Anda di halaman 1dari 22

Referat

KERACUNAN HERBISIDA

Disusun oleh:

Kms. Virhan Dwi Firondy, S.Ked 04054821618011

Putri Talita, S.Ked 04054821618014

Ade Trianda Rizki, S.Ked 04054821618032

Alek Febrianka Rachman, S.Ked 04054821618037

Tiara Putri Ramadhani, S.Ked 04054821618167

Tri Nisdian Wardiah, S.Ked 04054821517105

Ridhya Rahmayani, S.Ked 04054821517107

Pembimbing:

Kompol dr. Mansuri, SpKF

DEPARTEMEN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK

RUMAH SAKIT DR. MOH. HOESIN PALEMBANG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA

2016

i
HALAMAN PENGESAHAN

Referat dengan judul

Keracunan Herbisida

Oleh:

Kms. Virhan Dwi Firondy, S.Ked 04054821618011

Putri Talita, S.Ked 04054821618014

Ade Trianda Rizki, S.Ked 04054821618032

Alek Febrianka Rachman, S.Ked 04054821618037

Tiara Putri Ramadhani, S.Ked 04054821618167

Tri Nisdian Wardiah, S.Ked 04054821517105

Ridhya Rahmayani, S.Ked 04054821517107

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Kedokteran ForensikFakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya Rumah Sakit Mohammad Hoesin Palembang
periode 21 Maret – 25 April 2016

Palembang, April 2016

Kompol dr. Mansuri, SpKF

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat ini.
Referat dengan judul “Keracunan Herbisida” ini diajukan untuk memenuhi
salah satu syarat dalam mengikuti kepaniteraan klinik senior di Departemen Ilmu
Penyakit Dalam RSMH Palembang periode 21 Maret – 25 April 2016
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kompol dr. Mansuri, SpKF
sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan bantuan dan bimbingan kepada
penulis selama menyusun referat ini.
Akhirnya, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu dan memberikan dukungan kepada penulis sehingga referat ini
dapat diselesaikan dengan baik. Penulis juga mengharapkan kritik dan saran agar
referat ini menjadi semakin baik.

Palembang, April 2016

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................ i


HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................... ii
KATA PENGANTAR .......................................................................................... iii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... iv

BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1


1.1 Latar Belakang .................................................................................... 1
1.2 Perumusan Masalah ............................................................................. 2
1.3 Tujuan dan Manfaat ............................................................................ 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Definisi Keracunan Herbisida ............................................................. 3
2.2 Penggolongan Herbisida ..................................................................... 3
2.3 Bahan Pemeriksaan Toksikologi ......................................................... 5
2.4 Tanda dan Gejala Keracunan Herbisida .............................................. 7
2.5ToksikodinamikdanToksikokinetikKeracunanHerbisida ..................... 8
2.6 Dosis Letal........................................................................................... 9
2.7 Mekanisme Kerja Herbisida pada Tumbuhan ..................................... 10
2.8 Intoksikasi Herbisida pada Hewan ...................................................... 11
2.9 Pemeriksaan Forensik ......................................................................... 13
2.10 Tatalaksana Keracunan Herbisida ..................................................... 14

BAB III PENUTUP .............................................................................................. 16


Kesimpulan ........................................................................................................... 16

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 17

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Racun adalah zat yang bekerja dalam tubuh secara kimiawi dan fisiologis yang
pada dosis toksik akan menyebabkan gangguan kesehatan hingga kematian. Ilmu
yang mempelajari sumber, sifat, serta efek racun, gejala dan pengobatan pada
keracunan, serta kelainan yang didapatkan pada korban yang meninggal disebut
toksikologi. Pemeriksaanya dilakukan untuk mengetahui jenis racun yang masuk
dan menyebabkan kematian pada seseorang. Racun dapat diperoleh dari berbagai
sumber seperti tumbuh-tumbuhan, hewan, mineral, atau dari alam bebas, rumah
tangga, dan pertanian.1
Salah satu sumber keracunan tersering adalah dari bidang pertanian, yaitu
penggunaan pestisida. Pestisida adalah zat untuk membunuh atau mengendalikan
hama. Penggunaan pestisida yang tidak tepat dapat memberikan efek samping
keracunan.2 Peningkatan penggunaan bahan-bahan kimia dalam bidang agrikultur
ini juga menyebabkan peningkatan kejadian keracunan akibat bahan-bahan kimia
tersebut.3 WHO memperkirakan setiap tahunnya terjadi sekitar 25 juta kasus
keracunan pestisida atau sekitar 68.493 kasus setiap harinya. Menurut Badan POM
RI, pada tahun 2014, terjadi sebanyak 710 kasus keracunan pestisida di Indonesia.2
Negara berkembang dengan jumlah lahan pertanian dan pekerja pertanian yang
tinggi merupakan faktor resiko dalam keracunan herbisida mengingat tingginya
penggunaan herbisida tersebut. Herbisida adalah senyawa yang digunakan untuk
menekan atau memberantas tumbuhan menyebabkan penurunan hasil pertanian
(gulma).3 Paraquat (gramoxone) adalah herbisida yang paling sering menyebabkan
kasus keracunan.
Herbisida (terutama jenis paraquat) banyak terlibat dalam kasus bunuh diri,
pembunuhan, ataupun keracunan yang tak disengaja.3 Pengetahuan mengenai sifat,
gejala, dan hasil temuan pada pemeriksaan korban keracunan herbisida sangat
diperlukan mengingat banyaknya kasus kematian yang terjadi akibat keracunan
pestisida terutama jenis herbisida ini.

