalat menghadap ke
kiblat.

ADANYA TAMEH RAJA DAN TAMEH PUTROE

Tameh raja dan tameh putroe dimaksudkan untuk menyambut para tamu, sehingga kedua tameh ini memiliki
ukuran yang berbeda dengan yang lainnya.

PINTU YANG SELALU LEBIH KECIL DARI UKURAN ORANG DEWASA


Hal ini menggambarkan seorang tamu sudah seharusnya menghormati sang tuang rumah, ketika tamu masuk
ke rumah, maka si tamu harus membungkukkan sedikit badanya agar muat, dan membungkukan badan sedikit
merupakan salah satu simbol menghormati/menghargai.

TIDAK BANYAK AREA BUKAAN LEBAR

Serambi rumoh Aceh itu tertutup, hanya sedikit saja bagian yang terbuka. Orang dari luar sukar melihat ke
dalam tetapi orang dari dalam dapat melihat keluar. Demikian cara Aceh membudayakan seni interior, seolah memberi
pesan agar aurat itu jangan diobral keluar ke semua orang yang lalu lalang di depan rumah. Di dalam Rumoh Aceh,
ada dua buah serambi yang sengaja dibuat terpisah sesuai dengan ajaran Islam, yaitu ”seuramoë keue”, untuk kaum
pria dan seuramoë likôt khusus untuk kaum wanita.

Rumah cut muetia

Rumah cut mutia merupakan salah satu rumah adat aceh utara yang masih di lestarikan hingga saat ini dan menjadi salah
satu tempat wisata di aceh utara saat ini.

Layaknya rumah adat Aceh pada umumnya, bangunan Rumah Cut Meutia ini memiliki arsitektur yang indah.
Konstruksinya pun terbilang sangat kokoh, berbentuk seperti rumah panggung serta tercacat ada 16 tiang yang menyangga
rumah ini. Ketinggian bangunan diperkirakan mencapai tiga meter dari atas permukaan tanah.

Untuk memasuki rumah ini, wisatawan bisa menggunakan tangga yang terbuat dari kayu. Pada bagian depan pintu, akan terlihat
sebuah ukiran yang cukup indah. Atap rumah yang terbuat dari daun rumbia, juga menambah kesan klasik pada Rumah Cut
Meutia ini. Wisatawan bisa menikmati keindahan arsitektur dari rumah ini dengan mengelilingi kompleks museum tersebut.

Kisah legenda jugi tapa si murid durhaka dari sawang aceh utara

Alkisah pada zaman dahulu, di sebuah perguruan yang terletak di Desa Lhok Drien, Sawang, Aceh Utara, tinggallah seorang
pemuda gagah nan pandai. Saking pandainya, semua ilmu yang diajarkan oleh gurunya, Teungku Di Lhok Drien dapat dikuasai
olehnya dalam sekejap.

Bersebab itulah, kemudian ia dijuluki Malem Muda yang bermakna “orang yang berilmu di usia muda/belia”. Hal ini membuat
Malem Muda diangkat menjadi tangan kanan gurunya, Teungku Di Lhok Drien.
Suatu hari, Malem Muda dipanggil oleh gurunya untuk menghadap. Maka datanglah Malem Muda ke hadapan gurunya sambil
bertanya,” Ada apa gerangan Teungku memanggil saya?”

“Wahai Malem Muda, aku hendak memberimu suatu tugas. Akan tetapi, sebelumnya engkau harus berjanji dulu kepadaku
bahwa engkau akan mematuhi segala yang kukatakan,” titah Tgk. Di Lhok Drien sembari mengelus jenggotnya.

“Siap Teungku,” sahut Malem Muda. “Pasti ini tugas istimewa,” batinnya.

Kemudian Teungku Di Lhok Drien mengeluarkan sebuah buku tebal dari penyimpanan rahasianya lalu berbisik pada Malem
Muda.

“Ini, Kitab ini milik sahabatku yang tinggal di desa seberang sungai, kuperintahkan padamu untuk membawa kembali Kitab ini
kepada pemiliknya. Tapi jangan pernah kau buka ia, apalagi membacanya. Ingat, sekali lagi kularang engkau untuk
membukanya, apalagi membacanya.”

Perjalananmu ke sana akan butuh waktu satu hari, maka dalam dua hari kemudian engkau harus kembali lagi kesini untuk
melaporkan dirimu. Apa aku bisa mengandalkanmu, Malem?”

“Tentu Teungku,” jawab Malem Muda.

Singkat cerita pergilah Malem Muda mengantarkan Kitab pusaka ke desa seberang sungai. Pada mulanya, Malem Muda berjalan
santai mengingat tidak perlu buru-buru karena waktunya masih banyak. Akan tetapi, ketika perjalanan sudah setengah jalan,
Malem Muda berpikir, “Mengapa Kitab ini tidak boleh dibuka? Pasti ada sesuatu.

