Anda di halaman 1dari 16

MODUL 2

KONSEP SPESIES

Kompetensi Dasar : Mendeskripsikan konsep spesies dalam ekologi tumbuhan

1. Mengidentifikasi masalah-masalah pada konsep spesies dalam ekologi tumbuhan


2. Merumuskan masalah pada konsep spesies
3. Menemukan solusi pemecahan masalah pada konsep spesies
4. Memilih solusi terbaik dalam memecahkan masalah pada konsep spesies

1. Spesies Sebagai Unit Ekologi

Sifat-sifat individu spesies banyak berpengaruh pada sifat komunitas,


karena spesies merupakan unit terkecil yang menyusun vegetasi atau
komunitas. Dalam kajian ekologi tumbuhan, akan muncul pertanyaan umum,
antara lain bagaimana anggota komunitas tumbuhan yang hanya terdiri atas
satu spesies dalam komunitas dapat “survive”, pertanyaan lain : Apakah
yang disebut dengan spesies ekologis?

Secara umum istilah spesies yang sering digunakan dalam biologi


sesungguhnya adalah taksonomis yaitu spesies yang tersusun oleh individu
dan populasi yang kemungkinan secara genetis bersifat heterogen.
Sedangkan spesies ekologis, secara genetis merupakan koleksi tumbuhan
yang lebih homogen yang beradaptasi terhadap seperangkat kondisi
lingkungan mikro yang lebih khusus.

Interaksi.Lingkungan organisme tersusun oleh spesies tumbuhan dan hewan


yang berdekatan dan tumbuhan tersebut dapat merupakan anggota spesies
sama. Oleh karenanya, interaksi sepasang organisme dapat terjadi di setiap
bagian kontinum vegetasi. Mereka mungkin secara kebetulan dalam bentuk
obligat, atau dalam bentuk mutualis yang menguntungkan dan mutualis yang
merugikan.

Interaksi dapat dihubungkan oleh faktor kemis, atau faktor fisik, yang
akan mempengaruhi dan menentukan distribusi ruang (spatial) individu. Pola
distribusi suatu spesies yang hanya terbatas pada suatu tempat dapat
merupakan indikator (“clue”) bagi ekologiwan tentang adanya suatu bentuk
interaksi.

2. Faktor Lingkungan dan Distribusi Tumbuhan.


Permukaan bumi pada hakekatnya merupakan sistem jaringan faktor
lingkungan yang berubah menurut ruang dan waktu. Kita dapat
memperhatikan berbagai bentuk ekstrem lingkungan dan bentuk gradien
lingkungan yang berpengaruh kepada tumbuhan dan menghubungkannya
dengan evolusi tumbuhan yang menghasilkan variasi lingkungan kompleks,
bila kita memperhatikan hal-hal tersebut tidak hanya pada tingkat individu,
tetapi juga pada tingkat organ, seperti daun, yang bereaksi secara fisiologis
dan berkembang di lingkungan mereka. Untuk memahami bagaimana
mekanisme itu membentuk suatu bentuk interaksi, perlu dikaji beberapa
hukum yang diperkenalkan oleh beberapa ahli yang banyak memberi
perhatian pada kajian ekologi tumbuhan, antara lain Hukum Minimum,
Teori Toleransi, dan Konsep “Holocoenotic lingkungan”.

2.1 Hukum Minimum

Justus Von Liebig 1840 menulis tentang hasil sembarang panen yang
tergantung pada zat makanan atau nutrien tanah yang paling terbatas
jumlahnya. Kemudian masalah tersebut diperluas, sehingga definisi bebas
hukum minimum sekarang adalah, Pertumbuhan dan atau distribusi spesies
bergantung pada satu faktor lingkungan yang paling kritis dalam
kebutuhannya.

Validitas hukum tersebut telah diperlihatkan di banyak tempat di


seluruh dunia. misalnya :
a) Pertumbuhan jelek beberapa padang clover (Trifolium) di Australia, jelas
sebagai hasil kondisi tanah yang kekurangan atau defisiensi unsur mikro-
nutrien Cu, Zn, atau Mo (molybdenum). Dengan penambahan Cu-sulfat
atau Zn-sulfat yang hanya 6-8 kg per hektar setiap 4-10 tahun ternyata
dapat menaikkan pertumbuhan vegetasi daerah tersebut sebesar 300%.
Sehingga pada gilirannya, menaikkan hasil woll dari biri-biri yang
merumput dan dipelihara pada vegetasi padang clover tersebut.
b) Dengan hanya pemberian sejumlah kecil, yaitu 140 g per hektar sodium
molybdate, yang diberikan setiap 5 sampai 10 tahun, ternyata dapat
menaikkan hasil padang rumput 6 sampai 7 kali (Moore 1970).
c) Di Inggris, kisaran golongan calcicole tertentu (tumbuh pada tanah yang
kaya kalsium dengan pH basa) akan berakhir secara mendadak,
manakala pH tanah turun di bawah 5 (Grubb et al. 1969; Rorison 1969).
d) Di Kalifornia kelimpahan semak chapparal meyusut (sering menjadi nol)
kalau substrat tanah berubah menjadi serpentine, yang mempunyai level
calsium rendah luar biasa (Walker 1954).

2.2 Pembatas Hukum Minimum.


Ada dua pembatas terhadap hukum minimum:
a) Organisme mempunyai toleransi limit atas dan bawah terhadap setiap
faktor.
b) Kebanyakan faktor lebih bekerja secara bersama seperti halnya
sebuah konser daripada bekerja secara tersendiri atau secara
isolasi.