1
1.2 Perumusan Masalah
1. Apa pengertian herbisida?
2. Apa saja jenis herbisida yang sering digunakan?
3. Bagaimana efek toksisitas herbisida terhadap manusia?
4. Bagaimana hasil pemeriksaan forensik yang didapatkan pada korban
keracunan herbisida?

1.3 Tujuan dan Manfaat


1.3.1 Tujuan
Mengetahui pengertian herbisida, jenis herbisida yang sering
digunakan, efek toksisitas dan gejala yang ditimbulkan pada manusia serta
hasil pemeriksaan forensik yang didapatkan pada korban keracunan
herbisida.

1.3.2 Manfaat
Dari hasil referat ini diharapkan dapat diperoleh beberapa manfaat, antara
lain:
1. Meningkatkan pengetahuan mengenai herbisida dan efek toksisitasnya
terhadap manusia serta gejala yang timbul pada keracunan herbisida.
2. Memberikan informasi yang bermanfaat untuk mengembangkan dan
meningkatkan pengetahuan mengenai hasil pemeriksaan yang
didapatkan dari korban keracunan herbisida, baik pada pemeriksaan luar
ataupun pada bedah mayat.
3. Menambah wawasan tentang ilmu kedokteran forensik, khususnya
tentang toksikologi herbisida.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Keracunan Herbisida


Herbisida adalahbahan kimia yang dapat menghambat pertumbuhan atau
mematikan tumbuhan. Herbisida mempengaruhi proses pembelahan
sel,perkembangan jaringan, pembentukan klorofil, respirasi, fotosintesis,
metabolisme, pengikatan nitrogen, aktivitas enzim dan sebagainya. Herbisida
sangat diperlukan dalam bidang pertanian untuk mempertahankan kelangsungan
hidup tanaman terhadap gulma.4
Herbisida berasal dari senyawa kimia organik maupun anorganik atau berasal
dari metabolit hasil ekstraksi dari suatu organisme.Herbisida bersifat racun
terhadap gulma atau tumbuhan pengganggu, juga terhadap tanaman. Herbisida yang
diaplikasikan dengan dosis tinggi akan mematikan seluruh bagian tumbuhan.
Namun pada dosis yang lebih rendah, herbisida akan membunuh tumbuhan tertentu
dan tidak merusak tumbuhan yang lainnya.4Keracunan herbisida adalah masuknya
bahan kimiaberupa herbisida yang dapat menghambat pertumbuhan atau
mematikan tumbuhan dan bersifat toksik pada tubuh. Keracunan dapat terjadi
secara sengaja terhisap (inhalasi), menelan, atau melalui kulit.

2.2 Penggolongan Herbisida


Herbisida dapat diklasifikasikan berdasarkan:5
1. Cara Kerja
a. Herbisida kontak
Merupakan herbisida yang mampu mematikan langung jaringan
tumbuhan yang terkena. Herbisida jenis ini tidak mengalami translokasi
dari satu jaringan ke jaringan lain. Contoh herbisida kontak adalah
paraquat.

3
b. Herbisida sistemik
Merupakan herbisida yang dapat diserap dan ditranslokasikan ke seluruh
bagian atau jaringan gulma. Contoh herbisida sistemik adalah 2,4-
dichlorophenoxyacetic acid (2,4 D) dan Glifosfat.
2. Selektivitas
a. Herbisida Selektif
Merupakan herbisida yang mematikan jenis gulma tertentu. Contoh
herbisida selektif adalah 2,4 D
b. Herbisida Non-Selektif
Merupakan herbisida yang dapat mematikan hampir semua jenis gulma
yang terkena herbisida.Contoh herbisida non selektif adalah paraquat dan
glifosfat.
3. Bahan
Herbisida berbahan aktif
1) Oksifluorfen
Ini termasuk herbisida pra-tumbuh. Merk dagangnya antara lain: Goal
240 EC, Golma 240 EC, GoL ok 240 EC.
2) Isopropilamina glisofat
Merk dagangnya antara lain: Roundup 480 g/l, glisat 480 g/l, Bionasa
480 g/l, Konup 480 g/l, Basmilang 480 g/l, Glibas 480 g/l.
3) Paraquat diklorida 276 g/l
Merk dagangnya: Gramoxon 276 g/l, Noxon 276 g/l, Bravoxone 276
g/l.
4) Shalatop butil, Penoksulam, Bispyribac-sodium
Merk dagangnya: Clincher 100 EC, Clipper 25 OD, Topshot 60 OD,
Nominee 100 OF.
5) Tiobenkarb 400 g/l dan 2,4 D IBE 600 g/l
Merk dagangnya: Saturn – D 600 g/l
6) Mesotrin + Atrozin
Merk dagangnya: Calaris 550 sc.

