Dosen pembimbing :
Di susun oleh :
Kelompok B
FAKULTAS TEKNIK
Makalah ilmiah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan
bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah
ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang
telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena
itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca
agar kami dapat memperbaiki makalah ilmiah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ilmiah tentang limbah dan
manfaatnya untuk masyarakan ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi
terhadap pembaca.
kelompok B
DOSEN PEMBIMBING
Nasrullah Ridwan, S.T., MT
Nasrullah Ridwan lahir di Kabupaten Aceh Barat Daya di Provinsi Aceh pada
19 Mei 1968. Menyelesaikan gelar Sarjana di Jurusan Arsitektur Institut
Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya pada tahun 1996, dan kemudian
menyelesaikan Program Magister Teknik di Jurusan Arsitektur Fakultas Arsitektur
Teknik, Universitas Sumatera Utara pada Program Studi Manajemen
Pengembangan Kota. Pada tahun 1999 ia diterima sebagai dosen di Departemen
Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Syiah Kuala dan secara resmi ditunjuk
sebagai Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Universitas Syiah Kuala pada tahun
2000 dan aktif hingga saat ini.
ANGGOTA KELOMPOK
17041040100 17041040100
1704104010057 17041040100
KHAIRUNNISAK LUFTI AMINAH
1704104010070 1704104010021
1704104010060 17041040100
RIDHA MAULANA RIFAK SAKINAH
1704104010081 1704104010053
Geografis .................................................................................................................
Iklim ........................................................................................................................
Sejarah .....................................................................................................................
Politik ......................................................................................................................
Demografi ...............................................................................................................
Pidie ........................................................................................................................
Bireun ......................................................................................................................
Kesimpulan .............................................................................................................
Bab I Latar Belakang
Aceh adalah sebuah provinsi di Indonesia yang beribu kota Banda Aceh.
Aceh merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang diberi status sebagai daerah
istimewa dan juga diberi kewenangan otonomi khusus. Aceh terletak di ujung
utara pulau Sumatra dan merupakan provinsi paling barat di Indonesia. Jumlah
penduduk provinsi ini sekitar 4.500.000 jiwa. Letaknya dekat dengan Kepulauan
Andaman dan Nikobar di India dan terpisahkan oleh Laut Andaman. Aceh
berbatasan dengan Teluk Benggala di sebelah utara, Samudra Hindia di sebelah
barat, Selat Malaka di sebelah timur, dan Sumatra Utara di sebelah tenggara dan
selatan.
Aceh menempati wilayah ujung paling barat di pulau Sumatra dan Negara
Indonesia, di mana titik terluar Negara Kesatuan Republik Indonesia terletak
di Pulau Rondo, sementara itu kilometer Nol Indonesia berada di pulau Weh.
Secara geografis Aceh terletak antara 2° - 6° lintang utara dan 95° – 98° lintang
selatan dengan ketinggian rata-rata 125 meter diatas permukaan laut. Batas batas
wilayah Aceh, sebelah utara dan timur berbatasan dengan Selat Malaka, sebelah
selatan adalah satu-satunya perbatasan darat dengan Sumatra Utara dan sebelah
barat dengan Samudra Hindia.
Luas Aceh 5.677.081 ha, dengan hutan sebagai lahan terluas yang mencapai
2.290.874 ha, diikuti lahan perkebunan rakyat seluas 800.553 ha. Sedangkan lahan
industri mempunyai luas terkecil yaitu 3.928 ha. Cakupan wilayah Aceh terdiri
dari 119 pulau, 35 gunung dan 73 sungai utama.
IKLIM
Sebagai daerah yang berada tidak jauh dari garis khatulistiwa, iklim di Aceh
hampir seluruhnya tropis. Pada wilayah pesisir pantai suhu udara rata-rata
26,9 °C, suhu udara maksimum mencapai 32,5 °C dan minimum 22,9 °C.
Kelembaban relatif daerah ini berkisar antara 70 dan 80 persen. Antara bulan
Maret sampai Agustus Aceh mengalami fase musim kemarau, kondisi ini
dipengaruhi oleh massa udara benua Australia. Sementara musim hujan
berlangsung antara bulan September hingga Februari yang dihasilkan dari massa
udara daratan Asia dan Samudra Pasifik. Aceh memiliki curah hujan yang
bervariasi berkisar antara 1.500-2.500 mm per tahun.
SEJARAH
Menurut catatan sejarah, Aceh adalah tempat pertama masuknya agama Islam
di Indonesia dan sebagai tempat timbulnya kerajaan Islam pertama di Indonesia,
yaitu Peureulak dan Pasai. Kerajaan yang dibangun oleh Sultan Ali Mughayatsyah
dengan ibukotanya di Bandar Aceh Darussalam (Banda Aceh sekarang) lambat
laun bertambah luas wilayahnya yang meliputi sebagaian besar pantai Barat dan
Timur Sumatra hingga ke Semenanjung Malaka. Kehadiran daerah ini semakin
bertambah kokoh dengan terbentuknya Kesultanan Aceh yang mempersatukan
seluruh kerajaan-kerajaan kecil yang terdapat di daerah itu. Dengan demikian
Kesultanan Aceh mencapai puncak kejayaannya pada permulaan abad ke-17,
pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Pada masa itu pengaruh agama
dan kebudayaan Islam begitu besar dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Aceh,
sehingga daerah ini mendapat julukan “ Seuramo Mekkah” (Serambi Mekkah).
Keadaan ini tidak berlangsung lama, karena sepeninggal Sultan Iskandar Muda
para penggantinya tidak mampu mempertahankan kebesaran kerajaan tersebut.
Sehingga kedudukan daerah ini sebagai salah satu kerajaan besar di Asia Tenggara
melemah. Hal ini menyebabkan wibawa kerajaan semakin merosot dan mulai
dimasuki pengaruh dari luar.
Kemudian peperangan beralih melawan Jepang yang datang pada tahun 1942.
Peperangan ini berakhir dengan menyerahnya Jepang kepada Sekutu pada tahun
1945. Dalam jaman perang kemerdekaan, sumbangan dan keikutsertaan rakyat
Aceh dalam perjuangan sangatlah besar, sehingga Presiden Pertama Republik
Indonesia, Ir. Sukarno memberikan julukan sebagai “Daerah Modal” pada daerah
Aceh. Sejak bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaan pada tanggal 17
Agustus 1945 sebagai bangsa dan negara yang merdeka dan berdaulat,
Aceh merupakan salah satu daerah atau bagian dari negara Republik
Indonesia sebagai sebuah karesidenan dari Propinsi Sumatera. Bersamaan dengan
pembentukan keresidenan Aceh, berdasarkan Surat Ketetapan Gubernur Sumatera
Utara Nomor 1/X tanggal 3 Oktober 1945 diangkat Teuku Nyak Arief sebagai
Residen. Kedudukan daerah Aceh sebagai bagian dari wilayah Negara Republik
Indonesia telah beberapa kali mengalami perubahan status.Pada masa revolusi
kemerdekaan, Keresidenan Aceh pada awal tahun 1947 berada di bawah daerah
administratif Sumatera Utara. Sehubungan dengan adanya agresi militer Belanda
terhadap Republik Indonesia, Keresidenan Aceh, Langkat dan Tanah Karo
ditetapkan menjadi Daerah militer yang berkedudukan di Kutaradja (Banda Aceh
sekarang) dengan Gubernur Militer Teungku Muhammad Daud Beureueh.
Walaupun pada saat itu telah dibentuk Daerah Militer namun keresidenan
masih tetap dipertahankan. Selanjutnya pada tanggal 5 April 1948 ditetapkan
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1948 yang membagi Sumatera menjadi 3
Propinsi Otonom, yaitu : Sumatera Utara, Sumatera Tengah dan Sumatera Selatan.
Propinsi Sumatera Utara meliputi keresidenan Aceh, Sumatera Timur dan
Tapanuli Selatan, dengan pimpinan Gubernur Mr. S.M. Amin. Dalam menghadapi
agresi militer kedua yang dilancarkan Belanda untuk menguasai Negara Republik
Indonesia, Pemerintah bermaksud untuk memperkuat pertahanan dan keamanan
dengan mengeluarkan Ketetapan Pemerintah Darurat Republik Indonesia Nomor
21/Pem/PDRI tanggal 16 Mei 1949 yang memusatkan kekuatan Sipil dan Militer
kepada Gubernur Militer.
Pada akhir tahun 1949 Keresidenan Aceh dikeluarkan dari Propinsi Sumatera
Utara dan selanjutnya ditingkatkan statusnya menjadi Propinsi Aceh. Teungku
Muhammad Daud Beureueh yang sebelumnya sebagai Gubernur Militer Aceh,
Langkat dan Tanah Karo diangkat menjadi Gubernur Propinsi Aceh. beberapa
waktu kemudian, berdasarkan Peraturan pemerintah pengganti Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1950 propinsi Aceh kembali menjadi Keresidenan sebagaimana
halnya pada awal kemerdekaan. Perubahan status ini menimbulkan gejolak politik
yang menyebabkan terganggunya stabilitas keamanan, ketertiban dan ketentraman
masyarakat. Keinginan pemimpin dan rakyat Aceh ditanggapi oleh Pemerintah
sehingga dikeluarkan Undang-undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang
pembentukan kembali propinsi Aceh yang meliputi seluruh wilayah bekas
keresidenan Aceh.
Dengan dikeluarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957, status Propinsi
Aceh menjadi Daerah Swatantra Tingkat I dan pada tanggal 27 Januari 1957 A.
Hasjmy dilantik sebagai Gubernur Propinsi Aceh. Namun gejolak politik di Aceh
belum seluruhnya berakhir. Untuk menjaga stabilitas Nasional demi persatuan dan
kesatuan bangsa, melalui misi Perdana Menteri Hardi yang dikenal dengan nama
MISSI HARDI tahun 1959 dilakukan pembicaraan yang berhubungan dengan
gejolak politik, pemerintahan dan pembangunan daerah Aceh. Hasil misi tersebut
ditindak lanjuti dengan keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia Nomor
1/MISSI/1959. Maka sejak tanggal 26 Mei 1959 Daerah Swatantra Tingkat I atau
Propinsi Aceh diberi status “Daerah Istimewa” dengan sebutan lengkap Propinsi
Daerah Istimewa Aceh. Dengan predikat tersebut, Aceh memiliki hak-hak
otonomi yang luas dalam bidang agama, adat dan pendidikan. status ini
dikukuhkan dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965.
Sistem pemerintahan yang berlaku di Aceh saat ini ada 2, yaitu Sistem
Pemerintahan Lokal Aceh dan Sistem Pemerintahan Indonesia. Berdasarkan
penjenjangan, perbedaan yang tampak adalah adanya Pemerintahan Mukim di
antara kecamatan dan gampong.
DEMOGRAFI
ETNIS BANGSA
Aceh memiliki 13 etnis bangsa asli. Yang terbesar adalah etnis Aceh yang
mendiami wilayah pesisir mulai dari Langsa di pesisir timur utara sampai
dengan Trumon di pesisir barat selatan. Etnis lain nya adalah etnis Gayo, (Gayo
Lut, Gayo Luwes, Gayo Serbejadi) yang mendiami wilayah pegunungan di tengah
Aceh. Selain itu juga dijumpai etnis-etnis lainnya seperti, etnis Jamèë di Aceh
Selatan, etnis Singkil dan etnis Pakpak di Subulussalam, Singkil dan etnis
Alas di Aceh Tenggara, etnis Kluet di Aceh Selatandan etnis
Tamiang di Aceh Tamiang, dan di Pulau Simeulue terdapat etnis Sigulai.
Etnis yang ada di Aceh, yaitu
Aceh 70,65%
Jawa 8,94%
Gayo 7,22%
Batak 3,29%
Alas 2,13%
Simeulue 1,49%
Aneuk Jamee 1,40%
Tamiang 1,11%
Singkil 1,04%
Minangkabau 0,74%
BAHASA
Bahasa yang paling banyak dipakai di Aceh adalah Aceh . Bahasa lain nya
adalah Bahasa Gayo di Aceh bagian tengah, Bahasa Alas di Aceh
Tenggara, Bahasa Aneuk Jamee di Aceh Selatan, Bahasa
Singkil dan Bahasa Pakpak di Aceh Singkil, Bahasa Kluet di Aceh
Selatan, Bahasa Melayu Tamiang di Aceh Tamiang, Di Simeulue bagian utara
dijumpai Bahasa Sigulai dan Bahasa Lekon, sedangkan di selatan simeulue di
jumpai Bahasa Devayan, Bahasa Haloban.
AGAMA
Sebagian besar penduduk Aceh menganut agama Islam. Dari ke 13 etnis asli
yang ada di Aceh hanya etnis Nias yang tidak semuanya memeluk agama Islam.
Agama lain yang dianut oleh penduduk Aceh adalah agama Kristen yang
dianut oleh pendatang beretnis Batak dan sebagian warga
keturunan Tionghoa yang kebanyakan beretnis Hakka. Sedangkan sebagian
lainnya tetap menganut agama Konghucu.
Katolik 0,07%
Buddha 0,16%
Hindu 0,003%
Konghucu 0,0008%
lain-lain (0,006%
gereja katolik hati kudus banda Aceh kuil hindu palani Andawar di Banda
Aceh
Aceh merupakan kawasan yang sangat kaya dengan seni budaya lazimnya
wilayah Indonesia lainnya. Aceh mempunyai aneka seni budaya yang khas seperti
tari-tarian, dan budaya lainnya
Sastra aceh yang terkenal antara lain:
Bustanus Salatin
Hikayat Prang Sabi
Hikayat Malem Diwa
Hikayat Raja-raja Pasai
Legenda Amat Rhang Manyang
Legenda Putroe Neng
Legenda Magasang dan Magaseueng
SENJATA TRADISIONAL
Selain rencong, bangsa Aceh juga memiliki beberapa senjata khas lainnya,
seperti sikin panyang, peurise awe, peurise teumaga, siwah, geuliwang
dan peudeueng.
RUMAH TRADISIONAL
Rumah tradisonal Aceh dinamakan Rumoh Aceh. Rumah ini bertipe rumah
panggung dengan 3 bagian utama dan 1 bagian tambahan. Tiga bagian utama dari
rumah Aceh yaitu seuramoë keuë (serambi depan), seuramoë teungoh (serambi
tengah) dan seuramoë likôt (serambi belakang). Sedangkan 1 bagian tambahannya
yaitu rumoh dapu (rumah dapur).