Buku ajar Ekologi Tumbuhan 2011 2


Level rendah satu faktor sering dapat dikompensasi oleh sebagian
level faktor lain yang sesuai, atau pengaruh suatu faktor dapat diperkuat
oleh faktor lain sehingga dapat mencapai batas maksimum atau minimum.

2.2. Teori Toleransi


Victor Shelford (1913) mencatat adanya kelemahan pada konsep
hukum minimum Liebig, dan kemudian mengusulkan perubahan atau
modifikasi menjadi teori toleransi. Ronald Good, ahli geografi tumbuhan,
kemudian mengembangkannya (1931, 1953), sebagai berikut:
Masing-masing spesies tumbuhan mampu hidup baik dan berhasil
memperbanyak diri hanya jika tumbuh dalam kisaran kondisi lingkungan
tertentu (misalnya kisaran tertentu pH, kelembaban tanah, intensitas cahaya,
dan lain sebagainya).

2.3. Konsep Holosenotik

Kira-kira 100 tahun sesudah Humboldt menulis bahwa sembarang


yang nampak hidup bersama saling terkait dan saling tergantung satu sama
lain (sifat ekosistem), Karl Friederich memberi nama sifat ekosistem tersebut
dengan nama: holosenotik (holocoenotic). (Holocoen adalah sinonim dengan
ekosistem).
Konsep holosenotik adalah suatu klimaks terhadap modifikasi lain
pada Hukum Minimum Liebig. Konsep holosenotik menyatakan bahwa tidak
mungkin untuk mengisolir arti penting faktor lingkungan tunggal yang
berpengaruh terhadap distribusi atau kelimpahan suatu spesies, karena
faktor-faktor tersebut bersifat saling bergantung satu sama lain atau
interdependen, dan dapat bekerja secara sinergetik. Karenaya, faktor-
tunggal ekologi, yaitu suatu faktor lingkungan penting yang paling
menentukan distribusi tumbuhan, adalah tak terpikirkan dalam kasus
tersebut.

 Faktor Pemicu.
Konsep holosenotik tidak berarti bahwa semua faktor harus setara
atau mempunyai bobot sama. Faktor tertentu dalam suatu ekosistem dapat
mendominir yang lainnya. Billings (1970) menamakan faktor tersebut sebagai
faktor pemicu (trigger).

3. Spesies Taksonomis.
Kesepakatan tentang definisi spesies belum dicapai antara
ekologiwan dengan taxonomiwan. Definisi spesies berikut, disintesakan dari
beberapa sumber:
Suatu spesies terdiri atas group populasi alami yang secara
morfologis dan ekologis serupa, dan yang dapat atau tidak dapat ber-

Buku ajar Ekologi Tumbuhan 2011 3


interbreeding, tetapi yang secara reproduktif (keturunannya) terpisah dari
grup lain serupa.

Tiga aspek klasifikasi digabungkan dalam definisi ini:

1.Kenampakan luar (morfologi),


2.Perilaku breeding, dan
3.Habitat yang jelas berbeda.

Aspek habitat, oleh kebanyakan taksonomiwan dianggap memiliki


bobot terendah, dan aspek morfologi atau isolasi reproduktif memiliki bobot
paling besar dalam penentu tentang apa yang disebut spesies.
Taksonomiwan tradisional memberi bobot morfologi tertinggi,
sedangkan biosistematikawan memberi bobot lebih tinggi pada isolasi
reproduktif.
Banyak biologiwan percaya bahwa organisme hidup akan tetap dan
tidak berubah secara kontinu selama dalam kisarannya, sehingga kurang
lebih termasuk ke dalam group yang tegas sekali, yang kemudian umum
disebut spesies.

3.2. Biosistematikawan.

Biosistematikawan, tertarik dalam penentuan unit biotik alami: yaitu,


populasi tumbuhan yang mempertahankan perbedaannya karena adanya
barier biologis yang secara genetis memisahkan mereka dari populasi lain.
Barier isolasi ini dapat disebabkan karena perilaku breeding, isolasi habitat
dan geografis, atau tak mampu membentuk hibrid fertil dengan group sejenis
yang erat.
Konflik timbul antara biosistematikawan dan taksonomiwan tradisional
karena unit biotik alami tidak selalu sesuai dengan group yang sangat tegas.
contoh, dua populasi spesies tradisional yang sama dapat dibuktikan,
dengan penyilangan di rumah kaca, akan menghasilkan buah tanpa biji atau
keturunan infertil; sehingga menurut ahli biosistematik, mereka bukan dua
spesies sama, tetapi merupakan dua spesies biosistematik berbeda.
Kaum taksonomis tradisional berdalih bahwa sifat yang tak terlihat
dalam kasusu tersebut sabagai kemampuan persilangan, secara teoritis tidak
penting dan tidak mempunyai nilai praktis. Juga, silangan rumah kaca dapat
merupakan tiruan penyilangan yang tidak valid di alam. Satu kesulitan lebih
lanjut pada pendekatan biosistematik adalah bahwa kemampuan persilangan
adalah sangat jarang atau tak ada, sehingga keputusan subyektif masih
tetap ada. Misalnya, jika populasi A dan B adalah 78% “interfertile”, apakah A
dan B dalam spesies sama?