4
2.3 Bahan Pemeriksaan Toksikologik
Pada semua kasus yang dicurigai keracunan diperlukan pengambilan bahan-
bahan pemeriksaan yang lengkap, walaupun dokter yang melakukan autopsi sudah
memperoleh petunjuk yang cukup kuat bahwa yang sedang dihadapi adalah kasus
keracunan. Bahan yang diambil lebih baik dalam keadaan segar dan lengkap pada
waktu autopsi, daripada bahan yang diambil setelah mengadakan penggalian kubur,
jaringan yang busuk, atau yang sudah diawetkan (dengan formalin).1Pada jenazah
yang telah diawetkan dengan formalin, dapat menyulitkan pemeriksaan dan kadang
merusak racun sehingga tidak dibenarkan pengambilan bahan setelah jenazah
diawetkan.1
Bahan yang diambil untuk pemeriksaan toksikologi meliputi darah sentral
(jantung) dan perifer, urin, bilasan lambung, usus beserta isinya, hati, ginjal, otak,
dan empedu. Menurut Curry, bahan pemeriksaan yang rutin harus diambil adalah
lambung beserta isinya, darah, seluruh hati, dan seluruh urin.1
Darah jantung diambil secara terpisah dari sebelah kanan dan sebelah kiri,
masing-masing 50 ml. Setelah seseorang menelan glukosa dapat terjadi difusi ke
bilik jantung kanan, sehingga kadar glukosa dalam darah di bilik kanan lebih tinggi.
Difusi ini juga dapat terjadi pada obat atau racun, sehingga penentuan konsentrasi
darah dari bilik kanan saja akan memberikan kesan yang salah tentang konsentrasi
obat atau racun dalam darah. Darah tepi diambil dari vena iliaka komunis sebanyak
30-50 ml. Pada korban yang masih hidup, darah adalah bahan yang terpenting.
Diambil dua contoh darah masing-masing minimal 5 ml dengan darah pertama
diberi pengawet NaF 1% sedangkan yang lain tidak.1
Urin diambil semua yang ada dalam kandung kemih. Pemeriksaan urin
penting dilakukan karena merupakan tempat ekskresi sebagian besar racun
sehingga dapat digunakan untuk tes pendahuluan (spot test).1
Bilasan lambung diambil semuanya.Pada mayat, diambil lambung beserta
isinya.Lambung diikat pada perbatasan dengan usus dua belas jari. Cara lain yang
dapat digunakan adalah dokter membuka sendiri lambung tersebut kemudian
mencatat kelainan-kelaiann yang didapat, kemudian dikirim ke laboratorium
sehingga dapat diperkirakan jenis racunnya.1

5
Usus beserta isinya sangat berguna terutama bila kematian terjadi dalam
waktu beberapa jam setelah menelan racun sehingga dapat diperkirakan saat
kematian. Usus diikat tiap 60 cm atau diikat pada batas usus halus dan usus besar
dan antara usus besar dan poros usus. Ikatan tersebut berguna untuk mencegah isi
usus oral tercampur dengan isi usus anal.1
Hati diambil setelah disisihkan untuk pemeriksaan patologi anatomi dengan
alasan takaran toksik kebanyak racun sangat kecil, hanya beberapa mg/kg sehingga
kadar racun dalam tubuh sangat rendah dan untuk menemukan racun bahan
pemeriksaan harus banyak. Selain itu hati merupakan tempat detoksikasi tubuh
terpenting. Organ ini memiliki kemampuan untuk mengkonsentrasikan racun
sehingga kadar racun dalam hati sangat tinggi.1
Ginjal harus diambil keduanya. Ginjal penting pada keadaan intoksikasi
logam, pemeriksaan racun secara umum, dan pada kasus dimana secara histologic
ditemukan Ca-oksala dan sulfonamide.1
Jaringan lipoid dalam otak mempunyai kemampuan untuk menahan racun,
misalnya CHCl3 tetap ada walaupun jaringan otak telah membusuk. Pada
pengambilan empedu, sebaiknya kandung empedu tidak dibuka agar cairan empedu
tidak mengalir ke hati dan mengacaukan pemeriksaan.1
Cara lain dalam pengambilan bahan untuk pemeriksaan toksikologik adalah
dengan mengambil dari tiga tempat, yaitu tempat masuknya racun (lambung,
tempat suntikan), darah (menandakan racun beredar secara sistemik), dan tempat
keluarnya racun (urin, empedu).1
Semua bahan pemeriksaan tersebut disimpan dalam wadah terpisah dan diberi
label.Idealnya dibutuhkan minimal 9 wadah.Apabila bahan tersebut dapat segera
diperiksa, maka tidak diperlukan bahan pengawet dan bahan cukup disimpan dalam
lemari es. Jika tidak dapat segera diperiksa, maka dapat digunakan bahan pengawet,
yaitu alkohol absolut atau larutan garam dapur jernih (untuk bahan padat/organ),
larutan NaF 1% atau 5 ml NaF + 50 ml Na sitrat untuk tiap 10 ml bahan, dan Na
benzoate + fenil merkuri nitrat (untuk urin).1
Pada kasus keracunan herbisida, bahan pemeriksaan untuk mengetahui
kadarnya dapat diperoleh dari darah, urin, dan organ lain. Pada darah, kadarplasma