TARIAN
Bab II Pembahasan
SEJARAH
Kemudian pada tahun 1976 usaha perintisan pemindahan ibu kota untuk
kedua kalinya mulai dilaksanakan lagi dengan memilih lokasi yang lain yaitu di
Kecamatan Seulimeum tepatnya di kemukiman Janthoi yang jaraknya sekitar 52
km dari Kota Banda Aceh.
Akhirnya usaha yang terakhir ini berhasil dengan ditandai dengan keluarnya
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 1976 tentang
Pemindahan Ibu kota Kabupaten Daerah Tingkat II Aceh Besar dari wilayah
Kotamadya Daerah Tingkat II Banda Aceh ke kemukiman Janthoi di Kecamatan
Seulimeum, Wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Aceh Besar, berdasarkan hasil
penelitian yang dilakukan oleh tim Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia
dan Pemerintah Daerah yang bekerjasama dengan Konsultan PT. Markam Jaya
yang ditinjau dari segala aspek dapat disimpulkan bahwa yang dianggap
memenuhi syarat sebagai ibu kota Kabupaten Daerah Tingkat II Aceh Besar
adalah Kemukiman Janthoi dengan nama Kota Jantho.
Setelah ditetapkan Kota Jantho sebagai ibu kota Kabupaten Daerah Tingkat II
Aceh Besar yang baru, maka secara bertahap pemindahan ibu kota terus dimulai,
dan akhirnya secara serentak seluruh aktivitas perkantoran resmi dipindahkan dari
Banda Aceh ke Kota Jantho pada tanggal 29 Agustus 1983, dan peresmiannya
dilakukan oleh Bapak Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia pada masa itu,
yaitu Bapak Soepardjo Rustam pada tanggal 3 Mei 1984.
Wilayah darat Aceh Besar berbatasan dengan Kota Banda Aceh di sisi utara,
Kabupaten Aceh Jaya di sebelah barat daya, serta Kabupaten Pidie di sisi selatan
dan tenggara.
Aceh Besar juga mempunyai wilayah kepulauan yaitu wilayah Kecamatan Pulo
Aceh. Kabupaten Aceh Besar bagian kepulauan di sisi barat, timur dan utaranya
dibatasi dengan Samudera Indonesia, Selat Malaka, dan Teluk Benggala, yang
memisahkannya dengan Pulau Weh, tempat di mana Kota Sabang berada. Pulau-
pulau utamanya adalah Pulau Breueh dan Pulau Nasi.
Secara geografis sebagian besar wilayah Kabupaten Aceh Besar berada pada hulu
aliran Sungai Krueng Aceh. Saat ini kondisi tutupan lahan adalah 62,5% (menurut
data citra landsat tahun 2007). Bandar Udara Internasional Sultan Iskandar Muda
yang merupakan bandara internasional dan menjadi salah satu pintu gerbang untuk
masuk ke Provinsi Aceh berada di wilayah kabupaten ini. Pulau Benggala yang
merupakan pulau paling barat dalam wilayah Republik Indonesia merupakan
bagian dari Kabupaten Aceh Besar.
RUMAH ADAT ACEH BESAR
Pintu dan Jendela pada Rumah Adat Aceh besar menggunakan material kayu.
Dengan pintu yang bermotif bunga dan jendela ayun biasa yang memiliki lubang-
lubang untuk mengalirkan udara ke dalam ruangan rumah.
DINDING, TIANG, DAN ATAP
Dinding pada rumah Adat Aceh Besar dipenuhi dengan ukiran-ukiran yang
bermotif bunga. Hal itu juga dapat ditemukan pada tiang-tiang rumah tersebut.
Dan pada bagian atap terdapat ventilasi/lubang angin yang berfungsi untuk
menyejukkan ruangan pada rumah tersebut.
JEUNGKI
Jeungki merupakan alat penumbuk padi yang banyak dijumpai pada rumah
adat Aceh. Jeungki terdiri dari tiga bagian yaitu Jeungki, Pha Jeungki, dan Bruek
Leusong Batee. Masyarakat Aceh membuat Jeungki dari pohon kayu mene yang
dibuat dengan bagus dan penuh dengan seni. Panjang Jeungki 2,5 meter dengan di
ujungnya dibuat alu, biasanya untuk alu kayu yang lebih lunak diujungnya dibuat
lesung juga dari pohon kayu mane atau kayu lainnya. Dulunya, tiap rumah
memiliki Jeungki, karena dengan Jeungki proses penumbukan gabah (padi) lebih
murni. Lebih-lebih kalau mendekati hari lebaran, banyak ibu rumah tangga di
daerah pedesaan, mulai melakukan kegiatan menumbuk tepung (top teupong)
sebagai bahan baku berbagai jenis kue persiapan dalam menyambut tamu lebaran
yang datang ke rumahnya. Kebiasaan wanita desa ramai-ramai melakukan top
teupong sebagai menu kue persiapan menyambut hari lebaran, dalam sebuah
jeungki ada empat-sampai lima wanita bekerja secara saling membantu. Bagi para
gadis berdiri menginjak di ujung jeungki, sementara ibu rumah tangga duduk di
pinggir lesung menjaga tepung sambil menghaliskan (hayak). Dengan adanya
Jeungki juga menjadi budaya saling membantu atau bekerjasama ibu rumahtangga
dalam segala hal. Namun, selama langkanya Jeungki bagi wanita desa mulai
renggang pula keakraban dan kebersamaan di dalam gampong.
KABUPATEN PIDIE
Pidie adalah salah satu kabupaten di provinsi Aceh, Indonesia. Pusat
pemerintahan kabupaten ini berada di Sigli, kabupaten ini merupakan kabupaten
dengan jumlah penduduk terbesar ke 2 di provinsi aceh setelah kabupaten aceh
utara. Dua pertiga masyarakat kabupaten ini ada di perantauan, buat masyarakat
wilayah ini merantau adalah sebuah kebiasaan yang turun temurun untuk melatih
kemandirian dan keterampilan. Masyarakat wilayah ini mendominasi pasar-pasar
di berbagai wilayah di provinsi Aceh dan sebagian ke provinsi sumatera utara dan
negara tetangga malaysia. Selain itu, wilayah ini juga terkenal sebagai daerah asal
tokoh-tokoh terkenal Aceh.
SEJARAH
Pidie sebelumnya adalah kerajaan Pedir yang berbeda dengan Aceh,
sehingga sampai sekarang Pidie tidak disebut sebagai Aceh Pidie, melainkan
kabupaten Pidie saja. Ketika terjadi konfrontasi dengan Portugal, maka kerajaan
Pedir menggabungkan diri dengan Kerajaan Aceh untuk melawan Penjajah
Portugis. Daerah ini merupakan tempat cikal bakal lahirnya Gerakan Aceh
Merdeka atau Hasan Tiro yang bermukim di Swedia. Namun anehnya, pergolakan
justru paling banyak terjadi di kawasan tetangganya dibanding Pidie sendiri.
GEOGRAFIS
BATAS WILAYAH
IKLIM
Tinggi /Lembah/Pegunungan)
Iklim Tropis (Dataran Rendah/Pesisir Pantai) ; Iklim Sejuk (Dataran Curah
Hujan dan Suhu Rata-Rata
Curah Hujan 1.482 mm pertahun ; Suhu rata-rata 24° – 32 °C
Panjang Pantai dan Sungai
Sungai 567, 40 Km ; Pantai 122 Km Jenis Tanah
JENIS TANAH
PENGGUNAAN TANAH
Sawah 29.391 Ha
Pekarangan 9.175
Tegalan/Kebun 26.857
Ladang/Huma 19.772
Padang Penggembalaan 16.194
Hutan Rakyat 23.782
Hutan Negara 81.448
Perkebunan 21.212
Rawa-Rawa 2.128
Tambak 2.890
Tebat/Empang 162
Pemukiman 30.714
Belum diupayakan 78.093
PEMERINTAHAN
Mulai Akhir
No Foto Nama Wakil Keterangan
Jabatan Jabatan
Teuku Chik
1. 1945 1946
Mad Sayed
Teungku
2. Abdul Wahab 1946 1949
Seulimum
tidak
ada
Teungku
3. Sulaiman 1949 1952
Daud
Teuku A.
4. 1952 1953
Hasan
M. Salim
5. 1953 1954
Hasyim
Mohd. Ali,
Teuku
6. 1954 1955
Panglima
Polim
Yuhana
7. Datuk Nan 1955 1956
Labih
Teungku
8. 1956 1960
Usman Aziz
Teungku
9. Ibrahim 1960 1965
Abduh
Letkol. Abdul
10. 1965 1967
lah Benseh
Mahyuddin
14. 1970 1974
Hasyim
Teuku
15. Sulaiman 1974 1975
Effendi
Letkol. Sayid
16. 1975 1980
Zakaria
Drs. Nurdin
17. Abdul 1980 1990
Rahman
Drs. HM.
18. 1990 1995
Diah Ibrahim
Drs. HM.
19. Djakfar 1995 2000
Ismail
Drs.
Ir. H. H.
20. Abdullah Jalalu 2000 2007
Yahya ddin
Harun
Drs. H.
Saifuddin tidak Penjabat
* 2007 2007
AR, S, M.Ph, ada Bupati
M.Kes
Nazir
H. Mirza Adam,
21. 2007 2012
Ismail, S.Sos SE,
MM
Drs. H.
Teuku tidak Penjabat
* 2012 2012
Anwar, ZA, ada Bupati
M.Si
KECAMATAN
Setelah pemekaran, maka kecamatan di Kabupaten Pidie tersisa sebanyak 23
buah, yaitu:
Batee Grong Grong Mane
Delima Indrajaya Mila
Geumpang Keumala Muara Tiga
Glumpang Baro Kembang Tanjong Mutiara
Glumpang Tiga Kota Sigli Mutiara Timur
DEMOGRAFI
Kayu. Kayu merupakan bahan utama untuk membuat Rumoh Aceh. Kayu
digunakan untuk membuat tameh (tiang), toi, roek, bara, bara linteung, kuda-
kuda, tuleueng rueng, indreng, dan lain sebagainya.
Papan, digunakan untuk membuat lantai dan dinding. Trieng (bambu). Bambu
digunakan untuk membuat gasen (reng), alas lantai, beuleubah (tempat
menyemat atap), dan lain sebagainya.
Enau (temor). Selain menggunakan bambu, adakalanya untuk membuat lantai
dan dinding Rumoh Aceh menggunakan enau.
Taloe meu-ikat (tali pengikat). Tali pengikat biasanya dibuat dari tali ijuk,
rotan, kulit pohon waru, dan terkadang menggunakan tali plastik.
Oen meuria (daun rumbia), digunakan untuk membuat atap.
ARSITEKTURAL
DENAH
Seuramoe likot
Seuramoe
teras
Seuramoe keue
Keterangan :
Seuramoe Keue (Serambi Depan), Serambi keue digunakan untuk menyambut
tamu
Seuramoe Teungoh (Serambi Tengah), lantai serambi tengah lebih tinggi dari
serambi depan dan serambi belakang
Seuramoe Likot (Serambi Belakang)
Seulasa (Teras), terletak di arah timur rumah
Rumoh Dapu (Dapur), letaknya berdekatan atau tersambung dengan serambi
belakang dengan lantai yang lebih rendah dari serambi belakang
TAMPAK
INTERIOR
Seuramoe keue
Seuramoe teungeh
EKSTERIOR
Bagian barat
Bagian barat
Bagian barat
Bagian selatan
Bagian timur
Bagian timur
STRUKTURAL
PONDASI
Kolom pada rumah aceh ini berjumlah 16 yg disusun persegi dengan jarak
2,5 meter per kolom
TANGGA
Untuk memasuki Rumoh Aceh, pertama-tama harus melewati “reunyeun”
(tangga). Tangga yang terdapat pada setiap Rumoh Aceh ini memiliki jumlah anak
tangga ganjil yaitu 9 buah anak tangga. Makna dari jumlah anak tangga tersebut
berdasarkan kepercayaan orang Aceh bahwa setiap jumlah hitungan selalu ada
hubungan dan pengaruhnya dengan ketentuan langkah, rezeki, pertemuan dan maut.
Serta tangganya terletak di bagian timur
PINTU
Tinggu pintu masuk Rumoh Aceh sekitar 150 cm.Dengan ketinggian yang
tidak melebihi dahi manusia ini membuat siapapun yang hendak masuk ke dalam
Rumoh harus merunduk. Hal ini merupakan aturan turun menurunyang berarti
sebuah penghormatan kepada tuan rumah saatmemasuki rumahnya
JENDELA
Jendela Rumoh Aceh umumnya dibuat pada dinding sebelah Barat dan
Timur. Jendela ini merupakan jendela utama yangmenyambut udara bersih dan
sinar mataharai pagi ke dalam rumah.Sedangkan jendela yang dibuat pada dinding
bagian Utara dan Selatan hanya berfungsi untuk menerangi bagian dalam rumah
Jendela bagian timur
LANTAI
lantai rumah aceh terbuat dari papan kayu dengan lebar sekitar 25 cm
ATAP
Penutup atap Rumoh Aceh menggunakan daun rumbia yang diikatdan
disusun dari pojok kiri bawah sampai ke pojok kanan atas dengan jarak antara
tulang daun berikatannya rata-rata 1,5-2 cm sehingga terlihat sangat tebal. Hal ini
bertujuan apabila terjadi kebakaran maka cukup hanya dengan menurunkan ikatan
di atas secara keseluruhan dan atap akan terseret jatuh ke bawah.
FUNGSI RUMAH ADAT
Selain memiliki fungsi sebagai identitas budaya, rumah adat aceh juga
memiliki fungsi praktis yaitu sebagai rumah tinggal masyarakat Aceh. Bagian-
bagian Rumoh Aceh Pada bagian bawah rumah atau disebut dengan (Yup Moh)
bisa digunakan untuk menyimpan berbagai benda, seperti penumbuk padi dan
tempat menyimpan padi.Tidak hanya itu, bagian yup moh juga sering difungsikan
sebagai tempat bermain anak-anak, membuat kain songket Aceh yang dilakoni
oleh kaum perempuan, bahkan bisa dijadikan sebagai kandang untuk peliharaan
seperti ayam, itik, dan kambing.
Motif alam digunakan oleh masyarakat Aceh di antaranya adalah langit dan
awannya, langit dan bulan, dan bintang dan laut dan Motif lainnya, seperti
rantee, lidah, dan lain sebagainya.