Buku ajar Ekologi Tumbuhan 2011 4


3.3. Kesimpulan tentang persoalan spesies.

(1). Pertama, proses penentuan dan pembatasan spesies berbeda dari satu
taksonomiwan dengan taksonomiwan lain, tetapi ada satu fase di mana
semua pendekatan yang berbeda sama-sama berbagi pada tingkat
tertentu. Sehingga hasilnya bersifat arbitary/sekehendak hati. Jadi
spesies yang ditentukan dengan berbagai pendekatan tersebut sebagian
bersifat alami, dan sebagian bersifat artifact.
(2). Kedua, karakteristik habitat belum atau jarang dianggap penting sebagaii
kriteria taksonomis. Akibatnya, beberapa spesies yang mempunyai
kisaran luas, mereka diragukan memiliki satuan genetis yang homogen.

4. Spesies Ekologis.

Ekologiwan tumbuhan ingin memakai spesies sebagai alat deduktif


untuk dapat memahami ekosistem. Jika persyaratan ekologi spesies A
diketahui, dan pola alokasi sumber daya dipahami, kemudian kehadiran dan
tingkat kesuburan spesies A di sembarang tempat memungkinkan, maka kita
dapat membuat banyak kesimpulan tentang lingkungan, seperti kedalaman
tanah, level nutrien tanah, kekerapan/frekuensi terjadinya beku, intensitas
cahaya, lamanya musim pertumbuhan, frekuensi gangguan, dan ada atau tak
adanya tumbuhan dan hewan lain yang mungkin berinteraksi dengan spesies
tersebut. Tipe analisis sedemikian adalah tujuan kita. Dalam bagian ini kita
bertanya: Mungkinkah spesies tumbuhan secara teoritis dapat dipakai
sebagai alat deduktif ?

5. Ekotipe

Spesies taksonomis sesungguhnya tidak homogen: Komunitas


tumbuhan tersusun atas spesies yang anggotanya dapat bervariasi dari
bebrbagai sifat seperti tinggi, ukuran daun, waktu berbunga, atau sifat lain,
karena adanya perubahan dalam intensitas cahaya, garis lintang/latitude,
elevasi, atau karakteristik situs lainnya.

a. Ekotipe menurut Kerner:


Menurut Kerner, adanya variasi pada spesies tersebut diatas
dianggap sebagai tanggapan yang sifatnya plastis, dan bukan sebagai
tanggapan genetis yang dapat diturunkan (heritable).

b. Ekotipe menurut Turesson:

Kesimpulan Kerner tersebut ditentang oleh percobaan Turesson pada


awal abad 19. Dia membuat hipotesis bahwa banyak variasi dalam spesies
dapat diturunkan dan merupakan adaptasi terhadap habitat khusus dalam

Buku ajar Ekologi Tumbuhan 2011 5


kisaran spesies. Pertama-tama dia mengamati tumbuhan hanya dari Swedia,
tetapi kemudian dia mengkaji spesies di seluruh Eropa. Untuk masing-
masing spesies (biasanya perennial), material vegetatif atau biji dari
berbagai habitat atau wilayah di bawa pulang, dan ditumbuhkannya dalam
kebun uji didekat rumahnya di Akarp, Swedia.
Dia mempunyai alasan bahwa catatan perbedaan morfologi dan
fenologi di lapangan tetap bertahan di kebun uji, sehingga sifat tersebut
bersifat heritable dan berdasarkan genetis.

Beberapa sifat morfologis dan fenologis ekotipe hawkweed (Hieraceum


umbellatum), hasil percobaan Turesson dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel Ringkasan hasil Percobaan ekotipe Turesson

EKOTIPE
Sifat Lahan Belukar Ladang Dune
Habitus tegak menrayap intermediate
Daun lebar intermediate sempit
Rambut tak ada ada tak ada
Dormansi lebar intermediate sempit

Tabel diatas adalah ringkasan hasil penelitian ekotipe hawkweed


herba perennial (Hieracetum umbellatum), di Swedia Selatan yang tumbuh
pada sand dune pantai, pada lahan depan berbatu, dan pada ladang
pedalaman dan padang belukar. Perbedaan sifat di lapangan tetap pada
kebun uji. Apakah tipe perbedaan genetis ini karena berasal dari tumbuhan
yang berbeda spesies ? Turesson membuat semua silangan, dan ternyata
semua hasil silangan bersifat interfertile.
Kesimpulannya, tipe-tipe tersebut secara teknik hanya merupakan
bagian suatu spesies tunggal dan bukan dari dua spesies yang berbeda.
Turesson menyebut satuan ini sebagai ekotipe. Suatu ekotipe adalah
sebagai produk tanggapan genetik dalam suatu populasi terhadap habitat.
Ini adalah suatu populasi atau grup populasi yang dibedakan oleh
karakter morfoogi dan/atau fisiologi, dan bersifat interfertile dengan ekotipe
lain dari spesies sama, tetapi biasanya mereka terhalang dari proses
interbreeding alami oleh karena adanya barier ekologis.
Turesson juga menciptakan term ecospecies (hampir sama dengan
unit alaminya biosistematik) dan coenospecies (setara genus dengan
beberapa spesies, atau satu seksi dari genus yang besar).

 Elemen ekotipe.