6
herbisida diperoleh dengan metode spectroscopy atau radioimmunoassays.
Kadarnya dalam urin data diperoleh dengan spectrophotometry. Pada keracunan
akibat herbisida jenis paraquat, jika diperoleh kadar >0,2 µg/ml, maka dapat
dipastikan kematian akibat intoksikasi paraquat sedangkan pada urin kadar
>10µg/ml mengkonfirmasi kematian akibat keracunan zat ini. Jenis herbisida lain
seperti diaquat terkonsentrasi pada ginjal. Pada herbisida jenis glyphosate,
pemeriksaan toksikologik dapat diperoleh dari isi lambung dan organ visceral lain.
Kadar glyphosate 1 mg/ml atau lebih dapat dideteksi pada darah, hati, dan urin.3

2.4 Tanda dan Gejala Keracunan Herbisida


Adapun tanda dan gejala yang dapat ditimbulkan akibat keracunan herbisida
adalah:6,7
 Pada sistem gastrointestinal apabila ditelan cukup banyak herbisida akan
muncul rasa sakit dan bengkak pada mulut dan tenggorokan. Selanjutnya
muncul gejala seperti mual, nyeri perut, hipermotilitas saluran
gastrointestinal dan diare (kadang-kadang disertai darah). Gangguan yang
berat pada saluran cerna dapat menyebabkan dehidrasi, abnormalitas
elektrolit dan tekanan darah yang rendah.
 Pada sistem musculoskeletal dapat terjadi gejala seperti kaku pada kaki,
kedutan dan spasme otot, fibrilasi otot bahkan rabdomiolisis.
 Pada sistem saraf pusat dapat terjadi depresi sistem saraf pusat, kejang,
ataksia, miosis dan paralisis yang dapat berujung pada koma.
 Pada sistem kardiovaskular dapat ditemukan takikardi dan disritmia
jantung.
 Pada paru-paru dapat ditemukan hiperventilasi dan edema paru-paru
sehingga dapat menyebabkan gagal nafas.
 Pada ginjal apabila terdapat kerusakan glomerulus atau tubulus ginjal dapat
menyebabkan acute kidney injury sehingga menyebabkan albuminuria dan
hemoglobinuria.

2.5 Toksikodinamik dan Toksikokinetik Keracunan Herbisida

7
2.5.1 Toksikodinamik dan Toksikokinetik Keracunan 2,4-
dichlorophenoxyacetic acid8
Keracunan herbisida dapat terjadisecara inhalasi, oral, kulit dan
mata. Absorbsi akan terjadi secara cepat, kurang lebih sebanyak 5 % diabsropsi
melalui lambung dan usus. Kemudian didistribusikan keginjal, hati, traktus
gastrointestinal dan sistem saraf pusat dan perifer. Sebagian dari senyawa asam
mengalami konjugasi, tetapi biotransformasinya dalam tubuh masih terbatas.
Ekskresi senyawa herbisida semuanya melalui urin. Salah satu jenis herbisida
adalah 2,4-dichlorophenoxyacetic acid yang merupakan herbisida chlorophenoxy,
2,4-dichlorophenoxyacetic acid (2,4-D). Paparanterhadap 2,4-D dapat terjadi
secara inhalasi, oral, kulit dan mata sehingga dapat menyebabkan iritasi parah
pada kulit dan mata. Absorbsi 2,4-D akan terjadi secara cepat dan lengkap. 2,4-D
didistribusi ke ginjal, hati, traktus gastrointestinal dan sistem saraf pusat dan
perifer.
Senyawa chlorophenoxy ini sangat mudah diabsorbsi pada traktus
gastrointestinal tetapi kurang diabsorbsi baik oleh paru-paru. Kontak pada kulit
terjadi secara minimal, karena tidak mutlak bisa tersimpan dalam jaringan
lemak. Pada manusia, senyawa chlorophenoxy pada dosis oral akan diabsorbsi
dalam waktu 24 jam. Peningkatan konsentrasi plasma dalam tubuh terjadi antara 4
sampai 24 jam.Ekskresi 2,4-D semuanya melalui urin. Sebagian dari senyawa asam
mengalami konjugasi, tetapi biotransformasinya dalam tubuh masih terbatas.