5. Berbentuk persegi panjang dan membujur dari arah barat ke timur,
menandakan masyarakat Aceh adalah masyarakat yang religius.Pengaruh
keyakinan masyarakat Aceh terhadap arsitektur bangunan rumahnya dapat
dilihat pada orientasi rumah yang selalu berbentuk memanjang dari timur ke
barat,yaitu bagian depan menghadap ke timur dan sisi dalam atau belakang
yang sakral beradadi barat. Arah Barat mencerminkan upaya masyarakat
Aceh untuk membangun garis
KABUPATEN PIDIE JAYA
1. Letak Georafi
Kabupaten Pidie Jaya berada pada 4°54' 15,702"N sampai 5° 18' 2,244"
N dan 96°1' 13,656"E sampai 96°22'1,007"E. Secara Topografi Kabupaten Pidie
Jaya berada pada ketinggian 0 mdpl s.d 2300 mdpl dengan tingkat kemiringan
lahan antara 0 sampai 40%.
2. Batas Wilayah
Meureudu sudah terbentuk dan diakui sejak zaman Kerajaan Aceh. Ketika
Sultan Iskandar Muda berkuasa (1607-1636) Meureudu semakin diistimewakan.
Menjadi daerah bebas dari aturan kerajaan. Hanya satu kewajiban Meureudu saat
itu, menyediakan persediaan logistik (beras) untuk kebutuhan kerajaan Aceh.
Sampai Kerajaan Aceh runtuh, Meureudu masih sebuah negeri bebas.
5. Pemerintahan
6. Agama
Islam 98.35%,
Kristen 0.23%,
Buddha 0.37%
7. Lambang Daerah
1. Wadah Perisai: Perlindungan kepada segenap masyarakat Pidie Jaya dalam
menghadapi berbagai tantangan guna menuju masyarakat yang adil dan
makmur.
2. Untaian Padi dan Rangkaian Tandan Kapas: Kemakmuran rakyat Pidie
Jaya yang adil dan merata.
3. Buku/Kitab dan Pena: Peningkatan SDM atau cita-cita agar Kabupaten
Pidie Jaya senantiasa mengikuti perkembangan ilmu dan teknologi.
4. Rencong: Kepahlawanan dan keperkasaaan serta menjunjung tinggi nilai
budaya leluhur.
5. Timbangan dan Neraca: Pemerintah yang adil di Kabupaten Pidie Jaya.
6. Kubah Masjid dengan Bintang Bulan: Syariat Islam yang merupakan
falsafah hidup bagi masyarakat Pidie Jaya.
7. Delapan (8) Pintu di Bawah Kubah: Kabupaten Pidie Jaya memiliki
delapan (8) kecamatan dalam wilayahnya.
8. Pita Merah bertuliskan "Pidie Jaya": Masyarakat Pidie Jaya berani
manghadapi tantangan kemajuan daerah.
9. Warna Dasar Biru Tua: Potensi laut di seluruh wilayah Pidie Jaya.
10. Warna Dasar Biru Muda: Bagian atas bermakna warna angkasa yang
bersih sebagai cita-cita warga Pidie Jaya.
Kepercayaan individu atau masyarakat dan kondisi alam di mana individu atau
masyarakat hidup mempunyai pengaruh signifikan terhadap bentuk arsitektur
bangunan, rumah, yang dibuat.. Rumoh Aceh bukan sekadar tempat hunian, tetapi
merupakan ekspresi keyakinan terhadap Tuhan dan adaptasi terhadap alam..
Adaptasi masyarakat Aceh terhadap lingkungannya dapat dilihat dari bentuk
Rumoh Aceh yang berbentuk panggung, tiang penyangga yang terbuat dari kayu
pilihan, dindingnya dari papan, dan atapnya dari rumbia. Pemanfaatan alam juga
dapat dilihat ketika mereka hendak menggabungkan bagian-bagian rumah, mereka
tidak menggunakan paku tetapi menggunakan pasak atau tali pengikat dari rotan.
Walaupun hanya terbuat dari kayu, beratap daun rumbia, dan tidak menggunakan
paku, Rumoh Aceh bisa bertahan hingga 200 tahun.
Jika arah rumoh Aceh menghadap kearah angin, maka bangunan rumah
tersebut akan mudah rubuh. Di samping itu, arah rumah menghadap ke utara-
selatan juga dimaksudkan agar sinar matahari lebih mudah masuk kekamar-kamar,
baik yang berada di sisi timur ataupun di sisi barat.Setelah Islam masuk ke Aceh,
arah rumoh Aceh mendapatkan justifikasi keagamaan.Nilai religiusitas juga dapat
dilihat pada jumlah ruang yang selalu ganjil, jumlah anak tangga yang selalu
ganjil, dan keberadaan gentong air untuk membasuh kaki setiap kali hendak
masuk rumoh Aceh.
c. Denah
Rumah adat Cubo ini bertipe rumah panggung dengan 3 bagian utama dan 1
bagian tambahan. Tiga bagian utama dari rumah Aceh yaitu seuramoe reungeun
(serambi depan), seuramoe teungoh (serambi tengah) dan seuramoe likot (serambi
belakang). Sedangkan 1 bagian tambahannya yaitu rumoh dapu (rumah dapur).
Bagian Dalam Rumah Adat di daerah Pidie Jaya Masa Kini
Ruangan belakang disebut seuramoe likot yang memiliki tinggi lantai yang
sama dengan seuramoe reungeun, serta tidak mempunyai bilik atau sekat-sekat
kamar. Fungsinya sering dipergunakan untuk dapur dan tempat makan bersama
keluarga, selain itu juga dipergunakan sebagai ruang keluarga, baik untuk
berbincang-bincang atau untuk melakukan kegiatan sehari-hari perempuan seperti
menenun dan menyulam.
Namun, ada waktunya juga dapur sering dipisah dan malah berada di
bagian belakang seuramoe likot.Sehingga ruang tersebut dengan rumoh dapu
(dapur) sedikit lebih rendah lagi dibanding lantai seuramoe likot.
d. Ornamen
Dalam Rumoh Aceh, ada beberapa motif hiasan yang dipakai, yaitu:
(1) Motif keagamaan yang merupakan ukiran-ukiran yang diambil dari ayat-
ayat al-Quran;
(2) Motif flora yang digunakan adalah stelirisasi tumbuh-tumbuhan baik
berbentuk daun, akar, batang, ataupun bunga-bungaan. Ukiran berbentuk
stilirisasi tumbuh-tumbuhan ini tidak diberi warna, jikapun ada, warna
yang digunakan adalah merah dan hitam. Ragam hias ini biasanya terdapat
pada rinyeuen (tangga), dinding, tulak angen, kindang, balok pada bagian
kap, dan jendela rumah;
(3) Motif fauna yang biasanya digunakan adalah binatang-binatang yang
sering dilihat dan disukai;
(4) Motif alam digunakan oleh masyarakat Aceh di antaranya adalah: langit
dan awannya, langit dan bulan, dan bintang dan laut; dan
(5) Motif lainnya, seperti rantee, lidah, dan lain sebagainya.
Rumoh Aceh yang bertipe tiga ruang memiliki 16 tiang, sedangkan untuk
tipe lima ruang memiliki 24 tiang.
Biasanya tinggi pintu sekitar 120 - 150 cm dan membuat siapa pun yang
masuk harus sedikit merunduk, konon makna dari merunduk ini menurut orang-
orang tua adalah sebuah penghormatan kepada tuan rumah saat memasuki
rumahnya, siapa pun dia tanpa peduli derajat dan kedudukannya. Selain itu juga,
ada yang menganggap pintu rumoh Aceh sebagai hati orang Aceh. Hal ini terlihat
dari bentuk fisik pintu tersebut yang memang sulit untuk memasukinya, namun
begitu kita masuk akan begitu lapang dada disambut oleh tuan rumah.
Saat berada di ruang depan ini atau disebut juga dengan seuramoe
keu/seuramoe reungeun, akan kita dapati ruangan yang begitu luas dan lapang,
tanpa ada kursi dan meja. Jadi, setiap tamu yang datang akan dipersilahkan duduk
secara lesehan atau bersila di atas tikar bak ngom (sejenis tumbuhan ilalang yang
ada di rawa lalu diproses dan dianyam) serta dilapisi dengan tikar pandan.
Saat melihat rumoh Aceh, kita akan menjumpai terlebih dahulu dengan
bagian bawahnya. Bagian bawah ini akrab disebut dengan yup moh/miyup moh,
yakni bagian antara tanah dan lantai rumah.
Lazimnya dibagian bawah ini bisa kita dapati berbagi benda, seperti
jeungki (penumbuk padi) dan kroeng (tempat menyimpan padi).Tidak hanya itu,
bagian yup moh juga sering difungsikan sebagai tempat bermain anak-anak,
membuat kain songket Aceh yang dilakoni oleh kaum perempuan, bahkan bisa
dijadikan sebagai kandang untuk peliharaan seperti ayam, itik, dan kambing.
1. Tangga
2. Tali Hitam
Ada juga keunikan lainnya dari rumoh Aceh, yakni terletak di atapnya.Tali
hitam atau tali ijuk tersebut (lihat gambar sebelah kiri) mempunyai kegunaan yang
sangat berarti, saat terjadi kebakaran misalnya yang rentan menyerang atap karena
bahan dari rumbia yang begitu mudah terbakar, maka pemilik rumah hanya perlu
memotong tali tersebut. Sehingga, seluruh atap yang terhubungan atau terpusat
pada tali hitam ini akan roboh dan bisa meminimalisir dampak dari musibah yang
terjadi.
f. Material
2. Trieng (bambu) juga tidak kalah penting dalam pembuatan rumoh Aceh, salah
satu gunanya untuk membuat gasen (reng), alas lantai, beuleubah (tempat
menyemat atap), dan lain sebagainya.
3. Enau atau aren juga adakalanya digunakan untuk membuat lantai dan dinding
selain menggunakan bambu, daun Enau sendiri bisa juga sebagai pengganti daun
rumbia untuk atap rumoh Aceh.
4. Taloe meu-ikat (tali pengikat) yang dibuat ijuk, rotan, kulit pohon waru, dan
terkadang untuk saat ini biasa digunakan tali plastik. 'Oen meuria (daun rumbia,
buahnya sering dikenal dengan salak Aceh) merupakan salah satu bagian penting
untuk pembuatan atap dari rumoh Aceh.
5. Daun rumbia, tentu peuleupeuk meuria (pelepah rumbia). Salah satu kegunaan
pelepah rumbia digunakan untuk membuat dinding rumah, seperti rak-rak, dan
sanding.Namun, pelepah ini bukan semata-semata pengganti dari papan.
Saat ini, taksiran untuk membuat rumoh Aceh memang terbilang mahal,
salah seorang utoh (tukang) dari Peukan Pidie, Syafie menuturkan bahwa
membangun rumoh Aceh yang sedang pada masa sekarang bisa berkisar Rp 20
juta, itu terdiri dari bahan-bahan kayu, atap daun rumbia yang bagus dan semua
bagian rumah bisa menghabiskan uang lebih dari Rp 75 juta. Kalau yang besar,
tidak kurang Rp 300 juta, jika melihat maksud dari yang besar ini tidak lain adalah
rumoh Aceh yang memiliki 80 tiang.
2.1. Sejarah dan Asal Muasal Rumoh Tgk. Chik Awe Geutah
Dalam catatan sejarah Bireuen dikenal sebagai daerah Jeumpa,
Jeumpa merupakan sebuah kerajaan kecil yang pertama di Aceh.
Menurut Ibrahim Abduh dalam Ikhtisar Radja Jeumpa, Kerajaan Jeumpa
terletak di Desa Blang Seupeung, Kec. Jeumpa, Kab. Bireuen.
Rumoh Aceh tersebut merupakan rumah peninggalan Tgk Chiek
Awe Geutah, dibangun pada masa kepimpinannya yang diperkirakan
pada abad ke -13. Bangunannya hingga saat ini masih berdiri dengan
kokoh walaupun usianya sudah cukup tua dan ukiran-ukiran pada
dinding, pintu, jendela yang melambangkan ciri-ciri khas daerah pada
masa itu juga masih sangat jelas keasliannya.
Tgk Chik Awe Geutah nama aslinya adalah Syaikh Abdurrahim
Bawarith al-Asyi adalah anak Syaikh Jamaluddin al-Bawaris dari Zabid
Yaman. Bersama adiknya dan tujuh ulama lain, mereka berangkat ke
Aceh. Tgk. Syaikh Abdurrahim akhirnya memilih untuk menetap di
wilayah Jeumpa bersama beberapa pengikutnya.
Dikisahkan ketika akan membuka lahan yang ditumbuhi rotan,
Tgk. Syeikh Abdurrahim melihat salah satu pohon rotan yang
mengeluarkan cahaya. Ketika dipotong, tampak tetesan getah rotan. Tgk.
Syeikh Abdurrahman kemudian memberi nama daerah ini menjadi Awe
Geutah dan sejak itu penyebaran agama Islam mulai dilakukan. Nama
Abdurrahim semakin dikenal di seluruh Aceh sebagai seorang tokoh
ulama Sufi, hingga dikenal dengan sebutan Teungku Chik Awe Geutah.
Pintu dibuat dengan tinggi 1,20 meter dengan maksud para tamu yang
masuk ke dalam rmah harus menunduk ketika masuk sebagai bentuk
hormat terhadap pemilik rumah. Pada daun dan kusen pintu terdapat
ukiran-ukiran yang dipahat langsung oleh Tgk. Chik Awe Geutah.
Kononnya, daun pintu yang sebelah kanan pada masa penjajahan
diambil oleh kolonial Belanda, sebelah daun pintu yang sekarang
merupakan replika dari pintu aslinya.
Pada dinding sebelah samping kanan dan kiri terdapat jendela yang
berukuran lebih kurang lebar 0.6 meter dan tingginya 1 meter yang
disebut tingkap. Masing-masing pada tiap sisi terdapat tiga buah
jendela.