Buku ajar Ekologi Tumbuhan 2011 6


Elemen-elemen yang merupakan bagian konsep ekotipe menurut
Turesson adalah sebagai berikut:
1. ekotipe harus berdasarkan pada sifat genetik,
2. perbedaannya dapat berupa morfologi, fisiologi, fenologi atau
ketiga-tiganya,
3. mereka hadir dalam tipe habitat yang jelas berbeda,
4. perbedaan genetik adalah sebagai adaptasi terhadap perbedaan
habitat,
5. mereka berpotensi interfertile (salig subur, sama-sama subur)
dengan ekotipe lain dari spesies sama, dan
6. mereka merupakan satuan yang tegas, dengan perbedaan nyata
yang memisahkan satu ekotipe dengan lainnya.
Konsep modern tentang ekotipe tidak selamanya harus memenuhi
semua elemen yang dipersyaratkan oleh Turesson tersebut.

c. Kajian Clausen dkk. :

Turesson memberikan gambaran ekotipe dalam 50 spesies yang pada


umumnya hidup di Eropa, tiga biologiwan lain melaporkan hasil yang sama
dengan tumbuhan perenial dari Amerika Utara. Tahun 1922, Jens Clausen,
ahli genetika dan sitologi, David Keck taksonomiwan, dan William Hiesey,
ahli ekologi fisiologi membuat transek kajian panjang 323 km di Kalifornia.
Walaupun keanekaragaman ligkungan sangat besar di sepanjang
transek ini, Clausen, Keck, dan Hiesey mampu menemukan kira-kira 180
spesies yang tumbuh berkisar meluas pada transek tersebut.
Tiap spesies dikumpulkan pada berbagai lokasi sepanjang transek,
dibawa pulang dan di tempatkan dalam rumah kaca di Stanford, selanjutnya
dibuat clone, dan ditumbuhkan selama 6 bulan, kemudian ditanam di kebun
uji sepanjang transek.
Mula-mula ada 11 kebun, tetapi kemudian jumlahnya dikurangi
menjadi 3: Stanfort, dekat permukaan laut; Mather, di pertengahan elevasi
Sierra Nevada; dan Timberline. Kira-kira 60 spesies cukup terputus-putus
untuk dapat survive pada penanganan pertama, pertumbuhannya, fenologi,
dan mortalitas diikuti selama 16 tahun.

Herba perenial Potentilla glandulosa dapat dipakai sebagai contoh


hasilnya. Berdasarkan morfologi, fenologi, fisiologi, dan habitat, terdapat
empat ekotipe dalam spesies ini (Clausen, Keck, dan Hiesey memilih term
taksonomi lebih konservatif: subspesies, tetapi ekotipe adalah sinonim dalam
kasus ini).

Ekotipe typica adalah bentuk lahan bawah.


Ekotipe reflexa dan hanseni adalah bentuk elevansi tengah,
Ekotipe nevadensis, bentuk timberline pada lahan yang teratas.

Buku ajar Ekologi Tumbuhan 2011 7


d. Kesimpulan Clausen dkk. :

Clausen, Keck dan Hiesey berkesimpulan bahwa kebanyakan spesies


terdiri atas sekumpulan ekotipe. Masing-masing berkisar dalam ukuran
popu;asi tunggal sampai group regional dari populasi banyak; makin luas
kisaran spesies, makin banyak ekotipe dalam spesies tersebut.

e. Sinonim ekotipe.

Term ras (race), genotipe (genotype), dan ras ekologis (ecological


race) sering dipakai sinonim untuk ekotipe. Varian genetik secara acak
(individu atau group individu) dalam ekotipe disebut biotipe (biotype).
Populasi yang keunikannya di alam disebabkan karena plastisitas
nongenetis disebut ekofen (ecophene) atau fenekotipe (phenecotype), untuk
membedakan mereka dari ekotipe.

6. Ekoklin (Ecocline).

Konsep ekotipe Turesson nampaknya sepintas lalu dapat memberi


gambaran kepada kita, bahwa spesies ekologi sebagai alat deduksi
lingkungan yang kita cari dapat diketemukan. Namun, ternyata banyak riset
pada sekarang yang menunjukkan bahwa konsep tersebut penggunaanya
atau aplikasinnya.

a. Penelitian Gregor.

Gregor (1946) mengamati dengan seksama apa yang pertama-tama


tampak sebagai dua ekotipe tumbuhan plantago pantai, Plantago maritima.
Satu ekotipe menempati rawa garaman yang teratur tergenang oleh
pasang tinggi dengan salinitas mendekati 2,5%. Tumbuhan ini mempunyai
daun pendek, biji kecil, dan tebal, pendek, tangkai bunga berbaring.
Ekotipe lain menempati padang nonsaline jauh di pedalaman, dan
mempunyai daun lebih panjang, biji besar, lebih kurus, tinggi, tangkai bunga
lebih tegak.
Gregor mengumpulkan biji tiap ekotipe dan menebarnya di kebun uji.
Lagi pula, dia juga mengumpulkan dan menebar biji dari tumbuhan yang
tumbuh di daerah perbatasan (ecotone), suatu habitat intermediate.
Tumbuhan yang dihasilkan menunjukkan bahwa perbedaan lapangan
secara genetis adalah tetap, tetapi yang lebih penting adalah, mereka
menunjukkan bentuk gradasi kontinu dari satu bentuk ekstrem satu ekotipe,
ke bentuk lainnya. Tak ada batas tegas antara dua ekotipe, atau bahkan
antara satu ekotipe dengan tumbuhan yang berasal dari daerah ekoton.

b. Penelitian Langlet.