2.5.2 Toksikodinamik dan Toksikokinetik Keracunan Paraquat9,10


Pada dosis toksik, paraquat dapat menyebabkan efek yang membahayakan
pada traktus gastrointestinal, ginjal, hati, jantung, dan organ lain. LD 50 pada
manusia sekitar 3-5 mg/kg, yang diartikan sebagai 10-15 ml dari 20% larutan.
Faktanya efek keracunan paraquat lebih sering mengenai paru, namun keracunan
yang disebabkan oleh inhalasi paraquat jarang ditemukan.
Toksisitas paraquat terhadap paru terjadi lambat, namun merupakan efek
yang lebih parah. Mekanismenya terjadi melalui pembentukan radikal bebas pada
jaringan paru. Paraquat dalam bentuk PQ2+ menerima satu elektron dari reduksi

8
nicotinamide adenine dinucleotide dan menjadi PQ+ (pyridinyl-free radical). PQ+
tidak dapat menyebabkan kerusakan, namun dengan adanya oksigen (O2) di paru,
bentuknya berubah kembali menjadi PQ2+. Pada proses ini ia melepaskan satu
elektron ke molekul oksigen sehingga menjadi radikal anion superoksida. Radikal
anion superoksida ini bertanggung jawab dalam menyebabkan kematian sel. Dalam
jumlah yang berlebih, anion superoksida menyebabkan pembentukan radikal bebas
hidroksil, yang dapat menghancurkan sel melalui peroksidasi lipid dan inhibisi
enzim seluler yang esensial. Hal tersebut menjelaskan mengapa paru menjadi target
organ pada keracunan paraquat, karena jaringan paru kaya akan
oksigen.Absorpsinya pada kulit sangat lambat, namun adanya luka pada kulit dapat
menyebabkan absorpsinya terjadi lebih cepat.
Mukosa traktus gastrointestinal merupakan tempat awal dari efek toksik
paraquat. Pada dosis yang lebih tinggi dapat menyebabkan kerusakan centrizonal
hepatocellular yang menyebabkan peningkatan kadar bilirubin dan enzim hepar
seperti AST, ALT, LDH, dan alkalin phosphatase.
Ginjal secara aktif mengekskresikan paraquat melalui urin, secara efisien
membersihkan paraquat dari darah. Namun konsentrasi paraquat yang terlalu tinggi
di darahdapat menyebabkan kerusakan pada ginjal.

2.6 Dosis Letal


Pada keracunan klorofenoksi, konsentrasi klorofenoksi dalam darah antara
80-1000 mg/liter menyebabkan hilangnya kesadaran.Konsentrasi >400 µg/ml pada
plasma dapat menyebabkan kematian. Namun, beberapa penelitian menyatakan
bahwa konsentrasi klorofenoksi dalam darah tidak berkaitan dengan
toksisitasnya.11,16
Dosis toksik paraquat dapat dibagi menjadi:9
 Dosis ringan: <20 mg ion paraquat/kgBB (<7,5 ml dari 20% [w/v] konsentrasi
paraquat), biasanya tidak menimbulkan gejala atau hanya ditemukan gejala
gastrointestinal.
 Dosis sedang hingga berat: 20-40 mg ion paraquat/kgBB (7,5-15,0 ml dari
20% [w/v] konsentrasi paraquat), menyebabkan fibroplasia paru. Kematian

9
terjadi pada kebanyakan kasus dalam 2-3 minggu. Dapat terjadi kerusakan
multiorgan.
 Dosis fulminan: >40 mg ion paraquat/kgBB (>15,0 ml dari 20% [w/v]
konsentrasi paraquat), menyebabkan kerusakan multiorgan dan perburukan
terjadi lebih cepat. Efek gastrointestinal sering dikarakteristikkan dengan
ulserasi pada orofaring. Angka mortalitasnya 100% dalam 1-7 hari.

2.7 Mekanisme Kerja Herbisida pada Tumbuhan


Terdapat 7 cara kerja herbisida pada tumbuhan, yaitu:12
1. Menghambat proses fotosintesis
Fotosintesis merupakan suatu proses dimana tumbuhan menggunakan
energi cahaya untuk mengubah CO2 dan H2O menjadi glukosa dan melepas
Oksigen. Pada tumbuhan yang diberikan herbisida, akan terjadi blok energi
di kloroplas sehingga tumbuhan tidak dapat menghasilkan glukosa.12
2. Menghambat pembentukan asam amino dan protein
Asam amino dan protein merupakan bahan penting dalam menunjang
pertumbuhan tanaman. Asam amino merupakan komponen utama dalam
protein dan asam nukleat. Pada proses ini, herbisida akan menghambat kerja
dari enzim Acetolactate Synthase (ALS) sehingga sintesis asam amino
(leusin, isoleusin dan valin) terhambat dan tidak terbentuk sel baru.13
3. Menghambat sintesis asam lemak
Asam lemak merupakan komponen utama dalam membran sel dan banyak
membran interseluler. Penghambatan dari pembentukan asam lemak akan
menghasilkan pertumbuhan yang terhenti dan dapat menyebabkan kematian
akibat kehilangan kekuatan membran sel.12
4. PerusakanMembranSel
Perusakan membrane sel sebelumnyamerupakannontranslocated
herbicides.Paraquatdandiquatadalahbahankimia yang relative
selektifuntukmengontrolvegetasi.Herbisida PPO inhibitor memberikan
pengendalian gulma berdaun lebarsecaraselektif di berbagai tanaman.

