Anda di halaman 1dari 11

SEWA MENYEWA DALAM ISLAM

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ijarah merupakan menjual manfaat yang dilakukan oleh seseorang dengan orang lain dengan
menggunakan ketentuan syari’at islam. Kegiatan ijarah ini tidak dapat dilepaskan dari kehidupan kita
sehari-hari baik dilingkungan keluarga maupun masyarakat sekitar kita. Oleh sebab itu kita harus
mengetahui apa pengertian dari ijarah yang sebenarnya, rukun dan syarat ijarah, dasar hukum ijarah,
manfaat ijarah dan lain sebagainya mengenai ijarah. Karena begitu pentingnya masalah tersebut maka
permasalahan ini akan dijelaskan dalam pembahasan makalah ini

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas bisa memunculkan beberapa pertanyaan yang penting untuk dibahas
diantaranya :

Apa yang dimaksud dengan Ijarah dan Landasan Syara’?

Apa saja yang menjadi Rukun dan syarat Ijarah?

Apa saja sifat dan hukum Ijarah?

Apa permasalahan yg kadang terjadi pada ijarah?

C. Tujuan Pembahasan

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :

Untuk mengetahui bagaimana pengertian Ijarah dan landasannya.

Untuk mengetahui Rukun dan syarat-syarat Ijarah

Untuk mengetahui sifat dan hukum Ijarah.


Untuk mengetahui lain hal mengenai Ijarah.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Ijarah

Sebelum dijelaskan pengertian sewa menyewa dan upah atau ijarah, terlebih dahulu akan dikemukakan
mengenai makna operasional ijarah itu sendiri. Idris Ahmad dalam bukunya yang berjudul Fiqih syafi’I
berpendapat ijarah berarti upah mengupah.[1] Hal ini terlihat ketika beliau menerangkan rukun dan
syarat upah mengupah, yaitu mu’jir dan musta’jir (yang memberikan upah dan yang menerima upah),
sedang kan Nor Hasanuddin sebagai penerjemah Fiqih Sunnah karya Sayyid Sabiq menjelaskan makna
ijarah dengan sewa menyewa.[2]

Dari dua buku tersebut ada perbedaan terjemahan kata ijarah dari bahasa Arab kedalam bahasa
Indonesia. Antara sewa dan upah juga ada perbedaan makna operasional, sewa biasanya digunakan
untuk benda, seperti “seorang mahasiswa menyewa kamar untuk tempat tinggal selama kuliah”,
sedangkan upah digunakan untuk tenaga, seperti “para karyawan bekerja dipabrik dibayar gajinya
(upahnya) satu kali dalam seminggu”.

Secara etimologis al-ijarah berasal dari kata al-ajru yang arti menurut bahasanya ialah al-iwadh yang arti
dalam bahasa indonesianya adalah ganti dan upah. Sedangkan menurut Rahmat Syafi’I dalam fiqih
Muamalah ijarah adalah ‫( بيع المنفعة‬menjual manfaat).[3] Sedangkan menurut terminologinya terdapat
beberapa pendapat.

a) Menurut Hanafiyah :[4]

Artinya : “ Akad atas suatu kemanfaatan dengan pengganti “

b) Menurut Asy-Syafiiyah[5]

‫عقد على منفعة مقصودة معلومة مباحة قابلة للبذل والباحة بعوض معلوم‬
Artinya : “Akad atas suatu kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu Dan mubah , serta
menerima pengganti atau kebolehan dengan pengganti tertentu.

c) Menurut Malikiyah[6] Dan Hambali[7]

Artinya : Menjadikan milik suatu kemanfaatan yang mubah dalam waktu tertentu dengan pengganti. Ada
yang menerjemahkan, ijarah sebagai jual beli jasa ( Upah- mengupah ), yakni mengambil manfaat tenaga
manusia, ada pula yang menerjemahkan sewa menyawa, yakni mengambil manfaat dari barang.
Jumhurul ulama’ beerpendapat ijarah adalah menjual manfaat Dan yang boleh di sewakan Dan yang
boleh di sewakan adalah manfaatnya bukan bendanya.[8]