Buku ajar Ekologi Tumbuhan 2011 8


Langlet (1959), teman senegara Turesson, membawa biji pinus. Pinus
sylvestris dari 580 situs seluruh Sweden ditanam di kebun uji. Ketika dia
mengamati pohon remaja (sampling) untuk laju pertumbuhan dan sifat
morfologi, dia tidak menemukan bentuk-bentuk ekstrem sangat berbeda,
tetapi merupakan suatu bentuk cline, yaitu suatu variasi kontinu,
menghubungkan bentuk-bentuk ekstrem.
Tak ada pemutusan yang tajam dalam kisaran variasi bentuk,
sehingga orang tidak dapat dengan mudah mengatakan ekotipe A berakhir
dan ekotipe B mulai.

c. Penelitian Cavers dan Harper.

Cavers dan Harper (1967) juga menemukan variasi nyata apa yang
disebut ekotipe yang jelas dari gulma annual Rumex crispus. Mereka
memakai tanggapan perkecambahan sebagai indikator heterogenitas
genetik. Pertama-tama mereka mengumpulkan biji yang berasal dari :
1. populasi berbeda (biji di pool dari banyak tumbuhan dari tiap
populasi);
2. kemudian dari tumbuhan terpisah dalam populasi sama;
3. kemudian dari inflorescence tumbuhan sama;
4. dan akhirnya dari bagian atas dan bawah inflorescence sama.
Pada setiap kasus, diperoleh hasil bahwa kisaran tanggapan
perkecambahan adalah sangat besar dari populasi ke populasi, dari
tumbuhan ke tumbuhan, dan seterusnya. Implikasi penelitian tersebut adalah
bahwa sifat genetik, adaptif, dapat berfluktuasi sama luasnya. Di sini, sekali
lagi, suatu ekotipe dalam sifatnya sama heterogennya dengan spesies yang
mempunyai kisaran luas.

d. Konsep ekotipe masih tetap berguna.


Konsep ekotipe dalam batas tertentu masih tetap berguna, karena
tekanannya pada heterogenitas spesies taksonomi dan pengaruh lingkungan
lokal terhadap morfologi, fisiologi, dan kepada tingkat yang lebih tidak nyata,
yaitu pada perilaku tumbuhan. Konsep ekotipe mempunyai arti praktis
terhadap penghutanan kembali atau proyek revegetasi secara umum.
Namun, konsep ekotipe secara tipikal tidak memungkinkan orang
mengenal populasi homogen atau group populasi di alam untuk dapat
digunakan sebagai sarana ekologi secara umum. Ekotipe pada hakekatnya
tidak lebih tegas dan terpisah dari yang lain daripada spesies sendiri.

e. Konsep stairstep dan konsep ekoklin ekotipe.


Konsep undakan/stairstep ekotipe Turesson harus diganti dengan
suatu konsep ekoklin (ecocline).
Suatu ekoklin adalah suatu gradasi/tingkatan dalam sifat suatu
spesies (atau sering juga untuk komunitas atau ekosistem) yang
berhubungan dengan gradien lingkungan.

Buku ajar Ekologi Tumbuhan 2011 9


Turesson dan pada beberapa keadaan juga Clausen, Keck, dan
Hiesey, menganggap ekotipe sebagai bentuk tegas, karena disebabkan
metide sampling yang dipakai agak menyangsikan hasilnya: Material
tumbuhan dipilih dari tempat terpisah jauh, dan daerah ekotone (perbatasan)
dilupakan.
Ekotipe, kemudian, hanya sekedar segmen arbitrary sebuah ekoklin,
yang hanya lebih cocok untuk pengenalan acuan saja.

7. Genoecoclinodeme.
Gilmour memikirkan keseluruhan sistem nomenklatur yang
menghilangkan perlunya memakai term ekotipe dan memberi presisi hasil
riset autekologi dan biosistematik.

a. Term Gilmour tentang ekotipe.

Semua term adalah merupakan awalan terhadap akhiran nertral,


deme, yang tidak pernah berdiri sendiri tetapi dapat ditentukan sebagai
group individu sejenis yang dekat. misalnya:
 topodeme adalah group individu ko-eksis dalam lokal tertentu;
 gamodeme adalah group individu yang ber-interbreedig alami (setara
terhadap term populasi);
 ecodeme adalah group dalam suatu habitat spesipik dan unik;
 genodeme adalah suatu group yang secara genetis berbeda satu sama
lain;
 phenodeme adalah group yang perbedaannya belum diketahui berupa
genetik;
 plastodeme adalah group yang perbedaannya diketahui bukan genetik;
 genoecodeme adalah group yang perbedaannya adalah secara genetis
tetap dan yang hadir dalam habitat unik, yang merupakan bagian suatu
cline gradasi kontinu. Genoecodeme adalah setara ekotipe.

Tidak mengherankan, sistem akhiran ganda ini mengalami hambatan


dalam penerimaan pemakai, walaupun obyektifitas dan presisi jauh lebih
dianjurkannya. Kita akan tetap akan memakai term ekotipe dalam buku ini,
tetapi ini sinonim dengan genoecocline, mengingatkan kita arti
sesungguhnya ekotipe.

8. Riset Ekotipe pada Level Fisiologi

Salah satu riset ekotipe telah mengungkapkan persoalan rumit


tentang fisiologi, sebagai dasar metabolis adaptasi tumbuhan terhadap
habitat lokal. Aspek tersebut digambarkan sebagai suatu seri penyelidikan

Buku ajar Ekologi Tumbuhan 2011 10


yang membawa pengertian kita lebih dekat kepada dasar pokok yang
mengendalikan adaptasi, yaitu gene.