Gambar 2.4.2.4. Pintu Rumoh Tgk. Chik Awe Geutah
(Sumber : Dokumentasi Penulis, 2019
3. Bambu
Selain kayu, material yang dpergunakan untuk lantai dan dinding
adalah bamboo.Bamboo ini nantinya dibelah dan diikat/digabungkan
dengan tali yang dibuat dari kulit bambu sendiri ataupun tali
ijuk.Penggunaan tanaman bambu sebagai material pada rumah Tgk
Chik Awe Geutah juga merupakan upaya untuk melestarikan
lingkungan agar tetap hijau.Bambu merupakan tanaman yang sangat
mudah hidup dimana saja dan dapat tumbuh lagi dalam waktu yang
singkat.Sehingga bamboo bisadikategorikan kepada material yang
ramah lingkungan dan dapat diperbaharui karena sifatnya yang cepat
tumbuh kembali.
Gambar 2.4.4.3. Bahan bambu yang digunakan pada tiang rumah
Tgk. Chik Awe Geutah
4. Tali Ijuk
Tali ijuk dipergunakan untuk menggabungkan belahan bamboo untuk
material dinding ataupun lantai.Selain itu juga untuk mengikat
konstruksi atap dan daun rumbia sebagai penutup atap.
Gambar 2.4.4.3. Bahan tali ijuk yang digunakan pada tiang rumah
Tgk. Chik Awe Geutah
5. Daun Rumbia/daun kelapa
Daun rumbia dipergunakan sebagai penutup atap.Penggunaan daun
rumbia dan atau daun kelapa ini karena memang di daerah Aceh
dahulunya banyak terdapat daun rumbia dan atau daun
kelapa.Sehingga material sangat mudah untuk
didapatkan.Mempergunakan atap daun rumbia dan atau kelapa sangat
bermamfaat didaerah yang beriklim tropis, dimana material penutup
atap ini merupakan material yang tidak mudah menghantarkan panas
sehingga ruangan dibawahnya tetap terasa sejuk.
6. Batu
Batu kali yang berbentuk pipih biasanya dipergunakan sebagai alas
pondasi. Pondasi seperti ini dinamakan juga gak tameh/keuneuleung
atau pondasi umpak dimana kolom kayu hanya diletakkan diatas batu
sebagai pembatas kayu dengan tanah agar tidak mudah lapuk.
Penggunaan material yang berasal dari lingkungan sekitar ini
menegaskan kearifan lokal dalam menjaga keseimbangan mikro
kosmos dan makro kosmos. Proses penggunaan material setempat
dan kebiasaan menanam kembali pohon yang dipergunakan dapat
melestarikan dan menjaga lingkungan. Proses ini juga secara tidak
langsung akan memaksa manusia untuk tetap menjaga dan
mengembalikan apa yang sudah diambil dari alam, karena untuk
kebutuhan pembangunan selanjutnya. Hal ini tidak hanya bermamfaat
bagi kelestarian lingkungan saja tetapi juga berpengaruh kepada
banyak factor, misalnya berpengaruh pada tetap terjaganya
(memperlambat perubahan) iklim dan makhluk hidup lainnya yang
juga hidup bersama-sama kita.
Gambar 2.4.4.5. Bahan batu yang digunakan pada tiang rumah Tgk.
Chik Awe Geutah
Gambar 2.4.7.1. warna yang Terdapat pada motif flaura rumah Tgk.
Chik Awee Geutah
Gambar 2.4.7.2. warna yang Terdapat pada motif flaura rumah Tgk.
Chik Awee Geutah
Terdapat makna yang berbeda dari setiap warna yang ada pada rumah
Tgk. Chik Awe GEutah ini diantaranya;
ACEH TIMUR
LETAK GEOGRAFIS
Kabupaten Aceh Timur memiliki luas wilayah sebesar 6.040,60 Km², secara
administratif Kabupaten Aceh Timur terdiri dari 24 kecamatan, 54 mukim, 513
desa, 1 kelurahan dan 1.596 dusun. Nama-nama Kecamatan yang ada di
Kabupaten Aceh Timur adalah Kecamatan Simpang Ulim, Kecamatan Julok,
Kecamatan Nurussalam, Kecamatan Darul Aman, Kecamatan Idi Rayeuk,
Kecamatan Peureulak, Kecamatan Rantau Selamat, Kecamatan Birem Bayeun,
Kecamatan Serba Jadi, Kecamatan Rantau Peureulak, Kecamatan Pante Bidari,
Kecamatan Madat, Kecamatan Indra Makmur, Kecamatan Idi Tunong, Kecamatan
Banda Alam, Kecamatan Peudawa, Kecamatan Peurelak Timur, Kecamatan
Peureulak Barat, Kecamatan Sungai Raya, Kecamatan Simpang Jernih,
Kecamatan Darul Ihsan, Kecamatan Peunaron, Kecamatan Idi Timur, dan
Kecamatan Darul Falah.
Dulu, Langsa termasuk kepada kabupaten Aceh Timur, namun sekarang Langsa
sudah berdiri sebagai Kota langsa.
KONDISI GEOGRAFIS
PEREKONOMIAN
Komoditi unggulan Kabupaten Aceh Timur yaitu sektor pertanian dan jasa. Sektor
pertanian komoditi unggulannya adalah sub sektor tanaman perkebunan dengan
komoditi Kelapa Sawit, Kakao, Karet dan Kelapa. Sub sektor pertanian komoditi
yang diunggulkan berupa Jagung dan Ubi kayu.
LOKASI
KOTA LANGSA
Kota Langsa adalah salah satu kota di Aceh, Indonesia. Kota Langsa adalah kota
yang menerapkan hukum Syariat Islam. Kota Langsa berada kurang lebih 400 km
dari kota Banda Aceh. Pada awalnya Kota Langsa berstatus Kota Administratif
sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 1991 tentang Pembentukan
Kota Administratif Langsa. Kota Administratif Langsa diangkat statusnya menjadi
Kota Langsa berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 tanggal 21 Juni 2001. Hari
jadi Kota Langsa ditetapkan pada tanggal 17 Oktober 2001.
Kota Langsa mempunyai luas wilayah 262,41 KM2, yang terletak pada posisi
antara 04° 24’35,68’’ – 04° 33’ 47,03” Lintang Utara dan 97° 53’ 14,59’’ – 98°
04’ 42,16’’ Bujur Timur, dengan ketinggian antara 0 – 25 M di atas permukaan
laut serta mempunyai batas-batas wilayah sebagai berikut.
Kota Langsa merupakan daerah tropis yang selalu dipengaruhi oleh angin musim,
sehingga setiap tahun ada dua musim yang berbeda yaitu musim hujan dan musim
kemarau. Musim hujan dan musim kemarau biasanya terjadi secara acak
sepanjang tahun. Meskipun perubahan cuaca sering, curah hujan rata-rata per
tahun berkisar dari 1500 mm sampai 3000 mm, sedangkan suhu udara rata-rata
berkisar antara 28°-32 °C dan kelembaban relatif rata-rata 75%.
RUMAH ADAT LANGSA
Ciri Khas
Bentuknya yang selalu persegi panjang dan posisinya tak berubah, yakni
membujur Barat ke Timur.
Adanya ukiran yang hanya menggunakan 7 'canek' (motif ukir) khas Aceh:
Canek kalimah, yang berarti kalimat Allah. Letaknya harus berada di bagian
atas karena sangat sakral.
Canek jeumpa, yang berarti bunga jeumpa yang khas Aceh. Bentuknya seperti
bunga yang melingkar dan diletakkan di sisi samping.
Canek talo meputa atau tali berputar di bagian depan dan di sisi samping.
Canek bintang bulan, khas Timur Tengah mengisyaratkan Aceh dimulai dari
kehadiran ulama dari Timur Tengah yang dipasang di sudut-sudut.
canek eun kaye (kayu) dan canek awan, artinya awan yang berputar putar, yang
diletakkan di sudut rumah.
Filosofi
Rumah yang terbuat dari bahan alam, yakni kayu-kayuan dan ijuk. Bermakna
bahwa masyarakat Aceh selalu berdekatan dengan alam mereka. Tanpa adanya
anugerah alam yang diberikan oleh Tuhan YME, maka tidak akan ada hunian
kokoh yang mampu bertahan hingga ratusan tahun.
Rumah yang membujur dari Barat ke Timur, penyesuaian terhadap tata cara
beribadah dalam agama Islam. Kebiasaan Shalat menyebabkan peletakan rumoh
Aceh memanjang mengikuti arah kiblat (ke barat) sehingga rumoh Aceh dapat
menampung banyak orang bersholat. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat
Aceh adalah sosok yang religius dan selalu mengingat sang pencipta.
Peletakan tangga (reunyeun) tidak boleh di depan orang sholat sehingga tangga
ditempatkan di ujung timur atau dibawah kolong rumah.
DENAH
Nama Ruang
Seuramo Keu/Agam
Seuramo Keu/ Serambi depan adalah ruangan yang berfungsi sebagai ruang tamu
dan bersifat semi publik. Ruangan ini dipergunakan untuk menerima tamu,
terutama tamu laki-laki baik tamu dihari biasa ataupun ketika diadakan acara adat.
Seuramo Inong
Seuramo Inong adalah bagian rumah yang berada ditengah. Bagian rumah ini
biasanya terdiri dari 2 bagian yaitu dibagian timur kamar untuk anak perempuan
yang disebut Jurei dan dibagian barat kamar untuk orang tua yang disebut dengan
anjong. Diantara anjong dan Jurei terdapat rabat yang merupakan lorong yang
menghubungkan antara seuramo keu dan seuramo likot.
Rumoh Dapu adalah ruangan tambahan yang berfungsi sebagai dapur. Biasanya
rumoh dapu terletak disamping seuramo likot di bagian Timur. Ketinggiannya bisa
sejajar ataupun lebih rendah dari seuramo likot. Ukurannya lebih kecil dari bagian
lain di Rumoh Aceh karena ruangan ini hanya berfungsi sebagai dapur.
Sistem ini hanya meletakkan kayu diatas batu tanpa menempelkannya dengan
material lainnya. Hal ini dilakukan agar jika terjadi gempa rumah tidak kaku dan
bisa mengikuti arah goyangan gempa sehingga rumah tidak roboh dan
strukturnya tidak rusak.
Balok pada struktur rumah aceh dibagi menjadi 2 yaitu rhok dan toi. Rhok adalah
balok yang menghubungkan kolom pada arah melintang sedangkan toi adalah alok
yang menghubungkan kolom pada arah memanjang. Rhok dan toi ini berfungsi
untuk mengikat kolom agar dapat berdiri tegak. Kolom diberi lubang untuk
memasukkan ujung rhok dan toi sehingga kolom saling terikat oleh balok (rhok
dan toi). Untuk mempererat ikatan pada lubang ini ditambahkan pasak. System ini
membuat struktur rumah tidak kaku dan ketika terjadi goyangan ketika gempa
rumah dapat bergerak fleksibel mengikuti gempa sehingga tidak ada gaya yg
berlawanan yang membuat struktur rumah menjadi rusak dan roboh.
Struktur atap
Struktur atap ini merupakan struktur atap yang ringan karena bahan materialnya
yang ringan. Struktur seperti ini sangat cocok untuk didaerah yang rawan
gempa.material penutup atap adalah daun rumbia, material untuk struktur atap
seperti kuda-kuda, gording dan usuk merupakan kayu setempat/local seperti kayu
pohon kelapa sedangkan rengnya biasanya dari bamboo yang dibelah.
Pengikatnya adalah tali ijuk ataupun tali dari kulit kayu.
ELEMEN RUMAH
TANGGA LUAR, Tangga pertama masuk dari luar bangunan. Terdapat ukiran-
ukiran khas Aceh di segala sisi, salah satunya di tangga.
JENDELA SISIR
Aceh Tamiang
Kabupaten Aceh Tamiang (Melayu Jawi: كابوڤاتين اچيه )تميانڠadalah salah
satu kabupaten di provinsi Aceh, Indonesia. Kabupaten ini merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten
Aceh Timur dan terletak di perbatasan Aceh-Sumatra Utara.
Sejarah
Sebelum kemerdekaan
Kerajaan Tamiang pernah mencapai puncak kejayaannya dibawah pimpinan seorang Raja Muda Setia yang memerintah selama
tahun 1330 - 1366 M.[1] Pada masa itu kerajaan tersebut dibatasi:
1. Sungai Raya/Selat Malaka di bagian Utara
2. Besitang di bagian Selatan
3. Selat Malaka di bagian Timur
4. Gunung Segama (Gunung Bendahara/Wilhelmina Gebergte) di bagian Barat.
Pada masa kesultanan Aceh, Kerajaan Tamiang telah mendapat cap Sukureung dan hak Tumpang Gantung(Zainuddin, 1961:
136-137) dari Sultan Aceh Darussalam atas wilayah Negeri Karang dan Negeri Kejuruan Muda.
Pada tahun 1908, dengan berlakunya Staatblad No.112 tahun 1878, maka wilayah Tamiang dimasukkan ke dalam Geuverment
Aceh en Onderhoorigheden. Maksudnya adalah, Tamiang berada dibawah status hukumOnderafdelling.[1] Dalam Afdeling
Oostkust Van Atjeh (Aceh Timur) beberapa wilayah Landschaps berdasarkan Korte Verklaring diakui sebagai Zelfbestuurder,
dengan status hukum Onderafdelling Tamiang, termasuk wilayah - wilayah:
1. Landschap Karang
2. Landschap Seruway/Sultan Muda
3. Landschap Kejuruan Muda
4. Landschap Bendahara
5. Landschap Sungai Iyu, dan
6. Gouvermentagebied Vierkantepaal Kualasimpang.
Asal kata "Tamiang"
Nama Tamiang tumbuh dari legenda "Te-Miyang" atau "Da-Miyang" yang berarti tidak kena gatal atau kebal gatal dari miang
bambu. Hal tersebut berhubungan dengan cerita sejarah tentang Raja Tamiang yang bernama Pucook Sulooh. Ketika masih bayi,
ia ditemukan dalam rumpun bambu betong (istilah Tamiang adalah bulooh) oleh seorang raja berjulukan "Tamiang Pehok".
Menginjak dewasa, Pucook Sulooh dinobatkan menjadi Raja Tamiang bergelar "Pucook Sulooh Raja Te-Miyang", yang artinya
"seorang raja yang ditemukan di rumpun rebong, tetapi tidak kena gatal atau kebal gatal".
Bahasa Tamiang
Bahasa Tamiang atau Bahasa Melayu Tamiang (Tamiang: Bahase Temiang) adalah merupakan variasi Bahasa Melayu yang
ditutur oleh Suku Tamiang yang tinggal di aceh bagian timur yang langsung berbatasan dengan Sumatra Utara, sebuah
kabupaten yang bernama Aceh Tamiang. Kabupaten Aceh Tamiang tersebut berbatasan dengan Aceh Timur, dan Kabupaten
Langkat, Sumatra Utara.