Dalam syari’at Islam ijarah adalah jenis akad untuk mengambil manfaat dengan kompensasi.[9]

Sedangkan menurut Sulaiman Rasjid mempersewakan ialah akad atas manfaat (jasa) yang dimaksud lagi
diketahui, dengan tukaran yang diketahui, menurut syarat-syarat yang akan dijelaskan kemudian.[10]

B. Landasan Syara’

Hampir semua ulama’ ahli fiqih sepakat bahwa jahrah di isyaratkan dalam islam. Ada golongan yang tidak
menyepakatinya seperti Abu Bakar Al-Ashan, Ismail Ibn Aliyah, Hasan Al-Bisri, Al-Qasyani, Nahrawi Dan
Ibn kaisan.

Jumhurul ulama’ berpendapat ijarah di syariatkan berdasarkan.

a) Al-Qur’an

Artinya : Jika mereka menyusukan ( anak-anakmu ) untukmu, maka berikanlah mereka upahnya. Qs.
Thala : 6

b) As-Sunnah

Artinya : Berilah upah pekerja sebelum keringatnya jering. Hr Ibnu Majah dari Ibn Umar
c) Ijma’

Umat islam pada masa sahabat telah berijma’ bahwa ijarah di bolehkan sebab bermanfaatkan bagi
manusia.[11]

C. Rukun Ijarah

Menurul Jumhurul ulama’ rukun ijarah ada 4 ( Empat ), yaitu :

Aqid ( orang yang aqad )

Shighat akad

Ujrah ( Upah )

Manfaat

D. Syarat Ijarah

Syarat ijarah terdiri empat macam sebagaimana syarat dalam jual beli yaitu:

1) Syarat terjadinya akad Syarat in’inqod ( terjadinya akad ) berkaitan dengan aqid, zat akad, Dan tempat
akad.

Syarat pelaksanaan akad ( an-nafadz ) Agar ijarah dapat terlaksanakan, barang harus dimiliki oleh aqid,
atau dia memiliki kekuasaan penuh untuk akad ( ahliyah )

Syarat sah ijarah

Keabsahan ijarah sangat berkaitan dengan aqid ( orang yang aqad ), ma’qud alaih ( barang yang menjadi
obyek aqad ), ujrah ( upah ), Dan zat akad ( nafs al-aqad ) yaitu :

Adanya keridhaan dari kedua pihak yang akad

Ma’qud alaih bermanfaat dengan jelas

Maqud alaih ( Barang ) harus dapat memenuhi secara syara’


Kemanfaatkan benda di bolehkan menurut syara’

Tidak menyewa untuk pekerjaan yang di wajibkan ke padanya

Tidak mengambil manfaat dari diri orang yang di sewa

Manfaat ma’qud alaih sesuai keadaan yang umum

4) Syarat Kelaziman

Syarat kelaziman ijarah terdiri atas dua hal yaitu :

Ma’qud Alaih ( barang sewaan ) terhindar dari cacat

Tidak ada udzur yang dapat membatalkan akad

E. Sifat dan Hukum Ijarah

1) Sifat Ijarah

Menurut ulama’Hanafiyah, ijarah adalah akad lazim yang di dasarkan pada firman Allah SWT yang boleh
di batalkan .[12]

Sebaliknya, Jumhur Ulama’ berpendapat bahwa ijarah adalah akad lazim yang tidak dapat di batalkan,
kecuali dengan adanya sesuatu yang merusak penemuhannya, seperti hilangnya manfaat.

Berdasarkan dua pandangan di atas, menurut ulama’ Hanafiyah, Ijarah batal dengan meninggalnya. Salah
seorang yang akad Dan tidak dapat di alihkan ke pada ahli waris, adapun menurut jumhur ulama’ Ijarah
tidak batal, tetapi berpindah kepada ahli warisnya.[13]

a) Hukum ijarah

Hukum ijarah sahih adalah tetapnya kemanfaatan bagi penyewa, Dan tetapnya upah bagi pekerja atau
orang yang menyewakan ma’qud alaih, sebab ijarah termasuk jual beli pertukaran, hanya saja dengan
kemanfaatan.
F. Pembagian dan Hukum Ijarah

Ijarah terbagi 2 ( Dua ) yaitu Ijarah terhadap benda atau sewa menyewa, dan ijarah atas pekerjaan atau
upah mengupah.