1. Ekotipe Oxyria digyna.

Harold Mooney dan Dwight Billings (1961) menerbitkan kajian klasik


pada herba perennial Oxyria digyna.
Oxyria mempunyai distribusi di keliling-boreal di daerah Tundra Arktik
yang meluas ke selatan di daerah Tundra Alpine dibeberapa deret
pegunungan. Sebaliknya di Amerika Serikat tumbuhan itu ditemukan pada
elevasi tinggi di Siera Nevada dan Rocky Mountain. Karena adanya dua
ekstrem lingkungan, maka ada dua ekstrim ekotipe Oxyria. Mooney dan
Billings menunjukkan bahwa ekotipe arktik dan alpine berbeda secara
morfologi dan fenologi bahkan bila ditumbuhkan bersama yang berasal dari
biji dalam ruang terkendali tiruan alam, lingkungan seragam (kebun uji
modern). Mooney dan Billings menemukan bahwa metabolisme dua ekotipe
tersebut berbeda.
Perbedaan fisiologi diduga berkorelasi dengan faktor enzimatik dan
faktor biokemis lain, tetapi Mooney dan Billings tidak melanjutkan penelitian
sampai pada level tersbut.

2. Ekotipe Tyhpa latifolia.

Spesies cattail, Typha latifolia, tersebar luas di daerah hemisphere


utara. McNughton (1966) mengumpulkan rimpang dorman dari baberapa
habitat berbeda seperti dingin, maritim, pantai, Pasifik berkabut pada Point
Reyes, Kalifornia dan tempat yang relatif panas, lembah Sacramento kering
dekat Red Bluff, Kalifornia, lebih daripada 100 km di pedalaman.
Mereka menempatkan rimpang di pot dan menempatkannya di rumah
kaca dengan suhu 30/25 o C siang/malam, dimana mereka mematahkan
dormancy, menghasilkan tunas dan tumbuh selama 3 bulan. Mereka
kemudian mengambil sampel jaringan daun, enzimnya diekstrak, dan ekstrak
mendapat tekan panas 50 o C untuk waktu sampai 30 menit. Ini memacu
suhu daun dimana tumbuhan Red Bluff teradptasi denga suhu tinggi.
Tumbuhan Point Reyes memiliki daun yang tidak teradapatasi dengan suhu
lebih tinggi dari 30o C.

Setelah tiap periode tekanan panas, mereka menguji aktivitas tiga


enzim pernapasan penting: maltae dehydrogenase, glutamate oxaloacetate,
dan aldolase. Mereka menganggap bahwa ekotipe Red Bluff yang toleran
panas harus terletak dalam stabilitas panas dari beberapa atau semua
enzimnya. malate dehydrogenase jelas lebih stabil panas pada ekotipe Red

Buku ajar Ekologi Tumbuhan 2011 11


Bluff daripada ekotipe Point Reyes; dua enzim lain menunjukkan tak ada
perbedaan.
Malate dehydrogenase dapat berbeda pada dua ekotipe dalam
banyak cara yang mungkin menaikkan stabilitas dan aktifitas.

Dalam tulisan lain, McNaughton (1967) menunjukkan bahwa ekotipe


cattail dari Point Reyes pada permukaan laut dan Wyoming pada elevasi
1980 m berbeda dalam efisiensi fotosintesisnya. Pada elevasi tinggi, ekotipe
musim pertumbuhan pendek dan memperlihatkan kira-kira dua kali laju
fotosintesis dari ekotipe Point Reyes.

3. Ekotipe Sintanion hystrix.

Respirasi juga cocok terhadap perbedaan elevasi pada level


enzimatis, seperti Klikoff (1966) memperlihatkan bahwa populasi rumput
Sintanion hystrix dari elevasi yang berbeda di Siera Nevada. Mitochondria
yang terisoler menunjukkan laju oksidatif tinggi pada suhu rendah dengan
penambahan elevasi pada tumbuhan induk.

4. Ekotipe Salidago vigaurea.

Beberapa spesies dibedakan kedalam ekotipe matahari (yang


berkecambah dan tumbuh pada tempat terbuka) dan ekotipe naungan (yang
berkembang di bawah kanopi atau tumbuhan lain).Suatu spesies Eropa
Salidago vigaurea, suatu herba perennial, juga mempunyai ekotipe tersebut.
Olle Bjorkman, dalam beberapa tulisan yang berakhir 1968, mengamati
perbedaan dua ekotipe Salidago pada level yang lebih kurang nyata.
Perbedaan lain, dia menunjukkan bahwa kurve saturasi cahaya
ekotipe matahari berbeda dari kurve saturasi cahaya ekotipe naungan.
Ekotipe matahari mempunyai titik saturasi cahaya lebih tinggi dan
memperlihatkan laju fotosintesis lebih tinggi pada titik saturasi tersebut.
Untuk mendapatkan alasan tentang perbedaan tersebut, dia pertama
mencari pada level morfologi, menanyakan kalau-kalau daun ekotipe
terdedah mungkin menyerap lebih banyak cahaya; jawabannya tidak.
Kemudian dia mencari pada level selluler, menanyakan apakah konsentrasi
klorofil lebih tinggi pada daun terdedah, jawabannya juga tidak.
Akhirnya dia mengamati pada level enzim. Enzim yang bertanggung
jawab terhadap fiksasi CO2 dalam jalan reaksi gelap fotosintesis adalah
ribulose biphosphate carboxylase (juga disebut caboxydismutase). Ketika dia
mengukur konsentrasi (aktifitas) enzim penting ini, dia menemukan bahwa
terdapat dua sampai lima kali lebih besar dalam ekotipe matahari, yang
cukup untuk mengerjakan laju fotosintesis lima kali lebih tinggi dari ekotipe
matahari pada intensitas cahaya tinggi.