Pembagian bahasa
Bahasa Tamiang terbagi dengan 2 macam bahasa yaitu:
Tamiang Hulu,
Digunakan oleh penduduk di kawasan Kecamatan Tamiang Hulu, Kejuruan Muda, Kota Kuala Simpang, dan sebagian
Kecamatan Karang Baru dan Rantau.
Tamiang Hilir.
Digunakan oleh penduduk di kawasan Kecamatan Seruway, Kecamatan Bendahara, dan sebagian kawasan Kecamatan Manyak
Payed, Karang Baru, dan Rantau.
Dialek
Bahasa Tamiang menggunakan dealek melayu yang menggunakan pelafalan huruf "R" yang tidah jelas, yaitu seperti lafaz huruf
"("غgh). dalam tulisan tidak menggunakan lafal "gh" namun disempurnakan dengan tulisan "ġ" yang bertitik atas pada tengah
kata dan huruf "Q" apabila terdapat pada akhir kata. contoh yang terdapat di tengah kata: deġeh/deġas = deras, dan dengoq/
dengaq = dengar.
1. Pakaian Adat
Pakaian adat suku Aceh merupakan peninggalan sejarah dari kerajaan perlak dan Samudra
Pasai. Pakaian adat pria Aceh biasa disebut dengan baju ‘Linto Baro’. Sedangkan untuk pakaian
adat perempuan disebut dengan ‘Daro Baro’.
Pakaian ‘Linto Baro’ yang dikenakan oleh pria merupakan perpaduan dari baju atasan yang disebut ‘Meukasah’ dan bawahan
celana yang disebut ‘cekak musang’ atau ada juga yang menyebut celana ‘sileuweu’. Baju meukasah memiliki desain ornamen
sulaman benang emas yang mirip dengan desain pakaian cina. Konon hal ini merupakan hasil asimiliasi antara pakaian Melayu
dan pakaian Cina. Perpaduan atasan dan bawahan ini kemudian dipadukan dengan kain sarung yang dilingkarkan di bagian
pinggang. Setelan ini juga dilengkapi dengan penutup kepala yang disebut ‘Meukotop’. Meukotop merupakan semacam kopiah
yang dililit dengan lilitan tangkulok yakni lilitan yang berasal dari tenunan sutra berhias bintang berbentuk persegi delapan yang
biasanya berbahan emas atau kuningan.
Sedangkan pakaian wanita ‘Daro Baro’ merupakan perpaduan dari baju atasan yang berbentuk baju kurung berlengan panjang
dan memiliki kerah baju yang juga bergaya seperti kerah baju pakaian Cina. Bagian bawah juga sama mengenakan celana cekak
musang yang juga dibalut dengan kain sarung hingga selutut. Pada bagian kepala tidak menggunakan penutup kepala, hanya
rambut yang dibentuk sanggul dan kemudian diberi semacam hiasan rambut. ‘Daro Baro’ biasanya juga dilengkapi dengan
aksesoris perhiasan seperti kalung, gelang tangan, gelang kaki, anting-anting serta ikat pinggang yang berwarna kuning emas.
2. Upacara Adat
Upacara Troen Bak Tanoeh
Merupakan upacara yang digelar pada masa kelahiran bayi.
Upacara Kelahiran
Terdapat beberapa tahapan dalam melaksanakan upacara kelahiran. Tahapan
pertama disebut ‘upacara bahu’, upacara ini dilakukan pada saat usia kehamilah berada pada usia 4-5 bulan. Pada upacara bahu,
mertua dari perempuan akan membuatkan makanan bagi menantunya yang berupa nasi lengkap dengan lauk pauk dan sejumlah
buah yang dimasukkan dalam satu wadah yang disebut kating. Selanjutnya makanan ini diantarkan kepada menantu yang
ditemani oleh para kerabat (kawon) dan para tetangga (Jiran) untuk kemudian nasi dalam kating disajikan dan disantap bersama.
Upacara bahu biasanya diulang ketika kehamilan memasuki usia 7-8 bulan.
Tahapan kedua disebut dengan ‘peunulang’, bentuk adatnya hampir sama dengan upacara bahu, yang membedakan hanya yang
menyerahkan dan menerima kating. Pada adat peunulang, yang menyerahkan adalah mertua dan besan sekaligus, sedangkan
yang menerima adalah mablien (orang yang dianggap ahli dalam membantu proses persalinan). Peuneulang juga dilengkapi
dengan penyerahan sirih setapak, sejumlah uang serta sesalin (satu stel pakaian). Sejak peunulang, maka mablien akan rajin
menjenguk dan mengontrol kondisi ibu hamil serta membantu proses perawatannya hingga masa persalinan tiba.
Tahapan ketiga adalah prosesi kelahiran, pada proses kelahiran ini mablien memegang peranan yang amat penting dan sentral.
Pada saat bayi lahir, mablien akan mengikat tali pusar bayi dengan jumlah ikatan ganjil, yakni 7 ikatan untuk putra dan 5 ikatan
untuk putri, kemudian baru memotong tali pusat dengan menggunakan sembilu (alat pemotong yang berasal dari bambu). Pada
hari ke 7 kelahiran akan dilakukan upacara menyangke rambut budak yaitu upacara mencukur rambut bayi sekaligus pemberian
nama bayi, serta upacara peucicap yakni tradisi mengoleskan madu lebah pada bibir bayi.
Tahapan terakhir disebut ‘manao peut ploh peut’, yakni kegiatan memandikan ibu bayi dengan air yang bercampur irisan limau
yang dilakukan oleh mablien sebagai simbol pensucian ibu bayi. Sebagai ungkapan terima kasih biasanya pihak keluarga akan
memberikan sejumlah pemberian kepada mablien berupa uang dan bahan pangan.
Upacara perkawinan
Upacara perkawinan suku Aceh terdiri dari beberapa tahapan :
1. Ba Ranup, yakni tahapan melamar calon mempelai wanita.
2. Jakba Tanda, yakni tahapan pertunangan antara kedua calon mempelai.
3. Pesta pelaminan, yakni pesta yang dilakukan setelah kedua calon mempelai melaksanakan pernikahan sesuai dengan
agama.
4. Tueng Dara Baro, yakni tradisi penjemputan yang dilakukan oleh pihak laki-laki sesuai dengan hukum adat Aceh
5. Tueng Linto Baro, yakni tradisi penjemputan yang dilakukan oleh pihak perempuan sesuai dengan hukum adat Aceh.
Upacara Peusijuek
Merupakan tradisi memercikan air yang bercampur dengan tepung tawar kepada orang
yang hendak melaksanakan hajat tertentu. Dipercayai tradisi ini agar orang yang sudah
diberi peusijuek terhindar dari mara bahaya ketika melaksanakan hajatnya. Upacara
peusijuek biasanya dilakukan bersamaan dengan kegiatan upacara yang selainnya.
Rumah rumah berada di pinggir sungai, maka rumah harus menghadap kesungai karena adalah tabu bagi sub etnis Tamiang
kalau bubungan (atap)rumahnya melintang sungai, dan dapat juga diusahakan menghadap ke Barat, sehingga bentuk
perkampungan pada masyarakat Tamiang tampak seperti pada gambar di bawah ini Rumah panggung, bertiang empat persegi,
banyaknya tiang rumah induk 6, 9 atau 12, berbubungan panjang agak melengkung sedikitditengah, bubungan dapur terpisah dan
agak rendah sedikit. dari bubungan rumah induk tinggi rumah induk sekerunjong (sepenjangkauan orang dewasa) atau
bertangga tujuh anak tangga (tengkah). Manju (serambi muka) dan dapur tingginya sama, tetapi lebih rendah kira kira 30 cm dari
rumah induk.
Struktur Bangunan
A. Atap
Atap rumah Tamiang dibuat dari beberapa bahan yaitu ada yangterbuat dari daun nipah, seng, dan ada yang terbuat dari genteng
dan memiliki bentuk ubungan kombinasi merupakan atap terdiri dari lebih satu bentukatap, misalnya rabung lima dengan rabung
panjang, rabung lima denganrabung piramid. Variasi atap ini dibuat karena bangunan itu lebih rumitdari bangunan dengan model
atap panjang. Selain terdapat atap induk,terdapat atap tambahan yang biasanya atap ini dipergunakan untukteras/serambi atau
dapur.
B. Tangga
Tangga adalah sarana bantu yang menghubungkan dengan lantai diatasnya. Agar tangga mudah dan nyaman dilalui oleh
pengguna, pembuatan tangga perlu didasarkan pada beberapa pertimbangan sehingga tangga menjadi aman dan nyaman bagi
penggunanya. Pijakan anak tangga perlu diperhitungkan agar bisa memberi kenyamanan bagi penggunanya. Biasanya tinggi
anak tangga yang paling nyaman antara15cm – 18cm, bila anak tangga terlalu tinggi maka kaki akan terasa berat bila
menaikinya. Lebarnya anak tangga harus melebihi lebar telapak kaki orang dewasa, hal ini diperlukan supaya tangga aman di
gunakan untuk naik dan turun. Lebar minimal untuk anak tangga adalah 22cm jika lebar anak tangga 22cm dapat membuat orang
jatuh terpeleset atau tersandung dan ini sangat membahayakan penggunanya.
Pada rumah tempat tinggal di masyarakat Tamiang yang dimaksud dengan tangga adalah sarana yang dipergunakan naik dari
tanah menuju rumah (bukan dari lantai 1 ke lantai 2 karena rumah Tamiang berbentuk rumah panggung, maka diperlukan tangga
untuk mencapai atas. Pada umumnya tangga di sana dibuat dari bahan kayu dan sedikit sekali yang dibuat dari cor/susunan batu
bata.
Selain itu, pada umumnya tangga naik ke rumah mengarah ke jalan umum, tetapi ada juga yang tidak mengarah ke jalan, yaitu
khususnya rumah yang berteras. Kiri dan kanan tangga diberi tangan tangga. Tiang dan kepala tangga diberi hiasan. Anak tangga
kebanyakan ganjil sebab menurut kepercayaan, bilangan genap kurang baik artinya. Tangga depan selalu berada di bawah atap
dan terletak pada pintu serambi muka atau selang muka. Tangga penghubung setiap ruangan terdiri dari satu atau tiga buah anak
tangga. Curam tangga sekitar 60 derajat, Jarang tegaklurus. Tiang tangga berbentuk segi empat atau bulat.Pada kiri kanan tangga
ada kalanya diberi tangan tangga yang dipasang sejajar dengan tiang tangga, dan selalu diberi tiang hiasan berupa kisi-kisi larik
atau papan tembus. Menurut seorang informan, Madlan, mengatakan bahwa jumlahanak tangga di rumah tradisional biasanya
menurut bilangan ganjil,misalnya 3, 5, 7, dan seterusnya. Bahkan menurutnya, jumlah anaktangga ini menunjukkan simbol status
sosial dari siempunya, semakinbanyak anak tangga, maka makin tinggi status sosialnya.
C. Tata Ruang
Biasanya penataan ruang sebuah rumah (tradisional) berlandaskanpada konsep asli masyarakat tersebut tentang tempat tinggal
yang baikdan budaya yang dianutnya sehari-hari. Seperti tampak pada gambar tataruang rumah tradisional Tamiang, rumah
tradisional Tamiang dibagidalam beberapa bagian, yaitu kamar untuk tidur, ruang tamu, serambi/manju , dan dapur. Pengaturan
tata ruang mengacu pada adat/budaya yang berlaku di daerah ini. Untuk itu, tata ruang rumah tradisional Tamiang ditata
sedemikian rupa dimana kamar dara (anak perempuan) terletak di depan kamar ayah dan ibu. Sedangkan di samping atau sebelah
kamar ayah dan ibu terletak kamar bujangan (anak laki-laki). Halini menunjukkan bahwa peranan orang tua dalam mengawasi
anak-anaknya sangat menonjol. Bila orang tua tidak ada di rumah disediakan manju untuk tempat tamu menunggu bagi laki-laki
yang berada diserambi muka dan serambi belakang bagi tamu perempuan. Serambi muka dan serambi belakang ini tidak
berdinding penuh. Biasanya hanya sebatas bahu orang dewasa.
SUKU GAYO
Daerah Kawasan : Bener Meriah, Aceh Tengah, Gayo Lues, sebagian Aceh Tenggara Aceh Timur dan Aceh Tamiang.
Agama : Islam
Suku Gayo adalah sebuah suku bangsa yang mendiami dataran tinggi Gayo di Provinsi Aceh bagian tengah. Berdasarkan sensus
2010 jumlah suku Gayo yang mendiami provinsi Aceh mencapai 336.856 jiwa. Wilayah tradisional suku Gayo meliputi
kabupaten Bener Meriah, Aceh Tengah dan Gayo Lues. Selain itu suku Gayo juga mendiami sebagian wilayah di Aceh
Tenggara, Aceh Tamiang, dan Aceh Timur.
Suku Gayo beragama Islam dan mereka dikenal taat dalam agamanya dan mereka menggunakan Bahasa Gayo dalam percakapan
sehari-hari mereka.
Sejarah
Pada abad ke-11, Kerajaan Linge didirikan oleh orang-orang Gayo pada era pemerintahan Sultan Makhdum Johan
Berdaulat Mahmud Syah dari Kesultanan Perlak. Informasi ini diketahui dari keterangan Raja Uyem dan anaknya Raja Ranta
yaitu Raja Cik Bebesen dan dari Zainuddin yaitu dari raja-raja Kejurun Bukit yang kedua-duanya pernah berkuasa sebagai raja
di era kolonial Belanda.
Raja Linge I, disebutkan mempunyai 4 orang anak. Yang tertua seorang wanita bernama Empu Beru atau Datu Beru, yang lain
Sebayak Lingga (Ali Syah), Meurah Johan (Johan Syah) dan Meurah Lingga (Malamsyah).
Sebayak Lingga kemudian merantau ke tanah Karo dan membuka negeri di sana dia dikenal dengan Raja Lingga Sibayak.
Meurah Johan mengembara ke Aceh Besar dan mendirikan kerajaannya yang bernama Lam Krak atau Lam Oeii atau yang
dikenal dengan Lamuri atau Kesultanan Lamuri. Ini berarti Kesultanan Lamuri di atas didirikan oleh Meurah Johan sedangkan
Meurah Lingga tinggal di Linge, Gayo, yang selanjutnya menjadi raja Linge turun termurun. Meurah Silu bermigrasi ke daerah
Pasai dan menjadi pegawai Kesultanan Daya di Pasai. Meurah Mege sendiri dikuburkan di Wih ni Rayang di Lereng Keramil
Paluh di daerah Linge, Aceh Tengah. Sampai sekarang masih terpelihara dan dihormati oleh penduduk.