Hukum sewa menyewa Di Bolehkan ijarah atas barang mubah seperti, rumah, kamar, dan lain-lain. Tetapi
di larang ijarah terhadap benda-benda yang di haramkan.

Hukum upah Mengupah Upah mengupah atau ijarah ‘ala al-a’mal, yakni jual beli jasa. Biasanya berlaku
dalam beberapa hal, seperti menjahitkan pakaian, membangun rumah, Dan lain-lain, ijarah ‘ala al-a’mal
terbagi menjadi dua bagian yaitu:

Ijarah KhususIjarah Khusus adalah ijarah yang di lakukan oleh seorang pekerja. Hukumnya orang yang
bekerja tidak boleh bekerja selain dengan orang yang telah memberikan upah.

Ijarah Musytarik Ijarah Musyatarik adalah ijarah yang di lakukan secara bersama-sama atau melalui kerja
sama hukumnya di perbolehkan bekerja sama dengan orang lain.

Gugurnya Upah

Para Ulama’ berbeda pendapat dalam menentukan upah bagi Ajir, apabila barang yang di tangannya
rusak.

Menurut ulama’ Syafi’iyah, jika bekerja di tempat yang di miliki oleh penyewa, ia tetap memperoleh
upah. Sebaliknya, apabila barang berada di tangannya, ia tidak mendapatkan upah.[14]

Pendapat ulama’ syafi’iyah tersebut senada dengan pendapat ulama’ Hambali.[15] Ulama’ Hanafiyah
juga sama pendapatnya seperti pendapatnnya ulama’ Hambali.

BAB III

ANALISA

G. Permasalannya
Berdasarkan hal itu, menyewakan pohon agar dimanfaatkan buahnya hukumnya tidak sah karena pohon
itu sendiri bukan keuntungan atau manfaat. Demikian juga menyewakan dua jenis mata uang (emas dan
perak), makanan untuk dimakan, barang yang dapat ditakar dan ditimbang. Alasannya semua jenis
barang tersebut tidak dapat dimanfaatkan kecuali dengan mengkonsumsi bagian dari barang tersebut.
Hukum sewa juga diberlakukan atas sapi, domba atau unta untuk diambil susunya. Akad sewa
mengharuskan penggunaan manfaat dan bukan barang itu sendiri.

Suatu manfaat, terkadang berbentuk manfaat atas barang, seperti rumah untuk ditempati, mobil untuk
dikendarai. Kadangkala dalam bentuk karya seperti karya seorang arsitek, tukang tenun, penjahit.
Apabila akad sewa diputuskan, penyewa sudah memiliki hak atas manfaat dan pihak yang menyewakan
berhak mengambil kompensasi sebab sewa adalah akad mu’awwadhah timbal balik.[16]

Cara memanfaatkan barang sewa’an

Sewa Rumah Jika seseorang menyewa rumah, di perbolehkan untuk memanfaatkannya sesuai
kemanfaatannya, bahkan boleh di sewakan lagi atau di pinjamkan pada orang lain.

Sewa Tanah Sewa tanah di haruskan untuk menjelaskan tanaman apa yang akan di tanam atau bangunan
apa yang di bangun.

Sewa Kendaraan Dalam menyewa kendaraan, baik hewan atau kendaraan lainnya harus di jelaskan salah
satu di antara dua hal waktu dan tempatnya. Juga harus di jelaskan barang yang akan di bawa atau
benda yang akan di angkut.

Perbaikan barang sewaan Menurut ulama’ Hanafiyah, jika barang yang di sewakan rusak seperti pintu
rusak, atau dinding jebol dan lain-lainnya maka pemiliknya yang wajib memperbikinya. Kewajiban
penyewa setelah habis masa sewa

Di antara kewajiban penyewa setelah masa sewa habis adalah

Menyerahkan kunci jika yang di sewakan rumah

Jika yang di sewakan kendaraan, ia harus menyimpan kembali di tempat asalnya.