Buku ajar Ekologi Tumbuhan 2011 12


Bila kita meneliti sampai pada titik tersebut, informasi tentang arti
praktis yang besar untuk breeding ekotipe, dapat dipakai sebagai
reklamasi/perbaikan medan seperti tempat yang terpotong jalan yang miskin
nutrisi, tempat rusak karena racun tambang, tempat bergaram atau tempat
penggalian, area jalur tambang, dune yang bergerak dan mempunyai
kandungan nitrogen rendah, daerah erosi, dan lain sebagainya.

8. Aklimasi.

Aklimasi (aklimatisasi) adalah perubahan plastis, temporer dalam


organisme disebabkan oleh suatu lingkungan dimana lingkungan tersebut
sudah ada pada masa lampau.
Matthaei (1905) adalah orang pertama yang mendokumentasikan
fenomena tersebut dalam tumbuhan, dan pengaruh suhu pada masa lalu laju
fotosintesis dan respirasi.
Billings et al. (1971) mengadakan percobaan yang menyajikan contoh
bagus aklimasi, dan sekali lagi sorrel alpine membuktikan sebagai kajian
bagus. Biji sorrel alpin (Oxyria digyna) dikumpulkan dari kisaran habitat,
dikecambahkan dan ditumbuhkan dalam rumah kaca yang seragam selama 4
bulan, kemudian dibagi kedalam tiga lingkungan ruang pertumbuhan: hangat
(32/21o C siang/malam, medium (21/10 o C), dan dingin (12/4o C).
Setelah 5 sampai 6 bulan dalam ruang, ulangan tiap koleksi diukur
untuk fotosintesis bersih pada kisaran suhu, dari 10 sampai 43 o C, dan suhu
optimum untuk fotosintesis dicatat.
Hasilnya menunjukkan bahwa wakil ekotipe arktik dan alpin yang
memiliki kapasitas aklimasi berbeda. Suhu optimum untuk tumbuhan alpin
bergeser sebanyak 11o C, tergantung pada suhu yang diterima pada waktu
pertumbuhan sebelum pengukuran fotosintesis, tetapi suhu optimum untuk
tumbuhan arktik hanya bergeser 1o C.
Pengaruh “preconditioning” serupa, atau aklimasi, telah diperlihatkan
bagi tumbuhan dalam sejumlah perbedaan pohon pinus dan semak gurun.

Hubungan antara tumbuhan dan lingkungan kemudian dapat ditulis:

fenotipe = genotipe + lingkungan dominan + lingkungan lampau

Seberapa jauh lingkungan lampau dapat mempengaruhi fenotipe ?


pengaruh lingkungan lampau tak dapat diukur pada masa lalu, karena hal ini
harus kembali pada generasi tetua mereka.
Biji grounsel (senesio vulgaris) ditumbuhkan pada beberapa suhu.
Semai segera dipindahkan ke lingkungan umum dan dibiarkan tumbuh
selama 80 hari, kemudian tunas yang tumbuh ditimbang. Hasil percobaan ini
sukar untuk dijelaskan kecuali sebagai hasil perbedaan suhu pada waktu
kecambah, 80 hari sebelumnya.

Buku ajar Ekologi Tumbuhan 2011 13


Tumbuhan annual Lactuca scariola, mendapat perlakuan yaitu dikenai
panjang hari yang berbeda atau aplikasi pengatur tumbuh, menghasilkan
anakan yang berbeda dalam berkecambah, pertumbuhansemai, dan waktu
berbunga (Gutterman et al. 1975).

Tabel. Pengaruh suhu perkecambahan pada pertumbuhan yang berurutan


pada grounsel (senecio vulgaris).
Tabel Ringkasan hasil Percobaan Guttermaman et all, 1975 tentang
pengaruh suhu
Suhu perkecambahan kondisi kondisi pertumbuhan
(oC) (mg)
10 Pertumbuhan 80 147
14 hari semuanya tumbuh 775
23 bersama pada 17oC 1078
30 foto-period 16 hari 390

Penjelasan genetik untuk aklimasi adalah mungkin, tetapi tujuan kita


hanya untuk menunjukkan bahwa aklimasi dapat terjadi; dan dasar genetis
disini bukan menjadi kepentingan kita. Arti penting lingkungan masa lalu
pada perilaku tumbuhan tidak cukup (insufficient) dikenal oleh autekilogi
tumbuhan, walaupun ini jelas bahwa aklimasi adalah penting bagi pengertian
dan pemahaman distribusi tumbuhan.

9. Pendekatan Terpadu terhadap Riset Ekotipe: Suatu Kajian Kasus

Suatu contoh riset ekotipe yang sangat baik sekarang yang memakai
pilihan teknik luas, termasuk biologi populasi dan ekologi fisiologi, adalah
kajian ekotipe Dryas octopetala dari Tundra Alaska (McGraw dan Antonovics
1083, McGraw 1985).
Penulis ini menggabungkan teknik tersebut seperti kajian ruang
tumbuh dalam fitotron, transplant lapangan, percobaan kompetisi, ekologi
polinasi, pengamatan demografik, manipulasi lingkungan in situ, pengukuran
fotosintesis, dan penentuan pola alokasi “photosynthate” terhadap berbagai
organ tumbuhan.
Berbagai gabungan atau campuran yang banyak tersebut
menghasilkan kesimpulan ekologis yang lebih kuat dan penting.