Penyebab migrasi tidak diketahui. Akan tetapi menurut riwayat dikisahkan bahwa Raja Linge lebih menyayangi bungsunya
Meurah Mege. Sehingga membuat anak-anaknya yang lain lebih memilih untuk mengembara.
Bahasa
Bahasa Gayo adalah bahasa yang dipakai sebagai bahasa sehari-hari oleh suku Gayo. Bahasa Gayo ini mempunyai
keterkaitan dengan bahasa Suku Karo di Sumatra Utara. Bahasa ini termasuk kelompok bahasa yang disebut "Northwest
Sumatra-Barrier Islands" dari rumpun bahasa Austronesia.
Pengaruh dari luar yaitu bahasa di luar bahasa Gayo turut mempengaruhi variasi dialek tersebut. Bahasa Gayo yang ada di
Lokop, sedikit berbeda dengan bahasa Gayo yang ada di Gayo Kalul, Gayo Lut, Linge dan Gayo Lues. Hal tersebut disebabkan
karena pengaruh bahasa Aceh yang lebih dominan di Aceh Timur. Begitu juga halnya dengan Gayo Kalul, di Aceh Tamiang,
sedikit banyak terdapat pengaruh Melayu karena lebih dekat ke Sumatra Utara. Kemudian, Gayo Lues lebih dipengaruhi oleh
bahasa Alas dan bahasa Karo karena interaksi yang lebih banyak dengan kedua suku tersebut lebih-lebih komunitas Gayo yang
ada di kabupaten Aceh Tenggara.
Budaya
Suatu unsur budaya yang tidak pernah lesu di kalangan masyarakat Gayo adalah kesenian, yang hampir tidak pernah
mengalami kemandekan bahkan cenderung berkembang. Bentuk kesenian Gayo yang terkenal, antara lain tari Saman dan seni
bertutur yang disebut Didong. Selain untuk hiburan dan rekreasi, bentuk-bentuk kesenian ini mempunyai fungsi ritual,
pendidikan, penerangan, sekaligus sebagai sarana untuk mempertahankan keseimbangan dan struktur sosial masyarakat. Di
samping itu ada pula bentuk kesenian seperti tari Bines, tari Guel, tari Munalu, Sebuku /Pepongoten (seni meratap dalam bentuk
prosa), guru didong, dan melengkan (seni berpidato berdasarkan adat).
Dalam seluruh segi kehidupan, orang Gayo memiliki dan membudayakan sejumlah nilai budaya sebagai acuan tingkah laku
untuk mencapai ketertiban, disiplin, kesetiakawanan, gotong royong, dan rajin (mutentu). Pengalaman nilai budaya ini dipacu
oleh suatu nilai yang disebut bersikemelen, yaitu persaingan yang mewujudkan suatu nilai dasar mengenai harga diri (mukemel).
Nilai-nilai ini diwujudkan dalam berbagai aspek kehidupan, seperti dalam bidang ekonomi, kesenian, kekerabatan, dan
pendidikan. Sumber dari nilai-nilai tersebut adalah agama Islam serta adat setempat yang dianut oleh seluruh masyarakat Gayo.
RUMAH ADAT SUKU GAYO
(UMAH PITU RUANG)
LOKASI : JL. MESS TIME RUANG, BLANG KOLAK I, BEBESEN, TAKENGON, ACEH TENGAH, ACEH
Sejarah
Umah Edet Pitu Ruang ( Rumah Adat Tujuh Ruang) adalah rumah adat yang berasal dari suku gayo, rumah yang berbentuk
panggung ini memiliki keunikannya tersendiri. Berdasarkan asal usul nya Rumah Adat Tujuh Ruang (Umah Edet Pitu
Ruang)dalam bahasa Gayo berarti peninggalan raja Baluntara yang sebenarnya nama aslinya Jalaluddin. Sudah berdiri dari sejak
jaman pra-kemerdekaan sebelum kolonial Belanda masuk. Rumah adat Tujuh Ruang ini menjadi bukti sejarah dari orang asli
Gayo yang sampai sekarang masih ada. Umah Edet Pitu Ruang Gayo tersebut tidak mengunakan paku, tetapi dipasak dengan
kayu dan bermacam-macam ukiran di setiap kayu. Ukiran tersebut bentuk nya berbeda-beda, ada yang berbentuk hewan dan
ada yang berbetuk seni kerawang Gayo yang di pahat khusus.
Walaupun tidak mengunakan paku tapi kekuatan rumah adat pitu ruang tersebut sangatlah kuat apalagi bahan kayu yang
sangat bermutu pada zaman duhulu, tetapi bagaimana pun kuatnya tanpa adanya perawatan bangunan tersebut akan roboh
dengan sendirinya di makan zaman.
Pembangunan Umah pitu Ruang dipimpin oleh UTOS, orang yang ahli untuk membangun rumah. Tugas khusus utos
mempersiapkan peralatan kerja seperti beliung, cekeh, rimos dan pahat dan membentuk suyen atau tiangnya, dan kite/tangga.
Bangunan dikerjakan oleh keluarga ( satu dukuh/belah adalah satu keluarga ) dibawah pengawasan Utos.
Bahan bangunan :
a. Rotan, Ijok, dipergunakan untuk mengikat semua komponen bangunan.
b. Bambu, batang temor ( tetemor), batang pinang, dibelah untuk lantai.
c. Bambu yang dianyam atau tepas untuk dinding.
d. Pohon pinus dan jenis kayu lainnya untuk tiang.
e. Daun dun, ijok pohon pangoh/aren, ilalang ( di Gayo lues ), disusun berlapis dijadikan atap.
Ukuran lantai :
1. Lebar ( melintang arah utara selatan ), ada 4 tiang, atau 3 ruas/ruang. Panjang antar tiang tidak disebut, diperkirakan
antara 3 sampai 4 meter.
2. Panjang (membujur arah timur ke barat ), ada 6-9 tiang, ada juga 5 sd 12 tiang, panjangnya disesuaikan dengan
kebutuhan.
3. Letak tete/tangga naik ada di tengah-tengah bagian timur bangunan.
4. Dua buah tiang ditengah dinamakan tiang reje disebelah kanan , tiang puteri dipasang disebelah kiri. Pemasangan kedua
tiang ini dengan acara kenduri memotong hewan kambing atau kerbau.
UMAH PITU RUANG adalah bangunan rumah yang mempunyai 7 ruang, terdiri dari :
a) 2 ruangan besar disebut Lepo, 5 unit belek/bilik atau umah renong berjejer dari arah dinding timur, posisinya diantara
serami rawan dan serami banan.
b) Lepo adalah ruangan selain belek/bilik dan lantainya lebih rendah
c) Lepo rawan dan lepo banan, lepo rawan disebelah kiri dan depan tangga naik, sisanya lepo banan yang disekat dan diberi
Pintu Kul untuk masuk lepo banan.
d) Bagian depan lepo banan arah timur disebut anyong, anyong tempat wanita tua dan anak gadis. Di ruang anyong ada
dapur, fungsinya tempat menyalakan api penghangat dan masak.
e) Serami banan bagian dari lepo banan yang disekat sesuai bidang ke lima bilik/kamar. Serami banan untuk tempat
memasak dan makan masing-masing keluarga.
f) Lantai belek/kamar lebih tinggi dari lantai lepo, pintunya mengarah ke serami banan dan diberi anak tangga.
g) Ruang serami rawan disebelah barat dari Lepo rawan, untuk tempat pria dewasa atau tua. Sisa serami rawan dapat
dipergunakan untuk kenduri, sunatan dan pernikahan. Di dinding belek atau kamar mengarah tangga dijadikan tempat
susunan tikar hasil anyaman kaum wanitanya.
Fungsi bilik :
Untuk tidur pasangan suami isteri dengan anak-anak kecil berusia dibawah 8 tahun.
Penyimpanan barang pribadi, seperti pakaian, perhiasan, beras, alat kerja, alat kesenian seperti canang, gong, rapana.
Bahan untuk sirih, tembakau, candu dll.
Diatas bilik dibuat tempat penyimpanan barang-barang penting, namanya parabuang.
Disetiap bilik ada tungku/dapur kecil, tempat menyalakan api penerangan dan penghangat badan.
Bagian Bawah dari Umah Pitu Ruang Ukiran beserta tangga (kite) dari Umah Pitu
Ruang
Selasar depan Umah Pitu Ruang Ukiran pada dinding Umah Pitu Ruang
Tampak Depan
Tampak Kanan
Tampak Kiri
Tampak Belakang
ACEH UTARA DAN LHOKSEUMAWE
Kabupaten Aceh Utara adalah sebuah kabupaten yang terletak di provinsi Aceh, Indonesia. Ibukota kabupaten ini
dipindahkan dari Lhokseumawe ke Lhoksukon, menyusul dijadikannya Lhokseumawesebagai kota otonom.
Kabupaten ini tergolong sebagai kawasan industri terbesar di provinsi ini dan juga tergolong industri terbesar di luar
pulau Jawa, khususnya dengan dibukanya industri pengolahan gas alam cair PT. Arun LNG di Lhokseumawe pada tahun 1974.
Di daerah wilayah ini juga terdapat pabrik-pabrik besar lainnya: Pabrik Kertas Kraft Aceh, pabrik Pupuk AAF (Aceh Asean
Fertilizer) dan pabrik Pupuk Iskandar Muda (PIM).
Geografi
Wilayah Aceh Utara memiliki topografi wilayah yang sangat bervariasi, dari daerah dataran rendah yang luas di utara
memanjang barat ke timur hingga daerah pegunungan di selatan. Ketinggian rata-rata wilayah Aceh Utara adalah 125 m. Jalan
lintas timur Sumatra melintasi wilayah dataran rendah sehingga menjadikan wilayah rendah ini menjadi kawasan yang lebih
berkembang secara ekonomi dibanding wilayah selatan
Batas wilayah
Sejarah
Aceh Utara sekarang menempati bekas wilayah Kerajaan Islam Samudera Pasai. Kesultanan Pasai menurut beberapa
pendapat disebutkan sebagai kerajaan pertama yang mengadopsi sistem pemerintahan Islam di Nusantara. Kesultanan Pasai
mengalami lebih kurang 300 tahun masa jaya hingga kedatangan penjelajah dari Eropa yang menundukkan kesultanan itu hingga
hampir tak bersisa. Sedikit saja dari jejak sejarah kebesaran Kesultanan Pasai yang masih kita jumpai saat ini. Situs
sejarah Kesultanan Samudera Pasai yang paling menonjol adalah kompleks makam Sultan Malikussaleh dan Makam Sultanah
Nahrasiyah yang berlokasi di pesisir kecamatan Samudera sekarang. Pada masa lalu seringkali artefak sejarah berupa koin uang
emas ditemukan terpendam berserakan di tanah pada bekas pertapakan ibukota Kesultanan Pasai masa lampau, namun kini
penemuan ini sudah jarang terjadi.
Ketika Belanda menginvasi Aceh dan berhasil menegakkan pemerintahan kolonial pada 1904, Aceh Utara ditetapkan sebagai
sebuah (Kabupaten) Afdeeling yang dipimpin oleh Asisten Residen. Wilayah yang luas ini dinamakan sebagai Afdeeling Noord
Kust Van Aceh (Kabupaten Aceh Utara). Afdeeling ini dibagi dalam 3 onderafdeeling (Kewedanaan) yang dikepalai seorang
Countroleur (Wedana) yaitu : Onder Afdeeling Bireuen, Onder Afdeeling Lhokseumawe dan Onder Afdeeling Lhoksukon.
Disamping itu pemerintah Hindia Belanda juga menetapkan beberapa Daerah Kekuasaan Ulee Balang yang memiliki
pemerintahan sendiri terhadap daerah dan rakyatnya. Daerah ini dinamakan sebagai Zelf Bestuur yaitu Selain Onder Afdeeling
tersebut di Aceh Utara juga terdapat beberapa Daerah Ulee Balang (Zelf Bestuur) yang berhak memerintah sendiri terhadap
daerah dan rakyatnya yaitu Ulee Balang Keureutoe, Geureugok, Jeumpa, dan Peusangan masing-masing Zelf Bestuur ini
dipimpin oleh Ampon Chik.
Setelah masa kemerdekaan wilayah pemerintahan Aceh Utara dipertahankan pada wilayah yang pernah ditetapkan oleh Belanda.
Berdasarkan Undang Undang Nomor I tahun 1957 dan Keputusan Presiden Indonesia Nomor 6 tahun 1959. Kabupaten Daerah
Tingkat II Aceh Utara terbagi dalam 3 (tiga) Kewedanaan yaitu: Kewedanaan Bireuen terdiri atas 7 kecamatan, Kewedanan
Lhokseumawe terdiri atas 8 Kecamatan, Kewedanaan Lhoksukon terdiri atas 8 kecamatan.
Seiring dengan perkembangan dan pertumbuhan wilayah, pertambahan penduduk dan semangat otonomi daerah pada tahun 1999
pada bekas kewedanaan Bireun ditetapkan menjadi Kabupaten Bireuen dan pada tahun 2001 Kota Lhokseumawe menyusul
menjadi kotamadya yang baru lepas dari Kabupaten Aceh Utara sekarang pada 14 Maret 2019 Kota Panton Labu menyusul juga
menjadi kotamadya yang lepas dari Kabupaten Aceh Utara bersamaan dengan Kabupaten Aceh Malaka juga lepas dari
Kabupaten Aceh Utara .
Demografi
Komposisi penduduk berdasarkan etnis di Aceh Utara diisi oleh beberapa etnis yang terbesar adalah etnis Aceh dan etnis
Jawa. Mayoritas agama yang dianut adalah agama Islam hampir 100%, sedikit sekali non muslim dalam komposisi beragama
masyarakat di Aceh Utara. Karena itu di wilayah Aceh Utara bahkan tidak menemukan satupun sarana rumah peribadatan selain
masjid, mushala dan meunasah.