BAB IV

PENUTUP
A. Kesimpulan

1. Secara etimologis al-ijarah berasal dari kata al-ajru yang arti menurut bahasanya ialah al-iwadh yang
arti dalam bahasa indonesianya adalah ganti dan upah.

2. Rukun Ijarah Menurul Jumhurul ulama’ rukun ijarah ada 4 ( Empat ), yaitu Aqid ( orang yang aqad ),
Shighat akad, Ujrah ( Upah ) dan Manfaat

3. Syarat ijarah terdiri empat macam sebagaimana syarat dalam jual beli yaitu, Syarat terjadinya akad,
Syarat pelaksanaan akad ( an-nafadz ), Syarat sah ijarah, Dan Syarat Kelaziman.

4. Sifat Ijarah Menurut ulama’Hanafiyah, ijarah adalah akad lazim yang di dasarkan pada firman Allah
SWT yang boleh di batalkan.

5. Hukum ijarah sahih adalah tetapnya kemanfaatan bagi penyewa, Dan tetapnya upah bagi pekerja atau
orang yang menyewakan ma’qud alaih.

6. Ijarah terbagi 2 ( Dua ) yaitu Ijarh terhadap benda atau sewa menyewa, Dan ijarah atas pekerjaan atau
upah mengupah.

7. Di Bolehkan iijarah atas barang mubah seperti, rumah, kamar, Dan lain-lain. Tetapi di larang ijarah
terhadap benda-benda yang di haramkan.

8. Menurut ulama’ Syafi’iyah, jika bekerja di tempat yang di miliki oleh penyewa, ia tetap memperoleh
upah. Sebalinya, apabila barang berada di tangannya, ia tidak mendapatkan upah.

Daftar Pustaka

Alauddin Al-Kasani, Badai’ Ash Shanai’ fi taqrib asy Shara’i, Sirkah Al-Mathbu’ahh, Mesir.
Ahmad, Idris, 1986. Fiqh al-Syafi’iyah,Jakarta: Karya Indah

Syafi’I, Rahmat, 2004. Fiqh Muamalah, Bandung: CV Pustaka Setia

Rasjid, Sulaiman, 1994. Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru Algensind

Ibn Rusyd Al –Hafizh, Bidayah Al-Mujtahid wa An-Nihayah Al-Mustashid,

Beirud, Dar Al-Fikr.

Ibn Abidin, Radd Al- Mukhtar Ala Dur Al-Mukhtar, Al Maimunah, Mesir

Ibn Qudamah, Al-Mugni, Mathba’h Al-Imam, Mesir.

Muhammad Asy-Syarbini, Mugni.

Sabiq, Sayyid, 2004. Fiqhus Sunnah, terjemah Nor Hasanuddin, Jakarta: Pena Pundi Aksara

[1] Idris Ahmad, Fiqh al-Syafi’iyah (Jakarta: Karya Indah. 1986) h. 139

[2] Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, terjemah Nor Hasanuddin (Jakarta: Pena Pundi Aksara. 2004) h. 203

[3] Rahmat Syafi’I, Fiqh Muamalah (Bandung: CV Pustaka Setia. 2004) h. 121
[4] Alauddin Al-Kasani, Badai’ Ash Shanai’ fi taqrib asy Shafii. Juz iv, hlm. 174

[5] Muhammad Asy-Syarbini, Mugni, Juz 11, hal 332

[6] Syarh Al-Kabir Li Dardir, juz IV, hlm 2

[7] Ibn Qudamah, Al-Mugni, juz V, hlm.398

[8] Ibn Abidin, Radd Al- Mukhtar Ala Dur Al-Mukhtar, juz IV, hlm 110

[9] Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah ……, h.203

[10] H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Bandung: Sinar Baru Algensindo. 1994) h. 303

[11] Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, Dan Nasa’ dari said ibn Abi Waqash

[12] Ibid, juz Iv hlm. 201

[13] Ibn Rusyd, Op.Cit, juz II. hlm 328

[14] Asy-syirazo, Op Cit, juz I, hlm 409

[15] Ibn Qudamah, Op Cit, juz V, hlm 487


[16] Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah ……, h.20

Anda mungkin juga menyukai