10. Ringkasan

a) Ekologiwan tumbuhan ingin memakai spesies sebagai alat deduktif,


sebagai indikator yang agak presisi dari level tertentu faktor lingkungan.

Buku ajar Ekologi Tumbuhan 2011 14


Tetapi sayang, ini dapat merupakan tujuan yang tidak realistik, menurut
dua alasan:
b) Pertama, tumbuhan bertanggapan terhadap faktor klimatik, edafik yang
kompleks dan faktor biotik kompleks, dan pengaruh faktor tunggal adalah
sulit untuk dipisahkannya. Kisaran toleransi suatu spesies terhadap faktor
x dapat dimodifikasikan oleh faktor y dan z. Versiyang bagus teori
toleransi mengenal efek spesial kompetisi yang dapat
mencampurbaurkan pada kisaran toleransi.
c) Kedua, spesies taksonomi, apakah dikenal secara morfologi, biologis,
atau dasar statistik, sebagian adalah artifact keinginan manusia untuk
klasifikasi.
d) Spesies kisaran luas, yang terdapat dalam banyak habitat berbeda,
adalah secara genetis tidak homogen dan dengan demikian tidak
menyajikan sebagai indikator ekologi.
e) Turesson mencari dan mendapatkan “pengertian ekologis spesies
Linnean”. Dia menemukan bahwa spesies taksonomi terdiri atas subunit
ekologis penting, yang kemudian di sebut sebagai ekotipe. Dia
menentukan ekotipe sebagai tanggapan genetik suatu populasi (atau
group populasi) terhadap habitat, dibedakan oleh karakter morfologis dan
fisiologis, masih bersifat interfertile kalau disilangkan dengan ekotipe lain
spesies sama.
f) Kebanyakan spesies kisaran luas sekarang diketahui terbentuk oleh
banyak ekotipe, tetapi pemakaian konsep secara praktis menjadi cair bila
diketemukan bahwa ekotipe adalah masih heterogen, dengan batas
masih samar-samar, seperti spesies. Konsep stairstep Turesson tentang
ekotipe harus diganti dengan konsep “ecocline”, dan ekuivalen term
ekotipe dalam terminologi Glimour, adalah genoecolinodeme, yang
secara benar menekankan fakta tersebut.
g) Konsep ekotipe adalah masih penting dari titik pandang ilmu dasar,
karena ini akan menjurus ke riset yang menunjukkan pengaruh luas
lingkungan pada semua level perilaku tumbuhan, dari level morfologi,
fenologi sampai level yang halus, (subtle) dari fisiologi, metabolisme dan
genetik.
h) Riset ekologi sekarang telah menekankan level yang halus tersebut,
tetapi ini belum mencapai titik di mana kita mengetahui enzim yang mana
yang paling penting untuk tipe dasar ekotipe klimatik atau edafik. Juga
belum diketahui bagaimana enzim ini berbeda dari ekotipe ke ekotipe,
juga berapa banyak gene yang terlibat, juga bagaimana caranya dapat
mengawinkan untuk mendapatkan sifat ekotipe tertentu. Seperti yang
sekarang dikerjakan dalam seleksi jenis dengan mengawinkan tumbuhan
biji yang dipanen atau untuk mendapat tumbuhan yang tahan penyakit.
i) Faktor yang mencampur baurkan dalam riset ekotipe adalah aklimasi:
suatu lingkungan yang telah diderita oleh organisme dalam masa lalu
(sering satu generasi atau lebih dalam masa lalu) dapat menyebabkan

Buku ajar Ekologi Tumbuhan 2011 15


perubahan fisiologis dalam organisme tersebut. Nampaknya, kapasitas
untuk aklimasi sendiri dapat merupakan sifat ekotipe.

Latihan

1. Menjelaskan Konsep spesies menurut pandangan Para ekologiwan


2. Menyebutkan Keunggulan teori minimum, Teori Toleransi dan konsep
holocoenotik
3. Menjelaskan proses terjadinya proses spesiasi menurut pandangan
ekologiwan
4. Menjelaskan beberapa riset tentang bentuk-bentuk ekotipe

Daftar Pustaka
1. Bagon, B.,J.L., Harper and C.R. Townsend. 1986. Ecology Individual,
Population and Communities. Sinauer Assosiates.Inc. Publisher.
Shunderland Massachusetts.
2. Barbour, Burk, Pits. 1987. Terrestrial Plant Og Ecology. Tehe Benjamin
cumming Publishing Company Inc. Sand Hil, Road, Menlo Park. California.
3. Harjosuwarno, S., 1990. Dasar-Dasar Ekologi tumbuhan. Fakuktas Biologi
UGM. Yogyakarta
4. Kasim, A., 2004. Ekologi Tumbuhan
5. Miller.T.G., 1981. Living in The Environment, Third edition
6. Odum.E.P., 1983, Basic of Ecology
7. Surasana, 1988. Ekologi Tumbuhan. PAU Hayati ITB. Bandung

Buku ajar Ekologi Tumbuhan 2011 16

Anda mungkin juga menyukai