10
Herbisida inicepat membentuk senyawa yang sangat reaktif ditanaman yang
pecahmembran sel dan menyebabkancairan bocor keluar.13
5. Menghambat sintesispigmen
Salah satu fungsi dari pigmen adalah untuk proses fotosintesis dan
melindungi tumbuhan dari cahaya yang berlebihan. Pada tumbuhan yang
diberikan herbisida, pigmen klorofil dan karatenoid tidak akan terbentuk
sehinggadedaunantumbuhantampakmemutih dan lama kelamaan akan
mati.12
6. Menghambat pertumbuhan tanaman
Tanaman akan terus tumbuh jika terjadi pembelahan sel. Jika tanaman
tersebut diberikan herbisida maka pembelahan sel akan terhambat
begitupun dengan pertumbuhan akar sehingga tanaman tersebut akan
kesulitan untuk mendapat air untuk menunjang proses fotosintesis.13
7. Menghambat sistem kerjahormon
Growth regulator herbicides terdiridari
auxinsintetisdansenyawapenghambat transport auxinyangdigunakan
terutama untuk mengendalikan gulma berdaun lebar di rumput dan padang
rumput.
Herbisidainibekerjadengancaramenganggukeseimbanganhormonepertumb
uhan yang ada di tanaman.13

2.8 Intoksikasi Herbisida pada Hewan


2.8.1 Intoksikasi Butaklor8
Keracunan akibat konsumsi butaklor (herbisida) ditemui pada lima
kuda. Perubahansignifikandiamati pada dua kuda setelah pengobatan awaldengan
dekstrosa salin 5%, anti-bloat, pheneramine maleat dan tonik
hati.Sedangkantigakudalainnya merespon setelah terapi kedua.Gejala
hipersalivasi dan timpani menghilang dan hewan kembali normal (sembuh) pada
hari ke-3 pengobatan.
Gejala klinis yang terlihat yaitu inkoordinasi, hipersalivasi, timpani
dananoreksiayangdilaporkanpadalimakuda berusia antara 4-

11
6tahun. Namun suhu tubuh, denyut jantung dan laju pernafasan berada dalam
kisaran normal. Anamnese dari kejadian ini menerangkan bahwa kuda-kuda
tersebut memperlihatkan gejala-gejalaklinis tersebut setelah meminum airdisawah
yang terpapardengan herbisida.

2.8.2 Intoksikasi Sodium Klorat8


Kasus intoksikasi sodium klorat pada hewan sangat rendah namun kadang-
kadang dapat terjadi. Dosis letal minimum untuk sapi adalah 1g/ kg BB, domba
1,5-2,5 mg/kg BB, dan untuk unggas 5 g/kg BB. Sedangkan klorat menyebabkan
hemolisis yang diikuti dengan perubahan susunan methemoglobin
dalamtubuh. Darahgagalmensuplai oksigen pada jaringan
sehinggamenyebabkan hipoksia.Symptom yang timbul tergantung dari
derajatmethemoglobinemia dan dapat terjadi cyanosis, dyspnoea, kelemahan,
diarrhoea,hemoglobinuria, dan hematuria. Pada kejadian yang akut menyebabkan
kematiantanpa symptom yang jelas. Pada pemeriksaan post-mortem ditemukan
karakteristik yang gelap, darah berwarna kecoklatan dan organ serta jaringan
tampak pucat

2.8.3 Intoksikasi 2,4-dichlorophenoxyacetic acid8


2,4-dichlorophenoxyacetil acid adalah herbisida yang paling lama
digunakan. Dalam kelompok ini juga termasuk sodium, ammonium atau
trimethylammonium, triethyl ammonium, dan diethyl ammonium. Toksisitas
LD50peroral dari dichlorophenoxyacetil adalah 300-500mg/kg untuk
tikuslaboratorium dan sekitar 100mg/kg untuk anjing. Anjing memiliki tingkat
sensitivitas lebih tinggi dibandingkan hewan lain, sedangkan babi, domba, sapi, dan
unggas lebih resisten.

2.8.4 Intoksikasi Paraquat8


Penelitian pada tikus yang diberikan paraquat per oral sebanyak 50-300 mg/L
selama 16 minggu, didapatkan pada mikroskop elektron terjadi dilatasi pembuluh
darah dan pada vena terisi oleh platelet dan agregasi eritrosit. Pada dosis yang lebih

12
tinggi, septum intraalveolar menebal.Pada dosis ≥100 mg/L, didapatkan
pneumonitis lobaris dengan sel mononuklear, makrofag, dan neutrofil. Pada
beberapa hewan coba lain yang menerima paraquat lebih dari 4 minggu, ditemukan
fibroblas pada dinding septum. Sel tipe II didapatkan tidak mengalami kerusakan,
tetapi sel tipe II membengkak dan ditemukan bukti adanya udem dari septum
intraalveolar.Pada autopsi, perubahan histopatologis juga dapat ditemukan pada
hati dan ginjal khususnya tubulus proksimalnya.