Mungkin Teungku tidak bisa memberi tahuku bahwa Kitab ini Kitab bertuah, penuh dengan ilmu tinggi, bisa-bisa nanti aku bisa
menyainginya,”

Maka muncullah pikiran untuk melanggar janjinya kepada gurunya. Dan berhentilah Malem Muda di sebuah huma di tengah
persawahan. Kemudian ia membuka Kitab yang diamanahkan gurunya padanya. Benarlah, ternyata isi kitab tersebut adalah ilmu
tingkat tinggi yang belum pernah dipelajari Malem.

Disana termuat ilmu tentang bagaimana mengubah diri menjadi hewan dan tumbuhan. Juga termuat ilmu yang dapat membuat
pemiliknya mampu mengubah orang-orang menjadi patung batu, hingga menciptakan nyawa kedua. Malem pun membaca Kitab
tersebut lalu mempelajarinya dengan cepat, hingga tak banyak menghabiskan waktu perjalanannya.

Setelah itu Malem kembali berangkat. Langkahnya semakin cepat, dan berkat ilmu barunya, ia bisa melakukan perjalanan yang
jauh dalam waktu yang singkat. Sampailah ia ke desa seberang sungai. Setelah berbasa basi sejenak, Malem Muda segera
menjelaskan maksud kedatangannya dan menyampaikan amanah Teungku Lhok Drien.

Sesuai dengan kesepakatan, keesokan harinya Malem Muda Kembali ke Lhok Drien tanpa halangan.
Adalah gurunya yang sakti, Teungku Di Lhok Drien mengetahui dengan mata batinnya bahwa Kitab yang diamanahkan untuk
dikembalikan oleh Malem telah dibuka dan dibaca dalam perjalanan oleh Si Malem.

Akan tetapi, Teungku Lhok Drien yang bijak tak mengatakan apa-apa pada Malem. Ia hanya melihat dan memantau gerak-gerik
muridnya itu dari jauh.

Adapun Istri Teungku Lhok Drien adalah seorang yang masih muda dan jelita. Kecantikannya membuat Malem Muda terpesona.
Karena dimabuk cinta, Malem Muda menggunakan ilmu baru yang diperoleh tanpa seizin gurunya untuk hal-hal tercela.

Terkadang ia merupakan diri menjadi sebatang pohon pisang di samping sumur hingga dengan bebasnya mengintip istri
Teungku Lhok Drien saat mandi.

Terkadang pula ia menjelma sebagai kucing yang mondar-mandir di dapur Teungku Lhok Drien sambil sesekali mengeluskan
diri pada kaki istri Teungkunya. Teungku Lhok Drien tahu, hanya saja ia menunggu waktu yang tepat untuk menangkap Malem.
Sepertinya Malem sudah dibutakan oleh ilmu dan kekuatannya.
Hingga datanglah waktu yang tepat. Saat itu Malem Muda sedang menjelma menjadi pohon pisang. Maka datanglah Teungku
Lhok Drien membawa parang sambil berkata,” Sudah semenjak dulu pohon pisang ini tumbuh, tapi tak pernah berbuah. Ada
baiknya kutebang saja.” Ia pun mengayunkan parangnya.

Malem Muda kalap, ia segera merubah dirinya menjadi kucing, dan lari tunggang langgang, tak pernah kembali. Sementara
Teungku Lhok Drien merasa hidupnya sudah tidak aman dan dipenuhi rasa kesal terhadap Malem. Ia pun mengutuk Malem
Muda sebagai murid durhaka. Lalu pergi bersama istrinya membelah sungai dan terjun ke dalamnya. Tak pernah kembali.

Sementara Malem Muda menjadi seorang murid durhaka. Julukannya berubah menjadi Jugi, dan ia pergi bertapa untuk beberapa
lama.Malem Muda semenjak durhaka terhadap gurunya berubah menjadi orang yang sangat buruk perangainya. Hingga akhirnya
orang memanggilnya Jugi yang bermakna orang yang durhaka terhadap guru.

Setelah insiden Teungku Lhok Drien yang hendak memarang dirinya, Jugi lari ke hutan. Ia memutuskan untuk bertapa selama
beberapa lama untuk memantapkan ilmunya. Maka disebutlah oleh orang-orang namanya Jugi Tapa.

Alkisah setelah beberapa tahun lamanya, Jugi Tapa menjadi seorang yang sangat kuat. Ia kemudian keluar dari hutan dan
mendirikan sebuah kerajaan. Ia memerintah dengan semena-mena. Barangsiapa yang tidak tunduk padanya akan dijadikan
patung batu. Maka tak heran, hanya dalam masa singkat, kerajaannya menjadi salah satu kerajaan besar yang kuat.

Selain terkenal dengan memiliki banyak pasukan, Jugi Tapa juga dikenal memiliki banyak istri. Dan pada saat itu, istrinya
berjumlah 99 istri, dan Jugi Tapa hendak menggenapkannya menjadi 100.

Sementara itu, tak jauh dari kerajaan Jugi Tapa, ada sebuah kerajaan besar bertempat di Kuala Dua, di daerah Krueng Mane.
Kerajaan Kuala Dua ini terkenal dengan pasukan elitnya yang memiliki kendaraan kuda terbang. Raja Banta, raja Kuala Dua
memiliki seorang istri cantik yang baru melahirkan. Nama istrinya adalah Nyak Ni dan nama anaknya yang baru lahir Banta
Muda.