Ekonomi
Sebagian besar masyarakat Aceh Utara bekerja dibidang pertanian, tingginya angka pengangguran disebabkan oleh
rendahnya kualitas SDM membuat tidak banyak usaha jasa dan industri yang berkembang. Berbanding terbalik pada masa lalu
ketika sektor migas menjadi primadona di Aceh Utara banyak masyarakatnya yang direkrut di perusahaan-perusahaan eksplorasi
migas meski hanya menempati posisi-posisi rendahan. Seiring dengan berakhirnya era migas dan diperparah oleh konflik politik
dan keamanan di Aceh, maka menurun pula sektor jasa dan industri yang berlokasi di Aceh Utara. Namun pada tahun 2017
Kabupaten Aceh Utara mendapat urutan pertama penduduk paling banyak miskin atau termiskin di Aceh, yakni mencapai
118.740 jiwa.
Konstruksi pada rumah tradisional aceh utara umumnya memiliki konstruksi yang sama dengan rumah adat aceh daerah
lainnya, berikut akan diuraikan beberapa bagian/konstruksi dari rumah adat Aceh utara.
PONDASI UMPAK
Kebanyakan rumah aceh memang memakai pondasi umpak, ukuran umpak ini bermacam-macam, mulai dari ukuran
35x35 cm hingga 50x50 cm tergantung keperluannya, namun pada umumnya ukuran pondasi umpak yang digunakan pada
rumah aceh yaitu ukuran 35x35 cm, penggunaan pondasi umpak pada rumah Aceh sendiri disebabkan karena pada zaman itu
masyarakat Aceh belum mengenal sistem beton bertulang atau lain sejenisnya, penggunaan pondasi umpak disini juga berguna
saat terjadi gempa atau bencana alam lainnya rumah ini tidak mudah roboh, karena pondasi umpak ini sangat fleksibel, dan bisa
menyesuaikan.
KONSTRUKSI TIANG
Dari segi konstruksi, penempatan tiang rumah menyebabkan pembagian ruang rumah tradisional Aceh pada umumnya terdiri
tiga ruang bertiang 16 atau lima ruang bertiang 24. Rumah tradisional Aceh didirikan di atas tiang-tiang kayu atau bambu dengan
maksud untuk menghindarkan diri dari serangan binatang buas dan banjir. Karena berkolong maka orang hidup di atas lantai
yang selalu kering, jadi lebih sehat.Rumah tradisional Aceh terbukti mampu bertahan dari gempa karena struktur utama yang
kokoh dan elastis. Kunci kekokohan dan keelastisan ini ada pada hubungan antar struktur utama yang saling mengunci, hanya
dengan pasak dan bajoe, tanpa paku, serta membentuk kotak tiga dimensional yang utuh (rigid). Keelastisan ini menyebabkan
struktur bangunan tidak mudah patah, namun hanya terombang-ambing ke kanan kiri yang, ukuran kayu yang digunakan sangat
bervariasi namun umunya berukuran diameter 30-35 cm. Umumnya
tiang yang digunakan pada rumah aceh bermaterial kayu, kelas kayu
yang digunakan adalah kayu kelas 1 diantara kayu yang sering
digunakan pada tiang rumah Aceh yaitu kayu Merebau, dan kayu
Damar laut.
Kayu merbau(KIRI) Kayu dammar laut(KANAN)
DINDING RUMAH TRADISIONAL ACEH UTARA
Dinding rumah tradisional Aceh terbuat dari papan kayu atau bilah bambu, penggunaan material tersebut
mempengaruhi penghawan udara yang sangat baik karena udara dapat pengalir melalui selah selah antara atap dan
dinding. Pada bagian dinding rumah tradisional Aceh terdapat tempelan tempelan ornamen yang mempengaruhi unsur
tradisional Aceh.
Masyarakat aceh pada zaman dulu tentu belum mengenal system pemakuan atau perekatan, jadi pada masa itu
masyarakat aceh menggunakan system pasak untuk merekatkan bagian bagian dari rumah mereka. Bagi elemen-lain yang tidak
berpasak, maka hubungan atau jalinannya dibuat dengan mengikatkan tali.
Teknik sambungan konstruksi kayu menggunakan sistem pasak ini mampu menyelesaikan berbagai permasalahan
gaya yang terjadi pada sambungan. Bila kita pahami lebih mendalam, terdapat elemen- elemen lain yang membantu
kekuatan struktur, diantaranya balok-balok pengunci untuk menjaga posisi tiang. Setiap pertemuan elemen yang berbeda,
dihubungkan dengan cara memasukkan bagian ujung elemen ke lubang yang tersedia pada elemen lain. Lalu diberi pasak.
Begitulah cara utoh Aceh menghubungkan setiap elemen sehingga menjadi rumah. TANPA memakai paku. Disini timbul
kekuatan struktur dalam merangkai elemen-elemen tersebut. Sebab bila rangkaian tersebut tidak dipikirkan secara
matang, maka konstruksi rumah tidak dapat berdiri dengan kokoh, dan tidak mungkin dapat bertahan hingga saat ini.
Dalam setiap elemennya pun dibuat dengan kesadaran tinggi akan maksud dari dibuatnya konstruksi tersebut.
Maksudnya terdapat nilai-nilai fungsional yang lebih jauh dipikirkan untuk kebutuhan dan keselamatan penghuni
rumah. Tidak hanya sekadar menyambung-nyambungkan elemen-elemen belaka. Misal, elemen tameh raja dan putroe
dipilih yang paling baik, karena sebagai penyambut di serambi depan, selain juga berfungsi sebagai struktur utama
sebagaimana mestinya.
Atapnya ditutupi oleh jalinan daun rumbia yang disusun menjadi penutup atap, bahan penutup berbahan rumbia yang
memiliki andil besar dalam memperingan beban bangunan sehingga saat gempa tidak mudah roboh.Karena dulunya belum ada
paku maka solusi untuk perekat atap yaitu menggunakan pengikat, selain itu ini juga berfungsi agar kayu tidak mudah lapuk,
pada salah satu bagian atap rumah ini ada sebuah tali yang biasa disebut taloe pawai yang berfungsi sebagai keseluruhan atap
dengan bangunan.Tali Ini berfungsi sebagai pelepas seluruh atap apabila terjadi kebakaran.taloe pawai berada di ujung papan bui
teungeut, dan dikaitkan pada puteng tiang deretan depan dan belakang. Taloe pawai cukup di potong sehingga terputus, maka
jatuhlah seluruh konstruksi atap tersebut.
Pada dinding sebelah depan yang menghadap ke halaman rumah terdapat pintu masuk yang disebut pinto rumah,
yang berukuran lebih kurang lebar 0,8 meter, dan tingginya 1.8 meter. Pintu masuk ini kadang-kadang terdapat pada
dinding sebelah kanan ruangan serambi depan namun pada rumah tradisional Aceh utara tangga masuk terdapad di
bagian depannya.
Pintu utama Rumoh Aceh utara ini tingginya selalu lebih rendah dari ketinggian orang dewasa. Biasanya
ketinggian pintu ini hanya berukuran 120 - 150 cm sehingga setiap orang yang masuk ke Rumoh Aceh harus menunduk.
Namun, begitu masuk, kita akan merasakan ruang yang sangat lapang karena di dalam rumah tak ada perabot berupa
kursi atau meja. Semua orang duduk bersila di atas tikar ngom (dari bahan sejenis ilalang yang tumbuh di rawa) yang
dilapisi tikar pandan.
Makna dari merunduk ini menurut orang-orang tua adalah sebuah penghormatan kepada tuan rumah saat
memasuki rumahnya, siapa pun dia tanpa peduli derajat dan kedudukannya. Selain itu juga, ada yang menganggap pintu
rumoh Aceh sebagai hati orang Aceh.
Pada dinding sebelah samping kanan dan kiri terdapat jendela yang berukuran lebih kurang lebar 0.6 meter dan
tingginya 1 meter yang disebut tingkap. Kadang-kadang jendela terdapat juga pada dinding sisi depan. Jendela-jendela
tersebut terdapat pada rumah yang berdinding papan, sedangkan pada rumah yang berdinding tepas/bamboo pada
umumnya tidak memakai jendela.
Rumah tradisional Aceh utara memiliki ornamen yang menyerupai tumbuh-tumbuhan, karena pada dasarnya
masyarakat Aceh mayoritas beragama islam, dan agama melarang umatnya untuk membuat sesuatu yang menyerupai
manusia ataupun hewan.penggunaan ornamen ini tidak bersifat kaku karena motif ornamen ini tergantung pada minat
si pemilik rumah. Motif flora yang digunakan adalah stelirisasi tumbuh-tumbuhan baik berbentuk daun, akar, batang,
ataupun bunga-bungaan. Ukiran berbentuk stilirisasi tumbuh-tumbuhan ini tidak diberi warna, jikapun ada, warna
yang digunakan adalah Merah dan Hitam. Ragam hias ini biasanya terdapat pada rinyeuen (tangga), dinding, tulak
angen, kindang, balok pada bagian kap, dan jendela rumah
TAMPAK DEPAN
TAMPAK BELAKANG
TAMPAK SAMPING KIRI
TAMPAK SAMPING KANAN
DISTRIBUSI RUANG RUMAH TRADISIONAL ACEH (ACEH UTARA)
Rumoh Aceh merupakan rumah panggung. Besarnya Rumoh Aceh tergantung pada banyaknya ruweueng (ruang).
Ada yang tiga ruang, lima ruang, tujuh ruang hingga sepuluh ruang. Beranda muka disebut ”seuramoë keue”(karena di
sini ditempatkan tangga masuk, disebut juga seuramoë rinyeuen), serambi belakang disebut ”seuramoë likot”. Bagian
utama rumah adalah pada bagian tengah, yang dibuat lebih tinggi dari pada lantai serambi. Bagian utama rumah ini
disebut Tungai
Pada bagian Tungai ini terletak dua bilik (kamar) tidur, yaitu rumoh Inong dan anjông. Rumoh inong adalah
bilik peurumoh (master bedroom), sedangkan anjông adalah bilik untuk anak perempuan.
Demikan mulianya posisi peurumoh dalam Adat Aceh. Keharmonisan rumah tangga adalah hal yang paling
penting, sehingga ditempatkan pada posisi yang paling utama, di tengah dan di lantai tertinggi. Di antara kedua kamar
tidur itu ada lorong penghubung antara seuramoë rinyeuen dengan seuramoë likôt, yang bernama Rambat. Di bagian
belakang ada rumoh dapu(dapur) yang elevasi lantainya lebih rendah dari seuramoë likôt. Dapur mendapat posisi
terendah. Karena ruang ini merupakan perluasan rumah, atau sebagai tambahan ruang pada rumah saja.
Dapat kita pahami masyarakat Aceh telah mengonsepkan ruang dengan suatu hirarki. Secara fisik bangunan, hirarki ini
tampak pada elevasi yang berbeda di tiap lantai ruangan. Hal ini :
anak-anak.
Pada zaman dahulu, sebelum ada mesin pengolah beras menjadi tepung, masyarakat aceh menggunakan
Jeungki sebagai alat penumbuk beras.ukuran jeungki ini sangat bervariasi mulai dari ukuran diameter 25 cm s/d 35
cm, panjang normalnya yaitu 3 meter. Pada bagian depan alat tumbuk jengkf jnj terdapat sebuah mata penumbuk
berbentuk kayu yang berdiameter 10 cm, dan ada lobang untuk mengisi beras yang di tumbukyang kurang lebih
berdiameter 10.
KROENG
Kroeng dalam bahasa Indonesianya karung adalah tempat untuk menyimpan padi. Berjumlah tiga buah dan berada di
halaman rumah. disinilah padi setelah panen di simpang sampai sekian lama dan awet tanpa obat pengawet. Bahan bakunya
yaitu bambu atau dahan pohon aren, kedua alat ini JEUENGKI & KROENG selalu berdekatan letaknya. Mitos tentang itu
sampai sekarang belum juga terkuak, apalagi jaman instan seperti sekarang kedua alat ini tidak dibutuhkan lagi sehingga
kepunaanya pun begitu cepat. .ukuran kroeng ini bisa diatur sesuai keinginan karena bersifat elastis
Kearifan lokal masyarakat aceh (aceh utara)
Dalam pengertian kamus, kearifan lokal (local wisdom) terdiri dari dua kata: kearifan (wisdom) dan lokal (local).
Dalam Kamus Inggris Indonesia John M. Echols dan Hassan Syadily, local berarti setempat, sedangkan wisdom
(kearifan) sama dengan kebijaksanaan. Secara umum maka local wisdom (kearifan setempat) dapat dipahami sebagai
gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh
anggota masyarakatnya.
Nilai kearifan lokal pada arsitektur tradisonal tentunya tidak hanya dipengaruhi olehkondisi lingkungan alam saja,
tetapi juga dipengaruhi sosial budayasetempat yang meliputiperilaku, tradisi, adat, dan keper!ayaan setempat, yangpada
penerapannya juga hanyadapat dilakukan oleh masyarakat setempat. 7erhadap nilai-nilai tersebut perlu sebuahpengkajian
se!ara mendalam untukpenerapan nilai tersebut dalam kondisi global diluar darimasyarakatsetempat tersebut.
Sangat banyak kearifan lokal dari masyarakat Aceh utara yang bertahan hingga sekarang,yang sedikit banyaknya
telah disebutkan pada bagian pembahasan sebelumnya, yang dijelaskan secara exsplisit.berikut akan diuraikan beberapa
kearifan lokal masyarakat Aceh utara :
Masih terdapat banyak sistem seperti ini pada saat ini, namun tak sedikit pula yang sudah melupakan sistem
seperti ini karena beradaptasi atau mengikuti perkembangan zaman.
Ruang-ruang pada rumah Aceh di tata sedemikian rupa, agar lelaki dan pria berpisah, dimana pria di
seramoe keu dan wanita di seramoe likot, tangganya juga dipisahkan. Hal ini membuktikan nilai keislaman yang
sangat tinggi di Aceh.
Setelah Islam masuk ke Aceh, arah Rumoh Aceh mendapatkan justifikasi keagamaan. Dalam agama Islam, ibadah
shalat selalu menghadap ke kiblat. Maka itu, rumah juga dibuat memanjang ke arah kiblat, yakni kurang lebih ke arah
barat, mencerminkan upaya masyarakat Aceh untuk membangun garis imajiner dengan Ka‘bah yang berada di Mekkah.
Itu sebabnya pada seuramoë rinyeuen tangga dan pintu masuk ke Rumoh tidak di letakkan di Barat, tetapi selalu berada di
sebelah Timur atau di tengah seuramoë, maksudnya agar tidak mengganggu orang yang sedang Shalat menghadap ke
kiblat.