2.9 Pemeriksaan Forensik


2.9.1 Pemeriksaan Luar14
1. Bau yang menyengat.
2. Adanya busa / buih halus sukar pecah
Pada mulut dan hidung dapat ditemukan adanya busa, kadang-kadang disertai
bercak darah.
3. Bercak coklat
Kadang dapat ditemukan luka bakar kimiawi berupa bercak berwarna coklat
agak mencekung di kulit yang terkena herbisida bersangkutan.
4. Bercak-bercak racun
Dari distribusi racun dapat diperkirakan cara kematian, bunuh diri, kecelakaan
atau pembunuhan. Pada kasus bunuh diri, distribusi bercak biasanya teratur pada
bagian depan dan tengah dari pakaian, pada kecelakaan tidak khas, sedangkan kasus
pembunuhan distribusi racun biasanya tidak beraturan (seperti disiram).
5. Lokasi sianosis.
Dapat ditemukan bibir, ujung jari, dan kuku kebiruan.

6. Lebam mayat.
Warna lebam mayat merah kebiruan gelap. Kadang warna lebam mayat tidak
biasa juga mempunyai makna, karena pada dasarnya adalah manifestasi warna darah
yang tampak pada kulit.

13
2.9.2Pemeriksaan Dalam
Penemuan Autopsi pada Keracunan Herbisida 3,16
Pada autopsi (pemeriksaan dalam), bisa didapatkan efusi pleura dan
kerusakan pada saluran pernapasan bagian atas.Dalam jumlah besar, paru-paru
tampak padat, dengan perdarahan, termasuk pada daerah subpleura.Berat tiap paru
sekitar 1000 gram atau lebih.Bintik perdarahan pada mukosa lambung sering
ditemukan.Hepar dan bagian korteks ginjal tampak berwarna lebih pucat.
Temuan pada keracunan klorofenoksi tidak spesifik.Mukosa
gastrointestinal dapat kongestif dan dapat dijumpai perdarahan.Semua organ dalam
biasanya kongestif.Tes konfirmasi keracunan klorofenoksi adalah dengan
ditemukannya zat ini dalam plasma dan urin.
Secara histologis, didapatkan edema dan alveoli tampak kurang terisi udara
dengan proliferasi yang hebat dari epitel dan fibroblast pada dinding
alveolus.Infiltrasi dari sel-sel mononuklear, PMN, makrofag, dan eosinofil juga
bisa didapatkan.Pada ginjal didapatkan adanya kerusakan tubulus dan pada hati
didapatkan degenerasi pada daerah midzonal dan lobulularnya.

2.10 Tatalaksana Intoksikasi Herbisida8,10


Penanggulangan keracunan herbisida dapat dilakukan dengan beberapa
langkah, sama halnya dalam penanggulangan keracunan secara umum. Herbisida
biasanya menyebabkan keracunan melalui pakan dan air yang termakan oleh hewan
dan manusia. Senyawa herbisida yang tertelan, bisa dicegah kelanjutan absorpsi
lebih lanjut dengan mengeluarkannya, yaitu dengan cara menimbulkan muntah,
membilas lambung, dan memberikan pencahar. Menimbulkan muntah pada
manusisa yang mengalami keracunan herbisida dapat dilakukan dengan mengorek
dinding faring belakang dengan spatel atau memberikan emetikum, misalnya
apomorfin.
Keracunan herbisida dari golongan karbamat (misalnya karbamat profem)
dapat diberikan atropin sulfat hingga terjadi atropinisasi penuh. Lama reaksi racun
ditentukan dari kondisi fisik korban. Korban dengan kondisi fisik lemah, kurang

14
gizi, perut kosong atau menderita tukak lambung akan cepat mengalami muntah –
muntah dan mulut berbuih. Jika terindikasi keracunan, secepatnya korban
diberikan antidota seperti norit, putih telur atau susu.
Pada kasus keracunan paraquat hingga saat ini belum terdapat antidot atau
terapi khusus yang diakui sebagai standar tatalaksana baku. Penanganan keracunan
paraquat yang pertama adalah memastikan bahwa jalan napas, pernapasan, dan
sirkulasi dalam kondisi baik.Selanjutnya dilakukan usaha sesegera mungkin untuk
megeluarkan sebanyak mungkin paraquat untuk mengurangi absorpsi, sepert pada
kasus keracunan lainnya.Bilas lambung harus dilakukan dengan hati-hati karena
risiko terjadinya cedera esophagus.Suspense bentonite 7% (minimal 500 ml)
dimasukkan ke dalam lambung 1-2 jam setelah paraquat tertelan. Bila tidak ada,
dapat digunakan Fuller’s earth- larutan 15% sebanyak 1 liter untuk orang dewasa
atau 15 mg/kgBB untuk anak-anak, karbon aktif (Norit®) dengan dosis 100 g untuk
dewasa atau 2g/kgBB ntuk anak, atau obat pencahar (seperti manitol atau
magnesium sulfat). Ginjal merupakan jalur utama ekskresi paraquat, oleh karena
itu fungsi ginjal harus dipantau secara seksama.Oksigen tidak diberikan kecuali
terjadi hipoksia berat karena dapat meningkatkan toksisitas paraquat.Dalam
pedoman WHO, disebutkan bahwa terapi prednisone 60 mg dan siklofosfamid
3mg/kg/hari direkomendasikan untuk mencegah lesi paru.