Alkisah pada suatu hari, Nyak Ni ingin makan daging rusa. Maka pergilah Raja Banta untuk berburu rusa ke hutan. Ia membawa
serta pasukannya dan kuda terbang paling baik yang ia miliki, seekor kuda terbang betina beranak satu.

Jugi Tapa sudah mengetahui sejak lama bahwa di kerajaan Kuala Dua ada permaisuri yang sangat cantik. Ia berniat untuk
mengambilnya menjadi istri yang ke-seratus. Maka ketika mengetahui Raja Banta sedang berburu, pergilah Jugi Tapa menculik
permaisuri Raja Banta, Nyak Ni.

Nyak Ni tak berdaya ketika tubuhnya diboyong oleh Jugi. Namun, sebelum dirinya diculik, ia sempat meninggalkan cincinnya di
ayunan anaknya yang masih bayi, Banta Muda. Dengan berurai air mata ia berharap, semoga suatu saat Banta Muda akan
mencarinya.

Nyak Ni kemudian disembunyikan oleh Jugi Tapa di suatu daerah. Daerah tersebut kemudian dinamakan Nisam. Nisam pada
dasarnya berasal dari kata Ni dan Som, yang berarti Nyak Ni dan sembunyi, bermaksud tempat Nyak Ni disembunyikan.

Adapun Raja Banta ketika pulang dari berburu, mendapati istrinya telah diculik, merasa berang luar biasa. Segera ia menaiki
kuda terbangnya dan menuju ke kerajaan Jugi Tapa. Jugi Tapa sudah menduga bahwa ia akan diserang, maka ia pun menyiapkan
diri. Sebelum Raja Banta sampai ke Kerajaan Jugi Tapa, ia dicegat oleh Jugi, kemudian kedua berkelahi.

Pada akhirnya, Jugi Tapa mengubah Raja Banta menjadi batu, hingga Raja Banta dan kuda terbangnya jatuh, menimpa pohon,
dan kaki kudanya tersangkut di dahan pohon. Tempat kejadian peristiwa itu dinamakanlah Sawang, yang berasal dari kata
“sawak” yang bermakna tersangkut.

Maka tinggallah Banta Muda sebatang kara. Diasuh oleh dayang-dayang dan bertemankan anak kuda terbang. Hingga kemudian
ia dewasa, ia pun menelusuri kisah ibu dan ayahnya. Ia berniat membunuh Jugi Tapa. Maka pergilah ia mencari informasi
tentang Jugi Tapa, kesaktiannya dan kelemahannya.
Hingga suatu hari, Banta Muda menemukan rahasia kelemahan Jugi Tapa. Ternyata Jugi Tapa meninggalkan nyawanya pada
seekor burung beo yang berdiam di atas sebatang pohon di rawa-rawa yang dikelilingi lumpur panas. Melewati lumpur itu sama
saja dengan membunuh diri, sementara hawa panas dari lumpur membuat kuda tak bisa terbang di atasnya.

Banta Muda kemudian mencari cara agar bisa membunuh burung tersebut. Dan akhirnya ia menemukan caranya. Memanah.
Tapi memanah sejauh itu bukan perkara yang mudah. Banta Muda harus bekerja keras latihan memanah.

Pada akhirnya, Banta Muda berhasil memanah burung beo tersebut. Bersamaan dengan matinya burung beo itu, tamatlah hidup
Jugi Tapa. Tamatlah kerajaannya dan Banta Muda pun bersatu kembali dengan ibunya.
Kesimpulan

Aceh utara merupakan salah satu kabupaten yang ada di aceh yang bahwasanya aceh memiliki berbagai budaya dan adat
dan salah satu budaya yang di masih dikestarikan di daerah aceh yaitu rumah adat. Di setiap provinsi memiliki rumah adat yang
sama pada umumnya namun di masing-masing wilayah tersebut memiliki cirri khas sendiri yang membedakan antarrumah
adatnya. Seperti pada rumah adat aceh utara yang membedakan rumah aceh utara dengan rumah adat tradisional aceh pada
umumnya salah satunya terletak pada posisi pintu masuk dari rumah adat ini. Yaitu pada rumah adat ini pintu masuknya terletak
di posisi rumah yang memanjang sedangkan pada rumah adat aceh pada umumnya posisinya terletap pada rumah yang bagain
lebarnya terpendek.
SUMBER

https://www.scribd.com/document/362550863/Makalah-Rumah-Adat-Aceh-Utara-Bener

https://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Aceh_Utara

https://www.google.com/search?q=rumah+tradisional+aceh+utara&safe=strict&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ved=0ahUKE
wior_nW5tjiAhVD7XMBHZqKDSUQ_AUIECgB&biw=1366&bih=618

https://id.wikipedia.org/wiki/Aceh

https://tementravel.id/sepenggal-cerita-perjuangan-masa-lalu-dari-rumah-cut-meutia

https://bacaberita96.com/2018/06/18/kisah-legenda-jugi-tapa-si-murid-durhaka-dari-sawang-aceh-utara/

Anda mungkin juga menyukai