Tameh raja dan tameh putroe dimaksudkan untuk menyambut para tamu, sehingga kedua tameh ini memiliki
ukuran yang berbeda dengan yang lainnya.
Serambi rumoh Aceh itu tertutup, hanya sedikit saja bagian yang terbuka. Orang dari luar sukar melihat ke
dalam tetapi orang dari dalam dapat melihat keluar. Demikian cara Aceh membudayakan seni interior, seolah memberi
pesan agar aurat itu jangan diobral keluar ke semua orang yang lalu lalang di depan rumah. Di dalam Rumoh Aceh,
ada dua buah serambi yang sengaja dibuat terpisah sesuai dengan ajaran Islam, yaitu ”seuramoë keue”, untuk kaum
pria dan seuramoë likôt khusus untuk kaum wanita.
Rumah cut mutia merupakan salah satu rumah adat aceh utara yang masih di lestarikan hingga saat ini dan menjadi salah
satu tempat wisata di aceh utara saat ini.
Layaknya rumah adat Aceh pada umumnya, bangunan Rumah Cut Meutia ini memiliki arsitektur yang indah.
Konstruksinya pun terbilang sangat kokoh, berbentuk seperti rumah panggung serta tercacat ada 16 tiang yang menyangga
rumah ini. Ketinggian bangunan diperkirakan mencapai tiga meter dari atas permukaan tanah.
Untuk memasuki rumah ini, wisatawan bisa menggunakan tangga yang terbuat dari kayu. Pada bagian depan pintu, akan terlihat
sebuah ukiran yang cukup indah. Atap rumah yang terbuat dari daun rumbia, juga menambah kesan klasik pada Rumah Cut
Meutia ini. Wisatawan bisa menikmati keindahan arsitektur dari rumah ini dengan mengelilingi kompleks museum tersebut.
Kisah legenda jugi tapa si murid durhaka dari sawang aceh utara
Alkisah pada zaman dahulu, di sebuah perguruan yang terletak di Desa Lhok Drien, Sawang, Aceh Utara, tinggallah seorang
pemuda gagah nan pandai. Saking pandainya, semua ilmu yang diajarkan oleh gurunya, Teungku Di Lhok Drien dapat dikuasai
olehnya dalam sekejap.
Bersebab itulah, kemudian ia dijuluki Malem Muda yang bermakna “orang yang berilmu di usia muda/belia”. Hal ini membuat
Malem Muda diangkat menjadi tangan kanan gurunya, Teungku Di Lhok Drien.
Suatu hari, Malem Muda dipanggil oleh gurunya untuk menghadap. Maka datanglah Malem Muda ke hadapan gurunya sambil
bertanya,” Ada apa gerangan Teungku memanggil saya?”
“Wahai Malem Muda, aku hendak memberimu suatu tugas. Akan tetapi, sebelumnya engkau harus berjanji dulu kepadaku
bahwa engkau akan mematuhi segala yang kukatakan,” titah Tgk. Di Lhok Drien sembari mengelus jenggotnya.
“Siap Teungku,” sahut Malem Muda. “Pasti ini tugas istimewa,” batinnya.
Kemudian Teungku Di Lhok Drien mengeluarkan sebuah buku tebal dari penyimpanan rahasianya lalu berbisik pada Malem
Muda.
“Ini, Kitab ini milik sahabatku yang tinggal di desa seberang sungai, kuperintahkan padamu untuk membawa kembali Kitab ini
kepada pemiliknya. Tapi jangan pernah kau buka ia, apalagi membacanya. Ingat, sekali lagi kularang engkau untuk
membukanya, apalagi membacanya.”
Perjalananmu ke sana akan butuh waktu satu hari, maka dalam dua hari kemudian engkau harus kembali lagi kesini untuk
melaporkan dirimu. Apa aku bisa mengandalkanmu, Malem?”
Singkat cerita pergilah Malem Muda mengantarkan Kitab pusaka ke desa seberang sungai. Pada mulanya, Malem Muda berjalan
santai mengingat tidak perlu buru-buru karena waktunya masih banyak. Akan tetapi, ketika perjalanan sudah setengah jalan,
Malem Muda berpikir, “Mengapa Kitab ini tidak boleh dibuka? Pasti ada sesuatu.
Mungkin Teungku tidak bisa memberi tahuku bahwa Kitab ini Kitab bertuah, penuh dengan ilmu tinggi, bisa-bisa nanti aku bisa
menyainginya,”
Maka muncullah pikiran untuk melanggar janjinya kepada gurunya. Dan berhentilah Malem Muda di sebuah huma di tengah
persawahan. Kemudian ia membuka Kitab yang diamanahkan gurunya padanya. Benarlah, ternyata isi kitab tersebut adalah ilmu
tingkat tinggi yang belum pernah dipelajari Malem.
Disana termuat ilmu tentang bagaimana mengubah diri menjadi hewan dan tumbuhan. Juga termuat ilmu yang dapat membuat
pemiliknya mampu mengubah orang-orang menjadi patung batu, hingga menciptakan nyawa kedua. Malem pun membaca Kitab
tersebut lalu mempelajarinya dengan cepat, hingga tak banyak menghabiskan waktu perjalanannya.
Setelah itu Malem kembali berangkat. Langkahnya semakin cepat, dan berkat ilmu barunya, ia bisa melakukan perjalanan yang
jauh dalam waktu yang singkat. Sampailah ia ke desa seberang sungai. Setelah berbasa basi sejenak, Malem Muda segera
menjelaskan maksud kedatangannya dan menyampaikan amanah Teungku Lhok Drien.
Sesuai dengan kesepakatan, keesokan harinya Malem Muda Kembali ke Lhok Drien tanpa halangan.
Adalah gurunya yang sakti, Teungku Di Lhok Drien mengetahui dengan mata batinnya bahwa Kitab yang diamanahkan untuk
dikembalikan oleh Malem telah dibuka dan dibaca dalam perjalanan oleh Si Malem.
Akan tetapi, Teungku Lhok Drien yang bijak tak mengatakan apa-apa pada Malem. Ia hanya melihat dan memantau gerak-gerik
muridnya itu dari jauh.
Adapun Istri Teungku Lhok Drien adalah seorang yang masih muda dan jelita. Kecantikannya membuat Malem Muda terpesona.
Karena dimabuk cinta, Malem Muda menggunakan ilmu baru yang diperoleh tanpa seizin gurunya untuk hal-hal tercela.
Terkadang ia merupakan diri menjadi sebatang pohon pisang di samping sumur hingga dengan bebasnya mengintip istri
Teungku Lhok Drien saat mandi.
Terkadang pula ia menjelma sebagai kucing yang mondar-mandir di dapur Teungku Lhok Drien sambil sesekali mengeluskan
diri pada kaki istri Teungkunya. Teungku Lhok Drien tahu, hanya saja ia menunggu waktu yang tepat untuk menangkap Malem.
Sepertinya Malem sudah dibutakan oleh ilmu dan kekuatannya.
Hingga datanglah waktu yang tepat. Saat itu Malem Muda sedang menjelma menjadi pohon pisang. Maka datanglah Teungku
Lhok Drien membawa parang sambil berkata,” Sudah semenjak dulu pohon pisang ini tumbuh, tapi tak pernah berbuah. Ada
baiknya kutebang saja.” Ia pun mengayunkan parangnya.
Malem Muda kalap, ia segera merubah dirinya menjadi kucing, dan lari tunggang langgang, tak pernah kembali. Sementara
Teungku Lhok Drien merasa hidupnya sudah tidak aman dan dipenuhi rasa kesal terhadap Malem. Ia pun mengutuk Malem
Muda sebagai murid durhaka. Lalu pergi bersama istrinya membelah sungai dan terjun ke dalamnya. Tak pernah kembali.
Sementara Malem Muda menjadi seorang murid durhaka. Julukannya berubah menjadi Jugi, dan ia pergi bertapa untuk beberapa
lama.Malem Muda semenjak durhaka terhadap gurunya berubah menjadi orang yang sangat buruk perangainya. Hingga akhirnya
orang memanggilnya Jugi yang bermakna orang yang durhaka terhadap guru.
Setelah insiden Teungku Lhok Drien yang hendak memarang dirinya, Jugi lari ke hutan. Ia memutuskan untuk bertapa selama
beberapa lama untuk memantapkan ilmunya. Maka disebutlah oleh orang-orang namanya Jugi Tapa.
Alkisah setelah beberapa tahun lamanya, Jugi Tapa menjadi seorang yang sangat kuat. Ia kemudian keluar dari hutan dan
mendirikan sebuah kerajaan. Ia memerintah dengan semena-mena. Barangsiapa yang tidak tunduk padanya akan dijadikan
patung batu. Maka tak heran, hanya dalam masa singkat, kerajaannya menjadi salah satu kerajaan besar yang kuat.
Selain terkenal dengan memiliki banyak pasukan, Jugi Tapa juga dikenal memiliki banyak istri. Dan pada saat itu, istrinya
berjumlah 99 istri, dan Jugi Tapa hendak menggenapkannya menjadi 100.
Sementara itu, tak jauh dari kerajaan Jugi Tapa, ada sebuah kerajaan besar bertempat di Kuala Dua, di daerah Krueng Mane.
Kerajaan Kuala Dua ini terkenal dengan pasukan elitnya yang memiliki kendaraan kuda terbang. Raja Banta, raja Kuala Dua
memiliki seorang istri cantik yang baru melahirkan. Nama istrinya adalah Nyak Ni dan nama anaknya yang baru lahir Banta
Muda.
Alkisah pada suatu hari, Nyak Ni ingin makan daging rusa. Maka pergilah Raja Banta untuk berburu rusa ke hutan. Ia membawa
serta pasukannya dan kuda terbang paling baik yang ia miliki, seekor kuda terbang betina beranak satu.
Jugi Tapa sudah mengetahui sejak lama bahwa di kerajaan Kuala Dua ada permaisuri yang sangat cantik. Ia berniat untuk
mengambilnya menjadi istri yang ke-seratus. Maka ketika mengetahui Raja Banta sedang berburu, pergilah Jugi Tapa menculik
permaisuri Raja Banta, Nyak Ni.
Nyak Ni tak berdaya ketika tubuhnya diboyong oleh Jugi. Namun, sebelum dirinya diculik, ia sempat meninggalkan cincinnya di
ayunan anaknya yang masih bayi, Banta Muda. Dengan berurai air mata ia berharap, semoga suatu saat Banta Muda akan
mencarinya.
Nyak Ni kemudian disembunyikan oleh Jugi Tapa di suatu daerah. Daerah tersebut kemudian dinamakan Nisam. Nisam pada
dasarnya berasal dari kata Ni dan Som, yang berarti Nyak Ni dan sembunyi, bermaksud tempat Nyak Ni disembunyikan.
Adapun Raja Banta ketika pulang dari berburu, mendapati istrinya telah diculik, merasa berang luar biasa. Segera ia menaiki
kuda terbangnya dan menuju ke kerajaan Jugi Tapa. Jugi Tapa sudah menduga bahwa ia akan diserang, maka ia pun menyiapkan
diri. Sebelum Raja Banta sampai ke Kerajaan Jugi Tapa, ia dicegat oleh Jugi, kemudian kedua berkelahi.
Pada akhirnya, Jugi Tapa mengubah Raja Banta menjadi batu, hingga Raja Banta dan kuda terbangnya jatuh, menimpa pohon,
dan kaki kudanya tersangkut di dahan pohon. Tempat kejadian peristiwa itu dinamakanlah Sawang, yang berasal dari kata
“sawak” yang bermakna tersangkut.
Maka tinggallah Banta Muda sebatang kara. Diasuh oleh dayang-dayang dan bertemankan anak kuda terbang. Hingga kemudian
ia dewasa, ia pun menelusuri kisah ibu dan ayahnya. Ia berniat membunuh Jugi Tapa. Maka pergilah ia mencari informasi
tentang Jugi Tapa, kesaktiannya dan kelemahannya.
Hingga suatu hari, Banta Muda menemukan rahasia kelemahan Jugi Tapa. Ternyata Jugi Tapa meninggalkan nyawanya pada
seekor burung beo yang berdiam di atas sebatang pohon di rawa-rawa yang dikelilingi lumpur panas. Melewati lumpur itu sama
saja dengan membunuh diri, sementara hawa panas dari lumpur membuat kuda tak bisa terbang di atasnya.
Banta Muda kemudian mencari cara agar bisa membunuh burung tersebut. Dan akhirnya ia menemukan caranya. Memanah.
Tapi memanah sejauh itu bukan perkara yang mudah. Banta Muda harus bekerja keras latihan memanah.
Pada akhirnya, Banta Muda berhasil memanah burung beo tersebut. Bersamaan dengan matinya burung beo itu, tamatlah hidup
Jugi Tapa. Tamatlah kerajaannya dan Banta Muda pun bersatu kembali dengan ibunya.
Kesimpulan
Aceh utara merupakan salah satu kabupaten yang ada di aceh yang bahwasanya aceh memiliki berbagai budaya dan adat
dan salah satu budaya yang di masih dikestarikan di daerah aceh yaitu rumah adat. Di setiap provinsi memiliki rumah adat yang
sama pada umumnya namun di masing-masing wilayah tersebut memiliki cirri khas sendiri yang membedakan antarrumah
adatnya. Seperti pada rumah adat aceh utara yang membedakan rumah aceh utara dengan rumah adat tradisional aceh pada
umumnya salah satunya terletak pada posisi pintu masuk dari rumah adat ini. Yaitu pada rumah adat ini pintu masuknya terletak
di posisi rumah yang memanjang sedangkan pada rumah adat aceh pada umumnya posisinya terletap pada rumah yang bagain
lebarnya terpendek.
SUMBER
https://www.scribd.com/document/362550863/Makalah-Rumah-Adat-Aceh-Utara-Bener
https://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Aceh_Utara
https://www.google.com/search?q=rumah+tradisional+aceh+utara&safe=strict&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ved=0ahUKE
wior_nW5tjiAhVD7XMBHZqKDSUQ_AUIECgB&biw=1366&bih=618
https://id.wikipedia.org/wiki/Aceh
https://tementravel.id/sepenggal-cerita-perjuangan-masa-lalu-dari-rumah-cut-meutia
https://bacaberita96.com/2018/06/18/kisah-legenda-jugi-tapa-si-murid-durhaka-dari-sawang-aceh-utara/