15
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1. Herbisida adalah bahan kimia yang dapat menghambat pertumbuhan atau
mematikan tumbuhan. Herbisida mempengaruhi proses pembelahan sel,
perkembangan jaringan, pembentukan klorofil, respirasi, fotosintesis,
metabolisme, nitrogen, aktivitas enzim dan sebagainya.
2. Jenis herbisida yang sering digunakan adalah golongan klorofenoksi dan
paraquat.
3. Gejala yang dapat ditimbulkan akibat keracunan herbisida dapat terjadi pada
berbagai sistem tubuh manusia, antara lain pada sistem gastrointestinal,
musculosceletal, saraf pusat, kardiovaskular, paru-paru, dan ginjal.
4. Pada pemeriksaan korban dalam kasus keracunan herbisida, umumnya
ditemukan buih halus sukar pecah, bercak-bercak racun, kebiruan pada
lokasi tertentu (bibir, ujung jari, kuku), dan lebam mayat. Sedangkan pada
autopsi bisa didapatkan efusi pleura dan kerusakan pada saluran pernapasan
bagian atas. Dalam jumlah besar, paru-paru tampak padat, dengan
perdarahan, termasuk pada daerah subpleura. Bintik perdarahan pada
mukosa lambung sering ditemukan. Hepar dan bagian korteks ginjal tampak
berwarna lebih pucat.

DAFTAR PUSTAKA

16
1. Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Toksikologi. Dalam: Bagian Kedokteran Forensik FK UI. Ilmu Kedokteran
Forensik edisi 2. Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik FKUI; 1997. Hal. 71-
86.
2. Raini, Mariana. Kajian: Toksikologi pestisida dan penangan akibat
keracunan pestisida. Media Litbang Kesehatan, 2008; 17:10-18.
3. Aggrawal, Anil. Agrochemical Poisoning. Dalam: Tsokos, M. Forensic
Pathology Reviews, Vol. 4. Totowa: Humana Press Inc; 2005. Hal.280-91.
4. Dad, R. J. Sembodo. 2010. Gulma dan Pengelolaannya. Penerbit Graha
Ilmu, Yogyakarta, Indonesia.
5. Wahyudi T, Panggabean TR, Pujiyanto. Kakao: Manajemen
Agribisnis.Penebar Swadaya 2008; 1:177-178
6. Bronstein AC. Herbisides. Medical Toxicology. 3rd edition. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins; 2004. p.1515-28.
7. Centers for Disease Control and Prevention. Fact About Paraquat.
Emergency Preparedness and Responses 2013.
8. Wijaya MR, Cahyadi DD, Sauri S, Falah MDD, Hapsari FR, Baisa YH.
Makalah Keracunan Herbisida. Fakultas Kedokteran Hewan Institut
Pertanian Bogor.
9. J, Routt. Robert, James. Paraquat and Diaquat. Dalam J, Routt. Recognition
and management of pesticide poisonings 6th edition. Washington DC: U.S
Enviromental Protection Agency; 2013. Hal. 110-116.
10. Robertus, Yohanes. Anasthasya, Laura. Efek siklofosfamid dan steroid
untuk penanganan keracunan paraquat. J Indon Med Assoc 2012, 62:66-70.
11. Takayasu T, Hayashi T, Ishida Y, Nosaka M, Mizunuma S, Miyashita T, et
al. CASE REPORT: A Fatal Intoxication from Ingestion od 2-Methyl-4-
Chlorophenoxyacetic Acid (MCPA). Journal of Analytical Toxicology
Vol.32:2. 2008. p.187-91
12. MacDonald, G. How Hebicides Work. University of Florida.
(pested.ifas.ufl.edu/files/ceu_day/0900-

17
0950%20How%20Herbicides%20Work%20G%20%20MacDonald.pdf,
diakses 12 April 2016)
13. Peterson, E.D., dkk. 2015. Herbicide Mode of Action. Kansas State
University Agricultural Experiment Station and Cooperative Extension
Service. (www.bookstore.ksre.ksu.edu/pubs/c715.pdf, diakses 12 April
2016)
14. Mohan S. Dharma,dkk. Makalah Investigasi Kematian Dengan Toksikologi
Forensik FK UNRI, 2008, Hal. 4
15. Marrs TC, Adjei A. 2003. Pesticide residues in food-2003-Joint FAO/WHO
Meeting on Pesticide Residues - PARAQUAT.(http://www.inchem.org.
documents/jmpr/jmpmoro/v2003pr08.htm, diakses 3 April 2016)
16. J, Routt. Robert, James. Chlorophenoxy herbicides. Dalam J, Routt.
Recognition and management of pesticide poisonings 6th edition.
Washington DC: U.S Enviromental Protection Agency; 2013. Hal. 98-101.

18

Anda mungkin juga menyukai